LIMA
Nyi Selasih dan Rupani terkejut setengah mati ketika tiba di dalam pondok.
Di situ banyak sekali terdapat kucing yang tengah berkumpul. Dan di tengah
binatang-binatang itu, berdiri pula sesosok tubuh berpakaian gembel seperti
seorang pengemis. Pemuda itu cukup tampan dengan rambut panjang dan kusut
masai. Kulitnya terlihat amat dekil dan kusam. Sorot matanya pun terlihat
tajam serta berkilat, memancarkan sinar aneh menusuk tajam pada perempuan
tua itu.
“Kisanak! Siapa kau sebenarnya, dan apa yang kau lakukan di tempat ini?”
tanya Nyi Selasih heran.
“Benarkah namamu Nyi Selasih alias si Selendang Maut?” pemuda itu malah
balik bertanya dengan nada terdengar dingin sekali.
Nyi Selasih pun menyadari kalau sikap pemuda itu sesungguhnya tidak
menunjukkan rasa persahabatan. Dia pun mulai waspada, lalu memberi isyarat
kepada putrinya agar selalu bersiaga penuh.
“Hm.... Kalau memang kau hendak berurusan dengan Nyi Selasih, akulah
orangnya,” agak menggumam suara Nyi Selasih.
“Bagus. Kau mempunyai hutang padaku, Nyi. Dan kau harus membayarnya hari
ini juga.”
“Hutang? Hutang apa...? Kenal denganmu pun, baru hari ini. Bagaimana
mungkin kau bisa mengatakan kalau aku punya hutang padamu?” Nyi Selasih jadi
keheranan.
“Tidak ingatkah kau pada peristiwa lima tahun lalu?”
Nyi Selasih mencoba mengingat-ingatnya, tapi ternyata tidak menemukan
maksud dari kata-kata pemuda itu. Lagi pula, bukankah masa lima tahun itu
adalah waktu yang panjang? Dan selama itu pula, dia banyak mengalami
peristiwa yang terjadi. Dan itu tidak mungkin lagi dapat diingatnya satu
persatu.
“Kisanak! Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Katakan, hutang apa yang
harus kubayar padamu...?” Nyi Selasih minta penjelasan.
“Hm.... Kalau memang kau lupa, baiklah kuingatkan kembali agar matamu
melek. Aku adalah Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang kau bunuh dengan
keji bersama teman-temanmu lima tahun yang lalu. Nah! Sekarang sudah jelas,
Nyi Selasih....”
“Hah...?! Kau...” Nyi Selasih jadi terperangah setelah mendengar kata-kata
pemuda yang mengaku bernama Katakili.
“Kenapa? Kau tampak terkejut! Apakah kau kira aku telah tewas ketika itu?
Ha ha ha...! Barangkali memang tidak pernah terpikirkan kalau aku datang dan
menagih hutang nyawa kepadamu, bukan? Kau salah, Perempuan Busuk!
Bertahun-tahun aku hidup sengsara, penuh dengan derita. Dan aku berusaha
untuk bertahan agar tetap dapat hidup, agar nantinya akan dapat membalaskan
rasa sakit hati ini! Dan kali ini, jangan harap untuk dapat bisa meloloskan
diri dariku!”
Mendengar kata-kata itu, jelas kalau pemuda ini begitu amat mendendam pada
masa lalunya. Dan dia berusaha membalas rasa sakit hati dengan ingin
menewaskan Nyi Selasih. Tentu saja hal ini membuat harga diri perempuan tua
itu jadi tersinggung.
“Bocah! Apa kau pikir aku takut dengan segala macam ancamanmu? Huh! Ayahmu
saja orang jahat! Dia sudah sepatutnya menerima hukuman. Dan, kau sebagai
anaknya harus membersihkan nama baik keluarga dengan berbuat baik di
mana-mana,” agak lantang suara Nyi Selasih.
“Ha ha ha...! Kau pikir apa yang sedang kulakukan ini sekarang? Bukankah
ini demi nama baik keluarga juga?! Kalian telah membunuh orang yang tidak
bersalah!”
“Bu! Percuma saja kita bergulat omongan dengannya. Lebih baik jangan
dipedulikan. Kelihatan sekali kalau dia memang tidak waras,” bisik Rupani
kepada ibunya.
“He, Perempuan Sundal! Jangan sembarangan bicara. Cepatlah menyingkir, atau
barangkali kau memang ingin mampus untuk menanggung dosa ibumu...?!” bentak
Katakili geram.
“Keparat! Kau pikir, siapa dirimu itu sebenarnya? Berani sekali kau bicara
begitu padaku?!” geram Rupani dengan wajah berang.
Rupani kontan naik darahnya mendengar kata-kata yang dilontarkan Katakili.
Dengan cepat, selendangnya diloloskan dan langsung saja dikebutkan ke arah
kepala pemuda itu. Kecepatannya sangat tinggi, disertai pengerahan tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
“Yeaaah...!”
Wuk!
Namun dengan hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Katakili berhasil
menghindari. Dan pada saat itu juga, dia menggerung bagaikan seekor harimau
kelaparan melihat domba gemuk.
“Graungrrr...!”
“Heh?!”
Raungan Katakili membuat kedua wanita itu jadi terkejut setengah mati.
Bahkan Rupani cepat-cepat menarik selendangnya kembali dan segera melompat
ke belakang beberapa langkah. Didekatinya Nyi Selasih yang tadi berdiri agak
ke belakang darinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika mereka melihat ratusan
kucing yang mengelilingi pemuda itu tiba-tiba saja jadi kucing buas.
Binatang-binatang itu menggeram sambil menunjukkan sorot mata yang tajam,
setelah melihat tindakan Rupani yang hendak menyerang Katakili.
Sedangkan Nyi Selasih yang melihat keadaan ini sudah bisa menduga kalau
kucing-kucing yang sejak tadi berada di dekat pemuda itu memang bukan hewan
sembarangan. Dan agaknya, antara pemuda itu dengan kucing-kucing yang
dimilikinya mempunyai tali ikatan batin yang kuat sekali.
Tanpa terasa, ketakutan mulai merasuki jiwanya. Suatu peristiwa mengerikan
pasti akan terjadi bila kucing-kucing itu menyerang dengan kuku-kukunya yang
tajam. Tapi Nyi Selasih yang memang sudah kenyang makan asam garam dalam
kehidupan, bisa menyembunyikan perasaannya. Dan kini dipandangnya pemuda itu
dengan sorot mata tajam.
“Kenapa berhenti? Bukankah kau semula ingin menghajarku?” ejek pemuda itu
pada Nyi Rupani.
“Sungguh kurang ajarnya mulutmu! Phuihhh...! Apa dikira aku takut dengan
hewan-hewan peliharaanmu itu?!” dengus Nyi Rupani, berusaha menghilangkan
perasaan gentar yang tadi sempat menyelinap ke dalam hatinya.
“Lalu, kenapa niatmu itu tidak dilanjutkan?! Ayo! Segeralah kau ke sini,
kalau memang ingin menanggung dosa ibumu,” ejek Katakili lagi, memancing
kemarahan Nyi Rupani.
“Keparat!” Diejek demikian, rupanya perempuan itu sudah tidak bisa lagi
menahan amarahnya. Selendangnya digenggam erat-erat dengan kedua tangannya,
lalu perlahan-lahan direntangkan hingga melintang di depan dada.
Melihat Nyi Rupani sudah siap hendak menyerang lagi, Katakili kelihatan
tersenyum. Dia seperti senang melihat pancingannya mengena dengan baik.
Sengaja dia berdiri tegak, bersikap seperti tidak peduli. Dan sikapnya itu
membuat Nyi Rupani semakin geram. Selendangnya langsung diregangkan hingga
jadi kaku seperti sebatang tombak.... Rrrt..!
“Bagus! Seranglah aku,” dingin sekali nada suara Katakili.
“Phuih! Hiyaaat..!”
“Rupani, jangaaan...!” Nyi Selasih berusaha mencegah perbuatan anaknya.
Namun sudah terlambat Anaknya sudah mencelat sambil mengayunkan selendangnya
ke arah dada pemuda itu. Namun belum lagi serangannya mengenai sasaran, saat
itu juga kucing-kucing yang sejak tadi memang telah bersiaga membela
majikannya, sudah berlompatan dengan buas ke arah wanita ini. Suaranya
begitu keras dan ribut membuat Nyi Rupani jadi kelihatan bingung.
“Meeeong...!”
“Graungrrr...!”
“Ikh...! Yeaaah..!”
Wuk!
“Mampuslah kau, Keparat!”
Ctarrr...!
Sambil berteriak keras menggelegar, Nyi Rupani cepat mengebutkan
selendangnya sambil berputaran bagai kilat. Dia berusaha melindungi diri
dari terkaman kucing-kucing liar itu.
“Hiyaaat..! Yeaaah...!”
Namun serangan kucing yang jumlahnya ratusan itu bagaikan air bah saja.
Akibatnya, Nyi Rupani jadi kelabakan juga menghadapinya. Dan tiba-tiba saja,
salah seekor kucing yang menyerangnya melesat tinggi ke atas. Lalu dengan
gerakan sangat cepat luar biasa, binatang itu menukik hendak menyambar
bagian atas kepala Nyi Rupani. Tapi pada saat itu pula....
“Rupani, awas...!” Nyi Selasih cepat sekali mencelat ke udara, begitu
melihat pemuda yang bernama Katakili tiba-tiba menerjang ke arah Nyi Rupani.
Padahal saat itu Nyi Rupani tengah sibuk menghindari seekor kucing yang
menyerangnya dari atas kepala.
“Uts...!” Buru-buru Nyi Rupani menundukkan kepala sehingga kucing hitam itu
hanya menyambar angin kosong.
Sementara itu ujung selendang Nyi Selasih cepat menyambar tubuh Katakili.
Tapi sayang, pemuda itu dapat menghindar dengan berjungkir balik. Dan begitu
tegak kembali, sasarannya langsung diarahkan ke pinggang Nyi Rupani.
“Akh...!” Nyi Rupani terpekik ketika cakar lawannya berhasil merobek
pinggang, ketika dia masih sibuk dengan kucing-kucing yang terus
menyerangnya.
Katakili kini seperti harus membagi serangan begitu Nyi Selasih turut
campur dalam pertarungan. Dan sebenarnya, perempuan tua itu pun mulai
sedikit terkejut, namun lekas menunjukkan tingkatannya sebagai tokoh kawakan
dunia persilatan.
“Nyi Selasih! Kaulah bagianku sekarang! Hiyaaat..!” bentak Katakili sambil
menerkam perempuan tua itu dengan kedua tangan menjulur ke depan.
“Huh! Bocah masih ingusan sudah bertingkah! Cepat ke sini kalau memang
ingin segera menyusul bapak moyangmu! Yeaaah...!”
“Graungrrr...!”
“Hiyaaa...!”
“Mampuslah kau, Bocah Dungu!” dengus Nyi Selasih sambil mengayunkan
selendangnya. Langsung dikejarnya ke mana saja tubuh pemuda yang bergerak
lincah untuk menghindari serangannya.
Tapi pemuda itu bergerak cepat sekali. Bagaikan seekor kucing, dia mampu
menjejakkan kedua kaki dan tangannya ke tanah, untuk kemudian melenting
ringan sambil membuat suatu lompatan-lompatan ringan. Tubuhnya lalu
berguling-guling beberapa kali, kemudian dengan buasnya menerkam
lawan.
Diam-diam Nyi Selasih pun mengagumi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pemuda itu. Rasanya, dia pun tidak akan mampu berbuat serupa. Tubuh pemuda
itu melayang laksana terbang, lalu mendarat dan melompat kian kemari begitu
ringannya. Dan itu hanya dapat dilakukan oleh tokohtokoh persilatan kelas
atas saja.
“Graungrrr...!”
“Aaakh...!”
Tiba-tiba Nyi Selasih terkejut dan langsung menghentikan serangan begitu
mendengar jeritan Nyi Rupani. Wanita itu tampak penuh luka cakaran kucing
yang mengerubutinya. Dan ternyata, waktu yang hanya sesaat betul-betul
dipergunakan Katakili dengan sebaik-baiknya. Tubuhnya cepat melesat bagai
anak panah, dan langsung menyambar bagian dada dan perut Nyi Selasih.
Perempuan tua itu kontan terpekik, dan tubuhnya seketika bermandikan darah.
Kedua kakinya melangkah limbung. Selendangnya lalu digunakannya untuk
melilit perut yang terbuka lebar. Tapi saat itu juga, kucing-kucing
menyerangnya. Bahkan langsung menjadikannya mangsa empuk!
“Graungrrr...!”
Bret! Bret!
“Aaa...!”
Nyi Selasih meraung-raung kesakitan sambil berlarian ke sana kemari dengan
tubuh bermandikan darah. Tapi kucing-kucing yang bagai dirasuki setan itu,
sepertinya tidak mau meninggalkan korbannya begitu saja. Mereka terus
menyerang dan menggayuti tubuh perempuan tua itu sampai roboh tidak berdaya.
Di antara kerumunan kucing itu. Nyi Selasih tampak menggelepar-gelepar
sesaat sebelum akhirnya diam tidak berkutik. Mati!
Begitu tubuh Nyi Selasih tidak bergerak-gerak lagi, kucing-kucing itu
menghentikan serangannya. Namun setelah itu mereka tidak tinggal diam,
karena terus berloncatan membantu Katakili menyerang Nyi Rupani.
Nyi Rupani yang memang sudah kepayahan, tidak bisa berbuat banyak lagi. Dan
ketika cakar-cakar Katakili yang tajam dan kuat mengancam dada dan perutnya,
dia sudah tak mampu menghindar. Maka....
Bret! Bret!
“Graungrrr...!”
“Aaa...!”
Katakili meraung hebat yang diiringi lengkingan menyayat dari mulut Nyi
Rupani. Dan ketika tubuh wanita malang itu limbung, kucing-kucing itu terus
menerkam seperti apa yang dilakukan terhadap Nyi Selasih. Nyi Rupani yang
sudah berlumur darah pada dada dan perutnya, makin dibanjiri darah lagi
ketika kucing-kucing itu mencabik-cabik tubuhnya yang sudah tak bernyawa
lagi.
Katakili melompat ke belakang sambil mendengus sinis. Dan kucing-kucingnya
dibiarkan berpesta merajang tubuh lawan-lawannya itu. Sebentar kemudian
wajahnya menengadah ke langit.
“Ayah! Telah kubalaskan sakit hatimu pada mereka....”
“Ngeong...!” Kucing-kucing yang tadinya liar dan buas, kini sudah berubah
seperti semula seperti layaknya, setelah puas mengakhiri mangsa-mangsanya.
Mereka juga sudah mengerumuni, dan menggesek-gesekkan tubuhnya di kaki
Katakili. Beberapa ekor malah menjilatnya dengan perasaan kasih sayang.
Pemuda itu lalu meraih beberapa ekor, dan memeluk serta menciuminya.
Kemudian, perlahan-lahan ditinggal-kannya tempat itu, diikuti seratus lebih
pengikutnya.
Saat itu tanpa ada yang mengetahui, pada salah satu pojok rumah tampak
seorang laki-laki kecil berkulit hitam terhenyak di tanah, di antara
semak-semak. Tubuhnya tampak gemetar dan mukanya pucat Sedangkan matanya
melotot, seperti baru saja melihat hantu.
“Nyi Selasih..., Nyi Rupani.... Malang betul nasib kalian. Oh! Apa yang
akan kukatakan nanti pada Den Ayu Lestari dan Den Permana? Ya, Jagat Dewa
Batara! Aku sama sekali tidak berdaya menolong mereka. Ah! Aku memang tidak
berguna.... Tidak berguna...!”
Berkali-kali anak itu mengeluh sendiri sambil menundukkan kepala, kemudian
menggeleng-geleng lemah. Lama kepalanya menekur seperti terus menyesali diri
tanpa hendak bangkit sedikit pun. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menolong kedua wanita malang yang menggeletak hancur, tidak berbentuk
lagi.
***
Sementara itu, Rangga sudah berada di sebuah kedai di pinggir jalan utama
Desa Kranggan. Sengaja diambilnya tempat yang agak pojok ruangan, sehingga
dari situ bisa leluasa mengamati setiap pengunjung kedai yang hari ini
terlihat cukup ramai. Selain beberapa orang pedagang, juga terlihat
orang-orang persilatan yang ditandai cara mereka berpakaian serta senjata
yang tersandang.
Berbeda dengan kedai-kedai yang pernah dikunjunginya, kedai ini terasa
nyaman. Bahkan pelayanannya pun cukup baik meski berkesan seronok dan
berlebihan. Pemilik kedai adalah seorang laki-laki berperut buncit berusia
sekitar empat puluh tahun. Dia memiliki beberapa orang pelayan wanita yang
masih belia dan berpakaian sedikit terbuka. Tingkah laku mereka genit dan
sering memancing perhatian para pengunjung.
Rangga sempat melirik ke arah ujung ruangan yang terdapat sebuah pintu.
Sesekali, pintu itu dimasuki seorang laki-laki yang menggandeng
wanita-wanita yang menjadi pelayan. Entah apa yang mereka lakukan. Tapi bisa
diduga kalau selain sebagai kedai makan, agaknya tempat ini merangkap
menjadi tempat pelacuran juga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu mengalihkan perhatian ketika beberapa orang
laki-laki yang duduk dekat mejanya menceritakan suatu peristiwa. Sementara
kawan-kawan laki-laki itu mendengar penuh perhatian.
“Orang itu kejam dan tidak kenal ampun. Lawan-lawannya binasa dengan
keadaan tubuh mengerikan!” tutur seorang yang bertubuh kurus. Bagian matanya
agak cekung, seperti kurang tidur.
“Kau yakin kalau dia itu siluman, Bardi?” Tanya temannya yang bertubuh
gemuk pendek.
“Banyak penduduk yang percaya. Soalnya, kucing-kucing yang selalu
mengikutinya tiba-tiba menjadi ganas dan buas kalau dia sedang menghadapi
lawan-lawannya!” jelas laki-laki kurus yang ternyata bernama Bardi.
“Hm.... Lebih enam orang tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di
tangannya. Dan kebanyakan dari mereka, adalah yang lima tahun lalu ikut
dalam pembunuhan terhadap Pedang Angin Selatan. Tapi, apa benar anggapan
orang yang mengatakan kalau pemuda itu putra si Pedang Angin Selatan?” tanya
orang yang wajahnya seram dan berkumis melintang.
"Bisa jadi,” sahut Bardi.
“Kudengar, saat ini dia tengah menuju tempat kediaman Nyi Selasih. Bisa
jadi orang tua itu akan menjadi korban berikutnya,” selak seseorang yang
lebih muda berbaju biru.
“Dari mana kau tahu, Sapar?” tanya laki-laki bertubuh gemuk pendek dan
sering dipanggil Gembul.
“Ada orang yang melihatnya bersama balatentara kucing menuju tempat
kediaman orang tua itu,” jelas laki-laki berbaju biru yang bernama
Sapar.
“Wah! Ini pasti akan seru! Hei!? Menurut kalian, apakah perempuan tua
berjuluk Selendang Maut itu mampu mengatasinya?” tanya Bardi.
“Nyi Selasih bukan orang sembarangan, Bardi. Ilmunya hebat Dan lebih dari
itu, putri, cucu, dan menantunya pun bukan orang sembarangan. Tentu tidak
mudah bagi pemuda itu untuk mengalahkannya,” kata laki-laki berkumis
melintang, dan dikenal sebagai Jalu.
“He, tunggu dulu. Kalian tahu Ki Suminta? Dia memiliki banyak murid dan
rata-rata berkepandaian tinggi. Tapi menghadapi pemuda itu, mereka sama
sekali tidak berkutik. Kalau saja pemuda itu tidak pergi, pasti tidak
seorang pun murid-muridnya yang tersisa,” jelas Gembul.
“Aku yakin, Nyi Selasih dengan mudah akan dikalahkan pemuda itu. Dan
nasibnya…,” Sapar tidak melanjutkan kata-katanya. Air muka Sapar menunjukkan
kengerian hatinya. Terbayang dalam benaknya, cerita-cerita yang pernah
didengar tentang korban-korban pemuda yang sedang diceritakan itu. Tidak
satu pun dari tokoh yang didatanginya bisa selamat dari ancaman. Pemuda itu
bagai momok yang menakutkan dan Malaikat Maut yang tidak pernah gagal dalam
tugasnya.
“Sudahlah! Untuk apa kita membicarakan orang itu. Lebih baik mengurusi diri
kita sendiri. Siapa tahu, nanti atau besok pemuda itu malah datang dan
menjadikan kita sebagai korban berikutnya,” kata Gembul membuyarkan
suasana.
“Tapi aku masih tidak tega, Gembul. Kebanyakan dari para tokoh yang dibunuh
adalah pendekar dari golongan lurus. Mereka banyak menolong orang-orang
lemah dan membenci kejahatan. Dan sebagai sesama tokoh persilatan, rasanya
kita punya kewajiban untuk saling tolong-menolong,” sahut Bardi.
“Hei!? Bicaramu seperti dewa saja, Bardi. Apa kau kira di antara kita ada
yang mampu menahan amukan Siluman Kucing itu...? Huh! Untuk menolong diri
sendiri saja, kita belum tentu mampu. Apalagi mencoba menolong orang lain!”
dengus Jalu dengan suara sedikit keras.
Kata-kata Jalu membuat beberapa tokoh persilatan yang berada dalam kedai
berpaling kepada mereka untuk beberapa saat.
“He, Kisanak. Bicara apa kalian?” tanya salah seorang yang bertubuh besar
dengan muka masam.
“Alaaah..., sudahlah. Kenapa diambil hati. Mereka hanya orang-orang rendah,
yang sok jadi pahlawan. Orang-orang seperti Nyi Selasih itu sudah sepatutnya
mampus. Bisa apa dia? Kepandaiannya hanya seujung kuku, tapi lagaknya
selangit Huh! Kalau dia sampai mampus, itu sudah sepatutnya!” sahut
laki-laki berbaju hitam yang mukanya pucat bagai mayat. Dia duduk di depan
laki-laki tinggi besar itu.
Keempat orang yang disindir dan dihina begitu, rupanya langsung naik darah.
Bahkan langsung bangkit untuk menghajar kedua orang itu. Tapi sebelum niat
mereka terjadi, dari pintu depan muncul seorang gadis belia berbaju kuning.
Dia mengenakan selendang sebagai ikat pinggangnya. Wajahnya cantik, namun
berkesan galak.
Sementara itu, Rangga melirik dan tersenyum kecil, karena kenal betul
dengan gadis tanggung yang tidak lain dari Lestari, cucu Nyi Selasih.
“Siapa yang bicara sembarangan dan berani menghina nenekku?!” Gadis itu
membentak nyaring sambil menatap garang kepada dua orang laki-laki yang tadi
mengeluarkan hinaan terhadap Nyi Selasih.
***
ENAM
Seluruh pengunjung kedai menoleh ke arah gadis itu sambil menggelengkan
kepala. Dia masih terlihat muda sekali. Tapi apa yang dilakukannya, sungguh
keterlaluan. Bahkan sama sekali tidak sopan. Bukan hanya itu. Akibatnya,
kebanyakan dari pengunjung kedai yang memang rata-rata tokoh rimba
persilatan, jadi merasa diremehkan melihat sikap gadis itu yang terlihat
angkuh. Lebih-lebih kedua orang yang dituju gadis itu. Bahkan laki-laki yang
bertubuh tinggi besar sudah langsung berdiri. Dan dengan langkah gusar
mereka mendekati gadis itu.
“Hm.... Jadi kau cucu Nyi Selasih, he?! Akulah yang menginginkan agar
nenekmu itu mampus. Lalu, kau mau apa...?!” dengus laki-laki itu dengan muka
geram.
Namun, tiba-tiba saja Lestari menanggapi ucapan itu dengan satu kebutan
selendangnya yang begitu cepat Dan gerakannya sangat sulit diikuti pandangan
mata biasa. Maka tahu-tahu....
Wuuut...!
Des!
“Ugkh!”
Tubuh laki-laki tinggi besar itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil
mengeluh kesakitan, begitu selendang di tangan gadis itu menghantam dagunya.
Hal ini sama sekali tidak terduga. Betapa tidak? Usia gadis itu masih begitu
muda. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah begitu tinggi.
Padahal, laki-laki tinggi besar ini sudah menganggap enteng dan mengira
kalau gadis ini baru belajar satu atau dua jurus dari neneknya. Tapi, siapa
sangka kalau akibatnya sungguh hebat begini? Lebih-lebih lagi, dia tengah
tidak bersiaga untuk melindungi diri dengan tenaga dalam. Akibatnya, memang
sungguh dahsyat. Beberapa tulang rahangnya kontan patah. Bahkan dari
mulutnya menyembur darah segar. Orang itu menggelinjang-gelinjang menahan
rasa sakit yang tiada tara.
“Itulah pelajaran bagi orang yang berani menghina keluargaku! Kalau ada
yang ingin coba-coba, silakan maju!” dengus Lestari sambil memandang seluruh
pengunjung kedai.
Dan sejak kehadiran gadis itu, Rangga sengaja berlindung di balik tubuh
seseorang hingga tak terlihat.
“Gadis keparat! Kau kira bisa seenaknya saja bertingkah di sini?! Huh!
Bocah sepertimu memang patut diberi pelajaran!” bentak seorang lagi yang
berbaju hitam, sambil melompat dan melakukan serangan. Dan dia memang lawan
laki-laki tinggi besar tadi.
“Kalau memang tidak suka dengan pelajaran yang kuberikan pada kawanmu, kau
boleh mengambil giliran di luar!” sahut Lestari enteng sambil melompat
keluar, dan sekaligus menghindari serangan lawan.
Bukan main gusarnya laki-laki berbaju hitam itu melihat serangannya hanya
mengenai tempat kosong. Dan tubuh gadis itu sudah lincah berkelebat sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Tapi, laki-laki berbaju hitam itu sudah langsung melompat mengejar. Dan
begitu mendarat, langsung dikirimkannya serangan selanjutnya. Dan kali ini
membuat gadis itu sedikit terkejut. Karena belum lagi kedua kakinya
menyentuh tanah, sebelah tangan lawan siap menghajar pinggangnya. Terpaksa
serangan itu ditangkisnya.
Plak! plak!
Lestari tersentak kaget. Tangannya kontan bergetar dan terasa kesemutan
begitu menangkis serangan lawan. Belum lagi disadari apa yang terjadi,
serangan lawan kembali menyambar kepala. Masih untung sambaran lawan mampu
dielakkan. Kepalanya cepat ditundukkan, dan langsung bersalto ke belakang.
Tapi lawannya yang berwajah dingin itu sepertinya tidak memberi kesempatan
sedikit pun kepadanya.
Lestari merasa kalau tidak mungkin bisa menandingi dengan hanya
mengandalkan jurus-jurus tangan kosong saja. Dengan cepat sekali, selendang
kuningnya yang menjadi senjata andalan diloloskan, dan secepat itu pula
dikebutkan.
Ctar!
“Heh?!” Laki-laki berbaju hitam itu jadi tersentak setengah mati.
Cepat-cepat dia melompat mundur, begitu merasakan angin kebutan selendang
kuning yang terasa cukup dahsyat juga, dengan suaranya yang bagaikan lecutan
cambuk. Dari itu saja sudah dapat diketahui kalau tingkat kepandaian gadis
ini tidak bisa dipandang rendah.
“Rasakan selendang mautku ini!”
“He he he...! Inikah senjata yang kau bangga-banggakan itu? Aku justru akan
menggunakannya untuk melibatkan tubuhmu. Sayang, nenekmu tidak sempat
bertemu muka denganku. Kalau sempat, dialah yang lebih dulu mendapat
bagian,” ejek laki-laki berbaju hitam dan bermuka pucat itu sinis.
“Huh, Orang Sombong! Kau terlalu banyak bicara. Lihat serangan ini!” dengus
Lestari.
Dengan geram Lestari memainkan sebuah jurus andalan yang diberi nama
'Bidadari Mengejar Pelangi'. Jurus ini bila dimainkan dengan selendang di
tangan, akan hebat sekali. Lawan akan melihat selendang itu menjadi lebih
dari satu, dan kadang-kadang akan bergerak secara beraturan atau
mengepung.
“Hebat.., hebat..! Tidak percuma perempuan tua bangka itu mengajarimu jurus
indah ini. Tapi itu tidak cukup untuk menjatuhkanku, Bocah Badung. Lihat
serangan!”
Setelah berkata demikian, terlihat laki-laki bermuka pucat itu tiba-tiba
merubah jurusnya. Gerakannya tampak aneh. Terkadang tubuhnya
berguling-guling menghindari ujung selendang lawan, tapi terkadang juga diam
beberapa saat. Kemudian tubuhnya melesat cepat ketika senjata lawan sedikit
lagi menemui sasaran. Tentu saja hal ini membuat Lestari semakin geram saja.
Maka serangannya makin diperhebat Hanya sayangnya, sedikit pun tidak ada
yang mencapai sasaran.
“Ha ha ha...! Kerahkanlah semua kepandaianmu untuk menghadapi jurus 'Gagak
Hitam Mengubur Mangsa'ku ini. Ingin kulihat sampai di mana nenek tua busuk
itu mengajarimu. Sayang sungguh sayang, bukan dia sendiri yang berhadapan
denganku. Kalau dia, tentu pertarungan ini akan lebih seru. Tapi..., he?!
Bisa jadi hari ini dia telah mampus dihabisi musuh lamanya! Ha ha
ha...!”
“Tutup mulutmu, Keparat! Kau tidak ada derajat untuk berhadapan dengan
nenekku. Kalau kau mampu mengalahkanku, itu pun sudah termasuk hebat!”
“He?! Siapa yang ingin mengalahkanmu?! Aku justru ingin membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, laki-laki berbaju hitam itu bergerak amat cepat
menghindari sambaran ujung selendang Lestari yang sudah kembali berkelebat
dengan kecepatan sangat tinggi. Yang diincar adalah bagian-bagian tubuh yang
mematikan.
Kemudian dalam satu kesempatan, Lestari mengetatkan selendangnya ke arah
kepala lawan. Namun aneh. Lawan sedikit pun tak bergeming dari tempatnya.
Dia seperti pasrah menyerahkan kepalanya, untuk menjadi sasaran selendang
kuning itu. Dan tanpa diduga sama sekali, laki-laki bermuka pucat itu
mengulurkan tangan kanannya ke atas. Dan... Tap!
Laki-laki bermuka pucat itu berhasil menangkap selendang kuning milik
Lestari, dan sekuat tenaga menariknya. Akibatnya, tubuh Lestari mencelat ke
arahnya tanpa bisa ditahan.
“Okh...!”
Sambil terkekeh, telapak tangan kiri laki-laki itu siap terayun untuk
menghajar Lestari bila mendekat. Sehingga, semua orang yang melihat
pertarungan hanya bisa menduga kalau nyawa gadis itu sebentar lagi akan
lepas dari raga dalam keadaan mengerikan.
“Yeaaah...!” Namun pada saat yang sangat gawat, tiba-tiba saja sebuah
bayangan berkelebat begitu cepat ke arah pertarungan. Dan....
Plak! Plak!
Bet!
“Heh...?!"
Tiba-tiba saja bayangan yang berkelebat itu memotong selendang kuning
sambil memapak serangan laki-laki bermuka pucat. Kemudian tubuhnya melesat
cepat menyambar tubuh Lestari, seraya memberi satu pukulan keras ke arah
dada si muka pucat ini. Untung saja laki-laki itu cepat melompat ke
belakang, sehingga pukulan sosok bayangan tadi tak sampai mengenai tubuhnya.
Tapi, mana sudi si muka pucat diperlakukan sedemikian rupa. Maka langsung
dikejarnya bayangan tadi.
“Bajingan pengecut! Kau pikir bisa lari dariku, heh?!” teriak si muka
pucat.
“Kalau kau pikir mampu mengejarku, kenapa banyak omong...?”
Mendengar jawaban seperti itu, bukan main kesalnya si muka pucat. Langsung
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh untuk menyusul orang yang telah
melarikan Lestari. Namun bersamaan dengan itu, sesosok tubuh lain mengikuti
mereka tanpa diketahui oleh siapa pun.
Kejar-kejaran di antara mereka tidak berlangsung lama. Rupanya si muka
pucat memperlihatkan keunggulan ilmu lari cepatnya ketika tiba-tiba melesat
tinggi, untuk kemudian berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali
kakinya menjejak tanah, tepat di depan orang yang tengah dikejarnya.
“Ups!”
“Hhh! Kiranya kau, Ki Wempang! Bagus! Berani benar kau mencampuri urusanku?
Hm.... Kalau demikian, kau harus berani pula menanggung akibatnya!” dengus
si muka pucat sambil menyipitkan mata, begitu melihat orang yang pernah
dikenalnya tengah membopong gadis yang tadi menjadi lawannya.
Di depan si muka pucat berdiri tegak sesosok laki-laki berusia sekitar
empat puluh lima tahun lebih. Tubuhnya kecil dan rambutnya telah memutih.
Tangan kanannya memegang sebatang tongka dari baja hitam sepanjang tujuh
jengkal. Orang tua yang dipanggil Ki Wempang itu kemudian menurunkan
Lestari, dan meletakkannya di atas tanah berumput
“Jangan takut Cah Ayu. Aku adalah sahabat nenekmu...,” kata orang tua itu
menenangkan Lestari sebelum beralih menatap tawannya.
“Gondotikur! Kelakuanmu sungguh keterlaluan! Pada bocah kecil kau tega
hendak berbuat telengas!”
“Huh...! Tahu apa kau, Ki Wempang? Meskipun masih bocah, tapi dia telah
melukai kawanku. Dan mana bisa dibilang tega kalau ternyata dia pun mampu
mencelakakanku!” tangkis si muka pucat yang ternyata bernama
Gondotikur.
"Itu karena kalian yang memulainya!”
“Huh! Selamanya memang kau selalu merasa benar! Dan itu selalu membuatku
muak. Sudah lama sekali aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang
sepertimu. Nah! Mumpung kau berada di tempat ini dan mengusik urusanku,
terimalah pelajaran dariku, Tua Bangka Busuk!”
Setelah berkata demikian, Gondotikur langsung menyerang Ki Wempang dengan
gencar. Kedua orang itu agaknya tahu betul, sampai di mana kehebatan lawan
masing-masing. Itulah sebabnya Gondotikur tidak mau sembarangan dan lengah.
Tidak kepalang tanggung, Ki Wempang langsung diserangnya dengan jurus 'Gagak
Hitam Mengubur Mangsa' yang benar-benar ampuh. Kalau pada tingkat permulaan
saja jurus itu mampu membuat Lestari tidak berkutik, maka kali ini jurus itu
dimainkan pada tingkat yang tertinggi disertai pengerahan tenaga dalam
kuat.
“Yeaaah...!”
Ki Wempang pun tidak kalah sigap. Dia tahu betul, kalau lawannya sangat
ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Sedangkan jurus-jurus silatnya, pada
tingkat tertinggi harus memainkan tongkat. Kalaupun berusaha menggunakan
jurus-jurus tangan kosong, itu sama artinya bunuh diri. Maka tanpa malu-malu
lagi, dilayaninya serangan lawan dengan gempuran tongkat yang berputar-putar
menderu menimbulkan desis angin kencang.
“Ha ha ha...! Selama lima tahun ini, kemajuan ilmu tongkatmu boleh
diandalkan juga, Ki Wempang. Tapi jangan dikira aku tidak mampu mematahkan
seranganmu!” ejek Gondotikur seraya tersenyum sinis.
“Jangan banyak bicara kau, Gondotikur. Kalau memang mampu,
buktikanlah!”
“Kenapa tidak? Saat itu juga aku akan membuktikannya kepadamu. Lihat
serangan!” bentak Gondotikur keras.
Gondotikur kemudian bergerak cepat sambil menghindari serangan tongkat
lawan. Tapi, Ki Wempang tidak semudah itu dapat terkecoh. Maka tongkatnya
cepat diputar bagai kitiran, lalu langsung dikejarnya lawan ke mana saja
bergerak.
Ki Wempang sebenarnya menyadari kalau Gondotikur adalah tokoh golongan
hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Jurus-jurusnya begitu hebat. Dan
lebih dari itu, tenaga dalamnya cukup mengagumkan. Meski mereka belum pernah
bentrok sebelumnya, tapi banyak tokoh seangkatannya yang pernah dijatuhkan
laki-laki bermuka pucat yang bergelar Gagak Hitam Bermuka Pucat ini.
Dia memang jarang membuat keonaran. Tapi, terkenal paling membenci pada
tokoh-tokoh persilatan yang dianggapnya bertingkah. Dan hal itu sudah
membuat kebenciannya memuncak, tatkala orang tua ini mencampuri urusannya.
Maka tidak heran kalau pada akhirnya, seluruh kepandaian yang dimilikinya
dikerahkan untuk menghajar lawan.
“Yeaaah...!”
Ki Wempang terkejut ketika lawan membentak keras. Tubuh Gondotikur tampak
lurus menukik, sambil mengarahkan kepalan tangannya yang berubah hitam tepat
di tengah-tengah pusaran tongkat laki-laki tua itu. Ki Wempang memang tidak
bisa berbuat banyak, kecuali membiarkan senjatanya beradu dengan tangan
Gondotikur. Dan....
Prakkk!
“Akh...!” Ki Wempang menjerit kesakitan dan tongkatnya patah menjadi dua
bagian, begitu berbenturan dengan tangan Gondotikur. Tubuhnya tak urung
terjajar beberapa langkah ke belakang. Belum lagi Ki Wempang memperbaiki
keseimbangannya, kepalan lawan telah kembali mengarah ke dadanya.
Maka....
Begk! Orang tua itu kontan terjungkal kembali disertai semburan darah segar
dari mulutnya.
“Mampuslah kau, Orang Tua Busuk! Yeaaah...!” Gondotikur tak sudi lagi
memberi kesempatan pada Ki Wempang. Begitu orang tua itu terhuyung-huyung,
langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada.
Desss!
“Aaakh...!”
Lestari yang melihat keadaan Ki Wempang yang mengkhawatirkan, merasa harus
menolongnya. Maka....
“Yeaaah...!” Tubuh gadis itu langsung meloncat sambil mengirim serangan
maut ke arah Gondotikur. Tapi, laki-laki bermuka pucat itu hanya mendengus
sinis. Dan tanpa menoleh, sebelah kakinya berputar, langsung menghajar perut
gadis tanggung itu.
Desss!
“Aaakh!” Lestari kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa
tombak sambil menyemburkan darah segar. Dan dalam keadaan setengah sadar,
Gondotikur telah mencelat, bermaksud menghabisi nyawa gadis itu.
Namun....
Tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar gadis yang
dipastikan akan tewas bila terkena hantaman tangan Gondotikur.
“Keparat! Siapa kau, heh?!” sentak Gondotikur, begitu menyadari kalau ada
seseorang telah menyelamatkan lawannya.
Tahu-tahu di depan Gondotikur telah berdiri tegak seorang pemuda tampan
dengan rambut panjang terurai. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang
berhulu kepala burung tersembul di balik punggungnya. Siapa lagi pemuda itu
kalau bukan Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Memang, diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengikuti sejak dari kedai tadi,
ketika Ki Wempang menyelamatkan Lestari. Dan gadis itu kini telah tidak
sadarkan diri akibat pukulan Gondotikur tadi. Rangga kemudian meletakkannya
perlahan-lahan di bawah sebatang pohon, kemudian menatap ke arah laki-laki
bermuka pucat itu.
“Pendekar Rajawali Sakti! Oh, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin,
mataku belum lamur. Kaulah orangnya yang telah mengalahkan si Topeng Setan!”
tiba-tiba sebuah seruan terdengar. Rupanya seruan itu berasal dari Ki
Wempang yang masih terduduk lemas, tidak jauh dari situ.
Gondotikur menyipitkan mata mendengar kata-kata itu. Sedangkan Rangga
sendiri masih diam mematung, mengawasi laki-laki itu tanpa memberikan
tanggapan atas kata-kata Ki Wempang.
“Hm.... Jadi, kaukah orangnya yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti? Telah
lama kuimpikan pertemuan ini agar bisa memberi pelajaran atas kesombonganmu
selama ini!” dengus Gondotikur.
“Kisanak! Aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi, aku
juga tidak bisa melihat kesewenang-wenangan yang kau lakukan. Maka, harap
dimaklumi bila dengan terpaksa aku harus menyelamatkan gadis yang belum
tentu bersalah padamu,” sahut Rangga tenang.
“Huh! Apa yang kudengar tentangmu memang tidak salah. Kau memang manusia
paling usil, yang suka mencampuri urusan orang lain. Apa yang kau tahu
tentangnya?! Dan bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau dia tidak
bersalah?!”
“Kenapa tidak? Aku berada di kedai itu, sebelum kau dan kawan-kawanmu
datang. Dan tentu aku tahu betul apa yang terjadi di antara kalian. Kaulah
yang lebih dulu mencari gara-gara dengan memburuk-burukkan nama neneknya.
Siapa yang tidak marah kalau salah seorang keluarganya direndahkan?”
“Keparat! Huh! Jangan banyak bicara kau. Apa maumu sekarang?!”
“Keinginanku tidak banyak. Sudahi saja urusan ini, dan kau boleh pergi
sekarang juga,” sahut Rangga singkat.
“Huh! Seenaknya saja bicara. Tidak seorang pun yang boleh menghinaku. Tidak
juga kau!”
“Kisanak! Aku tidak ingin memperpanjang urusan, dan kuharap kau mengerti
maksud baikku.”
“Siapa sudi mendengar omongan busukmu?! Kaulah yang sebaiknya pergi dari
sini, dan jangan mencampuri urusanku!”
Rangga menggeleng lemah sambil mendesah kecil. “Maaf. Aku tidak bisa
berpangku tangan melihat apa yang kau lakukan...”
“Kalau begitu, persoalan sudah jelas. Dan kau memang bermaksud ikut campur
dalam urusanku. Orang sepertimu tidak akan pernah kubiarkan begitu saja, dan
perlu mendapat pelajaran agar keu-silanmu selama ini tidak membuatmu menjadi
semakin besar kepala saja.”
Setelah berkata demikian, tubuh Gondotikur langsung melompat ke arah
Pendekar Rajawali Sakti untuk melepaskan serangan ganas. Dia tahu
betul-lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan. Maka tidak heran kalau
kemudian seluruh kemampuannya dikerahkan pada jurus-jurus awal, dengan
harapan lawan akan terdesak. Dan kalau sudah demikian, dia bermaksud mencuri
kesempatan untuk menghajar lawan.
Rangga sendiri tidak punya pilihan, selain melayani keinginan lawan. Dia
sedikit terkejut ketika melihat Gondotikur ternyata tidak main-main dengan
ucapannya. Laki-laki berwajah pucat itu betul-betul menginginkan jiwanya.
Dan sudah tentu Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa hanya sekadar menghindar
saja. Karena bisa jadi, lawan akan semakin penasaran untuk mencelakakannya.
Maka sambil membentak nyaring, Rangga memainkan jurus 'Rajawali Sakti' untuk
membalas serangan lawan.
“Hiyaaat..!”
“Huh!” Gondotikur mendengus. Kemudian sambil mengkertakkan rahang, dia
bersiap menyambut serangan lawan dengan aji 'Tapak Dewa'.
Ajian itu mampu membuat kedua tangan Gondotikur sebatas siku berubah
kehitaman. Dan kemudian, dari telapak tangannya melesat seberkas sinar
kelabu yang langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Heh?! Uts...!” Rangga tersentak kaget dan cepat-cepat mengegos ke kiri.
Seketika kulit tubuhnya terasa seperti diterpa jilatan api yang panasnya
bukan main. Padahal, serangan lawan hanya beberapa jengkal dari tubuhnya.
Dan desir angin panas itu langsung menghantam sebatang pohon besar yang
langsung ambruk bagai dilanda petir.
Glarrr!
***
TUJUH
Melihat serangannya gagal, Gondotikur semakin penasaran saja. Dengan
kegeramannya yang memuncak, tubuhnya langsung melesat sambil melepaskan aji
Tapak Dewa' yang mengeluarkan sinar kelabu. Dari sini bisa diperkirakan
kalau Gondotikur berniat mengadu nyawa.
Sementara itu, Rangga memang tak punya pilihan lagi. Dia harus meladeninya
sekaligus melindungi diri dari hajaran lawan. Maka saat itu pula, dipapaknya
serangan Gondotikur dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dari telapak
tangannya juga melesat sinar merah yang langsung menghantam sinar kelabu
dari aji 'Tapak Dewa’.
Dari beberapa jurus yang dimainkan sebelumnya, Rangga sudah dapat
memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Maka tak heran kalau Pendekar
Rajawali Sakti begitu yakin kalau pukulan lawan akan mampu dihalaunya.
Maka....
Glarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi akibat dua pukulan yang beradu. Dan sesaat
kemudian, terlihat lesatan sinar merah yang terus menerobos menghantam lawan
tanpa bisa ditahan lagi.
“Aaakh...!” Gondotikur menjerit keras. Tubuhnya pun kontan terpental
beberapa tombak disertai semburan darah segar. Dan begitu ambruk di tanah,
dia menggelepar-gelepar beberapa saat, lalu diam tak bergerak lagi. Entah
mati atau tak sadarkan diri. Sementara tak jauh di dekatnya, Rangga berdiri
tegak memperhatikan sambil mengatur jalan napasnya.
“Kisanak, te...terima kasih atas pertolonganmu....”
Rangga menoleh ke arah Ki Wempang yang telah berada di dekatnya. Wajah
orang tua itu tampak pucat dan sesekali meringis menahan rasa nyeri.
Sementara di sudut bibirnya masih terlihat bekas noda darah yang telah
diusapnya. Pemuda itu lalu melempar senyum getir. Kemudian wajahnya
berpaling ke arah Lestari dan menghampirinya, diikuti Ki Wempang dari
belakang.
“Kasihan anak itu. Dia masih kecil, tapi harus menerima perlakuan
sebagaimana layaknya seorang penjahat...”
Sementara itu, Rangga langsung memeriksa luka Lestari sambil menggeleng
lemah. Dan gadis itu telah didudukkan, menghadap ke arahnya.
“Dia terluka parah. Beberapa tulang rusuknya patah...,” desah Rangga
pelan.
"To..., tolonglah dia. Neneknya adalah sahabat baikku. Dan tujuanku ke
tempat ini pun ingin bertemu mereka. Ada sesuatu yang harus kusampaikan...,”
ucap Ki Wempang lemah.
Rangga kembali terdiam. Dibalikkannya tubuh gadis itu dan dihadapkan ke
batang pohon. Kedua telapak tangannya segera ditempel ke punggung Lestari.
Ki Wempang mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu. Wajahnya penuh harap
disertai rasa duka cita. Dia kemudian duduk perlahan di dekat mereka.
“Hoeeekh...!”
Setelah beberapa saat Rangga menyalurkan hawa murni, tiba-tiba Lestari
memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajah gadis itu kontan pucat Lalu,
sesaat dia menoleh lemah ke arah Rangga.
“Kau...?”
Rangga hanya tersenyum kecil. Sedangkan gadis itu memalingkan wajahnya
kembali. Dia tak memberikan banyak tanggapan atas apa yang dilakukan pemuda
itu terhadapnya. Yang terasa pada tubuhnya hanyalah hawa panas yang
membuatnya terasa segar, hingga membuat keringat mengucur deras dari
pori-porinya.
Rangga kini menghentikan pengobatannya, lalu duduk tenang di dekat Ki
Wempang sambil mengatur pernapasan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha
mengembalikan tenaganya yang banyak terkuras akibat pertarungannya tadi,
ditambah harus menolong Lestari barusan.
“Kisanak, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang
kau berikan....”
“Sudahlah. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat sesuatu yang tak adil di
depan mataku. Kini akan ke mana tujuanmu, Kisanak?” kata Rangga disertai
senyum kecil.
“Aku bermaksud menjumpai Nyi Selasih. Ada sesuatu yang harus kusampaikan
padanya...,” sahut Ki Wempang.
“Apakah itu tentang pemuda yang selalu diikuti ratusan ekor kucing?”
“Hei? Apakah kau mengetahuinya juga?!” Ki Wempang tampak terkejut, sehingga
kedua alisnya terangkat.
"Tidak. Aku hanya sempat mencuri dengar pembicaraan beberapa orang di kedai
tadi...,” sahut Rangga pelan.
"Paman! Ada persoalan apa antara nenekku dengan orang yang kalian bicarakan
tadi?” tanya Lestari cemas.
Ki Wempang memandang gadis itu sekilas, kemudian menundukkan kepala barang
beberapa saat. “Peristiwanya terjadi lima tahun lalu...,” desak orang tua
itu.
“Peristiwa apa?” kejar Lestari, mulai cemas.
Ki Wempang pun akhirnya menceritakan peristiwa lima tahun lalu atas
kejadian yang menimpa Pedang Angin Selatan dan putranya. Juga,
diceritakannya tentang tindakan para tokoh persilatan golongan putih
terhadap ayah dan anak itu.
“Lalu apa hubungannya dengan pemuda yang mempunyai banyak kucing itu?”
tanya Lestari, begitu Ki Wempang mengakhiri ceritanya.
“Dia pasti Katakili, putra Ki Karmani yang ingin membalas dendam pada kami.
Kebanyakan dari mereka yang tewas belakangan ini, adalah yang lima tahun
lalu ikut dalam pengeroyokan itu. Itu memang telah berlalu. Tapi sesudahnya,
membuat dada kami terasa sesak. Sebab, ternyata Ki Karmani memang tak
bersalah. Ada orang lain yang memfitnahnya. Dan orang itu adalah musuh
besarnya yang secara licik menggunakan tangan orang lain untuk menyingkirkan
si Pedang Angin Selatan...,” lanjut Ki Wempang, semakin lirih.
“Lalu apa yang Kisanak ketahui tentang pemuda itu?” tanya Rangga.
“Sejauh yang kudengar, dia telah membunuh semua orang yang terlibat dalam
pembunuhan ayahnya. Dan kini tinggal aku, Nyi Selasih, dan Ki Rancasena.
Hanya ada dua pilihan. Kalau tidak ke tempat Ki Rancasena, maka pemuda itu
pasti ke tempat Nyi Selasih. Dia amat berbahaya. Tak seorang pun di antara
orang-orang itu mampu menahannya....”
“Oh! Eyang dalam bahaya?! Aku harus memberitahukan mereka!” sentak Lestari,
seraya bangkit dan berlari cepat dari tempat itu. Namun baru saja beberapa
tombak berlari, tubuh gadis itu tersungkur. Rangga dan Ki Wempang cepat
melompat menghampiri dan menolongnya bangkit.
“Kau lupa, Lestari. Lukamu cukup parah. Dan kau tak boleh terburu nafsu,
kalau tidak ingin dirimu sendiri yang celaka...,” ujar Rangga pelan.
“Tapi eyangku dalam bahaya?! Aku harus buru-buru memberitahukannya dan
menolong mereka...!” dengus Lestari.
“Kita akan ke sana bersama-sama. Bukan begitu, Kisanak?” kata Ki Wempang
sambil melirik Rangga.
Pemuda itu mengangguk cepat.
***
“Eyaaang...! Ibuuu...!” Lestari berteriak dan menghambur ke halaman depan,
begitu mereka baru saja tiba di pondok itu.
Gadis itu mencari-cari di segala pelosok ruangan, namun yang dipanggilnya
tak kunjung terlihat Wajahnya semakin cemas dan pucat. Dia kembali
berteriak-teriak memanggil, sambil berlari ke depan. Di situ terlihat Ki
Wempang dan Rangga menekuri dua timbunan tanah yang masih baru. Dan salah
satu ujungnya, masing-masing terdapat nisan dari kayu jati.
“Eyaaang..! Ibuuu...! Oh, tidak! Tidaaak...!” teriak Lestari.
Gadis itu berteriak-teriak sambil memalingkan muka, tak sanggup melihat
makam ibu dan neneknya. Sedangkan Ki Wempang lantas mendekati dan berusaha
menenangkannya. Tapi, tangis gadis itu semakin meledak-ledak. Bahkan
suaranya semakin terasa pilu. Perlahan-lahan Ki Wempang membimbingnya ke
dalam pondok.
“Eyang...! Ibu...! Maafkan aku. Aku belum sempat balas jasa kalian. Dan
selama ini, aku selalu membuat susah...,” keluh Lestari berkali-kali, begitu
telah berada dalam pondok.
“Sudahlah, Lestari. Barangkali kematian mereka memang sudah
ditakdirkan...,” hibur Ki Wempang.
“Tapi, siapa yang telah melakukannya?”
Ki Wempang terdiam. Banyak hal yang dipikirkannya saat ini. Dan terutama
sekali, apakah betul Nyi Selasih dan Rupani telah tewas oleh Katakili? Dan
orang tua itu tak berani menuduh sebelum meyakini betul pelakunya.
Pengalaman lima tahun lalu, telah cukup membuatnya harus berhati-hati dalam
menuduh orang, meski kemungkinannya cukup besar.
“Paman! Kau tahu bukan, kalau ini perbuatan pemuda bernama Katakili?” desak
Lestari.
“Kita tak punya bukti, Nduk....”
“Kenapa tidak? Paman mengatakan kalau semua orang yang lima tahun lalu
mengeroyok orang-tuanya, telah tewas. Dan kini, hanya tinggal tiga orang
lagi. Siapa lagi yang telah melakukan ini kalau bukan dia?!”
“Banyak hal yang tak terduga, Nduk. Seperti apa yang kau alami tadi.
Gondotikur tak mempunyai permusuhan dengan nenekmu. Tapi kalau ada
kesempatan bertemu, dia tentu akan mencari gara-gara. Bahkan berusaha
membunuh nenekmu...,” lanjut Ki Wempang.
“Paman! Apakah kau hanya ingin mencari-cari alasan agar aku tak menuntut
balas atas kematian eyang dan ibuku? Aku tak peduli, kau akan membelaku atau
tidak. Yang jelas, pemuda itu harus menerima pembalasan dariku!” dengus
Lestari geram.
“Dendam dibalas dendam, tak akan pernah ada habisnya, Nduk. Hendaknya, kau
bisa sedikit meredam hawa nafsumu. Kalau tidak, itu akan mencelakakan dirimu
sendiri pada suatu saat kelak....”
“Simpanlah kata-katamu itu, Paman Untuk saat ini, aku belum
membutuhkannya!” sahut Lestari sambil bangkit dan memalingkan
wajahnya.
“Kurasa Ki Wempang benar. Kita harus jelas melihat kepada persoalannya, dan
tidak langsung main tuduh...,” kata Rangga yang telah menyusul mereka di
dalam pondok.
“Kalian memang bisa mengatakan demikian, sebab tak mengalami sendiri
peristiwa ini. Tapi bagiku, hal ini teramat menyakitkan!” dengus Lestari
sambil menatap bergantian pada Ki Wempang dan Pendekar Rajawali Sakti.
“Semua orang pernah mengalami hal yang menyakitkan. Bahkan berkali-kali.
Hanya mereka yang dewasa dan mampu berpikir baiklah yang bisa menguasai
diri. Hawa nafsu dan amarah tak akan pernah menyelesaikan suatu persoalan.
Bahkan lebih banyak menyesatkan ke dalam persoalan yang lebih dalam...,”
kata Rangga, lirih.
“Benar apa yang dikatakan Rangga tadi, Nduk. Cobalah untuk tabah dan
berpikir setenang mungkin Tanpa rasa amarah yang meluap-luap dan hawa nafsu
yang menguasai diri, niscaya kau akan menjadi dewasa dan mengerti arti hidup
ini.”
Lestari diam mendengar kata-kata itu. Tangisnya mulai reda, lalu merenung
beberapa saat. Entah memikirkan kata-kata yang dikeluarkan kedua laki-laki
itu, atau meratapi nasibnya yang malang.
Pada saat itulah muncul seseorang bertubuh kecil dan berkulit hitam.
Tubuhnya kurus dan wajahnya agak buruk. Dia memandang takut-takut ke arah
Lestari.
“Jaka Dolok! Kaukah yang menguburkan mereka?”
Laki-laki kecil berparas buruk itu mengangguk lemah. Seketika, wajahnya
terlihat sedih dan air matanya menetes dari kelopak matanya. Lestari bangkit
dan mencengkeram kedua bahu bocah itu.
“Katakan! Siapa yang membunuh mereka! Ayo, katakan...!”
“Seorang pemuda.... Bajunya kotor..., dan banyak membawa kucing. Dia...,
dia membunuh Nyi Selasih dan Nyi Rupani dengan kejam...,” tutur bocah yang
dipanggil Jaka Dolok.
“Keparat“ Lestari mengepalkan tinjunya, kemudian memandang kepada Rangga
dan Ki Wempang bergantian. Sepertinya, dia ingin mengatakan bahwa dugaannya
benar.
“Lestari, aku yakin Katakili-lah yang melakukannya. Dan kurasa, biarlah aku
yang mewakili orangtua dan nenekmu. Kau masih terlalu muda...,” desah Ki
Wempang.
“Tidak! Aku yang harus membunuhnya!” sentak Lestari.
“Jangan, Lestari. Biar aku dan Ki Wempang saja yang menanganinya,” timpal
Rangga.
Meskipun Ki Wempang berusaha menahan, tapi Lestari bersikeras untuk turut
serta. Dan akhirnya orangtua itu mengalah. Sedangkan Rangga juga tidak bisa
berbuat banyak.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Rangga.
“Ke mana lagi kalau bukan ke tempat kediaman Ki Rancasena? Tinggal kami
berdua yang menjadi sasarannya. Pemuda itu pasti menuju ke sana, setelah
mengetahui kalau aku tak berada di tempat,” sahut Ki Wempang.
Kini mereka bergegas pergi dari tempat itu.
***
Di suatu tempat yang agak terpencil dan jauh dari keramaian manusia, atau
tepatnya di lereng Gunung Tidar, Ki Rancasena berdiam di situ. Udara di
sekitar sini terasa dingin. Banyak pepohonan tumbuh di sekitarnya. Dan pada
suatu tempat yang agak datar, berdiri sebuah pondok kecil, yang merupakan
tempat tinggal Ki Rancasena selama lebih kurang empat tahun.
Sejak peristiwa lima tahun lalu, laki-laki tua itu menyadari kalau telah
salah tangan dan membunuh orang yang tak bersalah, yakni si Pedang Angin
Selatan. Ki Rancasena merasa terpukul dan amat bersalah. Bukan saja karena
ikut andil besar bagi kematian Ki Karmani alias si Pedang Angin Selatan.
Tapi lebih dari itu, dialah yang bertanggung jawab dalam menggerakkan
tokoh-tokoh persilatan lainnya untuk menyatroni kediaman si Pedang Angin
Selatan.
Ki Rancasena pada dasarnya bukanlah tokoh sesat, namun juga tak bisa
dikatakan tokoh golongan lurus. Pembawaannya kasar dan berangasan, serta
suka membawa perasaan hatinya sendiri. Karena kelakuan itulah, sehingga
membuatnya sering bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan lain. Namun di
samping sifat buruknya, masih juga terdapat sifat baik pada dirinya.
Laki-laki bertubuh besar dan berkepala botak itu terkenal akan kejujurannya.
Dan dia tak segan-segan meminta maaf kalau ternyata memang bersalah.
Dan apa yang menimpa Ki Karmani adalah kesalahannya yang selama ini dirasa
paling berat. Hal ini membuatnya sering menyepi di tempat ini, untuk
menjauhi keramaian. Ki Rancasena tekun beribadah, bahkan telah menjadi salah
seorang pendeta. Tak heran selama beberapa tahun ini, sepak terjangnya tak
pernah terdengar lagi. Dia betul-betul ingin meninggalkan dunia ramai dan
hidup hanya untuk beribadah.
Matahari baru saja tergelincir ke ufuk barat ketika Ki Rancasena selesai
melakukan sembahyang. Di luar, udara masih terasa panas. Sementara, asap
dupa tampak menyapu tempat itu.
“Graungrrr...!”
“Heh!” Hampir saja Ki Rancasena terlonjak, ketika tiba-tiba dua ekor kucing
peliharaannya melompat melewati sesajiannya, dan terus berlari ke satu arah.
Hal ini tentu saja menarik perhatiannya. Dan dengan segera, kepalanya
menoleh. Jauh di sana, di bawah sebatang pohon, banyak sekali kucing yang
bergerak maju mendekati pondoknya. Orang tua itu terheran-heran, lalu
berdiri tegak untuk memastikan apa yang tengah terjadi.
Semakin lama, kucing-kucing itu semakin jelas terlihat. Bahkan jumlahnya
mencapai ratusan ekor. Dan berjalan paling depan adalah sesosok tubuh
berpakaian gembel. Rambutnya kusut masai, dibiarkan terurai tanpa diurus.
Ketika jarak mereka telah mencapai sepuluh tombak, orang itu berhenti
memandang tajam ke arahnya.
Dan hal yang membuat Ki Rancasena semakin takjub, ketika ratusan ekor
kucing yang mengekor di belakangnya juga berhenti dan mengikuti perbuatan
orang itu. Binatang-binatang itu memandang tajam ke arahnya dengan sikap
buas.
“Jagat Dewa Batara! Keajaiban apakah yang akan kau tunjukkan padaku hari
ini...?!” seru Ki Rancasena dengan wajah berseri.
Laki-laki tua itu melangkah mendekati dan melihat sesosok tubuh yang
ternyata seorang pemuda berwajah kumal. Kuku tangan dan kakinya tampak tajam
meruncing, serta kotor tak terurus. Langkah Ki Rancasena terhenti. Dan
wajahnya yang semula berseri girang hendak menyambut kedatangan pemuda itu,
mendadak sirna. Ketika diperhatikannya, sikap pemuda itu sama sekali tak
menunjukkan persahabatan. Bahkan dari sorot matanya yang tajam berkilat,
terlihat api dendam yang bergejolak.
“Kaukah yang bernama Rancasena...?” Terdengar suaranya yang serak, berat,
dan dingin penuh ancaman.
Ki Rancasena tak langsung menjawab. Ditelitinya penampilan pemuda itu lebih
seksama.
“Siapakah kau sebenarnya. Dan, apa maksud kedatanganmu ke tempatku ini?
Kalau benar mencari Rancasena, maka kau tengah berhadapan dengan orangnya,”
sahut orang tua itu, ramah.
“Bagus! Berdoalah untuk kematianmu!”
Kembali alis orang tua itu terangkat. Kalau saja pemuda itu mengeluarkan
kata-kata itu beberapa tahun lalu, sudah tentu Ki Rancasena akan langsung
melabrak dan menghajarnya. Tapi tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak
hawa nafsu dan amarah mampu diredamnya. Hingga terlihat orang tua itu
menarik napas panjang mendengar kata-kata si pemuda, kemudian sikapnya
berusaha seramah mungkin.
“Orang muda! Kematian bukanlah urusan manusia. Dan semua itu telah diatur.
Kulihat kau datang ke sini membawa seribu kemarahan yang bergejolak dalam
dadamu. Bolehkah kutahu, apa sebabnya?”
“Kematian seseorang memang telah diatur. Tapi kematianmu akulah yang
mengaturnya, seperti kalian mengatur kematian seseorang lima tahun lalu!”
sahut si pemuda yang tak lain Katakili, mendengus geram.
Ki Rancasena bukanlah orang bodoh. Langsung diingatnya kejadian lima tahun
lalu, yang membuatnya menjadi seorang pendeta. Dan melihat kemiripan wajah
pemuda ini dengan seseorang yang takan akan pernah dilupakannya, hal itu
sudah bisa langsung diduga.
“Kau..., kau putra si Pedang Angin Selatan?”
“Bagus! Akhirnya kau cepat mengenali orang, sehingga aku tak perlu lagi
mengenali diri. Nah, Rancasena. Bersiaplah kau! Aku tak suka membuang-buang
waktu. Kalau kau ingin mengambil senjatamu, kuberi waktu sesaat!”
“Aku tak perlu senjata, Anak Muda. Kalau memang kau menghendaki kematianku,
silakan. Aku tak akan melawan sedikit pun. Hanya, berilah kesempatan aku
menjelaskan duduk persoalan dan penyesalanku selama ini....”
Katakili diam tak menjawab, namun tetap memandang tajam kepada orang tua
itu. Sementara, Ki Rancasena menganggap bahwa hal itu sebagai jawaban
setuju. Maka, diceritakannya penyesalan atas keteledoran dan kesalahan para
tokoh golongan putih yang telah membunuh ayahnya yang tak bersalah.
“Untuk itulah aku hidup menyepi di sini. Tapi, kau jangan salah sangka.
Ceritaku bukan bertujuan untuk mendapatkan belas kasihanmu. Justru, selama
bertahun-tahun aku selalu berharap kau datang dan mencabut nyawaku agar
segala kesalahanku terhapus...,” lanjut Ki Rancasena.
***
DELAPAN
Katakili masih tetap memandang tajam Ki Rancasena. Kemudian, terdengar
geramannya. “Huh! Apa pun yang kau katakan, aku tak peduli! Kau harus mampus
hari ini juga!”
“Lakukanlah, Nak. Lakukanlah....”
Pemuda itu membuka jurus sambil mengelilingi lawan dengan sikap siaga.
Banyak hal yang dipelajarinya dalam hidup. Dan salah satunya, adalah tidak
percaya pada omongan manusia. Biarpun orang itu pendeta, siapa tahu hanya
tipu muslihat belaka. Maka tidak heran kalau sikapnya tetap waspada.
“Yeaaah...!” Katakili menjerit keras, dan tiba-tiba tubuhnya melompat
Langsung dihajarnya orang tua yang tidak bergeming sedikit pun.
Ki Rancasena terpental dua tombak dan jatuh tersungkur di tanah, namun
sedikit pun tidak terdengar keluh kesakitan dari mulutnya. Padahal,
tendangannya cukup keras menghantam dada Ki Rancasena. Terlihat ujung bibir
orang tua itu menetes darah dan wajahnya berkerut menahan rasa sakit.
Katakili menggeram buas seperti harimau meraung. Bola matanya tajam ber-
kilatan, dan kedua tangannya sudah membentuk cakar. “Hiyaaa...!
Graungrrr...!”
Ucapan Katakili memang tidak main-main. Tubuhnya kembali melompat dan
menerkam orang tua yang sudah tak berdaya itu habis-habisan, seperti seekor
harimau lapar menyantap mangsanya. Ki Rancasena hanya bertahan sesaat saja.
Tubuhnya pun terkoyak-koyak tidak berbentuk, dan cairan warna merah
membanjir di sekitarnya.
Orang tua itu betul-betul memenuhi janjinya dan tidak melawan sedikit juga.
Bahkan meskipun rasa sakitnya tidak tertahankan, namun sedikit pun tidak
terdengar suara mengiba dari mulutnya. Dia memang terlihat pasrah sekali.
Dan disadari betul kalau dengan cara inilah kesalahannya dapat terhapus.
Sehingga tanpa kenal rasa takut, Ki Rancasena menjemput maut.
Katakili meraung keras sambil menengadahkan wajah ke langit.
Dilampiaskannya dorongan hati yang selama ini menghimpit. Kucing-kucing yang
mengerubunginya seperti merasakan apa yang tengah dirasakan pemuda itu.
Bulu-bulu mereka bangkit. Dan semuanya berdiri tegak dengan mata
nyalang.
“Astaga, kita terlambat!”
“Itukah Ki Rancasena? Biadab!”
“Heh!” Katakili memalingkan muka ketika terdengar langkah tiga orang yang
mendekati tempat itu.
Mata pemuda itu menatap tajam ke arah seorang laki-laki tua bertubuh pendek
yang selama ini selalu ada di dalam benaknya. Tanpa mempedulikan pemuda
berbaju rompi putih dan gadis tanggung di sebelah orang tua itu, Katakili
melangkah mendekati.
“Ki Wempang, kaukah itu?”
Orang tua itu tersentak kaget. Sorot mata pemuda itu amat tajam, seperti
menusuk jantungnya. Untuk sesaat Ki Wempang tidak mampu menjawab, sampai
gadis tanggung yang tidak lain Lestari melompat langsung berdiri tegak di
hadapan pemuda itu dengan wajah garang.
“Manusia biadab! Kaukah yang membunuh eyang dan ibuku?”
Katakili memandang gadis itu dengan wajah sinis. “Siapa kau?! Apakah kau
salah satu keluarganya yang ingin balas dendam atas dendam kematian mereka?
Silakan. Memang aku yang membuat mereka mampus!” sahut Katakili
dingin.
“Keparat! Kau harus mampus...!”
“Lestari, jangan!”
“Lepaskan aku! Lepaskaaan...!”
Gadis tanggung itu berusaha berontak ketika pemuda berbaju rompi putih yang
tidak lain Rangga berkelebat cepat dan menyambar tubuhnya. Sebagai orang
yang berpengalaman dalam dunia persilatan. Rangga sudah tahu sekecil apa pun
gerakan lawan. Dan hal itu telah ditunjukkan Katakili. Kedua tangannya tadi
sudah bergerak pelan ketika Lestari hendak menyerangnya. Itu sudah
membuktikan kalau pemuda itu tidak bisa dibuat main-main.
“Lestari! Kau sedang terluka. Dan kau juga tidak boleh terlalu banyak
mengeluarkan tenaga!” Rangga mencoba menenangkan gadis itu.
“Aku tidak peduli! Apa urusanmu dalam soal ini? Huh! Kau tidak merasakan
apa-apa! Tidak merasakan orang-orang yang kau cintai tiba-tiba saja dibunuh
dengan keji?! Lepaskan aku! Lepaskaaan...! Biar kuhajar manusia keparat
itu!” Lestari berusaha berontak dengan seluruh kekuatannya.
Rangga tahu, hal ini akan mencelakakan Lestari sendiri. Maka cepat
ditotoknya gadis itu. “Maaf...!”
Tuk! Tuk!
“Kau kepa....” Tubuh Lestari ambruk bagai tidak bertenaga, dengan suara
terkunci di tenggorokan.
Dari sorot matanya, Rangga bisa melihat kebencian dan amarah yang memuncak.
Namun hal itu tidak dipedulikannya. Kepalanya lalu berpaling ke arah Ki
Wempang dan Katakili yang tengah berhadapan. Sementara, Katakili sama sekali
tidak terpengaruh oleh kejadian barusan. Perhatiannya tengah dipusatkan
kepada orangtua itu, dan siap melakukan serangan.
“Kisanak! Tidak bisakah kita bicara baik-baik...?”
Katakili memandang kepada pemuda berbaju rompi putih itu dengan tatapan
tidak senang. “Siapa kau?! Apakah kau pun akan ikut campur dalam
urusanku?!”
“Aku hanya seorang kawan yang berusaha mengingatkanmu. Telah banyak yang
menjadi korban. Apakah kau tidak berniat mengakhirinya saja dengan
perdamaian? Tidak terbukakah hatimu bahwa dendam bukanlah satu-satunya
penyelesaian yang baik? Dendam akan dibalas dengan dendam juga. Dan itu
tidak akan pernah ada habis-habisnya....”
“Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ocehanmu. Kau tahu apa pada peristiwa yang
terjadi padaku? Aku tidak peduli, mereka mau dendam atau tidak. Dan aku juga
tak peduli, mereka mau pasrah atau melawan. Seperti apa yang mereka lakukan
pada kami lima tahun lalu. Tanyakan pada orangtua busuk ini! Bagaimana
mereka mengejar-ngejar kami seperti binatang buruan, dan membunuh ayahku
seperti hewan!” sentak Katakili garang.
“Kalau tindakanmu seperti mereka, itu artinya kau tidak lebih baik
ketimbang mereka. Lalu, apa yang kau cari dengan membunuh mereka semua?”
tanya Rangga, tenang.
“Aku tidak pernah mengatakan kalau diriku lebih baik dari mereka. Juga, aku
tidak berharap pengakuan dari siapa pun. Tapi, kematian mereka adalah tujuan
utamaku!”
“Kisanak! Itu suatu niat buruk yang tidak dimiliki manusia. Padahal,
manusia itu pada dasarnya hidup berkasih sayang dan saling memaafkan. Apakah
kau hendak memungkiri bahwa kau masih seorang manusia dengan naluri
kebaikanmu?”
“Setan busuk! Aku tak punya banyak waktu untuk meladeni bicaramu.
Menyingkirlah! Atau, kau ingin dapat bagian menjadi korbanku pula?!” bentak
Katakili garang sambil menuding ke arah Rangga dengan wajah penuh
kebencian.
“Rangga..., menepilah. Biarkan dia menyelesaikan dendamnya kepadaku...,”
sahut Ki Wempang lirih.
“Ki Wempang! Apakah dengan kepasrahanmu itu akan mengubah perangai pemuda
ini?”
“Paling tidak, dengan kematianku dia akan sedikit tenang dan bisa melupakan
segala dendamnya....”
“Aaah! Manusia-manusia keparat! Kalian membuatku semakin tidak sabar
saja.”
“Ki Wempang, awas...!” Rangga berteriak keras sambil mendorong orang tua
itu hingga terjerembab.
Dan dengan demikian, Ki Wempang justru luput dari serangan Katakili yang
tiba-tiba saja melompat bagi seekor kucing menyambar. Melihat serangannya
gagal, tubuhnya langsung berbalik dan kembali menerkam Ki Wempang dengan
buas.
“Graungrrr...!”
“Grrr...!”
Terdengar raungan Katakili yang menggelegar. Maka, kucing-kucing yang
selalu mengikutinya serentak saling bersahutan. Ki Wempang pada mulanya
ingin pasrah untuk dihajar pemuda itu. Namun mendengar suara itu, dia kontan
bergidik. Dan entah kenapa, tiba-tiba tubuhnya bergulingan menghindari
serangan lawan.
Rangga menyadari kalau Ki Wempang masih terluka dalam, sehingga tentu saja
tidak akan sanggup menghadapi serangan lawan lewat dua jurus. Maka dengan
cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bermaksud melindungi orang tua itu.
Tapi....
“Graungrrr...!”
“Heh!” Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika dengan
tiba-tiba ratusan ekor kucing melompat buas untuk menyerangnya. Tubuhnya
yang telah bergerak, langsung membuat beberapa lompatan untuk menjauhkan
diri dari sambaran kuku dan gigitan hewan-hewan liar itu. Namun....
Bret!
“Sial!” Rangga mengeluh kecil sambil memaki ketika bahunya sempat tercakar
oleh seekor kucing yang berubah buas bagai hewan kelaparan.
Kedudukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini betul-betul sulit. Ke mana pun
bergerak, kucing-kucing itu selalu mengikuti dan ganas menerkamnya. Dirinya
tak ubahnya bagai seekor tikus yang dikepung ratusan ekor kucing yang siap
menerkam dan melahapnya. Tidak terpikir sebelumnya kalau hewan-hewan itu
bakal menyerang sedemikian teratur, sehingga keterkejutannya tidak lenyap
untuk beberapa saat Sampai akhirnya, Rangga terkejut oleh....
“Aaa...!”
“Ki Wempang? Astaga...!”
“Graungrrr...!”
“Yeaaah...!”
Rangga melompat sekuat tenaga bermaksud menolong Ki Wempang yang sudah tak
berdaya di tangan Katakili. Namun sayang, gerakannya selalu dihambat
kucing-kucing itu. Maka dengan rasa geram, dihantamnya beberapa ekor hingga
pecah kepalanya. Tapi kucing-kucing itu seperti tidak kenal takut. Bahkan
malah semakin ganas menyerangnya.
“Grrr...! Graungrrr...!”
“Heh!” Rangga tersentak ketika sesosok bayangan menerkam ke arahnya.
Tubuhnya cepat diputar, dan berusaha berkelit. Namun delapan ekor kucing
lainnya sudah langsung melompat dan menerkamnya dari arah belakang. Maka
cepat-cepat tangannya dikibaskan ke belakang. Dan....
Prak!
Bret!
“Setan!” maki Rangga. Dada Pendekar Rajawali Sakti sempat juga tercakar
salah seekor kucing. Padahal kepalan tangannya sempat menyapu lebih dari
empat ekor kucing yang langsung terpental dengan tubuh remuk.
“Graungrrr...!”
Sesosok bayangan tadi yang tak lain dari Katakili, sudah melepaskan gaetan
kaki. Maka Rangga cepat melenting ke belakang sambil menyampok sambaran kaki
lawan yang mengarah ke lehernya. Dan begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti
mendarat, tiba-tiba cakar lawan sudah menyambar ke arahnya. Dengan
pengalamannya yang sering menghadapi ilmu-ilmu sulit, Pendekar Rajawali
Sakti cepat berputar bagai gasing sekaligus menghindari terkaman beberapa
ekor kucing yang sangat dekat dengannya. Maka, lima ekor kembali terpental
dengan tubuh remuk. Tapi....
Breeet!
“Akh...!” Tak urung, bahu Pendekar Rajawali Sakti sempat tercakar oleh
Katakili yang terus mendesaknya. Rasa perih dan sakit mulai menjalar pada
lukanya. Darahnya pun mengucur membasahi rompinya.
“Keparat! Kalian memang binatang liar yang tidak bisa diberi ampun!” geram
Rangga memaki.
Didahului oleh bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti bersalto beberapa
kali ke tempat yang tanahnya lebih tinggi. Tapi, Katakili dan balatentara
kucingnya terus mengejar dengan cepat.
“Suiiit..!” Rangga tiba-tiba mengeluarkan siulan panjang yang terdengar
aneh bunyinya.
“Graungrrr...!” Sementara, Katakili menggeram dahsyat Namun....
Cring!
Katakili dan kucing-kucingnya seperti tersentak kaget. Untuk sesaat mereka
terpaku ketika melihat perubahan wajah Pendekar Rajawali Sakti yang penuh
perbawa. Sorot matanya tajam berkilau seperti menantang tatapan Katakili.
Dan lebih dari itu, adalah sebatang pedang yang memancar sinar biru berkilau
yang telah dicabut Pendekar Rajawali Sakti dari warangkanya di
punggung.
Pedang dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti memang sedikit membuat hati
Katakili bergetar hebat. Tapi kemudian dia sudah meraung keras. Dan secara
serentak, kucing-kucing yang berada di dekatnya kembali menyerbu ke arah
Rangga.
“Graungrrr...!”
Ratusan ekor kucing yang dipimpin Katakili siap merobek-robek tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun merasa yakin akan mampu menghadapi mereka,
tapi Pendekar Rajawali Sakti ragu apakah bisa lolos? Ratusan ekor kucing
bagai gelombang lautan kala bergerak, bukanlah ancaman main-main. Secepat
apa pun Pendekar Rajawali Sakti bergerak, hewan-hewan itu telah membuktikan
kalau masih mampu melakukan serangan dan merobek bagian tubuhnya.
Dan kalau hal itu berlangsung terus sampai tubuhnya penuh luka dan
kehabisan tenaga, saat itulah barangkali Katakili akan mengambil kesempatan.
Tapi Rangga telah memperhitungkannya. Itulah sebabnya Pendekar Rajawali
Sakti memancing pertarungan ke tempat yang agak tinggi, dan langsung
mengeluarkan siulan nyaring. Di samping untuk mengalihkan perhatian
kucing-kucing dari Lestari, dia juga bermaksud minta bantuan
kepada....
“Khraaagkh...!”
“Bagus, kau cepat datang, Sobat!” Rangga menunjukkan wajah girang ketika
seekor rajawali raksasa terbang rendah menuju ke tempat mereka. Rupanya,
Rajawali Putih tunggangannya telah mendengar panggilan lewat siulan nyaring
tadi.
Katakili dan kucing-kucingnya tersentak melihat kehadiran burung raksasa
itu. Dan saat itu juga dia meraung keras. Maka seketika ratusan ekor kucing
bersiap hendak melompat dan menerkam Rajawali Putih.
“Graungrrr...!”
“Khragkh...!”
Rangga segera memasang mantap kuda-kudanya ketika Rajawali Putih
mengepakkan sayap-sayapnya, sehingga menimbulkan angin menderu hebat di
seputar tempat itu. beberapa batang pohon kecil terlihat tumbang. Sedangkan
ranting-ranting serta cabang-cabang pohon yang batangnya besar, terlihat
patah. Batu-batu beterbangan disertai debu yang membubung tinggi menyelimuti
tempat itu. Bahkan kucing-kucing pengikut Katakili terlempar bagai sehelai
daun kering tertiup angin. Tapi, Katakili sendiri tetap berdiri tegak sambil
menahan tekanan angin yang dahsyat itu.
Melihat keadaan seperti ini terus-menerus, membuat Katakili jadi kalap.
Maka tanpa banyak perhitungan lagi, seluruh kekuatannya dikerahkan Dan
sambil meraung keras, dia melompat hendak langsung menghabisi Pendekar
Rajawali Sakti.
Dan pada kenyataannya, tindakan Katakili sudah diduga Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti hanya berdiri tegak, bersiap menyambut serangan lawan. Dan
begitu serangan hampir dekat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat seraya
berputaran beberapa kali di udara. Dan pada saat yang bersamaan, pedangnya
dikelebatkan dua kali ke sasarannya yang masih di udara, ketika tubuhnya
bergerak.
Cras! Cras!
“Aaa...!”
Terdengar pekikan keras begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar
tubuh Katakili. Dan begitu mendarat, Katakili langsung roboh dengan guratan
luka menyilang di dada, setelah terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti yang
dikeluarkan lewat pengerahan ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' tingkat terakhir.
Tubuh Katakili kini diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati!
Rangga yang sudah mendarat kembali di tanah, menghela napas pendek.
Sementara itu, Rajawali Putih telah menghentikan kepakan sayapnya. Tempat
itu kini terlihat porak-poranda bagai dilanda angin puyuh. Kucing-kucing
yang tadi berkumpul telah tersapu bersih. Banyak di antaranya yang mati
terbentur batu atau batang-batang pohon. Sementara, sekitar lima puluh ekor
tampak berusaha bangkit sambil berjalan dengan wajah bingung.
“Lestari...!” Rangga tersentak kaget ketika teringat pada gadis itu.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti mencarinya ke tempat tadi. Tapi, Lestari
telah lenyap. Dan di tempat tubuh gadis itu tadi bersandar, terdapat guratan
tulisan yang tertera di batang pohon.
Terima kasih, kau telah menyelamatkan anakku. Biarlah kini Lestari menjadi
urusanku. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih langsung, karena kau
sedang bertarung. Tapi aku yakin, kau mampu mengatasi pemuda itu. Lain
waktu, akan kusempatkan untuk mencarimu dan mengucapkan terima kasih secara
langsung.
Salam hormatku, Permana.
“Hm.... Agaknya ayahnya datang menolong...,” gumam Rangga sambil mengangguk
tenang.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berjalan menemui Rajawali Putih yang telah
mendekam di tempat yang agak lapang. Ditepuk-tepuknya leher burung raksasa
itu beberapa kali. Rangga lalu memandang ke sekeliling tempat itu, dan
melompat ke punggung Rajawali Putih.
“Ayo, Rajawali. Kita tinggalkan tempat ini!” ujar Rangga, lalu melesat dan
mendarat di punggung tunggangannya. Manis sekali gerakannya, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya telah begitu tinggi.
“Khragkh!” Rajawali Putih mengeluarkan suara halus, namun terdengar keras
sekali di telinga. Kemudian sayapnya langsung dikepakkan, dan segera melesat
ke udara.
Sementara, angin kembali bertiup kencang menambah porak-porandanya tempat
itu. Sesaat kemudian, mereka telah berada di angkasa. Dan kini yang terlihat
hanya sebuah titik hitam yang berbaur dalam kelabunya senja. Sementara di
ujung barat sana, matahari memancarkan sinar kuning kemerahan. Burung-burung
kembali terbang ke sarang, dan hewan-hewan malam mulai berkeliaran menyambut
malam.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon