LIMA
Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, tampak bergegas mendekati sebuah
pinggiran hutan. Melihat dari cara berjalan yang tergesa-gesa, agaknya
mereka memiliki urusan penting. Lebih-lebih, orang yang berjalan paling
depan. Wajahnya terlihat semakin gusar, dan sepasang matanya jelalatan
mencari-cari.
"Kusnadi! Jangan membuat amarahku memuncak. Mana bocah ajaib yang kau
katakan itu? Cepat tunjukkan padaku, sebelum kau kuhajar!" bentak orang yang
berjalan di belakang laki-laki bernama Kusnadi itu dengan suara keras. Dia
adalah seorang pemuda berwajah cukup tampan berusia dua puluh delapan
tahun.
"Betul! Kalau tidak salah, dia berada di sini kemarin...."
Mereka berhenti sejenak seperti yang ditunjukkan laki-laki berperut buncit
itu, lalu memeriksa ke sekeliling. Sementara pemuda di belakang Kusnadi yang
memegang pedang hanya memperhatikan seksama dengan tangan bersedakap. Tidak
lama, mereka kembali berputar-putar di tempat itu.
Namun, tidak juga ditemukan jejak orang yang dicari. Kusnadi lalu berjalan
menjauh, diikuti seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut
putih.
"Kau sih begitu yakin kalau mereka berada di sini," ujar laki-laki bertubuh
kecil, kepada Kusnadi.
"Tapi aku memang yakin sekali, mereka bertempat tinggal di sini, Ki
Gembyong. Dasar Kerta Wangsa saja yang cepat naik darah," gerutu
Kusnadi.
"Tapi dia tangan kanan ketua. Hati-hati kalau bicara. Meski usianya masih
muda, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi. Ketua sendiri segan
terhadapnya!" sergah laki-laki bertubuh kecil yang memang Ki Gembyong.
"Huh! Kenapa mesti dia yang menemani kita? Kan masih ada Katili yang ilmu
olah kanuragannya juga hebat. Lagi pula, dia lebih ramah."
"Barangkali ketua berpikiran lain. Dia tidak mau Serikat Kawa-kawa Hitam
diremehkan orang," sahut Ki Gembyong.
"Tapi tingkahnya itu yang tidak kusuka. Sepertinya, kekuasaannya lebih dari
ketua sendiri. Main bentak, main pukul, dan..., aaah! Pokoknya aku tidak
suka dengan orang itu."
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tiba-tiba pemuda yang tengah
dibicarakan sudah ada di dekat mereka.
"Hei!"
"Eh, tidak ada apa-apa, Den Kerta Wangsa...," sahut Ki Gembyong sambil
tersenyum kecil.
Pemuda bernama Kerta Wangsa yang kepalanya diikat kain merah itu, menatap
sinis dengan kedua tangan masih bersedakap. Wajahnya terlihat angker meski
sebenarnya cukup tampan.
"Aku tahu, kau tidak menyukaiku, Kusnadi. Tapi apakah kau sadar kalau
kehadiranku di sinis untuk menebus harga dirimu?"
"Aku tidak bermaksud begitu...."
"Sudahlah. Tidak usah banyak cakap! Sekarang, bagaimana cara pembuktianmu
kalau orang itu berada di sini? Ingat! Waktu kita telah banyak terbuang
hanya karena ketololan kalian sendiri. Dan kalau sampai kau tidak bisa
menemukan mereka, jangan salahkan kalau aku akan menghukummu atas nama
ketua!"
"Eh..., ng.... Kalau saja kemarin kita kembali ke sini, tentu akan bertemu
mereka...."
"Tidakkah kau tahu, kemarin kita sibuk dengan pertemuan dari setiap cabang
untuk membicarakan rencana yang lebih besar?!"
Kusnadi diam tidak berani lagi membuka suara. Sementara, Ki Gembyong
pura-pura tidak mendengar sambil berlalu pelan dari tempat itu. Namun belum
berapa jauh melangkah, tiba-tiba terlihat dua sosok tu-buh melewati tempat
mereka.
"Coba lihat! Siapa yang sedang menuju ke sini!?" seru Ki Gembyong.
Seketika, semua mata memperhatikan dengan seksama ke arah yang ditunjuk Ki
Gembyong. Kemudian terlihat paras pemuda bernama Kerta Wangsa itu berubah
angker. Sambil mendengus sinis, kakinya melangkah lebar ke arah orang yang
sedang berjalan itu.
"Kebetulan sekali! Anjing kerajaan itu berada di sini. Jadi, kita tidak
susah-susah mengejarnya ke kota-raja."
Kusnadi menghela napas lega. Dengan hadirnya kedua sosok tubuh itu berarti
perhatian pemuda ini akan beralih, dan dia selamat dari hukuman. Dua orang
yang berjalan santai itu adalah seorang laki-laki tua berpakaian
compang-camping dengan membawa sebatang tongkat butut, dan di sebelahnya
seorang gadis berparas jelita. Bajunya biru dengan sebilah pedang tersandang
di punggungnya. Mereka tidak lain dari Pengemis Tongkat Sakti dengan
muridnya, Sekar Harum. Pengemis Tongkat Sakti agak terkejut juga melihat
cara mereka mencegatnya. Tapi parasnya cepat berubah ketika mengenali
kawanan laki-laki berseragam hitam itu.
"He he he...! Kukira perampok kesasar dari mana. Tega-teganya mencegat
pengemis buruk sepertiku. Rupanya, anjing pemberontak Serikat Kawa-kawa
Hitam," kata Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa mengejek.
"Bangsat kau, Orang Tua! Apakah pihak kerajaan hanya mengirim kau seorang
untuk memburu kami? Sungguh gegabah mereka!" dengus Kerta Wangsa.
"Hm.... Kalau kau mengira kedatanganku ke sini untuk menangkap kalian, itu
kesalahan besar. Pihak kerajaan tentu tidak perlu bersusah payah mengirimku.
Karena selain tenagaku tidak berguna, mereka juga tidak terlalu menganggap
kalian sebagai ancaman," sahut Pengemis Tongkat Sakti memanas-manasi.
"Phuih! Sebentar lagi kotaraja akan hancur dan Serikat Kawa-kawa Hitam akan
menguasai dunia persilatan. Dan, kaulah orang pertama yang menjadi tumbal
atas kejayaan kami!"
"He he he...! Boleh saja kau berkata begitu. Tapi sebagai tumbal? Nanti
dulu! Dan aku lebih suka melihatmu mampus sebagai anjing kurap yang selama
ini mengotori kerajaan," sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil tertawa
kecil.
"Orang tua celaka! Banyak bacot kau! Mampuslah, hih...!"
Selesai berkata demikian, Kerta Wangsa langsung mencelat menyerang Pengemis
Tongkat Sakti dengan gencar. Kerta Wangsa sebagai orang kedua dalam jajaran
Serikat Kawa-kawa Hitam, memang sudah dikenal oleh pihak kerajaan sebagai
salah satu pentolan yang harus diperhitungkan. Dan serikat yang dipimpinnya,
tahun-tahun belakangan ini selalu merongrong kewibawaan pemerintah yang
sah.
Mereka memang memiliki cita-cita untuk menggulingkan kerajaan, dan
mendirikan kerajaan baru. Tentu saja mereka juga menginginkan seluruh
anggotanya menjadi orang-orang penting yang menjalankan roda pemerintahan,
berikut rencana-rencana gila yang akan dijalankan. Apalagi, orang nomor satu
yang bernama Hadiwijaya atau lebih dikenal sebagai Panglima Samber Nyawa.
Dialah Ketua Serikat Kawa-kawa Hitam yang amat cerdik, selain memiliki
kepandaian yang tinggi.
Orang-orang berpengaruh dan memiliki ilmu dan kanuragan yang cukup handal
di kumpulkan untuk dijadikan pengikutnya. Dan salah seorang adalah Kerta
Wangsa, tokoh muda dalam dunia persilatan. Dia dikenal sebagai Siluman Liar
Berdarah Dingin. Namanya banyak dikenal karena kehebatan ilmu olah kanuragan
dan kekejamannya terhadap lawan.
Dan Pengemis Tongkat Sakti bukannya tidak mengetahui hal itu. Meski kagum
pada nama besar lawan, tapi mana mau ditunjukkannya. Dan memang, apa yang
diceritakan orang-orang tentang kehebatan pemuda ini bukan nama kosong
be-aka. Buktinya gerakannya cepat dan kuat bukan main. Sehingga, mampu
membuat pusaran angin kencang yang berdesir manakala tubuhnya bergerak
menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
Berkali-kali Pengemis Tongkat Sakti dibuat terkejut oleh serangan lawan
yang datangnya tiba-tiba. Seperti apa yang terjadi barusan. Tongkatnya
menderu mengincar pinggang, batok kepala, dan dada. Tapi mudah sekali Kerta
Wangsa menghindar. Kemudian dengan kecepatan tinggi, kepalan tangan kanannya
menyodok dada kiri Pengemis Tongkat Sakti. Kalau saja orang tua itu tidak
buru-buru membuang tubuh ke kanan, niscaya dadanya akan jebol terhantam
pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi.
"Kenapa kalian diam saja? Ayo ringkus gadis itu! Siapa pun dia, tidak
peduli. Tangkap!" bentak Kerta Wangsa di tengah-tengah pertarungan,
memperingatkan anak buahnya yang tadi sempat mematung menyaksikan
pertarungan antara kedua tokoh itu.
"Ba... baik, Den Kerta...," sahut Kusnadi mewakili teman-temannya.
Tanpa membuang waktu lagi, keempatnya lang-sung mengurung Sekar Harum
sambil ter-senyum nakal dengan wajah menyeringai lebar.
"He he he...! Lumayan juga gadis ini. Cukup cantik untuk kita berempat,"
kata Kusnadi.
"Biarlah Kerta Wangsa dapat bagian pertama. Mendapat sisanya pun, sudah
untung," sambung temannya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Nanti kalian kena damprat Kerta Wangsa
baru tahu rasa!" selak Ki Gembyong mengingatkan.
"Betul juga. Ayo cepat kita tangkap!"
"Orang-orang celaka! Kalian kira mudah menangkapku?! Ayo, majulah biar
kupecahkan batok kepala kalian satu persatu!" sahut Sekar Harum tak kalah
sengit sambil mencabut pedang dan bersiap menghadapi lawan-lawannya.
"Yeaaa...!" "Hiyaaat..!" Dengan lincah Sekar Harum memutar pedang dan
memainkan sebuah jurus indah, namun memiliki daya serang kuat karena
ditunjang tenaga dalam hebat.
Tapi, lawan-lawannya yang sedang dihadapi sekarang tidak bisa dianggap
enteng. Mereka rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan.
Apalagi, saat ini mereka maju bersamaan. Maka, sudah dapat dipastikan akan
semakin berbahaya. Sementara, Sekar Harum sendiri bukanlah gadis tabah.
Amarahnya, demikian cepat terpancing, dan mengamuk sejadi-jadinya kalau
hatinya terusik. Begitu juga saat ini. Dengan hati panas dan kemarahan
memuncak, semua lawannya diserang habis-habisan.
"Mampuslah kalian semua! Anjing-anjing keparat seperti kalian, tidak baik
diberi hati!" bentak gadis itu garang.
"He he he...! Boleh saja. Tapi, sebelumnya kau harus membuat senang kami
dulu, untuk menikmati indahnya tubuhmu," sahut salah seorang di antara
mereka sambil menyeringai seperti serigala melihat domba gemuk.
"Cuihhh! Aku lebih suka mati daripada harus disentuh anjing-anjing kurap
macam kalian!"
"He he he...! Percayalah. Justru anjing kurap inilah yang akan membuat kau
ketagihan!"
Bukan main gemas dan marahnya Sekar Harum mendengar jawaban itu. Tubuhnya
kontan menggigil menahan amarah. Bahkan seluruh kemampuannya telah
dikerahkan untuk melumpuhkan lawan secepatnya. Pedang di tangannya
berkelebat-kelebat menyambar leher-leher lawan. Tapi dengan lincahnya,
keempat orang itu mampu menghindar sambil tertawa-tawa kecil.
"Kerahkan seluruh kemampuan yang kau miliki sebelum akhirnya menyerah dalam
pangkuan kami," ujar Kusnadi.
"Ha ha ha...! Aku malah semakin gemas saja melihatnya dalam keadaan marah
begini. Kecantikannya benar-benar menggugah untuk segera mendekapnya"
"Bajingan bermulut kotor! Mampuslah kalian!"
Sekar Harum langsung menyabetkan pedangnya cepat bagai kilat. Rupanya,
gadis ini sudah demikian marahnya. Langsung saja dia mencecar salah seorang
yang merendahkan martabatnya. Tapi...
Trak! Plak!
Ki Gembyong langsung memapak pedang Sekar Harum, sehingga menimbulkan suara
keras. Tangan gadis itu kontan bergetar hebat. Dan pada saat bersamaan,
Kusnadi menghajar pergelangan tangannya hingga pedang di tangan Sekar Harum
terlepas. Kemudian, disusul salah seorang menotok tubuh Sekar Harum.
Maka...
"Uh! Sekar Harum hanya mengeluh, kemudian jatuh lemas di tanah.
"Ha ah, betul kan kata-kataku? Kali ini, mana mungkin kau bisa melarikan
diri. Kalau mau mati, nantilah setelah kami mendekapmu sepuas-puasnya," kata
Kusnadi menyeringai penuh nafsu.
"Bangsat! Pengecut!" Sekar Harum menjerit memaki.
Pengemis Tongkat Sakti terkejut mendengar jeritan muridnya. Sekilas matanya
sempat melirik dan menyaksikan Sekar Harum sedang dikelilingi empat orang
anak buah Kerta Wangsa dalam keadaan tertotok. Maka batinnya langsung
bergejolak, dan amarahnya kontan meluap. Tapi waktu yang sekilas tadi,
ternyata dimanfaatkan betul-betul oleh Kerta Wangsa. Pedangnya cepat dicabut
dari warangka, langsung dibabatkan ke arah leher orang tua itu
Crasss!
"Aaa...!"
Terdengar pekikan dari mulut Pengemis Tongkat Sakti ketika lehernya
terbabat pedang Kerta Wangsa. Darah segar langsung muncrat dari leher yang
tertebas. Orang tua itu limbung sesaat, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia
meregang nyawa, laki diam. Mati!
"Huh! Mampuslah kau, Orang Tua Busuk!" geram Kerta Wangsa sambil
menyarungkan pedang ke dalam warangkanya.
"Guru...!" pekik Sekar Harum begitu mengetahui gurunya telah tewas di
tangan lawan. Sekar Harum berteriak-teriak menyayat sambil
memaki-maki.
Sedangkan Kerta Wangsa menghampiri dan bertolak pinggang, lalu menatap
dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Hm.... Jadi kau murid si keparat
itu?"
"Kaulah yang keparat! Lepaskan aku. Ingin kupecahkan batok kepalamu sampai
remuk!"
"Begitu?" Kerta Wangsa lalu memberi isyarat pada Ki Gembyong untuk
melepaskan totokan pada diri Sekar Harum.
"Tapi...?"
"Kau takut dia akan mengalahkan kita? Jangan khawatir. Ingin kulihat,
apakah kata-katanya bisa dibuktikan. Kalau tidak, tahu sendiri apa hukuman
untuknya!"
"Baiklah...!" Ki Gembyong segera melepaskan totokan Sekar Harum. Tapi yang
pertama dikejar gadis itu justru mayat Pengemis Tongkat Sakti,
gurunya.
"Guru...! Hu hu hu.... Maafkan muridmu yang bodoh, karena tidak bisa
menolongmu. Tapi aku bersumpah akan membalaskan sakit hati ini, meski nyawa
sebagai taruhannya!" jerit Sekar Harum sambil menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Kerta Wangsa dan anak buahnya diam memperhatikan. Pemuda itu
bersedakap dengan tangan kanan memegang pedang. Matanya seperti tidak lekang
mengawasi Sekar Harum pada jarak dua tombak di belakangnya. Kemudian
perlahan-lahan diperhatikannya gadis itu bangkit sambil memungut tongkat
gurunya. Mata Sekar Harum kini lurus menatap ke arah Kerta Wangsa penuh rasa
kebencian dan amarah meluap.
"Anjing keparat! Kau harus mampus di tanganku hari ini!" Sekar Harum
menggeram.
***
ENAM
Matahari tak terlalu menyengat. Angin pun bertiup semilir, membuat suasana
seperti ini semakin melenakan seorang pemuda berwajah tampan yang tidur
sambil bersandar di bawah sebatang pohon rindang. Pemuda berbaju rompi putih
itu seperti melayang-layang di alam bawah sadarnya sambil mengikuti irama
mimpi indah yang membuatnya tersenyum-senyum sendiri. Namun saat itulah
sesuatu terasakan melindas kakinya. Seketika pemuda yang tak lain Pendekar
Rajawali Sakti itu tersentak kaget...
"Heh?!" Rangga langsung mengerjap-ngerjapkan matanya. Di dekatnya tahu-tahu
telah berdiri seorang bocah laki-laki yang kalau dilihat dari wajahnya
berusia sekitar delapan tahun.
Tangannya memegang mainan gerobak-gerobakan yang bisa didorong. Rambut
bocah itu panjang teriap hingga menutupi sebagian wajahnya. Dengan
mengenakan baju berwarna-warni, penampilannya memang kelihatan aneh.
Agaknya, roda mainan bocah inilah yang tadi melindas kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Jika diperhatikan baik-baik, bocah itu tidak seperti bocah pada
umumnya. Dia seakan merasa tak bersalah oleh apa yang tadi diperbuatnya pada
orang lain.
Dia diam saja sambil memperhatikan, kemudian terkekeh-kekeh kecil dengan
tangan menunjuk ke arah Rangga. Siapa lagi bocah itu kalau bukan Karsono,
yang terkenal sebagai bocah ajaib.
"He he he...! Wajahmu lucu seperti keledai dungu!" kata bocah itu enteng,
seperti tak menyadari kalau kata-katanya dapat menyinggung perasaan orang
lain.
"Bocah, siapa kau? Kenapa berkata begitu? Apakah kedua orangtua mu tak
pernah mengajarkan sopan santun?" tanya Rangga ramah.
Karsono mengerutkan dahi mendengar kata-kata Rangga. Tapi kemudian tak
peduli lagi, dan kembali bermain dengan gerobaknya sambil berlari-lari
kecil.
"Hei?!" Rangga bangkit dan mengejar, namun langsung terkejut.
Ternyata lari bocah itu tak seperti lari bocah seusia pada umumnya. Larinya
begitu cepat dan berkelok-kelok, laksana orang dewasa yang sedang
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Dari mulutnya tak henti-hentinya keluar
teriakan-teriakan.
"Hus..., hus...! Ayo lari yang kencang! Lebih kencang lagi, kalau tidak kau
akan kucambuk! Hus..., hus..., hayo!"
Bukan main gemasnya Rangga melihat kelakuan bocah yang seperti sengaja
hendak mempermainkannya. Nyatanya bocah itu memang hanya berlari-lari tak
jauh dari situ dan berputar-putar saja. Seperti mengajak bermain
kejar-kejaran. Sebenarnya, Rangga tak ingin mempedulikannya. Tapi batinnya
terus tergelitik untuk ingin tahu. Mustahil, bocah seusia itu mampu berlari
secepat orang dewasa yang memiliki ilmu lari cepat tingkat sempurna. Maka
sambil mengerahkan ilmu lari cepatnya, bocah itu dikejar, dan berusaha untuk
mendahuluinya.
"Hup! Mau lari ke mana kau?" kata Rangga sambil melompat tepat di depan
gerobak bocah itu.
Mau tak mau, Karsono terpaksa menghentikan laju gerobaknya. Dahinya kembali
berkerut ketika sepasang matanya menatap Rangga yang berdiri di hadapannya
dengan wajah tenang.
"Minggirlah kau, kalau tidak akan kubuat benjol kepalamu!" ancam
Karsono.
"He he he...! Boleh juga ancamanmu. Cobalah pukul kepalaku sampai benjol,"
tantang Rangga sambil tersenyum kecil.
"Hihhh...!" Tiba-tiba Karsono mendorong gerobak mainannya ke arah
Rangga.
Untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkisnya. Namun, Rangga jadi
tersentak kaget. Ternyata gerobak itu didorong dengan tenaga dalam. Meskipun
bentuknya tak terlalu besar, tapi rasanya tak mungkin bila bocah seusia itu
mampu mendorong sedemikian kuatnya. Bahkan Rangga sampai mengerahkan tenaga
dalamnya. Namun, gerobak itu tetap saja bergerak seperti hendak menghimpit
dan menggilasnya. Sadarlah Rangga kalau bocah itu bukan bocah sembarangan.
Dorongan gerobak itu jelas menggunakan tenaga dalam.
"Houp!" Rangga cepat meningkatkan pengerahan tenaga dalamnya untuk menekan
gerobak mainan itu ke arah Karsono. Sementara wajah bocah itu tampak
berkerut tak senang. Dia terlihat menarik napas panjang bagai hendak
menambah kekuatan dorongnya. Rangga kaget ketika bocah itu bermaksud berbuat
curang. Dorongan pada gerobaknya cepat dilepaskan dengan harapan Rangga akan
terjerembab.
Dan saat itu juga, tubuhnya akan melayang siap menghantam dengan kepalan
tangan yang diberi tenaga dalam tinggi. Dan Rangga siap bergulir ke samping,
bila gerobak mainan itu semakin menekannya. Tapi hal itu memang disengaja.
Karena dengan begitu, kedua kakinya akan leluasa memapak serangan bocah aneh
itu.
"Yeaaa...!"
Dugaan Rangga ternyata benar. Maka buru-buru dia bergulir ke samping. Dan
tak lama, serangan berbahaya bocah itu yang menggunakan separuh tenaga dalam
meluncur datang. Rangga cepat memapak serangan itu.
Plak!
Karsono langsung mengeluh kesakitan. Namun dia cepat membuang diri ke
depan. Rangga sendiri langsung bergulingan, mengikuti irama gerak bocah
itu.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" maki Karsono.
Rangga menggelengkan kepala, begitu bangkit berdiri. Seharusnya bocah itu
terluka terkena hajarannya tadi. Dan kali ini keyakinannya semakin bertambah
kalau bocah itu bukan bocah sembarangan. Maka mulai diamati-amatinya bentuk
tubuh serta wajah bocah itu.
"Hm. Sudah kuduga, kau bukan bocah biasa. Kau adalah si cebol yang berlagak
menjadi bocah kecil," gumam Rangga sinis, setelah merasa yakin kalau bocah
itu bukanlah anak kecil berusia delapan tahun seperti dugaannya
semula.
"Huh! Apa urusannya?!" dengus Karsono.
"Banyak. Pertama, kau telah mengganggu waktu tidurku. Kemudian kau
tiba-tiba menyerangku. Padahal, aku sama sekali tak menaruh curiga kalau kau
akan berbuat begitu padaku. Nah, untuk itu kau harus mendapat hukuman
setimpal" gertak Rangga yang sebenarnya hanya main-main.
"Kau pikir mudah melakukan itu? Cobalah kalau mampu!"
"Kenapa tidak?" Bersamaan dengan itu, tubuh Rangga melesat sambil
melayangkan kepalan tangan kanannya tanpa disertai tenaga dalam, menghantam
batok kepala lawan.
Tapi Karsono ternyata cukup gesit. Sambil bergulingan menghindari serangan
lawan, tubuhnya kemudian melenting ringan ke atas membalas serangan.
"Yeaaa...!" Bocah itu berusaha mengambil keuntungan dengan mengandalkan
tubuhnya yang kecil. Dia menyusup di antara pertahanan Pendekar Rajawali
Sakti sambil mengirim pukulan bertenaga kuat.
Tapi, Rangga telah memperhitungkannya. Maka kaki kanannya cepat bergerak
menyapu ketika kepalan tangan bocah itu menghantam dada. Sambil berbalik,
kaki kirinya menendang ke pantat.
Plak! Des!
"Akh...!" Karsono menjerit kesakitan ketika tubuhnya terpental ke atas.
Namun dengan mantap, dia masih mampu berjungkir balik, kemudian terus kabur
dari tempat itu.
"Hei, jangan lari! Awas kau!" teriak Rangga berusaha mengejar.
Seperti anak kecil, mereka saling berkejaran. Lari bocah itu lumayan cepat,
tapi Rangga yakin sebentar lagi pasti bisa menyusul. Bahkan mendahuluinya.
Tapi pada saat Rangga hampir menyusul, saat itu pula telinganya mendengar
dentang senjata beradu yang tak jauh dari tempat itu. Sebenarnya Rangga tak
ingin mempedulikan, dan meneruskan niatnya mengejar bocah itu.
Tapi, tak lama kemudian terdengar jeritan keras seseorang. Hal inilah yang
menarik perhatiannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar haluan dan
mencari sumber teriakan tadi, yang tak begitu jauh dari tempatnya berada.
Dan ketika sampai di tepi hutan, di antara rerumputan luas terlihat lima
orang berwajah kasar tengah mengelilingi seorang gadis berbaju biru. Salah
seorang di antara mereka tampak bertarung sengit dengan gadis yang tampak
sudah kewalahan itu.
"Ayo, bangkitlah. Seranglah aku sepuasmu, sebelum akhirnya kau menyerah dan
kuberi ganjaran yang tak akan kau lupakan seumur hidupmu!" sahut pemuda
bertampang angker itu dingin.
"Hihhh...!" Gadis itu cepat melayangkan kepalan tangan kanannya. Namun
karena tenaganya sudah melemah, maka dengan mantap pemuda itu
menangkapnya.
Tap!
Kemudian tangan gadis itu dipelintir ke belakang tubuhnya. Sedangkan
sebelah tangan gadis itu ditangkapnya pula. Dan tiba-tiba tangannya bergerak
cepat, hendak merobek baju gadis malang itu.
Breeet!
"Ouw! Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!"
Hal itu tentu saja membuat gadis ini menjerit-jerit sambil memaki-maki
dengan suara melengking. Namun pemuda angker itu tak juga mempedulikannya.
Bahkan semakin erat mencekal lengan gadis itu sampai tak bisa melepaskan
diri. Sementara tangan kanannya leluasa menyusup di antara robekan pakaian
gadis yang menuju bukit kembarnya. Sedangkan bibirnya penuh nafsu merayap di
antara leher nan jenjang itu.
"Hih!" Dalam keadaan putus asa begitu, gadis ini masih berusaha menendang
ke belakang. Tapi yang terjadi justru membuat keadaannya lebih sulit lagi,
karena lutut kanan pemuda itu menekan bagian bawah pinggangnya. Akibatnya
gadis itu tidak bisa berontak lagi.
"Ouw!"
"Kisanak! Tidak bisakah kau bersikap sopan kepada seorang gadis yang tak
berdaya?" Tiba-tiba, entah dari mana datangnya terdengar suara
teguran.
"Hei!" Pemuda itu tersentak. Begitu juga keempat temannya yang menunggu tak
jauh dari tempat itu. Dan secara tiba-tiba pula, di tempat itu muncul
seorang pemuda berambut panjang serta berbaju rompi putih. Di punggungnya
terlihat sebilah pedang berhulu kepala burung.
"Siapa kau?! Berani benar kau mengusik urusan Kerta Wangsa!" bentak pemuda
itu sambil melepaskan gadis dalam rangkulannya tadi.
Begitu terbebas, gadis ini cepat-cepat membenahi diri sambil menjauh dari
orang-orang itu. Matanya sekilas sempat melirik pada pemuda yang baru
datang. "Pendekar Rajawali Sakti...!" seru gadis itu pelan, dan tanpa sadar.
Walau suaranya halus dan nyaris tidak terdengar, tapi bagi Kerta Wangsa hal
itu telah cukup meyakinkan dugaannya semula terhadap pemuda asing ini.
"Hm.... Jadi kau orang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti? Lama sudah
kudengar nama besarmu, hingga membuat tanganku tergelitik untuk menjajal
kemampuanmu!"
"Kisanak. Benar apa yang kau duga tentang diriku. Tapi kau salah jika
beranggapan, kalau aku tempat untuk menjajal kemampuanmu, aku hanya seorang
pengembara biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa...," sahut pemuda yang
memang Rangga, merendah.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan coba menghindar! Suka atau tidak, kau kini
punya urusan denganku!" bentak Kerta Wangsa sambil mengacungkan
pedangnya.
"Urusan? Urusan apa, Kisanak?" Dahi Rangga berkerut mendengar hal itu.
Seingatnya, dia baru bertemu sekali dengan orang ini, di sini. Jadi
bagaimana mungkin bisa mengatakan kalau punya urusan?
"Masih ingatkah kau pada si Pedang Ular Emas? Dia tewas di tanganmu! Agar
kau tahu, dia termasuk anggota Serikat Kawa-kawa Hitam!"
"Hm.... Jadi kalian anggota para pemberontak itu? Tapi kematian temanmu itu
bukan salahku. Dia yang terlalu memaksa, sehingga aku terpaksa berbuat
demikian...."
"Bangsat! Kau harus menerima akibat perbuatanmu! Hiyaaat..!"
"Tahan, Den!"
Kerta Wangsa baru saja bermaksud akan menyerang Rangga, namun pada saat itu
Kusnadi beserta dua orang temannya langsung melompat menahan niatnya.
"Den Kerta Wangsa. Biarlah bocah ini menjadi bagianku. Kalau dibiarkan
banyak bicara, dia akan semakin berkoar dan menganggap dirinya jago tak
terkalahkan!"
"Hm...!" Kerta Wangsa berpikir lain. Pada dasarnya, dialah yang ingin
menempur Pendekar Rajawali Sakti. Sudah lama sekali nama pemuda itu
didengarnya, sehingga membuat iri hatinya. Seingatnya, selama ini belum
pernah terdengar kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa dipecundangi lawan.
Padahal, banyak cerita yang didengarnya kalau Pendekar Rajawali Sakti sering
berhadapan dengan tokoh-tokoh kosen berilmu tinggi.
Sejak awal, Kerta Wangsa memang sudah kesal terhadap Kusnadi. Selain orang
itu tak menyukainya, sejak tadi pun tangannya sudah gatal ingin menghajar
laki-laki berperut gendut itu. Maka dengan menawarkan diri untuk menempur
Pendekar Rajawali Sakti, di atas kertas Kusnadi pasti akan menjadi
bulan-bulanan lawan. Dan justru hal itulah yang memang diharapkan Kerta
Wangsa. Dalam hatinya, dia memang ingin meminjam tangan Pendekar Rajawali
Sakti untuk menghukum Kusnadi.
"Baiklah kalau memang kau ingin menghajarnya. Tapi, ingat jangan
setengah-setengah. Aku ingin melihat dia mampus di tanganmu!" sahut Kerta
Wangsa sambil mendengus sinis.
"Beres!" sahut Kusnadi cepat. Bersama dua orang kawannya, Kusnadi langsung
mencabut golok dan mengurung Pendekar Rajawali Sakti. "Bocah! Kau terlalu
menganggap enteng lawan. Berhati-hatilah, karena nama besarmu hari ini akan
tumbang!"
"Hm.... Sungguh lucu kalian, Kisanak. Siapa yang menghina dan siapa pula
yang mempersoalkan nama besar? Kalianlah yang mencari gara-gara. Aku hanya
sekadar memperingatkan, perbuatan yang dilakukan temanmu itu sangat tidak
terpuji. Dan hanya binatanglah yang melakukan perbuatan terkutuk itu," sahut
Rangga santai.
"Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!" Sambil berteriak nyaring, ketiga orang
itu melompat menyerang Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat tinggi, kemudian bersalto
beberapa kali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak
tanah di belakang lawan pada jarak satu tombak. Bukan main gusarnya Kusnadi
dan dua orang temannya, melihat serangan pertamanya luput. Mereka langsung
membagi tempat. Dan ketika dua orang temannya kembali menyerang, Kusnadi
mencuri kesempatan saat Rangga melompat menghindar.
"Yeaaa...!" "Uts!" Plak!
Rangga cepat menunduk, ketika golok lawan mengancam kepalanya. Maka golok
itu hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya. Sementara kaki kanan Rangga
juga langsung menghantam salah seorang yang berada di dekatnya. Sedangkan
tangan kiri menghantam pergelangan tangan Kusnadi.
Plak! "Ugkh!"
Terdengar suara keluhan tertahan. Sementara lawan yang lain sempat jungkir
balik, menghindari tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sial!" maki Kusnadi, ketika kecurangannya terbaca Pendekar Rajawali
Sakti.
"Yeaaa...!" Kedua teman Kusnadi kembali menyerang ganas. Dan seperti
semula, Kusnadi mencuri kesempatan di saat lawan lengah. Tapi kali ini
Rangga tak mau lagi memberi hati. Tubuhnya langsung bergerak indah,
mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
"Hiyaaa...!" Dan setelah bergerak ke samping menghindari tebasan golok
Kusnadi, tubuh Rangga berputar cepat di udara dengan kedua kaki terpentang
menghajar tengkuk dan dada kedua lawan. Begitu mendarat, kepalan tangannya
langsung menyodok dada kiri Kusnadi.
Plak! Duk! Diegkh! "Aaa...!"
Ketiga orang itu memekik kesakitan. Tubuh mereka kontan terpental sambil
menyemburkan darah segar dari mulut. Sesaat mereka menggelepar-gelepar,
sebelum akhirnya diam untuk selamanya. Mati!
Mereka yang menyaksikan itu terkejut. Memang kejadiannya begitu cepat
sehingga tak ada seorang pun yang mampu menolong.
"Keparat! Pendekar Rajawali Sakti, akulah lawanmu!" bentak Ki Gembyong
sambil melompat maju. Tapi sebelum Ki Gembyong menyerang Pendekar Rajawali
Sakti, tiba-tiba....
"Ki Gembyong, menepilah. Dia bukan lawanmu. Biar aku yang akan
melayaninya!" bentak Kerta Wangsa.
"Tapi..."
"Minggir kataku!" bentak Kerta Wangsa lagi tanpa menoleh. Bahkan sorot
matanya tampak tajam menatap ke arah Rangga. Tangannya yang semula
bersedakap, direntangkan. "Pendekar Rajawali Sakti! Nama besarmu ternyata
bukan kosong belaka. Tapi, Siluman Liar Berdarah Dingin tak bisa kau samakan
dengan mereka. Berhati-hatilah....!"
Selesai berkata begitu, Kerta Wangsa yang berjuluk Siluman Liar Berdarah
Dingin langsung berkelebat cepat menyerang Pendekar Rajawali
Sakti.
***
TUJUH
Sementara itu, di kejauhan sana, Kesuma Wardhana terus memacu kencang
kudanya. Sementara di belakangnya, Andini juga mengejar dengan perasaan
geram dan kesal. Kalau belum menghajar kakaknya, hatinya belum puas.
Tinggallah prajurit-prajurit di belakang mereka yang terpaksa memacu kencang
kudanya agar tak ketinggalan.
Kesuma Wardhana terkejut ketika tiba-tiba kudanya meringkik keras sambil
menaikkan kedua kaki dengannya tinggi-tinggi. Ternyata di depannya telah
berdiri dua sosok bertubuh ganjil. Yang seorang, laki-laki tua bertubuh
cebol. Dan di sebelahnya, seorang perempuan tua bertubuh tinggi kurus.
Keduanya memakai baju warna-warni.
"Hi hi hi...! Kau lihat, Kakang Warkala? Pemuda ini cukup tampan dan gagah.
Dia pasti cocok menjadi calon suami Yatikah," kata perempuan tua itu sambil
tertawa panjang dan memegangi tongkat kayunya dengan kedua tangan.
"Betul apa yang kau katakan, Yuningsih. Tapi, apakah dia bisa memenuhi
syarat?" tanya laki-laki cebol itu sambil sesekali menggeser letak pedang
pendek terbuat dari kayu yang berada di pinggangnya.
"Kenapa susah-susah? Uji saja!"
"He he he...! Betul juga katamu. Mana mungkin kita tahu kalau tidak
mengujinya lebih dulu."
"Kisanak berdua! Siapakah kalian, dan kenapa tiba-tiba menghadang
perjalanan kami?" tanya Kesuma Wardhana sopan.
"Kakang Kesuma! Kenapa kau masih bersopan-sopan segala pada mereka?! Sudah
jelas keduanya ingin mencari gara-gara!" potong Andini, sebelum kedua orang
tua itu menyahut.
"Andini, jaga mulutmu! Tidak baik kau berkata begitu!"
Andini menunjukkan wajah cemberut karena di bentak dengan nada kasar oleh
kakaknya. Sementara itu prajurit-prajurit kerajaan yang baru tiba di tempat
itu, langsung turun dari kuda dan menghampiri mereka.
"Paduka Pangeran, apa yang terjadi? Dan, siapakah kedua orang tua ini?
Apakah mereka mengganggu Paduka?" tanya salah seorang prajurit dengan sikap
hormat.
"Kau dengar, Yuningsih? Ternyata pemuda ini seorang putra raja. Sungguh
kebetulan!" seru laki-laki cebol itu sambil terkekeh girang.
"Huh! Buat apa putra raja segala. Kalau ternyata dia tak becus, apa
gunanya! Sudahlah, sebaiknya lekas kau uji dia. Atau, aku yang mesti maju
lebih dulu?!"
"Eit..., eit! Cobalah bersikap lebih sabar...!"
Kesuma Wardhana baru akan kembali bertanya, ketika laki-laki cebol yang
dipanggil Warkala bersuit nyaring. Bersamaan dengan itu melesat sesosok
tubuh ramping di dekat mereka. Ternyata, dia seorang gadis berwajah cantik
berbaju warna-warni seperti kedua orang tua itu. Walaupun begitu, gadis ini
terlihat tak pandai mengurus diri. Kulitnya yang putih tampak kotor. Dan
rambutnya yang panjang, terkesan suram dan menutupi sebagian wajahnya.
"Yatikah! Coba lihat pemuda ini? Apakah kau merasa cocok dengannya?" tanya
Warkala tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
Gadis yang ternyata Yatikah itu memandang sekilas pada Kesuma Wardhana
sambil tersipu-sipu malu.
"Yah, dia boleh juga. Tapi, aku tak akan melanggar sumpahku. Kalau dia tak
becus apa-apa, lebih baik mampus saja!"
"Kisanak! Kalian sudah keterlaluan. Menepilah dan beri jalan pada junjungan
kami!" bentak salah seorang prajurit sudah tak sabar melihat kelakuan
orang-orang asing itu.
"He, apa katamu?!" Tiba-tiba saja tubuh Warkala melompat dan mengayunkan
pedang pendek ke batok kepala prajurit itu. Dan....
Prak! "Aaa...!"
"Hei?!"
"Keparat!"
Gerakan Warkala cepat sekali, sehingga prajurit itu tak sempat mengelak.
Kepalanya langsung retak dihantam pedang kayu Warkala. Terdengar jerit
kematian ketika tubuhnya roboh ke tanah. Kesuma Wardhana dan yang lainnya
langsung terkejut menyaksikan semua itu. Namun, dua orang prajurit telah
langsung melompat hendak menerjang Warkala sambil memaki geram.
"He he he...! Ayo! Majulah kalian semua, kalau tak senang dengan
kata-kataku. Biar sekalian kubuat mampus. Ayo, maju dan seranglah aku sepuas
kalian!"
"Hi hi hi...! Enak saja kau ingin berpesta sendiri. Tanganku pun sudah
gatal melihat tingkah mereka!" sahut Yuningsih seraya terus melompat.
Langsung dihajarnya sisa-sisa prajurit lain yang telah mengurung mereka.
"Yeaaa...!"
Prak! Des! "Aaa...!"
Terdengar pekik kematian ketika senjata aneh di tangan kedua orang tua itu
berkelebat menghajar ke sana kemari. Dalam waktu singkat saja, tiga orang
prajurit telah tewas.
"Paduka Pangeran dan Putri. Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak salah
seorang prajurit memperingatkan. Belum sempat Kesuma Wardhana dan Andini
menjauh, tiba-tiba Yatikah telah mencegah.
"Mau ke mana kalian? Jangan coba-coba kabur sebelum berhadapan
denganku!"
"Cuih! Perempuan jalang, mampuslah kalau berani menghalangi kami!" teriak
Andini sambil melepaskan anak panahnya.
Siiing! Tap!
Namun dengan gerakan menakjubkan, Yatikah menangkap anak panah itu
menggunakan dua jari tangan. Kemudian dengan gemas dilemparnya anak panah
itu kembali ke arah Andini. Dan ternyata Andini agaknya memiliki kemampuan
ilmu silat yang lumayan. Maka dengan sigap dia melompat dari kuda sambil
menghindari lemparan anak panah, dan langsung mendarat di depan
Yatikah.
"Perempuan jalang! Agaknya kau perlu diberi pelajaran agar mulutmu tak
terlalu lancang berbicara, Yeaaa...!"
"Andini...!" Kesuma Wardhana mencoba mencegah perbuatan adiknya yang hendak
menyerang Yatikah, tapi terlambat. Ternyata, Andini telah bergerak cepat
melepaskan pukulan ke arah lawan.
"Uts!" Namun, dengan mudah Yatikah mengelakkan serangan dengan dorongan
tubuh ke kiri. Dan begitu terbebas, tangan kanannya bergerak menampar dada
Andini.
Duk! "Akh!" Andini yang tak sempat mengelak, langsung menjerit kecil.
Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Tapi dasar gadis itu memang keras
kepala, dia masih tetap berusaha bangkit. Sambil tertatih-tatih dengan
sebelah tangan mendekap dadanya yang terasa nyeri, Andini menghapus darah
yang menetes di ujung bibirnya. Tapi baru beberapa langkah, pandangannya
mulai kabur. Dan tiba-tiba Andini ambruk pada saat Kesuma Wardhana melompat
dari punggung kuda dan menyambar tubuh adiknya.
"Andini...!" Diurut-urutnya dada adiknya perlahan-lahan sebelum
menyandarkannya pada sebatang pohon. Ketika dilihatnya Andini mulai siuman,
Kesuma Wardhana berbalik dan menatap tajam gadis yang melukai adiknya.
Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Ternyata prajurit-prajuritnya
telah tewas tanpa sisa. Sementara kedua orang tua aneh itu terkekeh-kekeh
kegirangan sambil bertolak pinggang.
"Biadab! Apa yang kalian kehendaki sebenarnya?!" geram Kesuma
Wardhana.
"Heh, Anak Muda. Majulah, dan keluarkan seluruh kemampuanmu kalau tak ingin
kubuat mampus!" bentak Yatikah sambil melangkah mendekati, dan berhenti
tepat saat jarak mereka tinggal empat langkah lagi.
"Perempuan kejam! Apa urusan kalian hingga tega berbuat kasar pada
kami?"
"Tak usah banyak tanya. Majulah. Atau, kupecahkan batok kepalamu!" Agaknya,
Yatikah sudah tidak sabar menunggu tanggapan Kesuma Wardhana. Sehingga,
dengan cepat diserangnya pemuda itu dengan melayangkan kepalan tangan ke
wajah.
"Hiyaaa...!" Namun, Kesuma Wardhana tentu saja tidak sudi wajahnya jadi
sasaran pukulan lawan. Maka dengan cepat tubuhnya dimiringkan, seraya
memapak serangan gadis itu.
Plak!
"Bagus!" puji Yatikah.
Kesuma Wardhana terkejut dan mengeluh lirih ketika tangannya terasa sedikit
nyeri saat berbenturan tadi. Sepertinya, yang ditangkisnya adalah sebatang
besi yang amat kokoh. Memang pemuda itu pernah belajar ilmu olah kanuragan.
Namun sayangnya, tak terlalu mendalam. Pikirnya, ilmu silat yang
dipelajarinya selama ini sudah cukup bagus untuk membentuk tubuh. Sehingga
dia tak bernafsu untuk mempelajarinya pada jenjang yang lebih tinggi. Maka
tak heran ketika menangkis serangan Yatikah yang dialiri tenaga dalam,
bibirnya sempat meringis kesakitan.
"Huh! Laki-laki banci tak berguna. Lebih baik kau mampus saja!" dengus
Yatikah sambil mengayunkan tangan ke arah dada Kesuma Wardhana yang tak
sempat berbuat apa-apa. Dan....
Des! "Akh...!" Kesuma Wardhana menjerit keras dan tubuhnya terlempar sejauh
dua tombak. Dari mulutnya langsung menyembur darah segar. Kalau saja
hantaman itu lebih keras lagi, tentu dia akan tewas seketika. Namun, agaknya
Yatikah masih menaruh belas kasihan juga. Hingga, dia tak sepenuh hati saat
menghantam tadi.
"Aaah! Buat apa dikasih hati segala? Biar kubereskan laki-laki tak berguna
ini!" bentak perempuan tua yang sejak tadi menyaksikan tingkah mereka
berdua. Dengan wajah gemas, tubuh perempuan tua itu melayang dengan satu
serangan telak ke arah Kesuma Wardhana. Dan kali ini, tentu Kesuma Wardhana
tak dapat menghindarinya.
Namun di saat-saat gawat, tiba-tiba muncul seorang bocah berusia kira-kira
delapan tahun, sehingga mengalihkan perhatian Yuningsih, perempuan tua aneh
itu.
"Ayah..., Ibu...! Telah kutemukan orang itu! Telah kutemukan!"
"Karsono! Apa-apaan kau berteriak-teriak begitu?!" bentak Warkala.
"Telah kutemukan orang itu!" sahut bocah yang bernama Karsono dengan wajah
gembira.
"Apa yang kau temukan?"
"Calon suami Yatikah!"
"Apa?!" gadis bernama Yatikah itu berseru kaget sambil menghampiri Karsono
dengan wajah ceria.
"Telah kutemukan calon suamimu. Orangnya tampan, berambut panjang, dan
kepandaiannya luar biasa!"
"Di mana dia?!" sentak Yuningsih yang berada di dekat Warkala dengan wajah
berseri-seri pula.
"Di sana!"
"Goblok! Kenapa tak diajak ke sini?!"
"Habis..., dia menghajarku sampai badanku terasa sakit-sakit," sahut
Karsono sambil menundukkan kepala.
"Apa?! Dia berani menghajarmu? Kurang ajar! Ayo, tunjukkan! Di mana
orangnya, biar kupecahkan batok kepalanya!" sahut Warkala dengan wajah
berang.
"Tadi dia mengejarku ke sini. Entah kenapa, sekarang tak mengikuti lagi.
Barangkali dia lebih tertarik mengurusi orang yang sedang
berkelahi...."
"Di mana? Di mana ada orang berkelahi? Bagus! Lebih banyak orang, lebih
baik. Ayo, tunjukkan tempat itu," ajak Yuningsih sambil menyeret lengan
Karsono.
"Tapi, bagaimana dengan mereka?" tanya Yatikah ragu.
"Aaah, sudah! Tinggalkan saja mereka di sini!" bentak Yuningsih.
Maka keempat orang itu langsung menggenjot tubuh, meninggalkan tempat itu.
Sementara Kesuma Wardhana menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha
bangkit. Sedangkan Andini sudah mendekat, dan segera memapah tubuh Kesuma
Wardhana.
"Siapa mereka sebenarnya. Dan, apa yang diinginkan mereka?" gumam Kesuma
Wardhana heran.
"Tulikah telingamu? Apakah kau tidak mendengar ocehan mereka? Gadis liar
itu sudah gatel ingin kawin. Tapi, agaknya mereka mencari syarat tertentu.
Mungkin calon suaminya harus memiliki ilmu olah kanuragan yang mampu melebih
dirinya," tebak Andini.
"Tapi caranya sangat keterlaluan..."
"Keterlaluan bagaimana? Bersyukurlah kau karena tak kawin dengan gadis itu.
Kalau tidak, apa kata ayahanda nanti memiliki calon menantu orang gila
seperti dia!"
"Kau ini kalau bicara seenak perutmu saja..."
"Sudahlah, Kakang Kesuma. Lebih baik, kau pulang. Dan katakan pada ayahanda
semua kejadian ini. Mudah-mudahan prajurit-prajurit istana akan cepat
menangkap mereka," sahut Andini sambil berjalan pelan ke arah orang-orang
tadi berkelebat.
"Eee, mau ke mana kau?"
"Menyusul mereka!"
"Gila! Kau mau mencari mati? Andini, orang-orang itu gila. Dan bagi mereka,
nyawa manusia seperti tak ada harganya. Ayo, mari kita pulang segera!"
"Kakang Kesuma! Tidakkah kau tadi mendengar ocehan bocah itu!"
"Ocehan? Ocehan yang mana? Mana aku peduli dengan segala ocehan orang gila
seperti mereka!"
"Mereka mengatakan tentang seseorang, dan akan menemuinya."
"Seseorang? Siapa yang kau maksud?"
"Pemuda yang dulu kita temui! Bukankah dia berwajah tampan, berambut
panjang, dan mengenakan rompi putih seperti yang dikatakan bocah tadi? Pasti
dia Rangga, pemuda yang dimaksud itu. Hei! Tak disangka, dia memiliki
kepandaian tinggi. Pasti dia akan suka membantu kita menghajar orang-orang
gila itu!"
"Andini, tunggu...!"
"Tidak, Kakang. Aku akan ke sana sekarang juga!" sahut Andini sambil
melompat ke atas punggung kuda, dan langsung menggebah kencang.
Kesuma Wardhana hanya menggerutu kesal. Dia lantas bangkit dan melompat ke
punggung kudanya untuk mengejar Andini.
***
DELAPAN
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Siluman Liar Berdarah
Dingin semakin sengit saja. Dan masing-masing telah menyadari bahwa lawan
yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka tak heran kalau sama-sama
telah mengerahkan ilmu silat tingkat tinggi. Rangga mengeluarkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' untuk memancing dan memperhatikan sifat serangan
lawan, serta sesekali menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu menganggap remeh kemampuanku! Jangan
terus menghindar. Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini?!" bentak Kerta.
Wangsa, geram.
"Kisanak! Kenapa kau marah-marah? Bukankah kau yang lebih dulu memulai
pertarungan? Aku hanya sekadar mempertahankan diri," jawab Rangga
santai.
"Hm. Kalau begitu, tahanlah jurus 'Langit Memutar Bumi Berguncang' ini!"
desis Kerta Wangsa. "Hiyaaat..!"
Rangga terkesiap. Ternyata lawan bergerak cepat bagai sapuan angin puyuh.
Dan tiba-tiba, pedangnya telah berkelebat menyambar ke arah leher. Masih
untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar dengan membuang tubuh ke
kiri.
"Yeaaa...!" Mulai terlihat perubahan sifat serangan lawan kali ini. Selain
cepat dan kuat, juga tertuju pada bagian yang mematikan. Ke mana saja
Pendekar Rajawali Sakti berkelit maka ujung pedang lawan terus mengejar. Dan
walau Rangga berhasil menendang pergelangan tangan lawan, tapi Kerta Wangsa
cepat memapak dengan tangan kiri. Dan pada saat yang sama, pedang di
tangannya melaju terus mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti!
Cras! "Akh!"
Rangga mengeluh kecil begitu ujung pedang lawan berhasil menggores sedikit
dadanya, sehingga menimbulkan luka berdarah. Masih untung Rangga tadi cepat
bersalto atas. Kalau tidak, pasti sabetan pedang lawan yang menyilang akan
membelah lehernya.
"Hm.... Cabutlah pedangmu, kalau tak ingin terluka!" dengus Kerta Wangsa
garang, begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.
"Sungguh hebat permainan pedangmu, Kisanak. Tapi biarlah aku meladenimu
dengan tangan kosong dulu...."
"Hm, sombong! Jangan salahkan bila kau harus mampus saat ini juga!" dengus
Kerta Wangsa semakin bertambah geram saja mendengar jawaban Rangga.
Pemuda bergelar Siluman Liar Berdarah Dingin itu segera membuat gerakan
dengan merapatkan tangan kanan yang memegang pedang, ke dada hingga
bersentuhan dengan telapak tangan kiri. Kemudian, sambil berteriak nyaring
dia mulai menyerang Rangga.
"Yeaaa...!" "Hiyaaat..!"
Rangga yakin kalau lawan kali ini bermaksud menghabisi nyawanya. Maka dia
harus tetap berhati-hati menyambut setiap serangan sambil mempersiapkan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dan apa yang diperkirakan Pendekar
Rajawali Sakti tak salah. Dari tangan kiri Kerta Wangsa tampak melesat
selarik sinar berwarna abu-abu menghantam ke arahnya. Rangga terpaksa
jungkir balik untuk menghindarinya. Tapi saat itu juga, tubuh Kerta Wangsa
melesat ke arahnya sambil mengayunkan pedangnya yang bergerak
bergulung-gulung seperti hendak melipat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" "Uts!" "Yeaaa...!"
Namun pada saat itu juga Rangga melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seberkas sinar merah langsung keluar
dari telapak tangannya, menghajar ke arah Siluman Liar Berdarah Dingin.
Pemuda itu terkejut setengah mati. Dan dia berusaha menghindarinya dengan
kalang kabut. Sementara itu desir angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti
menderu hebat. Dan saat tubuhnya melesat cepat melepaskan pukulan, Kerta
Wangsa masih sempat menangkis.
Namun begitu sodokan kaki kanan Rangga menghantam telak dadanya, Kerta
Wangsa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kontan terpental, namun masih
untung mampu berpijak di tanah. Langsung dihapusnya darah yang menetes di
sudut bibirnya.
Plok! Plok...!
"Hebat sungguh hebat! Dua pemuda gagah dan sama-sama berkepandaian tinggi.
Sungguh pantas bagi anakku!"
Rangga dan Kerta Wangsa sama-sama menoleh ketika terdengar tepuk tangan
meriah yang disusul munculnya empat orang bertubuh aneh dan berpakaian sama.
Yang dua orang, laki-laki bertubuh cebol. Satu berusia tua, dan seorang lagi
seperti bocah berusia delapan tahun. Di sebelah mereka terdapat dua orang
wanita. Yang seorang, tinggi kurus memegang tongkat dan berusia lanjut.
Sedang yang satu lagi, seorang gadis cantik dengan kulit kusam tak
terawat.
"Den Kerta Wangsa! Merekalah orang yang kita cari-cari. Laki-laki cebol
yang wajahnya seperti anak-anak itu! Jangan salah kira, dia bukan anak
kecil, tapi pemuda dewasa yang bertubuh cebol," bisik Ki Gembyong, setelah
menghampiri Kerta Wangsa.
"Hm.... Ternyata mereka...."
"Apakah kau mengenalnya?"
Kerta Wangsa mengangguk. "Orang-orang menyebut mereka sebagai
Pendekar-pendekar Aneh. Dan memang, kelakuan mereka juga aneh-aneh."
"Pendekar Aneh? Baru kali ini nama itu kudengar," kata Ki Gembyong.
"Memang! Mereka jarang menunjukkan diri kalau tak ada sesuatu hal yang
penting"
"Lalu dengan munculnya mereka di sini, pasti ada yang dianggap penting?"
tebak Ki Gembyong.
Kerta Wangsa kembali mengangguk.
"Lho, Iho.... Kenapa diam? Ayo, lanjutkan pertarungan kalian. Biar aku akan
menontonnya dari sini!" teriak laki-laki tua bertubuh cebol yang bernama
Warkala.
"Sial! Kau pikir kami ayam aduan yang seenaknya diadu? Kalau kau memang
suka sekali melihat orang bertarung, kesinilah. Biar kuperlihatkan,
bagaimana enaknya!" bentak Kerta Wangsa garang.
"Hi hi hi...! Kau dengar, Warkala? Dia betul-betul bersemangat tinggi. Ah!
Pasti pantas untuk mu, Yatikah," ucap Yuningsih, istri Warkala.
Sementara Yatikah yang berkulit putih namun kusam, tersipu malu mendengar
perkataan ibunya. Namun dengan cepat parasnya berubah ketika mendengus
sinis.
"Huh! Belum tentu dia pantas menjadi suamiku. Siapa tahu, hanya pepesan
kosong belaka."
"Gadis celaka! Apa katamu?" mata Kerta Wangsa mendelik marah. Hampir saja
Kerta Wangsa menyerang gadis itu kalau tak ingat urusannya dengan Pendekar
Rajawali Sakti. "Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya kita tunda sesaat urusan
kita. Aku bermaksud akan memberi pelajaran pada perempuan besar mulut
ini!"
"Silakan, Kisanak. Kebetulan aku pun akan melanjutkan kembali
perjalananku," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlalu,
hendak mendekati gadis berbaju biru yang sejak tadi diam memperhatikan
pertarungan mereka. Dan baru berjalan lima langkah, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat menghadang Pendekar Rajawali Sakti.
"Eee. Jangan seenaknya pergi dari sini. Kalian harus melanjutkan
pertarungan tadi, agar aku dapat melihat orang yang paling hebat. Yang
menang nanti, akan berhadapan dengan putriku. Dan kalau bisa mengalahkan
Yatikah, maka dialah yang berhak menjadi menantuku!" seru Warkala, begitu
mendarat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak, menepilah. Jangan menghalangi langkahku!" ujar Rangga
memperingatkan.
"Hei! Sungguh sombong! Apa kau pikir berhak berkata begitu padaku? Anak
muda kurang ajar! Kau patut dihukum!"
Setelah berkata demikian, tubuh orang tua cebol itu bergerak cepat. Pedang
kayu mainannya langsung dikeluarkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Walaupun bertubuh cebol, tapi orang tua itu mampu bergerak cepat. Bukan
hanya itu saja! Angin serangannya pun cukup kuat, karena dibarengi tenaga
dalam hebat. Tampak Warkala tak tanggung-tanggung menggempur lawan. Bahkan
seperti hendak menjatuhkan secepatnya. Tentu saja, hal ini membuat Rangga
terkejut. Tentu saja serangan Warkala tak bisa dianggap enteng. Mau tak mau,
serangan itu terpaksa diladeni secara bersungguh-sungguh pula.
Sementara itu, melihat mereka bertarung, bukan main kesalnya Kerta Wangsa.
Dia merasa orang tua cebol itu telah merebut lawannya. Sebenarnya, bisa saja
dia mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mungkin, akan membuat pemuda
itu mudah dilumpuhkan. Tapi bukan itu yang diinginkannya, tapi kematian
Pendekar Rajawali Sakti di tangannya sendiri dalam pertarungan adil satu
lawan satu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau bereskanlah dulu orang-orang aneh ini. Suatu
saat, aku akan datang mencarimu!" teriak Kerta Wangsa bermaksud meninggalkan
arena pertempuran.
"Keparat! Apa katamu?! Seenaknya bicara!" sentak Yuningsih sambil melompat
dan menghalangi langkah Kerta Wangsa.
Bersama perempuan tua itu pula, mendekat dua orang putra-putrinya. Sikap
mereka sama dalam menghadang jalan Kerta Wangsa. Tenang sambil menatap
dengan sinar mata sinis.
"Perempuan tua, menepilah. Kalau tidak, aku tak akan segan-segan memenggal
kepalamu!"
"Hi hi hi...! Baru kali ini kudengar ada orang yang berani bicara begitu di
hadapanku. Kalau tidak gila, pasti dia ingin mampus di sini!" sahut
Yuningsih sambil tertawa nyaring.
"Sial! Kau betul-betul tak bisa diajak bicara baik-baik!"
Sring! "Yeaaa...!" Sambil menyeringai buas, Kerta Wangsa segera mencabut
pedangnya dari warangka. Maka langsung diserangnya perempuan tua di
hadapannya.
Namun dengan sigap, Yuningsih menghindar. Bahkan kini tiba-tiba Karsono
ikut membantu sambil berteriak keras menggelegar.
"Ibu! Biarlah monyet satu ini menjadi bagianku, sementara orang tua jelek
itu menjadi bagian Yatikah!" seru Karsono sambil menunjuk Ki Gembyong.
"Hi hi hi...! Pintar juga kau mencari lawan, Karsono. Tapi tak apalah.
Hitung-hitung melemaskan otot-ototku yang kaku bermain dengan orang tua yang
tak berguna ini!" sahut Yatikah langsung melompat, menyerang Ki
Gembyong.
Kedua orang tua aneh itu serta putra-putri mereka yang juga aneh, memang
rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Walau nama mereka tak
banyak dikenal orang, tapi beberapa tokoh persilatan cukup mengenali mereka
karena sepak terjangnya yang aneh.
Namun, bila seorang diri menghadapi Siluman Liar Berdarah Dingin yang
terkenal berilmu tinggi dan kejam, sungguh tindakan yang konyol. Hal itu
sama artinya mengantarkan nyawa. Seperti halnya salah seorang di antara
mereka yang bernama Karsono. Kini mulai terlihat. Baru dua jurus
berlangsung, Karsono mulai tersudut.
Kini tak ada lagi suara terkekeh-kekeh mengejek lawan. Apalagi, ujung
pedang Kerta Wangsa begitu cepat menyambar-nyambar mengancam keselamatannya.
Keringat dingin pun mulai mengucur di tubuh Karsono. Dan pada jurus-jurus
selanjutnya, Karsono hanya bisa menghindar terus.
"Yeaaa...!" Tiba-tiba tubuh Kerta Wangsa berputaran cepat dengan kelebatan
pedangnya. Sambil terus bergerak maju mendekati lawan yang mulai
kebingungan, tangan kirinya menyodok cepat ke dada Karsono.
Dug!
Dan belum lagi Karsono menguasai diri, pedang Kerta Wangsa telah mengincar
jantungnya. Maka....
Creb!
"Aaa...!" Karsono terpekik nyaring.
"Karsono...!" Yuningsih, perempuan tua itu terkejut setengah mati sambil
memburu ke arah Karsono yang terpental dengan dada kiri mengucurkan darah
segar. Saat di pangkuannya, Karsono telah menggelepar-gelepar sesaat,
sebelum nyawanya lepas dari raga. Yuningsih langsung menangis
sesenggukan.
Sementara pada saat yang bersamaan, Yatikah berhasil memecahkan batok
kepala lawan. Namun bukan main kagetnya dia menyaksikan Karsono, kakak
satu-satunya, tewas di tangan lawan. Maka buru-buru dia melompat memburu.
Hal yang sama juga terjadi pada Warkala. Agaknya, ikatan batin di antara
mereka kuat sekali. Walau masih gencarnya bertarung menempur lawan, namun
melihat putranya roboh, lawan langsung ditinggalkan begitu saja. Dia lalu
memburu ke arah putranya yang berada di pangkuan istrinya.
"Karsono...!" Ketiga orang aneh itu menangis sesenggukan seperti anak
kecil. Tapi, Kerta Wangsa tak mempedulikan keharuan yang menyelimuti hati
mereka. Kakinya terus melangkah mendekati Rangga dengan sorot mata
tajam.
"Kini tak ada lagi yang akan menghalangi urusan kita!" kata Kerta Wangsa
dengan suara menusuk, siap mengayunkan pedang.
"Kisanak..."
"Yeaaa...!"
"Uts, haaa...!"
Rangga tak sempat meneruskan kata-katanya ketika pedang lawan menyambar
cepat ke arahnya yang disusul satu pukulan yang mengeluarkan sinar abu-abu
dari telapak tangan Kerta Wangsa.
"Gelap Ngampar!"
"Hm.... Sungguh berbahaya pukulannya. Mengandung racun yang hebat," desis
Rangga pelan sambil jungkir balik menghindarinya.
Pendekar Rajawali Sakti tak bisa terus bertahan. Dalam tiga jurus lagi,
tentu dirinya akan bisa dilumpuhkan lawan. Dan tanpa pikir panjang lagi,
pedang pusakanya cepat dicabut. Maka seberkas sinar biru keluar dari batang
Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyinari sekitar tempat itu.
Kerta Wangsa sempat bergidik bulu kuduknya menyaksikan kehebatan pamor
pedang lawan. Sempat terlihat wajah Rangga yang semula berkesan ramah, kini
berubah menjadi menggiriskan.
"Hiyaaat..!" Rangga berteriak nyaring sambil berkelebat ke arah lawan
menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. "Yeaaa...!"
Begitu pedang lawan akan mengincar lehernya, Pendekar Rajawali Sakti cepat
merendahkan tubuhnya sambil memapak pedang lawan.
Trak!
Seketika pedang Kerta Wangsa terpenggal menjadi dua bagian. Laki-laki itu
kontan terkejut dengan tubuh terjajar dua langkah ke belakang. Dalam adu
pedang tadi, jelas tenaga dalam Kerta Wangsa kalah jauh dibanding Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya jadi bergetar hebat seperti tersengat kala
berbisa. Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, pedang Pendekar Rajawali
Sakti telah kembali terayun ke arah perutnya. Sehingga....
Breeet!
"Aaa...!" Kerta Wangsa terpekik nyaring dengan tubuh sempoyongan. Tangan
kirinya langsung mendekap perutnya yang robek ditebas pedang Rangga.
Sementara, tangan kanannya masih menggenggam erat pedangnya yang buntung
hampir separuh. Seluruh tubuhnya tampak biru. Dan dengan menahan rasa sakit,
tubuhnya tampak menggigil berusaha bertahan.
"Pende... kar Rajawali Sakti.... Kau... kau menang... Aaah...!" Kerta
Wangsa langsung roboh tak bernyawa lagi. Dari bibirnya tampak menyunggingkan
senyum puas.
Rangga menyarungkan kembali pedang pusakanya, disertai helaan napas. Hal
yang paling parah adalah kesombongan Kerta Wangsa sendiri. Meski mengetahui
kehebatan pamor pedang lawan, namun harga dirinya begitu tinggi. Akibatnya
sungguh hebat. Bukan hanya pedangnya yang terbabat buntung, tapi ujung
pedang Rangga terus meluncur menyambar bagian perutnya. Pendekar Rajawali
Sakti lalu melangkah mendekati Sekar Harum.
"Nisanak, siapakah namamu? Kalau berkenan, kau boleh pergi...."
"Aku..., eh! Aku.., namaku Sekar Harum."
"Hm.... Sekar Harum, sekarang kau bebas untuk pergi...."
"Aku tak tahu harus pergi ke mana? Satu-satunya orang tempatku bernaung,
adalah guruku. Tapi beliau kini tewas di tangan pemuda itu...," kata Sekar
Harum seraya menunjuk tubuh Kerta Wangsa yang telah menjadi mayat.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Heh?!" Rangga berseru heran ketika Warkala beserta istri dan putrinya
telah berdiri di dekatnya sambil menundukkan wajah sedih.
"Kisanak! Kau telah mengalahkan lawanmu yang tangguh. Jadi pastilah ilmu
silatmu sangat hebat. Putriku pernah bersumpah akan kawin dengan laki-laki
yang mampu mengalahkannya. Nah, Kisanak. Sudilah kau menjadi calon suami
anakku," kata Warkala dengan suara pelan.
"Eh...! Ng.., apa-apaan ini? Aku tak mengerti maksud kalian?!" jawab Rangga
heran.
"Karsono tewas di tangan pemuda itu. Sedang dia sendiri, tewas di tanganmu.
Di samping itu kepandaian Yatikah berada di bawah Karsono. Maka secara tak
langsung, kau telah mengalahkan putri kami," jelas Warkala.
"Lalu?"
"Putriku harus menepati janjinya. Dan dia hanya akan kawin dengan pemuda
yang mampu mengalahkannya."
"Gila...!"
"Apa katamu, Kisanak?" tanya Warkala, gusar.
"Eh! Maksudku, hal ini tak masuk akal. Begini saja. Kisanak, bukan aku tak
mau kawin dengan putrimu. Dia cantik. Dan rasanya, setiap pemuda pasti akan
suka padanya. Tapi saat ini aku betul-betul belum berhasrat untuk berumah
tangga..."
"Tidak bisa! Itu telah menjadi ketentuan dalam keluarga kami!" bantah
Warkala, memaksa.
Rangga kehabisan akal untuk mengelak niat orang tua aneh itu. Maka dengan
perasaan malu, diraihnya Sekar Harum. Lalu, digenggamnya tangan gadis
itu.
"Kisanak, kau lihat? Aku telah memiliki kekasih. Dia sangat setia padaku.
Mana mungkin aku tega mengkhianatinya?"
"Bohong! Aku tak peduli!"
"Tentu aku peduli. Bukankah begitu, Sayang?" tanya Rangga bersikap mesra
pada Sekar Harum.
Sekar Harum tak berani menjawabnya, malu untuk mengeluarkan kata-kata. Tapi
pada saat itu, tiba-tiba Warkala telah melompat sambil menerkam tubuh Sekar
Harum.
"Tak peduli siapa dia, kau harus kawin dengan putriku. Dan kalau perlu, dia
yang harus mampus."
"Hiyaaat...!"
Dan Rangga tak bisa membiarkan begitu saja keselamatan Sekar Harum, Maka,
dia cepat bertindak dan menangkis serangan Warkala. Tangan kirinya dengan
cepat menotok.
Plak! Tuk!
Seketika orang tua cebol itu ambruk ke tanah dengan tubuh lemas.
"Kurang ajar! Berani betul kau berbuat begitu terhadap suamiku!" bentak
Yuningsih sambil melompat menerjang Rangga. Bersamaan dengan itu, Yatikah
pun ikut menyerangnya.
Untuk sesaat, Rangga agak sibuk. Untung saja dia cepat menguasai diri. Dan
saat tubuhnya bergulung-gulung sambil berkelebat cepat, mereka tersentak
kaget. Dan saat itulah kedua tangannya dengan cepat menotok jalan gerak
mereka.
"Cepat, Sekar Harum! Mari kita tinggalkan tempat ini!" seru Rangga.
Langsung disambarnya tubuh Sekar harum, lalu pergi dari tempat itu.
"Tapi mereka...."
"Tak sampai malam hari, mereka akan terlepas dari totokan itu."
"Hm...." Tak lama berselang setelah sosok Rangga maupun Sekar Harum
menghilang perlahan dari tempat itu, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara
panggilan dari kejauhan.
"Rangga, tunggu..!"
Dua orang berkuda menuju ke arah Rangga dan Sekar Harum berlalu. Yang
berada di depan seorang gadis belia berwajah cantik. Dan dibelakangnya,
pemuda tampan berbaju mewah. Mengetahui Pendekar Rajawali Sakti tak
mendengar panggilannya, gadis belia itu tertunduk lesu. Perlahan-lahan
pemuda dibelakangnya mengajaknya untuk segera berlalu dari tempat itu.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon