SATU
PAGI baru saja datang menjelang. Matahari belum lagi penuh menampakkan
dirinya. Hanya cahayanya saja yang kuning kemerahan dari balik puncak Gunung
Jungkun, di sebelah timur. Kabut tebal pun masih terlihat menyelimuti
puncaknya. Saat burung-burung ramai berkicauan, terlihat seorang pemuda
berjalan tertatih-tatih.
Semak belukar yang lebat disibaknya. Juga kerapatan pepohonan di kaki
lereng Gunung Jungkun ditembusnya. Pakaiannya terlihat koyak, penuh noda
darah yang telah kering. Bekas-bekas luka terlihat hampir di sekujur
tubuhnya. Sesekali dia jatuh terguling, tersangkut akar. Tapi, pemuda itu
cepat bangkit berdiri, dan terus melangkah terseok-seok.
“Oh...?!” Tiba-tiba saja kedua bola mata pemuda itu jadi terbeliak
lebar.
Kepalanya terangkat ke atas dengan mulut ternganga. Seakan-akan, di
depannya terlihat sesosok hantu. Tapi sebentar kemudian, kepalanya berpaling
ke belakang. Saat itu, terdengar derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat dari arah belakangnya. Suara teriakan orang-orang menggebah kuda pun
terdengar, menimpali hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
“Celaka...! Ke mana lagi aku harus pergi...?” desis pemuda itu, dengan
wajah pucat pasi.
Jelas sekali terpancar dari raut wajahnya, kalau pemuda itu tengah
kebingungan dan ketakutan setengah mati. Beberapa saat pandangannya beredar
ke sekeliling, kemudian kembali melangkah tergesa-gesa dengan kaki terseret.
Dari gerakan kakinya, jelas sekali kalau luka yang dideritanya cukup
parah.
“Ugkh...!” Bruk! “Sial...!"
Sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah menghantuk kakinya.
Akibatnya, pemuda itu jatuh terguling. Setelah sedikit mengumpat, dia
bergegas bangkit berdiri lagi dan terus saja melangkah tertatih-tatih.
Sementara suara hentakan kaki-kaki kuda semakin jelas terdengar.
“Heh...?! Jurang...,” pemuda itu mendesis tertahan. Kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, begitu di depannya terlihat sebuah jurang dalam menganga.
Dan ketika wajahnya berpaling ke belakang, tampak debu mengepul tidak jauh
di balik lebatnya pepohonan. Kecemasan semakin jelas membayang di
wajahnya.
“Apa akalku sekarang...?” desis pemuda itu bertanya pada diri sendiri.
Kembali pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kemudian kakinya
bergegas melangkah menghampiri sebongkah batu yang sangat besar. Lalu dengan
susah payah, bongkahan batu itu dinaikinya. Kemudian tubuhnya bergulir turun
ke baliknya. Tapi saat itu juga, bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata
di balik batu ini menganga jurang yang sangat dalam. Sementara tanah yang
menjadi pijakan kakinya hanya sedikit saja.
“Dewata Yang Agung... Tolonglah lepaskan aku dari kejaran mereka...,” desah
pemuda itu, bernada putus asa.
Sementara, suara orang-orang yang mengejarnya semakin terdengar dekat saja.
Dan pemuda itu tidak berani bergerak sedikit pun juga. Sedikit kepalanya
mendongak ke atas, menatap bagian atas bongkahan batu ini. Ada sedikit rasa
lega di dalam hati, begitu mengetahui dirinya terlindung batu yang sangat
besar ini. Jadi, tidak akan mungkin ada orang yang bisa melihat ke balik
batu ini dari atas sana.
Saat itu, tidak terdengar lagi derap kaki kuda. Yang terdengar kini hanya
suara-suara beberapa orang bernada kasar. Terdengar jelas sekali suara
orang-orang berbicara keras itu. Seakan-akan, tepat di balik bongkahan batu
ini. Maka, pemuda itu semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Bahkan untuk
bernapas pun, seakan-akan tidak berani dilakukannya.
Seluruh tubuh pemuda itu sudah bersimbah keringat yang bercampur noda darah
kering. Sementara geletar tubuhnya semakin bertambah keras, ketika seorang
laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berkumis melintang tebal tampak tengah
berdiri tegak di atas bongkahan batu ini. Pandangannya beredar ke
sekeliling, lalu kepalanya dijulurkan ke bawah.
“Kau lihat dia, Rakada...?” terdengar teriakan seseorang dari balik batu
itu.
“Tidak! Hanya jurang yang terlihat..!” sahut laki-laki berusia separuh baya
yang berdiri di atas batu.
Dialah yang bernama Rakada. Beberapa saat, Rakada masih berdiri di atas
batu itu. Pandangannya terus beredar ke sekeliling. Tapi memang, pemuda yang
bersembunyi di bawahnya sama sekali tidak bisa terlihat lagi, karena
terlindung batu yang sedikit menjorok ke dalam jurang.
“Hup...!” Dengan gerakan yang begitu ringan, laki-laki bertubuh tegap dan
berotot itu melompat turun dari atas bongkahan batu. Begitu ringan kakinya
menjejak tanah berumput cukup tebal ini. Jelas, kepandaiannya tidak bisa
dikatakan rendah lagi. Lalu, bergegas dihampirinya teman-temannya yang
berjumlah tujuh orang.
Mereka semuanya laki-laki, bertubuh tegap dan berotot. Pakaian yang mereka
kenakan warna biru muda, dengan potongan dan bentuk sama persis.
Masing-masing di pinggang, tersandang sebilah pedang yang bagian ujung
tangkainya berbentuk kepala seekor ular tengah menjulurkan lidahnya. Dan
rata-rata, usia mereka sudah berada di atas empat puluh tahun. Hanya satu
orang saja yang tampak masih muda. Mungkin baru dua puluh lima tahun. Tapi,
pakaiannya lebih bagus dari yang lain.
“Huh! Mustahil kalau bisa menghilang begitu saja...!” dengus pemuda
berwajah cukup tampan itu.
“Mungkin sudah jatuh ke dalam jurang, Barada,” kata Rakada
menduga-duga.
“Jurangnya dalam sekali. Bahkan aku sendiri sulit untuk melihat
dasarnya.”
“Mungkin juga, Den Barada. Jejaknya saja terputus sampai di sini,” sambung
laki-laki yang bertubuh kurus.
“Kalaupun dia tidak jatuh ke dalam jurang, mana mungkin bisa bertahan hidup
dalam keadaan seperti itu? Dia pasti mati kehabisan darah,” sambung yang
lain.
“Aku belum puas, kalau belum bisa membawa kepalanya pada junjungan!” dengus
pemuda berwajah cukup tampan yang bernama Barada.
“Lalu...?” tanya Rakada terputus.
“Cari sampai ketemu. Aku tidak akan kembali, sebelum kepalanya berada dalam
genggaman tanganku!” tegur Barada sambil mengepalkan tangannya
erat-erat.
Mereka semua jadi saling berpandangan satu sama lain. Dan memang, di antara
mereka berdelapan, Barada-lah yang paling tinggi tingkat kepandaiannya.
Padahal usianya jauh lebih muda dari mereka. Apalagi Barada juga junjungan
mereka. Hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa membantah
kata-katanya. Terlebih lagi, mereka tahu betul watak Barada. Dia tidak akan
segan-segan memenggal kepala orang yang membuatnya jadi susah.
Memang, Barada cepat sekali naik darah, sehingga gampang meloloskan
pedangnya. Tanpa diperintah dua kali, tujuh orang yang bersama Barada segera
berpencar di sekitar jurang yang berada di kaki lereng Gunung Jungkun ini.
Sedangkan Barada kembali meneliti tanah di sekitarnya. Jelas sekali terlihat
di atas rerumputan, jejak-jejak kaki serta tetesan noda darah yang sudah
hampir mengering. Diikutinya jejak-jejak yang tertera jelas, dan berakhir
tepat di atas bongkahan batu sebesar kerbau ini. Barada berdiri tegak di
atas bongkahan batu itu.
“Hm.... Mungkinkah dia jatuh ke dalam jurang...?” gumam Barada
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Jejak-jejak yang ada memang berakhir di atas batu ini. Tapi, tampaknya
Barada tidak mau percaya begitu saja kalau buruannya terjerumus ke dalam
jurang. Maka, kepalanya segera dijulurkan, mencoba menembus kabut tebal yang
menutupi dasar jurang di depannya. Tapi kabut begitu tebal, sehingga sulit
ditembus dengan pandangan mata biasa.
“Hm...,” tiba-tiba saja Barada menggumam kecil. Dan kelopak mata pemuda itu
jadi menyipit. Keningnya juga terlihat berkerut. Perlahan tubuhnya
direbahkan di atas batu itu. Lalu sedikit demi sedikit, tubuhnya bergeser.
Hingga akhirnya, kepalanya menjulur ke jurang. Dan saat itu juga....
“Ha ha ha...!”
“Oh...?!” Pemuda yang masih berada di balik batu itu jadi tersentak kaget
setengah mati, begitu melihat kepala Barada menjulur ke bawah sambil tertawa
keras terbahak-bahak. Begitu terkejutnya, sampai tangan kanannya tanpa sadar
meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lalu dengan sisa-sisa kekuatan
tenaga yang masih ada, batu itu dilemparkannya ke arah kepala Barada.
“Hih! Pergi kau, Iblis Busuk...!”
Wusss! “Upsss...!”
Untung saja Barada cepat menarik kepalanya kembali, sehingga lemparan batu
itu tidak sampai mengenainya.
“Setan...!” geram Barada berang. Dia cepat berdiri tegak di atas batu itu.
“Rakada! Kalian semua ke sini! Cepat..!” seru Bara-da lantang
menggelegar.
Rakada dan enam orang lainnya bergegas datang menghampiri, begitu mendengar
teriakan Barada yang begitu keras menggelegar. Sebentar saja, mereka sudah
berada di sekitar bongkahan batu sebesar kerbau itu.
“Tikus busuk itu ada di sini. Di balik batu ini,” jelas Barada. Wajah
Barada kelihatan berseri-seri.
Tidak memerah seperti tadi, ketika kehilangan buruannya. Dan tujuh orang
yang bersamanya juga jadi gembira mendengar buruannya masih ada. Maka mereka
bergegas naik ke atas batu, dan menjulurkan kepala ke bawah. Tapi setiap
kali menjulurkan kepala, dari balik batu itu terlempar batu-batu sebesar
kepalan tangan. Untung saja, mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Sehingga, lemparan batu itu bisa cepat dihindari.
“Setan keparat..! Dia mulai berani pada kita, Den Barada!” geram Rakada
gusar.
“Kalian tangkap dia. Ingin sekali kepalanya kupenggal dengan pedangku
sendiri!” perintah Barada.
Tanpa menghiraukan yang lain, Barada bergegas melompat turun dari atas batu
itu. Sedangkan tujuh orang anak buahnya, jadi saling berpandangan. Tentu
saja sulit bagi mereka untuk menangkap pemuda itu. Sedangkan batu ini berada
tepat di bibir jurang. Bisa-bisa, malah mereka sendiri yang terjerumus ke
dalam jurang ini. Padahal, tidak ada jalan lain lagi, selain melalui bagian
atas batu ini
“Huh! Mau enaknya sendiri...!” gerutu salah seorang kesal.
“Sudah... Kalau dia sampai dengar, bisa celaka kau,” seorang lagi
memperingatkan.
“Huh...!”
Tujuh orang laki-laki bertubuh tegap dan berotot itu segera memeras otak,
memikirkan cara untuk menangkap pemuda yang masih berada di balik batu ini.
Memang sulit untuk mencapai ke sana. Terlebih lagi, di tempat itu banyak
batu kerikil sebesar kepalan tangan yang bisa digunakan pemuda itu sebagai
senjata untuk menghalau.
“Gordan.... Ini aku, Rakada. Kau dengar suaraku, Gordan...?!” teriak Rakada
agak dikeraskan suaranya.
“Jangan coba-coba membujukku, Paman Rakada. Pergi kau, bersama iblis-iblis
keparat itu!” sahut pemuda yang dipanggil Gordan, dan masih tetap berada di
balik batu.
“Dengar, Gordan. Kalau kau mau keluar, aku berjanji akan melindungimu.
Percayalah. Kau tidak akan apa-apa,” bujuk Rakada lagi.
“Pergi kau, Setan Keparat..!” jerit Gordan.
Rakada menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedikit
matanya melirik Barada, yang tengah duduk bersandar pada pohon, melindungi
dirinya dari sengatan sinar matahari.
“Aku akan turun, Gordan...!” seru Rakada lagi. “Aku turun tidak membawa
senjata...!”
“Jangan! Jangan lakukan itu, Paman Rakada. Kau akan jatuh ke dalam jurang.
Aku tidak main-main. Kau akan jatuh...!” teriak Gordan sekuat-kuatnya.
Saat itu, terlihat batu-batu kerikil berjatuhan dari atas. Gordan
cepat-cepat menjulurkan kepalanya, mendongak ke atas. Hatinya jadi terkesiap
juga, begitu melihat Rakada berusaha turun menggunakan seutas tambang kulit.
Tidak satu pun terlihat senjata tersandang di tubuhnya.
“Paman, naik cepat..! Kau akan jatuh nanti...!” seru Gordan
memperingatkan.
Tapi, Rakada tetap saja bergerak turun. Bahkan semakin dekat saja dengan
pemuda itu. Dan begitu sudah dekat, Rakada melompat dengan gerakan sangat
ringan, jatuh tepat di depan Gordan. Pemuda itu bergegas melangkah mundur.
Namun di tangan kanannya sudah tergenggam sebongkah batu yang cukup
besar.
“Jangan mendekat, Paman Radaka,” sentak Gordan agak mendesis.
“Dengar, Gordan. Tidak ada gunanya terus bertahan di sini. Ingat, Barada
terus menungguimu. Sebaiknya, keluar saja. Serahkan dirimu padanya,” bujuk
Rakada.
“Tidak! Aku tidak akan menyerah pada iblis itu!” sentak Gordan tegas.
“Gordan...”
“Kuperingatkan sekali lagi, Paman Rakada. Cepat tinggalkan tempat ini.
Atau, kau akan mati di dasar jurang sana,” desis Gordan memotong
cepat.
Tapi, Rakada tampaknya tidak menghiraukan peringatan pemuda itu. Malah,
kakinya melangkah mendekati dengan gerakan hati-hati sekali.
Sementara, punggung Gordan sudah begitu merapat ke dinding batu. Tidak ada
lagi tempat baginya untuk menghindar. Dan begitu tangan Rakada menjulur
hendak meraihnya, mendadak saja... “Hih...!”
“Heh...?!” Rakada jadi kaget setengah mati, begitu tiba- tiba saja Gordan
menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam batu sebesar kepalan tangan.
Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali tindakannya, membuat Rakada jadi
tersentak kaget.
“Uts...!” Cepat-cepat Rakada meliukkan tubuhnya, menghindari lemparan batu
Gordan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Gordan sudah
membungkuk. Lalu cepat sekali tangannya menyambar sepotong kayu yang
kebetulan ada di situ. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, potongan kayu
cukup besar itu langsung saja dikibaskannya ke arah kaki Rakada.
“lkh...!”
Tuk! “Aaa...!”
“Paman Rakada...?!” Gordan jadi menjerit, ketika tiba-tiba saja Rakada
terhantam kayu pada kakinya. Dia terpeleset. Bahkan tubuhnya langsung
meluncur deras ke dalam jurang disertai jeritan panjang melengking tinggi
terdengar menyayat.
Tampak di atas bongkahan batu ini, menyembul kepala-kepala yang menjulur ke
bawah. Jeritan yang begitu keras rupanya sampai menggegerkan juga.
“Ada apa...?!” seru Barada juga terkejut mendengar jeritan melengking
tadi.
“Rakada.... Dia jatuh ke dalam jurang,” sahut salah seorang.
“Apa...?!” Barada begitu terkejut mendengar Rakada tercebur ke dalam
jurang.
Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat bangkit berdiri. Bergegas
dihampirinya bongkahan batu di pinggiran jurang itu. Begitu cepat
gerakannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di atas batu. Lalu kepalanya
langsung dijulurkan ke bawah.
“Setan keparat kau, Gordan! Kubunuh kau...!” teriak Barada berang setengah
mati.
Tapi, Gordan hanya diam saja. Kepalanya menengadah ke atas, menatap Barada
yang menjulurkan kepalanya ke balik batu ini. Begitu tajam sinar matanya,
seakan-akan hendak menelan bulat-bulat. Sementara, Barada kembali berdiri
tegak di atas batu. Tampak jelas sekali dari sinar matanya yang tajam, kalau
hatinya begitu gusar atas keadaan ini. Salah seorang pembantu kepercayaannya
sudah tewas tercebur jurang. Sedangkan Gordan masih tetap berada di balik
batu di pinggiran jurang ini.
“Ayo pergi. Biar dia mampus kelaparan di situ!” dengus Barada kesal.
Memang tidak ada lagi yang bisa diperbuat, karena terlalu sulit untuk bisa
mencapai ke balik batu itu. Sedangkan bagi Gordan sendiri, juga tidak mudah
untuk bisa keluar. Enam orang yang mengikuti Barada segera berlompatan turun
dari bongkahan batu sebesar kerbau itu. Sementara, Barada sudah berada di
atas punggung kudanya. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah meninggalkan
tepi jurang itu.
***
DUA
Waktu terus berjalan, sesuai bergulirnya mentari ke arah barat. Di balik
bongkahan batu besar yang berada tepat di bibir jurang, Gordan masih tetap
duduk memeluk lutut. Dia berusaha berlindung dari sengatan matahari yang
begitu terik. Pandangannya turus, tanpa berkedip sedikit pun merayapi
dalamnya jurang di depannya. Walaupun matahari bersinar begitu terik, tapi
kabut yang menyelimuti dasar jurang itu masih saja terlihat tebal. Sehingga,
sulit sekali untuk bisa melihat jelas ke dasar jurang yang sangat dalam
ini.
“Paman.... Kenapa kau rela mengorbankan nyawa untuk iblis-iblis keparat
itu...?” desah Gordan perlahan. Begitu pelan suara pemuda itu, hampir-hampir
tidak terdengar.
Sementara, matahari terus bergerak ke arah barat. Dan Gordan sudah
merasakan perutnya bergolak minta diisi. Tapi, mana mungkin bisa mendapatkan
makanan di tempat seperti ini. Sedangkan untuk bergerak saja, terasa sulit
sekali. Begitu kecil tempat ini, sehingga tidak ada lagi ruang baginya untuk
bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Gordan jadi mengeluh. Sungguh
tidak terpikirkan oleh Gordan tadi. Yang ada dalam pikirannya hanya
menyelamatkan diri dari keangkaramurkaan Barada.
Sementara, angin yang bertiup dari dalam jurang sudah mulai terasa dingin
menusuk kulit. Gordan semakin merapatkan pelukannya ke lutut, berusaha
mengurangi rasa dingin yang mulai menggigilkan. Sedikit kepalanya mendongak
ke atas. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Tidak terasa, hampir
satu harian penuh dia berada di balik batu di tepi jurang ini.
“Oh! Apa yang harus kuperbuat..?” desah Gordan bertanya pada diri
sendiri.
Nada suaranya jelas sekali terdengar seperti putus asa. Dan memang sedikit
sekali harapan untuk bisa keluar dari balik bongkahan batu ini. Bahkan
Gordan merasakan tidak mungkin punya harapan lagi. Walaupun tadi mendengar
Barada dan para pembantunya sudah pergi, tapi dia tidak yakin kalau mereka
pergi begitu saja. Dia yakin, mereka pasti masih mengawasi dari tempat yang
jauh. Dan kalaupun bisa keluar, pasti Gordan akan mati di ujung pedang
Barada.
“Uh..." Gordan mengeluh kecil. Di saat Gordan sedang memikirkan cara yang
tepat untuk bisa keluar, terdengar suara langkah kaki kuda mendekati jurang
di balik batu sebesar kerbau tempatnya sekarang ini. Gordan jadi tersentak
kaget. Cepat-cepat dia berdiri dan merapatkan punggungnya ke dinding batu
yang agak cekung ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan
suara yang ada di balik batu ini.
“Sudah sore, Kakang. Sebaiknya kita bermalam saja di sini. Kelihatannya,
tempat ini cukup baik untuk bermalam....” Terdengar suara yang sangat halus
seorang wanita.
Tak lama, suara langkah kaki kuda pun terhenti. Begitu dekat suaranya di
balik bongkahan batu ini. Sementara, Gordan tetap diam. Dia seperti tidak
berani membuka suaranya sedikit pun juga. Namun pendengarannya tetap
dipasang tajam-tajam.
“Berapa jauh lagi Desa Jungkun, Kakang?” Terdengar lagi suara halus seorang
wanita, diikuti terdengarnya suara kaki menjejak tanah yang begitu
ringan.
Jelas sekali dalam pendengaran Gordan, kalau ada dua orang di balik batu
ini. Dan dari suara yang didengarnya, mereka terdiri dari seorang wanita dan
seorang laki-laki. Tapi yang jelas, Gordan tidak kenal mereka. Namun
demikian, telinganya terus dipasang lebar-lebar, agar bisa lebih jelas lagi
mendengar. Dan di dalam hatinya, dia berharap bukan orang jahat seperti
Barada yang datang, dan bisa mengeluarkannya dari sini. Bahkan tidak
mungkin, perutnya yang sudah sejak tadi kosong bisa diisi.
“Ini sudah berada di kaki lereng Gunung Jungkun. Tidak begitu jauh lagi
dari tempat ini. Pandan.” Terdengar suara sahutan seorang laki-laki yang
bernada begitu lembut, seperti suara seorang putra mahkota.
“Tapi, sebaiknya kita bermalam saja di sini, Kakang. Biar perjalanan
diteruskan besok pagi saja.”
“Begitu juga boleh. Biar kuda-kuda kita istirahat dulu. Kasihan, seharian
penuh terus berjalan.”
Sementara Gordan dari balik batu, terus mendengarkan pembicaraan itu. Dia
menduga-duga, siapa kedua orang ini...? Dan rasanya, suara itu belum pernah
didengar sebelumnya. Gordan jadi ragu-ragu juga untuk meminta pertolongan.
Dia khawatir, kalau kedua orang itu sama saja seperti Barada yang ingin
memenggal kepalanya. Cukup lama juga Gordan berpikir mempertimbangkan
kehadiran dua orang yang tidak dikenalnya. Hatinya jadi semakin gelisah
saja. Dia masih terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya....
“Kisanak dan Nisanak....”
“Heh...?!” Terdengar nada suara terkejut dari balik batu.
“Siapakah kalian berdua? Apakah kalian bukan orang jahat..?” tanya Gordan.
Suaranya dibuat dalam sekali, seakan tidak ingin bisa diketahui
arahnya.
“Siapa itu yang berbicara...?” terdengar pertanyaan seorang wanita dari
balik bongkahan batu ini.
“Aku. Dan kalian siapa...?”
“Kami dua orang pengembara yang hendak ke Desa Jungkun,” terdengar lagi
suara sahutan dari seorang wanita.
“Apakah kalian ada hubungannya dengan Barada?”
“Siapa itu Barada...? Kami tidak pernah mendengar namanya.”
“Kalian bukan orang jahat?” Kali ini tidak terdengar sahutan. Dan untuk
beberapa saat keadaan jadi sunyi.
“Kami hanya pengembara. Dan bukan orang jahat”
“Bagaimana aku bisa percaya kalau kalian bukan orang jahat...?”
“Kalau kau menunjukkan diri, akan tahu sendiri.“
Kini Gordan yang tidak bisa menyahuti. Dia terdiam memikirkan kata-kata
wanita di balik batu itu. Dari nada suara dan kata-kata mereka, memang
sepertinya bukan orang jahat. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal orang
yang bernama Barada. Dan juga, mengaku sebagai pengembara. Gordan jadi
termenung beberapa saat lamanya. Dalam rimba persilatan, dia tahu kalau
seorang pengembara belum tentu orang jahat. Bahkan kebanyakan adalah
pendekar tangguh berilmu tinggi yang selalu membasmi keangkaramurkaan. Tapi
tidak sedikit juga yang berwatak jahat, selalu membuat keonaran di mana saja
berada.
“Kisanak! Di mana kau berada? Keluarlah...!” terdengar suara agak keras
seorang laki-laki dari balik bongkahan batu di tepi jurang ini.
Gordan masih belum juga menjawab. Kepalanya didongakkan sedikit ke atas,
menatap matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat Sinarnya tidak
lagi terik seperti tadi. Bahkan terasa begitu lembut menyapu kulit. Cahaya
merah jingga menyemburat begitu indah, tapi tidak seindah hati dan pikiran
Gordan yang terus gelisah. Cukup lama juga Gordan tidak bersuara sedikit
pun.
Sementara, dari balik bongkahan batu ini juga tidak terdengar suara sama
sekali. Sedangkan matahari sudah benar-benar tenggelam di peraduannya.
Kegelapan menyelimuti seluruh daerah di kaki lereng Gunung Jungkun.
Selagi Barada berpikir, tiba-tiba dikejutkan oleh berkelebatnya sebuah
bayangan putih yang begitu cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di depannya
sudah berdiri seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Wajahnya begitu
tampan, bagaikan seorang pangeran. Dan pemuda itu berbaju rompi warna putih
bersih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di
punggung.
Gordan cepat melompat bangkit berdiri, dan mera-patkan punggungnya ke
bongkahan batu itu. Tampak jelas dalam keremangan cahaya bulan, wajahnya
kelihatan pucat dan tubuhnya menggeletar kedinginan. Memang, angin yang
bertiup dari dalam jurang ini begitu kencang menyebarkan udara dingin
menggigilkan.
“Sss..., siapa kau...?! Mau apa kau ke sini?” terdengar tergagap suara
Gordan.
“Tenang..., jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu,” kata pemuda berbaju
rompi putih itu lembut.
Gordan memandangi pemuda berbaju rompi putih yang datang bagaikan angin,
dari ujung kepala hingga ujung jari kaki. Seakan sedang dinilainya, apakah
pemuda itu bermaksud baik atau buruk. Sedangkan yang dipandangi hanya
tersenyum saja, membiarkan dirinya dinilai dengan cermat.
“Namaku Rangga. Kedatanganku ke sini tidak sendiri. Ada adikku yang
menunggu di balik batu ini,” jelas pemuda berbaju rompi putih itu
memperkenalkan diri, tetap dengan nada lembut.
Pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang tersampir di punggung itu
memang Rangga. Dan dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Gordan tampaknya tidak mengenal sama sekali. Dan memang, dia belum
pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Tak heran kalau dia masih
tetap saja diam, dengan sorot mata begitu tajam bernada menyelidik. Seakan,
hatinya masih belum percaya kalau pemuda yang memperkenalkan diri dengan
nama Rangga itu berniat baik padanya.
“Kisanak! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu...? Kenapa kau berada di
sini?” tanya Rangga, masih dengan nada suara lembut sekali.
“Aku.... Namaku Gordan. Aku...,” Gordan tidak bisa meneruskan kata-katanya.
Tubuh Gordan jadi bergidik menggigil, saat hembusan angin yang cukup kencang
menerpa. Memang sangat dingin angin yang datang dari dalam jurang di
depannya.
“Kau terperosok...?” sambung Rangga menduga.
Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Memang hanya itu yang bisa
dilakukan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan untuk
menceritakan kejadian yang sesungguhnya, kelihatan sangat sungkan. Apalagi,
antara mereka baru sekali ini bertemu. Gordan khawatir, pemuda berbaju rompi
putih itu orang suruhan Barada. Tapi rasa kecemasan dalam hatinya jadi
terombang-ambing oleh sikap dan tutur kata Rangga yang begitu lembut.
Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau pemuda berbaju rompi
putih itu menampakkan kebengisan. Bahkan terasa begitu lembut dan sangat
bersahabat.
“Sejak kapan kau berada di sini?” tanya Rangga lagi.
“Pagi tadi,” sahut Gordan pelan.
“Kalau kau mau, aku bersedia membantumu keluar dari sini,” kata Rangga
menawarkan jasa.
“Kau..., kau akan mengeluarkan aku dari sini...? Untuk apa?
“Sejak pagi, kau terperosok ke sini. Untung saja tidak masuk ke dalam
jurang. Kau tentu sangat lapar. Dan kebetulan, aku ada makanan sedikit. Dan
lagi, kau kelihatannya terluka. Kau tentu tidak mau mati di sini,
bukan...?”
Gordan hanya diam saja.
“Marilah. Aku akan menolongmu keluar dari sini.”
Gordan masih saja diam, meskipun Rangga sudah melangkah mendekati. Entah
kenapa, Gordan jadi lunak. Dibiarkannya saja Pendekar Rajawali Sakti memeluk
pinggangnya. Lalu, tiba-tiba saja....
“Hup!”
“Eh...?!"
Wusss...!
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat ke
atas. Dan Gordan jadi tersentak kaget setengah mati. Maka cepat matanya
dipejamkan. Tapi tidak berapa lama kemudian, Gordan sudah merasakan kakinya
menjejak tanah kembali. Dan pelukan tangan Rangga di pinggangnya juga sudah
terlepas. Perlahan kelopak matanya dibuka.
Sungguh dia jadi terlongong bengong, menyadari dirinya kini sudah berada di
tempat yang cukup lapang, tidak jauh dari tepi jurang. Dan di depannya kini
bukan hanya Rangga yang ada, tapi ada pula seorang gadis berwajah cantik
jelita. Bajunya warna biru yang cukup ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya
begitu nyata terlihat.
“Kau sudah aman sekarang, Kisanak,” ujar Rangga, tetap lembut sekali.
“Oh...,” desah Gordan panjang.
“Mari, duduklah dekat api. Agar tubuhmu terasa lebih hangat,” ajak Rangga
ramah.
Tanpa menoleh sedikit pun juga, Gordan mengikuti Pendekar Rajawali Sakti
mendekati api. Kemudian dia duduk bersila, tidak jauh dari api yang menyala
cukup besar. Sementara gadis cantik berbaju biru muda itu, sudah sibuk
memutar-mutar panggangan daging. Kelihatannya, seperti daging kelinci. Bau
harum daging kelinci panggang, membuat perut Gordan jadi berontak minta
segera diisi. Tapi dia tetap saja diam, walaupun rasa lapar yang menghantam
perutnya sudah hampir tidak tertahankan lagi. Dia tidak ingat lagi, kapan
terakhir kali perutnya terisi makanan.
“Ini....” Gadis cantik yang memang Pandan Wangi menyodorkan satu panggangan
kelinci yang sudah matang. Gordan kelihatan ragu-ragu sejenak. Matanya
melirik sedikit pada Rangga. Baru kelinci panggang itu diambil setelah
melihat kepala Rangga terangguk, sambil memberi senyum manis sekali.
Pendekar Rajawali Sakti juga mengambil kelinci panggang ini, kemudian
me-reka makan tanpa berbicara lagi.
Gordan diam saja ketika Rangga memperhatikan dan memeriksa seluruh tubuhnya
dengan cermat sekali. Tampak jelas, dalam siraman cahaya api kalau kening
Pendekar Rajawali Sakti berkerut. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan
saja. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu sudah merebahkan diri, tidak
jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Maaf. Kelihatannya kau seperti baru saja habis mendapat siksaan. Luka-luka
di tubuhmu jelas bekas cambukan,” kata Rangga bernada ragu-ragu.
Gordan masih saja tetap membisu. Di dalam hatinya, dikaguminya pengamatan
Rangga yang begitu cermat, sehingga bisa mengetahui jenis luka. Dan memang,
luka-luka yang dideritanya bekas deraan cambuk. Bahkan luka-luka memar di
tubuhnya akibat mendapat pukulan serta tendangan.
“Siapa yang menyiksamu sampai seperti ini, Gordan?” tanya Rangga.
“Hhh...!” Gordan hanya menghembuskan napas saja. Seakan, Gordan begitu
berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Baru beberapa saat mereka saling
mengenal, tapi sikap Rangga terlihat begitu memperhatikan. Dan hal ini
membuat hati Gordan jadi tidak tenteram. Entah apa yang menyebabkannya. Dia
sendiri tidak tahu. Sikap Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian,
membuatnya jadi sulit membuka suara. Lidahnya seakan-akan jadi kelu, sulit
digerakkan.
“Ceritakan saja, Gordan. Kalau kau punya persoalan yang bisa membahayakan
nyawamu, kami berdua tidak segan-segan membantu. Asalkan, kau berada di
pihak yang benar,” selak Pandan Wangi.
Gordan menatap gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu, kemudian beralih pada
wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ditariknya napas dalam-dalam,
dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan, dia sedang mencari kekuatan untuk
membuka suara. Tapi itu masih saja terasa sulit dilakukan. Dan lidahnya
terasa begitu kelu.
“Siapa yang menyiksamu, Gordan...?” tanya Pandan Wangi lagi, terus
mendesak.
Gadis itu bangun, dan duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Tatapan matanya terlihat begitu tajam, langsung menembus sepasang mata
Gordan yang redup. Tapi pemuda itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain,
seakan tidak sanggup membalas tatapan mata Pandan Wangi yang menyorot sangat
tajam.
“Sudahlah.... Mungkin kau tidak ingin kami berdua ikut campur dalam
persoalanmu,” elak Rangga menengahi.
“Sebaiknya kau tidur saja, Gordan. Mudah-mudahan saja besok pagi tubuhmu
sudah segar kembali.”
Gordan hanya menganggukkan kepala saja, kemudian menggeser duduknya. Lalu,
tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sementara, Rangga bangkit
berdiri. Kakinya kemudian melangkah menjauhi pemuda itu. Pandan Wangi
bergegas mengikuti. Mereka kemudian duduk di atas sebatang akar yang
menyembul keluar dari dalam tanah. Namun, perhatian mereka masih terus
tertuju pada Gordan yang tampaknya sudah jatuh tertidur. Begitu cepat pemuda
itu jatuh tertidur. Mungkin karena memang sudah begitu lelah.
Sementara, Rangga masih tetap duduk diam sambil memeluk sebelah lutut
kanannya. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali merebahkan diri, dengan
punggung bersandar pada akar yang menyembul dari dalam tanah ini. Dan malam
pun terus merayap semakin bertambah larut Udara di sekitar tepian jurang
kaki lereng Gunung Jungkun ini semakin terasa dingin menggigilkan tulang.
Api yang menyala cukup besar, seakan tidak mampu mengusir udara dingin
ini.
“Kakang....”
“Hm....” “Aku yakin kalau Gordan punya persoalan, Kakang. Jadi mana mungkin
bisa terperosok ke dalam jurang itu, kalau tidak ada sebabnya. Dan lagi, di
tubuhnya penuh luka bekas penyiksaan,” kata Pandan Wangi pelan setengah
berbisik.
“Kalau memang benar, lalu...?”
“Apa salahnya kalau kita mencoba menolong, Kakang.”
“Tapi, Gordan sendiri seperti enggan ditolong orang lain. Sedangkan
kita..., tidak mungkin bisa berbuat sesuatu kalau orangnya sendiri tidak
menginginkannya.“
“Barangkali dia masih sulit mengungkapkannya, Kakang. Tunggu saja sampai
besok pagi,” kata Pandan Wangi bersabar.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Kemudian tubuhnya direbahkan
tidak jauh dari api unggun yang tetap menyala besar. Sedangkan Pandan Wangi
masih tetap duduk sambil memeluk lutut memperhatikan Gordan yang sejak tadi
sudah mendengkur. Matanya melirik sedikit pada Rangga yang sudah memejamkan
matanya. Terlihat gerakan di dadanya begitu halus dan teratur.
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya yang berat sekali.
Entah kenapa, perasaannya mengatakan kalau pemuda yang ditemuinya berada di
balik batu harus ditolong. Tapi dia sama sekali tidak tahu, persoalan apa
yang sedang dihadapi pemuda itu sehingga hampir saja tercebur ke dalam
jurang sangat dalam. Sedangkan untuk menanyakannya, sudah tidak mungkin
lagi. Gordan memang tidak menginginkan bantuan siapa pun juga, seperti yang
dikatakan Rangga tadi. Dan tampaknya, pemuda itu merahasiakan
persoalannya.
Pandan Wangi melihat kalau tidur pemuda itu gelisah sekali. Entah, sudah
berapa kali Gor-dan menggelimpangkan tubuhnya. Dan, beberapa kali pula
terdengar hembusan nafasnya yang begitu berat dan keras.
“Akh...!”
“Oh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut. Dan gadis itu langsung terlompat
bangkit berdiri, begitu tiba-tiba saja Gordan memekik seraya terbangun duduk
dari tidurnya. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di depan pemuda itu.
Tampak seluruh wajah dan tubuh Gordan bersimbah keringat dengan napas
tersengal-sengal tak beraturan.
“Ada apa, Gordan...?” tanya Pandan Wangi, dengan kelopak mata agak menyipit
memperhatikan wajah pemuda yang bersimbah keringat itu.
“Ohhh...,” Gordan hanya menghembuskan napas panjang-panjang saja. Sebentar
Gordan seperti baru terjaga dari tidur dan mimpi buruknya, kemudian
pandangannya ditujukan lurus ke wajah cantik Pandan Wangi. Beberapa kali
nafasnya ditarik dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan
rongga dadanya yang menda-dak saja jadi terasa sesak ingin
dilonggarkan.
Sementara Pandan Wangi masih bersabar menunggu, seraya memperhatikan wajah
yang berkeringat itu.
“Ada apa, Gordan? Kau bermimpi...?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Hhh...!”
***
TIGA
Semalaman penuh Pandan Wangi tidak bisa memejamkan matanya. Sedangkan
Gordan tidak juga ingin menceritakan mimpi buruk yang dialaminya semalam,
hingga matanya juga tidak bisa dipejamkan lagi. Gordan hanya mengatakan
kalau habis bermimpi. Hanya itu saja yang dikatakannya.
Dan pada pagi harinya, Pandan Wangi menceritakan tentang mimpi Gordan
semalam pada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu ditanyakan tentang
mimpinya, Pandan Wangi tidak bisa menjawab. Dan memang, dia tidak tahu apa
mimpi yang dialami Gordan semalam.
Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran juga. Dihampirinya Gordan yang duduk
terpisah dari mereka. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menemaninya duduk di
sebelah kanan.
“Kau bermimpi buruk semalam, Gordan?” tanya Rangga langsung.
Gordan hanya menganggukkan kepala sedikit.
“Kau mau menceritakannya padaku...?” pinta Rangga lembut.
Gordan masih tetap diam. Perlahan wajahnya berpaling, menatap langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian pandangannya beralih lurus ke
depan. Sekali ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya
kuat-kuat.
Sementara Rangga masih sabar menunggu. Saat itu, Pandan Wangi datang
menghampiri, setelah menyiapkan kuda-kuda. Gadis yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut itu kemudian duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku tahu, kau sedang mengalami kesulitan, Gordan. Kau bisa mengurangi
beban yang menghimpitmu kalau mau menceritakan sedikit persoalanmu padaku,”
kata Rangga lagi mendesak.
“Terima kasih atas perhatian kalian berdua. Aku memang punya persoalan.
Tapi sungguh..., aku tidak ingin kalian terlibat dalam persoalanku ini,”
kata Gordan setelah cukup lama berdiam diri membisu.
“Kalau kau tidak ingin kami terlibat kami juga tidak ingin melibatkan diri.
Kami hanya ingin mengurangi beban yang kau derita,” kata Rangga terus
membujuk.
“Hhh...!” Lagi-lagi Gordan menghembuskan napas panjang.
“Katakan saja, Gordan,” desak Pandan Wangi.
“Kalau kukatakan, sudah pasti kalian tidak akan bisa menghindari. Kalian
pasti akan terlibat walaupun berusaha menghindar. Sungguh! Aku tidak ingin
ada korban lagi. Biarlah aku saja yang menderita, asalkan jangan orang lain
yang ikut merasakannya,” kata Gordan masih dengan suara pelan.
“Kalaupun terlibat, kami akan mengatasinya sendiri. Percayalah...,” ujar
Rangga meyakinkan.
“Kalian tidak akan melibatkan aku lagi...?”
“Tidak,” sahut Rangga mantap.
“Sungguh...?” Rangga mengangguk mantap.
“Terus terang, aku tidak sudi lagi melihat mereka. Apalagi berurusan dengan
mereka. Aku akan pergi sejauh mungkin, ke tempat yang tidak bisa dijangkau
mereka...,” kata Gordan, terdengar terputus nada suaranya.
“Siapa mereka, Gordan?” tanya Rangga.
“Mereka yang menyiksamu?” sambung Pandan Wangi, bertanya.
Gordan hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian... “Pangeran
Iblis....”
“Pangeran Iblis...?!” desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.
“Ya! Dia kejam sekali. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis dari
neraka.”
“Hm, siapa dia itu...?” gumam Rangga seperti bertanya pada diri
sendiri.
“Aku tidak tahu, siapa dia sesungguhnya. Tahu-tahu, dia sudah ada dan
langsung menguasai seluruh wilayah Kadipaten Wurungga. Dia datang seorang
diri, tapi sudah bisa menguasai semua orang di kota kadipaten itu. Bahkan
kini, sudah banyak desa yang dikuasainya. Aku sendiri tidak mengerti, sampai
orang-orang begitu memuja. Sepertinya, dia dewa saja,” Gordan mulai
menceritakannya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Sedangkan Gordan
terdiam, mengumpulkan kata-kata yang akan diutarakannya pada kedua pendekar
muda yang diketahuinya hanya dua orang pengembara saja, yang kebetulan lewat
di tempat ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tahu, Gunung
Jangkun ini juga masih termasuk Kadipaten Wurungga. Dan kota kadipaten itu
tidak jauh lagi dari Desa Jungkun yang berada di kaki lereng gunung ini.
Jaraknya pun tidak seberapa jauh Lagi dari sini. Tapi, kedua pendekar itu
sama sekali tidak tahu keadaan sekarang di sana. Dan tampaknya, mereka
terkejut mendengar Kadipaten Wurungga sudah dikuasai manusia iblis yang
disebut Pangeran Iblis.
“Sudah banyak pendekar sakti dan digdaya yang berusaha untuk mengenyahkan
Pangeran Iblis itu. Tapi, justru yang terjadi malah sulit diterima akal...,”
sambung Gordan terputus nada suaranya.
“Apa maksudmu, Gordan?” Pandan Wangi meminta penjelasan.
“Seperti pamanku..., Paman Rakada. Semula, Paman Rakada mengajakku untuk
mengusir Pangeran Iblis dari Kadipaten Wurungga. Tapi entah kenapa, justru
paman jadi berbalik. Bahkan kini begitu patuh pada perintah Pangeran Iblis.
Hingga, dia begitu tega hendak membunuhku,” sahut Gordan menjelaskan keadaan
yang sebenarnya.
“Hm.... Jadi, itu sebabnya sampai kau berada di balik batu itu kemarin...?”
gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
“Benar. Bahkan Paman Rakada terjerumus masuk ke dalam jurang karena
berusaha mengeluarkan aku dari sana.”
“Kenapa kau tidak keluar?”
“Tidak mungkin, Nini. Saat itu, Paman Rakada masih dipengaruhi pikirannya.
Dia bukannya ingin mengeluarkan, tapi justru ingin menyerahkan aku pada
orang kepercayaan Pangeran Iblis. Kalian tahu, kalau aku keluar kemarin,
sudah pasti kalian hanya akan menemukan tubuhku saja. Sedangkan kepalaku
akan dibawa pada Pangeran Iblis,” sahut Gordan.
“Untuk apa...?” tanya Pandan Wangi agak mendesis terkejut.
“Sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani menentang kehendak Pangeran
Iblis,” sahut Gordan.
“Edan..!” desis Rangga.
“Kejam sekali...!” dengus Pandan Wangi jadi geram.
“Aku sebenarnya sudah menjadi tawanan mereka. Tapi, aku bisa meloloskan
diri dan terus kabur dari kadipatenan. Hingga aku sampai ke tempat ini,
mereka terus mengejarku sampai di sini. Tapi setelah Paman Rakada tewas
tercebur ke dalam jurang, mereka meninggalkanku begitu saja. Mereka
berharap, aku mati kedinginan dan kelaparan di bibir jurang itu,” kata
Gordan lagi.
“Hm...,” Rangga menggumam kecil.
“Mereka pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Mereka pasti akan
kembali lagi ke sini untuk mengambil mayatku. Kalau tahu aku masih hidup,
pasti mereka akan terus mengejar walaupun sampai ke ujung langit“ sambung
Gordan.
Mereka kemudian terdiam membisu. Cukup lama juga tidak ada yang membuka
suara lagi. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara,
Rangga sudah bangkit berdiri tegak. Matanya terus menatap lurus ke arah Desa
Jungkun yang sudah terlihat dari tempat ini. Desa itu kelihatan sunyi,
seperti tidak berpenghuni lagi. Dan tidak jauh di sebelah selatan desa,
terletak Kota Kadipaten Wurungga. Memang, tidak bisa terlihat dari lereng
gunung ini, karena terhalang hutan kecil yang membatasi antara Kota
Kadipaten Wurungga dengan Desa Jungkun. Tapi, ada jalan membelah hutan kecil
itu yang menghubungkan ke kota kadipaten.
“Rasanya kita tidak mungkin bisa tinggal diam begitu saja, Kakang,” ujar
Pandan Wangi, setelah berdiri dan berada di samping Pendekar Rajawali
Sakti.
“Eh...?!” Gordan jadi tersentak kaget mendengar kata-kata gadis yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
Bukan hanya Rangga yang berpaling, tapi juga Pandan Wangi. Sementara,
Gordan bergegas bangkit berdiri dari duduknya. Dan kakinya melangkah
beberapa tindak, lalu berdiri tepat di depan kedua pendekar muda dari Karang
Setra itu. Gordan memang tidak tahu, siapa sebenarnya kedua anak muda yang
telah menyelamatkan nyawanya dari mati kelaparan dan kedinginan di balik
batu yang berada di bibir jurang.
Dia memang tidak mungkin lagi bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup,
kalau tidak ditolong pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini.
Terlebih lagi, tenaganya memang sudah tidak ada lagi. Bahkan dirinya dalam
keadaan terluka akibat mendapat penyiksaan yang cukup berat dari para
pengikut Pangeran Iblis.
“Tidak...! Kalian tidak boleh ke sana. Kalian, akan sia-sia, dan hanya
menyerahkan nyawa saja kalau sampai ke sana,” cegah Gordan.
Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang juga tengah menatapnya. Kemudian,
bibir Pendekar Rajawali Sakti bergerak membentuk sebuah senyuman yang sangat
manis. Ditepuknya pundak Gordan, masih dengan bibir tersenyum.
“Kau tidak perlu mencemaskan kami berdua, Gordan...,” kata Rangga, terputus
suaranya.
“Kau tahu, siapa kami berdua, Gordan...?” ujar Pandan Wangi bernada
bertanya.
Gordan hanya diam saja memandangi kedua pendekar muda itu. Sejak kemarin,
mereka berdua ini memang belum dikenalnya betul. Walaupun sudah
memperkenalkan nama masing-masing, tapi yang sesungguhnya Gordan memang
tidak tahu. Dan tanpa disadari kepalanya bergerak menggeleng.
“Kami pendekar-pendekar muda dari Karang Setra. Dan kalau ada persoalan
seperti ini, sudah barang tentu tidak bisa tinggal diam begitu saja. Memang,
sudah menjadi tugas para pendekar untuk membasmi keangkaramurkaan,” kata
Pandan Wangi.
“Pendekar dari Karang Setra...?” desis Gordan seperti tidak percaya nada
suaranya.
“Benar! Kami memang berasal dari sana,” kata Pandan Wangi lagi.
“Apakah..., apakah kalian yang dijuluki Sepasang Pendekar Karang
Setra...?”
Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, tapi disertai senyum lembut.
Memang, julukan itu sudah pernah didengarnya dari orang-orang kalangan rimba
persilatan. Kedua pendekar itu memang selalu mengatakan berasal dari Karang
Setra. Sedangkan mereka selalu pergi mengembara berdua, menunaikan tugas
kependekaran. Hingga, orang-orang dari kalangan rimba persilatan selalu
menjuluki mereka Sepasang Pendekar Karang Setra.
“Dan kau..., kau pasti Pendekar Rajawali Sakti,” tebak Gordan lagi, seraya
menatap Rangga dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja.
“Kau..., si Kipas Maut..?” ujar Gordan lagi, berpindah menatap Pandan
Wangi.
“Tidak salah lagi, Gordan,” sahut Pandan Wangi, tanpa sedikit pun ada nada
menyombongkan diri. Sengaja gadis itu mengatakan hal yang sebenarnya, agar
Gordan tidak lagi mencegah dan merasa cemas kalau mereka ingin ke Kadipaten
Wurungga.
“Oh...,” Gordan mendesah panjang, seraya menghembuskan nafasnya.
Tiba-tiba saja, pemuda itu jatuh berlutut. Lalu dipeluknya kedua kaki
Rangga erat-erat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak
kaget. Demikian pula Pandan Wangi yang terkejut melihat sikap Gordan seperti
itu.
“Bangunlah, Gordan. Tidak pantas kalau sikapmu begitu padaku,” kata Rangga
seraya menarik tubuh pemuda itu hingga kembali berdiri.
“Maafkan aku.... Maafkan aku yang buta dan tidak mengenal kalian berdua
para pendekar digdaya...,” ujar Gordan, agak terbata suaranya.
“Ah, sudahlah.... Kami juga manusia biasa sepertimu,” kata Rangga
merendah.
“Sungguh, aku tidak tahu kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Oh..., sungguh
bodoh aku yang tidak mengenali pendekar digdaya seperti kalian berdua.”
Gordan membungkukkan tubuhnya, menjura memberi hormat pada kedua pendekar
muda dari Karang Setra yang sudah dikenal sebagai Sepasang Pendekar Karang
Setra.
Sikap hormat yang diberikan Gordan, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi
merasa rikuh juga. Tapi, mereka sudah tidak bisa lagi menghilangkan rasa
hormat pemuda itu. Maka kini terlihat rasa penyesalan di dalam sinar mata
Pandan Wangi, karena mengatakan diri mereka berdua yang sesungguhnya. Tapi,
apa boleh buat? Semua sudah telanjur, dan kata-kata yang sudah terucapkan
tidak mungkin bisa ditarik kembali. Ibarat ludah yang sudah keluar, tidak
mungkin dijilat lagi.
“Kalian sungguh-sungguh ingin pergi ke kota?” tanya Gordan, seakan ingin
menegaskan.
“Benar, Gordan. Kami tidak mungkin bisa diam diri begitu saja setelah
mendengar penuturanmu,” Pandan Wangi yang menyahuti, sebelum Rangga bisa
membuka suara.
“Oh! Kalau kalian yang datang, aku yakin Pangeran iblis pasti bisa
ditumpas,” kata Gordan mantap.
“Semua tergantung dari Hyang Widhi, Gordan. Jika sang Hyang Widhi
menghendaki, kami tentu bisa menghentikannya,” kata Rangga merendah
lagi.
“Nama kalian berdua sudah seringkali kudengar. Dan...,” Gordan tidak
melanjutkan.
“Dan apa, Gordan?” Pandan Wangi meminta meneruskan.
“Terus terang, sebenarnya aku berusaha kabur dari mereka juga, untuk pergi
ke Karang Setra. Dan aku ingin meminta bantuan para pendekar Karang Setra.
Kudengar, Karang Setra memiliki pendekar-pendekar tangguh dan digdaya.
Bahkan rajanya juga seorang yang sangat digdaya,” kata Gordan
melanjutkan.
Rangga hanya tersenyum saja. Sudah barang tentu Gordan tidak tahu kalau
sekarang ini sedang berhadapan dengan Raja Karang Setra. Dan Pandan Wangi
juga hanya tersenyum saja. Matanya langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti.
Memang, tidak banyak orang yang tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah
juga Raja Karang Setra. Dan kebanyakan orang hanya men-genal kalau pemuda
itu hanya seorang pendekar yang berasal dari Karang Setra, yang terkenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
“Pendekar tangguh bisa didapatkan di mana saja, Gordan. Tidak harus di
Karang Setra,” kata Rangga masih merendahkan diri.
“Tapi yang kudengar, Karang Setra memiliki begitu banyak pendekar tangguh
dan digdaya. Seperti kalian ini. Begitu banyak orang yang membicarakan
ketangguhan kalian berdua. Bahkan begitu banyak orang dari kalangan
persilatan yang harus berpikir seribu kali jika ingin menantang kalian
bertarung. Terutama sekali kau, Pendekar Rajawali Sakti. Kesaktian yang kau
miliki memang tidak ada duanya di jagat raya ini,” lagi-lagi Gordan
memuji.
“Ah, sudahlah. Tidak akan ada habisnya kalau terus membicarakan hal itu,”
kata Rangga tidak ingin melanjutkan.
“Sudah terlalu siang, Kakang. Apa sebaiknya kita berangkat saja
sekarang...? Dan sebelum malam tiba kurasa kita sudah bisa sampai di kota
kadipaten,” kata Pandan Wangi mengusulkan.
“Baiklah,” sahut Rangga menyetujui.
"Tapi...”
Pendekar Rajawali Sakti menatap Gordan. Di sini hanya ada dua ekor kuda.
Sedangkan mereka semua ada tiga orang. Rasanya, tidak mungkin kalau kedua
pendekar muda itu meninggalkan Gordan seorang diri saja.
“Kau bersamaku, Gordan. Di Desa Jungkun nanti, aku akan membelikanmu kuda,”
kata Rangga
“Oh, terima kasih.... Aku senang sekali bisa berkuda bersamamu, Pendekar
Rajawali Sakti,” sambung Gordan, gembira.
“Ayolah. Jangan membuang-buang waktu lagi,” ajak Rangga.
Tak berapa lama kemudian, mereka sudah berkuda meninggalkan kaki lereng
Gunung Jungkun itu. Dan jelas sekali kalau tujuan mereka ke Desa Jungkun
yang terletak tidak jauh lagi dari tepian jurang itu. Rangga menunggang
kudanya yang dikenal berna-ma Kuda Dewa Bayu. Di belakangnya duduk Gordan.
Dipeluknya erat-erat pinggang Rangga. Hatinya agak ngeri juga dengan
kecepatan lari kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Pandan Wangi menunggang kuda putih miliknya. Begitu cepatnya kuda
itu berlari, hingga seakan-akan keempat kakinya tidak lagi menepak tanah.
Debu begitu tebal mengepul tinggi ke angkasa, diterjang kaki-kaki kuda.
Sedangkan Pandan Wangi sudah mulai tertinggal sekitar lima batang tombak
jauhnya di belakang. Gadis itu memang sulit untuk bisa menyamai kecepatan
lari Kuda Dewa Bayu dengan kuda putihnya yang hanya seekor kuda biasa. Jelas
saja, karena kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti adalah kuda pemberian
dewa yang langsung diturunkan ke bumi dari kahyangan.
“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi, begitu merasakan semakin jauh
saja tertinggal.
Rangga berpaling ke belakang sebentar, kemudian memperlambat lari kudanya.
Sehingga, dengan cepat Pandan Wangi bisa menyamai kuda hitam itu lagi. Dan
kudanya terus dipacu cepat di samping Kuda Dewa Bayu. Kali ini, Rangga
mengendalikan lari kudanya, agar Pandan Wangi tidak tertinggal lagi. Kini
mereka tiba di Desa Jungkun, namun hanya singgah sebentar. Di desa ini,
mereka mendapatkan seekor kuda yang bagus dan tegap untuk Gordan. Demikian
pula pakaian yang bersih untuk mengganti baju Gordan yang sudah koyak
bernoda darah. Memang masih ada luka-luka di tubuhnya, tapi sudah tidak lagi
mengeluarkan darah. Dan hanya luka-luka kering saja yang tinggal menunggu
kesembuhan.
Mereka terus melanjutkan perjalanan di atas kuda masing-masing, membelah
hutan kecil yang menjadi pembatas antara Desa Jungkun dengan Kota Kadipaten
Wurungga. Dan ternyata Gordan pandai sekali menunggang kuda. Hingga, dia
tidak perlu takut tertinggal. Dan hanya Rangga saja yang bisa mengendalikan
kecepatan lari kudanya, agar tidak meninggalkan yang lainnya.
Sementara matahari terus merayap ke arah barat, sesuai perjalanan waktu.
Ketiga anak muda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, membelah
jalan tanah di dalam hutan kecil ini. Debu terus mengepul membubung tinggi
ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Gerbang perbatasan Kota Kadipaten Wurungga sudah terlihat Rangga
memperlambat lari kudanya, diikuti Pandan Wangi dan Gordan. Tampak gerbang
perbatasan yang terbuat dari batu itu dijaga enam orang berpakaian seragam
prajurit kadipaten. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang
panjangnya dua kali dari tubuh mereka.
“Berhenti...!”
“Hooop...!”
Ketiga anak muda itu langsung menghentikan langkah kaki kudanya, begitu
salah seorang prajurit kadi-paten penjaga gerbang memintanya berhenti. Lalu
prajurit yang berteriak keras tadi menghampiri Rangga segera melompat turun
dari punggung kudanya, diikuti Pandan Wangi. Sementara, Gordan masih tetap
duduk di atas punggung kudanya. Sebuah caping bambu yang cukup besar, memang
cukup untuk melindungi wajahnya agar tidak dikenali di Kota Kadipaten
Wurungga ini.
“Siapa kalian?! Dan, mau apa datang ke Kota Kadipaten Wurungga ini?” tanya
prajurit yang masih berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
Sikapnya begitu angkuh. Bahkan sedikit membusungkan dadanya. Tapi sorot
matanya justru tidak berpindah dari wajah cantik Pandan Wangi yang berdiri
tidak jauh di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, lima orang
prajurit lain mulai melangkah menghampiri. Mereka menyeringai begitu melihat
wajah Pandan Wangi yang begitu cantik.
“Kami bertiga datang dari jauh. Dan hanya ingin lewat saja di kota
kadipaten ini,” sahut Rangga memberi tahu
“Boleh kami lewat..?”
“Hm...,’ prajurit itu menggumam. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pandan
Wangi. Diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki,
seperti sedang menilai suatu barang yang sangat indah. Dan perlahan
tangannya menjulur hendak menyentuh wajah si Kipas Maut itu. Tapi begitu
jari tangannya hampir menyentuh pipi yang putih dan halus itu, mendadak
saja....
“Hih!”
Plak!
“Aduhhh...!”
Prajurit itu kontan terpekik kaget, dan langsung menarik tangannya yang
tiba-tiba saja terasa panas bagai terbakar. Cepat kakinya ditarik ke
belakang dua langkah. Wajahnya langsung memerah, menatap tajam Pandan
Wangi.
“Kurang ajar...! Hih
Bet!
Cepat sekali prajurit itu mengebutkan tombaknya, menyodok langsung ke arah
lambung Pandan Wangi. Tapi hanya sedikit saja gadis ini mengegoskan
tubuhnya, tombak yang cukup panjang itu lewat di samping tubuhnya. Dan tanpa
dapat dilihat dengan mata biasa, si Kipas Maut itu sudah cepat menghentakkan
kaki kirinya.
“Yeaaah...!”
Diegkh!
“Akh...!”
Kembali prajurit muda itu terpekik, dan langsung terpental sejauh tiga
batang tombak ke belakang. Tendangan Pandan Wangi yang begitu keras, tepat
mendarat di dadanya. Akibatnya, prajurit itu hanya bisa menggelepar sedikit
begitu jatuh di tanah, lalu mengejang kaku. Dia tewas seketika itu juga
dengan tulang-tulang dada remuk, terkena tendangan yang begitu keras dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tadi.
Sementara itu lima orang prajurit lain jadi terkejut setengah mati, melihat
temannya tewas seketika, hanya sekali mendapat tendangan saja. Dan seperti
ada yang memberi perintah, mereka langsung saja berlompatan cepat menerjang
ke arah Pandan Wangi. Tapi belum juga melakukan serangan, mendadak
saja....
“Hup! Hiyaaa...!”
Gordan yang sejak tadi duduk saja di punggung kudanya, langsung cepat
melompat. Dan seketika pukulannya terlontar begitu cepat menghajar kelima
prajurit itu. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga membuat lima orang
prajurit itu tidak dapat lagi mengetahuinya.
Dan tahu-tahu, mereka sudah berpentalan sambil menjerit keras melengking
tinggi. Hanya dalam waktu sekejapan mata saja, Gordan sudah membuat lima
orang prajurit itu terkapar tanpa dapat bangun-bangun lagi. Mereka seketika
tewas dengan dada remuk, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi
yang dilepaskan Gordan tadi.
“Seharusnya kalian tidak perlu membunuh mereka...,” desah Rangga
menyesalkan.
“Maaf, Kakang. Mereka yang memulai,” Pandan Wangi membela diri.
“Gordan! Kenapa kau begitu tega membunuh mereka?” Rangga menatap Gordan
yang sudah membuka caping bambunya.
“Mereka bukan para prajurit, Kakang,” sahut Gordan, yang kini sudah
menyebut kakang pada Rangga, mengikuti Pandan Wangi. Dan memang, Rangga
sendiri yang menghendakinya.
“Hm, lalu siapa mereka?”
“Iblis pengikut Pangeran Iblis,” sahut Gordan lagi.
“Hhh..., sudahlah. Ayo kita teruskan, sebelum ada orang lain yang melihat,”
ajak Rangga tidak ingin memperpanjang lagi.
Mereka kembali berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, dan
terus memacu cepat meninggalkan gerbang perbatasan itu. Kini mereka
lang-sung menuju Kota Kadipaten Wurungga. Dan saat itu, matahari sudah
hampir tenggelam di balik belahan bumi bagian barat.
***
EMPAT
Kota Kadipaten Wurungga memang sangat indah di waktu malam. Hampir di
setiap sudut kota itu bermandikan cahaya lampu pelita yang berwarna-warni.
Tapi, suasananya memang terasa tidak nyaman. Di mana-mana selalu terlihat
prajurit bersenjata tombak dan pedang tengah berjaga-jaga. Seakan-akan, kota
itu sedang menghadapi perang saja.
Rangga memilih sebuah rumah penginapan yang cukup besar dan apik di kota
itu, tidak jauh dari bangunan kadipatenan yang dijaga puluhan prajurit
berusia muda. Dari jendela kamar penginapannya, bisa terlihat langsung pintu
gerbang masuk bagian depan kadipatenan. Ada sekitar sepuluh orang berpakaian
prajurit tengah berjaga-jaga di sana yang menyandang senjata lengkap.
“Kelihatannya penjagaan sangat ketat, Kakang. Seperti sedang menghadapi
perang saja....”
Rangga berpaling, lalu tersenyum melihat Pandan Wangi sudah berada di
sampingnya. Gadis itu juga rupanya memperhatikan penjagaan di sekitar
bangunan tempat tinggal Adipati Wurungga ini. Dan di dalam hati, Rangga
memang membenarkan ucapan Pandan Wangi. Rasanya, cukup sulit juga untuk bisa
menembusnya.
“Kalau kalian ingin masuk ke dalam, aku tahu jalan rahasia yang
teraman.”
Kedua pendekar dari Karang Setra itu agak terkejut juga, ketika tiba-tiba
saja terdengar suara dari belakang. Mereka cepat berbalik. Dan kening mereka
langsung berkerut begitu melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam
puluh lima tahun, tahu-tahu sudah berada di dalam kamar penginapan ini.
Laki-laki itu mengenakan baju warna biru muda yang sangat halus. Dan pasti
terbuat dari bahan sutera yang sangat mahal harganya.
Pada bagian dadanya terdapat sulaman benang emas bergambar bunga-bunga.
Walaupun sudah berusia lebih dari separuh baya, tapi wajahnya yang bersih
masih terlihat tampan. Rambutnya yang masih hitam pun tertata rapi,
tergelung ke atas. Dari penampilannya, Rangga bisa menebak kalau laki-laki
yang tahu-tahu sudah ada di dalam kamar penginapan ini pasti seorang
pembesar kadipaten.
“Maaf kalau kedatanganku mengejutkan kalian,” ucap laki-laki separuh baya
itu seraya membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi penghormatan.
Rangga segera membalas salam penghormatan itu. dengan membungkukkan
tubuhnya juga. Pandan Wangi juga mengikuti sikap Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian Rangga mempersilakan tamunya ini duduk dengan sikap ramah, walaupun
dari sorot matanya masih memancarkan rasa curiga.
“Maaf, siapakah Paman ini...? Rasanya kami belum pernah mengenal,” ucap
Rangga, lembut dan penuh rasa hormat.
“Memang kita belum saling mengenal. Tapi terus terang saja, aku sudah
mengenalmu, Rangga,” sahut laki-laki tua itu kalem.
“Oh...?!” Rangga kembali terkejut.
“Namaku Arya Sempana,” laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu
memperkenalkan diri.
Rangga mengangguk sedikit, menerima perkenalan itu. Sementara, Pandan Wangi
tetap berdiri saja membelakangi jendela. Dan di dalam kamar penginapan ini
memang hanya ada dua buah kursi yang mengapit sebuah meja kayu, di samping
sebuah ranjang berukuran besar. Namun, tidak ada perabotan lainnya di dalam
kamar itu.
“Jangan heran, kenapa aku bisa tahu namamu, Rangga. Juga kedatangan kalian
berdua di kadipaten ini,” lanjut Arya Sempana.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.
“Gordan yang memberitahukan tentang kalian padaku.”
“Gordan...?!” Kembali Rangga terkejut. Sungguh tidak di sangka kalau Gordan
sudah menceritakan kedatangannya pada orang lain, tanpa diketahui sama
sekali. Tapi tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
bertanya-tanya. Dia hanya diam saja dengan kepala dipenuhi segudang
pertanyaan yang sulit dijawab saat ini.
“Gordan bukan saja keponakanku. Tapi, juga putra Gusti Adipati Utayasena,”
jelas Arya Sempana.
“Ohhh...,” Rangga hanya bisa mendesah panjang saja.
“Dia sudah bercerita banyak tentang kalian berdua. Terus terang, ku ucapkan
terima kasih karena kalian telah menyelamatkan nyawanya. Kalau tidak ada
kalian berdua, entah apa yang terjadi terhadap Gordan. Mungkin saja,
sekarang ini aku hanya bisa menerima kabar tentang nasibnya, tanpa dapat
lagi bertemu orangnya,” lanjut Arya Sempana.
Kini Pendekar Rajawali Sakti baru tahu, ternyata Gordan putra adipati.
Pantas saja dia tidak mau berjalan bersama-sama, setelah memasuki kota
kadipaten ini. Pemuda itu lalu meminta untuk berpisah. Dan sekarang pun
Rangga tidak tahu, di mana Gordan berada.
“Maaf, Paman. Boleh aku bertanya sedikit..,” pinta Rangga menyelak.
“Silakan,” sahut Arya Sempana ramah.
“Di mana Gordan sekarang berada?” tanya Rangga langsung.
“Keselamatannya sangat terancam kalau keberadaannya di Kadipaten Wurungga
ini diketahui, Rangga. Dia langsung pergi setelah menceritakan semua
peristiwa yang dialaminya. Juga tentang kalian berdua,” sahut Arya
Sempana.
“Paman tahu, ke mana perginya?” selak Pandan Wangi bertanya.
“Dia tidak mau mengatakannya, walaupun sudah kudesak. Tapi memang, itu
lebih baik untuk menjaga keselamatan dirinya,” sahut Arya Sempana
lagi.
Rangga dan Pandan Wangi terdiam seraya saling melemparkan pandangan satu
sama lain. Sementara, Arya Sempana juga terdiam. Hanya dipandanginya saja
kedua pendekar muda itu bergantian. Sikapnya masih terlihat sopan.
“Kalau boleh kutahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kadipaten
Wurungga ini, Paman?” tanya Rangga setelah cukup lama membisu.
“Sulit untuk menjelaskannya, Rangga. Kadipaten Wurungga ini benar-benar
telah menjadi neraka. Di sini, sudah tidak ada lagi saling percaya.
Masing-masing saling curiga. Bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Sulit
sekali untuk mengendalikan keadaan kacau ini. Bahkan dalam satu keluarga pun
sulit menemui orang yang bisa dipercaya. Tidak ada lagi tempat aman dan
damai di kadipaten ini.”
“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu lebih
banyak lagi.
“Semua ini terjadi karena ulah Pangeran Iblis,” sahut Arya Sempana, agak
gusar nadanya.
Sementara, Rangga hanya diam saja sambil mendengarkan semua penuturan
laki-laki tua berbaju sutera halus yang sangat indah itu. Dicobanya untuk
membandingkan antara cerita yang didengarnya dari Gordan, dengan cerita yang
dituturkan Arya Sempana. Di saat mereka semua tengah terdiam, tiba-tiba saja
terdengar jeritan seorang wanita, disertai makian dan sumpah serapah.
Pendekar Rajawali Sakti bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke jendela.
Sementara, Pandan Wangi juga cepat memutar tubuhnya. Sedangkan Arya Sempana
segera menghampiri jendela kamar penginapan yang sejak tadi terbuka lebar
itu.
Tampak di luar sana terlihat seorang gadis muda tengah meronta-ronta
diseret empat orang berpakaian prajurit. Kedua tangan gadis itu terikat
tambang yang dipegangi empat orang prajurit berusia muda. Banyak orang di
jalan itu, tapi tak seorang pun yang berusaha menolongnya. Dan baru saja
Rangga hendak bergerak melompat keluar dari jendela, Arya Sempana sudah
lebih cepat mencekal pergelangan tangannya.
“Jangan...!” cegah Arya Sempana.
“Tapi, Paman....”
“Biarkan saja. Jangan ikut campur dulu urusan mereka. Biarkan gadis itu
dibawa. Kau akan celaka nantinya bila menolongnya,” kata Arya Sempana
memperingatkan.
Rangga jadi terdiam dengan kening berkerut, dan kelopak mata agak menyipit.
Sungguh sulit dimengerti sikap Arya yang mencegahnya menolong gadis muda itu
dari tangan-tangan kasar para prajurit. Gadis itu diseret dengan tambang
yang mengikat kedua tangannya. Dia jatuh bangun sambil menjerit-jerit dan
memaki-maki.
Namun tidak ada seorang pun yang mau menolongnya. Bahkan Arya Sempana
sendiri mencegah Rangga yang hendak menolong. Dan inilah yang membuat Rangga
jadi semakin tidak mengerti tentang keadaan di Kadipaten Wurungga ini. Apa
yang terjadi benar-benar membuat Pendekar Rajawali Sakti bingung tidak
mengerti.
Sementara, gadis itu sudah dibawa masuk ke dalam lingkungan kadipaten yang
dijaga ketat puluhan prajurit bersenjata lengkap. Dan suara teriakannya pun
lenyap, setelah melewati pintu gerbang masuk ke kadipatenan itu. Perlahan
Rangga berbalik, dan pandangan matanya langsung menembus bola mata Arya
Sempana. Sedangkan laki-laki separuh baya itu hanya menghembuskan napas
panjang yang terasa berat sekali.
“Kelak kau akan mengerti sikapku tadi, Rangga,” ujar Arya Sempana
perlahan.
Laki-laki tua itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah mendekati kursi dari
rotan. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya dihempaskan di kursi.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri membelakangi jendela,
memandang ke wajah Arya Sempana yang tampak terselimut kabut tebal.
“Akan diapakan gadis itu, Paman?” tanya Pandan Wangi. Terdengar agak dalam
nada suara si Kipas Maut Sorot matanya terlihat begitu dalam, tidak berkedip
menatap mata Arya Sempana.
“Untuk pemuas nafsu pangeran,” sahut Arya Sempana pelan.
“Maksudmu...?” Pandan Wangi jadi bergidik juga mendengar penjelasan Arya
Sempana barusan.
Sungguh tidak disangka kalau prajurit-prajurit Kadipaten Wurungga bisa
berbuat seperti itu. Mereka mengambil paksa gadis-gadis untuk dipersembahkan
pada Pangeran Iblis sebagai pemuas nafsu. Maka seketika darah si Kipas Maut
itu jadi bergolak mendidih.
“Apa lagi yang dilakukan iblis itu selain memperkosa gadis-gadis?” tanya
Pandan Wangi lagi.
Jelas sekali, kali ini nada suara Pandan Wangi terdengar begitu geram.
Seakan-akan, dirinya sendirilah yang terkoyak saat itu. Sementara, Rangga
hanya memandangi saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dia tahu betul
watak Pandan Wangi. Bila mendengar ada orang yang menginjak-injak martabat
kaumnya, darahnya langsung bergolak mendidih. Tapi, inilah yang
dikhawatirkan Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi akan bertindak lebih beringas lagi, jika memang benar Pangeran
Iblis menumpahkan nafsunya pada gadis-gadis secara paksa. Maka tidak ada
seorang pun yang bisa membendung amarah si Kipas Maut itu, kalau sampai ada
martabat kaumnya yang terinjak-injak. Bahkan Rangga sendiri agak kewalahan
juga bila menahan luapan amarah gadis itu.
“Sudah terlalu banyak keangkaramurkaan yang ditimbulkannya di kadipaten
ini. Entah ilmu apa yang dipakai, sehingga banyak orang berhasil dipengaruhi
untuk menjadi pengikutnya. Termasuk, adikku sendiri yang juga pamannya
Gordan. Dia juga terpengaruh Pangeran Iblis, hingga tega hendak memenggal
leher keponakannya sendiri,” kembali Arya Sempana menjelaskan keadaan di
Kadipaten Wurungga ini.
“Hhh! Aku jadi penasaran. Seperti apa sih, tampang Pangeran Iblis itu...?”
desis Pandan Wangi agak mendengus.
***
Emoticon