SATU
Di tempat ini memang agak sepi dan teduh. Sinar matahari pagi tampak
menerobos sela-sela ranting. Kicau burung yang saling bersahutan, sepertinya
mengiringi ayunan langkah kaki seorang pemuda berambut panjang yang tenang
dan santai. Pemuda berbaju rompi putih itu sesekali menengadah ke atas
sambil tersenyum kecil menyaksikan burung-burung yang melintas dari cabang
satu ke cabang pohon yang lain.
"Damai sekali kehidupan mereka.... Tanpa kemelut, yang setiap hari mewarnai
perjalanan hidup manusia," gumam pemuda itu.
Pemuda yang di punggungnya bertengger sebuah gagang pedang bergagang kepala
burung itu tidak lain Rangga. Dan dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Di saat Rangga tengah asyik menikmati keindahan alam beserta isinya dalam
hutan ini, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan melesat begitu cepat di
depannya. Rangga terkesiap, dan seketika itu juga ayunan langkahnya
berhenti.
"Hm..." gumam Rangga.
Dan tahu-tahu, di depan Rangga sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi
kurus. Dia mengenakan baju yang agak longgar. Sepasang matanya terlihat
kecil, namun memancarkan sorotan tajam, menusuk penuh kebencian. Kumisnya
tipis dengan kedua ujungnya menjuntai ke bawah.
"Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanyanya dengan
suara dingin.
Rangga tidak langsung menjawab.
"Hei...! Apakah telingamu tuli?!" bentak orang itu dengan sikap garang dan
suara lantang. Kedua tangan laki-laki bermata kecil yang tadi terlipat di
depan dada itu, kini dilepaskannya. Tangan kiri bertolak pinggang, dan
tangan kanannya memegang sebilah pedang yang ditudingkan tepat mengarah ke
dada Rangga. Tapi, sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak peduli.
Bahkan kelihatan tenang sekali.
"Kisanak, apa maksudmu mencariku?" tanya Rangga dengan suara terdengar
begitu tenang
"Hm.... Jadi, kau benar pendekar kondang itu? Orang-orang menjulukiku
Pedang Ular Emas. Selama ini, tidak seorang pun yang boleh meremehkan
diriku!" kata orang itu, agak sinis nada suaranya.
"Kisanak! Aku tidak mengerti, ke mana arah pembicaraanmu. Kita baru bertemu
sekali ini. Bagaimana mungkin kalau tiba-tiba kau menuduhku telah meremehkan
dirimu?" sahut Rangga heran. Kelopak matanya agak menyipit, dengan kening
sedikit berkerut.
"Tidak perlu banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti! Namamu belakangan ini
menjulang setinggi gunung. Dan selama ini, orang telah menganggap Pedang
Ular Emas tidak ada apa-apa dibanding julukanmu. Jadi, secara tidak langsung
kau meremehkanku. Maka sekarang akan kubuktikan, julukan Pendekar Rajawali
Sakti hanya pepesan kosong belaka. Biar orang-orang persilatan terbuka
matanya, bahwa Pedang Ular Emas tak boleh diremehkan!" terdengar lantang
sekali suara laki-laki bermata kecil yang ternyata berjuluk Pedang Ular
Emas.
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala. Dia mengerti, apa yang
dimaksud Pedang Ular Emas ini. Ternyata laki-laki bermata kecil ini satu
dari orang-orang persilatan yang berpikiran picik. Orang yang selalu
menganggap bahwa sebuah nama punya arti yang besar dalam menunjang
ketenaran, agar dikagumi tokoh-tokoh lainnya.
Dan memang, tidak sedikit orang-orang dari kalangan rimba persilatan yang
selalu mempermasalahkan julukan. Mereka selalu menginginkan yang paling
tinggi, dan ditakuti semua orang. Baik dari kalangan rimba persilatan,
maupun kalangan biasa. Bahkan tidak sedikit yang berani menyabung nyawa,
hanya karena ingin membuktikan kalau tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari
yang lain.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Terasa begitu berat hembusan
napasnya. Sudah bisa ditebak, apa yang diinginkan orang yang mengaku
berjuluk Pedang Ular Emas ini. Dan keadaan seperti inilah yang sama sekali
tidak diinginkannya.
"Pedang Ular Emas! Aku memang pernah dengar namamu yang kesohor itu. Oleh
sebab itu aku menaruh hormat padamu. Kau bukanlah tokoh golongan hitam yang
telengas. Juga, bukan tokoh golongan putih yang selalu membela kebenaran
tanpa pamrih. Kau memiliki jalan hidup sendiri, dan aku tidak bermaksud
mengusikmu. Karena di antara kita tidak ada perselisihan, maka biarkanlah
aku meneruskan perjalanan," ujar Rangga sambil tersenyum kecil.
"Huh! Beginikah sikap tokoh yang namanya banyak dipuja orang...?" dengus
Pedang Ular Emas sinis.
"Hm.... Aku semakin tidak mengerti maksudmu, Kisanak. Kalau kau merasa
namamu besar dan dikagumi orang, nah biarlah sekarang kukatakan kalau aku
pun kagum kepadamu," kata Rangga lagi, seraya menjura.
"Phuih! Kau pikir aku bisa menerima begitu saja, heh...?!" dengus Pedang
Ular Emas ketus.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas. Hatinya mulai kesal melihat tingkah
orang ini. Tapi tetap saja bibirnya tersenyum. Dicobanya untuk lebih
bersabar dan menahan diri, agar amarahnya tidak terpancing. Walaupun, di
dalam hatinya mulai tidak menyukai sikap yang ditunjukkan Pedang Ular
Emas.
"Jadi, bagaimana caranya agar kau percaya bahwa aku kagum pada nama
besarmu?" tanya Rangga. Kali ini nada suaranya datar, tanpa sedikit pun
tekanan.
"Melalui pertarungan hidup dan mati!" sahut Pedang Ular Emas tegas.
Hal itu memang telah diduga Pendekar Rajawali Sakti sebelumnya. Namun tidak
menyangka kalau Pedang Ular Emas menawarkan pilihan pertarungan hidup dan
mati. Bukannya Pendekar Rajawali Sakti takut mendengar kata-kata yang
menantang itu. Namun, batinnya memang tidak bisa menerima. Dan memang, di
antara mereka tidak ada pertentangan yang mengharuskan bertarung hidup dan
mati.
"Kau takut, Anak Muda...? Kalau begitu, cabut pedangmu dan gorok lehermu
sendiri," ejek si Pedang Ular Emas, terdengar begitu sinis.
"Kisanak! Jangan terlalu memaksa. Bukankah akan lebih baik kalau masalah
ini diselesaikan baik-baik?" bujuk Rangga, masih mencoba bersikap sabar dan
tenang. Padahal dalam dadanya sudah bergolak mendidih menghadapi sikap yang
terus-menerus menantang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kalau kau takut menghadapiku, katakan secepatnya.
Biar pedangku ini yang akan menebas lehermu!" bentak Pedang Ular Emas,
sambil mencabut batang pedang yang berkilat tajam dari warangka.
Rangga cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah. Dia terkejut sekali
melihat Pedang Ular Emas tampak begitu bersungguh-sungguh hendak bertarung
dengannya. Dan belum juga bisa berpikir lebih panjang lagi, cepat sekali
laki-laki bermata kecil itu sudah melompat menyerang sambil berteriak
nyaring.
"Pendekar Rajawali Sakti! Mari kita mulai saja! Hiyaaat..!"
"Ups!" Rangga cepat-cepat bergerak ke samping sambil menunduk, menghindari
sabetan pedang lawan yang bergagang kepala ular berwarna emas itu. Tapi kaki
kanan si Pedang Ular Emas rupanya telah mengikuti gerakan pedangnya, dan
langsung terayun ke lambung Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak
menghindar. Rangga tidak punya pilihan lain. Cepat kaki kirinya ditekuk.
Kemudian dengan kecepatan bagai kilat, kakinya terayun menangkis tendangan
lawan.
Plak!
"Huh! Yeaaah...!"
Si Pedang Ular Emas sedikit terkejut. Kakinya kontan terasa kesemutan
akibat berbenturan dengan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebagai tokoh
ternama, mana sudi menunjukkan kekagumannya atas kehebatan tenaga dalam
lawan. Bahkan pedang di tangannya masih sempat menyabet kembali ke arah
leher.
Wuk!
"Hap!"
Rangga cepat-cepat menarik kakinya selangkah ke belakang, dan terus
melenting ke udara. Sementara itu ujung pedang lawan terus bergulung-gulung
mengejar ke mana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak menghindar. Bahkan
tulang keringnya nyaris terputus pedang lawan, kalau saja tidak buru-buru
ditekuknya. Kemudian ketika baru saja menjejakkan kaki, ujung pedang
laki-laki bermata kecil itu menghunjam deras ke arah jantung.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat menggeser tubuhnya, maka pedang itu lewat
beberapa jengkal di depan dadanya. Namun bersamaan dengan itu, kaki kiri
Rangga menghentak ke arah lambung lawan ketika tubuhnya melompat ke
belakang. Begitu cepatnya hentakan kaki pemuda berbaju rompi putih itu,
sehingga....
Dukkk!
"Haiiit..!"
Pedang Ular Emas yang menangkis serangan kaki Pendekar Rajawali Sakti jadi
terkejut setengah mati. Cepat-cepat tangan kirinya dihentakkan, begitu
serangan susulan Pendekar Rajawali Sakti yang sangat cepat kembali tiba.
Sedangkan pedangnya terus menyambar cepat sekali, mengarah ke pinggang.
Tapi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti telah mencelat tujuh langkah di
depannya.
Terpaksa Pedang Ular Emas tidak melanjutkan serangan. Pedangnya yang
berkilatan diusapnya dengan telapak tangan kiri hingga ke ujungnya.
Sementara, sepasang matanya semakin menunjukkan kegarangan dan sinar
kebencian yang mendalam.
"Hm.... Tidak percuma namamu begitu digembar-gemborkan orang. Ternyata,
ilmu silatmu memang hebat. Tapi jangan girang dulu, Anak Muda. Sekarang,
coba hadapi ilmu 'Pedang Setan Mengejar Rajawali'," dengus Pedang Ular
Emas.
"Kisanak. Kurasa cukup sampai di sini saja urusan kita. Aku tidak begitu
bersemangat mengurusi soal sepele begini," sahut Rangga, enggan.
"Sepele katamu, heh...?! Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Untukku,
persoalan ini sangat penting! Ini sudah menyangkut harga diri!" dengus
Pedang Ular Emas ketus.
"Harga diri apa yang kau pertahankan, Kisanak? Ku ingatkan sekali lagi, di
antara kita tidak pernah punya perselisihan. Dan kalau memang pertarungan
yang kau kehendaki sekadar mencari nama belaka, biarlah aku mengalah dan
mengatakan kalau kau lebih unggul dibandingkan denganku," kata Rangga masih
mencoba bersikap lunak.
Tapi Pedang Ular Emas malah mendelik garang mendengar kata-kata Pendekar
Rajawali Sakti. Meskipun Rangga sudah bersikap mengalah, tapi justru
membuatnya merasa semakin terhina dan direndahkan. Pemuda yang berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti ini dianggapnya sudah merendahkan dan menghina
dirinya dengan bersikap mengalah seperti itu. Dan ini membuat darahnya
semakin panas bergolak.
"Pendekar Rajawali Sakti! Sudahlah, jangan banyak mulut! Kalau memang kau
tidak mengerti apa yang kuinginkan, aku tekankan sekali lagi. Aku tidak
peduli kau mau mengalah atau tidak. Yang jelas, pedangku akan membuat di
antara kita hanya ada dua pilihan. Kau, atau aku yang bakal mampus," lantang
sekali su-ara Pedang Ular Emas.
Pendekar Rajawali Sakti mendesah kecil sambil menggelengkan kepala.
Sungguh, dia tidak ingin persoalan seperti ini terus diperpanjang. Tapi,
tampaknya Pedang Ular Emas tidak peduli lagi. Dan dia benar-benar
menginginkan satu pertarungan hidup dan mati.
"Sungguh sayang.... Bukankah masih banyak yang bisa kau kerjakan dengan
tingkat kepandaian ilmu dan kanuraganmu yang tinggi itu, Kisanak? Misalnya,
membantu mereka yang lemah dan tertindas. Percayalah, Kisanak. Itu lebih
penting. Bahkan bisa membuat namamu menjulang, kalau benar tujuanmu sekadar
mencari ketenaran...," kata Rangga mencoba mendinginkan hati si Pedang Ular
Emas.
"Phuih! Telan sendiri kata-kata itu untukmu, Pendekar Rajawali Sakti!
Jangan harap pikiranku berubah," bentak Pedang Ular Emas sengit" Terimalah
seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"
Setelah selesai berkata-kata, si Pedang Ular Emas langsung saja melompat
menyerang. Gerakannya sangat cepat, dan mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Ujung pedangnya meliuk-liuk menyambar tubuh Rangga seperti memiliki
berpasang-pasang mata saja.
"Hiyaaat..!"
Dalam dua jurus pertama, Rangga terlihat hanya berusaha bertahan sambil
jungkir balik menghindari serangan lawan yang semakin lama semakin gencar.
Pendekar Rajawali Sakti masih belum mau meladeni atau membalas serangan
lawan. Dia tahu, pertarungan ini didasari oleh alasan yang tak masuk akal.
Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika menyadari kalau
ilmu 'Pedang Setan Mengejar Rajawali' bukanlah suatu ilmu pedang biasa.
Sedikit saja salah menghindar, bukan mustahil senjata lawan akan
mengiris-iris tubuhnya.
Meski pada awalnya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dikerahkannya mampu
meredamnya, tapi hal itu barangkali tidak bisa bertahan lama. Terlihat jelas
kalau gaya ilmu pedang yang dimainkan Pedang Ular Emas semakin lama bukan
semakin lemah. Bahkan seiring pergerakannya, maka akan terlihat pada tingkat
selanjutnya kalau lawan mulai membendung setiap langkah Pendekar Rajawali
Sakti. Jelas begitu sesuai dengan nama jurusnya. Ke mana pun Rangga
menghindar, pedang bergagang kepala ular berwarna emas itu selalu bisa cepat
mengejar.
"Ayo...! Keluarkan seluruh kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau
tidak, jangan salahkan bila aku berbuat curang. Tak peduli kau akan melawan
atau terus menghindar, aku tidak segan-segan membunuhmu!" bentak Pedang Ular
Emas di tengah pertarungan. "Hiyaaat...!"
"Hm.... Agaknya kau betul-betul menginginkan nyawaku, Kisanak. Baiklah
kalau memang niatmu begitu. Aku tidak punya pilihan, selain menghadapimu,"
sahut Rangga menggumam pelan, seperti bicara untuk diri sendiri.
Wuk! "Yeaaah...!"
Dalam suatu kesempatan, tubuh Rangga mencelat tinggi. Namun demikian,
pedang lawan terus mengikutinya dengan gerakan meliuk-liuk ganas. Begitu
berada dua tombak di udara, Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa
kali. Dan ketika kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula tubuhnya
kembali melesat cepat, sambil membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar
Mangsa'.
"Hiyaaat..!"
"Hup!"
Siiing!
Melihat Rangga mulai membalas menyerang, si Pedang Ular Emas semakin
bernafsu menyerangnya. Tapi kali ini, keadaannya tentu tidak semudah ketika
Rangga tidak melakukan serangan apa-apa tadi. Terlihat sikapnya mulai
hati-hati terhadap ujung tangan dan tendangan kaki Rangga yang mampu melesat
cepat menyambar batok kepala atau dadanya. Ujung pedang si Pedang Ular Emas
cepat menyambar, tapi Rangga lebih cepat lagi menarik pulang tangan dan
kakinya. Kemudian tubuhnya berputar seraya mencari sasaran bagian tubuh yang
lain.
Pertarungan pun kini berjalan semakin sengit Dan masing-masing sudah mulai
melancarkan serangan dahsyat dan berbahaya. Sedikit saja lengah, bisa
berakibat parah. Pedang Ular Emas memang bukan nama kosong belaka. Kalau
saja bukan Pendekar Rajawali Sakti yang menghadapi, belum tentu para tokoh
lain mampu menghadapi gempurannya yang dahsyat. Lebih-lebih keahliannya
menggunakan senjata pedang.
Rangga sendiri menyadari, meski menggunakan jurus-jurus 'Rajawali Sakti'
pada tingkat kelima, belum tentu bisa terus bertahan menghadapi permainan
pedang lawan. Hatinya masih tidak tega dan tidak begitu bernafsu menyakiti
lawannya. Keengganan Rangga, rupanya terbaca juga oleh Pedang Ular Emas.
Maka dia cepat melompat mundur, dan langsung menghentikan pertarungan untuk
sementara. Rangga sendiri hanya diam saja, walaupun saat itu pertahanan si
Pedang Ular Emas sedang terbuka lebar.
"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti! Karena aku tidak akan
bermain-main denganmu. Nyawamu menjadi taruhannya!" teriak Pedang Ular Emas
yang agaknya merasakan kalau lawan belum sepenuhnya meladeni
serangan-serangannya.
"Kisanak! Aku masih tidak tega menukar permainan ini dengan nyawa. Nyawa
hanya sekali saja diberikan oleh Hyang Widhi. Oleh sebab itu, adalah suatu
hal yang teramat mahal. Kalau saja hai ini disadari, tentu kau tidak akan
bertindak bodoh. Kecuali, kalau memang isi kepalamu penuh kepicikan," sahut
Rangga tenang.
"Tutup mulutmu! Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak butuh nasihatmu.
Kalau kau terus begini, maka lebih baik gorok saja lehermu sendiri. Setelah
itu, baru aku merasa puas!"
"Itu tidak mungkin lagi, Kisanak. Meskipun aku gila, rasanya lebih bagus
menggorok leher orang lain daripada menggorok leher sendiri!" sahut Rangga,
kalem.
"Bagus! Nah, sekarang apa lagi yang ditunggu? Keluarkan pedangmu! Dan,
tunjukkan padaku kehebatanmu seperti yang sering digembar-gemborkan
orang!"
"Sayang, Sobat Pedang ini hanya akan keluar dari sarangnya jika keadaan
amat memaksa...."
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan memaksanya keluar!" bentak Pedang Ular
Emas geram.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pertarungan kembali berlangsung sengit. Kali ini Pedang Ular Emas
betul-betul mengeluarkan segenap kelincahannya untuk memaksa Pendekar
Rajawali Sakti mencabut pedang. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata
orang awam. Belum lagi, pedang di tangannya yang berdesing-desing
menimbulkan suara bercuitan halus dan berkelebat bagaikan kilat Rangga
terkejut bukan main. Untuk sesaat dia hanya bisa menghindar sambil jungkir
balik menyelamatkan selembar nyawanya.
"Gila! Orang ini betul-betul sinting!" maki Rangga perlahan, begitu kakinya
menginjak tanah setelah bersalto beberapa kali ke belakang.
"Yeaaah...!"
Namun belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pedang di
tangan lawan kembali mencecarnya. Gerakannya demikian cepat sehingga Rangga
agak terkesiap. Namun sebagai tokoh nomor satu dalam dunia persilatan,
otaknya mampu bekerja cepat. Maka segera saja dia mencelat ke belakang.
Tapi..., terlambat Dan...
Sret!
"Akh!"
Rangga terkejut. Ternyata ujung pedang lawan berhasil menggores bahu
kirinya. Untung saja dia sempat melesat ke belakang. Kalau tidak, barangkali
pinggangnya bakal terkena serangan susulan pedang lawan. Tapi Pedang Ular
Emas tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya terus bergerak
ketika Rangga mencelat tadi, melepaskan serangan maut disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Pedangnya berkelebat cepat, siap menyambar dada Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, tak ada kesempatan bagi Rangga untuk menghindar. Maka pedang
pusakanya langsung dicabut. Seketika sinar biru memancar dari batang pedang,
sehingga keadaan di sekitarnya semakin terang benderang. Dan sambil
berteriak nyaring, Rangga memapak pedang lawan.
"Hiyaaat..!"
Wuk!
Trang..!
Seketika terjadi ledakan keras begitu dua senjata beradu. Pedang Ular Emas
terjajar beberapa langkah ke belakang disertai rasa terkejut yang amat
sangat. Ternyata benturan itu harus dibayar mahal, ketika pedangnya terbabat
kutung. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seberkas
sinar biru menyambar ke arah lehernya.
Crasss! Pedang Ular Emas tidak sempat lagi berteriak ketika kepalanya
terkulai layu dengan leher nyaris putus. Darah langsung ambruk ke tanah
dengan nyawa melayang dari raga. Sementara, Rangga memandang sedih sambil
menyarungkan kembali pedang pusakanya.
"Maaf, Sobat Aku sebenarnya tidak bermaksud melukaimu. Tapi kau terlalu
memaksa, daripada nyawaku sendiri yang akan melayang di tanganmu...," gumam
Rangga lirih, seraya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
***
DUA
Seorang anak kecil tampak tengah asyik sekali bermain gerobak-gerobakan.
Sepertinya, dia merasakan sedang menaiki gerobak sungguhan yang ditarik
seekor kuda. Sesekali dari mulutnya terdengar suara gebahan bagai seorang
kusir menyentak kudanya yang malas berlari kencang.
"Hush..., hush! Ayo, lari kencang! Lebih kencang lagi! Heaaa...!" teriaknya
sambil berlari-lari menarik gerobak mainannya dengan seutas tali.
Tangan kiri bocah itu sesekali menyibakkan rambutnya yang panjang terurai
menutupi wajah. Sementara itu, tidak jauh di depannya terlihat beberapa
orang lelaki berpakaian serba hitam dan berwajah seram tengah menunggang
kuda. Melihat dari tampang dan sorot mata, agaknya mereka bukanlah orang
baik-baik. Lebih-lebih, di setiap pinggang mereka terselip golok berukuran
besar. Bocah itu berhenti tepat di depan mereka. Diperhatikannya orang-orang
itu dengan seksama, kemudian tertawa lucu seperti untuk dirinya
sendiri.
"Hi hi hi...! Perutnya gendut seperti kerbau. Dan matanya juling seperti
maling!" kata bocah itu sambil menunjuk salah seorang di antara
mereka.
Merasa diledek begitu rupa, orang itu menggeram sambil mendelik. "Bocah
sinting! Pergi jauh-jauh dari sini sebelum mulutmu kupecahkan!" bentak
laki-laki berwajah seram itu dengan suara keras.
"Olalah.... Kalau sedang marah, berubah rupa seperti kambing mengembik,"
sahut si bocah seperti tidak menghiraukan bentakan orang itu.
"Kurang ajar! Bocah setan, kupecahkan mulutmu agar bisa lebih sopan pada
orang tua!" bentak orang itu lagi sambil turun dari kudanya.
Namun, salah seorang temannya yang bertubuh kecil dan berambut putih segera
mencegahnya. "Sudahlah, Kusnadi! Kita harus cepat-cepat sampai di kotaraja.
Untuk apa meladeni anak kecil segala."
"Betul. Mari kita lanjutkan perjalanan," sahut salah seorang temannya yang
lain.
"Betul, Kusnadi. Untuk apa meladeni anak kecil? Salah-salah, nanti kau
malah malu sendiri," sahut si bocah menimpali dengan tenangnya.
"Hei?!" Laki-laki yang bernama Kusnadi yang sudah mulai surut amarahnya,
kembali bangkit rasa geramnya. Padahal, dia tadi bermaksud menarik tali
kekang kuda untuk mengikuti tiga orang temannya. "Kalau belum kutampar
mulutnya, bocah ini tidak akan diam sampai kapan pun!" dengus Kusnadi sambil
turun lagi dari kudanya. Langsung dihampirinya bocah itu.
"Uts! Galak betul kerbau ini?" ejek si bocah sambil memiringkan kepala,
ketika Kusnadi mengayunkan tangan hendak menghajar mukanya.
"Sial! Bocah keparat! Pintar juga rupanya kau berkelit, ya? Nih, makan
lagi!" dengus Kusnadi dengan tangan siap melayang ke arah bocah kecil
itu.
Tapi kali ini Kusnadi tidak sudi diremehkan bocah itu lagi. Kaki kanannya
cepat digerakkan menyapu ke bawah. Dugaannya, bila bocah itu berhasil
menghindar dari tamparannya, maka akan terjerembab dihantam sapuan kakinya.
Tapi yang terjadi sungguh membuat kesal orang berperut buncit dan bermata
juling itu. Dengan ringan, tubuh kecil itu meloncat tinggi. Dan
tiba-tiba....
Desss!
"Akh...!"
"Hi hi hi...! Kerbau goblok kalau terjatuh lucu sekali. Hus..., hus...! Ayo
bangun..., bangun!"
Kusnadi terkejut setengah mati. Bagaimana mungkin bocah itu mampu berbuat
seperti tadi. Matanya dikucek-kucek berkali-kali, kemudian keningnya terasa
berdenyut bekas tendangan bocah itu. Tak salahkah penglihatannya? Bocah yang
diperkirakan baru berusia sekitar delapan tahun, ternyata memiliki tubuh
yang ringan. Bahkan tendangannya kuat sekali!
"Keparat! Siapa sebenarnya kau?!" bentak Kusnadi garang.
"Aku, ya aku. Masa kau tidak mengenali juraganmu sendiri? Akulah pemilik
berhektar-hektar sawah di tempat ini. Dan aku pula pemilik dari seluruh
istana ini. Nah, Tukang Kuda Goblok. Ayo kembali bekerja sebelum punggungmu
kucambuk!" sahut si bocah sambil memelototkan matanya.
Kusnadi mulai berpikir. Kalau bukan gila, pasti bocah ini terlalu berkhayal
jauh. Di tempat yang gersang dan hanya ditumbuhi ilalang ini, sejauh mata
meman-dang tidak terdapat sepetak sawah pun. Dan lagi pula, mana ada
bangunan istana selain rimba lebat yang jauh di belakang mereka? Tapi karena
marahnya, dia tidak memikirkan lagi siapa di hadapannya.
"Bocah kurang ajar! Terimalah hukuman dariku!" bentak Kusnadi sambil
mengayunkan kaki kanan.
Agaknya, lelaki berperut buncit itu bermaksud menghajar si bocah dengan
kejam. Paling tidak, tubuh kecil itu akan tersungkur terkena hajaran
kakinya. Bahkan terluka parah! Tapi yang terjadi sungguh membuatnya terkejut
dan bertambah marah. Dengan ringan, bocah itu merunduk. Bahkan langsung
mengirimkan kepalan tangan yang menghajar bagian terlarang di bawah pusar
Kusnadi.
"Aaa...! Kontan saja laki-laki berperut buncit itu memekik kesakitan.
Sepasang matanya mendelik menahan sakit. Bahkan tubuhnya sudah
berguling-guling dengan kedua tangan memegang bagian bawah tubuhnya. Dari
mulutnya terus terdengar erangan kesakitan yang panjang.
Tentu saja hal ini membuat ketiga orang teman Kusnadi terperanjat. Betapa
tidak? Seharusnya pukulan seorang bocah berusia sekitar delapan tahun, tidak
akan membuat Kusnadi mengerang kesakitan yang amat sangat. Apalagi,
laki-laki bermata juling itu diketahui memiliki ilmu olah kanuragan yang
cukup lumayan. Tapi, ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
"Ki Gembyong! Bocah itu mungkin bukan bocah sembarangan!" gumam salah
seorang yang bertubuh kurus, kepada temannya yang bertubuh kecil.
"Betul apa katamu, Kalino! Siapa dia sebenarnya, ya?" dahi laki-laki kurus
yang bernama Ki Gembyong berkerut.
Bersama dua orang temannya dia turun dari kuda dan menghampiri si bocah
yang masih terkekeh-kekeh geli memandangi Kusnadi yang masih
berguling-gulingan di tanah menahan sakit.
"Bocah! Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Gembyong dengan suara lunak.
Bocah itu menghentikan tawanya, lalu memandang Ki Gembyong dengan dahi
berkerut. Ki Gembyong bukanlah orang sembarangan. Dia dan temannya dalam
rimba persilatan dikenal sebagai anggota Serikat Kawa-kawa Hitam. Seperti
banyak diketahui orang, gerombolan itu adalah mereka yang selama ini sering
memberontak terhadap pihak kerajaan. Mereka juga banyak menimbulkan
kerusuhan di masyarakat berupa, perampokan, pemerkosaan, dan
penganiayaan.
Ki Gembyong sendiri termasuk dalam jajaran tokoh utama dalam serikat itu.
Maka sudah pasti kalau ilmu olah kanuragannya cukup diandalkan. Walau wajah
bocah itu jelas terlihat kekanak-kanakan, namun sempat membuat Ki Gembyong
heran. Sebab diyakini betul kalau bocah itu bukanlah bocah
sembarangan.
Dia lebih mirip pemuda dewasa yang bertubuh dan berwajah bocah berusia
delapan tahun. Lebih-lebih ketika pandangan mata mereka beradu beberapa
saat. Terasa betul kalau bocah itu memiliki tenaga dalam kuat. Maka makin
yakinlah dugaan Ki Gembyong!
"He he he...! Kakek, wajahmu jelek sekali. Hitam, dekil, dan rusak seperti
pantat dandang di rumahku!" ledek si bocah sambil tertawa lucu dan menuding
Ki Gembyong.
Pada dasarnya, Ki Gembyong bukan orang sabar. Dia lekas naik darah seperti
Kusnadi. Tapi kali ini Ki Gembyong masih mampu menahan napas dan menekan
hawa amarahnya mendengar ejekan itu. Urat di pelipisnya seperti menggembung
dan rahangnya terkatup rapat.
"Bocah! Kau telah melukai seorang dari teman kami tanpa sebab. Mau tidak
mau, orangtua mu harus bertanggung jawab atas kelakuanmu ini. Antarkan kami
pada orangtua mu, biar mereka menerima hukuman karena tidak mampu mendidik
anaknya menjadi anak sopan."
"Hi hi hi...! Kakek jelek, kau tahu apa tentang segala yang diajarkan
orangtua ku? Merekalah orang paling baik di dunia. Ayahku orang paling
tampan, dan ibuku orang paling cantik di dunia ini. Saat ini, memang aku
sedang bersedih karena adikku belum juga mendapatkan jodoh. Walau mereka tak
menyuruh, sebagai abang, tentu aku merasa bertanggung jawab untuk
mencarikannya. Sayang, kalian tidak memenuhi syarat. Selain jelek dan buruk
rupa, kalian pun termasuk orang tidak berguna," sahut bocah itu
seenaknya.
"Bocah! Siapa yang peduli dengan urusanmu! Cepat antarkan kami pada
orangtua mu!" bentak laki-laki yang bernama Kalino mulai tidak sabar, sambil
mendelikkan sepasang matanya.
"He he he...! Apalagi rupamu! Lebih tidak memenuhi syarat. Sudah jelek,
pemarah pula. Jangankan bertemu adikku. Menjadi pelayannya pun, kau tidak
pantas."
"Apa katamu?!" Kalino langsung mencabut goloknya, bermaksud
menggertak.
"Jelek, codet, dan lebih tampan kerbau goblok, dibandingkan monyet buduk
sepertimu!"
"Kurang ajar!" Dalam kemarahannya itu, Kalino betul-betul tidak bisa
berpikir lebih jauh lagi. Akal sehatnya seperti tidak terpakai. Dan dalam
pandangannya, bocah itu adalah musuh besarnya yang harus dilenyapkan saat
itu juga.
"Mampus!"
Kalino langsung melompat seraya menebaskan goloknya ke arah bocah
itu.
"Uts! Apa yang mampus? Kau ingin buru-buru mampus?" ejek si bocah sambil
berkelit dari tebasan golok Kalino.
Bukan main kaget dan terkejutnya laki-laki yang memiliki codet di bawah
mata kirinya itu, melihat serangannya luput. Namun hal itu hanya sekejap.
Dalam kemarahannya, kegagalannya tidak dipikirkannya lebih lanjut. Yang ada
di benaknya hanya bagaimana caranya agar bocah di hadapannya itu mampus
secepatnya. Maka tidak heran ketika serangan pertamanya luput. Kalino lebih
bernafsu melancarkan serangannya. "Yeaaah...!"
"Walah..., walah! Galak sekali kau, Monyet Buduk? Rupanya kau betul-betul
ingin mampus buru-buru. Baiklah kalau itu keinginanmu. Aku pasti akan senang
hati mengabulkannya," ucap si bocah sambil tersenyum-senyum.
"Hiyaaa...!" Bocah itu cepat menundukkan kepala ketika golok Kalino
menyambar. Sementara, kaki kanannya yang kecil dan pendek bergerak cepat
menghantam pergelangan tangan Kalino sambil berteriak nyaring.
Duk!
Des!
"Aaakh...!"
Kalino kontan menjerit kesakitan seraya memijit-mijit tangannya. Golok di
tangannya pun sudah terlepas dihantam kaki bocah itu yang keras bukan main.
Dan belum lagi bersiaga, tiba-tiba muka laki-laki itu harus menerima
hantaman pukulan yang begitu keras dari si bocah. Maka seketika terdengar
derak tulang wajahnya yang retak. Kalino langsung ambruk dan
menggelepar-gelepar, sambil mendekap wajahnya yang berlumuran darah.
"Ha ha ha...! Monyet buduk, kini wajahmu lebih persis monyet korengan!"
cela si bocah sambil tertawa kegirangan melihat lawannya sekarang.
Ki Gembyong sendiri langsung bangkit amarahnya melihat kelakuan bocah yang
dirasa sudah benar-benar kurang ajar. Sambil menggeram garang, ditudingnya
bocah itu. "Jahanam licik! Aku tahu, kau bukan anak kecil biasa. Perbuatanmu
tidak bisa dikasih hati. Mampuslah kau di tanganku!"
"Eee, siapa yang ingin mampus! Enak saja kau berkata begitu! Bukankah
temanmu yang ingin mampus! Dan sekarang, kau pula yang ingin menyusul
mampus. Jadi jangan salahkan kalau aku mengabulkannya," sahut si bocah
lantang.
"Banyak mulut! Mampus!" "Yeaaah...!"
Dari telapak tangan Ki Gembyong menderu serangkum angin kencang menyambar
tubuh kecil bocah itu. Namun dengan mudah serangan itu dapat dihindari
dengan mencelat ringan ke atas. Buru-buru Ki Gembyong mengejar sambil
mengayunkan kepalan tangan ke batok kepala, namun cekatan sekali bocah itu
menangkisnya dengan tangan kiri.
Duk! "Uts, haaa...!"
Ki Gembyong meringis kecil ketika tangannya terasa ngilu akibat benturan
tadi. Diam-diam, hatinya memuji tenaga dalam bocah ini yang telah mencapai
tingkat sempurna. Siapa nyana bocah sekecil ini telah memiliki tenaga dalam
yang demikian hebat? Maka, semakin bernafsu saja Ki Gembyong meladeninya.
Bahkan tidak canggung-canggung menyerang si bocah habis-habisan. Walaupun
kaget merasakan tenaga dalam lawan, tapi sebagai tokoh yang berpengalaman
dalam dunia persilatan, mana mungkin Ki Gembyong menyerah begitu saja.
Bahkan sudah langsung menghajar kembali bocah itu dengan tendangan
kakinya.
"Yeaaah...!" Bocah itu jungkir balik ke kiri, tapi Ki Gembyong sudah
langsung menyusulinya dengan tebasan golok. Bisa dipastikan, dengan sekali
sambar saja maka tubuh bocah itu akan putus menjadi dua bagian. Tapi yang
terjadi berikutnya malah semakin membuat orang tua itu geram saja. Sebab
demikian lincahnya bocah itu menekuk tubuhnya sambil melenting ke atas. Maka
tentu saja golok lawan lewat beberapa jengkal dari tubuhnya. Namun secara
tidak disangka-sangka, sebelah kaki bocah itu melayang ke arah pergelangan
tangan Ki Gembyong yang sedang memegang golok.
"Hiyaaa...!"
Plak!
Golok di tangan Ki Gembyong langsung terlempar entah ke mana. Yang jelas,
tangannya kontan terasa linu dan nyeri. Dan belum lagi disadari apa yang
terjadi barusan, tiba-tiba bocah itu menyusuli serangannya dengan sebuah
tendangan setengah lingkaran sambil memutar tubuhnya. Dan....
Des!
"Aaakh!"
Ki Gembyong menjerit kesakitan ketika dadanya terkena hantaman kaki lawan.
Orang tua itu kontan terhuyung-huyung sambil menahan nyeri. Beberapa tulang
iganya terasa patah. Tapi pada saat yang bersamaan, tubuh bocah itu tanpa di
duganya sama sekali telah melesat sambil mengirim serangan susulan.
"Karsono, apa-apaan kau ini?!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan halus yang membuat bocah itu menghentikan
serangannya. Dan tahu-tahu, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh wanita
berparas cantik. Bajunya warna-warni seperti yang dikenakan bocah itu.
Rambutnya yang panjang dan agak kemerah-merahan dibiarkan lepas begitu saja.
Sebagian malah menutupi wajahnya. Sebenarnya, kulit gadis itu terlihat
putih. Namun, ada kesan kusam dan kotor. Begitu pula pakaiannya. Agaknya,
wanita itu memang tidak pandai mengurus dirinya sendiri.
"Eee, Yatikah. Kenapa pula kau ada di sini? Ayo pulang, biar aku yang
mencarikan calon suami untukmu!" sahut bocah itu sambil mengulurkan
tangan.
"Aku tidak mau dicarikan olehmu. Biarlah kucari sendiri!"
"Hik hik hik...! Belum ada yang memenuhi syarat... Belum ada," sahut bocah
itu berulang-ulang sambil menggelengkan kepala.
"Apakah monyet-monyet buduk ini hendak kau calonkan padaku?" tanya gadis
yang dipanggil Yatikah, dengan mata melotot garang pada bocah yang ternyata
bernama Karsono.
"Phuih! Siapa sudi?! Jangankan kau. Aku sendiri saja mau muntah melihatnya!
Mereka hanya sekumpulan monyet yang tidak berguna!"
"Bocah! Jangan sembarangan bicara! Siapa yang sudi dicalonkan dengan
perempuan dekil seperti dia!?" sahut salah seorang di antara kawanan itu,
yang sejak tadi hatinya ciut melihat teman-temannya mudah
dipecundangi.
"Apa katamu?!" sepasang mata Yatikah melotot marah.
"Gadis dekil dan bocah keparat!"
"Bangsat!" maki Yatikah. Langsung gadis itu mencelat ke arah orang itu,
mengirimkan satu serangan kilat.
Orang itu tersentak kaget. Gerakan gadis ini ternyata gesit dan cepat. Maka
dengan semampunya, tubuhnya berkelit. Maka serangan itu hanya lewat di
sisinya. Kemudian goloknya langsung dicabut dan dikibaskan ke arah pinggang
ramping lawan.
"Yeaaah...!" Plak!
Namun, Yatikah tidak kalah gesit. Tubuhnya langsung melesat ke atas. Dan
tanpa diduga sama sekali, kakinya melepaskan tendangan. Dan....
"Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika ujung kaki Yatikah menghantam dagunya.
Bahkan langsung terhuyung-huyung dengan mulut meringis dan mengucurkan
darah.
"Rasakan bila berani berkata sembarangan di depanku!" dengus Yatikah geram,
begitu telah mendarat kembali di tanah.
"Ha ha ha...! Sudahlah, Yatikah. Kau semakin membuat wajahnya lebih buruk
dari monyet buduk. Aku sampai tidak ingat makhluk apa yang lebih jelek dari
ini!" sahut Karsono sambil tertawa-tawa.
"Biar dia tahu rasa berani menghina kita!" dengus Yatikah.
"Biarlah kita cari yang lain saja. Mari tinggalkan tempat ini!" ajak
Karsono sambil berlalu dari tempat itu.
Yatikah melirik sesaat pada orang-orang itu, kemudian sambil mendengus
garang mengikuti jejak Karsono dengan wajah masam. Sementara itu, dari jauh
terdengar suara Karsono yang mendorong gerobak mainannya. Sedangkan saat
itu, Ki Gembyong tampak menggelengkan kepala lesu sambil berusaha membimbing
beberapa orang temannya. Mereka berlalu dari tempat itu dengan membawa
segudang dendam.
"Suatu saat, kalian akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah
pembalasan kami," geram Ki Gembyong hampir tidak terdengar, sambil
mengepalkan tangan.
***
TIGA
Terik siang hari ini, membuat peluh di tubuh Rangga mengucur deras.
Berkali-kali Pendekar Rajawali Sakti menyeka keringat di kening sambil
mengipas-ngipaskan telapak tangannya ke wajah. Rasa haus dan lapar mulai
menyerang tenggorokan dan perutnya. Saat matanya melihat sebuah desa di
depan sana, tanpa membuang waktu lagi langsung dikerahkannya ilmu
meringankan tubuh, berjalan cepat menuju desa yang ternyata bernama Desa
Tegalan.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di
mulut Desa Tegalan. Tapi desa itu tampak sepi sekali, seperti sudah
ditinggalkan penduduknya. Namun tak lama kemudian, Pendekar Rajawali Sakti
bisa bertemu beberapa orang. Maka kini dia bisa bernapas lega. Untuk itu,
yang pertama dicarinya adalah sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang mulai
berbunyi minta diisi.
Rangga melangkah pelan memasuki sebuah kedai. Di dalamnya tampak tidak
kurang dua puluh orang mengisi meja masing-masing. Melihat dari cara tatapan
mereka yang tidak bersahabat dan menganggap rendah dirinya, Rangga berusaha
setenang mungkin. Sementara, yang lainnya adalah penduduk desa biasa yang
tidak peduli oleh kehadirannya. Seorang laki-laki pemilik kedai tampak
menghampiri, begitu Rangga sudah mengambil tempat di kursi kosong.
"Tolong bawakan nasi dan lauk-pauknya. jangan lupa sebumbung tuak!" pesan
Rangga pada pemilik kedai.
"Hanya itu saja, Den?" tanya pemilik kedai itu.
"Itu saja," sahut Rangga.
"Baik. Sebentar, Den"
Pemilik kedai itu segera berlalu. Sambil menunggu pesanannya datang, Rangga
mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kedai yang cukup luas ini.
Pandangan matanya kemudian tertumbuk pada wajah seram. Sebelah matanya
tampak dibalut kain hitam. Dan begitu matanya melihat Rangga, dia mendengus
sinis sambil membuang ludah ke tanah.
Rangga yang pada dasarnya tidak ingin mencari keributan di tempat itu,
buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. Tapi, agaknya orang bermata
satu itu sudah merasa tersinggung oleh tanggapannya tadi. Bahkan kini
bangkit berdiri dari kursinya, lalu melangkah lebar mendekati Pendekar
Rajawali Sakti. Tanpa bicara lagi sedikit pun juga, langsung saja bahu
Rangga dicengkeram kuat-kuat.
"Bocah! Aku menginginkan pedangmu!" kata laki-laki bermata satu itu sambil
terus menggenggam pedang bergagang kepala burung di punggung Rangga.
Tapi belum juga pedang itu sempat dicabut dari warangkanya, dengan cepat
Rangga mengayunkan satu tangannya ke bahu, kemudian sikut tangan yang lain
menghajar lawan tanpa menoleh ke belakang. Tapi si mata satu agaknya bukan
orang sembarangan. Maka tangan kirinya langsung menangkis, sementara kepalan
tangan yang lain disorongkan ke batok kepala bagian belakang Pendekar
Rajawali Sakti.
Plak! Plak!
"Yeaaah...!"
"Uts, shaaa...!"
Rangga menundukkan kepala sedikit Kemudian sambil memutar tubuhnya ke kiri,
tahu-tahu sudah melesat satu tombak setelah terlebih dahulu mengirim satu
serangan ke perut lawan. Tapi, si mata satu cepat menangkisnya dengan
mantap.
Plak!
"Ha ha ha...! Bagus! Kalau seseorang memiliki senjata, paling tidak akan
mampu menyelamatkan senjatanya sebelum dirinya sendiri termakan," keras
sekali suara orang bermata satu ini.
"Maaf, Kisanak. Aku saat ini tidak ada niat untuk bermain-main denganmu,"
sahut Rangga, bernada sopan.
"Huh! Siapa yang akan bermain-main denganmu, Bocah! Kau kenal siapa aku,
heh...?! Namaku Bangkor, Ketua Perampok Mata Satu. Kalau aku sudah punya
keinginan, maka tidak seorang pun bisa menghalangi. Nah, serahkanlah
pedangmu padaku"
"Kisanak! Pedangku bukan untuk kuberikan pada orang lain. Meski buruk dan
tidak berguna, tapi benda ini adalah bagian dari diriku. Maaf, aku tidak
bisa memberikannya padamu," sahut Rangga masih dengan sikap sabar.
"Bocah keras kepala! Jangan menyesal kalau aku menggunakan kekerasan
padamu!" bentak Bangkor, seraya bersuit nyaring.
Belum lagi hilang siulannya, seketika melompat lima orang yang berada di
kedai itu, dan langsung mengurung Rangga. Agaknya, orang-orang ini anak buah
Bangkor yang sejak tadi telah siap-siap menjaga segala kemungkinan.
"Pecahkan batok kepala bocah ini!" seru Bangkor memberi perintah. Tanpa
diperintah dua kali, kelima orang itu langsung menyerang Rangga sambil
mencabut goloknya masing-masing.
"Kalian benar-benar menghilangkan selera makanku," gumam Rangga
kalem.
"Persetan! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat tinggi,
nyaris bersentuhan dengan atap kedai. Kemudian, tubuhnya dibuang ke arah
samping, untuk menghindari serangan lawan-lawannya. Tapi kelima orang itu
terus mengejar ke mana pun Rangga bergerak. Sementara Bangkor mengusap-usap
jenggotnya yang pendek sambil mendengus sinis, menyaksikan lima orang anak
buahnya.
"Kisanak! Jangan memaksaku untuk bertindak kelewat batas. Suruh mundur anak
buahmu ini!" teriak Rangga memperingatkan.
Tapi sebagai jawabannya, kelima lawannya malah semakin garang menyerang.
Dan ini membuat Rangga jadi mendengus kesal. Tapi, tetap saja dicobanya
untuk menahan kesabaran. Walaupun terus mendapat serangan, tapi sedikit pun
Pendekar Rajawali Sakti tidak balas menyerang. Dan tubuhnya hanya berkelit
saja menghindari serangan-serangan dari lima jurusan, menggunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Tentu saja lima orang anak buah Bangkor kesulitan
untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan yang dilakukan
Rangga begitu cepat. Liukan tubuhnya pun sangat lentur, sehingga tidak satu
serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
"Yeaaah...!"
"Uts! Sial!"
Rangga memaki geram, ketika salah satu ujung golok lawan nyaris menyambar
dadanya. Untung saja dia buru-buru berkelit menghindar. Dan tentu saja
Pendekar Rajawali Sakti merasa tidak bisa terus-menerus bertahan di tempat
sesempit ruangan kedai ini. Kalaupun bertahan tetap di sini, jelas mejanya
dan bangku-bangku kedai pasti akan hancur berantakan. Dan yang paling merasa
dirugikan tentu saja pemilik kedai yang sejak awal perkelahian tadi
menunjukkan wajah was-was dan cemas. Sambil berteriak nyaring, tubuh
Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar kedai.
"Hiyaaa...!"
"Kejar...!"
Bangkor serta kelima anak buahnya langsung mengejar. Bahkan separuh dari
pengunjung kedai yang agaknya anak buah Bangkor, juga ikut-ikutan keluar.
Mereka langsung saja mengepung Rangga, membuat lingkaran tanpa sedikit pun
memberi jalan keluar.
Sementara itu, para penduduk desa yang sejak kedatangan Perampok Mata Satu
mengunci diri dalam rumah masing-masing, mulai keluar satu persatu
menyaksikan pertarungan yang bakal terjadi. Dalam hati, mereka cemas
memikirkan pemuda berbaju rompi putih yang berani menentang kehendak
Perampok Mata Satu. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani membantah
kehendak perampok itu. Apalagi, gerombolan itu tidak segan-segan mencabut
nyawa siapa saja yang menentang kehendaknya.
"Kasihan pemuda itu. Dia pasti menjadi korban Bangkor. Padahal, apa
salahnya jika harus disuruh menyerahkan pedangnya daripada nyawa melayang,"
ujar salah seorang penduduk yang ingin menyaksikan pertarungan.
"Hush! Jangan sembarangan bicara. Coba lihat. Agaknya, pemuda itu bukan
sembarang orang. Kepandaiannya barangkali tidak kalah dibandingkan si
Perampok Mata Satu sendiri," sahut seorang penduduk lain.
"Tapi selama ini, tidak seorang pun yang mampu mengalahkan Bangkor. Ilmu
silatnya sangat tinggi. Belum lagi kesaktiannya. Rasanya, pemuda itu hanya
mengantarkan nyawa saja bila berani menentangnya."
"Belum tentu. Siapa tahu pemuda itu justru pendekar hebat. Kalau tidak,
mana mungkin berani menentang kehendak Bangkor...."
"Tapi, siapa tahu dia belum pernah mendengar kehebatan Bangkor, sehingga
berani menentangnya?"
Tidak ada yang menyahut. Bisa jadi apa yang dikatakan orang itu benar. Bisa
saja pemuda berbaju rompi putih itu belum pernah mendengar sepak tenang
Bangkor. Dan kalaupun memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan, paling tidak
dia baru pertama kali turun gunung dan sangat yakin akan kemampuan yang
dimiliki.
Sementara, Rangga kelihatan semakin geram saja karena kelima orang anak
buah si Perampok Mata Satu semakin bernafsu menghabisi nyawanya. Tidak ada
pilihan lain baginya, selain membalas serangan. Sambil berteriak nyaring,
Pendekar Rajawali Sakti mulai membalas serangan-serangan lima orang
lawannya. Maka....
"Hiyaaa...!"
Memang sangat luar biasa kecepatan gerak Pendekar Rajawali Sakti, hingga
membuat mereka yang menyaksikan pertarungan jadi tersentak kaget. Betapa
tidak...? Tiba-tiba saja dua orang yang mengeroyok terpekik nyaring ketika
tubuh pemuda itu terlihat bergerak cepat bagai kilat. Golok mereka tiba-tiba
saja terpental, dengan tubuh terpental jauh. Begitu jatuh di tanah, dua
orang itu langsung menggelepar sesaat untuk kemudian tidak bergerak
lagi.
Sementara, ketiga temannya yang lain terhuyung-huyung sambil mendekap dada
yang terasa nyeri terkena pukulan yang begitu keras, dan cepat.
"Hah?! Keparat! Bakul-bakul nasi tidak berguna!" maki Bangkor, seraya
memberi isyarat pada anak buahnya yang lain untuk maju menyerang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!" "Yeaaah...!"
Tiga orang anak buah Bangkor lainnya langsung melesat serentak sambil
mengayunkan golok ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai
kesal melihat kelakuan mereka, tanpa membuang-buang waktu lagi langsung
melesat. Dan dengan gerakan cepat bagai kilat tubuhnya berkelebat memapak
serangan.
"Hiyaaa...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak meliuk-liuk menghindari
sambaran golok. Sementara kedua tangannya sibuk menangkis dan menghantam
pergelangan tangan lawan. Dan....
Plak! "Aaa...!"
Seorang lawan terpekik nyaring ketika pangkal lengannya dihantam pukulan
Rangga. golok di tangannya langsung terlepas. Tubuhnya langsung ambruk,
tidak dapat melanjutkan pertarungan kembali. Dan dalam kegeramannya, Rangga
langsung menangkap golok yang terpental itu. Kemudian, tubuhnya bergerak ke
kiri dan kanan menerobos pertahanan lawan. Lalu...
Bugkh!
"Ugh!"
Crass!
"Aaa !"
Dua orang kembali terpekik terkena tendangan dan tebasan golok di tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kontan ambruk tanpa bisa bangkit lagi. Kini
hanya tinggal empat orang yang tersisa. Kelihatannya, mereka mulai gentar
untuk menyerang Rangga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali bergerak
begitu cepat mendahului.
"Yeaaah...!" Rangga melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh
seraya mengkelebatkan golok ke masing-masing lawan.
Trak! Tras! Des!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kembali terdengar pekik kematian, ketika dua orang tertebas golok di tangan
Pendekar Rajawali Sakti, tepat pada leher masing-masing. Sementara, dua
orang lagi terjengkang dan ambruk di tanah, terkena sodokan tangan kiri dan
tendangan kaki kanan. Seketika itu mereka semua tewas, bersimbah
darah.
"Bangsat..! Hadapilah aku, Keparat!" geram Bangkor penuh amarah melihat
anak buahnya tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Perampok Mata Satu melesat cepat bagai
kilat ke arah Rangga. Beberapa pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi langsung dilepaskan beruntun, disertai tebasan-tebasan golok
yang begitu cepat. Gerakannya benar-benar sulit diikuti pandangan mata
biasa.
"Hup!"
Tring!
Bukan main kagetnya Bangkor ketika golok di tangannya dapat mudah ditangkis
oleh golok yang berada di tangan Rangga. Padahal senjata di tangannya
bukanlah golok sembarangan, melainkan golok sakti warisan gurunya. Bahkan
ketajamannya melebihi senjata biasa pada umumnya Sedangkan golok di tangan
Pendekar Rajawali Sakti hanya golok biasa yang dipakai orang-orang
kebanyakan. Tapi ketika terjadi benturan tadi, terlihat percikan bunga api
yang menyebabkan telapak tangannya terasa perih.
Sebaliknya. Pendekar Rajawali Sakti pun merasakan sedikit terkejut melihat
golok di tangannya jadi rompal pada bagian matanya. Padahal, pada saat
benturan tadi tenaga dalamnya telah dikerahkan, walaupun tidak sepenuhnya.
Hal itu terjadi karena senjata di tangan lawan memang bukanlah golok
biasa.
"Huh! Ternyata kau berisi juga Bocah. Tapi jangan girang dulu. Bangkor
bukanlah anak kemarin sore yang mudah puas. Sekarang, hadapilah jurus
mautku!" dengus Perampok Mata Satu sambil merubah jurus serangannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud berkelahi denganmu. Tapi karena kau
memaksa, apa boleh buat. Aku pun tidak sudi mampus begitu saja tanpa
melawan," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Tutup mulutmu! Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!" Rangga cepat melempar golok di tangannya disertai
pengerahan tenaga dalam penuh, tepat mengincar jantung lawan. Dengan geram,
Bangkor mengebutkan goloknya, menangkis lemparan golok Pendekar Rajawali
Sakti.
Trang! Trak!
Golok itu langsung terpental dan patah dua, Tapi tangan Bangkor sendiri
sempat bergetar ketika menangkis. Dan sungguh tidak dikira kalau hal itu
hanya siasat Pendekar Rajawali Sakti belaka, agar lebih leluasa menyarangkan
pukulan tangan kanannya. Tapi Bangkor bukanlah orang sembarangan yang mudah
dipecundangi begitu saja. Tangan kiri Perampok Mata Satu cepat bergerak
menangkis.
Dan belum juga dia bisa menarik napas lega, Pendekar Rajawali Sakti telah
menghantamkan kaki kanannya menuju ke dada. Maka dengan kalang kabut,
Bangkor melompat ke belakang. Namun justru pada saat itulah, Pendekar
Rajawali Sakti cepat melesat seraya mengirimkan kepalan kiri yang menghantam
punggung lawan. Dan...
Buk! "Akh!"
Bangkor memekik agak tertahan. Tulang pinggangnya terasa patah ketika
tubuhnya terjengkang dua tombak. Masih untung dia mampu bertumpu pada kedua
kakinya, sehingga tidak sampai ambruk di tanah. Tapi, tubuhnya masih
menggeliat-geliat kesakitan sambil memegangi tulang punggung bagian bawah
yang laksana terkena pukulan godam yang begitu berat.
Pendekar Rajawali Sakti tidak meneruskan serangannya, dan malah berdiri
tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sikapnya seperti siap
menanti serangan lawan berikutnya. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum.
Sementara, Bangkor mendengus geram sambil menyemburkan ludahnya.
"Kisanak! Apakah kau masih bersikeras untuk meminta pedangku? Dan kalau
bisa, aku akan menyudahi urusan hingga di sini," kata Rangga kalem.
Tapi Bangkor tidak menyahuti sedikit pun juga. Hanya sorot matanya saja
yang terlihat begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Rangga.
Seakan-akan ingin dikoreknya jantung pemuda itu dengan sorot matanya yang
tajam. Dan tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun juga, mendadak
saja....
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hei!" Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja
sisa anak buah Bangkor menerjang ke arahnya dengan kemarahan meluap. Bukan
main geram hati Pendekar Rajawali Sakti melihatnya. Maka tanpa
tanggung-tanggung lagi, langsung dihajarnya mereka dengan satu pukulan jarak
jauh.
"Hiyaaat..!"
Des! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi di tempat itu.
Lima orang sisa anak buah Perampok Mata Satu tampak terhuyung-huyung
dihantam pukulan jarak jauh yang dilancarkan Rangga. Maka saat itu juga,
tidak ada lagi yang bisa bergerak. Mereka semua tergeletak tewas bersimbah
darah. Bukan main geramnya Bangkor melihat keadaan itu.
Tapi para penduduk yang melihatnya malah bersorak kegirangan sambil
mengelu-elukan Pendekar Rajawali Sakti. Telah lama mereka muak melihat
perbuatan Perampok Mata Satu beserta anak buahnya yang sewenang-wenang
menindas sebagaimana layaknya raja tanpa mahkota.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Bangkor garang sambil menudingkan golok di
tangannya ke arah Rangga.
"Ha ha ha...!"
Belum lagi Rangga menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa yang kecil
nyaring bernada kering. Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan
datang dari segala penjuru mata angin. Akibatnya, semua orang yang ada di
halaman kedai itu jadi tersentak kaget.
Phuih!" Bangkor menyemburkan ludahnya, sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Dia tahu, suara tawa bernada kering itu ditujukan untuk dirinya.
Sementara, Rangga masih tetap kelihatan tenang sekali. Seakan dia tidak
terpengaruh oleh suara tawa kering yang terus terdengar menggema, bagai
terdengar dari segala arah.
Tapi tidak lama kemudian, suara tawa itu menghilang dari pendengaran. Dan
di saat kesunyian menyelimuti sekitar halaman depan kedai, tiba-tiba saja
terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat disertai terdengarnya
kembali suara yang kering dan bernada tinggi.
"Dasar Perampok Mata Satu! Rupanya matamu yang sebelah itu betul-betul
tidak berguna hingga, tidak melihat seorang pendekar hebat di
depanmu!"
Di halaman depan kedai itu, tahu-tahu sudah berdiri sesosok tubuh kurus
berwajah keriput Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna putih semua,
dibiarkan meriap dipermainkan angin. Pakaian yang dikenakannya kelihatan
lusuh dan compang-camping penuh tambalan, seperti pakaian seorang pengemis.
Sementara di sebelahnya, terlihat seorang gadis berparas jelita berbaju biru
langit terbuat dari sutera halus. Di punggungnya terlihat sebatang pedang
kecil berukuran agak panjang. Sedangkan di sebelahnya tampak laki-laki tua
tengah memegang tongkat butut sebagai penyangga tubuhnya yang agak
terbungkuk.
"Pengemis Tongkat Sakti!" desis Bangkor kaget begitu melihat kehadiran
orang tua itu.
***
EMPAT
"He he he...! Ternyata matamu belum lamur mengenaliku, Bangkor. Nah, apa
saja yang kau kerjakan hingga pihak kerajaan memintaku untuk menangkapmu?"
kata kakek yang dipanggil Pengemis Tongkat Sakti itu sambil tertawa
kecil.
"Hm... Jadi, rupanya sekarang kau telah bekerja untuk pihak
kerajaan?"
"Kenapa tidak? Raja yang memerintah sekarang cukup baik dan memperhatikan
rakyatnya. Selain mendapat uang, aku pun bisa menggebrak monyet busuk
sepertimu!"
"Huh! Jangan harap bisa semudah itu. Meski namamu menjulang tinggi, tapi
Perampok Mata Satu pantang dihina. Langkahi mayatku dulu, baru kau bisa
menangkapku."
"Ha ha ha...! Apa sulitnya melangkahi mayatmu? Dalam keadaan terluka
begitu, kau seperti kuda dungu yang jinak!"
"Bangsat!"
"He, memaki lagi?! Betul apa yang dikatakan orang. Kau memang tidak boleh
dibiarkan hidup lama-lama!"
"Orang tua busuk, majulah! Tangkaplah aku kalau kau memang merasa mampu!"
sahut Bangkor sambil memasang kuda-kuda.
"He he he...! Soal menangkapmu itu persoalan mudah. Tapi aku takut akan
dianggap lancang, jika mendahului Pendekar Rajawali Sakti yang tengah
berurusan denganmu. Biarlah kutunggu bangkaimu saja," balas Pengemis Tongkat
Sakti sambil melirik Rangga.
"Apa maksudmu, Orang Tua? Siapa yang kau maksud Pendekar Rajawali Sakti?!"
bentak Bangkor penuh tanya.
"Kenapa? Apakah nyalimu mulai ciut? Siapa lagi orangnya selain dari pemuda
yang menjadi lawanmu tadi."
"Heh?!" Bangkor tercekat. Ditatapnya Rangga dengan dahi berkerut. Seolah,
dia tidak yakin kalau pemuda yang tadi bertarung dengannya adalah pendekar
yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan, karena sepak
terjangnya yang telah banyak membinasakan tokoh golongan hitam berilmu
tinggi.
"Nah, Pendekar Rajawali Sakti. Silakan diteruskan kembali permainan tadi
yang sempat tertunda. Sementara, biarlah kami menontonnya saja," kata
Pengemis Tongkat Sakti sambil tersenyum kecil.
"Paman Pengemis Tongkat Sakti, sebenarnya di antara kami tidak ada urusan
apa-apa, tapi karena mereka memaksa, apa boleh buat. Aku terpaksa harus
membela diri. Tapi kalau memang di antara kalian ada urusan, tentu saja
dengan senang hati aku akan mengalah," sahut Rangga, mengelak.
Pemuda itu mengerti apa yang dikehendaki Pengemis Tongkat Sakti. Dari
kata-katanya yang sepintas tadi, tentulah dia utusan kerajaan yang
ditugaskan untuk menangkap Perampok Mata Satu. Dan dengan dalih bahwa dia
mempunyai urusan dengan Perampok Mata Satu, tentu si Pengemis Tongkat Sakti
akan cuci tangan dan mau untung sendiri. Bagi Rangga hal itu memang
kebetulan sekali. Berarti dia tidak susah-susah lagi berurusan dengan
Perampok Mata Satu.
"Huh! Dengan siapa pun aku tidak peduli. Majulah kalian semua. Tapi, jangan
harap aku akan takut.'" dengus Bangkor sinis.
"He he he..."! Dasar perampok picisan. Biarlah aku yang tidak berguna ini
akan memberi hajaran padamu!" sahut Pengemis Tongkat Sakti sambil mencelat
mengayunkan tongkat bututnya.
"Yeaaa...!"
Bersamaan dengan itu pula Bangkor langsung bergerak menghadang. Bangkor
memang terkenal orang yang tinggi hati. Selama ini, semua orang amat takut
padanya. Hingga tingkahnya semakin sombong dan angkuh saja. Perbuatannya
semakin sewenang-wenang, karena tidak ada seorang pun yang mampu
menghalanginya. Dan hal ini pun terdengar pihak kerajaan.
Maka beberapa hari yang lalu pihak kerajaan telah mengirim sepasukan
prajurit untuk menangkapnya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit
yang kembali, karena Bangkor telah membasmi habis semuanya. Tentu saja hal
ini menimbulkan kemarahan pihak kerajaan. Maka mereka langsung mengirim
Pengemis Tongkat Sakti, yang selama ini banyak membantu pihak kerajaan.
Pengemis Tongkat Sakti memang seorang tokoh yang amat disegani dalam rimba
persilatan.
Selain berilmu tinggi, juga tidak pernah kenal ampun terhadap lawan. Mereka
yang pernah berurusan dengannya, tidak pernah ada yang selamat. Tak heran
bila Bangkor sempat terkejut ketika mengetahui kehadirannya. Dan bila
Pengemis Tongkat Sakti sudah mencampuri suatu urusan, bisa dipastikan akan
menyelesaikan sampai tuntas.
Tapi Bangkor yang telah kepalang tanggung, dan kini berhadapan dengan dua
orang tokoh kosen yang namanya disegani di kalangan dunia persilatan, tentu
saja tidak sudi menunjukkan rasa takutnya. Maka dengan mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki, digempurnya si Pengemis Tongkat Sakti
habis-habisan.
"He he he...! Bagus, Bangkor. Kerahkanlah seluruh kemampuan yang kau
miliki, sebelum mampus di tanganku!" ejek Pengemis Tongkat Sakti sambil
terkekeh.
"Orang tua keparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku!"
"Eit! Mana ada kejadian begitu? Sudah ditakdirkan kalau kau memang akan
mampus di tanganku, maka ikhlaskanlah kepergianmu," balas Pengemis Tongkat
Sakti sambil mengejek terus.
Tentu saja hal itu membuat Bangkor yang pada dasarnya gampang naik darah,
semakin berang saja. Tapi meski segenap kemampuan yang dimiliki telah
dikerahkan, lawan belum juga mampu didesaknya. Kenyataannya, permainan
tongkat lawan sulit dibendung goloknya. Tongkat di tangan orang tua itu
terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya benda terbuat dari baja hitam yang
sangat langka.
Dan manakala dimainkan sambil dibarengi tenaga dalam kuat, terdengar suara
desir angin menggaung yang disusul kebutan angin serangan yang terasa perih.
Bahkan beberapa kali senjata mereka telah beradu, sehingga menimbulkan
percikan bunga api. Dan Bangkor berkali-kali menahan rasa nyeri. Bahkan
telapak tangannya telah terkelupas akibat benturan kedua senjata tadi.
"Yeaaa...!"
Pengemis Tongkat Sakti menggeram buas. Lalu sambil mengatupkan rahang,
tubuhnya melompat tinggi. Tongkat di tangannya diputar bagai baling-baling,
hingga menimbulkan suara menderu. Dan sambil berteriak nyaring, tongkat itu
dihantamkan disertai tenaga dalam tinggi. Bangkor benar-benar terkejut
melihat cepatnya serangan lawan. Maka buru-buru ditangkis dengan golok
pusaka miliknya.
Trak!
Tapi ternyata senjatanya terpental jauh dari tangannya. Bahkan tubuhnya
terjajar dua langkah ke belakang. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi,
tiba-tiba ujung tongkat lawan telah lebih cepat menghantam dadanya bagian
kiri.
Begkh!
"Aaakh...!"
Terdengar tulang iga yang patah, dan langsung menembus jantung. Ketua
Perampok Mata Satu itu kontan menjerit keras. Tubuhnya langsung terlempar
dua tombak dan ambruk di tanah sambil menggelepar-gelepar kesakitan.
Sepasang matanya seperti hendak keluar dari sarangnya, sebelum nyawanya
lepas dari raga.
"Huh! Dasar perampok picek tidak tahu diri! Kau pikir hanya dirimu saja
yang jago di kolong langit?!" umpat Pengemis Tongkat Sakti.
Para penduduk yang tetap bertahan di situ, mengelu-elukan Pengemis Tongkat
Sakti karena berhasil menewaskan Perampok Mata Satu yang selama ini menindas
mereka. Bahkan karena geramnya, beberapa orang penduduk sempat meludahi
sekujur tubuh Bangkor yang telah tidak bernyawa.
"Hidup Pengemis Tongkat Sakti!"
"Hiduuup...!"
Pengemis Tongkat Sakti sendiri seperti anak kecil mendapat mainan baru
kesukaannya Dia terkekeh-kekeh senang mendengar teriakan-teriakan itu.
"Sudahlah, Guru. Mari kita lanjutkan perjalanan kembali," ajak gadis
berbaju biru yang tadi bersamanya.
"Sebentar. Tidakkah kau merasa bangga melihat gurumu dielu-elukan orang
banyak?"
"Guru memang merasa bangga. Tapi, aku merasa pusing di sini. Apa lagi
perutku lapar, sudah waktunya diisi."
"Sekar Harum! Kau ini selalu saja begitu. Kapan lagi gurumu dipuji begitu
banyak orang, kalau bukan sekarang? Tapi, ayolah. Kau juga benar. Perutku
pun sudah mulai melilit minta diisi. Eh, ke mana bocah itu tadi?"
"Bocah siapa?" tanya gadis yang dipanggil Sekar Harum itu heran.
"Bocah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu?!"
"Maksud Guru, pemuda yang tadi sempat bertarung melawan Perampok Mata Satu?
Dia bukan bocah lagi."
"Aaah! Bagiku sama saja. Di mataku, dia masih bocah. Hanya saja, beda
dengan bocah lain. Dia memiliki banyak kelebihan. Dan..., sangat pantas
kalau menjadi jodohmu, Sekar!" goda Pengemis Tongkat Sakti sambil mengikuti
langkah Sekar Harum menuju kedai.
"Guru! Kau ini bicara apa?" rutuk Sekar Harum pura-pura acuh.
"He he he...! Tidak sukakah kau pada pemuda itu? Wajahnya tampan dan ilmu
silatnya tinggi. Bahkan aku sendiri sangsi, apakah mampu mengalahkannya
kalau suatu saat berurusan dengannya."
"Guru jangan bicara yang bukan-bukan!" rengek Sekar Harum, tersipu
malu.
Pengemis Tongkat Sakti terkekeh-kekeh melihat murid satu-satunya yang mulai
salah tingkah mendengar godaannya. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti telah
jauh meninggalkan Desa Tegalan. Ketika saat-saat terakhir pertarungan antara
Pengemis Tongkat Sakti melawan Perampok Mata Satu, Rangga bisa merasakan
kalau Pengemis Tongkat Sakti akan mampu mengatasi lawannya.
Maka, di saat semua mata memusatkan perhatian pada pertarungan, diam-diam
ditinggalkannya tempat itu tanpa seorang pun yang tahu. Dan kini, perut
Pendekar Rajawali Sakti kembali terasa lapar, karena belum sempat menyentuh
makanan di kedai tadi, karena harus meladeni Perampok Mata Satu.
Tiba di sebuah pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat, matanya mulai
mencari buah-buahan yang sekiranya dapat dimakan. Tapi belum sempat
memetiknya, tiba-tiba melintas seekor kelinci gemuk di dekatnya. Kontan saja
Rangga tersenyum senang.
"Pucuk dicinta ulam tiba. Susah payah aku mencari makanan, akhirnya datang
sendiri," ujar Rangga sambil bergerak hendak menangkap kelinci itu.
Tapi....
Siiing!
"Hei?!" Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang tajam langsung
menangkap desir angin halus di belakangnya. Buru-buru dia membuang diri ke
samping, sambil terus bersalto beberapa kali untuk menghindari kemungkinan
adanya serangan gelap. Lalu....
Crasss!
"Nguikh!"
Tapi yang terdengar justru lenguh kematian hewan yang tadi diincarnya.
Tubuh kelinci itu tertembus sebatang anak panah. Dan ketika Rangga menoleh,
terlihat seorang gadis belia membawa-bawa busur anak panah di
tangannya.
"Sial!" umpat Rangga kesal.
"Lho, kok marah?! Seharusnya kau berterima kasih, karena telah kubantu
menangkap kelinci buruanmu itu," sahut gadis itu sambil mendekat ke arah
Rangga.
Rangga diam saja tidak menyahut. Dan ketika gadis belia itu hendak
mengambil kelinci buruannya, Rangga melangkah pelan meninggalkannya.
"Hei, tunggu! Apakah kau tidak ingin menyantap daging kelinci ini?" teriak
gadis belia itu sambil berlari kecil dengan tangan kiri menenteng kelinci
hasil panahannya. Rangga menoleh sekilas.
"Itu hasil buruanmu, maka kau berhak memperolehnya!"
"Tidak. Aku memanahnya untukmu!"
"Untukku?" Gadis itu mengangguk sambil mengangsurkan kelinci di tangannya
ke arah Rangga.
"Nah, terimalah!"
"Adik kecil, kau baik sekali. Kebetulan, aku memang lapar...," sahut Rangga
menerima kelinci itu.
Tapi, tiba-tiba gadis belia itu menarik kembali tangannya dengan wajah
cemberut.
"Siapa bilang aku adik kecilmu?!" dengus gadis itu ketus.
Rangga mengerutkan dahi, melihat tingkah gadis belia ini Apakah
kata-katanya tadi salah? Melihat dari wajahnya, gadis ini belum lagi lima
belas tahun. Dan rasanya, pantaslah bila disebut begitu.
"Aku punya nama, dan kau boleh memanggilku Andini!"
"Hm, Andini. Nama yang bagus dan indah. Sangat sesuai dengan orangnya yang
cantik dan rupawan," puji Rangga.
Mendengar pujian itu, gadis belia yang bernama Andini tampak tersipu malu.
Tapi, kemudian wajahnya kembali ketus sambil mengangsurkan kelinci
itu,
"Nih! Tapi jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi!"
"Andini...!"
"Heh!"
Namun pada saat itu, terdengar seseorang berteriak memanggil gadis itu.
Keduanya menoleh. Tapi, Andini kemudian membuang muka sambil mendengus sinis
ketika melihat sesosok pemuda berwajah tampan dan berbaju indah, tengah
mendekat sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa lagi yang kau perbuat di sini? Apakah kau mengganggu orang itu?!"
bentak pemuda itu.
"Siapa yang mengganggu? Aku hanya menolongnya...!" sahut Andini
ketus.
Pemuda itu menggelengkan kepala sambil menghela napas. Kemudian wajahnya
berpaling pada Rangga.
"Maaf, Kisanak. Adikku mungkin telah mengganggumu. Dia memang nakal
sekali...."
"Ah, tidak mengapa. Dia tidak mengganggu, bahkan membantuku menangkap
kelinci ini," sahut Rangga pelan sambil menunjukkan kelinci yang telah ada
di tangannya.
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku hanya takut dia mengganggu orang saja.
Karena, hal itu sering sekali terjadi. Oh, ya. Namaku Kesuma
Wardhana...."
"Rangga...!"
"Apakah kau seorang pengembara?" tanya Kesuma Wardhana.
"Begitulah. Kalian sendiri?"
"Kami..., eh...," Kesuma Wardhana agak ragu untuk menjelaskan siapa dirinya
sesungguhnya.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ketika beberapa orang prajurit
kerajaan muncul. Kemudian, mereka memberi hormat pada Kesuma Wardhana dan
Andini. Bahkan salah seorang di antara prajurit itu memanggil pangeran,
sehingga membuat Rangga yakin akan dugaannya.
"Pangeran Kesuma, kita telah jauh meninggalkan istana kerajaan. Apakah
tidak sebaiknya pulang?"
"Sebentar, Paman...."
"Maaf, aku betul-betul tidak mengetahui bahwa kalian adalah putra-putri
dari kerajaan...," sahut Rangga sambil memberi hormat sebagaimana
mestinya.
Dan walaupun Rangga sendiri adalah Raja Karang Setra, tapi dalam
petualangannya dia merasa sebagai pendekar biasa. Bahkan dia tak ingin orang
lain mengetahui, siapa dirinya yang sebenarnya.
"Ah! Jangan banyak peradatan, Sobat. Kami memang sedang berburu. Tapi,
sebentar lagi senja tiba. Sedangkan perjalanan ke kotaraja cukup jauh.
Sebenarnya, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Ah, tak apalah. Mungkin lain
kali kita bisa bertemu kembali," sahut Kesuma Wardhana.
"Hei! Jangan lupa. Kalau kau sedang berada di kotaraja, mampirlah ke
tempatku" teriak Andini sebelum berbalik meninggalkan Rangga seorang
diri.
"Mudah-mudahan...!" "Jangan mudah-mudahan, tapi harus! Kalau tidak, akan
kusuruh prajurit-prajurit kerajaan untuk menghukummu. Dan satu hal lagi yang
perlu kau ingat, jangan coba-coba panggil aku adik kecil lagi. Aku bukan
adik kecilmu, tahu?!"
Rangga tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Dan, barulah gadis itu
tampak melemparkan senyum manis.
"Andini, kau keterlaluan! Kenapa kau berbuat begitu padanya? Itu tidak baik
dan tidak sopan!" omel Kesuma Wardhana ketika mereka telah agak jauh dari
Rangga.
"Apa yang tidak baik, dan apa yang tidak sopan? Kalau tidak baik, tentu dia
akan marah. Dan kalau tidak sopan, tentu dia akan menegurnya. Tapi, tidak
dilakukannya, bukan? Berarti aku berkata dengan semestinya!"
"Tapi mana mungkin dia berani selancang itu, setelah mengetahui siapa
dirimu...."
"Sebelum kalian datang, dia toh tahu siapa aku! Tapi dia diam tidak
menegurku."
"Mungkin dikira kau anak kecil yang bawel," sahut Kesuma Wardhana sambil
menggerutu kesal.
Plak!
"Aduh!"
Tiba-tiba Andini menghajar punggung kakak nya, sampai Kesuma Wardhana
berteriak kesakitan.
"Sekali lagi kau berkata begitu, akan kuhajar kepalamu sampai benjol!"
gertak Andini garang.
"Andini! Semakin lama, tingkahmu semakin kasar saja. Akan kuadukan pada
ayahanda agar kau mendapat hukuman!"
"Adukanlah sesuka hatimu. Aku tidak takut!"
"Kenapa kau marah dan memukulku?"
"Kenapa kau menyebutku anak kecil yang bawel?"
"Karena kau memang masih kecil dan bawel. Kenapa mesti marah kalau
kenyataannya begitu?!" Setelah berkata demikian, Kesuma Wardhana langsung
berlari menjauh dari adiknya.
"Kuhajar kau! Kuhajar kau!" teriak Andini marah berusaha mengejar kakaknya.
Tapi, ternyata lari Kesuma Wardhana lebih cepat lagi. Dan, ketika tiba di
tempat mereka menambatkan kuda-kudanya, Kesuma Wardhana langsung melompat ke
punggung kuda. Kemudian kudanya cepat dihela dengan kencang.
"Hus.., hus! Heaaa...!"
"Sial!" maki Andini kesal. Tapi, Andini agaknya tidak berhenti sampai di
situ. Gadis itu langsung melompat ke punggung salah seekor kuda, dan
memacunya dengan kencang untuk menyusul Kesuma Wardhana. Tinggallah
prajurit-prajurit kerajaan yang lari terbirit-birit, menyusul kedua
junjungannya yang memang tidak pernah akur itu.
***
Emoticon