1
BARU saja pemuda berambut panjang sepundak yang dikenal sebagai Suto
Sinting alias Pendekar Mabuk itu menapakkan kakinya di Lembah Kematian,
tiba-tiba saja sesosok bayangan berkelebat turun dari atas pohon dan
menerjangnya.
Bruuuuss. .! Pendekar Mabuk yang tak menduga akan mendapat 'sarapan
pagi' dari orang tak dikenal itu terpaksa terpental dan jatuh berguling-guling.
Bruuk...! Gusrrak...!
"Manusia konyol! Siapa yang menyerangku sepagi ini?!" geram
Pendekar Mabuk dalam hatinya. "Uuh. ., kepalaku seperti mau retak saja
rasanya. Gila!
Tenaga dalamnya besar sekali?! Kalau aku tak terbiasa ditendang-tendang
orang, mungkin kupingku akan keluar getahnya, atau bahkan akan keluarkan darah
segar. Oouh...! Berdiri saja susahnya bukan main. Tendangan itu terasa sampai
di ujung jempol kakiku! Aduh, sakitnya jempol kakiku. .!"
Pendekar Mabuk berhasil bangkit berdiri dengan terengah-engah. Matanya
segera pandangi jempol kaki sendiri.,
"O, pantas...! Jempolku tergencet batu begini, tentu saja
sakit!" gerutunya sambil menarik kaki yang tergencet dua batu sebesar
kepala bayi.
Pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala
itu segera memandang ke satu arah. Di sana telah berdiri seorang lelaki yang
usianya sekitar tiga puluh tahun, tapi tinggi badannya tidak seperti Pendekar
Mabuk. Lelaki itu berikat kepala merah dengan rambut bergelombang dan kumis
seperti seekor kelelawar iseng hingga di atas mulutnya.
Lelaki berbaju merah dan celana hitam itu mempunyai tubuh agak gemuk
dan berkulit tegap. Melihat penampilan lawannya yang tadi menyerangnya itu,
Suto Sinting jadi geleng-geleng kepala, antara heran dan aneh melihat sang
lawan tubuhnya dipenuhi oleh senjata. Tubuh lelaki bersabuk hitam besar itu
penuh dengan senjata tajam.
Ada pedang, golok, clurit, pisau terbangnya saja ada empat biji, cambuk
melilit di pinggang, bola besi berduri yang mempunyai tangkai dan rantai juga
terselip di sabuknya. Keris, kampak dan trisula juga terselip di pinggangnya.
Sementara di kedua kakinya juga terdapat
dua anak panah pada masing-masing kaki, dan sebuah busur menyilang di
punggungnya.
"Hebat!" ujar Suto Sinting ketika lelaki itu mendekatinya.
"Kau mau jualan senjata atau habis merampasi senjata lawan-lawanmu,
Kang?!"
"Tutup mulutmu!" bentaknya dengan mata lebarnya mendelik.
"Lha, kalau aku kau suruh tutup mulut, nanti kalau aku mau teriak
kesakitan bagaimana?"
"Ya, sambil tutup mulut!" sentaknya lagi, sedangkan Pendekar
Mabuk menanggapi dengan kalem. Pemuda berbaju coklat dan celana putih itu
justru meminum tuaknya dari sebatang bambu yang dipakai sebagai bumbung tuak
dan ke mana-mana selalu dibawanya. Glek, glek, glek...!
"Eh, malah minum tuak?! Menyepelekan sekali kau?!
Hiaaaat...!"
Orang berbaju merah dan bercelana hitam itu melompat dengan kaki kanan
lurus ke arah wajah Suto Sinting. Weeess. .! Dengan gerak menggeloyor seperti
orang mabuk mau tumbang, Suto Sinting berhasil hindari tendangan kaki lawannya,
sehingga kaki itu akhirnya mengenai sebatang pohon di belakang Suto. Duuhk...!
"Aduuh!" pekiknya sambil menyeringai. Brruuuk. .! Praaang. .!
la pun jatuh terbanting oleh kekuatan tenaganya sendiri yang memantul balik
akibat menendang pohon besar, Pendekar Mabuk lakukan satu lompatan untuk
menjauh. Wuuut, jleeg...!
"Wedus busung!" maki orang berikat kepala merah itu. la
segera bangkit dan menghadap ke arah Suto berada. Lalu ia menyeringai sendiri
menahan sakit, karena ketiaknya tersodok ujung trisula yang tadi tersentak naik
ketika jatuh ke tanah.
"Makanya kalau bawa senjata jangan borongan, Kang! Salah-salah bukan
lawanmu yang borokan, tapi justru tubuhmu sendiri yang borokan karena luka kena
senjata sendiri," ujar Suto Sinting bernada menertawakan.
Dengan tetap menenteng tali bumbung tuaknya, Suto Sinting memang
lebarkan senyum dan pandangi orang itu dari jarak tujuh langkah. la berdiri di
bawah pohon, di tempat yang rindang.
"Pagi-pagi kok sudah cari penyakit kau ini, Kang, Kang. .!
Bukankah lebih baik pagi-pagi cari makan saja?!" tambah Suto semakin
bernada meremehkan lawannya. Sang lawan hanya menggeram sambil masih mengurut
ketiaknya yang tersodok besi trisula tadi.
"Jangan banyak bicara kau!" sentak orang berkumis seperti
kelelawar itu. "Boleh saja kau meremehkan lawanmu kali ini. Tapi jika kau
sudah tahu kesaktian si Ular Berang ini, kau akan lari terbirit-birit, Pendekar
Mabuk!"
"Ooo... jadi namamu si Ular Berang?! Wah, ya pantas. . memang kau
orang yang mudah marah alias gampang berang!" ucap Suto Sinting masih
dengan kalem. Bahkan bumbung tuaknya digantungkan di pundak dan kedua tangannya
bersidekap di dadanya yang bidang dan kekar itu.
"Rupanya kau telah mengenaliku sebagai Pendekar Mabuk, Kakang Ular
Berang, Dari mana kau mengetahui bahwa aku adalah Pendekar Mabuk?!"
"Jangan banyak tanya!" bentak Ular Berang,
"Lho, kalau aku tidak banyak tanya nanti aku tersesat. Bukankah
ada pepatah yang mengatakan: 'Malu bertanya sesat di kamar'?"
"Sesat di jalan, Tolol!" ralat Ular Berang. "Bukan sesat
di kamar!"
"Lha iya. . maksudnya mau jalan ke kamar sendiri, ehh. . bisa
nyasar ke kamar pembantu kalau kita malu bertanya."
"Sudah, sudah. .!" hardik si Ular Berang. "Jangan
mengajakku untuk ngobrol! Tugasku bukan ngobrol, tapi membunuhmu!"
"Membunuhku?! Oh, kalau begitu sebelum aku kau bunuh, mari kita
ngobrol-ngobrol dulu, Kang. Setuju?!"
"Kau benar-benar terlalu menganggapku ringan, ya? Kucacah-cacah
daging tubuhmu sekarang juga, hiaaaat...!!"
Ular Berang mencabut goloknya. Srekkk. .! Golok tak bisa dicabut karena
gagangnya terlilit tali cambuk. Dengan susah payah dan terburu-buru ia berusaha
melepaskan lilitan tali cambuk itu agar bisa mencabut golok. Tapi Suto Sinting
sudah lebih dulu melepaskan jurus sentilannya yang bernama jurus 'Jari Guntur'
itu. Tess.,.! Buuhk...! Kropang...!
Suto Sinting tertawa tanpa suara. la memang tidak bermaksud membenci
dan memusuhi si Ular Berang. Ia bermaksud menggoda kemarahan si Ular Berang
sambil memberi pelajaran sejurus-dua jurus agar Ular Berang membatalkan niatnya
untuk membunuh.
Sentilan dari jurus 'Jari Guntur' mempunyai kekuatan setara dengan
tendangan kuda jantan yang sedang terganggu kencannya. Tak heran jika Ular
Berang terlempar lima langkah ke belakang dan terbanting setelah membentur
pohon yang tadi terkena tendangannya itu. Jatuhnya si Ular Berang menimbulkan
suara gaduh akibat senjata-senjata yang dibawanya.
Setelah suara gaduh itu hilang, terdengarlah suara erangan si Ular
Berang yang kesakitan. Dadanya yang terkena sentilan tenaga dalam, tapi
lengannya yang berdarah, ini bukan karena kehebatan jurus 'Jari Guntur'-nya
Suto, melainkan karena lengan si Ular Berang tergores goloknya sendiri yang
gagangnya copot akibat sentakan tubuhnya yang terlempar itu.
"Kebo bunting! Kau apakan aku tadi sampai bisa terlempar
begitu?!" bentak Ular Berahg.
"Hanya kusentil sedikit."
"Edan kau ini! Hanya disentil saja aku bias tunggang langgang
seperti tadi?! Edan kau ini!" sambil si Ular Berang mondar-mandir ke
kanan-kiri.
Suto Sinting hanya tersenyum-senyum. la tahu, lawannya tak seberapa
tangguh, ilmunya masih cekak. Terlalu sia-sia jika Suto harus menanggapinya
dengan perlawanan yang serius.
"Bocah kurapan! Kusarankan agar kau jangan pergunakan jurus
sentilanmu itu!" Ular Berang masih bersuara keras.
"Mengapa tak boleh? Itu jurus perkenalanku."
"Kalau kau menggunakan jurus itu, lalu bagaimana aku bisa
membunuhmu?!" Ular Berang tampak ngotot tanpa sadar ucapannya cukup menggelikan
bagi lawannya.
"Tiap manusia berhak membela diri dan mempertahankan hidupnya,
Ular Berang!"
"Jangan bertahan!" sentaknya masih ngotot.
"Ikhlas saja.. Ikhlas saja kau kubunuh!"
"Mana ada orang mau dibunuh kok disuruh ikhlas," Suto Sinting
bersungut-sungut, lalu membuka bumbung tuaknya. Sebelum menenggak tuak lagi, ia
sempat lanjutkan ucapannya tadi.
"Kau saja kalau mau dibunuh apakah mau disuruh ikhlas?!"
Ular Berang diam, menggerutu tak jelas, dan ditinggal Suto untuk
menenggak tuak beberapa teguk. Wajahnya masih cemberut walau memandang ke arah
lain sambil sesekali melirik ke arah Suto.
"Mau dibunuh enak-enakan minum tuak? Hmmm.. ! Pendekar cap apa kau
ini?!"
Gerutuan agak keras membuat Suto geli dan nyaris terbatuk-batuk.
Pendekar Mabuk hanya tersedak satu kali, kemudian menutup bumbung tuaknya
sambil sunggingkan senyum geli.
"Sebenarnya, mengapa kau ingin membunuhku, Ular Berang?!"
"Aku disuruh!" jawab si Ular Berang dengan ketus.
"Orang itu juga yang memberitahuku ciri-ciri seorang pemuda
berjuluk Pendekar Mabuk. Ciri-cirimu adalah bumbung tuak itu!"
"O, jadi kau diberi tahu, kalau ada pemuda membawa bumbung tuak,
berarti dialah Pendekar Mabuk dan harus segera kau bunuh? Begitu?"
"Ya. Sudah dua kali aku salah sasaran. Ada orang jualan legen atau
air bunga kelapa, kusangka Pendekar Mabuk. Sudah kubikin babak belur, tidak tahunya
bukan. Tapi sekarang toh aku berhasil menemukan Pendekar Mabuk yang asli dan
aku harus segera membunuhmu. Tapi. . kau punya jurus sentilan maut seperti
tadi. Aku jadi bingung juga, bagaimana cara membunuhmu? Sudah kutendang dengan
jurus tendangan mautku, tapi kau masih melotot tak mau mati. Padahal biasanya
jika orang terkena jurus tendangan mautku, kepalanya akan retak dan nyawanya akan
minggat entah ke mana!"
Perdekar Mabuk sengaja dekati si Ular Berang, karena ia yakin Ular
Berang dapat dijinakkan. Menurut hati kecil Suto, Ular Berang sebenarnya tidak
mempunyai unsur permusuhan dengannya. Tapi karena ada yang memerintahkannya
maka Ular Berang terpaksa harus lakukan pembunuhan terhadap diri Pendekar
Mabuk.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Kang?!"
"Mana aku tahu?! sentaknya dengan makin bersungut-sungut.
"Lho, mengapa kau bisa tidak tahu siapa yang menyuruhmu
membunuhku?!"
"Karena dia tidak mau menampakkan diri!"
Pendekar Mabuk mulai berkerut dahi.
"Tidak mau menampakkan diri bagaimana?" tanya Suto dengan
rasa heran.
"Bodoh amat kau ini!" sentak Ular Berang makin jengkel.
"Yang namanya tidak mau menampakkan diri, artinya tidak kelihatan
wujudnya! Ngerti?!"
"Soal itu aku paham, tapi,..." .
"Kalau sudah paham ya sudah, jangan banyak tanya lagi!"
potong Ular Berang yang agaknya memang gemar marah-marah itu.
"Yang kumaksud, mengapa dia tidak mau menampakkan diri?"
"Mana aku tahu?!" Ular Berang makin cemberut.
"Pokoknya dia menyuruhku mencari Pendekar Mabuk dan aku harus
membunuh Pendekar Mabuk!"
"Mengapa tidak kau tolak?!"
"Mana berani aku menolak tugas itu?!" Ular Berang ngotot.
"Kalau tugas itu kutolak, maka selamanya aku tidak akan berjumpa lagi
dengan Manggar Arum."
"Siapa itu Manggar Arum?"
"Adik perempuanku. Tolol!" bentak Ular Berang dengan kesal.
Bentakan itu tidak membuat Pendekar Mabuk sakit hati, namun justru geli sendiri.
"Memangnya adik perempuanmu kenapa?"
"Ditawan sama orang itu!"
"Maksudmu, ditawan oleh orang yang memberimu tugas
membunuhku?"
"Iya! Sudah jelas kok masih bertanya saja!" lanjutnya dalam
gerutu.
Pendekar Mabuk diam sebentar, merenungkan jawaban dan kata-kata Ular
Berang tadi.
"Hmmm. . jadi kau disuruh oleh orang yang tidak mau menampakkan
dirinya? Supaya kau mau lakukan tugas itu, maka adik perempuanmu yang bernama Manggar Arum itu ditawannya? Kalau
kau tidak mau membunuhku, maka adikmu itu...."
"Akan dibunuhnya!" sahut Ular Berang.
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Ya, ya. . aku mengerti maksudmu.
Tapi...."
"Tapi apa lagi?!"
"Tapi apakah saat dia menyuruhmu atau menangkap Manggar Arum, kau
tidak ingat
wajahnya?"
"Bagaimana aku mau mengingat-ingat wajahnya? Dia tidak kelihatan
wajahnya. Bahkan bayangannya saja tidak kelihatan. Dia hanya berbentuk
suara."
"Suara...?!"
"Ya. Suara seorang perempuan yang mengaku sebagai ratu."
"Ratu dari mana?"
"Dari... dari...." Ular Berang bingung, akhirnya menyentak
dengan nada ngotot. "Mana kutahu dia ratu dari mana? Dia tidak sebutkan
asal-usulnya!"
Pendekar Mabuk merenung kembali. "Seorang ratu menghendaki
kematianku?! Hmmm. . siapa orang itu sebenarnya?! Apa alasannya menyuruh Ular
Berang membunuhku? Dan mengapa ia menyuruh si Ular Berang, sedangkan Ular
Berang tidak mempunyai ilmu yang bisa diandalkan untuk melawanku?"
Tanpa diminta, Ular Berang menceritakan asal mula ia menerima perintah
mencari dan membunuh Pendekar Mabuk.
"Aku dan adikku sedang menangis karena kematian nenek kami. Kami
berpelukan karena sedihnya. Tahu-tahu adikku terbang ke atas pohon dengan
kepala berjungkir balik. Padahal kedua kakinya tidak tampak terikat, tapi kedua
kaki itu bagai tergantung pada sebatang dahan dan sewaktu-waktu bisa terlepas.
Jika tubuh adikku terlepas dan meluncur dari atas pohon, maka ia akan mati,
sebab di bawah pohon itu ada tonggak-tonggak bamboo yang runcing bekas
tebangan."
"Siapa yang menggantung adikmu dalam keadaan terjungkir balik
begitu?"
"Tidak tahu!" bentak Ular Berang dengan kesal.
"Kalau kutahu siapa orangnya dan seperti apa rupanya, sudah sejak
tadi kukatakan padamu, Tolol!"
"Baiklah, lanjutkan saja ceritamu, jangan mencaciku terus!"
"Habis kamu jadi pendekar bodoh amat!" Ular Berang mulai
cemberut lagi. Suto Sinting hanya tersenyum tipis sambil menunggu lanjutan
cerita itu. Ular Berang mondar-mandir dengan gelisah.
"Setelah adikku tergantung begitu, kudengar ada suara yang bicara
padaku. Suara perempuan itu mengancamku agar segera mencari Pendekar Mabuk dan
membunuhnya. Kalau aku menolak tugas itu, maka Manggar Arum akan dilepaskan
dari atas pohon dan kepalanya akan menancap pada tonggak-tonggak bambu yang
runcing itu. Tentu saja aku ngeri dan tak ingin adikku bernasib semalang itu.
Maka aku segera pulang ke rumah dan membawa beberapa senjata yang sekiranya
dapat kupakai untuk membunuhmu! Kubawa senjata-senjata ini, karena menurut
cerita kawan-kawanku, Pendekar Mabuk itu berilmu tinggi dan sulit dibunuh!"
"Apakah kau bisa memainkan semua senjata itu?!"
"Sebenarnya. . sebenarnya aku cuma bias memainkan senjata
golok," Ular Berang bersungut-sungut lagi.
Tawa Suto terdengar pelan dan pendek.
"Kalau begitu, sebaiknya batalkan saja niatmu untuk membunuhku,
Kang. Percuma saja kau membawa senjata sebanyak itu tapi belum tentu kau bisa
membunuhku."
"Kalau dibatalkan, lantas bagaimana nasib si Manggar Arum itu?!
Dia bisa mati dalam keadaan kepalanya tertancap bambu. Mengerikan lho
itu!"
"Di mana tempat adik perempuanmu itu ditawan oleh orang
tersebut?" tanya Suto Sinting yang kini berjarak satu langkah di depan
Ular Berang.
"Manggar Arum ditawan di hutan lereng sebelah timur sana! Dekat
sungai."
"Kita ke sana sekarang juga!"
"Mau apa ke sana? Kau ini harusnya kubunuh, kok malah ngajak aku
ke sana?!"
"Akan kubebaskan adikmu itu!"
"Kau mau membebaskannya? Hmmm...." Ular Berang mencibir.
"Pohon yang dipakai menjungkirbalikkan adikku itu tinggi sekali. Apa kau
bisa memanjat pohon?!"
"Itu urusanku! Yang jelas, Manggar Arum harus segera kita
bebaskan, supaya jiwa dan pikiranmu tidak dikotori oleh perintah-perintah
sesat!"
"Nanti kalau perempuan yang mengaku sebagai ratu itu marah,
bagaimana?! Kalau dia melepaskan adikku dari atas pohon, bagaimana?! Kalau pohonnya
sudah tidak ada, bagaimana juga?!"
"Sudahlah jangan banyak omong!" Suto menarik lengan Ular
Berang. "Ayo, tunjukkan padaku di mana letak adikmu ditawan orang
itu!"
Sambil melangkah Ular Berang menggerutu, "Mau dibunuh kok malah
mau membebaskan si Manggar? Apa sudah gila anak ini?!"
*
* *
2
KEMIRINGAN lereng dari dua bukit yang
membentuk celah berupa jurang cukup dalam, ternyata telah memantulkan
suara teriakan seorang gadis yang berada dalam bahaya. Gadis itu tergantung
dengan kepala di bawah, kedua kaki merapat di atas. Kedua kaki itu seperti
dijerat dengan tali, tapi tak tampak talinya. la berada dalam ketinggian pohon
yang sukar dipanjat.
"Tolooong.. ! Tolooong.. !" suara itu terdengar sesekali,
menyebar ke mana-mana. Kadang hilang, kadang muncul kembali. Pada saat suara
itu hilang, berarti si gadis sedang ambil napas atau beristirahat mengumpulkan
tenaga untuk berseru kembali.
Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah kuburan baru. Tanahnya masih
basah dan menggunduk dengan tonggak kayu dipakai sebagai patok kuburan
tersebut. Di kuburan itulah Suto diajak berhenti oleh Ular Berang.
Lelaki yang semula menyandang senjata banyak itu, kini telah membuang
semua senjatanya dan tinggal bersenjata golok saja. Hal itu dilakukan karena ia
merasa tak akan mampu membunuh Pendekar Mabuk dengan senjata-senjatanya
tersebut, apalagi sekarang Suto bersedia membantu membebaskan Manggar Arum dari
bahaya.
"Ini kuburan nenekku,"
kata Ular Berang. "Setelah memakamkan jenazah nenek yang tewas karena luka
beracun, aku dan Manggar Arum saling berpelukan di sebelah sana. Kami masih
belum bisa melupakan nenek dan merasa berat meninggalkan nenek terkubur di sini.
Kami bermaksud untuk kembali ke sini dan menunggu sampai nenek membusuk. Tapi
tiba-tiba Manggar Arum terbang dan tergantung di pohon!"
"Mengapa kita membuang waktu di sini? Sebaiknya kita segera menuju
ke tempat adikmu tertawan, Kang."
"Aku hanya memperkenalkan kuburan nenekku ini padamu, Tolol!"
sentak Ular Berang dengan kesal.
"Toloooong.. !!"
"Nah, itu dia suara adik perempuanku!" ujar Ular Berang
dengan wajah tegang. la bergegas pergi tinggalkan makam sang nenek, Pendekar
Mabuk segera mengikutinya.
"Itu dia adikku!" seru Ular Berang sambil menuding ke arah
gadis yang bergelantungan di atas pohon tinggi.
Pendekar Mabuk memandang dengan terbengong. Gadis itu mengenakan
pakaian serba jingga. Rambutnya yang panjang terjuntai turun meriap menutupi
sebagian wajahnya. Celananya yang komprang merosot jadi satu di paha, sehingga
sebagian paha dan betisnya dapat terlihat dengan jelas; putih dan mulus.
"Ck, ck, ck, ck...!" Pendekar Mabuk berdecak sambil
geleng-geleng kepala. "Indah sekali betis dan pahanya itu...."
Plok! Ular Berang memukul lengan Suto sambil sewot.
"Jangan pandangi paha adikku!"
"Bagaimana tidak dipandang kalau memang tersingkap selebar
itu?!"
"Lakukan saja pertolongan sekarang juga! Jangan terlalu banyak
memandang pahanya, Tolol!"
"Ular Beraaang.. !" seru Manggar Arum. "Tolong aku, Ular
Berang...!"
Suara gadis itu penuh ratapan menyedihkan. Pendekar Mabuk masih
berpikir bagaimana cara menolong Manggar Arum jika ia tidak melihat ada tali
yang menjerat kedua kaki gadis itu.
"Sebenarnya kau bisa menolong adikku atau tidak?!" bentak
Ular Berang tampak panik sekali melihat adiknya dalam keadaan begitu.
"Kalau memang tidak bisa, bilang saja tidak bisa! Jangan berlagak mau
menolongnya! Lebih baik copot gelar pendekarmu kalau...."
ZIaaap...!
Ular Berang terkejut dan langsung terbengong di tempat, karena Pendekar
Mabuk tiba-tiba lenyap dari hadapannya. Tapi ketika ia memandang ke arah
Manggar Arum, ternyata Pendekar Mabuk sudah ada di atas pohon, berdiri pada
dahan yang dipakai menggantung Manggar Arum.
"Busyet! Cepat amat dia sampai di atas sana?! Kapan memanjatnya?!'
gumam Ular Berang terheran-heran. Ia tak tahu bahwa Pendekar Mabuk segera
gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak menyamai kecepatan cahaya
itu. Dalam satu sentakan kaki ia sudah bisa melambung naik dan hinggap di dahan
tersebut dan gerakan itu tak bisa dilihat oleh mata Ular Berang.
"Ooh... ssi... siapa kau?!" Manggar Arum sendiri terkejut
melihat kehadiran Suto yang secara tiba-tiba muncul bagaikan hantu usil itu.
Sapaan tersebut tidak segera dijawab oleh Suto, karena pandangan mata Suto
tertuju pada kulit paha dan betis yang indah serta tampak putih mulus tanpa
goresan apa pun itu.
"Jangan pandangi aku saja! Lakukanlah sesuatu untuk menolongku.
Tolonglah aku secepatnya, selagi hantu itu tidak ada di sini!"
"Aku bukan memandangi kemulusanmu saja. Aku sedang berpikir
bagaimana membebaskan jerat yang tak tampak itu!" ujar Suto Sinting yang
kemudian duduk di dahan tersebut dengan bumbung tuak menyilang di punggung,
talinya melintang di dada.
"Agaknya ia diikat dengan tambang gaib yang tak bisa dilihat oleh
mata orang biasa," pikir Suto Sinting.
"Kalau begitu, aku harus menggunakan penglihatan gaibku
juga."
Pendekar Mabuk ingat bahwa di keningnya ada noda merah kecil yang dapat
digunakan untuk melihat dunia gaib dengan hanya sekali usap menggunakan tangan
kirinya. Tanda merah itu pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum,
calon istrinya yang menjadi penguasa di Puri Gerbang Surgawi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Slaaap. .! Pendekar Mabuk mengusap dahinya dengan tangah kiri, maka ia
pun dapat melihat kehidupan alam gaib di sekitar tempat itu. la juga dapat
melihat seutas tali tak seberapa besar yang menjerat kedua kaki Manggar Arum
dan menggantungnya pada dahan yang dipakainya duduk itu. Tali tersebut
memancarkan cahaya merah pijar-pijar seperti besi membara.
"Aku yakin tali ini tidak mudah dipotong dengan senjata tajam apa
pun, kecuali yang mempunyai kekuatan sakti cukup tinggi," pikir Suto
Sinting. "Jika begitu, aku harus memotong atau menghancurkannya dengan...
dengan... oh, kurasa cukup dengan menggunakan jurus 'Turangga Laga' saja."
Maka kedua jari pun ditegakkan dan mengeras, kemudian ditempelkan di
dahi sebentar dan disentakkan ke depan. Suuut, claap. .! Seberkas sinar ungu
melesat dari ujung jari itu yang segera menghantam tambang berpijar merah itu.
Duaar. .!
"Aaaaa. .!" Manggar Arum terlepas dari jeratan tali gaib.
Tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat tanpa bisa menjaga keseimbangan
badannya.
Padahal di bawah sana terdapat tonggak-tonggak bambu yang meruncing dan
siap menerima 'tamu' berupa kepala si gadis cantik itu.
"Edan! Adikku malah dijatuhkan dari atas! Dasar bocah setaaan.
.!!" teriak Ular Berang yang menjadi sangat tegang serta panik melihat
adiknya meluncur dari atas pohon dengan kepala terjungkir ke bawah.
Pendekar Mabuk segera lakukan
gerakan cepat seperti tadi. ZIaaap. .! Tubuhnya yang melesat melebihi kecepatan
anak panah itu segera menyambar tubuh Manggar Arum yang sudah mendekati
tonggak-tonggak bambu itu. Wees...!
Jleeeg. .! Pendekar Mabuk berhasil daratkan kedua kakinya di tempat
agak jauh dari Ular Berang. Kedua tangannya masih menyangga tubuh Manggar Arum.
Gadis itu tak sadar kalau sudah berada di tempat aman, karena sejak tadi ia
memejamkan mata kuat-kuat sambil berteriak keras-keras.
"Aaaaaa. .!"
"Husy. .!" bentak Suto Sinting, maka gadis itu diam seketika.
"Sudah diselamatkan masih berteriak saja. Brisik!"
Manggar Arum diturunkan. Mata gadis itu memandangi pemuda tampan yang
baru saja menyelamatkan jiwanya. Tapi ia terpaksa menggeloyor sebentar karena
rasa pusing masih mengganggu penglihatan dan keseimbangannya. Mau tak mau
Pendekar Mabuk menyambar lengan gadis itu kembali. Teeb. .!
"Duduklah dulu di batu itu biar pusingmu hilang!"
Ular Berang datang dari tempatnya semula. La lakukan beberapa lompatan
dan tiba di dekat adiknya langsung memeluk.
"Manggar, kau telah selamat, Manggar...! Oooh... adikku, aku
bahagia sekali kau bisa selamat dan tidak menjadi santapan bambu-bambu runcing
itu!"
"Siapa pemuda nakal itu, Ular Berang?!"
"Dialah yang seharusnya kubunuh. Dia Pendekar Mabuk. Tapi. . dia
telah menyelamatkan nyawamu, mengapa tadi kau tanyakan 'pemuda nakal' itu? Dia
tidak nakal, Manggar."
"Dia nakal," Manggar Arum cemberut dan melengos tak mau
memandang Suto.
"Di mana letak kenakalannya?"
"Dia memang menyelamatkan nyawaku. Dia melepaskan tali penjerat
kaki yang tak terlihat itu, dan menyambarku dari ancaman tonggak runcing. Tapi
saat dia menyambarku, tangannya meremas dadaku, Ular Berang!"
"Hahh...?!" Ular Berang kaget, Pendekar Mabuk juga kaget.
"Kurang ajar!" geram Ular Berang sambil dekati Suto.
"Kau menggunakan kesempatan dalam kelonggaran, ya?!"
"Lho, anu. . aku tidak sengaja! Aku tidak bermaksud meremas dada
adikmu. Tapi karena tubuhnya hampir terlepas dari sambaranku tadi, maka
kugenggam sesuatu yang membuatnya tertahan dalam pondonganku. Aku tak sengaja menggenggam
dadanya, Kang!"
"Dasar pemuda jalang!" sentak Ular Berang. Manggar Arum
menarik lengan kakaknya.
"Sudahlah, jangan dipertengkarkan."
"Tapi kau diremas seenaknya oleh pemuda jalang ini!"
"Lupakan saja. Biarkan aku yang mengingatnya sebagai kenangan
manis," ucap Manggar Arum agak pelan dan tundukkan kepala.
"Kenangan manis dengkulmu! Ternyata kau menyukai kenakalannya,
Manggar?!"
"Yaah... agak-agak suka, gitulah. .!" Manggar Arum
sunggingkan senyum malu sambil makin bersembunyi di belakang tubuh kakaknya.
Ular Berang bersungut-sungut sambil menggerutu tak jelas.
"Sebaiknya kalian cepat-cepat tinggalkan tempat ini saja!"
kata Suto Sinting bernada memberi perintah.
"Orang itu lari ke arah utara sana," kata Manggar Arum kepada
Pendekar Mabuk.
"Dari mana kau tahu?!" tanya Ular Berang.
"Bukankah suara perempuan yang mengaku sebagai ratu itu tidak
pernah tampakkan wajahnya?"
"Kudengar ia berseru memanggil seseorang dengan ancaman. Orang itu
memakai jubah hijau dan berlari ke arah utara. Jika tidak ada orang berjubah
hijau, maka suara iblis itu tidak akan meninggalkan diriku dan ia mempermainkan
diriku dengan ancaman-ancaman mengerikannya."
"Biar aku yang akan mengejarnya ke utara," kata Suto Sinting.
"Kalian harus lekas-lekas pergi dari sini agar tidak dipermainkan oleh
perempuan tanpa wajah tadi."
"Baik, kuterima saranmu," ujar Ular Berang.
"Manggar, mari kita pulang ke Lembah Pilu!"
"Aku ingin ikut dia ke utara!" kata gadis berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu. Pendekar Mabuk memandang dengan hati berdebar, karena
gadis itu ternyata mempunyai kecantikan yang cukup menggetarkan hati. Matanya
yang bundar bening itu bagai mempunyai daya tarik cukup besar, membuat setiap
pria yang habis beradu pandang dengannya langsung sulit melupakan bayangan
wajah cantik berhidung mancung itu. Kecantikan tersebut sangat kontras dengan
wajah kakaknya yang amburadul.
"Kau tak perlu ikut ke sana, Tolol! Untuk apa kau ikut Pendekar
Mabuk mencari lawannya itu, bisa-bisa kau akan mati nganggur, tahu?!" omel
si Ular Berang terhadap adiknya.
Gadis berambut terurai sepunggung dengan ikat kepala hijau tampak cemberut
ngambek. Rupanya ia kecewa dengan larangan dari kakaknya. la ingin mengikuti Pendekar Mabuk karena hatinya
merasa tertarik melihat ketampanan wajah Suto dan kegagahan sang Pendekar
ganteng itu.
"Kau tidak boleh ikut dia! Kau harus pulang bersamaku ke Lembah
Pilu dan melanjutkan pelajaran dari kitab pusaka peninggalan nenek yang belum
kita rampungkan itu!"
Akhirnya kakak-beradik cekcok sendiri beradu debat. Sementara itu
Pendekar Mabuk segera melesat ke arah utara tanpa diketahui oleh kakak-beradik
tersebut. Pendekar Mabuk penasaran sekali ingin mengetahui siapa orang yang
menyuruh Ular Berang untuk membunuhnya.
"Tadi kudengar dari mulut Manggar Arum, orang yang tak kelihatan
wujudnya itu mengejar seseorang ke utara. Orang yang dikejar itu berjubah
hijau. Berarti orang yang menyebut dirinya sebagai ratu itu berada tak jauh
dari orang berjubah hijau. Hmmm. . siapa orang berjubah hijau yang dikejarnya
itu?!"
Langkah Pendekar Mabuk tiba-tiba terpelanting dan jatuh tersungkur lalu
berguling-guling. Dari arah belakangnya ada sesuatu yang menghantam dengan kekuatan
cukup besar yang mengakibatkan dirinya tersungkur lalu terjungkal
berguling-guling. Bumbung tuak yang tadi habis diminum isinya itu masih tergenggam
di tangan kanan.
Maka ketika ia dalam keadaan telentang sambil menyeringai kesakitan,
tiba-tiba bumbung tuaknya disodokkan ke atas karena datangnya sekelebat bayangan
yang ingin menjatuhi tubuhnya. Wuut...!
"Aaahk. .!" Orang yang ingin menginjaknya itu terpental dan
berguling-guling di udara karena sodokan bambu tuak mengenai telapak kaki orang
tersebut. Agaknya orang itu kesakitan sehingga ia serukan pekik yang mirip
jeritan.
Pendekar Mabuk segera bangkit, tapi jatuh berlutut lagi karena
tenaganya bagaikan terkuras habis, seluruh tulangnya terasa remuk, terutama tulang
punggungnya. Rupanya pukulan jarak jauh orang tersebut telah melumpuhkan
seluruh urat dan meretakkan tulang punggung, sehingga sukar dipakai untuk
berdiri lagi.
"Aduh, gawat! Bisa mampus kalau keadaanku jadi selemas ini!
Rupanya tadi saat kusodokkan bambu tuakku ini, aku telah menggunakan tenaga yang
tersisa dan. . sepertinya tak mungkin bisa kulakukan lagi sekarang. Aku tak
bisa mengulangi serangan seperti tadi. Uuuh, sakitnya! Sebaiknya kupaksakan
sisa tenaga yang masih ada untuk mengangkat bumbung tuak ini dan menenggak isinya...."
Maka dengan gerakan pelan dan tampak dipaksakan sekali, Pendekar Mabuk
menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak yang terminum mulai bekerja memulihkan
luka dalam dan mengembalikan kekuatannya dalam waktu relative singkat.
Pada saat Pendekar Mabuk terengah-engah menunggu kekuatannya pulih
kembali, orang yang tadi terpental itu juga berusaha bangkit dan mengerang
kesakitan. Rupanya sodokan bumbung tuak itu tadi mempunyai kekuatan tenaga
dalam tersendiri yang dapat membuat tubuh korbannya menjadi tak berdaya.
Seluruh tulangnya juga terasa remuk dan urat-uratnya bagaikan putus semua.
Orang itu berusaha bangkit dengan berpegangan pada batang pohon, namun
kedua kakinya tampak sukar dipakai berdiri. Kaki itu bagai tak bertulang dan
tak berurat lagi.
"Lho. . dia?!" Suto segera sadar dan terkejut melihat siapa
orang yang menyerangnya tadi.
Orang itu ternyata adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga
tahun dengan pakaian serba kuning. Rambutnya pendek diikat tali merah.
Wajahnya mungil, hidungnya bangir, bibirnya seperti kuncup mawar. Gadis
itu mempunyai pedang dari perunggu dan dulu Suto pernah diserangnya dengan menggunakan
senjata rahasia berbentuk bintang putih segi empat.
Gadis itu tak lain adalah Sriti Kuning, yang dulu menduga Suto sebagai
Badra Sanjaya, mantan kekasihnya yang sekarang sudah menikah dengan Laras
Wulung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Petaka Ranjang
Goyang").
Mengingat dulu Suto pernah bermesraan dengan Sriti Kuning, walau saat
itu menurut anggapan Sriti Kuning ia bermesraan dengan Badra Sanjaya, tetapi
kemesraan itu masih terkenang dan berkesan di hati Pendekar Mabuk.
Rasa tak tega pun timbul di hati Suto, sehingga ia cepat-cepat dekati
gadis itu dan menolongnya dengan
memberikan minum tuak saktinya itu. Dengan meneguk tuak sakti dari bumbung si
murid sinting Gila Tuak itu, maka kekuatan Sriti Kuning pulih kembali dan
badannya menjadi lebih segar dari sebelumnya.
"Mengapa kau menyerangku separah itu, Sriti Kuning?!"
Gadis itu berkerut dahi memandang Pendekar Mabuk yang punya wajah lebih
tampan dan lebih gagah dari mantan kekasihnya itu. Wajah cantik tersebut tampak
memendam keheranan ketika namanya disebutkan oleh si tampan berhidung bangir.
"Dari mana kau tahu namaku Sriti Kuning?!"
"Dulu kita pernah bertemu dan saling memadu kasih, hanya saja tak
sampai ke puncak kemesraan."
"Omong kosong! Kubeset mulutmu dengan pedangku jika kau berani
berkata begitu lagi," ancam Sriti Kuning karena merasa malu.
"Aku tidak berdusta, Sriti Kuning. Kita memang pernah bermesraan
dan. . "
"Kita bertemu baru kali ini!" sentak Sriti Kuning dengan
wajah gusar.
"Tidak, Sriti Kuning. Kita pernah bertemu sebelum ini. Hanya saja,
waktu itu aku menggunakan raganya Badra Sanjaya."
"Ooh. .?!" Sriti Kuning terkejut mendengar nama Badra
Sanjaya. "Kau. . kau mengenal Badra Sanjaya juga?!"
"Benar," jawab Suto tegas. "Kala itu Badra Sanjaya
terkena jurus racun 'Ranjang Goyang' yang dilepaskan oleh Ratu Dekap
Rindu...."
"Kau jangan membual di depanku!"
"Demi sumpah apa saja aku berani, Sriti Kuning. Keadaan Badra
Sanjaya kala itu tak bisa lakukan apa-apa. Sukmanya terpenjara dalam tabung
kaca. Lalu, gurunya Badra Sanjaya yang berjuluk Jalu Kuping berhasil
melumpuhkan diriku dengan jurus 'Petir Jinak'. Rupanya kelemahanku itu dimanfaatkan
oleh Jalu Kuping. Sukmaku dipindahkan ke raganya Badra Sanjaya dengan menggunakan
ilmu 'Sewaka Sukma'. Jadi, nyawaku disewa oleh Jalu Kuping untuk menjadi Badra Sanjaya
sementara, dan bertugas mencari tabung kaca yang menjadi tempat penjara sukma
aslinya Badra Sanjaya."
Sriti Kuning diam dan terkesima oleh penuturan itu. Matanya memandang
tak berkedip dalam keadaan masih bimbang. Tangannya masih pegangi gagang pedang
yang sewaktu-waktu bisa dicabutnya dengan cepat.
"Pada saat sukmaku masuk ke raganya Badra Sanjaya dan pergi ke
Bukit Kemesraan untuk mencari Ratu Dekap Rindu, aku berjumpa denganmu. Kau
menyangka aku Badra Sanjaya, karena memang wujudku adalah wujud Badra Sanjaya.
Lalu.. lalu pada saat itulah kau lampiaskan rindumu, kau curahkan kemesraanmu
hingga kita saling bercumbu gila-gilaan di bawah pohon di balik semak-semak.
Saat itu sebelumnya kau sempat menyerangku, sebagai ungkapan kecemburuanmu terhadap
Badra Sanjaya yang ada main dengan Sunting Sari. Sedangkan pertemuan kita itu
terjadi pada saat kau sedang ingin kembali ke perguruanmu karena gurumu
memanggilmu."
Sriti Kuning menjadi terkesima dan mematung di tempat. Wajahnya mulai
tampak memerah karena menahan rasa malu. la segera teringat masa-masa indah
terakhir yang dinikmatinya bersama Badra Sanjaya. Ternyata masa indah terakhir
itu ia nikmati bersama rohnya Pendekar Mabuk walau raganya adalah raga Badra
Sanjaya.
"Gurunya Badra Sanjaya memang punya ilmu langka yang dinamakan
ilmu 'Sewaka Sukma' itu," ujar Sriti Kuning dalam hatinya.
"Penjelasan pemuda itu masuk akal sekali, karena aku tahu kesaktian Ki
Jalu Kuping itu. Tapi. . oh, kalau begitu aku terperangkap dalam permainan
laknat itu." Sriti Kuning mulai menggeram dalam hati, sorot pandangan
matanya memancarkan dendam dan permusuhan.
"Apakah kau ingat saat kau memuji Badra Sanjaya yang kehangatannya
kau rasakan lebih panas dan lebih indah dari sebelumnya? Itulah saatnya kau
bercumbu denganku, dan itulah kehangatanku yang sebenarnya. Kurasa. . "
"Cukup!" sentak Sriti Kuning. "Kau tak perlu beberkan
semuanya, aku sudah bisa mengingat peristiwa itu!"
Pendekar Mabuk masih tetap kalem, tenang, bibirnya masih
dibayang-bayangi senyum yang menawan hati setiap perempuan.
"Mengapa pada waktu itu kau tidak jelaskan siapa dirimu?!"
"Karena kau tak akan percaya, dan tetap bersikeras menganggapku
sebagai Badra Sanjaya. Anggapan itu sukar dibantah karena kenyataannya memang
aku menggunakan raganya Badra Sanjaya," jawab Pendekar Mabuk dengan suara
lembut, tanpa sentakan atau bentakan yang menimbulkan permusuhan. Sikapnya
tetap ramah dan menawan, membuat nafsu membunuh yang ada dalam diri Sriti
Kuning makin lama semakin mengendur.
"Kalau tahu saat itu aku bermesraan denganmu, aku tak akan... tak
akan...."
"Tak akan sudi melakukannya?!" pancing Suto dengan memamerkan
senyum indah kepada gadis cantik itu.
"Sebaiknya kita lupakan saja peristiwa itu!" ujar Sriti
Kuning menutup keresahannya.
"Dapatkah kau melupakan sesuatu yang sangat indah itu?! Dapatkah
kau menahan diri untuk tidak mengulanginya lagi?!"
"Kenapa tidak!" sentak Sriti Kuning semakin galak demi
menutupi perasaan tergodanya sejak tadi.
Katanya lagi dengan lantang, "Semua itu akan lenyap dari ingatanku
kalau aku sudah berhasil membunuhmu, Pendekar Mabuk!"
Suto tetap tersenyum kalem, bahkan tertawa pendek tanpa suara. Tubuhnya
yang tinggi, kekar dan gagah itu berdiri tegak di depan Sriti Kuning dengan
menggantungkan bumbung tuak di pundak. Tangan kanannya berpegangan pada tali
bumbung tersebut.
"Mengapa kau ingin membunuhku? Dosa apakah aku kepadamu, Sriti
Kuning?!"
"Ini perintah!"
"Perintah dari siapa?!"
Sriti Kuning diam beberapa saat lamanya. Bahkan ia sempat mundur dua
langkah dan berdiri dengan menopangkan tangan kiri ke pohon. Ada sesuatu yang dipertimbangkan
dalam pikirannya.
Pertimbangan itulah yang membuatnya semakin resah. Sampai akhirnya ia
ungkapkan keresahan itu dengan sikap bermusuhan yang mulai berkurang.
"Kalau begitu aku telah terjebak oleh langkahku sendiri."
"Langkah yang bagaimana, Sriti Kuning?" sambil Suto mendekat
lagi.
"Aku telah bersekutu dengan Ratu Dekap Rindu, aku akan diterimanya
sebagai sekutu Nyai Ratu jika aku berhasil memenggal kepala Pendekar Mabuk. Setahuku,
Pendekar Mabuk ke mana-mana selalu membawa bumbung tuaknya."
"O, jadi yang sekarang Ratu Dekap Rindu memburu kematianku?!"
Suto minta pertegasan sekali lagi.
"Ya, kau diburu oleh Ratu Dekap Rindu karena kau telah
menghancurkan istananya pada saat ia sedang lakukan semadi," jawab Sriti
Kuning. "Dan perlu kau ketahui, Ratu Dekap Rindu pada saat istananya kau
hancurkan, dia sedang mempelajari ilmu kesaktian yang dinamakan 'Hantu
Melayang'.
Jurus itu sukar ditandingi. Aku pernah mendengar cerita dari guruku
tentang kehebatan jurus 'Hantu Melayang', karenanya aku bermaksud bersekutu dengan
Ratu Dekap Rindu untuk melampiaskan dendamku kepada Badra Sanjaya dan Laras
Wulung yang juga dalam pengejaran Ratu Dekap Rindu."
"Sudah kuduga balas dendam itu akan dating cepat atau lambat, dan
aku harus tetap siap dan waspada menghadapi dendam Ratu Dekap Rindu!" gumam
Suto sambil tertegun sesaat.
"Nyai Ratu sekarang sedang membuka sayembara besar, kepada siapa
saja yang bisa membunuh Pendekar Mabuk akan diangkat sebagai orang
kepercayaannya dan jurus 'Hantu Melayang' akan diturunkan kepada orang
tersebut. Berhati-hatilah kau!"
Setelah berkata begitu, Sriti Kuning melesat pergi tinggalkan Pendekar
Mabuk yang terbengong sendirian.
Agaknya ia membatalkan niatnya membunuh Pendekar Mabuk karena merasa
pernah mendapatkan kemesraan yang luar biasa indahnya dari pemuda itu. Atau
barangkali Sriti Kuning punya maksud tersembunyi yang tak dapat diketahui oleh siapa
pun itu di balik kepergiannya?
*
* *
3
DALAM kisah Pusaka Jarum Surga, Suto memang telah membuat istana di
Bukit Kemesraan dalam kekuasan Ratu Dekap Rindu menjadi hancur. Bukan hanya itu
saja, tapi Pendekar Mabuk juga membantu pelarian Laras Wulung yang semula
adalah orang kepercayaan Ratu Dekap Rindu.
Laras Wulung melarikan diri dari istana karena ia jatuh cinta kepada
Badra Sanjaya. Sedangkan Badra Sanjaya adalah pemuda yang menjadi budak gairah Ratu
Dekap Rindu. Jurus 'Ranjang Goyang' sang Ratu telah ditanamkan pada diri Badra
Sanjaya, dan sukma Badra Sanjaya telah dipenjarakan dalam tabung 'Penjara
Sukma' dengan maksud agar setelah sang Ratu selesai bersemadi, maka ia dapat
menarik kembali Bandra Sanjaya dan berpesta cinta dengan pemuda itu. Tetapi
ternyata harapannya itu dibuat kecewa oleh Suto Sinting.
Padahal mencari Pendekar Mabuk bukan semudah mencari kutu di padang
pasir. Lebih sulit dari itu. Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa diam di
suatu tempat lebih dari tiga hari. la selalu berkeliling mengembara ke
mana-mana sambil memburu musuh utamanya yang berjuluk Siluman Tujuh Nyawa itu.
Karena itulah maka tak heran jika Nyai Ratu Dekap Rindu kesulitan
menemukan Suto Sinting. Maka ia membuka sayembara agar semua orang ikut memburu
Pendekar Mabuk. Tak peduli di tangan siapa Pendekar Mabuk nanti tumbang, yang
penting dendam Nyai Ratu Dekap Rindu menghendaki kematian murid sinting si Gila
Tuak itu.
"Rupanya Sriti Kuning ingin menghimpun kekuatan untuk melampiaskan
dendamnya kepada Badra Sanjaya dan gurunya serta si Laras Wulung yang telah
membuat hatinya hancur dengan melakukan perkawinan bersama Badra Sanjaya,"
pikir Pendekar Mabuk saat lanjutkan langkahnya ke utara.
"Tapi agaknya, Sriti Kuning kecewa dengan langkahnya sendiri. la
menyusun kekuatan dengan lakukan persekutuan yang salah. Kurasa ia baru sadar
bahwa selama ini yang mengganggu kemesraannya dengan Badra Sanjaya adalah Ratu Dekap
Rindu sendiri. Gara-gara ulah sang Ratu akhirnya Badra Sanjaya terpikat oleh
Laras Wulung dan menikah dengan perempuan itu. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati
Sriti Kuning. Lalu, apakah Sriti Kuning tetap ingin bersekutu dengan Nyai Ratu
Dekap Rindu jika ternyata Nyai Ratu pernah memperbudak kemesraan Badra Sanjaya sebagai
alat pelampiasan gairahnya?!"
Renungan Suto Sinting itu menjadi buyar mendadak, setelah ia mendengar
suara ledakan menggelegar dari balik perbukitan sebelah kanannya. la bergegas
ke arah perbukitan tandus itu.
"Pasti ada pertarungan seru di sana! Menyesal sekali jika aku tak
sempat melihat pertarungan yang menggunakan jurus-jurus dahsyat itu.
Sewaktu-waktu aku berhadapan dengan jurus itu, aku tak akan bisa mengatasinya
jika sebelumnya tak pernah melihatnya!" pikir Suto Sinting sambil
berkelebat sangat cepat bagaikan angin tanpa bentuk.
Rupanya dugaan Pendekar Mabuk memang benar. Ada pertarungan cukup seru
di balik bukit itu. Pertarungan tersebut dilakukan oleh dua tokoh sakti yang
sudah dikenal Pendekar Mabuk. Oleh sebab itu, mata Suto membelalak kaget ketika
saksikan pertarungan tersebut.
"Pangkar Soma. .?! Oh, ia sedang melawan si Rupa Setan alias
Anjardani?! Benar-benar seru ini! Keduanya sama-sama punya kesaktian tinggi.
Tapi kurasa Anjardani atau si Rupa Setan tak mungkin kalah melawan Pangkar
Soma, sebab ilmunya cukup tinggi. Biar masih muda dan cantik tapi sebenarnya ia
angkatan tua, usianya lebih tua dari Pangkar Soma yang kira-kira baru enam
puluh lima tahun itu…."
Lelaki berambut putih panjang, meriap tanpa ikat kepala itu mengenakan
jubah dan celana merah. Badannya agak gemuk, wajahnya dingin. La mempunyai
senjata pusaka sebuah cambuk yang berbahaya. Kesaktian bekas murid mendiang Tengkuk
Cadas itu mampu menghadirkan hujan darah yang mengandung racun dapat
membusukkan tulang siapa pun yang terkena tetesan hujan merah itu. Tetapi jurus
'Hujan Petaka' itu pernah dikalahkan oleh kesaktian Pendekar Mabuk dalam suatu pertarungan
tak langsung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa
Raga" dan "Asmara Janda Liar"),
Sedangkan Rupa Setan adalah tokoh tua yang mampu pertahankan kecantikan
dan kemolekan tubuhnya dengan sebuah ilmu warisan gurunya.
Rupa Setan adalah perempuan cantik yang sangat menggairahkan, di mana
dulu ia selalu mengenakan topeng tua yang membuat wajahnya tampak buruk. Topeng itu terlepas dan wajah cantiknya
terlihat jelas sejak ia dan Suto Sinting terperosok dalam Sumur Tambak Peluh
yang mempunyai kabut pembangkit gairah.
Mulanya perempuan berjubah hijau itu sempat adu kesaktian dengan Suto,
tapi ia berhasil ditumbangkan oleh Suto dan akhirnya menjadi sahabat yang punya
bunga-bunga indah dalam hatinya, bahkan nyaris memadu kasih ketika sama-sama
berada dalam sumur itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Dewi
Kesepian" dan "Penjara Terkutuk").
Tentu saja dalam pertarungan antara Pangkar Soma dan Anjardani, Suto
Sinting cenderung berpihak pada Anjardani, karena Anjardani sebenarnya adalah
tokoh aliran putih, sahabat si Gila Tuak.
Sedangkan Pangkar Soma adalah tokoh aliran hitam yang mempunyai dendam kepada Suto
Sinting karena Suto telah membunuh Nyai Ronggeng Iblis, adik dari gurunya
Pangkar Soma. Seandainya Nyai Ronggeng iblis belum tewas dan ilmunya disalurkan
kepada Pangkar Soma, maka lelaki itu akan mempunyai kesaktian maha dahsyat dan
sukar ditandingi.
Kesaktian Pendekar Mabuk dapat dikalahkan dengan penyatuan ilmu
tersebut. Oleh sebab itulah, Pangkar Soma menjadi berang dan mendendam kepada
Pendekar Mabuk yang telah membuatnya gagal menjadi tokoh tersakti di dunia.
Pangkar Soma selalu mengandalkan cambuk pusakanya, karena ia mempunyai
jurus 'Cambuk Iblis' yang dapat membuat lawan sesakti apa pun menjadi bubuk
halus jika terkena lecutan cambuk dari jurus tersebut. Kini cambuk itu mulai
dicabut dari pinggangnya dan siap digunakan untuk melawan Anjardani.
"Celaka! Anjardani bisa hancur jika begini caranya. Dia terluka
oleh pukulan dahsyat tadi.
Pangkar Soma juga terluka, tapi masih mempunyai tenaga cadangan untuk
lecutkan cambuknya, sedangkan Anjardani terpuruk kehilangan tenaganya. Gawat!
Anjardani tak mau bangkit dengan cepat. Aku terpaksa harus segera turun tangan
jika begini!"
Zlaaap...!
Suto Sinting bergerak cepat menggunakan jurus 'Gerak Si uman'-nya.
Tubuh Pangkar Soma yang sedang ingin mengayunkan cambuknya itu diterjang dari
arah samping tanpa permisi lagi. Bruuuss...! Buuhk...!
Bumbung tuak disodokkan ke tulang iga Pangkar Soma. Terdengar suara
pekik dari mulut Pangkar Soma bercampur derak tulang patah.
Kraak...!
"Aaaahhhkk...!"
Bruuk, brus, brus, brus...!
Pangkar Soma terlempar delapan langkah jauhnya dan berguling-guling di
tanah. Cambuknya terlepas dari genggaman tangan, tapi hanya sejauh satu
jangkauan saja. Pendekar Mabuk tak hiraukan keadaan lawan. La segera berkelebat
dekati si Rupa Setan yang masih tanpa topeng itu.
Zlaaap...!
"Anjardani...! ini aku; Suto...!"
Anjardani tak bisa ucapkan kata apa pun. Tenggorokannya tampak biru
legam dan pundak sampai tangan kirinya juga biru legam. la terkena pukulan yang
amat berbahaya dan membuatnya sangat lemah.
"Cepat minum tuakku! Cepat. .!" desak Suto Sinting sambil
mendekap kepala Anjardani dan menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut perempuan itu.
"Uhuk, uhuk, uhuk. .!" Anjardani tersedak dan terbatuk-batuk.
Tuak sakti itu telah terminum cukup banyak. Pendekar Mabuk segera menutup
bumbung tuak tersebut.
"Bertahanlah di sini dulu, aku akan selesaikan urusan dengan si
Pangkar Soma.. !"
"Hati-hati.. ," ucap Anjardani mulai sedikit bertenaga.
"Ratu Dekap Rindu. . ada di sekitar sini dan memburu nyawamu...."
Suto mulai tegang, matanya memandang sekeliling mencari Ratu Dekap
Rindu, tapi yang ditemukan hanyalah Pangkar Soma. Hanya saja, beberapa saat
sebelum Suto bangkit berdiri untuk meninggalkan Anjardani, tiba-tiba ia
mendengar suara lantang berseru entah dari arah mana.
"Bangkit, Pangkar Soma! Habisi perempuan itu dan aku akan
menghabisi pemuda laknat itu!"
"Suto, itu suara Ratu Dekap Rindu!" sentak Anjardani yang
semakin bertenaga kembali.
Wuuus. .! Sekelebat angin berhembus menerpa Suto Sinting. Dalam naluri
Pendekar Mabuk, angin itu bukan sembarang angin. Pasti angin pembawa maut.
Karenanya, Suto segera menggerakkan bumbung tuaknya dalam satu tebasan ke arah samping.
Duuuhk...!
"Aaahk. .!" terdengar pekik suara perempuan saat bumbung tuak
itu seperti menghantam sebuah benda bertulang.
Duuuhk...!
"Aooouh. .!" Suto pun terpekik dan jatuh tersungkur, karena
tengkuk kepalanya seperti dihantam dengan kayu balok cukup keras.
Bruuuk. .! Pendekar Mabuk tumbang ke depan, namun segera berusaha
bangkit mengingat lawannya menyerang dengan jurus yang sukar dilihat. Sementara
itu, Pangkar Soma sudah berdiri lagi dengan tubuh agak miring karena tulang
iganya ada yang patah. Cambuknya segera dilecutkan ke udara. Ctaaar...!
Sinar putih berkerilap keluar dari cambuk itu. Sinar tersebut tertuju
ke arah Anjardini yang masih berada tak jauh dari Pendekar Mabuk. Melihat sinar
putih melesat ke arahnya yang juga akan mengenai Pendekar Mabuk, maka Anjardani
melepaskan pukulan dari telapak tangannya yang disentakkan ke depan.
Claaapp...!
Sinar merah lurus kecil melesat menembus sinar putih dari cambuk itu.
Trattaar. .! Percikan bunga api terjadi ketika sinar merah itu menembus sinar
putih.
Tapi ternyata tidak membuat sinar putih itu padam dan sinar merah pun
tetap meluncur cepat akhirnya menghantam tangan Pangkar Soma yang memegangi
gagang cambuk.
Taarrrr. .!
"Aaaaahhk. .!" Pangkar Soma terpekik keras, tubuhnya melayang
ke belakang dan tumbang dalam keadaan telentang. la mengerang-ngerang dalam
keadaan tubuhnya menjadi hangus dan kepulkan asap. Namun ia masih berusaha
untuk bangkit dengan suara menggeram kebingungan.
Blaaass...!
Pangkar Soma larikan diri dari tempat itu sambil membatin, "Mereka
harus kuhindari dulu. Kalau tidak bisa hancur tubuhku. Aku harus sembuhkan dulu
luka berbahaya ini."
Sementara itu, sinar putih yang menyerang Suto dan Anjardani telah
berubah fungsinya. Seandainya tidak ditembus oleh sinar merahnya Anjardani,
maka sinar putih itu akan melumerkan sekujur tubuh mereka. Tetapi karena
tertembus sinar merahnya Anjardani maka sinar itu melenyapkan seluruh pakaian
mereka, seperti yang dialami oleh Tenda Biru waktu itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pusaka Jarum Surga").
Slaaap...!
Anjardani terkejut sekali melihat keadaan tubuhnya tanpa selembar
benang pun. Ia memekik dan melompat ke balik pohon. Sedangkan Suto Sinting yang
pandangan matanya berkunang-kunang segera terbelalak pula mengetahui tubuhnya menjadi polos tanpa penutup apa pun.
"Gila! Kenapa jadi begini?! Wah, wah, wah... wah, kacau sekali
ini?!" ia masih sempat clingak-clinguk dengan tegang dan kebingungan.
Kedua pahanya segera menggapit bumbung tuak sebagai penutup 'barang antik'nya
itu.
"Ooh, aaahhk. .!" terdengar suara rintihan di kejauhan sana.
Suara itu adalah suara perempuan.
Tak salah lagi dugaan Suto, pasti Ratu Dekap Rindu itulah yang merintih
kesakitan akibat terkena pukulan bambu tuak tadi.
Claaap...!
Tiba-tiba seberkas sinar kuning lurus melesat bagaikan keluar dari
dalam tanah di seberang sana. Sebetulnya pada saat itulah Ratu Dekap Rindu melepaskan
pukulan bersinarnya dalam keadaan masih tidak terlihat oleh pandangan mata
biasa, karena ia menggunakan jurus 'Hantu Melayang'.
"Suto, awaaaas. .!" teriak Anjardani tak berani keluar dari
balik pohon.
Pendekar Mabuk segera berpaling ke arah datangnya sinar kuning
tersebut. Dengan gerakan refleks ia mengibaskan bumbung tuaknya dan lakukan
lompatan ke samping. Wuuut...!
Sinar kuning itu menghantam bumbung tuak. Jegaaarrr...! Ledakan itu
menyemburkan gelombang hawa panas yang menyentak kuat membuat tubuh Pendekar
Mabuk melayang di udara dalam keadaan tanpa busana.
"Aaaaaa. .!!"
Teriakan keras pendekar tampan itu bukan saja karena kepanasan oleh
semburan gelombang hawa panas itu, melainkan juga sebagai curahan rasa bingungnya
menghadapi keadaan tanpa busana melayang-layang di udara.
Jegaaar, jegaaar...!
Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi dilepaskan oleh
Anjardani. Perempuan itu terpaksa lompat ke samping pohon dan melepaskan
pukulan tersebut dengan kaki merenggang dan sedikit rendah, lalu kedua
tangannya menyentak dua kali berturut-turut. Sinar biru berasap melesat cepat menghantam
tempat munculnya sinar kuning tadi.
"Bangsat kau, Anjardani i. .!" teriak suara perempuan yang
tak lain adalah suara Ratu Dekap Rindu. Suara itu menjauh, sebagai tanda
kepergian Ratu Dekap Rindu.
Pras, pras, kraaak, brruuuk...! Pohon-pohon tumbang bagai dilanda badai
amat keras. Sayang sekali mereka tak melihat bahwa saat itu Ratu Dekap Rindu
tak kuat menahan luka-lukanya dan melarikan diri dengan menerjang pepohonan.
Pohon yang diterjangnya menjadi patah dan tumbang berserakan. Lebih dari
delapan pohon yang mengalami kerusakan total karena diterjang gerakan tak
terlihat itu.
"Suto.,.?!" Anjardani terkejut melihat Suto Sinting terkapar
di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya melepuh. Tanpa banyak pertimbangan
lagi, tanpa menyadari keadaan tubuhnya sendiri yang polos, si Rupa Setan
melesat hampiri Pendekar Mabuk.
"Celaka! Sebentar lagi kau akan terpanggang matang oleh gelombang
hawa panasnya tadi!" geram Anjardani seperti bicara pada diri sendiri.
"Oh, tuak itu. .! Kau harus meminum tuakmu sendiri!"
Anjardani cepat-cepat menyambar bumbung tuak yang terletak di samping tangan
Suto yang melepuh berwarna biru kemerah-merahan.
Anjardani pun segera mengangkangi tubuh Suto untuk menuangkan tuak ke
mulut Suto secara pelan-pelan.
Glek, glek, glek...!
Ketika tuak berhasil terminum oleh Pendekar Mabuk, maka kulit tubuh
yang polos itu bergerak-gerak lamban. Gelembung-gelembung itu bergerak mengempis.
Rasa panas yang diderita Suto berangsur-angsur hilang. Ketika Suto Sinting membuka
matanya, ternyata Anjardani masih mengangkanginya dengan pegang bumbung tuak dan
berwajah cemas.
"Oh, apa yang kulihat itu?!" sentak Suto dalam hati ketika
matanya menatap ke benda yang persis ada di atas dadanya. Benda hitam yang
dikelilingi kemulusan kulit paha Anjardani itu sempat membuat mata Suto tak bisa berkedip
lagi.
"Ooh. .?!" Anjardani terpekik kaget begitu menyadari
'mahkotanya' dipandangi Suto tanpa kedip. Plaak. .! la menampar pipi Suto
dengan tamparan kakinya.
"Dasar mata jalang!" makinya sambil bersembunyi lagi. Suto
mematung di tempat; shock akibat melihat 'benda keramat'-nya Anjardani itu.
*
* *
4
REMBULAN malam muncul di langit jernih. Rembulan pun dalam keadaan
polos tanpa seulas mega pun menutupinya. Cahayanya yang pucat menerangi bumi,
memancarkan suasana romantic yang mengusik hati tiap insan dengan bunga-bunga indahnya.
"Haruskah kita bertarung dalam keadaan polos begini?!" ujar
si Rupa Setan bernada gerutu sambil pandangi api unggun di depannya.
"Kita harus mencari pakaian kita, Anjardani," kata Suto dari
balik bebatuan tinggi. la bersembunyi di sana karena malu jika dipandangi
Anjardani dalam keadaan seperti bayi baru lahir itu.
"Pakaian kita telah hancur menjadi debu. Bahkan lebih lembut dari
debu, sehingga tidak bisa kita tambal lagi. Kita harus mencari pakaian
pengganti."
"Kalau begitu kita harus ke sebuah desa, atau bila perlu ke
kotaraja untuk mencari kain pengganti pakaian. Aku tetap ingin kain coklat
untuk baju dan kain putih untuk celana. Aku menyukai perpaduan dua warna
itu."
"Ya. Aku juga menyukai jubah hijau dan pakaian dalam kuning. Tapi
bagaimana kita harus ke kotaraja atau ke sebuah desa mencari kain jika keadaan
kita seperti manusia purba begini?!" sambil Anjardani mendekati ke balik
batu tertinggi di dalam gua itu.
"Hei, jangan kemari!" sentak Suto Sinting sambil menggapit
bumbung tuaknya sebagai penutup 'jimat antik'-nya itu.
"Oh, ya... aku lupa!" Anjardani pun tersentak kaget dan
segera berlindung di balik batu berbentuk persegi empat itu.
Sebenarnya Anjardani duduk di samping Suto, hanya karena terhalang batu
dan saling memunggungi maka mereka sama-sama tak bias memandang keadaan lawan
jenisnya masing-masing. Namun di balik benak Suto masih terbayang gumpalan
kencang dari kedua bukit di dada Anjardani yang menantang dalam kemulusan dan keruncingan
ujungnya. Tak heran jika Suto Sinting sejak tadi kebingungan menjinakkan 'jimat
antik'-nya agar tidak membandel dan nakal.
Sementara itu, gua di tepi pantai itu cukup dangkal. Tidak mempunyai
kedalaman yang panjang. Tapi mempunyai langit-langit yang tinggi.
Akibatnya, mereka bagaikan berada di tepian pantai, dapat memandang
cahaya rembulan yang jatuh ke permukaan air laut dan sesekali tubuh mereka dicekam
rasa dingin karena hembusan angin. Api unggun pun sesekali nyaris padam akibat
hembusan angin pantai yang makin semakin berhembus kencang.
Untung ada batu persegi empat yang tinggi, sehingga mereka dapat
melindungi tubuh dari hembusan angin dengan berlindung di batu persegi empat
itu. Dengan duduk saling memunggungi di balik kedua sisi batu, mereka bisa
menahan rasa dingin sekaligus dapat bercakap-cakap tanpa harus memandang nakal.
"Mengapa kau tadi bisa kalah melawan Pangkar Soma?" tanya
Solo sambil berusaha menghilangkan bayangan nakalnya tentang kedua bukit sekal
di dada Anjardani tadi.
"Aku sempat jatuh dan terluka bukan oleh serangan Pangkar Soma,
melainkan oleh serangan si Ratu Dekap Rindu yang tak bisa kuketahui dari mana
arahnya," jawab Anjardani sambil menoleh ke belakang, walau tak memandang
lurus ke punggung Suto.
"Lalu apa persoalannya sehingga kau bentrok dengan Pangkar
Soma?"
"Pangkar Soma kebetulan saja lewat tempat itu. Ia dibujuk oleh
Dekap Rindu agar ikut menghabisi nyawaku,
sebab, Dekap Rindu sejak dulu memang bermusuhan denganku,"
"Ooo... begitu?!"
"Bahkan kudengar Dekap Rindu menjalin persekutuan dengan Pangkar
Soma. Mulanya mereka akan menghabisi nyawaku lebih dulu, kemudian Pangkar Soma
ditugaskan mencarimu dan membunuhmu. Jika hal itu bisa dilakukan oleh Pangkar
Soma, maka Dekap Rindu bersedia menjadi istri Pangkar Soma sebagai hadiah dari
perempuan laknat itu!"
"Rupanya Ratu Dekap Rindu menjalin persekutuan dengan siapa saja
untuk membunuhku!"
"Benar. Kudengar dari beberapa orang yang mencarimu, mereka
dibujuk untuk menjalin persekutuan dengan Ratu Mesum itu untuk membunuhmu. la
menyusun kekuatan dengan berbagai cara agar segera mendapat pengikut baru guna
melawan kekuatan Pendekar Mabuk dan para pendukungnya, tentu saja termasuk diriku!"
tutur Anjardani sambil makin berpaling ke arah Suto Sinting. Sedangkan Pendekar
Mabuk pun juga masih berpaling ke arah perempuan itu karena menganggap
percakapan mereka menjadi lebih serius lagi dari sebelumnya.
"Repotnya, Dekap Rindu sudah menguasai jurus 'Hantu Melayang', dan
jurus itu sukar ditandingi, kecuali dengan kekuatan suatu ilmu yang dapat menembus
dunia gaib."
"Kurasa aku mampu melakukannya! Aku bias menembus alam gaib,
seperti saat aku mencari Batu Tembus Jagat."
"O, ya... aku ingat! Kalau begitu, sebaiknya cari secepatnya si
Ratu Mesum itu, kejar dia sampai ke alam gaib. Habisi dia di sana juga bila
perlu. Tapi hati-hatilah jangan sampai terjerat oleh kemesumannya."
"Maksudmu bagaimana?!" Suto Sinting semakin menghadap ke arah
Anjardani tanpa peduli kepolosan tubuhnya. Anjardani pun merasa perlu lebih
menghadap ke arah Suto untuk jelaskan maksudnya agar dipahami baik-baik oleh
pemuda tampan berdada kekar itu.
"Orang-orang sebayaku, para tokoh tua seangkatanku, sering
menjulukinya Ratu Mesum, karena ia mempunyai kekuatan cukup hebat untuk menjerat
lawan jenisnya ke dalam cumbuan hangat.
la mempunyai jurus 'Ranjang Goyang' yang akan membuat lawan jenisnya
tak bisa pergi tinggalkan dirinya, selain bunuh diri. la juga mampu memenjarakan
roh lawan jenisnya, yang dapat membuat lawan jenisnya menuruti perintahnya kapan
saja ia minta dicumbu. Beruntung kau tidak melihat wajahnya saat pertarungan
tadi. Jika kau melihat wajahnya, kau tak akan bisa menghindari luapan gairahmu
sendiri yang tertarik ingin bercumbu dengannya."
"Mengapa dia sehebat itu?" tanya Suto Sinting makin
berhadapan total dengan Anjardani.
"Karena ia sebenarnya perempuan titisan Iblis Pakar Mesum,"
sambil Anjardani bergeser mendekati Suto dalam keadaan menghadap total ke arah pemuda
tampan itu.
"Ketika ia menjadi muridnya Nyai Lawang Neraka, ia sudah menjalin
persekutuan dengan para iblis. Nyai Lawang Neraka sendiri adalah begundal iblis
Pakar Mesum. Seluruh ilmu dan kekuatan Iblis Pakar Mesum itu dapat diturunkan
kepada Nyai Lawang Neraka apabila Nyai Lawang Neraka mau mengorbankan salah
satu muridnya untuk menjadi tempat titisan. Murid yang terpilih saat itu adalah
Winduri, yang kemudian berjuluk Dekap Rindu.
Sebab ia selalu merindukan dekapan seorang pria."
"Ooo. . jadi Ratu Dekap Rindu itu titisan dari Iblis Pakar
Mesum?!" gumam Suto sambil manggut-manggut.
"Oleh sebab itulah, sekujur tubuh Ratu Dekap Rindu selalu
memancarkan daya tarik untuk bercumbu bagi lawan jenisnya; baik dari matanya, senyumnya,
hidungnya, dadanya, bahkan sampai rambutnya pun memancarkan daya tarik untuk bercumbu
bagi lawan jenisnya. Maka para tokoh tua seangkatanku sering menjulukinya Ratu
Mesum," tambah Anjardani dengan mata memandang nakal ke arah bawah, dan
Suto Sinting menjadi risih, sehingga segera menutup yang dipandang Anjardani dengan
bumbung tuaknya.
Anjardani berlagak tidak menghiraukan keadaan mereka.
"Winduri alias si Ratu Mesum itu memang berilmu tinggi. Kuakui,
ilmuku masih di bawah satu tingkat dengan ilmunya," ujar Anjardani sambil
menatap mata Suto Sinting.
Lanjutnya lagi, "Tapi gairah bercumbunya yang berlebihan sering
membuatnya menjadi lemah atau lengah, sehingga mudah dilumpuhkan oleh lawan yang
mengetahui kelemahan itu."
"Di mana letak kelemahannya?"
"Dia hanya bisa dibunuh pada saat sedang bercumbu," jawab
Anjardani alias si Rupa Setan.
"Pada saat ia ingin mencapai puncak percumbuannya, maka seluruh
kesaktiannya hilang dalam beberapa kejap, dan saat itulah kesempatan untuk
membunuhnya! la tak akan bisa menghindari kematian jika sedang di ambang puncak
kemesraannya. Karena pada saat itu yang tersisa hanya jurus 'Ranjang Goyang'.
Jurus itulah yang menjerat jiwa lawan jenisnya dan membuat si lawan jenis
menjadi tunduk serta patuh terhadap ajakan bercumbunya. Pada saat seperti itu,
Winduri sering menyergap sukma lawan jenisnya dan memenjarakannya dalam
genggaman gaib lalu dipindahkan dalam tabung kaca. Tentu saja hal itu ia
lakukan terhadap lawan jenisnya yang dianggap dapat memberikan kepuasan secara
dahsyat."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam lirih. Tetapi arah
pandangan matanya masih tertuju pada permukaan dada Anjardani yang bergumpal-gumpal
dalam kepadatan menantang itu. Anjardani membiarkan pandangan mata itu menjelajahi
dadanya, karena mata perempuan itu pun sibuk menelusup ke arah sisi bumbung
tuak yang menghadang di depan 'jimat antik'-nya Pendekar Mabuk.
"Kurang ajar! Mengapa hatiku berkehendak memandang ke sana terus?!
Ada kekuatan apa di tempat itu sehingga aku menjadi penasaran dan penasaran
ingin memegangnya menjadi besar sekali. Ooh... aku mulai berdebar-debar, ini
tandanya aku semakin ingin menggenggam benda
itu. Kenapa sukar sekali kulawan dengan cara mengalihkan perhatian ke tempat
lain?" pikir Anjardani dalam keresahannya.
Pendekar Mabuk pun berkata dalam batinnya, "Gila betul hasratku
ini! Mengapa tiba-tiba membara sebegini besar?! Pandangan mataku tak mau diajak
beralih ke tempat lain. Maunya ke dada dan menelusuri terus ke bawah. Dan...
dan... oh, aku begitu tergoda, sangat tergiur dengan pemandangan bawah itu!
Sial! Mata berkedip saja sukar sekali. Ada apa ini sebenarnya?"
Ombak dan angin malam saling menyatu dalam deru. Di sela-sela deru itu
terdapat bunyi lengking seruling yang sangat kecil dan lirih, nyaris tak bisa
didengar oleh telinga manusia. Bunyi seruling itu sebetulnya sejak tadi sudah
merambah masuk ke dalam gua dan tertangkap oleh gendang telinga Suto dan
Anjardani. Tetapi mereka belum menyadari adanya suara denging kecil yang lembut
menyatu dengan deru ombak dan angin itu.
Suara seruling samar-samar itulah yang membangkitkan gairah mereka dan
membuat batin mereka menuntut untuk lakukan sentuhan-sentuhan kemesraan.
Ditambah sinar cahaya rembulan yang membayang jatuh di permukaan pintu gua,
maka gangguan asmara mereka semakin tinggi. Suasana romantis tercipta begitu
kuat, sehingga Pendekar Mabuk dan si Rupa Setan sama-sama hanyut dalam getaran
asmara yang mengalun lewat bunyi seruling itu.
"Dekatlah kemari.. ," bisik Anjardani, dan Suto Sinting pun
bergeser lebih mendekat lagi. Kini mereka berhadapan dalam jarak kurang dari
satu jangkauan.
Pandangan mata yang saling beradu membuat getar-getar kasmaran semakin
menuntut tangan untuk bergerak. Maka antara sadar dan tidak, tangan Pendekar
Mabuk mulai bergerak meraih permukaan dada Anjardani yang berwajah cantik sekali
itu. Tangan Anjardani pun bergerak meraba dada Pendekar Mabuk dengan pandangan
mata mulai sayu.
"Ciumlah aku, ooh... kecuplah bibirku, Suto..." bisik
Anjardani dalam napas mulai mendesah.
Pendekar Mabuk terasa sulit menolak dan menghindari tawaran mesra itu.
Maka pelan-pelan dikecupnya bibir Anjardani dengan sentuhan lembut. Bibir itu
semula hanya disapu dengan ujung lidah Suto. Tetapi bibir sensual itu semakin
merekah, seakan memberi kesempatan bagi Suto untuk semakin membenamkan lidahnya
ke dalam mulut Anjardani. Hanya saja, Suto lebih suka memainkan bibir itu
dengan sapuan lidahnya yang melingkari permukaan bibir sensual tersebut.
"Oohh...," Anjardani mengeluh panjang tapi lirih. la tak kuat
menahan debar-debar keindahan yang bagaikan mengiris hatinya perlahan-lahan
dengan pisau kebahagiaan itu. Maka lidah yang nakal itu segera dikecupnya
dengan gerakan pelan. Cuup. .!
Hangat dan nikmat sekali hati Suto Sinting kala itu. Kenikmatan
tersebut membuatnya semakin berani melumat bibir Anjardani. Bahkan ketika lidah
perempuan itu bermaksud melawan, Suto Sinting segera melumatnya dengan gerakan
dan pagutan lembut sekali.
Tangan Anjardani mulai merayap ke bawah. Sedangkan tangan Pendekar
Mabuk pun tak mau kalah berani, ia menelusuri tubuh sekal yang mempunyai
lekak-lekuk indah sekali itu.
"Oouh, Sutooo...," Anjardani merengek dengan wajah dicekam
perasaan nikmat. la justru melebarkan diri agar Suto Sinting lebih leluasa lagi
melancarkan serangan nakalnya itu. Kepalanya tergolek-golek memberi peluang
lebih bebas lagi bagi bibir Suto yang mencium dan memagut-magut di bagian
leher.
Satu tangan Anjardani yang kiri meremas rambut kepala Suto di bagian
belakang sebagai tanda ia telah menahan mati-matian hasrat ingin meledak dalam
buaian asmara yan membara.
Bunyi seruling kecil bersuit-suit panjang dalam alunan tertentu. Alunan
itu halus sekali, sangat samar-samar, sehingga yang ditangkap kedua telinga
mereka hanyalah suara debur ombak dan deru angin pantai.
Sesekali mereka memang menyadari ada suara berdenging mengalun-alun, tapi
mereka menyangka suara itu adalah bunyi relung karang yang ditiup angin. Mereka
tidak pedulikan suara denging lembut itu, dan semakin hanyut dalam kemesraan
yang begitu hangatnya.
"Suto, oooh... lebih ke bawah lagi. Sayang... ooh, yaaaah...
pagutlah itu. Pagutlah, Sutooo...," Anjardani merengek seperti anak kecil,
napasnya terengah-engah ketika Suto menciumi bawah lehernya. Dan ketika ciuman
itu turun ke bawah sesuai kehendaknya, lalu memagut ujung perbukitannya dengan
lembut, Anjardani pun memekik pelan dengan suara tertekan.
"Heeekkhh, aaahhhhh. . !"
la berlutut dalam gerakan menggelinjang. Kedua tangannya meremas-remas
kepala Suto Sinting.
"Jangan hentikan tanganmu, Sayang...."
Suto Sinting tak jadi hentikan tangannya yang menari-nari menaburkan
kenikmatan di hati Anjardani. Rasa bahagia yang membusung memenuhi dada membuat
Anjardani menekan kepala Suto, sehingga ciuman Suto Sinting semakin merosot ke
bawah. Menyapu pusar seperti seekor kucing memandikan anaknya adalah sesuatu
yang menghadirkan rasa penasaran lebih besar lagi bagi Anjardani, sehingga
perempuan itu kian menekan kepala Suto Sinting sambil menghamburkan suara desah
dan erangan yang menapas terengah-engah.
"Oouh...!!' pekik Anjardani ketika sapuan Suto Sinting mencapai
pusat keindahannya.
"Ooouh, Sutooo.. . Suto aku suka sekali, Suto. Aaahh. . terus,
teruskan. . oh, jangan berhenti, Sayang! Lebih hebat lagi, Suto. . lebih hebat
lagi! Yaaaaaahhh. .!"
Pekikan keras Anjardani disertai tubuh yang mengejang kaku dengan kedua
tangan meremas rambut Suto kuat-kuat. Gerakan pinggulnya tersentak-sentak bagai
menerima pukulan yang cukup telak. Anjardani kian menggila. Suaranya dilepaskan
tanpa ukuran lagi. Kecupan lembut Suto telah menghantarkah jiwanya melayang
tinggi sekali hingga mencapai puncak keindahan. Di puncak keindahan itulah
Anjardani lupa akan dirinya sebagai perempuan berilmu dan berusia tiga kali
lipat usia Pendekar Mabuk.
Keringat yang mengucur dari sekujur tubuh Anjardani tidak dihiraukan.
Perempuan itu mereguk madu keindahan dari kenakalan lidah Suto Sinting sepuas-puasnya.
la meletakkan dirinya di atas batu setinggi lutut, duduk di sana sambil
menikmati serangan Suto Sinting yang tak pernah mau berhenti walau puncak
kemesraan telah dicapai Anjardani berkali-kali.
«Suto... ohh, lakukan sekarang juga, Suto!
Lakukan sekarang juga! Aku ingin yang lebih indah dari ini semua,
Sutooo…!" rengek Anjardani bagai telah kehilangan wibawa dan kharismanya
di depan pendekar muda itu.
Batu yang dipakainya duduk itu berukuran panjang dan datar, sehingga
ketika tubuh Anjardani merebah ke belakang, maka terbukalah kesempatan mereguk
segudang kehangatan dari tubuh molek yang amat menggiurkan itu. Pendekar Maibuk
gemetar memandang kemolekan yang terbentang bebas tanpa hambatan selembar benangpun.
"Ayolah,, Suto...! Lakukan sekarang juga, Sayaaaaangg. .!"
Anjardani mengerang seperti anak kecil sambil menangis tersentak-sentak penuh kemanjaan.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat mengguncangkan dinding
gua.
Blegaaaarrr...!!
Seketika itu juga kemesraan mereka buyar menjadi serpihan-serpihan
ketegangan. Anjardani melompat bangkit dengan mata lebar dan wajah menegang.
Pendekar Mabuk segera menyambar bumbung tuaknya dan siap menghadapi serangan lawan
sewaktu-waktu. Gagah dan kemesraan mereka sirna tak digubris lagi. Kini yang
ada hanya debar-debar kecemasan yang makin membuat mereka sama-samar mempertinggi
kewaspadaan.
"Ledakan apa itu tadi?!" bisik Anjardani dengan napas
terengah-engah.
"Suaranya dari luar sana!" ujar Suto Sinting juga sambil
terengah-engah.
"Keparat busuk! Siapa yang mengganggu kemesraan kita ini, Suto!
Cari dan temukan siapa yang menyita keindahan kita tadi itu! Jahanam tengik!"
maki Anjardani dengan suara geram kemarahan akibat ke mesraannya terganggu.
"Haruskah kita keluar dari gua dan mencari orang itu dalam keadaan
tanpa busana begini?!"
Anjardani terkesip pandangi mata Suto Sinting yang memancarkan
keraguan.
*
* *
5
SUARA ledakan itu berawal dari suara denging seperti seruling. Suara denging
itu ternyata bukan berasal dari seruling, melainkan dari sehelai daun tipis
yang ditiup pada bagian tepinya.
Peniup daun berbentuk seperti daun bambu itu adalah seorang perempuan
cantik berjubah putih dengan sulaman benang emas membentuk pola hiasan pada
jubahnya. Perempuan berjubah tipis warna putih itu melapisi bagian dadanya
dengan kain tebal sebesar tutup gelas. Dua kain tebal warna hitam beludru itu
juga berhias sulaman benang emas.
Sepasang kain bundar sebesar tutup gelas itu hanya dipakai untuk
menutup ujung kedua bukitnya yang montok
dan tampak besar namun padat. Tali hitam yang menghubungkan dua kain penutup
ujung bukit itu melilit ke belakang dan membentuk ikatan di punggung.
Perempuan berambut panjang sepinggang yang kala itu digulung ke atas
membentuk sanggul sederhana tapi dijepit dengan logam emas seperti mahkota itu
mengenakan kain penutup pinggul dari bahan sutera hitam. Kain tersebut begitu
tipisnya sehingga membayang bentuk sesuatu yang ditutupinya. Kain sutera hitam
itu hanya melilit di antara kedua pahanya dan mempunyai tali pengikat di
pinggul kanan-kiri. Sekali tarik, kedua tali pengikat itu akan terlepas dan
membuat kain penutup di antara kedua pahanya itu akan jatuh terkulai di tanah.
Perempuan cantik bermata jeli dan berbibir sensual yang mempunyai kulit
putih mulus dan tubuh sintal itu tak lain adalah Ratu Dekap Rindu alias si Ratu
Mesum. Rupanya setelah tadi siang ia terkena pukulan berbahaya dari Anjardani,
ia melarikan diri dan mencari tempat aman untuk sembuhkan luka-lukanya.
Ternyata luka-luka itu sudah bisa teratasi dan tubuhnya menjadi sehat kembali
setelah lakukan pengobatan sepanjang siang.
Ratu Mesum segera mencari Pendekar Mabuk dan juga memburu Anjardani.
Sebab Anjardani adalah saudara seperguruan tokoh tua yang bernama Tanuyasa.
Dendam antar perguruan masih mengalir dalam jiwa si Ratu Mesum, karena gurunya
yang bernama Nyai Lawang Neraka itu berhasil dibunuh oleh Tanuyasa.
Tak heran jika Ratu Dekap Rindu alias Ratu Mesum itu punya hasrat ingin
membalas kematian gurunya dengan menghancurkan tubuh Anjardani atau Tanuyasa.
"Sudah waktunya aku menghancurkan si Rupa Setan, karena ia sudah
berani muncul kembali di dunia persilatan. Syukur bisa temukan persembunyian
Tanuyasa, sehingga lengkap sudah pembalasanku terhadap kematian Guru tempo
hari," ujar Ratu Mesum membatin.
"Tapi agaknya ia bersekutu dengan Pendekar Mabuk. Hmmm.. haruskah
mereka kubinasakan dalam satu gebrakan?! Tunggu dulu. . Pendekar Mabuk itu
ternyata mempunyai ketampanan yang menggoda hati. Saat ia muncul melawan
Pangkar Soma, aku sempat memperhatikan ketampanan dan kegagahannya. Sebenarnya
hatiku tergiur ingin memeluknya pada saat itu. Tetapi aku masih bimbang
melakukannya, karena bagaimanapun dia adalah orang yang menghancurkan istanaku.
Karenanya aku tadi ragu-ragu membunuh Pendekar Mabuk. Akibat keraguanku
tadi, akhirnya aku jadi kena batunya sendiri oleh jurus keparatnya si Rupa
Setan yang sudah tidak berkedok lagi itu! Hmmm. . sebaiknya sebelum
kulampiaskan dendamku kepada Pendekar Mabuk, kumanfaatkan dulu keperkasaannya
itu sepuas hatiku, setelah aku merasa kenyang menikmati keperkasaan dan kegagahannya,
barulah kulenyapkan anak muda yang kurang ajar itu! la tak mungkin bisa
melukaiku jika aku tetap menggunakan jurus 'Hantu Melayang' ini, karena ia tak
akan tahu di mana aku berada saat menyerangnya!"
Ratu Mesum tertawa cekikikan sendiri. Ia bergerak bagaikan angin karena
memang ia menggunakan jurus 'Hantu Melayang', sehingga kehadirannya tak ada
yang bisa melihatnya. La bergerak ke arah tempat pertarungannya tadi. Di sana
ia berhenti sebentar mempertimbangkan ke mana arah pelarian Anjardani dan Suto.
"Mereka dibuat tanpa selembar pakaian oleh Pangkar Soma? Pasti
mereka mencari tempat rimbun yang tersembunyi sebelum dapatkan pakaian yang
baru. Hmmm. . kurasa dia bergerak ke arah perbukitan sana! Di sana ada beberapa
gua yang bisa dipakai untuk bersembunyi mereka," ujar Ratu Dekap Rindu
dalam batinnya.
Tetapi sebelum matahari tenggelam ke cakrawala barat, Ratu Mesum
melihat sekelebat bayangan yang berlari ke arah pantai.
"Jangan-jangan dialah si Pendekar Mabuk! Hmmm.. sebaiknya kuikuti
saja dulu dia!"
Weesss. .! Ratu Dekap Rindu
mengejar bayangan tersebut dengan tetap menggunakan jurus 'Hantu Melayang'. Dan
rupanya bayangan yang berkelebat itu menuju ke pantai bertebing. Tetapi sebelum
sampai di batuan tebing, bayangan itu hentikan langkahnya dalam keadaan berdiri
di atas gugusan batu yang menjulang tinggi. Dari sana ia memandang sekeliling,
seakan mencari sesuatu yang hilang dan sedang dikejarnya.
"Oh, dia seorang pemuda tampan?!" gumam hati Ratu Dekap
Rindu. la mendekatkan diri, dan pemuda itu tak melihat ada orang yang sedang memperhatikannya
dari jarak dekat. Pemuda itu hanya menggumamkan kata bernada gerutu.
"Ke mana larinya?! Hmmm...! Dasar perempuan, kerjanya hanya bikin
susah lelaki saja! Begini sedikit salah, begini sedikit cemburu, aah. . payah
betul dia! Sudah tahu dia telah memilikiku, kenapa harus cemburu hanya
melihatku bicara dengan bekas teman lamaku itu? Toh aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan gadis teman lamaku itu?! Dasar perempuan picik! Semua wanita
dicemburuinya! Mungkin kalau aku membawa ayam betina dari pasar juga akan
dicemburuinya!"
Ratu Dekap Rindu menertawakan gerutuan itu. Tetapi lelaki berpakaian
serba merah itu tidak mengetahui bahwa dirinya sedang ditertawai seorang
perempuan yang sangat cantik dan saat itu sedang berada di batu depannya.
Lelaki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mempunyai bentuk tubuh
yang menggiurkan bagi si Ratu Mesum. Tubuhnya tinggi, tegap, berwajah tampan,
berkulit coklat. Rambutnya panjang, lurus, sepundak, dan di kat dengan ikat
kepala kain kuning. la menyelipkan senjata kapak dua mata di pinggangnya.
Seandainya Suto pada waktu itu tidak berada di dalam gua bersama
Anjardani, maka ia akan mengenali lelaki itu sebagai Ranggu Pura, suami dari
Cumbu Bayangan yang punya nama asli Kismi.
Suto ikut terlibat dalam peristiwa menjelang perkawinan si murid
mendiang Poci Dewa dan Kismi murid Buyut Gerang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pertarungan Tanpa Ajal").
Sayang sekali waktu itu Suto tidak melihat kehadiran Ranggu Pura dalam
upaya mencari istrinya yang kabur karena cemburu itu, sehingga ia tidak tahu
kalau Ranggu Pura dalam bahaya sang Ratu Mesum.
Sementara itu, sang Ratu Mesum semakin tertarik setelah memperhatikan
kegagahan dan ketegangan tubuh Ranggu Pura beberapa saat. Mulailah terbayang
kemesraan dalam benaknya, mulailah batin menuntut kehangatan seorang lelaki.
"Sudah dua malam aku tak menikmati kehangatan seorang lelaki. Alangkah
rindunya aku dengan dekapan lelaki. Kurasa pria ini mampu memuaskan gairahku!
Tapi sebaiknya kugugah dulu hasratnya agar ia tak menolak jika kuajak bercumbu!"
Winduri mencoba dengan cara menjelma diri, melepaskan Jurus 'Hantu
Melayang', sehingga kecantikan dan bentuk tubuhnya yang sexy itu terlihat jelas
di mata Ranggu Pura. la berlagak muncul dari balik gugusan karang yang berjarak
sepuluh langkah dari samping Ranggu Pura.
Sekalipun demikian, kemunculannya tetap mengejutkan Ranggu Pura.
"Astaga?! Peri penunggu pantai atau manusia secantik bidadari dia
itu?!" pikir Ranggu Pura dengan mata terbelalak dan mulut terbengong. la
semakin terkesima memandangi Ratu Mesum yang menyunggingkan senyum menawan,
penuh khayalan bercumbu yang menggoda hati.
Ranggu Pura masih diam sampai Ratu Mesum hentikan langkahnya di bawah
batu yang dipakai berdiri Ranggu Pura. Wuuut. .! Ranggu Pura turun dari atas
batu itu dengan lakukan lompatan biasa, namun tampak penuh kegagahan.
Jleeg...! Ranggu Pura daratkan kakinya tepat di depan Ratu Mesum. Kini
ia berjarak tiga langkah dari perempuan cantik yang mengenakan jubah terbuka
bagian depannya, sehingga kemontokan dadanya yang besar itu terlihat jelas di
mata Ranggu Pura. Mengagumkan sekaligus mengherankan bagi mata lelaki seperti
Ranggu Pura. Sebab dada istrinya tidak sebesar dan sekencang itu.
"Kau mencari istrimu yang kabur?" sapa Ratu Mesum pertama
kalinya. Sapaan itu membuat Ranggu Pura menggeragap karena tersadar dari rasa
kagumnya yang membuat ia tertegun beberapa saat tadi.
"Eh, hmm, iyaa... aku... aku memang mencari istriku. Kismi,
namanya. Apakah kau melihatnya di sekitar sini?"
"Tidak," jawab si perempuan dengan kalem. la melangkah lebih
dekat lagi. Bahkan dengan penuh goda senyum dan matanya menyertai gerakan tangan
menyingkapkan rambut-rambut yang jatuh di pundak Ranggu Pura.
"Mengapa harus repot-repot mencari istrimu? Toh di dunia bukan
hanya istrimu yang menjadi perempuan. Kau bisa mendapatkan pelukan perempuan
lain, mungkin lebih hangat dan lebih mesra dari Kismi, istrimu."
Ranggu Pura segera undurkan diri satu langkah.
"Apa maksudmu berkata begitu?" sambil dahinya berkerut.
"Kau sangka aku tak bisa sehangat istrimu?!" sambil senyumnya
makin menggoda dan ujungjarinya meraba-raba dada Ranggu Pura.
"Mengapa tidak kita lewati saja masa-masa menjengkelkanmu itu
dengan kencan indah bersamaku?
Plak. .! Tangan perempuan itu ditepak Ranggu Pura.
"Kau ingin memanfaatkan seorang lelaki yang sedang ditinggal
istrinya pergi, ya?! Oh, maaf. Kuharap kau segera pergi tinggalkan aku, karena aku
bukan lelaki yang mudah jatuh ke pelukan perempuan lain."
Ratu Dekap Rindu masih sabar dan bersikap tenang, tapi penuh godaan.
"Selagi petang belum datang, kurasa kau dapat menikmati keindahan
tubuhku dengan mata telanjang, dan merasakan kehangatan dengan tubuh seperti
mata tadi. Hi, hi, hi...."
Ratu Dekap Rindu membentangkan jubahnya, seakan memamerkan keelokan
tubuhnya sambil melangkah lebih mendekat lagi. Ranggu Pura cepat-cepat
sentakkan tangannya menghantam dada perempuan itu. Wuuut...!
Plaaak. .! Perempuan itu menangkisnya. Ranggu Pura penasaran, lalu
segera melayangkan pukulan tangan keduanya.
Bet, plak...! Bet, plak...! Bet, plak...! Plak, plak, plak...!
Ranggu Pura tak mampu menghantam tubuh Ratu Dekap Rindu. Setiap pukulan
dan tendangan secepat apa pun dapat ditangkis oleh sang Ratu tanpa banyak
bergerak. Kecepatan gerak tangkisan perempuan itu membuat Ranggu Pura hentikan serangan
dan menunggu kelengahan perempuan tersebut.
"Gila! Kecepatan geraknya luar biasa, sukar kutembus walau sedikit,"
pikir Ranggu Pura sambil menarik napas menahan kejengkelannya.
"Rupanya kau ingin berlagak menjadi lelaki yang suci, ya? Kau
ingin berlagak menjadi seorang suami yang setia? Hmmm.. ! Kau tak akan mampu bersikap
begitu jika berhadapan dengan Ratu Dekap Rindu," sambil tangan perempuan
itu meraih sehelai daun dari tanaman yang tumbuh setinggi lututnya.
"Enyahlah dari hadapanku, Iblis Betina!" geram Ranggu Pura.
"Jangan coba-coba nodai perkawinanku dengan rayuan murahanmu itu, Setan!"
Ranggu Pura dibiarkan mundur menjauh, tapi daun yang telah dipetik
segera ditempelkan di bibir Ratu Dekap Rindu. Daun itu segera ditiupnya dan keluarkan
suara berdenging kecil mirip mainan anak-anak. Ratu Dekap Rindu diam di tempat,
sambil meniup tepian daun matanya memandang penuh pancaran gairah bercumbu.
"Persetan dengan gaya rayuanmu kali ini!" geram Ranggu Pura,
lalu ia segera bergegas pergi tinggalkan Ratu Dekap Rindu.
Suara denging kecil yang bercampur deru ombak dan angin itu mulai
berpengaruh dalam hati dan pikiran Ranggu Pura. Langkahnya yang ingin meninggalkan
pantai menjadi terhenti ketika dirasakan hatinya berubah menjadi berdebar-debar
indah. Suara kecil yang didengarnya seakan sangat menghibur hatinya yang sedang
resah bercampur jengkel itu.
Sedikit demi sedikit hati Ranggu Pura menjadi terhibur oleh sesuatu
yang tak dimengerti penyebabnya. la tak tahu bahwa Ratu Dekap Rindu memancarkan
kekuatan daya tariknya melalui gerakan gelombang suara daun yang ditiup. Suara itu
menyentuh ujung kalbu bagai gelitik yang menggoda selera.
"Sialan! Kenapa hatiku jadi merasa gembira dan senang begini?
Mengapa timbuI hasrat ingin berbalik menemui perempuan itu lagi? Ah, persetan
dengan dia! Aku harus segera pergi dari sini!"
Ranggu Pura mencoba melawan keganjilan perasaannya, tapi agaknya ia
belum mampu memenangkan perang di dalam hatinya.
Langkahnya menjadi lamban dan sangat pelan, sampai akhirnya berhenti
dalam jarak sekitar empat tombak dari Ratu Dekap Rindu. Perempuan itu masih
meniup tepian daun, dan suaranya menyebar ke mana-mana. Pada saat itulah, suara
tersebut masuk ke telinga Suto Sinting dan Anjardani, sehingga mereka akhirnya
saling dibakar oleh gairah bercumbu yang meletup-letup.
Demikian pula halnya dengan Ranggu Pura, yang mencoba melawan
debar-debar hatinya namun ternyata batinnya mulai menuntut kemesraan saat itu
juga. la memandang Ratu Dekap Rindu dari jarak tiga tombak. Sang Ratu berdiri
sedikit bersandar pada batu setinggi tubuh Ranggu Pura.
"Ternyata dia cantik sekali dan mempunyai dada yang sangat menggiurkan.
Ooh... alangkah hangat dan nikmatnya jika bergumul dengan perempuan secantik
dia dan semontok itu. Uuuh. . gemas sekali aku melihat dadanya yang besar tapi
menjorok maju penuh tantangan itu!" pikir Ranggu Pura mulai dipenuhi
khayalan bercumbu.
Akhirnya Ranggu Pura melangkah lebih dekat sampai berada di depan Ratu
Dekap Rindu. Matanya tertuju pada dua gumpalan dada yang membusung kencang itu.
Ratu Dekap Rindu tetap memainkan tiupan daunnya dengan tangan kiri, sementara tangan
kanannya melorotkan kain penutup dada yang hanya seukuran tutup gelas itu.
Pluuus….!
Pucuk-pucuk bukit tampak merentang kaku, membuat jantung Ranggu Pura
semakin berdetak-detak. Tangan perempuan itu meraih tangan Ranggu Pura, lalu
menempelkan ke dadanya. Tiupan daun dihentikan, berganti suara desah yang
meluncur dari mulut berbibir menggemaskan itu.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan. . "
Gairah yang telah berkobar membuat Ranggu Pura tidak bisa berpikir lagi
tentang kesetiaan dan keraguan? Permukaan dada Winduri segera disapu habis oleh
Ranggu Pura, terutama pada ujung-ujung perbukitannya.
Matahari semakin terbenam di langit barat. Cahaya merah tembaga
memancar bagai mengisyaratkan datangnya petang. Tetapi cahaya alam yang indah
itu tidak dipedulikan lagi oleh Ranggu Pura. la cenderung memperhatikan
perintah kemesraan Ratu Dekap Rindu. la menuruti apa punyang di nginkan sang
Ratu dan menganggap alam ini kosong, hanya mereka berdua yang hidup di alam jagat
raya ini.
Ranggu Pura tersandar di atas batu dalam kemiringan tertentu. Kedua
tangannya direntangkan ke atas, sementara Ratu Dekap Rindu memburu puncak kemesraannya berkali-kali
dengan menjadi nakhoda perahu cinta mereka. Perempuan itu bagaikan tak kenal
lelah, walau sudah berkali-kali melambung tinggi mencapai puncak-puncak keindahan.
Sedangkan Rangga Pura sebenarnya telah tak berdaya lagi, namun Ratu
Dekap Rindu selalu berusaha memancing gairah Ranggu Pura, sehingga dengan
terpaksa lelaki itu menerima cumbuan dan gigitan mesum si perempuan. Ia membiarkan
Ratu Dekap Rindu memperlakukan dirinya sebagai alat pemuas dahaga.
Pada saat matahari lenyap dan rembulan muncul dengan terangnya,
tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat ke pantai itu. Seberkas sinar dilepaskan
dari jarak sepuluh langkah. Sinar merah itu melesat menghantam punggung Ratu
Dekap Rindu bersama teriakan murka seorang perempuan cantik berjubah kuning.
"Biadab kauuuu...!"
Claaap...!
Blegaaaarrr...!
Ratu Dekap Rindu segera berpaling memandang ke arah datangnya suara
yang mengejutkan itu. Ia melihat seberkas sinar merah meluncur ke arahnya.
Maka serta-merta dari mata kirinya melesat sinar hijau yang menghantam
sinar merah tersebut. Maka terjadilah ledakan dahsyat yang sempat mengguncangkan
alam sekeliling mereka. Ratu Dekap Rindu segera lepaskan diri dari Ranggu Pura
dengan satu lompatan ke atas dan hinggap di atas batu tinggi. Jleeeg.. !
Kismi, alias si Cumbu Bayangan, istri dari Ranggu Pura, tampak berang
sekali melihat suaminya bercumbu dengan perempuan lain. la pun segera mengamuk
menyerang Ratu Dekap Rindu dengan jurus-jurus mautnya.
Sri ng…! Pedang pun dicabut dari sarungnya. Kismi segera melompat berputar cepat mengarahkan
pedang ke dada Ratu Dekap Rindu yang masih belum sempat menyambar jubahnya.
"Kuhancurkan kau, Perempuan jahanaaaaam. .!" teriak Kismi
sambil melayang ke arah Ratu Dekap Rindu.
Tapi perempuan yang masih dalam keadaan polos seperti bayi baru lahir
itu segera sentakkan tangan kanannya dalam keadaan jari-jarinya menguncup dan
pergelangan tangan terlipat ke dalam. Wuuut...! Maka terlepaslah segumpal hawa padat
bertenaga dalam tinggi yang mempunyai daya sentak seperti semburan gunung
berapi.
Buuuuhhk...! Weees...!
Tubuh Kismi tahu-tahu terlempar terbang kehilangan keseimbangan badan.
Tenaga dalam tanpa sinar itu terasa bagaikan batu sebesar rumah yang menghantam
tubuh Kismi dengan kecepatan tinggi, Bruuuk. .! Kismi pun jatuh di permukaan
pasir pantai mendekati riak ombak.
"Aaaahkk...!"
"Kismi.. ?!" pekik Ranggu Pura segera sadar dari pengaruh
kekuatan gaib yang tadi membuatnya terlena dalam pelukan Winduri. la buru-buru kenakan
pakaiannya dan melesat menghampiri istrinya.
"Oouhk...! Oouhk...!"
"Kismi, bertahanlah! Bertahanlah, Istriku!"
Ranggu Pura panik melihat Kismi memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Bahkan lubang hidung dan telinganya pun tampak keluarkan darah kental yang
membuat wajah Kismi menjadi pucat pasi seperti mayat.
"Keparat kau, Perempuan Ibliiiiss. .!!" teriak Ranggu Pura
dengan murka. la ingin lakukan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Tapi gerakannya terhenti setelah matanya tak menemukan sosok Ratu Dekap Rindu.
Perempuan berjubah putih itu telah pergi dan menggunakan jurus 'Hantu
Melayang', sehingga sebenarnya belum jauh dari tempat tersebut namun sudah tak
dapat terlihat oleh Ranggu Pura.
"Kismi...! Oh, kau terluka parah sekali, Sayang! Mari kubawa
kepada Guru, Kismi!"
Cumbu Bayangan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dari sudut matanya juga
keluarkan darah merah kental. Kalau tak segera dibawa kepada Buyut Gerang; guru
Kismi, barangkali perempuan cantik berwajah imut-imut itu tak akan tertolong
jiwanya.
Blaaasss.. ! Ranggu Pura mendorong istrinya dan membawanya lari menemui
Ki Buyut Gerang. Pada saat itu Ratu Dekap Rindu hanya tertawa sambil meninggalkan
tempat itu bersama segudang kepuasan yang telah diperolehnya dari Ranggu Pura.
Ketika Pendekar Mabuk dan Anjardani tiba di tempat itu, petang telah
menjelma dan rembulan telah memancarkan sinar pucatnya. Mereka tidak menemukan
siapa-siapa di sana. Mereka hanya menemukan pecahan batu yang tadi ikut hancur karena
ledakan dahsyat tersebut.
"Kurasa baru saja terjadi pertarungan di sini. Lihat, batu itu
pecah dalam keadaan masih bersih, berarti baru saja pecahnya!" ujar
Anjardani.
Pendekar Mabuk memungut salah satu pecahan batu tersebut.
"Hmmm. . masih hangat! Kurasa apa katamu tadi memang benar. Tapi
siapa yang bertarung di sini tadi?"
Anjardani mendengus-dengus hidung sambil menyeringai.
"Aku mencium bau darah kemesraan lelaki. Kurasa di sini habis
terjadi percumbuan antara seorang lelaki dengan...."
"Dengan si Ratu Mesum, maksudmu?!"
"Menurut naluriku memang begitu. Tapi ke mana perginya
mereka?!"
"Hei, lihat. . ada darah menetes ke sana! Aku akaa
mengikutinya!"
"Suto, tunggu dulu! Kita dalam keadaan tanpa busana!"
"Ooh. . sial!" Pendekar Mabuk melemas karena ingat keadaan
tubuhnya yang tanpa pembungkus itu. la jadi jengkel sendiri dan tak bisa
berbuat apa-apa.
"Sebaiknya kita kembali ke gua saja," usul Anjardani.
"Aku tertarik dengan tetesan darah itu. Aku ingin tahu siapa yang
terluka!" kata Suto Sinting dengan wajah tampak dipenuhi rasa penasaran.
*
* *
6
DALAM keadaan kebingungan tentang pakaian, akhirnya Pendekar Mabuk
temukan cara untuk mengenakan daun pisang kering sebagai penutup bagian
bawahnya. Daun pisang itu dililitkan ke pinggang dan menutupi 'jimat
antik'-nya, hingga tidak semata-mata bebas dilihat oleh siapa saja.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk cukup rapi, akhirnya Anjardani pun
mengikuti cara tersebut. la menutup bagian bawahnya dengan daun pisang kering,
dan bagian kedua dadanya yang ditutup dengan tempurung kelapa yang diberi tali
pengikat dari akar yang alot.
Suto tertawa melihat dua bukit si cantik itu ditutup oleh tempurung
kelapa yang terbelah menjadi dua bagian itu.
"Kau seperti manusia purba! Dadanya semakin mancung saja jika
begitu!"
Anjardani tak mau tertawa walau hatinya menyimpan rasa geli. la hanya
tersenyum tipis sambil cemberut.
"Kurasa tempurung kelapa ini menyelamatkan dadaku dari kenakalan
mata dan mulutmu!" ujarnya pelan, membuat Pendekar Mabuk semakin tertawa geli
walau tidak sampai terbahak-bahak.
"Aku tak ingin diburu oleh Ratu Mesum itu. Akan kubuat bukan aku
yang diburunya tapi dialah yang akan kuburu!"
"Aku setuju," ujar Anjardani. "Kejar dia sebelum dia
mengejarmu!"
"Akan kulakukan sekarang juga!" tegas Suto.
"Lihat caraku mengejarnya ke alam gaib ini!"
Pendekar Mabuk mengusap dahinya dengan tangan kanannya. Tanda merah di
kening yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu dapat membuat Suto
keluar-masuk ke alam gaib jika diusap dengan tangan kanan. la akan tampak
hilang dari penglihatan manusia biasa.
Slaap. .! Tangan kanan mengusap dahi dalam sentakan tegas. Pendekar
Mabuk tersenyum dan berkata kepada Anjardani yang masih berdiri di depannya.
"Bagaimana?! Sekarang aku sudah berada di alam gaib. Kau tidak
akan bisa menyentuhku, bahkan melihatku juga tak akan bisa lagi. Tapi aku masih
bisa melihatmu, dan mungkin sebentar lagi aku juga akan melihat jin atau
siluman yang menghuni alam gaib ini!"
Anjardani sunggingkan senyum sinis. Tiba-tiba ia menendang dengan
tendangan samping. Beet,buuhk...!
"Uuhk. .!" Suto Sinting tersentak mundur dalam gerakan
melayang sejauh empat langkah. La membentur pohon, jika tidak membentur pohon mungkin
akan melayang lebih jauh lagi.
"Lho, kenapa kau masih bisa menendangku?!" ujar Pendekar
Mabuk dengan bingung.
"Tentu saja, karena kau masih tampak di depanku!"
"Ja... jadi...?!" Pendekar Mabuk terkejut. "Jadi aku
masih belum hilang dari hadapanmu?!"
"Sekarang pun aku masih bisa menendangdadamu dengan tepat!"
Anjardani mengangkat satu kakinya.
"Eeh, tunggu, tunggu. .!" cegah Suto Sinting dengan bingung.
"Wah, kenapa aku tak bisa masuk ke alam gaib seperti biasanya?!"
gumamnya sambil mencoba mengusap keningnya dengan tangan kanan lagi. Slaap…!
"Nah, sekarang tentunya aku sudah hilang dari pandanganmu,
bukan?!"
Beet, buuhk...!
"Uaahk. .!" Pendekar Mabuk tersentak dan nyaris terbatuk
karena perutnya menerima tendangan samping lagi dari si Rupa Setan. la
terpelanting jatuh dan mengerang kesakitan, lalu buru-buru meminum tuak dari
bumbung bambu itu.
"Sialan! Kenapa aku jadi tak bisa masuk ke alam gaib lagi?! Apakah
noda merah kecil di keningku ini sudah hilang?!" tanyanya kepada
Anjardani.
Perempuan itu berilmu tinggi dan bisa melihat noda merah kecil di
tengah kening Suto dengan mempertajam penglihatannya.
"Noda merahmu masih ada, tapi kemampuanmu masuk ke alam gaib sudah
tak ada!"
"Celaka! Kalau begitu aku sudah kehilangan kekuatan saktiku yang
bisa membuatku keluar-masuk alam gaib?!" Pendekar Mabuk menjadi tegang dan
dicekam kegelisahan.
"Payah!" Anjardani geleng-geleng kepala sendiri, "Padahal
itu modal utama bagimu untuk melawan jurus 'Hantu Melayang'-nya si Ratu Mesum.
Tanpa kemampuan itu kau akan babak belur dan kehilangan nyawa dalam bertarung
melawan si Ratu Mesum!"
Niat meneruskan langkah mencari Ratu Mesum ditunda dulu. Pendekar Mabuk
duduk termenung di atas batang pohon yang telah lama tumbang. Wajah tampan itu
kelihatan sedih dan dibayang-bayangi kegelisahan.
"Apa yang membuat kekuatan itu hilang?!" gumamnya bernada gerutu,
dan kata-kata itu terucap berulang kali. Anjardani pun ikut memikirkan sambil
berjalan mondar-mandir di depan Suto. Setiap melangkah dan bergerak, daun pisang
kering tersingkap pada bagian yang robek, menampakkan paha dan pinggul
Anjardani yang sering menggoda hati Suto menjadi berdebar-debar.
"Apakah karena semalam aku bercumbu denganmu, maka kesaktianku itu
menjadi lenyap?!" katanya kepada Anjardani.
"Kau belum sempat menjalankan tugasmu sebagai seorang lelaki. Kau
hanya membuatku terbuai dan mencapai puncak keindahan dengan menggunakan
anggota tubuhmu yang lain. Bukankah kita belum sempat mengarungi lautan cinta
menggunakan dayung kehangatanmu?!"
"Memmmm... memm... memang. Tapi aku telah membuatmu melambung ke
puncak-puncak keindahan dengan...."
"Kurasa bukan karena itu!" potong Anjardani yang mulai
berdesir-desir membayangkan keindahan ciuman Suto yang menari-nari di pusat kehangatannya.
"Aku yakin ada sesuatu yang telah melumpuhkan kemampuanmu
keluar-masuk ke alam gaib!" kata Anjardani. "Sebaiknya berbaringlah
dan lepaskan dulu daun-daun pisang itu dari tubuhmu. Aku akan memeriksamu,
barangkali ada sesuatu yang telah membuatmu kehilangan kemampuan langka
itu."
"Kalau daun pisang ini tidak perlu dilepas bagaimana?"
"Aku tak dapat melihat peredaran darahmu secara keseluruhan."
"Yaah. . baiklah kalau begitu," ujar Suto Sinting dengan
wajah sedih. "Kita cari tempat aman dulu!"
"Kurasa di sini sudah cukup aman. Banyak pohon dan semak yang
melindungimu dari pandangan mata orang yang kebetulan lewat di sini. Tapi
kurasa tak ada orang yang lewat sini!"
Dengan sungkan-sungkan malu, Pendekar Mabuk akhirnya melepas daun
penutup tubuhnya. Anjardani tersenyum-senyum dengan mata memandang nakal.
"Kau jangan tersenyum begitu!" sentak Suto Sinting menutupi
rasa malunya.
"Jangan banyak bicara, berbaringlah sekarang juga!"
Suto merendah ingin berbaring di rumput, tapi berdiri lagi dan menuding
wajah Anjardani.
"Tapi ingat, ya. . kalau kau nakal kutendang sampai jebol
dadamu!"
"Sudahlah! Banyak omong melulu kau ini!" sambil Anjardani
menekan pundak Suto agar segera berbaring.
Akhirnya pemuda tampan berbadan kekar itu membaringkan tubuhnya di atas
rerumputan. Kedua tangannya menangkap seekor burung dengan wajah cemas.
"Lepaskan!" sambil Anjardani menyentakkan tangan itu dengan
kakinya. Maka seekor burung yang sudah dalam genggaman itu terlepas pula.
"Kendurkan seluruh uratmu, atur pernapasan dan kosongkan
pikiran."
Pendekar Mabuk memejamkan mata, mengatur pernapasannya. Tapi bayangan
wajah Anjardani masih melekat di benaknya. Rasa takut diusili oleh perempuan
itu masih menghantui hatinya hingga ia menjadi resah. Bahkan bayangan pinggul
Anjardani yang indah meliuk-liuk dan dengan wajah cantik sensual semakin
menggoda alam pikiran.
Akibatnya 'seekor burung' yang semula enggan terbang, kini jadi
menggeliat dan ingin merentangkan sayapnya.
Plok. .! Anjardani menaboknya. Suto terpekik sambil mengaduh, lalu
nyengir sendiri.
"Disuruh kendurkan semua urat kok malah dikejangkan!"
"Habis bagaimana kalau kencang sendiri!" sentak Suto sambil
menahan tawa.
"Buang pikiran kotormu!"
Akhirnya Suto dapat kuasai diri, pernapasannya dapat diatur sedemikian
rupa, urat-uratnya mengendur, pikirannya berhasil dikosongkan, ia tampak
terbaring dengan tenang tanpa kecemasan apa pun.
Anjardani bersimpuh di samping Pendekar Mabuk. Matanya terpejam dan
kedua tangannya merentang dalam gerakan lamban. Lalu kedua tangan itu menyatu
di depan dadanya. Perlahan-lahan sekali tangan itu mulai bergerak maju dan bergetar
samar-samar.
Setelah di atas dada Suto, kedua tangan itu membuka dan terpancarlah
sinar putih menyilaukan. Sinar itu
menerpa tubuh Pendekar Mabuk, lalu bergerak mengikuti gerakan kedua tangan Anjardani.
Dalam beberapa kejap kemudian, tubuh Pendekar Mabuk menjadi bening
bagaikan kristal. Jalan darahnya tampak membayang dari luar tubuh, juga
jaringan uratnya terlihat jelas, bahkan degub jantungnya dapat dilihat bagaikan
jantung yang hidup dalam tabung kaca.
Anjardani menarik napas, dan sinar dari kedua telapak tangannya padam.
Tapi keadaan tubuh Suto Sinting masih bening seperti kristal. Mata perempuan
itu memperhatikan seluruh jaringan saraf yang ada di dalam tubuh Pendekar
Mabuk. Mata itu memandang dengan teliti dari kepala hingga kaki.
"Hmmm. tak ada yang terganggu pada jalan darahnya!" gumam
hati Anjardani. Kemudian dengan pelan-pelan ia membalikkan tubuh yang telah menjadi
seperti beling kaca itu.
Tubuh yang kini tengkurap diperhatikan dengan teliti lagi. Lalu dahi
perempuan itu berkerut, mendekatkan penglihatannya ke arah tengkuk.
"Ooo.. , jalur gaibnya ada yang menotoknya. Pantas ia tak dapat
menggunakan kekuatan gaibnya. Ada yang membekukan jalur gaib di bagian
tengkuknya, sehingga kekuatan gaibnya terhalang dan tak dapat sekerja,"
ujar Anjardani dalam hati.
"Kalau begitu harus kulepaskan totokan jalur gaib itu melalui
tengah keningnya!"
Maka tubuh Pendekar Mabuk yang bening seperti kaca kristal itu dibalik
lagi. Kini pemuda tampan itu terbaring kembali dalam keadaan tak ingat apa-apa.
Anjardani pun segera berdiri.
"Kalau tak segera kulakukan
totokan lewat pertengahan kening, tubuhnya akan kembali seperti semula dan
lebih sukar lagi melakukannya. Dia akan merasakan kesakitan serta.. ."
Baru saja Anjardani ingin lepaskan totokan bersinar yang diarahkan ke
kening Pendekar Mabuk, tiba-tiba sekelebat bayangan menghantamnya dengan
menggunakan pukulan bersinar biru.
Claaap...!
Anjardani terkejut namun serta-merta melepaskan totokan itu ke arah
sinar biru tersebut.
Claap. .! Sebaris sinar putih perak melesat dari ujung jari tengah
Anjardani. Sinar putih itu sebenarnya untuk menotok kening Suto agar gumpalan
gaib yang menyumbat jalur gaib di tengkuk Suto dapat pecah dan hilang. Tetapi
karena sudah telanjur diserang sinar biru, mau tak mau sinar putih itu dipakai
untuk menahan serangan lawan sementara.
Duaaarrr...!
Pertemuan dua sinar itu menghasilkan ledakan yang cukup keras walau tak
sampai mengguncangkan tanah dan pepohonan sekitarnya.
"Keparat kau!" bentak Anjardani kepada orang yang
datang-datang menyerangnya.
Orang itu ternyata si Pangkar Soma yang telah berhasil pulihkan
tenaganya dari luka kemarin siang itu.
"Celaka!" Anjardani membatin. "Kalau kulakukan
pertarungan di sini, bisa-bisa Suto jadi sasaran empuk dari cambuknya.
Sebaiknya kualihkan saja di tempat lain yang jauh dari sini. Mudah-mudahan Suto
Sinting begitu siuman bisa segera menyusulku!"
Pangkar Soma menggeram ketika melihat Pendekar Mabuk terbaring dalam
keadaan masih berbentuk kristal bening. Anjardani mulai cemas, karena ia tahu
Pangkar Soma akan memanfaatkan kesempatan itu untuk hancurkan tubuh Suto
Sinting.
Maka dengan tanpa banyak perhitungan lagi, Anjardani segera berubah
menjadi sinar merah seperti obor. Sinar itu melesat terbang ke arah Pangkar
Soma. Wuuut...! Blaaar...!
Pangkar Soma tak jadi mencabut cambuk karena kedua tangannya dipakai
menahan terjangan sinar merah tersebut. Tangan bertenaga dalam itu akhirnya
timbulkan ledakan kuat setelah ditabrak sinar merah jelmaan Anjardani. Ledakan
itu membuat Pangkar Soma terlempar sejauh sepuluh langkah dalam keadaan tubuh
melayang tinggi di udara, menerjang dahan dan ranting pepohonan.
Guzraaak...!
la jatuh di semak-semak seberang sana. Sinar merah seperti obor masih
melesat terus mengejar Pangkar Soma. Ketika lelaki itu bangkit ingin mencabut
cambuknya dari pinggang, tahu-tahu tubuhnya terlempar kembali karena diterjang
sinar merah yang punya kekuatan seperti serudukan tiga ekor banteng hutan itu.
Brrruuus. .!
"Aaahk...!"
Brruuus...! Weeeerrs...!
"Aaaahk...!"
Pangkar Soma benar-benar tak diberi kesempatan oleh Anjardani sehingga
tubuhnya terlempat-lempar beberapa kali dan makin lama semakin jauh dari tempat
Suto terbaring. Sayang senjata kipasnya ikut lenyap bersama pakaian, sehingga
Anjardani tak bisa pergunakan senjata kipasnya untuk melawan Pangkar Soma.
Tetapi tanpa kipas pusakanya pun Pangkar Soma telah terdesak dan kewalahan
menghadapi terjangan sinar merah jelmaan Anjardani itu.
Sementara itu, keadaan Pendekar Mabuk makin lama makin berubah ke
bentuk aslinya. Tubuhnya sudah tidak berupa kristal bening lagi. Tapi ia masih belum
siuman juga walau sudah terjadi ledakan beberapa kali di kejauhan sana.
Ledakan-ledakan itu kini menggetarkan tanah dan pepohonan sekitar tempat
tersebut.
Pada saat itu, muncul seraut wajah cantik yang secara tiba-tiba sudah
ada di samping Pendekar Mabuk. Raut wajah cantik berjubah putih dengan dada
membusung sekal dan kencang ditutup sepasang kain hitam sebesar tutup gelas itu
tak lain adalah si Ratu Mesum, la keluar dari lapisan alam gaib, dan tidak
gunakan jurus 'Hantu Melayang' lagi, karena saat ia mendengar suara dentuman
tadi, langkahnya yang memburu ke arah tersebut terhenti begitu melihat pemuda
tampan tergeletak di rerumputan.
Mata sayu itu menjadi nanar begitu menyadari pemuda tersebut tergolek
tanpa busana.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," gumamnya dalam hati sambil
tersenyum-senyum ceria. "Tak kusangka aku justru menemukan pemuda yang
sedang menjadi buronanku ini! Rupanya ia masih belum sempat berbusana sejak
pakaiannya dilenyapkan oleh si Pangkar Soma. Hmmm. . menggairahkan sekali
dia!"
Ratu Mesum segera berlutut dengan hati berdebar-debar. Pandang matanya
tertuju pada satu titik yang menjadi dambaannya selama ini. Tetapi tangannya
mulai mengusap lembut dada Suto.
Usapan itu perlahan-lahan merayap ke bawah.
"Aneh sekali! Pemuda ini tidak mempunyai pusar?! Ooh, kalau begitu
dia adalah kuda jantan yang sangat tangguh dan tak kenal lelah selama berpacu
di atas ranjang. Aduuuh. . kebetulan sekali!
Hik, hik, hik, hik...!"
Ratu Mesum kegirangan, karena ia baru tahu bahwa Pendekar Mabuk adalah
pemuda tanpa pusar sejak lahir. Dan Ratu Mesum pernah mendengar cerita dari
mendiang gurunya, bahwa seorang lelaki yang mampu menjadi kuda jantan perkasa
tiada bandingnya dalam bercinta adalah seorang lelaki yang dilahirkan tanpa
pusar. Kekuatannya melebihi bendungan baja yang sukar jebol tapi tetap bergairah
dalam melayani kemesraan lawan jenisnya.
"Sungguh tak kusangka kalau dia sebenarnya pemuda tanpa pusar yang
pasti mampu menjadi budak cintaku kapan saja dan di mana saja. Ooh, hari ini
rupanya hari keberuntunganku yang paling menyenangkan!" sambil mengucap
demikian dalam hatinya, Ratu Mesum tetap merayapkan tangannya dengan nakal.
Sebenarnya saat itu Suto Sinting sudah siuman, yaitu ketika dadanya
disentuh oleh tangan Ratu Mesum. Tapi ia berlagak tetap pingsan dan menyangka
kenakalan tangan itu adalah kenakalan tangan Anjardani. la sengaja membiarkan
Anjardani bertingkah senakal-nakalnya, dan jika sudah waktunya batin perempuan
itu menuntut kelegaan, ia akan bangun dan lari menghindar sebagai godaan
nakalnya.
"Wow. .?!" gumam hati Ratu Mesum penuh kekaguman dan
kegembiraan yang meluap-luap. Matanya pun melebar berbinar-binar ketika ia berhasil
menggenggam sesuatu yang menurutnya amat istimewa itu.
"Baru sekarang kutemukan yang seperti ini, melebihi dari yang pernah
kudapatkan dari lelaki lainnya," ujar Ratu Mesum dalam hati. "ini
jelas-jelas akan membuatku lebih puas dari semua lelaki yang pernah menjadi
pelayan cintaku. Ooouh. . aku semakin bergairah sekali kepadanya. . "
Keluhan hati yang meratap mesra itu memaksa kepala Ratu Mesum mulai
menunduk. Dada Suto Sinting dikecupnya dengan lembut, la memagut-magut dan
menciumi dada itu sambil merayap ke leher. Kepala Suto sengaja tergolek ketika
tersentuh kening Ratu Mesum. Dengan begitu, leher Suto terbuka bebas dan
mengharapkan kecupan hangat itu menjalar sampai di leher.
Ternyata harapan itu terkabul. Ratu Mesum menyapu habis leher itu dengan
pagutan kecil dan gerakan seekor kucing memandikan anaknya.
Sebenarnya saat itu Pendekar Mabuk merinding dan ingin menggeliat
karena merasakan geli-geli nikmat. Tapi ia bertahan untuk tetap diam dan terkulai
lemas seperti orang pingsan. Dalam hatinya ia tertawa, karena menyangka
Anjardani mulai dibakar oleh api kemesraan akibat kenakaiannya sendiri.
Kecupan dan sapuan lidah Ratu Mesum merayap sampai ke permukaan bibir.
Suto Sinting tak tahan. Ia sedikit merekahkan bibirnya agar dikecup oleh lawan
jenisnya. Ternyata harapan itu pun terkabul.
Ratu Mesum memagut bibir Suto dengan napas makin memburu. Bahkan Suto
sempat member balasan sebentar, melumat lembut bibir perempuan itu, lalu
cepat-cepat berhenti karena ingat bahwa orang pingsan tak bisa melumat bibir
lawan jenisnya.
"Ooh, dalam keadaan pingsan saja dia terasa lebih hangat dan
mendebarkan hatiku, apalagi jika dalam keadaan sadar, pasti akan lebih panas
dari gairah lelaki mana pun yang pernah kurasakan!" pikir Ratu Mesum
sambil masih tetap merayap ciumannya di sekitar wajah dan leher.
"Gila!" gumam hati Ratu Mesum. "Sayang sekali kalau
pemuda tanpa pusar ini harus kubunuh. Seharus nya tak perlu begitu. Cukup
kujerat dengan jurus 'Ranjang Goyang' saja, dan seumur hidupnya dia akan
menjadi peliharaanku yang paling perkasa di antara kuda-kuda lainnya.
Oouh,..!"
Ratu Mesum pun akhirnya menciumi perut Suto Sinting. Yang dicium terpaksa
menahan geli mati-matian agar tetap disangka pingsan.
"Kalau aku tetap berpura-pura pingsan, ah... rugi, sekali,"
pikir Suto Sinting. "Rasa-rasanya kurang indah jika aku tidak memberikan
perlawanan yang seimbang. Aku tahu, Anjardani mau membalas tingkahku kemarin
petang itu. Tapi kalau tidak kuimbangi dengan gerakan seirama, keindahan itu terasa
masih kurang lengkap. Aku harus berpura-pura kaget saat membuka mata. Pasti
Anjardani akan malu, wajahnya akan menjadi merah bagai kepiting rebus."
Maka serta-merta Pendekar Mabuk berlagak tersentak, lalu membuka
matanya dan bangkit terduduk.
"Lhoo,. ?!" ternyata ia benar-benar terkejut setelah tahu
perempuan itu bukan Anjardani. Suto makin salah tingkah dan menggeragap setelah
Ratu Mesum memandangnya dengan senyum dan lirikan mata yang menjerat hati, membakar
gairah. Mata Suto sendiri sukar dikedipkan karena hatinya memuji kecantikan
yang terpampang di depan matanya.
"Ssss... siapa kau?!"
"Oh, kau belum mengenalku?" ujar Ratu Mesum kalem. "Aku
adalah. . aku adalah Sriwidari!" Ratu Mesum menyamarkan namanya.
"Siapa Sriwidari itu? Ak. . aku. . aku merasa belum pernah kenal
denganmu!" sambil Suto mau mundur tapi ditahan oleh tangan Ratu Mesum.
"Beginilah caraku berkenalan dengan seorang lelaki. Maukah kau
melanjutkannya? Atau kita berhenti sampai di sini saja?!"
Pendekar Mabuk semakin bingung dan tak bias menjawab. Gairahnya kian
dipermainkan oleh tangan Ratu Mesum. Gairah itu telah meletup-letup dan
menuntut batinnya untuk mendapatkan kelegaan. Tapi hati kecilnya menolak karena
ia merasa asing dengan perempuan tersebut. Suto memang belum pernah melihat
Ratu Dekap Rindu, sehingga ia tidak tahu kalau sedang berhadapan dengan orang
yang menyimpan dendam padanya.
"Berbaringlah lagi, biarkan aku membuaimu dengan kehangatan yang
pasti baru kali ini kau rasakan! Kehangatanku tak dimiliki oleh perempuan lain.
Berbaringlah seperti tadi.. ," bujuk Ratu Mesum dengan lembut, membuat
kegundahan hati Suto menjadi reda.
Suto pun menurut ketika didorong ke belakang dan akhirnya berbaring
lagi. Namun matanya masih memperhatikan perempuan itu yang menyunggingkan
senyum memikat hati kepadanya.
"Gila! Daya tariknya sangat besar. Matanya memancarkan ajakan
untuk bercumbu. Bibirnya menggemaskan, ingin kupagut semalam suntuk. Hidungnya
bagai lambang hembusan napas yang begitu hangat. Dadanya. . oh, gila! Dada itu
benar-benar menantangku. Kurang ajar! Dia sangka aku tak berani menyambar dadanya itu?! Tapi. .
jangan kasar-kasar, ah! Kalem-kalem saja, biar dia semakin penasaran padaku.
Ooh, sungguh luar biasa perempuan ini. Apa saja yang ada padanya bagai memancarkan
daya tarik untuk bercumbu?!"
Ratu Mesum pun segera melepaskan jubah putihnya. Tali penutup dada
ditarik, tees. .! Maka terlepaslah penutup dada itu, membuat mata Suto semakin
berbinar-binar penuh hasrat untuk menyantapnya.
*
* *
7
PANGKAR Somar benar-benar tidak diberi
kesempatan oleh Anjardani untuk keluarkan jurus cambuknya satu kali pun.
Dalam keadaan berubah menjadi sinar merah itu, Anjardani tampak ganas dan buas,
membuat Pangkar Soma mengalami luka parah beberapa kali. Bahkan Anjardani tidak
memberi kesempatan sedikit pun kepada Pangkar Soma untuk larikan diri.
Sampai akhirnya pada satu kesempatan, Pangkar Soma berhasil cabut
cambuknya dari pinggang. Tapi sinar merah itu segera menghantam pergelangan tangan
Pangkar Soma. Wuuut...! Craas...!
"Aaahk. .!" Pangkar Soma terpekik karena pergelangan
tangannya bagai dihujam dengan besi panas. Cambuk itu pun akhirnya terlepas
dari genggamannya, sementara tubuh Pangkar Soma terlempar empat langkah ke
belakang.
Bluub...!
Anjardani menjelma dalam bentuk bayangan, kejap berikutnya menjadi utuh
sebagaimana mulanya. Tanpa banyak komentar apa pun, Anjardani segera menyambar
cambuk itu. Wuut. .! Diiringi gerakan berguling di tanah satu kali, cambuk
sudah berhasil ada dalam genggaman Anjardani.
Kini dengan satu kaki berlutut Anjardani kibaskan cambuk
itu ke arah Pangkar Soma dengan menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke dalam cambuk.
Ctaaarrr...!
Pada waktu itu, Pangkar Soma baru saja bangkit dan ingin lakukan
serangan. Namun tiba-tiba ia melihat tali cambuk itu menyala merah seperti besi
terpanggang api dan berkelebat ke arahnya. Pangkar Soma ingin menghindari tapi
terlambat. Cambuk itu lebih dulu melilit ke lehernya, serrt…! Anjardani segera
menarik dalam satu sentakan kuat sambil melompat mundur. Beet...!
Craass...!
"Uhhk. .!" Pangkar Soma tak sempat berteriak lagi. Lehernya
putus seketika dan kepalanya menggelinding ke tanah tanpa bisa dipungut lagi.
Tak lama kemudian, badannya pun yang memaksakan diri untuk melangkah
akhirnya tumbang juga di samping kepalanya yang masih bisa berkedip mata empat
kali, lalu mata itu terpejam untuk selama-lamanya.
"Rampung sudah urusanku dengan si keparat ini! Kurasa Suto akan
senang melihat kepala Pangkar Soma kutenteng di depannya. Karena kini Suto akan
bebas dari ancaman dendam si Pangkar Soma atas kematian si Ronggeng Iblis
itu," ucap batin Anjardani sambil sunggingkan senyum tipis sekali, lalu ia
bergegas menenteng kepala berambut putih yang sudah tidak mempunyai badan lagi
itu.
Anjardani tak tahu bahwa saat itu Suto Sinting sedang sibuk mengimbangi
amukan gairah Ratu Mesum yang mengaku sebagai Sriwidari itu. Ratu Mesum sengaja
menerbangkan khayalan Suto dengan bertindak sebagai induk kucing yang memandikan
anaknya. Suto hanya memberikan reaksi berupa remasan dan gerakan-gerakan
selaras dengan irama cumbuan itu sambil sesekali melepaskan desah dan erang
kenikmatan.
Namun tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang Ratu Mesum yang ingin
menaiki bahteranya untuk lakukan pelayaran cinta.
Wuuut, bruuus...!
"Bangsat...!" makinya dengan keras sambil tubuhnya terlempar
dari 'bahteranya' sejauh lima langkah. la segera bangkit dengan geram kemurkaan
sambil memandang sosok bayangan kuning yang ternyata adalah Sriti Kuning itu.
"Oh, Sriti Kuning...?!" gumam Suto kaget dan buru-buru
mencari tempat untuk berlindung karena merasa malu dilihat Sriti Kuning dalam
keadaan polos seperti bayi.
Sriti Kuning buang muka, tak mau memandang Suto lagi, karena ia sendiri
takut kalau tergoda gairahnya melihat kejantanan sang Pendekar Mabuk yang
sangat menggetarkan itu. Perhatian gadis itu lebih tertuju pada wajah Ratu
Mesum yang sedang memendam murka dan sebentar lagi pasti akan dilampiaskan.
"Apa maksudmu mengganggu kemesraanku, Sriti Kuning?! Kau bisa
kutolak untuk menjadi sekutuku, tahu?!"
"Aku tak kepincut lagi menjadi sekutumu, Ratu Mesum! Kini kutahu
bahwa kau juga ikut menghancurkan cintaku kepada Badra Sanjaya. Kau pernah
menjadikan Badra Sanjaya sebagai budak nafsumu, hingga ia benar-benar lupa
padaku dan terpikat dengan pengawal kepercayaanmu; si Laras Wulung! Tapi sumber
utama yang membuat kekasihku tak mempedulikan cintaku lagi adalah kau! Kau
telah gunakan jurus 'Ranjang Goyang' untuk menawannya, Ratu Mesum!"
"Jadi apa maumu sekarang, hah?!" bentak Ratu Mesum tak sabar
lagi.
"Aku lebih baik menjadi pencabut nyawamu daripada menjadi anak
buahmu, Perempuan Laknat!"
"Bocah jahanam. .!!" geram Ratu Mesum.
Sriti Kuning baru saja ingin bergerak lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Tapi tiba-tiba dari mata kiri Ratu Mesum keluarkan sinar hijau kecil yang bergerak
cepat menghantam dada Sriti Kuning.
Claaap...!
Sriti Kuning segera menahan sinar hijau itu dengan telapak tangannya
yang menyala semerah bara. Teebs. .! Duaaarr.. ! Ledakan pun terjadi akibat
sinar hijau itu membentur telapak tangan Sriti Kuning. Akibatnya, gadis itu
terlempar lima langkah dari tempatnya berdiri dan membentur pohon dengan kuat.
Brruus...!
Duuuhhr. .! Pohon itu bergetar, daunnya berguguran karena benturan
keras tubuh Sriti Kuning. Gadis itu jatuh terduduk sambil mengejang menahan
rasa sakit pada tangannya yang menjadi hitam hangus dan berlendir. Luka bakar
yang parah bukan saja di bagian tangan tapi juga sampai menjalar ke pundak
kanan dan sebagian leher sisi kanannya juga menjadi hangus. Sriti Kuning tak
kuat menahan rasa sakit itu, akhirnya ia terpuruk pingsan di bawah pohon
tersebut.
Suto Sinting masih tertegun di balik pohon melihat Sriti Kuning dibuat
tak berkutik dalam satu gebrakan saja. Kini ia tahu bahwa perempuan yang tadi
bercumbu dengannya adalah Ratu Mesum, bukan Sriwidari. Tapi hati Suto bertekad
untuk tetap tidak tahu siapa perempuan cantik itu sebenarnya.
"Sebaiknya aku tetap berpura-pura tidak tahu siapa dia sebenarnya,
supaya aku punya kesempatan emas untuk membunuhnya!!?" pikir Suto Sinting
sambil memeluk bumbung tuaknya guna menutupi 'jimat antik' yang tadi terusik
dari tidurnya itu.
"Pendekar tampan, keluarlah. . keadaan sudah aman. Kita lanjutkan
kemesraan kita tadi, Sayang. .," ujar Ratu Mesum sambil hampiri Suto dalam
keadaan tetap polos tanpa selembar benang pun.
"Aku pun sudah tak tahan menunda kemesraan ini, Sriwidari..
," pancing Suto sambil keluar dari balik pohon, tanpa daun pisang kering
juga.
Senyum si Ratu Mesum tampak berseri-seri. Langkahnya dipercepat karena
tak sabar ingin memeluk pemuda macho berperawakan atletis itu. Tetapi tiba-tiba
langkahnya terhenti karena sebuah benda jatuh di depannya. Benda itu menggelinding
bagaikan bola dan segera ditahan oleh salah satu kakinya. Deeb. .!
"Hahhh. .?!" Ratu Mesum memekik begitu menyadari benda itu
ternyata adalah kepala si Pangkar Soma yang pucat tanpa senyum sedikit pun. Pendekar
Mabuk juga terperanjat kaget, matanya segera memandang ke arah datangnya
penggalan kepala itu. Ternyata di sana telah berdiri Anjardani dengan cambuk
milik Pangkar Soma tergenggam di tangan. Kehadirannya membuat Ratu Mesum makin menggeram
dipenuhi oleh murka yang tak mungkin terbendung lagi itu.
"Terkutuk kau, Perempuan Laknat!! Heaaah. .!"
Ratu Mesum menyatukan telapak tangannya di dada. Tubuhnya bergetar dan
berasap tipis. Hal itu tidak dibiarkan oleh Anjardani. Maka cambuk pun dilecutkan
dengan disertai penyaluran tenaga dalam cukup tinggi ke dalam cambuk tersebut.
Ctaar...!
Pendekar Mabuk melihat jelas-jelas cambuk yang memercikkan sinar merah
itu mengenai pundak Ratu Mesum. Tetapi keadaannya seperti menghantam gugusan
asap berbentuk manusia.
Cambuk itu membuat pecah badan Ratu Mesum, namun kejap kemudian menyatu
lagi menjadi utuh seperti semula.
"Hik, hik, hik, hik...!" Ratu Mesum menertawakan serangan
Anjardani. "Kau tak akan bisa melukaiku Tikus Betina!"
"Jahanam kau!" geram Anjardani, kemudian tubuhnya melayang
bagaikan terbang mengelilingi Ratu Mesum sambil melecutkan cambuk berkali-kali ke
tubuh Ratu Mesum. Setiap lecutan cambuk mempunyai kilatan cahaya biru yang
menimbulkan suara ledakan menggelegar secara beruntun.
Ctar, tar, tar, tar...!
Blaaar, blaar, blaar, bleggaaaarrrr.. !
Tubuh Ratu Mesum menjadi serpihan asap yang beterbangan ke mana-mana.
Namun ketika lecutan itu berhenti, gumpalan-gumpalan asap itu segera menyatu
kembali dan membentuk wujud asiinya.
"Hik, hik, hik, hik. .! Keluarkan semua jurusmu, Betina Busuk!
Hancurkan aku sepuasmu sebelum aku ganti menghancurkanmu!"
Slaab. .! Anjardani berubah menjadi sinar merah seperti menghadapi
Pangkar Soma tadi. Weet. .!
Sinar merah melayang cepat menerjang Ratu Mesum. Bluuuss. .! Tapi sinar
itu seperti menembus bayangan kosong yang dapat melesat tanpa kenai sasaran
apa-apa. Ratu Mesum menertawakan serangan itu dan membiarkan sinar merah
tersebut mondar-mandir menyerangnya.
Bless, bless, wuuut, bless...!
"Sekarang giliranku, Anjardani!" ujar sang Ratu. Bluub. .!
Perempuan bugil itu lenyap dari pandangan mata Suto. Rupanya ia telah menggunakan
jurus 'Hantu Melayang' untuk imbangi ilmunya Anjardani. Sinar merah itu pun
segera lenyap, sepertinya ikut masuk ke alam gaib untuk hadapi lawannya di
sana.
Blaab...!
"Edan! Perempuan-perempuan berilmu tinggi pada ke mana
tadi?!" gumam Suto Sinting sambil clingak-clinguk.
Kejap berikutnya terdengar suara gaduh yang tak bisa dilihat bentuknya.
Suara baku hantam dan letusan teredam bagai bertaburan di sekeliling Suto
Sinting. Bahkan pendekar tampan itu sempat terkejut melihat sebatang dahan
tiba-tiba patah dan tumbang. Semak belukar rusak bagai diterjang babi hutan.
Suto tak bisa melihat pertarungan di alam gaib itu, karena jalur gaibnya masih
dalam keadaan tersumbat karena totokan seseorang. Berulang kali ia mengusap
dahinya, tapi sampai dahinya terasa lecet, ia hanya bisa melotot di tempat tak bias
melihat pertarungan tersebut.
Wees, brruk...!
"Aaahk...!"
Tiba-tiba Anjardani keluar dari lapisan alam gaib dalam keadaan
terbanting dan terluka parah. Mulutnya menyemburkan darah dan tubuhnya menjadi
hangus separo bagian. Pendekar Mabuk menjadi panik, ingin segera menolong
memberinya minum tuak. Tapi tiba-tiba Ratu Mesum menampakkan diri dan berseru
kepadanya.
"Jangan dekati dia! Biarkan dia akan mampus dalam waktu beberapa
saat lagi. Dia tak mungkin bisa berkutik lagi, karena dia terkena jurus 'Rajam
Jantung' yang tak bisa diobati oleh apa pun dan oleh siapa pun!"
"Tapi dia. .," Suto berlagak bego dan panik.
"Tinggalkan dia, sebaiknya kita lanjutkan kemesraan yang
tadi," kata Ratu Mesum sambil memeluk Suto dari belakang dan menciumi
tengkuk kepala Suto.
"Ak... aku... ohh, kita mencari tempat aman saja. Jangan di sini.
Aku tak mau kemesraan kita terganggu lagi."
"Tidak, Sayang. . tidak akan ada yang mengganggu kemesraan kita
lagi. Mereka sebentar lagi akan binasa," sambil Ratu Mesum membalikkan
tubuh Suto dan pemuda itu melepaskan bumbung tuaknya, kemudian membiarkan
wajahnya diciumi oleh si perempuan cantik bergairah besar itu.
Pendekar Mabuk mendorong dua langkah. Kini Ratu Mesum berdiri sambil
bersandar pada sebatang pohon yang tubuhnya miring.
"Aku ganti akan membuaimu." bisik Suto Sinting. Ratu Mesum
tersenyum dan melebarkan diri.
"Ambil ah mana yang kau suka. Habiskan semuanya dengan kecupanmu,
Sayang...."
Pendekar Mabuk segera menciumi dada Ratu Mesum yang besar dan padat
menantang itu. Sang Ratu tampak kegirangan, terlebih setelah ujung-ujung
bukitnya disambar oleh mulut Suto Sinting, ia sempat memekik karena merasakan
keindahan yang melambung jiwa.
"Oouuh... nikmat sekali, Sayang. Uuuh... pandai sekali kau membuaiku.
Uuuh. . ke bawah lagi, Sayang.... Ayolah, ke bawah lagi ...."
Kecupan Suto merayap ke bawah dan membuat perempuan itu bergelinjang
sambil mengerang dan memekik-mekik ditikam sejuta rasa nikmat.
"Ooh, yaaah... terus, terus...!" jerit Ratu Mesum dengan
suara kecil. "Cepat lagi, lebih cepat lagi.. ooohhh... aku hampir sampai,
Sayang... lebih cepat lagi.. !" rintihnya dengan pinggul makin mirip
seorang penari jaipongan.
Suto Sinting tahu bahwa perempuan itu sudah hampir mencapai puncak
keindahannya. Maka serta-merta Suto melangkah mundur melepaskan diri. Wuuut. .!
la berada dalam jarak lima langkah dari sang Ratu yang masih berwajah mesum
penuh gairah.
"Oh, sayang... kenapa menjauh?! Dekaplah aku lagi, lakukan seperti
tadi, aku sudah mau sampai puncak keinginanku, Sayang....!"
"Inilah saat kelemahanmu tiba, Ratu Mesum!"
"Apa maksudmu?!" sang Ratu kaget. Namun sebelum ia bangkit
dari rebahannya di batang pohon miring itu, Suto telah lebih dulu lepaskan
jurus 'Surya Dewata', yaitu merapatkan kedua tangan di dada, lalu disentakkan
ke depan dengan kaki sedikit merendah.
Suuut...! Claaap...!
Sinar ungu sebesar lidi keluar dari ujung kedua tangan itu. Sinar ungu
tersebut menghantam dada kiri tepat di jantung Ratu Mesum. Jleeebs. .!
"Aaaahk... kkkau... kaau...!" Ratu Mesum mengejang dengan
mata mendelik. Dadanya bolong sebesar ukuran pensil, tapi kulit tubuhnya
menjadi memar membiru. Warna merah membiru itu bergerak hingga mencapai
wajahnya. Asap pun mengepul di sekujur tubuh itu.
Sinar ungu tersebut ternyata tembus sampai ke punggung Ratu Mesum.
Bahkan pohon yang dipakainya bersandar pun menjadi berlubang ditembus sinar
ungu, juga dua pohon yang ada dalam satu deretan dengan pohon miring itu ikut bolong
ditembus sinar ungu dari jurus 'Surya Dewata'.
Sekujur tubuh Ratu Mesum akhirnya menjadi hangus. la tetap berdiri
dengan kaku, wajah menegang, mata terbelalak dan mulut ternganga. Tapi ketika
didekati Suto, ternyata perempuan itu sudah tidak bernapas lagi.
Ratu Mesum akhirnya menemui ajalnya pada saat hampir mencapai puncak
kemesraan. Karena di saat itulah, seluruh ilmunya hilang dalam sekejap, dan
Suto memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Ternyata ia berhasil membuat
riwayat Ratu Mesum alias Ratu Dekap Rindu berhenti sampai di situ saja.
Angin berhembus makin lama semakin kencang. Langit menjadi mendung,
awan hitam berarak-arak menutup matahari. Kilatan cahaya petir pun menyambar ke
sana-sini dengan lepaskan suara gelegarnya yang membahana, seakan menyambut kematian
Ratu Titisan Iblis Pakar Mesum itu.
Pendekar Mabuk segera menolong Anjardani dan Sriti Kuning, la belum
terlambat, dan kedua perempuan itu berhasil disembuhkan dengan tuak saktinya.
Kini wajah mereka menampakkan kelegaan melihat Ratu Mesum tak bernyawa dalam keadaan
hitam hangus seperti patung.
"Entah sudah berapa korban yang menjadi mangsa kemesumannya. Yang
jelas, kini ia akan digilir oleh para iblis yang bertabiat seperti masa
hidupnya!" ujar Anjardani seperti bicara pada diri sendiri.
Sriti Kuning melirik Suto yang masih tak sadar akan kepolosan tubuhnya.
Gadis itu tersenyum tipis dan berkata lirih.
"Apakah kau tak takut masuk angin, Pendekar Mabuk?"
"Ooh. .?!" Suto kaget karena segera menyadari diri, lalu ia
melompat masuk ke semak-semak. Di sana ia berseru dengan jengkel sendiri.
"Anjardani, bagaimana nasibku ini.. ?!"
Anjardani tertawa. "Kita cari pakaian dulu, baru kulepaskan
totokan jalur gaibmu itu!"
"Oh, jadi jalur gaibku ada yang menotoknya?!"
"Ya. Menurut dugaanku, kau tertotok oleh Ratu Mesum pada saat
melawan Pangkar Soma, sehabis memberiku minum tuakmu itu!"
"Kurang ajar betul si Ratu Mesum itu!" geram Suto sambil
jongkok di semak-semak.
"Tak usah marah-marah," ujar Sriti Kuning.
"Orangnya sudah mati! Sekarang sebaiknya kalian berdua ikut aku
menghadap guruku. Guru mempunyai banyak kain yang bisa untuk pengganti pakaian
kalian!"
"Apa gurumu dulunya penjual kain di pasar?!" celetuk Suto.
"Tanyakanlah sendiri padanya kalau mulutmu ingin robek!"
jawab Sriti Kuning membuat Suto dan Anjardani tertawa geli.
SELESAI
Segera terbit!!
KUIL PERAWAN GANAS
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon