1
HUTAN cemara merah dihembus angin badai yang mematahkan beberapa dahan.
Angin itu berhembus dari arah utara dengan kecepatan mampu menerbangkan orang.
Batu-batu sempat beterbangan dan saling berbenturan. Alam di hutan cemara merah
bergemuruh memekakkan telinga.
Di sela-sela pepohonan cemara yang terombang-ambing itu, tampak seraut
wajah tampan bermata teduh dengan rambut sepanjang pundak, lepas tanpa ikat
kepala. Seraut wajah tampan itu membiarkan anak rambut menutupi sebagian
parasnya yang berhidung bangir. Ia berdiri dengan tegak, kakinya sedikit
merenggang, kedua tangannya menggenggam di samping, ototnya tampak bertonjolan
bagai pilar beton yang sukar digoyahkan.
Pemilik wajah tampan yang memakai baju coklat tanpa lengan dan celana
lusuh itu menyandang bumbung tuak di punggungnya. Ciri-ciri itu menandakan
bahwa si wajah tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting;
murid dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang, tokoh yang namanya berada di paling
atas dari deretan nama-nama tokoh sakti di rimba persilatan. Dengan mata
sedikit mengecil, Pendekar Mabuk keraskan kakinya yang seakan menancap di
tanah. Ia berdiri menantang badai dengan tenang.
Sebongkah batu sebesar kepala kerbau melayang ke wajahnya karena
terlempar oleh hembusan angin badai itu. Dengan sigap batu itu dihancurkan
menggunakan pukulan tangan kirinya. Prraak...! Menyusul sebatang dahan
berukuran sebesar pahanya terhempas bagai ingin memukul kepala bagian kanan.
Dengan cepat, tangan kiri Pendekar Mabuk menyodok ke kanan. Dahan itu dihantam
menggunakan pangkal telapak tangannya.
Prraak...!
Dua bongkahan tanah menyerupai cadas menerjangnya karena hembusan kuat
dari angin badai misterius itu. Dua bongkahan tanah seperti cadas itu datang
dari arah depannya. Pendekar Mabuk segera layangkan tendangan ganda dengan satu
kaki yang kecepatannya sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
Wut, wut...! Braasss...! Dua bongkahan tanah seperti cadas itu hancur
dan debunya terhempas terbawa angin. Sebagian debu menyiram dadanya, namun
dalam waktu singkat debu itu lenyap karena angin badai yang menerjang tubuh
kekar itu hanya bisa membawa pergi debu-debu tersebut.
"Badai tak wajar!" gumam Pendekar Mabuk sambil bersikap tegak
dan berdiri kokoh kembali, seakan ia sengaja menentang kekuatan badai tersebut.
Pucuk-pucuk pohon cemara meliuk begitu tajam, seakan ingin menyentuh
tanah. Keadaan di depan Suto Sinting menjadi tak jelas karena tertutup
pucuk-pucuk pohon cemara. Tapi mata si bocah tanpa pusar itu sempat melihat
sebuah benda menerobos kerimbunan pucuk cemara yang meliuk itu. Benda tersebut menerjang
ke arahnya. Dengan cepat Suto menyentakkan kedua tangannya secara beruntun ke
arah depan. Bet, bet...! Brruuus...!
"Apa itu tadi?!" ujarnya membatin sambil matanya mencari
benda yang terpental akibat pukulan kedua tangannya tadi.
"Aahhk... aaahkkk...!"
"Lho... manusia?!" gumam Suto Sinting dengan heran. Matanya
dilebarkan walau terpaksa tetap tak bisa selebar biasanya karena menahan
hembusan angin badai itu. Ia memandang ke arah benda yang terpental akibat
pukulannya tadi. Ternyata memang seorang manusia yang kini sedang meringkuk,
terhalang sebatang pohon hingga tak bisa terlempar lagi oleh kekuatan angin
badai itu.
"Oh, siapa dia?! Mengapa dia menyerangku?" pikir Suto sambil
berusaha mendekatinya, tetapi ternyata usaha mendekati orang tersebut tak bisa
dilakukan dengan mudah karena ia harus melawan kekuatan angin badai tersebut.
Sedikit saja salah satu kakinya diangkat, ia akan terhempas terbang dihembus
angin badai yang cukup kencang itu. Terpaksa Suto Sinting hanya bias memandangi
orang tersebut dengan telapak kaki bergeser maju sedikit demi sedikit. Sesekali
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang karena nyaris tak kuat menahan hempasan
angin besar itu.
"Seseorang telah menjajal ilmuku begitu aku tiba di alam perbatasan
ini. Sejak tadi aku tak mau melawan, karena tak ingin bermusuhan dengannya.
Tapi tampaknya ia masih belum puas jika aku belum melawannya. Baiklah, akan
kulawan angin badainya dengan jurus 'Napas Tuak Setan'-ku!" geram hati
Pendekar Mabuk.
Padahal jurus 'Napas Tuak Setan' sangat berbahaya, bukan saja bagi
manusia, namun juga berbahaya bagi alam dan lingkungan sekitarnya. Satu
hentakan napas melalui mulut Suto dapat timbulkan bencana badai besar yang
mampu menyapu seluruh bangunan rumah dalam satu desa, bahkan mampu
memporak-porandakan hutan dan menggeser bukit yang tak terlalu besar. Napas
maut itu biasanya terhembus dengan sendirinya jika hati Pendekar Mabuk sedang
murka.
Kegeraman hati dibina, diperbesar supaya ia merasa marah dan bisa
keluarkan napas mautnya itu. Tetapi, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba badai
telah reda sendiri. Hembusan angin semakin menurun, pucuk-pucuk cemara merah
mulai tegak kembali. Akhirnya hutan cemara merah itu menjadi tenang, angin yang
berhembus semilir damai menyejukkan badan.
"Sial! Begitu mau kulawan angin badai itu berhenti!" gerutu
Pendekar Mabuk setelah menarik napas dan mengendurkan ketegangan uratnya.
"Oh, ternyata orang yang kupukul tadi adalah seorang gadis?!"
ujar batin Suto dengan terkejut ketika ia memandang orang yang tersangkut pohon
tadi. Ia segera mendekati orang itu, dan ternyata memang seorang gadis berwajah
cantik, manis, menawan hati. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun,
mengenakan jubah lengan panjang warna abu-abu, mengenakan kutang tipis warna
hijau dan kain penutup pinggul warna hijau pula.
"Oh, kasihan sekali gadis ini! Tapi mengapa ia menyerangku secara
tiba-tiba seperti tadi?!" ujar batin si murid sinting Gila Tuak. Ia segera
membaringkan gadis itu. Rupanya gadis itupingsan karena pukulan Suto tadi.
Tetapi dalam hatinya sang pendekar tampan merasa salut dan kagum melihat ketahanan
gadis itu.
"Mestinya dia mati, karena aku tadi menggunakan pukulan bertenaga
dalam cukup besar. Tapi ternyata ia hanya pingsan dan tidak mengalami luka
memar sedikit pun. Hebat juga gadis ini!"
Ia memandangi gadis yang dibaringkan di tanah berumput merah kecoklatan
itu. Gadis berambut pendek yang bagian depannya diponi itu mempunyai wajah yang
sangat menggemaskan. Hidungnya kecil tapi mancung, alis matanya lebat dan
lentik, bibirnya kecil namun menggairahkan. Enak untuk dikecup dan dilumat.
Kulitnya berwarna kuning langsat. Dan yang lebih membuat hati Suto
berdebar-debar, ternyata gadis itu mempunyai dada yang sekal, termasuk montok,
walau tidak sebesar semangka. Kutang tipisnya itu sedikit merosot ke bawah
karena hembusan angin badai tadi, akibatnya, separo dari dada montoknya itu
tampak tersembul menyembunyikan pucuknya di tepian kutang.
"Wow...! Ini baru kejutan!" gumam Suto Sinting dengan hati
berdebar.
"Ah, sebaiknya kubetulkan letak penutup dadanya itu biar tidak
terlalu seronok dipandang orang." Maka, tangan Suto pun segera membetulkan
letak penutup dada yang berwarna hijau berhias benang emas itu.
Tetapi kutang itu terlalu kencang dan ketat, sehingga Suto Sinting
sulit merapikannya. Tarik sana, tarik sini, akhirnya jengkel-jengkel tangan
Suto merogoh gumpalan daging yang sekal dan montok itu untuk membetulkan letak
penutupnya. Tapi dasar jahil, tangan Suto sempat meremas pelan dan cekikikan
dalam hatinya.
"Enak lho...," sambil ia tersenyum-senyum sendiri, lalu
segera clingak-clinguk, takut dilihat orang lain.
"Sialan. Deg-degan juga hatiku. Eh... yang kiri sudah, yang kanan
belum kupegang. Nanti besar sebelah, kasihan kan? Ah, yang kanan, ah...!"
Memang bandel dan jahil murid si Gila Tuak itu. Sudah dapat yang kiri,
eeh... yang kanan diremas juga. Nyuuttt...!
"Aaow...!"
Suto terlonjak kaget. Gadis itu memekik, sadar dari pingsannya. Hampir
saja jantung Suto copot karena rasa kagetnya itu. Ia menjadi sangat malu dan
salah tingkah, bahkan sempat menggeragap hingga suaranya seperti orang bisu.
"Aah, uuh, aah, uhmm, eeh, uuh...!"
Gadis itu bangkit dan melangkah dekati Suto lalu dengan cepat tangannya
berkelebat menampar wajah Suto. Plook...!
"Setan kau! Sudah gagu, kurang ajar lagi!" omel gadis itu
sambil membetulkan penutup dadanya supaya letaknya lebih pas lagi.
Wajah Suto menjadi merah padam, bukan saja karena menahan rasa malu
tapi juga karena menahan rasa sakit akibat tamparan gadis itu.
"Tangannya seperti sandal karet! Panas sekali kalau dipakai untuk
menampar!" gerutu hati Suto.
"Hei, Orang Gagu... apa maksudmu bertindak kurang ajar padaku,
hah?! Apakah kau belum tahu siapa aku?!"
"Bbbe... belum, Nona."
"Lho... gagu kok bisa ngomong?"
"Ak... ak... aku bukan oor... orang gagu, Nona."
"Ooo... kau orang gagap? Punya penyakit gagap, begitu?!"
"Jug... jug... juga bukan!"
"Bukan gagap kok ngomongnya jag-jug-jag-jug begitu!" si gadis
bersungut-sungut, tapi hatinya berkata lain.
"Ganteng amat pemuda ini. Badannya gagah, kekar dan... ya ampuun,
ternyata dia mempunyai ketampanan yang sukar kubenci. Hatiku berdebar-debar,
entah mengapa aku merasa sangat bahagia saat ini. Padahal aku belum kenal siapa
dia, padahal dia belum tunjukkan sikap manis padaku, dan... oh, kalau tahu dia
seganteng ini, sebaiknya tadi kubiarkan saja dia berkurang ajar padaku."
Tetapi wajah si gadis tetap berlagak acuh tak acuh, bahkan berkesan
angkuh. Sambil merapikan pakaiannya dan menghilangkan rumput yang menyangkut di
rambutnya, gadis itu tetap menampakkan sikap judes, walau sesekali ia melirik
ke arah Pendekar Mabuk.
"Maafkan kelancanganku tadi, Nona. Aku hanya bermaksud memberi
keseimbangan saja biar tidak bengkak sebelah dan...."
"Keseimbangan apa maksudmu!" bentak gadis itu dengan bibir mungilnya
meruncing.
"Maksudku... maksudku kalau yang kiri sudah diremas yang kanan
juga harus...."
"Kurang ajar!" sentak gadis itu dengan mata melotot.
"Jadi kau sudah melakukannya pada yang kiri?!"
"Hmm... eeh... uuh... aah... eehm...."
Plak, plak...!
"Terima kasih," kata Suto sambil mengusap pipinya yang kena
tampar dua kali itu.
"Dasar manusia jalang!" maki si gadis. "Kurasa cukup
pantas tamparan dua kali untuk kekurangajaranmu tadi!"
"Maukah kau menamparku empat kali lagi?"
"Eeeh... nantang kau, ya? Nantang kau, hah?!" sambil si gadis
tolak pinggang, mendesak Suto dengan mata melotot galak.
"Maksudku... kalau satu remasan dua tamparan, aku ingin ditampar
empat kali lagi supaya mendapat dua remasan lagi, Nona!"
"Mulut kotor, hiaaat...!"
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut, wuuu...!
Gadis itu memukul Suto beberapa kali, tapi Suto hanya menggeloyor ke
sana-sini seperti orang mabuk mau jatuh. Akibatnya pukulan beberapa kali itu
tidak ada yang mengenai sasaran satu pun.
"Rupanya kau mau unjuk gigi di depan Ajeng Ayu, hah? Kau belum
kenal Ajeng Ayu? Inilah si Ajeng Ayu! Hieeat...!"
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!
Lebih dari tujuh tendangan dilepaskan oleh gadis itu. Tetapi dengan
lentur dan lincah Suto Sinting yang tetap berdiri di tempat tanpa bergeser
sedikit pun mampu hindari tendangan gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk ke
sana-sini bagai orang mabuk dengan gerakan tangan sesekali mirip orang
menenggak tuak, tendangan itu selalu lolos dari tubuhnya. Tak sedikit pun
menyerempet lengan atau bagian yang lain.
"Setan!" geram gadis itu dengan hati semakin keki.
"Berani-beraninya kau menghindari tendanganku, hah?! Coba jurus
'Kaki Tiga' ini! Hiiaah...!"
Gadis itu tiba-tiba meloncat ke atas, tubuhnya berputar cepat bagai
gangsing, tahu-tahu wajah Suto merasa mendapat tiga kali tendangan beruntun
yang sukar dihindari. Begitu cepatnya tendangan tiga kali itu hingga yang
terdengar suara, prrrook...!
Suto Sinting menggeloyor ke belakang dan gelagapan. Pandangan matanya
menjadi buram, wajahnya terasa kian panas bagai dipanggang api. Ia buru-buru
menenggak tuaknya dua teguk. Tuak itu membuat rasa panas di wajah lenyap dalam
waktu singkat, pandangan matanya menjadi jernih kembali dan badannya terasa
segar, karena tuak itu adalah tuak sakti yang mampu sembuhkan penyakit dan
lenyapkan berbagai macam luka.
"Gila! Tendangannya seperti mengandung lahar panas dan
kecepatannya sukar dilawan," gumam Suto dalam hati sambil memandang sang
gadis yang masih tolak pinggang dan mencibir, membanggakan jurus tendangannya
tadi.
"Sekarang kau baru kenal siapa si Ajeng Ayu ini, bukan?"
sambil gadis itu menepuk dadanya sendiri.
"Kau masih mau mencobanya?"
"Aku... aku tak berani menolak keinginanmu, Nona. Silakan saja
kalau masih ingin memperkenalkan diri padaku."
"Ngeledek kau, ya?! Hiaaat...!"
Gadis itu melompat dengan gerakan tubuh memutar, kaki lebih dulu
menyerang. Tetapi Suto Sinting segera menyentilkan jarinya ke arah betis gadis
itu.
Tess...! Beet...!
"Auuh...!" gadis itu memekik dan tubuhnya terpelanting jatuh.
Brrruk...!
"Aaaauuh...!" Ia merengek seperti anak kecil sambil pegangi
betisnya yang merasa seperti ditendang seekor kuda jantan. Betis mulus itu
tampak biru sebesar telapak tangan. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum dan merasa
bangga dengan jurus 'Jari Guntur'-nya itu.
"Itulah salam perkenalan Suto Sinting," ujar Suto sambil
menepuk dadanya menirukan lagak gadis itu tadi.
"Aduuh... tulang lututku bagai mau copot rasanya," keluh si
gadis dalam hati. "Tak kulihat tangannya bergerak menghantamku, tapi
kenapa tiba-tiba betisku jadi sasaran? Uuuh... rasa linunya sampai di tulang
punggung dan tengkuk. Gila! Jurus apa yang dipergunakan setan ganteng ini?!
Kurasa... eh, tadi kudengar dia menyebutkan namanya? Suto?! Suto Sinting?!
Sepertinya aku pernah dengar nama itu disebutkan oleh Guru. Tapi kapan dan apa
penjelasannya tentang nama itu, ya? Aduh, aku lupa sama sekali."
Suto Sinting tak tega melihat gadis itu menyeringai kesakitan tiada
henti. Ia segera mendekati dan menyerahkan bumbung tuaknya yang masih penuh dan
baru terminum beberapa teguk itu.
"Minumlah tuakku, maka rasa sakit itu akan hilang."
"Kau dukun, ya?"
"Anggap saja begitu!" jawab Suto dengan kesan malas menjelaskan
khasiat tuak dan asal-usul bumbungnya itu.
Ajeng Ayu mendengus sambil buang muka pertanda tak mau menerima tawaran
itu. Tetapi Suto segera berkata,
"Kalau kau tak mau minum tuak, maka kakimu akan beracun, sukar
diobati lagi. Kalau kakimu akan membusuk dan akhirnya harus dibuntungi biar
tidak membusukkan bagian yang lain!"
"Haah...?! Seganas itukah pukulanmu?"
"Sebenarnya jurus yang kupakai tadi untuk lawan beratku. Tapi aku
tadi tak sengaja melepas jurus itu. Aku pun menyesal setelah membayangkan gadis
secantik kau akan buntung salah satu kakinya gara-gara jurusku tadi. Maka
kutawarkan padamu untuk minum tuak ini biar kakimu tak jadi buntung."
Ajeng Ayu terpengaruh oleh bualan Suto Sinting. Ia tampak tegang dan
cemas. Akhirnya mau meminum tuak itu. Dan suatu keajaiban dirasakan olehnya,
rasa sakit dari betis sampai tulang tengkuk itu lenyap sama sekali, bahkan
tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum meminum tuak itu.
"Sakti juga kau ini rupanya. Siapa gurumu?"
"Sebaiknya kau tanyakan siapa kekasihku," kata Suto.
"Aku tidak butuh kekasihmu!" ujar Ajeng Ayu dengan cemberut.
"Apakah kau sudah punya kekasih?"
"Sudah."
"Siapa?"
"Kau!"
Buuhk...! Gadis itu jatuh secara tiba-tiba. Setelah diperiksa Suto,
ternyata gadis itu pingsan dengan wajah memucat.
"Aneh! Masa' hanya kujawab dalam canda begitu saja dia langsung
pingsan?! Oh... gadis cap apa dia sebenarnya?"
Suto semakin penasaran ingin mengetahui siapa gadis itu sebenarnya. Tak
akan bisa tidur rasanya jika Suto belum mengetahui secara mendalam tentang
Ajeng Ayu yang memang ayu itu.
*
* *
2
SETELAH diperiksa lebih teliti lagi, ternyata di leher belakang Ajeng
Ayu terdapat suatu benda kecil yang menancap di situ. Benda tersebut segera
dicabut oleh Pendekar Mabuk.
"Jarum...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil memandangi benda
yang habis dicabut dari tengkuk Ajeng Ayu itu. Jarum tersebut tidak sepanjang
jarum biasanya. Jarum itu separo lebih pendek dari ukuran jarum jahit. Pada
bagian ujung tumpulnya terdapat sebutir manik-manik, sehingga jarum itu layak
disebut jarum pentul.
"Rupanya ada seseorang yang bermaksud ingin membunuh Ajeng Ayu
ini! Dia lepaskan jarum ini dari suatu tempat yang amat tersembunyi. Dan... oh,
kulit lukanya membiru? Lho... makin lama semakin lebar? Wah, tak salah lagi;
pasti jarum ini beracun. Racunnya cukup ganas, sehingga sekali tancap membuat
orang tak berdaya!"
Mata teduh itu segera memandang ke arah sekelilingnya. Ia mencari
seseorang yang melepaskan jarum beracun itu. Tiap jengkal tempat diperhatikan
dengan teliti, sampai pada gerakan angin halus pun dipertimbangkan sebagai
gerakan alami atau gerakan buatan seseorang.
"Yang jelas orang itu pasti mengincar kematian Ajeng Ayu. Bukan
mengincarku! Hmmm... tega nian orang itu, sehingga ia bermaksud membunuh gadis secantik
Ajeng ini?" gumam batin Suto sambil masih pandangi keadaan sekeliling.
Tapi ia masih belum menemukan tempat yang dicurigai sebagai persembunyian si
penyerang gelap itu.
"Sebaiknya Ajeng kupaksa meneguk tuakku supaya racun itu tidak
melenyapkan nyawanya!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak, sebagian ditelan sebagian lagi disimpan
dalam mulut. Kemudian dengan sedikit ragu dan clingak-clinguk lebih dulu, Suto akhirnya
menempelkan bibirnya ke mulut Ajeng Ayu.
Tuak dalam mulut disemburkan pelan-pelan ke mulut Ajeng Ayu, sehingga
sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan Ajeng Ayu.
Hal itu diulanginya berkali-kali, sampai akhirnya Suto berhasil
melakukannya karena tak kuat menahan debar-debar gairah yang ditimbulkan dari
perpaduan mulutnya dengan mulut Ajeng Ayu. Bahkan tadi Suto sempat mengecup
lembut bibir menggairahkan itu sebagai ulah kenakalan jiwa mudanya. Ulah itu
yang makin menimbulkan hasrat untuk
mengecup bagian lainnya.
Tapi hal itu tak sampai dilakukan oleh Pendekar Mabuk karena ia tetap
menjaga sikapnya sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak pengagum. Ia
tak mau citranya jatuh gara-gara menggumuli gadis yang sedang pingsan. Beberapa
saat kemudian, Ajeng Ayu mulai siuman.
Racun yang menghentikan jantungnya itu dapat dikalahkan oleh kekuatan
sakti tuak Suto yang telah masuk dalam tubuhnya. Bahkan luka di tengkuknya hanya
terasa gatal sedikit. Ajeng Ayu segera menggaruknya sebentar. Tapi bekas luka
membiru sudah tak ada. Bahkan bekas menancapnya jarum sudah hilang sama sekali.
"Ooh...? Kenapa aku duduk di tanah?!" gumamnya bernada kaget,
lalu segera memandang Suto yang sengaja sudah menjauh lima langkah dari Ajeng
Ayu.
Suto berdiri sambil salah satu pundaknya bersandar pada batang pohon
yang patah di pertengahannya akibat angin badai tadi.
"Apa yang telah kualami tadi?!" Ia ajukan tanya kepada
Pendekar Mabuk.
"Kau pingsan mendadak."
"Mengapa aku pingsan?"
"Karena... aku menyebutkan dirimu sebagai kekasihku."
"Hmmm...! Tak mungkin aku pingsan gara-gara ucapan gombalmu
itu!" Ajeng Ayu mencibir. "Pasti aku kau teluh biar aku tak sadar
diri, lalu pada saat aku tak sadar diri, kau menggagahiku! Begitu,
bukan?!" sentaknya masih bernada galak.
"Kalau aku mau menggagahimu, mengapa harus pada saat kau tak
sadar? Rugi sekali aku. Karena dengan begitu kau tidak memberikan balasan yang
menurutku pasti lebih berani daripada diriku."
"Jangan bicara sembarangan kau!" gertaknya sambil hampiri
Suto Sinting. Yang digertak hanya sunggingkan senyum kalem.
"Semula memang kusangka kau pingsan karena jawabanku tadi. Tapi
setelah kuteliti lagi, ternyata kau pingsan karena jarum ini...," sambil
Suto menunjukkan jarum bermanik merah bening itu.
Ajeng Ayu kerutkan dahi dan pandangi jarum itu dengan lebih dekat lagi.
Mulutnya sedikit terperangah terbuka untuk memperkuat rasa herannya terhadap
jarum tersebut.
"Jarum ini menancap di leher belakangmu."
"Tak mungkin...," kata Ajeng Ayu dengan diliputi kecemasan.
"Kalau tidak segera kucabut, kau akan kehilangan nyawa, karena
jarum ini beracun ganas," tambah Suto Sinting, tapi Ajeng Ayu
geleng-gelengkan kepala.
"Tak mungkin! Tak mungkin jarum ini menancap di tengkukku!"
"Mengapa kau bilang begitu?"
"Karena aku kenal pemilik jarum ini! Aku juga tahu, bahwa jarum
ini mempunyai racun ganas yang dinamakan racun 'Pemburu Jantung'. Senjata jarum
ini dilepaskan dari sebatang sumpit emas. Orang yang memiliki sumpit emas
adalah si Rambut Perak."
"Siapa si Rambut Perak itu?"
"Bibiku sendiri!" jawab Ajeng Ayu dengan suara setengah
berbisik, semakin mempertegang suasana.
Pendekar Mabuk terkejut dalam hati dan segera kerutkan dahi memandangi
Ajeng Ayu.
"Benarkah jarum ini senjata milik bibimu?"
"Aku tak akan keliru, karena aku tahu betul senjata ini. Aku
pernah belajar menyumpit dari bibiku, menggunakan sumpit emas dan jarum semacam
ini yang tidak beracun."
"Aneh. Jika benar jarum ini milik bibimu, lalu mengapa bibimu
bermaksud ingin membunuhmu?"
"Karena itulah aku tak yakin kalau tadi aku pingsan gara-gara
jarum ini!"
"Jadi kau menyangka kuapakan sehingga pingsan? Kau sangka aku
memperkosamu? Hmmm... maaf saja, ya?" Suto Sinting mencibir sambil
melengos. "Kalau mau begitu tak perlu pakai memperkosa segala. Banyak
wanita yang secara sukarela mau menyediakan dirinya sebagai pemuas gairahku.
Tapi aku tak mau lakukan, karena aku ingin persembahkan hati dan cinta yang
tulus serta kesetiaan kepada Dyah Sariningrum, calon istriku, itu."
"Hmmm...! Berlagak suci kau, ya?!" ejek Ajeng Ayu.
Tapi sebelum ia bicara, tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh
Suto Sinting. Ia ditarik hingga jatuh ke dalam pelukan Suto. Namun bertepatan
dengan hal itu, sebuah benda melesat cepat dan menancap pada pohon yang
digunakan Suto untuk bersandar itu.
Weess, jeeb...!
"Dasar brandal kampungan!"
Plook...!
Suto ditampar lagi oleh Ajeng Ayu. Gadis itu marah kepada Suto karena
menyangka akan diperkosa oleh Suto, setidaknya diperlakukan kurang ajar oleh si
tampan yang sebenarnya menggetarkan hatinya itu. Suto tiada membalas, hanya
menyeringai menahan panas di seluruh permukaan wajahnya, sebab tamparan itu
lebih keras dari tamparan sebelumnya.
Ajeng Ayu meronta lepas dari pelukan Suto. Ia masih tampak berang dan
menuding Suto dengan ucapkan kata-kata keras.
"Sekali lagi kau berani bertindak kurang ajar begitu padaku, tak
akan ada ampun lagi bagimu, Suto!"
"Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu, Ajeng!"
Suto agak ngotot. "Lihatlah di pohon...!" sambil Suto
menuding pohon tempatnya bersandar tadi.
Ajeng Ayu kaget dan kerutkan dahi. Ia melihat sebatang jarum pendek
menancap di pohon tersebut.
"Gila!" gumam Ajeng Ayu dengan tegang setelah tahu jarum yang
menancap di pohon sama dengan jarum yang masih dipegang Suto.
"Sekarang kau percaya bahwa aku tidak bermaksud...."
"Lekas pergi dari sini!" Ajeng Ayu menarik tangan Suto.
Pendekar tampan itu tersentak dan akhirnya ikuti langkah Ajeng Ayu yang
melarikan diri dari tempat tersebut.
Ajeng Ayu membawanya ke sebuah gua, tetapi bukan gua berbatu indah
warna-warni yang dicari Suto. Gua itu tak begitu dalam dan tidak mempunyai
lorong tembus ke mana-mana. Batu-batuannya berwarna putih semacam batuan kapur
dan tidak banyak. Rata-rata batu di situ setinggi betis, tidak ada yang lebih
tinggi seperti di Gua Mahkota Dewa.
Padahal Suto Sinting pergi ke perbatasan alam gaib dan alam nyata itu
untuk mencari Batu Tembus Jagat yang ada di Gua Mahkota Dewa. Ia membutuhkan
Batu Mahkota Jagat untuk melawan racun 'Asmara Kubur' yang diderita oleh Dewi
Kesepian. Apabila racun itu tak bisa dimusnahkan, maka kaum lelaki di dunia
akan semakin berkurang dan lama-lama bisa menjadi punah semuanya. Karena lelaki
mana pun yang berkencan dengan Dewi Kesepian akan terkena wabah penyakit berbahaya
dan merenggut jiwa, (Baca serial Pendekar Mabuk damal episode : "Dewi
Kesepian".
Gadis centil itu kini tampak diliputi kesedihan yang menegangkan.
Sebentar-sebentar matanya memandang ke arah pintu masuk gua, sepertinya takut
dikejar oleh si pemilik jarum beracun itu.
"Apakah ada kemungkinan bibimu akan mengejar kemari?"
"Bisa saja," jawab Ajeng Ayu dengan suara pelan.
Kecentilan dan lagak angkuhnya hilang sama sekali. Suto bukan saja
merasa penasaran tapi juga merasa kasihan kepada gadis yang tiba-tiba berubah
murung itu.
"Jangan takut, kalau dia kemari akan kuhadapi secara baik-baik.
Barangkali kau punya salah padanya."
"Tidak. Aku tidak pernah bikin masalah terhadap Bibi Rambut Perak.
Bahkan aku selalu bersikap patuh kepadanya."
"Lalu apa alasannya
menyerangmu dengan jarum beracun itu?"
"Itu yang tidak kuketahui. Tapi jika Bibi sudah melepaskan jarum
'Hantu Merah' berarti dia benar-benar murka dan berniat membunuh. Jarum itu
dilepaskan kepada orang yang tak bisa diberi ampun lagi olehnya."
Pendekar Mabuk diam sesaat, mencoba mencari penyebab murkanya si Rambut
Perak. Tetapi karena ia belum pernah kenal dan belum pernah melihat si Rambut
Perak, maka ia tidak menemukan apa-apa dalam renungannya. Ia hanya bisa berkata
dengan nada pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Tetapi mengapa tak kulihat seorang pun di sekitar tempat
tadi?"
"Bibi Rambut Perak pasti ada di kejauhan. Ia meniup sumpitnya bisa
dari jarak yang cukup jauh. Mungkin dia berada di bukit sebelah timur
tadi."
"Oh, jauh sekali kalau begitu?!" gumam Suto merasa heran
karena bukit yang dimaksud Ajeng Ayu sempat dilihatnya sebelum badai datang.
Bukit itu berjarak sangat jauh, lebih dari dua ratus langkah jauhnya.
"Jika benar jarum itu dilepaskan dari bukit tersebut, tentunya si
Rambut Perak bukan orang sembarangan. Ilmunya cukup tinggi, hingga dapat
meniupkan jarum dalam sumpitnya menggunakan napas tenaga dalamnya," pikir
Suto saat merenung sebentar.
Tiba-tiba Ajeng Ayu berkata dengan nada geram.
"Akan kuadukan kepada guruku, biar Bibi dihajar oleh guruku!"
"Bibimu kenal dengan gurumu?"
"Ya, tapi mereka kurang akrab," jawab Ajeng Ayu dengan wajah
cemberut.
Pendekar Mabuk ingin ajukan tanya lagi, tetapi tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh sebuah suara yang datang dari luar gua.
"Ajeng Ayu! Keluar kau!"
"Oooh...?!" Ajeng Ayu membelalakkan mata dan menjadi tegang.
"Itu suara Bibi Rambut Perak?!"
Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek. "Akan kutemui sendiri
dia!"
"Ja... jangan! Kau bisa dibunuhnya jika ia sedang murka begitu.
Dia ingin bertemu denganku, jika kau ikut campur dia tak akan segan-segan
membunuhmu. Tapi barangkali jika kutemui dan kuajak bicara baik-baik, kemarahannya
bisa reda."
"Baik, temuilah dia. Aku hanya akan mendampingimu."
Suara si Rambut Perak terdengar lagi lebih keras dari yang tadi.
"Ajeng Ayu...! Keluar kau dari gua, atau kuhancurkan gua itu biar
kau mati terkubur hidup-hidup!"
Akhirnya gadis itu keluar dari dalam gua dan Pendekar Mabuk mendampingi
dari belakangnya. Mereka melihat seorang perempuan berjubah tanpa lengan warna
ungu dengan kutang dan kain penutup pinggulnya yang sebatas betis itu berwarna
kuning.
Perempuan itu berambut panjang sepunggung berwarna perak. Rambut itu
dibiarkan lepas bergerak tanpa pengikat apa pun. Sebuah benda panjang sebesar
jari kelingking tergenggam di tangan kirinya. Benda itulah yang dinamakan
sumpit untuk meluncurkan jarum beracun dengan cara meniupkannya. Biasanya
sumpit terbuat dari bambu kecil, tapi sumpit yang ada di tangan si Rambut Perak
itu terbuat dari logam berlapis emas berukir, panjangnya sekitar satu lengan.
"Sudah kuduga kau ingin berbuat mesum dengan pemuda itu!"
kata si Rambut Perak dengan ketus dan berwajah judes.
"Kami baru kenal, Bibi. Kami tidak bermaksud ingin berbuat tak
senonoh," ujar Ajeng Ayu dengan wajah sedih.
"Kalau tak ingin berbuat mesum, lalu mengapa kalian berada dalam
gua itu berduaan?!"
Suto menyahut, "Karena Ajeng takut kau bunuh!"
"Hei, siapa kau? Aku tak bertanya padamu!" Ia menuding dengan
sumpitnya.
"Tapi kau melibatkan aku dalam tuduhanmu!" jawab Sulo dengan
tegas walau di bibirnya sunggingkan senyum tipis berkesan kalem.
Perempuan bertubuh sintal dan mempunyai dada lebih besar dari dua bukit
di dada Ajeng Ayu itu segera berjalan ke samping dengan mata memandang tajam ke
arah Suto dan Ajeng Ayu. Rupanya perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu menyembunyikan rasa kagumnya melihat ketampanan dan kegagahan
Pendekar Mabuk, sehingga kini matanya lebih terarah kepada Suto Sinting.
Ia berjalan balik ke tempat semula sambil berkata kepada Ajeng Ayu.
"Ajeng Ayu, apakah kau tak tahu bahwa pemuda yang bersamamu itu
adalah manusia yang hidup di permukaan bumi?!"
"Eh, hmmm...," Ajeng Ayu memandang Suto sebentar, kemudian
memandang bibinya kembali. "Aku tidak tahu Bi. Aku dan dia benar-benar
baru saja bertemu dan saling kenal."
"Bohong! Kulihat dari kejauhan kau telah cukup intim
dengannya."
"Tap... tapi aku tak tahu kalau dia manusia dari permukaan bumi,
Bi!"
"Hmmm...!" Rambut Perak mendengus. Matanya yang agak besar
dan berkesan judes-judes cantik itu menatap ke wajah Suto. Yang ditatap justru
menenggak tuaknya dengan cuek, seakan tak peduli tatapan mata si Rambut Perak
itu.
"Tinggalkan dia, Ajeng! Dan kalau kulihat kau berhubungan lagi
dengan manusia semacam dia, tak ada ampun lagi bagimu. Aku akan tega
membunuhmu, Ajeng!"
"Tapi... tapi dia telah menolongku dan...."
"Tinggalkan dia!" bentak Rambut Perak dengan mata melebar.
Pendekar Mabuk dipandangi Ajeng Ayu dengan wajah sedih. Setelah menarik
napas, Suto pun berkata dengan lembut.
"Turutilah apa kata bibimu tadi. Pergilah dan jangan temui aku
lagi."
Ajeng Ayu tidak menjawab, namun dari sorot matanya ia tampak keberatan
jika harus meninggalkan Suto. Untuk sesaat ia bimbang mengambil keputusan. Sementara
itu, sang bibi pun berkata lagi dengan nada ju-desnya.
"Apakah kau lupa bahwa keluargamu musnah karena dibantai habis
oleh manusia permukaan bumi?! Pamanmu, suamiku, juga binasa oleh manusia dari permukaan
bumi yang bernama Siluman Tujuh Nyawa itu!"
Suto Sinting terkejut mendengar nama itu disebutkan. Siluman Tujuh
Nyawa adalah tokoh paling sesat yang menjadi musuh utamanya. Kini Suto tahu apa
sebabnya Ajeng Ayu dilarang keras untuk berhubungan dengan manusia dari
permukaan bumi.
Rupanya gadis dari keluarga masyarakat dasar bumi itu mempunyai dendam terhadap
Siluman Tujuh Nyawa, sehingga si Rambut Perak merasa lebih baik membunuh
keponakannya sendiri daripada melihat sang keponakan berhubungan dengan manusia
dari permukaan bumi.
"Ajeng, pulang sekarang juga kau!" perintahnya dengan tegas.
"Bibi, aku merasa Suto bukan orang yang pantas kita musuhi, Bi.
Dia tidak seperti Siluman Tujuh Nyawa itu."
"Sama saja! Bukankah pada mulanya Siluman Tujuh Nyawa itu bersikap
baik kepada keluarga kita? Tapi pada akhirnya dia tega membantai habis keluarga
kita. Untung kau dan aku saat itu sedang menemui gurumu, sehingga kita selamat
dari pembantaian itu!"
Rambut Perak dekati Ajeng Ayu dan menatap kian tajam.
"Jangan tergoda oleh ketampanan manusia permukaan bumi. Ketampanan
itu adalah racun yang lebih ganas dari jarum 'Hantu Merah'-ku. Aku lebih baik
kehilangan kau daripada harus melihatmu berhubungan dengan manusia seperti
dia!" sambil menuding tegas-tegas ke arah Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas menahan kesabaran.
"Kurasa tidak semua orang yang hidup di permukaan bumi bertabiat
seperti Siluman Tujuh Nyawa!"
"Jangan banyak bicara kau!" bentak si Rambut Perak dengan
sikap sangat bermusuhan.
"Kurasa kau perlu disadarkan, Rambut Perak! Bukan hanya keluargamu
yang bencidan memusuhi Siluman Tujuh Nyawa, tapi banyak orang di permukaan bumi
yang memusuhinya. Bahkan aku sendiri berkelana karena memburu Siluman Tujuh
Nyawa. Aku harus bias memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai maskawinku
melamar calon istriku di Pulau Serindu."
Mendengar nama Pulau Serindu, mata si Rambut Perak yang semula pandangi
Ajeng Ayu, sekarang beralih ke wajah Suto. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan
hatinya mendengar nama Pulau Serindu disebutkan.
"Seandainya sekarang Siluman Tujuh Nyawa atau si Durmala Sanca itu
ada di sini, aku akan memenggal kepalanya atau menghancurkannya sama sekali
untuk kubawa ke Pulau Serindu."
"Jangan berlagak kenal dengan orang Pulau Serindu!" geram si
Rambut Perak. "Aku tahu siapa penguasa di Pulau Serindu!"
"Aku pun tahu," sahut Suto. "Calon istriku memang
penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Ia bernama Dyah Sariningrum
atau berjuluk Gusti Mahkota Sejati! Dia putri kedua dari Ratu Kartika Wangi,
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib! Ia mempunyai seorang nenek
yang bernama Betari Ayu dan sekarang menjadi seorang petapa di Gunung Kundalini!"
Rambut Perak dan Ajeng Ayu sama-sama terperanjat mendengar penuturan
Suto. Mereka sama-sama memandang Suto dan undur beberapa langkah jauhi Suto.
Wajah mereka tampak tegang dan lidah mereka bagaikan kaku, tak bisa untuk
mengucapkan sepatah kata pun.
"Jika kau memang berilmu tinggi, tentunya kau bisa melihat noda
merah kecil di keningku ini, Rambut Perak!"
"Ooh...?!" Rambut Perak tersentak kaget, sepertinya ia baru
menyadari bahwa Suto mempunyai noda merah samar-samar di keningnya. Noda merah
itu sangat kecil, sebesar biji jagung dan hanya bisa dilihat oleh orang berilmu
tinggi.
"Kkkau... kau... seorang manggala yudha-nya Gusti Prabu Kartika
Wangi?!"
"Ya, aku memang panglimanya Ibu Ratu Kartika Wangi!" tegas
Suto Sinting dengan sikap berwibawa.
Secara tiba-tiba saja Rambut Perak berlutut di hadapan Suto Sinting dan
tundukkan kepala.
"Ampunilah aku, Gusti Manggala...! Ampunilah aku yang bodoh
ini!"
Ajeng Ayu bingung melihat bibinya menjadi berlutut penuh hormat dan
rasa takut di depan pemuda tampan itu. Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba
tangannya ditarik turun oleh sang bibi.
"Beri hormat kepadanya! Dia panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi!
Aku baru sadar dan melihat tanda merah di keningnya itu!" bisik Rambut
Perak kepada keponakannya. Ajeng Ayu pun segera berlutut dan tundukkan kepala
penuh rasa hormat dan takut.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis melihat ketakutan bibi dan
sang keponakannya itu. Kegalakan dan kejudesan si Rambut Perak tiba-tiba lenyap
begitu saja, bahkan perempuan tua berhidung mancung dan berkulit kuning itu tak
berani mengangkat wajahnya untuk pandangi Suto seketus tadi. Tetapi Ajeng Ayu masih
berusaha melirik Suto sesekali. Agaknya gadis itu masih belum yakin bahwa Suto
adalah panglima perangnya negeri Puri Gerbang Surgawi yang kondang kesaktiannya
di alam gaib itu.
"Bangkitlah, tak perlu bersujud begitu padaku. Semasa aku di luar
wilayah Puri Gerbang Surgawi, anggaplah aku sebagai seorang sahabat, bukan
sebagai panglima atau manggala yudha."
"Tap... tapi... tapi aku tadi sudah bersikap tak patut di depanmu,
Gusti Manggala. Sikapku yang kurang ajar tadi layak kau beri hukuman di sini,
ketimbang aku harus menghadap Gusti Ratu Kartika Wangi untuk mempertanggungjawabkan
sikapku tadi!" ucap si Rambut Perak dengan tetap tundukkan kepala.
"Bangunlah. Sebuah ketidaktahuan wajar menimbulkan kesalahan. Yang
paling berbahaya adalah seseorang yang melanggar kesalahan atas dasar kesengajaan.
Berdirilah, Rambut Perak dan Ajeng Ayu...."
Akhirnya sikap lemah lembutnya Suto itu menenangkan hati si Rambut Perak
yang sudah sangat ketakutan itu. Sebab ia tahu persis siapa orang-orang yang
ada di dalam lingkungan negeri Puri Gerbang Surgawi baik yang ada di alam gaib
maupun yang ada di alam nyata, di Pulau Serindu itu.
Ajeng Ayu jadi ikut-ikutan bersikap sopan dan tak beranlipetentang-petenteng
lagi di depan Suto. Jika bibinya yang berilmu tinggi saja takut kepada Suto, apalagi
dirinya. Gadis itu berdiri sedikit membelakangi bibinya dengan kaki rapat dan
kepala sedikit tertunduk.
"Hukumlah aku, Gusti Manggala."
"Tidak. Aku tidak akan menghukum orang yang tidak tahu bahwa
dirinya melakukan kesalahan. Aku hanya akan meluruskan jalan pikirannya itu
agar kelak tidak melakukan kesalahan lagi," jawab Suto bersikap bijak.
"Jika begitu, katakanlah apa yang harus kulakukan untuk menebus
kesalahan dan sebagai ganti hukumanku itu, Gusti Manggala."
Pendekar Mabuk menarik napas menyimpan kebanggaan tersendiri atas sikap
Rambut Perak dan Ajeng Ayu itu. Beberapa kejap kemudian ia mulai bicara dengan
suaranya yang lembut dan sengaja menampakkan keseriusannya.
"Aku ke sini mencari Gua Mahkota Dewa."
"Baik, akan kami antar ke gua itu, Gusti Manggala," kata
Rambut Perak.
"Biar aku saja yang mengantarnya, Bi!"
"Ajeng Ayu, kau tidak boleh me...."
"Biar dia saja yang mengantarku, Rambut Perak!" sahut Suto
membuat Rambut Perak diam seketika dan akhirnya hanya bisa anggukkan kepala
penuh hormat.
"Baik, Ajeng Ayu akan memandu Gusti Manggala ke gua
tersebut!" Kemudian ia berkata kepada Ajeng Ayu.
"Hati-hati dan jangan sembrono lagi kepadanya!"
"Baik, Bibi!" jawab Ajeng Ayu dengan berseri-seri.
*
* *
3
TERNYATA pengaruh noda merah kecil di kening Suto cukup besar. Hanya
dengan memperhatikan noda merah di kening seseorang yang sedang berang bias tunduk
seketika dan menjadi hormat kepada Pendekar Mabuk. Alangkah beruntungnya murid
si Gila Tuak itu mendapatkan tanda penghargaan dari Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya.
"Kalau perlu semua tubuhku diberi tanda merah saja, biar aku
tambah hebat," gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil cekikikan sendiri. Tetapi
sebenarnya di dalam hati gadis centil itu masih belum percaya dengan jabatan
Suto Sinting sebagai panglima negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib.
Sebab menurutnya, penampilan seorang panglima negeri yang kondang
kesaktiannya itu tidak sesederhana Suto. Menurut Ajeng Ayu, setidaknya seorang
panglima mengenakan baju kebesaran, selempang kepanglimaan, pedang
keprajuritan, dan sebagainya. Bukan hanya celana putih kusam, baju coklat tanpa
lengan, ikat pinggang merah, membawa bumbung tuak, ooh... rasa-rasanya Ajeng
Ayu lebih suka menganggap Suto Sinting sebagai gelandangan yang berwajah
tampan. Maka tak heran jika sikap gadis centil itu masih seenaknya saja. Rasa
hormat dan takutnya hilang sejak kepergian si Rambut Perak.
"Pintar juga kau mengarang cerita hingga bibiku jadi
ketakutan," ujarnya sambil melangkah menelusuri hutan cemara merah.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, tak mau ngotot dengan pengakuannya
tadi.
"Mau percaya atau tidak terserah...," ujar Suto membatin.
"Aku tadi hampir tertawa melihat bibiku langsung berlutut
kepadamu. Kalau tak takut dihajar Bibi, aku pasti sudah tertawa
keras-keras."
Pendekar Mabuk tersenyum dengan suara tawa pendek mirip gumam. Hatinya
pun berkata, "Tentu saja dia beranggapan pengakuanku tadi bohong, karena
dia tidak melihat noda merah di keningku."
"Kau memang sangat beruntung, Suto. Pengetahuanmu luas, sehingga
bisa menyebutkan nama-nama keluarga Gusti Ratu Kartika Wangi yang membuat bibiku
percaya dengan pengakuanmu. Hih, hi, hi, hi....Baru sekarang bibiku bertekuk
lutut di depan seorang pembohong sepertimu! Biar tahu rasa dia! Dia piker semua
orang yang hidup di permukaan bumi selalu sama dengan Siluman Tujuh Nyawa?
Hmmm... kalau kepergok yang punya otak bulus begini mau apa dia?"
Gadis itu ngoceh sendiri sambil sesekali melirik Suto dalam langkahnya
yang sengaja merapat di samping kanan Suto Sinting. Sedangkan Pendekar Mabuk
hanya bisa tertawa geli dalam hatinya melihat kebodohan yang terpampang lebar
tanpa disadari oleh pelakunya.
"Tapi kalau kau bertemu dengan guruku, kau tak akan bisa berdusta
seperti tadi. Guruku sangat cerdas dan sulit ditipu!"
"Pasti gurumu orang yang berilmu tinggi."
"O, tentu! Ia punya kesaktian dapat membuat dirinya semuda aku dan
cantik, ia juga punya jurus-jurus hebat dan dahsyat! Contohnya angin badai
tadi."
"Jadi, angin badai yang mengamuk tadi adalah ulah gurumu?"
"Bukan. Itu ulahku sendiri," Ajeng Ayu tersenyum nyengir.
"Aku baru tamat mempelajari jurus 'Selaksa Badai', dan kucoba di daerah
ini agar tidak menimbulkan korban nyawa. Ternyata sungguh dahsyat dan aku tidak
bisa mengendalikan diri, akhirnya aku terlempar sendiri sampai di
tempatmu."
"Konyol!" gerutu Suto setelah tahu angin badai yang mengamuk
itu ulah si centil Ajeng Ayu sendiri. Ajeng Ayu hanya tertawa cekikikan, sikapnya
lebih akrab dan lebih ramah ketimbang tadi.
"Kalau Guru ada di sekitar sini, aku pasti kena marah, mungkin
dihajarnya sendiri, karena aku tak bias kendalikan diri."
"Lawan saja kalau dia menghajarmu."
"Uuuh, lawan...!" Ajeng Ayu bersungut-sungut.
"Siapa yang berani melawan Guru? Bisa remuk jadi tanah.
Tamparannya saja bikin memar pipi. Bibi saja takut kepada Guru. Tapi dia orang
yang bijaksana dan penuh pengertian kepada muridnya, selama sang murid patuh
kepadanya."
Ajeng Ayu tertawa pendek, "Aku tadi termasuk tidak patuh, karena
belum diizinkan mencoba jurus itu, tapi aku nekat sudah mencobanya. O, ya....
Kalau suatu saat kau bertemu dengan guruku, kumohon jangan sekali-kali
menggunakan akal bulusmu seperti tadi. Kau bisa malu sendiri."
Sebenarnya Suto ingin ajukan pertanyaan lagi, tapi langkahnya segera
terhenti begitu melihat sebuah gua bermulut tak seberapa lebar. Bentuk gua yang
ada di sebuah tebing tak begitu tinggi itu mengingatkan Suto pada suatu
peristiwa yang membuatnya terdampar di gua tersebut, karena gua yang ada di
depannya itulah yang dinamakan Gua Mahkota Dewa. Suto pernah berada di dalam
gua itu bersama Nirwana Tria, cucu si Dewa Tanah yang dihormati oleh masyarakat
Dasar Bumi.
Dalam ingatan Suto, wajah cantik Nirwana Tria pun membayang semakin
jelas, membuat senyumnya tersungging dalam rona keindahan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
"Mengapa kau tersenyum sendiri begitu?" tegur Ajeng Ayu.
"Aku ingat seseorang," jawab Suto sambil pandangi gua itu.
"Dulu aku pernah berada di gua itu dalam keadaan pingsan dan hampir-hampir
tak bisa keluar karena pintu gua diberi jebakan sinar yang bisa membakar
tubuhku jika nekat kusentuh."
"Kapan kau pernah ke sini? Tiga purnama yang lalu?"
"Tidak. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, sekitar empat purnama
yang lalu."
"Kau datang ke sini untuk keperluan yang sama?"
"Tidak. Dulu aku termasuk terdampar di sini. Tapi sekarang aku
sengaja datang ke sini."
"Sengaja?! Oh, kalau begitu ilmumu cukup hebat juga, ya? Bisa
masuk ke alam perbatasan dari alam nyata."
"Yaah... soal hebat, lumayan-lumayan saja. Kalau tidak karena
suatu keperluan penting aku juga tidak memaksakan diri untuk datang ke
sini."
"Apa yang ingin kau lakukan di dalam gua itu nanti?"
"Aku mencari sebuah batu untuk obat."
"Batu...? Batu untuk obat? Kok aneh? Batu kok dipakai untuk
obat?"
"Batu itu jika dimasukkan ke dalam air tuak di bumbung ini akan
larut dan tuaknya bisa menjadi obat untuk sembuhkan seseorang yang terkena
racun 'Asmara Kubur'. Karena menurut guruku, tak ada obat lain yang bisa
tawarkan racun 'Asmara Kubur' selain batu itu yang larut dalam tuakku."
"Aneh," gumam Ajeng Ayu. "Tapi biarlah... Itu urusanmu,
tugasku hanya memandumu sampai di Gua Mahkota Dewa. Dan sekarang kita sudah
sampai di depan Gua Mahkota Dewa."
"Kau mau pulang?"
"Apakah kau mengizinkan aku ikut terus denganmu?"
"Apakah kau tidak keberatan jika kuizinkan ikut terus
denganku?"
"Apakah kau sanggup memenuhi keinginanku?"
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm...," gadis itu tersenyum-senyum lucu dengan matanya
melirik indah menggemaskan. "Tidak. Aku tidak ada keinginan apa-apa. Aku
cukup senang jika bisa menolongmu, karena kau sudah selamatkan nyawaku dari
racun 'Hantu Merah' tadi. Kalau tidak ada kau, aku sudah mati sebelum Bibi tiba
di tempatku."
"Kalau begitu, ikutlah sampai ke dalam gua." Suto Sinting
melangkah lebih dulu, Ajeng Ayu tertawa girang tanpa suara, kemudian ia
bergegas menyusul langkah Suto. Ia tampak ceria sekali.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti karena mendengar suara gemuruh
yang menggetarkan alam sekitarnya. Suara itu mirip suara seekor singa, namun
juga mirip suara seekor beruang. Suara itu bernada besar dan menggema sampai ke
mana-mana. Bebatuan kecil berjatuhan dari dinding tebing, daun-daun cemara pun
berguguran, tanah yang mereka pijak terasa ingin merekah retak.
Ajeng Ayu ketakutan sekali, ia segera menggenggam lengan Suto Sinting
dengan wajah tegang dan pucat. Napas gadis itu menjadi sesak dan lidahnya
bagaikan terbuat dari kayu, sulit dipakai untuk bicara.
"Suara apa itu?" tanya Suto Sinting dengan nada berbisik, ia
pun tampak menegang. Bumbung tuaknya segera diambil dari pundak dan talinya
dililitkan ke tangan kanan.
"Ajeng, suara apa itu?" bisik Suto lagi setelah lama tak
mendapat jawaban dari Ajeng Ayu.
"It... itu... itu suara Liongsa."
"Siapa itu Liongsa?"
"Pelarian dari negeri Siluman. Beberapa... beberapa waktu ini,
masyarakat Dasar Bumi dihebohkan dengan adanya pelarian dari negeri Siluman
yang bernama Liongsa. Ia dikejar-kejar oleh... oleh para penjaga Gerbang Siluman
yang...."
"Gerbang Siluman?! Oh, maksudmu Liongsa adalah buronannya Eyang
Putri Batari?!"
"Benar!" sentak Ajeng Ayu dengan bersemangat.
"Kau... kau mengetahui nama penguasa Gerbang Siluman itu
rupanya."
"Ya, aku memang tahu tentang beliau," jawab Suto sederhana
dan tak mau membeberkan kisahnya ketika mencari Tuak Dewata, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gerbang Siluman").
"Para penjaga penjara para Siluman itu memburu Liongsa ke Dasar
Bumi, tapi kami tidak ada yang pernah bertemu dengan Liongsa. Dan ternyata...
ternyata dia bersembunyi di Gua Mahkota Dewa. Ooh... mengerikan sekali!"
gadis itu nyaris menggigil jika tidak berpegangan pada Suto Sinting.
Ia menambahkan kata, "Sebaiknya urungkan saja niatmu mencari batu
itu! Kapan-kapan saja."
"Tidak bisa! Aku harus dapatkan batu itu sekarang juga."
"Tapi gua itu sedang dipakai bersembunyi Liongsa. Bagaimana
mungkin kau bisa masuk ke sana, Suto!"
"Akan kucoba mengalahkannya."
"Oh, jangan, jangan...! Kau tak akan mampu mengalahkannya. Menurut
kabar yang kudengar, Liongsa itu tangguh dan ganas. Masyarakat kami tak ada
yang berani membantu para pengejar dari Gerbang Siluman, kecuali guruku dan
kakeknya. Tapi toh mereka juga tidak berhasil menemukan Liongsa. Atau... atau sebaiknya
kupanggilkan guruku dulu, biar guruku yang mengusir Liongsa dari gua
itu?!"
"Tak perlu. Kau tetap saja di sini. Aku akan masuk ke dalam gua
itu sendiri," ujar Suto menampakkan keberaniannya. Ia kelihatan tenang dan
penuh percaya diri, tetapi Ajeng Ayu merasa kurang percaya dengan kemampuan
Suto, sehingga ia menahan Suto agar tak jadi masuk ke gua itu.
"Jangan nekat, Suto! Berbahaya sekali kalau kau melawan Liongsa!
Aku tak ingin melihatmu mati dicabik-cabik Liongsa, Suto!"
"Aku tak akan mati. Percayalah!" sambil Suto menepuk-nepuk
tangan Ajeng Ayu yang menggenggam lengannya.
Ketika Ajeng Ayu ingin keluarkan bujukan lagi, tiba-tiba suara tersebut
terdengar kembali.
"Qrrrrr...!"
Buumm, buumm, bummm...!
Tanah dan alam sekitarnya bergetar lebih hebat, karena kali ini suara
itu disertai dengan sentakan-sentakan yang mengguncang alam sekelilingnya. Kaki
Liongsa bagai disentak-sentakkan ke tanah atau entah ke mana saja, yang jelas
menghadirkan guncangan yang menyeramkan.
Ajeng Ayu masih tetap berpegangan lengan Suto. Kali ini tubuhnya
nyata-nyata gemetar, sementara Suto Sinting masih tetap tenang dan matanya
memandang lurus ke arah gua, sama seperti Ajeng Ayu.
Lalu secara tiba-tiba mata mereka menjadi silau ketika dari mulut gua
itu keluar sinar merah terang menyilaukan bagai disemburkan dari dalam.
Wuuusss...!
Blaaab...! Sinar itu lenyap, alam menjadi sepi. Seakan tak pernah ada
getaran apa pun. Keadaan itu dibiarkan sampai beberapa saat oleh Suto dan Ajeng
Ayu.
"Apakah dia sudah pergi?" bisik Suto.
"Entahlah. Tapi... menurut firasatku ia sedang mengintai kita,
Suto. Ak... aku... aku jadi takut sekali."
"Bersembunyilah di balik tiga batang pohon yang berjejer itu. Aku
akan memeriksa gua tersebut."
"Tap... tapi, Suto... tapi kalau dia masih ada kaubisa binasa
sebelum mencapai...."
"Gggrrrrraaowww...!!"
Ajeng Ayu melompat sambil menjerit ketakutan, karena tiba-tiba suara
menyeramkan itu ada di belakangnya. Ketika mereka berpaling ke belakang, ternyata
di sana sudah berdiri sesosok makhluk yang mengerikan.
Wuuut, wuuut...!
Suto Sinting menyambar tubuh Ajeng Ayu yang melompat ke arah lain.
Tubuh itu segera dibawa menjauh dari makhluk aneh yang menyeramkan itu.
"Iit... itu... Itu dia.... Liongsa... ooh, aku takut sekali
berhadapan dengannya, Suto. Aku takut sekaliiii...!"
"Sssstt...! Tenanglah, Ajeng! Kalau kau merasa takut dia akan
semakin berani. Sebaliknya kalau kita merasa berani dia akan menjadi
takut!" Suto ingin bergerak maju tapi ditahan oleh tangan Ajeng Ayu.
"Kita lari saja, Suto! Lariii...! Kita panggil guruku saja,
Suto!" Ajeng Ayu setengah merengek karena begitu takutnya.
"Biarkan aku mencoba melawannya satu jurus saja. Kalau satu jurus
aku tak mampu mengenai tubuhnya, larilah ke arah timur dan aku akan menyusulmu secepatnya,
lalu kita menghadap gurumu," bujuk Suto Sinting, akhirnya gadis centil
yang kini gemetaran itu melepaskan genggaman tangannya pada lengan Suto.
Keberanian pemuda itu semakin bertambah besar karena ia harus bertarung
di depan gadis cantik.
Liongsa adalah makhluk berkepala singa. Kepalanya besar, rambut di
kepalanya lebat, tapi badannya panjang seperti naga. Ia mempunyai delapan kaki
berkuku tajam semua. Badan besar dan kaki besar berkuku tajam itu ternyata
mempunyai ekor sebesar lengan, panjangnya satu depa lebih, dan ekor itu berduri
runcing-runcing!
"Gggrrooowww...!!" Liongsa membuka mulutnya, menampakkan
giginya yang runcing tajam bersama taringnya yang mirip mata pedang. Lebarnya
mulut dapat dipakai untuk menelan dua orang sekaligus.
Sungguh menyeramkan sekali jika ia sedang menggerang membuka mulut dengan
pandangan mata besar yang merah itu seakan membekukan darah tiap makhluk yang
menjadi lawannya.
Tetapi Pendekar Mabuk tampak tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Ia
justru maju pelan-pelan sambil menggenggam tali bumbung tuaknya. Liongsa juga bergerak
maju seakan menyambut keberanian Suto dengan liar dan ganas.
"Grrrooow...!"
Wuuus...! Api menyembur dari mulut makhluk berkepala singa dan bertubuh
seperti naga itu. Api tersebut menyambar tubuh Suto Sinting. Namun dengan satu
sentakkan kaki ke tanah, tubuh Pendekar Mabuk melambung ke atas melebihi tinggi
singa aneh itu.
Semburan api lolos dari tubuh Suto, tapi binatang itu mengangkat kedua
kaki belakangnya bagai ingin bersalto, dan tiba-tiba ekor berduri itu menyabet
tubuh Suto Sinting saat melambung di udara. Wuuut...!
Jruuuk...!
"Aaahk...!" Suto Sinting memekik sambil terpental. Sabetan
itu kenai punggung Pendekar Mabuk. Punggung itu bukan hanya robek di bagian
baju saja, melainkan juga kulit punggung menjadi koyak dan mengucurkan darah
segar. Ajeng Ayu pejamkan mata dengan tangis terpendam ketika melihat Suto
jatuh tersabet ekor Liongsa. Ia semakin tak berani memandang Suto Sinting
ketika binatang aneh itu melompat dan kedua kaki depannya yang menginjak perut
Suto.
Buuhk...!
"Heeehhk...!" Suto Sinting mendelik dengan mata terbeliak.
Perutnya bagai dibebani dua pilar yang mempunyai paku-paku tajam. Kuku kedua
kaki itu menancap di perut Suto dan merobekkan ulu hati serta bagian dekat
lambung.
Kepala Liongsa merendah dengan mulut terbuka lebar ingin mencaplok
Pendekar Mabuk. Tetapi dengan mengerahkan sisa tenaganya, Suto berhasil menghantamkan
bumbung bambu tempat tuak itu ke salah satu kaki Liongsa yang menginjak perut.
Prrak...!
"Grrraaaoow...!" Binatang itu tersentak ke atas dengan
mengangkat keempat kakinya. Saat itulah Suto punya kesempatan untuk berguling
ke samping lalu cepat berdiri dengan perut berlumuran darah.
Liongsa mengerang menyeramkan. Kepalanya meliuk menyambar tangan Suto
Sinting. Tetapi dengan cepat Suto menggunakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor
limbung ke kiri, tahu-tahu bumbung tuaknya menyodok mulut Liongsa yang lebar
itu.
Wuuut, prrroook...!
"Ggrrraaoow...!" Liongsa bagai memekik, tubuhnya limbung ke
samping. Ia jatuh, namun cepat berguling dan bangkit lagi dengan kedelapan kakinya.
Sementara mulut bagian bawah tampak hancur bercucuran darah hitam akibat
sodokan bambu dari jurus 'Mabuk Lebur Gunung' tadi.
Suto masih menggeloyor limbung ke sana-sini memainkan jurus mabuknya.
Ia bertahan mati-matian untuk tidak menjadi lemah karena luka di bagian depan
dan belakang itu.
"Celaka! Lukaku ini semakin melemahkan tenaga. Aku harus
menjauhinya untuk sementara!" pikir Suto, kemudian ia berplik-plak ke
belakang, jungkir balik ke belakang dengan cepat. Dalam waktu singkat sudah berada
agak jauh dari Liongsa.
Plak, plak, plak, plak...!
Dengan cepat bumbung tuak dibuka lalu ditenggak. Glek, glek, glek...!
Cukup tiga teguk tuak, Suto yakin dalam waktu singkat lukanya akan menutup
kembali dan rasa sakitnya akan hilang lenyap.
"Graaoooww...!!" Liongsa menyerang lagi dengan satu lompatan
menerkam ganas. Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' yang
memancarkan sinar kuning patah-patah dari kedua jarinya. Clap, clap, clap,
clap...!
Sinar itu kenai kedua kaki depan Liongsa. Blaaarr...!
Kedua kaki itu menjadi hitam seketika dan keropos tak bisa dipakai
berdiri lagi. Tetapi gerakan Liongsa masih tetap ganas dengan keenam kakinya.
Ia bergerak meliuk dengan cepat dan kedua kaki belakangnya menyambar dada Suto
Sinting. Craaas...!
"Aauh...!" Suto memekik karena dadanya robek bagai disabet
empat pedang tajam. Ia terpental dan jatuh bersandar pada sebatang pohon.
"Grrrr...!" Liongsa berbalik arah, kini wajahnya menghadap
Suto, mulutnya segera dibuka lebar-lebar sebelum ia lakukan lompatan yang akan
menelan tubuh Suto Sinting.
"Kalau aku tak segera bangkit, matilah aku ditelan makhluk aneh
itu!" pikir Suto sambil menyeringai menahan rasa sakit. Ia tak sempat
meneguk tuaknya lagi, karena Liongsa segera lakukan lompatan seperti yang diperkirakan
Suto.
Wuuut...!
Suto menyentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya segera melambung ke
atas. Weesss...! Kakinya sempat menjejak ke pohon yang ada di belakangnya.
Dess...! Maka tubuhnya pun meluncur maju melalui atas kepala Liongsa. Wuuut...!
Jleeg...! Suto jatuh terduduk di atas tengkuk Liongsa, lalu bumbung
tuaknya dihantamkan kuat-kuat ke batok kepala besar tersebut.
Beet, traaak...! Beeet, kraaak...!
"Grrraaaaaaaow...! Graaaaow...!"
Kaki belakang Liongsa menghentak ke atas, Suto Sinting terlempar
berjungkir balik melalui atas kepala Liongsa. Ia jatuh terpuruk setelah
menabrak sebatang pohon. Brruuss...!
"Aaaou...!" Suto mengerang, sekujur tubuhnya terasa sakit.
Tulang-tulangnya bagaikan remuk semua.
Sementara itu, kepala Liongsa juga berlumuran darah karena retak
dihantam bumbung tuak dua kali. Tapi agaknya makhluk aneh itu termasuk kuat dan
semakin terluka kian ganas.
Menduga keadaan Suto Sinting tak mampu bergerak lagi, Ajeng Ayu mulai
tumbuh rasa nekatnya. Ia tak ingin Suto mati ditelan Liongsa di depan matanya.
Maka dengan cepat ia menyambar sebatang kayu dan melompat menyerang Liongsa
dari samping. Wuuut...!
Namun belum sampai lompatannya mencapai badan Liongsa yang panjang,
mata lebar Liongsa melihat gerakan Ajeng Ayu. Badan bagian belakang segera dikibaskan
ke samping, maka ekor berduri itu pun menghantam lambung Ajeng Ayu.
Wuuut...! Jruuuk...!
"Aaaaa...!" gadis itu memekik panjang sambil terlempar
membentur pohon juga. Bruuuk...!
"Oouuuhhk...!" Ia mengerang sambil berusaha untuk bangkit,
tapi luka parah telah dideritanya di bagian lambung. Darah mengucur deras dari
lambung yang koyak lebar dan mengerikan itu.
Melihat keadaan seperti itu, semangat Suto Sinting timbul kembali. Ia
bergegas bangkit walau dengan sempoyongan. Ia ingin menyambar Ajeng Ayu dan membawanya
menjauh.
Namun tiba-tiba seberkas sinar seperti pisau berwarna merah menyala
melesat dari salah satu sisi. Clap, clap, clap...! Slaaaps...!
Blaaarrr...!
Sinar yang mirip pisau itu kenai telinga Liongsa yang langsung meledak
dengan memancarkan sinar merah lebar ke berbagai penjuru. Sinar merah itu
sangat terang dan menyilaukan, sehingga Suto Sinting yang terpental oleh
gelombang ledakan tadi segera menelungkupkan tubuh dan wajahnya karena tak
tahan memandang silaunya sinar merah tersebut. Hal yang dilakukan pula oleh
Ajeng Ayu, yang merapatkan wajahnya dengan batang pohon agar tak terkenai sinar
merah yang menyilaukan itu.
Ledakan itu juga mengguncangkan alam sekitarnya, tapi tidak sampai
menumbangkan pohon-pohon. Ketika getaran itu berhenti, Suto Sinting segera
bangkit merangkak mendekati Ajeng Ayu. Tetapi ia sempat bingung memandang
tempat di mana Liongsa tadi berada. Ternyata makhluk aneh itu sudah tak ada.
Yang tertinggal di tempat itu hanya kerangka berukuran kecil seperti kerangka
seekor kucing tapi mempunyai enam kaki.
"Gila! Dia menjadi kerangka sekecil itu?! Hmmm...siapa orang yang
telah menyerangnya dengan sinar merah seperti pisau tadi?!"
Pandangan mata Suto segera mencari orang lain di sekitarnya. Ternyata
ia segera menemukan seraut wajah cantik yang berdiri tak jauh dari Ajeng Ayu.
Suto terkejut dengan mata melebar, sedangkan Ajeng Ayu pun segera meratap
sambil mengulurkan tangannya kepada orang tersebut.
"Guruuuu... aaahk...!"
Orang yang dipanggil 'Guru' oleh Ajeng Ayu itu tak lain adalah Nirwana
Tria, si cantik cucu dari Dewa Tanah itu. Suto sama sekali tak menduga bahwa
guru Ajeng Ayu ternyata adalah Nirwana Tria yang masih muda dan cantik sekali
itu. Dulu Suto sempat terpikat oleh kecantikan tersebut, dan Nirwana Tria
sendiri merasa senang jika dicium oleh pemuda tampan itu.
Sepertinya mereka sama-sama menyimpan kenangan indah yang sukar
dilupakan sampai saat itu juga. Uluran tangan Ajeng Ayu tidak segera disambut
oleh Nirwana Tria yang mengenakan jubah putih berhias benang emas tanpa lengan
itu. Si cantik berlesung pipit segera hampiri Suto Sinting dan menolongnya
untuk bangkit.
"Suto, kau terluka parah?!"
"Guru! Aku di sini!" seru Ajeng Ayu dengan hati dongkol. Tapi
sang Guru tidak peduiikan seruan itu. Ia segera mencium pipi Suto dengan
ungkapan rasa rindu yang mendalam.
"Guru, yang jadi muridmu aku, Guru! Bukan dia!"
"Suto, kau... kau...."
"Tak apa. Aku ada tuak, bisa segera pulih kembali. Tolonglah
muridmu itu dulu. Jangan kecewakan dia!"
"Oh, ya... hampir saja aku lupa kalau dia murid bandelku!"
Tuak sakti si Pendekar Mabuk akhirnya menutup segala luka dan
melenyapkan semua rasa sakit. Ajeng Ayu tampak segar, bagai tak pernah terluka
sedikit pun, demikian pula halnya dengan si Pendekar Mabuk. Nirwana Tria hentikan
omelannya kepada sang murid yang bandel dan sudah berani mencoba jurus badainya
itu.
"Aku mendengar deru badai yang aneh, dan aku yakin pasti Ajeng Ayu
menggunakan jurus badai yang belum waktunya dicoba itu. Maka kukejar arah suara
deru itu, sampai akhirnya kudengar lagi suara aneh yang menggetarkan pepohonan.
Aku tak tahu suara apa itu, tapi kukejar terus sampai kutemukan kau sedang terancam
maut oleh makhluk menjijikkan itu."
"Kalau Guru tak datang, Suto pasti mati ditelan Liongsa."
"Belum tentu," sanggah Nirwana Tria sambil pandangi muridnya.
"Suto adalah seorang pendekar. Ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang
kumiliki. Percuma saja dia menjadi seorang Pendekar Mabuk kalau melawan siluman
seperti Liongsa harus kalah. Kau belum melihat jurus-jurus mautnya,
Ajeng!"
"Bbe... benarkah ilmunya lebih tinggi dari Guru sendiri?"
Ajeng Ayu tampak sangsi.
"Dia seorang manggala yudha dari Puri Gerbang Surgawi. Tentu saja
ilmunya lebih tinggi dariku."
"Oh, ja... jadi dia memang panglimanya Gusti Ratu Kartika
Wangi?!"
"Kau tampak sangsi, Ajeng. Sebaiknya ingat-ingatlah ceritaku
beberapa waktu yang lalu ketika aku dan Pendekar Mabuk kalahkan kekuatan si
Ratu Maksiat itu."
Ajeng Ayu tertegun bengong, matanya memandang Suto tak berkedip,
sementara yang dipandang hanya tersenyum-senyum saja.
"Apakah kau kembali ke sini karena rindu padaku, Suto?" ucap
Nirwana Tria dengan lembut.
"Selain rindu juga karena ada keperluan penting, yaitu mengambil
sebuah batu dari Gua Mahkota Dewa untuk sembuhkan seorang sahabat yang terkena
racun 'Asmara Kubur' yang berbahaya itu."
"Kurasa kau bebas mengambilnya sekarang. Siluman buronan itu sudah
tak akan mengganggumu lagi. Tapi aku harus segera menyerahkan kerangkanya
kepada Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman."
"Sampaikan salam hormatku kepada beliau jika kau menghadap
nanti."
"Akan kusampaikan sesuai pesanmu," ujar Nirwana Tria sambil
sunggingkan senyum yang mendebarkan hati Suto itu.
"Guru, bolehkan aku ikut Suto mengobati sahabatnya itu?"
tanya Ajeng Ayu dengan nada manja seperti terhadap kakaknya sendiri.
"Kau harus ikut aku menghadap Eyang Putri Batari, Ajeng."
"Oh, Guru... tolonglah izinkan aku ikut dengan Suto," rengek
Ajeng Ayu.
Nirwana Tria menarik napas dan menimbang-nimbang keputusannya dengan
melirik Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya angkat bahu, seakan segala keputusan diserahkan
kepada Nirwana Tria sendiri.
*
* *
4
DALAM serial Pendekar Mabuk episode : "Dewi Kesepian"
dikisahkan bahwa Yundawuni, murid murtad Pendeta Amor terkena racun 'Asmara
Kubur' saat lakukan pertarungan dengan Nyai Ronggeng Iblis.
Racun itu akan membusukkan sel-sel darah merah dan jantung Yundawuni,
napasnya akan menyebarkan wabah penyakit yang membahayakan bagi siapa saja
dalam jarak sepuluh langkah di sekeliling Yundawuni.
Racun itu terlepas bersama kutukan keramat Nyai Ronggeng Iblis dan
tidak ada obat yang bisa sembuhkan racun tersebut kecuali kutukan itu ditarik
kembali oleh Nyai Ronggeng Iblis. Padahal tokoh sesat itu telah dibunuh Suto
Sinting saat Pendekar Mabuk membebaskan pengaruh sihir yang membuat seorang gadis
kehilangan raganya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis
Tanpa Raga").
Yundawuni yang masuk aliran putih dan tidak diakui oleh pendeta sesat
itu terpaksa membutuhkan darah kemesraan seorang lelaki setiap malamnya. Ia
harus bercumbu dan mencapai puncak kemesraannya bersama seorang lelaki siapa
saja. Karena hanya darah kemesraan seorang lelaki itulah yang membuat racun itu
tidak sempat membusukkan darah dan jantung Yundawuni.
Akibatnya, setiap malam Yundawuni selalu bergairah dan membutuhkan
seorang lelaki. Padahal bagi lelaki mana pun yang telah bercumbu dengannya
lambat laun akan terserang wabah penyakit mengerikan, yaitu pembekuan pada
jalur darah dan penyumbatan pada jalur pernapasannya. Cepat atau lambat lelaki
itu akan kehilangan nyawanya setelah terserang penyakit itu.
Pendekar Mabuk menghadap gurunya; si Gila Tuak dalam rangka mencari
tahu obat untuk melawan racun 'Asmara Kubur' itu. Menurut si Rupa Setan,
perempuan yang menjadi penguasa Kuil Tembus Jagat di Pulau Katong, tak ada obat
untuk melawan racun 'Asmara Kubur' kecuali kematian bagi si penderitanya.
Karena itu, Pendekar Mabuk ditugaskan oleh sang Guru untuk sembunyikan
Yundawuni agar terhindar dari murka para tokoh sakti yang menganggap Yundawuni
sebagai bencana bagi kaum lelaki. Padahal Yundawuni sendiri akan mati jika
dalam dua malam tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki.
Gila Tuak menemukan memerangi racun 'Asmara Kubur', yaitu sebuah batu
ajaib yang dinamakan Batu Tembus Jagat. Batu itu akan tumbuh lagi di tempatnya
semula jika sudah larut di tempat lain. Batu itu berbentuk bulat agak panjang,
menyerupai belimbing sayur, warnanya kuning kunyit. Cara menggunakannya harus
dilarutkan dalam tuak sakti si Pendekar Mabuk.
Yundawuni harus disembunyikan sampai Suto dapatkan Batu Tembus Jagat
itu. Tetapi ketika itu Yundawuni yang segera mengubah namanya menjadi Dewi
Kesepian itu telah pergi dan bersembunyi bersama Temon, pemuda yang masih lugu
dan polos namun telah menjadi pemuas gairah si Dewi Kesepian. Temon sendiri juga
akan menderita wabah yang membahayakan jiwanya.
Tetapi Pendekar Mabuk lebih mengutamakan memburu Batu Tembus Jagat
lebih dulu daripada mencari Yundawuni dan Temon. Sebab untuk wabah yang
diderita kaum lelaki yang pernah berkencan dengan Dewi Kesepian, Suto telah
temukan obatnya, yaitu tuaknya sendiri dicampur dengan air kelapa gading.
Ramuan itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Darah Prabu, murid Resi
Badranaya dan Kadal Ginting, si pelayan Resi Pakar Pantun. Mereka menjadi sehat
dan terhindar dari wabah tersebut setelah meminum tuak Suto yang dicampur
dengan air kelapa gading. Tapi ramuan itu tidak berlaku bagi Dewi Kesepian.
Dengan perasaan kagum, Pendekar Mabuk mulai memasuki gua tersebut.
Sebenarnya ia pernah masuk ke gua itu pada saat diselamatkan oleh Nirwana Tria
dari ancaman maut Ratu Maksiat. Tetapi rasa kagum Suto masih saja tak bisa
dihilangkan, karena gua itu memang mempunyai keindahan tersendiri.
Batu-batu yang ada di dalam gua tersebut mempunyai aneka warna.
Bentuknya pun tampak aneh dan punya susunan seni keindahan tersendiri. Ada yang
berbentuk seperti buah rambutan tapi berwarna hijau bening, ada yang berbentuk
seperti bocah menggeliat bagai baru bangun tidur, ada juga yang berbentuk
seperti mangkuk penuh bakso tapi berwarna biru bintik-bintik putih.
Di antara batu-batu indah itulah, Suto Sinting harus menemukan Batu
Tembus Jagat. Ia mencari ke sana-sini memakan waktu sangat lama, tapi batu
kuning kunyit berbentuk seperti belimbing berukuran satu kelingking, ternyata
tidak ditemukan oleh Suto.
"Jangan-jangan batu itu sudah ada yang mengambilnya? Atau mungkin
sudah telanjur ditelan Siluman Liongsa, karena disangka belimbing sayur?! Wah,
celaka betul kalau sampai batu itu sudah ditelan oleh Liongsa. Berarti aku
harus...," kecamuk batin Suto Sinting terhenti karena matanya segera
memandang kearah sebuah batu hijau berbentuk seperti mulut naga sedang
tengadah.
Di dalam lekuk batu yang mirip mulut naga itu terdapat batu kecil
seukuran kelingking dan berwarna kuning kunyit. Batu itu memancarkan cahaya tipis
di sekelilingnya.
"Nah, itu dia! Uuh... hampir saja aku patah semangat
mencarinya."
Pendekar Mabuk akhirnya dekati batu itu dan mengambilnya dengan sangat
hati-hati sekali. Wuuut...!
Begitu batu ada di tangan Suto, tiba-tiba gua itu bergetar seperti
dilanda gempa. Pendekar Mabuk menjadi tegang. Namun ia segera berseru bagai
bicara kepada penunggu gua tersebut.
"Maaf, kuambil Batu Tembus Jagat ini demi menyelamatkan nyawa
orang banyak. Kumohon relakan batu ini menjadi obat bagi sesamaku."
Setelah berkata begitu, getaran di dalam gua pun berhenti dan suasana
menjadi tenang kembali. Suto Sinting tersenyum lega dan berkata sambil
memandang langit-langit gua yang indah, "Terima kasih atas kerelaanmu, Gua
yang cantik!"
Kini batu yang dicari telah didapat oleh Pendekar Mabuk. Ia terpaksa
keluar dari alam perbatasan dan memasuki alam nyata, yaitu alam kehidupannya
sendiri.
Sementara itu, Ajeng Ayu terpaksa mengikuti gurunya menghadap Eyang
Putri Batari, yaitu nenek dari Dyah Sariningrum yang menjadi penguasa Gerbang
Siluman.
Batu kuning kunyit yang tingginya satu kelingking itu telah dimasukkan
ke dalam bumbung tuak dan larut menjadi satu dengan tuak tersebut. Tuak Suto
menjadi berwarna kekuning-kuningan. Namun untuk diteguknya sendiri masih terasa
enak, seakan tidak mengalami perubahan apa pun, kecuali perubahan pada
kesegaran badannya. Ia merasa lebih segar dan lebih bersemangat setelah meneguk
tuak yang telah bercampur larutan Batu Tembus Jagat.
"Sekarang aku harus bisa segera temukan Dewi Kesepian.
Mudah-mudahan Temon yang bersamanya belum tewas akibat wabah dari hasil
cumbuannyadengan Dewi Kesepian," kata Suto di dalam hatinya.
Dewi Kesepian bersembunyi. Di mana letak persembunyiannya, Suto sudah
dapat menduga. Karena dulu ia pernah mengintip Dewi Kesepian sedang bercumbu
dengan Temon yang masih hijau dalam hal bercinta di sebuah gua. Gua itulah yang
menjadi sasaran Pendekar Mabuk sekarang. Untuk mencapai gua itu, Suto Sinting
terpaksa gunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak menyamai
cahaya.
Sayangnya, di perjalanan ia terpaksa hentikan langkah karena mendengar
suara dentuman. Dentuman itu diperkirakan terjadi karena pertarungan tenaga
dalam tingkat tinggi yang tak diketahui siapa pelakunya. Rasa penasaran Suto membuat
ia terpaksa mengarah ke suara dentuman itu untuk mengetahui siapa yang
bertarung menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi itu.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Dalam sekejap saja Suto sudah sampai di sebuah pantai berpasir putih.
Hamparan pasir putih itu ditaburi bebatuan karang yang saling bertonjolan
meninggi hingga menyerupai hutan karang. Bahkan ada batu karang yang berbentuk
seperti pohon, tingginya sama dengan tinggi sebatang pohon kelapa. Tak heran
jika masyarakat di sekitar pantai itu menamakannya: Pantai Hutan Karang.
Ternyata pertarungan yang terjadi di Pantai Hutan Karang itu dilakukan
oleh seorang perempuan berwajah tua, keriput, hitam, matanya cekung ke dalam, hidungnya
pesek dan nyaris berongga mirip lubang belut, bibirnya pecah-pecah serta
giginya mancung ke depan bertumpuk-tumpuk tak beraturan. Tetapi perempuan yang
berambut panjang sepunggung dengan ikat kepala berwarna merah bintik-bintik
kuning itu mempunyai bentuk tubuh yang sungguh elok.
Pinggulnya meliuk sebegitu menawannya, dadanya montok namun tampak
padat dan kencang. Kulit tubuhnya kuning langsat, mengenakan jubah hijau tak dikancingkan
bagian depannya, dan kutang serta celana komprangnya berwarna kuning. Perempuan
berwajah tua menyeramkan itu tak lain adalah si Rupa Setan, tokoh berilmu tinggi
dari aliran putih yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Partai Petapa Sakti
bersama saudara seperguruannya yang bernama Tanuyasa alias si Omong Cekak. Rupa
Setan sendiri mempunyai nama asli Anjardani, tetapi orang jarang mengetahui
nama asli itu kecuali para tokoh tua seangkatan dengannya.
Pendekar Mabuk terkejut melihat pertarungan itu. Bukan keberadaan Rupa
Setan yang membuatnya terkejut, tetapi lawan si Rupa Setan itulah yang amat
mengejutkan Suto Sinting. Orang yang bertarung melawan Rupa Setan mengenakan
kerudung kain hitam dari kepala sampai kaki.
Wajahnya putih, bibirnya biru, pandangan matanya dingin, nyaris tanpa
ekspresi apapun. Orang itu membawa tongkat berujung pedang lengkung menyerupa
paruh burung. Tongkat itu dinamakan Pusaka El Maut, dan hanya dia yang memiliki
pusaka itu, sehingga bisa dijadikan ciri khas bahwa orang yang membawa pusaka
El Maut tak ada lain kecuali si Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.
"Si keparat itu ternyata ada di sini! Hmmm...! Barangkali
sekaranglah saat yang tepat untuk memenggal kepalanya dengan jurus 'Kapak
Songo' yang belum pernah kupakai selama ini!" geram Pendekar Mabuk sambil
matanya memandang ganas kepala musuh utamanya itu.
"Tetapi, sebaiknya kulihat dulu apakah si Rupa Setan mampu
tandingi kesaktian Siluman Tujuh Nyawa atau terpaksa lari tinggalkan lawannya.
Salah-salah jika aku langsung ikut campur akan menyinggung perasaan si Rupa
Setan," pikir Suto dalam pertimbangannya.
Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh sesat yang amat kejam dan tak mengenal
belas kasihan kepada siapa pun. Bahkan anaknya sendiri tega dibunuh, demikian
juga saudara kembarnya dan ayahnya sendiri. Durmala Sanca adalah manusia
terkutuk yang dimusuhi oleh pihak aliran putih maupun aliran hitam, sekaligus
ditakuti oleh kalangan para tokoh kelas menengah ke bawah.
Tetapi agaknya si Rupa Setan tak punya rasa takut hadapi Siluman Tujuh
Nyawa. Walaupun ia sudah berkali-kali terpental dan terbanting, namun ia masih
tetap bangkit dan menahan luka dalamnya, lalu menyerang si tokoh sesat itu lagi.
Darah yang mengalir dari sudut bibir si Rupa Setan tidak membuatnya jera.
Luka koyak di bagian ujung pundaknya tidak digubris. Si Rupa Setan
lakukan lompatan cepat bagai sinar putih melesat di atas kepala Siluman Tujuh
Nyawa. Weees...! Senjata kipas yang biasanya terselip di pinggang kali ini
digunakan untuk merobek kepala Siluman Tujuh Nyawa dalam gerakan cepat
tersebut.
Namun tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bagaikan menghilang. Laaap...!
Tahu-tahu ia muncul di depan si Rupa Setan begitu perempuan berwajah seram itu menapakkan
kakinya ke bumi. Serta-merta pusaka tongkat El Maut segera disabetkan ke perut
si Rupa Setan dalam gerakan yang tak bisa dilihat mata manusia biasa.
Weees...! Breeett...!
"Aahk...!" si Rupa Setan terpekik pendek dengan suara tertahan.
Tubuhnya terlonjak ke belakang. Ia terlambat menghindari sabetan senjata El
Maut itu, sehingga robeklah perut si Rupa Setan dengan darah menyembur deras ke
mana-mana.
Brruk...! Rupa Setan jatuh terkapar dalam keadaan menggeliat menahan
rasa sakit. Agaknya perempuan itu berusaha mengerahkan kekuatan terakhirnya
untuk memberi serangan balasan. Ia masih bisa terduduk dengan kaki melonjor,
dan kipasnya segera dilemparkan ke arah Siluman Tujuh Nyawa.
Wuuus...!
Kipas itu berputar cepat dengan memercikkan bunga-bunga api. Kipas itu
melesat ke arah leher Siluman Tujuh Nyawa. Tetapi tongkat El Maut segera menghantamnya
dalam satu kelebatan cepat.
Wuuut, blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi sekitar mereka. Bebatuan
karang yang menjulang tinggi mengalami keretakan, bahkan sebagian ada yang
runtuh bagian ujungnya.
Ternyata kipas itu tidak hancur, hanya terpental menjauh sesaat,
kemudian kipas itu berkelebat menyerang lagi dalam keadaan telah menjadi dua
buah.
Siluman Tujuh Nyawa tak sempat hampiri si Rupa Setan untuk mengakhiri
masa hidup perempuan itu, karena dua kipas yang bergerak memutar dengan memercikkan
bunga api itu membuatnya terpaksa harus menangkis dengan tebasan ganda dari
tongkat El Mautnya.
Wes, wes, blegar, blaaarr...!
Ledakan besar terjadi kembali. Kedua kipas terlempar beberapa jarak
dalam keadaan tetap melayang. Namun sekarang kipas itu telah berubah menjadi
empat buah yang memutar seperti piringan dan menyerang Siluman Tujuh Nyawa
lagi.
Blegaar, blaar, blaarrr, jegaaarrr...!
Empat kipas maut berhasil dihalau dengan sabetan cepat tongkat berparuh
panjang itu. Namun dari empat kipas yang terpental, ketika menyerang ke arah
Siluman Tujuh Nyawa lagi telah berubah menjadi delapan buah.
Masing-masing memutar cepat bagai piringan bercahaya merah dan lakukan
serangan serempak. Dari delapan buah kipas yang berhasil ditangkis menggunakan
tongkat El Maut, akhirnya berubah menjadi enam belas kipas. Siluman Tujuh Nyawa
dibuat sibuk dengan kipas-kipas aneh itu. Setiap satu kipas tersentuh benda
bisa berubah menjadi dua. Jika enam belas kipas ditangkis semua oleh Siluman
Tujuh Nyawa, maka akan muncul tiga puluh dua kipas yang menyerangnya secara
serempak.
Sementara tokoh sesat terkejam itu sibuk hindari kipas-kipas berbahaya,
si Rupa Setan terkapar tanpa daya lagi. Ia nyaris tak bisa bergerak, hanya bisa
duduk bersandar pohon dengan perut koyak besar mengerikan sekali. Namun ia
masih bisa kendalikan kipasnya dengan kekuatan batin.
"Celaka! Dia akan kehabisan darah, setidaknya lukanya itu pasti
beracun dan membahayakan jiwanya!" pikir Suto Sinting dari
persembunyiannya. Kemudian dengan menggunakan 'Gerak Siluman' ia berkelebat menyambar
si Rupa Setan.
Zlaaaapp...! Wuuus...! Zlaaap...!
"Rupa Setan...! Bertahanlah, minum tuakku! Lekas minum tuakku!"
Suto Sinting sempat panik melihat mata si Rupa Setan mulai sayu dan mengecil.
Sebentar lagi mata itu akan terbeliak dan menjadi putih. Napas perempuan itu
mulai lemah, seakan ia sudah tak mampu lagi untuk bernapas. Tetapi mulut yang
ternganga berusaha menghirup napas dengan susah payah itu dijadikan peluang
bagi Suto Sinting untuk menuangkan tuaknya pelan-pelan.
Sekalipun tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali, namun tuak Suto
telah berhasil masuk ke tenggorokan si Rupa Setan. Sedikit demi sedikit tuak
bisa ditelan, akibatnya pernapasan si Rupa Setan mulai lancer kembali.
Suto segera perhatikan Siluman Tujuh Nyawa yang diserang oleh puluhan
kipas bercahaya merah. Bunyi ledakan terjadi berulang-ulang hingga membuat
suasana di sekitar Pantai Hutan Karang itu bergemuruh tiada henti. Batu-batu
karang sudah banyak yang tumbang dan hancur berantakan akibat gelombang ledakan
itu.
Sayang kipas-kipas itu akhirnya lenyap sendiri dalam bentuk
bayang-bayang, karena kekuatan batin si Rupa Setan sudah tidak bisa mengendalikan
lagi. Kini kipas itu tinggal satu yang aslinya, dan jatuh di tanah sebagai
kipas biasa.
"Hmmm...! Ia mulai tidak hadapi kipas-kipas itu! Sebaiknya
kuhampiri dan kuserang dari depan!" pikir Suto, kemudian dengan cepat ia
keluar dari persembunyiannya dan meninggalkan si Rupa Setan menunggu
kesembuhannya.
Claap, clap...!
Blaar, blaar...!
Sinar hijau yang melesat dua kali dari tangan Suto adalah sinar dari
jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang diarahkan kepada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi
secara tak sengaja, gerakan tongkat El Maut yang ingin menyingkirkan
kipas-kipas itu telah mengenai kedua sinar itu secara berturut-turut hingga
timbulkan ledakan makin dahsyat lagi.
"Durmala Sanca, kini hadapilah aku dan kita selesaikan urusan kita
secara jantan!" seru Pendekar Mabuk dengan suara lantang.
"Iblis bau kencur muncul juga!" geramnya tanpa ada perubahan
wajah sedikit pun, ia tetap tampak dingin dan datar.
"Belum waktunya kuhabiskan tenagaku untuk melawannya! Ada saatnya
sendiri untuk merajang habis raganya, setelah jurus maut yang baru kupelajari
dapat kukuasai!"
Melihat Suto Sinting muncul di pantai tersebut, Siluman Tujuh Nyawa
segera sentakkan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya melesat tinggi bagai ingin menembus
langit. Wuuuttt...! Akibatnya kipas-kipas merah itu saling berbenturan dengan
sendirinya dan menciptakan ledakan, yang mengguncangkan sebagian dataran di
sekitar Pantai Hutan Karang itu.
Laaap...! Siluman Tujuh Nyawa sendiri segera tak terlihat lagi. Ia
segera memasuki alam gaib sebagai tempat pelariannya jika berhadapan dengan
Pendekar Mabuk.
"Pengecut kaauuu...!" teriak Suto. Jegaar, jegaar, jegaaarr,
jegaaar...!! Suto melepaskan pukulan tenaga dalam ke langit dengan arah
berlainan. Pukulan itu adalah pelampiasan rasa jengkel dan kecewanya karena
Siluman Tujuh Nyawa tidak mau menghadapi pertarungan dengannya.
Bukan hal sulit bagi Suto untuk mengejar sampai di alam gaib. Tapi ia
segera ingat punya urusan dengan Dewi Kesepian, sehingga niatnya untuk memburu sampai
ke alam gaib terpaksa ditunda. Sementara itu, ia segera melihat si Rupa Setan
telah muncul dari balik bebatuan karang tempatnya dibaringkan tadi.
Rupa Setan melangkah dengan sempurna dan tak terlihat habis terluka
parah sedikit pun. Perempuan itu segera hampiri kipasnya yang kini menjadi satu
buah lagi dan tergeletak di pantai tanpa cahaya. Setelah memungut kipasnya, ia
melangkah dekati Suto Sintingyang memperhatikan dengan senyum tipis yang agak kaku
karena ia habis mengalami kekecewaan terhadap kaburnya sang musuh utama itu.
"Mengapa kau selamatkan nyawaku?"
"Siapa tahu suatu saat kau ganti menyelamatkan nyawaku,"
jawab Suto Sinting seenaknya. "Mengapa kau terlibat pertarungan dengan
manusia terkutuk itu?"
"Dia ingin membalas dendam atas kekalahannya beberapa tahun yang
lalu," jawab si Rupa Setan.
"Beberapa tahun yang lalu, aku pernah membunuh enam belas anak
buahnya di atas sebuah kapal. Waktu itu aku masih muda dan lebih gesit dari
sekarang."
"Lebih cantik juga tentunya."
"Hmmm...!" si Rupa Setan hanya tertawa satu sentakan tanpa
sunggingkan senyum sedikit pun. Ia memandang ke arah lautan yang ombaknya kini
sudah tenang, tidak seganas tadi sewaktu terjadi ledakan berkali-kali. Sambung
si Rupa Setan lagi,
"Kalau kau tak muncul, mungkin hari ini adalah hari terakhir
bagiku menikmati kehidupan di dunia. Racun yang ada pada senjatanya sangat
ganas, tak mampu kulawan dengan hawa saktiku. Untung kau datang dan segera
memberiku minum tuak saktimu yang sungguh ampuh itu, sehingga... rasa-rasanya
aku tak perlu malu-malu untuk ucapkan terima kasih kepadamu, Suto."
"Aku pun mengucapkan terima kasih padamu."
"Untuk hal apa?"
"Yaah... mungkin suatu saat kau membantuku dan aku lupa
mengucapkan terima kasih, maka sekarang aku lebih dulu mengucapkan terima kasih
padamu, Rupa Setan!"
"Kau memang pemuda aneh yang sinting," gumam Rupa Setan
sambil melirik sekejap lalu membuang pandangannya ke lautan lagi.
Dengan memandang ke arah cakrawala ia bertanya, "Bagaimana dengan
usahamu mencari Batu Tembus Jagat itu?"
"Berkat doa restumu... aku berhasil."
"Padahal aku tidak berdoa untukmu."
"Kalau begitu, yang kudengar doa dari guruku dan orang lain. Aku
salah duga!" kata Suto sambil melebarkan senyum. Si Rupa Setan masih tetap
serius bagai manusia tak bisa tersenyum.
"Kurasa sekarang waktunya aku mencari Dewi Kesepian. Apakah kau
melihatnya berkeliaran di suatu tempat?"
"Aku tak pernah melihatnya sejak habis kau kalahkan tempo
hari."
"Kalau begitu aku harus mencarinya menuruti jalan firasatku."
"Akan kubantu menemukannya!" ujar si Rupa Setan, kemudian ia
mencabut kipasnya yang sudah diselipkan di pinggang.
Kipas itu segera dibentangkan. Beert...! Lalu dikibaskan ke kanan,
kiri, depan beberapa kali sambil matanya terpejam dan bersuara seperti orang menggumam.
"Dewi Kesepian, Dewi Kesepian, Dewi Kesepian,huummmm...."
Seet...! Tiba-tiba kipas itu berhenti dalam keadaan terbuka. Lalu warna
hijau itu memancarkan cahaya bagai air yang menggenang. Dari cahaya air yang
menggenang itu tampak seraut wajah berukuran kecil milik Dewi Kesepian alias
Yundawuni.
Diam-diam Suto Sinting merasa kagum terhadap ilmu yang dipakai si Rupa
Setan itu. Dengan bantuan ilmu yang tak diketahui Suto itu, ia dapat melihat
Dewi Kesepian sedang berlari-lari di daerah perbukitan.
Tampaknya Dewi Kesepian berlari-lari di antara sela-sela pepohonan. Tak
jelas apakah ia lari karena dikejar orang atau mengejar orang, yang jelas
gerakan larinya tampak lincah dan terburu-buru. Tetapi daerah perbukitan itu
sangat dikenal oleh Suto Sinting.
"O, dia ada di perbukitan itu. Pasti arahnya ke gua yang kuduga
sejak semula."
"Apakah kau pernah ke tempat itu?!"
"Pernah, sewaktu aku mengikuti jejaknya dan akhirnya mengintip dia
sedang bercumbu dengan Temon."
"Kau memang punya kegemaran mengintip, Suto!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa pelan. Kipas itu dikibaskan dan bayangan
tersebut lenyap.
"Kurasa sewaktu kupergoki kau berada di reruntuhan gubuknya
Yundawuni, kau juga bermaksud mau mengintip percumbuan mereka lagi."
"Ah, dugaanmu terlalu mengada-ada."
"Buktinya kulihat wajahmu kecewa sekali ketika mengetahui gubuk
dan hutan sekitarnya telah kubakar habis. Lalu, kau mengejarku karena kau telah
curiga padaku sebagai orang yang membakar gubuknya Dewi Kesepian."
"Aku kecewa terhadap tindakanmu yang gegabah, Rupa Setan! Dan...
dan kurasa tak ada waktu lagi untuk membicarakan soal itu. Aku harus segera
menemui Yundawuni dan memberinya obat ini supaya ia tidak menyebarkan wabah
melalui kemesraannya."
Zlaaap...! Suto Sinting segera bergegas pergi, tetapi Rupa Setan pun
mengikutinya. Agaknya Rupa Setan mempunyai jurus langkah cepat sendiri yang hamper
menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk, sehingga mereka
bisa bergerak cepat seiring sejalan.
Namun tiba-tiba Suto mengurangi kecepatan geraknya, bahkan si Rupa
Setan sempat berkata dalam suara pelan.
"Berhentilah dulu. Aku mendengar suara orang merintih
kesakitan."
Langkah kaki mereka berbenti total. Pendengaran mereka dipertajam dengan
memiringkan kepala mengarahkan telinga ke suara lirih yang terdengar samar-samar.
"Ya, kurasa memang ada orang merintih di arah selatan sana!"
ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah selatan.
"Akan kutengok sebentar siapa orang itu. Barangkali seseorang yang
membutuhkan bantuan kita."
"Mengapa harus kau yang menengoknya? Mengapa bukan kita
bersama-sama saja?"
"Jangan berdebat hal seperti itu. Ikuti saja langkahku kalau kau
mau ikut menengoknya!' setelah berkata begitu, si Rupa Setan berkelebat ke
selatan dan Pendekar Mabuk pun menyusulnya.
*
* *
5
SEORANG gadis cantik berusia sekitar dua puluh tiga tahun terkapar
berlumur darah pada bagian dadanya. Gadis berambut pendek berponi depan yang mengenakan
jubah tanpa lengan warna biru tua itu menderita luka parah yang telah
menyebarkan bau busuk. Namun napasnya masih tersisa dan bisa dipakai untuk
merintih dengan sangat menyedihkan.
Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat gadis itu yang tak lain adalah
si Tenda Biru, bekas murid mendiang Nyai Garang Sayu yang kemudian berpindah aliran
putih dan menjadi murid mendiang petapa sakti yang bernama Eyang Tapak Lintang,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Tenda Biru...?!" seru Suto Sinting yang segera berkelebat
menghampiri gadis itu, sementara si Rupa Setan diam terpaku di tempatnya sambil
menutup hidung karena tak tahan bau busuk dari luka di dada Tenda Biru.
Melihat panjangnya luka, Rupa Setan yakin bahwa gadis itu telah terluka
oleh pedang seorang lawan yang mengandung racun 'Bangkai Peri'. Siapa pun yang terkena
racun 'Bangkai Peri' lukanya akan segera membusuk dan mengeluarkan belatung
dalam waktu singkat.
Sambil menahan napas, Suto mencoba bicara dengan Tenda Biru yang
wajahnya telah pucat pasi yang nyaris menjadi mayat itu.
"Tenda Biru... siapa yang melukaimu separah ini?! Siapa, Tenda
Biru?!"
Tapi mulut gadis itu bagai tak bisa untuk ucapkan kata selain keluarkan
rintihan yang lirih. Suto segera mengambil bumbung tuaknya yang menyilang di punggung,
kemudian memberi minum Tenda Biru dengan tuak itu. Tuak yang sudah bercampur
dengan larutan Batu Tembus Jagat itu mempercepat proses penyembuhan luka,
sehingga dalam beberapa kejap saja bau bangkai itu sudah tidak tercium lagi.
Bahkan luka ternganga itu bergerak merapat dengan sendirinya dan makin lama
semakin terkatup lagi.
Tenda Biru bisa bernapas dengan lega. Pedangnya yang terlempar dalam
satu jangkauan itu segera diambilnya setelah Suto membantunya untuk duduk.
"Suto, ooh... untung kau ada di daerah ini. Kalau tidak kau tak
akan bisa melihatku lagi," ujar Tenda Biru setelah menarik napas panjang.
Ia melirik ke arah Rupa Setan dan segera berkerut dahi melihat wajah keriput
berlipat-lipat menyeramkan itu.
"Dia sahabatku. Jangan takut, wajahnya memang jelek tapi hatinya
baik," ujar Suto sambil melirik ke arah si Rupa Setan, dan perempuan
berwajah menyeramkan itu segera buang muka, seperti menyimpan rasa malu atau
menyembunyikan suatu perasaan yang tak mudah dipahami orang lain.
"Siapa yang bertarung melawanmu,Tenda Biru."
"Seseorang telah membawa lari muridku!"
"Panji Klobot maksudmu?!"
"Ya. Panji Klobot dibawa lari oleh orang itu, entah apa maksudnya!
Lalu ia kukejar sampai di sini, dan Panji Klobot berhasil larikan diri. Tapi
orang itu berhasil pula melukaiku, sehingga ia meninggalkan diriku dalam keadaan
luka seperti tadi. Ia mengejar Panji Klobot."
"Kau kenal dengan orang itu?!"
"Aku tak mengenalnya. Tapi aku masih ingat ciri-cirinya. Ia
mengenakan jubah biru muda tanpa lengan, penutup dadanya kain hitam tipis,
demikian pula penutup bagian bawahnya kain hitam tipis. Ia seorang perempuan
yang tinggi dan bertubuh sekal, lebih kekar dari tubuhnya dibandingkan tubuhku.
Ilmunya cukup tinggi, hingga aku berhasil dilukainya tanpa bias bergerak
lagi."
"Apakah ia mempunyai suara agak serak?" tiba-tiba Rupa Setan
ajukan tanya.
"Ya. Suaranya agak serak, juga agak besar seperti suaramu."
Pendekar Mabuk segera memandang Rupa Setan dengan tegang. Rupa Setan
bertanya lebih dulu kepada Pendekar Mabuk.
"Kau tahu siapa orangnya, bukan?"
"Ya. Kurasa dia adalah si Dewi Kesepian!"
"Yang kita lihat dalam bayangan kipasku tadi, mungkin dia sedang
mengejar si Panji Klobot!"
"Kalau begitu, sebelum Panji Klobot menjadi korban kemesraannya,
kita harus temukan dia secepatnya, Anjardani!"
Tenda Biru segera bangkit berdiri. Rupanya ia telah sehat dan badannya
terasa lebih segar dari sebelumnya.
"Aku tahu arah pelariannya. Panji Klobot menuju ke utara!"
kata Tenda Biru.
"Tidak. Sekarang mereka ada di barat!" bantah Suto Sinting.
"Bukan! Mereka lari ke utara!"
"Kalau begitu, kau mengejar ke utara dan aku akan mengejar ke
barat, karena setahuku perbukitan yang tadi kulihat dalam bayangan
kipasmu," Suto memandang Rupa Setan,"... letaknya ada di arah barat
kita."
"Aku akan ikut mengejar ke barat!" kata Rupa Setan sambil
mengangguk penuh wibawa. Dan tiba-tiba tubuhnya berubah seperti bayangan yang
samar-samar, kemudian bercahaya merah tipis, lalu lenyap begitu saja, membuat
Tenda Biru terbengong melompong.
"Dia sudah menuju ke barat! Aku akan menyusulnya," ujar Suto
Sinting.
"Hati-hati melawan perempuan itu. Ia jago bermain jurus pedang.
Aku segera ke utara!"
Weees...! Tenda Biru segera berkelebat meninggalkan tempat. Ia menuju
ke utara sesuai penglihatannya tadi.
Tetapi Pendekar Mabuk segera berkelebat ke arah barat dengan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlaaaapp...! Panji Klobot adalah mantan pelayan di
kadipaten yang tertarik dengan ilmu Pendekar Mabuk, lalu ia mengikuti Pendekar
Mabuk dengan harapan bias diangkat sebagai muridnya. Tetapi karena Pendekar Mabuk
belum ingin mempunyai murid, maka permohonan Panji Klobot ditolaknya.
Tenda Biru yang kala itu kehilangan raganya berjanji akan menurunkan
ilmunya kepada Panji Klobot jika pemuda polos dan lugu itu bisa menemukan Bunga
Kecubung Dadar. Suto Sinting membantu Panji Klobot mencarikan Bunga Kecubung
Dadar itu dan berhasil kembalikan wujud raga Tenda Biru. Tetapi janji Tenda
Biru kepada Panji Klobot tetap ditepati, sebagai tanda terima kasihnya kepada
Suto Sinting.
Rupanya ketika Tenda Biru melatih Panji Klobot di tepi pantai, Dewi
Kesepian tertarik dengan kepolosan Panji Klobot. Ia segera membawa lari Panji
Klobot pada saat Tenda Biru lengah. Pengejaran pun segera dilakukan oleh Tenda
Biru sampai di hutan tersebut.
Pertarungan terjadi, dan Tenda Biru terluka oleh jurus pedang si Dewi
Kesepian yang serba kilat dan cepat itu. Tetapi lebih dulu Tenda Biru telah
berteriak kepada Panji Klobot agar segera melarikan diri, sebab pemuda ingusan
itu hanya menonton saja pada saat Tenda Biru sudah terdesak oleh serangan Dewi
Kesepian.
Rupanya selama Suto Sinting menembus alam perbatasan gaib. Dewi
Kesepian sudah tidak memanfaatkan darah kejantanan Temon lagi. Temon telah terkena
penyakit yang diderita oleh Darah Prabu dan lelaki lainnya yang pernah bercumbu
dengan Dewi Kesepian. Temon ditinggalkan terkapar di dalam gua persembunyian
yang dulu dipakai untuk mengajarkan jurus-jurus bercinta kepada Temon. Tak
seorang pun mengetahui keadaan Temon yang telah memucat dan kulitnya
berbintik-bintik hitam dengan napas tersendat-sendat, terkapar di dalam gua
tersebut.
Kini giliran Panji Klobot yang jadi sasaran Dewi Kesepian. Pelarian
Panji Klobot yang tak seberapa cepat itu berhasil terkejar oleh Dewi Kesepian.
Pemuda itu hentikan langkahnya setelah terhadang Dewi Kesepian.
Dengan modal ilmu pas-pasan yang baru dipelajarinya, itu pun belum
rampung, Panji Klobot mencoba melawan Dewi Kesepian. Tentu saja tendangannya
yang lamban itu berhasil disapu habis oleh Dewi Kesepian dalam sekali gebrak
saja.
Buuhk...!
"Auuuh...!" Panji Klobot meringis kesakitan ketika jatuh
terbanting tulang punggungnya membentur akar yang menonjol seperti batu.
"Bodoh sekali kau! Apakah kau pikir aku mengejarmu untuk
bermusuhan denganmu?!" sentak Dewi Kesepian.
Panji Klobot masih mengusap-usap punggungnya sambil pandangi Dewi
Kesepian. Hati pun berkata,
"Lho, kok ternyata yang mengejarku perempuan cantik, ya? Kusangka
tadi tak seberapa cantik. Tapi, ooh... tinggi sekali perempuan ini? Peranakan
raksasa atau keturunan jin?"
'"Kudengar gurumu tadi memanggilmu Panji Klobot. Itukah
namamu?"
"Iiy... iya... tapi aku murid baik-baik, Bibi!"
"Husy! Jangan panggil aku Bibi! Namaku Dewi Kesepian. Panggil saja
Dewi!"
"Oh, iiy... iya, baik Bibi Dewi!"
"Sial! Hilangkan sebutan 'bibi'-nya!"
"Oh, eh, uuh... maaf, jangan bentak-bentak aku. Aku punya sakit
jantung, Bi„. eh, Dewi."
Senyum manis Dewi Kesepian yang mempunyai paras cantik menawan itu
membuat rasa takut Panji Klobot pun berkurang. Semakin lebar senyuman perempuan
itu, semakin hilang rasa takut di hati pemuda lugu itu.
"Aku mengejarmu bukan untuk bermusuhan, tapi untuk bersahabat.
Gurumu salah duga, akibatnya aku terpaksa melumpuhkan gurumu yang masih muda
itu."
"Ja... jadi aku tidak akan kau siksa atau kau jadikan tumbal bikin
jembatan?"
"Hik, hik, hik, hik...," Dewi Kesepian tertawa. "Apa kau
ini kerbau, kok mau dijadikan tumbal jembatan segala?!"
Panji Klobot nyengir tawar, karena masih diliputi keraguan dalam
hatinya.
"Bangun dan berdirilah! Mana yang sakit, kuobati sebentar!"
Panji Klobot berdiri, Dewi Kesepian segera mengurut punggung yang
terasa sakit itu dengan menyalurkan hawa murninya. Lambat laun punggung itu
mulai terasa enak dan rasa sakitnya berkurang.
"Kau tukang urut, ya?"
"Jangan menduga sembarangan," sambil Dewi Kesepian mencubit
pipi Panji Klobot. "Kalau aku kau anggap tukang urut, barangkali ada
benarnya asal yang diurut tidak sembarang tempat."
"Maksudnya tidak sembarang tempat bagaimana?"
"Yaah, hanya tempat-tempat tertentu saja yang kuurut."
"Tempat tertentu itu yang mana?"
"Oh, kau mau mencobanya?"
"Mau, mau...," Panji Klobot tampak girang, karena ia merasa
punggungnya sangat enak diurut, apalagi tempat tertentu yang dimaksud Dewi
Kesepian.
"Kalau kau mau diurut di tempat tertentu, jangan di sini."
"Habis di mana?"
"Di sana saja, di balik semak-semak."
"Ah, takut! Nanti ada ular."
"Tidak mungkin, karena aku membawa pedang penangkal ular. Hanya
ular tertentu yang berani bergerak mendekatiku."
"Hiii... ular apa itu?"
"Nantilah kalau sudah kuurut kau akan tahu sendiri," jawab
Dewi Kesepian yang selalu berpikiran ngeres. Ia akhirnya berhasil membujuk
Panji Klobot untuk menerobos semak-semak di bawah pohon rindang yang sepi dan
aman dari incaran mata orang.
Panji Klobot tidak tahu kalau Dewi Kesepian semalam tidak mendapatkan
darah kemesraan seorang lelaki. Ia tidak bisa menggunakan Temon lagi, dan tidak
mendapat mangsa yang mudah dirayu. Sebelum hari menjadi malam kembali, ia harus
mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki agar darah dan jantungnya tidak
membusuk.
Panji Klobot tak sadar bahwa tiap kata dan senyum Dewi Kesepian adalah
rayuan yang menghanyutkan. Maka dalam beberapa waktu saja, Panji Klobot sudah jatuh
dalam pelukan Dewi Kesepian. Ia menuruti apa yang diperintahkan Dewi Kesepian,
karena apa yang dilakukan Dewi Kesepian mendatangkan keindahan baginya. Suatu
keindahan yang belum pernah didapatkan seumur hidupnya, telah membuat Panji
Klobot makin terbuai dan merasa menyesal atas pelariannya tadi.
"Kalau tahu akan mendapat keindahan seperti ini, mengapa aku
capek-capek melarikan diri, ya? Bodoh amat aku ini! Mau diberi kenikmatan yang
begitu indah kok malah melarikan diri," ujar Panji Klobot dalam hatinya
sambil membiarkan pakaiannya dilepasi oleh Dewi Kesepian satu persatu.
"Kau senang kubeginikan?"
"Senang sekali," jawab Panji Klobot yang sambil nyengir
malu-malu.
"Kau suka dengan apa yang kita lakukan ini?"
"Ya, suka sekali, Dewi."
"Sekarang ganti kau yang memberiku keindahan."
"Caranya bagaimana?"
"Begini caranya...," Dewi Kesepian segera membimbing pemuda
polos itu untuk menciptakan sentuhan-sentuhan kemesraan yang begitu indahnya.
Panji Klobot cepat paham ketimbang mempelajari jurus dari Tenda Biru. Dewi
Kesepian mulai mendesah, menggigit bibirnya sendiri sambil mengerang panjang.
Tangannya meremas-remas rambut kepala Panji Klobot, sementara sang pemuda
melakukan apa yang diinginkan Dewi Kesepian.
Tenda Biru salah arah dalam pengejarannya. Ia menuju ke utara lurus,
sedangkan Panji Klobot kala itu membelok ke barat untuk hindari pengejaran Dewi
Kesepian. Karenanya, arah Suto dan Rupa Setan-lah yang betul. Sayang sekali
mereka terhambat oleh sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Rupa Setan segera tampakkan diri ketika ia tahu Pendekar Mabuk
menyusulnya. Langkah sang Pendekar Mabuk terhenti begitu Rupa Setan mengangkat
tangan memberi isyarat agar jangan menimbulkan suara apa pun.
"Ada apa, Anjardani?" bisik Suto Sinting.
"Apakah kau mendengar suara perempuan yang terengah-engah?"
Suto diam sebentar, menyimak suara yang dimaksud Rupa Setan.
"Hmmm... ya, tapi masih agak jauh dari tempat kita."
"Maksudku, benarkah itu suara si Yundawuni?"
"Hmmm... kalau menurut irama engahan napasnya, memang itulah suara
orang yang sedang berkencan begitu dalam. Dari seraknya suara aku dapat membayangkan
bahwa Yundawuni alias si Dewi Kesepian itu telah berhasil merayu Panji Klobot,
dan sekarang Panji Klobot sedang melayani gairahnya."
"Kita sergap mereka. Kau sambar pemudanya, aku akan halangi
perempuannya!"
Namun baru saja mereka mau
bergerak, tiba-tiba kaki mereka terjeblos dalam sebuah lubang menyerupai sumur.
Kerimbunan rumput dan ilalang yang tumbuh di situ membuat lubang itu tertutup
dan membuat mereka berdua akhirnya masuk ke dalam lubang tersebut.
Bruuusss...! Wuuut...!
"Sutooooo...!!" teriak Rupa Setan karena sangat terkejut
merasakan tubuhnya melayang secara tiba- tiba. Pendekar Mabuk sendiri juga
kaget dan hanya memekik panjang dalam keadaan tegang.
"Aaaaaaa...!"
Ternyata sumur itu mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyedot benda
apa pun yang ada di atasnya, kecuali tanaman. Sumur itu makin lama semakin
lebar dan tubuh mereka tak bisa dihentikan walau Rupa Setan telah menggunakan
ilmu pelenyap raga seperti yang tadi digunakan saat berpisah meninggalkan Tenda
Biru.
Pendekar Mabuk pun berhasil menjejakkan kakinya ke dinding Iubang
tersebut, tetapi tubuhnya tak bias melambung naik, melainkan justru tertarik
turun dengan lebih cepat lagi.
Brruk...! Bruuk...! Mereka terbanting di dasar yang keras. Keduanya sama-sama
pingsan untuk beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk siuman lebih dulu. Dan ia
menjadi terkejut melihat keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia dan Rupa Setan
terkapar di sebuah ruangan yang mempunyai bebatuan menyala biru indah. Dinding ruangan
itu juga dipenuhi batu-batuan yang memancarkan warna biru seperti mengandung
fosfor.
Cahaya itu membuat ruangan tersebut menjadi terang temaram. Tuak segera
diminum oleh Pendekar Mabuk. "Untung tuak ini tidak tumpah isinya,"
pikir Suto sambil menenggak tuak tersebut. Badannya menjadi segar kembali
setelah meneguk tuak.
Ketika Suto sedang mengagumi ruangan sekelilingnya yang lantainya
berlapis kabut putih samar-samar itu, Rupa Setan pun akhirnya siuman dan mengeluarkan
suara keluhan kecil yang terdengar di telinga Suto. Maka Suto pun segera
mendekatinya, membantunya untuk bangkit dan duduk, kemudian memberinya tuak
beberapa teguk.
"Oh... gawat!" ujar Rupa Setan dengan nada tegang. "Kita
harus segera keluar dari sumur keparat ini!"
"Bagaimana caranya? Kita jatuh dari tempat yang amat tinggi. Tak
mungkin kita mendaki dinding sumur itu. Kita masih hidup saja sudah beruntung
sekali, Rupa Setan!"
"Ya, tapi kita telah masuk dalam sumur celaka ini!"
"Kurasa kita sudah tidak berada di sumur lagi, melainkan di sebuah
ruangan aneh."
"Inilah yang dinamakan Sumur Tambak Peluh," ujar Rupa Setan
sambil berdiri memandangi sekelilingnya.
"Dalam kitab pusaka milik guruku, tertulis pula nama Sumur Tambak
Peluh bersama ciri-ciri dan kekuatan gaibnya."
Rupa Setan memperhatikan batu-batu yang menyala biru pada dinding
ruangan tersebut. Tanpa diminta oleh Suto, Rupa Setan jelaskan sendiri tentang
Sumur Tambak Peluh itu.
"Sumur Tambak Peluh adalah bekas penjara para dewa yang dibangun
dalam waktu sekejap oleh Hyang Maha Dewa. Penjara ini tercipta beberapa ratus
tahun bahkan mungkin pula ribuan tahun yang lalu. Di sinilah para dewa
menjalani siksaan batin satu persatu. Mereka dipenjarakan di sini secara
bergantian, dan masing-masing merasakan siksaan batin yang lebih berat daripada
siksaan raga."
Kabut yang melapisi lantal ruangan itu bergerak lamban, seakan ada
angin yang meniupnya dari satu sisi ke sisi lain. Rupa Setan diam sebentar,
pandangi kabut itu dengan bola mata menampakkan kecemasannya.
"Kabut Kasmaran...," gumam Rupa Setan yang membuat Suto
Sinting kerutkan dahi.
"Apa maksudmu berkata 'Kabut Kasmaran'?!"
"Seperti yang tertulis dalam kitab pusaka milik guruku; Sumur
Tambak Peluh ini mempunyai kabut yang dinamakan 'Kabut Kasmaran'. Uap kabut ini
menyebar naik ke permukaan bumi dan membuat siapa pun yang menghirupnya menjadi
kasmaran terhadap lawan jenisnya. Jika kabut ini tiada lagi, maka manusia di
permukaan bumi tidak akan mempunyai gairah untuk bercinta, bercumbu, dan
bermesraan. Kabut inilah yang mempengaruhi jiwa kita sehingga kita menjadi
bergairah terhadap lawan jenisnya."
Pendekar Mabuk yang ikut memperhatikan batu-batu menyala biru itu
segera berpaling ke arah Rupa Setan yang ada dalam jarak lima langkah darinya.
Rupa Setan pun menatap, lalu mendekatinya dan berkata dengan suara pelan.
"Kita telah menghirup kabut ini. Berbahaya sekali bagi jiwa dan
batin kita."
"Aku tak mengerti maksudmu."
Rupa Setan menghembuskan napas panjang. Ia mendongak ke atas, memandang
lubang sumur tempatnya terjeblos tadi. Lubang itu tampak hitam karena
ketinggiannya dan bagian atas yang tertutup tanaman jenis rumput.
"Lubang ini dulu dipakai meloloskan diri oleh Dewa Sang Gama.
Hanya dia satu-satunya Dewa yang bias lolos dari Sumur Tambak Peluh ini,
kemudian menemukan kebebasannya ketika memperistri seorang gadis desa. Tapi
mereka tidak dikaruniai keturunan, dan keduanya mati bersama karena penyakit
ketuaan. Pada saat Dewa Sang Gama meloloskan diri dari penjara ini, seketika
itu kedewaannya hilang dan ia berubah menjadi manusia biasa. Tapi menurutnya
lebih baik menjadi manusia ketimbang menjadi dewa yang terpenjara di dalam
Sumur Tambak Peluh ini."
"Lengkap sekali kitab pusaka milik gurumu itu," gumam Suto
Sinting sambil mencari celah-celah yang bisa dipakai untuk meloloskan diri.
"Kitab itu hanya bisa dibaca dengan mata batin. Tidak semua orang
bisa membacanya."
"Apa lagi yang dijelaskan
dalam kitab itu tentang tempat ini?"
"Zaman dulu, tempat ini hanya menjadi bagian dari dongeng para
remaja yang menginjak usia dewasa," tutur Rupa Setan. Ia melangkah
pelan-pelan menelusuri dinding berbentuk segi enam itu. Biar pelan, tapi suaranya
terdengar oleh Suto, karena ruangan itu hanya berukuran kecil. Jarak dari
dinding ke dinding yang paling jauh hanya sekitar tujuh delapan langkah.
"Setiap Dewa yang terpenjara di sini akan menangis dan bermandi
peluh karena menahan gairah asmaranya. Ia akan dirongrong tuntutan batin, tanpa
bias melampiaskannya kepada lawan jenisnya."
"Begitukah?" Suto terperanjat, cepat menatap Rupa Setan.
"Tuntutan batin itu tak akan hilang karena para dewa yang
terpenjara di sini selalu menghirup uap Kabut Kasmaran ini."
"Oh, jadi... Jadi...?"
"Aku mulai merasakan getaran di hatiku. Apakah kau tidak
merasakannya?" Rupa Setan berpaling memandang Suto dari jarak tiga
langkah. Suto Sinting hanya diam mematung, karena ia pun mulai merasakan
getaran halus dalam hatinya. Getaran itu adalah gairah bercumbu yang makin lama
semakin mendebarkan jantung.
*
* *
6
KABUT tipis itu semakin mempengaruhi alam pikiran mereka, menaburkan
khayalan tentang cinta dan kemesraan. Pendekar Mabuk mencoba mengatasi gangguan
getaran batinnya dengan lakukan semadi pengendalian napas murninya. Tetapi
usaha itu ternyata sia-sia belaka. Sekalipun ia telah duduk bersila dan
berbadan tegak dengan menarik napas pelan-pelan, namun detak-detak jantung yang
menuntut kemesraan semakin mengacaukan jalan pikirannya.
Rupa Setan gelisah dan mondar-mandir sejak tadi. Hasrat bercintanya
sebagai seorang perempuan mulai meletup-letup, membuat dada terasa bergemuruh
keras. Apalagi ia berada bersama seorang pemuda tampan, gagah dan menawan,
terasa sulit sekali baginya untuk mengendalikan tuntutan batin yang menghendaki
kemesraan. Dengan berjalan mondar-mandir tuntutan batin itu sedikit teratasi,
namun bukan berarti kemenangan baginya.
Ketika melihat Pendekar Mabuk lakukan semadi dengan gelisah, Rupa Setan
berkata tanpa memandang pemuda tampan itu.
"Percuma saja kau lakukan hal itu. Di sini kekuatan kita berkurang
separo bagian. Semakin lama menghirup kabut keparat ini, semakin terkikis
ketahanan kita. Bisa jadi akan semakin habis tanpa tersisa."
Pendekar Mabuk masih mencoba kendalikan napas murninya, tetapi selalu
gagal dan gagal lagi. Ia menjadi jengkel sendiri, akhirnya melepaskan pukulan
tenaga dalam sebagai pelampiasan rasa jengkelnya itu.
"Hiaaah...!"
Wuuut...!
Pendekar Mabuk tertegun sesaat, karena tak ada tenaga yang keluar dari
tangannya. Jurus "Pukulan Guntur Perkasa' tak bisa dikeluarkan seperti
biasanya.
Semakin berdebar hati Suto menyadari kenyataan itu. Beberapa jurus lain
dicobanya, tapi hasilnya sama saja; seakan ia telah kehilangan seluruh ilmunya
dan menjadi lemah karena dipengaruhi khayalan bercumbu yang datang silih
berganti. Maka yang dapat dilakukannya hanya diam dan terengah-engah dicekam kegelisahan,
diburu hasrat untuk bercumbu.
Perempuan berwajah buruk dan menyeramkan itu akhirnya hentikan langkah
mondar-mandirnya. Ia berdiri dengan satu tangan bersandar pada dinding, tangan
yang satunya bertolak pinggang. Ia tampak tegar walau sebenarnya dalamnya rapuh
tersiksa khayalan yang hadir dengan sendirinya.
"Mengapa kita sampai terperosok ke dalam sumur keparat ini?!"
geram Suto Sinting yang mulai berkeringat dingin.
"Barangkali semua ini pelajaran yang berarti bagi kita. Sejak
beberapa hari yang lalu kita memburu-buru si Yundawuni yang selalu dibakar
gairah kemesraan dan selalu membutuhkan kehangatan seorang lelaki.
Barangkali Sang Maha Dewa memberi pelajaran bagi kita, seperti inilah
rasa yang dialami Dewi Kesepian dalam menderita siksaan batin selama ini.
Setidaknya kita diminta untuk mau memahami, betapa sakitnya penderitaan yang
dialami Dewi Kesepian apabila racun
'Asmara Kubur' itu mulai menyerang jiwanya," tutur si Rupa Setan.
"Tapi mengapa aku harus ikut masuk ke dalam sumur ini? Bukankah
semestinya hukuman itu berlaku hanya untukmu, karena kau pernah bermaksud
membunuh Dewi Kesepian untuk melenyapkan racun 'Asmara Kubur'. Pada waktu itu
kau tidak berpikiran betapa menderitanya dia. Sedangkan aku justru berusaha melindungi
dia dan mencarikan obat untuk menolongnya, tapi mengapa aku juga harus
merasakan penderitaan batin seperti ini?"
"Barangkali Sang Hyang Maha Dewa menguji ketangguhan jiwamu. Kau
berusaha menolong orang yang dituntun hasrat untuk bercinta, tapi dapatkah kau
menolong dirimu sendiri jika mengalami perasaan yang sama dengan yang dialami
Dewi Kesepian itu?"
Pendekar Mabuk diam sesaat, kemudian ia berkata seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Memang banyak orang yang ingin menolong orang lain, tapi ia
sendiri belum tentu bisa menolong dirinya sendiri."
"Berarti kita harus bisa menolong diri kita sendiri sebelum kita
bisa menolong orang lain. Kira-kira begitulah makna yang terkandung dalam
musibah ini," ujar si Rupa Setan dengan suara masih tegas.
Pendekar Mabuk duduk bersandar dinding bercahaya, mulutnya sengaja
terbungkam untuk mencoba atasi gejolak hatinya yang ingin berpelukan, ingin
berciuman, dan ingin mendapatkan lebih dari sekadar pelukan serta ciuman.
Bayangan perempuan-perempuan cantik yang pernah dipeluknya hadir dalam
ingatan, seakan memamerkan kemolekan tubuh mereka, melambaikan tangan untuk
bercumbu, kadang bayangan itu ada yang terasa merayapkan tangannya ke dada
Suto, menelusuri lekuk tubuhnya. Debur dalam dada Suto pun kian gemuruh.
Hal yang sama dirasakan pula oleh si Rupa Setan. Perempuan itu juga
duduk bersandar pada dinding. Makin lama duduknya semakin bergeser mendekati Suto.
Gerakan bergeser mendekati itu membuat Suto Sinting akhirnya bertanya
pada dirinya sendiri, "Haruskah kulakukan bersama perempuan berwajah menyeramkan
ini? Alangkah sialnya nasibku jika harus bercumbu dengan perempuan berwajah
setan ini.
Tapi...apa boleh buat jika memang adanya cuma dia?! Oh, tidak! Akan
kucoba untuk bertahan dan bertahan terus sampai batas kekuatanku hancur dan
kupasrahkan segalanya kepada sang nasib."
Rupa Setan berkata dengan suara pelan, karena napasnya semakin terasa
memburu dan terputus-putus.
"Pernahkah kau bercinta dengan seorang perempuan, Suto?"
"Belum," jawab Suto dengan suara lemah, seakan malas
menanggapi percakapan itu. Namun si perempuan berwajah buruk tidak hiraukan
sikap Suto tersebut. Ia masih ajukan pertanyaan lagi dengan suaranya yang mulai
sedikit bergetar.
"Benarkah kau belum pernah bercumbu dengan seorang
perempuan?"
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Suto, "Mungkin dengan banyak
bicara akan mengurangi tekanan batin ini ketimbang dipakai untuk diam dan
merenung, maka yang hadir hanya sejuta khayalan menyiksa jiwa."
Suto pun akhirnya tak segan-segan untuk bicara kepada si Rupa Setan.
"Aku memang pernah berpelukan dengan seorang perempuan, aku memang
pernah berciuman dan saling meraba, tapi tak pernah berbuat lebih jauh dari
itu."
"Jadi kau belum pernah merasakan nikmatnya berhubungan badan
dengan seorang perempuan?"
"Belum. Apakah kau pernah?"
Rupa Setan bergeser lebih mendekat lagi, ia menarik napas dan
membuangnya lepas-lepas.
"Yaaah... dulu memang aku pernah melakukannya, karena pada waktu
itu aku terbuai oleh rayuannya. Setelah kusadari bahwa pria itu hanya
menghendaki tubuhku belaka, aku segera menyesal karena sebetulnya hatiku masih
tertuju kepada si Tanuyasa. Namun agaknya cintaku kepada Tanuyasa bertepuk
sebelah tangan sampai sekarang."
Pendekar Mabuk tertawa pendek dan pelan. "Hmm..., rupanya kau
masih tertarik dengan si Tanuyasa alias si Omong Cekak yang sudah setua itu,
ya?"
"Bukan tertarik karena nafsu, tapi semata-mata ingin mempunyai
keturunan dari satu perguruan. Kadang kenangan masa muda kami membuatku merasa
lebih baik berada di dekatnya."
Rupa Setan bergeser lagi, hingga kini duduknya hanya berjarak satu jengkal
dari Suto Sinting. Pemuda itu masih diam menahan hasrat bercumbu yang bergejolak
dalam dada.
"Dulu hidupku hampir saja liar. Tanuyasa dulu setampan dirimu,
hingga aku tergila-gila padanya. Ketika kutahu ia tidak mencintaiku, aku
menjadi brutal, terlebih setelah aku ditinggalkan oleh pria yang telah mengisap
sari maduku. Aku menjadi benci pada diriku sendiri dan merasa tak memiliki daya
tarik sebagai perempuan.
Kusembunyikan wajahku di balik kehancuran hati. Tak ingin kupamerkan
kepada siapa pun, kecuali Tanuyasa. Namun beruntung sekali aku segera menemukan
kesadaranku, bahwa hidup brutal bukan merupakan jalan keluar yang terbaik
bagiku. Lalu, dengan tetap berhubungan sebagai saudara seperguruan, aku dan
Tanuyasa mendirikan Partai Petapa Sakti. Di situlah kusibukan diriku untuk
melupakan cinta yang tak terbalas. Tapi tetap saja kusembunyikan wajahku di balik
kehancuran yang membekas."
"Apa maksudmu 'kusembunyikan wajahku di balik kehancuran'
tadi?" sambil Suto pandangi wajah buruk yang menyeramkan itu.
Tiba-tiba Rupa Setan memegang bawah dagunya. Tangannya bergerak
mencengkeram, lalu ditarik ke atas seperti mengelupas gedebong pisang.
"Oooh...?!" Suto Sinting terkejut hingga membelalakkan mata
lebar-lebar. Si Rupa Setan bagai mengelupas kulit wajahnya sendiri. Ternyata
wajah buruk itu adalah topeng yang dibuat setipis mungkin dari bahan karet. Di
balik topeng berwajah buruk menyeramkan itu, ternyata tersimpan wajah cantik
rupawan yang mempunyai hidung mancung, bibir sensual, mata indah berbulu lentik
dan kulit kuning langsat yang halus mulus. Dengan rambut meriap sebagian ke
pipinya, Rupa Setan sunggingkan senyum yang membuat jantung Suto bagai mau
pecah karena detak-detaknya yang amat kuat.
"Inilah aku sebenarnya. Inilah Anjardani yang asli," ujar si
Rupa Setan dengan bola mata yang bening berbinar-binar memancarkan gairah cinta
begitu membara.
"Luar biasa...," gumam Suto nyaris tanpa suara. Ia tertegun
beberapa saat memandangi wajah cantik yang mempunyai lesung pipit kecil jika
sedang tersenyum itu.
Mata bagai sulit dikedipkan, kerongkongan seakan sukar menelan ludah,
dan gejolak birahinya kian bergemuruh lebih seru lagi.
"Wajah ini tak ingin kupamerkan kepada setiap lelaki. Aku hanya
inginkan wajah ini dinikmati oleh Tanuyasa, tapi ternyata Tanuyasa lelaki yang
buta kecantikan dan tak bisa terpikat oleh kecantikanku. Selama tiga puluh
tahun lebih, baru kaulah lelaki yang melihat wajah Anjardani yang sebenarnya,
Suto."
Mata bening itu kini menjadi sayu dalam memandang. Uap kabut itu kian
banyak dihirup Anjardani, sehingga gairahnya semakin melonjak-lonjak menuntut
kehangatan seorang lelaki. Kehangatan itu kini ada di depannya, namun ia masih
ragu untuk mereguknya. Ia mencoba mendekatkan wajahnya sambil menggenggam
tangan Suto Sinting. Tangan itu dingin oleh keringat gairah yang tertahan. Suto
Sinting hanya bisa terbengong melompong ketika tangannya digenggam Anjardani,
dan napas perempuan itu semakin menghangat di permukaan wajahnya.
"Pandanglah aku sebagai gadis sebayamu," ucap Anjardani
lirih. "Kita telah sama-sama terperangkap dalam penjara terkutuk ini.
Musibah ini membuat kita tak berdaya lagi, Suto. Bukan salah kita jika akhirnya
kau dan aku saling memenuhi kebutuhan batin masing-masing. Akankah kita
bertahan saja hingga musibah dalam penjara terkutuk ini membunuh kita?"
Kata-kata yang semakin lama semakin bercampur desahan napas penuh
gairah itu membuat Suto Sinting semakin merinding. Lalu dibiarkannya perempuan
cantik itu mencium pipinya dengan lembut. Ciuman itu merayap hingga menyentuh
bibir, dan Suto Sinting tak mampu diam selamanya. Sentuhan bibir itu membuat lidahnya
menyambar, namun segera dilumat oleh Anjardani dengan penuh ungkapan gairah
yang berkobar-kobar.
"Suto, aku tak tahan lagi menghadapi siksaan dalam penjara ini.
Aku tak mampu bertahan lagi, Suto...," bisiknya dalam nada rengekan
bercampur desah yang memburu.
Kehangatan itu akhirnya menjalar di sekujur tubuh mereka. Suto Sinting
kian mengganas setelah amukan Anjardani membuat gumpalan dadanya tersembul
lepas dari kain penutup tanpa disengaja. Suto Sinting segera menyambar bagai
seekor ikan hiu mencium bau amis darah.
"Oouh...!" Anjardani memekik karena tak mampu menahan
keindahan yang datang secara tiba-tiba di permukaan dadanya. Selanjutnya ia
mengerang
berkepanjangan karena Pendekar Mabuk nyaris lupa
daratan. Ia sapu habis tempat-tempat yang paling peka dan mampu
hadirkan kenikmatan bagi Anjardani,
sehingga perempuan itu bagai terbang melayang-layang bertabur keindahan
dan kebahagiaan.
Namun sebelum kemesraan itu meluncur deras lebih dalam lagi, tiba-tiba merasakan getaran yang
cukup jelas pada lantai tempat mereka terbaring. Getaran itu makin lama
dirasakan sebagai guncangan gempa yang membuat
batu-batu biru di dinding mulai berjatuhan.
"Celaka! Tempat ini akan runtuh, Suto!"
Anjardani menjadi tegang, demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk.
Mereka cepat-cepat merapikan diri kembali. Tanpa disadari hasrat bercumbu
menjadi surut karena ketegangan yang kian memuncak. Penjara terkutuk itu
mengalami guncangan semakin kuat. Batu-batu mulai menimbuni mereka dari
langit-langit penjara.
"Lekas minum tuakku untuk menahan rasa sakit! Minum...!"
paksa Suto kepada Anjardani sambil menyodorkan tuaknya. Perempuan cantik itu
segera meminum tuak beberapa teguk. Ternyata badannya terasa segar dan
kepalanya yang dijatuhi bebatuan kecil itu tidak merasa sakit.
Bahkan ketika sebongkah batu biru berpijar runtuh dari langit-langit
ruangan itu dan menjatuhi kepala Anjardani, perempuan itu tak sempat
menghindar, lalu menghantamkan pukulannya ke atas. Wuuut, prraaak...! Batu itu
hancur menjadi serbuk dan berhamburan mengotori rambut serta tubuhnya.
Namun pada saat itulah ia segera berseru dengan nada terkejut.
"Hei, batu ini bisa kupukul hancur!"
"Tentu saja karena kau menggunakan tenaga dalammu!"
"Tapi seharusnya tenaga
dalamku hilang karena pengaruh uap Kabut Kasmaran ini!"
Mereka saling pandang dengan kepala merunduk dan tangan menutup ke
atas. Guncangan semakin kuat, batu-batu di langit-langit kian berhamburan
menghujani mereka. Salah satu batu yang agak besar menimpa kepala Suto Sinting.
Tapi tiba-tiba tangan Suto menghantam ke atas. Beet, praak...! Batu itu pun
hancur seperti yang dipukul Anjardani tadi.
"Aku juga bisa!" seru Suto dengan girang. Ia mencoba
melepaskan pukulan bersinar ke arah salah satu dinding. Claaap...! Blaaarrr...!
Mereka terpental bersama hancurnya dinding yang terkena pukulan bersinarnya
Suto itu. Tapi mereka saling tertawa karena merasa kekuatan serta ilmunya pulih
kembali.
"Kekuatan kita telah pulih kembali!" seru Anjardani mengimbangi
suara gemuruh yang memekakkan telinga.
"Mungkin karena kita minum tuak ini!" seraya Suto menunjukkan
bumbung tuaknya. "Coba kita minum lagi agak banyak!"
Mereka segera menenggak tuak banyak-banyak. Rasa segar di tubuh semakin
terasa jelas. Bahkan gejolak hasrat bercumbu lenyap sama sekali.
Sebetulnya pada saat mereka meminum tuak tersebut pada waktu baru saja
siuman dari pingsan, kekekuatan mereka masih tetap ada. Tetapi karena terlalu
lama menghirup uap Kabut Kasmaran, maka kekuatan itu berkurang kembali,
sehingga pada waktu Suto mencoba melepaskan pukulan tenaga dalamnya mengalami kegagalan.
Suto sendiri lupa bahwa tuak itu telah bercampur dengan Batu Tembus
Jagat yang punya kesaktian tersendiri. Batu yang tercipta dari keringat dewa
yang teraniaya itu mempunyai kekuatan yang bersifat memberontak terhadap
kekuatan apa pun. Karenanya, uap Kabut Kasmaran yang melumpuhkan kekuatan mereka
dapat dikalahkan dengan kekuatan yang ada dalam Batu Tembus Jagat tersebut.
Rupa Setan segera menggunakan ilmu bayangannya. Ia berubah menjadi
bayangan samar-samar, lalu bayangan itu berubah menjadi sinar merah seperti kobaran
api. Sinar tersebut melesat naik memasuki lorong tempat mereka jatuh tadi.
Sedangkan Suto Sinting segera gunakan ilmu 'Sukma Lingga' yang menggantikan
ilmu 'Dewatakara' itu. Dengan memejamkan mata dan menyatukan kekuatan batin
serta pikiran, tiba-tiba Suto berubah menjadi cahaya hijau berekor kecil.
Weeess...! Cahaya hijau itu melesat naik menembus lorong sumur dan menjelma di tempat
yang bertanah keras, di mana Rupa Setan telah menunggunya selama tiga helaan
napas.
"Suara gemuruh itu masih ada, bahkan getarannya masih terasa di
tempat ini!" kata si Rupa Setan.
"Ya, aku merasakannya juga. Tapi... di mana topengmu?"
"Ooh...?!" Rupa Setan terkejut dan meraba wajahnya yang tak
bertopeng. "Celaka! Topengku tertinggal di dalam penjara terkutuk itu! Aku
harus mengambilnya dulu!"
Seet...! Suto mencekal lengan Anjardani, membuat perempuan cantik itu
tak jadi melangkah terjun ke Sumur Tambak Peluh lagi.
"Tak perlu kau ambil lagi topengmu. Aku lebih suka melihatmu dalam
keadaan begini."
"Bee... benarkah?!" Anjardani grogi dipandangi Suto yang
sunggingkan senyum menawan itu. Suto mengangguk kecil, penuh kesan yang
mendebarkan hati Anjardani.
"Aku akan lebih sering menatapmu jika kau tidak mengenakan
topeng."
"Mmm... meng... mengapa kau berkata begitu?"
"Karena sesungguhnya aku takut jika melihat wajahmu bertopeng, dan
aku terpesona jika melihat wajahmu tanpa topeng."
Anjardani sunggingkan senyum tersipu. Suto berdebar melihat lesung
pipit di sudut senyum itu. Ia mencubit pipi Anjardani.
"Cantik sekali kau!"
"Aah...!" Anjardani menepak lengan Suto sambil makin tersipu.
Tepat ia menepak lengan Suto, terdengarlah suara ledakan yang menggelegar dan membuat
tempat itu bergetar kembali.
Blegaaaarrr...!
"Ada pertarungan di arah barat!" sentak Suto menegang.
"Aku akan melihat ke sana!" Zlaaap...!
"Heei, tunggu...!" Anjardani pun melesat menyusul langkah
Suto Sinting.
*
* *
7
ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk melihat pertarungan itu ternyata
dilakukan oleh dua tokoh tua yang berilmu tinggi. Yang satu berjubah putih,
rambut pendek putih dan jenggot serta kumisnya putih. Suto mengenal tokoh itu
sebagai orang yang berjuluk si Jubah Kapur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Bayi Pembawa Petaka").
Sedangkan yang satu lagi adalah tokoh tua yang berbadan gemuk, sama
gemuknya dengan si Jubah Kapur, mengenakan pakaian seperti biksu berwarna
abu-abu, brewok, kumis, dan jenggotnya berwarna putih rata, ia tak lain adalah
Resi Badranaya, gurunya Darah Prabu.
Mereka duduk bersila di atas batu yang saling berjauhan dalam jarak
sekitar enam tombak. Mereka saling melepaskan tenaga dalam tingkat tinggi tanpa
bergeser dari tempat duduk mereka.
Jubah Kapur melepaskan sinar kuning terang, sedangkan dari tangan Resi
Badranaya melesat sinar merah lurus yang menghantam sinar kuningnya Jubah Kapur.
Kedua sinar yang bertemu di pertengahan jarak itu saling bertahan dan
memancarkan cahaya warna-warni berpijar-pijar.
"Gawat! Apa yang membuat mereka saling beradu tenaga dalam?!"
gumam Suto Sinting. "Padahal keduanya sama-sama tokoh putih."
"Pasti ada persoalan yang sangat genting, sehingga mereka mengadu
kesaktian seperti itu," ujar Anjardani yang juga mengenal si Jubah Kapur
sebagai tokoh aliran putih yang menjadi Ketua Partai Gelandangan. Suto pun
mengenal Jubah Kapur sebagai guru dari Inupaksi, putra Raja Bumiloka.
"Harus segera dihentikan sebelum keduanya kehilangan nyawa!"
kata Anjardani, sambil bergerak melesat dari balik kerimbunan semak. Namun saying
gerakannya itu tertahan oleh tangan Suto Sinting yang mencekal lengannya dengan
kuat.
"Aku ingin melihat siapa yang unggul dalam pertarungan seru
ini!"
"Tidak ada yang unggul! Mereka sama kuat dan sama tinggi ilmunya!
Mereka akan mati bersama-sama kalau kita biarkan!" sentak Anjardani dengan
suara membisik.
"Hei... lihat di seberang sana, sepertinya tubuh Dewi Kesepian
sedang terkapar tanpa daya lagi!"
"Oh, ya... benar! Jangan-jangan dia sudah mati?!"
"Celaka! Kalau begitu kau hentikan saja pertarungan mereka, aku
akan memeriksa Dewi Kesepian. Jika masih bernapas segera kutolong dengan tuakku
yang tinggal sedikit ini!" ujar Suto, kemudian keduanya saling melesat
cepat melakukan rencana masing-masing.
Cahaya yang membias lebar berwarna-warni itu masih tetap berpijar-pijar
di pertengahan jarak. Jubah Kapur keluarkan peluhnya hingga membasahi seluruh jubah
putihnya. Demikian pula Resi Badranaya yang bermandi keringat dengan tubuh
bergetar menahan kekuatan si Jubah Kapur.
Tetapi tiba-tiba seberkas sinar putih perak melesat bersamaan munculnya
wajah cantik yang selama ini tertutup topeng tua menyeramkan itu. Claaap...!
Blegaaaarrr...!
Sinar putih itu menghantam cahaya warna-warni dan membuyarkan cahaya
itu dalam satu ledakan besar cukup dahsyat. Kedua tokoh yang beradu kesaktian
itu terpental ke belakang dan berguling-guling menyedihkan. Tiga batang pohon
tumbang seketika dan salah satunya hampir saja menimpa tubuh si Jubah Kapur.
Untung ia cepat sentakkan tangan dan tubuhnya melesat dalam gerakan bersalto
cepat, sehingga lolos dari pohon yang tumbang itu.
Jleeg...! Jubah Kapur berdiri tegak dengan napas terengah-engah dan
wajah menjadi merah bagai habis dipanggang api. Di sisi lain, Resi Badranaya
pun cepat menjadi tegak kembali dengan wajah seperti kepiting rebus dan
napasnya terengah-engah memandang ke arah pertengahan jarak tadi.
Di pertengahan jarak itu berdiri seraut wajah cantik bertubuh elok
dalam usia lebih tua dari kedua tokoh yang bertarung itu namun karena mempunyai
ilmu awet muda, sehingga masih tetap kelihatan sekal dan menawan. Anjardani
sengaja berdiri di sana sebagai tanda bahwa dia tidak menghendaki pertarungan
dari kedua tokoh aliran putih itu.
"Keparat kau, Anjardani! Apa maksudmu pamer kecantikan di depanku,
hah?!" geram Resi Badranaya sambil melangkah dekati Anjardani. Si Jubah
Kapur pun segera dekati Anjardani dengan wajah berangnya.
"Apa perlumu ikut campur dalam urusanku dengan si Badranaya
itu!"
"Kalau kalian merasa berilmu tinggi, lawan aku! Majulah kalian
berdua dan tandingi ilmuku daripada kulihat kalian berdua hancur dan kehilangan
nyawa!"
"Aku ada di pihakmu, Tolol!" sentak Resi Badranaya.
"Bukankah kau juga telah sepakat untuk melindungi Dewi Kesepian
sesuai kesepakatan kita saat kau ikut melihat Suto menyembuhkan Darah Prabu dan
Kadal Ginting?! Mengapa kau sekarang tidak memihakku, sementara aku bertarung
dengan si gelandangan tua itu hanya karena membela Dewi Kesepian!"
Sambil berkata begitu, Resi Badranaya menuding ke arah Dewi Kesepian
sehingga pandangan mata mereka tertuju ke sana. Ternyata di sana Suto Sinting
telah berhasil menyadarkan Dewi Kesepian yang tadi nyaris sekarat karena
pukulan si Jubah Kapur.
"Hei, murid si Gila Tuak!" seru Jubah Kapur.
"Biarkan dia mati dan jangan coba-coba menolongnya jika kau tak
ingin aku menghajarmu!"
"Jubah Kapur!" seru Anjardani. "Mengapa kau begitu
bernafsu ingin membunuh Dewi Kesepian?!"
"Dia telah membunuh muridku secara pelan-pelan. Inupaksi sebentar
lagi mati karena racun yang ditularkan melalui kehangatan tubuhnya! Dia biang
petaka bagi para pemuda seusia muridku itu!"
"O, jadi Inupaksi bercumbu dengannya dan sekarang menderita
penyakit yang sukar disembuhkan?! Ah, itu hal yang kecil bagi Pendekar
Mabuk," ujar Anjardani sambil memandang ke arah Suto yang membantu Dewi Kesepian
untuk berdiri. Rupanya perempuan yang mengidap racun 'Asmara Kubur' telah
meminum tuak rendaman Batu Tembus Jagat, sehingga bukan hanya racun itu yang
hilang melainkan luka pukulan si Jubah Kapur itu pun tidak dirasakannya lagi.
"Kalian belum tahu celakanya racun dalam tubuh perempuan
itu!" ujar Jubah Kapur masih berang.
"Inupaksi menceritakan semuanya padaku, termasuk apa yang
dirasakannya dalam menderita penyakit laknat itu. Aku merasa dicabik-cabik oleh
kemesuman perempuan itu. Selayaknya jika ia mati dan tak akan pernah hidup
lagi, daripada menjadi wabah bagi kaum pria seusianya! Tapi rupanya si
Badranaya naksir dia, sehingga membelanya mati-matian!"
"Aku bukan naksir dia, Bodoh! Sudah kubilang padamu, jangan
gegabah dalam bertindak, dan kita harus mencari Suto Sinting, karena dialah
yang bisa sembuhkan muridmu, seperti dia menyembuhkan muridku. Tapi kau tidak
percaya dengan omonganku dan langsung menuduhku yang bukan-bukan! Sebagai seorang
Resi aku pantas merasa tak terima kau tuduh dengan tuduhan kotor itu,
Gelandangan Bodong!"
"Jaga mulutmu, Gendut!" bentak Jubah Kapur dengan mata
melotot dan tangan mau lepaskan pukulan jarak jauhnya lagi.
"Hentikan perdebatan kalian!" sentak Anjardani.
"Biarkan murid si Gila Tuak menyelesaikan persoalanmu, Jubah
Kapur!"
Pendekar Mabuk segera tampil meninggalkan Dewi Kesepian yang menahan
rasa duka dan haru mendengar kecaman yang dilontarkan padanya.
"Pertarunganmu mengguncangkan separo bagian bumi ini, Jubah Kapur.
Getarannya sampai terasa ke penjara terkutuk itu!" ujar Suto kepada si
Jubah Kapur.
"Pada dasarnya murkamu itu memang benar, tapi juga salah."
"Bocah ingusan sok menggurui yang tua!" sentak Jubah Kapur
dalam gerutunya.
"Kukatakan salah karena kau sudah diberi tahu oleh Resi Badranaya
mengapa masih nekat ingin membunuh Dewi Kesepian! Tahukah kau, dia menderita
racun 'Asmara Kubur' karena melawan Nyai Ronggeng Iblis, dan itu berarti dia
melawan kekejaman yang dapat membahayakan pihak tak bersalah. Mengapa kau hanya
bisa membunuhnya? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lebih baik daripada
membunuh?"
"Guru mana yang tidak murka jika muridnya terjebak dalam
percintaan terkutuk itu?!" bantah Jubah Kapur.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem.
"Inupaksi sebenarnya terjebak dalam penjara terkutuk. Penjara itu
ada di dalam pelukan Dewi Kesepian. Kalau ia tidak melanggar tata susila ia
tidak akan menderita sakit seperti sekarang ini! Sementara itu, Dewi Kesepian
sendiri juga terperangkap dalam penjara terkutuk berupa racun 'Asmara Kubur'
yang membuatnya serba salah."
"Suto...!" seru Resi Badranaya. "Jangan banyak bicara,
cepatlah pergi temui si Inupaksi dan buktikan omonganku tadi di depan si
gelandangan itu!"
Jubah Kapur berang lagi dan menuding Resi Badranaya. "Kalau
ternyata bocah sinting ini gagal, kepalamu kuhancurkan agar tak bisa bicara
dusta lagi, Gendut!"
"Apa kau ini bukan gendut juga, Jubah Kapur," sambil
Anjardani sunggingkan senyum geli. Jubah Kapur cemberut dan bersungut-sungut
pandangi Anjardani. Ia tak berani melawan karena ia tahu Anjardani mempunyai
ilmu lebih tinggi darinya.
Pendekar Mabuk lambaikan tangan kepada Dewi Kesepian, kemudian Dewi
Kesepian mendekat dengan wajah terbungkus duka dan rasa malu.
"Kau sekarang telah bebas dari racun 'Asmara Kubur', berarti kau
bebas dari penjara terkutuk yang dilepaskan oleh Nyai Ronggeng Iblis itu.
Kurasa sekarang kau tak perlu lagi mencari darah kemesraan seorang lelaki, kecuali
jika kau memang telah menikah dengan lelaki itu," kata Suto kepada
Yundawuni alias si Dewi Kesepian.
"Aku butuh bukti sampai dua malam!" katanya sambil menatap
Suto. "Jika benar dua malam aku tidak mengalami perubahan yang menyakitkan
dalam tubuhku, berarti racun itu memang telah sirna dari diriku. Kurasa aku
memang tidak perlu lagi memburu kemesraan seorang lelaki, kecuali...."
"Kecuali apa?" sergah Anjardani. Tapi Dewi Kesepian hanya
tundukkan kepala merasa takut berhadapan dengan perempuan yang mampu melerai pertarungan
dua tokoh sakti itu.
"Mengapa kau sampai terlibat pertarungan dengan mendiang Nyai
Ronggeng Iblis?!" tanya Suto kepada Dewi Kesepian.
"Kekasihku dibunuh olehnya setelah ia puas mencumbunya!"
"Oo... pantas Ronggeng Iblis melepaskan kutukan racun 'Asmara
Kubur', rupanya ia ingin membuatmu tersiksa oleh hasrat gairah yang
menyala-nyala sepanjang masa," ujar Anjardani.
"Jika kau ingin buktikan kemampuanmu mengobati muridku, sekarang
juga kita harus pergi ke Bumiloka! Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk
seorang perempuan! Perempuan kalau diberi waktu akan mengeruk kebebasan
kita!"
"Bicaramu jangan menyinggung perasaanku, Jubah Kapur!" gertak
Anjardani, dan Jubah Kapur pun diam sambil melengos. Suto Sinting hanya tertawa
geli, kemudian segera pergi bersama-sama mereka yang ada di situ ke Bumiloka.
"Kau harus ikut," kata Suto kepada Dewi Kesepian.
"Karena setelah itu kau harus tunjukkan di mana Temon, Panji
Klobot dan orang-orang yang telah menjadi korban racun itu."
"Aku bersedia membantumu," jawab Dewi Kesepian, "...
sambil membuktikan kemampuan tuakmu tadi."
"Aku akan mendampingi kalian!" sahut Anjardani.
"Mengapa harus kau dampingi?!" Suto bernada protes.
"Untuk menjaga kenakalanmu!" jawab Anjardani sambil tetap
memandang ke arah depan, tanpa pedulikan senyum Suto Sinting dan Dewi Kesepian.
Tuak dan Batu Tembus Jagat akhirnya menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan Dewi
Kesepian. Kini perempuan itu telah bebas dari racun 'Asmara Kubur' yang sama
artinya telah bebas dari penjara terkutuk yang menyedihkan itu. Demikian pula
Inupaksi, Temon, Panji Klobot, dan beberapa pria lainnya.
SELESAI
Segera terbit!!!
PUSAKA JARUM SURGA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.biogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon