1
BUKIT yang tak seberapa tinggi itu menjadi ajang pertarungan dua wanita
berusia sebaya, sekitar dua puluh tujuh tahun. Keduanya sama-sama punya
kecantikan dan daya tarik yang cukup kuat. Bedanya, yang satu berbadan langsing
namun sekal, yang satu berbadan padat berisi dan tampak lebih tinggi.
Yang lebih tinggi mengenakan jubah biru tanpa lengan. Jubahnya itu
tidak dikancingkan, tapi ia mengenakan penutup dada semacam kutang namun
terbuat dari kain tipis warna hitam. Tipisnya kain membuat gumpalan montok di
dadanya itu tampak membayang dari luar. Kelihatan kencang dan menantang.
Sedangkan pakaian bawahnya berupa kain tipis warna hitam berbelahan depan dari
bawah sampai ke atas. Jika kakinya menendang, belahan kain itu menyingkap dan
tampaklah sesuatu yang ada di balik kain tanpa penutup lagi.
"Gila! Ck, ck, ck, ck...! Bertarung sambil pamer perabot begitu
bisa bikin lawannya gugup kalau lawannya seorang pria," ujar batin seorang
pemuda yang menyaksikan pertarungan itu dari atas pohon.
Pemuda tersebut berbaju coklat, celana putih, pakai ikat pinggang kain
merah, membawa bumbung tuak, rambutnya panjang tanpa ikat kepala, wajahnya
ganteng tanpa jerawat, dan... siapa lagi kalau bukan muridnya si Gila Tuak yang
dikenal dengan nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk. Hobinya memang
mengintip, tapi yang diintip bukan perawan mandi, melainkan sebuah pertarungan.
Dari seringnya melihat pertarungan, Suto akan punya ingatan tentang beberapa
jurus yang perlu dipelajari kelemahannya, sehingga sewaktu-waktu ia berhadapan
dengan seseorang yang menggunakan jurus tersebut, ia tidak akan kewalahan lagi.
Perhatian Suto Sinting cenderung kepada perempuan tinggi sekal itu.
Ibarat ayam, ayam Bangkok. Penampilannya benar-benar mantap, baik mantap untuk
pertarungan di arena maupun untuk pertarungan asmara.
Apalagi dengan rambut digulung ke atas asal-asalan tapi dijepit pakai
penjepit dari perak, perempuan itu seakan memamerkan lehernya yang kuning mulus
tanpa cupang sedikit pun. Menggemaskan hati setiap pria.
"Aku baru sekarang melihatnya," ujar Suto dalam hati.
"Hidungnya mancung, bibirnya yang bawah agak tebal tapi menarik sekali.
Pas satu kecupan. Matanya memang agak lebar, tapi indah dan sedikit sayu, bikin
hatiku gemas juga. Oh... kenapa ia sejak tadi hanya menghindar dan menangkis?
Mana serangannya? Mengapa tak memberi perlawanan kepada si langsing?"
Si langsing itu juga berhidung mancung, tapi kecil. Wajahnya berkesan
mungil. Matanya bundar, rambutnya pendek, diikat dengan kain merah. Pakaiannya
serba ungu komprang. Kulitnya sawo matang. Tapi dadanya tampak kencang dan
sekal, walau tak semontok si jubah biru muda itu.
Si baju ungu menyelipkan pedang di pinggangnya, si jubah biru juga
menyelipkan pedang dari logam putih anti karat di pinggang. Tetapi ketika si
baju ungu mencabut pedangnya, perempuan berjubah biru itu tidak ikut-ikutan
mencabut pedang, ia hanya mundur dua tindak dan memasang kuda-kuda secara tak
nyata. Seakan ia malas melayani serangan lawannya.
"Sudah tiba saatnya kau kukirim ke neraka, Perempuan Lacur! Jangan
lari dariku kau!" seru si langsing berbaju ungu.
"Dewi Kesepian tak pernah lari dari pertarungan, Ambarini! Sebelum
lawannya mati, Dewi Kesepian tak akan hentikan pertarungan!"
"Mengapa kau tak membalas seranganku?!"
"O, itu urusanku! Mau membalas atau tidak, itu bukan
urusanmu," seru si jubah biru yang ternyata bernama Dewi Kesepian itu, Katanya
lagi, "Aku sebenarnya hanya ingin tahu, seberapa kekuatan jurusmu untuk
mengalahkan kekuatanku! Ternyata dari tadi seranganmu tak ada yang membahayakan
nyawaku. Sama seperti seekor semut yang menggigit, panas sedikit tapi tidak
bikin koit!"
Si langsing yang bernama Ambarini itu menjawab berseru semakin berang,
karena hatinya kian panas mendengar ejekan Dewi Kesepian.
"Kalau begitu, terimalah jurus 'Pedang Walet' ini!
Hiaaah...!"
Ambarini lakukan lompatan yang mirip seekor burung walet terbang.
Wuuut...! Pedangnya menebas leher Dewi Kesepian. Tetapi dengan gerakan merendah
hingga berlutut satu kaki, Dewi Kesepian berhasil hindari tebasan pedang itu.
Di luar dugaan, Ambarini bersalto satu kali di belakang Dewi Kesepian,
lalu pedangnya menyabet dari bawah ke atas. Wuus...! Craas...!
"Uuhk...!" Dewi Kesepian yang baru mau bangkit itu terpaksa
melompat dengan berjungkir balik menggunakan dua tangan sebagai tumpuannya. Bruuk..!
Kedua kakinya tepat menapak di tanah namun dalam keadaan tidak
serempak, ia berusaha berdiri, tapi tubuhnya menggeloyor limbung.
Rupanya pedang Ambarini telah kenai punggung Dewi Kesepian hingga jubah
birunya robek dan berlumur darah. Luka itu tepat menghadap ke arah tenpat
persembunyian Suto Sinting, sehingga pemuda itu dapat melihat jelas betapa
panjang dan mengerikannya luka itu. Darah yang keluar berwarna merah
kehitam-hitaman, menandakan luka itu beracun dan racun itu cukup berbahaya.
"Hiaaat...!" Ambarini lakukan lompatan lagi dengan tubuh
melayang lurus bersama pedang yang disentakkan ke depan. Wuuut...!
Dewi Kesepian menahan sakit, tapi ia masih bisa putar tubuhnya dan
layangkan tendangan kaki kanannya.
Wuuut, beet...! Wees...!
Pedang Ambarini terpental lepas dari genggamannya karena lengannya
terkena tendangan kuat bertenaga dalam dari Dewi Kesepian. Ambarini sempat
limbung dalam gerakan terbangnya, ia tak bisa menjaga keseimbangan karena
sentakan kaki kuat tadi.
Akibatnya, Dewi Kesepian dapat menghantam punggung Ambarini dengan
pangkal telapak tangannya. Dees...!
Buuhk...!
"Heekh...!"
Brrruk...! Ambarini jatuh terbanting. Hampir saja wajahnya menghantam
sebongkah batu hitam yang sejak tadi diam di situ tak mau ikut campur dalam
pertarungan.
Namun Ambarini segera mengangkat batu yang besarnya seukuran kepala
kuda itu. "Heeaaah...!"
Batu itu dilemparkan ke atas, lalu ditendang dengan ujung kakinya.
Wuuut, dees...!
Weerr...! Batu itu melayang ke arah dada Dewi Kesepian. Dengan gerakan
cepat, dihantamnya batu yang mendekatinya menggunakan kepalan tangan kanannya.
Dees...! Pyaaar...!
Batu itu hancur menjadi butiran sebesar merica, menandakan betapa
tinggi kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewi Kesepian itu sebenarnya. Andai
yang dihantam adalah kepala Ambarini, tentu kepala itu akan remuk dan kelak
tengkoraknya tak akan berbentuk seperti layaknya tengkorak orang mati puluhan
tahun.
Perempuan langsing itu masih penasaran, ia segera melepaskan pukulan
tenaga dalamnya dari jarak jauh.
Dengan sentakkan tangan kiri, telapak tangan itu keluarkan sinar hijau
lurus yang segera menghantam perut Dewi Kesepian. Claap...!
Beesss...!
"Aauhk...!" Dewi Kesepian terbungkuk sambil menyeringai,
kedua tangannya pegangi perut. Dari sela-sela jemari keluar asap menandakan
perutnya luka bakar, entah bolong atau hanya lecet, yang jelas Dewi Kesepian
sangat kesakitan.
Bet, bres, bres, plook...!
Wajah Dewi Kesepian menjadi sasaran empuk bagi kaki Ambarini. Dewi
Kesepian dihajar habis oleh Ambarini. Tapi anehnya Ambarini tak bisa membunuh
Dewi Kesepian dengan tangan kosong. Sekalipun Dewi Kesepian telah babak belur
dan lukanya amat parah, namun ia tetap berusaha bangkit berdiri. Walau sebelum
sempat berdiri, ia selalu tumbang kembali karena tendangan atau pukulan
Ambarini.
Melihat keadaan Dewi Kesepian berlumur darah, Suto Sinting tak tega.
Maka ketika Ambarini berusaha mengambil pedangnya untuk mengakhiri nyawa Dewi
Kesepian, Suto Sinting melepaskan jurus 'Jari Guntur' nya, berupa sentilan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam, besarnya seperti tendangan seekor kuda
jantan.
Pertama-tama pedang itu disentil lebih dulu dari jarak jauh. Tess...!
Zraaak...! Pedang itu terpental jauh, membuat Ambarini terbengong. Saat
perempuan itu terbengong, Suto Sinting menyentilkan jarinya lagi ke arah
pinggang Ambarini. Tess...! Buuhk...!
"Auh...!" Ambarini memekik dan terlempar kembali.
"Siapa orang yang menyerangku? Dari mana datangnya? Pasti dia ada
di pihak Dewi Kesepian! Agaknya ilmunya cukup tinggi. Tulangku menjadi linu
semua mendapat serangan tenaga dalamnya," pikir Ambarini sambil
menyeringai menahan sakit dan berusaha bangkit.
Baru saja dapat separo berdiri, tiba-tiba perutnya bagaikan ada yang
menendang dengan kuat. Buuuhkk...!
"Heeehk...!" Ambarini terpental ke belakang dalam keadaan
tubuh melengkung ke depan. Brruuk...! Ia pun jatuh terduduk dengan keras. Perut
menjadi mual, tulang punggung terasa mau patah.
"Keparat! Rasa-rasanya aku akan kewalahan jika melayani orang yang
memihak Dewi Kesepian itu! Sebaiknya kutinggalkan saja perempuan itu, sebentar
lagi pasti mati karena luka racun dari pedangku tadi!"
Ambarini akhirnya melompat menyambar pedangnya, kemudian sambil
terhuyung-huyung ia berlari menjauhi tempat itu. Sampai di kejauhan ia berhenti
sebentar dan serukan kata kepada Dewi Kesepian yang tersandar di bawah pohon.
"Sekali lagi kau mengganggu suamiku, kutebas batang lehermu,
Perempuan Jalang!"
Tanpa peduli suaranya didengar lawan atau tidak, Ambarini segera
melesat pergi menerabas semak belukar. Dan pada saat itulah Suto Sinting segera
muncul dari persembunyiannya. Dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mampu
bergerak secepat gerakan cahaya, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah berada di
samping Dewi Kesepian.
Zlaaap...!
la segera geleng-geleng kepala melihat keadaan Dewi Kesepian yang babak
belur itu. Wajahnya penuh luka, berlumur darah, tak punya tenaga lagi,
ooh...menyedihkan sekali. Pendekar Mabuk segera mengambil bumbung tuaknya yang
menyilang di punggung.
"Kasihan, wajah cantik-cantik jadi seperti topeng leak!"
gumam Suto Sinting, kemudian berusaha menuangkan tuak ke mulut Dewi Kesepian
dengan hati-hati. Sedikit demi sedikit
tuak tertelan oleh Dewi Kesepian. Perempuan itu tak tahu apa yang masuk ke
mulutnya, yang jelas bisa ditelan dan bisa dipakai membasahi kerongkongannya yang
kering, ia berhasil meneguk tuak sekitar lima tegukan. Setelah itu Suto Sinting
menenggak tuak sendiri, lalu menghembuskan napas lega. Matanya memandang
sekeliling, mencari tempat yang lebih teduh lagi. Ketika dilihatnya ada tempat
yang lebih teduh, walau keadaan tanahnya agak miring, Suto pun membawa Dewi
Kesepian ke tempat itu dengan mengangkatnya memakai kedua tangan.
Dewi Kesepian tak tahu bahwa ia telah menelan tuak sakti yang
berkhasiat menyembuhkan luka serta penyakit dalam waktu singkat. Sebenarnya
bukan tuaknya yang sakti, melainkan bumbung tuak itulah yang mempunyai kekuatan
sakti karena jelmaan dari seorang tokoh dunia persilatan masa lalu yang sering
disebut-sebut Suto sebagai Eyang Buyut Guru Wijayasura, kakek gurunya si Gila
Tuak. Segala macam jenis tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung bambu
itu maka ia akan berubah menjadi tuak sakti.
Terbukti dalam beberapa saat saja keadaan Dewi Kesepian sudah mulai
normal kembali. Luka-lukanya mengering, kemudian luka itu menyempit dan
akhirnya hilang bagai terserap ke dalam kulit. Luka di punggung akibat pedang
beracun si Ambarini juga mengering dan lenyap tak berbekas. Darah yang
berceceran di tubuh dan pakaian Dewi Kesepian bagaikan menguap diserap angin.
Dewi Kesepian terkejut setelah menyadari tubuhnya bersih dari luka dan
tidak merasa sakit di bagian mana pun. Justru badannya merasa lebih segar dari
saat sebelum bertarung melawan Ambarini tadi.
Perempuan itu semakin tampak kecantikannya. Tubuhnya yang kuning
langsat itu ternyata ditumbuhi bulu-bulu halus yang menggetarkan hati setiap
lelaki. Bulu halus itu tumbuh sampai di bagian lengan, belakang pergelangan
tangan, dan sekitar tengkuknya. Suto Sinting sempat merinding karena menahan
getaran hati yang gemas-gemas senang melihat bulu halus itu.
"Ooh... kau...?!" Dewi Kesepian terkejut setelah mengetahui
ada seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak duduk di atas akar pohon yang
menonjol bagai batu itu. Lebih terkejut lagi setelah Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum, maka Dewi Kesepian mulai merasakan ada sentakan halus di dalam hatinya.
Sentakan itu menimbulkan rasa nyaman dan indah, sehingga ia pun menjadi
grogi sesaat, ia memandang sekeliling, ternyata Ambarini sudah tak ada dan
orang lain pun tak ada kecuali si pemuda tampan berhidung bangir dan bermata
bening teduh itu.
"See... seingatku aku tadi terluka parah, ter... terkena...
terkena racun pedangnya Ambarini. Tapi mengapa sekarang aku... aku jadi bersih
tanpa luka sedikit pun?" ucapnya lirih bagai bicara pada diri sendiri.
"App... apakah kau yang menolongku dan menyembuhkan lukaku
tadi?"
"Mungkin," jawab Pendekar Mabuk sok berlagak cuek.
Perempuan yang mempunyai suara agak besar dan serak-serak menggairahkan
itu mulai perdengarkan suaranya lagi setelah ia memandang ketempat
pertarungannya tadi, ternyata di sana tak ada Ambarini.
"Ke mana Ambarini tadi? Apakah dia melarikan diri?"
"Barangkali," jawab Suto lagi berlagak angkuh.
"Dingin sekali sikapnya," ujar batin Dewi Kesepian.
Lalu, ia pun mulai menampakkan sikap angkuhnya untuk membalas keangkuhan
Suto Sinting. "Terima kasih atas bantuanmu!" ucapnya datar, lalu ia
segera melangkah pergi.
"Hei, tunggu dulu!" Suto Sinting mengejar, Dewi Kesepian
tetap melangkah dengan wajah memandang lurus ke depan. Suto terpaksa menghadang
langkahnya.
"Begitukah sikapmu terhadap orang yang telah menolongmu?"
"Minggir...!" katanya dengan sedikit menyentak bernada sinis.
Tetapi Suto tetap tak mau minggir. Maka, Dewi Kesepian segera sentakkan
tangannya ke depan, dan tiba-tiba Suto seperti diterjang badai besar yang
membuatnya terpental terbang dengan ringannya.
Wuuut...! Brruuk...!
Punggung Suto membentur pohon dengan kuat. Duuur...! Pohon itu sampai
bergetar, beberapa daun dan bunganya berguguran. Suto menyeringai merasakan
tulang punggungnya terasa remuk dan sukar untuk berdiri. Akhirnya ia hanya
terengah-engah sambil bersandar pada batang pohon itu. Matanya memandang lesu
ke arah wajah cantik berbibir menggemaskan itu.
"Gila! Sentakan tangannya begitu kuat dan berbahaya sekali. Kalau
tak kuimbangi dengan menahan napas murniku, bisa jebol perutku," ujar Suto
Sinting dalam hati.
Dewi Kesepian melangkah lagi tinggalkan Suto, seakan ia tak peduli
keadaan Pendekar Mabuk, walau ia yakin bahwa pemuda tampan itulah yang tadi
menolongnya dari luka parah itu. Namun ia pun yakin bahwa sikapnya yang cuek
dan angkuh akan membuat si pemuda menjadi penasaran.
Keyakinan itu memang benar. Sebab setelah Suto Sinting menenggak
tuaknya untuk obati rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia segera mengejar langkah
Dewi Kesepian dan menghadang langkah perempuan itu lagi.
"Kau punya kekuatan hebat! Tapi mengapa tidak kau gunakan untuk
melawan Ambarini tadi?!" sambil Suto menuding-nuding seperti protes
terhadap sikap Dewi Kesepian di dalam pertarungan tadi.
"Jangan halangi langkahku!" Dewi Kesepian tetap berlagak
angkuh, belum puas membalas keangkuhan Suto Sinting.
"Tunggu dulu, ada yang ingin ku...."
Beet! Tiba-tiba kaki Dewi Kesepian berkelebat tak diketahui kapan
bergeraknya. Tahu-tahu dada Suto Sinting sudah menjadi sasaran empuk dan membuat
tubuh pemuda gagah dan kekar itu terlempar ke belakang dan jatuh
berguling-guling menuruni lereng bukit. Jika tak ada akar pohon yang tumbuh
mirip papan berlapis-lapis itu, mungkin Suto akan menggelinding terus sampai di
kaki bukit.
Dewi Kesepian membelokkan arah langkahnya dan tetap cuek terhadap
keadaan Suto Sinting.
"Kampret...!" teriak Suto memaki nasibnya yang sial. Tapi
justru makian itu membuat langkah Dewi Kesepian terhenti dan memandang Suto
dengan sinis.
"Namaku Dewi Kesepian, bukan Kampret! Kampret itu nama kakekku.
Lengkapnya: Ki Dulang Kampret!"
Suto tertawa geli sambil menahan sakit di lututnya yang tadi membentur
batu.
"Hei, aku tidak bermaksud memanggilmu atau menyebutkan nama
kakekmu! Aku memaki diriku sendiri yang bernasib sial! Sudah menolong,
eeh...dadanya nyaris bolong!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi, hanya dua teguk. Karena tiba-tiba
jantungnya terasa melemah, kadang detakannya menyendat-nyendat, kadang justru
hilang tanpa detakan. Pendekar Mabuk cemas akan keadaan jantungnya, maka ia
segera meminum tuak itu.
Dan pada saat itu ia mendengar Dewi Kesepian berkata sambil hampiri
dirinya.
"Itulah sebabnya, kalau diajak bicara orang jangan berlagak
angkuh!"
Pendekar Mabuk menyeringai. "Maaf, aku tadi memang
menggodamu."
"Anggap saja aku pun menggodamu."
"Iya, tapi tidak perlu sampai mau menjebolkan dadaku."
"Aku hanya menendang urat jantungmu."
"Urat jantungku?!" Suto berkerut dahi.
"Apakah jantungmu merasa tersendat-sendat dan sesekali terasa
seperti tidak berdetak lagi?"
"Hmmm... hmmm... iya, memang begitu."
"Nah, itulah yang dinamakan jurus 'Tendangan Jalur Jantung', dalam
sepuluh helaan napas kau akan pingsan!"
"Tapi... sekarang jantungku tidak mengalami perubahan apa-apa
lagi."
"Kuhitung empat kali, kau pasti roboh! Satu...."
Suto Sinting nyengir sambil menempelkan telapak tangannya ke dada,
merasakan detak jantungnya yang memang normal karena sudah minum tuak.
"Dua.... Tiga...."
"Habis ini aku roboh, ya?"
"Iya. Empat...!"
"Robohnya di sebelah mana?!" Suto clingak-clinguk mencari tempat.
"Enaknya aku pingsan di bawah pohon itu saja, ya? Biar teduh!"
"Konyol!" geram Dewi Kesepian yang merasa terheran-heran.
"Mengapa kau tidak langsung pingsan dan bahkan masih bisa bersikap konyol
begitu?"
"Mungkin tendanganmu hanya berlaku untuk jantung pisang. Bukan
jantung manusia!" sindir Suto membuat Dewi Kesepian menjadi malu dan
dongkol, ia menarik napas dan membuangnya dalam dengus kekesalan hati.
Suto Sinting hanya cengar-cengir sambil melihat-lihat keadaan di atas
pohon, sengaja bersikap meremehkan jurus yang dibanggakan perempuan itu.
"Ternyata kau orang kuat!" ujar Dewi Kesepian secara jujur.
"Selama ini belum pernah ada orang yang bisa menahan jurus 'Tendangan
Jalur Jantung'-ku. Baru kaulah orangnya."
"Mengapa tidak kau pakai untuk melawan Ambarini?"
"Oh, kau kenal dengan Ambarini?"
"Aku hanya mengutip bicaramu saat menyebutkan namanya tadi,"
jawab Suto sambil menunduk sebentar dan garuk-garuk kepala. Kemudian ia
memandang Dewi Kesepian dan bicara dengan serius.
"Dari dua seranganmu yang kurasakan tadi, menurutku kau seharusnya
bisa menumbangkan Ambarini! Tapi mengapa kau sepertinya tak mau menyerang atau
melukainya, bahkan membiarkan dirimu dihajar habis-habisan begitu?! Hampir saja
kau mati karena racun pedangnya kalau tidak kupaksa untuk meminum tuakku."
"O, jadi tuak itu yang membuatku sehat secara ajaib ini?"
pikir Dewi Kesepian, tapi mulutnya melontarkan kata lain.
"Aku merasa bersalah kepadanya. Kuterima hajarannya yang
bertubi-tubi itu sebagai hukuman kesalahanku."
"Boleh kutahu kesalahan apa yang membuatmu rela dihukum sedemikian
rupa "
Dewi Kesepian memandang Suto dengan tegas, tanpa sungkan dan malu-malu.
"Aku tidur dengan suaminya; si Rayundita."
Suto Sinting tertawa panjang tapi tak sampai terbahak-bahak. Dewi
Kesepian tetap pandangi Suto dengan mata tak berkedip, tajam dan penuh
ketegasan.
Ketika menyadari dipandang tajam oleh Dewi Kesepian yang tidak
tersenyum sedikit pun itu, Suto Sinting buru-buru hentikan tawanya, karena ia
segera sadar tawanya itu menyinggung perasaan si perempuan cantik itu.
"Kau jujur sekali. Tapi mengapa kau sampai tidur dengan si
Rayundita?"
"Karena aku tak tahu kalau dia sudah beristri!"
"Apakah dia tampan?"
"Tidak setampan dirimu!" jawabnya tegas lagi tanpa senyum
sedikit pun.
"Apakah dia perkasa?"
"Tidak seperkasa dirimu juga!"
"Atau... mungkin kau mencintainya?"
"Tak ada cinta di hatiku!"
"Lalu, apa yang meribuatmu nekat tidur dengannya?"
"Karena aku butuh darahnya."
"Hah...?! Butuh darahnya?"
"Darah kemesraan ssorang lelaki harus kuperoleh setiap malam. Aku
hanya bisa bertahan tidak menerima darah kemesraan seorang lelaki selama dua
malam. Itu pun sudah membuatku amat tersiksa."
"Mengapa begitu?!"
"Aku terkena kutukan beracun dari Penguasa Pulau Siluman...."
"Oh, maksudmu.... Nyai Ronggeng Iblis?!"
"Benar! Rupanya kau mengenalnya?!"
"Hmmm... eeh... ya, aku mengenalnya, tapi langsung membunuhnya!"
Dewi Kesepian terperanjat dan menjadi tegang.
"Kau...?! Kau membunuh Nyai Ronggeng Iblis?!" ia seakan tak
percaya.
"Ya, aku membunuhnya demi menyelamatkan seorang gadis yang terkena
pukulan 'Sabda Sirna', yang membuat gadis itu tak memiliki raga," (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
Dewi Kesepian tiba-tiba melemas dan jatuh terduduk dengan wajah sedih.
"Hei, kenapa kau?! Kenapa kau jadi lemas dan pucat?!"
Perempuan itu tak menjawab, namun bola matanya mulai berkaca-kaca
pertanda sebentar lagi tangisnya akan datang. Suto semakin kebingungan.
*
* *
2
DEBUR ombak di pantai curam terdengar bagai irama nyanyian setan.
Pantai curam itu mempunyai tebing tinggi berdinding karang tegak lurus. Di atas
tebing itu, tampak seorang pemuda berusia dua puluh tahun sedang ditempa ilmu
kanuragan oleh gurunya.
"Tendangan kiri, hup...! Tendangan kanan, huup...! Tendangan
depan, huup...! Tendangan belakang, huup...!"
Brruk...!
Sang Guru jatuh sendiri, maklum usianya sudah hampir seratus tahun
kurang beberapa bulan. Kumis, jenggot, dan alis sudah memutih semua. Rambut di
kepalanya tinggal tujuh belas lembar lebih sedikit. Tubuhnya yang kurus tampak
sudah lemah untuk lakukan gerakan-gerakan menyentak. Namun sang Guru masih bisa
menutupi kelemahannya itu di depan muridnya.
"It tad ten yang sal...!"
"Apa maksud Guru?"
"Itu tadi contoh tendangan yang salah, Tolol! Jangan
ditirukan!"
Sang murid justru cekikikan menertawakan alasan sang Guru dan
membayangkan jatuhnya sang Guru yang seperti kodok gagal melompat. Melihat
muridnya cekikikan, sang Guru dekati sang murid lalu menamparnya. Plook...!
"Kal sed lat jang ter!"
"Apa artinya itu, Guru?'
"Kalau sedang latihan jangan tertawa!"
Sang murid langsung diam, tak berani cekikikan, bahkan tak berani
tersenyum. Berdirinya tegak, wajahnya serius menyedihkan, pandangannya lurus
dan mulutnya ternganga sedikit. Sang Guru berkata kembali sambil mundur tiga
langkah.
"Cob ul jur yang tad!"
Sang murid paham maksud gurunya, ia disuruh mengulangi jurus yang tadi.
Maka, sang murid pun lakukan tendangan kiri, kanan, dan depan. Sang Guru manggut-manggut
sambil berucap lirih.
"Bag, bag, bag...."
"Maksudnya; bagong, Guru?"
"Bagus!" bentak sang Guru, suaranya masih rada lantang, tak
kentara seperti suara orang berusia hampir seratus tahun. Sedangkan suara sang
murid kecil cempreng seperti kaleng kerupuk dipukul pakal sandal.
Rupanya sang Guru mempunyai kebiasaan bicara pendek. Dulu ketika ia
menuntut ilmu di sebuah perguruan, ia diajarkan bahasa sandi untuk berbicara
dengan sesama rekan perguruannya. Bahasa sandi itu sampai sekarang menjadi
bahasa sehari-hari baginya.
Akibat kebiasaan itulah maka sejak usia empat puluh tahun ia dikenal dengan
nama si Omong Cekak. Setelah tua dikenal dengan panggilan; Eyang Omong Cekak.
Sedangkan muridnya yang kurus berambut pendek lurus itu bernama Temon.
Nama itu pemberian dari Eyang Omong Cekak, karena bocah itu ditemukan hanyut di
sebuah sungai yang sedang dilanda banjir dalam usia tujuh belas tahun. Ketika
ditemukan, ia tidak tahu siapa keluarga dan di mana rumahnya, bahkan ia tidak
tahu namanya sendiri. Mungkin kepalanya terbentur-bentur benda keras saat
hanyut di sungai sehingga membuatnya lupa ingatan (amnesia). Benturan benda
keras pada kepalanya itu juga mengakibatkan ia tumbuh sebagai pemuda yang
kadang-kadang goblok, kadang-kadang cerdas. Bukan pintar-pintar bodoh, tapi
bodoh-bodoh pintar.
"Sek jur puk tang kos."
Sang murid berkerut dahi pertanda kurang mengerti terjemahan bahasa
sandi itu. Eyang Omong Cekak akhirnya menjelaskan dengan bahasa yang benar.
"Sekarang latihan jurus tangan kosong!"
"Oooo...," Temon manggut-manggut. Bajunya yang berlengan
panjang longgar warna putih bola-bola merah seperti celananya itu segera
dirapikan sebentar, kemudian ia mengambil sikap kuda-kuda berkaki rendah
renggang ke samping.
"Yang sep kem mar, ya?"
"Maksudnya, yang seperti kemarin itu, Guru?"
"Ya. Siap?!"
"Siap, Guru!"
"Mul...!"
Temon masih diam saja dengan posisi kaki rendah menyamping kedua tangan
menggenggam rapat di pinggang.
"Mul...!" bentak si Omong Cekak dengan jengkel sambil dekati
Temon. Temon memandang dengan berkerut dahi.
"Muuuul...!" seru sang Guru makin jengkel. Temon
clingak-clinguk. Plaaak...!
"Kenapa malah clingak-clinguk!" sentak sang Guru.
"Kusangka Guru memanggil temanku; si Mulyana."
"Mul itu artinya mulaiiiii...! Uhuk, uhuk, uhuk."
Omong Cekak terbatuk-batuk karena terlalu emosi dalam bicaranya. "Ayo,
mul...!" perintahnya. Maka Temon pun segera berlatih jurus pukulan ke
depan. Gerakannya sangat
kaku dan lamban, seakan tidak bertenaga. Omong Cekak jengkel, akhirnya
kepala Temon dikeplaknya. Plaaak...!
"Aduh...!" Temon tersentak menggeloyor. "Kenapa aku
dikeplak, Guru?"
"Karena kau punya kepala!" jawab Omong Cekak seenaknya.
"Tenagamu mana?! Tenagamu manaaaa...?!" teriak Omong Cekak saking
jengkelnya, lalu terbatuk-batuk lagi.
"Kal memuk har pak ten... pak ten... pak ten!" ulangnya
dengan jengkel.
"Apa itu pak ten?"
"Kalau memukul harus pakai tenaga, pakai tenaga, pakai
tenagaaaa...! Goblok!" lalu Omong Cekak menggerutu sambil
bersungut-sungut. "Sudah tiga tahun jika muridku masih belum becus
menggunakan jurus pukulan! Das ot ud!"
"Ya, memang das ot ud, Guru."
"Apa kau tahu artinya das ot ud?"
"Tidak, Guru!" jawab Temon tegas seperti prajurit.
"Kenapa pakai bilang: ya? Das ot ud itu artinya 'dasar otak
udang', tahu?!"
Temon diam, wajahnya menyedihkan, matanya kedip-kedip seperti anak
cacingan, ia tetap tegak, memandang lurus ke depan. Sang Guru berdiri di
depannya dengan tongkat kayu hitam berujung ukiran tangan menggenggam tetap
dipegang tegang dengan tangan kanannya.
"Kalau satu tahun lagi kau belum bisa kuasai jurus pukulan,
kubuntungi kedua tanganmu. Mengerti?"
Temon tersenyum sambil memandang lurus ke depan dan tetap berdiri tegak
seperti prajurit.
"Satu tahun kemudian, kau tidak bisa kuasai jurus tendangan,
kubuntungi juga kedua kakimu. Paham?"
Temon tersenyum lagi, matanya mengerling genit.
"Genap enam tahun, kau tidak bisa kuasai jurus apa-apa dariku,
lehermu kubuntungi. Jelas?"
Temon mengedipkan mata sebelah sambil makin tersenyum. Tapi berdirinya
masih tetap tegak, kaki rapat, tangan rapat, wajah lurus ke depan.
"Sampai sepuluh tahun kau tidak bisa kuasai jurus apa pun dariku,
perutmu kubuntungi! Ingat itu!"
Temon tersenyum, anggukkan kepala sedikit, mata kanan berkedip-kedip
genit.
Plook...!
Tiba-tiba Temon menggeragap kaget karena wajahnya ditampar oleh sang
Guru.
"Diberi tahu malah senyum-senyum dan kedip-kedip! Meremehkan, ya?
Kau meremehkan nasihatku ini, ya?!" gertak sang Guru.
"Tidak, Guru!" jawab Temon tegas bersuara keras.
"Mengapa kau sejak tadi hanya senyum-senyum ganjen dan kedip-kedip
mainkan mata?!"
"Karena...," jawab Temon tegas dan keras juga.
"Karena... di depanku ada wanita cantik, Guru!"
"Ah, yang bener...?!" bisik sang Guru, kemudian mencoba
melirik ke belakang.
Omong Cekak kaget, ternyata di belakangnya dalam jarak tujuh langkah
telah berdiri seorang perempuan cantik berjubah biru muda.
Perempuan itu tak lain adalah Dewi Kesepian yang larikan diri dari Suto
sebelum memberi penjelasan lebih lengkap tentang wajah sedihnya saat mendengar
Nyai Ronggeng Iblis telah dibunuh Suto itu. Diam-diam Suto pun mengikuti
kepergian Dewi Kesepian dan mengintainya dari kejauhan.
Melihat kehadiran seorang wanita cantik bertubuh sexy menggairahkan,
Omong Cekak menjadi salah tingkah. Jubahnya dirapikan, badannya ditegakkan biar
kelihatan gagah, bahkan ia berbisik kepada Temon.
"Pin sis, pin sis...!"
"Apa maksud Guru?"
"Pinjam sisirnya, Tolol!"
"Wah, dari rumah aku tidak membawa sisir, Guru. Lagi pula, rambut
Guru tinggal tujuh belas lembar saja kok mau disisir!"
"Bi kel gan."
"Bi kel gan itu apa, Guru?"
"Biar kelihatan ganteng."
"Walaaa... sudah tua kempot gigi nyaris omong begitu kok masih
kepingin ganteng."
"Car ak sis...," bisik Omong Cekak lagi dengan menyenggol
lengan muridnya. "Carikan aku sisir, Dungu!"
"Di pantai begini mana ada sisir? Kalau toh ada paling-paling
hanya duri ikan yang mirip sisir! Guru mau sisiran pakai duri ikan?"
"Amis, Tolol!"
"Makanya... sudahlah, kepala Guru digosok saja biar mengkilat,
nanti kan kelihatan ganteng!"
"Malah seperti biji salak, Bodoh!"
Akhirnya Omong Cekak dekati Dewi Kesepian dengan langkah tertatih-tatih
namun dipaksakan untuk tegak dan berusaha agar kelihatan gagah. Temon diam di
tempat, tertawa cekikikan melihat tingkah sang Guru.
"Sudah tua, peot, keriput, kok masih genit kalau melihat
perempuan. O, ala.... Guru, Guru... apa ya masih bisa kencan orang sepertimu
itu," ujar Temon pelan sekali. "Benar-benar tua-tua keledai, makin
tua makin mirip keledai. Jalan saja sudah sempoyongan kok masih mau naksir
perempuan. Uuh...! Kalau tidak ingat aku tak punya saudara lagi, malas aku ikut
dia! Mana tiap hari dibentak-bentak, digoblok-goblokkan, salah sedikit main
keplak, yuh... sengsara betul aku ikut dia. Tapi, yaah... daripada aku telantar
tanpa tempat tinggal tanpa tempat makan, biarlah kukuat-kuatkan ikut
dia...."
Temon penasaran, ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh sang Guru
dengan perempuan cantik itu. Maka ia berlagak mencari sesuatu sambil mendekati
tempat pertemuan sang Guru dengan Dewi Kesepian.
"Hai...," sapa kakek setua Omong Cekak itu. Alisnya
disentakkan naik dengan senyum tua dari mulut yang sudah miskin gigi itu.
"Sendirian saja Nona?"
"Ya, sendirian saja. Kenapa?" Dewi Kesepian bicara dengan
senyum geli tertahan.
"Mau gabung dengan kami? Kami sedang berlatih jurus 'Sapu Langit'.
Satu kali pukulan langit akan pecah menjadi delapan bagian."
"Hmmm...," Dewi Kesepian hanya tersenyum bernada sinis.
"Bela pad ku cuk mur dan tid bay."
Dewi Kesepian berkerut dahi. "Kau bicara apa, Kakek Kempot?"
"Belajar padaku cukup murah dan tidak bayar."
"Aku tidak tertarik pada ilmumu! Aku justru ingin mengangkat
pemuda itu menjadi muridku!"
"Eit, tid bis...!"
"Apa itu tid bis?"
"Tidak bisa! Temon adalah muridku. Sudah tiga tahun dia menjadi
muridku, mengapa kau mau serobot dia?"
"Aku mau! Aku mau!" seru Temon tiba-tiba.
Buuhk...! Kaki si Omong Cekak menendang perut Temon, membuat Temon
berhenti bicara, hilang kegembiraan, berganti wajah menyeringai menahan mual
pada perutnya.
"Aku merawatnya sebagai murid selama tiga tahun, mengapa kau
tiba-tiba mau menyerobotnya! Itu namanya mematikan semangatku sebagai seorang
Guru yang harus mengamalkan ilmunya pada orang lain!" Omong Cekak mulai
ngotot.
"Jadi apa maumu?" tantang Dewi Kesepian.
"Kalau mau mengangkat Temon sebagai muridmu, kau harus mau
mengangkatku sebagai Maha Guru, yang berarti lebih tinggi kedudukannya
darimu!"
Dewi Kesepian tersenyum sinis, lalu dengan cueknya melangkah dekati
Temon. Pemuda itu langsung tegak, kaki rapat, wajah menghadap ke depan, tanpa
senyum apa pun, seperti prajurit menunggu perintah panglimanya.
"Kau mau jadi muridku?"
"Siap! Saya mau, Nona!" jawab Temon keras dan tegas.
"Sudah dapat apa kau selama tiga tahun menjadi murid Kakek
itu?"
"Siap. Tidak dapat apa-apa kecuali tamparan dan makian,
Nona!"
"Jang buk kar!" sambil Omong Cekak sodokkan tongkatnya ke
betis Temon.
"Kau bilang apa, Kakek?"
"Jangan buka kartu!" jawab Omong Cekak dengan cemberut.
"Memalukan saja anak ini!" ia menyambung dengan gerutuan, tapi
gerutuan itu tak dihiraukan oleh Dewi Kesepian.
Perempuan tinggi itu masih berdiri di depan Temon, kedua tangannya
bersidekap di dada. Mata Temon sempat melirik ke dada itu, namun segera
memandang lurus kembali ketika belahan dada yang montok itu sengaja ditutup
dengan telapak tangan pemiliknya .
Temon sedikit grogi karena Dewi Kesepian memandanginya tanpa bicara
lagi. Omong Cekak segera berkata kepada Dewi Kesepian.
"Bol ku tah sia nam?"
Dewi Kesepian berkerut dahi pertanda tak mengerti maksud Omong Cekak.
Maka kakek itu pun segera mengulang ucapannya dengan bahasa yang benar.
"Boleh kutahu siapa namamu, Nona?"
"Dewi Kesepian!" jawabnya singkat.
"Oh, bag sek nam it! Eeh... maksudku, bagus sekali nama itu.
Sangat serasi dengan namaku, Sayang."
"Siapa namamu, Kakek?"
"Namaku Jejaka Rindu!"
Temon menyahut dengan kendorkan sikap kakunya.
"Lho... katanya Guru bernama si Omong Cekak. Kok sekarang ganti
Jejaka Rindu?"
"Wangsit wasiat dari dewata itu datangnya tidak diduga-duga,
Temon! Kalau wangsit wasiat mau datang sore, ya sore itulah kudapatkannya.
Kalau mau datang pagi atau siang, tak ada yang melarang!"
"O, jadi Guru tadi baru saja kedatangan wangsit wasiat dari
dewata?"
"Iya. Dan sang dewata membisikkan kata padaku, bahwa aku harus
mengubah nama menjadi Jejaka Rindu. Karena selama ini aku memang merindukan
cinta suci seorang wanita sejati, contohnya seperti si Dewi Kesepian ini!
Bukankah begitu, Dewi?"
"Bukan!" jawab Dewi Kesepian dengan tegas.
"Wangsit dewata sudah lewat, kau ketinggalan, Kakek. Karenanya,
sebaiknya kau tetap saja memakai nama mu: Omong Cekak!"
"Lho, jadi si wangsit sudah lewat? Kok tidak mampir padaku,
ya?" gumam si Omong Cekak bagai bicara sendiri.
"Temon!" tegur Dewi Kesepian. "Sudah siapkah kau menjadi
muridku?!"
"Siap, Ibu Guru!" jawab Temon dengan tegas dan tegak kembali.
"Eh, tunggu dulu! Bagaimana dengan diriku? Kau belum mengangkatku
sebagai Maha Guru kalian!" Omong Cekak protes.
Dewi Kesepian sunggingkan senyum tipis sinis.
"Maha Guru...?! Apa kehebatanmu sehingga minta diangkat sebagai
Maha Guru, Omong Cekak?"
"Meremehkan...!" geram Omong Cekak. Kemudian ia tancapkan
tongkatnya ke tanah. Craak...! Tongkat kayu itu ternyata mampu ditancapkan pada
tanah berbatu karang keras. Jika tanpa tenaga dalam, tak mungkin kayu itu bisa
menancap di tanah berbatu karang keras seperti menancap di tanah persawahan.
"Kau ingin lihat kemampuanku? Inilah buktinya!" kata Omong
Cekak. "Coba cabut tongkat ini kalau memang kau mampu!"
Dewi Kesepian sunggingkan senyum makin lebar, ia melirik Temon,
kemudian berkata dengan pelan tapi bernada penuh wibawa.
"Sebagai calon murid, tolong cabutkan tongkat itu. Kau mewakili
aku, Temon!"
"Siap, Ibu Guru!" seru Temon penuh semangat, kemudian ia
bergegas mencabut dengan dua tangan.
"Hiak...! Hiaak..., aahhh!"
Temon mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut tongkat itu.
Napasnya sampai ngos-ngosan, keringatnya bercucuran, wajahnya jadi merah, tapi
tongkat itu masih belum bisa dicabut dari tempatnya, bahkan bergerak sedikit
pun tidak. Omong Cekak pun menertawakannya.
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, nih...! Carilah seratus orang
untuk membantumu, kau tak akan bisa mencabutnya, Temon! Hieh, heh, heh... hoh,
hoh... hih, hih...!"
"Calon Guru... tongkat ini pasti digigit naga di dalam tanah!
Sukar dicabut, Calon Guru!"
"Minggir...!" Dewi Kesepian bergegas maju dekati tongkat.
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...! Apalagi perempuan,
tenaganya seberapa? Yang lelaki saja tak kuat mencabut, kok yang perempuan mau
ikut? Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...!"
Pendekar Mabuk yang sejak tadi bersembunyi di suatu tempat yang aman
dan rapi, sempat berkata dalam batinnya.
"Rupanya si Omong Cekak baru keluarkan kesaktiannya. Sejak tadi
tak kulihat kehebatan Ilmunya.
Agaknya ia ingin sekali diakui sebagai orang berilmu yang lebih tinggi
dari Dewi Kesepian. Tapi... apakah Dewi Kesepian sanggup mencabut tongkat
itu?!"
Dengan sekuat tenaga, Dewi Kesepian mencoba menarik tongkat ke atas
dengan satu tangan.
"Hiaaah...! Huuuhk... aaah...!"
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih.... Biar sampai perutmu
jebol, tak mungkin kau bisa mencabutnya, Dewi Kesepian!"
Rasa penasaran membuat Dewi Kesepian mencabut dengan dua tangan. Tenaga
dalamnya dikerahkan, urat-uratnya keluar semua, tapi ternyata tongkat itu tetap
menancap kuat, seakan telah menembus belahan bumi di bagian lain. Omong Cekak
terpingkal-pingkal bangga melihat Dewi Kesepian terengah-engah dan gagal
mencabut tongkatnya.
"Hieh, heh, heh... hoh, hoh... hih, hih...! Ayo, keluarkan semua
kekuatan tenaga dalammu! Biar sampai beranak tujuh, tak mungkin kau bisa
mencabut tongkatku, Sayang! Hieh, heh, heh, hoh, hoh, huh, huh, huh, hah, hih,
hih, huuuuaah...! Hieh, hieh, hieh...!"
Pendekar Mabuk membatin dari persembunyiannya, "Itu orang tertawa
apa kesurupan?! Tertawa kok seperti orang kesurupan?!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk juga penasaran dan ingin mencoba. Tapi
perasaan itu ditahannya kuat-kuat. Ia harus tetap bersembunyi agar tidak
diketahui Dewi Kesepian bahwa ia mengikuti gerakan perempuan itu.
"Bag, ma ing cob?"
"Aku tak tahu bahasamu!" sentak Dewi Kesepian.
"Bagaimana, apa masih ingin coba?" Temon menerjemahkan bahasa
sandi itu.
"Baiklah. Kuakui kau punya kehebatan yang tak bisa
kukalahkan!"
"Kau menyerah? Baik... beginilah cara mencabutnya!
Huup...!"
Omong Cekak menghentakkan kakinya ke tanah.
Duuhk...!
Ia terbengong, "Lho, kok tidak melesat naik?!"
Dewi Kesepian dan Temon sengaja memperhatikan terus, membuat si Omong
Cekak jadi salah tingkah.
Duuhk, duuhk, duuhk...!
Kaki dihentakkan ke tanah berulang-ulang, tapi tongkat itu masih tetap
diam tak bergeming. Omong Cekak jadi bingung sendiri dan garuk-garuk kepala.
"Manaa...? Kok tidak bisa tercabut, Guru?" ujar Temon sambil
mencibir meremehkan.
"Biasanya bisa terbang sendiri dalam satu hentakan kakiku!"
"Mungkin salah mantra, Gurul"
"Mungkin juga! Hmmm... coba kupusatkan tenaga dalamku ke telapak
kaki!"
Omong Cekak pejamkan mata, tangannya bergerak naik pelan-pelan dan
menyentak turun dengan cepat sambil hentakkan kaki ke tanah. Duuuhk...!
"Waah... tongkatnya terbang tinggi sekali! Wah, wah, wah...!"
Temon memandang ke langit, padahal tongkat masih tetap tidak bergeming. Omong
Cekak jadi malu dan dongkol mendengar sindiran Temon.
"Ya, ampuuun... tongkatnya sampai menembus langit lho. Kalau
sa...."
Plook...! Mulut Temon ditabok oleh Omong Cekak. Pemuda itu kaget dan
gelagapan.
"Ja menghin il ku, ya?! Sekali lagi kau menghina ilmuku,
kupecahkan rahangmu!"
"Kau tak perlu marah begitu, Omong Cekak! Kau memang terbukti tak
punya kemampuan mencabut tongkat sendiri. Wajar kalau Temon mengejekmu, karena
tadi kau juga menghinanya!" ujar Dewi Kesepian membela Temon.
"Sial! Terpaksa harus dicabut dengan cara biasa saja!" gerutu
Omong Cekak, kemudian ia mencabut tongkat dengan tangan satu.
"Huuup...!"
Tongkat masih tak bisa tercabut. Omong Cekak jengkel, lalu mencabutnya
dengan tangan dua. "Huuh...!"
Brruuk..! Omong Cekak jatuh terduduk dan napasnya terengah-engah.
Tongkat itu belum bisa dicabut. Dewi Kesepian tersenyum geli, Temon cekikikan
dengan berlindung di belakang Dewi Kesepian. Omong Cekak bangkit berdiri dan
berlagak tenang.
"Kubilang juga apa... susah dicabut tongkat ini, Nak!"
Lalu, ia clingak-clinguk sambil menggerutu sendiri,
"Sialan! Kenapa jadi susah dicabut, ya? Aduh, malu sekali aku
kalau begini caranya! Mau pamer ilmu di depan perempuan cantik malah malu
sendiri."
Pendekar Mabuk pun ikut heran dari tempat persembunyiannya.
"Mengapa bisa begitu?! Kurasa ada yang tak beres di sekitar mereka."
Omong Cekak masih penasaran. Untuk menutupi rasa malunya kepada Dewi
Kesepian, ia mengerahkan tenaga intinya hingga seluruh tubuhnya gemetar. Lalu,
tongkat itu digenggam ujung atasnya dan ditarik ke samping dengan penuh tenaga.
Setidaknya ia berharap tongkat akan tercabut bersama jebolnya tanah di
bawahnya. Tetapi agaknya tongkat tetap tidak bisa ditarik begitu saja.
Kepala tongkat yang licin membuat tongkat terlepas dari genggaman
tangan si Omong Cekak. Akibatnya, tongkat itu melentur balik seperti dari
karet.
Plaas, bletok...!
Kepala tongkat yang berupa ukiran tangan menggenggam itu memantul kenai
kepala si Omong Cekak sendiri. Omong Cekak tak bisa berteriak, ia pengangi
jidatnya yang langsung bengkak membiru. Tangan yang satunya meraba-raba mencari
pegangan karena tubuhnya limbung. Akhirnya ia jatuh terkapar tak sadarkan diri
alias pingsan.
Brrruk...!
"Lho, Guru...?! Guru...?! Tongkatmu belum tercabut kok sudah
pingsan?!" Temon mengguncang-guncang tubuh Omong Cekak. Dewi Kesepian
bergegas menarik lengan Temon.
"Lekas kita tinggalkan tempat ini. Aku yakin ada yang tak beres di
sekitar sini, Temon!"
"Maksud Ibu Guru bagaimana?"
"Sudahlah, kita lari dulu! Aku punya tempat yang aman untuk kita
berdua! Nanti kujelaskan di sana!"
"Tapi... tapi.. bagaimana dengan Eyang Guru Omong Cekak
ini?!"
"Biarkan saja dia pingsan, nanti akan siuman sendiri."
"Tapi...."
"Kau mau jadi muridku apa tidak?!" sentak Dewi Kesepian.
"Mmmma... maau... mau sekali!"
"Lekas ikut aku!"
Dewi Kesepian akhirnya membawa lari Temon, sementara si Omong Cekak
masih tetap cuek karena pingsan. Pendekar Mabuk menjadi bingung, mau
menyelidiki sekitar tempat itu atau mengikuti Dewi Kesepian?
"Aku yakin ada tokoh sakti yang jahil di sekitar tempat ini! Entah
apa maksudnya mempermainkan si Omong Cekak itu. Tetapi... tetapi aku ingin tahu
apa yang dilakukan Dewi Kesepian terhadap Temon.
Benarkah dia akan ajarkan ilmunya dan mengangkat Temon sebagal
muridnya? Atau... mungkin dia punya maksud lain terhadap Temon?!"
*
* *
3
SESUATU yang tak beres seperti dugaan Pendekar Mabuk itu akhirnya
menampakkan diri. Mula-mula Suto melihat cahaya merah samar-samar bergerak
bagaikan nyala api yang hampir redup. Cahaya merah samar-samar itu mendekati
tongkat si Omong Cekak.
Makin lama cahaya itu semakin redup. Tetapi di balik keredupannya
tampak sebentuk bayangan yang samar-samar. Pendekar Mabuk menjadi penasaran
hingga ia bergerak lebih dekat lagi dengan tetap menjaga kerapian
persembunyiannya.
"Benda apa itu? Bentuknya seperti obor, tapi juga seperti keris.
Sekarang malah menjadi tinggi dan membentuk seperti bayangan manusia?! Hmmm...
apa itu, ya?"
Pendekar Mabuk tetap pertahankan diri di tempat persembunyiannya,
walaupun di tempat itu ia mulai dirayapi semut merah yang jika menggigit terasa
panas, namun Suto berusaha untuk tidak keluarkan suara apa pun. Bahkan mengusir
semut pun dengan belaian lembut, wajahnya hanya menyeringai merasakan gigitan
panas semut-semut itu.
Beberapa kejap kemudian, gigitan panas dari semut-semut itu tidak
terasa lagi karena perhatian Suto semakin tertarik pada sebentuk bayangan aneh
yang tadi tampak samar-samar itu. Bayangan tersebut sekarang kian jelas, dan
semakin jelas lagi sampai membentuk sosok tubuh manusia seutuhnya.
Kini sosok tubuh manusia itu tidak membayang kabur lagi. Benar-benar
jelas seperti halnya memandang Omong Cekak yang masih terkapar dalam keadaan
pingsan itu. Pendekar Mabuk kerutkan dahi, karena baru kali ini melihat seorang
perempuan berwajah tua, keriput, tapi masih bertubuh sekal, dadanya masih
montok berisi, bahkan pinggulnya masih tampak menggiurkan, seperti halnya
pinggul milik perempuan usia dua puluh lima tahun.
"Wajahnya begitu tua dan keriput-keriput, matanya cekung besar dan
hidungnya pesek nyaris gerumpang. Bibirnya
pecah-pecah dan giginya bertonjolan tak rata. ih... menyeramkan sekali! Tapi
mengapa tubuhnya masih semontok itu, ya? Siapa dia gerangan?" pikir Suto
Sinting sambil keluarkan napas pelan-pelan, takut helaan napasnya terdengar
oleh si perempuan berjubah hijau tipis dan berpinjung kuning gading sama dengan
warna celana ketatnya yang sebatas betis itu. Rambut perempuan itu masih hitam,
meriap lembut sepanjang punggung. Kepalanya mengenakan ikat kain merah
berbintik-bintik kuning, ia selipkan senjata berupa kipas warna hijau di
pinggangnya.
Perempuan itu berjari lentik dengan kuku tidak begitu panjang tapi
berbentuk bagus. Jari lentik itu diacungkan ke arah Omong Cekak. Claaap...!
Sinar putih perak keluar dari salah satu jarinya, lalu sinar itu menghantam
tubuh Omong Cekak. Tiba-tiba tubuh tua si Omong Cekak tersentak dan ia menjadi
siuman.
Omong Cekak segera terkejut melihat kehadiran tokoh wanita berwajah
menyeramkan itu. Tetapi rasa kaget itu tidak membuat Omong Cekak ketakutan
seterusnya, ia hanya menarik napas dengan gerutu tak jelas seraya menepuk-nepuk
dadanya yang terasa tersentak saat melihat kehadiran si wajah menyeramkan.
"Seperti anak kecil saja kau, Tanuyasa! Sudah tua masih mau pamer
ilmu di depan perempuan cantik! Maksudmu biar si Dewi Kesepian tadi terpikat
olehmu, bukan?!"
"Kutu kambing! Rupanya kau yang menggangguku tadi, Rupa
Setan!" geram Omong Cekak sambil bersungut-sungut melengos.
"Aku sengaja membuat tongkatmu terpaku dengan bumi biar kau
mendapat malu di depan perempuan cantik itu!"
"Ter, ap mak mu?!"
Rupa Setan mengerti maksudnya. Omong Cekak menanyakan, "Terus, apa
maksudmu?"
Maka si Rupa Setan pun menjawab, "Kuingatkan padamu, sebaiknya kau
pulang ke pertapaan!"
"Aku sudah bosan bertapa!" gerutu Omong Cekak.
"Aku terlalu rajin bertapa, akhirnya lupa belum punya istri! Aku
kepingin punya istri, Rupa Setan!"
"Sudah terlambat, Tanuyasa!" ujar Rupa Setan dengan memanggil
nama asli si Omong Cekak. "Usiamu sudah tidak memungkinkan punya keturunan
lagi!"
"Tapi... tapi aku masih punya gairah! Mau dibuang ke mana
gairahku? Ke sungai terus, bosan!"
"Buanglah gairahmu padaku, Tanuyasa!"
"Uh, malas!" Omong Cekak makin cemberut, ia mencoba mencabut
tongkatnya. Bluuus...! Mudah sekali, bagai dicabut tanpa butuh tenaga. Anak
kecil pun mampu mencabutnya. Itu pertanda si Rupa Setan telah lepaskan
kekuatannya yang tadi dipakai memaku tongkat tersebut dengan bumi.
"Kalau aku mau, sejak dulu kau sudah kukawini. Setidaknya
kugerayangi!"
"Mengapa kau selalu menolak kehadiranku, Tanuyasa?" Rupa
Setan makin mendekat.
"Habis, ilmuku tidak setinggi ilmumu! Kau tidak mau membagi
ilmumu, sehingga aku malu mempunyai istri yang ilmunya lebih tinggi
dariku."
"Mengapa malu?"
"Karena... karena kalau aku menamparmu, kau bisa membalasku dan
aku bisa bonyok!" jawab Omong Cekak bernada jengkel.
Pendekar Mabuk berucap membatin, "Ooo... ternyata si Rupa Setan
naksir Tanuyasa sejak lama, tapi Tanuyasa tidak mau menanggapi. Agaknya mereka
bersahabat sudah sejak lama. Mungkin sejak usia muda. Berarti, usia si Rupa
Setan itu juga sudah setua Tanuyasa alias si Omong Cekak? Mungkin karena
menggunakan ramuan khusus atau mantra ilmu pengawet muda, sehingga Rupa Setan
masih tampak segar dan montok, cuma sayangnya ilmu awet muda itu tidak bisa
membuat wajahnya cantik dan muda."
Rupa Setan berkata lagi, "Tanuyasa, apakah kau lupa dengan nasihat
Guru kita? Kau harus bertapa selama delapan puluh tahun. Mengapa baru empat
puluh lima tahun bertapamu sudah kau hentikan?"
"Sudah kubilang aku bosan, aku bosan...! Bertapa terus di tempat
sepi, tak ada hiburan tak ada kesenangan. Sedangkan ilmuku belum juga
bertambah! Lebih baik sisa hidupku kugunakan untuk mencari kenikmatan yang
belum pernah kurasakan, yaitu kawin dan tidur dengan istriku!"
"Bukankah mendiang Guru kita pernah bilang, bahwa setelah kau
selesaikan bertapamu maka kau akan menjadi semuda dulu, ketika kau berusia
tujuh belas tahun dan baru masuk ke perguruan? Dan kemudaan-mu itu akan abadi,
kau bisa memilih calon istri seperti apa pun cantiknya, karena kau akan kembali
setampan dulu!"
"Ah, tanpa bertapa pun aku masih tampan, gagah, dan menawan!"
sambil Omong Cekak merapikan pakaian, memamerkan kegagahan dan ketampanannya
yang hanya bisa diakui oleh orang buta dari jarak jauh.
Omong Cekak berkata lagi, "Pergilah sana, jangan ganggu aku lagi!
Aku mau mengejar Dewi Kesepian!"
"Bukankah aku ada di dekatmu, Tanuyasa?"
"Aku suka sama Dewi Kesepianl Ilmunya pas-pasan kalau kutampar
akan menangis, kalau sudah menangis baru minta dipeluk. Bukan seperti kau,
kalau ditampar ganti menampar, meretakkan kepalaku! ingatlah kau, dulu kau
pernah meretakkan kepalaku?!"
"Karena kau meremas dadaku tanpa izin, Tanuyasa!"
"Mana ada meremas dada pakai izin dulu! Uuh... konyol itu namanya!
Meremas dada ya tak perlu izin. Sejak saat itulah aku tak suka padamu, Rupa
Setan! Oleh sebab itu, carilah pria lain dan biarkan aku mengejar Dewi
Kesepian! Pasti dia akan semakin kesepian jika tidak mendapat pelukanku!"
"Kau belum tahu siapa dia, Tanuyasa!"
"Tentu saja aku tahu dia, karena aku tidak buta!"
"Tapi kau belum tahu bahwa dia perempuan yang terkena pencemaran
kutuk!"
"Ap maksudmu?" Omong Cekak kerutkan dahi.
"Dewi Kesepian terkena kutuk beracun dari Ronggeng Iblis,"
tutur si Rupa Setan. "Kutukan beracun itu menyiksa hidupnya, karena dia
akan selalu membutuhkan darah kemesraan seorang lelaki untuk meredam racun
kutukan itu. Jika sampai dua malam ia tidak mendapatkan darah kemesraan seorang
lelaki, maka seluruh darah merahnya akan membusuk, jantungnya pun membusuk dan
napasnya menyebarkan wabah penyakit bagi siapa saja yang berada dalam jarak
sepuluh langkah darinya. Kutukan beracun itu hanya diucapkan oleh si Ronggeng
Iblis dan langsung mengenai dirinya. Tak ada obat yang mampu kalahkan kekuatan
racun kutukan itu kecuali dari diri si Ronggeng Iblis sendiri. Tetapi kudengar,
Ronggeng Iblis telah binasa di tangan pendekar muda yang bernama Suto
Sinting."
Pendekar Mabuk membatin, "Ooo... pantas Dewi Kesepian menjadi
lemas dan menangis ketika kukatakan bahwa Nyai Ronggeng Iblis telah tewas di
tanganku!"
Tanuyasa masih ngotot, "Kebetulan kalau dia selalu membutuhkan
darah kemesraan, aku akan berpesta cinta setiap malam dengannya."
"Kau tidak akan mampu bertahan sampai satu purnama, karena siapa
pun yang telah bercumbu dengannya, siapa pun yang kencan dengan Dewi Kesepian,
maka jalan darahnya akan mengalami pembekuan dan cepat atau lambat pria itu
akan mati!" kata si Rupa Setan.
"Hmmm... kau mengarang cerita untuk mencegahku agar tidak mengejar
si Dewi Kesepian itu, Anjardani! Aku tak percaya!"
"Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku tak ingin kau menjadi
korban wabah kutukan beracun itu, Tanuyasa! Karena itu, maafkan aku jika aku
mengambil jalan pintas untuk selamatkan dirimu!"
Claaap...! Tiba-tiba dari kedua bola mata yang cekung mendalam itu
keluar dua sinar hijau lurus. Kedua sinar hijau itu menjadi satu di pertengahan
jarak, lalu menghantam dada kiri Omong Cekak. Deeebs...!
Uuuhkk...!" Omong Cekak tersentak dan terbungkuk, ia berpegangan
tongkatnya untuk menahan tubuh agar tak limbung. Matanya memandang sayu kepada
si Rupa Setan.
"Kau jah pad ku, Rup Set!"
"Ak terpak iak dem kesel mu!"
"Tap buk beg car...."
"Tak ad car ia kec beg, Tan yas!"
Tanuyasa jatuh berlutut napasnya tersendat-sendat.
"Ak ku bal perbu mu in, Rup Set!"
"Jang mar, ak kuba kau ke pon ku!"
Pendekar Mabuk hanya menggerutu dalam hati, "Sialan! Ngomong apa
mereka itu sebenarnya?! Kak, kuk, kak, kuk... seperti bebek mau dipotong
saja!"
Tetapi kejap berikutnya, Pendekar Mabuk melihat si Rupa Setan memutar
kedua tangannya di samping telinga dalam keadaan kedua jari masing-masing
tangan dikeraskan. Lalu, kedua tangan itu menyentak ke depan seperti
melemparkan pisau. Wuuut...! Dari kedua ujung jari tersebut keluar sepasang
sinar hijau kebiru-biruan.
Sinar itu segera membungkus tubuh Tanuyasa. Zaaab, suuurrb...! Tubuh si
Omong Cekak menyusut kecil, lalu menjadi satu genggaman, menggumpal dan
memancarkan cahaya hijau kebiru-biruan. Cahaya itu pun segera melesat setelah
si Rupa Setan yang bernama asli Anjardani itu berubah menjadi bayangan, lalu
lenyap dan berganti sinar merah samar-samar. Sinar merah itu menyangga sinar hijau
kebiru-biruan.
Weeesss...! Kedua sinar itu melesat ke atas bagai menembus langit.
Pendekar Mabuk hanya bisa dibuat terbengong-bengong penuh keheranan sambil
memandang langit. Seekor burung terbang melintas, di atas kepala Suto. Burung
itu membuang kotoran.
Craat...!
Plook...! Kotoran burung jatuh di kening Suto Sinting, barulah pemuda
tampan itu sadar dari keterbengongannya dan segera menggerutu tak karuan sambil
kebingungan membersihkan kotoran burung tersebut..
"Jangan-jangan si Rupa Setan yang buang ingus ke jidatku! Kurang
ajar!" sambil ia bergegas menuju ke tepian pantai datar untuk membersihkan
kotoran burung tersebut.
Sambil mencuci kepalanya dengan air laut, Suto merenungkan kata-kata si
Rupa Setan.
"Tak kusangka keberhasilanku membunuh Nyai Ronggeng Iblis ternyata
bukan saja menyelamatkan salah satu jiwa, namun juga mencelakakan jiwa lain. Kasihan
amat si Dewi Kesepian itu. Ia tak punya obat untuk melumpuhkan kekuatan kutuk
beracun yang di deritanya! Hmmm... mengerikan sekali. Seandainya aku bercumbu
dengannya dan sampai mencapai puncak kenikmatan bersama, maka aku akan tertulat
penyakit aneh itu, jalan darahku akan membeku, lalu aku akan mati. Tetapi si
Dewi Kesepian itu tetap akan hidup mencari korban baru. Oh, haruskah perempuan
itu dimusnahkan agar tak menyebarkan wabah bagi kaum lelaki di dunia
ini?!"
Tiba-tiba renungan itu terhenti, kecamuk batin Suto pun hilang
seketika, ia selesai mencuci rambut dan kepalanya. Saat mau berbalik ke tempat
yang kering, langkahnya terhenti juga karena memandang seraut wajah yang sudah
ada di sana, seakan menunggunya dengan penuh kesabaran.
"Resi...?! Resi Pakar Pantun...?! Ha, ha, ha, ha...!"
Suto Sinting berlari kegirangan karena sudah cukup lama tidak bertemu
dengan tokoh tua yang amat akrab dengannya itu.
"Janda genit jangan diajak bertapa,
sekali bertapa maunya main cinta.
Lama kita tak pernah jumpa, s
ekali jumpa mengapa mirip gurita?"
Suto Sinting segera membalas pantun si Resi Pakar Pantun dengan wajah
ceria dan tangan terbuka.
"Naik perahu turun gunung,
gunung di dada banyak lumutnya.
Memang lama kita tak jumpa,
tapi kau lebih mirip ikan baronang!"
"Janda kembung beranak golok,
ndak nyambung goblok!"
Suto Sinting tertawa, karena memang ia tak ahli membuat pantun. Tapi
justru hadirkan kelucuan setelah mendengar pantun kejengkelan si tokoh tua
berpakaian model biksu warna abu-abu itu.
"Dari mana saja kau, Suto?! Mengapa lama tak kulihat di rimba
persilatan?"
"Kaulah yang bersembunyi, Eyang Resi! Aku sudah melanglang buana,
sampai menjelajah alam gaib dan dunia dasar bumi, tapi aku tak menemukan
dirimu. Kusangka kau sudah berteman dengan rayap-rayap pengunyah mayat!"
"Doamu jelek sekali. Orang tua kok didoakan cepat mati!"
gerutu Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting hanya tertawa geli. Tapi tawanya segera hilang setelah
Resi Pakar Pantun tampak murung dan merenung, walau matanya memandang jauh ke
cakrawala.
"Ada apa, Eyang Resi? Kau kelihatannya murung dan sedih?"
"Pelayanku hilang!"
"Maksudmu, si Kadal Ginting itu?"
"Benar! Beberapa waktu yang lalu kupergoki ia sedang bercinta
dengan seorang perempuan, kemudian ia takut padaku dan melarikan diri, sampai
sekarang ia tak kembali padaku."
"Kadal Ginting bercumbu dengan seorang perempuan, begitu
maksudmu?"
"Ya. Dia bercumbu di semak-semak tanpa mengajakku. Padahal aku
tahu siapa perempuan itu. Dia adalah perempuan berbahaya. Kudengar kabar dari
mulut ke mulut, perempuan itu menyimpan wabah penyakit berbahaya karena terkena
racun kutukan atau kutukan beracun!"
"Maksudmu... maksudmu si Dewi Kesepian?"
"Ya, benar!" jawab Resi Pakar Pantun dengan cepat.
"Celaka! Kalau begitu Kadal Ginting dalam bahaya!"
"Apakah kau bertemu dengan Kadal Ginting?"
"Ya, tapi tak kulihat ia bersama si Dewi Kesepian. Tapi ia
bersama... bersama.... Wah, jangan-jangan Temon jadi korban wabah kemesraan
beracun itu?!" pikir Suto dengan tegang dan cemas, ia segera berkata lagi
kepada sang Resi, "Aku tahu ke mana arah kepergian Dewi Kesepian! Aku akan
mencari dan menanyakan tentang Kadal Ginting kepadanya!"
Kecemasan Suto ada benarnya. Temon dibawa oleh Dewi Kesepian ke dalam
sebuah gua yang biasa dipakai beristirahat para pencari kayu atau para
pengembara.
Kala itu, senja mulai datang dan Dewi Kesepian sudah persiapkan kayu
bakar untuk nyalakan api unggun di dalam gua tersebut.
"Kita bermalam di sini dulu, Temon. Apakah kau keberatan?"
"Tidak, Ibu Guru! Aku sangat tidak keberatan bermalam di sini
bersamamu, asalkan aku mendapatkan ilmu yang dahsyat seperti ilmunya Pendekar
Mabuk itu!"
"Oh, apakah kau kenal dengan Pendekar Mabuk?"
"Tidak, tapi aku sering mendengar cerita kehebatannya dari
beberapa orang yang makan di kedai-kedai itu, Ibu Guru. Dia hebat, sakti,
gagah, dan ganteng."
Dewi Kesepian tarik napas, terbayang wajah Suto Sinting. Ada sesuatu
yang mengganjal di hatinya yang membuatnya sempat gelisah dan resah. Namun
kegelisahan dan keresahan itu dibuangnya sedikit demi sedikit dalam bentuk
hembusan napas beberapa kali.
"Memang dia gagah dan ganteng...," ucapnya lirih sambil
menata kayu untuk dibakar.
"Ibu Guru sudah pernah bertemu?"
"Pernah, tapi... tapi hanya sebentar," jawab Dewi Kesepian
dengan lirih juga.
"Ibu Guru suka pada ketampanannya dan kegagahannya?"
"Entahlah! Kurasa kau tak perlu banyak bertanya tentang itu. Kita
lupakan saja tentang Pendekar Mabuk untuk sesaat. Kau siapkan diri untuk
pelajari ilmu pertama dariku."
"Baik, ibu Guru! Sekarang juga aku harus mulai belajar?"
"Sebentar lagi, kalau petang sudah datang dan dingin mulai
mencekam."
Kayu unggun segera dinyalakan. Cukup dengan melepaskan satu pukulan
tenaga dalam bersinar merah kecil dari telunjuk Dewi Kesepian, kayu itu sudah
bisa terbakar dan suasana di dalam gua menjadi temaram.
Saat itu Temon sedang menata beberapa ilalang kering yang untuk
dijadikan alas tidur. Temon melepas bajunya sendiri dan digelar di atas ilalang
kering itu sebagai pelapis alas tidur untuk sang guru.
"Kenapa bajumu kau lepas?"
"Ibu Guru silakan tidur di atas baju saya biar tubuh Ibu Guru
tidak gatal. Saya cukup menggunakan alas tidur tanpa pelapis, karena sudah
biasa tidur di rumput, he, he, he...."
Dewi Kesepian sunggingkan senyum kecil. "Rupanya ia punya bakat
jadi pelayan setiaku," pikirnya sambil melirik Temon sebentar.
"Temon, kau bisa memijat?"
"Bisa, ibu Guru...."
"Panggii saja aku: Guru."
"O, ya. Baik. Hmmm... aku memang punya tugas tiap malam memijat
punggung Eyang Omong Cekak, Guru.
Apakah Guru ingin dipijat punggungnya?"
"Ya, punggungku terasa pegal. Soalnya tadi aku habis bertarung
dengan seorang musuh."
"Wah, hebat sekali! Guru pasti menang, bukan?"
"Yah, seperti yang kau lihat sendiri," sambil Dewi Kesepian
melepaskan jubahnya dan meletakkan pedangnya di samping pembaringan.
"Tubuhku tak ada yang terluka, bukan?!"
"Benar. Tubuh Guru tetap utuh, halus, mulus, dan...."
Temon tertegun sesaat, karena Dewi Kesepian bukan saja melepas jubahnya,
namun juga melepas penutup dadanya. Sayang sekali kala itu Temon berada di
belakang Dewi Kesepian, sedangkan sang Dewi segera menelungkupkan badan ke atas
pembaringan.
"Pijatlah sekarang juga, Mon."
"Bba... ba... baik, Guru," Temon menjawab dengan menggeragap,
karena hatinya berdebar-debar dan tangannya menjadi gemetar.
"Mengapa tanganmu gemetar, Mon?"
"Hmm... hmmm... iya, anu... soalnya Eyang Omong Cekak tidak pernah
pijat sambil lepas baju begini, Guru."
"Apa bedanya? Toh sama saja."
"Hmmm... eeh... ya, tidak ada bedanya. Tapi... tapi saya belum
pernah... belum pernah memegang tubuh perempuan tanpa baju, Guru," ujar
Temon semakin tampak gemetar. Keringatnya mulai tersumbul di bagian kening
karena jantungnya berdetak-detak cepat ketika merasakan kehangatan tubuh yang
dipijatnya. Dewi Kesepian tertawa dalam hati, dan ia berlagak tidak
mempedulikan gemetarnya tubuh Temon itu. Ia sengaja menikmati pijatan tangan
Temon yang memang terasa enak.
"Pijatan tanganmu enak sekali, Mon. Kau pantas menjadi dukun pijat."
"Tee... terima... terima kasih atas pujian Guru," jawab Temon
mulai parau karena kerongkongannya ikut gemetar.
"Agak ke bawah sedikit, Mon. Pinggangku capek sekali
rasanya."
Perintah itu dituruti oleh Temon. Ia memijat bagian pinggang dengan
keringat mulai mengalir dari pori-pori lengannya.
"Oh, enak sekali pijatanmu. Coba ke bawah sedikit, Mon."
Jantung Temon semakin berdetak-detak karena ia harus memijat bagian
pinggul. Pinggul itu terasa bagai digagahi oleh kedua tangan Temon. Bertambah
menyentak-nyentak degup jantung Temon pada saat itu.
"Bawah lagi, Mon...."
Sebenarnya Temon ragu. Tapi karena ingin dianggap murid yang patuh
perintah Guru, maka Temon pun memijat bagian pantat Dewi Kesepian.
"Agak kuat sedikit remasanmu, Temon."
"Bbbbaabb... bbbaaabb... bababbb...."
"Mau omong apa kau ini?"
"Baaaik, Guruuu..," lalu napas Temon terhembus lepas, ia
terengah-engah menahan gejolak yang sudah membakar hatinya. Gejolak itu tak
lain adalah gejolak gairah bercinta yang selama ini hanya bisa tumbuh dalam
angan-angan semata.
"Agak ke tengah, Mon. Jangan pinggirnya saja," perintah Dewi
Kesepian. Tentu saja Temon semakin gemetaran karena jika ia harus meremas
bagian tengah berarti akan menyentuh bagian yang selama ini belum pernah
disentuhnya dari seorang wanita.
"Yaah... itu, Mon! Ooh... enak sekali pijatanmu, jangan terlalu
keras. Kurangi sedikit dan, oh... yaaa... itu enak, Mon. Begitu terus,
ya?"
"Bbbbaaaabb... bababbbbi... eehh, bbbaabbbii... aduh,
bbbbaaaab...."
"Ada apa, Mon."
"Anu, anu, annuuuu... aannnn...."
"Ada apa dengan anumu?"
"Anuu... yaaa... anu, Guru...."
Dewi Kesepian cekikikan geli.
"Tunggu sebentar, Mon." Dewi Kesepian berbalik badan. Kini ia
telentang dengan kaki sedikit renggang.
"Pijat bagian betis, Mon."
"Iiyyy... iya, Guru," jawab Temon dengan wajah pucat dan
keringat bercucuran. Padahal malam telah tiba dan angin malam membawa udara
dingin masuk ke gua tersebut. Namun tubuh Temon justru dibanjiri oleh keringat
yang membuat badannya berkilauan. Dewi Kesepian tersenyum-senyum melihat Temon memijat
bagian betis sambil tundukkan kepala, seakan tak mau menampakkan wajahnya.
"Naik sedikit, Mon...."
Bagaimana jantung Temon tidak seperti genderang perang jika ia harus
memijat lebih atas lagi dari betis, berarti memijat bagian paha. Sedangkan kain
hitam yang membungkus bagian kaki hingga perut terbuat dari kain tipis
berbelahan tengah. Saat itu belahannya menyingkap dan tampaklah sebentuk
kemulusan kuning langsat dari paha sekal itu.
Karena perintah Guru, mau tak mau Temon memijat bagian paha. Sedangkan
Dewi Kesepian hanya mengenakan kain hitam itu saja, tak ada kain lagi yang
merangkapinya. Tak heran jika remasan tangan yang memijat itu semakin lemah dan
lemah sekali. Justru yang dirasakan Dewi Kesepian adalah getaran kuat dari
jari-jari yang menempel di pahatnya itu.
"Naik sedikit lagi, Mon...," perintah Dewi Kesepian.
Tapi perintah tersebut kali ini disertai suara mendesah, karena Dewi
Kesepian sudah mulai dibakar oleh gairah yang bergolak dalam dadanya. Hasrat
ingin bercumbu mulai timbul karena sentuhan tangan Temon.
Terlebih setelah Temon menuruti perintahnya memijat bagian lebih atas
lagi, hati perempuan itu semakin berdesir-desir ditaburi rasa nikmat yang
mencekam jiwa.
"Bergeserlah agak mendekat kemari, Temon," sambil tangan Dewi
Kesepian menarik kain celana Temon agar duduknya lebih mendekat ke samping
pinggangnya.
Temon pun bergeser sesuai keinginan sang Guru. Dengan begitu, tangan
Dewi Kesepian dapat mencapai paha Temon dan tangan itu mulai meremas-remas
lembut, lalu merayap lebih ke dalam lagi. Temon tak bisa bicara sama sekali,
karena napasnya kian memburu dan mulutnya sibuk menelan ludah. Tangan Temon
sendiri menjadi kian gemetar pada saat ia merasakan menyentuh sesuatu yang
lebih hangat dari bagian lainnya.
Dewi Kesepian menarik simpul kain ikat pinggang Temon. Lepasnya kain
ikat pinggang membuat kendurnya celana Temon, sehingga tangan perempuan itu pun
semakin lebih nakal lagi, menelusup dan meraih sesuatu yang membuat jantung
Temon menendang-nendang dadanya, ia belum pernah dijamah perempuan, baru kali
ini ia merasakan jamahan perempuan sehingga sulit sekali bagi Temon untuk
mengendalikan diri.
"Temon...!" ucap Dewi Kesepian sambil bangkit.
Kini ia duduk berdekatan dengan Temon, tapi tangan kanan Temon masih
tetap memijat bagian yang diminta sang Guru tadi. Pijatan itu cenderung berupa
usapan jari yang penuh getaran, sehingga Dewi Kesepian semakin ditaburi rasa
nikmat menjerat hati.
Tangan kiri Dewi Kesepian meraba kepala Temon.Mengusap rambut kepala
itu dengan pandangan kian sayu. Bibirnya mulai merekah seakan menantang untuk
dikecup. Tapi Temon hanya diam saja karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Anak ini benar-benar lugu, belum pernah bercinta dengan siapa
pun," pikir Dewi Kesepian. Mau tak mau ia mendekatkan kepala Temon ke
dadanya.
"Ambil... ambillah, Temon...."
"Mmmaak... maaak... maksud Guru bagaimana?"
Dewi Kesepian tidak bisa menjawab karena tangan Temon yang sedang
memijat halus itu semakin bergetar kuat. Akhirnya ia hanya bisa meletakkan
mulut Temon tepat di ujung gumpalan dada kanannya. Kepala itu sedikit ditekan
dan ujung dada itu pun terbenam masuk ke mulut Temon.
"Aaaow...!" Dewi Kesepian memekik dan segera menarik kepala
Temon.
"Jangan digigit, Tolol!" sentaknya bernada manja.
"Hab... hab... hab... habis diapakan, Guru?"
"Kau tahu bagaimana jika bayi sedang kehausan?"
"Hmmm... iya... iya, tahu sekali, Guru."
"Jadilah bayi! Kau bayinya dan aku ibunya. Paham?"
"Tap... tapi... tapi bayi tidak sedang haus, Guru."
"Ini pelajaran jurus pertama! Kau harus menjadi bayi yang kehausan,
dan aku pura-pura Ibumu. Bisakah kau lakukan hal itu?"
"Oh, biss... bisa...!" jawab Temon dengan berseri-seri.
Kemudian ia pun menjadi bayi yang kehausan.
"Ooooh...!" Dewi Kesepian mengerang panjang dengan mata
terpejam kuat. Lalu bibirnya digigit sendiri dengan suara erangan mirip gumam
memanjang.
"Temon, tunggu dulu! Berhenti sebentar."
Temon berhenti menjadi bayi. Ia memandang Dewi Kesepian dengan napas
terengah-engah.
"Sekarang akan kuajarkan jurus 'Induk Kucing' namanya."
"Ya, ya, ya...!" Temon bersemangat sekali. "Kau pernah
melihat seekor kucing memandikan anaknya?"
"Hmmm... o, ya! Pernah. Dia memandikan anaknya dengan lidah,
Guru."
"Nah, sekarang kau menjadi ibu kucing, aku menjadi anak kucing.
Kau bisa lakukan?"
"Bisa... bisa sekali, Guru!"
"Tapi supaya pernapasanmu teratur dan peredaran darah kita tidak
terhambat, sebaiknya lepaskan saja apa pun yang menutupi tubuh kita."
"Lho... kalau begitu...?"
"Lakukan saja, ini, jurus kedua!"
"O, ya... baik, Gurru! Akan kulakukan apa perintahmu, Guru."
"Bagus...!" Dewi Kesepian girang sekali mendapat mangsa
sebodoh itu.
Temon segera menjadi seekor Induk kucing yang sedang memandikan
anaknya, dan sang Guru dianggap anak kucing. Dari ujung kepala sampai ujung
kaki sang Guru dimandikan oleh 'sang induk kucing', membuat 'si anak kucing'
mengerang-ngerang ditikam seribu kenikmatan yamg menggairahkan.
"Meeeeong... meeeong... meeeong...l"
"Tidak usah pakai meong!" kata Dewi Kesepian sambil menepak
paha Temon. Maka, suara 'meong' segera dihilangkan, kini berganti suara dengus
napas yang memburu, karena Dewi Kesepian juga melakukan kecupan-kecupan yang
nyaris meledakkan jiwa si pemuda polos itu.
"Oh, Temon... lakukan di tempat itu agak lama. Aku suka sekali,
Temon. Ooh... yaah, indah sekali itu, Temon...," celoteh Dewi Kesepian.
Begitu asyiknya mereka berlatih jurus-jurus 'maut', sampai tak sadar
kalau ada sepasang mata yang mengintip dari balik bebatuan dengan pintu gua.
Sepasang mata itu milik pemuda tampan yang tak lain adalah Suto
Sinting, ia berpisah arah dengan Resi Pakar Pantun, karena sang Resi segera
bertemu dengan kenalannya yang mengaku melihat Kadal Ginting di sebelah
selatan. Sang Resi dan kenalannya itu pergi ke selatan, Suto ke arah yang
dituju Dewi Kesepian dan Temon.
"Oh, Muridku... berhenti dulu. Sekarang pelajaran ketiga,
Muridku."
"Bbbaaa... baik... baik, Guru," jawab Temon dengan napas
ngos-ngosan karena dikejar gairah yang menyentak-nyentak sejak tadi.
"Kita pelajari jurus 'Aji Tonggak Bumi' yang dahsyat itu."
"Caranya bagaimana, Guru?!"
Dewi Kesepian menggenggam sesuatu yang selama ini dirasakan Temon belum
pernah digenggam oleh perempuan mana pun.
"Ini kita anggap tonggak. Dan tonggak ini harus disatukan ke bumi
agar bisa keluarkan kekuatan dahsyat yang dapat melambungkan sukma."
Temon melakukan hal itu sesuai dengan petunjuk yang diterimanya. Tetapi
sang bumi berguncang memutar ke sana kemari, membuat Temon memberi perlawanan
agar sang tonggak tidak terguncang ke sana-sini.
Sementara itu, di balik pengintaian, Suto Sinting jadi panas-dingin dan
keringatnya mulai membasah di sekitar kening, dahi, serta bagian dagu dan atas
mulut.
"Sialan! 'Aji Tonggak Bumi' benar-benar membuatku sesak napas. Oh,
celaka! Temon yang polos pasti terkena wabah menular dan jalan darahnya akan
beku. Kalau begini aku sulit mengambil langkah; menghentikan perbuatan itu,
sama saja membunuh Dewi Kesepian.
Membiarkan hal itu terjadi, sama saja membunuh Temon. Apa yang harus
kulakukan jika begini?"
*
* *
4
UNTUK menentukan sikap, Pendekar Mabuk harus mengetahui lebih jelas
lagi siapa Dewi Kesepian itu sebenarnya. Dari aliran hitam atau aliran putih.
Jika memang Dewi Kesepian dari aliran hitam, Suto akan mempertimbangkan sejauh
mana tindakan kekejiannya.
Jika memang ia perempuan yang keji, Pendekar Mabuk tak segan-segan
melenyapkan Dewi Kesepian, ketimbang menjadi wabah yang berbahaya bagi kaum
lelaki.
"Tapi jika ia dari aliran putih, dan selama ini berbuat kebajikan,
aku tak mungkin tega membunuhnya. Tapi aku juga belum punya jalan keluar
bagaimana mengatasi penyakit racun kutukan itu."
Dewi Kesepian mempunyai tempat sendiri yang tersembunyi, ia tinggal di
tengah hutan, di dalam sebuah rumah gubuk yang sangat sederhana. Barangkali di
situlah ia mengasingkan diri dari dunia ramai, karena tak ingin banyak orang
mengetahui racun kutukan yang dapat menular ke mana-mana itu. Sekaligus tempat
itu dijadikan tempat persembunyian bagi para pengejarnya yang ingin menuntut
tindakannya itu.
Temon dibawanya ke pondok tersebut pada esok harinya setelah bermain di
dalam gua. Pendekar Mabuk mengikuti terus dari tempat yang aman dan terlindung,
sehingga ia bisa mengetahui pondok kediaman Dewi Kesepian itu.
"Bagaimana kalau aku mendatangi mereka?" pikir Suto.
"Setidaknya aku dapat mengenal lebih dekat siapa Dewi Kesepian itu,
sehingga aku bisa mengambil sikap harus bagaimana terhadap perempuan
tersebut."
Namun baru saja Suto menimbang-nimbang, tiba-tiba ia mendengar sebuah
ledakan di sebelah barat, lalu gumpalan asap hitam tampak membubung tinggi
bagai muncul dari balik bukit. Perhatian Suto tertarik pada asap ledakan itu.
Ia berani memastikan, bahwa di sana pasti sedang terjadi pertarungan cukup
seru. Dan Pendekar Mabuk paling gemar mengintai sebuah pertarungan untuk
memperkaya khasana pengetahuan tentang jurus dan ilmu di dunia persilatan. Maka
ia pun segera berkelebat ke arah barat dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya.
Zlaaaaapp...!!
Pertarungan itu dilakukan oleh dua tokoh tua yang agaknya sama-sama
berilmu tinggi. Kedua tokoh tua itu sangat mengejutkan Suto Sinting, karena ia
kenal betul dengan keduanya.
"Si Kapas Mayat bertarung dengan Resi Badranaya?!" gumamnya
dalam keheranpn. "Oh, apa yang membuat mereka saling beradu ilmtu
sedahsyat itu?!"
Kapas Mayat tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun bertubuh agak
pendek, bahkan tergolong kerdil, karena tingginya hanya sebatas tinggi perut
Suto. Ia berambut abu-abu dengan jubah lengan panjang dan celana warna abu-abu
juga. Tubuhnya kurus, tulang iganya tampak bertonjolan karena jubah itu tidak
dikancingkan, ia mempunyai seorang cucu cantik yang pernah diselamatkan
Pendekar Mabuk dari pertarungannya dengan Ratu Dayang Demit. Cucu cantiknya itu
bernama Kelambu Petang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gairah Sang Ratu").
Sedangkan Resi Badranaya adalah sahabat si Gila Tuak, guru Suto Sinting.
Tokoh yang satu ini berusia sekitar sembilan puluh tahun, tapi masih tampak
tegar dan gesit. Badannya yang gemuk selalu mengenakan pakaian model biksu
warna kuning. Tokoh berkepala gundul ini ke mana-mana selalu membawa kalung
tasbih putih sebesar kelereng, kadang ditenteng kadang dikalungkan sepanjang
perut, ia termasuk tokoh tua yang kumis, jenggot, dan brewoknya sudah putih
rata. Mempunyai seorang murid bernama Darah Prabu, yang juga menjadi sahabat
karib Suto Sinting, "Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gadis Buronan")
"Semestinya antara Resi Badranaya dan si Kapas Mayat bersahabat,
sebab para sahabat guruku tak ada yang saling bermusuhan. Jika sekarang
ternyata mereka bermusuhan, pasti ada penyebabnya yang sangat penting dan tidak
bisa diremehkan begitu saja," pikr Suto dari persembunyiannya.
Resi Badranaya tampak memutar-mutar tasbihnya di atas kepala sambil
melangkah ke samping dengan kedua kaki merendah, ia tampak serius sekali dan
pandangan matanya yang berwibawa itu memancarkan kebencian yang jelas di depan
si Kapas Mayat.
Sedangkan Kapas Mayat yang cenderung bersikap lebih santai. Tak ada
kuda-kuda atau jurus yang dilakukan, selain hanya mengikuti gerakan Resi
Badranaya dengan pandangan matanya yang mengecil penuh kewaspadaan.
Ketika Resi Badranaya melemparkan tasbihnya, tasbih itu segera menyala
merah seperti kobaran api dan menghantam tubuh si Kapas Mayat. Sayangnya,
sebelum tasbih itu kenai si Kapas Mayat, orang kecil bertongkat punya dua
cabang itu segera lakukan lompatan ke samping dan menghantam tongkatnya ke arah
tasbih tersebut. Wuuwt..! Beeet...!
Jegaaaarrrrr....!
Tasbih itu padam dan terpental ke arah lain, sementara tanah dan
pepohonan bergetar hebat karena gelombang ledakan yang dahsyat tadi. Resi
Badranaya sentakkan tangan ke arah tasbihnya yang terbang menjauh. Dalam
sekejap tasbih itu berputar balik dan meluncur ke arah pemiliknya lalu
ditangkap dengan sigap. Teek...!
Tongkat si Kapas Mayat yang bercabang dua seperti ketapel itu juga
mempunyai karet dan tempat batu pelontar. Kapas Mayat terlempar di belakang dan
jatuh terbanting akibat ledakan tadi. Hanya saja, dengan tangkas ia pergunakan
tongkatnya untuk menahan hempasan tubuh sehingga ia tak sampai terbanting,
melainkan menukik dengan kaki di atas dan kedua tangan bertumpu pada tongkat.
Dalam sekejap ia telah berdiri kembali dengan tegak menghadapi lawannya.
Resi Badranaya berseru sambil menuding si Kapas Mayat.
"Kalau kau tak mau bertanggung jawab, jangan salahkan diriku jika
cucumu pun tak selamat, Kapas Mayat!"
"Kalau tak salah dugaanku...," ujar Kapas Mayat dengan ucapan
khas yang selalu menggunakan kalimat, 'kalau tak salah dugaanku' itu.
"... kau tak bisa menuntut kepada cucuku; si Kelambu Petang,
Kakang Badranaya! Cucuku tidak punya kesalahan apa-apa. Kalau tak salah
dugaanku, dia hanya seorang gadis yang waras. Artinya, punya rasa suka kepada
lelaki dan punya hasrat kepada lawan jenisnya."
"Tapi gara-gara bergaul dengan cucumu, muridku si Darah Prabu
akhirnya terancam racun yang sukar disembuhkan. Menurut pengakuannya, racun itu
mengenainya setelah ia bercumbu dengan Kelambu Petang, cucumu itu!"
"Belum tentu, Kakang!" ujar Kapas Mayat cenderung lebih kalem
dari Resi Badranaya. "Kalau tak salah dugaanku, cucuku tak punya racun
apa-apa dalam tubuhnya. Tak masuk akal kalau muridmu keracunan cinta setelah
bercumbu dengan cucuku! Justru kalau tidak salah akulah yang harus menuntutmu
agar segera mengawinkan cucuku dengan muridmu, sebab dia sudah 'menikmati'
kesucian si Kelambu Petang!"
"Tak sudi aku mengawinkan muridku dengan cucumu!" bentak Resi
Badranaya. "Sama saja aku mengawinkan si Darah Prabu dengan Iblis
perempuan!"
"Eh, jangan mengatakan cucuku Iblis perempuan, Badranaya! Kalau
tak salah dugaanku, cucuku itu bukan iblis. Tapi muridmu itu yang penganut
setia iblis sesat!"
"Berarti kau mengatakan aku iblis sesat?! Kurobek mulutmu, Kipas
Mayat! Heeeaahh...!"
Resi Badranaya melayang bagaikan terbang. Tasbihnya dikalungkan, kedua
tangannya diacungkan ke depan. Kedua tangan itu memancarkan warna hijau bening,
sepertinya tangan Resi Badranaya terbuat dari batu giok yang bersinar.
Serangan itu disambut oleh si Kipas Mayat dengan satu lompatan yang
membawa tubuh kecilnya terbang dengan cepat. Kapas Mayat pegangi tongkatnya
dengan kedua tangan di bagian tengah. Weees...! Lalu, tubuh mereka bertabrakan
di udara. Kedua tangan Resi Badranaya menghantam kedua sisi tongkat si Kapas
Mayat.
Blegaaarrr...!
Claaaap...! Warna merah membias lebar dan lenyap seketika dengan asap
tipis berhembus ke atas. Kedua tokoh itu sama-sama terpental ke belakang dan
jatuh berguling-guling di tempat berdirinya semula. Namun dalam sekejap
keduanya sudah sama-sama bangkit berdiri dan siap lepaskan serangan lagi.
Resi Badranaya mengeluarkan darah kental dari hidungnya, si Kapas Mayat
keluarkan darah kehitam-hitaman dari tepian mulutnya. Keduanya terluka dalam
akibat adu kesaktian di udara tadi. Tapi keduanya sama-sama tak ada yang merasa
jera.
Wuk, wuk, wuk...! Kapas Mayat memainkan tongkatnya dengan dikibaskan ke
kanan-kiri, lalu terjepit lurus di ketiak kanannya, tangan kirinya mulai
membentuk cakar yang mengeras dan lambat laun keluarkan asap putih tipis dari
sela-sela jemarinya.
Tangan itu segera berkelebat menyentak ke atas.
Claaap...! Sinar biru bundar seperti buah kedondong melesat ke arah
Resi Badranaya. Sinar biru itu berekor asap kehijau-hijauan yang punya
kecepatan cukup tinggi.
Melihat kedatangan sinar biru itu, Resi Badranaya segera sentakkan
kedua jarinya ke depan dan meluncurlah selarik sinar lurus warna kuning emas
menuju ke sinar biru itu. Claaap, weeeess...!
Tetapi tiba-tiba Suto Sinting melihat sekelebat sinar merah bagai
membias dari dasar bumi. Sinar merah tipis dan lebar itu seperti nyala api yang
menghalangi pertemuan sinar kuning dan sinar biru.
Blaaab...! Blegaaaarrr. .!
Alam sekitarnya bagai dilanda kiamat lokal. Pohon-pohon tumbang, tanah
retak, bahkan ada yang longsor ke dalam. Suto Sinting sendiri hampir terkubur
hidup-hidup karena tanah yang dipijaknya longsor ke bawah, ia buru-buru melesat
dan hinggap di atas sebuah batu yang masih kokoh. Jleeeg...!
Ia segera terkejut melihat Resi Badranaya terkapar dan mengerang, juga
si Kapas Mayat terjungkal nungging sambil mengerang kesakitan. Ketika keduanya
berhasil berdiri, tampaklah kedua wajah mereka menjadi biru kehitam-hitaman bagai
habis dipukuli orang satu kadipaten.
Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya perempuan berambut
hitam berikat kepala merah, mengenakan jubah hijau dan dalaman kuning. Perempuan
itu mempunyai wajah yang menyeramkan; tua, keriput, cekung, hidungnya hampir
bolong dan giginya amburadul, ia tak lain adalah si Rupa Setan alias Anjardani.
Kemunculan si Rupa Setan bukan membuat terkejut Pendekar Mabuk saja,
namun juga membuat kaget Resi Badranaya dan Kapas Mayat. Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya sedikit untuk menghilangkan rasa sakit di dadanya akibat
hentakan gelombang ledak tadi.
"Rupa Setan...!" Resi Badranaya bersuara sedikit menggeram.
"Cukup lama kau tak muncul, begitu muncul mau mencampuri urusanku!
Patutkah tindakanmu ini, Rupa Setan?!"
Sebelum si Rupa Setan menjawab, Kapas Mayat serukan suaranya.
"Kalau tak salah dugaanku, kau adalah si Rupa Setan alias
Anjardani, saudara perguruannya Tanuyasa, si Omong Cekak itu! Wah, wah, wah...
kusangka kau sudah mati, Anjardani. Ternyata begitu muncul bikin wajahku memar
dan nyaris terbakar hangus begini.
Kalau tak salah dugaanku, ini sakit lho, Njar...!" sambil menuding
wajahnya sendiri.
Dalam hati Suto berkata, "Wah, seru kalau begini! Mereka bertiga
tokoh sakti semua. Si Rupa Setan mau memihak siapa kalau begini?" Lalu,
suara Rupa Setan terdengar lantang, setelah ia melangkah mundur beberapa kali,
mengambil jarak agar bisa bicara dengan kedua tokoh yang ada di kanan-kirinya
itu.
"Badranaya dan Kapas Mayat, kemunculanku kali ini bukan untuk
memihak salah satu di antara kalian berdua. Aku hanya ingin meluruskan anggapan
kalian yang keliru! Sejak tadi kudengarkan tuntutanmu, Badranaya. Aku mulai
paham dengan persoalan kalian!"
"Apa yang kau tahu tentang tuntutanku?!" sergah Resi
Badranaya.
"Muridmu yang bernama Darah Prabu terkena racun setelah bercumbu
dengan cucunya si Kapas Mayat yang bernama Kelambu Petang!"
"Bagus! Kalau begitu kau benar-benar paham dengan persoalanku,
Rupa Setan!" ujar Resi Badranaya dengan tegas. "Perlu kau ketahui,
bahwa muridku sekarang dalam keadaan sekarat. Sekujur tubuhnya pucat pasi
berbintik-bintik hitam, ia tak bisa bicara, tak bisa berkedip, napasnya
tersentak-sentak bagai mengalami penyumbatan pada pernapasan dan jalan
darahnya."
"Bukan penyumbatan, tapi pembekuan!" sahut si Rupa Setan.
"Sudah kukerahkan hawa murniku untuk sembuhkan penyakitnya itu,
tapi tak berhasil. Bahkan beberapa tabib sahabatku kumintai bantuannya, tapi
juga tidak berhasil!"
"Tentu saja, sebab penyakit itu tak akan bisa terobati. Obat
satu-satunya adalah kematian!" kata si Rupa Setan.
"Penyebabnya jelas bukan dari cucu si Kapas Mayat. Aku tahu betul
jenis wabah itu. Datangnya dari seorang perempuan yang terkena kutukan beracun
milik mendiang Ronggeng Iblis. Kutukan beracun itu diberinya nama: racun 'Asmara
Kubur'. Racun itu keluar dari sebuah kutukan bermantra. Perempuan yang terkena
racun 'Asmara Kubur' itu adalah si Yundawuni, yang sejak terkena racun 'Asmara
Kubur' mengubah namanya menjadi Dewi Kesepian."
"Siapa sebenarnya perempuan yang bernama Dewi Kesepian itu, Rupa
Setan?"
Kapas Mayat menyahut, "Kalau tak salah dugaanku, Yundawuni adalah
muridnya Pendeta Amor alias Amoroso Kumbaya dari Selat Darah!"
"Benar, Kapas Mayat!" sahut si Rupa Setan.
"Yundawuni adalah murid murtadnya si Pendeta Amor. Ia tak diakui
sebagai murid lagi karena tak mau mengikuti ajaran sesat gurunya, ia menyimpang
dari aliran hitam, lalu mengabdi kepada Prabu Dasawalatama di Kerajaan Kincir
Bantala."
Pendekar Mabuk sempat terperanjat, karena ia pernah mendengar nama
Prabu Dasawalatama dari Kerajaan Kincir Bantala dalam peristiwa pusaka
Panji-panji Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan
Titisan Peri").
Kalau begitu, Dewi Kesepian itu tokoh aliran putih? Sebab, dia dipecat
oleh Pendeta Amor karena tak mau ikuti jejak sesat sang Guru," pikir Suto
Sinting sambil membayangkan wajah Pendeta Amor yang pernah bertarung
melawannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak
Dewata").
Kedua tokoh itu akhirnya berkumpul dan membicarakan tentang kutukan beracun
'Asmara Kubur' itu. Suto mencuri dengar percakapan ketiga tokoh sakti itu
dengan menggunakan jurus 'Sadap Suara' yang mampu mendengar suara dari
kejauhan.
"Kalau tak salah dugaanku," kata si Kapas
Mayat,
"Berarti Darah Prabu pernah kencan dengan Dewi Kesepian, lalu
terkena penyakit laknat itu!"
Resi Badranaya menggumam bagai menggerutu,
"Mengapa Darah Prabu tidak ceritakan tentang si Dewi Kesepian
itu?!"
"Tentu saja ia malu padamu, juga malu kalau sampai didengar oleh
cucunya si Kapas Mayat," ujar Rupa Setan.
Sebelum Resi Badranaya bicara lagi, tiba-tiba sekelebat bayangan
melesat hampiri mereka. Suto Sinting terkejut dan berkerut dahi saat melihat
bayangan berkelebat itu. Setelah bayangan tersebut hentikan langkah di samping
Resi Badranaya, Suto Sinting semakin berkerut dahi. Bayangan itu tak lain
adalah Resi Pakar Pantun.
Kemunculan Resi Pakar Pantun memang mengejutkan Suto Sinting dan ketiga
tokoh sakti itu, karena Resi Pakar Pantun datang sambil memondong tubuh kurus
si Kadal Ginting, pelayannya. Tampaknya Kadal Ginting dalam keadaan tak sadar,
sehingga sang Resi terpaksa memondongnya terus dengan kedua tangan.
"Pakar Pantun...?! Siapa yang kau bawa itu? Pelayanmukah?"
sapa si Rupa Setan yang ternyata sudah mengenal Resi Pakar Pantun.
"Benar," jawab Resi Pakar Pantun bernada sedih.
"Kadal Ginting, pelayanku ini, kutemukan dalam keadaan terkapar di
bawah sebatang pohon. Keadaannya sangat menyedihkan sekali. Lihatlah...!"
Ketiga tokoh sakti itu memperhatikan Kadal Ginting setelah diletakkan
di rerumputan oleh Resi Pakar Pantun.
Kadal Ginting tampak pucat pasi, sekujur tubuhnya berwarna kuning
bintik-bintik hitam. Matanya terbeliak memutih, mulutnya ternganga. Napasnya
tersendat-sendat bagai sedang sekarat.
"Kalau tak salah dugaanku, pelayanmu ini sedang sakit, Pakar
Pantun!"
"Orang budek juga tahu kalau dia sedang sakit!" gertak Resi
Pakar Pantun kepada si Kapas Mayat sambil cemberut kesal.
"Rupa Setan," ujar Resi Badranaya."... seperti inilah
keadaan muridku; Darah Prabu! Persis seperti ini!"
Rupa Setan mengangkat wajah pelan-pelan dan pandangi Resi Pakar Pantun.
Suaranya yang mirip orang kumur-kumur itu terdengar oleh telinga batin Suto
Sinting.
"Apakah ia bercumbu dengan...."
"Dewi Kesepian!" sahut Resi Pakar Pantun. Ketiga tokoh itu
akhirnya manggut-manggut.
"Kupergoki dia sedang bercumbu di balik semak bersama Dewi
Kesepian, lalu mereka lari dan baru kutemukan sekarang."
"Berapa lama ia menghilang sejak kau pergoki itu?" tanya Resi
Badranaya.
"Sekitar sepuluh hari."
"Oh, kalau begitu lebih dulu muridku! Muridku sudah lima belas
hari menderita seperti ini, makin lama semakin parah."
"Apakah muridmu juga...."
"Dia tidak mengaku," sahut Resi Badranaya.
"Setahuku belakangan ini ia akrab dengan cucunya si Kapas Mayat
yang bernama Kelambu Petang. Dalam pengakuan muridku, ia pernah berbuat dengan
Kelambu Petang. Maka kusangka, si Kelambu Petang itulah yang menanamkan wabah
beracun dalam tubuh Darah Prabu, ia tidak ceritakan kalau pernah bercumbu
dengan si Dewi Kesepian."
Resi Pakar Pantun berkata dengan lemas. "Aku tak tahu apakah Kadal
Ginting bisa kuselamatkan atau tidak. Yang jelas, sudah kucoba beberapa saat
dengan ilmu pengobatanku, tapi tak berhasil."
Kapas Mayat bicara kepada Rupa Setan.
"Kalau tak salah dugaanku, apakah tak ada obat sama sekali yang
bisa sembuhkan penyakit seperti ini?!"
"Tidak ada!" jawab Rupa Setan dengan tegas. "Orang yang
bisa mengobati penyakit seperti ini adalah Ronggeng Iblis dengan menggunakan
'Aji Mantra Balik'... "
"Dari mana kau tahu kalau hanya si Ronggeng Iblis yang bisa
lakukan?" tanya Resi Badranaya setengah kurang percaya dengan si Rupa
Setan. Sambungnya lagi,
"Bukankah kau bermusuhan dengan Ronggeng Iblis? Bukankah Ronggeng
Iblis pernah memporak-porandakan kuilmu di Pulau Katong?!"
"Benar. Tapi ingat, bahwa Ronggeng Iblis pernah menjadi istri
adikku, dan mendiang adikku pernah bercerita padaku tentang rahasia ilmu
hitamnya si Ronggeng Iblis saat sebelum ia meninggal akibat pukulan beracunnya
si Ronggeng Iblis."
"Kalau begitu, akan kupaksa si Ronggeng Iblis untuk sembuhkan
penyakit muridku!" ujar Resi Badranaya sambil ingin bergegas pergi. Tapi
Rupa Setan cepat menghentikan langkahnya dengan sebaris kata,
"Ronggeng Iblis telah mati di tangan Pendekar Mabuk."
"Hahh...?!" Resi Badranaya terkejut.
"Kudapatkan keterangan itu dari Tenda Biru, beberapa waktu yang
lalu, ketika Tenda Biru menceritakan nasibnya saat menjadi gadis tanpa
raga."
"Siapa Tenda Biru itu?" tanya Resi Badranaya.
"Bekas muridnya Gerang Sayu yang pindah ke aliran putih menjadi
muridnya Tapak Lintang."
"Tapak Lintang adalah kakaknya Ronggeng Iblis, bukan?" sahut
Resi Pakar Pantun.
"Benar. Tapi mereka berbeda aliran."
Mereka diam sesaat dan manggut-manggut. Suto Sinting pun tetap menyimak
dan memperhatikan ke tempat tokoh tua itu. Percakapan mereka sangat menarik
bagi Pendekar Mabuk, karena dengan begitu pengetahuannya tentang para tokoh dan
kesaktian-kesaktiannya semakin bertambah.
Setelah masa bungkam itu lewat, Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada
Rupa Setan.
"Jadi menurutmu, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi
keganasan gairah Dewi Kesepian itu, Anjardani?!"
"Aku tak tahu, Pakar Pantun! Yang jelas, semasa Dewi Kesepian
masih hidup, ia akan mencari mangsa sebagai tumbal penyakitnya, dan kaum lelaki
akan habis termakan korban racun 'Asmara Kubur' dalam kemesraannya itu."
"Kalau begitu, kita cari perempuan itu dan harus segera
dilenyapkan agar tak menjadi wabah cinta yang mengerikan bagi keturunan
kita!" usul Resi Badranaya penuh semangat.
"Kurasa tak ada jalan lain untuk hentikan wabah kutukan beracun
itu!" timpal si Rupa Setan.
Resi Pakar Pantun berkata, "Kalian saja yang mencarinya, aku akan
berusaha mencari obat penyembuh penyakit ini. Kalau obat itu kudapatkan, aku
akan segera menghubungimu, Badranaya! Kasihan muridmu jika sampai mati karena
bercumbu dengan perempuan beracun. Alangkah jatuh nama baikmu selama ini. Kurasakan
nama baikku pun bisa jatuh jika kematian Kadal Ginting sampai tersebar seantero
jagat!"
"Kalau tak salah dugaanku..., aku tak perlu ikut campur, karena
aku tak punya cucu atau murid lelaki."
"Kalau begitu kau hanya mementingkan dirimu sendiri, Kapas
Mayat!" geram Resi Badranaya.
"Ya, bukan begitu maksudnya. Tapi kalau tidak salah dugaanku...."
"Kau harus ikut!" sentak Resi Badranaya. "Sebagai tokoh
aliran putih kau harus bertanggung jawab atas musibah yang terjadi di permukaan
bumi kita ini!"
"Kalau tak salah dugaanku... kau telah membuka kesadaranku,
membuatku terpaksa harus ikut mencari Dewi Kesepian itu!"
"Kita berpencar!" kata si Rupa Setan. "Terakhir kulihat
ia bersama Temon, murid dungunya si Tanuyasa!"
"Kalau tak salah dugaanku.... Temon akan menjadi korban seperti
Kadal Ginting dan Darah Prabu."
"Jangan banyak bicara! Kita berpencar sekarang juga!" kata
Resi Badranaya. Lalu ia melesat, pergi lebih dulu dalam bentuk asap tebal.
Rupa Setan pergi dalam bentuk bayangan samar-samar, seakan dirinya
ditelan udara. Sedangkan si Kapas Mayat pergi tanpa bisa dilihat. Tahu-tahu
datang angin ribut yang menggoyang pepohonan merontokkan dedaunan, meninggalkan
bau wangi setanggi dari tongkatnya itu. Resi Pakar Pantun sampai menghadangkan
tangannya karena takut matanya terkena debu akibat angin ribut itu.
"Kapas Mayat tokoh paling brengsek! Datang dan pergi selalu bikin
ribut dengan anginnya!" gerutu Resi Pakar Pantun, kemudian mengangkat
tubuh Kadal Ginting yang menyentak-nyentak itu dan membawanya pergi dengan satu
lompatan cepat.
Pendekar Mabuk diam tertegun di tempatnya.
*
* *
5
JERAM berair deras hamburkan air menutup pintu gua pada dinding tebing
tersebut. Tebing yang bagian bawahnya adalah sungai lebar berair jernih dari
air terjun itu dinamakan Jurang Lindu. Gua di balik curahan air terjun itulah
tempat gurunya Pendekar Mabuk mengasingkan diri untuk dapatkan ketenangan dan
pendekatan kepada Myang Widi Wasa alias Sang Pencipta alam semesta ini.
Di tempat itulah Suto Sinting ditempa menjadi seorang pendekar perkasa
beraliran putih. Di situ juga, seluruh ilmu si Gila Tuak mengalir ke diri murid
tunggalnya. Bahkan ilmu terakhir si Gila Tuak juga diturunkan kepada Suto di
Jurang Lindu. Ilmu tersebut dinamakan ilmu 'Sukma Lingga', yang dapat membuat
Suto mengubah diri menjadi raksasa atau makhluk lainnya.
Ilmu 'Sukma Lingga' itu diturunkan untuk gantikan ilmu 'Dewatakara'
pemberian dari Payung Serambi, utusan dari Istana Laut Kidul. Karena jika
Pendekar Mabuk masih mempunyai ilmu 'Dewatakara' yang kesaktiannya sama dengan
ilmu 'Sukma Lingga' itu, maka dalam diri Suto akan mengalir darah siluman dan
ia tak bisa menikah dengan perempuan yang bukan siluman, ia hanya bisa menikah
dengan rakyat Istana Laut Kidul saja. Padahal Suto jatuh cinta sekali kepada calon
istrinya; Dyah Sariningrum; penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gerbang Siluman" dan
"Bencana Selaput Iblis").
Kali ini Suto datang lagi menghadap gurunya di Jurang Lindu.
"Ada apa lagi?! Masih kurang jelas tentang Ilmu 'Sukma Lingga'
yang telah kau miliki itu?"
"Bukan soal itu, Kakek Guru," ujar Suto menyebut gurunya
dengan kata 'kakek', karena sejak kecil ia ikut Gila Tuak dan sudah terbiasa
memanggilnya kakek.
"Lalu, apa yang membuatmu datang padaku dengan tegang
begini?"
"Kakek Guru, aku menghadapi kesulitan yang meragukan. Seseorang
telah terkena kutukan beracun yang dinamakan racun 'Asmara Kubur' dan...."
"Racun 'Asmara Kubur'...?! Hmmm... itu ilmunya si Ronggeng
Iblis!" ujar sang Guru yang dikenal sebagai tokoh tertinggi, namanya
tercantum paling atas dari deretan tokoh-tokoh sakti di dunia persilatan. Tak
heran juga Gila Tuak mengetahui siapa pemilik Racun 'Asmara Kubur' itu.
"Apa yang Kakek Guru ketahui tentang racun itu?"
Suto justru ganti bertanya, karena ia yakin gurunya pasti sudah banyak
tahu tentang racun tersebut.
"Racun itu tersebar bersama kutukan kekuatan iblis," jawab
Gila Tuak dengan penuh wibawa. Usianya yang sudah mencapai dua ratus lima belas
tahun itu tidak membuatnya bungkuk, melainkan tetap tegak, tegar, dan suaranya
tetap lantang.
"Seseorang yang terkena langsung racun itu, ia akan menyebarkan
wabah penyakit yang sangat mematikan. Darah dan jantungnya akan membusuk.
Napasnya akan berubah menjadi napas beracun, dan dari situlah wabah tersebut
tersebar," ujar si Gila Tuak dengan duduk bersila menatap muridnya penuh
ketegasan.
Sambungnya lagi,
"Orang yang terkena racun itu harus bercumbu setiap malam. Dalam
dua malam dia tidak bercumbu dengan lawan jenisnya, maka ia akan mengalami
pembusukan seperti yang kuceritakan tadi."
"Bagaimana cara mengatasinya, Guru?"
"Musnahkan orang itu!"
Suto terhenyak sesaat pandangi gurunya. Sang Guru menyambung kata lagi dengan
tenang.
"Jika ia tokoh sesat aliran hitam, jangan ragu-ragu, lenyapkan
dia! Karena jika dibiarkan hidup, ia akan memakan korban lawan jenisnya. Makin
lama lawan jenisnya akan semakin berkurang dan habis!"
"Tapi jika ia tokoh aliran putih bagaimana, Guru?"
Gila Tuak tarik napas. "Pertanyaanmu agak menyulitkan diriku,
Suto."
"Bukankah Guru pernah ajarkan padaku bahwa kita harus menghadapi
kenyataan sesulit apa pun."
"Memang benar. Tapi aku perlu berpikir dulu untuk
pertanyaanmu.itu," ujar si Gila Tuak yang segera berdiri, melangkah ke
salah satu sisi sambil merenung dalam bungkam.
Beberapa saat kemudian, suaranya terdengar kembali menggugah lamunan
Suto.
"Siapa orang yang terkena racun 'Asmara Kubur' itu?"
"Yundawuni, Guru!"
"Oh, muridnya si Pendeta Amor yang tempo hari mau membunuhku
itu?"
"Betul, tapi dia dianggap murid murtad, karena tak mau ikuti jalan
sesat gurunya. Sekarang ia mengabdi kepada pihak Kerajaan Kincir Bantala,
Guru."
"Hmmm...," Gila Tuak manggut-manggut. Merenung lagi sebentar,
kemudian berkata kembali sambil pandangi muridnya.
"Sudah ada yang menjadi korbannya?"
"Sudah, Guru! Kadal Ginting, Darah Prabu, dan mungkin yang
lainnya. Sedangkan sekarang, Resi Badranaya, Kapas Mayat, si Rupa Setan dan
entah siapa lagi, sedang sepakat memburu Yundawuni untuk dibunuh. Aku kasihan,
Guru...."
"Kau juga telah jadi korbannya?"
"Belum, Guru. Kalau tak percaya, geledahlah aku, Guru!"
"Apanya yang digeledah!" gerutu Gila Tuak melangkah sambil
berpikir.
"Aku bingung mengambil sikap, Guru. Haruskah kubiarkan perempuan
itu mati di tangan Resi Badranaya atau si Rupa Setan? Atau, haruskah aku
membela Yundawuni dan itu berarti aku harus berhadapan dengan Resi Badranaya.
Bolehkah aku menyerang Resi Badranaya,
dan beberapa sahabat Guru lainnya itu?"
"Dengan ilmu pemberian calon mertuamu; Ratu Kartika Wangi itu,
Badranaya, Rupa Setan, Kapas Mayat, atau yang lainnya adalah bukan tandinganmu!
Kau bisa tumbangkan mereka sekali gebrak saja."
"Kalau begitu..."
"Tapi itu tidak baik!" sergah Gila Tuak. "Masih ada
jalan lain yang bisa kau lakukan, Suto."
"Tunjukkan jalan itu padaku, Guru!"
"Memang akan kutunjukkan, tapi aku harus mengingat-ingat sesuatu
dulu!" ujar si Gila Tuak setelah menarik napas lagi, Suto Sinting diam,
menenggak tuaknya tiga teguk dalam keadaan tetap duduk di lantai.
Karena sang Guru diam sampai beberapa saat lamanya, Suto pun mencoba
menanyakan masalah lain.
"Guru, Rupa Setan itu siapa sebenarnya?"
"Penguasa Kuil Tembus Jagat di Pulau Katong. Dia dan saudara
seperguruannya yang bernama Tanuyasa pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti,
namun sekarang sudah tidak lagi, karena masing-masing sibuk bertapa
sendiri-sendiri."
Suto Sinting diam kembali setelah menggumam dan manggut-manggut. Tapi
karena Gila Tuak masih diam, dan belum memberikan perintah atau penjelasan
apa-apa, Suto Sinting ajukan tanya kembali.
"Kakek Guru, dapatkah racun 'Asmara Kubur' diobati dengan tuak
saktiku tadi?"
"Tidak bisa! Racun itu tercipta dari napas nenek moyang iblis yang
usianya jauh lebih tua dari usia Eyang Buyut Guru-mu yang menjelma dalam
bumbung tuakmu itu. Jadi... tuakmu kalah tua dengan racun 'Asmara Kubur'."
"Bagaimana kalau dilawan dengan 'Air Sendang Ketuban' yang ada di
negeri Wilwatikta itu, Guru?"
"Tidak bisa! Air itu tercipta dari darah petapa sakti yang usianya
masih kalah tua dibanding usia racun
'Asmara Kubur'. Jadi...."
Tiba-tiba Gila Tuak berhenti bicara. Ada sesuatu yang diingatnya,
hingga ia buru-buru dekati murid Sintingnya itu.
"Ada obat yang dapat menolak wabah penyakit seperti yang diderita
Darah Prabu. Aku baru ingat sekarang!"
"Apa nama obat itu, Guru?" cecar Suto dengan penasaran
sekali.
Ki Sabawana alias si Gila Tuak itu diam sebentar, memandang ke arah
pintu keluar dengan mata menerawang. Sesaat kemudian ia berkata dengan suara
pelan.
"Batu Tembus Jagat...."
"Apa maksudmu, Kakek Guru?" tanya Suto sambil mendekat.
"Kau harus dapatkan 'Batu Tembus Jagat' yang ada di Gua Mahkota
Dewa. Goa itu terletak di perbatasan alam gaib dan alam nyata! Ciri-cirinya,
gua itu penuh dengan batu aneka warna dan indah-indah. ""Perbatasan...?
Perbatasan alam gaib dan alam nyata? Oh, sepertinya aku pernah berada di gua
itu, Guru," ujar Suto pelan seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia
memandangi gurunya dan berkata lagi,
"Apakah gua itu terletak di hutan cemara merah?"
"Tepat sekali!" jawab Gila Tuak dengan tegas. Suto tersenyum
girang sambil membayangkan sebuah gua yang berisi bebatuan warna-warni dan
indah-indah. Gua itu terletak di bukit cemara merah. Suto berada di sana karena
diselamatkan oleh gadis cantik yang bernama Nirwana Tria dari jeratan asmara
maut Ratu Kamasinta, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu
Maksiat").
Untuk mencapai ke perbatasan alam gaib dan alam nyata, Pendekar Mabuk
cukup mengusapkan tangannya ke kening. Karena di kening Pendekar Mabuk terdapat
noda merah yang berkekuatan gaib, bisa untuk keluar-masuk alam gaib atau
melihat sesuatu yang tak tampak di mata manusia biasa. Noda merah itu pemberian
dari calon mertuanya; Gusti Ratu Kartika Wangi yang menjadi penguasa negeri
Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Anaknya; Dyah Sariningrum, penguasa Puri
Gerbang Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Manusia Seribu Wajah").
Gila Tuak berkata lagi kepada murid tunggalnya yang memang mempunyai
ilmu edan-edanan itu, sehingga ia dinamakan Suto Sinting.
"Rupa Setan sendiri tidak mengetahui di mana letak Batu Tembus
Jagat itu. Karena pada waktu gurunya si Rupa Setan dan Omong Cekak mau
meninggal, ia berada di pangkuanku dan sempat sebutkan letak Batu Tembus Jagat.
Aku tidak bicara kepada si Rupa Setan maupun Omong Cekak, karena memang tidak
ada perintah untuk sampaikan hal itu kepada mereka dari sang Guru."
Sambil sunggingkan senyum Suto angguk-anggukkan kepala.
"Batu itu berwarna kuning kunyit, bentuk dan ukurannya seperti...
seperti belimbing sayur."
"Belimbing wuluh."
"Ya. Seperti itulah bentuk dan ukurannya. Jika batu itu kau ambil
dan kau masukkan dalam tuakmu, maka ia akan larut. Tuakmu akan berwarna kuning
kunyit. Dan aku yakin larutan itu dapat untuk melawan kekuatan racun 'Asmara
Kubur', sebab batu itu sendiri tercipta dari keringat dewa yang
teraniaya."
"Oh, tentu saja khasiatnya sangat luar biasa."
"Jika batu itu kau ambil, kemudian batu itu larut di dalam tuakmu,
maka di sana, di Gua Mahkota Dewa, batu itu tumbuh lagi pada tempat semula,
seolah-olah kembali ke tempat asalnya. Begitulah kesaktian batu itu jika
diambil seseorang untuk kebaikan."
"Kalau begitu, para korban seperti Darah Prabu dan Kadal Ginting
bisa disembuhkan dengan larutan batu itu dengan bumbung ini, Guru?" sambil
Suto tunjukkan bumbung tuaknya.
"Tentu saja bisa! Tetapi, tunggu dulu... kalau hanya untuk
sembuhkan Darah Prabu, kurasa kau bisa mencampur tuakmu dengan air kelapa
gading."
"Kelapa kuning maksudmu,, Guru?"
"Benar! Karena orang seperti Darah Prabu bukan terkena kutukan
beracun, tapi terkena wabah penyakit, penyakit menular. Tidak ada hal gaib di
dalamnya! Tapi juga tidak mudah penyembuhannya."
"Jadi, bagaimana langkahku sebaiknya, Guru?"
"Selamatkan dulu mereka yang menjadi korban asmara Yundawuni. Lalu
pergilah ke Gua Mahkota Dewa dan ambil Batu Tembus Jagat itu, sembuhkan si
Yundawuni dengan batu itu dan tuakmu. Tapi ingat, jangan kau katakan kepada
siapa pun tentang di mana letaknya Batu Tembus Jagat itu, kecuali kepada
muridmu kelak jika kau punya murid!"
"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang, Guru!"
"Ingat, jangan sampai kau tergoda oleh rayuan Yundawuni dan
menjadi korban seperti Darah Prabu!"
Gila Tuak acungkan jarinya mempertegas peringatannya. Suto Sinting
hanya nyengir malu.
"Itu tidak mungkin terjadi, Guru. Kecuali... memang kepepet!"
Zlaaap...!
Setelah bicara begitu, Suto langsung lenyap dari hadapan gurunya, pergi
dengan gunakan jurus 'Gerakan Siluman'. Sang Guru hanya geleng-geleng kepala
dan bergumam lirih, "Mirip kenakalanku waktu masih muda...."
Sasaran pertama Pendekar Mabuk adalah pergi ke pondoknya Dewi Kesepian
dan membawa perempuan itu bersembunyi di suatu tempat. Kemudian ia akan mencari
air kelapa gading dan mencampurkan dalam tuaknya sebagai obat untuk Kadal Ginting
dan Darah Prabu, atau para korban lainnya yang diketahui.
Tetapi alangkah kagetnya Suto ketika tiba di pondok persembunyian Dewi
Kesepian, ternyata pondok itu sudah rata dengan tanah, menjadi abu. Hutan di
sekelilingnya juga telah terbakar dan sisa arangnya masih berserakan di
sana-sini, namun kepulan asap dan bara api sudah tak ada.
"Edan! Kutinggal dua hari menghadap Guru, hutan dan gubuk ini
sudah menjadi seperti ladang arang?!" gumam Suto pelan, bicara pada diri
sendiri. "Lalu, siapa yang melakukannya? Di mana si Dewi Kesepian dan
Temon?!"
Pendekar Mabuk memeriksa puing-puing gubuk yang menjadi pondok
persembunyian Dewi Kesepian.
Ternyata di sana tak terdapat mayat seseorang, bahkan di sekeliling
tempat itu telah diperiksanya, juga tak ditemukan mayat yang mati hangus.
"Berarti Dewi Kesepian dan Temon masih hidup!" ujarnya
membatin. "Ke mana aku harus mencari perempuan itu?!" Pendekar Mabuk
diam termenung beberapa saat.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara orang melintas di hutan sebelah
sana yang tidak ikut terbakar. Mata pun segera memandang penuh curiga dan
ketajaman.
Sekelebat bayangan melintas di sela pepohonan yang masih hijau.
Pendekar Mabuk tak tahu siapa orangnya yang berkelebat pergi di hutan seberang
sana. Tapi ia segera memburunya dengan gerakan yang kecepatannya menyamai
kecepatan cahaya itu.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Wees, wees, wees...!
Ternyata orang yang dikejar juga mampu bergerak cepat, walau tidak
secepat gerakan Suto Sinting. Tetapi agaknya ia menguasai hutan tersebut,
sehingga mampu menyelinap ke sana-sini tanpa takut tersesat. Pendekar Mabuk
justru salah arah beberapa kali. Namun ia tidak mau menyerah begitu saja.
Bumbung tuak yang disandang melintang di punggung membuatnya lebih leluasa lagi
dalam bergerak.
Wuuut...! Suto Sinting naik ke atas pohon gua
memperluas pandangannya. Tapi setelah beberapa saat di atas pohon, akhirnya ia
menggerutu sendiri dengan hati kesal.
"Sial! Ke mana tadi orang itu? Mencurigakan sekali gerakannya.
Bikin hatiku penasaran kalau begini! Coba kucari ke arah timur!"
Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting melompat dari pohon ke pohon. Selain jurus 'Gerak Siluman'
yang dipergunakan, tapi juga pergunakan jurus peringan tubuh sehingga mampu
lebih cepat lagi.
Bayangan itu tampak menyeberang sungai besar. Sepertinya berjalan di
atas permukaan air dengan lincahnya. Suto dapat pastikan bayangan tersebut
adalah orang yang berilmu tinggi, karena dapat seberangi sungai selebar itu
dalam waktu amat singkat.
Sebenarnya Suto Sinting pun mampu lakukan hal yang sama. Tapi langkahnya
segera terhenti karena mendengar suara letusan di arah kanannya. Letusan itu
sangat dekat dengannya, sehingga rasa tertarik untuk melihat ke arah kanan
lebih besar.
"Di sana ada pertarungan!" pikir Suto. "Siapa lagi yang
mengadu kekuatan tenaga dalamnya di sebelah sana? Tak mungkin si bayangan yang
sedang kukejar itu! Hmmm... bagaimana kalau begini? Mengejar bayangan itu atau
melihat siapa yang bertarung di sana?!"
Pendekar Mabuk bimbang sejenak, matanya memandang ke arah kanan dan ke
seberang sungai secara bergantian.
*
* *
6
DENGAN maksud sekadar untuk hilangkan rasa penasarannya, Suto Sinting
akhirnya menengok pertarungan itu sebentar. Maksud untuk menengok sebentar
menjadi berkepanjangan karena ternyata dua pihak yang bertarung itu ternyata
adalah Dewi Kesepian melawan Resi Badranaya dan si Kapas Mayat.
"Celaka! Bisa mati tanpa bangkai si Yundawuni melawan dua tokoh
berilmu tinggi itu. Aku harus segera bertindak sebelum segalanya menjadi lebih
kacau lagi!" pikir Pendekar Mabuk, kemudian segera menenggak tuaknya
sebentar.
Yundawuni tampak masih mampu hindari serangan-serangan kedua lawannya.
Tetapi, Resi Badranaya yang sangat berang terhadap Yundawuni segera lepaskan
jurus andalannya. Dengan satu sentakan napas, tubuhnya berubah menjadi asap dan
asap itu menerjang Dewi Kesepian tanpa bisa dipukul lagi.
Bluuub, wwwwuuusss..!
Asap hitam itu jelas racun yang mematikan. Dewi Kesepian tampak cemas,
ia berusaha hindari asap hitam yang berkelebat cepat bagai tertiup badai.
Sementara itu, si Kapas Mayat menghadang gerakan Dewi Kesepian dengan lepaskan
sinar kuning patah-patah dari kedua cabang tongkatnya secara berturut-turut.
Cap, cap, cap, cap...!
Dewi Kesepian tak punya tempat untuk menghindar. Di belakangnya sinar
kuning di depannya asap hitam. Satu-satunya jalan ia harus lakukan lompatan ke
atas setinggi mungkin.
Tetapi sebelum hal itu dilakukan, Suto Sinting lebih dulu berkelebat
cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tubuh kecil si Kapas Mayat
diterjangnya dari samping kiri. Zlaaap...! Brruusss...!
Kapas Mayat terpental dan terguling-guling di semak-semak yang jauhnya
sekitar delapan tombak dari tempatnya berdiri. Pada waktu itu, Dewi Kesepian
sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas dengan gerakan jungkir balik
beberapa kali, bagaikan bola tertendang naik. Tetapi asap hitamnya Resi
Badranaya dapat meliuk ke atas dan mengejar tubuh Dewi Kesepian.
Suto Sinting cepat ambil bumbung tuaknya. Tapi bumbung tuak digenggam
dan bumbung itu diputar cepat di atas kepalanya hingga terdengar suara berdengung
memanjang.
Wuuuuungg...!
Jurus 'Kipas Malaikat' yang dipergunakan Suto hadirkan angin kencang
yang membuat asap itu berantakan tak jadi mencapai tubuh Dewi Kesepian.
Weeesss...! Asap yang buyar berantakan membentuk gumpalan-gumpalan
kabut kecil di sana-sini. Sementara itu Dewi Kesepian berhasil hinggap di atas
sebuah dahan pohon agak tinggi. Jleeg...!
"Oh, dia...?!" Dewi Kesepian terperanjat memandang kehadiran
Suto yang tampak membelanya.
Bumbung tuak segera dihentikan. Jika tidak, maka putaran bumbung itu
bukan saja mengeluarkan angin kencang tapi juga akan menimbulkan busa-busa
salju yang dingin sekali.
"Bocah tolol! Kalau tidak salah dugaanku.... Mengapa kau
menyerangku dan memihak perempuan beracun itu, Suto?!" teriak Kapas Mayat
yang tampak sehat-sehat saja tanpa luka sedikit pun walau sudah terbanting dan
terguling-guling sedemikian rupa.
"Maaf, Pak Cilik...!" ujar Suto yang mempunyai sebutan khas
untuk si Kapas Mayat. Kulakukan semua ini demi meluruskan langkah yang keliru,
Pak Cilik!"
"Kalau tidak salah dugaanku, langkahmu itu yang keliru!"
bantah Kapas Mayat sambil hampiri Suto.
"Perempuan itu memang cantik, tapi kalau tidak salah dugaanku...
bagian dalamnya mengandung racun yang dapat merenggut nyawamu. Kalau tak
percaya, cobalah kau pakai sebentar perempuan itu. Kalau tidak salah dugaanku,
kau akan kejang-kejang seperti terkena sawan babi!"
Gumpalan kabut hitam itu menyatu kembali.
Zuuubbs...! Lalu membentuk sosok Resi Badranaya yang sudah mengerutkan
dahi dan menaikkan alisnya karena berang kepada Suto Sinting.
"Murid Sinting! Mengapa kau membela penyakit berbahaya itu, hah?!
Pergi dan jangan halangi maksud kami menghancurkan wabah yang dapat memusnahkan
kaum lelaki di permukaan bumi ini!"
"Maaf, Eyang Resi Badranaya...," ujar Suto dengan sedikit
membungkuk sebagai tanda tetap menghormat.
"Kita telah salah langkah. Ada cara yang lebih baik untuk
memecahkan masalah ini, Eyang Resi Badranaya!"
"Jangan mengguruiku, Murid Sinting! Kuadukan kepada Gila Tuak,
gurumu itu, bisa dihukum kau!"
"Justru tindakanku ini sudah seizin Kakek Guru Gila Tuak, Eyang
Resi!"
"Ooo... kalau begitu Gila Tuak juga ikut-ikutan sinting!"
ujar Kapas Mayat masih tetap tenang, tidak seberang Resi Badranaya.
Dengan napas memburu karena dibakar kemarahan, Resi Badranaya dekati
Suto Sinting hingga berjarak kurang dari satu langkah. Tangannya mencengkeram baju
Suto dan tubuh Suto sedikit diangkat naik.
"Kau tidak tahu, sahabatmu sebentar lagi mati gara-gara racun
dalam tubuh perempuan terkutuk itu! Darah Prabu hampir mati dan sekarang sedang
sekarat!" bentak Resi Badranaya setelah menggerang panjang.
"Sabar, Eyang... aku akan mengobatinya!"
"Omong kosong!" tubuh Suto disentakkan hingga jatuh terduduk.
Suto tidak melawan, ia bangkit dengan menarik napas sebagai tanda mempertahankan
kesabarannya.
"Penyakit itu tidak ada obatnya!" bentak Resi Badranaya.
Kapas Mayat menimpali, "Kalau tidak salah dugaanku, obatnya adalah
kematian. Dan kalau tidak salah dugaanku, kematian itu ngeriiii...
sekali!" sambil ia bergidik sekali.
"Eyang Resi dan Pak Cilik.... Yundawuni atau si Dewi Kesepian itu
tokoh dari aliran putih. Justru ia membela aliran putih hingga rela dipecat
menjadi murid Pendeta Amor. Justru karena dia ada di pihak aliran putih, maka
dia melawan Nyai Ronggeng Iblis. Mengapa kita harus lenyapkan dia jika ia
memang terkena racun 'Asmara Kubur', seharusnya kita tolong dia untuk lepaskan
diri dari kutukan beracun itu."
"Kalau tidak salah dugaanku, kau terlalu banyak ngomong,
Suto!" sela Kapas Mayat.
"Kalau tidak salah dugaanku, kau belum tahu apa racun 'Asmara
Kabut' itu!" ujar Resi Badranaya.
"Kalau tidak salah dugaanku, aku sudah dapat keterangan dari Kakek
Guru dan diberi tahu bagaimana cara melawan Racun 'Asmara Kubur' itu!"
kata Suto.
Resi Badranaya berkata lagi, "Kalau tidak salah dugaanku...,"
tapi segera dibentak oleh Kapas Mayat.
"Jangan ikut-ikutan berkata begitu. Itu kebiasaanku!"
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa berkata 'kalau tidak salah
dugaanku'?" geram Resi Badranaya.
"Eyang Resi dan Pak Cilik... izinkan aku mendapat kesempatan untuk
sembuhkan Darah Prabu dengan tuakku."
"Kalau tidak salah dugaanku, tuakmu tidak akan bisa sembuhkan
penyakitnya Darah Prabu," ujar Kapas Mayat.
"Dengan dicampur air kelapa gading, tuak ini dapat untuk sembuhkan
wabah yang menjangkit di tubuh Darah Prabu, Kadal Ginting, dan yang lainnya,
terutama yang pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian. Kau bisa mencobanya lebih
dulu, Pak Cilik!"
"Kalau tidak salah dugaanku, kau kurang ajar, Suto! Apa kau kira
aku pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian?! Mampu saja sudah tidak, kok mau
bercumbu!" gerutu Kapas Mayat sambil bersungut-sungut.
"Setan! Perempuan itu telah pergi dari kita!" seru Resi
Badranaya. "Kapas Mayat, kejar perempuan itu!"
"Kalau tidak salah dugaanku...."
"Aaaah, jangan terlalu banyak dugaan!" sentak Resi Badranaya.
"Kita kejar dia, jangan sampai menyebarkan wabah kepada pemuda lain!"
Wuuut...! Jleeeg...!
Pendekar Mabuk melompat di depan langkah Resi Badranaya dan Kapas
Mayat.
"Maaf, Eyang Resi dan Pak Cilik... mungkin akulah yang harus lebih
dulu Eyang dan Pak Cilik hadapi sebelum menangkap Dewi Kesepian!"
"Grrrmmm...!" geram Resi Badranaya penuh kemarahan.
"Kalau tidak salah dugaanku, baru saja kau ngomong apa itu,
Badranaya?!"
"Aku menggeram, Tolol!" bentak Resi Badranaya semakin jengkel.
"Suto, minggir atau melawanku!" ancam sang Resi.
"Barangkali aku terpaksa melawanmu, Eyang Resi," jawab Suto
pelan.
"Kurang ajar!"
"Kalau tak salah dugaanku, dia memang kurang ajar!" timpai
Kapas Mayat.
"Sebenarnya aku tidak menghendaki pertarungan di antara kita,
Eyang Resi. Seandainya saja Eyang Resi mau percaya padaku dan memberi
kesempatan padaku untuk mengobati Darah Prabu, barangkali kita tidak akan
saling berselisih seperti ini!"
"Kalau tidak salah dugaanku, apakah kau benar-benar sanggup menyembuhkan
muridnya si gendut ini?" sambil Kapas Mayat menuding Resi Badranaya yang
berbadan gemuk itu. Sang Resi melirik dengan geram tertahan. Kapas Mayat cuek,
seakan tak merasa menyinggung perasaan Resi Badranaya.
"Aku sanggup, Pak Cilik! Sanggup sekali menyelamatkan nyawa Darah
Prabu, sebab biar bagaimanapun juga dia adalah sahabatku. Tak mungkin kubiarkan
dia celaka karena penyakit itu! Yang penting, ku mohon Pak Cilik dan Eyang Resi
mau membantuku mencarikan air kelapa gading!"
"Di kaki gunung tempatku tinggal, banyak pohon kelapa
gading!" kata sang Resi tetap garang.
"Kalau begitu, tak ada masalah lagi. Serahkan padaku maka Darah
Prabu akan sehat kembali, Eyang!"
"Apa jaminannya!" sentak Resi Badranaya.
"Nyawaku, Eyang!" jawab Suto tegas dan jelas.
"Hmmmm... baik! Kuberi kesempatan padamu kalau sampai muridku
mati, kau akan kukirim ke neraka, Suto!"
"Aku tak keberatan, Eyang. Tapi sekarang aku harus kejar Dewi
Kesepian itu dan mengasingkannya di suatu tempat agar tidak menimbulkan korban
bagi lelaki lain!"
"Pergilah, dan aku akan siapkan air kelapa gading itu!"
"Kalau tidak salah dugaanku, aku ikut siapa, Badranaya?"
"Terserah! Mau ikut kena penyakit juga terserah! Itu
urusanmu!"
"O, kau tak bisa begitu, Badranaya. Kalau tidak salah
dugaanku...."
Zlaaap...! Suto sudah meninggalkan mereka sebelum mereka selesai
berdebat, ia mengejar Dewi Kesepian menuruti langkah nalurinya.
Blegaaarrr...!
Suara ledakan dahsyat menggema, bahkan sempat menggetarkan tanah tempat
Suto berada. Suara ledakan itu segera diburu. Firasatnya mengatakan, di sanalah
Dewi Kesepian berada, sedang lakukan pertarungan dengan seseorang. Zlaaap,
zlaaap...!
Ternyata suara ledakan itu berasal dari seberang sungai yang tadi. Asap
ledakan masih tersisa membubung ke atas. Maka Pendekar Mabuk pun segera
berkelebat menyeberang sungai dengan melemparkan helai-helai daun sebagai
tempat berpijak alas kakinya.
Helai-helai daun yang mengambang di permukaan air sungai itu pun segera
dilaluinya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Tab, tab,
tab, tab, tab...!
Letusan kecil terdengar lagi. Pendekar Mabuk berkelebat ke arah letusan
kecil tersebut. Akhirnya ia menemukan gundukan tanah yang membukit tak seberapa
tinggi, ia melompat ke atas gundukan tanah yang membukit itu. Wuuut...! Jleeg...!
Di balik gundukan tanah yang membukit itulah pandangan mata Suto
menatap dengan tajam-tajam, karena di sana sedang terjadi pertarungan antara
Dewi Kesepian dengan si Rupa Setan.
Tuak diteguk sebentar. Pada saat itu, Dewi Kesepian terlempar dan
terbanting akibat sapuan tangan si Rupa Setan yang berkelebat ke atas dari
jarak enam langkah. Sapuan lembut itu ternyata hadirkan tenaga dalam besar yang
melemparkan tubuh tinggi sekal milik Dewi Kesepian. Brrruk...!
Agaknya Dewi Kesepian sudah terluka sebelumnya. Mulutnya sudah
melelehkan darah. Ditambah lagi bantingan kuat itu telah membuat luka dalamnya
semakin parah. Darah mengalir dari hidung dan telinganya. Ketika ia mencoba
bangkit, lututnya menjadi lemas hingga ia sempoyongan mau jatuh.
"Dengan sangat terpaksa aku harus memusnahkanmu, Yundawuni!"
ujar si Rupa Setan yang memunggungi gundukan tanah membukit itu.
"Tidak ada yang harus dimusnahkan!" seru sebuah suara yang
membuat Rupa Setan berpaling ke belakang, lalu pandangannya menangkap seraut
wajah pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala, membawa bumbung
tuak. Tak salah lagi ciri-ciri yang dicatat dalam ingatan Rupa Setan itu, pasti
dialah orangnya yang bernama Suto Sinting.
"Hmmm.... Pendekar Mabuk!" gumamnya menyerupai geram.
Zlaaap...!
Suto Sinting tiba di depan si Rupa Setan pada saat Rupa Setan masih
memandang ke arah gundukan tanah yang membukit itu. Rupa Setan sempat
terperanjat kecil karena ketika ia berpaling mau memandang Dewi Kesepian,
ternyata Suto Sinting bagaikan sudah berada di depan hidungnya.
"Sudah kuduga kau akhirnya akan bertemu denganku, Pendekar
Mabuk."
Suto Sinting rapatkan kaki dan sedikit membungkuk.
"Hormatku untukmu, Penguasa Kuil Tembus Jagat!" ucap Suto
Sinting dalam ketegasan yang membanggakan hati Rupa Setan.
"Ternyata kau sudah mengenaliku, Pendekar Mabuk?!"
"Guruku, si Gila Tuak, menyuruhku mengenalimu, Rupa Setan!"
"Sampaikan salamku kepada Kakang Sabawana alias si Gila Tuak
itu!"
"Akan kusampaikan kalau kau mau melepaskan ancaman mati untuk Dewi
Kesepian!"
Wajah keriput dan buruk dengan gigi simpang siur itu ditarik satu
sentakan kecil menandakan ia sedang terkejut mendengar ucapan Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu berkata begitu, Pendekar Mabuk?"
"Aku tidak setuju jika kau membunuh Dewi Kesepian hanya untuk
lenyapkan kutukan beracun itu! Bukan jalan yang terbaik bagiku melakukan hal
seperti rencanamu itu, Rupa Setan!"
"Murid si Gila Tuak ternyata pandai bicara! Tapi ia tidak pandai
menggunakan akal sehatnya, sehingga ingin membiarkan kaum lelaki di seluruh
dunia ini lenyap karena racun kutukan itu!"
"Aku akan mengobati penyakitnya, Rupa Setan! Aku akan melawan
racun 'Asmara Kubur' yang ada pada diri Yundawuni itu!"
"Aneh sekali!" gumam Rupa Setan dengan nada tertawa
meremehkan, ia melangkah ke samping, dan Pendekar Mabuk melangkah dekati
Yundawuni.
"Minum tuakku, tapi jangan dihabiskan!" katanya kepada Dewi
Kesepian. Maka perempuan itu menenggak tuak tersebut, karena ingat saat
tubuhnya terluka parah oleh serangan Ambarini, pemuda tampan itulah yang
melenyapkan seluruh lukanya.
"Pendekar Mabuk, apakah gurumu tidak tahu bahwa racun 'Asmara
Kubur' itu tidak bisa disembuhkan dengan cara apa pun kecuali dengan
kematian?!"
"Guru tidak berkata begitu!" jawab Suto tegas. "Guru
mengutusku untuk mencari obat penawar racun 'Asmara Kubur' itu. Karenanya Guru
mengutusku juga untuk selamatkan Dewi Kesepian!"
Suto menerima bumbung tuaknya dari tangan Dewi Kesepian, ia sempat
ajukan tanya pelan, "Di mana Temon?"
"Ada di tempat persembunyianku!" jawab Dewi Kesepian yang
rasa sakitnya mulai berkurang.
Rupa Setan bicara dengan hentikan langkah dan menghadap tegak ke arah
Pendekar Mabuk.
"Kurasa kau berdusta padaku dengan membawa-bawa nama gurumu!
Kurasa kau naksir perempuan itu tanpa peduli racun di dalam tubuhnya!"
Pendekar Mabuk maju empat langkah. Matanya memandang lurus dengan sikap
menantang.
"Kau sangka aku berani menjual nama guruku?!"
"Untuk dapatkan tempat pelampiasan gairah kejantananmu, kurasa kau
memang cukup berani menjual nama gurumu di depanku!"
"Kau picik, Rupa Setan!" geram Suto dengan hati tersinggung
oleh tuduhan itu.
"Hah, hah, hah, nah...!" Rupa Setan yang bersuara agak besar
itu tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya itu hilang dan pandangan mata cekungnya
tertuju tajam ke arah Suto Sinting.
"Apa pun alasanmu, perempuan itu tetap harus kulenyapkan! Kau tak
bisa melarangku, Pendekar Mabuk!"
"Kau akan berurusan denganku, Rupa Setan!"
"Tak jadi masalah. Kalau kau memang bisa unggul melawanku, kau
boleh lindungi perempuan itu! Kau boleh selamatkan dia dengan tipu muslihatmu
itu!"
"Aku sudah cukup siap menghadapimu, Rupa Setan!"
"Baik...!" ucap si Rupa Setan dengan nada menggeram, seakan
penuh nafsu untuk hancurkan Pendekar Mabuk juga.
Rupa Setan melangkah ke samping, kembali ke tempatnya berdiri semula.
Tapi tiba-tiba kedua tangannya menyentak naik bagai membentangkan sayap bersama
gerakan jubahnya yang berkelebat. Wuuuk...!
Pendekar Mabuk tahu-tahu terjungkal ke belakang bagai disambar badai
cukup kuat. Bruuuk...! Ia jatuh dua langkah dari tempatnya berdiri. Dewi
Kesepian tampak cemas dan bersembunyi di balik pohon besar.
"Hiiiaah...!"
Rupa Setan cepat hentakkan kakinya ke tanah.
Duuuhk...! Krraaak...!
Tanah pun retak. Suto Sinting terperosok ke dalam retakan tanah itu
pada saat ia mau bangkit. Bruuusk...!
"Heeeah...!" Rupa Setan menyentakkan kakinya lagi ke tanah.
Maka tanah yang retak itu pun merapat kembali, menjepit tubuh Pendekar Mabuk
sebatas dada.
"Aaahk...!" Suto memekik dengan wajah menyeringai dan mata
terpejam kuat. Tubuhnya tergencet tanah dan seluruh tulangnya terasa patah, ia
berusaha keluar dari jepitan tanah itu, tapi tenaganya terasa terkuras habis.
"Hah, hah, nah...! Keluarlah dari situ kalau kau memang mampu
mengungguliku!" seru si Rupa Setan dengan berjalan mondar-mandir ke
kanan-kiri sambil pandangi usaha Suto melepaskan diri dari gencetan tanah itu.
"Uuhk...! Ahhhkk...!" Suto Sinting kewalahan hadapi bahaya
itu. Wajahnya sampai merah, pertanda gencetan tanah itu sangat kuat
menjepitnya.
"Hiiiaaah...!"
Buuurk...! Rupa Setan sentakkan kedua kakinya ke tanah dengan satu
lompatan pendek. Tanah yang menggencet Suto melambung naik pertanda gencetan
itu semakin kuat.
"Aaaaahhkk...!" Suto Sinting menyeringai dengan mata terpejam
kuat karena menahan rasa sakit yang semakin menyesakkan pernapasan.
Melihat keadaan itu, Dewi Kesepian diam-diam segera loloskan diri. Ia
merasa tak akan mampu menghadapi Rupa Setan yang ilmunya cukup tinggi itu.
Rupa Setan tak memperhatikan kepergian Dewi Kesepian, karena ia
cenderung memperhatikan usaha Suto Sinting dalam mempertahankan diri. Bahkan
kini ia lakukan lompatan sambil menendang kepala Suto.
"Hiaaattt...!"
Wuuus...! Prrrrok...!
"Aaaahk...!"' Suto Sinting hanya bisa keluarkan suara pekikan
tertahan saat kepalanya terkena tendangan dengan telak sekali. Tak heran jika
mulutnya menjadi keluarkan darah dan telinganya pun keluarkan darah kental.
Walau kedua tangan Suto masih di atas tanah bersama bumbung tuaknya,
tetapi gencetan itu bagai menahan seluruh uratnya sehingga kedua tangan itu tak
sukar digerakkan.
Namun setelah mendapat tendangan yang kedua, urat-urat yang mengejang
itu terasa longgar sedikit. Suto berhasil gerakkan tangannya pelan-pelan, lalu
menuang tuak ke mulutnya dengan berhamburan tak teratur.
"Minumlah dulu sebelum ajalmu tiba!" ujar Rupa Setan sambil
bertolak pinggang dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Tuak itu membuat tenaga Suto menjadi pulih kembali. Bahkan kekuatannya
menjadi berlipat ganda.
Rasa sakit lenyap sama sekali. Dengan satu sentakan
kaki di dalam tanah, Suto Sinting akhirnya bisa melesat ke atas menjebol tanah
yang menggencetnya dari tadi.
"Heeeeeeaaahh...!!"
Brrruuuull...!
Rupa Setan terkejut. Gerakan melambung ke atas yang dilakukan Suto
seperti roket lepas dari landasannya. Daun-daun dan dahan pohon diterjangnya hingga
patah berantakan. Hal itulah yang membuat Rupa Setan terperanjat dan terkesima
beberapa saat.
Wuuusss...! Jleeeg...!
Suto Sinting bergerak turun dan mendaratkan kakinya tepat tiga langkah
di depan Rupa Setan. Perempuan itu semakin terperangah. Saat ia terperangah
itulah, Suto Sinting segera lepaskan tendangan kipasnya yang memutar tubuh
dengan cepat.
"Heeah...!"
Plook...!
Tubuh Rupa Setan terlempar dan membentur pohon. Sebelum tubuh itu
merosot turun, Suto Sinting melesat maju dan menghantamkan jurus 'Mabuk Lebur
Gunung', menggeloyor seperti orang mabuk dan jatuh, namun tiba-tiba menyodokkan
bumbung tuaknya ke dada Rupa Setan. Buuuhk...!
"Heeeekh...!" Rupa Setan mendelik dalam keadaan diam tak
bergerak. Mulutnya semburkan darah kental yang nyaris mengenai tubuh Suto jika
Suto tak segera melompat ke belakang.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan Rupa Setan merosot ke bawah dan akhirnya
jatuh terkulai bersandar pohon yang tadi bergetar dan daunnya rontok saat Suto
sodokkan bumbung tuak ke dada Rupa Setan.
Brrruk...!
"Uuhhhkk...!" Rupa Setan keraskan seluruh tubuhnya. Agaknya
ia melawan kekuatan dahsyat dari sodokan bumbung tuak tadi.
"Gila! Mestinya orang yang terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' akan
menjadi biru legam dan rambutnya rontok. Tapi kenapa dia tidak begitu? Kenapa
justru keluarkan asap dari tiap lubang kulitnya?" gumam Suto dalam hati
bernada heran.
Ia segera berseru, "Kusempurnakan penderitaanmu dengan jurus
'Tangan Guntur'-ku ini, Rupa Setan!
Heeeeah...!"
"Tahan!" pekik Rupa Setan sambil mengulurkan tangannya.
"Aak... aku mengakui keunggulanmu...l"
Suto Sinting kendorkan tangannya yang nyaris melepaskan sinar biru
besar dan dapat membuat lawannya keropos dalam keadaan menjadi arang.
"Baiklah, saat ini kau unggul, Pendekar Mabuk! Uuuhk...!"
Suto tak sampai hati menghabisi nyawa orang yang sudah mengakui
kekalahannya, ia justru mendekati Rupa Setan dan menyodorkan bumbung tuaknya.
"Buka mulutmu dan minum tuakku biar lukamu sembuh!"
Rupa Setan akhirnya menuruti perintah itu. Tuak dituangkan ke mulut
pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, tubuh Rupa Setan pun segar kembali.
"Kuakui kehebatanmu, Bocah Bagus! Tapi wabah Dewi Kesepian ada
dalam tanggung jawabmu!"
"Akan kuselesaikan masalah ini!"
"Dengan apa kau mau melawan racun 'Asmara Kubur' itu?"
Pendekar Mabuk diam sebentar, lalu berkata dengan suara pelan.
"Dengan sebuah batu yang bernama 'Batu Tembus Jagat'!"
"Hahh...?!" Rupa Setan terperanjat. "Itu... itu batu
keramat! Tak mungkin bisa kau dapatkan, karena di tempatku tak ada batu itu.
Aku penguasa Kuil Tembus Jagat. Aku tahu batu itu tidak ada!"
"Batu itu ada dan aku tahu tempatnya."
"Di mana tempatnya?!" sergah Rupa Setan tampak bernafsu ingin
mengetahui.
Suto Sinting sunggingkan senyum. "Hanya gurumu dan guruku yang
mengetahuinya. Sekarang ditambah satu orang lagi yang mengetahui, yaitu
aku!"
"Hmmm... ehh... kalau begitu, bolehkah aku membantumu, Pendekar
Mabuk?"
"Aku tak menolak uluran tanganmu. Tapi ada saatnya sendiri
kubutuhkan bantuanmu, Rupa Setan!" jawab Pendekar Mabuk dengan kedengaran
gagah dan mantap, mengagumkan hati si Rupa Setan.
"Sekarang yang penting adalah menolong Darah Prabu, Kadal Ginting,
dan yang lainnya," tambah Suto.
"Apakah... apakah mereka juga bisa kau sembuhkan?"
"Kenapa tidak?! Resi Badranaya dan Kapas Mayat sedang mencari
kelapa gading untuk campuran tuakku. Campuran itu yang akan menjadi obat
mujarab bagi penderita wabah asmara Dewi Kesepian! Dan... oh, di mana perempuan
itu?!"
Pendekar Mabuk mencari sekeliling tempat itu, tapi Dewi Kesepian tak
ditemukan. Lalu ia berucap dalam hatinya,
"Aku tahu di mana ia bersembunyi bersama Temon. Tapi, sebaiknya
kuselesaikan dulu tugasku menyembuhkan para korban asmaranya itu!"
Dan ternyata, campuran tuak Suto dengan air kelapa gading memang
berhasil selamatkan nyawa Darah Prabu. Kadal Ginting serta beberapa korban
lainnya yang sama-sama pernah menikmati kehangatan tubuh Dewi Kesepian. Kini
tugas Suto hanya satu; mengambil Batu Tembus Jagat di Gua Mahkota Dewa, setelah
itu menyelamatkan Dewi Kesepian dari cengkeraman racun 'Asmara Kubur'.
Namun selama Suto pergi ke perbatasan alam nyata dan alam gaib itu
adakah korban lain lagi yang menikmati maut di sela-sela pelukan hangat Dewi
Kesepian itu? Selain Temon, siapa lagi yang ingin menuju liang kuburnya dalam
cumbuan sang Dewi Kesepian?
SELESAI
Segera menyusul!!!
PENJARA TERKUTUK
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon