Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Kuil Perawan Ganas
1
SUDAH tiga
purnama Suto Sinting tidak jumpa
dengan calon
istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa rindu
ingin memeluk
sang kekasih idaman hati memaksa
Pendekar Mabuk
untuk menyewa sebuah perahu
berlayar
tunggal. Perahu itu milik seorang nelayan yang
sedang
menderita berbagai macam penyakit, antara lain:
sakit
panas-dingin, sakit gigi, sakit encok, sakit perut,
sakit kepala...
dan juga sakit hati.
Nelayan tua itu
sakit hati kepada anaknya yang
perempuan.
Karena si anak perempuan setelah menikah
selalu ikut
suami dan tidak pernah mau menengok
ayahnya.
Kebetulan waktu itu Suto Sinting si Pendekar
Mabuk
membutuhkan tumpangan untuk bermalam.
Maka bertemulah
ia dengan si nelayan tua itu. Suto
diberi
tumpangan bermalam, tapi Suto juga sembuhkan
nelayan tua itu
dengan cara meminumkan tuak dari
bumbung bambu
yang ke mana-mana selalu dibawa oleh
sang Pendekar
Mabuk.
"Sakit kok
borongan sih, Pak Tua?!" ujar Suto setelah
mengobati.
"Entahlah,
Nak. Badanku ini kalau sedang gemar
sakit, penyakit
apa saja diterimanya. Tidak ada yang
ditolak,"
jawab Pak Tua. "Biasanya para nelayan
menderita sakit
macam-macam begini kalau pada jala
yang dipakai
menangkap ikan terdapat seekor ikan mas
dewa."
"Ikan mas
dewa itu seperti apa?"
"Ya
seperti ikan mas tapi memancarkan cahaya biru
bening. Empat
hari yang lalu ikan mas dewa itu
tersangkut
dalam jalaku. Tapi ikan itu sudah kubuang
kembali ke
laut, kok ya masih saja aku panen penyakit.
Heran aku,
Nak."
Percakapan
menjadi akrab, sampai akhirnya tiba pada
pembicaraan
sewa-menyewa perahu.
"Aku butuh
perahu untuk menyeberang ke Pulau
Serindu, Pak
Tua. Bolehkah aku menyewa perahumu?"
ujar pemuda
tampan, gagah dan berbadan kekar itu.
"Mengapa
harus menyewa? Kalau kau mau pakai,
pakailah saja.
Aku punya empat perahu."
"Hebat...!"
"Tapi
bocor semua!"
"Huuuuh... perahu bocor kok ditawarkan," pemuda
berbaju coklat
tanpa lengan itu dan bercelana putih lusuh
itu
bersungut-sungut.
"Tempo
hari aku mencari ikan dengan meminjam
perahu
temanku."
"Kalau
begitu, carikanlah aku perahu sewaan untuk
kupakai selama
empat atau lima hari, Pak Tua."
"Tak usah
mencari ke mana-mana. Pakai saja
perahuku itu.
Kau mau pakai satu atau dua atau bahkan
tiga perahu mau
kau pakai menyeberang semua, silakan!
Aku tidak
memungut biaya sewa."
"Iya, tapi
kalau bocor semua buat apa?!"
"Lho, kan
bisa ditambal dulu? Dalam waktu tak
sampai setengah
hari aku bisa menambal perahu-perahu
itu sehingga
dapat digunakan."
Pak Tua itu
rupanya ingin balas budi kepada si
Pendekar Mabuk
atas jasa sang pendekar yang berhasil
melenyapkan
semua penyakitnya dalam waktu yang
bersamaan.
Sebelum siang hari, keempat perahunya
sudah tertambal
dengan rapi dan diberi tulisan: Anti
Bocor. Tetapi
biar bagaimanapun Suto tak ingin
merepotkan
nelayan tua itu. Agar hatinya tidak cemas
karena takut,
perahunya tak kembali, Suto meninggalkan
sejumlah uang
yang dikatakan sebagai uang sewa, tapi
sebenarnya uang
garansi, bahwa perahu pasti akan
kembali.
Menempuh
pelayaran seorang diri memang
merupakan
pekerjaan yang menjenuhkan. Kanan-kiri,
depan-belakang,
yang ada hanya pemandangan biru
dengan warna
putih di atas kepala. Sesekali gugusan
pulau dilewati,
tak bisa dilihat kedalaman hutannya
karena terlalu
jauh dari pandangan mata.
Tetapi demi
cinta dan rindu kepada Dyah
Sariningrum,
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di
alam nyata,
Suto Sinting tetap jalankan pelayaran
tunggal itu
dengan hati resah menahan kangen. Sesekali
ia berdiri di
buritan untuk mengatur kemudi perahu.
Badannya tampak
tegap dan gagah dengan rambut
panjang
sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap
tertiup angin
samudera. Dalam benaknya tersimpan
banyak khayalan
indah yang membuatnya selalu
tersenyum tipis
menandakan walau resah tapi ia punya
kegembiraan
tersendiri.
Namun matanya
yang bening dan berbulu lentik
untuk ukuran
seorang lelaki itu tiba-tiba agak menyipit
karena harus
menangkap sesuatu yang dipandang terlalu
jauh. Bumbung
tuak yang berisi tuak penuh itu
ditunggingkan
hingga isinya mengucur di mulut. Setelah
itu ia
memandang ke arah yang dianggap ganjil itu.
"Sepertinya
di sana ada kapal yang terbakar? Ada
asap, tapi tak
kelihatan api. Atau mungkin hanya
gundukan tanah
dan rumput yang terbakar?!" hati si
murid sinting
Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu
berkecamuk
sendiri. Rasa penasaran mulai timbul dan
semakin
menggelitik hati, sehingga perahu pun
diarahkan pada
kepulan asap dan gugusan benda hitam
jauh di sebelah
sana.
Semakin lama
perahu semakin dekat dengan gugusan
hitam itu.
Pandangan mata Suto dipersempit lagi.
"Oh,
benar! Sebuah perahu terbakar! Oh, bukan
sebuah tapi dua
buah...? Ya, dua buah perahu! Keduanya
sama-sama
terbakar dan... dan oh, ada yang bertarung di
atas salah satu
perahu yang terbakar itu?!"
Pendekar Mabuk
kerahkan tenaga untuk gerakkan
dayung panjang.
Perahunya semakin dekat,
penglihatannya
semakin jelas. Ternyata di atas salah satu
perahu berlayar
putih yang sedang terbakar layarnya itu
tampak seorang
pemuda sedang mempertahankan
nyawanya dari
dua perempuan berjubah hitam dan abu-
abu.
Pemuda itu
mengenakan celana dan baju tanpa lengan
warna ungu. Ia
berwajah tampan, berkulit bersih,
rambutnya lurus
dikuncir satu, ia menggunakan senjata
pedang
bersarung perak. Di ujung gagangnya ada ronce-
ronce benang
ungu sebagai penghias. Pemuda itu juga
mengenakan
sepasang gelang kulit warna loreng hitam-
putih di kedua
pergelangan tangannya. Punggung
telapak
tangannya ada tato bergambar seekor elang biru
mengepakkan sayapnya.
Pendekar Mabuk kenal betul
ciri-ciri
tersebut, yang tak lain adalah ciri-ciri dari
sahabatnya
sendiri, yaitu Elang Samudera.
Pemuda itu
adalah murid Pendeta Darah Api yang
menjadi
pamannya Ratu Remaslega dari Pulau Sangon.
Sedangkan Pulau
Sangon sendiri mempunyai perwira
muda yang
cantik bernama Dewi Cintani. Dan Elang
Samudera adalah
adik dari Dewi Cintani. Suto pernah
membantu mereka dalam sebuah peristiwa pencurian
Tongkat Guntur
Bisu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode :
"Dendam Selir Malam").
Tetapi dua
perempuan yang berusia tua, sekitar enam
puluh tahun ke
atas itu, sama sekali belum pernah
dikenali oleh
Suto. Kedua perempuan yang rambutnya
abu-abu karena
bercampur uban itu tampak ganas dalam
menyerang Elang
Samudera. Mereka berilmu tinggi,
sehingga mampu
berdiri di atas permukaan air laut
dengan hanya
berpijak pada sepotong papan sebesar
telapak tangan.
Gerakan kedua nenek itu cukup lincah
dan mereka
berkelebat loncat sana-sini sambil
menyambarkan
tongkatnya untuk menghancurkan kepala
Elang Samudera.
Lompatan-lompatan mereka seperti
sepasang burung
camar yang getol menyambar
mangsanya.
Wes, wes...
wuuuut...!
Claaap...!
Blegaaar... blegaar...!
Ledakan terjadi
berkali-kali karena Elang Samudera
selalu mengadu
kekuatan tenaga dalamnya jika
mendapat
serangan dari kedua lawan, ia jarang mengelak
sinar yang
datang padanya. Bahkan ketika kedua nenek
itu datang
menerjang dari arah samping kanan-kiri
dengan hantaman
tongkatnya, Elang Samudera
menangkis
hantaman kedua tongkat dengan
memukulkan
tinjunya ke samping kanan-kiri. Proook...!
Blegaaarrr...!
Ledakan pun kembali timbul karena tangan
Elang Samudera
dialiri tenaga dalam tinggi dan tongkat
itu pun
demikian juga. Namun keduanya segera berputar
cepat dan
menyabetkan tongkatnya ke punggung Elang
Samudera.
Breeeukh...!
Tongkat itu menghantam bersamaan
dengan
menggunakan sepasang jurus yang sama pula.
Elang Samudera
terpekik dengan tubuh tersentak ke
depan, nyaris
terjun ke laut. Sebelum tubuh itu terjun ke
laut, tendangan nenek berjubah hitam melayang
cepat
dan kenai
pinggang Elang Samudera.
Bet, buuukh...!
"Aaakh...!"
Elang Samudera terlempar melayang ke
perahu yang
sudah dipenuhi api itu. Pada saat kritis
seperti itulah,
Pendekar Mabuk segera bertindak dari
atas perahunya.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang
kecepatannya menyamai kecepatan
cahaya,
Pendekar Mabuk menyambar tubuh Elang
Samudera yang
nyaris terjun ke kobaran api tersebut.
Zlaaap...!
Wuuut...!
Pendekar Mabuk
berdiri di atas selembar kulit kayu
kering yang
mengapung di permukaan air. Ia sudah
memanggul Elang
Samudera di pundak kiri, sementara
pundak kanannya
dipakai untuk menggantungkan
bumbung tuak
saktinya.
Kedua nenek
terkesiap melihat kemunculan anak
muda yang
mempunyai ilmu peringan tubuh cukup
tinggi,
terbukti dapat berdiri di atas selembar kulit kayu
yang mengapung
di permukaan air. Lebih kagum lagi,
ternyata anak
muda bersabuk merah itu mempunyai
gerakan yang
mencengangkan mata kedua nenek
tersebut.
Mereka tak melihat gerakan Suto, tahu-tahu
mereka sudah
melihat kemunculan Suto yang telah
memanggul Elang
Samudera. Sementara itu, Adhiyaksa
atau si Elang
Samudera merintih pelan dan mulutnya
mengucurkan
darah kental, ia terluka parah bagian
dalamnya.
"Siapa
kau, Begundal monyet?!" bentak nenek
berjubah
abu-abu. "Apa maksudmu ikut campur dalam
urusan kami
ini, nah?!"
"Aku hanya
menyelamatkan seorang teman," kata
Suto dengan
nada tegas.
"O, jadi
kau mau cari mampus?!" sahut nenek
berjubah
abu-abu.
"Budek!"
sentak si jubah hitam pada jubah abu-abu.
"Dia hanya
mau menyelamatkan seorang teman! Bukan
mau cari
mampus!"
"Lha. iya...!
Itu berarti dia mau cari mampus, Tolol!"
si jubah
abu-abu mendorong kepala jubah hitam hingga
jubah hitam
tersentak ke samping.
"Jangan
main julek-julekan begitu! Aku tidak suka!"
bentak si jubah
hitam. Jubah abu-abu hanya diam dan
tetap
menampakkan kemarahannya kepada Pendekar
Mabuk.
"Hei,
Tikus cilik...!" katanya sambil menuding Suto.
"Biarkan
murid si Pendeta Darah Api itu mati di tangan
kami, karena
dulu murid kami pun mati dibunuh oleh
gurunya!"
"Kurasa
Eyang Pendeta Darah Api tidak akan
segegabah itu,
membunuh orang seenaknya kalau tidak
ada alasan yang
kuat. Jika Eyang Pendeta Darah Api
membunuh
muridmu, berarti muridmu adalah manusia
sesat yang
memang layak untuk dilenyapkan!"
"Eeeeh,
eh, eh, eh...! Kurobek mulutmu sampai ke
tengkuk kalau
berani mengatakan Juwanara adalah
murid sesat
kami!" tuding si jubah abu-abu.
Jubah hitam
menyahut, "Kurasa sekarang sudah
waktunya
merobek mulutnya, Cakar Peri!"
"Kalau
begitu, robeklah sendiri mulut anak itu,
Taring
Peri!"
"Kita maju
berdua saja! Hsaaaah...!"
Kedua nenek itu
segera lakukan lompatan bagaikan
terbang dengan
tongkat terarah ke depan.
Wuuut...! Suto
Sinting tak mau menangkis,
melainkan
menghindari serangan itu dengan berkelebat
cepat melebihi
kecepatan anak panah yang lepas dari
busurnya.
Zlaaap...! Zlaaaap...!
Tahu-tahu ia
sudah berpindah tempat di perahunya
sendiri. Elang
Samudera diletakkan di perahunya itu.
Sementara kedua
nenek tak bisa hentikan gerakan.
Ketika sodokan
tongkatnya mengenai tempat kosong,
keduanya
sama-sama terjerumus dan terjun ke laut.
Byuuurr...!
Byuuur...!
"Anak
jahanaaammm...!" geram si jubah hitam.
"Heeaaat...!"
Bruuuusss...!
Cakar Peri yang
berjubah abu-abu tersentak meluncur
ke atas, keluar
dari permukaan air laut. Ia bagaikan ikan
terbang yang
segera lepaskan pukulan bersinar merah
dari telapak
tangan kirinya. Wuuuut...!
Sementara itu,
Taring Peri yang berjubah hitam hanya
melompat keluar
dari kedalaman air dan berdiri di atas
sepotong kayu
papan. Tapi ia juga segera melepaskan
pukulan sinar
merah berbentuk bola api dari tangan
kirinya.
Claaap...!
Sinar merah
panjang dari tangan Cakar Peri lebih
dulu menghantam
tubuh Suto Sinting. Namun dengan
cepat. Suto
Sinting menangkis sinar merah panjang itu
dengan bambu
bumbung tuaknya. Trrak, slaaaps...!
Sinar merah
panjang itu menjadi berbalik arah dalam
keadaan lebih
besar dan lebih cepat. Sinar itu tidak tepat
membalik ke
arah Cakar Peri, namun justru menghantam
sinar merah
bola apinya si Taring Peri. Wuuub...!
Blegaaarrrr...!
Ledakan dahsyat
terjadi sangat mengguncangkan
alam. Air laut
menyibak ke atas bagai ingin merangkup
perahu-perahu
mereka untuk ditenggelamkan ke dasar
laut. Pendekar
Mabuk sendiri sempat terpental ke
belakang dan
jatuh masih di dalam perahunya, menindih
tangan Elang
Samudera yang masih merintih menderita
sakit itu.
Sedangkan kedua nenek tadi terlempar ke atas
tanpa
keseimbangan tubuh. Mereka melayang-layang
dan akhirnya
jatuh di perahu yang penuh api.
Brrruus...!
"Waaaaa...!"
teriak mereka, kemudian sama-sama
melompat keluar
dari kobaran api itu. Wuuurs...! Byur...!
Jooorrss...!
Keduanya
sama-sama seperti besi membara yang
dimasukkan
dalam air. Tapi karena air laut mengandung
garam, maka
luka bakar mereka terasa sangat perih dan
membuat mereka
berteriak-teriak kesakitan dan
menghamburkan
makian yang tak karuan.
"Aaaahhh...!
Kunyuk bantaaaat...!"
"Jahanam
laknat biadab, keparaaaatt...! Periiiihh...!"
teriak Cakar
Peri.
Rupanya ledakan
tadi bukan saja menghadirkan
gelombang
sentakan sangat kuat, melainkan juga
mengandung hawa
panas yang membuat kulit tubuh tua
para 'peri' itu
menjadi terkelupas. Bahkan dada Suto
Sinting pun
menjadi merah karena hawa panas tadi.
Untung ia
buru-buru meneguk tuaknya, sehingga rasa
panas pun
segera sirna dan badannya menjadi segar
kembali.
"Kita lari
saja dari sini!"
"Lari ke
mana?! Perahu kita sudah terbakar habis
gara-gara
serangannya si murid pendeta bego itu!"
"Aku tak
kuat menahan rasa perih di sekujur tubuhku.
Bukitku
terbakar!"
"Bukitku
juga. Tapi biarlah, sudah peot ini, ngapain
susah-susah
dipikirkan! Cuma, oouh... sekujur tulangku
bagaikan ikut
terbakar dan sebentar lagi .. akan menjadi
lumer!"
"Ini
gara-gara kecerohohanmu, melepaskan pukulan
'Sangkar Api'
bersama-sama terlepasnya jurus 'Inti
Lahar'-ku,
akibatnya yang seperti ini jika berbenturan!"
"Jangan
salahkan aku, salahkanlah si kunyuk muda
itu! Dia
menangkis dengan bumbung tuaknya. Coba
kalau tidak
ditangkis, pasti tidak membalik ke arah kita!"
"Oouh...!
Aku tak kuat menahan rasa panas yang
makin lama
semakin mengeringkan darahku ini!"
"Makanya
kita cabut saja dari sini!"
"Iyalah...
kita cabut saja dari... hei, itu ada dua potong
papan
mengambang! Kita gunakan papan papan itu saja
untuk
lari!"
"Pergunakan
jurus 'Angin Pengecut' kita! Huuup...!"
Zrrub...!
Plek...! Taring Peri lebih dulu melompat dari
kedalaman air,
kakinya jatuh di atas sepotong papan.
Cakar Peri
menyusul melakukan hal yang sama.
Wuuuut...!
Mereka pun sama-sama pergi melesat dengan
kecepatan
tinggi. Seakan mereka sepasang layar tua
yang dihembus
oleh angin badai. Itulah jurus kabur
mereka yang
dinamakan jurus 'Angin Pengecut'.
Pendekar Mabuk
sengaja biarkan kedua nenek itu
kabur, ia
segera menolong Elang Samudera yang terluka
parah bagian
dalamnya itu. Beberapa teguk tuak
diminumkan ke
mulut Elang Samudera. Dengan
meminum tuak
sakti tersebut, maka luka parah baik yang
ada di dalam
maupun yang di luar tubuh menjadi
sembuh tanpa
bekas sedikit pun. Itulah kehebatan tuak
sakti dari
bumbung bambu yang menjadi ciri khas si
Pendekar Mabuk.
"Siapa
kedua nenek liar tadi?" tanya Suto kepada
Elang Samudera,
setelah Elang Samudera menyatakan
rasa bersyukur
dan berterima kasih atas kemunculan
Suto di tempat
itu.
"Mereka
orang-orang dari aliran hitam yang sakit hati
kepada guruku
karena kematian murid kesayangan
mereka. Lalu,
mereka ingin balas membunuh murid dari
guruku, yaitu
aku sendiri!"
"Hmmm...,"
Suto Sinting manggut-manggut. "Lalu,
kau sendiri mau
ke mana sebenarnya, Elang
Samudera?!"
"Aku mau
ke Pulau Swaladipa. Aku diutus oleh Ratu
Remaslega
menggantikan tugas kakakku; Cintani, untuk
menyelamatkan
seorang bocah yang ada di Pulau
Swaladipa."
"Bocah...?!
Hei, kenapa kau sekarang jadi tukang
momong?!"
Pendekar Mabuk
menertawakan. Tapi Elang
Samudera hanya
tersenyum-senyum sambil matanya
memandang jauh ke
cakrawala dan suaranya terdengar
kembali.
"Bocah itu
adalah bocah emas yang kini sedang jadi
incaran para
penguasa di berbagai tempat."
"Bocah
emas?!" gumam Suto penuh keheranan.
"Seluruh
kulitnya berwarna kuning emas. Bahkan
keringat atau
air matanya jika membeku menjadi butiran
emas. Menurut
kepercayaan para sesepuh, bocah emas
adalah bocah
keberuntungan yang akan membuat sebuah
negeri atau
sebuah wilayah akan menjadi makmur dan
kedudukan
penguasanya tak akan bisa ditumbangkan
jika bocah emas
itu berada dalam perawatannya!"
"Hebat!
Baru sekarang kudengar ada bocah sekeramat
itu?!"
*
* *
2
TIDAK ada
perahu yang utuh dan bisa dipakai lagi,
baik perahu
bawaan Elang Samudera maupun perahu
bawaan kedua
nenek itu. Hanya perahu Suto yang masih
utuh dan tidak
mengalami kerusakan apa pun. Maka mau
tak mau Suto
mengantar Elang Samudera sampai ke
Pulau
Swaladipa.
"Pulau
Swaladipa adalah pulau kekuasaan Ratu
Lembah
Girang," tutur Elang Samudera menjelaskan
selama dalam
perjalanan di laut.
"Apakah
bocah emas itu adalah anak Ratu Lembah
Girang?!"
"Bukan.
Bocah emas itu keturunan dari pasangan
suami-istri
yang menjadi sepasang pertapa di Gunung
Sambara.
Sepasang pertapa itu adalah Eyang Winudaya
dan Eyang
Sutimuning."
"Keduanya
masih hidup?"
"Sudah
tiada," jawab Elang Samudera. "Pasangan
pertapa sakti
itu mati tanpa raga. Artinya tidak ada jasad
yang
ditinggalkan kecuali hanya pakaian mereka berdua.
Dan menurut
keterangan guruku, Eyang Winudaya dan
Eyang
Sutimuning meninggal sekitar tujuh puluh tahun
yang
lalu."
"Oh...?!"
Suto agak kaget. "Kalau begitu sekarang
yang dinamakan
Bocah Emas itu sudah besar, bahkan
mungkin sudah
tua?!"
"Seharusnya
begitu. Tapi kenyataannya bocah itu
tetap awet
kecil, seperti bocah berusia lima tahun
kurang, ia
tinggal di dalam gua pertapaan ayah-ibunya di
Gunung Sambara.
Ia hidup bersama pelayan tua
pasangan
pertapa sakti itu. Pelayan itu bernama Ki
Jurumomong.
Tapi beberapa waktu yang lalu, Ratu
Remaslega dan
beberapa tokoh tua dalam persilatan
mendengar kabar
bahwa Ki Jurumomong telah tewas
juga. Maka si
Bocah Emas itu hidup sendirian dan
sekarang sedang
dijadikan bahan rebutan para tokoh baik
dari aliran
hitam maupun dari aliran putih."
"Apa ada
hubungannya dengan Ratu Lembah
Girang?!"
"Hubungannya
adalah... Ratu Lembah Girang
menjaga ketat
wilayah Gunung Sambara, karena ia
sendiri ingin merawat Bocah Emas itu untuk
memperkokoh
kedudukannya dan mencari kejayaan dari
kekuasaannya."
"Ikut
aliran mana ratu itu?"
"Aliran
hitam!" jawab Elang Samudera dengan tegas
dan jelas.
Lalu, ia menyambung penjelasannya tanpa
diminta oleh
Pendekar Mabuk.
"Pada
mulanya, Pulau Swaladipa diperintah oleh Nyi
Ageng Sangir,
bibinya Ratu Remaslega. Tapi perempuan
sesat berjuluk
Lembah Girang segera menggulingkan
kekuasaan Nyi
Ageng Sangir. Maka pulau tersebut dan
wilayah
jajahannya berada dalam genggaman Lembah
Girang, yang
kemudian menobatkan diri sebagai ratu di
pulau
itu."
Suto Sinting
manggut-manggut. Ia tampak antusias
sekali
mendengarkan cerita tersebut. Bahkan ia menjadi
penasaran,
ingin tahu seperti apa wujud si Bocah Emas
dan Ratu Lembah
Girang itu. Rasa penasarannya itu
sempat
menyisihkan rasa rindunya kepada Dyah
Sariningrum,
sehingga secara tak langsung Pendekar
Mabuk akan
membantu usaha Elang Samudera untuk
dapatkan si
Bocah Emas itu.
Rasa ingin
tahunya membuat Suto kembali ajukan
tanya kepada
Elang Samudera dengan lebih teliti lagi.
"Jadi
siapa sebenarnya yang berhak memiliki Bocah
Emas itu?"
"Secara
silsilah, Ratu Remaslega yang berhak
memiliki bocah
tersebut karena Nyi Ageng Sangir,
bibinya Ratu
Remaslega itu masih punya darah
keturunan dari
Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning.
Bahkan kalau
diurut-urutkan, Ratu Remaslega adalah
cucu canggah
dari Eyang Sutimuning."
"Cucu
canggah...?!" gumam Suto agak bingung.
"Cucu
canggah adalah anak dari cucu buyut.
Misalnya kau
menjadi buyutnya Gila tuak, maka kau
memanggil
ayahnya Gila Tuak dengan sebutan Eyang
canggah."
"Oooo.,.,"
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam
gumamnya yang
lirih.
"Jika
Bocah Emas itu berada dalam perawatan tokoh
sesat, maka
tokoh itu akan menjadi semakin sesat dan
sukar
ditumbangkan. Benar atau tidak, tapi guruku
sendiri pernah
berkata, bahwa siapa pun yang merawat
Bocah Emas maka
usianya akan panjang, seluruh angan-
angan dan
gagasannya akan menjadi kenyataan. Sebab
bocah itu
dibayang-bayangi hawa keramat dari roh
kedua
orangtuanya."
"Pantas
kalau bocah itu dijadikan rebutan," ujar Suto
mirip orang
menggumam, seakan bicara pada diri
sendiri.
"Sebelum
aku berangkat dari Pulau Sangari sebagai
utusan Ratu
Remaslega, terlebih dulu aku pamit dan
mohon doa restu
dari Guru. Lalu, guruku berpesan agar
aku harus mampu
mempertahankan bocah itu agar
jangan sampai
jatuh di tangan tokoh sesat seperti Ratu
Lembah Girang
itu."
"Barangkali
kalau aku pamit kepada guruku juga
akan
diwanti-wanti begitu."
Tanpa terasa
perahu pun akhirnya merapat di sebuah
pantai. Dan
menurut Adhiyaksa alias Elang Samudera,
pantai tersebut
adalah ujung kulon dari Pulau Swaladipa
lebarnya hampir
sama dengan tanah Jawa. Elang
Samudera
melompat dari perahu lebih dulu, memandang
keadaan
sekeliling yang tampak sepi-sepi saja. Pendekar
Mabuk
menyusulnya dengan menarik tambang perahu.
Perahu tersebut
ditambatkan pada dua gugusan karang
yang membentuk
celah persembunyian untuk sebuah
perahu,
sehingga keadaan perahu tidak semata-mata
tampak dari
berbagai arah.
"Kita
harus mencari Gunung Sambara."
Ujar Elang
Samudera yang
usianya sekitar dua puluh tahun itu.
"Tahukah
kau arah menuju Gunung Sambara?!"
Elang Samudera
angkat bahu, "Kita tanyakan saja
pada penduduk
sekitar pantai ini!"
"Hmmmm...,"
Suto menggumam pendek, matanya
memandang
sekeliling. "Kulihat ada kepulan asap di
sebelah sana.
Aku yakin di sana ada sebuah desa dan kita
bisa tanyakan
pada penduduk di desa itu!"
Mereka pun
segera melesat ke arah kepulan asap tipis
itu. Elang
Samudera bergerak dengan lincah dan cepat,
namun jika Suto
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
maka Elang
Samudera akan tertinggal jauh oleh gerakan
Suto. Dalam
keadaan seperti itu, Suto hanya
menyesuaikan
gerakannya agar bisa tetap bersama-sama
Elang Samudera.
Ketika mereka
mencapai sebuah kaki bukit yang
berpohon
renggang, langkah mereka dihentikan oleh
kemunculan
seorang perempuan cantik berkulit putih.
Perempuan itu
mengenakan rompi panjang warna
merah dengan
tepian berumbal-rumbai. Rompi itu tidak
mempunyai
kancing pada bagian depannya. Ujung
kanan-kiri
rompi itu saling terikat di atas pusar.
Sementara
celananya yang juga merah berumbai-rumbai
itu sangat
ketat dan pendek, kurang dari separuh paha.
Perempuan
berambut keriting halus tapi panjang
sepunggung itu seakan memamerkan tubuhnya yang
putih mulus
dalam dandanan yang merangsang. Belahan
dadanya tampak
sebagian membusung kencang tanpa
kutang.
Perutnya terlihat putih mulus tanpa cacat seperti
kedua pahanya,
ia menenteng pedang bergagang kepala
burung garuda.
Melihat sabuk hitam kecil yang melilit di
pinggangnya,
tak salah lagi jika pedang itu sesekali
ditenteng
sesekali diselipkan di pinggangnya. Sabuk
hitam itu
terbuat dari kulit emas yang kepalanya berhias
kepala singa
berambut panjang.
Pendekar Mabuk
dan Elang Samudera saling lirik
sebentar.
Keduanya tetap tenang dan bersikap waspada.
Perempuan
cantik yang usianya sekitar dua puluh empat
tahun itu
dipandangi mereka berdua tanpa sapaan
sepatah kata
pun. Suto sempat menikmati gumpalan
belahan dada
perempuan itu yang putih namun
mempunyai tato
gambar setangkai mawar. Tato itu ada
pada gumpalan
dada sebelah kanan.
"Sudah
janda atau masih gadis perempuan ini?" bisik
Elang Samudera
kepada Suto. Pendekar Mabuk
tersenyum geli
mendengar bisikan itu.
"Melihat
ketegasannya dalam berhadapan dengan
kita, aku yakin
dia sudah bukan gadis lagi. Tapi kurasa
dia juga belum
bersuami. Tahu maksudku, bukan?"
"Hmmm, ya,
ya...," Elang Samudera manggut-
manggut sambil
tersenyum.
"Kira-kira
apa maksudnya menghadang kita?" bisik
Elang Samudera
lagi.
"Mungkin
kita dianggap pamannya," jawab Suto
seenaknya. Lalu
mereka sama-sama tertawa cekikikan
sambil buang
pandangan ke arah lain biar tak terlalu
menyinggung
gadis itu.
Tapi tiba-tiba
gadis itu menyentakkan tangannya ke
depan dalam
keadaan dua jarinya lurus dan mengeras.
Dari ujung dua
jari itu keluar dua larik sinar kuning yang
menghantam ke
arah Elang Samudera dan Suto Sinting.
Clap,
claap...!
Sinar itu
bergerak cepat dam nyaris tak terlihat. Tahu-
tahu Elang
Samudera seperti tertusuk jarum pada bagian
bawah pundaknya
dan Suto Sinting merasa seperti
disengat lebah
di tulang iganya.
"Aakh...!"
"Ouh...!"
Kedua pemuda
itu sama-sama terpekik pendek dan
saling
tersentak mundur satu langkah dengan tubuh
melengkung ke
depan. Sinar kuning itu lenyap dari
kedua jari
gadis berhidung mancung dan berbibir sensual
itu. Tangannya
diturunkan, sikap berdirinya masih tetap
tegap dam
menantang. Rambut keriting halus yang
terurai
sepunggung itu meriap-riap dipermainkan oleh
angin.
"Apa yang
ia lakukan terhadap kita tadi?" tanya
Elang Samudera
kepada Suto.
"Menyerang!"
jawab Suto.
"Tapi kok
kita tidak mati!"
"Mungkin
sebentar lagi. Cepat minum tuakku!"
ujarnya, lalu
Suto sendiri meminum tuaknya dan Elang
Samudera ikut
meminumnya juga.
Tiba-tiba
perempuan beralis tebal dan bermata indah
walau bukan
berarti bundar bening, segera perdengarkan
suaranya sambil
gerakkan bola mata yang tajam itu
berpindah-pindah
antara Suto dan Elang Samudera.
"Kalian
memasuki wilayah kami tanpa izin! Maka
sudah
selayaknya kalian kuberi peringatan dengan
melumpuhkan
seluruh urat dalam tubuh kalian!"
Elang Samudera
dan Suto Sinting sama-sama
gerakkan tangan
dan kaki.
"Kok tidak
lumpuh, Nona?!" ujar Suto Sinting.
Gadis itu
kerutkan dahi sebentar. Merasa heran
melihat kedua
pemuda tampan itu masih berdiri di
depannya dengan
tegar. Bahkan Suto Sinting bergerak
meliuk-liuk
bagai mengejek dengan tarian.
"Apakah
kau mau jadi orang lumpuh, Elang
Samudera?"
"O, tentu
mau asal digendong oleh gadis secantik dia,
Suto!"
jawab Elang Samudera mengimbangi sindiran
Pendekar Mabuk.
Gadis itu masih
diam, bertampang tak ramah, namun
justru tampak
semakin cantik.
Tiba-tiba Elang
Samudera dan Suto Sinting tersentak
kaget karena
mendapat tendangan dari arah belakang.
Tendangan itu
membuat mereka terlempar ke depan dan
tersungkur
bagai mau mencium kaki gadis bertato bunga
mawar itu.
Rupanya
tendangan tersebut bukan hanya sekadar
tendangan
biasa, ia mempunyai jurus tertentu yang dapat
kenai saraf
tulang punggung melumpuhkan sekaligus
membuat
korbannya tak sadar. Terbukti setelah Elang
Samudera dan
Suto jatuh tersungkur mereka tak
bergerak-gerak
lagi dan tak mengerti apa yang terjadi
pada diri
mereka selanjutnya.
"Bawa
mereka dan buang bambu tuak itu!"
Hanya kata-kata
itu yang masih tersisa di telinga
Pendekar Mabuk
sebelum ia benar-benar tak sadarkan
diri. Suara
yang keluar, jelas dari suara si tato bunga
mawar. Tapi
entah siapa yang diperintahkan begitu dan
apa yang
dilakukan orang yang menerima perintah
tersebut, Suto
Sinting benar-benar tak bisa mengingat
apa-apa lagi.
Ketika ia
sadar, ia sudah berada di sebuah ruangan
berlantai
marmer putih. Dindingnya juga berlapis
marmer putih
dengan serat-serat kecoklatan. Ruangan itu
kosong, tanpa
perabot apa pun. Lebarnya juga tak
sampai lima langkah. Ruangan itu menyerupai penjara
tapi sangat
bersih dan tertutup rapat. Pintunya terbuat
dari besi
dengan lubang pengintai sebesar biji salak.
Lubang itu
mempunyai tutup sendiri di bagian luar,
sehingga bisa
dibuka dan ditutup oleh orang yang ada di
luar kamar.
"Ruangan
apa ini?! Mengapa aku sendiri di sini?
Ooh... mana
Elang Samudera?!" ujar Suto membatin
sambil berusaha
bangkit berdiri, namun tak jadi karena
tiba-tiba ia
roboh kembali. Bruuuk...!
"Aduuuh...
tulang-tulangku terasa remuk semua.
Urat-uratku
bagaikan putus. Uuufh...! Gila! Serangan
apa yang
kuterima sehingga melumpuhkan sekujur
tubuhku begini.
Oouh... aku seperti manusia tanpa tulang
dan tanpa otot
lagi. Celaka kalau begini? Hmmm... mana
bumbung tuakku?
Oh, benarkah sudah dibuang oleh si
cantik bertato
mawar itu?"
Sekalipun Suto
ingat bahwa bumbung tuaknya
dibuang oleh
lawannya sebelum ia benar-benar tak
sadarkan diri,
tapi hati Suto tidak merasa cemas sedikit
pun. Bumbung
tuak itu bumbung bernyawa. Dibuang ke
manapun akan
datang sendiri mengikuti Suto Sinting,
sebab bambu bumbung
tuak itu adalah bambu jelmaan
tokoh sakti
zaman dulu yang bernama Wijayasura, kakek
gurunya si Gila
Tuak.
Suto yakin
bumbung bambu tempat tuak itu datang
sendiri
menghampirinya. Keyakinan itu ternyata terbukti
juga setelah
beberapa saat Suto terkulai lemas di lantai
dingin itu.
Bumbung tuak tersebut tiba-tiba muncul
dalam
bayang-bayang di samping kanannya. Bayang-
bayang tersebut
makin lama semakin jelas, dan akhirnya
mewujud dalam
bentuk nyata.
"Nah,
datang juga akhirnya!" ucap Suto dengan hati
girang. Lalu,
tangan kirinya meraih bumbung itu dan
dengan gemetar
tuak pun ditenggaknya beberapa teguk.
Glek, glek,
glek...!
Pandangan mata
yang semula buram, kini menjadi
terang.
Urat-urat yang tadinya lemas, kini menjadi
kencang
kembali. Tulang-tulang yang terasa remuk, kini
mampu dipakai
untuk duduk tegak. Bahkan Suto Sinting
berhasil
bangkit berdiri dengan tegar dan kekar.
Badannya terasa
lebih segar dari sebelumnya.
"O,
rupanya dinding sebelah kiri itu dilapisi kaca
tembus?!"
ucapnya rada kaget, ia segera dekati dinding
kiri yang
memang dilapisi kaca tembus pandang ke
ruangan
sebelahnya. Ternyata ruangan sebelah itu adalah
tempat
memenjarakan Elang Samudera.
Ruangan sebelah
juga dalam keadaan bersih dan
tanpa perabot.
Dinding dan lantainya mempunyai warna
yang sama,
bahkan ukuran luas ruangan juga sama
dengan yang
ditempati Suto Sinting.
Hal yang
membuat berbeda adalah keadaan kaca
tersebut. Suto
melihat Elang Samudera sedang
menggeliat
bangkit pelan-pelan dan mengerang
kesakitan.
Pemuda berbaju ungu itu akhirnya berhasil
berdiri dengan
berpegangan pada dinding kaca. Namun
matanya yang
memandang ke arah kaca itu bagai tak
melihat Suto di
balik kaca.
"Elang...!
Elang, kau bisa bertahan?!" seru Suto
Sinting sambil
melambai-lambaikan tangan. Tapi tak ada
reaksi apa-apa
dari Elang Samudera. Pemuda berbaju
ungu itu justru
memperhatikan wajahnya bagai orang
sedang
bercermin.
"Ooo...
sekarang aku tahu keadaan kaca ini. Dari
tempatku bisa
dipakai untuk melihat ruang sebelah, tapi
dari tempat
Elang Samudera tak bisa dipakai melihat
keadaanku di
sini. Kurasa dari ruangan itu kaca ini
menjadi cermin
untuk merias diri atau entah untuk apa.
Yang jelas,
orang yang berdiri di depan cermin itu hanya
akan melihat
bayangannya sendiri di dalam cermin, tak
bisa melihat
keadaanku di sini."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut dan memandangi
sekelilingnya.
Hati pun membatin kembali dalam nada
gumam.
"Sebenarnya
bisa saja kujebol kaca ini! Mudah sekali
menghancurkan
dinding ini. Tapi aku ingin tahu dulu,
apa maksud
gadis itu menangkapku dan Elang serta
menempatkan
kami berbeda ruangan? Siapa sebenarnya
gadis cantik
yang bibirnya menggemaskan itu? Apakah
mereka anak
buah Ratu Lembah Girang?! Apakah
mereka
mengetahui maksud dan rencana kedatanganku
dengan Elang
yang ingin mengambil si Bocah Emas
itu?"
Suto
manggut-manggut kembali sambil bertolak
pinggang
menggantungkan bumbung tuak di pundak
kanannya.
Matanya memandang ke arah Elang
Samudera yang
tampaknya tak bisa berbuat apa-apa lagi
itu.
"Akan
kuikuti dulu permainan gadis itu sampai
kutahu
maksudnya menangkap kami. Dan...."
Ucapan batin
Pendekar Mabuk terhenti, karena tiba-
tiba ia melihat
lubang pintu terbuka. Ada mata yang
mengintai dari
sana. Suto Sinting tetap berdiri di dekat
kaca dengan
tangan kiri menopang di dinding dan tangan
kanan bertolak
pinggang, mencantilkan jempolnya pada
tali bumbung
tuak. Bola mata yang mengintai itu jelas
bola mata
wanita, dan Suto ingat mata itu adalah milik
gadis bertato
mawar.
Klak, klak,
Klaaaaaang...!
Suara kunci
pintu dibuka. Pendekar Mabuk tetap
tenang dalam
posisi semula, ia membiarkan pintu itu
terbuka dan
seraut wajah cantik bergigi indah
menggemaskan
itu muncul dari balik pintu. Dugaannya
tak salah,
gadis bertato mawar yang mengintai dari
lubang
tersebut. Kini gadis itu mengunci pintu kembali
dan anak
kuncinya diselipkan di sabuk hitam, ia berdiri
dengan tegar,
pedangnya terselip di pinggang. Kakinya
sedikit
merenggang, dan kedua jempol tangannya
menggantung di
sabuk depan perut. Rambut keriting
halus yang terurai sepunggung meriap sebagian
menutupi pipi
kirinya, ia tampak lebih cantik dan
menggairahkan
dengan busana serba mini itu.
Mata tajam yang
mempunyai kebeningan
mengagumkan itu
menatap ke arah bumbung tuak. Hati
gadis itu
sempat membatin penuh keheranan melihat
bumbung tuak
ada di pundak Suto lagi.
"Dari mana
dia bisa memperoleh bumbung tuak itu?
Bukankah sudah
dibuang jauh-jauh sebelum ia dibawa
kemari?!"
Pendekar Mabuk
mencoba memberikan senyum
keramahan.
Senyum itu bukan saja senyum keramahan,
namun mempunyai
daya tarik yang dapat menggetarkan
hati perempuan
mana saja. Walau kenyataannya, wajah
gadis itu tetap
kaku dan dingin, seakan tak tertarik
dengan senyuman
Suto Sinting. Namun sebenarnya hati
gadis itu
berdesir-desir ketika senyuman itu terpampang
jelas di depan
matanya dalam jarak empat langkah.
"Kaukah
yang terkenal dengan nama Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk
itu?!" si gadis perdengarkan suaranya
yang
serak-serak basah.
"Benar.
Dari mana kau bisa mengenaliku?"
"Kalian
sempat saling sebutkan nama ketika
menertawakan
diriku!" jawabnya bernada ketus.
"O,
rupanya kau punya otak cukup
cerdas," sambil
Suto
sunggingkan senyum berkesan meremehkan.
1
"Saat
kudengar kau memanggil temanmu itu dengan
nama Elang
Samudera, dan Elang Samudera
memanggilmu:
Suto. Maka kucocokkan, nama itu
dengan
ciri-ciri yang pernah kudengar dari beberapa
sahabatku yang
ada di tanah Jawa. Ternyata ciri-ciri itu
sama dengan
nama Suto Sinting. Maka kutahu, kaulah
Pendekar Mabuk
yang kondang dengan kesaktian
gilanya
itu!"
"Secara
tak langsung kau mengakui keunggulanku,
bukan?"
"Hmmm...!"
gadis itu mencibir, melangkah ke
samping dua
tindak, kemudian berhenti dan memandang
Suto kembali.
"Kau boleh
bangga punya kesaktian gila-gilaan di
tanah Jawa.
Tapi di sini, di dalam Kuil Perawan Ganas
ini,
kesaktianmu seperti daun kering yang menjadi
penghuni tempat
sampah!"
"O, kalau
begitu ruangan ini adalah tempat sampah?!"
"Hmmm...!"
gadis itu mendengus kesal.
"Aku belum
mengenalmu, Nona. Kalau aku sudah
mengenalmu,
barangkali aku berani menyerangmu untuk
memperkenalkan
kesaktianku di depan gadis seangkuh
dirimu,
Nona."
"Aku yang
bernama Dewi Kun!" jawab si gadis
dengan tegas
dan ketus. "Aku yang tertua dari para
penghuni kuil
ini!"'
"Dewi
Kun...," gumam Suto bagai menghafalkan
nama itu.
"Sekarang
kau sudah tahu namaku. Kau ingin adu
kesaktian denganku?!"
Pendekar Mabuk
sengaja nyengir konyol. "Ah, tadi
cuma pancingan
saja. Biar aku tahu siapa nama gadis
cantik yang
sejak tadi menggetarkan hatiku ini."
"Hmmm...!"
Dewi Kun mencibir, seakan
meremehkan
rayuan Suto.
"Lalu,
mengapa kau menangkap kami, Dewi Kun?"
"Semula
karena kesalahan langkahmu yang
memasuki
wilayah Kuil Perawan Ganas tanpa izin lebih
dulu. Tapi
setelah kutahu kau adalah Suto Sinting si
Pendekar Mabuk,
maka segalanya menjadi berubah."
"Berubah
bagaimana?"
"Kau harus
tunduk padaku!" jawabnya pelan tapi
tegas dan
pandangan mata tajam dan penuh wibawa.
Dewi Kun
berkata lagi, "Jika kau tidak tunduk pada
perintahku,
maka temanmu itu akan kehilangan
kepalanya!"
"Oh,
jangan begitu, Dewi Kun!" sergah Suto, "Kalau
Elang Samudera
kehilangan kepala, lantas dia mau pakai
kepala apa?
Kepala bebek?!"
"Terserah
mau pakai kepala apa bukan urusanku lagi
jika sudah
begitu. Yang perlu kau ingat, kata-kataku ini
bukan sekadar
ancaman! Tapi akan terbukti dengan
nyata jika kau
tak mau tunduk dan patuh pada pihakku!
Sekarang pun
akan kupotong jari tangan si Elang
Samudera
sebagai bukti kesungguhan ancamanku!"
Dewi Kun
bergegas ke pintu, Suto Sinting melompat
dan menghadang
langkah gadis itu. Jleeg...!
"Jangan
lakukan itu padanya! Lakukan saja padaku
jika kau ingin
pamer kekejaman!" sambil Suto
mengulurkan
tangan kirinya seakan mempersilakan
Dewi Kun untuk
memotongnya.
Dewi Kun diam
memandang tak berkedip, tanpa
senyum dan
keramahan sedikit pun. Mereka saling
beradu pandang
selama dua helaan napas. Kemudian
gadis itu
berkata dengan nada kian tegas lagi.
"Tunduk
dan patuhlah kepadaku, maka temanmu itu
akan selamat
dan tidak cedera sedikit pun!"
Pendekar Mabuk
menarik napas panjang dan
menghembuskannya.
"Baiklah!
Tapi bagaimana dengan keadaan Elang
Samudera
sekarang itu? Dapatkah kau memulihkan
kekuatannya
kembali?!"
"Kita
lihat saja...," sambil mata Dewi Kun
memandang ke
arah kaca. Pendekar Mabuk ikut-ikutan
memandang ke
sana. Tiba-tiba Dewi Kun meletakkan
jari
telunjuknya di pelipis sambil pejamkan mata dan
kerutkan dahi.
Suto menyangka gadis itu sedang berpikir
sesuatu. Tetapi
kejap berikutnya Suto menjadi
terperangah
penuh keheranan.
Dewi Kun tampak
memasuki ruangan yang dipakai
menawan Elang
Samudera. Dewi Kun juga tampak
sedang hampiri
Elang Samudera dan menuding pemuda
itu dengan
telunjuk tengah. Dari telunjuk tengah itu
keluar seberkas
sinar merah. Claap...! Menghantam
tengah kening
Elang Samudera.
Pemuda murid
Pendeta Darah Api itu menggeragap
dan
terengah-engah. Lalu, ia bergegas bangkit berdiri
dengan mata
membelalak memandangi gadis di
depannya. Gadis
itu segera keluar dan mengunci pintu
kembali. Tapi
keadaan Elang Samudera sudah bisa
berdiri tegak
dan kekuatannya tampak telah pulih
kembali seperti
sediakala. Hanya saja ia masih tertegun
seperti baru
menyadari keadaan sekelilingnya.
"Aneh!
Rupanya kau punya ilmu cukup tinggi? Kau
ada di sini,
tapi juga bisa ada di ruang sebelah sana?!
Hebat sekali
ilmumu, Dewi Kun!" puji Suto Sinting
dengan wajah
masih tampak terheran-heran, karena ia
tak menyangka
gadis semuda Dewi Kun sudah
menguasai ilmu
pindah raga seperti itu.
"Aku hanya
bicara melalui batin."
"Maksudmu
bagaimana?!"
"Carilah
sendiri jawabannya dalam otakmu. Yang
jelas,
begitulah keputusanku tadi! Sekali kau menentang
perintah maka
akan kucederai sahabatmu itu!"
"Bagaimana
kalau kita bertarung adu
kesaktian?!"
tantang
Suto.
"Tak
masalah bagiku. Tapi pada saat kau bergerak
menghantamku
maka sahabatmu akan kehilangan satu
anggota
badannya; mungkin jari tangan, mungkin
pergelangan,
mungkin matanya atau mungkin juga
kepalanya!"
"Kau ini
cantik-cantik kok menyeramkan sekali,
Dewi?!"
"Karena
aku tak ingin disepelekan oleh kaum pria,
terutama pemuda
mata keranjang sepertimu!" tegas
Dewi Kun dengan
pandangan mata sedikit menyipit
menandakan
kebenciannya sebagai perempuan yang tak
mau diremehkan
oleh kaum lelaki.
"Baiklah.
Lalu, apa yang harus kulakukan
sekarang?!"
pancing Suto semakin ingin tahu maksud
gadis itu.
"Berbaringlah...!"
"Apa...?!"
"Berbaringlah
di lantai dan buka semua pakaianmu!"
"Gila!
Yang benar saja kalau memberi perintah,
Dewi!"
Suara Dewi Kun
makin keras dan tegas.
"Berbaringlah
di lantai dan buka semua pakaianmu!
Lekas!"
"Gawat...?!"
gumam Suto Sinting, kemudian melirik
ke arah kaca.
Ia mencemaskan keadaan Elang Samudera
yang bisa
celaka sewaktu-waktu jika ia tak mau
turuti
perintah itu.
Pendekar Mabuk
melepaskan baju dan ikat pinggang
dari kain
merah. Ketika mau melepaskan celananya,
tiba-tiba pintu
digedor seseorang dari luar. Dewi Kun
terperanjat
sekejap, kemudian bergegas ke arah pintu.
Lubang pintu
ada yang membuka dari luar. Tampak bola
mata memandang
ke dalam. Dewi Kun kerutkan kening,
pejamkan mata,
tundukkan kepala, jari telunjuknya
menekan
pelipis. Kejap berikutnya ia tegak kembali dan
berkata kepada
Suto Sinting.
"Berbaringlah
saja dulu! Aku akan datang
secepatnya!"
Dewi Kun keluar
dari ruangan tersebut dengan
mengunci pintu
besi itu. Pendekar Mabuk berbaring di
lantai dalam
keadaan sudah tidak berbaju namun masih
bercelana.
"Kenapa
aku jadi seperti bayi yang menurut perintah
ibunya,
ya?!" pikir Pendekar Mabuk dalam baringannya.
"Wah,
jangan-jangan dia ingin memperkosaku?!
Bahaya! Bahaya
jika aku tak mau berhenti diperkosa!"
*
* *
3
KEPERGIAN Dewi
Kun dari kamar membuat Suto
menjadi ingin
menjebol kaca tembus pandang itu. Ia
segera
melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak
tiga langkah.
Beet, wuuut...! Brruuuk...!
Pendekar Mabuk
terpental sendiri hingga membentur
dinding
belakangnya.
"O,
rupanya dinding ini dilapisi udara padat yang
dapat
memantulkan pukulan tenaga dalam, dalam bentuk
apa pun?!"
Suto Sinting diam termenung sambil garuk-
garuk kepala.
"Agaknya lapisan udara padat ini
mempunyai
ketebalan yang berbahaya jika dihantam
dengan tenaga
bersinar. Bisa-bisa memantul balik
mengenai diriku
sendiri. Hmmm... cukup hebat juga.
Andai kuhantam
pakai bumbung tuak bagaimana?!'
Pendekar Mabuk
akhirnya mencoba menghantamkan
bumbung tuaknya
ke kaca tembus pandang. Wuuut,
weees...!
Bruuuuk...!
Ternyata
bumbung tuak tak berhasil menyentuh kaca
tembus pandang.
Bumbung itu bagai menghantam karet
tebal yang membuat tubuh Suto terlempar sendiri ke
belakang dan
jatuh membentur dinding lagi.
Suto penasaran,
ia mencoba menghantamkan bambu
tuaknya ke
dinding tak berkaca. Ternyata hasilnya sama
saja. Bahkan
sekarang kepala Suto menjadi sakit karena
membentur dinding kaca dengan keras. Kaca itu tidak
pecah, bahkan
bergetar pun tidak.
"Luar
biasa! Lapisan tenaga dalam apa ini, sehingga
sangat sukar
ditembus dengan kekuatan sebesar tadi?!"
Baju masih
belum dipakai. Pendekar Mabuk
terengah-engah.
Dadanya yang kekar dan berotot itu
tampak bergerak
naik turun.
Rupanya di
kamar sebelah, Elang Samudera juga
melakukan
percobaan seperti yang dilakukan Suto.
Pemuda itu
terpental keras saat ingin menendang pintu
dan kepalanya
membentur dinding hingga nyaris bocor.
Ia menyeringai
kesakitan sambil mengusap-usap
kepalanya.
Pendekar Mabuk
tertawa melihat Elang Samudera
kesakitan.
"Percuma
saja! Lebih baik simpan saja tenagamu
untuk keperluan
nanti setelah di luar kamar ini, Elang!"
serunya
keras-keras, tapi Elang Samudera tampaknya tak
mendengar
seruan itu sedikit pun.
Elang Samudera
juga penasaran. Kini ia berdiri lagi
menghadap ke
pintu dan ingin menjebol pintu itu dengan
kekuatan tenaga
dalam. Dua jarinya mengeras dan
tangan pun
berkelebat bagai melemparkan pisau.
Suuuut...!
Elang Samudera
kaget. Dari raut wajahnya terlihat
jelas ia
tersentak kaget melihat ujung jarinya tidak
mengeluarkan
sinar apa pun. Hai itu dicobanya sekali
lagi dengan
otot lengan mengeras sebagai tanda
mengerahkan
tenaga cukup besar. Tetapi ternyata ujung
kedua-jarinya
itu tidak mengeluarkan sinar apa pun.
Bahkan ketika
ia mencoba dengan menggunakan telapak
tangannya,
telapak tangan itu juga tidak mengeluarkan
sinar apa pun.
Elang Samudera
menjadi sangat tegang sambil
memperhatikan
tangannya sendiri.
"Oh, dia kehilangan tenaga dalamnya?!"
Pendekar
Mabuk segera
tanggap akan hal itu dan ikut tegang juga.
"Jangan-jangan
aku juga begitu?!" pikir Suto dengan
cemas. Maka ia
segera mencoba mengeluarkan tenaga
dalamnya walau
bukan dalam bentuk tenaga bersinar.
Sentilan jari
yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'
segera
dilepaskan ke arah dinding. Teees...! Wuuut,
brrruk...!
"Oooukh...!"
Suto Sinting mengerang kesakitan
memegangi
perutnya. Ternyata tenaga dalamnya masih
ada dan
sentilan yang mengeluarkan tenaga dalam itu
membalik arah
mengenai perut sendiri. Suto terengah-
engah sambil
merasa mual. Ia buru-buru meminum
tuaknya untuk
hilangkan rasa mual dan sakitnya.
"Tenaga
dalamku masih ada. Tapi mengapa Elang
Samudera
kehilangan tenaga dalamnya? Bukankah aku
dan dia
diserang secara bersamaan? Mungkin juga
dengan jurus
yang sama. Tapi mengapa tenaga dalamku
masih ada,
sedangkan tenaga dalamnya Elang Samudera
menjadi hilang?
Apakah karena sinar merah yang tadi
dipakai
mengembalikan kekuatan Elang oleh Dewi Kun
itu telah
menyerap atau melumpuhkan tenaga dalam
Elang Samudera?
Hmmm... ya, kurasa begitu! Elang
menjadi sehat
dan bisa berdiri lagi karena sinar merah
dari jari Dewi
Kun, sedangkan aku menjadi sehat karena
minum tuak.
Seandainya aku menjadi sehat karena sinar
merah tadi,
mungkin kekuatan tenaga dalamku juga akan
lumpuh seperti
Elang Samudera, dan yang tersisa hanya
kekuatan tenaga
luar saja."
Kejap berikut,
Dewi Kun muncul lagi. Suto segera
menyergah
dengan nada protes.
"Kau telah
lumpuhkan tenaga dalamnya Elang
Samudera,
ya?!"
"Terpaksa
kami lakukan supaya kau mau tunduk
dengan
perintahku!" ketus Dewi Kun. "Dia hanya
mempunyai
tenaga kasar, dan hal itu memudahkan kami
untuk memenggal
kepalanya jika kau membangkang
perintah
kami!"
"Kau
curang!" geram Suto. "Aku ingin kau
kembalikan
tenaga dalamnya Elang Samudera!"
"Semuanya
akan kembali seperti semula, termasuk
kebebasannya
juga, apabila kau sudah memenuhi syarat
yang harus kau
lakukan."
Pendekar Mabuk
mendengus kesal. Tapi tatapan mata
Dewi Kun
membuat rasa kesal itu berangsur-angsur
luluh. Suto
merasakan tatapan mata perempuan itu
bukan sekadar
tatapan mata biasa.
Sorot pandangan
mata perempuan itu mengandung
obat penjinak
secara gaib yang dapat menenteramkan
hati yang
gundah ataupun gusar.
"Syarat
apa yang harus kulakukan?" tanya Suto.
"Kau harus
bisa menyerahkan kepada kami seorang
bocah dari Gunung
Sambara!"
"Bocah
Emas, maksudmu?!"
"Benar!"
jawab Dewi Kun tegas, tapi membuat Suto
tersengat oleh
ketegangan dalam hati.
"Rupanya
pihak Kuil Perawan Ganas ini juga
menghendaki
Bocah Emas itu," gumam Suto dalam
hatinya.
"Elang
Samudera ditukar dengan Bocah Emas, maka
kalian akan
bebas!"
Suto masih
diam, tapi membatin dalam gerutu. :
"Elang
Samudera sendiri ditugaskan membawa pulang si
Bocah Emas, kok
sekarang justru nyawanya harus
ditukar dengan
Bocah Emas?! Wah, kelewat berani
perempuan ini!
Mungkin dia belum tahu kalau aku sudah
mengamuk, habis
sudah bibir perawan secantik dia!"
Setelah
sama-sama diam beberapa saat, setelah sama-
sama
beradu pandang dengan hati saling
berdebar,
Pendekar Mabuk
segera ajukan tanya sebagai ungkapan
rasa ingin
tahunya,
"Mengapa
bukan kalian sendiri yang mengambil
Bocah Emas dari
Gunung Sambara?! Bukankah kalian
lebih tahu di
mana letak gunung itu daripada aku?"
"Kami tak
sanggup hadapi kekuatan Ratu Lembah
Girang!"
jawabnya secara jujur. "Kekuatan kami
tidak
seimbang."
"Apalagi
aku!" Suto bersungut-sungut. "Aku hanya
sendirian, mana
mungkin bisa melawan kekuatan Ratu
Lembah
Girang?"
"Bisa!"
sahut Dewi Kun. "Semua bisa dilakukan
dengan
siasat!"
"Siasat
bagaimana?!"
"Aku akan
berlagak menjual dirimu kepada Ratu
Lembah Girang.
Setelah kau berada di dekatnya, kau
dapat
membujuknya untuk meminta Bocah Emas
sebagai upah
kerjamu melayani gairahnya. Lalu, Bocah
Emas kau bawa
kemari dan Elang Samudera pun bebas
dari
cengkeraman kami!"
"Gila!
Jadi kau ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang?!"
"Tepat
sekali!"
"Hmmm...!
Belum tentu usaha ini berhasil! Kau pikir
Ratu Lembah
Girang tak mengerti siasatmu?"
Dewi Kun
gelengkan kepala pelan. "Ratu Lembah
Girang menyukai
pemuda kekar dan tampan sepertimu!"
Pendekar Mabuk
diam termenung dalam keadaan
tetap berdiri
bersandar dinding. Dewi Kun
memandanginya
terus tanpa berkedip. Lama-lama gadis
itu mendekat
hingga dalam jarak kurang dari satu
langkah. Mau tak mau Suto menatapnya karena ingin
tahu apa maksud
pendekatan Dewi Kun itu.
Mata beradu
pandang, mulut saling membungkam.
Bahasa mata
mengisyaratkan bahwa Dewi Kun tergetar
batinya oleh
ketampanan dan keperkasaan Pendekar
Mabuk. Sang
pendekar sunggingkan senyum. Senyum
itu semakin
menggetarkan hati Dewi Kun. Terpaksa
gadis itu
berucap kata dalam nada membisik.
"Kau
memang menawan, tapi belum tentu mampu
layani Ratu
Lembah Girang."
"Bagaimana
kau bisa berkesimpulan begitu?"
"Karena
kau tidak tanggap terhadap pandangan
seorang
perempuan. Bahasa matamu masih kurang peka,
Suto."
"Jadi
mestinya bagaimana?"
"Ciumlah
Ratu Lembah Girang jika ia memandangmu
seperti aku
memandangmu begini."
"Apakah
pandanganmu ini punya arti minta di cium"
"Kau tak
perlu tanyakan hal itu. Kau sebagai lelaki
harus lebih
tanggap terhadap bahasa isyarat kaum
wanita."
Senyum Suto
ditebarkan. "Aku sebenarnya sudah
memahami maksud
hatimu, tapi aku takut
melakukannya.
Salah-salah habis menciummu aku akan
kena tampar
tujuh kali. Memangnya enak, cium sekali
tampar tujuh
kali?"
Dewi Kun tidak
membalas senyum geli Pendekar
Mabuk, ia
bahkan mendekatkan wajahnya dengan bibir
merekah seakan
menantang untuk dikecup. Tapi Suto
Sinting tetap
diam dengan senyuman lembutnya. Suto
tidak segera
menerkam bibir itu, melainkan justru
memandanginya
dengan pandangan menggoda.
Dewi Kun tidak
sabar menunggu reaksi Suto, maka
bibir yang
merekah itu kini ditempelkan pelan-pelan di
bibir Suto.
Cuuup...!
Bibir Suto yang
merah jambu itu dikecup oleh Dewi
Kun. Kecupan itu sangat pelan dan lembut, sehingga
kehangatan yang
hadir terasa menjalar dari kepala
sampai ke ujung
kaki. Suto tak tahan untuk berdiam diri,
akhirnya
lidahnya menyapu bibir Dewi Kun, selanjutnya
lumatan lembut
diberikan oleh Suto yang membuat
Dewi Kun
menjadi ganas.
Dewi Kun
seperti perawan kehausan cinta.
Ciumannya
bersifat mencecar membuat Suto Sinting
gelagapan.
Remasan tangannya pun menandakan luapan
gairah yang
melonjak-lonjak dalam dada dan ingin
mendapatkan
keindahan sepenuhnya.
Rompi panjang
yang bagian depannya terikat itu kini
dilepaskan oleh
pemakainya sendiri. Dengan lepasnya
ikatan
tersebut, maka rompi pun terbuka lebar dan
sepasang bukit
indah yang kencang tampak menonjol
penuh
tantangan. Tangan Pendekar Mabuk merayap
sampai ke dada
dan meremas lembut pada sepasang
bukit mulus
itu.
"Ooh,
Suto... tunjukkan kehebatanmu agar aku tak
sangsi akan
kepiawaianmu dalam melayani Ratu
Lembah Girang
nanti," bisik Dewi Kun yang segera
terputus oleh
suara pekikan, karena sebelum ia selesai
bicara, Pendekar Mabuk sudah merayapkan ciumannya
ke leher.
Kepala gadis berambut keriting lembut
sepanjang
punggung itu terdongak memberikan
kesempatan pada
ciuman Suto agar lebih leluasa. Tapi
ciuman Suto
justru merayap ke bawah leher. Memagut-
magut sebentar,
lalu turun lagi hingga ke dada. Maka
disapunya
ujung-ujung dada itu dengan kehangatan lidah
Suto yang
membuat Dewi pun memekik dengan suara
tertahan dan
kedua tangan meremas pundak Suto.
Dewi Kun
membiarkan sabuknya dilepas oleh Suto.
Ia hanya
mendesah-desah sambil berdiri bersandar pada
dinding.
Kepalanya menggeliat-geliat bersama erangan
dan desah yang
menghambur tiada henti. Sesekali ia
memandang
kepala Suto, matanya menjadi sangat sayu
kala pandangi
mulut Suto yang memagut-magut tato
bunga mawar,
lalu melahap pucuk-pucuk bukit daranya.
Kadang mata itu
terbeliak sambil kepala mendongak lagi
bersama erangan
yang melambangkan kenikmatan.
"Oouh...
teruskan, Suto! Oouh, aku suka sekali. Aku
suka sekali,
Suto... terus ke bawah, Sayang...."
Untuk sebuah
kemesraan, Suto Sinting tak pernah
memperhitungkan
gelar kependekarannya. Untuk sebuah
kenikmatan,
Suto Sinting tak pernah keberatan
mengecup-ngecup
paha dan lutut pasangannya. Akibat
pagutan pada
lutut yang sesekali disapu oleh lidah itu,
Dewi Kun sempat
memekik keras sambil melorotkan
kain penutup
'mahkotanya'-nya itu. Suto Sinting
memberi
kebebasan pada wanita itu agar melepaskan
segalanya.
Ketika segalanya telah terlepas, Dewi Kun
pun melebarkan
diri dan menarik kepala Suto agar
merapat ke
tepian 'mahkota'. Namun yang dilakukan
Suto justru
merapat di pertengahan 'mahkota' dengan
lidah seperti
seekor ular lapar. Tentu saja hal itu
membuat Dewi
Kun menjerit kecil dan panjang sambil
kedua tangannya
meremas rambut Suto karena menahan
rasa syur yang
luar biasa.
"Ooouh...
gila kau, Suto! Kau gila...! Oouh, aku suka
sekali gayamu, Suto!
Teruskan... teruskan... ooooh,
indah sekali
ini, Suto. Uuuh... uuhh... Sutooo...!" Dewi
Kun menjerit
keras-keras ketika Suto mencecarkan
serangannya
tanpa henti. Rupanya Dewi Kun berhasil
mencapai puncak
keindahan pada saat itu, sehingga
jeritan keras
dan remasan tangannya di luar kontrol
kesadaran.
Daaar, daar,
daar...!
Gedoran pintu
terdengar mengagetkan mereka.
Asmara yang
sudah mulai melambung tinggi kontan
jatuh hingga ke
dasarnya lagi. Dewi Kun sempat berang
karena merasa
kemesraannya terganggu oleh orang yang
menggedor pintu
itu. Ia buru-buru mengenakan
celananya dan
bergegas membukakan pintu dengan
langkah penuh
emosi. Suto Sinting hanya nyengir sambil
duduk di lantai
bersandar dinding, membersihkan
mulutnya yang
basah dengan kain bajunya.
"Ada
apa...?!" sentak Dewi Kun, kemudian tak
terdengar lagi
karena-ia sudah berada di luar kamar dan
mengunci pintu
itu kembali.
"Mampus
kau kalau sudah kena jurus kemesraanku,"
ucap Suto
pelan, seperti bicara sendiri. "Itu belum pakai
gigitan. Kalau
sudah pakai gigitan, hmmm... biar
bangunan ini
runtuh pun kau tetap tidak akan peduli
lagi."
Pendekar Mabuk
menenggak tuak tiga tegukan.
Selesai
menenggak tuak, bumbung pun ditutupnya
kembali. Dan
pada saat itulah Suto merasakan lantai
bergetar dengan
suara gemuruh terdengar sayup-sayup.
Kotoran debu
dari atap turun menghambur ke lantai.
Sepertinya
tempat itu mulai dilanda gempa. Tapi Suto
yakin, getaran
itu bukan karena gempa, melainkan
karena ada
pertarungan dahsyat di sekitar Kuil Perawan
Ganas itu.
"Setan!
Aku tidak bisa keluar kalau begini. Padahal
aku yakin di
sekitar sini ada pertarungan cukup seru!
Aduh, rugi
sekali kalau aku tak melihat pertarungan itu!"
Pendekar Mabuk
menjadi tegang dan jengkel sendiri
karena
kegemarannya menyaksikan sebuah pertarungan
kali ini
terpaksa tak tersampaikan, ia segera menendang
pintu besi
tersebut. Namun sebelum kakinya menyentuh
pintu, tubuhnya
telah terpental ke belakang dan
membentur
dinding seperti tadi. Bruuuk...!
Bertepatan
dengan itu, suara ledakan menggelegar
samar-samar dan
lantai pun bergetar kembali. Keadaan
tersebut
membuat Suto bertambah beringas dan
penasaran.
"Monyet
kudis! Buka pintunya, aku mau melihat
pertarungan
itu!" teriaknya sendirian seperti orang gila.
*
* *
4
PENJARA
Kuil Perawan Ganas itu dilengkapi
dengan
obor-obor dari logam putih anti karat. Obor-obor
itu menempel
pada dinding marmer. Dalam satu ruangan
terdapat
delapan obor, hingga ruangan tersebut menjadi
terang
benderang.
Salah satu obor
tersebut hampir saja jatuh karena
guncangan bumi
yang tadi dirasakan oleh Suto dan
diduga karena
adanya pertarungan di luar kuil. Tapi
nyala obor
sekarang sudah kembali normal, berarti sudah
tidak ada
guncangan atau getaran pada bumi lagi. Suto
hanya
bertanya-tanya dalam hati, "Apakah pertarungan
itu sudah
selesai? Lalu pihak mana yang unggul dalam
pertarungan
tersebut?"
Rasa ingin
mendapat jawaban menggelisahkan hati
Pendekar Mabuk,
ia terpaksa menunggu kemunculan
Dewi Kun lagi
untuk dapatkan jawaban tersebut. Tapi
yang ditunggu
ternyata tak muncul-muncul hingga
beberapa saat
lamanya. Pendekar Mabuk akhirnya
terkantuk-kantuk
dalam duduknya yang melonjor dan
bersandar
dinding sambil memeluk bumbung tuaknya.
Belum sampai
kantuk itu menguasai Suto, tiba-tiba ia
terkejut kecil
ketika mendengar suara pintu dibuka.
Dewi Kun muncul
lagi dengan membawa nampan berisi
makanan dan
buah-buahan. Tak lupa pintu pun ditutup
dan dikunci
lagi, tapi kuncinya dibiarkan tergantung
pada lubang
kunci di pintu.
"Makanlah,
seharian ini kau tidak makan apa-apa!"
kata Dewi Kun
sambil meletakkan nampan berisi
makanan dan
buah-buahan itu di lantai depan Suto.
Mata Suto
sempat melirik ke arah kunci. Sebenarnya
ia bisa saja
menyambar kunci itu dengan gerakan
cepatnya, lalu
keluar dari ruangan tersebut. Tapi
pertimbangan
otaknya mengatakan, bahwa hal itu akan
membuat Elang
Samudera celaka jika ia melarikan diri.
Setidaknya Dewi
Kun dan orang-orang Kuil Perawan
Ganas akan
menyiksa Elang Samudera sebagai
pelampiasan
atas murka mereka terhadap pelarian Suto
nanti. Maka,
rencana dan niat itu pun dibuang jauh-jauh
oleh Pendekar
Mabuk.
"Biarlah
kuikuti dulu apa maunya orang-orang kuil
ini, yang
penting Elang Samudera jangan teraniaya.
Kasihan. Dia
sudah kehilangan tenaga dalamnya dan tak
bisa lakukan
perlawanan apa-apa terhadap Dewi Kun
dan anak
buahnya."
Begitu kata
batin Suto saat memandangi makanan
tersebut. Dewi
Kun menegur dengan tepukan pelan di
paha Suto.
"Hei,
jangan melamun saja! Makanlah, supaya kau
nantinya dapat
melayani Ratu Lembah Girang dalam
keadaan kuat!
Ratu akan sangat senang dan selalu
menuruti apa
saja permintaan seorang pria yang mampu
membuat
gairahnya terpuaskan. Kami mengandalkan
dirimu,
karenanya... minum pula adonan jamu ini."
Pendekar Mabuk
memandang ke arah cangkir perak
bertutup
runcing. Cangkir itu yang tadi dituding oleh
Dewi Kun saat
bicara tentang jamu. Suto penasaran dan
membuka tutup
cangkir tersebut.
"Hmmmhh...!
Baunya tak enak! Jamu apa ini?!"
"Jamu
kuat!" jawab Dewi Kun tegas tanpa senyum.
"Ramuan
ini bisa membuatmu selalu bergairah dan
mampu memuaskan
asmara Ratu Lembah Girang."
Pendekar Mabuk
tertawa geli bernada menyepelekan
khasiat jamu
tersebut. Dewi Kun menambahkan
penjelasannya
tentang jamu tersebut.
"Hanya
tabib kami yang bisa membuat ramuan
pembakar gairah
lelaki semujarab ini! Di tempat lain tak
ada ramuan
setangguh ini,"
"Ah,
bualanmu terlalu berlebihan!"
"Cobalah
sendiri kalau tak percaya!"
Ketika Pendekar
Mabuk mau meminum jamu itu,
tangannya
segera ditahan oleh tangan Dewi Kun,
"Makan
dulu, baru minum jamu itu! Jika perutmu
kosong tanpa
makanan, dan kau meminum ramuan jamu
tersebut, maka
kau akan mengalami kekecewaan besar
dalam
bercumbu."
"Kekecewaan
apa maksudmu?!"
"Siapa pun
meminum jamu ini dalam keadaan perut
kosong, maka ia
akan mengalami kesukaran dalam
mencapai puncak
kemesraannya. Bisa empat hari empat
malam kau tak
akan mencapai puncak kemesraan walau
semangat masih
terus berkobar-kobar. Kau hanya akan
menemukan
kejengkelan yang akhirnya akan
menyakitkan
hati karena tak mencapai titik tertinggi dari
kencanmu nanti.
Sementara itu, orang yang meminum
jamu ini tidak
akan mau berhenti melakukan cumbuan
sebelum puncak
kemesraannya tercapai."
Sambil tertawa
pendek Suto berkomentar, "Wah,
hebat
sekali!"
"Memang
hanya tabib kami yang punya kehebatan
seperti
itu."
"Maksudku,
hebat sekali ngibulnya! Mana ada jamu
yang punya
khasiat seperti itu?!" Suto bersungut-sungut
tak percaya.
Bahkan ia tahu-tahu telah nekat meminum
jamu tersebut.
"Heiii...?!"
sentak Dewi Kun kaget. Ia menarik tangan
Suto yang
memegangi cangkir, tapi terlambat. Isi
cangkir sudah
ditelan habis oleh Suto, padahal Suto
belum makan
apa-apa sejak di lautan sampai mendarat di
pantai Pulau
Swaladipa tadi.
"Kau
gila!" sentak Dewi Kun. "Kau sama saja akan
menyiksa dirimu
sendiri dengan meminum jamu ini
tanpa makan
lebih dulu!"
"Aku tak
percaya dengan bualanmu tadi! Tanpa jamu
seperti ini,
aku sudah mempunyai semangat yang tinggi
dan mampu
bertahan diri untuk tidak mencapai puncak
kemesraan.
Jadi, kuanggap jamu ini hanya celoteh tanpa
makna!"
"Ak... aku
tak mau bertanggung jawab jika kau
menjadi liar
dan ganas. Kau sendiri yang melanggar
aturan minum
jamu ini, Suto!"
Kecemasan itu
justru ditertawakan oleh Pendekar
Mabuk. Dengan
santainya ia menenggak tuak, setelah itu
baru melahap
buah anggur berwarna hijau bening.
"Aku tak
selera makan makanan seperti ini," ujar
Suto sambil
mengunyah buah anggur. "Aku bosan
makan panggang
ayam, burung bakar atau sejenisnya.
Aku malah
kepingin makan peyek udang atau tempe
bacem."
"Dasar
pendekar norak!" umpat Dewi Kun dengan
cemberut.
"O, ya...
tadi kurasakan ada getaran dan kudengar ada
suara ledakan
samar-samar. Apakah di luar telah terjadi
pertarungan?"
"Ya Biasa,
orang-orang Bukit Sulang bikin onar di
wilayah kami!
Mereka menyerang kami dan ingin
menguasai kuil
ini."
"Lalu...?"
"Kami
berhasil mengusir mereka!"
"Ada yang
korban?"
"Delapan
orang Bukit Sulang mati di tangan kami."
"Dari
pihakmu ada yang tewas?"
"Tidak.
Hanya dua orang yang tewas."
"Itu
namanya ada yang tewas! Kok bilang tidak!"
Suto
bersungut-sungut.
"Kurasa
dalam waktu dekat orang Bukit Sulang akan
datang lagi
dengan mengajukan Gembongsuro sebagai
orang terdepan
yang diunggulkan."
"Gembongsuro
itu sakti?" tanya Suto seperti
pertanyaan anak
kecil yang diikuti lahapan buah
anggurnya.
"Kudengar,
Gembongsuro adalah orang terkuat di
Bukit Sulang,
ia tidak akan turun tangan dalam suatu
penyerangan
jika tidak dalam keadaan benar-benar
penting.
Sekarang sudah dua kali orang Bukit Sulang
ingin merebut
kuil ini. Tapi dua kali pula kami berhasil
menyingkirkan
mereka dan menewaskan lebih dari lima
belas
orang."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut sambil
menggumam kecil
dan mengunyah buah anggurnya.
"Jika
Gembongsuro muncul, kami pasti akan
terdesak,
karena kesaktian Gembongsuro di atas
kesaktian
kami."
"Apakah
jarak Bukit Sulang dengan kuil ini termasuk
dekat?"
"Ya,
memang termasuk dekat. Kurang dari
seperempat hari
untuk lakukan perjalanan dari sini ke
Bukit
Sulang."
Pendekar Mabuk
ingat tentang Elang Samudera. Ia
bergegas
bangkit dan memandang Elang Samudera dari
kaca tembus,
itu. Ternyata Elang Samudera juga
mendapat jatah
makan seperti yang dikirimkan
kepadanya.
Elang Samudera tampak makan sendirian
dengan lahap
dan tidak merasa canggung lagi.
Tapi Pendekar
Mabuk segera berkerut dahi ketika
melihat di
nampan itu juga ada cangkir putih bertutup
runcing seperti
cangkir tempat ramuan jamu yang
diminumnya
tadi. Kecurigaan Suto mendesak hati untuk
ajukan tanya
kepada Dewi Kun.
"Mengapa
Elang Samudera juga mendapat cangkir
itu? Apakah
cangkir itu juga berisi ramuan jamu seperti
yang kuminum
tadi?"
Perempuan itu
bangkit berdiri dan ikut memandang
melalui cermin
tembus pandang.
"Ya, dia
juga perlu meminum ramuan yang sama
dengan yang kau
minum."
"Dengan
maksud apa kau memberikan minuman itu
kepada Elang
Samudera?"
"Supaya
badannya merasa segar dan tidak loyo."
Tapi hati Suto
mengatakan, bukan itu alasan yang
sebenarnya.
Naluri Suto segera, mengatakan bahwa
Elang Samudera
sengaja diberi ramuan jamu supaya
dapat
dimanfaatkan oleh Dewi Kun atau perempuan-
perempuan Kuil
Perawan Ganas sebagai pasangan
bercumbu. Dalam
keadaan tanpa ilmu tenaga dalam dan
kesaktian apa
pun, tentu saja Elang Samudera akan
mudah terbujuk
dan dirayu hingga hanyut dalam
permainan
cinta.
"Kau mulai
menampakkan kecurigaanmu lagi!"
sambil Suto
menuding perempuan berhidung mancung
itu. "Kau
pasti akan memanfaatkan kehangatan Elang
Samudera
sebagai pemuas gairahmu, atau pemuas gairah
para anak
buahmu! Sementara aku kau jual kepada Ratu
Lembah Girang,
kalian bisa memanfaatkan Elang
Samudera
sebagai hiburan tak senonoh!"
"Bagaimana
kalau dugaanmu itu ternyata meleset?!"
"Tidak
mungkin! Aku yakin kau... kau...." Pendekar
Mabuk terhenti
dari ucapannya yang menggebu-gebu. Ia
merasakan
debar-debar indah hatinya. Ketika matanya
menatap raut
wajah cantik perempuan di depannya, hati
Suto merasa
bagai dibuai oleh keindahan yang
menggembirakan,
sehingga timbul rasa ingin memeluk
dan mencium
perempuan itu.
"Celaka!
Kenapa aku jadi begini bergairah
kepadanya?"
ujar Suto dalam batinnya, ia mencoba
menahan hasrat
ingin memeluk Dewi Kun, tapi usahanya
itu sepertinya
akan menemui kegagalan. Napas Suto
sudah mulai
terengah-engah dan batinnya mulai dibakar
oleh keinginan
untuk bercinta.
"Kenapa
aku ini?!" tanyanya kepada perempuan itu.
"Aku...
aku suka sekali kepadamu. Aku... ingin
menciummu.
Ooh... kenapa aku jadi ingin memeluk dan
menciummu?!"
"Jamu itu
mulai bekerja dalam darahmu dan
membakar saraf
kejantananmu!"'
"Tapi...
tapi.... Oh, tidak! Aku tidak ingin lakukan!"
Suto Sinting
menjauhi perempuan tersebut, ia berdiri di
sudut ruangan.
Kedua tangan memeluk dirinya sendiri,
sementara
bumbung tuaknya dibiarkan tergeletak di
dekat nampan
berisi makanan itu. Ia terengah-engah
hingga
keluarkan keringat dingin. Kedua kakinya
gemetar begitu
merasakan hasrat untuk bercumbu
menyentak-nyentak
makin kuat.
Perempuan itu
mendekatinya dengan sorot pandangan
mata lain dari
yang tadi. Kali ini sorot pandangan mata
itu mengandung
ajakan untuk bercumbu. Seakan ia tidak
keberatan jika
Suto ingin memeluk dan menciuminya.
"Pergi
kau! Pergiii...!" bentak Suto. "Jangan
memancing
gairahku semakin tinggi! Tinggalkan aku
sendirian. Aku
tak mau lakukan hal itu. Pergi kau...!"
"Kau yakin
tak ingin memperolehnya dariku?"
Suto tak
menjawab, ia menggeram dengan gigi
menggeletuk.
Tapi perempuan
itu belum mau pergi dari hadapan
Pendekar Mabuk.
Perempuan itu justru melepas pengikat
rompi merahnya,
sehingga belahan depan rompi itu pun
tersingkap
lebar. Gumpalan dadanya tampak jelas di
mata Pendekar
Mabuk.
"Setan
kau! Minggat dari hadapanku, lekas!" sentak
Suto walau tak
mampu dengan suara keras, karena
napasnya sibuk
meredam hasrat ingin bercumbu.
Sentakan itu tidak dihiraukan oleh si
perempuan.
Justru
perempuan itu meliuk-liukkan tubuhnya sambil
tangannya
mengusap lembut bukit-bukit di dadanya.
Lidahnya sesekali
menjilati bibirnya sendiri dengan
keadaan bibir
telah merekah dan mata menjadi sayu
penuh tantangan
bercumbu. Pendekar Mabuk semakin
dibakar oleh
gairahnya. Dadanya terasa sesak karena
jantungnya
berdetak kian keras. Perempuan itu juga
melepaskan
sabuk dan kancing celana pendeknya. Pelan-
pelan sekali
celana itu diturunkan, sementara rompinya
telah dilepas
sejak tadi hingga kemulusan tubuhnya
tampak jelas
menantang Suto.
"Iblis
kau! Kau meracuniku dengan minuman itu!
Kau... kau....
Aaah!" sentak Suto Sinting sambil
menghentakkan
kakinya bagai orang dihinggapi
kejengkelan.
Tapi perempuan
itu justru memperhebat godaannya.
Kini ia sudah
menjadi seperti bayi baru lahir, ia meliuk-
liukkan
tubuhnya dengan kepala sesekali
mendongak
bersama
terlontarnya erangan dan desahan penuh gairah.
Perempuan itu
bersandar pada dinding, tangannya
mengusap apa
saja yang dapat menghadirkan
kenikmatan bagi dirinya. Napasnya menjadi terengah-
engah, sampai
akhirnya ia merosot ke bawah dan duduk
di lantai
dengan posisi menantang.
"Oouh...
aaah... oooohh...."
Desah-desah
yang berhamburan masuk ke telinga
Suto dan
membuat hasratnya kian terbakar lagi.
Akhirnya Suto
Sinting tak mampu menahan diri ketika
dilihatnya mata
perempuan itu memandangnya dengan
sangat sayu dan
bibirnya merekah menunggu kecupan.
"Booo...
bolehkah aku... aku mengusap betismu?"
ucap Suto
dengan terbata-bata karena napas yang
menderu-deru.
"Usaplah
dengan bibirmu, Suto. Aku ingin rasakan
sentuhan
kemesraanmu. Usaplah, Sayang...."
Pendekar Mabuk
akhirnya merangkak, menempelkan
kecupan
bibirnya di betis indah yang mulus itu. Kecupan
itu menjalar
sampai ke betis. Si perempuan kian
melebarkan diri, bahkan tangan Suto dituntun untuk
menjamah
'mahkota' yang telah siap menerima
kedatangan sang
tamu itu. Tangan Suto akhirnya menari-
nari di sana.
Tapi pagutan dan sapuan lidahnya masih
bermain di
sekitar lutut serta paha, membuat perempuan
itu makin
mengerang panjang dan terengah-engah.
Pendekar Mabuk
tak mau buru-buru menyambar
'mahkota' itu.
Kecupannya melewati sang 'mahkota',
merayap ke
perut dan mencapai dada. Dua bukit di dada
itu tampak
merentang penuh keberanian. Pendekar
Mabuk menyusuri
dengan mulutnya di tepian bukit, ia
memagut tato
yang ada di sana. Namun dalam hatinya
sempat terkejut
melihat tato itu bukan bergambar bunga
mawar merah,
melainkan bergambar kelabang merah.
"Secepat
inikah ia mengubah tatonya? Atau... tato itu
akan berubah
dengan sendirinya jika gairahnya mulai
terbakar? Oh,
sayang aku tadi tidak memperhatikan
tatonya ketika
ia mencapai puncak kemesraan, sebelum
keluar dari
ruangan ini. Mungkin tato itu tato ajaib, yang
dapat berubah
dari gambar bunga mawar menjadi
gambar kelabang
merah. Letaknya pun berpindah di
dada
kiri."
Sambil
berkecamuk begitu, mulut Suto tiada hentinya
memagut-magut
kedua bukit itu secara bergantian.
Tangan
perempuan tersebut juga tak mau tinggal diam.
ia berhasil
meraih apa yang disembunyikan Suto di balik
kain putihnya. Perempuan itu memekik ketika
berhasil
menggenggamnya.
"Ooow..?!
Besar sekali, Suto...."
"Apanya?"
"Semangatmu
besar sekali. Ooh... aku suka yang
begini! Aku
suka sekali, Suto...! Aaaahh...!"
Perempuan itu
mengamuk dalam gerakan liar. Suto
terpelanting
dan jatuh telentang. Kini perempuan itu
menerkamnya
dengan suara erangan mirip singa
kelaparan.
Ia melepaskan
kain penutup tubuh Suto secara kasar,
ia juga
memagut-magut dada Suto dengan liar. Bahkan
ia menyambar
'jimat antik' itu dengan rakus sekali. Tapi
semua
kekasaran, kerakusan, keliaran dan kebuasan itu
justru
menghadirkan sejuta kenikmatan bagi Suto
Sinting. Bahkan
Suto tak segan-segan untuk berteriak
ketika
kenikmatan itu melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Ganas
sekali dia? Tadi tak seganas ini. Rupanya tadi
dia masih
malu-malu padaku, sehingga keganasannya ini
masih
disembunyikan," pikir Suto Sinting sambil
meremas lengan
perempuan itu.
"Oh,
Suto... bangun! Berdirilah... lekas berdiri!"
perintahnya
dengan mendesak. Suto pun menuruti
perintah
itu, ia berdiri di samping cermin tembus
pandang itu.
Perempuan tersebut berlutut di hadapan
Suto, kemudian
ia menyapu habis sekitar tempat
tersebut,
sehingga Suto terpaksa meremas rambut
perempuan
tersebut untuk menahan gejolak rasa
bahagianya.
Tetapi
tiba-tiba Suto terkejut manakala matanya
memandang ke
ruang sebelah, ternyata di sana Elang
Samudera juga
sedang dicumbu oleh seorang
perempuan.
Elang Samudera sudah tidak mengenakan
selembar benang
pun, demikian pula si perempuan. Hal
yang membuat
Suto lebih kaget lagi, ternyata perempuan
yang mengganas
di sana adalah perempuan bertato
bunga mawar
merah pada dada kanannya.
"Tunggu
dulu!" sergah Suto. Ia menarik perempuan
itu hingga
berdiri. Si perempuan memandang dengan
peluh
bercucuran dan napas berhamburan.
"Siapa kau
sebenarnya? Kau... kau Dewi Kun?! Oh,
lihat... lihat
temanku sedang bercumbu denganmu atau
dengan siapa
itu?!"
"Dia
bercumbu dengan kakakku."
"Kakakmu
siapa?"
"Dewi
Kun..."
"Jaa...
jadi kau...?"
"Aku Dewi
Sun, saudara kembar Dewi Kun!"
"Oooh...
pantas kau lebih ganas dari dia."
"Penjelasannya
nanti saja. Aku masih ingin
membuaimu!"
ucapnya seraya menciumi leher Suto
Sinting dengan
tubuh dirapatkan ke badan Suto. Suto
Sinting tak
bisa menolak karena gairahnya terasa
semakin lebih
besar dari yang pertama tadi.
*
* *
5
SEBELUM
pelayaran cintai dimulai. Pendekar
Mabuk sempatkan
untuk meminum tuaknya, ia biarkan
Dewi Sun
terbaring di lantai menunggu lawan cintanya
menyerbu.
Namun ketika
tuak diminum, saat Pendekar Mabuk
ingin mengawali
pelayaran cintanya dengan
menunggang
perahu asmara yang telah disiapkan Dewi
Sun, tiba-tiba
saja gairahnya lenyap dan bayangan Dyah
Sariningium
muncul dalam benaknya. Rasa setia dan
cinta terhadap
Dyah Sariningrum membakar di sekujur
tubuhnya.
Perasaan tak ingin menodai kisah kasihnya
terhadap Ratu
Puri Gersang Surgawi itu membalut jiwa
dan hatinya,
sehingga hasrat untuk berlayar bersama
Dewi Sun itu
pun lenyap seketika.
Ciuman Suto
terhenti sebelum tubuhnya menyatu
dengan tubuh
Dewi Sun. Ia menarik diri dan
memandangi Dewi
Sun dengan perasaan heran.
"Mengapa
aku hampir saja menodai cinta suciku
Kepada
Dyah?" pikirnya kala itu. "Dewi Sun ataupun
Dewi Kun memang
cantik, tapi hatiku tak bisa menerima
kecantikan itu.
Hatiku hanya bisa merasakan deburan
gairah tanpa
jiwa yang tulus menyayanginya? Untuk apa
kulakukan jika
semua itu hanya tipuan rasa saja?"
"Suto,
ayolah... tunggu apa lagi, Suto? Aku sudah
siap. Aku sudah
siap, Sayang...," rengek Dewi Sun
sambil
mengulurkan tangannya ingin memeluk Suto.
Tapi pemuda
tampan yang berbadan macho itu justru
tarik diri dan
menyambar celananya.
"Hei,
kenapa kau begitu, Suto?! Mengapa tak kau
lanjutkan
perjalanan cinta kita?!"
"Aku tidak
bisa!" tegas Suto.
"Bukankah...
bukankah kau telah meminum ramuan
itu?"
"Aku tidak
punya kesanggupan untuk melanjutkan
permainan cinta
kita! Kau lihat sendiri, aku tidak punya
kemampuan
seperti tadi, bukan?"
Mata Dewi Sun
tertuju pada sesuatu yang dimaksud
Suto. Sesuatu
itu sekarang tidur dengan pulasnya, seakan
tak akan
terusik oleh godaan apa pun. Dewi Sun sendiri
merasa heran
dan berucap lirih bagai bicara pada dirinya
sendiri.
"Mengapa
jadi begitu? Biasanya ramuan itu akan
membangkitkan
gairah lelaki hingga menyala-nyala dan
menjadi buas
tiada hentinya. Tapi sekarang mengapa
justru
membuatnya loyo begitu?!"
"Kurasa
tabibmu salah ramu!" ujar Suto Sinting
sambil mengenakan
baju coklatnya yang tanpa lengan
itu.
Tentu saja Dewi
Sun tak tahu bahwa khasiat jamu
kuat buatan
tabibnya itu tak akan mampu mengalahkan
khasiat sakti
dari tuak dalam bumbung bernyawa itu.
Seandainya
Pendekar Mabuk tidak meminum tuaknya
lebih dulu,
maka pelayaran ke laut cinta pun akan terjadi
entah hingga
berapa kali. Tetapi karena sebelum
mendayung
perahunya Suto merasa kehausan dan perlu
meneguk
tuaknya, maka tuak itu langsung memadamkan
api cinta dan
gairah yang berkobar-kobar tadi. Tuak itu
mengembankan
kesadaran Suto yang nyaris tersirap oleh
pengaruh jamu
kuat yang mengandung mantra gaib juga
itu.
Sementara di
ruang sebelah, Elang Samudera masih
giat melakukan
perjalanan cintanya dengan Dewi Kun.
Bahkan meskipun
Dewi Kun telah mencapai puncak-
puncak
kebahagiaannya beberapa kali, tapi Elang
Samudera masih
tangguh dan dengan penuh semangat
mendayung
perahu cintanya sesuai dengan selera yang
diinginkan Dewi
Kun.
"Kau
mengecewakan aku, Suto!" geram Dewi Sun
yang ingin
memeluk Suto namun dijauhi oleh pemuda
tampan itu.
"Maafkan
aku. Aku tak mampu seperti Elang
Samudera!"
"Banci!"
sentak Dewi Sun dengan berang. "Percuma
kau menjadi
pendekar gagah perkasa begitu, ternyata
kau tidak
berguna bagi seorang perempuan! Kau tidak
punya kemampuan
apa-apa, Suto! Potong saja 'jimatmu'
itu dan jadilah
perempuan sepertiku!"
Senyum Suto
mengembang tipis, ia tahu kata- kata itu
sengaja
dilontarkan untuk membangkitkan emosi
cintanya.
Tapi Suto tetap tak berselera melakukan
percumbuan,
ia hanya bisa memaklumi ejekan tersebut
dilontarkan
Dewi Sun yang tentu saja sangat kecewa
terhadap
kegagalan itu.
"Percuma
kau jadi pendekar kondang kesaktiannya
kalau tak mampu
membahagiakan perempuan!" omel
Dewi Sun seraya
mengenakan pakaiannya kembali.
"Lebih
baik kau berikan tugas lain daripada harus
berlayar di
lautan cinta denganmu," kata Suto tegas-
tegas.
Dewi Sun
menyeka keringatnya yang masih mengalir
di sela-sela
belahan dadanya. Wajahnya kusut sekali,
sekusut
rambutnya yang tadi diacak-acak Suto saat ia
membuainya
dengan ciuman maut.
"Kau harus
dihukum, Suto! Karena kau tak mau
melayaniku, tak
mau memuaskan keinginanku, maka
kau harus
dihukum!"
"Akan
kuterima selama aku tak mampu menghindari
hukuman itu!
Tapi jika aku bisa menghindari hukuman
itu, barangkali kaulah yang akan berbalik
menjalankan
hukumannya!"
ujar Suto setengah menantang.
Dewi Sun
semakin berang, maka kaki kanannya
segera berkelebat
menendang ke arah wajah Suto.
Wuuuut...!
Weess...! Suto Sinting hanya menggeloyor ke
samping seperti
orang mabuk mau tumbang. Tendangan
itu tak
mengenai sasaran sedikit pun.
Wwwu, weess...!
Wuuut, wess...! Wuuut, wweess...!
Tiga tendangan
beruntun dengan kecepatan tinggi
berhasil
dihindari Suto Sinting. Dewi Sun semakin
dongkol, maka
ia pun segera menghantamkan telapak
tangannya yang
mengandung kekuatan tenaga dalam
tanpa sinar
itu. Beeet...!
Suto Sinting
sengaja mengadu telapak tangannya
dengan telapak
tangan Dewi Sun. Tapi tak lupa ia juga
menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tangan
tersebut.
Plaaak...! Buuub...!
Asap mengepul
dari perpaduan telapak tangan itu.
Dewi Sun
terpental ke belakang dan membentur pintu,
sementara Suto
Sinting masih tegar berdiri dengan wajah
sunggingkan
senyum tipis agak dingin.
"Laknat
kau, Suto!" geram Dewi Sun sambil bangkit
kembali.
"Di kamar
sesempit ini, kalau kau melawanku, maka
kau akan mati
tanpa diketahui oleh siapa pun!" Suto
sengaja
menakut-nakuti mental Dewi Sun. Agaknya
ucapan itu
membuat Dewi Sun berpikir juga, sehingga ia
terpaksa
menahan gejolak kemarahannya dan bergegas
keluar dari
kamar tersebut.
"Kuanggap
kau telah menghinaku! Ada saatnya
sendiri kau
harus menerima ganjaran atas penghinaan
ini,
Suto!"
"Kutunggu ganjaran darimu, Dewi Sun!" kata Suto
dengan tegas
dan membuat Dewi Sun semakin dongkol
lagi. Brrak...!
Pintu ditutup dan dikunci kembali. Dewi
Sun pergi entah
ke mana, yang jelas Suto Sinting tertawa
cekikikan
sendiri.
"Ramuan
jamu kuat?! He, he, he, heh...! Ternyata
sama tuakku
masih kalah kuat! Untung aku tadi segera
meminum tuak,
kalau tidak, habislah kesucianku
direnggutnya.
Ciah... kesucian nih ye...?!" ia tertawa geli
lagi.
Pendekar Mabuk
akhirnya hanya bisa menyaksikan
tontonan gratis
di kamar sebelah melalui cermin tembus
pandang. Elang
Samudera terengah-engah kecapekan.
Tetapi agaknya
pemuda itu belum mencapai puncak
keindahannya.
Sementara itu, Dewi Kun sudah terkulai
tanpa daya.
Seandainya tidak, pasti dia masih menyuruh
Elang Samudera
untuk mendayung perahunya lagi.
Lantai menjadi
basah oleh keringat mereka. Elang
Samudera tak
bisa bilang apa-apa karena sibuk bernapas.
Tapi tangannya
masih berusaha untuk berbuat nakal,
yang segera
dihindari oleh Dewi Kun.
Pendekar Mabuk
hanya geleng-geleng kepala melihat
kenakalan itu.
"Kalau
bukan karena meminum ramuan jamu tadi, tak
mungkin Elang
Samudera sampai setangguh itu,"
ujarnya dalam
hati.
Secara jujur
hati Suto mengakui kehebatan ramuan
tersebut
seandainya tanpa dilawan dengan tuak saktinya.
Terbukti Elang
Samudera masih tetap bersemangat
memburu
kemesraan walaupun Dewi Kun sudah keluar
kamar dan
beberapa saat masuk kembali. Ternyata yang
masuk kembali
itu bukan Dewi Kun melainkan Dewi
Sun.
Elang Samudera
juga melayani perempuan itu dengan
semangatnya
yang masih menyala-nyala. Tetapi
kehadiran
perempuan itu membuat Suto menjadi sangsi
dan berkerut
dahi.
Ketika perempuan
itu melepaskan rompinya, maka
tampaklah
sebuah tato bergambar kupu-kupu yang
merentangkan
sayapnya di pertengahan dada. Suto
Sinting sempat
bertanya-tanya dalam hati,
"Benarkah
dia Dewi Sun?! Tapi melihat keganasan
dalam menyerang
lawan bercintanya, keganasan itu
seperti milik
Dewi Sun. Hanya saja, kenapa tatonya
berubah menjadi
gambar kupu-kupu dan letaknya di
pertengahan
dada? Bukankah Dewi Sun tatonya
bergambar
seekor kelabang merah dan letaknya di dada
kiri?!"
Klak, klak,
klaaang...!
Pintu kamar
Suto dibuka. Perempuan berwajah cantik
seperti yang
sedang bercumbu dengan Elang Samudera
itu muncul
dengan keangkuhannya. Perempuan itu
tampak
berlumuran keringat, sehingga rambutnya
menjadi basah
dan rompinya pun lengket dengan tubuh.
Napas perempuan
itu masih sedikit terengah-engah
menandakan
habis melakukan pekerjaan berat.
Begitu melirik
ke arah dada, Suto melihat tato
bergambar bunga
mawar. Tak salah lagi dugaan hatinya,
bahwa perempuan
itu adalah Dewi Kun yang habis
mendapat
kepuasan dari Elang Samudera.
Dewi Kun ikut
memandang ke arah cermin tembus
pandang. Suto
Sinting memperhatikan dengan lirikan
mata dan senyum
yang mengembang penuh ketenangan.
"Mengapa
kau tidak mau melayani adikku; Dewi
Sun?!"
"Aku tak
mampu!" jawab Suto tanpa malu-malu.
"Kau kalah
hebat dengan temanmu itu. Lihatlah, dia
masih
bersemangat melayani gairah adikku."
"Apakah
dia Dewi Sun?"
"Bukan.
Dewi Sun sedang murung di serambi dan
kecewa berat
karena tingkahmu!"
"Lalu siapa
yang sedang bercumbu dengan Elang
Samudera
itu?"
"Adik
kembarku; Dewi Mul namanya."
"Oooh...?!"
Suto manggut-manggut dan
memperhatikan
tato bergambar kupu-kupu yang sesekali
sedang dikecupi
oleh Elang Samudera itu.
"Jadi kau
kembar tiga orang?"
"Ya, dan
masing-masing punya ciri pada tato kami.
Dengan melihat
tato kami, kau bisa mengerti siapa yang
kau hadapi;
aku, Dewi Sun atau Dewi Mul?"
"Ketiganya...
ketiganya punya gairah yang besar
rupanya."
"Kurasa
begitu!" jawabnya datar. "Dan kami selalu
membunuh pria
yang tidak mampu memuaskan gairah
kami, karena
pria semacam itu kami anggap tidak akan
berguna bagi
kehidupan di dunia!"
Suto Sinting
agak kaget. "Jadi kau ingin
membunuhku?!"
"Perlu
kupertimbangkan dulu bersama kedua adik
kembarku itu.
Karena di satu sisi, aku membutuhkan
tenagamu untuk
mengambil Bocah Emas itu!"
"Aku tak
akan pergi mengambil Bocah Emas jika
tidak bersama
Elang Samudera!"
"Itu tak
bisa! Kau harus pergi sendirian dan
mendapatkan
Bocah Emas itu!"
"Aku tak
tahu jalan menuju ke Gunung Sambara!
Tapi Elang
Samudera mengetahui jalan ke sana!"
"Salah
satu dari kami akan mendampingimu dan
mengantarmu
sampai bertemu dengan Ratu Lembah
Girang."
"Apakah
kau masih ingin menjualku kepada Ratu
Lembah Girang?
Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak
punya kemampuan
untuk melayani seorang perempuan?
Kurasa Ratu
Lembah Girang akan kecewa padaku dan
tidak mau
memberikan Bocah Emas itu."
Dewi Kun segera
memandang Suto Sinting.
Sepertinya ada
sesuatu yang baru diingatnya dan perlu
dipertimbangkan
lebih masak lagi.
"Kau
benar-benar tidak mampu melayani
perempuan?"
"Kau
tanyakan saja kepada adikmu; Dewi Sun itu!"
Mulut berbibir
ranum itu diam terbungkam. Tapi
kejap berikutnya
Dewi Kun memandang Suto lagi seraya
berkata pelan.
"Tapi kau
pandai membuai kami dengan bibir dan
lidahmu,
bukan?"
"Oh, itu
hanya kebetulan saja dan... dan...."
"Aku telah merasakannya sendiri. Kau
berhasil
menerbangkan
jiwaku sampai ke puncak-puncak
keindahan
dengan hanya menggunakan mulut dan
jemarimu.
Kurasa Ratu Lembah Girang pun akan
menyukainya."
"Tak
mungkin," bantah Suto. "Ratu pasti
menghendaki
kemesraan yang lebih sempurna dan tidak
sekadar
kemesraan seperti yang pernah kau rasakan
dariku itu. Dan
untuk memberikan yang sempurna itu
aku tak
sanggup!"
"Tabib
Sumpah Mada akan kuperintahkan membuat
ramuan yang
paling dahsyat dari yang kau minum tadi!
Ramuan itu
dapat membangkitkan seleramu, sehingga
kau akan mampu
melayani Ratu Lembah Girang sebaik
mungkin."
Pendekar Mabuk
tertawa pelan. "Percuma saja kau
menyuruh
tabibmu membuat ramuan apa saja. Seleraku
tak akan
sanggup berkobar jika pada saat ingin
mengarungi
lautan cinta bersama perahu cinta sang Ratu.
Tapi jika hanya
membuai keindahan, mungkin aku
masih
mampu!"
"Kata-katamu
itu harus dibuktikan dulu. Aku akan
menghubungi
Tabib Sumpah Mada dulu! Yang jelas,
esok pagi kau
harus berangkat temui Ratu Lembah
Girang."
Dewi Kun ingin
keluar dari kamar, namun segera
ditahan oleh
tangan Suto yang mencekal pundaknya.
"Tunggu...!
Kenapa kau tak perintahkan aku langsung
ke Gunung
Sambara saja?!"
"Gunung
Sambara dijaga oleh makhluk-makhluk
aneh ciptaan
Ratu Lembah Girang. Tanpa membawa
Sambang atau
tanda sebagai utusan Ratu Lembah
Girang, kau tak
akan mampu mencapai puncak gunung
tersebut. Kau
akan mati sia-sia melawan makhluk-
makhluk aneh itu jika tidak membawa benda atau
lambang dari
Ratu Lembah Girang!"
"Kurasa
aku mampu menyingkirkan makhluk-
makhluk aneh
itu, asal bekerja sama dengan Elang
Samudera!"
desak Suto.
Dewi Kun
gelengkan kepala. "Percuma kau bekerja
sama dengan
temanmu itu. Dia sudah kehilangan seluruh
ilmu dan tenaga
dalamnya. Makhluk aneh itu tak akan
mampu
dikalahkan dengan hanya menggunakan tenaga
luar
saja!"
"Kalau
begitu... izinkan aku menemui Elang
Samudera lebih
dulu sebelum harus berangkat
bersamamu!"
Dewi Kun diam
sejenak, mempertimbangkan sesuatu
dalam benaknya.
Sebentar kemudian ia memandang
Suto dan
perdengarkan suaranya yang serak-serak basah
itu.
"Esok pagi
kau kutemukan dengan Elang Samudera.
Malam ini
tidurlah, dan simpan tenagamu untuk esok.
Tapi lebih
dulu, kau harus mencoba ramuan terdahsyat
buatan Tabib
Sumpah Mada!"
Setelah berkata
demikian, Dewi Kun segera keluar
dari pintu.
Suto Sinting bermaksud ingin menerobos
keluar, tapi ia
ingat keadaan Elang Samudera yang
mudah dijadikan
sasaran kemarahan tiga perempuan
kembar itu.
Apalagi Elang Samudera dalam keadaan
kehilangan tenaga
dalamnya, maka ia akan mudah
dilumpuhkan
oleh ketiga dewi kembar itu. Suto pun
akhirnya
membatalkan niatnya untuk menerobos keluar,
ia masih harus
bersabar sampai saatnya nanti tiba.
*
* *
6
MENURUT dugaan
Suto, ia sudah setengah hari satu
malam berada di
Kuil Perawan Ganas itu. Baru kali ini
ia keluar dari
kamar penyekapannya ketika Dewi Kun
muncul dan
membawanya untuk bertemu dengan Elang
Samudera.
Sebelum Dewi
Kun membawa Suto keluar kamar,
Dewi Kun sempat
berkata kepada Suto, terutama setelah
mengetahui
keadaan Suto biasa-biasa saja.
"Apakah
jamu ramuan dari Tabib Sumpah Mada
belum kau
minum?"
"Sudah.
Aku meminumnya sampai habis. Tabib
Sumpah Mada
sendiri yang semalam mengantarkannya
dan menungguiku
meminum ramuan tersebut."
Dewi Kun diam
sebentar, sepertinya bingung mau
berkata apa
kepada Suto, Tapi dari sorot matanya
perempuan itu
tampak sedang memendam perasaan
heran melihat
Suto biasa-biasa saja.
"Kenapa
kau bertanya begitu? Apakah kau tak
percaya dengan
pengawan tabibmu sendiri?!"
"Wajahmu
biasa-biasa saja," ujar Dewi Kun datar
sekali.
"Maksudmu,
setelah meminum ramuan itu wajahku
harus berubah
seperti monyet?!"
Dewi Kun
tersenyum dingin. Baru sekarang
perempuan itu tampak
tersenyum.
"Cantik
juga kalau kau tersenyum," ujar Suto pelan,
tapi Dewi Kun
berlagak tidak mendengar pujian itu.
"Seharusnya
wajahmu berubah kemerah-merahan dan
matamu menjadi
nanar, jalang, tanganmu juga nakal,
tapi...
sepertinya kau tak mengalami hal itu."
"Pecat
saja tabibmu itu! Dia tidak bisa membuat
ramuan
berkhasiat dahsyat, seperti katamu itu!"
Dewi Kun
bingung sendiri, akhirnya hanya menarik
napas dan
segera membawa Suto bertemu dengan Elang
Samudera.
Dalam hati Suto
tertawa geli, karena tanpa setahu
Tabib Sumpah
Mada, tuak sakti itu segera diminumnya
setelah Suto
selesai meminum ramuan jamu kuat yang
katanya paling
dahsyat itu. Dengan meminum tuak
saktinya, maka
pengaruh jamu kuat itu sirna tanpa bekas.
Tentu saja
Tabib Sumpah Mada nanti akan bingung
sendiri jika
mendengar kecaman Dewi Kun.
"Suto...?!"
sambut Elang Samudera dengan riang.
"Kusangka
mereka mendustaiku dengan mengatakan kau
masih selamat.
Ternyata omongan mereka itu benar. Oh,
aku senang
sekali melihatmu masih tetap segar begini,
Suto."
"Aku ada
di kamar sebelahmu. Aku melihat apa yang
kau lakukan
bersama Dewi Mul dan dia," sambil
Suto
melirik Dewi
Kun.
"Kurasa
itu tak perlu dibicarakan, Suto!" tegur Dewi
Kun dengan
sedikit malu.
"Tinggalkan
kami. Biarkan kami bicara berdua. Jika
kau tak izinkan
kami bicara, aku tak akan berangkat
memenuhi
perintahmu!" kata Suto dengan pelan tapi
tegas. Dewi Kun
akhirnya tinggalkan kamar itu dengan
tak lupa
mengunci pintunya.
Setelah Dewi
Kun pergi, Suto buru-buru
menyerahkan
bumbung tuaknya.
"Minum
tuak ini, lekas!"
Elang Samudera
bingung. "Aku... aku tidak apa-apa,
Suto! Aku
sehat-sehat saja!"
"Lekas
minum tuak ini sebelum mereka melihat dari
cermin tembus
pandang itu!"
Karena desakan
Suto menegangkan, maka Elang
Samudera pun
buru-buru menenggak tuak tersebut.
Bumbung tuak
buru-buru direbut Suto, sehingga
seandainya ada
yang mengintai dari cermin tembus
pandang tidak
akan melihat Elang Samudera meminum
tuak.
"Ada apa
sebenarnya?" tanya Elang Samudera
dengan lirih.
Suto bersikap
tenang, supaya jika Dewi Kun
melihatnya dari
kamar sebelah tidak timbul kecurigaan
apa-apa.
"Tetaplah
tenang," kata Suto mengawali percakapan
seriusnya.
"Kau yang
kelihatan tidak tenang, Suto!"
"Elang,
dengar kataku.... Aku tahu kau kehilangan
tenaga
dalammu."
"lyy...
iya, benar! Aku jadi tidak punya kekuatan
dahsyat yang
biasanya bisa kukeluarkan lewat tangan,
jari, kaki,
atau yang lainnya." Elang Samudera tampak
mulai tegang.
"Aku juga
tahu gairahmu telah dibakar oleh jamu
yang kau minum
kemarin saat habis mendapat suguhan
makan itu. Jamu
itu membuatmu kuat melayani mereka."
"Hmmm...
hmmm... iya, sepertinya memang begitu,"
jawab Elang
Samudera dengan malu-malu.
"Tuakku tadi
akan mengembalikan kekuatan tenaga
dalammu dan
melumpuhkan pengaruh jamu yang kau
minum."
"O,
ya...?! Elang Samudera tampak girang, ia segera
ingin
mencobanya dengan menggunakan tangan yang
akan
dihantamkan kearah pintu. Tapi Suto Sinting segera
mencegah
perbuatan itu.
"Jangan
lakukan di sini! Kau harus berpura-pura tetap
tidak
mempunyai kekuatan tenaga dalam. Kau
juga
harus
berpura-pura masih bergairah dengan mereka."
"Mengapa
begitu?!"
"Mereka ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang."
"Hahh...?!"
"Tenang
dan bersikaplah wajar-wajar saja!" Suto
mengingatkan
dengan berlagak kalem.
"Tugasku
membujuk Ratu Lembah Girang untuk
mengambil Bocah
Emas itu. Bocah Emas harus
kuserahkan kepada
orang-orang disini. Kau dijadikan
sandera oleh
mereka. Jika aku menolak, kau akan
dibunuhnya."
"Biadab...!"
"Tenang,
tenang...! Semua sudah
kuatur dalam
otakku,"
ujar Suto mengingatkan emosi Elang Samudera.
"Jadi...
kau menerima tawaran itu?!"
"Aku
jadi banyak mengetahui tentang keadaan di
Gunung Sambara.
Agaknya kunci untuk mendapatkan
Bocah Emas itu
ada di tangan Ratu Lembah Girang. Aku
memang harus
menemui ratu itu. Kau tetap saja di sini
dengan
berpura-pura tanpa tenaga dalam dan
masih
bersemangat
dalam bercinta. Tapi kalau bisa tolak saja
ajakan kencan
mereka dengan cara yang tidak kentara."
"Baik, aku
akan mengikuti saranmu."
"Tugasmu
di sini adalah menahan mereka agar jangan
menyusulku. Aku
hanya akan didampingi oleh Dewi
Kun, atau
mungkin salah satu dari tiga perempuan
kembar
itu."
"Oh, jadi
mereka itu kembar tiga? Kusangka hanya
satu orang?
Pantas gairah mereka seperti tak kunjung
padam!"
"Jika
Bocah Emas itu sudah kudapatkan,
siapa pun
yang mendampingiku akan kulumpuhkan. Kemudian
Bocah Emas itu
akan kusimpan dalam perahu kita. Aku
akan datang
menjemputmu kemari dengan tidak
menimbulkan
keonaran. Jika sampai terjadi keributan,
pergunakan
tenaga dalammu. Lalu kita akan pergi
tinggalkan
tempat ini bersama Bocah Emas itu."
"Bagaimana
jika mereka mengejar kita?"
"Lumpuhkan
ketiga perempuan kembar itu, maka
yang lain tidak
akan bertindak apa-apa! Tugasmu adalah
mempelajari
kelemahan-kelemahan yang ada di sini.
Usahakan
kau mengetahui kelemahan mereka sebelum
aku datang
menjemputmu."
"Baik.
Akan kuusahakan hal itu secepatnya!" kata
Eiang Samudera
penuh semangat.
"Jika
dalam empat hari aku tidak datang kembali,
berarti aku
tewas di perjalanan."
"Kuharap
kau kembali dalam keadaan sehat!"
"Atau jika
aku tidak kembali dalam empat hari,
mungkin aku
tertawan di tangan Ratu Lembah Girang.
Kau harus
berusaha pulang dan cari bantuan untuk
membebaskanmu.
Terutama hubungi Sumbaruni,
Merpati Liar,
Angin Betina, dan si Rupa Setan alias
Anjardini."
"Ya, aku
ingat nama-nama itu. Aku akan minta
bantuan kakak
perempuanku untuk menghubungi
mereka jika
sampai terjadi sesuatu pada dirimu," kata
Elang Samudera
dengan mantap.
"Jika
mereka memberimu minuman jamu lagi,
usahakan jangan
kau minum, buanglah di tempat lain
entah dengan
cara bagaimana saja!"
"Baik,"
Elang Samudera mengangguk bagai orang
yang patuh
kepada perintah atasannya.
"Ada satu
hal yang perlu kau ingat, Suto,"
tambah
Elang Samudera.
"Bawalah Bocah Emas itu dalam
keadaan
dibungkus kain atau dedaunan. Maksudnya
jangan sampai
kulitnya memantulkan cahaya saat
terkena sinar
matahari. Jika sampai memantulkan
cahaya, maka ke
mana pun kau pergi akan diketahui oleh
musuh. Dan
lagi, Bocah Emas itu menyebarkan aroma
wangi cendana.
Jadi jika dibungkus kain atau apa saja,
maka aroma itu
tidak menyebar ke mana-mana."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. "Ya, akan
kuperhatikan
pesanmu itu."
"Satu
lagi, jangan sampai bocah itu menangis. Jika ia
menangis, air
matanya akan berubah menjadi emas, dan
pihak musuh
dapat memunguti emas itu yang akhirnya
akan menemukan
arah pelarianmu."
"Akan
kuusahakan agar bocah itu tertawa terus," kata
Suto dengan
senyum mantap. Pundak sahabatnya
ditepuk satu
kali. Pluuuk...!
"Percayalah,
semua akan berjalan lancar! Kau tak
perlu cemas dan
tetap bertindak sebagaimana yang kita
rencanakan
tadi."
"Baik.
Hanya saja...," ucapan itu terhenti karena
mereka
mendengar suara kunci pintu dibuka. Wajah
cantik
berhidung mancung muncul. Suto segera melirik
pada belahan
dada perempuan itu. Ternyata dada itu
mempunyai tato
bergambar kelabang merah. Berarti
bukan Dewi Kun
yang datang, melainkan Dewi Sun.
"Sudah tak
ada waktu lagi untuk bersantai ria,
Pendekar
Banci!" ucap Dewi Sun, rupanya masih
dongkol dengan
kegagalannya bercumbu dengan Suto.
"Aku butuh
waktu sebentar lagi. Ada yang ingin
kubicarakan
dengan Elang Samudera!"
"Tidak ada
waktu lagi!" gertaknya. "Kakakku
memanggilmu.
Kalian akan segera berangkat!"
"Maksudmu,
aku dan Elang Samudera?"
"Kau dan
kakakku!" sentak Dewi Sun tampak
bermusuhan
sekali dengan Suto.
Pendekar Mabuk
menarik napas dalam-dalam.
Matanya
memandang Elang Samudera yang tampak
menggeram ingin
lepaskan pukulan kepada Dewi Sun.
Tapi satu
kedipan mata Suto sudah cukup sebagai isyarat
agar Elang
Samudera menahan emosinya.
Dewi Sun segera
membawa Pendekar Mabuk ke
serambi depan.
Ternyata serambi yang dimaksud adalah
ruangan besar
tanpa dinding samping kanan-kiri, seperti
pendopo. Di
sana telah berkumpul beberapa wanita
muda yang
mempunyai paras cantik-cantik. Jumlahnya
sekitar dua
puluh lima orang. Tetapi dua wajah kembar
berada di sisi
lain. Dua wajah kembar itu adalah Dewi
Kun dan Dewi
Mul. Mereka segera pandangi Suto
Sinting yang
melangkah bersama Dewi Sun dengan
senyum tipis
membias bak menyebarkan daya tarik
kepada setiap
mata yang ada di situ.
Dewi Sun
hentikan langkah di samping Dewi Kun,
sedangkan Suto
berada di sebelah kiri Dewi Sun. Tapi
kejap kemudian
tangannya ditarik oleh Dewi Kun,
hingga ia
berdiri berdampingan dengan Dewi Kun
menghadap para
wanita cantik yang berpakaian seronok
itu.
Dewi Kun bicara
kepada mereka dengan berwibawa.
"Hari ini
aku akan berangkat mencari Bocah Emas
didampingi oleh
Pendekar Mabuk ini!"
"Oooo...?!"
mereka menggumam kagum, sepertinya
baru tahu bahwa
pemuda tampan itu adalah orang yang
sering didengar
kabarnya melalui percakapan dari mulut
ke mulut.
Agaknya mereka belum tahu bahwa ketua
mereka telah
berhasil menawan Pendekar Mabuk,
sehingga gumam
kekaguman mereka terdengar secara
serempak.
"Kalian
dan kedua adikku; Dewi Mul serta Dewi Sun,
bertugas
mempertahankan kuil ini dari gangguan siapa
pun, terutama
orang-orang Bukit Sulang. Dalam waktu
empat hari, aku
akan kembali baik tanpa Pendekar
Mabuk maupun
bersama Pendekar Mabuk. Jika dalam
waktu empat
hari aku tidak kembali, berarti aku tewas di
perjalanan atau
di tangan Ratu Lembah Girang. Jika
dalam empat
hari Pendekar Mabuk tidak kembali ke sini
membawa Bocah
Emas, maka temannya yang bernama
Elang Samudera
harus kalian bunuh sebagai imbalan
kegagalannya
mendapatkan Bocah Emas itu!"
Pendekar Mabuk
hanya manggut-manggut sambil
tersenyum-senyum.
Seakan ia tak merasa kaget dan
khawatir dengan
ancaman yang baru saja dilontarkan
Dewi Kun itu.
Setelah
meninggalkan berbagai pesan, Dewi Kun
segera
berangkat bersama Pendekar Mabuk menuju ke
istana Lembah
Girang. Mereka pergi dengan
menunggang
seekor kuda secara berboncengan. Dewi
Kun yang duduk
di belakang, sedangkan Suto Sinting
sebagai
pengemudinya. Tetapi arah gerakan kuda
tergantung
petunjuk dari Dewi Kun.
Dewi Kun
sengaja duduk di belakang sambil
memeluk Suto
Sinting, agar jika terjadi sesuatu ia
terlindung oleh
tubuh Suto, dan jika Suto ingin berbuat
sesuatu ia
leluasa mencegahnya. Karena Dewi Kun
memeluknya dari
belakang, maka bumbung tuak
terpaksa
disilangkan ke depan dada. Dengan begitu
pelukan Dewi
Kun tidak terganjal oleh bumbung tuak.
Sebelum
berangkat tadi, Suto sempat meminta agar
bumbungnya
dipenuhi oleh tuak. Dewi Sun
mengambilkan
tuak terjelek dan rasanya tak sedap.
Tetapi ia tidak
tahu, bahwa tuak apa pun yang masuk ke
bumbung sakti
itu akan menjadi tuak yang sedap dan
berkhasiat
tinggi.
Perjalanan
menuju ke istana Lembah Girang
ditempuh dengan
berkuda memakan waktu setengah
hari. Hanya
saja, baru mencapai seperempat hari tiba-
tiba kuda itu
harus memperlambat larinya.
"Ada mayat
di sebelah sana!" ujar Dewi Kun sambil
menunjuk ke
suatu arah. Suto Sinting diperintahkan
mendekati mayat
itu. Ternyata ada tiga mayat yang
tergeletak
dalam keadaan luka parah. Dewi Kun
memeriksanya
dari atas punggung kuda.
"Sepertinya
mayat orang-orang Lereng Hitam!" kata
Dewi Kun.
"Apakah
kau kenal dengan orang-orang Lereng
Hitam?"
"Kukenali
dari ikat kepala mereka yang selalu
berbentuk
runcing ke atas!"
"Hmmm...!"
Suto-menggumam sambil ikut
memandangi tiga
mayat itu dengan menggerakkan
kudanya
memutari mayat tersebut.
"Sepertinya
mereka luka tercabik-cabik oleh binatang
buas,"
tambah Suto setelah Dewi Kun lama tidak
memberi
komentar apa-apa.
"Ya,
sepertinya memang mereka dimangsa oleh
binatang buas.
Tapi perhatikan, tidak ada bagian tubuh
mereka yang
hilang dimakan binatang buas. Seandainya
seekor singa
atau harimau hutan, pasti salah satu anggota
tubuh mereka
ada yang hilang. Tapi nyatanya mereka
hanya
tercabik-cabik dan keadaan dadanya jebol."
"Mungkin
bagian dalam tubuh mereka yang diambil,
seperti
jantung, paru-paru atau yang lainnya!"
"Entahlah.
Yang jelas, mereka tampak baru saja
mengalami kematiannya. Darah mereka belum sempat
kering betul.
Dan menurut dugaanku, bukan binatang
buas yang
melakukannya. Pasti dari pihak musuh
mereka."
"Siapa
musuh orang-orang Lereng Hitam itu?!"
"Siapa
lagi kalau bukan orang-orang Bukit Sutang
yang rakus akan
wilayah kekuasaan."
Suto memandang
ke arah sekeliling. Tiba-tiba ia
temukan
bayangan mayat tergeletak di bawah pohon
seberang sana.
"Sepertinya
di sana juga ada korban lagi!" Lalu tanpa
menunggu
perintah Dewi Kun, ia memacu kudanya ke
arah yang
dimaksud.
"Hmmm...
dugaanku pasti benar. Mereka orang-orang
Lereng Hitam
yang dibunuh oleh orang-orang Bukit
Sulang,"
ujar Dewi Kun setelah memperhatikan
sekeping logam
yang menancap di pohon tersebut.
Logam itu
berbentuk seperti kelopak bunga.
"Ini
senjata milik orang-orang Bukit Sulang!"
"Tapi
apakah karena senjata itu maka mayat-mayat
ini mati dalam
keadaan tercabik-cabik begitu?!"
"Seharusnya
kematian mereka tidak separah ini!"
sambil Dewi Kun
membuang senjata rahasia berbentuk
kelopak bunga
yang tadi dicabutnya dari pohon.
Kemudian ia
naik kembali ke punggung kuda, karena
saat mau
mencabut senjata rahasia itu ia sempatkan diri
untuk turun
dari punggung kuda.
Namun baru saja
Dewi Kun duduk di belakang Suto,
tiba-tiba
sekeping logam menyambar mereka dari arah
kanan.
Ziiing...!
"Awas!"
seru Pendekar Mabuk sambil tangan
kanannya
berkelebat ke samping. Teeb...! Tahu-tahu dua
jarinya telah
menjepit sekeping logam bundar berbentuk
kelopak bunga
yang bagian tepinya mempunyai
keruncingan dan
ketajaman melebihi mata pisau.
Dewi Kun sempat
terkejut dan menjadi tegang setelah
mengetahui jari
Suto menjepit senjata rahasia seperti
yang tadi
dicabut dari pohon. Dewi Kun segera berbisik
pelan dari
belakang Pendekar Mabuk.
"Turun!
Orang-orang Bukit Sulang ada di sekitar
sini!"
"Apakah
menurutmu kita telah terkepung?!"
"Kita
lihat saja nanti!" sambil Dewi Kun mendahului
lompat dari
punggung kuda. Wees...! Jleeg...!
*
* *
7
PENDEKAR MABUK
justru turun dari kuda dengan
pelan-pelan. Ia
bersikap tenang sekali, walau sebenarnya
memasang
kewaspadaan tinggi. Bahkan ia sempat
mengikat tali
kekang kuda ke ranting-ranting semak.
Setelah itu
baru melangkah dekati Dewi Kun sambil
memandang ke
sekelilingnya. Sedangkan Dewi Kun
tampak tegang
dan sudah menghunus pedangnya yang
menyilang di
punggung.
"Jangan
santai-santai saja, Tolol! Kita diancam
bahaya tak
diketahui dari mana datangnya!" omel Dewi
Kun dengan nada
gerutu dari suara pelan seperti orang
menggeram.
Suto Sinting
memindahkan bumbung tuaknya yang
menyilang di
dada ke pundak. Kini bumbung tuak itu
tergantung di
pundak dan sewaktu-waktu siap
digunakan.
"Kita
tunggu saja serangan berikutnya," ujar Suto.
"Perhatikan
arah datangnya serangan berikutnya nanti.
Maka kita akan
mengetahui di mana bahaya itu berada!"
Dewi Kun yang
sedikit membungkuk dengan
memasang
kuda-kuda dan menggenggam pedang, kini
menjadi tegak
dan tidak setegang tadi. Karena setelah
ditunggu
beberapa saat lamanya, ternyata serangan
berikutnya
tidak kunjung tiba. Sedangkah senjata rahasia
yang tadi
ditangkap Suto Sinting itu tidak diketahui dari
mana datangnya.
Memang berasal dari sebelah kanan
mereka alias
sebelah barat, tapi di sebelah barat
banyak
pohon rimbun
dan semak belukar. Tak bisa dipastikan
apakah
penyerangnya ada di atas pohon atau di bawah
pohon.
Jurus 'Lacak
Jantung' segera digunakan oleh
Pendekar Mabuk.
Dengan menggunakan jurus 'Lacak
Jantung' maka
ia dapat mendengarkan detak jantung
seseorang
selain dari mereka berdua.
"Oh,
gawat!" gumam SutoSinting baru mulai sedikit
menegang.
"Ada
apa?!" tanya Dewi Kun yang tak mengerti
bahwa Suto
mempunyai jurus 'Lacak Jantung' itu.
"Ternyata
kita telah terkepung."
"Dari mana
kau tahu?!"
Suto mulai
melilitkan tali bumbung tuaknya di tangan
kanan sebagai
persiapan hadapi serangan lawan.
"Aku
menangkap detak jantung yang lebih dari tujuh
orang, selain
kita berdua. Detak jantung itu kudengarkan
berasal dari depan kita, kiri, kanan dan belakang
kita.
Suaranya riuh
gaduh, pertanda jumlah mereka lebih dari
tujuh
orang."
"Kalau
begitu bersiaplah! Jangan santai-santai saja!"
"Apakah
kau melihat aku masih santai-santai saja?!
Lihat gayaku
ini, hmmm... ini gaya orang yang siap
tempur!"
ujar Suto agak konyol dengan memamerkan
gayanya yang
sedikit merundukkan badan dan
menggenggam
tali bumbung tuak kuat-kuat.
"Lihat
lirikan mataku ini," ujarnya lagi bernada
konyol.
"Hmmm... ini lirikan mata menangkap mangsa.
Terutama
wanita...," sambil Suto memperagakan lirikan-
lirikan matanya
yang diterima Dewi Kun sebagai
kekonyolan tak
lucu.
Sebelum Dewi
Kun katakan sesuatu, tiba-tiba mereka
diserang dengan
beberapa senjata rahasia yang meluncur
dari berbagal
arah. Ziing, ziing, ziing, ziiing...!
"Awas!"
seru Suto Sinting sambil lakukan satu
lompatan
melambung ke atas melebihi ketinggian benda-
benda terbang
itu. Wuuut...! Sementara Dewi Kun tetap
di tempat dan
mengibaskan pedangnya dengan cepat ke
berbagai arah,
bahkan sempat berputar dengan gerakan
seperti
gangsing.
Wees...! Trang,
tring, tring, trang, triiing...!
Jleeg...! Suto
Sinting daratkan kaki ke tanah. Tepat
ketika itu
senjata-senjata rahasia sudah tersingkirkan
oleh tebasan
pedang Dewi Kun.
Suasana menjadi
sepi kembali. Tak ada gerakan tak
ada suara. Mata
Dewi Kun memandang liar dengan sikap
berjaga-jaga.
Suto Sinting agak tenang sedikit walau
tetap melirik
dengan jeli ke keadaan sekitarnya.
Sesaat
kemudian, Dewi Kun berbisik kepada Suto.
"Pancing
dengan pukulan jarak jauhmu!"
"Pukulanku
tidak boleh jauh-jauh," kata Suto. "Kalau
jauh-jauh nanti
nyasar!"
"Kau tidak
bersungguh-sungguh menghadapi bahaya
ini!"
geram Dewi Kun yang merasa mendapat jawaban
konyol.
Akhirnya ia sendiri yang melakukan pukulan
jarak jauh.
Tangan kirinya
menyentak ke depan, dan dari telapak
tangan melesat
sinar merah sebesar jari kelingking.
Claaap...!
Blaaarr...!
Krraaaak...
brruuk...!
Sebatang pohon
tumbang dalam keadaan
mengepulkan
asap karena dihantam oleh sinar merah itu.
Clap, clap,
clap...!
Blarr, blaar,
blaar...!
Beberapa pohon
menjadi rusak. Hancur dan tumbang
tak tentu arah.
Tetapi satu pun tak ada suara pekikan
yang didengar
mereka. Berarti pukulan-pukulan jarak
jauhnya Dewi
Kun tidak kenai lawan yang bersembunyi.
Suasana menjadi
hening kembali. Hanya suara
dedaunan yang
gemerisik karena hembusan angin. Satu
suara batuk pun
tak didengar oleh mereka. Pendekar
Mabuk kembali
pergunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya
yang tadi.
"Lho...?
Lho, kok begini?!" gumamnya pelan, namun
terdengar di
telinga Dewi Kun.
"Ada apa
lagi?!"
"Tak ada
suara detak jantung satu pun, kecuali
jantungku dan
jantungmu! Aneh...?!" Pendekar Mabuk
kerutkan dahi
sambil bergeser memutar pelan-pelan.
"Mengapa
jadi sepi sekali begini?! Tadi kudengar
banyak suara
detak jantung dari berbagai arah. Sekarang
tak satu pun
ada suara detak jantung selain detak jantung
kita. Apakah
Jurus 'Lacak Jantung'-ku sudah rusak?!"
Setelah
ditunggu sampai beberapa saat lamanya tak
muncul serangan
lagi, Dewi Kun memutuskan untuk
lanjutkan
langkah dan tidak perlu hiraukan serangan
mereka. Suto
Sinting akhirnya sepakat untuk lanjutkan
perjalanan.
Tapi baru saja
mereka mendekati kuda hitam yang
tadi mereka
tunggangi, tiba-tiba tiga benda mengkilap
melesat dari
tiga arah. Zing, zing, zing...! Suto Sinting
yang lebih dulu
dekat dengan kuda segera bersalto ke
belakang sambil
berteriak cepat.
"Mundur!"
Dewi Kun yang
belum memasukkan pedangnya ke
sarung pedang
juga segera lakukan lompatan bersalto ke
belakang dengan
lincahnya.
Wuk,
wuk...!
Jleeg...! Kini
keduanya sama-sama berdiri tiga
langkah dari
kuda hitam. Benda-benda yang melayang
cepat itu
memang tidak mengenai kulit tubuh mereka.
Tetapi malang
bagi sang kuda, benda-benda itu akhirnya
menancap di
tubuh kuda hitam. Jrub, jrub, jruub...!
"Hieeeekhhh...!"
Kuda itu
meringkik panjang bagai menjerit kesakitan.
Kaki depannya
naik ke atas dan mengais-ngais.
Kemudian kuda
itu segera roboh sambil kelojotan
membuat Dewi
Kun dan Pendekar Mabuk sama-sama
tegang. Mereka
saling beradu punggung dan bergerak
memutar sambil
memandang penuh waspada.
Suasana jadi
tenang kembali. Suara kuda pun sudah
tak ada karena
kuda ttu sudah tak mau bernapas lagi
alias mati.
Badan kuda tampak berasap tipis, luka akibat
ditembus
senjata rahasia itu mengepulkan asap agak
tebal. Darah
yang keluar dari luka berwarna hitam,
menandakan
racun yang ada pada senjata rahasia itu
sangat ganas
dan mematikan.
"Jahanam!
Mereka membunuh si Keling!" ujar Dewi
Kun dengan
geram kemarahan melihat kudanya yang
bernama si
Keling mati secara mengenaskan.
"Agaknya mereka
ingin mempermainkan kita!
Berjaga-jagalah
di sini, aku akan mengelilingi tempat
ini!"
Sebelum
mendapat izin atau keputusan dari Dewi
Kun, Pendekar
Mabuk sudah lebih dulu melesat
menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaaap, zlaap,
zlaap...!
Dewi Kun
bengong melihat gerakan Suto yang
kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya itu, ia tak
menyangka kalau
Pendekar Mabuk mampu bergerak
secepat itu.
Bahkah menurutnya kecepatan gerak
tersebut
melebihi kecepatan setan lari terbirit-birit.
Suto mengelilingi
tempat tersebut. Matanya
memandang
dengan tajam dan teliti sekali. Namun
ternyata tak
satu pun manusia yang ditemukan di sekitar
tempat itu. ia
segera kembali temui Dewi Kun. Zlaaap...!
Namun alangkah
kagetnya ketika ia menemukan
tempat itu telah
kosong. Dewi Kun tidak ada di
tempatnya
semula. Mata Suto memandang sekeliling
kembali,
mencari gerakan Dewi Kun, tapi ia tetap tidak
menemukan
gerakan apa-apa.
"Dewi
Kun...! Dewi Kun...!" panggilnya sambil
bergerak
memutar pelan-pelan.
"Kuuun...!
Kuntilanak...!" teriaknya sengaja meledek
supaya Dewi Kun
berang dan keluar dari suatu tempat.
Namun pancingan
itu ternyata tidak membuat Dewi Kun
menampakkan
diri dari suatu tempat. Hal itu membuat
Suto menjadi
bingung dan curiga.
"Ke mana
dia?! Apakah ditelan bumi? Hmmm...
sepertinya tak
mungkin," sambil Suto memandangi tanah
tempatnya
berpijak.
"Tak ada
tanda-tanda tanah habis retak. Berarti Dewi
Kun tidak
ditelan bumi. Lalu... ditelan siapa kalau
begitu?!"
Pendekar Mabuk
berjalan mengelilingi tempat itu.
Tak terlalu
jauh dari tempat bangkai kuda tergeletak dan
sekarang dalam
keadaan menjadi lunak hampir
membusuk. Tapi
yang tercium oleh Suto kala itu bukan
bau bangkai
yang membusuk, melainkan bau wangi
cendana yang
samar-samar. Pendekar Mabuk sempat
merinding
dicekam ketegangan yang misterius sekali.
Untuk
menghilangkan ketegangan itu, Pendekar Mabuk
terpaksa
berteriak-teriak memanggil Dewi Kun kembali
"Dewi
Kuuun...! Kuuun...! Kuntilanaaak...!"
Lalu hati pun
membatin, "Wah, kalau yang keluar
benar-benar
kuntilanak, repot aku!"
Setelah
memeriksa sekeliling ternyata tidak ada Dewi
Kun, dan
pedangnya pun tak ada, tetesan darah juga tak
ada, akhirnya
Suto memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu, kembali
ke Kuil Perawan Ganas. Karena jika
ia teruskan
langkah, ia tidak tahu arah Gunung Sambara
atau arah
istana Lembah Girang.
Namun baru saja
ia ingin bergerak pulang, tiba-tiba
melesatlah dua
logam dari arah kanan-kirinya yang
menerjang ke
tubuhnya. Ziiing, ziiing...!
Dengan
merendahkan satu kaki ke belakang dan
mengibaskan
bumbung tuaknya, dua benda melayang itu
berhasil
ditangkis menggunakan bumbung tuak tersebut.
Trang,
trang...! Suara benda membentur bambu tuak
seperti logam
membentur bumbung besi. Bagi Suto itu
bukan hal aneh.
Yang paling aneh adalah munculnya
senjata rahasia
tadi. Gerakan mata Suto sempat
menangkap
keluarnya benda berbahaya itu yang ternyata
dari dalam
batang pohon.
"Benda itu
tadi keluarnya bukan dari atas pohon,
melainkan dari
dalam batang pohon?! Aneh sekali?!
Apakah aku
salah lihat?!" gumamnya sambil berkerut
dahi dan
pandangi salah satu pohon yang dilihatnya
mengeluarkan
senjata rahasia beracun ganas itu. Lalu,
pohon tersebut
dihampirinya dan diperiksa. Ternyata
pada salah satu
sisinya tampak ada bekas lubang pipih
yang seukuran
dengan lebarnya senjata rahasia tadi.
"Hmmm...!
Dari lubang ini benda itu tadi muncul dan
menyerangku.
Aneh sekali dan baru kali ini kutemukan
ada pohon bisa
keluarkan senjata rahasia. Apakah di
dalamnya ada
orang yang melemparkan senjata itu?!"
Rasa penasaran
membuat Suto Sinting akhirnya
menghantam
pohon itu dengan jurus 'Mabuk Lebur
Gunung', yaitu
gerakan menggeloyor seperti mau jatuh
namun ternyata
menyodokkan bumbung tuaknya ke
pohon tersebut.
Wuuk, duuukh...!
Beewwrr...!
Krraaak...!
Daun pohon itu
rontok semua. Pohon itu sendiri
segera terbelah
menjadi dua memanjang dari bawah ke
atas. Tapi di
dalamnya ternyata tidak ada manusia siapa
pun. Akibat
sodokan bambu tuak tadi, tubuh Suto
menjadi
dihujani daun-daun yang berguguran. Akhirnya
ia menggerutu
sendiri sambil menebah-nebah tubuhnya,
menyingkirkan
daun-daun yang menghujaninya.
"Sialan!
Tubuhku malah jadi seperti sarang burung
begini!"
gurutunya dalam hati, tapi mata tetap waspada
memandang
keadaan sekeliling.
"Ternyata
tak ada orang di dalam batang pohon itu!
Tapi mengapa
bisa keluarkan senjata rahasia?! Anehnya,
senjata itu
bisa diarahkan tepat ke tubuhku. Kalau aku
tak segera
lakukan tangkisan, nasibku bisa seperti kuda
si Keling
itu!"
Pendekar Mabuk
merasa menghadapi tantangan yang
aneh dan baru
kali ini dialaminya, ia terpaksa memeriksa
pohon yang
satunya lagi. Di pohon itu juga ada bekas
keluarnya
senjata rahasia, ia memeriksa bagian
belakangnya,
ternyata tak ada lubang tempat masuknya
senjata
tersebut.
"Bagian
sini rapat! Berarti senjata itu tidak
dilemparkan
dari sisi sini dan menembus batang pohon!
Tapi memang
keluar dari dalam batang pohon. Hmmm...
apakah pohon
itu adalah pohon setan?! Bisa menyerang
orang yang
tidak disukai dengan senjata rahasia seganas
itu?! Tapi
jenis pohon ini dengan jenis pohon yang
kupecahkan tadi
berbeda. Kenapa bisa sama-sama
keluarkan
senjata rahasia? Ah, kurasa ada sesuatu yang
tak beres di
tempat ini!" ucapnya membatin sambil
bergidik
merinding.
Tiba-tiba
kesunyian itu dipecahkan oleh suara jeritan
yang melengking
panjang dan berasal dari kejauhan.
"Aaaaa...!"
"Apa lagi
itu?!" gumamnya dalam hati sambil mata
memandang arah
datangnya jeritan. "Jangan-jangan
Dewi
Kun?!"
Pendekar Mabuk
pun bergegas melesat ke arah
datangnya
jeritan tadi. Dengan menerabas semak ia
berkelebat
cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Dalam waktu
singkat ia tiba di suatu tempat yang
berpohon
renggang. Di sana ia temukan seseorang
sedang
kelojotan dalam keadaan tubuhnya berlubang
pipih. Ada tiga
tempat yang mengalami luka seperti
ditancap oleh
senjata rahasia, yaitu ba gian ulu hati, leher
dan tengah
dahi.
Ketika Suto
mendekati orang itu, nyawa orang itu
terburu-buru
pergi sehingga orang tersebut tak bisa
diajak bicara.
Orang itu adalah seorang lelaki gemuk,
brewokan,
berkulit gelap, dan berwajah sangar. Ketika
menghembuskan
napas terakhir, matanya terbuka lebar
dan tak mau
terpejam lagi selamanya. Suto merasa ngeri
memandang wajah
mayat yang mulutnya terbuka dan
lidahnya
terjulur itu.
"Gila!
Senjata rahasia itu terbenam habis ke dalam
tubuhnya!''
ujarnya membatin sambil tinggalkan mayat
berpakaian
serba hitam yang mengenakan ikat kepala
merah itu.
Kemudian ia memandangi semak-semak dan
pohon di
sekitar tempat itu. Ternyata tak ada satu pun
manusia yang
terlihat bersembunyi di semak ataupun
pohon tersebut.
Suasana menjadi
lengang kembali. Sepi tanpa suara
dan gerakan
mencurigakan. Hanya gemerisik dedaunan
yang terdengar
karena hembusan angin. Namun
hembusan angin
itu juga menyebarkan aroma cendana
yang lebih
jelas lagi dari saat berada di dekat bangkai
kuda. Wangi cendana
itu membuat Suto Sinting
merinding, bulu
kuduknya jadi berdiri, ia seperti
terancam bahaya
yang mengelilinginya. Bahkan ia
merasa nyawanya
tinggal seujung jarum lagi.
*
* *
8
SEKELEBAT
bayangan kali ini terlihat melintasi
pepohonan bambu
hijau yang tumbuh lurus-lurus.
Bayangan orang
berlari menjauhi tempat itu tampak
mengenakan
pakaian merah. Pendekar Mabuk langsung
teringat rompi
dan celana mini Dewi Kun yang juga
berwarna merah.
"Tak salah
lagi, pasti dialah orangnya!" pikir Suto. Ia
pun berseru
memanggil, "Dewi Kun...! Hei, tunggu...!"
Zlaaaap...!
Zlaaap...!
Pengejaran
dilakukan dengan gunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Tapi
pengejaran pun segera dihentikan ketika
di sisi lain
tampak sekelebat bayangan berlari searah
dengan gerakan
Suto. Bayangan itu berada di sebelah
kirinya,
sehingga Suto menjadi bingung. Mana yang
harus
diburunya; bayangan merah atau bayangan hitam
yang di sebelah
kirinya?
"Orang
berbaju merah tadi yang harus kukejar lebih
dulu, karena
aku yakin dia adalah Dewi Kun!"
Zlaaap...!
Zlaaap...!
Dari sela-sela
rumpun bambu yang tumbuh secara
renggang itu,
Pendekar Mabuk nyaris kehilangan jejak
bayangan merah
yang dikejarnya. Setitik warna merah
yang bergerak
menjauhinya masih tertangkap oleh
pandangan mata.
Tetapi mendadak muncul bayangan
lain di sebelah
kanannya yang bergerak cepat bagaikan
angin. Bayangan
berwarna biru itu melesat cepat searah
dengan pelarian
bayangan merah juga. Ia menelusup di
antara
sela-sela batang bambu yang tumbuh lurus dan
berjarak
renggang. Wes, wes, wes...!
"Ada tiga
bayangan yang bergerak searah?! Jarak
mereka memang
saling berjauhan, tapi mengapa
gerakannya
searah? Siapa yang dikejar dan yang
mengejar
sebenarnya?!" gumam Suto dalam
kebingungan.
Tetapi kejap
berikutnya Pendekar Mabuk dikejutkan
oleh munculnya
cahaya kuning yang melompat dari
pohon bambu ke
pohon bambu lainnya. Cahaya kuning
itu meluncur
cepat dalam ketinggian yang sukar
dijangkau.
Laaap, laaap, laaap...!
Di samping
gerakannya sangat cepat, perpindahan
tempatnya tidak
beraturan. Kadang lurus, kadang ke kiri,
kadang
nyelonong ke kanan. Bayangan memancarkan
cahaya kuning
itu berbentuk seperti gumpalan asap,
namun tidak
mengepul dan tidak buyar. Bahkan
cenderung
seperti benda padat yang dilapisi cahaya
kuning
seluruhnya. Dari tempat Suto berdiri, cahaya
kuning itu
berukuran sebesar buah nangka.
"Sial!
Makin bingung saja aku dibuatnya. Mana yang
harus kukejar
atau kuikuti gerakannya?! Tapi cahaya
kuning itu juga
menarik perhatian dan membuatku
penasaran. Apa
sebenarnya cahaya kuning itu?"
Akhirnya
Suto memutuskan untuk mengejar cahaya
kuning itu.
Tapi gerakan cahaya kuning lebih cepat dari
gerakan
bayangan lainnya. Pendekar Mabuk terpaksa
kerahkan tenaga
untuk menyusul cahaya kuning dan jika
memungkinkan
ingin menangkap atau melumpuhkan
cahaya kuning
tersebut. Sambil berlari cepat Suto selalu
mendongak ke
atas mengikuti gerakan cahaya kuning
yang berpindah
tempat dengan arah membingungkan.
Tak disadari
ternyata dirinya sampai di sebuah
gundukan tanah
cadas yang menyerupai bukit rendah.
Gundukan tanah
cadas itu mempunyai permukaan tak
rata karena
banyak bebatuan yang bertonjolan dan
membentuk
sekat-sekat sempit. Pendekar Mabuk
akhirnya
berhenti di balik bebatuan pipih yang mirip
lempengan
dinding itu.
Dari atas
gundukan tanah cadas itu, mata Suto dapat
melihat sesosok
tubuh berpakaian hitam yang berdiri di
tengah tanah
datar dikelilingi pohon bambu yang
tumbuh lurus
dan renggang itu. Orang berpakaian hitam
yang tadi
terlihat bergerak cepat di samping kiri Suto
ternyata
seorang lelaki berkumis lebat dengan ikat
kepala dari
kain batik berbentuk runcing ke atas.
Menurut
penjelasan Dewi Kun, bentuk ikat kepala yang
runcing ke atas
itu adalah ciri orang-orang Lereng
Hitam.
"Kurasa
dia memang orang Lereng Hitam yang
sedang dikejar
orang Bukit Sulang. Mungkinkah
bayangan biru
tadi adalah orang Bukit Sulang?!"
Pendekar Mabuk
masih memperhatikan dari satu
celah di antara
dua batu pipih. Orang berpakaian hitam
itu tampak
kebingungan dan berwajah tegang.
Senjatanya yang
berupa kampak digenggam dengan
tangan kanan,
sementara tangan kirinya merentang bagai
menghadang
gerakan lawan.
Tiba-tiba mata
Suto menangkap gerakan halus yang
ada di atas
salah satu pohon bambu hijau itu. Gerakan
halus tersebut
ternyata adalah cahaya kuning yang
berkilauan
bagaikan emas menggantung di batang pohon
bambu. Karena
pancaran sinarnya menyilaukan, maka
Suto Sinting
terpaksa mengecilkan pupil matanya untuk
menangkap
bentuk di balik cahaya kuning menyilaukan
itu.
Tetapi sebelum
matanya berhasil menangkap bentuk
asli cahaya
kuning menyilaukan itu, tiba-tiba
pandangannya
harus berpindah ke arah lain. Di sana
muncul seorang
berpakaian serba biru yang berambut
panjang dan
berkumis serta brewokan. Orang itu
menggenggam
sebilah pedang besar dan bersikap
menghadang
orang berpakaian hitam.
"Oh, itu
tadi orang yang berlari di sebelah kananku?!
Hmmm... dilihat
dari sikapnya dalam berhadapan
dengan orang
berpakaian hitam, tampaknya mereka
bermusuhan.
Tapi sebaiknya kutunggu saja di sini apa
yang terjadi di
antara mereka berdua."
Jarak Suto
dengan kedua orang itu tak seberapa jauh,
sehingga
percakapan mereka dapat didengar dari celah
dua batu pipih
itu. Yang berpakaian biru berseru lebih
dulu dengan
nada berang.
"Ke mana
pun kau bersembunyi dan melarikan diri,
tetap saja akan
bertemu denganku, Sargulo!"
"Jangan
salah duga, Bawoka! Aku bukan lari dari
tantanganmu!
Ada sesuatu yang lebih ganas dari orang-
orang Bukit
Sulang sepertimu, Bawoka!"
"Kau hanya
beralasan untuk hindari hutang
nyawamu,
Sargulo! Kau harus menebus kematian
kakakku; si
Gembongsuro yang pasti telah kau bunuh
secara licik!
Tiga lubang kutemukan di tubuh kakakku;
Gembongsuro.
Satu di ulu hati, satu di leher dan satu
lagi di Jengah
kening. Kau pasti melepaskan senjata
rahasia secara
sembunyi-sembunyi. Jika tidak, tak
mungkin
Gembongsuro tewas di tanganmu!"
"Aku tidak
membunuh Gembongsuro!" bentak si baju
hitam yang
bernama Sargulo itu. "Kalau aku bisa
membunuh
Gembongsuro, mengapa aku harus lari.
Justru itu
merupakan kebanggaanku! Jika aku bisa
membunuhnya,
mengapa aku harus takut padamu!
Bukankah aku akan lebih mudah membunuh adiknya
daripada si
Gembongsuro sendiri?!"
"Jangan
banyak bacot! Hadapi saja pembalasanku
ini...!"
Bawoka baru mau
bergerak mengangkat pedang
besarnya,
tiba-tiba Suto melihat dari dalam sebatang
pohon bambu
keluar cahaya putih yang ternyata adalah
sekeping logam
berbentuk kelopak bunga yang
merupakan
senjata rahasia beracun mematikan itu.
Ziiiing...!
Gerakan itu
dapat dilihat Suto dengan jelas, karena
pada waktu itu
kebetulan Suto sedang menatap gerakan
bayangan merah
yang bersembunyi di balik tiga pohon
bambu yang
tumbuh merapat. Di depan tiga pohon
bambu itu ada
sebatang pohon bambu pula yang tumbuh
lurus
sendirian, dan dari pohon bambu itulah senjata
rahasia itu
melesat menghantam tengkuk kepala
Bawoka.
Jraaab...!
"Aaaakh...!"
Bawoka mendelik dengan tubuh kejang.
Ia masih
memaksakan diri untuk melangkah dekati
Sargulo, tetapi
baru dua langkah sudah roboh dalam
keadaan tak
bernyawa lagi. Dari luka di tengkuknya
mengalir darah
hitam seperti yang dialami nasib kuda si
Keling itu.
Sargulo justru
terbengong di tempat melihat kematian
lawannya yang
tak diduga-duga itu. Wajah tegang lelaki
bertubuh besar
itu membuat Suto Sinting memperhatikan
dengan tegang
pula. Sekejap kemudian mata Suto
berpindah ke
bayangan merah yang bersembunyi di
balik tiga
bambu yang tumbuh merapat itu.
Namun pandangan
itu segera terhenti pada sebatang
bambu yang
tumbuh lurus sendirian dalam jarak tak jauh
dari
persembunyian si bayangan merah.
Pandangan Suto
tertuju di bagian atas bambu
tersebut.
Ternyata di sana telah bertengger cahaya
kuning yang
sekarang tidak menyilaukan lagi. Cahaya
itu meredup dan
sosok wujud di balik cahaya itu
menampakkan
diri. Pendekar Mabuk terkejut sekali
melihat bocah
kecil berkepala gundul tapi berkulit
kuning keemasan
sedang berdiri di salah satu ranting
kecil dari
pohon bambu itu. Tanpa ilmu peringan tubuh,
ranting itu
pasti akan patah ditumpangi tubuh bocah
tersebut. Suto
sempat terbengong melompong melihat
bocah kecil
telanjang dada hanya mengenakan celana
model cawat
berwarna kuning keemasan pula.
"Bocah
Emas...?!" pekik hati Suto begitu menyadari
apa yang
dipandangnya sejak tadi.
Bocah yang
tingginya hanya seukuran tinggi pinggul
Suto sedang
bertolak pinggang memandangi Sargulo.
Dan tiba-tiba
pandangan matanya beralih pada sebatang
pohon bambu
yang tumbuh di samping kiri Sargulo.
Tangan bocah
itu menuding ke arah pohon bambu, lalu
bergerak cepat
menuding Sargulo. Pada saat itu juga
Suto Sinting
melihat sekeping senjata rahasia keluar dari
dalam pohon
bambu dan menyerang Sargulo. Ziiiing...!
"O,
rupanya dia yang mengeluarkan senjata rahasia
dari
batang-batang pohon melalui kekuatan gaibnya.
Mungkin dengan
cara memandangi pohon itu, sudah
dapat keluarkan
pisau dari pohon tersebut!" gumam Suto
Sinting dengan
nada kaget. "Dan rupanya dia pula yang
sejak tadi
menyebarkan bau wangi cendana. Terbukti
bau cendana
sekarang semakin tajam dan semerbak
kuat."
Tapi pada saat
itu Sargulo cepat tanggap akan
datangnya
bahaya dari sisi kirinya. Kampaknya segera
berkelebat ke
kiri dengan tubuh bergerak setengah
putaran.
Wuuuut, trrriing...!
Senjata rahasia
itu berhasil dihalau oleh kampak
Sargulo dan
mental entah ke mana. Namun bocah di atas
pohon bambu itu
menuding pohon lainnya, dam dari
pohon itu
melesat kembali sekeping logam berkilat yang
mengarah ke
punggung Sargulo. Ziiiing...!
Sargulo
merasakan ada angin cepat mengarah ke
punggungnya.
Dengan gerakan mengibaskan kapak
setengah
lingkaran, senjata rahasia itu berhasil terhadang
oleh mata kapak
tersebut. Wuuuuuut, trriiing...! Pluk...!
Senjata rahasia
itu jatuh di depan kaki Sargulo.
Dua kali
Sargulo berhasil lolos dari serangan maut
yang sungguh
aneh itu. Tetapi kali ini Bocah Emas itu
melayang cepat
dari atas pohon bambu dan menerjang
Sargulo dari
depan. Wees...! Bocah itu berkelebat dalam
bentuk cahaya merah dan dalam sekejap terdengarlah
suara pekikan
suara Sargulo yang kesakitan.
"Uaaaakhh...!"
Jleeeg...!
Bocah itu
berdiri di atas batu setinggi betis.
Tubuhnya sudah
tidak bercahaya lagi. Matanya yang
bundar kecil
itu memandang ke arah Sargulo yang
mengerang
kesakitan. Suto Sinting membelalakkan mata
juga melihat tangan
Sargulo yang tadi memeganggi
kapak telah
robek bagai tercabik-cabik dari batas siku
sampai telapak
tangan. Kapak pun jatuh depan kaki
Sargulo. Tapi
yang membuat Suto heran, tangan Sargulo
seperti habis
dicakar-cakar oleh kuku binatang buas
sejenis beruang
atau singa. Padahal Suto melihat sendiri
bahwa tangan
itu tadi hanya disambar oleh cahaya
kuning dari
Bocah Emas itu.
"Berarti
mayat-mayat yang kutemukan mati dalam
keadaan
tercabik-cabik itu adalah orang yang dibunuh
oleh Bocah Emas
itu sendiri?! Oooh... alangkah
ganasnya si
Bocah Emas itu?!" pikir Suto Sinting.
Sargulo
terkejut mengetahui penyerangnya si Bocah
Emas. Ia
ragu-ragu untuk membalas serangan bocah itu,
karena tentunya
Sargulo tahu keistimewaan Bocah Emas
tersebut.
Tetapi begitu tangannya yang terluka parah
dirasakan
sangat sakit, Sargulo menggeram dan
bermaksud
menerkam bocah itu dengan satu lompatan
bagai seekor
singa memburu mangsanya.
"Haaaahhrr...!"
Bocah Emas itu
tiba-tiba juga melesat maju dengan
kecepatan
tinggi. Weess...! Ia sengaja menabrakkan diri
ke dada
Sargulo. Bruuuss...! Plooss...!
Pendekar Mabuk
terbelalak kaget, ia menyaksikan
dengan jelas
tubuh bocah itu menembus dada Sargulo
hingga dada itu
jebol dan Sargulo pun tumbang tanpa
nyawa setelah
berkelejot sesaat. Bocah itu berdiri
memunggungi
Sargulo tanpa bekas darah. Namun di
tangannya telah
menggenggam sesuatu yang merah, dan
sesuatu yang
merah itu ternyata adalah jantung Sargulo.
"Gila...?!"
Pendekar Mabuk menggumam lirih dengan
tegang, bulu
kuduknya pun merinding dan jantungnya
berdebar-debar.
Bocah Emas itu
berpaling memandang mayat Sargulo
dengan sorot
pandangan mata dingin. Jantung itu segera
dimakannya,
dikunyah seenaknya seakan menikmati
hidangan yang
lezat. Pendekar Mabuk semakin
merinding
menyaksikan adegan itu.
"Ternyata
bocah itu iblis yang ganas! Mengapa Ratu
Remaslega ingin
memiliki bocah itu? Oh, kasihan Elang
Samudera jika
tidak tertahan di Kuil Perawan Ganas.
Nasibnya pasti
akan serupa dengan Sargulo dan yang
lainnya,"
ujar Suto membatin.
Saat memakan
jantung Sargulo, mulut bocah itu
berlumuran
darah. Tetapi darah tersebut cepat hilang
bagai terserap
ke dalam kulit kuningnya itu atau
menguap diserap
angin. Dalam sekejap bocah itu bersih
kembali tanpa
noda darah setetes pun.
"Apa yang
harus kulakukan jika begini?!" pikir Suto
Sinting.
Selagi ia
berpikir dalam kebingungannya, tiba-tiba ia
melihat
sekelebat bayangan merah yang sejak tadi
bersembunyi di
balik tiga pohon bambu yang tumbuh
merapat itu keluar dari persembunyiannya. Ternyata
orang tersebut
memang Dewi Kun. Perempuan itu
mendekati Bocah
Emas dari arah belakang.
Pendekar Mabuk
menjadi tegang sekali. "Wah, mati
kau,
Dewi!" gumamnya tanpa suara.
Pendekar Mabuk
cepat-cepat keluar dari
persembunyiannya.
Namun Bocah Emas ternyata telah
berbalik lebih
dulu menghadapi Dewi Kun. Dari gerakan
tangannya yang
sedikit merenggang, Suto dapat
menduga apa
yang akan dilakukan Bocah Emas itu. Pasti
akan menerjang
tubuh Dewi Kun seperti yang dilakukan
terhadap
Sargulo tadi.
Pendekar Mabuk
mendahului bergerak dengan jurus
'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaapp...!
Tepat saat itu
si Bocah Emas juga lakukan lompatan
menerjang Dewi
Kun. Weess...!
Tapi Pendekar
Mabuk lebih cepat sampai di tempat
dan menyambar
tubuh Dewi Kun dengan cepat.
Wuuut...!
Craaas...!
"Aaaakh...!"
Dewi Kun memekik. Bocah Emas
memang
tertambat menerjang Dewi Kun, tapi angin
terjangannya
bagai menyebarkan serbuk beling yang
tajam dan
merobek lengan Dewi Kun yang tak terhalang
tubuh
Suto.
Zlaaap,
zlaaap...! Suto Sinting membawanya
menjauhi tempat
itu, yakni ke atas gundukan tanah cadas
tempatnya
bersembunyi tadi.
"Lepaskan
aku! Aku harus menangkap Bocah Emas
itu!" Dewi
Kun meronta dengan suara keras.
"Kau akan
mati jika mendekati bocah itu! Apa kau
tak tahu
keganasan bocah itu?!" bentak Suto Sinting.
"Dia bisa
dibujuk! Dia tidak akan ganas terhadap
orang yang
bersikap baik kepadanya!"
"Lihat
lukamu! Ini menandakan dia tak bisa diajak
ramah oleh
siapa pun!"
"Ini
karena kau datang mengejutkan dirinya dan
membuatnya
liar!" sentak Dewi Kun sambil meronta dan
berhasil
melepaskan diri dari genggaman tangan Suto. Ia
segera keluar
dari balik bebatuan pipih itu. Pendekar
Mabuk
mengejarnya sambil berseru mengingatkan sekali
lagi.
"Dewi Kun,
lukamu beracun ganas! Tinggalkan
bocah
itu!"
Dewi Kun baru
saja mau menuruni gundukan cadas
yang membukit,
tapi langkahnya ternyata sudah
dihadang oleh
si Bocah Emas yang memandang dengan
sorot mata
sedingin salju.
"Hai,
Bocah Emas...," Dewi Kun mencoba bersikap
ramah dan
tersenyum kaku. Pendekar Mabuk terpaksa
hentikan
gerakannya dan ingin melihat sejauh mana
Dewi Kun bisa
membujuk bocah itu.
"Jangan
marah kepadaku, Bocah Emas. Aku bukan
orang Lereng
Hitam atau orang Bukit Sulang. Aku
adalah orang
Kuil Perawan Ganas. Aku tidak
bermusuhan
denganmu, Bocah Emas," seraya Dewi Kun
melangkah
setapak demi setapak.
"Kau ingin
menangkapku juga, Iblis Betina!" seru
Bocah Emas
dengan suara kecilnya yang lengking.
"Oh, tidak
begitu, Bocah Emas. Aku hanya akan
merawatmu. Aku
ingin mengangkatmu sebagai anak
asuh. Mari,
dekatlah padaku dan jangan memusuhiku,
Bocah
Emas," bujuk Dewi Kun sambil terus mendekati
si Bocah Emas.
"Kau Dewi
Kun, salah satu dari tiga gadis kembar
penghuni Kuil
Perawan Ganas!" seru Bocah Emas.
"Ya,
benar. Aku Dewi Kun! Kita pulang ke kuil,
yuk?!"
"Kau
perempuan busuk! Kerjamu hanya mencari
kepuasan dari
seorang lelaki!"
Dewi Kun kaget,
melirik Suto yang ada di
belakangnya. Ia tampak malu ketika Suto sunggingkan
senyum tipis.
"Jangan
berkata begitu, Bocah Emas. Sebaiknya
lupakan saja
tentang itu dan mari kita hidup bersama di
dalam kuil yang
akan membuatmu aman dari gangguan
siapa
pun!"
"Kau
penentang kekuasaan Ratu Lembah Girang!
Kau ingin
memelihara diriku untuk menyerang Ratu
Lembah Girang
dan merebut kekuasaan di sana! Kau
pun harus mati,
Dewi Kun!"
"Bocah
Emas, kau salah duga. Aku...."
Weeess...!
Bocah Emas itu bagai tak sabar menunggu
ucapan Dewi
Kun. Ia langsung melompat dan menerjang
bagian dada
Dewi Kun.
Tetapi Suto
Sinting sangat waspada. Ketika kedua
tangan
bocah itu sedikit merenggang pertanda
ingin
lakukan
lompatan, Suto segera berkelebat menyambar
tubuh Dewi Kun.
Zlaaap...!
Wuuut...!
"Aaaakh...!"
Suto Sinting dan Dewi Kun sama-sama
terpekik keras.
Angin terjangan itu bagaikan serat-serat
mata pisau yang
merobek kulit tubuh mereka.
"Gila!
Kekuatan iblis macam apa ini?!"
Punggung Suto
robek bagai disabet kuku-kuku
setajam pisau,
sedangkan pundak Dewi Kun semakin
koyak dan
menyemburkan darah ke atas pertanda
robekan itu
sangat dalam.
Suto meletakkan
Dewi Kun yang kehilangan tenaga
karena rasa sakit
begitu tinggi.
"Sutooo...
selamatkan ak... aku...."
"Bertahanlah!
Ini kesalahanmu sendiri!" ujar Suto
dengan suara
berat karena sambil menahan sakit.
"Seandainya
kau tidak pergi meninggalkan aku, kita
dapat selalu
berunding dalam menentukan langkah
selanjutnya!"
"Maa...
maafkan aku. Aku pergi saat... saat kau
memeriksa
keadaan tempat si Keling mati tadi, kar...
karena...
karena aku melihat Gembongsuro melarikan
diri. Tap...
tapi ternyata Gembongsuro mati tanpa
kuketahui siapa
pembunuhnya dan... dan aku segera
melarikan diri
lagi begitu melihat cahaya emas di atas
pohon... ooouh,
sakit sekali sekujur tubuhku, Suto. Ak...
aku tak
kuat...!"
"Bertahanlah!
Minumlah tuak ini, dan...," Suto
Sinting hentikan
ucapannya, ia tak jadi meminumkan
tuak ke mulut
Dewi Kun. Karena pada saat itu, Bocah
Emas terbang
dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk.
Dengan menahan
rasa sakit di punggung, Suto segera
menghantamkan
bumbung tuaknya ke arah Bocah Emas
itu. Wuuuut...!
Blaaarrr...!
Ledakan
keras terjadi ketika tubuh Bocah Emas
itu
dihantam dengan
bumbung tuak. Pendekar Mabuk
terpental ke
belakang dan terguling-guling. Dadanya
terasa sakit
bagaikan dihantam palu godam, ia
memuntahkan
darah kental dari mulutnya. Sedangkan
Bocah Emas itu
juga terpental jauh dan terjepit di sela-
sela dua dari
tiga pohon bambu yang tumbuh merapat
itu.
"Eaaaakh...!"
Bocah Emas
berseru menyeramkan, ia sedang
merentangkan
dua pohon bambu itu untuk bisa loloskan
diri. Pendekar
Mabuk tak mau ambil risiko terlalu
berbahaya, ia segera menyambar tubuh Dewi Kun dan
membawanya lari
pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Zlaaap, zlaap,
zlaaap...!
Luka Dewi Kun
telah menjadi hitam, terutama luka di
lengannya. Dewi
Kun dalam keadaan tak sadar.
Wajahnya pucat
bagaikan mayat. Sementara itu, tenaga
Suto sendiri
makin lama semakin berkurang.
Gerakannya
mulai lemah dan lamban. Padahal di
belakangnya, si
Bocah Emas tampak sedang lakukan
pengejaran
dalam bentuk cahaya emas.
Berhasilkah
Suto meloloskan diri dari pengejaran si
Bocah Emas itu?
Haruskah ia dan Elang Samudera tetap
berusaha
menangkap Bocah Emas dan diserahkan
kepada Ratu
Remaslega?
Bocah Emas akan
semakin mengganas dalam episode
mendatang:
"Bocah Titisan Iblis". Tentu saja lebih seru,
lebih
menegangkan dan... so pasti lebih panas lagi dong!
SELESAI
Segera
terbit!!!
BOCAH TITISAN
IBLIS
E-book by:
paulustjing
Email:
paulustjing@yahoo.com
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon