1
KABUT masih selimuti puncak Gunung Dara. Udara
di puncak itu
dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran
batu bening.
Embun itu menjadi kristal-kristal es karena
dinginnya
udara di puncak tersebut.
Seorang
lelaki tua meludah ke bebatuan yang
menghiasi
lereng Gunung Dara. Cuih, klotak...!
Ludahnya
menjadi batu karena membeku. Gila! Jika
ludah saja
menjadi batu karena membeku, lalu
bagaimana
jika lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak
akan mengucur
seperti biasanya. Atau jika mengucur,
bunyinya
tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak,
klotak, klotak,
klotak...! Karena air seni itu langsung
menjadi batu
es yang sama sekali tak sedap untuk
dicicipi.
Lelaki tua
berjubah abu-abu itu duduk di atas batu
besar. Bukan
berarti dia habis buang air besar, tapi
memang batu
besar itu sudah ada di tempatnya sebelum
ia sampai di
lereng Gunung Dara.
Tanpa
mempedulikan tubuhnya dikeroyok udara
dingin yang
menghamburkan busa-busa salju, lelaki tua
berambut
panjang tak rapi warna abu-abu itu
memantapkan
duduknya dalam keadaan bersila.
Tongkat yang
tadi dibawa-bawa, kini ditancapkan di
samping batu
itu. Lelaki berkalung tasbih hitam itu
mulai
tegakkan badan dan menarik napas. Suuuut...!
Tanaman di
depannya ikut tertarik karena sedotan
napasnya
tadi. Wuuurrss...! Pluk...! Ada seekor ulat bulu
masuk ke
hidung lelaki tua tadi. Ulat bulu itu ikut
tersedot oleh
napas si tua bertubuh kurus itu. Tanpa
permisi lagi,
napas pun disentakkan melalui hidung.
Fuiih...!
Wees,
plok...! Ulat bulu tadi terlempar seketika dan
menabrak
pohon, akhirnya mati tanpa ada yang mau
menguburnya.
Si tua bergigi ompong depan itu segera
tarik napas
lagi, tapi kali ini pelan-pelan, karena takut
batu koral
itu tersedot dan menyumbat lubang hidungnya
sendiri.
"Aku
tidak ingin lubang hidungku penuh batu koral.
Mending kalau
bisa dijual seperti batu intan, digadaikan
saja tak akan
laku," pikir lelaki itu.
Pikiran segera ditetapkan untuk menyatu. Tidak
cabang ke
mana-mana seperti pohon. Matanya yang
kecil itu mulai mengatup pelan-pelan. Kedua telapak
tangannya
disatukan di depan dada. Lelaki tua berkumis
dan
berjenggot abu-abu itu mulai lakukan semadi.
Busa-busa salju
yang mirip kapas tipis itu
beterbangan
karena hembusan angin dari barat. Sebagian
busa-busa
salju itu tersangkut di tubuh kakek bertelinga
tinggi. Daun
telinga itu tampak tinggi karena bagian atas
masing-masing
daun telinga tumbuh kuku yang mirip
taji seekor
ayam jago. Tidak panjang, tapi membuat
model telinganya
lain dari yang lain. Karena itulah, sejak
kecil kakek
berusia sekitar delapan puluh tahun itu
bernama si
Jalu Kuping.
Karena makin
lama semakin banyak busa salju yang
menyelimuti
tubuhnya, Ki Jalu Kuping pun akhirnya
menggigil.
Kedua tangannya tak kuat hanya saling
bertemu di
depan saja.
"Kok
lama-lama dingin sekali, ya?"
ujarnya dalam
hati.
"Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa masuk
angin. Sudah
tubuh kurus, umur tua, masih kena angin
sedingin ini,
waaah... bisa-bisa hidungku ingusan terus.
Malu, ah.
Tua-tua kok ingusan, nanti dikira bocah
kemarin sore.
Uuuuhg...! Dingin banget lho!"
Ki Jalu
Kuping segera turun dari atas batu,
mengambil
tongkatnya dan berlari mencari gua. Begitu
dapatkan
sebuah gua, ia segera masuk dan tubuhnya
dikibaskan
dalam satu sentakan seperti anjing
kehujanan.
Buuurrss...! Busa-busa salju yang menempel di
tubuhnya
rontok seketika. Rambutnya yang menjadi
tebal karena
busa salju segera ditebah-tebah sambil
gelengkan
kepala, hingga busa-busa itu pun rontok
berjatuhan.
"Nah,
bertapa di sini saja. Hangat! Hmm... gua ini
sepertinya
sering dipakai orang untuk bermalam atau
berteduh.
Banyak daun bekas makanan dan beberapa
potongan kayu
unggun. Tapi... ada singanya apa tidak,
ya?"
Setelah
Ki Jalu Kuping memeriksa gua itu dan
ternyata
aman-aman saja, maka ia segera memilih
tempat untuk
duduk bersila. Diperolehnya sebidang batu
datar yang
tingginya sebatas lutut. Di atas batu datar
yang panjang
itulah, Ki Jalu Kuping duduk bersila dan
lanjutkan
semadinya.
Seekor lebah
terbang melayang mengitari kepala Ki
Jalu Kuping.
Mau tak mau Ki Jalu Kuping mengibaskan
kepala agar
lebah itu tidak menyengat bagian wajahnya.
Lebah pun
menjauh, tapi segera mendekat lagi. Ki Jalu
Kuping
gelengkan kepala, lebah segera menjauh
kembali.
Sebentar kemudian mendekat lagi, Ki Jalu
Kuping
gelengkan kepala mengusir sang lebah.
Karena
seringnya sang lebah mendekat dan terbang
mengelilingi
kepala Ki Jalu Kuping, akibatnya kepala KI
Jalu Kuping
bergerak menggeleng ke kanan-kiri berkali-
kali. Bahkan
ketika lebah itu sudah terbang keluar gua,
kepala Ki
Jalu Kuping masih godek-godek terus mirip
orang
triping.
Gerakan godek-godek itu membuat seraut wajah
yang
mengintainya
terpaksa berkerut dahi. Si pengintai yang
ada di
pinggiran pintu gua itu hanya bisa membatin
dalam
hatinya.
"Pak tua
itu bertapa atau membaca doa? Dari tadi kok
godek terus?
Tapi anehnya gerakan kepala yang godek
terus itu
bisa membuat tempat di sekelilingnya menjadi
bersih. Sampah dan korotan menyingkir bagai disapu
olehnya. Oh,
rupanya gerakan kepala yang godek-godek
itu hadirkan
angin kecil yang mampu menyapu tempat
sekelilingnya?!
Wah, sakti juga si tua godek itu."
"Siapa
di luar?!" tiba-tiba Ki Jalu Kuping berseru
dengan mata tetap terpejam dan kepala tetap godek-
godek.
Orang yang
ada di luar gua itu kaget, karena tak
menyangka
kalau kehadirannya diketahui oleh Ki
Jalu
Kuping. Orang
itu menjadi bingung antara mau
menjawab atau
diam saja.
"Siapa
di luar?!" seru Ki Jalu Kuping lagi, masih
tetap memejam
dan godek-godek. Mau tak mau si
pengintai di
luar gua itu menyahut.
"Aku,
Kek!"
"Aku
siapa?!"
"Orang
yang kedinginan!" jawab si pengintai.
"Kalau
kedinginan masuklah! Jangan di luar! Silakan
duduk.
Pintunya tidak dikunci kok."
Si pengintai
tertawa dengan mulut dibekap tangan
sendiri.
"Gua
begini mana bisa pakai pintu segala, Pak Tua?!"
"Bisa saja. Kalau tak percaya cobalah kau
masuk,
sekarang
pintu gua sudah kukunci!"
Si pengintai
penasaran. Lalu ia melangkah masuk ke
dalam gua.
Buuukh...!
Brruuukkk...!
Tubuh si
pengintai itu terpental bagai ada kekuatan
yang
mendorongnya, ia mencobanya lagi melangkah
masuk ke
dalam gua. Namun begitu melintasi batas
pintu gua,
tubuhnya terlempar ke belakang lagi.
Buuuuk,
bruuukkk...!
Gleduk...!
Kepalanya malah kepentok batu. Mau tak
mau si
pengintai pun cengar-cengir kesakitan sambil
mengusap-usap
kepalanya yang agak benjol.
"Sial!
Tak ada daun pintu dan tak ada apa-apanya tapi
kenapa gua
itu tidak bisa dimasuki?! Coba aku masuk
dengan
gunakan lompatan cepatku!"
Wees...!
Brruk, beekh...!
"Uuuuhh...!"
si pengintai mengerang kesakitan,
karena ia
seperti menabrak daun pintu dari kayu jati
tebal.
Tubuhnya terbanting dalam keadaan terkapar.
Dadanya
terasa sakit, tulang pipinya sempat memar
seperti habis
membentur pilar. Pinggangnya seperti mau
patah karena
terbanting dengan keras.
"Kurang
ajar! Dia benar-benar melapisi pintu gua
dengan tenaga
dalamnya yang berbentuk udara padat,
jadi tetap
seperti terbuka dan keadaannya bisa dilihat
dari luar
gua!" si pengintai menggerutu dalam hati.
"Bagaimana.
Orang kedinginan? Bisakah kau masuk
ke dalam gua
jika pintunya kututup?!" seru Ki Jalu
Kuping masih dengan kepala godek-godek.
"Baiklah,
kuakui kau berilmu tinggi, Kek!"
"Sebenarnya
tidak terlalu tinggi, cuma sedang-sedang
saja. Tapi
kalau disuruh memindahkan gunung... mudah
saja,
Nak!"
Si pengintai
menggumam dalam hati sambil
melangkah
memasuki gua yang sudah tidak dilapisi
udara padat
itu.
"Sombong
juga kakek ini."
Si pengintai
segera meminum tuak yang ada dalam
bambu panjang
ukuran setengah depa lebih. Melihat
bambu tempat
tuak yang selalu dibawa-bawa si
pengintai,
juga menimbang bahwa si pengintai memakai
baju tanpa
lengan warna coklat dan celana putih lusuh,
ditambah lagi
mengingat si pengintai berwajah ganteng,
rambutnya
panjang lurus tanpa ikat kepala, maka siapa
pun akan
sepakat mengatakan bahwa si pengintai
tersebut tak
lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting,
murid si Gila Tuak.
Ki Jalu
Kuping melihat dengan mata batin, tapi kedua
matanya tetap
terpejam agak menunduk sedikit dan
kepalanya
masih godek-godek,
"Oh, kau
punya tuak rupanya. Wah, enak juga kalau
dingin-dingin
begini minum tuak, ya?"
"Apakah
kau mau, Kek?"
"Yah,
kalau memang diberi, ya mau. Kalau tidak, ya
cukup telan
ludah saja."
Pendekar
Mabuk tertawa tanpa suara. "Kau ini sedang
semadi atau
menunggu ransum datang?!"
"Apa orang kalau semadi tidak boleh makan
dan
minum?"
"Tentunya
tidak boleh, Kek!"
"Itu kan
dulu," ujarnya masih ngotot, tapi tetap
terpejam dan
godek-godek. "Semadi tidak makan dan
tidak minum,
itu kuno! Dulu aku kalau semadi juga
begitu, tidak
makan apa-apa. Eeeh... lama-lama kok ya
lapar juga.
Lapar dan haus. Maka kutetapkan kalau aku
semadi harus
pakai makan-minum segala. Bukankah
tujuan orang
semadi itu mencari kekuatan atau
kesaktian.
Lha kalau tidak makan tidak minum sampai
berhari-hari
itu namanya mencari penyakit, bukan
mencari
kekuatan!"
Sambil
tersenyum geli, Suto berkata lagi, "Dan juga
biasanya
orang semadi itu tidak boleh ngobrol. Harus
diam dan
penuh keheningan dalam batinnya."
"Semadi
kek tidak boleh ngobrol, ya keju mulutku,
Nak! Dulu
memang orang semadi itu harus diam, supaya
pikiran,
batin dan rasa memusat dalam satu tujuan. Tapi
sekarang cara
seperti itu sudah ketinggalan. Kuno!
Dalam semadi
itu kan yang penting tujuannya? Ngobrol
boleh saja
jalan terus, tapi tujuan yang disemadikan itu
tidak boleh
belok ke mana-mana!"
"Kau ini
memang orang aneh, Kek," kata Suto yang
rasa sakitnya
telah hilang akibat telah meminum tuak
saktinya itu.
Sebab tuak tersebut adalah tuak sakti yang
dapat
sembuhkan luka dan penyakit dalam waktu relatif
singkat.
"Kau ini
kok cerewet toh, Nak! Siapa namamu dan
apa perlumu datang ke Gunung Dara ini?!"
tanya Ki Jalu
Kuping.
"Namaku
Suto Sinting, Kek. Aku datang ke...."
"Siapa,
siapa...? Suto Sinting?! Lho, kok seperti
namanya
Pendekar Mabuk yang kondang itu, Nak?
Pendekar
Mabuk yang kondang itu juga kata orang-
orang, dia
bernama Suto Sinting. Kalau begitu namamu
itu tanpa
sengaja mirip sekali dengan nama asli si
Pendekar
Mabuk itu. Wah, beruntung sekali kau punya
nama seperti
itu, Nak."
Ki Jalu
Kuping masih godek-godek sambil pejamkan
mata. Suto
Sinting sedikit dongkol dengan kata-kata
yang dianggap
meremehkan dirinya. Tapi ia hanya bisa
tarik napas
dan berusaha membuang kedongkolannya
itu.
"Ilmumu
cukup tinggi juga, ya Nak," ujar Ki Jalu
Kuping tanpa
membuka matanya. "Jatuh terpental masih
utuh.
Hebat juga kau. Biasanya orang yang
habis
menabrak
jurus 'Pintu Gledek'-ku pasti hangus.
Sedangkan kau
tetap utuh tanpa hangus sedikit pun.
Kalau tidak
punya ilmu tinggi, tidak bisa utuh itu, Nak."
"Yaaah...
sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi kalau
disuruh
menunggingkan gunung... mudah saja, Kek,"
kata Suto
membalas kesombongan si kakek tadi.
"Oalaaa....
Mana ada gunung kok ditunggingkan.
Gunungnya
siapa itu?"
"Gunung
yang kau pindahkan tadi, Kek!"
"Ooo...
ceritanya kau membalas kesombonganku
yang tadi
itu, ya? Heh, heh, heh, heh...! Boleh juga kalau
mau adu ilmu denganku, Nak!"
Wuuut...! Ki
Jalu Kuping tiba-tiba menerjang Suto
dalam keadaan
masih duduk bersila dan memejamkan
mata.
Tubuhnya melayang cepat menerjang Suto
Sinting.
Bruuus...!
Untung yang
diterjang sudah biasa jatuh, sehingga
ketika
tubuhnya terpental dan membentur dinding
gua,
Pendekar
Mabuk bisa cepat gulingkan badan dan tak
mengalami
patah tulang.
"Patah
tulang memang tidak, tapi gigi gerahamku jadi
goyang
begini?! Uuh, sakit juga tulang rahangku terkena
tebasan
tangannya tadi. Sialan! Jangan-jangan pak tua
itu gila.
Hanya ngomong begitu saja langsung main
terjang?!"
gerutu Suto dalam hatinya.
Ki Jalu
Kuping masih mengambang di udara dalam
keadaan
bersila. Matanya masih terpejam dan kepalanya
masih
godek-godek pelan. Tangannya mengembang
dengan
jari-jari menguncup, membentuk jurus seperti
patung teko
teh panas.
"Kenapa
tak bisa menahan seranganku kau, Nak?
Balaslah.
Jika bisa membuatku jatuh ke tanah,
kuserahkan
segala harta kekayaanku padamu."
"Memangnya
kau punya kekayaan apa, Kek?!"
"Tuuuuh...,"
sambil mulutnya monyong sebentar ke
arah
tongkatnya, lalu kepala godek-godek lagi. "Aku
punya tongkat
kayu sengon."
"Uuh,
tongkat seperti itu kok dipakai taruhan?!
Kekayaan apa
itu?!" Suto mencibir.
"Lhooo...
biar jelek-jelek begitu bisa buat gebuk
maling itu, Nak! Buat gebuk punggungmu pun
bisa."
Baru saja
selesai berkata begitu, tangan Ki Jalu
Kuping
menyentak ke samping. Tongkat itu bagai
tersedot saat
tangan tersebut ditarik mundur. Suuuut...!
Taaab...!
Tongkat tergenggam di tangan, tubuh yang
melayang
bersila itu segera melesat menerjang
Suto
Sinting.
Wuuuut...!
Buuuhk...!
"Huaahhw...!"
teriak Suto karena punggungnya
terkena
gebukan tongkat itu.
"Tua-tua
edan!" maki Suto dengan jengkel, sementara
sang kakek
tertawa terkekeh-kekeh dalam keadaan telah
berdiri di
atas batu dan membuka matanya dan hentikan
godek-godeknya.
Pendekar
Mabuk bangkit dengan menggeliat karena
tulang
punggungnya terasa remuk dan sukar dipakai
untuk berdiri
cepat.
"Sekarang
kau percaya kalau tongkat ini termasuk
harta
kekayaan yang berharga, Nak?"
"Masa
bodoh!" sentak Suto dengan sewot, tapi justru
ditertawakan
oleh sang kakek.
"Baru
begitu saja sudah tak bisa bangun. Huhh...,
percuma punya
badan tegap dan kekar begitu, Nak.
Mendingan
aku, biar tua, kurus, ompong, tapi masih
kelihatan
gagah!"
"Hanya
orang-orang bodoh yang mengatakan kau
gagah,
Kek!"
"Jadi
kau tidak menganggapku gagah? Kalau begitu,
terimalah
jurus 'Tongkat Penggempur Bisul' ini.
Hiaaaah...!"
"Iya,
iya, iya...!" teriak Suto Sinting sambil
menyilangkan
tangan takut kena gebuk lagi. Gerakan Ki
Jalu Kuping
terhenti. Tampak lega berseri.
"Kau
takut, Nak? Heh, heh, heh... padahal aku tadi
hanya
menggertakmu. Baru digertak saja sudah takut,
apalagi kalau
benar-benar diserang. Wah, ternyata
nyalimu tidak
lebih besar dari sebutir upil, Nak!
Sebaiknya kau
jadi perawan saja, jangan jadi pemuda
berbadan
kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.
Hati pendekar
tampan mulai terasa disundut puntung
rokok. Tapi
ia selalu mencoba menahan panas hatinya
agar tidak
berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh
tua berilmu
konyol itu.
"Aku ke
sini bukan cari musuh, Kek!"
"O, ya?
Jadi kau ke sini mau cari apa?!"
*
* *
2
DENGAN suara
tegas Pendekar Mabuk menjawab
pertanyaan Ki
Jalu Kuping.
"Aku
mencari pemuda bernama Badra Sanjaya!"
"Hahh...?!"
Ki Jalu Kuping terperanjat dan lebarkan
matanya yang
tanpa bulu itu.
"Kenapa
kau terkejut, Kek?"
Dengan geraham menggegat, pandangan mata
menjadi
dingin, Ki Jalu Kuping perdengarkan suaranya
sambil
memandang ke arah luar gua.
"Badra
Sanjaya itu muridku!"
"Muridmu?!
Ooh...? Kebetulan sekali kalau begitu.
Tak kusangka
aku akan bertemu dengan gurunya Badra
Sanjaya,"
sambil Suto Sinting sunggingkan senyum dan
berwajah
ceria, ia berkata lagi dengan badan ditegakkan.
"Kalau
begitu kau tahu di mana Badra Sanjaya
berada,
Kek!"
Ki Jalu
Kuping berpaling menatap Suto. "Mau apa
kau?!"
"Menangkapnya!"
"Mengapa
kau mau menangkap muridku?!"
"Karena
aku disewa untuk menangkap Badra
Sanjaya!"
"Siapa
yang menyewamu?!"
"Ratu
Dekap Rindu, penguasa Bukit Kemesraan!"
jawab
Pendekar Mabuk dengan tegas dan jelas.
"Keparat
si Dekap Rindu!" geram Ki Jalu Kuping, ia
berjalan
dekati pintu masuk gua, dan menatap hamburan
busa salju
yang masih beterbangan dihembus angin barat
itu. Setelah
diam sesaat di sana, Ki Jalu Kuping menatap
Suto lagi dan
berseru dari tempatnya berdiri.
"Atas
tuduhan apa Badra Sanjaya mau ditangkap
Ratu Dekap
Rindu?!"
"Membawa
lari pusaka 'Jarum Surga' yang menjadi
kekuatan
utama seluruh ilmu sang Ratu!"
"Hmmm...!"
Ki Jalu Kuping mencibir, wajah
tegangnya mengendur. Mulutnya seperti
mengunyah
permen karet,
padahal tak ada yang dikunyah. Suto
yakin tak ada
yang dimakan oleh kakek jubah abu-abu
itu, sehingga
Suto heran melihat mulut itu bergerak-
gerak
mengunyah sesuatu.
"Apa
yang kau kunyah itu, Kek?"
"Aku
mengunyah napasku sendiri!" jawabnya dengan
nada tidak
setegang tadi. Ia kelihatan santai kembali,
seakan tak
pernah mengalami ketegangan sedikit pun.
"Nak,
pulanglah ke Bukit Kemesraan dan katakan
kepada Ratu
Dekap Rindu, bahwa Badra Sanjaya bukan
orang buronan
dan tidak pantas ditangkapi. Muridku
tidak mencuri
atau membawa lari pusaka itu. Bahkan dia
tidak tahu
apa-apa tentang pusaka; 'Jarum Surga' itu."
"Tidak
bisa, Kek. Aku malu kalau kembali tanpa
membawa Badra
Sanjaya!"
"Turutilah
saranku ini, Nak."
"Tidak
bisa, Kek. Saranmu hanya bikin malu diriku!
Aku ini
disewa oleh Ratu Dekap Rindu. Disewa untuk
menangkap
Badra Sanjaya. Kok pulang tanpa membawa
Badra
Sanjaya? Malu kan?"
"Ooo,
ya...," Ki Jalu Kuping
manggut-manggut.
"Kalau
begitu, sekarang nyawamu akan kusewa juga!"
"Lho...?!"
Suto kaget.
"Berapa
kau pasang tarif untuk nyawa sewaanmu
itu?!"
"Mana
bisa nyawa disewakan?! Aku tidak
menyewakan
nyawaku!" tegasnya.
"Jika
kau disewa oleh Ratu Dekap Rindu untuk
menangkap muridku, berarti yang disewa adalah
nyawamu!
Karena menangkap Badra Sanjaya sama saja
berhadapan
denganku. Berhadapan denganku sama saja
bertarung
denganku. Bertarung denganku sama saja
menjual
nyawamu. Menjual nyawa sama saja mencari
kematian.
Kematian sama saja akhir dari segala kegiatan.
Kegiatan sama
saja menyewakan nyawa. Lho, kok ke
situ-situ
lagi, ya?"
Ki Jalu
Kuping bingung sendiri dengan ucapannya
yang bertele-tele
dan berbelit-belit itu. Pendekar Mabuk
menanggapinya
dengan tenang, santai, sesekali minum
tuak,
sesekali hanya mengusap-usap bumbung tuaknya.
"Singkatnya
saja...."
"Nah,
sebaiknya singkat saja kalau bicara!" sahut
Suto.
"Aku tak
rela kalau muridku kau anggap pencuri!"
"Pencuri
atau bukan yang jelas harus ditangkap dulu
dan diadili
oleh Sang Ratu!"
"Tidak
bisa!" jawab Ki Jalu Kuping sambil mencibir
bangga.
"Harus
bisa!"
"Kalau
kau mau tangkap Badra Sanjaya, terima dulu
jurus
'Penyambut Tamu' ini! Heaaah...l"
Ki Jalu
Kuping tiba-tiba sodokkan tongkatnya ke
depan.
Wuuut...! Dari kepala tongkat keluar sinar lurus
warna kuning
kecil sebesar lidi. Claaap...!
Suto Sinting
segera berlutut dan menghadang sinar
kuning itu dengan
bumbung tuaknya. Desss...!
Sinar itu
membalik arah dalam keadaan lebih besar
dan lebih cepat. Ki Jalu Kuping kaget melihat
sinarnya
berbalik
menyerangnya, ia segera lompat ke atas batu di
sampingnya.
Wesss...!
Blaaarrr...!
Sinar kuning
itu menghantam batu yang bersandar
pada dinding
dekat pintu. Batu itu langsung meledak,
pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar
genggaman.
Bruuull...! Brrrrruk...!
Pecahan batu
itu menumpuk, menutup pintu gua.
"Konyol!
Lihat, gara-gara kau menangkis jurusku
jadinya pintu
gua itu tertutup. Kita mau lewat mana
kalau begini,
hah?!" bentak Ki Jalu Kuping. "Mestinya
sinar
kuningku tadi jangan kau tangkis, Tolol!"
"Kau
yang tolol!" bantah Suto. "Mestinya sinar
kuningmu
diarahkan ke luar gua, jangan diarahkan
kepadaku!"
"Iya,
ya...?!" Ki Jalu Kuping menggumam sendiri.
"Sekarang
bagaimana caranya keluar dari gua kalau
jalanannya
tertutup batu begitu?!"
"Begini
caranya...!" Pendekar Mabuk segera lakukan
lompatan
secara tiba-tiba. Weess...! Ia menerjang Ki Jalu
Kuping dengan
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi.
Ki Jalu
Kuping tak menyangka akan diterjang Suto.
Maka kakek
tua itu pun segera terpental begitu
lengannya
ditabrak kaki Suto.
Bukh, wees...!
Brrooolll...!
Ki Jalu
Kuping terpental sampai menjebol tumpukan
batu,
sehingga pintu gua pun jadi terbuka kembali, ia
jatuh
terkapar di tanah berlapis busa salju. Pendekar
Mabuk menyusulnya dengan lompatan cepatnya
yang
dinamakan
jurus 'Gerak Siluman' itu.
Zlaaap...!
Tahu-tahu ia
sudah berdiri dalam jarak tujuh langkah
dari Ki Jalu
Kuping. Orang tua itu sedang mengerang
sambil,
pegangi pinggangnya yang belakang.
"Ooohh...
tulang pinggangku rasanya patah jadi
empat potong!
Tendanganmu setan juga, Nak! Tak
kusangka kau
punya tenaga sebesar itu!"
"Belum
seberapa, Kek. Itu masih tenagaku jika
menggeliat
pada saat bangun tidur," Suto
sengaja
memancing
emosi Ki Jalu Kuping, ia ingin tundukkan
tokoh tua itu
agar mau memberi tahu di mana muridnya
berada.
"Kalau
kau ingin tenaga sehabis nimba air, seginilah
besarnya...."
Suto Sinting
sentilkan jarinya beberapa kali. Sentilan
jari yang
dinamakan jurus "Jari Guntur' itu mempunyai
kekuatan
tenaga dalam cukup besar, seperti
tendangan
kuda jantan
yang ditolak bercumbu oleh pasangannya.
Tes, tes,
tes...!
Srrrroooot...!
Buueeekh...!
"Heekh...!
Ya, ampuuunn...!"
Ki Jalu
Kuping terdorong mundur dengan keras
dalam keadaan tetap duduk di tanah, ia merasa
seperti
diseruduk
seekor banteng yang sedang mengamuk.
Tubuh yang
terseret mundur itu berhenti setelah
punggung Ki
Jalu Kuping membentur sebongkah batu
besar, ia
terpekik dengan suara ngeden dan mata
mendelik.
Pendekar
Mabuk sunggingkan senyum, memandang
kalem ke arah
Ki Jalu Kuping, ia semakin dongkol
setelah menyadari begitu berdiri ternyata celananya
bagian
belakang robek seperti habis dicakar-cakar anjing
galak.
"Bocah
ngepet!" serunya dari kejauhan.
Weess...!
Ki Jalu
Kuping berkelebat seperti setan lewat.
Pandangan
mata Suto Sinting tak bisa menangkap
gerakan itu,
karena busa-busa salju bertaburan di depan
matanya.
Tahu-tahu ia merasa diterjang seekor kuda nil
terbang.
Bruuusss...!
Yang ada hanya gelap dan gelap. Pendekar Mabuk
merasa bagai
sedang dikerumuni puluhan kunang-
kunang.
Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa
sakit dan
berdenyut-denyut.
"Jangan-jangan
dadaku bolong?" pikirnya saat
pandangan
matanya mulai terang sedikit-sedikit.
Begitu mata
dapat memandang dengan jelas, ternyata
wajah Ki Jalu
Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah
terkapar
dengan bumbung tuak terlepas dari tangannya.
Ki Jalu
Kuping berdiri di sampingnya dan dengan sedikit
membungkuk
mendekatkan wajah memandanginya.
Bibir
keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya
yang tanpa
gigi itu bagaikan lubang belut yang bergerak
melebar
karena nyengir.
"Tumbang,
ya Nak?" sapa Ki Jalu Kuping bernada
ramah.
Pendekar Mabuk dongkol sekali, ia segera
sentakkan
kaki untuk lakukan loncatan berdiri. Tapi
ternyata
sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi.
Tenaganya
seakan terpental entah ke mana akibat
terjangan
secepat tadi.
"Maaf,
ya Nak... aku sekadar kasih balasan kecil-
kecilan
saja," kata Ki Jalu Kuping.
"Terus terang saja,
tapi jangan
bilang tetanggamu, ya... bahwa kau telah
terkena jurus
nakalku yang kunamakan jurus 'Petir
Jinak'.
Cepatnya seperti petir tapi gunanya buat
menjinakkan
kekuatan lawan. Tak ada yang punya
kecuali aku. Badra Sanjaya juga belum punya, sebab
kalau dia punya jurus 'Petir Jinak', maka dia akan
menerjangku
seenaknya kapan saja dia mau. Heh, heh,
heh,
heh...!"
Suto masih
agak beruntung, karena bibirnya masih
bisa
bergerak, lidahnya juga bisa bergerak,
walau
semuanya
serba lemah. Katup suara di tenggorokannya
masih bisa
bergetar, walau terlalu pelan, sehingga Suto
masih bicara
keluarkan suara dengan lirih.
"Kau...
keparat...."
"Iya,
memang kalau sedang begini aku ini keparat
bagimu. Tapi
tadi waktu kau buang seenaknya dengan
jurus
sentilanmu itu, kaulah yang keparat. Kurasa itu tak
perlu kita
permasalahkan, toh kita sama-sama keparat!"
kata Ki Jalu
Kuping seenaknya saja kalau bicara.
"Pulihkan...
aku...."
"Apa...?!"
Ki Jalu Kuping dekatkan telinganya.
"Pulihkan...
aku...," ulang Suto pelan sekali.
"Bagaimana?
Agak keras sedikit bicaramu. Maklum,
aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba,
bilang apa
kau
tadi?"
"Puliiiiihkan...
akuuu..., Budek."
"Wah,
maaf. Aku tidak dengar kau bicara apa, Nak.
Yang kudengar
kau mengatakan aku budek, itu saja. Jadi
sebaiknya kau
harus kubawa ke pondokku, di Lereng
Kunyuk, tak
jauh dari sini! Atau kau kugelindingkan
dari sini.
Pasti akan sampai di gubukku sana!"
"Peer...
peeer... seee... taaaan...."
"Apa? Plesetan?!
Jangan main plesetan nanti kau
jatuh, lehermu patah, naaah... repot! Disambung
pakai
tongkatku ini
terlalu panjang, kan?"
Ki Jalu
Kuping menggeser tubuh Suto, Kedua kaki
Suto
dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang
kenyal. Kedua
tangan Pendekar Mabuk juga disatukan
dengan tubuh
dan diikat. Suto seperti memeluk dirinya
sendiri.
"Nah,
kalau begini... mudah digelindingkan. Tinggal
kuikuti dari
belakang kau sudah sampai di pondokku
sendiri."
"Maaatiii...
aku...."
"O,
tidak! Tidak akan mati. Kujamin nyawamu masih
ada, karena
aku ke sini memang sebenarnya ingin
bertapa,
mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si
Badra Sanjaya
itu. Tahu-tahu kau datang, jadi kau
kuanggap
jalan keluar untuk kesulitan muridku itu.
Makanya aku
tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap
ada, tapi
akan kusewa sampai urusan ini selesai."
Ki Jalu
Kuping menghadapkan tubuh Suto agar bisa
mudah digelindingkan dengan sentakan kakinya.
"Nak,
siap-siaplah menggelinding dan jangan
sungkan-sungkan
kalau mau menjerit. Di gunung ini,
orang
menjerit tidak dikenai biaya apa pun."
"Kejam...,"
ucap Suto lirih.
"Kejam
memang kejam, tapi tak sekejam ibu tiri lho,
Nak!"
kata Ki Jalu Kuping dengan mulut meruncing
seperti orang
mendongeng.
"Ibu
tiri itu kalau marah ngrebus anaknya. Aku kalau
marah ngrebus
singkong. Kalau tak ada singkong,
ngrebus
handuk pun jadilah."
"Bumbung...
bumbung tuakku...."
"O,
ya...! Untung kau mengingatkan. Walau tak
seberapa
berharga bumbung tuak itu, tapi kalau memang
benda itu
mainanmu sejak kecil dan menjadi kenangan
selama
hidupmu, memang sebaiknya ikut kubawa ke
pondok, biar
rohmu nanti tenang dan betah tinggal di
pondokku."
Ki Jalu
Kuping mengambil bumbung tuak.
Kesempatan
perginya Ki Jalu Kuping dipergunakan Suto
untuk mencoba
melawan kelemahannya. Tapi ternyata ia
tetap tak
mempunyai tenaga apa-apa. Pertengahan
dadanya masih
terasa sakit berdenyut-denyut, ia tak tahu
pertengahan
dadanya tadi terkena ujung bawah tongkat
si Jalu
Kuping dan saat itulah seluruh kekuatan dan
tenaganya
dilumpuhkan oleh Ki Jalu Kuping.
Bumbung tuak
ditenteng oleh KI Jalu Kuping. Suto
melihatnya
dan berpikir, "Kalau aku bisa minum tuakku
itu, pasti
tenagaku bisa pulih kembali."
Maka ia pun memohon dengan suaranya yang
lirih,
"Beri...
aku... minum...."
"Ah,
nanti saja! Kau ini sebentar-sebentar minum,
sebentar-sebentar,
minum... nanti pipis dijalan lho.
Bersiaplah
menggelinding, ya Nak!"
Ki Jalu
Kuping meletakkan satu kakinya di tubuh
Suto. Satu
sentakan kaki dapat membuat Suto
menggelinding
di tanah miring itu. Tapi tiba-tiba Ki Jalu
Kuping
menarik kakinya itu dan tak jadi
menggelindingkan
tubuh Suto.
"Begini
saja, Nak...," katanya sambil sedikit
membungkuk,
memandang ke wajah Suto.
"Kalau
kau kugelindingkan dari sini, jatuhnya akan
tepat di atas
atap pondokku. Wah, pondokku bisa rusak.
Kacaulah
tidurku nanti. Maka kau tak jadi
kugelindingkan.
Jangan kecewa, ya? Betul, jangan
kecewa, ya?
Kau kuterbangkan saja, jadi aku sendiri
tidak perlu
menanggung beban dengan memanggulmu!"
Zeeeng...!
Tubuh murid Gila Tuak yang terikat mirip
kayu
bongkokan itu terangkat sendiri begitu tangan Ki
Jalu Kuping
menghempas naik dengan gerakan pelan
bagai tak
bertenaga. Tubuh itu mengambang di udara,
kemudian Ki
Jalu Kuping melepaskan tiupan kecil.
"Fuiiih...!"
Maka tubuh
Suto pun bergerak terbang menuruni
lereng gunung
tersebut. Ki Jalu Kuping tertawa
kegirangan,
dan mengikutinya dengan berkelebat zigzag,
kadang
mendahului Suto, kadang ada di belakang Suto.
"Kalau
ada benang, kuberi benang kau dan kalau ada
layangan lain kuadu kau dengan layangan orang
lain!
Heh, heh,
heh...!"
Sementara
itu, Pendekar Mabuk melayang cepat
dengan arah sembarangan,
sehingga sesekali kakinya
menyambar
batang pohon, atau kepalanya menerabas
semak dan
dedaunan, ia terbentur ke sana-sini dan Ki
Jalu Kuping
hanya menertawakannya.
*
* *
3
PONDOK itu
terbuat dari belahan kayu gelondong.
Menjadi
dinding rapat karena ditambak dengan cairan
seperti getah
yang juga merupakan bahan perekat kayu
paling ampuh.
Pondok Ki Jalu Kuping termasuk besar,
mirip sebuah
tempat perguruan, karena mempunyai
pelataran
lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng
kayu yang
tampak kokoh.
Dalam salah
satu ruangan lebar, yang mirip barak
para
prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan dari
batuan
sejenis marmer lebar. Di atas ranjang marmer itu
diletakkan
kain pelapis cukup tebal sehingga jika dipakai
tidur akan
nyaman. Di atas salah satu tempat tidur itu
terbujur
sesosok tubuh muda berparas ganteng.
Badannya
tegap, gagah, kekar, berkulit kuning langsat.
Pemuda itu
bukan Pendekar Mabuk. Pemuda berikat
kepala merah dengan hiasan benang emas itu
adalah
murid si Jalu
Kuping, yaitu Badra Sanjaya.
Badra Sanjaya
putra seorang patih di sebuah kerajaan.
Ia mengembara
mencari ilmu dan berguru kepada Ki
Jalu Kuping.
Lama-lama ia betah tinggal bersama Ki
Jalu Kuping,
karena ia termasuk murid kesayangan dan
sering
dimanjakan oleh Ki Jalu Kuping. Murid Ki Jalu
Kuping
sebenarnya ada tiga. Tapi kali ini yang sedang
jadi bahan
sorotan adalah si Badra Sanjaya.
Pemuda itu
mengenakan baju dan celana hijau terang.
Ikat
pinggangnya dari kain merah, ia sering membawa
pedang dari
besi putih antikarat. Pedang itu sesekali
ditenteng,
sesekali diselipkan di pinggang.
Wajah
tampannya yang sedikit di bawah ketampanan
Suto itu
mempunyai kumis tipis. Kumis itulah yang
membuat para
wanita sering tergoda dengan senyuman
dan
penampilan Badra Sanjaya. Badannya yang kekar
memang lebih
besar dari badan Suto, tapi kelihatannya
ototnya lebih
kuat Suto.
Ketika Ki
Jalu Kuping meletakkan Suto di tempat
tidur
sebelahnya, ternyata ukuran tinggi tubuhnya sama
dengan tinggi
tubuh Pendekar Mabuk. Karena itulah, Ki
Jalu Kuping berkata kepada Suto yang masih seperti
pasien jompo
itu.
"Ternyata
dugaanku benar. Kau cocok dengannya.
Cocok sekali!
Kemunculanmu di gua itu, membuatku
punya gagasan
ini."
Walaupun dalam
keadaan lemas dan tak bertenaga,
tapi otak
Suto masih bisa digunakan untuk berpikir dan
mengingat sesuatu. Tapi pendekar tampan itu
tidak tahu
apa maksud
kata-kata Ki Jalu Kuping tadi. Sebenarnya
ia ingin
banyak bertanya, tapi suaranya yang pelan dan
tak bisa
berkata dengan cepat membuatnya malas banyak
bertanya.
Mata Suto
berkedip pelan-pelan saat beradu pandang
dengan Ki
Jalu Kuping. Pak tua yang konyol tapi
berilmu hebat itu selalu cengar-cengir karena hatinya
girang telah
mendapatkan cara untuk menolong
muridnya.
"Badra
Sanjaya adalah orang yang terbaring di
sebelahmu
ini," ujar Ki Jalu Kuping sambil
menunjuk
tempat tidur
sebelahnya. Suto Sinting hanya bisa
melirik, tak
bisa menengok agar memandang jelas.
Maka, si
Jalu Kuping membantu menengokkan wajah
Suto dengan
memiringkan kepala pendekar muda itu.
Kreeek...!
"Ouuuh...!"
Suto mengeluh lirih, memejamkan mata
kuat-kuat.
"Ooh,
maaf, maaf... terlalu keras puntiran kepalamu
tadi, ya Nak?
Maaf, maksudku agar kau bisa melihat
muridku yang
satu ini dengan jelas. Sebab dia adalah
orang yang
akan kau tangkap, tapi kau sendiri nantinya
yang akan
menjadi dia!"
Bingung juga
Suto mencerna kata-kata itu, akhirnya
dibiarkan si
tua berhidung panjang mirip betet itu bicara
semaunya. Apa
yang bisa diingat, dicatat dalam
ingatan,
apa yang
mudah dimengerti, dicoba untuk dipahami.
Sisanya
dibiarkan berhamburan terbawa sang bayu.
Angin di Lereng Kunyuk itu tidak sekencang di
daerah puncak
tadi. Udaranya memang dingin, tapi lidak
sedingin di
atas tadi. Pendekar Mabuk juga mencatat
tentang udara
tersebut dalam benaknya.
"Nak,
kau tahu siapa si Dekap Rindu itu?"
"Seorang...
ratu...," jawab Suto lirih.
"Iya,
memang dia seorang ratu. Tapi ratu yang
bagaimana?"
"Ratu...
perempuan... cantik...."
"Yang
namanya ratu ya perempuan!" sentak Ki Jalu
Kuping rada
jengkel. "Tapi kau mungkin tidak tahu
kalau Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh tua aliran
hitam yang
punya ilmu awet muda dan awet cantik."
"Diia...
dia... sahabat... dari... temanku... yang
bernama...
Yundawuni...."
"Yundawuni...?!
Oh, aku belum sempat kenalan.
Kalau kau ketemu dia lagi, sampaikan salam kenalku
kepada
Yundawuni," ujar Ki Jalu Kuping seenaknya.
"Aku tak
tahu apakah Yundawuni itu dari aliran
hitam atau
putih atau belang-belang seperti kuda zebra.
Yang jelas, Ratu Dekap Rindu adalah murid dari Nyai
Lawang Neraka
yang pernah kubunuh, tapi gagal..."
"Pernah
dibunuh tapi kok gagal, ya sama saja belum
terbunuh!"
gerutu Suto dalam hatinya.
"Beberapa
waktu lalu, kudengar Nyai Lawang Neraka
sudah tewas
di tangan Tanuyasa."
"Ak...
aku kenal... dengan... Eyang... Tanuyasa,
alias... si
Omong... Cekak..,.."
Suto memang
kenal dengan Tanuyasa, alias si Omong
Cekak, ia pernah melihat Tanuyasa mengajarkan
ilmunya
kepada anak muda lugu dan polos yang
bernama
Temon. Peristiwa itu ada kaitannya dengan
Yundawuni
alias Dewi Kesepian yang nyaris menjadi
penyebar
wabah kaum lelaki, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode: "Dewi Kesepian").
"Aku
tahu sepak terjang si Dekap Rindu, karena dia
adalah
cucunya Nyai Tudung Pandan," sambung Ki Jalu
Kuping.
"Mendiang Tudung Pandan itu adalah kakakku.
Jadi aku agak
sungkan terhadap Ratu Dekap Rindu.
Bagaimanapun
juga ia juga termasuk cucuku. Tapi aku
tak suka
padanya. Sejak kakakku meninggal, tingkah
laku Dekap
Rindu berubah jungkir balik, mengikuti jejak
gurunya dan
menjadi tokoh aliran sesat. Dia memang
cantik, tapi
buat apa cantik-cantik kalau jalannya sesat,
bisa-bisa
suaminya dibunuh dijadikan tumbal ilmunya."
"Ilmu...
apa...?"
"Ya ilmu
apa saja! Dekap Rindu memang tampak
kalem,
bijaksana, suka menolong, tapi semua itu hanya
kedok. Tahu
kedok?"
Suto
mengangguk kecil. "Binatang.... Yang
jalannya...
lompat-lompat...."
"Itu
kodok!" sentak Ki Jalu Kuping sambil bersungut-
sungut.
"Kedok itu topeng. Jadi semua sikap manisnya si
Dekap Rindu
hanya sebagai topeng penutup
kebiadabannya.
Diam-diam ia banyak mempelajari ilmu
hitam dan
menyerang para tokoh tua seangkatan
denganku yang
berilmu putih. Paham?"
Pendekar
Mabuk anggukkan kepala pelan dengan
mata berkedip.
"Beberapa
waktu yang lalu, muridku ini pergi ke
Bukit
Kemesraan, ia sengaja kusuruh ke sana, eh...
kuutus. Kalau
guru menyuruh murid itu pantasnya
dengan kata
'mengutus', ya?"
"Terserah...,"
jawab Suto datar.
"Badra
Sanjaya kuutus ke Bukit Kemesraan untuk
mencari kakak
seperguruannya, yaitu muridku juga yang
bernama
Jantra Loya. Sebab, kudengar dari
beberapa
orang sahabatku,
katanya Jantra Loya ditangkap dan
dijadikan
tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si
Badra Sanjaya
mencari kebenaran kabar tersebut.
Setelah dua
purnama, Badra Sanjaya pulang dalam
keadaan
aneh."
"Jadi...
monyet?"
"Bukan!"
Ki Jalu Kuping semakin serius. "Badra
Sanjaya
pulang ke sini dalam keadaan linglung, lupa
siapa diriku
dan siapa dirinya, dan sering memanggil-
manggil Dekap
Rindu dengan mesra."
Ki Jalu
Kuping pandangi muridnya dengan wajah iba.
"Kasihan
dia," gumamnya pelan. Lalu memandang
Suto Sinting.
"Ternyata
dia terkena jurus racun 'Ranjang Goyang'
dari si Dekap
Rindu. Hanya dia yang punya jurus racun
'Ranjang
Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya
akhirnya
pingsan, hampir tujuh hari tak sadarkan diri.
Aku tak bisa
melawan racun 'Ranjang Goyang' itu.
Sudah kucoba
berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang
goyang-goyang
karena kewalahan."
"Suruh... dia... minum...
tuakku...."
Ki Jalu
Kuping bersungut-sungut, "Orang pingsan
kok disuruh
minum tuak! Edan kau ini!"
Suto ingin
jelaskan kekuatan sakti dari tuaknya
itu.
Tapi ia
ragu-ragu dan mempertimbangkan dalam
hatinya.
"Kalau
kuberi tahu bahwa tuakku adalah tuak
sakti,
bisa untuk
melenyapkan racun itu, nanti kalau aku minta
minum tidak
diberinya. Kakek ini agaknya tidak mau
melepaskan
keadaanku. Hmmm... repot juga kalau
begini?!"
"Nak,
jurus beracun yang namanya 'Ranjang Goyang'
itu dapat
melumerkan seluruh urat di tubuh orang yang
terkena jurus
tersebut. Jurus itu juga dapat meloloskan
sukma
seseorang dari raganya. Sukma itu kembali
kepada Ratu
Dekap Rindu dan di sana sukma itu
dipenjarakan
dalam sebuah tabung bening berbentuk
seperti poci
tempat minuman teh. Jadi, kehebatan jurus
beracun itu
selain dapat untuk memikat hati korbannya,
juga dapat
memenjarakan sukma si korban. Kalau
sampai
seluruh urat si korban menjadi lumer, maka
sukma itu tak
akan bisa masuk ke raganya kembali. Cara
membebaskannya
adalah dengan menghancurkan tabung
bening yang
dipakai memenjarakan sukma itu. Jika
tabung itu
pecah, maka sukma itu akan kembali ke
raganya.
Berarti, muridku dapat pulih kembali, raganya
tak akan
menjadi penghuni liang kubur."
"Aneh...
sekali... jurus... itu...."
"Tentu
saja kau anggap aneh, karena pengetahuanmu
cekak!" ejek Ki Jalu Kuping. "Oleh
sebab itu, aku ingin
menyewa
nyawamu, Nak. Kupakai rohmu untuk masuk
ke dalam raga
muridku, lalu kau harus kembali ke Bukit
Kemesraan dan
mencari penjara sukma muridku itu!"
Pendekar
Mabuk ingin menolak dan memberi
penjelasan
tentang kemampuannya mencari penjara
sukma itu
tanpa harus menggunakan raga Badra Sanjaya.
Tetapi makin
lama ia merasa makin lemah dan sulit
keluarkan
kata. Akibatnya ia hanya bisa pasrah kepada
rencana Ki
Jalu Kuping itu.
"Sekarang
juga, akan kupindahkan rohmu ke dalam
raga Badra
Sanjaya. Bersiaplah, Nak... karena hal
ini
tentunya
jarang bagimu dan agak aneh rasanya," tutur Ki
Jalu Kuping
sambil tersenyum-senyum kegirangan.
"Akan
kugunakan ilmuku yang bernama ilmu
'Sewaka
Sukma' yang juga jarang dimiliki orang ini!
Tenang saja,
tidak akan terasa sakit, Nak. Hanya geli
sedikit,
seperti digigit perawan genit! Heh, heh, heh...!"
Ki Jalu
Kuping segera duduk di lantai di antara kedua
tempat tidur
itu. Ia duduk bersila dengan mata terpejam.
Beberapa
kejap kemudian tubuhnya terangkat dan
melayang di
udara dalam keadaan tetap bersila,
berpejam
mata, dan bersedekap.
Dalam hatinya, Suto mencoba untuk berontak dan
tak mau
menyewakan nyawanya kepada Ki Jalu Kuping.
Tapi ternyata
rasa lemas semakin membuatnya tak
mampu
bergerak sedikit pun, walau untuk gerakkan satu
jari tangan
tetap tak bisa. Bahkan untuk mengedipkan
mata sudah
tak mampu lagi. Kedua tangan Ki Jalu
Kuping segera mengembang. Telapak tangannya
mengarah ke
bawah, tubuhnya makin bergerak naik
dalam keadaan
tetap bersila dan berpejam mata. Lalu
beberapa saat
kemudian, kedua telapak tangan itu
pancarkan
sinar. Dua sinar ke tubuh Badra Sanjaya dan
Suto Sinting.
Sinar yang
memancar ke tubuh Suto berwarna putih,
kuning lebar,
membungkus sekujur tubuh Suto. Sinar
yang memancar
ke tubuh Badra Sanjaya berwarna
merah, juga
membungkus sekujur tubuh Badra Sanjaya.
Kira-kira
selama sepuluh helaan napas kedua sinar itu
masih
memancar. Pada hitungan kesebelas, sinar itu
berubah
secara perlahan-lahan. Sinar merah yang
memancar ke
tubuh Badra Sanjaya berubah menjadi
kuning, dan
sinar kuning yang menyelimuti sekujur
tubuh Suto
Sinting berubah menjadi merah. Perubahan
sinar itu
membuat kedua tubuh berpijar-pijar.
Blaab, blaab,
blaab, blaab, blaab...!
Zuuuurrb...!
Kedua sinar pun padam secara
bersamaan.
Tubuh tua yang mengambang di udara itu
bergerak
turun sampai menyentuh lantai kembali. Kejap
berikutnya Ki
Jalu Kuping membuka matanya dan
tersenyum
sambil menghembuskan napas lega. Ia pun
segera
bangkit. Memandang tubuh Suto dan tubuh
muridnya
bergantian, kemudian di depan wajah Badra
Sanjaya yang
masih terpejam itu, Ki Jalu Kuping
mengadu
telapak tangannya bagai orang bertepuk
tangan.
Plaaak...!
Badra Sanjaya tersentak kaget dan bangun dengan
menggeragap
setelah terkena siraman cahaya biru dari
hasil tepukan
tangan tadi.
"Nah,
sudah berhasil sekarang...," ujar Ki Jalu
Kuping sambil
cengar-cengir.
Pendekar
Mabuk merasa berdiri turun dari tempat
tidur itu.
Tapi ia segera kaget bukan kepalang tanggung
begitu
melihat sesosok tubuh terbujur lemas di atas
tempat tidur
yang satunya lagi itu. Dan tubuh yang
terbujur
lemas itu tak lain adalah tubuhnya sendiri.
Ia bertambah
kaget lagi setelah mengetahui bahwa
ternyata
raganya telah berubah. Suto menjadi takut dan
tegang sekali
melihat raga yang ada padanya adalah raga
si Badra
Sanjaya.
"Apa
yang kau lakukan padaku. Kakek Edan?!"
sentak Suto
Sinting kepada Ki Jalu Kuping yang
tersenyum-senyum
itu.
"Eh, kau
tak bisa marah padaku, tak boleh
menyerangku
atau membangkang perintahku. Semakin
kau
memusuhiku dan membangkang perintahku, maka
sukmamu akan
semakin sulit kembali ke ragamu yang
asli
itu!"
"Keparat
kauuu...!" geram Suto Sinting sambil
hendak
lepaskan pukulan yang mematikan. Tapi Ki Jalu
Kuping tetap
tenang walau cepat-cepat memberi isyarat
dengan
tangannya agar Suto hentikan niatnya itu.
"Kalau
aku mati kau sama sekali tak akan
mendapatkan
ragamu kembali! Ingat itu!"
Suto Sinting
menjadi ragu dalam kegusarannya.
"Kembalikan ragaku! Kembalikan sukmaku ke
ragaku yang
asli itu!" sentak Pendekar Mabuk dengan
kedua tangan
menggenggam kuat-kuat.
"Sukmamu
akan kukembalikan ke ragamu kalau kau
sudah
jalankan tugasmu, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping
dengan santai
sekali.
Bahkan ia menambahkan kata, "Aku berkata yang
sebenarnya, kalau
kau melawanku dan membangkang
perintahku
sukmamu akan semakin sulit masuk ke
ragamu
kembali. Ilmu 'Sewaka Sukma' adalah kekuatan
roh sejati
yang mampu menguasai guru sejati orang lain.
Jika roh
sejatiku kau lawan, maka guru sejatimu akan
terhukum dan
itu berarti kesulitan besar bagimu untuk
kembali ke
ragamu yang asli!"
Pendekar
Mabuk hanya terengah-engah menahan
kemarahannya,
ia segera jauhi si tua berjubah abu-abu
itu. Di sana
ia diam termenung sambil sesekali pandangi
raganya yang
terasa janggal itu.
"Kakek
tua edan!" makinya dalam hati.
"Oh,
mengapa
nasibku bisa seburuk ini?! Ragaku ditukar
dengan raga
si Badra Sanjaya. Padahal aku tak suka
punya kulit
kuning langsat begini. Seperti kulit banci!
Setan
kurap!"
Ki Jalu
Kuping mendekatinya. "Pergilah ke Bukit
Kemesraan
sekarang juga. Cari tabung penjara sukma si
Badra
Sanjaya! Hancurkan tabung itu secepatnya, tak
perlu kau
bawa kemari dulu. Hancurkan di sana juga,
dan jika Ratu
Dekap Rindu merintangimu, hancurkan
pula
perempuan sesat itu, Nak!"
Mau tak mau Suto Sinting harus menjalankan
tugas
itu. Namun
hatinya menyimpan kemarahan yang
menyesakkan
pernapasan. Ki Jalu Kuping
dipandanginya
dengan tajam, seakan punya niat untuk
membalas
tindakan yang merugikan hidupnya itu.
Tentu saja
Suto merasa dirugikan hidupnya.
Sekalipun ia
bisa berdiri tegak dan tenaganya seperti
pulih
kembali, tapi ia tak suka dengan perawakan Badra
Sanjaya.
Apalagi rambut ikal dan kumis tipis itu,
sungguh
memuakkan bagi Suto Sinting.
"Ingat,
namamu sekarang adalah Badra Sanjaya,
murid Ki Jalu
Kuping!" sambil Ki Jalu Kuping menepuk
dadanya
sendiri. "Kau bukan lagi Suto Sinting, dan
tugasmu bukan
lagi menangkap Badra Sanjaya,
melainkan
menghancurkan Ratu Dekap Rindu serta
menghancurkan
penjara sukma muridku!"
"Persetan
dengan penjelasanmu!" geram Suto Sinting
sambil
melangkah hampiri bumbung tuaknya, karena ia
melihat
bumbung tuaknya tergeletak di atas sebuah rak,
tempat
menaruh barang-barang dapur dan peralatan
lainnya.
Sedangkan Ki Jalu Kuping hanya terkekeh-
kekeh
kegirangan, sampai berputar menari-nari karena
merasa akan
berhasil menyelamatkan muridnya itu.
"O,
ya.... Hoi, Nak...!" serunya sambil hampiri Suto,
"Jangan
lupa, cari orang yang bernama Jantra Loya! Jika
ia terpenjara
juga, bebaskan pula dia, Nak!"
Pendekar
Mabuk tak hiraukan perintah itu. Ia
menenggak
tuaknya. Badannya menjadi lebih segar lagi.
Tapi tetap
saja ia memakai badannya si Badra Sanjaya
itu.
"Pribadimu
dan ilmumu tetap utuh. Hanya ragamu
saja yang
berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki Jalu
Kuping saat
Suto ingin tinggalkan tempat itu.
*
* *
4
RUPANYA
memang tidak ada yang berubah pada
diri Suto
kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa
berlari cepat
menyerupai kecepatan cahaya. Zlaaap...!
Berarti jurus
'Gerak Siluman' masih dimilikinya.
Beberapa
jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada
padanya.
"Tapi
risi sekali pakai raga seperti ini!" gerutu Suto
dalam hati.
"Kumis ini lho, ah...! Kalau ada beling
kepingin
kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai
kumis! Bikin
gatal saja!"
Sambil menuju
ke Bukit Kemesraan, Pendekar
Mabuk dalam
sosok Badra Sanjaya itu masih
menenteng-nenteng
bumbung tuak. Ia sempat berpikir
tentang
kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu.
"Kuakui
dia berilmu tinggi. Menakjubkan sekali yang
namanya ilmu 'Sewaka Sukma'-nya itu. Rasa-rasanya
aku ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus
'Petir
Jinak' yang
mengenaiku. Dahsyat juga jurus itu. Tapi...
kurasa Ki Jalu Kuping tak akan mau menurunkan
ilmunya
kepadaku."
Beruntung
saja si Ki Jalu Kuping adalah tokoh aliran
putih. Hal
itu membuat Suto sedikit lega dan merasa
tidak
menyimpang dari jalur langkahnya sebagai
pendekar
beraliran putih. Makin lama merenungi sifat
dan perilaku
Ki Jalu Kuping, akhirnya Suto kehilangan
rasa dendam
dan murkanya kepada tokoh berhidung
bengkok itu.
Yang ada hanya rasa jengkel dan gemas.
Tapi bukan
merupakan sebuah kebencian yang dalam.
"Kuakui,
Ki Jalu Kuping itu cukup berani. Mestinya
ia tahu siapa
diriku, sebab aku yakin dia bisa melihat
noda merah di
keningku yang merupakan tanda bahwa
diriku adalah
Manggala Yudha, panglimanya Ibu Ratu
Kartika
Wangi. Apakah dia tidak kenal dengan Ibu Ratu
Kartika
Wangi? Berarti dia akan semakin tidak tahu
bahwa aku
adalah calon menantunya Ibu Ratu Kartika
Wangi dan
akan menikah dengan putrinya yang bernama
Dyah
Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu
itu?!"
Langkah demi
langkah berlanjut terus. Renungan
demi renungan
menyertai langkah tersebut.
"Tapi
benarkah keterangan Ki Jalu Kuping tentang
Ratu Dekap
Rindu itu? Benarkah sang Ratu adalah tokoh
beraliran
hitam? Mengapa Yundawuni memintaku untuk
datang dan
berkenalan dengan Ratu Dekap Rindu,
hingga
perempuan itu berani menyewaku mahal untuk
menangkap
Badra Sanjaya? Dan... dan benarkah Badra
Sanjaya tidak
membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang
selalu dibutuhkan oleh sang Ratu?! Ah, sayang
sekali
aku tidak
menanyakan kehebatan pusaka 'Jarum Surga'
itu, sehingga
aku tidak akan tahu jika ada orang
menggunakan
pusaka tersebut. Aku hanya diberi tahu
bahwa pusaka
itu mirip sebuah tombak tapi pendek."
Sampai di
kaki Gunung Dara, Pendekar Mabuk
hentikan
langkah sebentar, ia menenggak tuaknya, dan
mencoba
memandang alam sekeliling untuk mencari
sebuah desa.
Ia ingin mengisi bumbung tuaknya di
sebuah kedai
yang ada di desa terdekat.
"Apakah
Yundawuni juga tidak tahu bahwa Ratu
Dekap Rindu
itu adalah tokoh aliran hitam? Atau dia
sebenarnya
tahu tapi berlagak tidak tahu?! Oh, kalau
benar begitu
berarti dia menjebloskan diriku hingga
terlibat
urusan yang bersifat memihak golongan hitam?!"
Suto ingat pertemuannya dengan Yundawuni
beberapa hari
yang lalu. Setelah ia berhasil sembuhkan
Yundawuni
dari bencana racun 'Asmara Kubur', ia pun
segera
berpisah dengan perempuan cantik yang
menamakan
dirinya Dewi Kesepian itu. Pendekar
Mabuk segera
membantu si Rupa Setan alias Anjardani
dalam suatu perkara lain.
Beberapa
waktu kemudian, ia berpisah dengan
Anjardani
karena si Rupa Setan yang ternyata berwajah
cantik itu
harus menemui seorang sahabatnya di sebuah
pulau.
Pendekar Mabuk bermaksud memberi kabar
kepada
gurunya; si Gila Tuak, bahwa ia telah berhasil
menolong
Yundawuni. Tetapi ia segera bertemu dengan
Yundawuni
sendiri.
"Kebetulan kita bertemu di sini,
Suto," kata
Yundawuni.
"Aku ingin meminta bantuanmu sekai ini
demi seorang
sahabat."
"Soal
racun juga?"
"Bukan,
tapi tentang pusaka yang dibawa lari oleh
seseorang
yang bernama Badra Sanjaya. Untuk lebih
jelasnya,
sebaiknya kau ikut aku ke Bukit Kemesraan
dan mendapat
keterangan lebih lengkap dari sahabatku
itu."
Sebenarnya
Suto ingin menolak, tapi Yundawuni
membujuk
terus dengan wajah sedih, dengan alasan
ingin
membalas jasa baik temannya itu yang pernah
menolongnya
beberapa saat yang lalu. Rasa tak tega
membuat Suto
Sinting akhirnya berangkat ke Bukit
Kemesraan
bersama Yundawuni.
Di sana ia
bertemu dengan pengawal kepercayaan
Ratu Dekap
Rindu yang bernama Laras Wulung.
"Sayang
sekali Nyai Ratu sedang di kuil pamujan,"
kata Laras
Wulung. "Biasanya jika beliau sudah masuk
kuil pamujan,
bisa dua-tiga hari baru keluar, dan selama
di sana tak
bisa diganggu gugat siapa pun."
"Kurasa
cukup kau saja yang menjelaskan segalanya
kepada
sahabatku, Suto Sinting ini," usul Yundawuni.
Laras Wulung
perempuan berwajah cantik yang
usianya
sekitar dua puluh lima tahun. Namun ia sudah
cukup banyak
mendapatkan ilmu dari Ratu Dekap Rindu
dan menjadi
pengawal tertinggi ilmunya di antara para
pengawal
istana itu. Ia bukan saja cantik, tapi juga punya
daya tarik
pada tubuhnya yang elok, meliuk sekal
dengan dada tak terlalu montok namun menonjol
keras
bagai
menantang adu kemesraan setiap saat.
Matanya yang
indah berbulu lentik itu menatap Suto
Sinting sejak
tadi. Dari tatapan matanya, Yundawuni
tahu bahwa
Laras Wulung terpesona terhadap
ketampanan
Suto. Yundawuni kurang setuju jika sampai
Laras Wulung
berhasil menjerat hati Pendekar Mabuk,
oleh sebab
itu ia segera mendesak Laras Wulung untuk
segera
memberi keterangan tentang pusaka "Jarum
Surga' yang
dibawa lari oleh Badra Sanjaya itu.
"Padahal
pihak kami sudah sebegitu baik kepada
Badra
Sanjaya, sudah kami anggap orang kami sendiri,
tapi ternyata
Badra Sanjaya tega berbuat selicik itu
kepada kami,
terutama kepada Nyai Ratu...," ujar Laras
Wulung yang
mengenakan pakaian serba biru kehitam-
hitaman, dan
kain penutup bagian bawahnya yang
berbelahan
panjang itu berwarna merah tua.
Setelah
mendapat keterangan dari Laras Wulung,
Yundawuni
mendesak Suto agar segera tinggalkan
istana,
karena Yundawuni semakin khawatir melihat
senyum Suto
selalu mekar ditujukan kepada Laras
Wulung. Ia
tak suka melihat Suto cengar-cengir kepada
perempuan
lain di depannya. Lebih baik ia tak melihat
jika Suto
memang ingin bersikap begitu kepada
perempuan
mana pun.
"Sebenarnya
yang menjadi sahabatmu Nyai Ratu
atau...."
"Laras
Wulung!" sahut Yundawuni kala itu.
"Ooo...,"
Suto manggut-manggut.
"Karena aku tak suka kalau dia ingin menaklukkan
hatimu. Bisa
putus persahabatanku dengannya." -
Pendekar
Mabuk hanya bisa tertawa pelan, sementara
Yundawuni
yang cantik dan bersuara serak-serak mesum
itu tampak
cemberut kesal.
"Kau
tadi mendengar sendiri ucapan Laras Wulung,
bukan?"
"Yang
mana?"
"Walau
tanpa Nyai Ratu, tapi kau sudah resmi disewa
oleh pihak
Bukit Kemesraan sebagai pemburu bayaran
terhadap
Badra Sanjaya yang diperkirakan lari ke
Gunung
Dara."
"Yang
jelas, jika sebuah pusaka jatuh di tangan sesat
akan
berakibat buruk bagi kita semua!"
Ingatan Suto
saat pertemuan dengan Yundawuni itu
terputus, dan
langkahnya pun terpaksa berhenti
mendadak.
Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget
ketika
tiba-tiba dari atas pohon di depannya meluncur
turun sesosok
bayangan berwarna kuning.
Wuuuut,
jleg...!
"Oh,
seorang gadis?!" sentak batin Suto. "Wah,
sepertinya ia
bermaksud tak beres padaku. Pandangan
matanya yang
bundar indah itu memancarkan sinar
permusuhan.
Hmmm... tangannya juga sudah memegang
gagang
pedang. Gawat juga gadis ini! Apa maunya tahu-
tahu turun
dari atas pohon. Apa mau pamer kalau dia
bisa melompat
seperti seekor harimau bergincu?"
Gadis itu tak
sunggingkan senyum sedikit pun pada
Suto.
Pakaiannya yang serba kuning itu dibiarkan sangat
kontras dengan warna pedangnya yang sepertinya
terbuat dari
perunggu, hingga sarung pedangnya pun
terbuat dari
perunggu berwarna kehitam-hitaman. Gadis
berusia
sekitar dua puluh dua tahun itu mempunyai
rambut
pendek, tapi mengenakan ikat kepala dari tali
merah.
Sisanya terjulur turun dan jatuh melewati
pundak, di
dada kiri.
Seperti
biasanya, Suto sunggingkan senyum ramah
yang
memancarkan daya pikat tinggi kepada orang yang
bersikap
memusuhinya. Tapi kali ini senyum Suto
agaknya tak
begitu dipedulikan oleh gadis hidung bangir
dan berwajah
mungil itu.
"Saatnya
menebus dosa telah tiba! Bersiaplah!"
geram gadis
itu, lalu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Eh,
hmmm... maaf, mengapa kau memusuhiku,
Nona? Siapa
kau sebenarnya?"
"Berlagak
picak kau, hah?! Tak perlu berpura-pura di
depanku! Aku
tak akan punya waktu untuk luluh dalam
rayuanmu
lagi, Keparat! Hiaaat...!"
Weeess...!
Pedang itu menebas cepat, hampir saja
membelah
pundak kanan Suto Sinting jika ia tidak
segera
berkelit ke kiri dengan gerakan limbung, seperti
orang mabuk
mau jatuh. Kemudian Suto memutar tubuh
hindari
serangan yang datang dari tendangan kaki gadis
itu.
Wuuuk...!
Weess...!
Suto melompat agak jauh dengan gerakan
jungkir balik
di udara, kemudian berdiri tegak di bawah
sebuah pohon
yang berjarak lima langkah dari gadis
berbibir
seperti kuncup mawar itu.
"Kumohon jelaskan dulu apa persoalannya
hingga
kau
menyerangku, Nona Cantik!"
"Tak ada
waktu lagi bagi seorang pengkhianat
sepertimu,
Setan! Hiaaaat...!"
Gadis itu memutar tubuhnya. Wees...! Ternyata ia
melemparkan
senjata rahasia berupa logam putih
berkilauan
yang berbentuk bintang segi empat. Zliing...!
Juuurb...!
Kalau saja
Pendekar Mabuk tidak bergerak cepat ke
kanan, maka
senjata itu pasti akan kenai tengah dahinya.
Untung ia
berkelit ke kanan dan senjata itu akhirnya
menancap pada
batang pohon di belakangnya.
Tapi gadis
itu segera menyerang Suto lagi dengan
pedangnya yang
dihujamkan satu kali ke arah dada Suto.
Hujaman
pedang itu dilakukan sambil lakukan lompatan
cepat.
Wuuus...! Dan murid si Gila Tuak itu segera
menangkisnya
dengan bumbung tuak. Traaang...! Bunyi
benturan
pedang dengan bumbung seperti bunyi
benturan
pedang dengan baja.
Tangan Suto
segera menghadang pukulan telapak
tangan si
gadis dengan mengadu telapak tangannya juga.
Plaaak,
blaaar...!
Gila! Si
gadis terpental enam langkah ke belakang
dan jatuh
terbanting akibat ledakan yang timbul dari adu
telapak
tangan tadi. Rupanya si gadis punya tenaga
dalam cukup
besar dan disalurkan melalui telapak
tangannya.
Sementara Suto Sinting secara refleks
keluarkan
tenaga dalamnya juga ketika telapak
tangannya
harus menahan pukulan lawan.
Gadis itu terengah-engah,
wajahnya menjadi pucat
dan ia
memegangi dadanya yang terasa sakit akibat
gelombang
ledakan tadi. Rupanya gelombang ledakan
itu
menghantam dadanya dan membuat pernapasannya
sesak,
seluruh permukaan dadanya bagai terbakar api.
"Kasihan
dia...," gumam Pendekar Mabuk. "Disuruh
menjelaskan
persoalannya malah menyerang, akibatnya
ya begitu
itu!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Hentikan
tindakanmu yang gegabah ini, Nona. Aku
merasa tidak
punya persoalan denganmu, kuharap kita
jangan saling
bermusuhan!"
Gadis itu
bangkit dengan wajah berangnya.
"Meninggalkan
diriku dalam keadaan telah kau nodai,
kau anggap
bukan persoalan?!"
"Lho...?!"
Pendekar Mabuk terbelalak kaget
mendengar
tuduhan itu. "Ketemu saja baru kali ini kok
langsung
menuduh telah menodainya?! Jangan-jangan
gadis ini
gila turunan?!"
"Kau
memang jahanam busuk, Badra!" geram si
gadis.
Akhirnya Suto
Sinting terbengong dengan hati
memendam rasa
dongkol-dongkol geli. "Ooo... rupanya
dia melihat
sosokku adalah sosok Badra Sanjaya, maka
dia
menganggap diriku adalah si Badra Sanjaya! Pantas
dia
menyerangku dengan ganas. Wah, tapi bagaimana
harus
menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Suto
Sinting,
bukan Badra Sanjaya. Pasti dia tak akan percaya
kalau aku bukan
Badra Sanjaya."
Terdengar
suara gadis itu berkata, "Kau telah
menyakiti hatiku, Badra! Tidakkah kau tahu,
bahwa Sriti
Kuning tak
akan berhenti mengejar orang yang telah
menyakiti hatinya sebelum orang itu masuk ke liang
kubur?!"
seraya ia menuding dirinya sendiri. Suto jadi
tahu bahwa
gadis itu bernama Sriti Kuning.
Suto masih
bingung menjelaskan siapa dirinya,
sehingga ia
tak tahu harus bersikap bagaimana kepada
Sriti Kuning.
Membantah telah menodai Sriti Kuning
hanya akan
memperuncing permusuhan dan
memperbesar
kebencian si gadis.
"Kau ke
manakan pedangmu, Badra?! Ambillah dan
kita
bertarung untuk tentukan siapa yang mati di antara
kita
berdua!"
"Hmmm...
hmmm... kuharap tak ada yang mati di
antara kita
berdua," ujar Suto dengan kikuk.
"Harus
ada!" tegas Sriti Kuning. "Aku lebih baik mati
daripada
melihatmu bermesraan dengan perempuan
jahanam
itu!"
"Siapa
yang kau maksud dengan perempuan
jahanam?"
"Siapa
lagi kalau bukan si Sunting Sari keparat itu!"
Pendekar
Mabuk terperanjat lagi walau hanya
sekejap. Nama
Sunting Sari bukan nama asing baginya,
ia mengenal
Sunting Sari sebagai orang Partai Janda
Liar, yang
sekarang menjadi ketua partai tersebut, (Baca
serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara Janda
Liar").
"Oh,
rupanya Badra Sanjaya punya hubungan asmara
dengan
Sunting Sari?! Hmmm... kalau begitu, daripada
aku mengaku bukan Badra Sanjaya nanti akan
jadi
bertambah
memperuncing persoalan, lebih baik kuatasi
saja amarah
gadis ini!" pikir Suto Sinting.
Gadis itu
maju beberapa langkah dengan pedang siap
digunakan
untuk membunuh Suto Sinting. Tetapi sang
Pendekar
Mabuk bersikap kalem dan tak menunjukkan
niat melawan
kemarahan Sriti Kuning itu.
"Seenaknya
saja kau pergi dariku setelah kau hisap
habis maduku,
lalu kau ingin berpindah ke pelukan
Sunting
Sari?! Hmmm...! Jadikan dulu aku sebagai
bangkai baru
kau boleh bercinta sepuas hatimu dengan
Sunting
Sari!"
"Sriti
Kuning!" sapa Suto dengan nada lembut. "Kau
terlalu
cemburu dan cemburuanmu itu termasuk
cemburu buta.
Sebenarnya aku tak ada hubungan apa-
apa dengan
Sunting Sari!"
"Dusta!"
bentak Sriti Kuning membuat Suto yang
kalem dan
tenang itu jadi terlonjak kaget, lalu segera
buang muka
untuk sembunyikan tawa geli atas
kekagetannya
tadi.
"Kulihat
dengan mataku sendiri, kau berciuman
dengannya di
tepi sungai, di balik batu yang kau anggap
dapat untuk
sembunyikan kebusukanmu itu, Badra!"
Suto sengaja
perlebar senyum dan tertawa pelan, ia
maju dua
langkah, akhirnya saling berhadapan dalam
jarak satu
langkah.
"Sriti
Kuning, kau tak tahu siasatku rupanya.
Bukankah kau
pun tahu bahwa Sunting Sari itu orang
Partai Janda
Liar? Sedangkan aku punya urusan dengan
ketua partai itu yang bernama Selimut Senja
alias si
Janda Liar
itu sendiri. Urusanku adalah urusan pusaka,
dan aku
menyiasati Sunting Sari agar mau mencuri
pusaka panah
emas itu. Tetapi...."
"Apakah
kau belum mendengar kabar bahwa Selimut
Senja telah
tewas di tangan Pendekar Mabuk, hah?!"
potong Sriti
Kuning dalam bentakan yang lantang.
"Justru itulah,
maka aku menyesal sekali telah
berpura-pura
jatuh cinta pada Sunting Sari. Setelah dia
kuajak bicara
tentang pusakanya Selimut Senja, dia
mengatakan
bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan
Pendekar
Mabuk, dan pusaka panah emas itu telah
dikembalikan
kepada pemilik sebenarnya, yaitu
Begawan
Parang Giri!"
Tentu saja
Suto Sinting dapat menjelaskan tentang
hal itu, karena memang ia pernah terlibat
persoalan
panah emas
itu dan dibantu oleh Sunting Sari, (Baca
serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Bencana
Selaput
Iblis"). Akibat penjelasan tentang pusaka yang
pernah
didengar oleh Sriti Kuning itu, maka gadis
tersebut
akhirnya diam tertegun dengan wajah masih
cemberut dan
mata memandang tajam, tapi Suto tahu
gadis itu
dalam kebimbangan bersikap.
"Maka
setelah kutahu Selimut Senja sudah tewas,
untuk apa aku
masih mendekati Sunting Sari? Sudah
sepantasnya
kalau sampai saat aku berdiri di depanmu
ini, Sunting
Sari sudah kulupakan. Tak ada seujung
rambut pun
wajah Sunting Sari yang tertinggal dalam
benakku,
Sriti Kuning."
Gadis itu masih diam membisu dengan mata
pancarkan
keraguan.
"Tapi
jika kau anggap hal itu menyakiti hatimu, aku
minta maaf
padamu, Sriti Kuning. Jika kau belum puas,
silakan
penggal kepalaku sebagai hukumannya dan
sebagai tanda
bahwa aku tidak mencintai terhadap
Sunting
Sari!"
Pendekar
Mabuk segera berlutut di depan Sriti
Kuning,
mengulurkan lehernya seakan siap dipenggal.
Tapi kedua
tangannya memegangi bumbung tuak, buat
persiapan
kalau-kalau Sriti Kuning benar-benar mau
memenggalnya,
ia sudah siap lakukan tangkisan dengan
bambu tempat
tuak itu.
"Penggallah
aku kalau kau masih menyangka aku
meninggalkan
dirimu, Sriti Kuning!"
Sang gadis
masih diam, sekarang wajahnya bukan
saja cemberut
tapi mempunyai rona duka yang timbul
dari keharuan
hatinya. Matanya pandangi Suto yang
dianggap
Badra Sanjaya itu.
"Mengapa
kau tidak katakan hal itu sebelumnya
padaku?!"
"Aku tak
berani mengatakannya, karena aku takut
menyakiti
hatimu! Sementara itu, aku sendiri terdesak
tugas dari
guruku untuk mengambil panah emas itu,"
kata Suto
dengan penuh waspada.
"Sriti,
lakukan keinginanmu membunuhku. Penggal
kepalaku biar
kau puas dan percaya betul bahwa aku
masih
mencintaimu."
"Seetaaan...!"
teriaknya. Suto sudah hampir angkat
bumbung tuaknya untuk menangkis pedang Sriti
Kuning. Tapi
ternyata teriakan Sriti Kuning itu adalah
teriakan
membuang penyesalan dalam hatinya, ia berlari
ke pohon
samping dan menangis di sana dengan
genggaman
pedang melemah.
"Uuhf...!
Untung tak benar-benar dipenggal," gumam
Suto dalam
hati. Lalu, ia segera hampiri gadis itu.
"Sriti,
pandanglah aku! Pandanglah kobaran api
cintaku lewat
kedua bola mataku ini. Kau akan
melihatnya
dengan lebih jelas lagi, Sriti...."
"Badra...!"
Sriti Kuning hamburkan tangis sambil
memeluk Badra
Sanjaya palsu itu.
"Maafkan
aku, Badra...! Aku tidak mungkin tega
membunuhmu,
karena aku tak ingin kehilangan dirimu,
Badra!"
"Aku pun
tak ingin kehilangan dirimu, Sriti! Kau
adalah
mahkotaku, harapan damai di masa depanku, Sriti
Kuning."
"Oooh...
Badra...," pelukan itu semakin erat. Rupanya
gadis itu benar-benar merindukan Badra Sanjaya,
sehingga
sambil masih menitikkan air mata, ia menciumi
Suto yang
dianggap Badra Sanjaya itu.
"Lumayan
dapat rezeki tiban...," gumam Suto dalam
hati
kegirangan, ia bahkan membalas ciuman Sriti
Kuning dengan
sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu.
Cuuup...!
Tapi rupanya
gadis itu membalas kecupan itu dengan
lumatan bibir
yang mendebar-debarkan hati Suto
Sinting.
Untuk menjaga jangan sampai membakar
gairah, Suto bermaksud melepaskan kecupan
bibir itu.
Tapi Sriti
Kuning makin mempererat pelukan dan
melumat bibir
itu dengan lebih ganas lagi. Gadis itu
seperti singa
kehausan di padang pasir yang segera
menemukan
telaga berair bening.
"Ooh,
Badra...," keluhnya di sela napas yang
memburu, ia
menciumi leher Suto Sinting dengan
pedang
dilepaskan begitu saja dan tangannya merayap ke
mana-mana.
Tangan itu mengusap dan meremas apa pun
yang dapat
diremas. Dan hal itu telah membuat gairah
Suto terbakar
berkobar-kobar.
"Wah,
gawat kalau begini...," gumam Suto dalam
hati.
"Badra,
aku rindu... aku rindu cumbuanmu, Badra.
Oooh...
ambillah, ambillah ini, Badra...."
Sriti Kuning
tak malu-malu lagi melebarkan belahan
bajunya.
Breeet...! Terlepaslah baju itu, ternyata tak ada
pelapis lain
di balik baju tersebut. Maka dua bukit yang
sekal
menantang itu tampak jelas di mata Suto.
"Badra,
lekas ambillah... sudah lama aku tak
merasakan
pagutan bibirmu, Badra...."
Pendekar
Mabuk hanya berkata dalam hatinya,
"Yaaaah...
daripada kena angin sia-sia, santap sajalah
apa
adanya...."
"Aaaauh...!"
Sriti Kuning memekik ketika Suto
menyambar
salah satu gumpalan dada itu dengan
lahapnya. Ia
seperti bayi yang kehausan, dan Sriti
Kuning
agaknya sangat menyukai tindakan itu.
"Ooh,
Badra... kau lebih hebat dari biasanya. Kau
lebih pandai membuatku melayang-layang,
oouuh... aku
tak tahan,
Badra...," rengek Sriti Kuning. Kemudian ia
menarik ikat
pinggang Suto. Terlepaslah baju hijau itu,
terlepas pula
segalanya. Suto meremas lembut rambut
kepala
Sriti Kuning, dan remasan itu membuat
Sriti
Kuning
merasakan gairahnya semakin dicambuk oleh
keindahan.
"Badra...
lakukan sekarang, lakukanlah sekarang,
Badra...!"
Sriti Kuning
telah siap. Cawan anggur kehangatan
menunggu tamu
datang meneguknya tuntas. Tapi sang
tamu
ragu-ragu untuk meraih cawan anggur itu.
"Haruskah
kulakukan?!" pikir Suto Sinting.
"Haruskah
kuberikan apa yang diharapkan Sriti Kuning
ini? Aku
adalah Suto, tapi ragaku adalah Badra Sanjaya.
Jika
kuberikan kehangatanku kepadanya, apakah berarti
aku menodai
cinta suciku kepada Dyah Sariningrum?
Jika sampai
kuberikan, siapa yang berbuat sebenarnya?
Suto atau
Badra Sanjaya?!"
"Badra,
kita tak punya banyak waktu. Aku harus
segera
kembali ke padepokan, karena Guru ingin
bertemu
denganku!"
"Ak...
aku juga harus segera menemui seseorang,
karena
amengutusku menyelesaikan masalah
secepatnya."
"Oh,
Badra... jangan berdiri saja di situ. Peluklah aku,
Badra...."
Suto segera
merendah, tapi berdiri lagi dengan
gelisah.
"Ayolah, Badra... jangan siksa rinduku
ini! Lekaslah,
Sayang...,"
rengek Sriti Kuning tampak tak sabar sekali.
Suto
benar-benar bingung tentukan langkah; maju
atau mundur?
Atau... maju-mundur-maju-mundur?!
*
* *
5
SEBELUM menyeberangi sungai yang merupakan
perbatasan
wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar
Mabuk
terhenti karena ulahnya sendiri. Suara ledakan di
sebelah utara
membuatnya hentikan langkah. Hati pun
berdebar
sekejap sambil berucap, "Ada pertarungan...!"
Pendekar
Mabuk paling hobi ngintip pertarungan.
Terlepas
apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi
sebuah
pertarungan merupakan ladang pendidikan ilmu
tambahan
baginya. Dengan memperhatikan jurus-jurus
yang dipakai
oleh pihak yang bertarung, Pendekar
Mabuk akan
dapat mengantisipasi seandainya ia bertemu
dengan lawan
yang menggunakan jurus seperti yang
dilihatnya
itu.
Dari
ketinggian sebatang pohon beringin liar,
Pendekar
Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di
sebidang
tanah datar itu. Pepohonan yang tumbuh di
tempat
tersebut berjarak renggang, sehingga memberi
peluang
lebih bebas lagi bagi pihak yang
terlibat
pertarungan.
"Oh,
rupanya si wajah dingin itu yang lakukan
pertarungan?!"
ujar Suto membatin sambil pandangi
lelaki
berwajah dingin yang mengenakan jubah merah.
Suto kenal
betul dengan lelaki berusia sekitar enam
puluh lima tahun yang berambut putih panjang meriap
tanpa ikat
kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan
lelaki
berbadan agak gemuk itu dalam sebuah
pertarungan. Suto
selalu ikut campur karena demi
selamatkan
lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu
karena tak rela melihat lelaki kejam itu hancurkan
lawannya.
Lelaki itu
adalah Pangkar Soma, murid mendiang
Tengkuk Cadas
yang punya jurus berbahaya bernama
jurus 'Hujan
Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat
beberapa
korban jurus 'Hujan Petaka' yang rata-rata mati
dalam keadaan
menjadi bubur busuk. Hujan darah yang
dapat
didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu
mengandung
racun yang membusukkan tulang dalam
waktu
singkat. Jika seseorang tersiram hujan merah
kiriman
Pangkar. Soma, maka tulang dalam raga orang
tersebut akan
cepat menjadi busuk, lalu mati dalam
keadaan
menjijikkan, kecuali jika orang itu
menggunakan ilmu lilin yang antiair, seperti jurus
'Balsam
Tengkorak' yang dimiliki oleh si Kapas Mayat
dan pernah
digunakan pada saat bertarung melawan
Pangkar Soma,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode :
"Gadis Tanpa Raga").
"Orang
ini memang berbahaya sekali!" pikir Suto.
"Demi memperoleh apa yang diinginkan ia
tak akan
pernah peduli
dengan orang lain yang menjadi korban
tak bersalah
dari jurus-jurus mautnya itu! Dan lagi,
ooooh...?!"
Suto Sinting
terkejut, seperti baru menyadari ada
sesuatu yang
lebih penting mendapat perhatian darinya
tapi hampir
saja dilalaikan. Pandangan mata Suto pun
tertuju ke
arah lawan si Pangkar Soma yang tadi
terpuruk di
bawah pohon karena terpental oleh
gelombang
ledakan adu kekuatan tenaga dalam.
Ternyata
lawan si Pangkar Soma adalah seorang
gadis cantik
berambut pendek bagian depan, tapi bagian
belakangnya
panjang sepunggung. Gadis itu berjubah
biru tanpa
lengan, pakaian dalamnya biru muda tipis
tembus
pandang, sehingga dadanya yang montok sekal
itu tampak
membayang di mata setiap lelaki yang
berhadapan
dengannya.
"Tenda
Biru...?!" gumam Suto Sinting menyebut
nama gadis
yang pernah diselamatkan dari jurus 'Sabda
Sirna'-nya
mendiang Nyai Ronggeng Iblis itu. Tenda
Biru itulah
yang dulu disebut juga sebagai Gadis Tanpa
Raga. Jika
tanpa bantuan Suto, mungkin ia tetap tanpa
raga dan tak
bisa memamerkan keindahan tubuhnya
yang sexy
sekali itu.
"Kematian
Nyai Ronggeng Iblis harus kau tebus
dengan
nyawamu, Tenda Biru! Gara-gara ulahmu itulah,
Nyai Ronggeng
Iblis akhirnya tewas dan ilmu yang
kumiliki tak
bisa menyatu dengan ilmunya, sehingga aku
batal menjadi
orang terkuat di rimba persilatan ini!
Sebelum tubuhmu hancur lebur, tak puas aku
hidup di
dunia
ini!" seru Pangkar Soma.
"Rupanya
si Pangkar Soma mendendam kepada
Tenda Biru
karena gadis itu dianggap sebagai biang
kematian Nyai
Ronggeng Iblis!" pikir Suto Sinting yang
telah
mengetahui perihal penyatuan ilmu Pangkar Soma
dengan
ilmunya Nyai Ronggeng Iblis, yang dapat
menjadikan
satu kekuatan maha sakti dan sukar
dikalahkan
itu.
"Sekarang
terimalah kematianmu yang akan penuh
siksaan ini,
Tenda Biru!" seru Pangkar Soma sambil
mencabut
cambuk pusakanya dari pinggang.
"Gawat!
Dia pasti akan pergunakan jurus 'Cambuk
Iblis'-nya
yang berbahaya itu?!" gumam Suto Sinting
dengan
tegang.
Maka sebelum
cambuk itu dilecutkan, Suto Sinting
segera
berkelebat menerjang Pangkar Soma dari
samping
kanan. Jurus 'Gerak Siluman' digunakan,
sehingga
kecepatan gerak yang menyamai kecepatan
cahaya itu
tidak bisa dihindari oleh Pangkar Soma.
Zlaaaap...!
Bruuuusss...!
"Aaauh...!
Bangsaaat...!" teriak Pangkar Soma sambil
terpental
tunggang langgang hingga membentur
sebatang
pohon dengan kerasnya.
Duuurr...!
Pohon itu bergetar hebat, daun-daunnya
berguguran
dan menimbuni tubuh Pangkar Soma yang
terpuruk di
bawah pohon itu.
Tenda Biru
kaget dan kerutkan dahi sambil menahan
rasa sakit di dalam dadanya, ia pandangi pemuda yang
datang membantunya
dalam keadaan kekuatannya
banyak
berkurang akibat adu tenaga dalam tadi.
Sementara
itu, Suto Sinting tak pedulikan keadaan
Tenda Biru
yang merasa terheran-heran. Ia lebih
memperhatikan
cambuk si Pangkar Soma yang gagal
disambarnya
tadi. Cambuk itu masih ada dalam
genggaman
Pangkar Soma, dan kini Pangkar Soma telah
bangkit
kembali dengan menggeram penuh nafsu untuk
membunuh.
"Jahanam
kau...!" Pangkar Soma menuding Suto.
"Rupanya
kau sudah berani ikut campur urusanku, Badra
Sanjaya!"
"Aku
bukan Badra Sanjaya!" seru Suto Sinting. Tapi
sebelum ia lanjutkan ucapannya, Pangkar Soma telah
lepaskan
murkanya sambil berseru keras-keras.
"Kau
pikir aku telah buta! Panggil gurumu: si Jalu
Kuping!
Kuhancurkan sekalian dia seperti dirimu saat
ini!
Heeeaaah...!"
Ctaarrr...!
Cambuk merah itu dilecutkan ke arah
kepala Suto
Sinting yang memakai raganya Badra
Sanjaya itu. Lecutan cambuk mengeluarkan sinar-sinar
merah seperti
jarum yang menerjang kepala Suto.
Zuurrp... !
Pendekar
Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya
memutar
kepala. Wuuut...! Satu kibasan membuat
bumbung tuak
itu menghantam sinar-sinar merah seperti
jarum.
Craaaps...! Blegaaar...!
Pendekar
Mabuk terlempar ke atas cukup tinggi
akibat gelombang ledakan itu. Ia jatuh terbanting
dengan
sangat
menyedihkan. Hidungnya langsung berdarah dan
kaki kirinya
terkilir. Sedangkan si Pangkar Soma masih
tegar di
tempatnya, ia hanya tersentak mundur satu
langkah pada
saat terjadi ledakan dahsyat tadi. Kini ia
melepas
lecutan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Modar
kau, Jahanaaam...! Hiaaah...!"
Ctaarrr...!
"Uuuukh...!"
Suto Sinting mengejang dengan wajah
menyeringai
kesakitan. Cambuk itu memercikkan
cahaya merah
lebar dan menghantam pinggangnya. Luka
koyak bagai
terkena sabetan samurai tampak memerah
panjang di
pinggang Pendekar Mabuk.
"Oouh...!
Gila! Luka ini panas sekali. Tubuhku terasa
sedang
terpotong pelan-pelan dan, oh... benar! Luka ini
makin
memanjang!" keluh Suto dalam hati.
Melihat
keadaan si penolongnya dalam bahaya,
Tenda Biru
segera memaksakan diri dengan
mengerahkan
tenaga yang tersisa. Satu lompatan cepat
dilakukan
oleh Tenda Biru sambil mengarahkan
pedangnya ke
punggung Pangkar Soma yang ingin
melecutkan
cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Hiaaaat...!"
Tenda Biru serukan teriakan panjang
sebagai
pelampiasan kemarahannya. Namun justru
teriakan
panjang itu telah membuat Pangkar Soma
berbalik arah
dan mengetahui bahaya sedang
mengancamnya.
"Perempuan
jalang kau! Heaahhh...l"
Cambuk itu dilecutkan
dalam gerakan seperti seekor
ular. Slap, slap, slap, taaar...!
"Aaaakh...!"
Tenda Biru terlempar bagai kapas
diterjang
angin. Jurus cambuk yang digunakan Pangkar
Soma kali ini
dapat sebarkan kekuatan badai dalam
sekilas.
Kekuatan badai itulah yang melemparkan Tenda
Biru dalam
keadaan lebih parah lagi.
"Haaaahh...?!"
Tenda Biru terbelalak lebar-lebar
setelah menyadari keadaannya jauh terduduk tanpa
selembar
benang pun. Wajah pucat itu menjadi merah
menahan rasa
sakit dan malu. Ia bergegas bangkit dan
larikan diri
ke balik pohonan sambil mendekap tubuhnya
yang
kehilangan seluruh penutupnya, ia mendekap
dirinya,
menggapit satu tangannya dan memeluk
dadanya
sendiri dengan jantung berdetak-detak
menyakitkan.
"Lihatlah
kejalanganmu, Perempuan Mesum!" teriak
Pangkar Soma.
Ia tak tahu
bahwa saat itu Pendekar Mabuk segera
menenggak
tuaknya, sehingga luka mengerikan itu mulai
merapat
dengan sendirinya, darah menguap bagai
terserap
udara dan menjadi kering tanpa bekas. Pada saat
Pangkar Soma
balikkan badan untuk lakukan serangan
lagi terhadap
lawannya, ternyata Pendekar Mabuk sudah
berdiri tegak
dengan sisa luka yang sedang mengering
dan merapat.
Pangkar Soma terperanjat melihat luka
lawannya
seajaib itu.
Dalam keadaan
sedang terperanjat itulah, Pendekar
Mabuk segera
lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
tubuhnya
menggeloyor seperti orang mabuk yang mau
tumbang, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung
tuaknya
ke perut
Pangkar Soma. Wuuut...!
"Heaaah...!"
Blaaar...!"
Sodokan yang
ditahan dengan telapak tangan Pangkar
Soma itu
mengakibatkan dentuman cukup keras, karena
telapak
tangan Pangkar Soma memberi perlawanan
dengan
keluarkan inti tenaga dalamnya. Sedangkan
sodokan
bumbung tuak itu juga mempunyai kekuatan
tenaga sakti
yang sebenarnya dapat membuat
merontokkan
seluruh urat lawannya.
Tetapi karena
beradu dengan inti tenaga dalam
Pangkar Soma,
maka bumbung tuak itu hanya bisa
lepaskan
ledakan kuat yang menerbangkan Pangkar
Soma.
Wuuuusss...! Bruuukk...!
"Haaaakhh...!"
Pangkar Soma mengerang keras
ketika jatuh
dalam jarak dua belas langkah dari
tempatnya
semula. Sekujur tubuhnya terasa bagai
disayat-sayat
dengan pedang yang habis terpanggang
api. Dari
lengan sampai leher dan mulutnya tampak
membiru
memar. Tentu saja luka itu sangat menyiksa
Pangkar Soma.
"Keparat
bangkai...!" geramnya penuh luapan emosi.
Ketika ia
ingin bangkit, tubuhnya terasa lemas sehingga
terhuyung-huyung
ke samping.
"Oh,
celaka kalau begini. Jantungku semakin
melemah!"
keluh Pangkar Soma dalam hati. "Kalau
diteruskan,
pasti berakibat buruk pada diriku sendiri.
Sebaiknya
kuatasi dulu luka-luka keparat ini!"
Ctaaaaar...!
Pangkar Soma melepaskan sabetan cambuknya pada
saat Pendekar
Mabuk ingin maju menyerang kembali.
Lecutan itu
menyebarkan asap putih kehitam-hitaman.
"Asap
beracun!" sentak hati Pendekar Mabuk, maka
ia cepat
hindari asap itu dengan menutup hidungnya
memakai
tangan kiri. Sambil lakukan lompatan
menghindar,
bumbung tuaknya diputar di atas kepala.
Wuuk,
wuuuk...! Asap beracun itu pun menyebar dan
hilang
tertiup angin.
"Sial!
Ke mana si jahanam tadi?!" gerutu Suto Sinting
dalam hati begitu melihat Pangkar Soma pun lenyap
bersama
hilangnya asap beracun. Rupanya pada saat
Suto sibuk
hindari asap beracun. Pangkar Soma cepat-
cepat larikan
diri dengan bebas tanpa kejaran. Jika tidak
begitu, ia
akan dikejar oleh lawannya, setidaknya akan
dihantam
dengan pukulan jarak jauh yang dapat
membuatnya
semakin lebih parah lagi.
Suto Sinting
hanya bisa menghempaskan napas dalam
satu
sentakan, ia membuang kejengkelannya karena
gagal
lumpuhkan si Pangkar Soma. Tuak pun
ditenggaknya lagi
walau tak sebanyak tadi. Badannya
semakin
terasa segar.
"Oh,
ya... ke mana tadi si Tenda Biru?!" pikirnya
dengan
sedikit terkejut karena baru ingat Tenda Biru.
Pendekar
Mabuk mendengar suara orang terbatuk-
batuk kecil
di balik pohon, ia segera melesat ke arah
pohon
tersebut. Zlaaap...!
"Ooh...?!"
pekik Tenda Biru makin merapatkan diri
dengan pohon,
karena dalam keadaan polos tanpa
selembar benang pun. Suto Sinting baru ingat
hal itu,
tapi ia sudah
telanjur ada di depan Tenda Biru yang
cepat
memunggunginya.
"Wow... keren!" ucap Suto dalam hati dengan mata
sulit
dikedipkan.
"Jangan
pandangi aku, Setan!" bentak Tenda Biru
karena
menyangka orang yang ada di dekatnya adalah
Badra
Sanjaya.
"Pergi
sana! Pergiii...!"
Pendekar
Mabuk tersenyum-senyum sambil
memalingkan
wajah.
"Pergi
ke mana, ya?" gumamnya berlagak bingung
agar tampak
beralasan jika masih ada di tempat.
"Pergi
kau, Ibliiiis...!" seru Tenda Biru, lalu la
terbatuk-batuk
dan keluarkan dahak darah. Pendekar
Mabuk cemas,
lalu segera dekati gadis itu dan sodorkan
bumbung
tuaknya.
"Lekas
minum tuakku, biar lukamu tak menjalar ke
mana-mana!"
"Tidak!
Tidaaak...! Pergi sanaaa...!"
Pendekar
Mabuk keki, kepala Tenda Biru dijuleknya.
Wuuuut...!
"Orang
mau ditolong kok malah bentak-bentak!"
omelnya
sambil bersungut-sungut, ia menjauh dua
langkah, lalu
kembali lagi.
"Ini...
minum dulu tuakku, Tenda Biru!"
"Ak...
aku... aku dalam keadaan seperti ini!
Pejamkan
matamu!"
"Iya,
iya... ini sudah terpejam gitu kok!"
"Yang kiri masih mengintip!"
"Lha,
memang mataku yang kiri kalau terpejam agak
terbuka
sedikit. Maklum, kelopak mataku yang kiri ini
pendek
sebelah, jadi kalau dipejamkan tidak
bisa rapat
seperti yang
kanan!"
"Dasar
jalang!" sentak Tenda Biru. Kemudian ia
menyambar
bumbung tuak itu, tapi kakinya menendang
dengan cepat.
Buuukh...!
Wees,
brruuk...!
"Kampret
kau! Uuuukh...!" Pendekar Mabuk
menyeringai
setelah terpental oleh tendangan itu sejauh
lima langkah
dan jatuh terpuruk begitu saja hingga
sikunya
terasa sakit akibat membentur akar pohon.
Sementara
itu, Tenda Biru cepat-cepat tenggak tuak
tersebut, lalu
meletakkannya di tanah dalam keadaan
disandarkan
pohon, ia bergerak melingkari pohon dan
bersembunyi
di balik pohon sebelahnya.
"Oh,
dadaku yang panas dan sakit tadi mulai terasa
lapang dan
napasku menjadi longgar?!" pikir Tenda Biru
sambil
matanya memandangi sekeliling mencari di mana
pakaiannya
berada.
"Kau
benar-benar gadis edan, Tenda Biru! Sudah
ditolong
malah menyerang!" omel Pendekar Mabuk
sambil
hampiri bumbung tuaknya.
"Kenapa
si keparat itu membelaku?!" gumam Tenda
Biru
membatin. "Kenapa ia mempunyai tuak yang bisa
sembuhkan
lukaku seperti tuaknya Suto? Oh, benar...!
Tuak itu
seperti tuaknya Suto, dan bumbungnya juga
sama! Tapi
mengapa bisa ada di tangan si keparat Badra
Sanjaya itu?!"
Rupanya gadis
itu pernah bentrok dengan Badra
Sanjaya
beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika
diserang oleh
musuh lamanya, dan musuh lamanya itu
dibela oleh
Badra Sanjaya.
Bruuuk...!
Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
menyelubungi
kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan
menghempaskan
sesuatu yang menyelubungi kepalanya.
Ternyata baju
hijau si Badra Sanjaya. Ia menjadi ragu
untuk
membuang baju itu.
"Pakailah
baju itu. Lumayan bisa untuk penangkal
masuk
angin!" ujar Suto Sinting yang berada di balik
pohon tempat
persembunyian Tenda Biru itu.
Tenda Biru
buru-buru mengenakan setelah hatinya
membatin,
"Ini baju si keparat itu! Ah, tapi persetan dulu
dengan siapa
pemilik baju ini. Yang penting aku tidak
terlalu polos
begini!"
Lalu,
terdengar suara Suto Sinting berkata, "Sudah
apa
belum?!"
"Celananya
mana?!"
"Ah,
gila kau! Sudah kuberi baju masih untung kau!
Masih mau
minta celana segala?! Kau pikir aku ini
seekor sapi
yang tidak perlu celana?!"
"Kalau
begitu, jangan dekati aku! Bisa kubunuh kau
kalau
mendekatiku!"
"Pakai
apa kau mau membunuhku, lihatlah ke pohon
tadi...
pedangmu tertinggal di sana!"
"Ambilkan!"
sentak Tenda Biru.
"Ambillah
sendiri! Untuk apa kuambilkan pedang itu
kalau nantinya akan kau pakai untuk
membunuhku,"
gerutu Suto
Sinting terdengar jelas di telinga Tenda
Biru.
Weees...!
Tenda Biru berkelebat menyambar
pedangnya
dalam gerakan cepat. Suto Sinting hanya
tersenyum
sambil sesekali tundukkan kepala
memperhatikan
perutnya yang mempunyai pusar, ia
merasa geli
melihat pusarnya, karena selama ini ia tak
pernah
mempunyai pusar seujung jarum pun, sebab dia
memang pemuda
tanpa pusar, (Baca serial Pendekar
Mabuk
dalam episode : "Bocah Tanpa
Pusar").
Seeet...!
Tiba-tiba Tenda Biru mengarahkan ujung
pedangnya ke
leher Suto Sinting yang tanpa baju itu.
Suto
terperanjat sebentar, lalu sunggingkan senyum.
Tentu saja
senyumannya tidak begitu menarik perhatian
Tenda Biru,
karena senyuman itu bukan senyuman
Pendekar
Mabuk yang dikaguminya.
"Apa
maksudmu mengancamku dengan pedang?!"
"Serahkan
bumbung tuak itu padaku! Cepat...!"
Pedang
didorong sedikit, kepala Suto tersentak ke
belakang
hingga rapat dengan pohon, karena ia tak ingin
lehernya
terluka oleh pedang Tenda Biru.
"Apa
maksudmu, Tenda Biru!"
"Kau tak
perlu berlagak suci! Kau tak perlu
memihakku,
karena ketika aku bertarung dengan Sriti
Kuning, kau
memihaknya dan nyaris membuatku
binasa!"
Suto
membatin, "O, Iya... yang dia tahu pasti aku si
Badra
Sanjaya. Pantas kalau sikapnya sekasar
ini
padaku. Aku harus bisa menjelaskan kepadanya
tentang
hal
ini."
Tetapi
sebelum Suto menjelaskan, Tenda Biru sudah
membentak
lagi dengan kasar.
"Cepat
serahkan bumbung tuak itu! Aku tahu kau
mencuri
bumbung tuak itu dari tangan Pendekar
Mabuk!"
"Tenda
Biru...."
"Jangan
berlagak kalem di depanku, Keparat!
Serahkan
bumbung tuak itu atau kutembus lehermu
dengan pedang
ini!" Tenda Biru semakin garang.
"Aku
bukan Badra Sanjaya, Tenda Biru. Aku adalah
Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu!"
"Kau
pikir aku anak kecil?! Kau sangka mataku
buta?!"
sambil Tenda Biru lebarkan mata, seakan ingin
tunjukkan
bahwa matanya tidak buta.
"Suto
Sinting tidak seburuk wajahmu! Pendekar
Mabuk tidak
berkumis dan sayang kepadaku. Dia tidak
akan membela
Sriti Kuning, bahkan tak akan tega
melepaskan
pukulan berbahaya kepadaku!"
"Aku
memang sayang padamu, Tenda Biru!"
"Diam
kau!" bentaknya makin kasar. "Tak perlu kau
menabur
rayuan padaku, karena aku tahu siapa kau
sebenarnya!
Kau bukan Pendekar Mabuk dan...."
"Aku...."
"Tutup
mulutmu!"
"Iyya...
iya, aku akan tutup mulut, tapi kau tutup juga
mulutmu yang
itu...," sambil mata Suto melirik ke paha
Tenda Biru
yang tidak ikut tertutup kain baju. Maka
seketika itu Tenda Biru merapatkan kedua
kakinya dan
menjadi salah
tingkah sendiri.
"Kurobek
mata jalangmu kalau masih melirik
kemari!"
"Habis
mau melirik ke mana, orang adanya cuma
itu...,"
kata Suto sambil menahan rasa geli. Ia
ingin
tertawa
lepas, tapi takut membuat gadis itu makin panik
dan pedangnya
benar-benar merobek mata.
"Kelilipan
debu masih bisa ditiup atau dicuci, kalau
kelilipan
pedang mau dicuci pakai apa? Ditiup pun akan
semakin
perih," gumamnya dalam hati.
"Lepaskan
celanamu!" sentak Tenda Biru sambil
mengarahkan
pedang ke dada Suto Sinting.
"Ah,
yang benar saja kau...." Suto bersungut-sungut.
"Lepaskan
celanamu!"
"Apakah
kau sudah tak bisa menahan hasratmu
untuk...."
Buukkh...!
Tiba-tiba kaki Tenda Biru berkelebat
menendang
perut Suto, membuat suara Suto terhenti
seketika.
Gerakan menendang itu dilakukan dengan
cepat agar
sesuatu yang tak tertutupi tidak dapat dilihat
oleh mata
lelaki yang ditendang.
"Sekali
lagi kau menanggapku gadis murahan,
pedangku yang
akan bicara!"
"Uuukh...
mual sekali perutku," keluh Suto Sinting.
Tapi ia
segera tarik napas untuk mengatasi rasa sakit dan
mual akibat
tendangan tadi.
"Kuhitung
tiga kali kalau kau tak mau melepaskan
celanamu yang
akan kupakai, pedangku tak akan diam di
depan dadamu, tapi akan menembus sampai ke
punggungmu!"
"Coba
tendang aku lagi seperti tadi," kata Suto
Sinting
sambil matanya melirik ke arah yang ditutup
dengan
telapak tangan kiri dan digapit dengan kedua
kaki itu.
Tenda Biru benar-benar ingin hujamkan
pedangnya,
tapi Pendekar Mabuk segera berkata.
"Tunggu...!
Kau boleh menghujamkan pedangmu
setelah aku
bertemu dengan Panji Klobot!"
Tenda Biru
terperanjat. "Dari mana kau tahu nama
muridku, si
Panji Klobot itu?!"
"Karena
akulah yang bersamanya ketika kau menjadi
gadis tanpa
raga. Akulah Suto Sinting yang mencarikan
obat pemunah
kutukan Nyai Ronggeng Iblis berupa
Bunga
Kecubung Dadar. Akulah yang kau selamatkan
dari tangan
Selimut Senja bersama-sama Pematang Hati
dan Mahligai
Sukma. Akulah Pendekar Mabuk yang
menolongmu
saat kau terluka parah oleh pedangnya
Dewi
Kesepian!"
"Ooh...?!
Kau tahu segalanya tentang itu?!" Tenda
Biru menjadi
gemetar dan berdebar-debar. Matanya
melebar
dengan mulut ternganga bengong.
"Kalau
kau tega membunuhku, bunuhlah sekarang
juga! Kalau
kau tetap menganggapku Badra Sanjaya,
hujamkan
pedangmu ke jantungku. Barangkali memang
begitulah
caramu membalas ciumanku ketika kita berada
di tepi danau
berair kuning, di Bukit Ketapang, tempat di
mana kita
temukan Bunga Kecubung Dadar itu!"
"Ooh...?
Kkkkau... kau...?!" Tenda Biru makin
menggeragap dan tegang sekali. Menurutnya tak
mungkin Badra
Sanjaya mengetahui letak ditemukannya
Bunga
Kecubung Dadar yang telah membuat ia
mempunyai
raga lagi itu.
"Hanya
Suto yang tahu semua itu! Hanya Suto... tapi,
mengapa Badra
Sanjaya mengetahui semuanya?
Benarkah aku
berhadapan dengan Badra Sanjaya atau
berhadapan
dengan Suto Sinting?!" pikirnya dalam
cekaman rasa
gelisah dan kebingungan.
"Mengapa
kau tidak menyebutku dengan sebutan
khas
darimu?"
"Ap...
apa sebutanku kepada Pendekar Mabuk? Coba
katakan,
bagaimana jika aku memanggil Pendekar
Mabuk?"
Wajah Badra
Sanjaya tersenyum tenang. Suto-lah
yang tersenyum sebenarnya, dan ia segera menirukan
sebutan atau
panggilan khas dari Tenda Biru terhadap
dirinya.
"Kau
selalu memanggilku: 'Bocah Sinting!"
Tenda Biru
makin tercengang. "Ooh, kau... kalau
begitu kau
memang si Bocah Sinting itu...?!"
"Nyawaku
sedang disewa oleh Ki Jalu Kuping,
gurunya si
Badra Sanjaya. Ia memindahkan sukmaku ke
raganya Badra
Sanjaya yang terkena jurus 'Ranjang
Goyang'-nya
Ratu Dekap Rindu...," dan segalanya
diceritakan
oleh Suto, sehingga Tenda Biru sempat
trenyuh, lalu tak terasa air matanya meleleh perlahan-
lahan.
"Bocah
Sinting...!" keluhnya dalam keharuan yang
bercampur penyesalan atas sikap kasarnya tadi.
Ia pun
segera
memeluk Suto dan membiarkan tangis
penyesalannya
membasahi dada pemuda tak berbaju itu.
"Tenda
Biru, kumohon bantuanmu untuk menemui
guruku.
Pergilah ke Jurang Lindu dan temui guruku; si
Gila Tuak.
Mintalah keterangan bagaimana cara
memindahkan
sukmaku ke ragaku kembali jika sampai
Ki Jalu
Kuping tak mau melakukan hal itu. Aku tak
ingin
mempunyai raga seperti ini, Tenda Biru."
"Tapi...
tapi bagaimana aku bisa menghadap gurumu
jika aku
tidak mempunyai penutup apa-apa di bagian
bawahku
ini...."
"Iya,
iya... aku tahu. Tapi tak perlu kau menuntun
tanganku
sampai menyentuhnya. Cukup bilang begitu
aku sudah
mengerti bahwa bagian bawahmu butuh
penutup!"
Tenda Biru
sempat tertawa dalam duka keharuannya,
ia jengkel
sendiri hingga merengek dan memukul dada
Suto dengan
pukulan kasih sayang.
"Akan
kucari pakaianmu. Siapa tahu ada di sekitar
sini karena
terhempas angin gaib yang keluar dari
cambukan si
Pangkar Soma tadi," kata Suto sambil
memandang
sekeliling tempat itu.
"Bocah
Sinting, kalau sampai pakaianku tak bisa
ditemukan
bagaimana?"
"Aku tak
bisa kuat menahannya...."
"Menahan
apa maksudmu?"
"Menahan...
menahan... menahan detak jantungku
yang
menyentak-nyentak sejak tadi," jawab Suto sambil
berlagak masih pandangi keadaan sekelilingnya.
"Oh,
Bocah Sinting... aku kangen padamu...", bisik
Tenda Biru
sambil tiba-tiba memeluk Suto dari
belakang.
Bajunya yang terbuka membuat dadanya
menempel di
punggung Suto. Rasanya hangat-hangat
menyentakkan
aliran darah. Terlebih setelah Tenda Biru
menggeser-geserkan
tubuhnya, punggung Suto
merasakan
kehangatan dan lekuk-lekuk kedua bukit
gadis itu
secara jelas. Sementara itu, kedua tangan Tenda
Biru yang
menelusup di bawah ketiak Suto itu meremas-
remas dada
Suto dan sesekali merayap ke sana-sini
hingga turun
melewati perbatasan pusar.
Tenda Biru
yang dulu bekas murid seorang tokoh
aliran sesat
itu, kini mulai rasakan debaran indah di
hatinya.
Tangannya semakin berani bergerak menelusuri
tubuh Suto
dari belakang. Bahkan sesekali ia menggigit
kulit
punggung itu membuat Suto melepaskan erangan
kecil yang
membakar gairahnya sendiri.
"Tenda
Biru, jangan lakukan di antara kita. Aku...
aku...."
"Bukankah
ragamu adalah Badra Sanjaya? Jika
kunikmati
kehangatanmu berarti aku menikmati
kehangatan
Badra Sanjaya. Tak apa, Bocah Sinting...
kau sekarang
bebas menikmatiku, karena ragamu masih
tetap bersih
tanpa noda dariku. Ooh... Bocah Sinting,
kecuplah
bibirku...! Pagutlah... pagutlah ini, Bocah
Sinting.
Sudah lama aku tak pernah menikmatinya
dengan pria
mana pun. Aku rindu kenikmatan bercinta,
Bocah
Sinting.... Ambillah ini...."
Ia menyodorkan dadanya. Suto Sinting gemetar
dan
pejamkan
mata, lalu menyambarnya dengan lihai.
Wuuut,
cruub...!
"Ooooh...!"
Tenda Biru memekik keras, kepalanya
mendongak,
kakinya melebarkan jarak. Si bocah sinting
merayapkan
ciumannya sampai ke perut Tenda Biru dan
terus nekat
ke bawah, sehingga membuat Tenda Biru
makin
mengerang panjang-panjang dengan tubuh
meliuk-liuk
dalam berdirinya.
*
* *
6
JUBAH biru si
gadis berkulit mulus itu ternyata
tersangkut di
atas pohon. Juga kutang dan pakaian
bawahnya ada
di antara dedaunan dan ranting pohon.
Pada waktu
badai sekilas dari cambukan Pangkar Soma,
pakaian itu
ikut melayang terbang. Jika hanya sekadar
angin badai
biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda
Biru sepolos
itu. Tentunya badai sekilas tadi adalah
badai gaib
yang mampu melepasi kutang seorang
perempuan.
"Badai
nakal...," ujar Suto dalam hatinya
sambil
lanjutkan
langkah menuju Bukit Kemesraan, sementara
itu Tenda
Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si
Gila Tuak,
sesuai rencana yang dikatakan Suto tadi.
Namun kata-kata Tenda Biru saat sebelum mereka
berpisah
masih terngiang di telinga Suto Sin-ting.
"Hati-hati
jika berhadapan dengan Ratu Dekap
Rindu."
"Apa
alasanmu menyuruhku hati-hati?"
"Ratu itu cantik. Dia menghisap kecantikan para
lawannya, ia
mirip bidadari. Dan hanya orang berilmu
hitam saja
yang bisa menyerap kecantikan lawannya,
sehingga
wajahnya tampak secantik bidadari dari
kayangan."
Sebenarnya
pesan itu justru membuat Suto Sinting
menjadi lebih
penasaran lagi. Ia ingin buktikan kata-kata
Tenda Biru
itu, karena ia memang belum pernah bertemu
dengan Ratu
Dekap Rindu.
"Ratu
Dekap Rindu ilmunya cukup tinggi lho," ujar
Tenda Biru
mengingatkan Suto sebelum mereka sama-
sama
melangkah ke tujuan masing-masing.
"Lebih
tinggi mana dengan Nyai Ronggeng Iblis?"
"Hmmm...
mungkin sejajar. Tapi, tak tahulah... aku
tak bisa
menilainya karena kau belum pernah
berhadapan
langsung dengan Ratu Dekap Rindu. Aku
hanya
mendengar cerita dari bekas guruku saat aku
menjadi orang
sesat, yaitu Nyai Garang Sayu. Setahuku,
dulu mendiang
Nyai Garang Sayu pernah bentrok
dengan Ratu
Dekap Rindu, dan Nyai Garang Sayu
melarikan
diri. Tak tahu alasan sebenarnya, apakah kalah
tinggi
ilmunya atau hanya mengatur siasat, yang jelas
Nyai Garang
Sayu tak pernah mengulang lagi
pertarungan
itu."
"Kau melihat saat mantan gurumu itu
bertarung
melawan Ratu
Dekap Rindu?"
"Tidak.
Waktu itu aku dinas luar. Eh... maksudku,
waktu itu aku
pergi ke luar pulau untuk satu keperluan.
Aku hanya
mendengar ceritanya dari teman-teman
seperguruanku!"
"Kalau
begitu aku harus mempertinggi kewaspadaan
jika berada
di istana Bukit Kemesraan nanti."
"Kurasa
begitu. Dan kusarankan bersikaplah sebagai
Badra
Sanjaya. Seolah-olah kau memang Badra Sanjaya,
sehingga dari
kata-kata sang Ratu nanti kau dapat
mengambil
kesimpulan di mana letak tabung penjara
sukma
itu."
"Kau
memang gadis cantik dan cerdas,"
ujar Suto
sambil
mencubit pipi Tenda Biru.
Kenangan itu
ikut terbawa dalam perjalanan Suto
Sinting di
awal senja berlangit tembaga itu. Dengan
menyeberangi
sungai besar, Pendekar Mabuk sudah tiba
di wilayah
Bukit Kemesraan, ia memang baru kali itu
menginjakkan
kakinya di wilayah Bukit Kemesraan,
sehingga
pantas jika ia tak mengetahui arah istana di
sebelah mana.
Beruntung
sekali ia bertemu dengan Tenda Biru
sebelum berada di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga
ia bisa
mendapat keterangan dari Tenda Biru tentang
arah menuju
istana. Tenda Biru pernah datang ke istana
itu, namun
hanya sampai depan pintu gerbangnya saja.
Karena waktu
itu ia hanya menjadi salah satu dari
sepuluh orang
pengawal Nyai Garang Sayu yang
menjaga keamanan sang guru sesat itu. Hanya
sang guru
yang masuk ke
istana dan bertemu dengan Ratu Dekap
Rindu.
"Apa
yang harus kukatakan kepada Ratu nanti jika ia
tanyakan
pusaka 'Jarum Surga' nanti? Kalau menurut Ki
Jalu Kuping, pusaka itu sebenarnya tidak ada. Tapi
bagaimana
mungkin tidak ada jika sang Ratu berani
membayarku
tinggi untuk dapatkan Badra Sanjaya
bersama
pusaka 'Jarum Surga' itu? Kurasa pusaka
tersebut
memang ada, tapi tidak diketahui oleh orang
banyak,
termasuk Ki Jalu Kuping pun tak tahu tentang
pusaka tersebut."
Belum
sampai Suto menemukan cara menghadapi
pertanyaan
tentang pusaka "Jarum Surga', tiba-tiba
langkahnya
terhenti karena lompatan tiga orang
berpakaian
serba coklat mengkilap yang langsung
menghadang
Suto dengan posisi mengepung tiga arah.
Pendekar
Mabuk sempat terperanjat dan segera berkerut
dahi karena
merasa asing dengan ketiga gadis berpakaian
coklat
mengkilat itu. Pakaian tersebut merupakan baju
tanpa lengan
dan celana ketat yang membentuk lekuk-
lekuk tubuh
mereka.
"Akhirnya
kau kembali juga, Badra Sanjaya!" tegur
gadis yang
bersenjata trisula di pinggangnya. Rupanya
gadis itu
sudah cukup kenal dengan Badra Sanjaya,
sehingga Suto
pun berlagak sudah kenal dengan mereka.
"Sudah
kuduga kalian akan menyambutku di sekitar
tempat
ini," kata Suto Sinting dengan sikap tenangnya.
"Nyai
Ratu memerintahkan kami untuk
menangkapmu jika kau tampak melintasi
perbatasan
Bukit
Kemesraan ini!" ujar gadis yang bermata bundar,
bening dan
tengahnya hitam berwarna hitam jernih.
"Kurasa
kalian tak perlu menangkapku, aku memang
ingin
menghadapi Nyai Ratu sendiri!" ujar Pendekar
Mabuk.
Kemudian ia membuka bumbung tuaknya dan
menenggak
tuak beberapa teguk.
"Apa
yang kau bawa itu, Badra?!"
"Tuak...!
Kalian mau coba?" Suto Sinting sok akrab.
"Hmmm...! Lagakmu seperti Pendekar Mabuk
saja,
Badra! Apakah
dengan membawa bumbung tuak begitu
lantas kami
tak berani menangkapmu?!" ujar gadis
berambut
panjang dengan belahan dada bajunya terbuka
lebar-lebar,
sehingga tersumbullah gumpalan putih
mulus di
kanan-kiri dada itu. Menggiurkan sekali, tapi
juga membuat
Suto menahan diri agar tetap waspada.
"Buang
bambu tuak itu, dan serahkan kedua
tanganmu
untuk kami ikat, Badra!"
"Lho,
mengapa aku mau diikat?"
"Perintah
dari Nyai Ratu memang begitu, Badra!"
"Oh, aku
tak mau! Aku paling malas kalau pakai
diikat-ikat
saja. Memangnya aku ini kayu bakar?!" kata
Suto sambil
tunjukkan sikap protesnya.
Katanya lagi,
"Sudah kubilang, kalian tak perlu
menangkapku,
apalagi mengikatku, tak perlu sama
sekali.
Karena kedatanganku kemari untuk menghadap
Nyai
Ratu!"
"Tapi
kami harus patuhi perintah Nyai Ratu, Badra!" .
Yang bersebelahan dada lebar itu menimpali,
"Kecuali
jika kau bersedia memberi kami perjalanan
indah.
Bukankah begitu, Paras Juwita?!"
"Benar,"
jawab Paras Juwita yang bersenjata trisula
itu. Ia
menjawab dengan senyum dan lirikan jalang.
Katanya lagi
kepada Suto, "Kurasa inilah
kesempatanmu
untuk mengulangi keindahan masa lalu
kita,
Badra!"
"Mengulangi...?!"
Suto merasa heran, dan segera
membatin,
"Berarti si Badra Sanjaya itu buaya gila juga,
ya? Setiap
perempuan pernah diajaknya menikmati
perjalanan
indah."
"Bagaimana,
Badra! Apakah kau ingin menolak
tawaran damai
dari kami, atau ingin kami ikat sebagai
tawanan?!"
ujar yang bermata sayu.
"Jadi...
jadi aku harus melayani siapa?"
"Kami
bertiga; Gayanti, Umbari, dan diriku,"' jawab
Paras Juwita.
"Edan!
Tiga-tiganya bersamaan?!" ujar Suto bernada
makin heran.
Tiga gadis yang rata-rata berusia sekitar
dua puluh
empat tahun itu sama-sama cekikikan.
Gayanti
berkata, "Kurasa kau tidak akan kewalahan,
Badra.
Bukankah waktu ketika kau berempat bersama
Paras Juwita,
Windusari, dan Lelasih, kau mampu
memberi kami
keindahan yang sama? Kurasa sekarang
pun kau tetap
mampu, Badra. Apalagi sekarang hanya
bertiga."
"Kita ke
gua yang dulu saja, Gayanti," ujar Paras
Juwita.
"Aku setuju. Bagaimana menurutmu,
Badra?!"
"Edan
betul si Badra Sanjaya itu sebenarnya!
Ternyata dia
tukang mengumbar cumbuan di sana-sini!
Kurasa
gurunya tidak mengetahui kalau muridnya gemar
bercumbu
dengan perempuan mana pun!" gerutu Suto
dalam hatinya.
"Mumpung
masih agak sore, Badra. Sebaiknya kita
segera ke gua
yang dulu!" ujar Gayanti.
"Benar,
Badra...," Paras Juwita mendekat dan
mengusap-usap
dada Suto sambil sunggingkan senyum
jalangnya.
"Mumpung yang lain belum melihat
kedatanganmu,
sebaiknya kita manfaatkan dulu waktu
untuk
mengarungi lautan cinta, Badra...."
Umbari segera
ikut mendekat dan mengusap-usap
dada Suto
dari samping kirinya.
"Kau
belum merasakan kepandaianku menerbangkan
jiwa seorang
lelaki, bukan? Nanti kau akan merasakan
keindahan
yang paling indah dariku. Ayolah, kita ke gua
saja,
Badra...."
Gayanti
mendekat dan mengambil tempat di belakang
Suto. Ia
memeluk dari belakang melalui pinggang
samping kanan
kiri. Tapi bibirnya mengecup tengkuk
kepala Suto
dengan nakal.
"Badra...,
aku punya jurus baru yang dinamakan
'Lidah Naga
Kasmaran'. Pasti membuatmu semakin
melayang-layang
menembus langit kehangatan yang
paling
tinggi, Badra. Ayolah, kita ke gua yang dulu,
Sayang....
Aku sudah tak tahan lagi...," bisik Gayanti
sambil
sesekali menyapu belakang telinga Suto dengan
ujung lidahnya.
Jantung bukan
berdetak lagi tapi bergetar bagai mau
rontok. Dalam
kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa
mengambil
keputusan harus bersikap bagaimana
terhadap
ketiga gadis montok-montok itu. Ia hanya bisa
'ah, uh, ah,
uh' saat didorong ke bawah pohon bersemak
rimbun.
Rupanya ketiga gadis itu sudah tak sabar lagi
ingin
mendapatkan kemesraan dari pria yang
dianggapnya
sebagai Badra Sanjaya.
"Hmmm...,
ehh... hei, hei... tunggu dulu!" kata Suto,
tapi tak
dihiraukan oleh ketiga gadis itu. Mereka
semakin
mengganas dan membuat Suto terpelanting
jatuh di
rerumputan semak. Mereka justru cekikikan dan
saling
menggumuli Suto dengan caranya sendiri-sendiri.
"Tidaaaak...!"
Weeerss...!
Bruuusss.. !
Suto Sinting
berteriak keras sambil lakukan sentakan
pada kedua
tangan dan kakinya. Tiga wanita yang sudah
dibakar
kobaran gairah bercumbu itu terpental
menyebar,
saling terlempar tinggi-tinggi dan jatuh
berdebam di
tempat yang berbeda.
"Kalian
pikir aku ini kuda pejantan?!" sentak Suto
Sinting
dengan berang. Tentu saja ketiga gadis yang
merasa
gairahnya terganggu itu menjadi berang juga.
Paras Juwita
yang tadi telah membuat Suto
kedodoran
segera lakukan lompatan menerjang dengan
suara
terlontar keras.
"Rupanya
kau minta hajar dulu baru mau, hah?!
Heeeeaah...!"
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya yang
mengandung
kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Tees...!
Beeekh...!
"Heeekh...!"
Lompatan perempuan bersenjata trisula
itu terhenti
dan bagai tertahan oleh dinding tak terlihat,
ia jatuh
terjungkal setelah perutnya merasa seperti
dihantam
dengan palu godam, Brruk...!
Tes, tes...!
Sentilan jurus 'Jari Guntur' segera
dilepaskan
kembali oleh Suto Sinting ke arah Umbari
dan Gayanti.
Kedua gadis yang telah mencabut senjata
tajamnya itu segera terlempar ke belakang dan
mengerang
kesakitan. Ulu hatinya dijadikan sasaran
jurus 'Jari
Guntur'-nya Suto. Mereka menyeringai
kesakitan dan
untuk sesaat tak mampu berdiri.
Zlaaaap...!
Pendekar Mabuk segera melesat pergi
tinggalkan
tempat itu dengan pegangi tali celananya
yang tadi
sempat putus dipaksa oleh Paras Juwita. Untuk
sementara
Suto terpaksa berlari sambil kerepotan
menyambung
tali celananya.
"Brengsek! Ikat saja pakai kain ikat pinggang ini!"
geramnya
sambil mengarah ke bangunan megah yang
tampak
berbenteng putih di kejauhan sana. Pendekar
Mabuk yakin
betul, bahwa bangunan berbenteng putih
itulah
istananya Ratu Dekap Rindu yang harus dituju.
Tiga
perempuan yang tadi hampir menjadikan
diri
Suto sebagai
budak nafsunya, kini sedang lakukan
pengejaran.
Mereka memang tertinggal jauh oleh Suto,
tapi usaha
mengejar tetap ada sebagai kewajiban seorang
prajurit
istana sang Ratu Dekap Rindu.
Di
depan pintu gerbang benteng putih itu, Suto
Sinting
dihadang oleh delapan prajurit yang semuanya
perempuan
berparas cantik-cantik. Bahkan masing-
masing dada
mereka saling bertonjolan dengan sekal dan
menantang
sekali. Pakaian mereka berbelahan tengah
agak lebar,
sehingga pinggiran sepasang bukit dada itu
tampak
menggoda setiap lelaki yang dikepung mereka,
termasuk
Pendekar Mabuk yang menurut anggapan
mereka adalah
Badra Sanjaya.
"Aku
ingin menghadap Ratu! Izinkan aku masuk!"
tegas Suto
Sinting dengan menenteng bumbung tuaknya
sebagai
langkah persiapan hadapi bahaya apa pun.
Untung saja
bumbung tuak itu tadi sempat diisi tuak
hingga penuh
dari sebuah kedai di desa yang ia temukan
setelah
berpisah dengan Sriti Kuning tadi. Dengan
begitu, kapan
saja ia terluka ia dapat meminum tuaknya
sebagai
pengering luka secara gaib.
Salah seorang
dari prajurit pengepung itu berseru
kepada Suto.
"Nyai
Ratu perintahkan kami menangkapmu, Badra!
Kau dianggap
mengecewakan Nyai Ratu dan layak
dijadikan
tawanan, bukan seseorang yang layak kami
hormati
lagi!"
"O, jadi
Badra Sanjaya dulu di sini dihormati?!"
gumam Suto
Sinting dalam hatinya. Tapi mulutnya
segera
serukan kata kepada prajurit yang bicara tadi.
"Aku
akan kembalikan pusaka 'Jarum Surga' kepada
Nyai Ratu!
Kumohon jangan membuatku kecewa dan
membatalkan
niatku menyerahkan pusaka 'Jarum Surga'
ini!"
Pendekar
Mabuk bicara dengan lantang dan mantap,
seolah-olah
dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum
Surga'.
Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan
cekikikan,
bahkan ada yang tertawa dengan berpaling ke
arah lain.
Sikap mereka itu membuat Suto Sinting
menjadi
curiga.
"Jadi
kalian tidak percaya kalau aku membawa
pusaka 'Jarum
Surga' itu?! Apakah kalian perlu
melihatnya dulu?!"
Tawa para
prajurit itu semakin ditahan karena
semakin
terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada
yang
terkikik-kikik hingga membungkukkan badan.
"Apa-apaan
mereka ini?!" geram hati Pendekar
Mabuk.
"Mereka boleh saja tidak percaya, tapi tak perlu
sampai
terpingkal-pingkal seperti yang berambut
panjang
diikat pita biru itu! Sebaiknya aku tak perlu
menantang
pembuktian. Bisa bikin diriku terjebak
sendiri oleh
omonganku! Kalau mereka benar-benar
ingin melihat
pusaka itu ada di tanganku, wah... tentu
saja aku akan
kewalahan mencari alasan untuk hindari
pembuktian
itu!"
Maka seruan
Pendekar Mabuk pun akhirnya berubah
menjadi
sebuah ancaman halus.
"Kalau
aku tak kalian izinkan masuk, maka aku akan
pulang dan
pusaka itu akan kujual kepada pihak lain!"
Tiba-tiba
pintu gerbang terbuka, dan seraut wajah
yang sudah
dikenal Suto pun tampak muncul dari balik
pintu
gerbang. Wajah itu adalah wajah si Laras Wulung.
"Biarkan dia masuk! Beri jalan untuknya!"
Maka barisan
pengepung yang ada di depan Suto itu
segera
menyingkir sambil mulut mereka ditutupi dengan
tangan
supaya tak kelihatan kalau sedang
tersenyum.
Pendekar
Mabuk merasa semakin aneh melihat sikap
mereka. Tapi
hati Suto berkata,
"Ah,
persetan dengan keanehan mereka!"
Gerbang
dibuka lebar, Laras Wulung menyambut
kehadiran
sdsok Badra Sanjaya dengan senyum
memancarkan
daya pikat yang menggetarkan jiwa setiap
lelaki.
*
* *
7
PENDEKAR
MABUK dibawa oleh Laras Wulung ke
sebuah ruangan berlorong terang. Lorong terang itu
berlantai
mengkilap warna putih kaca.
"Aku
ingin bertemu ratu dan langsung bicara soal
pusaka 'Jarum
Surga'," kata Suto sambil berjalan
didampingi
pengawal kepercayaan sang Ratu.
Senyum tipis
mekar di bibir mirip kuncup mawar itu.
Pendekar
Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin,
"Sepertinya
ada yang lucu pada diriku. Apa yang
membuat
mereka dan Laras Wulung ini menertawakan
diriku dengan
sembunyi-sembunyi?!"
Kejap berikut terdengar suara Laras Wulung
bersama
langkahnya
yang tegap, menampakkan keberanian dan
ketangkasannya
sebagai pengawal kepercayaan sang
Ratu.
"Kau
baru bisa bertemu dengan Nyai Ratu esok sore."
"Mengapa
begitu?"
"Nyai
Ratu sedang lakukan semadi selama sepuluh
hari. Esok
hari yang kesepuluh dan ia akan keluar dari
ruang semadi
pada sore menjelang senja."
Laras Wulung
bicaranya selalu tegas, menunjukkan
sikapnya yang
tegas pula dalam menggantikan
kedudukan
sang Ratu selama sang Ratu berhalangan.
Tubuhnya yang
tinggi, sama dengan tinggi tubuh Suto
atau Badra
Sanjaya, mempunyai badan sekal, padat
berisi.
Seakan sewaktu-waktu dapat keluarkan kekuatan
yang sukar
ditumbangkan.
"Mau ke
mana kita ini?" tanya Suto Sinting ketika
menuruni
tangga menuju ke lantai bawah.
"Apakah
kau tak ingat tempat ini?"
Pendekar
Mabuk agak menggeragap. Bagaimanapun
juga ia harus
tampak seperti Badra Sanjaya supaya
tujuan
sebenarnya tak dicurigai siapa pun.
"Ya, aku
ingat tempat ini. Tapi yang kutanyakan,
mengapa harus
ke sini?"
"Kau
pikir ada tempat lain untukmu?"
Pendekar
Mabuk menjadi bimbang dan curiga, ia tak
jelas maksud
ucapan Laras Wulung itu. Ia menyangka
akan dibawa
ke penjara. Hampir saja ia menolak dan
berbalik
arah. Untung Laras Wulung yang berbaju biru
kehitam-hitaman itu segera berkata dengan
suara pelan
namun jelas.
"Apakah
kau tak ingin istirahat dulu? Sebentar lagi
petang tiba,
dan tentunya kau perlu istirahat setelah
lakukan
perjalanan jauh dari Gunung Dara."
"O,
ya... memang aku lelah. Tapi aku masih ingin
ngobrol
denganmu, Laras Wulung!"
"Kau
sangka akan kutinggalkan istirahat sendirian?
Ratu bisa
marah kalau kau istirahat sendirian?"
"Apakah
Nyai Ratu menjadi murka setelah aku
melarikan
pusaka 'Jarum Surga'-nya itu?"
Sambil
menutup pintu besar di ujung tangga, Laras
Wuiung
perdengarkan suaranya.
"Kucoba
untuk menenteramkan hati Nyai Ratu agar
beliau tidak
menjadi murka padamu!'
"Tapi
para prajurit itu ingin menangkapku atas
perintah Nyai
Ratu!"
"Supaya
kau tidak melarikan diri lagi dan mau diajak
bicara dengan
damai!" jawab Laras Wulung sambil
membawa Suto
berjalan di antara kamar-kamar
berdinding
hitam dan berpintu besi. Pendekar Mabuk
semakin cemas
dan kecurigaan dalam hatinya kian besar.
"Jangan-jangan
aku dimasukkan ke dalam kamar
penjara
secara baik-baik?! Oh, aku tak boleh terkecoh
oleh sikap
tenangnya Laras Wulung ini! Harus ada yang
bisa segera
kulakukan seandainya ia tahu-tahu
menjebloskan
diriku dalam penjara yang sukar ditembus
tenaga
dalam."
Melangkah di
lorong yang kanan-kirinya adalah
kamar-kamar menimbulkan kesan tak enak sekali
di hati
Suto. Sinting. Sekalipun pada akhirnya Laras Wulung
hentikan
langkah setelah mereka tiba di kamar paling
ujung,
Pendekar Mabuk sudah siapkan bumbung
tuaknya untuk
lakukan sesuatu jika dirinya dalam
bahaya.
"Bagaimana
kalau Laras Wulung kulumpuhkan dulu?
Setelah dia lumpuh aku bisa bebas mencari tabung
beling yang
menjadi penjara sukmanya Badra Sanjaya!"
pikir Suto
Sinting sambil memperkuat genggaman
tangannya
yang dililit tali bumbung tuak itu.
Tapi ketika
pintu kamar ujung itu dibuka, Suto
Sinting
tertegun sesaat dan hatinya segera membatalkan
rencana
memukul Laras Wuiung dari belakang. Karena
begitu kamar
dibuka, mata Pendekar Mabuk melihat
sebuah
ruangan yang lebar sekali. Ruangan itu
mempunyai
kolam berair bening, taman batuan karang
berwarna-warni
dan dilengkapi dengan perabot ruang
tidur,
termasuk sebuah ranjang berlapis kain berbulu
halus warna
merah muda. Sedangkan sebagian lantainya
dilapisi
permadani lembut berwarna hijau muda
bagaikan
bentangan rumput muda. Seluruh dinding
ruangan itu
dilapisi cermin, sehingga membuat ruangan
itu tampak
luas dan lega. Di mana pun orang berdiri atau
duduk di
kamar itu, ia akan dapat melihat bayangannya
dalam cermin
sebelah mana saja.
Ruangan itu menjadi terang oleh cahaya obor dari
bebatuan yang
membara dan memancarkan sinar merah
api ke atas.
Bebatuan itu berada dalam sebuah tempat
lebar bertangkai panjang. Lampu penerang
seperti itu
ada di setiap
sudut kamar, yang membuat suasana kamar
tampak terang
benderang tanpa asap obor menghitam di
langit-langitnya.
"Ooh...?!
Langit-langit kamar ini juga dilapisi
cermin? Hi,
hi, hi... aku bisa melihat bayanganku ada di
atas sana.
Ah, buruk amat aku kalau dilihat dari atas
kepala!
Seandainya yang kupakai adalah ragaku sendiri,
alangkah
bangganya aku memandangi diriku di setiap
sisi dinding
bercermin ini!"
Laras Wulung
menutup pintu kamar itu, tapi ia
sendiri tetap
ada di dalam kamar. Berarti Suto tidak
dimasukkan
dalam penjara. Bahkan perempuan itu
berlagak cuek
dengan pandangan mata Suto yang
mengikutinya
penuh perasaan kagum. Laras Wulung
membuka
almari dan mengeluarkan kain putih yang
ternyata
adalah sebuah jubah lembut berlengan panjang.
Jubah itu
sampai menutup mata kaki.
Lalu sebuah
kain merah muda diambilnya pula dari
dalam almari
berukir. Rupanya kain itu adalah selembar
handuk
berbulu halus.
"Mandilah
dulu," ujar Laras Wulung agak datar dan
bernada
tegas.
"Mandinya
di mana, ya?" pikir Suto. "Apakah nyebur
ke kolam itu
seperti mandi di sungai?!"
Laras Wulung
sendiri melepaskan bajunya di tepian
kolam berair
jernih itu.
"Lho...?!"
Bahkan bukan
hanya baju yang dilepas Laras
Wulung, melainkan juga pakaian
lainnya dilepas juga
tanpa rasa
malu atau sungkan.
"Lho,
lho...?!" mata Suto terbelalak dan sepertinya
sukar
berkedip lagi. Karena saat itu ia melihat dengan
jelas
sebentuk tubuh yang elok menawan. Tubuh putih
mulus berdada
sekal menantang dan berpinggul
menonjol
berisi, sungguh menggemaskan namun juga
membuat
jantung Suto terasa berhenti mendadak, lalu
berdetak lagi
dengan tersendat-sendat.
"Apakah
kau tak ingin mandi, Badra?!" tegur
Laras
Wulung pada
saat Suto berlagak memunggungi, tapi
memandang
jelas-jelas melalui pantulan cermin yang
menutup
dinding di depannya. Laras Wulung pun
menatap Suto
melalui bayangan yang ada di cermin itu.
"Ak...
aku...," Suto menjadi salah tingkah. Laras
Wulung
mendekati dengan pandangan mata yang teduh
namun
mengandung daya getar yang cukup membuat
lutut terasa
ngilu.
"Kalau
kau tak mau mandi, aku tak mau
melayanimu,"
kata Laras Wulung.
"Ap...
ap... apa maksudmu berkata begitu?!" tanya
Suto mulai
menggeragap.
"Apakah
kau berlagak bodoh?!"
Semakin sulit
mulut Suto dipakai untuk bicara.
Semakin kaku
pula lidahnya.
"Badra
Sanjaya selalu mandi bersamaku," ucap Laras
Wulung sambil
menatap dalam jarak sangat dekat.
"Badra
Sanjaya selalu patuh padaku, karena ia menyukai
keindahan dan
kemesraanku. Jangan mengubah
kebiasaan, Badra."
"Oh,
hemmm... iya, aku hanya... hanya merasa kagum
yang kelewat
batas terhadap kecantikanmu, Laras
Wulung,"
ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan
menyimpan
kecemasan. Takut tidak diakui sebagai
Badra
Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap
seperti
seorang ibu ingin memandikan anaknya yang
berusia tiga
atau empat tahun.
Tapi Laras
Wulung adalah seorang ibu yang nakal,
Karena
sebelum anaknya menceburkan diri ke dalam
kolam
pemandian, Laras Wulung sempat tersenyum-
senyum sambil mempermainkan gairah sang bocah, ia
berlutut dan
sesekali memandang ke atas, menatap wajah
pemilik
kehangatan itu. Bibir dan lidahnya nakal
kembali
setelah ia puas melihat si pemilik kehangatan
mengerang
lirih ditikam rasa nikmat. Jari-jari tangan
Laras Wulung
kian lincah mempermainkan sesuatu yang
membuat Suto
Sinting terlonjak-lonjak dalam buaian
keindahan.
Suto tak berani menolak, karena siapa tahu
memang beginilah
kebiasaan Badra Sanjaya jika
berhadapan
dengan pengawal kepercayaan sang Ratu ini.
Laras Wulung
kian menunduk hingga akhirnya
mencium lutut
Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto
Sinting
berdesir bagai diiris sembilu namun tak terasa
sakit. Yang
dirasakan dari pagutan pada bagian lututnya
itu adalah siraman kenikmatan begitu indah dan
membuat
gairahnya kian berkobar-kobar.
Lutut itu
sesekali digigit kecil oleh Laras Wulung,
sesekali
disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.
Hanya saja, makin lama pagutan itu makin
merayap ke
atas dan
terus ke atas sampai menemukan terminal
keindahan.
Laras Wulung
memandang dengan sayu. Sangat
menggoda
sekali. Suto Sinting terengah-engah karena
lelah menahan
jeritan keindahannya. Tapi ia harus tetap
bersikap
seperti Badra Sanjaya. Maka ketika Laras
Wulung menuntunnya mendekati sebuah batu setinggi
pinggul yang
permukaannya datar, Suto Sinting ikut saja
tanpa menolak
tanpa bertanya. Batu di dekat kolam
jernih itu
kini menjadi tempat duduk Laras Wulung,
"Beri
aku keindahan yang dahsyat seperti
biasanya...,"
ucap Laras Wulung dengan suara masih
bernada
wibawa.
Suto bingung
apa yang harus dilakukannya supaya
sama seperti
yang dilakukan Badra Sanjaya. Apalagi
sekarang
perempuan itu merebah ke belakang tapi satu
kakinya masih
menapak di lantai sedangkan kaki yang
satunya ada
di tepian batu itu.
"Barangkali
dia minta diperlakukan seperti saat dia
memperlakukan
diriku tadi," pikir Suto Sinting. Maka
dilakukanlah
seperti yang telah dilakukan Laras Wulung
kepada Suto
saat Suto berdiri tadi.
"Ooouh...!"
Belum-belum Laras Wulung telah
memekik
ketika Suto menempelkan bibirnya di lutut
perempuan
itu. Selanjutnya, suara Laras Wulung seperti
orang di kamar
penyiksaan. Menjerit, mengerang,
merengek,
terengah-engah, mendesah, lalu menjerit lagi.
Bahkan kadang
terpekik dengan kedua tangan meremas
rambut kepala Suto kuat-kuat. Perempuan itu
ternyata
lebih dahsyat
dari yang pernah dihadapi Suto Sinting
sebelumnya.
"Lakukan...!"
sentak Laras Wulung bagai orang
marah.
"Cepat lakukan sekarang! Cepaaat...! Oooouh...!"
Ia juga
seperti orang menangis. Suto Sinting jadi
bingung
sendiri.
"Apa
maunya perempuan ini? Dibeginikan mengeluh,
digitukan
menjerit, digini-gitukan memekik, digitu-
gitukan malah
merengek.... Jadi aku harus bagaimana
sebenarnya?!"
gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi tetap
menjadi
seekor kucing yang memandikan anaknya.
Laras Wulung
sangat kegirangan. Jerit, pekik, rengekan,
keluh dan
semua yang dilontarkan lewat mulut Laras
Wulung hingga
berisik itu adalah pernyataan dari rasa
girang,
bahagia, nikmat, syahdu, dan sebagainya yang
bercampur
menjadi satu.
Jebuuurrr...!
Karena banyak
bergerak, Laras Wulung jatuh ke
kolam itu
setelah memekik keras-keras dan tangannya
yang meremat
pundak Suto Sinting itu terlepas karena
tubuh Suto
mengucurkan keringat dengan deras.
"Cepat
kemari... cepat...!" panggil Laras Wulung,
kemudian Suto
pun akhirnya terjun ke kolam itu.
Jebuuuurr...!
Jebar, jebur,
jebar, jebur...!
Air kolam
menjadi kacau. Laras Wulung memukul-
mukul air
kolam ketika Suto Sinting memeluknya. Suara
Laras Wulung
berhamburan tak jelas apa yang
diucapkannya.
"Kenapa
tidak kau lakukan!" sentak Laras Wulung
pada akhirnya.
"Lakukanlah! Kau bukan Suto Sinting,
tapi Badra
Sanjaya! Lakukanlah...!"
Suto Sinting
bingung mendengar ucapan itu. Tapi
karena Laras
Wulung mendesak dan membentak, nyaris
mengamuk,
maka Suto Sinting pun akhirnya
memberikan
apa yang diminta Laras Wulung dari Badra
Sanjaya.
"Kuberikan
apa yang kau minta dari Badra Sanjaya!"
ucap batin
Suto. "Barangkali inilah yang kau inginkan
dari Badra
Sanjaya...!"
"Aaaahhh...!"
teriakan panjang Laras Wulung adalah
puncak
keindahan yang dicapainya dan diperoleh dari
Badra
Sanjaya.
Perempuan itu
akhirnya terkulai lemas di tepian
kolam. Suto
Sinting masih tegar dan berdiri di
sampingnya
dengan tegak, gagah, dan kekar.
"Kau
luar biasa dari yang pernah kudapatkan darimu,
Badra
Sanjaya!" ujar Laras Wulung sambil
tergolek
pandangi pria
yang berdiri di sampingnya.
"Mengapa
kau sebut nama Suto Sinting?" pancing
Suto karena
kecurigaannya semakin besar.
"Apakah
aku tadi menyebut nama Suto Sinting?!"
"Ya, kau
menyebutnya!"
"Oh,
mungkin karena aku tahu kau bukan Badra
Sanjaya,
melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto
Sinting!"
"Aku
Badra Sanjaya!" sentak Suto yang terkejut
sekali mendengar pernyataan itu. "Aku
murid Ki Jalu
Kuping dari
Gunung Dara!"
"Bukan.
Kau bukan Badra Sanjaya. Ragamu memang
Badra Sanjaya
tapi sukmamu, jiwamu, rasamu, semua
adalah milik
Pendekar Mabuk!"
Laras Wulung
pun bangkit dan memandang Suto
tegas-tegas.
"Badra
Sanjaya sudah ada di sini sebelum kau
datang."
Mata Suto
terbelalak walau tak begitu lebar, ia
menyembunyikan
rasa kagetnya.
"Badra
Sanjaya sekarang berada dalam tabung kaca.
Tapi raganya
masih bisa kunikmati seperti biasanya.
Sukmamu
membantuku mendapatkan keindahan dari
Badra
Sanjaya. Aku tahu, Jalu Kuping mempunyai ilmu
'Sewaka
Sukma'. Jika Badra Sanjaya beberapa waktu
yang lalu
lari dari sini dan kembali kepada gurunya,
sudah
kuperkirakan bahwa ilmu 'Sewaka Sukma' akan
digunakan
oleh Jalu Kuping. Tapi aku tak menyangka
kalau
Pendekar Mabuk yang pernah menemuiku
bersama
Yundawuni itu adalah orang yang nyawanya
disewa oleh
Jalu Kuping!"
Suto Sinting
merasa telah tertangkap basah, ia tak
bisa mengelak
lagi, akhirnya ia mengakui secara tak
langsung atas
kebenaran pendapat Laras Wulung itu.
"Dari
mana kau tahu kalau aku adalah Pendekar
Mabuk?"
"Bumbung
tuakmu tak mungkin bisa berada di tangan
Badra
Sanjaya! Ilmumu jauh lebih tinggi dari Badra
Sanjaya! Karena kutahu kau murid si Gila
Tuak."
"Dari
mana kau tahu aku murid si Gila Tuak?"
"Yundawuni
menjelaskan tentang dirimu, selain itu
juga kabar
dari beberapa orang yang pernah melihat
kehebatan
ilmumu!" jawab Laras Wulung.
"Tapi
mengapa kau masih tetap mengharap
kemesraan
dariku, sedangkan kau tahu aku bukan Badra
Sanjaya?!"
"Aku
sangat membutuhkan kemesraan itu. Aku... aku
mencintai
Badra Sanjaya. Sebab itulah dia kusuruh
melarikan
diri dari istana ini. Aku tak ingin Badra
Sanjaya
menjadi budak gairah Nyai Ratu setiap malam
atau kapan
saja Nyai Ratu membutuhkannya. Aku
merasa lebih
baik tidak melihat orang yang kucintai
daripada
melihat kekasihku itu terpaksa harus melayani
keinginan
Nyai Ratu!"
Pendekar
Mabuk manggut-manggut. Setelah diam
sesaat dan
Laras Wulung duduk di tepian kolam, Suto
pun segera
ajukan tanya lagi kepada wanita cantik
berselera
tinggi itu.
"Benarkah
Nyai Ratu menyuruh orang-orangnya
menangkap
Badra Sanjaya karena tuduhan mencuri
pusaka 'Jarum
Surga'?!"
Laras Wulung
tersenyum kecil. Ia memandang Suto
yang berdiri
di sampingnya dalam keadaan masih tetap
seperti
keluar dari kolam. Perempuan itu segera berkata
sambil
memandangi tubuh bagian bawah Suto.
"Itulah
pusaka 'Jarum Surga' yang dimaksud!"
"Ooh...?!"
Suto Sinting tersentak kaget, merasa
terkecoh oleh bayangannya tentang pusaka
'Jarum Surga'
itu.
"Sewaktu
aku datang bersama Yundawuni, kau bilang
padaku bahwa
pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari oleh
Badra
Sanjaya, dan pusaka itu seperti tombak yang...."
"Bukankah
memang seperti tombak?!" sahut Laras
Wulung sambil
tersenyum. "Aku tidak bilang bahwa
pusaka dicuri
Badra Sanjaya, tapi pusaka 'Jarum Surga'
dibawa lari
oleh Badra Sanjaya. Memang dibawa
lari,
sebab pusaka
itu adalah milik Badra Sanjaya dan ia
melarikan
diri, maka dikatakan pusaka itu dibawa lari.
Apakah aku
salah?!"
Pendekar Mabuk
hanya tarik napas dalam-dalam. Ia
benar-benar
terkecoh oleh permainan kata Laras
Wulung.
"Siapa
yang memberi perintah menangkap Badra
Sanjaya?"
"Nyai
Ratu...! Perintah itu memang turun dari Nyai
Ratu sendiri.
Sebab Nyai Ratu membutuhkan pusaka
'Jarum Surga'
itu. Dia ingin mendapatkannya kembali.
Jika tak
berhasil, dia akan membunuh Badra Sanjaya.
Maka kuminta
bantuan kepada Yundawuni untuk
menghubungi
Pendekar Mabuk. Kuminta kau
menangkap
Badra Sanjaya sebab aku takut Badra
Sanjaya
diburu oleh pengawal Nyai Ratu yang ilmunya
cukup tinggi.
Jika kau lebih dulu
menangkap Badra
Sanjaya, maka
kau akan melindungi nyawa Badra
Sanjaya dari
serangan para pengawal Nyai Ratu yang
mendapat
tugas memburunya itu."
"Ooh, cerdik sekali kau sebenarnya, Laras
Wulung?!"
Suto Sinting
manggut-manggut lagi.
"Tapi
mengapa menurut cerita Ki Jalu Kuping, yang
disebut-sebut
oleh Badra Sanjaya adalah nama Ratu
Dekap Rindu?!
Mengapa bukan namamu? Apakah dia
tidak
mencintaimu?"
"Itu
karena dia terkena jurus 'Ranjang Goyang' sang
Ratu. Jurus
'Ranjang Goyang' dapat mengenai lawan
bercumbu pada
saat sang Ratu merasa dikecewakan
dalam
cumbuannya. Dan dengan sendirinya kekuatan
gaib dari
Jurus 'Ranjang Goyang' itu terlepas dari sorot
pandangan
mata sang Ratu," tutur Laras Wulung.
Sambungnya
lagi, "Maka ketika Nyai Ratu mengaku
pernah
dikecewakan oleh Badra Sanjaya, aku segera
tanggap bahwa
Badra Sanjaya pasti telah terkena jurus
'Ranjang
Goyang'. Jika begitu, maka cepat atau lambat
sukmanya akan
datang sendiri kepada Nyai Ratu dan
segera
dimasukkan dalam tabung beling untuk
dipenjarakan.
Sukma itu tak akan pergi ke mana-mana
jika tabung
itu tidak dibuka atau tidak dipecahkan!"
"Sekarang
di mana tabung itu berada?" tanya Suto
yang sudah
mulai yakin bahwa Laras Wulung ada di
pihak Badra
Sanjaya.
"Tabung
itu ada di kamar Nyai Ratu. Tak seorang pun
mengetahui
letaknya dan cara mengambilnya kecuali
aku! Karena
aku pengawal kepercayaan Nyai Ratu!"
"Maukah
kau mengambilkannya untukku demi
membebaskan
sukma si Badra Sanjaya?"
"Aku tak
keberatan asalkan kau mau juga
melindungiku
jika Nyai Ratu murka padaku!"
"Kalau
aku tak mau, bagaimana?"
Laras Wulung
diam sebentar. Kemudian ia me-
mandang Suto
sambil berdiri.
"Tolong,
bantulah aku. Aku sangat mencintai Badra
Sanjaya! Aku
akan kalah jika melawan Nyai Ratu."
"Kau
mencintai Badra Sanjaya?"
Laras Wulung
mengangguk.
"Apakah
kau tak tahu bahwa Badra Sanjaya sering
melayani
perempuan lain, termasuk Gayanti, Paras
Juwita
dan...."
"Dan aku
juga," potong Laras Wulung. Ia melangkah
ke samping,
lalu berbalik dan menatap Suto kembali.
"Ketika
Badra Sanjaya datang kemari mencari kakak
seperguruannya
yang bernama Jantra Loya, kami
berhasil
memperdayanya. Sebenarnya kami tidak tahu di
mana Jantra
Loya berada, karena kami tak punya urusan
dengan Jantra
Loya. Tapi melihat ketampanan Badra
Sanjaya, kami
katakan bahwa Jantra Loya dalam
tawanan kami.
Dia bisa dilepaskan jika Badra Sanjaya
mau menjadi
penghibur perempuan-perempuan di Bukit
Kemesraan
ini. Badra Sanjaya tak berkutik ketika
melawan Nyai
Ratu, akhirnya ia mau menjadi pelayan
kemesraan
kami. Jadi siapa pun yang membutuhkan
kemesraannya,
dia harus melayani, jika tidak maka
Jantra Loya
tidak akan kami lepas dari penjara. Padahal
itu hanya
tipu muslihat kami saja. Sampai akhirnya Nyai
Ratu merasa
bahagia jika mendapat pelayanan cinta dari
Badra
Sanjaya. Aku sendiri merasa bahagia sekali
jika
selesai bercumbu dengannya, lalu akhirnya aku
jatuh
cinta pada
Badra Sanjaya dan ingin memiliki dia
sepenuhnya."
"Hmmm...!"
Suto Sinting manggut-manggut. Setelah
diam tiga
helaan napas, ia pun berkata dengan suara
pelan tapi
jelas dan tegas.
"Baiklah,
aku akan membantumu dalam memadu
cinta dengan
Badra Sanjaya, asal kau benar-benar mau
menjadi
seorang istri yang baik."
"Aku
akan menjadi istri terbaik bagi Badra Sanjaya!
Aku bersumpah
untuk hal itu."
"Baik.
Sekarang bebaskan sukma Badra Sanjaya, dan
jika Nyai
Ratu mengamuk, aku yang akan
menghadapinya.
Tapi terlebih dulu kau dan aku pergi ke
Gunung Dara
untuk meminta kembali ragaku! Tak
mungkin aku
bercinta denganmu dalam keadaan diriku
bertubuh
Badra Sanjaya, bukan?"
"Memang.
Aku memang ingin Badra Sanjaya
seutuhnya!"
"Kau
akan menerimanya setelah sukmaku kembali ke
ragaku yang
asli dan sukma Badra Sanjaya bebas dari
penjara."
"Akan
kucari penjara sukma itu. Tapi... tapi maukah
kau memberiku
kemesraan lagi?"
"Bukankah
kau tahu aku adalah Pendekar Mabuk?"
"Kau
hanya tenaga penggerak saja. Tapi yang
kurasakan adalah
kehangatan dan kemesraan Badra
Sanjaya.
Tolonglah... beri aku sekali lagi biar
kekuatanku
pulih kembali."
"Kekuatan...?!"
"Kekuatanku
akan susut dan bisa menjadi lenyap jika
gairahku
sudah telanjur timbul tapi tidak mendapat
pelampiasan.
Jika gairahku tidak pernah timbul, walau
tak
mendapatkan kemesraan aku tak akan kehilangan
tenaga. Ini
disebabkan karena aku memiliki ilmu
'Titis
Panewu'
warisan dari nenekku. Jika gairah sedang
kambuh, tak
dapat obatnya, maka ilmu 'Titis Panewu'
akan menyerap
tenaga dan kekuatan batinku."
"Apa itu
ilmu 'Titis Panewu'?"
"Setiap
anak yang kulahirkan secara dengan
sendirinya
akan memiliki seluruh ilmu yang ada
padaku."
"Wah,
hebat juga ilmu itu?!" puji Suto.
"Karena
itulah, aku butuh obat untuk gairahku."
"Apakah
kau bergairah lagi?"
Laras Wulung
anggukkan kepala dengan malu-malu.
"Aku
rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan
kau hadir
membawa raganya, maka gairahku meletup-
letup sejak
tadi. Tolonglah aku sekali ini saja, setelah itu
kita lari dari sini sambil membawa tabung penjara
sukmanya
Badra Sanjaya!"
Bingung juga
menghadapi masalah ini. Tapi akhirnya
Suto Sinting
berkata, "Aku tidak bisa melayanimu. Tapi
kalau kau
mau mengambil miliknya Badra Sanjaya,
ambillah. Aku
hanya sekadar membantu kalian!"
"Ooh...!"
Laras Wulung segera memeluk raga Badra
Sanjaya dan
hanyut dalam ayunan gelombang cinta yang
luar biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat
sebelumnya.
Pencurian tabung penjara sukma segera dilakukan
Laras Wulung
sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya
membayang-bayangi
di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras
Wulung
sendiri yang masuk ke dalam kamar tersebut.
Ketika ia
berhasil membawa tabung beling berisi asap
ungu
samar-samar, tiba-tiba langkahnya kepergok oleh
seorang
pengawal lain yang bernama Kumbarini.
"Apa
yang kau bawa itu, Laras Wulung?!" tegur
Kumbarini
dengan nada curiga.
"Nyai
Ratu menyuruhku mengambil tabung penjara
sukma
ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.
"Nyai
Ratu sedang bersemadi. Tak mungkin ia
menyuruhmu!"
"Mengapa
kau tak percaya padaku, Kumbarini?!"
"Karena
aku tahu tabung itu adalah tabung
penjara
sukma Badra
Sanjaya. Aku tahu kau mencintai dia,
karena aku
pernah mendengar percakapanmu di balik
kerimbunan
bambu di taman keputrian itu. Kalian
merencanakan
untuk kabur dari sini. Kau yang
menyuruh
Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang
menunjukkan
pintu rahasia untuk meloloskan diri. Maka
sekarang
kutahu kau mencuri tabung itu untuk
membebaskan
sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan
berambut
panjang dengan kenakan jubah biru bola-bola
kuning.
"Kembalikan
tabung itu, Laras Wulung!"
"Jika
kau tahu tentang rencana itu, mengapa kau tidak
melaporkannya
kepada Nyai Ratu?!"
"Karena aku tak punya bukti yang kuat.
Sekarang aku
punya bukti
dan ingin menindakmu sendiri!"
"Kalau
begitu, terimalah jurus 'Sekar Dayu' ini!"
Clap,
clap... ! Dua sinar biru keluar dari kibasan
tangan kiri
Laras Wulung. Rupanya Kumbarini telah
menduga akan
diserang secara mendadak, ia telah siap
menangkis
dengan sentakkan tangan kanannya yang
memancarkan
sinar merah lebar. Maka dua sinar biru itu
menghantam
sinar merah yang menyerupai perisai itu.
Jegaaarrr...!
Ledakan
dahsyat mengguncangkan bangunan istana
megah itu.
Tentu saja ledakan tersebut membuat para
pengawal lainnya berdatangan dan suasana menjadi
heboh.
Semakin bertambah heboh lagi setelah
Kumbarini
melesat naik ke atas serambi lalu berseru
kepada para
pengawal yang berdatangan itu.
"Laras
Wulung mencuri tabung penjara sukma!
Lihat...!
Tabung itu ada di tangannya dan ia akan
membebaskan
sukmanya Badra Sanjaya!"
"Keparat!
Rupanya dia sekarang menjadi pencuri
jahanam!
Serang dia! Seraaaang...!"
Lebih dari
dua puluh lima pengawal berilmu tinggi
mengepung
Laras Wulung dan mereka menghujani
Laras Wulung
dengan pukulan bersinar.
"Hati-hati...
tabung itu jangan sampai pecah!" seru
Kumbarini
mengingatkan teman-temannya, namun
justru
menjadikan Laras Wulung sadar akan hal
itu.
Maka sambil
hindari sinar putih dari lawannya, Laras
Wulung melemparkan tabung itu ke arah pohon.
Weess...! Pyaaar...!
Wuuutt...!
Asap ungu tipis itu menyebar dan lenyap
tersapu angin.
Semua pengepung, termasuk Kumbarini
terpekik
tegang melihat tabung itu telah pecah.
"Bunuh
dia! Jangan beri kesempatan hidup lagi!"
teriak
Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.
Clap, clap,
clap, clap...!
Laras Wulung
dihujani sinar maut yang dapat
hancurkan
tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar
Mabuk segera
melesat menyambar tubuh Laras Wulung
yang sedang
melompat hindari pukulan maut lawan-
lawannya
Zlaaap...!
Weees...!
Tahu-tahu
Laras Wulung sudah berada di atas tembok
benteng dalam
keadaan dipondong seorang lelaki
berpakaian
serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya
terbelalak
bengong.
"Kejar
mereka!" teriak Kumbarini.
"Turunkan
aku! Akan kulepaskan jurus penghancur
istana
ini!" kata Laras Wulung. Ia segera diturunkan dari
pondongan
Suto. Lalu kedua tangannya segera
berkelebat
bagai menari cepat, tahu-tahu menyentak ke
depan.
Wuuuk...! Mata dari kedua telapak tangannya
keluar sinar
ungu yang menyebar ke berbagai penjuru.
Wuuuus...!
Blegaaarrr....
Bhaaaangg...!
Zlaaaap...!
Suto Sinting menyambar tubuh Laras
Wulung ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api
besar yang
menyambar ke mana-mana. Dengan
dipanggul Suto Sinting, Laras Wulung
akhirnya
meninggalkan
istana itu pada saat suasana istana
menjadi
gempar, gaduh dan penuh kepanikan.
Zlaaap,
zlaaap, zlaaap...!
Dalam waktu singkat, Laras Wulung sudah berada
jauh sekali
dari Bukit Kemesraan. Jika tanpa bantuan
jurus 'Gerak
Siluman' Suto Sinting, barangkali para
pengawal Ratu
Dekap Rindu akan berhasil mengejar
Laras Wulung.
Setidaknya berhasil menghantam Laras
Wulung dari
jarak jauh.
Bleeebaang...!
Gelegar
ledakan maha dahsyat masih terdengar
sayup-sayup
di tempat Suto menurunkan Laras Wulung
dari
pundaknya. Mereka hanya memandang ke arah
Bukit Kemesraan
yang memancarkan sinar merah terang
yang menyebar
ke langit, membuat langit petang
menjadi merah
bak terpanggang api neraka.
Kembalinya
sukma Badra Sanjaya ditandai dengan
bangkitnya
raga Suto Sinting yang terbaring di dalam
pondok Ki
Jalu Kuping. Kakek berjubah abu-abu tampak
kegirangan,
karena ia yakin bahwa Suto berhasil
memecahkan
tabung penjara sukma itu. Keyakinannya
itu menjadi
kenyataan setelah Suto dalam sosok raga
Badra Sanjaya
itu tiba di padepokan Lereng Kunyuk, di
Gunung Dara,
bersama seorang wanita cantik yang tak
lain adalah
Laras Wulung.
Ki Jalu
Kuping akhirnya memindahkan kembali
sukma mereka
ke tubuh masing-masing. Maka
melompatlah
Laras Wulung memeluk Badra Sanjaya
dalam kegirangan yang luar biasa.
"Kurasa
Ratu Dekap Rindu akan mencarimu, Laras
Wulung!"
kata Badra Sanjaya.
"Itu
urusanku!" sahut Suto Sinting yang kini sudah
merasa lega
karena sudah memakai raganya sendiri.
"Hanya
saja, kumohon padamu, Badra Sanjaya... jangan
kau umbar
lagi kemesraanmu untuk gadis-gadis lain.
Curahkan
seluruh kekuatan kemesraanmu untuk Laras
Wulung dan...
segeralah meresmikan pernikahan kalian,
supaya kalian
nyata-nyata merasa saling memiliki!"
Badra Sanjaya
dan Laras Wulung anggukkan kepala
dengan senyum
kedamaian dan kebahagiaan yang di
ambang
ancaman dendam Ratu Dekap Rindu.
SELESAI
Segera
terbit!!!
PEMBALASAN
RATU MESUM
Pembuat
E-book:
DJVU &
E-book (pdf): Abu Keisel
Edit:
Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon