1
AWAN kelabu bergulung-gulung bagai ingin menelan matahari. Sang
matahari tetap tenang dan acuh tak acuh, seakan yakin kalau dirinya tak akan
dikalahkan oleh awan kelabu itu. Hanya saja, sang matahari mulai waswas begitu
melihat kabut hitam berarak-arak dari selatan, bagai iring-iringan jenazah di
atas langit.
"Firasat buruk," gumam seorang lelaki tua yang berdiri di
atas bukit sambil pandangi arak-arakan burung gagak itu. Wajah tuanya mulai memancarkan
kecemasan walau tampaknya tenang-tenang saja.
Langkah si tua berjubah ungu itu sengaja dihentikan. Tongkatnya yang
tinggi sepundak digenggam kuat-kuat, bahkan sedikit ditekan ke tanah. Si tua
berjubah ungu dengan pakaian dalamnya warna putih itu sengaja membiarkan
iring-iringan burung gagak melintas di langit atas kepalanya.
"Firasat buruk apa itu, Kek?" tanya seorang gadis bermata
bundar bening.
"Akan terjadi musibah besar yang menewaskan orang banyak,"
jawab si kakek berikat kepala ungu, sama dengan warna jubahnya.
"Ih, ngeri!" ujar gadis berpakaian serba Jingga, jubahnya
tanpa lengan warna Jingga, kain penutup bagian dada dan pinggulnya juga warna
Jingga, bahkan pedangnya dari sarung pedang sampai gagang dililit kain warna
Jingga. la mengenakan kalung dan gelang berbatu jingga. Entah batu apa namanya,
yang jelas batu yang menghias sabuknya juga berwarna jingga. Batu di sabuk itu
cukup besar, bening, dan berbentuk bulat telur pipih bagian belakangnya.
"Kira-kira musibah apa yang bakal terjadi, Kek?"
"Sebentuk kematian yang mengerikan. Daerah ini tak lama lagi akan
dipenuhi oleh puluhan mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Karenanya, lebih
baik kita harus cepat tinggalkan tempat ini sebelum musibah melibatkan kita
sebagai korbannya."
"Tapi kita harus menemukan Puting Selaksa dulu, Kek. Sebelum
menemukan Puting Selaksa aku tak mau tinggalkan tempat ini," ujar si gadis
cantik berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu.
"Kita cari di tempat lain saja. Mungkin kakakmu si Puting Selaksa
sudah tinggalkan tempat ini, Manggar Jingga."
"Firasatku mengatakan, Puting Selaksa masih ada di sekitar wilayah
tanah Mentawai ini, Kek. Barangkali ia disekap oleh orang-orang Perguruan Tangan
Besi. Kita harus menyerang perguruan itu, Kek."
"Sebelum jelas dan pasti, jangan lakukan tindakan gegabah, Manggar
Jingga. Salah-salah kita jadi punya banyak musuh hanya karena tindakan gegabah
kita."
Sang kakek jubah ungu itu bicara dengan nada bijaksana. Agaknya ia
selalu memperhitungkan tiap langkah dan tindakan yang akan diambil agar tidak
menimbulkan petaka balik bagi dirinya sendiri. Sikap seperti itu secara tak
langsung diajarkan kepada muridnya yang sudah dianggap cucu sendiri itu.
Tetapi si gadis yang ternyata bernama Manggar Jingga itu kurang setuju
dengan perhitungan sang Guru. Bahkan menduga sang Guru kali ini bertindak
ragu-ragu. Manggar Jingga agak kesal dengan peringatan sang Guru tadi,
sementara hati kecilnya telah yakin betul bahwa kakak seperguruannya yang
bernama Puting Selaksa itu hilang diculik oleh orang Perguruan Tangan Besi.
Tiba-tiba si gadis berhidung bangir dan berbibir mungil itu berbisik
kepada gurunya.
"Kek, di belakangku seperti ada orang yang sedang mengawasi
kita."
"Sejak tadi aku sudah tahu."
"Bagaimana kalau kugebrak biar dia tahu kalau kita tak suka
diintai begini?!"
"Gebrak saja, tapi pelan-pelan."
"Itu namanya bukan digebrak!" ujar sang murid sambil
bersungut-sungut.
"Terserah kau sajalah, asal jangan timbulkan permusuhan kepada
orang yang belum tentu memusuhi kita!"
Gadis itu berlagak tenang, melangkah ke samping sambil bicara keras
kepada sang Guru.
"Kek, pemandangan di sini indah sekali. Aku senang berada di sini.
Cuma sayang ada yang usil kepada kita, Kek! Mungkin dia maling kurang kerjaan.
Maling yang kurang kerjaan harus diberi pelajaran begini.. ."
Wuuuut...! Tiba-tiba tangan kanan gadis itu menyentak ke belakang
dengan tubuh berputar separo lingkaran. Dari tangan yang megar itu keluar angin
kencang yang membuat semak-semak tercabut dari tanah. Wuuus...! Bruuus...!
"Uuhhk. .!" suara pekikan terdengar dari orang yang berada di
balik semak. Orang itu terlempar ke atas bagai diterbangkan oleh kekuatan
besar.
Namun begitu merasa dirinya terbang ke udara, orang itu segera bersalto
dua kali dan daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi, menandakan ilmu peringan
tubuhnya cukup tinggi.
"Gila! Tenaga dalamnya begitu besar, membuatku terlempar begitu
saja. Sial!" gerutu orang yang menjadi tersipu malu mirip maling
tertangkap basah. Sedangkan si jubah ungu dan muridnya sempat terkesip pandangi
orang yang tertangkap basah itu.
Terutama si gadis, menjadi berdebar dan resah setelah tahu pengintainya
adalah seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala dan
mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam. Pemuda itu
membawa bumbung bambu tempat tuak yang kala itu digantungkan di pundaknya.
"Lho, kok malingnya ganteng, Kek?" ujar si gadis dengan nada
pelan tapi terdengar di telinga si pemuda tampan bertubuh kekar itu. Pemuda tersebut
hanya sunggingkan senyum salah tingkahnya.
"Maling modal tampang memang begitu, Manggar Jingga," ujar si
jubah ungu.
"Aku bukan maling!" bantah pemuda tersebut
"Ah, maling!" sentak si gadis berlagak ketus.
"Bukan! Aku bukang maling."
"Maling!" si gadis makin keras. "Kalau bukan maling
kenapa kau mengintai kami di balik semak-semak? Itu namanya maling banci! Kalau
bukan banci, mestinya kau berani maling secara terang-terangan!"
Jubah ungu tertawa pelan karena geli mendengar omelan sang murid yang
sudah dianggap cucu sendiri itu.
"Maling itu macam-macam!" sambung Manggar Jingga. "Ada
maling harta benda, ada maling pusaka, ada maling ilmu, ada maling hati, maling
penglihatan, maling suara, dan...."
"Kok justru kau tahu jenis-jenis maling?! Jangan-jangan kau
sendiri pakar maling?!" ujar pemuda berkulit sawo matang itu.
"Eh, sembarangan kau bicara. Ya?! Rupanya mulutmu perlu kurobek
biar tak bicara sembarangan lagi!"
Sreet.. ! Si gadis mencabut pedang yang dari tadi ditentengnya dengan
tangan kiri. Baru saja ia akan melangkah maju, kakek berjubah ungu itu menahan gerakannya
dengan menyilangkan tongkat ke depan.
"Tahan kemarahanmu, Manggar Jingga!"
"Dia kurang ajar, Kek!"
"Yah, nanti kalau kurang ajar, biar aku yang menghajarnya,"
ujar si jubah ungu.
"Cucumu itu yang kurang ajar mengatakan aku maling, Pak Tua!"
sambil pemuda berdada bidang itu menuding si gadis.
"Maklumilah ucapan muridku itu, Kisanak. Dia memang paling tak
suka diperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang yang mencuri pandang
kepadanya selalu dianggap pencuri atau maling."
"Aku tidak bermaksud mencuri pandang kepadanya," si pemuda
agak cemberut. "Kebetulan saja aku lewat sini dan mendengar percakapanmu tentang
musibah besar yang akan terjadi di daerah ini. Aku tertarik dan ingin
mengenalmu, tapi aku harus selidiki dulu siapa kau sebenarnya. Dari golongan
hitam atau putih? Tentu saja hal itu tak bisa kutanyakan begitu saja, takut
menyinggung perasaanmu, Pak Tua!"
"Jangan terbujuk oleh kelembutan katanya, Kek!" cetus Manggar
Jingga dengan wajah cemberut. Si kakek guru hanya tersenyum tipis sambil melirik
si murid. Tapi kejap berikutnya ia menatap pemuda tampan tersebut dan bicara
dengan nada kalem.
"Kau tak perlu curiga pada kami, Kisanak. Kami bukan orang jahat.
Kami datang kemari untuk mencari seseorang. Kami dari Teluk Sendu. Ini muridku
yang sudah kuanggap cucuku sendiri, bernama Manggar Jingga. Sedangkan aku
dikenal dengan nama Resi Parangkara."
"Apakah kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?"
"Itu sahabat lamaku," jawab Resi Parangkara.
"Tapi ia tak pernah menceritakan tentang dirimu, sehingga kami tak
tahu siapa dirimu sebenarnya, Anak Muda?"
"Aku bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan...."
"Astaga! Jadi kau yang bergelar Pendekar Mabuk itu, Nak?"
"Betul, Eyang Resi...," sambil Suto membungkuk sebagai tanda
hormat.
"Oooo...," Resi Parangkara manggut-manggut.
"Pantas kau bisa hindari pukulan 'Badai Lanang' dari muridku.
Kalau bukan Pendekar Mabuk, dia akan terlempar dan mengalami luka berdarah di
dalam dadanya!" tambah Resi Parangkara sambil melirik muridnya.
Sang murid ternyata tertegun bengong bagaikan patung tanpa berkedip.
Rupanya gadis itu mengalami sedikit shock begitu tahu pemuda tampan yang
dianggapnya maling itu adalah si Pendekar Mabuk. Nama kondang itu sering didengarnya
dan bahkan sering membuat Manggar Jingga penasaran ingin bertemu dan melihat
seperti apa wujud si Pendekar Mabuk itu. Ternyata baru sekarang rasa
penasarannya itu terlampiaskan sehingga tak heran jika Manggar Jingga menjadi terbengong-bengong
tanpa bisa berucap kata sedikit pun. Sepertinya ia tak sadar bahwa matanya membelalak
tak berkedip pandangi Suto Sinting dengan bibir merekah bolong.
"Hi sy. .!" Resi Parangkara menepiskan tangan di depan wajah
Manggar Jingga, dan gadis itu segera terkejut lalu menggeragap salah tingkah.
"Bunuh saja!"
"Apanya yang bunuh saja?!"
"Hmm... eh... apa yang kukatakan tadi, Kek? Bungkus saja?!"
"Hidungmu itu yang dibungkus?!" gumam sang Resi sambil
tertawa pelan. Gadis itu jadi tersipu malu.
"Orang yang kau anggap maling itu adalah Pendekar Mabuk, murid si
Gila Tuak, Sahabatku yang sudah lama tak pernah jumpa. Pemuda inilah yang
namanya sering kau bicarakan dan kau tanyakan kehebatan ilmunya padaku, Manggar
Jingga!"
"Hmmm, eeh... jadi bukan... bukan maling, Kek?!"
"Ya, bukan! Masa pendekar kondang kok jadi maling?! Kalau toh jadi
maling, pasti yang dicuri hatimu!"
"Hmmm. .!" gadis itu mencibir seakan tak sudi dicuri hatinya
oleh si tampan Suto itu. Tapi raut wajahnya tampak menjadi merah semu begitu membayangkan
seandainya hatinya benar-benar dicuri oleh si Pendekar Mabuk.
Sang Pendekar Mabuk sendiri menertawakan kelucuan Manggar Jingga. Tapi
tak berani terlalu lama, takut gadis itu semakin berang karena rasa malunya. la
segera mengalihkan suasana agar menjadi serius lagi.
"Siapa orang yang kau cari itu, Eyang Resi?!"
"Puting Selaksa, muridku juga. Kakak seperguruan Manggar Jingga
yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri."
"Dia pasti tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi yang
berada di sekitar tanah Mentawai ini!" timpal Manggar Jingga dengan masih
bernada ketus.
"Apakah kau melihat orang Perguruan Tangan Besi membawa si Puting
Selaksa?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Memang tidak kulihat sendiri. Tapi terakhir kudengar Puting
Selaksa bentrok dengan orang Perguruan Tangan Besi di Pantai Karangawu. Dia terluka,
lalu pulang ke Teluk Sendu dan diobati oleh Kakek Guru. Hari berikutnya ia pergi
tanpa pamit. Dugaanku membalas dendam kepada orang Tangan Besi. Tapi sejak itu
ia tak kembali sampai sekarang."
"Sudah dua puluh hari lebih ia tak kembali," timpal Resi
Parangkara.
Pendekar Mabuk diam sebentar, matanya memandang keadaan sekeliling dari
atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Kejap kemudian ia ingat ucapan Resi
Parangkara tadi, maka sambil memandang langit yang masih diselimuti awan kelabu
itu, Suto pun segera ajukan tanya kepada sang Resi.
"Apakah menurutmu hilangnya Puting Selaksa ada hubungannya dengan
musibah yang tadi kau singgung-singgung itu, Eyang Resi?"
"Aku tak berani memastikan. Namun firasatku mengatakan: Perguruan
Tangan Besi akan menjadi sumber musibah yang bakal terjadi itu. Setidaknya
mayat yang akan bergelimpangan di tanah Mentawai ini kebanyakan berasal dari
orang Perguruan Tangan Besi."
"Kakek, ada baiknya kalau kita segera bergerak ke pusat Perguruan
Tangan Besi dan menyelidiki tempat itu!" sela Manggar Jingga.
"Menyelidiki tempat itu, memang hal yang baik daripada harus
menyerang tanpa alasan dan bukti yang kuat, Cucuku!"'
"Kita harus berangkat sekarang, Kek!"
"Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Pendekar Mabuk?"
Manggar Jingga melirik ketus, "Persetan dengannya. Aku tak mau
tahu apa yang akan dilakukan oleh si maling nakal itu, Kek!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Aku pun tak akan ikut campur
urusanmu, Manggar Jingga. Kurasa kita memang harus berpisah sekarang juga, sebab
aku pun punya perjalanan sendiri."
"Maafkan sikap muridku yang mungkin kurang berkenan di hatimu, Maling
Nakal, eeh.... Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara sempat salah ucap.
"Tak ada masalah bagiku, Eyang Resi. Kuharap, kau dan Manggar
Jingga bukan penyebar musibah itu walau ternyata nantinya si Puting Selaksa memang
ada di sana."
"Kau jangan menggurui guruku, Maling Nakal!"
"O, tidak! Aku hanya berharap saja. Tapi kalau kau merasa pantas
menjadi penyebab musibah di sana, silakan saja. Itu bukan urusanku."
"Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara dengan kalem dan
bijaksana. "Percayalah, musibah itu akan datang bukan dari pihakku, tapi
dari pihak lain."
"Syukurlah! Sebaiknya, aku mohon pamit lebih dulu sebelum kalian
pergi ke sana!"
"Jaga dirimu baik-baik, Nak! Sampaikan salamku kepada Kangmas Gila
Tuak jika kau bertemu beliau!"
"Akan kusampaikan salammu, Eyang Resi!" seraya Suto sedikit
membungkuk dan menyatukan telapak tangan di dada sebagai sikap berpamit.
Setelah itu, sang Pendekar Mabuk langkahkan kakinya menuruti bukit
tersebut. Resi Parangkara memandanginya dengan senyum penuh kharisma. Sedangkan
Manggar Jingga memandang dengan wajah keruh dan tampak menyesali kepergian Pendekar
Mabuk.
"Mestinya tadi Kakek menahannya dan membujuknya agar ikut ke
Perguruan Tangan Besi! Jangan malah titip pesan segala!" Manggar Jingga
menggerutu dan bersungut-sungut.
"Lhooo.. kau tadi tidak ngomong begitu. Coba kalau kau ngomong,
maka akan kubujuk dia agar ikut membantu kita mencari si Puting Selaksa!"
"Ya malu kalau aku bicara begitu. Hmmrn. .! Nanti dia meremehkan
diriku dan menganggapku gadis murahan!" ucap Manggar Jingga masih dengan
bibir cemberut. Sang Guru hanya tertawa pelan sambil mendekatinya, lalu menepuk
punggung gadis itu.
"Kau menyesali kepergiannya?"
"Hmmm. .!" Manggar Jingga melengos. Sang Guru semakin geli
melihatnya.
*
**
2
ESOK harinya, wilayah tanah Mentawai benar-benar dilanda musibah
menyedihkan. Perguruan Tangan Besi diserang oleh orang-orang Pulau Boneng.
Korban berjatuhan, para murid Perguruan Tangan Besi banyak yang tewas baik
secara sengaja maupun tidak sengaja. Mayat bergelimpangan di mana-mana, dan
burung-burung gagak menghampirinya menjalankan tugasnya sebagai burung pemakan
bangkai.
Perguruan Tangan Besi dibumihanguskan oleh orang-orang Pulau Boneng.
Sebagian murid yang tersisa melarikan diri dan bersembunyi, sementara Ketua
Perguruan Tangan Besi ditemukan tewas dalam keadaan tanpa nyawa sedikit pun.
Pada saat terjadi penyerangan besar-besaran itu, Pendekar Mabuk sedang
berada di sebuah desa di kaki Bukit Walet. la singgah di situ untuk bermalam
dan beristirahat. Ketika pagi menjelang siang tadi, sang Pendekar Mabuk ingin
lanjutkan perjalanannya menuju Lembah Birawa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan munculnya
orang-orang bergigi tonggos.
Delapan orang bergigi tonggos itu memasuki desa tersebut dengan
melakukan tindakan-tindakan yang meresahkan penduduk. Merusak beberapa pagar, mengganggu
para gadis, menyambar jemuran, meludah di sembarang tempat (termasuk meludah di
wajah orang), dan beberapa tindakan kasar lainnya yang membuat para penduduk
desa ketakutan.
Pendekar Mabuk masih duduk di dalam kedai tempatnya bermalam, menikmati
sarapan pagi yang sudah kesiangan sambil menunggu bumbung bambunya dipenuhi
tuak. Saat itu, di dalam kedai ada beberapa pembeli, termasuk seorang wanita berparas
cantik dengan bentuk wajah oval dan bertahi lalat kecil di pinggir kiri bibir
atasnya.
Perempuan itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengenakan pakaian
silat lengan panjang warna hijau tua. Rambutnya yang panjang disanggul sederhana
dengan sisa rambut terjuntai seperti ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah
berbintik-bintik putih.
Badannya sedikit gemuk tapi tinggi, sehingga tidak kentara
kegemukannya. Bahkan cenderung kelihatan sekal, kencang, berisi, dan kekar.
Perempuan itu dari tadi duduk di sudut ruangan sendirian. Sebilah
pedang bersarung kayu hitam digeletakkan di atas meja samping kirinya. Caranya
memandang cukup tajam, karena matanya agak besar namun berbentuk indah. Tepian
matanya berwarna hitam, seperti pakai maskara. la memang berkesan galak dan
angker, tapi Suto Sinting suka melihat wajah seperti itu.
Wajah penuh keberanian dan ketegasan itu membuat Suto sering mencuri
pandang.
"Mantap sekali perempuan
itu! Aku yakin ia adalah perempuan yang tak mudah menyerah dalam menghadapi
tantangan hidup apa pun. Jiwanya keras, keberaniannya tinggi, pendiriannya
kokoh, dan. . sepertinya ia tak mau diremehkan oleh siapa pun," pikir Suto
Sinting sambil berlagak memandangi anak perawan si pemilik kedai yang sedang
melayani tamu lain, namun ekor mata Suto tertuju pada si perempuan berpakaian
hijau tua itu.
"Aku yakin dia bukan gadis desa ini, atau perempuan dari sini.
Bukan. Dia pasti dari tempat jauh. Kulihat caranya melangkah waktu masuk ke kedai
ini agak terburu-buru. Tahu-tahu mendekam tenang di pojokan sana. Hmmm. . pasti
ada sesuatu yang membuatnya harus berada di pojokan itu. Bagaimana kalau
kudekati? Nyakar atau tidak, ya?" sambil mulut Suto menikmati ketan bakar
sedikit demi sedikit.
Ketika mata Suto sengaja melirik ke arah perempuan itu, bertepatan
dengan tatapan mata tajam si perempuan yang mengarah kepada Suto. Pandangan
mata mereka bertemu terang-terangan, lalu Suto sunggingkan senyum keramahan,
tapi tak mendapat balasan seramah itu. Perempuan tersebutjustru buang pandangan
ke arah lain dengan wajah cantiknya yang kaku tanpa senyum.
Matanya tampak menatap arah luar kedai dengan nanar. Ki Pulasoma,
pemilik kedai tersebut, menyerahkan bumbung tuak yang sudah terisi penuh kepada
Suto. Saat itulah Suto sempatkan diri bertanya dalam bisikan kepada Ki
Pulasoma.
"Siapa perempuan itu, Ki?"
"Entahlah, Nak. Aku baru sekarang melihat perempuan itu. Sangar
juga kelihatannya," kata Ki Pulasoma dalam bisikan juga.
"Berarti dia memang bukan perempuan desa ini," gumam Suto
dalam hati.
Ki Pulasoma ajukan tanya, "Kalau yang lebih cantik dari dia, di
sini banyak, Nak. Anaknya Demang Kawi juga cantik, malah tidak seangker dia.
Kalau kau mau cari kekasih, aku bisa mengenalkanmu kepada anak gadisnya Demang
Kawi."
Pendekar Mabuk tersenyum. "Aku sudah punya calon istri sendiri.
Dyah Sariningrum, namanya. Lebih cantik dari orang yang paling cantik di
dunia."
"Lalu, apa maksudmu menanyakan perempuan berbaju hijau itu?"
"Aku yakin dia punya persoalan yang meresahkan jiwanya. Agaknya ia
butuh orang untuk bertimbang rasa. Katakan kepadanya, jika ia berkenan, aku
akan datang membantunya."
"Baik, akan kusampaikan kepadanya," Ki Pulasoma tersenyum,
lalu melangkah mendekati perempuan itu dengan berlagak membersihkan meja yang
ada di samping si perempuan. Ki Pulasoma sudah tua, usianya sudah mencapai sekitar
enam puluh tahun. Tapi dia paling hobi jika disuruh menjadi comblang.
Suto Sinting geli melihat semangat si pemilik kedai yang kuat diajak
ngobrol semalaman. Orang tua itu dulu juga berkecimpung di rimba persilatan. Namun
segera tarik diri dan alih profesi menjadi pemilik kedai setelah seluruh teman
seperguruannya mati di tangan satu musuh. Hanya dia yang selamat.
Keselamatan itu diartikan sebagai teguran dari Sang Pencipta agar dia
harus tinggalkan rimba persilatan dan berwiraswasta dengan modal pas-pasan. Ki
Pulasoma kembali dekati Suto Sinting dan berkata dalam nada pelan.
"Pesanmu sudah kusampaikan, Nak. Tapi perempuan itu bilang, dia
tidak butuh pembantu."
Suto tersenyum sambil manggut-manggut. Matanya sengaja melirik ke arah
si perempuan, dan si perempuan menatapnya terang-terangan lagi.
"Kurasa dia butuh teman, Nak. Bukan pembantu."
"Apakah dia bilang begitu?"
"Tidak. Dia perempuan yang tidak suka banyak omong. Tiga kali
kutanya baru menjawab satu kali. Tapi menurutku, cobalah kau dekati sendiri
dia. Siapa tahu jika sudah berhadapan denganmu, keangkuhannya sebagai perempuan
tak banyak omong menjadi luluh."
"Maksudmu luluh?"
"Dia akan berteriak atau menjerit sambil melayangkan pukulan ke
wajahmu!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara, sementara Ki Pulasoma juga tertawa
dengan suara terkekeh samar-samar. Waktu itu, orang-orang bergigi tonggos belum
datang, jadi suasananya masih tenang-tenang saja. Karenanya, pada saat
perempuan itu menghembuskan napas cepat satu sentakan dari hidungnya, suara hembusannya terdengar jelas
di telinga Suto. Fui h...! Wuuus...!
Tiba-tiba ikat kepala Ki Pulasoma terbang bagai dihempas badai kecil.
Cangkir-cangkir di meja jatuh dengan isi tumpah berantakan. Baju lengan panjang
Ki Pulasoma pun terhempas menyambar wajah Suto Sinting. Mangkuk sambal tumpah
tepat di piring Suto yang masih terisi dua potong ketan bakar.
"Angin apa itu tadi, Nak?" bisik Ki Pulasoma.
"Biasa. Dia mulai unjuk gigi," Suto pun berbisik kalem.
"Kurasa tak perlu melayani ulahnya, Nak," bisik Ki Pulasoma.
"Bagaimana kalau aku juga unjuk gigi sebentar?" ujar Suto
dengan tersenyum dan memandang Ki Pulasoma, tapi jari tangannya menyentil
cepat.
Tees...!
Beet, praang...! Gubrrak...!
Sentilan Pendekar Mabuk adalah sentilan yang dapat keluarkan tenaga
dalam berkekuatan seperti tendangan seekor kuda jantan. Jurus 'Jari Guntur' itu
diarahkan kepada si perempuan berbaju hijau, sehingga apa saja yang ada di atas
meja perempuan itu menjadi berantakan. Bahkan perempuan tersebut tersentak ke
belakang, bagaikan mendapat tendangan kuat di atas dadanya, ia jatuh menabrak meja
belakang dan meja itu menjadi tumbang bersama bangkunya. Bahkan kaki meja patah
satu dan bangku panjangnya patah menjadi dua bagian.
Perempuan itu menggeram sambil bersusah payah bangkit sambil
menyentakkan meja-bangku di sekitarnya.
Braaak...! Wuuut...! Jleeg...!
Pedang di mejanya disambar, wuuut. .! Gagangnya digenggam dengan tangan
kanan, siap dicabut kapan saja.
Ki Pulasoma pejamkan mata saat terjadi kegaduhan itu. Setelah si
perempuan bangkit dan memandang Suto dengan sangar, Ki Pulasoma membuka mata
pelan-pelan seraya berkata kepada Suto.
"Unjuk gigi boleh saja tapi tak perlu merusakkan kedai ini,
Nak."
"Maaf, Ki. Aku akan mengganti kerusakannya," ujar Suto tetap
kalem. la memungut poci yang tadi jatuh ke pangkuannya dalam keadaan tuak di
dalam poci membasahi celana. la tahu perempuan itu segera menghampirinya dengan
wajah berang, sementara orang-orang pandangi mereka dalam ketegangan, tapi Suto
Sinting tetap kalem dan memunguti arang-barang yang berantakan karena sentakan napas
si perempuan tadi. Ki Pulasoma segera ditarik oleh anak gadisnya yang
ketakutan.
"Kenapa masih di situ saja, Pak! Ayo, menyingkir.. ! Salah-salah
perutmu dedel kena pedangnya!" ujar anak gadis Ki Pulasoma.
"Apa maksudmu menyerangku seperti itu, hah?! Mau bikin perkara
denganku?!" hardik perempuan itu dengan suara sedikit serak dan agak
besar, hampir seperti suara lelaki.
Pendekar Mabuk memandang dengan senyum kalem.
"Siapa yang mendahului bikin ulah seperti ini menurutmu?"
Sreet...! Pedang dicabut dari sarungnya, diangkat tinggi-tinggi dan
siap ditebaskan untuk membelah kepala Suto Sinting.
"Maaf, Nona. Kepalaku bukan semangka," kata Suto tetap kalem,
menjengkelkan perempuan itu, bahkan menjengkelkan orang-orang di sekitarnya.
"Edan itu anak! Sudah tahu mau dibelah kepalanya masih diam di
tempat? Apa tak punya kaki buat lari?!" gerutu salah seorang tamu kedai.
"Kau menggangguku lebih dulu, Kunyuk! Jangan salahkan diriku jika
kepalamu terbelah menjadi dua bagian! Hiaaat...!" Teees, beet.. ! Jurus
'Jari Guntur' dilepaskan kembali oleh Pendekar Mabuk. Tenaga dalam yang keluar
dari sentilan jari tangannya menghantam pergelangan tangan hingga sebatas siku
si pemegang pedang. Tangan itu terpental ke belakang dengan kuat, pedangnya
terlempar lepas dari genggaman, perempuan itu terpelanting dan jatuh terduduk
di atas bangku panjang. Brruk. .!
Klontaang...!
Gigi perempuan itu menggeletuk pertanda menahan sakit. Matanya
memancarkan permusuhan yang lebih tajam lagi. Tapi Pendekar Mabuk masih tetap
sunggingkan senyum dengan tenang dan sekarang ia bangkit berdiri sambil
menenteng bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau disalahkan, sebaiknya kita bermain di luar
kedai saja. Kalau kedai ini rusak, kasihan Ki Pulasoma!"
Suto Sinting melangkah keluar dari kedai lebih dulu. Setiap mata
memperhatikan ke arahnya, termasuk perempuan berbaju hijau itu. Suto Sinting
tetap melangkah cuek sambil tetap sunggingkan senyum keramahan. Sesekali ia
menepuk punggung seorang tamu yang dilewatinya sambil berkata pelan.
"Tenang, bisa kuatasi!"
Suto Sinting sengaja berdiri di bawah pohon depan kedai. la menunggu
perempuan itu di sana. Si perempuan segera keluar dengan beberapa lompatan dari
meja ke meja dan terakhir mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dengan pedang
tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang ada di tangan kiri.
Jleeg...!
"Apa maumu sebenarnya, hah?!" bentak perempuan itu dengan
suara geram.
"Kulihat kau sedang resah.
Kutahu kau punya masalah. Lalu kucoba ingin mendekatimu untuk membantu
memecahkan masalahmu. Kurundingkan hal itu kepada Ki Pulasoma. Tapi kau justru
pamer kekuatan napasmu yang membuat makananku berantakan. Maka kucoba untuk
menegurmu dengan pamer kekuatan juga. Sekarang kedudukan kita satu sama.
Terserah kau, mau dilanjutkan dalam bentuk apa pun aku siap!"
"Kau telah mempermalukan diriku di depan orang-orang kedai! Kau
harus menerima hukumannya."
"Baik! Aku siap. Tapi tunggu sebentar, aku harus bayar dulu biaya
makanku ditambah uang pengganti kerusakan barang-barang itu," kata Suto
dengan santai sekali. Lalu ia melambaikan tangan kepada Ki Pulasoma yang
memperhatikan dari ambang pintu kedainya. Ki Pulasoma mendekat, Suto bicara
pelan dengan pemilik kedai itu, lalu mengeluarkan uang dari sela-sela ikat
pinggangnya. Sesaat kemudian ia berkata kepada perempuan itu.
"Kurang dua sikal. Apakah kau punya dua sikal untuk melunasi biaya
makanku, biaya makanmu dan mengganti kerusakan itu?"
"Hmmm. .!" dengus perempuan itu dengan dongkol. Tapi ia
segera mengambil sekeping uang dari sela ikat pinggangnya yang terbuat dari kain
merah, lalu uang itu disentilkan ke depan dan ditangkap oleh Suto. Teeb.. !
"Oh, lima sikal?! Kalau begitu, tolong kembalinya kau berikan
kepada nona cantik itu, Ki!"
"Baaik. . baik. .! Sebentar, akan kuambilkan kembaliannya,"
lalu Ki Pulasoma berlari masuk kedai.
Perempuan itu berkata sambil menuding Suto.
"Kalau kau bisa menahan tiga jurusku, kau baru boleh membantuku!
Hiaaat...!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto yang membuat perempuan itu
hentikan gerakannya. Lalu, Suto melanjutkan ucapannya dengan kalem.
"Uang kembalianmu belum diberikan Ki Pulasoma! Nanti kau lupa
kalau sudah asyik bertarung denganku!" Setelah bicara begitu, Suto
tersenyum lebar. Tenang sekali.
"Aku tak butuh uang kembalian! Hieaaat.. !" Bet, bet, bet. .!
Weess...!
Perempuan itu menyerang Suto dengan tebasan pedang yang sulit dilihat
gerakannya oleh mata orang biasa. Tapi Pendekar Mabuk hanya bergerak meliuk-liuk
bagai orang mabuk sempoyongan. Tapi gerakan itu patah-patah dan mampu hindari
tebasan pedang beberapa kali. Sampai akhirnya Pendekar Mabuk sengaja berlutut
satu kaki, telapak tangan kirinya menyodok perut perempuan itu dengan telak.
Wuut, buuhk. .!
"Heeehk. .!" Perempuan itu terlempar mundur bagaikan kapas
terbang, lalu jatuh membentur dinding kedai. Braak. .! Dinding kedai itu jebol.
la menyeringai menahan sakit dengan menggigit bibirnya. Tapi ia segera bangkit
dan menarik napas panjang. Saat itu Ki Pulasoma datang menyerahkan uang
kembalian sebanyak tiga sikal.
"Ini kembaliannya, Non!"
"Tak perlu, Ki!" seru Suto. "Anggap saja kembalian itu
uang pengganti dinding kedaimu yang baru saja jebol itu!"
"Tap... tapi...."
"Simpan saja untuk pengganti dinding ini!" gertak perempuan
itu.
"Iya, tapi... kurang kalau cuma segini, Nona?"
Perempuan itu penasaran dan tak pedulikan ucapan Ki Pulasoma lagi. la
segera lakukan lompatan cepat menerjang Pendekar Mabuk dengan pedang ditebaskan
sebagai pemenggal leher.
Wes. .!
Traang. .! Suto Sinting berhasil menangkis tebasan pedang menggunakan
bumbung tuaknya. Bumbung bambu itu tidak mengalami luka atau lecet sedikit pun.
Bahkan benturannya dengan pedang menimbulkan bunyi bagaikan pedang menebang
besi, karena bumbung tuak itu adalah bumbung sakti yang terbuat bukan dari
sembarang bambu.
Sayangnya Suto Sinting sedikit lengah. Siku kirinya naik saat menangkis
pedang tadi. Dan kaki perempuan itu berhasil menendang ke samping, tepat kenai
tulang rusuk Suto.
Beet...! Buuhk...!
"Aaow. .!" Suto memekik sambil terlempar jatuh
berguling-guling. Tulang rusuknya terasa patah, karena tendangan itu bertenaga
dalam cukup besar.
la bangkit dengan terhuyung-huyung. Si perempuan tak mau membuang
kesempatan. Melihat lawannya mulai lemah, perempuan itu segera lepaskan tendangan
putar tiga kali.
Wut, wut, wut.. !
Sayang tendangannya tidak kenai sasaran karena Suto Sinting telah
berpindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai
kecepatan gerak seperti kecepatan cahaya itu. Zlaaap. .! Tahu-tahu pemuda
tampan itu sudah ada di bawah pohon lagi, menenggak tuaknya dari bumbung itu
dengan santai, tindakan tersebut membuat beberapa mata yang menyaksikan menjadi
tercengang kagum dan terheran-heran terhadap kecepatan gerak si Pendekar Mabuk.
"Edan! Orang kok gerakannya seperti setan lewat!" gumam salah
seorang penonton yang ada di samping kedai.
Pada saat itulah, perhatian mereka segera beralih ke arah selatan.
Karena di arah selatan terdengar suara ribut-ribut, jerit para perempuan
bersahutan dan ayam-ayam berkeok sambil beterbangan.
"Ada apa di sana itu. .?!" seru seseorang dari dalam kedai. Pendekar
Mabuk dan perempuan itu juga memandang ke arah selatan. Mereka melihat
orang-orang berpakaian hitam sedang bikin keonaran sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba perempuan itu segera melompat masuk kedai melewati dinding
kedai yang hanya separo badan itu. Wuuut.. ! Pendekar Mabuk berkerut dahi dan
mulai membatin.
"Mengapa dia kelihatannya takut dengan orang-orang itu?!"
Suto penasaran, kemudian ikut-ikutan melompat masuk kedai lagi. Wees.
.! la memandang perempuan berbaju hijau yang tampak terburu-buru menuju dapur.
"Hei, tunggu. .!" seru Suto Sinting yang segera mengejarnya
dengan beberapa lompatan. Teeb. .! Tangan Suto berhasil mencekal pundak perempuan
itu. Si perempuan mengibaskannya dalam satu sentakan putar. Wuuut...!
Plaaak...! Suto Sinting terpelanting dan membentur dinding.
Pada saat itulah ujung pedang perempuan tersebut sudah berada di depan
leher Suto dalam jarak kurang dari setengah jengkal. Keadaan itu membuat Suto
tak berani bergerak, terlebih setelah melihat mata perempuan itu memancarkan
kemurkaan yang serius dan suaranya menggeram saat keluarkan ancaman maut.
"Berani menggangguku lagi, kurobek batang lehermu sekarang
juga!"
"Oh, hmmm, anu, eehh...," Suto agak gugup walau tersenyum
malu dan salah tingkah.
"Kuharap hentikan ulahmu yang memuakkan itu! Biarkan aku pergi
hindari orang-orang Pulau Boneng itu!"
"Oh, ya. . tentu saja akan kubiarkan kau pergi. Tapi.. mengapa kau
harus pergi?! Kulihat jurus-jurusmu tadi cukup hebat. Kurasa mereka bisa kau tumbangkan
dalam waktu singkat."
"Aku tak mau terlibat urusan dengan mereka, karena mereka terlalu
lemah bagiku!"
"Lalu... lalu mengapa kau takut kepada mereka dan harus
menghindar? Apakah mereka mencarimu?" Suto bicara dengan senyum kaku patah-patah,
karena ia masih dalam ancaman pedang runcing perempuan ter-sebut.
"Mereka menyangka aku orang Perguruan Tangan Besi! Mereka akan
membunuhku, karena mereka sedang bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Tangan
Besi!"
"Oh, kurasa. . kurasa kau memang takut kepada mereka dan mengaku
bukan orang Perguruan Tangan Besi. Hmmm. . hanya segitukah nyalimu?!"
Pedang lebih ditekan lagi hingga ujungnya menempel dingin di kulit
leher Suto.
"Aku bukan orang Perguruan Tangan Besi, Kunyuk!" geram
perempuan itu. "Aku orang Teluk Sendu!"
Pendekar Mabuk terperanjat dalam hati mendengar nama Teluk Sendu
disebutkan. la segera ingat Resi Parangkara dan si Manggar Jingga yang kemarin
bertemu dengannya. Namun sebelum Suto mengatakan sesuatu, perempuan itu segera turunkan
pedangnya sambil menghempaskan napas panjang-panjang.
"Sekali lagi kuingatkan, jangan menahanku di sini kalau kau ingin
panjang umur!"
Perempuan itu berbalik dan ingin melangkah keluar melalui pintu dapur
kedai. Tapi Pendekar Mabuk yang masih tetap berdiri merapat dinding itu segera
berseru kepada perempuan tersebut.
"Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar
Jingga?!"
Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti bagaikan patung. la tak segera
berpaling, namun seperti terkesiap kaget mendengar ucapan Suto tadi.
"Kalau kau memang orang Teluk Sendu, kau pasti kenal dengan Resi Parangkara!"
Kini perempuan itu berbalik pelan-pelan dan memandang Suto dengan
dingin. la melangkah lamban sampai akhirnya beradu pandang dalam jarak satu
langkah di depan Suto.
"Sejak kapan kau mengenal guruku?"
"Gurumu yang mana? Aku hanya kenal dengan Resi Parangkara dan
Manggar Jingga."
"Itu nama guruku! Manggar Jingga adalah adik seperguruanku!"
"O, kalau begitu kau adalah. ." Suto berpikir sejenak, lalu
menyambung kata-katanya lagi. "Kau adalah si Puting Selaksa?!!"
Perempuan itu menghempaskan napas lagi, seperti membuang gumpalan murka
yang menyesakkan dada.
"Ya, aku memang Puting Selaksa!" ucapnya dengan tegas.
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Sahabat baru Resi Parangkara dan Manggar Jingga," jawab Suto
dengan senyum dingin. Wajah perempuan itu tetap datar tanpa perubahan sedikit
pun.
Anak gadis Ki Pulasoma menegur Suto dari belakang.
"Kang, kalau tarung mbok jangan di dapur. Nasi liwetku bisa hangus
kalau begini. Tarunglah di luar sana, mumpung sedang ada keributan!"
Pendekar Mabuk dan Puting Selaksa sama-sama pandangi anak gadis si
pemilik kedai itu.
*
* *
3
KALAU saja Suto tidak berkata kepada Putting Selaksa, "Tetaplah di dalam kedai, aku
akan mengusir orang-orang itu dulu. Kasihan penduduk desa ini dibuat
bulan-bulanan mereka. Nanti kita teruskan percakapan kita," tentunya
Pusing Selaksa sudah tinggalkan desa itu melalui pintu dapur.
Tapi karena Pendekar Mabuk berpesan begitu, maka Puting Selaksa tak
jadi keluar dari kedai. la justru menonton cara Suto menghadapi orang-orang bergigi
mancung yang ternyata adalah orang-orang dari Pulau Boneng itu. Puting Selaksa
menyaksikan hal itu dari belakang dua pengunjung kedai yang tadi sedang makan
saat Puting Selaksa cekcok dengan Pendekar Mabuk.
Tujuh orang berpakaian serba hitam dan berbadan besar-besar itu mengepung
Suto setelah salah seorang temannya dilemparkan oleh Suto dengan satu tendangan
kaki, hingga orang itu terbang ke atas tinggi-tinggi dan jatuh terbanting
bagaikan nangka busuk jatuh dari pohon. Orang itu sempat mengalami patah tulang
pada ujung pundak kanannya.
"Keparat busuk!" sentak seorang berikat kepala kuning dengan
gigi seperti centong nasi. "Apa kesalahan temanku ini hingga kau berani
memperlakukan dia dengan seenak perutmu, hah?!"
"Apa kesalahan penduduk desa ini sehingga kalian bertindak seenak
tengkuk kalian sendiri?!" Suto Sinting balas bertanya sambil melecehkan mereka.
"Sikat sajalah! Jangan banyak tanya lagi!" seru seorang yang
berada di samping kiri Suto. Mata Pendekar Mabuk mulai pandangi mereka satu persatu
dengan seulas senyum tipis tetap mekar di bibirnya.
"Hei, Bocah Edan. .!" seru yang berikat kepala kuning.
Agaknya dia adalah ketua dari delapan orang itu.
"Ketahuilah, Bocah Edan. . kami datang ke sini karena mengejar
buronan kami! Seorang perempuan berpakaian serba hijau telah melarikan diri
masuk ke desa ini! Tapi orang-orang desa ini mengaku tidak melihat perempuan
itu! Mereka harus dipaksa dengan cara sekasar apa pun supaya mau tunjukkan di
mana perempuan berpakaian serba hijau itu."
"Kalau perlu, paksa juga dia!" celetuk orang yang ada di
belakang si ikat kepala kuning Itu. Suto hanya melirik orang itu sekejap sambil
menahan napas.
Kemudian orang berikat kepala kuning itu berkata dengan suara lantang.
"Ya, kurasa kau pasti tahu perempuan itu ada di mana!"
"Mengapa kau mencarinya?" tanya Suto dengan kalem.
"Dia harus dibunuh! Karena dia adalah orang Perguruan Tangan
Besi!"
"Dia bukan orang Tangan Besi. Kalian salah duga! Dia justru
bermusuhan dengan orang Tangan Besi."
"Bohong!" bentak yang berikat kepala biru sambil maju dengan
mencabut golok besarnya dari pinggang. Sraaang...!
"Kami pergoki dia melarikan diri dari padepokan
perguruannya!"
"Itu karena dia pergunakan kesempatan untuk larikan diri dari
padepokan itu!" bantah Suto setelah sebelumnya mendapat penjelasan dari Puting
Selaksa tentang nasibnya yang tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi,
karena ia akan dinikahi oleh Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama Jagalawa
itu. Puting Selaksa ditawan di kamar bawah tanah, sehingga tak seorang pun bias
menemukannya, termasuk Resi Parangkara dan Manggar Jingga yang gagal menemukan
dirinya di padepokan perguruan tersebut.
"Bukoro, hajar anak ingusan ini!" perintah orang berikat
kepala kuning.
Orang yang bernama Bukoro itu berbadan penuh tato di bagian dadanya.
Baju hitamnya terbuka lebar, sehingga bagian dada dan perutnya tampak jelas dipenuhi
oleh tato aneka gambar, termasuk gambar naga, kelabang, pedang, piring, sendok,
serbet makan, dan sebagainya. Bukoro bertubuh tinggi besar dan bermata lebar.
Kumisnya lebat, tapi kepalanya tandus alias gundul.
Dengan menggeram sangar Bukoro menghantam wajah Suto kuat-kuat.
Ceprooot.. ! Suto Sinting terpental dan jatuh terpelanting. Tangan Bukoro
mencengkeram punggung baju Suto, lalu mengangkatnya dan menghantamkan kembali kepalan
tangannya yang sebesar kepala bayi itu.
Ceprrot...! Buuhk...! Plaak...! Buhk, buhk, buhk...!
Suto jatuh terkapar dan diinjak dadanya dengan hentakan kaki kuat.
Baaahk...!
"Uuhk...!"
Wajah Suto diinjak oleh kaki besar itu. Prrokk. .!
Lalu digilas-gilas kuat-kuat seperti mematikan puntung rokok.
"Hhmmrr...! Modaaarr... modaaar... modaaaaarr.. !!" geram
Bukoro dengan wajah bengis.
Orang-orang yang menyaksikan adegan itu saling terbengong melompong,
termasuk Puting Selaksa sendiri. Mereka melihat jelas Suto Sinting dihancurkan
oleh Bukoro, sementara Suto tidak memberi perlawanan atau tidak menghindar
sedikit pun. Bahkan ketika Bukoro menginjak perut Suto, lalu kaki kanannya
menghentak-hentak di dada Suto, anak muda yang tampan itu tetap tidak melakukan
perlawanan.
Tetapi yang membuat para penonton terkesima dan terbengong melompong
tanpa suara adalah tingkah orang-orang Pulau Boneng lainnya itu. Para pengepung
Suto Sinting berjatuhan, mengerang kesakitan, berlumur darah, terkapar dengan menghentak-hentak.
Bahkan ada beberapa orang yang menyemburkan darah segar dari mulutnya saat Bukoro
menjejakkan kakinya ke dada Suto berkali-kali. Orang berikat kepala kuning juga
mengalami nasib serupa; babak belur dan nyaris hancur.
"Aaahk, uuhk... heeehk... aaooh...."
Seruan kesakitan yang terlontar dari mulut para pengepung itu tidak
dihiraukan oleh Bukoro. Orang berdada penuh tato itu justru semakin bernafsu
ingin meremukkan kepala Suto dan jika bias menghancurkan sekujur tubuh anak
muda tersebut.
la melonjak-lonjak di atas perut dan dada Suto bagai anak kecil
kegirangan setelah mendapat permen dari ayahnya.
"Modar, modar, modar, darmo, darmo, darmo. .!" geram Bukoro,
lalu berhenti sendiri dan berkata, "Lho, Darmo itu kan nama
mertuaku?!"
Saat itulah Bukoro terkejut melihat tujuh temannya terkapar dalam
keadaan terluka parah. Wajah mereka bukan saja memar, namun menjadi bonyok
seperti mangga busuk terinjak-injak. Bahkan si ikat kepala kuning giginya yang
mancung itu sempat pecah dan berlumur darah.
Bukoro turun dari atas tubuh Suto Sinting. Matanya memandang tegang ke
sana-sini, dan segera menyadari bahwa tinggal dirinya sendiri yang masih bisa
berdiri tegak di antara ketujuh temannya.
Sedangkan Pendekar Mabuk segera bangkit dan berdiri dengan kaki sedikit
merenggang. la tampak sehat, segar, tak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan ia sempat sunggingkan senyum ketika melirik ke arah kedai, dan
melihat Puting Selaksa memandang tegang dari balik pohon. Puting Selaksa tadi
nyaris maju menerjang Bukoro ketika melihat Suto diinjak-injak dan dihajar
habis-habisan tanpa memberi perlawanan.
Puting Selaksa sempat merasa jengkel kepada Suto yang tak mau membalas
serangan lawan. Tapi begitu ia melihat tujuh orang Pulau Boneng itu mengalami luka
parah, rata-rata pecah gigi, maka Puting Selaksa tunda niatnya dan membatin
dalam hatinya.
"Gila! Ilmu apa yang dipakai oleh pemuda sinting itu?! Dia yang
dihajar habis-habisan tapi justru teman lawannya yang menjadi hancur dan babak belur
begitu?! Benar-benar sinting ilmu si kunyuk tampan itu!"
Tentu saja Puting Selaksa ataupun siapa saja terheran-heran, sebab
mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk mempunyai ilmu 'Alih Raga' yang digunakan
jika dalam keadaan terkepung lawan lebih dari lima orang. Ilmu 'Alih Raga' itu
digunakan pada saat Suto memandangi para pengepungnya satu persatu. Pada saat
itulah, seluruh rasa yang ada pada raga Suto dialihkan ke raga lawan-lawannya.
Maka ketika Suto dipukul keras-keras, yang merasa sakit adalah para
pengepungnya. Begitu pula ketika Suto Sinting di njak-injak Bukoro, yang merasa
terinjak-injak adalah para pengepungnya. Ilmu langka pemberian dari si Gila
Tuak itu kini telah dicabut kembali oleh Suto dengan cara memandangi lawannya
satu persatu. Terakhir kalinya, Suto memandang Bukoro yang wajahnya menjadi
merah padam karena tujuh temannya dalam keadaan bonyok dan luka parah. Bukoro mulai
sadar bahwa ia telah diperdaya oleh ilmunya si pemuda tampan itu. Bukoro
menjadi semakin berang. Maka ia pun berteriak melepaskan murkanya sambil
menuding Suto.
"Kau telah menggunakan ilmu setan keparat itu, hah?! Sekarang
saatnya kau dan aku beradu nyawa sampai mati! Heeaaaahh. .!!"
Bukoro berlari dua langkah lalu melompat menerjang Suto. Tapi dengan
gerakan jurus mabuknya yang menggeloyor seperti mau tumbang, terjangan Bukoro
berhasil dihindari oleh Pendekar Mabuk. Tubuh orang tinggi besar itu nyelonong
lewat atas pundak Suto. Ketika kakinya mendarat di tanah belakang Suto,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya sesuatu dari atas bagaikan turun dari langit.
Sesuatu yang bergerak itu tak lain adalah tubuh Pendekar Mabuk yang bersalto ke
belakang.
Tubuh itu melambung dan kedua kakinya hinggap di pundak kanan-kirinya
Bukoro. Jleeg. .! Kemudian kepalan tangan Suto menghantam ubun-ubun Bukoro
dengan keras. Proook. .!
"Huaaaaaa. .!!" Bukoro menjerit keras-keras, telinganya
semburkan darah dan mulutnya pun memuncratkan darah segar. la mendelik dalam keadaan
berdiri kaku, sementara Pendekar Mabuk lakukan lompatan bersalto ke depan satu
kali.
Wuuuk. .! Begitu tiba di tanah, kakinya menendang ke belakang dengan
kuat. Wuuut, buuhk. .!
"Huaaahk. .!" pekik Bukoro sambil tersentak.
Tubuh tinggi besar bertato banyak itu tumbang mencium tanah bagaikan
pilar runtuh. Brrrruuk. .!
"Oooooohhkk...!"
Bukoro mengerang-ngerang seperti kerbau tak mampu telentang. Kedua
tangan dan kakinya mengais-ngais tanah, seakan tak mampu menopang tubuhnya
untuk bangkit kembali.
Zlaaap...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk bagaikan hilang dari tempatnya. Padahal ia
bergerak cepat pindah tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'- nya.
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Puting Selaksa dan membuka bumbung
tuaknya, lalu menenggak tuak tiga tegukan.
Glek, glek, glek...!
Mendengar suara tegukan orang minum, Puting Selaksa cepat palingkan
pandang ke belakang. La terkejut melihat Pendekar Mabuk sudah ada di belakangnya. Namun rasa kagetnya itu disembunyikan
rapat-rapat, sehingga ia tetap kelihatan tenang, seakan tak mempunyai rasa kagum
sedikit pun terhadap ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk itu.
"Kurasa sudah saatnya kita tinggalkan desa ini, Puting
Selaksa."
Perempuan itu menarik napas mempertenang dirinya agar tampak lebih
tegar dan lebih mantap dalam bersikap.
"Bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Apakah kau inginkan aku mengantar pulang mereka satu
persatu?"
"Yang kumaksud, mereka akan menuntut balas padamu! Sekarang kau
menjadi punya urusan dengan orang-orang Pulau Boneng itu."
"Lebih baik mereka berurusan denganku daripada harus mengganggu
penduduk desa yang tak berdosa itu!" tegas Pendekar Mabuk yang membuat
Puting Selaksa tarik napas lagi. Kemudian ia melemparkan pandangannya kepada
orang-orang Pulau Boneng itu.
Mereka saling berdiri dengan mengerang kesakitan. Si pemakai ikat
kepala kuning memerintahkan anak buahnya untuk segera pergi.
Maka mereka pun segera pergi dengan sempoyongan bagai tak bertenaga
lagi. Bahkan Bukoro sebentar-sebentar jatuh merangkak karena menahan luka parah
yang nyaris melenyapkan nyawanya.
"Laforkan fada ketua!" ucap orang berikat kepala kuning itu
dengan bahasa yang kacau karena kerusakan giginya membuat ia tak bias menyebutkan
huruf P.
Ketika Puting Selaksa berpaling ke belakang untuk bicara lagi dengan
Pendekar Mabuk, ternyata pemuda itu sudah berada jauh dari langkahnya. Suto
sedang menuju ke perbatasan desa. la ingin meninggalkan desa tersebut.
"Aku perlu bicara dengannya!" ucap Puting Selaksa yang segera
mengejar Suto dengan langkah peringan tubuh yang cukup tinggi.
Wes, wes, wes...! Ketika menengok ke belakang, Suto melihat perempuan
berpakaian hijau sedang mengejarnya.la pun segera menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' untuk menguji kecepatan gerak perempuan itu.
"Dapatkah ia menyusulku?!"
Zlaaap, zlaaap. .! Wees, wees, wees. J
Zlap, zlap, zlap. .!
"Tungguuu. .!" teriaknya dari kejauhan.
Pendekar Mabuk tertawa sendiri, merasa unggul dalam gerakan. Tanpa
terasa mereka sudah berada jauh dari desanya Ki Pulasoma. Pendekar Mabuk sengaja
hentikan langkah di balik gugusan batu sebesar rumah yang ada di kaki bukit
cadas tak seberapa tinggi itu. Bayangan batu besar itu menciptakan keteduhan
tersendiri. Hembusan angin dari pepohonan di sekitar tempat itu begitu semilir
menyejukkan.
Beberapa saat setelah Suto duduk di bawah batu besar itu, Puting
Selaksa baru sampai dan segera hentikan langkahnya begitu melihat Suto ada di tempat
itu. la menghembuskan napas panjang, sepertinya merasa lega karena Suto ada di
situ. la tadi sempat menyangka kehilangan jejak Pendekar Mabuk, sehingga ia
sempat dibuat cemas oleh dugaannya sendiri.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum ketika perempuan itu menatapnya
tanpa seulas senyum sedikit pun. Wajah si Puting Selaksa justru tampak dingin
dan berkesan angkuh-angkuh galak.
Tepian matanya yang berwarna hitam itu sempat merentangkan bulu kuduk
Suto saat dipandang selama dua helaan napas.
"Mengapa kau memandangku demikian?" tanya Suto pada akhirnya.
"Kau belum menyebutkan namamu!" jawab Puting Selaksa dengan
tegas.
Pendekar Mabuk tertawa pelan sambil lemparkan pandangan ke arah lain.
"Panggil saja aku: Suto!"
"Suto siapa?!" desak Puting Selaksa sambil mendekat. la masih
berdiri di depan Pendekar Mabuk, sehingga tubuhnya yang tinggi itu membuat Pendekar
Mabuk terpaksa memandang dengan sedikit mendongak.
"Apakah aku perlu menyebutkan nama lengkapku?"
"Perlu!"
Suto tertawa pendek. "Baiklah. Nama lengkapku: Suto Sandi Irawan
Nayaka Teja Indra Nuri Gana. . "
"Itu nama penduduk kampung mana saja?"
"Itu nama lengkapku. Cuma, orang-orang sering menyingkat nama
belakangku itu menjadi Suto Sinting."
"Hmmm. .," Puting Selaksa manggut-manggut.
"Jadi kata Sinting tadi adalah kependekan dari nama panjangmu
itu?"
"Betul."
"Siapa tadi nama panjangmu?"
"Hmmm. . ah, lupa!" ujar Suto sambil tertawa sendiri. Puting
Selaksa hanya tersenyum tipis berkesan sinis.
*
* *
4
SEBUAH batu setinggi betis dipakai duduk oleh Puting Selaksa. la duduk
menghadap ke arah Suto dengan kaki merenggang tegak. la tidak seperti layaknya
seorang perempuan jika duduk berhadapan dengan lelaki. la kelihatan mantap dan
gagah, sedangkan Suto Sinting duduk di batu yang lebih rendah dari tempat duduk
Puting Selaksa.
"Lahiriahnya saja perempuan. Jangan-jangan jiwanya lelaki
tulen," pikir Suto Sinting dengan usil, lalu ia tertawa sendiri dalam
hatinya.
"Aku kagum dengan ilmu yang kau pakai melawan delapan orang
tadi," ujar Puting Selaksa terang-terangan. Agaknya ia seorang perempuan yang
sportif, selalu mengakui keunggulan lawan dan tak malu mengakui kekurangannya.
Sambungnya lagi dengan siku menopang di pahanya.
"Berapa lama kau terjun ke rimba persilatan?"
"Baru saja," jawab Suto Sinting seenaknya.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Gerakanmu sudah bisa dianggap sempurna."
"Tidak ada yang sempurna bagi manusia," ujar Suto setelah
tersenyum meremehkan pujian tak langsung itu.
"Menang atau kalah, bagiku tak penting. Sekarang yang sedang
kupikirkan bukan dendam orang-orang bergigi mancung itu, tapi justru keadaan
dirimu."
"Keadaan yang bagaimana maksudmu?" tanya Puting Selaksa
dengan suaranya yang agak besar dan sedikit serak itu.
"Mengapa kau sampai ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan
Besi, sementara Manggar Jingga dan gurumu kebingungan mencarimu?"
"Di kedai itu sudah kujelaskan, Ketua Perguruan Tangan Besi yang
bernama Jagalawa sangat bernafsu sekali untuk memperistriku. Tapi aku menolak
dan menyatakan lebih baik mati di tangannya daripada menjadi istrinya yang
keempat!"
"Yang keempat? Wow. .?!" Suto mendelik sambil tertawa pendek.
"Tapi rupanya Jagalawa tetap bersikeras berusaha memperistriku.
Dia sengaja menyiksaku dalam kamar tahanan di bawah tanah. Aku tak diberi makan
selama tujuh belas hari, tak mendapat cahaya selama tujuh belas hari, dan
selama itu pula aku tak diizinkan tidur. Setiap aku mau tertidur, pintu terali
yang dilapisi tenaga dalam itu dipukul keras-keras oleh penjaganya, sehingga
aku tersentak bangun."
"Sebesar itukah cinta si Jagalawa kepadamu?"
"Dia tidak mencintaiku!" ujar Puting Selaksa setelah
tersenyum pendek dan sinis sekali itu.
"Kalau tak mencintaimu, mengapa ia bersikeras memperistrimu?
Apakah ketiga istri Jagalawa tak ada yang secantik dirimu?"
Puting Selaksa melirik sebentar, kesannya seolah-olah ia tak suka
dipuji kecantikannya secara tak langsung. Namun Suto yang sudah berpengalaman menelusuri
seluk-beluk hati perempuan itu yakin betul, bahwa Puting Selaksa berdebar-debar
saat dirinya dipuji sebagai perempuan yang cantik.
"Ketiga istri Jagalawa mempunyai kecantikan yang lebih tinggi
dariku," kata Puting Selaksa sambil memainkan ranting kering sepanjang
satu jengkal.
"Tetapi anehnya, ketiga istri Jalagavva itu ikut membantu
membujukku agar mau diperistri oleh Jagalawa."
"Aneh. .?!" gumam 'Suto Sinting. "Mengapa mereka sampai
begitu?"
"Jika aku mau menjadi istri Jagalawa, maka aku akan diberi hak dan
kuasa lebih tinggi dari ketiga istrinya itu, dan aku akan diangkat menjadi
ketua dua dalam perguruan tersebut. Bahkan Jagalawa bersedia turunkan seluruh
ilmunya kepadaku."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam pelan.
"Sepertinya ada sesuatu pada dirimu yang dipandang sangat istimewa
oleh Jagalawa."
"Memang begitu," jawab Puting Selaksa. "Dan orang yang
berniat memperistriku seperti Jagalawa sudah ada empat lelaki. Salah satu di
antaranya adalah Adipati Wijanarka."
"Baru kudengar nama itu," gumam Suto.
"Adipati Wljsnarka bersedia menyerahkan separo bagian dari wilayah
kadipatennya menjadi tanah milikku jika aku mau menjadi istrinya. Bahkan separo
kekayaan sang Adipati akan menjadi hak milikku, ia bersedia menceraikan kedua
istrinya dan hanya beristrikan satu perempuan saja, yaitu aku seorang. Tapi...
lamaran itu pun kutolak."
"Hebat! Hebat sekali bualanmu," ucap Suto lirih.
"Aku tidak membual. Tapi kalau kau merasa sedang kubohongi,
sebaiknya keteranganku cukup sampai di sini saja!" tegas Puting Selaksa
yang tersinggung dengan gumam Pendekar Mabuk tadi.
"Aku hanya bercanda," kata Suto sambil nyengir.
"Teruskan ceritamu itu. Aku suka mendengar cerita seperti
itu."
Puting Selaksa melirik dingin, karena ia tahu ucapan Suto itu tidak
tulus, dan hanya sebagai pujian pemancing semangat belaka. la membiarkan Pendekar
Mabuk menenggak tuaknya, bahkan sempat terbungkam sambil merasakah semilir
angin di keteduhan itu.
"Aku menyimaknya dengan sungguh-sungguh, Puting Selaksa. Teruskan
ceritamu itu," bujuk Pendekar Mabuk sambil pandangi wajah cantik yang mempunyai
bibir agak tebal namun sensual itu.
"Seorang saudagar dari tanah seberang juga ingin melamarku dan
memberi jaminan kekayaan yang tak habis dimakan tujuh turunan. Saudagar Itu sempat
memaksaku dengan menyuruh orang kepercayaannya untuk melumpuhkan ilmuku. Orang kepercayaan
saudagar ini sampai sekarang masih mengejar-ngejarku terus. Tapi tentunya ia
kehilangan jejakku ketika aku tertawan oleh Jagalawa."
Sehelai daun melayang jatuh di pangkuan Suto Sinting. Pendekar Mabuk
memungutnya dan daun itu dipermainkan secara iseng sambil mengomentari ucapan
Puting Selaksa tadi.
"Secara jujur saja dan jangan tersinggung, menurutku kau perempuan
yang wajar-wajar saja. Tak kulihat ada sesuatu yang istimewa pada dirimu,
kecuali bentuk tubuhnya yang tinggi, kekar dan mengagumkan. Kecantikanmu adalah
kecantikan yang wajar. Secara sepintas aku tadi mengukur ilmumu, juga termasuk
wajar-wajar saja. Artinya, ilmu yang kau miliki memang cukup tinggi, tapi tidak
mempunyai keistimewaan. Misalnya saja, kau bisa menembus matahari atau bisa
membuat rembulan runtuh ke bumi. Tidak begitu!"
"Aku suka dengan caramu menilai!" kata Puting Selaksa dengan
tegas sambil matanya menatap dengan berani kepada Pendekar Mabuk.
"Tapi yang kuherankan, mengapa seorang adipati, seorang saudagar,
seorang ketua perguruan, dan yang lainnya. . begitu bernafsu sekali ingin memperistrimu?!
Apakah mereka terkena 'aji pengasihan' darimu?"
Puting Selaksa tampakkan senyum sinisnya.
"Tak ada dalilnya dalam hidupmu untuk menggunakan 'aji pengasihan'
seperti dugaanmu. Lelaki kalau diberi 'aji pengasihan' kelak akan menjadi
kekasih yang ngelunjak!"
"Heh, heh, heh. .! Kurasa tidak semua lelaki berani ngelunjak
padamu. Kau perempuan yang keras, tegar, berani, dan keras kepala!"
"Itu kuakui, karena mereka yang bernafsu sekali untuk
memperistriku juga menilaiku begitu. Hanya saja, menurut mereka, aku adalah
Wanita Keramat yang harus bisa mereka nikahi."
"Wanita Keramat bagaimana?!" tanya Suto Sinting dengan dahi
berkerut.
Puting Selaksa memandang Pendekar Mabuk tak berkesip. Pandangan itu
begitu tajam, sempat membuat hati Suto bergetar. Getaran tersebut sukar
diartikan, sehingga Suto sendiri hanya bias membatin dalam hatinya,
"Baru sekarang aku menerima pandangan mata seperti ini. Apa arti
getaran dalam hatiku ini?! Oh, aku jadi resah sendiri. Gila! Kenapa aku menjadi
takut kepadanya setelah ditatap sedemikian rupa? Takut tapi suka. Aneh sekali
perasaanku kali ini?!"
Bibir sensual itu bergerak-gerak mengucapkan kata pelan, namun
berwibawa.
"Saat bulan purnama yang lalu, ketika aku melintasi puncak sebuah
bukit yang bernama Bukit Taman Langit, tiba-tiba cahaya rembulan bersinar merah
seperti bara...."
*
* *
Puting Selaksa terkejut ketika cahaya rembulan tampak merah membara. la
sempat hentikan langkahnya dan memandangi rembulan yang berubah menjadi merah
itu. Tapi cahaya di sekelilingnya masih
terang selayaknya bulan purnama.
"Aneh. Mengapa rembulan menyorotkan cahaya merah? Cahaya itu
seolah-olah hanya tertuju untuk diriku. Padahal.. oh, di tempat lain cahayanya
masih terang, kuning keperakan," pikir Puting Selaksa kala itu. la
memandangi alam sekeliling, kemudian menatap tangannya sendiri.
"Oh, tanganku menjadi merah. Kulitku merah seperti buah ranum? Apa
yang terjadi pada diriku ini?"
Cahaya merah itu makin lama semakin terang. Cahaya tersebut berbentuk
seperti lampu sorot yang khusus untuk menyinari tubuh Puting Selaksa.
Ketika ia mencoba bergerak ke belakang, cahaya merah itu mengikutinya.
Ke mana pun ia bergerak, cahaya merah tetap menyinarinya. Puting Selaksa memandang
kepada rembulan.
"Nyata-nyata dari rembulan datangnya. Oh, cahaya apa ini? Dari
sana berbentuk kecil makin lama semakin melebar dan menyinariku dalam bentuk
sinar bulat. Tiga langkah maju ke depan, aku akan keluar dari cahaya merah ini.
Akan kucoba lagi."
Puting Selaksa melangkah empat langkah, ia memang keluar dari lingkaran
cahaya merah. Tetapi lingkaran cahaya itu segera bergerak dan Putting Selaksa
berada di tengah lingkaran cahaya lagi.
Hati perempuan itu berdebar-debar. Jantungnya sempat berdetak cepat, ia
diliputi rasa takut yang menegangkan. Tetapi rasa ingin tahu keanehan itu mendesak
hatinya terus untuk tetap mengikuti perkembangan selanjutnya,
"Biarlah aku terlambat pulang, kurasa Guru tak akan marah jika
kuceritakan pengalaman aneh ini. Bahkan mungkin Kakek Guru dapat menjelaskan makna
sinar merah dari rembulan ini. Sebaiknya. . "
Ucapan batin itu terhenti, karena tiba-tiba cahaya merah jambu itu
berubah menjadi kehijau-hijauan.
Tiga helaan napas kemudian, cahaya hijau itu semakin terang dan semakin
nyata. Puting Selaksa semakin takut, sebab sekarang kulit tubuhnya menjadi
hijau. Makin lama warna hijaunya semakin bening, dan tubuh Puting Selaksa seluruhnya
pun menjadi hijau bening seperti kristal. Tentu saja menjadi sangat tegang dan
panik.
"Ooh...?! Kakiku...? Kakiku tak bisa terangkat lagi? Celaka!"
Puting Selaksa mencoba mengerahkan tenaga dalam untuk mengangkat
kakinya, tetapi kaki itu bagai tertanam kuat ke dalam tanah, sukar diangkat
atau digeser sedikit pun.
"Hei ...?! Ke mana pakaianku? Mengapa aku jadi tidak berpakaian?
Dan. . dan... hei, di mana pedangku? Ooh... celaka! Jurusnya siapa ini yang menyerangku?!"
Makin berusaha mengangkat kaki, makin sesak pernapasan Puting Selaksa.
Pandangan matanya pun mulai buram. Pada awalnya, apa yang dipandang menjadi
serba hijau; tanah hijau, batu hijau, batang pohon hijau, daun. . memang hijau
dari dulu. Tapi rembulan juga ikut-ikutan berwarna hijau.
Bahkan langit, awan dan bintang pun tampak berwarna hijau indah.
Sekalipun segalanya tampak indah, namun Puting Selaksa tetap diliputi rasa
takut terhadap keanehan tersebut.
Beberapa saat, pandangan yang serba hijau itu memburam. Makin lama
semakin buram, akhirnya gelap. Gelap sama sekali.
"Ooh..,?! Aku telah menjadi buta?! Tapi... tapi napasku... aduh,
sesak sekali. Haaahk... hhaaahk...!"
Pada saat napas terasa semakin sesak, dada bagai dibakar api, darah
bagaikan mendidih, Puting Selaksa mendengar suara bergema samar-samar.
"Malam keberuntunganmu tiba, Anakku. Kau telah melintasi jalur
keramat pada tempat dan waktu sangat tepat. Bersiaplah menjadi wanita yang
penuh keberuntungan, bertabur cinta dan takhta. Tetapi ingat, jangan kau cemari
kesucianmu dengan darah kemesraan lelaki yang bukan suamimu. Jika kau cemari,
maka Rona Dewaji akan pergi darimu.
Darahmu hanya boleh bercampur dengan darah lelaki yang memperistri dirimu
secara sah. Tapi kuberikan kebebasanmu untuk memilih seorang suami yang sesuai
dengan hatimu. Jika sudah kau dapatkan, menikahlah dengannya maka seluruh keberuntungan
akan menjadi milik keturunanmu. Ingat, jangan sampai Rona Dewaji hilang karena
pencemaran itu. Ingat, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji ada padamu, Rona
Dewaji...."
Seterusnya Puting Selaksa tak bisa mendengarnya lagi. Perempuan itu tak
sadarkan diri, sukmanya bagai melayang-layang di sela-sela awan berwarna-warni.
Awan-awan itu bergumpal membentuk keindahan tersendiri. Seakan ia terbang di
atas taman langit. Rasa bahagia, rasa senang, rasa gembira, semua bercampur
menjadi satu menyelimuti hatinya. Perasaan itu tak bisa diuraikan dengan
kata-kata lagi.
Ketika ia siuman, ternyata ia sudah berada di tepi pantai. Pantai itu
tak jauh dari Teluk Sendu, tempat kediaman gurunya; Resi Parangkara. Keadaan tubuhnya
telah normal kembali. Pakaiannya tetap rapi, seakan tak pernah ada yang
melepasnya.
Badannya pun terasa segar, tanpa mengalami luka dan rasa sakit sedikit
pun. Namun ingatan Putting Selaksa tentang bulan bersinar hijau itu masih jelas
dan jelas sekali. Seakan peristiwa itu tak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.
Peristiwa tersebut segera diceritakan kepada sang Guru pada saat
Manggar Jingga tidak ada di tempat. Resi Parangkara sempat terkejut saat mendengar
turunnya cahaya hijau dari tengah rembulan itu. Sang Guru yang biasanya kalem,
saat itu menjadi tegang dan sangat antusias mendengarkan cerita Puting Selaksa.
"Apakah aku bermimpi pada saat itu, Guru? Atau aku sedang
diguna-guna oleh seseorang yang berilmu tinggi!"
"Tidak, Muridku!" jawab sang Guru dengan tegas.
"Kau telah terpilih oleh Dewata untuk menerima Rona Dewaji."
"Apa itu Rona Dewaji, Guru?" Puting Selaksa memandang dengan
dahi berkerut.
"Rona Dewaji adalah 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa
di kayangan sana yang akan membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan kesehatan
bagi siapa pun yang mendapatkannya."
Puting Selaksa manggut-manggut, tampak serius sekali mendengarkan
penjelasan sang Guru, sampai-sampai ia tak sadar kalau bibirnya agak memble dan
air liurnya hampir jatuh.
"Dalam perhitungan leluhur kita, turunnya Rona Dewaji itu
dinamakan 'Malam Anggoro Asin'. Dan istilah malam itu dipakai untuk sepasang
pengantin baru. Artinya, seluruh kebahagiaan, keberuntungan dan kesehatan
menjadi milik kedua mempelai tersebut."
"Apakah ada bahayanya bagi hidupku, Guru?"
"Sama sekali tidak ada. Satu-satunya bahaya akan datang dari
sesama manusia sendiri. Jika hal ini kau ceritakan kepada perempuan lain, maka
kau bisa dibunuh olehnya, terutama bagi perempuan yang berjiwa sirik dan merasa
iri dengan keberuntunganmu," jawab Resi Parangkara dengan jelas sekali.
"Karenanya kuminta jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada adikmu: si
Manggar Jingga. la akan merasa menjadi perempuan yang tidak beruntung dan
minder kepadamu."
"Baik, akan kurahasiakan hai ini dari para perempuan mana pun
juga."
"Bahaya itu juga bisa datang dari kaum lelaki yang bernafsu ingin
memperistrimu, terutama jika lelaki itu tahu bahwa kau adalah perempuan yang memiliki
Rona Dewaji."
"Tapi pada waktu itu tak ada siapa pun, Guru. Apakah mungkin ada
lelaki yang bisa mengetahui keadaan diriku?"
"Menurut penglihatanmu memang begitu. Tapi ketahuilah, jika pada
malam itu ada seorang lelaki yang melakukan semadi, sekalipun di seberang samudera
atau di ujung dunia, maka kepekaan batinnya akan dapat melihat dan mendengar peristiwa
itu. la akan melihat apa yang kau lihat, dan mendengar apa yang kau dengar.
Bisa-bisa lelaki itu akan memburumu atau membujukmu untuk dijadikan istrinya.
Dan jika ia kecewa atas penolakanmu, bisa-bisa jiwa sesatnya akan muncul, lalu
ia akan berusaha membunuhmu, supaya lelaki lain pun tidak mendapatkan
keuntungan darJmu."
"Sepertinya tak masuk akal sama sekali, Guru."
"Jangan menerima kenyataan ini dengan akal dan pikiran, karena
peristiwa yang kau alami hanya bisa diterima oleh kekuatan batin," ujar
Resi Parangkara dengan penuh kesabaran. "Siapa pun lelaki yang mengetahui
bahwa kau mempunyai kekuatan Rona Dewaji, maka ia akan berusaha keras untuk
dapat memperistrimu. Sebab, seluruh keturunanmu kelak akan menjadi raja atau
penguasa dan hidupnya akan berlimpah kebahagiaan, kekayaan, kedamaian, serta
berderajat tinggi. Kau pun bersama suamimu akan begitu."
Puting Selaksa menarik napas dalam-dalam. Ada keceriaan membias di
wajah cantiknya. Tapi batinnya masih diliputi keraguan dan menganggap hal itu
suatu falsafah kuno peninggalan leluhur mereka.
Resi Parangkara tambahkan penjelasannya lagi.
"Tapi kau harus benar-benar tetap suci. Ingat, kau harus
benar-benar tetap suci."
"Jadi, aku tak boleh bermesraan dengan seorang kekasih?"
"Bermesraan boleh, tapi jangan sampai darah kemesraan lelaki itu
tumpah dan membaur dalam tubuhmu. Itu yang dinamakan pencemaran. Seratus kali
kau memeluk lelaki, seratus kali kau dicium oleh seratus jenis lelaki, itu
tidak apa-apa. Tapi jika setetes darah kemesraan lelaki itu tumpah dan masuk
dalam tubuhmu, maka kekuatan Rona Dewaji hilang seketika itu juga. Tapi jika
lelaki itu sudah sah menjadi suamimu, mau tumpah seember pun bebas. Tak akan
membuat Rona Dewaji hilang dari dirimu. Jelas?"
"Jelas, Guru!" sambil Puting Selaksa mengangguk tegas.
"Ingat, godaan cinta akan datang beruntun padamu. Kau harus
pandai-pandai membawa diri, pandai-pandai mengendalikan nafsu batinmu...,"
Sejak itu, Puting Selaksa selalu berusaha menjauhi lelaki. la hanya
ingin memilih lelaki calon suaminya dari jarak jauh saja. Sikap menjauhi lelaki
adalah sikap berjaga-jaga agar tak terjebak dalam godaan cinta.
Tetapi ternyata godaan itu timbul bukan dari orang lain, tapi juga dari
dalam diri Puting Selaksa sendiri. Godaan dari dalam dirinya itu berupa membaranya
sang gairah. Hasrat ingin bercumbu selalu meletup-letup dalam dada Puting
Selaksa, sampai-sampai ia sering mimpi bercinta dengan seorang lelaki dan
mencapai puncak keindahannya.
Untuk mengatasi berkobarnya gairah cinta, Putting Selaksa sering
menyibukkan diri dengan kegiatan yang bersifat menguras tenaga. Bahkan setiap
hari ia berlatih jurus-jurus yang pernah diajarkan oleh sang Guru agar pikiran
dan khayalannya tidak tertuju pada kencan dengari lelaki.
"Ternyata melawan godaan dari dalam diri sendiri lebih berat
dibandingkan bertarung melawan orang lain," pikir Puting Selaksa kala
merenungkan hal itu.
Walaupun sejauh ini, Puting Selaksa masih mampu bertahan untuk tidak
bercumbu dengan seorang lelaki, tetapi setiap tidur mimpinya selalu tentang
bercumbu dengan lawan jenisnya.
*
* *
Pendekar Mabuk menarik napas begitu Puting Selaksa hentikan penuturan
kisah tersebut. Bahkan pemuda tampan itu sempat menenggak tuaknya lagi sambil
merenungkan seluruh cerita tersebut,
"Karenanya, ketika aku berada dalam penjara bawah tanah dan
mengalami siksaan kasar dari Jagalawa, aku merasa punya keuntungan sendiri dalam
menerimanya. Aku tak pernah tidur, dan dengan begitu tak pernah bermimpi
tentang cumbuan. Aku merasa sakit hati, sehingga hasrat ingin bercumbu
hilang,"
Suto tersenyum mendengarnya, tapi Puting Selaksa tak pedulikan senyum
yang bernada mengejeknya itu. la tetap bicara walau tanpa memandang Pendekar Mabuk.
"Begitu aku berhasil lolos
dari penjaranya si Jagalawa, aku dikejar-kejar orang Pulau Boneng. Tapi aku
sempat bersembunyi dan tertidur cukup lama. Mimpi itu hadir lagi dan membuat
hasratku menyala-nyala kembali. Oleh sebab itulah, ketika di kedai aku tak
ingin ditemani oleh pria mana pun juga, karena aku takut tergoda oleh hasratku sendiri."
"Tapi...," potong Pendekar Mabuk. "Apakah Jagalawa,
Adipati Wijanarka dan orang-orang yang bernafsu ingin memperistrimu itu juga
tahu bahwa kau adalah perempuan yang mendapatkan Rona Dewaji?"
"Tentunya mereka tahu, sebab mereka menyebutkan Wanita Keramat.
Mungkin pada waktu itu Jagalawa sedang lakukan semadi, sehingga ia melihat dan
mendengar dengan batinnya tentang peristiwa yang kualami itu. Atau seorang
petapa yang menjadi kenalan mereka memberi tahukan keadaanku, sehingga mereka
berusaha ingin memperistri diriku."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-manggut. Puting Selaksa
membuang pandangan jauh-jauh sambil berdiri. la melangkah jauhi Suto. Seolah-olah
ia tak berani memandang Suto terlalu lama, karena takut gairahnya tergoda.
"Puting Selaksa," panggil Suto sambil berdiri juga.
"Kalau boleh kutahu, apakah sampai sekarang kau belum punya
pilihan tentang lelaki yang akan menjadi suamimu?"
"Belum!" sahut perempuan itu dengan cepat dan tegas, wajahnya
dipalingkan memandang Suto Sinting.
Suto mendekatinya. "Kau. . kau benar-benar belum punya
kekasih?"
Puting Selaksa gelengkan kepala sambil tetap menatap lekat-lekat pada
Suto.
"Dulu aku pernah punya kekasih. Tapi aku dikhianati. Setelah dia
merenggut kesucianku, setelah dia puas menikmati tubuhku, dia pergi dan menikah
dengan putri seorang raja. Hatiku sakit sekali, dan sejak itu hatiku sulit
menerima kehadiran seorang lelaki?'
Sekali lagi kepala Suto manggut-manggut sambil perdengarkan gumamnya
yang lirih. Tapi batin pemuda itu mulai berkecamuk antara percaya dan tidak.
"Jika aku kawin dengan perempuan ini, tentunya hidupku akan
berlimpah kebahagiaan sampai pada keturunan-keturunanku. Tapi bagaimana dengan Dyah
Sariningrum? Oh, kasihan dia. Hatinya pasti akan hancur selama-lamanya. Dan
lagi. . benarkah apa yang diceritakannya itu? Jangan-jangan cerita itu hanya
untuk mempengaruhi pendirianku dan membuatku terpikat padanya? Hmmm. . aku
harus hati-hati berhadapan dengan perempuan yang satu ini!"
Puting Selaksa tersenyum sinis ketika mata Suto kepergok sedang
menatapnya. Suto sempat salah tingkah dan tak enak hati. Lebih tak enak lagi setelah
Puting Selaksa berkata dengan nada dingin.
"Aku tahu kau meragukan kebenaran ceritaku tadi. Tapi kuharap
jangan punya prasangka bahwa aku mengincarmu sebagai calon suamiku. Aku tidak berselera,
dengan lelaki yang punya wajah tampan dan gagah sepertimu."
"O ya...?! Mengapa kau tidak berselera?"
"Karena lelaki sepertimu pasti lelaki buaya, doyan selingkuh dan
mata keranjang!" jawab Putting Selaksa dengan nada ketus yang membuat
wajah Suto menjadi semburat merah menahan rasa malu.
"Aku memburumu kemari karena ada yang ingin kutanyakan
padamu!" sambung Puting Selaksa.
"Tentang apa?" Suto masih bisa pertahankan sikap kalemnya,
walau dirinya penuh gairah dan mengecam kata-kata Puting Selaksa tadi.
"Di mana guruku dan Manggar Jingga sekarang?!"
"Aku tak tahu. Tapi sebelum kami berpisah, kudengar mereka
merencanakan untuk mencarimu ke Perguruan Tangan Besi. Mereka akan menyelidiki
keadaan di sana. Jika benar kau ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi,
maka mereka akan menyerang perguruan itu!"
"Tapi aku tidak melihat mereka ada di antara kobaran api
pertempuran antara orang-orang Pulau Boneng dengan orang-orang Perguruan Tangan
Besi!"
Suto angkat bahu. "Kalau begitu mereka tidak ke sana, atau mungkin
sudah menjadi mayat di antara tumpukan para korban itu?!"
Mata bertepian hitam itu sempat melebar sekejap. Wajah cantik angkuh itu
menjadi tegang.
"Kalau begitu aku harus kembali ke tanah Mentawai dan memeriksa
para mayat yang bergelimpangan di sana!"
"Silakan saja. Jangan berharap aku akan mendampingimu untuk pergi
ke sana!" ucap Suto Sinting bernada ketus, setajam ucapan Putting Selaksa
tadi. Wajah perempuan itu menjadi merah menahan malu dan marah.
"Satu sama!" ucap Suto sambil tersenyum nyengir. Puting
Selaksa tampak menggeletukkan giginya dengan pandangan mata setajam ujung tombak.
Pendekar Mabuk sempat merinding dipandang demikian, walau wajahnya tetap
cengar-cengir konyol.
*
* *
5
TERNYATA bukan hanya mereka berdua yang ada di tempat teduh itu.
Sepasang mata dan telinga telah menyadap pembicaraan mereka dan memperhatikan
gerak-gerik Pendekar Mabuk serta Puting Selaksa. Orang ketiga itu sengaja tak
mau tampakkan diri sebelum mengetahui akhir dari percakapan tersebut.
Agaknya pengintaian si orang ketiga itu dilakukan tanpa disengaja.
Perjalanannya te rhenti ketika melihat Suto Sinting berteduh di balik batu.
Rasa penasarannya semakin bertambah setelah kemunculan Puting Selaksa yang juga
telah dikenalnya sebagai murid Resi Parangkara. Maka si orang ketiga itu
mengambil tempat yang sama dan sangat tersembunyi, namun bisa mendengarkan percakapan
yang dilakukan oleh dua orang tersebut.
Pohon berdaun rindang yang tumbuh di belakang batu besar adalah tempat
aman yang dipilihnya sebagai tempat persembunyian. Lompatan geraknya dari dahan
ke dahan yang tidak menimbulkan suara itu dapat dikenali sebagai lompatan tokoh
berilmu tinggi. Cara berdirinya di dalam kerimbunan daun yang hanya berpijak
pada satu ranting kecil menandakan tokoh tersebut menguasai ilmu peringan tubuh
dengan baik.
Pada saat ia mendengar Suto berkata kepada Puting Selaksa,
"Namun sebagai sahabat baru Resi Parangkara, aku berkewajiban
mencari tahu juga nasib beliau di antara mayat-mayat orang Perguruan Tangan
Besi. Jadi tak ada jeleknya jika kita berangkat bersama ke puing-puing
reruntuhan perguruan tersebut."
Puting Selaksa hanya sunggingkan senyum dingin yang tipis, lalu ia
melangkah lebih dulu dan Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Pada saat itulah,
si orang ketiga segera melompat turun dari atas pohon bagaikan seekor elang
ingin menyambar mangsanya.
Wuuus...!
Seandainya Puting Selaksa kurang peka terhadap hembusan angin di
sekitarnya dan ia tidak segera tundukkan kepala, maka kepala itu akan tersambar
tendangan kuat dari orang ketiga itu. Sambil bergerak tundukkan kepala dan
rendahkan badan, Puting Selaksa segera mencabut pedangnya karena gerakan
refleksnya terhadap datangnya bahaya sewaktu-waktu. Sreet...!
Jleeeg...!
"Tahan. .!" seru Suto sambil rintangkan tangan di depan
Puting Selaksa begitu si orang ketiga daratkan kakinya di tanah depan mereka.
Terkesip mata si Pendekar Mabuk pandangi orang itu, terbelalak nanar mata si
Puting Selaksa begitu tahu siapa yang tadi ingin menyambarnya dari arah belakang.
"Bara Perindu...?!" sapa Pendekar Mabuk bernada heran. Gadis
itu tidak menyapa namun memandang Puting Selaksa penuh permusuhan. Suto sempat salah
tingkah sendiri melihat cara kedua perempuan itu dalam beradu pandang.
"Agaknya kalian sudah saling kenal," ujar Suto mengisi
kebungkaman di antara mereka.
Puting Selaksa bicara kepada Suto dengan mata tetap memandang tajam
kepada Bara Perindu.
"Rupanya kau sudah mengenal gadis tolol itu, Suto!"
"Hmmm... iiy... iya, aku sudah mengenalnya. Bara Perindu adalah
prajurit kehormatan dari istana Kadipaten Mancanagari. Hmmm... kami pernah bertemu
dan saling membantu pada saat geger ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' yang dimiliki
putri angkat Kanjeng Adipati Purwatahta itu," jawab Suto sambil mengenang
peristiwa munculnya tokoh jalang bernama Nyai Mata Binal, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Perempuan Jahanam").
Bara Perindu yang mengenakan baju ketat berbelahan dada lebar warna
merah itu masih bungkam dengan sikapnya yang penuh keberanian itu. Gadis cantik
berambut sepundak dengan poni bagian depan itu juga kelihatan sama judes dengan
Puting Selaksa. Tangan kanannya sudah pegangi gagang pedang yang sewaktu-waktu
siap cabut bila lawan menyerang. Suto
Sinting mencoba meredakanketegangan itu dengan senyum kaku yang lebih terlihat
sebagai cengar-cengir salah tingkah.
"Kalian berdua sahabatku, sebaiknya tak perlu saling bersitegang
begini."
Tapi rupanya kedua perempuan itu bagai tak mendengar ucapan Suto
Sinting. Bahkan gadis pemberani berusia dua puluh dua tahun itu mulai lontarkan
kata ketusnya kepada Puting Selaksa dengan keras.
"Muslihat apa lagi yang akan kau lakukan di depan Pendekar Mabuk,
Perempuan Licik!"
"Aku tak punya urusan lagi denganmu!" ucap Puting Selaksa
dengan datar dan berkesan dingin.
"Tapi jika kau masih ingin teruskan perkara lama, aku siap
mencabut nyawamu sekarang juga!"
"Hei, hei... tunggu dulu!" sergah Suto Sinting.
"Jangan buru-buru main cabut nyawa, sebab nyawa berbeda dengan
singkong, yang sekali cabut, batangnya ditanam lagi bisa tumbuh kembali. Tapi nyawa
manusia sekali cabut, bangkainya ditanam, tidak pernah akan tumbuh lagi,
bukan?!"
"Suto...!" seru Bara Perindu. "Jangan mau termakan oleh
tipu muslihat perempuan jalang itu! Cerita yang dibuatkan panjang lebar tadi
hanya siasat untuk menjebak gairahmu belaka! Tak ada Rona Dewaji. Apa itu Rona
Dewaji? Tahi kucing!" sentak Bara Perindu.
"Suto, menyingkirlah dan biarkan gadis pongah itu mencium ujung
pedangku dulu agar tak bicara sembarangan di depan siapa saja!" ujar
Puting Selaksa dengan nada ketus menyeramkan. Bola matanya tak pernah bergerak,
kelopaknya tak mau berkedip, seakan seluruh perhatian dipusatkan kepada Bara
Perindu.
"Cabut pedangmu, Bara Perindu! Buktikan bahwa ketajaman mulutmu
lebih tajam dari pedangmu sendiri!" tantang Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk bagai orang terhipnotis saat memperhatikan sorot
pandangan mata tajamnya Puting Selaksa. la menjadi berdebar-debar dan undurkan
langkah beberapa kali.
"See. . sebaiknya. . sebaiknya ini tak perlu terjadi, Puting
Selaksa... Bara Perindu...."
Sreet. .! Bara Perindu mulai mencabut pedangnya. Suto Sinting bertambah
cemas dan bingung. Kedua perempuan itu sama-sama pemberani dan sukar dibujuk
jika sudah naik pitam begitu.
"Puting Selaksa, jangan harap kau bias mengelabui sahabatku; Suto
Sinting itu, jika Bara Perindu masih dapat mencabut pedangnya! Tak akan
kubiarkan Pendekar Mabuk itu jatuh dalam pelukanmu hanya sekadar pemuas nafsumu
semata!"
"Gadis beracun tikus! Rupanya kau merasa iri melihat pemuda itu
bersimpati kepadaku. Apakah kau tak sadar bahwa kau mempunyai kecantikan yang
memuakkan bagi setiap lelaki, sehingga tak ada lelaki yang mau jatuh dalam
pelukanmu?!"
"Mulut busukmu akan hancur sekarang juga, Puting Selaksa.
Hiaaah...!"
Wees, wees. .!
Kedua perempuan itu saling lompat, saling menerjang, dan saling beradu
kecepatan pedang di udara.
Pendekar Mabuk terpaksa makin mundur karena takut menjadi salah sasaran
dari sabetan pedang yang sama-sama berkecepatan tinggi itu.
Trring, tring, trrang, trring.
.!
Sampai keduanya turun ke darat, pedang mereka masih saling beradu
dengan cepat. Gerakan mereka pun sama-sama lincah dan penuh nafsu untuk membunuh.
Rupanya persoalan lama mereka melatarbelakangi kebencian Bara Perindu kepada Puting
Selaksa. Sebab ia dulu pernah hampir dibuat mati oleh Puting Selaksa ketika
berebut sebuah kitab milik Eyang Sagawira, kakak dari Resi Parangkara.
Sedangkan Eyang Sagawira adalah gurunya Bara Perindu.
Sementara itu, pikiran Pendekar Mabuk mulai terpengaruh oleh ucapan
Bara Perindu tadi. Batin pun akhirnya berkecamuk sambil pandangi permainan
jurus pedangnya Puting Selaksa.
"Puting Selaksa tampak marah sekali kepada Bara Perindu.
Mungkinkah karena Puting Selaksa takut jika muslihatnya terbongkar di depanku?
Oh, apa benar ucapan Bara Perindu tadi bahwa Rona Dewaji itu tidak ada dan
hanya sekadar tahi kucing belaka? Gawat kalau begini. Mana yang benar? Masuk
akal juga dakwaan Bara Perindu tadi yang
mengatakan bahwa Puting Selaksa hanya ingin memikatku dengan cara
membual panjang lebar. Tapi. . tampaknya Puting Selaksa bersungguh-sungguh
dalam menuturkan kisah Rona Dewaji tadi?!"
Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala. Saat itu ia segera melompat ke
samping karena sabetan pedang kedua perempuan itu semakin mendekati tempatnya
berdiri. Agaknya jurus pedang mereka sama-sama kuat, sehingga sejak tadi tak
ada yang tergores luka sedikit pun.
"Pada saat aku bertemu dengan Resi Parangkara, sang Resi tidak
menceritakan tentang keistimewaan yang ada pada diri Puting Selaksa. Apakah
karena takut didengar Manggar Jingga?! Atau karena keistimewaan itu memang
tidak ada?" pikir Suto Sinting lagi sambil tetap memperhatikan jurus-jurus
yang dipakai Puting Selaksa. Sebab ia merasa perlu mencari kelemahan
jurus-jurus tersebut, sehingga sewaktu-waktu
berhadapan dengan Puting Selaksa ia dapat melumpuhkan perempuan itu dengan cepat.
Rupanya semakin lama Puting Selaksa semakin penasaran karena tak bisa
melukai Bara Perindu. Perempuan itu pun segera berkelebat melambung ke udara
dan bersalto ke belakang dua kali. Wuk, wuk...! Jleeg...!
Begitu kakinya mendarat ke tanah, pedangnya segera disentakkan ke depan
pada saat Bara Perindu ingin mengejarnya. Suuut.. ! Maka dari ujung pedang itu
keluar selarik sinar biru sebesar lidi yang menghantam dada Bara Perindu.
Claaap. .!
Bara Perindu segera hentikan pedangnya di depan dada, sehingga sinar
biru tersebut akhirnya menghantam pedang putih berkilauan milik Bara Perindu.
Zaaaang...!
Sinar ungu membias dari benturan sinar biru dengan pedang Bara Perindu.
Sinar ungu itu sangat menyilaukan bagi Puting Selaksa, sehingga perempuan itu
merunduk dan menghadangkan tangannya untuk melindungi mata.
Pada saat Puting Selaksa merunduk dan kebingungan hindari sinar yang
amat menyilaukan dan bisa membutakan mata itu, Bara Perindu segera melompat
lakukan satu terjangan dengan pedang berkelebat. Wees. .!
Trang, craaas...!
Satu tangkisan pedang berhasil dilakukan oleh Puting Selaksa. Tapi
tangkisan kedua melesat dan pundak Puting Selaksa pun terluka oleh tebasan pedang
Bara Perindu.
"Aah. .!" Puting Selaksa terhuyung-huyung. Pedang beracun
telah membuat tubuhnya menjadi panas dan lemas. Tapi sebelum serangan Bara Perindu
datang lagi, Puting Selaksa berhasil menyentakkan tangan kirinya dan dari
tangan kiri itu melesat sinar jingga sebesar ibu jari. Wuuus...!
Bara Perindu tak menyangka lawannya akan menyerang dengan sinar jingga.
Maka ia segera menghadang sinar itu dengan pedangnya lagi.
Blaaab, blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi menggetarkan pepohonan sekeliling mereka. Bara
Perindu terlempar keras oleh gelombang ledakan tersebut, ia jatuh membentur
batu besar yang tadi dipakai berteduh Suto Sinting itu. Brruk...!
"Aaahk..." Bara Perindu memekik kesakitan sambil mulutnya
semburkan darah kental. la segera jatuh terbanting yang membuat pedangnya
terlepas dari genggaman.
"Hoooek. .!" Bara Perindu muntahkan darah lebih banyak lagi.
Wajahnya menjadi pucat kebiru-biruan. Pendekar Mabuk cemas melihat keadaan Bara
Perindu. Namun ketika itu juga Puting Selaksa jatuh berlutut karena luka di
pundaknya semakin melumpuhkan urat-urat di sekujur tubuh. La terengah-engah
sambil pegangi luka di pundak. Pendekar Mabuk bingung, mana dulu yang harus ditolongnya,
la hanya bisa menggerutu bernada keras,
"Kalian perempuan memang payah! Di ngatkan agar jangan bertarung
masih tetap ngotot. Dasar dua-duanya keras kepala! Kalau sudah begini, siapa
dulu yang harus kuselamatkan dengan tuakku ini?! Uuuh...! Dasar
perempuan!"
Bara Perindu bangkit dengan limbung dan pegangi dadanya, sementara
tangan kanannya sudah menggenggam pedang lagi. Tapi wajahnya pucat semakin
menyerupai mayat yang terlambat dikubur.
"Bara Perindu. . jangan bergerak dulu!" seru Suto Sinting
segera menghampirinya. Tapi Bara Perindu telanjur jengkel kepada Pendekar Mabuk
yang hanya diam saja dan tidak memihaknya dalam pertarungan tersebut.
Wuuut.. ! Bara Perindu sempat sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
meluncur ke atas, lalu hinggap di pucuk batu besar itu.
"Sekali lagi kuingatkan padarnu, Suto.. kalau kau mau selamat,
hindari perempuah pendusta itu! Jangan percaya dengan bualannya tadi!"
"Bara Perindu, kau terluka parah!"
Tapi gadis itu justru berseru dengan suara berat dan sambil menyeringai
menahan sakitnya.
"Puting Selaksa. .! Pertarungan ini belum berakhir! Kelak akan
kita lanjutkan lagi sampai ada yang harus dikubur! Tapi percayalah, racun dalam
pedangku ini cukup mampu membuatmu kehilangan nyawa dalam beberapa waktu
lagi."
Wees. .! Bara Perindu segera pergi tinggalkan tempat tersebut melalui
pohon demi pohon. Agaknya ia tak mau bicara lagi dengan Pendekar Mabuk yang
menurutnya cenderung berpihak kepada Puting Selaksa.
Sementara itu, luka di pundak Puting Selaksa membuat leher dan wajah
perempuan itu menjadi memar; merah kebiru-biruan, pertanda racun yang terdapat
pada luka tersebut mulai mengganas.
Puting Selaksa pun jatuh terduduk, lalu bergeser ke samping untuk dapat
bersandar pada sebatang pohon. Melihat hal itu, kecemasan Suto semakin bertambah
dan ia segera hampiri Puting Selaksa.
"Minumlah tuakku sekarang juga, Puting Selaksa!
Minumlah, biar racun dalam lukamu itu tidak menjalar ke
mana-mana!"
"Per. . percuma! Aku tahu pedang itu menggunakan racun 'Darah
Peri' yang hanya dimiliki oleh Eyang Sagawira, gurunya Bara Perindu. Racun ini...
tidak bisa disembuhkan oleh...."
"Minumlah dulu tuak ini, dan jangan banyak bicara!" sentak
Suto Sinting sambil sodorkan bumbung tuak. la tinggal menuang bumbung itu jika
mulut Puting Selaksa terbuka. Tapi perempuan itu justru rapatkan gigi dan
menyeringai karena rasa sakitnya semakin bertambah.
"Puting Selaksa!'" bentak Suto dengan dongkol.
"Kalau kau masih ingin hidup dan menikmati kejayaan Rona Dewaji,
minum tuak ini! Lekas, buka mulutmu!"
Puting Selaksa akhirnya mau membuka mulut dengan bibir gemetar. Suto
Sinting menuang tuak pelan-pelan sehingga Puting Selaksa meneguknya beberapa
kali.
"Sudah kuingatkan agar jangan lakukan pertarungan, tapi kalian
masih tetap ngotot. Akhirnya ya begini ini!" omel Suto Sinting sambil
bersungut-sungut, tapi akhirnya ia menenggak tuaknya sendiri.
"Aku tak berani memihak siapa pun, karena aku belum tahu siapa
yang benar!" gumam Suto dalam hatinya.
Puting Selaksa terengah-engah. Pedangnya dimasukkan ke dalam sarung
pedang dengan tangan gemetar. Tapi hati perempuan itu mulai membatin dalam
kekaguman yang tersembunyi.
"Aneh sekali. Rasa sakit ini menjadi berkurang. Sekarang tinggal
perih saja. Tapi urat-uratku terasa mulai mengencang kembali. Hmmm.. tuak apa
yang kuminum tadi? Apakah benar dia bernama Suto Sinting alias si Pendekar
Mabuk yang sering dibicarakan Manggar Jingga itu? Oh, alangkah beruntungnya aku
jika dia benar-benar Pendekar Mabuk yang terkenal berilmu edan-edanan
itu?!"
Mata bertepian hitam dengan kesan galak itu melirik Suto yang sedang berdiri
sambil mengencangkan tali bumbung tuaknya. Pemuda itu menggerutu, tapi tak
jelas apa yang digerutukan. Hanya saja, Puting Selaksa mulai merasa
berdebar-debar lagi jika terlalu lama memandangi Suto Sinting dari arah mana
pun, terlebih dari bawah.
"Benar. Kurasa dia memang benar Pendekar Mabuk yang juga
disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak. Buktinya sekarang rasa perih ini hilang
sama sekali dan, ooh... kurasakan ada sesuatu yang merayap di pundakku.
Sepertinya. . sepertinya lukaku mulai bergerak merapat sendiri. Oh, sungguh
ajaib. Ternyata apa yang sering diceritakan orang-orang tentang kesaktian tuak
si Pendekar Mabuk itu bukan sekadar dongeng belaka. Aku merasakan buktinya.
Padahal dulu kusangka mereka terlalu membesar-besarkan kesaktian si Pendekar
Mabuk," ujar Puting Selaksa dalam hati.
Beberapa saat kemudian, luka itu benar-benar mengering dan merapat.
Bahkan sekarang sudah tidak terlihat lagi. Kulit pundak menjadi halus seperti
tak pernah terluka sedikit pun.
"Bagaimana? Sudah bisa dipakai untuk melanjutkan
perjalanan?!" tanya Pendekar Mabuk begitu melihat Puting Selaksa berdiri
dan menarik napas panjang-panjang. Perempuan itu anggukkan kepala tanpa senyum
sedikit pun. la segera merapikan pakaiannya dan membersihkannya dari tanah dan
daun kering yang menempel di celana.
"Aku tetap akan memeriksa mayat-mayat di padepokan Perguruan
Tangan Besi itu," kata Puting Selaksa. "Aku harus meyakinkan diri
bahwa guruku dan Manggar Jingga tidak termasuk korban keganasan orang-orang
Pulau Boneng."
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Baik. Kurasa kita harus segera
sampai ke sana sebelum petang tiba. Matahari mulai condong ke barat, sebentar
lagi akan tenggelam. Kita harus bergerak cepat!"
Setelah memutuskan begitu, Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya
lagi. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba seberkas sinar merah kecil seukuran lidi
melesat dari belakangnya dan menghantam bahu kanan dengan telak.
Slaaap...! Jraaasss...!
"Aaaahk. .!" pekik Suto Sinting sambil tubuhnya tersentak dan
bumbung tuaknya terlempar ke depan.
"Sutooo. .?!!" pekik Puting Selaksa dengan sangat terkejut.
Lalu ia segera menyambar tubuh Suto yang limbung dan mau jatuh itu. Sementara
bumbung tuaknya sudah telanjur jatuh ke tanah, tuaknya tumpah karena bumbung
itu tidak dalam keadaan tertutup.
*
* *
6
SINAR merah itu melubangi bahu Suto hingga tembus ke dada kanan. Lubang
kecil itu kepulkan asap, selain berwarna hitam juga melelehkan cairan hitam
pula. Pendekar Mabuk menjadi terkulai lemas bagai tanpa tulang dan tenaga
sedikit pun. Sekujur tubuhnya terasa sedang disayat-sayat dengan pisau tajam.
Namun ia tak mampu mengerang atau merintih karena tak punya tenaga lagi. Wajah
pun segera berubah sepucat mayat, mencemaskan hati Puting Selaksa.
Perempuan yang telah memperoleh kekuatannya kembali itu menjadi berang
melihat Suto dilukai dengan cara licik. la segera memandang ke arah datangnya
sinar merah tadi. Matanya yang nanar berkesan liar itu segera temukan seraut
wajah milik seorang lelaki berkumis lebar dan berbadan gemuk.
"Rupanya kau yang berbuat licik itu, Gobang Garu?!' geram Puting
Selaksa sambil meletakkan Suto pelan-pelan dalam keadaan sedikit bersandar akar
pohon. Sutb Sinting sebenarnya masih sempat pandangi wajah penyerangnya itu.
Bahkan hatinya sempat berkecamuk dengan detak jantung melemah.
"Siapa lelaki itu? Oouh. . sepertinya riwayat hidupku hanya sampai
di sini. Tubuhku terasa dingin sekali. Pandangan mataku menjadi buram. Napas pun
terasa tipis, tak bisa menghirup udara banyak-banyak. Oooh. . jurus apa tadi
yang mengenaiku hingga aku kehilangan tenaga dan kekuatan separah ini?!"
Dengan mata sulit dipakai untuk berkedip, telinga Suto masih sempat
mendengar ucapan-ucapan lelaki berkepala botak tengah namun mempunyai rambut
ikal di bagian sekitar telinga ke belakang.
Dengan suara berat, lelaki berpakaian merah tua itu lepaskan tawa
terlebih dulu. Badannya yang gemuk terguncang-guncang oleh tawanya.
"Rupanya kau masih belum lupa dengan diriku, Puting Selaksa! Aku
memang si Gobang Garu, utusan Adipati Wijanarka yang sudah berapa hari ini
kebingungan mencarimu! Ternyata kau ada bersama cecunguk ingusan itu, Puting
Selaksa. Hah, hah, hah, hah...!"
"Jahanam kau, Gobang Garu!" geram Puting Selaksa.
"Rupanya saat ini adalah hari terakhirmu menghirup udara di permukaan
bumi. Bersiaplah untuk mati demi menebus kelancanganmu yang berani melukai
pemuda ini, Gobang Garu!"
"Hoh, ha, ho, ho... jangan mengancamku, Nona Manis! Bagiku ancaman
adalah angin yang berhembus di senja hari. Ada baiknya jika kau menurut saja
padaku, supaya aku tidak melukaimu.
Aku tak enak hati kalau sampai menyerahkan dirimu di depan Kanjeng
Adipati Wijanarka dalam keadaan terluka. Tapi kalau memang terpaksa, yaah...
apa boleh buat. Hah, hah, hah, hah...!"
Fuih. .! Puting Selaksa lepaskan jurus napasnya yang mampu hadirkan
angin kencang dari hidung. Tetapi, angin kencang Itu hanya membuat Gobang Garu
mundur selangkah dan rendahkan kaki dengan pakaian dan kalung manik-manik hitam
terhembus ke belakang.
"Huah, hah, hah, hah. ! Untuk apa kau bermain napas denganku,
Wanita Keramat?! Gobang Garu sudah sering masuk angin, jadi tak akan goyah walau
kau hadirkan sejuta badai di depanku!" ujar Gobang Garu sambil memanggul
senjatanya berupa gobang besar yang salah satu sisinya bergerigi seperti garu
pembajak sawah.
Puting Selaksa maju dua langkah. Tapi Gobang Garu berkata lebih dulu
kepadanya.
"Wanita Keramat, kumohon dengan segala hormat. Ikutlah aku dan
jangan melawanku. Aku takut kau akan mati di tanganku, Wanita Keramat!"
"Persetan dengan hormatmu!" geram Puting Selaksa, lalu ia melepaskan
pukulan jarak jauh dari tangan kirinya yang menggenggam dan menyentak ke depan.
Wuuut...! Bruuuuss...!
Pukulan tanpa sinar itu menerjang tubuh Gobang Garu yang berperut
buncit. Tapi orang itu tak bergeming bagaikan prasasti tanpa sejarah. Hanya saja,
pohon-pohon yang ada di belakangnya, di samping kanan-kirinya, mengalami
keretakan begitu terkena pukulan tenaga dalam Puting Selaksa.
Bahkan dua pohon langsung tumbang dalam keadaan akarnya terdongkel ke
atas dan tanah pun
berhamburan.
"Semakin ganas, Kanjeng Adipati semakin suka padamu, Puting
Selaksa! Apa pun yang kau inginkan pasti akan dituruti oleh sang Adipati!
Karena itu, ikutlah aku menghadap Adipati Wijanarka sekarang juga, Cah
Ayu!"
Sreet....! Puting Selaksa segera mencabut pedangnya tanpa mau bicara
lagi. Dalam sekejap tubuhnya telah melesat bagaikan terbang dengan cepat dan
menyabetkan pedang ke leher Gobang Garu. Wees...!
Traang.. ! Gobang Garu menangkis dengan mengibaskan gobang besarnya ke
arah depan. Tubuh gemuknya bergeser ke kanan, lalu tangan kirinya menyentak
dengan dua jari mengeras. Wuuut. .! Claaap. .! Sinar biru bagaikan bintang pecah
menghantam paha Puting Selaksa.
Namn perempuan itu cepat gerakkan pedangnya yang gagal kenai sasaran
itu. Pedang tersebut menutup pahanya sehingga terhantam oleh sinar biru
tersebut.
Blaaarr...!
Tubuh Puting Setaksa terlempar dan jatuh berguling-guling. Gobang Garu
masih tetap diam di tempat sambil menertawakan jatuhnya Putting Selaksa.
"Hah, hah, hah, hah...! Sudah kubilang, kau tak akan mampu melumpuhkan
diriku, Wanita Keramat! Percuma saja kau lakukan unjuk rasa bela pati di depan
pemuda itu, rohnya nanti justru akan mencibir kebodohanmu!"
Gobang Garu melangkah dekati Suto, sementara Puting Selaksa berhasil
bangkit kembali dengan pedang siap menyerang.
"Apakah pemuda ini kekasihmu?! Oh, kalau begitu tak perlu terlalu
lama ia menderita luka itu. Sebaiknya biar gobangku yang mencabut nyawanya sekarang
juga. Heaaah...!!"
Wuuut, brrus...! Traaang...!
Puting Selaksa menerjang Gobang Garu sewaktu senjata besar itu diangkat
dan ingin dihantamkan ke kepala Suto. Senjata tersebut sempat tertahan oleh
pedangnya Puting Selaksa, jika tidak pasti akan membuat kepala Suto terbelah
menjadi dua bagian.
Ketika pedang berhasil menahan gobang besar itu, kaki Puting Selaksa
menjejak mulut si Gobang Garu. Prrook...!
"Oouhf...!" Gobang Garu hanya terayun ke belakang, tapi kedua
kakinya tetap menapak di tempat, ia bagaikan pilar yang sukar ditumbangkan. Bahkan
kini senjatanya yang tersentak ke belakang karena tangkisan pedang tadi segera
berkelebat dalam satu putaran dan langsung menyambar dalam gerakan memotong
dada Puting Selaksa. Wuuung...!
Senjata besar yang menyeramkan itu tak sempat kenai dada Puting
Selaksa, karena saat di udara, kaki Puting Selaksa berhasil menjejak batang
pohon yang menaungi Suto itu. Jejakan kaki tersebut membuat tubuh Puting
Selaksa melejit balik dalam gerakan bersalto. Jika tidak lakukan salto balik,
maka senjata besar itu akan memotong tubuh Puting Selaksa secara menyedihkan.
Pendekar Mabuk masih bisa melihat adegan itu. Dalam hatinya ia hanya
bisa berucap, "Selamat, selamat, selamat.... Moga-moga aku dan Putting Selaksa
selamat dari ancaman maut orang mirip celengan Semar ini!"
Jleeg...! Puting Selaksa tiba di samping Gobang Garu. Tapi kaki orang
gemuk itu segera diangkat dan menendang ke samping. Beet. .! Dees. .!
Puting Selaksa menahan tendangan kaki itu dengan lengan kiri diangkat
ke atas. Pada saat itulah pedangnya berkelebat cepat sekali.
Wees, craas...!
"Aahhrrrk...!"
Gobang Garu mendelik, kini tubuhnya oleng ke belakang. Lehernya koyak
lebar karena terkena sabetan pedang Puting Selaksa. Seketika itu pula tubuh
Gobang Garu menjadi merah seperti kepiting rebus, karena pedang Puting Selaksa
dilapisi racun yang mampu membakar kulit tubuh manusia secara cepat.
Cras, cras...!
Puting Selaksa kembali tebaskan pedangnya dari atas ke bawah dan dari
bawah ke atas. Dua tebasan itu membuat dada Gobang Garu robek dan perutnya pun
jebol. Akhirnya orang gemuk itu tumbang tanpa ampun lagi. Tubuhnya semakin
merah bagai habis direbus sampai matang, dan luka tebasan pedang itu
mengeluarkan busa-busa kuning. Gobang Garuakhirnya diam, cuek terhadap apa saja
yang dilakukan lawannya, karena ia sudah tidak bernyawa lagi.
Darah berlumuran di pedang Puting Selaksa. Tapi dalam beberapa kejap
darah itu menguap dan hilang tanpa bekas. Pedang itu menjadi putih bersih berkilauan
seperti tak pernah dipakai untuk melukai lawan mana pun. Pendekar Mabuk sempat memperhatikan
hal itu dan berkata dalam hatinya,
"Pedang yang bagus! Tak kusangka pedang itu mempunyai keajaiban
seperti itu! Hanya saja. . ouh, tubuhku sendiri bagai semakin dibakar dengan
bara api yang membuat bagian dalam tubuhku sepertinya telah menjadi arang.
Tuakku, oh. . tuakku tumpah semua, Mudah-mudahan masih ada sisa sedikit saja dan
Puting Selaksa menuangkannya ke mulutku.. "
Puting Selaksa masih berwajah ganas, menyeramkan. Mayat lawannya
dipandangi bagai tiada habis kebenciannya. Napasnya tampak memburu seakan ingin
lampiaskan sisa murkanya kepada mayat itu.
Namun ketika ia melirik ke arah Suto, ketegangan di wajahnya segera
berkurang, la buru-buru hampiri Pendekar Mabuk dan memeriksa luka di dada
kanannya.
"Celaka! Luka ini akan semakin parah kalau tidak segera
terobati!" ujarnya dalam suara menggeram.
"Bertahanlah, Suto! Bertahanlah...!"
Suto Sinting sempat rasakan jengkel dalam hatinya, karena ia tak bisa
berkata apa-apa. Padahal ia ingin mengatakan bahwa luka itu bisa diatasi dengan
meneguk sisa tuak dari dalam bumbungnya.
Namun harapan itu sangat sia-sia. Puting Selaksa memang mengambil
bumbung tuak dan tutupnya, tapi bumbung itu justru ditenteng agak miring ke bawah
sehingga sisa tuak mengucur habis membasahi tanah.
"Oooh. . perempuan bodoh yang malang. Untung aku dalam keadaan tak
berdaya begini, kalau aku masih bisa bergerak sedikit saja kulempar kepalamu
pakai batu yang mengganjal pantatku ini! Tuak tinggal sedikit malah dibiarkan
tumpah semua. Dasar perempuan goblok!" omel Suto Sinting dalam hati dengan
pandangan mata makin lama semakin buram.
"Aduh, mataku sudah mulai tak bisa melihat. Aku akan buta, karena
sekarang pun apa yang kulihat serba remang-remang," keluh Suto Sinting,
tanpa menyadari bahwa saat itu memang matahari sudah mulai tenggelam dan petang
akan tiba. Walau tak terluka pun alam sekitarnya memang menjadi remang-remang.
"Aku harus segera menyelamatkannya! Ooh, tubuhnya terasa sedingin
es. Celaka! Kelihatannya jika terlambat sedikit saja dia akan kehilangan nyawanya,"
ujar Puting Selaksa dalam hati, "Harus kubawa ke mana dia? Hmmm. . sebaiknya
kubawa ke desa itu lagi. Kelihatannya dia akrab dengan si.. pemilik kedai.
Mudah-mudahan si pemilik kedai bisa carikan obat untuk menyelamatkan
nyawanya!"
Dengan menggunakan tenaga dalam tersendiri, Puting Selaksa akhirnya
memanggul tubuh kekar Pendekar Mabuk itu. Bumbung tuak ditenteng di tangan
kiri, pedang diselipkan di pinggang, pundak kanan memanggul tubuh Suto,
perempuan itu pun segera melesat menuju ke desa tempat Ki Pulasoma buka kedai
itu. Dengan pergunakan tenaga peringan tubuh, Puting Selaksa berlari cepat
bagai berpacu dengan datangnya malam.
Ki Pulasoma terkejut melihat Puting Selaksa memanggul tubuh kekar
Pendekar Mabuk. Bahkan si pemilik kedai itu sempat gugup melihat Suto dalam
keadaan sepucat mayat. Para tamu yang sedang makan di kedai itu ikut menjadi
tegang dan segera memberi bantuan sebisanya, sebab mereka telah merasa ditolong
oleh Pendekar Mabuk dari keonaran orang-orang Pulau Bonang tadi siang.
"Genduk!" panggil Ki Pulasoma kepada anak gadisnya.
"Cepat bantu Nona ini mempersiapkan kamar untuk merawat Suto!"
Ki Pulasoma telah mengenal nama Suto Sinting dan tahu persis bahwa Suto
adalah si Pendekar Mabuk, karena malam sebelumnya mereka ngobrol panjang-lebar
sampai menjelang fajar. Rupanya Ki Pulasoma dan orang-orang desa tersebut
adalah penggemar berat Pendekar Mabuk, sehingga keadaan yang genting itu segera
menjadi bahan pemikiran oleh mereka.
Kamar sewaan khusus untuk tamu terhormat diberikan oleh Ki Pulasoma
sebagai tempat merawat Pendekar Mabuk. Malam sebelumnya, Suto tidak tidur di
kamar tersebut, karena kamar itu memang disediakan untuk disewa oleh para
bangsawan atau saudagar kaya. Kamar itu lebih besar, lebih bersih dan lebih
rapi dari kamar-kamar sewaan lainnya.
"Adakah seorang tabib di desa ini, Ki?" tanya Puting Selaksa.
"Hmmm,.. eeh... tidak ada, tapi kalau dukun bayi, ada."
"Dukun bayi?! Untuk apa? Kau pikir Suto mau melahirkan?!"
sentak Puting Selaksa seakan tak suka jika luka-luka Suto diremehkan, padahal
Ki Pulasoma tidak bermaksud meremehkan keadaan Suto Sinting.
Beberapa saran dari penduduk desa dicoba untuk obati luka Pendekar
Mabuk. Namun tubuh pemuda itu semakin dingin, wajahnya semakin pucat, helaan napasnya
kian pelan, nyaris tidak bernapas lagi. Hal ini sangat menegangkan Puting
Setaksa. "Dia tak boleh mati! Aku tak mau kalau dia sampai mati!
Ooh. . apa yang harus kulakukan jika begini?!" gusar Puting
Selaksa di dalam kamar itu. "Sudah kucoba salurkan hawa murniku, tapi tak
membawa hasil sedikit pun. Atau. . haruskah kucurahkan semua kekuatan hawa
murniku ke dalam tubuhnya?!"
Pendekar Mabuk dibaringkan agak miring ke kiri dengan menggunakan
bantal sebagai pengganjal, ia berada di atas ranjang berkasur yang biasa
dipakai tidur para bangsawan atau saudagar kaya. Baju coklatnya sudah
dilepaskan oleh Puting Selaksa, beberapa ramuan tumbuk telah diborehkan di sekitar
luka. Tapi ramuan itu tak membuat luka mengalami pengeringan. Bahkan lubang
luka itu makin lama tampak semakin membesar.
Puting Selaksa sangat cemas dan baru kali ini dia merasa tegang
menghadapi luka seseorang. Sampai larut malam, ia tak bisa tidur dan
sebentar-sebentar memeriksa denyut nadi Suto. Denyut itu dirasakan kian pelan.
Puting Selaksa benar-benar tersiksa batinnya; cemas, tegang, jengkel, geram,
semuanya bercampur menjadi satu dalam kebingungan yang menyesakkan
pernapasannya sendiri.
Ki Pulasoma juga ikut gelisah dan sangat prihatin melihat keadaan Suto.
"Seorang tetangga kami sedang pergi ke Lembah Tirta untuk
memanggil seorang tabib ahli racun," kata Ki Pulasoma.
"Bagus! Kapan tabib itu bisa dibawa kemari?"
"Hmmm. . perjalanan ke Lembah Tirta pulang pergi memakan waktu dua
hari."
"Celaka! Dua hari bukan waktu yang tepat untuk menyelamatkannya,
Ki!"
"Tapi setidaknya kita sudah berusaha sekuat tenaga, Nona!"
Anak gadis Ki Pulasoma muncul, "Pak, bumbung tuaknya Kang Suto
sudah kuisi penuh tuak. Sebaiknya simpan saja di kamar ini kalau sewaktu-waktu
Kang Suto kepingin minum tinggal nyedot!"
"Nyedot bagaimana? Bernapas saja susah kok memikirkan minumnya
segala!" gerutu Ki Pulasoma.
"Sana taruh di dekat rak piring saja!"
"Tunggu!" sergah Puting Selaksa, ia segera meraih bumbung
tuak dari tangan anak gadis Ki Pulasoma. Ingatannya kembali pada saat ia
terluka dan meminum tuak dari bumbung tersebut.
"Lukaku cepat sembuh dan lenyap tanpa bekas secara ajaib begitu
menelan tuaknya." Puting Selaksa bicara kepada Ki Pulasoma.
"Tapi. . bukankah menurut cerita Nona tadi tuak mujarab itu telah
tumpah semua?"
"Ya, memang begitu. Dan itulah yang kusesali."
"Mungkin., mungkin sekarang dia memang butuh minum untuk membasahi
tenggorokannya. Sebaiknya dulangkan saja tuak itu pelan-pelan ke mulutnya,
Nona,"
"Hmmm. .," Puting Selaksa manggut-manggut tipis sambil
termenung sesaat. Setelah itu ia meminjam sendok kepada Ki Pulasoma.
"Coba pinjam sendoknya!"
Malam dibiarkan merayap terus. Kedai pun tutup. Puting Selaksa
menyendok tuak dari dalam bumbung bambu itu. Untung keadaan tuak telah penuh
sehingga mudah diambil dengan sendok kayu. Tuak tersebut didulangkan ke mulut
Suto pelan-pelan. Mulut itu sedikit menganga karena ikut digunakan untuk
bernapas.
Sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan dan tertelan. Hanya
empat sendok yang dituangkan ke mulut Suto, itu pun memakan waktu cukup lama,
karena tuak tersebut masuk ke tenggorokan bagaikan setetes demi setetes.
"Mengapa aku mau melakukan begini segala?!" pikir Puting
Selaksa, merasa heran atas apa yang dilakukan terhadap Suto, sebab selama ini
ia tak pernah bersikap seperti itu terhadap pria mana pun, bahkan terhadap
kekasihnya yang dulu menggores di hati.
"Aku gelisah sekali memikirkannya. Seharusnya tak perlu kupikirkan
nasibnya ini! Aah. . sebaiknya kutinggal mandi dulu, biar badanku segar dan kegelisahanku
berkurang. Aku penat sekali!" keluh batin Puting Selaksa. Tak peduli malam
berudara dingin, perempuan itu tetap mengguyur tubuhnya sebagai cara mengusir
kelelahan yang sering dilakukannya selama ini.
Beberapa saat selesai mandi, badan memang terasa segar dan kelelahan
pun berkurang. Putting Selaksa segera masuk ke kamar.
"Ooh. .?!" mata perempuan itu mendelik, karena Suto Sinting
tidak ada di pembaringan. Wajah pun menegang dan jantung berdetak-detak membuat
darah bagai mulai mendidih.
"Ke mana dia?!" geram hati Puting Selaksa diburu kepanikan.
la bergegas turun dari lantai atas, menggedor-gedor kamar Ki Pulasoma.
Tapi sebelum pintu digedor, telinga perempuan itu menangkap suara langkah di
loteng. la bergegas ke loteng kembali.
Jalanan depan kamar-kamar tampak sepi, karena memang malam itu yang
bermalam di situ hanya mereka berdua. Tak ada tamu lain. Dengan mata melirik
penuh waspada, Puting Selaksa dekati kamarnya kembali. Samar-samar ia mendengar
suara hembusan napas memanjang.
Hati Puting Selaksa menjadi semakin tegang. Maka pintu kamar pun segera
dibukanya dengan tangan kanan siap lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi.
*
**
7
PUTING Selaksa tertegun di depan pintu melihat sosok kekar tanpa baju
sedang meletakkan bumbung tuak pertanda habis menenggak isi bumbung itu. Mata
tajam perempuan itu tak berkedip pandangi wajah tampan yang kini menatapnya
dalam senyum.
"Aku ke kamar mandi di sebelah kamar mandi yang kau pakai
tadi," ujar Suto Sinting dengan suara jelas. Rupanya luka pendekar tampan
itu telah lenyap tanpa bekas sejak ia menelan tuak dari bumbungnya. Puting
Selaksa tak tahu bahwa tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung tuak tersebut
maka akan mempunyai khasiat penyembuhan yang sangat ajaib, sehingga tak heran
walau hanya setetes dua tetes, seseorang yang terluka parah akan segera sembuh
jika meneguk tuak tersebut.
Ketika Puting Selaksa mandi, proses penyembuhan luka di tubuh Pendekar
Mabuk itu berjalan dengan cepat. Tubuh Suto Sinting menjadi segar dan seperti
tak pernah terluka apa pun beberapa saat setelah ia didulang tuak oleh Puting
Selaksa.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk telah sehat kembali, Puting Selaksa
tampak gembira sekali. Wajahnya tak setegang tadi. Bahkan di bibirnya ada
seulas senyum yang memancarkan rasa damai dari dalam hati perempuan itu.
Sayangnya senyum dan keramahan itu hanya sebentar, karena beberapa kejap kemudian Puting Selaksa mulai menjaga sikapnya
agar tak diremehkan oleh seorang lelaki, sehingga keketusan dan keangkuhannya terpampang
kembali.
"Tuakmu memang dahsyat!" ujarnya bernada datar.
"Kusangka kau tadi diculik orang atau. . "
"Memangnya kalau diculik orang kenapa?" pancing Suto Sinting
dengan senyum tipis menawan. Puting Selaksa tak membalas senyuman itu.
"Lain kali jangan membuatku menjadi tegang seperti tadi."
"Aku hanya ikut-ikutan mandi karena badanku lengket sekali."
Puting Selaksa percaya dengan pengakuan itu, karena di tubuh Suto masih
tampak butiran air yang belum terhapus oleh baju coklatnya sebagai ganti handuk.
Pendekar Mabuk mengguyur tubuhnya agar memperoleh kesegaran lebih nyaman lagi,
namun rambutnya dibiarkan kering, karena malam hari terasa tak enak jika harus
mencuci rambut segala.
"Terima kasih atas bantuanmu yang membawaku sampai ke sini. Kalau
tidak, dalam waktu beberapa saat lagi nyawaku akan melayang."
"Ya, aku tahu persis hal itu," jawab Puting Selaksa
datar-datar saja. la duduk di tepian ranjang sambil melepaskan gulungan
rambutnya. Kini rambut itu meriap kering sepanjang punggung.
"Ooh. .?!" gumam Suto Sinting dengan mata berbinar-binar
memandangi Puting Selaksa.
"Ada apa?" tanya Puting Selaksa heran.
"Kau tampak semakin cantik dalam keadaan rambut diriap
begitu."
"Hati-hati bicaramu!" ucapnya bernada mengancam. Tapi Suto
justru melebarkan senyum dan tak ragu-ragu dalam memandangnya. Putting Selaksa
menggerai-geraikan rambutnya dengan tangan seakan tak peduli dengan tatapan
mata Pendekar Mabuk.
"Gobang Garu telah kuhabisi. Aku terpaksa menghabisi nyawanya
karena aku tak ingin dikejar- kejar oleh orangnya Adipati Wijanarka lagi."
"Ya, aku masih sempat melihat bagaimana kau bertarung melawannya.
Jurus-jurusmu hebat dan mengagumkan. Hanya saja, apakah setelah Gobang Garu
binasa, berarti kau bebas dari kejaran Adipati Wijanarka?"
"Kurasa masih ada satu orang lagi yang harus dibinasakan. Dia
dikenal dengan nama: Dewa Tumbal. Ilmunya tinggi dan kejam sekali."
"Siapa itu Dewa Tumbal?"
"Penjaga manusia peliharaan Adipati Wijanarka. Biasanya Dewa
Tumbal dikeluarkan jika keadaan sangat terpaksa. Dengan matinya Gobang Garu,
aku yakin Adipati Wijarnaka akan mengutus Dewa Tumbal untuk membunuhku."
"Membunuhmu? Mengapa kau yakin dia akan membunuhmu?"
"Karena dia tak ingin aku diperistri lelaki lain. Rasa iri dan sirik ada pada jiwa Adipati
Wijanarka."
"Tapi apakah dia akan tahu bahwa kaulah orang yang membunuh Gobang
Garu?"
"Pasti tahu, karena mayat Gobang Garu menjadi merah. Itulah ciri
orang yang menjadi korban pedangku."
"O, ya. Aku ingat kehebatan pedangmu juga. Sayang waktu itu aku
tak bisa memujimu."
"Aku tak butuh pujian!" ucapnya datar dan tawar sekali.
"Apakah ada pihak lain yang menurutmu berbahaya bagi keselamatan
jiwamu?"
"Tak ada. Jagalawa telah tewas di tangan orang-orang Pulau Boneng.
Dua lelaki lainnya yang juga ingin memperistriku bukan orang berilmu tinggi.
Aku bisa atasi mereka sambil tidur nyenyak. Tapi Adipati Wijanarka harus
kuhadapi dengan sungguh-sungguh. Orang simpanannya itu yang berbahaya sekali.
Jika aku bisa membunuh Dewa Tumbal, maka kekuatan sang Adipati akan lenyap. Dia
tak akan berani menggangguku lagi. Dewa Tumbal sudah dianggap manusia paling
sakti yang tak mungkin ada yang bisa mengalahkan, menurut sang Adipati."
"Hmmm. . kalau begitu," Suto berdiri di depan Puting Selaksa
yang masih duduk di tepian ranjang.
". . jika Dewa Tumbal memburumu, biarlah aku yang
menghadapinya."
"Tak perlu," jawab Puting Selaksa seperti orang menggumam.
"Aku tak ingin melibatkan dirimu terlalu jauh dalam perkara ini."
Pendekar Mabuk segera duduk di samping kiri Puting Selaksa, "Kau
sudah melibatkan diriku. Tak mungkin aku berhenti di tengah jalan. Sekalipun
kau melarang, aku akan memaksa!"
Puting Selaksa berpaling pandangi Suto Sinting. Tatapan matanya yang
selalu tajam dan berkesan angker namun punya nilai kecantikan tersendiri itu
membuat hati Suto bergetar kembali.
"Mengapa kau bertekad begitu?" tanya Puting Selaksa.
"Kalau kau mati, apa untungmu? Kalau kau menang, apa pula untungmu?"
Pendekar Mabuk angkat bahu. "Aku tak mencari keuntungan, karena
aku bukan pembunuh sewaan. Aku hanya ingin membuktikan kebenaran kata-katamu
tentang Rona Dewaji itu."
"Sebaiknya tak perlu dipercaya lagi. Anggap saja aku tak pernah
bercerita tentang Rona Dewaji. Aku wanita biasa, bukan Wanita Keramat."
"Tapi kau punya keistimewaan."
"Tidak. Aku tidak punya keistimewaan."
"Punya...," jawab Suto tetap ngotot tapi dengan nada lembut,
membuat Puting Selaksa semakin enggan membuang pandangan matanya ke arah lain.
"Apa keistimewaanku menurutmu?"
Suto tersenyum tipis. "Cantik, berani, galak, dan..."
"Jinak," sahutnya seraya mulai ada senyum yang membayang di
sudut bibirnya.
"Apanya yang jinak? Galakmu seperti singa lapar habis ditipu sang
kancil!"
"Siapa pun bisa menyentuh hatiku, dia akan bisa menjinakkan
keangkuhanku."
"O, begitukah?" Suto melebarkan senyum.
"Bagaimana cara menjinakkanmu?"
"Mengerti pribadiku, mengerti tabiatku, dan mengerti
seleraku."
Makin lama beradu pandang, semakin berdebar-debar hati Pendekar Mabuk.
Debaran itu mengandung sejuta bunga indah yang sukar dilukiskan dengan kata.
Tak ada rasa bosan walau memandang wajah cantik berkesan galak itu selama sepuluh
helaan napas.
Malam yang bisu akhirnya diusik oleh suara lirih Suto yang terlontar
bagai di luar kesadaran.
"Cantik sekali....."
Mata perempuan itu tak berubah, ekspresi wajahnya pun tetap dingin.
"Kau marah jika kupandang begini?"
"Tidak!" jawabnya pelan sekali, bahkan suara paraunya
terdengar jelas.
"Kau. . kau percaya kalau aku mengagumi kecantikanmu?"
"Tidak...."
"Aku... benar-benar mengagumimu. Sayang sekali kau. . galak,"
Pendekar Mabuk tersenyum, tapi perempuan itu tidak sama sekali. Lalu mereka
saling bungkam lagi dengan tetap saling beradu pandang.
"Kau suka padaku?"
"Tidak," jawab Puting Selaksa semakin lirih.
"Kau tahu aku bergairah sekali melihat bibirmu?"
"Tidak," suara itu lebih pelan dari yang tadi.
"Tapi.. kau tidak keberatan jika aku mengecup bibirmu?"
Malam hening, kamar menjadi sepi, Puting Selaksa tak menjawab. Suto
menunggu penuh harap. "Jawablah...," bisik Suto.
"Ti... dak...."
Siir.. ! Hati Suto berdesir begitu indah mendengar jawaban yang nyaris
tak terdengar itu. Maka ia pun segera menempelkan bibirnya ke bibir Puting Selaksa.
Seeerr.. ! Sekujur tubuh bagai disiram air hangat ketika bibir itu saling
sentuh. Pendekar Mabuk merenggangkan bibirnya, lalu bibir Putting Selaksa
dipagutnya pelan-pelan. Cuuuup. .! Semakin hangat rasa di sekujur tubuh Suto
pada saat itu.
Sayang sekali perempuan tersebut masih diam tanpa reaksi apa pun. la
hanya memejamkan mata ketika bibirnya dipagut-pagut buat mainan bibir Suto. la
juga tetap diam tanpa gerakan sedikit pun ketika lidah Suto menyapu permukaan
bibir itu. Namun ketika lidah Suto mendesak lebih dalam dan bibir itu pun
dipagut agak kuat, perempuan itu mulai bereaksi kecil, menyodorkan lidahnya
agar bertemu dengan lidah Pendekar Mabuk.
Ketika lidah itu dipagut Suto, bendungan keangkuhan itu tak tertahankan
lagi. Puting Selaksa segera membalas kecupan lembut itu. Bahkan kini ia melumat
bibir Suto dengan ganas. Tangannya meremas rambut kepala bagian belakang pemuda
itu, seakan ia ingin agar bibir itu lebih lekat lagi dalam lumatannya.
Sesaat kemudian, tiba-tiba Puting Selaksa lepaskan kecupan dan menarik
kepala ke belakang. Wuuut.. ! la terengah-engah sambil pandangi Suto Sinting
yang bibirnya masih merekah menandakan masih ingin dilumat lagi itu.
"Kenapa berhenti?!"
"Kau terlalu berani membakar gairahku," jawab Puting Selaksa.
"Tak bolehkah aku sedikit berani padamu?"
"Kau akan kewalahan nantinya."
"Mengapa harus kewalahan?"
"Tuntutan gairahku akan lebih besar dari gairahmu."
"Kalau aku merasa sanggup menuruti keinginanmu, bagaimana?"
Kali ini bola mata yang tepian kelopaknya berwarna hitam itu bergerak-gerak
karena gelisah.
Pendekar Mabuk sengaja tetap memandang dan mendekatkan wajah pada jarak
tetap. Terlalu lama memandang Suto, Puting Selaksa terlalu rapuh mempertahankan
keinginannya. Maka dengan cepat ia segera menyambar bibir Pendekar Mabuk dan
melumatnya dengan lebih ganas dari yang tadi.
Tangan meremas dan gerakan menjalar ke mana-mana. Pelukannya diperkuat,
seakan ia ingin membuat tubuh Suto agar terbenam dalam tubuhnya. Punggung Suto
yang tidak berbaju itu menjadi sasaran remasan tangan menahan gejolak keindahan.
Pendekar Mabuk sempat gelagapan ketika ciuman itu makin memburu,
menyapu ke pipi, ke telinga, dan mengelilingi leher dengan pagutan-pagutan
hangat.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam. Tangannya mulai bergerilya,
menelusup ke dalam belahan baju perempuan itu. Belahan diperlebar, sehingga
tangan semakin bebas. Maka tertangkaplah apa yang dicari tangan Suto di permukaan
dada Puting Selaksa itu.
Dada berbukit sekat dan membengkak bagai ingin meledak itu mulai
menjadi pusat kenakalan tangan Suto.
"Aaah. .!" Puting Selaksa mendesah pendek, lalu mendesis
dengan gemas. la bahkan menyentakkan bajunya sendiri hingga belahannya terlepas
dari ikat pinggang...."
"Ambil. ! Ambil . .!" sentaknya dalam bisik sambil menekan
kepala Suto hingga terbenam di dadanya. Maka pemuda tampan itu pun menyambar
ujung-ujung bukit dengan kehangatan mulutnya.
"Oouh...! Terus! Terus!" geram Puting Selaksa. la meronta
digelitik keindahan. la mengamuk meremasi tubuh dan rambut Suto. Amukannya tak sadar
telah membuat pembungkus tubuhnya terlepas, dan ia tak marah ketika tangan Suto
membantu melepaskan seluruhnya.
"Terus! Semuanya, Suto! Semuanya. .!" perintahnya dengan
suara menggeram, lalu napas pun tersentak-sentak.
Pendekar Mabuk sempat hentikan seluruh gerakannya sambil matanya
memandang lebar ke bentangan hangat di depannya itu. Puting Selaksa memandang sayu, bahkan sengaja membuka segalanya
agar menjadi lebih jelas bagi Pendekar Mabuk.
"Gila. .? Kau punya. . kau punya bukit tujuh buah?!" ujar
Suto membisik penuh keheranan.
"Sembilan," jawab Puting Selaksa.
Pendekar Mabuk berdebar-debar memperhatikan bukit-bukit yang berujung
menantang itu. Dua bukit paling besar dan montok ada di dada seperti lazimnya
seorang perempuan. Tapi di samping dua bukit di dada, ternyata ada lagi dua
bukit di pinggang kanan-kiri, hanya saja tak sebesar yang di dada. Tapi
ujungnya tampak jelas sebagai ujung perbukitan seorang wanita.
Selain di pinggang, ada juga sepasang bukit di samping perut, tepat
pangkal paha kanan-kiri. Namun hanya tampak sedikit menggunduk dan berpuncuk
kecil. Sedangkan tepat di bawah pusar, hampir berhimpit dengan pusar, juga ada
bukit kecil yang mempunyai ujung seukuran dengan di dada.
"Luar biasa. .?!" gumam Suto Sinting penuh keheranan.
Puting Selaksa segera tengkurap sambil berkata,
"Dua lagi di sini...."
"Oh, gila. .!!" Suto Sinting hampir terpekik melihat dua
bukit di bahu kanan-kiri, hanya saja tidak semenonjol yang di dada. Namun
mempunyai ujung-ujung yang sama besarnya dengan yang di dada.
Pendekar Mabuk mencoba mendekati salah satu bukit yang di bahu kiri, ia
menyapunya dengan kecupan lembut.
"Ooh, teruskan...! Teruskan, Suto!"
"Kau... kau suka?"
"Indah sekali! Teruskan. .!" perintahnya setengah membentak.
Maka Suto pun segera menyambar kedua bukit di bahu kanan-juri itu secara
bergantian.
Ternyata Puting Selaksa merasakan keindahan seperti saat dadanya
dipagut Suto. ini Suto diperintahkan menjelajahi kesembilan bukit itu. Ternyata
kesembilan bukit itu mempunyai keindahan yang sama jika berada dalam pagutan.
"Pantas dia bernama Puting Selaksa. Ternyata memang mempunyai
jumlah bukit yang lebih banyak dari para wanita lainnya," pikir Suto
sambil memberikan pagutan dan kecupan lembut di sekujur tubuh Puting Selaksa.
Perempuan itu mengerang dan mendesah-desah, karena setiap jengkal tubuhnya
bagaikan menghadirkan; sejuta keindahan dan kebahagiaan jika disentuh dengan
apa pun.
"Terus, Suto...! Terus ke bawah! Ooh... aku suka sekali, Suto!
Aoow. .!" pekiknya dengan ganas ketika Suto mencapai tempat yang dimaksud Puting
Selaksa. Perempuan itu pun tak kuasa menahan diri hingga meliuk dengan
ganasnya.
Setelah memekik beberapa kali karena mencapai puncak keindahan, walau
perahu belum berlayar, perempuan itu pun menarik Suto agar wajah mereka saling
berpadu lagi.
"Aku ingin sekarang, Suto! Oh, sekarang! Harus sekarang! Ayo,
Suto! Ayooo.. !" '
Tapi tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh Ki Pulasoma. Suara Pak Tua itu
pun terdengar jelas hingga menghentikan semua gerakan di atas ranjang.
"Nona Puting Selaksa. . ada tamu yang mencari namamu, Nona!"
"Oh...?!" Puting Selaksa memandang Suto dengan tegang.
"Cepat berkemas!" sentak Puting Selaksa membuat Suto
menggeragap dan saling merapikan diri kembali.
"Setan alas!" gerutu Puting Selaksa dengan hati kesal.
Rasa heran Puting Selaksa membuatnya lebih cepat bergerak daripada
Pendekar Mabuk. la segera menemui Ki Pulasoma di ujung tangga bawah.
"Siapa yang mencariku?"
"Aku belum tanyakah namanya. Tapi dia datang ke desa ini langsung
menemui kepala desa kami, dan ia datang diantar oleh pesuruh lurah kami."
Semakin penasaran sekali Puting Selaksa, sehingga langkahnya dipercepat
tanpa menggubris seruan Pendekar Mabuk yang sedang mengencangkan ikat pinggang
kain merahnya itu.
Tak lupa Suto pun menyambar bumbung tuaknya karena ia memang kehausan. Sambil
berjalan menuju ke ruang kedai, ia menenggak tuak beberapa teguk, sehingga badannya
terasa segar kembali. Pada daat itu ia melihat Puting Selaksa keluar dari kedai
dan bicara di balik pintu kedai. Pendekar Mabuk mempercepat langkahnya.
Rupanya Puting Selaksa menemui pelayan kepala desa yang berbadan kurus
itu.
"Seorang tamu datang kepada Ki Lurah dan menanyakan nama Puting
Selaksa. Kami tidak tahu dan tidak merasa punya warga bernama Putting Selaksa.
Setelah dia memberitahukan ciri-cirinya, kami baru ingat bahwa ciri-ciri itu
adalah ciri-cirimu, Nona. Beberapa tetangga memberitahukan bahwa kau bermalam
di sini bersama Pendekar Mabuk. Maka kucoba untuk membawanya kemari."
"Di mana orang itu sekarang?"
"Itu. . di bawah pohon sana. Beliau menunggu Nona di sana. Entah
mengapa beliau malu untuk hampiri Nona kemari."
Dalam keremangan cahaya rembulan separo bagian. Puting Selaksa tak bisa
melihat jelas siapa orang yang ada di bawah pohon seberang kedai itu.
Pendekar Mabuk segera mengusulkan agar mereka menghampiri orang
tersebut. Puting Selaksa pun akhirnya melangkah ke seberang kedai didampingi Suto.
"Mencurigakan sekali!" gumam Suto lirih. Puting Selaksa
mendengar tapi tak pedulikan gumaman tersebut, Perhatiannya terpusat ke arah
bawah pohon.
Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti setelah orang yang ada di
bawah pohon itu melangkah maju beberapa kali. Cahaya rembulan yang samar-samar itu
segera menerangi wajah orang tersebut. Puting Selaksa tampak terkejut.
"Celaka!" gumamnya menegang.
"Kenapa?" tanya Suto. "Kau kenal dengannya?"
"Dia yang bernama Dewa Tumbal!"
"Ooh, dia. .?!" Suto tampak tenang. Tapi Puting Selaksa
sempat cemas dan kebingungan.
"Pedangku kutinggal di kamar!"
"Tenang saja. Biar kuhadapi dia!"
Orang berpakaian serba hitam dengan tepian putih itu semakin dekat
dengan mereka. Penampilannya sangat tenang. Wajahnya tak berkesan angker.
Usianya sekitar empat puluh tahun. la bertubuh tinggi, tegap, sebaya dengan Pendekar
Mabuk. Di pinggangnya terselip sebilah pedang perak yang memantulkan cahaya
matahari.
"Maaf mengganggumu, Puting Selaksa," ujar si Dewa Tumbal
dengan nada dingin. "Kuikuti kepergian Gobang Garu setelah kudengar gurumu
sedang mencarimu. Tapi aku terlambat. Kutemukan ia telah menjadi mayat dalam
keadaan tubuhnya merah matang. Kukenali kematian seperti itu adalah kematian di
ujung pedangmu. Maka kucari tempat terdekat di sekitar sini. Kutemukan desa ini
dan kutanyakan kepada lurah di sini, ooh. . ternyata dugaanku tak meleset. Kau
ada di desa ini bersama oh, siapa dia, Puting Selaksa?"
Tutur kata yang lembut itu seolah-olah tidak menampakkan sikap
permusuhan. Tetapi Putting Selaksa dan Pendekar Mabuk sudah dapat menduga apa
akhir dari tutur kata yang lembut itu. Karenanya, Puting Selaksa segera ajukan
tanya bernada ketus.
"Singkatnya saja, apa maksudmu mencariku, Dewa Tumbal?"
"Adipati Wijanarka sudah tak sabar dengan cara kerja di Gobang
Garu. Sang Adipati segera mengutusku untuk mencarimu dan membawanya pulang ke
kadipaten. Tapi sang Adipati juga memberi wewenang padaku, jika kau menolak aku
boleh membunuhmu! Maka sekarang terserah pilihanmu; ikut ke kadipaten, atau
pergi ke neraka bersama pemuda itu?!"
Hati Suto Sinting bagai dibakar sembilan obor saat dirinya dituding
oleh Dewa Tumbal. Tanpa basa-basi lagi akhirnya Suto pun berkata kepada Dewa Tumbal.
"Kau dan seluruh prajurit kadipaten, termasuk sang Adipati
sendiri, sebaiknya maju bersama untuk merebut Puting Selaksa ini! Karena jika
aku belum menjadi bangkai, kalian tak akan sanggup memaksa Puting Selaksa untuk
menjadi istri sang Adipati itu!"
"Oh, kau telah membuka arena pertarungan denganku, Anak Muda! Jika
begitu, kuperkenalkan lebih dulu jurus pembukaanku ini!"
Dewa Tumbal hentakkan kakinya ke tanah dengan pelan. Duuuhk!
Weees. .! Pendekar Mabuk terlempar ke atas, meluncur dengan cepat bagai
ingin menembus langit. Puting Selaksa terperanjat dan segera lepaskan pukulan
jarak jauhnya ke tubuh Dewa Tumbal.
Wuuut...! Baaaahk...!
Dewa Tumbal mengadu pukulan tenaga dalamnya yang tanpa sinar. Gelombang
padat yang dikirimkan Puting Selaksa justru membalik arah dan menerjang tubuh
perempuan itu sendiri. Buuhk...! Weeers...!
Brrruk...!
Puting Selaksa terjungkal lima langkah ke belakang.
"Huuahk. .!" Puting Selaksa memuntahkan darah segar.
Pada saat itu Suto dalam keadaan turun dari ketinggian terbangnya. Tapi
ia telah mampu menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga ia dapat mendaratkan
kakinya ke tanah dengan baik, bahkan tanpa suara.
Seet...!
"Cukup lumayan juga jurus perkenalanmu," ujar Suto Sinting
dengan tenang. Tapi Dewa Tumbal terkesip memandang Suto mampu daratkan kakinya tanpa
suara. la tahu hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah kuasai ilmu
peringan tubuh cukup tinggi.
"Bagaimana dengan jurus perkenalanku ini?" kata Suto, lalu ia
menghentakkan kakinya ke tanah dengan pelan juga. Duuuhk. .!
Brruuuusss...!
Dewa Tumbal amblas ke bumi akibat kekuatan jurus 'Telan Bumi'-nya
Pendekar Mabuk. Orang berjubah hitam itu sempat menggeragap karena tubuhnya
terbenam di tanah sampai batas dada.
Sebelum ia lakukan sesuatu, Pendekar Mabuk sentakkan kakinya lagi ke
tanah. Duuuhk...!
Brrruuusss...!
"Oohk. .!" Dewa Tumbal terbenam seluruh tubuhnya bagai ada
yang menarik dari dasar bumi. Permukaan tanah pun menjadi rata kembali, walau tak
serata semula. Puting Selaksa memandang kagum walau ia harus menahan rasa sakit
di dadanya. Pendekar Mabuk tersenyum kepada Puting Selaksa. Tapi senyum itu
hilang setelah tiba-tiba Dewa Tumbal melesat dari dalam tanah, menjebol
permukaan tanah yang menjadi rata itu. Bruuul l...! Brrrus...!
Tubuh itu melayang cepat di udara bersama tanah yang berhamburan.
Kemudian ketika ia bersalto satu kali, sebuah pukulan bercahaya merah
dilepaskan dari tangannya. Claaap. .!
Cahaya itu berbentuk bintang berekor yang segera menerjang Suto. Dengan
cepat bumbung tuak dihantamkan ke arah cahaya merah tersebut.
Blegaaaarrr..!
Ledakan dahsyat membangunkan penduduk desa, karena rumah-rumah
bergetar, genteng merosot, dan beberapa tanaman pun terguncang karena bumi
menjadi bergetar menerima gelombang ledakan tadi.
Sreet. .! Dewa Tumbal mencabut pedangnya.
Wees. .! la melesat bagaikan kilat menerjang Pendekar Mabuk. Trang,
trang.. ! Pedang pun beradu dengan bumbung tuak. Percikan bunga api menyebar ke
mana-mana.
Pada mulanya Pendekar Mabuk mampu hindari tebasan pedang Dewa Tumbal
dengan jurus mabuknya yang menggeloyor ke sana-sini bagai mau tumbang. Tapi
kejap berikut, Dewa Tumbal pergunakan jurus pedang andalannya yang kecepatannya
seperti pusaran arus angin.
Wut, wut, wut, wut, wut.. !
Pendekar Mabuk sempat kewalahan hindari pedang yang kecepatannya tak
bisa dilihat mata itu. Bahkan Dewa Tumbal bagaikan hilang dari pandangan mata
siapa saja. Akibatnya, Pendekar Mabuk terpaksa keluar dari lingkaran gerak si
Dewa Tumbal itu dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...!
Cras, cras...!
"Aaahk....!"Pendekar Mabuk terpekik, tahu-tahu tubuhnya
muncul dalam keadaan dada terbelah dan lengannya luka. Darah mengucur dari
kedua luka itu.
Pendekar Mabuk benar-benar sempoyongan menahan luka yang amat berbahaya
itu. Sedangkan Dewa Tumbal masih mengitari tempat tadi, karena ia tak melihat
Pendekar Mabuk sudi pergi dari tempat tersebut,
"Suto...! Tuak! Lekas minum tuak!" seru Puting Selaksa sambil
berlari menghampiri Suto Sinting. la tampak cemas sekali.
Keadaan Dewa Tumbal yang masih memutari tempat tersebut sambil
menebaskan pedangnya itu dipergunakan Suto untuk meneguk tuaknya beberapa kali.
Dengan begitu, luka tersebut cepat menjadi rapat dan rasa sakitnya pun lenyap.
"Bangsat!" teriak Dewa Tumbal setelah menyadari dirinya
kecele dan memandang Suto sudah berada di tempat jauh. Maka Dewa Tumbal pun
menjadi berang dan melesat bagaikan terbang ke arah Pendekar Mabuk.
"Heaaaat...!
"Keparat kudis orang ini!" geram Suto Sinting, akhirnya ia
melepaskan jurus yang tak bisa ditangkis dan dihindari oleh lawan mana pun.
Jurus 'Yuda' pemberian calon ibu mertuanya: Ratu Kartika Wangi itu dilepaskan
untuk mengakhiri pertarungannya dengan Dewa Tumbal.
Clap, clap, clap, clap. .! Dari tangan Suto keluarkan sinar cahaya
perak dalam bentuk bintang segi lima. Sinar itu melesat cepat dan jumlahnya lebih
dari sepuluh bintang perak. Sinar tersebut menerjang Dewa Tumbal dan gerakan
Dewa Tumbal terhenti seketika.
Juuurrrb...!
Jreeeg....!
la diam mematung dalam keadaan mengangkat pedangnya. Sampai lama sekali
Dewa Tumbal tak bergerak. Puting Selaksa melihat jelas sinar perak berbentuk
bintang segi lima itu menghantam kuat dada Dewa Tumbal.
Pada saat itu, seluruh luka Pendekar Mabuk telah lenyap dan keadaannya
pulih seperti sediakala. la segera menenggak tuak lagi. Setelah itu hampiri Puting
Selaksa yang tertegun bengong pandangi Dewa Tumbal yang tak bergerak lagi.
"Sudah selesai sekarang. .," ujar Suto dalam bisikan.
"Tapi.. tapi Dewa Tumbal belum tumbang dan agaknya ia sedang
menahan rasa sakitnya akibat sinar perakmu tadi."
"Sebentar lagi tumbak!" kata Suto Sinting dengan kalem.
Sebelum Puting Selaksa ajukan tanya lagi, tiba-tiba matanya menjadi
terbelalak karena melihat Dewa Tumbal mengalami keanehan. Satu persatu anggota
tubuhnya berjatuhan. Setiap ruas tulang, setiap persendian, terlepas, dan
saling berjatuhan ke tanah, sampai akhirnya lengannya jatuh sendiri ke tanah. Disusul kemudian
kepala si Dewa Tumbal menggelinding bagai bola, dan paling akhir adalah sendi
lututnya terlepas dan robohlah si Dewa Tumbal dalam keadaan terpotong-potong
setiap persendiannya.
"Luar biasa.. !" gumam Puting Selaksa dengan nada mendesah
penuh kekaguman.
Dengan demikian, maka lega sudah hati Putting Selaksa, karena tak ada
lagi yang ditakuti yang akan mengejar-ngejarnya dalam urusan perkawinan.
Puting Selaksa kini sunggingkan senyum kepada Suto Sinting dengan
disinari cahaya rembulan pucat. Namun senyum itu tetap tampak indah dan mendebarkan
hati Pendekar Mabuk.
"Apa lagi yang harus kulakukan untukmu?" tanya Suttfl
"Melanjutkan pelayaran cinta kita yang tertunda tadi?"
"Oh, jangan! Sebaiknya jangan lakukan demi Rona Dewaji yang ada padamu
agar tak hilang. Itu keberuntunganmu selama tujuh turunan lebih! Jangan
sia-siakan dengan pencemaran cinta seperti tadi."
Puting Selaksa akhirnya hanya bisa tarik napas panjang-panjang.
"Sebaiknya malam ini kita istirahat saja. Esok kita cari gurumu
dan si Manggar Jingga!"
"Terima kasih atas ketulusanmu!" ucap Puting Selaksa sambil
memeluk Suto dalam siraman cahaya rembulan.
Dua hari kemudian, mereka bertemu dengan Resi Parangkara dan Manggar
Jingga dalam sebuah perjalanan menuju Teluk Sendu. Ketika Suto menanyakan
tentang Rona Dewaji kepada Resi Parangkara, sang Resi pun menganggukkan kepala dan
menjawab dalam bisikan.
"Memang benar. Karena itulah aku mencari-carinya, karena aku tahu
ada beberapa orang yang mengincar Puting Selaksa. Perlu kau ketahui, Nak....Rona
Dewaji hanya akan turun pada orang-orang yang mempunyai kelainan dalam
tubuhnya.
Misalnya, berjari sebelas, berpusar dua, atau.,. "
"Termasuk berpayudara sembilan. .?!"
Resi Parangkara terkejut dan matanya terbelalak.
"Kalau begitu kau telah. . "
"Hanya sebatas mandi saja, Eyang Resi. Percayalah, Rona Dewaji
masih ada dalam diri Puting Selaksa alias si Wanita Keramat itu!"
Resi Parangkara menghempaskan napas lega. Pendekar Mabuk tertawa tanpa
suara sambil lemparkan pandangan ke arah lain.
SELESAI
Segera terbit!!!
PERAWAN SINTING
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon