Pendekar Pulau Neraka - Perawan Pembawa Maut(1)

SATU

Prak!

Sebuah guci keramik hancur berkeping-keping dihantam kepalan tangan berukuran cukup besar yang dilingkari gelang akar hitam pada pergelangannya. Meja tempat guci itu pun bergetar hebat, lalu retak tepat di tengah-tengahnya. Empat orang yang berada di depan meja itu seketika tersentak sampai terlompat mundur sekitar tiga langkah. Kepala mereka tertunduk dalam, tak sanggup memandang laki-laki separuh baya yang wajahnya memerah, dan gerahamnya bergemeletuk bagai tulang-tulang berpatahan.

"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus...!" keras dan besar sekali suara laki-laki separuh baya ini.

Empat anak muda itu hanya diam saja sambil tetap menundukkan kepala menekuri lantai di bawah kakinya. Tak ada seorang pun yang berani memamerkan wajah. Apalagi mengucapkan kata-kata. Mulut mereka bagai terkunci, tak mampu lagi bersuara. Sedangkan laki-laki separuh baya bertubuh tinggi kekar dan berotot itu merayapi empat anak muda di depannya, dengan mata memerah bagai biji saga.

"Apa saja yang bisa kalian kerjakan, heh...?! Baru begitu saja sudah tidak becus!" dengusnya lagi dengan suara berat menggeram,

"Maaf, Ki...," ucap salah seorang anak muda memberanikan diri.

"Maaf..., maaf.... Hih!"

Plak!

"Aduh...!" anak muda itu mengeluh kesakitan.

Plpinya terasa panas bagai terbakar terkena tamparan tangan yang berukuran besar dan berbulu. Bahkan tubuhnya sampai melintir dua kali. Sedangkan tiga anak muda lainnya, semakin dalam tertunduk dengan tubuh gemetar hebat.

"Seharusnya, kalian mati saja daripada kembali lagi ke sini!" dengus laki-laki separuh baya itu lagi.

"Ki...?!"

Empat orang anak muda yang masih berusia sekitar dua puluh tahun itu terkejut bukan main. Mereka langsung menjatuhkan diri berlutut, sehingga keningnya menyentuh lantai. Tubuh mereka semakin geme¬tar hebat. Keringat pun semakin deras mengucur membasahi sekujur tubuh. Bahkan salah seorang mengeluarkan air pesing dari balik celananya. Bau tidak sedap pun seketika menyengat

"Setaan..!" geram laki-laki separuh baya itu.

Sambil bersungut-sungut, laki-laki kekar itu berbalik dan melangkah. Dengan ayunan kaki lebar-lebar, ditinggalkannya ruangan ini. Sementara empat anak muda itu masih tetap bersujud dengan kening menyentuh lantai. Kepala mereka baru terangkat, setelah laki-laki separuh baya tadi sudah tidak ada lagi di dalam ruangan ini. Sebentar mereka saling berpandangan, lalu seperti anjing yang digebah, bergegas meninggalkan ruangan ini.

Mereka langsung menggeletak begitu berada di luar. Saat itu, seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang menghampiri. Dia tertawa terkekeh melihat empat anak muda itu seperti tikus habis tercebur ke dalam selokan. Sedangkan keempat anak muda itu hanya diam saja, sambil duduk di pinggiran papan beranda rumah berukuran cukup besar ini.

"Baru segitu saja sudah terkencing-kencing...," ejek laki-laki yang baru datang itu. Gagang goloknya yang berwarna kuning gading, tampak menyembul di pinggang.

Empat anak muda itu hanya diam saja.

"Sebenarnya, apa yang ditugaskan Ki Mangir...?" tanya laki-laki itu sambil duduk di dekat anak-anak muda ini.

"Melamar anak orang!" sahut salah seorang anak muda itu, bersungut-sungut.

"Ha ha ha...!" laki-laki bergolok di pinggang itu tertawa terbahak-bahak.

"Kau bisa saja tertawa! Tapi kalau tahu anak gadis siapa yang akan dilamar, baru tahu rasa! Huh!" rungut anak muda itu lagi.

"Kalau perkara melamar anak gadis..., nih! Serahkan padaku. Kabat tidak pernah gagal memikat gadis¬gadis," orang itu menyombongkan diri dengan menepuk dadanya sendiri.

Empat anak muda itu hanya mencibir saja. Memang diakui, laki-laki yang bernama Kabat ini berwajah cukup tampan. Malah juga dikenal sebagai jagoan dalam masalah perempuan. Tapi, tidak sedikit juga masalah yang dihadapinya hanya gara-gara perempuan. Baru-baru ini saja Kabat hampir babak belur, gara-gara mengganggu istri orang. Kalau saja Ki Mangir tidak segera turun tangan, barangkali dia sudah mati dikeroyok orang sekampung. Untung saja penduduk Desa Jati Laksa masih memandang segan pada Ki Mangir.

"Anak gadis siapa yang akan dilamar Ki Mangir?" tanya Kabat lagi.

"Tanyakan saja sendiri," sahut salah seorang anak muda itu agak mendengus.

"He he he...," Kabat terkekeh meremehkan.

Dia bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam. Sedangkan empat anak muda itu hanya memperhatikan dengan bibir mencibir. Sementara Kabat sudah lenyap di dalam rumah berukuran cukup besar ini. Agak lama juga Kabat berada di dalam. Dan begitu keluar, raut wajahnya sudah berubah.

"Bagaimana...?" tanya salah seorang anak muda itu.

"Jangan tanya!" dengus Kabat terus berlalu. Keempat anak muda itu jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat tampang Kabat mendadak jadi kusut.

Sedangkan Kabat hanya mendengus bersungut-sungut, sambil terus melangkah pergi.
***

Kabat tersentak kaget begitu tiba-tiba ada tangan menepuk pundaknya dari belakang. Laki-laki bergolok di pinggang itu mendengus berat begitu melihat seorang laki-laki seusia dengannya tahu-tahu sudah di belakangnya. Dibiarkannya saja laki-laki berbaju warna merah menyala itu duduk di seberang mejanya. Bahkan dia masih diam meskipun araknya ditenggak habis oleh laki-laki yang baru datang itu.

"Kulihat dari tadi, kau melamun terus. Ada apa?"

"Orang tua itu benar-benar sudah sinting!" dengus Kabat.

"Heh...?! Ada apa...?"

"Bayangkan saja! Masa dia ingin melamar Minarti," suara Kabat masih terdengar mendengus seperti kesal.

"Minarti yang mana...?" tanya laki-laki yang sebenarnya bernama Gandik itu.

"Minarti mana lagi...? Hanya satu Minarti di desa ini."

"Maksudmu..., Minarti putri Eyang Palagan...?" nada suara Gandik seperti tidak percaya. »

"Memangnya ada berapa orang yang bernama Minarti di desa ini...? Mana lagi kalau bukan putrinya Eyang Palagan...? Makanya kubilang Ki Mangir sudah Edan!"

"Kau sungguh-sungguh, Kabat...?" Gandik masih tidak percaya.

"Kalau tidak percaya, tanya saja pada anak-anak itu'" dengus Kabat seraya menunjuk empat anak muda yang duduk di sudut kedai ini. "Merekalah yang disuruh melamar Minarti. Huh! Bisa-bisa desa ini jadi lautan api...!"

"Masa sih, Ki Mangir begitu...? Apa dia tidak...."

"Aku sendiri tidak habis mengerti, Gandik. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. Padahal istri mudanya saja, belum genap tiga bulan dinikahi. Eee..., sekarang sudah ingin melamar anak gadis orang?!

Bahkan anaknya Eyang Palagan lagi...," potong Kabat menggerutu.

"Kenapa dia punya pikiran gila begitu, ya...?" Gandik seperti bertanya pada diri sendiri.

"Aku sendiri tidak mengerti," sahut Kabat juga bingung.

Mereka jadi terdiam membisu. Semua orang di Desa Jati Laksa ini tahu, siapa Eyang Palagan itu. Dia adalah seorang pertapa tua yang amat disegani, dan pernah menjadi kepala desa di sini. Bukan hanya itu saja. Ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang dimilikinya pun tidak ada tandingannya di seluruh desa ini. Bahkan di seluruh desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Banjaran. Dia juga begitu disegani oleh ketua-ketua padepokan di sekitar Gunung Banjaran ini Tak ada seorang pun yang mau coba-coba cari perkara terhadap Eyang Palagan.

Maka memang sukar dipercaya kalau Ki Mangir akan cari perkara dengan Eyang Palagan. Terlebih lagi sampai berani ingin melamar anak gadisnya. Padahal, istri Ki Mangir sudah enam orang. Dan yang termuda saja, belum genap tiga bulan dinikahinya. Kalau anak gadis orang lain, mungkin tidak akan jadi masalah. Tapi yang ingin dilamar Ki Mangir justru anak gadis orang paling terpandang dan disegani! Bukan hanya di Desa Jati Laksa ini, tapi juga seluruh desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Banjaran.

"Kau juga mendapat tugas melamar Minarti?" tanya Gandik setelah cukup lama berdiam diri.

"Aku lebih baik pergi dari desa ini, daripada cari penyakit!" sahut Kabat agak mendengus.

"Dalam soal begini, kurasa hanya kau yang dapat diandalkan Ki Mangir," Gandik mencoba mengangkat perasaan Kabat.

"Aku lebih memilih mati, daripada cari penyakit pada Eyang Palagan," sahut Kabat.

"Kalau Ki Mangir menyuruhmu, apa bisa kau tolak...?"

"Inilah yang membuatku pusing, Gandik," kali ini nada suara Kabat terdengar seperti mengeluh.

"Kenapa...?" .tanya Gandik.

"Ki Mangir malah menyuruhku menculiknya," pelan sekali suara Kabat, dan hampir tidak terdengar.

"Apa...?!" Gandik terlonjak kaget setengah mati.

Gandik memandangi Kabat, seperti tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sedangkan Kabat hanya diam saja seraya menuang kembali arak dari dalam guci ke dalam gelas bambu. Lalu, arak itu diteguknya hingga tak bersisa lagi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kabat beranjak pergi meninggalkan kedai minum ini.

"Mau ke mana kau...?" tanya Gandik, agak keras suaranya.

"Cari angin!" sahut Kabat seenaknya, dan terus saja berialu.

Sedangkan Gandik jadi bengong sendiri. Matanya kemudian melirik empat orang anak muda yang masih duduk melingkari meja di dekat jendela. Gandik bangkit berdiri ingin menghampiri, tapi keempat anak muda itu sudah lebih dulu beranjak pergi.

"Hhh...! Kalau benar Ki Mangir punya pikiran seperti itu, benar-benar sudah gila!" keluh Gandik.

Baru saja Gandik hendak melangkah pergi, pemilik kedai yang sudah berusia lanjut mencegahnya. Gandik terpaksa mengurungkan niatnya. Sementara laki-laki tua pemilik kedai ini segera membungkukkan tubuhnya, sambil cengar-cengir.

"Ada apa?!" tanya Gandik, agak membentak suaranya.

"Maaf, Den. Mereka semua tadi belum membayar," jelas pemilik kedai ini, bernada menagih.

"Jadi...?"

"Ya.... Jadi, Aden yang membayar semuanya."

"Setan!" dengus Gandik.

"Aden kan, temannya. Jadi, Aden harus membayar semua minuman mereka," ujar pemilik kedai itu.

Sambil bersungut-sungut, Gandik terpaksa membayar semua minuman. Kemudian dia cepat berlalu meninggalkan kedai ini. Sedangkan laki-laki tua pemilik kedai itu hanya tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Memang anak buah Ki Mangir sudah dikenal satu persatu di seluruh Desa Jati Laksa ini. Dan mereka memang tidak ada yang pernah membuat keonaran, kecuali Kabat yang sering mengganggu perempuan-perempuan di desa ini. Tidak peduli apakah itu istri orang atau bukan.
***

Siang ini udara di sekitar Desa Jati Laksa terasa panas sekali. Matahari bersinar terik, bagai hendak membakar semua yang ada di permukaan bumi ini. Langit begitu cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung. Dalam suasana begitu panas, memang nyaman bila berada di sungai. Seperti siang ini. Hampir semua penduduk Desa Jati Laksa memadati sepanjang alur sungai yang menjadi pembatas antara desa ini dengan Desa Rawa Kuning.

Di antara orang yang memadati sungai itu, terlihat pula Kabat bersama empat orang anak muda. Mereka berdiri di bawah pohon untuk melindungi diri dari sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit Pandangan mereka tidak lepas ke arah seorang gadis yang agak menyendiri. Gadis berwajah cantik dan berkulit kuning langsat itu sama sekali tidak merasa kalau tengah diperhatikan. Dia terus sibuk mencuci pakaian di atas batu yang pipih.

"Sayang sekali kalau gadis secantik itu harus jadi istri Ki Mangir," desah Kabat agak menggumam.

'’Tapi bagaimanapun juga, tugas ini harus dilaksanakan, Kang," tegas salah seorang anak muda yang berdiri di samping Kabat.

"Huh!" Kabat hanya mendengus saja.

Sebenarnya, Kabat enggan mendapat tugas seperti itu dari Ki Mangir. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi menolak. Bisa runyam urusannya kalau perintah orang yang paling berkuasa di Desa Jati Laksa ini sampai tidak dilaksanakannya. Semua orang tahu, kekuasaan Ki Mangir melebihi dari kekuasaan kepala desa. Tak ada seorang pun yang berani menentang kehendaknya. Selain mereka, masih ada tukang-tukang pukulnya yang memiliki kepandaian tinggi. Tiga orang di antaranya malah tidak pernah memandang sebelah mata jika sudah mendapat perintah.

"Dia sudah selesai, Kang," lapor pemuda yang mengenakan baju warna biru muda.

"Kalian pergi saja dulu. Ingat...! Jangan sampai ada yang tahu," tegas Kabat, agak berbisik suaranya.

"Baik, Kang."

Keempat anak muda itu bergegas pergi dengan langkah lebar. Sementara Kabat masih tetap berdiri di bawah pohon itu. Matanya terus memperhatikan gadis bertubuh sintal yang hanya dililit kain sebatas dada. Cantik sekali gadis itu, sehingga membuat jantung Kabat berdetak lebih cepat dari biasanya. Beberapa kali ludahnya ditelan, untuk membasahi tenggorokkan yang mendadak saja jadi terasa kering.

Sementara gadis itu terus berjalan sambil mengepit rinjing bambu di pinggangnya. Kabat mulai melangkah perlahan-lahan begitu gadis yang diperhatikannya sudah cukup jauh meninggalkan sungai. Tak ada seorang pun yang memperhatikan, meskipun di sekitar sungai itu banyak orang.

Kabat mempercepat langkahnya begitu melihat gadis cantik itu berbelok ke kanan. Sebentar kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu ke belakang. Merasa tidak ada seorang pun yang teriihat, Kabat cepat melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar saja dia sudah sampai di tikungan jalan, lalu cepat berbelok ke kanan. Ayunan kakinya begitu cepat dan ringan, karena mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah lumayan tingkatannya. Sekilas matanya masih sempat melihat kalau gadis itu berbelok memasuki jalan setapak yang jarang dilalui orang.

"Hup!"

Kabat cepat melompat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara. Dan begitu kakinya menjejak tanah di tikungan jalan kecil, kembali dia berlari. Tapi, mendadak saja larinya dihentikan. Seketika kedua matanya jadi terbeliak melihat empat anak muda yang tadi bersamanya di tepi sungai, tengah bergelimpangan di tanah sambil merintih dan mengerang kesakitan.

"Heh...?! Kenapa kalian...?!" tanya Kabat terkejut setengah mati.

Keempat anak muda itu bergerak bangkit berdiri sambil meringis seperti menahan sakit di sekujur tubuh. Kabat jadi celingukan tidak mengerti. Keempat anak muda itu tertatih-tatih menghampiri Kabat. Mereka masih meringis memegangi pinggangnya. Pakaian mereka pun kotor berdebu, dengan wajah biru lebam seperti baru saja dipukuli.

"Mana gadis itu..?" tanya Kabat.

"Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang anak muda itu sambil meringis.

Kabat mendelik. Tapi sebelum membuka mulutnya lagi, keempat anak muda itu sudah bergegas melangkah meninggalkan jalan setapak yang sepi ini. Kabat jadi kebingungan sendiri. Bergegas disusulnya keempat anak muda yang sudah berbelok itu. Kabat mendahului mereka, dan berhenti menghadang di depan.

"Ada apa dengan kalian? Apa yang terjadi...?" tanya Kabat meminta penjelasan. "Gapar..., Sito..., apa yang terjadi pada kalian...?"

"Kita pulang saja, Kang," ajak salah seorang pemuda yang bernama Gapar.

"Tunggu dulu...'!" sentak Kabat. "Jelaskan! Kenapa kalian jadi babak belur begini? Di mana gadis itu?"

Kabat terus mendesak meminta penjelasan. Dia benar-benar tidak mengerti atas kejadian ini.

Terlebih lagi, melihat empat anak muda ini yang menjadi babak belur. Padahal, belum lama mereka pergi dari tepi sungai tadi. Waktu yang begitu cepat, tapi sudah babak belur seperti diamuk banteng.

"Gadis itu yang membuat kalian seperti ini?" tanya Kabat lagi melihat empat anak muda itu hanya diam saja.

Tapi mereka tetap saja diam, tidak menjawab. Dan ini membuat Kabat jadi bingung. Hatinya makin penasaran, karena tidak ada penjelasan yang diberikan. Kabat merayapi wajah-wajah yang biru lebam dengan pakaian kotor penuh debu.

"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kang. Aku takut dia muncul lagi...," kata Gapar dengan suara pelan dan agak bergetar.

"Siapa yang kau maksud, Gapar...?" tanya Kabat masih meminta penjelasan.

"Perempuan setan itu," sahut Gapar lagi.

"Heh...?! Perempuan setan siapa...?" Kabat terlonjak terkejut tidak mengerti.

"Minarti," sahut Gapar pelan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti takut menyebutkan nama itu.

"Siapa...?!
***
DUA
Kejadian yang dialami Gapar dan ketiga temannya siang tadi, membuat Ki Mangir gelisah sendiri. Terlebih lagi Kabat yang diberi tugas menculik Minarti, putri pertapa Eyang Palagan. Apa yang dialami Gapar dan ketiga temannya, memang sukar dipercaya. Mana mungkin gadis cantik yang kelihatan lemah lembut, bisa membuat empat orang babak belur dalam waktu begitu singkat.

"Kau tidak berdusta, Gapar...?" tegas Ki Mangir seperti ingin meyakinkan dirinya.

"Aku tidak berdusta, Ki. Minartilah yang membuat kami babak belur begini," sahut Gapar, meya¬kinkan.

"Gerakannya begitu cepat, Ki. Seperti setan," sambung Sito.

"Benar, Ki. Bahkan kami tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang," sambung Kalil lagi.

"Dia benar-benar perempuan setan, Ki," sambut Gapar lagi.

Sedangkan Ki Mangir hanya diam saja sambil mendengar celotehan anak-anak muda ini. Sementara Kabat sejak tadi tetap tutup mulut, dengan kening berkerut cukup dalam. Dia sendiri sebenarnya masih belum bisa percaya kalau Minarti yang kelihatannya lemah, sanggup membuat Gapar, Sito, Kalil, dan Majan jadi babak belur begini. Padahal kepandaian yang dimiliki mereka tidak bisa dipandang rendah. Terlebih permainan kerja sama pedang yang terkenal sangat ampuh. Kabat sendiri mengakui belum tentu mampu menandingi jurus-jurus pedang mereka, bila bertarung melawan sekaligus.

"Sebaiknya, urungkan saja keinginan itu, Ki," usul Kabat.

"Setan! Kau tahu apa, heh...?!" bentak Ki Mangir.

Kabat langsung terdiam membisu. Kepalanya cepat ditundukkan menekuri lantai. Ki Mangir bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri jendela yang berukuran cukup besar. Kemudian dia berdiri di situ sambil bertopang pada kayu jendela yang terbuka lebar itu. Cukup lama juga dia berdiri mematung sambil memandangi bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan tubuhnya diputar, memandangi Kabat dan empat anak muda yang duduk bersimpuh di lantai.

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya, Minarti harus berada di sini! Apa pun cara kalian, aku tidak peduli!" tegas Ki Mangir.

"Ki...?!"

Kabat dan keempat anak muda itu seketika terlongong mendengar perintah yang begitu tegas. Mereka memandang laki-laki separuh baya itu beberapa saat, kemudian saling melempar pandang. Benar-benar sulit dimengerti keinginan Ki Mangir kali ini.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Mangir melangkah meninggalkan ruangan ini. Kini tinggal Kabat, Gapar, dan tiga pemuda lain yang hanya bisa melompong seperti kerbau kehabisan rumput. Beberapa kali mereka saling melempar pandangan, dan tetap duduk bersila di tengah ruangan yang cukup besar ini. Padahal, Ki Mangir sudah tidak terlihat lagi.

"Sudah miring barangkali otaknya...!" dengus Gapar kesal.

"Hus! Jangan bicara sembarangan. Kalau dia dengar, bisa mampus kau!" sentak Kabat.

Gapar bangkit berdiri, diikuti yang lainnya. Kabat pun demikian. Tapi, mereka masih belum beranjak meninggalkan ruangan ini. Perintah Ki Mangir benar-benar membuat mereka dongkol setengah mati. Terlebih lagi, empat anak muda ini. Siang tadi, mereka telah babak belur tanpa punya kesempatan sedikit pun untuk memberi perlawanan.

"Bagaimana, Kang...?" tanya Gapar menyerah.

"Habis, mau bagaimana lagi...?" desah Kabat seraya mengangkat bahunya.

Mereka kemudian melangkah meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini dengan ayunan kaki lesu. Tapi tidak demikian halnya dengan Kabat. Meskipun juga tidak suka terhadap perintah itu, tapi di dalam hati kecilnya terselip rasa penasaran. Rasa penasarannya timbul atas kejadian siang tadi, yang dialami Gapar dan ketiga temannya ini.

Sementara itu, mereka sudah sampai di luar rumah berukuran besar ini. Mereka terus berjalan menyeberangi halaman depan yang cukup luas. Beberapa orang bersenjata golok terlihat hilir mudik di sekitar rumah Ki Mangir yang cukup besar ini.

"Kalian mau ikut aku...?" tiba-tiba Kabat menawarkan.

"Ke mana?" tanya Gapar tidak bersemangat.

"Ke rumah Eyang Palagan," sahut Kabat.

"Edan...! Mau apa ke sana?" dengus Gapar seraya menghentikan ayunan kakinya.

Kabat tidak menjawab, dan malah terus saja mengayunkan kakinya keluar dari halaman rumah Ki Mangir. Sementara Gapar dan yang lainnya hanya saling pandang saja. Entah kenapa, mereka tertarik untuk ikut. Mereka berlima terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu yang sunyi. Sementara malam terus merayap beranjak semakin larut. Di kejauhan terdengar lolongan anjing hutan yang bisa membuat orang bergidik mendengarnya. Tapi, kelima orang itu terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan rumah Ki Mangir.
***

Sementara itu, di salah satu kamar di dalam rumah yang berukuran besar dan megah, tampak Ki Mangir tengah berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar. Matanya tidak berkedip memandangi bulan yang bersinar penuh, tanpa dihalangi awan sedikit pun. Langit malam ini kelihatan begitu cerah, gemerlap oleh bintang bertaburan, sehingga menambah indahnya suasana malam ini. Tapi tidak demikian halnya hati Ki Mangir yang kelihatan begitu gelisah dan tidak tenang.

Beberapa kali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan terasa begitu berat. Perlahan tubuhnya diputar membelakangi jendela. Tapi belum juga kakinya bergerak terayun, tiba-tiba saja terasa ada suatu desiran halus dari arah belakang. Cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kanan.

Wus!

Pada saat itu terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat cepat di samping tubuhnya. Cahaya kepe¬rakan itu seketika menghantam tiang penyangga yang berdiri di tengah-tengah ruangan ini. Ki Mangir jadi terbeliak begitu melihat sebuah benda berbentuk bunga berwarna keperakan menancap di tiang berukuran cukup besar itu.

"Hup...!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Mangir langsung melesat keluar melompat jendela. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu saja dia sudah berada di luar dari kamar itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, laki-laki setengah baya itu menjejakkan kakinya di tanah berumput yang dibasahi embun. Cahaya keperakan sinar rembulan langsung menyelimuti dirinya, sehingga membuat sinar matanya yang setajam mata elang dapat melihat sekelebatan sebuah bayangan di atas atap rumahnya.

"Hap...!"

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ki Mangir memang sudah mencapai tingkat tinggi. Sehingga, dalam sekali lompatan saja, dia sudah berada di atas atap. Begitu ujung jari kakinya menjejak atap, kembali tubuhnya melesat cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit juga. Sekelebat masih sampat terlihat sebuah bayangan hitam bergerak cepat melompati tembok pagar bagian belakang.

"Hup...!"

Ki Mangir langsung mengempos ilmu meringankan tubuhnya hingga tingkat yang terakhir. Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali di udara sebelum ujung jari kakinya menyentuh ujung pagar tembok bagian belakang. Kembali dia melenting mengejar bayangan hitam yang baru saja mendarat di tanah. Ki Mangir melewati atas kepala bayangan hitam itu, lalu manis sekali mendarat menghadang.

"Siapa kau...?!" bentak Ki Mangir. Suaranya dingin dan dalam.

Sinar matanya yang tajam langsung menyorot sosok tubuh hitam yang tampak terkejut melihat kemunculannya. Sosok tubuh itu langsung berhenti, lalu melompat ke belakang beberapa tindak Seluruh tubuhnya ramping, dan terbungkus baju hitam ketat. Bahkan seluruh kepalanya hingga wajah juga tertutup kain hitam. Hanya dua bulatan kecil pada matanya yang terlihat Mata Ki Mangir agak menyipit, mencoba mengenali sosok tubuh hitam di depannya. Tapi dalam keadaan malam seperti ini, memang sukar mengenali wajah yang tertutup kain hitam itu.

Namun dari bentuk tubuhnya yang ramping, sudah dapat dipastikan kalau orang ini pasti wanita. Ki Mangir melirik sedikit pinggang sosok tubuh ramping. Di situ tampak tergantung sebilah pedang panjang bergagang hitam. Pada bagian ujung gagang tampak sebuah batu warna merah.

Dicobanya untuk mengingat pedang itu, tapi sukar untuk bisa mengenalinya. Ki Mangir merasa baru kali ini melihat pedang seperti itu.

"Kuperingatkan padamu, Buaya Tua! Jangan coba-coba ganggu Minarti!" terdengar dingin sekali nada suara wanita berbaju serba hitam itu.

"Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?!" Ki Mangir terlonjak kaget setengah mati.

"Aku si Perawan Pembawa Maut! Kalau berani mengganggu Minarti sekali lagi, maka kau harus berhadapan dengan maut!" sahut wanita berselubung hitam itu, lebih dingin dan datar suaranya.

"Hm...," Ki Mangir menggumam perlahan, tidak jelas.

Kembali ditelitinya wanita yang mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Meskipun berhasil mengejar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tapi Ki Mangir yakin kalau wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Maka perlahan kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah. Tangan kanannya meraba pinggang. Seketika, laki-laki separuh baya itu terkejut. Ternyata baru disadari kalau dia tidak membawa sepotong senjata pun.

"Kau ingin bermain-main, Ki Mangir...? Baik. Aku memang ingin membuatmu berpikir dua kali untuk mendekati Minarti," desis si Perawan Pembawa Maut.

"Phuih! Apa hubunganmu dengan Minarti, heh?" dengus Ki Mangir.

"Kau tidak perlu tahu, Buaya Tua!" sambung perempuan berselubung hitam tidak kalah dingin.

Si Perawan Pembawa Maut melangkah ke depan beberapa tindak. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangka yang tergantung di pinggang. Sekilas, sinar keperakan berkelebat menyilaukan begitu pedang itu keluar dari warangkanya. Ki Mangir sedikit terkesiap melihat pamor pedang yang begitu dahsyat. Meskipun kelihatannya biasa saja, namun ada kekuatan terselubung yang langsung dirasakan begitu pedang itu berada di luar warangka.

"Tahan seranganku, Buaya Tua! Hiyaaat...!"

Cepat sekali wanita berselubung hitam itu melompat menyerang. Pedangnya seketika berkelebat cepat membabat langsung ke arah leher laki-laki setengah baya itu.

"Uts!"

Ki Mangir cepat-cepat menarik kepala ke belakang, sehingga ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokannya. Tapi harinya sempat terkejut, karena merasakan adanya hawa dingin yang amat sangat begitu ujung pedang lewat di depan tenggorokannya. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali.

Namun begitu kakinya menjejak tanah, si Perawan Pembawa Maut sudah kembali menusukkan pedangnya ke arah dada dengan kecepatan luar biasa sekali. Ki Mangir cepat-cepat menarik tubuhnya ke kiri, sehingga tusukan pedang itu hanya lewat di samping tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu mengambil kesempatan sempit ini untuk membalas serangan.

"Yeaaah...!"

Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Ki Mangir mengibaskan tangan kirinya untuk menyodok perut si Perawan Pembawa Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, wanita itu tidak berkelit, dia malah seperti menerima sodokan itu dengan mengibaskan tangan

kirinya.

Plak!

"Heh...?!"

Ki Mangir tersentak kaget bukan kepalang begitu tangannya membentur tangan wanita ini. Maka dia cepat melompat mundur beberapa tindak. Dari adu tangan itu sudah bisa dirasakan kalau tenaga dalam si Perawan Pembawa Maut setingkat dengannya. Dan wanita itu juga rupanya terkejut sehingga sampai melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh lima langkah.

Mereka kembali berdiri berhadapan, berjarak sekitar sepuluh langkah. Mereka sama-sama terkejut, dan tidak menyangka akan kepandaian masing-masing yang tampaknya berimbang. Perlahan kaki mereka bergerak berputar ke samping, seperti hendak menjajaki kekuatan masing-masing.
***

Keributan yang terjadi di belakang rumah Ki Mangir, rupanya terdengar para penjaga rumah itu. Maka seketika mereka berdatangan ke tempat itu. Dan ini membuat si Perawan Pembawa Maut mendengus kesal. Sebentar ditatapnya tajam-tajam laki-laki separuh baya di depannya. Kemudian, cepat pedangnya dimasukkan kembali ke dalam warangka di pinggang.

"Aku tidak suka mengotori tangan dengan darah anjing-anjingmu, Buaya Tua. Lain kali, aku akan datang menantangmu!" desis si Perawan Pembawa Maut.

Setelah berkata demikian, cepat wanita itu melesat pergi. Ki Mangir tidak sempat lagi mencegah, karena orang-orangnya sudah berdatangan ke tempat ini. Hanya dipandanginya saja kepergian wanita berbaju serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Di dalam hati, dia sempat mengagumi kepandaian orang aneh yang tidak dikenalnya itu. Tapi kehadiran orang itu juga jadi menghasilkan segudang pertanyaan yang menggayuti hatinya.

"Hm.... Siapa dia? Kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata," gumam Ki Mangir periahan.

Sementara itu sekitar sepuluh orang yang menyandang senjata golok sudah berada di dekatnya. Salah seorang dari mereka adalah Gandik. Bergegas dihampirinya laki-laki setengah baya ini, dan berdiri di samping kanannya. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang mengenakan pakaian aneh, dan menyandang senjata berbentuk aneh pula, berdiri di belakang Ki Mangir. Mereka itu adalah tukang pukul kebanggaan Ki Mangir.

"Apa yang terjadi di sini, Ki?" tanya Gandik , "Hanya tikus betina yang mencoba mengusikku," sahut Ki Mangir seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Gandik jadi melongo mendengar jawaban laki-laki separuh baya itu. Sebentar dipandanginya Ki Mangir yang terus saja berjalan pergi. Kemudian, diperintahkannya para penjaga rumah laki-laki separuh baya itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Lalu, dihampirinya tiga orang bertampang aneh yang masih tetap berdiri.

Seorang yang menyandang golok besar bertangkai panjang, dan mengenakan baju berwarna putih dikenal sebagai si Golok Setan. Satu orang lagi yang bersenjata sebuah pecut buntut kuda, dan memakai baju berwarna hitam dikenal sebagai si Cambuk Api. Sementara seorang lagi bertubuh kurus kerempeng dan tinggi. Bajunya dari bahan yang kasar dan longgar. Julukannya, Jerangkong Hidup. Tak ada satu senjata pun tersandang di tubuhnya.

"Seharusnya kalian menjaga Ki Mangir," ujar Gandik seperti menyesali kejadian yang dialami Ki Mangir malam ini.

"Maaf. Kami tidak tahu kalau ada peristiwa malam ini," sahut si Golok Setan. Suaranya terdengar besar dan berat sekali.

"Ada kejadian atau tidak, seharusnya kalian selalu berada di dekat Ki Mangir," selak Gandik.

Ketiga orang itu hanya diam saja. Mereka tidak berani menjawab, karena Gandik orang kepercayaan Ki Mangir. Bahkan kekuasaannya bisa disejajarkan dengan laki-laki separuh baya itu. Dialah yang mengatur segalanya di rumah besar ini, dan hanya Ki Mangir saja yang bisa menyuruhnya.

"Mulai sekarang, kalian tidak boleh jauh dari Ki Mangir. Paham...?!" tegas Gandik lagi.

"Kami mengerti," sahut ketiga orang itu berbarengan.

Gandik bergegas meninggalkan ketiga orang itu. Jalannya cukup cepat, dan ayunan kakinya lebar. Sebentar ketiga orang bertampang aneh itu diam berdiri, kemudian cepat-cepat kembali ke rumah besar itu. Mereka melewati pagar tembok belakang, dengan lompatan ringan sekali. Sebentar saja mereka sudah tidak terlihat lagi, tertelan di balik tembok yang cukup tinggi dan tebal bagai benteng. Dan malam pun semakin beranjak larut menyelimuti alam ini.
***

Peristiwa yang dialami Ki Mangir malam itu, cepat sekali tersebar. Bahkan sampai ke luar tembok rumahnya. Hampir semua penduduk Desa Jati Laksa ini sudah mendengar kejadian yang menimpa laki-laki separuh baya itu. Tentu saja hal ini menjadi suatu pembicaraan hangat semua orang. Yang pasti, mereka tidak tahu ujung pangkal persoalannya, dan hanya bisa menebak-nebak saja.

"Aku yakin, kejadian semalam ada hubungannya dengan keinginan gila Ki Mangir," jelas Gapar saat berada di kedai.

"Jangan keras-keras. Banyak orang di sini...," bisik Kabat memperingatkan.

"Biar mereka semua tahu!" dengus Gapar yang memang sudah kesal.

"Kau cari penyakit saja, Par," rungut Sito.

"Aku sependapat dengan Gapar," selak Kalil.

"Sependapat bagaimana...?" potong Kabat.

"Peristiwa malam itu, pasti ada hubungannya dengan keinginan gila Ki Mangir," sahut Kalil.

"Jangan-jangan, orang yang membuat kita babak belur yang mendatangi Ki Mangir," tebak Majan yang sejak tadi diam saja.

"Jangan ngomong sembarangan," dengus Kabat.

"Aku bicara yang sebenarnya, Kang. Sebenarnya, kami waktu itu tidak tahu, siapa orang yang menyerang," jelas Majan lagi.

"Heh...?!" Kabat jadi terperanjat mendengarnya.

"Kalian bilang, yang menyerang adalah Minarti. Kenapa sekarang lain lagi...?"

"Waktu itu, sebenarnya aku tidak tahu apakah itu Minarti atau bukan. Kami memang melihat Minarti berbelok masuk ke jalan kecil. Tapi begitu akan dihampiri, gadis itu tiba-tiba menghilang. Sebentar kemudian muncul seseorang mengenakan baju serba hitam, dan langsung cepat menyerang," Majan menceritakan yang sebenarnya.

"Jadi, yang membuat kalian jadi babak belur begitu bukan Minarti...?" tanya Kabat seperti ingin meyakinkan.

"Tidak tahu, Kang," sahut Majan lagi.

"Aneh.... Aku membuntutinya sejak dari sungai. Dia memang berbelok masuk ke jalan kecil itu. Rasanya, mustahil kalau bisa berganti rupa begitu cepat," suara Kabat terdengar menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.

Mereka jadi terdiam. Begitu menariknya, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari kalau pembicaraan itu didengar seorang pemuda berwajah tampan yang duduk tidak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang pemuda yang mengenakan baju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil nangkring di pundak kanannya. Tampaknya, pemuda itu tidak mempedulikan pembicaraan lima orang ini. Tapi sesekali matanya melirik juga dengan kening berkerut.

"Kang, apa sebaiknya semua ini kita ceritakan saja pada Ki Mangir," usul Majan.

"Jangan...!" sentak Gapar cepat

Semua memandang Gapar.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh dari semua peristiwa ini," duga Gapar pelan.

"Maksudmu, Par...?" tanya Kabat

"Dari keinginan gila Ki Mangir saja, sudah bisa kurasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ditambah lagi, munculnya orang aneh yang mengaku berjuluk si Perawan Pembawa Maut. Aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Ki Mangir. Dan keinginan gilanya itu hanya kedok belaka," Gapar memaparkan pikirannya.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Par...?" lagi-lagi Kabat meminta penjelasan.

"Semalam, kita semua kan ke rumah Eyang Palagan. Dan hanya Minarti saja yang menemui. Dia tidak mengatakan apa-apa tentang ayahnya. Lalu, apa kalian melihat Eyang Palagan dalam satu bulan ini...?" agak berbisik suara Gapar.

Kabat dan yang lain hanya menggelengkan kepala saja. Mereka memang tidak pernah lagi melihat Eyang Palagan dalam sebulan belakangan ini. Bahkan mendengar kabarnya saja tidak lagi. Tapi, itu memang sudah tidak aneh. Eyang Palagan sering menghilang berhari-hari lamanya. Bahkan bisa satu, atau dua bulan tidak kelihatan, maupun terdengar kabar beritanya.

"Biasanya kalau Eyang Palagan tidak ada, Minarti selalu bercerita kalau ditanya. Tapi semalam, dia malah tidak mengatakan apa-apa. Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi. Dan tentu saja Ki Mangir mengetahuinya.

Makanya, dia ingin melamar Minarti menjadi istrinya. Dan lamarannya pasti mengandung sesuatu yang sulit diketahui," lanjut Gapar.

"Ah! Kau terialu jauh berpikir, Gapar," selak Sito.

"Aku baru menduga. Tapi, siapa tahu bisa jadi kenyataan," kata Gapar mempertahankan pendapatnya.

"Ah, sudahlah.... Jangan berpikir yang jauh-jauh dulu. Sebaiknya kita lihat saja perkembangannya," Kabat menengahi.

Mereka kemudian diam, tak ada yang bicara lagi. Setelah menghabiskan semua minumannya, mereka semua beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai terbungkuk-bungkuk menerima bayaran dari Kabat, lalu mengantarkan tamunya sampai di depan pintu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau yang sejak tadi diam-diam mendengar semua pembicaraan itu, juga beranjak bangkit berdiri, setelah Kabat dan keempat anak muda itu meninggalkan kedai ini.
***
TIGA
Senja baru saja merayap turun menyelimuti bumi. Sinar matahari kemerahan yang menyemburat lembut, hampir tenggelam di belahan bumi bagian Barat Burung-burung pun mulai beterbangan kembali ke sarangnya, setelah seharian penuh berkelana mencari penghidupan di alam bebas bagai tak bertepi. Kicauan burung-burung menjadikan senja yang temaram ini tampak begitu semarak, sehingga membuat suasana ceria bagi seorang gadis cantik yang duduk menyendiri di beranda depan rumahnya. Bibirnya bergerak tersenyum-senyum sendiri menyaksikan burung-burung kecil begitu riang berlompatan ke sana kemari dari dahan yang satu ke dahan lain.

Tapi mendadak senyumnya menghilang, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Pemuda berbaju kulit harimau itu muncul dari balik sebatang pohon yang cukup besar. Di pundak kanannya duduk mencangkung seekor monyet kecil berbulu hitam. Gadis itu bangkit berdiri, seraya menutupi bagian dadanya yang tadi agak terbuka.

"Apakah aku mengejutkanmu, Nisanak..?" sapa pemuda itu ramah, dengan senyum tersungging di bibir.

"Tidak," sahut gadis itu. "Ada yang bisa kubantu?"

"Sahabatku ini kehausan. Boleh minta minum sedikit..?"

"Silakan. Itu di tempayan." Pemuda berbaju kulit harimau ini melangkah mendekati sebuah tempayan dari tanah liat di sudut beranda rumah kecil ini. Dibukanya tutup tempayan itu, dan disendoknya air yang ada di dalamnya dengan gayung dari tempurung kelapa. Air dingin yang segar itu diminumkan pada monyet kecil di pundaknya. Ke¬mudian mukanya sendiri dibasuh dengan sisa air itu. Dan tempayan sudah ditutupnya kembali.

"Terima kasih," ucap pemuda itu, tetap lembut dan sopan suaranya.

Gadis itu hanya tersenyum saja. "Indah sekali senja ini. Boleh beristirahat barang sejenak di sini...?" pinta pemuda itu lagi.

"Silakan," lagi-lagi gadis itu mempersilahkan dengan ramah.

Sambil menghembuskan napas panjang, pemuda berbaju kulit harimau ini duduk di pinggir beranda yang terbuat dari belahan papan diserut halus. Tangannya mengambil monyet kecil di pundaknya, lalu ditaruh di pangkuannya. Gadis itu kembali duduk agak jauh dari pemuda itu. Beberapa saat mereka jadi terdiam.

“Tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah kau seorang pengembara?" tanya gadis itu menebak.

"Benar," sahut pemuda itu. "Sudah cukup jauh perjalanan yang kutempuh. Entah berapa jauh lagi aku harus berjalan mengelilingi rimba luas ini."

"Banyak pengembara yang singgah di sini. Dan biasanya, mereka bermalam di Desa Jati Laksa," jelas gadis itu.

"Desa yang indah, dan penduduknya pun ramah." "Kau sudah ke sana?"

"Singgah sebentar."

"Sayang sekali. Seharusnya kau bermalam di sana. Biasanya kalau malam hari, Desa Jati Laksa selalu ramai. Banyak yang bisa disaksikan di sana."

"Keindahan biasanya menyembunyikan sesuatu yang sulit diduga," kata pemuda itu agak bergumam suaranya, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Memang. Termasuk juga keramahan yang bisa menyimpan seribu maksud tertentu," sambut gadis itu diiringi senyuman.

Pemuda itu juga tersenyum. Entah apa maksud senyuman mereka ini. Dan pembicaraan yang tadi berlangsung juga seperti menyimpan suatu arti yang sukar diterka. Pemuda itu menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pangkuannya.

“Aku Bayu," pemuda itu memperkenalkan diri tanpa diminta. "Dan kau pasti Minarti," lanjutnya menebak

Gadis itu hanya tersenyum saja. Sedikit pun tidak terlihat adanya keterkejutan di wajahnya setelah mendengar tebakan pemuda ini yang tidak meleset sama sekali. Dia seperti sudah terbiasa menghadapi para pendatang yang sudah mengetahui namanya, sebelum dia sendiri memperkenalkan diri.

Gadis yang memang bernama Minarti ini menggeser duduknya lebih mendekat. Tangannya terulur, lalu mengelus-elus monyet kecil di pangkuan pemuda berbaju kulit harimau ini Monyet kecil berbulu hitam itu jadi manja. Binatang itu berpindah ke pangkuan gadis ini, dan menyembunyikan wajahnya di dada yang membusung indah. Senyum di bibir Minarti semakin lebar mengembang.

"Siapa namanya?" tanya Minarti.

'Tiren," sahut Bayu.

"Lucu sekali. Sudah lama kau memilikinya?"

"Cukup lama juga."

Kembali mereka terdiam membisu. Tidak ada lagi kekakuan di antara mereka, seakan-akan sudah lama saling mengenal. Padahal, baru beberapa saat saja mereka bertemu dan berbicara.

'’Tadinya aku ragu padamu. Tapi setelah melihat pergelangan tangan kananmu, aku yakin kalau kau orang yang kutunggu," kata Minarti lagi. Senyuman masih terkembang di bibirnya yang merah.

"Apakah kedatanganku terlambat?"

“Tidak. Malah lebih cepat satu hari daripada yang dijanjikan."

Kembali mereka terdiam. Sementara matahari semakin jauh tenggelam di sebelah Barat Suasana pun semakin meremang. Minarti bangkit berdiri, membiarkan Tiren menggelantung memeluk pinggangnya. Dinyalakannya pelita yang tergantung di tengah-tengah atap beranda ini. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam, untuk menyalakan pelita. Tak lama kemudian dia keluar lagi, lalu duduk di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Bagaimana keadaan ayah?" tanya Minarti sambil mempermainkan bulu-bulu di atas kepala Tiren.

"Semakin membaik," sahut Bayu.

"Banyak kejadian yang membuatku sulit tidur beberapa hari ini. Aku sendiri tidak tahu, apakah mampu bertahan jika kau tidak segera datang, Pendekar Pulau Neraka," kata Minarti lagi.

"Panggil saja aku Bayu," pinta Baya

"Bagaimana kalau aku panggil... Kakang...?"

"Boleh juga," sahut Bayu seraya tersenyum.

"Kau pasti lebih tua dariku."

"Mungkin."

Lagi-lagi mereka terdiam, seperti sedang mencari kata-kata yang bisa dibicarakan.

"Ada pesan dari ayah untukku, Kakang...?" lagi-lagi Minarti yang membuka percakapan lebih dahulu.

"Hanya satu," sahut Bayu.

"Apa?"

"Kau dilarang menggunakan Sangkal Ireng kalau tidak perlu. Hanya itu saja pesannya."

Minarti hanya tersenyum saja mendengar pesan yang disampaikan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu kemudian beranjak bangkit berdiri, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah ini. Bayu juga ikut berdiri, tapi tidak masuk mengikutinya. Minarti kembali muncul di pintu.

"Kau tidak ingin masuk, Kakang...?" lembut sekali suara Minarti.

"Sebentar," jawab Bayu tanpa berpaling.

"Sebentar lagi gelap. Aku siapkan dulu kamar untukmu," kata Minarti lagi.

"Tidak perlu repot, Minarti. Aku bisa tidur di mana saja."

Tapi Minarti sudah tenggelam di dalam rumah kecil ini, bersama Tiren yang masih menggelantung di pinggangnya. Sedangkan Bayu masih berdiri saja di depan beranda. Pandangannya beredar ke sekeliling. Mendadak saja keningnya jadi berkerut, dan matanya agak menyipit Sekilas terdengar sesuatu yang ganjil, di antara hembusan angin dan gemerisik dedaunan. Dan begitu wajahnya berpaling ke kanan, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat di antara pepohonan.

"Hup!"

Bagaikan Kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat mengejar bayangan yang dilihatnya sekilas tadi. Begitu sempumanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah hilang dari pandangan mata.
***

"Hei! Berhenti...!" seru Bayu lantang.

"Hup! Yeaaah...!"

Indah sekali gerakan Pendekar Pulau Neraka saat melenting di udara. Begitu cepatnya, sehingga dapat melewati bagian atas seseorang yang dikejarnya. Lalu, kakinya mendarat manis sekali di depan orang itu. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah yang hampir tertutup dedaunan kering. Tapi belum juga Bayu sempat membuka mulut, tiba-tiba saja orang itu sudah mencabut goloknya. Tubuhnya langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaat...!"

"Heh...?! Hup!"

Bayu terkejut, dan cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri untuk menghindari tebasan golok orang ini. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang, begitu golok berkilat keperakan itu lewat di samping tubuhnya. Tapi sebelum Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan sesuatu, kembali datang serangan cepat dari orang bersenjata golok ini.

Bet!

"Uts!"

Lagi-lagi Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, begitu golok berkilat keperakan berkelebat cepat di depan dadanya. Dan sebelum golok menjauh, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kirinya. Langsung dihantamnya pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.

Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga tidak sempat lagi disadari lawan. Dan orang itu tidak punya kesempatan menarik tangannya untuk menghindari tebasan tangan kiri pemuda berbaju kulit harimau ini.

Tak!

"Akh...!" orang itu memekik keras.

Seketika goloknya terlepas dari genggaman tangannya. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu sudah memberi satu sodokan cepat dengan tangan kanan. Untuk kedua kalinya, orang itu terpekik. Sodokan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka tepat sekali menghantam bagian bawah lehernya. Tak ampun lagi, orang itu langsung lemas. Tubuhnya kontan melorot turun dan menggeletak tak berdaya lagi di tanah yang penuh daun kering ini.

Rupanya sodokan tangan kanan Bayu tadi merupakan suatu totokan yang tepat mengenai pusat jalan darah. Akibatnya, orang itu lemas seketika tanpa berdaya lagi. Seluruh tubuhnya jadi lumpuh, tak dapat digerakkan lagi. Hanya bagian leher ke atas saja yang masih mampu digerakkan. Bayu melangkah menghampiri, dan berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak tak berdaya ini.

"Siapa kau?! Untuk apa kau mengintaiku...?!" tanya Bayu dengan suara dingin menggetarkan.

Laki-laki bertubuh kurus kecil dan berkulit agak hitam ini hanya diam saja. Matanya berputaran merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka yang berada di atasnya. Tubuhnya dicoba digerakkan, tapi totokan yang diberikan Bayu begitu kuat. Maka, dia harus pasrah dalam ketidakberdayaannya.

"Aku bisa membunuhmu, semudah membalikkan telapak tangan," desis Bayu mengancam.

Mendapat ancaman demikian, wajah laki-laki kurus kecil ini seketika pucat pasti. Bibirnya bergerak-gerak menggeletar, tapi sedikit pun tak ada suara yang keluar. Bayu jadi tersentak kaget. Baru disadari, kalau totokannya tadi juga membungkam pita suara laki-laki ini. Cepat Bayu membungkuk, dan memindahkan totokannya. Laki-laki itu mengeluh panjang. Suaranya kembali terdengar setelah Bayu memindahkan totokannya.

"Jawab pertanyaanku! Untuk apa kau mengintaiku...?" Bayu mengulang pertanyaannya.

"Aku..., aku hanya disuruh," sahut laki-laki Itu tergagap.

"Disuruh siapa?" kejar Bayu.

Belum juga orang itu menjawab pertanyaan Bayu, tiba-tiba saja berkelebat secercah sinar keperakan yang langsung menghantam tubuhnya.

"Aaakh...!" laki-laki bertubuh kurus kecil ini menjerit keras. Sebentar tubuhnya menggeletar, kemudian diam tak bernyawa lagi. Bayu terlonjak kaget setengah mati. Pandangannya cepat diarahkan ke arah datangnya sinar keperakan tadi. Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat dilihatnya, selain pepohonan yang mulai menghitam karena kurang mendapat sinar matahari.

Pendekar Pulau Neraka cepat memeriksa tubuh laki-laki kurus kecil itu. Keningnya jadi berkerut melihat di dada orang ini tertancap sebuah benda berbentuk bunga berwarna perak. Di sekitar dada yang tertancap bunga perak itu terlihat warna biru yang semakin melebar. Bayu tahu, benda ini mengandung racun yang bekerja cepat dan sangat mematikan.

"Hm...," Bayu menggumam perlahan.

Kembali pandangannya beredar ke sekitarnya. Tapi tetap saja tidak terlihat ada orang lain. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya, sambil memasang tajam-tajam telinganya.

Tak ada yang bisa didengar, kecuali desir angin yang berhembus agak kencang sore ini.

Masih sulit bagi Bayu untuk bisa menduga, mengapa dan siapa orang melempar senjata rahasia itu. Dan dia memang tidak ingin menduga duga dulu sebelum mengetahui lebih banyak lagi. Pendekar Pulau Neraka kembali menuju ke rumah Minarti, setelah yakin tidak mungkin bisa menemukan orang yang melemparkan bunga perak itu.
***

Bayu baru saja menginjakkan kakinya di lantai papan beranda depan rumah Minarti, ketika tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam.

Bergegas Pendekar Pulau Neraka melompat masuk menerobos pintu. Seketika matanya terbeliak, melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tengah berusaha meringkus Minarti.

"Hey...?!" bentak Bayu keras menggelegar.

Laki-laki bertubuh tinggi besar itu terkejut mendengar bentakan Pendekar Pulau Neraka. Wajahnya berpaling dan langsung melompat menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Satu pukulan keras dilancarkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Uts!"

Tubuh Bayu cepat miring ke kanan, menghindari pukulan laki-laki bertubuh tinggi besar ini. Kemudian tubuhnya segera melenting ke belakang, melakukan putaran dua kali. Dan sebelum kakinya menjejak tanah, Pendekar Pulau Neraka memberi satu tendangan keras dengan kedua kakinya. Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Bayu, sehingga laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak dapat lagi menghindar.


Des!

"Akh...!" dia memekik keras.

Tubuh yang besar bagai raksasa itu terpental jauh ke belakang, langsung menghantam dinding papan hingga jebol berantakan. Pendekar Pulau Neraka segera melesat mengejar sampai ke luar. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu sudah berdiri tegak di bagian samping rumah kecil ini.

"Kakang, awas...!" seru Minarti yang tiba-tiba saja muncul dari dinding yang jebol berantakan.

Wusss!

"Uts!"

Bayu cepat merundukkan kepala ketika tiba-tiba saja dari arah samping kanan berhembus angin keras yang datang dari sebuah cambuk berbentuk buntut kuda. Senjata itu lewat sedikit di atas kepalanya. Pendekar Pulau Neraka cepat menarik kakinya tiga langkah ke belakang. Pada saat itu, di depannya berlompatan tiga sosok tubuh berperawakan aneh. Yang seorang memegang golok besar bertangkai panjang.

Dialah yang tadi hendak meringkus Minarti dengan paksa. Seorang lagi adalah yang baru saja mengebutkan cambuknya yang berbentuk buntut kuda. Sementara seorang lagi tidak kelihatan membawa senjata apa pun juga. Tubuhnya kurus tinggi seperti tengkorak terbalut kulit. Bayu memperhatikan ketiga orang ini satu persatu.

"Hm.... Siapa mereka...?" gumam Bayu perlahan, bertanya pada diri sendiri.

Memang, baru kali inilah Bayu melihat mereka. Dan tentu saja tidak mengenalnya. Sementara ketiga orang berperawakan aneh itu sudah melangkah, menyebar ke tiga arah untuk mengepung Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Pendekar Pulau Neraka terus memperhatikan setiap gerak ketiga orang yang sebenarnya adalah tukang pukul andalan Ki Mangir. Mereka memang ditugaskan untuk menculik Minarti. Hanya saja, Bayu memang tidak tahu maksud kedatangan ketiga orang itu.

"Hiyaaat..!"

Tiba-tiba saja orang yang menggenggam golok besar bertangkai panjang melompat cepat sambil mengebutkan senjatanya dengan kekuatan penuh ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Angin kebutan golok itu demikian dahsyat, menderu kencang bagai angin badai.

"Uts!"

Bayu cepat merundukkan kepala sedikit, sehingga tebasan golok besar itu hanya lewat saja di atas kepalanya. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa menarik kepalanya agar tegak kembali, satu serangan kembali datang dari orang bertubuh tinggi kurus seperti tengkorak hidup. Kedua tangannya bergerak cepat menyambar beberapa bagian tubuh Bayu yang mematikan.

"Hup! Yeaaah...!"

Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan itu. Tubuhnya meliuk-liuk, dan beberapa kali harus berlompatan menerima serangan-serangan cepat dan bergantian dari ketiga orang ini. Beberapa kali pula Pendekar Pulau Neraka terpaksa membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan menghindari serangan yang datang bagaikan hujan.

Sementara Minarti yang menyaksikan pertarungan itu kelihatan cemas. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, selain hanya bisa melihat dan berharap dalam hati agar Pendekar Pulau Neraka bisa mengatasi lawan-lawannya yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi. Dan pertarungan itu pun terus berjalan semakin sengit.

Beberapa kali Bayu bisa memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya, dan setiap kali itu pula ketiga orang pengeroyok jadi berjumpalitan kelabakan menghindari. Meskipun dikeroyok tiga orang, tampaknya Pendekar Pulau Neraka tidak mudah dilumpuhkan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran, cepat dia meluruk turun dengan deras sambil cepat mengebutkan tangan kanannya.

"Hiyaaa...!"

Bet!

Wuk!

Seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka me¬lesat cepat ke arah orang yang menyandang senjata golok besar bertangkai panjang. Kilatan cahaya keperakan dari Cakra Maut membuat orang yang jadi sasarannya terkejut setengah mati.

"Yeaaah...!"

Bet! Wut!

Beberapa kali orang itu mengebutkan goloknya, mencoba menghalau senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut ternyata mampu bergerak, menghindari tebasan golok besar bertangkai panjang itu. Bahkan kini sudah cepat meluruk deras ke arah dada orang bertubuh tinggi besar yang mengenakan baju kulit binatang ini.

"Heh...?! Ufs!"

Cepat-cepat orang itu membanting tubuhnya ke tanah, tapi tetap saja ujung Cakra Maut membabat bahu kanannya. Akibatnya orang bertubuh tinggi besar itu memekik agak tertahan. Seketika darah mengucur deras dari bahu kanannya yang sobek tersambar senjata andalan Pendekar Pulau Neraka.

Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka sudah menyerang seorang lagi yang memegang senjata cambuk buntut kuda. Beberapa kali diberikannya pukulan beruntun yang keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, dengan tubuh tetap melayang di udara. Serangan Pendekar Pulau Neraka dari arah atas ini, rupanya membuat orang bersenjata cambuk buntut kuda itu jadi kelabakan. Setengah mati dia berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.

Tapi ketika Bayu melentingkan tubuhnya melewati kepala, orang itu jadi gugup. Dan sebelum bisa menyadari apa yang akan dilakukan Pendekar Pulau Neraka, mendadak saja.... "Yeaaah...!" Des!

Serangan Pendekar Pulau Neraka yang bertubi-tubi, membuat orang bersenjata cambuk buntut kuda itu kelabakan. Setengah mati dia berusaha menghindar dengan meliuk-liukkan tubuhnya sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali!

"Akh...!"

Laki-laki bersenjata cambuk buntut kuda itu terpekik keras, dan terjungkal mencium tanah begitu punggungnya terkena tendangan keras menggeledek dari Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum bisa menggelimpang, Bayu sudah mendarat di tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.

"Lari...!" teriak orang bertubuh tinggi kurus tiba-tiba.

Tanpa banyak suara lagi, ketiga orang itu langsung berlari serabutan. Pendekar Pulau Neraka hanya memandangi saja tanpa ada maksud mengejar. Melihat ketiga orang itu berlari lintang-pukang, Minarti bergegas keluar menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Rasanya ingin Minarti memeluk, tapi keinginannya ditahan dan hanya berdiri saja memandangi pemuda tampan berbaju kulit harimau ini.
***
EMPAT
"Goblok...!" Brak!

Meja dari kayu jati tebal seketika hancur berkeping-keping terkena pukulan Ki Mangir yang marah setengah mati atas kegagalan ketiga tukang pukulnya menculik Minarti. Wajahnya memerah, dan bola matanya berkilatan menyimpan amarah yang meluap bagai bendungan yang hampir jebol kelebihan air.

Bukan hanya ketiga tukang pukul berperawakan aneh itu yang ada di ruangan ini. Kabat, Gandik, dan empat anak muda pengikutnya juga ada di sana. Mereka semua terdiam membisu, tanpa ada yang berani mengeluarkan suara. Bahkan memandang wajah Ki Mangir saja tidak berani. Sementara Ki Mangir merayapi kepala-kepala yang tertunduk di depannya.

Sudah segala cara dilakukannya untuk mendapatkan Minarti, tapi sampai saat ini belum juga menampakkan hasil. Bahkan sampai menggunakan cara kasar pun, tidak juga berhasil. Dan ini membuat laki-laki setengah baya itu semakin berang saja. Terlebih lagi tadi setelah mendengar laporan kalau Minarti sekarang punya pelindung seorang anak muda berkepandaian tinggi. Dan itu berarti ada dua orang yang melindungi Minarti. Hanya saja, yang seorang lagi tidak dikenali siapa orangnya.

"Aku tidak mau tahu cara kalian. Yang jelas, besok Minarti sudah ada di sini!" tegas Ki Mangir.

"Ki...?!" Gandik hendak membantah.

Tapi Ki Mangir sudah melangkah meninggalkan ruangan ini. Semua orang yang ada di dalam ruangan berukuran cukup besar itu jadi terlongong saling berpandangan. Mereka tidak mengerti terhadap sikap Ki Mangir yang begitu aneh. Tidak biasanya laki-laki setengah baya itu demikian gigih menginginkan seorang gadis. Apalagi, gadis yang diinginkannya bukan gadis sembarangan. Putri seorang pertapa yang amat disegani di Desa Jati Laksa! Bahkan juga disegani desa-desa lain yang berdekatan dengan desa ini.

“Terpaksa, kita harus melakukan perintahnya," desah Gandik

"Menculik Minarti...?" Kabat terbengong seperti kerbau kehabisan rumput

"Pekerjaan bunuh diri!" dengus Gapar.
***

Sementara malam masih terus merayap menyelimuti bumi. Angin semakin keras berhembus, menyebarkan udara dingin menusuk sampai ke tulang. Agak jauh dari rumah penduduk Desa Jati Laksa, Bayu masih terlihat duduk di beranda depan, ditemani Minarti. Gadis itu juga duduk beralaskan tikar, tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Mereka sama-sama tidak bisa tidur, setelah peristiwa usaha penculikan yang menimpa Minarti.

Mereka memandang lurus ke arah puncak Gunung Banjaran yang tampak angkuh, menjulang tinggi terselimuti kabut tebal. Angin dingin yang bertiup kencang, memaksa Bayu harus melindungi dirinya di tiang beranda rumah ini. Matanya menatap Minarti yang masih saja memandang ke arah puncak gunung yang menghitam pekat berselimut kabut.

"Apa yang dilakukan ayah malam-malam begini di puncak gunung itu, ya...?" desah Minarti perlahan, hampir tidak terdengar suaranya. Dia seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Kau rindu ayahmu, Minarti?" tanya Bayu.

"Kakang! Kenapa ayah melarangku pergi ke sana?" Minarti malah balik bertanya.

"Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, ayahmu punya maksud tertentu," sahut Bayu.

"Kalau aku ada di sana, tidak mungkin si tua bangka Ki Mangir menggangguku," desah Minarti seperti mengeluh.

Bayu menggeser duduknya lebih mendekat pada gadis ini. Diambilnya tangan Minarti dan digenggamnya hangat-hangat. Minarti membiarkan saja jari-jari tangannya digenggam Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat mereka saling berpandangan, namun perlahan Minarti mengalihkannya ke arah lain. Entah kenapa, dadanya jadi berdebar kencang mendapatkan sorot mata pemuda tampan ini. Dengan halus, tangannya dilepaskan dari genggaman pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Minarti, boleh aku tahu. Mengapa Ki Mangir begitu menginginkanmu?" tanya Bayu dengan suara lembut.

Minarti hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan itu. Gadis itu hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dengan ekor mata, diliriknya Tiren yang melingkar di sudut beranda ini.

Monyet kecil itu sudah tertidur lelap sejak tadi. Cukup lama juga Minarti terdiam, dan kini perlahan kepalanya bergerak Kembali ditatapnya Pendekar Pulau Neraka yang duduk dekat di depannya. Maka, kembali mereka saling berpandangan. Bayu masih menunggu jawaban gadis cantik yang masih berusia sekitar sembilan belas tahun ini.

"Kau memang cantik, Minarti. Tapi aku yakin, bukan karena kecantikanmu yang membuat Ki Mangir begitu gigih menginginkanmu," duga Bayu lagi.

"Aku sendiri tidak tahu, Kakang Sejak kecelakaan yang menimpa ayah, Ki Mangir jadi sering datang ke sini. Tadinya aku tidak berprasangka apa-apa. Tapi begitu keinginannya diutarakan, aku langsung menolak Dia langsung marah, lalu...," Minarti tidak melanjutkan kata-katanya.

"Dia sudah main kasar, Minarti. Apa memang sikapnya begitu jika menginginkan sesuatu?" tanya Bayu lagi.

"Istri Ki Mangir memang banyak, dan tersebar di mana-mana. Malah belum ada tiga bulan habis menikahi gadis desa sebelah. Biasanya, dia tidak melakukan kekerasan apa pun. Dan kalau lamarannya ditolak, juga tidak marah dan memaksa. Apalagi sampai bermain kasar seperti ini."

Bayu mengerutkan keningnya. Sebelum sampai di rumah gadis ini, Pendekar Pulau Neraka sudah dua hari di Desa Jati Laksa. Dan sudah sering mendengar tentang Ki Mangir. Laki-laki separuh baya, dan orang terkaya di Desa Jati Laksa. Bahkan kekuasaannya melebihi kepala desa itu sendiri. Tak ada seorang pun yang berani mengusiknya. Ditambah lagi, Ki Mangir punya banyak tukang pukul yang berkepandaian cukup tinggi. Jadi, sedikitnya Bayu sudah tahu tentang Ki Mangir selama dua hari berada di Desa Jati Laksa.

"Minarti. Seberapa jauhkah hubungan antara ayahmu dengan Ki Mangir?" tanya Bayu lagi.

"Biasa saja. Tidak ada yang istimewa," sahut Minarti. "Tapi...."

'’Tapi kenapa, Minarti?" desak Bayu cepat

"Sebelum terjadi musibah itu, beberapa kali ayah dan Ki Mangir pergi bersama. Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi. Bahkan terkadang sampai tiga hari baru pulang. Dan kalau mereka sedang berbicara, ayah selalu melarangku mendengarkannya," jelas Minarti lagi.

"Mereka pergi hanya berdua saja?" tanya Bayu lagi.

"Benar!"

Bayu terdiam. Dia jadi teringat peristiwa kecelakaan yang menimpa Eyang Palagan. Waktu itu, kebetulan Bayu sedang berjalan di tepi jurang di lereng Gunung Banjaran. Tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah seberang jurang yang tidak begitu besar.

Pendekar Pulau Neraka segera melompati jurang, dan mendapat seorang laki-laki tua berjubah putih terhimpit sebongkah batu besar. Seluruh tubuhnya hampir tenggelam, dan hanya kepala serta satu kakinya saja yang terlihat. Untungnya laki-laki tua itu bisa hidup, meskipun hampir seluruh tulang tubuhnya remuk.

Bayu membawanya ke puncak Gunung Banjaran, karena laki-laki tua berjubah putih yang ternyata Eyang Palagan memintanya untuk dibawa ke sana. Hampir seluruh tulang tubuhnya remuk akibat terhimpit batu. Sehingga Eyang Palagan tidak mampu menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Bayu merawatnya sampai lebih satu purnama. Kemudian Eyang Palagan kembali bisa berjalan, meskipun harus dibantu tongkat.

Laki-laki tua itu pulang sebentar ke rumahnya, dan kembali lagi ke puncak Gunung Banjaran. Sebelum ke gunung itu, dia sempat berpesan sedikit pada Pendekar Pulau Neraka untuk menemui putrinya yang masih tinggal di pinggiran Desa Jari Laksa. Bayu sendiri tidak mengerti, tapi hanya menuruti saja setelah Eyang Palagan mengatakan kalau putrinya sedang dalam bahaya. 

Dan Bayu sendiri pun tidak mengira kalau Minarti sudah mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka belum pernah berjumpa. Tapi sudah bisa diduga kalau Eyang Palagan sudah menceritakan tentang dirinya pada gadis ini. Dan ternyata, Minarti memang dalam bahaya seperti yang dikatakan ayahnya pada Pendekar Pulau Neraka. Hanya saja, memang belum diketahui bahaya apa yang sesungguhnya sedang menyelimuti diri gadis ini.

"Minarti! Apakah ayahmu meninggalkan sesuatu...?" tanya Bayu, setelah cukup lama mereka berdiam diri.

"Hanya Sangkal Ireng," sahut Minarti.

"Apa itu?" tanya Bayu.

Pendekar Pulau Neraka memang belum tahu, apa yang dimaksudkan dengan Sangkal Ireng, meskipun sudah pernah mendengarnya dari Eyang Palagan.

"Hanya sebatang pedang," sahut Minarti lagi.

"Pedang ayahmu?" tanya Bayu lagi

"Mungkin," jawab Minarti ragu¬ragu. "Pedang itu tidak ada yang tahu, kecuali ayah dan aku sendiri. Pedang itu selalu tersimpan dan tidak pernah digunakan, kecuali jika aku sedang berlatih jurus-jurus permainan pedang"

"Kau juga bisa ilmu olah kanuragan...?" Bayu terkejut tidak menyangka.

"Sedikit," jawab Minarti.

"Tapi kenapa tidak melawan sewaktu akan diculik?"

Minarti tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seperti menyembunyikan sesuatu.

"Aku tidak ingin ada orang lain tahu kalau aku belajar ilmu olah kanuragan. Ilmu-ilmu yang kupelajari juga peninggalan mendiang ibuku. Sama sekali ayah tidak mengajarkan ilmu olah kanuragan padaku. Ayah hanya memperbaiki saja kekurangannya," jelas Minarti.

"Dalam keadaan seperti ini, kau tidak perlu lagi main sembunyi, Minarti. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri," Bayu menasihati.

Lagi-lagi Minarti hanya tersenyum saja.

"Hm...," tiba-tiba Bayu menggumam perlahan.

“Ada apa, Kakang?" tanya Minarti dengan suara agak berbisik

"Aku mendengar sesuatu yang mencurigakan," bisik Bayu.

"Pasti mereka datang lagi," desis Minarti.

"Sebaiknya kau masuk saja, Minarti. Biar mereka kuhadapi," ujar Bayu.

Minarti beranjak bangkit berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Bayu hanya memutar tubuhnya menghadap ke depan. Pendekar Pulau Neraka tetap duduk bersila di tengah-tengah ruang¬an beranda depan rumah ini. Telinga dan matanya ditajamkan, mengamati setiap gerakan dan suara sekecil apa pun yang bisa didengarnya.

"Sembilan orang...," desis Bayu, agak menggumam suaranya. Wusss!

"Hup! Yeaaah...!"
***

Bagaikan kilat, Bayu cepat melesat keluar dari beranda itu begitu sebuah benda berwarna hitam meluncur deras ke arahnya. Benda itu seketika menghantam lantai beranda dari papan yang tadi diduduki Pendekar Pulau Neraka, hingga hancur berkeping-keping memperdengarkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya, Tiren yang sedang tidur melingkar di sudut beranda langsung terbangun kaget.

Monyet kecil itu mencerecet ribut, langsung ber-lari-lari ke sebatang pohon rindang yang tidak jauh di samping rumah kecil ini.

"Keluar kalian...!" teriak Bayu lantang.

Belum lagi hilang suara Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik pepohonan bermunculan empat orang anak muda yang mungkin sebaya dengan Bayu sendiri. Mereka langsung mengepung dari empat jurusan sambil menghunus pedang tipis yang panjang di tangan. Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan yang bersinar penuh. Bayu memperhatikan empat orang anak muda itu satu persatu. Mereka memang pernah dilihatnya di kedai, dan dikenal sebagai anak buah Ki Mangir. Mereka memang Gapar, Sito, Kalil, dan Majan. Gumam Bayu sambil tersenyum sinis.

Sementara keempat pemuda bersenjata pedang terhunus itu sudah bergerak perlahan memutari Pen¬dekar Pulau Neraka yang berdiri di tengah-tengah. Pedang mereka berkelebatan di depan dada, memantulkan cahaya keperakan dari sinar bulan yang tak tertutup awan sedikit pun juga.

"Untuk apa kalian datang ke sini?" tanya Bayu, dingin.

"Menjemput Minarti," sahut Gapar tidak kalah dingin.

"Kalian tidak setuju dengan rencana majikan kalian sendiri. Kenapa masih juga mau melaksanakan perintahnya...?" pancing Bayu.

"Kau tidak perlu banyak tanya, Kisanak!" bentak Kalil.

"O.... Jadi, kalian ingin menyingkirkan aku dulu, baru membawa Minarti...," nada suara Bayu semakin terdengar sinis.

"Banyak mulut! Hiyaaat...!"

Kalil langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya berkelebat cepat mengarah ke dada. Tapi hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit, Bayu bisa mengelakkan ujung pedang itu dengan manis sekali. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar Pulau Neraka bergerak cepat menyodok ke arah perut.

Bet! "Uts!"

Tapi sebelum sampai ke perut, Bayu cepat menarik tangannya kembali begitu sebuah pedang lain cepat membabat ke arah tangannya. Pendekar Pulau Neraka cepat melompat mundur beberapa langkah. Pada saat itu, dari arah lain datang lagi serangan yang cepat. Terpaksa tubuhnya melenting ke udara dan berputaran beberapa kali sebelum kembali menjejak tanah.

Keempat anak muda itu terlongong melihat Bayu sudah berada di luar kepungan. Mereka cepat berbalik dan berlompatan mengepung kembali. Bahkan langsung memberi serangan-serangan cepat dari empat arah secara bergantian. Bayu terpaksa berjumpalitan menghindari sabetan dan tusukan pedang yang berkelebatan cepat di sekitar tubuhnya.

Beberapa kali Bayu melesat ke udara, dan keluar dari kepungan mereka. Tapi dengan cepat keempat anak muda itu kembali melakukan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya. Dalam beberapa jurus saja, Bayu sudah dapat menilai kalau jurus-jurus permainan pedang keempat lawannya cukup baik dan rapi. Kalau bukan Pendekar Pulau Neraka, sudah pasti akan dibuat bungkam dengan cepat. Tapi kali ini, mereka menghadapi tokoh pendekar digdaya yang berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya. Sehingga, keempat orang itu harus mengerahkan seluruh kemampuannya dalam permainan pedang yang cepat, saling susul, rapi, serta beraturan.

Sebentar saja keempat anak muda itu sudah mengeluarkan sepuluh jurus, tapi belum juga bisa mendesak Pendekar Pulau Neraka. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkan dapat dipatahkan Bayu dengan mudah. Tak satu pun yang mengenai sasaran. Dan justru setiap kali Bayu melakukan serangan balasan, mereka jadi kelabakan menghindari.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka cepat memutar tubuhnya sambil berteriak keras menggelegar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya bergerak menyambar ke arah empat orang pemuda yang mengeroyoknya. Begitu cepat gerakannya, sehingga keempat anak muda ini jadi sukar untuk melihat ke mana arahnya. Dan tiba-tiba saja....

Des!

Begkh!

Dua orang anak muda itu tiba-tiba terpekik, dan tubuhnya terpental ke belakang. Sebelum jeritan itu menghilang dari pendengaran, kembali terdengar dua pekikan menyusul. Seketika langsung terlihat dua orang lagi terjungkal mencium tanah. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Bayu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan menggenggam empat batang pedang.

Gapar, Sito, Kalil, dan Majan jadi terbeliak melihat pedang mereka sudah berpindah tangan. Mereka sama-sama memegangi dada dan perut yang terasa nyeri terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat dan tak dapat dihindari lagi.

Trek! "Hah...!?"

Empat anak muda itu terlongong melihat pedang mereka dengan mudah dipatahkan begitu saja. Bayu melempar empat batang pedang yang sudah berpatahan itu ke depan para pemiliknya. Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan senyuman tipis yang hampir tidak terlihat. Sedangkan Gapar dan ketiga temannya masih terbengong dengan mulut terbuka lebar. Baru kali ini mereka mendapatkan lawan begitu tangguh, bisa merampas pedang tanpa diketahui sama sekali gerakannya. Dan sekarang, pedang-pedang itu sudah berpatahan, tergeletak di depan kaki masing-masing.

"Jika kalian masih ingin melihat matahari esok pagi, cepatlah pergi dari sini!" dengus Bayu dingin.

Tapi keempat anak muda itu bukannya pergi, bahkan malah berlompatan mengepung Pendekar Pulau Neraka lagi. Tidak dipedulikan lagi kalau tadi mereka sudah dapat dijatuhkan dengan mudah. Mereka mengeluarkan sepasang pisau yang diambil dari balik lipatan baju masing-masing. Kini di tangan mereka sudah tergenggam masing-masing sepasang pisau tipis sepanjang jengkal.

"Nekat..!" dengus Bayu, kesal.
***
LIMA
Bayu benar-benar geram melihat kebandelan empat anak muda yang kembali berlompatan menyerangnya. Bahkan kali ini serangan-serangan yang dilakukan lebih dahsyat dari yang pertama. Pisau-pisau mereka berkelebat cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, sedikit pun tidak juga bisa menyentuh ujung rambut Bayu. Jurus-jurus berlalu cepat, membuat pertarungan berlangsung dahsyat. Sedikit kelengahan saja, bisa berakibat maut.

"Kalian sudah membuatku marah!" geram Bayu sengit.

Mendadak saja Pendekar Pulau Neraka berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu juga tubuhnya bergerak cepat menyambar salah seorang dari anak muda itu. Dan rupanya yang jadi sasaran adalah Majan. Satu pukulan keras dilepaskan. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Majan tidak sempat menghindar lagi.

Des!

"Akh...!" Majan memekik keras tertahan.

Tubuh pemuda itu terpental deras ke belakang, sampai menghantam sebatang pohon yang berada di belakangnya. Belum lagi jeritannya hilang dari pendengaran, Bayu sudah cepat berbalik. Pendekar Pulau Neraka cepat melompat. Dan kali ini sasarannya adalah Kalil. Begitu cepat gerakannya, membuat Kalil hanya dapat terpana tanpa bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri. Seketika satu tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya.

"Aaakh...!" Kalil menjerit keras sekali.

Dia terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah, dan darah langsung mengucur dari mulutnya. Saat itu Bayu sudah memutar tubuhnya lagi. Kali ini calon korbannya adalah Sito. Mata Pendekar Pulau Neraka menatap tajam pemuda itu. Maka Sito bergegas melangkah mundur dengan wajah seketika memucat.

"Mundur kalian..!"

Tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar, disusul munculnya seorang laki-laki separuh baya bertubuh tegap yang masih tampak jelas kegagahannya. Tak lama kemudian, kembali muncul seorang laki-laki setengah baya lainnya. Kedua orang itu langsung mendarat sekitar sepuluh langkah di depan Pendekar Pulau Neraka. Mereka adalah Kabat dan Gandik, dua orang yang menjadi kepercayaan Ki Mangir.

Gapar dan Sito menarik napas lega atas kemunculan dua orang itu. Sejak tadi, mereka sebenarnya sudah gentar menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Bahkan sudah menyadari sejak tadi kalau tidak bakal unggul melawan pemuda berbaju kulit harimau ini. Sementara Bayu jadi tersenyum sinis melihat kemunculan dua orang laki-laki setengah baya ini. "Hhh...!"
***

"Kisanak! Siapa kau sebenarnya?" tanya Kabat dengan suara tegas.

"Namaku Bayu. Dan kalian pasti kaki tangannya Ki Mangir," sahut Bayu memperkenalkan diri, langsung menebak dua orang laki-laki setengah baya di depannya.