Sapta Siaga - 2. Rahasia Jejak Bundar

 
SAPTA SIAGA adalah perkumpulan detektif cilik. 
Anggota anggotanya Peter, Janet, Pam, Colin, 
George, Jack Barbara dan Skippy si anjing spanil. 

Kalau SAPTA SIAGA berkumpul, selalu ada saja 
petualangan seru yang mereka alami. 

SAPTA SIAGA ingin melacak jejak pencuri kalung 
mutiara Lady Lucy Thomas. Sayang petunjuk yang 
ada hanya sedikit... dan membingungkan! Jejak 
bundar di pekarang Milt'on Manor, sehela benang biru 
dengan benang merah halus terjalin di dalamnya dan 
sebuah peci butut. 

Buku Ini mengisahkan petualangan mereka yang 
kedua. 

SAPTA SIAGA : RAHASIA JEJAK BUNDAR 

Rapat Sapta Siaga 


SERIKAT SAPTA SIAGA akan mengadakan rapat 
mingguannya Tempatnya seperti biasa daiam sebuah gu 
dang tua yang terletak di belakang kebun rumah Peter dan 
Janet. Di pintu gudang itu nampak huruf-huruf S S dtulis 
dengan cat hijau. 

Peter dan Janet sudah menunggu di situ Janet sedang 
sibuk memeras jeruk dan menuangkannya ke dalam se- 
buah kendi, la membuat limun untuk dihidangkan daiam 
apat nanti Kecuali itu ia juga menyediakan kue-kue dan 
sepotong bskuit 

Biskuit disediakan khusus untuk Skippy anjing spanil 
mereka yang berbulu kuning keemasan Mata Skippy tak 
lepas memandang piring yang berisi kue kue. Seolah-olah 
anjing itu khawatir, kalau-kalau biskuitnya terbang dan 
menghilang! 

'Nah. itu teman-teman datang'" ujar Peter yang sedari 
tadi memandang terus ke luar jendela Betul, itu mereka: 
Colin,George. Barbara. Pam dan Jack Ditambah dengan 
kita berdua, lengkaplah Sapta Siaga." 

Skippy menggonggong, karena merasa disisihkan 

"Sayang, kau bukan anggota. Skip." ujar Peter. "Kau ini 
cuma ikut-ikutan saja. Tapi kau anjing yang manis!" 

Tok-tok-tok ! Pinitu diketuk dan luar 

"Sebutkan dulu kata semboyan kita! seru Peter la tak 
pernah mau membukakan pintu sebelum teman yang ber- 
ada di luar menyebut kata pengenal perkumpulan mereka. 

"Kelinci" sahut Colin. Sesudah itu barulah pintu dibuka 
kan oleh Pete» Kei ma anggota yang datang masuk bertu- 
rut-turut. tentunya sesudah menyebutkan kata semboyan 
"Kelinci". Itulah kata semboyan Sapta Siaga yang paling 
baru. Mereka selalu menggantinya setiap mtnggu untuk 
berjaga aga apabi a ada orang lain yang kebetulan 
mendengarnya. 

Ketika para anggota sudah duduk semua. Peter 
memperhatikan mereka dengan saksama "Kenapa kau tak 
memaka lencana. Jack?" tanyanya. 

Aduh, maaf," ujar Jack dengan agak gelisah, len- 
canaku hilang. Pasti Susi lagi yang mengambil. Padahal 
sudah kusembunyikan dalam laci. Tapi sewaktu kucari ta 
di pagi, tahu-tahu lencana itu sudah tidak ada lagi Ka- 
dang-kadang kelakuan si Susi mejengke kan sekali. 

Susi adalah adik Jack Anak perempuan itu ingin sekali 
menjadi anggota Sapta Siaga, tapi tenitu saja keingin 
annya itu tak mungkin terkabulkan. Berulang-ulang Jack 
menerangkan dengan sabar bahwa Serikat Sapta Siaga 
sudah beranggotakan tujuh orang. Mengingat Sapta ber 
arti tujuh, maka tak mungkin mereka menerima anggota 
baru. 

"Memang, adikmu itu sangat bandeli " ujar Peter. "Kau 
harus berusaha untuk mendapat lencanamu kembali, Jack. 
Lain kali jangan kausembunyikan lagi dalam laci atau di 
tempat-tempat lain, melainkan sebaiknya kausamarkan 
saja ke baju tidurmu. Pokok ya lencanamu harus selalu 
kaupakai, agar jangan sampai jatuh lagi ke tangan Susi." 

"Baiklah ’ jawab Jack la memandang berkeliling. Ter- 
nyata semua anggota lainnya mengenakan lencana ma- 
sing-masing, sebuah kenop kecil yang dihiasi dengan dua 
buah huruf: S.S Kejengkelan Jack terhadap Susi semakin 
bertambah. 

Nah. bagaimana — ada laporan tentang kejadian yang 
menarik?" tanya Peter sambil membagi-bagikan kue pada 
teman teman Skippy juga tidak dilupakan olehnya. 
Dengan sigap anjing itu menyambar biskuit yang dilem- 
parkan ke arahnya. Tak lama kemudian semua sudah sibuk 
mengunyah kue masing-masing. 

Tapi tak seorang pun membawa laporan yang menarik.
Barbara memandang Peter 

"Sudah empat minggu tak ada laporan yang menarik." 
ujarnya dengan kesa "Bosan rasanya kalau begini terus 
menerus. Untuk apa kita mengadakan Serikat Rahasia, 
apabila kita tidak berbuat apa-apa. Seharusnya kita ini 
sibuk membongkar rahasa. atau mengalami sesuatu hal 
yang mengasyikkan! Suaitu petualangan! 

"Kaukira gampang saja mengetahui suatu penstwa 
ahasia atau menemukan petualangan," balas Peter 
dengan serta merta. 

Janet menuangkan limun ke dalam gelas-gelas yang 
sudah tersedia Aku juga ingin mengalami kejadian yang 
mengasyikkan ” ujarnya "Bagaimana kalau kita sendiri 
saja yang membuat kejad an yang seru, supaya jangan me- 
rasa hosan?" 

"Apa maksudmu?" tanya Colin. Tiba tiba mukanya 
menggerenyit. Wah, limun ini asam sekali rasanya!" 

"Sin>. ku tambahi gula sedikit." jawab Janet. "Maksudku 
tadi, bagaimana kalau kita bermain menjadi orang Indian 
dan berlatih membuntuti orang tanpa diketahui Aku dan 
Peter mempunyai pakaian Indian. Bagus sekal pakaian 
tu. 

Ketujuh anggota Sapta Siaga sibuk membicarakan ga- 
gasan itu Ternyata mereka semua memiliki pakaian In- 
diaan, kecuali Colin. 

"Aku tahu akal." ujar George. ' Kita mengenakan pa 
kaian Indian, lalu pergi beramai-ramai ke Hutan Semak. 
Sesampai di sana kita membentuk dua kelompok Ma- 
sing-masing kelompok bersiap di tepi hutan, lalu kita 
berlomba siapa yang lebih dulu berhasi mencan jejak Colin 
dan menangkapnya. Colin kita jadikan musuh. karena 
hanya dia sendiri yang tak mengenakan pakaian Indian. 
Wah pasti akan asyik permainan tu!" Mata George ber 
sinar sinar. 

Ah tidak mau!" tukas Colin memprotes. "Aku tak mau 
dikejar-kejar oleh kaiian berenam, untuk kemudian diser- 
gap.

"Kita kan cuma main main saja!" balas Janet. "Tool 
benar kau ini —" 

"Ssst — dengar! Ada orang datang ujar Peter memo 
tong pertengkaran tu. Betullah, di luar terdengar bunyi 
langkah orang menghampiri gudang Kemudian pintu dige- 
dor dengan keras, sehingga ketujuh anak yang duduk di 
daiam gudang melonjak dari tempat duduk mereka karena 
terkejut. 

Kata semboyan!" seru Peter Rupanya ia begitu terke- 
jut sehingga tak ingat bahwa semua anggota Sapta Siaga 
sudah hadir. Jadi tak mungkin datang jawaban yang tepat 
dari luar. Tapi apa yang terjad ? 

"Kelinci!" terdengar jawaban dari luar. 

"Iitu Susi!" seru Jack dengan marah Seketika itu juga ia 
lari ke pintu dan membukanya dengan cepat. Benarlah! 
Susi berdiri di depan pintu. Adik Jack yang bandel itu 
mengenakan lencana S.S. di bajunya. 

"Aku anggota!" seru anak perempuan itu Aku menge- 
tahui kata semboyan kalian, dan aku juga memakas len- 
cana!"

Anak-anak yang di dalam gudang berlompatan bangkit 
dengan marah. Melihat gelagat yang tidak baik itu Susi la- 
ri sambil tertawa cekikikan. Muka Jack merah padam ka- 
rena marahnya. 

"Kukejar dia ” tukasnya. "Sekarang kita harus pula 
memikirkan kata semboyan yang baru, karena yang lama 
sudah ketahuan oleh Susi!" 

"Kita pakai kata semboyan 'Indian'!" seru Peter pada 
Jack yang sudah lari mengejar adiknya. "Kita berkumpul 
lagi pukul setengah tiga nanti !" 


II 
Indian-Indianan 


PUKUL setengah tiga siang, semua anggota Sapta Sia- 
ga sudah siap berkumpul di gudang. Jack yang paling dulu 
datang. Di dadanya sudah terpasang lagi lencana perkum- 
pulan yang berhasil direbutnya kemba dan Susi. 

"Awas! Nanti aku datang lagi menggedor pintu, dan 
meneriakkan semboyan kaitan keras-keras." ujar adiknya 
itu menantang, sewaktu Jack berhasil mengejar dan 
mengambil lencananya kembali, 

'Ah. percuma saja," balas Jack tak peduli 'Kami sudah 
menggantinya dengan semboyan lain " 

Karena itu sewaktu hendak memasuki gudang, anak-  
anak menyebutkan semboyan dengan hati-hati. Mereka 
khawatir, jangan jangan Susi sudah memasang kuping la- 
gi sambil bersembunyi. 

"Indian!" 

"Indian!" begtulah bisik mereka berturut-turut, sampai 
lengkap ketujuh anggota berada dalam godang. Semua 
membawa pakaian Indian, lengkap dengan penghias 
kepala yang terbuat dar bulu ayam. Hanya Colin saja yang 
datang dengan tangan kosong, karena dia tidak mempu- 
nya pakaian Indian. Tak lama kemudian enam anggota 
Sapta Siaga sudah menjelma menjadi perajurit-perajurit 
Indian. 

"Sekarang kita berangkat ke Hutan Semak ujar Peter 
sambil menandak-nandak seperti seorang Indian yang se- 
dang melakukan tari perang. Diacung-acungkannya kapak 
Perangnya. Seram sekali kelihatannya! Untung saja kapak 
itu terbuat dari kayu. 

"Aku sekelompok dengan Janet dan Jack," kata Peter 
lagi. "George, kau bertiga dengan Barbara dan Pam, Kita 
berlomba mencari dan kemudian menawan Colin." 

"Tapi aku tak mau kalau diikatkan ke pohon, lalu dija 
dikan sasaran panah kalian,” tuntut Colin dengan tegas 
"Mungkin untuk kalian mengasyikkan, tapi aku tak mau!
Mengerti?" 

Kecuali Colin, semua mengecat muka mereka coreng- 
moreng dengan cat air. Jack menggenggam sebuah pisau 
karet, yang berulang kali pura-pura hendak dtusukkannya 
ke arah Skippy. Wah, mereka benar-benar kelihatan seperti 
sepasukan Indian yang perkasa! 

Mereka be jalan menuju ke Hutan Semak. Tempat Iitu 
merupakan sebuah hutan kecil, penuh semak belukar. 
Letaknya kurang lebih setengah mil dari rumah Pete dan 
Janet, di seberang ladang. Di tepi hutan itu ada sebuah 
rumah besar yang dikelilingi dengan pagar tembok yang 
tinggi. Pemiliknya seo ang bangsawan.Seperti kebiasaan- 
nya dengan rumah-rumah bangsawan, gedung besar itu 
juga bernama, yaitu Milton Manor. 

' Nah. sekarang kita mulai bermain," ujar Peter ketika 
mereka sudah sampa di Hutan Semak. "Kami bertiga mu 
lai dari tepi sebelah sini George. kau bersama kelompok- 
mu bergerak dari ujung hutan sebelah sana. Sedang Colin 
mulai dari tengah-tengah. Kita menghtung dulu sampai 
seratus, sambil menutup mata. Sementara itu Colin 
bersembunyi. Kalau htungan sudah sampai seratus, ba- 
rulah kita mulai mencari dia." 

Tapi kalau aku melihat salah seorang di antara kalian 
lalu kupanggil namanya, maka dia harus menunjukkan 
diri " balas Colin. "Karena berhasil kulihat, artinya d
ia mati dan tak boleh ikut mencari lagi" 

"Dan kalau ada di antara kami yang berhasil menyeli- 
nap dan kemudian menyergap tanpa berhasil kaulihat le- 
bih dulu, maka kau menjadi tawanannya." kata Peter. 
"Wah, pasti akan asyik permainan kita ini! Hutan Semak 
memang sangat cocok untuk permainan begini!" 

Memang benar katanya tu. Semak belukar memenuhi 
tempat d! seta-se a pohon besar dan kecil Di sana sini 
tumbuh rumput t nggi Banyak sekal tempat yang baik un- 
tuk dijadikan persembunyian. 

Kedua kelompok yang bermain sebagai Indian berpisah, 
dan menuju ke tempat masing-masing di tepi hutan. Tepi 
yang satu dibatasi dengan pagar sedang tembok peka- 
rangan Milton Manor menjulang tinggidi tepi yang lain 
Hebat sekal Colin. ka au a sampai berhasl sampai ke 
salah satu tempat itu tanpa tertangkap terlebih dulu ! 

Colin berdiri di tengah hutan. DItunggunya sampaI ka- 
wan kawannya mulai menghtung sampai seratus dengan 
mata tertutup Beg itu ia melihat Peter melambaikan sapu 
tangan sebagai tanda bahwa para pengejar sudah mulai 
menghtung, dengan segera Colin lari menuju ke sebatang 
pohon. Dengan cepat ia memanjat sampai ke tengah daun- 
daun yang rimbun lalu duduk di atas sebuah dahan yang 
besar. Colin tertawa meringis 

"Sekarang mereka boleh menyelinap ke sana ke mari. 
Past aku takkan berhasl mereka temukan di smi!" pikir- 
nya dalam hati. Nanti kalau mereka sudah bosan mencari 
dan menyerah barulah aku turun ' 

Para pengejar sudah selesai menghtung sampai sera- 
tus Enam pe ajurit Indian memencar dan mulai mencari 
sambil menyelinap di antara semak dan rumput Kadang- 
kadang Colin melihat di mana mereka sedang berada, ka- 
rena nampak beluka bergerak-gerak, la mengintip dan 
celah-celah ranting, sambil tertawa dalam hati. Senang ra- 
sanya melihat teman-teman repot mencari sedang ia sen- 
diri enak-enak duduk di atas pohon. 

Tapi tiba-tiba Colin terkejut Sewaktu kebetulan meman- 
dang ke arah tembok tinggi yang melingkungi pekarangan 
Milton Manor. Dilihatnya ada orang di atas tembok tu. Ta- 
pi hanya sekejap saja, karena detik berikutnya orang itu 
sudah menghilang. Masih terdengar sebentar bunyi kayu 
dalam belukar berderak derak. Sesudah itu sepi kembali. 

Aneh! Siapakah orang tu? Kenapa dia memanjat pa- 
gar ? Colin bngung, tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Permainan belum selesai, jadi ia tak mungkin dapat 
memanggil teman-teman dari tempatnya bersembunyi. 
Tiba-tiba dilihatnya salah seorang dari mereka menyelinap 
di tengah semak, dekat sekali pada tempat orang tadi 
menghilang Dilihat dari atas, kelihatannya seperti Peter.
 
Memang Peter yang sedang merangkak dalam beiukar 
tu. ia mendengar bunyi gemerisik di depannya. 

"Pasti itu Colin. sedang merangkak ke arah sini!' 
katanya dalam hati, sambil terus merangkak menuju ke se- 
buah semak rimbun yang sedang berbunga. Dengan hati 
hati disingkapkannya ranting-ranting yang menghalangi 
pandangan. 

Alangkah terkejutnya Peter. ketika ia menatap wajah se- 
seorang yang tak dikenalnya! Ternyata sama sekali bukan 
Colin yang bersembunyi di situ 

Orang tak dikenal itu pun terkejut setengah mati, ka- 
rena sekonyong-konyong menatap muka penuh coreng- 
moreng. Apalagi ketika dilihatnya kapak yang sudah siap 
untuk diayunkan. Ia sama sekali tak menduga bahwa 
senjata itu hanya permainan dari kayu belaka. 

Tanpa pikir panjang lagi, orang itu bangkit dari per- 
sembunyiannya lalu lari pontang-panting. Peter pun sangat 
terkejut sehingga tak terpikir sama sekali olehnya untuk 
mengejar. 



III 
Colin terkejut 


SEWAKTU Peter bangkit untuk melihat orang itu sudah 
tak kelihatan lagi 

"Sialan!" kata Peter seorang diri, la jengkel sekali. In- 
dian macam apa aku ni? Orang yang berdiri tepat di 
depanku pun tak dapat ku ikuti jejaknya. Ke mana dia ta- 
di?" 

Peter mencari kian ke mari. Tak lama kemudian teman- 
temannya pun mengetahui bahwa telah terjadi sesuatu di 
luar rencana, karena melihat Peter berkelaran sambil 
berjalan tegak 

"Ada apa Peter? Kenapa kau tidak bersembunyi? Nanti 
kelihatan oieh Colin!" seru mereka padanya. 

"Tadi ada orang bersembunyi di balik semak." jawab 
Peter "Entah kenapa dia di stu. Tahu-tahu ia berdiri, lalu 
lari pontang-panting. Ada di antara kalian yang melihat ke 
mana orang itu lari?"  

Ternyata tak seorang pun melihatnya. Mereka berkum- 
pul mengelilingi Peter, bingung menghadapi keadaan aneh 
itu 

"Tak seorang pun diantara kita melihat orang itu lari, 
padahal kita bertujuh merangkak-rangkak dalam hutan 
Ini." ujar Pam. "Dan Colin pun tak berhasil kita temukan." 

"Sudahlah! Kita berhenti saja bermain," kata Peter 
memutuskan, la tak mau kalau tiba-iiba salah seorang 
anak perempuan berjumpa dengan orang yang ber- 
sembunyi tu. Pasti mereka akan ketakutan nanti. Kta 
panggiI saja Colin!" 

Mereka pun berteriak teriak memanggil teman mereka 
tu.

"Colin! Colin, keluarlah! Kau tak perlu bersembunyi la- 
gi. Kita berhenti bermain!" 

Mereka menunggu Colin muncul dari persembunyi- 
annya. Tapi seruan mereka tak di jawab dan Colin juga 
tidak manampakkan diri. Karena itu mereka memanggil 
sekali lagi. 

"Coln!" seru mereka. "Keluarlah!" 

Tapi Colin tetap tak kelihatan. Bahkan menjawab saja 
pun tidak. Aneh. 

"Sudahlah, jangan main-main!" teriak George "Per- 
mainan sudah bubar Ds mana engkau?" 

Sebetulnya Colin masih tetap berada di per 
sembunyiannya di atas pohon. Kenapa ia tidak berteriak 
untuk membalas panggilan teman-temannya? Kenapa dia 
tidak meluncur turun, dan menggabungkan diri kembali 
dergan teman-temannya? Bukankah sebenarnya Colin ha- 
rus merasa puas karena teman teman tidak berhasil 
menemukan jejaknya? 

Ternyata Colin tak dapat menjawab panggilan teman-te 
mannya dan juga tak menampakkan diri, ka ena ia ke 
takutan. 

Sewaktu ia melihat ada orang meloncat dari atas tem- 
bok pekarangan Milton Manor, Colin sangat terkejut 
Dilihatnya orang itu lari menghilang di tengah semak, la 
lebih terkejut lagi ketika orang itu tiba-tiba muncul dari 
balik semak, lalu berlari ke arah pohon tempatnya bersem- 
bunyi. 

Kemudian terdengar bunyi, seperti ada orang memanjat 
cepat-cepat. Masya Ailah, ternyata orang itu memanjat 
pohon yang dijadikan persembunyian oleh Colin. Jantung 
anak itu berdebar keras. Wah. gawat! Bagaimana jika 
orang itu tahu-tahu muncul di depannya? 

Orang itu memanjat terus. Tetapi ketika sudah hampir 
mencapa dahan tempat Colin duduk, ia berhenti. Me 
mang, dahan itu terlaiu kecil untuk diduduki orang dewa 
sa, meski masih cukup kuat menahan-beban seorang anak. 

Orang aneh itu meringkuk di percabangan batang tak 
jauh di bawah tempat Colin. Kalau anak itu mau. dan be 
rani, pasti akan dapat disentuhnya kepala orang itu dengan 
kakinya. Tapi tenitu saja Colin tidak berani ! 

Napas orang itu terengah-engah, karena lelah meman 
jat. Tapi dijaganya desah napas supaya tidak terlalu nya- 
ring. Peter berada tak jauh dari pohon, jadi kalau tarikan 
napasnya terlalu keras, ada kemungkinan anak itu akan 
mendengarnya. 

Colin duduk terpaku, seolah-olah disihir menjadi batu. 
Siapakah orang yang tak dikenal tu? Kenapa dia melon 
cati tembok Milton Manor? Dan kenapa ia lantas bersem- 
bunyi di Hutan Semak? Past hal itu takkan dilakukannya, 
kalau ia tahu bahwa anak-anak anggoia Sapta Siaga se- 
dang bermain-main di situ i 

Sekarang ia malahan bersembunyi di pohon per- 
sembunyian Colin. Jangan-jangan ia menengadah, dan 
melihat Colin duduk di dahan di atas kepalanya. Karena 
tulah Colin ketakutan setengah mati ! 

Anak itu mendengar teman-temannya memanggil 
manggil. 

"Colin. Keluarlah dari persembunyianmu, kita tidak ber- 
main lagi!" 

Colin yang malang! la tak berani menampakkan diri, dan 
ia pun tak berani berteriak menjawab panggilan itu la 
bahkan hampir-hampir tak berani bernapas. Mudah 
mudahan saja ia tidak tiba-tiba bersin, atau terbatuk.
Colin hanya dapat duduk terpaku, sambil menungg apa yang 
akan teradi berikutnya. 

Orang yang bersembunyi di bawahnya juga duduk 
dengan diam, sambil mengintip dari sela daun-daunan un- 
tuk memperhatikan gerak-gerik keenam anak yang 
berkeliaran di tanah. Colin merasa menyesal kenapa Skippy 
tidak diajak serta tadi. Kalau anjing itu ada di stu, 
pasti akan tercium olehnya jejak orang itu dan akan langsung 
berlari ke bawah pohon.

Tapi Skippy memang sengaja tak diajak karena selalu ri- 
but kalau anak-anak bermain sembunyi-sembunyian. Ka- 
rena hidungnya yang tajam, anjing itu selalu berhasil 
menemukan persembunyian. Dan kalau sudah begitu 
Skippy lalu ribut menggonggong, sehingga persembunyi-
an itu ketahuan oleh anak-anak yang mencari. 

Anak-anak yang mencari Colin sambil memanggil- 
manggil, akhirnya putus asa. Mereka memutuskan untuk 
pulang saja ke rumah. 

"Pasti Colin berhasil meloloskan diri, dan sudah pulang 
sekarang,” kata Peter "Sebaiknya kita pulang juga. Orang 
tadi juga tak berhasiI kita cari. Terus terang saja, aku se- 
benarnya tak begitu kepingin bertemu lagi dengan dia. 
Siapa tahu mungkin dia orang jahat.

Colin merasa gelisah, ketika melihat teman-temannya 
pergi meninggalkan Hutan Semak. Orang yang di ba- 
wahnya juga melihat mereka pergi. Sambil mendengus 
puas, ia turun dari pohon persembunyiannya. 

Sebetulnya Colin tak sempat melihat orang itu dengan 
jelas. la hanya melihat ubun-ubun dan telinganya saja. Dan 
sewaktu orang itu menyelinap pergi menyusuri semak, 
Colin masih tetap tak dapat melihatnya. Satu hal sudah 
jelas: orang itu lebih pantas menjadi Indian kalau diban- 
dingkan dengan ketujuh anggota Sapta Siaga! Ia pandai 
sekali menyelinap. 

Sekarang — apakah keadaan sudah aman? Dapatkah 
Coiin turun dari pohon tanpa mengalami bahaya? la tak 
kepingin meringkuk seorang diri di atas pohon sepanjang 
malam. 


IV 
Apakah yang sebenarnya terjadi ? 


COLIN turun dari pohon. Ia memandang be keliling 
dengan hati hati Tap tak seorang pun yang nampak. 
Orang itu ternyata benar benar sudah menghilang. 

"Sebaiknya aku lari saja cepat cepat. Mudah-mudahan 
saja selamat." pikir Colin. la pun berlari sekuat tenaga. 
Tapi tak ada orang memanggil dan tak ada pula yang men- 
coba menahannya. Ia merasa agak malu ketika tiba di jalan 
yang memotong ladang, karena ternyata ia ketakutan tan- 
pa alasan. Seekor sapi yang sedang makan rumput, 
memandangnya dengan neran. 

Colin berjalan menuju rumah petani tempat tinggal 
Peter dan Janet Barangkali saja Sapta Siaga masih 
berkumpul dalam gudang, untuk berganti pakaian dan 
membe sihkan muka kembal'. Orang tua mereka pasti 
takkan senang apab la mereka pulang dengan muka co- 
reng moreng 1 

Colin berlari lagi kafi ini menuju ke gudang. Seperti bta 
sa. pintu gudang tertutup Tapi dar dalam terdengar sua*a 
anak-anek berbicara Colin mengetuk pintu. 

"Buka pintu.’ serunya. "Aku yang datang!" 

Tapi dari dalam tak terdengar jawaban. Pinitu tetap ter- 
tutup. Dengan tidak sabar, Colin menggedor pintu. 

"Ayo bukakan pintu!" serunya "Kalian kan tahu aku 
yang datang!" 

Pinitu tetap tak dibuka. Baru saat itu Colin teringat, 
bahwa ia harus menyebutkan kata semboyan perkumpul- 
an! Nah, apa lagi kata semboyan yang baru? Untung saja 
ia ingat kembali, ketika melihat bulu-bulu ayam berwarna 
merah nyala bergerak di balik jendela gudang. 

"Indian!’ pekiknya. Seketika itu juga pintu dibuka dari 
dalam. 

"Sekarang semua orang pasti mengetahui kata sem- 
boyan rahasa kita." tukas Peter. "Jadi kita terpaksa lagi 
mencari yang lain. Ayo, masuklah! Ke mana saja engkau 
tadi? Sampai serak suara kami memanggil-manggil dalam 
hutan tadi!". 

"Aku tahu. Aku juga mendengar panggilan kalian." ja- 
wab Colin sambil masuk ke dalam gudang. "Maaf ya, aku 
tadi meneriakkan kata semboyan kita keras-keras. Tak ter- 
pikir olehku bahwa orang lain tak boleh mendengarnya. 
Tapi maklumlah, ada persoalan lain yang lebih penting.” 

"Persoalan apa ?" tanya teman-temannya. Mereka ber- 
henti membersihkan muka. 

"Bukankah tadi Peter tiba-tiba berdiri lalu berteriak? 
Katanya ia menjumpai orang yang sedang bersembunyi," 
ujar Colin. "Nah. pada saat itu aku tak jauh dari tempat- 
nya. Aku bersembunyi di atas pohon." 

"Wah, licik!" seru George "Iitu kan bukan permainan In- 
dian-Indianan. Kau seharusnya menyelinap diantara 
semak belukar, seperti kami juga!" 

"Siapa bilang?" Colin tidak mau mengalah. "Aku berani 
tanggung. orang Indian juga memanjat pohon dan bukan 
merangkak rangkak saja bisanya. Pokoknya aku berada di 
atas pohon dekat tempat Peter berdiri. Eh, tahu-tahu orang 
yang ditemukan oleh Peter berlari ke pohon persembuny - 
anku, lantas memanjat ke atas!" 

"Wah!” seru George dengan kaget. "Lalu, apa yang 
kaulakukan?" 

"Aku diam saja," jawab Colin. "Untungnya ia tidak naik 
sampai ke dahan tempatku duduk. Jadi aku diam saja, tak 
berani berkutik. Sebetulnya aku melihatnya lebih dulu dari 
Peter. Aku melihatnya di atas tembok pekarangan Milton 
Manor dan kemudian dia meloncat ke bawah, lantas 
menghilang di tengah semak-semak." 

"Lalu, apa yang terjadi kemudian?' tanya Janet. Anak 
perempuan itu sudah tak sabar lagi, ingin diketahuinya 
siapa orang tak dikenal tu. 

"Sesudah kalian pergi, orang itu turun dari pohon lalu 
menghilang." jawab Colin. "Pokoknya aku tak melihatnya 
lagi. Aku pun cepat-cepat turun, dan lari ke mari. Terus te 
rang saja, aku tadi agak ketakutan." 

"Apa yang dilakukan orang itu di hutan, sehingga harus 
menyembunyikan diri?" tanya Jack heran. "Orangnya 
seperti apa rupanya?" 

"Sayang aku cuma melihat ubun-ubun dan telinganya 
saja." balas Colin. "Kau tadi jelas atau tidak melihatnya. 
Peter?" 

"Lumayan juga." kata Peter. "Tapi rupanya seperti orang 
biasa saja — mukanya dicukur bersih, berambut hitam — 
pokoknya biasa saja. Tak ada yang aneh, jadi sukar untuk 
mengingatnya." 

"Pasti kita tak bertemu lagi dengan orang itu " ujar Bar 
bara. "Sayang, sekali lagi kita gagal menemukan peng- 
alaman yang mungkin akan mengasyikkan. Sekarang kita 
takkan bisa mengetahui lagi, apa yang dilakukan oleh 
orang itu dalam hutan, dan kenapa dia bersembunyi." 

"Satu hal sudah pasti, permainan kita dikacaukan oleh 
nya." ujar Pam. "Tapi sebenarnya kita juga tak mungkin 
berhasil menemukan Colin tadi karena dia bersembunyi di 
atas pohon. Lain kali kalau kita bermain Indian lagi harus 
ada peraturan yang melarang naik ke atas pohon untuk 
bersembunyi." 

"Sudahlah, jangan diributkan lagi persoalan tu. Seka- 
rang, kapan kita mengadakan rapat lagi? Dan kita pun ha- 
rus mencari kata semboyan baru." usul Janet. 

"Kita bertemu lagi malam Jumat nanti," kata Peter. 
"Dan jangan lupa pasang mata dan telinga baik-baik, ba 
rangkali saja ada kejadian yang menarik, atau merupakan 
rahasia. Pokoknya kita harus mengadakan petualangan la- 
gi. Bosan rasanya kalau begini terus." Peter mengeluh. 
"Sayang, orang tadi tidak berhasil kita tangkap — atau se- 
tidak-tidaknya mengetahui lebih banyak tentang tindak- 
tanduknya dalam hutan. Aku yakin dia tadi berniat jahat." 

"Bagamana dengan kata semboyan yang baru?" desak 
Janet sekali lagi. 

"O ya — kita ambil saja kata 'Petualangan'!" ujar Peter 
memutuskan. Kan baru saja kita gagal menemukan pe 
tualangan baru." 

Sesudah itu anak-anak pulang ke rumah masing-ma- 
sing. Mereka sudah tidak ingat lagi pada orang aneh yang 
dijumpai dalam hutan. Hanya Colin saja yang kadang-ka- 
dang masih bergidik, kalau di ngatnya bahwa ia nyaris 
berhadapan muka dengan orang tu. Pasti ia akan celaka, 
orang itu benar-benar jahat! 

Tetapi warta berita di radio maiam tu, menyebabkan ke- 
tujuh anggota Sapta Siaga teringat kembali !  Penyiar 
membacakan berita rentang pencurian besar. 

"Tadi siang, kalung mutiara yang indah dan sangat 
berharga milik Lady Lucy Thomas dicuri dari kamar tidur 
nya di Milton Manor," kata penyiar radio. Lady Lucy 
Thomas adalah nama nyonya bangsawan yang memiliki 
gedung besar di tepi Hutan Semak. Penyiar melanjutkan 
pengumumannya. "Sayang tidak ada yang melihat atau 
mendengar pencuri itu masuk ke dalam rumah, sehingga 
penjahat itu berhasil melarikan diri." 

Mendengar berita tu. Peter dan Janet meloncat dengan 
serempak dari kursi. 

"Past itu orang yang kulihat tadi siang!' seru Peter. 
"Masya Allah! Aku melihat pencuri kalung Lady Lucy. Ayo 
Janet! Tulis undangan pada para anggota Sapta Siaga 
akan mengadakan rapat besok! Janet, kita menghadapi pe 
tualangan baru!" 


Pertemuan penting 


MALAM itu para anggota Sapta Siaga tak dapat tidur 
nyenyak, sesudah menerima berita dari Peter dan Janet. 
Mereka berdua memasukkan surat undangan ke kotak pos 
rumah teman-temannya. 

"Pertemuan pukul setengah sepuluh besok. PENTING! 
S.S.S.". Demikianlah isi surat tu. S.S.S. adalah singkatan 
dari Serikat Sapta Siaga 

Colin dan George tidak mengetahui, persoalan penting 
apa yang menyebabkan mereka dipanggil berapat besok 
pagi. Kebetulan maiam fitu mereka tidak menyeteS radio. 
Tapi ketiga teman lainnya mendengar berita tentang pen- 
curian kalung mutiara mil k Lady Thomas. Karena me eka 
anak anak yang cerdik dengan sege a mereka menge- 
tahui bahwa lapat itu d adakan untuk merencanakan usaha 
menangkap pencurinya! 

Pukul setengah sepuluh pagi, anggota anggota Sapta 
S aga sudah lengkap semua di gudang Berulang kali pintu 
diketuk dari luar Dan berulang kali pula. Peter berseru 
dengan suara garang dar dalam gudang 

"Kata semboyan!" 

"Petualanganl” 

"Petualangan!" 

"Petualangan!" begtulah terdengar berturut-turut 
Semua menyebutkannya dengan suara setengah berbisik. 
Mereka masih tetap mengkhawatirkan kemungkinan ter- 
dengarnya kata itu oleh Susi yang sangat tajam 
pendengarannya. Akhirnya mereka berkumpul juga dalam 
gudang, tanpa mengalami gangguan apa pun juga. 

"Mana Susi adikmu yang bandel tu?" tanya Peter pa- 
da Jack "Mudah-mudahan saja dia tdak muncul untuk 
mengganggu kta karena pertemuan kal ini sangat pen- 
ting Kau tidak lupa memakai lencana?" 

'Tenitu saja tidak!" Jack agak ters nggung "Sehari ini 
kita aman, karena Susi pergi. Pokoknya, ia tak mengenal 
kata semboyan kita yang baru." 

"Untuk apa sebetulnya kita mengadakan rapat ini?" 
tanya Colin. Ia masih belum mendengar perkara pencurian 
kalung."Aku tahu, ada sesuatu yang penting. Janet 
kelihatannya sudah tak sabar lagi, ingin cepat cepat bica- 
ra!" 

"Kalau kau tahu pasti akan bangga." jawab Janet "ka- 
ena hanya kau dan Peter saja yang melihat pencuri yang 
akan kita cari. Jadi perananmu akan sangat penting!"

Colin dan George melongo, karena tak mengerti per- 
soalannya. Memang, Janet terlalu buru buru ngin berceri- 
ta sehingga ia mulai dan tengah tengah. Tapi untung Pe- 
ter cepat menerangkan. 

"Kalian masih ingat atau tidak, orang yang dilihat oleh 
Colin memanjat tembok pekarangan MiIton Manor?" ujar 
Jack. "Dan aku melihatnya bersembunyi dalam semak. 
Sudah itu ia menghilang dan ternyata bersembunyi di atas 
pohon di mana Colin juga berada. Kita kan tidak tahu, 
kenapa orang itu bersembunyi dalam Hutan Semak. Nah, 
tadi malam kami mendengar warta berita di radio. Ka- 
barnya ada seorang pencuri masuk ke kamar tidur Lady 
Thomas dan mencuri seuntai kalung mutiara yang indah 
dan sangat berharga. 

'Wah. gawat pekik Pam. "Pasti dialah orang yang kali 
an lihat kemarin!" 

"Ya, mestnya dialah pencurinya." jawab Peter. "Per 
soalannya sekarang, apa yang akan kita lakukan? Kalau 
kita berhasil menemukan orang itu apalagi jika sekaligus 
juga berhasil menemukan kalung mutiara yang dicuri — 
wah — pasti hebat nama Sapta Siaga kita nantinya!" 

Sejenak tak ada yang berbicara. Semua sibuk berpikir. 
"Tapi baga mana caranya bagi kita untuk menemukan 
orang tu?" tanya Pam sesudah tu. "Maksudku, yang 
melihatnya kan cuma kau dan Colin saja. Peter — dan itu 
pun hanya untuk sekejap —" 

"Dan jangan lupa yang kelihatan olehku cuma ubun- 
ubun dan telinganya belaka," sambung Colin. "Aku kepi- 
ngin tahu, baga mana aku mungkin dapat mengenali 
orangnya, kalau cuma itu saja yang kulihat. Masakan aku 
harus melonjak-lonjak, untuk melihat ubun-ubun orang!" 

Janet tertawa, membayangkan Colin meloncat-loncat 
seperti jangkerik. 

"Kenapa tidak kaubawa saja tangga ke mana-mana."
usul anak perampuan tu. Anak-anak tertawa mendengar 
usul tu. 

"Apakah tidak lebih baik persoalan ini kita laporkan saja 
pada polisi?"tanya George. 

"Tenitu saja." jawab Peter. "Tapi rasanya keterangan 
kita belum banyak artinya. Walau begtu, memang tulah 
yang pertama-tama harus kita lakukan. Barangkali saja se- 
sudah itu kita bisa membanitu polisi. Setidak-tidaknya kita a
kan berusaha menemukan jejak pencuri tu, atau 
menemukan tanda-tanda yang penting." 

"Kalai begitu sekarang saja kita menghadap ke kantor 
polisi,"ajak George. "Wah asyik! Pasti Pak Inspektur akan 
terkejut kalau kita nanti masuk berbondong-bondong." 

Mereka ketua dari gudang, dan berjalan bersama-sama 
menuju ke tengah kota. Pegawai polisi muda yang berada 
dalam kantor polisi melongo keheranan, ketika melihat 
tujuh orang anak masuk ke dalam beramai-ramai. 

"Eh. ada apa ini?" tanyanya. 

"Bolehkah kami berjumpa sebentar dengan Pak Inspek- 
tur?" tanya Peter. "Kami membawa kabar untuknya, 
mengenai pencuri kalung mutiara Lady Lucy."

Sebelum pegawai poisi itu sempat menjawab, kepala 
Pak Inspektur sudah tersembul dari balik pintu kamar 
kerjanya. Rupanya ia tadi mendengar derap langkah ramai 
di luar, dan menjenguk karena ingin tahu siapa yang da- 
tang. 

"Wah, tamu agung!" serunya dengan gembira, "Ini dia, 
Sapta Siaga! Apa kata semboyan kalian kali ini?" 

Tenitu saja ketujuh anak itu tidak mengatakannya, ka 
rena bukankah kata semboyan rahasia tak boleh diketahui 
orang lain? Peter tertawa meringis. 

"Kami datang untuk memberi laporan, Pak Inspektur. 
Kemarin kami melihat pencuri kalung Lady Lucy, sewaktu 
ia memanjat tembok pekarangan Milton Manor." ujar anak 
tu. 'Kemudian ia bersembunyi, mula-mula dalam belukar 
dan sesudah itu naik ke atas pohon. Kebetulan Colin juga 
bersembunyi di stu. Tapi cuma tulah yang kami ketahui." 

Mula-mula Pak Inspektur agak bingung mendengar ke- 
terangan sesingkat tu. Namun akhirnya ia tersenyum gem- 
bira seteiah mendengar laporan yang diberikan oleh Peter. 
Inspektur menggaruk-garuk kepala. 

"Aku tidak mengerti, bagaimana Caranya pencuri itu 
memanjat tembok." katanya. "Bukankah tembok itu 
sangat tinggi! Pasti ia mahir memanjat seperti kucing,ka- 
rena ia tak menggunakan tangga. Nah, Sapta Siaga, te 
rima kasih atas laporan kalian! Sayang, kali ini tak banyak 
yang dapat kalian lakukan. Tapi buka mata kalian lebar-lebar,
 barangkali saja kalian akan berjumpa lagi dengan orang tu." 

"Sayangnya, Colin hanya melihat ubun-ubunnya saja, 
dan saya pun hanya sempat memandang mukanya sekejap 
saja," kata Peter dengan agak ragu. "Lagipula, wajahnya 
kelihatan biasa saja. Tapi walau begtu, kami akan tetap 
berjaga saga." 

Mereka meminta diri dari Pak Inspektur, lalu pergi ke 
luar. 

"Sekarang kita beramai-ramai pergi ke tempat, di mana 
Colin melihat orang itu menuruni tembok,” ujar Peter se- 
sudah mereka berada di jalan."Siapa tahu, barangkali saja 
kita menemukan sesuatu di sana!"


VI 
Penemuan aneh 


Ketujuh anak itu pergi lagi mendatangi Hutan Semak, di 
mana mereka bermain-main sehari sebelumnya. 

"Nah! Sekarang tunjukkanlah, di mana tepatnya orang 
itu kaulihat memanjat turun dari tembok," ujar Peter pada 
Colin. Colin berpikir sebentar. Kemudian menunjuk ke arah 
sebatang pohon yang berdaun runcing. 

"Kau lihat pohon tu? Nah, orang itu menuruni tembok 
antara pohon itu dan pohon eik kecil di sebelah sana. Aku 
pasti, tulah tempatnya kemarin " 

"Kalau begitu ayolah kita periksa ke sana," ujar Peter. 
Dengan sikap gagah, Sapta Siaga merintis hutan menuju 
ke tempat yang dtunjukkan oleh Colin. Tenitu saja mereka 
bersikap gagah, karena bukankah mereka kini sudah mulai 
bertualang lagi? Sesampai di tempat yang dtuju, mereka 
berhenti lalu tengadah memandang tembok yang tinggi. 

Jarak dari atas tembok sampai ke tanah paling sedikit ti- 
ga sampai empat meter. Bagaimana mungkin bisa meman- 
jat tembok setinggi tu, kalau tidak mempergunakan tang- 
ga? 

"Lihatlah — di sini tempat ia meloncat ke tanah," kata 
Pam tiba-tiba, sambil menunjuk ke sebuah jejak yang da- 
lam di tanah. Letaknya tak jauh dari pohon yang berdaun 
runcing. Keenam anak lainnya berkerumun mendekat un- 
tuk ikut melihat. 

"Ya, betul! Mestinya jejak orang itu sewaktu meloncat 
ke bawah.” ujar Peter. "Sayangnya jejak ini tak jelas. 
Maksudku, kalau yang ada di sini ini benar benar berupa 
jejak sepatu, rasanya banyak yang dapat kita lakukan 
dengannya. Tapi yang kelihatan cuma sebuah lubang bela- 
ka. Barangkali ini bekas tumit sepatunya " 

"Aku kepingin melihat sebentar ke balik tembok ini." ka- 
ta Pete dengan sekonyong-konyong. "Barangkali saja di 
sana kita bisa menemukan jejak sepatu. Ayo kita minta 
izin pada tukang kebun untuk masuk ke pekarangan. Aku 
kenal padanya. Dia teman pemeliharaan sapi-sapi kami." 

"Baik gagasanmu tu, Peter," ujar George menyetujui. 
Mereka berbondong-bondong menuju ke depan. Tukang 
kebun yang mereka cari sedang sibuk bekerja di halaman 
depan, tak jauh dari pintu gerbang besi yang besar, ia 
memandang ke arah anak-anak yang ribut memanggil- 
manggil. 

"Johns!" seru Peter. "Bolehkah kami masuk ke dalam? 
Kami ngin melihat-lihat sebentar. Kami ingin memeriksa, 
barangkali menemukan jejak pencuri kalung majikan An- 
da! Kemarin kami melihatnya, sewaktu ia memanjat ke 
luar lewat tembok. Kami sudah melaporkannya pada poli- 
si. Kata Pak Inspektur, kami harus menajamkan mata. Ka- 
rena itu kami ngin melihat-lihat ke dalam, barangkali saja 
akan berhasil menemukan jejaknya." 

Johns tertawa lebar. Orang itu memang ramah. Ger- 
bang besi yang besar dibukanya. 

"Yah, masuklah! Rasanya tak akan terjadi apa-apa, 
kalau kalian kuantarkan." katanya. "Aku juga heran, ba- 
gaimana pencuri itu bisa memanjat tembok setinggi ini. 
Kemarin siang aku sibuk terus bekerja di pekarangan 
depan. Jadi kalau sewaktu masuk dia lewat gerbang, pasti 
aku melihatnya, tapi aku tak melihat seorang pun masuk.” 

Dengan diantar oleh Johns, ketujuh anak itu mengitari 
pekarangan sepanjang tembok. Di suatu tempat Colin 
melihat pucuk pohon berdaun runcing, serta puncak pohon 
eik menonjol di atas tembok, ia berhenti melangkah. 

"Di sinilah tempat pencuri itu memanjat tembok," ujar- 
nya. "Sekarang kita mulai saja mencari bekas kaki." 

Di tanah sekitar situ terdapat beberapa bekas — tapi tak 
satu pun di antaranya merupakan bekas kaki atau sepatu. 

Para anggota Sapta Siaga membungkukkan badan, un- 
tuk memperhatikan bekas-bekas tu. 

"Aneh benar bekas-bekas ini," ujar Peter sambil meng- 
geleng-geleng. la heran. "Kelihatannya rata dan bundar, 
ukurannya sekitar tujuh sampai delapan sentimeter. Se- 
olah-olah ada gagang sapu yang besar dihentak-hentak- 
kan ke tanah. Menurut anda, apa yang mungkin menye 
babkan adanya bekas bekas ini, Johns?" 

"Entahlah," gumam Johns. Tukang kebun itu juga he 
ran melihat bekas-bekas yang aneh di tanah tu. "Tapi 
barangkali polisi akan berhasil mengetahuinya karena 
bukankah mereka sekarang sudah tahu bahwa kalian 
melihat pencuri meloncati tembok di tempat ini." 

Mereka semua asyik meneliti tanah, memeriksa jejak-je- 
jak yang berbentuk bundar. Tak ada yang tahu bekas apa 
tu. Kelihatannya seperti ada tongkat sapu yang agak be 
sar dipukui-pukuikan ke tanah. Tapi untuk apa sapu dipu- 
kul-pukulkan ke tanah? Lagipula apa hubungan bekas-be- 
kas tersebut dengan pencuri yang memanjat tembok? 

"Satu hal dapat kupastikan, pencuri itu tidak memper- 
gunakan tangga," ujar Johns menyatakan pendapatnya. 
"Semua tanggaku tersimpan dalam gudang, yang pintunya 
terkunci. Kuncinya ada dalam kantongku, jadi pasti tang- 
ga-tangga itu masih lengkap di daiam. Aku benar-benar bi- 
ngung bagaimana cara pencuri itu memanjat tembok se- 
curam ini!" 

"Rupanya dia itu seorang akrobat." ujar Janet sambil 
menengadah memandang tembok. Tiba-tiba anak perem- 
puan itu melihat sesuatu di atas. Dengan segera 
dtunjukkannya jari ke benda yang dilihatnya tu. 

"He — lihatlah — tu, kira-kira di pertengahan tembok! 
Itu, tersangkut pada ujung baitu bata yang menonjol! 
Apakah tu? ’ 

Semua memandang ke arah yang dtunjukkan oleh 
Janet. 

"Kelihatannya seperti segumpal benang wol," ujar Pam 
sesudah menatap beberapa saat lamanya. "Mungkin ke- 
tika pencuri memanjat tembok pakaiannya tersangkut pa- 
da ujung yang menonjol tu. Dan benang itu terlepas, ke- 
tika pencuri menarik badannya ke atas tembok." 

"George, tolong naikkan aku ke atas," ujar Peter. "Aku 
ingin mengambil benang tu. Barangkali saja merupakan 
bukti penting." 

George menjunjung Peter di atas pundaknya. Dengan 
sekali sambar, Peter berhasil mengambil benang wol itu 
lalu turun kembali. Dengan segera anak-anak berkerumun 
memperhatikan.

Kelihatannya biasa saja — benang wol biru dengan 
sehelai benang merah halus terjalin dalamnya. Anak-anak 
memperhatikan penemuan mereka dengan saksama. 

"Mungkin saja benang ini tercabut dan waju wol yang 
dikenakan pencur, " ujar Janet pada akhirnya. "Sekarang 
kita lihat saja, barangkali berjumpa dengan orang 
mengenakan baju panas yang terbuat dari wol berwarna 
biru, dengan benang merah terjalin dalamnya!" 

Sesudah itu ada lagi yang ditemukan — sesuatu yang 
jauh iebih menarik daripada benang woi biasa! 


VII 
Skippy menemukan sesuatu 


Sebetulnya Skippy yang berhasil menemukan barang 
bukti yang paling menarik. Karena tenitu saja anjing 
spanil peliharaan Peter dan Janet itu diajak serta. 
Dengan rajin anjing itu mengendus-endus kian ke mari, 
seolah-olah sangat tertarik pada bekas-bekas bundar 
yang aneh di tanah. Tapi tiba tiba Skippy menggonggong
 dengan ribut, sehigga perhatian anak-anak beralih padanya. 

"Ada apa, Skip? Kenapa kamu menggonggong?" tanya 
Peter. 

Skppy masih terus menggonggong Ketga anak pe- 
rempuan anggota Sapta Siaga cepat-cepat memandang 
berkeliling, dsngan agak ketakutan. Jangan-jangan ada 
orang yang bersembunyi di balik semak. 

Skippy menggonggong sambi menengadah. Ribut 
sekal kedengarannya 

"Sudah, diam!" ujar Peter dengan jengkel. "Lebih baik 
kaukatakan saja apa yang kaulihat Skip! Diam, kataku!" 

Aneh juga si Peter. Mana mungkin Skippy dapat mence- 
ritakan apa yang dilihatnya. Anjing tak pandai bercerita, 
bisanya hanya menggonggong saja. Karena itu Skippy 
berhenti menyalak sebentar. Dipandangnya Peter seolah- 
olah menyesali. Sudah itu Skippy menengadah kembali, 
lalu mulai menggonggong lagi. 

Semua ikut memandang ke atas, untuk melihat apa
yang menyebabkan Skippy begitu ribut. Ah. rupanya 
anjing itu melihat sebuah peci tersangkut pada ranting 
sebatang pohon di dalam pekarangan ! 

"Eh, lihatlah tu!" ujar Peter dengan heran. "Ada peci di 
atas pohon! Mungkin kepunyaan pencuri." 

"Kalau kepunyaannya, untuk apa dilempar ke atas 
dahan?" tanya Janet. Ia agak ragu-ragu. "Masakan ada 
pencuri yang meninggalkan barang seperti tu!" 

Letak peci itu terlampau tnggi, sehingga tak dapat 
dijangkau dengan tangan. Hampir sama tinggi dengan tepi 
tembok sebelah atas. Tukang kebun pergi mencari seba 
tang tongkat, untuk mengambil peci tu. 

'Bisanya peci itu sampai di sana, pasti karena dilem- 
parkan ke atas," ujar George. "Karena itu aku rasa 
pemiliknya bukan si pencuri. Masakan dia melemparkan 
pecinya ke atas, meninggalkan barang bukti yang begitu 
penting!" 

"Betui juga katamu!" kata Peter mengakui kebenaran 
kata temannya. "Tak mungkin itu pecinya. Barangkali ada 
gelandangan yang lewat di sini, iaiu mencampakkan pe- 
cinya ke atas." 

Sementara itu Johns sudah kembali dengan membawa 
sebatang bambu. Dicongkelnya peci itu dari dahan, sehing- 
ga terjatuh ke tanah. Dengan sigap Skippy menerkam. 

"Ayo, lepaskan Skip! Lepaskan, kataku!" seru Peter 
memerintah. Skippy menurut, meskipun sebenarnya ia 
ingin bermain-main dengan barang yang ditemukan oleh- 
nya tu. 

Ketujuh anggota Sapta Siaga memperhatikan peci tua 
tu. Barangnya terbuat dari kain tweed berkotak-kotak. 
Mestinya sewaktu masih baru, warna kotak-kotak itu 
sangat menyolok. Tapi sekarang sudah hampir-hampir tak 
kelihatan lagi karena sangat kotor. 

"lh, kotor sekali peci ini" ujar Janet sambil meman- 
dang dengan perasaan jijik. "Pasti pemiliknya orang g
elandangan, yang karena sudah bosan memakai lantas men- 
campakkannya ke dalam pekarangan gedung ini. Ternyata 
tersangkut di dahan. Aku yakin peci ini bukan merupakan 
barang bukti!" 

"Mungkin benar juga katamu tu.” sambut Colin sambil 
memutar-mutar peci ditangannya. "Kalau begitu kita lem- 
parkan saja ke Hutan Semak. Sayang, Skip! Tentunya kau 
tadi mengira teiah menemukan barang bukti yang maha - 
penting." 

Tangannya sudah siap hendak mencampakkan peci 
rombengan tu, tapi sempat dicegah oleh Peter. 

"He, he — jangan dibuang! Tidak ada salahnya bila pe- 
ci ini kita simpan dulu. Siapa tahu kaau ternyata me 
rupakan barang bukti, menyesal kita nantinya. Tapi se- 
benarnya aku sependapat denganmu. Rasanya ini bukan 
bukti." 

"Terserahlah kalau begtu. Tapi kau saja yang menyim 
pan barang bau ini," ujar Colin sambil menyerahkan peci 
itu kepada Peter. "Tak mengherankan kalau sampai 
dibuang oleh pemiliknya. Baunya bukan main." 

Peter memasukkan peci ke dalam kantong. Sudah itu 
diambilnya lembaran benang wol biru yang juga mereka 
temukan, lalu diselipkannya dengan hati-hati di antara 
halaman buku catatannya. Peter memandang ke tanah, di 
mana nampak bekas-bekas jejak yang aneh. 

"Sebaiknya kita juga mencatat bentuk dan ukuran jejak- 
jejak ini." katanya mempertimbangkan. "Kau membawa 
penggaris, Janet?" 

Tenitu saja Janet tidak membawanya. Siapalah yang per- 
gi ke hutan membawa penggaris! Tapi untung George 
mempunyai seutas tali. Dengan tali itu ia mengukur garis 
tengah bekas-bekas bundar yang kelihatan di tanah. 
Sesudah diukur dengan tepat dipotongnya tali tu. 

"Inilah ukuran garis tengah jejak-jejak ini." ujarnya sambil 
menyerahkan potongan tali kepada Peter, yang dengan 
hati-hati menyelipkannya ke daiam buku catatan. 

"Entah kenapa, tapi menurut perasaanku bekas-bekas 
aneh ini juga merupakan bukti," ujarnya sambil menyim- 
pan buku catatannya. "Tapi aku tak bisa membayangkan, 
jejak-jejak apa ini!" 

Mereka mengucapkan terima kasih pada Johns, dan 
kemudian pulang lewat ladang. Anak-anak tidak merasa 
telah menemukan bukti-bukti penting. Peter berharap, 
moga-moga saja petualangan mereka tidak berakhir sam- 
pai di situ saja! 

"Aku masih tetap berpendapat, hanya akrobat saja yang 
sanggup memanjat tembok setinggi tu." ujar Janet berke- 
ras. "Tak mungkin orang biasa dapat melakukannya!" 

Pada saat ia berkata begtu, mereka sampai ke jalan be- 
sar. Pada sebuah dinding di dekat situ terpasang sebuah 
plakat besar. Anak anak memperhatikannya sepintas lalu. 
Tapi tiba-tiba Peter berteriak sehingga teman-temannya 
terkejut mendengarnya. 

"Hai — coba lihat tu! Sebuah plakat rekLame sirkus. 
Lihatlah, apa yang tertulis di sana — penjinak singa, 
penunggang penunggang kuda yang gagah berani, be 
ruang-beruang yang pandai menari — badut-badut dan 
rombongan akrobat! Akrobat! Kalian akan lihat tidak? Ba- 
rangkah saja —" 

Anak-anak itu saling berpandangan. Barangkah saja Ja- 
net benar! Mereka harus menyelidikinya dengan segera ! 


VIII 
Berkunjung ke sirkus 


PETER memandang ke arlojinya. 
"Sialan!" ujarnya menyesal. "Sudah hampir saat makan 
siang. Kita harus pulang secepat-cepatnya. Nanti pukul se 
tengah tiga kita berkumpul lagi ya!" 

"Wah. kami tak bisa datang," ujar Pam dan Barbara se- 
rempak. "Kami diundang ke pesta ulang tahun." 

"Janganlah mengadakan rapat tanpa kami" kata Pam 
meminta. 

"Aku pun tak bisa datang nanti." ujar George. "Bagai- 
mana kalau besok saja kita mengadakan rapat. Apabila 
pencurinya memang benar salah seorang akrobat dari sir 
kus, maka tak mungkin dia akan sudah pergi sore ini. 
Mestinya dia tinggal di sini, sampai sirkus pergi lagi 
ke tempat lain ” 

"Tapi itu kan hanya kemungkinan saja." sela Janet. "Aku 
tadi mengatakan, hanya seorang akrobat saja yang mampu 
memanjat tembok yang begitu tinggi. Aku sendiri juga tak 
tahu pasti apakah memang pencuri itu seorang akrobat". 

"Bagaimanapun juga tak ada salahnya jika kita menga 
dakan penyelidikan," kata Peter memutuskan. "Begini 
sajalah — kita berapat besok, pukul setengah sepuluh pa 
gi. Sementara itu kalian memikirkan rencana yang dapat 
disarankan dalam rapat tu. Pasti kta akan menemukan 
jalan yang bagus!". 

Hari itu semua anggota mengasah otak memkirkan ca 
ra menyelidiki rahasa pencurian mutiara Lady Lucy. 
Bahkan daiam pesta pun. Pam dan Barbara asyik berbisik- 
bisik membicarakannya. 

"Aku setuju, apabila kita pergi saja ke sirkus,"bisik Pam. 
Bagaimana, baik atau tidak gagasan tu? Di sana akan 
dapat kita lihat, apakah Pete dapat mengenali salah 
seorang akrobat sebagai pencuri yang dilihatnya bersem- 
bunyi dalam semak". 

Keesokan harinya Sapta Siaga berkumpul lagi dalam gu- 
dang sambil membisikkan kata semboyan mereka se- 
wakitu hendak masuk. Ternyata semuanya membawa ga- 
gasan yang sama seperti rencana Pam dan Babara. 

George yang pertama-tama mengajukan usul Katanya,  
"Kita harus perg ke tempat sirkus!"

"Yaa — aku dan Pam juga hendak mengusulkannya," 
sambut Barbara. 

"Pendapatku juga begtu," kata Colin "Memang tulah 
yang sebaiknya kita lakukan. Bagaimana pendapatmu, Pe- 
ter?" 

"Aku pun setuju. Aku dan Janet sudah mencari iklan- 
nya dalam surat kabar. Ternyata sirkus akan memulai per- 
tunjukan sore ini,"jawab Peter. "Bagaimana kalau kita 
semua pergi menonton? Terus terang saja, aku tak yakin 
akan dapat mengenali muka pencuri itu lagi. Aku hanya 
melihatnya sekilas saja. Tapi tak ada salahnya jika kita 
coba." 

"Katamu, orangnya berambut hitam, sedang mukanya 
dicukur licin." ujar Colin. "Aku pun melihat bahwa rambut- 
nya berwarna hitam, sedang ubun ubunnya botak sedikit. 
Tapi sebagai bukti itu kan belum banyak?" 

"Kita punya uang atau tidak?" tanya Pam. "Maksudku 
untuk membeli karcis masuk. Aku sendiri tak punya sama 
sekali, karena kemarin sudah habis kupakai untuk membe 
li hadiah ulang tahun." 

Keenam anak yang ditanya memeriksa isi kantong me- 
reka. Uang yang ditemukan, dikumpulkan menjadi satu di 
atas meja, lalu dihtung. 

"Harga karcis untuk anak-anak tiga puluh penny." keluh 
Peter. "Bayangkan, tiga puluh penny! Apakah mereka itu 
mengira anak-anak semua kaya raya? Uang yang ada di 
sini cuma satu pound dan dua puluh penny. Jadi hanya 
empat orang saja dari kita yang bisa pergi.” 

"Nanti dulu! Dalam kotak tabunganku ada enam puluh 
penny." kata Janet. 

"Dan aku juga masih punya dua puluh sembilan penny 
di rumah," sambung Colin. "Masih kurang satu penny iagi. 
Siapa yang punya satu penny?" 

"Aku bisa meminjamnya dari Susi." kata Jack. 

Tapi jangan sampai kausebutkan kata semboyan kita 
sebagai penebusnya!" ujar Colin mengganggu, dan dibalas 
dengan tendangan oleh Jack yang mendengus marah. 
"Baiklah kalau begtu. Kita semua dapat pergi menon- 
ton sirkus," kata Peter dengan gembira. "Nanti sore kita 
berkumpul di lapangan sirkus sepuluh menit sebelum per- 
tunjukan dimulai. Awas, jangan sampai ada yang terlam- 
bat datang! Jangan lupa memperhatikan, barangkali saja 
ada seseorang disana yang memakai baju wol biru semu- 
semu merah." 

Semua datang tepat pada waktunya. Dan semua mem- 
bawa uang, kecuali Pam. Karena itu ia diberi secukupnya 
oleh Peter, untuk membeii karcis. Mereka lalu menuju ke 
loket penjualan karcis. Anak-anak itu sudah gelisah sekali. 
Menonton sirkus selalu menyenangkan tetapi menonton 
sambil mencari cari pencuri jauh lebih mengasyikkkan lagi. 

Tak lama kemudian mereka sudah duduk di tempat ma- 
sing-masing. Tujuh pasang mata memandang dengan 
penuh perhatian ke arah gelanggang bundar yang ditaburi 
serbuk gergaji di tengah tengah tenda yang lapang. Orkes 
memainkan lagu gembira, ditingkahi genderang berden- 
tam-dentam. Anak-anak menegakkan duduk mereka, 
menatap dengan leher terjulur panjang. 

Pertunjukan dimulai Seiringan kuda masuk dengan 
langkah anggun, bulu-bulu penghias kepala mereka ter- 
angguk-angguk. Kemudian menyusul rombongan badut, 
jungkir balik sambil berteriak-teriak lucu. Sudah itu menyu- 
sul barisan beruang, disambung oleh artis-artis selanjut- 
nya. Semua masuk beruntun-runtun, memberi salam ke 
pada para penonton dengan tersenyum. 

Ketujuh anggota Sapta Siaga mencari-cari rombongan 
akrobat. Tetapi mereka bercampur baur dengan para artis 
lainnya. Peter dan kawan kawannya melihat lima orang 
badut dan tukang sulap, dua orang artis yang berjalan 
dengan sangat mahir dengan sepasang jangkungan, serta 
lima orang naik sepeda yang aneh-aneh bentuknya. Sukar 
sekali mengetahui apa saja di antara mereka itu yang 
sebenarnya akrobat. 

"Pertunjukan akrobat menurut programa akan tampil 
nomor tiga." ujer Peter. 
"Mula-mula pertunjukan kuda sesudah itu menyusul 
badut-badut, dan kemudian tampil para akrobat."

Ketujuh detektif cilik itu menunggu, sambil menikmati 
pertunjukan sirkus. Mereka bertepuk tangan melihat 
kepandaian kuda kuda menari, dan sesudah itu tertawa 
terbahak bahak memandang kejenakaan para badut yang 
aneh aneh tingkah polahnya. 

"Nah sekarang datang giliran para akrobat." bisik Peter 
dengan gelisah. "Ayo, Colin — sekarang kita harus 
memperhatikan dengan seksama!" 


IX 
Gagasan baik yang mengecewakan 


PARA AKROBAT masuk ke gelanggang pertunjukan 
sambil jungkir baiik dan meloncat-loncat tinggi ke atas. 
Satu dari mereka berjalan dengan tubuh dilengkungkan be- 
gitu jauh ke belakang, sehingga kepalanya memendang ke 
depan di antara kedua belah kaknya. Wah,kelihatannya 
aneh sekali! 

Peter menyenggol Colin. 

"Colin!" katanya setengah berbisik."Lihatlah! Itu, yang 
kepalanya terselip di sela kaki. Mukanya tercukur licin, 
seperti orang yang kulihat dalam semak — dan rambut 
nya juga hitam" 

Colin mengangguk. 

"Ya — mungkin dia orangnya yang kata cari, karena 
yang lain semuanya berkumis melintang. Kita awasi saja 
dengan saksama, untuk melihat apakah dia benar-benar 
sanggup meloncat ke atas tembok atau tidak." 

Semua anggota Sapta Siaga menatapkan mata pada 
akrobat yang satu tu. Mereka telah melihat bahwa akro- 
bat-akrobat lainnya semua berkumis, sehingga tak ada 
gunanya diawasi lebih lanjut. Tapi yang satu itu cocok. 
Rambutnya hitam, dan mukanya tercukur licin. 

Bagaimanakah kemampuannya meloncat? Apakah dia 
bisa dengan mudah meloncat sampai ke atas tembok ting- 
gi? Anak-anak mengikuti gerak-geriknya dengan penuh 
perhatian. 

Ternyata akrobat tak berkumis itu paling jago dari 
semuanya. Geraknya ringan dan lincah sewaktu melon- 
cat-loncat di tengah gelanggang, kakinya seolah-olah 
sama sekali tak menyentuh tanah, ia pun sangat pandai 
menari-nari di atas tali. Sebuah tangga yang panjang dite- 
gakkan, lalu diikatkan ke kawat yang tergantung tinggi di 
bawah atap tenda. 

Anak-anak memandang dengan tekun. Akrobat itu 
meloncat ke tangga dengan gerakan iincah, lalu menaiki- 
nya dengan cepat. Begitu cekatan geraknya, sehingga 
tangan dan kakinya seakan-akan tak menyentuh anak 
tangga sedikit pun juga. Para anggota Sapta Siaga berpan- 
dang-pandangan. Jika tangga dapat dinaiki olehnya 
semudah itu maka pasti akrobat itu juga mampu melon- 
cat ke atas tembok yang tingginya empat meter! 

' Aku yakin, dialah pencurinya," bisik Janet pada Peter. 
Peter mengangguk, karena ia juga merasa yakin. Anak itu 
merasa begitu pasti bahwa akrobat yang sedang beraksi 
tulah orang yang mereka cari, sehingga ia memutuskan 
untuk mulai menikmati pertunjukan sirkus. Tak ada perlu- 
nya lagi menajamkan mata mencari pencuri. Peter sudah 
yakin, akrobat tulah yang mengambil kalung mutiara milik 
Lady Lucy. 

Pertunjukan yang mereka tonton memang sangat mena- 
rik. Beruang-beruang yang sudah dijinakkan mendapat 
giliran tampil. Kelihatannya binatang-binatang itu senang 
mempertunjukkan kepandaian mereka bertinju sesama- 
nya, dan bergulat dengan pelatih mereka. Seekor beruang 
yang masih kecil nampaknya sangat sayang pada penga- 
suhnya, sehingga tak mau melepaskan kaki pelatih itu yang 
didekapnya erat-erat. 

Janet sangat kepingin memiliki beruang kecil seperti tu, 
untuk diajak bermain-main. 

"Kelihatannya seperti beruang main-mainan yang besar 
ya." katanya kepada Pam. Pam menganggukkan kepala. 

Sesudah itu masuk lagi rombongan badut, disusul oleh 
kedua artis yang berjalan dengan jangkungan beserta tiga 
orang badut. Artis-artis jangkungan itu kelihatan kocak 
sekali. Mereka mengenakan gaun panjang menutupi 
jangkungan, sehingga kelihatannya seperti dua orang yang 
sangat jangkung. Keduanya bergerak mondar-mandir 
dengan kaku, mengejar badut-badut bertubuh kerdil yang 
mengganggu dan mengejek ejek mereka. 

Sesudah itu di tengah geanggang pertunjukan dipa 
sang sebuah kandang besi yang kokoh. Sekawan singa 
yang kelihatan galak digiring masuk ke dalamnya. Bina- 
tang-binatang buas itu menggeram-geram dan mengaum, 
nampak gigi yang runcing-runcing. Janet mengecilkan 
tubuhnya. 

"Aku tak senang melihat pertunjukan ini," katanya nge- 
ri. "Singa itu binatang liar tak layak dijinakkan. Nah, nah 
— lihat yang satu itu ! Dia tidak mau beranjak dari tempat 
duduknya. Ih. aku takut! Pasti singa itu akan menerkam 
pelatihnya." Janet menutup muka dengan kedua belah 
tangannya. 

Tapi tenitu saja singa itu tidak menerkam. Dengan sikap 
angkuh, ia melakukan tugas menurut perintah pelatihnya! 
Singa-singa itu teriatih baik. Selesai pertunjukan, raja-raja 
hutan yang sudah dijinakkan itu masuk kembali beriring- 
an, sambil menggeram-geram. 

Sesudah itu datang seekor gajah yang besar, yang 
mempertunjukkan permainan bola bersama pelatihnya. 
Kelihatannya gajah itu senang bermain bola. Para penon- 
ton bertepuk tangan ketika binatang yang berbadan besar 
itu berhasil memukul bola enam kali berturut-turut ke arah 
penonton. 

Anak-anak menonton dengan asyik. Mereka agak kece 
wa ketika pertunjukan selesai, dan mereka berada kem- 
bali di lapangan luar. 

"Wah, senang rasanya apabila kita selalu mencari pen 
curi di sirkus," kata Janet. "Nah, bagaimana pendapatmu, 
Peter? Apakah akrobat berambut hitam dan yang tercukur 
licin mukanya itu pencuri yang kita cari? Karena dari para 
akrobat, hanya dialah yang mungkin melakukannya." 

Memang! Para akrobat yang lain berkumis semua- 
nya." jawab Peter. "Enaknya apa yang kita lakukan seka- 
rang, ya? Mungkin sebaiknya kita datangi saja dia, dan 
mengajaknya mengobrol. Barangkali saja ia nanti terlan 
jur mengatakan sesuatu, yang dapat kta jadikan pegangan." 

'Tapi bagaimana caranya mendekati akrobat tu? Mesti- 
nya kan ada alasan tertentu." ujar George. 

"Ah, gampang saja! Kita minta saja tanda tangannya," 
jawab peter. "Untuk dia, pasti itu merupakan soal biasa." 

Peter ditatap teman temannya dengan kagum. Cerdas 
benar pemimpin mereka. Tak seorang pun berpikir ke stu.
 
"Sst, lihatlah." bisik Barbara. "Bukankah itu akrobat 
yang hendak kita datangi? Itu, disana — yang sedang ber 
cakap-cakap dengan pelatih beruang.Betul, memang dia. 
Bagaimana Peter — sekarang kau dapat memperhatikan 
nya dari dekat — mungkinkah dia orang yang kaulihat 
dalam semak?" 

Peter mengangguk. 

"Mungkin saja,"jawabnya. "Ayolah kita beramai ramai 
datang kepadanya, dan meminta tanda tangan. Ingat pa- 
sang mata dan telinga baik-baik!" 

Mereka berjalan menghampiri akrobat yang dimaksud. 
Artis itu terkejut ketika melihat tujuh anak datang berbon- 
dong-bondong. 

"Nah — mau apa kalian ke mari?" tanyanya sambil ter- 
tawa lebar. "Barangkali kepingin belajar berjalan di atas 
tali?" 

"Tidak, kami ingin meminta tanda tangan Anda,” jawab 
Peter sambil menatap orang tu. Dari dekat, ternyata 
kelihatan jauh lebih tua daripada sewaktu beraksi di tengah 
gelanggang pertunjukan. Akrobat itu tertawa, sambil 
mengusap dahinya dengan selembar sapu tangan besar 
berwarna merah. 

"Panas sekali hawa dalam tenda," katanya. "Tenitu saja 
kalian akan kuhadiahi tanda tanganku. Tetapi sebelumnya 
aku ingin membuka tutup kepalaku ini. Panas sekali ra- 
sanya ubun-ubun karenanya!" 

Dengan mata terbelalak, anak-anak memandang akro 
bat itu menarik rambutnya yang hitam ke atas dan lang 
sung mencabutnya. Masya Allah, ternyata akrobat itu 
memakai rambut palsu! Dan d bawahnya nampak kepala- 
nya yang botak. Aduh — sungguh-sungguh mengece 
wakan sekali. 


X
TRINKOLO 


KETUJUH anggota Sapta Siaga terkejut menatap kepala 
akrobat tu. Kepalanya botak sama sekali, kecuali bebe- 
rapa lembar rambut beruban di ubun-ubun. Tak mungkin 
dia pencuri yang dicari-cari. Colin jelas sekali melihat ubun- 
ubun orang tu, ketika ia duduk d atasnya di pohon per- 
sembunyiannya. Dan menurut kata Colin, pencuri itu 
berambut hitam. Hanya ubun ubunnya saja yang agak bo 
tak. 

Colin mengambil rambut palsu itu lalu diperhatikannya 
dengan teliti. Barangkali saja pencuri mengenakan rambut 
palsu, ketika mencuri kalung mutiara. Tapi ternyata rambut 
palsu itu lebat sekali. Sama sekali tak ada bagian yang 
gundul, juga tidak di bagan ubun-ubun. 

"Rupanya kau tertarik pada rambut palsuku." ujar akro 
bat itu sambil tertawa. "Akrobat tidak pantas kalau 
berkepala botak. Kami harus selalu kelihatan muda dan 
tampan. Nah, sekarang kalian akan kuberi tanda tangan. 
Tapi sesudah itu kalian harus pergi lagi.” 

"Terima kasih." kata Peter, sambil menyodorkan kertas 
beserta pinsil. 

Beruang kecil yang disenangi oleh Janet datang sen- 
dirian menghampiri sambil mendengus-dengus. 

"Eh, lihatlah!"seru Janet gembira "Apakah dia hendak 
datang ke tempat kita? Kemarilah, beruang manis." 

Beruang itu datang beringsut, lalu menggosok-gosok- 
kan badannya ke kaki Janet. Anak perempuan itu 
memeluknya, lalu berusaha menjunjungnya ke atas — tapi 
ternyata beruang itu terlalu berat 

Seorang pemuda bermuka masam datang mengejar, lalu 
menangkap bayi beruang pada tengkuknya. 

"Beruang bandel!"bentaknya, dan dengan kasar digun 
cang-guncangkannya tangan yang memegang tengkuk be- 
ruang. Binatang yang masih kecil itu mengeluarkan suara 
pelan, seolah-olah mengerang kesakitan. 

"Aduh, janganlah dia dihukum," ujar Janet penuh belas 
kasihan. "Beruang itu manis. Dia tidak apa-apa, hanya 
ingin melihat kami dari dekat saja!" 

Pemuda yang kasar itu berpakaian aneh. Ia mengenakan 
korset yang biasa dipakai wanita. Korset itu penuh dengan 
perhiasan yang berkelip kerlip. Kecuali itu ia juga 
memakai topi perempuan, dihiasi dengan bunga-bungaan. 
Tapi kakinya terbungkus celana panjang flanel yang 
kelihatan kotor. 

Peter memandangnya dengan heran, sewaktu pemuda 
itu menggiring beruang pergi ke kandangnya. 

"Apakah dia juga turut dalam pertunjukan?" tanya Pe- 
ter. "Rasanya aku tak melihat dia tadi" 

"Tenitu saja kau melihatnya — dia kan salah satu artis 
yang beraksi di atas jangkungan,” jawab akrobat yarsg ma- 
sih terus sibuk menuliskan tanda tangannya di atas kertas. 
"Namanya Louis. Kecuali itu ia juga ikut membanitu 
mengurus binatang. Kalian mau datang untuk melihat be 
ruang dalam kandang mereka? Beruang itu jinak-jinak 
semuanya. Dan Jumbo si gajah pasti akan senang sekali, 
apabila kalian membawakan roti untuknya. Dia juga sangat 
jinak." 

"Tenitu saja kami mau datang" seru Janet sambil ber- 
tepuk tangan. Ia sudah membayangkan, betapa asyiknyai a 
nanti bermain-main dengan beruang kecil yang lucu. 
"Bolehkah kami datang besok?" 

"Baikiah kalian bisa datang besok pagi,"jawab akiobat. 
"Katakan saja kalian mencari Trinkulo — tulah namaku. 
Aku akan berada di sekitar sini." 

Ketujuh anak itu mengucapkan terima kasih, lalu pergi 
meninggalkan tempat tu. Mereka berdiam diri sampai 
pembicaraan mereka tak mungkin lagi terdengar oleh 
orang-orang sirkus. 

"Lega rasanya hatiku karena pencuri yang kita cari ter 
nyata bukan akrobat tadi," ujar Janet. "Dia sangat ramah. 
Aku juga senang melihat mukanya yang lucu. Wah, aku ta- 
di terkejut sekali sewaktu rambutnya yang hitam dicabut 
dan terlepas." 

"Aku juga terkejut," sambung Peter. "Mulanya kukira 
aku masih dapat mengingat muka si pencuri. Sewaktu 
kulihat muka Trinkulo, aku sungguh-sungguh yakin bahwa 
dia mirip dengan si pencuri yang kita cari. Padahal sama 
sekali tak serupa. Misalnya saja, orang yang kulihat dalam 
semak jauh lebih muda dari dia." 

"Menurut pendapatku, kita jangan lagi memperhatikan 
muka," usul Colin. "Lebih baik kita berusaha menemukan 
orang yang mengenakan baju wol biru dengan jalinan 
benang merah." 

"Kalau begitu kita kan terpaksa berkeliaran di seluruh 
daerah sini mencari orang yang berpakaian begitu ,"
sanggah Pam. "Terus terang, seperti pekerjaan orang sin- 
ting saja." 

" Barangkali kau mempunyai usul yang lebih baik?" balas . 
Colin. 

Sayang, Pam tak tahu akal. Begitu juga halnya dengan 
teman-teman yang lain. 

"Kalau begitu kita sampa di jalan buntu." ujar Peter mu 
rung. "Ah, rasanya tidak asyik rahasia ini. Setiap kali 
kita mengira menemukan jejak — ternyata salah lagi!" 

"Bagaimana kalau besok kita datang lagi ke tempat sir- 
kus?" tanya Pam. "Bukan untuk mencari pencuri, karena 
sekarang kita sudah tahu bahwa orang yang kita cara bukan 
akrobat. Maksudku, kita datang untuk melihat binatang- 
binatang mereka." 

"O ya. aku setuju! Aku senang pada beruang kecil tadi," 
sambut Janet. "Aku pun kepingin melihat Jumbo dari 
dekat. Gajah termasuk bnatang yang kusenangi." 

"Mungkin aku tidak ikut,"kata Barbara. "Aku agak takut 
melihat gajah. Badan mereka sebesa raksasa." 

"Aku juga segan datang," kata Jack "Kau bagaimana 
George? Kita kan sudah berjanji besok akan tukar menu- 
kar perangko." 

"Betul juga — kalau begitu kami tak bisa ikut," sahut 
George."Kau kan tidak marah Peter? Karena bermain- 
main dengan beruang dan gajah sama sekali tak ada 
hubungannya dengan tugas kita selaku anggota Sapta 
Siaga." 

"Baiklah, kalau begitu yang pergi hanya aku, Janet, Pem 
dan Colin." ujar Peter. "Tapi jangan lupa kita mencari 
orang yang mengenakan baju wol biru semu-semu merah.
Siapa tahu, barangkal saja kalian berjumpa dengannya —" 


XI 
Pam menemukan tanda bukti 


KEESOKAN HARINYA Peter datang lagi ke lapangan 
tempat sirkus bermain, dengan disertai oleh Janet, Colin 
dan Pam. Skippy tidak diajak, karena mereka takut Jumbo 
akan marah apabila anjing itu mengendus-endus dekat 
kakinya. Skippy sangat kesa ditinggalkan sendiri. Sewaktu 
mereka sudah jauh pun, masih terdengar loiongannya 

"Kasihan si Skippy," ujar Janet. "Aku sebetulnya kepi- 
ngin mengajak dia, tapi jangan-jangan nanti masuk ke kan 
dang singa. Skippy memang terlalu ingin tahu!" 

Tidak lama kemudian mereka sampai ke tempat sirkus 
bermain. Mereka melintasi lapangan, sambil memperhati- 
kan orang orang sirkus dengan penuh minat. Lain benar 
nampaknya, kalau mereka berpakaian biasa! Kalau se- 
dang beraksi di tengah gelanggang, nampak sangat me- 
narik tetapi sekarang seperti manusia-manusia biasa saja 
kelihatannya. 

Beberapa orang di antara mereka menyalakan api ung- 
gun di tengah lapangan, dan nampak sedang sibuk mema- 
sak sesuatu dalam belanga hitam yang digantungkan di 
atas api. Bau masakan sangat sedap, sehingga Peter me- 
rasa lapar dibuatnya. 

Mereka berhasil menemukan Trinkulo. Ternyata akrobat 
itu menepati janji. Diajaknya anak-anak berkenalan dengan 
Jumbo, gajah besar yang pandai bermain bola. Gajah itu 
bersuara riang, kedengarannya seperti bunyi terompet. 
Kemudian diliiitkannya beialai yang panjang ke tubuh 
Janet, lalu anak perempuan itu diangkat dan diletakkan- 
nya di atas pundak yang lebar. Janet berseru karena terke- 
jut bercampu senang. 

Kemudian mereka pergi mendatang beruang kecil, yang 
senang sekali melihat anak anak tu. Diulurkannya kaki 
depan dan ceiah celah terali kandangnya. Rupanya ingin 
menjangkau tangan mereka. Trinkulo membuka pintu kan- 
dang dan mengeluarkan beruang kecil tu. Dengan segera 
binatang itu berjalan mendekat, lalu mendekapkan kedua 
belah kaki depannya ke betis Trinkulo. Matanya yang 
jenaka menatap keempat anak yang mengerumuni. 

"Sayang badannya terlampau berat," sesal Janet. Anak 
perempuan itu selalu ingin menjunjung setiap binatang 
yang disenangi olehnya untuk d peluk peluk."Kalau diper- 
bolehkan, aku kepingin membelinya." 

"Wah, bagaimana si Skippy nanti apabila kita pulang 
membawa beruang?" tanya Peter. 

Sesudah itu mereka diajak oleh Trinkulo melihat-lihat ke 
kandang singa. Pemuda bermuka masam yang bernama 
Louis ada disitu bersama seorang lagi. Mereka berdua se 
dang bekerja, membersihkan kandang. Louis tetap ber- 
muka masam, tetapi teman kerjanya tertawa ramah ketika 
melihat keempat anak tu. Seekor singa mengaum sehing- 
ga Janet terlompat ke belakang karena terkejut. 

"Jangan takut," kata orang yang mengajak tersenyum 
tadi Rupanya ia pelatih singa-singa tu. "Singa-singa ini 
tidak apa-apa. Mereka hanya berbahaya dalam keadaan 
lapar. Tapi walau begitu jangan berdiri terlalu dekat, Nak! 
He, Louis — air dalam palung ini sudah kotor sekali. Isilah 
dengar air yang bersih." 

Perintah itu dilakukan oleh Louis. Anak-anak 
memperhatikan pemuda itu menumpahkan isi palung yang 
sudah kotor lalu mengisinya kembali dengan air bersih. 
Kelihatannya ia sama sekali tak takut terhadap singa si- 
nga yang berada d dekatnya. Janet kurang suka terhadap 
pemuda tu. Tapi harus diakuinya bahwa Louis pernberani. 

Sayang, mereka tidak dapat terus- menerus di stu. Peter 
dan ketiga anak lainnya meminta diri pada Trinkuio sambil 
mengucapkan terima kasih. Sesudah menepuk-nepuk be- 
ruang kecil sekali lagi mereka berempat berjalan ke tem- 
pat Jumbo ditambatkan. Kaki gajah yang besar seperti 
tiang ditepuk-tepuk oleh mereka. Lalu mereka pun berjalan 
menuju pintu ke luar, melalui deretan kereta-kereta tempat 
tinggal orang orang sirkus. Kereta-kereta itu dicat berwar 
na warni. Beberapa orang penghuni kereta-kereta itu 
kelihatan sedang sibuk mencuci. Pakaian yang sudah ber 
sih mereka bentangkan di rumput supaya kering. Ada pula 
beberapa orang yang merentangkan tali jemuran. Macam- 
macam yang digantungkan di stu, melamba -lambai di- 
tiup angin. 

Keempat anak itu lewat sambil melihat-lihat sepintas 
lalu. Tiba-tiba Pam berhenti berjalan. Matanya menatap 
sesuatu yang tergantung pada tali jemuran. Kemudian ia 
berpaling memandang teman-temannya. Kelihatannya 
sepert habis melihat sesuatu yang penting, sehingga ke 
tiga temannya buru-buru datang mendekat. 

"Ada apa?" tanya Peter. "Kenapa mukamu menjadi me- 
rah ?" 

"He — nanti dulu, ada yang memperhatikan kita atau ti- 
dak?" tanya Pam setengah berbisik. Ternyata orang-orang 
sirkus sedang sibuk dengan pekerjaan masing- masing. 
"Nah Peter — cepatlah Perhatikan kaos-kaos kaki yang 
bergantungan pada tali jemuran tu. Kau teringat pada apa 
kalau melihatnya ?"

Teman-temannya memandang ke arah cucian yang ter- 
gantung pada tali jemuran. Ada sapu tangan yang sudah 
robek, beberapa potong baju rok anak anak, begitu pula 
kaos-kaos kaki. Sejenak Peter mengira bahwa Pam tadi 
melihat baju wol berwarna biru. 

Tapi pada tali jemuran itu sama sekali tak kelihatan 
tergantung baju wol biru. Jadi apa sebetulnya yang mena- 
rik perhatian Pam! Kemudian baru terlihat olehnya benda 
yang dimaksudkan oleh temannya tu. 

Pandangan Pam tertatap pada sepasang kaos kaki wol 
berwarna biru. Tidak biru polos, tetapi dengan sejalur 
benang merah terjalin memanjang. Seketika itu juga Peter 
tenngat kepada benang wol yang terselip dalam buku ca 
tatannya. Mungkinkah benang tersebut be asal dari kaos 
wol yang tergantung di jemuran? 

Dengan segera Pete mengeluarkan buku catatan dari 
sakunya, lalu mengambil benang wol yang masih terselip 
di dalamnya. Benang itu didekatkan ke kaos yang tergan 
tung untuk diperbandingkan. Warna birunya cocok. Me- 
rahnya juga sama. Sedang kelihatannya benang wolnya 
juga sejenis. 

"Dan ini — lihatlah!" ujar Pam bersungguh-sungguh. 
"Kaos ini nampaknya pemah tersangkut — ini, di sini — 
ada benangnya yang tercabut, sehingga kelihatan berlu- 
bang kecil. Sekarang aku yakin betul, Peter! Benang biru 
yang kita temukan berasal dari kaos kaki inil" 

Peter juga berperasaan begtu. Tapi sebelum mereka 
sempat memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya 
tahu-tahu muncul seorang perempuan tua. Perempuan itu 
mengusir mereka, sambil marah-marah. 

"Mau apa kalian di sini! Awas, jangan pegang kaos-kaos 
tu!" katanya. 

Karena perempuan tua itu sudah marah-marah, Peter 
tidak berani lagi menanyakan nama pemilik kaos kaki yang 
menarik minat mereka tu. Sayang! Karena kalau ia 
mengetahui nama orang tu, maka dengan segera ia pun 
akan mengetahui siapa pencuri kalung mutiara milik Lady 
Lucy ! 


XII 
William yang berkaki palsu 


PEREMPUAN TUA semakin marah, ketika melihat anak- 
anak tidak segera pergi. Pam ditolakkannya sedikit, sehing- 
ga anak perempuan itu terdorong ke depan. 

"Kalian tuli rupanya 1 Ayo pergi!" pekiknya. Dengan 
cepat anak-anak menyingkir, karena takut kalau-kalau pe- 
rempuan itu mengamuk nantinya. Dengan cepat mereka 
meninggalkan lapangan tempat sirkus. Semuanya ber- 
diam diri tapi nampak bahwa mereka sibuk memikirkan 
tanda bukti yang baru saja mereka temukan. Dan begitu 
mereka berada di jalan besar, ketujuh anak itu berebutan 
hendak berbicara. 

Cobalah selama ini kita sibuk mencari-cari baju wol. 
Siapa mengira bahwa benang itu berasal dari kaos kaki !" 

"Tapi  sudah pasti benang itu dari kaos kaki yang kita 
lihat tadi. Warna benangnya persis sama dengan benang 
yang kita temukan tersangkut pada permukaan tembok." 

"Aduh, sayang kita tak berani menanyakan nama 
pemirik kaos itu !" 

"Ya. coba kita berani tadi — pasti sekarang kita tahu 
siapa pencurinya !" 

Anak-anak itu lari cepat-cepat ke arah rumah Peter dan 
Janet karena mereka ingin membicarakan tindakan selan- 
jutnya. Ketka mereka membuka pintu gudang yang tak 
terkunci, ternyata Jack, George dan Barbara sudah 
menunggu di dalam! Ketiga anak itu tak memberi ke 
sempatan kepada keempat teman mereka untuk bercerita 
perihal kaos kaki. 

"Peter! Janet!" ujar Jack, begitu ia melihat Peter beser- 
ta rombongan muncul di pintu. "Kalian masih ingat pada 
bekas-bekas aneh berbentuk bundar yang kita lihat di 
tanah dalam pekarangan Milton Manor? Kami menemu- 
kan bekas-bekas yang persis seperti itu di tempat Sain!" 

"Di mana kalan melhatnya?" tanya Peter. 

"Di tempat yang agak becek dekat sebuah pondok yang 
bobrok" kata Jack lagi. "Kebetuan aku lewat disitu ber 
sama George. Begitu kami melihat bekas-bekas aneh itu di 
tanah, dengan segera kami pergi menjemput Barbara. 
Sesudah itu kami ke mari, untuk menceritakannya pada 
kalian. Dan hebatnya, Barbara tahu benda apa yang 
meninggalkan jejak sepert itu di tanah!" 

"Pasti kalian takkan bebas  menebaknya" ujar Barba 
ra dengan bangga. 

"Ayo, jangan main teka teki lagi. Katakanlah." desak 
Janet tak sabar. Ia sudah lupa pada kaos kaki biru yang 
mereka lihat terjemur pada tali di lapangan sirkus. 

"Aku pun mula-mula tak tahu jejak jejak rata dan bundar 
yang kamu lihat itu bekas apa,"kata Barbara. "Tapi kemu- 
dian aku teringat siapa yang tinggal dalam pondok tua di 
dekat stu. Dan seketika itu juga aku tahu bekas apa yang 
kami lihat itu ” 

"Bekas apa ?" tanya Peter cepat-cepat. Ia sudah tak sa 
bar lagi. 

"Kau tahu siapa yang tinggal di pondok tua tu?" tanya 
Barbara. Ketika ia melihat mata Peter mulai membelalak, 
lekas-lekas disambungnya, "Kau tak tahu rupanya. Orang 
yang tinggal di situ bernama Willam. Dia dulunya pelaut. 
Kakinya buntung sebelah karena disambar ikan hiu. Seka 
rang dia memakai kaki palsu, yang terbuat dari kayu. Apa 
bila ia berjalan di tanah yang lembek, kaki palsunya itu 
meninggalkan bekas-bekas yang bundar bentuknya. Per- 
sis seperti bekas-bekas yang kita lihat di dekat tembok 
dalam pekarangan Milton Manor. Jadi mestinya Pak tua 
William tulah pencuri yang kita cari !" 

Anak-anak duduk sambil memikirkan kemungkinan tu. 
Tapi kemudian Peter menggelengkan kepala. 

"Tidak! Tidak mungkin," katanya tegas. "Tak mungkin 
Pak tua Wiiliam yang mencuri. Dengan kakinya yang palsu 
sebelah, mana mungkin dia bisa memanjat tembok yang 
tinggi! Lagi pula pencuri yang kita cari mengenakan sepa- 
sang kaos, hal mana berarti kedua belah kakinya masih 
lengkap" 

"Eh! Dari mana kau tahu bahwa dia memakai kaos 
kaki?" tanya Barbara dengan heran. Lalu Peter bercerita, 
bahwa mereka melihat sepasang kaos wol biru tergantung 
pada jemuran di lapangan tempat sirkus. Barbara berpikir 
sejenak. Sesudah itu ia berkata lagi. 

"Kalau begitu pencuri yang kita cari memang masih 
lengkap kedua kakinya. Tetapi kenapa Pak tua Wiiliam tak 
mungkin ikut dalam pencurian tu? Pokoknya bekas-bekas 
yang kami lihat dekat pondoknya, persis sama dengan tan- 
da-tanda bundar yang kelihatan di pekarangan Milton 
Manor! Dia kan bisa saja menolong, misalnya saja untuk 
menjunjung pencuri sewaktu hendak memanjat tembok ke 
daiam. Kalau tidak, untuk apa Pak tua William Iitu ada di 
sana?" 

"Itulah yang harus kita selidiki sekarang." jawab Peter 
sambil bangkit. "Ayolah! Kita pergi ke sana, untuk 
mengajukan beberapa pertanyaan padanya, dan untuk 
melihat jejak-jejak yang kalian lihat. Sama sekali tak terpi 
kir olehku bahwa bekas bekas di tanah itu disebabkan oleh 
kaki kayu!" 

Mereka pun berjalan menuju ke pondok tua tempat ting 
gal bekas pelaut tu. Tanah didepan rumah itu agak be 
cek. Dan benarlah, di situ nampak jeias jejak-jejak berben- 
tuk bundar. Persis seperti yang dilihat anak-anak itu di 
pekarangan Milton Manor! Peter membungkuk untuk 
menelitinya lebih dekat lagi. Agak lama juga ia meng- 
amat-amati bekas-bekas di tanah becek tu. Akhirnya ia 
menggeleng 

"Hm — tidak! Bekas-bekas ini tidak persis sama seperti 
yang kita lihat dulu. Ukurannya lebih kecil. Lihatlah sen- 
diri !" Sambi berkata begtu, Peter mengeluarkan benang 
biru dari buku catatannya, dan melintangkannya di atas 
salah satu jejak yang dihadapinya. Benarlah! Benang itu 
lebih panjang kira-kira dua senti dari garis tengah jejak. 
"Aneh!" seru George. "Kalau begitu bukan Pak tua 
Wiiliam yang meninggalkan bekas-bekas kak palsunya di 
dalam pekarangan Milton Manor. Mungkinkah masih ada 
orang lain di daerah sini, yang juga berkaki palsu? Mesti- 
nya kaki palsu itu agak lebih besar dari yang ini !" 

Anak-anak sibuk mengingat-ingat. Tapi tak seorang pun 
mengenal orang lain yang juga berkaki kayu. Benar-benar 
menjengkelkan ! 

’Kita ini selalu mengira telah berhasil memecahkan per- 
soalan, tapi kemudian ternyata keliru lagi." ujar Peter 
dengan kesal. "Aku yakin, seorang berkaki kayu ikut serta 
dalam pencurian. Tapi orang itu bukan Pak tua Wiiliam. Se- 
dang kita juga tahu bahwa pencuri yang kita cari tak 
mungkin hanya berkaki satu, karena sudah jelas ia 
mengenakan sepasang kaos kaki. 

"Kaos kaki pencuri sudah kita temukan, tapi orangnya 
sendiri belum kita ketahui!" ujar Jane. "Rahasia ini 
semakin rumit saja jadinya. Kita menemukan hal-hal yang 
semakin menyulitkan persoalan!" 

"Menurut pendapatku, kita sebaiknya kembali saja be- 
sok ke lapangan tempat sirkus. Kita coba menyelidiki siapa 
pemilik kaos kaki tu," ujar Peter. "Walau kita tak berani te 
rang-terangan menanyakan, tapi kita masih dapat 
memperhatikan siapa yang memakainya!" 

"Betul," ujar Colin menyetujui. "Jadi besok kita berkum- 
pul di sana pukul sepuluh pagi. Setiap kaos yang dipakai 
orang di lapangan itu harus kita perhatikan dengan sak 
sama." 


XII
Jas yang cocok dengan peci 


KEESOKAN HARINYA pukul sepuluh pagi, para anggota 
Sapta Siaga sudah berkumpul di lapangan sirkus. Seba 
gai alasan kedatangan mereka, mereka mencari-cari Trin- 
kulo. Tapi akrobat itu tak kelihatan batang hidungnya. 

"Kalian mencari Trinkulo? Dia pergi ke kota," kata salah 
seorang akrobat yang mereka jumpa. "Mau apa kalian 
mencari dia ? " 

"Ah, bukan untuk apa apa. Kami hanya ingin meminta 
ijin padanya, untuk melihat lihat disini," jawab Jack. "Kami 
kepingin melihat gajah, singa. beruang —" 

"Masuk sajalah!" kata akrobat tu, lalu pergi sambil 
jungkir balik menuju ke kereta tempat tinggalrya. Anak- 
anak memandang kesigapan orang itu dengan penuh keka- 
guman. 

"Hebat benar akrobat akrobat itu." ujar Pam memuji. 
"Pandai sekal mereka jungkir balik, kelhatannya seperti 
roda berputar putar!" 

"Kenapa tidak kaucoba saja?" tanya Peter sambil me 
ringis. Pam mencobanya. Tapi baru saja tangannya me 
nyentuh tanah, badannya ikut menyusul sehingga Pam 
terjerembab. Anak anak tertawa melihatnya. Untung Pam 
bukan anak yang cepat tersinggung, ia pun ikut tertawa. 

Saat itu seorang anak perempuan yang masih kecil le- 
wat di dekat mereka. Rupanya anak itu termasuk dalam 
rombongan sirkus. Ia tertawa melihat kecanggungan Pam, 
lalu memamerkan kepandaiannya. Anak itu jungkir balik, 
silih berganti kaki dan tangannya menyentuh tanah berpu- 
tar-putar sekeliling lapangan. 

"Lhatlah anak itu," ujar George dengan agak iri. 
"Sedang anak-anak mereka pun pandai jungkir balik se-
perti roda. Kita harus berlatih dengan rajin, supaya 
sepandai mereka !" 

Sewaktu mereka mendatangi beruang kecil, ternyata 
binatang manja itu sedang tidur nyenyak dalam kandang- 
nya. Kemudian dengan hati hati ketujuh anak itu berjalan 
mendekati tempat menjemur pakaian. Tapi kaos-kaos kaki 
yang mereka lihat kemarin, sudah tak tergantung lagi pa- 
da tali jemuran. Nah! Kalau begtu, mungkin kaos itu sudah 
dipakai orang. Dan pemakainya tenitu pencuri yang me 
reka cari. 

Anak-anak berkeliaran lagi di lapangan. Dengan sem- 
bunyi-sembunyi mereka memperhatikan pergelangan kaki 
setiap orang laki-laki yang dijumpa. Tapi anehnya hari 
itu seolah-olah tak ada orang sirkus yang mengenakan kaos 
kaki. Kesal sekali anak-anak karenanya. 

Kemudian mereka melihat Louis berjalan di depan me- 
reka. Pemuda bermuka masam itu menuju ke kandang 
singa. Dibukanya pintu kandang, lalu ia masuk ke dalam 
untuk membersihkan lantai. Singa-singa yang sedang ber 
baring dianggap sepi olehnya, dan kawanan raja rimba itu 
juga tak mempedulikannya. Janet kagum sekali melihat ke 
beranlan Louis. Enak saja pemuda itu mengayunkan sapu 
dekat kaki singa. 

Louis mengenakan celana flanel kotor yang sudah 
dipakainya kemarin. Celana itu digulung sampai setinggi 
lutut, ia hanya memakai sepaitu karet yang kotor, tanpa 
kaos kaki. Warna gelap yang dilihat anak-anak bukanlah 
warna kaos, melainkan kotoran yang melekat ke kakinya. 

Beberapa saat lamanya anak-anak memperhatikan 
pemuda itu bekerja. Pada wakitu mereka berpaling hendak 
pergi, ada lagi orang datang. Dengan cepat mereka melirik 
pergelangan kakinya. Sial orang situ juga tak mengenakan 
kaos kaki. 

Tetapi Jack melihat sesuatu yang menarik perhatian.Ia 
berhenti berjalan sambil menatapkan matanya pada orang 
itu. Orang yang diperhatikannya mengerutkan dahi. Rupa 
nya agak kesal karena ditatap terus-menerus. 

"Kenapa aku kautatap terus-menerus?" tukasnya 
dengan jengkel "Barangkali ada yang tak beres? Ayo, li- 
hat ke tempat lain." 

Dengan cepat Jack memalingkan muka. Didorongnya 
teman-teman supaya berjalan terus. Begiitu mereka sudah 
agak jauh dari orang yang marah itu, Jack berbisik. 

"Kalian melihat jas yang dipakai orang tu? Bahannya 
persis seperti peci yang kita temukan tersangkut di atas 
dahan. Cuma bedanya, jas itu tak begitu kotor. Tapi aku 
yakin bahannya persis sama. 

Ketujuh anak itu berpaling ke belakang. Orang yang 
dimaksudkan oleh Jack kelihatan sedang mengecat bagi- 
an luar dari kandang singa. Jasnya dibuka dan digan- 
tungkannya pada pegangan pintu kandang. Anak-anak 
ingin sekali memperbandingkan jas itu dengan peci yang 
mereka temukan, untuk melihat apakah benar-benar sama 
bahannya. 

"Kau membawa pecinya?" bisik Pam pada Peter. Peter 
mengangguk sambil menepuk-nepuk kantong jaketnya. 

Tiba-tiba datang kesempatan baik Dari jauh terdengar 
suara memanggil. Orang yang sedang mengecat itu meno- 
leh ke arah datangnya suara, lalu meletakkan kuas di 
atas kaleng cat. Ia pergi dengan meninggalkan jasnya yang 
masih tergantung pada pegangan pintu kandang. Tanpa 
menunggu lama-lama, anak anak itu datang mengham- 
piri. 

"Kalian pura-pura mempehatikan singa-singa." ujar Pe- 
ter setengah berbisik. "Sementara itu aku memper- 
bandingkan peci dengan jasnya." Dengan segera anak- 
anak berkerumun didepan kandang, sambil bercakap-ca- 
kap mengenai singa. Peter mengeluarkan peci dari kan- 
tong jaketnya, lalu didekatkan ke jas yang tergantung. 

Dengan cepat peci dimasukkan kembali ke kantong. Tak 
mungkin keliru lagi jas dan peci dibuat dan bahan yang 
tepat sama. Kalau begitu mungkinkah orang yang sedang 
mengecat kandang itulah yang menjadi pencuri kalung? 
Tapi kenapa ia sampai melemparkan pecinya ke atas 
pohon? Kenapa penutup kepala itu ditinggalkannya di 
sana? Perbuatan itu tak masuk akal. 

Sementara itu pemilik jas datang iag sambil bersiul-siul. 
Setibanya di depan kandang, ia membungkukkan badan 
untuk mengambil kuas yang diletakkan di atas kaleng cat. 
Colin menatapkan mata ke ubun-ubun orang itu. 

Anak-anak pergi berbondong-bondong. Semuanya ingin 
tahu, bagaimana hasil perbandingan yang diakukan oleh 
Peter. Cocokkah peci dengan jas orang itu ? Sewaktu me 
eka sudah agak jauh sehingga pembicaraan mereka tak 
mungkin lagi terdengar oleh orang tu, Peter mengangguk. 

"Ya, jas dan peci terbuat dari bahan sama," katanya. 
'Jadi mungkin orang itu pencuri yang kita cari. Kita harus 
waspada mengamat-amatinya." 

"Ah, tak perlu." ujar Colin tiba-tiba. Keenam temannya 
memandang dengan heran, karena itu ia melanjutkan ke- 
terangan. "Aku tadi sempat memandang ubun-ubunnya. 
Dia bukan orang yang kulihat dalam Hutan Semak. 
Memang, rambutnya hitam, tetapi tak ada bagian yang 
agak botak di ubun-ubunnya!" 


XIV 
Nampak lagi jejak-jejak aneh 


KETUJUH ANGGOTA Sapta Siaga yang malang itu 
duduk di batang pagar yang mengelilingi lapangan sirkus. 
Mereka merasa putus asa. 

"Bayangkanlah, kita sudah berhasil menemukan orang 
memakai jas yang sama bahannya dengan peci kita. Seka 
rang ternyata pencurinya tak mungkin orang itu, karena dia 
tidak botak di bagian ubun-ubunnya," keluh Pete. 

"Nanti kalau kita berhasil menemukan orang memakai 
kaos kaki biru yang menurut kita adalah kepunyaan pen 
curi, tahu tahu kita akan salah tebak lagi." ujar Janet. "Ba 
rangkai saja kaos itu d pakai oleh bibinya, atau oleh orang 
lain lagi". Anak-anak tertawa mendengar ucapan tu. 

"Sebetulnya kita tidak tahu pasti, apakah memang benar 
peci yang di kantongku ini ada hubungannya dengan pen- 
curian kalung mutiara." kata Peter sambil berpikir. "Kita 
kan hanya menemukannya saja, tersangkut di dahan yang 
tak jauh letaknya dari tempat pencuri memanjat tembok. 

"Entah kenapa, tapi menurut perasaanku peci itu ada 
hubungannya dengan pencurian tersebut," balas George. 

Sesudah itu mereka berdiam diri lagi. Masing-masing 
termenung memikirkan persoalan yang sukar itu. Tiba-tiba 
Janet terpekik. 

"Ada apa Janet? Kau menemukan jalan baru?" tanya 
Peter. 

"Tidak. Tapi aku melihat sesuatu." jawab Janet sambil 
menunjuk ke suatu tempat di sebelah kanan mereka. Anak- 
anak mengikuti arah telunjuknya — dan mata me eka 
langsung terpaku di stu! 

Tanah di sekitar tempat yang dtunjuk oleh Janet agak 
lembab. Dan di tempat itu nampak jejak jejak sesuatu. 
Bentuknya bundar, seperti yang nampak dekat pondok Pak 
tua William, dan juga seperti bekas bekas aneh di peka- 
rangan Milton Manor! 

"Menurut perkiraanku, ukuran bekas-bekas ini persis 
seperti yang kita lihat dekat tembok," ujar Peter sambil 
meloncat turun dari pagar. Kelihatannya agak lebih besar 
dari jejak kaki palsu Pak tua W lliam. Sebaiknya kuukur 
saja." Sambil berkata begitu Peter mengeluarkan benang 
biru yang masih disimpannya, lalu dengan hati-hati di ta- 
ruhnya melintang di atas jejak yang nampak. 

'Lihatlah," ujarnya dengan gembira. "Persis sama be- 
sar. Jejak-jejak yang kelihatan di sini semuanya sama be- 
sar dengan yang kita lihat di Milton Manor!" 

"Wah, kalau begitu mestinya di sirkus ini juga ada orang 
berkaki palsu," kata Colin "Dia bukan pencurinya, karena 
tak mungkin bsa memanjat tembok yang tmgg Tapi 
mungkin saja dia ikut membantu". 

"Kita harus mencari orang tu," kata George. "Kalau kita 
berhasil mengetahui dengan siapa dia bersahabat atau 
temannya tinggal sekereta, maka kita akan menemukan 
pencuri yang dicari-cari. Dan tanggung orang itu mengena 
kan kaos kaki biru. Nah, mulai ketahuan sekarang per- 
soalannya ".

Peter memanggil anak perempuan yang tadi jungkir 
balik memamerkan kepandaiannya. 

"He, Dik — ke marilah sebentar" seru Peter. "Kami 
ingin bicara sebentar dengan orang berkaki palsu, yang ikut 
dalam sirkus kalian. Di kereta mana ia tinggal?" 

'Kau ini gila rupanya." ujar gadis itu dengan seenaknya. 
"Di sini tak ada orang yang kakinya buntung. Apa yang 
dicarinya di sirkus! Kaki kami semuanya sehat dan kami 
memerlukan sepasang kak yang sehat. Ada-ada saja kau 
ini !" 

"Nanti dulu." balas Peter dengan suara tegas. "Kami 
tahu, di sini ada seorang yang satu kakinya palsu Kam 
ingin berjumpa dengan orang itu. Ini kuberi coklat — apa- 
bila kaukatakan di mana tinggalnya. " 

Dengan cepat anak perempuan kecil itu menyambar co- 
klat yang disodorkan oleh Peter. Kemudian ia tertawa 
mengejek. 

"Coklatmu hilang percuma ! Kau memang sinting. Tadi 
kan sudah kukatakan, di sini tak ada orang yang kakinya 
buntung ." 

Sebelum Peter sempat berbuat apa apa, anak pe- 
rempuan itu sudah pergi menjauh sambil jungkir balik. 

"Bisa saja kalian mengejar dan kemudian memukul anak 
itu," seru seorang wanita yang sedang berdiri di depan se- 
buah kereta tempat tinggal,"tapi tetap tak ada gunanya. Di 
sini memang tak ada orang yang berkaki palsu." 

Sehabis bicara, wanita itu masuk ke dalam keretanya 
sambil menutup pintu. Para anggota Sapta Siaga berdiri 
dengan bingung. Tak tahu lagi mera yang harus 
dilakukan sekarang. 

"Mula muia kita menemukan jejak-jejak bundar di 
depan pondok Pak tua William. Kita sudah yakin, bahwa 
orang yang meninggalkan jejak-jejak itu pasti pencuri yang 
kita cari." ujar Peter berkeluh kesah. Tapi ternyata duga 
an kita keliru — karena Pak tua Wlliam sama sekaji tsk 
ada hubungannya dengan kejadian yang sedang kita seli- 
diki, karena jejak-jejak kaki palsunya terlalu kecil. Seka 
rang kita menemukan jejak yang tepat ukurannya — tapi 
dikatakan di sini tak ada orang yang berkaki palsu.Pusing 
kepalaku jadinya!" 

"Kita ikuti saja jejak-jejak ini," usul Janet. "Di tengah 
rumput tinggi memang tak nampak jelas, tapi barangkali 
masih cukup kelihaian." 

Ternyata mereka memang berhasil mengikuti jejak je- 
jak bundar itu. sampai ke sebuah kereta yang tidak besar 
ukurannya Kereta itu letaknya tak jauh dari kandang singa. 
Louis sedang duduk-duduk di tangga kereta sebelah. 
Dengan heran diperhatikannya anak-anak yang datang 
terbungkuk-bungkuk mengikuti jejak yang tak begitu jelas. 

Anak anak itu naik ke atas tangga kereta kecil, lalu 
mengintip ke dalam. Kelihatannya kereta itu tak ditinggali 
orang karena isinya penuh dengan bermacam-macam per- 
alatan sirkus. 

Sebutir baitu melayang, dan jatuh di dekat kaki mereka. 
Anak-anak itu meloncat karena kaget. 

"Ayo pergi! Untuk apa kalian mengintip di stu!" seru 
Louis sambil memungut sebutir batu lagi. Tangannya 
sudah siap melempar. "Ayo pergi! Kalau tidak, kulempar 
dengan baitu ini !" 


XV 
Salah masuk 


KETUJUH ANGGOTA Sapta Siaga meninggalkan 
lapangan sirkus dengan terburu-buru. George mengusap- 
usap pergelangan kakinya, yang kena lemparan batu. 

"Jahat benar si Louis itu!" gerutunya. "Kenapa kita tak 
diperbolehkannya mengintip ke dalam kereta kecil tadi? 
Padahal isinya kan cuma peralatan sirkus saja!" 

"Mungkin kalung mutiara disembunyikan di situ oleh 
pencurinya," ujar Janet sambil tertawa. 

Mendengar kelakar adik perempuannya tu. Peter lantas 
berpikir sejenak. Keningnya berkerut. 

"Mungkin katamu itu ada benarnya, Janet.” katanya 
kemudian. "Sekarang kita sudah yakin, bahwa pencuri 
yang kita cari ada di sirkus ini. Jadi mestinya kalung 
utiara juga ada di sini. Dan kenapa Louis marah ketika 
kita hanya menjenguk sebentar ke dalam kereta tadi?" 

"Alangkah baiknya, apabila kita bisa memeriksa isinya." 
ujar Colin. "Tapi aku tak tahu bagaimana caranya." 

"Aku tahu" sambut Peter. "Colin, malam ini kita beedua 
menonton pertunjukan sirkus lagi. Tapi di tengah-tengah- 
pertunjukan, apabila semua artis sudah berada di dalam
tenda, kita menyelinap ke luar. Kita aksn memeriksa 
kereta kecil itu, untuk melihat apakah mutiara disembu 
nyikan di sana." 

"Masakan pencuri menyembunyikannya di tempat itu?" 
tanya Pam. la kurang percaya. "Kan di situ gampang ke- 
tahuan!" 

Tapi Peter tetap bersikeras. 

"Entah kenapa, tapi aku kepingin memeriksa tempat 
itu." katanya. "Bukankah jejak-jejak bundar menuju ke 
sana? Itu kan sudah cukup aneh!" 

"Memang aneh." tukas Barbara. "Jejak seseorang 
berkaki palsu. Tetapi orangnya tidak ada ! Ah, petualang- 
an kita kali ini sia-sia belaka!" 

"Bukan sia-sia." ujar George membetulkan, "tapi menye- 
rupai teka teki yang rumit. Mula-mula semuanya mem- 
bingungkan tapi kalau sudah banyak yang diketahui, maka 
persoalannya menjadi mudah." 

"Benar juga katamu. Selama ini kita telah mengumpul- 
kan berbagai bukti yang sebenarnya saling berpautan. Kita 
saja yang belum berhasil menemukan hubungannya." ka- 
ta Pam. "Sepotong benang wol yang ternyata tercabut da 
ri kaos kaki, yang kita lihat tergantung pada tali jemuran, 
sebuah peci yang terbuat dari bahan yang sama dengan 
sebuah jas. Tapi jas itu dikenakan oleh orang yang sudah 
pasti bukan pencurinya. Begitu pula jejak-jejak aneh yang 
kelihatan di berbagai tempat, tapi tak menolong kita 
memecahkan rahasia pencurian ini !" 

"Sudahlah, kita pulang saja," ujar Jack sambii meman- 
dang ke arlojinya. "Hampir waktunya makan siang. Sepagi 
ini kita hanya membuang-buang waktu. Menurut pen 
dapatku, kita sudah bekerja dengan sia-sia belaka selama 
ini !" 

"Hari ini kita tidak mengadakan rapat lagi," ujar Peter 
daiam perjalanan pulang." Malam ini aku akan ke sirkus la 
gi dengan Colin. Jangan lupa bawa senter Colin! Wah, 
bayangkan apa jadinya, apabila kita nanti menemukan 
kalung mutiara dalam kereta kecil itu”. 

"Ah, tak mungkin,"bantah Colin. "Aku heran, kenapa 
kau masih tetap berkeras hendak memeriksa kereta itu. 
Tapi baikiah, kita bertemu nanti malam di depan pintu ma- 
suk." 

Ternyata Colin lebih dulu tiba. Tak lama kemudian Peter 
datang beriari-lari. Mereka masuk bersama-sama Sambil 
mengeluh, dikeluarkan lagi uang enam puluh penny guna 
membayar karcis masuk. 

"Padahal kita hanya menonton sampai setengahnya 
saja." bisik Peter dengari agak kesal. Keduanya masuk ke 
dalam tenda, dan mencari tempat duduk yang jauh di se 
belah belakang. Dengan begitu mereka nanti akan dapat 
dengan mudah menyelinap ke luar, tanpa diketahui orang 
lain. 

Pertunjukannya sangat menarik. Para badut, artis-artis 
dengan jangkungan serta para akrobat seolah-olah ber- 
main lebih baik lagi dari sebelumnya. Karena itu dengan ra- 
sa agak menyesal kedua anak itu menyelinap keluar se 
belum pertunjukan selesai. 

Setibanya di luar tenda, kedua anak itu tertegun seben 
tar. Lapangan sirkus gelap, karena itu mereka harus men- 
cari jalan terlebih dulu. 

"Di sana," ujar Peter sambil memegang lengan Colin. 
"Lihatlah, bukankah itu kereta kecil yang tadi?" 

Dengan hati-hati mereka bergerak menuju ke arah yang 
dtunjukkan oleh Peter. Mereka tak berani menyalakan sen 
ter, karena khawatir terlihat orang. Jangan-jangan nanti 
ditanyakan, kenapa mereka berkeliaran di lapangan Sirkus 
pada malam hari. Peter tersandung pada anak tangga 
paling bawah dari kereta yang mereka datangi, lalu naik ke 
atas. 

"Ayolah." bisiknya pada Colin. "Di sini tak ada orang. 
Dan pintu juga tak terkunci. Kita menyelinap ke dalam, 
lalu memeriksa seluruh ruangan. " 

Kedua anak itu merayap masuk ke kereta. Mereka 
menubruk sebuah benda. Entah apa, mereka tidak tahu — 
karena dalam kereta itu gelap sekali. 

"Bolehkah aku menyalakan senter?" tanya Colin sambil 
berbisik. 

"Ya. Aku tak mendengar bunyi yang mencurigakan." 
balas Peter juga dengan berbisik. Dengan hati-hati me 
reka menyalakan senter yang cahayanya mereka tutupi 
dengan tangan. 

Alangkah terkejutnya kedua anak itu ketika mereka 
memandang berkeliling! Ternyata mereka keliru masuk. 
Sama sekali tak kelihatan peralatan sirkus di stu. Mereka 
memasuki kereta tempat tinggal orang. Ya ampun! Ba- 
gaimana kalau mereka sampai ketahuan? 

"Ayo cepat, kita keluar lagi!" ujar Peter. Tapi pada saat 
itu juga Colin menyambar lengannya. la mendengar sua- 
ra suara di luar. Sesudah itu kedengaran langkah orang 
menaiki tangga kereta di mana mereka sedang berada. 
Apakah yang harus mereka perbuat sekarang ? 


XVI 
Terjebak ! 


"CEPAT! Kau bersembunyi d bawah dipan itu. Aku di 
sini!" bisik Peter kebingungan. Mereka menyembunyikan 
diri di bawah dua buah bangku yang dipakai sebagai tem- 
pat tidur. Selimut yang terhampar di atasnya ditarik menu- 
tupi lobang kolong Mereka berbaring menunggu dengan 
badan gemetar. 

Dua orang masuk ke dalam kereta. Seorang di anta- 
ranya membawa lampu. Masing-masing duduk di atas se- 
buah bangku. Maka mereka tak nampak oleh Peter. Ia 
hanya melihat sepatu kedua orang itu serta pergelangan 
kaki mereka. 

Tiba-tiba Peter terkejut. Orang yang duduk di atas dipan 
persembunyian Colin menarik kaki celananya agak ke atas. 
Dan Peter menatap sepasang kaos kaki terbuat dari wol 
biru dengan selembar benang merah terjalin memanjang ! 

Masya Allah! Orang yang tersangka keras telah men- 
curi kalung mutiara milik Lady Lucy, sedang enak-enak 
duduk di depannya. Tapi Peter tak dapat melihat muka 
nya. Siapakah orang tu? 

"Aku akan pergi dari sini malam ini juga, " ujar orang 
yang duduk di dipan di atas Peter. "Aku sudah bosan 
dengan sirkus ini karena selalu terjadi pertengkaran. Ke 
cuali itu, aku juga khawatir kalau pada suatu waktu polisi 
akan datang memeriksa." 

"Ah, kau memang penakut," tukas orang yang berkaos 
kaki biru. "Beri saja kabar nanti kapan aman saatnya untuk 
mengantarkan mutiara itu ke tempatmu. Kalau perlu, 
kalung itu bisa kita biarkan berbulan-bulan di Tempat per- 
sembunyian." 

"Kau yakin tempat itu aman?" tanya orang yang satu la 
gi. Temannya yang berkaos kaki biru tertawa, lalu menga 
takan sesuatu yang aneh bagi telinga kedua anak yang ber- 
sembunyi. 

"Kan ada singa?" katanya, ia tertawa lagi. 

Peter dan Colin mendengarkan pembicaraan itu dengan 
perasaan takut bercampur bingung. Sudah jelas pencuri 
mutiara ada dalam kereta itu. Dialah orang berkaos kaki bi- 
ru! Sayang mukanya tak dapat mereka lihat. Begitu pula 
sudah jelas bahwa ia menyembunyikan mutiara itu di sua- 
itu tempat. Mereka juga mendengar ucapan temannya yang 
ketakutan dan ingin lari malam itu juga. Tapi apa hubung- 
an singa dengan pencurian kalung mutiara? Pete dan 
Colin menajamkan telinga. 

"Kaukatakan saja pada mereka aku kurang enak ba- 
dan. Karena itu aku tak bisa tampil lagi ke gelanggang 
malam ini," ujar orang yang hendak lari, sesudah berdiam 
diri beberapa saat. "Sebaiknya sekarang saja aku pergi 
sementara semua sedang sibuk di tenda. Tolong pasang- 
kan kudaku!" 

Orang yang berkaos kaki biru pergi ke luar. Peter dan 
Colin berharap-harap, mudah mudahan orang yang satu 
lagi juga menyusul. Kalau dia tak ada dalam kereta, 
mungkin mereka berdua bisa melarikan diri. Tapi orang itu 
tak beran;ak dari tempatnya.Ia tetap duduk sambil menge- 
tuk-ngetukkan jarinya. Nyata sekali orang itu gelisah dan 
ketakutan. 

Di luar terdengar bunyi-bunyi pakaian kuda yang se 
dang dipasang. Tak lama kemudian orang berkaos kaki bi 
ru berseru dan bawah tangga. 

'Siap! Keluarlah, kau sudah bisa pergi sekarang. Sampai 
ketemu lagi!" 

Orang yang di bangku persembunyian Peter bangkit da 
h duduknya, lalu pergi ke luar. Tapi kedua anak yang se 
dang ketakutan itu semakin takut lagi ketika ternyata 
orang itu mengunci pintu dari luar. Sesudah itu ia menuju 
ke depan kereta, laki duduk di tempat kusir. Dicepak- 
kannya bibir menyuruh kuda berjalan, dan kereta itu pun 
mulai bergerak melintasi lapangan. 

"Wah. bagaimana kita sekarang?" bisik Colin dengan 
agak bingung. "Pinitu di kuncinya dari !uar. Kita terjebak!" 

"Ya — nasib kita memang sial," jawab Peter sambil me- 
rangkak ke luar dari persembunyiannya yang sesak itu. 
"Kau melihatnya juga tadi? Satu di antara mereka 
mengenakan kaos kaki wol berwarna biru! Pasti dialah 
pencuri yang kita cari. Sialnya, justru dia yang tidak pergi 
dengan kereta ini." 

"Tapi banyak juga yang kita dengar tadi." ujar Colin 
sambil ikut merangkak ke luar dari bawah dipan. "Seka 
rang kita mengetahui, bahwa mutiara yang dicuri disem- 
bunyikan dalam sirkus. Cuma apa yang dimaksudkan orang 
tadi dengan singa?" 

"Entahlah." jawab Peter." Atau mungkin maksudnya 
kalung itu disembunyikan dalam kandang singa. Barang 
kali ditaruh di bawah papan lantai kandang itu." 

Dengan berhati-hati kedua anak itu mengintip lewat 
jendela sebelah depan, untuk melihat ke mana perginya ka 
reta yang menjadi tempat kurungan mereka itu. Tepat saat 
itu kereta lewat di bawah lentera jalan yang bersinar te- 
rang. Peter menyenggol Colin. 

"Lihatlah," bisik Peter. " Orang yang menjalankan kere- 
ta ini memakai jas dari bahan tweed. Bahannya sama 
dengan peci yang kita temukan di atas pohon. Jadi mes- 
tinya dia orang yang kita lihat sedang mengecat kandang 
singa!" 

"Betul! Mungkin si pencuri meminjam pecinya. Mereka 
kan tinggal dalam satu kereta, jadi itu bisa saja terjadi,"
jawab Colin. "Nah, dengan begitu sebagian dan teka-teki 
kita sudah terjawab. 

Kedua anak itu berusaha membuka jendeia, tapi tak 
berhasil. Semua tertutup rapat. Napas Colin terdengus, ke- 
tika ia mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya untuk memak- 
sa jendela terbuka. Mendengar dengusan itu, orang yang 
duduk di tempat kusir menoleh ke belakang. Mestinya ia 
sempat melihat muka salah seorang dari kedua anak itu 
diterangi lampu jalan, karena seketika itu juga ta menyen- 
takkan tali-tah kendal sehingga kuda berhenti berjalan. 
Orang itu melompat turun, lalu lari ke arah belakang, 
"Habis riwayat kita sekarang." ujar Peter berputus asa. 
"Ia mendengar kita ribut-ribut di sini. Lekas, bersembunyi- 
lah! la sudah membuka pintu!" 


XVII 
Untung lolos 


TERDENGAR bunyi kunci diputar dan detik berikutnya 
pintu dibuka dan luar. Orang yang masuk menyalakan lam- 
pu senter, lalu mengarahkan cahayanya yang terang ke 
sekeliling ruangan kereta. 

Tapi Pete, dan Colin tak nampak, karena mereka sudah 
bersembunyi lagi di bawah dipan. Walau begitu, orang ter- 
sebut tahu pasti bahwa ia tadi melihat muka seseorang 
yang tak dikenal di dalam kereta. Karenanya ia 
menyingkapkan selimut di atas dipan yang terjela sampai 
ke lantai. Dengan segera nampak Peter yang meringkuk di 
bawahnya. 

Orang itu berteriak Marah sekali kedengarannya. Peter 
ditariknya keluar dan persembunyian lalu diguncang-gun- 
cang dengan keras. Peter menjerit kesakitan. Seketika itu 
juga Colin menerjang ke luar dari bawah dipan tempatnya 
bersembunyi. Walau takut tapi ia harus menolong Peter! 

"Ah, rupanya kalian ada berdua," bentak orang tu. "Apa 
yang kalian lakukan di sini ? Sudah berapa lama kalian 
berada dalam kereta?" 

"Belum lama," balas Peter. "Sebetulnya kami tadi salah 
masuk. Kami hendak masuk ke kereta lain. Tapi karena 
gelap, kami keliru jalan. 

"Omong kosongi!" tukas orang itu. "Kalian ini perlu diha- 
jar, biar tak berani lagi seenaknya masuk ke dalam kereta 
tempat tinggal orang lain!" 

Sambil berkata diletakkannya lampu senter di atas rak 
sehingga cahayanya menerangi seluruh ruangan. Dengan 
sikap mengancam orang itu menyingsingkan lengan baju 
nya. 

Melihat gelagat yang tidak baik itu, Colin mendorong 
bahunya membentur rak, sehingga lampu senter terpelan- 
ting ke lantai Seketika itu juga cahayanya padam, diiringi 
bunyi barang pecah Ruangan menjadi gelap gulita. 

"Cepat Peter. sambar kakinya!" seru Colin sambil 
menubruk. Maksudnya hendak menangkap kaki orang 
yang hendak memukul mereka, tapi karena tempat itu 
gelap, tubrukannya meleset. Colin terdorong ke luar pintu, 
terguling-guling di tangga dan akhirnya terbanting ke 
jalan. 

Peter merasa kepalanya kena tempeleng lalu cepat-ce- 
pat mengelak, la juga menyambar kaki orang itu dan ter 
tangkap olehnya sebelah. Sewakitu orang itu meng- 
ayunkan pukulan sekali lagi, ia kehilangan keseimbangan 
karena kakinya yang satu dipegang erat-erat oleh Peter. 
Orang itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terjerembab. Peter 
merangkak menuju ke pintu. Ia terpeleset, tersungkur di 
tangga dan jatuh membentur pagar tanaman di pinggir 
jalan. 

Karena pergumulan yang terjadi dalam kereta, kuda 
penghela ketakutan dan lari menderap. Kereta sirkus itu 
terombang-ambing ditariknya. Pasti orang yang berada di 
dalamnya terkejut setengah mati! 

"Kamu di mana, Colin?" seru Peter. "Ayolah, lekas. Ke- 
sempatan baik ini harus kita pergunakan." 

Ternyata Colin juga bersembunyi dalam semak-semak 
pagar itu. Tergesa-gesa ia keluar, dan kedua anak itu 
kemudian berlari sekencang-kencangnya. Ketika sudah 
agak jauh, Colin agak memperlambat lannya. 

"Huhh — sekali ini petualangan kita serba sial." desah- 
nya. "Masuk ke kereta yang benar saja pun kita tidak bisa." 

"Ya — tapi dengan begitu kita berhasil mengumpulkan 
beberapa keterangan lagi." ujar Pete menenangkan 
temannya yang sedang kesal itu. "Kita tahu bahwa yang 
mengenakan kaos kaki biru adalah pencuri yang dicari. 
Sayang kita masih tetap belum tahu siapa orang itu. Aneh 
— rasanya aku mengenal suaranya." 

"Tahukah kamu di mana kita berada sekarang ?" tanya 
Colin sementara berlari terus. "Maksudku, kita ini berlari ke 
arah pulang atau tidak? Maklumlah, selama ini kita sial te- 
rus. Jadi aku takkan heran, apabila saat ini, kita berlari menjauhi rumah.

"Ah, tidak." balas Peter. "Arah kita sudah benar. Seben- 
tar lagi akan sudah sampai di lapangan tempat sirkus. Ba- 
gaimana pendapatmu, jika kita menyelinap lagi ke dalam? 
Aku kepingin tahu, siapakah orang yang mengenakan kaos 
kaki biru tadi!" 

Tapi Colin tidak mau, karena petualangan sesore itu 
sudah cukup mendebarkan hati. Walau begitu, apabila 
Peter sangat kepingin masuk lagi, Colin akan menunggu 
saja di luar pintu gerbang. 

Peter menyelinap masuk lewat pagar, lalu berjalan 
menuju ke tempat di mana lampu-lampu menyala terang. 
Pertunjukan sudah bubar, dan para pengunjung sudah 
pulang ke rumah masing-masing. Saat itu orang orang sir- 
kus sedang makan malam. Cahaya lentera dan nyala api 
unggun menyemarakkan suasana. 

Beberapa orang-anak masih asyik bermain-main. Se 
orang dari mereka kelihatan sangat jangkung. Ketika diper- 
hatikan dengan lebih saksama oleh Peter, ternyata anak itu 
berjalan di atas jangkungan. Dialah anak perempuan ban- 
del yang mengatakan bahwa di sirkus tak ada orang 
berkaki buntung. Anak itu berjalan menuju ke kereta di 
dekat mana Peter sedang be diri. Perhatian anak pe 
rempuan itu sepenuhnya dipusatkan pada keseimbangan 
badannya di atas jangkungan, sehingga tak nampak Peter 
olehnya. 

Setelah anak perempuan itu lewat, Peter memandang 
pada sesuatu yang nampak di tanah di depannya. Ma 
tanya menatap jejak-jejak jangkungan yang dipakai oleh 
anak bandel itu. Bentuknya rata dan bundar. Persis seperti 
jejak-jejak yang nampak di pekarangan Miiton Manor. 

"Wah, rupanya kami buta selama ini" ujar Peter pada 
dirinya sendiri. "Jejak dekat tembok Milton Manor ternya- 
ta bukan berasal dan kaki palsu melainkan merupakan je 
jak-jejak angkungan Kenapa selama ini tak terpikirkan 
kemungkinan itu?" 


XVI 
Peter bercerita 


PETER memandang jejak-jejak bundar yang nampak di 
tanah. Kemudian dialihkannya pandangan, menatap ke 
arah anak perempuan yang berjalan mengongkang-ong- 
kang dengan jangkungan. Tak salah lagi, ke mana pun kayu 
jangkungan dilangkahkan, kemudan nampak bekasnya 
yang bundar dan rata di tanah. 

'Hm, rupanya pancuri kalung memakai jangkungan," 
ujar Peter dalam hati. "Dengan tongkat-tongkat yang pan- 
jang itu ia naik ke atas tembok. Aku harus segera mence- 
ritakannya pada Colin !’ 

Peter berlari dengan segera menuju ke gerbang luar, di 
mana Colin menunggunya. 

'Colin! Sekarang aku tahu jejak-jejak apa lubang-lu- 
bang bundar yang kita lihat di tanah dalam pekarangan 
Milton Manor !" ujarnya begitu sampai di luar. "Ternyata 
bukan jejak kaki palsu." 

"Kalau begtu jejak apa?" tanya Colin dengan heran. 

"Jangkungan!" jawab Peter. "Pencuri kalung mutiara 
Lady Lucy memakai jangkungan! Kan dengan begitu ia 
dapat mudah sekali memanjat tembok." Tapi Colin tak be 
gitu memperhatikan kata-kata temannya itu.

"Sudahlah Peter, kita pulang saja ke rumah," ujarnya 
sambil menguap iebar-lebar. "Hari sudah arut malam. Aku 
past kena marah nanti. Aku pun sudah sangat mengan- 
tuk." 

"Aku juga." sambut Peter. "Baiklah, kita takkan mem 
bicarakan persoalan itu lagi malam ini. Besok saja kita 
mengadakan rapat. Akan kuminta Janet untuk memanggiI 
teman-teman. Aku sekarang sudah tahu, bagaimana ca 
ranya pencuri masuk ke pekarangan dan mengambil 
kalung mutiara dari kamar tidur Lady Lucy. 

Jawaban yang datang dari Colin, hanya berupa mulut 
yang sekali lagi terkuap lebar-lebar. Anak itu benar-benas 
merasa tak mampu lagi berpikir malam itu. Tubuhnya 
memar karena jatuh dari kereta, dan kepalanya agak pu- 
sing karena terbentur ke tanah. Saat itu hanya satu saja 
keinginannya, yaitu lekas-lekas masuk ke tempat tidur. 
Sewaktu Peter sampai di rumah, Janet sudah tidur lelap. 
Karena itu Peter tidak membengunkannya. Ia pun cepat- 
cepat masuk ke tempat tidur. Niatnya hendak memikirkan 
hal-hal yang dilihat serta didengarnya malam itu. Tapi rasa 
mengantuknya tak tertahan lagi. Begitu kepalanya me- 
nyentuh bantal, saat itu pula ia sudah tertidur. 

Keesokan harinya, ketika Janet menanyakan, Peter tak 
mau bercerita dulu mengenai pengalamannya bersama 
Colin pada malam sebelumnya. Ia menyuruh adik pe- 
rempuannya itu mendatangi teman-teman, untuk 
memanggil mereka berapat. Anak-anak itu berdatangan, 
semua ingin tahu apa yang telah tejadi. Mereka masuk sa- 
tu per satu ke dalam gudang, sambi! membisikkan kata 
'Petualangan'. Colin datang paling akhir. Katanya,ia ke- 
siangan bangun! Kelima teman yang lain sudah tidak sa- 
bar lagi menunggu. 

"Apa yang teriadi kemarin malam? Berhasilkah kalian 
menemukan kalung mutiaia yang dicuri ? Kalian sekarang 
sudah tahu, siapa pencurinya?" tanya Pam bertubi-tubi. 
"Kalau mutiaranya sendiri belum kami temukan. Tapi 
persoalan lain-lainnya sudah kami ketahui semua," Ujar Pe 
ter bangga. 

"O ya ?" seru Colin kaget. "Kita sudah mengetahui 
semuanya? Mungkin kamu mengetahunya, Peter - tapi 
aku tidak ! Sekarang pun aku masih tetap mengantuk."
 
"Ayo, ceritakanlah Peter !" kata George meminta. 
"Kami kepingin mendengarnya." 

"Sebaiknya kita pergi saja ke Hutan Semak. Di sana 
akan kutunjukkan bagaimana cara pencuri naik ke atas 
tembok." balas Peter. Menurut perasaannya, akan lebih 
menarik apabila keterangan diberikan di tempat terjadi 
pencurian. 

"Kau kan bisa saja menceritakannya di sini saja," ujar 
Janet dengan perasaan kecewa. 

"Tidak, nanti saja! Sekarang kita ke Hutan Semak.” 
balas Peter tegas. Mau tidak mau, keenam anggota Sapta 
Siaga yang lainnya terpaksa ikut ke tempat itu. Mereka 
langsung menuju pintu gerbang Milton Manor. Johns 
tukang kebun nampak sedang sibuk bekerja merawat 
tanaman bunga di samping jalan masuk. 

"Johns! Selamat pagi! Bolehkah kami masuk lagi?" 
seru Peter dari luar. "Kami takkan mengusik tanaman atau 
merusak kebun." 

Sambil tertawa lebar. Johns membukakan pintu ger- 
bang. 

"Nah, ada hasil penyelidikan kalian ? ” tanyanya pada 
anak-anak yang be desak-desakan masuk. 

"O ya — banyak sekali." jawab Peter la mendahului 
berjalan menuju ke dekat tembok, di mana Colin melihat 
pencuri itu meloncat ke bawah, sewaktu anak-anak ang 
gota Sapta Saga main sembunyi-sembunyian dalam 
Hutan Semak. "Anda ikut saja dengan kami, Johns. Nanti 
akan kuceritakan hal hal yang kami temui selama ini !" 

"Baiklah! Tapi kalian berjalan saja lebih dulu, karena aku 
harus membuka gerbang agar mobil itu bisa masuk," ujar 
tukang kebun. Ternyata sebuah mobi besar berwarna hi- 
tam menunggu di luar. Pengemudinya membunyikan klak- 
son. Dengan buru buru Johns membukakan pinitu ger- 
bang. 

Sementara itu anak anak sudah sampai ke tempat yang 
sudah mereka kenal sebelumnya. 

"Nah, sekarang dengarkan baik-baik." ujar Peter. "Akan 
kuterangkan bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam. Ia 
memakai tongkat jangkungan! Tongkat dibawanya sampai 
ke dekat tembok. Sesampai di situ ia lantas berdiri di atas 
jangkungan menyender ke tembok, laiu duduk di atasnya. 
Jangkungan diangkatnya ke seberang tembok, lalu diper- 
gunakannya lagi untuk berjalan di tanah yang lembek ini.
Sesampai di jalan berkerikil, ia turun dari jangkungan, ka- 
rena di situ tak nampak bekas kakinya. Sedang tongkat 
penolong disembunyikan dalam semak pagar jalan." 

"Sesudah itu ?" tanya Janet dengan mata bersinar-sinar. 

"Pencuri masuk ke dalam rumah mengambil kalung 
mutiara, lalu kembali ke tempat di mana tongkat jangkung- 
an disembunyikan," sambung Peter. Dengan tongkat itu 
ia berjalan lagi sampai ke tembok. Karena itulah di sini 
banyak kelihatan jejak jejak bundar!" 

"Masya Aliah — rupanya lubang-lubang ini bekas tong- 
kat jangkungan!" seru Pam. 

" Betul." ujar Peter membenarkan. "Tapi sewaktu ia se- 
dang melangkahkan kaki hendak naik ke atas tembok, pe 
ci yang dipinjamnya dari teman sejawatnya di sirkus ter- 
sangkut pada sebuah dahan. Peci itu d biarkannya saja di 
situ karena ia tak mau membuang-buang wakitu lagi. 
Sewaktu ia duduk di atas tembok, kaos kakinya tercantol 
pada ujung batu bata yang agak menonjol. Disentakkan- 
nya kaki ke atas, dan kemudian dengan cepat meloncat ke 
seberang serta menghilang di Hutan Semak." 

"Dan tepat pada saat itu aku melihatnya." kata Colin. 
"Tapi anehnya, aku tak melihat tongkat jangkungan sama 
sekali. Diapakannya tongkat-tongkat itu ?" 


XIX 
Di manakah kalung mutiara disembunyikan? 


"KAU INGIN mengetahui apa yang terjadi dengan 
jangkungan yang dipergunakan pencuri untuk memanjat 
tembok ini?" tanya Peter. "Terus terang saja, aku juga 
tidak tahu. Tapi menurut perkiraanku, mestinya tongkat itu 
sesudah lak diperlukannya lagi, kemudian dicampakkan ke 
suatu tempat yang tersembunyi. Barangkali ke dalam 
semak belukar. 

"Betul juga,” kata Pam. "Tapi susahnya semak yang 
mana?" 

Anak anak itu mencari ke sana ke mari, memeriksa se- 
tiap semak dan rumpun di dekat situ. Tiba-tiba Colin ber- 
seru sambil menunjuk ke arah seberang tembok. 

"Aku tahu di mana jangkungan itu disembunyikan, " 
uiarnya "Dalam semak yang tajam daun-daunnya. Aku 
ingat, di luar ada semak seperti tu. Di sana memang per- 
sembunyian yang baik karena siapalah yang mau menyu- 
sup ke dalam semak yang penuh duri !" 

Ayolah jangan membuang-buang wakitu lag;" kata 
Peter. Ia bergegas ke luar dari pekarangan gedung besar 
itu, lalu berlari mengitari tembok sebelah luar. Colin lang- 
sung menuju ke semak yang dimaksudkan olehnya.

Sakit rasanya kulit anak-anak itu teriris daun-daunan 
yang tajam. Tapi tak mereka pedulikan, karena ingin 
memecahkan rahasia pencurian yang sudah lama memu- 
singkan kepala itu. Mereka menerobos terus sampai ke 
tengah semak.

Ternyata ketabahan itu membawa hasil. Benarlah, di 
tengah-tengah daun-daunan berduri mereka menemukan 
sepasang tongkat jangkungan. Dengan cepat Peter dan 
Colin menarik kedua batang itu ke luar.


"Ternyata kau benar, Peter," seru Janet. "Pintar benar 
kamu ini. Sekarang semua sudah kita ketahui hubungan- 
nya peci tua yang tersangkut di atas dahan, benang wol 
biru di tembok, jejak-jejak aneh berbetuk bundar. Dan 
yang paling penting kita juga mengetahui bagaimana cara 
pencuri memanjat tembok yang tinggi ini. Menurut pen- 
dapatku, Sapta Siaga memang hebat sekal!" 

"Pendapatku juga begitu," terdengar suara di belakang 
mereka. Ketujuh anak itu menoleh. Dibelakang mereka 
berdiri teman baik anak-anak itu yaitu Pak Inspektur. Pe- 
tugas polisi itu berwajah merah sedang napasnya agak 
terengah-engah. Rupanya ia berlari tadi. Sedang Johns 
tukang kebun, kelihatan bergegas pula menghampiri. 

"Ah. Pak Inspektur,"ujar Peter. Tak dikiranya petugas 
polisi itu ada di Milton Manor. "Anda tadi mendengar apa 
yang kukatakan?" 

"Ya." jawab Pak Inspektur dengan suara sesak. Tapi 
wajahnya berseri-seri. "Aku yang tadi datang naik mobi! hi 
tam. Begitu Johns membukakan pintu gerbang langsung 
diceritakannya pula bahwa nampaknya kalian berhasil 
memecahkan rahasia pencurian kalung. Dan ketika kami 
melihat kalian bergegas ke luar dari pintu gerbang segera 
pula kami ketahui bahwa kalian menemukan suatu bukti 
penting. Nah ceritakanlah selengkapnya! Pasti kali ini kali- 
an lebih tangkas dari pada polisi !" 

Peter tertawa mendengar pujian itu. 

"Persoalannya begini," ujar anak itu berendah hati. 
"Kami bisa berkeliaran mencari keterangan dalam sirkus 
tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi bayangkan, apabila 
Anda menugaskan tujuh orang polisi ke sana Pasti pen 
curi akan timbul kecurigaannya. 

"Betul juga katamu itu," ujar Pak Inspektur. Dipungut- 
nya kedua tongkat jangkungan lalu diperhatikannya 
dengan saksama. 'Memang pintar, memanjat tembok ting 
gi dengan mempergunakan jangkungan. Tapi sudah 
tahukah kalian siapa pencurinya?" 

Yang jelas, ia seorang artis Sirkus yang biasa menga- 
dakan pertunjukan dengan jangkungan," kata Peter. 

"Menurut pendapatku, orangnya bernama Louis. Kalau Pak 
inspektur pergi ke sirkus sekarang, barangkali akan 
menjumpai orang itu, dengan kaos kaki biru yang ada se 
trip merahnya." 

"Dan rambutnya hitam, sedang ubun-ubunnya agak bo 
tak,” sambung Colin. "Maksudku, kalau betul dia pencuri- 
nya — karena orang yang kulihat bersembunyi dalam 
hutan ini ciri-cirinya begitu. " 

"Banyak benar yang kalian ketahui!” ucap Pak Inspektur 
kagum, "Jangan-jangan kalian juga mengetahui warna 
piamanya. Maukah kalian ikut mencari orang itu? Dalam 
mobil ada dua orang pegawaiku. Kita semua bisa pergi 
bersama-sama." 

"Wah !" ujar Pam. Dibayangkannya para anggota Sapta 
Siaga muncul di tempat sirkus, bersama tiga orang polisi. 
"Pak Inspektur — apakah orang-orang sirkus nanti tidak 
takut melihat kita datang?" 

"Hanya orang-orang bersalah saja yang mempunyai 
alasan untuk merasa takut." jawab Pak Inspektur. "Ayolah, 
kita berangkat sekarang. Aku kepingin melihat apakah 
benar pencuri itu botak ubun-ubunnya. Luar biasa, banyak 
sekali- yang kalian ketahui!" 

Dengan mengendarai mobil, mereka berangkat menuju 
ke tempat sirkus. Orang-orang di situ terheran-heran 
melihat tiga orang polisi keluar dari mobil diiringi tujuh 
orang anak. 

"Iitu dia orang yang bernama Louis." ujar Peter sambil 
menunjuk ke arah pemuda berwajah masam, yang sedang 
berdiri dekat kandang singa. "Sialan, ia tidak memakai 
kaos kaki!"

"Kalau begtu, kita memperhatikan ubun-ubunnya saja.” 
kata Colin 

Louis agak gelisah ketika dilihatnya Pak Inspektur 
menghampiri. 

"Anda memakai kaos kaki atau tidak?" tanya petugas 
polisi itu. Louis agak bingung mendengar pertanyaan se- 
aneh itu. Tapi Pak Inspektur tetap berkeras "Tariklah kaki 
celana ke atas,"perintahnya. Dengan cepat Louis menarik 
celananya ke atas. 

Ternyata dia tak memakai kaos kaki, seperti yang sudah 
dilihat oleh Peter. 

"Pak Inspektur, " ujar Colin. "suruh dia membungkuk." 
Louis semakin heran saja mendengar permintaan ini. 
"Ayo membungkuk" kata Pak Inspektur. Louis menu- 
rut saja. Ia membungkukkan badan, seolah-olah sedang 
memberi hormat. Alangkah terkejutnya, ketika mendengar 
Colin berseru. 

"Ya. betul — dialah orang yang kita cari. Lihatlah ubun- 
ubunnya agak botak. Dialah orang yang kulihat bersem- 
bunyi di atas pohon, tepat di bawah tempatku duduk!" 

"Untunglah jika begtu." kata Pak Inspektur. Ia merasa 
lega, kaiena berhasil menangkap pencuri yang sangat li- 
cin. Ia memandang kembali ke arah pemuda itu. "Seka 
rang aku ingin bertanya dimanakah kausembunyikan 
kalung mutiara yang kaucuri?" 


XX 
Penyelesaian yang menakjubkan 


LOUIS menatap mereka sambil merengut. 
"Kalian sudah gila rupanya!" ujarnya bersungut-sungut. 
"Macam-macam saja permintaan dan pertanyaan yang 
diajukan : celanaku harus ditarik ke atas, sesudah itu aku 
disuruh membungkuk. Dan sekarang Anda berbicara ten- 
tang kalung mutiara. Kalung mutiara yang mana? Aku 
tidak mengerti! Aku tak tahu-menahu mengenai kalung 
mutiara." 

"Ah, sudah — jangan bohong lagi." tukas Pak inspek- 
tur. "Rahasiamu sudah kami ketahui semuanya. Bukankah 
engkau memakai jangkungan untuk meloncati tembok 
yang mengelilingi pekarangan MiIton Manor? Kau masuk 
ke dalam kamar tidur Lady Lucy, mencuri kalung mutiara 
yang berharga dan sesudah itu pergi lagi ke dekat tem- 
bok. Kau berdiri kembali di atas jangkungan, untuk naik 
ke atas tembok dan meloncat ke luar." 

"Aku tak tahu maksud Pak Inspektur." gumam Louis 
sambil memberungut. Tapi mukanya menjadi pucat. 

"Baiklah, akan kusegarkan kembali ingatanmu," ujar Pak 
Inspektur lagi. "Jejak tongkat jangkungan yang kaupakai 
terlihat jelas di tanah dekat tembok Kecuali itu masih ada 
pula peci yang tersangkut di dahan, serta selembar benang 
wol biru yang berasal dari kaos kakimu Masih belum jelas 
juga? Kami pun berhasil menemukan sepasang jangkung 
an yang kau sembunyikan dalam semak yang daun-daun- 
nya tajam. Masakan semua itu kaulakukan untuk bermain 
main saja! Sekarang kutanyakan sekali lagi — di manakah 
kalung mutiaranya?" 

"Cari sendiri,"tukas Louis. "Barangkali abangku sudah 
melarikannya dengan kereta sirkus. Pokoknya dia tak ada 
lagi disini!' 

"Tapi dia mengatakan, mutiara itu masih ada di sini " 
ujar Peter menyela pembicaraan. "Sewaktu kalian berdua 
berbicara mengenainya, kebetulan aku ada dalam kereta." 

Louis terkejut mendengar ucapan Peter itu. Dipandang- 
nya anak itu dengan marah, tapi ia tak mau meniawab. 

"Dan kau mengatakan mutiara itu aman — karena ada 
singa." sambung Peter. Louis masih tetap membisu. 

"Kalau begtu, kita menanyakan saja pada singa-singa." 
ujar Pak nspektur. Dengan segera ia berjalan menuju kan- 
dang binatang-binatang buas itu, dengan diikuti oleh ke- 
tujuh anggota Sapta Siaga serta kedua petugas polisi. Ke- 
cuali itu ikut pula, sekitar tiga puluh orang sirkus yang ingin 
tahu apa yang terjadi serta beruang kecil kesayangan 
Janet. Entah dengan jalan bagaimana, beruang kocak itu 
berhasil keluar dari kandangnya, lalu berkeliaran dengan 
seenaknya. Pak Inspektur minta dipanggilkan pemelihara 
singa. 

"Siapa nama Anda?" tanya Pak Inspektur padanya ke- 
tika ia sudah datang. 

"Riccardo " jawab pemelihara singa. Ia heran, kenapa ti- 
ba-tiba ada polisi yang ingin mengetahui namanya. 
"Kenapa ?" 

"Soalnya begini, Tuan Riccardo," jawab Pak inspektur 
lagi. "Ada kemungkinan, singa-singa peliharaan Anda 
dipakai pencuri sebagai penjaga mutiara yang dicurinya 
dari kamar tidur Lady Lucy Thomas." 

Alangkah terkejutnya Riccardo mendengar ucapan Pak 
Inspektur. Matanya terbelalak, sikapnya seolah-olah kurang 
mempercayai kata-kata yang baru saja didengar. 

"Sekarang saya minta pada Anda untuk membuka pin- 
tu, lalu masuk ke dalam kandang." ujar Pak Inspektur. 
"Tolonglah periksakan di bawah papan-papan yang long- 
gar atau pada tempa tempat yang bisa dijadikan tempat 
menyembunyikan mutiara tu." 

Riccardo membuka pintu kandang. Pemelihara singa itu 
masih tetap belum dapat berkata apa-apa. Begitu heran 
dia mendengar berita yang mengejutkan itu. Kawanan 
singa yang ada di dalam memperhatikan dia masuk. 
Seekor di antaranya mengeluarkan bunyi seperti kucing, 
tapi jauh lebih nyaring, 

Riccardo mengetuk-ngetuk papan lantai, tapi tak se- 
buah pun terdengar longgar. Pemelihara singa itu berpaling 
menghadap orang-orang yang sedang asyik memperhati- 
kan. 

"Pak Inspektur melihat sendiri, kandang ini kosong. 
Isinya cuma kawanan singa ini saja.” katanya. "Dan tak 
mungkin kalung itu disembunyikan pada tubuh mereka, 
atau pada rambut leher, karena pasti akan digaruk-garuk 
sehingga terlepas." 

Peter melirik ke arah Louis. Pemuda itu kelihatan geli- 
sah, matanya berulang kali memandang bak tempat air 
minum singa. Denqan segera ia menyenggol Pak Inspek- 
tur. 

"Suruhlah Tuan Riccardo memeriksa bak tempat minum,” 
usulnya. 

Riccardo menghampiri bak yang dimaksudkan oleh Pe- 
ter. lalu dtumpahkan air yang ada di dalamnya. 

"Coba Tuan tunggingkan bak itu.” ujar Pak Inspektur. 
Riccardo melakukannya, memandang dasar bak — dan ti- 
ba-tiba berseru kaget. 

"He ! Dasar bak ini ada dua.” katanya. "Ini, Tuan — 
Anda lihat saja sendiri." 

Riccardo memperlihatkan dasar bak tempat minum itu 
pada orang-orang yang berkerumun di depan kandang. 
Benarlah! Di dasar bak kelihatan sebuah kotak lagi yang 
disoldir ke dasar yang asli. Pemelihara itu mencongkel ko- 
tak tersebut, sehingga terlepas. Pada saat itu terdengar 
bunyi benda terjatuh ke lantai. 

"Itu dia kalung mutiara yang hilang!" seru anak-anak se- 
rempak. Sinqa-singa mulai gelisah mendengar suara ribut 
itu.Riccardo memungut kalung mutiara yang tergeletak di 
lantai kandang, lalu diulurkannya lewat jari-jari besi untuk 
diserahkan ke tangan Pak Inspektur. Sesudah itu ia berpa- 
ling untuk menenangkan singa-singa peliharaannya. Be- 
ruang keci! yang sementara itu sudah berada di dekat 
Janet, mendengus ketakutan mendengar singa-singa 
menggeram. Janet mencoba menjunjung binatang ke- 
sayangannya itu. Tapi ia masih tetap terlampau berat. 

"Lega aku rasanya, karena perkara ini berhasil terbong- 
kar, " ujar Pak Inspektur sambil mengantongi kalung mutia- 
ra. Anak-anak mendengar bunyi yang mencurigakan, lalu 
cepat-cepat berpaling. Ah, rupanya tidak ada apa-apa, 
bunyi itu berasa! dari borgol yang dikenakan ke pergelang- 
an tangan Louis. Kemudian pemuda itu digiring pergi oleh 
kedua petugas polisi. Mereka lalu di dekat tali penjemur 
pakaian. Kaos kaki biru, yang telah ikut membantu Sapta 
Siaga dalam penyelidikan mereka, sudah tergantung lagi di 
sana. Kaos itu melambai kian ke mari ditiup angin. 

"Sekarang kalian ikut dengan aku," ujar Pak Inspektur 
sambil mendorong ketujuh pembantu eriknya supaya 
berjalan. "Kita berama-ramai datang ke rumah Lady Lucy 
Thomas. Disana kalian centakan pengalaman mencari 
kalung mutiaranya. Pasti wanita bangsawan itu akan 
memberikan hadiah pada kalian, jadi pikirkanlah mulai da- 
ri sekarang apa yang kalian ingini. Kau, Janet — kau akan 
meminta apa padanya?" 

"Ah,. saya rasa Lady Lucy takkan memberikan seekor be- 
ruang kecil padaku," ujar Janet sambil memandang be- 
ruang lucu yang masih berjalan mengikuti. "Sebenarnya 
aku kepingin sekali mempunyai beruang kecil. Seperti 
beruang ini, tapi lebih kecil — supaya aku kuat menggen- 
dongnya. Pam juga kepingin memiliki seekor.” 

Pak Inspektur tertawa terbahak-bahak mendengar 
keinginan kedua anak perempuan itu. 

"Ha ha ha — Janet, cobalah ajukan permintaanmu itu 
padanya," ujar Pak Inspektur disela-sela tertawanya, "ha 
ha ha! Sapta Siaga, mintalah beruang kalau kalian meng- 
inginkannya. Mintaiah seluruh sirkus pada Lady Lucy. 
Sudah sepantasnya kalian mendapat apa saja yang kalian 
inginkan! Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kuper 
buat, kaiau tak ada Sapta Siaga yang membantu! Lain kali 
kalian mau memberikan bantuan lagi, bukan ?" 

"Tentu saja!" seru ketujuh anggota Sapta Siaga serempak. 

TAMAT
EPISODE SELAJNUTNYA

Scanned hook (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku 
dari kemusnahan dan membiasakan anak-anak kita 
membaca buku melalui komputer. 

DILARANG MENGKOMERSILKAN atau 
hidup anda mengalami ketidakhahagiaan. 
BBSC