Pendekar Pulau Neraka - Lima Setan dari Barat(2)

LIMA
Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan masih diliputi teka-teki yang semakin sulit dipecahkan, Ki Darpin tengah berteriak-teriak di dalam sebuah gua yang cukup besar, diterangi api dari beberapa buah obor. Laki-laki separuh baya itu terikat rantai. dengan tangan terentang. Seluruh tubuhnya nampak memar. Kulit tubuhnya tercabik, mengeluarkan darah. Bajunya tidak lagi kelihatan bentuknya.

Ctar!
"Akh...!"

Ki Darpin berkelojotan begitu ujung cambuk kembali merobek kulit tubuhnya. Darah semakin banyak keluar dari luka luka di sekujur tubuhnya. Sementara Setan Jubah Biru terus mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki separuh baya ini.

"Cukup, Jubah Biru...!" sentak Setan Jubah Hitam.

Cambuk yang terangkat dan hampir menyayat kulit yang sudah hancur itu, jadi tertahan. Perlahan Setan Jubah Biru menurunkan cambuknya. Sementara, Setan Jubah Hitam melangkah mendekati Ki Darpin yang sudah lemas tak berdaya lagi. Dengan ujung kepala tongkatnya, kepala Ki Darpin yang tertunduk lemas tanpa daya dan tenaga lagi diangkatnya.

"Seharusnya, kau tidak perlu mengalami siksaan ini, Darpin. Kau bisa kaya kalau mau bekerjasama," kata Setan Jubah Hitam masih berusaha membujuk.

Ki Darpin hanya diam saja. Tatapan matanya begitu redup, bagai tak memiliki cahaya kehidupan lagi. Dia benar-benar sudah pasrah, seandainya harus mati dalam penyiksaan seperti ini. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain pasrah menerima kenyataan ini.

"Katakan saja, di mana harta itu, Darpin. Aku berjanji akan memberimu harta yang cukup untuk selama tujuh turunan. Harta itu tidak bakal habis, walaupun dibagikan pada semua orang di Kadipaten Talagan," kata Setan Jubah Merah lagi.

"Terserah apa katamu. Tapi, aku tidak akan mengkhianati Ki Wanasa, "desis Ki Darpin.

"Tapi dia telah mengkhianati mu, Darpin. Juga mengkhianati kami semua."

"Dia tidak mengkhianatiku. Semua harta itu diambilnya karena kalian sudah berniat untuk menguasainya, dan ingin membunuhnya. Kalian boleh lakukan apa saja padaku. Tapi jangan harap bisa menemukan harta itu," desis Ki Darpin dingin.

"Keparat...!" geram Setan Jubah Hitam.

"Ayo, bunuh aku...!" tantang Ki Darpin.

Setan Jubah Hitam yang sudah mengangkat tangannya, tidak jadi menjatuhkan pukulan pada laki-laki setengah baya ini. Dia hanya mendengus kesal, karena tidak bisa membujuk Ki Darpin untuk mengatakan tempat penyimpanan harta itu.

"Huh...!" sambil mendengus kesal, Setan Jubah Hitam berbalik, lalu melangkah menjauhi Ki Darpin.

"Hhh!"

Ki Darpin hanya tersenyum sinis. Lima Setan dari Barat itu berkumpul di dekat mulut gua, menghadapi sebuah api unggun yang tidak begitu besar nyala apinya. Sementara Ki Darpin hanya memperhatikan saja dengan sinar mata penuh ejekan. Bibirnya terus menyunggingkan senyum tipis yang terasa begitu sinis.

"Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara membuka mulutnya," keluh Setan Jubah Hitam.

"Dia benar-benar keras kepala, Kakang," ujar Setan Jubah Merah.

"Tapi, aku tidak ingin dia mati sebelum mengatakan, di mana harta itu tersimpan. Hanya dia satu-satunya yang tahu," kata Setan Jubah Hitam lagi.

"Bukan hanya dia, Kakang," selak Setan Jubah Putih.

"Siapa lagi? Kau tahu...?"

"Bukankah Wanasa punya anak angkat..? Siapa tahu, anak angkatnya itu tahu tempat penyimpanan harta itu," duga Setan Jubah Putih.

"Hm...," Setan Jubah Hitam menggumam kecil.

"Tapi, kudengar dia pergi mengembara dan belum kembali sampai saat ini," kata Setan Jubah Merah.

"Tidak! Dia sudah kembali bersama seorang pemuda. Putra Dewa Pedang, sahabat Wanasa," selak Setan Jubah Putih.

"Tapi semua orang tahu kalau Dewa Pedang sudah mati, dan putranya hilang entah ke mana."

"Kalian semua benar-benar ketinggalan. Putra Dewa Pedang masih hidup. Dia bernama Bayu, dan sekarang ini dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka," jelas Setan Jubah Putih.

"Pendekar Pulau Neraka...?!"

Mereka semua terkejut mendengar julukan itu. Tentu saja mereka sudah mendengar julukan Pendekar Pulau Neraka yang sempat menggegerkan rimba persilatan. Terutama di wilayah Pantai Selatan. Julukan Pendekar Pulau Neraka memang selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang-orang persilatan dari semua golongan. Mereka semua sudah sering mendengar sepak terjangnya. Dan mereka juga tahu, tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka sangat sukar dicari tandingannya. Terlebih lagi, senjatanya yang bernama Cakra Maut. Sampai saat ini, belum ada satu senjata pun yang bisa mengalahkan kehebatannya.

"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Setan Jubah Merah.

"Semua orang di Kadipaten Talagan sudah tahu. Dan sekarang, mereka sedang mencari kita untuk membalas kematian Wanasa."

"Hm...," lagi-lagi Setan Jubah Hitam menggumam perlahan.

"Apa tidak sebaiknya kita mendahului, Kakang?" ujar Setan Jubah Kuning memberi usul.

"Benar, Kakang. Barangkali saja anak angkat Wanasa memang tahu, di mana tempat penyimpanan harta itu," sambung Setan Jubah Merah.

"Lalu, bagaimana dengan Darpin?" tanya Setan Jubah Hitam.

"Tidak ada gunanya mempertahankan orang keras kepala begitu, Kakang. Bunuh saja, dan buang mayatnya ke hutan," dengus Setan Jubah Kuning.

"Lakukan saja apa kehendak kalian. Besok, baru kita cari anak angkat si Wanasa itu," dengus Setan Jubah Hitam seperti putus asa.

"Kita pasti akan mendapatkan harta itu, Kakang," ujar Setan Jubah merah memberi semangat.

Setan Jubah Hitam hanya tersenyum tipis saja, kemudian merebahkan tubuhnya tidak jauh dari api unggun. Sementara Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning sudah menghampiri Ki Darpin. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu tangan laki-laki separuh baya itu, lalu menggiringnya ke Luar gua. Tak berapa lama kemudian....

"Aaa...!"

Satu suara jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian malam ini. Kemudian, keadaan kembali sunyi. Tak ada seorang pun yang berbicara lagi. Di dalam gua itu hanya tinggal Setan Jubah Hitam, Setan Jubah Putih, dan Setan Jubah Merah. Sedangkan Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning masih belum juga kembali setelah membawa Ki Darpin ke Luar gua ini. 

***

Siang ini, matahari bersinar begitu terik. Daun-daun kering banyak berguguran terhempas hembusan angin. Sejak semalaman, Bayu dan Ratna Wulan tidak memejamkan matanya sedikit pun. Mereka tidak mengenal lelah, terus berusaha mencari Ki Darpin yang menghilang sejak semalam. Sudah seluruh sudut Kota Kadipaten Talagan ditelusuri, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Ki Darpin berada. Dan sekarang, mereka memasuki hutan yang tidak jauh dari perbatasan kota kadipaten itu.

"Kakang...," desah Ratna Wulan tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Bayu.

"Lihat..."

Kelopak mata Bayu agak menyipit, mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Ratna Wulan. Kemudian, bergegas kakinya melangkah mendekati sesosok tubuh yang tergolek di bawah pepohonan. Bukan hanya Pendekar Pulau Neraka yang terkejut. Bahkan Ratna Wulan sampai terbeliak begitu mengenali sosok tubuh penuh luka, yang ternyata Ki Darpin.

"Dia sudah meninggal...," desah Bayu perlahan, setelah memeriksa keadaan Ki Darpin.

"Kejam...," desis Ratna Wulan. "Siapa yang melakukan perbuatan sekeji ini, Kakang?"

Bayu tidak bisa menjawab. Keadaan tubuh Ki Darpin memang rusak. Seluruh tubuhnya tercabik seperti bekas cambukan. Darah yang sudah hampir kering melekat di sekujur tubuhnya. Bahkan lehernya terkoyak hampir buntung. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Dan mereka saling melemparkan pandangan.

"Lima Setan dari Barat..," desis mereka berbarengan.

Ternyata, bukan hanya Bayu saja yang menduga itu. Malah Ratna Wulan juga langsung menduga kalau yang melakukan kekejaman pada Ki Darpin adalah Lima Setan dari Barat. Bukan hanya luka-luka cambuk di sekujur tubuhnya dan leher yang menganga lebar hampir buntung. Tapi, beberapa lubang bekas tusukan juga terlihat didadanya. Benar-benar suatu penyiksaan yang begitu berat dan sangat keji. Ratna Wulan hamper tidak sanggup membayangkan penderitaan Ki Darpin dalam menjalani siksaan itu.

"Kakang, lihat tangannya...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.

Bayu segera membungkuk, dan mengangkat tangan kanan Ki Darpin yang terkepal erat. Dibukanya jari-jari yang terkepal kaku itu. Dan dari dalam kepalan tangan Ki Darpin, Bayu mendapatkan selembar gulungan daun lontar. Pendekar Pulau Neraka segera membuka gulungan daun lontar itu.

"Sabuk kulit...," gumam Bayu membaca sebaris kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar ini.

"Apa maksudnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.

Memang hanya dua kata itu saja yang ada pada daun lontar ini. Namun, Bayu tidak menjawab. Dia kemudian membungkuk dan melepaskan sabuk yang terbuat dari kulit binatang yang dikenakan Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengamati, lalu membuka kantung kecil pada sabuk itu. Dari dalam kantung ini ditemukan potongan bambu berukir, bergambar lingkaran dengan dua buah titik pada bagian tengahnya.

"Apa itu...?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Kau kenali gambar ini, Ratna Wulan?" Bayu malah balik bertanya.

Ratna Wulan mengambil potongan bambu itu, lalu mengamati gambar yang terukir di situ. Keningnya jadi berkerut, memperhatikan gambar pada bambu berukuran kecil ini. Kemudian diambilnya lembaran daun lontar dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar diamatinya dua benda yang begitu dalam menyimpan suatu rahasia. Kemudian ditatapnya pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.

"Sepertinya, ini suatu petunjuk penyimpanan harta itu, Kakang," kata Ratna Wulan.

"Iya, tapi apa maksudnya?" tanya Bayu lagi.

"Aku pernah melihat gambar ini sebelumnya," agak perlahan suara Ratna Wulan.

"Di mana?" tanya Bayu lagi.

"Di mata tombak milik ayah."

"Mata tombak...?" Bayu jadi tertegun.

"Iya. Senjata kebanggaan ayah. Senjata itu ada di rumah. Aku menyimpannya di kamar," sahut Ratna Wulan lagi.

"Hm.... Ini seperti suatu mata rantai untuk menuju tempat harta itu, Wulan," gumam Bayu.

"Aku rasa memang demikian, Kakang." Bayu memandang tubuh Ki Darpin, kemudian mengambil dua benda itu dari tangan Ratna Wulan. Lalu dibungkusnya benda itu dengan sehelai kain yang disobek dari selendang Ratna Wulan, kemudian diberikannya pada Tiren. Seekor monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka.

"Ikatkan ini di atas pohon, Tiren," perintah Bayu.

"Nguk...!"

Tanpa diperintah dua kali, Tiren segera melompat naik ke atas pohon. Cepat sekali gerakannya. Sebentar saja, monyet kecil berbulu hitam itu sudah berada di puncak pohon yang begitu tinggi. Lalu, diikatnya kain merah yang membungkus dua benda itu pada salah satu dahan. Kemudian, binatang itu bergegas turun. Dan kini Tiren kembali hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Kau kenali pohon ini, Tiren," pinta Bayu.

Tiren mengangguk sambil memperdengarkan suara menggumam kecil. Bayu kini kembali menghampiri tubuh Ki Darpin. Lalu dipondongnya mayat itu, dan terus melangkah ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Perlahan-lahan diletakkan tubuh laki-laki separuh baya bekas murid ayahnya yang telah menjadi mayat itu.

Tiren langsung melompat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan, ketika Bayu berdiri tegak dengan telapak tangan menyaru di depan dada. Sebentar Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-dalam, lalu....

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangannya ke depan. Dan dari kedua telapak tangannya, seketika meluncur secercah sinar merah yang langsung menghantam tubuh Ki Darpin. Suara ledakan keras terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tampak tubuh Ki Darpin mengepulkan asap kemerahan. Lalu begitu asap menghilang tertiup angin, tubuh Ki Darpin lenyap. Yang tertinggal kini hanya seonggok debu.
Bayu melangkah menghampiri onggokan debu tubuh Ki Darpin. Lalu, dikeluarkannya sehelai kain putih dari balik sabuknya. Kain itu ditebarkan ke tanah, dan diraupnya debu berwarna putih keabu-abuan itu. Sedikit demi sedikit debu itu dipindahkan ke atas kain putih. Sementara, Ratna Wulan hanya memperhatikan saja tanpa berbicara sedikit pun juga. Dia merasa heran melihat semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.

Setelah semua debu itu berpindah ke atas kain, Bayu kemudian membungkusnya dengan rapi. Kembali kakinya melangkah sambil membawa bungkusan kain berisi debu jasad Ki Darpin. Pendekar Pulau Neraka tersenyum melihat Ratna Wulan terbengong keheranan menyaksikan perbuatannya ini.

"Ini suatu kepercayaan yang dilakukan leluhur ku, Ratna Wulan. Dan itu diterapkan di padepokan ayahku. Semua murid padepokan yang meninggal, diperabukan. Lalu, abunya dihanyutkan ke sungai. Mereka akan merasa bangga daripada dikebumikan," jelas Bayu memberi penjelasan tanpa diminta.

Ratna Wulan masih terdiam.

"Memang tidak semuanya mau mengikuti kepercayaan itu. Dan aku sendiri sebenarnya tidak setuju. Tapi semalam, sebelum menghilang, Ki Darpin sudah berpesan padaku untuk memperabukan jasadnya jika meninggal. Aku sudah berjanji akan melaksanakannya, meskipun aku sendiri tidak menyukai cara ini," jelas Bayu lagi.

"Dari mana kau tahu semua itu, Kakang? Sedangkan kau sudah berpisah dengan keluargamu sejak masih bayi," tanya Ratna Wulan ingin tahu.

"Dari para sahabat ayahku, dan beberapa orang murid ayahku yang masih hidup dan sempat kutemui," sahut Bayu kalem.

"Ilmu apa yang kau gunakan itu tadi?" tanya Ratna Wulan lagi.

"Hanya ilmu warisan. Aku mempelajarinya dari salah seorang guru pengajar di padepokan ayahku, yang waktu itu sempat selamat ketika padepokan ayahku hancur. Tidak sulit mempelajarinya. Kau juga bisa mempelajarinya. Paling tidak, hanya butuh dua atau tiga hari untuk mempelajarinya," kata Bayu menjelaskan lagi.

"Secepat itu...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.

"Iya. Tapi ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung."

"Kenapa?"

"Karena membutuhkan pemusatan pikiran yang penuh. Sedangkan di dalam pertarungan, harus dilakukan dengan cepat. Dan jika digunakan dalam pertarungan, kau akan mati sebelum sempat mempergunakannya. Lagi pula, ilmu itu tidak berarti sama sekali jika ditujukan pada makhluk hidup yang masih bernyawa. Tidak akan mematikan. Paling tidak, hanya merasakan sakit sedikit saja. Dan tidak ada pengaruhnya sama sekali," jelas Bayu lagi. "Aku sudah pernah mencobanya pada binatang. Tapi, hasilnya memang begitu. Kelinci yang ku pukul dengan ilmu itu, tidak mati sama sekali. Bahkan terus berlari, setelah terpental sedikit"

"Ilmu aneh...," desah Ratna Wulan.

"Ilmu itu memang diciptakan bukan untuk menyakiti. Tapi, untuk memberi kebahagiaan dan kesempurnaan bagi makhluk hidup yang sudah mati."

"Lalu, akan kau apakan abu Ki Darpin itu?" tanya Ratna Wulan.

"Dihanyutkan ke sungai."

"Kenapa harus ke sungai?"

"Air merupakan sumber kehidupan, Ratna Wulan. Menurut kepercayaan, roh yang dihanyutkan ke sungai dan tetap hidup abadi, sepanjang sungai itu terus mengalir. Dan sungai tidak akan berhenti mengalir sepanjang zaman, sampai dunia ini benar-benar hancur."

Ratna Wulan mengangguk-anggukkan kepala. Meskipun sudah bisa mengerti, tapi seperti apa yang dikatakan Bayu tadi, tidak semua orang bisa memahami kepercayaan ini. Dan Bayu sendiri tidak pernah menyetujuinya. Tapi sebagai satu-satunya pewaris keluarga, dia harus bersedia melakukannya, walaupun hatinya tetap menentang.

"Ayo kita cari sungai dulu," ajak Bayu langsung saja melangkah.

Ratna Wulan mengikuti saja tanpa berbicara lagi. Gadis itu masih terus memikirkan cara yang dilakukan Bayu terhadap mayat Ki Darpin. Memang sulit bisa diterima akal biasa. Dan rasanya, Ratna Wulan juga masih belum bisa memahami benar. Tapi, dia tidak banyak bertanya dulu. Dan gadis itu kembali memusatkan seluruh perhatian pada persoalan yang sedang dihadapinya. Suatu persoalan teka-teki penuh tanda tanya yang masih sulit diungkapkan.

"Kakang.... Kalau memang benar yang membunuh Ki Darpin si Lima Setan dari Barat, berarti mereka masih ada di sekitar sini," kata Ratna Wulan mengisi kebisuan yang terjadi setelah mereka berjalan cukup jauh.

"Mereka tidak akan meninggalkan Kadipaten Talagan sebelum mendapatkan harta itu, Wulan," sahut Bayu.

"Tidak bisa kubayangkan, berapa banyak harta itu, Kakang. Bayangkan saja, selama dua tahun mereka merajalela, dan selalu berhasil," kata Ratna Wulan lagi.

"Kau tergiur...?" goda Bayu.

"Untuk apa? Harta tidak akan membawa kebahagiaan, Kakang," dengus Ratna Wulan.

"Tapi banyak orang yang mengejar harta untuk kebahagiaan, Wulan."

"Mereka salah kalau menyangka harta sebagai sumber kebahagiaan. Kau tahu, Kakang. Kebahagiaan yang sejati adanya di sini," kata Ratna Wulan seraya menunjuk dadanya sendiri.

Bayu hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi ucapan Ratna Wulan barusan. Dan memang, pendapat orang tidak sama. Sedikit pun pasti ada perbedaan, walaupun sangat kecil. Dan secara jujur, Bayu mengagumi gadis ini. Sungguh berbeda pada saat pertama kali bertemu, ketika Ratna Wulan masih bergabung dengan Ratu Gua Setan. Benar-benar jauh perbedaannya. Bayu tidak tahu, apa yang menyebabkan Ratna Wulan bisa berubah begitu cepat. Dari seorang gadis liar yang brutal, kini menjadi gadis yang lembut dan berpandangan luas.

Tapi memang diakui, pada dasarnya Ratna Wulan adalah gadis baik-baik yang terbiasa hidup di lingkungan mewah. Bahkan segalanya selalu tersedia lebih dari cukup. Dia hidup di lingkungan terpandang, dan jarang dimiliki gadis-gadis lain sebayanya. Tapi, Bayu mengakui kalau Ratna Wulan cukup tabah dalam menerima segala cobaan hidupnya kali ini. 

***
ENAM
Bayu memandangi tombak berukuran cukup panjang, yang ujung matanya terbuat dari emas. Keningnya jadi berkerut melihat mata tombak itu seperti terbagi dua. Dan pada bagian tengahnya, terukir sebuah gambar yang sama persis dengan gambar yang ada pada sepotong bambu dari dalam kantung sabuk Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandang pada Ratna Wulan yang sejak tadi diam saja memperhatikan.

Trak!

Sekali sentak saja, tombak itu sudah patah, tepat pada bagian ujung matanya yang terbuat dari emas. Ratna Wulan agak terkejut melihat tombak kebanggaan ayah angkatnya dipatahkan Bayu. Tapi, dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Gadis itu hanya diam memandangi saja semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Kemudian, dengan ujung senjata keperakan berbentuk persegi enam itu, dia menggurat garis tipis pada bagian tengah mata tombak itu.

Setelah memasang kembali Cakra Maut pada pergelangan tangannya, mata tombak itu dipisahkan hingga terbelah menjadi dua bagian. Ternyata, mata tombak itu berongga pada bagian dalamnya. Dan dari dalam mata tombak berselaput emas itu, Bayu mendapat selembar kulit kayu tipis berukuran kecil yang ternyata guratan-guratan gambar. Bayu lalu menunjukkannya pada Ratna Wulan.

"Kau tahu, apa artinya gambar itu, Wulan?" tanya Bayu.

"Hm...," Ratna Wulan menggumam dengan kening berkerut.

Cukup lama juga Ratna Wulan terdiam memandangi guratan-guratan gambar pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Perlahan kemudian, kepalanya terangkat menatap Bayu yang sejak tadi terus memperhatikan.

"Aku tahu, Kakang...," desis Ratna Wulan, agak berbinar bola matanya.
"Kau tahu arti gambar itu, Ratna Wulan...?" tanya Bayu jadi gembira.

"Ayah pasti ingin melukiskan kalau harta itu tersimpan di sekitar Danau Raguling," sahut Ratna Wulan.

"Danau Raguling...? Di mana itu?" tanya Bayu.

"Ada di sebelah Timur Kadipaten Talagan. Tidak jauh dari sini, Kakang. Tidak sampai setengah hari perjalanan," jelas Ratna Wulan.

"Hm, lalu apa arti gambar jamur itu?" tanya Bayu lagi.

"Kau ingat apa yang dikatakan Ki Darpin, Kakang?"

Bayu mengangguk.

"Jamur inilah yang dikatakan Ki Darpin sebagai Cendawan Merah," kata Ratna Wulan lagi.

"Hm.... Jadi benar kalau harta itu bisa ditemukan kalau melihat Cendawan Merah...?" agak menggumam nada suara Bayu.

"Mungkin memang itu maksudnya, Kakang," sahut Ratna Wulan.

Bayu jadi terdiam dengan kening berkerut agak dalam. Dia langsung teringat cerita cerita mengenai Cendawan Merah. Cerita yang selama ini hanya dianggapnya sebagai dongeng anak-anak kecil saja. Sama sekali tidak pernah ditanggapinya kalau Cendawan Merah memang ada. Dan sekarang, rahasia yang harus dipecahkan ini justru melibatkan Cendawan Merah itu. Inilah satu-satunya petunjuk untuk menemukan harta yang disembunyikan Ki Wanasa.

"Sebaiknya, kita cepat ke sana, Kakang. Sebelum ada yang tahu tentang ini semua," kata Ratna Wulan memberi saran.

"Hm..., ayolah," Bayu cepat menyetujui. 

***

Baru saja Bayu dan Ratna Wulan keluar dari dalam rumah peninggalan Mendiang Ki Wanasa, tiba-tiba saja dikejutkan oleh munculnya lima orang tua berjubah yang berlainan warna. Mereka semua memegang tombak yang warnanya sama dengan jubah yang dikenakan masing-masing.

"Lima Setan dari Barat...," desis Bayu langsung mengenali lima orang tua yang dua di antaranya adalah wanita.

Dari ciri-ciri yang diperoleh selama ini, Bayu bisa langsung mengenali mereka. Maka kakinya segera melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan Ratna Wulan masih tetap berdiri di undakan tangga beranda depan rumah yang berukuran cukup besar ini.

"Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Bayu langsung, bernada ketus.

"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam, juga langsung mengenali pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri di depannya ini.

"Kalau kalian menginginkan harta itu, rasanya tidak ada di sini. Tapi kebetulan, aku memang sedang mencari kalian untuk membuat perhitungan," terasa dingin sekali nada suara Bayu.

"Ha ha ha...! Kau terlalu pongah, Pendekar Pulau Neraka. Apa kau tidak tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?!" lantang sekali suara Setan Jubah Hitam.

"Aku tahu, kalian adalah manusia-manusia iblis yang tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Bayu ketus.

"Phuih! Kau akan menyesal menghina kami, Bocah!" dengus Setan Jubah Hitam, langsung memerah wajahnya.

Bet!

Setan Jubah Hitam langsung mengebutkan tongkat, dan menyilangkannya di depan dada. Saat itu juga, empat orang yang berada di belakangnya segera berlompatan mengepung. Sementara, Ratna Wulan sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu menggenggam erat gagang Pedang Api yang masih tersimpan di dalam warangka di punggung.

"Hati-hati, Wulan. Mereka bukan orang sembarangan," bisik Bayu memperingatkan.

"Hhh...!" Ratna Wulan hanya mendesis saja.
"Serang, tapi jangan lukai gadis itu...!" perintah Setan Jubah Hitam lantang menggelegar.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, Lima Setan dari Barat langsung berlompatan menyerang. Tongkat-tongkat mereka yang berujung runcing, berkelebatan cepat di sekitar tubuh Bayu maupun Ratna Wulan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat.

'Phuih...!"

Bayu menyemburkan ludahnya, begitu menyadari kalau serangan yang dilancarkan serentak itu hanya membuatnya terpisah dari Ratna Wulan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi berbuat banyak. Tiga orang tua berjubah itu sudah mengeroyoknya dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat. Sedangkan Ratna Wulan harus menghadapi dua orang dari Lima Setan dari Barat itu.

Ratna Wulan tidak sempat lagi mencabut pedangnya, karena serangan yang diterimanya begitu cepat dan mendadak. Tampak jelas tingkat kepandaian yang dimiliki Ratna Wulan masih jauh dibanding Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning yang menjadi lawannya. Dalam beberapa jurus saja, gadis itu sudah kelihatan terdesak. Dan dia hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat, beruntun, dan bergantian. Hingga akhirnya....

Desss!
"Akh...!"

Ratna Wulan terpekik keras agak tertahan. Satu pukulan lurus yang dilepaskan Setan Jubah Merah tidak dapat lagi dihindari. Begitu keras, walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Namun akhirnya, Ratna Wulan jadi terpelanting, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Hebatnya, gadis itu cepat bisa bangkit berdiri, meskipun agak terhuyung. Cepat-cepat pedangnya dicabut ketika Setan Jubah Kuning sudah melompat melakukan serangan kembali.

"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk...!
"Ikh...!"

Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba Ratna Wulan mengebutkan pedangnya yang memancarkan api. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang beberapa kali, menghindari tebasan Pedang Api itu. Kedua matanya jadi terbeliak melihat pedang berapi tergenggam ditangan Ratna Wulan. Bahkan Setan Jubah Merah juga jadi terperangah tidak menyangka kalau gadis yang dianggap enteng itu memiliki sebuah senjata yang berpamor begitu dahsyat.

"Lawanlah pedangku, Setan-Setan Keparat!

Hiyaaat...!"

Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba saja Ratna Wulan merasa kekuatan yang ada pada dirinya bertambah dua kali lipat. Maka dengan cepat sekali dia melompat menerjang Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning sambil mengebutkan pedang begitu cepat bagai kilat.

"Hup! Yeaaah...!"
"Hait..!"

Serangan-serangan yang dilancarkan Ratna Wulan memang sangat dahsyat. Udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa panas dan menyesakkan. Akibatnya, dua orang tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Mereka benar-benar terkejut dan tidak menyangka kalau gadis yang dianggap ringan itu ternyata memiliki satu simpanan yang begitu dahsyat dan luar biasa.

Sementara itu, tiga orang tua berjubah lain yang sedang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget. Mereka merasakan sambaran hawa panas. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Ratna Wulan menggunakan pedang yang memancarkan api begitu dahsyat.

"Tinggalkan mereka cepat...!" seru Setan Jubah Hitam tiba-tiba.

"Hup!"
"Yeaaah...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, Lima Setan dari Barat segera berlompatan cepat sekali. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuh mereka sudah tidak terlihat lagi. Ratna Wulan bergegas menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil memasukkan kembali Pedang Api itu ke dalam warangka. Tampak napas gadis itu terengah-engah, dan keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya.

"Ke mana mereka pergi, Kakang?" tanya Ratna Wulan.

"Ke arah Utara," sahut Bayu.
"Kita kejar...?"

"Tidak perlu, Wulan. Sebaiknya kita cepat ke Danau Raguling sebelum mereka tahu apa yang kita dapatkan," ujar Bayu.

Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya saja. Kemudian kakinya terayun mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka berjalan tanpa bicara lagi, meninggalkan rumah besar peninggalan Mendiang Ki Wanasa.

"Heran.... Kenapa mereka datang menyerang kita, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk dirinya sendiri.

"Mereka menginginkan mu, Wulan," sahut Bayu kalem tanpa menghentikan ayunan langkah kedua kakinya.

"Aku...? Untuk apa mereka menginginkan aku?" tanya Ratna Wulan tidak mengerti.

"Mereka menganggapmu telah tahu tempat penyimpanan harta itu, karena tinggal kaulah satu-satunya keluarga Ki Wanasa yang masih hidup. Apa kau tidak mengerti kata-kata mereka, Wulan? Mereka menginginkan kau tetap hidup."

"Edan...!" desis Ratna Wulan agak mendengus.

"Mereka akan terus muncul, Ratna Wulan Kau harus lebih berhati-hati sekarang ini," kata Bayu memperingatkan lagi.

"Aku tahu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.

Kembali mereka terdiam.

"Hhh.... Benar-benar perjalanan neraka buatku," desah Ratna Wulan perlahan, seperti untuk dirinya sendiri.

Bayu hanya tersenyum saja. Tapi, mendadak saja senyumnya menghilang. Dia jadi teringat perjalanan hidupnya sejak dilahirkan hingga sekarang ini. Gumaman Ratna Wulan yang mendesah tadi seperti ditujukan untuk dirinya. Memang selama ini Bayu merasakan kalau perjalanan hidupnya seperti perjalanan neraka. Sedikit pun tak ada kesenangan yang diperoleh. Di manapun berada, yang dijumpai hanya persoalan demi persoalan. Sepertinya, semua persoalan hidup tertumpah padanya. Memang tidak enak bila berada dalam jalur yang menuju neraka. Segalanya serba tidak menyenangkan.

"Ada apa, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang melihat wajah Bayu berubah terselimut mendung.

"Tidak... Tidak ada apa-apa, Wulan," sahut Bayu, buru-buru, sambil memberi senyuman.

Tapi senyuman Pendekar Pulau Neraka terasa amat getir. Dan Ratna Wulan rupanya menangkap kegetiran itu. Tapi, gadis itu tidak bisa bertanya lebih jauh. Dan tampaknya, Bayu memang tidak ingin membicarakannya lagi. Mereka kembali terdiam dan terus melangkah menuju Danau Raguling yang berada di sebelah Timur Kadipaten Talagan ini.

Dan selama perjalanan ini, Bayu lebih banyak diam. Ratna Wulan sendiri sulit menduga, apa yang menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Neraka saat ini. Terlalu sulit baginya untuk menduga. Karena setiap kali ditanyakan, Bayu selalu saja bisa cepat menyembunyikan. Tapi, Ratna Wulan yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pendekar Pulau Neraka.

"Boleh Tiren bersamaku, Kakang?" pinta Ratna Wulan tidak betah diam terus-menerus.

Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian tangannya diangkat ingin mengambil monyet kecil itu. Tapi belum juga tangan Bayu menyentuhnya, Tiren sudah melompat cepat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan. Sehingga, gadis itu jadi tertawa terbahak-bahak. Tiren mencerecet ribut, berjingkrakan di pundak gadis ini. Bayu hanya tersenyum tipis.

"Dasar...!" dengus Bayu.

"Dia lebih senang pada wanita, Kakang," goda Ratna Wulan.

"Iya, kalau wanitanya secantikmu," balas Bayu.

"Huuuh...!" Ratna Wulan mencibir.

Kini Bayu yang tertawa terbahak-bahak melihat wajah gadis itu jadi memerah. Ratna Wulan jadi gemas. Dan baru disadari kalau monyet kecil ini berjenis jantan. Maka buru-buru tangannya dikibaskan. Tapi, Tiren sudah lebih cepat melompat, berpindah lagi ke pundak Bayu. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka semakin keras tertawa.

"Tidak lucu...!" rungut Ratna Wulan. 

***

Bayu mengedarkan pandangan berkeliling di sekitar Danau Raguling ini. Saat itu, malam sudah jatuh. Sehingga keadaan di sekitar danau itu tampak gelap. Namun, cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini membuat keadaan di danau ini kelihatan begitu indah. Seluruh permukaan danau seperti bermandikan manik-manik mutiara. Sehingga menambah indahnya pemandangan di sekitar danau ini. Bayu jadi begitu kagum dibuatnya, sehingga jadi lupa tujuannya datang ke sini. 

Pendekar Pulau Neraka benar-benar menikmati keindahan Danau Raguling ini. Rasanya, belum pernah dia menyaksikan keindahan yang begitu alami seperti di Danau Raguling ini. Begitu mempesona, membuat hatinya jadi terhibur. Dan seketika itu juga, sirnalah semua kegundahan yang merambati hatinya sejak datang ke Kadipaten Talagan ini.

"Kenapa tersenyum-senyum, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang sejak tadi berada di samping Pendekar Pulau Neraka, dan terus memperhatikan sikapnya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya...," Bayu tidak melanjutkan kata-katanya.

"Hanya, apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.

"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Bayu masih ingin menutupi apa yang terjadi pada dirinya.

"Ayolah, Kakang.... Ada apa?" desak Ratna Wulan agak merengek.

"Aku..., aku hanya terkesan dengan keindahan pemandangan di sini," sahut Bayu sedikit gugup.

"Danau ini memang indah, Kakang. Dulu aku sering ke sini bersama ayah," tutur Ratna Wulan seraya mengedarkan pandangan berkeliling.

"Kau tentu tahu betul seluk-beluknya, Ratna Wulan," kata Bayu langsung biasa lagi. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengalihkan perhatian Ratna Wulan yang tadi sempat membuatnya gugup.

"'Tentu saja. Aku kenal betul setiap jengkalnya," sahut Ratna Wulan merasa bangga.

"Sebaiknya, kita mulai mencari tempat persembunyian harta itu, Wulan," ajak Bayu tidak ingin lagi menarik perhatian gadis ini untuk mengetahui kegelisahan hatinya.

"Kau masih menyimpan gambar itu...?"
"Ini," sahut Ratna Wulan sambil mengambil lembaran kulit kayu dari balik lipatan bajunya.

"Kau tahu, kira-kira gambar ini menunjukkan apa, Wulan?" tanya Bayu.

Ratna Wulan terdiam. Diperhatikannya setiap guratan gambar pada lembaran kulit kayu itu. Bayu juga ikut memperhatikan. Agak lama juga mereka terdiam, memperhatikan gambar itu. Lalu, pandangannya beredar berkeliling. Bayu mengambil lembaran potongan kulit kayu itu, kemudian melangkah perlahan mendekati danau yang berkilauan seperti bertaburkan butiran batu mutiara.

"Hm...," Ratna Wulan menggumam perlahan. Kembali gadis itu mengamati guratan-guratan halus di atas lembaran kulit kayu berukuran kecil ditangannya. Kemudian matanya memandang danau yang berkilauan bagai bertaburkan mutiara itu. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja. Pendekar Pulau Neraka masih diam melihat Ratna Wulan melangkah sampai ke tepi danau. Bayu mengikuti dari belakang.

"Perahu siapa ini, Wulan?" tanya Bayu memperhatikan sebuah perahu kecil bercadik panjang yang tertambat di tepi danau ini.

"Aku belum pernah melihatnya. Tapi di gambar ini.... Kau lihat guratan agak melengkung ini, Kakang? Aku yakin itu gambar perahu," sahut Ratna Wulan.

"Lalu?"

"Aku merasa kita harus naik perahu ini ke tengah danau. Atau mungkin ke seberang danau ini," sahut Ratna Wulan lagi.

"Kenapa harus menunggu waktu lagi, Wulan...?" ujar Bayu.

Mereka segera naik ke dalam perahu itu. Bayu mengambil dayung, lalu duduk di bagian belakang. Kemudian, perlahan-lahan perahu kecil bercadik itu bergerak menuju ke tengah danau. Angin yang berhembus begitu kencang, sehingga menebarkan udara yang begitu dingin menggigilkan. Bayu terus menggerakkan dayung ini, membuat perahu kecil itu terus meluncur perlahan-lahan ketengah-tengah danau.

"Berhenti dulu, Kakang," pinta Ratna Wulan memberi perintah.

Bayu menghentikan dayungnya. Perlahan perahu kecil itu berhenti bergerak. Dan mereka kini sudah berada di tengah-tengah danau yang cukup luas. Sepanjang mata memandang, hanya kilauan air saja yang bercahaya bermandikan sinar bulan yang indah keperakan.

"Kenapa berhenti di...?" Belum juga pertanyaan Bayu selesai, tiba-tiba saja permukaan air danau itu bergolak seperti mendidih. Bahkan mampu membuat perahu yang ditumpangi jadi oleng. Tiba-tiba saja, dari permukaan air yang bergolak itu bermunculan tubuh-tubuh berlumut dan berlendir seperti ikan. Mereka membawa tombak panjang, yang bagian ujungnya bercabang tiga dari besi yang berwarna kuning keemasan. Tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga, tiba-tiba saja sosok-sosok tubuh berlumut yang dipenuhi rerumputan air itu, berlompatan menyerang dua pendekar muda di atas perahu itu.

"Awas, Wulan...!" teriak Bayu memperingatkan.
"Hiyaaat...!"

Ratna Wulan cepat merunduk, menghindari hunjaman tombak bercabang tiga itu. Lalu cepat sekali tangan kanannya dihentakkan menyodok ke arah dada yang tampak kosong. Sodokan Ratna Wulan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari lagi. Dan tampaknya, makhluk yang muncul dari dalam danau itu memang tidak berusaha menghindar sedikit pun. Sehingga, sodokan tangan kanan Ratna Wulan tepat menghantam dadanya.

Desss!

Sedikit pun tak ada terdengar suara keluhan. Apalagi jeritan makhluk air yang berlendir itu. Tubuh yang penuh lumut dan rerumputan air itu terpental deras ke belakang, dan kembali tenggelam ke dalam air. Sementara itu, Bayu juga menghadapi beberapa makhluk yang sama-sama muncul dari dalam air. Mereka menyerang seperti membabi buta, tanpa aturan sama sekali. 

Bahkan tidak sedikit pun mereka berusaha menghindari setiap serangan yang dilancarkan dua pendekar muda ini. Sehingga, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka maupun Ratna Wulan membuat mereka berpentalan kembali masuk ke dalam air. Tapi, makhluk-makhluk itu kembali cepat berlompatan keluar dari dalam danau, dan terus melakukan serangan secara sembarangan.

"Phuih! Mereka seperti tidak ada habisnya, Kakang!" dengus Ratna Wulan mulai kesal.

"Kau hadapi saja, Wulan!" seru Bayu.

Bergegas Pendekar Pulau Neraka mengambil dayung. Lalu cepat perahu itu dikayuh sehingga meluncur deras seperti melayang di atas permukaan danau ini. Karena, Pendekar Pulau Neraka mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya saat mengayuh. Tampak makhluk-makhluk air itu hanya memandangi saja, berdiri di atas permukaan air danau yang sudah tenang kembali. Sebentar saja, perahu itu telah sampai di tepi seberang. Kini mereka segera berlompatan keluar dari dalam perahu itu.

"Phuih...!"

"Edan...!" 

***
TUJUH
Kedua pendekar muda itu memandangi makhluk-makhluk aneh yang kembali tenggelam kedalam danau. Mereka kini telah berada di seberang danau. Di belakang mereka tampak hutan yang begitu lebat dan menghitam kelam. Bulan masih bersinar penuh. Cahayanya yang keperakan, terpantul oleh permukaan air danau.

"Hhh.... Tidak selamanya keindahan itu bisa nyaman dinikmati...," desah Bayu seperti bicara pada diri sendiri.

"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya kita lanjutkan saja mencari harta itu," kata Ratna Wulan.

"Hm, ya.... Di mana gambar itu, Wulan?"
"Ini, masih ada."

Mereka kembali memperhatikan guratan gambar yang ada pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Kening Ratna Wulan tampak berkerut saat menatap berkeliling, lalu tertumbuk lurus pada dua buah batu yang tertanam di tanah seperti tonggak. Gadis itu memperhatikan guratan gambar pada kulit kayu itu. Kemudian kakinya terayun mendekati dua tonggak batu yang berdiri sejajar, tidak jauh dari tepian danau ini. Sementara, Bayu terus mengikuti dan mensejajarkan ayunan langkahnya di samping gadis itu.

"Dua garis lurus di dekat lingkaran ini seperti menunjukkan dua batu itu, Kakang," duga Ratna Wulan sambil menunjuk dua tonggak batu di depannya.

"Maksudnya?" tanya Bayu tidak mengerti.

Bayu memang sama sekali tidak mengerti cara-cara seperti ini. Dan baru pertama kali dirinya terlibat dalam perebutan harta seperti ini. Terlebih lagi, yang menggunakan gambar-gambar petunjuk untuk menemukan harta itu. Tapi, tampaknya Ratna Wulan memahami akan maksud gambar itu. Sehingga, Bayu hanya mengikuti saja apa yang dikatakan gadis ini.

"Rasanya tidak ada lagi gambar yang bisa dilihat, Kakang. Barangkali, memang di sinilah ayah menyimpan hartanya," jelas Ratna Wulan.

"Coba kuperiksa dulu, Wulan," kata Bayu mulai waspada. "Menjauhlah sedikit. Barangkali saja ayahmu membuat jebakan untuk melindungi harta itu."

"Hati-hati, Kakang," ujar Ratna Wulan.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian me langkah perlahan mendekati dua tonggak batu yang menjulang sekitar dua batang tombak tingginya. Pendekar Pulau Neraka menajamkan telinganya. Dan pandangannya pun dipertajam untuk melihat kalau-kalau ada jebakan yang tidak terduga, muncul dari balik tonggak batu ini. Tapi sampai begitu dekat berada di tonggak batu itu, belum ada tanda-tanda bakal ada jebakan. Perlahan Bayu mengulurkan tangannya untuk menyentuh batu itu. Dan begitu jari tangannya menyentuh satu tonggak batu itu, tiba-tiba saja....

"Awas, Kakang...!" teriak Ratna Wulan.
"Hup...!"

Bayu cepat-cepat melompat mundur, seraya berputaran beberapa kali di udara. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja bagian atas tonggak batu itu berguguran, ketika Bayu menyentuhkan jari tangannya tadi. Suara menggemuruh terdengar begitu keras. Bumi terasa bergetar, begitu batu-batu yang berguguran menghantam permukaan bumi.

"Phuuuh...!" Bayu mendenguskan nafasnya begitu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Debu mengepul di sekitar tonggak batu itu. Tampak batu-batu yang berguguran bertumpuk menjadi satu. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka melangkah dua tindak ke depan, tiba-tiba saja puluhan anak panah berhamburan dari arah depan.

"Hup! Yeaaah...!"

Bayu langsung melenting ke udara. Tubuhnya berputaran beberapa kali sambil cepat mengebutkan tangan untuk menyampok anak-anak panah yang berhamburan di sekitarnya. Berpuluh-puluh, atau bahkan ratusan anak panah berhamburan menghujani tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, tak ada satu pun yang berhasil mengenainya. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di tanah.

"Kau tidak apa-apa, Tiren?" tanya Bayu sambil menepuk monyet kecil yang masih nangkring dipundak kanannya.

"Nguk!" Tiren menyahuti dengan menganggukkan kepala.

Bayu menatap tajam tonggak batu kembar yang kini sudah menjadi tumpukan-tumpukan bongkahan batu. Perlahan kakinya kembali terayun. Sementara, Ratna Wulan berdiri mengawasi dari jarak yang agak jauh. Tak ada lagi serangan jebakan yang dihadapi, sampai Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas tumpukan bongkahan batu itu. Pandangannya beredar berkeliling. Keningnya jadi berkerut, begitu melihat sebuah mulut gua berukuran kecil tersembunyi di balik gerumbul semak belukar.

"Hup...!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka melompat mendekati mulut gua kecil yang berada tidak jauh dari balik tonggak batu kembar yang kini tinggal onggokan tumpukan batu. Dengan sekali lompat saja, Pendekar Pulau Neraka sampai di depan mulut gua. Bayu mengambil sebatang kayu yang cukup panjang ukurannya. Dan dengan kayu itu, semak yang menutupi mulut gua ini disibaknya. Tak ada sesuatu yang ditemukan.

Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati mulut gua itu. Kepalanya kemudian dijulurkan ke dalam. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat ke dalam gua, yang ternyata tidak seberapa besar dan juga tidak dalam.

"Kau temukan sesuatu, Kakang...?" teriak Ratna Wulan bertanya.

"Ke sinilah cepat, Wulan!" panggil Bayu, agak keras suaranya.

Ratna Wulan bergegas melangkah hendak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu berlompatan ringan melewati tumpukan bongkahan batu. Kemudian dengan sekali lompatan ringan, dia sudah berada di samping Bayu.

"Coba lihat ke dalam gua ini," ujar Bayu.

Ratna Wulan menjulurkan kepala ke dalam gua, tapi tak lama sudah ditarik kembali. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan di dalam gua itu.

"Sebaiknya kita masuk ke dalam sana, Wulan," kata Bayu.

Ratna Wulan hanya mengangguk saja. Kemudian mereka melangkah memasuki gua yang tidak begitu besar ini. Mulut gua yang kecil, dan hanya bisa dilewati satu orang. Dan itu pun harus merendahkan badan agar tidak terantuk atap mulut gua ini. Mereka tidak ada yang bicara, meskipun sudah berada di dalam gua. Apa yang disaksikan di dalam gua, memang sukar bisa dipercaya. Sedangkan Ratna Wulan sudah begitu yakin kalau guratan gambar di kulit kayu itu menunjukkan tempat penyimpanan harta yang memang terletak di sini. Tapi kenyataannya....

"Mustahil...," desis Ratna Wulan seperti tidak percaya. 

***

Memang tidak ada yang bisa didapatkan di dalam gua ini, kecuali tumpukan peti-peti kayu kosong. Sedangkan harta itu sama sekali tidak ada di dalam gua ini. Setiap peti yang ada di dalam gua itu diperiksa. Bahkan setiap jengkal dinding dan lantai sudah diamati. Kini sudah tak ada lagi petunjuk di dalam gua ini. Dan peti-peti itu sudah jelas bekas tempat harta yang selama ini selalu diributkan.

"Kakang, coba ke sini...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.

Bayu bergegas menghampiri Ratna Wulan yang tengah berdiri tegak memandang ke dinding gua batu ini. Kening Bayu jadi berkerut saat melihat dinding batu gua ini ternyata terdapat guratan-guratan seperti sebuah gambar. Bayu menghampiri, dan membersihkan batu-batu itu dari lumut yang melekat tebal. Kini guratan-guratan itu terlihat lebih jelas lagi.

Tuk! Tuk! Tuk...!

Bayu mengetuk batu yang terdapat guratan gambar itu. Kemudian langsung ditatapnya Ratna Wulan, yang juga memandangnya penuh arti. Dari suaranya sudah bisa dipastikan kalau di balik batu ini tentu berongga. Bayu melangkah mundur perlahan dua tindak. Sebentar perhatiannya dipusatkan, dan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu perlahan-lahan tangannya terkepal, dan terangkat sampai sebatas pinggang. Sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian....

"Hiyaaa...!"
Brak!

Hanya satu kali pukulan saja, dinding batu gua itu hancur berkeping-keping. Dan memang, dibalik batu itu terdapat sebuah rongga yang tidak begitu besar. Di dalamnya, ternyata hanya ada sebuah peti kayu yang kelihatannya sudah lapuk dimakan rayap. Bayu mengambil peti itu, dan dibawanya pada Ratna Wulan.

"Apa isinya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.

"Entahlah. Sebaiknya, kita buka saja," sahut Bayu.

Pendekar Pulau Neraka membolak-balik peti itu. Tak ada tutupnya sama sekali. Kemudian pukulannya dihantamkan ke peti kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Dan di dalam peti itu hanya ditemukan sebuah bambu yang diserut halus, serta terikat pita berwarna merah. Bayu segera membuka tutup selongsong bambu itu. Dari dalamnya didapatkan selembar daun lontar bertuliskan beberapa kalimat berwarna kuning keemasan.

"Aku tahu, ini tulisan ayah, Kakang," kata Ratna Wulan.

"Coba kau baca, Wulan," pinta Bayu seraya menyerahkan lembaran daun lontar itu.

Sebentar Ratna Wulan menatap Bayu. Lalu diambilnya lembaran daun lontar itu. Kini pandangannya mulai diarahkan pada tulisan yang tertera di sana.

"Kalian tidak akan menemukan harta disini. Aku sudah menyerahkannya pada Gusti Adipati Talagan," Ratna Wulan membaca baris-baris kalimat yang tertera pada daun lontar itu.

Bayu tampak mengerutkan kening, sambil mendengarkan penuh perhatian.

"Oh, Kakang...," desah Ratna Wulan terharu.

Bayu langsung merengkuh gadis itu dan memeluknya dengan hangat. Ratna Wulan menyembunyikan wajahnya di dada pemuda tampan yang bidang dan agak berbulu. Beberapa saat mereka berpelukan. Memang, pencarian harta yang dilakukan tidak membawa hasil. Tapi mereka bahagia, karena ternyata Ki Wanasa mengembalikan harta itu pada yang berhak.

"Aku tidak mengerti semua yang dilakukan ayah, Kakang," ujar Ratna Wulan setelah melepaskan pelukan Pendekar Pulau Neraka.

"Dari yang kudengar, tindakan Ki Wanasa memang sulit diterka," sahut Bayu, terdengar perlahan suaranya.

"Tapi...," suara Ratna Wulan terputus.

Gadis itu kelihatan ragu-ragu kalau ayah angkatnya telah mengembalikan harta itu pada Adipati Talagan. Dia tahu betul segala watak ayah angkatnya itu. Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Wanasa mengembalikannya. Sedangkan sakit hatinya tidak bakal tertembus terhadap Adipati Talagan.

"Ada apa, Wulan? Sepertinya kau ragu-ragu...," ujar Bayu bisa menebak keraguan gadis ini.

"Aku kenal betul, siapa ayah angkatku itu, Kakang. Aku tidak percaya kalau harta itu sudah dikembalikan lagi. Sedangkan kau tahu, ayah begitu sakit hati. Sehingga semua ini dilakukannya untuk membalas sakit hatinya terhadap Adipati Talagan, yang mendepaknya begitu saja. Padahal ayah hanya melakukan satu kesalahan kecil yang sama sekali tidak diinginkan semua orang," kata Ratna Wulan.

"Jadi, kau beranggapan kalau harta itu masih ada, Wulan?"

"Tepat. Kalau sudah dikembalikan, untuk apa Adipati Talagan terus mencarinya, Kakang.?"

"Hm.... Kau benar, Wulan. Adipati Talagan memang masih mencari hartanya itu sampai sekarang. Memang, rasanya tidak mungkin kalau sudah dikembalikan, lalu terus mencari lagi," ujar Bayu, agak menggumam suaranya.

"Hanya yang ku herankan, kenapa ayah menulis surat ini, Kakang...?" ujar Ratna Wulan bertanya lagi.

"Mungkin surat itu dimaksudkan untuk Lima Setan dari Barat, Wulan," sahut Bayu.

"Ya, mungkin juga," desah Ratna Wulan perlahan.

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" tanya Bayu.

"Apa lagi...? Kita sudah menemukan tempatnya. Dan harta itu tidak ada lagi di sini," sahut Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.

Mereka kembali terdiam tak bicara lagi. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Dan mereka menyadari, seorang pun tidak mungkin lagi bisa menemukan harta yang tersimpan itu, kecuali Ki Wanasa sendiri. Sedangkan Ki Wanasa sudah tewas di tangan Lima Setan dari Barat. Kecil sekali kemungkinan bagi mereka untuk menemukan harta itu.

"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kakang," ajak Ratna Wulan setelah cukup lama mereka berdiam diri.

"Kau tidak ingin meneruskan lagi?" pancing Bayu.

Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala saja.
"Lalu...?"

"Aku ingin mencari orang tua kandungku saja. Tidak ada lagi tempat untukku, Kakang. Mungkin aku akan terus mengembara sampai bertemu orang tua kandungku. Atau mungkin sampai ajal ku tiba," sahut Ratna Wulan, agak perlahan suaranya.

Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian mengajaknya melangkah keluar dari dalam gua. Mereka tidak lagi berbicara, dan terus melangkah ke luar gua. Tapi begitu berada di luar, mendadak saja....

"He he he...!"
"Oh...?!" 

***

Mereka terkejut bukan main begitu melihat Lima Setan dari Barat tiba-tiba sudah ada di depan gua ini. Entah dari mana mereka tahu tempat ini. Dan lagi, kedatangannya sama sekali tidak diketahui.

"Bagaimana kalian bisa tahu tempat ini...?" tanya Bayu, agak kaget juga atas kemunculan Lima Setan dari Barat.

"Tidak sulit, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam. "Aku tahu, kalian memiliki petunjuk tempat penyimpanan harta itu. Dan kami tentu saja mengikuti kalian sampai ke tempat ini.

He he he...!"

"Kalian benar-benar licik...!" desis Ratna Wulan jadi geram.

"Bukannya licik, Cah Ayu. Tapi pakai ini...," Setan Jubah Hitam menunjuk keningnya sendiri.

"Lagi pula, untuk apa kami susah-susah mencari kalau petunjuk jalannya sudah ada," sambung Setan Jubah Merah.

"Baiklah...," selak Bayu. "Sekarang kita semua sudah ada di sini. Lalu, apa yang ingin kalian lakukan?"

"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja kami ingin mengambil harta itu sekarang!" sahut Setan Jubah Hitam.

"Harta itu tidak ada lagi di sini," tegas Bayu.

"Jangan coba-coba mempermainkan Lima Setan dari Barat, Bocah!" sentak Setan Jubah Biru lantang.

"Aku tidak main-main. Harta itu memang tidak ada lagi. Kalian boleh lihat sendiri," kata Bayu kalem.

Setelah berkata demikian, Bayu menarik tangan Ratna Wulan, dan mengajaknya menyingkir dari mulut gua itu. Lima Setan dari Barat itu saling berpandangan beberapa saat. Kemudian, Setan Jubah Kuning bergegas melangkah menuju ke gua. Sebentar matanya melirik Bayu dan Ratna Wulan yang sudah menyingkir agak jauh dari mulut gua itu. Setan Jubah Kuning bergegas masuk ke dalam gua itu, tapi tak berapa lama kemudian sudah keluar lagi dengan wajah kelihatan memerah.

"Bagaimana...?" tanya Setan Jubah Hitam langsung.

"Kosong," sahut Setan Jubah Kuning mendengus kesal.

"Setan keparat...!" geram Setan Jubah Hitam, langsung memuncak amarahnya.

Sementara, Bayu hanya tersenyum saja. Sedangkan Ratna Wulan mencibir sinis melihat lima orang tua itu tampak marah melihat gua itu dalam keadaan kosong. Mereka langsung berserabutan masuk ke dalam gua, seakan-akan tidak percaya kalau harta yang selama ini dicari sudah tidak ada lagi di sana. Mereka benar-benar melupakan kehadiran kedua pendekar muda itu.

"Apakah sebaiknya dendam kita dilampiaskan sekarang, Kakang," bisik Ratna Wulan begitu Lima Setan dari Barat sudah tenggelam dalam gua.

"Tentu saja. Aku memang harus membuat perhitungan dengan mereka," sahut Bayu.

"Kalau begitu, kenapa gua itu tidak dihancurkan saja, Kakang? Biar mereka terkubur hidup-hidup di sana," kata Ratna Wulan langsung berang.

"Aku tidak pernah melakukan perbuatan pengecut, Wulan. Aku akan menantangnya secara terbuka. Tapi aku yakin, belum ditantang pun, mereka pasti akan melampiaskan kemarahan pada kita berdua," kata Bayu lagi.

Pada saat itu Lima Setan dari Barat sudah kembali bermunculan dari dalam gua. Mereka langsung menghampiri Bayu dan Ratna Wulan yang sejak tadi masih menunggu di tempatnya. Wajah mereka masing-masing kelihatan memerah, seperti menyimpan kemarahan yang meluap-luap dan hampir tak tertahankan lagi.

"Kalian pasti menyembunyikannya," desah Setan Jubah Hitam. "Katakan, di mana harta itu...?!"

"Untuk apa harta bagi kami, Kisanak? Kami hanya para pengembara yang tidak membutuhkan harta sebanyak itu. Kalaupun kami temukan tadi, pasti akan dikembalikan kepada yang berhak," sahut Bayu kalem.

"Setan belang...! Kau benar-benar bocah keparat, Pendekar Pulau Neraka!" geram Setan Jubah Hitam semakin memuncak amarahnya.

"Harta itu bukan milik siapa-siapa, tapi milik seluruh rakyat Kadipaten Talagan. Jadi tidak ada di antara kita semua yang berhak memilikinya," tegas Bayu, tetap kalem suaranya.

"Phuih! Kau memang pandai berbicara, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku ingin tahu, apa kau juga pandai mempertahankan hidupmu!" dengus Setan Jubah Merah.

"Kalau tidak, mana mungkin aku masih hidup sekarang...?"

"Keparat...! Mampus kau, Bocah! Hiyaaat...!"

Setan Jubah Merah tidak bisa lagi menahan kemarahannya yang sudah meluap dalam dada. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya yang berwarna merah dan berujung runcing, langsung dikebutkan ke arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Uts...!"

***
DELAPAN
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Jubah Merah manis sekali berhasil dielakkan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Setan Jubah Merah sudah kembali melakukan serangan cepat dan dahsyat luar biasa.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali Setan Jubah Merah melepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Tapi kali ini pun Bayu berhasil menghindarinya dengan meliukkan tubuhnya begitu indah sekali.

Pada saat itu, Setan Jubah Putih dan Setan Jubah Biru sudah berlompatan menyerang Ratna Wulan. Lalu, disusul Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning yang membantu Setan Jubah Merah menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Dan memang seperti yang dikatakan Bayu, tidak perlu menantang pun, Lima Setan dari Barat itu pasti akan memulai pertarungan ini.

"Gunakan pedangmu, Wulan...!" teriak Bayu yang masih sempat memperhatikan pertarungan yang dilakukan Ratna Wulan.

"Baik...!" sahut Ratna Wulan. "Hiyaaat.. !"

Seketika itu juga Ratna Wulan melenting ke udara dengan cepat sekali. Dan sambil melakukan beberapa kali putaran di udara, gadis itu cepat mencabut Pedang Api. Seketika itu juga, cahaya api yang memancar dari pedang itu terasa menyebarkan hawa panas yang begitu menyesakkan dada.

"Yeaaah...!"

Bagaikan seekor burung elang, Ratna Wulan meluruk deras ke arah Setan Jubah Biru. Cepat sekali gadis itu mengebutkan pedangnya beberapa kali. Akibatnya Setan Jubah Biru jadi kelabakan menghindarinya. Dengan Pedang Api di tangan, Ratna Wulan memang benar-benar luar biasa. Gerakan-gerakannya jadi bertambah cepat. Dan kekuatannya pun berlipat ganda. Sehingga, gadis itu jadi seperti sosok malaikat maut yang hendak mencabut nyawa kedua lawannya ini.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Ratna Wulan berputaran sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan sungguh luar biasa. Yang diserang bukan hanya Setan Jubah Biru, tapi juga Setan Jubah Putih yang ikut mengeroyoknya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Ratna Wulan memang sungguh luar biasa, sehingga dua orang tua itu benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Bahkan mereka hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju merah muda ini.

Sementara itu di tempat lain, Bayu semakin sibuk menghadapi tiga orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan senjatanya. Karena, lawan-lawannya ini seperti mengetahui kedahsyatan senjata Cakra Mautnya. Maka mereka terus mendesak dengan hebat.

"Nguk! Craaaikh...!"

Tiba-tiba saja monyet kecil yang berada dipundak kanan Pendekar Pulau Neraka melompat cepat. Padahal saat itu Bayu tengah melenting ke udara untuk menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Kuning yang mengarah ke kakinya. Lalu dengan gerakan ringan sekali, monyet kecil yang biasa dipanggil Tiren itu melompat cepat ke arah Setan Jubah Merah.

"Heh...?!"

Setan Jubah Merah jadi terkejut setengah mati.

Bet!

Buru-buru tongkatnya dikebutkan ke arah monyet kecil itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Tiren bisa menghindari kebutan tongkat itu dengan gerakan indah. Dan binatang itu cepat melesat ke atas kepala Setan Jubah Merah. Gerakannya cepat luar biasa, sehingga Setan Jubah Merah terpaksa melompat ke belakang beberapa tindak menghindari terkaman monyet kecil berbulu hitam itu.

Ringan sekali Tiren mendarat di tanah, dan langsung berjingkrakan sambil mencerecet ribut, seperti menantang Setan Jubah Merah. Tingkah monyet kecil itu membuat Setan Jubah Merah jadi geram setengah mati. Lalu cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali ke arah monyet itu. Tapi dengan gerakan begitu ringan, Tiren berlompatan menghindari setiap sabetan tongkat Setan Jubah Merah.

"Monyet keparat...!" geram Setan Jubah Merah berang.

"Nguk! Nguk...!'" 

***

Setan Jubah Merah benar-benar merasa dipermainkan monyet kecil ini. Tongkatnya terus dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Tiren memang bukan monyet biasa. Gerakan-gerakannya sungguh ringan bagai kapas. Tubuhnya berjumpalitan indah sekali menghindari setiap kebutan tongkat orang tua berjubah merah itu.

"Nguk! Nguk! Khraaakh...!"

Tiba-tiba saja Tiren melenting ke udara sambil menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Merah. Dan tanpa diduga sama sekali, monyet kecil berbulu hitam itu meluruk deras ke arah kepala Setan Jubah Merah. Begitu cepat gerakannya, sehingga Setan Jubah Merah tidak sempat lagi menghindar. Dan....

"Khraaakh...!"
Bres!
"Aaa...!"

Setan Jubah Merah menjerit melengking tinggi. Begitu cepat gerakan tangan kecil monyet itu, hingga Setan Jubah Merah tidak dapat lagi melindungi matanya. Darah seketika muncrat begitu tangan Tiren berhasil menembus bola mata orang tua berjubah merah itu.

Setan Jubah Merah menggerung-gerung sambil menutupi wajahnya yang berlumuran darah. Pada saat itu, Tiren sudah melompat kembali. Langsung diterkamnya tengkuk orang tua berjubah merah itu. Gigi-giginya yang runcing tampak menghunjam dalam ke tengkuk Setan Jubah Merah.

"Aaakh...!" lagi-lagi Setan Jubah Merah menjerit melengking.

Setan Jubah Merah mengebutkan tangan ke belakang, tapi Tiren sudah lebih cepat menghindar dengan melompat turun dari tengkuknya. Cepat sekali Tiren melompat naik ke pohon kelapa, lalu terus merayap tinggi hingga sampai ke puncaknya.

Dan tak berapa lama kemudian, butir-butir buah kelapa sudah berjatuhan menimpa Setan Jubah Merah yang masih merasakan sakit pada matanya yang bolong tertembus tangan monyet kecil berbulu hitam itu. Setan Jubah Merah jadi kelabakan setengah mati, begitu Tiren menghujaninya dengan butir-butir kelapa dari atas pohon.

"Monyet keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"

Setan Jubah Merah benar-benar marah luar biasa. Cepat sekali tubuhnya melesat ke udara mengejar Tiren yang berada di atas puncak pohon kelapa. Tapi gerakan Setan Jubah Merah jadi terhambat karena Tiren cepat sekali menghujaninya dengan buah-buah kelapa. Hingga akhirnya....

"Akh...!"

Satu butir buah kelapa tidak bisa dihindari Setan Jubah Merah. Kelapa itu tepat menghantam kepalanya, hingga menimbulkan suara berderak keras. Seketika itu juga tubuh Setan Jubah Merah meluncur deras ke bawah, dan terbanting begitu keras di tanah. Setan Jubah Merah menggerung-gerung dan menggelepar di tanah. Tampak darah mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat ditimpuk kelapa oleh Tiren tadi.

Sementara itu, Tiren sudah merosot turun dari pohon kelapa ini. Langsung dihampirinya Setan Jubah Merah yang masih menggelepar menggerung-gerung di bawah pohon kelapa itu. Tiren mengambil tongkat merah berujung runcing yang tergeletak di tanah, tidak jauh dari Setan Jubah Merah. Lalu, tiba-tiba saja monyet kecil itu melompat dan meluruk deras sambil menghunjamkan ujung tongkat itu ke arah dada Setan jubah Merah. Tak pelak lagi, Setan Jubah Merah harus rela merasakan senjatanya sendiri menghunjam dadanya.

"Aaakh...!"

Setan Jubah Merah menjerit keras melengking tinggi. Jeritan Setan Jubah Merah tentu saja mengejutkan mereka yang sedang bertarung. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Setan Jubah Merah terkapar berlumuran darah dengan tongkatnya sendiri menghunjam dalam di dadanya. Sedangkan seekor monyet kecil berdiri di atas tubuh orang tua berjubah merah itu.

"Bagus, Tiren...!" seru Bayu memuji tulus.

"Nguk! Khraaakh...!"

Tiren berjingkrakan senang sambil mencerecet ribut di atas tubuh Setan Jubah Merah yang sudah terkapar tak bernyawa lagi. Untuk sesaat, pertarungan jadi terhenti. Lima Setan dari Barat yang kini tinggal empat orang lagi, seperti tidak percaya kalau Setan Jubah Merah bisa tewas oleh seekor monyet kecil yang kelihatannya lemah. 

***

Tapi keterpanaan mereka hanya sebentar saja. Memang, kematian Setan Jubah Merah membuat mereka semakin bertambah berang saja. Maka mereka langsung berlompatan menyerang lawan masing-masing. Pada saat itu, Bayu yang sudah memiliki kesempatan untuk menggunakan Cakra Maut. Maka cepat tubuhnya merunduk agak miring ke kiri, lalu menarik kakinya hingga terentang lebar ke samping. Dan begitu tangan kanannya ditarik ke depan dada, secepat itu pula dikebutkan ke depan.

"Yeaaah...!"
Wusss...!

Cakra Maut yang sejak tadi menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika melesat cepat ke arah Setan Jubah Kuning yang saat itu tengah melayang di udara.

"Heh...?!"

Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati melihat Cakra Maut meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan secepat kilat pula tongkatnya dikebutkan hendak menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanannya. Sehingga, tiba-tiba saja Cakra Maut bisa berubah arah sambil meluncur deras seperti kilat. Tebasan tongkat Setan Jubah Kuning jadinya hanya mengenai angin saja. Bahkan matanya semakin terbeliak, karena Cakra Maut terus meluncur ke arahnya begitu cepat luar biasa. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Sehingga...

Sing...!
Crab!
"Aaakh...!"

Setan Jubah Kuning menjerit keras melengking tinggi. Dia langsung terpental ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali. Setan Jubah Kuning menggelepar sambil mengerang meregang nyawa. Darah mengucur deras dari dadanya yang berlubang tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Senjata cakra berbentuk bintang segi enam dan berwarna putih keperakan itu, kembali melesat balik begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Lalu, senjata itu kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka.

Pada saat yang hampir bersamaan, Ratna Wulan tampak mengebutkan pedangnya yang memancarkan api ke arah dada Setan Jubah Putih. Begitu cepat kibasan pedangnya, sehingga Setan Jubah Putih tidak bisa lagi menghindari. Dan....

Cras!
"Aaakh...!"

Setan Jubah Putih menjerit melengking. Darah langsung muncrat dari dadanya yang terbelah Pedang Api yang ditebaskan kuat sekali oleh Ratna Wulan. Setan Jubah Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengucurkan darah.

Tewasnya Setan Jubah Merah oleh monyet kecil berbulu hitam bernama Tiren itu memang mempengaruhi empat orang tua yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu. Mereka jadi kehilangan kepercayaan diri. Maka akibatnya, pertahanan mereka benar-benar goyah, hingga dalam waktu tidak berapa lama saja dua orang lagi sudah terjungkal tewas.

Kini Bayu dan Ratna Wulan tinggal menghadapi masing-masing satu orang lawan. Dan tampaknya dua orang tua itu sudah mulai merasa gentar. Buktinya mereka tampak hanya berdiri saja memandangi lawan masing-masing. Dan tiba-tiba saja....

"Hup! Hiyaaat..!"

Setan Jubah Biru yang sudah menyadari tidak bakal unggul lagi, bermaksud melarikan diri. Dia langsung melompat cepat sekali.

"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaa...!"

Bayu yang melihat hal itu langsung menghentakkan tangan kanannya ke arah Setan Jubah Biru. Bersamaan dengan itu, Ratna Wulan juga melemparkan pedangnya disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi. Sehingga....

Crab!
Bres!
"Aaa...!"

Setan Jubah Biru langsung terpelanting ke tanah begitu Cakra Maut dan Pedang Api menghunjam punggungnya. Dan begitu bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Ratna Wulan sudah melompat menghampiri Setan Jubah Biru yang langsung tergeletak tak bernyawa lagi.

Ratna Wulan segera mencabut pedangnya, bersamaan melesatnya Cakra Maut dari punggung orang tua berjubah biru itu. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ratna Wulan langsung melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak menatap tajam pada Setan Jubah Hitam.

"Tinggal kau sendiri, Setan Jubah Hitam. Kau yang bertanggung jawab atas kematian ayahku...!" desis Ratna Wulan, begitu dingin nada suaranya.

Saat itu, Tiren sudah melompat naik ke pundak kanan Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu kembali nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini lagi. Sementara, Setan Jubah Hitam memandangi Bayu dan Ratna Wulan secara bergantian. Jelas sekali sinar matanya memancarkan kegentaran yang memang telah menyelimuti hatinya, melihat ketangguhan dua orang pendekar muda ini. Dan dia kini benar-benar sendiri sekarang.

"Arwah ayahku akan senang jika kau mati di tanganku, Setan Jubah Hitam," desis Ratna Wulan lagi, tetap dingin nada suaranya.

Perlahan Ratna Wulan melangkah ke depan mendekati laki-laki tua berjubah hitam itu. Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara, Ratna Wulan sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Setan Jubah Hitam. Perlahan-lahan pedangnya yang memancarkan api itu diangkat. Lalu, ujung pedangnya diarahkan lurus ke dada Setan Jubah Hitam. Pada saat itu, Setan Jubah Hitam sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada.

Memang tidak ada lagi pilihan bagi Setan Jubah Hitam, selain terus bertarung mempertahankan nyawa. Meskipun hatinya semakin dalam diliputi kegentaran. Keheningan begitu terasa mencekam suasana di sekitar tepian danau ini. Hingga desir angin yang berhembus begitu lembut, terasa jelas bermain di depan telinga.

"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat...!"

Cepat sekali Ratna Wulan melompat, dan mengibaskan pedangnya ke arah leher Setan Jubah Hitam.

"Hait...!"

Setan Jubah Hitam cepat-cepat menghentakkan tongkatnya, menyampok pedang yang memancarkan api untuk melindungi lehernya. Tak pelak lagi, dua senjata yang berlainan bentuk itu beradu keras tidak jauh dari leher Setan Jubah Hitam.

Trak!
"Heh...?!"

Setan Jubah Hitam jadi terkejut setengah mati. Tongkat yang menjadi kebanggaannya selama ini, tiba-tiba saja terpenggal jadi dua bagian, begitu berbenturan dengan Pedang Api di tangan Ratna Wulan.

"Hup...!"

Buru-buru Setan Jubah Hitam melompat ke belakang beberapa tindak, tapi Ratna Wulan tidak mau membiarkannya. Dengan cepat sekali gadis itu kembali melesat. Pedangnya langsung dikebutkan begitu kuat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hiyaaat...!"
Bet!
"Uts...!"

Setan Jubah Hitam cepat-cepat memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang gadis itu. Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja Ratna Wulan sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat luar biasa. Sehingga, Setan Jubah Hitam yang memang sudah gentar, jadi tidak bisa menghindari tendangan itu.

Desss!
"Akh...!"

Setan Jubah Hitam terpental ke belakang begitu tendangan Ratna Wulan bersarang telak di dadanya. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, dan cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba saja Ratna Wulan sudah kembali melancarkan satu serangan kilat yang begitu cepat sekali.

"Hiyaaat..!"

Setan Jubah Hitam hanya mampu terbeliak saja begitu Pedang Api berkelebat cepat di depan lehernya. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, pedang yang memancarkan api itu sudah lewat cepat sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Setan Jubah Hitam berdiri tegak seperti patung dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.

Sementara, Ratna Wulan sudah melompat mundur beberapa tindak. Gadis itu cepat memasukkan Pedang Api ke dalam warangka di punggung. Pada saat cahaya api dari pedang itu menghilang, tampak tubuh Setan Jubah Hitam jadi limbung. Lalu, tubuhnya ambruk di tanah dengan kepala terpisah menggelinding dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Sedikit pun tak ada gerakan. Setan Jubah Hitam langsung tewas seketika itu juga.

"Hhh...!" Ratna Wulan menghembuskan napas panjang.

Bayu melangkah menghampiri gadis itu, dan berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian dilingkarkan di pundak gadis ini. Ratna Wulan menoleh, menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mereka sama-sama mengembangkan senyum.

"Kita pergi sekarang, Wulan...?" ujar Bayu lembut.

Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala saja.

"Kau bersedia menemani mencari orang tua kandungku, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti ingin meyakinkan diri.

"Tentu saja," sahut Bayu seraya melangkah meninggalkan tepian danau itu. "Asal kau tidak lagi berharap menemukan harta itu, Wulan."

"Aku tidak peduli lagi, Kakang. Biarkan saja menjadi harta terpendam. Siapa pun orangnya yang menemukan, biar menjadi miliknya," sahut Ratna Wulan mantap.

Bayu mengangkat pundaknya. Mereka terus berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri tepian danau yang luas ini. Mereka sama-sama menyadari kalau tidak ada gunanya lagi mencari harta yang disembunyikan Ki Wanasa. Berapa pun banyaknya, tidak dipedulikan lagi. Karena, memang tidak ada lagi petunjuk untuk menemukan harta itu. Ki Wanasa sudah memindahkannya ke tempat yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Dan memang, harta itu benar-benar menjadi harta terpendam.

"Kakang, apakah kita akan selalu jalan bersama seperti ini?" tanya Ratna Wulan.

Jika Hyang Widi menghendaki," sahut Bayu.


TAMAT
Episode Berikutnya: