Pendekar Pulau Neraka - Lima Setan dari Barat(1)

SATU
Ratna Wulan berlutut di depan kedua. orang tua angkatnya, yang selama ini telah mengurus dan membesarkannya. Ayah Ratna Wulan bernama Ki Wanasa, seorang saudagar yang cukup kaya di Kadipaten Talagan. Mereka mengangkat anak pada Ratna Wulan sejak masih bayi merah. Sementara itu, Bayu hanya memperhatikan saja tanpa berbicara sedikit pun.

"Jadi tekadmu sudah bulat, Wulan?" tanya Ki Wanasa seakan-akan ingin meyakinkan dirinya.

"Tentu, Ayah. Maafkan aku...," sahut Ratna Wulan perlahan seraya berdiri dan duduk di kursi, tepat di depan Nyai Wanasa, ibu angkatnya.

Mereka semua kembali terdiam.

"Tapi aku tetap anakmu. Aku tidak akan melupakan kalian, sebagai orang tuaku," kata Ratna Wulan lagi, masih dengan suara pelan.

"Sebenarnya, aku tidak ingin melepaskanmu pergi, Wulan. Apalagi, kau pergi tanpa tujuan pasti. Tapi...," Nyai Wanasa tidak melanjutkan ucapannya.

"Tapi kenapa, Bu?" tanya Ratna Wulan ingin tahu.

"Aku akan merelakan mu jika memang itu sudah jadi keinginanmu, Ratna Wulan. Terlebih lagi, kau akan didampingi Bayu. Kau tahu, Nak. Ayah Bayu adalah seorang pendekar digdaya. Dan antara kami telah terjalin tali persaudaraan," lanjut Nyai Wanasa.

"Benar, Wulan. Aku dan orang tua Bayu sudah mengangkat sumpah. Siapa pun yang mempunyai keturunan, berarti juga keturunan kami. Yaaah..., ternyata nasib memang harus memisahkan kita semua. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan segalanya pada Hyang Widi," sambung Ki Wanasa.

"Kalau orang tuamu masih hidup, dia pasti akan mengenalmu dengan kalung itu," kata Nyai Wanasa lagi.

Ratna Wulan memandangi kalung yang dikenakannya. Seuntai kalung yang talinya hanya terbuat dari urat binatang. Sedangkan bandulannya terbuat dari batu hitam berbentuk bulan sabit, bergambarkan dua bilah pedang yang saling melintang. Kalung ini sudah dikenakannya sejak masih bayi. Ratna Wulan juga baru tahu kalau kalung ini memiliki arti yang cukup dalam bagi dirinya.

"Kau ditemukan suamiku ketika sedang berburu. Dan kalung itu sudah ada di lehermu. Makanya, aku selalu meminta kau untuk memakainya dan jangan sampai hilang. Karena, hanya itu satu-satunya yang ada pada dirimu, Wulan," sambung Nyai Wanasa.

"Lalu namaku...?" Ratna Wulan ingin tahu.

"Kami yang memberi nama padamu. Waktu itu, sama sekali kami tidak tahu namamu. Dan lagi, aku sangat senang ketika suamiku membawa kau pulang. Yaaah..., memang kami tidak dikaruniai anak seorang pun. Jadi, kaulah satu-satunya tumpahan kasih sayang di keluarga ini," kata Nyai Wanasa lagi.

"Kalau saja aku tidak tahu siapa diriku, tentu tidak akan begini jadinya, Bu," ujar Ratna Wulan juga menyesali semua ini.

"Apa yang telah terjadi, sudah menjadi kehendak Hyang Widi. Jadi kau tidak perlu menyesali, Wulan. Aku tahu, suatu saat kau pasti akan tahu tentang dirimu yang sebenarnya. Dan sekarang waktunya telah tiba. Kau sudah tahu, dan ingin bertemu orang tua kandung yang melahirkan mu. Itu suatu kodrat alam, Anakku. Setiap anak pasti ingin mengetahui siapa orang tuanya, dan dari mana asalnya," kata Ki Wanasa, lembut sekali nada suaranya.

"Aku berjanji, kalau sudah bertemu pasti akan kembali lagi ke sini. Bagaimanapun juga, kalian adalah orang tua yang telah merawat dan membesarkan ku sejak masih bayi. Entah apa jadinya kalau aku tidak ada di sini," agak mendesah suara Ratna Wulan.

"Oh, Anakku...." Nyai Wanasa tidak dapat lagi membendung keharuannya. Langsung dia menghambur dan memeluk gadis itu. Air matanya pun tidak dapat lagi terbendung. Sedangkan Ratna Wulan hanya diam saja, membalas pelukan ibu angkatnya ini. Memang berat rasanya meninggalkan dua orang tua yang telah merawat dan membesarkannya sejak kecil.

Tapi itu harus dilakukan, dan lagi Ratna Wulan memang sudah memantapkan hatinya. Yang jelas, dia harus pergi mencari orang tua kandungnya. Meskipun dalam hati ada sedikit kemarahan atas tindakan orang tua kandungnya yang telah meninggalkannya begitu saja di dalam hutan, tapi hatinya sudah bertekad untuk mengetahui siapa orang tuanya yang telah tega berbuat keji seperti itu. Orang tua yang tega membiarkan darah dagingnya sendiri tergeletak tanpa daya dalam hutan. Kalau tidak ditemukan Ki Wanasa, mungkin dia sudah menjadi santapan binatang buas.

Agak lama juga Nyai Wanasa menangis dan memeluk anak angkatnya ini. Pelukannya baru dilepaskan setelah suaminya menepuk lembut pundaknya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu kembali duduk di kursinya. Sementara di samping Ratna Wulan, Bayu hanya tertunduk saja. Seakan-akan perasaannya tidak sanggup lagi menyaksikan semua ini.

"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Ki Wanasa.

"Bagaimana, Kakang...?" Ratna Wulan malah bertanya pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk di sampingnya.

Dan gadis itu memang sudah membiasakan diri memanggil kakang pada Bayu. Karena, usianya memang lebih muda daripada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu sendiri tidak berkeberatan gadis itu memanggilnya seperti itu. Dan itu malah menambah keakraban di antara mereka berdua nantinya.

"Sebaiknya, besok saja. Pagi-pagi sekali berangkatnya," sahut Bayu setelah terdiam beberapa saat.

"Baiklah...," desah Ratna Wulan menyetujui. 

***


Malam ini, Bayu memang harus tinggal di rumah Ki Wanasa yang begitu besar, bagai sebuah istana kecil. Memang, rumah-rumah di Kadipaten Talagan ini besar-besar. Dan kebanyakan penghuninya adalah para saudagar kaya yang tinggal di kadipaten ini. Bahkan tidak sedikit para pembesar kerajaan yang tinggal di sini. Sehingga, tidak heran jika setiap saat selalu terlihat barisan prajurit mengawal pembesar kerajaan di jalan. Kadipaten Talagan ini memang tidak pernah tidur dari segala macam kesibukan. Banyak tempat hiburan di kota ini, yang selalu buka sepanjang malam hingga pagi. Keadaan yang selalu ramai itu membuat Bayu benar-benar sulit memejamkan mata. Sudah berulang kali dicoba, tapi tetap saja tidak mau terpejam.

"Huuuh...!"

Sambil mengeluh panjang, Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah mendekati jendela kamar yang disediakan Ki Wanasa untuk istirahatnya malam ini. Perlahan jendelanya dibuka lebar-lebar. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat Ratna Wulan duduk sendiri di bangku taman. Jendela kamar ini memang langsung menghadap ke taman samping rumah ini.

"Hup...!"

Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka melompat keluar melalui jendela. Kemudian kakinya melangkah ringan. Tanpa terdengar suara sedikit pun, kakinya menjejak rerumputan taman yang terawat rapi, bagai permadani tergelar.

"Kau belum tidur juga, Kakang...?"

"Eh...?!" Bayu jadi tersentak mendengar suara Ratna Wulan.

Dan gadis itu masih tetap duduk di bangku taman tanpa menoleh sedikit pun. Bayu memuji dalam hati akan ketajaman pendengaran gadis ini. Padahal tadi, Pendekar Pulau Neraka mempergunakan ilmu meringankan tubuh saat mendekatinya dari belakang. Dan memang, seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak dikerahkan.

"Duduklah di dekat ku, Kakang," ujar Ratna Wulan seraya menepuk kursi yang didudukinya.

Kursi dari bahan rotan itu memang cukup panjang, dan bisa diduduki empat orang dewasa seperti mereka. Bayu kemudian duduk agak jauh di samping gadis ini. Dipandanginya wajah Ratna Wulan yang tampak begitu cantik, dalam siraman cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan Ratna Wulan berpaling, sehingga pandangannya langsung beradu dengan sorot mata Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Ratna Wulan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Seharusnya kau tidak perlu melibatkan diri dalam urusanku, Kakang. Tugasmu sebagai pendekar sudah terlalu banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiranmu. Kau akan semakin banyak kehilangan waktu istirahat mu nanti," kata Ratna Wulan panjang.

"Kau masih ingat, apa yang dikatakan Ki Wanasa...?" tanya Bayu, seperti tidak menanggapi perkataan Ratna Wulan tadi.

"Tentu saja aku ingat," sahut Ratna Wulan seraya mengangguk.

"Aku adalah putra Dewa Pedang. Dan itu berarti, aku juga putra mereka, Wulan. Jadi, sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu. Apalagi kau anak angkat mereka. Jadi, kau adalah adikku juga, Wulan," jelas Bayu.

"Kau akan tetap menganggapku adik...?" Ratna Wulan ingin menegaskan.

"Mungkin iya, mungkin juga tidak."

"Jawabanmu tidak tegas, Kakang."

"Sulit rasanya untuk menganggapmu adik, Wulan. Tapi keadaan sudah menentukan begitu. Dan aku merasa sulit merubah keadaan ini. Kecuali...," Bayu tidak meneruskan ucapannya.

"Kecuali apa, Kakang?" desak Ratna Wulan ingin tahu.

"Kecuali kau sudah bertemu orang tuamu," sahut Bayu terus menatap wajah cantik gadis ini.

"Kenapa begitu?"

"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bayu mendesah.

"Kakang...," pelan sekali suara Ratna Wulan.

Perlahan Ratna Wulan menaruh tangannya di atas tangan Bayu. Beberapa saat, mereka hanya saling pandang saja. Bayu menggenggam tangan yang berkulit putih dan halus itu erat-erat. Seakan-akan dia ingin membagi kehangatan pada gadis ini. Ingin rasanya Bayu memeluknya, tapi itu tidak mungkin dilakukan di rumah ini. Dia begitu menghormati Ki Wanasa, yang sudah mengangkat saudara pada ayahnya. Dan itu berarti Bayu juga menjadi anaknya.

"Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu, Kakang," kata Ratna Wulan dengan suara begitu perlahan.

"Tidak...," sahut Bayu agak mendesah.

"Jangan membohongi diri sendiri, Kakang. Aku tahu, ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku," desak Rama Wulan.

"Lalu kau sendiri...?" Bayu malah bertanya.

"Aku...? Aku...," Ratna Wulan jadi gugup.

Gadis itu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, duduknya bergeser menjauh. Entah kenapa, wajahnya jadi memerah dan terasa panas sekali. Ratna Wulan memalingkan wajahnya, tidak ingin Bayu terus memandangi wajahnya yang jadi memerah.

Perlahan Bayu menggeser duduknya, sampai merapat dengan gadis itu. Bisa didengarnya detak jantung Ratna Wulan yang begitu cepat memburu. Dan ketika tangan gadis itu disentuh, Bayu merasakan tangan itu dingin sekali. Bahkan terasa basah oleh keringat.

"Kau cantik sekali, Wulan...," bisik Bayu perlahan.

"Oh...," Ratna Wulan hanya bisa mendesah saja.

Gadis itu tidak tahu, apa yang sedang dirasakan saat ini. Tapi ada suatu rasa kebahagiaan terselip di hatinya saat mendengar pujian Bayu yang begitu lembut menyejukkan. Perlahan Ratna Wulan berpaling. Kembali mereka saling berpandangan, dengan sinar mata yang berbinar bagai langit penuh bintang. Cukup lama juga mereka terdiam saling berpandangan, tanpa sadar kalau ada dua pasang mata sejak tadi memperhatikan dari balik jendela sebuah kamar yang sedikit terbuka.

Dua pasang mata itu adalah Ki Wanasa dan istrinya. Mereka terus memperhatikan, sejak Bayu tadi melompat keluar dari jendela kamarnya. Jarak yang tidak begitu jauh, membuat mereka bisa mendengar semua yang dibicarakan dua insan muda itu.

"Kau dengar, apa yang mereka katakan, Nyai...?" bisik Ki Wanasa perlahan, seraya menutup rapat jendela kamarnya ini.

"Aku bahagia jika mereka benar-benar bersatu, Ki," sahut Nyai Wanasa.

"Aku juga senang, Nyai. Itu berarti perjanjianku dengan Pendekar Dewa Pedang bisa terlaksana.

Tapi sayang...."

"Ada apa, Ki?"

"Wulan...."

"Kau menyesal karena Wulan bukan anak kandung kita?"

"Kalau saja Wulan anak kandung kita, tentu kebahagiaan ini akan terasa lain, Nyai," pelan sekali suara Ki Wanasa.

"Ya.... Memang akan terasa lain kalau Wulan anak kandung kita sendiri, Ki. Tapi walaupun begitu, aku tetap bahagia."

"Kita memang bahagia, Nyai."

Ki Wanasa kembali membuka jendela kamarnya sedikit, dan mengintip ke luar. Tapi, Bayu dan Ratna Wulan tidak lagi terlihat di kursi taman itu. Entah ke mana mereka. Dan Ki Wanasa hanya tersenyum saja sambil mengangguk-anggukkan kepala, kemudian menutup kembali jendela kamar ini. Kini, kakinya melangkah perlahan ke pembaringan. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki tua itu membaringkan tubuhnya di ranjang berukuran cukup besar ini.

"Sudah malam, Nyai. Tidurlah. Jangan sampai bangun kesiangan besok," ujar Ki Wanasa.

"Rasanya aku masih berat untuk berpisah dengan Wulan, Ki," desah Nyai Wanasa.

"Sudahlah.... Kita harus merelakan kepergiannya. Dia pergi untuk mencari orang tua kandungnya. Dan itu sudah kita sadari sejak semula. Kalaupun tidak tahu siapa dirinya, pasti dia akan pergi juga meninggalkan kita kalau sudah bersuami."

Nyai Wanasa tersenyum tipis, kemudian membaringkan tubuhnya di samping suaminya. Tak ada lagi yang bicara. Namun mata mereka sama sekali tidak dapat terpejam. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sehingga detak jantung mereka terdengar begitu jelas di telinga. 

***

Bayu sudah bersiap hendak meninggalkan rumah Ki Wanasa pagi ini. Matanya memandangi Pedang Api yang tergeletak di atas meja. Pedang itu memang berpamor dahsyat, yang diambilnya dari Ratu Gua Setan. Pendekar Pulau Neraka menyambar Pedang Api, lalu digenggamnya erat-erat. Kemudian, kakinya melangkah ke pintu. Namun baru saja membuka pintu kamar ini, tiba-tiba saja....

"Hayo...!"
"Oh...?!"

Bayu jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba Ratna Wulan muncul dengan mengejutkan. Gadis itu tertawa terbahak-bahak, dan langsung berlari sebelum Bayu bisa mengumpat. Pendekar Pulau Neraka hanya bisa memaki dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia melangkah keluar dari kamar ini. Bayu terus mengayunkan kakinya dengan tegap, melintasi ruangan tengah yang berukuran cukup besar. Tak ada seorang pun yang dijumpai. 

Dan Pendekar Pulau Neraka baru bertemu Ki Wanasa dan istrinya serta Ratna Wulan setelah berada di beranda depan rumah ini. Memang, hari masih terlalu pagi. Malah, matahari belum lagi menampakkan dirinya. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk Timur. Kicauan burung-burung sudah terdengar ramai sejak tadi.

"Kalian akan berangkat sekarang...?" ujar Nyai Wanasa.

"Benar, Nyai," sahut Bayu.

"Hati-hatilah.... Terutama kau, Wulan. Kau harus menuruti apa yang dikatakan kakakmu. Jangan keras kepala, dan jangan berbuat macam-macam. Bayu lebih berpengalaman di dunia luar daripadamu," pesan Nyai Wanasa.

"Baik, Bu," sahut Ratna Wulan sambil mengangguk.

Gadis itu kemudian berlutut di depan wanita separuh baya ini. Diambilnya tangan ibunya dan diciumnya. Kemudian dia berpindah pada Ki Wanasa. Ratna Wulan kembali bangkit berdiri disamping Bayu.

"Ayo, Kakang...," ajak Ratna Wulan.

"Tunggu dulu," ujar Bayu.

"Ada apa lagi?" tanya Ratna Wulan.

"Ini," Bayu menyerahkan Pedang Api.

"Seperti janji ku, pedang ini menjadi milikmu sekarang."

Ratna Wulan tersenyum, dan menerima pedang itu dengan hati gembira. Dia sudah tahu kedahsyatan pedang ini. Dan hatinya jadi yakin bisa menggunakannya. Karena, Ratu Gua Setan sudah memberikan jurus-jurus pedang yang dahsyat (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Dewi Asmara Darah"). Gadis itu kemudian mengikat tali pedang itu ke punggungnya.

"Kami berangkat, Ki," pamit Bayu seraya membungkuk memberi hormat.

"Ya, hati-hatilah kalian. Cepat datang lagi ke sini kalau sudah bertemu orang tuamu, Wulan," sahut Ki Wanasa.

"Tentu, Ayah," sahut Ratna Wulan seraya tersenyum.

Mereka kemudian berangkat meninggalkan pasangan suami istri tua itu dengan hanya berjalan kaki saja. Padahal, Ki Wanasa ingin memberikan kuda. Tapi, dengan halus Bayu menolaknya. Pendekar Pulau Neraka memang lebih senang berjalan kaki, daripada harus menunggang kuda. Baginya, berjalan kaki lebih leluasa.

Sementara, Ki Wanasa dan istrinya terus memandangi kepergian anak-anak muda itu sampai jauh, dan tak terlihat lagi setelah melewati tikungan jalan yang menuju Selatan. Ki Wanasa agak berkerut keningnya, melihat Bayu dan Ratna Wulan menuju Selatan.

"Kenapa mereka ke Selatan, Nyai...?" tanya Ki Wanasa seperti untuk diri sendiri.

"Aku tidak tahu," sahut Nyai Wanasa.

"Bukankah semalam mereka mengatakan akan ke Timur, Nyai...?"

"Mungkin mereka punya rencana lain, Ki. Aku yakin, mereka akan melihat tempat saat kau menemukan Wulan. Bukankah kalau ke Selatan akan menuju ke hutan itu...?"

"Kau benar, Nyai. Mungkin mereka akan melihat tempat aku menemukan Wulan dulu."

"Ayo, Ki...," ajak Nyai Wanasa.

Mereka kemudian berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi belum juga melangkah, tiba-tiba saja....

Wusss...!
"Heh...!"
Wuk!
Tap!

Cepat sekali Ki Wanasa memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan kanan, ketika tiba-tiba mendengar desiran angin yang begitu halus ke arah dirinya. Dan tahu-tahu, di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkalan tangan.

"Ada apa ini, Ki...?" tanya Nyai Wanasa seraya cepat memutar tubuhnya berbalik.

"Ada tamu, Nyai," sahut Ki Wanasa.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Pasangan suami istri itu jadi terkejut. Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon beringin yang berdaun rimbun. Begitu cepat kelebatannya, tahu-tahu di depan beranda rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dia mengenakan baju jubah warna hitam. 

***
DUA
Belum lagi Ki Wanasa bisa membuka suara, dari balik dua pohon beringin yang berada di halaman depan rumahnya, muncul dua orang laki-laki juga berusia lanjut dan dua orang wanita yang sudah tua. Mereka kemudian berdiri di belakang laki-laki tua berjubah hitam yang pertama muncul tadi. Ki Wanasa jadi terbeliak melihat kemunculan lima orang yang sudah dikenalnya.

"Siapa mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa yang rupanya tidak mengenal lima orang itu.

Ki Wanasa tidak menjawab pertanyaan istrinya, walaupun mengenal kelima orang tua yang muncul tiba-tiba itu. Yang muncul pertama kali adalah Setan Jubah hitam. Kemudian yang berada paling kanan adalah seorang laki-laki yang juga sudah berusia lanjut. Bajunya merah menyala yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah. Lalu, berturut-turut Setan Jubah Kuning, Setan Jubah Biru, Setan Jubah Hijau, dan Setan Jubah Putih. Mereka dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat. Masing-masing membawa tongkat dari besi baja yang warnanya sama dengan pakaian yang dikenakan.

"Kau masuk saja, Nyai. Ini urusanku dengan mereka," kata Ki Wanasa.

"Tapi, tampaknya mereka tidak bermaksud baik, Ki," elak Nyai Wanasa, merasa khawatir.

"Sudahlah, masuk sana...!" agak menyentak suara Ki Wanasa. "Kunci Pintunya, Nyai."

"Baik...."

Nyai Wanasa agak ragu-ragu sebentar, kemudian melangkah mundur mendekati pintu. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam rumah, seraya menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Sebentar wanita tua itu masih memperhatikan dari balik jendela, kemudian bergegas melangkah melewati ruangan depan rumah ini yang berukuran cukup besar. Dan kini, perempuan tua itu sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah.

Sementara itu, Ki Wanasa sudah melangkah keluar dari beranda depan rumahnya. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar setengah batang tombak lagi di depan Setan Jubah Hitam. Beberapa saat, mereka tidak ada yang berbicara.

"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Ki Wanasa, agak dalam nada suaranya.

"Kami datang untuk minta bagian, Ki Wanasa. Aku yakin, kau tidak lupa bagian kami," sahut Setan Jubah Hitam.

Suara Setan Jubah Hitam terdengar begitu berat. Dan Ki Wanasa hanya menelan ludahnya. Tentu saja hal itu tidak akan dilupakannya. Dan dia tahu, kedatangan Lima Setan dari Barat ini akan menuntut bagiannya. Sesuatu yang tentu tidak mungkin dilakukan. Karena dia tahu, siapa lima orang tua yang berada di depannya ini.

"Sudah kukatakan, tidak ada lagi yang bisa kalian dapatkan dariku di sini. Kalian sudah peroleh semua yang kalian inginkan. Dan aku ingin ketenangan di masa tuaku ini. Sebaiknya, kalian pergi saja. Tidak ada gunanya berada di sini. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan," kata Ki Wanasa, agak bergetar suaranya.

"Aku tahu, pasti ada yang kau sembunyikan, Ki Wanasa. Dan aku ingin simpananmu itu!" dengus Setan Jubah Hitam.

"Tidak ada yang ku sembunyikan...."

"Jangan membuat kesabaranku habis, Wanasa!" bentak Setan Jubah Hitam keras menggelegar.

Pada saat itu, dari samping rumah bermunculan pemuda-pemuda penjaga rumah ini. Mereka langsung bergerak mengepung halaman depan rumah Ki Wanasa yang berukuran besar. Lima Setan dari Barat hanya mendengus saja, merayapi pemuda-pemuda berjumlah sekitar tiga puluh orang itu. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing.

"Kau benar-benar membuat kesulitan sendiri, Wanasa, " desis Setan Jubah Hitam agak menggeram.

"Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini. Mereka bisa melakukan apa saja jika kalian tidak segera angkat kaki dari sini," ancam Ki Wanasa tidak kalah dinginnya.

"Ha ha ha...! Kau benar-benar buta, Wanasa!"

Ki Wanasa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya jadi gembira, karena istrinya sudah bisa mengerti apa yang diinginkannya, saat menyuruhnya masuk ke dalam. Dan begitu berpaling melihat ke atas atap rumah, tampak di atas sana sekitar dua puluh orang laki-laki muda telah siap dengan busur dan anak panah terentang. Bahkan di sekeliling rumah ini, sudah terlihat kepala-kepala menyembul dengan anak panah terpasang pada busur.

"Phuih...!" Setan Jubah Hitam menyemburkan ludahnya.

Lima Setan dari Barat langsung bisa menyadari keadaan yang benar-benar tidak menguntungkan ini. Meskipun mereka sudah terkenal tangguh dalam kehidupan rimba persilatan, tapi terlalu besar akibatnya jika menghadapi kepungan yang begitu ketat. Setangguh apa pun ilmu kedigdayaan yang dimiliki, rasanya memang tidak mungkin bisa menghadapi orang yang berjumlah lebih kurang seratus ini. Terlebih lagi, mereka semua sudah siap melepaskan anak-anak panahnya.

Sementara, Ki Wanasa sudah bergerak mundur. Dia kemudian berdiri di undakan kedua tangga beranda rumahnya. Senyuman lebar tampak tersungging di bibir laki-laki tua ini. Dia tahu, kalau Lima Setan dari Barat tidak akan mungkin berani menantang bahaya, menghadapi kepungan yang begitu ketat dari orang-orangnya ini.

"Kau benar-benar licik, Wanasa. Tunggu pembalasanku nanti," desis Setan Jubah Hitam.

Setelah berkata demikian, Setan Jubah Hitam mengegoskan kepala. Dua orang yang menjaga dipintu gerbang segera membuka pintu itu, begitu lima orang tua yang berjuluk Lima Setan dari Barat melangkah cepat meninggalkan halaman rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Pintu gerbang langsung ditutup begitu mereka berada diluar. 

***

"Siapa mereka, Ki...?" tanya Nyai Wanasa langsung, begitu suaminya masuk ke dalam.

"Lima Setan dari Barat," sahut Ki Wanasa seraya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela, yang langsung menghadap ke halaman depan.

Tampak orang-orangnya yang rata-rata masih berusia muda, tetap berjaga-jaga di sekitar halaman dan sekeliling rumah ini. Memang, Ki Wanasa adalah seorang saudagar kaya. Dan dia memiliki banyak orang berkepandaian cukup tinggi untuk menjaga keselamatan dan rumahnya. Bahkan setiap kali bepergian, tidak kurang dari lima puluh orang selalu mengawalnya.

Tapi dari jumlah yang lebih kurang seratus itu, tak ada satu pun yang dekat dengannya. Ki Wanasa tidak pernah membedakan antara yang satu dengan lainnya, meskipun tingkatan kepandaian yang mereka miliki tentu berlainan.

"Ada urusan apa kau dengan mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa ingin tahu.

"Urusan lama. Dan seharusnya, mereka tidak perlu datang ke sini. Semuanya sudah lama berakhir, sebab apa yang diinginkan sudah mereka dapatkan. Dan aku juga sudah memperoleh semua yang kuinginkan. Tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan," sahut Ki Wanasa masih merahasiakan.

"Kalau tidak ada apa-apa lagi, kenapa mereka datang ke sini, Ki?"

"Mereka memang serakah, sehingga menginginkan juga semua yang kumiliki."

"Maksudmu...?"

Ki Wanasa tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan hendak melangkah. Tapi, istrinya sudah lebih dulu menghadang. Ki Wanasa hanya menghembuskan napas saja. Selama ini laki-laki itu memang menyimpan suat rahasia yang tersimpan begitu rapat. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu, apa yang disembunyikannya. Tapi, kemunculan Lima Setan dari Barat itu sudah membuat Nyai Wanasa mencium ada suatu rahasia yang disembunyikan suaminya ini.

Dan dia benar-benar terkejut, begitu mengetahui kalau suaminya mempunyai urusan dengan Lima Setan dari Barat. Nyai Wanasa memang sering mendengar nama itu, dari beberapa tamu suaminya yang kebanyakan orang-orang persilatan. Teman-teman Ki Wanasa itu seringkali menyebut-nyebut nama Lima Setan dari Barat. Dan selama ini, Nyai Wanasa tidak pernah peduli. Karena, dia memang tidak kenal orang-orang yang disebutkan itu. Tapi sekarang persoalannya jadi lain.

Bagaimanapun juga sebelum menjadi istri Ki Wanasa, dulu dia juga seorang pendekar wanita yang malang melintang di rimba persilatan. Seperti juga Ki Wanasa, yang sebelum menjadi saudagar adalah seorang pendekar kelana. Jadi, tidak heran jika pasangan suami istri tua ini begitu disegani banyak kalangan lapisan masyarakat. Selain sebagai saudagar kaya, mereka juga memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah.

"Katakan padaku, Ki. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa hubunganmu dengan mereka...?" desak Nyai Wanasa ingin tahu.

"Sudah kukatakan, itu persoalan lama yang seharusnya tidak perlu diungkit lagi. Mereka orang-orang serakah. Sudah...! Aku tidak ingin lagi membicarakannya," sahut Ki Wanasa, agak keras suaranya.

Nyai Wanasa tidak mencegah lagi ketika suaminya meninggalkan ruangan ini. Perempuan itu hanya dapat memandangi saja dengan sinar mata yang masih diliputi rasa penasaran dan keingintahuan. Dia yakin, pasti ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.

"Aku yakin, ada satu persoalan penting yang disembunyikan. Kata-katanya tidak pernah sekasar itu," desah Nyai Wanasa setengah menggumam. "Aku harus tahu semua ini...." 

***

Ki Wanasa tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar. Cepat dia melompat turun dari pembaringannya, lalu bergegas berlari ke. luar. Sementara Nyai Wanasa yang juga mendengar suara ribut itu, segera turun dari pembaringan. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergantung di dinding. Lalu, dia bergegas keluar dari kamar ini.

"Heh...?!"

Ki Wanasa jadi terperanjat bukan main, begitu tiba di beranda depan rumahnya. Tampak orang-orangnya tengah bertarung melawan lima orang tua yang semuanya mengenakan jubah berlainan warna. Tubuh tak bernyawa dan berlumuran darah sudah banyak yang bergelimpangan di halaman depan. Jerit kematian terdengar saling sambut, bercampur denting senjata dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung.

"Keparat...!" geram Ki Wanasa begitu mengenali lima orang yang mengamuk itu.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ki Wanasa melompat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Langsung tombaknya dikebutkan pada salah seorang yang mengenakan jubah warna merah. Tapi serangan yang mendadak dilakukan Ki Wanasa, dengan manis sekali dapat dihindari. Bahkan wanita berjubah merah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah itu langsung melancarkan serangan. Ki Wanasa cepat melompat ke belakang, menghindari serangan itu. Dan baru saja menjejak tanah, satu batang tongkat mengarah ke kepalanya.

"Hait...!"

Ki Wanasa merundukkan kepalanya, menghindari kebutan tongkat itu. Kemudian sambil memutar tubuh, tombaknya langsung ditusukkan ke arah dada Setan Jubah Biru. Tapi sebelum bisa menghunjam dada laki-laki tua berjubah biru itu, satu batang tongkat sudah menghantam tombak-nya dengan keras sekali.

Trak!
"Ikh...!"

Ki Wanasa terpekik kaget. Buru-buru Ki Wanasa melompat mundur sambil memindahkan tombaknya ke tangan kiri. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dikerahkan Setan Jubah Merah begitu besar, sehingga seluruh tangan kanannya jadi bergetar. Sementara tiga orang tua lainnya masih terus mengamuk, menghajar anak-anak muda penjaga keamanan rumah Ki Wanasa ini. Tingkat kepandaian mereka yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu memang lebih tinggi daripada para penjaga keamanan rumah Ki Wanasa. Sehingga, mereka seperti tidak mengalami kesulitan sama sekali.

Walaupun pemuda-pemuda lain mulai berdatangan dan langsung masuk ke dalam pertempuran, tapi Lima Setan dari Barat tidak gentar sama sekali. Apalagi jumlah mereka sudah berkurang banyak. Dan hal ini membuat amukan Lima Setan dari Barat semakin dahsyat saja. Gerakan-gerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa. Sehingga, sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan tak ada seorang pun yang bisa menyentuh ujung bajunya.

Jerit dan pekik melengking mengantar kematian, semakin sering terdengar saling sambut. Dan, semakin banyak saja tubuh tubuh tak bernyawa berlumuran darah yang bergelimpangan memenuhi halaman depan rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Sementara, Ki Wanasa sendiri tampak kewalahan menghadapi dua orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Laki-laki tua itu sudah semakin terdesak, dan entah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Darah sudah mengucur dari hidung dan mulutnya. Bahkan dadanya tampak sudah robek mengeluarkan darah. Tapi, Ki Wanasa tidak sudi menyerah begitu saja. Dia terus bertahan, dan mencoba untuk menyerang dua orang lawannya yang sama-sama sudah berusia lanjut ini. Pada saat itu, Nyai Wanasa terlihat melompat hendak membantu suaminya yang sudah kelihatan payah. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan putih memotong lompatannya.

"Uts...!"

Nyai Wanasa cepat-cepat memutar tubuhnya, melenting ke belakang menghindari tebasan sebatang tongkat berwarna putih keperakan yang mengarah dadanya. Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah, bersamaan dengan mendaratnya seorang perempuan tua berjubah putih yang menggenggam tongkat berwarna putih keperakan. Dialah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Putih.

"Jangan harap bisa membantu suamimu, Nyai...," desis Setan Jubah Putih dingin.

"Huh!" Nyai Wanasa hanya mendengus saja.

Sret!

Perlahan Nyai Wanasa mencabut pedangnya, dan menggenggam sarung pedangnya pada tangan kiri. Lalu, perlahan-lahan kakinya bergeser sambil menatap tajam untuk mengamati gerakan kaki Setan Jubah Putih yang juga bergerak menggeser dengan arah berlawanan.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Setan Jubah Putih melompat cepat, sambil berteriak keras menggelegar.

"Hup! Yeaaah...!"

Pada saat yang bersamaan, Nyai Wanasa juga melenting ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dikebutkan. Tapi, Setan Jubah Putih sudah lebih cepat lagi menangkis tebasan pedang itu dengan tongkatnya. Lalu, cepat sekali tongkatnya diputar, yang langsung ditusukkan ke arah dada Nyai Wanasa.

"Hait...!"
Trang!

Dengan sarung pedang yang tergenggam ditangan kiri, Nyai Wanasa menangkis tusukan tongkat yang berujung runcing itu. Tapi hatinya jadi tersentak, karena sarung pedangnya terpental ke udara. Bahkan seluruh tangan kirinya jadi menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Maka buru-buru tubuhnya diputar ke belakang, dan kembali meluruk turun.

Yeaaah...!"

Pada saat itu, Setan Jubah Putih meluruk deras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa. Hal ini membuat Nyai Wanasa jadi terperangah. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari hunjaman tongkat Setan Jubah Putih yang begitu cepat dan beruntun. 

***

Sementara itu di lain tempat, tampak Ki Wanasa semakin terdesak saja oleh dua orang tua lawannya. Dan laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak mampu lagi memberi perlawanan berarti. Tubuhnya terombang-ambing menjadi bulan-bulanan dua orang tua lawannya ini. Hingga akhirnya....

"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Setan Jubah Merah melayang deras sambil menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada Ki Wanasa. Padahal saat itu, Ki Wanasa baru saja berhasil menghindari satu pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Jubah Putih. Dan matanya hanya bisa terbeliak melihat ujung tongkat berwarna merah meluruk deras ke arah dadanya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan....

Bres!
"Aaa...!"

Ki Wanasa menjerit keras melengking tinggi. Begitu dalamnya tongkat Setan Jubah Merah menghunjam dada Ki Wanasa, sehingga ujungnya yang runcing sampai menembus ke punggung. Pada saat itu juga, Setan Jubah Biru mengebutkan tongkatnya ke leher sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

"Hiyaaat...!"
Cras!

Ki Wanasa tidak lagi bersuara. Laki-laki tua itu hanya dapat berdiri kaku dengan mulut dan mata terbuka lebar. Dan begitu Setan Jubah Merah mencabut tongkatnya dari dada laki-laki tua ini, seketika itu juga tubuh tua itu langsung ambruk ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding terpisah. Darah seketika menyembur deras dari dada dan lehernya yang buntung tak berkepala lagi.

Kematian Ki Wanasa rupanya sempat juga terlihat oleh Nyai Wanasa. Wanita tua itu jadi geram setengah mati. Maka, langsung ditinggalkannya Setan Jubah Putih. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Setan Jubah Biru.

"Awas...!" teriak Setan Jubah Merah memperingatkan.

"Uts! Hyeaaa...!"

Setan Jubah Biru cepat-cepat membungkukkan tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkatnya dikebutkan ke belakang sambil memutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu kaki. Nyai Wanasa yang sudah dirasuki hawa amarah, tidak dapat lagi mengendalikan diri. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Setan Jubah Biru, sehingga tubuhnya yang sedang meluncur deras di udara tidak bisa lagi ditarik.

Wuk!
Bret!
"Akh...!"

Nyai Wanasa terpekik keras agak tertahan. Ujung tongkat Setan Jubah Biru berhasil merobek perut Nyai Wanasa yang langsung terguling ke tanah beberapa kali. Dan dia jadi terhuyung begitu melompat cepat bangkit berdiri. Wajahnya jadi memerah melihat darah mengucur dari perutnya yang sobek. Namun belum juga sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Setan Jubah Putih sudah kembali melompat menyerang begitu cepat.

"Hiyaaat...!"
Wuk!

Bagai kilat Setan Jubah Putih mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Nyai Wanasa. Namun, wanita tua itu segera mengangkat pedangnya. Kontan ditangkisnya kebutan tongkat perempuan tua berjubah putih ini.

Trang!
"Ikh...!" lagi-lagi Nyai Wanasa terpekik.

Begitu kerasnya kebutan tongkat Setan Jubah Putih, sehingga Nyai Wanasa tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang langsung terlepas dari genggaman. Pedang itu kini melambung tinggi ke udara. Pada saat itu, Setan Jubah Merah meluruk deras seraya melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Akh...!"

Kembali Nyai Wanasa terpekik keras. Pukulan Setan Jubah Merah bersarang telak didada, sehingga membuat Nyai Wanasa terpental ke belakang sejauh beberapa tombak. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah dan bergulingan beberapa kali. Darah muncrat dari mulutnya. Nyai Wanasa berusaha bangkit berdiri, tapi tidak mampu lagi. Dia langsung menggeletak tak bergerak-gerak lagi.

Sementara itu, dua orang dari Lima Setan dari Barat nampaknya tidak lagi memerlukan bantuan. Mereka benar-benar sudah bisa menguasai lawan-lawan yang sudah tidak mampu lagi bertahan. Bahkan tak seorang pun yang bisa melarikan diri. Mereka langsung dikejar, dan dibabat habis tanpa sedikit pun mengenal rasa ampun.

"Ayo ke dalam! Kita obrak-abrik rumahnya," ajak Setan Jubah Biru.

Tanpa menunggu waktu lagi, Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Putih segera berlari mengikuti Setan Jubah Biru yang sudah lebih dulu menghilang ke dalam rumah.

Sementara pertarungan masih terus berlangsung di halaman rumah itu. Tapi, kini pertarungan benar-benar dikuasai dua orang tua berjubah hitam dan kuning. Dan tampaknya, mereka benar-benar tidak lagi memberi kesempatan pada lawan-lawan untuk tetap hidup. Tak seorang pun yang dibiarkan meloloskan diri.

Jeritan-jeritan panjang melengking menyayat, semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya tak ada lagi seorang pun yang bisa hidup. Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning saling berpandangan sejenak sambil mengatur nafasnya yang memburu agak tersengal. Pertarungan ini memang benar-benar menguras tenaga. Hampir seratus orang harus dihadapi. Dan untungnya, tidak sekaligus datangnya. Sehingga, mereka bisa mengalahkan semuanya. Bahkan tak ada seorang pun yang tersisa lagi.

"Mereka sudah ke dalam rumah, Kakang," kata Setan Jubah Kuning.

"Aku tidak yakin Wanasa menyembunyikannya di dalam rumah. Kau tahu, begitu banyak jumlahnya. Dan dia pasti memerlukan tempat yang khusus untuk menyembunyikannya," kata Setan Jubah Hitam.

"Tapi apa salahnya kalau kita geledah seluruh rumah ini, Kakang...?"

"Baiklah. Ayo, jangan buang-buang waktu lagi."

Tanpa bicara lagi mereka berlari masuk ke dalam rumah berukuran besar yang dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Sementara, tiga orang lainnya sudah sejak tadi tenggelam di dalam rumah itu. Entah apa yg dilakukan di dalam sana. Yang jelas terdengar suara-suara gaduh dari barang-barang yang hancur terbanting ke lantai. 

***
TIGA
Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kota, Kadipaten Talagan, Bayu dan Ratna Wulan tampak berdiri memandangi hutan yang pepohonannya tampak begitu lebat dan rapat. Sejak tadi Pendekar Pulau Neraka menepuk-nepuk kaki Tiren, monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundak kanannya.

"Hhh...!"
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu, setelah mendengar desahan berat gadis itu.

"Entahlah.... Aku merasa tidak enak, Kakang. Aku jadi ingat di rumah," jawab Ratna Wulan perlahan.

"Orang tua angkatmu sudah merelakan kau pergi, Wulan. Apa lagi yang jadi pikiranmu?" tanya Bayu. "Sedangkan kau pernah lebih dari satu purnama meninggalkan mereka tanpa pamit. Lalu kenapa sekarang jadi merasa berat. Kau kan sudah pamitan pada mereka. Kau masih merasa bersalah atas perbuatanmu waktu itu?"

"Bukan.... Bukan itu, Kang. Tapi..."
"Tapi kenapa?"

"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin kembali ke sana. Aku merasa tidak enak...," pelan sekali suara Ratna Wulan.

Bayu mengangkat pundaknya.

"Kita pulang dulu, yuk...? Aku merasa seperti ada sesuatu di rumah," ajak Ratna Wulan begitu bersungguh-sungguh.

"Baiklah...," desah Bayu menyerah.

Mereka kemudian berbalik dan melangkah kembali menuju Kota Kadipaten Talagan. Bayu jadi heran juga melihat Ratna Wulan berjalan begitu cepat, seperti ada yang tengah diburunya. Dan wajah gadis itu kelihatan cemas sekali, seperti ada yang tengah dikhawatirkan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak mau banyak bertanya. Diikutinya saja ayunan langkah kaki gadis ini.

"Ayah...! Ibu...!"

Ratna Wulan terpekik begitu melihat keadaan di sekitar halaman rumah orang tua angkatnya ini. Kedua bola matanya jadi terbeliak merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran darah. Sementara, keadaan rumah itu sudah rusak porak-poranda. Ratna Wulan berlari cepat memburu Ki Wanasa yang tergeletak dengan kepala terpisah dari lehernya.

"Ayah...!" tersedak suara Ratna Wulan.

Sementara Bayu meneliti satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memenuhi halaman rumah ini. Dia langsung melompat begitu mendengar rintihan lirih tidak jauh dari arah kanannya.

"Ibu...," desis Bayu melihat Nyai Wanasa bergerak sambil merintih lirih.

Bayu langsung mengangkat tubuh perempuan tua itu. Tampak darah masih melekat di sekujur tubuhnya. Pada saat itu, Ratna Wulan sudah mendekati. Gadis itu langsung mengambil ibu angkatnya ini dari pelukan Bayu, dan memeluknya erat-erat sambil merintih memanggil-manggil.

"Ibu..., ibu...," panggil Ratna Wulan lirih.

Gadis itu tidak dapat lagi menahan air matanya yang langsung mengucur membasahi pipinya. Tampak Nyai Wanasa membuka matanya perlahan. Begitu redup sinar mata wanita tua itu. Sebentar ditatapnya Ratna Wulan, kemudian beralih menatap Bayu yang hanya diam saja memandangi.

"Bayu...," panggil Nyai Wanasa lirih.

"Iya, Bu," sahut Bayu perlahan seraya menggeser lebih dekat.

"Tolong jaga adikmu baik-baik. Tidak ada lagi yang melindunginya...," pesan Nyai Wanasa begitu perlahan suaranya.

Bayu hanya mengangguk saja.

"Dan kau, Wulan...."

"Iya, Bu."

"Dengarkanlah kata-kata Bayu. Ibu senang jika kalian tetap bersama-sama. Kalian bukan saudara kandung, jadi bisa hidup bersama-sama. Aku senang jika kalian"

"Ibu...," Ratna Wulan cepat-cepat memutuskan kalimat Nyai Wanasa.

"Ibu.... Siapa yang melakukan semua ini?" tanya Bayu, cepat mengalihkan perhatian perempuan tua yang sudah menjelang ajal ini.

"Ibu tidak tahu, apa urusan mereka dengan ayahmu, Wulan. Mereka datang tidak lama setelah kalian pergi, tapi tidak terjadi sesuatu. Dan baru semalam mereka datang lagi ke sini. Mereka begitu kuat dan tangguh...," semakin perlahan suara Nyai Wanasa.

"Mereka siapa, Bu?" desak Bayu.

"Lima Setan dari Barat...," sahut Nyai Wanasa, semakin lirih suaranya.

"Kenapa mereka melakukan ini semua, Bu?" tanya Bayu lagi.

"Aku tidak tahu. Tapi mereka punya urusan rahasia dengan ayahmu, Wulan. Rahasia yang aku sendiri tidak tahu."

"Di mana mereka sekarang, Bu...?" tanya Ratna Wulan.

"Aku..., aku..., ahhh...!"

Nyai Wanasa mengejang. Matanya terbeliak lebar, lalu perlahan kelopak matanya terpejam. Sementara kepalanya langsung berpaling lunglai.

"Ibu...!" jerit Ratna Wulan langsung memeluk wanita tua yang kini benar-benar menghembuskan napas terakhirnya.

Sementara Bayu hanya tertunduk saja. Sedangkan Ratna Wulan tak dapat lagi menyembunyikan tangis dan ratapnya, sambil memeluk tubuh ibu angkatnya ini. Perlahan Bayu bangkit berdiri dengan tubuh lemas. Dirayapinya keadaan sekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Di mana-mana terlihat mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Rerumputan tidak lagi berwarna hijau, dan sudah berubah merah oleh darah.

Perlahan Bayu mengayunkan kakinya menuju ke beranda. Lalu menghempaskan diri, duduk lemas di tangga beranda depan rumah ini. Pandangannya begitu nanar, menatap Ratna Wulan yang masih menangis memeluki mayat ibu angkatnya.

Selama pengembaraannya ini, Bayu selalu mencari di mana saja sahabat-sahabat ayahnya tinggal. Dan Pendekar Pulau Neraka selalu mencari keterangan mengenai ibunya, dari mereka yang mengenal orang tuanya. Tapi sampai saat ini, hanya kepahitan saja yang didapatkan. Setiap kali menemukan orang yang mengenal keluarganya, entah kenapa orang itu selalu mengalami nasib naas.

"Ohhh.....Apakah ini kutukan Dewata...? Kenapa kedatanganku selalu saja menimbulkan musibah pada orang lain? Apakah kelahiranku memang sudah ditentukan sebagai pembawa musibah...?" keluh Bayu begitu perlahan, dengan kepala terangkat ke atas.

Bukan hanya sekali ini Pendekar Pulau Neraka mengeluh begitu. Bayu merasa, kelahirannya didunia ini hanya untuk membawa malapetaka bagi setiap orang yang ditemuinya. Satu persatu sahabat-sahabat ayahnya tewas setiap kali dikunjungi. Bahkan kelahirannya pun menyebabkan kehancuran bagi keluarganya, dan padepokan ayahnya.

Bayu tidak tahu, apakah ini kutukan dari Dewata...? Sejak dia lahir hingga sekarang ini, hanya malapetaka saja yang ditemui.

"Dewata Yang Agung.... Dapatkah kau memberi ku sedikit saja kebahagiaan...," desah Bayu, begitu perlahan suaranya. 

***

"Ayo...," ajak Bayu sambil menyentuh pundak Ratna Wulan yang masih berdiri memandangi pusara kedua orang tua angkatnya.

Kematian Ki Wanasa dan istrinya, serta seluruh orang-orangnya telah membuat kegemparan diseluruh pelosok Kota Kadipaten Talagan ini. Hampir semua orang yang mengenalnya, membantu menguburkan mereka. Dan memang, pasangan tua itu sudah amat dikenal di Kota Kadipaten Talagan ini. Terutama, Ki Wanasa yang memang terkenal akan kedermawanannya. Hingga, tidak sedikit orang yang membantu dan mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Perlahan Ratna Wulan mengangkat kepala, menatap pemuda tampan berbaju kulit harimau ini. Kemudian tubuhnya diputar berbalik. Tanpa berkata sedikit pun, gadis itu terus saja melangkah gontai meninggalkan pusara kedua orang tua angkatnya. Bayu mengikuti saja, mensejajarkan langkahnya di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka juga tidak berkata-kata sedikit pun. Sampai jauh melangkah, belum ada seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan terus menuju ke arah Selatan.

Sementara, matahari sudah teramat condong ke Barat. Sinarnya tidak lagi terik memancar, seakan-akan ikut merasakan duka yang sedang dialami dua anak manusia ini.

"Bagaimana sekarang, Wulan?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam saja.

"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang," sahut Ratna Wulan perlahan.

"Wulan! Kau ingat kata-kata ibu yang terakhir?" tanya Bayu.

Ratna Wulan menghentikan ayunan langkahnya. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Seperti terbangun dari suatu mimpi buruk, Ratna Wulan langsung teringat kata-kata terakhir ibu angkatnya. Mereka semua dibantai lima orang yang dijuluki Lima Setan dari Barat. Dan kelima orang itu mempunyai urusan rahasia dengan ayah angkatnya. Hanya itu yang diucapkan terakhir kali, sebelum Nyai Wanasa menghembuskan napas yang terakhir.

"Aku tidak akan memaksamu, Wulan. Tapi, aku akan mencari dan menuntut balas atas perbuatan mereka. Orang tua angkatmu adalah saudara angkat ayahku. Dan kematian mereka harus terbalaskan," tegas Bayu berapi-api.

"Kau tahu, Kakang. Sampai saat ini pun aku tidak pernah menganggap mereka hanya orang tua angkat. Mereka sudah merawat dan mendidik ku sejak kecil. Merekalah sesungguhnya orang tuaku, Kakang. Aku juga tidak akan membiarkan pembunuh-pembunuh itu tetap berkeliaran," sambut Ratna Wulan penuh semangat.

"Lalu, bagaimana dengan...?"

"Aku bisa menundanya," selak Ratna Wulan tegas. "Persoalan ini lebih penting daripada persoalan pribadiku."

"Kita akan bersama-sama menuntut balas, Wulan."

"Ya! Dan aku juga ingin mengetahui, rahasia apa yang disimpan ayah. Bahkan sampai rela mengorbankan nyawa demi rahasia itu," sahut Ratna Wulan.

"Hm.... Kau akan menghadapi petualangan baru yang sesungguhnya, Wulan," nada suara Bayu terdengar agak menggumam.

Ratna Wulan hanya tersenyum tipis, kemudian kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru beberapa tindak, langkahnya kembali berhenti dan berbalik menatap ke arah kuburan yang sudah jauh ditinggalkan. Bayu juga ikut memandang ke arah kuburan itu.

Tak ada yang bicara. Setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam memandangi kuburan yang sepi, kemudian kembali melangkah pergi dengan ayunan kaki agak lebar dan cepat. Mereka terus melangkah menuju Selatan. Meskipun masih memiliki tujuan, tapi sekarang ini mereka tidak tahu, ke mana arah tujuan yang akan ditempuh. Mereka tidak tahu, di mana harus mencari Lima Setan dari Barat yang telah membantai Ki Wanasa dan istrinya, serta semua orang yang ada di rumah itu. 

***

Bayu berdiri tegap di bawah naungan dangau. Pandangannya lurus merayapi petak-petak sawah yang menghampar bagai permadani tergelar. Pucuk-pucuk daun pohon padi terayun-ayun dipermainkan angin. Sementara, Ratna Wulan tampak duduk memeluk lutut dengan pandangan kosong ke depan. Sudah tiga hari ini mereka menjelajahi seluruh wilayah Kadipaten Talagan, tapi sampai saat ini belum juga mendapat jejak Lima Setan dari Barat.

Bahkan semua orang yang ditanyai, tidak ada yang mengenal satu pun. Ratna Wulan sudah menghubungi semua teman-teman ayah angkatnya. Tapi mereka semua tidak tahu siapa Lima Setan dari Barat itu. Bahkan setelah tahu kalau Ki Wanasa dan istrinya dibunuh Lima Setan dari Barat, sikap mereka seperti ketakutan. Mereka langsung buru-buru mengatakan kalau tidak pernah mendengar namanya.

"Aku tidak percaya kalau mereka semua tidak tahu, Kakang," ujar Ratna Wulan, begitu perlahan suaranya.

"Kenapa kau berpikiran begitu, Wulan?" tanya Bayu seraya berpaling menatap gadis ini.

"Dari sikap mereka, Kakang. Mereka seperti ketakutan setelah mendengar julukan Lima Setan dari Barat," sahut Ratna Wulan.

Bayu terdiam memandangi gadis itu, kemudian . melangkah dan duduk di samping Ratna Wulan yang masih duduk memeluk lutut. Selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh menjadi alas duduk mereka di dangau ini. Kembali mereka terdiam tak berbicara lagi untuk beberapa saat lamanya.

"Mungkin mereka tidak ada lagi di kadipaten ini, Kakang," kata Ratna Wulan menduga. Suaranya masih tetap terdengar perlahan.

"Mereka datang untuk mencari sesuatu. Dan itu yang dikatakan Nyai Wanasa. Aku yakin, mereka belum meninggalkan Kadipaten Talagan ini sebelum mendapatkan apa yang dicari, Wulan," bantah Bayu.

"Sebenarnya, apa yang mereka cari, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk diri sendiri.

"Itulah persoalannya, Wulan. Nyai Wanasa sendiri tidak tahu ada rahasia yang disembunyikan suaminya," desah Bayu menyahuti pertanyaan Ratna Wulan tadi.

"Kakang, apa sebaiknya kita cari petunjuk dirumah. Siapa tahu, bisa didapatkan sesuatu di sana," usul Ratna Wulan.

"Hm...," Bayu menggumam perlahan dengan kening berkerut.

"Aku ingat, Kakang...!" sentak Ratna Wulan tiba-tiba.

"Apa...?" tanya Bayu.
"Apa kau tidak perhatikan, Kakang...?"
"Maksudmu?"

"Di antara mereka yang tewas, aku tidak menemukan Ki Darpin," kata Ratna Wulan.

"Ki Darpin...?" kening Bayu semakin berkerut dalam mendengar nama itu.

"Iya..., Ki Darpin.... Bukankah dia salah seorang dari murid padepokan milik ayahmu? Dan setelah padepokan ayahmu hancur, Ki Darpin kemudian ikut ayahku. Aku ingat sekarang, Kakang.... Setiap kali ayah pergi, Ki Darpin selalu ikut bersamanya. Bahkan tidak jarang mereka pergi berdua saja tanpa ada pengawal seorang pun," kata Ratna Wulan lagi.

"Tapi, ayahmu tidak punya orang kepercayaan satu pun juga, Wulan. Dan aku tahu itu," kata Bayu.

"Aku tahu, Kakang. Memang ayah tidak punya orang kepercayaan satu pun. Ayah selalu menganggap mereka semua sama kedudukannya. Tapi selama ini, aku tahu kalau hanya Ki Darpin yang bisa pergi berdua saja dengan ayah. Bahkan seringkali berbicara berdua sampai jauh malam. Aku rasa, Ki Darpin mengetahui tentang rahasia itu, Kakang. Dan di antara mereka yang tewas, hanya Ki Darpin yang tidak ada. Aku yakin, Ki Darpin pasti masih hidup dan sekarang bersembunyi," kata Ratna Wulan penuh semangat.

"Hm.... Benar juga apa katamu, Wulan. Memang di antara mereka yang tewas tidak ada Ki Darpin di sana. Dan sampai sekarang pun kita tidak melihatnya lagi," agak menggumam nada suara Bayu.

"Sekarang kita punya kuncinya, Kakang," ujar Ratna Wulan lagi.

"Tapi kau jangan terlalu banyak berharap, Wulan. Harapan yang tidak terkabul bisa menimbulkan kekecewaan. Dan itu sangat berbahaya bagi pengendalian dirimu. Kau harus ingat. Sekarang ini kau sudah benar-benar terjun ke dalam dunia persilatan yang ganas dan penuh daya tipu yang menjerat," Bayu menasehati.

Tapi Ratna Wulan hanya menyambut dengan senyuman saja. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau ini. Sebentar ditatapnya hamparan sawah yang terbentang di depannya. Kemudian wajahnya berpaling menatap Bayu yang masih duduk memandangi dari dalam dangau kecil itu.

"Ayo, Kakang," ajak Ratna Wulan.

"Ke mana?" tanya Bayu.

"Kita kembali ke rumah. Barangkali saja bisa menemukan sesuatu di sana," sahut Rama Wulan. Bayu mengangkat bahunya sedikit, kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil ini. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah melangkah bersisian menuju Kota Kadipaten Talagan kembali.

"Wulan, apakah Ki Darpin tidak punya keluarga?" tanya Bayu sambil terus melangkah di samping gadis cantik yang mengenakan baju warna merah agak ketat ini.

"Tidak," sahut Ratna Wulan singkat. "Ki Darpin tinggal di rumah, dan ada kamarnya tersendiri. Aku tidak begitu dekat dengannya. Dan dia sendiri juga jarang sekali berbicara, kecuali bila ditanya. Dan jawabannya juga hanya singkat-singkat saja. Pokoknya, orangnya menjemukan, Kakang."

Bayu jadi tersenyum dikulum. Pendekar Pulau Neraka memang sudah beberapa kali bicara dengan Ki Darpin waktu berada di rumah Ki Wanasa itu. Dan memang, apa yang dikatakan Ratna Wulan itu benar. Ki Darpin memang paling sulit diajak bicara. Dia terlalu pendiam. Juga, sikapnya teramat kaku. Ki Wanasa sendiri pernah mengatakan kalau sejak hancurnya Padepokan Dewa Pedang, Ki Darpin jadi pendiam. 

Padahal dulunya, Ki Darpin adalah seorang pemuda periang yang penuh semangat. Bahkan Pendekar Dewa Pedang sendiri menyukainya, sehingga dia mendapatkan tambahan jurus-jurus yang belum diajarkan pada murid-murid di padepokan itu. Jurus-jurus yang langsung diberikan Pendekar Dewa Pedang sendiri. Dan sekarang ini, usia Ki Darpin sudah kepala lima. Tentunya ketika masih berada di Padepokan Dewa Pedang, usianya pasti sebaya dengan Bayu sekarang ini.

"Apa yang kau lamunkan, Kakang?" tegur Ratna Wulan.

"Oh, tidak...," sahut Bayu agak tersentak.

Teguran Ratna Wulan langsung membuyarkan lamunannya seketika.

"Ingat kekasihmu, ya...?" agak lain nada suara Ratna Wulan.

"Bagaimana mungkin aku bisa punya kekasih, Wulan...? Hidupku saja masih belum menentu. Pindah dari satu tempat, ke tempat lain tanpa arah dan tujuan pasti," sahut bayu langsung bisa mengerti nada suara gadis itu.

Ratna Wulan kembali diam. Dan Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka terus melangkah semakin mendekati gerbang perbatasan Kota Kadipaten Talagan. Dua orang berseragam prajurit kadipaten, terlihat menjaga gerbang perbatasan yang berbentuk candi kecil dari batu. 

***
EMPAT
Seharian penuh, Bayu dan Ratna Wulan memeriksa setiap sudut ruangan dalam rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Keadaan di dalam rumah itu memang sudah porak-poranda bagai terlanda gempa berkekuatan tinggi. Tapi sampai lelah, mereka tidak menemukan sesuatu yang berarti. Demikian pula di dalam kamar pribadi Ki Wanasa. Mereka juga tidak menemukan sesuatu yang berarti. Hingga akhirnya, mereka terduduk lemas diruangan tengah yang sudah hancur berantakan.

"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Persoalan ini membuatku lelah...," keluh Ratna Wulan lirih, seperti bicara pada diri sendiri.

"Kau putus asa, Wulan?" tanya Bayu.

"Apa aku kelihatan putus asa? Aku tidak akan menyerah sebelum memenggal batang leher mereka semua!" dengus Rama Wulan bernada kesal.

"Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya, Wulan...."

"Heh...?!"

Ratna Wulan begitu terkejut, ketika tiba-tiba terdengar suara agak berat. Bahkan Bayu langsung melompat berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Ratna Wulan juga ikut berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa itu yang bicara...?" agak lantang suara Bayu.

Tidak ada sahutan sama sekali. Tapi tidak lama kemudian, dari balik dinding penyekat antara ruangan tengah ini dengan ruangan depan, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya tampak kelihatan kotor dan begitu lusuh. Bercak noda darah kering melekat pada pakaiannya. Bayu dan Ratna Wulan jadi terbeliak. Mereka tentu saja mengenali laki-laki separuh baya yang rambutnya sudah mulai berwarna dua itu.

"Ki Darpin...," desis Ratna Wulan.

Laki-laki setengah baya yang memang Ki Darpin itu melangkah gontai menghampiri. Kemudian, dia berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka.

"Dari mana saja kau, Ki? Kenapa baru muncul sekarang?" Ratna Wulan langsung menyerang dengan pertanyaan.

"Aku baru saja pulang dari tabib, dan langsung ke sini," sahut Ki Darpin, agak datar nada suaranya.

"Aku tahu kau masih hidup, Ki. Itu sebabnya, selama tiga hari ini kami berdua mencarimu," kata Bayu.

"Benar, Ki. Kau tidak ada di antara mereka yang tewas. Makanya aku begitu yakin kalau kau masih hidup," sambung Ratna Wulan lagi.

"Ceritakan semua yang terjadi di sini, Ki," pinta Bayu.

"Aku ikut bertarung bersama yang lainnya. Salah seorang berhasil memukul ku hingga pingsan. Aku tersadar jauh sebelum kalian datang, lalu pergi mencari pengobatan di rumah seorang tabib. Setelah merasa sembuh, aku segera ke sini lagi," kata Ki Darpin, terdengar perlahan suaranya.

"Tapi kenapa kau tidak memberi kabar, Ki?" tanya Ratna Wulan seperti menyesali.

"Itu tidak mungkin, Wulan," sahut Ki Darpin.

"Kenapa...?" Ratna Wulan meminta penjelasan.

"Hampir semua sahabat-sahabat Ki Wanasa mengetahui hubungannya dengan Lima Setan dari Barat. Dan aku tidak mungkin memberi kabar begitu saja. Mereka bisa menuduhku macam-macam. Bahkan bukan tidak mungkin, akan menyalahkanku," kata Ki Darpin mencoba menjelaskan.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki," selak Bayu jadi bingung.

"Kalian memang tidak tahu, apa yang dilakukan Ki Wanasa bersama Lima Setan dari Barat itu. Bahkan sebenarnya semua sahabat Ki Wanasa juga tidak tahu pasti. Mereka hanya mendengar kabar burung saja, tapi begitu percaya. Hanya saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selama Ki Wanasa masih hidup. Mereka tahu, siapa Ki Wanasa itu. Dia bukan hanya sekadar seorang saudagar, tapi juga seorang pendekar yang memiliki kepandaian tingkat tinggi," sambung Ki Darpin.

"Langsung saja, Ki. Apa yang dilakukan ayahku bersama Lima Setan dari Barat...?" selak Ratna Wulan tidak sabar.

"Lima tahun yang lalu, ketika kau masih berusia empat belas tahun, Ki Wanasa sempat menjadi orang kepercayaan Adipati Talagan ini. Adipati itu mempercayakan Ki Wanasa untuk mengantar barang-barang berharga berupa emas dan perak ke kotaraja. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan Ki Wanasa, dan selalu tiba dengan selamat. Tapi pada pengiriman terakhir yang berjumlah sangat besar, semua barang itu hilang dirampok Lima Setan dari Barat. 

Semua prajurit pengawal dari kadipaten tewas. Juga, lima puluh orang yang dibawa Ki Wanasa pun tewas. Hanya aku dan Ki Wanasa sendiri yang tetap hidup. Aku dan Ki Wanasa berhasil melarikan diri, dan kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua kejadiannya," tutur Ki Darpin mulai menceritakan.

"Lalu, apa tindakan adipati?" tanya Bayu.

"Adipati Talagan hanya bisa menyesali saja peristiwa itu. Namun beliau tidak bisa menjatuhkan hukuman apa pun, karena memang semua bukti begitu nyata. Hanya saja, sampai sekarang Ki Wanasa tidak lagi mendapat tugas mengantarkan barang ke kotaraja. Tapi beberapa kali adipati mengganti orang, selalu saja amblas dirampok. Hingga, hal itu berlangsung selama dua tahun. Setelah itu tidak ada lagi terdengar perampokan. Lima Setan dari Barat seperti menghilang begitu saja. Dan, kali inilah mereka muncul lagi," Ki Darpin mengakhiri ceritanya.

Ki Darpin dan Bayu memandangi Ratna Wulan yang juga membalas pandangan mereka bergantian. Gadis itu menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.

"Aku tahu, apa yang kalian pikirkan. Memang berat untuk mengakui. Tapi kalau kenyataannya memang begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.

"Belum ada bukti yang jelas kalau Ki Wanasa terlibat dalam semua perampokan itu, Wulan," kata Bayu mencoba menenangkan perasaan hati gadis ini.

"Ki Wanasa memang terlibat," selak Ki Darpin.

Bukan hanya Bayu yang terkejut, tapi juga Ratna Wulan sampai terbeliak menatap laki-laki separuh baya berpakaian lusuh dan kotor penuh bernoda darah kering ini.

"Pada kejadian pertama, memang Ki Wanasa tidak terlibat. Tapi pada peristiwa selanjutnya, dia memang terlibat," tegas Ki Darpin lagi.

"Bagaimana mungkin bisa begitu, Ki...?" Bayu benar-benar tidak menyangka.

"Ki Wanasa merasa sakit hati dan terbuang atas sikap Adipati Talagan. Kemudian, dicarinya Lima Setan dari Barat. Waktu itu aku ikut serta. Ki Wanasa bukannya ingin membalas, tapi malah merencanakan bekerjasama dengan imbalan bagi hasil. Ki Wanasa selalu memberi tahu, kapan akan terjadi pengiriman barang. Semua keterangan, tentang jumlah kekuatan pengawal, serta berapa banyaknya barang, diberikan Ki Wanasa. 

Bahkan ketika Adipati Talaga menjebaknya, Lima Setan dari Barat itu tidak muncul sama sekali. Memang, mereka telah tahu kalau itu hanya jebakan dan peti-peti pengangkut barang itu hanya berisi batu kali. Mereka juga tahu kalau ada dua pasukan kerajaan membuntuti dari jarak jauh," jelas Ki Darpin.

"Lalu, dari mana Ki Wanasa bisa tahu semua itu?"

"Ada seorang prajurit pengawal adipati yang bersedia bekerjasama dengan imbalan pula. Tapi, dia mencoba berkhianat. Maka, Ki Wanasa membunuhnya sebelum rahasianya terbongkar. Lalu, Lima Setan dari Barat juga dikelabuinya. Dan di saat mereka pergi, Ki Wanasa memindahkan semua hasil rampokan selama dua tahun itu ke tempat lain yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Darpin lagi.

"Dan kau sendiri?" tanya Bayu bernada curiga.

"Aku juga tidak tahu. Waktu itu, aku hanya diminta untuk menyiapkan sebuah kereta besar, yang ditarik sepuluh ekor kuda. Aku tidak tahu, apa rencananya waktu itu. Dan aku baru tahu dua hari sebelum mereka datang ke sini," sahut Ki Darpin. Tapi, Ki Wanasa tidak mau memberi tahu di mana letaknya. Dia hanya mengatakan...."

"Teruskan, Ki," pinta Bayu mendesak.

"Dia hanya mengatakan kalau harta itu tersimpan di tempat yang aman, tapi tidak jauh dari kota kadipaten itu," sambung Ki Darpin.

"Sukar dipercaya, kenapa Ki Wanasa bisa melakukan itu...?" desah Bayu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Hilangnya kepercayaan Adipati Talaga, membuat usahanya benar-benar hancur. Dan Ki Wanasa hampir bangkrut waktu itu, Bayu. Rasa sakit hatinya lah yang membuatnya berbuat nekat. Dan dari harta itu, dia bisa kembali bangkit dari kebangkrutannya."

"Memang sulit mencari siapa yang salah dalam hal ini," desah Bayu lagi. "Tapi bagaimanapun juga, semua yang dilakukan Ki Wanasa tidak benar."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Ratna Wulan jadi lemas setelah mengetahui semua persoalannya.

"Rasanya, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menemukan harta itu dan mengembalikannya pada Adipati Talaga," sahut Bayu.

"Itu sama saja mencoreng nama Ki Wanasa, Bayu," Ki Darpin tampak tidak setuju.

"Kita tidak akan mengatakan kalau Ki Wanasa terlibat, Ki. Katakan saja kalau Lima Setan dari Barat itu yang melakukan semuanya. Dan yang pasti, kita harus bisa melenyapkan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin merajalela saja. Dan yang terpenting, harta itu jangan sampai jatuh ke tangan mereka. Harta itu bisa memperkuat mereka, Ki," tegas Bayu. "Cukup kita bertiga saja yang mengetahui semua rahasia ini."

"Kau sama dengan ayahmu, Bayu. Selalu melindungi sahabat-sahabatnya," puji Ki Darpin.

"Aku tidak melindunginya, Ki. Aku hanya tidak ingin nama Ki Wanasa rusak, walaupun jelas bersalah," bantah Bayu, tegas.

"Terima kasih, Kakang," ucap Ratna Wulan perlahan. Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk punggung tangan gadis itu. Mereka terus berbicara sampai jauh malam. Ratna Wulan membersihkan satu kamar untuk istirahatnya. Sedangkan Bayu dan Ki Darpin terus berada di ruangan tengah ini, dengan hanya sebuah pelita kecil sebagai penerangan. 

***

Malam terus merayap semakin bertambah larut. Bayu dan Ki Darpin masih berada di ruangan tengah rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Sementara, Ratna Wulan sudah masuk ke dalam kamar yang dibersihkannya untuk beristirahat. Gadis itu tampak lelah sekali. Apalagi setelah mengetahui rahasia yang selama ini tersimpan. Rahasia yang bisa membuat nama baik ayah angkatnya tercoreng, karena perbuatannya sendiri yang melampiaskan rasa sakit hati pada Adipati Talagan. Memang, selama ini sudah banyak orang yang menduga, terutama dari kalangan saudagar dan pembesar Istana Kadipaten Talagan.

Tapi, sampai saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup akan keterlibatan Ki Wanasa dalam semua perampokan itu. Hingga tak ada seorang pun yang bisa menuduhnya secara langsung. Tapi dengan kematian Ki Wanasa oleh Lima Setan dari Barat, mereka semua langsung tahu kalau Ki Wanasa memang terlibat dalam semua kejadian perampokan itu. Walaupun, itu masih berupa dugaan tanpa bukti jelas. Dan semua rahasia itu kini sudah terpegang Bayu, Ki Darpin, dan Ratna Wulan. Hanya mereka bertiga saja yang tahu.

"Ki! Apa Ki Wanasa pernah mengatakan satu petunjuk penyimpanan harta itu?" tanya Bayu, agak perlahan suaranya.

"Sulit, Bayu. Karena, Ki Wanasa hanya mengatakan tempat penyimpanan harta itu hanya bisa ditemukan kalau ada yang melihat Cendawan Merah. Di tempat Cendawan Merah itulah letaknya," sahut Ki Darpin. "Sedangkan kau tahu sendiri. Tidak sembarang orang bisa mengetahui, dimana Cendawan Merah itu berada. Bahkan kabarnya lagi, Cendawan Merah hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Juga ada yang bilang, kalau Cendawan Merah hanya bisa dilihat oleh orang yang memang sedang mujur atau orang-orang suci," sahut Ki Darpin lagi.

Bayu jadi tersenyum tipis. Pendekar Pulau Neraka juga sering mendengar tentang Cendawan Merah. Sebuah tanaman semacam jamur yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Dan begitu banyak macam ragam cerita tentang cendawan itu. Bahkan Bayu menganggap kalau Cendawan Merah tidak ada. Dan itu hanya merupakan dongeng saja.

"Apa Ki Wanasa membuat gambar petunjuk, Ki?" tanya Bayu lagi.

"Tidak," sahut Ki Darpin. "Katanya, setitik gambar saja bisa membuat malapetaka. Jadi, Ki Wanasa tidak pernah membuat gambar letak harta itu."

Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.

"Bayu...."
"Hm."

"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak perlu mempersoalkan harta itu. Kau bisa celaka sendiri nantinya. Lima Setan dari Barat bukan orang-orang sembarangan. Mereka berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya," saran Ki Darpin.

Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ki Darpin bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan ini.

"Mau ke mana, Ki?" tanya Bayu.

"Ke belakang, buang air," sahut Ki Darpin langsung saja berlari kecil ke ruangan belakang rumah ini.

Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja memperhatikan Ki Darpin yang lenyap di balik dinding penyekat ruangan. Laki-laki setengah baya itu terus berlari-lari melewati beberapa pintu yang terbuka, kemudian sampai ke bagian belakang rumah yang berukuran sangat besar bagai istana ini. Dia terus berlari-lari kecil memasuki halaman belakang rumah. Tapi belum jauh keluar dari rumah itu, mendadak saja....

"He he he...!"
"Oh...?!"

Ki Darpin jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam di depannya. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah hitam yang membawa tongkat berwarna hitam, yang satu ujungnya berbentuk runcing.

Ki Darpin jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar. Dan dia semakin bengong begitu muncul lagi orang-orang tua yang mengenakan jubah berlainan warna yang semuanya membawa tongkat berwarna sama dengan jubah masing-masing. Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Ki Darpin jadi menggeletar hebat. Dan baru disadari, siapa lima orang tua berjubah berlainan warna yang tahu-tahu muncul di depannya ini. 

***

"Lima Setan dari Barat...," desis Ki Darpin hampir tak terdengar suaranya. Laki-laki separuh baya itu melangkah mundur beberapa tindak. Tangan kanannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang. Sedangkan lima orang tua yang memang Lima Setan dari Barat itu tetap berdiri tegak berjajar menatap tajam Ki Darpin.

"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" tanya Ki Darpin, agak bergetar suaranya.

"Kau sudah tahu jawabannya, Darpin," sahut Setan Jubah Hitam, dingin sekali nada suaranya.

"Tidak ada yang bisa kau dapatkan dariku di sini," tegas Ki Darpin, semakin jelas getaran suaranya.

"Kau pikir kami orang-orang bodoh...?! Aku tahu, kau satu-satunya orang kepercayaan si Keparat Wanasa. Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, Darpin. Dan semua itu ada padamu," semakin dingin nada suara Setan Jubah Hitam.

"Aku tidak tahu apa-apa. Ki Wanasa tidak pernah mengatakan apa-apa padaku," bantah Ki Darpin, agak keras suaranya.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Darpin. Hanya kau yang tahu semua ini. Jadi, tidak mungkin kalau tidak tahu di mana si Keparat Wanasa menyembunyikan harta itu."

"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Dan lagi, aku bukan orang kepercayaan Ki Wanasa," sahut Ki Darpin mencoba meyakinkan lima orang tua berjubah itu.

"Ingat, Darpin.... Kesabaran ada batasnya. Dan kami semua sudah tidak sabar lagi," desis Setan Jubah Hitam bernada mengancam.

"Oh...," Ki Darpin mengeluh kecil.

Wajah laki-laki setengah baya itu jadi memucat seketika. Dia tahu, Lima Setan dari Barat bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian yang dimilikinya masih jauh di bawah tingkat kepandaian mereka. Perlahan kakinya melangkah mundur. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat.

"Katakan, di mana harta itu...?" desis Setan Jubah Hitam sudah tidak sabar lagi.

"Aku tidak tahu," sahut Ki Darpin.

"Keparat...! Kau akan menyesal, Darpin." Setan Jubah Hitam sudah melangkah maju satu tindak, tapi keburu dicegah Setan Jubah biru.

"Biar aku saja yang membereskannya, Kakang," pinta Setan Jubah Biru.

"Lakukanlah. Tapi, aku tidak mau dia mati. Dialah satu-satunya kunci untuk menemukan harta itu," sahut Setan Jubah Hitam.

"Akan kubuat dia mengaku," janji Setan Jubah Biru.

Setelah berkata demikian, Setan Jubah Biru langsung melangkah lebar mendekati Ki Darpin. Bibirnya menyeringai lebar, seakan-akan ingin mengoyak tubuh laki-laki setengah baya itu. Ki Darpin jadi bergidik. Kengerian langsung menyelimuti seluruh rongga dadanya. Dia tahu, tidak akan mungkin bisa selamat lagi kali ini. Tapi, Ki Darpin tak sudi menyerah begitu saja.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Setan Jubah Biru melompat sambil mengebutkan tongkatnya cepat sekali ke arah kepala Ki Darpin. Tapi pada saat itu, Ki Darpin yang memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi langsung saja mencabut pedangnya. Secepat itu pula, pedangnya diangkat untuk menangkis tebasan tongkat berwarna biru itu.

"Hait...!"
Trang!
"Hih...!"

Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru langsung cepat memutar tongkatnya. Dan begitu ujung tongkatnya hampir menyambar pinggang, Ki Darpin cepat-cepat melompat ke belakang. Namun pada saat yang bersamaan, Setan Jubah Biru sudah memberi satu sodokan keras dengan tangan kirinya.

"Ikh...?!" Ki Darpin jadi terpekik kaget.

Buru-buru tubuhnya dijatuhkan ke tanah dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari sodokan tangan kiri Setan Jubah Biru. Lalu, bergegas Ki Darpin melompat bangkit berdiri. Dan belum juga sempurna berdirinya, Setan Jubah Biru sudah langsung melompat menyerang. Tongkatnya dikebutkan cepat sekali ke sekitar tubuh laki-laki separuh baya itu.

Ki Darpin terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan tongkat Setan Jubah Biru. Beberapa kali ujung tongkat yang runcing itu hampir menghunjam ke tubuhnya. Tapi, Ki Darpin masih bisa menghindar meskipun kelabakan juga. Serangan-serangan yang dilakukan Setan Jubah Biru memang begitu cepat dan dahsyat.

"Lepas...!" seru Setan Jubah Biru tiba-tiba. Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah biru itu mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Ki Darpin. Dan secepat itu pula Ki Darpin mengangkat pedangnya menangkis tebasan tongkat itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru cepat memutar tongkatnya. Lalu tongkatnya dikebutkan ke mata pedang itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi.

Trang!

"Akh...!" Ki Darpin jadi terpekik.

Begitu kerasnya kebutan tongkat itu, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang mental ke udara. Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu Setan Jubah Biru sudah memberikan satu sodokan lunak ke dada sebelah kiri. Gerakan tangan kirinya begitu cepat, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Tuk!
"Okh...?!"

Seketika itu juga, Ki Darpin langsung limbung dan ambruk ke tanah setelah dada kirinya terkena totokan jari tangan kiri Setan Jubah Biru. Ki Darpin benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Jalan darahnya telah tertotok begitu kuat. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sementara Setan Jubah Biru sudah menghampiri, dan berdiri di dekat tubuh laki-laki separuh baya ini.

"Ada yang datang. Cepat kau bawa dia...!" sentak Setan Jubah Hitam, agak tertahan dan tiba-tiba.

"Hup...!"

Setan Jubah Biru cepat mengangkat tubuh Ki Darpin ke pundaknya. Lalu bagaikan kilat, dia melompat cepat meninggalkan halaman belakang rumah ini mengikuti teman-temannya, yang sudah lebih dulu berlompatan pergi. Pada saat Lima Setan dari Barat lenyap di balik tembok yang mengelilingi rumah ini, dari dalam rumah muncul Pendekar Pulau Neraka.

"Ki...! Ki Darpin...!" seru Bayu memanggil dengan suara agak keras.

Tentu saja tak ada sahutan sama sekali. Bayu mengedarkan pandangan ke sekitar halaman belakang ini. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada sebatang pedang yang tertancap di pohon. Bergegas dihampirinya pedang itu dan dicabutnya. Kedua bola matanya agak terbeliak begitu mengenali pedang ini milik Ki Darpin.

"Ki Darpin...!" panggil Bayu kembali berteriak.

Pendekar Pulau Neraka jadi tertegun begitu melihat ada tanda-tanda bekas pertarungan di sini. Pada saat itu, Ratna Wulan muncul. Gadis itu terbangun mendengar teriakan Bayu yang memanggil Ki Darpin.

"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan langsung begitu dekat.
"Ki Darpin hilang," sahut Bayu. 

***