Pendekar Pulau Neraka - Raja Kera Iblis(1)

SATU
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat bagai hendak menghancurkan angkasa. Tampak semburan cahaya api disertai gumpalan asap hitam membumbung tinggi, menggetarkan seluruh rumah yang ada di kaki Gunung Weling.

Gemuruh batu-batu yang longsor dari lereng gunung itu terdengar keras. Debu berkepul, seakan-akan ingin menyatu dengan semburan api dan gumpalan asap hitam yang menyembur dari puncak gunung ini. Ledakan dahsyat yang disertai guncangan begitu hebat membuat panik seluruh penduduk di Desa Weling. Mereka semua berhamburan keluar, dan langsung memadati jalan. Wajah mereka seketika memucat begitu melihat api dan asap hitam menggumpal menjadi satu dengan awan dan debu dari puncak Gunung Weling.

Glarrr!

Kembali terdengar ledakan keras yang sangat dahsyat. Asap hitam semakin banyak menggumpal dan menyebar menutupi langit di sekitar kaki Gunung Weling. Siang yang semula terasa begitu panas dan terik kini menjadi gelap bagai malam. Seluruh angkasa sudah terselimut awan tebal yang meng-gumpal membentuk awan panas. Slart..!

Beberapa kali terlihat kilatan cahaya membelah gumpalan asap hitam yang membentuk awan itu. Bumi terus bergetar, membuat beberapa rumah mulai roboh. Semua orang yang memadati jalan di Desa Weling semakin terlihat panik. Awan hitam yang menggumpal semakin tebal itu mulai terasa menyebarkan hawa panas, membuat dada sesak dan sulit untuk bernapas.

“Ha ha ha...!”

Tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras dan mengejutkan. Semua orang yang tengah dihinggapi kepanikan, seketika tertegun dan langsung memucat wajahnya. Suara tawa yang demikian keras itu menyebar dan menggema bagai datang dari langit yang tertutup gumpalan awan hitam yang sangat tebal ini.

Namun, mendadak suara tawa yang begitu keras dan menggelegar memekakkan telinga tadi lenyap bersamaan dengan menghilangnya suara gemuruh serta getaran bumi. Semburan api dan awan hitam pun seketika lenyap tak terlihat lagi di puncak Gunung Weling. Dan, perlahan-lahan awan hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh kaki gunung itu pun menghilang tertiup angin yang tiba-tiba ber-hembus kencang.

Cepat sekali keadaan kembali tenang. Tapi, tak ada seorang pun penduduk Desa Weling yang kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka masih tetap berada di luar dan terus memandangi puncak gunung yang kini sudah kembali kelihatan tenang. Alam benar-benar kembali tenang, bagai tidak pernah terjadi sesuatu. 

***

Memang hanya sebentar peristiwa itu terjadi. Namun, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat guncangan yang ditimbulkan dari Gunung Weling tadi. Bahkan dua di antaranya hangus terbakar. Dan, api masih menyala meliuk-liuk mengikuti hembusan angin.

Sementara itu, di dalam sebuah rumah yang berukuran besar dan berhalaman luas, tampak empat orang laki-laki berusia lanjut duduk melingkar di lantai beranda depan, dengan hanya beralaskan selembar tikar dari daun pandan. Mereka semua mengenakan jubah panjang berwarna putih, dengan ikat kepala yang juga putih. Wajah-wajah mereka kelihatan begitu suram, bagai malam yang tidak ditaburi cahaya bintang dan rembulan. Mereka adalah Kepala Desa Weling dan para pemuka desa ini.

Mereka semua mengenakan jubah putih yang bersih dan panjang. Untuk membedakan antara satu orang dan lainnya, bisa dilihat dari senjata yang mereka sandang. Senjata-senjata Itu memiliki bentuk yang berlainan. Tampaknya, mereka bukanlah orang-orang biasa, atau setidak-tidaknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Ini bisa dilihat dari bentuk senjata yang mereka bawa.

“Getaran hatiku mengatakan kalau ini bukan kejadian gempa biasa...,” ujar Ki Rakonta dengan suara menggumam perlahan. Dialah Kepala Desa Weling.

“Benar. Seumur hidup aku tinggal di sini, belum pernah terjadi gempa satu kali pun,” sambung salah seorang pemuka Desa Weling.

Pemuka desa itu tampak memegang sebuah cambuk berwarna hitam, yang tergulung di tangan kirinya. Seluruh cambuk itu dipenuhi bulu-bulu halus, dan pada bagian ujungnya terdapat bulatan besi baja berwarna hitam sebesar mata kucing yang berduri halus. Semua orang di Desa Weling mengenal lelaki tua ini dengan nama Ki Ampar.

“Pasti kalian semua mendengar suara tawa keras itu tadi...,” ujar Ki Rakonta lagi, seraya memandangi tiga orang laki-laki tua yang sebaya dengannya.

Semua kepala terangguk, dan semua mata menatap pada kepala desa ini. Tentu saja mereka tadi mendengar tawa yang teRatnat keras dan meng-gelegar, sebelum gempa yang datang begitu tiba-tiba dan mengejutkan ini berakhir. Tak ada seorang pun yang tidak mendengar. Dan, tawa keras menggelegar itu juga membuat mereka bertanya-tanya.

“Aku yakin, gempa tadi adalah ciptaan seseorang, atau...,” Ki Rakonta tidak melanjutkan kata-katanya.

“Atau apa, Ki?” desak Ki Bantur, yang meng-genggam sebilah pedang pendek pada tangan kanannya.

Pedang Ki Bantur berwarna kuning keemasan, dan sepertinya memang terbuat dari emas murn. Gagang pedang pendek itu berbentuk sekuntum bunga yang terkembang mekar, dengan sebuah batu mutiara di tengah-tengah kelopak bunga pada ujungnya.

“Kalian masih ingat cerita orang-orang tua kita dulu...?”

Ki Rakonta malah balik bertanya, sambil merayapi wajah ketiga orang yang duduk bersila di depannya. Tapi, tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan itu. Mereka malah saling melemparkan pandangan. Dan, kening mereka tampak berkerut begitu sama-sama menatap Ki Rakonta, seakan-akan meminta penjelasan.

“Memang sudah lama sekali. Dan tidak ada lagi yang pernah bercerita atau mengingatnya. Tapi kejadian ini membuatku teringat pada cerita orang-orang tua kita. Cerita yang dulu kita anggap hanya sebagai dongeng dan tidak ada kenyataannya sama sekali. Tapi begitu meresap, seperti sebuah kenyata-an yang pernah ada dan pernah terjadi di sekitar kita,” kata Ki Rakonta.

Masih belum ada yang membuka suara sedikit pun. Mereka masih belum mengerti akan arah kata-kata kepala desa ini. Tapi, dari sikap dan raut wajah mereka, tampak semuanya sedang menebak-nebak. Begitu banyak cerita yang sulit untuk dipercaya dan masuk ke dalam akal pikiran yang sehat Dan, mereka masih belum tahu, cerita mana yang dimaksud oleh Ki Rakonta.

“Sebenarnya aku sendiri belum yakin. Tapi melihat kejadian tadi, aku jadi teringat cerita ayahku dulu,” kata Ki Rakonta lagi.

Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Semua masih menduga-duga, apa sebenarnya maksud kepala desa itu. Tak seorang pun yang bisa menangkapnya. Dan, mereka terus menduga-duga sampai Ki Rakonta melanjutkan pembicaraannya.

“Kejadian tadi mirip sekali dengan tanda-tanda bangkitnya Raja Kera Iblis...?!”

“Apa...?!”

“Raja Kera Iblis...?!”

Ketiga pemuka Desa Weling itu terperanjat setengah mati begitu Ki Rakonta menyebut nama Raja Kera Iblis. Betapa tidak? Mereka memang sudah sering mendengar cerita tentang makhluk mengeri-kan yang sangat dahsyat dan kejam itu. Tapi, semua cerita itu kini sudah tidak pernah lagi terdengar.

Bahkan, cerita itu selalu dianggap dongeng belaka. Karena, makhluk itu memang tidak pernah muncul, dan tak seorang pun yang pernah melihatnya, kecuali orang-orang yang hidup seratus tahun lalu. Namun, para pemuka desa itu memang pernah mendengar Raja Kera Iblis hanya menampakkan diri seratus tahun sekali. Dan, setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan malapetaka, sampai ada seseorang yang bisa membinasakannya kembali. 

Seratus tahun kemudian, dia pun akan muncul kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat, dan dengan kekejaman yang tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun juga. Setiap orang yang mendengar cerita itu selalu membayangkan Raja Kera Iblis sebagai sosok makhluk mengerikan, yang entah bagaimana bentuk rupanya.

Para pemuka Desa Weling terkejut setengah mati dan tidak pernah menduga bahwa pikiran Ki Rakonta akan sampai ke sana. Kejadian yang baru saja menimpa desa ini memang mirip sekali dengan cerita-cerita yang pernah mereka dengar ketika masih anak-anak. Bahkan, ketika menginjak usia remaja pun mereka masih sering mendengar cerita tentang makhluk itu. Tapi, sama sekali mereka tidak menduga kalau cerita tentang Raja Kera Iblis yang hanya dianggap dongeng itu bisa menjadi kenyataan. 

***

Dua hari pun berlalu sejak peristiwa aneh dan mengejutkan terjadi di Desa Weling. Tapi, peristiwa itu tak ada kelanjutannya lagi seperti yang diduga kepala desa dan para pemuka Desa Weling. Keadaan di desa ini masih tetap tenang, walaupun peristiwa dua hari lalu masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Dan, tak ada seorang pun yang berpikir tentang Raja Kera Iblis. Hanya Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa yang terus membicarakan makhluk yang selama ini hanya dianggap sebagai cerita dongeng belaka itu.

Siang ini udara di sekitar kaki Gunung Weling terasa amat panas. Matahari bersinar begitu terik, seakan-akan ingin membakar apa saja yang ada di atas permukaan bumi. Namun, panasnya sengatan sang mentari tidak membuat seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau menghentikan langkah-nya. Dia terus berjalan mantap menyusuri jalan tanah yang berdebu dan berbatu kerikil. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak duduk nangkring di pundak kanannya. Dan tidak jauh di belakangnya, terlihat seorang gadis cantik berjalan mengikutinya. Jelas sekali terlihat, gadis itu begitu kelelahan mengikuti ayunan kaki pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

“Kakang....”

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu meng-hentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang. Ditatapnya gadis cantik yang berjalan pada jarak sekitar tiga batang tombak di belakangnya. Dia menunggu sampai gadis itu berada dekat di sampingnya.

“Istirahat dulu, Kakang. Aku lelah sekali...,” pinta gadis cantik itu, sambil menyeka keringat yang bercucuran di wajah dan lehernya dengan punggung tangan.

Sementara, pemuda berbaju kulit harimau hanya menepuk-nepuk kepala monyet kecil di pundaknya.

“Nguk!”

“Tidak ada tempat yang enak untuk beristirahat di di sini, Wulan,” kata pemuda itu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Tapi aku lelah sekali, Kakang. Rasanya sudah tidak sanggup lagi...,” rengek gadis yang memang ber-nama Ratna Wulan itu.

“Tidak jauh lagi ada desa, Wulan. Kau pasti bisa bertahan sedikit sampai ke sana,” kata pemuda tampan itu seraya menunjuk ke satu arah d ujung jalan.

Ratna Wulan diam saja. Memang, kalau sudah berada di jalan seperti ini, tidak seberapa jauh lagi mereka akan menemukan sebuah desa. Tapi, Ratna Wulan tampak tidak yakin bahwa desa itu bisa ditempuh dalam waktu sebentar. Dia sudah benar-benar tidak mampu lagi berjalan jauh. Terlebih lagi, sengatan matahari yang begitu terik membuatnya semakin cepat merasa lelah.

“Hhh...!”

Sambil menghembuskan napas panjang dan berat, Ratna Wulan kembali mengayunkan kakinya. Di-susunnya jalan tanah berdebu yang berkerikil yang semakin terasa panas, bagai di atas jembatan neraka! Mereka terus melangkah tanpa ada yang bicara lagi. Namun, belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba....

“Aaa...!”

“Heh...?!”

Mereka terkejut setengah mati begitu mendengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Jeritan itu demikian jelas terdengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Lalu, bagaikan kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat menuju arah datangnya jeritan tadi. Dan, gadis yang bersamanya tidak mau ketinggalan. Meskipun terasa begitu lelah, dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyusul pemuda tampan itu.

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga sebentar saja dia sudah sampai di tempat datangnya jeritan tadi. Dan betapa terkejutnya dia. Dilihatnya sesosok makhluk tengah mengoyak dada seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Darah tampak berceceran di mana-mana.

Makhluk itu pun tampak terkejut melihat ke-munculan pemuda berbaju kulit harimau itu. Memang, pemuda ini tak lain dari Bayu Hanggara, atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.

“Ghrrr...!”

“Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini...?” desis Bayu, hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

“Ghraugkh...!”

Tiba-tiba makhluk yang bertubuh manusia tapi seluruh badannya berbulu hitam dan wajahnya seperti kera itu menggerung dahsyat. Dan, bagaikan kilat, dia melompat cepat menerjang Bayu.

“Craaakh...!”

Monyet kecil di pundak Bayu langsung melompat turun, lalu bertari menjauh sambil mencerecet ribut. Tangkas sekali gerakannya ketika dia memanjat naik ke atas sebatang pohon.

“Heh...?! Ufs...!”

Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka membanting tubuhnya ke samping, lalu bergulingan beberapa kali menghindari makhluk aneh dan mengerikan itu. Dan, cepat pula dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kedua kakinya menjejak tanah, makhluk seperti kera yang bertubuh tinggi besar melebihi manusia itu sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan tangan kanannya, yang berbulu tebal, hitam, dan berkuku runcing bagai mata pisau.

“Ghraugkh...!”

Wukkk!

“Uts!”

Untung saja Bayu cepat merundukkan kepalanya, sehingga kibasan tangan yang sangat besar ukuran-nya itu lewat di atas kepalanya. Bergegas kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.

Dan, belum juga Bayu sempat melakukan sesuatu, mendadak tangan kiri makhluk seperti kera raksasa itu sudah mengibas cepat sekali. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak sempat lagi menghindar. Dan...

Plak!

“Akh...!”

Begitu kerasnya kibasan tangan berukuran sebesar dua kali tangan manusia biasa itu. Sehingga, tubuh Bayu terpental deras ke belakang. Keras sekali punggung pemuda itu menghantam sebatang pohon, hingga pohon yang berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping.

“Ghraaagh...!”

Sambil menggenang dahsyat, makhluk kera raksasa itu kembali melompat dengan jari-jari tangan terkam bang menjulur ke depan. Hendak diterkamnya Bayu.

“Hup! Yeaaah...!”

Namun Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat me-lentingkan tubuhnya. Dihindarinya terkaman makhluk kera raksasa itu dengan cepat Dan, makhluk itu pun hanya menerkam reruntuhan pohon.

Beberapa kali pemuda tampan berbaju kulit harimau itu berjumpalitan dan berputaran di udara, lalu kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan kokoh dan mantap sekali. Sedangkan makhluk kera raksasa itu sudah kembali memutar tubuhnya dengan cepat Dia menggerung dahsyat Dipandanginya tajam-tajam pemuda tampan berbaju kulit harimau yang berada sekitar dua batang tombak di depannya.

Pada saat itu, gadis jelita berbaju merah muda yang tadi berjalan bersama Bayu sudah sampai di tempat ini. Dia juga terperanjat setengah mati begitu melihat makhluk mengerikan yang tinggi dan besar tubuhnya dua kali manusia biasa itu.

“Ghrrr...!”

Makhluk kera raksasa itu meraung sambil menyeringai lebar, memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam, begitu melihat kedatangan gadis cantik itu. Dan, tiba-tiba....

“Wulan, awas...!”

Wusss!

“Haft...!”

Gadis itu segera melentingkan tubuhnya ke udara ketika tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melompat cepat ke arahnya sambil menggerung dahsyat dan mengerikan. Tinggi sekali lentingannya, hingga dia dapat lewat di atas kepala makhluk itu. Dan, setelah beberapa kali putaran di udara, dengan manis sekali dia menjejakkan kembali kakinya di tanah, tepat di samping Bayu.

“Ghraaagkh...!” 

***
DUA
“Cepat menyingkir, Wulan!” seru Bayu

Pada saat itu, makhluk kera raksasa sudah melompat kembali dengan cepat menerjang mereka. Ratna Wulan pun bergegas melesat ke samping. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pula Neraka menarik tubuhnya hingga doyong ke kiri, dengan tangan kanan tersilang di depan dada. Dan, secepat kilat pula dikibaskan tangannya ke depan.

“Hiyaaa...!”

Wusss!

Secercah cahaya keperakan tiba-tiba melesat cepat dari pergelangan tangan kanan Baya Dan makhluk kera raksasa itu pun tidak sempat lagi menghindar. Lalu....

Crab!

“Aaargkh...!”

“Hup!”

Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melenting-kan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Tampak cahaya keperakan melesat ke arah pergelangan tangan kanannya. Dan, tahu-tahu sebuah benda berbentuk lingkaran bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing sudah menempel di pergelangan tangan itu.

“Hup! Yeaaah...!”

Dua kali Bayu melakukan putaran di udara, lalu dengan cepat sekali dia melesat ke arah makhluk kera raksasa. Satu tendangan keras menggeledek pun langsung mendarat dengan tepat di kepala makhluk itu.

Plak!

“Aaargkh...!”

“Hup!”

Kembali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke belakang. Dilakukannya beberapa kali putaran. Dan, dengan manis sekali dijejakkan kakinya di tanah. Lalu, langsung dimiringkan tubuhnya I lingga doyong ke kiri. Disilangkannya tangan kanannya di depan dada, kemudian dikibaskannya tangan itu ke depan.

“Hiyaaa...!”

Wusss!

Benda berbentuk cakra bersegi enam yang me-nempel di pergelangan tangan kanannya secepat kilat melesat ke depan. Begitu cepat lesatannya, sehingga makhluk kera raksasa tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Crab!

“Aaargkh...!

Kembali cakra keperakan bersegi enam itu menghunjam di dada yang berbulu hitam tebal itu. Dan, ketika tangan Bayu terangkat ke atas kepala, cakra keperakan bersegi enam itu melesat balik dari dalam dada makhluk kera raksasa. Darah seketika menyembur deras dari dua lubang di dada, akibat dua kali tertembus cakra keperakan bersegi enam yang kini sudah kembali menempel erat di per-gelangan tangan kanan pemiliknya.

Makhluk kera raksasa itu menggerung-gerung dahsyat. Darah bercucuran dengan deras dari dua lubang di dadanya. Tapi, tiba-tiba dia melesat cepat bagai kilat dan tahu-tahu sudah lenyap begitu tubuhnya masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Bayu hendak lompat mengejar, tapi...

“Kakang Bayu...!”

Pendekar Pulau Neraka segera mengurungkan niatnya. Dia segera berpaling. Ditatapnya gadis cantik berbaju merah muda yang berlari-lari kecil meng-hampirinya. Gadis itu berdiri dekat di depan Bayu.

Sedikit Bayu menepuk pundak gadis itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri sosok mayat yang sudah tidak bernyawa lagi dengan seluruh tubuh tercabik dan dada terkoyak sangat lebar. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut melihat dada yang berlubang besar itu.

“Nguk! Nguk! Craaakh...!”

Bayu mengulurkan tangannya ketika monyet kecil yang selalu dipanggil Tiren itu segera berlari-lari men-dekatinya. Monyet kecil berbulu hitam ini segera naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka.

“Hm..., makhluk itu mengambil jantungnya,” gumam Bayu perlahan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Ratna Wulan, yang berdiri di samping kanan, hanya diam memandangi laki-laki tua bertubuh kurus kering yang sudah tak bernyawa lagi itu. Kemudian dia menarik napas panjang. Ditatapnya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka yang bersimbah keringat Dan, beberapa saat mereka hanya membisu.

“Ayo kita pergi, Kakang.”

“Kita kuburkan mayat orang tua ini dulu, Wulan.”

Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya. Sedangkan Bayu sudah mencari tempat yang teduh untuk menggali lubang kuburan. Didapatkannya tempat di bawah sebatang pohon beringin yang cukup rimbun daunnya. Tempat yang cocok untuk peristirahatan terakhir laki-laki tua malang itu. 

***

Matahari sudah condong ke arah Barat ketika Bayu selesai menguburkan laki-laki tua yang malang itu. Dia kemudian mengajak Ratna Wulan me-ninggalkan tepian hutan di kaki Gunung WeBng ini. Tanpa berbicara lagi, mereka pun melangkah perlahan-lahan kembali ke jalan tanah berdebu yang dipenuhi batu kerikil. Mereka terus berjalan menuju ke arah matahari tenggelam. Di ujung jalan, sudah terlihat sebuah perkampungan yang kelihatan agak sunyi.

“Desa apa itu, Kakang?” tanya Ratna Wulan, tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun ke arah desa yang berada di depan sana.

“Desa Weling,” sahut Bayu, yang juga mengarahkan pandangannya ke desa itu.

“Sepi sekali kelihatannya,” ujar Ratna Wulan agak menggumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

“Hm...,” gumam Bayu perlahan.

Memang, desa yang mereka lihat di depan tampaknya begitu sunyi seperti tidak berpenghuni. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumah. Namun, Bayu dan Ratna Wulan terus saja melangkah memasuki desa yang tampak amat sunyi itu. Tapi, belum begitu jauh mereka masuk ke dalam desa itu....

“Hm...,” gumam Bayu perlahan.

Pendekar Pulau Neraka menghentikan ayunan langkahnya. Ratna Wulan yang berjalan di sebelah kanannya juga segera berhenti melangkah. Dia memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi, sebentar kemudian keningnya berkerut dan kelopak matanya terlihat menyipit. Belum juga mereka membuka mulut untuk bicara, mendadak....

Wusss!

“Awas, Wulan...!” seru Bayu.

“Hup!”

“Hak..!”

Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat ke belakang ketika tiba-tiba sebatang tombak yang panjang meluruk deras ke arah mereka. Dan, tombak itu langsung menancap dalam di tengah jalan tanah berdebu ini, tepat di tempat Bayu dan Ratna Wulan berdiri tadi.

Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dari atas atap sebuah rumah. Dan tahu-tahu, tepat dfi depan Pendekar Pulau Neraka, sudah berdiri seorang laki-laki tua yang berjubah putih panjang dan longgar. Laki-laki itu tampak menggenggam sebatang tombak pendek putih yang ujungnya berwarna kuning keemasan. Tampak pula rambut dan kumisnya yang menyatu dengan jenggotnya sudah berwarna putih semua.

“Nguk...! Nguk...!”

“Ada apa, Tiren?” tanya Bayu.

Belum juga pertanyaan Pendekar Pulau Neraka terjawab, tiba-tiba dia dikejutkan lagi dengan munculnya tiga orang laki-laki berusia lanjut yang semuanya mengenakan jubah putih yang panjang dan longgar. Ketiganya mengambil tempat di belakang laki-laki tua yang muncul pertama kali tadi. Mereka tampak memegang senjata yang berlainan bentuknya.

Dari pakaian, senjata, dan sorot mata yang tajam, bisa dipastikan bahwa mereka berempat bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak, semuanya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Mereka adalah Ki Rakonta dan tiga orang pemuka Desa Weling yang bertugas mengatur seluruh wilayah desa ini.

“Hm...,” gumam Bayu perlahan.

“Siapa kalian? Ada urusan apa kalian datang ke Desa Weling ini?” tanya Ki Rakonta dengan nada suara yang tegas.

“Aku Bayu dan ini Ratna Wulan. Kami berdua hanya pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,” sahut Bayu memperkenalkan diri.

“Hm..., apa kau ini bukannya Raja Kera Iblis?”

Jelas sekali dari nada suaranya, laki-laki tua ber-ubah putih yang juga Kepala Desa Weling itu menaruh curiga kepada Bayu dan Ratna Wulan.

Pertanyaan itu membuat Bayu dan Ratna Wulan mengerutkan kening. Mereka saling berpandangan sejenak, laki sama-sama melangkah maju beberapa tindak. Dan, langkah mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari keempat orang tua berjubah putih itu.

“Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, Kisanak. Kami berdua hanyalah pengembara yang kebetulan lewat dan ingin mencari penginapan untuk malam ini,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.

Memang Bayu tidak mengerti akan kata-kata yang dilontarkan Ki Rakonta barusan. Bahkan dia tidak tahu, siapa yang dimaksud dengan sebutan Raja Kera Iblis itu. Mendengarnya saja baru kali ini. Dan, Bayu langsung bisa menebak bahwa Desa Weling ini sedang tertimpa suatu musibah yang ditimbulkan oleh Raja Kera Iblis itu. Dari pengalamannya melanglang buana sebagai seorang pendekar kelana, dia sudah bisa meraba keadaan yang terjadi di desa ini.

Namun, Bayu juga tidak mau gegabah untuk ikut campur sebelum tahu benar apa masalahnya. Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada Ratna Wulan.

“Anak muda, kami di sini tidak ingin menambah persoalan. Sebaiknya kalian segera tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku harap, kalian bisa mengerti, jika kalian memang orang baik-baik dan hanya pengembara,” selak Ki Suta, yang mulai ikut berbicara.

Di tangan kanan laki-laki tua berwajah bening itu tergenggam sebuah tameng berbentuk bulat dan ber-warna putih keperakan. Ada sebuah ukiran ber-gambar bintang pada bagian tengahnya.

Kembali Bayu melirik pada Ratna Wulan, yang saat itu juga sedang menatap dengan sudut ekor matanya. Mereka kemudian sama-sama mengangkat pundak. Lalu, setelah memberi salam penghormatan, kedua-nya memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa berkata sedikit pun. Mereka berjalan kembali ke arah hutan. 

***

Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi di kaki Gunung Weling. Dan, Desa Weling pun sudah terselimut kegelapan. Tak sedikit pun terlihat cahaya dari bulan ataupun bintang. Malam ini langit kelihatan begitu kelam. Awan hitam yang tebal dan bergulung-gulung membuat suasana di Desa Weling semakin bertambah tidak nyaman. Belum lagi, angin yang bertiup begitu kencang menebarkan udara dingin menggigit sampai ke tulang.

Hari sudah jauh melewati tengah malam, tapi di beranda rumahnya, Ki Rakonta masih duduk bersila di atas selembar tikar anyaman dari daun pandan. Tak ada seorang pun terlihat di sekitar halaman rumahnya yang luas ini. Begitu sunyi di sekelilingnya. Sedangkan di dekat pintu yang senga-ja dibiarkan terbuka, terlihat tiga laki-laki tua lain yang semuanya mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Mereka adalah tiga orang pemuka utama Desa Weling.

“Sudah lebih dari satu pekan, Ki. Tidak ada satu pun peristiwa penting yang terjadi,” ujar Ki Ampar.

Suara Ki Ampar agak menggumam dan perlahan sekali, hampir tidak terdengar oleh yang lainnya. Dia seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Sedangkan Ki Rakonta yang diajak bicara tidak berpaling sedikit pun. Dia tetap mengarahkan pandangannya ke arah puncak Gunung Weling, yang menghitam pekat dan berselimut kabut tebal. Dua orang laki-laki tua lainnya juga diam saja.

Memang, sejak terjadi peristiwa gempa yang mengejutkan itu, mereka selalu bersikap waspada. Terlebih lagi, mereka menduga bahwa gempa yang terjadi itu merupakan tanda munculnya Raja Kera Iblis, yang ceritanya seringkah mereka dengar sejak masih anak-anak dulu.

“Hm...,” gumam Ki Rakonta tiba-tiba, agak keras.

Dan, begitu dia beranjak hendak bangkit, tiba-tiba....

Bruk!

“Heh...?!”

Bukan hanya Ki Rakonta saja yang terperanjat, tapi tiga orang laki-laki tua yang berada di beranda depan rumah kepala desa itu juga terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya mereka, sampai langsung terlompat berdiri. Dan, bola mata mereka terbeliak ketika tiba-tiba dari atap beranda jatuh sesosok tubuh laki-laki tua yang sudah rusak tercabik.

Empat orang laki-laki tua yang sama-sama mengenakan jubah panjang warna putih itu segera berlompatan ke luar. Dan, pada saat itu, tiba-tiba terdengar tawa keras menggelegar yang begitu mengejutkan.

“Ha ha ha...!”

“Hm...,” gumam Ki Rakonta lagi, agak keras.

Tawa itu demikian keras terdengar. Tapi, sulit untuk diketahui dari mana arah datangnya. Tawa itu seakan-akan datang dari seluruh penjuru mata angin. Keempat laki-laki tua berjubah putih itu pun langsung mempersiapkan senjata masing-masing. Mereka berdiri melingkar saling beradu punggung.

Clarrrk...!

“Awas...!” seru Ki Rakonta tiba-tiba.

“Hap...!”

“Hup!”

“Yeaaah...!”

“Hiyaaa...!”

Mereka langsung berlompatan menyebar begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya merah seperti bola api meluncur deras dari atas atap rumah. Bola cahaya merah itu langsung menghantam tanah tempat keempat laki-laki tua itu berdiri tadi.

Glarrr...!

Seketika itu juga terdengar ledakan keras yang amat dahsyat Tanah bergetar hebat bagai diguncang gempa. Rumah kepala desa itu pun bergetar dan berderak bagai hendak runtuh. Sementara itu empat laki-laki tua berjubah putih berjumpalitan di udara. Dan, hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sedangkan tanah yang terhantam cahaya merah tadi terlihat sudah berlubang cukup besar. Debu tampak membumbung tinggi ke angkasa.

“Gila...!” desis Ki Bantur, yang sempat terbeliak melihat lubang menganga cukup lebar dan dalam di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini.

“Ki Bantur, awas...!” teriak Ki Rakonta.

“Heh...?! Hup!”

Ki Bantur terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke samping dan langsung bergulingan di tanah beberapa kafi. Dilihatnya tadi sebuah bayangan hitam meluruk deras bagai kilat ke arahnya. Bergegas kemudian dia melompat bangkit berdiri. Namun, baru saja kakinya dijejakkan di tanah, bayangan hitam itu kembali melesat cepat ke arahnya.

“Hiyaaa...!”

Ctar!

Terdengar suara lecutan sebuah cambuk, yang diikuti dengan berpijarnya bunga api di depan dada Ki Bantur. Pada saat yang bersamaan, bayangan hitam itu kembali melenting ke belakang. Dijauhinya Ki Bantur yang tengah terpana. Bergegas Ki Bantur melompat ke belakang beberapa tindak. Dia sempat melirik Ki Ampar yang baru saja menarik cambuknya kembali.

Kemudian, secara bersamaan keempat laki-laki tua itu cepat berlompatan. Mereka kini berdiri berjajar, tepat sekitar tiga batang tombak di depan sesosok tubuh hitam dan besar, yang tingginya dua kali lipat manusia biasa. Hampir mereka tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Betapa tidak? Mereka kini berhadapan dengan sesosok makhluk yang seluruh tubuhnya berbulu hitam pekat agak berkilat. Dan, wajah makhluk itu begitu mirip seekor kera!

“Ghrrr...!”

Makhluk kera raksasa itu menggerung sambil menatap tajam pada empat laki-laki tua. berjubah putih ini, dengan sepasang bola matanya yang merah dan bercahaya bagai sepasang bola api. Dia menggerung sambil menyeringai, bagai hendak memamerkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring runcing.

“Dewata Yang Agung.....Makhluk apa ini...?” desah Ki Rakonta, yang tak berpaling sedikit pun memandangi makhluk kera raksasa yang berada sekitar tiga batang tombak di depannya.

“Kalian semua pemuka desa ini...?”

Terdengar begitu besar dan berat suara makhluk kera raksasa itu. Telinga keempat laki-laki tua itu pun terasa sakit dibuatnya.

“Siapa di antara kalian kepala desanya?” tanya makhluk kera raksasa itu lagi, dengan suaranya ang tetap besar menyakitkan telinga.

“Aku,” sahut Ki Rakonta seraya melangkah ke depan dua tindak. “Mereka bertiga memang para tetua Desa Weling. Dan siapa kau ini sebenarnya?”

“Ha ha ha...!”

Makhluk kera raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak. Begitu keras suara tawanya, membuat tanah yang mereka pijak bergetar. Ki Rakonta dan ketiga orang pemuka desa itu cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam, untuk menahan gempuran suara keras yang menggetarkan jantung dan membalikkan aliran darah di dalam tubuh mereka. Suara tawa itu seakan-akan dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya, begitu keras menggelegar dan sangat menyakitkan telinga.

“Aku adalah raja yang menguasai seluruh bumi ini Dan kalian adalah hamba sahaya yang harus tunduk pada perintahku. Ha ha ha...!”

“Raja Kera Iblis...,” desis Ki Rakonta, langsung bisa mengenali, walaupun makhluk kera raksasa itu tidak menyebutkan siapa dirinya secara langsung.

Sedangkan Ki Ampar dan yang lainnya hanya diam memandangi makhluk kera raksasa yang begitu mengerikan ini Meskipun begitu, mereka juga sudah bisa menduga, siapa makhluk yang bentuknya begitu menyeramkan ini. Sulit dikatakan kalau makhluk ini adalah manusia. Juga sukar untuk dikatakan kalau dia adalah seekor kera.

Meskipun wajahnya seperti kera dan seluruh tubuhnya berbulu, bentuk badannya tidak ubahnya seperti manusia. Tapi, tingginya mungkin dua kali manusia biasa, atau mungkin juga bisa lebih tinggi lagi. Dan, dia tampak mengenakan celana sebatas lutut yang merah menyala. Tidak dikenakannya baju sama sekali, sehingga tubuhnya yang berbulu tebal dapat terlihat jelas. Terlihat pula, tidak ada satu senjata pun yang disandangnya.

“Dengar, jika kalian berani membangkang dan tidak mematuhi perintahku, nasib kalian akan sama seperti dia!” kata makhluk kera raksasa itu lagi, sambil menunjuk sesosok mayat laki-laki tua yang menggeletak tepat di depan tangga beranda rumah kepala desa.

“Kau yang membunuhnya? Kenapa...?” tanya Ki Rakonta setelah melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tercabik dan tidak mengenakan baju itu.

“Dia mencoba melawan dan membangkang perintahku. Jika kalian juga berani membangkang, aku tidak segan-segan mencabik tubuh kalian. Mengerti...?!” ujar makhluk kera raksasa itu dengan keras dan tegas.

“Apa yang kau inginkan dari kami?” tanya Ki Rakonta lagi.

“Ha ha ha...! Kau sebagai kepala desa di sini tentu sudah tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tidak perlu menyebutkan keinginanku lagi,” sahut makhluk kera raksasa yang dikenal sebagai si Raja Kera Iblis ini.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Raja Kera Iblis melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan mata. Begitu cepatnya dia melesat, seolah-olah tenggelam masuk ke dalam bumi, tidak bisa lagi diketahui ke mana arah perginya. Ki Rakonta dan yang lainnya langsung saling melempar pandang. Apa yang mereka khawatirkan selama ini, sekarang sudah menjadi kenyataan. Raja Kera Iblis, yang selama ini menjadi dongeng sejak puluhan tahun yang lalu, sekarang benar-benar muncul. Dan, kemunculannya ini sudah pasti merupakan malapetaka besar bagi kelangsungan hidup penduduk Desa Weling. 

***

“Dia benar-benar sudah muncul. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki...?” desah Ki Ampar, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

Ki Rakonta hanya diam membisu. Perlahan dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Memang tidak mudah menjawab pertanyaan Ki Ampar barusan. Dia sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan sekarang ini. Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sudah muncul. Dan mereka semua tahu, apa yang dikehendaki raja iblis dari dasar neraka itu.

Tak ada seorang pun yang bisa menentang kehendak Raja Kera Iblis, kecuali yang memang benar-benar ingin mati secara mudah. Mereka semua menyadari, tidak mungkin melawan makhluk kera raksasa yang sangat sakti dan digdaya itu. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya, yang tidak jauh berbeda dengan iblis penghuni dasar neraka. 

Dia bisa berbuat apa saja, semudah membalikkan telapak tangan. Apa pun yang dikehendakinya tidak bisa lagi ditolak. Semuanya harus dituruti jika mereka masih ingin melihat matahari esok pagi. Hal ini membuat Ki Rakonta begitu gelisah. Dia menyadari bahwa dirinya benar-benar tidak berani menentang kehendak Raja Kera iblis, apalagi melawannya.

“Kita tidak mungkin memenuhi kehendak hati iblisnya itu, Ki. Aku tidak bisa melihat mereka yang tidak berdosa sama sekali menjadi korban kebuasannya,” desis Ki Bantur, geram.

“Meskipun kita berempat menghadapinya sekaligus, tidak akan mungkin kita bisa mengalahkannya. Malah dia bisa membunuh kita dengan mudah,” kata Ki Rakonta, perlahan sekali.

“Tapi, Ki...,” ucapan Ki Bantur terputus.

“Kita memang tidak begitu saja menyerah. Paling tidak, kita harus menyelamatkan seluruh penduduk dari keangkaramurkaan Raja Kera Iblis. Aku minta, kalian mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka. Kita semua bertanggung jawab atas nyawa dan keselamatan mereka,” kata Ki Rakonta, tegas.

“Apa yang akan kita lakukan, Ki? Sekarang saja sudah jatuh satu korban,” selak Ki Suta, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

“Hm....”

Ki Rakonta hanya menggumam perlahan. Dia melirik sedikit pada mayat laki-laki tua yang masih menggeletak di dekat ujung tangga beranda rumahnya. Sungguh mengerikan keadaan mayat itu. Seluruh tubuhnya tercabik. Leher dan dadanya berlubang begitu besar. Bahkan, seluruh isi rongga dadanya sudah lenyap. Dan, tak terlihat setetes darah pun yang melekat

“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Ki Rakonta sambil menunjuk mayat laki-laki yang menggeletak di dekat tangga beranda rumahnya.

“Dia si Penjarah Hutan, Ki. Sehari-hari pekerjaannya mencari kayu bakar dan berburu,” sahut Ki Suta, yang mengenali mayat laki-laki tua itu.

“Dia penduduk desa ini?” tanya Ki Rakonta lagi.

“Benar, Ki. Dia mempunyai cucu perempuan yang masih berusia sepuluh tahun. Tidak ada lagi sanak keluarganya di desa ini. Dia hanya hidup berdua dengan cucunya,” jelas Ki Suta.

“Ki Suta, sebaiknya kau urus saja mayat itu. Antarkan ke rumahnya dan kubur sebagaimana biasanya. Nanti aku pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan seluruh penduduk desa ini,” perinlah Ki Rakonta dengan tegas.

“Baik, Ki,” sahut Ki Suta. Tanpa diperintah dua kali, Ki Suta segera rgegas mengambil dua ekor kuda dari samping rumah. Dinaikkannya mayat laki-laki tua yang dikenalinya sebagai si Penjarah Hutan itu ke atas punggung kuda. Kemudian dia sendiri melompat naik ke atas punggung kuda satunya lagi. Setelah mengangguk sedikit ke arah Ki Rakonta, laki-laki tua berjubah putih yang memegang tameng baja berwarna keperakan itu segera menggebah kudanya.

Ki Rakonta kemudian mengajak pemuka desa vang lainnya masuk kembali ke dalam beranda rumahnya. Mereka duduk di tengah-tengah beranda dengan alas selembar tikar anyaman daun pandan. Cukup lama juga mereka berdiam diri. Beberapa kali terdengar tarikan napas yang panjang dan berat.

“Dia sudah datang. Besok malam dia pasti datang lagi untuk mengambil pesanannya,” desah Ki Rakonta perlahan, hampir tidak terdengar.

“Kita tidak mungkin memberikannya, Ki,” kata Ki Ampar.

“Yaaah..., itu juga yang aku tidak inginkan, Ki Ampar. Aku tidak ingin mengorbankan pendudukku sendiri.”

“Ki, apa tidak sebaiknya kita ungsikan saja seluruh penduduk malam ini juga?” usul Ki Bantur tiba-tiba.

“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta tidak mengerti.

“Kita kosongkan desa ini, Ki. Kita cari tempat yang jauh dari Gunung Weling. Dan kita dirikan desa baru. Aku rasa, masih banyak tempat yang bisa dibuka untuk dijadikan desa baru,” ujar Ki Bantur, mencoba menjelaskan usulnya tadi.

“Ke mana kita pergi?” selak Ki Ampar.

“Benar, Ki Bantur. Ke manapun kita pergi, Raja Kera Iblis pasti bisa tahu dengan cepat Dia bukan makhluk biasa. Dia raja segala iblis dari dasar neraka. Tidak mudah menghindarinya, terlebih lagi melawan-nya. Kita semua bisa mati konyol,” ujar Ki Rakonta.

“Hhh..., memang sulit juga. Kita ini seperti berada di ujung tanduk,” desah Ki Bantur, perlahan.

“Ki, bagaimana kalau kita coba menentangnya...?” selak Ki Ampar tiba-tiba.

“Jangan berpikiran sempit, Ki. Tidak ada yang bisa kita andalkan untuk melawannya. Apa kekuatan kita untuk menghadapi Raja Kera Iblis...?” kata Ki Rakonta, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tapi kita tidak boleh tinggal diam begitu saja, Ki. Dia sudah datang ke sini dan memberi peringatan. Itu tidak bisa dianggap main-main lagi. Besok dia pasti datang lagi untuk mengambil korban. Dan, tiap hari dia akan mengambil korban sampai semua orang di desa ini habis. Apa kita tega melihat mereka yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban iblis itu...? Tidak, Ki! Aku tidak rela...!” seru Ki Ampar agak keras.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ki Rakonta.

“Aku akan menantangnya bertarung, Ki,” sahut Ki Ampar, tegas.

“Ha ha ha...!”

“Oh...?!”

“Hah...?!”

Mereka terkejut setengah mati ketika tiba-tiba terdengar tawa yang begitu keras menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin. Ketiga laki-laki tua yang tengah duduk di beranda rumah itu pun saling melempar pandang. Dan belum juga ada yang membuka suara, tiba-tiba.... 

***
TIGA
Ki Rakonta, Ki Ampar, dan Ki Bantur terkejut setengah mati ketika tiba-riba terdengar tawa yang begitu keras menggelegar, tepat di saat Ki Ampar baru selesai mengucapkan tantangannya kepada Raja Kera Iblis. Dan pada saat tawa itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja... Clrasss!

Secercah cahaya kilat menyambar dan membelah angkasa kelam yang terselimut gumpalan tebal awan hitam. Di antara kilatan cahaya terang yang hanya sesaat itu, terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berbulu hitam berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa itu. Kemunculan sosok tinggi besar bagai raksasa ini tentu saja membuat ketiga orang tua yang berada di beranda itu terkejut setengah mati. Sungguh mereka tidak tahu, kapan dan bagaimana makhluk tinggi besar berbulu hitam yang diketahui sebagai Raja Kera Iblis itu sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah.

“Siapa yang menantangku? Cepat ke sini...!” bentak Raja Kera Iblis, keras.

Ki Rakonta dan Ki Bantur langsung menatap Ki Ampar. Sinar mata mereka memancarkan penyesalan terhadap sikap Ki Ampar, yang begitu sembrononya mengucapkan kata-kata tantangan. Tentu saja tantangan itu bisa didengar oleh Raja Kera Iblis, walaupun mereka tidak tahu, di mana makhluk kera raksasa itu berada.

“Hup...!”

Tiba-tiba Ki Ampar melompat ke luar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Begitu indah dan ringan gerakannya, sehingga dalam sekejap dia sudah berdiri sekitar tiga batang tombak lagi di depan Raja Kera Iblis. Sementara itu, Ki Rakonta dan Ki Bantur juga bergegas keluar dari beranda. Namun, mereka tertahan sekitar beberapa langkah di depan tangga beranda depan.

“Kau yang hendak menantangku rupanya, heh...?.'“ ujar Raja Kera Iblis, lantang.

“Ya, aku yang menantangmu bertarung! Aku tidak akan membiarkan kau membantai semua orang di desa ini!” tegas Ki Ampar.

Dari raut wajah dan sorot matanya, tampak tidak ada lagi kegentaran sedikit pun terselip di hati Ki Ampar. Dia benar-benar sudah bertekad menantang Raja Kera Iblis, walaupun tahu apa akibatnya yang akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sesungguhnya memang sadar bahwa kepandaian yang dimilikianya tidak ada artinya dibanding kesaktian makhluk berhati iblis ini.

Perlahan-lahan Ki Ampar menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Direntangkan cambuknya yang berbulu halus. Sorot matanya begitu tajam dan rahangnya terkatup rapat. Sedangkan makhluk tinggi besar berbulu hitam yang hanya mengenakan celana merah sebatas lutut itu hanya diam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukannya.

“Hiyaaa...!”

Ctar!

Tiba-tiba Ki Ampar mengecutkan cambuknya dengan keras sekali ke depan. Begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkannya, sehingga ujung cambuk yang berbentuk bola kecil berduri tajam itu mengeluarkan percikan bunga api yang langsung menyebar ke seluruh tubuh Raja Kera Iblis.

“Hep!”

Namun, tanpa diduga sama sekali, makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Tindakan Raja Kera Iblis itu membuat Ki Ampar terperanjat setengah mati. Buru-buru cambuknya ditarik kembali.

“Hup!”

Bergegas pula laki-laki tua berjubah putih itu melompat ke belakang, hingga sambaran tangan. kanan Raja Kera Iblis tidak sampai menyambar ujung cambuknya. Tapi, tanpa diduga sama sekali, tibatiba....

“Ghraaagkh...!”

Derrr!

“Hoooh...!”

Ki Ampar terkejut setengah mati ketika tiba-tiba Raja Kera Iblis menghentakkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga bumi yang mereka pijak bergetar begitu hebat Dan....

“Heh...!”

Ki Ampar terbeliak setengah mati begitu melihat tiba-tiba tanah di depannya terbelah. “Hup...!”

Buru-buru tubuhnya dilentingkan ke udara. Dan, dilakukannya beberapa kali putaran. Namun, pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melesat mengejarnya ke udara. Secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan keras yang diarahkan ke dada laki-laki tua berjubah putih itu.

“Hap! Yeaaah...!”

Ctar!

“Aaargkh...!';

Raja Kera Iblis menggerung dahsyat begitu ujung cambuk Ki Ampar menghantam pergelangan tangannya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, berputaran beberapa kali, lalu menjejakkan kakinya kembali dengan ringan sekali di tanah. Meskipun tubuhnya begitu tinggi dan besar, tampak gerakannya sangat ringan.

“Ghreaaah...!”

Secepat itu pula Raja Kera Iblis menghentakkan tangan kanannya ke atas, tepat mengarah ke tubuh Ki Ampar yang masih berjumpalitan di udara. Dari telapak tangan itu tiba-tiba melesat bulatan merah sebesar kepalan bayi yang memancarkan api. Bola api itu meluncur deras ke arah Ki Ampar.

“Hiyaaa...!”

Ctar!

Kembali Ki Ampar mengecutkan cambuknya yang terkenal ampuh. Ujung cambuk itu langsung menghantam bola api yang meluncur cepat ke arahnya.

Glarrr!

Ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat seketika terdengar memecah keheningan malam, saat ujung cambuk yang berbandul bola besi baja kecil berduri itu menghantam bola api yang dilepaskan Raja Kera Iblis.

“Hup!”

Ki Ampar cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di tanah. Namun, baru saja kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Raja Kera Iblis sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat dan bergantian beberapa kali.

“Ghruaaaghk...!”

Slap! 

***

Ki Ampar harus berjumpalitan lagi di udara. Dihindarinya bola-bola api yang meluncur deras ke arahnya. Ledakan keras menggelegar terdengar beberapa kali dan saling susul begitu bola-bola api itu menghantam tanah dan pepohonan. Malam yang semula gelap gulita pun menjadi terang benderang oleh cahaya api yang timbul dari bola-bola api yang membakar pepohonan.

Pertarungan itu memang sungguh dahsyat. Masing-masing mencoba menjatuhkan lawannya. Entah sudah berapa jurus yang sudah dikeluarkan Ki Ampar, tapi masih belum juga bisa mendesak Raja Kera Iblis. Bahkan, semakin lama pertarungan itu berlangsung, Ki Ampar semakin kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan makhluk kera raksasa itu. Meskipun tubuhnya sangat besar, namun gerakan-gerakan yang dilakukan Raja Kera Iblis sungguh cepat dan ringan.

“Ghraugkh...!”

Tiba-tiba Raja Kera Iblis menggerung dahsyat eketika itu juga, tubuhnya dilentingkan ke atas dengan cepat sekali. Secepat kilat pula kaki kanannya dihentakkan ke depan, tepat mengarah ke dada Ki Ampar. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Ki Ampar tidak dapat lagi berkelit menghindar, terlebih lagi, padak saat itu dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang ditenarkan makhluk kera raksasa ini. Dan...

Bugkh!

“Aaakh...!”

Ki Ampar menjerit keras melengking tinggi. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Sebatang pohon yang berdiri tidak jauh di belakangnya seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Begitu kerasnya dia terbanting ke tanah, hingga mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Beberapa kali Ki Ampar bergulingan di tanah.

“Hoeeek...!”

Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar dari mulut Ki Ampar ketika dia mencoba bangkit meskipun tubuhnya terhuyung-huyung dan dadanya terasa begitu sesak, Ki Ampar tetap mencoba bangkit. Dan, begitu dia bisa berdiri dengan tubuh terhuyung, mendadak saja....

“Ghraaagkh...!”

Wusss! Bugkh!

“Aaakh...!”

Lagi-lagi Ki Ampar menjerit keras dan terpental ke belakang. Dengan kecepatan bagai kilat Raja Kera Iblis kembali melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat ke udara, dan tepat menghantam dada laki-laki tua itu.

Dan belum juga tubuh Ki Ampar mencapai tanah, Raja Kera Iblis sudah memberikan satu pukulan keras dengan tangan kanannya. Pukulan itu tepat menghantam kepala Ki Ampar. Laki-laki tua itu pun kembali menjerit melengking tinggi. Terdengar suara berderak dari kepala yang pecah terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

Bruk!

“Ohhh...!”

Ki Ampar menggelepar di tanah sambil mengerang lirih. Darah bercucuran deras dari kepalanya yang pecah. Dari mulutnya pun mengalir darah kental agak kehitaman. Sementara Ku, Raja Kera Iblis sudah berdiri dekat di samping tubuh laki-laki tua berjubah putih itu. Tiba-tiba....

Jlegkh!

“Aaakh...!”

Ki Ampar berkelojotan begitu kaki kanan Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu menjejak dadanya. Darah langsung muncrat dari mulutnya. Sebentar tubuhnya berkelojotan, kemudian diam tak bergerak lagi. Begitu Raja Kera Iblis mengangkat kakinya, tampak dada Ki Ampar sudah gepeng seperti tertindih sebongkah batu yang amat berat.

“Ghrrr! Ha ha ha...!”

Slap!

Cepat sekali Raja Kera Iblis melesat pergi. Dan, dalam sekejap dia sudah lenyap dari pandangan. Sementara, Ki Rakonta dan Ki Bantur yang sejak tadi diam saja memperhatikan pertarungan itu, tergegas menghampiri Ki Ampar yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Kepala Ki Ampar tampak pecah dan dadanya remuk akibat jejakan kaki Raja Kera Iblis yang berukuran sangat besar itu.

“Kejam...,” desis Ki Rakonta, hampir tidak sanggup melihat keadaan Ki Ampar.

Ki Bantur hanya diam memandangi mayat Ki Ampar yang sungguh mengenaskan itu. Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan geram. Dadanya bergemuruh, tapi tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun kemarahannya sudah memuncak sampai ke batas dada, dia harus berpikir seribu kali jika mau berbuat nekat seperti Ki Ampar yang menantang Raja Kera Iblis tadi. 

***

Seluruh penduduk Desa Weling benar-benar dicekam perasaan takut Peristiwa terbunuhnya Ki Ampar semalam membuat mereka diliputi ke-gelisahan dan ketakutan yang tak bisa dilukiskan lagi dengan kata-kata. Terlebih lagi, mereka sudah sering mendengar cerita tentang Raja Kera Iblis, yang selama ini dianggap sebagai dongeng belaka. Dan sekarang, tokoh sakti yang sangat kejam itu benar-benar muncul menjadi kenyataan. Bahkan, sudah mengambil dua korban dalam kemunculannya pertama kali.

Seluruh penduduk tahu bahwa Ki Ampar bukanlah orang sembarangan. Mereka pun tahu bahwa Ki Ampar memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Tapi, ternyata dia bisa dikalahkan oleh Raja Kera Iblis. Bahkan, dia ditewaskan dengan cara yang begitu keji, walaupun lewat pertarungan yang sangat jujur. Peristiwa ini memang cepat sekali tersebar, meskipun baru terjadi semalam.

Kemunculan Raja Kera Iblis membuat seluruh penduduk Desa Weling tidak berani keluar dari rumahnya. Meskipun sekarang ini matahari sudah naik cukup tinggi, keadaan desa itu terlihat masih begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya. Bahkan, jalan yang membelah desa itu pun tampak sangat sunyi. Desa Weling benar-benar bagaikan sebuah desa mati yang tidak berpenghuni lagi.

Dalam kesunyian itu, terlihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering dan tidak mengenakan baju berjalan tertatih-tatih di bawah teriknya sang mentari. Dia hanya mengenakan celana merah sebatas lutut Tampak dia terus melangkah menyusuri jalan tanah yang berdebu, seakan-akan tidak peduli dengan panasnya sengatan sinar matahari pada kulit tubuhnya yang kering dan hitam legam. Dia kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat.

Tok, tok, tok...!

Jari-jari tangannya yang kurus kering seperti hanya tulang terbalut kulit itu mengetuk pintu yang terbuat dari kayu yang sudah rapuh. Tak ada jawaban sedikit pun. Dia pun mengetuk lagi lebih keras. Dan tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang terseret dari dalam.

“Siapa...?” terdengar suara agak serak dari Salam rumah berukuran kecil ini.

“Aku...!” sahut laki-laki tua itu.

Perlahan pintu terbuka sedikit Dan, dari balik pintal kayu yang sudah rapuh itu muncul seorang wanita tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun.

“Oh...! Siapa kau, Ki?” tanya wanita tua itu, yang tampak agak terkejut melihat laki-laki yang sebaya dengannya berada di depan pintu rumahnya.

Laki-laki tua itu tidak menjawab sedikit pun. Perlahan dia mengangkat kepalanya. Sepasang bola matanya terlihat merah menyala, bagai sepasang bola api. Dan, perlahan bibirnya bergerak membentuk sebuah seringai, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring sangat runcing.

“Oh...?!”

“Ghrrr...!”

Bettt!

Tiba-tiba laki-laki tua itu mengebutkan tangannya ke depan. Dan....

Brak!

“Akh...!” pekik perempuan tua itu.

Sekali hentak saja, pintu kayu itu hancur berkeping-keping. Dan, sebelum perempuan tua itu menyadari siapa yang berada di hadapannya, tiba-tiba laki-laki tua itu sudah melompat masuk ke dalam. Secepat itu pula, tiba-tiba tubuhnya yang kurus kering langsung berubah.

“Oh...?!”

“Ghraaagkh...!”

Bret!

“Aaakh...!”

Bagaikan kilat, tangan kurus kering yang berubah menjadi besar dan berbulu hitam itu mengibas dan langsung menyambar leher perempuan tua itu. Sungguh cepat gerakannya. Dan tahu-tahu leher perempuan tua itu sudah terpenggal, seperti dibabat sebilah pedang yang amat tajam. Kepala perempuan tua itu pun terpental, lalu jauh bergulingan di lantai tanah rumah ini. “

Ghrrr...!”

Melihat darah yang muncrat dari leher tak berkepala itu, sinar mata makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam itu tampak berbinar-binar. Cepat-cepat tubuh yang sudah menggeletak di tanah itu diterkamnya. Lalu, dengan kuku-kuku jari tangannya yang tajam dan runcing, dicabik-cabiknya dada perempuan tua itu hingga berlubang besar.

Lalu sambil menggerung-gerung, dikeluarkannya jantung di dalam dada itu. Dan langsung dikunyahnya. Dan setelah puas, darah yang bercucuran itu dihirupnya dengan rakus sekali.

“Ghrrr...!”

Tidak berapa lama, makhluk berbentuk kera raksasa itu sudah menguras habis darah yang bercucuran dari tubuh perempuan tua ini. Tak ada lagi setetes darah pun yang tersisa. Namun, sama sekati dia tidak tahu, semua perbuatannya diawasi oleh sepasang mata bersimbah air bening yang bersembunyi di balik sebuah pintu yang sedikit terbuka.

“Ghraaaugkh...!”

Setelah puas menghisap darah korbannya, makhluk kera raksasa berbulu hitam itu langsung melesat keluar dengan cepat sekali. Dan dalam sekejap bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi Tinggallah kini tubuh korbannya yang sudah tercabik hancur dengan darah tak tersisa sedikit pun.

“Nek...!”

Saat itu, dari balik pintu sebuah kamar, keluar seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah kecil itu langsung menghambur dan memeluk tubuh perempuan tua itu sambil menangis sesenggukan. Tidak dipedulikannya kalau tubuh tua yang dipeluknya sudah hancur dan tak berkepala lagi. 
***

“Iblis...! Ini benar-benar sudah keterlaluan!” desis Ki Rakonta geram setengah mati. Matanya tidak ber-kedip memandangi mayat perempuan tua yang tubuhnya hancur dan kepalanya buntung itu.

Di sudut ruangan depan rumah kecil ini, terlihat Ki Bantur duduk di kursi kayu, sambil memangku bocah berusia sepuluh tahun yang menangis sesenggukan menyembunyikan kepala di dada laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Suta tampak sibuk membereskan mayat perempuan tua itu, dibantu beberapa pemuda Desa Weling.

Saat Ki Suta selesai membereskan mayat perempuan tua itu, Ki Bantur bangkit dari kursi yang didudukinya. Diserahkannya bocah kecil itu kepada seorang perempuan separuh baya yang berada dekat dengannya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri Ki Rakonta, yang masih tetap berdiri di depan jendela dengan pandangan tertuju langsung ke luar. Terlihat di sekitar rumah kecil ini masih banyak orang yang ingin mengetahui peristiwa yang terjadi. Ki Bantur kini berdiri di samping Kepala Desa Weling.

“Anak itu melihat semua kejadiannya, Ki,” kata Ki Bantur, dengan suara yang terdengar berbisik.

Ki Rakonta hanya menggumam perlahan, sambil melirik pada bocah laki-laki yang kini berada dalam pangkuan seorang perempuan setengah baya. Bocah itu masih menangis sesenggukan. Perempuan setengah baya itu pun kerepotan mendiamkannya. Ki Rakonta kembali mengarahkan pandangannya ke luar.

“Apa katanya?” tanya Ki Rakonta, dengan suara yang juga perlahan.

“Katanya, semalam datang laki-laki tua, yang kemudian berubah menjadi makhluk raksasa yang mengerikan,” sahut Ki Bantur.

“Hm..., rupanya dia sudah mulai mengubah dirinya untuk mencari korban,” gumam Ki Rakonta, seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Apa itu berarti dia tidak perlu lagi menekan kita untuk menyediakan korban, Ki?” tanya Ki Bantur.

“Kau benar, Ki Bantur. Dia sudah tidak sabar dan sekarang mencari korbannya sendiri dengan mengubah dirinya. Itu berarti kita akan menghadapi kesulitan yang lebih besar lagi. Kita tidak tahu lagi, kapan kemunculannya tiba. Bahkan dia bisa saja berada di antara orang-orang kita,” sahut Ki Rakonta.

“Terlalu berbahaya bagi kita semua kalau begitu, Ki. Desa ini seringkah dimasuki para pendatang. Kita tidak mungkin mencurigai mereka yang datang ke sini, Ki. Lagi pula, tidak semua orang di desa ini kita kenali satu persatu,” kata Ki Bantur, langsung bisa membaca kesulitan yang bakal dihadapi.

Seluruh penduduk desa ini benar-benar sudah terancam keselamatannya. Raja Kera Iblis tidak akan berhenti sebelum seluruh penduduk habis menjadi korbannya. Dia akan terus mencari manusia untuk dijadikan korban. Bahkan, bukan tidak mungkin, kemunculannya akan dimanfaatkan oleh orang-orang rimba persilatan yang beraliran hitam. Mereka akan menyembah dan mendapatkan perlindungan, dengan imbalan mencarikan manusia untuk santapan iblis raksasa berbentuk kera itu. Dunia pun terancam kehancuran kalau hal ini benar-benar terjadi.

Di saat kedua orang tua itu terdiam, tiba-tiba....

Glarrr...!

“Heh...?!”

“Hah...?!”

Bukan hanya Ki Rakonta dan Ki Bantur yang terkejut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar yang begitu dahsyat. Semua orang yang memadati rumah ini juga tersentak kaget setengah mati. Seketika itu juga, mereka yang berada di sekitar rumah ini berhamburan sambil berteriak-teriak panik. Suasana pun seketika menjadi gaduh.

Ki Suta yang sedang mengurus mayat perempuan tua di rumah ini juga langsung menghentikan pekerjaannya. Dia cepat melompat mendekati Ki Rakonta dan Ki Bantur yang masih berdiri di depan jendela. Sementara itu, semua orang yang berada di luar sebentar saja sudah menghilang ke dalam rumah masing-masing. Suasana gaduh pun seketika lenyap. Keadaan pun jadi begitu sunyi. Saat itu....

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu keras dan dahsyat Jelas sekali ledakan itu datang dari sebelah Timur lereng Gunung Weling.

“Ki Suta, kau tetap di sini. Aku dan Ki Bantur akan melihat ledakan itu,” kata Ki Rakonta.

“Baik, Ki,” sahut Ki Suta.

Bagaikan kilat Ki Rakonta dan Ki Bantur melesat melalui jendela yang sejak tadi terbuka lebar. Sementara itu Ki Suta bergegas menutup jendela dan pintu rumah ini. Sekilas dia melirik pada beberapa orang yang masih berada di dalam rumah. Mereka tidak berani keluar untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka juga memandangi Ki Suta, seakan-akan meminta perlindungan dari laki-laki tua yang mengenakan jubah putih itu.

“Kalian tetap saja di sini sampai Ki Rakonta dan Ki Bantur kembali,” kata Ki Suta.

Semua orang yang berada di dalam rumah ha-iya mengangguk. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sedangkan Ki Suta kembali nengurus mayat perempuan tua pemilik rumah ini, «bantu empat orang pemuda.

Ki Rakonta dan Ki Bantur terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tingkat kepandaian mereka setara, sehingga keduanya selalu tampak berdampingan tanpa saling mendahului. Mereka menuju arah sebelah Timur lereng Gunung Weling. Beberapa kali masih terdengar ledakan, yang semakin keras memekakkan telinga.

“Ki, lihat..!” seru Ki Bantur sambil menunjuk ke sebuah padang rumput yang berada di lereng Gunung Weling sebelah Timur.

“Oh.,.,” desah Ki Rakonta.

Mereka bergegas ke padang rumput yang tidak begitu besar itu. Tampak di sana, seorang pemuda berbaju kulit harimau tengah bertarung sengit melawan sesosok makhluk, bertubuh tinggi besar dan berbulu kehitaman. Wajah makhluk itu begitu mengerikan, mirip seekor kera. Dan, dia hanya mengenakan celana warna merah sebatas lutut Tidak jauh dari situ, terlihat seorang gadis cantik berbaju merah muda sedang memperhatikan jalannya pertarungan itu. Tampak pula seekor monyet kecil berbulu hitam di samping kanan gadis itu, yang berpaling begitu Ki Rakonta dan Ki Bantur sampai di padang rumput lereng-Gunung Weling ini.

“Nguk...!”

Ki Rakonta agak terkejut begitu melihat gadis cantik berbaju merah muda itu. Kemudian pandangannya diarahkan pada pertarungan sengit yang sedang berlangsung. Dan, kembali dipandangnya gadis cantik yang juga tengah menatapnya. Perlahan Ki Rakonta dan Ki Bantur menghampiri gadis itu. Ki Rakonta ingat gadis inilah yang datang ke Desa Weling tempo hari bersama pemuda berbaju kulit harimau, yang kini tengah bertarung melawan makhluk kera raksasa yang tak lain dari Raja Kera Iblis. 

Ki Rakonta pun ingat, mereka pernah memperkenalkan diri. Gadis ini bernama Ratna Wulan. Dan pemuda yang sedang bertarung itu adalah Bayu, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.

“Sudah berapa lama mereka bertarung?” tanya Ki Rakonta.

“Belum lama,” sahut Ratna Wulan.

Ratna Wulan membungkukkan tubuhnya sedikit lalu mengangkat Tiren. Monyet kecil in berbulu hitam itu langsung memeluk leher yang putih jenjang ketika gadis itu menempatkan di pundaknya. Tampaknya Tiren juga mengenali Ki Rakonta. Dan, binatang itu terus memandang Ki Rakonta sambil sesekali mengeluarkan suaranya yang kecil di telinga Ratna Wulan.

“Kenapa sampai bisa bertarung?” tanya Ki Bantur.

“Makhluk itu tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang,” sahut Ratna Wulan lagi.

“Anak itu bisa celaka, Ki,” bisik Ki Bantur.

“Hm...,” gumam Ki Rakonta.

Kemudian tidak ada yang berbicara lagi. Mereka memperhatikan pelannya pertarungan yang semakin terlihat sengit itu. Tampak jelas bahwa Bayu masih bisa menandingi Raja Kera Iblis. Bahkan, sudah beberapa kali pukulan Pendekar Pulau Neraka mengenai tubuh makhluk berbentuk kera raksasa berbulu hitam itu. Tapi, tampaknya Raja Kera Iblis benar-benar sulit ditundukkan. Walaupun pukulan Pendekar Pulau Neraka mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, tetap saja Raja Kera Iblis tidak mundur setapak pun, bahkan semakin kelihatan ganas.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba Bayu melentingkan tubuhnya ke udara dan berjumpalitan beberapa kali ke belakang. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali di tanah sejauh tiga batang tombak dari makhluk kera raksasa berbulu hitam pekat itu.

“Phuih...!”

“Ghrrr...!”

Raja Kera Iblis menggerung agak keras. Dan begitu dia melompat hendak menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri dengan sedikit membungkuk. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga sejajar dada. Dan....

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, tepat di saat Raja Kera Iblis berada di udara dan begitu dekat dengannya. Pada saat itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat

Wusss!

Senjata maut 'andalan Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam dada Raja Kera Iblis yang tidak sempat lagi menyadari serangan pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Aaargh...!”

Raungan keras terdengar dahsyat menggelegar. Seluruh lereng Gunung Weling pun bergentar. Tampak Raja Kera Iblis terjatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat melenting dan kembali bangkit berdiri. Saat itu pun Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut berwarna keperakan dan bersegi enam yang tertanam di dada Raja Kera Iblis langsung melesat balik dan menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

“Ghraaaugkh...!”

“Hup!”

Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Tampak Raja Kera Iblis meraung-raung keras sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dari dadanya yang berlubang, terlihat darah segar bercucuran. Dan, mendadak dia diam sambil menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka dengan matanya yang merah menyala bagai sepasang bola api.

“Ghrrr...!”

Slap!

Tiba-tiba makhluk kera raksasa itu melesat cepat bagai kilat. Dan dalam sekejap dia sudah tak terlihat lagi, masuk ke dalam hutan di lereng Gunung Weling yang, sangat lebat ini. Namun, Bayu sempat melihat kalau makhluk kera raksasa yang sangat mengerikan itu menuju ke puncak Gunung Weling.

“Kakang...!”

“Nguk! Chraaak...!”

Bayu cepat berpaling saat mendengar suara memanggil namanya dari arah belakang. Terdengar juga seruan nyaring dari seekor monyet kecil. Perlahan Bayu memutar tubuhnya berbalik. Dilihatnya Ratna Wulan berjalan cepat menghampirinya, diikuti dua laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih bersih. Sedangkan Tiren langsung melompat turun dari pundak Ratna Wulan, lalu berlari cepat sambil mencerecet menghampiri Pendekar Pulau Neraka.

Tiren langsung melompat begitu Bayu mengulur-kan tangannya, lalu segera memeluk leher yang bersimbah keringat itu. Sedangkan Ratna Wulan, Ki Rakonta, dan Ki Bantur terus berjalan cepat menghampiri Pendekar Pulau Neraka.

“Nguk! Nguk...!”

Bayu tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang kini sudah nangkring di pundak kanannya. Dia seakan-akan bisa mengerti, apa yang dikatakan monyet kecil ini.

“Kau tidak apa-apa, Kakang?” tanya Ratna Wulan, sambil merayapi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu hanya tersenyum. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang laki-laki tua berjubah putih yang kini juga sudah berada dekat di depannya. Sedangkan Ratna Wulan sudah berdiri di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat mereka terdiam.

Mereka memang sudah bertemu sebelumnya di Desa Weling, tapi perjumpaan itu tidak mengenakkan sekali. Ki Rakonta waktu itu tidak menghendaki kehadiran seorang pendatang pun di Desa Weling. Sehingga, ketika Bayu dan Ratna Wulan datang, mereka langsung diusir begitu saja. Namun, hal ini bisa dimaklumi, karena dia harus selalu waspada sejak Raja Kera Iblis muncul. 

***