Sapta Siaga - 3. Memecahkan Rahasia Kapak Merah


SAPTA SIAGA 
MEMECAHKAN RAHASIA KAPAK MERAH 

Rapat Sapta Siaga 


”Lencanaku di mana? Ke mana lagi barang 
itu?” ujar Janet kesal. ”Aku yakin, kusimpan 
dalam laci ini.” Diaduk-aduknya isi laci. Sapu- 
tangan, kaus kaki, pita rambut—semuanya ber- 
hamburan ke lantai. 

”Janet!” seru ibunya marah. ”Apa lagi yang 
kaukerjakan itu? Padahal Mom baru memberes- 
kannya tadi pagi. Apa yang kaucari? Lencana 
anggota Sapta Siaga?” 

”Ya, Mom! Pagi ini ada rapat, dan aku tak 
bisa hadir tanpa lencanaku itu,” jawab Janet. 
”Peter pasti takkan mengizinkan aku masuk 
ke gudang. Dia itu keras sekali memegang 
peraturan.” Setumpuk saputangan menghambur 
ke udara, menyusul setumpuk lagi yang sudah 
ada di lantai. 

”Sekarang pasti tak mungkin lagi kautemu- 
kan dalam laci,” gumam ibunya, sambil mem- 
bungkuk. Dipungutnya sebuah lencana bundar, 
dengan dua huruf S.S. tersulam rapi di atasnya. 

”Ini dia! Tadi kaucampakkan bersama-sama 
dengan tumpukan saputangan. Anak bodoh!” 

”Sini, Mom! Berikan padaku!” seru Janet 
girang. Tapi ibunya tidak memberikan. 

"Tidak. Mula-mula harus kaubereskan dulu 
semuanya. Masukkan kembali ke laci, dan 
atur rapi,” kata ibunya. 

”Tapi lima menit lagi Sapta Siaga akan 
memulai rapat,” ujar Janet kebingungan. ”Peter 
sudah menunggu di gudang.” 

”Apa boleh buat, kau terpaksa datang ter- 
lambat,” kata ibunya tanpa merasa kasihan. 

Janet keluar sambil membawa lencana yang 
dicarinya. Ia mengembuskan napas kesal. Buru- 
buru dibereskannya barang yang berhamburan, 
dan dimasukkannya kembali ke dalam laci 
serapi mungkin. Kemudian ia bergegas lari ke 
lantai bawah. 

”Sudah kubereskan, Mom. Aku berjanji , 
nanti sehabis rapat akan kurapikan lagi.” 

Ibunya tertawa. Lencana yang dipegangnya 
diserahkan pada Janet. ’Tni, ambil! Kau ini 
ada-ada saja—kau dan rapat Sapta Siaga kalian. 
Bisa-bisanya kalian tahan berkumpul dalam 
gudang kecil pengap begitu, apalagi dalam 
cuaca panas seperti sekarang! Haruskah pintu 
dan jendela terus-terusan ditutup rapat?” 

"Itu harus, Mom,” jawab Janet sambil me- 
nyematkan lencananya. ”Sapta Siaga adalah 
serikat yang sangat rahasia. Jadi tak boleh 
sampai ada orang yang mendengarkan perun- 
dingan kami, walaupun akhir-akhir ini tak ba- 
nyak kejadian seru. Kami benar-benar perlu 
mengalami sesuatu, supaya bersemangat. Misal- 
nya saja, petualangan terakhir kami.” 

"Ini! Bawalah kaleng biskuit ini ke rapat 
kalian,” ujar ibunya. ”Dan bawa pula sebotol 
air jeruk. Nah—Skippy sudah datang men- 
jemput!” 

Anjing spaniel mereka berlari-lari masuk, 
lalu menggonggong pelan. 

”Ya, ya—aku juga sudah tahu, aku terlambat 
datang,” kata Janet sambil menepuk-nepuk ke- 
pala Skippy. ”Tentunya Peter menyuruhmu 
menjemputku. Ayo, kita pergi sekarang! Terima 
kasih, Mom, untuk biskuit dan air jeruknya.” 

Ibunya tersenyum. 

Janet bergegas melewati kebun, menuju ke 
gudang yang terletak di belakang. Kedua 
tangannya memeluk kaleng biskuit dan botol 
berisi air jeruk. Ketika sudah hampir sampai 
ke gudang, didengarnya suara-suara meng- 
gumam. Kedengarannya keenam anggota lain 
sudah hadir semua! 

Janet menggedor pintu, dibantu oleh Skippy 
yang menabrakkan badan. 

”Kata sandi!” teriak enam suara dari dalam. 

"Petualangan!” Janet memekikkan kata sandi 
mereka untuk minggu itu. Kata sandi itu harus 
disebutkan. Jika tidak, ia dilarang masuk untuk 
menghadiri rapat rahasia. 

Pintu terbuka cepat. Peter, kakak Janet, ber- 
diri di ambang pintu dengan wajah cemberut. 

”Untuk apa kauteriakkan kata sandi kita?” 
tukas Peter. 

”Maaf,” kata Janet menyesal. ”Tapi tadi 
kalian yang mulai berteriak, meminta kata itu. 
Jadi aku juga ikut berteriak. Tapi tak ada 
orang lain yang bisa mendengarnya. Ini, lihat- 
lah! Kubawakan biskuit dan air jeruk!” 

Peter memeriksa apakah adik perempuannya 
itu menyematkan lencana di bajunya. Hal itu 
dilakukannya, karena sepuluh menit yang lalu 
ia melihat adiknya bingung mencari-cari tanda 
keanggotaan itu. Peter sudah menetapkan dalam 
hati, kalau Janet tak berhasil menemukannya, 
ia takkan diperbolehkan masuk. Tapi ternyata 
lencana sudah disematkan di gaun Janet. 

Janet masuk ke gudang. Peter menutup pintu 
kembali, lalu menutup gerendelnya. Daun jen- 
dela sudah tertutup. Sinar matahari musim 
panas yang terik masuk lewat jendela satu- 
satunya. Janet menarik napas panjang. 

”Aduh—panas sekali dalam gudang ini! 
Rasanya badanku hampir meleleh.” 

”Kita semua juga begitu,” jawab Pam. "Me- 
nurut pendapatku, gudang ini sama sekali tak 
cocok untuk dijadikan tempat rapat pada waktu 
panas. Tidak bisakah kita bertemu di tempat 
yang lebih teduh? Misalnya saja dalam hutan, 
di bawah bayangan pohon?” 

"Tidak mungkin!” jawab Jack dengan segera. 
"Adikku Susie pasti akan berkeliaran di dekat 
tempat rapat. Akibatnya Sapta Siaga tidak lagi 
merupakan perkumpulan rahasia!” 

"Bagaimana kalau kita pikirkan tempat lain, 
suatu tempat yang sejuk! Dan letaknya harus 
tersembunyi, supaya tak ada yang bisa me- 
nemukan,” sambung Colin. "Misalnya saja, 
aku punya tempat persembunyian dalam kebun 
kami. Kalau aku di situ tak ada yang bisa 
menemukan aku. Tempatnya sejuk, lagi pula 
sangat tersembunyi.” 

”Di mana tempat itu?” tanya Jack. 

”Di atas pohon,” sahut Colin. "Dalam kebun 
kami ada sebuah pohon besar. Dahan-dahannya 
juga besar dan lebar, sehingga bisa dipakai 
sebagai landasan. Di atasnya kutamh beberapa 
bantal, serta sebuah peti tempat meletakkan 
barang. Tempatnya enak dan sejuk. Dahan- 
dahannya bergoyang kian kemari. Aku bisa 
memandang berkeliling dengan leluasa. Jadi 
aku selalu bisa melihat jika ada orang datang!” 

Anak-anak mendengarkan keterangan Colin 
sambil berdiam diri. Kemudian mereka ber- 
pandangan, dengan mata bersinar-sinar. 

"Bagus juga gagasanmu itu, Colin!” ujar 
Peter bersemangat. "Kita juga akan melakukan- 
nya! Wah, hebat! Rumah di atas pohon, tempat 
rapat yang tak diketahui orang lain!” 


Gagasan Bagus 


Para anggota Sapta Siaga membicarakan ide 
baru itu. Semuanya setuju. Colin sangat bang- 
ga, karena dialah yang mencetuskan gagasan 
yang menggembirakan teman-temannya. 

”Bila kita berhasil menemukan pohon yang 
cukup besar, dengan dahan-dahan yang cukup 
lebar, kita bisa membuat tempat pertemuan 
yang bagus di atasnya,” ujar Peter. ”Kita ang- 
kut papan, peti, dan sejumlah bantal ke situ. 
Kita juga akan membuat tempat penyimpanan 
kue, minuman, buku-buku, serta barang-barang 
lain.” 

"Pasti asyik sekali tempat itu,” sambut Janet 
girang. ’Tidak ada orang yang menyangka 
kita berada di situ. Juga tak mungkin ada 
yang bisa mendengar percakapan kita.” 

”Ayolah! Kita keluar saja dari gudang pe- 
ngap ini. Kita cari tempat yang cocok sekarang 
juga,” usul Colin. ”Sekarang aku tahu, bagai- 
mana rasanya es krim saat mulai meleleh." 


Coba lihat Skippy! Kasihan, napasnya ter- 
engah-engah, lidahnya terjulur ke luar, seperti 
habis balap lari saja!” 

Memang, Skippy sedang kepanasan. Lidah- 
nya yang merah terjulur panjang, napasnya 
terdengar kembang-kempis. Peter bangkit dari 
duduknya. 

”Ayo, Skip! Kita berangkat. Nanti kau bisa 
minum di sungai saat kita lewat situ.” 

Kaleng berisi biskuit mereka bawa serta. 
Tapi sebelum berangkat, ketujuh anak itu 
masing-masing minum air jeruk dulu. Sedang- 
kan Skippy cepat-cepat berlari menuju sungai, 
ketika anjing itu tahu bahwa mereka menuju 
ke sana. 

”Hei, pelan-pelan, Skip! Jangan kauhabiskan 
airnya,” seru Peter. Tapi Skippy tak peduli. 
Berulang kali lidahnya dijulurkan panjang- 
panjang ke permukaan sungai, untuk menghirup 
airnya yang sejuk. Anak-anak terus berjalan, 
meninggalkan Skippy yang masih terus minum. 

”Kita pergi ke Hutan Berangin,” saran Colin. 
"Di sana ada beberapa batang pohon yang 
besar-besar dan mudah dipanjat.” Yang lainnya 
setuju. 

Dan mereka pun sampai di Hutan Berangin. 
Di situ teduh dan sejuk. 

”Sekarang kita harus mencari dengan sak- 
sama. Barangkali saja kita berhasil menemukan 
pohon yang cocok,” kata Jack. "Pohonnya 
harus cukup besar untuk ditempati ketujuh 
anggota Sapta Siaga!” 

"Bagaimana dengan Skippy?” tanya Janet 
tiba-tiba. "Anjing itu tak bisa memanjat pohon. 
Jadi dia tidak bisa ikut rapat.” 

"Kita buatkan saja semacam jala untuk 
mengikat tubuhnya! Kemudian kita tarik ke 
atas,” usul George. 

"Pasti Skippy tidak mau,” kata Peter. "Lagi 
pula, dia kan bukan benar-benar anggota Sapta 
Siaga. Dia tak perlu menghadiri rapat. Tapi 
dia bisa disuruh menjaga di bawah pohon.” 

”Oh ya, bagus! Kalau ada orang mendekat, 
dia bisa menggonggong untuk memberitahu,” 
sambung Barbara. "Skippy memang pantas di- 
jadikan penjaga pintu.” 

"Bukan penjaga pintu, tapi penjaga pohon,” 
ujar Pam. ”Hei—bagaimana kalau kita pilih 
pohon ini saja? Kan besar sekali!” 

"Tidak cocok,” kata Peter menolak, sambil 
menengadah ke atas. "Tidak ada dahan-dahan 
yang rendah. Kita tidak bisa memanjat ke 
atas. Kita harus menemukan pohon yang mu- 
dah dipanjat. Kalau tidak, waktu kita akan 
habis percuma untuk naik-turun pohon saja.” 

Anak-anak berpencar. Mereka menajamkan 
mata, melihat ke sana kemari untuk mencari 
pohon yang cocok. Ternyata jumlahnya tidak 
begitu banyak. George menemukan sebatang 
pohon yang menurut perasaannya sangat cocok. 
Tapi ketika dipanjatnya, ternyata mustahil bisa 
dibuat rumah di atasnya. 

"Payah!” serunya dari atas. "Terlalu banyak 
dahan yang menyilang, lagi pula terlalu besar!” 

Ia meluncur lagi ke bawah. 

Kemudian Jack berseru, ”Hei—kemari se- 
mua! Bagaimana dengan pohon ini?” 

Mereka semua lari menghampiri Jack, lalu 
menengadah untuk memperhatikan pohon yang 
ditemukannya. 

”Ya,” ujar Colin, "kelihatannya pohon ini 
cocok. Dahan yang setinggi pinggang itu bisa 
kita pergunakan untuk tempat berpijak. Dan 
dahannya cukup banyak, bisa untuk tempat 
menyelipkan kaki—dan di sana ada lagi dahan 
untuk pegangan. Lalu di tempat yang cukup 
tinggi kelihatannya terdapat banyak dahan yang 
mendatar. Kelihatannya boleh juga! Sebaiknya 
aku naik saja untuk memeriksa dari dekat.” 

"Tidak, aku yang memanjat,” bantah Jack. 
”Aku yang menemukan pohon ini. Kau boleh 
menyusul sesudah aku.” 

Dengan segera Jack mulai memanjat pohon 
yang ditemukannya. Ia naik dengan mudah, 
sampai ke tempat banyak dahan yang menjulur 
datar ke segala arah. 

"Betul kataku tadi!” serunya dari atas. ”Di 
sini ada kira-kira enam batang yang sama 
tingginya. Dan ada lubang di dalam batangnya. 
Bisa kita pakai sebagai tempat penyimpanan 
barang-barang. Ayo, naik saja! Tempatnya cu- 
kup lapang untuk kita semua.” 

Anak-anak menyusul naik dengan berse- 
mangat. Peter yang memanjat paling a khir 
Maksudnya untuk menolong anak-anak perem- 
puan yang tersangkut dan memerlukan bantuan. 
Tapi ia tak perlu memberikan pertolongan, 
karena pohon itu memang mudah dipanjat. 

"Menurutku, pohon ini yang paling besar 
dalam hutan,” ujar Peter, ketika mereka semua 
sudah duduk di dahan. ”Kita beruntung sekali. 
Banyak dahan lebar yang sama tingginya. 
Datar-datar lagi! Mana lubang yang kaukatakan 
tadi, Jack?” 

”Ini dia,” sahut Jack, lalu bergeser dari 
bagian batang tempatnya bersandar. Keenam 
anggota lainnya melihat sebuah lubang yang 
sangat besar. Jack merogohkan tangannya ke 
dalam, sambil meraba-raba. 

"Dalamnya kurang-lebih setengah meter,” 
ujarnya menaksir. "Lubang ini cocok untuk 
tempat menyimpan barang-barang, jadi kita 
tak perlu membuat lagi. Nah, bagaimana? Apa- 
kah akan kita jadikan Pohon Sapta Siaga, 
tempat pertemuan kita yang baru?” 

”Yaaa" seru seluruh anggota Sapta Siaga 


serempak. Mereka ribut mengajukan usul, 
bagaimana hendak membuat tempat itu menjadi 
rumah pohon yang bagus. Peter mengacungkan 
tangan, meminta anak-anak berhenti bicara. 
Sesudah itu dikeluarkannya sebuah buku 
catatan. 

”Nah,” ujarnya, dengan tangan memegang 
pensil, siap untuk menulis, ”ajukanlah usul- 
usul kalian. Tapi satu per satu, jangan 
berebutan seperti tadi. Semua akan kucatat.” 


Pohon Besar 


Semua mengajukan gagasan bertubi-tubi. 
”Kita bisa mengangkut beberapa lembar pa- 
pan kemari. Kita letakkan menyilang pada 
dahan-dahan ini, sehingga terbentuk sebuah 
panggung,” ujar Colin mengajukan sarannya. 
”Dalam gudang di rumah kami ada beberapa 
lembar papan yang tak terpakai.” 

”Dan aku punya tali untuk mengikatnya,” 
sambung Jack. 

”Ya, kita juga memerlukan bantal untuk 
tempat duduk,” kata Pam. ”Tapi bantal-bantal 
itu harus kita masukkan ke dalam lubang di 
pohon ini bila kita pergi dari sini. Jadi kalau 
hujan, bantal-bantal itu tidak basah.” 

”Wah, tak mungkin. Lubangnya terlalu sem- 
pit,” bantah Jack. 

”Aku bisa membawa sehelai alas karet kedap 
air. Dengan alas karet itu, barang-barang bisa 
kita tutupi apabila kita pergi,” kata Barbara. 
”Kujamin takkan basah.” 


”Idemu bagus juga,” gumam Peter sambil 
mencatatnya dengan cepat. ”Masih ada lagi?” 

"Perabot untuk disimpan dalam lubang,” ujar 
Janet. ”Cangkir tahan pecah dan benda-benda 
lainnya. Aku yang akan membawanya. Mom 
selalu mengizinkan aku membawanya jika kita 
memerlukannya. Pokoknya kita kembalikan lagi 
kapan-kapan.” 

”Itu juga ide bagus,” kata Peter. Ia mencatat 
lagi. ”Papan untuk membuat panggung. Kau 
yang membawanya, Colin.” 

”Lalu tali pengikat,” sambung Jack. ”Aku 
yang membawanya.” 

”Aku menyediakan bantal-bantal!” seru Pam. 

”Dan aku membawa alas karet,” ujar 
Barbara. 

"Cangkir-cangkir urusanku,” kata Janet. 
"Bagaimana denganmu, George?” 

”Aku akan membawa persediaan makanan,” 
jawabnya. 

”Asyiiik!” seru Peter, ”dan aku menyediakan 
minuman. Wah, pasti seru di atas sini. Kita 
akan memiliki tempat pertemuan yang hebat. 
Tapi jangan ceritakan pada adikmu yang bandel 
itu, Jack.” 

”Untuk apa aku bercerita pada Susie?” tukas 
Jack tersinggung. ”Kapan kita mulai mem- 
bangun rumah pohon kita?” 

”Kenapa tidak besok saja?” usul Peter. 

"Sekarang kan belum ada yang berangkat untuk 
berlibur ke pantai. Lagi pula tak banyak waktu 
yang diperlukan untuk membereskan tempat 
ini. Ditambah lagi, tempat ini memang cocok 
sekali untuk dijadikan rumah pohon!” 

Ketika mereka sedang berbincang dengan 
asyik, tiba-tiba terdengar lolongan sedih dari 
bawah, disertai bunyi mencakar. 

”Ah, betul juga! Kasihan si Skippy,” ujar 
Janet. ”Rupanya dari tadi dia sudah menunggu 
di bawah. Pasti dia kepengin pintar memanjat, 
seperti kucing—supaya bisa ikut naik kemari!” 

"Kami datang, Skip!” seru Peter sambil turun 
dari pohon. Ia melayangkan pandangan terakhir 
ke tempat pertemuan baru mereka. "Benar- 
benar sangat cocok! Sekarang tinggal satu lagi 
yang harus kita harapkan.” 

”Apa maksudmu?” tanya Jack yang sudah 
mulai turun. 

”Kita harapkan, semoga ada sesuatu yang 
bisa dilakukan Sapta Siaga,” kata Peter me- 
nerangkan. ”Sudah lama sekali kita tidak 
mengalami hal yang penuh rahasia, atau meng- 
hadapi petualangan.” 

"Untung hal itu kaukatakan,” ujar Pam. "Ka- 
rena biasanya, jika kaukatakan tak pernah ter- 
jadi sesuatu—tak lama kemudian kita pasti 
sudah terlibat dalam suatu petualangan!” 

"Mudah-mudahan kata-katamu itu benar,” 
kata Peter mengharapkan. "Kita bisa melihat 
jauh sekali dari sini,” katanya. "Pemandangan 
luas melewati batas hutan, sampai ke bukit. 
.Aku bisa melihat jalan yang berkelok-kelok 
mendaki bukit. Ada beberapa mobil sedang 
lewat di situ.” 

”Ayo!” seru Jack. Ia sudah hampir sampai 
ke bawah. "Hari sudah siang. Pasti aku di- 
marahi lagi nanti. Kata ibuku, rapat kita selalu 
satu jam lebih lama dari batas waktu yang 
sudah ditetapkan!” 

"Tapi kali ini rapat kita asyik,” ujar Colin. 

Ia turun dengan cara meluncur. Tapi me- 
luncurnya terlalu cepat. Tiba-tiba terdengar 
bunyi kain robek. ”Aduh, mati aku! Celanaku 
robek!” 

”Tentu saja, kalau menuruni pohon kau se- 
perti sedang melaju di atas papan luncur saja!” 
kecam Barbara. 

Sesampainya di bawah, mereka disambut 
Skippy dengan gembira. Anjing itu melonjak 
ke sana kemari, sambil menggonggong dengan 
ribut. Peter tertawa. 

"Kasihan, si Skippy. Kau pasti tidak me- 
nyukai tempat pertemuan kita yang baru ini! 
Hei, aku ada akal! Bagaimana kalau Skippy 
kita buatkan kandang dalam lubang di sana 
itu, selama kita berada di atas pohon?” 

Sambil bicara, Peter menunjuk ke sebuah 
lubang yang terdapat di kaki sebatang pohon 
yang berdekatan letaknya. Lubang itu besar 
sekali, hampir-hampir menyerupai gua. Skippy 
pasti pas masuk di dalamnya. 

”Kita bisa memasukkan salah satu tikar alas 
tidurnya ke dalam rongga itu. Kita tambah 
dengan sebongkah tulang, supaya dia tahu itu 
tempatnya,” kata Peter. ”Dari atas kita teriak- 
kan, ’Ayo, Skip, jaga!’—pasti dia akan me- 
nunggu di situ, sampai kita turun lagi.” 

”Bagus! Dia menjadi pengawal kita!” ujar 
George. ”Skippy cocok jika menjadi pengawal. 

Kalau ada orang lain datang, dia akan meng- 
gonggong untuk memberitahu.” 

Anak-anak senang karena persoalan Skippy 
sudah beres. Memang, anjing itu tak bisa ikut 
naik pohon untuk menghadiri rapat seperti 
ang biasa dilakukannya dalam gudang. Tapi 
setidak-tidaknya Skippy akan melakukan tugas 
untuk mereka. Jadi dia bisa merasa penting, 
karena harus menjaga. 

Skippy menyalak dengan nyaring, seakan- 
akan memahami seluruh pembicaraan dan me- 
nyetujuinya. Ia mengibas-ngibaskan ekornya, 
sambil berlari-lari di depan ketujuh anak yang 
berjalan beriringan. Anjing itu tahu, waktu 
makan sudah tiba! 


Membuat Rumah Pohon 


Keesokan harinya mereka sibuk sekali. Kalau 
saat itu kebetulan ada orang dalam Hutan 
Berangin, pasti orang itu akan tercengang me- 
lihat tujuh anak berjalan beriringan, masing- 
masing membawa sesuatu di tangan. 

Mereka berkumpul di rumah Peter, dengan 
membawa perbekalan yang sudah ditentukan. 
Janet, adik Peter, mengangkut seperangkat 
cangkir serta piring dan sendok. Colin mem- 
bawa sepotong papan, dibantu oleh Jack. Jack 
sendiri membelitkan tali bermeter-meter ke 
pinggangnya. Kelihatannya aneh sekali! 

Barbara membawa selembar alas karet lebar 
yang terlipat rapi. Ia membantu Pam membawa 
setumpuk bantal tua. 

"Bantal-bantalnya agak kotor dan sudah 
kempis,” ujar Pam, ”tapi rasanya itu tak men- 
jadi soal. Aku mengambilnya dari dalam gu- 
dang di kebun. Sudah lama tersimpan, tak 
pernah dipakai lagi. Aku hanya berhasil me- 
nemukan enam bantal. Jadi kita harus mencari 
satu lagi.” 

Janet berlari ke gudang di belakang kebun 
untuk mengambil satu bantal lagi. Selama mu- 
sim panas gudang tak terpakai, jadi bantal 
>ang biasa mereka pakai untuk tempat duduk 
sewaktu rapat bisa mereka bawa ke tempat 
rapat yang baru. 

George membawa beberapa batang cokelat, 
ditambah sekaleng biskuit. 

"Ibuku yang memberi,” kata George, ”dia 
bilang ibu kalian selalu menyediakan makan 
dan minum untuk Sapta Siaga. Jadi sekarang 
gilirannya untuk melayani kita.” 

“Baik benar ibumu,” ujar Peter gembira. 
"Bagus sekali kaleng ini.” Ia sendiri mengam- 
bil sejumlah uang dari simpanannya dalam 
kotak tabungan. Dengan uang itu ia membeli 
sebotol limun dan sebotol air jeruk. Ia juga 
membawa dua botol berisi air untuk dicampur- 
kan. 

Skippy juga ikut mengangkut sesuatu, yakni 
gulungan tikar yang diikat erat dengan tali. 
Tikar itu digondolnya dengan moncongnya. 
Anjing itu beijalan dengan sikap gagah, karena 
merasa dirinya penting. Skippy senang sekali 
jika diajak anak-anak ikut serta dalam kegiatan 
mereka. 

Ketujuh anggota Sapta Siaga beijalan me- 
masuki Hutan Berangin, dan langsung menuju 
ke pohon pilihan mereka. 

"Sebaiknya pada kulit batangnya kita gores- 
kan huruf S.S. dengan pisau, sebagai tanda 
untuk Sapta Siaga,” usul Pam. 

"Jangan!” larang Peter. "Ayahku mengatakan, 
orang yang gemar mencoret-coret dinding dan 
lantai serta menggoresi pohon dengan pisau 
adalah orang dungu. Jika ada anggota Sapta 
Siaga yang ingin bertindak dungu, silakan 
keluar dari perkumpulan kita.” 

"Aku tadi cuma berkata, sebaiknya kita 
menggoreskan huruf S.S.,” balas Pam dengan 
suara tersinggung. "Aku tidak bermaksud kita 
harus melakukannya. Kau tahu sendiri, aku 
tidak dungu.” 

"Ya, aku tahu," ujar Peter. "Aku tadi juga 
hanya mengulangi kata ayahku. Sudahlah— 
kita buatkan dulu tempat penjagaan untuk 
Skippy, sebelum naik ke atas pohon.” 

Mereka pun asyik mengatur tempat untuk 
anjing spaniel itu. Skippy mengendus-endus 
ke sana kemari. Kemudian anjing itu duduk di 
tempat masuk, seolah-olah sedang menyeringai. 

"Nah, rupanya Skippy puas. Lihatlah—dia 
tersenyum,” ujar Janet. "Keluarlah sebentar. 
Skip! Kami masukkan tikar ini, supaya kau 
tahu bahwa di sini tempatmu. Di sinilah kau 
menjaga rapat kami. Menjaga, Skip! Mengerti?” 

Skippy menggonggong, lalu berlari keluar. 

Peter memasukkan tikar ke dalam lubang 
pohon. Ia meletakkan sepotong tulang untuk 
Skippy, kemudian topinya yang sudah tak ter- 
pakai lagi. 

"Ayo jaga, Skip!” ujar Peter sambil menga- 
cungkan jari. "Kau menjaga, kataku. Ini pen- 
ting sekali! Jaga topiku sampai aku kembali. 
Skippy, jaga!” 

Skippy masuk kembali ke dalam lubang 
pohon, lalu mengendus. Mula-mula mencium 
topi itu, lalu berpindah ke tulang. Anjing itu 
berputar, lalu duduk tegak. Kelihatannya serius 
sekali! Sekarang ia takkan meninggalkan tem- 
pat itu, sebelum mendapat izin dari Peter. 
Skippy pintar sekali menjaga, jika ia tahu itu 
tugasnya.  

"Sekarang kita bisa melanjutkan pekerjaan 
tanpa diganggu oleh SkippWyang meloncat ke 
sana kemari,” kata Peter pias. "Ayo, kita ikat 
selembar papan dan alas | karet dengan tali. 
Sesudah itu salah seorang' dari kita naik ke 
atas dengan membawa ujung tali, kemudian 
menarik semuanya ke tempat kita.” 

Ide itu kedengarannya baik. Tapi kenyataan- 
nva berlainan. Tali yang diikatkan oleh Peter 
pada papan yang hendak ditarik ke atas ter- 
nyata tidak cukup kencang. Ketika Jack sedang 
menarik barang-barang itu, tiba-tiba ikatannya 
terlepas. Lembaran-lembaran papan dan alas 
karet jatuh kembali ke tanah. 

Selembar papan menimpa bahu Colin, dan 
alas karet menutupi kepala Pam. Yang lain- 
lain tertawa terpingkal-pingkal melihat Pam 
menjerit dan meronta-ronta, karena tak tahu 
apa yang terjadi. 

”Ya Tuhan—maaf deh,” ujar Peter sambil 
menarik lembaran karet yang menutupi kepala 
temannya itu. ”Sekarang kita ikat lebih 
kencang!” 

”Biar aku saja yang mengikatnya,” kata 
Colin yang masih mengusap-usap pundaknya. 
”Aku tak mau tertimpa papan lagi seperti 
tadi!” 

”Wah, ini lucu sekali,” ujar George girang. 
”Benar-benar lucu! Aku berani bertaruh, belum 
pernah orang lain seasyik kita saat membuat 
rumah pohon!” 


Penjaga yang Baik 


Ketujuh anak itu sibuk sepanjang pagi, mem- 
bangun rumah di atas pohon. Menaruh papan- 
papan kemudian mengikatkannya erat-erat sam- 
pai kokoh, ternyata sama sekali tidak semudah 
yang mereka perkirakan semula. 

Papan-papan itu selalu terlepas dari ikatan. 
Ada lagi yang lebih menjengkelkan, papan- 
papan itu berulang-ulang jatuh. Terpaksa salah 
seorang anak turun untuk mengambilnya. Dan 
setiap kali ada papan yang terbanting ke tanah, 
Skippy ribut menyalak untuk memberitahu- 
kan. 

”Rupanya anjing itu mengira, kita tak tahu 
kalau ada papan jatuh,” ujar Janet sambil 
tertawa cekikikan. ”Nah, jatuh lagi! Giliran 
siapa yang mengambilnya?” 

”Rasanya pekerjaan ini terlalu banyak ta- 
ngan,” kata Jack menyatakan pendapatnya. 
"Semuanya duduk di dahan, sehingga meng- 
halangi saat papan hendak dipasang. Sebaiknya 
anak-anak perempuan turun saja ke dahan yang 
agak rendah. Kami berempat sudah cukup un- 
tuk mengikat papan.” 

Ketiga anak perempuan yang dikatakan 
mengganggu, turun ke bawah sedikit. Mereka 
memilih dahan di sisi lain, supaya tidak ter- 
timpa kalau ada papan jatuh. 

”Sialan! Sekarang bantal yang jatuh,” kata 
Pam. ”Biar menggeletak dulu di tanah. Se- 
bentar lagi pasti ada lagi papan yang lepas 
dan jatuh. Yang turun mengambil papan itu 
sekaligus juga bisa memungut bantal.” 

Keempat anak laki-laki sibuk memasangkan 
papan-papan ke tempatnya. Akhirnya selesai 
juga panggung terpasang. 

"Sekarang sudah aman,” ujar Jack. Ia ber- 
jalan bolak-balik dengan hati-hati, untuk 
menguji kekokohan panggung hasil buatan me- 
reka itu. "Tidak akan ada yang mungkin ter- 
peleset di celah-celah papan, dan tak ada papan 
yang masih bisa terlepas. Kuakui, pekerjaan 
kita memang rapi.” 

Anak-anak perempuan naik kembali, dan 
mengagumi panggung yang sudah selesai. Ban- 
tal diambil dari tanah. Tak lama kemudian 
panggung papan itu sudah kelihatan menye- 
nangkan, dilengkapi tujuh buah bantal tipis 
dan tak bisa dikatakan bersih. 

Perbekalan mereka yang lainnya dimasukkan 
ke dalam lubang dalam batang kayu. Sedang- 
kan alas karet mereka ikatkan dengan rapi 
pada sebatang ranting yang berdekatan, siap 
untuk ditutupkan di atas bantal-bantal dan 
panggung, apabila Sapta Siaga meninggalkan 
tempat itu. 

”Nah, beres!” ujar Peter dengan wajah ber- 
seri-seri. ’Tnilah markas besar kita yang baru. 
Wisma Sapta Siaga. Lengkap dengan pengawal 
yang menjaga di bawah. Semua sudah siap 
menantikan petualangan selanjutnya. Tinggal 
tunggu saja!” 

”Aku takkan keberatan, jika tak ada peris- 
tiwa baru,” kata Pam. ”Ini saja sudah merupa- 
kan pengalaman asyik bagiku. Asyik kan, pu- 
nya rumah di atas pohon. Ah—sekarang angin 
datang!” 

Angin berembus kencang. Dahan-dahan po- 
hon besar itu terguncang-guncang. Panggung 
mereka bergoyang. 

”Asyiiik!” seru Janet, ketika merasakan 
panggung bergoyang-goyang. ”Rasanya seperti 
di atas kapal yang sedang oleng!” 

"Sekarang sudah pukul setengah satu,” ujar 
Peter. ”Sekarang kita makan biskuit dan minum 
dulu. Sesudah itu kita pulang. Nanti sore kita 
kembali lagi ke sini. Kita bawa buku-buku 
serta salah satu permainan. Kita bermain di 
sini.” 

”Aku heran, kenapa orang-orang dewasa tak 
senang bila kita jajan sebelum waktu makan,” 
kata Janet sambil mengunyah-ngunyah biskuit- 
nya, ”Kalau aku, walaupun enam buah biskuit 
raksasa ini kumakan habis, aku masih cukup 
lapar untuk makan siang.” 

”Tapi kita hanya akan makan masing-masing 
satu,” sahut Peter. Cepat-cepat ditutupnya ka- 
leng biskuit. ”Jika kita sekaligus memakannya 
enam buah, sebentar lagi takkan ada yang 
tersisa. Biskuit sepenuh kaleng besar ini pasti 
tahan untuk waktu lama!” Mereka pun turun 
dari rumah pohon mereka, lalu pulang ke 
rumah masing-masing. 

Sorenya mereka datang lagi. Skippy me- 
nempati pos penjagaannya di kaki pohon yang 
berongga. Kelihatan anjing itu memahami 
tugasnya, karena ekornya mengibas kian kemari 
dengan riang, sewaktu para anggota Sapta 
Siaga memanjat pohon satu per satu. 

Sore itu angin bertiup lebih keras. Nikmat 
sekali rasanya, berada di atas panggung yang 
bergoyang-goyang. 

’Tinggal bunyi deburan air saja yang ku- 
rang,” ujar Janet. ”Rasanya seperti di kapal. 
Asyiiik!” 

Ketujuh anak itu ada yang duduk, dan ada 
pula yang berbaring di atas bantal masing- 
masing. Mereka membaca dan mengobrol, sam- 

bil memakan cokelat yang disumbangkan ibu 
George. Senang sekali mendengarkan bunyi 
angin bertiup, menyebabkan daun-daun di se- 
kitar mereka berdesir, dan mengibarkan rambut 
mereka. 

Tiba-tiba terdengar Skippy menggonggong 
di bawah. 

”Kenapa Skippy?” tanya Peter. Ia mengintip 
ke bawah. Didengarnya suara orang lain. 

"Hei! Mau apa kau! Jangan ganggu aku 
dan kucingku!” 

”Ada anak laki-laki di bawah,” bisik Peter 
pada teman-temannya. "Kelihatannya kotor se- 
kali. Dia menggendong kucing di bahunya. 
Skippy meloncat-loncat mengelilinginya.” 

"Skippy bukan hendak menggigitnya,” bisik 
George yang ikut mengintip. ”Rupanya Skippy 
hanya mau merintangi anak itu, supaya jangan 
memanjat kemari! Mungkin dikiranya anak itu 
hendak memanjat. Mana kucingnya? Geser 
sedikit dong, aku juga ingin melihat!” 

Tapi Peter tak mau bergeser. Karena itu ia 
didorong oleh George. Peter berpegangan pada 
seutas tali pengikat salah satu papan panggung, 
sehingga papan itu terungkit. Hampir saja Peter 
terjatuh, kalau tidak sempat menyelamatkan 
diri dengan berpegangan pada sebatang cabang. 

Pam menjerit ketakutan. Peter menyenggol- 
nya, sambil mendelik. 

”Diam!” desisnya. ”Kau ingin tempat per- 
sembunyian ini diketahui orang lain di hari 
pertama kita?” 

Anak yang berdiri di tanah memandang ke 
sana ke mari. Ia terkejut mendengar jeritan 
Pam. Tapi ia tak tahu, dari arah mana suara 
itu datang. Kemudian ia menengadah, me- 
mandang ke atas pohon. 

”He!” seru anak itu. ”Ada orang di atas? 
Siapa di atas?” 

Tentu saja tak ada yang menjawab. Pam 
menahan napas, sampai dadanya sesak. Peter 
masih tetap melotot. 

”Ada siapa di atas?” seru anak itu sekali 
lagi. ”Kalau tak mau menjawab, aku naik 
sekarang!” 

Peter mengerang. Itulah yang dikhawatirkan- 
nya sejak tadi! 

Tapi Skippy punya ide lain. Apa! Ada anak 
asing mau naik ke atas pohon yang dijaganya? 
Itu harus dicegah! 

Skippy meloncat-loncat di depan anak itu 
sambil menggeram. Ia tak bermaksud meng- 
gigit, melainkan hanya menakut-nakuti. Tapi 
anak itu tak tahu. Ketika Skippy menerpanya, 
ia baru saja meletakkan tangan ke dahan yang 
paling rendah. Dengan cepat dahan dilepas- 
kannya kembali, lalu berdiri menghadapi 
Skippy. 

"Kenapa kau begitu? Ayo duduk! Duduk, 
kataku. Kenapa kau ribut? Awas, kalau mau 
mengganggu kucingku. Duduk!” Anak itu 
bicara dengan gelisah. 

Tapi Skippy baru berhenti meloncat-loncat 
sambil menggonggong, ketika anak itu pergi 
menjauhi pohon. Begitu kelihatan anak itu tak 
berniat lagi memanjat, perangai Skippy yang 
ramah timbul kembali. Anjing itu duduk di 
antara pohon dan anak tak dikenal itu, lalu 
mengibas-ngibaskan ekor. 

"Aku tak tahu, kenapa kau tak mengizinkan 
aku naik ke atas pohon itu,” ujar anak yang 
menggendong kucing, ”tapi kalau kau tak mau, 
aku takkan memanjat. Kalau mau, aku bisa 
>aja datang kembali kemari, jika kau tak ada! 
Sekarang aku pergi. Kucingku ketakutan se- 
'engah mati karena perbuatanmu!” 

Ketujuh anggota Sapta Siaga mendengar 
bunyi ranting-ranting patah dan daun gemeresik 
dipijak anak yang pergi itu. Skippy masih 
menggonggong singkat sebagai peringatan. 
Kemudian dia kembali ke ”pos penjagaan”, 
ekornya mengibas dengan gagah. Aha! Skippy 
memang penjaga cekatan. Tak ada yang bisa 
memanjat pohon kalau tak diizinkan olehnya. 

Ketujuh anak di atas pohon tetap tak berkata 
sepatah pun, sampai tidak terdengar lagi bunyi 
d tanah. Kemudian Pam yang mula-mula 
membuka mulut. Kelihatannya ia hampir-ham- 
pir menangis. 

”Aku menyesal! Jangan marahi aku dong! 
Kukira kau akan jatuh, Peter. Karena itulah 
aku menjerit!” 

”Kalau kau menjerit lagi lain kali, kami 
keluarkan kau dari perkumpulan kita,” ujar 
Peter galak. ”Masa rumah pohon baru saja 
selesai sudah nyaris ketahuan anak lain. Dasar 
anak perempuan!” 

Ucapan itu menimbulkan kejengkelan Janet 
dan Barbara. 

”Kami tidak menjerit tadi,” kata Janet ketus. 
"Kami tak berkutik sama sekali! Pam yang 
suka menjerit. Di sekolah pun ia begitu.” 
Muka Pam merah padam mendengarnya. 

”Aku berjanji takkan menjerit lagi,” katanya 
dengan suara lirih. ”Lagi pula anak itu sudah 
pergi. Jadi kita tak sampai ketahuan.” 

”Berkat Skippy,” ujar Peter yang masih te- 
tap kesal. ”Dan bagaimana kau tahu kalau 
anak itu takkan datang lagi kalau kita sudah 
pergi?” 

”Dia takkan ingat lagi letak pohon kita ini,” 
jawab Pam. ”Sudahlah, jangan mengomel lagi, 
Peter. Aku sudah cukup merasa bersalah.” 

”Ini, kita makan cokelat saja,” ujar George. 
Ia ingin cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. 
Ia tak ingin ada yang teringat kembali bahwa 
karena dialah Peter hampir terjatuh dari pohon, 
yang menyebabkan Pam menjerit. 

”Terima kasih,” kata Peter, sambil mengam- 
bil sepotong cokelat. Yang lain-lain ikut 
mengambil. Tak lama kemudian suasana sudah 
tenang kembali. Mereka makan cokelat sambil 
membicarakan kesigapan Skippy sebagai pen- 
jaga. 

”Aku yakin dia sudah kembali ke pos pen- 
jagaannya sekarang,” kata Jack. ”Aku ingin 
punya anjing seperti Skippy. Dia memang 
benar-benar hebat!” 

"Rasanya anak tadi takkan kembali lagi,” 
ujar Colin sesudah beberapa saat. "Barangkali 
dia cuma berjalan-jalan dalam hutan—dengan 
kucingnya! Aneh! Ada orang yang berjalan- 
jalan dengan kucing.” 

”Ayo, kita main kartu saja sekarang,” kata 
Pam. ”Aku membawa satu set. Dan bagaimana 
kalau kita minum lagi? Aku haus sekali'” 

Ketujuh anak itu asyik bermain di rumah 
pohon. Mereka minum air jeruk, dan makan 
biskuit sambil main kartu. Tapi permainan 
kartu agak menjengkelkan, karena kartu-kartu- 
nya selalu terbang ditiup angin dan ber- 
hamburan ke tanah. 

”Kurasa lebih baik kita main domino,” ujar 
George pada akhirnya. ”Kartu domino tidak 
bisa diterbangkan angin. Sialan! Selembar 
kartuku terbang lagi. Besok aku membawa 
kartu domino saja.” 

Pukul lima sore, mereka bersiap-siap pulang 
ke rumah. Bantal-bantal ditumpuk dengan rapi. 
Lalu di atasnya diselubungkan alas karet, dan 
diikat erat-erat. Barang-barang lainnya dimasuk- 
kan ke dalam lubang dalam batang pohon. 
Tiba-tiba terlihat seekor bajing kecil berlari 
pada sebuah dahan. Binatang itu memandang 
mereka dengan tercengang-cengang. 

”Hei!” ujar Peter. ”Apa kabar? Awas—jangan 
berani-berani merampok tempat penyimpanan 
kami!” 

Bajing itu berceloteh sebentar, lalu meng- 
hilang dengan lompatan indah. Anak-anak ter- 
tawa melihatnya. Suara mereka terdengar oleh 
Skippy yang masih menjaga di bawah. Anjing 
itu menggonggong. 

"Baiklah, Skip! Kami datang!” seru Peter 
dari atas. "Kami bawakan sebuah biskuit untuk- 
mu. Sebagai hadiah, karena kau sudah bekeija 
dengan baik!” 

Keesokan Harinya 

Keesokan harinya mereka berkumpul lagi di 
rumah Peter. Kemudian mereka bersama-sama 
berangkat menuju Hutan Berangin. Beberapa 
anak membawa makanan, sedangkan Peter 
membawa minuman. Janet mengepit sebuah 
buku besar. Ia beijanji akan meminjamkannya 
pada Colin. 

’Tnilah buku ayahku yang kuceritakan pada- 
mu,” ujar Janet. ’Tsinya tentang semua jenis 
kapal. Aku sudah minta izin untuk menunjuk- 
kannya padamu. Tapi kata Dad, aku harus 
mengembalikannya dalam waktu dua atau tiga 
hari. Jadi, jangan lama-lama meminjamnya.” 

”Wah—terima kasih banyak,” ujar Colin me- 
nerima buku itu dengan senyum senang. Ia 
sangat menyukai kapal. Dan buku ayah Janet 
sangat indah. Ia pun tahu, ia harus sangat 
berhati-hati terhadap buku itu. 

Seperti biasa, Skippy ikut berlari di samping 
mereka. Ketujuh anak itu sampai di Hutan 
Berangin, dan langsung menuju ke rumah 
pohon mereka. Skippy segera duduk di depan 
pos penjagaannya dengan sikap serius. Janet 
menepuk-nepuk kepalanya. 

”Ya, kami tahu—kau akan menjaga dengan 
baik,” katanya. ”Anjing manis!” 

Mereka memanjat pohon. Peter membuka 
ikatan alas karet, lalu menebarkan bantal-bantal 
di lantai panggung papan. Baru saja ia siap 
dengan pekerjaannya, anak-anak perempuan 
menjerit pelan karena terkejut. 

”Lihat! Tutup kaleng biskuit terbuka, dan 
biskuitnya hampir habis! Padahal kemarin ma- 
sih banyak. Dan cokelatnya juga hilang be- 
berapa batang. Botol limun kosong, padahal 
kemarin masih berisi setengah!” 

Ketujuh anak itu menjulurkan kepala, me- 
mandang ke dalam lubang dalam batang pohon 
mereka. Benar—biskuit hampir habis. Para ang- 
gota Sapta Siaga berpandang-pandangan. Janet 
yang berbicara duluan. 

"Kalian tahu, siapa yang kucurigai? Bajing 
bandel kemarin! Kurasa, begitu kita pergi, 
binatang itu masuk ke lubang ini untuk 
mengambil barang-barang kita. Bajing memang 
binatang pintar!” 

”Tapi bagaimana caranya dia minum limun?” 
tanya Peter agak ragu. 

”Bajing bisa menggunakan kaki depannya, 
seperti monyet,” kata Janet menerangkan. ”Kita 
kan sudah sering melihat bajing menggenggam 
kacang, sambil memakannya. Aku yakin, bajing 
itu cukup pintar untuk mencabut gabus dari 
botol ini. Tapi isinya dibuang keluar, karena 
bajing tak mungkin suka limun.” 

”Aku bisa membayangkan, ada bajing yang 
pandai membuka gabus botol, lalu menuangkan 
isinya keluar,” ujar Peter. ”Tapi sukar di- 
percaya, binatang itu pandai memasangkan ga- 
bus kembali ke lubang botol. Dugaanku, anak 
yang kemarinlah yang melakukannya!” 

"Perkiraanku juga begitu,” sahut George. 
Tapi anak-anak lain tak sependapat. Mereka 
semua mengira, bajinglah yang menghabiskan 
perbekalan. 

”Sudahlah, tak usah kita ributkan lagi per- 
soalan ini,” ujar Jack. ”Hari ini perbekalan 
kita cukup banyak. Jika bajing itu ingin makan 
biskuit dan cokelat sedikit, biarkan sajalah!” 

Kini mereka membawa kartu domino. Pada- 
hal kalau yang dibawa kartu biasa juga tidak 
apa-apa, karena angin tak bertiup pagi itu. 
Matahari tertutup awan rendah. 

"Mudah-mudahan saja tidak hujan,” kata 
Colin sambil memandang ke langit. "Kelihatan- 
nya mendung.” 

”Biar saja hujan turun. Kita tak mungkin 
basah, karena terlindung dalam pohon besar 
berdaun lebat,” ujar Pam. ”Aku yakin, tak 
setetes pun air hujan akan jatuh ke rumah 
pohon kita ini.” 

Ketika akhirnya hujan turun dan tetesannya 
memercik menimpa daun, hanya satu-dua tetes 
yang menciprat ke panggung. Tapi Colin ke- 
lihatan cemas. 

"Sebaiknya buku tentang kapal-kapalmu ini 
kumasukkan saja ke dalam tempat penyim- 
panan kita,” katanya. ”Bagaimana pendapatmu, 
Janet? Ayahmu mungkin akan marah, jika 
bukunya jadi basah.” 

"Tentu saja,” ujar Janet. ”Dad sangat me- 
nyayangi buku itu. Masukkan saja ke dalam 
lubang pohon, supaya tidak ketetesan air.” 

Permainan domino terhenti. Colin menyim- 
pan buku pinjamannya dengan hati-hati ke 
dalam lubang di batang pohon, di belakang 
tumpukan makanan. Hujan semakin deras. 
Asyik rasanya duduk di panggung, mendengar- 
kan suara hujan jatuh menimpa daun. Tapi 
tempat mereka tetap kering. 

Pada saat makan siang, hujan berhenti. 

”Kita lari saja pulang ke rumah sekarang,” 
ujar Peter sambil mengintip di sela-sela daun, 
untuk melihat apakah langit sudah cerah. ”Tapi 
bagaimana dengan barang-barang kita? Aman 
atau tidak jika kita tinggalkan di sini?” Ia 
khawatir karena mereka telah kecurian makanan. 


”Ah, pasti aman,” ujar Pam. Anak itu enggan 
mengangkut semuanya ke rumah. ”Jika 
bajing—atau siapa pun yang mengambil ke- 
marin—tidak mengangkut bantal, cangkir, dan 
barang-barang lainnya, kecil kemungkinan hal 
itu dilakukannya lagi hari ini. Lagi pula yang 
tersisa cuma beberapa potong biskuit!” 

"Baiklah,” kata Peter lega. "Bantal-bantal 
kita masukkan saja ke dalam alas karet. Kemu- 
dian kita pergi. Skippy! Kami datang!” 

Terdengar suara Skippy menyalak sambil 
melonjak-lonjak ke batang pohon. Anjing itu 
merasa bosan, karena harus menjaga sendirian. 

Anak-anak turun dari pohon dengan hati- 
hati, karena batangnya agak licin kena air 
hujan. Skippy menyambut mereka dengan ribut. 

Mereka pulang semua ke rumah. Sayangnya, 
tak ada yang melihat bahwa Colin tidak mem- 
bawa buku yang dipinjamnya dari Janet. Colin 
lupa! Buku itu masih terselip dalam lubang di 
batang pohon, di belakang tumpukan makanan. 


Malam di Hutan Berangin 


Colin sedang berganti pakaian, siap untuk tidur. 
Tiba-tiba diingatnya kembali buku tentang ka- 
pal yang dipinjamnya dari Janet. Di mana 
buku itu? 

Ya Tuhan! Buku itu tertinggal dalam lubang 
di rumah pohon Sapta Siaga. Wah, gawat! 
Bagaimana kalau bajing bandel yang mengam- 
bil kue sekarang menemukan buku itu. Pasti 
buku itu dirobek-robek, atau paling tidak di- 
gigit-gigitnya. Dan jangan-jangan hujan turun 
dengan lebat, diiringi angin kencang. Air hujan 
akan masuk ke lubang, dan membasahi buku. 
Ayah Janet pasti akan sangat marah! 

Dengan bergegas Colin mengenakan pakaian- 
nya kembali. Ia harus pergi, mengambil buku 
itu. Tapi sial, keluarganya masih sibuk terus. 
Mereka kedengarannya seolah-olah mondar- 
mandir terus dalam rumah malam itu. Naik 
tangga, turun tangga, berdiri di ruang depan, 
keluar-masuk kebun. Entah apa saja yang 
mereka lakukan sesibuk itu. Colin sudah tak 
tahan lagi menunggu. 

Ia duduk di depan jendela kamar tidurnya, 
sampai pukul setengah sebelas. Tidak tidurkah 
keluarganya malam ini? Nah, itu kedengaran- 
nya seperti Nenek, naik ke lantai atas. 

Setelah pukul sebelas malam, barulah Colin 
merasa aman untuk menyelinap keluar. Ia tiba 
di kebun tanpa menemukan rintangan sama 
sekali. Tiba-tiba ia terkejut. Didengarnya bunyi 
aneh. ”Huuu!” Ya ampun, rupanya seekor bu- 
rung hantu. Colin tertegun. 

Apakah Colin tahu jafan ke pohon mereka 
pada waktu malam hari? Di musim panas, 
matahari bersinar sampai larut malam. Tapi 
pukul sebelas sudah terlalu larut. Jalanan sudah 
gelap. Apalagi dalam hutan—pasti gelap gulita. 
Colin merasa agak takut. Pada malam hari. 
Hutan Berangin agak menyeramkan juga. 
Bagaimana kalau ia salah jalan, tak menemu- 
kan pohon yang dicari, lalu tersasar? Ia pasti 
akan bingung, sedangkan ibunya pasti cemas 
bercampur marah. 

Dalam perjalanan ke Hutan Berangin, Colin 
harus melewati tempat pertanian orangtua Peter. 
Colin ingin tahu, apakah Peter sudah tidur 
atau belum. Jika belum, mestinya dia mau 
diajak ke hutan. Colin menetapkan hati. Ia 
memasuki pekarangan rumah Peter, lalu 
berjalan pelan-pelan menuju ke rumah teman- 
nya itu. la tahu letak kamar tidur Peter. 

Rumah pertanian orangtua Peter sudah gelap. 
Rupanya mereka semua sudah tidur. Colin 
memungut beberapa batu kerikil, lalu me- 
lemparkan sebutir ke arah jendela kamar Peter. 
Sayang tak sampai, dan jatuh kembali ke tanah. 
Colin melemparkan sebutir lagi, kali ini lebih 
keras. Ditunggunya bunyi batu mengenai kaca 
jendela. 

Tapi ternyata jendela kamar Peter terbuka. 
Kerikil yang dilemparkan oleh Colin masuk 
ke dalam, dan mengenai pipi Peter yang sudah 
terlelap di tempat tidur. 

Peter terloncat bangun, lalu memandang ke 
sekeliling kamarnya yang gelap. Ia menggosok- 
gosok pipinya, sambil bertanya-tanya pada diri 
sendiri. Apakah yang mengenai pipinya tadi? 
Sebuah kerikil berikutnya melayang masuk 
kamarnya lewat jendela, dan mengenai din- 
ding. 

”Hei! Ada orang melempar-lempar batu!” 
ujar Peter dalam hati. Ia menyelinap ke jendela. 
Di bawah tampak samar sosok seseorang se- 
dang berdiri. 

”Siapa itu?” panggil Peter dengan berbisik. 
Ia tak mau keluarganya terbangun. 

”Aku! Colin,” terdengar jawaban berbisik 
dari bawah. ”Peter, aku tadi lupa—buku ayah- 


mu yang kupinjam dari Janet tertinggal di 
rumah pohon kita. Kumasukkan dalam lubang 
pohon. Jadi aku sekarang harus mengambilnya, 
karena kalau tidak, mungkin akan rusak. Kau 
mau ikut?” 

”Tentu saja!” jawab Peter. Hatinya bergetar 
gembira, membayangkan akan pergi ke Hutan 
Berangin di tengah malam, dan naik ke rumah 
pohon mereka. Ini baru petualangan yang 
mengasyikkan! 

Peter segera memakai kaus dan celana pen- 
dek, lalu meluncur turun dari pohon yang 
tumbuh di depan jendelanya. Dalam sekejap 
mata, ia sudah menyelinap ke luar bersama 
Colin. 

Begitu Peter menemani, Colin merasa tenang 
kembali. 

”Aku tadi takut, jangan-jangan tak berhasil 
menemukan pohon kita,” bisiknya sambil ber- 
jalan. ”Kau pintar mencari jalan, dan kurasa 
kau masih bisa menemukannya di malam gelap 
seperti sekarang.” 

”Ya, aku bisa,” ujar Peter. ”Tapi aku juga 
membawa lampu senter. Enak juga bertualang 
malam-malam!” 

Mereka sampai di Hutan Berangin. Pada 
malam hari, tempat itu sunyi senyap. Angin 
hampir-hampir tak bertiup, sehingga pohon- 
pohon hampir tak bergerak sama sekali. Tiba- 
tiba terdengar burung hantu, dan kedua anak 
itu pun terlompat. 

”Untung saja aku bukan tikus,” ujar Peter. 
”Kalau aku tikus aku pasti akan ketakutan 
setengah mati mendengar suara burung hantu 
seperti tadi!” 

Mereka sampai ke pohon yang dicari. Peter 
naik terlebih dulu. Sekali-sekali cahaya lampu 
senter disorotkan ke bawah, untuk membantu 
Colin. Anak itu merasa sedikit kesulitan untuk 
memanjat dalam gelap. Akhirnya mereka sam- 
pai ke rumah pohon. Suasananya aneh dan 
sepi. 

”Sekarang ayo kita ambil buku itu,” ujar 
Colin. Disorotkannya cahaya senter ke lubang. 
Tiba-tiba ia berseru kaget, ”He! Ada lagi yang 
datang kemari, sesudah kita pergi. Semuanya 
berantakan, seperti ada yang dicari. Barangkali 
makanan!” 

’Tidak banyak yang kita sisakan tadi,” ujar 
Peter. ”Sial! Tak mungkin bajing yang me- 
lakukannya. Jadi ada orang lain yang menemu- 
kan rumah pohon kita ini. Buku yang kaucari 
ada?” 

”Ya, syukurlah,” jawab Colin. ”Peter, siapa 
orang yang datang kemari? Aku jengkel me- 
mikirkannya!” 

”Aku juga tak tahu,” kata Peter. Tiba-tiba ia 
mendengar sesuatu yang membuatnya heran. 
Bunyinya sangat lirih, dan datangnya dari suatu 
tempat di pohon itu. 

"Kaudengar juga tadi?” bisik Peter. "Ke- 
dengarannya seperti suara mengeong. Tapi tak 
mungkin ada kucing di sini!” 

Lampu senter disorotkan ke sana kemari, 
untuk mencari kalau ada kucing bersembunyi. 
Tiba-tiba ia memegang tangan Colin, sambil 
menunjukkan jarinya pada sesuatu. 

Cahaya lampu senternya menyinari sepasang 
kaki tak bersepatu! Ternyata ada orang duduk 
bersembunyi pada dahan di atas mereka. Tapi 
persembunyiannya kurang sempurna. Kedua 
kakinya masih kelihatan. Siapakah orang itu? 


Ada Orang di Rumah Pohon 


Peter menangkap kedua kaki yang tak ber- 
sepatu itu, lalu menariknya. Terdengar suara 
teriakan, disusul dengan kaki yang menendang- 
nendang. Tapi Peter memegangnya kuat-kuat. 

”Ayo, turun!” ujarnya marah. ”Siapa kau? 
Berani-beraninya datang ke rumah pohon kami, 
lalu mengobrak-abrik barang-barang kami. Ayo 
turun!” 

"Lepaskan aku!” terdengar suara seorang 
anak laki-laki. Kemudian menyusul suara 
mengeong. Peter dan Colin tercengang, ketika 
seekor kucing kecil meloncat ke sebuah dahan 
terdekat, lalu menatap mereka dengan matanya 
yang hijau. * 

”Anak kucing!” seru Colin. ”Rupanya dia 
ini anak yang lewat di bawah sini kemarin, 
dengan kucingnya. Ternyata dia benar-benar 
datang kembali.” 

”Aduh, jangan tarik kakiku!” jerit anak itu 
dari atas dahan atas. "Nanti aku jatuh!” 
Peter melepaskan pegangannya. ”Kalau kau 
tak mau ditarik, ayo turun! Dan jangan main- 
main, karena kita dua lawan satu,” ujarnya. 

Mula-mula kedua kaki yang meluncur ke 
bawah, disusul oleh tubuh seorang anak yang 
kurus. Kemudian muncul wajah seorang anak 
laki-laki. Wajahnya tampak pucat ketakutan. 

”Ayo duduk!” kata Peter memerintahkan. 
”Jangan bergerak. Sekarang ceritakan, apa yang 
kaukerjakan di pohon kami.” 

Anak itu duduk, sambil menatap mereka 
dengan pandangan merajuk. Wajahnya kurus 
pucat, sedangkan rambutnya sudah terlalu pan- 
jang. 

”Aku hanya ingin bersembunyi di sini,” 
katanya. ”Aku tak berbuat salah, kecuali 
mengambil beberapa potong biskuit kemarin 
malam. Kalau kalian selapar aku, pasti kalian 
juga akan mengambilnya.” 

”Kenapa kau bersembunyi?” tanya Colin. 
”Apakah kau lari dari rumah?” 

”Aku takkan mengatakan apa-apa,” jawab 
anak itu. "Nanti kalian laporkan pada polisi.” 

"Tidak, kami takkan melapor pada polisi,” 
janji Colin. "Kecuali kalau keadaan mendesak. 
Kenapa kau menyangka kami akan melapor- 
kannya?” 

Sementara itu anak kucing tadi sudah me- 
rayap kembali dan menempelkan tubuh ke 
mantel yang dikenakan anak itu. Colin dan 
Peter melihat bahwa kaki anak kucing itu 
berdarah. Anak yang tak dikenal itu mengelus- 
elus kucingnya, menenangkannya. 

Peter dan Colin merasa yakin, anak ini tak 
mungkin berniat jahat. Karena dia kelihatan 
sayang sekali pada kucingnya—dan anak 
kucing itu pun demikian. Mereka berdua me- 
mandang anak yang masih tetap berwajah 
cemberut itu. 

”Ayo, ceritakan,” ujar Peter. Sinar lampu 
senter masih tetap diarahkan ke wajah anak 
itu. "Barangkali saja kami bisa menolong.” 

”Maukah kalian mengizinkan aku tidur di 
sini malam ini?” tanya anak itu. ”Supaya aku 
sembunyi jika mereka mencariku. Mereka tahu, 
aku berada dalam Hutan Berangin.” 

”Mereka? Siapa mereka?” tanya Peter. 
"Ceritakanlah semuanya. Pertama-tama—siapa 
namamu?” 

"Namaku Jeff,” jawab anak itu. Tangannya 
masih mengelus-elus kepala anak kucingnya. 
"Awalnya ketika ibuku masuk rumah sakit. 
Dad sudah meninggal, jadi kami hanya hidup 
berdua. Ketika Mom jatuh sakit dan terpaksa 
masuk rumah sakit, aku dititipkan pada Paman 
Harry dan Bibi Lizzy.” 

"Kenapa kau minggat?” tanya Peter. 

”Aku masih tahan seminggu di rumah me- 
reka,” ujar Jeff. "Tapi ibuku tak keluar juga 
dari rumah sakit. Mereka tak mau mengatakan 
apa-apa padaku. Bagaimana kalau Mom tetap 
berbaring di sana? Apa yang harus kulakukan? 
Temanku hanya kucingku ini.” 

"Bukankah paman dan bibimu bisa mengu- 
rusmu?” tanya Peter. 

”Aku tak mau,” jawab Jeff. "Mereka itu 
jahat. Kata Mom mereka jahat. Mom tahu 
pasti. Mereka bergaul dengan teman-teman 
yang jahat, dan mereka melakukan tindakan- 
tindakan yang buruk.” 

”Apa yang mereka lakukan?” tanya Peter. 

”Yah, macam-macam. Mencuri, dan hal-hal 
yang lebih buruk lagi,” kata Jeff. ”Aku diurus 
oleh mereka—maksudku aku diberi makan, 
pakaianku yang robek dijahitkan oleh bibiku. 
Tapi mereka kejam terhadap kucingku.” 

Colin dan Peter memandang Jeff dengan 
rasa kasihan. Peter bisa membayangkan, bagai- 
mana perasaannya jika ada orang yang meng- 
ganggu Skippy. 

"Apakah mereka menyakiti kucingmu, sam- 
pai kakinya terluka begitu?” tanya Peter. 

Jeff mengangguk. ”Ya, pamanku yang me- 
nendangnya. Lukanya sekarang sudah agak 
sembuh. Tapi waktu itu parah sekali. Karena 
itulah aku melarikan diri dengan membawa 
kucingku. Mula-mula aku bersembunyi di se- 
buah rumah yang tak didiami lagi. Tapi Paman 
dan Bibi datang mencari. Kemudian aku 
bersembunyi dalam hutan ini. Waktu anjing 
kalian menggonggong, aku menduga kalian 
ada di atas pohon. Karena itu, ketika kalian 
sudah pergi aku memanjat kemari.” 

”Lalu memakan biskuit dan cokelat kami,” 
sambut Peter. ”Tetapi kenapa paman dan bibi- 
mu repot-repot mencari? Bukankah mereka 
tahu, kau bisa kembali jika mau?” 

”Yang mencari bukan bibiku,” kata Jeff. 
"Pamanku dan seorang temannya, Mr. Tizer, 
yang mengejarku. Mereka khawatir aku sudah 
terlalu banyak tahu.” 

”Terlalu banyak tahu tentang apa?” tanya 
Colin. 

”Biasanya aku tidur di ruang duduk,” ujar 
Jeff mulai menceritakan masalahnya. ”Pada 
suatu malam, aku kebetulan mendengar pem- 
bicaraan tentang salah satu rencana mereka 
yang sudah dipersiapkan. Sebetulnya aku hanya 
menangkap beberapa patah kata. Dan kata- 
kata itu sama sekali tak dapat kupahami arti- 
nya. Ketika aku memutar badan supaya lebih 
enak berbaring. Paman meloncat bangkit dari 
tempat duduknya. Aku dibentak-bentak. Dia 
menuduhku mendengarkan pembicaraan me- 
reka.” 

”Aku mengerti sekarang. Karena kau ming- 
gat, mereka lantas khawatir kau akan men- 
ceritakan hal-hal yang kaudengar itu pada 
orang lain,” ujar Colin. ”Banyakkah yang kau- 
dengar malam itu?” 

’Tidak, dan yang kudengar pun tak ku- 
mengerti,” kata Jeff. ”Tapi pasti mereka takkan 
mau percaya. Sekarang aku diburu mereka. 
Hari ini kulihat Mr. Tizer berkeliaran dalam 
hutan bersama anjingnya. Aku takut tertangkap. 
Karena itulah aku bersembunyi di rumah pohon 
kalian. Bolehkah aku tinggal di sini?” 

Tentu saja boleh! Tidur saja di sini malam 
ini,” kata Peter. ”Keluarkan bantal-bantal, dan 
aturlah tempat berbaring yang empuk. Besok 
kami akan datang untuk merundingkan 
langkah-langkah selanjutnya untukmu. Sudah, 
jangan khawatir! Sapta Siaga akan menolong- 
mu!” 


Perundingan 


Peter dan Colin membantu Jeff mengeluarkan 
bantal-bantal dari alas karet pembungkusnya. 
Kucing kecil Jeff duduk di atas dahan yang 
berdekatan, sambil memperhatikan kesibukan 
ketiga anak itu. 

”Jika kau mau, makan saja sisa biskuit kami. 
Begitu juga dengan minumannya,” ujar Colin. 
”Oh ya—hampir saja aku lupa lagi! Buku 
tentang kapal-kapal yang kupinjam dari Janet, 
harus kuambil dari lubang batang.” 

Buku itu diambilnya. Kemudian ia dan Peter 
turun dari pohon dengan hati-hati, karena me- 
lakukannya di malam hari tidaklah semudah 
di siang hari! 

"Sampai besok,” seru Jeff. ’Terima kasih 
atas bantuan kalian. Besok kalian datang, ya? 
Kalau bisa, tolong bawakan juga susu untuk 
kucingku!” 

”Ya, tentu saja. Dan kalau mungkin, kami 
juga akan membawa ikan untuknya!” jawab 
Peter sambil berseru pula. "Hati-hati kalau 
tidur nanti—jangan sampai terjatuh!” 

”Aku akan berhati-hati,” kata Jeff. Suaranya 
sekarang sudah kedengaran lebih riang. 

Colin dan Peter berjalan pulang, sambil ber- 
bicara dengan suara pelan. Mereka membicara- 
kan persoalan Jeff dan kisahnya yang aneh. 

”Menurut pendapatmu, apakah yang sedang 
direncanakan paman Jeff dan temannya, Mr. 
Tizer itu? Kenapa mereka khawatir Jeff men- 
dengar pembicaraan itu?” tanya Peter. ”Jika 
mereka merencanakan perampokan atau per- 
buatan jahat lainnya, kita harus turun tangan 
dan berusaha menghalanginya.” 

”Menurut pendapatku, jika kita berhasil 
mengorek keterangan dari Jeff, sebaiknya se- 
sudah itu kita laporkan saja,” ujar Colin. 
”Misalnya saja pada orangtuamu.” 

"Betul! Tapi tak ada salahnya, apabila Sapta 
Siaga mencoba kemampuannya terlebih dulu,” 
usul Peter. "Besok kita mengadakan rapat di 
atas pohon. Kita minta Jeff ikut menghadiri. 
Kita lihat saja dulu, apa yang akan berhasil 
kita korek dari anak itu. Ia pasti mendengar 
sesuatu dari pembicaraan antara pamannya dan 
Mr. Tizer!” 

”Betul,” jawab Colin. Ia mulai bersemangat. 
”Kita memang beruntung. Setiap kali kita mulai 
putus asa karena tak terjadi suatu pun—selalu 
saja ada kejadian yang timbul. Bagaimana 
pendapatmu—apakah sebaiknya aku men- 
datangi para anggota, untuk mengatakan bahwa 
besok ada rapat? Kukatakan pada mereka, telah 
terjadi sesuatu, karena itu kita harus mengada- 
kan pertemuan di markas rahasia kita!” 

”Ya,” ujar Peter, ”dan jangan lupa katakan 
pada mereka untuk menyebutkan kata sandi 
serta memakai lencana. Aku akan menunggu 
di bawah pohon. Kata sandi tak boleh diteriak- 
kan. Kita harus membisikkannya!” 

”Setuju,” kata Colin dengan gembira. ”Nah, 
kita berpisah di sini saja, karena kau sudah 
sampai di rumah. Untung saja aku teringat 
pada buku yang ketinggalan, dan mengambil- 
nya malam ini juga. Kalau tidak, pasti kita 
takkan berjumpa dengan Jeff.” 

Kedua anak itu berpisah di pintu pagar. 
Peter masuk ke rumah, dan langsung ke kamar- 
nya. Mula-mula ia ragu, apakah sebaiknya 
membangunkan Janet untuk menceritakan per- 
jumpaannya dengan Jeff di rumah pohon. Tapi 
akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan 
hal itu sampai besok saja. 

Keesokan harinya semua anggota Sapta 
Siaga gempar, ketika mendengar akan diadakan 
rapat untuk merundingkan persoalan yang me- 
nyangkut diri Jeff. 

”Bagaimana, apakah kita juga bisa mengajak 
Skippy?” tanya Pam. ”Dan apakah kucing Jeff 
tidak akan takut padanya?” 

"Tidak. Skippy ramah terhadap kucing,” kata 
Peter. "Lagi pula, tugasnya kan menjaga di 
bawah pohon. Sedang kucing itu di atas, ber- 
sama Jeff. Oh ya, aku tak boleh lupa membawa 
sebotol susu, sebuah piring, dan beberapa po- 
tong ikan.” 

”Kebetulan sekali, tadi kami sarapan dengan 
ikan,” kata Janet. ”Kubawakan beberapa po- 
tong, dan kubungkus dalam kertas. Kasihan 
kucing itu. Parah sekalikah lukanya? Keter- 
laluan benar, ada orang yang sampai hati me- 
nyiksa anak kucing." 

Tepat pukul sepuluh pagi, anggota-anggota 
Sapta Siaga berkumpul di bawah pohon me- 
reka. Dengan berbisik, mereka menyebutkan 
kata sandi mereka pada Peter. 

"Petualangan!” 

"Petualangan!” 

"Petualangan! He—masih adakah anak itu 
di atas?” 

”Ya. Kau memakai lencanamu? Bagus! Su- 
dah lengkapkah kita semua? Nah, sekarang 
kita memanjat ke atas. Skippy, jaga baik-baik 
ya!” 

Skippy memandang tuannya sambil mengibas- 
ngibaskan ekor. Sesudah itu dia berlari ke pos 
penjagaannya di depan lubang pohon yang tak 
jauh dari tempat perundingan rahasia. Anjing 
spaniel itu duduk di atas tikar, dengan mimik 
yang seakan-akan hendak mengatakan, ”Awas! 
Aku sedang menjaga. Jangan main-main! Guk!” 

Peter yang memanjat duluan. Botol susu 
diselipkannya dalam saku celana, sedangkan 
piring kecil digigitnya. Yang lain-lain me- 
nyusul. Peter melihat Jeff di sela-sela daun- 
daun. Anak itu mengintip ke bawah dengan 
cemas, ketika mendengar suara orang memanjat 
pohon tempatnya bersembunyi. 

”Halo, Jeff!” panggil Peter, ketika sampai 
di panggung yang merupakan lantai rumah 
pohon mereka. ”Enak tidurmu tadi malam. 
Bagaimana keadaan anak kucingmu?” 

”Kakinya sudah tidak begitu parah lagi,” 
jawab Jeff. ”Aku pun tidur nyenyak. Hanya 
kalau angin bertiup terlalu kencang, aku ter- 
bangun. Berapa orang teman-temanmu yang 
datang? Apakah mereka nanti tidak akan mem- 
buka rahasia tempat persembunyianku ini?” 

”Kami datang bertujuh,” jawab Peter. ”Ayo, 
Jeff, bergeserlah sedikit, supaya kita bisa duduk 
semua. Kami ini anggota-anggota suatu per- 
kumpulan rahasia, namanya Sapta Siaga. Kami 
biasa mengadakan pertemuan-pertemuan 
rahasia. Pada saat itu, setiap anggota harus 
menyematkan lencana keanggotaan, dan me- 
nyebutkan kata sandi. Kalau ada persoalan 
yang dapat kami lakukan, kami pun mulai 
beraksi.” 

Jeff duduk di ujung panggung, sambil mem- 
perhatikan satu per satu anak yang naik ke 
atas. Colin sudah dikenalnya kemarin malam. 
Kemudian menyusul Barbara, Janet, Pam, 
George, dan Jack. Semuanya naik, lalu ter- 
senyum ramah padanya. Kucing Jeff pun me- 
nyapa ramah dengan mengeong. 

”Ini, kami bawakan susu. Kucing yang ma- 
lang!” kata Peter sambil menuangkan sedikit 
susu ke piring. ”Janet, mana ikan yang kau- 
bawa?” 

Untuk sesaat para anggota Sapta Siaga me- 
lupakan rapat mereka. Ketujuh anak itu ber- 
kerumun di atas panggung sempit, memper- 
hatikan kucing yang lapar itu menghirup susu 
dan kemudian melahap ikan. Jeff ikut memper- 
hatikan. Dilemparkannya senyuman pada ke- 
tujuh teman barunya. 

”Terima kasih,” ujarnya, ”terima kasih ba- 
nyak atas kebaikan hati kalian!” 


10 
Jeff Berusaha Mengingat Kembali 


Peter juga membawa bekal daging yang di- 
awetkan serta sepotong kue tar untuk Jeff. 
Sedangkan Colin membawa roti tawar, se- 
kaligus menteganya. Jeff kelaparan sekali! Roti 
dimakannya begitu saja, tanpa diiris lagi. 
Teman-temannya memandang dengan mulut 
ternganga, menatap anak itu merobek-robek 
roti dengan giginya, lantas langsung menelan 
tanpa mengunyah. 

Dengan lembut Janet mengambil roti dari 
tangannya. Roti itu diirisnya, lalu dioles dengan 
mentega dan diberi daging. Sesudah itu irisan 
tadi diserahkan pada Jeff. 

”Sekarang makanlah. Pasti lebih enak dari- 
pada roti tanpa apa-apa!” 

Jeff menyikat habis semua bekal makanan 
yang dibawa anak-anak. Hanya biskuit yang 
tak dijamahnya, karena memang disimpan untuk 
dimakan kalau hari sudah agak siang. Sehabis 
makan, Jeff mengusap mulutnya dengan lengan 
kemeja. Ia mengembuskan napas puas. 

”Ah, bukan main nikmatnya,” ujar anak itu. 
”Tak dapat kalian bayangkan, betapa sedapnya 
makanan tadi!” 

Anak kucing si Jeff juga sudah menghabis- 
kan makanan yang dibawakan untuknya. Seka- 
rang dia duduk di samping Jeff, sambil meng- 
gosok-gosok muka dengan kaki depannya. 

"Kelihatannya sudah agak gemuk,” kata 
Janet sambil mengelus-elus punggung kucing 
itu. ”Kucing yang malang! Kejam benar orang 
yang menyiksa binatang sekecil ini! Tak dapat 
kubayangkan, ada orang yang bisa sejahat itu!” 

”Mr. Tizer sangat jahat,” kata Jeff. ”Dia 
lebih jahat daripada pamanku. Aku juga pernah 
ditendangnya.” 

”Coba kauceritakan semuanya pada kami,” 
kata Peter. Ia menyandarkan dirinya dengan 
santai ke batang pohon yang ada di belakang- 
nya. Kami sudah sepakat untuk menyelidiki, 
apa yang mungkin telah kaudengar sehingga 
Mr. Tizer dan pamanmu menjadi begitu kha- 
watir. Tentu mereka sedang menyusun rencana 
untuk melakukan suatu perbuatan jahat. Dan 
perbuatan itu harus kita halangi.” 

Jeff menatap mereka dengan pandangan 
bingung. 

’Menghalangi? Siapa yang akan menghalangi 
mereka?” tanyanya. ”Aku tak berani. Kalian 
juga tidak! Tidak ada orang yang mampu 
menghalangi Mr. Tizer. Polisi pun tidak. 
Pokoknya, aku tak tahu apa-apa!” 

”Ayolah, Jeff, cobalah mengingat kembali,” 
bujuk Colin. ”Kaukatakan, sewaktu pamanmu 
sedang asyik berbincang dengan Mr. Tizer di 
ruang duduk untuk merencanakan sesuatu, kau 
sedang tidur di atas bangku dalam ruangan 
itu. Kemudian kaukatakan, kau terbangun dan 
memutar badan supaya lebih enak berbaring. 
Tapi tiba-tiba mereka berdua bangkit lalu 
marah-marah, karena menyangka kau telah 
mendengarkan pembicaraan mereka. Jadi, kau 
pasti sempat mendengar sedikit pembicaraan 
mereka itu. Cobalah mengingat kembali!” 

”Aku tak bisa,” jawab Jeff sambil merengut. 

Tapi Peter yakin Jeff sebenarnya bisa. Asal 
mau saja. ”Aku tahu! Kau takut pada Mr. 
Tizer,” katanya. ”Karena itu kau enggan meng- 
ingat kembali. Kau tak boleh bersikap begitu. 
Bukankah kami sudah merasa kasihan padamu 
dan kucing kecilmu itu, dan karena itu kami 
memberikan pertolongan? Jadi sekarang se- 
harusnya kau membantu kami. Kami akan 
berusaha agar kau tak mengalami bahaya.” 

Jeff mengelus-elus kucingnya yang men- 
dengkur keenakan. 

”Memang—kalian telah berbuat berbaik 
padaku,” ujar anak itu pada akhirnya. ”Baiklah, 
akan kucoba untuk mengingat kembali kata- 
kata yang kudengar malam itu. Tapi aku tak 
mengerti apa maksudnya. Pasti kalian juga 
takkan mengerti!” 

”Tak apa, pokoknya kauceritakan saja,” ujar 
Colin. 

Jeff mengernyitkan dahi untuk mengumpul- 
kan ingatan. Kemudian ia mulai berbicara. 

”Nanti dulu,” katanya sambil berpikir. ”Aku 
sedang tidur. Tapi tiba-tiba terbangun, dan 
kudengar suara mereka berbicara...” 

”Ya. Terus...,” ujar Peter tak sabar. 

”Aku tak tahu apa pembicaraan mereka,” 
kata Jeff. ”Waktu itu aku masih terlalu mengan- 
tuk. Jadi perkataan mereka tak kuperhatikan. 
Aku cuma menangkap beberapa patah kata 
saja—itu pun tak menentu ujung-pangkalnya.” 

”Kata-kata apa saja yang kaudengar?” tanya 
Barbara. Rasanya ia kepengin mengguncang- 
guncang tubuh Jeff, supaya anak itu lebih 
cepat bercerita. 

”Eh—mereka berbicara tentang MKX,” ujar 
Jeff sambil berpikir keras, sehingga dahinya 
berkerut. ”Ya, masih kuingat jelas—mereka 
menyebut MKX beberapa kali.” 

”MKX?” kata Jack dengan heran. ”Apa itu— 
MKX? Mungkinkah nama samaran seseorang 
yang membantu mereka dalam rencana yang 
sedang disusun?” 

”Aku tak tahu,” ujar Jeff. ”Tapi aku tahu 
pasti, mereka mengatakan MKX. Selain itu 
aku juga masih ingat mereka menyebutkan 
tanggal tertentu: Kamis tanggal 25. Tanggal 
itu mereka ulang beberapa kali. Itu hari Kamis 
depan, bukan?” 

”Betul,” jawab Peter. "Mungkin itu tanggal 
perampokan mereka yang berikutnya, atau saat 
pelaksanaan rencana rahasia mereka yang lain. 
Wah, tegang juga persoalan ini. Ayo teruskan, 
Jeff. Cobalah mengingat hal-hal lainnya.” 

”Jangan mendesak begitu,” ujar Jeff, ”nanti 
aku keliru mengingatnya.” 

Mendengar adanya kemungkinan itu, serta- 
merta ketujuh anggota Sapta Siaga terdiam. 
Mereka tak mau bila Jeff sampai keliru 
mengingat. 

"Mereka juga menyebut-nyebut nama sese- 
orang,” kata Jeff selanjutnya. ”Aku lupa lagi— 
siapa nama yang disebutkan....” Dahi anak itu 
mengerut, tanda ia sedang memeras otak. ”Ya, 
aku tahu sekarang. Mereka menyebut nama 
Emma Lane. Berkali-kali mereka menyebutkan 
Emma Lane. Aku ingat betul!” 

”Emma Lane? Nah, itu kan informasi yang 
jelas,” kata Colin. ”Mungkin kami akan ber- 
hasil mendapat keterangan siapa Emma Lane 
itu. Aku belum pemah mendengar nama itu.” 

”Masih ada lagi yang kauingat?” tanya Peter. 
”Bagus sekali ingatanmu. Coba pikir lagi.” 

Jeff merasa senang, karena ingatannya di- 
bilang baik. Ia berpikir kembali. Ia mem- 
bayangkan, malam itu ia berbaring di atas 
bangku, kemudian mendengar suara dua orang 
pria sedang bercakap-cakap. 

”Masih ada lagi!” serunya tiba-tiba. ”Mereka 
juga menyebut-nyebut kapak merah. Aku tak 
mengerti maksud mereka. Tapi aku ingat de- 
ngan pasti, mereka menyebut kapak merah.” 

Anak-anak lainnya semakin bingung. Apa 
hubungannya kapak merah dengan kata-kata 
lainnya? Siapa yang membawa-bawa kapak 
merah? Untuk apa membawa kapak merah? 

”Jadi yang kauingat MKX, Kamis tanggal 
25, Emma Lane, dan kapak merah,” kata Peter 
menyimpulkan. ”Wah, campur aduk! Aku tak 
mampu menemukan hubungan antara keempat 
kata itu. Satu-satunya petunjuk yang dapat 
kita selidiki hanyalah yang berhubungan de- 
ngan Emma Lane. Barangkali masih ada lagi 
yang lain? Ayo, Jeff, cobalah kau ingat-ingat 
lagi!” 

”Ya, mereka pun membicarakan terali,” kata 
Jeff. ”Betul! Mereka mengatakan, ’Mengintip 
melalui terali!’ Bagaimana, apakah petunjuk 
itu bisa menolong?” 

Bukannya menolong, tapi malah semakin 
membingungkan. Bagaimana Sapta Siaga bisa 
memecahkan rahasia sesulit itu? 


11 
Merembukkan Rencana 


Kecuali itu, tak ada lagi yang masih dapat 
diingat kembali oleh Jeff. Ia mulai gelisah, 
ketika para anggota Sapta Siaga terus men- 
desak. Mukanya menjadi pucat. Untung Peter 
melihatnya. 

”Sudah, sudah! Jangan bertanya lagi,” kata 
Peter. ”Hal-hal yang sudah diketahui akan kita 
bicarakan sambil makan dan minum. Kau mau 
biskuit, Jeff?” 

Walaupun sejam yang lalu baru saja makan 
sekenyang-kenyangnya, ternyata Jeff sudah la- 
par lagi. Begitu juga dengan anak kucingnya! 
Sambil bermain-main, binatang itu memakan 
biskuit yang disodorkan Janet. 

”Rupanya dia sudah merasa agak enak,” 
kata Jeff. Tapi tiba-tiba ia memiringkan kepala. 
”He! Bukankah anjingmu yang menggonggong 
di bawah itu?” 

Jeff tak salah dengar. Skippy ribut meng- 
gonggong. Mula-mula pelan, tapi kemudian 
keras dan marah. Peter mengintip di sela-sela 
daun, memandang ke bawah. Jeff memegang 
Colin dengan ketakutan. 

”Kalau aku yang dicari, jangan katakan aku 
ada di sini!” katanya mengiba-iba. 

Dua orang dewasa lewat di bawah pohon. 
Peter menyuruh Jeff memandang, ke bawah. 
Anak itu menurut, tapi dengan cepat kepalanya 
ditarik kembali. Wajahnya kelihatan sangat ke- 
takutan, sehingga dengan segera Peter tahu 
bahwa kedua orang itu adalah Mr. Tizer dan 
paman Jeff. Ternyata mereka berada di bawah 
pohon, dan di atasnya Jeff bersembunyi! 

Tapi tentu saja kedua orang itu tak menge- 
tahuinya, karena perhatian mereka sepenuhnya 
pada Skippy. Anjing itu meloncat-loncat me- 
ngelilingi mereka, berpura-pura hendak meng- 
gigit sambil menggeram. Skippy sama sekali 
tak menyukai kedua orang yang datang meng- 
ganggu itu. 

"Anjing bandel!” sungut salah satu dari ke- 
dua orang itu, lalu mengambil sebatang ranting. 
Ranting itu dilemparkannya ke Skippy! Peter 
marah melihat kejahatan orang itu. Untung 
Skippy tak kena, tapi anjing itu jadi semakin 
galak. Skippy meneijang mereka, sehingga ke- 
dua orang itu ketakutan dan lari pontang- 
panting! 

Skippy mengejar terus, menyusuri hutan 
sampai sejauh satu setengah kilometer. Akhir- 
nya anjing itu kembali. Napasnya megap- 
megap, tapi ia kelihatan puas. 

"Hebat, Skip!” seru Peter dari atas. Skippy 
mengibaskan ekor kian kemari. ”Sekarang jaga 
lagi!” 

Skippy pergi ke pos penjagaannya di bawah 
pohon, lalu duduk kembali. Ketujuh anggota 
Sapta Siaga menarik napas lega. Kasihan si 
Jeff! Mukanya pucat pasi, badannya gemetar 
ketakutan. Kucing kecilnya bersembunyi ke 
dalam jasnya yang robek. 

"Jangan takut lagi, Jeff,” ujar Peter. "Skippy 
sudah mengusir mereka. Aku heran, bagaimana 
mereka tahu kau ada di sini?” 

"Menurutku, mereka tahu karena kucingku 
ini,” jawab Jeff. ”Mereka cukup bertanya pada 
orang-orang, apakah melihat seorang anak yang 
membawa kucing. Dalam hutan aku berjumpa 
dengan beberapa orang. Mr. Tizer dan pamanku 
pasti akan berhasil menangkap aku.” 

"Tidak!” bantah Peter. "Mereka kelihatannya 
bukan orang baik. ’ Sekarang, apa yang harus 
kita lakukan?” 

Ketujuh anggota Sapta Siaga sibuk berunding 
untuk membicarakan masalah yang penuh ra- 
hasia itu. Mereka mempertimbangkan hal-hal 
yang diketahui berdasarkan keterangan yang 
diperoleh dari Jeff. MKX. Apa atau siapa itu? 

Kemudian Emma Lane. Bagaimana caranya 
mencari tempat tinggal wanita yang bernama 
demikian? Lalu kapak merah. Yang ini bukan 
petunjuk yang membantu, tapi malah mem- 
bingungkan saja. Sesudah itu tanggal 25. Tang- 
galnya pasti, tapi apa yang akan terjadi pada 
hari itu, serta di mana? Akhirnya terali. Di 
mana terali itu berada, dan kenapa ada orang 
yang akan mengintip dari situ? 

”Aku yakin, detektif ulung seperti Sherlock 
Holmes juga takkan mampu memecahkan ma- 
salah ini,” kata Peter pada akhirnya. ”Rasanya 
tak ada gunanya lagi kita membicarakannya.” 

"Memang betul. Tapi kan mengasyikkan 
juga,” ujar Pam. "Menurut pendapatku, kita 
harus melaporkan persoalan ini. Bagaimana 
kalau kita beritahukan pada orangtuamu, 
Peter?” 

”Ya, sebaiknya kita beritahu saja mereka,” 
jawab Peter. Padahal dalam hati ia enggan. 
”Sebetulnya, jika kita bisa menyelidiki lebih 
lanjut, tak ada salahnya bila persoalan ini kita 
usut terus. Tapi kenyataannya, kita tak mampu. 
Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah 
menyelidiki, apakah memang benar ada orang 
yang bernama Emma Lane. Mungkin dari situ 
kita bisa melanjutkan pemeriksaan.” 

”Bagaimana cara mengetahuinya?” tanya 
Barbara. 

”Kita tanyakan ke kantor pos,” jawab 
George. Ia merasa pintar, karena menemukan 
jawaban itu. ”Di kantor pos kita bisa tahu 
nama-nama penduduk di sini.” 

”Betul! Bagus sekali gagasanmu itu,” sambut 
Peter. ”Nanti sewaktu pulang dari sini, kau 
dan Jack dapat melakukan tugas itu. Kalau 
hasilnya tidak ada, barulah kita beritahukan 
pada ayah dan ibuku.” 

”Ah, lebih baik tak usah saja,” kata Jeff 
agak takut. ”Kalau sampai polisi campur ta- 
ngan, nanti aku bisa celaka.” 

”Maaf, Jeff,” ujar Peter, ”tapi persoalan mis- 
terius ini harus diselidiki lebih lanjut. Sayang, 
Sapta Siaga tak mampu melakukannya. Padahal 
selama ini Sapta Siaga belum pernah gagal. 
Tapi kami harus mengakui, masalahnya kali 
ini terlalu rumit!” 

”Sekarang kita pergi saja,” desak George. 
”Aku selalu ribut di rumah karena selalu pu- 
lang terlambat. Pasti kalian juga dimarahi kalau 
pulang tidak tepat pada waktunya.” 

”Ya, memang!” sambung Janet mengiyakan. 
”Dalam perjalanan pulang, kau dan Jack jangan 
lupa mampir di kantor pos. Tapi sekarang kita 
benar-benar harus pergi.” 

”Kapan kalian kembali lagi ke sini?” tanya 
Jeff agak cemas. 

"Barangkali nanti siang. Atau nanti sore, 
sehabis minum teh,” kata Peter. ”Nanti akan 
kami putuskan sambil berjalan pulang. Akan 
kami bawakan makanan untukmu. Sekarang, 
kauhabiskan saja biskuit dan cokelat yang ma- 
sih tersisa, untuk pengisi perut sampai nanti!” 
Peter memandang anak itu yang mulai ke- 
lihatan ketakutan kembali. ”Sudahlah, kau tak 
perlu takut. Tak mungkin terjadi apa-apa, ka- 
rena takkan ada orang yang bisa menduga kau 
bersembunyi di atas pohon.” 

Tapi Jeff masih belum yakin. Diperhatikan- 
nya Sapta Siaga turun satu per satu. Didengar- 
nya Skippy menggonggong, menyambut me- 
reka. Anak kucing yang masih bersembunyi 
dalam jasnya, semakin merapat ke tubuh Jeff 
ketika mendengar gongggongan nyaring itu. 

”Jika Mr. Tizer mendengar Skippy meng- 
gonggong, pasti ia akan menduga ada sesuatu 
yang terjadi,” pikir Jeff ketakutan. Memang, 
sampai sekarang ia aman di atas pohon. Tapi 
jika Mr. Tizer mengetahui dan menyusul ke 
atas, tak ada kemungkinan lari bagi Jeff yang 
malang! 


12 
Emma Lane 


George dan Jack mampir di kantor pos, seperti 
ditugaskan oleh Peter. Mereka mengenal gadis 
yang bekerja di situ. Karena itu gadis itu 
tersenyum ramah melihat mereka berdua 
masuk. 

"Bolehkah kami meminta pertolongan?” 
tanya George dengan sopan. ”Kami ingin tahu, 
di mana tempat tinggal seorang wanita yang 
bernama Emma Lane. Persoalannya sangat pen- 
ting. Bisakah kami minta tolong?” 

”Baiklah, kucarikan sebentar,” ujar gadis itu 
sambil mengambil sebuah buku alamat yang 
tebal. ”Tunggulah beberapa menit.” 

Kedua anak itu menunggu dengan sabar, 
sedangkan gadis pegawai kantor pos itu sibuk 
membalik-balik halaman. Jari telunjuk kanan- 
nya mengurut daftar nama. 

”Ya,” katanya pada akhirnya. ”Ada orang 
yang bernama Emma Lane. Mrs. Emma Lane. 
Tinggalnya di Jalan Gereja Nomor Satu. Pasti 
dia yang kalian cari, karena yang dua lagi 
bernama Elizabeth Lane dan Elsie Lane.” 

”Wah, terima kasih ” ujar George girang. 
”Jalan Gereja Nomor Satu. Alamatnya mudah 
diingat!” 

”Nanti sehabis makan, kita lapor pada Peter,” 
kata Jack. ”Dan sesudah itu, kita bisa me- 
nyelidiki siapa Emma Lane itu dan apa kerja- 
nya!” 

Sehabis makan, mereka berdua pergi ke ru- 
mah Peter. Dengan segera kabar penting itu 
disampaikan. Peter dan Janet mendengarkan 
dengan penuh minat. 

"Sekarang kita langsung pergi ke rumah 
Emma Lane itu. Barangkali saja kita bisa 
mencari keterangan lebih lanjut di sana,” kata 
Peter. ”Mungkin saja dia kenal dengan Mr. 
Tizer.” 

”Ya! Mungkin Mrs. Emma Lane bisa men- 
ceritakan sesuatu tentang orang itu, dan juga 
tentang paman Jeff yang jahat,” sambung Jack. 
"Perlukah kupanggil semua anggota untuk pergi 
bersama-sama ke sana?” 

”Lebih baik jangan!” larang Peter. "Nanti 
kelihatannya aneh, ada tujuh orang ber- 
bondong-bondong datang, ingin bicara dengan 
Emma!” 

Mereka pergi ke Jalan Gereja. Rumah No- 
mor Satu ternyata sebuah rumah mungil, de- 
ngan pekarangan sempit yang terawat rapi. 
Keempat anak itu berhenti di depan rumah. 
Mereka berbincang-bincang sebentar, untuk me- 
nentukan siapa yang masuk ke dalam dan apa 
yang harus dikatakan. 

”Kau saja yang masuk, Peter,” usul George. 
”Kami tadi sudah bertugas menanyakan alamat 
di kantor pos. Aku tak tahu apa yang harus 
dikatakan pada Emma Lane!” 

”Baiklah kalau begitu. Aku masuk bersama 
Janet,” kata Peter. Mereka berdua memasuki 
pekarangan, menuju pintu rumah bercat hijau. 
Peter menekan bel. 

Seorang anak perempuan yang masih kecil 
membukakan pintu. Ia memandang kedua anak 
yang berdiri di hadapannya, tanpa mengatakan 
apa-apa. 

”Halo. Mrs. Emma Lane ada di rumah?” 
tanya Peter dengan sopan. 

”Siapa dia?” tanya gadis kecil itu. ”Aku 
belum pernah kenal orang yang bernama 
Emma Lane.” 

Lho, aneh! Peter bingung. 

”Kata orang di kantor pos tadi, di sini 
tempat tinggal Mrs. Emma Lane,” katanya 
lagi. ”Tak ada yang bernama Emma Lane 
yang tinggal di sini? Siapa nama ibumu?” 

”Nama ibuku Mary Margaret Harris,” jawab 
anak itu. ”Dan namaku Lucy Ann Harris.” 

Dari dalam rumah terdengar suara seorang 
wanita memanggil. ”Siapa di luar, Lucy?” 

"Tidak tahu, Mom!” jawab Lucy. Tni, dua 
orang anak menanyakan seseorang yang tidak 
tinggal di sin i .” 

Seorang wanita keluar dari dalam rumah. 
Tangannya berlumuran tepung. Ia tersenyum 
memandang Janet dan Peter. 

”Aku sedang sibuk membuat kue,” katanya 
ramah. ”Kalian mau apa?” 

”Mereka mencari orang yang bernama Emma 
Lane,” kata anak perempuan kecil yang masih 
berdiri di pintu sambil tertawa. ”Tapi di sini 
kan tak ada orang yang bernama demikian, 
Mom?” 

”Emma Lane? Itu kan nama nenekmu, 
Lucy!” jawab ibunya. Anak perempuan itu 
menatap ibunya dengan heran. 

”Baru sekarang aku tahu nama Nenek adalah 
Emma,” katanya. ”Selama ini belum pernah 
ada yang memanggilnya dengan nama Emma 
Lane. Mom memanggilnya ’Mom’, sedangkan 
aku memanggilnya ’Nenek’.” 

”Tapi itu tak berarti bahwa Nenek tak punya 
nama,” ujar wanita itu lagi. Ia berpaling pada 
Janet dan Peter. ”Ibuku tidak tinggal di sini 
lagi,” katanya. "Tiga bulan yang lalu dia pindah 
ke tepi laut. Sekarang kami yang menempati 
rumah ini. Kalian ingin bicara dengannya?” 

’Tidak—eh, ya—” Peter agak bingung 
menghadapi perkembangan baru itu. "Pokok- 
nya, persoalan kami tak begitu penting. Terima 
kasih banyak. Maaf, Anda sedang sibuk mem- 
buat kue, terpaksa kami ganggu.” 

Peter berjalan keluar mengikuti Janet. 

”Anak tolol, nama neneknya sendiri saja 
tidak tahu,” kata Janet bersungut-sungut. 

”Ah, kau ini mengomel saja! Memangnya 
kau tahu nama kedua nenek kita?” kata Peter 
mencemooh. "Memang, kita mengenal nama 
depan mereka. Tapi aku tak tahu nama keluarga 
mereka masing-masing. Belum pernah ku- 
dengar ada yang memanggil Nenek dengan 
nama lengkap. Kita semua memanggil mereka 
’Nenek’, sedangkan Mom dan Dad memanggil- 
nya ’Mom’.” 

”Mungkinkah nenek anak perempuan kecil 
itu mempunyai hubungan dengan rencana jahat 
Mr. Tizer?” tanya Janet. Peter menggelengkan 
kepala. 

’Tidak mungkin. Mrs. Emma Lane seorang 
wanita yang sudah tua. Melihat keadaan 
rumahnya, pasti dia baik hati. Dia bukan 
Emma Lane yang kita cari. Tapi di kantor 
pos, cuma dialah yang terdaftar sebagai pen- 
duduk sini!” 

Mereka berjalan sambil berdiam diri. Peter 
menghela napas. 

”Aku rasa, sebaiknya persoalan ini kita 
laporkan saja pada Mom dan Dad. Kali ini 
kita menghadapi rahasia yang terlampau rumit 
dan berbelit-belit. Kita tak bisa berbuat apa- 
apa untuk menguraikannya. Coba pikirkan: ka- 
pak merah, MKX! Benar-benar gila!” 


13 
Peristiwa yang Mengejutkan 


Pada saat minum teh, ketika ayahnya sedang 
mengoleskan mentega pada seiris roti, Peter 
menyampaikan beritanya. 

”Dad, saat ini Serikat Sapta Siaga sedang 
menghadapi satu persoalan lagi!” 

Dengan segera ayah dan ibunya memandang- 
nya. 

”Ada-ada saja kau dan Sapta Siaga-mu! Apa 
lagi yang kalian hadapi kali ini?” kata ayah- 
nya. ”Mudah-mudahan saja bukan persoalan 
serius.” 

”Aku sendiri juga tak tahu pasti,” kata Peter. 
”Tapi dua orang dewasa terlibat di dalam- 
nya, dan kedua orang itu berwatak jahat. 
Menurut perasaanku juga begitu. Bila itu 
benar, persoalan yang kami hadapi memang 
serius. Sampai sekarang, sudah cukup banyak 
yang berhasil kami selidiki. Tapi semuanya 
tak beraturan dan rumit. Kami tak mampu 
memecahkannya. Karena itu kami mengam- 
bil keputusan untuk memberitahu Mom dan 
Dad!” 

”Sekarang ceritakanlah,” ujar ayahnya. ”Dad 
jadi ingin tahu!” 

”Dad tak boleh menertawakan kami,” kata 
Janet agak kesal melihat ayahnya tersenyum 
simpul. ”Sapta Siaga benar-benar sebuah per- 
kumpulan rahasia. Dan Dad juga tahu, sudah 
cukup banyak hasil yang kami capai.” 

”Dad tadi tidak menertawakan kalian, Janet,” 
kata ayahnya. ”Mom juga tidak tertawa. Seka- 
rang ceritakanlah persoalanya pada kami.” 

Karena ayahnya meminta, Peter dan Janet 
mulai bercerita, mulai pembuatan rumah pohon 
mereka sampai pada hal-hal yang diingat kem- 
bali oleh Jeff. 

Ayah mereka mendengarkan sambil menik- 
mati hidangan. Sekali-sekali ia bertanya, kalau 
ada yang kurang jelas baginya. Mom juga 
ikut mendengarkan. Ia masih sempat mengata- 
kan, bahwa menurut pendapatnya, bermain di 
rumah pohon terlalu berbahaya. Tapi akhirnya 
Janet dan Peter selesai juga bercerita. 

"Rupanya persoalan ini memang perlu di- 
selidiki,” kata ayahnya. ”Tapi menurut Dad, 
hampir semua yang kauceritakan itu adalah 
hasil karangan teman baru kalian yang bernama 
Jeff! Dia sedih karena ibunya dirawat di rumah 
sakit. Dia tak senang pada bibi dan pamannya. 
Mungkin karena dimarahi, dia lantas minggat. 
Dan karena kalian bersikap ramah padanya, 
dia lalu menceritakan kisah yang menegang- 
kan!” 

"Tak mungkin, Dad!” protes Janet dengan 
segera. ”Jeff tidak mengada-ada. Benar, dia 
tidak membuat-buat cerita. Aku melihat sendiri, 
kaki anak kucingnya terluka. Ada orang yang 
menendangnya! ” 

”Sebaiknya begini saja. Kalian jemput anak 
yang bernama Jeff itu, dan ajaklah kemari,” 
kata ayahnya akhirnya. ”Kalau ceritanya benar, 
pasti Dad bisa tahu. Tapi kalau ternyata dia 
cuma mengada-ada, hal itu pun akan bisa 
segera kita ketahui. Jeff bisa memberikan 
alamat pamannya pada Dad. Kemudian Dad 
akan meminta polisi memeriksa ke sana, apa- 
kah cerita itu memang benar.” 

”Tapi Jeff tidak mau jika polisi diberitahu,” 
kata Peter. 

"Tentu saja dia tidak mau! Kan masuk akal, 
jika semua yang kaulaporkan tadi hanya me- 
rupakan hasil khayalannya,” kata ayahnya lagi. 
”Sekarang, jemputlah anak itu dan bawa 
kemari. Katakan padanya, dia tak perlu takut 
pada Dad. Sedangkan hal-hal yang didengarnya 
waktu dia masih setengah tertidur, menurut 
Dad semua itu adalah mimpinya saja! Kalian 
tak perlu tersinggung. Kalau kalian sudah lebih 
dewasa, kalian akan tahu sendiri bahwa kita 
tak boleh terlalu cepat mempercayai cerita 
orang!” 

”Tapi Jeff tidak berbohong, Dad. Aku tahu 
pasti!” Janet sudah hampir menangis. 

”Baiklah! Kalau begitu, pasti kita bisa mem- 
bantunya,” ujar ayahnya. Sekarang, ajaklah 
anak itu kemari. Dad membereskan pekerjaan 
dulu. Kalau kalian kembali, Dad pasti akan 
sudah siap.” 

Peter dan Janet berjalan menuju pohon 
mereka. Kedua anak itu kecewa. Tak enak 
rasanya, karena ayah dan ibunya demikian 
yakin bahwa Jeff berbohong. Padahal mereka 
yakin teman baru mereka itu tidak berdusta. 
Sekarang Jeff harus ikut dengan mereka, dan 
menceritakan segalanya pada ayahnya. Jangan- 
jangan nanti Jeff ketakutan setengah mati, se- 
hingga tak berani membuka mulut! 

”Mudah-mudahan saja Jeff mau ikut kita,” 
kata Peter. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran 
mereka, bahwa akan sukar sekali memaksa 
Jeff turun jika anak itu tidak mau. Kemudian 
mereka berjalan dengan membisu, sampai ke 
bawah pohon yang dituju. 

Peter berseru dari bawah, ”Jeff! Turunlah. 
Kami ingin mengatakan sesuatu padamu!” 

Tapi tak terdengar jawaban dari atas. 

Peter memanggil sekali lagi, ”Jeff, ini Peter! 
Ayolah, turun saja. Kami hanya berdua. Aku 
dan Janet. Persoalannya penting sekali!” 

Dari atas masih tetap tak terdengar jawaban. 
Tapi tunggu dulu. Terdengar bunyi mengeong 
dari sela-sela daun. Anak kucing milik Jeff! 

"Kucingnya ada di atas,” kata Peter. ”Kalau 
begitu, Jeff pasti ada di rumah pohon kita. 
Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan anak itu. 
Aku naik saja untuk melihat!” 

Peter memanjat pohon, sampai ke panggung. 
Di situ bantal-bantal masih bertebaran, persis 
seperti waktu mereka pergi tadi. Anak kucing 
yang tadi mengeong lari menghampiri. 

Tapi Jeff tidak kelihatan! Sekali lagi Peter 
memanggil. Ia memicingkan mata, memandang 
ke atas. Barangkali saja anak itu ketakutan, 
lalu bersembunyi lebih tinggi lagi. Tapi tidak! 
Jeff tidak ada di atas. Tiba-tiba mata Peter 
tertumbuk pada secarik kertas. Kertas itu di- 
selipkan ke sebuah celah pada kulit kayu. De- 
ngan segera Peter mengambilnya, lalu membaca. 

"Mereka berhasil menemukan aku” demi- 
kianlah isi surat itu. ” Mereka mengancam akan 
naik dan melemparkan kucingku ke bawah, 
jika aku tetap tidak mau turun. Aku tahu 
pasti, hal itu akan mereka kerjakan. Tolong 
pelihara kucingku baik-baik. Terima kasih atas 
bantuan kalian. Jeff.''' 

Bergegas Peter meluncur turun dari pohon, 
sehingga tangan dan lututnya luka karena ter- 
gores kulit kayu yang keras. Sesampainya di 
bawah, ia menunjukkan surat yang ditemukan- 
nya pada Janet. 

’Tni surat dari Jeff,” katanya. ”Pamannya 
dan Mr. Tizer ternyata berhasil juga menang- 
kapnya. Rupanya mereka datang kembali se- 
sudah kita pergi. Ternyata mereka menduga 
Jeff bersembunyi di atas pohon ini, karena 
Skippy begitu ribut menyalak ketika mereka 
lewat. Kasihan si Jeff!” 

Janet gelisah. Ia merasa ngeri. 

”Apa yang harus kita lakukan sekarang?” 
keluhnya. ”Kita sama sekali tak tahu di mana 
Jeff tinggal. Kita tak bisa menyelidiki apa pun 
juga, apalagi membantunya. Lihat, Peter! 
Kucing kecil yang malang itu turun dari po- 
hon.” 

Peter menurunkannya ke tanah. Kucing itu 
mengeong minta dikasihani. 

”Ya, kami beijanji akan mengurusmu dengan 
baik,” ujar Peter. ”Kau tahu, ke mana tuanmu 
pergi? Itulah yang ingin kami ketahui!” 


14 
George Mendapat Ide 


Peter pulang ke rumah bersama Janet. Kucing 
Jeff mereka bawa, digendong oleh Peter. Ayah 
Peter sudah menunggu. 

”Nah—mana anaknya? Mana Jeff?” tanya 
ayahnya. 

’Tidak ada,” ujar Peter sambil menunjukkan 
surat Jeff pada ayahnya. 

"Kalian takkan mendengar berita lagi dari 
anak itu,” kata ayahnya. ”Percayalah, dia itu 
hanya mengada-ada saja. Jadi tak usah kau- 
pikirkan lagi! Tanya pada Mom, apakah kalian 
boleh memelihara kucing ini. Sebetulnya kita 
tak perlu binatang peliharaan lagi. Terus terang 
saja, Dad kurang senang pada teman baru 
kalian itu! Sampai hati dia meninggalkan ku- 
cing sekecil ini.” 

”Dia tidak meninggalkannya, Dad,” ujar 
Janet sambil menahan tangis. ”Dia terpaksa. 
Orang-orang itu kejam!” 

Ayah mereka meninggalkan Peter dan Janet 
untuk melanjutkan pekerjaannya. Mereka saling 
berpandangan. Sering kali Dad mempunyai per- 
kiraan yang tepat mengenai berbagai hal. 
Barangkali kali ini pun perkiraannya tepat. 
Barangkali Jeff memang anak yang gemar 
berbohong dan mengarang-ngarang cerita te- 
gang untuk menipu mereka. 

”Apa yang harus kita lakukan sekarang?” 
tanya Janet sambil mengusap air mata. Peter 
berpikir sebentar. 

”Kita terpaksa menyerah,” kata Peter. ”Kita 
tak mungkin menentang kata-kata Dad. Lagi 
pula, kita juga sama sekali tak memahami arti 
kata-kata yang berhasil diingat Jeff. Sekarang 
Jeff sudah pergi entah ke mana. Jadi kita tak 
mungkin meminta padanya untuk menceritakan 
kisahnya pada orang lain!” 

”Kita harus mengadakan rapat untuk mem- 
beritahu para anggota,” ujar Janet dengan suara 
murung. ”Pasti mereka takkan senang men- 
dengarnya. Mula-mula semuanya kedengaran 
begitu mengasyikkan! Sekarang, ternyata cuma 
cerita bikinan anak iseng saja. Padahal aku 
senang pada Jeff!” 

”Aku juga,” kata Peter. ”Sekarang kita tulis 
saja surat dan kita masukkan ke kotak pos di 
rumah para anggota. Kita kabarkan pada me- 
reka, bahwa besok akan ada rapat. Kali ini 
kita adakan lagi dalam gudang di kebun.” 

Dengan cepat surat-surat selesai ditulis, lalu 
dimasukkan ke dalam kotak pos para anggota. 
Keesokan harinya pukul sepuluh, para anggota 
Sapta Siaga berkumpul dalam gudang. Kata 
sandi ’Tetulangan” terdengar mengecewakan 
di telinga Peter dan Janet. Apa yang hendak 
dipetualangkan lagi, bila ternyata tidak ada 
persoalan yang dihadapi. 

”Aku terpaksa menyampaikan kabar buruk,” 
kata Peter membuka rapat. "Kemarin kami 
menceritakan segalanya pada ayah kami. Tapi 
dia tak mau percaya. Dia menyuruh kami 
menjemput Jeff, dan dia pun berjanji untuk 
mendengarkan ceritanya. Tapi ternyata Jeff su- 
dah pergi!” 

Semuanya kaget mendengar berita itu. 

”Jeff pergi?” kata Jack heran. ”Ke mana?” 

Peter mengeluarkan surat Jeff dari kantong- 
nya. Teman-temannya membacanya dengan wa- 
jah serius. 

"Kucingnya ada pada kami,” kata Peter. 
”Yang tinggal dari Jeff dengan kisahnya yang 
aneh, cuma binatang itu.” 

”Kalau begitu kita tak bisa melanjutkan 
pengusutan,” ujar George kecewa. "Padahal 
semangatku mulai timbul, karena menghadapi 
petualangan baru.” 

”Aku tahu, tapi ternyata kita semua salah 
tebak,” jawab Peter. ’Tersoalan ini kita tutup 
sampai di sini saja. Kita tak mungkin me- 
lanjutkannya. Baru kali inilah kita menemui 
kegagalan.” 

Suasana rapat itu sangat muram. Semua 
merasa kecewa. Mereka berpikir-pikir, di mana 
Jeff saat itu berada. Mungkinkah ia sungguh- 
sungguh telah menipu mereka dengan kisah- 
nya? Rasanya sukar sekali untuk percaya bah- 
wa Jeff membohongi mereka. 

”Eh, nanti dulu! Bukankah kita sendiri me- 
lihat Mr. Tizer dan paman Jeff?” ujar Colin 
dengan tiba-tiba. ”Jeff tak mungkin mengarang- 
ngarang kedua orang itu.” 

”Jeff yang mengatakan, mereka itu pamannya 
dan Mr. Tizer,” balas Peter mengingatkan. 
"Memang dia mengatakan mereka itulah yang 
mengejarnya. Tapi bisa saja keduanya penebang 
kayu, atau pemburu yang tak mempunyai izin. 
Pokoknya, mereka kelihatan jahat.” 

Beberapa saat lamanya anak-anak itu ber- 
diam diri. 

"Baiklah,” kata George. "Persoalan ini kita 
tutup. Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita 
pergi ke rumah pohon atau tidak hari ini?” 

”Pagi ini rasanya aku malas sekali,” ujar 
Janet. "Barangkali ada yang mau ke sana? 
Aku merasa kecewa dan agak jengkel.” 

Mendengar perkataan itu, teman-temannya 
tertawa semua. Janet hampir tak pernah jeng- 
kel. Colin menepuk-nepuk pipinya. 

"Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan. Kalau 
aku sih, biarpun persoalan ini sudah ditutup, 
aku akan tetap siaga! Siapa tahu, mungkin 
saja aku akan berjumpa dengan Emma Lane 
di jalan dan menyandang kapak merah dengan 
tulisan MKX!” 

Mendengar lelucon itu, anak-anak tertawa 
terbahak-bahak. Mereka berpisah dengan pe- 
rasaan yang lebih gembira dari sebelumnya. 

"Ini hari apa?” tanya George pada Colin, 
waktu mereka berjalan menuju ke rumah. 
"Bukankah sekarang hari Rabu tanggal 24? 
Jadi besok akan terjadi sesuatu, menurut ke- 
terangan Jeff.” 

"Mungkin dia hanya asal menyebut tanggal 
itu,” jawab Colin. ”Apa yang akan kita perbuat 
pagi ini? Masih cukup banyak waktu untuk 
bermain-main.” 

"Kita pergi saja ke kanal,” ujar George. 
"Kita bisa melihat perahu-perahu pengangkut 
barang yang hilir-mudik. Aku senang di kanal, 
karena panjang dan lurus. Enak, di situ sepi.” 

”Aku juga senang ke sana,” sambut Colin. 
"Sebentar, aku akan mengambil perahu. Kau 
juga membawa perahumu. Kita berjumpa lagi 
nanti di jalan yang tembus di bawah jembatan 
kereta api di dekat kanal.” 

"Kita berjumpa di jalan apa?” tanya George. 
Tapi Colin sudah menjauh. Karena itu George 
berteriak, "Colin! Jalan mana yang kau mak- 
sud? Jangan sampai kita berselisih jalan!” 

”Kau juga mengenal jalannya, tolol!” pekik 
Colin sebagai balasan. "Kita berjumpa nanti 
di EMBER LANE!” 

Saat itu Colin sudah terlalu jauh, sehingga 
sukar sekali menangkap kata-katanya dengan 
jelas. Kedengarannya seakan-akan ia menyebut- 
kan ”EMMA LANE”. George terpaku. Ember 
Lane. Emma Lane! Mungkin saja Jeff salah 
dengar—mungkin yang dimaksud pamannya 
adalah Ember Lane, dan bukan Emma Lane. 
Kedengarannya memang hampir sama. Kalau 
Emma Lane memang nama orang, tapi Ember 
Lane berarti Jalan Bara. Jadi nama jalan. 
EMBER LANE! 

”Mungkin saja dugaanku ini benar. Siapa 
tahu,” kata George pada dirinya sendiri. Se- 
mangatnya mulai timbul kembali. ’Tokoknya, 
kami nanti melihat sebentar ke Ember Lane. 
Siapa tahu kami sedang mujur!” 


15 
Kapak Merah 


Kedua anak itu berjumpa lagi dengan mem- 
bawa perahu mainan mas'ng-masing di ujung 
Jalan Ember Lane. Dengan segera George men- 
ceritakan hasil pemikirannya pada Colin. 

”Tadi, sewaktu kau meneriakkan Ember 
Lane, kedengarannya mirip sekali dengan 
Emma Lane,” katanya. ”Mungkin itu yang 
dimaksud Jeff! Mungkin dia yang salah dengar, 
karena sewaktu pamannya sedang berunding 
dengan Mr. Tizer, dia masih setengah tertidur. 
Aku sekarang yakin, yang dimaksudkan adalah 
Ember Lane.” 

”Dan kaukira akan terjadi sesuatu di jalan 
ini pada tanggal 25 besok?” tanya Colin. Mata- 
nya bersinar-sinar. ”Barangkali saja kau benar. 
Tapi apa yang mungkin terjadi di sini?” 

Mereka melihat-lihat di Ember Lane. Jalan- 
nya termasuk lebar, tetapi kotor. Di kiri-kanan- 
nya terdapat deretan gudang. Arahnya menuju 
ke kanal. Di jalan itu banyak orang yang lalu 
lalang. Semua sibuk dengan tugas masing- 
masing. Sukar dibayangkan, di tempat seramai 
itu akan terjadi perampokan atau perbuatan 
jahat yang sejenis. 

Colin dan George meneliti jalan itu dengan 
saksama. Akhirnya mereka tiba di sebuah gu- 
dang. Di bagian bawah tembok gudang itu 
terdapat lubang berterali. Kedua anak itu 
mengintip ke bawah. Mereka melihat sebuah 
ruangan di bawah tanah, dan tampak orang- 
orang sedang sibuk mengepak bungkusan- 
bungkusan. Lubang berterali itu rupanya tempat 
cahaya dan udara masuk, walaupun masuk 
pula debu dari jalan. 

”Nah, ini kan terali !” ujar George, sesudah 
mengintip ke bawah agak lama. "Mungkin 
saja seseorang berdiri di sini lalu memandang 
ke bawah lewat terali ini. Jadi seperti yang 
dikatakan Jeff. Tapi untuk apa?” 

”Atau bisa juga orang itu memandang ke 
luar lewat terali,” balas Colin. ”Lihat saja ke 
bawah lagi! Jika dia berdiri di atas meja itu, 
dia bisa saja mengintip ke jalan lewat terali 
ini. Pada waktu malam, dia tidak akan 
kelihatan dari luar.” 

"Mungkin!” kata George lagi. ”Ya, mungkin 
saja! Lubang berterali, lubang yang bisa 
dijadikan tempat mengintai ke Ember Lane. 
Hmm—masuk akal! Bagaimana pendapatmu. 
mungkinkah kita menemukan jejak ter- 
tentu?” 

”Mungkin juga tidak!” ujar Colin. ”Sebab 
kalau kita benar, barangkali kita akan ber- 
papasan dengan seseorang yang menjinjing ka- 
pak merah, atau mendengar seseorang mem- 
bisikkan kata-kata, ’MKX, Anda dicari’!” 

Kedua anak itu melanjutkan perjalanan 
mereka ke kanal. Mereka asyik bermain dengan 
perahu-perahu mereka di air, sampai tiba waktu 
makan siang. Dalam perjalanan pulang ke ru- 
mah, mereka mengintai kembali lewat terali 
besi yang terdapat di gudang yang mereka 
temukan di Ember Lane. Ruangan bawah tanah 
tampak kosong. Rupanya para pekerja sedang 
pergi makan siang. 

"Sebaiknya penemuan ini kita laporkan pada 
Peter,” usul Colin sewaktu mereka berpisah. 
”Ayo kita ke rumahnya siang nanti. Menurutku, 
hal itu perlu diketahui olehnya—meskipun 
mungkin tak berarti apa-apa.” 

Ternyata Peter sangat berminat mendengar 
laporan mereka. 

”Wah, kalian memang cerdas,” pujinya. 
”Emma Lane dan Ember Lane. Memang ke- 
duanya kedengarannya sangat mirip. Jadi bisa 
saja Jeff salah dengar. Tapi tentang terali yang 
kalian temukan—entahlah, aku tak begitu ter- 
tarik. Di mana-mana ada terali!” 

”Tapi di Ember Lane cuma ada satu terali,” 
kata Colin mempertahankan hasil penemuan 
mereka. ”Sudah kami periksa ke mana-mana, 
tapi hanya di gudang itu saja terdapat lubang 
berterali.” 

”Sore ini akan kuajak Janet ke Ember Lane 
untuk memeriksa,” kata Peter, "sekaligus juga 
melihat terali yang kalian temukan itu.” 

Sorenya Peter benar-benar berangkat ke 
Ember Lane bersama Janet. Ember Lane ke- 
lihatan suram dan kotor. Mereka berdua me- 
meriksa terali dengan penuh minat. Benar juga 
kata Colin. Di Ember Lane, hanya di gudang 
itulah terdapat terali! 

"Tetapi kita masih belum mencapai hasil,” 
ujar Peter. ”Anggaplah kita sudah memastikan 
bahwa Mr. Tizer atau orang lain akan 
mengintai lewat terali ini. Tapi kenapa, dan 
apa yang hendak mereka intai dari sini? Me- 
mandang ke luar lewat terali bukan perbuatan 
terlarang.” 

”Mungkin mereka hendak memperhatikan se- 
seorang atau sesuatu tanpa ketahuan. Barang- 
kali untuk memberi isyarat pada teman yang 
menunggu, untuk menyergap,” kata Janet. Peter 
memandang adik perempuannya dengan kagum. 

”Ya! Tepat, mungkin itulah yang hendak 
mereka lakukan!” serunya. ”Tapi apa yang 
bisa dilihat dari sini? Coba kita berdiri sebentar 


membelakangi terali. Kita layangkan pandangan 
ke sekeliling, untuk mencatat apa-apa saja 
yang dapat dilihat dari ruangan bawah.” 

Kedua anak itu berdiri membelakangi tem- 
bok. Mereka memandang kian kemari, mem- 
perhatikan semua yang terlihat dari tempat 
mereka. Gudang di seberang jalan trotar, tiang 
lampu jalan. 

”Dari balik terali orang-orang itu akan bisa 
melihat sebagian dari bangunan gudang di 
seberang jalan itu,” ujar Janet menyimpulkan 
pengamatannya. ”Lalu tiang lampu jalan dan 
trotoar di sekitarnya, serta kotak merah dari 
besi itu. Ya, pasti mereka juga bisa melihat 
kotak merah itu.” 

Tiba-tiba Janet tertegun. Ia menahan napas, 
lalu berpaling memandang Peter dengan mata 
bersinar gembira. ”Peter,” ujarnya, ”Peter! Itu— 
kapak merah!” 

”Kapak Merah? Di mana?” tanya Peter tak 
mengerti. ”Mana kapak—astaga! Benar, aku 
tahu maksudmu sekarang! Jeff bukan men- 
dengar kata kapak merah, tapi kotak merah” 

Kedua anak itu memandang kotak besi ber- 
cat merah. Mata mereka tak berkedip, otak 
mereka bekerja keras. Saat itu seorang gadis 
datang dan memasukkan surat ke dalam celah 
yang terdapat di sisi kotak itu. Rupanya kotak 
merah itu bis surat. Sekarang Janet dan Peter 
yakin, ”kapak merah” sebenarnya adalah ”kotak 
merah” yang merupakan bis surat. Dan bis 
surat itu bisa diperhatikan dari satu-satunya 
lubang berterali di Ember Lane. 

”Hebat, hebat, hebat!” kata Peter berulang- 
ulang dengan puas. Napasnya terasa sesak, 
karena perasaan yang memburu dalam hatinya. 
"Sekarang kita tidak lagi meraba-raba dalam 
gelap. Ternyata Jeff memang mendengar suatu 
perundingan rahasia. Kisahnya bukan isapan 
jempol! Tapi karena masih mengantuk, dia 
keliru mendengar pembicaraan kedua orang 
itu.” 

”Kini tinggal rahasia huruf-huruf MKX yang 
belum kita ketahui,” ujar Janet. ”Tapi tak 
mungkin kita berhasil memecahkan kuncinya. 
Menurutku, semua anggota gerombolan yang 
dipimpin Mr. Tizer diberi tanda pengenal, 
berupa angka-angka atau huruf-huruf. Tapi 
bagaimanapun juga, kita berhasil maju selang- 
kah. Segera saja kita beritahukan pada para 
anggota Sapta Siaga!” 


16 
Sekarang Tinggal MKX 


Setiap anggota Sapta Siaga bersemangat lagi 
ketika mendengar kabar menggembirakan itu. 
Semua berpendapat bahwa Janet anak yang 
cerdas, karena dialah yang menyadari bahwa 
"kapak merah” sebetulnya ”kotak merah”. Ko- 
tak bis surat yang bercat merah. 

Barbara berpikir sesaat. Sudah itu ia berkata, 
mungkin orang yang mengintai di balik terali 
bertugas untuk memberi isyarat pada orang 
lain, jika tukang pos datang untuk mengosong- 
kan bis surat. 

”Mungkin tukang pos yang akan dirampok,” 
ujarnya. 

”Bisa saja,” kata Peter menyetujui, ”cuma 
aku kurang mengerti, untuk apa mencuri surat- 
surat biasa. Bukankah sama sekali tak ada 
nilainya, kecuali bagi si penerima surat!” 

”Betul,” sambung Jack. "Biasanya yang di- 
curi atau dirampok adalah kantong-kantong 
berisi paket dan pos tercatat. Tapi surat-surat 
biasa belum pernah dicuri orang. Menurutku, 
orang yang ditugaskan mengintai dari balik 
terali bukan memperhatikan bis surat. Mungkin 
dia mengawasi seseorang yang menunggu di 
situ, atau melewati tempat itu.” 

”Bagaimana pendapatmu, Janet? Apakah ada 
gunanya jika semua hasil penyelidikan kita ini 
kita laporkan pada Dad?” tanya Peter pada 
adiknya, sesudah para anggota Sapta Siaga 
membicarakan persoalan dengan panjang-lebar. 
”Bagaimanapun, Mr. Tizer beserta teman- 
temannya akan beraksi besok. Tak banyak lagi 
waktu yang tersisa.” 

”Begini saja—kita ceritakan semua ini pada 
Dad, tapi nanti malam,” kata Janet. ”Kita 
tunggu saja sampai nanti malam. Sementara 
ini, mungkin kita masih bisa menemukan hal- 
hal penting lainnya. Menurutku, Dad takkan 
berubah pikiran, hanya karena kita berhasil 
mengetahui bahwa ada sebuah kotak surat me- 
rah yang bisa diawasi lewat terali di Ember 
Lane.” 

”Memang, kalau kau memaparkannya dengan 
cara begitu, kedengarannya memang sepele,” 
kata Peter mengakui. ”Sebaiknya kita tunggu 
saja sampai nanti malam! Sekarang kita bubar 
saja dulu!” 

Tetapi sebelum Peter dan Janet sempat me- 
laporkan hasil penyelidikan mereka pada ayah 
mereka, Pam sudah datang berlari-lari, Bar- 
bara menyusul di belakangnya. Peter dan Janet 
sedang sibuk menyiram kebun. Pam bergegas 
mendekati mereka. 

”Peter! Janet! Kami tadi melihat MKX!” 

Janet sangat terkejut, sehingga kaleng air 
yang dipegangnya terlepas dari tangan. Peter 
menatap dengan tidak berkedip. 

”Siapa dia? Di mana kau melihat MKX!” 

”MKX bukan orang, tapi kendaraan. Sebuah 
mobil!” kata Barbara. ”Tadi, sewaktu aku ber- 
jalan pulang bersama Barbara, tiba-tiba kami 
melihat mobil pos. Mobil itu berhenti di dekat 
sebuah kotak merah. Kotak itu bis surat yang 
bercat merah, seperti yang terdapat di Ember 
Lane!” 

”Dan nomor polisi mobil itu MKX!” seru 
Pam. "Tepatnya, MKX 102! Mula-mula kami 
tak percaya ketika melihat nomor MKX itu. 
Sekarang aku yakin, itulah arti kata-kata yang 
didengar Jeffl Nomor polisi mobil pos, MKX!” 

”Tapi pasti banyak mobil yang nomor polisi- 
nya juga MKX,” kata Peter. "Banyak sekali!” 

”Tapi tidak di satu tempat saja,” balas Pam. 
"Sepanjang ingatanku, aku belum pernah me- 
lihat mobil bernomor polisi MKX di kota ini. 
Aku gemar memperhatikan nomor-nomor mobil 
yang dimulai dengan huruf Z. Tapi belum 
berhasil juga!” Pam melihat Peter masih kurang 
yakin. Karena itu ia mempertegas pendapatnya. 
”Peter! MKX pasti nomor polisi mobil pos, 
yang disebut-sebut paman Jeff dan Mr. Tizer, 
ketika Jeff mendengarkan dalam keadaan se- 
tengah mengantuk!” 

Peter duduk di kursi kebun. 

"Mungkin kau benar,” ujarnya kemudian. 
”Ya—kurasa kau benar! Semua cocok. Sebaik- 
nya kita rangkaikan saja semua yang berhasil 
kita selidiki selama ini.” Peter mengerutkan 
kening. Ia berpikir keras. ”Ya—bisa saja se- 
buah mobil pos datang ke Ember Lane, dengan 
membawa beberapa paket tercatat. Tukang pos 
keluar, dan pergi ke bis surat untuk mengambil 
surat-surat yang dimasukkan ke situ.” 

”Ya! Betul!” seru Pam bersemangat. ”Pada 
saat itu, ada yang mengintai dari balik terali. 
Orang itu memperhatikan tukang pos. Dan 
sewaktu tukang pos membuka pintu bis surat 
dengan membelakangi mobil, si pengintai 
memberi isyarat pada teman-temannya yang 
menunggu di salah satu tempat tersembunyi...” 

”Dan begitu mendapat isyarat, mereka lang- 
sung menyerbu ke mobil pos dan melarikannya 
sebelum tukang pos sempat mengejar!” sam- 
bung Janet dengan bergairah. 

Anak-anak itu duduk sambil berpandangan. 
Mata mereka bersinar-sinar. Jantung mereka 
berdebar-debar. Benarkah mereka sudah ber- 
hasil membongkar rahasia Mr. Tizer, atau 
mungkinkah mereka sekali lagi keliru? 

”Sekarang juga aku akan melaporkan hasil 
pemikiran kita ini pada ayahku,” kata Peter 
dengan antusias. ’TJntung kalian berdua melihat 
nomor polisi mobil pos itu, Pam dan Barbara. 
Kalian benar-benar siaga. Serikat kita benar- 
benar hebat, karena selalu berhasil!” 

”Padahal kita sudah menyangka akan gagal 
kali ini!” kata Janet. ”Hei, itu Dad datang! 
Katakanlah sekarang juga, Peter!” 

Dengan segera‘ayah Peter dikerumuni oleh 
empat anak yang bersemangat. Mereka ber- 
tekad untuk meyakinkan ayah Peter bahwa 
hal-hal yang mereka temukan benar-benar 
penting ! 

Ayah Peter mendengarkan dengan penuh per- 
hatian. Tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Kemudian ia melihat anak-anak yang berdiri 
dengan sikap menunggu di depannya. Mata 
ayah Peter bersinar ramah kali ini. 

”Nah, cerita kalian kali ini masuk akal! Ya, 
aku akan mengambil tindakan!” 

Ayah Peter masuk ke rumah. Ia menelepon 
Inspektur Polisi agar segera datang. 

”Saya ingin melaporkan sesuatu yang luar 
biasa,” ujar ayah Peter. ”Mungkin Anda akan 
sukar mempercayainya, tapi sebaiknya Anda 
mendengarnya langsung!” 
Tak sampai sepuluh menit kemudian, Pak 
Inspektur yang ramah sudah duduk di kebun. 
Dengan penuh perhatian ia mendengarkan la- 
poran anak-anak. Ketika mereka selesai ber- 
cerita, polisi itu melirik ke ayah Peter. 

”Ini persoalan penting,” ujarnya. ”Akhir-akhir 
ini memang sering terjadi perampokan mobil 
pos. Kali ini kita akan berhasil membekuk 
biang keladinya, berkat kesigapan Sapta Siaga!” 


17 
Rencana Penyergapan 


Pak inspektur meminta diri, lalu bangkit dari 
tempat duduk. Dengan segera anak-anak me- 
ngelilinginya sambil bertanya-tanya. 

”Apa yang akan dilakukan polisi besok? 
Ceritakanlah pada kami, apa rencana polisi 
untuk membekuk penjahat-penjahat itu?” tanya 
mereka berebutan. 

”Aku harus merembukkannya dulu dengan 
para rekan di kantor,” ujar Pak Inspektur sam- 
bil tersenyum ramah. ”Sekarang aku belum 
bisa mengatakan apa-apa. Padahal waktu amat 
sempit! Menurut keterangan kalian, bukankah 
aksi mereka akan dilancarkan besok?” 

Anak-anak mengangguk. 

”Tapi kalau begitu, bagaimana kami bisa 
mengetahui apa yang akan teijadi?” tanya Parn 
mendesak. ”Ini kan urusan kami juga! Tak 
bolehkah kami ikut menyaksikan apa yang 
terjadi besok?” • 

"Begini sajalah! Kalian akan kuberi kabar 
besok, pukul sepuluh pagi,” kata Pak Inspektur. 
Kelihatannya ia geli, melihat anak-anak yang 
sudah tak sabar itu. "Adakan rapat di gudang 
pertemuan kalian pukul sepuluh pagi. Aku 
akan hadir untuk memberi laporan!” 

Malam itu anak-anak gelisah. Mereka sukar 
tidur, sehingga para orangtua mereka ikut bi- 
ngung. Ketiga anggota Sapta Siaga yang lain 
cepat-cepat diberitahu. 

”Jadi besok pukul sepuluh pagi, kita akan 
bertemu dalam gudang,” ujar Colin. ”Rapat 
resmi, jadi kita semua harus memakai lencana, 
serta tak boleh lupa membisikkan kata sandi. 
Dan kalian semua tentu tahu pula bahwa ke- 
terangan Pak Inspektur tak boleh sampai di- 
ketahui orang lain." 

"Tentu saja!” seru teman-temannya serempak. 

Keesokan harinya, pukul sepuluh kurang 
lima menit semua sudah hadir di gudang di 
belakang kebun. Hanya Pak Inspektur yang 
belum datang. Tapi tepat pukul sepuluh, ke- 
lihatan polisi itu datang menghampiri. 

”Biarkan dia masuk, tanpa menyebutkan kata 
sandi kita,” ujar Peter. Tapi Janet sudah ber- 
teriak kuat-kuat. ”Sebutkan kata sandi kami!” 

Pak Inspektur tertawa sendiri di luar. Lucu 
sekali anak-anak ini, pikirnya dalam hati. 

”Aku tak tahu kata sandi kalian,” katanya 
menjawab, ”tapi kata yang rasanya paling co- 
cok untuk membuka pintu ini pada saat seka- 
rang adalah "PETUALANGAN!” 

”Tepat!” seru para anggota Sapta Siaga de- 
ngan gembira. Dengan cepat pintu dibuka dari 
dalam. Pak Inspektur masuk, lalu dipersilakan 
duduk di atas sebuah peti besar. Dengan ber- 
seri-seri ia memandang ketujuh anak yang 
mengelilinginya. 

”Apa yang hendak kukatakan pada kalian di 
sini adalah rahasia ,” katanya dengan suara 
pelan. ”Rahasia yang harus disimpan rapat- 
rapat! Kami telah melakukan penyelidikan, dan 
hasilnya, kami sampai pada kesimpulan berikut. 
Mungkin malam ini akan terjadi perampokan 
di Ember Lane. Para penjahat hendak beraksi 
pukul setengah delapan, saat tukang pos datang 
dengan mobil pos untuk mengambil surat- 
surat tercatat.” 

”Nah!” kata Pam. ”Tepat seperti perkiraan 
kami!” 

”Kami menyusun rencana sebagai berikut. 
Tapi ingat, ini rahasia,” kata Pak Inspektur. 
”Nanti, seperti biasanya seorang tukang pos 
akan datang dengan mobil pos. Dia akan me- 
markir mobilnya di tempat biasa. Kemudian 
dia berjalan menuju bis surat dan membukanya, 
dengan membelakangi mobil.” 

”Terus?” tanya anak-anak yang sudah tak 
sabar lagi. ”Sesudah itu?”. 

”Nah, pengintai dari pihak penjahat mungkin 
sudah bersiap-siap di balik terali, untuk mem- 
beri isyarat pada teman-temannya yang bersem- 
bunyi di seberang jalan,” kata Pak Inspektur 
melanjutkan penjelasannya. ”Begitu isyarat di- 
berikan, mereka pasti akan menyerbu mobil 
pos. Mungkin mereka berdua. Yang satu me- 
loncat ke belakang setir, lalu melarikan mobil 
pos itu.” 

”Apa? Polisi akan membiarkan mereka me- 
larikan mobil pos?” tanya Pam. "Bukankah di 
dalamnya banyak surat berharga!” 

"Tidak!” ujar Pak Inspektur sambil ter- 
senyum lebar. "Isi mobil itu enam polisi yang 
kuat-kuat. Bayangkan, betapa terkejutnya kedua 
orang itu, apabila mereka meTmbuka pintu bela- 
kang di suatu tempat sepi. Bukan surat-surat 
yang tampak, tetapi enam polisi yang sudah 
siap untuk menangkap.” 

”Wah, hebat!” Ketujuh anggota Sapta Siaga 
menatap Pak Inspektur dengan pandangan ka- 
gum. 

"Sedangkan si pemberi isyarat di balik terali, 
pada waktu keluar akan disambut pula oleh 
dua orang polisi yang menunggu di gang,” 
ujar Pak Inspektur melanjutkan. "Bagaimana 
pendapat kalian? Bagus kan rencana kami?” 

”Pak Inspektur, izinkanlah kami ikut 
mengintai dari salah satu tempat,” ujar Peter 
memohon. "Bagaimanapun, kalau bukan atas 
usaha kami, polisi takkan mengetahui rencana 
para penjahat!” 

”Sekarang dengar baik-baik,” kata Pak 
Inspektur. Suaranya lebih dipelankan lagi, se- 
hingga ia hampir berbisik. Kedengarannya pe- 
nuh rahasia. ”Di jalan itu ada sebuah gudang 
lain, yang dikenal dengan nama Gudang Mark 
Donnal. Nah, gudang itu mempunyai pintu 
masuk dari belakang, yaitu lewat Jalan Petton. 
Takkan ada orang melarang jika tujuh anak 
masuk satu per satu, langsung menuju ke jen- 
dela di sebelah depan gudang itu. Dari situ 
kalian dapat memperhatikan semua yang terjadi 
di Ember Lane. Terus terang saja, di sana 
sudah menunggu seseorang yang akan me- 
nunjukkan ke ruang mana kalian harus masuk!” 

Anak-anak menyalami polisi yang baik hati 
itu. Wajah mereka berseri-seri. 

”Terima kasih atas kebaikan hati Pak 
Inspektur! Kami pasti datang, jika diizinkan 
orangtua kami!” 

"Menurutku, mereka akan mengizinkan 
kalian,” ujar Pak Inspektur sambil pergi ke 
luar. 

”Nah!” ujar Peter. Ia memandang berkeliling 
dengan puas. ”Mau apa lagi? Kita diberi izin 
untuk ikut menyaksikan dari dekat!” 

"Memang, tapi di pihak lain kita tak bisa 
melihat kejadian yang menegangkan. Maksud- 
ku, apabila kedua penjahat membuka pintu 
belakang mobil pos, dan dari dalam keluar 
para polisi!” kata Jack agak menyesal. 

”Tak apalah! Masih cukup banyak yang bisa 
kita lihat!” balas Peter. ”Aku ingin tahu di 
mana Jeff sekarang. Menurut dugaanku, Mr. 
Tizer yang jahat itu mengurungnya di salah 
satu tempat, sampai perampokan selesai. Aku 
khawatir, apa yang akan terjadi sesudah itu 
pada Jeff.” 

Kucing kecil yang duduk di pangkuan Janet 
mengeong ketika mendengar nama tuannya 
disebut-sebut. Kakinya yang luka sudah sem- 
buh kembali. Badannya sekarang gemuk. Lucu 
sekali kelihatannya. Janet memeluk kucing itu 
erat-erat. 

"Pasti Jeff yang malang rindu padamu,” 
katanya. "Tapi tak apa—barangkali kami bisa 
menolong Jeff apabila dia ditemukan. Dan 
kau bisa kembali padanya lagi.” 

”Ah, seandainya sekarang sudah malam,” 
ujar George sambil bangkit. "Rasanya masih 
lama benar saat itu!” 


18 
Akhir Pengalaman yang Mendebarkan 


Ketujuh anggota Sapta Siaga menghabiskan 
waktu mereka pagi itu di rumah pohon. Me- 
reka mengobrol dengan asyik. Seperti biasa, 
Skippy disuruh menjaga di bawah. Tapi hari 
itu tak ada orang yang lewat. Waktu berjalan 
dengan lambat. Akhirnya sampai juga saat 
minum teh. Anak-anak semakin gelisah. 

Pukul setengah tujuh, mereka pergi ke 
Ember Lane. Mereka tidak berombongan se- 
perti biasanya, tapi beijalan satu per satu. Hal 
itu sengaja mereka lakukan, karena mereka 
tak ingin menimbulkan kecurigaan. Mereka 
tiba di gerbang belakang Gudang Mark Donnal 
di Jalan Petton, lalu menaiki tangga ke atas. 
Begitu sampai, pintu masuk terbuka dengan 
sendirinya. Anak-anak tertegun sebentar. Tapi 
Peter memberanikan diri, lalu masuk ke dalam. 

Ternyata di balik pintu sudah ada seorang 
polisi. Ia tersenyum lebar pada setiap anak 
yang masuk. Sesudah semua lengkap, mereka 
diajaknya melewati lorong-lorong berdebu, me- 
nuju ke sebuah ruangan kecil di bagian depan 
gudang. 

”Dari sini kita bisa melihat kotak surat 
merah dengan jelas,” kata Janet pada Peter. 
”Kita bisa memperhatikan semua yang berlang- 
sung nanti. Aku ingin tahu, apakah pengintai 
mereka sudah ada di belakang terali atau 
belum!” 

Hal itu ditanyakannya pada polisi. Polisi itu 
mengangguk. 

”Ya, orang itu sudah ada di tempatnya. 
Kami melihat dia menyelinap masuk ke ruang 
bawah tanah di gudang seberang itu, lengkap 
dengan saputangan putih untuk memberi 
isyarat. Sekarang di luar ruangan itu sudah 
menunggu dua orang polisi, siap untuk mem- 
bekuknya jika dia keluar nanti!” 

Keadaan saat itu sangat tegang. Anak-anak 
tak bisa duduk diam. Rasanya pelan sekali 
waktu berjalan. Pukul tujuh—lewat sepuluh— 
lewat dua puluh—lewat dua puluh lima... 

Tiba-tiba terdengar bunyi denting jam gereja 
yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Satu 
kali! Pukul setengah delapan! Sekarang tiba 
saatnya! 

Sesudah itu, semuanya berlangsung serba 
cepat. Mula-mula terdengar deru mesin mobil. 
Dari belokan jalan muncul sebuah mobil. Mo- 
bil pos berwarna merah, dengan nomor polisi 
MKX 102. Mobil itu berhenti, sopirnya keluar, 
lalu pergi ke kotak surat merah dengan mem- 
bawa sebuah kantong. Pintu bis surat itu di- 
bukanya sambil membelakangi mobilnya. 

Sekonyong-konyong dua orang muncul dari 
sebuah lorong sempit, lalu berlari cepat menuju 
ke mobil. Ember Lane saat itu sepi. Tak ada 
yang kelihatan, kecuali tukang pos yang sedang 
sibuk mengambil surat-surat dari bis surat. 
Para pekerja sudah lama pulang. 

Tapi dari tempat tersembunyi, sebenarnya 
banyak yang memperhatikan kedua orang yang 
baru datang itu. Ketujuh anak yang berdiri di 
balik jendela memandang dengan hampir tak 
bernapas. Selain mereka, masih ada polisi yang 
mendampingi, serta pengintai yang berdiri di 
balik terali! 

Tapi itu belum semuanya. Masih ada lagi 
sejumlah polisi yang siap siaga, termasuk Pak 
Inspektur. 

Kedua orang yang datang dari lorong, me- 
lompat masuk ke dalam mobil pos yang masih 
terbuka pintunya. Satu orang melompat ke 
belakang setir, sedangkan yang seorang lagi 
mengambil tempat di sebelahnya. Terdengar 
bunyi mesin menderu, dan mobil pos itu me- 
lesat dengan cepat ke depan, lalu menghilang 
di balik belokan jalan. 

Tukang pos yang tadinya jongkok di depan 
bis surat merah, sekarang berdiri. Ia sama 
sekali tidak kelihatan terkejut karena memang 
sudah diberitahu! Anak-anak duduk dengan 
gelisah di kursi masing-masing. Beberapa orang 
polisi muncul dari berbagai tempat, lalu saling 
bercakap-cakap. Kemudian dari bawah ter- 
dengar bunyi ribut! 

”Nah, si pengintai tertangkap sekarang!” ujar 
Peter. ”Aku berani bertaruh, dia sekarang di- 
bekuk polisi!” 

Dugaannya tepat. Pengintai itu keluar dari 
kamar bawah tanah. Ia sama sekali tak me- 
nyangka bahwa di luar sudah menunggu dua 
orang polisi. Sewaktu dibawa ke luar, anak- 
anak tercengang. Ternyata pengintai itu Mr. 
Tizer! 

Tetapi ketegangan tidak selesai sampai di 
situ saja. Tidak sampai setengah jam, mobil 
pos sudah datang kembali. Tapi kali ini yang 
menyetir seorang polisi berseragam. Di sam- 
pingnya juga seorang polisi. Sedangkan kedua 
orang yang melarikan mobil duduk di bela- 
kang. Anak-anak memperhatikan pintu belakang 
dibuka. Empat orang polisi keluar sambil me- 
megangi kedua penjahat itu erat-erat. 

”Nah, berhasil juga mereka diringkus,” ujar 
polisi yang menemani anak-anak dalam gu- 
dang. "Rupanya mereka tidak lari jauh-jauh. 
Mobil diparkir, pintu belakang dibuka—dan 
apa yang tampak? Serombongan polisi! Dan 
sekarang mereka sudah di sini lagi untuk 
menghadap Pak Inspektur!” 

Anak-anak enggan pulang ke rumah sesudah 
itu. Bukan main tegangnya akhir petualangan 
mereka kali ini. Ketujuh anggota Sapta Siaga 
pergi ke rumah orangtua Peter dan Janet untuk 
makan malam bersama. Mereka ribut bercakap- 
cakap, sehingga masing-masing pasti tak men- 
dengar apa yang dikatakan teman yang berjalan 
di sebelahnya. Mereka lebih ribut lagi ketika 
tiba di rumah Peter, ternyata Jeff sudah me- 
nunggu dengan menggendong kucingnya. Anak 
itu kelihatan pucat, tapi kebahagian memancar 
dari wajahnya. 

”Hai,” sapanya. ”Polisi rupanya sudah tahu 
segala-galanya, ya? Tadi mereka datang ke 
rumah Paman, dan menemukan aku terkurung 
dalam gudang. Paman yang mengurungku di 
situ. Sekarang aku tak perlu lagi kembali pada- 
nya.” 

”Kalau begitu, selanjutnya kau bagaimana?” 
tanya Peter. 

”Polisi akan menyelidiki di mana ibuku seka- 
rang,” ujar Jeff sambil memeluk kucingnya 
erat-erat. ”Aku sendiri pun tidak tahu, ke 
rumah sakit mana dia dibawa waktu itu. Sam- 
pai mereka berhasil menemukan ibuku, aku 
disuruh tinggal di sini. Kata- ibumu, aku boleh 
menumpang di sini selama itu.” 

Jeff tidak kelihatan kusut lagi seperti waktu 
berjumpa pertama kali. Pakaiannya bersih dan 
rambutnya tersisir rapi. Ibu Peter merasa 
kasihan padanya, lalu mengurus anak itu ketika 
Jeff dibawa oleh polisi. Sekarang ia akan 
makan malam bersama para anggota Sapta 
Siaga. Karena itulah ia merasa berbahagia. 

Telepon berdering. Ibu Peter mengangkat 
gagang telepon, lalu berbicara sebentar. Kemu- 
dian ia menghampiri Jeff dengan tersenyum. 

”Tadi itu kabar mengenai ibumu, Jeff,” ujar- 
nya. ’Tbumu sudah sembuh! Besok dia sudah 
boleh keluar dari rumah sakit dan pulang ke 
rumah. Kau harus menunggunya di sana!” 

Jeff berdiri dengan mata berlinang-linang. 
Tak sepatah kata pun dapat diucapkannya. Ha- 
nya kucingnya yang dipeluk semakin erat, 
sehingga kucing itu mengeong. Akhirnya Jeff 
berpaling, menghadap Sapta Siaga. 

”Kalianlah yang paling berjasa!” katanya 
terbata-bata. "Karena kalian, semuanya berakhir 
dengan baik. Aku merasa bersyukur, karena 
waktu itu menemukan rumah pohon kalian. 
Aku merasa senang karena berkenalan dengan 
kalian. Perkumpulan rahasia kalian paling hebat 
di dunia!” 

”Kami sendiri pun puas terhadap diri kami 
malam ini,” ujar Peter sambil menyeringai. 
”Bukankah begitu, Skip? Kau juga setuju kami 
ini perkumpulan rahasia yang hebat? Kau 
setuju jika kami mengalami petualangan- 
petualang yang mengasyikkan lagi?” 

Skippy memukul-mukulkan ekornya ke 
lantai. 

”Guk!” Skippy menggonggong. Artinya pasti 
”YA!” 

SELESAI
PETUALANGAN SELANJUTNYA
MENCARI JEJAK