Pendekar Pulau Neraka - Raja Kera Iblis(2)


Sungguh dahsyat akibat yang ditimbulkan pertarungan tadi. Tidak sedikit pohon yang tumbang. Tanah pun tampak terbongkar terkena pukulan-pukulan bola api Raja Kera Iblis yang tidak mengenai sasaran. Keadaan di lereng Gunung Weling ini seperti baru teramuk oleh ratusan gajah.

“Aku benar-benar kagum. Kau mampu melukai, bahkan membuatnya kabur,” ujar Ki Rakonta, memecah kekakuan yang terjadi di antara mereka.

“Tampaknya kau tahu tentang makhluk itu, Ki...?” ujar Bayu, agak menggumam.

Sinar mata Pendekar Pulau Neraka begitu dalam dan tertuju langsung ke bola mata laki-laki tua yang berada di depannya. Sedangkan Ki Rakonta, yang dipandangi seperti itu hanya tersenyum. Dia bisa merasakan bahwa pemuda berbaju kulit harimau ini menaruh curiga padanya. Hal ini bisa dimaklumi, karena pertemuan pertama mereka memang tidak mengenakkan.

“Ya, aku tahu makhluk itu. Bahkan beberapa orang penduduk desaku sudah menjadi korbannya,” kata Ki Rakonta.

Tampak jelas bahwa Bayu dan Ratna Wulan terkejut mendengar kata-kata Ki Rakonta barusan. Sungguh mereka tidak menyangka, makhluk kera raksasa itu sudah menjarah ke Desa Weling dan mengambil beberapa korban manusia. Beberapa saat keduanya saling melempar pandang. Kemudian mereka kembali menatap pada dua orang laki-laki tua berjubah putih dari Desa Weling itu.

“Dia memang bukan makhluk biasa. Dia iblis yang datang dari dasar neraka. Setiap kali muncul, dia selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil. Dia selalu mencari manusia untuk santapannya,” kata Ki Rakonta lagi

“Santapan...? Maksudmu, Ki?” tanya Ratna Wulan, tidak mengerti.

“Dia selalu membunuh orang hanya untuk menghirup darah dan memakan jantungnya,” jelas Ki Rakonta.

“Oh...,” desah Ratna Wulan panjang.

Tubuh Ratna Wulan tampak bergidik sedikit. Tidak pernah terbayangkan olehnya sama sekali kalau makhluk mengerikan berbentuk kera raksasa itu adalah makhluk peminum darah dan pemakan jantung manusia. Dan sukar juga untuk dibayangkan, bagaimana cara makhluk itu menghirup darah dan memakan jantung manusia yang menjadi korbannya. Pantas kera raksasa itu sangat ganas saat bertarung melawan Pendekar Pulau Neraka tadi. Meskipun senjata Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka berhasil melukainya dan membuatnya kabur dari tempat ini.

Tapi, hal itu bukan berarti Raja Kera Iblis telah jera. Dia pasti akan datang lagi membawa malapetaka yang lebih besar. Hal ini sudah bisa ditebak Ki Rakonta dan Ki Bantur. Kekalahan kecilnya dari Pendekar Pulau Neraka akan membuat Raja Kera Iblis semakin bertambah murka. Dan, neraka pun akan tersebar di atas permukaan bumi ini.

“Bagaimana kalau kalian berdua menetap di desa kami. Sumbangan tenaga kalian tentu sangat diperlukan untuk menghadapi Raja Kera Iblis,” kata Ki Rakonta, tanpa sungkan-sungkan lagi.

Bayu melirik sedikit pada Ratna Wulan. Sedangkan gadis itu hanya mengangkat bahu. Tampaknya dia menyerahkan keputusan pada Pendekar Pulau Neraka.

“Aku tahu, kalian masih sungkan. Maaf atas perilaku yang tidak mengenakkan dariku waktu itu,” kata Ki Rakonta, yang langsung teringat kalau dia pernah tidak mau menerima pendekar-pendekar muda ini.

“Bukan itu masalahnya, Ki. Aku dan Wulan bisa memakluminya. Tapi, apa mungkin makhluk itu hanya menjarah ke Desa Weling? Aku rasa, masih ada desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling ini,” kata Bayu cepat-cepat

“Dia tidak akan meninggalkan satu desa sebelum seluruh penduduknya habis,” ujar Ki Rakonta. “Dan kebetulan, dia muncul pertama kali di Desa Weling. Tidak mungkin dia ke desa lain, karena masih banyak penduduk di Desa Weling yang bisa dijadikan korbannya.”

“Tampaknya kau memang tahu banyak tentang ala, Ki,” kata Bayu lagi.

“Memang, cerita tentang Raja Kera Iblis sudah tidak asing lagi di Desa Weling. Cerita itu sudah sering didengar sejak zaman nenek moyang kami dulu. Mungkin sudah ratusan tahun lalu cerita itu sudah ada. Selama ini kami memang selalu menganggapnya sebagai dongeng belaka. Tapi ternyata Raja Kera Iblis benar-benar ada dan sekarang muncul dengan membawa malapetaka yang tidak mungkin bisa kami hadapi sendiri,” jelas Ki Rakonta lagi.

Lagi-lagi Bayu dan Ratna Wulan saling ber-pandangan. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau makhluk kera raksasa yang dijuluki Raja Kera iblis itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

“Melihat kau bertarung tadi, aku yakin, kau pasti mampu menandingi Raja Kera Iblis,” selak Ki Bantur, yang sejak tadi diam saja.

“Terus terang, aku sendiri tadi hampir saja tidak sanggup menghadapinya. Aku rasa, dia memiliki ilmu kebal pada tubuhnya. Semua pukulanku tampak tidak ada artinya sama sekali,” kata Bayu, merendah.

“Tapi kau memiliki senjata yang sanggup melukainya, Anak Muda. Aku yakin, senjatamu itu bisa membunuhnya pula. Dan, sepanjang yang kutahu, dia memang kebal terhadap segala jenis senjata,” ujar Ki Rakonta.

Bayu melirik pada Cakra Maut di pergelangan tangan kanannya dengan kening agak berkerut Dia sendiri tadi tidak mengerti, kenapa Cakra Maut ini berhasil menembus dada makhluk kera raksasa itu. Padahal, pukulan-pukulan mautnya yang bertenaga dalam tinggi tidak bisa menggoyahkan pertahanan makhluk kera raksasa itu.

Bayu tidak menyadari kalau Cakra Maut miliknya adalah senjata pusaka yang sangat langka. Benda sekeras apa pun mampu ditembusnya. Senjata pusaka peninggalan Eyang Gardika itu memang dibuat dari baja putih pilihan yang direndam dengan ramu-ramuan yang terdapat di Pulau Neraka. Dan, sampai saat ini Bayu pun masih belum bisa mengerti sepenuhnya tentang Cakra Maut miliknya itu.

“Mari, Kisanak, Nini.... Sebaiknya kita ke Desa Weling saja. Aku khawatir, dia mengamuk di sana sekarang ini,” ajak Ki Rakonta.

“Nguk...!”

Malah Tiren yang menyahuti ajakan kepala desa itu. Tingkah Tiren yang lucu dan seperti mengerti akan semua yang mereka bicarakan barusan, membuat Ki Rakonta dan Ki Bantur tersenyum senyum geli di dalam hati. Seringkah Tiren menyelak pembicaraan mereka. Dan tampaknya pula, Bayu bisa memahami setiap suara yang dikeluarkan monyet kecil itu. Inilah persahabatan yang sangat langka, antara manusia dan binatang. Dan yang lebih mengherankan, mereka tampak bisa mengerti satu sama lain.

“Bagaimana, Bayu...?” desak Ki Rakonta.

Kali ini Bayu dan Ratna Wulan tidak bisa lagi menolak. Terlebih lagi, mereka sudah cukup banyak mendengar cerita tentang makhluk kera raksasa itu. Tanpa ada yang berbicara lagi, mereka kemudian melangkah meninggalkan lereng Gunung Weling. Dan dalam perjalanan menuju Desa Weling, Ki Rakonta dan Ki Bantur secara bergantian menceritakan keadaan di desa itu, termasuk mengenai makhluk mengerikan yang berjuluk Raja Kera Iblis. Sedangkan Bayu dan Ratna Wulan hanya mendengarkan. 

***
LIMA
Dua hari sudah Bayu dan Ratna Wulan berada di Desa Weling. Tapi, selama dua hari ini tidak lagi mereka bertemu dengan Raja Kera Iblis. Dan, selama dua hari ini pula, Ki Rakonta mengungsikan penduduknya ke desa-desa lain yang dianggap lebih aman. Tindakan Ki Rakonta ini tentu saja membuat berita kemunculan Raja Kera Iblis cepat tersebar ke desa-desa lain yang berada di sekitar kaki Gunung Weling.

Tidak heran, dalam dua hari saja, banyak pendekar dari sekitar kaki Gunung Weling berdatangan ke desa ini Desa Weling pun sekarang tampak ramai, karena terus-menerus didatangi para pendekar yang ingin melenyapkan makhluk kera raksasa itu.

“Cepat sekali berita tentang makhluk kera itu tersebar...,” gumam Ratna Wulan perlahan, seperti bicara pada dirinya, sendiri.

Sejak pagi tadi gadis itu berdiri di depan jendela ruangan depan rumah Ki Rakonta. Di depan matanya kini tampak orang-orang persilatan semakin banyak berdatangan ke desa ini. Desa yang semula kelihatan sunyi sepi dicekam ketakutan, sekarang berubah menjadi ramai. Para pendekar dari rimba persilatan itu sengaja datang untuk menjajal ketangguhan Raja Kera Iblis.

“Cerita tentang Raja Kera Iblis memang sudah tersebar dan diketahui banyak orang. Bahkan tidak sedikit yang sengaja menunggu kemunculannya hanya untuk menjajal kesaktiannya,” ujar Ki Rakonta.

“Aku rasa, keadaan ini akan menarik perhatian mereka yang bergolongan hitam, Ki,” kata Ratna Wulan.

“Itu sudah pasti, Nini Wulan. Lihat saja, baru dua hari sudah terjadi beberapa kali keributan dan pertarungan. Bahkan sudah beberapa orang yang tewas akibat saling bertarung. Memang, pengaruh Raja Kera Iblis sangat luar biasa,” kata Ki Rakonta.

“Keadaan semakin bertambah parah, Ki,” desah Ratna Wulan.

“Yaaah..., bisa lebih parah lagi kalau Raja Kera Iblis tidak segera dienyahkan,” sahut Ki Rakonta, yang juga mendesah perlahan.

Mereka terdiam membisu, sama-sama memandang ke luar melalui jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Tak ada orang di dalam ruangan ini kecuali mereka berdua. Cukup lama juga mereka berdiam diri memandangi orang-orang yang hilir-mudik memadati jalan yang membelah Desa Weling. Di antara orang-orang itu tak terlihat seorang pun penduduk desa ini. Mereka semua pendatang, orang-orang dari kalangan dunia persilatan yang sengaja datang ke desa ini hanya untuk bertemu Raja Kera Iblis.

“Tadi Bayu bilang ke mana perginya?” tanya Ki Rakonta.

“Tidak, Ki,” sahut Ratna Wulan.

“Dengan siapa dia pergi?”

“Sendiri.”

“Apa dia selalu begitu? Pergi sendiri tanpa memberi tahu ke mana tujuannya, Nini Wulan?” tanya Ki Rakonta lagi.

Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya sedikit Dia sendiri belum begitu mengenal pribadi Pendekar Pulau Neraka itu. Dia belum lama ikut berjalan bersama-sama. Jadi, belum tahu betul akan watak dan kebiasaannya. Dan, tentu saja Ratna Wulan tidak bisa menjawab pertanyaan Ki Rakonta tadi. Karena, gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana Pendekar Pulau Neraka pergi. Dia memang tidak bertanya kepada Bayu, ke mana tujuannya, ketika pemuda itu berpamitan tadi.

“Itu dia datang, Ki...!” seru Ratna Wulan sambil menunjuk ke luar jendela.

Ki Rakonta menjulurkan kepalanya, melewati bahu gadis ini. Dilihatnya Bayu, yang selalu mengenakan baju kulit harimau, berjalan melenggang melintasi halaman depan rumah ini. Monyet kecilnya tampak berlari-lari kecil mengitari langkah pemuda itu. Sebentar saja mereka menunggu, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di ambang pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka lebar. Pemuda berbaju kulit harimau itu terus melangkah. Dan, tubuhnya dihempaskan di kursi sebelah kanan Ratna Wulan.

“Nguk...!”

“Ke sini, Tiren,” kata Ratna Wulan sambil menjulurkan tangan kanannya.

“Nguk...!”

Sekali lompatan saja, monyet kecil itu sudah berada di pangkuan Ratna Wulan. Sedangkan Bayu masih mengatur napasnya. Dia kelihatan begitu lelah, seperti baru melakukan perjalanan yang sangat panjang. Keringat pun tampak bercucuran membasahi sekujur tubuhnya.

Ki Rakonta menghampiri dan menarik kursi ke depan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia duduk di sana. Diperhatikannya wajah Bayu yang memerah bersimbah keringat.

Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang mengucur membasahi lehernya. Dia melirik sedikit pada Ratna Wulan yang sejak tadi memperhatikannya. Kini gadis itu sudah duduk di sampingnya.

“Ke mana kau tadi, Kakang?” tanya Ratna Wulan, membuka suara lebih dahulu.

Lembut sekali gadis itu mengelus-elus kepala Tiren dengan jari-jari tangannya yang halus dan lentik. Sedangkan monyet kecil itu tampak kesenangan. Kepalanya direbahkan di dada yang membusung indah ini. Dia memang selalu manja bila berdekatan dengan wanita, terlebih lagi bila berada di pangkuan gadis cantik seperti Ratna Wulan ini. Matanya tampak terpejam begitu dinikmatinya kelembutan kulit jari-jari tangan yang halus ini.

“Ke lereng Gunung Weling,” sahut Bayu.

“Mau apa ke sana?” tanya Ratna Wulan lagi.

“Nguk...!”

Tiren lebih dulu menyahuti sebelum Bayu membuka mulutnya.

“Hanya melihat keadaan.”

“Lalu, apa yang kau dapatkan di sana?” selak Ki Rakonta.

“Semakin parah, Ki,” sahut Bayu, seraya menatap laki-laki tua berjubah putih yang duduk di depannya ini.

“Semakin parah...? Maksudmu?” tanya Ki Rakonta.

“Ya..., kita sekarang tidak hanya menghadapi Raja Kera Iblis, tapi juga orang-orang persilatan beraliran sesat yang ingin bergabung dengan Raja Kera Iblis. Mereka sekarang berkumpul di lereng Gunung Weling. Mereka tampaknya hendak ke puncak gunung menemui Raja Kera Iblis,” jelas Bayu. “Bahkan tadi aku sempat bertarung dengan mereka....”

“Jagat Dewa Batara.... Inilah yang aku khawatirkan sejak semula,” desah Ki Rakonta, memotong ucapan Bayu yang belum selesai.

Bayu terdiam. Ratna Wulan pun diam saja. Lalu, dengan usil, bulu-bulu halus di tubuh Tiren dicabutinya. Monyet kecil itu pun menggelinjang, kemudian melompat, berpindah ke pundak Pendekar Pulau Neraka.

“Kalau saja aku tidak gegabah mengungsikan penduduk...,” desah Ki Rakonta lagi.

“Kau tidak perlu menyesal, Ki. Tindakanmu mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman itu sangat tepat dan bijaksana,” kata Bayu cepat, sebelum Ki Rakonta menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi tindakanku itu malah mengundang mereka, Bayu.”

“Sama sekali tidak benar, Ki. Mereka memang sudah tahu sejak semula,” bantah Bayu.

“Maksudmu...?” tanya Ki Rakonta, yang tampak tidak mengerti.

“Tadi aku sempat mendengar pembicaraan mereka yang datang ke sini, Ki. Mereka memang sudah melihat tanda-tanda kemunculan Raja Kera Iblis. Dan, mereka memang sebenarnya sedang mencari, di mana munculnya Raja Kera Iblis. Mereka sudah menjelajahi seluruh kaki Gunung Weling ini. Dan secara kebetulan, kau mengungsikan penduduk ke tempat yang lebih aman pada saat mereka sedang menuju ke sini, Ki. Jadi mereka semakin yakin kalau Raja Kera Iblis sudah bangkit dan sekarang berada di sekitar desa ini. Dan itu berarti bukan kesalahanmu kalau mereka sekarang berada di sini, Ki,” jelas Bayu dengan gamblang.

“Dongeng itu sekarang telah menjadi kenyataan, Bayu. Iblis itu kini semakin kuat. Tidak mungkin kita bisa melawannya lagi,” ujar Ki Rakonta, perlahan.

Lemas seluruh tubuh Ki Rakonta mendengar keterangan yang baru dikatakan Bayu tadi. Sungguh tidak disangka kalau berita tentang kemunculan Raja Kera Iblis demikian cepat tersebar. Bahkan, tokoh-tokoh golongan hitam sudah mulai berdatangan ke puncak Gunung Weling untuk menemui makhluk kera raksasa itu. Bergabungnya mereka tentu saja akan menambah kekuatan Raja Kera Iblis. Dia bisa membentuk sebuah pasukan yang tidak akan tertandingi oleh siapa pun. Dia benar-benar akan menguasai seluruh mayapada ini, tanpa da seorang pun yang mampu lagi melenyapkannya. 

***

Keadaan di sekitar kaki Gunung Weling semakin bertambah buruk. Tokoh persilatan beraliran putih kini bukan lagi harus berhadapan dengan Raja Kera Iblis. Mereka juga terpaksa harus berhadapan dengan tokoh-tokoh persilatan beraliran hitam, yang sudah menggabungkan diri dengan makhluk iblis kera raksasa itu.

Tidak hanya di Desa Weling, tokoh-tokoh dunia hitam itu pun ternyata sudah mulai menjarah ke desa-desa lain di sekitar kaki Gunung Weling. Mereka terus menculik para penduduk untuk dipersembahkan kepada Raja Kera Iblis sebagai korban santapannya. Bahkan, Bayu dan Ratna Wulan sendiri sudah beberapa kali harus bertarung dengan mereka, ketika tokoh-tokoh sesat itu hendak menculik penduduk Desa Weling.

“Keadaan semakin memburuk saja, Kakang. Tidak ada jalan lain, kita harus menantang Raja Kera Iblis,” kata Ratna Wulan, saat mereka baru saja menggagalkan tiga orang pengikut Raja Kera Iblis yang hendak membawa seorang penduduk Desa Weling.

“Tidak mudah untuk mencapai tempatnya, Wulan. Terlalu banyak pengikut Raja Kera Iblis yang menjaga sekitar lereng gunung,” sahut Bayu.

“Tapi kalau didiamkan terus, pengikutnya akan semakin bertambah banyak, Kakang. Dan dia akan semakin kuat,” kata Ratna Wulan, penuh semangat

Bayu hanya diam.

“Kakang, bagaimana kalau kita kumpulkan semua pendekar yang ada di sini, lalu kita serang puncak Gunung Weling,” usul Ratna Wulan.

Bayu masih tetap diam. Memang tidak sedikit jumlah pendekar berjiwa luhur yang ada di sekitar kaki Gunung Weling ini. Tapi, itu tidaklah cukup untuk menggempur tempat kediaman Raja Kera Iblis di puncak Gunung Weling. Lagi pula, mereka yang menggabungkan diri menjadi pengikut Raja Kera Iblis pun tidak sedikit jumlahnya. Dan, mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.

Bayu mengerti, bukan hal yang mudah untuk mencapai puncak Gunung Weling. Baru sampai di lerengnya saja, mereka pasti harus berhadapan dengan para pengikut Raja Kera Iblis. Dan, pasti tidak mudah melewatinya. Keadaan seperti ini membuat Bayu semakin berpikir keras. Harus dicari jalan yang paling tepat untuk menghadapi Raja Kera Iblis yang semakin kuat karena dibantu tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.

Saat itu terlihat Ki Rakonta datang menghampiri dengan setengah berlari. Tampak kepala desa itu tergopoh-gopoh, seperti sedang mengejar sesuatu. Bayu dan Ratna Wulan memperhatikan orang tua itu sampai tiba di dekat mereka. Napas Ki Rakonta terdengar tersengal dan menggemuruh. Keringat bercucuran di leher dan wajahnya yang memerah.

“Ada apa, Ki?” tanya Bayu langsung.

“Aduh..., celaka, Bayu. Celaka...,” ujar Ki Rakonta dengan napas yang masih memburu.

“Celaka...?! Ada apa, Ki? Apa yang terjadi...?” desak Bayu, tidak mengerti.

“Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar sekarang sedang menuju ke puncak Gunung Weling. Mereka hendak menggempur sarang Raja Kera Iblis.”

“Edan...!” desis Bayu, agak mendengus.

Sementara itu Ratna Wulan hanya diam. Dipandanginya Ki Rakonta dan Pendekar Pulau Neraka secara bergantian. Baru saja dia tadi menyarankan pada Bayu untuk menyerang puncak Gunung Weling. Bibirnya pun belum kering mengucapkan hal itu. Dan sekarang, Ki Rakonta malah membawa kabar kalau Ki Bantur dan Ki Suta serta beberapa orang pendekar beraliran putih tengah menuju ke puncak Gunung Weling.

“Kapan mereka pergi, Ki?” tanya Bayu.

“Sudah sejak tadi, Bayu. Mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku. Mereka tetap nekat pergi ke sana. Padahal, kau sudah mengatakan kalau sekitar lereng Gunung Weling kini dijaga ketat.”

“Kau di sini saja, Wulan,” kata Bayu.

“Kau mau ke mana, Kakang...?”

Bayu tidak sempat lagi mendengar pertanyaan Ratna Wulan sampai habis. Dia sudah melesat cepat bagai kilat Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Bayu sudah lenyap dari pandangan. 

***
ENAM
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan yang sempurna. Kedua kakinya seakan-akan tidak menjejak tanah sama sekali. Pendekar Pulau Neraka terus berlari mendaki lereng Gunung Weling sebelah Umur. Tapi, tak ada seorang pun yang dijumpainya sampai dia berada cukup tinggi di lereng gunung ini. Dan, Bayu langsung menghentikan larinya ketika mulai merasakan kejanggalan.

Tapi, belum juga Pendekar Pulau Neraka sempat berpikir lebih jauh, mendadak....

Wusss!

“Heh...?”

“Uts!”

Cepat-cepat Bayu melompat ke samping ketika tiba-tiba dari arah depannya meluncur sebatang tombak yang cukup panjang. Tombak itu tampaknya terbuat dari kayu yang berwarna hitam pekat, dengan mata putih keperakan. Manis sekali Bayu menghindarinya.

Creb!

Tombak itu langsung menancap di tanah, tepat di samping kiri kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka menjulurkan tangannya hendak meraih tombak bergagang hitam itu, kembali dia dikejutkan dengan terdengarnya desingan halus dari arah belakang.

“Hup...!”

Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping. Pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan, di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya, yang mengenakan baju berwarna hitam pekat, dengan ikat kepala yang juga hitam. Di tangan kanan laki-laki itu tergenggam sebatang tombak berukuran panjang yang juga berwarna hitam.

Kelopak mata Bayu tampak menyipit memperhatikan laki-laki separuh baya yang tiba-tiba muncul dan langsung menyerangnya tadi. Dia sama sekali tidak mengenalnya. Dan, baru kali ini dia bertemu dengannya. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Matanya tajam memperhatikan gerakan kaki orang berbaju serba hitam itu, yang juga tampak menggeser arah gerakannya secara berlawanan.

“Mau apa kau datang ke sini? Tempat ini bukan untuk main-main!” ujar orang berbaju serba hitam itu dengan kasar sekali.

“Aku mencari sahabat-sahabatku,” sahut Bayu dengan kening sedikit berkerut.

“Tidak ada orang yang datang ke sini. Sebaiknya kau cepat pergi!” dengus orang berbaju serba hitam itu dengan nada suara yang tetap kasar.

“Tapi tadi mereka...!”

“Setan alas...! Mau melawan, heh...?!” sentak laki-laki separuh baya itu sengit.

Bayu terdiam.

“Cepat pergi...!”

Pendekar Pulau Neraka tetap diam. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki separuh baya yang mengenakan baju serba hitam dan membawa tombak ini.

“Eee..., malah menantang...! Apa kau belum tahu siapa aku, heh?! Akulah si Tombak Iblis! Rasakan ini.

Hih...!”

Wukkk!

Tiba-tiba laki-laki separuh baya berbaju hitam yang mengaku berjuluk si Tombak Iblis itu mengebutkan tombaknya yang panjang dan berwarna hitam, tepat mengarah ke kepala pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Uts...!”

Dengan sedikit saja menarik kepalanya ke belakang, Bayu berhasil mengelakkan ujung mata tombak yang berkilatan tajam itu.

“Setan...! Rupanya kau punya kebolehan juga, heh...! Bagus! Terima ini, Bocah Keparat! Hiyaaa...!”

“Menyingkir, Tiren,” kata Bayu sambil menepuk monyet kecil yang sejak tadi berada di pundak kanannya.

“Nguk!”

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Bayu melompat ke belakang begitu si Tombak Iblis melompat sambil memberikan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kanannya. Tepat pada saat itu, monyet kecil di pundak Pendekar Pulau Neraka juga melompat turun. Ringan sekali gerakannya. Monyet kecil itu langsung berlari menjauh begitu kedua kaki dan tangannya menyentuh tanah.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, si Tombak Iblis kembali melakukan serangan, setelah pukulannya yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi tadi dapat dielakkan Pendekar Pulau Neraka. Kafi ini tombaknya disodokkan tepat ke arah lambung.

“Haiiit..!”

Namun, dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya ke samping, ujung tombak itu berhasil dielakkan Bayu. Dan, pada saat tombak itu berada di samping pinggangnya, dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengebutkan tangannya ke samping.

“Yeaaah...!”

Tap!

“Hih...?!”

Si Tombak Iblis terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia berusaha menarik kembali tombaknya. Namun, gerakannya kalah cepat Batang tombak yang berwarna hitam itu telah berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Belum lagi si Tombak Iblis bisa berbuat lebih banyak, Bayu sudah menghentakkan tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.

“Hiyaaa...!”

“Heh...?!”

Si Tombak Iblis kembali terbeliak setengah mati. Tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertahan. Seketika itu juga tubuhnya terangkat ke udara begitu Bayu menyentakkan tangannya ke atas. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara sambil menghentakkan tangannya yang menggenggam ujung tombak ke belakang tubuhnya. Dan tepat di saat tubuh si Tombak Iblis tertarik ke depan, Bayu melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.

“Yeaaah...!”

Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga...

Begkh!

“Aaakh...!” 

***

Tendangan keras yang dilancarkan Bayu tepat menghantam dada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis terpental ke belakang sambil menjerit keras. Pegangan pada tombaknya terlepas. Dan, dengan keras tubuhnya jatuh menghantam tanah hingga bergulingan beberapa kali. Laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu baru berhenti bergulingan setelah punggungnya menghantam sebongkah batu yang cukup besar.

Brak!

Batu berwarna hitam kelam dan berlumut tebal itu seketika terpental ke belakang, terlanda tubuh si Tombak Iblis. Pada saat itu, Bayu sudah menjejakkan kakinya kembali ke tanah. Di tangan kanan Pendekar Pulau Neraka kini tergenggam sebatang tombak berukuran panjang dan berwarna hitam pekat

Si Tombak Iblis berusaha bangkit. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar dan agak kental. Meskipun bisa bangkit kembali, tampak dia tidak bisa lagi berdiri tegak. Dia terhuyung-huyung beberapa saat akibat terkena tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.

“Setan keparat..!” geram si Tombak Iblis sambil menyeka darah di mulutnya dengan punggung tangan.

Sementara Bayu sudah berdiri tegak menatap tajam pada laki-laki separuh baya berbaju serba hitam itu. Ditimang-timangnya tombak panjang berwarna hitam yang tadi berhasil dirampasnya dari si Tombak Iblis.

“Kau ingin tombakmu kembali, orang tua...?” tanya Bayu, agak sinis nada suaranya.

Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat tombak itu hingga ujungnya sejajar dengan pandangan matanya. Sedangkan si Tombak Iblis tampak memucat wajahnya melihat pemuda berbaju kulit harimau itu sudah siap melemparkan tombak bermata putih keperakan itu. Sementara Bayu perlahan-lahan melangkah mendekati si Tombak Iblis. Sinar matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya itu. Sementara, si Tombak Iblis bergerak ke belakang perlahan-lahan, sambil mencari celah untuk dapat lolos dari incaran ujung tombaknya sendiri, yang kini berada di tangan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan si Tombak Iblis. Sinar matanya masih tetap bersorot tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke lubuk hati lawannya.

Si Tombak Iblis benar-benar terpojok. Dia tidak bisa lagi bergerak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Punggungnya sudah menempel erat pada sebatang pohon yang cukup besar.

“Kenapa kau melarangku datang ke sini?” tanya Bayu dengan suara yang begitu dingin.

“Tidak seorang pun boleh datang ke gunung ini,” sahut si Tombak Iblis, tajam.

“Kenapa...?”

“Ini perintah!”

“Perintah siapa?” desak Bayu.

Si Tombak Iblis tidak menjawab. Dia malah menatap pemuda berbaju kulit harimau di depannya ini dengan sinar mata tajam. Namun, terlihat sorot keheranan pada cahaya matanya itu. Dia seakan-akan tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka ini tidak tahu bahwa ada larangan bagi siapa pun untuk menginjak daerah Gunung Weling ini.

“Katakan, siapa yang melarang orang datang ke Gunung Weling ini?” desak Bayu lagu

“Raja Kera...,” sahut si Tombak Iblis.

“Hm..., rupanya dia mau jadi raja di sini,” gumam Bayu perlahan, seperti bicara pada dirinya sendiri.

Perlahan Bayu menurunkan tangannya yang menggenggam tombak. Kemudian dilemparkannya tombak itu ke samping. Tampak si Tombak Iblis menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat Dia melirik sedikit pada senjatanya, yang kini menggeletak di tanah sekitar sepuluh langkah dari Pendekar Pulau Neraka.

“Hup...!”

Tiba-tiba si Tombak Iblis melompat ke arah tombaknya yang menggeletak di tanah. Namun, belum juga dia bisa mencapai senjatanya, mendadak Bayu melesat cepat bagai kilat Dan, satu tendangan keras menggeledek dilepaskan tepat mengarah ke lambung kiri laki-laki berusia separuh baya yang mengenakan baju serba hitam itu.

“Yeaaah...!”

Begkh!

“Akh...!”

Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Sehingga si Tombak Iblis tidak sempat lagi berkelit menghindar. Lambungnya terpaksa menerima tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, si Tombak Iblis jatuh terlempar beberapa tombak jauhnya. Tiap! Yeaaah...!”

Pada saat itu, Bayu juga menjatuhkan diri ke tanah, laki bergulingan beberapa kali. Cepat sekali tangannya menyambar tombak berukuran panjang dan berwarna hitam itu. Dan secepat kilat pula dilemparkannya tombak itu ke arah pemiliknya.

“Hiyaaa...!”

Wusss!

Tombak itu meluncur deras bagai anak panah terlepas dari busurnya. Si Tombak Iblis tidak dapat lagi menghindari senjatanya sendiri. Dan....

Jleb!

“Aaa...!”

Jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar keras dan menyayat Tombak yang dilemparkan Bayu dengan pengerahan tenaga dalam itu tepat menembus dada si Tombak Iblis, dan langsung menyembul lagi ke luar dari punggungnya. Si Tombak Iblis seketika itu juga menggeletak di tanah. Darah bercucuran dari dadanya.

“Hhh...!”

Bayu menghembuskan napas panjangnya yang terasa begitu berat Kemudian dihampirinya si Tombak Iblis. Ujung jari tangan lawannya itu ditempelkan ke leher. Dan, kembali Pendekar Pulau Neraka menghembuskan napas panjang begitu mengetahui si Tombak Iblis sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di sini. Pandangannya kemudian tertuju pada seekor monyet kecil yang berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampirinya.

Bayu mengulurkan tangannya. Dibantunya monyet kecil itu naik ke pundaknya.

“Kau melihat ada orang lain di sekitar sini, Tiren?” tanya Bayu.

“Nguk!” sahut Tiren sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Bayu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu. Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat ini.

Pendekar Pulau Neraka bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dia berada di Gunung Weling ini karena mendapat laporan dari Ki Rakonta bahwa Ki Bantur dan Ki Suta serta orang-orang dari kalangan rimba persilatan telah datang ke sini. Tapi, kini tidak ada seorang pun yang terlihat. Dia hanya menjumpai si Tombak Iblis yang langsung menyerangnya.

Bayu terus mengayunkan kakinya mendaki lereng Gunung Weling. Pendekar Pulau Neraka berharap bisa bertemu dengan Ki Suta atau Ki Bantur di sekitar lereng gunung ini. 

***

Hari menjelang senja, tapi Bayu belum juga bertemu dengan Ki Bantur dan Ki Suta. Malah sebaliknya, beberapa kali dia harus bertarung dengan para pengikut si Raja Kera Iblis. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Pulau Neraka lelah. Dia harus menguras tenaga dan kemampuan agar tidak mati konyol di Gunung Weling ini.

Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memandangi sang mentari yang sebentar lagi hampir tenggelam di cakrawala belahan Barai Cahaya mentari yang semula terik itu kini terasa begitu lembut dan indah.

Tampak Tiren berdiri dekat di sebelah kaki kanan Bayu. Monyet kecil itu memandangnya. Seakan-akan ikut merasakan masalah yang tengah melanda pemuda berbaju kulit harimau ini

“Aku benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini, Tiren. Semuanya seakan-akan seperti mimpi. Bahkan aku tidak tahu lagi, di mana bisa menemukan Ki Bantur dan Ki Suta,” gumam Bayu, seperti bicara pada dirinya sendiri.

Monyet kecil berbulu hitam yang diajak bicara itu hanya diam memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, sambil menghembuskan napas panjang, menghenyakkan tubuhnya. Dia duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang. Pandangannya masih tetap tertuju pada matahari yang hampir tenggelam di kaki langit

“Tiren....”

Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bicara lagi, mendadak pendengarannya yang setajam mata pisau itu mendengar suara yang begitu halus. Suara itu terdengar sangat jauh dari tempatnya beristirahat ini. Pendekar Pulau Neraka segera berdiri. Sementara Tiren langsung melompat ke pundak pemuda berbaju kulit harimau itu.

“Kau dengar itu, Tiren...?”

“Nguk!”

“Ya, seperti suara pertarungan....”

“Chraaagkh...!”

“Hup! Hiyaaa...!”

Tanpa membuang-buang waktu. Bayu langsung melesat cepat ke arah datangnya suara yang terdengar semakin jelas itu. Dia yakin, itu adalah suara orang yang sedang bertarung.

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia bisa berlari secepat angin. Kedua kakinya yang bergerak lincah bagai tidak menapak lagi di atas permukaan tanah. Sedangkan Tiren yang berada di pundaknya memeluk leher pemuda itu erat-erat Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dan sebentar saja, dia sudah sampai di sebuah tempat yang agak lapang. Namun penuh bebatuan cadas yang berserakan.

“Ki Suta...!” desis Bayu terkejut begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih dengan sebuah tameng putih keperakan tengah bertarung melawan sekitar sepuluh orang.

Ki Suta tampak kewalahan sekali menghadapi sepuluh orang lawannya. Baru beberapa saat Bayu sampai, sudah terlihat Ki Suta mendapat pukulan dan tendangan beberapa kali yang begitu keras. Laki-laki tua itu tampak terhuyung-huyung dan kehilangan penguasaan dirinya.

“Menyingkir dulu, Tiren,” kata Bayu.

“Nguk...!”

“Hiyaaa...!”

Melihat kedaan Ki Suta yang sudah mengkhawatirkan itu, Bayu langsung melesat cepat dan segera terjun ke dalam kancah pertarungan. Secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan keras menggeledek dan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Desss!

Bugkh!

“Aaa...!”

“Akh...!”

Dua orang langsung terpental sambil menjerit melengking begitu terkena pukulan yang dilepaskan Bayu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Sambil berjumpalitan, dilepaskannya pukulan-pukulan maut yang begitu dahsyat luar biasa, disertai gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Orang-orang yang mengeroyok Ki Suta pun langsung kelabakan setengah mati. 

***
TUJUH
Dalam waktu tidak berapa lama, sudah tujuh orang yang bergelimpangan tidak bangun-bangun lagi. Bahkan beberapa di antaranya terlihat kepalanya pecah. Darah pun menggenang membasahi bebatuan yang berserakan di lereng Gunung Weling sebelah Barat ini.

Sedangkan tiga orang lainnya yang masih berdiri tampak gentar melihat kedahsyatan jurus-jurus pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka segera berlompatan mundur sejauh dua batang tombak.

Sementara itu, Bayu menggeser kakinya mendekati Ki Suta yang tampak tengah duduk bersila melakukan semadi. Laki-laki tua berjubah putih itu membuka matanya saat merasakan ada orang di dekatnya.

“Syukur kau cepat datang. Bayu,” ujar Ki Suta, perlahan sekali.

“Parah lukamu, Ki?” tanya Bayu, tanpa berpaling sedikit pun dari tiga orang yang masih saja terlongong seperti tidak percaya bahwa tujuh orang temannya sudah tewas dalam waktu singkat.

“Hanya luka dalam sedikit,” sahut.Ki Suta, mencoba tersenyum.

“Siapa mereka, Ki?” tanya Bayu.

Tapi, belum juga Ki Suta menjawab, tiba-tiba ...

“Awas...! Mereka menyerang, Bayu!” seru Ki Suta, keras.

“Hup! Yeaaah...!”

Bayu langsung melompat dan menyongsong ketiga orang bersenjata golok itu. Dan begitu dekat dengan mereka, manis sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara. Dilewatinya kepala ketiga orang itu. Dan dengan cepat sekali dilepaskannya dua kali pukulan, yang disusul dengan satu tendangan.

“Hiya! Hiya! Yeaaah...!”

Begkh!

Desss!

Plak!

Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat saat pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di rubuh ketiga orang itu. Tampak mereka jatuh bergulingan di tanah yang .berbatu ini.

Bayu masih melakukan beberapa kali putaran di udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya dijejakkan kembali di atas hamparan batu-batu cadas ini. Sedangkan ketiga lawannya sudah menggeletak diam tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan dan tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Terlebih lagi, dia melakukannya disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna.

Sebentar Bayu memandangi kesepuluh orang yang sudah menggeletak menjadi mayat di sekitarnya, kemudian dihampirinya Ki Suta. Laki-laki tua berjubah putih itu kini sudah berdiri tegak, setelah beberapa saat melakukan semadi. Bayu baru menghentikan langkahnya setelah dia berada sekitar tiga langkah lagi di depan laki-laki tua berjubah putih yang bersenjatakan sebuah tameng berwarna putih keperakan ini.

“Mana yang lainnya, Ki?” tanya Bayu sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.

“Yang lain..?” tanya Ki Suta, kebingungan.

“Kau datang ke sini tidak sendirian, bukan...?” tanya Bayu lagi yang juga keheranan melihat mimik wajah Ki Suta yang tampak tidak mengerti akan pertanyaannya barusan.

“Apa maksudmu bertanya begitu, Bayu?”

Bayu terdiam. Kini malah dia yang tampak kebingungan. Mereka pun sama-sama terdiam dan saling tidak mengerti akan apa yang dibicarakan barusan. Bayu kemudian mengulurkan tangannya pada Tiren yang sudah berada di dekatnya. Lalu diangkatnya monyet kecil itu dan diletakkannya di pundak kanan.

“Ki Suta..., aku datang ke sini karena Ki Rakonta memberitahuku kalau kau dan Ki Bantur datang ke gunung ini bersama-sama dengan para pandekar lainnya. Tapi kenyataannya, aku hanya bertemu kau seorang diri,” kata Bayu, mencoba menjelaskan.

“Justru aku datang ke sini karena diberi tahu Ki Rakonta bahwa kau, Ratna Wulan, dan Ki Bantur telah ke sini hendak menantang Raja Kera Iblis. Aku khawatir, kera siluman itu terlalu sukar ditandingi. Terlebih lagi, sekarang ini dia memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya,” kata Ki Suta, juga menjelaskan.

“Jadi...?” ujar Bayu, bengong. Pendekar Pulau Neraka mulai sadar, Ki Rakonta yang dijumpainya tadi bukanlah Ki Rakonta yang sesungguhnya, tapi penjelmaan dari Raja Kera Iblis.

“Aku memang datang sendiri ke sini. Maka dari itu aku begitu terkejut sewaktu kau menanyakan yang lain, Bayu,” kata Ki Suta lagi.

“Hm...,” gumam Bayu perlahan.

Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak.

“Wulan...”

Begitu teringat kepada Ratna Wulan yang ditinggalkannya bersama Ki Rakonta, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat

“Bayu, tunggu...!” seru Ki Suta.

“Hup!”

Laki-laki tua berjubah putih yang membawa tameng keperakan itu segera melesat cepat mengejar Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu terus berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh-nya yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Ki Suta, yang juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mengikuti beberapa tombak di belakangnya.

Tapi, masih sulit bagi Ki Suta untuk mengejar Pendekar Pulau Neraka. Karena, ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang tidak sesempurna Pendekar Pulau Neraka. Jaraknya dengan Bayu pun semakin bertambah jauh, walaupun ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan seluruhnya.

Bayu baru berhenti berlari setelah sampai di depan rumah Ki Rakonta, yang berukuran besar dan berhalaman luas. Pada saat itu Ki Suta juga sudah sampai di samping Bayu. Napasnya terdengar keras dan memburu. Keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Dia tadi memang mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, agar tidak tertinggal jauh oleh Pendekar Pulau Neraka.

Mereka berdiri tegak di depan pintu pagar rumah Ki Rakonta, sambil mengatur jalan pernapasan masing-masing. Perlahan-lahan kemudian mereka melangkah, melintasi halaman yang sangat hias dan berumput bagai permadani terhampar ini. Tak seorang pun terlihat Keadaannya begitu sunyi Desiran senja pun kini terasa begitu jelas, seperti bermain-main di gendang telinga. Mereka kembali berhenti setelah sampai di depan tangga masuk ke dalam rumah kepala desa ini.

“Kau merasakan ada keanehan di sini, Bayu?” tanya Ki Suta, pelan sekali suaranya.

“Hm...,” gumam Bayu.

“Aku merasa, telah terjadi sesuatu di sini,” kata Ki Suta lagi.

Baru saja Bayu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba....

Wusss!

“Awas...!”

Cepat sekali Bayu memiringkan tubuhnya ke samping begitu dilihatnya sebuah benda meluncur deras dari dalam rumah. Ki Suta, yang juga melihat, segera melompat satu langkah ke samping. Benda yang bersinar kemerahan itu pun lewat di antara tubuh Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.

Belum lagi mereka bisa menarik napas lega, mendadak dari dalam rumah itu berlompatan orang-orang bersenjata golok. Ada sekitar sepuluh orang. Dan, mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa ada yang berbicara sedikit pun, mereka langsung berlompatan menyerang dengan cepat sekali.

“Hiya!”

“Yeaaah...!”

Bayu dan Ki Suta harus berjumpalitan menghindari serangan orang-orang ini. Mata-mata golok yang berkilatan tajam berkelebatan di sekitar tubuh mereka. Namun, serangan-serangan yang dilancarkan kesepuluh orang yang semuanya bersenjata golok ini tampak sama sekali tidak berarti bagi Ki Suta dan Bayu.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu segera melentingkan tubuhnya. Dan, secepat kilat dilepaskannya beberapa pukulan dahsyat. Begitu cepat serangan yang dilancarkannya, sehingga para pengeroyoknya kelabakan setengah mati. Dan....

Bugkh!

“Akh...!”

Saat itu juga terdengar benturan-benturan keras yang disusul jeritan melengking serta keluhan tertahan. Tampak lima orang yang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka berpelantingan, lalu ambruk menggelepar di tanah yang berumput tebal bagai permadani ini.

“Hiyaaa...!”

Sementara pada saat yang bersamaan, Ki Suta juga sudah berhasil, merobohkan lawan-lawannya. Senjatanya yang berbentuk perisai itu memang sangat dahsyat. Tak ada satu senjata pun yang bisa menembus dirinya.

Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka berhasil merobohkan kesepuluh orang penyerangnya. Tampak para pengeroyok itu tidak mampu lagi bangkit berdiri.

“Hati-hati, Ki,” ujar Bayu memperingatkan, ketika mereka kembali melangkah mendekati beranda rumah Ki Rakonta.

Keadaan sekitar rumah itu demikian sunyi. Bayu dan Ki Suta pun semakin waspada. Mereka kembali berhenti melangkah setelah sampai di depan anak tangga pertama di beranda rumah kepala desa ini. Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian Bayu melangkah menaiki tangga itu.

Ketika Pendekar Pulau Neraka sampai di tengah-tengah beranda depan, belum juga terlihat seorang pun di sini. Sedangkan Ki Suta mulai melangkah menaiki tangga perlahan-lahan.

Bayu kini sudah berada di depan pintu yang sedikit terbuka. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka mendorongnya hingga terbuka lebar. Bunyi berderit membuat Bayu semakin berhati-hati untuk memasuki rumah ini.

Sepi.... Tak seorang pun terlihat di dalam ruangan depan yang berukuran cukup besar ini. Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka memasuki ruangan depan ini. Sementara itu Ki Suta sampai di ambang pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Pandangannya diedarkan ke setiap sudut ruangan depan ini. Sedangkan Bayu sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Tak sedikit pun suara terdengar. Keadaan begitu sunyi, bagaikan di tengah-tengah kuburan.

“Bayu...,” panggil Ki Suta, pelan.

Bayu berpaling sedikit Ditatapnya laki-laki tua berjubah putih yang membawa perisai putih keperakan yang masih berdiri di ambang pintu itu.

“Ada apa, Ki?” tanya Bayu.

“Aku rasa, rumah ini sudah ditinggalkan,” kata Ki Suta, masih pelan suaranya.

“Hm...,” gumam Bayu perlahan.

Kembali mereka terdiam. Ki Suta kemudian menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Dia berhenti setelah sampai di samping kanan pemuda berbaju kulit harimau mi. Beberapa saat mereka masih membisu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Bayu, apa tidak sebaiknya kita ke puncak Gunung Weling saja...?” usul Ki Suta.

Bayu menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.

Sungguh dia tidak, menyangka, Ki Suta ternyata benar-benar mencurigai Ki Rakonta ikut terlibat dalam persoalan ini Ki Suta-balas memandang dengan dalam pula. Beberapa saat mereka terdiam dan saling berpandangan. Seakan-akan sedang menyelidiki isi hati masing-masing.

“Baiklah, Ki. Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak Bayu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera meninggalkan rumah kepala desa yang tampak sunyi itu. Mereka berjalan cepat, tidak peduli kalau saat itu matahari sudah mulai tenggelam d batik cakrawala belahan Barat. 

***

Malam terus merayap menyelimuti seluruh permukaan Gunung Weling. Keadaan di gunung ini begitu sunyi dan gelap. Hanya jerit binatang-binatang malam saja yang terdengar. Deru angin yang begitu kencang meningkahi dengan membawa udara dingin menggigilkan tubuh. Di antara lebatnya pepohonan dan gelapnya malam, terlihat Bayu dan Ki Suta terus bergerak cepat mendaki lereng Gunung Weling ini.

Tak ada seorang pun yang mereka temui sejak mulai mendaki gunung tadi. Mereka terus bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu tampak mengurangi sedikit kecepatan larinya, agar Ki Suta tidak tertinggal jauh di belakangnya. Belum sampai setengah malam, mereka sudah tiba di puncak Gunung Weling.

“Berhenti dulu, Ki,” ujar Bayu seraya menghentikan langkahnya.

Ki Suta ikut berhenti melangkah. Mereka berdiri berdampingan sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya kegelapan dan pepohonan menghitam yang ada di sekitar mereka. Begitu pekat suasananya. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bulan. Langit tampak kelam terselimut awan hitam yang menggumpal. Udara di sekitar puncak Gunung Weling pun semakin terasa dingin.

“Di mana tempat persembunyian Raja Kera Iblis, Ki?” tanya Bayu.

“Menurut cerita, dia tinggal di dalam gua. Di depan gua ada tiga pohon jati yang berjajar dan ada sebuah kolam kecil di sampingnya,” jelas Ki Suta.

“Hm... Bukankah itu yang kau maksudkan, Ki?” ujar Bayu seraya menunjuk ke depan.

“Benar!” sahut Ki Suta. Tidak jauh di depan mereka memang terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar. Di depan gua itu tampak tiga pohon jati yang tumbuh berjajar. Di samping pohon itu tampak pula sebuah kolam kecil yang dikelilingi batu-batu kecil, seperti sebuah taman di dalam istana. Namun, keadaannya tidak terawat, sehingga kelihatan kotor dan penuh dengan semak belukar yang tumbuh liar.

Perlahan Bayu dan Ki Suta melangkah menghampiri gua itu. Semakin dekat detak jantung mereka semakin terdengar keras. Keadaan yang begitu sunyi dan mencekam membuat mereka semakin meningkatkan kewaspadaan. Bayu dan Ki Suta kembali berhenti setelah jarak dengan gua itu tinggal sekitar dua batang tombak lagi.

“Hati-hati, Ki. Aku merasakan, ada banyak orang di sekeliling tempat ini,” ujar Bayu dengan suara yang begitu pelan.

Belum juga Ki Suta menyahuti peringatan Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba dari balik pepohonan bermunculan orang-orang dengan cepat sekali. Sebentar saja Bayu dan Ki Suta sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menghunus senjata dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dan tampaknya mereka sudah siap menyerang.

“Seraaang...!”

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar memberi perintah. Dan seketika itu juga...

“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”

Namun pada saat orang-orang itu berlompatan hendak menyerang Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka, mendadak dari atas pepohonan berhamburan puluhan anak panah yang langsung menyerang mereka. Begitu cepatnya anak-anak panah itu meluncur berhamburan, sehingga orang-orang itu kelabakan setengah mati. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar saling sambut, yang disusul berjatuhannya tubuh-tubuh terhunjam anak panah.

“Ada apa ini...?” desis Bayu, terkejut melihat kejadian yang begitu tiba-tiba sekali itu.

Belum lagi pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu terjawab, tiba-tiba bermunculan orang-orang dari atas pepohonan yang tumbuh agak rapat di sekitar tempat ini. Mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung Bayu dan Ki Suta tadi. Di antara mereka terlihat pula Ki Bantur. Laki-laki tua berjubah putih yang membawa pedang berwarna keemasan itu segera mendekati Ki Suta dan Pendekar Pulau Neraka.

“Syukur, kalian datang tepat pada waktunya,” kata Ki Bantur.

“Apa arti semua ini, Ki?” tanya Bayu, meminta penjelasan.

Pandangan Pendekar Pulau Neraka tertuju pada pertarungan yang terjadi di sekitarnya. Sulit untuk membedakan mana lawan dan mana kawan di antara mereka yang bertarung. Karena, mereka sama-sama berasal dari rimba persilatan, yang datang ke puncak Gunung Weling ini dengan tujuan yang berbeda.

“Sudah sejak siang tadi kami semua mengepung tempat ini, dan...,” Ki Bantur tidak meneruskan kata-katanya.

“Kenapa, Ki?” desak Bayu. “Aku melihat Ki Rakonta dan Ratna Wulan dibawa masuk ke dalam sana. Mereka diikat dan digiring oleh pengikut-pengikut Raja Kera Iblis,” lanjut Ki Bantur.

“Hm...,” gumam Bayu perlahan seraya melirik sedikit pada Ki Suta. “

Hiyaaa...!”

Saat itu juga, Ki Suta melompat cepat menerjang orang-orang yang bertarung di sekitar mulut gua. Secepat kilat pula senjatanya yang berbentuk perisai keperakan itu diayun-ayunkan. Beberapa orang yang terkena hantaman perisai itu langsung menjerit dan jatuh menggelepar dengan kepala pecah berlumuran darah.

Bagaikan seekor banteng terluka, laki-laki tua itu mengamuk. Dicobanya untuk menerobos orang-orang yang tampaknya menjaga mulut gua itu. Pada saat itu juga, terlihat orang-orang bermunculan lagi dari dalam gua. Begitu banyak jumlahnya, seperti sepasukan prajurit kerajaan. Bayu dan Ki Bantur saling berpandangan sesaat, kemudian langsung melompat cepat. Mereka membantu Ki Suta, yang masih mengamuk bagai banteng terluka.

Pertarungan di sekitar puncak Gunung Weling semakin bertambah sengit. Karena, semakin banyak orang yang bermunculan dari kedua belah pihak. Pekikan keras dan jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling susul. Tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan saling tumpang tindih tak tentu arah.

Sementara itu Bayu berlompatan cepat sambil melepaskan pukulan keras beruntun, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Pendekar Pulau Neraka semakin dekat dengan mulut gua berukuran besar itu.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke udara. Lalu, dengan manis sekali dia hinggap di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Dan dengan satu gerakan yang indah, Pendekar Pulau Neraka kembali melenting turun sambil mengebutkan tangan kanannya.

“Yeaaah...!”

Wusss!

Seketika itu juga dari pergelangan tangan kanan Bayu melesat secercah cahaya keperakan dari sebuah senjata berbentuk cakra yang bersegi enam. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berkelebatan cepat mengikuti gerakan tangannya. Dan dihajarnya orang-orang yang berada paling dekat dengan mulut gua.

Cras!

Bret!

“Aaa...!”

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi langsung terdengar, yang disusul ambruknya beberapa orang dengan darah berhamburan. Tubuh mereka telah tersabet senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Bayu kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari mulut gua itu. Dan....

“Hiyaaa...!” 

***
DELAPAN
Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat. Dilontarkannya pukulan keras beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Kemudian tubuhnya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan mulut gua itu. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya. Cakra Maut pun melesat cepat dan langsung menempel di pergelangan tangan kanannya.

Namun, belum sempat Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya memasuki gua batu itu, mendadak....

“Ghraaaugkh...!”

Wusss...!

“Oh...?! Hup!”

Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke samping ketika tiba-tiba dari dalam gua itu melesat sesosok tubuh yang tinggi dan hitam pekat Pendekar Pulau Neraka lalu menjatuhkan tubuhnya dan beberapa kali bergulingan di tanah. Kemudian dengan cepat dan ringan sekali, dia melompat bangkit berdiri. Dan di depannya kini sudah berdiri sesosok makhluk bertubuh tinggi besar dan berbulu hitam pekat Wajah makhluk itu begitu mengerikan, dan mirip seekor kera raksasa.

“Nguk! Chraaakh...!”

Tiren, yang sejak tadi berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka, langsung melompat ke atas pohon begitu Raja Kera Iblis muncul dari dalam gua tempat tinggalnya. Monyet kecil berbulu hitam itu tampak ketakutan melihat kera iblis raksasa itu. Dia langsung memanjat dan menyembunyikan tubuhnya di balik sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi.

Sementara itu, Bayu menggeser kakinya perlahan-lahan ke samping. Dijauhinya pohon yang dinaiki Tiren. Sedangkan Raja Kera Iblis bergerak perlahan mendekatinya. Tidak jauh dari depan gua, pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritan-jeritan panjang yang melengking tinggi dan teriakan-teriakan yang ditingkahi dentingan senjata masih terdengar memecah kesunyian malam di puncak Gunung Weling.

“Ghraaaugkh...!”

Sambil menggerung dahsyat bagai kilat Raja Kera Iblis melompat dan menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya, yang berukuran sangat besar dan berbulu hitam lebat, bergerak cepat melepaskan pukulan keras beruntun. Saat itu juga Bayu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari pukulan beruntun itu.

“Hiyaaa...!”

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang. Langsung tubuhnya dibungkukkan sedikit ke kiri. Lalu, tangan kanannya ditarik hingga menyilang di depan dada. Dan, dengan seketika dikebutkannya tangan itu ke depan sambil berteriak . keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”

Wusss!

Bagaikan kilat Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat ke depan. Dan pada saat yang bersamaan, Raja Kera Iblis juga melompat ke depan hendak menerjang Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dia tidak sempat lagi menghindari senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu. Tak pelak lagi...

Crab!

“Aaargkh...!”

Raja Kera Iblis meraung dahsyat begitu Cakra Maut menghunjam dadanya dengan keras sekali. Begitu kerasnya lontaran senjata yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka tadi, sehingga makhluk kera iblis raksasa itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Pada saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala.

“Hup!”

Slap!

Cakra Maut yang terbenam begitu dalam di dalam dada Raja Kera Iblis langsung melesat keluar dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Tampak dari dada Raja Kera Iblis yang berlubang, mengucur darah kental agak kehitaman yang berbau busuk memualkan perut

“Ghrrr...!”

Sambil menggerung-gerung marah. Raja Kera Iblis kembali bangkit berdiri. Tanpa mempedulikan darah yang bercucuran deras dari dadanya yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut dia kembali bergerak cepat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Ghraaaugkh...!”

“Hup! Yeaaah...!”

Kembali Bayu harus berjumpalitan di udara. Dihindarinya serangan-serangan yang dilakukan Raja Kera Iblis. Kali ini makhluk kera raksasa itu melancarkan serangan-serangan mautnya yang begitu dahsyat Semua pukulannya yang terlontar selalu mengeluarkan bulatan cahaya merah bagai bola api.

Glarrr...!

Ledakan-ledakan dahsyat pun terdengar setiap kali bulatan cahaya merah yang keluar dari pukulan Raja Kera Iblis menghantam tanah, bebatuan, atau pepohonan. Bahkan, beberapa kali cahaya bulatan merah itu menghantam orang-orang yang sedang bertarung. Dan, sungguh dahsyat akibatnya! Mereka yang terkena sasaran pukulan maut Raja Kera Iblis seketika tubuhnya hancur berkeping-keping, seperti sebongkah batu yang terhantam gada. Serangan-serangan Raja Kera Iblis yang membabi buta ini membuat suasana pertarungan tampak berantakan. Bahkan tidak sedikit yang berlarian menyelamatkan diri.

Sebentar saja, tempat di sekitar pertarungan itu benar-benar hancur berantakan. Malam yang begitu pekat tanpa sedikit pun cahaya bulan semakin bertambah pekat dan pengap oleh debu yang berhamburan memenuhi udara di puncak Gunung Weling ini. Sedangkan Raja Kera Iblis masih terus melontarkan pukulan-pukulan mautnya. Dicecarnya Pendekar Pulau Neraka yang tenis berpelantingan menghindari setiap serangan yang dilancarkannya.

“Ki Suta, cepat cari Ki Rakonta dan Wulan di dalam...!” seru Bayu begitu sempat melihat Ki Suta berdiri saja memperhatikan jalannya pertarungan dahsyat itu.

Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki tua berjubah putih itu segera melompat ke dalam gua. Sementara Ki Bantur, yang berada di sampingnya, juga bergegas mengikuti Ki Suta memasuki tempat tinggal Raja Kera Iblis.

“Hup! Yeaaah...!”

Bayu masih terus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan Raja Kera Iblis. Pendekar Pulau Neraka sengaja bergerak menjauhi mulut gua. Dan rupanya hal ini tidak disadari olah Raja Kera Iblis, yang sudah begitu marah karena Pendekar Pulau Neraka berhasil melukai dadanya dengan senjata Cakra Mautnya tadi.

“Ghraaaugkh...!”

Cras!

Glarrr...!

“Hup! Yeaaah...!”

Cepat sekali Bayu melentingkan tubuhnya ke udara ketika satu pukulan dahsyat yang memancarkan cahaya bulatan merah dikirimkan Raja Kera Iblis kepadanya. Bulatan cahaya merah itu pun menghantam tanah tempat Bayu berdiri tadi. Dan seketika tanah itu terbongkar, hingga menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.

“Hiyaaa...!”

Sambil berputaran di udara, Bayu mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat cepat dap langsung mengarah ke kepala Raja Kera Iblis. Begitu cepat Cakra Maut itu melesat, sehingga Raja Kera Iblis tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, pada saat itu dia sedang melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Bayu yang sudah berada di atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi..

Crab!

Glarrr!

“Aaargh...!”

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan keras menggelegar, terdengar pula raungan keras begitu Cakra Maut menghantam tepat di antara kedua bola mata makhluk kera raksasa itu. Sementara itu, Bayu terlihat berputaran di udara beberapa kali. Dan, dengan manis sekali kakinya dijejakkan di tanah, tepat lima langkah lagi di depan Raja Kera Iblis.

“Hiyaaa...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Bugkh!

“Aaargh...!”

Kembali Raja Kera Iblis meraung keras. Dadanya yang berlubang dan mengucurkan darah telah terkena tendangan keras yang bertenaga dalam sempurna. Tak pelak lagi, tubuh besar dan berbulu hitam itu terbanting keras di tanah. Sekitar puncak Gunung Weling pun bergetar bagai terkena guncangan gempa. Sedangkan Bayu sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah.

“Hih!”

Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang terbenam di kening Raja Kera Iblis seketika itu juga tercabut, melesat cepat, laki kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Raja Kera Iblis bergulingan sambil menggerung-gerung dahsyat Beberapa batu dan pohon hancur bertumbangan terlanda tubuhnya yang besar dan berbulu hitam itu. Dan, ketika dia bisa bangkit seketika itu juga....

“Hiyaaa...!”

Bagaikan kilat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan pada saat Cakra Maut kembali melesat secepat kilat secepat itu pula Bayu melompat sambil melepaskan dua pukulan beruntun yang disusul satu tendangan keras menggeledek.

Crab!

Begkh!

Desss!

“Aaargh...!”

Sungguh dahsyat serangan kilat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika Cakra Maut merobek tenggorokkan Raja Kera Iblis, secepat itu pula Bayu mendaratkan dua pukulan keras beruntun dan satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam dengan tingkatan yang sempurna. Tak pelak lagi, tubuh Raja Kera Iblis pun terpental jauh ke belakang. Dan beberapa batang pohon yang tertabrak, langsung hancur berkeping-keping.

“Hup...!”

Setelah melakukan dua kali putaran di udara. Bayu kembali menjejakkan kakinya dengan manis sekali di tanah. Saat tangan kanannya terangkat di atas kepala, Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu.

“Haaap...! Yeaaah...!”

Cepat sekali Bayu kembali melompat ketika Raja Kera Iblis bisa bangkit lagi. Serangan yang begitu cepat yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka kari ini membuat Raja Kera Iblis tidak mampu lagi bergerak menghindar. Dan....

“Hiyaaa...!”

Begkh!

Glarrr...!

Sungguh dahsyat pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka kali ini. Begitu pukulannya mendarat di dada Raja Kera Iblis, seketika itu juga terdengar ledakan keras menggelegar yang memekakkan telinga.

“Hiyaaa...!”

Saat itu juga Bayu melesat ke udara. Dan langsung kedua tangannya dihantamkan ke kepala Raja Kera Iblis. Hingga....

Prak!

“Ghhhraaagkh...!”

“Hup!”

Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang sambil melakukan dua kali putaran di udara. Sungguh manis gerakan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak tanah sekitar dua batang tombak di depan Raja Kera Iblis.

Tampak makhluk kera raksasa itu berdiri tegak dengan dada berlubang besar dan kepala retak berlumuran darah. Dari lehernya yang berlubang juga mengucur darah kental kehitaman yang berbau busuk. Tak lama kemudian, tubuh yang tinggi besar dan berbulu hitam itu terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah tanpa suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Dan, tak ada gerakan sedikit pun yang terlihat Makhluk kera raksasa yang selama ini ditakuti itu seketika tewas begitu tubuhnya menghantam bumi

“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas panjang.

Dengan punggung tangannya, Pendekar Pulau Neraka menyeka keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Perlahan-lahan dihampirinya mayat raksasa yang berbulu hitam dan berwajah kera itu. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, dan diperiksanya mayat Raja Kera Iblis.

“Hhh....”

Bayu kembali menghembuskan napas panjang begitu merasa pasti bahwa Raja Kera Iblis sudah tewas. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali.

“Kakang...!”

Bayu memutar tubuhnya saat mendengar suara memanggil namanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari menghampiri, diikuti Ki Rakonta, Ki Suta, dan Ki Bantur. Puluhan orang dari rimba persilatan yang memenuhi puncak Gunung Weling juga tampak bergerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu, tak terlihat seorang pun tokoh persilatan golongan hitam. Semuanya memang telah melarikan diri saat Raja Kera Iblis mulai kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka.

TAMAT
Episode Berikutnya: