Pendekar Slebor 22 - Manusia Pemuja Bulan


Purnama sejak tadi sudah membedah alam ditemani 
bintang-bintang yang bertaburan di langit cerah. Bulan 
penuh saat ini tak ubahnya seorang ratu jelita yang 
didampingi para dayang. 

Di lereng Gunung Pengging, malam yang biasanya 
sepi kini nampak ramai sekali. Penduduk yang hidup di 
sekitar gunung itu berbondong-bondong mengunjungi 
lereng. Mereka duduk bersila, membentuk lingkaran yang 
di tengahnya terdapat sebuah api unggun. 

Suasana nampak sepi, meskipun banyak sekali 
penduduk yang baru saja hadir. Mereka pun tak bersuara, 
bagaikan ada sesuatu pantangan yang melarang untuk 
mengeluarkan suara. Semuanya menunduk, sementara api 
unggun di tengah-tengah terus menyala. 

Sekitar enam orang berpakaian merah yang 
mengenakan topeng berwarna merah juga, tampak mulai 
bergerak ke dekat api unggun. Kemudian mereka 
menyebar, dan berlutut mengelilingi. 

Baru saja berlutut, mendadak keenam orang itu 
bertingkah seperti kesurupan. Dengan tubuh mengejang- 
ngejang mereka menyembah ke arah rembulan. 

Tak lama, muncul seorang laki-laki berjubah serba 
hitam dari kegelapan. Kemunculannya memang tidak 
terlihat. Tahu-tahu dia sudah menyisih jalan, dan berada di 
dekat api yang menyala di kelilingi enam orang berpakaian 
dan bertopeng merah yang masih bertingkah seperti orang 
kesumpan. 

Mata laki-laki berjubah hitam yang baru datang itu 
tajam memandang ke sekitarnya, memperhatikan orang- 
orang yang duduk bersila tetap dengan kepala tertunduk. 

"Terima kasih atas kedatangan kalian, wahai para 
pengikutku," ucap laki-laki berjubah hitam tiba-tiba dengan 
suara berat. 

Begitu laki-laki itu terkena jilatan cahaya api unggun 
tampak jelas bentuk wajahnya yang berbentuk tirus. 
Bibirnya tipis berlekuk ke atas, menampakkan keculasan. 
Hidungnya agak panjang dan sedikit bengkok. Kedua 
matanya tak ubahnya mata harimau yang mencorong 
tajam. Begitu pula alisnya yang naik ke atas. Rambutnya 
yang panjang tergerai, dipermainkan angin. 

Kini, angkatlah wajah kalian. Lihatlah sesembahan 
kita yang telah berdiri tegak di mata langit...," lanjut laki-laki 
ini. 

Perlahan-lahan orang-orang yang berada di tempat 
ini mengangkat kepala, menatap rembulan yang tetap 
bersinar. 

"Hmmm.... Kalian adalah pengikut-pengikutku yang 
setia.... Bagus! Karena Dewa Bulan akan marah bila kalian 
tidak ikut dalam upacara ini...." 

Laki-laki berjubah hitam yang oleh orang-orang itu 
dikenal dengan nama Wedokmurko itu tersenyum puas. 

"Upacara akan kita segerakan, mengingat korban 
sudah didapatkan... Kini, mulailah kalian menyanyikan lagu 
pujaan untuk Dewa Bulan," ujar Ki Wedokmurko. 

Semua orang yang ada di situ tetap menatap 
rembulan. Sementara kali ini mulut mereka komat-kamit 
melantunkan senandung pelan yang telah diajarkan Ki 
Wedokmurko. Dan suasana pun terasa menggiriskan, oleh 
teriakan keras dan gerak limbung enam orang berpakaian 
dan bertopeng merah. 

Lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba saja satu 
sosok tubuh melayang dan jatuh di tengah-tengah 
lingkaran. Sosok itu dalam keadaan pingsan, dibalut 
pakaian berwarna hitam. 

"Lihatlah.... Dewa Bulan telah merestui kita, karena 
telah mengambil sesembahan itu...," kata Ki Wedokmurko 
dengan suara mengeras. 

Suara senandung itu semakin lama semakin keras 
terdengar. 

"Wahai, Dewa Bulan.... Kami berada di sini untuk 
memujamu. Dalam hembusan angin dingin, dalam kabut 
menebal yang perlahan-lahan membasahi sekujur tubuh 
kami.... Namun, kami tidak mengenal diam, tidak me¬ 
ngenal lupa. Kini, kami persembahkan seorang gadis yang 
masih suci, agar menjadi temanmu di atas sana. Dewa 

Bulan yang perkasa. terimalah sesembahan kami ini.... 

Dengan harapan, agar kaujauhkan kami dari penderitaan 
yang berkepanjangan. Dan, makmurkanlah hidup kami 
ini...." 

Lalu orang-orang itu menghentikan senandung. Dan 
mereka melihat laki-laki berjubah hitam itu tengah 
mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala 
menengadah. Dari mulutnya meluncur kata-kata seperti 
mantera. Semakin lama semakin mengeras. Dan tiba-tiba 
saja gadis yang terkulai di atas tanah lenyap! 

Sementara tubuh Ki Wedokmurko pun ambruk 
dengan kedua tangan menyentuh tanah. Keringat 
membanjir di seluruh tubuhnya, seperti orang habis 
melakukan perjalanan sangat melelahkan. 

Dan perlahan Ki Wedokmurko bangkit dan berdiri 
tegak. Matanya memandang angker ke sekelilingnya. 

"Dewa Bulan telah menerima sesembahan kita.... 
Dan percayalah, dia tak akan membiarkan kita hidup 
dalam kesusahan. Wahai, pengikutku yang setia.... Setiap 
malam Jumat kit a akan tetap melaksanakan upacara me¬ 
muja Dewa Bulan. Sekarang, katakanlah.... Apa keluhan 
kalian...." 

Serentak terlihat banyak orang-orang yang 
mengacungkan tangan. Ki Wedokmurko menunjuk seorang 
laki-laki tua kira-kira berusia tujuh puluh tahun yang segera 
bangkit dituntun seorang gadis cantik jelita. 

"Hmm.... Kenapa denganmu, Ki?" tanya Ki 
Wedokmurko. 

Sementara yang lain memperhatikan dengan rasa 
tegang, juga tidak sabar menunggu giliran. 

"Ketua Wedokmurko. Hamba bernama Mayang, se¬ 
dang kakek hamba bernama Seta. Sudah lima tahun ini 
kakek hamba menderita batuk yang berkepanjangan. 
Kalau batuknya kambuh, sampai muntah darah...," jelas 
gadis cantik berkain kemben batik yang mengaku bernama 
Mayang. 

"Itu soal mudah. Sangat mudah." 

Seperti layaknya seorang tabib, Ki Wedokmurko 
memeriksa tubuh Ki Seta yang sudah terbatuk-batuk. 
Batuknya terdengar sangat keras dan memilukan. 

"Hmm... rupanya, Dewa Bulan marah padanya, 
N ini.lanjut laki-laki berjubah hitam itu dengan suara 
berat. 

Wajah Mayang terperanjat 

"Mengapa, Ketua?" tanya Mayang. 

"Karena..., dia menyimpan banyak harta yang tidak 

pernah dipersembahkan kepada Dewa Bulan..." Kali 
ini Mayang menoleh pada kakeknya. 

"Aki, benarkah yang dikatakan ketua?" tanya gadis 
itu dengan kening berkerut. 

Rasanya, Mayang tidak pernah mendengar tentang 
harta milik kakeknya. Bagaimana mungkin kakeknya yang 
diketahuinya miskin itu memiliki harta banyak? Harta apa? 
Hidup mereka sudah pas-pasan. Masih untung kakeknya 
memiliki sebidang tanah yang bisa ditanami umbi-umbian 
dan dedaunan. Sehingga, cukuplah untuk makan sehari- 
hari. Tetapi soal harta? 

Ki Seta menganggukkan kepala sambil terbatuk. 
Laki-laki tua ini kelihatan sangat menderita dengan 
batuknya. 

"Oh, harta apakah itu, Aki?" tanya Mayang semakin 
tidak sabar. 

Ki Seta menarik napas panjang. Kelihatannya, dia 
enggan menceritakan soal harta yang telah lama 

dirahasiakannya. Namun melihat wajah Mayang yang 
begitu penasaran, apalagi Ketua Wedokmurko sudah 
menekannya, maka mau tak mau dia harus 
menceritakannya. 

"Mayang... aku memang merahasiakan soal itu. 
Karena tak baik bagimu untuk mengetahuinya.... Huk... 
huk... huk..," kata Ki Seta dengan susah payah. 


"Kenapa, Aki? Lebih baik Aki mengatakannya saja 
daripada sakit batuk terus menerus...," ujar Mayang yang 
kali ini kelihatan cemas bila memikirkan sakit batuk 
kakeknya. 

"Huk huk huk.... Ketua...," kata Ki Seta susah payah. 
"Aku akan menyerahkan seluruh hartaku itu kepada Dewa 
Bulan.... Tapi, sembuhkanlah penyakitku ini...." 

"Ha... ha... ha...!" 

Ki Wedokmurko terbahak-bahak. "Apakah kau tidak 
percaya dengan ku, K i? Hhh! Aku adalah utusan Dewa 
Bulan, yang sudah tentu tidak akan menyelewengkan 
amanat siapa pun untuknya...," lanjut Ki Wedokmurko. 

"Bukan.... Bukan itu maksud Aki, Ketua...," sergah 
Mayang dengan takut-takut, la ngeri melihat pancaran 
mata Ketua Wedokmurko yang menakutkan. "Maksud 
Aki..., dia akan segera menyerahkannya nanti...." 

"Dengan kata lain, kakekmu tidak percaya?" tukas 
Wedokmurko dengan suara keras. 

Kali ini bukan hanya Mayang yang mendadak pias. 
Tetapi, juga yang hadir di sana. Mereka tahu, apa akibat¬ 
nya bila Ki Wedokmurko sudah marah. Dan itu berarti 
sama saja dengan membangkitkan kemarahan Dewa 
Bulan. 

"Aki..., katakanlah...," ujar Mayang. 

Tetapi wajah Ki Seta tetap tegar. Bibirnya hanya 
mengulas senyum meskipun kelihatan sangat tersiksa 
dengan batuknya. 

"Ketua..., aku akan mengatakannya bila batukku 
sudah di obat i..., "tegas laki-laki tua ini sekali lagi. 

Memerahlah wajah Ki Wedokmurko mendengar 
kata-kata Ki Seta. Sementara, Mayang makin kelihatan 
ketakutan. 

"Aki...." 

"Grrr! Rupanya laki-laki tua ini tidak mempercayaiku 
sebagai Manusia Pemuja Bulan. Dengan kata lain, dia juga 
tidak percaya pada kalian ssmua yang telah memasrahkan 
diri pada Dewa Bulan. Mungkin saat ini aku.... Grrr! 


Akkgghhh! Grrr!" 

Tiba-tiba tubuh Ki Wedokmurko limbung ke kanan 
dan ke kiri. Wajahnya kelihatan semakin mengerikan. 
Tangannya mengacung pada Ki Seta. 

"KiSeta...," panggil Ki Wedokmurko. Suaranya 
bergetar. "Dewa Bulan telah marah kepadamu.... Aku tidak 
sanggup menahannya.... Cepat, katakan. Di mana harta itu 
berada.... Kalau kau mengatakannya, niscaya Dewa Bulan 
akan mengampuni semua kelancanganmu...." 

Tetapi sikap Ki Seta tetap tegar. "Aku akan 
mengatakannya, bila kau bisa menyembuhkan sakit 
batukku ini...." Aki!"sentak Mayang. 

"Kau diam, Mayang.... Huk... huk... huk.... Ini urus- 
mku, biar aku yang menyelesaikannya.... Wedokmurko, 
ketahuilah.... Akulah satu-satunya orang yang mungkin tak 
percaya pada pemujaan terhadap Dewa Bulan ini. Kita 
sejak lama diharuskan menyembah kepada Gusti Allah. 
Tetapi mengapa kau.... Huk... huk... huk... menyuruh kami 
menyembah Dewa Bulan?" 

Sebentar Ki Seta menghentikan kata-katanya untuk 
menarik napas dengan susah payah. 

"Dulu, sebelum kedatanganmu:.., kami yang 
menghuni lereng Gunung Pengging selalu hidup aman 
penuh keakraban. Tetapi sejak kau datang, semuanya 
menjadi sirna. Justru ketakutan yang diam-diam merayapi 
hati kami...," lanjut Ki Seta. 

"Aki!" sentak Mayang kaget sambil melirik wajah Ki 
Wedokmurko yang semakih geram dengan tubuh masih 
limbung ke kanan dan ke kiri 

"Mayang..., ketahuilah.... Aku tidak percaya pada 
manusia seperti ini. Sebelum kedatangannya, kita tidak 
pernah mengorbankan nyawa dara perawan yang 
mendadak saja lenyap begitu dia mengatakan kalau Dewa 
Bulan menerima sesajen kita. Sudah berapa kali? Sudah 
lima perawan dikorbankan. Apakah kita masih 
mengorbankan yang lainnya, hah?! Mengapa harus 
sesembahan seperti itu? Mengapa tidak dengan yang 
lainnya saja, hah?! Mengapa?" sergah Ki Seta dengan 
suara semakin mengeras. 

Kali ini laki-laki tua itu memandang ke sekeliling 
kearah para penduduk yang berada di sana. 

"Di samping itu..., kita juga harus..., aaakkhhh!" 

Mendadak saja tubuh Ki Seta terhuyung ke belakang 
dan ambruk. Dadanya sudah bolong. Tampak asap 
mengepul keluar dari sana. Seketika Mayang menubruk 
tubuh kakeknya. 

"Akiii.jerit gadis itu menangis. 

Namun tubuh laki-laki tua itu sudah tak bergerak, 
karena nyawanya sudah meninggalkan jasadnya. Dengan 
mata basah oleh airmata, Mayang berbalik ke arah 
Wedokmurko yang sudah tegak kembali. Sementara, enam 
laki-laki berpakaian dan bertopeng merah itu tetap 
bergerak dengan suara-suara mencekam, seakan 
membuat suasana tambah mengerikan. 

"Ketua..., apakah Aki tidak bisa diampuni? Ampuni 
dia, Ketua! Kembalikan lagi nyawanya!" pinta Mayang, 
menje rit. 

"Nini... Akimu telah berbuat kesalahan. Sehingga 
Dewa Bulan menjadi murka.... Aku tidak dapat 
mencegahnya...," kata Ki Wedokmurko dingin, sedingin 
tatapannya. 

"Mengapa kakekku tidak bisa diampuni? Mengapa?" 
seru Mayang masih menangis. 

"Karena..., dia telah berani melanggar perintah Dewa 
Bulan...." Mayang menangis sambil merangkul kembali 
tubuh kakeknya yang telah menjadi mayat. Sementara 
yang hadir tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun diam- 
diam menyalahi Ki Seta yang telah berani lancang 
membantah perintah Dewa Bulan. Dan diam-diam pula, 
mereka pun bertanya-tanya, harta apa yang dimaksudkan 
Ketua Wedokmurko? 

Wedokmurko lantas mengedarkan matanya 
berkeliling. 

"Ini adalah contoh orang yang berani membantah 
perintah dari Dewa Bulan.... Orang yang tidak mempercayai 
akan kesaktian dan kehebatannya. Hhh! Siapapun yang 
membantahnya, maka akan mati. Kalian mengerti?!" jelas 
Ki Wedokm urko, tajam. 

"Mengert iii... 

Terdengar sahutan secara serempak dari orang- 
orang di sekeliling api unggun. 

"Dan kalian akan tetap patuh padanya?" "Patuuuh...!" 

Kembali sahutan terdengar. 

"Bagus! Sekarang, kuburkan mayat itu! N ini..., 
apakah kau mau agar Akimu diampuni?" tanya 
Wedokm urko menatap tajam. Membuat siapa pun yang 
melihatnya akan langsung mengkeret. 

Mayang mengangguk tanpa menoleh. Matanya yang 
berair menatap lekat pada kakeknya yang terbujur kaku. 
Kepiluan sangat terasa di hatinya. 

"Kalau begitu, malam Jumat yang akan datang..., kau 
menjadi sesembahan dari Dewa Bulan! Upacara selesai!" 
lanjut Ki Wedokmurko, seraya mengibaskan jubahnya. Dan 
mendadak saja, sosoknya lenyap seperti ketika datang 
tadi. 

Setelah Ki Wedokmurko menghilang, enam orang 
berpakaian dan bertopeng merah pun perlahan-lahan 
melangkah dari lingkaran orang-orang itu. Nyala api unggun 
semakin tipis. Sebagian lenyap karena kayu-kayu yang 
membakarnya sudah habis. Juga karena terkena angin 
yang berhembus semakin dingin. 

Gerakan enam orang itu tak ubahnya bagaikan robot 
belaka, lalu perlahan-lahan lenyap dari pandangan. 

Tepat ketika mereka semua tak terlihat lagi, barulah 
orang-orang itu berlarian mendekati Mayang yang masih 
menangisi mayat kakeknya. 

Mereka melihat jasad Ki Seta dengan dada bolong. 
Tak seorang pun yang melihat tenaga atau serangan apa 
yang mengenai Ki Seta. Karena tahu-tahu, dia sudah 
ambruk. 

"Sudahlah, Mayang.... Akimu memang salah. Dia 
telah berani membantah perintah Dewa Bulan...." hibur 
salah seorang yang berkumis tebal. 

Mayang hanya mengangguk-angguk. Beberapa 
pemuda gagah segera mengangkat mayat Ki Seta, lalu 
beramai-ramai membawanya turun dari lereng Gunung 
Pengging. 

Selebihnya sepi. Hanya angin yang berhembus 
semilir. 


k k k 


Sebenarnya, sebagian penduduk yang mendatangi 
lereng Gunung Pengging, ada juga yang membenarkan 
kata-kata Ki Seta. Yah! Sebelum kedatangan Manusia 
Pemuja Bulan, segala sesuatunya di desa dekat lereng 
Gunung Pengging aman dan semuanya berjalan lancar. 

Tetapi setelah kedatangan Manusia Pemuja Bulan 
yang meminta dirinya disebut sebagai Ketua, keadaan 
mulai berubah. Laki-laki yang selalu berjubah berwarna 
hitam itu selalu mendatangi desa mereka, dan 
mengatakan hukuman Dewa Bulan akan datang bila tidak 
menyediakan sesajen. 

Memang, pertama kalinya para penduduk di sana 
tidak mau mengindahkan kata-kata laki-laki berjubah 
hitam itu. Mereka tak acuh saja. Karena selama ini yang 
ada di hati mereka, hanya Gusti Allah yang patut disembah. 

Namun, malam-malam berikutnya, terjadilah sesuatu 
yang mengerikan. Karena mendadak saja, api bagai 
gulungan panjang, bergulung-gulung dari atap rumah satu 
ke atap lainnya. Membakar apa saja. Hingga mereka 
menjadi kalang kabut. Di sela-sela keributan dan 
kesibukan memadamkan api, terdengar suara keras Ki 
Wedokmurko yang mengatakan kalau itu adalah hukuman 
dari Dewa Bulan karena para penduduk tidak 
mengindahkan kata-katanya sebagai utusannya! 

Lambat laun ketakutan mulai merayapi hati setiap 
penduduk. Karena, bukan hanya bencana kebakaran saja 
yang melanda. Bahkan angin topan pun datang bergulung- 
gulung, menimpa mereka. Juga ditemukan pula beberapa 
ekor ternak mati secara aneh. 

Sejak itu, satu persatu para penduduk di sana pun 
mulai mengikuti Ki Wedokmurko yang selalu mengadakan 
upacara di lereng Gunung Pengging. Yang ikut itu selalu 
aman, tanpa gangguan. Yang belum mengikuti jejaknya, 
selalu saja mendapat gangguan yang dikatakan Ki 
Wedokmurko sebagai hukuman Dewa Bulan. 

Hingga kemudian, seluruh penduduk di desa itu pun 
mengikuti jejak Manusia Pemuja Bulan karena tidak ingin 
mendapatkan hukuman. 

Tak seorang pun yang berani membantah ketika Ki 
Wedokmurko meminta harta benda, makanan enak, juga 
pakaian yang bagus. Bahkan setiap malam Jumat, para 
penduduk yang mempunyai anak gadis harus 
mengorbankannya kepada Dewa Bulan. 

Ada rasa sedih yang tak terhingga sebenarnya di hati 
mereka, mengorbankan anak gadis untuk Dewa Bulan 
Seperti yang sudah-sudah, anak gadis mereka dalam 
keadaan pingsan dalam upacara itu. Lalu kemudian, tahu- 
tahu lenyap dari pandangan. Entah ke mana. Apa yang 
terjadi terhadap mereka? Apa yang dialaminya? 

Semua berjalan lancar selama tiga bulan. Dan 
kejadian barusan di lereng Gunung Pengging itu, 
sebenarnya membuka mata mereka pula, kalau yang 
dikatakan Ki Seta memang benar. Tetapi, apakah mereka 
berani melawan perintah Manusia Pemuja Bulan? Apakah 
mereka akan membiarkan diri dan keluarga mendapatkan 
hukuman dari Dewa Bulan? 




Mayat Ki Seta dikuburkan keesokan harinya. Pelayat 
yang datang sangat menyesali tindakan bodoh Ki Seta yang 
berani menentang kehendak dan perintah Dewa Bulan. 
Hingga akhirnya, dia menerima ajal yang mengerikan. 

Dan hari-hati berikutnya yang justru sedih dan 
merasa sepi adalah Mayang. Gadis ini tak mengerti, 
mengapa Ketua Wedokmurko tidak memintakan ampunan 
pada Dewa Bulan? Mengapa dia tidak menolong Aki? 
Sungguh! Hati gadis itu sangat sedih. 

Kini Mayang sebatang kara di dunia ini. Kedua orang 
tuanya telah lama meninggal dunia. Sejak itu dia tinggal 
bersama kakeknya yang telah menduda. Namun meskipun 
begitu, masih ada sesuatu yang menjadi perta-nyaannya. 
Harta apakah yang disembunyikan Ki Seta? Di mana harta 
itu disembunyikan? Mengapa kakeknya selama ini tidak 
pernah memberitahukan soal harta itu. Harta apa? 

Namun, kesedihan karena ditinggal mati kakeknya, 
Mayang pun tak memikirkan soal harta itu lagi. Yang 
dipikirkannya sekarang, malam Jumat yang akan datang, 
dia menjadi giliran sesembahan kepada Dewa Bulan. 

Mayang bersedia saja melakukannya, karena itu 
adalah jalan satu-satunyabagi kakeknya untuk diampuni 
Dewa Bulan. 

Mayang kini mulai merasakan sepi dalam 
kesendiriannya. Dia masak seperti biasanya. Namun kali ini 
untuk makan sendiri saja. Sungguh, jelas sekali 
perbedaannya. 


k k k 


"Sampurasuuunnn!" Tiba-tiba terdengar suara orang 
bersalam di depan pintu. 

Mayang yang masih sibuk memasak air bergegas ke 
depan setelah merapikan pakaiannya. Meskipun masih 
sedih karena ditinggal kakeknya, namun sifatnya yang! 
memang rajin tidak pernah ditinggalkannya. 

"Rampeeesss!" sambut Mayang, sambil melangkah 
menuju pintu. 

Gadis berusia delapan belas tahun itu membuka 
pintu untuk tamunya. 

"Oh, Kang Medi," desah Mayang begitu pintu tetM 
kuak. Dan gadis ini langsung mengenali tamunya. 
"Silahkan masuk, Kang...." 

Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun masuk. Dia duduk di kursi yang sudah agak rusak, 
namun masih layak diduduki. Laki-laki ini cukup tampan, 
dengan rahang kukuh dan sepasang mata memancarkan 
sinar membara. Dari pakaiannya yang cukup bagus, 
agaknya laki-laki bernama Medi ini cukup kaya. 

Mayang pun sudah tahu tentang tabiat laki-laki ini 
yang memang mata keranjang. Namun gadis ini bersikap 
tenang saja. Karena toh pikirnya, Medi hanya bertamu 
Mungkin pula sekali lagi menyampaikan bela sungkawa 
atas kematian kakeknva. 

"Bagaimana, Mayang. Apakah kau kesepian 
sepeninggal kakekmu?" tanya Medi, begitu duduk di kursi 
ruang tamu. 

Begitulah, Kang.... Biasanya aku selalu ditemani 
kakek, kini tinggal sendiri," sahut Mayang, juga duduk 
menghadapi tamunya. 

Bibir Medi tersenyum-senyum. Matanya semakin liar 
memperhatikan sekujur tubuh Mayang bagaikan hendak 
menelannya bulat-bulat. 

"Mayang.... Sebenarnya, kakekmu itu memang telah 
melakukan kesalahan. Seharusnya, kehendak Ketua 
Wedokmurko yang menjadi Utusan Dewa Bulan tidak boleh 
ditentang. Kedatangannya mengabarkan sesuatu yang 
menggembirakan, kalau Dewa Bulanlah yang paling kuasa 
di dunia ini," kata Medi. Mayang menundukkan kepalanya. 
Bila teringat tentang kakeknya, hatinya sedih sekali. 

"Kau benar, Kang... Aku sendiri tidak mengerti, 
mengapa Aki berbuat seperti itu. Bahkan menentang. 
kehendak Dewa Bulan," desah Mayang. 

"Itulah yang kusesali. Sehingga.... kau akhirnya yang 
akan menjadi korban...." 

"Maksud Kang Medi?" tanya Mayang mengangkat 
kepalanya, menatap Medi yang tersenyum-senyum. 

"Bukankah malam Jumat depan adalah giliranmu 
untuk dipersembahkan pada Dewa Bulan?" 

"Ya! Karena menurut Ketua Wedokmurko.bila aku 

tidak berkenan atau bersedia, maka dosa-dosa kakekku 
tidak akan diampuni Dewa Bulan...." 

Medi mengusap-usap dagunya yang klimis. Matanya 
yang liar semakin jelalatan. Menurut kata hatinya, sangat 
sayang sekali gadis-gadis manis dan cantik itu dikorbankan 
kepada Dewa Bulan. Gadis-gadis yang begitu dikorbankan, 
mendadak lenyap entah ke mana. Menurut Medi, mungkin 
mereka mati. 

Dan sekarang, Mayang..., yang diam-diam dicintainya 
itu akan dikorbankan. Hhh! Sayang sekali. Bukan kah lebih 
baik dinikmati dulu baru dikorbankan? 

Berpikir seperti itu, Medi pun memulai memasang 
perangkapnya. 

"Mayang..., apakah kau tidak sayang dengan wajah 
dan tubuhmu?" tanya laki-laki ini sambil tersenyum. 

Kening Mayang berkerut, merasa aneh dengan 
pertanyaan Kang Medi. Karena, sepertinya, laki-laki ini pun 
menentang Dewa Bulan. Padahal, Mayang sedang bersiap- 
siap untuk menunggu malam Jumat depan untuk 
mengorbankan diri kepada Dewa Bulan sebagai penebus 
dosa-dosa kakeknya. Dan gadis ini merasa yakin kalau 
Medi sudah memasang perangkapnya. 

"Mengapa Kang Medi berkata begitu?" tanya 
Mayang. 

Medi tersenyum lagi. Matanya mengedip. 

"Kau cantik, Mayang.... Kau ayu. Sayang bila untuk 
dikorbankan kepada Dewa Bulan...." 

"Aku tidak berani membantah perintah Manusia 
Pemuja Bulan alias Ketua Wedokmurko," tukas Mayang. 

"Apakah Kang Medi tidak tahu, bagaimana akibatnya kalau 
berani menentang kehendaknya?" 

"Kau benar, Mayang. Akan tetapi, mengapa kau 
begitu merelakan tubuhmu dijadikan sesajen Dewa 
Bulan?" tanya Medi. 

"Karena..., aku menghendaki seluruh dosa-dosa Aki 
dihapuskan Dewa Bulan.... Itulah sebabnya, aku bersedia 
dijadikan sesajen, Kang Medi...." 

Sepasang mata Medi yang liar semakin jelalatan. 
Sayang sekali, sayang sekali. Lalu mendadak saja Medi 
bangkit, pindah duduk di samping gadis itu. Sementara 
Mayang hanya diam saja. 

"Mayang...," 

Medi memulai niat busuknya. Kedatangannya ke kini 
selain ingin melihat keadaan Mayang, juga ingin 
mengambil kesempatan. Sudah lama dia menginginkan 
Mayang. 

"Tahukah kau..., kalau sesajen yang akan 
dipersembahkan kepada Dewa Bulan tak akan pernah 
kembali lagi?" lanjut Medi. 

"Aku tahu, Kang." 

"Tidak sayangkah kau dengan tubuh dan wajahmu 
vangjelita ini?" 

"Maksud Kang Medi?" 

"Maksudku..., apakah tidak dimanfaatkan dulu 
tubuhmu ini, Mayang?" 

Mayang mengerutkan keningnya. 

"Aku tidak mengerti, Kang..." 

Medi mengembangkan senyumnya. Duduknya pun 
semakin merapat. 

"Kau paham akan maksudku, Mayang. Kau tahu, 
karena kau sudah dewasa, bukan?" 

Mayang terdiam seraya menundukkan kepala. 
Sikapnya mencerminkan kepasrahan belaka. 

Tiba-tiba Medi menyergap Mayang. Dan mereka 
sama-sama terjerembab ke lantai. Lalu dengan buas laki 
laki ini menciumi sekujur wajah dan meraba sekujur tubuh 
gadis itu. Herannya, Mayang diam saja. Tidak berbuat apa- 
apa. Meladeni tidak, berontak pun tidak. 

Medi yang merasa mendapat angin, perlahan-lahan 
melucuti pakaian Mayang satu persatu. Inilah kesempatan 
yang sangat langka sekali. Sebuah kesempatan yang telah 
lama ditunggu-tunggunya. Dan yang tak pernah 
disangkanya, gadis itu hanya mandah saja. Diam-diam 
Medi merasa sangat beruntung dengan datangnya I 
Manusia Pemuja Bulan, sehingga ia mendapatkan apa 
yang telah lama dicarinya. 

"Kau cantik, Mayang.... Kau cantik...." 

Napas laki-laki mala keranjang ini memburu dengan 
suara bergetar. Tangannya meraba sekujur tubuh Mayang 
dengan buas. 

Namun sebelum sempat Medi membuka celananya 
sendiri untuk merenggut milik Mayang yang paling 
berharga, mendadak saja.... 

Brrr...! 

Serangkum angin yang kuat menderu ke arah Medi 

Dan.... Prakkk! "Aaa.J" 

Medi kontan terlontar dengan kencangnya, 
menabrak pintu rumah. Tubuhnya terbanting ke tanah 
dengan keras, lalu menemui ajalnya setelah kelojotan 
sejenak. 

Sementara itu, seolah tidak mengalami suatu 
kejadian yang mengerikan, Mayang mengenakan lagi 
pakaiannya- Dia berdiri tegak, melihat sosok Medi yang 
sudati menjadi mayat. Pandangannya dingin dan kaku, 
ketika melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng 
merah muncul dan mengangkat mayat Medi. Sebentar 
kemudian sosok itu berkelebat entah ke mana. 


k k k 


"Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan 
selembar kain bercorak catur, melanglah di jalan setapak. 
Sikapnya riang sekali. Sepertinya dia sangat menikmati 


udara pagi yang cerah. 

Wajah pemuda ini tampan, meskipun rambutnya 
gondrong takberaturan. Di atas matanya yang kelihatan 
cerdik itu bertengger dua buah alis hitam legam laksana 
seekor elang sedang mengarungi samudera luas. 

Pemuda yang kelihatan gembira itu tiba-tiba 
menghentikan langkahnya, ketika.... 

"Berhenti kau, Pemuda Busuk!" 

Terdengar suara yang membuat pemuda ini menoleh 

"Jangan kabur kau!" 

"Bunuh saja dia!" 

"Bikin mampus saja!" 

Kening pemuda ini jadi berkerut melihat puluhan 
laki-laki berduyun-duyun berlari mendekatinya. Di tangan 
mereka terdapat bermacam senjata dengan wajah 
beringas dan marah. Dan pemuda ini jadi semakin tak 
mengerti. 

"Tenang, Saudara-saudara.... Ada apa ini?" tanya 
pemuda ini dengan suara tenang dan pandangan mata 
jernih. 

"Jangan banyak omong!" bentak salah seorang 
pemuda yang berkumis tebal dengan rambut diikat. "Kau 
harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu, heh?!" 

Pemuda berbaju hijau pupus itu makin mengerutkan 
keningnya lagi. 

"Mempertanggung jawabkan perbuatanku? Aku 
berbuat apa? Lihat, di tanganku tidak ada jemuranyang 
kubawa. Tapi, ah tanggung kalau hanya jemuran!" tukas 
pemuda ini, bukannya takut malah mengajak bercanda 

"Bangsat! Rupanya kau pintar omong juga, hah? 
bentak pemuda berkumis itu lagi sambil mendekatkatkan 
lagi wajahnya ke muka pemuda ini. Kau harus 
mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang telah 
membunuh Medi. 

Kali ini pemuda berbaju hijau pupus dengan kain 
bercorak catur di bahu itu terjingkat. Bukan karena 
tuduhan tadi, tapi karena bau mulut lelaki di depannya. 

"Membunuh Medi? Siapa Medi? Kambing congek 
peliharaanmu? Bagaimana mungkin? Aku baru saja tiba di 
desa ini. Lalu, mengapa tiba-tiba kau menuduhku telah 
membunuh kambing yang bernama Medi?" 

"Guoblok! Medi itu adalah warga kami. Dan kami 
menemukan mayatnya di tepi kali sebelah utara sana Dan 
kau sendiri sebelumnya dilihat salah seorang dari kami 
sedang mandi di sana juga, bukan?!" bentak laki-laki 
berkumis itu, merasa kesal bukan main. 

Pemuda itu terdiam, lalu mengangukkan kepalany! 

"Temanmu benar. Aku memang mandi di sana. 
Tetapi bukan berarti telah membunuh orang yang bernama 
Medi. Kalian salah sangka...." 

"Ala..., sudah Kang Sawedo. Jangan banyak 
bercakap lagi! Dia harus mampus!" seru salah seorang 
yang memegang parang tidak sabar. 

"Ya, bunuh saja!" sambut yang lain. 

"Bunuh!" 

"Bunuh! 1 

Pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias 
Pendekar Slebor itu melihat gelagat tidak menguntungkan. 
Dia tadi memang mandi di kali sebelah utara sana, tetapi 
tidak melihat ada mayat di sana. Jangankan 
membunuhnya, melihatnya saja tidak. Pasti Orang-orang ini 
salah sangka. 

Sebelum orang orang itu bertindak, mendadak.... 

"Tahan semuanya! Jangan gegabah!" 

Terdengar sebuah suara mencegah.!" 




Dari balik kerumunan para penduduk, menyeruaj 
seorang laki-laki berpakaian ringkas berwarna biru, 
wajahnya kukuh dengan kumis tipis. Matanya 
memancarkan sinar kesejukan. Rambutnya diikat secarik 
kain keningnya. 

"Hmmm.... Jangan bertindak sembarangan. Jangan 
menuduh terlalu cepat!" ujar laki-laki ini di hadapan orang- 
orang itu, langsung membelakangi Andika. 

"Kakang Menggol o! Jangan halangi kami untuk 
membunuhnya! Pemuda itu jelmaan setan! Dia harus 
hadapkan pada Manusia Pemuja Bulan!" teriak laki-laki 
berkumis tebal yang dipanggil Sawedo. 

"Ya, benar! Dia harus dihukum oleh Dewa Bulan 

"Kakang Menggolo.... Jangan memaksa kami untuk 
berbuat yang tidak-tidak terhadap Kakang! Minggir! biarkan 
pemuda itu mempertanggung jawab kan seluruh 
perbuatannya!" 

Seruan-seruan keras bernada menentang itu 
terdengar, namun laki-laki berpakaian biru berusia kira-kira 
tiga puluh dua tahun yang dipanggil Menggolo tetap tegar 
berdiri. Wajahnya tetap tenang. 

Sementara di belakangnya, kening Andika berkerut. 
Siapakah Manusia Pemuja Bulan itu? Siapa pula Dewa 
Bulan? Andika yang berotak encer itu pun diam-diam yakin, 
kalau telah terjadi sesuatu yang aneh desa ini. Matanya 
tanpa sadar melirik Gunung Penggingyang tertutup kabut. 

"Saudara-saudaraku! Kita jangan main hakim 
sendiri. Kita memang menemukan mayat Medi di tepi 
sungai sebelah utara sana. Dan kebetulan, Maruko melihat 
pemuda ini mandi di sana. Tetapi bukan berarti dia yang 
telah membunuhnya. Karena menurut Maruko sendiri, 
mayat Medi ditemukan di dekat sebatang pohon kelapa. 
Sementara, dia melihat pemuda itu ketika hendak 
melaporkan berita kematian Medi kepada kita. Apakah 
tidak mungkin kita melakukan kesalahan?" 

"Kakang, jangan menghalangi niat kami!" ujar 
Sawedo. 

"Sawedoi' bentak Menggolo dengan suara 
menggelegar. "Jangan main hakim sendiri! Lebih baik tanya 
dulu pada pemuda berbaju hijau pupus itu?!" 

"Sudah bisa dipastikan, dia akan membantahnya. 
Mana ada maling yang mau mengakui dirinya sebagai 
maling, hah?!" seru Sawedo yang diiringi teriakan keras 
yang lai nnya. 

Perlahan-lahan wajah Menggolo kelihatan memerah. 

"Aku tidak ingin kita melakukan kesalahan...," kata 
Menggolo datar. 

"Baik!" kata Sawedo kemudian. "Kita akan menanyai 
pemuda itu! Kakang Menggolo...! Bila dia mengatakan 
tidak membunuh Medi. maka, harus mencari 
pembunuhnya!" 

Andika diam-diam menghela napas panjang. 
Sementara Menggolo berbalik, menatap Pendekar Slebor 
dalam-dalam. 

"Apa yang kau ketahui, temang pembunuhan itu. 
Anak Muda?" tanya Menggolo. 

"Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, aku tidak 
melihat mayatnya," kilah Andika. 

"Anak muda..., siapakah namamu?" tanya Menggolo 
yang diam-diam meyakini kata-kata pemuda itu. 

Sejak tadi pun Menggolo sudah yakin kalau pemuda 
itu tidak bersalah. Dia bisa melihat ketenangan dan sinar 
kejujuran di mata Pendekar Slebor. 

"Namaku Andika." 

"Hmmm..., Andika.... Kau dengar sendiri, bukan? 
Nyawamu saat ini dimaafkan..., tetapi kau harus mencari 
siapa pembunuh Medi sebenarnya?" kata Menggolo, 
tersenyum ramah. 

Kalau mau menuruti kata hatinya, Andika ingin 
mendengus keras-keras. Nyawanya saat ini dimaafkan? 
Enak saja! Bukannya sombong, dengan sekali samber saja, 
dia bisa memusnahkan mereka. Pendekar Slebor berpikir 
demikian, karena merasa dikecilkan. 

Tetapi Andika tidak menampakkan kesombongannya 
saat ini, karena ingin mengetahui apa yang telah terjadi di 
desa ini. Terutama, siapakah Manusia Pemuja Bulan itu? 

"Baiklah, Kakang Menggolo.... Aku menuruti perintah 
itu...," desah Pendekar Slebor memanggil Menggolo dengan 
sebutan kakang, sambil menatap Sawedo yang tersenyum 
puas. Sial! Ingin rasanya Andika menabok bibir yang 
tersenyum melecehkan itu. 

Menggolo berpaling pada yang lainnya lagi. 

"Nah, kalian mendengar kata-katanya itu?" 

Sawedo lagi-lagi mengambil alih pembicaraan. 

"Bagus! Dan kami ingin membuktikan kebenaran 
kata-katanya itu! Teman-teman, kita kembali untuk 
menguburkan mayat Medi!" 

Lalu orang-orang itu pun segera meninggalkan 
tempat ini. Tinggal Menggolo yang hanya menghela napas 
tanjang. Diam-diam, di hatinya mulai terusik sesuatu. 

Sesuatu yang membangkitkan kesadarannya. 
Terutama, kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya. 


k k k 


"Kakang Menggolo.... Mengapa kau tidak berbuat 
seperti mereka tadi?" tanya Pendekar Slebor kemudian. 
Saat ini angin berhembus. Sinar matahari semakin panas, 
menembus melalui rimbunnya pepohonan. 

Menggolo berbalik. Matanya tepat menatap mata 
Andika, lalu bibirnya tersenyum. "Tidak." 

"Kena pa?" 

"Karena, aku yakin..., bukan kaulah yang telah 
melakukan perbuatan itu, Andika...," jelas Menggolo. 
Andika tersenyum. "Terima kasih, Kakang." Menggolo 
mengangkat kepalanya. "Sebenarnya, hendak ke manakah 
kau ini?" tanya Menggolo. 

"Aku? He h e he.... Tidak ke mana-mana. Pekerjaanku 
hanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Dari 
satu negeri ke negeri lain," jelas Pendekar Slebor enteng. 

"Ya! Tetapi..., aku yakin..., ah! Sudahlah. Kau tinggal 
di mana di daerah ini, Andika?" tanya Menggolo. Dan 
mendadak saja wajahnya kelihatan memucat. 

Perubahan wajah Menggolo tidak luput dari 
pandangan Andika yang diam-diam perasaannya semakin 
yakin mengatakan, kalau telah terjadi sesuatu di daerah ini 
Tetapi Pendekar Slebor berlagak tidak melihatnya. 

"Aku? Wah! Hanya bumilah yang menjadi tempat 
tinggalku," seloroh Andika. 

Menggolo tidak menghiraukan selorohan. Tangannya 
mendadak saja menarik tangan Andika. 

"Kita pergi dari sini! Tinggal di rumahku saja!" ajak 
Menggolo. 


k k k 


Di rumah Menggolo, Andika dijamu makan 
sekedarnya. Istrinya yang berwajah cukup ayu itu yang 
menyediakan. Andika yang memang sudah dari semalam 
tidak makan, bagai menemukan harta karun. Memaka 
lahap meskipun masih berusaha kelihatan sopan. 

Lalu setelah kenyang, Pendekar Slebor bersama 
menggolo duduk di beranda belakang, menghadap sepetak 
ladang pisang. Segelas kopi pahit dan sepiring ubi rebus 
telah dihidangkan oleh istri Menggolo yang bernama Narti. 

Andika yang memang menunggu kesempatan untuk 
bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan, segera 
menanyakannya. Namun bukannya menjawab, Menggalo 
malah menghela napas berkali kali 

"Andika..., lebih baik kau tidak usah menanyakan 
soal itu," kata Menggolo kemudian. 

"Kenapa? Takut kalau aku mengadu, ya?" canda 
Andika. 

"Bukan, bukan soal itu. Tetapi, keadaan akan 
berbahaya bila kau banyak bertanya tentang Manusia 
Pemuja Bulan," sergah Menggolo, kali ini suaranya agak 
takut-takut. 

"Kenapa? Apakah dia suka makan orang? Kalau soal 
itu sih, tidak usah takut. Aku biasa menaklukkan binatangg 
buas," seloroh Andika diiringi tawanya. Padahal hatinya 
sangat penasaran ingin mengetahui tentang Manusia 
Pemuja Bulan. 

Diam-diam Andika pun memperhatikan lagi wajah 
Menggolo, yang semakin tegang. Hmmm.... Kalau begitu..., 
memang ada sesuatu yang telah terjadi di desa ini. Dan 
Pendekar Slebor akan menyelidikinya. 

Andika tidak lagi meneruskan pertanyaannya, karena 
melihat wajah Mengolo semakin bertambah tegang saja. 
Tetapi kemudian... 

"Dia adalah manusia yang dipuja oleh orang-orang di 
daerah ini. Termasuk aku dan istriku...," jelas Menggolo, 
mengejutkan Andika. 

"Siapa?" tanya Andika berlagak tidak mendengarnya. 
Padahal dia ingin melihat perubahan wajah Menggolo. 
Setelah dilihatnya Menggolo mengangkat kepalanya ia 
berkata, "Jadi... Menusia Pemuja Bulan itu sangat dipuja?" 

Menggolo menganggukkan kepala. 

"Yah...,juga sangat ditakuti," desah Menggolo. 

"Kenapa?" cecar Andika. 

"Karena..., dia adalah utusan Dewa Bulan." 

"Dewa Bulan? Siapa pula itu?" 

"Andika..., jangan bertanya begitu enteng. Kau bisa 
dikutuknya! Kau akan mendapat hukuman! Kesaktian 
Dewa Bulan sangat tinggi. Dia bahkan bisa mengetahui 
sesuatu yang belum terjadi. Dia juga akan mendengar kata- 
katamu itu. Cepatlah minta amun, Andika.... Cepat!" seru 
Menggolo dengan wajah bingung. 

" Ampunkan aku, Dewa Bulan...," ucap Andika, 
meskipun tidak mengerti. Dan itu hanya untuk 
menenangkan Menggolo yang nampak ketakutan. 

Kini Pendekar Slebor melihat Menggolo mendesah 
lega. 

"Ah! Kalau saja kau tidak minta ampun padanya 
niscaya...." 

Menggolo terdiam. Kata-katanya terputus. Lalu 
mendadak dia mendengus sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. 

"Tidak, tidak! Aku tidak percaya Manusia Pemuja 
Bulan! Aku tidak percaya pada Dewa Bulan! Hhh! Apa yang 
dikatakan Ki Seta benar! Semenjak kedatangan Manusia 
Pemuja Bulan, keadaan desa ini menjadi kacau balau. 
Tidak ada lagi kedamaian dan persaudaraan seperti itu.... 
Hhh! K i Seta memang benar. Dia benar! Dan karena itulah 
dia dibunuh! Tetapi siapa yang membunuhnya? Kalau 
Manusia Pemuja Bulan yang bernama Wedokmurko itu 
tidak mungkin. Karena, aku tidak melihat gerakannya kalau 
dia membunuh Ki Seta. Ah! Pasti Dewa Bulan. Ya, Dewa 
Bulan... Oh, ampunkan hamba, Dewa Bulan., ampunkan 
hamba...." 

Pendekar Slebor yang sejak tadi memperhatikan 
laki-laki yang duduk di hadapannya mengerutkan 
keningnya, melihat perubahan sikap Menggolo. Kalau tadi 
begitu ketakutan dan menyuruhnya meminta ampun pada 
Dewa Bulan, kemudian sikapnya seperti seorang 
penantang. Seseorang yang berani karena merasa yang 
dilakukannya benar. Namun pada sikap yang terakhir, 
justru berubah kembali menjadi ketakutan. Bahkan harus 
menyembah seolah-olah yang ditakuti ada di hadapannya. 

Perasaan Andika semakin kuat mengatakan, kalau 
ada seseuatuyang terjadi di sini. Sesuatu yang 
membuatnya ingin mengorek lebih dalam lagi. 

"Kakang Menggolo...! Kenapa, Kakang?" tanya 
Pendekar Slebor berlagak pilon. 

Menggolo menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya 
berkeringat. 

"Ah! Aku tidak tahu, Andika.... Aku tidak tahu...." 
"Kenapa, Kakang? Apakah kau lupa namamu sendiri?" 
tanya Andika sambil nyengir. Menggolo tersenyum tipis. 
"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, Andika." 

"Kalau begitu, kau boleh bertanya pada istrimu. Dia 
pasti tahu. Soalnya kan..., hanya dia yang bisa melihat 
dirimu. Iya kan, Kang? Ayo, jangan bohong! Aku melihat 
kok, kalian berdua saling tatap di atas ranjang kalau 
malam. Nah! Kalau lupa bentuknya, tentunya istrimu ingat, 
Kang. Kau bisa bertanya pada istrimu kalau memang kau 
lupa...." 

Gurauan Andika membuat Menggolo tersenyum. 
Hatinya merasa senang pada pemuda tampan berpakaian 
hijau pupus itu. 

"Ah! Kau memang pandai menghibur, Andika. Kau 
berusaha membuat orang lain senang," puji Menggolo. 

"Karena, aku menyukai kegembiraan, Kang," sahut 
Andika. 

"Demikian pula aku. Juga orang-orng di daerah ini. 
Juga, alam di sekitar sini. Tetapi, itu dulu. Dulu sekali, 
sebelum kedatangan Manusia Pemuja Bulan. Yah! 
Semuanya menjadi berantakan. Apa yang dikatakan Ki 
Seta memang benar...," tutur Menggolo. 

"Kang Menggolo..., sebenarnya apakah yang telah 
terjadi di daerah ini?" tanya Andika, menggunakan 
kesempatan. 

Andika melihat Menggolo menghela napas panjang. 
Ditunggunya sesaat, tidak ingin memotong pembicaraan. 
Karena, sepertinya Menggolo sudah bisa menguasai 
diri nya. 

"Andika..., sungguh! Aku benar-benar tidak mengerti 
dengan perasaanku sendiri. Di satu segi, aku takut. Takut 
sekali. Di segi lain, sejak Ki Seta berani menentang 
keputusan Manusia Pemuja Bulan, kesadaranku seolah 
bangkit. Yah! Kuakui..., daerah ini sekarang sudah berada 
di ambang kehancuran," tutur Menggolo lagi. 

"Apakah sebabnya, Kang...?" cecar Andika. 

"Manusia Pemuja Bulan. Yah.... Dialah penyebab 
semua ini." 

"Bagaimana sebenarnya, Kang?" 

Lalu menggolo menceritakan tentang kejadian- 
kejadian yang dialami daerah itu, hingga kejadian yang 
menimpa Ki Seta. 

"Jadi.... malam Jumat nanti, giliran Mayang cucu Ki 
Seta yang akan menjadi korban?" tanya Andika kemudian. 

"Kau benar, Andika. Sudah sepuluh perawan tak 
berdosa yang dikorbankan untuk Dewa Bulan. Karena, 
kalau kami tidak mau melaksanakan, akibatnya 
kehancuran akan menimpa daerah ini seperti beberapa 
waktu lalu...." 

Andika terdiam. Otaknya yang cerdik dapat 
menduga, kalau seseorang yang memiliki kesaktian telah 
memanfaatkan orang-orang di daerah ini, yang begitu 
ketakutan. Tetapi, seperti yang dikatakan Menggolo tadi, 
ke manakah perginya gadis-gadis yang dijadikan tumbal? 

Katanya, muncul begitu saja dalam keadaan 
pingsan, lalu lenyap begitu saja. Menurut Manusia Pemuja 
Bulan, gadis-gadis itu sudah berada di sisi Dewa Bulan. 
Berarti, sesajen yang diberikan diterima. 

"Kang Menggolo.... Di mana biasanya upacara itu 
diadakan?" tanya Andika. 

"Di lereng Gunung Pengging." 

"Di manakah Manusia Pemuja Bulan itu tinggal?" 

"Tak seorang pun yang tahu, Andika. Dia datang dan 
muncul begitu saja." 

"Kang Menggolo.... Kalau begitu, malam Jumat 
depan, ajaklah aku bergabung dengan yang lain untuk 
mengikuti upacara itu," pinta Andika. 

Menggolo hanya menganggukkan kepala. 
Nampaknya hatinya lega setelah berhasil menguasai diri 
dan mengatakan seluruh kejadian demi kejadian kepada 
Andika. 

"Satu lagi pintaku. Di manakah rumah Mayang?" 
Menggolo menyebutkan di mana letak rumah Mayang. 

Tiba-tiba saja kepalanya mendongak, menatap 
Andika. 

"Andika.... Bila melihat pakaianmu, sudah jelas kau 
orang dari dunia persilatan. Benarkah dugaanku itu. 
Andika?" tanya Menggolo. 

Andika mengangguk. 

"Ya." 

"Oh, Tuhan.... Terima kasih. Hei!" Menggolo terkejut 
sendiri. Andika memperhatikannya. 

"Mengapa, Kang Menggolo?" 

Menggolo memegang tangan Andika. Wajahnya 
gembira. 

"Andika.... Tidakkah kau tadi mendengar kalau aku 
menyebutkan kata Tuhan?" 

"Ya," sahut Andika, pendek. 

"Oh! Kalau begitu..., aku masih mempercayaiNya. 
Yah! Aku memang tidak mempercayai Dewa Bulan yang 
dijadikan sesembahan," tegas Menggolo. 

Andika tersenyum. 

"Kang Menggolo.... Karena sebenarnya, di dasar 
hatimu yang paling dalam, kau mengingkari kehendak 
Manusia Pemuja Bulan untuk menyembah Dewa Bulan. 
Karena sesungguhnya, nuranimu telah mengatakan yang 
sebenarnya, kalau yang patut disembah hanyalah Gusti 
Allah...," ujar Pendekar Slebor, sok memberi nasihat. 

"Ya, ya.... Kau benar, Andika. Hmm.... Kalau kau 
memang orang dunia persilatan, aku pernah mendengar 
soerang pendekar muda yang arif bijaksana dan selalu 
menolong orang lemah," kata Menggolo. 

"Siapakah dia, Kang Menggolo?" 

Menggolo terdiam, seperti berpikir. 

"Kalau tidak salah dengar, pendekar itu berjuluk 
Pendekar Slebor. Andika..., tahukah kau di mana dia?" 

"Maksud Kang Menggolo, Pendekar Slebor?" 

"Ya! Aku ingin meminta bantuan pendekar perkasa 
itu. Kau tahu, di mana dia, Andika?" 

Andika tersenyum. 

"Kang Menggolo tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena 
sekarang ini dia berada di hadapan Kakang." 

'Apa...?! 


k k k 





Seperti yang diberitahukan Menggol o, keesokan 
paginya Andika mendatangi rumah Mayang. Rumah yang 
terletak menyendiri di ujung desa hanya kecil saja, namun 
berkesan apik dan rapi. Andika yakin, yang menghuni 
adalah orang yang rajin menjaga kebersihan. 

Tetapi yang membuat kening Andika berkerut, ketika 
melihat kenyataan kalau di depan rumah itu berdiri tiga 
orang lelaki berbadan tegap. Mereka mengenakan pakaian 
dan topeng berwarna merah, menutupi seluruh kepala dan 
wajah. Hanya matanya saja yang terlihat dan tampak 
bersinar dingin. 

"Ada perlu apa kau, Anak Muda?" tanya salah 
seorang sambil bersedekap. Sikapnya seperti seorang 
jagoan. Nada suaranya menyentak. Dengan sekali bentak, 
dia mungkin ingin menggertak Andika. 

Tetapi yang dihadapi adalah pendekar urakan yang 
sudah tentu hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun, 
otaknya berputar memikirkan siapa ketiga manusia itu. 

"Hei, Orang Pakaian Merah! Aku ingin menemui 
kekasihku! Nah! Sekarang katakan, apakah dia ada?!" 
sahut Andika dengan suara menyentak pula. Bahkan sudah 
memasang sikap tengil, dengan dagu terangkat dan bibir 
mencibi r. 

Andika melihat sepasang mata itu bersinar merah. 

"Apa yang kau katakan, hah?!" kata laki-laki itu 
dengan suara ditekan. "Tidak ada kekasihmu di sini! Lebih 
baik pergi saja dari sini, sebelum kemarahan kami naik!" 

"Nah, nah.,.. Kok aneh? Jelas-jelas ini rumah 
kekasihku. Nama kekasihku Mayang," kilah Andika, jengkel 
melihat sikap ketiga orang itu. "O ya, kalau kau sendiri mau 
apa? Oho! Aku tahu sekarang. Kalian bertiga ini pasti 
orang-orang yang datang untuk menjaga kekasihku, 
bukan? Bagus! Kalau begitu, minggirlah. Tuanmu berkenan 
ke rumah itu." 

Dari sikap bersedekapnya, orang yang bertanya tadi 
menurunkan tangannya. Kakinya melangkah, menahan 
langkah Andika. Sementara yang dua lagi, tetap dengan 
kedua kaki terbuka dan tangan bersedekap di dada. 

"Lho, lho...? Kenapa ini? Minggir! Kalau tidak, nanti 
aku tidak gaji, ya?" ejek Andika. 

Sebenarnya, Pendekar Slebor paling tidak suka 
melihat orang yang suka meremehkan orang lain seperti 
ini. Apalagi sikapnya begitu memuakkan. Hanya yang 
membuatnya merasa heran, apakah sebenarnya ketiganya 
memang penjaga Mayang? Wah! Kalau begitu, tentunya 
Mayang bukan gadis sembarangan. 

Tetapi kata Menggolo, gadis itu kini sebatang kara. 
Hidup dalam kemiskinan, meskipun mempunyai harta yang 
dikatakan Ki Seta sebelum ajalnya. Tetapi, tak ada yang 
mengetahui di mana harta itu berada. 

Berpikir seperti itu, Andika yakin kalau ada sesuatu 
yang semakin aneh saja di sini. Pertama, siapa ketiga 
orang berpakaian dan bertopeng merah ini? Kedua, harta 
apakah yang diributkan, sehingga Ki Seta 
mempertahankannya dan menemui ajal secara 
mengenaskan. Mata di balik topeng itu memancarkan sinar 
amarah. 

"Anak muda! Sudah kukatakan, lebih baik pergi dari 
sini!" 

Andika menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. 
"Wah! Ini bagaimana, sih? Aku hendak menemui 
kekasihku, kok dilarang? Memangnya kamu bapaknya, ya? 
Kalau bapaknya, mengapa mukamu ditutup seperti itu? 
Aha! Aku tahu, aku tahu. Pasti ada bopengnya, kan?" ledek 
Andika sambil nyengir. 

Sebagai jawaban, orang bertopeng merah itu 
melepas sebuah pukulan lurus ke wajah Andika. Wuttt! 
"Uts.J" 

Dalam sikap mengejek, Andika hanya memiringkan 
kepala sedikit saja. Maka, pukulan itu meleset. 

Melihat pukulannya meleset, orang bertopeng merah 
itu semakin ganas. Kembali diserangnya Andika dengan 
cepat. 

"Heiiittt!" seru Andika, sambil melompat. "Kalem 
saja. Bung! Aku tidak lari!" 

Orang itu terus memburu Andika dengan serangan- 
serangan berbahaya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat 
ke arah bagian tubuh Andika yang mematikan. Namun 
pemuda yang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu 
dengan mudah menghindarinya. Sepintas saja sudah 
terlihat, kalau, kesaktian orang bertopeng merah itu kalah 
jauh dibanding Pendekar Slebor. 

"Bangsat! Pantas kau berani bertingkah, Anak 
Muda!" seru laki-laki itu geram sambil menyerang lagi. 

Wuuuttt! 

"Heaaa! Sabar, Bung.... Sabar! Kiamat masih jauh!" 
ejek Andika sambil terus menghindari serangan. Namun 
mendadak Pendekar Slebor menghentikan gerakannya. 
Saat lawannya menyerang, dengan manis ditangkapnya 
tangan itu, lalu dipuntirnya. Seketika Andika memukul 
punggung laki-laki ini. Desss.J "Aaakh...!" 

Laki-laki bertopeng merah tersungkur disertai jerit 
kesakitan. 

"He he he., lumayan juga kulitmu!" ejek Andika 
sambil terkekeh. 

Begitu bangkit, orang itu berbalik. Kedua tangannya 
cepat dikibaskan dengan kegeraman menjadi-jadi. Lalu 
dengan suara keras, tubuhnya meluruk menerjang. 

"Heaaa! Mampuslah kau!" 

"Uts.J" 

Andika cukup memiringkan tubuhnya, menghindar. 
Sehingga serangan yang penuh tenaga itu pun luput dari 
sasaran 

Sementara itu, dua orang berpakaian dan bertopeng 
merah yangsejak tadi hanya tegak bersedekap, kini saling 
berpandang. Mereka marah melihat kawan mereka 
dipermainkan pemuda beralis seperti kepakan sayap elang 
itu. Maka seperti mendapat aba-aba, keduanya maju ikut 
menyerang Andika. 

"Wah, ini kacau!" seru Andika berlagak kebingungan. 
"Hei, Monyet-monyet Bertopeng! Aku Tuanmu, yang ingin 
bertemu kekasihku!" 

Tetapi ketiga orang bertopeng terus menyerang. Dan 
yang paling ganas adalah orang yang pertama tadi, yang 
sudah jengkel dipermainkan Andika. 

Andika yang semakin yakin kalau ada sesuatu yang 
terjadi, kali ini pun bertindak. Dia merasa sudah cukup 
dipermainkan. Maka dengan kecepatan mengagumkan, 
tubuhnya berkelebat sambil melepas pukulan dahsyat. 

Des! Des! Des! 

"Aaakh...!" 

Dalam sekali gebrak saja, ketiga orang bertopeng itu 
sudah ambruk dalam keadaan pingsan. 

Andika mengangkat alisnya. Nyengir. 

"Hanya begitu saja sudah sombong!" kata Andika 
sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Lalu dia 
menepuk-nepuk pakaiannya, seolah menyingkirkan debu. 

Kini Pendekar Slebor melangkah ringan memasuki 
rumah itu. Tepat pada saat itu pintu rumah Mayang 
terbuka. 

Andika melihat seraut wajah jelita, namun penuh 
kedukaan berdiri di hadapannya. Tubuhnya nampak layu 
dengan mata memancarkan kesedihan. 

"Inikah Mayang?" desis Pendekar Slebor di hati. 

"Kakang.... Aku tidak mengenalmu. Tetapi 
kusarankan, agar meninggalkan rumah ini..." kata gadis 
cantik yang memang Mayang. 

Kening Andika berkerut. Sungguh tak pernah 
disangka kalau sambutan Mayang seperti ini. 

"Mayang..., aku atang untuk menolongmu...," jelas 
Andika setelah berpikir. 

"Untuk menolongku?" 

Mayang mencibir, meskipun jelas sekali dalam 
kedukaan. 

"Ya." 

Hanya itu yang bisa dikatakan Andika, karena tidak 
tahu harus berkata apa. Gadis itu menggeleng. 

"Kakang..., tidak ada yang perlu ditolong.... Aku baik- 
baik saja...," tegas Mayang. 

"Tetapi...." 

"Pergilah dari sini, Kakang...," potong Mayang. 

Menghadapi gadis yang kaku tak ubahnya mayat 
seperti ini, Andika yang biasanya lincah, kini mati kutu. Dia 
tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi keingin tahuannya 
tentang kesediaan Mayang yang hendak dijadikan lumbal 
oleh Manusia Pemuja Bulan, semakin mendesaknya. 

"Mayang..., aku datang ingin menolongmu," tegas 
Pendekar Slebor sekali lagi. "Maaf, jangan dipotong dulu. 
Apakah kau bersedia dijadikan tumbal oleh Manusia 
Pemuja Bulan?" 

"Kalau itu yang Kakang ingin ketahui..., yah! Aku 
bersedia...." 

"Namaku Andika...." 

"Sekarang, tinggalkanlah tempal ini, Kang Andika...," 
ujar gadis ini. 

"Mayang, mengapa kau bersedia melakukannya? 
Apakah kau tidak tahu kalau Manusia Pemuja Bulan 
hanyalah orang sesat yang memanfaatkan keluguan kalian 
dengan kesaktiannya?" 

Gadis itu tersenyum hambar. 

"Jangan menghina Ketua Wedokmurko, Kang Andika. 
Kau akan mengalami hal yang mengerikan sekali. Seperti 
Aki," ujar Mayang. 

"Kakekmu meninggal bukan karena amarah Dewa 
Bulan, tetapi dibunuh Manusia Pemuja Bulan," tukas 
Andika. 

"Kang Andika salah. Dewa Bulan marah pada Aki, 
karena tidak memberitahukan harta apa yang disembu¬ 
nyikannya. Bukan Ketua Wedokmurko yang membunuh 
Aki! Tetapi, Dewa Bulan yang marah pada Aki,"sergah 
Mayang, mantap. 

Kali ini Andika benar-benar mati kutu, tidak tahu 
cara menghadapi gadis ini. 

"Mayang..., seharusnya kau mengerti, bahwa aku" 
Brakkk! 

Kata-kata Andika terpotong, karena Mayang sudah 
menutup pintu. 

"Monyong!" sungut Pendekar Slebor. "Aku jadi 
penasaran ingin mengetahui kayak apa sih Manusia 
Pemuja Bulan itu?" 


k k k 


Andika kembali lagi ke rumah Menggolo, hendak 
menanyakan tentang ketiga orang berpakaian dan 
bertopeng merah di rumah Mayang tadi. Juga 
memberitahukan sikap bulat Mayang yang tetap bersedia 
menjadi korban Dewa Bulan. 

Yang mengherankannya wajah Mayang begitu kaku, 
tak ubahnya mayat hidup. Setiap kali berkata-kata tadi, tak 
ada perubahan wajah sesuai kata-katanya. Tak lebih bila 
dikatakan, Mayang seperti tengah menghafal kalimat- 
kalimat saja sebagai jawaban. 

Andika pun semakin bergegas ke rumah Menggolo. 

Namun alangkah terkejutnya Andika, ketika dari 
kejauhan terlihai kerumunan orang di rumah Menggolo. 
Batinnya bergetar. Apakah sesuatu telah terjadi? 

Bergegas Pendekar Slebor melangkahkan kakinya, 
datang ke sana. Namun belum lagi ia berbuat apa-apa. 

"Itu dia orangnya!" 

Orang-orang itu kontan berbalik, menatap Andika 
dengan wajah garang dan tatapan marah. 

"Hhh! Sudah kukatakan kemarin, kalau pemuda 
inilah yang membunuh Medi! Dan sekarang, dia 
membunuh Kang Menggolo dan istrinya!" 

Andika masih ingat, kalau yang membentak itu laki- 
laki berkumis tebal yang dikenal bernama Sawedo. 

"Saudara Sawedo..., sabar dulu. Ada apakah ini? 
Apakah yang dialami Kang Menggolo dan istrinya?" tanya 
Andika tanpa bisa menyembunyikan ketegangannya. 

"Jangan banyak omong! Kau harus 
mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah 
membunuh Kang Menggol o dan istrinya!" dengus Sawedo. 

Tanpa menunggu jawaban lagi, Sawedo sudah maju 
dengan golok besar di tangannya. Cepat dibabatkannya 
golok itu. 

"Hih!" 

Bet...! 

Andika berkelit. Kini Pendekar Slebor tahu, kalau ajal 
telah menjemput Kang Menggolo dan istrinya. Oh, Tuhan...! 
Siapakah yang telah membunuhnya? Apakah ini petaka 
yang dikatakan Menggolo ketika bercerita tentang Manusia 
Pemuja Bulan? 

Namun Pendekar Slebor sudah tidak bisa berpikir 
lagi. Karena sekarang bukan hanya Sawedo yang me¬ 
nyerangnya. Berpuluh-puluh laki-laki dengan senjata di 
tangan telah memburunya. 

"Sabar! Sabar! Kita semakin salah paham!" ujar 
Pendekar Slebor, sambil terus berkelit menghindari 
serangan. 

"Manusia hina!" maki Sawedo geram sambil 
mengayunkan kembali golok besarnya. "Kau balas 
pertolongan Kang Menggolo dengan mencabut nyawanya!" 

"Kalian salah paham!" seru Andika. "Aku tidak 
membunuh siapa-siapa!" 

Namun tak seorang pun percaya akan kata-kata 
Andika. Terutama, Sawedo. Dia sejak pertama memang 
tidak mempercayai Andika. Namun karena merasa Kang 
Menggolo yang bertanggung jawab, sesuai janji Andika 
untuk menangkap pembunuh Medi, makanya Sawedo 
membiarkan Andika dibebaskan. Tetapi sekarang, semua 
kecurigaannya terbukti. 

Andika sendiri mendengus melihat orang-orang itu 
menyerang dengan ganas. Tak ada jalan lain kecuali 
melarikan diri dari tempat itu. Dan Andika tahu, ini 
hanyalah kesalah pahaman telah terjadi. Kalau dirinya 
masih berada di sini, tidak mustahil orang-orang itu akan 
bertambah kalap. 

Maka begitu mendapat kesempatan, Pendekar 
Slebor melenting tinggi ke udara, melewati kepala orang- 
orang yang mengepungnya. Begitu menjejak tanah, 
tubuhnya langsung berkelebat meninggalkan tempat ini. 

Orang-orang itu pun langsung memburu Andika 
dengan seruan-seruan keras. Namun sudah tentu mereka 
lidak mampu mengejar Andika yang memiliki ilmu lari 
secepat angin. 




Tak seorang pun yang tahu kalau di bagian kanan 
Gunung Pengging terdapat sebuah gua. Tempatnya gelap 
dan sepi, terhalang tetumbuhan merambat. Letaknya 
memang sulit dicapai, berada di sisi sebuah jurang. 
Bahkan terhalang rimbunnya semak belukar. 

Hanya Manusia Pemuja Bulan dan orang-orang 
berpakaian dan bertopeng merah saja yang tahu kalau di 
sana ada sebuah gua. Di sanalah tempat persembunyian 
Wedokmurko, bersama pengikut-pengikutnya yang 
berpakaian dan bertopeng merah. 

Malam ini, suasana di sekitar gua itu tetap sunyi, 
gelap, sekaligus menyeramkan. Di luar gua,berkeliaran 
beberapa orang yang berpakaian dan bertopeng merah. 
Sementara di salah satu bagian gua, teriihat sebuah api 
unggun menyala, menerangi sekitarnya. 

Di antara jilatan cahaya api unggun, laki-laki 
berjubah hitam dan berwajah tirus sedang duduk berlutut, 
di hadapan sebuah pilar batu. Di atas pilar terdapat satu 
sosok tubuh yang tergolek lemah dalam keadaan telan¬ 
jang bulat. 

Mulut laki-laki yang tak lain Ki Wedokmurko alias 
Manusia Pemuja Bulan komat-kamit, membaca mantc-ra. 
Lalu diambilnya dupa yang mengepulkan asap di antara 
kedua kaki gadis itu. 

"Ha ha ha...!" 

Tiba-tiba Ki Wedokmurko terbahak-bahak, suara-nya 
menggema keras. 

"Aku hanya membutuhkan empat orang perawan lagi 
untuk menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa' yang 
sedang kupelajari! Bila sudah selesai, dengan ajian 
'Unggulan Dewa' ini aku akan menguasai dunia persilatan! 
Ha ha ha...," lanjut laki-laki berwajah tirus ini. 

Mata Ki Wedokmurko menatap tubuh gadis yang 
terbujur tanpa busana itu. Lalu perlahan-lahan, dia bangkit 
berdiri sambil melepas jubahnya. Kemudian kedua 
tangannya dimasukkan ke dalam sebuah cawanyang berisi 
cairan berwarna kuning. Seketika terlihat kedua tangannya 
berwarna kuning pula. 

Mulut laki-laki ini berkomat-kamit sambil meniup 
kedua telapak tangannya berkali-kali. Lalu diusapnya wajah 
dan sekujur tubuh gadis yang pingsan itu. Gerakannya 
begitu perlahan. Sementara tubuhnya bergerak bagai 
orang mabuk. 

Bertepatan dengan itu, mulut Ki Wedokmurko 
komat-kamit kembali. Suasana yang menggetarkan 
sekaligus mengerikan, berubah menjadi suasana dalam 
pengaruh sihir. 

Mendadak saja teriihat sekujur tubuh Ki 
Wedokmurko memerah dan bergetar hebat. Semakin lama 
getarannya semakin mengencang. 

Sementara gadis itu tetap dalam keadaan pingsan. 
Setelah beberapa saat, getaran tubuhnya pun melemah, 
seiring pudarnya warna merah yang menyelimuti tubuhnya. 

"Ha ha ha.... Tak seorang pun yang akan mampu 
menandingi kesaktianku ini!" kata Manusia Pemuja Bulan 
pongah. 

Lalu Ki Wedokmurko membuka kedua telapak 
tangan, dan mengusapkannya satu sama lain. Mendadak 
terlihat asap hitam mengepul dari sana. Semakin lama 
semakin banyak. 

Wedokmurko meniup-niup asap hitam itu, lalu 
menariknya melalui napas. Berbondong-bondong asap itu 
masuk ke mulutnya dalam satu tarikan napas. 

Tiba-tiba Ki Wedokmurko mengibaskan kedua 
tangannya ke muka, ke arah sebuah batu besar yang ada 
di situ. Gerakannya teriihat sangat lambat. Bahkan seolah 
tidak ada tenaga yang dihempaskan. Namun.... 

Duaaarrr! 

Mendadak saja terdengar suara menggelegar keras. 
Batu besar itu hancur seketika. "Ha ha ha...!" 

Kembali Ki Wedokmurko terbahak-bahak penua 
kepuasan. Wajahnya semringah dengan kedua mata teri 
buka lebar. 

"Ajian 'Unggulan Dewa’ sebentar lagi akan ku kuasai 
dengan sempurna! Ha ha ha.... Begitu mudah kudapatkan 
tumbal untuk penyempurnaan ilmuku. Darah perawan 
itulah yang akan menyempurnakan ajian 'Unggulan Dewa'! 
Ha ha ha...." 

Tawa Ki Wedokmurko semakin menggema. 

Ya! Hanya tinggal beberapa kali saja Manusia Pe-j 
muja Bulan menyempurnakan ajian 'Unggulan DewaJ 
Hanya tinggal empat kali lagi mengorbankan dara perawan. 

Sementara itu, tubuh gadis malang yang telah 
dikorbankan Ki Wedokmurko sebagai tumbal ilmunya 
mendadak saja menyusut bagai nenek-nenek kurus kering. 
Darahnya bagai kering tiba-tiba. Lalu, teriihat asap 
mengepul dari sekujur tubuhnya. Dan perlahan-lahan 
bagaikan ada sebuah aliran aneh, sekujur tubuhnya me 
pelupas. Yang ada hanya tinggal tulang-belulang saja! 

Ki Wedokmurko menggerakkan tangannya. Wuuuttt! 

Mendadak saja tulang-belulang gadis itu lenyap dari 
pandangan. Dan sinar kepuasan semakin membayang di 
wajahnya yang menyeramkan. 

"Hhh...!" 

Tiba-tiba saja Manusia Pemuja Bulan mendengus. 

"Mengapa manusia gembel itu belum datang juga 
hingga saat ini? Apakah dia hendak mempermainkan aku?" 


k k k 

Seorang laki-laki tengah melangkah di jalan setapak. 
Usianya kira-kira delapan puluh lima tahun. Tubuhnya 
kurus, namun masih nampak gagah. Cara berpakaiannya 
pun seperti seorang pendekar. Hanya mengenakan celana 
pangsi berwarna hitam dengan rambut terurai panjang tak 
beraturan. Kumis putihnya cukup le-hat. Dia tidak 
mengenakan baju, sehingga memperlihatkan tubuhnya 
yang kurus dan menampakkan tulang-tulang di tubuhnya. 
Wajahnya yang kukuh dan keras, mencerminkan wataknya 
sebagai seorang yang keras. Tetapi, juga patuh. 

Tiba-tiba saja laki-laki tua itu menghentikan lang¬ 
kahnya. Telinganya seperti menegak, mendengar sesuatu 
yang menarik perhatiannya. Dan mendadak saja, dia 
melompat ke sebuah dahan pohon tinggi tak jauh dari 
tempat nya. 

Wuuuttt! 

Dari atas sana laki-laki tua ini melihat seorang 
pemuda berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak 
catur tersampir di bahu, sedang berlari. Tak lama, pemuda 
itu berhenti tepat di bawah pohon yang diduduki laki-laki 
tua itu. 

Kening laki-laki tua ini berkerut, melihat dari mana 
pemuda itu datang. Tak ada yang mengejarnya, tak ada 
siapa-siapa di sana. Kenapa anak muda itu berlari seperti 
dikejar setan? 

Lalu tiba-tiba saja laki-laki tua ini melompat turun 
tepat di depan pemuda berpakaian hijau pupus. 

"Ops! Copot, copot!" Pemuda itu tersentak kaget. 

Sementara laki-laki tua ini langsung menatap tajam 
Biji matanya yang kelabu lekat ke bola mata pemuda itu 
yang masih mengusap-ngusap dadanya seolah untuk 
mengusir kekagetannya. 

"Siapakah kau, Anak Muda?" tanya laki-laki tua itu 
dengan suara sedikit angker. 

"Aku? Namaku Andika. Kau sendiri?" kata pemuda 
itu yang tak lain Andika, alias Pendekar Slebor. 

Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Belum 
pernah seorang pun berani bertanya kepadanya seentang 
itu. 

"Anak muda! Kau punya nyali juga rupanya, hah?!' 
kata laki-laki tua ini. Suaranya terdengar dingin. 

Kening Andika berkerut. Dia agak heran kenapa laki- 
laki tua di depannya seperti marah padanya? Andika pun 
menyadari kesalahannya, karena terlalu enteng bertanya. 

"Maatkan aku, Ki... Hmmm, siapakah namamu?" 
ucap Pendekar Slebor. 

"Ha ha ha...!" 

Kali ini laki-laki tua itu terbahak-bahak. Dan Andika 
pun membelalakkan matanya, mendengar suara tawa itu. 

"Hei?! Apa kau sedang latihan nyanyi, Ki?" dengus 
Andika kesal sambil mengalirkan tenaga dalam ke gendang 
telinganya. "Kalau memang iya, suaramu hanya pantas 
diadu dengan burung gagak!" 

Laki-laki tua itu masih terbahak-bahak. Sampai urat- 
urat di lehernya menegang. Dan mendadak saja, 
tangannya melesat ke wajah Andika. 

Wuuuttt! Brrr! 

"Uts.J" 

Angin dingin menerpa wajah. Namun Andika cepat 
menarik kepalanya ke belakang. Lalu dengan gerakan 
ringan tubuhnya melenting ke atas, sambil menangkis 
serangan berikut yang datang dengan cepat dengan 
kakinya. 

"Hei?! Aku belum tahu siapa kau, Orang Tua Keriput! 
Kenapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" seru Andika, begitu 
mendarat di tanah. 

Namun laki-laki bertelanjang ada itu kembali 
menyerang Andika dengan gencarnya. Serangan- 
serangannya sangat berbahaya. Bahkan teriihat kalau 
bukan ingin menguji Andika, namun ingin membunuhnya! 

Gerakan laki-laki tua ini demikian cepat, penuh 
gerak tipu yang mematikan dan daya gempur yang dahsyat. 
Kalau bukan Andika alias Pendekar Slebor, sudah bisa 
dipastikan akan mapus dalam sekali gebrak saja. Tetapi 
karena diserang terus menerus seperti itu, Andika 
kerepotan juga akhirnya. 

"Gila! Lama kelamaan aku bisa mampus juga, nih!" 
dengus Andika dalam hatinya, 

Lalu Pendekar Slebor bersalto dengan lincahnya 
Namun Andika harus langsung melenting kembali, karena 
serangan berikutnya datang. Kali ini Pendekar Slebor tidak 
mau menghindar terus menerus, seperti monyet yang 
dikejar buaya. 

Begitu serangan berikut datang, mendadak saja 
tubuh Pendekar Slebor meluncur deras ke arah laki-laki tua 
itu yang tengah menyerang. 

"Heaaah...!" 

P lak! Duk! 

Benturan tangan terjadi. Andika terjajar beberapa 
tindak. Tangannya langsung terasa bergetar. Bisa 
dirasakan, betapa kuatnya tenaga dalam laki-laki 
bertelanjang dada itu. 

Sementara, laki-laki itu pun mundur beberapa 
tindak. Wajahnya tidak menggambarkan apa-apa, 
walaupun sebenarnya tangannya sangat nyeri. Justru 
matanya terbelalak kaget. 

"Hei! Kau?" seru laki-laki tua ini terperangah. 

"Kenapa, hah?! Kau tahu tidak, benturan ini sangat 
sakit! Enaknya saja main serang! Siapa sih, sebenarnyaj 
kau ini? Sebangsa manusia yang iri karena kau jelek,,, 
ataukah setan yang lagi menyamar?!" dengus Andika 
mendongkol. 

Tetapi lagi-lagi orang tua itu tidak menghiraukan 
kata-kata Andika. Justru kembali diserangnya Andika 
dengan ganas. 

"Kutu busuk! Kadal buntet! Monyet pitak!" 

Sumpah serapah Andika pun keluar karena harus 
kembali melayani serangan-serangan yang aneh dan cepat 
itu. 

Setiap kali tangan laki-laki itu bergerak, maka hawa 
dingin yang sangat kuat langsung menyergap. Untunglah 
Andika sudah mengalirkan tenaga 'inti petir’ tingkat ke tiga 
puluh, sehingga tubihnya tidak menjadi kaku kedinginan. 

Lalu dengan gerakan dan ilmu yang didapat dari 
lembah Kutukan, Pendekar Slebor tidak lagi hanya 
menghindar. Bukan pula hanya mengimbangi Bahkan 
mulai membalas. 

"Bagus! Aku memang ingin melihat jurus-jurusmu!" 
seru laki-laki tua itu sambil menyilangkan kedua tangan di 
dada dan menyerang kembali. 

Andika yang memang kali ini harus melawan pun 
mengeluarkan jurus yang didapat dari Pendekar Lembah 
Kutukan. Tenaganya yang mengandung petir pun 
mengimbangi pukulan dingin dari laki-laki tua itu. 

Ketika Andika hendak mengeluarkan ajian 'Guntur 
Selaksa', tiba-tiba saja laki-laki tua itu bersalto ke 
belaka ng. 

"Tahan!" seru laki-laki tua ini. Andika mendengus. 

"Enaknya! kau sudah menyerangku! Sekarang, 
giliranku! Ayo, bersiap!" seru Pendekar Slebor tak ubahnya 
anak kecil yang sedang bermain sesuatu dan sekarang 
mendapat giliran. 

Tetapi laki-laki tua itu hanya menggelengkan kepala 
saja. Andika melihat biji matanya yang kelabu yang Kcjak 
tadi memancarkan sinar angker, kini nampak cerah. 

"Aku tahu, aku tahu sekarang.... Anak Muda, kau kah 
yang digembar-gemborkan orang rimba persilatan sebagai 
pendekar pewaris ilmu Lembah Kutukan?" tanya laki-laki 
tua ini tiba-tiba dengan tatapan cerah meminta jawaban. 

Kening Andika berkerut. Kenapa lagi laki-laki ini? 
Tadi menyerang begitu saja, kini justru bersikap baik. 

"Kenapa memangnya?" tanya Andika yang sua 
telanjur kesal. 

"Jawab saja, Anak Muda. Apakah kau pewaris ilmu 
Lembah Kutukan?" 

"Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?. Aku tidak 
punya urusan denganmu, Aki-aki Peot!" semprot Andika. 

"Aku bertanya!" seru laki-laki tua itu keras. 

"Kalau aku tidak mau jawab, kenapa?" balas Andika, 
tidak kalah kerasnya. 

Mata kelabu laki-laki itu kembali nyalang. Tetapi 
kemudian meredup kembali. 

"Baik! Kita tidak usah bertengkar. Jawablah 
pertanyaanku tadi...," desah laki-laki tua ini kemudian. 

Andika memalingkan wajahnya. Hatinya masih 
jengkel melihat sikap laki-laki bertelanjang dada itu. I 

"Kau benar. Aku memang pewaris ilmu Lembah 
Kutukan. Buyutku Pendekar Lembah Kutukan." 

"Oh, Tuhan! Gusti Allah.... Kau..., kau...." 

Wajah laki-laki tua itu terperanjat. Dan tiba-tiba saja 
dia menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Andika. 

"Maafkan hamba...," ucap laki-laki tua ini. 

"Hei" 

Andika berjingkat kaget. Kenapa laki-laki ini? Gila? 
Benar-benar tidak bisa dimengerti. Kalau tadi marah marah 
bertanya, kini menyembah. Busyet! Mimpi apa pendekar 
muda ini semalam kalau ada orang yang menyembah 
kakinya yang baunya cukup lumayan. 

"Orang tua..., bangunlah! Apa-apaan kau ini...," ujar 
PendekarSlebor. 

"Tuanku..., maafkan hamba...," ucap orang tua ini. 

"Kenapa sih?" tanya Andika sambil menggaruk-ga-nik 
kepala yang tidak gatal. 

"Hamba bernama Tridarma, Tuanku. Hamba dulu 
Pelayan di Lembah Kutukan, abdi setia Ki Saptacakra .," 
jelas laki-laki tua itu, tanpa mengangkat kepala yang 
bersujud. 

Andika mengerutkan keningnya. Abdi setia Ki 
Saptacakra? 

"Ki Tridarma..., bangunlah...." 

"Ampunkan hamba, Tuanku.... Karena hamba telah 
menyerang Tuanku.... Itu hamba lakukan, semata ingin 
membuktikan dugaan hamba tadi, kalau yang hamba lihat 
adalah jurus-jurus dari Lembah Kutukan...," ucap laki laki 
tua yang mengaku bernama Tridarma. 

Andika menggaruk-garuk kepala tidak mengerti. Mau 
apa lagi ini? 

"Sudahlah.... Kau kumaafkan. Bangunlah...." 

"Begitulah, Tuanku.... Setelah Ki Saptacakra 
melakukan tapa suci, hamba pun keluar meninggalkan 
Lembah Kutukan," tutur Tridarma bercerita pada Andika. 
Keduanya duduk di bawah rindangnya pohon. "Tetapi, 
setelah keluar dari sana..., hamba justru ragu untuk 
kembali ke Lembah Kutukan. Karena hamba tahu, Ki 
Saptacakra sangat marah bila ada yang keluar dari 

Lembah Kutukan tanpa izin. Apalagi, hamba sudah keluar 
terlalu lama. Karena..., terus terang, dunia luar sangat 
indah dan mengasyikkan. Sehingga hamba melupa untuk 
kembali ke Lembah Kutukan. Setelah ingat har kembali, 
justru ketakutan itulah yang mendera ham Karena rasa 
takut itulah, akhirnya hamba memutus" untuk tidak 
kembali ke sana. Dan sungguh, hamba ti tahu..., apakah 
yang sekarang terjadi dengan Ki S tacakra..." 

Andika mendesah pendek. Matanya lekat mena 
Tridarma yang berkata-kata sambil menunduk" kepala. 

"Ki Tridarma...." 

"Jangan panggil hamba seperti itu, Tuanku. J-jungan 
KiSaptacakra memanggil hamba dengan sell an nama 
saja," tolak Tridarma, lagi-lagi tanpa me angkat kepala. 

"Apa bedanya?" 

"Jelas ada, Tuanku, tuanku adalah majikan ham Dan 
hamba pelayan Tuanku.... Sehingga, Tuaku n mangil 
hamba dengan sebutan apa pun, hamba me rimanya." 

Andika tersenyum. 

"Bagaimana kalau kau kusebut, Kebo Kurus?" ge 
Andika. 

"Hamba, Tuanku." 

Andika mengulapkan tangannya. Ini orang kok gitu 
patuhnya, ya? 

"Sudahlah.... Kau akan kupanggil dengan nama saja. 
Tridarma, ketahuilah.... Sampai saat ini, Ki Saptacakra 
mungkin masih melakukan tapa suci. Aku tidak tahu 
secara pasti. Tetapi ketika pertama kali aku berjumpa 
dengannya, dia memang sedang melakukan tapa suci jelas 
Andika. (Untuk mengetahui tentang Ki Saptacakra silakan 
baca episode: "Dendam dan Asmara"). 

"Apakah.... Junjungan Ki Saptacakra menanyakan 
hamba, Tuanku?" tanya Tridarma takut-takut. 

"Tidak. Dia tidak bertanya apa-apa...." sahut Andika. 

"Oh! Apakab dia marah kepada hamba?" 

"Aku tidak tahu. Tetapi, sudahlah. Sekarang ini..., 
kau hendak ke mana?" 

"Ke mana?" 

Tridarma mengangkat kepalanya. "Sudah tentu 
hamba akan mengikuti Tuanku," tegas Tridarma 

Kali ini ganti Andika yang membelalakkan matanya. 
"Ikut denganku? Oh! Lebih baik jangan. Aku lebih suka 
menyendiri...," tolak Andika. 

"Tetapi, Tuanku. Hamba ingin menebus segala dosa 
yang telah hamba perbuat pada Ki Saptacakra. Maka, 
perkenankanlah hamba melakukannya pada Tuanku, vang 
merupakan turunan terakhir dari Pendekar Lembah 
Kutukan...," tegas Tridarma. 

Andika menggeleng-geleng. "Ah! Aku tidak tahu, 
apakah aku mengizinkan atau tidak," keluh Pendekar 
Slebor. 

"Tetapi untuk sekarang mi, bila kau memang ingin 
mengikutiku..., silakan...-" Andika bangkit. 

"Ke manakah Tuanku akan pergi?" 

"Aku hendak kembali ke desa di lereng Gunung 
Pengging" 

"Apakah ada persoalan, Tuanku?" "Kuceritakan 
sambil berjalan " 




Malam Jumat. 

Kembali orang-orang yang tinggal di sekitar gunung 
Pengging mendatangi lerengnya, untuk mengikuti upacara 
pemujaan Dewa Bulan dan penyerahan korban. 

Seperti biasanya, sebelum malam Jumat, gadis yang 
hendak dikorbankan sebagai tumbal mendadak saja 
lenyap dari rumahnya. Orang-orang yang mengalami seperti 
itu sudah tidak terkejut lagi, meskipun sedih bukan main. 
Dan mereka hanya pasrah saja, sehingga rel 
mengorbankan anak gadisnya. Apalagi menurut Ketua 
Wedokmurko, justru dia telah memilih anak gadis mereka 
untuk dijadikan teman di alam sana. 

Kini mereka pun yakin, kalau Mayang sudah lenyap 
dari rumahnya. Karena, biasanya memang begitu. 

Seperti biasanya pula, orang-orang itu membentuk 
sebuah lingkaran besar yang di tengah-tengahnya terdapat 
sebuah api unggun besar. Lalu, muncullah enam orang 
laki-laki berpakaian dan bertopeng merah. Mereka 
bergerak bagaikan orang mabuk, menari mengelilingi api 
unggun diiringi senandung para penduduk. Suasana sangat 
mencekam, bagai di alam gaib. Susasana yang mencekam 
itu dapat dirasakan pemuda berpakaian hijau pupus yang 
bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon besar, 
tak jauh dari tempat upacara dilaksanakan. 

"Tuanku..., upacara apakah ini?" tanya seorang laki 
laki tua bertelanjang dada, di sebelah pemuda yang tak 
lain Pendekar Slebor. 

"Mungkin, inilah upacara memuja Dewa Bulan yang 
sebentar lagi akan dilaksanakan...," jawab Andika berbisik 
di telinga laki-laki tua yang tak lain Tridarma. 

Mereka melihat suasana mencekam dari tempat 
ynng tak jauh. Suatu suasana yang penuh kekuatan sihir 
kuat sekali. Lalu, mendadak muncul satu sosok tubuh 
berjubah hitam. 

"Inikah Manusia Pemuja Bulan? Manusia laknat yang 
mempergunakan kesaktian dan ilmu sihirnya untuk 
mempengaruhi para penduduk...," desis Andika perlahan. 

Sekali lagi, Andika melihat satu sosok tubuh bagai 
melayang tiba di dekat api unggun itu. 

"Gila! Tenaga dalam yang sangat kuat!" sentak 
Andika tetap berbisik. 

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu 
sudah banyak makan asam garam dalam dunia persilatan. 
Sehingga dengan sekali lihat saja bisa tahu, kalau tubuh 
yang melayang itu dikendalikan tenaga dalam yang luar 
biasa tingginya. 

"Saudara-saudaraku semua.... Kini sesajen akan kita 
serahkan pada sesembahan kita, Yang Muha Dewa Bulan!" 

Terdengar suara dari mulut laki-laki berjubah hitam. 

"Gila! Itu pasti Mayang, gadis yang memasrahkan 
dirinya dijadikan sesajen. Rupanya, ajaran menyembah 
bulan yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan sudah 
meresap di hati mereka. Hingga pengorbanan nyawa pun 
dilakukan dengan suka rela...," kata Andika lagi, jengkel. 

Andika memperhatikan apa yang terjadi kemudian. 

Tampak kedua tangan Manusia Pemuja Bulan 
terangkat ke atas. Dari mulutnya keluar kata-kata bagaikan 
mantera. Lalu tubuhnya naik turun. Sementara senandung 
dari mulut para penduduk terus terdengar, perlahan-lahan 
dan menggema di sekitar lereng Gunui Pengging. 

"Dewa Bulan yang kami cintai..., terimalah sesajen 
yang kami berikan ini!" Wuuuttt! 

Mendadak saja sosok tubuh yang berada di 
hadapannya tadi itu lenyap dari pandangan"Hei, ke mana 
gadis itu?" desis Tridarma kaget. 

Manusia Pemuja Bulan tersenyum puas, lalu 
meminta orang-orang itu yang mempunyai keluhan untuk 
datang kepadanya. Dan nyatanya satu persatu yang sakit 
berhasil disembuhkan. 

Setelah upacara selesai, Manusia Pemuja Bulan 
langsung menuju gua persembunyiannya. 

"Ha ha ha..., orang-orang bodoh yang memang 
sangat mudah dibodohi! Sebentar lagi ilmuku akan 
sempurna!" seru Wedokmurko sambil tertawa keras. 

Lalu Manusia Pemuja Bulan berkelebat menuju ke 
satu tempat yang berada di sisi sebelah kiri gua dengan 
mempergunakan tenaga dalamnya, Wedokmurko menarik 
keluar dan mengirimkan lagi korbannya ke tempat itu. 

Sambil terbahak-bahak, Ki Wedokmurko membuka 
sebuah pintu yang terbuat dari batu. Begitu masuk, 
tawanya semakin menggema keras. 

"Ha ha ha.... Manis.... Kau tidak akan kukorbankan 
dulu untuk penyempurnaan ilmuku. Tetapi..., kau harus 
memberitahukan di mana kakekmu menyimpan hartanya... 
ha ha ha.... Harta itu kuperlukan untuk membangun 
istanaku kelak, sebelum mengukuhkan diri menjadi orang 
nomorsatu di rimba persilatan ini...," kata Manusia Pemuja 
Bulan. 

Dengan kasar, Manusia Pemuja Bulan menyibakkan 
sebuah tirai berwarna hitam yang memagari tempat itu 
dengan tempat gadis korbannya. Sinar matanya sudah 
tidak sabar untuk melihat gadis itu kembali. Karena, 
malam ini juga, dia akan mengorek keterangan dari mulut 
Mayang tentang harta yang disembunyikan kakeknya. 
Setelah itu, barulah darah perawannya dimanfaatkan 
sebagai tumbal penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' 
"Heh?!" 

Alangkah terkejutnya Ki Wedokmurko ketika tidak 
melihat sosok Mayang di sana. 

"Manusia Pemuja Bulan celingukan, lalu memeriksa 
sekelilingnya dengan cepat. Tetapi sosok Mayang tidak 
berada di sana. 

"Hm.... Apakah aku salah melemparkan tubuh 
Mayang dengan menggunakan ajian ’Silap Mata’ sehingga 
tidak jatuh pada tempat yang biasanya?" tanya laki-laki 
berwajah tirus ini dalam hati. 

Tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin Manusia 
Pemuja Bulan salah melakukan gerakan ajian 'Silap Mata’ 
yang sudah sangat tinggi kesempurnaannya. 

Tiba-tiba Ki Wedokmurko menggeram keras. 
Murkalah Manusia Pemuja Bulan setelah menyadari pasti 
ada seseorang yang sakti telah menantangnya. 

"Keparat busuk!" geram Manusia Pemuja Bulan 
dengan kedua tangan terkepal. 

"Siapa pun kau adanya aku tidak akan membiarkan 
mu hidup lebih lama lagi!" dengus Ki Wedokmurko. 

Manusia Pemuja Bulan lantas berkelebat, kembali 
ke tempatnya semula. Sebentar saja, Ki Wedokmurko telah 
sampai di tempat itu. Dia langsung duduk di sebuah batu 
besar setelah mengambil cawan yang berisi cairan 
berwarna kuning. Perlahan-lahan kedua tangannya 
dijadikan menjadi satu, dan diusap-usapnya hingga 
mengeluarkan asap berwarna hitam. 

"Di mana pun kau berada, kau harus mampus!" desa 
Manusia Pemuja Bulan. 

"Gila! Ini kacau, Tuanku. Oh! Tuanku? Tuanku 
Andika.... di manakah kau?" Tridarma jadi celingukan 
ketika menoleh, Andika sudah tidak ada. Sementara 
rombongan orang-orang itu semakin lama 
semakinmenjauh dengan bersuara berbisik, seolah 
pantang bagi mereka berbicara keras kalau masih berada 
di lingkungan tempat pemujaan. 

Laki-laki ini sama sekali tidak memperhatikan kalau 
Andika mendadak saja lenyap. Tridarma menggeleng- 
gelengkan kepala, mengagumi kesaktian pemuda yang 
telah mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan. Ilmu yang 
sangat sulit dicarikan tandingannya, kecuali memang para 
tokoh yang teramat sakli. 

Tridarma melompat bersalto dengan ringan ke 
bawah. Kepalanya kembali celingukan. Tak ada siapa-siapa 
di Sana. Rembulan mulai tersaput awan hitam, tidak lagi 
sebulat tadi. 

"Tuanku Andika.... Di mana kau? Di mana?" bisik laki 
laki tua ini sambil menajamkan pandangan dan 
pendengarannya. 

Tetapi sosok Andika tidak muncul juga, membuat 
Tridarma kebingungan. Dia mencari-cari lagi di sekitarnya 
sambil memanggil-manggil. Tetapi, Andika tetap tidak ada. 

"Oh! Ke manakah dia?" gumam Tridarma sambil 
mengingat-ingat kejadian tadi. 

Laki-laki tua ini memang terlalu asyik 
memperhatikan upacara pemujaan bulan tadi. Tetapi, 
diam-diam dia pun yakin akan kesaktian pemuda berbaju 
hijau pupus yang di bahunya selalu terdapat kain bercorak 
catur. Pasti Andika telah menggunakan ilmu meringankan 
tubuh yang paling tinggi, sehingga Tridarma tidak 
menyadari sama sekali. 

Tridarma memutuskan untuk segera mencarinya. 

k k k 


Sebenarnya, apa yang dilakukan Andika tadi? Dari 
mata yang terlatih dan pendengarannya yang tajam, Andika 
merasa yakin kalau sosok Mayang tadi didatangkan 
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. 

Pendekar Slebor pun teringat cerita Menggolo 
sebelum ajalnya, kalau sesajen yang akan diberikan 
kepada Dewa Bulan akan lenyap mendadak. Katanya, 
Dewa Bulan berkenan menerima sesajen yang diberikan. 

Teringat itu, semakin yakin di benak Andika, kalau 
sosok Mayang akan kembali dilenyapkan menggunakan 
tenaga dalam 

Andika pun menunggu dengan hati berdebar. Dia 
harus berlomba dengan waktu sebelum terlambat. Maka 
begitu yakin Ki Wedokmurko akan kembali melenyapkan 
Mayang, dengan cepat tubuhnya melesat menangkap 
tubuh gadis itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat. 
Namun sejenak tadi dia hampir saja terbawa lemparan 
tenaga dalam tinggi. Untung saja, Andika sudah 
mempersiapkan diri dengan tenaga dalam pula. Sehingga, 
dia bisa menghentikan laju sosok gadis itu yang hendak 
lenyap ke satu tempat. 

Pendekar Slebor segera membawanya tubuh 
Mayang yang terselimuti kain hitam ke sebuah tempat yang 
cukup jauh. Di tepi sungai yang terdapat di hutan kecil kaki 
Gunung Pengging, Pendekar Slebor berhenti. 

Andika membaringkan tubuh gadis itu. Lalu dengan 
cepat dialirkannya tenaga dalam dan hawa murni untuk 
menyadarkan Mayang dari pingsan. 

Sesaat Andika terkejut. Baru disadari kalau gadis itu 
bukanlah pingsan akibat sesuatu yang wajar, melainkan 
seperti terkena pengaruh sihir. 

Andika segera membuka kain bercorak catur yang 
tersampir di bahunya. Lalu kain pusaka itu direndam 
dengan air sungai, dan diusapkan ke wajah gadis itu. Pada 
saat yang sama kembali dialirkannya tenaga dalam. 

Perlahan-lahan Pendekar Slebor membuka kain 
hitam yang menyelimuti tubuh gadis itu, tetapi terburu-buru 
segera membalutnya lagi. Karena di balik kain hitam itu, 
Mayang tidak mengenakan pakaian penutup secarik pun! 

Wajah Andika memerah. 

"Bangsat kau. Manusia Pemuja Bulan! Perbuatanmu 
sudah tidak bisa dimaafkan lagi!" rutuk Pendekar Slebor. 

Tetapi kemudian Andika tersenyum, seperti geli 
menyadari kalau dirinya telah melihat tubuh gadis itu. 

"Untung tidak ada orang lain di sini. Kalau ada..., he 
he he !Aku jadi malu juga, kan?" 

Kembali Andika merendam kain pusakanya. Dan 
dengan kain itu kembali di basuhnya wajah Mayang. Lalu 
disusurinya tubuh gadis itu. Dibiarkannya saja kain hitam 
yang menyelimuti tubuh Mayang sampai basah. 

Selanjutnya, Pendekar Slebor menekan kedua 
jempol kaki gadis itu sambil mengalirkan hawa murninya. 
Perbuatan itu dilakukan cukup lama juga, sampai 
kemudian.... 

"Okh..., di mana aku ini?" 

Terdengar suara dari mulut Mayang. 

Andika mendesah panjang. Dia bersyukur karena 
berhasil melepaskan pengaruh Manusia Pemuja Bulan 
pada gadis itu. 

"Mayang...," panggil Andika sambil memperhatikan 
sepasang mata yang bergerak-gerak. "Tenanglah.... Kau 
sudah aman sekarang...." 

"Apakah aku berada di sorga? Ataukah di neraka?" 
tanya gadis itu bingung. Dia merasakan kepalanya berat 
sekali. 

Andika mengangkat tangan kanan gadis itu, lalu 
mencubitnya. Pelan. 

"Sakitkah?" tanya Pendekar Slebor. 

Gadis itu mengangguk-angguk. 

"Kau tidak berada di sorga atau di neraka. Kau 
masih memiliki rasa sakit. Berarti kau belum mati...," jelas 
Andika. 

"Tetapi aku di mana?" tanya Mayang sambil 
mengangkat tubuhnya perlahan-lahan. Sementara kedua 
kakinya masih dalam keadaan berselonjor. 

Untungnya, tadi Andika mengikat kembali lipatan 
kain itu ke dada Mayang. Sehingga ketika gadis iti 
mengangkat tubuhnya, kain itu tidak melorot Dan Andika 
pun terkekeh membayangkannya. 

"Kau berada di satu tempat yang sungguh, aku 
sendiri tidak tahu namanya," jawab Andika. "Tetapi, kau 
aman. Kau jauh dari tangan Manusia Pemuja Bulan," jelas 
Andika lagi. 

Mata gadis itu membuka. 

"Manusia Pemuja Bulan?" tanya Mayang. 

"Ya. Kau ingat dia?" 

Gadis itu terdiam. 

"Ya, ya...," kata Mayang seperti masih merenung. 
"Aku ingat. Tetapi, mengapa aku berada di sini? Bukankah 
seharusnya malam Jumat aku akan dikorbankan untuk 
Dewa Bulan?" 

"Sekarang malam Jumat, Mayang." 

"Malam Jumat? Oh! Seingatku masih satu hari lagi. 
Bukan! Sekarang bukan malam Jumat. Aku harus kembali 
ke rumah. Aku harus bersiap-siap untuk dijadikan sesajen. 
Kasihan Aki. Kalau aku tidak melakukannya, maka dosa- 
dosanya tidak akan diampuni.... Dia akan disiksa 
sepanjang masa," keluh Mayang. 

Andika mendesah panjang. Rupanya pengaruh 
Manusia Pemuja Bulan itu sudah sangat kuat. 

"Mayang! Dengarkan kata-kataku. Ini sudah malam 
Jumat.... Dan kau baru saja akan dikorbankan oleh 
Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Slebor. Mayang 
terdiam. Matanya terpekur. 

"Bukankah masih ada waktu satu hari lagi?" gumam 
Mayang masih bingung. 

Andika menangkap sesuatu yang asing pada gadis 
ilu. 

"Ceritakanlah, Mayang.... Apa yang kau alami?" pinta 
Andika. 

Mayang terdiam beberapa saat. 

"Senja itu..., aku baru saja ingin mandi. Ya, kau 

ingat.Aku ingin mandi. Tetapi mendadak saja kurasakan 

kepalaku sangat pusing. Rasanya begitu menyengat. Aku 
ingin sekali berteriak, namun tak kuasa. Suaraku seolah 
hilang. Lalu tubuhku terasa bagai melayang. Ingatanku 
hilang. Dan aku tidak tahu, dibawa ke mana. Karena..., aku 
tidak ingat sama sekali.... Yah! Hanya itu yang aku tahu. 
Selebihnya tidak." tutur Mayang. 

Kini Andika yakin, kalau Manusia Pemuja Bulan 
dengan kekuatan sihirnya, telah lebih dulu menculik 
Mayang. Kini gilirannya untuk mengatakan kepada 
Mayang, kalau Manusia Pemuja Bulan adalah tokoh sesat. 

"Mayang..., kau telah kuselamatkan darmya...," jelas 
Pendekar Slebor. 

"Kau selamatkan? Oh, hei? Aku ingat...! Bukankah 
kau pemuda yang datang ke rumahku tempo hari?" 
"Benar.... Namaku Andika." "Aku pun ingat nama itu. Kang 
Andika..., apa maksud dengan mengatakan kau telah 
menyelamatkan aku?" tanya Mayang. 

Andika mendesah pendek. 

"Mayang..., ketahuilah... Manusia Pemuja Bulan itu 
bukanlah orang baik-baik. Dia adalah orang sesat yang 
menggunakan kesaktiannya untuk menipu kalian. 
Termasuk, mengorbankan perawan sebagai sesajen untuk 
Dewa Bulan," jelas Andika. 

"Tetapi...." 

"Mayang!" potong Andika. "Seluruh warga di sekitar 
Gunung Pengging ini percaya dengan Manusia Pemuja 
Bulan. Tetapi masih ingatkah kau, kalau kakekmu tidak 
mempercayainya?" 

Mayang mengangguk-angguk. 

"Ya.... Aki menentangnya...," desah gadis itu. 

"Kakekmu benar, Mayang. Dialah satu-satunya orang 
yang tidak terpengaruh Manusia Pemuja Bulan. Entahlah, 
bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang jelas, meskipun 
pernah terpengaruh, namun pada akhirnya dia sadar kalau 
yang diajarkan Manusia Pemuja Bulan...." 

"Tetapi Dewa Bulan murka, sehingga kakek harus 
menerima hukuman.,.,"tukas Mayang. 

"Ya! Tetapi bukan Dewa Bulan yang melakukannya, 
karena tak ada Dewa Bulan yang patut disembah. Apalagi 
orang yang datang bulan, he he he...!" kata Pendekar 
Slebor, berseloroh. 

"Oh! Siapa yang melakukannya?" tanya Mayang. 
Andika jadi malu sendiri, karena selorohannya tak 
ditanggapi. Namun dia segera mendesah pelan 

"Seperti yang pernah kukatakan padamu tempo hari, 
yang melakukannya adalah Manusia Pemuja Bulan," jelas 
Andika, kembali sungguh-sungguh. Sebenarnya Pendekar 
Slebor paling benci kalau berbincang-bincang tidak pakai 
canda. Namun karena gadis itu tak bisa diajak bercanda, 
akhirnya Andika jadi mengalah saja. 

"Ketua Wedokmurko? Oh, tidak...! Kau salah, Kang 
Andika. Dia adalah seorang laki-laki baik hati. Dialah yang 
mampu menghadapi malapetaka yang seringkali datang 
menimpa desa kami. Dia juga yangmemberi jalan keluar 
bagi kami untuk menanggulangi bahaya-bahaya alam, 
sehingga tidak pernah lagi terjadi bencana seperti itu," 
papar Mayang. 

"Ya! Karena dia sendiri yang melakukannya!" desis 
Andika dalam hati. 

Memang sulit untuk menerangkan persoalan ini 
pada Mayang. Tetapi, Andika tetap bertekad untuk me¬ 
mulihkan kesadaran Mayang kembali. 

"Percayalah kepadaku, Mayang.... Manusia Pemuja 
Huian yang kalian sebut sebagai ketua itu, adalah manusia 
sesat yang memantaatkan kesaktiannya. Ah, sudahlah. 
Mayang..., aku ingin bertanya kepadamu.... Harta apakah 
yang dimaksudkan kakekmu?" 

Mayang menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, 
Kang Andika...," sahut Mayang, lirih. 

"Kakekmu tidak pernah menceritakannya?" 

"Tidak." 

"Mayang, sekarang dengarkan aku. Manusia Pemuja 
Bulan bukanlah orang baik-baik. Buanglah segala pikiran 
kalau dia adalah laki-laki yang telah berbuat baik dengan 
memberitahukan cara menanggulangi segala macam 
bencana. Hu salah besar, Mayang... Karena, justru dia 
sendirilah yang telah membuat bencana-bencana itu. 
Mayang, sayangkah kau kepada kakekmu?" ujar Pendekar 
Slebor. 

Mayang mengangguk sambil menggigit bibirnya. 

"Kalau begitu, taatilah dia. Kakekmu telah 
menentang ajaran yang diberikan Manusia Pemuja Bulan. 
Dan sudah seharusnya kau pun berbuat yang sama, 
Mayang." 

"Tetapi." 

"Hilangkanlah segala keyakinanmu tentang ajaran 
sesat Manusia Pemuja Bulan yang mengorbankan perawan 
untuk kepentingannya sendiri. Mayang! Mulai aat ini, 
taatilah kata-kata terakhir kakekmu...," ujar Andika 
menyudutkan gadis itu. 

Mayang terdiam. Angin menghembus rambutnya. 
Dingin begitu menusuk. Fajar hampir segera tiba di ufuk 
timur. Tiba-tiba air mata gadis jelita itu menitik. 

"Aki...," desis Mayang pelan. 

Pendekar Slebor mendesah pendek. Sedikit 
banyaknya, kata-katanya sudah meresap di hati Maya Lalu 
dirangkulnya gadis itu erat-erat. 

Mayang sendiri yang sudah cukp lama tidak 
merasakan kasih sayang kecuali dari kakeknya, meresapi 
rangkulan hangat Bahkan kepalanya disusupkan, membuat 
kening Andika sejenak berkerut. Tetapi kemudian Andika 
tak acuh saja. Toh tak ada maksud lain kecuali untuk 
menenangkan gadis itu. 

"Mayang..., lebih baik kita beristirahat saja dulu." 


k k k 


Andika datang membawa buah-buahan yang dipetik 
dari pohon di sekitar kaki Gunung Pengging ini. Sejenak 
Pendekar Slebor terkejut ketika tidak melihat Mayang di 
tempat semula. 

"Hei? Apa lagi yang terjadi?" desis Andika. 
Diletakkannya buah-buahan itu, lalu mencari ke sekeliling. 
Namun tak ada Mayang di sana. "Busyet! Kenapa jadi 
begini sih?" 

Tiba-tiba Pendekar Slebor menangkap suara air 
berkecipak. Bergegas dia melompat mencari sumber suara 
itu. Alangkah terkejutnya Andika ketika melihat Mayang 
sedang mandi dalam keadaan tanpa busana. 

Andika cepat memalingkan kepala. Wajahnya 
bersemu merah. 

"Ya, ampuuunnn.... Tapi, he he he... menyenang- 
Karena merasa Mayang dalam keadaan aman, Andika 
kembali ke tempat semula. Ditunggunya gadis itu nampai 
muncul kembali. 

"Makanlah buah-buahan ini dulu, Mayang," ujar 
Pendekar Slebor. 

"Kang Andika tidak mandi?" tanya gadis itu sambil 
mengibaskan rambutnya yang bsah. 

Andika menggelengkan kepala. Dia teringat lagi, 
kalau telah dua kali melihat tubuh Mayang tanpa busana. 
Pertama, ketika tak disengaja melihatnya saat hendak 
mengobati gadis itu. Kedua, barusan tadi! 

"Kenapa, Kang Andika?" tanya Mayang, yang melihat 
Andika jadi geli sendirian. 

"Ah, tidak.... Makanlah dulu," kilah Pendekar Slebor. 

Andika kini memperhatikan Mayang yang tengah 
memakan buah-buahan yang tadi dipetiknya. Cantik. 
Sayang sekali kalau sempat menjadi korban dari Manusia 
Pemuja Bulan. 

Mayang yang diam-diam sadar kalau diperhatikan 
Andika, tersenyum senang. Dalam pertemuannya yang 
kedua kalinya, entah mengapa di hatinya sudah tertanam 
sesuatu yang sangat sulit ditebak. 

Diperhatikan begitu rupa, lama kelamaan Mayang 
tidak tahan juga. Tiba-tiba saja wajahnya diangkat, 
memergoki Andika yang kontan gelagapan. 

"Kenapa, Kang Andika? Apakah ada sesuatu yang 
aneh?" tanya Mayang. 

Andika makin blingsatan. 

"Oh, tidak. Tidak...," kilah Pendekar Slebor. Sungguh 
mati, baru kali ini Andika tersipu-sipu seperti itu. 

"Kalau tidak apa-apa, mengapa Kang Andika tida 
memakan buah-buahan ini?" 

"Oh, ya, ya..." 

Andika mengambil sebuah jambu segar dan 
langsung menggigitnya. Tetapi seketika itu juga 
disemprotnya keluar. 

"Kenapa, Kang?" tanya Mayang dengan wajah ter 

kejut. 

"Semut!" sahut Andika. 

Mayang terkikik melihatnya. 

"Makanya, jangan terburu nafsu!" 

Andika tersenyum. Hatinya senang melihat Mayan 
sudah tidak tegang seperti tadi. 


Setelah yakin Mayang sudah benar-benar tenang, 
Pendekar Slebor pun mengajaknya untuk meninggalkan 
tempat itu. Namun, sebelum menggandeng tangan 
Mayang.... 

"Heh?!" 

Betapa terkejutnya Pendekar Slebor ketika tiba-tiba 
telah berlompatan enam orang berpakaian dan bertopeng 
merah. Dan tahu-tahu mereka sudah berdiri di hadapan 
Pendekar Slebor dengan tatapan nyalang! 




Andika mendengus. Dia yakin, mereka adalah para 
pengawal dari Manusia Pemuja Bulan. Buktinya, Andika 
memang melihat mereka tadi saat upacara penyembahan 
sesajen pada Dewa Bulan. 

"Kang Andika...," desis Mayang ketakutan, 
bersemnunyi di balik tubuh Andika 

Melihat sikap Mayang ketakutan seperti itu, Andika 
hanya nyengir. Sikapnya benar-benar tenang sekali, 
meskipun tatapan matanya begitu membenci orang-orang 
bertopeng merah yang mengurungnya. 

"He he h e..., tenang saja, Mayang. Enteng 
menghadapi para topeng monyet ini...," ujar Andika. 

"Mereka orang yang kejam, Kakang...," tukas 
Mayang. 

"Aku tahu, mereka juga yang telah menjaga 
rumahmu waktu itu...." 

"Ya, Kakang.... Mereka utusan Manusia Pemuja 
Bulan yang menjagaku dengan ketat. Karena, dia khawatir 
aku melarikan diri saat penyembahan sesajen untuk Dewa 
Bulan...," jelas gadis itu. 

Andika mendesah lega. Dari ucapan gadis itu, dia 
yakin kalau sekarang Mayang sudah sadar akan 
kesalahannya. Kalau tidak, mengapa berkata seperti itu? 

"Tenanglah, Mayang.... Menghadapi yang beginian 
sih, kecil. Kecil sekali!" ujar Andika sambil menjentikkan 
ibu jarinya dengan jari kelingking. Lalu dia bertolak 
pinggang, mengangkat dagunya. "Hei, orang bertopeng 
yang mukanya bopeng! Mau apa sih, kalian?!" 

Sementara Mayang makin menyembunyikan 
tubuhnya di balik tubuh Andika. 

"Kalau hanya mau berkenalan denganku yang 
ganteng ini, tidak usah pakai tolak pinggang seperti itu!" 
lanjut Andika. 

"Serahkan gadis itu kepada kami!' bentak salah 
seorang dengan suara ditekan. Tatapannya nyalang, geram 
melihat tingkah Andika yang menjengkelkannya itu. 

"Serahkan? Wooo..., aku mendapatkannya saja 
susah, kok enaknya meminta begitu? Tidak usah, ya?" 

Andika menggoyang-goyangkan tangannya dengan 
bibir mencibir. 

"Anak muda...! Kau sudah membuat kami pusing...! 
Jadi, jangan banyak tingkah sekarang!" 

"He he he.... Kalau pusing, mengapa tidak membeli 
jamu godok saja? Jangan diminum, tetapi pupurkan di 
matamu yang belo dan jelek itu!" ejek Andika. "He he he. 

Kontan bopeng-bopeng di wajahmu itu akan hilang! 
Eh? Apa hubungannya, ya? Kok mata yang dikasi pupur, 
bopengnya yang hilang? Wah, wah... salah! Maksudku..., 
hidung kalian yang akan hilang!" 

Andika semakin ngoceh tak karuan. Sedang Mayang 
yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh 
Andika, mau tak mau tersenyum juga melihat tingkah 
Andika yang konyol. Namun gadis itu tetap saja ketakutan 
melihat keenam orang bertopeng yang bermata sengit itu. 

Sementara wajah di balik topeng merah itu 
menggeram. 

"Anak muda..., sayangilah nyawamu yang hanya 
selembar itu...." 

"Lho? Apa kau punya nyawa dua lembar?" balas 
Andika. "Enak juga ya, kalau mampus digigit ular masih 
bisa hidup lagi!" 

"Jangan memancing kemarahan kami!" bentak orang 
bertopeng itu. 

Andika hanya nyengir. 

"Habisnya, menyuruh kalian tertawa juga percuma 
Karena, gigi kalian tidak kelihatan! Jadinya, aku tidak tahu 
apakah kalian bergigi ompong atau rata!" 

Bukannya menjawab, keenam orang itu secara 
serempak menyerang dengan hantaman telapak tangan. 

Wuuuttt! 

Srattt! 

"Heeiiittt!" 

Andika melenting sambil mendorong tubuh Mayang 
ke samping. Sehingga, gadis itu jatuh terduduk. Namun 
tidak terhempas, karena Andika sudah menggunakan 
tenaga dalam pengendali beban yang memang jarang 
sekali digunakan. 

"Kalem saja! Aku akan melayani serangan kalian 
yang kayak banci itu, kok!" kata Andika, mengejek. 

Keenam orang bertopeng merah itu terus merangsek 
dengan ganas. Serangan-serangan mereka sangat 
berbahaya. Orang bertopeng yang melakukan gebrakan 
pertama tadi, semakin marah saja melihat tingkah Andika 
yang menjengkelkan. 

"Bikin mampus manusia iseng ini!" bentak orang 
bertopeng itu sambil mengirimkan pukulan kuat ke wajah 
Andika, disusul yang lainnya. Wuuuttt! 

"Heaaa!" 

Andika cepat berkelit ke sana kemari. Namun 
menghadapi serangan secara serempak yang bertujuan 
untuk mematikan ruang geraknya, membuat Andika harus 
mengeluarkan kecepatannya dalam menghindar. Gerakan 
Pendekar Slebor pun semakin gencar saat menghindari 
setiap serangan beruntun yang datang. Di samping itu 
ketika tangannya berkelebat, terdengar bagai menyalak. 
Memang pelan. Namun hasilnya sungguh mantap. Rupanya 
Pendekar Slebor sudah mengalirkan tenaga 'inti petir’ 
tingkat ketiga puluh dua di tangannya Dengan tenaga dan 
kecepatan itulah dicobanya untuk menghadapi setiap 
serangan yang datang. "Heerri! Sabar, sabar! Ntar juga 
kebagian!" seru Pendekar Slebor sambil berkelit dengan 
menarik kepala. 

Lalu Pendekar Slebor mengangkat sebelah kakinya 
sambil berjumpalitan ke depan. Dan tiba-tiba kedua 
tangannya dikibaskan ke samping, lalu meluruk ke salah 
seorang lawan yang tengah bersiap menyerang. 

Duuuk! 

"Aaakh...!" 

Pukulan itu tepat menghantam dada orang 
bertopeng merah yang bersiap menyerang. Tubuh orang itu 
terhempas ke belakang disertai pekik kesakitan. Setelah 
muntah darah, dia meregang nyawa. 

Melihat salah seorang kawannya mati, lima orang 
yang lain semakin mempergencar serangan. Dan ini 
membuat Andika semakin berhati-hati saat menghindar 
dan membalas. 

"Bentuk rangkaian 'Lima Iblis Membunuh Naga'l" 
teriak salah seorang, keras. 

Mendadaksaja kelima orang bertopeng itu membuat 
gerakan melingkar, lalu saling mendekat. Satu orang 
berada didepan, dua orang berada di tengah, dan dua 
orang lainnya berada paling belakang. Masing-masing 
membuat gerakan berlainan. Yang berdiri di depan 
membuka kedua tangannya. Kaki kanannya membujur ke 
bawah dan tubuh berlutut, bertopang pada kekuatan kaki 
kiri. Sedangkan yang di tengah salah seorang melebarkan 
kaki kirinya ke samping. Kaki kakannya di tekuk. 
Sementara seorang lagi melebarkan kaki kanan ke 
samping dengan kaki kiri ditekuk pula. Tangan mereka me¬ 
ngembang bagaikan kepakan sayap rajawali. Yang berada 
paling belakang berdiri tegap dengan kedua tangan 
mengepal ke depan. 

"Itulah jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga'. Sebuah 
jurus yang sangat ampuh dan hebat! 

Andika yang tadi menganggap ringan lawannya, kini 
harus mengerutkan keningnya. Dia yakin, jurus yang 
diperlihatkan lawan-lawannya bukanlah jurus kosong 
belaka. Suatu jurus yang tangguh dan sudah pasti sangat 
hebat. 

Tetapi bukan Andika yang berjuluk Pendekar Slebor 
kalau dalam suasana seperti itu tidak mengejek. 

"He he he..., apakah kalian ingin bermain dolanan 
bocah yang kalau tak salah namanya dolanan ular tangga? 
Wah, wah...! yang depan menjadi dadu, yang di belakang 
menjadi ularnya, dan yang paling belakang menjadi tangga. 
Aku peserta yang paling tangguh, pasti! Pialanya, sudah 
tentu Mayang, bukan?" leceh Andika. 

"Pemuda sinting! Serahkan gadis itu kepada kami. 
Maka kau akan selamat!" bentak yang berada di depan. 

"Lho, enak saja ngomong! Memangnya tape yang 
bisa diserahkan begitu saja. Bilang saja, kalian iri kan?" 

Lima wajah di balik topeng itu merah padam. "Sekali 
lagi kuperingatkan, serahkan gadis itu!" desak salah 
seorang. 

"Baik! Aku akan menyerahkannya. Tetapi..., sudah 
tentu kalau kalian sudah terkapar di tanah. Bagajmana? 
Usul yang menarik, bukan?" balas Andika, enteng. 

Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Karena orang 
bertopeng yang berdiri paling depan sudah menyerbu 
dengan gerakan berguling. , 

Andika terkejut menerima serangan semacam itu! 
Karena tak mungkin dalam keadaan seperti itu, seseorang 
bisa menggerakkan tubuhnya secara bergulingan. Lebih 
terkejut lagi, ketika dua orang yang berada di tengah 
menerjang bagaikan meluncur! Kemudian disusul 
serangan dari arah samping yang berlawanan oleh dua 
orang paling belakang 

Andika harus menghindar ke sana kemari sambil 
memapak setiap serangan. Rupanya, di balik serangan 
aneh yang dilakukan secara serempak itu. tenaga mereka 
bisa terangkum menjadi satu. 

Buktinya begitu Andika memapak salah satu 
pukul-.n yang melesat ke arahnya, tidak lagi merasakan 
tenaga | lembek dibandingkan tenaga miliknya. Tetapi, 
suatu tenaga yang berlipat ganda! 

"Kutu busuk! Hebat juga jurus kalian itu!"semprot 
Andika sambil melenting. 

"Sejak tadi kukatakan, jangan banyak tingkah! 
Sekarang sudah terlambat, Anak Muda!" 

"Terlambat, terlambat! Kok lucu, ya? Apanya yang 
terlambat? O iya, aku ingat. Kalian bangun kesiangan, sih! 
Makanya jangan jadi pemalas, dasar kebluk!" ejek 
Pendekar Sleborsambil membalas serangan yang datang 


beruntun itu. Tubuhnya berkelebat ke sana kemari dengan 
cepatnya. 

Namun seperti yang dialami tadi, setiap benturan 
yang terjadi, bukannya membuat kelima lawannya mun¬ 
dur, malah semakin ganas menyerang. Kini justru Andika 
yang harus kalang kabut menghindari serangan-serangan 
yang mematikan itu. 

Sementara itu, Mayang hanya bisa menekuk kedua 
lututnya ke dada sambil mendekap wajah. Gadis ini ngeri 
melihat pertarungan yang mendebarkan itu. Kini, lambat 
laun di hatinya timbul kesadaran, kalau yang dikatakan 
Andika ternyata benar.' Manusia-manusia ini adalah 
makhluk jahat! 

"Oh, Aki.... Kau menjadi korban kejahatan mereka 
pula!" desah gadis itu. 

Sementara itu, Andika terus menerus menghindari 
tanpa diberi kesempatan membalas. Karena setiap kali 
hendak menyerang, kelima lawannya sudah menutup 
ruang geraknya dengan cara mengirimkan serangan secara 
serempak. 

"Ini sih tidak boleh dibiarkan!" dengus Pendekar 
Slebor. 

Tiba-tiba Andika melenting ke belakang dua kali. Dan 
ketika hinggap di tanah dengan ringan, Pendekar Slebor 
sudah merangkum jurus 'Guntur Selaksa 1 , salah satu jurus 
dahsyat yang didapat dari Pendekar Lembah Kutukan. 

"Ayo! Sampai di mana kehebatan jurus 'Monyet Bu¬ 
duk Membunuh Nyamuk 1 !" tantang Pendekar Slebor. 

Dan mendadak saja, Andika mengempos tubuhnya. 
Pada saat yang sama, kelima lawannya menyerang secara 
bersamaan dengan jurus berbeda, namun berada dalam 
satu mata rantai jurus 'Lima Iblis Membunuh Naga’. 

P lak! Des! Duk! 

Tiga benturan keras terjadi. Namun kelima lawannya 
hanya mundur selangkah, dan kembali menyerang dengan 
ganas. 

Andika mendengus lagi dalam hati. Dia tidak percaya 
kalau jurus 'Guntur Selaksa' bisa lumpuh hanya sekali 
gebrak. Maka kali ini tenaga dalamnya ditambah hingga 
tingkat kedua puluh. 

Dengan satu gerakan manis sekali, setelah 
melenting ke kiri dan meluruk dengan satu gerak tipuan, 
Aiw dika kembali memapak serangan lawannya. 

Buk! Des! Plak! 

Kalau tadi Andika merasa seimbang dalam soal 
tenaga dalam dibanding kelima lawannya yang terangkai 
menjadi satu, kini akibatnya menjadi lain. Karena, tiga dari 
lima lawannya bukan hanya mundur satu tindak, tapi 
segera terpelanting deras ke belakang tak bangun-bangun 
lagi. 

Andika yang melihat kesempatan untukmenghabisij 
lawan-lawannya, segera bergerak laksana kilat. Des! Duk! 
"Aaakh...! Aaakh...!" 

Dua pukulan Pendekar Slebor mampir di dua dada 
yang tertutup pakaian berwarna merah. Seperti yang 
dialami ketiga lawannya tadi, tubuh mereka pun terlon-tar 
deras ke belakang. Yang satu menabrak pohon, yang satu 
lagi tercebur ke sungai dan segera digulung arus yang 
cukup deras. 


k k k 

Andika mendengus. Matanya melirik Mayang yang 
masih menutup kedua mata dengan tangannya. 

"Hhh! Masih cetek ilmu kalian!" 

Sambil mengejek, Andika melangkah memeriksa 
lawan-lawannya yang terkapar. Tiga orang telah menjadi 
mayat. Namun yang seorang lagi masih bernapas dalam 
rasa sakit yang luar biasa. Andika berjongkok di depan 
sosok itu. 

"Hei, Kutu Koreng! Katakan, di mana Manusia 
Pemuja Bulan itu berada?" bentak Pendekar Slebor. 

Bukannya jawaban yang didapatkan Andika, justru 
pelototan marah. 

"Wah, masih nekat! Padahal, kau sudah mau 
mampus! Katakan di mana Manusia Pemuja Bulan?!" ulang 
l'endekar Slebor. 

Mata orang itu semakin memerah. 

"Carilah dia di neraka!" 

"Tempatnya memang pantas di neraka. Hei, hati-hati 
kalau ngomong. Nanti didengar manusia bau tau itu, bisa 
mampus kau dibuatnya!" desis Andika, memasang wajah 
ketakutan. "Hiii! Memang, kalau yang sudah mau mampus 
suka ngelantur!" 

"Kau tak akan bisa menemuinya...." 

Seperti kesalahan bicara, orang yang tengah 
menahan rasa sakit itu berkata lagi. 

"Eh! Nekat, ya?" 

Mendadak saja Andika menunggingi laki-laki itu. 
Dan.... Dut! 

"He he he.... Makanlah uap beracun yang mematikan 
itu!" 

Orang itu nampak gelagapan. Dan gerakannya itu 
justru menyakitkan napasnya yang sudah Senin-Kemis 1 
"Ayo, katakan di mana dia ?!' 1 desah Andika. Orang itu hanya 
melotot dengan pancaran sinar kemarahan yang tinggi. 

"Kau tak akan mampu mengalahkannya!" kau ! 

orang itu dengan suara ditekan meskipun 
dikeluarkan susah payah. 

"Eh! Kau menantang, ya? Sayangnya kau akan 
mampus! Tetapi..., he he he.... Tunggu, kau pasti akan mau 
mengatakan di mana manusia monyet itu berada," ujar 
Andika yang mendapat akal paling mengasyikkan. 

Andika berdiri dan menghampiri tanah yang 
ditumbuhi rumput. Diambilnya sehelai, lalu dia melangkah 
kembali lagi ke tempat orang yang sekarat itu berada 
Namun ketika sampai, telah berdiri satu sosok tua tanpa 
baju dengan wajah bengis menatap sosok berbaju 
merahyang telah meregang nyawa. 

"Hei! Apa yang kau lakukan itu, Tridarma?" seru 
Andika terkejut. 

Sosok yang berwajah bengis itu tiba-tiba menjunr 
pada Andika. 

"Maafkan hamba, Tuanku.... Manusia seperti itu 
sudah selayaknya mampus," ucap Tridarma. 

"Tetapi, aku membutuhkannya untuk mengetahui di 
mana Manusia Pemuja Bulan berada!" sahut Andika 
gemas. 

"Maafkan hamba, Tuanku...," ucap Tridarma lagi. 
Andika yang nampak jengkel kembali mendengus. 
"Tridarma...! Lain kali, jangan sembarangan bertin| dak 
sebelum kuperintahkan!" 

"Hamba, Tuanku!" 

Andika berbalik, menghampiri Mayang yang nampak 
begitu ketakutan. Dirangkulnya gadis itu perlahan-lahan. 

"Sudahlah, Mayang.... Kau sudah aman...," ujar Pen¬ 
dekar Slebor, lembut. 

"Kang Andika.... Kini aku sadar, mereka memang 
manusia-manusia jahat...," kata Mayang sambil menangis 
pelan di rangkulan Andika. 

"Ya, kita akan membasmi Manusia Pemuja Bulan itu 
hingga ke akar-akarnya." 

"Oh! Aku menyesal mengapa aku mau saja dijadikan 
sebagai korban untuk Dewa Bulan.... Kang Andika, bila saja 
kau tidak berada di sini..., entah apa yang akan kualami...," 
desah gadis itu. 

Andika membelai-belai rambut Mayang. Tiba-tiba 
matanya melotot pada Tridarma yang sedang tersenyum- 
senyum. 

"Kenapa kau senyam-senyum begitu, hah?!" bentak 
Andika yang membuat laki-laki tua tanpa baju itu tersentak. 

"Oh, maaf, Tuanku...," ucap Tridarma. "Jangan 
berpikir yang jorok, ya? Aku hanya menenangkan gadis ini 
saja!" ujar Pendekar Slebor. 

"Hamba, Tuanku...," sahut Tridama sambil menahan 
geli. 

"Masih nyengir kau?" bentak Andika lagi. 

"Maaf, Tuanku...." 

'Maaf, maaf! Cepat kuburkan mayat-mayat itu! 


•k -k -k 


Ki Wedokmurko yang melihat kejadian itu dari 
pandangan batinnya melalui cawan yang berisi cairan 
warna kuning, menggeram marah. 

"Bangsat! Rupanya pemuda itu adalah Pendekar 
Slebor! Pemuda pembuat onar yang telah banyak 
menghancurkan orang-orang golonganku! Hhh! Kali ini kau 
akan mendapat batunya, dan merasakan akibatnya dan 
kelancanganmu itu !! 1 

Tangan Manusia Pemuja Bulan terangkat. Seketika 
serangkum sinar berwarna putih melesat, menghantam 
dinding gua. 

Blarrr...! 

Terdengar suara bagai ledakan yang cukup keras 
Dan seketika dinding gua itu pun berantakan. 

"Kau akan mampus, Pendekar Slebor! Kau akan 
mampus!" desis Ki Wedokmurko. 

Tiba-tiba Manusia Pemuja Bulan bangkit. Dengan 
gerakan ringan kakinya melangkah menuju ke satu tempat 
yang berada di sudut gua. Tiba di hadapan sebuah 
keranjang yang bersusun dua. Dari dalam keranjang 
terdengar suara mendengung yang ramai dan panjang. 

"Ayo, Manis-manisku.... Kini tibalah saatnya bag! 
kalian untuk bekerja...," kata Manusia Pemuja Bulan sambil 
membuka pintu keranjang. 

Lalu berkeluaranlah makhluk-makhluk kecil yan 
ganas. Rupanya, ribuan tawon yang telah dipelihara 
Manusia Pemuja Bulan. 

"Datanglah kalian ke desa-desa. Buat onar di sana 
Biar semua orang merasakan kepedihan kembali. Biar 
Pendekar Slebor kelabakan, karena akan mendapatka 
amukan dari mereka. Dan dia akan dituduh sebagai biang 
keladi malapetaka ini! Ha ha ha..," ujar Manusia P muja 
Bulan, tertawa girang. 

Lalu tawon-tawon itu bergerak cepat, menimbulkan 
suara mendengus yang sengau memekakkan telinga. 
Suara yang mengandung kemarahan! 




Mata Sawedo terbelalak begitu mendengar 
penuturan seorang pemuda tanggung di depannya. Dia 
sampai berdiri dari duduknya, dan memegang bahu 
pemuda berusia sekitar enam belas tahun ini. Saat ini 
senja baru saja datang. Angin berhembus sejuk. 

"Benarkah yang kau katakan itu, Sawung?!" sentak 
Sawedo. 

"Beb..., benar, Kang.... Aku melihat Kak Mayang 
tengah berjalan bersama seorang pemuda berpakaian 
warna hijau," tegas pemuda tanggung bernama Sawung, 
takut-takut. Dia ngeri melihat mata Sawedo yang 
menatapnya nyalang begitu. "Juga..., seorang..., seorang 
laki laki tua... yang tidak mengenakan baju...." 

"Gila!" desis Sawedo. "Rupanya pemuda sialan itu 
belum pergi dari sini! Bagus! Ini kesempatan kita untuk 
membalas kematian Medi, Kang Menggolo, dan istrinya!" 

"Tetapi, justru yang mengherankan tentang Mayang," 
kata pemuda lain yang bertubuh gempal dengan kening 
berkerut. 

Saat ini beberapa pemuda memang sedang 
berkumpul di halaman depan rumah Sawedo, 
membicarakan tentang Mayang yang di jadian korban 
kepada Dewa Bulan. 

"Mengapa Mayang bersamanya? Bukankah dia 
sudah dikorbankan kepada Dewa Bulan?" lanjut pemuda 
bertubuh gempal itu, seperti bertanya pada diri sendiri. 

Kali ini bukan hanya para pemuda itu yang merasa 
keheranan. Bahkan Sawedo sendiri harus terdiam 
beberapa saat, mendengarkan penuturan pemuda 
bertubuh gempal yang dikenal bernama Barojo. 
Yah! Bukankah Mayang sudah dipersembahkan kepada 
Dewa Bulan? 

Ketika Sawedo hendak menanyakan lagi kebenaran 
berita yang dibawa Sawung, anak tanggung itu sudah tidak 
ada di tempatnya. Diam-diam dia telah minggat 
meninggalkan pembicaraan tadi. Katanya, lebih baik pergi 
dari pada harus dibentak-bentak begitu. 

Mayang. Mayang bersama pemuda sialan itu? 
Bagaimana mungkin? Jelas sekali diketahui kalau malam 
Jumat kemarin Mayang dijadikan sebagai tumbal untuk 
Dewa Bulan? Pertama, untuk keselamatan daerah ini. 
Kedua, untuk menebus dosa-dosa Ki Seta. Tetapi yang 
dikatakan Sawung tadi? Hm.... Apakah anak tanggung itu 
hanya mengada-ada saja? 

Tetapi kemudian, Sawedo mempunyai pikiran lain. 

"Hmm.... Kini aku tahu. Aku tahu...," kata Sawedo 
sambil berjalan mondar-mandir. 

"Apa yang kau ketahui?" tanya seorang pemuda 
bertubuh kurus sambil memperhatikannya. 

Sawedo menghentikan langkahnya. 

"Seperti yang kita ketahui, Mareko! Pemuda itu telah 
membuat keonaran di daerah ini. Dia bukan hanya telah 
membunuh saudara-saudara kita yang lain, tetapi juga 
mengacaukan upacara sesembahan." 

"Maksudmu?" tanya pemuda bertubuh kurus yang 
dipanggil Mareko. Kali ini dia agak tegang. 

"Pemuda itu memang harus diajar adat!" 

"Mengapa?" 

"Karena telah mengacaukan jalannya upacara, 
Mungkin, dia mengambil tubuh Mayang selagi Ketua 
Wedokmurko lengah." 

"Tetapi bagaimana mungkin dia melakukannya! 
Bukankah kita semua melihat, tubuh Mayang mendadak 
saja lenyap dari hadapan Ketua Wedokmurko?" tukan 
Mareko. 

Kali ini Sawedo tidak tahu apa yang harus 
dikatakannya. Pikirannya benar-benar bingung dengan 
somua ini. Yah! Bagaimana mungin Mayang yang siap 
dikorbankan kepada Dewa Bulan, ternyata masih segar 
bugar seperti yang diberitahukan Sawung. 

"Untuk meyakinkan kebenaran berita yang dibawa 
Sawung, kita harus membuktikannya!" ujar Sawedo 

"Maksudmu?" tanya Barojo. 

"Kita harus melihat, apakah memang Mayang yang 
bersama pemuda sialan itu," jelas Sawedo. 

"Kalau ternyata bukan?" 

"Pemuda itu tetap harus membayar nyawa saudara 
saudara kita dengan nyawanya." 

"Kalau ternyata iya?" 

Sawedo merenung pelan. 

"Berarti..., kita akan menghadapi bencana.... 

Tak ada yang bersuara Para pemuda itu kelihatan 
sangat tegang. Mengacaukan jalannya upacara korban 
untuk Dewa Bulan, sama saja menantang maut. Ya! Seperti 
yang sudah-sudah, kalau belum ada korban yang dijadikan 
sesajen untuk Dewa Bulan, maka desa ini selalu dicekam 
ketakutan dan malapetaka. 

Apa yang dikatakan oleh Sawedo kemungkinannya 
memang bisa jadi kenyataan. Oh! Akankah bencana- 
bencana lalu itu sekarang ini terjadi lagi? 

Terlalu lancang pemuda itu. Tetapi, bagaimana 
caranya Mayang sampai bisa diculik? Mengapa tahu-lahu 
Mayang berada bersamanya? Seperti biasanya, mereka 
akan melihat tumbal yang dipersembahkan kepada Dewa 
Bulan akan lenyap begitu saja. Entah ke mana. Sampai 
saat ini, belum ada yang tahu pasti. Tetapi cukup puas bila 
Ketua Wedokmurko mengatakan kalau gadis yang 
dijadikan sesajen sudah diterima Dewa Bulan. 

Lalu, bagaimana tiba-tiba Mayang bersama pemuda 
gondrong berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak 
catur di bahunya? Apakah telah menculiknya dari Dewa 
Bulan? Lho? Mengapa dia bisa melakukannya? Lalu, 
siapakah sebenarnya yang membunuh Medi, Kang 
Menggolo, dan istrinya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak 
terjawab itu singgah di benak mereka. 

"Pemuda itu memang biang keladi dari semua ini! 
Dia justru membuat desa ini kembali tidak aman! Kalau 
waktu itu membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya, 
kini dia berani-beraninya menculik Mayang! Hhh! Ini bahaya 
yang sangat besar untuk kita! Kita harus mengembalikan 
Mayang pada Ketua Wedokmurko! Aku khawatir, bencana 
akan datang lagi kepada kita! Pemuda itu memang harus 
mampus! Ayo, Kawan-kawan.... Kita bersiap untuk mencari 
mereka, dan membunuh pemuda keparat itu!" seru 
Sawedo lantang, penuh kegeraman. 

Namun sebelum mereka melangkah.... 

"Tolooong...! Ada ribuan tawon ganas menyerang 
desa kita!" 

Terdengar suara minta tolong, membuat mereka 
tersentak kaget. 

Tridarma menghentikan langkahnya. Kepalan 
menegak, seolah ada sesuatu yang mengusik 
pendengarannya. Andika sendiri juga sudah menghentikan 
langkahnya. Melihat Tridarma berbuat seolah-olah ada 
sesuatu yang mencurigakan, Pendekar Slebor ikut-ikut 
menajamkan telinganya. Namun, tak mendengar sesuatu 
yang menarik perhatiannya. 

"Kenapa, Tridarma?" tanya Pendekar Slebor. 

Sementara Mayang tampak sudah duduk di atas 
batu. 

"Tuan, nampaknya akan sangat berbahaya sekali 
kalau kita mendatangi desa tempat tinggal gadis ini 
sekarang," ujar Tridarma letap dengan sikap seperti 
sedangmendengarkan sesuatu yang semakin menarik 
perhatiannya. 

Andika menajamkan telinganya. Namun lagi-lagi 
tidak menangkap suara yang mencurigakan. Dia tahu, dari 
jarak mereka berada sekarang ini dengan desa itu masih 
sangat jauh. Paling tidak masih membutuhkan waktu 
empat kali menanak nasi. 

Namun bila melihat kemampuan pendengarannyal 
Tridarma yang tajam seperti itu, sungguh Andika menjadi 
kagum pula. Padahal, Pendekar Slebor sudah 
mengerahkan pendengarannya yang paling tajam! 

"Apa yang menyebabkan kau berkata begitu?" tanya 
Pendekar Slebor karena memang jadi penasaran. 

Tuan..., hamba mendengar suara berdengung yang 
sangat keras dan banyak sekali," lapor Tridarma. Kening 
Andika berkerut 

"Berdengung?" tanya Andika. 

"Ya. Seperti..., ada ribuan lebah yang sedang 
menyerang desa itu," jelas Tridarma. 

"Oh.Tuhan! Tridarma! Benarkah yang kau katakan 
itu?" seru Andika terperanjat. 

"Kalau pendengaran hamba masih bekerja baik, 
tentunya tidak salah, Tuanku...," kata Tridarma merendah. 
"Dan agaknya, yang hamba dengar itu berasal dari ribuan 
tawon yang tengah menyerang! Mereka berada dalam 
puncak kemarahan! Bahkan siap membunuh siapa saja 
yang berada di dekat mereka." 

Andika menghela napas panjang. Apalagi yang 
terjadi ini? Rasanya, terlalu banyak peristiwa mengerikan 
yang dialaminya. Namun mendengar ribuan tawon 
menyerang desa itu, lebih mengerikan lagi. Saat itu juga 
bulu romanya berdiri karena membayangkan kengerian. 

"Tridarma.... Dan kau juga, Mayang. Aku harus ke 
sana. Ingat, Tridarma! Keselamatan Mayang menjadi 
tanggung jawabmu. Aku tidak ingin ada sesuatu yang 
mencelakakannya," ujar Pendekar Slebor. 

"Baik, Tuanku," sahut Tridarma. Andika merasa kalau 
harus mengusir tawon tawon yang menurut pendengaran 
Tridarma sedang mengamuk di desa tempat Mayang 
tinggal. Dari manakah sebenarnya datangnya binatang 
kecil yang memiliki sengat yang mematikan itu? 

Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Slebor segera 
berkelebat meninggalkan mereka. Dengan ilmu lari 
cepatnya, sebentar saja Andika sudah tak tampak lagi 
"Jangan tinggalkan aku, Kang Andika!" teriak Mayang, 
namun sudah tak terdengar oleh Andika lagi. 

Ribuan tawon menyerang ganas salah satu desa di 
lereng Gunung Pengging. Sengatnya kecil, namun 
mematikan. Saat itu juga terjadi kegemparan yang disertai 
jerit kesakitan. Bukan hanya manusia yang menjadi 
sasaran, tetapi hewan-hewan ternak pun tak luput dari 
sengatan mematikan, ribuan tawon ganas itu. 

Suasana tak ubahnya terjadi wabah penyakit yang 
menyakitkan. Kali ini lebih mengerikan. Tawon-tawon itu 
menyengat bagian-bagian yang mematikan. Tak terhitung 
korban yang langsung jatuh dengan wajah memar. Bahkan 
ada yang lebih mengerikan lagi. Mata beberapa korban ada 
yang bolong! 

Sawedo bersama beberapa oraug yang lain 
mengibaskan pedangnya ke sana kemari dengan geram, 
sambil berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya. 

"Pergi kau, Bangsat-bangsat! Pergi dari sini! Heaaa! 
Heaaa...!" 

Namun tawon-tawon itu dengan ganas memburu ke 
arah Sawedo yang menjadi kelabakan. Dari sudut matanya 
dia sempat melihat Mareko sudah menjadi mayat dengan 
tubuh penuh luka mengerikan. Begitu pula yang lainnya. 

Meskipun mereka berusaha mengusir hewan-hewan 
ganas itu, namun nampaknya sia-sia belaka. 

Suasana sungguh menggiriskan, tak ubahnya bagai 
datangnya kiamat. Dan tanpa sepengetahuan mereka, tiga 
orang perawan telah lenyap dari tempatnya. 

Jerit tangis dan orang yang berlarian bagai dikejar 
maut menjadi pemandangan mengerikan pagi itu. Pagi 
berdarah yang tak akan pernah terlupakan. 

Ini gara-gara pemuda keparat itu yang telah 
mencampuri urusan Ketua Wedokmurko! la harus dicari! la 
harus merasakan penderitaan yang teramat pedih! Aaakh!" 
teriak Sawedo, di sela-sela kesibukannya mengenyahkan 
tawon-tawon ganas. Namun tak urung tangannya tersengat 
pula. 

Pemandangan mengerikan semakin nampak di 
mata. Mayat-mayat bergelimpangan tak berdaya, dengan 
sekujur tubuh penuh darah. Juga hewan-hewan ternak 
yang berkeliaran, berlarian mengamuk menahan sakit, lalu 
ambruk menimbulkan suara memilukan. Werrr...! 

Di tengah-tengah kematian itu mendadak saja 
serangkum angin keras menyerbu ke sana. Rupanya 
Pendekar Slebor telah muncul dengan mengibaskan kain 
pusakanya yang bercorak catur. 

Melihat pemandangan yang menyedihkan dengan 
jerit tangis yang keras dan tubuh yang perlahan-lahan 
ambruk, hati Andika pun teriris. Dengan kegeraman luar 
biasa, kain pusakanya dikibaskan ke sana kemari. 

Wrrrttt! 

Breeettt! 

Setiap kali kain pusaka Andika mengibas, 
menimbulkan suara cukup keras. Kemudian menyusul 
sekelompok tawon tersambar dan mati. Terus menerus 
Andika berbuat seperti itu sambil mempergunakan 
kecepatannya, sekaligus harus menghindari serangan- 
serangan sengat tawon yang mematikan. 

"Pergilah kalian dari sini! Mampus semuanya!" 
bentak Andika kerasnya. 

Pendekar Slebor kini berusaha menolong orang- 
orang yang tengah diserang tawon-tawon itu. 

"Cepat kalian masuk! Masuk! Jangan ada yang 
keluar! Tutup semua pintu dan jendela!" ujar Andika ke-ras. 

Namun orang-orang itu bukannya masuk, malah 
berlarian keluar. Karena bagi mereka, berada di dalam 
rumah justru sulit keluar. Lebih baik berada di luar. Namun 
akibatnya, nyawa mereka pun terbuang percuma. 

Hal ini membuat Andika semakin kalap. 

"Masuk kalian! Masuk! Jangan membuang nyawa 
percuma! 

Brett! Werrtt!" 

Kain pusaka Pendekar Slebor kembali mengibas ke 
sana kemari dengan cepatnya, mengandung tenaga 
semakin kuat. Namun jumlah tawon-tawon itu sangat 
ba-,nyak. 

"Masuk kalian ke rumah! Selamatkan nyawa anak 
istri kalian! Cepat! Tawon-tawon ini sangat berbahaya!" 
teriak Pendekar Slebor. 

Sebisanya orang-orang itu berusaha masuk, 
menyambar siapa saja yang berada di dekatnya untuk 
menghindari sengatan tawon-tawon ganas. 

Wuttt! 

Brettt! 

Andika terus mengibaskan kain pusakanya ke arah 
tawon-tawon itu yang men dengung-dengung 
mengancamnya. Dan mendadak saja tubuhnya berputar 
setelah menyampirkan kain pusakanya. Dan ketika 
putarannya berhenti, Andika berdiri tegak seperti 
menantang. 

"Ayo, kalian hewan-hewan bersengat! Sengat aku! 
Kerubungi aku! Bunuh aku!" lantang Pendekar Slebor. 

Seperti melihat kalau ada sasaran yang berani 
menanlang maut, tawon-tawon itu menyerbu ke arah 
Andika. Perlahan-lahan kini kedua kaki Pendekar Slebor 
ludah dikerubungi ribuan tawon. Lalu, kedua tangannya 
dan berlanjut ke sekujur tubuhnya. Bahkan kini wajahnya. 
Hingga akhirnya, terlihatlah sebuah pemandangan 
hagaikan sebuah patung yang dibuat dari ribuan tawon. 
Hanya satu dua saja yang masih beterbangan, selebihnya 
hinggap di tubuh Andika. 

Orang-orang yang terluka dan masih bisa bergerak, 
berusaha masuk ke rumah. Kali ini mereka menuruti kata- 
kata Andika, setelah melihat tubuh pemuda itu kini 
tertutupi ribuan tawon yang ganas. 

Dari jendela mereka, para penduduk memperhatikan 
pemuda yang masih dirubungi ribuan tawon. Mereka yakin, 
dalam waktu beberapa hitungan saja, pemuda itu sudah 
tewas seketika. 

Sawedo yang semula geram begitu melihat 
kedatangan Andika, kini harus menahan diri. Karena sejak 
tadi, dia melihat kalau pemuda itu berusaha 
menyelamatkan mereka dari serbuan tawon yang ganas. 
Apalagi sekarang, pemuda itu seperti menyediakan 
tubuhnya untuk dijadikan sasaran tawon-tawon itu, sebagai 
pengalih perhatian dari sasaran yang lain. 

"Gila! Siapakah dia sebenarnya?" desis Sawedo, 
diam-diam kagum melihat pemuda itu yang seperti rela 
berkorban." Dia pasti akan mampus dalam sekejap." 

Namun tak seorang pun yang tahu, kalau Andika 
sudah mengalirkan tenaga 'inti petir' tingkat kesepuluh 
untuk melindungi diri dari sengalan-sengatan tawon itu. 
Tentu saja, Pendekar Slebor belum begitu tolol mau 
mengorbankan diri. Padahal, pentolan dari semua 
peristiwa ini belum dihancurkan. 

Lagi pula, Andika masih suka makan nasi kebuli! 

Setelah hampir seluruh tawon-tawon hinggap di 
tubuhnya dan berusaha menusukkan sengatnya yang 
paling berbahaya, diam-diam Andika memperkuat tenaga 
'inti petir'nya. Sehingga yang dirasakan hanyalah sebuah 
tusukan-tusukan pelan yang tak berarti. 

Lalu mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bergetar 
cukup kuat. Dan seketika terlihat pula beberapa ekor 
tawon yang menempel di tubuhnya jatuh dan hancur. 
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, tawon- 
tawon itu berusaha melepaskan diri dari tubuh Andika. 
Namun Andika tidak akan membiarkannya begitu saja. 

Pendekar Slebor akan menghancurkan seluruhnya! 
Pendekar Slebor mengendalikan tenaga dalamnya yang 
berpusat dari pusar ke seluruh tubuh, dan memainkannya 
bagaikan berada dalam suatu gelombang. Lalu....tenaga 
dalam itu dibawanya ke depan. "Phuih...!" 

Bersamaan dengan itu Andika menghembuskan napasnya 
perlahan-lahan. Sehingga tenaga dalam yang keluar 
bagaikan sebuah perekat, yang membuat tawon-tawon itu 
tidak bisa melepaskan diri. 

Tubuh Andika semakin bergetar. Dan tawon itu 
perlahan-lahan meluncur jatuh dan mati. Hingga kemudian, 
seluruh tawon pun berjatuhan mati. Di bawah kaki Andika, 
hewan-hewan pembunuh itu bergeletakan. 

Orang-orang yang melihat kehebatan itu merasa 
aneh sekali, menyaksikan seorang pemuda yang nampak 
segar bugar. Padahal, habis dikerubungi tawon pembunuh 
kejam, yang sudah tentu pasti telah menyengat salah satu 
bagian tubuhnya. 

Hal yang serupa pun singgah di benak Sawedo yang 
diam-diam juga menaruh kagum pada pemuda itu. Kini dia 
yakin, pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun 
masih ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya. 
Mengapa pemuda itu membunuh Medi. Kang Menggolo, 
dan istrinya? 

Andika yang tengah mengibas-ngibaskan tangannya 
ke seluruh pakaian, mengangkat wajahnya. Dan 
tatapannya membentur pada tatapan Sawedo yang masih 
berdiri tegak di sana. Tampak kedua tangan Sawedo penuh 
sengatan. Juga pakaian dan celana yang dikenakannya 
telah koyak moyak. 

Dalam sekali lihat saja, Andika bisa mengetahui 
kalau Sawedo dalam keadaan luka parah. 

"Saudara Sawedo.... Anda membutuhkan perto¬ 
longan...," kata Pendekar Slebor, hati-hati. Sawedo 
mengibaskan tangannya. "Tidak... Aku tidak apa-apa...," 
tolak laki-laki ini. Padahal Sawedo merasa sekujur 
tubuhnya sangat panas. Tatapannya berkunang-kunang 
dengan tubuh terasa limbung. 

"Saudara.... Kalau Saudara tidak segera ditolong, 
maka... okhhh!" 

Andika cepat bergerak, menangkap tubuh Sawedo 
yang hendak ambruk. 

"Keterlaluan! Sudah dibilang teriuka, masih berlagak 
jago! Begini akibatnya!" dengus Andika. "Aku tidak apa- 
apa," kata Sawedo lemah. "Lebih baik kau tidak usah 
berkata-kata, karena hanya membuang tenaga saja. Saat 
ini, tenagamu sangat diperlukan sekali untuk 
mempertahankan hidupmu” ujar Pendekar Slebor. 

Sementara orang-orang yang merasa sudah aman 
itu pun segera keluar dari rumah. 

"Tolong orang-orang yang masih hidup itu. Rawat 
mereka!" seru Andika. 

Tetapi Andika salah duga. Karena, orang-orang itu 
justru mendekatinya. Wajah mereka..., begitu garang. 

Penuh amarah dan siap membunuhnya! 




Kening Andika berkerut ketika orang-orang itu 
mengelilinginya. Matanya langsung melirik Sawedo yang 
terkulai lemah dalam rangkulannya. Pemuda itu benar- 
benar tak berdaya, merasakan hawa panas yang mengalir 
di tubuhnya semakin kuat mengikat. Andika mendengus 
dalam hati. Kalau Sawedo tidak segera diselamatkan, 
maka nyawanya akan lepas percuma. 

Pendekar Slebor kembali memperhatikan orang- 
orang yang mengelilinginya dengan pandangan geram. 
Sekali lihat saja Andika yakin, kemarahan orang -orang itu 
ditujukan kepadanya. 

"Pemuda setan! Gara-gara kaulah desa kami yang 
damai ini diserang petaka!" dengus salah seorang laki-laki 
yang tangannya nampak penuh sengatan tawon ganas tadi. 
Bahkan beberapa diantara luka itu mengeluarkan darah. 

"Tahan! Jangan salah pabam... ini semua...." 

"Diaaamm!!" bentak laki-laki itu, membuat kata-kata 
Pendekar Slebor terpenggal. Di tangannya terdapat sebuah 
parang besar. "Kau telah mengacaukan upacara tumbal 
untuk Dewa Bulan! Akibatnya, justru kamilah yang terkena 
petaka akibat kemarahan Dewa Bulan!!" 

Kini sadarlah Andika, kalau dirinya dituduh sebagai 
biang keladi dari serangan tawon-tawon yang kini sudah 
bergeletakan dengan jumlah sangat banyak. 

"Sadarlah kalian," ujar Andika masih berusaha 
menyadarkan mereka dari kekeliruannya. "Kalau selama ini 
kalian telah diperalat dan dibodohi Manusia Pemuja Bulan. 
Tidak ada Dewa Bulan. Manusia Pemuja Bulan hanya ingin 
memanfaatkan kalian. Tentunya untuk tujuan kotor." 

"Jangan banyak omong! Yang kini teriihat hanyalah 
saudara-saudara kami yang telah menjadi mayat! Kalau 
saja kau tidak mengacaukan upacara dengan menculik 
Mayang, kami tidak akan mengalami hal yang mengerikan 
seperti ini!" 

Semakin sadar Andika, kalau mereka sudah tahu 


tentang Mayang yang diculik ketika hendak dilenyapkan 
Manusia Pemuja Bulan. 

"Kalian seharusnya sadar, kalau selama ini dibodohi 
Manusia Pemuja Bulan. Kalian telah dimanfaatkan untuk 
kepentingannya. Ingatkah kalian akan kata-kata Ki Seta 
sebelum ajalnya? Selama ini, kita hanya mempunyai satu 
keyakinan. Hanya Gusti Allah yang patut disembah. Bukan 
Dewa Bulan. Dan karena berani membantah itulah, maka 
Ki Seta harus mati! Karena, Manusia Pemuja Bulan 
tentunya akan takut bila kalian tidak lagi menjadi 
pengikutnya!" papar Pendekar Slebor. 

"Ki Seta memang patut mati, karena berani 
membantah permintaan Manusia Pemuja Bulan. Ki 
Wedokmurko adalah utusan dari Dewa Bulan yang harus 
dihormati! Tetapi..., kedamaian yang selama ini kami 
dapatkan harus kandas karena perbuatanmu!" 

"Kedamaian?" balas Andika pula. Dia tahu, 
kesalahpahaman nampaknya sudah di ambang mata. 
"Apakah kalian menamakan semuanya ini kedamaian? 
Kalian harus menyerahkan anak gadis kalian setiap malam 
Jumat untuk dipersembahkan kepada Dewa Bulan? Kalian 
harus menyediakan harta kalian untuk Dewa Bulan? Inikah 
yang kalian namakan kedamaian? Justru kalian telah 
melakukan suatu kebodohan. Kalian telah mengorbankan 
nyawa gadis-gadis yang tak berdosa! Bukan untuk Dewa 
Bulan, tapi untuk Manusia Pemuja Bulan yang tentunya 
berbuat keji!" 

"Kau memang pandai bicara!" dengus laki-laki ber¬ 
senjata itu lagi. 

Diam-diam laki-laki ini merasakan sekujur tubuhnya 
menjadi panas. Sangat panasnya, sehingga justru harus 
menahan getaran tubuhnya. 

"Kau sakit, Saudara...," kata Andika yang dapat 
melihat keadaan Sunjoyo. 

"Tidak! Kau harus mati!" dengus laki-laki itu sambil 
menyerang Andika dengan parangnya. 

"Jangan lakukan itu, Sunjoyo...." 


Terdengar seruan pelan dari mulut Sawedo yang 
semakin melemah. 

Tetapi laki-laki bernama Sunjoyo sudah menyerang. 
Namun hanya selangkah saja mampu bergerak, selebihnya 
sudah ambruk ke bumi. Dan nyawanya pun me-regang. 

Kejadian ini membuat yang lainya menjadi 
bertambah marah. Mereka siap menyerang Andika. Tetapi 
baru saja mereka bergerak.... 

"Jangan..., jangan lakukan itu. Pemuda ini benar... 
Kita memang sudah dibodohi Manusia Pemuja Bulan...." 

Sawedo yang semakin lemah keadaannya mencegah 
dengan suara pelan. 

"Sawedo! Kau akan dikutuk Dewa Bulan!" bentak 
seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun dengan 
geram. Wajahnya bulat dengan kumis baplang. Di lengan 
kirinya pun terdapat tiga buah bekas sengatan tawon- 
tawon kejam. 

"Tidak.... Tidak ada Dewa Bulan seperti yang dika 
takan Ketua Wedokmurko. Dia..., dia membohongi kita...," 
kata Sawedo. 

"Sawedo! Mengapa kau mendadak saja berbalik 
padanya? Apakah matamu mendadak menjadi buta, tidak 
melihat betapa banyaknya mayat yang bergelimpangan 
gara-gara ulah pemuda gondrong itu? Juga kau lihat sen¬ 
diri, nasib Sunjoyo yang mencoba membela kebenaran 
harus tewas di depan mata kita! Dan kau sendiri, seben-tar 
lagi pun akan mati...," sergah laki-laki berkumis ini Sawedo 
mengangkat kepalanya. Sementara tubuhnya masih 
dipega ng Andika. 

"Tidak! Itu tidak benar. Sunjoyo mati bukan karena 
membela kebenaran, tetapi bodoh. Sama seperti kita. 
Hanya Ki Seta yang patut disebut sebagai pembela 
kebenaran...,"tandas Sawedo. 

"Sawedo!" 

"Paman Longgom.... Kini aku baru sadar, kalau kita 
selama ini keliru.... Aku yakin, kalau yang mendatangkan 
bencana ini adalah Manusia Pemuja Bulan..., yang telah 
memaksa kita untuk menjadi pengikutnya...." 

"Kau?" laki-laki berkumis yang bernama Longgom 
menggeram marah. 

"Paman Longgom! Selama ini kita telah 
mengorbankan gadis-gadis tak berdosa sebagai tumbal 
untuk Dewa Bulan. Yah! Aku yakin sekarang..., tentunya 
Manusia Pemuja Bulan memiliki ilmu tinggi. Dengan 
ilmunya itulah dia mendatangkan dan melenyapkan gadis- 
gadis yang dikatakan dipilih dan telah diterima Dewa 
Uulan...," tutur Sawedo. 

"Mengapa kau berpikiran begitu, Sawedo? Rupanya 
kau sudah gila berani menentang Dewa Bulan!" desis 
Longgom. 

"Paman Longgom...! Ada alasan yang sangat masuk 
akal. Bila memang Dewa Bulan adalah sesuatu yang patut 
disembah, yang mampu mendatangkan dan mengambil 
gadis-gadis yang dipilihnya, mengapa pemuda ini..., mampu 
mengambil Mayang kembali? Mengapa? Di mana kekuatan 
terdahsyat yang dimiliki Dewa Bulan bila memang patut 
dijadikan sesembahan? Pikirkanlah itu, Paman 
Longgom...," ungkap Sawedo. 

Longgom kelihatan serba salah sekarang. Hati 
kecilnya yang terdalam pun membenarkan alasan itu. 
Begitu pula yang lainnya. Tetapi Longgom belum puas 

"Sawedo...! Bagaimana dengan Medi, Kang Meng- 
golo dan istrinya yang mati dibunuh pemuda itu?" 

Sawedo menggeleng-geleng lemah. 

"Kini aku yakin, bukan pemuda itulah yang 
membunuh mereka," jelas Sawedo semakin pelan. 

"Lalu siapa?" 

"Manusia Pemuja Bulan." 

"Hhh! Mustahil. Dia justru datang memberi 
perlindungan dari musibah-musibah yang mengerikan pada 
wanita. Lantas bagaimana mungkin telah melakukan 
pembunuhan itu?" sergah Longgom. 

la juga telah membunuh Ki Seta, Paman Longgom...," 
tambah Sawedo. 

Kali ini Longgom terdiam. Orang-orang yang marah 
pada Andika pun menurunkan tangan yang memegang 
berbagai senja la lajam. 

Andika diam-diam mendesah lega. Dia sendiri tidak 
menyangka kalau Sawedo akan membelanya. Bahkan 
Sawedo berpihak kepadanya. Tetapi kini dia yakin, kalau 
manusia-manusia ini masih memiliki kepercaya yang tulus 
dan hati nurani yang dalam. 

Mendadak saja Pendekar Slebor melihat orang-orang 
itu menjerit-jerit kesakitan. Rupanya sengatan yang dialami 
tadi, kini sudah mulai bekerja. Mereka memang tidak 
segera mati, karena hanya menderita beberapa sengatan 
saja. Namun, hawa panas itu mulai menjalari tubuh! 
Termasuk Longgom! 

Di tempat persembunyiannya, Wedokmurko alias 
Manusia Pemuja Bulan tengah menyempurnakan ajian 
'Unggulan Dewa'nya dengan mempergunakan darah tiga 
perawan yang diculik. Sebenarnya dia sangat geram 
terhadap Pendekar Slebor yang telah mengacaukan 
seluruh rencananya. 

Kalau tidak ingat pantangan ajian 'Unggulan Dewa' 
yang sedang disempurnakannya, sudah tentu Pendekar 
Slebor sudah diserangnya. Namun, selama berada dalam 
tahap penyempurnaan ajian 'Unggulan Dewa' tenaga 
dalamnya pantang dikeluarkan terlalu banyak Karena, 
tanpa tenaga dalam kuat, maka ajian 'Unggulan Dewa’ 
tidak akan pernah berhasil disempurnakan. 

Tetapi kelak, bila Manusia Pemuja Bulan berhasil 
menguasai ajian 'Unggulan Dewa', tak seorang pun yang 
akan bisa mengalahkannya. Tak seorang pun! 

Ki Wedokmurko tersenyum puas membayangkan 
sesuatu yang tak sabar dinantinya. Kini dengan kejamnya, 
Manusia Pemuja Bulan menekan perut gadis-gadis itu kuat- 
kuat, sehingga darah perawan mereka muncrat. 

Setelah tiga pertanakan nasi Ki Wedokmurko 
melakukan hal itu. namun bukan wajahnya menjadi gem¬ 
bira, justru menggeram marah. 

"Bangsat! Tinggal satu dara perawan lagi yang harus 
kudapatkan. Maka, ilmuku akan sempurna! Hhh! Bila aku 
terus menerus seperti ini, maka tenagaku untuk menculik 
mereka akan hilang percuma. Lain bila orang-orang bodoh 
itu menyediakan gadis-gadis itu untukku! Sialnya, aku tak 
menemukan lagi dara perawan di sana! Rata-rata masih 
berusia di bawah dua belas tahun!" dengus Manusia 
Pemuja Bulan. Dan tiba-tiba, matanya berbinar. "Hmm..., 
Mayang. Ya..., tinggal dia saja perawan di desa itu! Ini 
semua gara-gara Pendekar Slebor! Hhh! Pendekar Slebor.... 
Tunggu balasanku!" 

Kali ini Andika sangat sibuk, bekerja mati-matian 
untuk menyelamatkan tubuh-tubuh yang tengah menahan 
sakit. Rasa letihnya tak dihiraukan lagi. Bahkan tenaganya 
pun harus terkuras, karena hanya seorang diri bekerja. 
Namun semuanya tak dipedulikannya lagi. Yang ada 
dibenaknya, hanyalah menyelamatkan tubuh-tubuh itu. 

Dengan mempergunakan kain pusaka yang bercorak 
catur, Andika mengalirkan tenaga dalam dan 
mengusapkannya pada dada si sakit. Hasilnya, hawa panas 
yang mengaliri tubuh-tubuh itu mulai berkurang. Dan lama 
kelamaan, menghilang. Namun karena begitu banyaknya 
yang harus ditolong, beberapa orang tak sempat diberikan 
bantuan. Sehingga, mereka pun mati 

Pagi pun berjalan. Matahari sudah sepenggalah. 
Sinarnya yang sejuk seharusnya membuat orang mampu 
menikmati, dan mempergunakan untuk menjemur pakaian, 
dan makanan. Bahkan sebagai tanda sudah waktunya 
bekerja di sawah dan ladang. 

Tetapi pagi ini, tak seorang pun yang mampu 
menikmati pagi dan matahari. Tak seorang pun yang pergi 
menuju sawah dan ladang. Karena, mereka harus berjuang 
melawan maut. Sementara Pendekar Slebor terus 
berusaha menyelamatkan mereka. 

Ketika pekerjaannya selesai, barulah Andika 
merasakan tenaganya sangat letih. Dia segera duduk 
bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam dan hawa 


murni yang benar-benar terkuras. 

Selama satu penanakan nasi Pendekar Slebor duduk 
memejamkan matanya. Bila saja ada orang yang ingin 
membunuhnya, maka akan sangat mudah dilakukan. 
Karena Andika benar-benar sudah melepas semua 
kesadarannya, membiarkan seluruh tubuhnya kosong dan 
mengisinya dengan kesegaran. 

Lalu Andika mendesah panjang dan berdiri kembali. 
Dilihatnya sudah ada beberapa orang yang bisa bangun 
dan merasakan hawa panas yang menyiksa tadi 
menghilang. Namun tubuh mereka masih terasa lemah. 

Sawedo yang tadi membujur di sisi Andika pun 
sudah duduk. Ditatapnya Andika. 

"Sobat..., lerima kasih atas pertolonganmu...," ucap 
Sawedo tulus. 

Andika tersenyum. 

"Aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau 
akhirnya mau mengerti segala peristiwa ini. Kalau kau 
tidak membantah kata-kata mereka tadi, sudah tentu aku 
tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi dari sini. Dan 
akibatnya, akan banyak nyawa yang melayang percuma...." 

Sawedo mengangguk-angguk. 

"Sobat, siapakah namamu?" tanya Sawedo. 

"Andika." 

"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, 
Andika...," kata Sawedo lagi. Andika mengangguk. 

"Untungnya, petaka itu bisa diselesaikan, meskipun 
memakan korban yang sangat banyak. Hmm, Sawedo.... 
Kini kita tinggal menghadapi otak licik Manusia Pemuja 
Bulan yang telah menimbulkan seluruh petaka ini," kata 
Pendekar Slebor. 

"Kau benar, Andika. Yah..., aku memang bodoh," 
kata Sawedo jujur. "Sebenarnya, aku tidak percaya pada 
Manusia Pemuja Bulan. Hanya saja..., ah! Sudahlah.... 
Tidak baik mengingat kebodohan itu...." 

"Kau benar. Tetapi, Sawedo. Tahukah kau, di mana 
Manusia Pemuja Bulan tinggal?" 

Sawedo menggeleng. 

"Aku tidak tahu. Dia datang dan pergi begitusaja...." 
Inilah yang sulit. Kalau dibiarkan saja, maka petaka demi 
petaka akan menimpa masyarakat di sini. 

Orang-orang pun sudah mulai bisa berdiri dan ber¬ 
cakap-cakap. Juga terdengar tangis yang memilukan dari 
beberapa orang ibu yang melihat anak dan suami mereka 
telah menjadi korban sengatan tawon-tawon ganas. Saat 
itulah Andika teringat Mayang. 

"Sawedo...! Bila tenagamu sudah pulih kembali, 
ajaklah penduduk di sekitar sini untuk membangun desa 
ini kembali. Sadarkanlah mereka, kalau selama ini telah 
dibodohi Manusia Pemuja Bulan...," ujar Pendekar Sic bor. 

"Baik, Andika. Kau sendiri hendak ke mana?" Andika 
nyengi r. 

"Apakah kau tidak ingin melihat Mayang?" Andika 
malah balik bertanya. 

"Oh! Ya, ya.... Aku sendiri ingin tahu, bagaimana 
keadaannya dan apa yang dirasakannya...." 

"Tunggulah di sini. Saat ini dia aman di satu tempal 
bersama kawanku yang bisa dipercaya." 

Sawedo mengangguk. 

Andika pun berkelebat cepat. Dan diam-diam 
Sawedo menghela napas panjang. 

"Ah! Siapakah sebenarnya Andika itu? Bila melihat 
gerakan dan sikapnya, jelas sekali dia seorang pendekar 
yang meskipun agak urakan tetap memiliki kebijaksanaan. 
Kalau saja tidak ada Andika, sudah pasti kehidupan di 
desa ini akan hancur. Karena tidak mustahil, akan selalu 
berada di bawah pengaruh Manusia Pemuja Bulan!" kata 
Sawedo dalam hati. 

Sawedo semula merasa yakin kalau Andikalah yan 
membunuh Medi, Kang Menggolo, dan istrinya. Namun 
perlahan-lahan keyakinannya mulai sirna. Dia menangkap 
sesuatu yang sangat sulit dilacak Namun hati kecilnya 
mengatakan, Manusia Pemuja Bulan-lahyang telah 
melakukannya. Entah mengapa, sampai saat ini dia belum 
menem ukan jawa ban nya. 

Tetapi kayakinan yang lebih pasti, Ki Seta jelas 
dibunuh Manusia Pemuja Bulan. Seharusnya, mendengar 
kata Ki Seta yang menentang Manusia Pemuja Bulan, 
mereka segera sadar. Segera mengerti bahwa yang 
dilakukan selama ini adalah suatu kesalahan. 

Namun, saat itu pikiran mereka telah menghitam, 
penuh ajaran-ajaran yang diberikan Manusia Pemuja 
Bulan. Hingga saat itu mereka mempunyai satu keyakinan, 
kalau Ki Seta yang memang patut mati karena berani 
menentang kehendak Dewa Bulan. 

Diam-diam Sawedo mendesah panjang. "Hmm, 
sebenarnya harta apa yang disembunyikan Ki Seta? 
Kecuali Manusia Pemuja Bulan sampai saat ini tak seorang 
pun yang tahu kalau Ki Seta menyimpan harta yang 
tentunya sangat banyak. 

Karena harta itulah Ki Seta harus mati! Lalu 
perlahan-lahan Sawedo bangkit, berusaha menyadarkan 
teman-temannya yang lain dari pengaruh Manusia Pemuja 
Bulan. 

"Pemuda berbaju hijau itulah yang patut kita sebut 
dewa penolong! Dialah yang mencoba menyadarkan ke¬ 
bodohan kita, meskipun semula harus dimusuhi karena 
telah kita tuduh sebagai biang onar!" 

k k k 

Hari sudah siang. Matahari tepat di pusat kepala, 
ketika Andika kembali ke tempat sebelumnya dia 
meninggalkan Mayang dan Tridarma. Namun ternyata 
Pendekar Slebor tidak menemukan mereka di sana. 

"Hei? Ke mana mereka, ya?" tanya Pendekar Slebor 
sambil menggaruk-garuk kepalanya. 

Seluruh tenaga dan hawa murni Pendekar Slebor 
kini sudah kembali berjalan seperti biasa, Andika 
mencari-cari di sekitar sana, tetapi tak ada tanda-tanda 
keduanya berada. 

"Edan! Berani-beraninya Tridarma melanggar 
perintahku! Dibawa ke mana Mayang sebenarnya?" rutuk 
Pendekar Slebor. 

Andika menempelkan kedua tangannya di mulut 
membentuk corong. Lalu.... 

"Tridarma! Mayaaang! Di mana kalian?!" teriak 
Pendekar Slebor. 

Tak ada sahutan. Angin semilir berhembus, 
menggoyang dedaunan. Andika berteriak sekali lagi, tetapi 
hasilnya sama. 

"Brengsek Tridarma! Hhh! Tak heran aku kalau dia 
berani meninggalkan Ki Saptacakra, ketika sedang 
bersemadi!" dengus Andika. 

Tetapi mendadak saja Pendekar Slebor terdiam. Ada 
sesuatu yang dipikirkannya. Sesuatu yang seperti baru 
menyadarkannya. Lalu dihelanya napas panjang, dan 
berkelebat kembali ke desa tempat tinggal Sawedo. 


10 


Sebenarnya Andika cukup malu juga ketika kembali 
ke desa tempat tinggal Sawedo tanpa Mayang. Apalagi tadi 
Sawedo nampak menunggu kedatangannya. 

"Maaf, Sawedo.... Mayang dan Tridarma tidak berada 
di sana.... Mungkin, mereka meninggalkan tempat itu," 
ucap Pendekar Slebor, mau tak mau harus mengatakan 
juga. 

"Sudahlah, Andika. Lebih baik, beristirahat saja dulu. 
Kulihat beberapa orang ibu sudah pulih dari kekagetan 
mereka. Mereka nampak sudah bersedia menanak nasi," 
ujar Sawedo, sangat ramah. 

Andika mendesah panjang. Dia menyesali, mengapa 
hal itu harus terjadi? Berkali-kali Pendekar Slebor menotol- 
notol kepala dengan telunjuknya. Dan sekarang, dia masih 
menunggu kemunculan Tridarma dan Mayang. 

Sawedo mendekati. 

"Andika.... Nampaknya malam ini akan kita lewati 
dengan aman...," desah Sawedo. 

"Itu lebih baik. Apakah kau ingin kerusuhan terjadi 
lagi?" tanya Andika sambil nyengir. 

"Ya, tidak. Malah aku berkeinginan agar Manusia 
Pemuja Bulan segera pergi dari sini." 

"Ya, sayangnya tak seorang pun yang tahu di mana 
manusia itu berada. Bahkan tadi pagi, aku sudah menda¬ 
tangi dan mengelilingi Gunung Pengging. Namun tak satu 
tempat pun yang bisa dijadikan tanda-tanda sebagai 
tempat persembunyian Manusia Pemuja Bulan dan para 
anak buahnya. Tetapi.., he he he.... Sudah tentu Manusia 
Pemuja Bulan telah memagari persembunyiannya dengan 
ajian yang tak bisa ditembus mata." 

"Itu sudah pasti. Hhh! Kalau saja selama ini aku 
tidak bodoh, tidak akan pernah ada korban perawan 
berikutnya!" geram Sawedo. sekali lagi menyesali 
kebodohannya. 

"Sudahlah.... Tidak sudah dipermasalahkan lagi Yang 
terpenting... hei!" 

Andika tiba-tiba berdiri disertai rasa kaget. Segera" 
dia melesat ke satu tempat. 

Sawedo dan teman-temannya segera berlari ke 
tempat Andika dengan senjata terhunus. Sementara 
sebagian berjaga-jaga di tempat semula. 

Begitu tiba, mereka melihat Andika sedang berlutut 
memeriksa dua sosok tubuh yang telah menjadi mayat 
dengan leher hampir putus. 

"Rupanya manusia itu telah menebarkan petaka 
kembali!" desis Andika. 

Sawedo menghela napas panjang. Hatinya teriris 
melihat luka yang diderita dua pemuda yang ditugasi untuk 
meronda. Luka yang teramat mengerikan. 

"Andika..., siapakah yang telah melakukannya?" 
tanya Sawedo geram. 

"Hanya satu dugaanku, Manusia Pemuja Bulanlah 
yang melakukannya. Rupanya, kini dia sendiri yang datang 
menyerang. Bila melihat kelebatannya yang sangat cepat, 
dugaanku jelas-jelas Manusia Pemuja Bulan. Karena, 
berkali-kali aku bentrok dengan anak buahnya yang 
berpakaian dan bertopeng merah. Namun tak seorang pun 
yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi seperti 
itu. Kita harus..., oh, Tuhan! Sawedo! Cepat kita kembali ke 
desa!" sentak Pendekar Slebor. 

Andika kembali berkelebat lebih dulu. Dia harus 
berpacu dengan waktu. Dadanya bergetar cemas. 

Begitu tiba di tengah desa yang ditakutkannya 
Pendekar Slebor pun terjadi Tampak lima belas tubuh telah 
meregang nyawa dengan leher hampir putus. 

"Bangsat! Manusia busuk, keluar kauuu! Kita ber¬ 
tarung sampai mampus!" semprot Andika keras dengan 
kedua tangan mengepal keras. 

Sawedo dan yang lainnya pun tiba di sana. Mereka 
kontan terkejut melihat mayat-mayat itu. 

"Andika!" serunya pada Andika yang tengah 
menumpahkan kekesalannya. 

"Sawedol Suruh semuanya masuk ke rumah! Jangan 
ada yang keluar! Manusia Pemuja Bulan telah muncul di 
sini!" ujar Andika berteriak. 

"Andika..., mereka bisa menjaga diri. Aku lebih ingin 
mengorbankan nyawaku untuk membantumu! Untuk 
menghancurkan Manusia Pemuja Bulan yang telah 
membodohiku selama ini! Lagi pula, Paman Longgom dan 
beberapa orang yang lain kurasa sudah cukup untuk 
menjaga keselamatan mereka." 

Andika mengangkat bahu. 

"Terserah kaulah. Tetapi kuperingat kan, hati-hati!" 

Begitu mendengar Andika berkata hati-hati, Sawedo 
dan temannya pun segera bersiaga. Mereka melihat 
Pendekar Slebor nampak seperti terdiam. Namun mereka 
yakin kalau Andika dalam siaga penuh. 

Tiba-tiba saja, dari tempat yang gelap berloncatan 
beberapa sosok tubuh berpakaian dan bertopeng merah 
berjumlah sekitar sepuluh orang. Kalau biasanya mereka 
tidak membawa senjata, kini di tangan masing-masing 
tergenggam sebilah golok besar. Andika mendengus. 

"Mana manusia kodok itu, hah?!" bentak Pendekai 
Slebor. "Suruh dia keluar! Hadapi aku, Pendekar Slebor 
yang menghancurkannya! 

Sawedo menegakkan telinganya. 

Pendekar Slebor? Oh, Tuhan...! Andika kah yang 
berjuluk Pendekar Slebor?" gumam Sawedo, dalam hati 

Selama ini sayup-sayup Sawedo memang pernah 
mendengar tentang seorang pendekar bijaksana, namun 
sedikit urakan. Dia dijuluki Pendekar Slebor. Lalu yang 
dikatakan Andika tadi? Sungguh Sawedo tak pernah 
menyangka kalau Pendekar Slebor yang begitu harum 
namanya berada di dekatnya. Bahkan, sudah selama dua 
minggu berada di dekatnya. Namun saat itu, kemarahan 
dan kebencian masih membalut tubuhnya. Sehingga, dia 
tidak tahu siapakah orang yang dibencinya. 

Orang-orang di balik topeng merah itu menggeram, 
Salah seorang mengangkat goloknya. 

"Hhh! Pendekar Slebor...! Kau terlalu banyak 
mencampuri urusan kami! Tetapi kini, kau akan membayar 
semua perbuatanmu itu dengan nyawamu!" 

Dalam keadaan sesulit dan setegang apa pun, naluri 
urakan Andika tetap saja muncul. 

"Wah, wah...! Bagaimana kalau kuganti dengan uang 
dua ketip? Lalu, kubeli nyawa kalian seharga satu ketip? 
Lumayan, kalian bisa membeli pecel di ujung pasar sana!" 
kata Pendekar Slebor, seenak udelnya. 

"Bangsat!" 

Orang itu segera melesat dengan cepat ke arah 
Andika. 

"Lihat serangan! YeaaaF" Wuuuttt! "Uts...!" 

Andika melenting ke atas dengan ringan. Dan secara 
serempak, Sawedo dan kawan-kawannya segera 
menyerang pula yang segera disambut sembilan orang 
bertopeng merah yang lain. 

Pertempuran sengit pun berlangsung seru. Sawedo 
begitu geram. Dia bergerak dengan gesiL Rupanya pemuda 
itu memiliki kepandaian yang cukup lumayan. Ge-rakannya 
gesit dan ringan. Serangan parangnya mantap. 

Trang! Trang! Trang! 

Suara senjata beradu semakin ramai terdengar, 
seolah menyemarakkan malam yang semakin berjalan. 
Orang-orang yang berada di dalam rumah tak ada yang 
berani melihat pertempuran. Mereka saling dekap dengan 
anak, istri, atau suami. 

Andika berkelebat ke sana kemari. Dan dia tidak 
mau bertindak tanggung lagi. Tenaga 'inti petir'nya sudah 
dipergunakan sampai tingkat kedua puluh lima. Blarrr! 
Glarrr! 

Terdengarlah suara bagai petir menyalak setiap kali 
langan Andika berkelebat. Hasilnya, lima orang pun 
terpental dengan tubuh muntah darah dan meregang 
nyawa. Sisa lima orang lagi pun menjadi sasaran 
kemarahan Sawedo dan teman-temannya yang tinggal 
enam orang. Karena, dua orang sudah tewas. 

Kalau saja Andika tidak membantu, maka akan sia- 
sia saja perlawanan Sawedo dan teman-temannya, karena, 
lawan mereka amat tangguh. Andika sudah kembali 
berkelebat ke sana kemari dengan pukulan 'inti petir'nya. 

Sementara itu, Longgom dan dua belas orang yang 
menjaga keselamatan para penduduk harus menghadapi 
pula serangan yang datang mendadak. Untungnya sejak 
tadi mereka sigap, sehingga tidak sampai kecolongan. 

Sebenarnya tadi mereka sudah ingin membantu 
Andika, Sawedo dan yang lainnya. Namun, Longgom 
menahan. Karena dia berpikir, barangkali saja nanti ada 
lawan yang melakukan pembokongan. Lagi pula, tadi pun 
telah didengar siapa Andika sebenarnya. Pendekar Slebor 
yang kesohor! 

Dan mereka pun perlahan-lahan melihat orang-orang 
berpakaian dan bertopeng merah itu mulai terdesak, lalu 
ambruk satu persatu. 

Memang, perhitungan Longgom sangat mantap 
Karena mendadak saja delapan orang berpakaian dan 
bertopeng merah muncul dari balik semak dengan cara 
melompat sambil mengayunkan golok besar di tangan. 

"Ayo, Kawan-kawan! Kita musnahkan manusia- 
manusia bangsat ini!" teriak Longgom yang kini sudah 
sadar, kalau selama ini hanya diperalat Manusia Pemuja 
Bulan. Pedang di tangannya pun terayun cepat ke sana 
kemari. 

Trang! Wuuuttt! 

"Aaakkkhhh!" 

Salah satu orang bertopeng menjerit sambil 
mendekap tangan kirinya yang buntung akibat sabetan 
pedang Longgom. Namun meskipun lebih sedikit, mereka 
lebih tangguh dari kelompok Longgom. Karena, hanya 
Longgom saja yang memiliki kepandaian. Sementara, yang 
lainnya hanya mengandalkan semangat. Mereka harus 
melampiaskan kemarahan, karena selama ini dibodohi. 

Maka sebentar saja teriihat Longgom dan sisa 
teman-temannya mulai terdesak, menghadapi gempuran- 
gempuran yang hebat dari lawannya. 

Trang! Trang! Wuuuttt! "Aaakh!" 

Satu orang teman Longgom ambruk meregang 
nyawa. Namun Longgom terus memberi semangat pada ka¬ 
wan-kawannya. 

"Ayo, jangan mundur! Kita harus maju terus! 
Hancurkan mereka! Hancurkan!" teriak Longgom. 

Lalu dengan penuh kegeraman dan keberanian, 
Longgom menyerang sekuat tenaga. Namun, dia pun harus 
menghadapi tiga orang lawannya yang rata-rata memiliki 
kepandaian tangguh. 

Kali ini Longgom harus terdesak. Begitu pula teman- 
temannya. Namun di saat yang gawat, melesat satu 
bayangan hijau sambil mengibaskan tangan ke sana 
kemari. 

Desss.J Desss! 

"Aaakh...!" 

Orang-orang itu pun berpentalan disertai muntah 
darah. Melihat sosok bayangan yang tak lain Andika, nyali 
Longgom yang mulai menciut, kini mekar kembali. Maka 
langsung diterjangnya lawan- lawannya. 

Andika sendiri merasa harus menyelesaikan semua 
ini dengan segera. Karena menurut perkiraannya, Manusia 
Pemuja Bulan akan muncul sekarang juga. 

Pendekar Slebor pun bergerak cepat sambil 
mengibaskan pukulannya yang mengandung tenaga 'inti 
petir I 

"Mampuslah kalian semua!" bentak Andika. 
"Sawedo! Kang Longgom, cepat tinggalkan tempat itu! 
Kembali kalian ke rumah masing-masing! Karena menurut 
perkiraanku, Manusia Pemuja Bulan akan muncul! Sekali 
ini, turuti kata-kataku!" 

Setelah berkata demikian, Andika bersalto ke depan. 
Namun belum lagi hinggap di tanah.... 

Blarrr...! 

"Aaa...!" 

Terdengar ledakan dahsyat yang disertai jeritan 
menyayat. 

"Edan...!" 

Andika merutuk melihat Longgom dan tiga orang 
temannya telah tewas dengan tubuh pecah berantakan. 

"Sawedo! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru 
Pendekar Slebor sambil berbalik ke belakang. Matanya 
bersiaga penuh, dengan kewaspadaan sangat tinggi. 

Di atas sebuah pohon, Andika melihat satu sosok 
berjubah hitam menatap nyalang kepadanya. Inikah 
Manusia Pemuja Bulan? Serangan pertama yang 
diperlihatkan tadi sungguh sangat hebat! 

"Hei, Jubah Hitam Dekil! Turun sini, biar kulihat 
mukamu itu! Apakah lebih dekil daripada jubahmu?!" seru 
Pendekar Slebor sambil mengulapkan tangannya. 

Sosok yang tak lain Ki Wedokmurko menunjuk ke 
wajah Andika. 

"Kau terlalu banyak ikut campur, Pendekar Slebor!" 

Werrr...! 

Andika tertawa. Tetapi Pendekar Slebor segera 
mengibaskan tangannya pula, ketika merasakan 
serangkum angin menyambarnya. Rupanya, Manusia 
Pemuja Bulan mencoba membokongnya, atau menjajaki 
kekuatan tenaga dalamnya? Saat itu juga Andika mengalir¬ 
kan kekuatan 'inti petir' ke sekujur tubuhnya. 

Wusss...! 

Ganti Ki Wedokmurko yang harus berjumpalitan 
ketika merasakan sebuah dorongan angin besar yang 

menderu ke arahnya. 

"Luar biasa! Nama besar Pendekar Slebor memang 
bukan omong kosong belaka!" sentak Manusia Pemuja 
Bulan, begitu mendarat di tanah. 

"He he he...! Siapa dulu dong orangnya?" seloroh 
Andika. 

"Hanya sayang, nama besar Pendekar Slebor hari ini 
akan musnah bersama angin lalu!" 

"He he he.;.! Boleh saja, boleh saja ngomong begitu. 
Ngomong memang mudah, kok," sahut Andika, mengejek. 

"Akan kubuktikan omonganmu!" desis Ki Wedok*. 
murko sambil membuka jurusnya. 

Kedua tangan Manusia Pemuja Bulan mengembang 
ke muka. Kaki kirinya berada sedikit menyerong ke arah 
kanan, sementara kaki kanan berada di belakang, sejajar 
pinggul. 

"He he he.... Jurus kedok buntet kau perlihatkan, 

ya?" 

Ejek Andika disambut gerakan menyusur tanah 
sangat cepat sekali. Satu serbuan Manusia Pemuja Bulan 
yang mampu membuat Andika menjadi kalang kabut tak 
karuan. Karena, gerakan itu mengandung kekuatan penuh 
dari satu jurus pembuka yang mematikan. 

"Edan! Hebat juga jurusmu itu, Orang Jelek!" leceh 
Pendekar Slebor sambil melenting dan berputar dua kali di 
atas, dengan gerakan ringan manis sekali. 

Mendadak saja Pendekar Slebor meluruk ke arah 
Manusia Pemuja Bulan, dengan satu gerak tipu. 

Namun gerakan Pendekar Slebor rupanya berhasil 
digagalkan Ki Wedokmurko hanya dengan satu sontekan 
kaki ke depan. Sehingga mau tak mau, Andika harus 
mengubah jurusnya lagi. Bahkan menarik pulang dengan 
satu hembusan napas. 

"Gila!" 

"Ha ha ha.... Kau akan merasakan, betapa bodohnya 
malam ini, karena berani menantang dan mengusik 
Manusia Pemuja Bulan!" seru Ki Wedokmurko sambil terus 
menyerang gencar. 

Wuuuttt! 

Deb! Deb! 

"Heiiittt! Boleh, boleh! Boleh saja kau ngomong 
begitu! Tetapi sekarang kukatakan. Kalau kau merasa bo¬ 
doh, ya jangan mengajak orang lain ikut bodoh, dong!" ejek 
Andika. 

Sambil berkata demikian, Pendekar Slebor memulai 
tubuhnya berkali-kali, bagai berlari menghindari serangan 
Manusia Pemuja Bulan. Padahal, gerak yang dilakukannya 
salah satu gerak tipuan yang telah dikembangkannya dari 
jurus 'Memapak Petir Membabibuta 1 . 

Bila lawan terbawa arus gerakannya, maka Pendekar 
Slebor secara mendadak akan menghentikan langkahnya. 
Tubuhnya cepat merunduk. Lalu dengan pencalan satu 
kaki, dia melenting ke atas. Sementara tangannya siap 
menghantam kepala. 

Namun lagi-lagi gerak tipu itu tidak membawa arti. 
Karena bukannya mengikuti gerakan Pendekar Slebor, 
Manusia Pemuja Bulan justru memotong geraknya dalam 
satu gerak lurus membentuk serangan berputar. 

'Mampuslah kau!" 

Deb! 

"Heiiittt!" 

Andika mengubah gerakannya dengan melompat 
kekiri. 

"Kutukupret! Kodok bantet!"omel Andika jengkel. 

"Ha ha ha...! Kau sudah merasakan ketangguhan 
jurusku itu, bukan? Kini, bersiaplah menerima 
kembangannya dari jurus 'Dewa Bulan Menebar Cahaya'," 
ejek Ki Wedokm urko. 

Andika tahu kalau jurus yang akan diperlihatkan 
Manusia Pemuja Bulan merupakan jurus tangguh. 

"Kasih lihat deh! Dan kau juga akan melihat jurusku 
'Dewa Bulan Menebar Kentut'!" 

Dalam keadaan demikian, masih sempat-sempatnya 
Andika mengejek, membuat wajah Manusia Pemuja Bulan 
memerah. 

Tiba-tiba saja Ki Wedokmurko bergerak cepat, bagai 
gerakan terjun ke sungai. Jubah hitamnya mengembang. 
Kedua tangannya yang tadi mengatup menjadi satu, kini 
membuka. Seolah dia sedang menebarkan sesuatu ke 
bawah. 

Benar saja! Pendekar Slebor merasakan getaran 
cukup kuat, yang seolah mengalir dari kedua tangan 
Manusia Pemuja Bulan. Dengan cepat tubuhnya berguling 
ke kanan. Namun, Manusia Pemuja Bulan terus 
mengeja rnya. 

"Edan! Aku bisa mampus kalau begini!" dengus 
Andika. 

Lalu mendadak saja Pendekar Slebor melompat ke 
atas, setelah sebelumnya bergulingan sekali lagi 
menghindari serangan. Begitu berdiri tegak, tatapannya 
menyipit dengan wajah dingin. Tetapi tetap saja tidak 
mengurangi kekonyolannya. 

"Kalau begitu, baiklah.... Kini kau akan mendapat¬ 
kan perlawanan yang hebat dariku! Tetapi..., he he he.... 

Asalkan kau tidak membalas, aku pasti menang," 
kata Pendekar Slebor sambil tertawa, karena merasa lucu 
dengan ucapannya sendiri. 

Dan mendadak saja, Andika memutar kedua 
tangannya di atas. Kemudian perlahan-lahan dikerahkan¬ 
nya ajian "Guntur Selaksa' yang diciptakannya sendiri di 
Lembah Kutukan, dan secara tidak langsung adalah salah 
satu jurus warisan dari Pendekar Lembah Kutukan. Terlihat 
kalau sekujur tubuh Pendekar Slebor kini bagai dikelilingi 
sinar berwarna putih keperakan. 

"Manusia Pemuja Bulan! Kita lihat, siapa yang 
digdaya!" bentak Pendekar Slebor, garang. 

"Hhhh! Kau akan menyesali kenekatanmu ini, 
Pendekar Slebor!" 

Lalu dengan kecepatan penuh, Manusia Pemuja 
Bulan menyerang. Begitu pula dengan Andika yang 
mempergunakan ajian 'Guntur Selaksa'. Tubuhnya cepat 
bergerak memapak i. 

Orang-orang yang memperhatikan pertarungan itu 
bergetar hatinya. Terutama, Sawedo yang kini sudah 
merasa dekat dengan Andika yang dikenal sebagai 
Pendekar Slebor. 

Des! Des! Des! 

"Aaakh...!" 

"Aaakh...!" 

Dua kali benturan terjadi, menyusui dua buah tubuh 
yang terlontar deras ke belakang disertai jerit kesakitan. 

Tubuh Pendekar Slebor tampak menabrak sebuah po-on. 
Begitu pula Ki Wedokmurko atau Manusia Pemuja Bulan. 
Keduanya sama-sama merasakan rasa sakit di dada 
masing-masing. 

Namun seketika mereka sudah tegak kembali. 
Masing-masing membuka jurusnya. Ki Wedokmurko diam- 
diam menggeram dalam hati. Nama besar Pendekar Slebor 
memang cukup lama dikenalnya, sebagai pendekar muda 
yang memiliki kesaktian tinggi. 

Akan tetapi, tokoh itu telah bertekad untuk 
memusnahkan pemuda berpakaian hijau pupus ini. Dan 
mendadak saja Manusia Pemuja Bulan duduk bersila, 
dengan kedua tangan terkatup menjadi satu di dada. 

Andika pun berbuat yang sama, sekaligus untuk 
memulihkan rasa sakit yang diderita. 

Pendekar Slebor melihat tubuh Manusia Pemuja 
Bulan mengeluarkan asap. Dan mendadak saja, perlahan- 
lahan sekujur wajah Ki Wedokmurko teriihat memerah. 
Namun yang membuat kening Pendekar Slebor berkerut, 
karena bagian bahu di lengan kanan Manusia Pemuja 
Bulan tidak terlihat warna merah. 

Rupanya' Manusia Pemuja Bulan telah 
mengeluarkan ajian pamungkas yang belum sempurna 
betul. Ajian 'Unggulan Dewa’ memang masih membutuhkan 
satu darah perawan lagi agar menjadi sempurna. Namun 
Manusia Pemuja Bulan berpikir, menghadapi Pendekar 
Slebor bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan bisa-bisa 
nyawanya sendiri akan terancam. 

Kesempatan itu pun dipergunakan Ki Wedokmurko 
untuk memulihkan tenaga dalamnya. Karena dalam taraf 
kurang sempurna, ajian ’Ungulan Dewa’ akan kurang 
kedahsyatannya. Meskipun, kepakan tangannya mampu 
menumbangkan sebuah pohon. Lantas, bagaimana bila 
sudah sangat sempurna? Cita-citanya untuk menjadi orang 
nomor satu di dunia persilatan pasti akan tercapai! 

Lalu masih dalam keadaan bersila, Manusia Pemuja 

Bulan mengibaskan kedua tangannya ke muka. 
Wesss...! 

Andika merasakan hawa panas menderu kepada¬ 
nya. Dengan cepat tubuhnya melenting ke atas. Brak! 

Dan angin keras itu menghantam sebuah pohon 
hingga langsung tumbang. 

"Gila!" seru Andika terkejut. 

Pendekar Slebor lebih terkejut lagi ketika bagian 
tubuhnya bergerak, menimbulkan angin cukup keras. 

Andika merasa kelabakan juga. Sudah dua kali 
tubuhnya terdorong tenaga angin yang kuat, membuat 
dadanya terasa sakit. Bisa dibayangkan, bagaimana bila 
terkena pukulan atau tendangan itu secara langsung! 

Namun mendadak saja Pendekar Slebor melayang 
dengan jurus 'Guntur Selaksa' tingkat tinggi. Bertepatan 
dengan itu, Ki Wedokmurko pun berbuat yang sama. 

Dua tubuh tampak melenting ke depan, lalu beradu 
dengan tenaga sakti penuh. Des! Duk! "Aaakh...!" 

Dua benturan barusan menimbulkan sinar cukup 
menyilaukan, meskipun sesaat. 

Satu sosok tubuh terlontar cepat ke belakang. 
Sedangkan satu lagi hanya mundur tiga tindak. Yang 
terlontar ternyata Pendekar Slebor. 

Sementara Manusia Pemuja Bulan hanya 
menggeram kecil. Dia memang hanya berani memapak 
dengan satu tangan saja. Karena, ajian 'Unggulan Dewa' 
belum menyerap ke lengan kanan bagian atas. Namun, 
hasilnya sungguh luar biasa! Tubuh Pendekar Slebor 
meluncur cukup jauh. Bisa dibayangkan kalau saja 
Manusia Pemuja Bulan telah menyempurnakan ajian 
’Ungulan Dewa’ ini, niscaya tubuh Pendekar Slebor akan 
hancur seketika. 

Pendekar Slebor berusaha bangkit sambil menahan 
rasa sakit yang luar bisa di dada. Tubuhnya sedikit 
limbung. Ternyata ajian 'Guntur Selaksa' tak banyak 
gunanya! 

Namun Pendekar Slebor melihat Manusia Pemuja 
Bulan memegang lengan kanan bagian atas. Nampaknya 
laki-laki berjubah hitam itu tengah menahan sakit yang luar 
biasa pula. Andika ingat. Sebelum terlontar tadi, kakinya 
masih sempat menendang bahu itu. 

Manusia Pemuja Bulan mendengus. Rupanya baru 
kini dia merasakan sakit yang menyengat bahu kanannya. 

Diam-diam Pendekar Slebor terus memperhatikan, 
hingga tiba pada satu kesimpulan. Jelas bagian bahu 
kanan atas Manusia Pemuja Bulan yang tak berwarna 
merah seperti sekujur tubuhnya yang lain adalah titik ke¬ 
lemahan dari ilmunya yang sangat dahsyal. 

Andika pun menghimpun lagi tenaga saktinya. Kini 
dia siap memburu dan menggedor bahu bagian kanan 
Manusia Pemuja Bulan. Dan.... 

"Heaaa! Kini mampuslah kau, Manusia Pemuja 
Bulan!" 

Disertai teriakan keras, Pendekar Slebor menerjang 
cepat ke depan. Namun sebelum sempat menyarangkan 
pukulan sebuah bayangan berkelebat cepat 
mengha ntamnya. 

Des! Brak! 

"Heigkhhh!" 

Bukannya Manusia Pemuja Bulan yang menjerit, 
justru Andika yang ambruk sebelum serangannya me¬ 
ngenai sasaran. Pendekar Slebor kontan pingsan karena 
mendapat bokongan keras. 

"Ha ha ha...!" 

Manusia Pemuja Bulan terbahak-bahak. 

"Kukira kau tidak akan muncul, Gembel Tua!" 

Sosok bayangan yang baru datang itu mendengus. 

"Lebih baik dia kita bunuh saja, sebelum seluruh 
rencana yang telah tersusun berantakan! Kau sudah 
menemukan harta Ki Seta?" kata sosok itu. 

"Belum.... Tetapi, tak lama lagi." 

Para penduduk di sana terkejut melihat Pendekar 
Slebor ambruk dan pingsan. Mereka pun berlarian keluar, 
ketika tubuh Pendekar Slebor dibawa Manusia Pemuja 
Bulan, diikuti temannya yang barusan membokong. 

Siapa sebenarnya orang yang membokong Pendekar 
Slebor? Harta apa yang disimpan Ki Seta? Di mana Mayang 
dan Tridarma berada saat ini? Kali ini, nasib Pendekar 
Slebor berada di ujung tanduk. Karena, kedua manusia keji 
itu sudah merencanakan untuk membunuhnya! 

Bagaimana nasib Pendekar Slebor akhirnya? Ikuti 
kelanjutan kisah ini dalam episode: 
CINCIN BERLUMUR DARAH