Pendekar Slebor 21 - Neraka di Keraton Barat




Malam semakin membentang. Suasana begitu sunyi 
mencekam. Rembulan di angkasa tak mampu meng- 
halangi timbunan awan hitam yang seperti enggan 
berpindah tempat. 

Sementara sebuah bangunan di bawah sinar 
rembulan yang tipis, kelihatan sunyi senyap. Bau anyir 
darah tercium. Suara burung gagak yang mengerikan 
berkaok-kaok, memecah keheningan malam. 

Bangunan itu adalah Keraton Kerajaan Pakuan 
yang kini semakin porak poranda saja. Sementara 
mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman 
keraton, bertumpuk tanpa dipedulikan. Rata-rata 
mereka berpakaian prajurit. Namun dilihat dari 
seragamnya, mereka memang para prajurit Kerajaan 
Labuan yang membantu Kerajaan Pakuan, yang saat 
ini dikuasai Tidar alias Raia Akherat. 

Kekejaman Tidar memang sangat mengerikan, 
ilmunya pun sangat dahsyat. Di antara yang mati 
terlihat tiga sosok tubuh berpakaian putih, dan dua 
sosok tubuh berpakaian warna hitam. Kelimanya 
adalah prajurit-prajurit Kerajaan Labuan yang men¬ 
coba menyerang Raja Akherat. Namun, akhirnya 
harus menerima ajal secara mengenaskan. (Baca 
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Raja 
Akherat"). 

Sementara saat ini, Sari yang ikut dalam 
penyerbuan ke Keraton Pakuan masih dalam 
keadaan pingsan setelah bertarung melawan Raja 
Akherat. Gadis ini kini terbaring di kamar Prabu 
Adiwarman. 

Pendekar Slebor yang bermaksud menyusup ke 
keraton itu, terpaksa harus menyusuri lorong bawah 
tanah dalam keadaan merangkak. Namun semakin 
jauh merangkak mulai disadari, kalau saat ini ia ter¬ 
sesat. Setiap Andika mencari jalan tembus, tak 
pernah ketemu. Bahkan Andika merasakan kalau 
sudah terlalu lama berada di dalam lorong rahasia ini. 
Itu sebabnya, waktu Senapati Monoseta menunggu- 
nunggu, Pendekar Slebor tak muncul-muncul. 

"Kutu kupret! Mengapa lorong ini jadi panjang 
sekali?" gerutu Pendekar Slebor. "Padahal menurut 
Prabu Adiwarman..., jaraknya tidak terlalu jauh. 
Tetapi, mengapa jadi begini?" 

Andika menghentikan merangkaknya. Dan kini 
pinggangnya terasa pegal-pegal. 

"Lebih baik aku kembali ke tempat semula. 
Barangkali saja aku memang tersesat...." 

Lalu dengan susah payah sambil menekuk tubuh¬ 
nya ke dinding tanah yang pengap, Andika berbalik ke 
jalan yang dilaluinya tadi. Dan kembali dia harus 
merangkak. 

Tetapi lagi-lagi kening Pendekar Slebor harus 
berkerut. Karena justru dia merangkak bukan melalui 
jalan semula yang dilalui. 

"Kambing congek! Kenapa jadi begini?! Apa 
dikiranya aku ular tanah?!" rutuk Pendekar Slebor. 
"Apakah Prabu Adiwarman membohongiku? Kalau 
benar membohongiku, aku bersumpah akan kusunat 
lagi dia!" 

Dengan tekad bulat, Andika meneruskan 
rangkakannya. Tetapi sekian lama merangkak, tidak 
juga menemukan tempatnya tadi. Tubuhnya sudah 
pegal bukan main. Rasanya linu sekali. Sebentar ia 
menghentikan rangkakannya, lalu duduk dengan cara 
menekuk kedua kakinya. 

"Ke mana lagi jalan yang harus kutempuh?" 
gumam Pendekar Slebor, "Aku tidak ingin mati konyol 
di sini...." 

Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat 
sesuatu, tiba-tiba saja matanya melihat sinar dari 
ujung sana. Maka cepat dia merangkak mendekati 
sinar itu. 

"Heran?! Mengapa sejak tadi aku tidak melihat 
sinar ini, ya?" kata Andika sambil memperhatikan 
sinar itu yang menerobos dari sebuah lubang kecil. 

Begitu sampai Andika cepat menggaruk lubang 
sebesar kepingan uang logam tempat sinar masuk. 
Beberapa tanah berguguran. Dan semakin lama 
menggaruk tanah, terlihatlah sebuah lubang yang 
cukup besar. 

Udara segar langsung menyergap indera 
pernapasan Pendekar Slebor. Andika bisa bernapas 
lega sekarang. Tidak dipedulikan lagi di mana harus 
keluar. Yang penting pindah dari tempat ini. 

Perlahan demi perlahan Andika menyusupkan 
kepalanya ke lubang yang telah dibuat. Matanya 
langsung beredar ke sekelilingnya. Alangkah ter¬ 
kejutnya Pendekar Slebor ketika mendapati dirinya 
berada di sebuah dataran tinggi, penuh pepohonan 
dan bukit-bukit! 

Cepat Andika menarik kepala sambil menepuk- 
nepuk dadanya. 

"Amit-amit! Kenapa aku berada di sini?" gumam 
Pendekar Slebor. 

Lalu perlahan-lahan Andika kembali menongolkan 
kepalanya. Tetap suasana yang sama yang 
terpampang di matanya. 

"Gila, berada di manakah aku ini?" tanya Pendekar 
Slebor dalam hati. 

Lalu dengan sekali menghentakkan tubuhnya, 
Pendekar Slebor sudah keluar dari lorong rahasia 
yang pengap dan gelap! 

Begitu bangkit berdiri, Andika celingukan. Matanya 
memperhatikan sekitarnya dengan kening berkerut. 
Menurut perkiraan, seharusnya Pendekar Slebor 
berada di belakang keraton, tepat di istal kuda seperti 
yang dikatakan Prabu Adiwarman. Tetapi, mengapa 
berada di sini? 

Suasana sekelilingnya sunyi sekali. Bahkan Andika 
tidak mendengar suara binatang malam seperti 
biasanya yang banyak hidup di tempat seperti ini. 
Rembulan di atas sana tak nampak, mungkin tertutup 
awan tebal. 

Perlahan-lahan Andika melangkah menyusuri 
tempat itu. Gila! Semuanya semakin asing saja 
dirasakannya. Dan ini semakin membuat jantungnya 
berdebar-debar. 

"Oh, Gusti.... Tempat apakah ini?" tanya Andika 
dalam hati dengan sikap bingung. 

Tiba-tiba Pendekar Slebor teringat pada para 
prajurit Kerajaan Labuan yang tengah menyerang 
Raja Akherat. Apakah mereka berhasil mengalahkan¬ 
nya? Ataukah malah tewas semuanya? Andika pun 
teringat pada Sari, gadis penunggang harimau yang 
jelita berpakaian dari kulit harimau. Bagaimana 
keadaannya? Dan Andika tetap tidak mengerti, 
mengapa akhir dari lorong rahasia yang dikatakan 
Prabu Adiwarman berakhir di sini? 

Belum lagi Andika memutuskan untuk berbuat 
apa.... 

"Anak muda..., selamat datang di Alam Sunyi...." 

Tiba-tiba terdengar suara bernada nyaring dan 
keras. 

Andika celingukan memandang sekitarnya. Mata¬ 
nya tidak melihat siapa-siapa berada di sini, kecuali 
dirinya. Lalu, siapakah yang bersuara barusan? 

"Hei, kau yang bersuara tadi!" teriak Andika 
lantang. Suaranya menggema ke lima penjuru. "Kalau 
memang wajahmu tampan sepertiku, keluarlah! 
Kalau cuma pas-pasan, lebih baik sembunyi saja!" 

Tak ada sahutan apa-apa. Andika menunggu 
sesaat. Namun tetap tak ada suara apa-apa. Hatinya 
pun menjadi penasaran. 

"Apakah kau budek, hah?! Ataukah sebangsa 
siluman penghuni tempat ini yang kerjanya meng¬ 
ganggu orang saja?" teriak Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...!" 

Kali ini terdengar tawa yang berat, bernada geli. 

"Kau memang telah lama ditunggu, Anak Muda. 
Seratus tahun aku menunggu kedatanganmu. Dan 
tak kusangka..., kau telah hadir di sini...," sahut suara 
tanpa wujud itu. 

"Menungguku seratus tahun lamanya?" seru 
Andika kaget. "Kasihan sekali.... Apa tak punya 
pekerjaan lain, kecuali menungguku? He he he... 
Kalau begitu berapa tahun usiamu?" 

"Kalau kau ingin tahu usiaku, kukatakan dengan 
jujur. Usiaku sekitar seratus tiga puluh tahun. Seratus 
tahun lamanya aku mendiami Alam Sunyi ini, tanpa 
tahu harus berbuat apa. Dan aku selalu berharap ada 
orang lain yang akan membawaku keluar dari sini...." 

Andika sebenarnya jengkel, karena sejak tadi 
sosok yang bersuara itu tidak muncul juga. Kakinya 
melangkah, hendak pergi. 

"Kalau kau tidak mau muncul juga, aku pergi saja 
dari sini! Lagi pula, aku toh tidak ada urusannya 
denganmu!" kata Pendekar Slebor, sok ketus. 

"Ha ha ha...! Silakan, Anak Muda. Silakan. Seratus 
tahun lamanya aku mencari jalan keluar dari Alam 
Sunyi ini. Tetapi hingga kau datang, aku belum juga 
menemukan jalannya...," balas suara itu. 

Andika tersentak kaget, dan langsung meng¬ 
hentikan langkahnya. Tangannya langsung meng¬ 
garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Makanya, keluarlah!" teriak Pendekar Slebor. 

"Jawab dulu pertanyaanku, maukah kau membawa 
ku keluar dari Alam Sunyi ini?" 

"Enaknya! Aku sendiri belum mengenalmu!" 

"Kau pasti akan mengenalku, bila mau berjanji 
akan membawaku keluar dari sini!" 

"Aku saja bingung mengapa jalan rahasia yang..., 
Oh! Aku tahu sekarang!" seru Andika tiba-tiba. "Rupa¬ 
nya kau keturunan manusia yang sengaja menjebak 
dan membuatku bingung dengan lorong rahasia itu!" 

""Ha... ha... ha...!" 

Suara tanpa wujud itu terbahak-bahak lagi. 

"Karena aku membutuhkan pertolonganmu." 

"Siapa sudi menolong orang jahat sepertimu! 
Kalau kau tidak iseng, aku kan tidak berada di sini!" 
kata Andika sewot. 

Apalagi bila Pendekar Slebor teringat akan nasib 
orang-orang segolongan dengannya yang menyerang 
Raja Akherat. Terutama, Sari. Semakin sewot saja 
dirinya. 

"Cepat kau keluar dari sini! Biar aku bisa melihat 
tampang pas-pasanmu!" teriak Pendekar Slebor, 
lantang. 

Tak ada suara apa-apa. Andika makin jengkel. 

"Hei, Manusia Keturunan Lelembut! Cepat keluar!" 
teriak Andika. 

"Ha... ha... ha...! Sebelum kau berjanji untuk mem¬ 
bawaku keluar dari Alam Sunyi ini, aku tak akan 
memperlihatkan diriku! Ingat, Anak Muda.... Kau akan 
tersesat dan terpendam di Alam Sunyi ini beratus- 
ratus tahun lamanya!" sahut suara itu, bernada 
mengancam. 

"Iya, iya! Aku akan membawamu keluar dari sini, 
meskipun aku tidak tahu harus lewat mana!" kata 
Andika, meskipun penasaran bercampur kesal. 

"Bagus!" 

"Kalau begitu, keluarlah!" 

"Aku akan keluar. Tetapi jangan kau injak kakiku!" 

Mendengar kata-kata itu, Andika terperanjat. Cepat 
kedua kakinya terangkat dengan melompat dua 
tindak. Ketika matanya melihat apa yang diinjaknya 
tadi tak ada tanda-tanda yang aneh. Jelas sekali 
kalau kakinya hanya menginjak tanah berumput yang 
basah belaka. 

"Kau ini mau main-main denganku, ya?" kata 
Andika mendongkol. 

"Tidak, akan kuperlihatkan wujudku!" sahut suara 
itu. 

Mendadak saja tanah yang diinjak Andika tadi 
bergerak. Lalu, terlihatlah sebuah kepala yang 
perlahan-lahan bergerak naik. Kemudian terlihat 
badannya, lalu kakinya.... Dan kini sosok itu telah 
berdiri tegak. Sekujur tubuhnya ditutupi tanah. Andika 
sendiri sedikit terkejut melihatnya. 

"Kau..., kau ini sebangsa siluman tanah rupa¬ 
nya...," kata Pendekar Slebor sambil memperhatikan 
sosok itu. 

"Goblok! Namaku Eyang Sasongko Murti!" bentak 
sosok itu sambil mengusap wajahnya dengan kedua 
tangan. 

Perlahan-lahan nampaklah di mata Andika satu 
sosok tubuh yang sudah penuh keriput. Wajahnya 
sukar dipastikan, apakah tampan atau buruk. Jenggot 
putih yang banyak tumbuh di sekitar wajahnya, 
semakin sulit memastikan keadaan wajahnya. Yang 
terlihat hanyalah segaris cahaya yang keluar dari 
matanya yang menyipit 

Lalu tangan itu kembali mengusap seluruh tanah 
yang membaluri tubuhnya. Kini, terlihat kalau sosok 
aneh di depannya berpakaian hitam yang sudah 
compang-camping. Keriput di seluruh tubuhnya 
terutama di badannya, nampak sekali. Dan seperti 
sosok itu tak lebih dari mayat hidup belaka! 

"Nah! Apakah kau sekarang yakin, kalau wajahku 
tampan?" kata orang aneh yang mengaku bernama 
Eyang Sasongko Murti, bernada menyombong. 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika terbahak-bahak mendengar kata-katanya. 

"Lucu, lucu sekali! Mana bisa wajah seperti mayat 
begitu dibilang tampan!" ejek Andika, ceplas-ceplos. 

"Jangan sembarangan omong, Anak Muda!" desis 
Eyang Sasongko Murti. 

"Heran! Orang bicara jujur, kok masih disalahkan?" 
sahut Andika tanpa merasa bersalah. "Apakah kau 
senang kalau aku tidak bicara jujur? Baiklah 
wajahmu...." 

Eyang Sasongko Murti mengulapkan tangannya. 

"Sudahlah.... Kini kau ikut aku!" 

"Hei? Katanya kau hendak kukeluarkan dari 
tempat ini?" seru Andika yang ikut-ikutan menjadi 
sedikit gila. Karena., ia sendiri saja tidak tahu., jalan 
mana yang harus ditempuh agar keluar dari tempat 
sunyi ini. 

"Itu nanti! Kita harus menyusun rencana lebih 
dulu!" seru tokoh aneh dari dalam tanah sambil 
melangkah. 

Andika menggerutu panjang pendek. Heran! 
Mengapa tahu-tahu ia bisa berjumpa manusia aneh 
seperti itu? Tetapi mau tidak mau Andika pun meng¬ 
ikuti langkah Eyang Sasongko Murti. 

Yang dituju tokoh aneh itu adalah sebuah gua yang 
berada sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka 
semula. Gua itu sangat besar. Banyak batu besar 
yang tinggi berada di dalamnya. Keadaannya gelap 
tak ada penerangan apa-apa. 

Andika mendengus sebal. 

"Tempat apa ini?" tanya Pendekar Slebor. 

"Inilah istanaku...," sahut Eyang Sasongko Murti 
sambil duduk di sebuah batu besar. Gerakannya 
sangat ringan, malah terlihat tidak seperti melompat. 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika terbahak-bahak mendengarnya. 

"Apa pendengaranku sudah kurang sejak bertemu 
denganmu?" kata Andika, enteng. 

"Pendengaranmu tidak berkurang. Kau jelas 
mendengar kata-kataku tadi," sahut Eyang Sasongko 
Murti kalem. 

Mendapat jawaban yang bernada tak acuh itu, 
Andika mendengus. 

"Tempat begini kau sebut istana?!" cibir Andika. 

"Karena, tempat inilah satu-satunya yang paling 
aman di Alam Sunyi ini!" sahut Eyang Sasongko Murti, 
mantap. 

Andika duduk di batu besar, tepat di depan orang 
tua aneh itu. Gerakannya pun tak kalah ringan. 

Keduanya membisu. Tak ada suara apa-apa yang 
terdengar. Bahkan angin pun tak terdengar suaranya. 

"Eyang..., saat ini aku sedang mengemban sebuah 
tugas yang sangat besar. Kalau di alamku sana...." 

"Hei! Di sana pun alamku!" potong Eyang Sasongko 
Murti jengkel. 

"Iya, ya!" sahut Andika jengkel pula. "Jangan main 
potong dulu! Pokoknya, saat ini ada sebuah kerajaan 
yang dikuasai tokoh sesat yang berjuluk Raja Akherat. 
Kejahatannya tidak bisa dibendung lagi! Dan 
sekarang, kawan-kawanku tengah menyerang 
Kerajaan Pakuan!" 

"Aku tahu." 

Andika terbelalak. "Kau tahu?" 

"Ya." 

"Lalu kalau tahu, mengapa kau sesatkan aku 
hingga ke sini, heh?!" dengus Andika. Jengkel juga dia 
mendapat jawaban Eyang Sasongko Murti yang 
enteng-enteng saja. 

"Karena aku juga membutuhkan pertolonganmu!" 
sahut Eyang Sasongko Murti kalem. 

"Manusia culas!" rungut Andika sambil melompat. 
Kakinya lantas melangkah meninggalkan Eyang 
Sasongko Murti yangtersenyum-senyum. 

"Heh?!" 

Dan mendadak, Andika merasa susah sekali 
mengangkat kedua kakinya untuk melangkah. Tenaga 
sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan langsung 
dikerahkan. Namun, hasilnya tidak ada. 

"Suittt!" 

"Suittt.J" 

Dan terdengar siulan Eyang Sasongko Murti yang 
aneh, bernada mengejek. 

Tahulah Andika. Jelas ini ulah Eyang Sasongko 
Murti. 

"Hei! Lepaskan aku!" 

Eyang Sasongko Murti hanya bersiul-siul saja. 

"Hei! Lepaskan, manusia tanah. Kau pasti 
sebangsa tikus tanah yang suka mengganggu orang!" 
teriak Andika. 

"Kalau kau berjanji tidak akan pergi dari sini, maka 
akan kujelaskan!" sahut Eyang Sasongko Murti kalem. 

Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Andika kecuali 
menyetujui permintaan itu. Namun lagi-lagi terbayang 
di benaknya, bagaimana susah payahnya orang-orang 
yang sedang menghadapi Raja Akherat. Karena 
Andika tahu, kesaktian Raja Akherat tinggi sekali. 

"Iya, ya! Lepaskan sekarang juga!" seru Andika 
ngotot sambil mengerahkan tenaga sakti. Dan men¬ 
dadak saja. 

"Heh?!" Andika terkejut setengah mati ketika 
tubuhnya terpental ke depan. Rupanya, Eyang 
Sasongko Murti sudah membebaskannya. Karena 
dorongan tenaga saktinya, maka tubuhnya jadi ter¬ 
pental. 

"Sialan!" maki Pendekar Slebor bersungut-sungut. 

"Duduklah kembali ke tempatmu tadi! Aku akan 
memperlihatkan sesuatu kepadamu!" ujar Eyang 
Sasongko Murti. 

Andika yang berotak cerdas yakin, kalau tokoh 
aneh yang berada di sisinya adalah seorang yang 
sangat sakti. Makanya diturutinya permintaan itu. 

"Apa yang ingin kau perlihatkan kepadaku?" tanya 
Pendekar Slebor. 

"Pejamkan matamu!" 

"Apa lagi yang sedang kau mainkan ini? Aku 
hendak menolong... empph!" 

Mulut Andika mendadak terkatup rapat. Lalu 
perlahan-lahan matanya merapat pula. Andika 
berusaha membebaskan diri. Namun semakin 
meronta semakin kuat dua alat inderanya mengatup. 

Perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti pun meng- 
asupkan kedua tangannya di dada. Lalu dengan 
hembusan lembut, mulutnya meniup ke arah Andika. 
Dan mendadak saja, mata Pendekar Slebor seperti 
terbuka. Padahal dalam keadaan terpejam! 

Di depan Pendekar Slebor terbayang suasana di 
Kerajaan Pakuan yang dalam keadaan porak- 
poranda. Bahkan Andika melihat mayat-mayat prajurit 
Kerajaan Labuan yang bergelimpangan. Termasuk 
juga, mayat dua prajurit pilihan kerajaan itu yang 
mengenakan pakaian hitam. 

Hati Andika kian tercekat. 

Lalu Pendekar Slebor melihat keadaan Sari yang 
masih pingsan. Sementara, tampak pula empat orang 
gadis cantik berpakaian menerawang, sedang meng¬ 
ganti baju Sari. 

Tanpa sadar Andika memalingkan wajahnya. 
Tetapi pemandangan selanjutnya tetap terpampang 
di mata. Tampak bagaimana pakaian Sari yang dalam 
keadaan pingsan dibuka satu persatu. Lalu empat 
gadis berpakaian menerawang mengenakan pakaian 
pada tubuh Sari. Sebuah pakaian berwarna putih 
keemasan yang indah berkilau. 

Tatapan Andika mengedar kembali. Tampak Raja 
Akherat sedang terbahak-bahak sambil menuangkan 
air. Sejenak rasa amarahnya muncul. Andika kontan 
bergerak seperti hendak menyerang Raja Akherat. 
Tetapi lagi-lagi keanehan terjadi. Karena seolah 
tubuhnya tidak bisa digerakkan. Bahkan matanya 
hanya memandangi penuh kegeraman pada Raja 
Akherat yang sedang terbahak-bahak. 

Lalu tahu-tahu di depan Andika sudah terpampang 
suasana di Jurang Setan. Tampak sepuluh prajurit 
Kerajaan Labuan yang dipimpin Tiroseta telah tiba di 
dasar Jurang Setan. Rupanya si Belang, harimau 
besar peliharaan Sari, berhasil menunjukkan jalan 
menuju ke dasar Jurang Setan. 

Andika ingin memanggil, untuk menceritakan 
dimana dirinya berada. Namun lagi-lagi mulutnya tak 
sanggup untuk bersuara. 

Andika juga melihat Danji yang sedang duduk 
termenung. Begitu pula Putri Permata Delima yang 
sedang mengelus-elus si Belang, yang sesekali 
mengaum pelan. Rupanya harimau itu merindukan 
tuannya. 

Lalu mendadak saja semuanya lenyap. Dan 
bersamaan dengan itu, sepasang mata dan mulut 
Andika pun membuka. Matanya langsung me¬ 
mandang ke sekeliling, kini yang nampak hanyalah 
dataran tinggi penuh perbukitan yang memanjang, 
hanya diterangi sedikit sinar rembulan. 

Serentak Andika menoleh pada Eyang Sasongko 
Murti yang tersenyum-senyum. Semakin sadarlah 
Andika, kalau laki-laki yang mengaku sudah seratus 
tahun berada di Alam Sunyi ini adalah seorang tokoh 
sakti. 


"Eyang...!" panggil Pendekar Slebor. 

"Kau sudah melihat bagaimana keadaan teman- 
temanmu itu, bukan?" tanya Eyang Sasongko Murti. 
"Termasuk gadis berpakaian dari kulit harimau, 
bukan? Bagaimana? Enak juga melihat tubuhnya?" 

Andika tertawa dalam hati, namun wajahnya 
terlihat tegang. 

"Sari membutuhkan pertolongan, Eyang. Kita harus 
menolongnya...," gumam Pendekar Slebor. 

"Kau betul," sahut Eyang Sasongko Murti, pendek. 

"Keluarkan aku dari sini!" 

Eyang Sasongko Murti melotot. 

"Enaknya kau ngomong! Aku saja bingung untuk 
keluar dari sini! Tetapi..., Andika...." 

"Eyang tahu namaku?" tanya Andika heran. 

Eyang Sasongko Murti terbahak-bahak lebar. 
Suaranya menggema keras. 

"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Namamu Andika, 
kau berjuluk Pendekar Slebor. Kau banyak disanjung 
orang-orang dari golongan putih. Dan kau dibenci 
orang-orang golongan hitam. Kau juga memiliki 
kemampuan tinggi, karena kau adalah buyut dari 
Pendekar Lembuh Kutukan. Cuma, sayang. Kau 
terkadang bego!" sahut Eyang Sasongko Murti 
seenaknya. 

Andika memaki-maki dalam hati. Kalau tak ingat 
kesaktian orang tua di depannya, ingin rasanya 
Andika mencabuti jenggotnya satu persatu. Kata 
terakhir yang diucapkan Eyang Sasongko Murti 
memang membuatnya kesal bukan main. 

"Sudahlah, Eyang.... Bagaimana kita harus keluar 
sekarang?" potong Andika jemu. 

"Pertama, kita akan menyelamatkan gadis. Yang 
bernama Sari," jelas Eyang Sasongko Murti. 

"Bagaimana caranya?" kejar Andika. 

"Itu urusanku!" sahut Eyang Sasongko Murti, 
memotong. "Kedua, aku meminta bantuanmu, 
Andika." 

"Dalam soal apa?" tanya Pendekar Slebor. 

"Aku membutuhkan darahmu." 

Andika serentak berdiri dengan mata mendelik. 
"Enak saja! Nyamuk yang menghisap darahku saja, ku 
pencet sampai gepeng! Dan kau mau minta darahku!" 
sentak Pendekar Slebor. 

"Apakah kau tidak ingin keluar dari sini?" balas 
Eyang Sasongko Murti, galak. 

"Kalau pakai darah, tidak usah saja. Biar kita 
berdua berada di sini sampai mampus!" rutuk Andika. 

"Bagaimana dengan Sari? Bagaimana dengan 
Prabu Adiwarman yang sedang bersembunyi di Jurang 
Setan? Dan, apakah kau akan membiarkan Raja 
Akherat menguasai dunia persilatan dengan mem¬ 
bunuhi para tokoh!" sergah Eyang Sasongko Murti 
keras. 

Agaknya kata-kata itu menyadarkan Pendekar 
Slebor. Memang, masih banyaknya tanggung jawab 
yang harus diembannya dan belum dituntaskan. 
Sebagai pewaris terakhir Pendekar Lembah Kutukan, 
pemuda berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak 
catur tersampir di bahu, memang telah mengemban 
tugas sangat berat. Yang terkadang juga meng- 
haruskannya bertaruh nyawa! 

Kini Pendekar Slebor pun memahami kata-kata 
Eyang Sasongko Murti, meskipun hatinya masih 
mendongkol. 

"Baik! Kalau tidak banyak darahku yang diperlukan 
aku akan memberinya!" sahut Pendekar Slebor, 
mengalah. 

"Bagus!" sambut Eyang Sasongko Murti, 
kegirangan. 

"Tetapi, mengapa harus memakai darahku, sih! 
Mengapa bukan darahmu saja?" 

Kali ini Eyang Sasongko Murti mendelik. "Bodoh! 
Setelah seratus tahun hidup seorang diri di Alam 
Sunyi ini, dengan hanya memakan dedaunan saja, 
seluruh darahku sudah beku begitu saja." 

"Membeku?" 

Andika mengerutkan keningnya. 

"Ya! Membeku!" 

"Bagaimana kau bisa hidup dengan darah yang 
sudah membeku begitu?" ejek Andika sinis. 

"Mana aku tahu?! Itu kan urusan Yang Maha 
Kuasa!" 

"Ha... ha... ha...!" 

Andika mendadak terbahak-bahak. 

"Kenapa tertawa, hah?!" bentak Eyang Sasongko 
Murti. 

"Jangan-jangan itu hanya alasanmu saja, sehingga 
kau menolak darahmu dikorbankan?" 

Eyang Sasongko Murti menggeram marah. Lalu 
tangan kirinya diangkat, dan digigit hingga 
menimbulkan luka cukup besar. 

"Lihat sendiri, Anak Bego! Apakah ada darah yang 
menetes?" ujar Eyang Sasongko Murti, jengkel. 

Kening Andika berkerut. Apa yang dikatakan 
manusia aneh itu memang benar. Karena Andika 
tidak melihat ada setetes darah pun yang keluar. Kini 
hatinya yakin, kalau darah laki-laki tua itu memang 
sudah membeku. Tetapi lagi-lagi yang membuatnya 
heran, bagaimana Eyang Sasongko Murti masih bisa 
hidup tanpa darah yang mengalir pada tubuhnya? 

"Kau percaya sekarang, hah?! Puas?!" cecar Eyang 
Sasongko Murti mangkel. "Kalaupun darahku belum 
membeku, tak dapat pula kugunakan sebagai 
'penerang' untuk keluar dari sini. Nah, kau puas 
hah?!" 

Andika nyengit-nyengir kuda. Baru tahu rasa dia. 
Malu juga hatinya melihat kenyataan ini. 

"Jangan cepat marah. Nanti kau cepat tua. Eh! 
Bukankah kau sudah tua, ya. He he he.... Aku lupa!" 
Andika malah mengajak berseloroh. 

Eyang Sasongko Murti mendengus jengkel melihat 
tingkah Pendekar Slebor. 

"Sekarang, dengarkan penjelasanku. Dulu, aku 
adalah seorang pemuda yang banyak belajar ilmu. 
Baik ilmu silat, maupun ilmu batin. Karena terlalu 
banyak yang kupelajari, aku tidak tahu kalau telah 
menganut ilmu sesat yang mengerikan," papar Eyang 
Sasongko Murti. 

"Ilmu apakah itu, Eyang?" tanya Pendekar Slebor. 
Kali ini Pendekar Slebor kelihatan lebih sungguh- 
sungguh. 

"Diam dulu! Aku tidak suka dipotong begitu!" 
dengus Eyang Sasongko Murti. "Semula..., aku tidak 
tahu kalau ilmu yang kupelajari dari Hutan Waringin 
adalah ilmu sesat, ilmu pemuja setan. Hingga tanpa 
sadar, aku pun terjerat dalam lingkaran bangsa 
siluman yang kejam dan mengerikan. Aku baru 
tersadar, ketika suatu pagi hendak menolong seorang 
wanita yang hendak melahirkan, tetapi tak seorang 
pun yang berada di dekatnya. Dalam hatiku, aku 
berniat menolongnya. Namun, alangkah terkejutnya 
aku, ketika tanpa sadar tanganku mengepruk kepala 
wanita itu hingga tewas. Dengan ganas perutnya 
kucabik-cabik, lalu bayi merah yang masih hidup 
kukeluarkan. Bayi merah yang masih berlumur darah 
itu kubawa ke Hutan Waringin. Dan tanpa sadar 
jantungnya kuambil dan kutelan." 

Eyang Sasongko Murti terdiam. Pandangannya 
melayang ke masa seratus tahun yang silam. 

"Saat itulah aku menyadari, kalau ilmu yang 
kuanut ternyata ilmu sesat. Baru pula kusadari, kalau 
guruku selama ini ternyata bangsa siluman. Aku pun 
memberontak dari mereka. Namun, siluman-siluman 
itu sangat kuat dan sakti. Aku pun dapat tertangkap. 
Akan tetapi, suatu malam, aku berhasil melarikan diri 
melalui penjara yang kugali. Hanya saja yang 
mengherankan,, aku tiba-tiba muncul di Alam Sunyi 
ini, setelah melalui jalan yang sangat panjang sekali. 
Saat itulah aku menyadari sesuatu, kalau sebenarnya 
mereka mengetahui rencanaku melarikan diri, namun 
membiarkan saja," lanjut Eyang Sasongko Murti. 

"Jadi..., Alam Sunyi ini adalah penjara milik bangsa 
siluman?" tanya Andika terkejut. 

"Kau benar, Andika," sahut Eyang Sasongko Murti 
lirih. 

"Tetapi, mengapa hanya kau saja yang masih 
hidup di sini?" tanya Andika dengan kening berkerut. 

Eyang Sasongko Murti tersenyum. 

"Karena, memang akulah satu-satunya penghuni 
penjara ini! Akulah satu-satunya yang menganut ilmu 
dari Hutan Waringin yang memberontak dari para 
siluman itu!" papar laki-laki tua aneh itu. 

Andika manggut-manggut mengerti. 

"Lalu apa hubungannya denganku? Dan, mengapa 


teganya kau membawaku ke sini?" cecar Pendekar 
Slebor. 

"Selama bertahun-tahun kulewati hidupku di sini, 
dngan memakan dedaunan belaka. Dan bertahun- 
tahun aku menanti seseorang yang datang ke sini, 
hingga kulihat kau sedang merangkak melalui lorong 
rahasia yang terletak tak jauh dari Kerajaan Pakuan. 
Saat itu pula kulihat sebuah sinar keemasan yang 
sangat aneh sekali di kepalamu. Seolah sinar itu 
sebagai isyarat bagiku, bahwa kaulah yang akan bisa 
membebaskanku dari sini. Lalu dengan bantuan 
tenaga dan pandangan batinku, kugiring kau ke sini. 
Bahkan kau tidak akan pernah menemukan jalan 
tembus menuju istal kuda di belakang Keraton 
Pakuan," jelas Eyang Sasongko Murti. 

"Jahat!" 

"Kau lihat pohon besar itu, Andika?" 

Eyang Sasongko Murti tidak menghiraukan 
gerutuan Andika. 

"Sejak seratus tahun yang lalu, aku berada di sini. 
Dan pohon itu tetap tumbuh rindang hingga 
sekarang," lanjut laki-laki tua aneh itu. 

Andika mendesah panjang. Kini bisa disadari 
betapa tersiksanya orang tua yang berusia ratusan 
tahun ini disini. Yah! Sedikit banyak, Andika akan 
membantunya. Juga, berharap dapat keluar dari Alam 
Sunyi yang mengerikan ini! 

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya 
Pendekar Slebor. 

Eyang Sasongko Murti tak segera menjawab. 

Sementara itu di Keraton Pakuan, Sari yang masih 
dalam keadaan pingsan, sudah disalinkan baju oleh 
empat gadis manis yang diculik Raja Akherat. Gadis- 
gadis yang dulu diculik Raja Akherat memang sudah 
seperti terbuang, setelah puas dan bosan digumuli 
tokoh sesat itu. Karena, kini Raja Akherat men¬ 
dapatkan banyak gadis cantik yang berhasil diculik 
dan dapat digaulinya kapan saja mau. Apalagi 
sekarang, memang cukup lama juga Raja Akherat 
menghendaki Sari. Dan malam ini, segalanya yang 
telah lama terpendam akan dituntaskan! 

Keempat gadis manis itu mengangkat kepala 
begitu mendengar suara tawa Raja Akherat yang 
sangat keras. Mereka segera minggir, duduk ber¬ 
simpuh sambil tetap menundukkan kepala. 

Raja Akherat mendekati Sari. Tatapannya berkilat- 
kilat penuh birahi. 

"Ha ha ha.... Kini akhirnya kau menjadi milikku, 
Manis.... Kau tak akan bisa menolak lagi...." 

Lalu dengan buasnya, Raja Akherat menciumi 
wajah dan sekujur tubuh Sari. 

Keempat gadis yang bersimpuh tadi bermaksud 
hendak menyingkir. Mereka muak melihat perbuatan 
Raja Akherat, sekaligus kasihan melihat nasib Sari. 

Tetapi Raja Akherat yang melihat tindakan mereka 
segera mengangkat wajah. 

"Kalian jangan pergi! Tontonlah pemandangan 
yang mengasyikkan ini! Bila melanggar, berarti kalian 
ingin mati!" ujar Raja Akherat sambil membuka baju¬ 
nya. Tubuhnya yang penuh bulu tampak terpampang 
sekarang. 

Lalu dengan buasnya, Raja Akherat kembali men¬ 
ciumi sekujur tubuh Sari. Dan perlahan-lahan namun 
pasti, tangannya merobek pakaian di bagian dada. 

Breeet! 

Seketika terlihat bagian dada Sari. Keempat gadis 
itu yang terpaksa mengangkat kepala karena takut 
Raja Akherat marah, hanya bisa menghela napas 
dalam-dalam. 

"Ha ha ha.... Montok, bagus, indah! Tidak sia-sia 
aku mengincarmu, Manis!" 

Lalu dengan gerakan kasar dan tatapan berkilat- 
kilat, laki-laki ini bersiap menerkam dada yang 
montok. Tetapi, mendadak saja gerakannya terhenti. 

Sudah tentu hal ini mengejutkan keempat gadis 
yang sejak tadi sudah tegang. Mengapa Raja Akherat 
menghentikan perbuatannya? Namun diam-diam, 
mereka merasa bersyukur karena kehancuran tidak 
jadi menerpa diri gadis itu. 

Raja Akherat mendadak saja berdiri. Ada sesuatu 
yang merasuki otaknya. Dan tiba-tiba saja, nafsunya 
tak berselera pada gadis itu. Segera pakaiannya 
dikenakan dengan wajah geram, namun penuh 
keheranan. 

"Rapikan pakaian gadis itu! Tunggu sampai sadar 
dari pingsannya!" ujar Raja Akherat sambil melangkah 
keluar. 

Keempat gadis itu pun segera merapikan pakaian 
Sari. Meskipun telah menjadi budak nafsu Raja 
Akherat, mereka tidak iri dengan keberuntungan 
gadis itu. Bahkan mereka gembira, karena gadis yang 
pingsan ini tidak mengalami hal yang amat 
menggi riskan. 

Begitu tiba di luar, Raja Akherat menuang tuaknya 
ke mulut. Terdengar bunyi tegukan yang keras. Dalam 
hati, laki-laki ini merasa aneh. Karena, keinginannya 
untuk menggumuli tubuh gadis itu mendadak saja 
surut. Padahal, birahinya sudah begitu bergolak. 
Bahkan hatinya yakin, saat itu seluruh gairahnya akan 
dituntaskannya. Tetapi, mengapa mendadak saja 
nafsunya surut? 

Karena kesalnya tidak jadi menyalurkan birahi, 
Raja Akherat mengangkat kedua tangan ke depan, 
lalu menyentaknya kuat-kuat. 

Werrr...! 

Seketika keluar angin dahsyat bergulung-gulung 
menyambar dan menerbangkan mayat-mayat yang 
bergeletakkan di sana. Jauh terpental dari keraton ini. 

"Bajingan! Mengapa aku jadi tidak menginginkan 
gadis itu, hah?!" maki Raja Akherat tidak mengerti. 

•k-k -k 

"Secepatnya kita harus keluar dari sini. Karena.., 
tepat seratus tahun ini, bangsa siluman akan datang 
ke sini untuk mencabut nyawaku! Apalagi, bila 
mereka mengetahui kalau aku telah mendapat 
seseorang berdarah suci yang dapat mengeluarkanku 
dari sini," ujar Eyang Sasongko Murti panjang lebar, 
setelah cukup lama terdiam. 

"Gusti! Kalau begitu, kita harus cepat, Eyang!" 
sentak Andika. 

"Bersabarlah, Andika.... Bahaya apa pun, kau tetap 
akan kujaga. Sekarang yang terpenting adalah, 
menolong gadis berbaju dari kulit harimau itu lebih 
dulu," ujar Eyang Sasongko Murti, bijaksana. 

Kali ini kening Andika berkerut lagi. Edan ini orang! 
Bagaimana caranya menolong Sari kalau kini mereka 
terperangkap di sini? Tetapi Andika kemudian sadar, 
kalau tokoh aneh ini memiliki ilmu batin yang hebat. 
Apalagi tadi diperlihatkan padanya, bagaimana 
keadaan Kerajaan Pakuan. Dan juga, Sari. 

Andika menggaruk-garuk kepalanya. 

"Kalau begitu, lakukanlah, Eyang." 

"Sudah," sahut Eyang Sasongko Murti, singkat. 

"Sudah?" ulang Andika dengan mata melotot. 

"Ya, sudah kulakukan. Gadis itu aman-aman saja. 
Raja Akherat sudah kubuat tak berselera menyentuh¬ 
nya!" papar Eyang Sasongko Murti. 

"Kapan kau melakukannya, Eyang?" cecar 
Pendekar Slebor. 

"Edan! Mengapa di dunia luar kau disegani orang- 
orang rimba persilatan, tapi di sini ternyata begitu 
dungu?" gerutu Eyang Sasongko Murti. 

Andika nyengir saja. Sungguh, begitu banyak 
kejadian yang tak pernah diketahuinya. Seperti yang 
dialaminya sekarang ini. Pendekar Slebor yakin, 
Eyang Sasongko Murti tidak berbohong. Paling tidak, 
sudah menjaga Sari dari nafsu birahi Raja Akherat 
yang mengerikan. Entah bagaimana caranya, yang 
pasti hati Pendekar Slebor sedikit tenang. 

"Sekarang, kita akan bersiap-siap melarikan diri 
dari Alam Sunyi ini. Yah..., dengan darahmu yang 
belum pernah berhubungan badan dengan seorang 
wanita, akan menjadi penerang jalan untuk kita 
keluar dari tempat ini. Andika, ulurkan tangan 
kirimu...," ujar Eyang Sasonmgko Murti. 

Dengan keberanian dan keikhlasan yang dalam, 
Andika perlahan-lahan mengangsurkan tangan 
kirinya. Sementara Eyang Sasongko Murti merobek 
pakaiannya yang telah compang-camping, sehingga 
lebih menampakkan bagian tubuhnya yang penuh 
keriput. 

Dengan cepat, laki-laki tua aneh ini menotok urat 
di bawah lengan Pendekar Slebor, agar darah yang 
mengalir nanti terhenti. Lalu dengan ujung kukunya 
yang kumal, digoresnya lengan Andika perlahan- 
lahan. 

Andika tak merasakan perih. Bahkan merasa kalau 
kuku itu hanya berada di atas kulitnya saja. Meskipun 
halinya bergidik melihat betapa kotornya ujung kuku 
itu. 

Lalu dengan cepat Eyang Sasongko Murti 
menadahi darah yang keluar dengan kain kumal tadi. 
Setelah dua belas tetes, seperti gerakan pertama 
tadi, laki-laki tua ini menggores lagi lengan kiri Andika. 
Anehnya, luka yang menganga tadi itu terkatup 
kembali! 

Dengan gerakan cepat Eyang Sasongko Murti 
membuka totokan pada Andika. Untuk selanjutnya, 
Andika hanya memperhatikan saja, ketika Eyang 
Sasongko Murti membuntal darah dengan kain kumal 
tadi. Lalu digenggamnya kuat-kuat kain itu, 
sementara mulutnya komat-kamit. Matanya yang 
hanya segaris semakin menyipit saja. Rambutnya 
yang acak-acakan kelihatan semakin menambah 
keseraman sosok wajahnya. 

Andika yang memperhatikan jadi mengerutkan 
keningnya. 

"Kau sebenarnya tidur atau baca mantera, ya?" 
usik Pendekar Slebor. 

"Diam!" tiba-tiba Eyang Sasongko Murti membetak. 

"Eh, copot!" desis Pendekar Slebor sambil tertawa. 
"Bagaimana, Eyang? Apakah kita bisa segera keluar 
dari sini?" 

Eyang Sasongko Murti menatap ke langit yang 
gelap. Tiba-tiba kepalanya menggeleng-geleng. 

"Andika..., bersiap-siaplah.... Tamu tak diundang 
sudah datang sekarang?" ujar Eyang Sasongko Murti 
dengan suara tegang. 

"Hei, apa maksudmu?" seru Andika yang ikut- 
ikutan menjadi tegang. 


k k k 


Di Alam Sunyi, keadaan semakin mengerikan saja. 
Suasana yang dingin kini semakin menggigit. Andika 
melihat Eyang Sasongko Murti menegak. Sementara 
darahnya yang tadi ditampung di kain compang- 
camping kini diikat di pinggangnya. Lalu perlahan- 
lahan tubuh Eyang Sasongko Murti berdiri. 

"Andika..., bersiaplah.... Kita kedatangan tamu 
yang tak diundang...," ujar Eyang Sasongko Murti lagi 
dengan suara tenang. Ketenangannya pun terpancar 
dari wajahnya yang sukar dilukiskan. 

Andika pun ikut-ikutan berdiri. Matanya 
memandang ke sekeliling dengan mata kecut. Tak 
ada yang berubah, kecuali cuaca yang mendadak 
bertambah dingin, dan menimbulkan rasa ngeri yang 
menjadi-jadi. Kalau tadi hatinya sudah ngeri berada di 
tempat yang sepi dan seperti mati ini, kini lebih ngeri 
lagi melihat perubahan yang terjadi begitu tiba-tiba! 

"Eyang..., apakah siluman-siluman itu sudah 
datang?" tanya Pendekar Slebor sambil masih mem¬ 
perhatikan sekelilingnya. 

"Bersiaplah, Andika...." 

Wesss.J 

Mendadak saja angin berhembus keras, dengan 
suara menderu-deru. Beberapa pohon yang tumbuh 
di sana pun tumbang. Daun-daunnya berguguran 
beterbangan. Andika cepat mengerahkan tenaga 
sakti warisan Pendekar Slebor yang dialirkan pada 
kaki dan kekuatan tubuhnya. Dia berusaha bertahan 
untuk menjaga agar tidak terhempas angin keras. 

Sementara itu Pendekar Slebor pun memandang 
heran pada Eyang Sasongko Murti yang kelihatan 
tetap tenang. Bahkan tidak bergeming sedikit pun. 
Padahal angin tampak bergulung-gulung keras! 
Rambutnya yang acak-acakan semakin tak karuan. 
Pakaiannya yang compang-camping pun berkibaran 
seperti ingin tanggal satu persatu. 

"Andika..., ikuti setiap gerakanku...," ujar Eyang 
Sasongko Murti tiba-tiba. Sementara matanya 
menatap kejauhan, ke arah bukit-bukit yang tinggi itu. 

"Apa maksudmu, Eyang?!" tanya Andika setengah 
berteriak untuk mengalahkan suara deru angin yang 
keras menderu-deru. 

Mata Pendekar Slebor ikut-ikutan menatap ke arah 
perbukitan. Tidak ada yang aneh menurutnya. Bukit- 
bukit itu tetap berdiri tegar, bagai menyimpan teka- 
teki yang dalam. 

"Setiap kali aku bergerak, kau harus mengikutinya. 
Usahakan, agar kau bisa melakukannya sama dengan 
gerakanku...!" sahut Eyang Sasongko Murti, juga 
setengah berteriak. 

"Bagaimana kalau tidak sama, Eyang?" tanya 
Andika lagi. 

"Kau akan merasakan sendiri akibatnya...." 

"Eyang..., aku semakin tidak mengerti. Kau tidak 
bisa menyuruhku begitu saja? Memangnya aku 
muridmu yang sudah tahu siap langkahmu?" gerutu 
Andika. 

"Tidak ada lagi waktu untuk berdebat! Seperti kata 
ku tadi, kau harus berusaha untuk menyamakan 
gerakanmu dengan gerakanku, Andika!" 

"Bagaimana...?" 

"Ikuti langkahku, Andika!" ujar Eyang Sasongko 
Murti tiba-tiba, memotong kata-kata Andika. 

Lalu tubuh laki-laki tua itu bergerak ke kiri dua 
tindak. Kemudian tubuhnya membungkuk dengan 
kaki kanan di tekuk, dan kedua tangan berada di 
dalam. 

Serentak Andika berbuat yang sama meskipun 
tidak mengerti mengapa harus berbuat seperti itu. 

"Jangan bicara!" ujar Eyang Sasongko Murti lagi. 

Andika hanya mendengus. Namun mendadak 
saja.... 

Blarrr...! 

Telinga Andika menangkap ledakan keras. Tampak 
kedua batu besar yang tadi mereka duduki meledak. 
Tidak terlihat suatu serangan apa pun di mata Andika. 
Hatinya heran, apa yang telah menerpa kedua batu 
besar itu? 

Tetapi kemudian, mata Pendekar Slebor pun 
melihat sesuatu yang aneh. Tampak sebuah angin 
bergulung keras, lalu berhenti di depan mereka yang 
masih dalam keadaan membungkuk dengan kedua 
tangan di depan dada. 

Wing...! Wing...! 

Terdengar suara desingan yang memekakkan 
telinga. Andika bermaksud menutup kedua telinganya 
dengan tangan, tetapi teringat akan perintah Eyang 
Sasangko Murti agar selalu mengikuti setiap 
gerakannya. 

"Seratus tahun lamanya kau kubiarkan hidup di 
sini, Sasongko! Tak kusangka, kau masih mampu 
bertahan hidup!" 

Tiba-tiba terdengar suara dari balik gulungan angin 
yang berdesir-desir di hadapan mereka. 

"Kini, setelah seratus tahun..., aku datang untuk 
menjemput nyawamu! Dan akan kujadikan kau salah 
seorang siluman penjaga Hutan Waringin!" lanjut 
suara di balik angin. 

Sebelum Eyang Sasongko Murti menyahuti, 
mendadak.... 

"Hei, Siluman Kudis!" 

Andika sudah mendahului. Hatinya benar-benar 
jengkel karena jadi terlibat dalam masalah yang tidak 
di mengertinya. Yang dibayangkan saat ini adalah 
keadaan Sari dan Prabu Adiwarman yang menunggu 
di Jurang Setan. 

"Lebih baik kau pergi sebelum kuhancurkan 
sampai tunggang langgang!" dengus Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...!" 

Terdengar suara terbahak-bahak dari desingan 
putaran angin yang keras itu. 

"Sasongko! Rupanya kau sudah mendapatkan 
jalan keluar dari Alam Sunyi ini. Hanya sayang, 
tumbalmu justru akan mampus hari ini juga!" kata 
suara itu. 

Eyang Sasongko Murti mendesah panjang, di 
samping jengkel karena Andika tidak menuruti kata- 
katanya. 

"Siluman Hutan Waringin!" Urusan ini adalah 
urusan kau dan aku! Jangan libatkan pemuda itu!" 
sahut Eyang Sasongko Murti, mantap. 

"Dia akan menjadi jalan keluar untukmu, 
Sasongko. Berarti dia pun harus mampus!" 

Mendadak saja pusaran angin yang menggulung- 
gulung menerjang ke arah mereka. Suaranya 
memekakkan telinga. Bahkan gulungan angin itu 
mampu menerbang kan bukit-bukit yang banyak 
berdiri tegar di Alam Sunyi. 

"Andika! Ikuti langkahku!" ujar Eyang Sasongko 
Murti berteriak. 

Laki-laki tua itu cepat melompat lima tindak 
samping kanan. Kalau tadi kedua tangannya berada 
depan dada, kini mengibas ke arah pusaran angin. 

"Pusatkan tenaga dalammu di pusar. Lontarkan 
dengan hembusan napas! Mulai!" ujar Eyang 
Sasongko Murti. 

Bersamaan dengan itu, Andika pun menuruti 
perintah Eyang Sasongko Murti, walaupun tidak 
dimengerti sama sekali. Namun karena kecerdikan 
otaknya, Pendekar Slebor mampu mengikuti dan 
menyamakan gerakan Eyang Sasongko Murti. 

Werrr...! Werrr...! 

Dua rangkum tenaga dalam yang kuat keluar dari 
tangan Eyang Sasongko Murti dan Andika. 

Akan tetapi pusaran angin itu terus saja 
menggulung, tanpa berhenti. Bahkan terasa semakin 
dahsyat, dengan suara bertambah keras. 

"Tahan napasmu sekuat tenaga! Jangan bergeser 
dari tempatmu! Maka, kau akan selamat!" terdengar 
lagi perintah Eyang Sasongko Murti. 

Lagi-lagi Andika melakukan perintah. Pusaran 
angin yang kuat itu memasuki tubuh mereka, 
mencoba mengangkat dan menerbangkan. Tetapi 
keduanya tetap tak bergeming. Hanya saja, Andika 
merasakan wajahnya sakit, bagai ditampar tangan 
raksasa yang besar. Namun semua itu ditahannya 
sekuat tenaga. Karena dia juga tidak ingin melanggar 
kata-kata Eyang Sasongko Murti. 

Pusaran angin terus berusaha menumbangkan. 
Dan sekuat tenaga, keduanya bertahan. Terutama 
yang dilakukan Andika. 

"Kita akan keluar dari pusaran angin ini!" teriak 
Eyang Sasongko Murti di antara suara pusaran angin 
yang keras. "Kali ini, pusatkan tenaga dalammu di 
dada. Tarik napas tiga kali ke perut. Lalu, melompat. 
Ingat! Pada hitungan ketiga. Satu! Dua! Tigaaa!" 

Serentak tubuh mereka melompat keluar dari 
pusaran angin dalam keadaan merunduk, dengan 
sebelah tangan kanan menyentuh tanah. 

"Ha... ha... ha...!" 

Suara dalam pusaran angin itu terbahak-bahak 
lagi. 

"Kau memang pandai menjaga 'jalan keluar'mu, 
Sasongko! Hanya sayang, kau tak akan bisa 
melindunginya terus menerus!" kata suara itu lagi. 

"Seperti sudah kukatakan tadi, ini adalah 
urusanmu denganku! Jangan bawa-bawa dia!" sahut 
Eyang Sasongko Murti. 

"Ha... ha... ha...! Dengan begitu, kau akan 
mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, bukan? 
'Jalan keluar'mu pun harus mampus, Sasongko!" 
balas suara itu. 

"Kalau kau berjanji untuk membiarkannya hidup 
kita akan bertarung habis-habisan!" 

"Ha... ha... ha...! Kau terlalu bermimpi untuk dapat 
mengalahkan bangsa siluman, Sasongko! Meskipun 
kau banyak mendapatkan ajian sakti dari bangsa 
siluman namun tak akan bisa menghancurkan aku! 
Gurumu sendiri!" 

"Berjanjilah!" 

"Berkhianat adalah kerja bangsa siluman! 
Menghancurkan dunia adalah kegemaran bangsa 
siluman. Dan memusnahkan orang-orang seperti itu, 
adalah tujuan bangsa siluman! Tak akan kubiarkan 
kau dan 'jalan keluar'mu berhasil meloloskan diri!" 

Dan mendadak saja pusaran angin berhenti. Lalu 
perlahan-lahan, keluar asap putih tebal. Dan asap itu 
terus membubung, setinggi pohon kelapa. Ketika 
asap putih itu menghilang, terlihatlah sosok raksasa 
mengerikan. Wajahnya bulat lonjong, dengan kedua 
telinga lebar berbentuk kerucut. Di bibirnya yang 
panjang, terdapat dua buah caling mengkilat. Sekujur 
tubuhnya ditumbuhi bulu yang mengerikan. Raksasa 
itu mengenakan sebuah cawat. Yang lebih 
mengerikan lagi, matanya yang hanya sebuah dan 
terletak tepat di kening, di atas hidung yang panjang 
seperti badi! 

Andika tercekat melihatnya. 

"Gila! Inikah bangsa siluman yang menjadi guru 
dari Eyang Sasongko Murti?" tanya Pendekar Slebor 
dalam hati. 

Lalu di depan mata Pendekar Slebor, terjadilah 
pertarungan dua raksasa yang sangat aneh. Setiap 
kali mereka bergerak, terdengar goncangan sangat 
hebat. Dan akibatnya, membuat perut Pendekar 
Slebor menjadi mual. 

Andika berusaha menahan agar tubuhnya tidak 
berpindah tempat. Dan dia juga berusaha agar 
kepalanya tidak terangkat, seperti yang diperintahkan 
Eyang Sasongko Murti. 

Biar bagaimanapun juga, yang ada di hadapan 
Pendekar Slebor ini adalah dua makhluk dari alam 
berbeda, namun merupakan murid dan guru yang 
sedang bertarung. 

Pertarungan berlangsung sengit. Kedua raksasa itu 
selain bertukar jurus, juga mengeluarkan suara 
memekakkan telinga. Bukan hanya pepohonan yang 
tumbang, tetapi perbukitan yang ada di sana pun 
menggugurkan tanahnya, hingga beterbangan. 

Diam-diam sambil menundukkan kepala, Andika 
mempergunakan tenaga batin untuk menghitung 
jurus yang telah berlalu. Namun sungguh tidak bisa 
dimengerti. Karena ilmu yang diperlihatkan kedua 
raksasa mengerikan itu adalah ilmu bangsa siluman. 
Sehingga, sangat sulit bagi Andika untuk menghitung 
jumlah jurus yang telah digelar. 

Untuk mengetahui aba-aba yang akan dilakukan 
Eyang Sasongko Murti, Andika membuka kedua 
telinganya lebar-lebar. Tetapi seketika pendengaran¬ 
nya ditutup dengan tenaga batinnya, karena gendang 
telinganya bagai hendak pecah mendengar seruan 
dan serangan yang ganas. 

Tiba-tiba Pendekar Slebor melihat tubuh Eyang 
Sasongko Murti yang menjelma menjadi raksasa 
terhuyung ke belakang, karena terkena hantaman tak 
terlihat yang dilakukan Siluman Hutan Waringin. 
Suaranya begitu keras sekali ketika jatuh ke tanah, 
menabrak sebuah pohon yang langsung tercabut, 
karena tak kuat menahan berat tubuh Eyang 
Sasongko Murti. 

Andika perlahan-lahan mengangkat kepalanya 
juga. Toh pikirnya, yang penting jangan sampai 
melihat mata satu dari Siluman Hutan Waringin. 
Tampak kini Siluman Hutan Waringin sedang 
mengejar tubuh Eyang Sasongko Murti dengan ganas. 
Sebelah kakinya siap menginjak remuk kepala tokoh 
aneh yang menjelma menjadi raksasa itu. 

Melihat hal itu, Andika bermaksud membantunya. 
Namun sekali lagi, dia teringat kata-kata Eyang 
Sasongko Murti, kalau tidak boleh berpindah tempat. 
Akan tetapi, hati kecilnya tidak menginginkan melihat 
Eyang Sasongko Murti harus mampus diinjak siluman 
mengerikan itu! 

"Hiaaa.J" 

Dengan mengerahkan tenaga sakti, mendadak 
saja Andika melesat ke atas, siap menghantam perut 
Siluman Hutan Waringin. Namun.... 

Wesss.J 

Desss.J 

"Aaakh...!" 

Mendadak saja tubuh Pendekar Slebor bagai 
seringan kapas, terhempas hingga ambruk ke tanah 
disertai keluhan tertahan. Andika merasakan 
dadanya bagai jebol. Dan dari mulutnya termuntah 
darah berkali-kali, sebelum pingsan. 

"Bodoh! Sudah kubilang jangan bergerak dari 
tempatmu!" dengus Eyang Sasongko Murti dengan 
suara keras menggelegar. 

Pada saat yang sama Eyang Sasongko Murti harus 
menangkis injakan kaki Siluman Hutan Waringin yang 
siap menghancurkan kepala dengan tangan. Lalu 
dicobanya untuk mendorong. Namun tenaga bangsa 
siluman sudah tentu sangat sulit ditandingi, meskipun 
Eyang Sasongko Murti menguasai pula ajian-ajian 
aneh bangsa siluman. 

Dan mendadak saja, Eyang Sasongko Murti 
menyambar kain yang berisikan tetesan darah 
Andika. Cepat dilemparkannya buntalan kain kecil itu 
ke arah Siluman Hutan Waringin. 

Wuuut! 

Plak! 

"Aduhhh.J" 

Mendadak saja, Siluman Hutan Waringin menjerit- 
jerit kesakitan. Rupanya, dia tidak tahan mencium 
bau darah pemuda suci yang memang milik Pendekar 
Slebor. 

Ketika Siluman Hutan Waringin termundur 
beberapa langkah, kesempatan itu dipergunakan 
Eyang Sasongko Murti untuk menendang. Duk! 

Laki-laki aneh ini memang dapat menendang 
siluman itu. Karena, sedikit banyak Eyang Sasongko 
Murti bisa menguasai ajian bangsa siluman. Dan 
dengan gerakan cepat, disambarnya buntalan kecil 
berisi tetesan darah Pendekar Slebor, yang herannya 
tidak menjadi kering. 

Ketika Siluman Hutan Waringin terjajar, dengan 
cepat Eyang Sasongko Murti menyambar tangan 
Pendekar Slebor. Tepat ketika tangan itu dipegang 
tubuh raksasanya menciut kembali, menjelma pada 
ukuran semula. 

Eyang Sasongko Murti langsung memanggul tubuh 
Pendekar Slebor yang masih dalam keadaan pingsan 
lalu melompat ke atas. Seketika tubuhnya meluncur 
keras ke tanah, menembus masuk ke dalamnya. 

Laki-laki tua itu terus berlari di dalam lorong yang 
dengan mudah ditemukannya. Diangkatnya kain 
berisi tetesan darah Andika. Dan seketika, matanya 
melihat sebuah sinar bagaikan cahaya penolong yang 
menunjukkan jalan. 

Sekuat tenaga, Eyang Sasongko Murti melarikan 
diri. Hatinya yakin, Siluman Hutan Waringin tidak 
akan berani mengejarnya, karena tetesan darah milik 
Andika lah yang menjadi penghalang. Namun dia juga 
yakin Siluman Hutan Waringin tidak akan pernah 
melepaskannya. 

Apa yang diduga memang benar. Siluman Hutan 
Waringin yang menjelma menjadi raksasa tampak 
mengamuk dengan sengit. Tangannya menampar 
pepohonan yang tumbuh di sana, hingga tercabut 
sampai ke akar-akarnya. Lalu kakinya menendang 
perbukitan yang langsung ambrol dan menimbulkan 
suara keras. 

"Sasongko!" seru Siluman Hutan Waringin 
bergemuruh. "Kau tidak akan bisa melarikan diri dari 
Alam Sunyi ini! Tempatmu di sini. Dan kau harus 
mampus sini, sebagai peringatan bahwa inilah akhir 
dari hidup orang yang berani mengkhianati bangsa 
siluman!" 

Lalu mendadak saja, tubuh yang besar itu 
menjelma menjadi pusaran angin kuat. Seperti 
datangnya yang tidak ketahuan tadi, menghilangnya 
pun tidak ketahuan pula. Entah, ke mana perginya! 




Di Jurang Setan, Prabu Adiwarman tengah menerima 
kedatangan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 
Labuan. Banyak sekali yang mereka telah bicarakan. 
Sambil berbincang-bincang, mereka juga menunggu 
kedatangan yang lainnya. Meskipun, di hati mereka 
sedikit cemas. Karena, sudah dua hari ini belum juga 
ada kabar berita. 

"Prabu..., izinkanlah hamba untuk melihat keadaan 
Keraton Pakuan. Menurut hemat hamba, telah terjadi 
sesuatu pada saudara-saudara hamba...," kata Tirose 
senapati dari Kerajaan Labuan. 

Prabu Adiwarman mendesah pendek. Sebenarnya 
ia pun memikirkan soal itu. Mengapa Pendekar Slebor 
belum datang juga? Padahal, Prabu Adiwarman 
sangat yakin akan kemampuan Pendekar Slebor. 

"Aku pun sebenarnya merisaukan soal itu. Tetapi 
biarlah kita tunggu sampai matahari tepat di atas 
kepala," sahut Prabu Adiwarman. 

Tiroseta tidak berani membantah. Rasa hormatnya 
pada Prabu Adiwarman penguasa Kerajaan Pakuan, 
sama besarnya dengan rasa hormatnya pada Prabu 
Srigiwarman, penguasa Kerajaan Labuan. Maka 
kepalanya pun hanya mengangguk. 

Sementara itu di atas Jurang Setan, Danji yang 
sejak tadi pagi menunggu kedatangan Pendekar 
Slebor bersama dua orang prajurit Kerajaan Labuan, 
diam-diam menghela napas panjang. Hatinya yakin, 
kalau telah terjadi sesuatu terhadap prajurit Kerajaan 
Labuan. Bahkan mungkin, pada Pendekar Slebor 
sendiri! 

"Tunggal! Bagaimana bila kita secara sembunyi- 
sembunyi melihat keadaan keraton Kerajaan 
Pakuan?" tanya Danji pada salah seorang prajurit 
Kerajaan Labuan yang bernama Tunggal. 

"Saudara Danji, keinginan itu ada di hatiku, dan 
Riaka. Tetapi kami tidak berani melakukannya, 
sebelum mendapat perintah dari Kakang Tiroseta. 
Juga, dari sang Mulia Prabu Adiwarman," sahut 
Tunggal, seorang laki-laki berwajah keras dengan 
tatapan tajam. Dari riak suaranya, Danji bisa melihat 
kalau prajurit itu pun berkeinginan untuk menyusul 
yang lain ke Keraton Kerajaan Pakuan. 

Tetapi, Danji pun mengerti. Sebagai seorang 
prajurit, Tunggal harus taat pada pimpinannya. 

"Kalau begitu, biarlah aku yang pergi ke sana," 
cetus Danji. 

"Saudara Danji, itu terlalu berbahaya," tukasnya. 

Danji menatap tajam pada Tunggal. 

"Tunggal, meskipun tidak menguasai ilmu olah 
kanugaran tinggi, tetapi aku tidak enak berpangku 
tangan saja di sini. Aku akan pergi secara diam-diam. 
Dan kau tidak perlu mengatakannya pada Prabu 
Adiwarman. Juga yang lainnya," tandas Danji, mantap. 

"Tetapi, Saudara Danji...." 

"Tidak apa-apa," potong Danji, disertai senyum 
manis. "Aku akan baik-baik saja. Setelah melihat 
keadaan Keraton, aku akan cepat kembali ke sini. 
Seperti kataku tadi, bila aku belum kembali, jangan 
beritahukan pada siapa pun juga...." 

Tunggal tidak bisa menghalangi niat Danji, meski¬ 
pun sebenarnya ingin sekali ikut. 

"Baiklah kalau begitu," desah Tunggal. 

"Bila lewat tengah hari aku belum kembali, barulah 
ceritakan soal kepergianku pada Prabu Adiwarman." 
tambah Danji. 

Tunggal mengangguk lagi. Sementara pengawal 
yang bernama Riaka, hanya memandang saja. 
Sebenarnya Riaka pun ingin ikut serta. Tetapi lagi-lagi, 
sebelum perintah ada, dia tidak berani melaku¬ 
kannya. 

Mendadak saja sebelum Danji berlari meninggal¬ 
kan tempat itu.... 

"Hauuum.J" 

Terdengar auman yang cukup keras yang disertai 
dengan munculnya si Belang dari jalan rahasia 
menuju dasar Jurang Setan. Dan binatang itu berjalan 
perlahan mendekati Danji. 

Danji yang semula takut pada harimau besar 
peliharaan Sari, kini telah bersikap biasa. Dia tahu, 
naluri hewan besar itu mengatakan bahwa dia adalah 
temannya. Lalu perlahan-lahan Danji membelai wajah 
si Belang yang menyeramkan. 

"Ada apa, Belang?" tanya Danji, lembut. 

Si Belang mengelus-eluskan wajahnya ke tubuh 
Danji. 

"Oh! Tidak, Belang. Kau tidak boleh ikut," kata 
Danji, yang seolah mengerti keinginan si Belang. 

Dan pemuda itu bisa melihat tatapan si Belang 
yang mendadak saja meredup. Hati Danji tercekat. 
Sungguh hewan ini sangat pandai bersikap. Entahlah, 
bagaimana pemiliknya mengajarkan binatang buas 
itu sedemikian rupa. 

"Belang..., aku mengerti betapa rindunya kau pada 
majikanmu. Tetapi, kedatanganku ke keraton sangat 
berbahaya. Dan aku tidak ingin ketahuan gara-gara 
kau," ujar Danji. 

Si Belang kini menjilat-jilat tangan Danji. Sikapnya 
merajuk. Tubuhnya lantas direbahkan di sisi Danji. 
Danji mendesah pendek. 

"Belang..., kau berjagalah di sini. Dengan 
kehadiranmu, kekuatan kita akan bertambah, bila 
ada musuh yang menyerang. Ayolah, Belang.... 
Mengertilah...," bujuk Danji. 

Tetapi si Belang tetap menjilat-jilat tangan Danji. 

"Baiklah, kau boleh ikut. Tetapi, jangan sekali- 
sekali menampakkan diri," kata Danji akhirnya. 
Kembali si Belang menjilat-jilat sebagai jawaban 
tetapi, kali ini dengan sinar mata cerah. Danji 
mendesah sekali lagi. 

"Heran, bagaimana pemilikmu bisa mengajarkan- 
mu seperti itu, Belang?" tanya Danji, seraya berdiri. 
"Ayo, kita pergi sekarang!" 

Si Belang menegakkan tubuhnya, seolah 
menyuruh Danji menaiki punggungnya. Danji hanya 
tersenyum, lalu perlahan-perlahan dinaikinya 
punggung harimau besar itu. Dan.... 

Wuttt! 

Si Belang pun melesat dengan cepatnya, 
meninggalkan Tunggal dan Riaka yang hanya saling 
berpandangan. 

"Sebenarnya, aku ingin ikut dengan pemuda yang 
pemberani itu, Riaka...," kata Tunggal. 

"Begitu pula aku, Tunggal. Hanya saja, kita tidak 
bias melakukannya sebelum mendapatkan perintah 
dari Kakang Tiroseta," sahut Riaka. 

Lalu mereka pun melangkah ke rimbunnya semak 
untuk melihat-lihat keadaan. 

Di dasar Jurang Setan, kali ini tak ada yang suara. 
Putri Permata Delima yang baru saja memasak ayam 
hutan yang diburu Danji tadi, kini menghidangkannya 
untuk ayahandanya. 

"Ayahanda..., makanlah dulu.... Sejak semalam 
ayahanda tidak makan...," ujar gadis cantik ini dengan 
bibir tersenyum. 

Prabu Adiwarman pun tersenyum. Hatinya bangga 
melihat ketabahan putrinya yang dulu selalu di¬ 
kelilingi kebahagiaan, kemewahan, dan kemudahan. 
Tetapi sekarang, di saat yang genting dan mencekam 
ini, bibirnya masih bisa mengulas senyum. 

Namun hal itu sebenarnya tidak terlalu meng¬ 
herankan untuk Prabu Adiwarman. Karena putrinya; 
walaupun tumbuh dalam lingkungan keraton, tetapi 
sifatnya sangat merakyat. Dan hatinya bangga 
melihat Permata Delima yang tetap bersikap tabah, 
meskipun kini keadaan sangat memprihatinkan. 

Tiba-tiba saja Prabu Adiwarman merasakan lapar 
yang luar biasa. 

"Terima kasih, Permata...," kata Prabu Adiwarman 
sambil menyantap ayam hutan panggang itu. 

Putri Permata Delima pun menyediakan ayam 
panggang itu pada Tiroseta yang sedang mengangkat 
kepala, menatap sesuatu yang menarik perhatiannya 
di dinding Jurang Setan. 

"Kakang Tiroseta..., makanlah dulu...," ujar 
Permata Delima. 

"Oh! Terima kasih, Tuan Putri. Tidak perlu repot. 
Aku biasa tidak makan bila sedang dalam tugas...," 
sahut Tiroseta dengan wajah memerah. Senapati ini 
sebenarnya malu karena justru seorang putri seperti 
Permata Delima yang melayaninya. 

"Tetapi, ayam panggang ini sangat lezat sekali, 
Kakang," bujuk Putri Permata Delima, membuat hati 
Tiroseta terenyuh. 

Memang, betapa bahagianya rakyat Kerajaan 
Pakuan memiliki seorang putri yang bisa dijadikan 
panutan. 

"Oh, ya... ya..., terima kasih, Putri." 

Tiroseta kembali menatap sesuatu yang menarik 
perhatiannya. Hingga kemudian, Putri Permata 
Delima pun mengikuti arah pandangan Tiroseta. 

Di dinding Jurang Setan, Putri Permata Delima 
melihat seekor burung hantu berwarna abu-abu 
dengan sepasang mata memerah menyalang. 

"Kenapa dengan burung hantu itu, Kakang?" tanya 
gadis itu kemudian, ingin mengetahui mengapa 
Tiroseta memandangi burung hantu itu dengan sikap 
penuh perhatian. 

"Tidak, tidak apa-apa," desah Tiroseta. 

"Kalau tidak apa-apa, mengapa begitu tertarik 
memperhatikannya?" cecar Putri Permata Delima. 

Tiroseta menyadari kesalahannya. Senapati ini 
memang telah mendengar tentang kecantikan Putri 
Permata Delima yang sangat jelita dan meng¬ 
hanyutkan. Tetapi, ia kurang tahu kalau Putri Permata 
Delima mempunyai naluri ingin tahu yang tinggi. 

"Tuan Putri..., selama dua hari hamba berada di 
sini, hanya..., baru pagi ini melihat burung hantu itu. 
Tuan Putri sendiri bagaimana?" tanya Tiroseta. 

Putri Permata Delima terdiam, la mengingat-ingat. 
Yah, rasanya ia pun baru melihatnya. 

"Aku juga, Kakang. Sepertinya, aku memang baru 
melihat burung hantu itu. Memangnya kenapa?" kata 
Putri Permata Delima, balik bertanya. 

Putri Permata Delima melihat wajah Tiroseta 
terperanjat. 

"Oh, Gusti Pangeran!" sentak Tiroseta. 

"Kenapa, Kakang?" tanya Putri Permata Delima 
dengan kening berkerut. 

"Tuan Putri..., sebelum lewat tengah hari, kita 
sudah harus pindah dari sini!" kata Tiroseta, sedikit 
waswas. Matanya tak lepas dari burung hantu itu. 

"Mengapa, Kakang? Bukankah ini tempat 
persembunyian yang aman bagi kita?" tanya Putri 
Permata Delima, tidak mengerti. "Lagi pula, bukankah 
rencana Kakang tadi, nanti siang hendak melihat 
keadaan keraton?" 

"Tuan Putri, burung hantu itu..., oh! Pasti itu burung 
hantu mata-mata...," kata Tiroseta dengan wajah 
tegang. 

"Maksudmu, dia memata-matai kita?" tanya Putri 
Permata Delima. 

"Kau benar,. Tuan Putri. Jarang sekali hamba 
menjumpai burung hantu yang keluar bila ada sinar 
matahari. Biasanya, burung hantu selalu hanya keluar 
bila rembulan bersinar. Bukan matahari. Lagi pula, 
hanya baru kali ini melihat burung hantu di Jurang 
Setan," jelas senapati ini. 

"Apakah itu tidak kebetulan saja, Kakang?" tanya 
Putri Permata Delima, memberi dugaan lain. 

"Tuan Putri..., hamba telah banyak memakan asam 
garam di rimba persilatan. Hamba bisa membedakan 
mana burung hantu liar, burung hantu peliharaan, 
burung hantu yang dijadikan sebagai mata-mata. 
Hewan sejenis itu sangat kejam, Tuan Putri. Seperti 
burung hantu itu. Pasti, dia sedang memata-matai 
kita," sergap Tiroseta, memberi penjelasan. 

Sementara itu, burung hantu berwarna abu-abu itu 
sudah terbang sambil mengeluarkan suara 
menyeramkan. 

Putri Permata Delima pun mengerti maksud dari 
Tiroseta. Tetapi, ia tidak ingin merisaukan 
ayahandanya. 

"Kakang..., setelah ayahanda selesai makan, 
barulah kita mengatakan padanya. Dan bila ayahanda 
setuju, kita pergi dari sini...." 

Tiroseta mengangguk. Lagi-lagi hatinya sangat 
kagum atas kebijaksanaan Putri Permata Delima. 
Lalu dilihatnya gadis itu tengah membagi-bagikan 
ayam panggang pada prajurit yang berada di sana. 

Dan mata senapati ini lantas menerawang. Kalau 
dugaannya tentang burung hantu itu memang benar, 
keadaan benar-benar gawat! 

•k-k -k 


Di Hutan Ringgis yang lebat, satu sosok tubuh 
kurus dengan pakaian compang-camping dan rambut 
acak-acakan menutupi wajahnya, berhenti berlari. Di 
punggungnya terdapat satu sosok tubuh yang terkulai 
pingsan. Sebentar matanya berkeliling memperhati¬ 
kan. Sepi. 

"Hhh! Dasar pendekar bandel! Sudah kukatakan 
jangan bergerak, justru menyerang! Keterlaluan!" 
omel sosok yang tak lain Eyang Sasongko Murti. 

Memang setelah berhasil meloloskan diri dari 
tangan Siluman Hutan Waringin, Eyang Sasongko 
Murti itu berhasil keluar dari Alam Sunyi sambil 
membawa tubuh Pendekar Slebor yang pingsan. 

Sejenak tadi, bagaikan seorang anak kecil yang 
telah lama menginginkan sebutir gula-gula, Eyang 
Sasongko Murti melonjak-lonjak kegirangan begitu 
meyakinkan dirinya berada di alam luas yang indah. 
Cuping hidungnya sejak tadi tidak henti-hentinya 
mencium udara yang segar di sini. Udara yang sangat 
berbeda dengan udara di Alam Sunyi, yang telah 
didiami selama seratus tahun! 

Eyang Sasongko Murti merasa beruntung bisa 
pergi dari Alam Sunyi, alam gaib yang sulit sekali 
diterima akal. Juga, beruntung bisa meloloskan diri 
dari tangan Siluman Hutan Waringin yang kejam, 
meskipun terpaksa mengorbankan waktu Andika. 
Itulah sebabnya, untuk membalas budi dari Andika 
yang telah menolongnya keluar dari Alam Sunyi, laki- 
laki itu bersedia membantu Andika. 

Lalu perlahan-lahan Eyang Sasongko Murti 
menurunkan tubuh Andika yang dibopongnya. 
Direbahkannya pemuda itu di atas rerumputan yang 
masih basah. Matahari tak mampu memasuki dasar 
Hutan Ringgis, karena terhalang tingginya pepohonan 
dan rimbunnya dedaunan. 

Kini laki-laki tua itu memeriksa sekujur tubuh 
Andika. Lalu, dibukanya pakaian pemuda itu yang 
berwarna hijau. Dan betapa terkejut Eyang Sasongko 
Murti ketika melihat sebuah garis silang di dada 
Pendekar Slebor yang masih pingsan! 

"Gila! Andika terkena aji siluman yang bernama 
'Ikatan Mambang Kahyangan'! Gawat kalau begini! Di 
dalam sepenanakan nasi bila tidak tertolong, ia akan 
menjadi pengikut Siluman Hutan Waringin," sentak 
Eyang Sasongko Murti dengan suara bergetar. 

Dengan cepat laki-laki tua ini menempelkan 
telapak tangan di kening Andika. Lalu dengan 
mengerahkan mantera pengusir siluman, mulutnya 
merapal sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun 
sekian lama bertindak demikian, tidak ada tanda- 
tanda Andika siuman. Tetap tergolek lemah tak 
berdaya. Bahkan Eyang Sasongko Murti melihat tanda 
silang di dada Andika berubah menjadi merah! 

"Kacau! Kacau! Kalau tanda silang itu berubah 
menjadi hitam, berantakan semuanya!" dengus laki- 
laki tua ini sambil melepaskan kembali telapak 
tangannya pada kening Andika. 

Tiba-tiba saja Eyang Sasongko Murti memutar 
kedua tangannya di depan dada, lalu mengangkatnya 
di atas kepala sambil menengadah. Dihirupnya udara 
banyak-banyak. Tiba-tiba.... 

"Pukulan Dewa Matahari! Heaaa.J" 

Eyang Sasongko Murti menjerit keras sambil 
menyentak hawa murninya. Plashh.J 

Dan mendadak saja seberkas sinar berwarna 
keemasan meluncur dari atas, dan singgah di telapak 
tangan kanan Eyang Sasongko Murti. Setelah itu, 
tangan kirinya dikibaskan ke depan, dan kembali 
diangkat ke atas sambil mengembalikan hawa murni 
pada titik kekosongan. Titik mengosongkan diri. 

Pukulan Dewa Angin!" teriak Eyang Sasongko Murti 
lagi. 

Kembali seberkas sinar yang kali ini berwarna 
putih, jatuh ke telapak tangan kiri Eyang Sasongko 
Murti. 

Dan perlahan-lahan laki-laki tua ini membawanya 
ke dada Andika, lalu menempelkannya. Terlihat 
kemudian tubuh Andika mengejang hebat dan 
mengeluarkan keringat banyak! 

Luar biasa! Dalam keadaan pingsan, Andika 
mengeluarkan keringat. Karena, tenaga dua pukulan 
maut Eyang Sasongko Murti telah ditempelkan ke 
dadanya. 

Sementara itu, sekujur tubuh Eyang Sasongko 
Murti pun telah bersimbah keringat. Dan tubuhnya 
pun bergetar hebat! 

"Andika..., kalau kau memang pendekar warisan 
Pendekar Lembah Kutukan, sadarlah! Sadarlah kalau 
bahaya sudah mendekatimu...," ujar Eyang Sasongko 
Murti dengan suara bergetar. 

Tetapi sosok Andika tidak juga siuman. Bahkan 
justru kelojotannya semakin keras. 

Eyang Sasongko Murti berusaha menahan dengan 
dua pukulan mautnya. Seluruh tenaga dalamnya di 
kerahkan untuk menyelamatkan Andika. Karena ia 
tahu bila gagal menyelamatkan Andika, berarti 
pemuda akan menjadi pengikut Siluman Hutan 
Waringin. 

Eyang Sasongko Murti adalah murid Siluman 
Hutan Waringin seratus tahun yang lalu. Maka tak 
heran bila dia sangat mengenal bahayanya pukulan 
'Ikatan Mambang Kahyangan'. Dan tak heran pula, 
dia juga memiliki ilmu itu. Hanya saja, tidak 
mempelajari cara memunahkannya! 

Kini Eyang Sasongko Murti telah pula menyalurkan 
hawa murninya. 

"Ayolah, Andika.... Kau kuat. Kau kuat...," desis laki- 
laki tua ini dengan mulut bergetar hebat. Begitu pula 
sekujur tubuhnya yang bagaikan diguncang gempa 
sangat kuat. "Kau mampu, Andika.... Kau mampu 
mengalahkan ajian Siluman Hutan Waringin!" 

Eyang Sasongko Murti berusaha keras 
menyelamatkan Andika. Hatinya benar-benar 
khawatir. Bila gagal, maka pemuda tangguh dan 
gagah ini akan menjadi pengikut dari Siluman Hutan 
Waringin! Bukan hanya berbahaya. Eyang Sasongko 
Murti merasakan, kalau semua itu terjadi gara-gara 
dirinya. Dan sebelum kekhawatiran laki-laki itu 
lenyap... 

Tiba-tiba saja dari mulut Andika keluar teriakan 
sangat keras, membedah seluruh Hutan Ringgis. 

Seketika wajah Eyang Sasongko Murti justru 
gembira. 

"Ayo, terus Andika! Terus, bangkitkan kesadaran- 
mu! Kalahkan pukulan 'Ikatan Mambang 
Kahyangan'!" seru Eyang Sasongko Murti sambil 
menambah seluruh tenaga dalamnya. 

"Aaa.J" 

Jeritan demi jeritan pun terdengar dari mulut 
Andika. Sangat keras, bersamaan dengan tubuhnya 
yang bergejolak hebat. 

Sementara tubuh Eyang Sasongko Murti kelihatan 
tegang sekali. Kedua tangannya pun bergetar, 
mengikuti semua perubahan getar tubuh Andika yang 
semakin kuat. 

Lalu mendadak saja Eyang Sasongko Murti 
mengangkat kedua tangannya dari dada Andika. Dan 
tiba-tiba dipukulnya kening Andika dengan keras. 

Plak! 

Seketika jeritan Andika berhenti. Juga getaran 
tubuhnya yang kelojotan tadi. 

"Maafkan aku, Andika.... Kau baru sadar bila 
matahari sudah turun nanti...," ucap Eyang Sasongko 
Murti mendesah lega. 

Kini Eyang Sasongko Murti melihat tanda silang 
memerah di dada Andika berangsur-angsur memutih, 
lalu perlahan-lahan menghilang. 

Eyang Sasongko Murti jatuh terduduk. Tubuhnya 
lemas, setelah seluruh tenaganya terkuras. 

"Kau hebat, Andika.... Kau hebat...," puji laki-laki 
tua ini. 

Sebentar kemudian Eyang Sasongko Murti ber¬ 
semadi untuk memulihkan kembali seluruh tenaga¬ 
nya. 




Kekejaman Raja Akherat yang telah menguasai 
Kerajaan Pakuan membangkitkan kemarahan para 
tokoh persilatan golongan putih. Hati mereka teriris 
bila mendengar betapa gadis-gadis jelita dari 
berbagai desa diculik, demi memuaskan nafsu birahi 
Raja Akherat. Juga, penindasan dan pembunuhan 
yang dilakukan sewenang-wenang oleh Raja Lalim itu. 

Para tokoh dari golongan putih itu pun mendengar 
kabar kalau Raja Akherat berniat menguasai rimba 
persilatan. Sudah tentu tidak menghendaki. Karena 
mereka tahu, bila Raja Akherat berhasil mewujudkan 
keinginannya, keadaan rimba persilatan pasti berada 
di ambang kehancuran. 

Saat ini, di tepi Danau Abadi, telah berkumpul 
empat orang tokoh dunia persilatan golongan putih. 
Mereka sedang merencanakan untuk menghancur¬ 
kan Raja Akherat. 

Mereka duduk bersila berbentuk lingkaran di tepi 
danau yang berudara sejuk, meskipun matahari 
sudah tepat di puncak kepala. 

"Kita tidak bisa membiarkan kekejaman Raja 
Akherat terus menerus. Karena, seluruh rimba 
persilatan termasuk Kerajaan Pakuan, akan hancur di 
tangannya!" kata tokoh persilatan yang berpakaian 
putih dengan sorban putih pula. Sementara tangan¬ 
nya tak henti-hentinya mengelus-elus jenggotnya yang 
putih. 

Wajah lelaki bersorban ini begitu arif. Suaranya 
pun lembut. Orang-orang persilatan mengenalnya 
sebagai Ki Pangsawada yang berjuluk, Imam Arif 
Penguasa Gunung Bontang. 

"Kau benar, Pangsawada!" Suara sahutan itu 
meluncur dari mulut seorang laki-laki yang usianya 
kira-kira enam puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari 
kulit harimau dan bersenjatakan sebuah tongkat 
berukir kepala harimau pada ujungnya. 

"Kita tidak bisa berpangku tangan saja. Kita pun 
tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan Raja 
Akherat!" tambah laki-laki yang tak lain Ki Wirayuda, 
Penguasa Harimau. Dialah ayah Sari. 

Sebenarnya saat ini, kemunculan Ki Wirayuda 
adalah untuk mencari Sari. Biasanya, gadis itu 
meninggalkan rumah hanya dalam waktu tiga hari. 
Tetapi sudah dua minggu lebih, Sari tidak muncul 
juga. Dan tidak disangka, Ki Wirayuda justru bertemu 
Ki Pangsawa yang segera menceritakan tentang Raja 
Akherat, yang saat ini menguasai Kerajaan Pakuan 
dan berkeinginan menguasai rimba persilatan. 

"Ya! Apa yang kalian omongkan memang benar." 
timpal seorang wanita berpakaian berwarna merah 
tua. 

Rambut perempuan tua itu digelung ke atas, dan 
diberi tusuk konde terbuat dari tulang. Usianya kira- 
kira tak jauh berbeda dengan Ki Pangsawada dan Ki 
Wirayuda. Namanya, Nyai Selastri yang berjuluk Naga 
Gunung. 

"Tetapi, kita tidak tahu di mana saat ini Prabu 
Adiwarman berada. Karena menurutku, justru Prabu 
Adiwarman-lah yang harus diselamatkan lebih dulu," 
tambah si Naga Gunung. 

"Tetapi aku yakin, dia telah selamat, Nyai.... 
Meskipun, kita tidak tahu di mana Prabu Adiwarman 
berada saat ini," tegas seorang laki-laki berusia dua 
puluh tahun. 

Tokoh ini satu-satunya yang termuda di antara 
kelompok itu. Namanya, Permadi. Dia memang belum 
mendapatkan julukan apa-apa dari orang persilatan. 
Bahkan, pemuda itu sendiri belum pula menjuluki diri. 

"Tetapi menurutku yang terpenting, aku harus 
membalas kematian guru yang tewas di tangan Raja 
Akherat!" tegas Permadi, mendesis. 

Ki Pangsawada melihat wajah Permadi memerah 
garang dengan suara menggeram, la tahu, betapa 
dendamnya pemuda itu pada Raja Akherat. Karena, 
Ki Kelana, guru Permadi telah tewas di tangan tokoh 
bejat itu. (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode 
"Raja Akherat"). 

"Tetapi yang pasti sekarang ini, kita harus segera 
bergerak untuk menghancurkan Raja Akherat. 
Sebelum ia semakin bertindak sewenang-wenang." 

Tak ada yang bersuara lagi. Ketika Ki Pangsawada 
bangkit, yang lain pun bangkit. Lalu mereka berjalan 
beriringan menuju Kerajaan Pakuan. 

•k'k -k 

Saat ini, Raja Akherat yang mempunyai cita-cita 
menguasai rimba persilatan telah memanggil 
kerabatnya yang lain pula. Dan sudah tentu mereka 
bersedia membantu. Mereka adalah, Nyai Pamunti 
yang berwajah mengerikan. Hidungnya bengkok. 
Matanya sipit memerah. Julukannya, Wanita Burung 
Hantu. 

Orang kedua yang diajak bergabung Raja Akherat 
adalah seorang laki-laki berwajah pedok, alias masuk 
ke dalam. Begitu pula hidungnya. Wajahnya 
mengerikan sekali, tak ubahnya hantu di siang 
bolong. Namanya, Kokorongko, yang berjuluk Dewa 
Muka Iblis. Senjata andalannya, sepasang gada 
besar. 

Sementara orang ketiga adalah laki-laki bermata 
picek. Rambutnya kemerah-merahan acak-acakan. 
Tubuh bertelanjang dada. Celananya berwarna hitam. 
Namanya, Anomdoro. Di kalangan tokoh hitam, dia di 
kenal sebagai Manusia Mata Picek, yang terkenal 
dengan permainan ilmu racunnya. 

Ketiga orang itu tadi pagi datang secara 
bersamaan. Padahal tempat tinggal masing-masing di 
daerah sepi dan berjauhan. Mereka telah dikirimi 
undangan melalui mimpi, dengan kekuatan ilmu milik 
Raja Akherat. 

Raja Akherat pun menyambut mereka dengan 
tangan lebar. Di atas meja, telah disediakan arak 
yang banyak dan makanan melimpah ruah. Bahkan 
enam orang gadis telah dipaksa menemani 
Kokorongko dan Anomdoro. Masing-masing, men¬ 
dapatkan tiga orang. Sementara Nyai Pamunti hanya 
mendengus saja. 

Sebelumnya, Raja Akherat telah menyuruh Nyai 
Pamunti yang selalu membawa burung hantu untuk 
melacakjejak Prabu Adiwarman. 

Dan kini, burung hantu peliharaan perempuan tua 
itu telah datang. Nyai Pamunti pun bangkit sambil 
bersiul, burung hantu berwarna abu-abu dengan mata 
merah itu pun hinggap di lengannya yang terulur. 

"Bagaimana, Manis? Apakah kau menemukan 
jejak mereka?" tanya Wanita Burung Hantu. 

Burung itu berkaok-kaok dengan suara mengeri¬ 
kan. 

"Bagus, bagus sekali," puji Nyai Pamunti, yang 
mengerti maksud peliharaannya itu. "Hm..., siapa saja 
yang berada di sana?" 

Burung hantu itu berkaok-kaok lagi. 

"Bagus, bagus.... Hanya segitu saja? Hmmm..., 
apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian 
berwarna hijau, Manis?" 

Burung hantu itu kembali bersuara. 

"Tidak? Bagus! Sekarang..., kau boleh beristirahat! 
Nah, kau buru makananmu sendiri!" 

Burung hantu itu pun terbang entah ke mana. Yang 
pasti, akan segera datang pada majikannya. 

Wanita Burung Hantu duduk kembali. Sementara 
Raja Akherat tidak sabar ingin mengetahui, apa 
maksud bunyi burung hantu itu. 

"Apa yang didapat burung hantumu itu, Pamunti?" 
tanya Raja Akherat. 

Nyai Pamunti menenggak araknya, sebelum men¬ 
jawab, 

"Raja Akherat..., apakah di sekitar daerah timur 
dari Keraton ini, ada sebuah jurang?" Nyai Pamunti 
justru balik bertanya. 

"Maksudmu?" 

"Menurut laporan si Manis..., dia menemukan 
Prabu Adiwarman, bersama dua puluh orang prajurit 
dan seorang dara jelita. Hmmm..., pasti dara itu tak 
lain dari Putri Permata Delima," papar Wanita Burung 
Hantu. 

Raja Akherat terdiam. 

"Jurang? Jurang..., hm.... Aku tidak tahu kalau di 
daerah sebelah timur sana ada jurang. Kalau begitu, 
kau dan Kokorongko, nanti malam menyatroni jurang 
itu dengan petunjuk burung hantu peliharaanmu," 
ujar Raja Akherat. 

"Ha... ha... ha..., jangan khawatir." 

"Bunuh Prabu Adiwarman!" tandas laki-laki bengis 
itu. 

"Tugas mudah. Tugas mudah. Tetapi, Raja Akherat, 
menurut laporan si Manis..., ia tidak melihat seorang 
pemuda berpakaian hijau-hijau yang menurutmu 
Pendekar Slebor,"jelas Nyai Pamunti. 

"Tidak ada?" 

"Ya." 

"Bangsat! Ke mana pendekar usil itu berada? Hhh! 
Tak sabar aku untuk melihat kematiannya!" geram 
Raja Akherat. 

Anomdoro tertawa dengan suara nyaring. "Aku 
belum mendapat tugas apa-apa darimu. Akan kucari 
pendekar keparat itu! Tak lama lagi, orang-orang 
rimba persilatan dari golongan putih akan menangisi 
kematiannya! Sementara, orang-orang rimba 
persilatan dari golongan hitam akan terbahak-bahak 
penuh kemenangan...," timpal laki-laki bermata picek 
itu. 

Mereka pun terbahak. Pesta itu dilanjutkan 
kembali. Lalu, Kokorongko dan Anomdoro meng¬ 
gandeng tiga gadis yang hanya pasrah saja. 

Gadis-gadis itu ingin menangis dengan luka yang 
dalam. Mereka merasa, selama hidupnya hanya 
menjadi pemuas nafsu orang-orang biadab ini. 
Akankah pertolongan akan tiba? Tak ada yang tahu. 

Sedangkan Nyai Pamunti hanya mendengus saja. 
Mulutnya menenggak arak lagi, tidak bisa mengikuti 
pesta cabul yang sedang dilakukan teman-temannya. 

Sementara itu, Raja Akherat sendiri melangkah 
menuju kamar tempat Sari disekap. 
Sari menggeram begitu melihat sosok Raja Akherat 
muncul. 

"Manusia bejad! Lepaskan ikatanku ini! Kita 
bertarung sampai mati!" teriak Sari dengan muak. 

Sari berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk 
melepaskan tali yang mengikat kedua kaki dan 
tangannya. Namun sejak tadi ia gagal. Karena ikatan 
itu begitu kuat, karena tali itu telah dialiri tenaga 
dalam Raja Akherat yang sulit ditembus! 

Raja Akherat terbahak-bahak. "Aku suka sekali 
denganmu, Cah Ayu...," kata Raja Akherat sambil 
menyeringai. 

Laki-laki itu melangkah mendekat, dan duduk di 
sisi Sari yang telentang di ranjang lembut milik Prabu 
Adiwarman. Lalu tangannya dengan jahil mencolek 
pipi lembut gadis itu. 

Sari menolehkan kepala, menghindari rabaan 
tangan Raja Akherat. 

"Cih! Tangan busuk ini akan membuat kulitku 
menjadi busuk!" dengus Sari. 

"Tenanglah, Manis...," desis Raja Akherat yang 
mendadak saja kembali merasakan kehilangan 
birahi. 

Sungguh, laki-laki ini tidak mengerti sama sekali, 
Mengapa terjadi hal seperti itu. Padahal, keinginan 
untuk menggumuli gadis ini begitu menggebu-gebu. 
Memang Raja Akherat tidak tahu kalau di sekujur 
tubuh Sari telah ditamengi semacam sinar yang kasat 
mata. 

Tameng itu diciptakan Eyang Sasongko Murti lewat 
tenaga batin dengan ilmu yang dipelajari dari Siluman 
Hutan Waringin. Dan hanya Siluman Hutan Waringin 
lah yang mampu melihat sinar itu. Bahkan 
menyingkirkannya. 

"Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" seru 
Sari kalap. Sementara sampai saat ini, gadis itu tidak 
mengerti, mengapa Andika belum muncul juga? 
Apakah pemuda itu termasuk pemuda pengecut? 
Yang hanya banyak bicara saja? Padahal, sesungguh¬ 
nya melarikan diri melalui jalan rahasia itu? 

"Bertarung? Ha... ha... ha...! Apakah kau tidak 
sayang bila kulitmu yang mulus terluka, Cah Ayu?" 
ejek Raja Akherat. 

"Manusia keparat! Dosa-dosamu tak bisa diampuni 
lagi!" teriak Sari keras. 

Dan justru kata-kata Sari kembali membuat Raja 
Akherat terbahak-bahak. 

"Aku tak ingin dosa-dosaku diampuni, Cah Ayu.... 
Bahkan aku ingin membunuh semua pendekar dari 
golongan putih. Ketahuilah.... Tak lama lagi, aku akan 
menjadi penguasa rimba persilatan, menjadi orang 
nomor satu di rimba persilatan ini! Ha... ha... ha...! 
Dan kau akan menjadi permaisuriku, yang akan 
melahirkan seluruh keturunanku...," lanjut Raja 
Akherat. 

Sari mengkeret mendengar kata-kata Raja Akherat. 
Hatinya ngeri membayangkan bila Raja Akherat 
benar-benar melakukannya. Meskipun tidak meng¬ 
harapkan manusia kejam itu melakukan perbuatan 
terkutuk padanya, tetapi Sari merasa heran. Karena 
selama dua hari ini, tubuhnya seperti dibiarkan saja. 

"Lebih baik aku bunuh diri daripada harus menjadi 
penerus keturunanmu!" dengus gadis itu sengit. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa kau tidak lakukan, 
hati?!' sahut Raja Akherat enteng. Wajah Sari 
memerah. 

"Baik! Lihatlah!" kata Sari, dengan suara tegar. 

Gadis itu kemudian bermaksud menggigit lidahnya 
sendiri. Tetapi tangan Raja Akherat bergerak lebih 
cepat. Dan.... 

Tuk! Tuk! 

Raja Akherat menotok urat di bagian leher Sari, 
sehingga mulutnya sukar dikatupkan. 

"Sebelum melahirkan seluruh penerusku, kau 
takkan bisa mati, Manis.... Ha... ha... ha...," tegas Raja 
Akherat. 

Kini manusia bengis yang bertubuh tinggi besar 
menyeramkan itu pun bangkit meninggalkan Sari 
yang hanya bisa menatap dengan mata garang. 
Sementara, mulutnya sulit dikatupkan kembali. 

"Oh! Mengapa Andika belum muncul juga?" kata 
Sari, lirih. 

Gadis ini merasa lebih baik mati daripada menjadi 
ibu dari keturunan Raja Akherat. 

k k k 

Dari sebuah pohon tinggi besar berdaun rimbun, 
sepasang mata memperhatikan suasana di Keraton 
Pakuan. Meskipun telinganya mendengar suara 
terbahak-bahak keras, tetapi sosok yang tak lain 
Danji tidak melihat siapa-siapa di sana. Berarti, orang- 
orang itu berada di dalam keraton. 

Danji sendiri yakin, Raja Akherat kini mengundang 
sahabatnya kembali. Kalau begitu, keadaan semakin 
genting saja. Dan hal ini harus dilaporkan Prabu 
Adiwarman. 

Dan diam-diam Danji pun merasa yakin pula, kalau 
para prajurit Kerajaan Labuan telah berhasil 
dilumpuhkan Raja Akherat. Mungkin pula telah tewas. 

Mendadak saja Danji menundukkan kepala. Kalau 
begitu, apakah Andika telah tewas? Hati Danji 
terenyuh memikirkan soal itu. Bila memang benar, 
ah...! Kasihan sekali nasib pemuda konyol itu. 

"Andika.... Kalau kau memang sudah mati, aku 
bersumpah! Aku akan mencari mayatmu sampai 
ketemu...," desah Danji, lirih. 

Danji pun bermaksud turun, untuk menyampaikan 
berita itu pada Prabu Adiwarman. Hanya, mendadak 
saja matanya tertumbuk pada satu sosok kecil yang 
menatapnya dengan mata memerah di salah satu 
cabang pohon. 

"Heran? Sejak tadi aku tidak melihat burung hantu 
itu!" gumam Danji. Lalu tanpa mempedulikan burung 
hantu itu, pemuda ini pun mulai menuruni pohon. 
Namun mendadak saja.... 

Siuuut! 

"Heh?!" 

Danji tersentak. Tiba-tiba saja burung hantu 
meluncur, dan menyerangnya dengan ganas. Dengan 
sebisanya, Danji menggerakkan tangan untuk 
menangkis. 

Crab! Tok!! 

Cakar dan patukan yang tajam dari burung hantu 
itu mampir di lengan Danji. Dan burung itu semakin 
gila menyerang. Danji menjadi kalang kabut, sambil 
berusaha turun dengan cepat. Dan dia juga harus 
berusaha untuk tidak terjatuh dari pohon tinggi itu. 

Burung hantu yang ternyata peliharaan dari Nyai 
Pamunti terus menyerang ganas. Rupanya, setelah 
selesai mencari makan, burung hantu itu kembali ke 
keraton tempat majikannya berada. Tetapi, burung 
hantu yang memang telah dilatih Nyai Pamunti untuk 
selalu berbuat jahat, melihat satu sosok tubuh yang 
menurutnya orang tak dikenal. 

Danji tidak mempedulikan serangan ganas dari 
burung hantu itu. Dia terus saja turun dengan mem¬ 
biarkan tubuhnya dicakar dan digigit. 

"Gila! Akan kubunuh kau nanti!" bentak Danji 
sambil terus menuruni pohon yang tinggi. 

Dan gerakan pemuda itu tidak bisa selincah ketika 
naik tadi, karena mendapatkan serangan ganas dari 
burung hantu itu. 

Danji pun melompat ke tanah ketika diperkirakan 
jaraknya sudah pendek dari tanah. Namun tubuhnya 
terus jatuh terguling, sementara burung hantu itu 
kembali menyerangnya. 

"Bangsat! Burung hantu setan rupanya!" 

Tangan Danji menyambar sebatang dahan pohon 
kering yang ada di dekatnya. Cepat diayun-ayunkan 
dahan itu pada burung hantu yang sedang terbang 
sambil menatap dengan mata memerah. 

"Ayo, ayo sini! Biar mampus kau kulumat kayu ini!" 
tantang Danji. 

Siuuttt...! 

Dan mendadak saja burung hantu itu menyerang¬ 
nya kembali. Sementara Danji segera mengibaskan 
kayunya. 

Wuuut! 

Luput! Karena, burung hantu itu mampu meng¬ 
hindari serangan dengan lincah. Hal ini membuat 
Danji makin marah dan penasaran. Kembali dahan 
kayu itu di ayunkan dengan kuat. Pikirnya, sekali ayun 
pasti burung hantu itu akan mampus. 

Wuuut...! 

Tetapi lagi-lagi serangan Danji gagal. Karena, 
burung hantu itu dengan lincah berkelit menghindar. 
Bahkan kini menyerangnya kembali dengan kedua 
cakarnya yang terbuka. Meskipun kuku-kukunya kecil, 
namunruncing luar biasa. 

"Ayo, sini! Sini, Bangsat!" tantang Danji kalap. 
Ketika burung hantu itu menyerang lagi, Danji pun 
langsung mengayunkan dahan kayunya. Namun lagi- 
lagi burung hantu itu mampu menghindar. 

"Suiiittt...!" 

Mendadak terdengar siulan keras sekali. Seketika 
burung hantu yang diperkirakan Danji akan 
menyerang kembali, terbang dan hinggap di pohon 
yang tadi dinaiki Danji. 

Sedikit banyak, kening Danji pun berkerut. Karena 
dahan kayunya sudah siap untuk diayunkan kembali. 

Dan belum lagi kening Danji yang berkerut tadi 
membalik kembali, tampak satu sosok tubuh ber¬ 
kelebat ke arahnya. Begitu tiba, sosok itu menyeringai 
mengerikan dengan tatapan nyalang. 

"He... he... he.... Rupanya ada anak nakal yang 
nyasar kemari," kata sosok yang tak lain Nyai 
Pamunti. 

Danji sadar, kalau kini terjebak. Rupanya siulan 
tadi isyarat bagi burung hantu. Dan dirinya yang 
sedang sibuk melayani serangan-serangan menjadi 
tidak sadar kalau berada di sarang lawan. 

Tetapi Danji bukanlah orang yang pengecut. 
Meskipun tidak memiliki ilmu olah kanuragan, dia 
tetap tak hengkang dari tempat ini. 

"Hhh! Manusia busuk! Rupanya kau antek-antek 
dari Raja Akherat itu!" bentak Danji. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Dan kau akan 
mampus hari ini juga, Anak Muda." 

"Mati ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bukan 
oleh tanganmu. Bila Yang Kuasa belum mengizinkan 
mati, maka aku tidak akan mati!" sahut Danji gagah. 

Nyai Pamunti sebenarnya adalah tokoh kejam. 
Makanya, tanpa banyak bicara lagi tubuhnya segera 
melayang menyerang Danji. 

Danji yang menyadari hal itu, segera mengibaskan 
dahan kayunya. 

Wuuut! 

Prak! 

Dahan kayu itu kontan patah terhantam kerasnya 
tangan Nyai Pamunti yang berjuluk si Wanita Burung 
Hantu. 

"He... he... he.... Sudah kukatakan, kau akan 
mampus hari ini, Anak Muda!" ejek si Wanita Burung 
Hantu. 

Kembali Nyai Pamunti berkelebat menyerang lagi. 
Kali ini dengan satu keyakinan, ia akan menghabisi 
pemuda itu. 

Danji berusaha menghindar ke samping. Namun 
tanpa diduga, si Wanita Burung Hantu melenting ke 
atas, seraya melepaskan hantaman ke punggung. 

Desss...! 

"Aaakh.J" 

Danji terhuyung ke depan, dan seketika muntah 
darah. Pada saat yang sama Nyai Pamunti telah 
mendarat. Dan dia memang berniat menghabisi Danji. 
Maka seketika dia bergerak lagi dengan tangan telah 
tersalur tenaga dalam. Namun baru beberapa 
langkah.... 

"Hauuum.J" 

"Heh?!" 

Mendadak saja si Wanita Burung Hantu melompat 
ke belakang. Diiringi raungan keras, sebuah sosok 
tubuh berkaki empat tampak meluruk ke arahnya 
dengan ganas. 

"Bangsat!" bentak Nyai Pamunti. 

Mata perempuan itu kontan terbelalak melihat 
seekor harimau besar berdiri tegak di dekat Danji 
dengan tatapan berkilat-kilat. 

Danji merasa bersyukur, karena si Belang muncul 
pada saat yang tepat. Memang sejak tadi harimau itu 
disuruh menunggu di balik rimbunnya semak, tanpa 
boleh bersuara. Dan Belang memang menuruti. Tetapi 
rupanya, penciumannya sangat tajam, la merasa, 
Danji adalah sahabat majikannya. Makanya binatang 
itu pun langsung keluar dan menyerang Nyai Pamunti 
yang sedang melayang untuk menghabisi nyawa 
Danji. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. 

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah peliharaan 
Wirayuda si Penguasa Harimau. Bagus! Di mana dia 
sekarang?!" bentak Wanita Burung Hantu. 

Si Belang ingin menyerang kembali. Tetapi Danji 
segera mendekatkan wajah ke telinga si Belang. 

"Tak ada gunanya melawan manusia terkutuk itu 
Belang! Lebih baik melarikan diri saja!" ujar Danji. 

Belang pun urung menyerang. Lalu tubuhnya 
merunduk dengan cepat. Dengan menahan rasa sakit 
di dada, Danji pun segera melompat ke atas 
punggung si Belang yang langsung berlari cepat. 

"Bangsat! Mau ke mana kau!" bentak Nyai Pamunti 
sambil mengibaskan tangannya, mengirimkan 
pukulan jarak jauh berkekuatan dahsyat. 

Wesss.J 

Tetapi si Belang memang hewan peliharaan 
tangguh dan mengerti. Serangan itu bisa dihindarinya 
dengan berlari secara melompat-lompat ke kanan 
dan kiri. 

Pukulan jarak jauh Nyai Pamunti pun luput, meng¬ 
hantam sebuah pohon besar. 

Blarrr.J 

Krak! 

Pohon itu langsung tumbang. 

"Manis! Ikuti mereka! Cari tahu, di mana mereka 
berada!" perintah Nyai Pamunti pada burung hantu 
peliharaannya. 




Malam kembali merebak. Begitulah hukum alam. 
Saat ini Eyang Sasongko Murti masih duduk terpekur. 
Sejak tadi, tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya. 
Matanya yang sipit dan tertutup rambut yang acak- 
acakan, memandang pada sosok Pendekar Slebor 
yang masih dalam keadaan pingsan. 

Meskipun Andika belum juga siuman, tetapi Eyang 
Sasongko Murti sudah merasa sedikit tenang. 
Karena, tanda silang di dada Andika sudah meng¬ 
hilang. Berarti, pengaruh dari pukulan 'Ikatan 
Mambang Kahyangan' telah berhasil dilumpuhkan. 
Meskipun, Eyang Sasongko Murti harus menguras 
tenaga dalam dan hawa murninya. Namun sekarang 
semua itu sudah berangsur-angsur kembali seperti 
semula berkat semadinya. 

Dan yang diam-diam dipikirkan laki-laki tua ini, 
jelas Siluman Hutan Waringin tidak akan mem¬ 
biarkannya bebas begitu saja. Pasti siluman itu akan 
mencarinya. 

Kini malam telah datang. Suasana di Hutan 
Ringgis tetap menyeramkan. Dan ketika Eyang 
Sasongko Murti tengah mengantuk, tiba-tiba telinga¬ 
nya menangkap erangan Andika. Pelan. 

"Oh! Kau sudah sembuh? Hei, bangun! Bangun! 
Jangan manja seperti itu!" ujar Eyang Sasongko Murti 
sambil mengguncang-guncang tubuh Andika. "Nakal! 
Bangun!" 

Perlahan-lahan erangan yang tadi terdengarnya 
pelan, kini semakin jelas. Disusul, goyangan kepala 
Andika yang lembut. Pemuda itu kini sudah 
merasakan rasa sakit kembali. Kepalanya pusing tak 
karuan. Sekujur tubuhnya bagaikan kehilangan 
tenaga. 

"Ayo, jangan manja! Keterlaluan sekali kau ini!" 
dengus Eyang Sasongko Murti lagi sambil meng¬ 
goyang-goyangkan tubuh Andika agak keras. 

Perlahan-lahan mata Pendekar Slebor membuka. 
Kesadarannya memang telah pulih. 

"Pelan-pelan! Sakit!" bentak Andika agak kesal. 

"Ha... ha... ha...!" 

Eyang Sasongko Murti hanya terbahak-bahak. 
Hatinya senang melihat pemuda yang gagah ini telah 
kembali sedia kala. 

"Bagus, bagus! Daya tahan tubuhmu memang 
hebat! Tidak perlu disangsikan lagi!" puji Eyang 
Sasongko Murti. 

Andika perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. 
Sementara kakinya masih berselonjor. Sekujur tubuh¬ 
nya masih terasa sangat lemah. Tetapi untuk mem¬ 
balas selorohan Eyang Sasongko Murti, ia masih 
sanggup melakukannya. 

"Hebat ya, hebat! Tetapi di mana raksasa mata 
satu yang jelek itu?!" kata Andika sambil memandang 
ke sekelilingnya. 

"Hei? Tidak tahukah kau, kita berada di mana? Ini 
di alam bebas, Andika! Alam bebas merdeka! Bukan 
Alam Sunyi yang mengerikan!" seru Eyang Sasongko 
Murti sambil bersorak-sorak tak ubahnya anak kecil. 

Kegembiraan Eyang Sasongko Murti pertama, 
karena sudah melihat Andika terbebas dari pukulan 
Siluman Hutan Waringin. Kegembiraan kedua, karena 
kembali menyadari telah berada di alam yang 
dirindukan selama seratus tahun. 

"Hmmm..., apakah kau tidak membedakan udara 
yang segar ini dengan udara dingin yang terdapat di 
Alam Sunyi?" tanya laki-laki tua aneh ini. 

Andika memonyongkan mulutnya. 

"Jangan sembarangan mengejek! Kau lihat sendiri 
hidungmu yang penyok kayak gitu! Pasti kau yang 
tidak bisa membedakan udara yang segar itu!" 
seloroh Andika sambil mendengus. "Kau iri ya, 
melihat hidungku yang mancung seperti ini?" 

"Ha... ha... ha...!" 

Eyang Sasongko Murti justru terbahak-bahak. "Aku 
menyukaimu, Andika," ujar Eyang Sasongko Murti. 

"Aku malah tidak! Gara-gara kau, aku terdampar di 
Alam Sunyi! Juga harus meninggalkan kewajibanku 
membela Kerajaan Pakuan Barat!" gerutu Andika. 

Dan kini Pendekar Slebor yakin kalau sudah tidak 
berada lagi di Alam Sunyi. Entah bagaimana Eyang 
Sasongko Murti membawanya keluar dari sana. 

"Jangan takut! Kita akan menyerang ke sana 
bersama-sama!" ujar Eyang Sasongko Murti masih 
terbahak-bahak. 

"Enaknya kau ngomong! Kesaktian Raja Akherat 
sulit ditandingi!" 

"Jangan meremehkan aku!" bentak Eyang 
Sasongko Murti, tiba-tiba. "Manusia setinggi apa pun 
ilmunya, tidak akan ada yang mampu menandingi 
kesaktianku!" 

"Sombong!" cibir Andika. 

"Kau akan melihat buktinya nanti! Akan kulumat 
orang yang berjuluk Raja Akherat itu!" tandas laki-laki 
tua aneh ini. 

"Jangan bisanya cuma ngomong!" sengat Andika 
lagi. 

Wajah Eyang Sasongko Murti mengkerut jengkel. 

"Lihat saja nanti!" 

"Aku lapar!" seru Andika tiba-tiba. 

"Nah! Mengapa kau tidak mencari?" 

"Enaknya.... Tubuhku masih lemah begini!" 

Eyang Sasongko Murti menggaruk-garuk rambut¬ 
nya yang semakin bertambah acak-acakan. 

"Kalau begitu, bersemadilah dulu. Aku akan segera 
mencari makanan!" 

Andika nyengir. "Itu lebih baik." 

"Hei! Kau mengakali aku yang lebih tua, ya?" 

"Sekali-sekali tidak apa-apa. Hitung-hitung kau 
sudah kubebaskan dari Alam Sunyi!" sahut Andika 
kalem. 

"Slompret!" Eyang Sasongko Murti bersungut- 
sungut. 

"He... he... he.... Orang yang sudah bau tanah 
memang suka ngomel!" seloroh Andika. 

k k k 

Seperti yang diperkirakan Tiroseta, akhirnya 
mereka pun meninggalkan Jurang Setan. Senapati ini 
menerangkan alasan, mengapa mereka harus pindah 
pada Prabu Adiwarman. Dan akhirnya penguasa 
Kerajaan Pakuan itu mau mengerti. Mungkin saja 
memang benar dugaan Tiroseta, kalau burung hantu 
itu adalah burung'mata-mata'. Entah milik siapa. 

Kini berbondong-bondong mereka keluar dari 
dasar Jurang Setan. Menurut Putri Permata Delima, 
barangkali saja Danji masih mengetahui tempat 
rahasia yang tersembunyi. Tetapi, alangkah terkejut¬ 
nya mereka ketika tidak melihat Danji. Juga si Belang. 

Sementara itu, Tunggal bergegas menghampiri 
bersama Riaka, begitu melihat rombongan itu muncul 
dari jalan rahasia Jurang Setan. 

"Tunggal! Ke mana pemuda yang bernama Danji?" 
tanya Tiroseta. 

"Maafkan aku, Kakang.... Dia bersikeras untuk 
melihat keadaan keraton," sahut Tunggal, penuh 
hormat. 

"Gusti.... Kau mengizinkannya?" desah Tiroseta, 
terkejut. 

"Sangat sulit menghalangi keinginannya, Kakang." 

Tiroseta menggeram jengkel. Seharusnya, dia 
memikirkan kemungkinan itu tadi. 

"Bersama siapa perginya?" tanya Tiroseta lagi. 

"Dengan harimau besar itu, Kakang." 

Tiroseta mendesah lagi. 

"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata senapati 
ini. Dalam hati dia hanya berharap, Danji dan si 
Belang mampu menjaga diri. "Kalau begitu..., kau dan 
Riaka... berjalan semakin ke timur. Kita harus pindah 
dari Jurang Setan ini. Karena menurut perkiraanku, 
akan lebih berbahaya bila masih berada di sini...." 

Tanpa banyak tanya lagi, Tunggal segera men¬ 
dahului bersama Riaka. Tetapi ada satu masalah lagi 
yang mendadak saja terjadi. 

"Aku ingin menunggu Kang Danji di sini!" kata Putri 
Permata Delima dengan suara cemas. 

"Tuan Putri..., keadaan sangat genting. Hamba 
yakin, burung hantu itu milik salah seorang kawan 
Raja Akherat. Kita bisa mati konyol bila terus menerus 
bertahan di sini," sergah Tiroseta. 

Tetapi Putri Permata Delima tetap menolak. 
Hatinya mendadak menjadi cemas akan nasib 
kekasihnya. 

Saat itulah diam-diam Prabu Adiwarman 
mengetahui, kalau putrinya mencintai Danji. Mungkin 
pula tanpa sepengetahuannya, mereka telah lama 
memadu kasih. 

Sedikit banyaknya Prabu Adiwarman menyesal, 
karena telah mengadakan sayembara 'Mungut Mantu' 
yang akhirnya berakibat munculnya Raja Akherat, 
sekaligus menguasai keraton. Yang lebih membuat¬ 
nya sedih, karena Putri Permata Delima tidak pernah 
ditanyakan pendapatnya tentang keputusan meng¬ 
adakan sayembara. 

Putri Permata Delima telah menunjukkan sikap 
tegar. Bila Danji selamat, Prabu Adiwarman akan 
menanyakan kebenaran dugaannya. Tetapi yang 
terpenting sekarang ini, putrinya harus dibujuk untuk 
pindah dari Jurang Setan. 

"Permata Delima..., keadaan kita semakin gawat. 
Ancaman demi ancaman tanpa disadari telah ber¬ 
kembang. Kita tidak bisa berdiam di sini terus 
menerus, Permata...," bujuk Prabu Adiwarman lembut 
sambil menatap putrinya. 

Putri Permata Delima menundukkan kepala. Gadis 
ini tak kuasa menatap mata ayahandanya. Dia 
khawatir hubungannya dengan Danji diketahui 
ayahnya, yang sudah tentu dapat melihat riak-riak 
kecemasan di matanya. 

Menurut perkiraan Putri Permata Delima, ayahnya 
akan marah besar bila mengetahui hubungannya 
dengan Danji. Terbukti, dengan diadakannya 
sayembara 'Mungut Mantu'. 

"Baiklah, Ayahanda.... Kita segera pindah dari 
sini...," desah Putri Permata Delima, perlahan. 

Prabu Adiwarman mendesah. Justru perasaannya 
terpukul mendengar kata-kata putrinya. 

"Permata.... Pasti Danji akan kembali kepadamu." 
hibur Prabu Adiwarman. 

Seketika Putri Permata Delima mengangkat 
kepala. Hatinya tersentak mendengar kata-kata 
ayahandanya. 

"Ayah...." 

"Percayalah.... Karena ia seorang pemuda yang 
gagah dan berani...," tegas Prabu Adiwarman, 
meyakinkan. 

Putri Permata Delima tidak berani memperbesar 
keyakinannya, kalau sedikit banyak ayahnya 
mengetahui hubungannya dengan Danji. Dari kata- 
katanya, dapat ditangkap kalau ayahnya merestui 
hubungannya dengan Danji. Tetapi, Putri Permata 
Delima tidak berani berharap banyak. 

"Baiklah, Ayahanda.... Aku menurut...," desah Putri 
Permata Delima. 

Kemudian rombongan itu pun melangkah 
meninggalkan Jurang Setan. Tiroseta melangkah 
sambil memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan 
waspada. Matanya mencari-cari burung hantu yang 
menurutnya 'mata-mata' Raja Akherat. Dan diam-diam 
keyakinannya terhadap saudara-saudaranya yang 
telah tewas semakin membesar saja. 

Sementara, Putri Permata Delima melangkah 
dengan kepala tertunduk. Hatinya sangat merisaukan 
nasib Danji. Ah! Bila saja rencana kekasihnya itu 
diketahui, sudah tentu ia tidak akan pernah 
mengizinkannya. 

k k k 

Memang, apa yang diduga Tiroseta sangat benar. 
Karena keesokah harinya, Nyai Pamunti dan 
Kokorongko berhasil menemukan Jurang Setan. 

"Hhh! Pasti Prabu Adiwarman berada di sini," 
desah Kokorongko sambil memandang ke bawah. Tak 
terlihat apa-apa, karena jurang itu sangat dalam. 

"Kau benar, si Manis tidak pernah salah. Tetapi, 
dari manakah mereka masuk dan keluar?" tanya Nyai 
Pamunti. 

"Tentunya ada jalan rahasia. Kita tidak usah 
mencarinya! Akan kita timbun dasar Jurang Setan ini 
dengan batu-batu besar... ha ha ha! Biar Prabu 
Adiwarman mampus di sana, beserta para pengikut 
setianya!" kata Kokorongko. 

Lalu mereka pun mulai sibuk menggeser batu-batu 
besar yang ada di sana, dan digulingkan ke dasar 
Jurang Setan. Sehingga menimbulkan suara cukup 
keras. Bahkan tanah yang dipijak terasa bergoncang. 

Sambil terbahak-bahak dan membayangkan 
betapa orang-orang yang berada di dasar Jurang 
Setan itu kalang kabut, mereka terus secara 
membabibuta mendorong batu-batu besar. 

Tiga puluh batu besar sudah masuk ke perut 
Jurang Setan. Kini, mereka menghentikan tindakan¬ 
nya. 

"Cukup! Aku yakin, mereka sudah menjadi daging 
cacah di sana!" ujar Kokorongko dengan suara puas. 

"Hhh! Apakah Pendekar Slebor juga berada 
disana?" tanya Nyai Pamunti. 

"Aku tidak tahu. Tetapi kalau memang berada di 
sana, namanya pun sudah tenggelam di antara 
puluhan batu yang kita lemparkan tadi." 

Nyai Pamunti terdiam sejenak. Kalau memang 
Pendekar Slebor yang namanya menghebohkan dunia 
persilatan memang berada di sana, alangkah 
mudahnya membunuh pendekar itu. Tetapi, apakah 
pendekar itu berada di sana? Nyai Pamunti masih 
meragukannya. 

"Pamunti, kenapa kau terdiam?" tegur Kokorongko. 
"Alangkah mudahnya membunuh pendekar itu. 
Padahal, aku ingin sekali menjajaki kesaktiannya!" 
sahut Nyai Pamunti. 

"Ha... ha... ha.... Dan kini niatmu terkubur sudah. 
Tetapi, kau harus bangga. Karena di tanganmu 
jugalah Pendekar Slebor mampus! Kita kembali ke 
keraton," ajak Kokorongko, akhirnya. 

"Yah! Aku sendiri ingin tahu laporan dari si Manis 
tentang pemuda yang menunggang harimau itu!" 




Rombongan Prabu Adiwarman yang dipimpin Tiroseta 
telah tiba di sebuah hutan yang sangat lebat. 
Memang, tak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan 
tempat hunian. Menurut Tiroseta sendiri, tempat itu 
sudah cukup aman. Paling tidak, bisa jauh dari orang- 
orang Raja Akherat. 

Mereka pun segera mendirikan tenda. Sementara 
persiapan darurat dilakukan secara mendadak dan 
cepat. Tiroseta mempersilakan Prabu Adiwarman dan 
Putri Permata Delima untuk beristirahat. Sementara 
dia sendiri berjaga-jaga. 

Sungguh, saat ini Tiroseta lebih ingin menyerang 
saja ke Keraton Pakuan. Bila menunggu yang lainnya 
saat ini belum kembali juga, Tiroseta yakin mereka 
sudah mati. Begitu pula dengan pasukan yang 
dipimpin Karnapati (Untuk mengetahui pasukan 
pertama Kerajaan Labuan yang dipimpin Karnapati, 
baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Raja 
Akherat"). 

Lagi-lagi yang dipikirkan Tiroseta adalah Monoseta 
dan Ardiseta. Mereka adalah dua orang saudaranya 
yang menyerang ke Keraton Pakuan. Apakah mereka 
selamat, berhasil menaklukkan Raja Akherat. Atau, 
malah hari itu menjadi kiamat untuk mereka? 

Tiroseta menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya 
juga merasa bingung dengan Pendekar Slebor. Telah 
lama dia mendengar nama Pendekar Slebor ramai 
dibicarakan orang banyak. Baik dari rimba persilatan, 
maupun orang awam. Tetapi sekarang, mengapa 
tidakjuga datang untuk memberi laporan? 

Sungguh, Tiroseta sangat sulit memperkirakan 
seala sesuatunya dalam keadaan seperti ini. Yang 
pasti sekarang, nyawa dan keselamatan Prabu 
Adiwarman dan Putri Permata Delima berada di 
tangannya. 

Dan malam pun semakin merayap perlahan-lahan. 
Suara nyanyian binatang malam mulai terdengar. 
Kesiagaan diperketat. Tiroseta berkali-kali memberi 
peringatan, agar seluruhnya bersiaga dalam 
kewaspadaan penuh. Karena besok pagi, mereka 
akan segera melanjutkan perjalanan kembali. Bahkan 
mungkin, dalam pikiran Tiroseta, akan membawa 
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima ke 
Kerajaan Labuan. Jelas bila keduanya berada di sana, 
keamanan dan keselamatan terjamin. Dan sebelum 
lamunan Tiroseta lenyap.... 

"Hi... hi... hi...!" 

"Ha... ha... ha...!" 

Mendadak saja terdengar suara tawa yang keras 
sekali. Menilik suaranya, jelas tawa laki-laki dan 
perempuan. 

Serentak Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 
Labuan bersiaga. Sementara prajurit Kerajaan 
Pakuan, berusaha melindungi Prabu Adiwarman dan 
Putri Permata Delima yang berada di tenda dengan 
tombak di tangan. 

Belum habis keterkejutan mereka, mendadak 
berkelebat dua sosok tubuh lalu hinggap di hadapan 
mereka. Keduanya adalah sepasang manusia ber¬ 
tampang mengerikan dengan tatapan mata licik yang 
kejam. 

"Hi... hi... hi...! Kau lihat sendiri, Kokorongko.... Aku 
tidak yakin kalau mereka masih berada di Jurang 
Setan yang telah kita timbun batu itu? Nah, buktinya 
kau lihat sendiri, bukan?" kata sosok wanita yang 
ternyata Nyai Pamunti. 

Rupanya Wanita Burung Hantu itu mempunyai otak 
cerdik. Meskipun mempercayai laporan dari burung 
hantu peliharaannya, namun tidak bisa percaya bila 
belum melihat buktinya. Memang, Jurang Setan telah 
ditemukan. Dan mereka telah menggulingkan batu- 
batu besar dalam jumlah yang sangat banyak. Tetapi 
Nyai Pamunti tidak puas. 

Ketika mereka hendak kembali ke Keraton 
Pakuan. Nyai Pamunti justru hendak kembali ke 
Jurang Setan. Meskipun bersungut-sungut, 
Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis menuruti 
saja. Dan mereka menemukan sebuah lubang yang 
tertindih batu besar. 

Dari sanalah mereka menuruni dasar Jurang 
Setan, melihat-lihat dan mengibaskan batu-batu 
besar yang digulingkan tadi. Namun tak satu mayat 
pun yang di temukan di sana. Berarti, dugaan Nyai 
Pamunti benar. Jelas, orang-orang itu sudah keluar 
dari sana. Berarti pula, apa yang dilakukan dengan 
mendorong batu-batu ke dasar Jurang Setan, adalah 
suatu kesia-siaan. 

Lalu, Nyai Pamunti pun mengajak Kokorongko 
untuk segera mencari saja rombongan. Hingga 
akhirnya mereka menemukan di sini. 

"Ha... ha... ha...!" 

"Tak kusangka kau mempunyai otak encer, 
Pamunti...," puji Dewa Muka Iblis sambil mem¬ 
perhatikan Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 
Labuan yang bersiaga. "Kalian manusia-manusia 
dungu! Cepat serahkan Prabu Adiwarman kepada 
kami!" 

Tiroseta menggeram gagah. Dugaannya tentang 
burung hantu benar. Dan mereka sudah sebisanya 
untuk meninggalkan tempat itu, meskipun akhirnya 
dapat di temukan juga. 

"Hhh! Semudah itukah kalian memintanya, hah?!" 
balas Tiroseta membentak. 

"Jangan menantang!" dengus Kokorongko. 

"Justru kami ingin mengatakan, langkahi dulu 
mayat kami. Baru kalian boleh melakukan 
sekehendak hatimu!" seru Tiroseta dengan suara 
yang semakin gagah. Dadanya dibusungkan. Golok 
besar yang tersampir di pinggang telah dicabutnya. 

"Orang bodoh! Mau cari mampus rupanya!" seru 
Kokorongko. 

Mendadak saja Dewa Muka Iblis menerjang 
Tiroseta dengan tangan siap mencekik leher., 

Tiroseta yang sudah bersiaga penuh, sudah tentu 
tidak menginginkan lehernya menjadi sasaran. Maka 
segera goloknya dikibaskan untuk menghalau 
serangan Kokorongko. 

Namun di luar dugaan, tangan Kokorongko mampu 
bergerak lebih cepat lagi. Dengan bantuan gerak 
tubuhnya, tangannya memutar bagai membentuk 
segitiga. Lalu disentaknya sedikit tangan Tiroseta 
dengan jari telunjuk. 

Plak! 

Kembali tangan Dewa Muka Iblis mengarah pada 
leher Tiroseta. 

Tetapi Tiroseta pun sudah memperhitungkannya. 
Dengan lincah kepalanya diputar dengan tubuh 
sedikit condong keluar. Lalu goloknya ditusukkan dari 
bagianbawah ke atas. 

Gerakan yang dilakukan dengan cepat dan tak 
disangka, membuat Kokorongko harus mendengus. 

"Pantas kau berani bertingkah begitu, hah?!" 

"Karena aku akan membunuhmu, Manusia Busuk!" 
desis Tiroseta sambil mendahului menyerang. 

Kali ini senapati itu ingin menyerang lebih dulu. 
Dicobanya menekan dengan beberapa gebrakan yang 
mampu membuat lawannya menjadi keder. Tetapi 
yang dihadapi bukanlah anak bawang, melainkan 
seorang tokoh yang cukup disegani karena 
kekejamannya. 

Sementara itu, sepuluh prajurit Kerajaan Labuan 
segera menyerang Nyai Pamunti yang hanya 
terkekeh-kekeh saja, menyambut serbuan tombak- 
tombak tajam dari berbagai penjuru. 

"Bagus, bagus! Kini kalian harus mampus 
semuanya!" 

Mendadak saja tubuh Wanita Burung Hantu ber¬ 
gerak bagaikan terbang. Kedua tangannya mengibas, 
bagaikan seekor burung hantu yang sedang marah. 

Dan.... 

Prak! Brak! Crrott! 

"Aaa.J" 

Tiga prajurit Kerajaan Labuan menjerit menyayat 
dengan tubuh terhuyung. Kepala mereka pecah, 
menyemburkan darah. 

Sedangkan Tiroseta terus berusaha mendesak 
Kokorongko dengan gencar. Serangan-serangan 
goloknya sangat berbahaya. 

Kokorongko untuk sesaat memang kehilangan 
kendali. Namun lewat lima jurus berikut, ganti dia 
yang menguasai serangan-serangan. 

"Cukup sudah pertunjukan yang kau perlihatkan." 
desis Kokorongko. 

Tiba-tiba tubuh laki-laki berjuluk Dewa Muka Iblis 
itu merunduk. Kakinya bergeser ke belakang dengan 
tangan membuka bagaikan melentur. Itu jurus, 'Pukul 
Kupu-kupu' miliknya. Gerakannya bisa nampak pelan 
namun sangat berbahaya hasil pukulannya. 

Tiroseta pun dapat membaca kehebatan jurus itu. 
Hanya saja yang membuatnya sulit, gerakan 
Kokorongko benar-benar melentur. Sehingga susah 
dipastikan ke arah mana yang akan diserang. 

Maka dengan sebisanya Tiroseta menggerak- 
gerakan goloknya bila serangan Kokorongko dilepas¬ 
kan. Hanya saja, tenaganya menjadi lebih banyak 
yang terbuang percuma. Karena, senapati ini harus 
mengikuti arah gerak tangan Dewa Muka Iblis yang 
belum tentu menyerang. 

"Keparat! Jurus apa yang kau pakai itu, hah?!" 
bentak Tiroseta sengit. 

Kokorongko terkekeh-kekeh. 

"Kau akan mengetahuinya kalau sudah.mampus!" 

Saat ini, Tiroseta mendesah pendek. Dia berpikir, 
bila saja di sini ada Monoseta dan Ardiseta, maka 
sudah tentu akan bisa membentuk gabungan jurus 
'Tiga Mata Golok Menguasai Angin'! Sayangnya, 
keduanya tidak berada di sana. Sehingga bila jurus itu 
dikeluarkan hanya merupakan satu gerak yang 
sangat mudah untuk dilumpuhkan. 

Sedangkan Nyai Pamunti sudah memukul roboh 
sepuluh prajurit Kerajaan Labuan yang menghalangi 
niatnya untuk membawa Prabu Adiwarman. 

Lalu perempuan tua itu pun melangkah ke arah 
sebuah tenda yang dijaga enam orang prajurit 
Kerajaan Pakuan. Matanya sempat melirik per¬ 
tarungan antara Kokorongko dengan prajurit berbaju 
hitam yang menggunakan golok besar. 

Dengan sigap keenam orang prajurit Kerajaan 
Pakuan, mengelilinginya sambil menjaga pintu masuk 
ke tenda. Nyai Pamunti melihat dua sosok tubuh 
berada di sana dalam keadaan berpelukan. Dia yakin, 
mereka adalah Prabu Adiwarman dan Putri Permata 
Delima. 

"Kalian manusia-manusia tengik! Minggir! Atau 
kalian akan mampus, heh?!" 

"Wanita tua busuk! Kau seharusnya sadar, kalau 
nyawamu sudah di ambang pintu!" 

"Bangsat!" 

Mendadak saja Nyai Pamunti berkelebat begitu 
cepatnya sambil mengibaskan tangannya. 

Prak! Prak! 

"Aaa.J" 

"Aaakh.J" 

Dan seketika itu pula, tiga sosok tubuh berpental 
dengan kepala pecah. 

Tetapi tiga orang sisa prajurit bukanlah bertambah 
jeri. Malah mereka semakin bernafsu untuk mem¬ 
bunuh Nyai Pamunti. Sayang, mereka pun tak kuasa 
menahan kekejaman Wanita Burung Hantu. Karena 
hanya sekali gebrak saja, ketiganya pun segera 
menyusul yang lain akherat. 

Nyai Pamunti terkekeh-kekeh. "Prabu Adiwarman 
dan Putri Permata Delima..., ayo keluar! Kita akan 
kembali ke keraton!" ujar perempuan tua itu dengan 
suara merayu. 

Tak ada sahutan. 

Nyai Pamunti atau si Wanita Burung Hantu masih 
terus membujuk. Tetapi lagi-lagi tetap tidak ada 
sahutan. Sehingga, membuatnya menjadi geram. 

"Kalau tidak keluar juga, akan kuseret kalian!" 
desis perempuan tua ini garang. 

Tetapi, tetap tak ada sahutan. 

Dengan kasar dan penuh amarah Nyai Pamunti 
melesat seraya menyingkap pintu tenda. 

"Uts!" 

Dan mendadak saja tubuh perempuan tua itu 
melompat ke belakang, ketika dua buah tombak siap 
menghujam perutnya. Lalu, muncullah dua prajurit 
Kerajaan Pakuan yang membuat Nyai Pamunti makin 
geram. Karena, yang berada di dalam tenda sejak 
tadi bukan Prabu Adiwarman dan Putri Permata 
Delima. Tapi, kedua prajurit itu. 

Amarah Nyai Pamunti semakin membludak, 
karena merasa dipermainkan. Tentunya Prabu 
Adiwarman dan Putri Permata Delima sudah 
melarikan diri entah ke mana. 

Sebagai sasaran amarahnya, Wanita Burung Hantu 
ini segera berkelebat, langsung menghajar. Walau 
kedua prajurit itu melawan, namun lagi-lagi bukanlah 
lawan Nyai Pamunti. 

Prak! Prak! 

"AaaJ Aaakh.J" 

Dengan sekali gebrak saja, tombak di tangan 
kedua prajurit itu patah. Dan ketika tangan Wanita 
Burung Hantu mengibas, kepala mereka kontan 
pecah. Kedua prajurit itu ambruk di tanah bersimbah 
darah. Mati. 

Setelah menatap mayat-mayat prajurit itu, Nyai 
Pamunti kembali pada Kokorongko yang sedang 
mendesak Tiroseta. Perempuan tua itu khawatir kalau 
Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima semakin 
jauh larikan diri. 

Mendadak saja Wanita Burung Hantu 
mengibaskan tangan kanan ke arah Tiroseta. 

Weeebbb! 

Meskipun sedang menghadapi serangan dari 
Kokorongko, Tiroseta dapat merasakan hawa panas 


dan kencang menderu ke arahnya. Dengan sigap 
tubuhnya melenting ke samping. Sehingga serangan 
Nyai Pamunti pun luput. 

"Monyet!" maki Nyai Pamunti marah. Kali ini 
perempuan tua itu mengempos tubuhnya ke arah 
Tiroseta. Bersamaan dengan itu, Kokorongko pun 
menyerang dari arah yang berlawanan. 

Bukan main gugupnya Tiroseta. Sebisanya tubuh¬ 
nya berguling ke sana kemari menghindari kedua 
serangan yang sama-sama dahsyat! Namun 
kelincahannya pun tak bisa dipertahankan lebih lama. 
Begitu dia bangkit berdiri, Nyai Pamunti sudah 
meluruk deras dengan sambaran kakinya. Dan.... 
Des! 

"Aaakh.J" 

Tubuh Tiroseta terpelanting ke belakang dan 
terguling-guling. Bersamaan dengan itu, Kokorongko 
telah meluncur melepaskan satu injakan. Demikian 
pula Nyai Pamunti. 

Ketika Tiroseta sudah merasa pasrah, dengan 
gerak bawah sadar tangannya menjumput tanah 
berpasir. Begitu kedua tokoh sesat itu dekat, Tiroseta 
melempar tangan berpasir. 

Pyurrr.J 

"Heh?!" 

Nyai Pamunti dan Kokorongko terkejut setengah 
mati. Dengan kelabakan mereka mengibaskan kedua 
tangan sambil melenting ke belakang. 

Mendapat kesempatan, Tiroseta segera mem¬ 
pergunakannya. Sambil menahan rasa sakit laki-laki 
ini segera melarikan diri. 

"Bangsat!" geram Nyai Pamunti, setelah berhasil 
membebaskan diri dari tanah yang dilemparkan 
Tiroseta. Hatinya semakin geram tidak melihat 
Tiroseta! 

Tetapi Kokorongko tidak lagi tertarik dengan 
Tiroseta. 

"Di mana Prabu Adiwarman dan Putri Permata 
Delima?" tanya Dewa Muka Iblis. 

"Aku ditipu permainan anak kecil yang dilakukan 
para prajurit itu! Keduanya sudah melarikan diri." 
desis Nyai Pamunti. 

"Bodoh! Ke mana larinya?" bentak Kokorongko. 
"Aku tidak tahu!" 

"Cepat cari mereka, sebelum menjauh!" 

Mereka lantas berkelebat cepat. 




Pagi kembali menjelang. Tidak seperti pagi-pagi yang 
lalu, kali ini suasana begitu kelabu. Sinar mentari 
menyapu lembut, menerpa empat sosok di halaman 
Keraton Pakuan. 

Keempat orang yang berdiri gagah itu tak lain dari 
Ki Wirayuda, Ki Pangsawada, Nyai Selastri, dan 
Permadi. Sikap keempat tokoh persilatan ini tampak 
waspada dengan sinar mata menahan kebencian. 
Terutama, yang diperlihatkan Permadi, karena guru¬ 
nya menjadi korban keganasan Raja Akherat. 

"Raja Akherat! Keluar kau! Hadapi kami. Dan 
nyawamu akan melayang hari ini juga!" teriak Permadi 
yang sudah tidak sanggup menahan dendamnya lagi. 

Angin berhembus, menebarkan hawa kematian. 
Sejauh ini tak ada sahutan apa-apa. 

"Manusia keparat! Kau harus membayar nyawa 
guruku dengan nyawa setanmu itu!" teriak Permadi 
lagi. 

Baru saja gema suara Permadi hilang... 

"Ha... ha... ha...!" 

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras sekali. 
"Kiranya ada tamu yang tak diundang?! Tetapi 
sebagai tuan rumah, sudah selayaknyalah aku 
menyambut kedatangan kalian...," lanjut suara itu, 
yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. 

Kini tahu-tahu di hadapan mereka kira-kira tiga 
tombak jaraknya, telah berdiri sosok tinggi besar, 
dengan wajah sedikit menyeramkan. Siapa lagi kalau 
bukan Raja Akherat. 

Mata tokoh sesat ini menyapu keempat tamu yang 
sejenak tertegun menyaksikan kemunculannya yang 
luar biasa itu. 

"Kiranya..., para tokoh persilatan sudah datang 
kesini. Ah! Sayang sekali..., kalian datang terlalu 
cepat. Padahal, aku baru saja hendak mengumum¬ 
kan, kalau aku akan menjadi nomor satu di rimba 
persilatan ini.... Ha... ha... ha.... Kalian terlalu baik. 
Yah..., dengan bantuan kalianlah aku akan menjulang 
tinggi di antara barisan puncak!" kata Raja Akherat, 
sombong. 

Wajah keempat tokoh persilatan golongan putih ini 
seketika merah padam mendengar kata-kata Raja 
Akherat itu. Namun Ki Pangsawada lebih bisa 
mengendalikan amarahnya. 

"Hmmm..., Tidar! Lebih baik tinggalkan Keraton 
Pakuan. Kembalilah ke asalmu. Jangan sampai kau 
luluh lantak dihajar para tokoh dunia persilatan...," 
desis Ki Pangsawada, alias Imam Arif Penguasa 
Gunung Bontang. 

Raja Akherat terbahak-bahak. Padahal hatinya 
geram bukan main. Pertama, namanya sendiri sudah 
berusaha dilupakan. Tetapi barusan kembali disebut 
Ki Pangsawada. Kedua, alangkah enaknya menyuruh¬ 
nya pergi dari sini. 

"Ha... ha... ha...!" 

Raja Akherat tertawa terbahak-bahak, sampai- 
sampai perutnya berguncang. 

"Ki Pangsawada...! Namamu sebagai Imam Arif 
Penguasa Gunung Bontang telah lama sekali 
kudengar. Sehingga, telingaku pun menjadi gatal. Kini 
kau telah menghadap ke sini. Dan..., kalangan sudah 
terbuka. Mengapa tidak segera dimulai saja?" tantang 
Raja Akherat dengan suara merendahkan. 

Justru Permadi yang tidak bisa menahan diri. Sejak 
pertama melihat Raja Akherat, dendamnya sudah 
sampai di ubun-ubun. Kematian gurunya harus 
dibalas. Akan dicabik-cabiknya Raja Akherat dengan 
keris pusaka pemberian Ki Kelana. Maka seketika 
kedua tangannya menghentak. 

"Hih.J" 

Wesss.J 

Angin yang meluruk kencang mudah sekali ditepis 
Raja Akherat dengan mengebutkan tangannya. Lalu 
tubuh tokoh sesat ini bergeser, ketika Permadi 
meluruk disertai sambaran tangan kiri yang cepat. 

"Ha... ha... ha.... Anak Muda! Aku menyukaimu... 
Cuma sayang, nyawamu hanya bertahan sampai hari 
ini saja...." 

Mendadak saja Raja Akherat mengembangkan ke 
dua tangannya, lalu membukanya bagai seekor 
burung merentangkan sayap. 

Werrr.J 

Serangkum angin kencang meluruk dari tangan 
Raja Akherat. Dada Permadi bergetar, begitu tiba 
terasa angin dingin menyusup hingga ke tulangnya. 
Dan hal itu pun membuatnya sadar, kalau lawan 
tengah menggunakan ilmu dahsyat. Tetapi sebagai 
murid tunggal Ki Kelana, Permadi sudah tentu tidak 
akan ciut nyalinya. 

Dengan membulatkan tekad, Permadi meng- 
emposkan semangatnya. Lalu tubuhnya meluruk 
deras sambil mencabut keris yang terselip di 
pinggang bagian belakang. 

"Kau harus mampus, Raja Keparat!" bentak 
Permadi. 

Seketika pemuda itu mengibaskan kerisnya 
dengan gerakan cepat dan mengarah pada bagian- 
bagian berbahaya. 

Tetapi Raja Akherat yang memang ilmunya jauh 
lebih tinggi, dengan mudahnya menghindari seluruh 
serangan. Bahkan tiba-tiba tangan kanannya diangkat 
ke atas. Lalu.... 

Wesss.J 

Mendadak saja melesat serangkum angin kencang 
yang tak dapat dielakkan Permadi. 

Des! 

"Aaakh.J" 

Permadi terpekik ketika serangkum angin 
menghamtam dadanya. Tubuhnya kontan terpental 
sejauh beberapa tombak. 

Ki Pangsawada melompat dengan sigap, menahan 
tubuh Permadi yang hendak mencium tanah. Lalu 
dibimbingnya pemuda itu dan didudukkannya. 

"Anak Permadi..., beristirahatlah...," ujar si Imam 
Arif Penguasa Gunung Bontang. 

Sementara itu Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Rupanya, anak muda itu hanya hendak dijadikan 
tumbal belaka? Mengapa kalian tidak segera angkat 
senjata untuk menghadapiku, hah?!" ejek Raja 
Akherat. 

Sedangkan si Naga Gunung sudah membuka 
jurusnya. Wajahnya geram sekali melihat perbuatan 
Raja Akherat pada Permadi. 

"Jangan berpikir kau akan lebih lama menikmati 
hidup ini, Raja Bongsor! Kini kau akan merasakan 
kehebatan Nyai Selastri, si Naga Gunung!" desis 
perempuan tua itu. 

"Ha... ha... ha...! Silakan, silakan...," tantang Raja 
Akherat. 

Begitu mendengar kata-kata Raja Akherat itu, Nyai 
Selastri yang berjuluk si Naga Gunung segera meluruk 
tangan kosong yang dashyat. Setiap kali tangannya 
bergerak, menimbulkan getaran hebat. 

Wrrr! Zheb! 

Sejenak Raja Akherat terkejut juga melihatnya. 
Namun perasaan itu cepat ditekannya. 

"Hebat! Hanya sayang, kau tak akan lama lagi 
dapat hidup di muka bumi ini!" leceh Raja Akherat. 

"Takabur!" bentak si Naga Gunung. 

"Akan kubuktikan!" 

Begitu habis kata-katanya, mendadak Raja Akherat 
menyerang ganas, mengandung kekuatan tenaga 
dalam sangat tinggi. Bahkan udara mendadak 
berubah jadi berbau amis. 

Sadarlah Nyai Selastri, kalau pukulan Raja Akherat 
mengandung racun berbahaya. Namun si Naga 
Gunung yang sudah malang melintang di dunia 
persilatan ini, bukanlah anak kemarin sore. Serangan- 
serangan keji Raja Akherat dapat dihindarinya dengan 
membuat gerakan-gerakan berputar pada tubuhnya. 
Bahkan begitu mendapat kesempatan diimbanginya 
serangan itu dengan tak kalah hebat. 

Zebbb! Weeeiit! 

Pertarungan dua tokoh itu terus berlangsung 
sengit. Si Naga Gunung sudah mempergunakan jurus 
andalannya, 'Naga Membalikkan Gunung'. Sebuah 
jurus serangan yang sangat dahsyat, mengandalkan 
kecepatan tangan dan kaki. 

Bila tangan si Naga Gunung bergerak, maka 
tenaga yang luar biasa akan keluar bagaikan 
terjangan badai dahsyat. Sementara kedua kakinya, 
seolah-olah berubah menjadi ekor naga besar yang 
sedang mengamuk dengan kekuatan penuh dan 
tinggi. 

Raja Akherat lagi-lagi terkejut melihat serangan 
Nyai Selastri. 

"Tidak sia-sia kau berjuluk si Naga Gunung! Tetapi, 
sayang! Hari ini nama besar si Naga Gunung akan 
terpuruk ketindih gunungnya sendiri! Hiaaa.J" 

Mendadak saja Raja Akherat membuka kedua 
tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian 
kedua tangan itu menggebrak dari bawah ke atas. 
Sementara si Naga Gunung yang tidak pernah 
mengenal takut terus menyerang dengan cepat. 

Wuuutt! Zeebbb! 

Pada saat demikian, mendadak saja Raja Akherat 
mengibaskan tangan, untuk memapaki. Plak! Plak! 

Dua kali benturan berisi tenaga dalam tinggi 
terjadi. Tampak si Naga Gunung terhuyung ke 
belakang. Kedua tangannya terasa seakan mau 
patah. Dengan cepat tenaga dalamnya dialirkan 
untuk memulihkan rasa sakitnya. 

Sementara Raja Akherat hanya terbahak-bahak. 
Kelihatannya dia tak kurang suatu apa. 

"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan tadi, nama si 
Naga Gunung akan tersungkur hari ini!" ejek Raja 
Akherat. 

"Keparat sombong!" 

Dengan gagahnya si Naga Gunung kembali 
menerjang. Maka pertarungan sengit pun terjadi 
kembali. Keduanya mencoba mencari kelemahan 
satu sama lain dan mencoba memasukkan serangan 
yang mematikan. Sementara Ki Pangsawada dan Ki 
Wirayuda hanya memperhatikan saja. Diam-diam Ki 
Pangsawada dapat melihat, jurus-jurus yang 
dipergunakan Raja Akherat jelas sangat berbahaya. 
Dan ia pun menebak, dalam lima jurus berikutnya, si 
Naga Gunung tidak akan mampu bertahan. 

"Hiaaat...!" 


Ki Pangsawada pun segera menerjunkan diri 
dalam kancah pertarungan. 

"Bukan aku tidak jantan. Tetapi..., orang seperti mu 
memang sudah selayaknya untuk mampus!" teriak Ki 
Pangsawada. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa tidak sekalian saja 
dengan si Penguasa Harimau?!" ejek Raja Akherat 
pada Ki Wirayuda yang tegak berdiri. "Ayo, masuk 
dalam pertarungan ini. Biar kalian cepat mampus!" 

Wajah Ki Wirayuda memerah mendengar kata-kata 
sombong Raja Akherat. Maka laki-laki tua ini segera 
mengempos tubuhnya ke arah Raja Akherat. Namun 
baru beberapa tindak bergerak.... 

Wesss.J 

Mendadak terdengar desir angin kencang ke arah 
Ki Wirayuda. Bergegas, laki-laki tua ini menghindar 
dengan membuang tubuhnya. 

"Anomdoro!" serunya ketika sudah melenting 
bangkit. 

Sementara si penyerang yang tak lain Anomdoro 
tampak terbahak-bahak. Sejak tadi, laki-laki ini 
memang tidak diizinkan Raja Akherat untuk 
membantu. Dan hanya memperhatikannya saja. 
Hanya saja keningnya pun berkerut. Matanya berkilat- 
kilat ketika melihat Wirayuda. 

Memang, antara Anomdoro dan Ki Wirayuda 
merupakan musuh bebuyutan. Dulu, mereka terus 
menerus bertarung, untuk memperebutkan seorang 
wanita bernama Nimas Sutari. Dan kemenangan 
berpihak pada Wirayuda, hingga dapat mem- 
persunting Nimas Sutari. Sementara tinggallah 
Anomdoro dengan dendam yang sampai sekarang 
masih sangat sulit dihapuskan! 

Maka ketika melihat Ki Wirayuda hendak 
menyerang Raja Akherat, dendam Anomdoro bangkit 
kembali. Seketika itu pula tubuhnya melesat seraya 
mengirimkan serangan. 

"Tak kusangka..., delapan belas tahun kita tidak 
pernah bertemu. Akhirnya bertemu di sini." kata 
Anomdoro dengan tatapan ganas. "Wirayuda..., kini 
kau akan mampus!" 

Ki Wirayuda yang sebenarnya sangat yakin kalau 
Anomdoro mendendam padanya. Maka segera 
dilayaninya serangan-serangan ganas yang mengan¬ 
dung racun milik Anomdoro. 

k k k 

"Yang benar kau, Eyang?" kata Andika terbelalak 
kaget ketika Eyang Sasongko Murti menuturkan 
sesuatu yang membuatnya terkejut. 

Mereka kini sedang berada di tepi sungai dalam 
perjalanan menuju Keraton Pakuan. Suara gemuruh 
air sungai itu menderu-deru. Mereka baru saja selesai 
mencuci muka, ketika Eyang Sasongko Murti 
mengemukakan pikirannya. 

Eyang Sasongko Murti menganggukkan kepala. 
Matanya menatap air sungai yang mengalir cepat. 

"Firasatku mengatakan demikian, Andika. Siluman 
Hutan Waringin kini telah berada di alam nyata ini. 
Dan yang mengkhawatirkan..., bila dia akan menitis 
pada Raja Akherat. Berarti, akan sulit sekali bagi kita 
untuk memusnahkannya," papar laki-laki tua aneh ini 
dengan mata menerawang memikirkan kemungkinan 
itu. 

"Bukannya bagi kau?" kata Andika, membetulkan 
sambil nyengir. 

"Maksudmu?" tanya Eyang Sasongko Murti, 
dengan kening berkerut. 

Andika tertawa. "Bukankah kau mengatakan 
sanggup untuk menundukkannya? Nah, mengapa kau 
katakan tadi itu untuk kita? He... he... he.... Tidak, ya!! 
Itu urusanmu, Eyang." 

"Iya! Tetapi saat itu, ilmu batin yang diajarkan 
negeri siluman belum bergetar di dadaku. Hingga aku 
belum tahu kalau Siluman Hutan Waringin akan 
menitis. Sekarang, ilmu batin negeri siluman itu 
sudah bergetar memberikan tanda akan kemunculan 
Siluman Hutan Waringin," tegas Eyang Sasongko 
Murti. 

"Mengapa kau begitu yakin kalau ia akan menitis 
pada Raja Akherat, Eyang?" tanya Andika yang tidak 
ingin meneruskan candanya lagi. 

"Karena ia tahu, saat ini Raja Akherat-lah yang 
menjadi lawanmu," jawab Eyang Sasongko Murti, 
sungguh-sungguh. 

"Gila! Kenapa aku yang jadi kena getahnya?" 
rungut Andika terbelalak dan mangkel. 

"Karena kaulah yang menjadi 'penerang' bagiku 
untuk melarikan diri dari Alam Sunyi." 

Andika bersungut-sungut. "Ini salahmu! Seharus¬ 
nya kau yang bertanggungjawab! Bukan aku! Kenapa 
sih, kau justru menyesatkan aku dulu? Padahal 
begitu banyak tugasku yang harus diselesaikan? Kau 
tahu, Eyang. Aku merasa berdosa pada orang-orang 
Kerajaan Pakuan. Aku tidak tahu apa yang harus 
kuperbuat nanti, bila kuketahui semuanya sudah 
menjadi mayat!" 

"Jangan menyalahkan aku!' bentak Eyang 
Sasongko Murti. 

"Lalu, siapa lagi yang harus disalahkan, hah?! 
Siapa lagi?" seru Andika jengkel. 

"Tetapi sekarang kita berdua yang harus 
memusnahkan Raja Akherat! Aku melawan Siluman 
Hutan Waringin, kau menghadapi Raja Akherat!" 

"Enaknya ngomong! Makanya, jangan dulu 
sesumbar seperti yang kau lakukan di Hutan Ringgis! 
Toh buktinya, kali malah kebingungan sekarang ini, 
kan?" cecar Andika. Dan.... 

Plak! 

Kening Pendekar Slebor digaplok Eyang Sasongko 
Murti yang kelihatannya gemas sekali. 

"Kupikir kau ini cerdik. Tidak tahunya bodoh! 
Pokoknya sekarang, kita harus cepat sampai di 
Keraton Pakuan, lalu membunuh manusia kejam itu 
sebelum sempat dititisi Siluman Hutan Waringin!" ujar 
Eyang Sasongko Murti. 

"Begitu juga boleh! Tetapi, aku tidak tahu jalan 
mana lagi yang harus kutempuh menuju Keraton 
Kerajaan Pakuan Barat," kata Andika akhirnya. 

Pendekar Slebor hanya berharap, agar tidak terjadi 
sesuatu yang mengerikan pada Prabu Adiwarman dan 
Putri Permata Delima. 

"Begitu pula denganku! Ala..., sudahlah! Kita 
merobos jalan mana saja!" 

"Kau juga sih, Eyang! Mengapa kau harus mencari 
jalan yangjauh sekali, ketika melarikan diri dari Alam 
Sunyi! Seharusnya ketika kita nongol di alam nyata ini 
aku telah berada di samping Keraton Pakuan!" 

"Enaknya ngomong! Kalau tidak tergesa-gesa 
untuk membawamu yang pingsan itu, mungkin aku 
masih bisa berpikir! Masihuntung kita selamat, 
daripada menjadi sasaran empuk Siluman Hutan 
Waringin! Kau juga memang bodoh! Sudah kubilang 
jangan bergerak, malah nekat! Bukan hanya ber¬ 
gerak, malah justru menyerang Siluman Hutan 
Waringin! Dasar otak udang!" 

"Habisnya, kulihat kau akan mampus diinjaknya." 
kilah Andika. 

"Itu siasat! Menghadapi siluman itu bukan 
menggunakan tenaga kasar! Tak ada hasilnya! Malah 
tenagamu yang akan terkuras perlahan-lahan 
diperasnya." 

"Jadi ketika kau roboh dan kedua kaki Siluman 
Setan Waringin siap menginjakmu, kau berpura-pura 
kalah?" tanya Pendekar Slebor. 

"Tolol! Aku sedang menghimpun tenaga halusku!" 

Tak ada yang bersuara lagi. Masing-masing 
terdiam dicekam pikiran yang datang membabi-buta. 

"Kita lari sekarang, Eyang!" kata Andika. 

"Baik! Aku juga ingin melihat ilmu lari Pendekar 
Lembah Kutukan yang kini dijuluki Pendekar Slebor. 
Ha... ha... ha... ha! Bor, Bor! Kau bisa apa melawan 
aku, hah?!" 

Andika menjadi ngotot. Saat itu juga, mereka lari 
n yang terjadi di halaman Keraton Keraton 
Pakuan Barat semakin seru dan menegangkan. Ki 
Pangsawada bersama Nyai Selastri berusaha sekuat 
tenaga memukul mundur Raja Akherat. Namun laki- 
laki yang codet di pipi kirinya itu benar-benar memiliki 
kesaktian tinggi. Buktinya desakan yang dilakukan 
Imam Arif Penguasa Gunung Bontang dan si Naga 
Gunung dianggap sepi saja. 

Malah kemudian, Raja Akherat yang menguasai 
jaannya pertarungan sambil tertawa terbahak-bahak. 

"Mengapa kalian tidak memilih mampus saja 
dengan jalan bunuh diri?" leceh Raja Akherat. 

Ki Pangsawada menggeram dalam hati, meskipun 
diakui kesaktian laki-laki itu begitu tinggi. Namun hal 
itu semakin membuat Ki Pangsawada hendak 
bertekad untuk mengadu jiwa. Karena bila sampai 
Raja Akherat menguasai dunia persilatan, sudah bisa 
dipastikan segala sesuatunya akan hancur perlahan- 
lahan di bawah kekuasaannya. 

Mendadak saja Ki Pangsawada memutar tubuhnya 
ke belakang, hingga jubahnya berkibar. 

"Raja Akherat...! Kuakui kau memiliki kepandaian 
sangat tinggi! Hanya saja, aku tidak akan pernah 
mundur sebelum melihatmu berkalang tanah!" desis 
laki-laki berjuluk Imam Arif Penguasa Gunung 
Bontang. 

Raja Akherat terbahak-bahak. Sementara si Naga 
Gunung sedang mengatur napasnya. Dua kali 
tubuhnya terkena hantaman keras Raja Akherat. 


"Aku suka sekali mendengar kata-katamu itu, Ki! 
Hanya sayang, kau terlalu memandang rendah!" 

Ki Pangsawada menghela napas pendek. Lalu 
diam-diam mulutnya merapal ajian 'Tempur Nyawa', 
yang sangat dahsyat dan jarang sekali dipergunakan 
bila tidak terdesak. Namun sekarang, laki-laki tua itu 
berpikir kalau keadaan sudah benar-benar men¬ 
desak. 

Memang tidak ada jalan lain. Ajian 'Tempur Nyawa' 
akan segera dipergunakan Ki Pangsawada. Men¬ 
dadak saja kedua tangannya bergerak ke muka, 
membuat putaran dua kali dengan tubuh condong 
keluar. Dan seketika tangannya mengibas ke depan 
bersamaan hembusan napas perlahan-lahan. 

Si Naga Gunung tahu kalau Ki Pangsawada sedang 
mengerahkan ajian Tempur Nyawa'. Dan diam-diam 
pun dia merapal ajian 'Kemarau Tiga Musim'. Sebuah 
ajian yang sangat dahsyat sekali, sehingga mampu 
membuat lawan akan menderita kepanasan yang 
teramat sangat. 

Dan begitu melihat Ki Pangsawada sudah 
mengeluarkan jurus pamungkasnya, si Naga Gunung 
pun berbuat sama. 

Sedangkan Raja Akherat hanya terbahak-bahak 
saja. 

"Ha... ha... ha...! Mengapa kalian berdiam diri 
seperti itu, hah?!" ejek laki-laki kekar ini. "Apakah kini 
kalian menyadari kalau lebih baik bunuh diri saja, dan 
mengakui kalau si Raja Akherat adalah orang nomor 
satu di rimba persilatan?!" 

Ki Pangsawada merandek pendek. 

"Kau terlalu banyak sesumbar, Raja Akherat! 
Sejengkal pun aku tidak akan mundur. Bahkan tak 
pernah merelakan kau menjadi orang nomor satu di 
rimba persilatan ini." 

Mendengar kata-kata itu, Raja Akherat hanya 
terhahak-bahak saja seolah merasa lucu men¬ 
dengarnya. Dan mendadak saja jurusnya yang 
terdahsyat dibuka. Jurus 'Himpunan Surya-Bayu- 
Tanah'! Sebuah jurus yang mengambil tenaga 
matahari, angin, dan tanah. 

Perlahan-lahan terlihat kedua tangan Raja Akherat 
berubah menjadi memerah. Dan semakin lama, 
berubah menjadi hitam legam. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung pun sadar, 
kalau lawan telah mengeluarkan ajian terhebatnya 
pula. Tetapi tekad mereka sudah bulat untuk 
mengadu nyawa dengan manusia keji itu! 

"Hiaaa.J" 

Tiba-tiba, disertai bentakan keras secara 
bersamaan, Ki Pangsawada dan Nyai Selastri 
menyerang. Kedua tangan mereka menghentak ke 
arah Raja Akherat. 

Werrr...! 

Wesss.J 

Dua rangkum angin kencang meluruk, mengancam 
keselamatan Raja Akherat. Namun, laki-laki ini hanya 
terbahak-bahak saja. 

"Hiaaa.J" 

Mendadak, Raja Akherat mengempos tubuhnya 
sambil menghentakkan kedua tangannya. 

Sementara Permadi yang masih dalam keadaan 
terluka, hanya menghela napas panjang. 

k k k 

Pertarungan Ki Wirayuda melawan Anomdoro terus 
berlangsung sengit. Racun-racun di kuku Anomdoro 


terus berkelebatan, mendesak si Penguasa Harimau 
yang selalu berhasil menghalau dengan tongkat kayu¬ 
nya yang berukir kepala harimau pada ujungnya. 

Serangan-serangan gagal semakin membuat 
Anomdoro bertambah penasaran. Maka segera 
kelincahannya diperlihatkan dalam menghindari 
setiap serangan Ki Wirayuda. Bahkan juga mem¬ 
perlihatkan kehebatannya dalam memainkan ilmu 
racun. 

Dan ketika tongkat Ki Wirayuda menyambar kepala 
dengan cepat Anomdoro melompat ke kiri. 

Wuuuttt! 

Ki Wirayuda tidak berhenti sampai di situ saja. 
Kembali tongkatnya digerakkan dengan jurus 
'Pusaran Dewa Angin', yang membuat tongkatnya 
berubah menjadi seribu. 

Namun Anomdoro yang telah menambah 
kesaktian dan ilmu meringankan tubuhnya, berhasil 
menghindar darinya. Bahkan sekali-sekali kedua 
kukunya dijentikkan sehingga langsung terlontar 
racun-racun yang mematikan. Namun dalam keadaan 
saat ini, jentikan racun-racun itu sudah tidak berguna. 
Karena, angin yang keluar dari pusaran tongkat Ki 
Wirayuda dapat cepat menyingkirkannya. 

"Hebat! Permainan tongkatmu semakin hebat, 
Penguasa Harimau!" puji Anomdoro sambil mengubah 
jurus berikutnya. Tubuhnya dimiringkan ke kiri. Kaki 
kanannya ke depan dan kaki kiri condong ke samping 
kiri, agak mendekati tanah. 

Dalam sekali lihat, Ki Wirayuda bisa menebak 
kalau jurus itu adalah jurus tipuan. Karena menurut¬ 
nya, tidak mungkin Anomdoro membuka jurus dengan 
kaki yang nampak lemah sekali. Mencondongkan kaki 
lebih ke bawah mendekati tanah, sangat menyulitkan 
gerak kaki kanannya. 

"Hiaaah.J" 

Ki Wirayuda tidak menyerang bagian kaki kiri 
Anomdoro. Justru yang diserangnya bagian kaki 
kanannya! 

"Uts.J" 

Apa yang diperkirakan memang benar. Dengan 
cepat, Anomdoro merubah bentuk kuda-kudanya. 

Namun kali ini Ki Wirayuda harus kecele. Karena 
gerakan itu memang suatu pancingan belaka. Dan 
mendadak saja, Anomdoro yang kini mengubah kuda- 
kudanya, menendang dengan keras ke arah wajah. 
Dengan sebisanya, Ki Wirayuda langsung menangkis 
dengan putaran tongkatnya! 

Plak! 

Begitu habis menangkis dengan gerakan aneh 
sekali, Anomdoro menelusup dengan satu tinju keras 
ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... 

Des! 

"Aaakh.J" 

Tubuh Ki Wirayuda terhuyung ke belakang disertai 
keluhan tertahan. Saat itulah Anomdoro menderu 
maju dengan seluruh tangan telah dialiri racun 
mematikan. 

Ki Wirayuda tercekat melihat serangan yang tiba- 
tiba. Dalam hati dia mendengus karena begitu 
mudahnya tertipu oleh gerakan Anomdoro. Maka 
sebisanya tongkatnya diputar tetap dengan jurus 
'Pusaran Angin Dewa 1 . 

Namun kali ini rupanya Anomdoro tidak mem- 
pedulikan lagi. Serangannya tetap diteruskan! 

Menyadari kalau lawan merasa yakin akan mampu 
menanggulangi jurusnya, Ki Wirayuda pun akhirnya 
melompat untuk menghindari serangan mematikan 
itu. 

"Hup!" 

"Ha... ha... ha...! Jangan bisanya menjadi topeng 
monyet saja kau, Wirayuda! Melompat-lompat seperti 
monyet. Lihat! Ini adalah pembalasanku yang kau 
lakukan beberapa tahun lalu!" kata Anomdoro, penuh 
semangat. 

Ki Wirayuda menggeram. Benar apa yang diduga. 
Manusia bermata picak itu memang masih 
menyimpan dendam. Bahkan kini telah menjadi 
pengikut Raja Akherat. Ki Wirayuda pun cukup 
terkejut melihat kemajuan kesaktian Anomdoro yang 
begitu pesat! 

Tetapi saat menghindari serangan, Ki Wirayuda 
kembali memutar tongkatnya. Rasanya hatinya masih 
penasaran karena ingin melihat kekuatan Anomdoro 
ketika kelihatan seperti hendak memapaki serangan¬ 
nya. 

"Aku ingin lihat, apakah kau mampu menahan 
'Pusaran Dewa Angin'ku ini Anomdoro!" 

Lalu dengan menambah tenaga dalamnya, Ki 
Wirayuda mengejar Anomdoro. 

Seperti yang diduga tadi, ternyata Anomdoro 
hanyalah memancing dan menggertak belaka. 
Terbukti sekarang, laki-laki bermata satu itu 
menghindari serangan 'Pusaran Dewa Angin'nya. 

Ki Wirayuda menjadi jengkel dengan keputusannya 
tadi. Karena mau tak mau tadi sempat terdesak. 
Maka kini dia pun menyerang dengan ganas pula! 

k k k 

Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima terus 
melarikan diri dengan langkah tersaruk-saruk. Ketika 
Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis muncul 
sebenarnya Prabu Adiwarman tenang saja. Sebagai 
seorang raja, dia memang memiliki ketenangan luar 
biasa. Bahkan kesabarannya pun terlihat. Hanya saja, 
hatinya suka merasa sedih bila melihat putrinya harus 
menderita. 

Bagi Prabu Adiwarman, tidak akan menyerah 
begitu saja. Bahkan akan melawan sekuat tenaga 
terhadap dua manusia busuk itu. Namun di saat 
Wanita Burung Hantu dan Dewa Muka Iblis sedang 
dihadang Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan 
Pakuan, Mureksa, salah seorang prajurit Kerajaan 
Labuan membuat rencana menakjubkan. 

Prajurit itu menyuruh Prabu Adiwarman dan Putri 
Permata Delima melarikan diri, sementara di tenda 
itu segera diisi dua prajurit Kerajaan Pakuan. Hal ini 
dilakukan untuk mencegah dua manusia jahat itu 
mengejar Prabu Adiwarman dan Putri Permata 
Delima. Itu sebabnya, ayah dan anak itu kini 
terbebas, dan turut melarikan diri. 

Sudah cukup jauh mereka berlari. Kelelahan pun 
sudah sangat dirasakan. Prabu Adiwarman sekali lagi 
merasa sedih melihat nasib putrinya. Namun sikap 
Putri Permata Delima tetap tegar dan bersahaja. 
Bahkan selalu tersenyum. 

"Ayolah, Ayahanda.... Kita harus segera lari lebih 
jauh dari sini... r " ujar Putri Permata Delima memberi 
semangat. 

Prabu Adiwarman tersenyum. 

"Kau benar, Permata. Ayo...." 

Tetapi sebelum mereka melangkah kembali.... 

"Hauuummm...!" 

Terdengar auman seekor harimau yang cukup 
keras, disusul melompatnya seekor hewan kaki 
empat yang besar itu. Di punggungnya tampak 
seorang pemuda berwajah tampan sedang 
menungganginya. 

"Kang Danji!" seru Putri Permata Delima, begitu 
mengenali siapa yang menunggangi harimau. Gadis 
ini pun yakin kalau harimau itu adalah si Belang, 
hewan peliharaan Sari. 

Danji segera melompat dengan sigap. Sementara 
Belang yang telah mengenal ayah dan anak itu, 
menghampiri Prabu Adiwarman. Kepalanya langsung 
dielus-elus ke kaki laki-laki setengah baya itu, 
membuat Prabu Adiwarman tersenyum senang. 

Sementara Putri Permata Delima yang hatinya 
telah cemas dan merindukan kekasihnya, langsung 
merangkul. Begitu pula yang dilakukan Danji. 

Sebenarnya, sejak bertarung dengan burung hantu 
dan Nyai Pamunti, Danji segera melarikan diri 
bersama harimau itu. Si Belang memang sangat 
cerdik. Penciumannya sangat tajam. Setiap kali 
binatang ini kelihatan merasa aneh, dan memaksa 
Danji untuk segera menaiki punggungnya. 

Semula Danji kebingungan melihat sikapnya yang 
terkadang sulit dimengerti. Tetapi ketika si Belang 
menggeram ke sebuah dahan pohon, barulah Danji 
mengerti kalau burung hantu itu tengah mengikuti 
mereka. Lalu Danji pun segera menaiki punggung si 
Belang, dan meninggalkan tempat itu. 

Namun burung hantu tetap mengikutinya. Danji 
yang sudah khawatir kalau burung hantu itu tiba-tiba 
akan menyerang, harus bersabar menunggu. Karena, 
burung itu tidak berbuat apa-apa. Bahkan hanya 
memperhatikan dirinya dan si Belang. 

Hingga kemudian, sadarlah Danji. Ternyata burung 
hantu itu hanya memata-matainya saja. Makanya, 
ketika si Belang mengajaknya meninggalkan tempat 
itu, Danji menolak. Bahkan tubuhnya dan tubuh si 
Belang dibiarkan saja nampak di mata burung hantu 
itu. 

Yang diduga Danji benar. Ternyata burung hantu 
itu akhirnya merasa yakin kalau di sinilah tempat 
tinggal Danji dan si Belang. Lalu ia pun segera 
terbang kembali untuk mengabarkan pada 
majikannya. 

Danji pun segera menaiki punggung si Belang lagi 
yang langsung melesat dan sesekali melihat-lihat 
sekelilingnya, karena khawatir burung hantu itu 
mendadak muncul kembali. Namun ternyata burung 
itu tidak muncul juga. 

Hingga akhirnya, Danji pun memutuskan untuk 
kembali ke Jurang Setan. Alangkah terkejutnya Danji 
ketika sampai di dasar jurang, tak seorang pun yang 
ditemui. Justru begitu banyak batu besar yang saling 
tumpuk berada di sana. Bila melihat keadaannya dan 
kemunculannya yang tiba-tiba, Danji yakin batu-batu 
itu pasti dijatuhkan dari atas. 

Tetapi melihat tak satu mayat pun yang ditemukan 
di sana, Danji yakin kalau Prabu Adiwarman dan yang 
lain sudah pindah dari sini. 

Segera Danji mengajak si Belang. Meskipun tidak 
tahu ke mana arah yang harus ditempuh, Danji 
meminta si Belang untuk mempercepat larinya. 

Danji lantas menemukan mayat-mayat yang ber- 
eletakan yang dikenali di sebelah timur sana. Mayat 
para prajurit Kerajaan Labuan dan Kerajaan Pakuan. 
Tetapi, Kalau memang Prabu Adiwarman dan Putri 
Permata Delima telah tewas, di manakah mayatnya? 
Danji lantas mencari-cari mayat kedua junjungannya, 
dan dia juga tidak melihat mayat Tiroseta. 

Danji lantas menyuruh si Belang berlari ke arah 
utara. Rupanya itu adalah jalan pintas. Dan apa yang 
diperkirakan Danji ternyata benar. Karena akhirnya, 
pemuda itu bertemu kedua junjungannya. Juga, 
melihat Tiroseta di antara mereka dalam keadaan 
penuh luka. Namun Senapati ini masih memper¬ 
lihatkan kegagahannya. 

Rupanya, setelah melarikan diri dari serangan Nyai 
Pamunti dan Kokorongko, seperti yang telah di¬ 
rencanakan, Prabu Adiwarman dan Putri Permata 
Delima akan menunggu Tiroseta di balik sebuah 
pohon trembesi yang besar. 

•k-k -k 

Prabu Adiwarman yang melihat kalau putrinya 
masih merangkul Danji dan begitu pula sebaliknya, 
hanya tersenyum saja. Hatinya terharu dan semakin 
yakin kalau keduanya secara diam-diam memang 
telah memadu kasih. Yah, sudah seharusnya laki-laki 
setengah baya ini mulai mengerti keadaan mereka 
yang sebenarnya. 

Meskipun Prabu Adiwarman tidak berbuat apa-apa 
untuk mengusik kedua remaja itu, tetapi akhirnya 
keduanya sadar. Mereka sama-sama melepaskan diri 
dan sama-sama menundukkan kepala. Kikuk. 

Prabu Adiwarman hanya tersenyum saja. 

"Dari mana saja kau, Danji?" tanya Prabu 
Adiwarman kemudian. 

"Maaf, Gusti Prabu.... Hamba..., hamba...." 

Danji tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena 
merasa malu akan sikapnya barusan terhadap Putri 
Permata Delima, 

"Sudahlah.... Kau bisa menceritakannya nanti. 
Danji, akhirnya setelah kupikir, lebih baik kita kembali 
keraton...," kata Prabu Adiwarman tiba-tiba. 

"Ayahanda!" seru Putri Permata Delima terkejut. 

"Tidak ada jalan lain. Aku sudah bosan bermain 
kucing-kucingan seperti ini! Ah, Danji.... Untuk 
sementara kita bersembunyi lebih dulu. Kau tahu 
bukan, tempat persembunyian di daerah ini?" 

Danji hanya mengangguk. 

Sementara Tiroseta, memperhatikan sekeliling 
dengan mata waspada. 


10 


Meskipun Ki Pangsawada dan Nyai Selastri alias 
Naga Gunung telah mempergunakan ajian 
pamungkas namun tetap saja Raja Akherat masih 
mampu bertahan. Ajian 'Tempur Nyawa' yang 
dilepaskan Ki Pangsawada sangat dahsyat. Suaranya 
bagaikan ledakan begitu tangannya bergerak. Begitu 
pula ajian 'Kemarau Tiga Musim' yang dilepaskan si 
Naga Gunung. Setiap kali tangannya berkelebat, 
terasa hawa panas menerpa ke arah Raja Akherat. 

Namun dengan ajian 'Himpunan Surya-Bayu- 
Tanah', Raja Akherat membuat serangan kedua 
lawannya hampir-hampir tidak banyak membawa arti. 
Hal itu membuat Ki Pangsawada menjadi geram. 
Apalagi mengingat kalau Raja Akherat bermaksud 
menguasai rimba persilatan ini! 

Tiba-tiba saja Ki Pangsawada berputar bersalto ke 
belakang. Dan saat melayang, kedua pergelangan 
tangannya diadukan menjadi satu. 

Blarr! 

Mendadak saja terdengar suara yang begitu keras 
sekali, bagai petir menggelegar. 

"Ajian Tempur Nyawa' tingkat pertama!" seru Ki 
Pangsawada langsung meluruk ke arah Raja Akherat. 
Pada saat yang sama, tokoh sesat itu berusaha 
menahan. Sementara si Naga Gunung pun tengah 
menghimpun kekuatannya. 

Plak! Plak! 

Dua bentrokan antara Ki Pangsawada dengan Raja 
Akherat pun terjadi. Tampak Raja Akherat tersuruk ke 
belakang dengan mulut berdarah. 

"Bangsat!" maki Raja Akherat murka. 

Seketika Raja Akherat merapal ajian 'Melayang 
Dua'nya yang sangat dahsyat. Maka saat itu juga 
tubuhnya pun bagai terpisah begitu saja, menjelma 
menjadi dua. 

"Ha... ha... ha...!" 

Dan kedua Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Gila! Ilmu siluman rupanya!" desis Ki Pangsawada 
sambil bersiap. Begitu pula si Naga Gunung. 

Kini mereka akan menghadapi satu lawan satu, 
meskipun yang dilawan tetaplah Raja Akherat. 

"Hiaaa.J" 

Disertai bentakan keras, satu sama lain meluruk 
saling menyerang. 

Pertempuran sengit pun terjadi kembali. 

Dengan ajian 'Tempur Nyawa' tingkat pertama, Ki 
Pangsawada mencoba mendesak Raja Akherat 
dengan gencar. Serangan-serangannya sangat ber¬ 
bahaya membuat Raja Akherat kelimpungan meng¬ 
hadapinya. 

Sementara si Naga Gunung yang menghadapi Raja 
Akherat yang satunya lagi, justru terdesak hebat. 
Ajian 'Kemarau Tiga Musim'nya belum menjadi 
patokan untuk dapat melumpuhkan lawan ganasnya. 

Suatu keadaan mendadak saja terjadi. Saat itu, Ki 
Pangsawada sedang mencecar gencar Raja Akherat. 
Sementara, Raja Akherat yang satunya lagi sedang 
mendesak si Naga Gunung. Namun tiba-tiba saja, dua 
tubuh Raja Akherat kembali menjadi satu. Dan Raja 
Akherat pun jatuh terduduk bersila dengan kedua 
tangan bersatu di dada, 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper¬ 
hatikan dengan kening berkerut. Mereka yakin, kalau 
lawan pasti tengah merapal ajian yang lebih tangguh 
lagi. Namun sebelum keduanya menyerang kembali, 
terlihat sebuah cahaya berwarna hitam berkelebat 
langsung menyusup ke tubuh Raja Akherat melalui 
ubun-ubun. 

Mendadak saja kedua mata Raja Akherat terbuka, 
memperlihatkan sinar amarah yang nyalang ber- 
kilatan. Lalu dia berdiri tegak dengan gerakan kaku. 

"Ha... ha... ha...! Kalian akan sia-sia saja untuk 
mengalahkan aku, hah?! Akui aku sebagai orang 
nomor satu di rimba persilatan, maka kalian akan 
kubebaskan." kata Raja Akherat yang kelihatan aneh 
ini, jumawa. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung memper¬ 
hatikan dengan kening berkerut. Semula mereka 
melihat betapa Raja Akherat dalam keadaan 
kelelahan karena tenaganya terkuras. Namun kini, dia 
tegak berdiri segar tak kurang suatu apa! 

Belum lagi mereka memikirkan apa yang tengah 
terjadi, tubuh Raja Akherat sudah meluruk deras de 
ngan pukulan beruntun. 

Zeb! Zeb! Zeb! 

Tiga buah serangan ganas mengandung tenaga 
tinggi dilepaskan dengan cepat. Ki Pangsawada dan 
Nyai Selastri kaget bukan main. Mereka merasa 
yakin, Raji Akherat sedang mengeluarkan ajian 
pamungkasnya. Maka dengan sebisanya mereka ber¬ 
kelit ke samping kanan dan kiri, menghindari. 

Begitu pula Permadi yang masih memperhatikan. 
Namun mendadak pemuda itu menerjunkan diri 
dalam pertarungan. Kerisnya cepat berkelebat 
dengan ganas. 

"Ha... ha... ha...! Kalian akan mampus hari ini juga!" 
seru Raja Akherat sambil mengibaskan tangannya 
menangkis keris Permadi. 

"Heh?!" 

Permadi terkejut setengah mati, melihat kerisnya 
patah! Sejenak pemuda itu tertegun. Namun keter- 
tekunannya jelaslah suatu petaka. Tiba-tiba sebuah 
pukulan keras menerpa dadanya. 

Desss...! 

"Aaakh!" 

Permadi langsung terhuyung ke belakang disertai 
pekik kesakitan. Lalu tubuhnya ambruk setelah 
muntah darah berkali-kali. 

Melihat hal ini Ki Pangsawada dan si Naga Gunung 
terkejut setengah mati. Namun mereka pun harus 
kembali tunggang langgang menghindari serangan 
ganas Raja Akherat dengan teriakan-teriakan keji. 

Sementara itu, Ki Wirayuda akhirnya berhasil men¬ 
desak Anomdoro, setelah tongkatnya berhasil 
menyabet kaki lawannya dua kali. Tepat ketika 
Anomdoro terpincang-pincang, tubuh si Penguasa 
Harimau berkelebat cepat dengan kaki lurus melepas 
tendangan. 

Anomdoro cepat mengegoskan tubuhnya ke kiri, 
sambil memapak. Namun di luar dugaan, Ki Wirayuda 
menarik pulang serangannya. Bahkan seketika 

tubuhnya berputar sambil mengebutkan tongkat 

kayunya. Dan.... 

Prakkk! 

"Aaakh...!" 

Dengan satu gerakan tipu yang manis sekali, Ki 
Wirayuda berhasil menggetok kepala Anomdoro. 

Setika itu juga kepala tokoh sesat ini pecah 
mengucurkan darah. Begitu ambruk, nyawanya pun 
melayang. 

Ki Wirayuda mendesah panjang sambil 
memandangi mayat lawannya. Lega sudah, bisa 
menamatkan riwayat Anomdoro. Ketika kepalanya 
berpaling, tampak Ki Pangsawada dan Nyai Selastri 
terdesak hebat sekali, Keduanya bagai tersudut oleh 
serangan-serangan ganas yang dilakukan Raja 
Akherat. 

Saat itu juga Ki Wirayuda pun melesat membantu. 
Namun.... 

"Tolooong! Tolooong...!" 

Niat si Penguasa Harimau urung ketika telinganya 
mendengar jeritan keras. 

"Sari!" desis Ki Wirayuda. Saat itu juga laki-laki tua 
ini langsung melesat ke dalam. 

•k-k -k 


Raja Akherat terbahak-bahak melihat Ki 
Pangsawada dan Nyai Selastri kalang kabut seperti 
itu. Baginya kedua manusia itu harus mampus, 
karena tak mau mengakuinya sebagai orang nomor 
satu di rimba persilatan 

"Hiaaa.J" 

Dengan teriakan keras, Raja Akherat meluruk 
menerjang dengan sambaran-sambaran tangan yang 
bertenaga dalam penuh. 

Deb! Deb! 

Gemuruh suara pukulan Raja Akherat sangat keras 
terdengar, mampu menciutkan jantung yang diserang. 
Begitu pula yang dialami Ki Pangsawada dan Nyai 
Sulastri sekarang ini. Ajian 'Tempur Nyawa' tingkat 
pertama yang dilepaskan Ki Pangsawada tidak lagi 
membawa arti banyak. Demikian pula pukulan 
'Kemarau Tiga Musim' milik si Naga Gunung. 

Kedua tokoh golongan putih ini sangat heran, 
mengapa tiba-tiba saja Raja Akherat menjadi begitu 
perkasa dan bertambah sakti? Apakah pengaruh dari 
cahaya hitam yang masuk ke tubuhnya tadi? 

Gempuran-gempuran Raja Akherat sangat 
mematikan, membuat Ki Pangsawada dan si Naga 
Gunung sudah yakin kalau saat inilah ajal menjemput 
mereka. 

Tepat ketika sambaran tangan Raja Akherat 
menemui sasaran, mendadak saja si Naga Gunung 
merasakan sesuatu menyambar dengan cepat. 
Sehingga, gempuran Raja Akherat pun luput. 

Sementara Ki Pangsawada pun merasa terkejut, 
ketika tidak merasakan sesuatu yang menghantam 
tubuhnya. Justru laki-laki tua ini melihat satu sosok 
tubuh berpakaian compang-camping berwajah tak 
karuan, sedang memapaki serangan Raja Akherat. 

"Andika! Bantulah aku untuk mengeluarkan 
Siluman Hutan Waringin dari tubuh Raja Akherat!" 
seru sosok berpakaian compang-camping yang tak 
lain Eyang Sasongko Murti sambil menghindari 
gempuran Raja Akherat. 

Dalam sekali lihat saja, Eyang Sasongko Murti 
sudah tahu kalau Siluman Hutan Waringin sudah 
menitis ke tubuh Raja Akherat. 

Memang, apa yang dikhawatirkan Eyang Sasongko 
Murti sudah terjadi. Cahaya hitam yang masuk ke 
ubun-ubun Raja Akherat adalah jelmaan dari Siluman 
Hutan Waringin. Siluman itu akhirnya menitis di tubuh 
Raja Akherat! Sudah tentu kesaktian Raja Akherat 
mendadak saja berlipat ganda, lebih hebat dari 
sebelumnya. Karna kini, ia dikendalikan tenaga 
Siluman Hutan Waringin! 

"Kalau Siluman Hutan Waringin tetap menyatu 
pada tubuh Raja Akherat, akan semakin sulit bagi kita 
kiri. Sementara Eyang Sasongko 
Murti menyerang dari bagian kanan. 

Ki Pangsawada dan si Naga Gunung menghela 
napas panjang menyadari kalau umur mereka masih 
ada hingga saat ini. Mereka pun diam-diam merasa 
beruntung. Entah, siapa dua orang penolongnya itu? 
Yang satu kelihatan tua sekali dengan wajah sukar 
dilukiskan. Sementara kawannya adalah pemuda 
berwajah tampan dengan sepasang alis hitam seperti 
mata elang, mengenakan pakaian hijau. 

Ketika mendengar seruan dari yang tua itu 
sadarlah Ki Pangsawada dan si Naga Gunung, siapa 
sebenarnya pemuda itu. 

"Hei, Andika! Percuma kau dijuluki Pendekar 
Slebor kalau tak bisa membantuku mengeluarkan 
Siluman Hutan Waringin itu!" seru Eyang Sasongko 
Murti, seperti menanas-manasi. 

"Enaknya ngomong! Yang kuhadapi ini siluman." 
hardik Andika sambil melompat menghindari 
gempuran Raja Akherat yang kini dititisi Siluman 
Hutan Waringin. 

"Kau tinggal menggempur bagian ubun-ubun. 
Kalau dapat, ketok tiga kali dengan keras! Aku akan 
menghajar siluman itu, bila keluar dari tubuh Raja 
Akherat!" ujar Eyang Sasongko Murti. 

Andika segera menjalankan perintah. Namun, 
bukanlah pekerjaan mudah. Karena, Raja Akherat 
yang dikendalikan dan disatukan ilmunya oleh 
Siluman Hutan Waringin, justru kini menyerang 
dengan ganas. 


Pendekar Slebor pun segera menggunakan tenaga 
petir warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sementara 
Eyang Sasongko Murti mengangkat kedua tangannya 
sehingga menimbulkan angin menderu-deru. 

Akan tetapi, kekuatan Siluman Hutan Waringin 
yang telah menggunakan tubuh Raja Akherat justru 
semakin bertambah saja. Selain ilmu siluman yang 
diperlihatkan, ia juga menggunakan kesaktian Raja 
Akherat yang tinggi. Sehingga, Andika dan Eyang 
Sasongko Murti harus tunggang langgang dibuatnya. 

"Ha... ha... ha...!" 

Raja Akherat terbahak-bahak. 

"Pendekar Slebor! Kalau waktu itu aku gagal mem¬ 
bunuhmu, kini kau akan mampus di tanganku!" 
geram Raja Akherat. 

Begitu habis kata-katanya, Raja Akherat kembali 
menyerang. Sambaran tangannya bagaikan angin 
yang menderu keras. 

Pendekar Slebor dengan kelincahan yang didapat 
dari Lembah Kutukan, menghindari serangan. Lalu 
kain pusakanya yang bercorak catur di punggungnya 
disambarnya. Dan saat itu juga, kain pusaka warisan 
Ki Saptacakra dikebutkannya dengan kuat, 
menyambut sambaran tangan Raja Akherat. 

Wuuut! 

Braaat! 

Suara keras terdengar, begitu kain bercorak catur 
menyambar dan melilit tangan Raja Akherat. Sejenak 
terjadi dua kekuatan yang masing-masing dialiri 
tenaga dalam tinggi. 

"Heh!" 

Mendadak saja Andika melepaskan kainnya yang 
melilit di tangan Raja Akherat. Saat itu tangannya 
terasa panas yang luar biasa menyehgat. 

Eyang Sasongko Murti menggeram. Segera 
diserangnya Raja Akherat dengan jurus-jurus siluman 
yang pernah dipelajarinya! 

"Sasongko! Kau memang bandel sekali! Dan tak 
akan kubiarkan kau untuk bertahan hidup lebih 
lama!" ancam Raja Akherat alias Siluman Hutan 
Waringin. 

"Siluman busuk! Keluarlah kau dari tubuh manusia 
laknat itu! Kita bertarung sampai mati! Dan, biarkan 
manusia busuk itu bertarung melawan Andika!" 
dengus Eyang Sasongko Murti. 

Laki-laki tua ini berusaha memanas-manasi 
Siluman Hutan Waringin. Karena menurutnya, akan 
lebih mudah menjatuhkan siluman itu daripada bila 
menitis pada tubuh seseorang. 

Namun tak ada sahutan. Yang ada hanyalah 
sambaran tenaga yang kuat sekali. 

Wesss.J 

"Ikatan Mambang Kahyangan!" seru Eyang 
Sasongko Murti. Segera kepalanya berpaling pada 
Andika. "Jangan gegabah! Bila kau terkena pukulan 
itu bisa mampus!" 

Andika mendengus. Diam-diam kini tenaga 'inti 
petir'nya disalurkan kembali pada kedua tangannya. 
Lalu diambilnya napas dalam-dalam dan ditahannya 
di perut. Sejenak dalam perutnya terasa ada sesuatu 
yang bergejolak dahsyat. 

Dan mendadak saja Pendekar Slebor memotong 
serangan Raja Akherat pada Eyang Sasongko Murti. 

"Guntur Selaksa tingkat satu!" teriak Pendekar 
Slebor, lantang. 

Seketika meluncurlah tubuh Andika yang telah 
dipenuhi kekuatan tenaga petir sangat dahsyat. 

Raja Akherat yang dititisi Siluman Hutan Waringin 
telah merangkum tenaga 'Guntur 
Selaksa' lebih cepat mampir tubuhnya. Hingga.... 

Des! 

Blarrr! 

Terdengar ledakan keras bagai sambaran petir 
yang memekakkan telinga, menyambar tubuh Raja 
Akherat. Sementara Andika langsung bersalto ke 
belakang, la hanya melihat tubuh Raja Akherat 
menjadi agak hangus dengan rambut rontok. Namun 
keadaannya masih tetap tegar. Bahkan lebih garang 
lagi. 

"Bangsat! Mampuslah kau, Pendekar Slebor! Grrr!" 

Seketika tubuh Raja Akherat melesat kembali dan 
menyerbu dengan ganas. 

Pada saat yang sama, Eyang Sasongko Murti 
menerjang ke depan. Dengan ilmu dari negeri 
siluman, cepat ditangkap kedua tangan Raja Akherat. 

Tap! 

"Cepat pukul ubun-ubunnya tiga kali! Cepat, Bor!" 
ujar Eyang Sasongko Murti, tegang. 

Andika langsung melesat dan berputar dua kali di 
angkasa. Dan tiba-tiba tangannya cepat memukul 
ubun-bun Raja Akherat. 

Prak! Prak! 

Tepat ketika Pendekar Slebor memukul yang 
terakhir, Eyang Sasongko Murti melepaskan 
pegangannya. 

"Ghrrhh...!" 

Kini terdengar suara bagai raungan yang sangat 
kuat sekali. Sementara tubuh Raja Akherat berputar 
tak karuan. 

"He... he... he...! Kau memang perjaka murni, Bor," 
ujar Eyang Sasongko Murti sambil terkekeh-kekeh. 

"Namaku Andika! Enaknya main panggil, 'Bor' 
saja!" rutuk Pendekar Slebor gemas sambil memper¬ 
hatikan tubuh Raja Akherat yang kelojotan. 

"Kalau kau sudah bukan perjaka lagi, sulit untuk 
menyuruh keluar Siluman Hutan Waringin dari jasad 
Raja Akherat! Nah! Sebentar lagi, tubuh keduanya 
akan memisah! Kau hadapi Raja Akherat, sementara 
aku akan menghadapi Siluman Hutan Waringin!" ujar 
Eyai Sasongko Murti dengan wajah tegang. 

Andika dapat membaca ketegangan Eyang 
Sasongko Murti. 

"Eyang..., sanggupkah kau menghadapi siluman 
itu?" 

"Aku tidak tahu. Tetapi, satu-satunya yang mampu 
mengimbanginya adalah aku. Karena sedikit banyak¬ 
nya aku menguasai ilmu negeri siluman. Jelek-jelek 
begini, aku pernah belajar sama siluman, kan?" sahut 
Eyang Sasongko Murti enteng. 

"Ya, lalu terdampar di Alam Sunyi selama seratus 
tahun!" balas Andika sambil terbahak-bahak. 

Eyang Sasongko Murti pun terbahak-bahak. 
Sedangkan Ki Pangsawada dan si Naga Gunung 
sedikit bingung memperhatikan. Bukannya Pendekar 
Slebor dan Eyang Sasongko Murti sungguh-sungguh 
menghadapi tokoh sesat itu, tapi malah tertawa 
terbahak-bahak. 

Dan mendadak saja mata Ki Pangsawada dan Nyai 
Selastri terbelalak, ketika melihat cahaya hitam 
keluar dari ubun-ubun Raja Akherat, lalu berubah 
menjadi sosok mengerikan bermata satu di 
keningnya. Kedua tangan dan kakinya agak bengkok 
bersirip. Kupingnya tinggi dengan lidah terjulur keluar 
uk! 

Inikah yang disebut Siluman Hutan Waringin yang 
menitis di tubuh Raja Akherat? Desis mereka. 

Dan kedua tokoh itu melihat Eyang Sasongko Murti 
nampak bersiaga dengan kedua tangan membuka. 

"Heaaa.J" 

Dan mendadak saja Siluman Hutan Waringin 
menyerang Eyang Sasongko Murti yang memang 
sudah mempersiapkan diri dengan ilmu dari negeri 
siluman. 

Sementara Raja Akherat menggeram marah. 
Ketika dititisi Siluman Hutan Waringin, ingatannya 
sebenarnya sadar. Makanya, dia menggeram pada 
Pendekar Slebor. 

"Ha... ha... ha...! Bagus, bagus kau datang ke sini, 
Pendekar Slebor! Ayo, bersujudlah. Dan, beri 
kesaksian kalau aku adalah Raja Nomor Satu di 
rimba persilatan ini!" 

"Jidatmu busuk!" balas Andika, sambil mem¬ 
perhatikan sekujur tubuh Raja Akherat yang sudah 
menghitam akibat sambaran pukulan 'Guntur 
Selaksa' yang dilepaskannya tadi. "Kalau kau 
meminta padaku untuk mengakuimu sebagai raja 
monyet nomor satu, jelas saja aku setuju! Sejak tadi, 
sebenarnya aku ragu. Yang kuhadapi ini raja monyet, 
atau raja orang utan?" 

Wajah Raja Akherat merah padam. Maka 
mendadak saja mulutnya memekik keras. Lalu kedua 
tangannya merentang, menggelar jurus 'Himpunan 
Surya-Bayu-Tanah'. Dan seketika tubuhnya meluruk 
menderu dengan seruan sangat keras. Begitu tubuh 
Raja Akherat melesat ke arah Pendekar Slebor, Ki 
Pangsawada dan si Naga Gunung pun bersiap 
mengeroyok. 

Namun keinginan mereka segera diurungkan, 
setelah melihat Nyai Pamunti alias Wanita Burung 
Hantu dan Kokorongko yang berjuluk Dewa Muka Iblis 
muncul dengan tergesa-gesa. 

Dalam sekali pandang, mereka yakin kalau Nyai 
Pamunti dan Kokorongko telah bersekutu dengan 
Raja Akherat. 

Maka pertarungan pun segera terjadi dengan 
sengit. 


11 


Di dalam Keraton Kerajaan Pakuan, tanpa kesulitan 
Ki Wirayuda menemukan sumber jeritan minta tolong 
tadi. Seperti yang diduga jeritan berasal dari mulut 
Sari. 

"Sari!" seru si Penguasa Harimau sambil bergegas 
mendekatinya. 

"Oh, Ayah.... Untung kau datang, Ayah...," desah 
Sari dengan suara tegar. Hatinya sudah tidak sabar 
untuk membalas perbuatan Raja Akherat. 

Ki Wirayuda bermaksud membuka ikatan Sari, 
namun.... 

"Oh! Gila! Rupanya tadi tali ini dialiri tenaga dalam 
yang langsung terkunci," pekik Ki Wirayuda. 

"Bisakah Ayah membebaskannya?" tanya Sari 
dengan suara tenang. 

Sari berteriak tadi, memang menginginkan agar 
yang berada di luar sana mengetahui dan mem¬ 
bebaskannya agar bisa dengan segera membalas 
perbuatan Raja Akherat yang telah lama 
mengurungnya di sini. Sejak tadi Sari memang men¬ 
dengar teriakan dan suara orang bertarung di luar. 
Dan sungguh tak disangka, justru ayahnya sendiri 
yang muncul. Sudah tentu ketenangan Sari semakin 
nampak. 

Ki Wirayuda terdiam sejenak, lalu kedua matanya 
terpejam. Cukup lama juga dia melakukan hal itu, 
karena memang harus memulihkan tenaga dalam 
dan hawa murni setelah bertarung dengan Anomdoro. 
Lalu perlahan-lahan mata si Penguasa Harimau 
membuka. 

"Sari..., bantulah aku dengan tenaga dalammu juga 
untuk membuka ikatan itu," ujar Ki Wirayuda. 

"Baik, Ayah...." 

Lalu mulailah Ki Wirayuda menempelkan telapak 
tangan pada ikatan tali yang mengikat tangan Sari. 
Dan gadis itu pun segera mengalirkan tenaga 
dalamnya pula. 

Kini Sari sedikit tenang atas kehadiran bapaknya. 
Tetapi si Belang. Di manakah si Belang? 

k k k 

Empat pertarungan di halaman Keraton Pakuan 
pun terjadi dengan sengit. Bahkan sangat 
mengerikan. Terutama pertarungan antara Eyang 
Sasongko Murti dengan Siluman Hutan Waringin. 
Juga tak kalah dahsyatnya pertarungan Andika 
melawan Raja Akherat. 

Gempuran-gempuran yang berbahaya terjadi di 
antara mereka. Ki Pangsawada sendiri menghadapi 
serangan-serangan gencar Kokorongko. Sementara si 
Naga Gunung harus mengimbangi kecepatan Wanita 
Burung Hantu. 

Setelah gagal menangkap Prabu Adiwarman dan 
Putri Permata Delima, Nyai Pamunti dan Kokorongko 
memang terus, mencari. Namun sebelum kedua 
buruannya diketemukan, mendadak saja burung 
hantu peliharaan Nyai Pamunti datang, mengabarkan 
kalau telah mengetahui keberadaan Danji dan si 
Belang. Namun ada sesuatu yang lebih menarik lagi 
yang dapat diketahui Nyai Pamunti. 

Rupanya, burung hantu itu mencarinya di Kerajaan 
Pakuan. Tetapi, tidak ditemukan. Si Manis pun 
mlaporkan hal itu pada majikannya, yang segera 
mengurungkan niat untuk mencari Prabu Adiwarman 
dan Putri Permata Delima. Bersama Kokorongko, 
mereka berlari kencang, sementara si Manis terbang 
mengikutinya. 

Raja Akherat terus menggempur Andika dengan 
serangan maha dahsyat dan mengerikan. Namun 
Andika dengan mengandalkan kelincahan, dapat 
menghindarinya. Bahkan membuat Raja Akherat 
menggeram marah. 

Pertarungan yang sudah berlangsung puluhan 
jurus, semakin seru saja. Masing-masing ingin 
menguasai dan menjatuhkan. Andika sendiri merasa, 
lawan sangat tangguh. Berkali-kali ia harus meng¬ 
hindar, bila tidak ingin terkena pukulan keras Raja 
Akherat. 

"Aku tidak suka bermain kucing-kucingan seperti 
ini! Lebih baik akui, aku ini orang nomor satu di rimba 
persilatan!" seru Raja Akherat. 

Sementara itu, Ki Pangsawada kini mencecar 
Kokorongko dengan cepat. Ajian 'Tempur Nyawa' 
tingkat pertama sudah dipergunakan. Sehingga, 
menyulitkan Kokorongko. Dan mendadak saja 
mereka bersalto ke belakang. Dan seketika mereka 
sama-sama menderu maju kencang dan sama-sama 
mengeluarkan tenaga dalam tinggi serta ajian maut. 

"Heaaattt!" 

"Teaaa!" 

Dua seruan keras itu pun terdengar bersama 
tubuh mereka yang saling menyongsong. Lalu.... 
Duaaarrr! 

Dua tenaga dahsyat itu menimbulkan ledakan 
keras menggelegar. Seketika di tempat mereka 
bertemu tenaga tadi, mengepul asap putih yang 
cukup tebal. Sementara dedaunan semakin banyak 
yang gugur. Lalu terlihatlah dua sosok tubuh 
terhuyung ke belakang sambil sama-sama memegang 
dada. 

Ki Pangsawada berusaha menekan rasa sakit di 
dadanya, namun tak kuasa juga. Kepalanya 
mendadak menjadi pusing. Tenaganya banyak yang 
keluar. Akhirnya laki-laki itu pun ambruk jatuh 
pingsan. 

Sementara Kokorongko begitu jatuh ke tanah, 
berkelojotan hebat. Rupanya, dia terkena telak ajian 
'Tempur Nyawa'. Setelah sempoyongan beberapa 
saat, tubuhnya pun ambruk dan tak bernyawa lagi. 

Sementara itu si Naga Gunung terus melabrak Nyai 
Pamunti dengan hebatnya. Kini tampak Wanita 
Burung Hantu harus terdesak. 

"Suiiittt...!" 

Namun wanita sesat ini tak kehilangan akal. 

Dan mendadak saja terdengar siulan keras Nyai 
Pamunti, memanggil burung hantunya. Seketika 
burung peliharaan itu menyerang si Naga Gunung 
dengan ganasnya. 

Dan justru hal itulah yang membuat si Naga 
Gunung menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja 
dengan gerakan cepat, kakinya berputar. Pada saat 
yang sama burung hantu tengah meluruk 
menyerangnya. Sehingga.... 

Prakkk! 

"Krieekhh!" 

Burung hantu itu hancur berantakan, terkena 
tendangan berisi tenaga dalam penuh. Serpihan- 
serpihan dagingnya berjatuhan di atas tanah. 

"Manisss...!" jerit Nyai Pamunti keras. 

Dengan kemarahan membludak, Wanita Burung 
Hantu meluruk menyerang. 

Pada saat yang sama, Nyai Selastri juga meluruk 
dengan ajian pamungkas. Begitu kedua serangan itu 
bertemu.... 

Desss...! Desss.J 

"Aaakh.J" 

Wanita Burung Hantu termakan pukulan si Naga 
Gunung berkali-kali. Tubuhnya seketika terpental, dan 
ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Sementara 
si Naga Gunung sendiri harus terjajar ke belakang. 
Dada terasakan sesak. Agaknya, dengan matinya 
binatang ke-sayangannya, kekuatan Nyai Pamunti 
seolah sirna. 

Sementara itu Raja Akherat terus mendesak 
Andika dengan ganasnya. Kemarahannya semakin 
bertambah, setelah menyadari Andika sangat sulit 
ditaklukkan. Bahkan sekarang dia yang justru 
terdesak. 

"Keparat!" maki Raja Akherat. 

"Orang yang ingin menjadi nomor satu di rimba 
persilatan, mestinya bertampang ganteng. Tidak 
sepertimu!" ejek Andika. Serangan demi serangan 
yang semakin dahsyat dilancarkan Pendekar Slebor. 
Bahkan tenaga 'inti petir' tingkat kelima warisan 
Pendekar Lembah Kutukan sudah digunakannya 
dengan gencar, membuat Raja Akherat kocar-kacir. 

Dan mendadak saja laki-laki sesat itu. merangsek 
dengan gempuran sangat kuat. 

"Andika! Kita harus mampus bersama-sama!" seru 
Raja Akherat sambil menerjang deras. 

Andika terkejut melihat serangan yang nekat. 
Cepat Pendekar Slebor melompat ke atas seraya 
berputaran beberapa kali. Dan tiba-tiba tubuhnya 
meluruk dengan kedua kakinya menjejak kepala Raja 
Akherat. 

Diegkh! 

Orang kejam itu kontan harus tersungkur di tanah. 
Sementara Andika yang merasa kesempatan sudah 
ada di depan matanya pun segera menghimpun 
kekuatan dahsyat. Begitu menjejak tanah, tubuhnya 
meluncur sambil menghujamkan tangan ke tubuh 
Raja Akherat yang tak berdaya. 

Desss! 

"Aaakh.J" 

Tubuh Raja Akherat pun perlahan-lahan melemah 
dengan tubuh terhuyung-huyung. Dia benar-benar 
sudah tidak mampu menahan dan melawan 
serangan-serangan Pendekar Slebor. 

Dan begitu sekali lagi Pendekar Slebor 
menghantam, tubuh Raja Akherat ambruk di tanah. 
Seketika Andika menginjak-injak jasad Raja Akherat 
yang telah menjadi mayat. 

Eyang Sasongko Murti sedang menggempur 
Siluman Hutan Waringin dengan dahsyat. Tampak 
berkali-kali tubuh laki-laki tua aneh itu harus terkena 
pukulan hebat dari Siluman Hutan Waringin. 

Seperti yang terjadi di Alam Sunyi, pertarungan 
nampak lebih mengerikan lagi. Bumi yang dipijak 
seakan bergoyang menerima getaran keduanya. Dan 
mendadak saja Eyang Sasongko Murti mengambil 
sesuatu dari balik bajunya yang compang-camping. 

Gumpalan kain berisi tetesan darah Andika! 

Seketika, Eyang Sasongko Murti melemparkan 
kain itu ke arah Siluman Hutan Waringin yang tak bisa 
menghindar lagi. 

"Aaagrrh...!" 

Mendadak saja Siluman Hutan Waringin menjerit- 
jerit keras. Namun Eyang Sasongko Murti tidak ingin 
membuang kesempatan lagi. Dan memang, siluman 
itu harus dimusnahkan. Dicecarnya siluman itu 
dengan gumpalan kain berisi tetesan darah Andika. 
Rupanya darah seorang perjaka suci membuat 
seluruh tubuh siluman itu kepanasan! 

Karena tak kuasa menahan derita, Siluman Hutan 
Waringin pun menghilang, berubah menjadi asap. 

"Sasongko! Aku akan datang lagi untuk 
mencarimu!" ancam suara dari balik asap, terdengar 
menggema. 

Eyang Sasongko Murti mendesah lega begitu asap 
itu sirna. Demikian pula Pendekar Slebor. Namun 
mereka yang berada di sana, termasuk Ki 
Pangsawada dan si Naga Gunung kontan terkejut 
ketika.... 

"Pendekar Slebor! Kali ini aku gagal 
membunuhmu. Juga, menguasai dunia persilatan. 
Tetapi, yakinlah. Kita pasti akan bertemu lagi!" 
terdengar suara dari atap Keraton Pakuan. 

Andika tercekat! 

"Raja Akherat!" 

Andika cepat berpaling untuk melihat mayat Raja 
Akherat yang tadi diinjak-injaknya dan telah menjadi 
mayat. Ternyata jasad tokoh sesat itu sudah tidak ada 
lagi. Sadarlah Andika, kalau manusia bangsat itu 
telah mempergunakan ilmu 'Melayang Dua'nya. 

Belum habis keterkejutan mereka, muncul dua 
sosok tubuh dari dalam keraton. Ki Wirayuda dan 
Sari. Rupanya, Ki Wirayuda berhasil membebaskan 
putrinya. Begitu melihat Andika, Sari melotot. 
"Pendekar Bego! Ke mana saja kau, hah?! Kau 
biarkan aku dan yang lain menanggung petaka!" caci 
Sari. 

Andika terdiam. Tidak berkata-kata. Pendekar 
Slebor tidak tahu, siapa yang salah. Justru Eyang 
Sasongko Murti yang kemudian menjelaskan 
semuanya, sehingga membuat Sari tersipu malu. 

Suasana semakin bertambah lega, ketika muncul 
Prabu Adiwarman, Putri Permata Delima, Danji, dan si 
Belang yang langsung mendekati Sari, begitu 
melihatnya. 

Mulai hari ini, mulailah Prabu Adiwarman 
membangun kembali Kerajaan Pakuan dengan 
bantuan orang-orang perkasa yang telah 
menolongnya. Termasuk, Pendekar Slebor. 


SELESAI 


Serial Pendekar Slebor selanjutnya : 
MANUSIA PEMUJA BULAN