Pendekar Slebor 12 - Pendekar Wanita Tanah Buangan


Tanah Buangan. Sebuah daerah terpencil, jauh dari 
kehidupan manusia. Sulit dicapai, karena dibentengi 
pegunungan karang terjal di sebelah utara yang 
membentang hingga ke barat. Juga dikurung oleh hutan 
belantara berlumpur pasir yang dalam, dari selatan hingga 
timur. 

Sulitnya mendapatkan makanan dan banyaknya 
binatang buas, membuat daerah itu tak begitu diminati 
untuk dijadikan tempat tinggal. Meski begitu, tetap saja 
ada satu gubuk kecil di sana, yang dibangun sejak dua 
puluh satu tahun lalu ketika dua orang wanita penghuninya 
menempati. Semenjak mulai membangun kehidupan di 
sana, mereka pun menyebutnya sebagai Tanah Buangan. 

Di satu ketinggian bukit karang, kedua wanita itu kini 
tampak sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Matahari 
telah sepenggalan naik, mengintip dari lebatnya dedaunan 
hutan. Sinarnya menerobos ubun-ubun setiap pohon besar, 
dan menerangi semacam karang datar cukup luas tempat 
mereka berlatih. 

Yang muda bernama Anggraini. Wajahnya cerah dan 
cantik mempesona. Rambutnya panjang hingga sebatas 
lutut. Tubuhnya yang sintal kuning langsat, terbungkus 
pakaian merah-merah yang menebarkan wangi harum 
semerbak. Matanya agak sayu menantang, serta berhidung 
bangir. Di atas bibirnya yang merah merekah, terdapat tahi 
lalat kecil. Maka semakin manislah wajahnya. Kendati 
demikian, tahi lalat kecil tadi juga memberi kesan sedikit 
judes. 

Sementara Anggraini memainkan jurus-jurus silat 
penuh gelora di bawah siraman sinar mentari hangat, 
seorang perempuan tua memperhatikan dari jarak tak 
begitu jauh. Walaupun asianya sudah tujuh puluhan, tapi 
wajahnya masih tergolong muda. Kalau diperhatikan, 
mungkin orang akan menyangka wanita itu berumur tiga 
puluhan. Wajahnya tak jauh beda dengan Anggraini. Sama- 
sama cantik dan sama-sama mempesona. Bedanya, hanya 
pada sinar mata. Wanitayang lebih tua tampak lebih 
tenang dan berwibawa. Tubuhnya pun masih tetap ramping 
mengagumkan, terbalut pakaian ungu berbentuk jubah 
dengan sabuk kain pada bagian pinggang. Rambut yang 
hitam digelung tanggung di bawah leher. "Hiaaa!" 

Pekikan lantang Anggraini menerabas dinding karang. 
Begitu menggebu seakan siap merobek langit. Di bawah 
pengawasan wanita tua sekaligus guru tunggalnya yang 
duduk tenang, gadis dua puluh empat tahun itu menusuk 
udara dengan senjata di tangan kanan. Sekejap itu pula 
tercipta desis keras membahana, pertanda kalau tenaga 
dalam gadis ini sudah mencapai tingkat tinggi. Angin 
pukulannya kemudian meluncur lurus ke arah dinding 
cadas. Berikutnya, dinding cadas itu sudah berantakan. 
membentuk lobang besar yang dalam. 

Siapa pun bisa berdecak kagum bila mengetahui hasil 
angin pukulan perempuan muda yang tampak lemah 
gemulai itu. Terlebih jika memperhatikan senjatanya, yang 
hanya berupa busur kayu. Tampak rapuh, namun bisa 
begitu berbahaya di tangannya. 

"Cukup, Anakku!" seru wanita tua itu. yang ter-nyata 
ibu dari Anggraini. Dan di dalam rimba persilatan dia 
dikenal sebagai Kupu-kupu Merah. "Kulihat pukulan 
'Kekuatan Kembar'-mu sudah cukup sempurna. Kini tinggal 
mencari tahu, apakah inti pukulanmu sudah sempurna 
pula." 

Kupu-kupu Merah segera bangkit dari bersilanya. Lalu 
dihampirinya karang berlobang tadi. Dari jarak dekat 
wanita awet muda itu meneliti beberapa saat. Dengan hati- 
hati, tangan kanannya dijulurkan ke bagian dalam lobang. 
Dan tiba-tiba ditariknya kembali tangan cepat-cepat. 
Sepertinya dia baru saja merasakan sengatan halilinlar. 
Dengan wajah terpana, ditatapnya Anggraini, "Anggraini! 
Kau telah berhasil mencapai tingkatan puncak ilmu 
pukulan itu, Anakku!" seru perempuan tua itu, girang. 

Anggraini melenggak. Sesaat dia terpaku, seakan 
tidak percaya dengan ucapan ibunya sendiri. 

"Apa kau tak mendengarku? Kau berhasil, Anakku! 
Berhasil!" 

Kupu-kupu Merah Jangsung menghambur ke arah 
Anggraini. Dipeluknya anak gadis satu-satunya yang masih 
terpana dengan rangkulan kelewat hangat. Sehingga 
menyebabkan tubuh Anggraini sedikit terguncang-guncang. 

"Ibu tak sedang menghiburku, bukan?" tanya 
Anggraini masih tak bisa mempercayai kata ibunya 
barusan. 

Tingkat puncak ilmu pukulan 'Kekuatan Kem-bar’ 
memang begitu sulit. Bahkan hampir tidak mungkin 
didapatkan oleh seorang wanita seperti Anggraini. Bahkan 
ibunya sendiri sebagai guru tung-galnya tak bisa mencapai 
taraf itu. Lantas bagaimana gadis ini bisa cepat percaya 
kalau kini ibunya tiba-tiba berkata kalau tingkatan itu telah 
berhasil diraihnya? 

"Aku tahu kau tak mempercayainya, Anakku. Tapi itu 
memang terjadi. Selama beberapa keturunan, tak pernah 
ada orang yang berhasil mencapai tingkatan itu. Baik 
diriku, kakekmu, atau guru kakekmu. Kecuali, buyut guru 
yang menciptakan ilmu pukulan itu...," papar Kupu-kupu 
Merah bangga tanpa melepaskan rangkulan. 

"Tapi, Bu...," Anggraini coba membantah. 

"Tak ada lapi-tapian! Kau telah berhasil, Anakku! Aku 
patut bangga padamu. Juga kakekmu, ya juga buyut guru," 
sergah si ibu menggebu. Segera digandengnya Anggraini, 
untuk meninggalkan tempat ini. "Kita harus merayakan 
keberhasilan ini!" tambahnya sambil mencubit pipi Angraini 
yang bersem u merah. 

Sepeninggalan ibu dan anak itu, dinding karang yang 
menjadi korban pukulan pamungkas Anggraini tadi 
mendadak bergetar seperti dilabrak gempa. Bongkahan- 
bongkahan batu mulai berhamburan ja-iuh. Lalu retakan- 
retakan besar tercipta, menyusul sebuah suara desisan 
amat keras bagai suara jutaan ular yang tergabung 
menjadi satu, mengiringi merekahnya bagian datar bukit 
karang di dekat lobang pukulan Anggraini 


•k -k -k 


"Ada yang perlu kau ketahui mengenai ilmu pukulan 
'Kekuatan Kembar'. Anggraini," kata Kupu-kupu Merah 
membuka percakapan ketika mereka sudah berada dalam 
gubuk. 

"Apa, Bu?" tanya Anggraini meminta jawaban. 

Wanita tua tapi masih kelihatan muda itu terdiam, 
seperti mengingat-ingat sesuatu yang terkubur begitu lama 
dalam benaknya. 

"Sewaktu ilmu itu diwariskan padaku, kakekmu 
pernah menyebutkan satu pesan yang datang secara 
turun-temurun dari buyut guru. Katanya, ilmu pukulan itu 
memiliki suatu 'kelebihan yang tak pernah terbayangkan 
oleh pemiliknya' jika sudah mencapai taraf puncak. Karena 
kau telah mencapai taraf itu, kupikir sudah sepantasnya 
kau mengetahui," papar Kupu-kupu Merah. 

"Kelebihan apa kira-kira, Bu?" 

Kupu-kupu Merah menggeleng. 

"Aku tak tahu. Dan aku juga tidak bisa menduga," 
jawab sang ibu, sedikit pun tak memuaskan anaknya. "Tapi 
kau akan segera mengetahuinya nanti. Bersabarlah...." 

Wanita tua yang awet muda itu lalu bangkit. Di- 
hampirinya satu sudut ruangan. Di sana, diambilnya 
sebuah peti kecil yang terkunci rapat. 

"Sekarang pula waktunya aku menceritakan padamu 
tentang suatu hal," ujar wanita tua ini seraya membawa 
peti tadi ke dekat Anggraini. 

Peti itu diletakkan di lantai gubuk, tepat di depan 
Anggraini yang tetap duduk bersimpuh. Lalu dengan 
sebuah kunci, dibukanya kotak berwarna hitam kusam itu. 

Peti terbuka. Maka terlihatlah seutas cemeti di 
dalamnya. Juga sebuah kalung bermata kepingan perak 
berbentuk kepala rajawali. Kupu-kupu Merah 
mengeluarkan kedua benda kuno, dan meletakkannya di 
pangkuan Anggraini. 

"Apa maksud Ibu dengan semua ini?" tanya Anggraini 
agak terdengar lirih. 

Tampaknya gadis itu mulai bisa menduga maksud 
ibunya dengan semua itu. Kalaupun dia bertanya, sekadar 
mengungkap ketidak setujuannya. 

"Aku telah menurunkan semua ilmu-ilmuku padamu, 
Anakku...." 

"Karena itu Ibu memberikan padaku benda-benda 
ini?" selak Anggraini, menyampaikan dugaan kuatnya. 

Kupu-kupu Merah mengangguk lamat. Sebenarnya 
bukan hanya Anggraini yang tak setuju atas semua hal itu. 
Dia pun begitu. Tapi, perpisahan bukanlah waktu yang bisa 
dihindari setiap orang. Sudah waktunya bagi Anggraini 
untuk merambah dunia persilatan, mengamalkan seluruh 
kepandaian yang telah dimilikinya untuk kepentingan orang 
banyak. Dan Kupu-kupu Merah yakin, itu adalah jalan 
terba-ik bagi anak tunggalnya. 

"Aku tak mau berpisah dari Ibu," gumam Anggraini 
berat. 

"Aku tahu, Anakku. Siapa manusia yang sudi berpisah 
dari orang-orang yang dicintai? Aku pun sesungguhnya 
berat berpisah denganmu, darah dagingku. Tapi kau harus 
menjalani sesuatu yang lebih baik daripada hanya di 
tempat terpencil ini. Banyak hal menunggumu di luar sana. 
Banyak orang menanti uluran tanganmu. Juga, banyak 
pengalaman yang akan memperkaya dirimu agar kau bisa 
memahami apa arti hidup ini." 

Anggraini mulai terseguk kecil. Sang ibu menjadi 
trenyuh. Dengan penuh kasih, dirangkulnya gadis ini erat- 
erat. 

"Hidupmu tetap akan berlanjut tanpa aku, Anakku. 
Jadi, janganlah menjadi takut menghadapinya hanya 
karena aku tak ada...," tutur wanita tua itu arif. 

"Aku bukan takut menjalani hidup, Bu. Aku hanya 
takut tidak akan bertemu lagi denganmu...," keluh 
Anggraini, di antara isak yang menyentak kecil. 


"Sudahlah.... Aku tak mau anakku menjadi gadis 
rapuh. Kau tak mau mengecewakan ibumu, bukan?" 

Anggraini menggeleng dalam pelukan Kupu-kupu 
Merah. 

"Nah! Kalau begitu, tegakkan kepala dan man-tapkan 
tekad. Kau harus jadi gadis berjiwa karang!" ujar sang ibu 
memberi kekuatan seraya melepas pelukan. 

Sementara Anggraini menyeka air mata yang 
melembapi kedua sisi pipi halusnya, sang ibu diam 
menunggu. Setelah itu, dia mulai berbicara kembali. 

"Dua benda ini ada hubungannya dengan ayahmu. 
Selama ini, kau selalu menanyakan tentang beliau, bukan? 
Aku tak bisa menceritakan tentangnya. Dengan benda- 
benda ini, carilah keterangan tentang ayahmu di luar sana. 
Apa pun yang kau dapat tentang diri ayahmu, terimalah 
dengan hati lapang...." 

"Kenapa bukan Ibu saja yang menceritakan tentang 
ayah padaku?" cetus Anggraini. 

"Tidak. Itu terlalu sulit bagiku. Kau nanti akan lahu, 
kenapa aku berkata seperti itu. Hanya, aku hanya bisa 
mengatakan kalau ayahmu sangat sayang padamu...," 
lanjut Kupu-kupu Merah dengan suara melemah. 
Dijemputnya cemeti dan kalung perak dari pangkuan 
Anggraini. "Bawalah benda ini. Sekali lagi kukatakan, 
dengan benda ini carilah segala hal tentang ayahmu." 

Anggraini menerima dua benda pemberian ibunya 
dengan garis-garis bening di mata. 

k k k 

Dua hari kemudian, gadis yang beranjak matang itu 
telah berdiri mematung di bukit karang, tempatnya biasa 
latihan bersama sang ibu. Untuk yang terakhir kalinya, 
dinikmatinya tempat yang menyimpan kenangan bertahun- 
tahun ini. Sebuah tempat di mana dirinya dibesarkan. 
Tempat yang penuh tantangan hidup, namun sudah 
menjadi bagian dari dirinya sendiri. 

Tak berapa lama kemudian, gadis ini menghampiri 
dataran cadas yang membentang di balik bongkahan 
karang raksasa. Ketika tiba di pelataran latihan alam itu, 
Anggraini menjadi terkejut. Tampak tempat tersebut dalam 
keadaan porak poranda. Ba-tu-batu besar berserakan tak 
menentu. Dinding cadas dilantak retakan-retakan besar. 

"Mungkinkah ada gempa?" bisik gadis itu. 

Tapi, tak mungkin gempa. Gempa tak mungkin 
menciptakan lobang seperti galian sumur dengan ga-ris 
lingkaran yang begitu bulat, seperti dilihatnya pada 
pelataran latihan, tepat di bawah bagian dinding cadas 
yang terkena pukulannya beberapa hari lalu. 

"Ada apa ini sebenarnya?" gumam Anggraini kembali. 

Saat selanjutnya, naluri gadis ini memperingati. 
Bahaya besar akan dalang! Sekilas dari peringatan 
nalurinya, terdengar sebentuk desisan mengerikan yang 
demikian santer.... 

"Zzz...!" 

Anggraini tercekat. Dengan serta merta, tubuhnya 
berbalik ke arah suara tadi. Matanya tiba-tiba membesar, 
bibirnya ternganga dan wajahnya berubah memucat 
manakala menyaksikan sesuatu di belakangnya. Sesuatu 
yang 'tak pernah terbayangkan!. 

•k -k -k 

Siapa pun akan terperangah menyaksikan dengan 
mata kepala sendiri suatu yang tak pernah terlintas dalam 
benak. Persis keadaan Anggraini saat ini. 

Apa yang disaksikan gadis itu adalah seekor ular 
raksasa! Besar tubuhnya dua kali ukuran kerbau dewasa. 
Dan panjangnya, lebih dari dua puluh tombak! Sisiknya 
kasar bagai serpihan karang, berwarna hitam keperakan 
serta berlendir. Hanya pada bagian kepalanya saja bebas 
dari cairan kental menjijikkan itu. Jika dilihat sekilas, 
kepala ular raksasa itu mirip kepala seekor naga. Pada 
bagian telinganya terdapat sebentuk sirip tajam. Mulutnya 
pun besar bertaring. Sedangkan matanya berwarna merah 
tua. 

Tepat sekali pesan dari Kupu-kupu Merah pada saat 
hendak melepas anaknya dua hari lalu, bahwa pencapaian 
tingkat pamungkas ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar' yang 
dicapai Anggraini akan membuahkan sesuatu yang tak 
pernah terbayangkan! Ular raksasa itu memang muncul, 
karena pengaruh kekuatan pamungkas ilmu pukulan milik 
Anggraini. 

Binatang raksasa ini adalah makhluk tua berusia 
ratusan tahun. Kekuatan pukukan Anggraini, telah 
mengusik tidurnya dalam perut bumi setelah seratus lima 
puluh tahun. Dulu, manakala buyut guru Anggraini 
menciptakan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar 1 , si ular 
raksasa pun tiba-tiba muncul di luar perhitungannya. 

Entah karena tak ingin dimangsa atau karena begitu 
terkejut, buyut Anggraini melepas pukulan ciptaannya ke 
tubuh binatang langka itu. Tak ayal lagi, terjadilah 
pertarungan amat dahsyat antara dua makhluk berbeda. 
Berhari-hari mereka bernafsu hendak saling menjatuhkan. 
Sampai akhirnya si ular raksasa dapat ditundukkan lelaki 
sakti buyut Anggraini. 

Sepeninggalan lelaki itu, si ular raksasa menghilang 
kembali ke dalam perut bumi. Bersemadi kembali seperti 
seorang pertapa tua. Kalau ada seorang yang sanggup 
mengusiknya kini, itu karena pengaruh ilmu pukulan 
'Kekuatan Kembar' yang sampai padanya jauh di bawah 
bumi. 

Jika begitu, mungkin si ular raksasa akan segera jinak 
pada Anggraini karena sama-sama memiliki ilmu pukulan 
'Kekuatan Kembar' seperti buyut gurunya. Kemungkinan 
lain pun bisa saja terjadi. Biar bagaimanapun, hewan 
tetaplah hewan. Memiliki naluri yang begitu peka, sehingga 
mampu membedakan sang tuan atau bukan. 

Dengan amat mengerikan, binatang raksasa itu mulai 
merayap menuju Anggraini. Gesekan kulitnya yang tebal 
dengan dataran karang, menimbulkan bunyi keras. Mulut 
bertaringnya tak henti-henti mendesis. Sesekali lidahnya 
terjulur keluar seperti hendak langsung menyambar tubuh 
Anggraini, lalu menyeretnya masuk ke dalam mulut 
sebesar goa itu. 

"Zzz! Zzz...!" 

"Ya, Tuhan.... Makhluk apa ini?" gumam Anggraini 
nyaris mendesis karena begitu bergidik. 

Namun kengerian gadis ini tak bisa dibiarkan berlarut- 
larut, kalau tidak ingin menjadi sasaran empuk si ular 
raksasa. Karena, saat itu juga ular ini menyerang dengan 
ganas. 

Kepala ular raksasa itu membuat gerakan mematuk. 
Bersamaan dengan itu, mulutnya menganga lebar, 
memperlihatkan rongganya yang berlendir. 

Disertai seruan kaget, Anggraini melenting gesit ke 
udara. Tindakan itu cukup mampu menyelamatkan dirinya. 
Nyatanya, kepala ular raksasa ini hanya lewat sekian 
jengkal di bawah kakinya. 

Luputnya serangan pertama, kembali datang se¬ 
rangan susulan. Tubuh lentur hewan ini meliuk. Dan 
ekornya pun menyabel deras kedepan. menyerbu tubuh 
Anggraini di udara. 

Wuk! 

"Aaaih!" 

Penggodokan selama bertahun-tahun di bawah 
lumbingan ibunya, tak sia-sia. Tanpa banyak berpikir lagi, 
Anggraini membuat putaran darurat dengan menggulung 
tubuhnya. 

Sekali lagi, terjangan ganas binatang mengerikan ini 
dapat dilumpuhkan. Untuk kali ini, Anggraini tak puas 
hanya mementahkan serangan. Dia pun merasa harus 
membalas. Itu jalan terbaik baginya. Karena pada saat itu, 
hanya ada dua pilihan bagi gadis itu. Membunuh atau 
dibunuh! 

"Hiaaa!" 

Srat-wut! 

Satu gerakan gesit dibuat Anggraini. Busur yang sejak 
tadi hanya menggelantung di bahu, langsung diloloskan. 
Secepatnya pula senjata itu dihantamkan ke belakang 
kepala si ular raksasa. 

P rak! 

Besarnya tubuh hewan itu membuat Anggraini bisa 
telak mendaratkan hantaman busurnya. Tapi walau 
tindakan itu dilakukan dengan satu pengerahan tenaga 
dalam, nyatanya si ular raksasa tak mengalami akibat yang 
berarti. 

Ular besar itu hanya menggeliat sekali, lalu mem¬ 
balikkan kepalanya ke arah Anggraini. Seolah-olah pukulan 
tadi hanya berupa gigitan seekor nyamuk baginya. 
Kenyataan itu benar-benar sempat mengecutkan nyali 
gadis dari Tanah Buangan. 

"Tuhan.... Apakah aku benar-benar mampu 
menghadapi binatang mengerikan ini?" keluh Anggraini, 
setelah mencoba membuat jarak yang cukup aman dari 
lawan anehnya. 

Belum lagi puas mengambil napas, ular raksasa itu 
mulai lagi mematuk deras. Karena begitu besar, 
patukannya menimbulkan angin kuat. Untuk kesekian 
kalinya, Anggraini berkelit jauh-jauh. 

Tak seperti sebelumnya, patukan kali ini rupanya 
dilandasi kemarahan ular raksasa atas tindakan Anggraini 
yang menghajar bagian belakang kepalanya. Dengan 
begitu, kekuatan serangan pun makin berlipat ganda. 
Akibatnya, angin deras yangtercipta pun kian besar. 

Meski Anggraini berhasil luput dari terjangan kepala, 
tak urung angin hasil gerakan buas si ular raksasa 
menerpanya. Keseimbangannya jadi hilang. Pada saat 
kakinya berusaha mencari pijakan yang kuat, ekor hewan 
itu melepas lecutan secepat kilat. 

Wuk! Des! 

Tak ayal lagi tubuh Anggraini terlontar ke belakang, 
seperti sebongkah batu yang dilemparkan sepenuh tenaga! 
Kalau saja tak memiliki ketahanan luar biasa, saat itu juga 
tubuhnya akan remuk-redam. Atau, paling tidak akan 
kehilangan kesadarannya. 

Untunglah hal itu tidak terjadi. Meski dengan dada 
terasa dihantam godam ratusan kali, gadis putri lunggal 
Kupu-kupu Merah itu masih mampu membuat putaran 
tubuh di udara, agar kepalanya tak hancur dilantak dinding 
karang. Setelah menahan luncuran tubuh dengan kakinya, 
Anggraini mendarat agak payah. Sebelah tangannya 
memegangi dada. Sementara dari kedua sudut bibirnya, 
mengalir cairan merah. 

Dari jarak tujuh belas tombak yang memisahkan 
dirinya dengan lawan, Anggraini menatap nanar binatang 
langka itu. Pandangannya mengabur. Namun di balik itu, 
seberkas pijar kegusaran mulai terbetik. 

"Jangan senang dulu, Binatang Laknat! Kau pikir aku 
akan mudah dilumat!" geram Anggraini bersama rahang 
yang mengejang. 

Di lain sisi, si ular raksasa mulai merayap menuju diri 
gadis itu kembali. Lidahnya menjulur-julur bagaikan 
mengejek. Mata merahnya mencorong penuh ancaman. 
Sambil mendesis mengguntur, taring besar-nya 
dipe rlihatkan. 

"Kau rasakan ini!" rutuk Anggraini. 

Begitu selesai kata-katanya bergegas gadis ini 
meloloskan sebatang anak panah dari sarangnya. 

Busur yang masih tergenggam erat di tangan kanan, 
segera diacungkan ke muka. Senjata itu pun meregang, 
siap melepas anak panah yang dibidikkan tepat ke kepala 
si ular raksasa. Srat! 

Anak panah bermata baja merangsek udara. Begitu 
deras meluncur ke arah sasaran.... Tak! 

Mata Anggraini dipaksa mengerjap-ngerjap tak 
percaya dengan apa yang terlihat. Anak panah bermata 
baja itu ternyata seperti terhadang tembok kuku tak 
tertembus. Bahkan malah patah menjadi dua! Entah 
terbuat dari apa kulit kepala binatang itu.... 

Disertai rasa penasaran membludak, Anggraini 
meloloskan lagi anak panah. Kali ini tak tanggung- 


tanggung, tiga anak panah akan langsung ditujukan pada 
beberapa bagian tubuh si hewan raksasa. Mungkin ada 
bagian-bagian tertentu tubuh hewan itu yang berkulit 
rapuh. 

Srat! Siiing_Tak-tak-tak! 

"Astaga! Betul-betul gila!" seru Anggraini, begitu 
mengetahui kalau tiga batang anak panahnya mengalami 
nasib sama dengan anak panah sebelumnya. Padahal dia 
sudah mencoba mendaratkannya di bagian tubuh yang 
diperkirakan lemah! 

Tinggal tersisa satu kesempatan lagi bagi gadis itu 
untuk melepas anak panah selanjutnya, sebelum ular 
raksasa benar-benar tiba di dekatnya. Maka kini dua anak 
panah pun diloloskan. Kali ini Anggraini yakin benar 
sasarannya akan membawa hasil. Yang akan ditujunya 
sepasang mata merah darah milik si ular raksasa. 

Srat! Siiing...! 

Ketika dua batang anak panah Anggraini yang melesat 
cepat nyaris mencapai biji matanya, si ular raksasa tiba- 
tiba membuat satu sabetan dengan lidahnya. Sungguh 
sebuah kemampuan tempur yang sulit dipercaya, bisa 
dilakukan oleh semacam hewan seperti itu. Seakan-akan 
makhluk mengerikan ini memiliki kecerdasan seorang 
pendekar tangguh. 

Bet! 

Dengan lidahnya, hewan berdarah dingin ini menjerat 
dua batang anak panah bermata perak itu. Secepat kilat, 
lidah lenturnya menghempas balik ke arah Anggraini. 
Hasilnya, kini senjata itu mengancam tuannya sendiri. 

Kalau saja Anggraini tak cepat menghindar, ten-tu 
sepasang anak panahnya akan menyantap tubuh sendiri. 
Meski bisa melepaskan diri dari maut, Anggraini tetap tak 
bisa melepaskan diri dari keterkejutan atas tindakan ular 
aneh ini tak biasanya. 

"Benar-benar sulit dipercaya," gumam gadis itu 
dengan wajah sedikit terlipat. 

Baru saja gumamannya selesai Anggraini harus 
sungsal-sumbel menghindari terjangan liar si ular raksasa 
yang semakin kerasukan. Kepalanya mematuk-matuk 
hebat, sedangkan ekornya menyabet-nyabet menggiris 
nyali. Karena berkali-kali gadis itu bisa menyelamatkan diri, 
maka bukit karang di sekitar pertempuran yang menjadi 
sasaran. 

Bongkahan-bongkahan batu terus berguguran. 
Sehingga, tempat itu lebih berantakan daripada sebelum 
terjadi pertarungan. Butiran-butiran yang lebih kecil 
berhamburan ke segala arah. Tempat itu kian porak- 
poranda. 

Sampai saatnya, Anggraini merasa harus melakukan 
bela diri. Tubuhnya tentu akan cepat kelelahan, jika terus 
diburu seperti itu. Makanya, kini mulai dikerahkannya ilmu 
pukulan 'Kekuatan Kembar' pada kedua tangannya. Suatu 
ketika, tangan kanan-nya mendapat kesempatan untuk 
mendaratkan pukulan tingkat kelima, setengah dari 
kemampuan ilmu pukulan 'Kekuatan Kembar'. Yang 
menjadi sasaran adalah moncong hewan langka ini. 

Dugh! 

Kontan saja kepala besar sang ular tersurut mundur. 
Tubuhnya tampak menggelepar sesaat, sebagai tanda 
mengalami siksaan rasa sakit. Ketika tubuhnya 
menggelepar, kepala ular raksasa itu menggeleng-geleng 
liar dengan cepat. 

Anggraini yakin, pukulannya akan segera 
membinasakan ular raksasa itu. Atau paling tidak, binatang 
itu akan terluka dalam dengan tulang moncong remuk 
redam. Menurutnya, tulang tengkorak ular itu pasti tidak 
sekeras cadas. Pada tingkat pukulan ketiga saja, cadas 
sekeras apa pun bisa dibuat hancur oleh pukulannya. 
Apalagi pada tingkat kelima seperti diterima si ular 
raksasa. 

Tapi jauh di luar perkiraan, si ular raksasa ternyata 
tidak mengalami luka berarti. Dengan amat gusar, 
kepalanya ditegakkan ke arah Anggraini. Tubuhnya terlihat 
mengejang, pertanda siap melabrak lawannya yang kecil 
dengan kemarahan berkobar. 

"Astaga.... Tingkat kelima pukulan mautku tidak 
membuatnya terkapar!" desis Anggraini takjub, sekaligus 
bingung. Bagaimana tidak bingung kalau ilmu andalannya 
yang sudah dikerahkan setengah bagian, tak juga sanggup 
melumpuhkan lawan? 

Sadar kalau binatang raksasa itu akan menerjangnya 
habis-habisan, Anggraini tak punya pilihan lain. Satu- 
satunya jalan terbaik adalah mengerahkan seluruh ilmu 
pukulan andalannya. Maka dengan sigap, pukulan 
pamungkas yang baru berhasil dicapai dua hari lalu 
dikerahkan. Sebuah pukulan yang mengandung dua 
kekuatan hebat, seperti sebutannya. Tenaga luar akan 
sanggup melantakkan karang men-,jadi debu, sedangkan 
kekuatan dalamnya akan mampu meluluhkan baja karena 
panas yang demikian tinggi. Tidak hanya itu. Panasnya pun 
memiliki kekuatan untuk menyebar sampai jarak tertentu, 
seperti kobaran api yang menyambar ke mana-mana, me¬ 
mangsa apa saja. 

"Zzz! Zzz!" 

"Haaah... hsssh!" 

Berbareng desisan menggelegar si ular raksasa, 
Anggraini mulai menghempos tenaga pada kedua ta¬ 
ngannya yang terentang ke depan dengan telapak terbuka. 
Sementara si ular raksasa menerjang dengan mulut 
menganga, tepat ketika gadis dari Tanah Buangan itu 
melepas tenaga sakti melalui sepasang telapak tangannya. 

Weeesss! Das! 

"Bgrrrzzz!" 

Terjangan si ular raksasa langsung terhadang di 
tengah jalan. Kepalanya memantul ke belakang, diterjang 
pukulan pamungkas jarak jauh lawan kecil-nya. Sehimpun 
rasa panas bagai terjangan puluhan lidah petir kontan 
mendera hebat dari dalam. Sementara rasa sakit luar 
biasa akibat hantaman di pelipis-nya, seakan membelah 
tengkoraknya dari dalam. 

Bagai gempa, gelepar ular itu menggetarkan bukit 
karang. Keadaan tempat ini semakin parah. Batu-batu 
sebesar kerbau melayang ke segala arah tersampok gerak 
tubuhnya. Kepalanya mengeruk-ngeruk dataran karang 
seakan hendak membuat lobang raksasa. 

Di suatu celah bukit cadas yang cukup terlindung, 
Anggraini memperhatikan amukan sang hewan raksasa 
dengan mata menyipit-nyipit ngeri. Lama hal itu 
berlangsung, sampai akhirnya si ular raksasa tak bergerak 
lagi. Getaran hebat pun lenyap ditelan bumi. Batu besar tak 
lagi terlempar. Dan suasana pun senyap. 

Anggraini lega. Didekatinya badan binatang yang 
tergolek lemah itu. Pikirnya, binatang itu pasti sudah mati. 
Namun tatkala sampai di dekatnya, nyatanya si ular 
raksasa masih hidup. Denyut di satu bagian tubuhnya jelas 
terlihat, walaupun sudah lemah. 

Anggraini siaga kembali. Apalagi, ketika si ular 
raksasa mulai beringsut perlahan. Kepalanya merambat 
setapak demi setapak menuju Anggraini. Tepat satu 
tombak di depan gadis itu, ular raksasa ini menjatuhkan 
kepala, diam dengan mata menatap pasrah. Sinar mata 
yang merah darah, tak lagi buas mengan-cam. Malah kini 
memperlihatkan bias kekalahan. Lama Anggraini menatap 
tegang. Sampai akhirnya, kakinya melangkah mendekat ke 
kepala si ular karena rasa iba yang mengusik nurani 
kewanitaannya. 




Debu meraksasa ke angkasa, ketika sebuah kereta 
kuda meluncur dengan kecepatan gila di jalan berbatu. 
Sepasang kuda penariknya meringkik-ringkik bagai 
kerasukan. Kaki kokoh binatang-binatang perkasa itu 
meninju permukaan jalan serta bebatuan yang berserakan. 
Dengan napas berdengus memburu, mereka terus 
melarikan kereta dalam kecepatan tinggi. 

Dari bentuk serta hiasannya, menunjukkan kalau 
kereta tersebut milik seorang priyayi. Atau paling tidak, 
seorang saudagar kaya. Kayunya dari jati berukir indah. 
Memiliki dua pintu berlapis ukiran perak. Dua lentera 
terpancang di kedua sisi kursi kusir. Itu pun berlapis ukiran 
perak. Anehnya, di kursi itu tak terlihat kusir seorang pun. 

Di bagian lain jalan, seorang wanita tampak berjalan 
tenang, meski suara liar yang diciptakan kereta kuda 
terdengar di kejauhan. Sikapnya tetap tanpa terusik ketika 
kereta kuda kian dekat dan dekat. 

Pada saatnya, kereta kuda tinggal melabrak wanita 
itu. Dua kuda liar pembawa kereta seperti tidak peduli 
kalau ada orang di depan. Seakan binatang itu akan 
menerjang tanpa ampun, walau di depannya adalah 
sebuah bukit karang. 

"Ngiiingiii!" 

Sepasang binatang perkasa berwarna hitam berkilat 
itu meringkik keras. Tepat beberapa tombak lagi kereta 
kuda melabrak tubuh si wanita, tali kekangnya ditarik tiba- 
tiba oleh seseorang. 

Si wanita berpakaian merah-merah menoleh acuh ke 
belakang, melihat sekilas kendaraan yang hendak 
melabraknya barusan. Setelah itu, kakinya melanjutkan 
langkah bagai tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu 
tenyata Anggraini. 

Sementara dari jendela kereta kuda, muncullah 
kepala seorang pemuda tampan menawan, berkesan 
perkasa. Garis rahangnya begitu keras. Matanya berbinar 
menggetarkan. Rambutnya ditata rapi, serta ditutupi kain 
sutera kuning bersulam benang emas. Rupanya, dialah 
yang telah menarik tali kekang. Yang patut dikagumi, 
bukan hanya ketampanannya, tapi juga kepandaiannya. 
Tanpa menyentuh tali kekang yang terikat di luar, pemuda 
itu sanggup menariknya dari dalam. 

"Aku bersedia memberi tumpangan padamu, 
Nisanak!" sapa pemuda itu pada Anggraini, ramah. 

"Terimakasih. Aku rasa, aku lebih suka berjalan kaki 
seperti ini, ketimbang harus duduk bersama seorang yang 
suka pamer kekuatan dan kekayaan sepertimu," jawab 
Anggraini datar tanpa menoleh. 

Sementara Anggraini melangkah, pemuda itu 
mengikutinya dengan kereta di belakang. 

"Hey! Mestinya kau berterimakasih, karena aku baru 
saja menyelamatkanmu. Kalau tali kekangnya tidak 
kutarik, kau tentu akan hancur," ujar si pemuda, masih dari 
jendela keretanya. 

"Aku tak melihat ada yang menarik tali kekang," 
sergah Anggraini, berpura-pura tak tahu kalau si pemuda 
melakukannya dengan tenaga dalam yang bisa dibilang 
tingkat tinggi. Si pemuda tertawa. 

"Dengan busur di punggungmu dan cemeti melingkar 
di pinggang, kupikir kau orang persilatan yang tak begitu 
asing dengan permainan tenaga dalam," kata pemuda itu 
setengah meledek. 

"Justru itu, aku menyebutmu telah pamer kekuatan!" 
selak Anggraini mendadak. Tetap tak menoleh. Dan 
langkahnya dipancung saat itu juga. 

"O, jadi kau tadi hanya pura-pura tak tahu, rupanya?" 
kata pemuda itu seperti bertanya. 

Si pemuda keluar dari keretanya. Kini terlihatlah 
penampilan keseluruhan pemuda tampan itu. Tubuhnya 
yang tinggi tegap, terbungkus pakaian hitam-hitam dengan 
kain batik terikat di pinggang hingga ke lutut. Pakaiannya 
seperti para ningrat kalangan istana. Lengkap dengan 
kancing-kancing dan rantai emas. 


"Kalau begitu, aku akan meminta maaf dengan penuh 
rasa hormat. Itu kalau perbuatanku dianggap lancang, 
Nisanak," sambung si pemuda seraya menghampiri 
Anggrai ni. 

Anggraini hanya melirik dingin. "Kini kau mulai pamer 
kekayaan padaku dengan pakaian mewahmu. Apa dipikir 
aku akan silau dengan pakaian itu, lalu menghormati 
karena kau seorang ningrat?" 

Si pemuda tersenyum lepas. 

"Kalau begitu, untuk yang kedua kalinya aku me¬ 
mohon maaf. Bagaimana? Kalau perlu, aku akan 
mengganti pakaianku ini, j'ika kau tak suka...." 

"Tak perlu," sahut Anggraini seraya melanjutkan 
langkahnya. "Kau akan kehilangan harga dirimu, kalau 
melepas pakaianmu. Bukankah pakaianmu itu adalah 
lambang, siapa dirimu sesungguhnya?" 

"Nisanak..., Nisanak. Kau menyindirku," desah si 
pemuda disertai hembusan napas seraya mengedikkan 
bahu. "Baiklah. Kalau kau tak mau menerima tawaran 
baikku, sudikah kau sedikit memberi jalan agar kereta 
kudaku dapat lewat?" 

Pemuda itu lantas membuka pintu kereta, lalu masuk 
ke dalam. 

"Kenapa kau tak mencoba menyingkirkanku dari jalan 
ini? Terus terang, aku tak menepi hanya karena kau 
seorang bangsawan," tandas Anggraini, sinis. 

"Baik, kalau itu maumu, Nisanak...,"sahut pemuda itu. 

Lalu, si pemuda bersiul keras, memberi aba-aba pada 
sepasang kuda agar segera berlari lagi. Tapi meski sudah 
mengulangi siulan, binalang-binatang itu tetap tak 
bergerak. Hanya kepalanya saja yang melengos dan 
mengangguk-angguk seperti meronta dari sebuah ikatan. 

Barulah si pemuda sadar kalau wanita yang 
ditemuinya telah melepas totokan pada kaki kedua 
binatang itu. Dalam hati, mau tak mau si pemuda memuji. 
Tanpa tertangkap oleh mata tajamnya sendiri, ternyata 
wanita ini sudah menotok kuda-kudanya. Mungkin pula 
lebih dulu dibanding tindakannya saat menarik tali kekang 
dengan tenaga dalam. 

"Sekarang, tampaknya justru kau yang hendak pamer 
kekuatan, Nisanak...," ujar si pemuda tanpa terlihat gusar. 

"Itu hanya untuk membalas tanlangan pamer 
kekuatanmu!" 

"Karena kau sudah membalasnya, kurasa persoalan 
kita sudah selesai bukan?" 

"Apa kau yakin begitu?" 

Anggraini melanjutkan langkahnya dengan amat 
tenang. Dari caranya berjalan, tampaknya dia amat yakin 
kalau si pemuda akan menahannya kembali. Setelah 
melangkah cukup jauh, ternyata pemuda bangsawan itu 
memang benar menahannya. 

"Nisanak, tunggu!" 

Anggraini tersenyum menyambut kemenangannya. 
Totokan pada kaki kuda tadi memang tergolong sulit 
dibebaskan. Sudah puluhan tahun jenis totokan itu tak 
muncul, semenjak buyut gurunya meninggal. Sebagai ahli 
warisnya, kini Anggraini bisa memanfaatkannya kembali. 

"Nisanak, bukankah persoalan kita sudah selesai? 
Maukah kau melepaskan totokan pada kuda-kudaku ini?!" 
pinta si pemuda. 

"Kalau aku tak mau, apakah kau akan memaksa?!" 

"Aku rasa tidak. Aku terpaksa akan menempuh 
perjalanan jauhku dengan jalan kaki. Tapi, apa kau tak 
kasihan dengan kuda-kuda ini? Tentu mereka akan mati 
perlahan, karena kelaparan dan kehausan.... 

"Apa peduliku?!" dengus Anggraini ketus. Kembali 
langkahnya dilanjutkan. 

Si pemuda bergegas mengejarnya dari belakang. 
Sampai di depan Anggraini, dia berusaha menahan dengan 
mencoba memegang bahu wanita berpakaian merah- 
merah itu. Tapi tindakannya malah di salah artikan oleh 
Anggraini. Dengan gerakan cepat, ditangkisnya tangan si 
pemuda, lalu melancarkan tusukan dua jari ke leher. 

Jep! 

Tentu saja pemuda tampan ini terkesiap bukan main. 
Sama sekali tak diduga kalau wanita mempesona yang 
sifatnya dianggap ketus itu melancarkan serangan hanya 
karena ditahan langkahnya. Malah bisa cepat diduga kalau 
wanita itu tentu salah paham. Sebab itu si pemuda 
bangsawan ini berusaha menghindar tanpa membalas 
serangan. 

Tapi serangan pertama yang luput, membuat 
Anggraini jadi penasaran. Segera serangannya dilanjutkan 
dengan sodokan dengkul ke perut. 

Suka tak suka, si pemuda melayani serangan 
Anggraini. Setelah menangkis sodokan kaki, jari 
telunjuknya ditusukkan ke satu bagian tubuh Anggraini. Dia 
tak bermaksud membalas Anggraini, hanya untuk 
melumpuhkannya. 

Tapi terlalu cepat jika Anggraini bisa dilumpuhkan 
hanya dalam segebrakan. Sewaktu jari pemuda itu 
meluncur lurus, Anggraini malah melayaninya dengan 
tusukan jari pula. 

Si pemuda mengumpat dalam hati. Dia seperti diajak 
untuk menguji kecepatan. Kalau jarinya lebih cepat, 
Anggraini akan segera dilumpuhkan. Tapi kalau wanita itu 
lebih cepat, tak bisa dibayangkan. Sebab, dari geraknya si 
pemuda tahu, jari Anggraini tidak dimaksudkan untuk 
sekadar menotok. 

Deb! 

Dengan gerak blingsatan si pemuda berusaha 
membatalkan totokannya, sekaligus membuang diri agar 
jari Anggraini tak mendarat di tenggorokan. Sayang, dia 
membuang diri ke tempat yang tak tepat. Sehingga, 
gerakannya tertahan lereng bukit. Akibatnya, keadaannya 
kini terjepit. Sementara jari Anggraini kian dekat ke 
sasaran. 

"Tunggu!" teriak si pemuda, kalap. 

Pada saat yang sama, sebutir batu kecil melayang 
cepat membelah udara. Asalnya dari sisi kanan mereka. 

Tak! 

"Aaah!" Anggraini mengerang, begitu batu kecil tadi 
tepat mengenai jari telunjuknya dan langsung pula 
menyem pongkan laju jari itu ke arah lain. 

Bles! 

Lereng bukit di belakang kepala si pemuda termakan 
tusukan jari Anggraini, hingga seluruh jari telunjuk gadis 
dari Tanah Buangan itu melesak. Hanya berjarak setengah 
jengkal dari tenggorokan lawan! 

"Apa perlu kau menurunkan tangan kejam untuk 
sebuah urusan sepele, Nisanak Cantik?!" 

Sebuah suara terdengar, tujuh tombak dari tempat 
mereka berdua. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di 
situ telah berdiri seorang pemuda sambil, bersidekap. 
Kemunculannya, seperti hantu. 

"Siapa kau?!" bentak Anggraini ketus, seraya 
mengangkat tangannya dari lereng bukit. Ditempatkannya 
kedua tangan di pinggang, lalu tubuhnya dihadapkan pada 
si pendatang baru. Sikapnya begitu galak. Lebih galak 
daripada macan betina. 

Si pemuda ikut menoleh pada orang yang baru 
datang. Tampak seorang pemuda yang sebaya dengannya. 
Rambutnya panjang masai. Berpakaian hijau-hijau, dengan 
selembar kain bercorak catur ter-sampir bebas di bahunya. 
Melihat wajahnya, si pemuda harus merasa mendapat 
saingan. Kalau ada seorang gadis yang diminta untuk 
memilih salah satu di antara mereka, tentu gadis itu akan 
kebingungan. Mereka benar-benar memiliki ketampanan 
memikat dan sama-sama memiliki kelebihan pula dalam 
ketampanan itu. 

"0, jadi hari ini aku bertemu pemuda-pemuda tampan 
mata keranjang?" sindir Anggraini, pada pemuda yang baru 
datang. Padahal, dia belum lagi mendapat jawaban dari 
pertanyaannya yang pertama. 

"Terimakasih atas pujiannya, Nisanak yang can-tik.... 
Tapi, apa kau lupa dengan pertanyaanmu yang pertama?" 
kata si pemuda berpakaian hijau-hijau. 

"Jangan banyak basa-basi! Kenapa kau tak langsung 
menyebutkan namamu, lalu segera enyah dari sini!" 

"Aku Andika," sahut pemuda berpakaian hijau yang 
memang Andika atau lebih terkenal sebagai Pendekar 
Slebor. "Tapi kalau perkara enyah dari sini, aku tak mau 
meluluskan permintaanmu. Apa kau membiarkan 
seseorang begitu saja, yang telah membuat jari halusmu 
itu nyeri?" 

"Itu artinya kau menantangku! Dasar tak tahu diri! 
Mestinya, kau berterimakasih karena aku telah 
mengampunimu!" 

Pendekar muda urakan itu tak menggubris semprotan 
Anggraini. Santai saja, didekatinya kereta kuda. Diamatinya 
kaki-kaki kuda yang masih kaku. "Totokan yang bagus. 
Agak sulit membebaskannya, karena ditempatkan 
demikian rapi di satu urat saraf tersembunyi...," kata 
Pendekar Slebor sambil berjongkok dan mengorek-ngorek 
telinga. 

Andika mengalihkan pandangan pada Anggraini. 

"Tapi itu bukan perkara yang terlalu sulit bagiku." ujar 
Pendekar Slebor menyombong. 

Sambil berkata, alis mata sayap elang Pendekar 
Slebor terungkit-ungkit Benar-benar memancing kegusaran 
Anggraini. 

"E-e! Sebelum kau marah, biaraku bertanya dulu. Kau 
menotok kuda ini tidak dengan jari, bukan?" lahan Andika 
saat wajah jelita Anggraini memerah mangkel. 

"Bagaimana kau tahu?!" tanya Anggraini. Kelopak 
matanya agak membesar, karena terkejut. 

"Seperti kubilang tadi, totokanmu terlalu tersembunyi 
pada satu bagian urat saraf. Jika menggunakan jari, pasti 
akan menyebabkan luka di bagian luar kulit kuda ini. Jadi 
menurut perkiraanku...," Andika menjentikkan jarinya 
dengan mengaliri tenaga dalam. 

Tik! 

Saat itulah kaki sepasang kuda hitam itu dapat 
bergerak kembali seperti semula. 

"Kau telah menotok kuda-kuda ini dengan suaramu 
yang dialiri tenaga dalam pada batas gelombang tertentu. 
Seperti juga aku membebaskannya," sambung Andika. 
"Bukan begitu?" 




Kereta kuda yang mirip kereta kencana milik pemuda 
bangsawan itu melintasi jalan kembali. Seperti 
sebelumnya, kereta ini berlari dengan keriuhannya, 
meninggalkan kepulan debu serta ringkikan kuda yang 
tinggi mengoyak langit. 

Dalam melanjutkan perjalanan kali ini, si pemuda 
tampan tidak sendiri dalam kendaraannya. Ada dua orang 
lain yang ikut bersama, yakni Andika dan Anggraini 

Gadis jelita berkesan judes itu sempat mengamuk 
karena ilmu totokan warisan buyut guru yang 
dibanggakannya ditelanjangi mentah-mentah oleh 
Pendekar Slebor. Mereka pun sempat bertukar be-berapa 
jurus. Namun rhanakala melihat cemeti yang melilit 
pinggang Anggraini, Andika langsung meminta gadis itu 
menghentikan serangan. Semula, memang agak sulit 
karena kemarahannya pada Pendekar Slebor sudah begitu 
meluap. Akhirnya, sewaktu Andika mengatakan kalau 
mengenal pemilik cemeti itu, barulah gadis ini 
menghentikan serangan. 

Tahu apa kau dengan cemetiku ini?!" tanya Anggraini 
waktu itu. 

Andika tak cepat menjawab. Dia sedang mengingat- 
ingat. 

"Cepat jawab! Atau, kau hanya tak ingin melanjutkan 
pertarungan denganku? Kau takut dipecundangi 
perempuan, bukan?" desak Anggraini, sekaligus mengejek. 

"Kenapa mulutmu tak bisa diam sebentar saja?! Aku 
sedang mengingat-ingat, tahu! Kalau kau tak, berhenti 
berkoar, kau tak akan mendapat keterangan lentang 
cemeti itu!" ancam Andika. 

Tak lama kemudian, barulah Pendekar Slebor ingat. 
Cemeti itu adalah cemeti musuh pertamanya, Begal Ireng 
(Untuk mengetahui kisah tokoh ini, bacalah episode: 
"Lembah Kutukan" berikut "Dendam Dan Asmara"). 

Saat itu Anggraini ingin meminta keterangan lebih 
rinci dari Pendekar Slebor tentang Begal Ireng. Andika 
bersedia meluluskan permintaan itu, asal mereka mau 
berdamai. Dengan wajah berlipat, Anggraini terpaksa 
menyetujui syarat yang diajukan. 

Mereka kini telah bersama-sama di dalam kereta 
kuda milik si pemuda bangsawan. Kebetulan arah 
perjalanan yang ditempuh sama. Lagi pula, untuk 
menceritakan banyak hal tentang Begal Ireng pada 
Anggraini, Andika membutuhkan waktu banyak. 

Maka gadis itu pun terpaksa menyetujui. Toh tujuan 
utamanya turun ke dunia persilatan adalah mencari tahu 
tentang ayahnya yang berhubungan erat dengan cemeti 
serta kalung pemberian Kupu-kupu Merah, ibunya. 

Sementara pemuda bangsawan di dalam kereta 
memperkenalkan diri sebagai Agung Cakra. Seorang 
bangsawan muda dari wilayah selatan. 

"Apa aku perlu memanggilmu 'Raden'? Raden Agung 
cakra?" goda Andika. 

'Tak perlu. Aku tak begitu suka dengan sebutan itu," 
tolak Agungcakra, merendah. 

Anggraini yang sejak tadi hanya memasang wajah 
asam, tiba-tiba menyelak. 

"Munafik! Itu kata mulutmu. Aku yakin, dalam hati kau 
ingin sekali menerima sebutan itu! Raden.... Hm, 
membanggakan bukan? Tak setiap orang bisa memakai 
gelar itu, bukan?" 

Andika melirik gadis ketus itu, lalu beralih pada 
pemuda di sisinya yang sedang menyentak-nyentak tali 
kekang. Tak terlihat ada perubahan di wajahnya 
mendengar cemoohan pedang Anggraini. Bahkan 
ditanggapinya dengan senyum tipis. 

"Hey? Apa tujuanmu ke barat?" cetus Andika, 
menghanguskan suasana tak nyaman tadi. 

"Aku mencari bibiku," jawab Agungcakra singkat, 
sementara tangannya sibuk menyentak tali kekang kuda. 

"Kenapa dengan dia sebenarnya? Apakah kau .ada 
keperluan dengannya atau bagaimana?" susul Andika. 

Tapi setelah itu, Pendekar Slebor jadi tak enak sendiri 
dengan kelancangan mulutnya. 

"Ah, maafkan aku, Saudara Agung. Kenapa aku jadi 
usil pada urusan orang lain...." 

"Tak apa-apa. Lagi pula, aku memang membutuhkan 
bantuan orang lain dalam perkara ini," kata Agungcakra. 

"Begitukah? Kau bisa cerita tentang bibimu?" 

"Tentu...." 

Lalu, pemuda bangsawan itu pun memulai ceritanya. 

k k k 

Tak ada seorang pun berani melewati daerah yang 
bernama Pintu Sorga dan Neraka Dunia sejak tiga tahun 
lalu. Sesungguhnya, tak ada yang perlu di-takuti dengan 
keadaannya. Bahkan bisa dibilang suasana dan 
pemandangannya begitu memikat. Jalan setapak yang 
membelah padang bunga matahari, bukit di kejauhan yang 
mengelilingi, sekumpulan kupu-kupu warna-warni yang 
berkejaran di pucuk-pucuk bunga mekar, serta sebuah 
kolam alam kecil penuh teratai jingga, adalah keindahan 
yang bisa ditemui setiap hari. 

Namun memang bukan itu yang menjadi penyebab, 
kenapa tempat itu dihindari banyak orang, khususnya yang 
memiliki ilmu olah kanuragan tanggung. Sejak tiga tahun 
lalu, tempat itu kerap kali menjadi ladang pembantaian 
keji. Beberapa orang di antaranya malah menjadi mayat 
tanpa kepala. 

Maka sejak tiga tahun lalu pula, orang-orang dunia 
persilatan menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. 
Sebutan angker yang kemudian menyebar cepat, ditiup 
desas-desus ke segenap penjuru dunia persilatan. 

Kalau ada orang yang masih juga mendatangi tempat 
itu, maka ada tiga kemungkinan baginya. Orang itu sudah 
kurang waras, orang itu pendekar tangguh yang mau 
menjajal ilmunya, atau seorang yang sudah jemu hidup di 
dunia. 

Yang jelas, hari itu ada dua lelaki mengatur langkah di 
jalan setapak Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Keduanya 
mengenakan pakaian seperti biksu berwarna putih. Kepala 
mereka gundul klimis, memantulkan cahaya matahari. Dari 
mata yang sipit serta kulit yang berwarna pucat, mudah 
diduga kalau mereka adalah orang-orang Tiongkok. 

Si Kembar Dari Tiongkok, adalah julukan mereka di 
dunia persilatan. Beberapa waktu lalu, mereka menjadi 
kaki tangan pemberontak besar Kerajaan Alengka, Begal 
Ireng. Setelah Pendekar Slebor mampu menggagalkan 
rencana jahat Begal Ireng, keduanya melarikan diri, tanpa 
bermaksud untuk kembali ke negeri mereka sedikit pun 
(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah serial Pendekar 
Slebor dalam rpisode : "Lembah Kutukan" berikut "Dendam 
dan Asmara"). 

Karena bersembunyi sekian lama dari kejaran hamba 
hukum kerajaan Alengka, mereka jadi tak begitu mengikuti 
perkembangan dunia persilatan. Termasuk, tak 
mengetahui desas-desus tentang tempat yang dilewati kini. 

"Apa kau yakin orang-orang Kerajaan Alengka lak 
memburu kita lagi?" tanya salah seorang dalam bahasa 
Tiongkok kental. 

"Aku yakin begitu," sahut lelaki yang lain. "Mereka 
mungkin berpikir kita sudah kembali ke Tiongkok." 

"Bagaimana kalau suatu saat nanti kita dipergoki?" 

"Kau mulai jadi pengecut?" sindir lelaki yang memiliki 
tahi lalat besar di bawah telinga kiri. Namanya, Chia Jui. 

"Bukan begitu. Aku hanya khawatir kita bertemu 
pemuda itu lagi," sergah kembarannya, Chia Kuo. 
"Pendekar Slebor?" 

"Ya." 

"Apa kau tak yakin pada latihan keras kita selama 
hampir tiga tahun ini?" 

"Entahlah. Anak muda keparat itu menurutku memiliki 
kesaktian yang begitu hebat." 

"Sudahlah! Kalau kau nanti tak mau menghadapinya, 
lebih baik lari saja seperti perempuan!" putus Chia Jui agak 
kesal. 

"Jadi kau berani menghadapi dia sendiri, Chia Jui?" 
tanya Chia Kuo agak terkejut. 

"Aku tak bilang begitu, Bodoh!" 

Chia Kuo mengangkat bahu. 

"Kalau begitu, tak ada bedanya aku denganmu, Chia 
Jui! Sama-sama gentar. Bedanya, aku lebih jujur ketimbang 
kau!" gerutu Chia Kuo. 

Keduanya terus melanjutkan langkah menyusuri jalan 
setapak. Tiba di suatu tikungan yang berbatasan dengan 
kolam alam kecil, sesosok tubuh mendadak menghadang 
di depan. 

"Siapa kau?!" bentak Chia Jui gusar, melihat seorang 
wanita cantik berpakaian merah-merah mengganggu 
perjalanan mereka. 

Wanita itu berambut panjang tergerai. Meski cantik 
menggoda, matanya tampak menyiratkan kekejaman. 
Bibirnya merah dan tipis. Wanita itu sepertinya tak kalah 
tajam dengan dua tokoh sesat dari Tiongkok yang 
dihadangnya. 

"Apa kau orang Kerajaan Alengka?!" timpal Chia Kuo, 
tak kalah berang. 

Orang yang ditanya tidak menjawab. Bahkan sekadar 
mengangguk atau menggeleng. Hanya matanya yang terus 
menghujam bengis pada Kembar Dari Tiongkok, seolah 
memendam dendam. Padahal, baru kali itu mereka 
bertem u. 

"Kalian telah mengusik istanaku!" hardik si 
perempuan, tiba-tiba. 

Chia Jui maupun Chia Kuo tak mengerti. Istana? 
Istana apa, pikir mereka. Selama memasuki wilayah itu, 
mereka tak pernah menjumpai sebuah bangunan pun. 
Lebih-lebih, sebuah istana. 

"Kau keluarga Istana Alengka?" tanya Chia Kuo 
menebak-nebak. 

Biar bagaimanapun, Chia Kuo maupun saudara 
kembarnya masih tetap menyimpan rasa was-was pada 
pihak musuh lama. Mungkin saja, mereka masih memburu. 
Satu hal yang paling dikhawatirkan adalah jika berurusan 
kembali dengan Pendekar Slebor selaku seorang yang 
memiliki pertalian darah dengan ke-,luarga istana. 

"Ini istana! Apa kalian buta?! Aku tak punya nama 
untuk istana ini. Tapi, orang-orang dungu di luar sana 
menyebutnya Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Nama yang 
buruk, tapi aku cukup menyukainya...," ujar si perempuan 
berpakaian merah meledak-ledak. 

Chia Jui mulai melangkah lagi. 

"Peduli setan dengan istanamu! Kami akan lewat! 
Kalau kau ingin selamat, menyingkirlah!" bentak Chia Jui. 

"Biar kalian mampus!" terabas si perempuan sambil 
mengirim satu sambaran cakar ke wajah Chia Jui. 

Bet! 

"Perempuan keparat!" maki Chia Jui dengan logat 
Tiongkok. 

Sebelumnya, dia pun bersusah payah menghindari 
lehernya dari kuku-kuku panjang lawan yang berwarna 
keunguan. Dibalasnya salam perkenalan lawan dengan 
sebuah layangan tinju geledek. 

Deb! 

Pukulan Chia Jui begitu bertenaga, mengarah ke dada 
si wanita yang memiliki dua bukit padat. Tapi dengan 
enteng wanita itu menggeser badan sedikit ke samping 
Begitu tangan wanita itu lewat sejengkal, dua tangannya 
terangkat. Lalu, disergapkan ke lengan lelaki Tiongkok itu. 

Chia Kuo baru hendak memperingati, tapi terlambat. 
Tangan si perempuan sudah tiba di tangan kembarnya. 
Chia Kuo yakin, sedikit saja si perempuan cantik memutar 
kuku-kuku tangannya seperti gerakan memeras, maka 
tangan Chia Jui akan langsung terkoyak. Atau, lebih parah 
dari itu... terputus! 

Siapa yang mau mempunyai saudara kembar 
bertangan kutung? Maka, tak mau berpikir lebih lama, Chia 
Kuo cepat melepas hantaman jarak jauh, sekejap sebelum 
tangan si perempuan bergerak. 

Wush! 

Hasilnya lumayan untuk menyelamatkan tangan Chia 
Jui. Walau begitu, tak luput tangan Chia Jui tercabik 
sewaktu si perempuan mendadak menarik kuku-kukunya. 
Mulutnya tampak meringis-ringis menahan pedih tak 
terkirakan, sambil melompat menjauhi lawan. 

Sadarlah tokoh sesat kembar itu, dengan siapa 
mereka berhadapan. Lawan ternyata bukan sembarang 
orang. Kalau mereka yang sudah masuk dalam jajaran atas 
golongan sesat saja bisa kebobolan dalam segebrakan, 
bagaimana dengan kepandaian wanita ini. 




Terbukanya matamilik Kembar Dari Tiongkok terha¬ 
dap kemampuan berbahaya wanita itu, membuat mereka 
memutuskan untuk menghadapinya dengan 
menggabungkan jurus. Sebagai dua orang kembar tak 
terpisahkan, mereka memang tak bisa bertarung sendiri- 
sendiri. Kehebatan mereka terbangun kalau keduanya 
menggabungkan kesaktian. 

Dalam waktu singkat, dua lelaki gundul bermata sipit 
itu membentuk sebuah gerak bersama. Sekejap, tangan 
mereka bersatu pada telapak tangan masing-masing, 
untuk mengempos kekuatan gabungan. Telapak tangan 
mereka yang masih bebas mulai memerah, lalu diarahkan 
lurus-lurus ke arah wanita itu. 

Wuuush! 

Bunyi angin pukulan jarak jauh berbau maut, 
memburu cepat berbentuk dua bentangan angin kembar 
ke arah wanita itu. 

Mestinya, si wanita asing terkejut menerima serangan 
ganas tersebut. Entah karena ilmu kedigdayaannya begitu 
melangit, dia justru melepas tawa kaku. Bahkan tenang 
saja terjangan angin kemerahan milik kembar dari tiongkok 
dihadapi. 

Dengan maksud untuk memamerkan kehe-,batan, 
tiba-tiba wanita itu menahan angin pukulan berpendar 
kemerahan dengan membuat hirupan udara dari mulut. 

"Hfff...." 

Bentangan panjang angin pukulan Kembar Dari 
Tiongkok langsung berhenti meluncur. Saat si perempuan 
menyedot lebih kuat, angin pukulan itu dipaksa masuk ke 
dalam mulutnya. 

Sesungguhnya, angin pukulan Kembar Dari Tiongkok 
adalah himpunan gelombang petir yang kuat luar biasa. Di 
tanah Tiongkok, ilmu itu sudah dikembangkan oleh para 
pendeta berabad-abad yang lalu dengan memusatkan 
seluruh tenaga petir dalam tubuh manusia, hingga 
mencapai kekuatan dahsyat. Dengan begitu, tentu tenaga 
pukulan itu akan membawa akibat merusak, sewaktu terus 
tersedot masuk ke dalam rongga paru-paru si perempuan. 

Mulanya, Kembar Dari Tiongkok menyeringai, 
menertawai kesombongan lawan. Mereka menduga, 
sebentar lagi perempuan itu akan terguncang hebat, lalu 
mengejang dan mati. 

Namun selanjutnya mulut mereka ternganga. Dengan 
mata kepala sendiri, keduanya melihat lawan tersentak 
sekejap. Usai menelan kekuatan petir raksasa itu, dengan 
tenang seluruh sengatan petir disa-lurkan ke bumi sampai 
hila ng tertelan. 

"Sinting!" sergah Chia Jui, tak mempercayai 
penglihatannya. "Dia itu manusia atau...." 

"Kita tak akan menang melawan dia, Chia Jui. Harus 
segera menyingkir!" peringat Chia Kuo, kalang kabut. 

Tak beda dengan kembarannya, Chia Kuo pun tampak 
memucat. Bagaimana tidak, kalau kemampuan gabungan 
mereka hanya dibuat santapan siang oleh perempuan 
cantik tapi bengis itu? 

"Heeeh...," si perempuan menggeram. "Jangan 
berharap kalian bisa meninggalkan tempat ini dalam 
keadaan hidup! Sudah menjadi sumpahku, kalau istana ini 
adalah milikku. Siapa pun yang masuk ke istanaku, berarti 
telah mengotorinya. Dengan begitu, harus dibunuh!" 

Untuk kedua kalinya, si perempuan cantik dan bengis 
ini menyeringai. Sebaris gigi putih menawan tersembul. 
Sayang, bibirnya sendiri melekuk menggiriskan. 

Tiba-tiba saja, perempuan yang hingga saat ini tak 
memperkenalkan namanya, meludah ke sebuah 
bongkahan batu sebesar kuda. 

"Chuih!" 

Pias! 

Bagai menembus bayangan, air ludah itu langsung 
melesak masuk hingga keluar di sisi yang lain. 

"Aku tak ingin mengotori tangan! Akan kubunuh kalian 
dengan ludahku. Ya! Dengan ludahku. Hanya ludah yang 
pantas untuk kalian," geram wanita itu menggidikkan. 
Sepasang matanya mencorong di bawah kelopak, 
memperlihatkn setengah warna hitamnya. 

"Kau sudah gila, Perempuan!" maki Chia Jui, was-was. 

"Sudah terlalu banyak orang gila di dunia ini. Jadi 
bagiku, tidak ada soal apakah aku gila atau tidak!" 

"Tapi kami tak ada urusan sama sekali denganmu!" 
lontar Chia Kuo, membela diri. 

"Sudah kubilang, kalian telah lancang memasuki 
istanaku!" 

"Tapi itu alasan yang terlalu dibuat-buat!" sengit Chia 
Jui. 

"Aaah! Toh, bukan aku saja yang berbuat sewenang- 
wenang dengan alasan dibuat-buat. Berjuta orang telah 
melakukannya di dunia sampah ini! Asal kalian tahu itu! 
Kini, bersiaplah untuk mampus!" 

Si perempuan mulai menggerakkan mulut. Sebentar 
lagi, akan melesat semburan-semburan ludah kejinya, 
andai saja sebuah seruan lantang tak menahannya. 

"Tunggu!" 

Si perempuan menoleh ke asal suara. Dilihatnya 
seseorang yang sudah amat dikenal, lelaki berjenggot 
seperti seekor kambing gunung. Menilik kerutan wajah, 
bisa diduga usianya sekitar delapan puluhan. Alisnya 
hitam, tebal dan lebat menaungi sepasang mata setajam 
sembilu. Meski tua, masih tampak sisa ketampanannya. 
Keningnya melebar. Rambutnya hanya tumbuh di pinggiran 
kepala, memanjang lepas menutupi bokongnya. 
Perawakan lelaki itu tinggi be-,sar dan kekar berotot. 

Yang menggidikkan dari penampilannya adalah, cacat 
kulit pada seluruh badan dari bagian leher ke bawah. 
Kulitnya itu berkerut-kerut, seperti karet lu-suh dengan 
warna merah kehitam-hitaman. Sepertinya, dia pernah 
mengalami luka bakar yang demi-kian hebat. 

" Pengeran Neraka," sebut si perempuan. 

Wajah wanita itu seketika berseri. Dan matanya pun 
berbinar. "Kekasihku, pangeran istanaku...," tambah wanita 
ini, mendayu. 

Lelaki yang dipanggil Pangeran Neraka maju. 
Sepasang tangannya menimang-nimang dua bola besi 
baja, sebesar kepalan tangan. 

"Kenapa kau menahanku, Sang Pangeran?" tanya si 
wanita cantik berpakaian merah-merah manja. 

Didekatinya Pangeran Neraka lalu bergayut di bahu 
kekarnya. 

Pangeran Neraka tak cepat menjawab. Matanya 
melirik dua lelaki Tiongkok yang wajahnya begitu sulit 
dibedakan. 

"Kalian tentu pernah mendengar satu pepatah," kata 
laki-laki berjuluk Pangeran Neraka pada Kembar Dari 
Tiongkok. '"Jika Giam Lo Ong*) memerintahkan kau mati 
tengah hari, tak seorang pun berani membiarkanmu hidup 
sampai petang'." 

Chia Jui dan Chia Kuo balas menatap. Mereka 
meneliti lelaki yang baru muncul dengan mata masing- 
masing. 

"Tentu saja kami tahu pepatah itu, karena memang 
berasal dari negeri kami sendiri. Tapi, apa mak-sudmu 
dengan menyebutkan pepatah itu pada kami?" tanya Chia 
Kuo, mengungkap keheranannya. 

"Hu... hu... hu! Tak kukira kalian ini tergolong bebal, 
Kembar Dari Tiongkok," ejek Pangeran Neraka, didahului 
tawa yang terdengar aneh. 

Mendengar julukan mereka disebutkan, sekali lagi 
Kembar Dari Tiongkok meneliti tegas-tegas Pangeran 
Neraka. Sebelumnya, mereka sudah cukup heran. Karena, 
lelaki itu tahu tentang pepatah dari negeri mereka yang 
jauh. Sekarang, tiba-tiba saja dia menyebut julukan 
Kembar Dari Tiongkok. 

Padahal jelas, si lelaki berkulit cacat ini bukan dari 
Tiongkok. Chia Jui maupun Chia Kuo yakin, sebab 
Pangeran Neraka sama sekali tak seperti orang dari negeri 
tirai bambu itu. Dengan begitu, dia bukan-lah utusan dari 
Tiongkok yang hendak menjemput mereka pulang. Tapi, 
siapa? 

"Kau bukan utusan Tiongkok yang hendak memaksa 
kami pulang untuk menerima hukuman, bukan?" aju Chia 
Kuo tak yakin dengan pikirannya sendiri. 

"Hu... hu... hu! Ya, jelas bukan!" "Kalau begitu, 
jelaskan saja, apa maksudmu dengan pepatah tadi?" 
sergah Chia Jui tak sabar. "Maksudku...." 

Baru saja Pangeran Neraka hendak menjelaskan 
"Kenapa mereka tidak dibunuh saja kekasihku? Bukankah 
dua orang lancang ini telah mengotori Istana kita?" potong 
si perempuan di sisinya. 

Pangeran Neraka ganti melirik si perempuan. 

"Bagaimana kalau mereka kita manfaatkan, Putri 
Mayang seruni?" 

"Mana mungkin sampah bisa dimanfaatkan, Sayang?" 

"Hu hu.... Tak selamanya sampah tidak berguna. 
Mereka bisa membantuku untuk mencari orang yang telah 
membunuh saudara kandungku, Putri...." 

"Kita bisa mencarinya sendiri, bukan?" perempuan 
yang ternyata bernama Putri Mayangseruni balik bertanya. 

"Itu terlalu memakan waktu, Putri. Aku ingin se¬ 
cepatnya mengunyah jantung si pembunuh saudara 
kandungku. Hu hu h u, betapa nikmatnya...." 

Pangeran Neraka lantas mengangkat kedua alis 
rimbunnya. 

"Kita lihat saja nanti...." 

Setelah itu Pangeran Neraka menatap Kembar Dari 
Tiongkok. 

"Kupikir sekarang kalian tentu mengerti maksudku 
melontarkan pepatah tadi. Artinya, kalau memang 
waktunya kalian mampus, ya biar bagaimana pun akan 
mampus. Sebaliknya, kalau belum waktu-.nya, biar kalian 
jatuh dari gunung, tetap tidak mampus." Pangeran Neraka 
tertawa dengan gaya yang khas. "Kalian bingung, ya? Jadi, 
singkatnya kalian belum waktunya mampus hari ini...." 

Malam turun merambah maya pada. Ribuan bintang 
gemerlap memunculkan diri, menemani rembulan penuh 
yang muncul tak ragu-ragu. Temaram cahayanya benda- 
benda langit, menjadi bagian dari malam itu. Karena saat 
itu angkasa tak diusik awan kelabu. 

Api unggun besar telah dibuat Pendekar Slebor. Di 
atasnya, terpanggang.daging tiga ekor kelinci gemuk hasil 
panahan Anggraini menjelang sore tadi. Tiga anak muda itu 
kini sedang duduk mengelilingi api unggun, mengenyahkan 
dingin malam yang meng-gelitik kulit. 

Satu sisi diri manusia 
adalah malam gulita 
istana para durjana semesta 
b'rsemayam dan berencana 
untuk sehimpun dusta 
untuk sehimpun nista...! 

Agungcakra menyudahi sajaknya. Selaku orang dari 
kalangan bangsawan, keindahan susastra sudah menjadi 
bagian hidupnya. Bagi para bangsawan, susastra adalah 
seni terhormat, karena lahir dari daya cipta agung dalam 
diri manusia. 

Andika bertepuk-tepuk. 

"Kata-kata yang indah. Lahir tanpa kepalsuan," puji 
Andika, terhadap sajak si kawan baru. 

Pendekar muda itu rebah bersandar batang pohon 
tumbang. Diliriknya Anggraini yang memutar-mutar kayu 
panggangan. 

"Bagaimana menurutmu, Anggraini?" tanya Andika, 
ingin tahu penilaian gadis itu tentang karya sastra 
Agungcakra. 

"Menurutku, lebih baik kau cepat-cepat menceritakan 
padaku perihal cemeti ini...," sahut Anggraini, tanpa melirik 
sedikit pun. 

Lalu gadis itu melepas cemeti dari pinggang dan 
melemparkannya ke pangkuan Andika acuh tak acuh. 

Si Pendekar Slebor menarik napas agak mangkel. 
Kalau sudah berurusan dengan wanita, pemuda ini sering 
kali dibuat serba salah. Menurutnya, wanita itu sejenis 
makhl uk inda h yang sulit d ipa hami. 

"Kau begitu ngotot mengetahui asal-usul cemeti ini," 
kata Andika seraya menaikkan cemeti dengan tangannya 
ke atas. "Tapi, kau sendiri tidak pernah memberitahu 
padaku, apa alasanmu sampai ingin tahu tentang benda 
ini?" 

"Itu bukan urusanmu!" tandas Anggraini judes, seraya 
melemparkan sepotong daging kelinci yang sudah matang 
pada Agungcakra, tindakannya benar-benar tidak sopan. 
Tapi pemuda itu cepat menangkapnya, dan mulai 
menya ntap. 

"Kalau begitu, kenapa kau tak urus saja sendiri 
urusanmu! Jadi, kau tak perlu keterangan dariku," sindir 
Andika. 

Pendekar Slebor lantas menatap daging kelinci di atas 
api unggun. Baunya sedap, mengundang selera Andika. Si 
pemuda urakan itu tak sabar lagi. Apalagi, perutnya sudah 
mulai buat keributan. Andika mendekati api unggun. Baru 
saja tangannya terjulur ke daging kelinci panggang.... 

Plak! 

"Apa kau tak bisa sabar sedikit menunggu giliran!" 
bentak Anggraini, setelah menampar tangan Andika. 

Andika meringis. Dalam hati dia mengumpat-umpat 
tak henti. Dengan wajah terlipat lebih jelek daripada 
gombal, Andika akhirnya kembali ke tempatnya. Sementara 
Agungcakra hanya tersenyum kecil; 

"Baik. Kalau memang bisa membuatmu cepat 
membuka mulut, akan kuceritakan kenapa aku begitu 
ngotot hendak mencaritahu tentang cemeti itu...," kata 
Anggraini mulai lagi. 

"Sesukamulah," jawab Andika, agak merajuk. 

"Kau mau dengar apa tidak?!" mata Anggraini jadi 
begitu galak. 

"Ya ya ya, mau," jawab Andika cepat, daripada tak 
dapat jatah daging kelinci panggang. 

Anggraini mulai bercerita. Tentang dirinya, tentang 
asalnya, juga tentang benda-benda pemberian ibunya. 
Semuanya dituturkan secara singkat dan lugas. 

"Menurut ibuku, cemeti dan kalung itu adalah benda 
yang berhubungan dengan ayahku...," tutur Anggraini 
mengakhiri. 

"Maksud ibumu, dengan benda itu kau bisa me¬ 
nelusuri jejak ayahmu?" tanya Andika, menduga. 

Pertanyaan itu disambut Anggraini dengan anggukan. 

"Jadi, ibumu tak jelas-jelas mengatakan kalau benda 
itu milik ayahmu, bukan?" susul Andika hati-hati. 

Karena Andika tahu, jika benda-benda itu milik ayah si 
gadis, berarti dia telah berhutang nyawa pada Anggraini. 
Bukankah cemeti itu milik Begal Ireng, musuh utamanya 
sewaktu Pendekar Slebor baru turun dari Lembah 
Kutukan? Kini, Begal Ireng telah mati di tangannya. 

"Apa maksudmu?" tanya Anggraini. 

Andika kehabisan kata, begitu disodok langsung 
dengan pertanyaan macam itu. 

"Mmm, anu.... Maksudku, ngg begini lho...," kata 
Pendekar Slebor tergagap dan kelimpungan sendiri. 

Melihat tingkah tokoh yang diperlihatkan Andika, 
Agungcakra jadi tak bisa menahan geli. Pemuda 
bangsawan itu terbahak mendadak. 

"Kenapa tertawa?" Andika agak tersinggung. 

Sambil menyapu bibirnya dari lemak daging kelinci. 
Agungcakra menggeleng. 

"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu. 

Di saat rikuh bagi Andika itulah, sebuah suara asing 
menyentak ketiganya.... 

"Ngiiingngng...!" 




Anggraini yang berada paling dekat dengan api 
unggun, dengan sigap menghembuskan angin tenaga 
dalam untuk memadamkannya. Menyusul padamnya api, 
Andika, Agungcakra, dan Anggraini menelusup cepat ke 
balik semak-semak lebat. 

Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya 
purnama, ketiganya mengamati keadaan dengan pe¬ 
rasaan tegang. 

Sebentar kemudian, dari arah utara terlihat pe¬ 
mandangan menakjubkan. Dalam siraman sinar temaran 
benda langit angkasa, tampak seorang wanita cantik 
berpakaian merah sedang melayang di udara dalam 
keadaan bersila. Dia tidak terbang dengan sendirinya. Ada 
sekitar ratusan lebah mengangkatnya dengan benang- 
benang halus yang terangkai menjadi semacam permadani 
tembus pandang! Dengung lebah itulah yang terdengar 
sebagai bunyi asing. 

Wanita itu memang Putri Mayangseruni. Memang, 
secara kebetulan, ketiga muda-mudi itu beris-tirahat di 
dekat wilayah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Kebetulan 
pula, Putri Mayangseruni berniat mencari angin di sekitar 
wilayah kekuasaannya. 

"Ratu lebah...," bisik Agungcakra, nyaris tak terdengar. 

Andika di sisinya menoleh. 

"Kau kenal perempuan itu?" tanya Pendekar Slebor 
perlahan, serta hati-hati. 

"Tentu saja aku kenal. Dia...." 

Belum selesai kalimat yang hendak dibeberkan 
Agungcakra, tiba-tiba saja Putri Mayangseruni atau 
menurut Agungcakra adalah Ratu Lebah, menghentikan 
laju kendaraan anehnya. Di kejauhan matanya mengedar 
ke sekitarnya. Tajam dan waspada, seolah pandangan rase 
betina. 

Andika bisa menduga, tentu wanita berjuluk Ratu 
Lebah itu mendengar bisikan mereka. Mau tak mau. 
Andika memuji dalam hati ketajaman indera 
pendengarannya. Padahal, bisikan Agungcakra maupun 
dirinya sudah begitu halus. Belum lagi, suara bising para 
lebah yang sudah pasti bisa menelan bisikan halus 
mereka. 

Tahu kalau keberadaan mereka sudah tercium, 
Agungcakra hendak bangkit dari semak. Tapi, Andika 
segera menahannya. Menurut Pendekar Slebor, terlalu dini 
mereka berurusan dengan tokoh wanita yang 
kepandaiannya sulit terukur itu. 

Tindakan Andika tidak disukai Agungcakra. 

"Aku hendak menemuinya, Andika! Lagi pula dia 
sudah tahu persembunyian kita," bisik Agungcakra lagi 
dengan mata memperlihatkan bias ketidaksenangan. 

"Kau ceroboh!" sentak Andika, tetap berbisik. 

Jauh di sana, Ratu Lebah makin jelas saja me¬ 
nangkap kasak-kusuk mereka. Urat lehernya yang jenjang 
halus, tampak mengejang. Bibir ranumnya yang tipis 
bergerak. 

"Chuih!" 

S rak! 

Bagai dibabat pedang bermata amat tajam, semak- 
semak tempat para pengintai bersembunyi, terpapas rata 
bagian atasnya. Kalau saja Andika, Anggraini, dan 
Agungcakra tak lebih cepat merunduk, tentu kepala 
mereka ikut terbabat. 

Secara berbarengan, kepala ketiga anak muda-mudi 
itu muncul perlahan dari semak-semak yang terpangkas. 
Anggraini dan Agungcakra begitu hati-hati. Itu terlihat sekali 
dari raut wajah mereka yang agak menegang. Lain lagi 
Andika. Pendekar muda itu muncul dengan senyum serba- 
salahnya. 

"Selamat malam, Nisanak," sapa Andika berbasa-basi 
disertai cengiran konyol. "Sungguh, kita bertiga tak sedang 
memata-mataimu, he h e he. Bukan begitu, Kawan?" 
Pendekar Slebor minta pendapat pada Anggraini dan 
Agungcakra di sisinya. 

Wanita dingin yang disapa tak membayar basa-basi 
Andika dengan keramahan, tapi dengan satu semburan 
ludah maut kembali. 

"Chuih!" 

"Sial! maki Andika. 

Seketika itu pula, Pendekar Slebor mengebutkan kain 
pusaka ke arah ludah Ratu Lebah. Menghadapi kealotan 
kain itu, ternyata ludah sakti Ratu Le-,bah tak bisa 
berkutik. Sambaran maut bertenaganya langsung terserak 
begitu saja oleh kekuatan yang disalurkan Pendekar Slebor 
pada kai n pusaka. 

"Nisanak! Mestinya kau bisa bersikap ramah pada 
orang ramah seperti aku ini!" semprot Pendekar Slebor. 

Pendekar muda itu berdiri bertolak pinggang. Hatinya 
mulai panas atas perlakuan Ratu Lebah tadi. Sebentar lagi, 
sifat urakannya tentu akan meledak. 

"Andika...," tahan Agungcakra. Pemuda itu ikut 
bangkit. Dipegangnya bahu Pendekar Slebor. 

"Apa?! Ini semua gara-gara ulahmu, tahu! Coba kalau 
kau bisa sedikit tutup mulut!" omel Pendekar Slebor pada 
Agungcakra. 

Rupanya, darah si pemuda dari Lembah Kutuk-an itu 
makin melonjak naik ke ubun-ubun. Alis mata sayap 
elangnya bertaut rapat, cuping hidungnya kembang- 
kempis. Ditunjuknya Ratu Lebah dengan tudingan 
menantang. 

"Aku tak suka orang seperti kau, Nisanak! Kau terlalu 
sombong untuk menghargai orang lain!" sembur Pendekar 
Slebor lagi. 

Anggraini di sebelahnya mendelik. Rasanya, kalimat 
Andika tadi sengaja hendak menyinggungnya sekaligus. 
Sekali tepuk dua lalat! 

"Ayo, ludahi aku lagi! Biar kusumpal mulut usilmu 
dengan kainku yang tak pernah kucuci ini!" tantang Andika 
kembali, lebih keterlaluan. 

Ratu Lebah yang sesungguhnya memiliki kecantikan 
luar biasa mengumbar senyum tipis. 

"Hey! Aku tahu, kau lebih cantik dari kawanku ini," ujar 
Andika seraya menunjuk semena-mena ke depan wajah 
Anggraini. "Tapi, jangan dikira aku akan tergoda dengan 
senyummu itu! Huh! Tak usah, ya!" 

Sekali lagi Anggraini mendelik dongkol. Kalau urusan 
sudah selesai dengan Ratu Lebah, wanita ini berjanji akan 
menyumpal mulut Andika dengan tinjunya! 

Di lain sisi, Ratu Lebah memerintah lebah-lebahnya 
mendekat ke arah mereka. 

Andika waspada. Apalagi, ketika wanita cantik 
berkesan bengis itu kian dekat. Saat Ratu Lebah me¬ 
lompat turun dari kendaraan anehnya, Pendekar Slebor 
langsung pasang kuda-kuda. Dikiranya, wanita 
menjengkelkan itu akan segera mengirim serangan maut. 

Tak dinyana tak diduga, Ratu Lebah malah mendekati 
Agungcakra. Langsung dipeluknya pemuda itu. 

"Cakra...." 

"Bibi...," balas Agungcakra setengah lirih. Andika 
hanya melongo. 

•k -k -k 

"Ke mana saja kau selama ini, Bibi Mayang?" tanya 
Agungcakra saat keduanya berjalan beriringan, jauh dari 
tempat semula. Ratu Lebah telah memaksa Agungcakra 
untuk meninggalkan Andika dan Anggraini. Walau 
perasaannya tak enak, akhirnya Agungcakra ikut juga. Lagi 
pula, Andika maupun Anggraini sudah mempersilakannya 
dengan senang hati. 

"Aku...." 

Mayang terdiam. Matanya menerawang kosong. 

"Aku berkelana di dunia lain," jawab wanita itu 
kemudian dengan sebaris senyum yang sulit dipa-hami. 

"Aku tak paham maksudmu, Bi?" 

Tiba-tiba sang bibi tertawa lepas. Suara tawanya 
ganjil, membuat bulu roma di tubuh Agungcakra 
meremang. Mayangseruni atau Ratu Lebah adalah adik 
bungsu ayah Agungcakra. Sejak orangtuanya meninggal 
dalam tugas kerajaan, Mayangseruni yang waktu itu baru 
berusia tiga tahun tinggal bersama Dwigeni, kakak 
lelakinya itu. 

Tak lama Mayangseruni tinggal, kandungan istri 
Dwigeni kian besar. Maka lahirlah anak lelaki yang diberi 
nama Agungcakra. Mayangseruni dan Agungcakra lalu 
tumbuh besar bersama. Keakraban mewarnai masa kanak- 
kanak keduanya. Mereka tak lagi seperti antara bibi 
dengan keponakan. Lebih dari itu, mereka sudah seperti 
kakak beradik. 

Waktu berlalu. Tahun-tahun indah tercecer di 
belakang. Mayangseruni beranjak sembilan tahun. 
Sedangkan Agungcakra menginjak usia enam tahun. 

Suatu saat seorang pertapa melihat Mayangseruni 
sedang bermain dengan Agungcakra. Pertapa itu adalah 
seorang wanita sakti yang sudah dianggap makhluk halus 
oleh masyarakat sekitarnya. 

Karena tertarik pada diri Mayangseruni yang bertubuh 
dan bertulang-tulang bagus, serta mempunyai keyakinan 
diri yang mantap, tanpa sepengetahuan Dwigeni pertapa 
wanita itu menculiknya. 

Agungcakra yang menjadi saksi saat itu, dipesan oleh 
si pertapa wanita agar merahasiakan tentang kejadian ini. 
Si kecil Agungcakra diberitahu, kalau bibi mungilnya akan 
dibawa ke suatu tempat yang menyenangkan. Jika nanti 
ditanya oleh orang tuanya, Agungcakra disuruh 
mengatakan kalau Mayangseruni diasuh oleh seseorang 
tak dikenal. Dan suatu saat nanti, Mayangseruni akan 
dikembalikan. 

Dengan hilangnya Mayangseruni, adik tersayang 
Dwigeni yang menjadi adipati, maka kegemparan pun tak 
bisa dihindari. Para prajurit kadipaten dikerahkan untuk 
mencarinya. Pencarian sia-sia, Mayangseruni tak pernah 
ditemukan. Bahkan sekadar jejak sekalipun. 

Sampai akhirnya, Agungcakra ditanya oleh si ayah 
tentang hilangnya Mayangseruni. Maka, Agungcakra pun 
mengatakan apa-apa yang dipesan si pertapa wanita 
padanya. Sewaktu Dwigeni menanyakan ciri-ciri si pertapa, 
Agungcakra yang memang cerdas, menceritakan dengan 
tepat. 

Mendengar seluruh cerita anaknya, barulah Adipati 
Dwigeni tahu, siapa yang telah membawa adik 
kesayangannya. Maka hatinya pun jadi sedikit lega. 
Karena, si pertapa wanita sepanjang pengetahuannya, 
adalah tokoh sakti sulit tertandingi dari aliran lurus. 
Bahkan hatinya cukup bergembira ketika tahu pertapa 
wanita itu akan mengangkat adiknya menjadi murid. 

Sepuluh tahun berlalu. Waktu memang cepat tertelan 
zaman. Mayangseruni akhirnya pulang, seperti janji si 
pertapa wanita pada si kecil Agungcakra. Dia kini bukan 
lagi seorang gadis kecil lugu nan lucu. Mayangseruni telah 
berubah menjadi gadis cantik, yang mekar merekah bagai 
bunga mempesona. Selain itu, kemunculannya pun 
sebagai pendekar wanita yang langsung sering ikut andil 
dalam menegakkan kebenaran. Namanya pun kian harum 
semerbak, dalam percaturan dunia persilatan, selaku 
tokoh wanita berkharisma pengendara ratusan lebah. 
Karena itu, lahirjulukan untuknya Ratu Lebah! 

Suatu hari, Ratu Lebah berurusan dengan seorang 
bajingan berilmu tinggi yang usianya jauh lebih tua darinya. 
Lelaki itu terkenal sebagai Pangeran Neraka. Menurut 
kabar burung, julukannya didapat di negeri Tiongkok, 
tempatnya berburu ilmu kedigdayaan. Dalam suatu usaha 
menuntut ilmu hitam, Pangeran Neraka harus 
menceburkan diri dalam kawah gunung berapi. Ilmu 
didapatnya, tapi sayang seluruh kulit tubuhnya melepuh. 
Kecuali, wajahnya. 

Karena tak ingin melihat kebatilan, Mayangseruni saat 
itu berusaha menggagalkan segala sepak terjang Pangeran 
Neraka. Lelaki laknat itu bisa dikalahkan. Namun begitu, 
Mayangseruni terkena racun tanpa pemunah milik 
lawannya. Racun itu terus merasuk hingga ke jaringan 
saraf di otaknya. Sampai akhirnya, gadis itu kehilangan 
akal waras. Bahkan pikirannya berada di bawah pengaruh 
Pangeran Neraka. Mengetahui lawan telah berada di 
bawah pengaruhnya, Pangeran Neraka memanfaatkan 
kecantikan dan kemolekan Mayangseruni. Sekaligus, 
memanfaatkan kesaktiannya. Ratu Lebah pun dijadikan 
pasangan si lelaki laknat. 

Selanjutnya, Mayangseruni menghilang kembali 
seperti beberapa tahun lalu. 

Sementara Agungcakra memang sudah telanjur 
sayang pada sang bibi yang dianggapnya sebagai kakak 
perempuan. Maka dia segera melakukan pencarian, 
setelah sebelumnya berguru selama beberapa tahun pada 
tokoh kerajaan. Tiga tahun dia terus mencari tanpa basil. 
Sampai akhirnya, bisa bertemu kembali ketika Andika dan 
Anggraini bersamanya. 


k k k 


"Bibi Mayang, apa yang sesungguhnya terjadi padamu 
selama ini?" tanya Agungcakra sungguh-sungguh. Ada yang 
tidak beres pada adik ayahnya, menurut penilaian anak 
muda itu. 

Ratu Lebah berhenti tertawa. Ditatapnya mata 
Agungcakra dengan cahaya mata liar. Lalu tawanya 
meledak lagi, lebih tinggi daripada sebelumnya. 

Agungcakra makin yakin ada sebuatu yang telah 
terjadi pada diri Mayangseruni. Sepanjang 
pengetahuannya, Mayangseruni adalah gadis yang penuh 
kendali diri. Dia tidak akan tertawa seenaknya, seperti 
perempuan jalanan. Kalau Mayangseruni yang dulu amat 
kentara sinar keceriaan di wajahnya, Mayangseruni yang 
ditemuinya kini memiliki sinar mata kejam. 

Memang, Agungcakra hanya tahu kalau adik ayahnya 
itu pergi untuk sebuah urusan tiga tahun lalu. Ketika itu, 
Agungcakra menawarkan diri untuk mengawalnya. Namun, 
Mayangseruni menolak. Menurut wanita itu, urusannya 
harus diselesaikan sendiri. 

Sejak kepergian itu, Agungcakra tak pernah lagi jumpa 
dengan bibinya. Dan sewaktu mencoba mencari 
keterangan dari beberapa orang persilatan, yang didapat 
hanya sedikit keterangan. Menurut mereka yang sempat 
tahu, Ratu Lebah sering terlihat bersama seorang tokoh 
sesat bernama Pangeran Neraka. 

"Lama aku berkelana, Cakra," tutur Mayangseruni lagi 
sambil memainkan anak rambutnya seperti wanita jalang 
penggoda. "Berkelana di batas sorga dan neraka. Kau tahu, 
bagaimana rasanya berjalan disana? Seperti siksaan yang 
melenakan. Saat itu merasa tersiksa, aku menjadi 
demikian takut... takut!" 

Wajah Mayangseruni berubah mencekam. Sudut 
matanya yang indah, memperlihatkan lipatan ketakutan. 
Dan secepat itu pula berubah penuh kebengisan. 

"Tapi bagai ada selaksa makhluk menjijikkan 
menitahku untuk menikmatinya. Dan..., aku pun bisa 
menikmati. Menikmati darah, menikmati warna merah, 
menikmati...." 

"Cukup, Bibi Mayang! Kau bukan bibiku yang dulu lagi! 
Rupanya kehidupan dunia yang memikat telah 
membuatmu lupa diri!" tuduh Agungcakra. "Kau telah 
terjerumus dalam dunia laknat kaum sesat yang 
menganggap dunia ini hutan rimba penuh kesenangan dan 
darah! Sadarlah, Bibi.... Jangan sampai Tuhan 
memurkaimu...." 

Kata-kata Agungcakra padat dengan getaran. Betapa 
terpukulnya dia mendapati orang yang disayangi sudah 
berubah demikian rupa. Mata anak muda itu berkaca-kaca, 
menembus lekat-lekat pandangan Ratu Lebah. 

"Terlambat, Anak Muda! Semuanya sudah terlambat!" 

Tiba-tiba terdengar suara di belakang. Suaranya 
begitu berat berdebam. Ketika Agungcakra menoleh, 
tampak Pangeran Neraka telah berada di sana, lelaki itu 
berdiri dengan melipat tangan di dada. Jari-jarinya yang 
tersembunyi tampak memainkan dua bola besi baja. Sorot 
matanya menyampaikan ancaman berbau maut.... 




"Siapa kau?!" bentak Agungcakra penuh selidik. Tanpa 
berkedip, diawasinya Pangeran Neraka lekat-lekat. 

Pangeran Neraka beringsut ke arah Agungcakra lebih 
dekat. Mulutnya mengumbar senyum mengejek. 

"Aku? Hu hu hu! Pertanyaanmu terlalu menyedihkan. 
Itu pertanda, kau tak banyak tahu tentang dunia persilatan 
yang keras ini. Kau terlalu hijau, Anak Muda...." 

Pangeran Neraka memenggal kalimat, seiring 
terangkatnya dagu. "Akulah Pangeran Neraka. Dunia 
persilatan sudah kenal baik dengan namaku," lanjut laki- 
laki tua itu, menyombong. 

"Apa hubunganmu dengan bibiku?!" tanya Agungcakra 
penuh menyelidik. 

Pemuda itu yakin, segala sesuatu yang terjadi tentu 
ada penyebabnya. Jika bibinya jadi tampak ganjil di 
matanya, tentu pula tak luput dari penyebabnya. 
Agungcakra pun yakin, lelaki yang baru kali ini dilihatnya 
tentu tersangkut dalam perkara yang membuat bibinya 
menjadi begitu tak dimengerti seperti sekarang. 

"Aku tak suka cara kau menatapku, Anak Muda." 
Bukannya menjawab, Pangeran Neraka malah melempar 
kalimat lain. 

"Jawab pertanyaanku!" sentak Agungcakra, diburu 
kegusaran. 

"Nyalimu cukup besar. Atau, kau memang terlalu 
bodoh sehingga tidak tahu dengan siapa berbicara." 

"Aku tak peduli, dengan siapa aku bicara. Dengan 
tokoh sakti atau iblis durjana sekali pun! Aku hanya ingin 
kau menjawab pertanyaanku," tandas Agungcakra, 
setengah mengancam. 

"Hu hu hu! Ternyata nyalimujauh lebih besar daripada 
dugaanku," cemooh Pangeran Neraka. 

"Keparat! Tentu kau ikut andil dalam perkara bibiku!" 
tuding Agungcakra tak bisa lagi membendung 
kecurigaannya. 

"Kalau kujawab, ya, kau mau berbuat apa?" tantang 
Pangeran Neraka melecehkan. Sengaja dia memancing 
terus kegusaran anak muda di depannya. 

"Bajingan busuk!" maki Agungcakra berat terseret. 
"Akan kuhabisi nyawamu sebagai bayaran atas kesalahan 
yang telah kau perbuat terhadap bibi kesayanganku!" 

Pangeran Neraka memperdengarkan tawa khasnya. 

"Kenapa tak segera kau lakukan? Apa mungkin kau 
hanya berani mengancam, dan tak mau menerima akibat 
jika mengancam orang seperti aku?" 

Lagi-lagi Pangeran Neraka melecehkan Agungcakra. 

"Pergilah kau ke dasar neraka, Manusia Keparat!" 

Sampai di situ, Agungcakra tak bisa lagi menahan 
kemurkaan yang meledak-ledak di dalam dada. Kalau saja 
persoalannya lain, tentu dia tak akan seberingas itu. Tapi, 
ini menyangkut diri orang yang begitu disayanginya. Orang 
yang terdekat setelah kedua orangtuanya. Itu tentu saja 
perasaannya bagai diluluh-lantakkan. 

Sarat kemurkaan pada wajahnya, Agungcakra 
melepas satu serangan dahsyat. Kelima jari kirinya yang 
tajam, mengancam leher Pangeran Neraka se-penuh 
kekuatan. Tampaknya, Agungcakra tak peduli lagi, 
bagaimana harus melabrak lawan. Hanya satu yang 
dikehendakinya saat itu. Lelaki di depannya harus mati 
secepatnya! 

Bet! 

"Putus lehermu, Keparat!" 

Lelaki yang diserang masih sempat mengejek dengan 
sebaris senyum memuakkan. Sekejap kemudian, tubuhnya 
berkelit enteng. Maka, luputlah terjangan Agungcakra. 

Dorongan kemarahan yang sudah mendaki hingga ke 
puncak kepala, mendorong Agungcakra untuk melakukan 
serangan susulan. Sikunya yang cukup dekat dengan 
Pangeran Neraka, segera menghujam ke ulu hati. 

Deb! 

Pangeran Neraka tak mau ambil bahaya. Apalagi 
tingkat kepandaian lawan bisa diukurnya. Maka segera 
ditangkisnya tohokah siku Agungcakra dengan satu tangan 
terangkat ke atas dalam gerakan menyapu keluar. 

Tak! 

Lalu disusul satu serangan balasan. Tinju Pangeran 
Neraka yang terkenal selalu mengandung racun amat kuat, 
langsung melayang lurus ke rahang pemuda tampan yang 
sedang kalap itu. 

Wus! 

"Hiah!" 

Berbarengan hentakan suara, Agungcakra berusaha 
menghindar sejauh-jauhnya. Meski tergolong hijau, 
pemuda itu bisa merasakan hawa maut yang disebar oleh 
angin pukulan Pangeran Neraka. 

"Hu hu hu! Terbukti ucapanku tadi, bukan? Kau 
memang terlalu hijau, terlalu bau kencur. Lebih baik, 
kembalilah ke ibumu dan minta diteteki!" sembur Pangeran 
Neraka. 

"Kau boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi, aku tak akan 
surut dari pertarungan ini. Kau harus mati di tanganku, 
walaupun aku harus membayarnya dengan nyawa!" 

"Lalu, kenapa kau harus menghindar sejauh itu? Ayo, 
ke sini kau! Biar tinjuku ini sedikit memanjakanmu!" 

"Hiaaa!" 

Agungcakra memulai pertarungan kembali. Tubuhnya 
mencelat tinggi. Satu kakinya membentang lurus ke depan, 
sedang yang lain terlipat. Tendangan terbangnya kini 
mengancam dada kekar Pangeran Neraka! 

Seperti sebelumnya, meski serangan Agungcakra 
sudah hampir tiba, Pangeran Neraka kembali 
memperlihatkan senyum yang lebih mirip seringai. Tingkat 
kepandaian Pangeran Neraka memang terlalu tinggi, 
meskipun Agungcakra di dunia persilatan cukup bisa 
mengandalkan kemampuannya. Itulah sebabnya, Pangeran 
Neraka seperti tak terancam oleh serangan-serangannya. 

Sesaat sebelum kaki Agungcakra benar-benar tiba, 
Pangeran Neraka membuat satu gerakan tangan. Telunjuk 
kanannya teracung lurus pada arah tendangan terbang 
pemuda itu. 

Tas! 

Entah bagaimana caranya, hanya dengan jari telunjuk 
tadi. Pangeran Neraka ternyata sanggup menahan 
tendangan terbang berkekuatan milik Agungcakra. 
Tubuhnya tak terlihat bergoyang, bahkan sekadar getaran 
pada pakaiannya. 

Sementara di lain pihak, Agungcakra malah ter-pental 
balik. Anak muda berwajah tampan dan ber-kesan jantan 
itu seperti baru saja menerjang bukit ka-ret yang kenyal! 
Tak hanya itu. Ketika kakinya menjejak bumi, Agungcakra 
merasakan nyeri yang luar biasa pada bagian kaki yang 
bertumbukan dengan jari telunjuk Pangeran Neraka. Rasa 
nyeri terus merangsek ke dalam serat-serat tubuhnya bagai 
terikut dalam aliran darah. 

Urat-urat wajah Agungcakra menampakkan ke¬ 
sakitan. 

"Kenapa, Anak 'Menak'? Apa di tempat tinggalmu yang 
nyaman kau tak pernah merasakan sakit? Kau tentu terlalu 
dimanja para inangmu.... Hu hu hu!" 

Agungcakra diam dengan rahang mengatup ra-pat- 
rapat, hingga otot-otot sekitarnya terlihat menonjol keluar. 
Ejekan-ejekan lawan telah keterla-luan. Bahkan untuk 
ukuran orang yang paling sabar sekali pun. 

Tekat Agungcakra untuk memberangus nyawa 
Pangeran Neraka kian meledak-ledak Maka, tanpa 
menimbang lebih lama, Agungcakra segera memper¬ 
siapkan ilmu pamungkasnya. Hanya cara itulah dia bisa 
punya kesempatan untuk menghabisi Pangeran Neraka. 

Sebelum serangan si pemuda kalap terlepas kembali, 
Pangeran Neraka telah lebih dulu melepas satu isyarat 
mata pada Ratu Lebah alias Mayang-seruni. Gerak kecil 
matanya, seakan hendak memerintah si wanita cantik yang 
bernasib malang itu dengan satu kalimat pendek. Habisi 
dia! 

Begitu Mayangseruni mengeluarkan suara ganjil yang 
tertangkap telinga Agungcakra, pemuda itu cepat menoleh. 

Hatinya jadi terkesiap melihat bibinya siap melesatkan 
ludah berkekuatan dahsyat, seperti pernah disaksikannya 
dulu sewaktu bersama Andika dan Anggraini. 

"Bibi jangan!" tahan Agungcakra. 

Sayang, usaha Agungcakra untuk menahan ke¬ 
bengisan yang kini menguasai seluruh pikiran bibinya, tak 
berarti apa-apa di telinga Mayangseruni. 

"Chuih!" 

Wesss! 

Sebisa-bisanya, Agungcakra menghindar. "Heaaa...!" 

Sentakan suara terlempar keluar, untuk mengimbangi 
pangerahan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh 
pemuda itu. Selagi tubuhnya masih di udara, Ratu Lebah 
sudah melepas lagi semburan ludahnya. Kali ini, tak cukup 
sekali. 

"Chuih! Chuih! Chuih!" 

Wess... ssss... sss! 

Tiga kelebatan serangan ganjil Ratu Lebah melesat ke 
arah tiga kedudukan yang amat menyulitkan Agungcakra. 
Satu menyergap bagian atas, sedang yang lain melesat ke 
bagian kiri dan kanan. 

Untuk menyelamatkan kepala agar tak tertembus, 
Agungcakra harus membuang tubuhnya ke sam-ping di 
udara. Namun begitu, dia harus berjudi dengan ludah maut 
yang lain. Jika bergerak lebih cepat, tentu selamat. Namun 
kalau terlambat sedikit saja, maka ludah yang meluruk di 
sisi-sisinya akan merencah tubuhnya. 

Karena keadaan sudah begitu mendesak, Agungcakra 
tak bisa lagi berpikir lama-lama. Langsung saja dia 
melempar tubuh ke sisi kanan sekuat tenaga. 

Sayang....- Srat! 

Seketika itu juga, bagian pinggang Agungcakra 
tersayat dalam oleh ludah Ratu Lebah. Tubuhnya 
kontan jatuh tersungkur tanpa sempat berpijak. 

Sambil memegangi pinggang yang mengucurkan 
darah, Agungcakra menatap nanar wajah dingin dan kejam 
Mayangseruni yang dulu dikenalnya sebagai seorang bibi 
yang lembut dan welas asih. 

"Bibi! Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" lirih si 
pemuda tampan dalam kalimat putus asa. 

Saat berkata, sehimpun kepedihan lain yang berasal 
dari dasar hatinya mengusik benteng kelelakian si pemuda. 
Matanya mulai berkaca-kaca. Tali kasih sayang tulus telah 
terputus oleh kepedihan yang tak terperi di antara semua 
kepedihan. Sebuah kekecewaan yang terlalu berat untuk 
ditanggung. 

"Apakah..., apakah kau memang sudah melupakan 
sama sekali cerita kita waktu kecil dulu?" lanjut 
Agungcakra tertahan-tahan. "Tentang cerita kita di taman 
bunga kadipaten? Tentang bibi yang berlari riang mengejar 
kupu-kupu kecil, lalu aku mengikutimu karena takut kau 
celaka? Apa Bibi lupa dengan semua itu?" 

Dingin! Hanya dingin yang bisa ditemukan Agungcakra 
di wajah Mayangseruni. Semenjak Pangeran Neraka ada di 
dekatnya, sisa-sisa rasa kasih sayang di kalbunya bagai 
terbelenggu pengaruh jahat. 

Hati Agungcakra kian tercabik-cabik. Kalau saja dia 
bukan lelaki, tentu akan menangisi semua itu dengan dada 
sesak. 

"Kau tak tahu, Bibi! Bagaimana sulitnya aku 
mencarimu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun- 
tahun. Hujan dan terik tak kupedulikan. Badai pun tak bisa 
menahan tekadku untuk mene-mukan orang yang 
kucintai," ucap Agungcakra lamat, seperti berkata pada diri 
sendiri. "Tapi, tak kuduga sama sekali. Ternyata aku telah 
kehilangan Bibi untuk selama-lamanya. Bibi telah binasa 
dalam kemungkaran...." 

Agungcakra senyap. Entah putus asa entah sudah 
kehilangan kata. 

"Kalau kau mau butuh aku, bunuhlah! Sudah terlanjur 
kusia-siakan hidup, untuk mencari Bibi yang sebenarnya 
tak mungkin kutemui lagi...," bisik pemuda itu lemah 
dengan kepala terjatuh. 

Detak-detak degup jantungnya melangkah pasrah. 

"Chuih! Chuih! Chuih!" 

Seruntun kelebatan ludah berkekuatan dahsyat 
menuju tubuh kuyu si pemuda. Dalam sekejap, tubuhnya 
dikoyak-koyak bagai sehelai daun kering tak berarti. 

" Tangan-tangan maut sepertinya adalah jalan terbaik 
menuntas hidup Agungcakra yang diberangus kecewa. 
Bersama darah yang membasahi sekujur tubuhnya, seiring 
keluh panjang atas kekecewaan, Agungcakra mengatupkan 
mata perlahan. Sebentang garis bening mengalir lembut di 
antara warna merah yang membasahi pipinya. 




"Urusan Cakra sudah beres. Dia sudah bertemu 
bibinya kembali," cetus Anggraini pada Andika setelah 
kepergian Agungcakra dan Ratu Lebah. "Kini tinggal 
urusanku denganmu...." 

Seperti tak berniat menggubris, Pendekar Slebor 
melangkah acuh menghampiri sisa api unggun yang masih 
melepas lenggokan asap putih tipis diusik angin malam. 
Dijemputnya panggangan daging kelinci. Hampir dingin, 
tapi tak dipedulikan. Perut yang begitu lapar membuatnya 
begitu lahap menyantap. 

"Kau jangan berpura-pura bodoh! Sudah sejak tadi 
kau menjengkelkanku. Kalau tak sabar-sabar, sudah 
kuhajar kau. Sekarang, cepat ceritakan padaku tentang 
cemeti itu!" desak Anggraini. Si dara ketus itu berdiri 
bertolak pinggang. Raut wajahnya sudah matang. 

Andika melirik enggan pada Anggraini. Dita-riknya 
napas dalam-dalam. Agak berat baginya menceritakan hal 
sebenarnya tentang cemeti itu. Bukannya tak mau berterus 
terang. Dalam hal ini, dia berada dalam keadaan selaku 
pembunuh pemilik cemeti tersebut. Bisa jadi, si pemilik 
cemeti, Begal Ireng, adalah ayah Anggraini. Kalau benar, 
tentu akan menjadi perkara hutang nyawa. Dan Anggraini 
bisa-bisa memusuhinya habis-habisan. 

"Padahal, aku tak mau bermusuhan dengannya. Aku 
tahu, dia bukan gadis sesat. Meski, sifatnya agak ketus," 
gumam Andika tak sadar, terbawa arus pikiran sendiri. 

"Hey, apa katamu tadi?" sergah Anggraini. 

"Ah, tidak.... Tidak apa-apa," elak Andika. 

"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Aku ingin cepat- 
cepat membereskan urusanku...." 

"Begini saja," putus Andika akhirnya. "Sebaiknya, kau 
mencari dua orang dari Tiongkok. Karena mereka kembar, 
keduanya dijuluki Kembar Dari Tiongkok." 

"Apa hubungannya dengan aku?" 

"Pokoknya, cari mereka. Dan, korek keterangan dari 
keduanya!" tandas anak muda dari Lembah Kutukan itu. 

"Apa hubungannya denganku?!" Si dara berpakaian 
merah mengotot. 

"Sial!" maki Andika jengkel. Pendekar Slebor memang 
tidak suka dipojokkan seperti itu. Apalagi oleh perempuan 
pula. 

"Yah.... Mereka itu amat kenal pada pemilik cemeti 
yang kau bawa!" jelas Andika, menyerah. "Mungkin kau 
bisa mengorek keterangan dari mereka, tentang kakak 
kandung si pemilik cemeti. Se-bab menurut kabar burung, 
pemilik cemeti itu mempunyai seorang kakak lelaki...." 

"Kalau begitu, terimakasih!" ucap Anggraini ketus. 
Dijumputnya cemeti yang terjatuh di sisi sisa api unggun, 
lalu beranjak meninggalkan tempat itu. 

"Kau mau ke mana?" tanya Andika. 

"Ke neraka!" 

Andika menggeleng-gelengkan kepala. 

"Bagaimana dengan jatah panggangan kelincimu ini?!" 
seru Pendekar Slebor lagi. 

"Makan saja sendiri. Bukankah kau memang ra-kus?" 
cemooh Anggraini di kejauhan. 

"Perempuan slompret!" 


k k k 

Tiga hari telah berlaku, Anggraini sudah terlihat di satu 
sudut kotapraja. Malam sudah tiba. Lampu-lampu minyak 
bertebaran semarak di daerah itu. 

Tempat yang paling sering dan paling banyak menjadi 
sumber berita adalah kedai. Di sana, desas-desus marak di 
antara bau arak dan panganan. Dan Anggraini kini 
memasuki salah satu kedai. Dia berharap bisa mencuri-curi 
keterangan dari obrolan par pengunjung tentang Kembar 
Dari Tiongkok. 

Gadis itu mengambil tempat, tepat di tengah tengah 
ruangan. Tempat yang bagus untuk bisa mendengar ke 
segenap penjuru kedai. Sambil terus memasang kuping, 
dipesannya makanan. Ketika makanan datang, gadis itu 
pun menyantapnya. 

Harapan Anggraini terkabul sebelum sempat 
menghabiskan santapan malam. Dua lelaki yang tam¬ 
paknya dari dunia persilatan, sedangsantai membica-rakan 
sesuatu sambil menikmati tuak keras. Mereka rupanya 
sudah cukup mabuk, sehingga lancar saja mengobral 
ucapan. 

"Kau tahu, dua lelaki dari Tiongkok yang pernah 
membual kegemparan tiga tahun lalu bersama Begal 
Ireng?" tanya laki-laki bertopeng kasar, dengan bauk 
memenuhi wajahnya. 

"Ya, tentu saja aku tahu. Bukankah mereka sudah 
mati sewaktu Pendekar Slebor mengamuk, mem-bumi 
hanguskan mereka?" tanggap lelaki yang diajak berbicara. 
Wajah laki-laki ini kelimis, tanpa kumis maupun jenggot. 

"Mati? Siapa yang bilang mereka mati? Begal Ireng 
memang mampus di tangan pendekar muda itu. Tapi 
mereka tidak" 

"Ah! Dari mana kau tahu begitu?" 

"Percaya atau tidak, aku dua hari yang lalu bertemu 
mereka. Dengan kalimat-kalimat mereka yang kaku, aku 
ditanya tentang Pendekar Slebor...." 

"Maksudku mereka mencari anak muda sakti itu? 
Sinting! Apa mereka belum kapok?!" 

"Tapi, siapa tahu selama tiga tahun menghilang dari 
dunia persilatan, Kembar Dari Tiongkok mempersiapkan 
diri untuk menghadapi Pendekar Slebor. Mereka mungkin 
punya ilmu baru!" 

"Ah! Aku tak yakin, mereka bisa menandingi anak 
muda sakti itu meski tiga tahun menambah ilmu. Kata 
banyak orang, kesaktian anak muda itu seperti setan. 
Kalau dia bergerak..., bet! Bet! Tahu-tahu, apa yang ada di 
depan hancur. Belum lagi, kabarnya dia bisa menyerap 
tenaga petir!" tutur lelaki klimis menggebu-gebu. Saking 
semangatnya, gelas tuak di meja jatuh bergulingan ke 
lantai. 

"Yaaa.... Tuak kita. Kau sih! Cerita pakai mencak- 
mencak segala!" gerutu lelaki bauk. "Mana uangku sudah 
habis...." 

"Tuan-tuan, kalian ingin lebih banyak tuak?" sapa 
Anggraini yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka. 

Dua lelaki tadi menoleh dengan mata sayu, karena 
pengaruh tuak. 

"Wah, rejeki nomplok! Nisanak haik sekali...." sambut 
lelaki klimis. 

"Kalian akan kubelikan empat guci penuh, kalau mau 
memberitahu aku, ke mana Kembar Dari Tiong-,kok pergi," 
lanjut Anggraini. 

Lelaki bauk yang pernah ditanyai Kembar Dari 
Tiongkok penuh semangat berdiri, lalu menghampiri si dara 
berpakaian merah. 

"Aku tahu, Nisanak," kata si bauk. "Setelah bertanya 
padaku, mereka pergi ke arah utara, eh....! Tunggu dulu." 

Lelaki bauk itu diam sebentar seperti mengingat-ingat. 

"Matahari tenggelam di sebelah mana, ya?" tanya laki- 
laki itu pada kawannya. 

"Barat maksudmu?" sela Anggraini. 

"Ya, barat! Tepat, Nisanak!" 

"Kira-kira, apa daerah yang istimewa di daerah barat?" 

Lagi-lagi si lelaki tadi mengingat-ingat. Sesaat 
kemudian wajahnya meringis ngeri. 

"Di barat itu, yang santer sekarang-sekarang ini, ya 
Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Jaraknya tak begitu jauh 
dari sini. Kira-kira setengah harian berkuda...." 

"Cukup, terimakasih," putus Anggraini, seraya 
mengeluarkan beberapa keping uang perak. Diberikannya 
uang itu pada si lelaki pemabuk. 

"Mabuk sampai pagi!" teriak lelaki itu girang bukan 
main. Setelah itu tubuhnya ambruk, tak kuat lagi menahan 
pengaruh tuak dalam tubuhnya. 

Beres membayar makanan, Anggraini bergegas keluar 
kedai. Malam itu juga, gadis ini mencari seekor kuda jantan 
dan membelinya. Dia bermaksud langsung menuju ke arah 
yang ditunjuk dua lelaki pemabuk tadi. 


•k -k -k 


Anggraini tiba menjelang pagi di Pintu Sorga dan 
Neraka Dunia. Matahari mengintip malu-malu di sudut 
timur cakrawala. Cahaya jingganya menyapu samar wilayah 
itu. Panorama indahnya pun seolah bangun dari tidur. 

"Pantas saja tempat ini disebut 'Pintu Sorga'. Ke¬ 
indahannya benar-benar menakjubkan," puji Anggraini 
perlahan. 

Gadis itu memandangi pucuk-pucuk bunga matahari 
jangkung yang masih tertunduk-tunduk, seakan 
sekumpulan serdadu mengantuk. Warna kuningnya 
menyatu dengan jingga sang matahari. 

"Tapi, kenapa tempat itu disebut juga 'Pintu Neraka 1 ? 
Aku belum menangkap maksudnya. Menurutku, tak ada 
tanda-tanda kalau tempat ini seperti neraka...," gumam 
gadis itu kembali seraya menghirup dalam-dalam hawa 
sejuk yang berhembus dari sela-sela bukit pembenteng 
daerah itu. 

Cahaya kekuningan matahari mulai memudar. Dan 
Anggraini puas menikmati maha karya Yang Maha Esa. Kini 
dia pun mulai mengendalikan kuda tunggangan yang telah 
dibelinya, berjalan perlahan menyusuri jalan setapak 
berkerikil warna-warni. 

Sepanjang jalan setapak, sesekali dia menemu-kan 
serumpun bambu kuning setinggi dua kali manusia. 
Gemerisik daun-daunnya menyapa ramah, ketika angin 
mengusik. Di dekat serumpun bambu kuning lain, telinga 
Anggraini menangkap suara mencurigakan. Bukan sekadar 
gemerisik daun atau derit bambu yang bergesekan. Maka 
seketika pen-dengarannya ditajamkan. Tak lama 
kemudian, mulai bisa dipastikan kalau suara itu adalah 
rintihan seseorang. 

Dengan cekatan dara cantik itu melompat turun dari 
punggung kudanya. Dia langsung berlari ke balik 
kerimbunan rumpun bambu. Mata indahnya kontan 
terbelalak menyaksikan sesuatu yang terlihat. Sebuah 
tiang kayu besar terpancang angkuh dan dingin. Di 
atasnya, tergantung seseorang yang sudah dikenalnya.... 
Agungcakra. 

"Cakra! Apa yang terjadi?" tanya Anggraini, khawatir 
melihat keadaan Agungcakra yang mengenaskan. 

Tubuh pemuda itu menderita koyakan di sana-sini. 
Darah terus menetes ke tanah, tepat di bawah tempatnya 
tergantung. Sudah begitu banyak darah tergenang disana. 
Anak muda tampan itu nyaris pingsan dengan wajah pucat 
pasi. Matanya terkatup, redup. 

Anggraini cepat mengambil selembar daun bambu. 
Dan tangannya pun bergerak sekelebat. Wes... tes! 

Tali besar pengikat kaki Agungcakra terputus tanpa 
kesulitan, seakan baru saja ditebas sebilah kelewang amat 
tajam. Tubuh lunglai si anak muda malang, pun meluncur 
jatuh. Tapi, Anggraini menyergapnya sigap. 

"Nisanak, apakah kau pernah mendengar cerita anak 
manusia....," kata Agungcakra lirih. Tubuhnya telah 
terbaring di tanah, sementara kepalanya senga-ja dipangku 
Anggraini. "Tentang seorang yang begitu menyayangi adik 
kandung ayahnya. Dia mencari sang bibi yang menghilang 
bertahun-tahun, tanpa kenal lelah dan tanpa kenal 
menyerah.... Lalu ketika bibi yang disayangi ditemukan, 
tiba-tiba dia harus menerima kenyataan pahit. Harapannya 
untuk menerima kasih sayang yang dulu pernah hilang, 
lebur dalam sekejap. Sang bibi ternyata tak lagi seperti 
dulu. Sang bibi yang disayanginya kini tiada. Yang ada 
hanyalah perempuan keji yang sudi mencabik-cabik atas 
perintah orang lain, yang sama sekali tidak mempunyai 
hubungan darah.... Ugh-ugh!" 

Hati lembut Anggraini tersentuh. Nurani 
kewanitaannya trenyuh. Tak kuasa melihat kekecewaan 
Agungcakra menjelang ajal yang kian dekat. 

"Bertahanlah, Cakra. Kau pasti selamat...," hibur 
Anggraini bergetar lemah. 

Seakan gadis itu bisa merasakan rasa sakit di ke¬ 
dalaman jiwa goyah Agungcakra. Tak terasa garis-garis 
bening mulai menggantung di matanya. 

"Aku letih mencari, Nisanak. Amat letih...." 

Agungcakra memperlihatkan tawa rapuh yang 
demikian pahit, seolah menertawai keburukan nasib-nya. 

"Jangan salahkan bibiku, Nisanak. Biar bagaimana 
pun, aku tetap menyayanginya. Hanya 'sisi gulita' dalam 
dirinya yang membuatnya begitu," desah Agungcakra, 
mengutip sajak yang pernah dibacakan di depan Andika 
dan Anggraini. 

Setelah itu, tak ada lagi kata. Tak ada lagi. Bahkan 
sekadar desah napasnya. Agungcakra telah mati akibat 
tangan orang yang disayanginya. 

Dunia menjadi bisu tiba-tiba bagi Anggraini. Tubuhnya 
terpaku diam, memandangi jasad Agungcakra di 
pangkuannya. Dua bulir bening merambah turun dari 
kehalusan pipi gadis itu. jatuh tepat di sisi bibir Agungcakra 
yang masih memperlihatkan senyum kekalahan atas 
nasibnya. 

Belum puas gadis itu melepas keharuan, mendadak 
sebuah jemari kekar menyentuh bahunya dari belakang. 
Begitu lembut dan hangat, seolah menyadarkan dirinya 
dari kebisuan panjang mengiringi jiwa Agungcakra yang 
pergi. 

"Dia telah mati, Nisanak," ucap seorang di belakang 
Anggrai ni. 

Begitu menoleh, Anggraini jadi terhibur setelah tahu 
siapa yang ada di belakangnya. Ternyata, orang itu adalah 
Andika, yang mengikutinya sejak gadis itu meninggalkan 
kotapraja. Pendekar Slebor terus mengikuti Anggraini 
sampai tiba di tempat ini. 

"Apakah kau percaya?" kata Anggraini, "Kemarin 
malam, dia masih tertawa dengan kita. Masih membaca 
sajak indah untuk kita...." 

Andika tak mampu berkata-kata. 

Beberapa saat lalu, Andika dan Anggraini telah 
menguburkan jenazah Agungcakra dengan hidmat di 
tempat itu juga. Kini, mereka sudah berada di punggung 
kuda masing-masing. Anggraini masih menatap gundukan 
tanah basah di depan. 

"Kasihan dia...," bisik Andika seolah pada diri sendiri. 

Gadis itu kemudian membalikkan arah kudanya. Lalu 
binatang itu berjalan perlahan. Andika menyusulnya di 
belaka ng. 

"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Anggraini 
pada Andika beberapa waktu kemudian. 

"Aku hanya khawatir padamu," kata Andika. 

Anggraini menatap Andika lekat-lekat. 

"Kenapa? Apa kau anggap aku lemah, sehingga perlu 
dikhawatirkan?" ujar gadis itu agak tersinggung. 

Andika tersenyum. 

"Soal kepandaianmu, aku tak begitu ragu. Dari 
caramu menotok kuda almarhum Agungcakra waktu itu, 
aku bisa menilai kalau ilmumu cukup bisa diandalkan 
untuk menjaga diri. Aku hanya khawatir, karena kau orang 
baru di dunia persilatan busuk ini...." 

"Dari mana kau tahu?" 

"Dari caramu waktu memperlakukan aku dan 
Agungcakra dulu. Kau begitu curiga pada kami dan begitu 
hati-hati. Bahkan kau sempat hendak menurunkan tangan 
kejam pada Agungcakra waktu itu...." 

"Ya.... Aku memang menyesal...," sela Anggraini, 
leringat sikap kasarnya pada pemuda yang ternyata 
berusia singkat itu. 

"Nah! Menurut pengalamanku, hanya orang-orang 
yang baru turun ke dunia persilatan yang bersikap seperti 
itu," papar Andika enteng. Kembali bibirnya 
memperlihatkan senyum menawan, membuat Anggraini 
agak rikuh. 

"Dugaanku terhadap kalian ternyata keliru. Mulanya, 
aku mengira kalian sejenis pemuda hidung belang. Tapi, 
nyatanya kalian berhati mulia...," kata Anggraini dengan 
kepala terjatuh. Matanya memandangi jalan berkerikil, 
seolah merasa bersalah. 

"Aku? Aku kau sebut berhati mulia?" tukas Andika, 
memperlihatkan wajah mencemooh diri sendiri. "Kau 
belum tahu saja." 

"Di samping itu, aku mendapat hikmah dengan 
bertemu Cakra," kata Anggraini, tak mem pedulikan 
gurauan Andika. "Ternyata, kita sering tertipu oleh banyak 
hal. Mulanya kita yakin, Agungcakra telah merasa gembira 
telah bertemu bibinya yang telah dicari sekian lama...." 

"Ternyata dia mengalami nasib mengenaskan. 
Makanya kau pun harus berhali-hati. Di dunia ini banyak 
'bungkusan bagus, tapi isinya bangkai 1 ...," potong Pendekar 
Slebor. 

Anggraini diam-diam menatap terus pemuda tampan 
yang berkuda di sisinya. Tak dinyana kalau pemuda ini 
mempunyai perhatian besar. Tadi, Andika mengatakan 
kalau mencemaskan Anggraini. Kini dari mulutnya 
meluncur nasihat-nasihat yang begi-,tu bijak. 

Diam-diam pula senyum tipis tersembul di sudut bibir 
Anggraini. Keketusannya saat itu seperti terbang entah ke 
mana. 

"Jangan suka mencuri-curi pandang padaku, Nisanak. 
Nanti kau bisa jatuh cinta!" cetus Andika tak terduga. 
Padahal, sedikit pun Andika tak menojeh pada Anggraini. 

Anggraini di sisinya saat itu juga memperlihatkan 
semu merah yang merebak di kedua belah pipinya. 

Belum sempat Anggraini menyembunyikan wajahnya 
yang merah karena malu, mendadak. 

"Siapa pun yang menjejakkan kakinya di tanah ini, 
harus mati!" 

"Heh?!" 

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, 
membuat Andika dan Anggraini terkejut. Belum sempat 
keterkejutan mereka hilang, menyusul berkelebatnya 
sesosok bayangan merah.... 




Andika dan Anggraini tahu, kalau yang berdiri tegak 
menghadang jalan mereka adalah Ratu Lebah. Tampak 
masih membekas darah di kuku-kukunya yang berwarna 
keunguan. Tak terlintas kesan penyesalan di wajahnya atas 
kematian Agungcakra. 

Seperti ucapan Agungcakra menjelang kematian, 
memang bibinya itu yang telah menurunkan tangan keji. 
Semula, Mayangseruni sendiri tak pernah terbetik niat 
untuk menghabisi Agungcakra. Meski bagaimanapun, 
ingatan tentang masa kecilnya bersama Agungcakra masih 
tetap tersisa. 

Sewaktu Pangeran Neraka memerintahnya 
membunuh Agungcakra, bahkan masih sempat terjadi 
pertentangan batin dalam dirinya antara pengaruh jahat 
Pangeran Neraka dengan benih kasih sayang yang tersisa. 
Sayang, pengaruh lelaki sesat itu lebih kuat menguasai 
pikirannya. Dengan telengas, Ratu Lebah menyerang 
keponakannya sendiri yang sangat disayangi. 

Perbedaan kesaktian yang jauh terpaut antara 
Mayangseruni dengan Agungcakra, membuat wanita itu 
tanpa kesulitan berarti mengoyak-ngoyak kulit tubuh 
Agungcakra. Saat pemuda tersebut melemah, Pangeran 
Neraka menjerat kakinya dengan tambang besar. 
Agungcakra digantung di sebuah tiang. 

"Rupanya sang bibi bertangan dingin itu," kata 
Anggraini, menyambut penghadangan Ratu Lebah dengan 
riuh. Matanya berkilat-kilat gusar. "Tak kusangka, kau 
ternyata hanya seekor hewan betina buas, yang tega 
menghabisi nyawa keponakan sendiri!" 

"Apa maumu Ratu Lebah?" tanya Andika datar. 

Pemuda itu berusaha tetap menjaga ketenangan. 
Hatinya juga terbakar. Terlebih kalau ingat keadaan 
terakhir Agungcakra. Tapi menurut pengalaman- 
pengalaman yang lalu, akan sangat berbahaya bila 
menghadapi tokoh sesat yang sulit terukur kepandaiannya 
dengan gegabah. 

Wajah dingin Ratu Lebah tampak berubah. Mulutnya 
menyeringai seraya melempar sorot mata keji pada Andika. 

"Perjaka tampan! Kau tentu belum pernah melayang- 
layang dalam tungku tanpa batas...," desis Ratu Lebah 
dingin. Sulit dipahami Andika dan Anggraini. 

"Aku tak paham maksudmu," kata Andika. 'Tak perlu 
lagi berbasa-basi dengan wanita busuk ini, Andika! Dia 
harus menerima hukuman!" 

Anggraini tak bisa menahan kegeraman. Betapa muak 
hatinya melihat seringai Ratu Lebah. Matanya jelas sekali 
menemukan pandangan telengas wanita itu. 

Dara dari Tanah Buangan itu lantas mengangkat satu 
tangannya ke depan tubuh perlahan dan pasti. Wajahnya 
berubah menegang. 

"Kau rasakan ini!" seru Anggraini berbareng gerakan 
tangan, membuat pukulan jarak jauh ke bumi. 

Wesss! 

Serangkum angin pukulan menebar hawa panas kuat 
terlepas, lalu menghujam bumi. Tempat yang terkena 
langsung membara selebar roda pedati. Asap hitam 
mengepul di sekitarnya. Beberapa saat kemu-,dian.... 

Grrr! 

Bumi bagai digoncang, menciptakan gemuruh 
dahsyat. Dua kuda tunggangan Andika dan Ang-,graini 
mulai kalang kabut. Mereka meringkik-ringkik liar dengan 
kaki depan melonjak-lonjak. Seolah ada sesuatu yang amat 
menakutkan mereka. 

Saat berikutnya, retakan tanah tercipta. Berpusat dari 
tempat Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar'nya, 
retakan meluas dan Irian meluas. Kuda tunggangan anak 
muda itu pun tersentak mundur ketakutan sewaktu 
retakan lebar membelah tanah di depan. Seketika kuakan 
besar tercipta, memunculkan wujud mengerikan. Besar, 
bersisik serta keperakan. 

Andika terpukau. Seumur hidup, baru kali ini matanya 
melihat makhluk raksasa itu. Bahkan benaknya pun tak 
pernah sekali pun membayangkan-nya. 

"Kadal linglung-kecoa bunting!" desis Pendekar Slebor 
dengan rrtata terbelalak besar-besar, seakan siap 
melompat keluar. "Nenek moyang ular dari mana ini?" 

Sekilas Pendekar Slebor menatap Anggraini tanpa 
sempat berkedip. Hampir tak bisa dipercaya kalau gadis di 
sebelahnya itu yang telah mengundang si ular raksasa 
muncul. 

"Nisanak! Apa kau sejenis siluman ular? Atau kau 
mahaguru para pawang ular? Atau..., atau aku yang 
memang sudah tidak waras?" tanya Andika padanya. 

Anggraini seperti tak pernah mendengar gumam 
takjup Andika lagi. Tangan kanannya diacungkan lurus- 
lurus ke arah Ratu Lebah. Seolah dia berkata dengan 
isyarat pada sang ular raksasa, bunuh perempuan itu! 

Waktu itu si ular raksasa setelah takluk pada 
Anggraini, diberi nama Naga Bumi. Binatang itulah 
sesungguhnya yang dimaksud buyut guru Anggraini sebagai 
'kehebatan lain' dari ilmu 'Kekuatan Kembar’. Sesuatu yang 
dikata ibunya sebagai 'yang tak pernah terpikirkan'. Panas 
hebat dari pukulan 'Kekuatan Kembar' selalu akan 
mengundangnya untuk muncul dari perut bumi, 
meninggalkan pertapaannya jauh di bawah sana, untuk 
menerima titah sang tuan. 

Naga Bumi kini sudah menampakkan seluruh 
tubuhnya yang menggetarkan. Mulutnya mendesis-desis 
dengan suara bagai guruh. Mulutnya menganga, 
mengancam Ratu Lebah yang berdiri dua puluh tombak 
darinya. "Ssszzz!" 

"Lumatkan dia!" teriak Anggraini, penuh gejolak 
kemurkaan. 

Hilanglah kesan gadis nakal yang sering tampak pada 
dirinya. Kini sitatnya telah ganti menjadi seorang perwira 
perang wanita berwibawa. 

Sementara itu Naga Bumi meliuk kasar, mem- 
porakkan kumpulan pohon bunga matahari di sisi jalan 
setapak. Kerikil berhamburan. Bumi terus digebah getaran. 
Sasarannya hanya satu. Ratu Lebah! 

Wuk! 

Ekornya membuat serangan pembuka. Deras 
menyabet, menimbulkan angin yang bergulung 
disekitarnya. 

Ratu Lebah cepat melenting lincah. Caranya 
menghadapi binatang dari perut bumi itu begitu pasti. 
Sedikit pun tak kentara kegugupan dalam dirinya. Wajah 
cantiknya tetap sedingin es. Gerakannya tetap mantap. 

Selagi melayang di udara, tubuh Ratu Lebah di-terjang 
kepala binatang raksasa yang mematuk dengan mulut 
menganga. 

Satu gaya menyelamatkan diri dari lahapan mulut 
sebesar goa kini dibuat Ratu Lebah. Dengan lentur, 
tubuhnya yang semula tergulung, merentang lurus ke 
depan. Kedua tangannya terbentang ke muka, siap 
menyambut kepala lawan. Ketika hampir tertelan, dua 
tangan wanita itu menyentak kuat taring besar di mulut si 
ular raksasa. 

Das! 

Ratu Lebah berhasil menjauhi lawannya dengan 
memanfaatkan tenaga dorongannya sendiri. Tubuhnya pun 
jatuh dengan kuda-kuda matang, siap menanti terjangan 
selanj utnya. 

Sementara si ular raksasa bagai tak pernah 
merasakan sakit pada taringnya. Dia terus saja merangsek. 
Jaraknya dengan lawan kecilnya yang tak begitu jauh, 
segera dicapai dengan patukan panjang. 

Wuuukh! 

Pada saat yang sama, Ratu Lebah sedang memu¬ 
satkan seluruh kemampuan tenaga dalamnya, untuk 
menahan patukan kepala besar itu. 

"Chiaaa!" 

Dark! 

Beriring teriakan melengking tinggi, pukulan tenaga 
dalam Ratu Lebah terlepas, lantas menghajar telak 
moncong si ular raksasa. Luncuran kepalanya langsung 
terhenti di tempat, seakan baru saja terhadang benteng 
kokoh kasatmata. 

"Ayo! Serang aku lagi, Binatang Keparat! Biar kukirim 
kau ke suatu tempat yang menyenangkan, tempat kita 
berpesta dengan siksaan!" tantang Ratu Lebah sulit 
dipahami. 

Seperti mengerti ucapan lawan, si ular raksasa 
memacu kembali tubuhnya dengan kemurkaan maha 
besar. Hantaman Ratu Lebah telah membuat darahnya 
mendidih. Sepasang mata merah darahnya kian memerah 
pekat. Di sisi-sisinya mulai berpijaran. 

Anehnya, si ular raksasa tak segera menuju lawannya. 
Tubuhnya meliuk ke atas. Lalu tiba-tiba, kepalanya 
menyeruduk bumi, menciptakan lobang besar. Kemudian 
dia menelusup dan menghilang. 

Permukaan tanah di sekitar arena pertarungan 
bergetar hebat seperti semula. Tak ada yang tahu, apa 
yang hendak dilakukan binatang langka mengerikan itu. 
Yang pasti, kini dia sudah mengaduk aduk isi bumi. 

Ratu Lebah berdiri waspada. Diperhatikannya 
permukaan tanah tanpa berkedip sekejap pun. Mata-nya 
liar bergerak kian kemari, menjaga kemunculan sang 
lawan yang bisa saja muncul tiba-tiba. 

Kewaspadaan Ratu Lebah tak sia-sia. Si ular raksasa, 
seperti dugaannya, memang muncul mendadak dari dalam 
bumi tepat di atas tempatnya berpijak. 

Gruak! 

"Haiiit!" 

Ratu Lebah berhasil menggenjot tubuh ke atas, 
dengan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. 
Sayangnya, kemunculan kepala si ular raksasa lebih cepat 
dari dugaannya. Kepala besar itu cepat menyusul beringas 
ke atas dengan mulut menguak lebar-lebar.Plap! 

Sekejap saja, tubuh Ratu Lebah masuk ke dalam 
rongga mulutnya. 

Andika di kejauhan ternganga amat takjup. Wanita itu 
pasti telah ditelan mentah-mentah oleh si ular raksasa itu. 

Tapi kenyataan berikutnya membuat dia lebih ternganga 
takjup. Di dalam rongga mulut Naga Bumi, tampak Ratu 
Lebah sedang merentang-kan tangan tubuh dan kakinya 
lurus-lurus dan tegang. 

Tangannya terganjal di rongga atas mulut Naga 
Bu-iini, sedangkan kakinya bertahan di atas lidah. 

Naga Bumi menghempas-hempas kepala ber-kali-kali. 
Tubuh calon korban yang mengganjal rahangnya hendak 
dilontarkannya. Berkali-kali dicoba, berkali-kali gagal. 
Terkadang dicobanya mcngatup-kan rahang untuk 
meremukkan sekaligus tubuh Ratu Lebah. Namun usaha 
itu pun menemui kegagalan. 

"Ck, ck, ck...," Andika berdecak-decak sendiri. Bibirnya 
sampai maju-mundur seperti moncong kelinci. 

Anggraini di sisinya menatap terus tajam-tajam Sikap 
tubuhnya terlihat amat siaga. Tampaknya, dia sedang 
menanti satu kesempatan. Entah untuk apa. 

Seesaat kemudian, baru jelas apa yang hendak 
dilakukan gadis berwajah ketus itu. Kala mulut ular 
taklukannya menghadap ke arahnya, secepat kilat 
tubuhnya melompat turun dari kuda yang tak henti gelisah. 
Dan secepat kilat pula, dua tangannya memben tang lurus 
ke depan, melepas pukulan jarak jauh 'Kekuatan Kembar' 
tingkat pembuka dibidikkan amat teliti ke tubuh Ratu 
Lebah. 

Wusss! 

. Kekuatan panas terlepas cepat, menembus udara 
dan memanggangnya dalam sekejap. Asap putih 
membekas, sepanjang lintasan tenaga pukulan tadi. 
Arahnya demikian tajam, ke tubuh Ratu Lebah di 
rongga mulut ular raksasa. Das! 

Ratu Lebah kontan terhantam telak. Untung saja, 
hanya bagian paha padatnya yang terhajar. Jika sedikit 
lebih ke atas, bisa dipastikan nasibnya akan naas. 
Kalaupun bisa bertahan menerima rangsekan pukulan 
yang sanggup meremukkan karang, tentu tubuhnya akan 
terdorong masuk ke tenggorokan Naga Bumi. Dia akan 
menjadi isi perut ular raksasa itiu. 

Beruntung pula, pada saat bersamaan ketika 
tubuhnya kehilangan pertahanan, Naga Bumi meng¬ 
goyangkan keras kepalanya. Akibatnya, Ratu Lebah pun 
jadi terlempar keluar dari rongga mulut Naga Bumi. Setelah 
meluncur cukup jauh, tubuhnya jatuh meninju bumi di atas 
hamparan pohon bunga matahari. 

Srak! 

Sekujur paha Ratu Lebah yang terkena pukulan jarak 
jauh Anggraini tak bisa lagi digerakkan. Panas luar biasa 
begitu terasa, bagai ada panggangan besi membara! Ratu 
Lebah tak kuasa lagi berdiri di atas kuda-kudanya. 

Sementara, Naga Bumi tak membiarkan wanita 
telengas itu sempat bernapas lega. Binatang beringas itu 
merangsek lagi dengan seluruh gambaran keganasan serta 
kemurkaannya. 

Menyadari tak ada lagi yang bisa diperbuatnya, si 
wanita cantik yang kehilangan kewarasan ini memutar jari 
telunjuknya di udara, dalam satu pengerahan tenaga 
dalam. Maka sekelika suara tinggi melengking pun tercipta. 

Swing, swing, swing! 

Apa yang sesungguhnya dilakukan wanita itu? Jelas, 
dia tidak sedang bermain-main dalam keadaan genting 
seperti ini. 

Mendadak, dari balik bukit sebelah tenggara, keluar 
sebentuk hamparan di angkasa yang berubah-ubah 
bentuk. Dari kejauhan, bunyinya bisa ditangkap. 
Berdengung hingga ke balik bukit seberang. Berjuta-juta 
makhluk sebesar kelingking berwarna hitam, rupanya telah 
merambah angkasa. Jutaan lebah yang terkenal memiliki 
sengatan paling berbisa di seantero jaga d. Bisanya, 
beberapa kali kuat daripada bisa seekor ular sendok. 
Lebah-lebah itu memang sengaja dibiakkan Ratu Lebah 
dengan ramuan khusus yang menyebabkan mereka 
memiliki bisa amat kuat. 

Dan hari ini, si Pendekar Slebor sedang mendapat 
jatah 'ternganga-nganga' yang melimpah. Sudah beberapa 
kali dia terbengong-bengong, kini pun mesti terbengong 
lagi. Siapa yang tak takjup mendapati pemandangan 
seperti itu? Lebah-lebah yang terbang membentuk raksasa 
ganjil di angkasa? 

"Mak! Aku memang benar-benar sudah tak waras 
barangkali, ya?" rutuk Pendekar Slebor pada diri sendiri. 
Dipukul-pukulnya kepala seperti orang hilang ingatan. 

Tak lama, jutaan lebah itu mendapat aba-aba suara 
siutan dari Ratu Lebah, untuk segera menyerang Naga 
Bumi. 

Ngungngng! 

Naga Bumi kontan diserbu makhluk-makhluk kecil 
dari berbagai penjuru. Mereka menyengat seluruh kulit 
Naga Bumi dengan rakus. Namun, sengatan yang bisa 
menewaskan manusia dalam sekian kedip mata itu, 
ternyata hanya jadi semacam cubitan kecil bagi si ular 
raksasa. 

Naga Bumi mengamuk. Ekornya dikibas-kibas-kan 
sambil meliuk-liukkan badan. Ratusan lebah ma-lah 
ditelannya begitu saja. Dan ketika sepasukan le-.bah itu 
tak juga mau berhenti mengerubungi, Naga Bumi tak ambil 
peduli lagi. A 

Tubuh besar terus merayap menuju Ratu Lebah. 
Sesaat lagi, wanita itu siap dihantamkan moncong-nya. 

Wusss! Set! 

Tepat ketika tinggal setengah tombak lagi mon-cong 
Naga Bumi menimpa tubuh Ratu Lebah, sekelebat 
bayangan menyambarnya amat cepat. Tubuh sintal Ratu 
Lebah langsung dibopong di bahu seperti bungkusan 
kapas. 

"Hey, siapa kau?!" teriak Andika. 

Seketika itu juga tubuh Pendekar Slebor berkelebat 
cepat, mengejar. 


10 


Di dunia persilatan, ilmu kecepatan gerak dan 
meringankan tubuh Pendekar Slebor tergolong berada 
dalam urutan puncak. Bahkan bisa dibilang sulit dicari 
tandingan. Tak jarang orang menyebut kecepatannya 
sebagai sambaran petir, atau kecepatan setan. 

Andai ada seseorang yang mampu mengecoh Andika 
dengan kecepatannya, maka jangan ragukan lagi, 
bagaimana tingkat kesaktian orang itu. Hari ini, Andika 
bertemu orang semacam itu. 

Sewaktu mencoba mengejar orang yang berkelebat 
menyambar tubuh Ratu Lebah, Pendekar Slebor terkecoh. 
Ternyata orang itu berlari lebih cepat darinya. Padahal, 
sedang membopong tubuh orang lain. Dengan cepat, 
Andika kehilangan jejak. 

Yang menjengkelkan, orang itu muncul lagi di 
kejauhan selagi Pendekar Slebor celingukan seperti kera 
bodoh. Dia berdiri menanti, memperdengarkan tawanya 
yang buruk. Pendekar Slebor jadi merasa diejek. Maka 
dengan sepenuh kemampuan, dikerah-kannya ilmu 
peringan tubuh. Dikejarnya lagi orang itu. Dan tiba-tiba 
pula, orang itu menghilang seperti ditelan bumi. 

"Kenapa aku hari ini dibuat kebingungan terus," 
gerutu Andika sambil menggaruk-garuk kepala. "Ada gadis 
cantik yang judes tahu-tahu punya peliharaan yang 
besarnya minta tobat. Ada wanita jelita setengah gila punya 
peliharaan jutaan binatang 'tukang sundut 1 . Eh, bisa- 
bisanya sekarang aku dijadikan bulan-bulanan orang yang 
larinya cepat seperti setan...." 

Di akhir gerutuan Pendekar Slebor, terdengar lagi 
tawa seseorang di kejauhan. Jelek dan serak seperti tadi. 
Andika mendengus kesal. Dia merasa dipecundangi hari 
ini. 

Kalau diperhatikan lebih teliti, Pendekar Slebor 
berkesimpulan kalau suara itu keluar dari pita suara 
seorang tua renta. Jika lelaki, suara itu terlalu cempreng. 
Kalau begitu, pasti suara perempuan bangkotan. Tapi, 
siapa? 

"Ah, peduli setan!" maki Andika. "Aku tidak mau cepat- 
cepat jadi gila memikirkan perempuan bangkotan itu!" 

Andika lalu berlari kembali ke tempat semula. Hendak 
ditemuinya Anggraini. Biar sudah tahu gadis itu punya 
peliharaan yang bisa diandalkan, Andika tetap saja 
khawatir dengan keselamatannya. Seperti pernah 
diungkapkan pada Anggraini, rimba persilatan terlalu licik 
bagi seorang yang baru menceburkan diri ke dalamnya. 
Seperti juga Anggraini. 

Tak banyak memakan waktu, Pendekar Slebor sudah 
tiba kembali. Tapi di Sana, tak ditemukan seorang pun. 
Tidak juga Anggraini. Ular raksasa dan se-kumpulan lebah 
itu pun sudah tak tampak. Yang tersisa hanya suasana 
yang porak poranda, akibat pertempuran dahsyat. 

"Eih! Ke mana pula gadis ketus itu?" gumam Andika. 

Kepala Pendekar Slebor celingukan ke sana ke-mari. 
Tapi, tak ada tanda-tanda arah kepergian Anggraini. 

"Anggraini! Anggraini! Anggraini!" panggil Andika. 

Tak ada sahutan. Suara Andika kembali lagi, akibat 
pantulan bukit yang mengepung tempat itu.... 

k k k 

Jauh, amat jauh dari Pintu Sorga dan Neraka Dunia, 
seseorang tampak berlari cepat. Bahunya membopong 
tubuh seorang wanita sintal. Orang yang dibopong 
berukuran lebih besar. Tapi, bukan karena itu tubuhnya 
membu ngkuk. 

Orang itu adalah nenek tua peot. Rambutnya putih 
digelung, dihiasi tusuk konde dari trisula. Seluruh wajahnya 
dipenuhi keriput. Di mulutnya tersembul satu gigi besar 
yang tersisa. Dia mengenakan pakaian seronokan. Bagian 
atas tubuhnya ditutup rompi kulit kayu yang terbuka ke 
mana-mana, sehingga buah dadanya yang kendor 
bergelayut kian kemari. Bagian bawah tubuhnya ditutup 
dedaunan yang diikat menjadi satu ke pinggang. 

Nenek peot itu memasuki wilayah pekuburan tua, di 
atas kaki gunung. Di tengah kuburan, tumbuh sebuah 
pohon beringin besar. Dihampiri pohon itu. Di sisi pohon, si 
nenek terbatuk-batuk sesaat. Dan, terbukalah satu sisi 
pohon membentuk pintu masuk. Rupanya, saat batuk tadi 
dia melepas satu tenaga dalam yang menggerakkan roda- 
roda di bawah pintu yang beratnya mungkin lebih berat tiga 
kerbau jantan dewasa! 

Si nenek masuk. Dan pintu pun tertutup kembali. 

Di dalam, ternyata ada tangga menuju ke bawah, 
terbuat dari susunan batu besar dari sungai yang dipapas 
oleh tangan membentuk persegi panjang. 

Setelah menuruni sekitar sepuluh tangga ber-warna 
merah, lima anak tangga kuning serta seratus dua puluh 
tangga hijau, si nenek tiba di depan pintu kedua. Begitu 
pintu batu dibuka, terlihatlah ruangan besar lengkap 
dengan perabotannya. Ada meja dan bangku yang 
semuanya dari batu. Ada rak tempat piring dan gelas tanah 
liat. Ada juga semacam tempat tidur dari tumpukan jerami. 
Di tumpukan jerami itu, Ratu Lebah direbahkan. 

"Duh, Nduk.J. Nduk. Kasihan sekali nasibmu!" kata si 
nenek. Wajah keriputnya terlihat prihatin. "Bodohnya, aku 
terlambat mengetahui keadaanmu. Aku terlalu yakin pada 
ilmu-ilmu yang telah kuberikan padamu. Untung saja, aku 
iseng-iseng keluar dari tempat pertapaan bau pesing ini, 
Nduk." 

Di lain sisi, si sosok yang diajak bicara hanya diam 
tanpa gerak. Matanya terpejam tenang, seperti tak pernah 
terjadi apa-apa pada dirinya. Sebelum disambar si nenek 
peot, Ratu Lebah alias Mayangseruni rupanya sudah 
ditotok lebih dahulu. 

"Sebentar, Ndukl" pamit si nenek. "Akan kuambilkan 
dulu Baki Penerawangku." 

Beberapa lama, perempuan tua itu tampak mencari- 
cari sesuatu di sudut ruangan. Bunyi barang-barang 
berantakan terdengar kacau dan bising. Mungkin akan 
lebih tepat kalau dikatakan sedang mengaduk-aduk 
perabotan. 

Prak! Gedubrang! Gedubreng! 

"Nah hek hek hek! Akhirnya ketemu juga Baki 
Penerawang sial ini," cetus si nenek gembira didahului 
tawa jelek menyakitkan telinga. 

Dengan tertatih-tatih, nenek ini menaruh baki usang 
dari sejenis bata laut ke meja batu. 

"Sekarang aku perlu air. Air.... hm.... Air di tempayan 
sudah kering kupakai untuk berkumur. Mau ambil di luar 
malas. Ah! Masa bodoh!" kata si nenek. Segera dibawanya 
baki kembali ke satu sudut ruangan. Di sana dia 
berjongkok di depan baki. 

Srrr! 

Tak lama kemudian, si nenek tertawa-tawa puas. Satu 
gigi besar berwarna kuning pekat di mulut keriputnya 
tersembul. 

"Biar pesing sedikit, yang penting air, hek hek hek!" 

Kemudian si nenek meletakkan baki di meja batu, lalu 
duduk bersila di atas meja batu tersebut. Dengan mata 
terpejam, dia bersemadi. Kalau orang lain bersila, nenek 
tua renta itu malah berjongkok seperti sedang buang hajat. 
Kedua tangannya ditempelkan ke kening. Mulutnya komat- 
kamit. 

"Ningnangneng... gong, anak bagongmakan sing-kong, 
kodok bangkok di dalam centong.... Ning nang neng... pret, 
ada lontong disangka kampret! Phuah! ' Phuah! Khoaek 
chuih! 

Mantera dari dunia antah berantah telah dibacakan si 
nenek. Matanya pun terbuka perlahan. Masih tetap dengan 
tangan di kening, diperhatikannya permukaan 'air' di dalam 
baki. 

"Mmm, ya ya. Begitu rupanya," gumam si nenek 
seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau ini 
terkena pukulan beracun Perusak Saraf dari negeri 
Tiongkok, Nduk." 

Si nenek mengangkat kepalanya sesaat. 

"Weleh, weleh... weleh.... Bisa-bisanya pukulan dari 
negeri jauh itu menjahili anak gadisku...." 

Si nenek mengembalikan pandangan ke baki. Air 
kekuningan di sana kembali mengabarkan berita padanya. 

"Jadi, manusia berjenggot kambing gunung itu biang 
keladinya. Eee, Manusia Jelek Sial!" 

Berita-berita gaib dari Baki Penerawang pun dilihat 
terus oleh si nenek, yang sesungguhnya adalah guru Ratu 
Lebah. Dialah pertapa wanita yang dulu menculik 
Mayangseruni, untuk dijadikan murid. Setelah semua 
keterangan dari baki dianggap cukup, acuh tak acuh 
dilemparnya baki tersebut ke tempat semula. 

Gedubnang! 

Dan bau menusuk hidung pun menebar ke segenap 
ruangan! 

"Sayang sekali, racun itu tak ada pemunahnya, Nduk. 
Pengetahuanku tentang racun pun tak bisa menolongmu. 
Jadi bagaimana, ya? Tapi menurut Baki Penerawang sial 
tadi, kau bisa sembuh oleh pertolongan seseorang yang 
telah memakan buah 'inti petir'. Dengan buah itu, orang 
tersebut akan menyalurkan kekuatan petir yang bisa 
menghancurkan pengaruh racun di otakmu.... Weleh.. 
weleh... we-leh.... Menyusahkan juga ya, Nduk! 

Si pertapa keriput menatap wajah Mayangseruni. 
Mata gadis itu masih terkatup tenang. Bibirnya 
memperlihatkan lekukan manis, seperti senyum 
kebebasan. Perlahan dadanya yang padat turun naik 
teratu r. 

"Pokoknya, aku janji. Siapa saja perjaka yang makan 
buah 'inti petir' dan bisa menolongmu, maka dia harus 
mengawinimu. Kalau tidak mau, tahu sendiri dia! Akan 
kusunat dia! Eh! Tapi, mana ada jejaka yang menolak gadis 
seayu dirimu ya, Nduk!." 

Si nenek tertawa cekikikan. 

"Dan buat si jenggot kambing yang mencelakakanmu. 
tunggu saja! Akan kubuat lelaki sial itu terkencing-kencing 
di celana! Hek hek hek... khoek chuih!" 

Sebenarnya, ke manakah Anggraini? Saat Andika 
pergi mengejar nenek pertapa yang menyambar tubuh 
Mayangseruni, seseorang mendatanginya dari belakang. 
Ketajaman telinga yang ter-latih selama di Tanah Buangan, 
membuat Anggraini dengan sigap menoleh. 

Tampaklah seorang lelaki berusia delapan puluhan 
sedang berdiri memandangi dirinya. 

"Siapa kau?" tanya Anggraini, mengungkapkan 
keingintahuannya. 

"Kau sendiri siapa?" kata lelaki berwajah seram itu 
balik bertanya penuh selidik. 

"Hey?! Pertanyaanku belum lagi kau jawab!" ser-gah 
Anggraini agak gusar. 

Lelaki itu kembali menatap Anggraini, tajam dan teliti. 
Matanya menyusuri setiap jengkal tubuh gadis itu dari 
kepala hingga ujung kaki. 

"Kau lelaki bangkotan mata keranjang!"' sodok 
Anggraini kasar, menyadari dirinya sedang dilalap mentah- 
mentah oleh mata lelaki di depannya. 

"Baik. Aku biasa dipanggil Pangeran Neraka," sahut 
lelaki tua itu. 

Ditunggunya tanggapan Anggraini. Gadis itu tak 
tampak terkejut mendengar nama angkernya. Padahal, 
banyak tokoh persilatan langsung kecut nyalinya 
mendengar julukan itu. 

"Kau tidak terkejut mendengar julukanku?" tanya 
Pangeran Neraka. 

"Kenapa harus terkejut? Apa kau kira namamu 
membuat aku takut dengan embel-embel 'neraka'?" 
cemooh Anggraini ketus sekali. 

"Artinya, kau adalah orang yang baru turun ke dunia 
persilatan...," simpul Pangeran Neraka, tak menggubris 
cemooh tadi. 

"Apa pedulimu!" 

Sekali ini, mata berbinar menusuk milik Pangeran 
Neraka tertumbuk pada cemeti yang melingkar di pinggang 
si dara. 

"Sejak tadi aku penasaran dengan cemeti itu, Gadis 
Muda. Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan 
Begal Ireng?" desak Pangeran Neraka penuh selidik. 

"Justru hal itulah yang ingin kutahu. Kemarin, aku 
dengar pula nama Begal Ireng disebutkan seseorang di 
kedai. Kata mereka, dia berhubungan dengan Kembar Dari 
Tiongkok!" 

"Ada urusan apa kau dengan dua lelaki kembar itu?" 

"Bukan urusanmu!" 

"Jangan bertele-tele, Anak Gadis! Aku bisa 
membawamu langsung pada Kembar Dari Tiongkok, asal 
kau katakan apa urusanmu dengan mereka!" te-gas 
Pangeran Neraka datar, namun menusuk. 

Mata memikat Anggraini menatap Pangeran Neraka. 
Kali ini, dia ganti menyelidik, dengan pandangan. Dengan 
sedikit menimbang-nimbang, akhirnya Anggraini mau terus 
terang juga. Dia memang hanya ingin secepatnya 
mengorek keterangan dari Kembar Dari Tiongkok. 

"Menurut kawanku, aku bisa mendapat keterangan 
tentang cemeti ini dari dua orang itu," kata gadis dari 
Tanah Buangan ini. 

"Nama kawanmu?" tanya Pangeran Neraka, se-,perti 
menyudutkan Anggraini. 

"Kau terlalu banyak menuntut, Orang Tua! Kau bilang 
tadi hendak membawa aku langsung pada Kembar Dari 
Tiongkok!" 

"Baik! Kalau kau tak mau menjawab pertanyaan. Tapi 
jawab pertanyaanku yang satu ini, dari siapa kau dapatkan 
cemeti itu?" 

Anggraini menggeleng-gelengkan kepala jengkel. 

"Cepat jawab, Anak Gadis. Kalau tidak, aku tak akan 
mengantarmu ke Kembar Dari Tiongkok. Dan, silakan kau 
bersusah payah mencari mereka," ancam Pangeran 
Neraka. 

"Ini dari ibuku! Puas? Lagi pula, apa kepentinganmu 
menanyakan hal itu...." 

"Kupu-kupu Merah?" 

Belum juga selesai kalimat Anggraini, Pangeran 
Neraka memenggalnya dengan satu kata yang membuat 
gadis itu tersentak. 

"Hey? Dari mana kau tahu nama ibuku?" 

Seperti sebelumnya, Pangeran Neraka tak me¬ 
nanggapi pertanyaan Anggraini. Dia juga tak peduli 
kebingungan yang terpancar di wajah gadis belia itu. 
Dengan langkah pasti dan mantap, didekatinya Anggraini. 

Didekati oleh orang yang baru pertama kali di¬ 
kenalnya, Anggraini jadi curiga. 

"Apa maumu?!" bentak Anggraini, mempersiap-kan 
kuda-kuda. Siaga. 

Pangeran Neraka kian dekat. Jarak antara mereka 
tinggal sedepa lagi. Tiba-tiba saja, lelaki berjenggot itu 
menyambar kasar kancing baju di bagian dada Anggraini. 

Sret! 

Begitu cepat tangan itu bergerak. Meski Anggraini 
sesigap mungkin berusaha berkelit, tetap saja bajunya 
tersobek di bagian dada. Maka seketika buah dada gempal 
nan lembut gadis itu pun tersembul sebagian. Tapi, bukan 
itu yang menjadi sasaran perha-tian Pangeran Neraka. 
Melainkan, seuntai kalung bermatakan ukiran kepala 
rajawal i. 

"Kurangajar!" 

Plak! 

Betapa murkanya Anggraini. Perbuatan lelaki di 
depannya ini tak hanya mempermalukan dirinya. Harga 
dirinya merasa ditelanjangi. Tangannya langsung 
menampar keras pipi Pangeran Neraka yang tak mengelak 
sedikit pun. 

"Kau Anggraini?" tanya Pangeran Neraka pelan. 

Anggraini terpaku. Masih tetap memegangi bagian 
bajunya yang terkoyak, ditangkapnya sinar mata Pangeran 
Neraka yang berubah lembut. 

"Siapa sesungguhnya orang ini?" bisik hati Anggraini 
bertanya-tanya bimbang. Semula, orang ini tahu nama 
ibunya. Lalu, namanya pun disebutkan. 

"Aku Lodaya. Kakak ayahmu, Begal Ireng...," tutur 
Pangeran Neraka.... 


k k k 


Ratu Lebah telah ditemukan kembali oleh gurunya 
yang berperangai ganjil. Nenek peot itu adalah salah 
seorang sesepuh golongan putih yang sulit dimengerti. 
Dengan begitu, apakah Ratu Lebah berhasil diselamatkan? 
Bisakah dia kembali memperkuat jajaran tokoh pembela 
kebenaran? Atau dia tetap akan menjadi wanita bengis tak 
kenal ampun? 

Siapa pula pemuda yang telah memakan buah ‘inti 
petir’ seperti disebutkan si nenek? 

Sementara itu, Anggraini telah bertemu pamannya 
langsung. Si paman sudah pasti akan menceritakan 
kejadian sebenarnya, tentang pembunuh Begal Ireng, ayah 
Anggraini yang dilakukan Andika. 

Apakah dengan begitu rasa sukanya yang mulai 
berkecambah di kedalaman hati Anggraini akan diberangus 
kebencian? Bisakah gadis itu jatuh hati pada Andika yang 
dibencinya? 

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode : 

SEPASANG BIDADARI MERAH 

Pembuat Ebook : 

Scan buku ke djvu : Abu Keisel 
Convert: Abu Keisel 
Editor: Arya Winata 

Ebook oleh : Dewi KZ 

http://kanqzusi.com/ http://dewi-kz.info/ 
http://kanqzusi.info/ http://cerita silat.cc/