Pendekar Slebor 11 - Cermin Alam Gaib




Tak seorang pun tahu kalau di bawah naungan sebuah 
pohon besar yang lebat telah duduk bersila sebuah sosok gaib 
selama berhari-hari. Tubuh laki-laki kasat mata yang duduk terpejam 
itu sedikil pun tak bergerak. Jenggotnya yang putih lebat, 
menguncup di ujungnya. Kepalanya ditutup kain batik seperti 
belangkon Sunda. Seluruh tubuhnya diselubungi se- rat-serat cahaya 
berwarna putih. 

Dialah si Raja Penyamar. Tokoh golongan atas yang 
sudah berupa roh itu mati beberapa puluh tabun lalu. Sejak 
kepergian Pendekar Slebor menelusup Pengadilan Perut Bumi, roh 
Raja Penyamar berusaha masuk pula ke sana. Namun, niatnya 
gagal. Karena Pengadilan Perut bumi ternyata telah dilindungi 
benteng gaib yang dibuat Manusia Dari Pusat Bumi. Sebab itu, Raja 
Penyamar pun mencoba menjebolnya dengan melakukan tapa batin 
(Untuk mengetahui tentang Raja Penyamar, baca serial Pendekar 
Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut Bumi”) 

Sejauh itu, usaha tokoh gaib ini nihil. Hanya karena 
tekadnya dalam membantu Andikalah yang membuat dia tetap 
bertahan untuk melakukannya. Padahal usahanya menjebol dinding 
gaib Pengadilan Perut Bumi, tak beda dengan beratnya seseorang 
yang bertarung mati-matian selama berhari-hari. 

Semakin keras usaha Raja Penyamar dalam me- nembus 
dinding gaib itu, maka semakin terang semburat sinar putih di 
sekujur tubuhnya. Padahal hari kesembilan, serat-serat cahaya itu 
mulai tampak bergelombang dalam gerak melingkar. Warna di 
tepinya mulai berubah kemerahan. 

Hari kesebelas, gelombang cahaya itu makin menghebat. 
Tubuh halus Raja Penyamar seperti timbul tenggelam dalam 
amukannya. Percik-percik kecil pun mulai tercipta, pertanda kalau 
usahanya sudah mencapai titik paling berbahaya. 

Sraaat! 

Pada puncaknya, sehimpun percikan cahaya biru menyatu 
membentuk lidah api. Gempuran kekuatan Raja Penyamar pada 
benteng gaib Pengadilan Perut Bumi mulai berbalik ke arahnya. 
Sedikit demi sedikit, Raja Penyamar tertelan cahaya biru yang 
membesar. 

Keadaan menjadi genting. Artinya, nyawa Raja Penyamar 
seperti telur di ujung tanduk. Dia memang telah mati. Namun jika 
gempurannya kalah, bukan tidak mungkin jasad halusnya terlempar 
ke alam lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Itu artinya, 
nyawanya akan terpenjara sampai malaikat menjemput. 

Hal itu tak boleh terjadi. Tugasnya di dunia per- silatan 
belum lagi selesai. Apalagi, Pendekar Slebor masih amat 
membutuhkan bantuannya untuk mengenyahkan angkara murka 
yang dibawa Manusia Dari Pusat Bumi. 

Dengan segenap kemampuan, Raja Penyamar 
mengerahkan kembali perlawanannya. Tubuhnya memang tetap tak 
bergeming. Wajahnya memang tetap setenang permukaan telaga. 
Sebaliknya, serat-serat cahaya di sekujur tubuhnya kian hebat 
bergelombang. 

Sampai akhirnya.... 

Plap! 

Tumbukan cahaya putih, merah, dan biru itu pupus 
seketika, bagai ditelan kelengangan pagi buta. 

“Aneh...," bisik Raja Penyamar. “Semestinya aku harus 
mati-matian melakukan gempuran. Dan tak akan semudah ini aku 
menghancurkan benteng gaib itu. Hm.... Apa yang sesungguhnya 
terjadi di Pengadilan Perut Bumi sana? Kenapa benteng gaibnya 
tiba-tiba menghilang?” 

Mata lelaki yang hanya berbentuk roh halus itu terbuka. 
Bola matanya bergerak-gerak, memperlihatkan rasa keheranan 
dalam hati. 

Tak ada lagi gempuran balik dirasakan. Semuanya tiba- 
tiba terasa begitu lega. Badannya pun kini sudah terlihat 
mengenakan baju coklat berkerah pendek dengan celana pangsi 
hitam, seperti dikenakan jasadnya yang terkaku bisu di Kampung 
Kelelawar nun jauh di sana. 

Raja Penyamar bangkit dari bersilanya. 

“Aku yakin telah terjadi sesuatu di Pengadilan Perut Bumi 
sana,” bisik orang tua itu lagi. 

Sementara itu, jauh di bawah perut bumi sana, memang 
telah terjadi sesuatu, tepat seperti dugaan Raja Penyamar. 
Pertarungan besar telah meletus antara Manusia Dari Pusat Bumi 
disatu pihak, melawan Hakim Tanpa Wajah di lain pihak. 

Dengan berseterunya antara guru dan murid itu, maka 
benteng gaib yang dibangun Manusia Dari Pusat Bumi pun tak 
berguna lagi. Setelah mendapat titah langsung dari Siluman Berperut 
Buncit melalui Cermin Alam Gaib, Manusia Dari Pusat Bumi 
langsung menarik kembali kekuatan miliknya yang membentengi 
Pengadilan Perut Bumi. 

Di ruang utama Pengadilan Perut Bumi sendiri, saat itu 
digetarkan erangan tinggi mendirikan bulu roma. Si manusia jelmaan 
siluman ini telah terang-terangan hendak melenyapkan gurunya 
sendiri. Bahkan dia telah membuka jurus yang begitu asing di mata 
Hakim Tanpa Wajah. Padahal, gerakan itu tak pernah diajarkan 
sama sekali. 

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi tampak ber- kejaran satu 
sama lain dalam putaran tak teratur. Ke- cepatannya begitu tinggi, 
menyebabkan tangannya 
terlihat begitu banyak, seperti belalai gurita laut. 

Tak lama berikutnya, tangan manusia jelmaan si luman itu 
mulai memendarkan cahaya kemerahan, yang kemudian berubah 
menjadi kobaran api melalap sekujur tangannya. Dalam kecepatan 
gerak tangan, jilatan api itu kini mengelilingi tubuhnya. 

Wrrr! Wrrr! 

Menyaksikan semua itu, tak ayal lagi Hakim Tan pa Wajah 
mengerahkan ilmu andalan yang sempat disembunyikan. Tenaga 
Sakti Pembelah Bumi Pengoyak Langit’! Ilmu olah kanuragan sakti 
hasil pengembangan Tenaga Sakti Pembelah Bumi’ itu memang 
sengaja tidak diturunkan pada muridnya. 

Dan memang sudah menjadi aturan tak tertulis para tokoh 
golongan hitam, untuk tidak menurunkan seluruh ilmu pada seorang 
murid. Dalam dunia kaum sesat, pengkhianatan setiap saat bisa saja 
terjadi. Itu sebabnya, harus ada ilmu simpanan yang tak diwariskan. 
Jika suatu saat sang murid berkhianat, maka si guru bisa 
mempergunakan ilmu simpanan tersebut untuk menghadapinya. 

“Hiaaa...!” 

Mulut Hakim Tanpa Wajah mengumandangkan teriakan 
mengguncang, seiring jejakan-jejakan kakinya yang jauh lebih 
mengguncang. Ruangan besar itu sampai bergetar hebat, seolah 
terjadi tumbukan dua kekuatan raksasa. Tangan si tua bangka itu 
sudah pula menghentak-hentak ke depan. Kini, kain kafan yang 
semula mengikat kakinya, sudah tak karuan lagi bentuknya. 

Tak lebih dari dua kerdipan mata, murid murtad Hakim 
Tanpa Wajah ini menerjang gurunya sendiri dalam kecepatan penuh. 
Diterkamnya laki-laki tua itu seperti seekor macan lapar menerkam 
mangsa. Sepasang tangannya yang berselimut jilatan api menegang 
ke depan, siap melalap wajah sang guru. 

“Arrrgh!” 

Karena begitu yakin kehandalan ilmu Tenaga Sakti 
Pembelah Bumi Pengoyak Langit’ yang sanggup menahan panas api 
di tangan Manusia Dari Pusat Bumi, Hakim Tanpa Wajah tak ragu- 
ragu lagi menyambut terkaman itu. Berbareng jejakan kakinya ke 
bumi, sepasang tangannya menadah tinggi ke atas. Maka, tangan 
keduanya pun berbenturan. 

Blammm...! 

Seketika tercipta ledakan keras disertai semburat pancaran 
api yang menjilati angkasa. 

pada saat tubuh pemuda siluman itu masih di udara, 
tangan Hakim Tanpa Wajah menyodok dalam-dalam ke dua sisi 
dadanya. 

Derrr! 

Dengan telak, dada Manusia Dari Pusat Bumi terhajar 
telapak tangan bekas gurunya. Tubuhnya kontan meluncur balik ke 
belakang. Sebelum tiba di dinding ruangan, tubuh manusia siluman 
itu jatuh berdebam. 

Seandainya tubuh Manusia Dari Pusat Bumi adalah 
lempengan baja setebal satu depa, tentu akan jatuh dalam keadaan 
ringsek, karena tak sanggup menahan kekuatan dahsyat pukulan 
Hakim Tanpa Wajah tadi. 

Tapi kenyataannya, terlalu jauh dari gambaran itu. Tubuh 
Manusia Dari Pusat Bumi tak mengalami pengaruh apa-apa. Entah 
bagaimana, tubuhnya ternyata jauh lebih kuat daripada lempengan 
baja setebal satu depa. Sehingga, kedahsyatan ilmu bekas gurunya 
pun tak berarti apa-apa! 

“Makan kesombonganmu, Tua Bangka Jelek!” ejek Lelaki 
Berbulu Hitam yang terus memantau jalannya pertarungan. Betapa 
girangnya laki-laki berbulu lebat itu melihat guru dan murid sesat itu 
saling baku hantam (Untuk mengetahui tentang Lelaki Berbulu Hitam 
baca serial Pendekar Slebor dalam episode : “Pengadilan Perut 
Bumi”) 

“Hitam! Bukankah mereka mestinya menunggu giliran 
untuk bertarung di panggung itu?” tanya Pendekar Dungu, amat 
iugu. Sepertinya dia tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. 

Lelaki Berbulu Hitam mendelik. 

“Kau mau pertandingan antara Tuan Penolong dengan 
kawan wanitanya itu segera berakhir dengan matinya salah seorang 
di antara mereka?!” bentak laki-laki berbulu hitam seraya menunjuk 
Andika dan Purwasih yang masih bertarung di panggung batu 
kematian (Untuk lebih jelasnya, baca episode: “Pengadilan Perut 
Bumi”). 

“Kau bicara padaku? Atau masih berbicara dengan si tua 
bangka jelek itu?” 

“Ah, sudahlah!" 

Sementara itu di lain arena, Andika berada di atas angin 
dalam pertempuran melawan Purwasih. Jurus-jurus tangguh dari 
Lembah Kutukan gencar sekali dalam mendesak wanita itu. Dari 
segala arah, gerakan Pendekar Slebor yang sering terlihat ngawur, 
mengurung seluruh tubuh pendekar wanita yang terkenal berjuluk 
Naga Wanita. 

Suatu ketika, kaki Andika oleng ke samping di luar 
sasaran. Sedangkan kaki yang lain masih berada di atas. Dan kini 
Naga Wanita merasa mendapat peluang besar. Maka, secepatnya, 
Andika yang hendak berpijak dengan satu babatan pedang 
dihadangnya. 

Bet! 

Saat itulah terlihat, bagaimana ketangguhan jurus 
Pendekar Slebor. Keseimbangannya yang demikian sempurna, 
mampu membuat kakinya menjejak di atas pedang lawan. Padahal, 
kecepatan babatan pedang Naga Wanita begitu tinggi. Bahkan yang 
terlihat hanya bentuk kelebatan bayangan saja! 

Tetapi jurus-jurus yang tercipta di Lembah Kutukan 
memang begitu mengandalkan pengerahan keseimbangan. Malah 
pada waktu diciptakan, Pendekar Slebor harus meniti patok-patok 
batu dalam hujanan petir. Sedikit saja keseimbangannya tak terjaga, 
maka tubuhnya pasti lantak dipapas puluhan lidah petir. 

Maka tak heran bila dalam menguasai keseimbangan 
membuat Pendekar Slebor mampu pula mengikuti kecepatan 
pedang saat hinggap di atasnya! ketika sekejap saja pedang 
Purwasih tiba di sisi tubuhnya sendiri yang kosongdari pertahanan, 
Pendekar Slebor langsung mengirim sepakan dengan kaki vang tak 
ikut dijejakan di gagang pedang. Dan.... 

Dug! 

Tak ayal lagi, pelipis Naga Wanita menjadi sasaran empuk 
punggung kaki Pendekar Slebor. 

Purwasih atau si Naga Wanita kontan melintir di udara 
seperti gasing raksasa. Kalau beruntung, gadis itu tak akan 
mengalami patah leher yang begitu parah. Lalu, apakah 
keberuntungan lain mengikuti? Karena di bawah, telah siap 
menyambut permukaan panggung yang dipasangi pisau-pisau tajam. 

Pada saat tubuh Purwasih nyaris dimangsa permukaan 
panggung, Pendekar Slebor yang gelap mata memburunya kembali 
penuh nafsu. 

“Heaaa!” 

Namun, pada saat yang bersamaan, satu pukulan jarak 
jauh milik Hakim Tanpa Wajah tersasar kearah Pendekar Slebor. 

Des! 

Pukulan nyasar itu membentur tinju Pendekar Slebor. 
Akibatnya, tinju itu luput dari tubuh Purwasih. Namun karena sudah 
telanjur menerjang, tubuh Andika tetap meluncur dan menabrak 
Purwasih. Sehingga dua anak muda itu akhirnya terlempar keluar 
panggung. 

Dengan begitu, selamatlah Purwasih dari hujaman 
permukaan panggung yang bergerigi mengerikan tadi. 

Tubuh kedua pendekar muda itu jatuh tepat di antara kaki 
para tawanan pada barisan kanan. Pendekar Slebor dan Purwasih 
langsung kehilangan kesadaran. 

“Kalian ini macam-macam! Kalau bertarung, ya bertarung 
sajalah. Jangan pakai acara mesra-mesraan segala!” oceh Pendekar 
Dungu ketika menyaksikan Pendekar Slebor dan Purwasih terjatuh 
saling tindih. 

Setelah itu, Pendekar Dungu menguap lebar-le- bar. 
Rupanya sejak tadi dia sedang tertidur dalam ke- adaan berdiri. 
Andai kata tubuh kedua anak muda itu tak jatuh di dekat kakinya, 
tentu kepalanya masih tertunduk-tunduk dengan mata terpejam. 

Ketika mata sayu Pendekar Slebor sudah mulai 
menguncup kembali, Lelaki Berbulu Hitam menyikutnya dengan 
kasar. 

“Hey! Jangan tidur saja! Kau yang paling dekat, cepat 
bantu dua anak muda itu!” perintah Lelaki Berbulu Hitam. 

Dengan bersungut-sungut, tua bangka berotak kerbau itu 
berjongkok untuk meneliti keadaan Andika dan Purwasih. 

“Bagaimana?” tanya Lelaki Berbulu Hitam. Dia agak 
khawatir dengan keadaan Andika dan Purwasih. 

“Huaaah! Aku masih ngantuk." jawab Pendekar dungu 
ngaco. 

Aku tidak menanyakan kau. Dungu! Maksudku, bagaimana 
keadaan dua anak muda itu?!” dengus Lelaki Berbulu Hitam. 

“Ooo,” Pendekar Dungu memancungkan bibir. “Mereka 
hanya pingsan,” sahutnya sambil mengusap- usap mata yang penuh 
tahi mata. “Sebentar lagi tentu ikan siuman.” 

“Sok tahu! Kalau tak segera disadarkan, bagaimana 
mungkin mereka cepat siuman?!” ujar Lelaki Berbulu Hitam keras, 
tepat di depan telinga Pendekar Dungu. 

Pendekar Dungu hanya menarik napas. Lain halnya si 
Lelaki Berbulu Hitam. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah malang 
kehijau-hijauan. Matanya tak berkedip. Hidungnya bergerak-gerak, 
seperti mencium bau sesuatu. Setelah itu, tangannya cepat menutup 
lobang hidung. 

‘‘Sial! Kau kentut sembarangan, ya!” bentak Lelaki Berbulu 
Hitam pada Pendekar Dungu. 

Ajaibnya, Andika dan Purwasih langsung siuman setelah 
mengisap udara busuk itu. Tubuh mereka bergeming, dan kepala 
terangkat. 

“Nah, kan! Kubilang juga apa!” seru Pendekar 
Dungu, penuh kemenangan. 




Pertama kali Andika membuka mata, yang dida- patinya 
adalah wajah ketolol-tololan Pendekar Dungu. Laki-laki tua bangka 
itu memang sedang memperhatikannya. 

“Wah! Baru aku tahu kalau penjaga kubur wajah- nya mirip 
si tua bangkotan Pendekar Dungu," gumam Andika, nyaris tak 
kentara. 

“Hey! Aku memang Pendekar Dungu,” sergah tua bangka 
bebal itu cepat, tak sudi dianggap penjaga kubur oleh Andika. 

“Jadi, aku belum mampus?” tanya Pendekar Slebor seraya 
melepas senyum yang mirip ringisan. Ma- tanya beredar. 

Tampak Lelaki Berbulu Hitam tengah berdiri menjulang. 
Sementara beberapa orang lain, termasuk Lima Gembel Busuk dan 
Penggerutu Berkepang, juga tengah memperhatikannya. 

Tiba-tiba anak muda itu ingat sesuatu. 

“Purwasih..- Mana Purwasih?” cetus Andika cepat 
Jangan tanya betapa khawatirnya Andika terhadap keselamatan 
wanita berwajah manis itu. Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor 
masih memiliki pertalian darah dengan wanita yang lebih tua darinya 
beberapa tahun itu. 

“Dia tak apa-apa.” kata Lelaki Berbulu Hitam. Ditunjuknya 
Purwasih yang mulai bergerak pula di sisi Andika. 

“Kau tak apa-apa?” tanya Andika, setelah me- noleh ke 
arah Purwasih. 

Purwasih menggeleng dengan mata mengerjap-ngerjap. 
Dan Andika pun menjadi lega mendapat ja- waban Purwasih. Dia 
takut telah mencelakakan dara itu selama terkena totokan rahasia 
Hakim Tanpa Wajah yang membuatnya gelap mata. 

“’Bor’i Kita harus bagaimana lagi ini?!” tukas Penggerutu 
Berkepang yang sejak tadi bungkam memperhatikan pertempuran 
dua manusia sesat yang makin menggila. 

“Coba tengok ke belakang sana! Dua manusia sinting itu 
sedang gontok-gontokan. Kekualan mereka bisa menghancurkan 
tempat ini Siapa yang sudi terkubur di tempat bau ini,” gerutu lelaki 
setengah baya pemimpin para pengemis di wilayah timur. 

Andika cukup terkejut sewaktu menoleh ke arah yang 
ditunjuk Penggerutu Berkepang. Dari tadi dia memang mendengar 
gemuruh bagai gempa. Tapi tak pernah disangka kalau itu akibat 
pertarungan Manusia Dari Pusat Bumi dengan gurunya sendiri. 

“Sedang apa mereka? Sedang latihan?” tanya Andika, tak 
mempercayai penglihatannya sendiri. 

Tepat ketika Andika hendak bangkit karena rasa 
penasaran, sebongkah batu besar yang runcing runtuh dari langit- 
langit ruangan. Arahnya tepat menuju punggung Purwasih yang 
masih tengkurap di I.intai. 

Grrr.

Gemuruh yang dihasilkan reruntuhan batu, amat 
mengejutkan mereka yang berada di dekatnya. Terlebih, pemuda 
dari Lembah Kutukan yang memang begitu dekat dengan si Naga 
Wanita. 

“Purwasih, awas!” seru Andika keras. 

Bersaman dengan itu tangan Pendekar Slebor berkelebat 
cepat, mengirim tinju geledek ke arah batu sebesar kerbau yang 
meluncur tepat di depannya. Gerakan itu dilakukan begitu saja 
karena begitu khawatir akan keselamatan Purwasih. Hasilnya.... 

Blarrr! 

Batu besar seruncing mata tombak itu kontan lantak berkeping- 
keping. Serpihannya berhamburan ke segala arah bagai pasir disapu 
angin ribut. 

Lelaki Berbulu Hitam terheran-heran. Pendekar Dungu, Penggerutu 
Berkepang, dan lelaki lain yang berada dalam barisan juga ikut 
terpana. Siapa yang tak heran? Setahu mereka, Pendekar Slebor 
masih dalam pengaruh totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah 
yang menyebabkan seluruh kekuatannya hilang terkunci di dalam. 

Pendekar Slebor pun tak kalah heran. 

"Aneh! Kenapa aku sudah terbebas dari totokan rahasia si 
Hakim Tanpa Wajah?” bisik Andika, bergumam sendiri. 

Otak Pendekar Slebor yang terkenal encer, tak memberi 
kesempatan terjebak dalam kebingungan seperti orang bodoh. 
Otaknya segera bekerja, membuat kesimpulan-kesimpulan cepat. 

“Kenapa kau?” usik Purwasih, manakala me- nyaksikan 
pemuda idamannya tersenyum-senyum sendiri. Dia pun telah 
bangkit di sisi Andika. 

“Yak, aku tahu!’’ sentak Andika, mendadak. Satu 
tangannya meninju telapak tangan yang lain. 

“Hey hey hey! Tahu apa kau?’’ 

Pendekar Dungu ikut terheran-heran dengan mata mengerjap- 
ngerjap menahan kantuk. 

“Aku tahu, bagaimana membebaskan kalian dari totokan 
rahasia Hakim Tanpa Wajah! Sesungguhnya dia menempatkan 
semua totokan rahasianya pada jaringan saraf yang berhubungan 
dengan pusat kesadaran dan keseimbangan kita. Dan bila kita 
kehilangan kesadaran lalu siuman, maka secara tidak sengaja 
totokan itu ikut terbebas seiring kembalinya kesadaran kita,” papar 
Pendekar Slebor panjang lebar. 

Andika memang cukup banyak tahu tentang jaringan tubuh 
manusia, setelah membaca kitab pusaka menyamar yang diwariskan 
Raja Penyamar kepadanya. 

“Haaah, aku bingung! Jangan harap aku bisa memahami 
kalimat membingungkanmu itu!” sergah Pendekar Dungu sambil 
mencium bekas liur di tangannya. 

“Kalau begitu, kenapa kita tak cepat-cepat membebaskan 
mereka?” usul Purwasih cepat. 

“Usul bagus! Bagaimana, Pak Tua Bulu Hitam?” aju Andika 
pada Lelaki Berbulu Hitam. 

“Ya, cepatlah! Aku pada dasarnya sudah tak sabar ingin 
meremukkan kepala tua bangka jelek bermuka rata itu!” timpal Lelaki 
Berbulu Hitam tegas. 

Andika mengangguk. 

“Kalau begitu, sebelumnya aku minta maaf ka- rena harus 
kurang ajar padamu....” 

Lalu... 

Dugkh! 

Mendadak saja, bogem mentah Andika mendarat telak di 
dagu lelaki keturunan serigala itu. Sengaja Andika hanya 
menggunakan tenaga luar. Karena bila disertai pengerahan tenaga 
dalam, dia takut malah akan mencelakakan lelaki itu. Tapi, apa yang 
terjadi? 

Lelaki Berbulu Hitam tetap berdiri kekar tanpa bergeming 
sedikit pun. Hanya bibirnya saja yang meringis-ringis. Rupanya ada 
gigi gerahamnya yang patah akibat tonjokan Andika. 

“Kau ini ingin menolongku, apa hendak menyiksaku!” 
hardik Lelaki Berbulu Hitam setelah mengeluarkan sebutir giginya 
dari mulut. 

“E-eh...,” Andika ikut meringis. “Maaf, Pak Tua Bulu Hitam. 
Kupikir aku cukup menggunakan tenaga luar saja,” ucap Andika 
serba salah. 

Dugh! 

Sekali lagi Pendekar Slebor melepas hajaran. Kali ini tidak 
dengan bogem dan tenaga luar, melainkan dengan tebasan 
punggung tangan yang disertai penyaluran tenaga dalam. Maka.... 

Gedubrak! 

Lagi-lagi nasib sial Lelaki Berbulu Hitam bukannya berkurang, malah 
bertambah. Tubuhnya kontan terjengkang ke belakang. Matanya 
mendelik dengan bola hitam ke atas. Tak begitu lama kemudian, 
Andika sudah bisa menyadarkannya kembali. 

“Lain kali, lebih baik aku tak kau bebaskan!” maki Lelaki 
Berbulu Hitam, tepat di muka Andika. 

Pendekar Slebor itu hanya bisa tersenyum-senyum 
seadanya. 

“Biar aku yang membebaskan si bebal itu!” selak Lelaki 
Berbulu Hitam, ketika Andika hendak mendekati Pendekar Dungu. 

“Hey, apa-apaan ini?! O-o! Tak usah, ya.... Aku tak mau 
dipukul-pukul!” tolak Pendekar Dungu, kelimpungan. Giginya yang 
ompong terlihat manakala bibirnya terangkat-angkat karena ngeri. 

“Aaah! Banyak mulut kau!” bentak Lelaki Ber-ibulu Hitam. 

Das! 

Tanpa permisi lagi, tangan besar Lelaki Berbulu Hitam 
langsung mendarat di wajah keriput Pendekar Dungu. Wajah 
menjengkelkan milik tua bangkotan itu untuk beberapa saat 
mengejang. Matanya terjuling-juling. Sesaat kemudian tubuhnya 
ambruk. 

“Biar tahu rasa kau!” dengus Lelaki Berbulu Hitam. 

Sementara itu, Andika mendekati lelaki lain dalam barisan. 

‘‘Sekarang giliranmu, Ketua Pengemis!” ujar Pendekar 
Slebor pada Penggerutu Berkepang. 

‘‘Kutu busuk sial! Siapa yang mau dibebaskan dengan cara 
itu. Kau pikir aku ini siapa. Huh, ngngng....” 

Penyakit lama Penggerutu Berkepang kambuh. Lelaki 
compang-camping itu menggerutu panjang-panjang. 

‘‘Kalau itu maumu, ya terserah.... Biar kau tetap tinggal di 
sini sampai ruangan besar ini ambruk dan menguburmu hidup- 
hidup,” kata Andika santai. 

“Yayaya! Baiklah!”seru Penggerutu Berkepang bergegas 
melihat Andika hendak meninggalkannya. ‘‘Tapi kau harus ingat, 
‘Bor’! Sedikit saja tubuhku memar, akan kusikat kau!" 

Andika jadi sedikit jengkel. 

Dugh! 

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Andika menghajar pelipis 
lelaki setengah baya yang mendongkolkan itu, dengan tenaga dalam 
lebih tinggi dari sebelumnya. 

“Wadouuu!” Penggerutu Berkepang sempat berteriak. 
Pada saat yang sama, tubuhnya terpuntir ke belakang, dan 
terjengkang. 

“Biar tahu rasa kau!” serapah Andika, mengikuti kalimat 
Lelaki Berbulu Hitam barusan. Setelah itu, bibirnya tersenyum- 
senyum sendiri. 

Di bagian lain ruang seluas alun-alun itu, Hakim Tanpa 
Wajah dan murid murtadnya telah mencapai puncak pertarungan. 
Keduanya sedang terlibat adu kesaktian. Di satu sisi, Manusia Dari 
Pusat Bumi mengempos seluruh kesaktian siluman dalam dirinya, 
hingga tubuhnya berubah menjadi seperti bola api besar. Sementara 
di lain sisi. Hakim Tanpa Wajah mati-matian mempertahankan diri 
dari terjangan api sepanas bara neraka yang menjulur panjang dari 
tubuh berkobar murid murtadnya, dengan ilmu Tenaga Sakti 
Pembelah Bumi Pengoyak Langit'. 

Waktu terus merangkak dalam erangan dan keringat darah 
sepasang manusia terkutuk itu. Dan pada saatnya.... 

Blarrr! 

Ledakan amat dahsyat seketika tercipta. Dinding ruangan 
langsung runtuh berbongkah-bongkah. Tubuh Manusia Dari Pusat 
Bumi terlempar ke belakang laksana anak panah. Lalu, tubuhnya 
melesak di dinding ruang dari batu. Demikian pula yang terjadi 
terhadap Hakim Tanpa Wajah. Tapi, tampaknya tua bangka itu 
mengalami luka lebih parah. 

Kiamat seakan terjadi dalam ruangan besar ke- banggaan 
si Hakim Tanpa Wajah. Bongkahan-bongkahan batu dinding kian 
deras berguguran. Tiang-tiang besar di sepanjang sisi ruangan mulai 
retak. Dan sesaat kemudian, tiang-tiang itu ikut berguguran. 
Sebagian malah runtuh begitu saja. 

Andika, Purwasih, dan para tawanan lain yang sejak tadi 
hanya menjadi penonton jadi kalang-kabut. Berbeda dengan para 
tawanan dari golongan putih di barisan kanan ruang, para tawanan 
dari golongan sesat di barisan kiri ruang begitu terkesiap setengah 
mati. Di samping belum terbebas dari totokan, mereka juga masih 
terbelenggu rantai baja satu sama lain. 

“Hey! Bebaskan kami! Kami tak ingin cepat-cepat mati!” 
teriak salah seorang pada para tokoh golongan putih. 

Orang-orang golongan putih yang sudah pula memutuskan 
rantai baja pembelenggu kaki dan tangan, bukannya tidak mau 
menolong membebaskan golongan sesat. Betapapun jahatnya, 
mereka toh ber hak mendapat kesempatan hidup. Siapa tahu, 
mereka akan sadar nantinya. 

Sayangnya para tokoh golongan putih belum bisa 
menolong membebaskan orang-orang itu. Pendekar Slebor dan yang 
lain sedang disibuki oleh batu-batu sebesar kerbau yang berguguran 
di sekitarnya. Bahkan terkadang harus berkelit ke sana kemari, tak 
jarang harus menghantam batu-batu itu dengan tangan jika kepala 
tak ingin pecah tertimpa. 

Pada saat-saat yang membahayakan jiwanya sendiri, 
Andika sama sekali tidak kehilangan rasa kemanusiaannya. Ada 
yang harus diperbuat untuk me- nolong para tawanan golongan 
sesat. 

“Pak Tua Bulu Hitam! Lindungi aku dari hujanan batu! Aku 
akan mencoba membebaskan mereka!” seru Andika, sepenuh 
tenaga. Suaranya yang sudah dialiri tenaga dalam pun, masih timbul 
tenggelam ditengah gemuruhnya ruangan besar yang mulai runtuh. 

“Apa kau gila, Anak Muda! Biarkan saja mereka mati! 
Dunia pun akan berterimakasih jika aku tak menolong mereka!” 
bentak Lelaki Berbulu Hitam. 

“Aku tak pernah memilih-milih, siapa orang yang harus 
ditolong!” balas Pendekar Slebor tak peduli. 

Lalu Andika mulai berkelebat gesit ke sana kemari, 
berusaha menembus hujanan batu-batu besar yang menggila. 

“Dasar keras kepala!” maki Lelaki Berbulu Hitam jengkel. 

Mau tak mau, manusia keturunan serigala itu mengawasi 
Pendekar Slebor juga. Sambil tetap berusaha menyelamatkan diri 
dari runtuhan ruangan, tangannya sesekali melepas hantaman jarak 
jauh ke arah batu yang mencoba menghambat gerakan Andika. 

Dengan sungsang-sumbel, Pendekar Slebor akhirnya bisa 
tiba di dekat orang-orang golongan hitam. Seketika itu pula hendak 
dilepaskannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan dari 
jarak jauh untuk melebur rantai baja pembelenggu kaki dan tangan 
mereka. Namun, niatnya tak kesampaian. Karena tiba-tiba saja, 
lengkung kubah ruangan di sayap kiri ambruk. 

“Andika menyingkir! Ruangan ini akan segera runtuh!” 
teriak Purwasih memperingatkan dari jauh. 

Tanpa perlu diperingatkan pun, Pendekar Slebor terpaksa 
akan menyingkir dari sana. Reruntuhan sayap kiri kubah terlalu 
berbahaya untuk ditembus. Kalaupun mengerahkan seluruh 
kekuatannya untuk menghantami reruntuhan itu, tetap akan sia-sia. 

Sekejap setelah Andika menyingkir, orang- orang golongan 
sesat yang hendak ditolongnya langsung tertelan timbunan bebatuan 
ruangan. Suara mereka tak terdengar. Bisa saja karena tak sempat 
berteriak, atau mungkin terlalu lemah dibanding kedahsyatan 
gemuruh reruntuhan. 

Sementara itu, puncak kubah ruangan kian rapuh. Retakan 
besar tampak dirembesi air. Lama kelamaan, rembesan itu berubah 
menjadi cucuran. Bahkan akhirnya berhamburanlah air bah raksasa 
berbareng terkuaknya puncak kubah bagai moncong naga bumi. 

Seisi ruangan langsung dilahap air, membuat mereka yang 
ada di sana terombang-ambing kian kemari tanpa daya. 

Kekuatan dorongan air bah itu sekarang menghantam satu 
sisi dinding yang paling rapuh. Maka, terciptalah lobang besar yang 
berhubungan dengan lorong aliran sungai bawah tanah. 

Bagi setiap orang yang masih hidup di sana, terkuaknya 
dinding ruangan adalah awal dari kehilangan kesadaran. Semuanya 
liba-tiba gelap. Begitu juga Andika dan Purwasih yang sempat 
berpegangan tangan erat-erat. 

Andika sendiri, pada saat hampir kehilangan kesadaran, 
sempat mendengar sebuah suara yang lamat-lamat berseru 
langsung ke relung benaknya.... 

‘‘Pendekar Slebor! Aku akan datang lain kali untuk 
membunuhmu!” 




Andika siuman, begitu rasa sejuk merambahi wajah hingga 
ke bagian lehernya. Kelopak matanya ter- buka. Yang pertama 
dilihatnya adalah hamparan langit-langit berbatu-batu menonjol 
tajam, seperti susunan gigi tak beraturan. Pada setiap ujung runcing 
tonjolan batu, menetes butir-butir air. Sebagian tetesan air itu jatuh di 
wajahnya. Itu sebabnya, Andika merasakan kesejukan. 

“Di mana aku?” tanya Pendekar Slebor agak mengerang. 

Seluruh tubuh pemuda itu serasa luluh lantak. Mungkin 
akibat benturan berkali kali dengan dinding lorong sungai bawah 
tanah selama diseret arus. 

Dari rebahnya, Andika beringsut tegak. Suasana baru, 
menitah dia untuk mencari tahu ke sekeliling tempat. Pandangannya 
pun beredar sesaat, dan baru berhenti ketika menemukan tubuh 
Purwasih tergeletak lunglai tiga tombak dari tempatnya. 

“Mana yang lain ?’’ gumam Andika lagi. 

Pertanyaan itu wajar saja tersembul dari benak- nya. 
Bukankah sewaktu di Pengadilan Perut Bumi mereka bersama- 
sama? Tapi, kini yang ditemukan hanya tubuh Purwasih. 

Sebelum menghampiri Purwasih, Andika memperhatikan 
lagi suasana sekelilingnya. Dia berada di satu sisi lorong. Sepanjang 
sisi lorong yang lain, terdapat aliran air jernih selebar dua kaki, dan 
sedalam betis. Tempat dirinya dan Purwasih tergeletak, tampaknya 
adalah pinggiran sungai bawah tanah yang sudah mengendap 
selama ratusan tahun, sehingga mengeras kini. 

Cukup memperhatikan semua itu, Andika segera 
menghampiri Purwasih. Wanita berjiwa ksatria itu juga hanya 
pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya, terdapat goresan yang 
mengeluarkan darah. Bagian yang paling parah adalah kaki kirinya. 
Bengkak dan membiru. Andika yakin, ada tulang yang remuk akibat 
benturan hebat dengan sisi lorong. 

Tak berpikir lama-lama lagi, segera ditotoknya jalan darah 
di bagian kaki kiri Purwasih. Tindakan itu memang perlu dilakukan, 
agar Purwasih tak begitu menderita jika siuman nanti. 

Setelah itu, pendekar muda dari Lembah Kutukan ini 
mengerahkan hawa murni melalui telapak tangan, ke bagian dada 
Purwasih. Agak sungkan, memang. Tapi Andika tak punya pilihan 
lain. Dengan begitu, Purwasih dapat cepat siuman dan sedikit 
menyegarkan tubuhnya yang sudah banyak kehilangan tenaga. 

Purwasih tersadar sekian saat kemudian. 

“Uuuh." 

Dara cantik itu melenguh seraya menggoyang-goyangkan 
kepala perlahan. 

Di mana kita, Andika?" tanya Purwasih lirih, ketika 
mendapati Pendekar Slebor di sisinya. 

Purwasih berusaha duduk berselonjor. Kepalanya yang 
masih begitu berat, disandarkan di bahu bidang pemuda yang 
selama ini begitu menawan perasaannya. 

“Tepatnya, aku tak tahu. Tapi aku yakin kita telah berada 
jauh dari Pengadilan Perut Bumi," jawab Andika. “Kau tak apa-apa, 
Purwasih?" 

“Kurasa aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” 
Purwasih balik bertanya, seolah ingin membayar perhatian barusan. 

Bibir Andika tersungging. Bahunya mengedik kecil. 

“Hanya luka-luka kecil. Seperti kau juga. Aku hanya lecet di 
sana-sini,” sahut Andika, sambil memutar tangan kanan untuk 
memperlihatkan sikunya yang terkoyak pada Purwasih. 

“Aku tak melihat luka di sikumu," kata Purwasih, memaksa 
Andika tertegun sejenak. 

“Apa maksudmu?” tanya Andika heran, kembali melihat 
siku kanannya. 

Benar kata Purwasih. Tak ada lagi koyakan kulit di sana. 
Hanya warna hitam yang melintang tipis. 

“Aneh...,” desis Andika. 

“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih seraya bangkit seperti 
tak terlalu tertarik pada pertanyaan Andika tadi. 

“Sumpah mampus, barusan aku menyaksikan sendiri 
sikuku ini terkoyak. Kau lihat ini...,” Andika menunjukkan bercak- 
hercak darah yang tersisa di bawah sikunya. “Bercak-bercak 
darahnya pun masih ada....” 

“Mungkin kau salah lihat tadi,” sangkal Purwasih, seraya 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

‘‘Kau pikir aku sudah tidak waras? Aku jelas-jelas melihat 
dengan mata kepalaku sendiri!” Andika ngotot. - 

“Ah, sudahlah. Itu hanya persoalan “kecil, bukan?” 

“Tunggu..., tunggu dulu!” sergah Andika. “Sepertinya kita 
mendapat persoalan yang tidak kecil. Ini tidak remeh, Purwasih!” 

Langsung Pendekar Slebor menatap pinggul me- nantang 
Purwasih yang begitu gempal berisi. 

“Apa-apaan kau ini! Kenapa matamu jadi tak senonoh 
begitu!” omel Purwasih. Wajahnya karuan menjadi merah matang. 

“Sial! Aku bukannya sedang memperhatikan pinggulmu. 
Meskipun kuakui memang indah, dan...." 

“Tutup mulut kotormu!” Purwasih makin ber- tingkah tak 
karuan. Lebih-lebih, warna wajahnya. 

"Maksudku.... sewaktu kau belum siuman, kulihat ada luka 
agak menganga di bagian itu!” tegas Andika. 

“Ah, sudahlah! Lelaki memang punya seribu satu alasan 
untuk berbuat kurang ajar!” penggal Purwasih, malu bukan main. 

Dikira, Andika hanya sedang mengolok-oloknya. 
Masalahnya, selama ini gadis itu tahu bagaimana urakannya 
Pendekar Slebor. Dalam keadaan apa pun, bahkan dalam 
kegentingan, pemuda brengsek itu tetap tak pernah sembuh dari 
sitat urakannya. 

“Biar kulihat sebentar!” ujar Andika mendadak. 

Dan mendadak pula Pendekar Slebor menarik tangan 
Purwasih. Cepat dan tak terduga. Tahu-tahu, tubuh Purwasih sudah 
merapat ke dadanya. Sedangkan tangannya mendekap pinggang 
Purwasih dari belakang. 

“Andika! Apa-apaan ini!” 

Gadis berkulit kecoklatan nan manis itu meronta-ronta. 
Antara risih dan rasa berbunga-bunga. Dadanya berdebar-debar 
cepat, bagai ada badai hebat dalam dirinya. 

“Nah, betul bukan?!” seru Andika. 

Dari belakang tubuh Purwasih, mata jantan pemuda itu 
sibuk mengamati bagian pinggul Purwasih. Di bagian itu, pakaian 
Purwasih tampak terkoyak. Sehingga, memunculkan kemulusannya. 

Purwasih menepak keras-keras tangan pemuda ini yang 
hinggap semena-mena di pinggang rampingnya. Dia pun meronta 
sampai lepas. Hendak ditinjunya perut pemuda urakan itu. 
Tangannya siap melayangkan kepalan. 

“Tunggu-tunggu!" tahan Andika mendelik-delik. Tubuhnya 
tersurut-surut mundur di bawah ancaman kepalan Purwasih. “Kalau 
kau tak percaya mulutku, coba lihat sendiri bagian tubuhmu yang 
aduhai i... ugh!” 

Pendekar yang begitu slebor ini tak sempat me¬ 
nyelesaikan kalimatnya, karena tinju Purwasih lebih dulu bersarang 
telak di ulu hatinya. 

Purwasih berjalan meninggalkan Andika di be- lakangnya. 
Sedikit pun kepalanya tak berani menoleh. Takut wajahnya yang kian 
tak karuan diketahui Andika. 

“Mau ke mana, kau?!” cegah Andika. “Sungguh mati, aku 
tak main-main. Tampaknya ada suatu yang luar biasa di tempat ini." 

Suara Andika terdengar penuh tekanan, agar Purwasih 
tahu kalau dia bersungguh-sungguh. 

Purwasih akhirnya mau juga menoleh, setelah terlebih 
dahulu berdiri diam sekian lama. 

“Baik. Sekarang, jelaskan padaku dengan singkat. Apa 
maksudmu sebenarnya?” desak Purwasih. 

“Kau perhatikan lagi bagian pinggulmu. Aku tak bohong. 
Sebelumnya aku memang melihat luka di situ. Tapi kini, yang tinggal 
hanya pakaianmu yang terkoyak di bagian itu, dan bercak-bercak 
darah di sekitarnya. Sementara di bagian yang kulihat terluka, hanya 
ada bekas yang agak menghitam,” papar Andika. 

Tak terlihat kesan bergurau di wajah pemuda itu. Sewaktu 
bicara, bahkan matanya agak menyipit-nyipit, tanda benar-benar 
menaruh perhatian penuh pada perkara itu. 

Purwasih menuruti ucapan Andika. Diperhatikannya bagian 
pinggul yang dimaksud pemuda itu. Ternyata, memang benar. Tepat 
seperti uraian Andika. 

“Lalu?” tanya gadis itu kemudian, ingin tahu pen- dapat 
Andika tentang semua ini. 

Andika terdiam sesaal. Matanya bergerak-gerak, seperti 
mencari-cari sesuatu. Tak lama berikutnya, matanya melirik langit- 
langit lorong berbatu runcing yang terus meneteskan air pada tiap 
ujung- nya. 

“Menurut dugaanku, air ini bukan air biasa.” 

“Bukan air biasa bagaimana? Kulihat warna dan rasanya 
seperti air pada umumnya....” 

Dengan sudut matanya, Andika menatap Purwasih lekat- 
lekat. 

“Bagaimana kalau kita buktikan dugaanku itu?” tantang 
Pendekar Slebor. 

“Kau mau bertaruh?” Purwasih balik menantang. 

“Kalau kau benar, aku boleh menciummu,” tutur Andika 
setengah menggoda, membuat warna air muka Purwasih berubah 
lagi. “Dan kalau aku keliru, kau boleh mencium dengkulku. Hua... 
ha... ha!" 

Tawa pemuda urakan itu meledak. Lalu tanpa 
mempedulikan perubahan wajah Purwasih, Andika mengangsurkan 
tangannya ke bawah letesan air, tepat pada luka goresannva. Air 
dari langit-langit lo- rong itu jatuh setetes demi setetes, sampai luka 
itu pun mulai basah. 

Keanehan pun mulai terjadi. Perlahan-lahan luka 
memanjang di tangan Andika mengering. Kulit yang tersobek, 
merapat dan merapat. Darah di sekitarnya menjadi coklat, lalu 
terkelupas sendiri. Kini kulit yang semula tergores pun sembuh 
seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sama seperti pinggul Purwasih. 
Hanya ada bekas menghitam. 

Bibir Andika tersungging lebar. 

“Aku yakin dalam beberapa hari, bekas hitam ini pun akan 
menghilang” kata Pendekar Slebor mantap. 

Sementara Purwasih masih terpaku, belum sempat 
berucap apa-apa. 

“Dan.... kita telah menemukan ‘Air Kehidupan’ Purwasih!” 
sentaknya tiba-tiba, seraya melompat ke- girangan tak bedanya 
bocah kecil diberi hadiah. 

Purwasih masih tetap diam saja. Hanya saja, bibir 
ranumnya terlihat tersenyum kecil. Rupanya, dia tak tahan melihat 
tingkah pemuda idaman di depannya 

“Purwasih! Cepat beri sarung pedangmu!” ujar Andika 

Andika mengisi sarung pedang milik Purwasih dengan ‘Air 
Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya. 

‘‘Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya 
Purwasih, tidak mengerti. 

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut 
Pendekar Slebor santai. 

"Untuk apa?” 

“Kita tak mungkin mengambil air ini dengan menyimpannya 
di dalam rongga mulut, bukan?” 

“Ooe....” 

Purwasih mengangguk. Diserahkannya sarung pedang dari 
tanduk rusa liar itu. 

Andika segera mengisi sarung pedang dengan ‘Air 
Kehidupan’. Sementara, Purwasih terus memperhatikannya. 

“Untuk apa sebenarnya kau bawa air itu, Andika?” tanya 
Purwasih. 

Mata Andika mengerling. 

“Aku punya rencana bagus. Kau lihat saja nanti,” sahut 
Pendekar Slebor, santai. 

“Satu pertanyaan lagi boleh?” 

Andika mengangguk. 

“Dari mana kau tahu kalau nama air itu ‘Air Kehidupan’?” 

Andika meringis kebodoh-bodohan. 

“Aku tak pernah tahu, apa nama air ini. Ke tempat ini pun, 
baru kali ini. Tapi daripada aku sebut ‘Air Anu kan lebih baik 
kukarang satu nama..., ‘Air Kehidupan’ Hua... ha... ha!" 

Di tepi sebuah sungai, Lelaki Berbulu Hitam duduk 
termenung di atas sebatang pohon besar yang lumbang. Di tengah 
sungai berair jernih sampai dasar wngai berbatu-batu terlihat, 
Pendekar Dungu tengah mandi. Sekujur tubuhnya yang penuh 
lumpur, digosok-gosoknya. 

Mengapa mereka bisa sampai ada si sini? Rupanya, arus 
bah telah menyeret mereka keluar dari aliran sungai bawah tanah, ke 
sungai terbuka yang membelah sepasang bukit tempat mereka 
berada. 

“Hitam! Apa kau tak berniat membersihkan tu- huhmu?!” 
sapa Pendekar Dungu seraya menyibak-nyibak arus kecil sungai. 

“Kira-kira, apakah Tuan Penolong kita masih hidup, 
Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, tak mempedulikan ajakan 
Pendekar Dungu. “Kalau dia mati, siapa yang akan membantu 
menyelesaikan persoalan kita? Padahal aku begitu mengidam- 
idamkan bisa membuang sifat beringasanku. Apa kau tak mau 
membuang kebodohanmu, Dungu?” 

“Ngomong-ngomong soal membuang, tiba-tiba aku jadi 
kepingin ‘membuang’ juga, nih!” cetus si tua bergigi ompong. 

Pendekar Dungu segera lari ke balik batu besar. Tak lama 
kemudian, tercium bau busuk seperti bau seribu setan belang. Juga 
terdengar bunyi kecil nan merdu.... 

Plung..., piung! 

“Hitam! Kira-kira, apa membuang sifat beringasanmu 
semudah membuang ‘ampas’ ini, ya?!” oceh Pendekar Dungu. 

Lelaki berbulu lebat keturunan serigala tak me- nyahut. 
Biasanya, hatinya langsung kalap kalau ada kata-kata ngawur 
Pendekar Dungu yang menyinggung perasaannya. Mungkin dia 
sudah mulai terbiasa dengan kebodohan bangkotan bebal itu. Atau 
mungkin sedang memikirkan nasib Andika yang diyakini sebagai 
Tuan Penolongnya. 

Sementara kepala Pendekar Dungu muncul dari balik batu 
besar. 

“Hitam! Hitam!” panggil Pendekar Dungu, makin banyak 
mulut. “Hey, kau masih memasang telingamu, bukan?” 

Lelaki Berbulu Hitam tetap duduk bertopang dagu. Tak 
dipedulikannya segala kicauan Pendekar Dungu. 

Lalu, tergopoh-gopoh Pendekar Dungu menghampiri 
kawan senasib sepenanggungannya yang selalu jadi lawan dalam 
perang mulut. 

“Menurutmu apa hakim sial itu masih hidup?” kata 
Pendekar Dungu, sambil menaikkan celana. 

Lelaki Berbulu Hitam menaikkan kepala. Dile- pasnya 
pandangan ke mata kelabu tua bangka di de- pannya. 

‘‘Rasanya, aku barusan melihat bayangan hakim sial itu di 
permukaan air sungai...!,” sambung Pendekar Dungu, memberitahu. 

Tiba-tiba Lelaki Berbulu Hitam tersentak. “Bodoh!” maki 
laki-laki keturunan serigala itu. Lalu, Lelaki Berbulu Hitam 
mengedarkan pandangan dengan sinar mata liar ke sepasang bukit 
ber- hatu-batu di kanan dan kiri sungai. 

“Ada apa?!” tanya Pendekar Dungu tak mengerti. 

Rahang Lelaki Berbulu Hitam mengeras. “Mungkin tadi kau 
tak sengaja melihat bayangan si Hakim Tanpa Wajah mengintai kita!” 
bentak Lelaki Berbulu Hitam geiam. 

“Jadi, orang jelek itu masih hidup?” 




Alunan senandung seruling mendayu, menjamah angkasa 
bebas. Siraman gencar sinar matahari jadi tampak bersahabat, diapit 
nada-nada yang mengusik buluh perindu itu. 

Siang yang garang berubah menjadi bersahabat oleh 
tiupan seruling seorang anak lelaki berusia sekitar empat belasan 
tahun. Rambutnya kusut masai seperti bulu domba sepanjang bahu. 
Pakaian yang dikenakan compang-camping berwarna kusam. 
Namanya Walet. 

Bocah tanggung itu kini berjalan santai meleng gak-lenggok 
menembus lembah luas berhias bunga- bunga rumput liar. Beberapa 
waktu lalu, bocah kecil berjiwa kukuh ini sempat bekerjasama 
dengan Pendekar Slebor dalam membongkar kepalsuan seorang 
pejabat. Mereka bahkan sempat pula bersahabat. (Tentang anak ini, 
bacalah episode: “Mustika Putri Terkutuk”). 

O, bunga rumpul liar 
Kalau saja kalian dengar 
Sehimpun mata hati basah dalam tangis 
Kuluhi dunia bengis 
Terkangkangi angkara 
Dilindas jejak-jejak murka.... 

Mulut mungil bocah itu melepas senandung berlirik gelisah. 
Seolah, dalam dirinya dibebani mendung alas tabiat buruk manusia 
di atas buana. 

Tak berapa lama, Walet tiba di dekat pohon besar tempat 
Raja Penyamar bersemadi. Saat itu, Raja Penyamar baru saja 
memutuskan untuk beranjak pergi. Hendak disatroninya Pengadilan 
Perut Bumi, setelah yakin tak ada lagi benteng gaib penyelubung- 
nya. 

Tanpa menggerakkan kaki, lelaki tua berwujud toh halus itu 
melintas cepat di depan Walet. Tak di- pedulikannya si bocah, 
mengingat hal genting yang harus dikerjakan. 

“Pak Tua! Kenapa begitu tergesa-gesa?! Meski aku hanya 
bocah, tak ada salahnya kau bersikap sopan sedikit melintas di 
depanku,” tegur Walet, acuh tak acuh. Dimainkannya seruling dari 
tangan satu ke tangan yang lain. 

Demi mendengar teguran menyindir bocah langguh itu, 
Raja Penyamar langsung saja menghentikan laju tubuhnya. Sungguh 
sebuah kejutan baginya, menyadari si bocah tahu kalau dirinya 
melintas di depannya. 

Percaya tak percaya. Raja Penyamar menoleh ke arah 
Walet. Diperhatikannya wajah lugu anak gondrong itu teliti sekali. 
Seakan, dia hendak meyakinkan diri. 

“Anak ini menegurku atau menegur orang lain?” pikir Raja 
Penyamar. Tapi selama berada di sana, tidak dilihatnya seorang 
pun. Kecuali, dirinya dan si bocah. 

“Kenapa kau jadi terlihat lucu seperti itu, Pak Tua?” tegur 
Walet lagi. 

“Kau..., bisa melihatku?” tanya Raja Penyamar, digelitik 
rasa penasaran. 

“Apa salahnya aku bisa melihatmu? Apa tindakanku adalah 
dosa?” Walet balik bertanya dengan nada lugu. 

“Siapa kau sebenarnya, Bocah?” selidik Raja Penyamar. 

“Aku, ya aku. Aku bukan dia. Bukan mereka, dan juga 
bukan kau, Pak Tua,” jawab Walet berputar-putar. 

Dengan langkah berkesan riang, anak muda tanggung itu 
menghampiri pohon besar lalu duduk bersandar di bawah 
naungannya. 

“Silakan kalau ingin melanjutkan perjalananmu, Pak Tua. 
Tak mengapa kalau aku menempati tempatmu, bukan? Udara siang 
benar-benar membuatku penat...,” lanjut Walet. 

Raja Penyamar mengurungkan niatnya. Malah, 
dihampirinya Walet bersama gumpalan tanda tanya dalam benak. 
Kalau seseorang sudah bisa menembus alam halus dengan 
matanya, sudah pasti bukan orang sembarangan. Namun begitu, 
Raja Penyamar agak ragu bila menilik usia si bocah. Sepanjang 
hidup, tak pernah ditemui tokoh sakti berusia begitu muda. 

“Kau masih bau kencur. Tapi, matamu setara dengan 
penglihatan tokoh-tokoh sesepuh dunia per- silatan. Kurasa ada 
sesuatu yang kau sembunyikan. Maukah menjeiaskan padaku?” 
tanya Raja Penyamar. 

‘‘Eh! Kenapa kau tahu aku menyembunyikan sesuatu?!” 
kata Walet. Matanya membulat penuh. Sambil tertawa-tawa, 
dikeluarkannya dua butir telur rebus dari balik baju rombengnya. 

“Maksudmu bukan telur-telur itu,” sergah Raja Penyamar. 

“Kalau bukan telur ini, aku memang masih 
menyembunyikan telur yang lain...," oceh Walet sekena- kenanya. 

Raja Penyamar tersenyum lebar. Wajah berwibawa yang 
memancarkan pendaran cahaya, tampak memperlihatkan binar 
bersahabat. 

“Kau mengingatkan aku pada seseoraftg, Bocah," kata 
Raja Penyamar. Masih tetap beriring senyum, matanya menerawang 
membayangkan seseorang. 

“Ah! Kalau dia orangnya, aku sudah kenal...,” te- rabas 
Walet, seperti bisa mengamali gambaran seseorang yang 
dibayangkan Raja Penyamar. 

Sekali lagi Raja Penyamar dipaksa terkejut. 

“Dia siapa maksudmu?" pancing orang tua itu, berpura- 
pura. 

“Kang Andika. Si Pendekar Slebor dari Lembah Kutukan 
yang mulutnya bawel seperti perempuan. He he he!” 

“Kau...,” desis Raja Penyamar takjub. 

Setelah itu, Raja Penyamar tak tahu lagi hendak 
mengatakan apa. 

“Apa kau sejenis anak siluman golongan putih?” lanjut 
orang tua ini selang beberapa lama. 

“Ha ha ha!” 

Tawa Walet kontan meledak berderai-derai. Sampai- 
sampai, dia merasa harus memegangi perutnya sendiri. Mungkin 
takut ada yang terlepas dari 'bawah'. 

“Kenapa kau tertawa?” sela Raja Penyamar. 

tampak kegusaran di wajah tenang Raja Penyamar 
mendapat perlakuan seperti itu. Dia sendiri tak tahu, kenapa tak 
terbetik ketersinggungan di hatinya. Padahal menurut adat yang 
berlaku, sikap bocah ini sudah keterlaluan. Seperti ada semacam 
pengaruh batin dari diri si bocah yang membuatnya senang dan 
langsung merasa akrab dengan Walet. 

“Pak Tua..., Pak Tua. Kau pikir siluman mana yang mau 
mengakui aku sebagai anaknya? Ha ha ha! Kurasa, aku ini lebih 
jelek daripada anak siluman mana pun!” 

Tak lama. Raja Penyamar pun jadi tersadar. Bu-, kankah 
dia harus segera pergi ke Pengadilan Perut Bumi? 

“Baik, Bocah. Kalau Tuhan mengizinkan, mudah-mudahan 
kita bisa berjumpa lagi. Pada saat itu, kau tentu tak keberatan 
menjelaskan padaku tentang dirimu, bukan?” pamit Raja Penyamar. 

“Hm, Pak Tua! Sebaiknya kau tak pergi ke tempat yang 
kau tuju. Pergilah ke sebelah barat dari tempat itu. Di sana ada goa 
di kaki bukit...,” kata Walet, sebelum lelaki berwujud roh itu 
menghilang. 

“Kenapa begitu?” 

“Kurasa nanti pun kau akan tahu. Dan, kalau kau berjumpa 
Kang Andika, katakan padanya dia mem- butuhkan ‘sesuatu yang 
bisa menandingi’ kekuatan sihir senjata lawan!” 

Meski digelayuti keheranan, Raja Penyamar beranjak juga 
dari tempat itu. Tubuh halusnya melayang cepat, kemudian 
menghilang. 

“Terimakasih banyak, Pak Tua!” seru Walet. 

Di goa kaki bukit seperti ucapan Walet, Raja Penyamar 
bertemu Andika dan Purwasih. Goa itu pula yang menjadi 
penghubung aliran sungai bawah tanah dengan sungai terbuka 
tempat Lelaki Berbulu Hitam serta Pendekar Dungu terdampar waktu 
itu. 

Sambil bergandengan tangan, Andika dan Purwasih 
muncul di mulut goa. Pakaian mereka masih kuyup dengan lumpur 
coklat di sana-sini. Sementara Purwasih menenteng pedang 
bergagang kepala naganya di satu tangan, Andika justru memegang 
warangkanya dengan hati-hati. Andika hanya takut ‘Air Kehidupan’ di 
dalamnya tertumpah. Padahal mereka sudah susah payah 
membawanya keluar dengan berjalan terseret-seret di sepanjang 
sungai bawah tanah. Malah mereka harus tertunduk-tunduk kalau 
kebetulan langit-langii lorong begitu pendek. Terkadang pula harus 
sungsang-sumbel menghindari gigi langit- langit yang runtuh 
menghujam akibat getaran suara. Semua itu harus ditempuh selama 
setengah harian yang melelahkan. 

“Andika!” sambut Raja Penyamar di permukaan arus 
sungai di depan bibir goa. Roh lelaki tua itu mengapung, tanpa dihela 
arus. 

“Raja Penyamar?” gumam Pendekar Slebor sedikit ragu. 

Pengalaman ditipu mentah-mentah oleh siluman yang 
menyerupai Raja Penyamar, membuat Pendekar Slebor berhati-hati. 
Maka begitu teringat kalau Raja Penyamar asli selalu muncul disertai 
wangi bunga sedap malam, hidung Andika segera mengendus- 
endus seperti seekor kucing lapar mencari makan. Namun hawa 
dingin membuat hidungnya agak tersumbat. Sehingga tampaknya 
kurang peka terhadap bebauan. Untung, akhirnya wangi kembar 
sedap malam itu bisa tercium juga. 

"Ah, syukurlah. Ternyata kau memang Raja Penyamar,” 
kata Andika lega. 

Suara Pendekar Slebor yang agak keras, kali ini ditangkap 
telinga Purwasih. Dara itu terheran-heran melihat tindak-tanduk 
pemuda pujaannya yang entah berbicara pada siapa. 

“Kau bicara padaku, Andika?” tanya Purwasih. 

“Tidak. Aku bicara dengan kawan tuaku,” sahut Andika. 
Dengan isyarat mata, ditunjuknya tempat Raja Penyamar berdiri. 

“Kau sinting, ya? Aku tak melihat siapa-siapa di sana!” 
omel Purwasih. “Sini, kau! Biar matahari siang menghangatkan 
otakmu yang mulai beku!" 

Purwasih segera menarik Andika ke tepi sungai. 

“Hey, jangan menarikku seperti ini! Aku harus berbicara 
dengan....” 

Andika cepat tersadar. 

“Slompret! Aku saja yang tolol! Ya. jelas Purwasih tak 
melihat Raja Penyamar...,” gerutu pemuda itu pada diri sendiri yang 
seraya menepuk kening keras- keras. 

“Nah! Sekarang kau mulai sadar kalau otakmu sudah beku 
bukan?” cemooh Purwasih tak tahu rae- menahu. 

“Ah, iyalah!” 

Andika pasrah ditarik-tarik Purwasih seperti kambing 
congek. Harus dicarinya akal, agar bisa berbicara dengan Raja 
Penyamar tanpa membuat bi- ngung dara itu. 

Raja Penyamar sendiri hanya bisa tersenyum-senyum melihat 
tingkah dua anak muda itu. 

“Purwasih! Bagaimana kalau kau membuat api unggun di 
dekat pohon nyiur itu, sementara aku akan mencari kelinci? Kau 
tentu sudah lapar dan mau me- nyantap daging kelinci hangat 
bukan?” usul Pendekar Slebor. 

Sebenarnya, Pendekar Slebor hanya mencari alasan agar 
bisa pergi untuk sementara. 

‘‘Usul bagus! Kalau begitu, cepat!” 

Andika pergi dengan senyum lebar. Ditemuinya kembali 
Raja Penyamar di tempat semula. 

“Kebetulan sekali kau datang, Pak Tua! Aku punya sesuatu 
untukmu!” ujar pemuda dari Lembah Kutukan itu. 

“Sebelum kau lanjutkan, apa yang terjadi dengan 
Pengadilan Perut Bumi?” 

Andika menaikkan kedua tangannya dengan telapak 
tangan membuka lebar-lebar. 

“Biar!” seru Pendekar Slebor dengan mimik wa-jah seru 
pula. “Tempat itu hancur. Guru dan murid brengsek itu yang menjadi 
penyebabnya. Mereka jotos-jotosan.... Nah sekarang, kau mau 
dengar berita gembira untukmu?” 

“Apa?” 

“Tanpa sengaja, aku menemukan air ajaib?” sambung 
Andika menggebu-gebu. 

'Air ajaib apa?” 

“Ah! Aku tak tahu, apa namanya. Maka kukarang satu 
nama ‘Air Kehidupan’! Bagus, bukan? Nah! Yang jelas, air itu bisa 
membuat tubuh yang luka atau masak menjadi pulih kembali. Ajaib!” 

Mata keriput Raja Penyamar menyipit. Keningnya langsung 
berkerut. 

“Itu ‘Air Sari Buana’...,” desah Raja Penyamar. 

“Jadi kau tahu soal air ini?” 

Kepala Raja Penyamar menggeleng-geleng. 

“Anak Muda.... Anak Muda. Apa kau tahu, kau telah menemukan air 
mukjizat yang begitu sulit dicari. Karena, sumbernya selalu 
berpindah-pindah tak menentu. Itu pun dalam waktu puluhan tahun 
sekali...,” papar Raja Penyamar. 

Mulut Andika menganga. 

“Jadi, aku tak akan bisa kembali ke dalam lorong untuk 
mengambilnya?” 

“Pada saat kau kembali nanti, mungkin sumber air itu 
sudah berpindah kembali, entah ke mana...," tambah Raja 
Penyamar. 

“Ah, sayang...,” sesal si pemuda gondrong. Diliriknya 
gagang pedang milik Purwasih. “Aku hanya dapat sedikit...." 

“Lalu, apa maksudmu dengan ‘Air Sari Buana’ itu?” tanya 
Raja Penyamar. 

“O, iya! Bukankah dulu kau katakan, kalau kau mati karena 
suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan? Kau mati. Sementara itu, 
jasadmu tak kunjung membusuk di Kampung Kelelawar....” (Untuk 
lebih jelasnya, bacalah episode: “Manusia Dari Pusat Bumi”). 

“Jadi maksudmu” 

“Kuyakin, penyakit itu bukannya tidak bisa di- sembuhkan. 
Ini hanya masalah penawarnya. Selama ini, kau belum sekali pun 
menemukan obat untuk penyakitmu itu, Pak Tua. Kalau Tuhan 
mengizinkan, dengan air ini, kerusakan jaringan dalam jasadmu akan 
pulih kembali. Dengan pulihnya jasadmu, maka jiwamu kuyakin bisa 
menempatinya kembali...." 

Si tua berwajah teduh ini kembali menggeleng- geleng. 

“Kurasa memang sudah takdirku untuk mati, Anak Muda...." 

“Aaa! Kalau begitu, kenapa jasadmu belum juga kunjung 
membusuk? Bukankah itu artinya Tuhan mengizinkan kau kembali 
ke jasadmu? Jadi, ini hanya masalah waktu. Kalau suatu saat kau 
berhasil menemukan obat untuk jasadmu itu, maka.... 

Andika tak melanjutkan kalimatnya ketika tiba- tiba sebuah 
tangan halus menjewer telinganya hingga merah matang. 

“Aku tak peduli dedemit mana yang kau ajak bi- cara!” 
omel Purwasih disampingnya. “Yang pasti, kau harus menepati 
janjimu untuk mencarikan kelinci!" 

"Ya, ya, ya! 
Kelinciii! “Yang gemuk!” 
“Yang gemuuuk!" 




Tak pernah mudah untuk menduga, apa yang ba- kal 
terjadi nanti. Hidup sepertinya selalu mempunyai tali kendali sendiri, 
menggiring manusia ke arah tertentu. Dikehendaki atau tidak 
dikehendaki manusia, tetap berjalan seperti itu. 

Pertemuan juga sebagai dari arah hidup yang sulit diduga. 
Seperti halnya Andika. 

Setelah menerima pesan Walet yang disampaikan melalui 
Raja Penyamar, Andika segera mencoba menghubunginya melalui 
batin. Dia amat tahu, bagaimana kuatnya batin Walet. Dengan 
semadi, Pendekar Slebor yakin akan berhasil menghubungi batin 
bocah tanggung itu. 

Dalam semadi, Andika merasakan tubuhnya me- layang 
kehamparan ruang tanpa tepi Tak terang, tak juga gelap. Tubuhnya 
terus melayang dan melayang, melanglangi ruang dan waktu yang 
tak terbatas. Sepasang tangannya terkembang ke depan, seolah 
hendak menggapai sesuatu yang belum terlihat. 

“Walet! Walet!” panggil Andika. Suaranya bergema tak 
terputus, seolah menelusuri ruang tanpa batas. 

Tak begitu lama, Pendekar Slebor melihat titik cahaya 
putih di kejauhan yang kemudian berpendar, mekar membesar. 
Andika sendiri tak bisa memastikan, dirinya yang mendekati cahaya 
itu atau justru sebaliknya. 

Ketika cahaya itu kian membesar dan nyaris menelan 
tubuhnya, Andika melihat dari pusat cahaya muncul perlahan-lahan 
seorang tampan perkasa. Tubuhnya tinggi tegap, terbungkus 
pakaian kebesaran seorang pangeran. Wajahnya begitu menawan 
tanpa kumis atau cambang penghias. Lelaki pun akan sempat 
terpana mendapati ketampanan wajah sosok itu. 

“Siapa kau?” sapa Andika. “Aku tak memanggilmu. Yang 
kupanggil Walet. Bukan kau, tapi Walet!” 

Sang Pangeran tersenyum amat ramah. 

“Akulah Walet!” sambut sosok tampan itu, lembut. 

“Kau tak bisa membohongiku. Aku kenal Walet. Dia 
seorang bocah kecil,” sangkal Andika. 

“Ini memang salahku, Andika. Boleh kupanggil kau Andika, 
bukan? Selama ini, aku memang merahasiakan jati diriku 
sesungguhnya. Kau pernah kuceritakan tentang asal-usul Mustika 
Putri Terkutuk. Tentang seorang pangeran dan putri yang saling 
mencintai, namun kedua orangtua masing-masing tak menyetujui 
hubungan itu. Mereka lari. Dan kedua orangtua mereka pun 
mengutuk anak muda itu. Sang putri menjad Mustika Putri Terkutuk 
dan Sang Pangeran menghilang bagai ditelan bumi....” (Baca 
Pendekar Slebor dalam episode: “Mustika Putri Ter- kutuk”). 

“Tunggu! Kau ingin katakan kalau kau adalah pangeran itu, 
bukan?” sergah Andika. 

“Ya, memang begitu. Aku menitis pada rahim seorang ibu. 
Sampai lahirlah Walet, bocah kecil yang kau kenal...." Sang 
Pangeran mengakhiri cerita. 

Mulut Andika membulat. 

“Ooo, pantas saja kalau bocah kecil itu memiliki kekuatan 
batin yang luar biasa...,” gumam Pendekar Slebor. “Jadi, apa pesan 
yang kau maksudkan untukku?” 

“Aku ingin menyampaikan padamu kalau kau harus 
memiliki sesuatu yang bisa menandingi kekuatan sihir sebuah 
benda....” 

“Kekuatan sihir sebuah benda? Benda apa yang kau 
maksud?” 

“Cermin Alam Gaib...." 

“Tuhan.... Jadi benar kata Raja Penyamar tentang bahaya Cermin 
Alam Gaib,” desis Andika. 

Andika terdiam sesaat. Ditatapnya sepasang bo- la mata Sang 
Pangeran dengan sinar mata berharap. 

“Jadi, apa yang harus kumiliki?” 

“Kalbumu...,” sahut Sang Pangeran, singkat. 

Andika dipaksa tertawa dengan pertanyaan tadi. 

“Kalau soal itu, dari dulu aku telah memiliki,” kelakar Pendekar 
Slebor. 

"Kau memang memiliki kalbu. Tapi belum memiliki 
kesempurnaannya. Kau harus melakukan pencucian melalui 
pengasingan diri secara menyeluruh. Bebaskan dirimu dari 
keduniawian untuk sementara. Lalu, menyatulah dengan Sang Maha 
Besar yang menduduki kursi semesta...." 

Petuah Sang Pangeran itu melembut. Sampai suara 
jernihnya menghilang, seiring menguncupnya cahaya putih. 

Dan Pendekar Slebor membuka kelopak matanya. Dan di 
depannya langsung ditemukan Raja Penyamar. 

“Kau mau menjelaskan padaku, siapa sesung- guhnya 
anak kecil itu, Andika?” tanya Raja Penyamar. 

Sejak berjumpa dengan Walet, rasa ingin tahu Raja 
Penyamar tak kunjung redup. Semakin hari, makin penasaran. 

Maka secara jelas dan singkat, Andika pun men- ceritakan 
jati diri Walet sesungguhnya, yang baru saja diketahuinya sendiri. 

“Pantas...," bisik Raja Penyamar, menanggapi seluruh 
cerita Andika tentang si bocah ajaib itu. 

Dari silanya, pemuda tampan yang disegani da- lam dunia 
persilatan itu berdiri. Kini dia berhadapan dengan arwah Raja 
Penyamar di dalam sebuah gubuk terbengkalai di Kampung 
Kelelawar. Di gubuk itulah, Raja Penyamar mati beberapa puluh 
tahun silam. 

Jasad Raja Penyamar masih terduduk bisu, di satu sudut 
ruangan. Karena terbengkalai begitu saja selama ini, tak heran kalau 
sudah banyak sarang laba- laba menggerayangi sekitar jasadnya. 
Pakaian coklat berkerah pendek serta penutup kepala seperti 
blangkon dari batik pun sudah mulai rapuh. Serat-seratnya melebar 
di sana-sini. 

Di luar semua itu, jasad Raja Penyamar seperti tak 
termakan waktu. Paras wajahnya tetap tak berubah, memperlihatkan 
kesejukan dengan sebaris senyum tipis. Kematian seperti tak pernah 
terjadi, layaknya seorang yang tertidur pulas saat bersila. 

Di sudut yang berseberangan dengan jasad Raja 
Penyamar, tergolek tubuh Purwasih. Memang tanpa permisi lagi, 
Andika telah menotoknya di tepi sungai. Menurut pertimbangannya, 
akan banyak makan waktu jika menjelaskan perihal Raja Penyamar 
pada Purwasih. Termasuk menceritakan rencananya untuk 
memberikan ‘Air Sari Buana’ pada jasad lelaki tua itu. 

“Sebenarnya, aku lebih setuju kalau kau menyim- pan saja 
air mukjizat itu, Anak Muda," cetus Raja Penyamar, membuka 
percakapan kembali. “Kupikir, suatu saat kau pasti memerlukannya.” 

Andika menggeleng tegas, untuk memperlihatkan 
kemantapan keputusannya. 

“Selama masih bisa, kau harus berikhtiar menuntaskan 
masalahmu, Pak Tua. Lagi pula, aku membutuhkan kehadiranmu 
selaku manusia. Tak sekadar arwah tanpa jasad.” 

“Kenapa begitu?” 

“Nanti kau pun segera tahu. Yang jelas, ini ber- kaitan erat 
dengan usaha kita memerangi kejahatan Manusia Dari Pusat Bumi. 
Dengan air ini, kita punya kesempatan lebih banyak. Itu kalau kau 
setuju me- manfaatkan ‘Air Sari Buana’ bagi jasadmu. Kalau me¬ 
nolak, berarti kau menutup kesempatan untuk memerangi kezaliman 
yang bakal disebar manusia siluman itu dengan Cermin Alam Gaib¬ 
nya...,” jelas Pendekar Slebor. 

“Tampaknya aku tak punya pilihan?” ujar Raja Penyamar, 
masih saja agak berat dengan keputusan pemuda di hadapannya. 

Selaku tokoh yang sudah berkubang lama di du- nia 
persilatan, Raja Penyamar sangat tahu bagaimana sulitnya 
seseorang mendapatkan Air Sari Buana’. Usaha mencarinya saja, 
sama dengan kemustahilan. Hanya orang-orang yang kebetulan 
berjodoh saja bisa mendapatkan. Seperti Andika, misalnya. 

Kalau ‘Air Sari Buana’ itu kini dimanfaatkan un-ituk dirinya, 
berarti sampai mati nanti pun Andika tak akan punya kesempatan 
memilikinya kembali. Padahal, sebagai ksatria penegak panji-panji 
kebenaran, ‘Air Sari Buana’ amat dibutuhkan dalam perjuangannya. 

“Aku tak akan menanyakan kau setuju atau tidak, Pak Tua. 
Sebab yang kumau, kau setuju. Jika tidak, air ini akan kucampakkan 
begitu saja. Jadi, sama saja bukan? Aku tetap tak akan memiliki air 
mukjizat ini, dimanfaatkan untuk kepentinganmu atau tidak,” papar 
pemuda dari Lembah Kutukan keras kepala, setengah mengancam. 

“Baiklah,” putus Raja Penyamar akhirnya. 

Peringatan Walet alias Sang Pangeran tampaknya 
beralasan. Demikian juga kekhawatiran Andika Manusia Dari Pusat 
Bumi belum mati. Jelmaan siluman itu terlalu tangguh untuk mati, 
hanya karena adu tenaga dengan Hakim Tanpa Wajah. Meski, si tua 
itu adalah gurunya sendiri. 

Suara ancaman yang terakhir kali didengar Andika 
sewaktu Pengadilan Perut Bumi hancur pun, adalah suara Manusia 
Dari Pusat Bumi 

Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri manusia jelmaan 
siluman itu? 

Tak lama setelah melabrak habis ruang besar Pengadilan 
Perut Bumi. Manusia Dari Pusat Bumi me- nyeruak di antara 
timbunan bebatuan dan sisa genangan air bah. Himpitan hebat 
bebatuan raksasa serta genangan yang menenggelamkannya, 
seakan hanya bongkahan tepung terigu yang menimbun. Sama 
sekali tak berarti apa-apa. 

Manusia Dari Pusat Bumi kemudian keluar me- lalui 
sebuah pintu rahasia. Timbunan batu penghalangnya dijebol, tanpa 
kesulitan berarti untuk bisa mencapai pintu rahasia. 

Selang beberapa saat kemudian. Hakim Tanpa Wajah 
menyusul keluar melalui jalan yang sama. Ketika muncul di ujung 
jalan rahasia, kebetulan sekali ada Lelaki Berbulu Hitam dan 
Pendekar Dungu. Waktu itulah Pendekar Dungu sempat melihat 
pantulan wajah hakim gila itu melalui permukaan sungai. 

Hari berlari seiring garis edar bumi, meningkahi mentari 
yang mengapung angkuh di persemayaman angkasa luas. 

Tiga hari sejak kejadian tersebut, Manusia Dari Pusat Bumi 
tampak berada di kediaman barunya Sebuah goa di puncak Gunung 
Kapur. 

Selama tiga hari itu, Manusia Dari Pusat Bumi melakukan 
tapa pemulih kekuatan setelah tenaganya banyak terkuras dalam 
pertarungan hebat dengan gurunya sendiri Hakim Tanpa Wajah. 

Pulihnya tenaga serta kembalinya kesegaran, membuat si 
manusia jelmaan siluman ini menyudahi tapanya. Dari silanya dia 
bangkit. Dilepasnya pandangan jauh-jauh ke depan, melampaui 
mulut goa yang menganga lebar. Sinar siang menyapa wajah 
hengisnya. Tampak membersit sinar keangkuhan di bola mata lelaki 
itu, yang bisa diartikan sedang menantang dunia dan 
mengancamnya. 

“Saatnya aku kembali, keangkaramurkaan akan bergelora,” 
desis Manusia Dari Pusat Bumi memastikan. 

Puas melontar ancaman, manusia siluman itu menyatukan 
kedua telapak tangannya. Sesaat, digesek-geseknya telapak tangan 
itu satu dengan yang lain. Dari sela-selanya, muncul perlahan ujung 
tumpul sebuah benda. Makin nampak, sampai akhirnya tergenggam 
utuh cermin yang tak lain Cermin Alam Gaib. 

“Sudah waktunya aku menguji keampuhan cermin ini," kata 
manusia Dari Pusat Bumi. 

Bagai sudah kerap kali mempergunakannya, Manusia Dari 
Pusat Bumi mengadukan sepasang matanya pada sepasang mata 
pantulannya di cermin. Kelopak matanya membesar dan meredup, 
melepas sehimpun tenaga hitam hingga warnanya berubah merah. 

Lama kelamaan, dari manik mata seperti milik harimau itu 
mengalir cairan kemerahan-merahan. Darah hidup yang bergerak- 
gerak kecil! Perlahan tapi pasti, cairan itu merambati pipi kasar 
Manusia Dari Pusat Bumi. Darah dari bola mata kiri dan kanan pun 
bertemu di ujung dagunya. 

Tangan Manusia Dari Pusat Bumi lantas mem- bawa 
Cermin Alam Gaib ke bawah dagu. Ketika itulah gerak kecil darah 
yang menggelantung di ujung dagu terhenti. 

Tes! 

Hanya dalam sebentuk tetesan, darah itu me- netes ke 
permukaan cermin pembawa bencana. Cermin Alam Gaib berpendar 
semerah darah yang mem- basahinya, tepat pada saat keduanya 
menyatu. Ber- samaan dengan itu, tetesan darah menghilang bagai 
terserap cermin. 

“Diriku kini telah benar-benar menyatu denganmu, wahai 
Cermin Alam Gaib. Kini, kehendakku adalah kehendakmu. 
Keinginanku, juga keinginanmu," ucap Manusia Dari Pusat Bumi 
seperti jalinan mantera. 

Sebentar manusia siluman itu menghentikan ka- la- 
katanya. Ditatapnya Cermin Alam Gaib tajam-tajam. 

“Kumau, sekarang juga kau perlihatkan keampuhanmu,” 
kata Manusia Dari Pusat Bumi lagi. Berat dan pasti. 

Perlahan-lahan dia mengacungkan kepala cermin ke atas 
bibir goa. Dan.... 

‘‘Hancur!" seru Manusia Dari Pusat Bumi lantang 
membahana. 

Blarrr! 

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan 
menjadi debu yang tak berdaya digiring angin ke segenap penjuru, 
seperti hantaman pukulan dahsyat yang kasat mata. 

Perlahan-lahan Manusia dari Pusat Bumi meng- acungkan 
kepala cermin ke atas bibir goa. Dan.... 

“Hancur!” serunya lantang membahana. 

Blarrr! 

Tak ada sekerdipan mata, bagian atas bibir goa bertaburan 
menjadi bongkahan-bongkahan batu yang tak berdaya digiring angin 
ke segenap penjuru! 

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi menyembulkan 
seringai. Namun begitu, dia belum lagi puas atas hasil.yang 
dilihatnya. 

Matanya kemudian menemukan bongkahan batu kapur sebesar 
pendopo istana jauh di bawah sana, tepat menghadap mulut goa. 

“Kini, angkat batu itu ke arahku!” perintah Manusia Dari 
Pusat Bumi pada Cermin Alam Gaib. 

Begitu kata-katanya selesai, Manusia Dari Pusat Bumi 
mengarahkan kepala cermin pembawa bencana pada benda yang 
dituju. Maka batu kapur besar pun melayang, seolah tak memiliki 
bobot lebih dari selembar bulu! 

Blam! Grrr.... 

Entah tenaga sesat dari mana, sehingga mampu 
menghempas kuat batu raksasa itu sampai menghantam bibir goa. 
Debu putih bertaburan memenuhi ruang goa. Butir-butiran kecil 
menerpa tubuh Manusia Dari Pusat Bumi, seakan memusuhi dan 
mengutukinya. 




Ada pepatah lama yang berbunyi, ‘Lidi yang rapuh akan 
memiliki kekuatan jika dihimpun menjadi satu’. Untuk tujuan-tujuan 
tertentu, menyatukan kekuatan memang kadang sangat diperlukan. 

Bersatu mencapai tujuan, ternyata tak hanya berlaku untuk 
niat-niat terpuji. Para pembangun ke- jahatan pun tampaknya 
menyadari pentingnya hal itu. Jadi, tak akan heran bila suatu kali 
Manusia Dari Pusat Bumi mengundang tokoh-tokoh jajaran atas 
dunia hitam ke sebuah lembah terbuka yang tersembunyi, sebab 
dibentengi rapat-rapat oleh jajaran pegunungan. 

Lembah itu bernama Lembah Pasir Tungku. Di- namakan 
begitu, karena tempatnya hanya berupa hamparan pasir yang begitu 
panas menyengat bagaikan tungku. Menilik warna pasir yang putih, 
Lembah Pasir Tungku lebih pantas disebut gurun. 

Di Lembah Pasir Tungku itulah, Manusia Dari Pusat Bumi 
merencanakan akan menghimpun tokoh sesat kelas atas dalam satu 
panji angkara murka! 

Siang yang memanggang hari ini seperti tak dipedulikan 
dua wanita tua cacat. Yang seorang buta, sedang yang lain berkaki 
kutung. Perempuan tua berkaki kutung, dibopong si buta di bahunya. 
Wajah mereka sama-sama keriput. Pertanda kalau usia mereka tak 
jauh berbeda. Layaknya orang tua, rambut mereka pun telah 
memutih. Seluruh giginya nyaris tanggal, membuat bibir mereka 
cekung ke dalam. Dengan begitu dagu mereka tampak lebih 
menjorok keluar. 

Tak ada perbedaan wajah keduanya. Karena dua 
perempuan tua itu memang kembar. Demikian pula pakaian yang 
dikenakan, sama-sama berbebat kain hitam sepanjang dada hingga 
lutut. 

Dengan usia renta dan pakaian yang begitu tampak ketat, 
sepertinya mereka tak bisa bergerak lin- cah. Padahal jika keduanya 
sudah berlaga di medan tempur, kecepatan sepasang perempuan 
renta itu selincah rase muda betina. 

Karena itu pula, menjelang usia uzur, mereka mendapat 
julukan Rase Tua Kembar. 

Kehebatan yang paling ditakuti setiap lawan ada- lah 
rambut mereka. Pada saat-saat tertentu, sanggul rambut mereka 
bisa terlepas. Maka saat itulah akan melesat ulat-ulat halus beracun 
yang sanggup me- manggang daging siapa pun. Daya tembus 
binatang melata kecil pun luar biasa. Sekali melesak ke dada lawan, 
maka ulat-ulat kecil itu akan tembus keluar sampai punggung. 

“Manusia bernyali sebesar apa yang nekat meng- undang 
kita hingga harus menempuh gurun keparat ini,’’ gerutu si buta. 

Perkataan itu bukan main-main. Kebiasaan keji mereka 
memang membunuh, tanpa pandang bulu setiap kali melihat 
manusia. Mereka seperti mendapat kepuasan kala mencium anyir 
darah korban. 

“Ah! Ini tak seberapa panas dibanding neraka!” sergah si 
kutung, melecehkan gerutuan si buta. 

“Ya! Kau bisa bilangbegitu! Terang saja, kau hanya mendompleng di 
bahuku. Coba kalau kau merasakan panas pasir ini!” 

“Kalau aku punya kaki, aku akan jalan!” 

“Dan kau baru tahu rasa panas pasir di sini!” 

“Tapi, aku toh takbakal punya kaki!” 

“Dan, kau tak akan pernah merasakan panas pasir di sini! 
Makanya, jangan bicara seenak dengkul!” 

“Heeeh! Apa kau lupa aku tak punya dengkul!” 

Keduanya ialu tertawa berbarengan. Terkikik- kikik, 
mengalahkan deru angin di permukaan pasir. Perdebatan keduanya 
seakan tidak pernah terjadi. 

“Menurut undangan dalam mimpi, kita harus menunggu di 
mana?” tanya si buta. 

“Kau lupa?” 

“Yaaa Kau tahu sendiri aku sudah tua!” sentak si buta. 

“Memang kau sendiri yang tua! Aku juga begitu!” sergah si 
kutung tak mau kalah. 

“Kau lupa apa tidak?!” tandas si buta. 

Tidak." 

“Kalau begitu, kau belum tua!” 

Kembali mereka terkikik-kikik ramai. 

Tak lama kemudian, mereka berhenti di bawah kaki 
sebuah pohon kaktus setinggi atap rumah dengan duri-durinya yang 
besar. 

“Seingatku, kita disuruh menunggu di sini oleh pemuda 
dalam mimpi kita,” tandas si kutung. 

Tangan keriput si buta mencari-cari. Ketika me- nemukan 
duri-duri pohon kaktus raksasa, baru bibirnya tersenyum buruk. 

“Ya ya ya. Aku baru ingat sekarang. Memang di sini 
tempatnya....” 

Mereka menunggu. Sementara itu, tampak lagi pendatang 
lain di kejauhan. Semakin dekat, semakin terlihat seorang laki-laki 
berperut sebesar tong. Sulit menilai, berapa usianya. Karena wajah 
lelaki buncit itu sungguh ganjil. Wajah sebelah kanan tampak begitu 
tua dipenuhi keriput. Alis di belahan itu pun memutih, di atas sebelah 
matanya yang kelabu. Sebaliknya, bagian wajah sebelah kiri tampak 
demikian muda. Pipi di belahan itu terlihat agak kemerahan, bagai 
kulit bayi. 

Perut yang demikian besar seperti tak menghen- daki baju. 
Si lelaki buncit berwajah ganjil malah lebih suka mengenakan ikatan 
kain yang hanya menutupi bagian terlarangnya. Bagaimana dia akan 
suka berpakaian, kalau tubuhnya saja selalu dibasahi keringat. 

Kaum rimba persilatan mengenal lelaki itu se¬ 
bagai si Perut Gendang. Di samping karena perutnya mirip gendang 
besar, juga karena setiap kali berjalan perut itu selalu menimbulkan 
bunyi bertabuh-tabuh. Persis bunyi gendang! 

dung dung 

Si Perut Gendang berjalan kian dekat ke arah pohon 
kaktus besar. 

Sementara Rase Tua Kembar semakin memperlihatkan 
wajah tak bersahabat. Bibir keriput mereka menyeringai-nyeringai 
seraya memperdengarkan gemelutuk gigi. 

“Si Perut Gendang minta dibunuh!” geram si buta. Meski 
tak melihat, telinganya masih bisa mengenali bunyi perut lelaki 
pendatang baru tadi. 

“Menurutmu, apa dia orangnya yang mengun- dang kita?” 
tanya si kutung. 

“Mana aku tahu!” 

‘‘Kalau dia orangnya yang hendak mempermainkan kita....’’ 

‘‘Kita pecahkan perut buncitnya itu!” terabas si buta. 

Lagi-lagi keduanya terkikik. 

‘‘Kalian rupanya, Nenek-nenek Jelek!” tegur si Perut 
Gendang begitu telah tiba di hadapan Rase Tua Kembar. Suaranya 
sama sekali tak ramah. “Berani-beraninya kalian mengundangku!” 

“Heeeh! Berani-beraninya dia membentak-bentak!” balas si 
kutung sewot. 

“Makan, nih!” sentak si buta. Seketika dijentiknya butiran 
pasir di sela-sela jari kaki yang takberalas. 

Wes wes! 

Butiran pasir putih halus itu berkelebat tanpa terlihat, 
mengancam udel si lelaki buncit yang meng- intip malu-malu dari 
permukaan perutnya. Kecepatan dan kekuatan kelebatan pasir 
demikian hebat. Menurut perhitungan mata tokoh kelas atas, 
kelebatan benda-benda kecil itu tak akan menemui kesulitan 
menembus kulit perut. Bahkan kulit sepuluh ekor badak sekali pun! 

Tapi, jangan sekali-kali mengira perhitungan itu berlaku 
bagi perut si Lelaki Buncit. Tahu ada orang yang hendak pamer 
kekuatan, si Perut Gendang membiarkan saja pasir-pasir itu meluruk 
deras. 

Bleng! 

Perut si Perut Gendang mendadak meliuk dari bawah ke 
atas, seperti permukaan tikar yangdigebah. Hasilnya, berupa tenaga 
sedotan luar biasa yang berasal dari bagian pusatnya. Pasir-pasir 
berkekuatan hebat itu dipaksa masuk ke dalam lobang pusat, namun 
tak begitu lama kemudian perutnya meliuk lagi. Maka, kini pasir-pasir 
tadi terhembus keluar. Tak kalah cepat dan berbahaya, benda-benda 
halus itu kembali ke arah si buta. Tak hanya itu. Panas tubuh si Perut 
Gendang telah membuat pasir menjadi merah membara! 

“Permainan anak-anak kalian pamerkan!” maki si kutung 
gusar. Langsung diludahinya semburan pasir yang melesat tadi. 

“Chuih!” 

Psss.... 

Merah menyala pada butiran pasir kontan meredup, 
meninggalkan asap tipis yang terpenggal di uda- ra. Sedangkan 
terjangan pasir berkekuatan lima ekor kuda, sampai tak berdaya 
menerima beban air ludah si buta. Semuanya jatuh sebelum tiba di 
dada si kutung. 

“Jawab pertaryaanku, Buncit! Kau yang meng- undang 
kami ke tempat ini?!” tanya si kutung, mem- bentak. 

“Aku juga punya pertanyaan yang sama untuk kalian!” balik 
si Perut Gendang tak mau kalah. 

“Kau mengundang kami atau tidak?!” si buta ikut campur. 

“Kalian mengundang aku atau tidak?!” 

Ketiganya serempak terdiam. Bukan karena menyadari 
kekeliruan masing-masing, tapi terusik oleh suara senandung yang 
menyakitkan telinga. 

Tanpa diberi aba-aba, ketiganya serempak me- noleh ke 
asal suara. Jauh di sana pendatang lain rupanya telah sampai pula. 
Mereka terpaksa menautkan alis rapat-rapat karena tak 
mengenalnya. 

Kalau dalam jarak jauh saja senandung meme- kakkan si 
pendatang baru sudah begitu menusuk telinga, apalagi kalau telah 
tiba di dekat ketiga orang yang sampai lebih dahulu ilu. Ketiganya 
meringis-ringis. Ingin rasanya mereka segera menutup telinga 
dengan tangan. Nama besar yang tersandang, membuat mereka 
malu melakukannya. Jadi, ketiga tokoh sesat itu hanya bisa 
menyalurkan hawa murni agar gendang telinga tak pecah. 

“Nyanyian gagak buduk apa pula ini?!” gerutu si buta. 

Orang yang baru datang tak mempedulikan ge- rutuan itu. 
Dia berjalan terus lenggak-lenggok tanpa rasa bersalah. 

“Aaa! Sudah ada yang kumpulll!” seru si penda- tang baru 
dengan wajah riang bukan main. 

Ternyata dia adalah seorang lelaki muda ber- kepala 
botak. Kulitnya hitam, wajahnya berkesan khas orang-orang India. 
Hidungnya mancung, seperti paruh burung. Matanya bulat dan agak 
menonjol keluar. Dengan baju panjang putih serta selendang di 
leher, kulit hitamnya jadi tampak makin kelam. 

“Aaa, sudah ada yang kumpulll!” sapa orang itu kembali, 
sambil menggaruk-garuk kepala. Maka ber- hamburanlah kulit kering 
yang mengelupas dari kepalanya. 

Kau yang mengundang kami?!” sambut Rase Tua Kembar 
bersamaan. 

“Kau yang mengundang aku?!” 

Saat yang sama pula, si Perut Gendang melepas 
pertanyaan serupa. 

Pemuda hitam gundul itu tentu saja tertawa ditu duh 
demikian rupa. Bagi setiap orang, pasti tak nyaman mendapat 
perlakuan kasar begitu tiba di tempat yang menyiksa ini. 
Nampaknya, si pemuda berkulit arang berbeda. Dengan riang 
semuanya ditanggapi dengan tawa sambil menggoyang-goyangkan 
kepala. Sikapnya benar-benar membuat jengkel Rase Tua Kembar 
dan si Perut Gendang. 

“Chuah! Tingkahmu memuakkan!” semprot si kutung. 

“Apa yang diperbuatnya?” Wanita buta di bawah nya ingin 
pula tahu. 

“Nanti kau jadi ikut muak!" 

“Aku dengar suara orang menggaruk, tadi,” kata si buta 
penasaran. 

“Orang baru ini menggaruk-garuk kepalanya yang gundul 
dan beruntusan itu!” si Perut Gendang memberitahu. 

Entah dedemit mana yang mengilik si Perut Gen dang 
untuk menjawab perkataan si perempuan buta Kalau itu semacam 
kebaikan, mungkin itu adalah ke baikan pertamanya sepanjang 
hidup. 

“Idih! Aku suka kepala gundul. Mengingatkanku pada....” 

“Jangan berpikiran kotor!” potong si kutung pada ucapan 
saudara kembarnya. Kemudian perhatian nya di arahkan pada 
pemuda gundul itu. “Sekarang jawab pertanyaanku pemuda ‘keling’! 
Apa keperluanmu datang ke tempat ini?!” 

“Aku diundang seseorang,” sahut si pemuda hitam disertai 
sebaris senyum. 

“Kami diundang, si Perut Gendang diundang. Kalau kau 
juga diundang, lantas siapa yang mengundang?!” tanya perempuan 
berkaki kutung. Cara ber tanyanya seperti hendak menyalahkan 
pemuda ber- kulit hitam ini. 

“Apa aku harus mengaku kalau aku yang mengundang?” 
ucap si pemuda gundul. 

“Sebaiknya begitu!” serobot si buta cepat. 

“Kalau misalnya aku yang mengundang, lalu siapa yang 
mengundangku?” tanya pemuda berkulit hitam, kebingungan sendiri. 

“Hey?! Kenapa kalian jadi seperti orang dungu semua!” 
bentak lelaki berperut buncit, tak sabar melihat tingkah mereka. 
“Kalau semuanya diundang, artinya, kita harus menunggu orang 
yang mengundang kita. Menunggu.... Huh! Menyebalkan!” 

Perdebatan mungkin akan berlanjut sampai kia- mat, kalau 
saja seseorang tak datang. Orang itu adalah Manusia Dari Pusat 
Bumi, yang telah mengundang mereka semua. 

“O, jadi manusia jelek ini yang mengundang kita.’” sambut 
si perempuan kutung. 

“Kau yakin dia orangnya?” tanya saudara kem- barnya. 

“Peduli apa? Aku yakin kek, tidak kek! Pokoknya, aku 
sudah gatal ingin mengaduk-aduk isi perut orang usil itu!" 

Belum lagi dua wanita renta itu memperpanjang 
kemarahan, Manusia Dari Pusat Bumi tiba dan langsung 
mengacungkan Cermin Alam Gaib di tangan kanan. 

“Suka tidak suka, kalian akan diam dan mende- ngarkan 
perkataanku!” seru Manusia Dari Pusat Bumi dengan suara berat. 

Rase Tua Kembar kontan tak bisa menggerakkan mulut. 
Kecerewetan mereka seakan-akan terkunci mendadak. Bukan hanya 
itu. Mereka juga tak bisa menggerakkan apa-apa. Demikian pula 
yang terjadi pada si Perut Gendang dan pemuda hitam. 

“Dengar! Akulah orangyang mengundang kalian untuk 
datang ke sini melalui gelombang mimpi yang hanya bisa ditangkap 
oleh orang-orang sakti yang bejat! Di tempat ini, kalian harus 
bertarung denganku dalam sepeminuman teh. Siapa yang selamat, 
harus bergabung di bawah panjiku!” 

Inilah ujian yangdiberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi 
bagi keempat undangannya. Manusia jelmaan siluman itu tak mau 
scmbarangan mengambil sekutu sesatnya. Baginya, yang tak 
banyak membantu, lebih baik cepat dibunuh! 

Yang pertama mendapat giliran diuji adalah si Perut 
Gendang. Sementara, Rase Tua Kembar dan si pemuda hitam 
masih terdiam di bawah pengaruh sihir Manusia Dari Pusat Bumi. 
Kini si Perut Gendang berdiri di tengah-tengah lembar pasir tandus, 
menghadapi sang pengundangnya, setelah terlebih dulu dibebaskan 
dari pengaruh sihir. 

“Apa maumu sebenarnya, Pemuda Jelek?! Baru sekali ini 
ada orang yang nekat menghina si Perut Gendang!” mulai si lelaki 
buncit. 

“Tak perlu kau tahu, siapa aku. Karena belum tentu kau 
berusia panjang. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengerahkan 
seluruh kesaktian yang kau miliki untuk menghadapiku. Jika berhasil 
bertahan dalam waktu sepeminuman teh, maka bersenanglah. 
Karena, kau akan bergabung dengan ‘Raja Diraja Kejahatari’!” 

Si Perut Gendang tertawa mengejek. 

“Sombong sekali ucapanmu, Pemuda Jelek! Tampangmu 
pun baru sekali ini kulihat. Itu tandanya kau masih terlalu bau kencur 
untuk menantangku berkelahi. Apalagi, untuk menguji 
kesaktianku....”’ 

Manusia Dari Pusat Bumi yang pada dasarnya memiliki 
sitat tak banyak mulut, tak merasa perlu mengindahkan cemoohan 
calon lawan. Tanpa banyak omong lagi, langsung saja dibukanya 
sebuah jurus. 

"Kau sungguh-sungguh, rupanya? Ya, sungguh- sungguh 
mencari mampus!” hardik si Perut Gendang mulai gusar. 

Deb! Deb! 

Belum sempat lelaki berperut tong itu menarik napas, 
Manusia Dari Pusat Bumi sudah melabraknya dengan satu rentetan 
patukan tangan secepat kilal. Agak aneh. Karena, tangannya sama 
sekali tak mematuk langsung ke tubuh lawan. Di balik itu, hasilnya 
sungguh sempat memukau si Perut Gendang. Tangan pemuda 
bertaring ini ternyata mengeluarkan bayangan memanjang, yang 
langsung menyambar deras ke kening. 

“Gila! Ini sihir!” seru si Perut Gendang, setelah menghindar 
sebisa-bisanya. 

Meski hanya sebentuk bayangan tangan, si Perut Gendang 
bisa merasakan angin pukulan maut dari se- rangan yang luput. 
Seolah-olah, bayangan itu iebih kuat berlipat ganda dari tangan 
sesungguhnya. 

Kini si Perut Gendang tidak bisa lagi memandang remeh 
lawannya. Masih dengan hati bertanya-tanya, tentang lawan 
sesungguhnya, si Perut Gendang terpaksa membuka jurus. 
Pertahanan penuh dibentuknya, sekaligus mempersiapkan satu 
rencana serangan balasan. 

Muncullah gerakan aneh milik si Perut Gendang. 
Tangannya tak bergerak di kedua sisi tubuh. Sebaliknya, perut 
besarnya meliuk-liuk seperti gelombang. Setiap satu gelombang, 
tercipta bunyi yang mememakkan telinga. 

Dung! Dung.J 

Ketika suara perut laki-laki buncit itu kian me- muncak, 
berhembuslah angin amat kuat hasil dari gelombang kulit perutnya. 
Angin yang cukup untuk membentengi diri dari lerjangan sepuluh 
gajah jantan sekali pun! 

Deb, deb, deb,! 

Sekali lagi Manusia Dari Pusat Bumi melancarkan patukan 
bayangan tangan. Berlapis-lapis bayangan bagai bentuk kepala ular 
kini meluruk ganas. 

Di udara, gerak bayangan tangan Manusia Dari Pusat 
Bumi terhambat oleh benteng angin dari perut si Perut Gendang. 
Tapi bukannya tak bisa ditembus. Setelah geraknya melambat, 
bayangan tangan itu kembali meluruk dalam kecepatan semula. Dan 
memang, benteng angin lawan yang tangguh berhasil ditembus! 

Wesss! 

“Bangsat!” maki si Perut Gendang, gusar bukan main. 

Tubuh laki-laki yang kelebihan beban cepat di- lempar 
jauh-jauh dari jarak jangkau bayangan tangan Manusia Dari Pusat 
Bumi. 

Setelah berhasil berdiri kukuh, si Perut Gendang sadar 
kalau harus melepas serangan balasan. Terlalu berbahaya baginya 
jika hanya bertahan mengandalkan benteng angin perutnya, 
sementara pertahanan itu sudah berhasil diperdaya lawan. 

“Kau telan rasa panas ini, Pemuda Jelek!” 

Diiringi teriakan mengancam, si Perut Gendang menepuk- 
nepuk permukaan perutnya. Mula-mula pergantian tepukan antara 
kedua telapak tangannya lambat saja. Kemudian, makin cepat dan 
cepat. 

Prak, prak, prak...! 

Pada puncak tepukan, sepasang telapak tangan si Perut 
Gendang jadi membara. Tampaknya ancaman tadi bukan sekadar 
pepesan kosong. Perut buncit lelaki itu memang begitu terkenal 
didunia persilatan, karena sanggup menghasilkan panas luar biasa. 
Panas itulah yang kini diserap sepasang telapak tangan si Perut 
Gendang. 

“Hiaaa!” 

Whuuusss! 

Tubuh si Perut Gendang berputar bagai gasing tambun 
raksasa. Kedua tangannya yang membara, terbentang lebar-lebar 
membentuk kincir tegak lurus. Dengan tetap berputar, diterjangnya 
Manusia Dari Pusat Bumi. 

Pada setiap pergeseran tubuh si Perut Gendang yang 
berputar, mengepul asap putih tebal di udara. Asap putih tebal itu 
membentuk angin putingbeliung kecil, akibat putaran tubuhnya. 

Manusia Dari Pusat Bumi hanya menatap dingin Tak 
tampak rasa ngeri di wajahnya. 

Saat tubuh si Perut Gendang kian dekat seperti badai dari 
tengah laut hendak menyinggahi pantai, kaki Manusia Dari Pusat 
Bumi membentangtinggi ke atas. 

Plakk! 

Sekejap saja, putaran tubuh laki-laki berperut buncit itu 
terjegal. Tangannya yang terbentang dan membara tiba-tiba telah 
ditahan oleh patok kuatyang dibentuk bentangan kaki Manusia Dari 
Pusat Bumi. 

‘Cukup! Kau telah lolos dari ujianku!” seru Manusia Dari 
Pusat Bumi. 

Si Perut Gendang tak mau begitu saja dihentikan. Harga 
dirinya sudah telanjur diinjak-injak pemuda bercaling itu. Dan dia 
merasa terhina. Dengan tiba-tiba, arah putaran tangannya berubah. 
Siap mengibas kepala lawan di depan. 

Plak! 

Sekali lagi, Manusia Dari Pusat Bumi menjegal putaran itu 
tanpa kesulitan. 

‘‘Kalau kubilang cukup, kau harus berhenti!” bentak 
Manusia Dari Pusat Bumi menggetarkan nyali. 

Pada saat yang sama, tangan Manusia Dari Pusat Bumi 
tahu-tahu sudah menggenggam Cermin Alam Gaib. Ketika cermin 
petaka itu diarahkan ke sasaran, si lelaki berperut buncit langsung 
mengejang. 




Uji tanding yang diberlakukan Manusia Dari Pusat Bumi 
telah selesai. Rase Tua Kembar maupun si Perut Gendang dapat 
bertahan dalam sepeminunan teh. Dan itu berarti, mereka 
dinyatakan pantas untuk bergabung dengan si manusia jelmaan 
siluman. 

Meski merasa telah dihina oleh seorang pemuda bau 
kencur yang baru dikenal, tiga tokoh sesat kawakan itu tak bisa 
menolak rencana Manusia Dari Pusat Bumi. Mereka toh, harus 
mengakui hebatnya kepandaian pemuda bertaring itu. Dengan 
kenyataan ini, mereka berpikir tentu akan mendapat banyak 
keuntungan jika bergabung, walaupun harus berada di bawah 
perintahnya. 

Satu orang lagi yang tersisa, juga lolos dari uji tanding. 
Dialah pemuda hitam berkepala gundul yang sama sekali tidak 
dikenal. Namun begitu, suatu kejutan sempat dibuat pemuda berkulit 
hitam itu. Sebelum waktu yang ditentukan Manusia Dari Pusat Bumi 
habis saat uji tanding, dia sempat memasukkan sebuah hantaman 
telak kedada lawan. Padahal, Rase Tua Kembar maupun si Perut 
Gendang belum bisa melakukannya. 

Hal itu cukup membuat ketiga tokoh sesat itu agak 
terperangah. Sekaligus pula, memancing pertanyaan dalam diri 
masing-masing. Siapa sesungguhnya pemuda berkulit hilam itu? 
Hanya karena kesombongan sebagai tokoh jajaran atas, yang 
membuat mereka menyimpan saja rasa penasaran masing- masing. 

“Di bawah perintahku, kalian akan menemukan kekuasaan. 
Bahkan harta yang melimpah,” kata Manusia Dari Pusat Bumi, 
sesuai uji tanding. “Ini bukan sekadar janji. Karena dalam waktu 
dekat, semua itu akan kalian peroleh. Mengabdilah padaku!” 

Keempat tokoh sesat yang mengelilingi Manusia Dari 
Pusat Bumi memperhatikan setiap kata yang di- ucapkannya bagai 
tertenung. Ada semacam daya cengkeramyang kuat dalam ucapan 
si manusia jelmaan siluman itu. merasuk langsung ke dalam nafsu 
masing-masing. 

Mata harimau Manusia Dari Pusat Bumi menatap mereka 
satu persatu, menusuk dan bengis. 

“Aku akan memberi pilihan pada kalian. Kekua-^saan dan 
harta melimpah seperti kukatakan tadi, atau kalian mati 
mempertahankan harga diri!” tandas Manusia Dari Pusat Bumi 
seperti ingin memastikan ke- hendak orang-orang taklukannya. Bisa 
jadi, juga hanya, karena ingin menunjukkan kalau dirinya tak bisa 
ditentang. 

Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan si pemuda hitam 
tak bicara apa-apa. Sudah jelas bagi mereka, apa yang lebih penting 
dalam hidup ini. Menurut orang-orang zalim seperti mereka, harga 
diri tak lebih berharga dari kekuasaan atau harta. Jika mereka punya 
kekuasaan serta harta sekaligus, harga diri orang lain pun akan 
mudah di injak-injak. 

Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai. Dari pita 
tenggorokannya tercipta suara tawa tertahan. 

“Aku tahu, kalian tak akan memilih harga diri. Sebab. Jika 
kalian lebih mementingkan itu, sudah sejak dulu kalian meninggalkan 
dunia hitam!” 

Lelaki berjiwa iblis itu kemudian mengangkat sebelah 
tangannya. Seperti terjadi sebelumnya, dari tangan itu mendadak 
muncul Cermin Alam Gaib. Seolah-olah, benda itu telah jadi bagian 
dari dirinya. 

Cahaya matahari menerjang permukaan cermin, lalu 
terpantul tajam ke wajah-wajah empat manusia sesat taklukan 
Manusia Dari Pusat Bumi. 

“Demi kekuatan alam kegelapan cermin ini, kalian 
kuangkat menjadi pengikutku! Kalianlah kaki tangan Sang Angkara!” 
teriak Manusia Dari Pusat Bumi mengguntur. 

Tepat pada akhir kalimat, petir mendadak me- nyalak di 
angkasa, menerobos langit yang sebenarnya tak mengizinkan 
hadirnya petir. Mungkin alam sedang mengutuk kejadian itu, atau 
para makhluk durjana sedang berseru gembira. 

“Jadi, apa yang mula-mula akan kita lakukan...?” tanya si 
Perut Gendang. 

“Panggil aku Sang Angkara!” hardik Manusia Dari Pusat 
Bumi. 

‘‘Apa yang akan kita lakukan, Sang Angkara?” ulang si 
lelaki berperut buncit, menyadari kesalahan. 

Manusia Dari Pusat Bumi mengedarkan pandangan 
kembali. 

“Selaku kaum sesat, kita selalu memiliki musuh. Mereka 
yang mengaku dirinya sebagai abdi Sang Ke- benaran, selalu berdiri 
menghadang gerak kita...,” sahut Manusia Dari Pusat Bumi. 

Manusia Dari Pusat Bumi terdiam sesaat. 

“Di antara mereka, ada satu orang yang benar- benar akan 
menjadi penghalang besar!” lanjut tokoh yang ingin dipanggil Sang 
Angkara berapi-api. “Seorang pemuda yang memiliki ‘bakat suci’ 
dalam dirinya, lahir di dunia persilatan lalu membuat kegemparan...." 

Ketika memenggal untuk kedua kali ucapannya, keempat 
tokoh sesat yang lain sudah bisa menduga siapa yang sedang 
dibicarakan manusia jelmaan siluman itu. 

“Aku rasa, aku tahu siapa yang kau maksud, Sang 
Angkara,” selak si perempuan berkaki kutung. 

“Aku tahu, kau tahu. Aku pun tahu, jika kalian tahu siapa 
orang yang kumaksud. Dia memang tak asing lagi bagi kaum sesat. 
Karena, dialah tombak besar yang menancap tepat di dada kita.... 
Pendekar Slebor!” sentak Manusia Dari Pusat Bumi, sarat 
kegeraman. 

Keempat tokoh sesat yang kini telah menjadi pengikut 
Manusia Dari Pusat Bumi ikut terdiam sekian lama. Mata masing- 
masing seperti langsung disuguhkan semua sepak terjang pendekar 
yang menggemparkan selama ini. 

“Lalu, apa rencanamu terhadap Pendekar Slebor, Sang 
Angkara Murka?” tanya si pemuda hitam, memecah keheningan 
mereka. 

Manusia Dari Pusat Bumi melepas pandangan ke arah 
hamparan pasir panas di sepanjang lembah. Panasnya, membuat 
permukaan pasir seperti dilapisi lelehan liiin bening. 

“Percayalah... tak akan mudah menaklukkan dia dengan 
kesaktian kita. Manusia keparat itu sepertinya memang dilahirkan 
untuk menjadi musuh besar kaum sesat...,” urai Manusia Dari Pusat 
Bumi kembali. “Untuk itu, kita harus menjalankan semua cara untuk 
menghancurkannya!" 

“Apa dia memiliki kelemahan, Sang Angkara?” si buta yang 
sejak tadi bungkam, ikut berbicara. “Tapi sepanjang pengetahuanku, 
dia belum pernah mem- perlihatkan kelemahan....’’ 

“Tak ada manusia sempurna. Dia pasti memiliki 
kelemahan. Dan kalau pun tak bisa mengetahui kele- mahannya, 
maka kita bisa memanfaatkan orang- orang yang dekat dengannya. 
Bukankah rasa sayang yang besar terhadap orang-orang yang 
terdekat bisa dianggap sebagai kelemahan?” tutur si Perut Gendang, 
seolah seorang penasihat raja sedang memberi saran. 

Bibir bertaring Manusia Dari Pusat Bumi lagi-lagi 
menyeringai. 

Kau tampaknya mulai cocok denganku, Buncit. Aku pun 
mempunyai pemikiran yang sama. Kita harus memanfaatkan orang- 
orang yang dekat dengan Pendekar Slebor." 

“Aku tahu orang yang dekat dengannya. Dia seorang 
wanita,” ujar kutung bersemangat. 

“Ya! Aku pun tahu. Namanya Purwasih. Dia ber- juluk 
Naga Wanita...,” Manusia Dari Pusat Bumi memutus ucapan. 
Dikembangkannya dada sarat keangkuhan. “Rencana pertama kita 
adalah....’’ 

“Andika! Andika...!” 

Seseorang memanggil-manggil nama Pendekar Slebor. 
Bila ditilik, suaranya jelas milik seorang wanita. Sewaktu orang itu 
muncul dari rerimbunan semak di sisi jalan setapak, maka jelaslah 
siapa dia. Purwa-isih. 

“Dasar pemuda brengsek!” maki sang dara. Wajah 
cantiknya yang berhias kulit kecoklatan tampak demikian jengkel. 

Apa yang sesungguhnya telah dilakukan Andika, sehingga 
wanita yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu demikian 
kesal? 

Sewaktu bertemu Raja Penyamar di mulut goa sebelah 
barat Pengadilan Perut Bumi, Andika telah mempunyai rencana. 
Purwasih ditotok saat sedang asyik menikmati daging kelinci yang 
didapat Andika waktu itu. 

Maksud pemuda itu menotok Purwasih, tentu saja karena 
tak ingin dianggap gila kalau berbicara dengan Raja Penyamar. Ada 
hal penting yang harus dibahas tokoh sakti yang telah lama mati itu. 
Tentang air mukjizat yang dibawa dalam sarung pedang Purwasih. 

“Kau akan kujotos habis-habisan kalau kutemukan, 
Andika,” ancam Purwasih menggerutu. 

Bagaimana gadis itu tak jadi jengkel setengah modar? 
Selama sehari semalam, dia tak berkutik seperti bangkai karena 
totokan Andika. Untuk mencoba membebaskan diri, tokoh si pemuda 
slebor itu ternyata terlalu hebat. Suka tak suka, akhirnya ditunggunya 
sampai totokan itu terbebas sendiri. Dia tahu, totokan itu hanya untuk 
sementara waktu. Karena, sebelum pergi meninggalkannya, Andika 
sempat berbisik penuh sopan santun bahwa totokan itu akan 
terbebas sendiri, setelah sehari semalam. Dasar pemuda brengsek! 

“Kau pikir enak tergolek begitu saja di semak-semak. 
Untung saja tak ada binatang lapar yang lewat. Huh! Apa aku mau 
dijadikan umpan binatang buas oleh pemuda konyol itu?!” gerutuan 
Purwasih tersambung. 

Sambil menggerak-gerakkan persendian yang linu karena 
tak bergerak-gerak, Purwasih memungut pedang bergagang kepala 
naga yang masih tergeletak di tanah. 

“Mana sarung pedangku dibawanya lagi! Apa maunya 
pemuda itu? Padahal aku tidak begitu berminat pada air di dalam 
sarung pedang,” gumam Purwasih. 

Setelah itu, gadis ini menepis udara di depan. 

“Ah! Kenapa aku harus memikirkan tindak-tanduknya! Bisa 
sinting jadinya. Tahu sendiri, pemuda itu memang sulit ditebak,” kata 
Purwasih berbicara sendiri. 

Purwasih baru hendak beranjak kelika suara lantang 
berguruh menahannya. 

‘‘Kau pikir, kau mau ke mana, Nisanak?!” 

Purwasih menoleh cepat. Dari suara tadi, dapat ditebak 
kalau orang yang menahannya punya maksud tak baik. Karena itu, 
dengan serta merta pedangnya diacungkan. 

“Siapa kau?!’’ tanya Purwasih manakala menyak- sikan 
dua nenek peot yang mirip satu sama lain. Yang satu digendong oleh 
yang lain di bahu. “Sepertinya aku pernah mendengar tentang 
kalian.’’ 

Sambil berkata, kelopak mata lentik Purwasih menyempit. 
Ada rasa berdesir dalam dadanya setelah tahu siapa yang dihadapi. 

“Kalian Rase Tua Kembar?” tanya Purwasih. hendak 
meyakinkan diri. 

“Hee... he he! Anak cantik yang pintar!" sergah si 
perempuan buta. 

“Dari mana kau tahu dia cantik?” Masih sempat- 
sempatnya saudara kembar berkaki kutungnya bertanya. 

“Sial! Kenapa kau tak urus gadis itu saja!” bentak si 
perempuan tua buta gusar. 

“Heee, saudara kembarku benar. Aku harus mengurusmu, 
Nisanak yang cantik...,” ujar si nenek berkaki kutung, mengalihkan 
ucapan pada Purwasih. 

Rasanya aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap 
Purwasih. 

“O, ada! Tentu saja ada. Bukan begitu?” terabas si buta. 

“Bagaimana aku punya urusan dengan kalian, sementara 
bertemu pun baru kali ini,” sangkal Purwasih. 

“Urusan seseorang dengan orang lain, tak selalu harus 
tercipta setelah pertemuan, Nisanak,” tutur si kutung, sok berkata 
bijak. “Kau tahu, seseorang bisa tiba-tiba bisa membunuh orang lain, 
padahal baru pertama kali bertemu. Artinya, urusan tercipta karena 
satu alasan, Nisanak....” 

“Aku tak paham maksudmu. Ucapanmu terlalu berbelit- 
belit.” 

Alasan orang yang kuceritakan membunuh hanya sepele, 
Nisanak. Dia ingin memiliki pakaian bagus seperti milik orang kedua. 
Ketika diminta, orang yang memiliki pakaian bagus tak memberi. 
Paksaan pun harus muncul. Maka keributan tak ter elakkan...." 

‘‘Aku tak paham. Ucapanmu berbelit-belit!” sergah 
Purwasih untuk kedua kali. Tapi, si nenek berkaki kutung tak peduli. 

‘‘Lalu, terjadilah pembunuhan. Sementara, mereka sama 
sekali tak pernah bertemu sebelumnya....” 

“Apa maksudmu sebenarnya!” bentak Purwasih, mulai tak 
sabar. Sebagai pendekar wanita, tentu saja dia tak sudi 
dipermainkan. 

“Maksudnya, kami pun mempunyai satu alasan, sehingga 
kau harus berurusan dengan kami."timpal si buta, kembarnya. 

“Kenapa kau tak cepat katakan!” sentak Purwasih. 

“Kami akan menjadikanmu tameng hidup terhadap 
Pendekar Slebor. Jelas?” 

Mata Purwasih berubah nyalang. Dugaannya kini terbukti. 
Dua tokoh sesat kembar itu memang berniat tak baik. 

“Kalian kira akan mudah membuatku bertekuk lutut pada 
kalian?” kata Purwasih penuh tekanan. 

"Nama besar kalian tak cukup membuatku menge- mis- 
ngemis minta dikasihani!" 

“Bagus! Kalau begitu, kami bisa sedikit mengen- durkan 
urat-urat. He he he! Mari kita serang dia, Kutung!” ujar si tua buta 
bersemangat. 

“Ya! Tunggu apa lagi?!” timpal saudara kembar di 
bahunya. 

“Bersiaplah, Nisanak yang cantik!” geram si buta. 

“Sejak dulu, aku selalu siap menghadapi manusia busuk 
macam kalian!” tantang Purwasih. 

Mereka mulai membuka jurus masing-masing. Rase Tua 
Kembar bersatu memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat 
kompak. Tangan si kutung bergerak, membuat persiapan serangan 
di bagian atas. Sedangkan si buta membuat persiapan serangan 
khusus bagian bawah. 

Purwasih tak kalah sigap. Pedang besar berga gang kepala naga di 
tangannya terayun kian kemari. Kelebatan sinar pedangnya 
berseliweran di sekitar tubuhnya, sehingga bagai terselimuti cahaya. 

“Maju empat langkah, Buta!” seru si kutung memberi 
perintah. 

Si nenek buta bergerak maju empat langkah ke muka, 
memperpendek jarak dengan lawan. 

“Hiaaa!” 

Teriakan amat berisi, tercipta dari kerongkongan keriput si nenek 
berkaki kutung. Lazimnya, teriakan itu adalah pertanda awal 
serangan. Tapi yang dilakukan Rase Tua Kembar sama sekali tidak 
menunjukkan hendak melakukan serangan. Mereka tetap di tempat, 
meski Purwasih sudah bersiaga sepenuhnya menanti terjangan. 

Rupanya Rase Tua Kembar hendak menyerang dengan 
cara pertarungan tak lazim. Dengan memperpendek jarak, mereka 
sengaja hendak menyerang dengan kekuatan suara. Terbukti, 
Purwasih langsung merasakan seluruh urat di tubuhnya bagai dibetot 
secara paksa, saat teriakan lawan berkumandang. 

Andai gadis itu terpengaruh dan menutup sepa- sang 
telinganya, tentu si Rase Tua Kembar seketika akan merangseknya. 
Jarak yang sudah demikian dekat, tentu akan mempermudah 
keduanya mengirim terjangan dahsyat. 

Purwasih sadar akan hal itu. Karenanya, telinganya tak 
segera ditutup. Sepenuh kekuatan, dikerah- kannya hawa murni ke 
gendang telinga. Untuk lebih membentengi diri dari serangan tak 
berwujud tersebut, disalurkannya tenaga dalam pada ayunan 
pe-idang. 

Wuk, wuk, wuk! 

Kini terciptalah bunyi ayunan pedang yang tak kalah kuat 
dibanding teriakan lawan. Dengan begitu, teriakan Rase Tua Kembar 
pun dapat sedikit teredam. 

Seperti merasa dipancing untuk melakukan adu tenaga 
dalam, Rase Tua Kembar serta merta memperkuat teriakan. Kalau 
sebelumnya hanya kerongkongan si nenek berkaki kutung yang 
mengeluarkan teriakan, kini keduanya bersama-sama 
melakukannya. Suara mereka menyatu di udara, memadati tempat 
sekitarnya, bagai ribuan gagak yang berteriak serempak. 

“Hiaaakkk!" 

Tenaga suara mereka menerjang benteng bunyi pedang 
Purwasih. Maka, dua kekuatan suara tingkat tinggi berbenturan saat 
itu juga. 

Purwasih mengejang, sementara tangannya mati-matian 
berusaha memutar terus senjatanya. Wajahnya tampak menegang. 
Bagian pipi dan keningnya berubah menjadi merah matang. 
Sementara peluh sebesar biji jagung mulai bersembulan. 

Kekuatan suara Rase Tua Kembar yang tak sempat 
tersaring bunyi ayunan pedang, merangsek masuk dari sela-sela 
lowong menuju tubuh Purwasih. Pakaian si gadis yang memang 
sudah koyak moyak semenjak keluar dari Pengadilan Perut bumi, 
makin dibuat berantakan. Seiring koyaknya pakaian, Purwasih 
merasakan semacam sayatan sembilu mengge rayangi kulitnya. 

“Aaa.!” pekik Purwasih, didera pedih luar biasa. 

Yang menjadi korban adu tenaga dalam tingkat tinggi itu 
ternyata tak hanya Purwasih. Dedaunan semak dan pohon-pohon 
tinggi menjadi berguguran, 
seakan dihujam keraarau panjang! 

Hujan dedaunan melingkupi arena pertarungan. Dalam 
jarak sepuluh tombak di sekitarnya, tak ada lagi tumbuhan berdaun. 
Semuanya telah telanjang dalam sekejap! 

Dalam hal tingkat tenaga dalam, Purwasih me-imang 
tergolong hijau dibanding kedua tokoh bang- kotan itu. Itu sebabnya, 
kian lama pertahanannya makin melemah. Kakinya mulai kehilangan 
kekukuhan. Dara cantik itu mulai melorot, tapi masih berusaha tegak 
pada kedua lututnya. 

Usaha untuk bertahan makin tak banyak mem-iberi 
harapan, mana kala suara lain muncul memasuki arena pertarungan. 

Dung, dung, dung! 

Seorang berperut buncit muncul, tanpa terusik oleh 
benturan dahsyat suara orang-orang yang sedang terlibat adu 
tenaga dalam. Dari perut sebesar tong itulah, suara bertabuh-tabuh 
keluar. 

Purwasih makin payah. Suara perut yang ganjil itu ternyata 
ikut mengeroyoknya, bersama teriakan Rase Tua Kembar. Tak lama 
berselang, pertahannya sudah tak mungkin lagi dipertahankan. 
Tubuh sintal gadis itu tersentak. Dari hidung dan mulutnya tersembur 
darah kental kehitaman. 

Sesaat berikutnya, Purwasih ambruk. 




Sebuah tempat terpencil dikungkung kegelapan malam. Di 
sana, ada candi kuno terbengkalai yang berdiri kaku dan bisu. 
Bangunannya tak begitu besar, terbuat dari susunan batu yang 
seluruhnya nyaris diselimuti lumut. Sebagin batu sudah gompal di 
sana sini. Tepat di bawah anak tangga gapura masuk, terdapat dua 
patung ‘kala") memanggul ‘gada’*). Karena sudah begitu tua, satu 
patung telah kehilangan kepala. 

Empat sosok kini tiba di tempat itu. 

Mereka adalah Rase Tua Kembar, si Perut Gendang, dan 
Purwasih. Gadis itu kini terkulai tidak berdaya di bahu lelaki berperut 
buncit. Mereka pun menaiki anak tangga candi satu persatu. Bulan 
sepotong di langit menyiram cahayanya, sehingga tercipta bayangan 
samar mereka terlekuk di anak tangga. 

Kehebatan ilmu meringankan tubuh, membuat para tokoh 
sesat itu tidak menghasilkan suara ketika menaiki tangga batu yang 
merapuh. Mereka berjalan ringan seperti melangkah di timbunan 
awan. 

Saat itu, malam hanya dibelah oleh suara satwa. Jangkrik 
memainkan tembang tak teratur, ditingkahi nyanyian katak-katak 
yang tak mau kalah. Ditambah satu suara yang begitu mengusik 
malam, suara perut si lelaki buncit. 

Dung, dung, dung! 

“Buncit! Apa kau tak bisa sebentar saja meliburkan suara 
perutmu yang menjengkelkan itu?” gerutu si buta, satu dari Rase Tua 
Kembar. 

Dengan kebutaannya, si Buta telah melatih telinganya 
menjadi demikian tajam. Suara yang dihasilkan perut si lelaki buncit 
tentu saja amat mengganggu telinganya yang memang peka. 

“Tentu saja aku bisa membuang suara ini, asal perutku 
juga dibuang. Tapi, mana aku sudi membuang perutku, Buta,” sahut 
si Perut Gendang. 

“Kalau begitu, biar kubantu dengan senang hati membuang 
perutmu!” kata si nenek buta gusar. 

“Berhentilah kalian bertengkar!” sergah si nenek berkaki 
kutung. “Kalian bukan anak kecil yang pantas ribut-ribut!” 

Si Perut Gendang terbahak. Sedangkan si nenek buta 
emberut. 

Tepat di mulut pintu masuk candi, si pemuda hitam 
menyambut. 

“Kenapa untuk membawa kelinci cantik seperti dia kalian 
begitu lama?” sambut si pemuda hitam. Sedikit pun sambutannya tak 
menyenangkan ketiga tokoh sesat yang baru tiba. Sambil berkata, 
mulutnya tak pernah lepas dari senyum lebar. Barisan gigi putihnya 
tampak terjilat siraman bulan. 

“Banyak manusia yang hanya bisa bicara, tanpa 
melakukan apa-apa,” sindir si nenek berkaki kutung. 

Pemuda berkulit hitam hanya menanggapi sindiran itu 
dengan senyum lebar khasnya. 

“Kalian sudah ditunggu Sang Angkara di dalam,” kata 
pemuda gundul berkulit hitam kemudian. Mereka bersama-sama 
memasuki candi. 

Manusia Dari Pusat Bumi tampak duduk menunggu di atas 
undakan batu persegi yang sebenarnya digunakan untuk 
meletakkan sesajian, sewaktu candi itu masih dimanfaatkan ratusan 
tahun lalu. Di depannya, api unggun besar menjilat langit-langit 
ruangan. 

Panasnya menggapai ke mana-mana. Dan cahayanya 
menyapu dinding ruangan menjadi kemerahan terang. 

“Kami sudah berhasil membawa gadis yang kau maksud, 
Sang Angkara,” lapor si Perut Gendang. Di kedikkannya bahu tempat 
Purwasih terkulai, seolah ingin menunjukkan hasil kerja mereka. 

Manusia Dari Pusat Bumi alias Sang Angkara 
mengangguk. 

“Rantai wanita itu di ruang sayap kiri candi!” perintah Sang 
Angkara kemudian. 

Si Perut Gendang melirik si pemuda hitam yang mengaku 
pada mereka bernama Guliii. Nama yang asing bagi telinga para 
tokoh sesat itu. Bagi mereka, nama itu seperti mirip-mirip nama asal 
tanah India. Boleh jadi, Gulili memang berasal dari sana. 

“Sekarang giliranmu, Gulili,” ucap si Perut Gendang. 
“Giliranku apa?” tanya si pemuda hitam, berpura-pura tak 

mengerti. 

“Kau dengar tadi, Sang Angkara menyuruh merantai gadis 
ini di ruang sayap kiri!” tandas lelaki buncit itu, agak membentak. 

“Kau yang diperintah, bukan aku,” tolak Gulili tegas, 
mengetahui maksud si Perut Gendang di balik kalimatnya. 

Si Perut Gendang mendelik pada pemuda berkulit hitam 
itu. Dia sungguh tak senang diremehkan Gulili yang jauh lebih muda. 
Apalagi, anak muda itu dianggap masih bau kencur karena di dunia 
persilatan namanya tak pernah muncul. 

Gulili tampaknya tak gentar dengan ancaman mata si Perut 
Gendang. Dengan senyum lebarnya, lagi-lagi dia meremehkan tokoh 
kelas atas golongan sesat itu. 

“Sepertinya kau hendak menantangku, Pemuda Hitam?!” 
ucap si Perut Gendang, mulai terusik sikap Gulili. 

“Apa pun sebutannya, yang jelas aku tak suka kau perintah 
seenaknya!” Gulili pun mulai terang-terangan menantang si Perut 
Gendang. 

Rase Tua Kembar senang menyaksikan keduanya 
bersitegang. Bibir kedua nenek kembar itu mulai memunculkan 
senyum tipis. Barangkali, mereka berharap si Perut Gendang dan 
Gulili segera terseret dalam pertarungan. 

Manusia Dari Pusat Bumi pun tampaknya tidak berniat 
cepat-cepat meredam perselisihan itu. Matanya terus mengawasi 
kedua lelaki jauh bertaut usia itu. 

Tahu kalau Manusia Dari Pusat Bumi tak menggubris, si 
Perut Gendang segera menurunkan tubuh Purwasih dari bahunya. 

“Kau ingin menjajalku, ya?!” ucap si Perut Gendang padat 
tekanan. 

“Kalau itu maumu, aku tak akan menghindar,” balas Gulili 
mantap. 

“Baik,” tandas si Perut Gendang datar. “Akan kita lihat, 
apakah kau sudah pantas bersekutu dengan kami, Pemuda Bau 
Kencur! 

Dengan senyum khasnya, Gulili seolah menyetujui. Dari 
balik bajunya, si Perut Gendang mengeluarkan sabuk dari kulit ular 
yang selama ini hanya melilit perutnya yang kasar. 

“Aku punya sabuk kulit ular. Sabuk ini adalah benda 
pusaka yang memiliki kekenyalan luar biasa. Tak akan terputus oleh 
tarikan seribu ekor banteng!” papar si Perut Gendang. 

“Jelaskan saja, apa maumu dengan sabuk itu?!” selak 
Gulili. 

“Aku akan mengikat satu ujung sabuk ini ke leherku. Ujung 
yang lain diikatkan ke lehermu. Dengan begitu, kita akan menguji 
ketangguhan. Kita akan tarik menarik ke depan dengan arah 
berlawanan. Siapa yang tak memiliki cukup kekuatan, akan mampus 
dengan leher tercekik. Atau..., terputus!” papar si Perut Gendang 
melanjutkan. 

“Aaa! Permainan yang menarik!" seru Gulili, seolah 
kehilangan nyawa bagi dirinya hanya soal sepele. “Ayo kita mulai!” 

Tanding kesaktian pun siap berlangsung. 

Gulili telah mengikat satu ujung sabuk ke lehernya. Begitu 
juga si Perut Gendang. Kini, mereka berdiri saling membelakangi. 
Keduanya dihubungkan sabuk sepanjang dua tombak pada leher 
masing-masing. Tangan mereka pun sudah diturunkan ke belakang 
punggung. 

“Kau sudah siap, Pemuda Bau Kencur?” tanya si Perut 
Gendang. 

“Aku telah lebih siap darimu, Orang Tua Buncit,” sahut 
Gulili. 

“Satu..., dua..., tiga, mulai!” kata si Perut Gendang, 
memberi aba-aba. Srat! 

Sabuk pun menegang sekejapan mata Rentangannya 
bergetar halus sesaat, kemudian getaran menghilang. Baik Gulili 
maupun si Perut Gendang sudah sama-sama mengerahkan tenaga 
dalam masing-masing. Leher mereka sebagai daerah yang paling 
rawan, menjadi pusat penyaluran tenaga dalam. Dengan cepat 
wajah mereka memerah. 

Sehebat-hebatnya seseorang, adu kekuatan tenaga dalam 
dengan cara itu memang amat sulit dilakukan. Di samping 
dipusatkan pada bagian tubuh yang berbahaya, juga karena jeratan 
pada leher akan sangat mengganggu dalam memusatkan 
pengerahan tenaga dalam. 

Dengan begitu, sebenarnya mereka tak sekadar menguji 
kekuatan, tapi sekaligus menguji kemampuan dalam memusatkan 
perhatian. Sedetik saja perhatian mereka goyah, maka lawan akan 
punya kesempatan menarik sabuk. Satu-satunya akibat adalah; mati! 

Dengan keadaan tubuh condong ke depan, keduanya terus 
berkutat. Seluruh urat di sekujur tubuh mengejang penuh. Sementara 
itu, tanpa diketahui Gulili, Rase Tua Kembar diam-diam menyalurkan 
tenaga dalam membantu si Perut Gendang. Pada dasarnya, mereka 
memang tak suka pada si pemuda hitam. Selaku tokoh seangkatan, 
nenek kembar itu merasa dihina oleh sikap Gulili terhadap si Perut 
Gendang. Terlebih, sewaktu Rase Tua Kembar teringat pada 
keberhasilan Gulili mengirim serangan balasan pada Manusia Dari 
Pusat Bumi, saat uji tanding waktu itu. 

“Biar kau mampus, Pemuda Besar Kepala!” rutuk si nenek 
buta dalam hati. 

Pertarungan tak berimbang pun berlangsung. Gulili kini 
tidak hanya menghadapi kekuatan si Perut Gendang, tapi juga 
menghadapi kekuatan dua nenek yang segolongan dengan si Perut 
Gendang. Artinya, dia menghadapi tiga tokoh sesat kelas atas 
sekaligus! 

Anehnya, tatkala tenaga Rase Tua Kembar mulai tersalur 
pada sabuk, pemuda berkulit hitam itu malah melepas senyum lebar- 
lebar. Sepertinya, dia tahu ada yang tak beres dengan terlipatnya 
tenaga tarikan menjadi beberapa kali lebih kuat. 

Di lain sisi, Rase Tua Kembar cukup terperanjat pada hasil 
yang terjadi. Mereka mengira, Gulili akan langsung tercekik lalu 
terseret ke belakang. Atau lebih parah lagi, kepalanya terputus dari 
badan. Kenyataan yang terlihat malah sebaliknya. Perlahan-lahan 
sabuk milik si Perut Gendang bergeser sedikit demi sedikit ke arah 
Gulili. Kuda-kuda pemuda itu pun sudah bergeser satu tindak ke 
depan. 

Rase Tua Kembar kian terperanjat. Sedangkan si Perut 
Gendang harus mati-matian mempertahankan tenaga yang terpusat 
di lehernya agar tak tercekik. Wajahnya sudah demikian matang. 
Bahkan otot- otot di wajahnya menonjol keluar. 

‘‘Gila! Tak pernah aku mendengar nama pemuda bau 
kencur ini. Tapi, kekuatannya ternyata sanggup memperdayai tenaga 
dalam kami,” ucap si nenek kutung membatin. 

Kemudian dengan penuh rasa penasaran, Rase Tua 
Kembar menambah penyaluran tenaga dalamnya. Sabuk memang 
sempat berhenti bergeser beberapa saat. Tapi, selanjutnya 
pergeseran itu terjadi kembali. 

Lebih edan lagi, Gulili malah melontarkan sebaris ejekan 
pada saat yang sudah tak mungkin lagi baginya untuk mengeluarkan 
sepatah kata pun. 

“He he he! Apa kalian sejenis serigala-serigala ompong 
yang sudah kehilangan tenaga?!” 

Rase Tua Kembar tak bisa lagi menahan keterpanaan. 
Mata mereka terbelalak, meski salah satu di antara mereka buta. 

Kasihan si Perut Gendang. Matanya terbelalak bukan 
karena terperanjat, tapi karena lehernya kini benar-benar tercekik 
rapat. Jalan napasnya langsung terhambat. Lidahnya sudah menjulur 
keluar. 

“Heeek!” jeritnya tertahan. 

Pada saat paling berbahaya bagi si lelaki buncit itu, tenaga tarikan 
lawan mengendur, mengendur, dan akhirnya, sabuk itu tak lagi 
menegang. 

Gulili tersenyum lebar. Dengan tenang, dilepasnya ikatan 
sabuk di leher, lalu dicampakkannya begitu saja ke lantai candi. 

‘‘Kini, biar aku saja yang akan merantai gadis ini ke ruang 
sayap kiri," kata Gulili seraya menghampiri tubuh lunglai Purwasih. 
“Lagi pula, aku suka pada gadis cantik seperti dia." 

Si Perut Gendang hanya bisa menatapnya dengan dada 
terengah dan perut turun naik. 

Gulili berlalu dari ruang itu, diikuti pandangan Manusia Dari 
Pusat Bumi penuh selidik. 

Malam semakin larut. Kesunyian meniduri alam. 
Kepekatan berkuasa, manakala arakan mega hitam menggumpal 
menutupi angkasa. 

Purwasih masih dalam keadaan taksadarkan diri. Gadis itu 
dirantai dalam keadaan tegak di dinding. Kaki dan tangannya 
terbelenggu rantai baja, membuatnya setengah tergelantung lunglai 
dengan ke- pala tergolek lemah ke bahu kiri. 

Sesaat kemudian, gadis itu siuman. 

“Hhh.’’ lenguh Purwasih beriring bergeraknya kepala. 

Kelopakmata indahnya mulai membuka perlahan.” Di mana aku?” 

Sesaat gadis itu memandang ruangan dengan mata 
mengabur. Dan ketika tangannya bergerak tak disengaja, terdengar 
bunyi rantai baja. Bunyi itu segera menyadarkannya bahwa suatu 
yangburuk telah terjadi pada dirinya. Cepat tangannya dihentak. 
Setelah itu, dia makin sadar keadaan dirinya benar-benar tak 
menyenangkan. 

‘‘Rupanya aku telah ditahan manusia-manusia keparat itu,” 
bisik Purwasih manakala ingat kejadian terakhir, saat dikeroyok Rase 
Tua Kembar dan si Perut Gendang. 

‘‘Apakah kau menikmati mimpimu, Kisanak?” sapa 
seseorang dari pintu masuk di sebelah kiri Purwasih. Orang itu 
adalah Gulili. 

Purwasih menoleh. 

“Siapa kau?” tanya gadis itu. Sepanjang pengetahuannya, 
orang yang menahannya adalah nenek tua kembar dan seorang 
lelaki gemuk. 

Gulili tidak menyahut. Didekatinya Purwasih. Seperti biasa, 
senyum lebarnya tetap terkembang. 

“Kau memang belum pernah melihatku, Nisanak. Aku tidak 
turut dalam usaha penculikanmu,” kata Gulili. 

“Aku tahu itu. Yang ingin kutahu, apa maumu ke sini?!” 
tanya Purwasih kasar. 

“Aku?” Gulili tertawa terkekeh. 

Sambil tertawa, mata Gulili tak kunjung lepas 
memperhatikan lekuk-lekuk tubuh Purwasih. Bajunya yang sudah 
koyak-moyak tak karuan memunculkan sebagian kulit halus di 
baliknya. 

‘‘Kau pikir, apa yang hendak diperbuat seorang pemuda 
dengan seorang dara cantik menggoda sepertimu, Nisanak?!” ucap 
Gulili, nyaris berdesis seperti ular sanca yang begitu berselera 
melihat seekor kelinci tak berdaya. 

“Jangan coba berani-berani kurang ajar padaku!” ancam 
Purwasih geram. 

“Kalau aku berani kurang ajar, apa yang akan kau 
lakukan? Bukankah untuk menggerakkan tangan ke bawah saja 
sudah sulit?” cemooh Guiili, makin memuakkan Purwasih. 

Pemuda berkulit hitam itu kian dekat. Selangkah demi 
selangkah, terus dihampirinya Purwasih. Matanya berkilat-kilat 
kurang ajar. 

“Berhenti kau, Keparat! Jangan coba dekati aku!” hardik 
Purwasih, mulai kalap. Tubuhnya meronta-ronta liar. Tapi justru 
dengan begitu, dia makin terlihat menggiurkan. 

“He he he! Kau rupanya sudah tak sabar untuk 
merangkulku, Cah Ayu,” goda Gulili. 

“Tutup bacot busukmu itu! Kau pikir aku sudi melayanimu?! 

Chuih!” 

“Ah! Percayalah, Nisanak. Kau akan segera memelukku 
erat-erat setelah tahu aku...." Gulili bertambah dekat. Jaraknya 
dengan Purwasih tinggal tiga langkah lagi. Dan tiba-tiba.. 

Srat! 

Di depan Purwasih, pemuda berkulit hitam dan berkepala 
gundul itu menguliti kulit kepalanya! Perbuatannya benar-benar 
membuat mata Purwasih terbelalak lebar. Nyaris saja, dia menjerit 
karena begitu ngeri. 

Selanjutnya, keterperangahan gadis itu bertambah. Kali ini 
bukan karena ngeri, tapi karena luapan kegembiraan yang 
membludak. Setelah kulit kepala dan wajah Gulili terlepas, muncullah 
wajah seorang pemuda yang amat dekat di hati Purwasih..., wajah 
Andika! 

“Kau...,” desis Purwasih. 

“Ya, aku. Sekarang, kau benar-benar akan memelukku, 
bukan?” goda Andika. 

Pemuda dari Lembah Kutukan menghampiri Purwasih 
lebih dekat. Sehingga, gadis itu bisa merebahkan kepala di dadanya. 

‘‘Sayang tanganmu dirantai, ya? Kalau tidak, tentu aku 
akan bisa sedikit menikmati pelukan hangatmu,” oceh Pendekar 
Slebor, tepat di sisi telinga Purwasih. 

‘‘Kau...,” ucap Purwasih, gemas. 

“Adaouw!” teriak Andika tertahan dan tiba-tiba. 

Rupanya, Purwasih menggigit keras-keras dada Andika. Gadis itu 
gemas mendengar ucapan Andika barusan. 

‘‘Cepat bebaskan aku!” hardik Purwasih. 

“Baik. Tapi, biasanya untuk perbuatan baik seperti ini, 
orang selalu mengharapkan upah....”' 

“Sudah tutup mulutmu, Andika!” 

“He... he... hel’ 

Pendekar Slebor pun membebaskan Purwasih tanpa 
kesulitan sama sekali. Dengan sekali tebasan tangan, rantai baja 
yang membelenggu Purwasih terputus. 

“Sekarang, bebaskan totokanku!” perintah Pur-wasih. 

“Tentu saja. Aku toh, tak sudi membopong-bopongmu 
keluar dari tempat ini.... Adouw!” Andika menjerit tertahan lagi. 
Rupanya, Purwasih menjitak kepalanya keras-keras. 

Tak berapa lama kemudian, Andika dan Purwasih sudah 
terlihat mengendap-endap keluar dari candi tua. Dengan ilmu 
meringankan tubuh mereka yang telah tinggi, usaha mereka pergi 
dari tempat itu bisa cukup lancar. 

Benarkah semuanya lancar? Tanpa diketahui keduanya, 
dua orang mengawasi di kejauhan. Di balik sebuah pohon besar, 
mereka mengintai sejak tadi. Bahkan sempat tahu penyamaran yang 
dilakukan Pendekar Slebor. 




“Hendak ke mana kita?” tanya Purwasih pada Andika yang 
sudah mengenakan topengnya kembali. Kalau memperhatikan wajah 
palsu yang demikian sempurna itu, Purwasih jadi ingin meledak 
menahan tawa. Sulit dibayangkan kalau Andika, pemuda tampan 
dan mempesona, memiliki wajah yang mengge likan. 

“Lebih baik kau segera menyingkir jauh-jauh dari candi itu,” 
kata Andika. 

“Apa maksudmu? Kenapa bukan kita berdua? Kenapa 
hanya aku?” seruntun pertanyaan diajukan Purwasih. 

“Karena aku masih mempunyai urusan yang belum 
terselesaikan,” jawab Andika. 

“Lalu, kau pikir aku takut sehingga perlu disuruh 
menyingkir?” 

“Bukan begitu. Mmm.... Maksudku, kau bisa mengacaukan 
penyamaranku.” dalih Andika. Padahal sebenarnya hatinya khawatir 
terhadap keselamatan gadis manis itu. 

Purwasih baru hendak melontarkan sanggahan, ketika 
tiba-tiba saja tangan pemuda di sisinya mendekap mulutnya. 

“Ssst,” bisik Andika. “Rasanya kita kedatangan tamu. 

“Tepat! Kalian memang kedatangan tamu!” seru seseorang 
yang tiba-tiba muncul menyeruak deda- unan pohon besar. 

“O! Kau, Perut Gendang!” sambut Andika yang telah 
berubah menjadi Guliii kembali. 

“Tak usah berbasa-basi lagi, Guliii! Dari semula aku sudah 
curiga padamu!” bentak si Perut Gendang. 

Purwasih maupun Andika mulai was-was. Kalimat lelaki 
buncit itu sepertinya hendak memojokkan Andika. Mungkinkah dia 
sudah mengetahui penyamaran Andika? 

“Apa maksud kata-katamu, Perut Gendang?” tanya Andika, 
pura-pura tak paham. 

“Kau pikir aku tak tahu kau berbicara sesuatu dengan 
gadis itu? Secara kebetulan, aku melintasi daerah ini. Dan 
kutemukan kau bersama gadis itu!” kata si Perut Gendang meledak- 
ledak. “Kau pasti orang dari golongan putih! Bisa jadi juga, kau 
adalah kawan Pendekar Slebor!” 

“O, begitu. Biar kujelaskan....” 

“Tak perlu dijelaskan!" terabas seseorang, memenggal 
ucapan Andika. 

Rase Tua Kembar muncul pula di sana. 

“Kau pikir, kami tak memperhatikan segala gerak-gerikmu, 
Pendekar Slebor. Sejak semula kami curiga. Kami, terus 
memperhatikanmu. Sampai kau mendatangi Purwasih dan 
membebaskannya. Kami juga tahu tentang topeng jelekmu itu!” 
semprot si nenek berkaki kutung. 

“Maksudmu, pemuda gundul ini adalah Pendekar Slebor 
yang sedang menyamar?” selak si Perut Gendang. 

“Ya! Apa kau meletakkan otakmu di dengkul, Buncit?! 
Masa’ kau sama sekali tak curiga sewaktu dia mengalahkan kita, 
saat adu tenaga dengan sabuk mu!” si nenek buta ikut ambil bagian. 

“Jadi kalian waktu itu membantuku? Dan, kita dikalahkan?” 
tanya si Perut Gendang lagi, meminta kejelasan. 

“Ah, sudah! Jangan banyak tanya lagi, Buncit! Sekarang 
kita harus membabat habis manusia yang menjadi penghalang besar 
usaha kita!” putus si kutung. 

“Ya! Akan kita habisi riwayat Pendekar Slebor!” 

Seseorang ikut pula melontarkan ucapan. Dari kejauhan, 
terlihat sosok Manusia Dari Pusat Bumi. 

Manusia jelmaan siluman itu berjalan menghampiri dengan 
langkah-langkah lambat, namun penuh ancaman. Setibanya di dekat 
Rase Tua Kembar, pemuda bertaring itu menghentikan langkah. 
Dilemparnya pandangan menusuk ke arah Andika. 

“Untuk apa lagi topeng busuk itu?!” sentak Manusia Dari 
Pusat Bumi. 

Andika tak bisa berbuat lain. Kedoknya sudah terbuka. 
Karena itu, sudah tak ada gunanya lagi menggunakan topeng Guiili. 

Srat! 

Andika melepas topeng, sekaligus melorotkan baju putih 
serta selendang di lehernya. Dengan baju itu, Andika kemudian 
menyapu tangan dan lehernya yang dihitamkan dengan sejenis 
getah. Dan kini, An-idika berdiri dengan penampilan aslinya. 

“Sekarang, kalian bisa melihat ketampanan asliku, bukan?” 
seloroh Andika. Maksudnya, sekadar memancing kejengkelan para 
lawan. 

Keempat tokoh sesat itu tidak tampak gusar. Mereka 
terlalu banyak makan asam-garam dunia persilatan untuk cepat 
terpancing hanya oleh perkataan seperti tadi. 

Pada Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang, mata 
Manusia Dari Pusat Bumi melempar isyarat. Diperintahnya mereka 
untuk segera menghabisi Pendekar Slebor. 

Untuk menghadapi seorang pendekar yang diyakini 
sebagai penghalang utama, Rase Tua Kembar dan si Perut 
Gendang tak mau lagi main-main. Mereka langsung saja 
mengeluarkan ilmu andalan masing- masing. 

Rase Tua Kembar mengerahkan ajian ‘Rambut Liang 
Lahat’. Yang akan mampu melepaskan ulat- ulat ganas dan rakus 
berukuran sangat halus. Keganasan ulat-ulat kecilnya, sanggup 
menembus tubuh seseorang seperti percikan bara api menembus 
lilin. Semakin banyak ulat itu mengenai tubuh, maka semakin hancur 
tubuh yang terkena. Seperti ulat-ulat di liang kubur yang memakan 
jasad mayat dengan amat rakus! 

Sedangkan si Perut Gendang mengerahkan ajian ‘Hawa 
Neraka’. Disebut begitu, karena ajian ini sanggup menghasilkan 
gelombang panas luar biasa yang tercipta dari perut besarnya. 
Gelombang panas tersebut mampu membuat tubuh seseorang 
kering dalam setarikan napas, seperti keringnya daun di musim ke¬ 
marau. 

“Hiiiaaah!” 

Wrrr! 

Disertai jeritan berbarengan, Rase Tua Kembar melepas 
ikatan rambut masing-masing. Rambut putih mereka tergerai cepat. 
Meski tak ada angin cukup kencang, namun rambut putih yang 
kenyal dan gempal itu tampak bergerak-gerak. Ratusan binatang 
kecil yang menempatinya, tentu menjadi penyebab. Setiap delapan 
purnama, ulat-ulat kecil itu berkembang biak menjadi dua kali lipat. 
Untuk kelangsungan hidup binatang-binatang kecil ganas itu, Rase 
Tua Kembar memberi makan dengan darah bayi yang baru saja 
dilahirkan. Itu sebabnya, banyak terdengar dukun tua buta melarikan 
bayi dari rahim seorang ibu yang dibunuhnya dengan keji. Pelakunya 
tentu saja si nenek buta, saudara kembar nenek berkaki kutung. 

Selanjutnya, si nenek berkaki kutung di atas bahu saudara 
kembarnya memutar-mutar rambut. Dengan cara itu, dia sedang 
menghimpun tenaga. Jika rambutnya nanti dilecutkan, maka tenaga 
yang terpusat di bagian kepala akan melontarkan ulat-ulat ganas 
yang lebih kuat menembus daripada belati! 

Sementara si nenek kutung memutar-mutar rambut, 
saudara kembarnya majuselangkah demi selangkah. Telinganya 
yang tajam mampu menangkap dengus napas Andika, hingga 
mampu menentukan letak lawan berada. 

Di bagian lain kancah, si Perut Gendang sudah siap 
dengan ‘Hawa Neraka’nya. Setelah mengatur napas, dan dia 
menyalurkan udara ke dalam perut, lalu menghemposnya perlahan. 
Kedua tangannya menekan kedua sisi perutnya yang besar dengan 
jari-jari terkepal kuat. Setelah beberapa kali mengatur napas, kulit 
perutnya mulai mengepulkan asap putih tipis. Itulah tanda kalau ajian 
sesatnya telah waktunya untuk dihentakkan keluar, membentuk 
angin pukulan panas dari lobang pusatnya. 

Karena lawan mendekat dari arah berbeda, Andika dan 
Purwasih pun menyatukan punggung. Pendekar Slebor siap dengan 
kuda-kudanya menghadap Rase Tua Kembar. Sedangkan, Purwasih 
menghadap si Perut Gendang. 

Jarak antara mereka dengan lawan makin dekat. 

Saat tinggal empat tombak lagi jarak mereka, seseorang 
tiba-tiba meluncur turun ke tengah-tengah arena. Dan orang itu 
langsung berdiri di sisi Andika dan Purwasih. 

Purwasih cepat menoleh ke arah orangyang baru datang. 
Betapa terkejut gadis ini. Ternyata orang yang datang sulit 
dibedakan dengan pemuda yang berdiri membelakanginya. Amat 
mirip Andika! 

Tak hanya gadis itu yang mengalami keterkejutan. Rase 
Tua Kembar, si Perut Gendang dan Manusia Dari Pusat Bumi pun 
begitu. 

“Aku tak mengerti,” desis Purwasih, terheran- heran. 

‘‘Kau tak perlu mengerti sekarang ini, Purwasih," kata 
Andika yang baru datang. “Karena, kita harus menghadapi manusia- 
manusia busuk ini." 

Andika yang kedua lalu tersenyum penuh arti pada Andika 

pertama. 

Lambat laun, Manusia Dari Pusat Bumi menyadari kalau di 
antara dua Pendekar Slebor, salah satunya adalah yang asli. 
Persoalannya kini, siapa di antara mereka yang asli? 

“Kenapa kau jadi terdiam seperti itu, Manusia Dari Pusat 
Bumi?” usik Andika kedua, mengejek. 

Manusia Dari Pusat Bumi menggeram. Sebagai seorang 
setengah siluman, dia pun sulit membedakan, mana Pendekar 
Slebor yang sesungguhnya. 

“Baik! Kau akan kuberi kemudahan untuk menentukan, 
siapa di antara kami yang asli," kata Andika pertama. 

Seraya berkata, tangan Pendekar Slebor menarik rambut 
panjangnya ke depan. Lalu terkelupaslah topeng yang dikenakan. 
Ternyata, dia adalah Raja Penyamar! 

Jadi selama ini, Purwasih telah terpedaya oleh kehebatan 
menyamar Raja Penyamar. Juga keempat tokoh sesat yang 
ditipunya dengan topeng Gulili. Dengan begitu, Raja Penyamar 
memakai dua topeng sekaligus. 

Manakala melihat wajah orang di balik topeng, Rase Tua 
Kembar dan si Perut Gendang tak bisa lagi menyembunyikan 
ketakutan mereka. Raja Penyamar, bagi mereka adalah salah 
seorang sesepuh golongan putih yang telah lama menghilang. 
Sebelum mereka bisa menempati jajaran atas golongan sesat, Raja 
Penyamar sudah lama malang melintang membabati tokoh-tokoh 
atas golongan sesat. 

Bagi Rase Tua Kembar atau si Perut Gendang, hanya cari 
mati jika harus berhadapan dengan lelaki tua sesepuh golongan 
putih itu. Bisa selamat dalam pertarungan dengannya saja, sudah 
terlalu bagus. 

“Ada apa, Kutung? Kenapa kau tampak begitu bergetar?” 
tanya si buta pada saudara kembarnya. Dia belum mengetahui 
wajah di balik topeng pemuda tampan selama ini. 

“Kau tentu tahu seorang yang menjadi malaikat maut bagi 
tokoh golongan sesat saat kita masih hijau?” bisik si nenek kutung. 

“Ra.... Raja Penyamar?” desis si nenek buta ter- gagap. 

“Ya! Dialah orang yang menyamar menjadi Pendekar 
Slebor! Pantas saja waktau itu kita dapat mudah dikalahkan saat 
membantu si Perut Gendang mengadu kekuatan....” 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya si nenek 
buta, bimbang. 

“Kau pikir, kita harus menghadapinya?!” hardik si kutung 
tertahan. “Itu sama saja cari mampus. Lebih baik, kita cepat 
menyingkir!” 

“Tapi bagaimana dengan Sang Angkara?” 

“Peduli setan dengan dia. Kita pun belum tentu bisa mengandalkan 
kehebatannya, agar bisa selamat dari tangan Raja Penyamar! 
Bukankah kita belum tahu, apa dia lebih hebat daripada Raja 
Penyamar?!” 

“Jadi kita lari?” 

“Ayo, tunggu apa lagi?!" 

Dan tanpa ada perintah dari siapa pun, Rase Tua Kembar 
membuat langkah seribu. Tak dipedulikannya lagi Manusia Dari 
Pusat Bumi yang telah mengangkat mereka menjadi pengikut. 
Mereka lebih gentar pada nama besar Raja Penyamar. 

Melihat Rase Tua Kembar melarikan diri, si Perut Gendang 
kehilangan keberanian. Tak ada tiga tarikan napas, lelaki berperut 
boros itu pun ikut buron. 

Seperti juga Rase Tua Kembar, si Perut Gendang amat 
tahu kehebatan Raja Penyamar. 

“Kalian manusia bodoh!” maki Manusia Dari Pusat Bumi, 
amat geram. 

Tak dibiarkannya para pengikut berkhianat begitu saja. 
Baginya hal itu merupakan penghinaan teramat besar. Maka tanpa 
banyak tindak lain, tangan Manusia Dari Pusat Bumi terangkat tinggi- 
tinggi lebih cepat dari gerak lari para pengikut pengkhianatnya. 
Dalam sekejap, muncul cermin yang begitu diandalkannya. 

Slash! 

Seberkas cahaya merah bara berkelebat dan langsung 
menyelubungi Rase Tua Kembar dan si Perut Gendang. Kekuatan 
gaib yang terkandung di dalamnya membuat tokoh-tokoh sesat itu 
mematung seketika! 

“He he he! Sang Angkara tidak mau ditinggal para 
patihnya!” cemooh Andika. 

Pendekar Slebor baru tiba, setelah melaksanakan petuah 
Sang Pangeran jelmaan Walet beberapa hari belakangan. 

Semuanya memang telah diatur Andika. Raja Penyamar 
setuju, agar jasadnya disiram air mukjizat yang ditemukan Andika. 
Setelah itu, penyakit yang merusak jasad Raja Penyamar cepat 
menghilang. Raja Penyamar pun dapat kembali menempati raganya 
yang telah pulih. Dengan seizin Sang Penguasa Makhluk, lelaki tua 
itu bisa hidup kembali! 

Dengan hidupnya Raja Penyamar, Andika memintanya 
untuk menyamar agar bisa mengawasi setiap gerak-gerik Manusia 
Dari Pusat Bumi. Sementara itu, Andika mencoba menjalani semadi 
‘penyempurnaan kalbu’ sesuai petuah Sang Pangeran. 

Rencananya memang membawa hasil. Mereka bisa 
menggagalkan niat busuk Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak 
menjadikan Purwasih sandera! 

“Kau akan mampus di tanganku, Pendekar Slebor. Jangan 
kau harap aku akan lari setelah berhadapan denganmu. Meskipun, 
aku belum lagi tahu kelemahanmu!” ancam Manusia Dari Pusat 
Bumi. 

“Kau jujur rupanya. Mau-maunya mengaku belum 
mengetahui kelemahanku,” ledek Andika lagi. 

“Tak usah banyak mulut. Hiaaa!" 

Seiring satu teriakan tinggi membelah langit, Manusia Dari 
Pusat Bumi langsung melancarkan serangan membabi buta ke arah 
Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan yang dibekali dari alam 
kegelapan dikerahkannya saat itu juga. 

Deb! 

Tubuh Sang Angkara melayang dengan kaki lurus ke 
depan, mengancam leher Pendekar Slebor. Tapi, dengan satu gerak 
ke samping, Andika berhasil mengelitkan serangan. Satu tinju berisi 
kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan dilancarkan ke 
selangkangan Manusia dari Pusat Bumi. 

Dengan tubuh masih di udara, Sang Angkara memapak 
tinju Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangan. 

Tagh! 

Saat itulah, Andika merasakan sebagian kekuatannya 
terserap. Rupanya Sang Angkara telah memulai sebentuk ilmu hitam 
dari alam siluman. Ilmu yang mampu menyedot tenaga tempur 
lawan, yang mampu membuat lawan perlahan-lahan terisap habis 
tiap kali satu pukulan atau serangan bersentuhan dengan tubuhnya. 

Ilmu itu, pernah pula ditumpangi ke dalam goa garba 
Andika saat tak sadarkan diri. Lelaki Berbulu Hitam, Pendekar Dungu 
serta Purwasih yang berusaha menyadarkan Andika, menjadi 
tersedot tenaganya saat itu (Untuk lebih jelasnya, baca episode : 
“Pengadilan Perut Bumi”). 

Sebelum Andika sempat menyadari apa yang terjadi, 
Manusia Dari Pusat Bumi telah menyusul satu keprukan telapak 
tangan ke masing-masing telinga. 

Mau tak mau, Pendekar Slebor mengangkat tangan ke sisi 
telinga. 

Prak! 

Terjadi kembali benturan tangan. Dan itu justru yang 
diharapkan Manusia Dari Pusat Bumi. Dengan bertemunya tangan 
mereka kembali, tenaga Andika tersedot pula. Maka, keadaan itu 
jelas amat menguntungkan Manusia Dari Pusat Bumi. Di samping 
kekuatan lawan melemah, dia justru mendapat tambahan tenaga. 

Sadar Sang Angkara mengeluarkan ilmu hitam yang terus 
menyedot tenaga setiap kali pertumbukan bagian tubuh, Andika 
segera mengubah siasat tarungnya. Tubuhnya segera berputar ke 
belakang. Sekitar tujuh tombak dari tempat semula, putaran 
tubuhnya dihentikan. Lalu kakinya menjejak kukuh di muka bumi. 
Dan.... 

“Heaaa!” 

Serangkai gerakan ganjil dan tampak tak beraturan pun 
diperlihatkan Pendekar Slebor. Itulah kekhasan jurus-jurus yang 
tercipta di Lembah Kutukan selama menjalani penyempurnaan. 
Jurus yang lahir begitu saja karena tuntunan sambaran lidah petir! 
Siasat apa yang sesungguhnya akan dijalankan Pendekar 
Slebor untuk menghadapi ilmu sesat lawan? 

Disiapkannya jurus ‘Mengubak Hujanan Petir’. Sebuah 
jurus yang mengandalkan kecepatan gerak. Pada puncak jurus, 
kecepatannya bahkan membuat tubuh Pendekar Slebor sudah 
seperti bayangan yang berkelebat ngawur. 

Dengan jurus itu, Pendekar Slebor akan terus menghindari 
pertumbukan dengan tubuh lawan. Sementara itu mengadakan 
penyerangan, senjata pusaka yang berbentuk kain bercorak catur 
akan dipergunakan. 

Cletar! Wush! 

Pada saat Manusia Dari Pusat Bumi merangsek ganas, 
Pendekar Slebor pun meluncur dengan kecepatan warisan Pendekar 
Lembah Kutukan yang amat disegani di seantero dunia persilatan. 
Keduanya meluruk pesat dalam arah berlawanan. 

“Khiaaah!” 

Cletar! Srel! 

Bagai dua kelebat bayangan, kedua tubuh itu menyatu di 
satu titik. Sekejap dua bayangan itu tampak menyatu dalam pusaran 
angin puting beliung yang menerbangkan dedaunan, kerikil, bahkan 
batu- batu sebesar kepalan tangan. 

Lewat dari kejapan itu, sesosok bayangan tiba- tiba 
mencelat keluar berkawal erangan menggiris. 

“Wuaaa!" 

Siasat Pendekar Slebor membawa hasil. Tenaganya tak 
lagi dibiarkan tersedot. Sebaliknya, kain pusaka bercorak catur di 
tangannya telah pula membabat dada Manusia Dari Pusat Bumi, 
hingga terpaksa harus melompat jauh-jauh ke belakang. 

“Ini belum berarti kemenangan, Pendekar Slebor!” desis 
Manusia Dari Pusat Bumi dalam jarak delapan tombak dari tempat 
Andika. 

Usai berkata penuh tekanan, Sang Angkara mengangkat 
tangan kanannya tinggi-linggi. 

“Andika! Dia hendak mengeluarkan Cermin Alam Gaibnya!” 
seru Raja Penyamar, memperingati. 

Sesungguhnya, saat seperti itulah yang ditunggu- tunggu 
Pendekar Slebor. Dia tak akan bisa memusnahkan tugas 
membangun angkara murka yang diemban Manusia Dari Pusat 
Bumi, selama senjata andalannya masih utuh. Untuk itu, dia 
bertekad menghancurkannya! 

Benar saja peringatan Raja Penyamar. Dalam sekejap, 
tangan kanan Sang Angkara sudah menggenggam sebuah cermin 
bulat yang dikenal sebagai Cermin Alam Gaib. 

Kesempatan itu ditangkap mata jeli Andika. Jarakdelapan 
tombak, tergolong tak jauh dijangkau jika dikerahkannya seluruh 
kecepatan puncak warisan Pendekar Lembah Kutukan. Sebelum 
sempat menyadari, Manusia Dari Pusat Bumi tentu akan kehi¬ 
langan cerminnya. Begitu kira-kira pertimbangan Andika. Dan.... 
Wusss! 

Tanpa perlu berteriak yang dapat mengundang perhatian 
lawan, Pendekar Slebor menggenjot puncak kecepatannya. 
Tubuhnya melesat lebih cepat dari pada angin, menuju Manusia Dari 
Pusat Bumi. 

“Andika! Jangan!” seru Raja Penyamar untuk kedua 
kalinya. Peringatannya kali ini rupanya terlambat. Kecepatan 
Pendekar Slebor mungkin lebih cepat daripada kata-katanya sendiri. 
Lalu.... 

Blarrr! 

Sebentuk medan kekuatan berbentuk lingkaran api kontan 
menghadang usaha Pendekar Slebor merebut Cermin AJam Gaib. 
Dari cermin itu pula medan kekuatan lingkaran api bersumber. 

“Waaa!” 

Pendekar Slebor kali ini telah salah perhitungan. Begitu 
membentur medan kekuatan lawan, lesatan tubuh pemuda itu 
langsung berbalik arah. Teriakan menyayatnya tercipta, menyusul 
bunyi ledakan. 

Pendekar Slebor jatuh meninju bumi di dekat Raja 
Penyamar. 

“Andika! Kau salah langkah! Cermin itu tak bisa dikalahkan 
dengan nafsu! Apa kau lupa petuah...,’’ kata Raja Penyamar 
menasihati tanpa mendekat. 

“Petuah Sang Pangeran...," desis Pendekar Slebor, 
menyambung kalimat Raja Penyamar. Barulah pemuda itu tersadar, 
telah melakukan kesalahan. 

‘‘Kukira, setelah aku menjalani semadi, aku akan bisa 
langsung merebut cermin itu,” kata Andika. ‘Tapi, rupanya aku salah 
paham. Semadi itu justru untuk melatihbertahan menghadapi 
serangan Manusia Dari Pusat Bumi. Bukan melakukan serangan....” 

Dengan cepat Andika memperbaiki sikap tubuhnya. 
Pendekar Slebor bangkit dengan darah membanjiri pakaian, yang 
keluar dari mulut dan hidungnya. Dengan kaki agak terentang, kedua 
telapak tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam. 
Perlahan sinar wajahnya menjadi begitu teduh dan damai. 

Pendekar Slebor telah mencapai taraf ‘Menyucikan Kalbu’ 
dalam semadi singkatnya. Seluruh keinginan telah pupus. Indranya 
bahkan tak menangkap isyarat apa-apa, kecuali keheningan yang 
maha luas. Dirinya telah menyatu dengan alam. 

Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi yang begitu bernafsu 
menghabisi Pendekar Slebor, melepas sehimpun kekuatan hitam 
dari cerminnya. 

Siiing! 

Bunyi tinggi berdengung meluruk cepat menuju Andika. 
Ketika bunyi itu tiba di sasaran, terbentuklah sebuah lingkaran 
cahaya warna-warni menyilaukan. Mata Raja Penyamar dan 
Purwasih yang menyaksikan kejadian, tak kuat menahan silaunya 
cahaya itu. 

Dari serat-serat cahaya warna-warni itu, bermunculanlah 
tangan-tangan besar berbulu. Semuanya menghantami Andika dari 
berbagai penjuru. Sehingga memaksa tubuh tegap perkasa pemuda 
itu terhempas kian kemari. 

Pendekar Slebor sendiri seperti tak merasakan seluruh 
hantaman bertubi-tubi yang dahsyat itu. Tubuhnya masih tetap 
dalam keadaan semula, meski terseret ke mana-mana. Sementara 
wajahnya tetap membersitkan keteduhan dan kedamaian. 

Manakala hantaman ratusan tangan ganjil itu makin gencar 
merejam tubuh Pendekar Slebor, langit di atasnya tiba-tiba ditutup 
mega mendung yang pekat. Lalu.... 

Siat... glar! 

Lidah api menyilaukan mendadak menerabas lingkaran 
serat warna-warni melebur. Bunga api raksasa seketika membersit. 
Lidah api alam itu pun menghujam tubuh Andika. 

Mendadak tubuh Pendekar Slebor bergetar hebat, seperti 
tak kuasa menerima satu bentuk siksaan amat kejam. Sepasang 
tangannya yang semula menyatu, kini menghentak-hentak ke depan. 
Dan.... 

“Aaa...l” 

Blasss! 

Desis petir tersembul dari sepasang telapak tangan Pendekar 
Slebor, menyambar langsung ke arah Cermin Alam Gaib yang 
sedang teracung tinggi-tinggi di tangan Sang Angkara. 

Ctarrr! 

Bumi tiba-tiba hening. Awan gelap bergulung di atas Andika telah 
sirna. Ratusan tangan ganjil itu pun menghilang ditelan kelengangan. 
Delapan-sembilan tombak di depan Andika yang masih berdiri bisu, 
terdapat setumpuk abu hitam yang mengepulkan asap tipis. 
Kekuatan petir yang terserap tubuh Pendekar Slebor, telah 
memanggang tubuh Manusia Dari Pusat Bumi. 

Tapi tak ditemukan bekas-bekas sebuah cermin di sana. 
Lantas, ke mana cermin terkutuk itu sebenarnya? 

Di langit, seberkas cahaya merah darah mela- yang cepat 
bagai bintang jatuh. Sayup-sayup, masih terdengar suara menggema 
yang timbul tengg lam di langit bebas, mengancam Pendekar Slebor! 

Menyusul hancurnya Manusia Dari Pusat Bumi, Rase Tua 
Kembar serta si Perut Gendang kontan tertebas dari belenggu tanpa 
wujud. Mereka melanjutkan niat untuk melarikan diri. Bahkan kali ini 
jauh lebih terbirit-birit manakala mereka menyaksikan tu-ibuh 
pemimpin baru mereka tinggal berwujud setumpuk debu. 

SELESAI