Pendekar Slebor 14 - Bayang-Bayang Gaib


BAYANG-BAYANG GAIB 
oleh Pijar El 

Seorang gadis cantik jelita terlihat berjalan di sebuah 
dataran berumput kering. Pakaiannya merah, menantang 
hari yang sebenarnya sudah cukup panas. Rambutnya yang 
hitam, memantulkan cahaya lembut. Tergerai hingga 
sebatas pinggang. Jika angin bertiup kecil, anak rambutnya 
meliuk-liuk menggemaskan. Kalau melihat busur di 
punggungnya, bisa diduga kalau gadis itu seorang 
pendekar. Apalagi bila mengamati cara berjalannya yang 
cukup gagah, meski kegemulaiannya sebagai wanita tak 
hilang. Di bagian pinggang ramping gadis itu, terbelit 
seutas cemeti. Sehingga penampilannya terlihat begitu 
angker. 

Banyak tokoh dunia persilatan mengenal, siapa 
pemilik cemeti itu dulu. Memang, pemilik cemeti adalah 
seorang tokoh kelas atas kaum sesat. Begal Ireng! (Untuk 
mengetahui tentang tokoh ini, silakan baca episode: 
"Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara"). 

Lalu, siapakah gadis ini? Dialah anak satu-satunya. 

Sifatnya sangat bertolak belakang dengan ayahnya. Begal 
Ireng adalah manusia berdarah dingin yang cukup tega 
menghirup darah manusia lain. Sedang gadis ini adalah 
wanita yang memiliki kelembutan hati. Meskipun sifatnya 
judes dan ketus dalam berbicara (Untuk mengetahui lebih 
jelas tentang diri gadis ini, baca episode : "Pendekar 
Wanita Tanah Buangan"). 

Anggraini, namanya. Seorang gadis berilmu tinggi yang 
namanya mulai merambah dunia persilatan belakangan ini, 
dengan julukan Pendekar Wanita Tanah Buangan. 

Mata Anggraini tampak kehilangan cahaya. Akhir-akhir 
ini pikirannya memang sedang terganggu sesuatu masalah. 
Khususnya, tentang seorang pendekar muda sakti nan 
tampan berkepribadian menarik, yang membuat hatinya 
terpesona. Pendekar itu tak lain adalah.... Pendekar Slebor. 

Di samping itu, Anggraini menjadi banyak tahu, 
tentang pemuda yang telah mencuri sekeping hati dari 
dasar lubuk hatinya. Seolah gadis ini makin dekat dengan 
bayangan Pendekar Slebor. Malah makin tak berdaya 
diombang-ambingkan cinta. Namun, ada sebongkah 
dendam bagai karat yang sulit dihilangkan. Bagaimanapun 
juga, Pendekar Sleborlah yang telah membuatnya tak bisa 
berjumpa dengan ayahnya, Begal Ireng. 

Pertentangan dalam diri inilah yang membuat mata 
Anggraini tampak kehilangan cahaya selama ini. Gadis ini 
bagai disiksa dari dalam. Satu siksaan yang tak 
kunjungpadam. Disatu sisi dirinya terus menuntut untuk 
melaksanakan hasrat dendam. Sedang di sisi lain, dia kian 
dilenakan oleh bayangan jejaka sakti itu. 

"Berhenti kau! Aku ingin tanya padamu!" 

Segala kemelut batin Anggraini pupus seketika, begitu 
tiba-tiba dari arah belakang terdengar bentakan keras, 
kasar, dan tak sopan. Kepalanya cepat menoleh. Tampak 
seorang wanita telah berdiri angkuh tak begitu jauh di 
belaka ngnya. 

Untuk dikatakan tua, wanita itu tidak begitu pantas. 
Baik dari perawakan ataupun wajahnya. Dilihat dari 
usianya sebenarnya wanita ini masih muda. Cuma, 
penampilannya saja yang tak sesuai. Rambutnya dikonde 
kecil dengan amel perak, seperti kebanyakan perempuan 
tua. Begitu juga pakaiannya. Amat tak sedap dipandang 
mata. Karena, biasa dikenakan wanita berusia lanjut. 
Kebayanya berwarna muram dengan paduan kain wiron 
berwarna suram. Namun kalau menilik wajahnya, setiap 
lelaki pasti akan terpana tanpa kedip. Kematangan usia 
yang sekitar tiga puluhan, membawa kematangan pula 
pada wajahnya. 

"Siapa kau?!" tanya Anggraini setengah membentak. 
Dia tak suka pada orang yang tak bersikap ramah pada 
orang lain. 

"Ah! Pakai tanya siapa aku segala! Cepat kasih tahu, 
ke mana arah kotapraja?!" balas wanita berkebaya ini. 
Lagi-lagi suaranya tak sedap masuk ke telinga Anggraini. 

Diperlakukan demikian, terang saja Anggraini makin 
panas. Bukannya lebih dulu minta maaf karena telah 
lancang mengusik lamunannya, eee..., kini berani pula dia 
berbicara kasar! 

Tanpa ingin menanggapi pertanyaan wanita asing di 
belakangnya, Anggraini melanjutkan langkahnya. 

"Hey, apa kau tuli?!" hardik perempuan berkebaya ini 
berang, merasa diacuhkan Anggraini. 

Anggraini tetap saja melangkah acuh. Hardikan tadi 
tak dianggapnya sama sekali. 

Diperlakukan semacam itu, tak ayal lagi kegusaran 
wanita berkebaya ini bertambah dua kali lipat. Seraya 
mendengus, urat-urat lehernya mengejang. Dan.... 

"Berhenti kau!" 

Terdengar mengguntur teriakan wanita cantik 
berkebaya itu, saat terlepas dari kerongkongannya. Bumi 
bagai digebah gempa. Rerumputan kering berterbangan, 
seperti dibabat topan. Tak cuma itu. Batu-batu sebesar 
kepala manusia terangkat bersamaan ke udara. Beberapa 
saat seluruh batu itu melayang. Dan setelah kekuatan 
teriakan tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan 
kembali. 

Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan. 
Tapi kejadian ini sedikit pun tidak membuat nyali gadis 
berselempang busur di punggung ini menjadi tergetar. 

Tanpa menoleh, Anggraini melecehkan perbuatan 
wanita berkebaya tadi. 

"Permainanmu sudah cukup hebat. Tapi, belum benar- 
benar hebat kalau hanya batu-batu itu yang dibuat 
melayang di udara...." 

Selesai berkata, sebelah kaki dara cantik berpa-kaian 
merah itu menghentak keras ke bumi. 

Dukh! 

Seketika, batu-batu sebesar kepala manusia yang 
telah berjatuhan, kini terangkat kembali. Bahkan lebih 
tinggi dari semula dan lebih lama melayang di udara. Itu 
pun masih tambah gerakan berputar setiap batu, sehingga 
terlihat seperti puluhan gasing ajaib. 

Sebelum batu-batu itu berjatuhan, sebelah kaki 
Anggraini yang lain cepat dihentakkan lagi ke bumi. 

Dukh! 

Tak ada sekedi p mata berselang dari suara hantaman 
kaki Anggraini ke bumi, tubuh wanita berkebaya turut 
terangkat ke udara, menyusul bebatuan yang masih 
berputar tak karuan. 

"Genderuwo perempuan keparat!" maki wanita 
berkebaya ini. Sementara tubuhnya masih terapung. 
"Jangan kau pikir aku kagum dengan permainan tengikmu 
ini!" 

Selesai melepaskan makian, tangan wanita 
be-,kebaya ini bertepuk. 

Plok! 

Pada tepukan pertama, seluruh batu mendadak 
berhenti berputar. Semuanya diam di udara, tak beda 
barisan area tanpa bentuk. 

Plok! 

Tepukan kedua terdengar, kini, tubuh wanita 
berkebaya perlahan turun ke permukaan bumi dalam gerak 
berkesan wibawa. 

Dua jengkal lagi, kaki wanita berkebaya ini akan 
menyentuh tanah. Namun tiba-tiba, kaki Anggraini untuk 
yang kesekian kali dihentakkan lagi ke tanah. 

Dugkh! Wesh! 

Begitu bunyi hentakan kaki terdengar, tubuh wanita 
berkebaya itu mencelat kembali ke atas. Bahkan lebih 
deras dan lebih cepat. 

"Genderuwo perempuan siaaal!" maki wanita 
berkebaya dengan geram. Seluruh wajah cantiknya saat itu 
juga menjadi merah matang. Malah, lebih matang dari 
panggangan kambing guling! Bibirnya yang berlekuk 
menantang, berkelok-kelok kian kemari. Agaknya dia 
berusaha menahan kejengkelannya pada Anggraini. 

Mata berbulu hitam dan lebat milik wanita berkebaya 
itu terbelalak, tepat ketika tangannya bertepuk yang sarat 
kegeraman memuncak. 

"Hih!" 

Tampaknya, wanita berkebaya ini tak sudi lagi 
setengah-setengah dalam adu kesaktian. Seketika tiga 
tepukan sekaligus dibuatnya. 

Plok! Plok! Plok! 

Berturut-turut bebatuan sebesar kepala yang terpaku 
di udara, menjadi hancur seperti diledakkan suatu 
kekuatan dari dalam. Butiran-butirannya berhamburan ke 
segenap penjuru. Begitu halus, sampai-sampai desah 
angin lembut pun dapat melibasnya. 

Dan saat itu pula tubuh wanita berkebaya ini me¬ 
luncur turun dengan deras, menentang kekuatan Anggraini 
yang tetap mencoba mengungkitnya dari bawah. 

Dua tombak bisa dilalui. Selanjutnya, luncuran tubuh 
sintal wanita berkebaya itu tersendat. 

Anggraini tampaknya tak mau mengalah begitu saja. 
Tanpa kentara, tenaga dalamnya yang disalurkan ke bumi 
melalui kaki ditambahkan. 

Kalau Anggraini tak mau kalah, wanita berkebaya itu 
pun semakin kalap. Maka tekanan tenaga dalamnya 
ditambah pula. Akibatnya, pengerahan yang mulai 
berlebihan membuat wajahnya makin berkerut. 

"Ekh.... Ekh.... Ekh...." 

Wanita berkebaya ini terpejam-pejam, menekan 
tenaga dalamnya agar bisa tiba kembali di tanah. Dahinya 
sudah dibanjiri butiran peluh. Rona wajahnya pun lebih 
matang dari semula. Bahkan mulai tampak membiru. 

Kasihan dia. Sepertinya, wanita itu lebih tersiksa 
daripada orang yang sulit buang air besar! "Ekh... ekh... 
ngekh...." 

Di tengah seru-serunya wanita berkebaya itu mejan di 
udara tanpa peduli lagi pada sekitarnya, tiba-tiba saja 
tenaga dorongan dari bawah lenyap bagai ditelan dedemit 
rakus. 

Wajah wanita berkebaya ini terkesiap. Matanya 
terbuka lebar-lebar. Sayang, kebodohannya terlambat 
disadari.... Gedubrak! 

Anggraini rupanya telah meninggalkan begitu saja 
wanita itu tanpa pamit lagi...." 




Panas mentari siang ini memanggang bulat-bulat 
kotapraja Kerajaan Alengka. Debu jalan amat ringan. 
Tatkala angin bertiup menyapu jalan, debu menjengkelkan 
itu berterbangan. Biar pun suasana dikatakan tak nyaman, 
kotapraja tetap ramai. 

Kotapraja ibarat 'lumbung gula yang mengandung 
semut'. Tempat yang memiliki daya pikat berkumpulnya 
banyak manusia. Bagi hampir setiap orang di tempat ini, 
kotapraja adalah pusat kegiatan mencari penghidupan. 
Berdenyut terus dengan ber-bagai usaha memburu nafsu 
para penghuninya. Seorang pemuda berpakaian hijau 
pupus tiba di sana. Rambutnya sepanjang bahu tak teratur. 
Wajahnya tampan menawan. Alisnya melengkung tajam 
bagai kepak sayap elang. Di bawah alis, terpancar kesan 
tegar perkasa dari sorot matanya yang tajam. Begitu juga 
garis rahangnya. Sementara di bahunya tersampir kain 
bercorak catur. 

Pemuda itu memasuki pusat kotapraja dengan 
lenggangan santai. Matanya terlempar kian kemari, 
menikmati segala denyut kehidupan kotapraja. Sesekali 
bibir tipisnya mengembang. Namun sedang enak-enaknya 
mengagumi pemandangan disana, tiba-tiba.... 

"Cooopeeettt...!" 

Tak jauh di depan jalan tempat si pemuda berdiri, 
terdengar teriakan keras yang menyeruak di antara 
kebisingan lain. Menyusul dua orang berlari seperti dikejar 
setan, menyeruak keramaian tanpa peduli. 

Orang yang mengejar, adalah lelaki setengah baya 
berpakaian perlente. Dilihat dari bahan bajunya yang 
terbuat dari sutera halus, serta kancing-kancing emas 
berukir menandakan bahwa dia termasuk orang kaya. 
Namun, wajahnya demikian berang tak tertolong. Sambil 
mengejar, tangannya berusaha menggapai orang yang 
sedang diburunya. 

Sedangkan yang dikejar, adalah bocah berusia sekitar 
dua belas tahun. Pakaiannya lusuh dan rombeng. 
Tubuhnya kurus, pertanda kehidupannya dalam 
keprihatinan yang berlebihan. Rambutnya pun kelihatan 
tak terawat. Kemerahan dan panjang. Juga kotor, karena 
jarang dicuci. Di tangan bocah itu tergenggam erat 
sekantung uang milik lelaki perlente yang mungkin telah 
dicuri nya. 

"Copeeeth! Copeeeth...! Tangkap bocah itu! Hoi, Anak 
Dedemit! Berhenti kau...!" 

Kejar-kejaran makin dekat ke arah pemuda ber-baju 
hijau pupus yang masih saja berjalan santai dengan arah 
berlawanan. 

Selain kedua orang yang sedang berkejaran tadi, 
tentu banyak orang lain di sana. Tapi, tak ada satu pun 
yang peduli pada kejadian itu. Sebagian besar sibuk 
dengan urusan masing-masing. Bagi mereka, urusan perut 
sendiri lebih diutamakan meskipun ada yang teraniaya 
sampai kehilangan nyawa. 

Sebagian dari warga kotapraja memang tahu, 
keadilan di kotapraja tidak bisa diharapkan. Untuk me¬ 
nyambung hidup sehari-hari, seorang bocah lemah 
mungkin harus berebut bungkusan nasi bekas dengan 
seekor anjing di tempat sampah. Jadi kalau suatu saat 
ketidak adilan harus menerima ganjarannya, bukanlah hal 
aneh. Maka tak heran, banyak bocah disalahkan, karena 
hanya butuh makan untuk hari ini. Tapi, yang sering 
diterima hanyalah caci maki dari para hartawan kotapraja. 
Rupanya, para hartawan lebih suka memberi makan anjing 
peliharaan, daripada.... 

Pada saatnya, si bocah pencopet dengan wajah 
ketakutan tiba tepat di depan pemuda ganteng berpakaian 
hijau pupus tadi. Dengan sigap, pemuda ini menahan laju 
tubuh kurusnya dengan tangan. 

"Kenapa terburu-buru, Adik kecil?" tanya pemuda 
berbaju hijau pupus ini, pura-pura tak tahu. 

"Lepaskan aku, Bang! Lelaki lintah darat itu akan 
menginjak-injakku kalau sampai tertangkap!" teriak si 
bocah ketakutan. Kepalanya menoleh ke belakang, 
mewaspadai lelaki yang memburunya. 

"Kena kau!" sergah lelaki setengah baya berpakaian 
perlente, ketika tiba di dekat pemuda berbaju hijau pupus. 
Tangan kirinya cepat meraih belakang baju anak kurus itu. 
Tanpa peduli pada siapa pun. tangannya yang lain 
terangkat tinggi-tinggi. "Biar mampus kau!" 

Laki-laki perlente ini hendak mengirim bogem mentah 
ke arah bocah pencopet. 

Tindakan itu membuat bocah pencopet ini merengket 
dalam rangkulan pemuda berpakaian hijau pupus. 
Matanya dipejamkan rapat-rapat, pasrah. 

"Ampun...!" 

Sekejap lagi tangan kasar lelaki setengah baya itu 
tentu akan telak menimpa sasarannya. Namun.... Tap! 

Sebuah tangan menghadang tindakan laki-laki 
perlente. Memang, pemuda berbaju hijau pupus itu yang 
melakukannya. Gerakannya sungguh menga-gumkan. 
Begitu cepat, sehingga nyaris tak terlihat. Sementara, 
tangan yang lain membuat bocah pencopet kini telah 
berada di belakang si pemuda. 

"Kenapa kau bengis sekali terhadap bocah lemah?" 
tanya pemuda tampan ini dengan tatapan dingin. 

Karena tangannya ditahan secara begitu 
menakjubkan, lelaki setengah baya berpakaian perlente 
agak tergetar hatinya. Apalagi ketika matanya ber¬ 
tumbukan dengan tatapan dingin pemuda bermata 
setajam sembilu itu. 

"Sss... siapa..., siapa kau?" tanya lelaki setengah baya 
gelagapan, tergebah pengaruh mata pemuda ini. 

"Aku hanya seorang pengembara," jawab pemuda itu 
singkat dan datar. "Sekarang, jelaskan padaku. Mengapa 
kau hendak menghajar anak kecil ini?" 

"Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku, 
Tuan Muda. Lepaskan tanganku. Biar kuhabisi anak tak 
berguna ini," pinta lelaki setengah baya, memelas. 

Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah 
pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki- 
laki perlente. Matanya terus saja menyelidik, bagai hendak 
menerobos langsung ke dalam jantung lelaki yang masih 
dicekal nya. 

Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si 
lelaki setengah baya. Mungkin benar, bahwa bocah kecil ini 
sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa hidup 
dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja 
bocah kecil ini dituding sebagai anak tak berguna. Padahal, 
dirinya sendiri bukan saja tak berguna. Lebih dari itu, 
malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain! 

Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke 
arah bocah pencopet di belakang tubuhnya. 

"Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini, 
Adik Kecil?" tanya pemuda ini setenang telaga. 

"Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya 
memerah uang rakyat! Bunga dari hutang yang diberikan 
pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher!" tukas si 
bocah, lugu dan jujur. 

"Tutup bacotmu!" hardik lelaki perlente dengan mata 
membesar penuh. Tangannya telah dilepas oleh si 
pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar 
lagi. 

"Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya 
baru saja mengalami kesusahan. Anaknya meninggal. 
Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang 
busuk ini malah merampas uang keperluan pemakaman!"" 

Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua 
kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini 
diutarakan si bocah. 

"Tutup bacotmu! Tutup bacoootmu!" hardik si lelaki 
perlente makin kalap. Namun, dia tak berani bertindak 
lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda. 

"Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan!" perintah si 
pemuda tanpa mau banyak urusan lagi. "Tapi, Bang...." 

"Jangan pakai tapi-tapian segala! Apa susahnya 
mengembalikan kantong uang orang ini?" desak si 
pemuda. 

Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk, 
bocah pencopet ini mau juga mengeluarkan kantong uang 
hasil jarahan dari balik baju rombeng-nya. 

"Nih. makan biar perutmu menggelembung!" umpat 
bocah itu seraya melempar kasar kantong uang tadi ke 
tanah. 

Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk 
tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih 
penasaran karena belum menghajar. Dan baru saja dia 
hendak maju, pemuda berbaju hijau pupus itu 
mengangsurkan badannya. 

"Heee... he... he! Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da!" 
celoteh laki-laki perlente ini memuakkan. 

Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki 
perlente itu melewati si pemuda dan bocah pencopet tanpa 
permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong uang 
hasil perasan dengan hati puas. 

"Abang keterlaluan!" bentak si bocah pada pemuda di 
dekatnya, sepeninggalan lelaki perlente tadi. 

"Keterlaluan bagaimana?" tanya si pemuda, acuh tak 
acuh. 

Pemuda itu lantas melangkah perlahan. Sementara si 
bocah pencopet mengikutinya di belakang. Terkadang dia 
pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan. 
Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda 
yang sebenarnya telah menolongnya. 

"Jangan Abang pikir sudah menolong! Aku sungguh 
tidak merasa baru ditolong. Biar mampus, aku tidak akan 
berterima kasih!" cecar si bocah bersungut-sungut. 
Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang 
diikutinya. 

"Hush! Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja!" 
sergah si pemuda. 

"Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa! Pokoknya 
aku tidak terima perlakuanmu! Apa Abang tahu, keluarga 
yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi 
dalam waktu yang begitu mendesak! Eee, Abang tega- 
teganya menyuruhku mengembalikan uang itu! Huh.... 
Huh!" dengus si bocah, kesal. 

"Sudah, tidak usah merajuk seperti itu," ujar si 
pemuda tenang. Lalu dikeluarkannya segenggam uang 
perak dari balik pakaian. "Ini ambil! Pakai untuk keperluan 
anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu!" 

Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang 
bising terhenti seketika. 

"Ayo, ambil! Kenapa diam?" kata si pemuda, mencoba 
meyakinkan bocah itu kalau benar-benar hendak 
memberikan uang di tangannya. "Ayo, buka tanganmu!" 

Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga. 
Lantas pemuda berambut gondrong itu menuang 
segenggam uang perak ke tangan kurusnya. 

"Terima kasih, Bang.... Kukira, Abang juga berhati 
busuk seperti lelaki tadi." tutur si bocah, malu-malu. 

"Tidak usah berterima kasih padaku...," kata pemuda 
ini. 

"Pada Tuhan?" selak bocah pencopet. 

Si pemuda mengangguk. 

"Lagi pula, itu bukan uangku, kok!" tambahnya. 

Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung. 

"Aku tak mengerti maksud Abang? Uang ini jelas-jelas 
dikeluarkan dari pakaian Abang. Tapi, kenapa dibilang ini 
bukan uang Abang?" tanya bocah tanggung itu sambil 
mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka. 

"Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari 
balik bajumu. Dari kantong uang itu, kukeluarkan semua 
isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu, sebelum 
kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya...." 

Si bocah terbengong dengan mulut melompong. 

Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan 
kembali dengan langkah tetap santai. 

"Bang!" panggil si bocah dari belakang. "Kenapa 
Abang menyuruhku mengembalikan kantong uang itu 
tadi?" 

"Ada salahnya? Bukankah pemiliknya tadi hanya 
meminta kantong uang?" sahut si pemuda tampan 
menoleh. 

"Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?" tanya si bocah, 
penasaran. 

Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya me¬ 
nunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang ke¬ 
betulan hendak dijual di sisi jalan. 

Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai 
air matanya keluar. 


k k k 


Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi, 
sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di 
kotapraja, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan 
Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam sebesar 
uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir. 

Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel. 
Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun 
begitu. Meski begitu, paras Tompel bisa dibilang menarik. 
Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas 
matanya hitam, tumbuh rata dan teratur. Hidungnya bangir 
dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati keturunan priyayi 
dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan 
mengenaskan. 

Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja diba¬ 
yang-bayangi wajah pemuda yang menolongnya. Jauh di 
dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan 
masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah 
dikenalnya. 

Siapa dia, ya? Begitu yang terus terpikir dalam benak 
Tompel. Terkadang pikiran itu digumamkan keluar. Setiap 
kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan masa silam 
mengambang dalam ingatannya. 

Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali 
seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak 
dari duduk bertopang dagu. 

"Aku ingat! Sekarang aku ingat! Dia itu kan. Bang 
Andika, yang dulu menjadi pencopet ulung di sini!" seru 
Tompel seperti kesetanan. Sambil berseru, tubuhnya 
melompat-lompat tak karuan. 

Bagaimana bocah itu tidak gembira? Pemuda yang 
menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama- 
sama menjadi gelandangan kotapraja. Waktu itu, Tompel 
masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang kini 
tersohor dengan juluk-an Pendekar Slebor, berusia empat 
belas tahun. 

Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel 
berlari riang menuju pusat kotapraja. Hendak dicarinya 
pemuda yang telah menolongnya. Tompel yakin, 
ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak 
angkatnya yang pernah bersama-sama mengarungi hidup 
di kotapraja beberapa tahun yang lalu. 

Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai 
bertanya pada setiap orang yang dijumpai. 

"Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan 
kain bercorak catur tersampir di bahu?" tanya bocah 
tanggung itu pada beberapa orang. 

Kembali bocah itu mencari-cari. 

"Pak.... Mak.... Euceu.... Abah.... Mas.... Lihat anak 
muda yang memakai pakaian hijau muda dengan kain 
catur di bahu?" tanya Tompel pula pada beberapa orang 
lain. 

Namun, tak ada satu orang pun tahu. Kebanyakan 
dari mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala. 
Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan 
seorang anak kecil gelandangan? Meski begitu, ada juga 
yang mau menjawabnya sungguh-sungguh. Biasanya, 
mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi 
sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel 
berjumpa orang asing yang tak dikenal. 

"Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang, 
mengenakan pakaian hijau dan bersampir kain catur di 
bahu?" tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba 
putih. Dari penampilannya, terlihat kalau pemuda itu 
seorang pertapa. 

Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun 
memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel. 

"Rasanya tidak, Adik Kecil," kata pemuda itu 
berbareng gelengan kepala yang perlahan. 

Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya. 
Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun 
dapat keterangan yang berarti. 

Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan 
di wajah. Hingga dia lupa mengucapkan terima kasih pada 
pemuda berkepala gundul itu. 

"Hei, Adik Kecil!" tahan si pemuda gundul. "Kenapa 
kau jadi begitu tergesa-gesa?" 

Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara 
pemuda pertapa ini menghampiri. 

"Rasanya, aku pernah kenal denganmu...," lanjut si 
pemuda pertapa. Sebentar saja mengingat-ingat. "Gusti...! 
Bukankah kau Tompel?!" 

Siapa pula Abang muda ini? Tompel terheran-heran. 
Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah 
pemuda di depannya, timbul bayangan masa lalu yang lain, 
seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian hijau- 
hijau. 

"Bang Suta? Kau..., Bang Sutawijaya?" tanya Tompel 
ragu. 

Tya, ini aku. Apa kau pangling? Aku juga pangling 
padamu," balas pemuda yang dipanggil Sutawijaya. 
Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di 
bawah kelopaknya. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel 
yang lama tak berjumpa berpelukan. Tak dipedulikan lagi 
keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian puluh mata 
sedang menatap keduanya. 

Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah 
bersama-sama sebagai gelandangan di kotapraja. Seperti 
Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang 
oleh Tompel. 

Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama. 
Dan Sutawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski 
begitu, Andika ternyata sanggup bersikap sebagai 
pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar 
biasa daripada yang lain. Dia juga memiliki sikap tegas, 
sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam menghadapi 
kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula 
yang mula-mula mengusulkan membagikan hasil jarahan 
kepada orang-orang yang hidupnya kembang-kempis di 
bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat. 

Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang 
kaya yang culas semata-mata adalah amanat yang harus 
disampaikan kembali kepada pemiliknya. Dengan sedikit 
kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu 
berusia delapan tahun, menjuluki Andika "Sang Penyampai 
Amanat'. 

Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah 
itu pun menjadi tiga dedemit kecil yang paling ditakuti para 
hartawan culas berkantong tebal. 

"Bang! Mimpi apa, ya aku semalam...," kata Tompel, 
memulai kembali. 

"Memang kenapa?' tanya Sutawijaya, seraya 
mengajak Tompel berjalan beriringan. 

"Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira 
Abang sudah jadi makanan cacing...," kata Tompel, 
berseloroh. 

"Hush!" 

"Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar 
culas yang menjadi mangsa kita dulu! Habis, Abang 
menghilang begitu saja tanpa kabar berita...," tutur Tompel, 
bebas lepas. 

Sutawijaya tertawa renyah. 

"Tunggu, Bang!" sergah Tompel tiba-tiba. "Kenapa aku 
jadi lupa sama Bang Andika...?" 

"Apa kau bilang?" tanya Sutawijaya, begitu mendengar 
ucapan si bocah tanggung. 

Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya. 
Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan 
suatu yang menggembirakan. 

"Apa Abang tahu...?" tanya si bocah tanggung, 
memulai. 

"Apa?" timpal Sutawijaya. 

"Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga!" 

"Sungguh?" tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar. 

"Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam...." 

"Di mana dia sekarang, Pel?" tanya Sutawijaya, 
bergegas. Rasanya Sutawijaya ingin secepatnya bertemu 
kawan lama yang begitu lama dirindukan. 

"Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari- 
cari. Susahnya sungguh mampus! Setiap orang yang 
kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika 
seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang.... 
Posss!" 

Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa 
menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak 
sampai memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur. 
Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa 
yang semua tindak-tanduknya memiliki aturan dan tata- 
krama sendiri. 

"Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?" 
tanya Tompel. 

"Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan 
lama kita itu. Kalau Tuhan menghendaki, menjelang senja 
nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku berniat 
mengajakmu makan di kedai...," kata Sutawijaya. 

"Hanya berniat?" gurau Tompel. 

"Segalanya, kan harus diawali niat." 

"Makannya?" 

"Ya! Tahun kodok nanti," kelakar Sutawijaya. masih 
bisa bergurau meski sudah menjalani hidup sebagai orang 
suci. 

Keduanya pun kembali berjalan beriringan akrab. 




Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah 
barat. Sinarnya menguning matang, bagai terpanggang 
panasnya sendiri. 

Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai 
makan murah. Tompel mengusap-usap perutnya yang agak 
membuncit karena disesaki makanan. Selama di kedai 
tadi, anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh 
dilahapnya tanpa kesulitan. Belum lagi lauk-pauk dan dua 
buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di 
pintu keluar kedai, Tompel terus saja berdahak 
berkepanjangan. 

"Kalau sering-sering begini, bisa 'bengkak' aku, Bang," 
ujar Tompel dengan mata terkatup-katup. Karena 
kekenyangan, matanya jadi mengantuk. "Ngomong- 
ngomong, Abang dapat uang dari mana? Apa masih 
menjarah kantong-kantong orang-orang kaya yang 
brengsek?" 

Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak 
kerbau. 

"Jangan bicara sembarangan," tukas Sutawijaya. 
"Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum 
tahu ya, kalau kini aku berdagang kain. Berkeliling dari satu 
kota ke kota lain. Sambil berjualan, aku banyak 
mempelajari sifat-sifat manusia...." 

"Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?" 

Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir 
jalan yang tak begitu jauh dari kedai. 

"Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk se¬ 
mentara, barang daganganku kutaruh di sana...," papar 
Sutawijaya. 

"Ooo...," mulut Tompel pun membulat. 

"Aku bukan seperti dulu lagi. Pel," kata Sutawijaya 
tanpa ditanya. "Aku berusaha untuk menjauhi kekotoran 
dunia...." 

"Tapi tujuan kita mencopet kan, untuk menegakkan 
keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain. 
Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah 
orang-orang yang berkuasa mengisap darah rakyat. Bisa- 
bisa, malah kehilangan kepala...." 

"Ya! Aku tidak bisa menyalahkan ataupun mem¬ 
benarkan. Kebenaran bagi setiap orang bisa berbeda. 
Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam. 
Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik, 
bukan?" kata Sutawijaya, mengungkap pendapatnya. 

Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya 
pendapat. 

"Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang 
Andika?" tanya Tompel. 

Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan 
bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya, 
keduanya telah diusik kerumunan orang di alun-alun. 
Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan 
menjadi kian membengkak. 

Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman 
serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali 
terdengar gemuruh sorak yang ramai. Jelas, hal itu 
memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel. 

Sutawijaya segera mengajak Tompel untuk 
melihatnya. 

"Ada apa ya. Bang?" tanya bocah kota praja itu. saat 
mereka berjalan tergesa menuju alun-alun. 

"Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bertanya be-,gitu 
padamu. Kau kan selama ini tinggal di sini...," sa-hut 
Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki lebar- 
lebar. 

Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat 
kerumunan. Alun-alun makin dipadati orang-orang yang 
ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan sudah hampir 
sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan. 

Tepat di tengah-tengah kerumunan, terbentuk 
semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah 
berusia lebih tua dua tahun di atas Tompel sedang 
memainkan satu pertunjukan. Semacam pagelaran 
hiburan rakyat sederhana. Biarpun sederhana, daya pikat 
permainan si bocah benar-benar bisa membuat penonton 
terperangah kagum. 

Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada 
istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang- 
camping dan dekil. Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya 
menggemaskan, dengan mata bulat seperti pipi tembem. 
Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat 
pinggangnya terselip sebuah suling bam-bu. 

Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu 
melepas suling bambu dari ikatan pinggangnya. 

"Para penonton yang kuhormati...." kata bocah itu 
lantang seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku akan 
menghibur kalian semua dengan satu permainan lagi." 

Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka. 

"Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib. 
Bukan pula suling pengamen! Namun, benda tak berguna 
ini memiliki keistimewaan. Jika dimainkan." 

Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan. 
Satu persatu penonton yang berada paling depan 
diperlihatkan seruling di tangannya. 

"Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik! 
Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa?!" 
sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari 
sebelumnya. 

Semua penonton di pinggir arena puas melihat 
keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu 
memang tidak terdapat apa-apa di dalamnya. Karena itu, 
mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si 
bocah. 

Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena. 
"Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat 
pertunjukan terakhir ini?!" tanya si bocah mencoba 
memancing semangat penonton. 

Penonton terpancing, gemuruh pun tercipta. 
"Siaaap...!" sambut sebagian besar dari mereka. 

"Baik," mulai si bocah lagi. "Kini perhatikan baik- 
baik...." 

Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua 
itu pun memulai permainannya. Lambat tapi pasti, seruling 
ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan 
irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa 
pun pendengarnya. 

Sampai sebegitu jauh, belum tercipta hal-hal 
mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para 
hadirin mulai tak sabar menanti. Mereka memang cukup 
terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang dijanjikan si 
bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka 
menuntut janji tadi. 

"Tong...! Mana yang kau katakan kalau seruling itu 
bisa mengeluarkan sesuatu yang mengherankan?! Jeee...! 
Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa!" tuntut salah seorang 
penonton. 

Tya! Mana?!" timpal yang lain. "Iya, mana! Eh! Mana 
apanya, ya?" tanya seseorang yang baru saja datang 
tergopoh-gopoh. 

"Mana... mana! Mana jidatmu! Kalau tak tahu, jangan 
ngomong!" 

"Wong aku punya mulut sendiri, kok!" "Kalau begitu, 
ngomong sana sama bedug!" Meski banyak yang berteriak- 
teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap tenang 
memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling. 
Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling. 

Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan 
tadi hanya dianggap pepesan kosong oleh si bocah. 
Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton 
mengambil sandal dari kakinya. Biarpun pertunjukannya 
belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak 
memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran. 
Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan 
akibatnya. Wuk! 

Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan 
bau pun melayang ke udara. Sasarannya, tepat kepala si 
bocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan. 

Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung 
seruling muncul bergumpal-gumpal asap jingga de-,ngan 
cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah 
seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah 
menelan sandal kayu. 

Pias! 

Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal 
tadi mestinya menimpa kepala si bocah. Setelah melewati 
gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu, ternyata sandal itu 
tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap 
jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap 
tak terlihat lagi. 

"E-eh! Kok, gitu ya ...?' 1 seru beberapa orang. 

"Iya, ya.... Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi, 
gimana nanti aku mengatakannya pada istriku? Sandal itu 
kan warisan mbah-nya..." gumam si pelempar sandal. Baru 
menyesal dia sekarang! 

Plok, plok, plok.J 

Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah 
terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah 
mengeluarkan topi pandan yang dikira untuk meminta 
saweran, hampir sebagian besar bubar. 

"Lho..., lho? Jangan bubar dulu!" cegah si bocah. "Aku 
tidak mau minta saweran." 

Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para 
penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala, 
anak itu memanggul buntalannya. 

"Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai 
bayaran dari hiburan yang kupersembahkan barusan...," 
kata bocah itu lagi. 

"Tak perlu!" sergah seseorang tiba-tiba dari 
kerumunan. 

Tak lama, muncul seorang pemuda berpakaian hijau 
muda ke tengah arena. Bibirnya mengembang-kan senyum 
menyapa. 

"Bang Andika.... Apa kabar?!" sambut si bocah. 

Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia 
persilatan dikenal sebagai Pendekar Slebor. 
Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan. 

Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya 
dua sahabat yang lama tak jumpa. Padahal, usia mereka 
terpaut cukup jauh. 

"Apa kabar juga, 'Pangeran' Walet," balas Andika 
dengan sebuah embel-embel baru yang disepuhkan di 
depan nama bocah itu. 

Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang 
memiliki kehebatan batin. Dengan kehebatannya, banyak 
orang menjulukinya Bocah Ajaib (Untuk mengetahui 
tentang Walet lebih jelas, baca episode: "Mustika Putri 
Terkutuk" dan "Cermin Alam Gaib"). 

Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak 
dipedulikan lagi penonton yang menggerutu. 

"Kau harus hati-hati, Kang Andika...," papar Walet. 
"Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau 
akan berhadapan kembali dengan salah satu musuh 
lamamu yang paling berat." 

"Bayangan? Bayangan apa maksudmu?" tanya Andika 
heran. 

"Seperti mimpi yang kualami, saat aku dalam ke¬ 
adaan sadar...." 

"Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi 
sewaktu seseorang tak sadar. Maksudku, saat seseorang 
sedang tertidur...." 

"Kakang tak perlu paham, bagaimana aku men¬ 
dapatkan 'bayangan' itu. Yang mesti diperhatikan adalah, 
isi 'bayangan' itu...,"tukas Walet. 

"Apa itu?" 

"Dalam 'bayangan' itu, aku melihat satu cahaya amat 
menyilaukan menembus langit malam kelam. Cahaya itu 
jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini...." 

"Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu? Apa mungkin 
itu hanya benda angkasa yang masuk ke bumi?" tanya 
Andika. 

Walet menggeleng mantap. 

"Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah 
benda langit biasa. Ada satu kekuatan gaib luar biasa yang 
dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit menembus 
ke dalam cahaya itu," papar Walet dengan mata menyipit. 

Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet. 

"Ada hal lain yang kulihat dalam 'bayangan'ku," Walet 
mulai lagi. 

Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekat-nya 
menunggu. 

"Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah- 
merah ditelan cahaya menyilaukan itu, di suatu tempat 
yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan saat itu, 
purnama membulat penuh," lanjut Walet. 

Sementara, para penonton satu persatu kembali pada 
urusan masing-masing. Malam sudah sempurna. Lampu- 
lampu minyak di pinggiran jalan kota praja sudah menyala. 
Para pedagang malam pun sudah siap dengan 
dagangannya di beberapa tempat. 

Dua orang masih tersisa. Mereka adalah Sutawi-,jaya 
dan Tompel. 

"Bukankah itu Bang Andika, Kang?" ungkap Tompel 
berbisik pada Sutawijaya di sampingnya. 

Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel. 
Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan 
sosok Andika. Rasanya memang sulit dipercaya kalau bisa 
bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti saudara 
kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kota praja 
dulu. 

"Andika...!"sapa Sutawijaya. 

Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat 
itu juga bocah penjelmaan seorang pangeran yang mati 
ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada Pendekar 
Slebor. 

"Kenapa kau terburu-buru, Walet?" tanya Pendekar 
Slebor. 

"Masih banyak yang harus kulakukan, Kang! Selamat 
tinggal...." 

Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet 
melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel 
sudah tiba di depan Pendekar Slebor. 




"Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika?!" kata 
Sutawijaya dengan mata membesar. 

Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil 
Tompel sedang duduk berleha-leha di kedai pinggir jalan 
kotapraja. 

"Ini benar-benar menggelikan," ungkap Sutawijaya 
lagi. "Sudah begitu lama aku mendengar kabar tentang 
Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke 
mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang 
sudah kukenal sejak masih ingusan! Bagaimana tidak 
lucu?!" 

Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gebu. 

"Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta," sergah 
Andika malu hati. Diseruputinya teh kental pahit khas 
kotapraja. 

"Kang Andika tidak berubah dari dulu," tukas Tompel 
ambil bagian. "Biarpun urakannya setengah modar, tapi 
sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh..., maksudku tak 
kalah... ya, begitulah...." 

"Kalau lak bisa ngomong dengan jelas, lebih baik tidak 
usah bicara. Pel!" gurau Andika. 

"Nah, tuh! Bang Andika mulai mengalihkan 
pembicaraan, kan? Coba kalau tadi tidak ada yang 
berbisik-bisik kalau Bang Andika adalah Pendekar Slebor 
yang 'wah' itu, tentu kita tak akan pernah tahu. Ya, Bang 
Suta?" 

Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel. 

"Ah, sudahlah! Kalian pikir, akan berbeda seorang 
yang namanya tersohor dengan orang yang tidak tersohor? 
Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut 
saja.... Manusia kan harus dinilai dari pribadinya. Bukan 
'embel-embernya!" tukas Andika seraya tangannya menepis 
udara. 

Plok, plok, plok...! 

Tompel bertepuk tangan. 


"Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang 
Andika. Dari dulu, sok pintarnya tidak hilang-hilang juga!" 
gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek. 

"Bocah sialan, kau!" umpat Andika. 

Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya. 

"O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah 
kecil ajaib yang menggelar pertunjukan itu? Dia tampaknya 
sudah begitu mengenalmu. Tapi, kenapa cepat-cepat pergi 
lagi?" tanya Sutawijaya. 

"Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit ke¬ 
perluan denganku. Setelah itu, ingin melanjutkan 
perjalanannya kembali," jawab Andika, tanpa mau 
memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet. 

Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di 
jalan utama kotapraja terlihat debu menga-pung pekat ke 
udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan gagah 
mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik 
empat ekor kuda putih jantan bertubuh menawan. 
Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah 
gagah dibanding dua penunggang kudanya. Dari jendela 
kereta kencana terlihat seorang pangeran gagah 
melayangkan pan-dangan ke arah luar. 

Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam 
kereta kuda, sedikit pun tak mencerminkan kalau mereka 
adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih 
mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun 
lebih hitam, kecuali sang pangeran yang berkulit putih. 

Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu 
asing. Belum ada yang bisa memastikan, dari mana asal 
mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya, 
banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari 
negeri seberang. 

Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan 
semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua pe¬ 
nunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir 
berwarna hitam. Sedangkan si pangeran warna ungu. Dua 
penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk 
rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka. 
Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada 
bagian mata kaki. Yang terlihat agak lucu bagi mata para 
penduduk kotapraja adalah, sepatu mereka. Ujung sepatu 
keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas 
membengkok seperti tanduk. 

Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat 
kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang 
tampaknya berisi sebuah maklumat yang akan 
disampaikan kepada orang-orang di kotapraja. 

"Saudara-saudara yang terhormat...," si penunggang 
kuda tadi mulai dengan ucapan terpatah-patah dan kaku. 
"Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke 
sini adalah, hendak melaksanakan kehendak junjungan 
kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari seorang istri. 
Beliau telah membuat suatu pengumunan. Bunyi 
pengumumannya adalah sebagai berikut: 

“Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan 
bahwa aku hendak mencari seorang pendamping hidup. 
Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita 
yang akan ditakdirkan menjadi istriku berasal dari negeri 
ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di bagian punggung 
kanannya berupa kembang Wijayakusuma....” 

Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main. 
Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku 
kedai. Wajahnya sulit digambarkan. 

Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu 
saja menjadi heran. 

"Kenapa Bang Andika? Kok seperti orang yang baru 
diserobol tuyul?" usik Tompel. 

"Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di 
punggungnya?" desis Andika, tanpa menjawab pertanyaan 
ngawur Tompel. 

"Kau bilang apa, Andika?" tanya Sutawijaya tak jelas 
mendengar gumaman sahabatnya. 

Andika baru tersadar, ketika Tompel meninju perutnya 
cukup keras. 

Dugkh! 

"Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa?!" 
teriak Tompel, di dekat telinga Andika. 

"Ah, tak apa-apa...," kilah Andika, berusaha menutupi. 

Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus 
awang-awang. Bahkan sepertinya kedua sahabatnya tak 
dipedulikan. 

"Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda 
bunga Wijayakusuma di punggung kanannya?" bisik hati 
Andika bertanya-tanya. "Apa pula hubungannya 'bayangan' 
yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?" 

Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah 
Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak 
menggaruk kepala karena tak mengerti teka-teki yang 
harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih memegang 
cangkir teh. 

"Aufh...!" 

Si pemuda bertampang ningrat namun berpe¬ 
nampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri 
begitu cairan hitam pekat mengguyur wajahnya. 

"Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang?!" 
ledek Tompel. 

Andika hanya bisa mendelik dongkol. 




Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki 
tinggi tegap berhidung mancung tengah berjalan mondar- 
mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah Pangeran 
Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang 
baru-baru ini membuat pengumuman yang isinya ingin 
mencari calon istri. Di negerinya, dia mendapat gelar 
kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang 
tak hanya sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar 
tampak pada kepribadian sesungguhnya. Dengan 
kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan- 
permasalahan dalam negeri yang merongrong kedaulatan 
ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran 
mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan 
tangguh daripada panglima istana. 

Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi 
didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang 
gadis cantik rupawan ke dalam pelukannya. Si gadis 
memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di 
punggung kanan. 

Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana, 
Pangeran Husein merasa yakin kalau mimpi itu semacam 
wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh 
dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya 
adalah calon istrinya. 

Kalaupun Pangeran Husein kemudian 
memaklumatkan sebuah pengumuman di tanah 
Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat 
hamparan padi yang menguning sepanjang pandangan. 
Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para 
cendikiawan istana. Dan seorang cendikiawan 
menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina 
sampai tiba di sebuah pulau subur makmur bernama Jawa 
Dwipa. 

Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan 
kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga 
tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir 
dan dua pengawal untuk menyebarkan pengumuman yang 
telah dibuatnya. 

Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman 
dibacakan di kota praja. 

Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang 
mendatangi kapal layar kerajaan milik Pangcan Husein. 
Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu 
menjadi gelisah. Menunggu dan menunggu baginya seperti 
siksaan berat. Keinginan untuk segera bertemu wanita 
yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu- 
gebu, bagai letupan-letupan kawah gunung berapi. 

Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai 
ketimbang tiga hari menanti. Itulah yang mendera 
perasaan Pangeran Husein belakangan ini. 

Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas. 
Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak 
juga bayangan bulan yang mengapung di permukaan laut, 
atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa raya. Hatinya 
benar-benar gelisah. 

Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri 
mematung. Raut wajahnya sudah dipenuhi kerutan. 
Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak 
ada kesan rapuh pada perawakannya. Dengan kumis 
berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung 
berwarna kelabu, perwira ini justru ke-lihatan berwibawa. 

"Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini, 
Paman Thariq?" cetus Pangeran Husein lamat, di antara 
bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung lepas 
menatap gerak gemulai bayangan bulan yang 
dipermainkan gelombang kecil. 

Perwira tua di sisinya menoleh. 

"Sudah menjelang hari keempat, Pangeran," jawab 
sang perwira bernama Thariq, penuh rasa hormat. 

Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu 
menggeleng perlahan. 

"Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...," 
desis Pangeran Husein nyaris bergumam. 

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya 
Pangeran mendatangi negeri yang begitu jauh ini?" tanya 
Perwira Thariq. 

Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu 
tujuan Pangeran Husein sebenarnya. 

Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas 
dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak 
pada lelaki berwibawa di sebelahnya. 

"Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada 
Paman, kenapa aku begitu menggebu-gebu hendak ke 
negeri ini...?" tutur Pangeran Husein. 

"Apakah aku telah lancang menanyakannya?" 

"Oh! Bukan itu, Paman," kilah Pangeran Husein cepat. 
"Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada 
Paman, sebelum kita berangkat dahulu. Tapi, aku 
sungkan...." 

Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke 
tepian kapal. 

"Kenapa jadi sungkan? Bukankah Pangeran 
menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua 
Pangeran juga? Dulu, Pangeran berkata begitu, bukan?" 

"Ya! Tentu saja aku ingat, Paman." Pangeran muda 
dari negeri Parsi itu menganggukkan kepala. 

"Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman 
akan mendengarkan." 

"Asal Paman tidak menertawai ceritaku...," ujar 
Pangeran Husein, mengajukan syarat. 

"Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...," balas 
Perwira Thariq, sedikit bergurau. 

Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul. 

"Begini, Paman...." 

Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut, 
mendadak saja selantun suara seorang wanita ber¬ 
senandung merayapi sekitar dermaga. 

Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga 
Perwira Thari q. 

"Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?" 
tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya 
sendiri. 

"Aku rasa begitu, Pangeran," sahut sang perwira. 

Merasa yakin kalau memang ada wanita 
bersenandung, Pangeran Husein berseru. 

"Hei! Adakah seorang wanita di sana? Kalau benar, 
sudikah kiranya memperlihatkan diri?!" 

Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan 
tiba-tiba saja berdesir serangkum angin pukulan deras tak 
tampak mata dari arah timur dermaga 

Wush! 

"Pangeran awas!" Perwira Thariq memperingatkan. 

Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersor-ban 
dan berpakaian merah dengan rompi kain putih itu, 
Pangeran Husein melenting ke udara. 

Blash! 

Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar 
yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain 
tebal berwarna abu-abu tersebut koyak bagai dicabik-cabik 
cakar seekor beruang. 

"Beruang Betina Kutub Utara...," desis Pangeran 
Husein, begitu kakinya menjejak lantai buritan. 

Pangeran Husein dan Perwira Thariq saling 
berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka menge¬ 
nal wanita berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Seorang 
wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit dimengerti, tapi 
juga sulit diduga kesaktiannya. 


k k k 


Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah 
muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama 
seekor beruang kutub berwarna putih salju. Kehebatannya 
hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu, 
Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan 
pukulan 'Cakar Beruang Salju' milik wanita aneh itu. 

Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang 
menyebar seperti wabah menular. Rakyat sampai petinggi 
istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang 
wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat 
mayat. Rambutnya panjang. Dan tak seperti orang 
kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna 
binatang peliharaannya. 

Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran 
Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon 
pewaris tahta kerajaan itu mengorek keterangan tentang 
Beruang Betina Kutub Utara. Selang sekian waktu, setelah 
si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya, 
Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana. 

Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang 
itu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan niatnya. 
Melamar Pangeran Husein. 

Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana. 
Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa 
wanita asing yang dikawal beruang salju itu bermaksud 
menghina keluarga istana. 

Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara 
dari pelataran istana. Tapi bukannya pergi, wanita yang 
memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju 
serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri. 

Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana 
menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi, 
serangkum sampokan bertenaga dalam dahsyat terlepas 
dari punggung tangan wanita bermuka pucat berjuluk 
Beruang Betina Kutub Utara. 

Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu 
melaya ng. 

Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing 
kegusaran para perwira istana. Malah, menyusul 
ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira 
berusia muda langsung turun menghadapi kebengisannya. 

Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat 
akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak 
beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena 
kepandaian tempur mereka terbilang cukup tinggi, maka 
akibat yang diderita pun tak separah keempat prajurit. 
Mereka hanya terluka dalam. 

Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi 
mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina 
Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda 
yang berada di sisinya, pangeran muda perkasa itu 
melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan 
wanita yang tak hanya telah lancang melamarnya, tapi juga 
telah berbuat semena-mena di wilayah kekuasaannya. 

"Siapa kau sebenarnya, Wanita Asing?" tanya 
Pangeran Husein, tenang. 

"Aku?" 

Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein. 
Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang 
lahir dari setiap gerak bola matanya mengandung kekuatan 
memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja, Pangeran 
Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung 
terpengaruh. 

"Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak 
punya nama. Tapi, aku lebih suka disebut Beruang Betina 
Kutub Utara," sambung wanita itu, menjelaskan. 

"Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran 
di tempat ayahku?" sambung Pangeran Husein, datar tapi 
mantap. 

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara 
singkat sambil menyingkap anak rambut berwarna putih 
yang jatuh menutupi mata. 

"Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah 
berbuat kemungkaran akan mendapat hukuman sesuai 
perbuatan yang dilakukannya?" 

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara, 
dengan singkat pula. 

"Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk 
menyerahkan diri pada hukum yang berlaku di kerajaan 
kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa 
empat prajurit dan melukai dua perwira...." 

"Aku juga tahu itu...," jawab Beruang Betina Kutub 
Utara sekali lagi. "Tapi aku tak mau...." 

Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh 
Pangeran Husein, selain menggempur wanita cantik yang 
berkulit wajah pucat di depannya. 

Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja 
yang pernah melihat Pangeran berlaga di medan perang 
baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang 
pernah dialami sang pangeran. 

Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan. 
Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya. 
Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang 
mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu 
tinggi sekali pun. 

Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang 
pangeran. Belum lagi hantaman-hantaman dari setiap 
kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara. 

Sampai akhirnya.... 

"Pangeran Husein! Aku menyusulmu untuk 
melamarmu kembali!" 

Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan 
kejadian silam dalam benak Pangeran Hu-.sein. 

Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu 
nelayan kecil yang tertambat bisu, tampak seso-sok 
bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran 
rembu lan. 

Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira 
Thariq.... Wanita yang baru muncul itu memang Beruang 
Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan 
mantel bulu beruangnya. 

"Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?" 
tanya Pangeran Husein. 

"Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu 
kembali...,"jawab wanita itu di kejauhan. 

"Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin 
meringkusmu kembali, karena kau telah berhasil 
meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan 
kejimu waktu itu?!" balas sang pangeran muda penuh 
tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan. 

"Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?" 

Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi 
alis hitam lebal yang merentang jantan, menusuk 
kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri. 

"Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik, 
mungkin aku bisa tertarik denganmu. Tapi, kini, di mataku 
kau bagaikan buronan yang mesti menjalani hukuman!" 
tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang. 

"Mmm...," Beruang Betina Kutub Utara bergumam 
lepas. "Apa karena kau sudah merasa memiliki pilihan hati, 
seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga 
Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang 
diumumkan beberapa hari lalu?" cemooh Beruang Betina 
Kutub Utara. 

"Itu bukan urusanmu, Nona!" bentak Pangeran 
Husein. Gagang pedang di pinggangnya diremas kuat-kuat. 
Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari 
pancingan Beruang Betina Kutub Utara. 

"Tentu saja itu jadi urusanku...," balas Beruang Betina 
Kutub Utara. 

Perempuan berwajah jelita namun pucat itu me¬ 
langkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas 
geladak kapal menyapu wajah dan sebagian tubuhnya. 

"Kau ingin tahu, kenapa?" lanjut Beruang Betina 
Kutub Utara dingin dan datar. "Karena wanita yang kau cari 
itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu. 
Pangeran...." 

Kalau sang pangeran masih bisa menahan 
kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya 
kewibawaan dalam diri lelaki tua itu bukanlah jaminan 
bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran. 

"Perempuan tak tahu adat!" hardik Perwira Thariq 
mengguntur. Dilompatinya pinggir buritan setinggi dada. 
Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh 
depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara. 

"Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup 
atau mati!" dengus Perwira Thariq geram. 

Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis 
mencemooh. 

"Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua!" 

Srang! 

Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak 
kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas 
senjata dari sarangnya. 

"Hiaaa...!" 

Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein 
lagi, laki-laki bagai singa tua itu segera melabrak beruang 
wanita dengan sabetan pedang menggetarkan. 

Sing...! 

Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang 
Betina Kutub Utara. Dilihat dari sasaran te-basannya, 
tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan. 
Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi 
aturan-aturan yang berlaku dikerajaan. Salah satunya 
adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk menyerah, 
dengan melumpuhkannya saja. Di samping itu, ada 
ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita. 

Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara, 
ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada 
kenyataannya, Beruang Betina Kutub Utara justru lebih 
berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago tempur 
sekalipun. 

Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak 
segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina 
Kutub Utara. 

Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak 
kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara. 
Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya 
dari dalam. Maka sekerdip mata saja, sisi tajam pedang 
bertumbukan dengan kibasan mantel. Drang! 

Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq 
terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan 
telah sompal! 

Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan 
mantel Beruang Betina Kutub Utara kembali menyibak 
udara. Drang! 

Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya 
sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa mantel bulu yang 
terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang Perwira 
Thariq menjadi tiga bagian sama rata?! 

Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi 
terpaksa terbelalak lebar. Perwira Thariq yakin, kalau 
wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya sekali 
saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan 
dengan tiga gerakan. 

Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus 
memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di 
negerinya, jago pedang yang paling hebat pun, belum bisa 
melakukannya. Bahkan kelihaian permainan pedang 
Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum 
tentu mampu. 

"Aku tak ingin mengotori tangan dengan mem¬ 
bunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari 
jalanku!" gebah Beruang Betina Kutub Utara dengan 
tatapan menghujam. 

"Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah 
gunung, aku tak akan mundur," balas Perwira Thariq, 
sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat 
terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi. 

Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak 
kentara. 

"Itu artinya, kau minta aku membunuhmu...." 

"Cukup, Beruang Betina!" terabas Pangeran Husein 
melihat gelagat tak baik bakal dialami salah seorang 
perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan. 

Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya. 
Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal. 
Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara 
Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara. 

"Kau telah terlalu jauh, Nona...," ucap Pangeran 
Husein satu-satu, dipadati gelegak kegeraman. 

Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat 
ke manik mata Beruang Betina Kutub Utara yang selalu 
menebar pengaruh rayu. 

"Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk 
menumpahkan darah pada siapa pun. Tapi karena aku 
memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan 
kerajaan, terpaksa aku harus berhadapan denganmu...," 
jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada 
wanita calon lawannya agar segera bersiap. 

Sring! 

Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi, 
itu pun memperdengarkan suara menggiriskan manakala 
lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan kontan 
bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal, 
menjilati mata pedang sepanjang satu kaki yang 
membengkok. 

Wut! 

Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka 
di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat 
yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di negerinya akan 
segera terulang kembali. Tapi sebelum masing-masing 
bergerak lebih lanjut.... 

"Hi hi hi...! Jangan digubris perempuan jalang seperti 
dia, Pangeian Gagah...," selak seseorang, menjegal 
pertarungan yang baru saja hendak tersulut. 

Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu. 

Siapa dia? 

Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah 
berurusan dengan Anggraini. Perempuan yang tak kalah 
cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya 
telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul 
dengan lenggak-lenggok gemulai menggoda. 

Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah 
beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita 
jalang. 

"Perempuan bosan hidup dari mana yang berani 
menyebutku selancang itu?" geram Beruang Betina Kutub 
Utara. 

"Heee..., bosan hidup?" wanita berkebaya melengak. 
Bibirnya mencibir. "Bagaimana bisa dikatakan kalau aku 
bosan hidup, bila aku datang ke sini malah hendak 
memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa...." 

Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya 
mengerling nakal ke arah Pangeran Husein. 

Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap 
teliti wanita berkebaya. 

"Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pe¬ 
ngumumanku?" bisik sang pangeran membatin. "Kalau 
benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang 
muncul dalam mimpiku? Dia memang cantik. Tak kalah 
cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara. Tapi wajahnya 
sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam 
mimpiku...." 

"Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan 
hamba Pangeran yang ‘ehm..ehm’ kalau aku nanti sudah 
resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas menikmatinya. 
Bahkan lebih dari itu... hi....hi” kicau wanita berkebaya. 




Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek 
bertudung lebar melenting ringan di antara lekuk-lekuk 
tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak 
menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal 
koyakan-koyakan saja, menari-nari ditepis angin. 

Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek, 
memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan 
tempurung dengkul menonjol. Sesekali gigi tebingnya 
runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak 
beralas apa-apa. 

Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di 
bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara 
aneh si kakek melakukan perjalanan, membuat dara jelita 
berkesan ketus itu menjadi tertarik. 

"Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...," 
senandung si kakek lamat-lamat. 

Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini 
melewati gadis itu di atas tebing. 

"Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di 
punggung kanannya...," sambung si kakek bertudung. 
merangkai senandungnya. 

Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini 
segera bertautan satu sama lain. Bagaimana tidak? 
Ternyata, lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali 
dengan keadaan dirinya. Pada punggung kanan Anggraini 
pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma. 

"Pak Tua, tunggu!" tahan Anggraini dari bawah. 

Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik berse¬ 
nandung sambil mencelat-celat di antara tonjolan tebing 
menuju matahari terbenam. 

Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas 
kesal. 

"Pak Tua! Kenapa kau menyanyikan lagu yang buruk 
itu?! Telingaku pekak mendengarnya!" pancing Anggraini, 
agar si kakek mau berhenti. 


Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu 
yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak. 

Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk 
orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya 
berhenti ketimbang panggilan santun. 

"Bocah perempuan gendengl" hardik orang tua itu 
dongkol. 

Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek 
berhenti. Hanya saja, kepalanya belum menoleh sedikit 
pun. Apalagi berbalik. 

"Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku 
hanya ingin agar kau berhenti sejenak," hatur Anggraini 
dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling tidak, 
bisa membayar ke kurang ajaran yang dilakukan karena 
terpaksa tadi. 

"Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu 
artinya mau mempermainkanku. Itu lebih mendongkolkan 
daripada sekadar hinaan tadi!" ketus si kakek, tetap tak 
berbalik. 

"Oh! Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak 
Tua," ralat Anggraini bergegas. 

"Huh! Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?" Menerima 
gerutuan janggal si kakek, perut Anggraini seperti digelitik 
sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum menahan 
tawa. 

"Jangan menertawakanku!" bentak si orang tua. 
Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak 
mengeluarkan suara tawa. Namun, si kakek tahu kalau 
gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana dia tahu 
tanpa perlu menoleh? Anggraini jadi terkagum-kagum. 

"Jus..., jus...." 

Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki 
tua itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja 
kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku 
hitam dibanding ilmu si kakek. 

"Bicara yang jelas! Masih muda sudah seperti nenek 
peyot dan pikun! Pakai 'jus... jus' segala lagi!" 


"Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak 
Tua tentang lirik yang kau nyanyikan Pak Tua," lagi-lagi 
Anggraini merasa harus meralat ucapannya. 

"Tanya!" 

"Bagaimana, Pak Tua?" tanya Anggraini karena tidak 
jelas menangkap ucapan singkat si kakek yang sampai 
saat itu tak sudi menoleh padanya. 

"Kubilang, tanya! Kau taruh otakmu di mana?!" 
dengus si kakek. 

"Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua. 
Apakah...." 

"Ya! Memang ada pangeran dari seberang lautan 
hendak mencari istri!" terabas si lelaki tua, sebelum 
Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya. 

"Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?" 
tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas. 

"Huh, karanganku...," gerutu lelaki tua ini. "Sana kau 
datangi pesisir! Biar kau bisa lebih jelas duduk perkaranya! 
Jangan hanya bertanya melulu!" 

Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan 
perjalanan dengan cara aneh. Sejurus tubuhnya melenting 
tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting lagi. 
Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di 
kejauhan. 

"Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada 
seorang pangeran yang mengharapkan wanita yang 
bertanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya," 
bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi. 

"Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir 
berbentuk bunga Wijayakusuma.... Aneh! Apa ini kebetulan 
semata? Atau...." 

Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar 
benak dara cantik berkesan ketus itu. 

"Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu. 
Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua 
itu...," putus Anggraini akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh. 

Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu 
berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti 
tonggak menanti cahaya rembulan di te-ngah malam. 
Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka 
tabirnya, terlempar tawa dari mulut kakek aneh tadi. Tawa 
yang bising, melengking serta menggidikkan. "Ha ha ha...!" 

Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung 
tawanya. Seluruh kulit lelaki tua itu mengelupas. Saat yang 
sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat puluhan ulat- 
ulat kecil! 

Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam 
wujud kerangka busuk. Jasad halus manusia terkutuk telah 
merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat dari 
liang lahat. 

k k k 


Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar 
Pangeran Husein tertambat. 

Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah 
berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah 
Buangan, memperkenalkan namanya pada Pangeran 
Husein. 

"Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng," 
kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul. "Tak 
perlu lagi pangeran mengurusi wanita pucat ini. Nanti 
hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak 
mencari seorang istri? Inilah aku, calon istrimu. Datang 
memenuhi panggilanmu.... Hi hi hi...!" 

"Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga 
Wijayakusuma di punggung kanannya," kata Pangeran 
Husein. 

"Ya, aku orangnya! Mau lihat buktinya? Boleh...." 

Tanpa malu-malu, Kuntum Mawar melorotkan 
kebayanya sebagian. Untung saja, tubuhnya masih 
tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein 
bisa-bisa membuang pandangannya jauh-jauh ke tengah 
laut! 

Dengan membelakangi Pangeran Husein, Kuntum 
Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di 
punggung kanannya. 

"Nih, lihat! Benar, bukan?" tukas wanita seronokan itu. 

Pangeran Husein menggeleng-gelengkan kepala. 
Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar 
bunga Wijayakusuma. Tapi matanya tidak bisa ditipu. Itu 
bukan sekadar tanda sejak lahir, melainkan tatto yang 
sengaja dibuat dan tampaknya masih baru. 

"Dasar perempuan murahan!" caci Beruang Betina 
Kutub Utara gusar melihat si pangeran hendak dirayu 
wanita saingannya. 

"Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri 
Pangeran Yang Perkasa!" bentak Kuntum Mawar. Matanya 
berkedip-kedip cepat karena marah. 

Beruang Betina Kutub Utara mencibir. 

"Jangan bodoh! Pangeran tak pernah mencari wanita 
seperti kau.... Juga, jangan menganggap Pangeran bodoh. 
Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu 
hanya buatan tangan?" cemooh Beruang Betina Kutub 
Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin seperti 
biasa. 

"Eee, kurang asem! Mau kujambak rambut 'kain 
kafan'mu itu, ya?!" 

Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala 
betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub 
Utara. Kedua tangannya membentuk cakar ke depan, siap 
menjambak rambut lawan. 

Wuk! 

Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba 
menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut 
dengan pukulan 'Cakar Beruang'nya pula. 

Bret! 

Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina 
Kutub Utara tersadar, jubah bulu beruang salju kesayangan 
telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran 
Kuntum Mawar Lebih dahulu menge-nai sasaran. 
Sedangkan, pukulan 'Cakar Beruang' Beruang Betina Kutub 


Utara bagai hilang lertelan angin. 

Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah 
berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan 
yang tampaknya selemah penari itu. 

Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara 
mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar. 
Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah 
bulunya seperti melukai bagian tubuh-nya sendiri. 

"Tangan lancangmu harus membayarnya!" ancam 
Beruang Betina Kutub Utara, nyaris terdengar seperti 
geraman seekor beruang betina. 

"Maaf, aku tak punya persediaan tangan lain. Hanya 
ini yang aku punya," ledek Kuntum Mawar seraya 
mengangkat sepasang tangannya. 

"Kutung tanganmu!" Sekarang, giliran Beruang Betina 
Kutub Utara memulai serangan. Pertarungan dua wanita 
yang memiliki pesona wajah menarik itu pun tak bisa 
dihindari lagi. 

k k k 


Pada saat yang sama, Anggraini tiba pula di sekitar 
dermaga. Dari kejauhan, dara berpakaian merah-merah itu 
sudah bisa menduga ada pertarungan seru berlangsung. 
Telinganya bisa menangkap angin pukulan yang berderu 
kencang sampai ke lempatnya. Demikian pula teriakan- 
teriakan penuh gejolak nafsu membunuh dari kedua 
wanita yang terlihat pertarungan. 

Anggraini mempercepat langkahnya. Tak begitu lama 
kemudian, matanya sudah bisa menyaksikan medan laga 
di sisi dermaga timur. 

Bibirnya mengembangkan senyum tipis melihat salah 
seorang wanita yang sedang bertarung. Si wanita 
berkebaya beberapa waktu lalu, sempat dipermainkan 
Anggraini karena sikap pongahnya. Kalau sekarang dia 
sudah mendapat musuh kembali, Anggraini tidak begitu 
heran. 

"Dasar perempuan usil,"bisik Anggraini mencela 
wanita berkebaya. 

Medan laga rupanya tak begitu menguras perhatian 
Anggraini. Karena, ada hal lain yang membuatnya lebih 
tertarik. Yakni seorang pemuda perkasa bersorban dan 
beraut wajah tampan, namun asing. 

"Itukah pangeran yang dimaksud orang tua yang 
kutemui?" tanya Anggraini, membatin. Tak bisa 
dibayangkan, kalau dirinya yang sedang dicari sang 
pangeran untuk dijadikan istri. Mungkin itu bukan lagi 
sekadar kejutan, namun lebih dari itu. 

Apa iya, ya? Anggraini berbisik tak yakin. Seorang 
anak raja dari negeri di seberang lautan, tampan, perkasa, 
dan dari sinar matanya tampak memiliki kelembutan, 
mencari wanita bertanda tubuh berbentuk kembang 
Wijayakusuma di punggung kanannya?" 

Ketika dua bola mata lentik menawan milik Anggraini 
memperhatikan lekat-lekat Pangeran Husein, mendadak 
saja membersit sinar amat menyilaukan dari dalam tanah, 
tepat di tempat pangeran itu ber-,diri. 

S las! 

Sinar itu bagai bunga raksasa aneh yang meman-car 
ke segenap penjuru, merangsek kegelapan malam. Begitu 
menyilaukannya sinar itu, sampai-sampai tubuh pangeran 
tak tampak lagi. 

Anggraini kontan mengangkat tangan ke depan wajah. 
Matanya tak sanggup lagi menerima terjangan sinar tadi. 
Bahkan, Beruang Betina Kutub Utara dan Kuntum Mawar 
yang sedang berbaku jurus pun tak luput melakukan hal 
yang sama. Seperti juga Perwira Thariq serta beberapa 
awak kapal kerajaan negeri Parsi. 

Kemudian, menyusul ledakan amat gempita menerpa 
seluruh kawasan dermaga.... 




Malam ini Pendekar Slebor bermimpi amat 
menakutkan. Dalam mimpi, Anggraini yang sudah amat 
dikenalnya ditelan sekawanan mambang bersosok 
menyeramkan yang keluar dari seberkas cahaya amat 
menyilaukan. Andika sendiri saat itu seperti berusaha 
menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Anggraini. 
Seluruh tenaganya terkuras untuk meraih tangan 
Anggraini. Tapi, si gadis tetap tak tergapai. Wajah jelita 
Anggraini memucat dan dirasuki ketakutan teramat sangat. 
Mulutnya menjerit pada Andika, tanpa suara. Anggraini 
menggapai-gapai dalam jarak yang semakin jauh dari 
Andika. Sampai akhirnya, tubuhnya hilang tertelan oleh 
rongga mulut para mambang. 

"Bang! Bang, bangun! Bang Andika!" 

Andika terjaga. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh. 
Napasnya turun naik tak teratur, seakan baru saja 
menempuh perjalanan panjang melelahkan tanpa batas. 

"Di mana aku?" tanya Andika, dengan tatapan nanar. 

"Memang, Kakang kira ada di mana? Di sorga? 
Aduh.... Sudah jadi pendekar kesohor, kok masih bisa 
linglung! Kita kan masih di penginapan!" jawab Tompel 
yang baru saja membangunkan Andika. 

Andika membuang napas lega. 

"Fhuiiih.... Kukira, aku benar-benar mengalaminya...," 
ucap Andika terseret. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu 
duduk di tepinya. 

"Mengalami apa. Bang?!’’ 

"Mimpi itu," singkat Andika. 

"Mimpi, ya mimpi.... Bukan kenyataan!" sergah 
Tompel, sok tahu. 

Andika menautkan alis. Matanya menerawang. 

"Tapi mimpi yang baru saja kualami seperti 
kenyataan. Pel...," kata Pendekar Slebor sungguh-sung-guh. 

"Ah, sudahlah Bang! Ini tengah malam. Tidur saja lagi!" 

Kemudian bocah tanggung yang belum lagi akil balig 
itu ngeloyor keluar kamar. 

"Mau ke mana, kau?" tanya Andika. 

"Ada pagelaran wayang semalam suntuk di alun-alun, 
mau ikut?" sahut Tompel acuh. 

Sepeninggalan Tompel, pendekar muda dari Lembah 
Kutukan itu berdiri termenung di sisi jendela kamar 
penginapan sederhana yang berada di sisi jalan kotapraja. 

Pikiran Pendekar Slebor kembali merayapi mimpi yang 
baru saja dialaminya. Cahaya? Bisik hatinya. Sepertinya, 
dia juga pernah menyaksikan cahaya dalam mimpi.... Tapi, 
di mana? Dan para mambang itu, mengingatkannya pada 
satu hal. 

Rahang Andika bergemeletuk. "Kutu buduk.... Monyel 
gundul! Kenapa otakku jadi buntu seperti ini!" Andika 
menyumpah-nyumpah sambil menyapu udara dengan 
tangannya. 

Mulailah Andika mondar-mandir seperti mandor 
kehilangan pekerjaan. 

"Aku harus dapat mengingatnya," desis pemuda itu 
berketad. "Akuyakin ini bukan sekadar mimpi kosong tak 
berarti. Mimpi itu pasti berhubungan erat dengan 
'bayangan' yang didapat Walet!" 

Langkah Andika terhenti sejenak. 

"Aku yakin, Anggraini dalam bahaya. Tapi... sialan! 
Bahaya apa yang sebenarnya mengancam gadis itu?! Dan 
siapa pula dalang semuanya?" 

Merasa yakin pengaruh mimpi itu masih membekas di 
alam bawah sadarnya, hingga sulit untuk memusatkan 
pikirannya, Andika segera memusatkan untuk melakukan 
semadi. 

Kini Pendekar Slebor mengambil sikap semadi. Dan 
dia melakukannya di atas tempat tidur. 

Tak begitu lama, Andika sudah membuka mata 
kembali. Dia bangkit dari silanya dengan wajah lebih segar. 

"Ya! Sekarang aku bisa ingat.... Kapan dan di mana 
aku pernah melihat cahaya semacam itu. Yang ketika aku 
berhasil menumpas Manusia Dari Pusat Bumi beberapa 
waktu silam! Dan mambang yang ada dalam cahaya tentu 
perlambang kekuatan alam kegelapan yang dimiliki 
Manusia Dari Pusat Bumi! Kalau begitu, manusia laknat 
jelmaan siluman itu telah muncul kembali!" 

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Manusia Dari 
Pusat Bumi, bacalah tiga episode berikut ini: "Manusia Dari 
Pusat Bumi, Pangadilan Perut Bumi, dan Cermin Alam 
Gaib"). 

Untuk beberapa lama Andika memutar-mutar 
pikirannya. Setahu Andika, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi 
telah hancur lebur terhajar kekuatan petir yang tersalur 
melalui tubuh Andika. Kalau begitu, tentu manusia jelmaan 
siluman ini tak muncul dengan jasad aslinya. Rohnya yang 
menyatu dengan Cermin Alam Gaib, tentu telah melanglang 
buana mencari wadah untuk ditempati. 

"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Slebor tiba-tiba. 

Andika teringat pada pangeran yang mencari seorang 
gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung 
kanannya. Pada saat yang hampir bersamaan, dia pun 
teringat cerita Walet. Menurut 'bayangan' yang dilihat 
bocah ajaib itu, ada seorang wanita cantik berpakaian 
merah yang bertanda sama tengah berada dalam keadaan 
bahaya. 

"Kalau mimpiku benar, berarti gadis yang berada 
dalam 'bayangan' Walet dan gadis yang dicari pangeran itu 
adalah Anggraini! Dan..., astaga! Tentu pangeran asing itu 
telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi!" simpul 
Pendekar Slebor nyaris tercekat. 

Tanpa banyak mengumbar waktu lebih lama, Andika 
segera mengempos seluruh kemampuan ilmu 
meringankan tubuhnya. Tujuannya sudah pasti ke pesisir 
pantai! Bukankah dalam bayangannya Walet melihat 
tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang, dan di 
atasnyapurnama membulatpenuh? Andika yakin, tempat 
yang digambarkan Walet adalah pesisir pantai. Sedangkan 
purnama membulat penuh, jatuh tepat pada malam ini! 

Dermaga di pesisir pantai ditelan kebisuan men¬ 
cengkam. Tak ada suara. Bahkan sekadar desir angin atau 
kecipak gelombang kecil sekali pun. Laut begitu tenang. 
Andika yang telah tiba di sana, merasakan ketenangan laut 
seperti gambaran sebuah kematian. 

Di sebelah tenggara dermaga, terlihat kapal layar 
kerajaan dari negeri Parsi tertambat, sebisu suasana. 

"Aku merasakan hal yang aneh," bisik Andika. 
Seketika bulu di sekujur tengkuknya meremang hebat. "Tak 
seperti biasanya, alam semati ini...." 

Dengan langka b satu-satu, pemuda sakti yang 
tersohor sebagai Pendekar Slebor mendekati lam-bung 
kapal. Begitu sampai ditempat yang dituju, matanya 
tertumbuk pada beberapa sosok mayat yang 
bergelimpangan, nyaris tersamar karena tertutup pasir 
pantai. 

Begitu mega gelap membiarkan cahaya purnama 
jatuh pada bibir pantai, tubuh-tubuh mayat itu terlihat jelas. 
Dua lelaki berpakaian khas negeri Parsi tertelungkup tanpa 
gemik. Begitu juga dua wanita di sisi lain sudah tidak 
bernapas lagi. Wanita yang satu mengenakan mantel bulu 
beruang salju. Sementara yang satu lagi berkebaya ketat 
dengan kain wiron ketat pula. Dari kedua wanita itu, tak 
seorang pun yang dikenal Andika. 

Sewaktu anak muda sakti itu sedang berjongkok di 
sisi tubuh perempuan bermantel bulu beruang, tanpa 
disadari dua pasang mata memendarkan sinar 
menatapnya di kegelapan. Mata itu demikian liar, 
memendam dendam. Dalam kesunyian tempat per¬ 
sembunyiannya, tersembul suara geraman berat. 

Rupanya, sesosok makhluk besar berbulu itu adalah 
beruang kutub milik Beruang Betina Kutub Utara. Tepat 
pada saat Andika di dekat tuannya, beruang itu pun 
melihat Andika. Entah bagaimana, naluri binatang itu 
menganggap Andika lah yang telah membunuh 
majikannya. 

Dengan menggeram di kejauhan, beruang itu 
menjauhi dermaga. 

Sementara itu, Andika mencoba meneliti dua lelaki 
yang tela h meninggal di sisi lain. Udara di sekeliling tercium 
bau anyir dari darah yang mengering. 

Mayat lelaki yang satu berbadan gempal, tapi bagian 
dada dan perutnya sobek. Seperti habis di cabik-cabik 
binatang buas. Mayat itu adalah Thariq, Perwi-,ra Kerajaan 
Parsi. 

Mayat yang lain memiliki luka yang sama. Begitu 
mengenaskan keadaannya. Andika mau tak mau harus 
mengerutkan dahi dalam-dalam. Lelaki itu Pangeran 
Husein, seorang yang dicurigainya sebagai Manusia Dari 
Pusat Bumi. 

"Kalau begitu, aku telah salah duga. Rupanya, 
pangeran dari seberang lautan ini tampaknya tidak 
bersalah. Tapi, kenapa dia mendapat wangsit dalam 
mimpinya untuk mencari Anggraini sebagai calon istri?" 
Andika kembali berbisik, bertanya pada diri sendiri. Tiba- 
tiba.... 

"Dia telah diperalat, Kang," ucap seseorang di 
belaka ng Andika. 

Andika menoleh. Ternyata di belakangnya berdiri, si 
bocah ajaib titisan seorang pangeran sakti yang mati 
ratusan tahun lalu. Walet! 

"Apa yang telah kau ketahui lagi, Walet?" tanya 
Andika, tanpa mau banyak basa-basi. 

"Selama beberapa hari belakangan, aku berusaha 
menembus medan kekuatan gaib dari alam kegelapan 
yang datang berupa cahaya dalam 'bayangan'ku. Meski 
susah payah, akhirnya aku dapat sedikit menguaknya," 
lapor si bocah ajaib seraya melangkah menuju Pendekar 
Slebor. "Pangeran ini rupanya telah diperalat roh jahat...." 

"Manusia Dari Pusat Bumi?" duga Andika cepat. "Ya! 
Roh manusia siluman itu telah mengirim wangsit palsu 
dalam mimpi sang pangeran. Dengan begitu, pangeran 
akan berusaha mencari Anggraini, gadis yang memiliki 
tanda tubuh di punggung kanannya. Setelah pengumuman 
dibuat sang pangeran, tentu Anggraini akan tertarik. Lalu, 
dia pun mendatangi tempat ini, tempat di mana kapal layar 
pangeran tertambat sekaligus sebagai satu-satunya tempat 
bagi Manusia Dari Pusat Bumi untuk bisa melaksanakan 
niatnya menculik Anggraini." 

"Aku masih belum paham dengan tujuan roh laknat itu 
dalam menculik Anggraini?" ujar Andika, masih diliputi rasa 
penasaran. 

"Untuk dijadikan tumbal, Kang," sahut Walel. Saat 
berucap, kelopak matanya menyipit. "Gadis itu memiliki 
tanda khusus di tubuhnya. Hanya dialah yang bisa menjadi 
syarat kembalinya Manusia Dari Pusat Bumi ke dunia 
kasar." 

Andika bergidik mendengar penuturan si bocah ajaib 
di depannya. 

"Kalau begitu, aku harus segera menyelamatkan 
Anggraini sebelum semuanya teriambal. Tapi, aku tak tahu 
ke mana harus pergi...," kata Pendekar Slebor, seperti 
mengeluh. 

"Rasanya aku sudah bisa menemukan tempat 
Manusia Dari Pusat Bumi yang kini sedang menggunakan 
wadah seseorang untuk melaksanakan niatnya...," kata 
Walet lagi, dengan gaya berkesan orang tua. 

"Cepat katakan, di mana?" desak Andika. Walet pun 
memberitahukan Pendekar Slebor tempat yang dimaksud. 

Selelah itu, segera Pendekar Slebor berlari bagai 
mengeja r waktu ke arah yang dituju. 




Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun yang 
menjulang seperti hendak meraih langit, menjadi tempat 
untuk melaksanakan rencana Manusia Dari Pusat Bumi. 
Dia memang bermaksud menyempurnakan dirinya kembali 
agar dapat muncul di alam kasar. Tempat ini sangat tepat, 
karena sama sekali tidak mengundang minat orang untuk 
mendatanginya. Letaknya memang persis di pusat hutan 
yang terkenal paling angker. Rimba Selaksa Mambang! 

Untuk yang kedua kalinya, Andika tiba di sana. 
Pertama ketika berusaha mengambil Cermin Alam Gaib 
(Untuk mengetahui lebih jelas, bacalah episode: 
"Pengadilan Perut Bumi"). Kini untuk yang kedua kalinya, 
bertujuan untuk menyelamatkan Anggraini. 

Saal ini, hari makin ditelan malam. Dini hari kian 
suntuk. Kabut merayap-rayap di segenap penjuru hutan, 
bagai segerombolan dedemit mencari mangsa. Pandangan 
yang terhalang kabut pekat, tak bisa menahan Pendekar 
Slebor untuk terus menembus hutan menuju jantung 
Rimba Slaksa Mambang. Bahkan udara dingin yang serasa 
hendak meretakkan tulang-tulang di sekujur tubuhnya tak 
mampu menahan langkah pemuda itu. 

Sambil berjalan, Andika mengerahkan seluruh panca 
indranya, juga hawa murni dalam tubuhnya diatur agar 
dapat mengenyahkan rasa dingin. Kalau tidak begitu, dia 
bisa kehilangan kesadaran akibat siksaan dingin. 

Menurut kabar angin, banyak orang persilatan 
menjadi hilang ingatan, manakala terjebak dalam hutan itu 
pada saat malam. Beruntung kalau kebetulan mereka 
memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak, biasanya 
esok hari mereka akan ditemukan mati dalam keadaan 
membiru. 

Sementara Andika terus berjalan tersuruk-suruk, para 
satwa malam memperdengarkan rintihan. Suasana jadi 
kian menggidikkan. 

Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang 
batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa. 

"Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing!" 
maki Andika berdesis. 

Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada 
tempat itu. Di samping di sana bermukim para siluman 
yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil 
Cermin Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya. 
Manusia Dari Pusat Bumi! 

Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat 
bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris 
pohon tua itu tak terlihat kalau saja tak ada sinar purnama 
yang sedikit menyusupi celah daun-daun pepohonan hutan 
yang demikian lebat. 

Menurut Walet, Andika bisa menembus masuk ke 
dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu. 
Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya 
bisa terluka, bahkan mungkin Andika akan kehilangan 
nyawa! 

Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi. 
Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi 
alam kegelapan para makhluk durjana. Pendekar muda itu 
memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu 
penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik. 

Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak 
tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh 
erat pangkal lengannya. 

Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda- 
kuda. 

"Tompel?!" ucap Andika hampir-hampir berseru begitu 
melihat seseorang yang baru saja menyentuh tangannya. 

Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah 
anak ini Tompel? Padahal, Andika harus mengatur hawa 
murni sedemikian rupa agar bisa bertahan dari hawa 
dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel...? 

Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke 
belakang. Ditatapnya hati-hati serta teliti bocah tanggung di 
depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman yang 
menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak 
ingin tertipu untuk kedua kalinya. Dia tak boleh 'terpuruk 
dalam lobang yang sama! (Baca serial Pendekar Slebor 
dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi"). 

"Bang Andika.... Yeee.... Kenapa jadi seperti orang 
kurang waras?!" sungut si bocah tanggung. 

Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya 
memang khas Tompel. Acuh dan asal bunyi. Tapi, tetap 
saja Andika ragu. 

"Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman 
berpusar jengkol!" maki Andika tersenyum sinis. 

Bocah di depan Pendekar Slebor langsung 
memperlihatkan muka asam. 

"Abang Andika ini bagaimana?! Aku ini Tompel! Benar- 
benar Tompel tulen! Masa' dibilang siluman berpusar 
jengkol segala!" rutuk Tompel. 

"Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi 
hawa dingin hutan ini!" sergah Andika. 

"Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku. 
Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi 
murid Pendekar Dungu?" Mata Pendekar Slebor menyipit. 
"Kau...? Murid Pendekar Dungu?" tanya Pendekar Slebor 
tak percaya. 

"Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri- 
cirinya. Orangnya sudah tua. Giginya tinggal tiga. Bertopi 
pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu lagi..., 
bodohnya minta tobat!" papar si bocah tanggung lancar! 

"Aku sudah kenal dia." kata Andika lagi. "Tapi, tetap 
saja aku tak percaya kalau kau adalah Tompel." 

"Aaah, Abang ini! Kenapa jadi memusingkan aku ini 
Tompel atau bukan?! Yang penting, Abang harus tahu! Ada 
sesuatu yang lebih gawat dari itu!" Andika tak berucap apa- 
apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh 
dengan keadaan tetap siap siaga. 

"Bang Suta! Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke 
alun-alun untuk menonton pertunjukan wayang, aku 
berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali 
tidak mengenaliku. Padahal, aku lewat persis di 
depannya...," cerocos si bocah tanggung, lancar seperti 
mercon kembang api. "Karena aku yakin ada yang tak 
beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu kuurungkan 
niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke 
tempat ini. Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga 
dalam oleh Guru Rengga...." 

"Guru Rengga?" 

"Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama 
Renggaswara!" ujar Tompel, kurangajar. "Kalau aku tidak 
berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus 
dalam keadaan kaku di tempat ini." 

Andika mulai mempercayai keterangan bocah 
tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel 
sesungguhnya. Anak ini tampak kurang ajar pada siapa 
saja. Tapi, sebenarnya berhati baik. 

"Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika!" 
cetus Tompel, setengah berbisik. "Bang Suta, entah 
bagaimana bisa menembus masuk ke dalam pohon besar 
itu." 

Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang 
Andika. 

"Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa mela¬ 
kukannya...," lanjut Tompel tetap berbisik. 

"Suta?" desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah 
dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi adalah sahabatnya 
sendiri? Orang yang sudah seperti saudara kandungnya.... 

"Ah! Rasanya aku tak bisa mempercayainya," kata 
Andika, lirih. 

"Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan 
seringkah bertolak belakang dari harapan kita," tukas 
Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya 
tergolong bijak. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan, 
Bang?" 

"Aku harus menyelamatkan seorang perempuan 
dalam alam siluman di balik pohon ini," sahut Andika. "Kita 
masuk, Bang?" ralat Tompel. "Apa maksudmu?" tanya 
Andika. 

"Lho? Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam 
sana. Bang Suta kan, sudah seperti kakak kan-dungku 
juga!" sambung Tompel beralasan. 

"Bukan itu masalahnya...." 

"Apakah Abang kira aku takut dengan ‘genderuwo’, 
setan belang, siluman cacingan, dan segala macam?" 
serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar. 

"Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi...." 

"Tak ada tapi, Bang!" Tompel bersikeras. Bibirnya 
mencibir, seolah hendak menganggap masuk ke alam 
kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut 
baginya. 

"Kau...," Andika kehabisan kata. "Baiklah, hitung- 
hitung buat berjaga-jaga." 

"Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?" 

"Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung 
ngacir melihat wajahmu. Wajahmu kan. lebih jelek 
daripada mereka.... He he he...." 

"Sialan benar!" 

Andika lalu memulai kembali niatnya untuk ber¬ 
semadi. "Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam 
gaib terbuka, kau harus segera masuk. Setelah itu, aku 
menyusul," pesan Andika, seraya menyatukan kedua 
tangannya. 

"Kenapa bukan Abang lebih dahulu?" tanya Tompel, 
tak suka. 

"Katanya kau bukan pengecut...," ledek Andika. 

Tompel lagi-lagi mencibir. 

"Ooo, pasti! Perkenalkan, pendekar sakti kota praja 
yang belum sempat tersohor!" "Sudah diam kau!" bentak 
Andika. Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia 
harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar 
suara berat dan serak merambah seisi hutan. Andika 
tersentak. Lebih-lebih Tompel. 

"Nah, lo...! Rasanya aku belum pernah mendengar 
suara siluman seperti itu, Bang," bisik Tompel seraya 
mendekati Andika. 

"Itu memang bukan suara siluman," kata Andika. "Aku 
yakin, itu suara binatang buas. Tapi, aku belum pernah 
mendengarnya di tanah Jawadwipa ini...." "Jadi binatang 
buas apa, Bang?" 

"Mana aku tahu." 

"Khoaarrrkhhh!" 

Suara geraman memecah suasana hutan angker 
kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan, 
muncullah sosok makhluk yang tak pernah ada di tanah 
Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas berbulu 
indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan 
pemangsa berdarah dingin. 

"Apa itu, Bang?" tanya Tompel, tersentak. 

Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud 
yang begitu perkasa sekaligus menggetarkan hati! 

"Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub, 
Pel," jawab Andika tenang. 

Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor meng¬ 
hadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya. 
Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun 
dapat ditumpasnya dalam sekali kepruk. 

Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan, 
Anggraini harus segera diselamatkan. Sebentar lagi, dini 
hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi 
melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar 
dirinya dapat kembali ke alam kasar. 

"Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan 
ilmu tenaga dalamnya padamu?" tanya Andika cepat. 

"Cukup," jawab Tompel dengan mata tak berkedip 
memandang makhluk yang mempesona sekaligus 
membuat nyalinya mengkerut. 

"Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?" tanya 
Andika. 

"Ya..., kira-kira begitu." 

"Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi 
binatang ini. Sementara itu, aku akan masuk sendiri ke 
alam siluman." 

Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar 
bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa 
terhalang kedatangan makhluk buas yang menyeramkan 
itu. 

"Cepat maju!" hardik Andika. "Jangan biarkan hewan 
itu mengusik semadiku," pesan Andika. 

Pendekar Slebor melangkah beberapa tindak 
mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk 
memulai semadi kembali. 




"Chiaaat...!" 

Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia 
persilatan, Tompel merangsak beruang kutub yang telah 
kehilangan tuannya. Mulutnya terbuka lebar-lebar, 
sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak 
atau justru menguap. 

Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan 
dihadapinya, anak tanggung yang ternyata murid si 
Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada 
beruang kutub. 

Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang 
kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri 
di atas kedua kaki belakangnya. Sementara sepasang kaki 
depannya mencakar-cakar udara ke muka, siap 
menyambut kedatangan tendangan Tompel. 

Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi 
menghinaari dari sambaran kuku-kuku tajam beruang 
salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya 
yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara 
tubuhnya menggulung demikian rupa seperti bola karet. 
Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang 
hendak merobek kaki kurusnya dapat dihindarinya. 

Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel 
dengan cerdik segera melenturkan tubuh kembali sepenuh 
tenaga. 

Dugkh! 

Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi 
mangsa empuk kaki kurus Tompel. Meskipun kakinya 
langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup 
mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke 
belaka ng. 

Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani. 
Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran 
kalau sekarang kehebatan tenaga dalam itu terlihat pada 
murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru 
mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu. 

"Wihhh! Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini 
terjengkang ke belakang, lho!" seru Tompel kegirangan 
sendiri melihat hasil tendangannya. 

Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga 
sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu 
telah menyatu dalam semadinya. 

"Khoa rrkh!" 

Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi 
makin murka menerima perlakuan dari si bocah. Seraya 
mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh 
beruang itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel 
dengan tatapan sepasang bola mata yang tajam 
mengancam. 

Perlahan binatang itu bergerak mengintai. 

"Khoaargkh...!" 

Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju 
Tompel. 

Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan 
main. Tak diduga kalau lawan besarnya akan melakukan 
serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru akan 
melarikan diri. 

"Mampus juga aku!" teriak Tompel kelimpungan 
seraya bergegas membuang diri ke sisi kiri. 

Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah 
yang penuh akar-akar merangas. 

"Bang! Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih?!" seru 
Tompel pada Andika. Bibirnya meringis sambil berusaha 
untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua rupanya telah 
menghantam dengkulnya yang terlalu mancung. 

Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan te¬ 
riakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba 
di titik puncak kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu 
niat Pendekar Slebor ditentukan, apakah berhasil 
membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau 
tidak. 

Beberapa saat berselang, di sekujur tubuh Pen-,dekar 
Slebor muncul semacam pendaran cahaya halus yang 
hanya bisa ditangkap mata seseorang yang memiliki 
kekuatan batin. Cahaya halus itu merambat dan 
mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh 
pendekar muda ini sendiri tampak berge-tar. Kian lama, 
getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya.... 

Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup 
amat kencang. Anehnya, hanya di daerah se-kitar pohon 
tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran yang 
menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan 
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan dan apa-apa 
yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar yang tidak 
bisa bertahan dengan akarnya lagi! Semuanya 
diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah 
batang besar pohon tua. 

Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung 
cahaya yang amat menyilaukan. Kian lama lingkaran itu 
kian membesar membentuk celah bundar pada batang 
pohon. 

Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang, 
sekerdip mata saja Pendekar Slebor telah melompat ke 
sana. 

Plash! 

Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan 
pintu alam gaib yang berhasil dibukanya. 

Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu 
alam gaib, tanpa pikir panjang segera menyusul Pendekar 
Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus 
buang 'gas' dari pantatnya segala. Sekejap Tompel 
terlambat, maka tak akan bisa menyusul Andika. Karena 
begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam 
gaib tersebut cepat menutup kembali. 

k k k 


Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata 
tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun 
dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya. 
Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar 
Pendekar Slebor dan Tompel. Seluruh warna begitu 
menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun 
Tompel sama sekali tidak terpengaruh. 

Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di 
mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa. 
Telinga keduanya dikerubungi suara-suara yang 
bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak 
menjadikan pekak. 

Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk 
pertama kali dalam hidup Andika dan Tompel memasuki 
alam para makhluk durjana. 

"Akan ke mana kita. Bang?" tanya Tompel. 

"Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan," 
jawab Pendekar Slebor. 

"Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti 
ini, apa tidak mungkin kita akan tersesat?" cetus Tompel. 
Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang 
pendekar sakti yang amat disegani di dunia persilatan. 

"Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini 
milikNya. Percayalah, bahwa Sang Khalik tetap memelihara 
kita dari kejahatan para makhluk durjana," tutur Andika 
mantap. 

Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah 
mereka merasa menjejak gumpalan-gumpalan awan tebal 
yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai sebentang 
sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka 
membentang di depan, maka Tompel dan Andika berhenti. 

"Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang? 
Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?" desis Tompel, 
ngeri membayangkan dirinya mati menyusuri bentangan 
sinar membara tanpa tepi. 

Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara 
apa-apa. Tidak juga untuk menjawab pertanyaan bocah 
tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang. 

Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya 
mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik. 
Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya 
pada Tuhan, tiba-tiba dari bawah kaki muncul tangan- 
tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan 
Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram 
pergelangan tangan kaki mereka. 

Srap! Srap! 

Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih 
kesigapannya, Andika cepat membuat gerakan 
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan 
tenaga dalam tingkat sembilan belasnya. "Khiaaa!" 

Dua pasang tangan yang sempat menjepit 
pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut 
putus dari gumpalan-gumpalan seperti asap di bawahnya. 
Seketika, cairan berwarna kuning kental menjijikkan 
bercucuran dari setiap potongan tangan tersebut. 

Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa 
menguasai diri, saat itu juga Pendekar Slebor akan 
muntah. 

Sementara itu, Tompel berusaha melakukan tindakan 
yang sama. Sayang, kesigapannya jauh berada di bawah 
Pendekar Slebor. Dia terlambat, karena sudah terlalu 
banyak tangan-tangan berlendir mencengkeram 
pergelangan kaki kurusnya hingga ke betis. 

Namun sebagai gelandangan kotapraja, dia terdidik 
untuk hidup pantang menyerah. Tompel tak putus harapan. 
Seluruh ilmu tenaga dalam yang ter-golong tanggung, 
langsung dikerahkan ke bagian kaki. Pada saatnya, dia 
menghentak keras. 

"Hiaaah!" 

Tras! Tras! 

Hanya dua-tiga tangan yang terputus. Selebihnya, 
malah menjepit Tompel lebih kuat, lalu mulai menariknya 
ke dasar gumpalan. 

Melihat hal itu, Pendekar Slebor tak mau kalah cepat 
dengan betotan-betotan liar. Segera selendang pusaka 
bercorak catur diloloskan dari bahunya. Sejurus, diputarnya 
bagai baling-baling. Kemudian disabetkannya beberapa 
kali. Kain yang semula lembut itu berubah tegang bagai 
lempengan baja. Dalam beberapa kelebatan, tangan- 
tangan yang berusaha membetot tubuh Tompel langsung 
nenjadi mangsa empuk. 

Ctas! Ctas! Ctas! 

"Cepat menyingkir dari tempat ini, Tompel!" seru 
Andika. 

"Ke mana. Bang?! Bukankah di hadapan kita hanya 
ada bentangan cahaya membara?!" 

"Jangan banyak tanya!" bentak Pendekar Slebor. 

Terpaksa, Tompel pun menggenjot kakinya memasuki 
hamparan cahaya merah yang panasnya menyengat 
sekujur badan. 

Kini, di atas hamparan cahaya merah menyiksa, 
kedua lelaki berbeda usia itu berlari bagai pecundang. 
Biarpun Andika sudah banyak makan asam-garam dunia 
persilatan, namun sebagai manusia biasa rasa takut tetap 
ada di benaknya. Hal yang sama pun berlaku pada Tompel. 
Maka jangan tanya bagaimana takutnya si bocah badung 
yang semula menganggap semua itu sekadar buang 
kentut. 

Tak beda orang kesetanan, keduanya berlari. Andika 
yang memiliki ilmu meringankan tubuh lebih tinggi 
daripada Tompel, terpaksa harus menyeret tubuh bocah 
tanggung itu agar bisa tetap bersamanya. 

Tanpa diketahui Andika dan Tompel yang terdampar 
di alam halus itu, para makhluk penghuninya tengah 
menertawakan mereka dari tempat tersembunyi. 

Suara makhluk halus memadati segenap penjuru. Di 
mana pun Pendekar Slebor dan Tompel menjejakkan kaki, 
di situ terdengar tawa mengejek yang hingar bingar 
mendirikan bulu kuduk. 

Lama kelamaan, terbakar kegeraman Pendekar 
Slebor. Ketegaran hatinya memaksanya berontak dari 
kungkungan rasa takut yang mendera bertubi-tubi. Andika 
jadi murka, karena merasa telah dipermainkan mentah- 
mentah oleh para makhluk durjana. 

Seketika Andika menghentikan larinya, napasnya 
memburu bersama kepulan hawa panas dari hidungnya. 

"Aku makhluk yang lebih mulia! Terlalu bodoh jika aku 
menjadi bulan-bulanan kalian!" teriak Pendekar Slebor 
mengguntur. 

Teriakan itu mencabik-cabik hingar-bingar tawa 
mengejek para siluman. Lalu alam pun sunyi. Sunyi.... 

Menyusul, perubahan berangsur-angsur di 
sekelilingnya. Dan lamat-lamat, semuanya mengabur dari 
pandangan Andika dan Tompel. 

Ketika pandangan kembali terang, Andika dan Tompel 
sama-sama tertegun. Hati masing-masing berujar kalau 
mereka sangat kenal tempat itu. 

"Bang! Bukankah ini kamar penginapan Bang Suta?" 
tanya Tompel hati-hati sekali. 

Tidak ada tanggapan dari pemuda di sebelahnya. 
Pendekar Slebor tampak sedang terdiam tegang, karena 
mendengar suara mencurigakan merambat menuju tempat 
mereka. Makin lama terdengar makin dekat. 

Wuk, wuk, wuk! 

Deru santer bagai kepakan sayap rajawali raksasa 
terdengar, disusul hancurnya dinding kamar penginapan 
yang selama ini dipakai Sutawijaya. 

Biar! 

Dari lobang besar yang tercipta, mencuat sebuah 
benda kecil berbentuk bulat lonjong melayang-layang liar. 
Pendekar Slebor langsung mengenali benda itu, begitu 
melihatnya! 

"Cermin Alam Gaib...," desis Pendekar Slebor. 

Memang, cermin itu adalah senjata andalan musuh 
terberatnya. Manusia Dari Pusat Bumi! 

Jika benda warisan siluman itu sudah muncul, itu 
berati pemiliknya pun tak lama lagi akan muncul pula. 
Begitu duga Andika. 

Tak lama berselang, Sutawijaya yang dirinya dikuasai 
roh halus Manusia Dari Pusat Bumi pun tampak memasuki 
lobang menganga di dinding pengi-,napan. Lelaki muda 
sahabat Andika itu terlihat ber-beda dari sebelumnya. Sinar 
matanya tampak menusuk bagai hendak mencabik 
langsung kejantung. Wajahnya kaku, dingin, dan pucat. 
Lebih pucat daripada mayat! 

Saat itu, hanya satu hal yang amat dikhawatirkan 
Andika, terhadap diri sahabatnya. Dia takut, roh Manusia 
Dari Pusat Bumi telah benar-benar menguasai garba batin 
Sutawijaya. Namun menurut Walet, Manusia Dari Pusat 
Bumi baru benar-benar akan menguasai penuh jasad 
Sutawijaya jika sudah berhasil mengorbankan Anggraini 
sebagai tumbalnya. 

Lalu ke mana Anggraini? 

"Hua ha ha haaahhh!" satu tawa menyeramkan 
melompat dari tenggorokan Sutawijaya. "Kita bertemu 
kembali, Pendekar Slebor. Seperti pernah kuancamkan 
padamu, aku akan kembali menghancurkanmu seperti kau 
menghancurkan jasadku...." 

"Manusia siluman bau!" maki Pendekar Slebor. 
"Kujamin niatmu tak akan tersampaikan untuk hadir 
kembali ke alam kasar dengan menguasai diri sahabatku!" 

Manusia Dari Pusat Bumi tertawa lagi. Kali ini lebih 
nyaring melengking, 

"Buktikanlah, Pendekar Slebor! Buktikan...," tantang 
Manusia Dari Pusat Bumi, memancing kemarahan Andika. 

"Kalau itu yang kau ingikan, akan kulayani," tegas 
Andika seraya memasang jurus terampuhnya, 'Mengubak 
Hujanan Petir Membabi buta'. 

Bibir Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai mengejek. 

"Kau masih saja mempergunakan jurus jelekmu itu, 
Pendekar Slebor? Ha ha ha...!" 

"Banyak cincong!" 

Pendekar Slebor yang sudah sepenuhnya siap 
menghadapi lawan, segera menerjang ke depan. Se¬ 
rangka i langkah-langkah teramat cepat dilakukannya. 
Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat 
bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas jurus-jurus yang 
diciptakannya di Lembah Kutukan ketika menjalani 
penyempurnaan kesaktian dulu! (Baca episode : "Dendam 
dan Asmara"). 

"Hiaaa!" 

Deb! Wes! 

Sampokan tangan kanan Pendekar Slebor membabat 
lurus ke bagian leher Manusia Dari Pusat Bumi. Ketika 
nyaris tiba di sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba 
menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampo k, 
tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok 
jalan darah di bagian dada. Pendekar Slebor memang tak 
berniat sungguh-sungguh menghajar. Dia bukan pemuda 
bodoh yang baru saja turun gunung. Kalau seandainya 
berhasil menghantam leher lawan, itu sama artinya 
sengaja membunuh Sutawijaya sahabatnya. 

Sementara Manusia Dari Pusat Bumi tampaknya tak 
mudah dikelabui dengan perubahan gerak secara tiba-tiba 
yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi 
sekalipun. Dengan amat lincah, Manusia Dari Pusat Bumi 
menjepit jari jemari Pendekar Slebor dengan sepasang 
telapak tangannya. Tep! 

Pada saat yang nyaris tak berlainan, mata bengis 
Manusia Dari Pusat Bumi melirik tajam ke arah Cermin 
Alam Gaib. Seketika benda terkutuk yang masih melayang- 
layang di udara itu bagai mengerti bahasa isyarat mata 
tuannya. Langsung dibokongnya Pendekar Slebor dari 
belaka ng. 

"Bang Andika, awas di belakangmu!" teriak Tompel 
keras. 

Tanpa diperingatkan Tompel pun, Pendekar Slebor 
sebenarnya sudah menyadari bahaya. Dengan sigap, 
kakinya disentakkan ke atas. Masih dengan tangan terjepit 
telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi, dengan cerdik 
Andika melenting ke atas. 

Maka tanpa bisa dicegah lagi, Cermin Alam Gaib 
langsung menghajar tubuh tuannya sendiri. 

Dakh! 


Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi kontan terhempas ke 
belakang amat deras. Dinding penginapan kembali jebol, 
menciptakan lobang besar tambahan. 

"Sinting kau. Bang! Bang Suta bisa terluka!" bentak 
Tompel gusar menyaksikan siasat bertarung Pendekar 
Slebor yang sengaja mengumpankan tubuh lawan pada 
senjatanya sendiri. 

"Tenang, Pel. Tentu saja aku sudah memperhi¬ 
tungkan. Senjata itu seperti anjing penurut bagi Manusia 
Dari Pusat Bumi. Mungkin bisa menghajar tuannya, tapi tak 
akan sampai terluka parah," kata Andika yakin. 

Perkataan Pendekar Slebor terbukti. Dari lobang di 
dinding tadi, Manusia Dari Pusat Bumi meluncur masuk 
kembali dengan satu terkaman ganas dan berkekuatan 
penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku, seolah- 
olah siap mencabik baja terkeras sekalipun. 

"Nah, kau lihat sendiri, bukan?" ujar Pendekar Slebor 
seraya berkelit gesit. 

Masih sempat-sempatnya Andika berkelakar dengan 
Tompel, pada saat yang bagi orang lain tak bisa 
menggerakkan lidah sekalipun, karena diliputi rasa tegang. 

Sewaktu dua cakar Manusia Dari Pusat Bumi hendak 
merobek tenggorokannya, Pendekar Slebor bergerak sigap 
satu tindak ke samping. 

Wuk! 

Maka sambaran itu pun lewat begitu saja, hanya 
setengah jengkal dari tenggorokan Andika. Sebuah cara 
menghindar yang terlalu mengandung bahaya 
besar. Seakan-akan, pendekar muda itu hendak 
mengejek lawan. 

"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Manusia 
Siluman Bau! Coba sedikit lagi kau percepat gerakanmu. 
Ayo... ayo...," ledek Andika, menganggap lawan seperti 
bocah kecil yang baru bisa merangkak. 

"Khaaah! Jebol igamu!" 

Dalam segebrak, Manusia Dari Pusat Bumi sudah 
membuat serangan susulan menggunakan siku kirinya. 
Sementara dada bidang Pendekar Slebor hendak dijadikan 
sasaran. 

Pendekar Slebor tak mau terus menghindar. Dia sadar 
kalau terus seperti itu lama-kelamaan akan terhantam juga 
oleh serangan gencar Manusia Dari Pusat Bumi. Maka 
dengan satu gerakan pontang-panting tapi secepat kedipan 
mata, tangannya menekuk di depan dada. 

Dakh! 

Siku Manusia Dari Pusat Bumi berhasil ditahan 
Pendekar Slebor. Kemudian tangan Pendekar Slebor yang 
lain meruntunkan serangkai totokan yang bisa 
menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus. 

Wuk, wuk, wuk.J 

Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian 
totokan Pendekar Slebor. Tapi tak satu pun bisa 
melumpuhkan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena setiap 
kali mengenai sasaran, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi 
berubah menjadi selembut asap. Meski setiap totokannya 
tepat mengenai sasaran, ujung jari Andika tak merasa 
menyentuh apa-apa. 

Menyadari hal itu, Andika melenting ringan untuk 
menjauhi Manusia Dari Pusat Bumi. Pengalamannya di 
waktu lalu saat menghadapi lawannya untuk pertama kali, 
langsung terngiang di benaknya. 

"Monyet iler, anjing bengek, kutu mencret!" sumpah 
serapah panjang pendek keluar dari mulut Pendekar 
Slebor. "Rupanya dia mulai bermain sihir!" 

Sambil memaki, mata Andika mencari-cari ke mana 
Cermin Alam Gaib. Di seluruh ruangan, tak ditemukannya 
lagi benda laknat itu, setelah sebelumnya melayang-layang. 

Barulah Andika sadar. Semenjak menghantam 
tuannya sendiri, cermin itu telah berada pada Manusia Dari 
Pusat Bumi kembali. Hanya dengan benda itu tokoh iblis itu 
bisa mengerahkan seluruh kekuatan saktinya. 

Untuk menghadapi kekuatan sihir Manusia Dari Pusat 
Bumi, jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah 
memusatkan segertap jiwanya pada satu titik terdalam di 
dasar diri lawannya. Sementara itu, dia menyerahkan 
dirinya pada kekuasaan Tuhan Semes-ta Alam. 

Pengalaman ini didapat atas saran pangeran yang 
menitis pada diri Walet. Dan terbukti, Pendekar Slebor dulu 
bisa menaklukkan Manusia Dari Pusat Bumi. 

Kini Pendekar Slebor berusaha menyatukan dirinya 
dengan kekuatan Tuhan Alam Semesta. Dugaan Andika tak 
meleset. Begitu memasuki taraf pengosongan diri, sebuah 
semburan api raksasa tercipta dari sepasang telapak 
tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Seolah ada naga ganjil 
yang hendak menelan bulat-bulat tubuh Andika. Api 
raksasa itu menderu menuju dirinya tanpa bisa dielakkan 
lagi. 

Seketika seluruh tubuh Andika menghilang di balik 
kobaran api. Namun beberapa saat berikutnya, api 
mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori 
Pendekar Slebor membersit cahaya bening. Cahaya bening 
seperti air tanpa wujud ini mendesak dan terus mendesak 
api besar milik Manusia Dari Pusat Bumi. 

Menyadari usahanya tak berhasil, Manusia Dari Pusat 
Bumi menambah pengerahan kekuatan sihirnya. Kini, 
bukan hanya api yang muncul dari telapak langan manusia 
jelmaan siluman itu. Sesosok makhluk yang bentuknya 
berubah-ubah melayang deras meluruk ke arah Pendekar 
Slebor. 

Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata 
sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening 
dari tubuh Pendekar Slebor. Pada akhirnya, sebentuk 
tangan mencuat dari perut makhluk itu. Dan, langsung 
mencengkeram Pendekar Slebor. 

Krep! 

Saat itu, Andika merasa dirinya seperti dipaksa 
tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. Napasnya 
sesak. Jangankan menarik napas, mengembangkan 
dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu 
bergeliat-geliat. 

Apakah Pendekar Slebor akan terus bergeliat hingga 
meregang nyawa? 

k k k 

Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman 
tangan ganjil di leher Pendekar Slebor sirna. Andika heran. 
Secepat itu pula kelopak matanya membuka. Lalu apa 
yang dilihatnya? Sungguh suatu hal yang membuatnya 
nyaris tertawa geli, meski dirinya hampir mati sebelumnya. 

Tompel, si bocah tanggung yang selama ini hanya jadi 
penonton, ternyata telah mencopet Cermin Alam Gaib dari 
balik pakaian Manusia Dari Pusat Bumi. Bocah itu yang 
berhati masih bersih dari kotoran dunia, membuatnya 
sama sekali tak terpengaruh kekuatan jahat benda laknat 
milik Manusia Dari Pusat Bumi. 

Dengan mata kepala sendiri Andika melihat anak itu 
menimang-nimang Cermin Alam Gaib. Sedangkan bibirnya 
yang terlalu kecil, bersiul-siul tanpa bunyi. 

"Abang boleh bangga padaku.... Biar begini-begLii, aku 
tidak bodoh untuk mengetahui kelemahan lawan," Tompel 
sesumbar dengan cuping hidung kembang-kempis bangga. 

Sementara itu, mata Manusia Dari Pusat Bumi 
mendelik sejadi-jadinya. Sulit diduga kalau bocah kecil 
yang tak pernah dipandang sebelah mata itu berhasil 
menjarah benda dari balik pakaiannya saat sedang 
memusatkan perhatian mengerahkan kekuatan sihir dari 
cermin. Sama sekali dia tak merasakan apa-apa. Sampai 
akhirnya, baru tahu ketika kekuatan sihirnya tiba-tiba 
pupus. 

"Kembalikan benda itu!" hardik Manusia Dari Pusat 
Bumi dengan sehimpun keganasan terpancar di sepasang 
matanya. 

Tompel melirik acuh. 

"Kembalikan dulu Kang Suta yang kini kau pakai 
jasadnya!" balas si bocah pencopet acuh tak acuh. 

Dengan garang, Manusia Dari Pusat Bumi menerkam 
bocah kecil itu. Dia tidak ingin benda andalannya direbut 
Pendekar Slebor. 

"Tompel cepat lempar benda itu!" seru Andika. 

Tompel pun tak ingin menjadi korban cabikan tangan 
Manusia Dari Pusat Bumi. Karena dirinya bukan dendeng 
yang bisa disobek-sobek. Maka segera dilemparkannya 
Cermin Alam Gaib pada Andika. 

"Nih Bang!" 

Benda sakti itu berputar di udara. Bersamaan dengan 
itu, Andika melepas pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi 
warisan Pendekar Lembah Kutukan. 

Wush! 

Blash! 

Bagai bara masuk ke dalam air, terdengar bunyi 
desisan panjang ketika pukulan jarak jauh Andika 
menghantam Cermin Alam Gaib. Tepat pada saat itu, mulut 
Manusia Dari Pusat Bumi melepas lengkingan tinggi. 

"Aaa...!" 

Saat itu pula seberkas cahaya amat menyilaukan 
membersit keluar dari tubuh Sutawijaya yang menjadi 
tumpangan roh halus Manusia Dari Pusat Bumi. 

Keanehan tercipta. Tubuh Sutawijaya seperti 
membelah dua. Salah satu tubuh yang keluar dari diri 
Sutawijaya adalah, Anggraini.... 

Andika tergugu. Tompel pun begitu. Seperti dua 
manusia yang baru saja mengalami prahara yang teramat 
menggonca ngkan jiwa. 

Seumur hidup, memang baru kali ini Andika dan 
Tompel melihat kejadian yang amat ganjil. Sesosok tubuh 
yang tiba-tiba muncul dari dalam diri orang lain? 

Sementara Pendekar Slebor dan Tompel mematung, 
Sutawijaya dan Anggraini tampak menggeliat kecil. Dua 
manusia berbeda jenis yang tergeletak di lantai 
penginapan ini mulai siuman. 

"Huhhh...." keluhan Sutawijaya terdengar. 

Hampir berbarengan, Anggraini pun melepas erangan. 

"Di mana aku?" tanya Sutawijaya mendesis, begitu 
membuka kelopak matanya. 

Berbeda dengan Sutawijaya, Anggraini membuka 
mata beriring garis-garis ketakutan pada wajahnya. 
Sepasang bola matanya yang indah bergerak nyalang kian 
kemari, seolah di sekelilingnya berkumpul segerombolan 
makhluk menakutkan dari dasar neraka. 

Manakala matanya menemukan Andika, gadis itu 
kontan bangkit dan memburu ke arah pemuda itu. 
Disergapnya Pendekar Slebor erat-erat. Sikapnya tak beda 
seorang gadis kecil yang meminta perlindungan. Di dada 
bidang Pendekar Slebor, Anggraini benar-benar 
menumpahkan semua ketakutannya dalam tangis. 

"Semuanya telah berakhir, Anggraini.... Telah 
berakhir," ucap Andika lembut. Tangannya mencoba 
memberi rasa perlindungan dengan memeluk tubuh 
gadis itu erat-erat. 

Namun jauh di dasar batin, Andika tetap bertanya 
gelisah.... 

"Mungkinkah dendammu akan hilang padaku. 
Anggrai ni?" 

SELESAI 

PENDEKAR SLEBOR
Serial Pendekar Slebor selanjutnya: 
PERMAINAN TIGA DEWA