Pendekar Slebor 13 - Sepasang Bidadari Merah


Dunia seringkali menawarkan pada manusia sesuatu yang tidak terduga. Layaknya sakaratul maut menjemput. Datang tanpa disadari siapa pun, sementara manusia mungkin masih terlena buaian duniawi. 

Seperti juga yang dialami seorang gadis cantik yang saat ini berada di sebelah selatan Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia adalah Anggraini, putri seorang tokoh silat wanita bernama Kupu-kupu Merah. Berjalan bersamanya adalah seorang laki-laki tua, penguasa wilayah ini. Julukannya, Pangeran Neraka. Mereka tampak beriringan akrab dengan langkah lambat menyusuri jalan setapak berkerikil halus. Sebelah tangan Pangeran Neraka menggandeng bahu gadis cantik itu, memperlihatkan perhatian seorang paman kepada kemenakannya (Untuk mengetahui lebih jelas tentang mereka, baca serial Pendekar Slebor dalam kisah: "Pendekar Wanita Tanah Buangan"). 

Di atas sana, angkasa meredup lamat. Cahaya mentari telah menguning matang, pertanda hari sebentar lagi tersungkur di awal malam. Angin senja menyapu kulit kedua insan yang bertalian darah itu. 

"Bukankah kau hendak menceritakan padaku tentang cemeti dan kalung kepala rajawali yang diberikan ibu padaku, Paman Bureksa?" tanya Anggraini bernada meminta, setelah memindahkan benda-benda yang dimaksud kedatangannya. 

"Apakah kau sudah siap mendengarnya?" tanya Pangeran Neraka yang bernama asli Bureksa. 

Cara bicara laki-laki tua ini saat itu sangat jauh dari sifat sebenarnya yang telengas dan culas. Dia lebih tampak sebagai orangtua arif penuh kasih. 

"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, Paman?" 

Pangeran Neraka tertawa. 

"Sewaktu bertemu pertama kali, bukankah kau tak percaya kalau aku ini kakak ayahmu?" kata Pangeran Neraka seperti hendak menguji kesungguhan Anggraini menanyakan tentang riwayat dua benda di tangannya. 

"Sekarang aku percaya, setelah Paman bisa tepat menceritakan tentang riwayat ibuku." 

"Tapi itu bisa saja dilakukan banyak orang yang mengenal ibumu. Kupu-kupu Merah adalah julukan ibumu yang tersohor beberapa waktu lalu. Banyak orang yang tahu tentang ibumu." 

"Tapi, tak mungkin banyak orang tahu tentang kalung kepala rajawali ini, bukan?" 

Pangeran Neraka tertawa lagi. Entah apa yang dianggapnya lucu. 

"Sekarang, Paman mau menceritakan bagaimana kaitan benda-benda ini dengan ayahku, bukan?" desak Anggraini halus tanpa kesan merajuk. 

Dalam beberapa hari ini, gadis itu memang sudah begitu dekat dengan Pangeran Neraka. Keberadaan lelaki tua itu seperti mengisi kerinduannya pada sosok seorang ayah. Namun demikian, sebagai seorang gadis yang dibesarkan menurut adat orang-orang persilatan Anggraini tak tampak manja. 

Pangeran Neraka mengangguk mantap. 

"Baiklah," desah orang tua itu. 

Anggraini menunggu. Namun, belum ada satu kata lagi meluncur dari mulut Bureksa. Anggraini tentu saja menjadi agak heran. 

"Kenapa Paman kelihatannya ragu?" tanya Anggraini. 

"Aku ingin bertanya dulu padamu sebelum bercerita," kata Bureksa, seraya menjemput bahu Anggraini dengan kedua tangan kekarnya yang berkulit cacat seperti bekas terbakar. Ditatapnya sepasang mata gadis itu lekat-lekat. "Aku sempat melihat kau bersama pemuda berpakaian hijau muda waktu itu. Bagaimana hubunganmu dengannya?" 

Anggraini mengingat-ingat. Gadis itu cepat tahu, siapa yang dimaksud pamannya. "Andika maksud Paman?" 

"Ya!" sahut Bureksa, singkat. 

"Dia kawan baruku," jawab Anggraini, sungkan. 

"Jangan menyembunyikan apa-apa padaku, Anggraini! Aku sudah hidup cukup lama. Artinya, aku sudah hafal benar, bagaimana sinar mata seorang gadis yang mulai jatuh hati pada seorang pemuda...." 

Ucapan Bureksa terasa sekali menyentil perasaan Anggraini. Cepat-cepat pandangannya dialihkan, melepas ikatan mata Pangeran Neraka. Seolah-olah gadis itu percaya pamannya mampu membaca isi hatinya melalui sinar mata. Saat yang sama, pipinya bersemu merah. 

"Kau belum mengatakan hal yang sebenarnya, bukan?" usik Pangeran Neraka. Nadanya seperti mendesak, membuat Anggraini merasa tak nyaman. 

"Ayo, Anggraini! Katakan padaku. Kau mulai mencintai pemuda itu, bukan?" Pangeran Neraka makin mendesak. Cekalan tangan di bahu gadis itu pun mengeras. 

"Aku tak suka Paman mendesakku seperti ini!" sentak Anggraini tiba-tiba. Ditepisnya kedua tangan sang paman dari bahunya. 

Gadis itu berbalik, membelakangi Bureksa. Wajahnya yang kian matang terbakar oleh rasa malu dan kegugupan  atas tekanan Bureksa, seakan-akan disembunyikannya. 

Pangeran Neraka hendak meraih bahu Anggraini kembali dari belakang. Baru saja tersentuh, Anggraini sudah menjauh dengan langkah terbanting-banting. 

"Anggraini!" seru Bureksa agak gusar melihat sikap kemenakannya yang baru saja dikenal. 

"Kalaupun aku mengakuimu sebagai kakak ayahku, tapi bukan berarti Paman bisa mencampuri hidupku seenaknya," gerutu Anggraini, sambil tetap melangkah. 

"Aku tak akan mencampuri hidupmu, asal kau tidak mencintai pemuda itu!" tegur Pangeran Neraka, segera menyusulnya. 

"Paman tak bisa mengatur cinta seseorang. Datangnya cinta tidak bisa ditentukan. Dan perginya pun tanpa bisa dicegah!" bantah Anggraini mulai sengit. 

"Tapi kau belum tahu, siapa pemuda itu!" 

"Aku memang belum lama kenal dengannya. Tapi hatiku mengatakan, dia lelaki yang patut dicintai. Seorang pemuda berkepribadian, punya jiwa ksatria. Juga memiliki kelembutan...." 

"Kau sedang mabuk, Anggraini! Kau tak menyadari, siapa yang kau cintai!" 

Pangeran Neraka kini segera menghadang langkah Anggraini. Diangkatnya wajah terbakar Anggraini dengan tangan. 

"Lihat aku, Anggraini!" ujar orang tua itu, agak keras. 

Gadis yang berwatak keras itu tak juga mau menurut. Lagi-lagi ditepisnya tangan kekar Pangeran Neraka. 

"Aku tak mau mendengar ucapan Paman lagi, kecuali tentang ayahku!" tandas gadis itu. 

"Pemuda itu pun berhubungan erat dengan kematian ayahmu, Gadis Keras Kepala!" hardik Bureksa, mulai kehilangan kesabaran. 

Anggraini tercekat. Apakah telinganya tak salah dengar? Pamannya barusan menyebutkan, kalau Andika berhubungan dengan kematian ayahnya. 

Dengan kelopak menyempit, Anggraini mempertemukan matanya dengan mata sembilu Pangeran Neraka. Ditangkapnya jilatan api kemarahan pada mata lelaki itu. Tapi, Anggraini tak peduli. 

"Apa maksud Paman?" tanya gadis itu nyaris seperti mendesis. 

"Kalau kau ingin tahu, dialah orang yang telah membunuh ayahmu!" papar Pangeran Neraka tegas, penuh tekanan. 

Anggraini melengak. Tak ada lagi kata yang bisa diucapkan bibirnya. Dia terlalu terkejut mendengar berita yang disampaikan pamannya. Kelopak matanya membuka tanpa kedip sekian lama. Lalu mendadak saja tubuhnya berbalik dan berlari sambil mendekap wajah. 

"Aku tak percaya ini!" teriak Anggraini bergetar seperti menahan isak.  

* * *  

Berhari-hari Andika mencari Anggraini. Dan tak sejenak pun sempat dilihatnya lagi wajah gadis itu. Sejak menghilangnya Anggraini di daerah Pintu Sorga dan Neraka Dunia, Andika jadi seperti anak ayam kehilangan induk (Untuk lebih jelasnya, baca episode : "Pendekar Wanita Tanah Buangan"). Dia kelimpungan mencari ke sana kemari, tapi hasilnya melompong. 

Kalau saja tak mengkhawatirkan keselamatan gadis yang baru turun dalam persilatan yang penuh tipu daya ini, tentu Pendekar Slebor sudah melanjutkan perjalanan ke tujuan lain. Dia sendiri tak mengerti, perasaan macam apa yang membuat hatinya begitu mengkhawatirkan Anggraini. Bisa saja semacam perasaan bersalah, karena membuat Anggraini harus kehilangan seorang yang amat dekat dengannya. Bisa jadi juga dia mulai menyukai pribadi Anggraini. Tapi, apa begitu? Padahal Anggraini tergolong sulit diajak bersahabat. 

Orangnya terlalu keras. 

Sambil membawa pikirannya menerawang, Pendekar Slebor melanjutkan pencarian. Sampai akhirnya, Andika tiba di suatu tempat yang teduh. Pohon-pohon besar memayungi tempat itu. Sewaktu melihat ada sungai kecil berair bening di sana, timbul keinginannya untuk sedikit menyejukkan badan. 

Andika pun menanggalkan pakaian. Setelah melemparkan perangkat penutup tubuhnya ke bawah sebatang pohon, pemuda tampan itu langsung melompat ke dalam sungai.  

Byur! 

"Fhuah! Segarnya," ucap Andika, begitu muncul di permukaan kembali. 

Sungai kecil itu tergolong cukup dalam. Sehingga, memungkinkan Andika menyelam. Kebeningan airnya menyebabkan dasar sungai dapat terlihat melalui permukaan. 

Andika mencoba menyelamkan kepala lagi. Panas matahari yang memanggang batok kepalanya siang itu, sepertinya belum cukup terusir. 

"Fhuah!"  

Pemuda itu muncul kembali di permukaan. Kepalanya menggeleng-geleng keras, mengusir usikan air pada telinganya. 

"Tuhan memang adil. Menciptakan rasa panas yang disertai pula rasa dingin. Coba kalau ada panas saja, bisa gosong semua manusia di permukaan bumi ini," gumam pemuda itu saat menggosok-gosok badan dengan batu cadas dari dasar sungai. 

Puas menyejukkan sekaligus membersihkan badan, Pendekar Slebor berniat naik ke tepi sungai. Sewaktu matanya mencari pakaiannya, wajahnya kontan terlipat. Pakaiannya tak ada lagi di tempat! Mau tak mau, Andika mengurungkan niat untuk naik. 

"Ini pasti ada yang usil," bisik Pendekar Slebor sambil menggerutu. "Apa dikiranya aku ini bidadari dari kayangan yang tak bisa kembali lagi kalau pakaianku diambil?!" 

Pendekar Slebor lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

"Hey, Pencuri! Kuberitahu, kalau pakaianku tidak berharga untuk dijual. Biar ke tempat loakan sekali pun!" teriak Andika. "Dan kalau kau hanya mau usil, ya jangan keterlaluan! Aku tidak bisa keluar dari sungai ini hanya dengan mengenakan celana dalam!" 

Tak ada sahutan. 

"Hoooiii! Perempuan atau lelaki! Jin botak atau manusia gundul! Tua atau muda! Yang membawa pakaianku, cepat kembalikan ke tempatnya semula!" teriak Andika lagi. 

Tetap saja tak ada tanggapan. 

"Ah! Apa aku hanya berprasangka buruk saja. Belum tentu pakaianku dibawa orang. Mungkin saja diterpa angin," gumam Andika, meralat dugaan sebelumnya. 

Pikir punya pikir, pemuda itu akhirnya sedikit nekat untuk naik mencari pakaiannya. Dengan tangan menutupi celana dalam, tubuhnya mengendap-endap ke tempat pakaiannya diletakkan. Dicari-carinya baju dan celana hijau muda itu ke sekitarnya. Tapi sejauh mata memandang, tak juga ditemukannya 

Kecurigaan Andika mulai tersembul lagi. 

"Kalau begitu, benar dugaanku tadi. Memang ada manusia usil yang hendak mengerjaiku," bisik pemuda itu. 

Sementara berbisik, matanya melirik kian kemari. Tentu saja pemuda kesohor itu takut tertangkap basah sedang polos seperti bayi yang hanya mengenakan popok! 

"Iya kalau lelaki yang mengusili ku. Aku tak begitu malu. Bagaimana kalau wanita? Wah! Bisa lepas wajahku karena malu," gumam Andika lagi seraya mengendap-endap untuk kembali ke sungai. Maksudnya, supaya bisa menyembunyikan tubuh. 

Saat matanya melirik ke sana kemari seperti maling kesiangan, mendadak saja terdengar hardikan seseorang di belakangnya.  

"Nhaaa! Mau berbuat mesum, ya!"     Tanpa pikir apa-apa lagi, Andika langsung saja tunggang-langgang secepatnya ke arah sungai. Tak lagi diperdulikan, bagaimana caranya berlari sepanjang masih bisa menutupi celana dalamnya dengan tangan. 

"Wuaaa!" 

Byur! 

Didahului teriakan kalang kabut, pemuda urakan yang ternyata masih punya malu itu terjun ke dalam sungai kembali.  

* * *  

2  

"Hik hikhik!" 

Satu alunan tawa nyaring memekakkan telinga berkumandang, mengejek Pendekar Slebor. 

Ketika kepalanya muncul ke permukaan, Andika melihat seorang nenek jelek berpakaian aneh yang pernah dilihatnya saat melarikan Ratu Lebah. Nenek itu masih terkikik-kikik, sampai tubuhnya berguncang-guncang kecil. Dedaunan yang menutupi auratnya pun ikut bergetaran. 

"Kau lagi...," gerutu Andika dongkol. "Cepat kembalikan pakaianku!" 

Mata Andika melotot ketika menemukan pakaian hijau muda itu berada di tangan si nenek jelek. 

"Enak saja! Aku masih senang menikmati pemandangan bagus itu, kok!" sergah si nenek, menghentikan tawa nyaringnya. Dengan genit, diliriknya permukaan sungai tempat Andika berendam. "Kau tak sadar, ya? Sungai itu terlalu bening untuk dijadikan tempat bersembunyi. Hikhikhik!" 

Mata pemuda berambut gondrong itu mendelik sejadi-jadinya. Kenapa dia jadi tolol! Tentu saja setiap orang yang tak buta akan dapat melihat tubuhnya yang tak berpakaian, dari permukaan air sungai yang begitu bening! 

Untuk keluar dari sungai, sudah tak mungkin lagi bagi Andika. Itu sama saja membiarkan tubuhnya jadi tontonan indah si nenek genit. Namun, otak encer Andika tak kehilangan akal. Permukaan air segera diaduk-aduknya supaya bayangan tubuhnya jadi menghambur tak kentara. 

"Lho! Lho?! Kok, tubuhmu sekarang jadi tampak berantakan?!" ejek si nenek dengan mata terbelalak. 

"Tutup mulut mesummu itu, Nenek Jelek!" maki Andika kesal. 

"Idih! Begitu saja sudah sewot!" goda si nenek dengan gaya seorang perawan desa merayu jejaka. 

Andika mendengus. Pangkal hidungnya jadi terlipat. 

"Sebenarnya, apa maumu?!" tanya Andika kemudian. 

"Aku? Yang kumau sih, ya bisa jadi kekasihmu...," sahut si nenek mendayu. 

"Amit-amit," bisik Andika membatin. 

Bergidik juga pemuda itu mendengar ucapan si nenek genit. 

"Terus terang, aku sedang tak berselera mendengar ocehan tengik. Ke-napa kau tak langsung katakan saja, apa maumu sebenarnya, Perempuan Tua?" Andika mengulangi kembali pertanyaannya. 

"Anak muda selalu bernafsu," cemooh si nenek seraya mencibir. "Tapi, baiklah. Aku hanya ingin memberi pelajaran padamu, karena kau harus ikut bertanggung jawab atas luka yang diderita anak gadisku," tutur perempuan uzur itu akhirnya. 

"O, sekarang persoalan menjadi jelas. Sejak semula juga sudah kuduga kalau kau hendak mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi," tanggap Andika. "Jadi, Ratu Lebah adalah anakmu?" 

"Aku tak bilang dia anakku, Tolol!" 

"Kalau begitu, pasti dia muridmu," duga Andika. 

"Nah! Kau tidak tolol lagi!" 

Pemuda sakti dari Lembah Kutukan itu memajukan bibirnya. 

"Kalau muridnya saja sebejat itu, apalagi gurunya," sindir Andika, pedas-pedas. 

"Siapa yang kau bilang bejat?!" bentak si nenek sewot. 

"Muridmu, Ratu Lebah!" 

"Eee, Pemuda Bermulut Lancang! Kau tak boleh asal bicara sebelum kuizinkan!" 

Si nenek mencak-mencak. Pakaian Andika dikebut-kebutkannya kian kemari. 

"Ini mulutku sendiri, Perempuan Tua. Aku tak bisa mengatakan yang hitam itu putih. Kalau memang bejat, ya kukatakan bejat. Dan kalau...." 

"Diam!" potong si nenek, menghardik. 

Seketika itu juga Andika benar-benar terdiam. Mulutnya yang biasanya begitu terampil mencerocoskan dengan kata pedas, tiba-tiba saja tak bisa digerakkan. Raut mukanya kejang dan lidahnya kelu. Andika tetap tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, meski telah berusaha menggerakkan rahang dengan menyalurkan kekuatan tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan yang diandalkan. 

"Mhhh... mhhh bhff!" 

Hanya bunyi itu yang terdengar. 

"Hik hik hik! Biar tahu rasa kau! Itu namanya kualat pada orang tua!" ledek si nenek. Mencak-mencaknya berganti goyangan pinggul ke kiri dan kanan. 

Sekarang pendekar muda itu baru sadar kalau nenek yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Terbukti, tenaga dalamnya yang disegani di dunia persilatan tak berdaya menghadapi kuncian yang dibuat si nenek ke rahangnya. 

"Sebelum aku salah menjatuhkan tangan padamu, sebaiknya kutanyakan dulu padamu. Apakah kau bertanggung jawab terhadap muridku yang terluka sewaktu kularikan dulu?" 

Si nenek mulai mengajukan pertanyaan, tak ubahnya seperti seorang punggawa mengorek keterangan dari seorang mata-mata istana. Wajah keriputnya dibuat sebengis mungkin. Padahal, malah terlihat menggelikan. Malah lebih parah daripada raut wajah orang yang terserang mules hebat. 

"Mmhh... mmh!" jawab Pendekar Slebor, tak kentara. 

"O, iya! Aku lupa dengan mulutmu...," kata si nenek. 

Segera si nenek menyapukan tangan yang tak memegang pakaian Andika ke udara. Gerakannya terlihat ringan saja, seolah asap pun tak terhalau. Namun, hasilnya ternyata dapat membuat kuncian pada mulut Andika terbebas. 

"Sekarang bicara!" bentak si nenek, disertai belalakan matanya. 

"Aku tak akan menjelaskan duduk perkaranya, kalau kau tak memberikan pakaianku dahulu!" ujar Andika, tak memuaskan si nenek. 

"E, bisa juga kau mengancam, ya! Nih! Tangkap pakaian jelekmu! Kau pikir aku butuh? Untuk kujadikan gombal saja, aku tak berniat..." 

Perempuan tua berompi kulit pohon itu melempar pakaian Andika yang sejak tadi dipegangnya. Seperti ketika membebaskan Andika dari kuncian mulut, gerakan kali ini pun tak kelihatan bertenaga sama sekali. Amat enteng. Namun ketika pakaian berwarna hijau muda itu terlepas dari tangannya.... 

Wuuut! 

Terciptalah kelebatan amat cepat. Mata terlatih Andika yang biasa menangkap kecepatan sambaran kilat di Lembah Kutukan, masih sempat menangkap kelebatan pakaiannya. 

Lalu tangkas sekali pendekar muda itu mengangkat tangan dari bawah permukaan sungai, untuk menjemput lemparan si nenek. Meski begitu, ketangkasan tangannya belum bisa menghadang kelebatan pakaiannya. 

Pyar! 

Sekejap kemudian, pakaian hijau muda itu menampai permukaan sungai di belakang Andika. Saat itu air, seperti langsung disibak tangan raksasa. Sampai-sampai, tubuh Andika sendiri terhempas gelombang besar ke tepi sungai. 

"Sudah tidak betah di sungai, ya?" ledek si nenek, menjengkelkan. 

Seraya menggerutu berkepanjangan, Andika memakai pakaiannya. Daripada setengah telanjang, dipakainya juga pakaian basah itu. Tak begitu lama, dia pun naik. 

"Nah! Sekarang, jawab pertanyaanku!" kata si nenek memulai kembali. 

"Terus terang, aku memang memusuhi muridmu. Aku tak menyesal jika dia terluka," jelas Andika tak segan-segan. 

"Aku tak tanya kau menyesal atau tidak! Yang kutanya, apa kau bertanggung jawab terhadap keadaan muridku!" sergah si nenek ngotot. 

"Kalau itu pertanyaannya, kujawab tidak." 

"Bagus!" cetus si nenek. 

Setelah itu, si nenek berbalik. Perempuan tua itu pergi begitu saja. Padahal, Andika menduga si nenek akan menggempurnya setelah seluruh pertanyaan dijawab. Biasanya, jika murid bejat, itu karena hasil didikan gurunya. Dengan kata lain, guru yang ke-ji biasanya akan melahirkan murid yang sama keji. 

Dengan terheran-heran, Andika menahan langkah si nenek. 

"Kenapa kau tak melabrakku?" tanya Andika. 

Si nenek menoleh sebentar. 

"Apa kau mau bermusuhan dengan seorang yang baru kau kenal?" si nenek balik bertanya. Bibirnya tersungging kecil. Entah meledek, entah meremehkan. 

Dan entah pula merasa lucu dengan pertanyaan Andika barusan. 

"Bermusuhan? Aku malah sering memimpikan seluruh manusia di atas jagad ini membuang semua sifat ingin musuhan. Lalu, mereka bisa hidup damai saling berkasih sayang. Sayang, hati manusia banyak yang dengki dan busuk...," ucap Andika seperti bicara pada diri sendiri. 

Sekali ini, si nenek terkekeh mendengar penuturan pemuda yang baru saja dikerjainya. 

"Itu artinya, kau tidak mau bermusuhan denganku. Nah, kenapa pula aku harus memusuhi orang yang tidak ingin bermusuhan denganku? Asal kau tahu, Anak Muda Semestinya, di dunia ini berlaku hukum yang setimpal Setiap ke-jahatan harus dibalas kejahatan. Sebabnya, kebaikan harus dibalas pula dengan kebaikan...," ucap si nenek berkesan dalam. 

"Tapi, jika seseorang ingin besar di hadapan Tuhan semesta Alam, semestinya memaafkan kejahatan yang diperbuat orang terhadap dirinya. Dan, membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik...," timpal Andika. 

"Hik hik hik! Aku suka kau, Anak Muda!" puji si nenek tulus meski disampaikan secara menyebalkan. 

Tak lama kemudian, si nenek sudah menghilang bagai ditelan bumi. Andika memang sempat menangkap kelebatan tubuhnya. Tapi dia tahu sulit untuk menandingi kecepatan geraknya.  

* * *  

Anggraini termenung sendiri dalam kungkungan kebisuan. Dipandanginya gerombolan bunga matahari di kejauhan, dengan sinar mata amat kosong. Di bawah naungan serumpun bambu kuning yang tumbuh di beberapa tempat di Pintu Sorga dan Neraka Dunia, gadis menawan itu duduk bersandar. Angin mengusik derit batang bambu hingga saling bergesekan menggoda. Juga, gemerisik dedaunan bambu mencoba menyadarkan Anggraini dari lamunan. Namun, gadis itu tidak peduli. 

Banyak hal yang bisa membuat seseorang bagai menghukum diri menjadi area batu seperti itu. Untuk dara semacam Anggraini, penyebabnya seringkali mudah dikenali. Cinta! 

Cinta? Ya! Satu kata singkat, namun menyimpan sehimpun makna. Dan itu telah menggerayangi gadis ini hari-hari belakangan. Dimulai sejak Pangeran Neraka, pamannya, menerangkan kalau pembunuh ayah gadis ini adalah je-jaka yang berhasil menanam benih-benih kasih terdalam, yang kemudian tumbuh menjadi cinta pertamanya. 

Betapa Anggraini sulit mempercayai keterangan tersebut. Di matanya, Andika adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan rupawan. Tapi, juga memiliki sifat yang patut dikagumi. Ksatria, welas asih, dan berwibawa adalah sekadar sebagian pribadinya. Anggraini bisa melihatnya, meski perkenalan dengan Andika bisa dikatakan singkat. 

Mungkinkah semua itu adalah ke-palsuan semata? Anggraini bertanya resah. Bukankah kepura-puraan dan kemunafikan adalah jamur menjijikkan yang semakin tumbuh di dunia ini? Dalam diri sekian banyak manusia? Keraguan mulai merambah relung batin gadis itu. 

"Tapi, bagaimana mungkin dia tak membunuhku, kalau tahu aku bakal menuntut balas atas kematian ayahku?" sangkal sisi hati Anggraini yang lain.  

"Kalau dia memang yang berdarah dingin, tentunya aku sudah tak memiliki nyawa lagi.... Tapi, ah! Kenapa dia membunuh ayahku? Apa salahnya? Atau...." 

Relung hati gadis ini tak kuasa lagi menampung beruntun pertanyaan yang membingungkan. Dia berontak dan terjaga. Namun yang ditelannya setelah itu adalah sebentuk kekecewaan menghujam. Kecewa karena pemuda yang menanam benih cinta pertamanya, ternyata adalah sang pembunuh ayah kandung yang begitu lama dirindukan! 

"Aku benci kau, Andika!" rutuk Angraini geram, nyaris bergumam geram. 

Sesudah itu, Anggraini bangkit dengan benak terkoyak. Dia berdiri diam, menantang sapuan angin lembah. Dalam dirinya hanya terngiang kata-kata Bureksa, pamannya. Andika adalah pembunuh Ayah! Andika adalah pembunuh Ayah...!  

* * *  

3  

Di pinggiran sungai Andika sedang memanggang ikan mujair hasil tangkapannya. Asap putih membawa aroma sedap berarak naik dari tumpukan kayu bakar, menggoda perut Andika yang sudah demikian keroncongan. 

Sambil bersiul-siul, pemuda itu membalik-balik panggangan ikan di tangannya. Dan tiba-tiba siulan riangnya terhenti seketika, terpenggal oleh ingatan yang muncul begitu saja. 

"Si nenek jelek itu...," gumam Pendekar Slebor. "Bukankah kemarin dulu dia mengatakan kalau kejahatan mestinya dibalas kejahatan? Kalau muridnya terluka oleh Anggraini, tentunya dia akan menuntut balas. Kemarin lalu pun, dia menemuiku untuk meminta tanggung jawabku...." 

Plak! 

Andika menampar kening keras-keras dengan telapak tangan kiri. 

"Kenapa aku jadi tolol! Tentu si nenek jelek itu kini sedang mencari Anggraini. Bukankah sewaktu menyelamatkan Ratu Lebah, dia melihat Anggraini sedang bertarung dengan muridnya itu? Tentu dia tahu, Anggraini lah yang melumpuhkan muridnya.... Wah, kacau! Anggraini bisa jadi sasaran ke-marahan si nenek jelek. Padahal, muridnya sendiri yang salah...," gumam Andika lagi. 

Dari duduknya, pemuda berambut gondrong itu cepat-cepat bangkit 

"Tapi, ke mana aku harus mencari gadis itu? Dia menghilang seperti ditelan bumi. Berhari-hari aku mencarinya, tapi nihil. Apa iya, aku bisa menemukan secepatnya sebelum didahului nenek jelek itu?" 

Andika mengetuk-ngetuk kepala dengan jari kiri. Sedang dipikirkan, bagaimana caranya agar bisa cepat menemukan gadis yang baru turun dalam dunia persilatan itu. 

"Ah! Peduli setan bagaimana caranya! Kalau aku hanya berpikir terus, bisa-bisa sudah kedahuluan nenek jelek itu!" umpat Pendekar Slebor pada diri sendiri. 

Sejenak dipandanginya panggangan mujair di tangan kanan. Sudah matang dan benar-benar menggoda. Baunya pun menyengat hidung. 

"Apa boleh buat...," gumam Andika. 

Panggangan mujair itu dimasukkan saja ke balik bajunya. Padahal asapnya masih mengepul. Memang sayang, Dari  pada dibuang, lebih baik dijadikan persediaan kalau perutnya tak bisa diajak berdamai lagi. Dasar urakan! 

Pemuda acuh ini pun beranjak dari tempat itu. Tujuannya, Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia akan memulai ulang pencarian Anggraini dari tempat pertama. Di sana, mungkin bisa disusuri jejak yang luput ditemukan pada pencarian pertama.  

* * *  

Pintu Sorga dan Neraka Dunia tampak lengang. Pendekar Slebor tiba di sana ketika matahari terjatuh penggalan di belahan angkasa sebelah barat. 

Berawal dari tempat Anggraini bertempur melawan Ratu Lebah dulu, Andika mulai mencari tanda-tanda yang mungkin bisa dijadikan petunjuk, ke mana perginya Anggraini. Cukup lama pemuda berpakaian hijau-hijau menyusuri tiap jengkal tanah di sekitarnya. Matanya bahkan sudah sedikit pedih, karena terus dikerahkan. Kalau penciumannya setajam anjing pelacak, tentu urusannya akan lain. 

"Tak ada tanda-tanda sedikit pun.... Koreng garing!" umpat Andika kesal. "Aku jadi semakin yakin, Anggraini menghilang karena keinginannya sendiri. Sedikit pun tak ada tanda kalau dia dipaksa oleh seseorang. Apa mungkin dia tak ingin urusannya kucampuri. Padahal, aku sangat berkaitan erat dengan urusan gadis itu...." 

Kepala pemuda sakti dari Lembah Kutukan ini menoleh ke sana kemari. Sepertinya, dia masih penasaran. 

"Kalau nanti aku bertemu dengannya, bagaimana caraku menjelaskan kalau aku adalah pembunuh ayahnya?" gumam Pendekar Slebor lagi. 

Plak! 

Mendadak sontak Andika merasa ke-palanya ditampar seseorang dari belakang. Hal itu membuat Andika terkesiap. Bukan karena tamparan itu berbahaya, sebaliknya tamparan itu sepertinya hanya dimaksudkan untuk main-main saja. 

Pemuda urakan itu terkesiap, karena sedikit pun tak menyangka ada seseorang yang melayangkan telapak tangan ke belakang kepalanya. Padahal, sebagai seorang pendekar sakti yang cukup menggetarkan dunia persilatan, gerakan halus seekor cecak pun dapat tertangkap telinganya. 

Andika cepat menoleh. 

"Hik hik hik! Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada jodoh untukku seorang, boleh kita berkencan lagi!" 

Andika meringis lebar-lebar. Orang yang menampar belakang kepalanya ternyata perempuan tua pertapa, guru Ratu Lebah. Nenek yang sudah bau tanah itu senyam-senyum genit, memperlihatkan sebutir gigi besar yang masih tersisa di mulutnya. 

"Ampun.... Kenapa aku harus berjumpa nenek jelek ini lagi?! Apa salahku?" gerutu Andika berbisik. 

"Kau jangan sembarangan menghinaku, ya?!" hardik si nenek sewot. "Begini-begini juga masih membawa rejeki!" 

Rupanya bisikan Andika yang begitu halus bisa ditangkap dengan baik oleh telinga si nenek. Barangkali hanya kata hati saja yang tak bisa didengarnya. 

"Kita bertemu lagi, ya Nek?!" Andika berbasa-basi pura-pura ramah. Sementara wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Bisa dibilang, mirip wajah orang yang telat buang hajat! 

"Yang sopan terhadap orangtua kalau tak mau kualat!" 

"Lho? Sapaan tadi sudah sopan, bukan?" sergah Andika.  

"Nih....." 

Perempuan uzur itu menyodorkan punggung tangannya. 

"Cium! Itu tanda kau anak muda yang sopan! Ayo, cium!" perintah si nenek dengan mata mendelik-delik. 

Dengan berdecak-decak mangkel, Andika menuruti perintahnya. 

"Aku sudah cium tangan, Nek. Karena, aku sebenarnya menaruh hormat pada orang yang lebih tua. Sekarang, apa lagi? Cium dengkulmu?" ceracau Andika. 

Si nenek malah terkikik. 

"Aku benar-benar suka padamu, Anak Muda!" kata si nenek. Lalu....  

Plak! 

Sekali ini, kening Andika yang menjadi sasaran kegemasannya. Mulutnya sampai meringis-ringis. 

"Kau benar-benar pemuda yang cocok buat kujadikan menantu. Eh! Maksudku, jadi suami muridku yang molek itu, lho!" lanjut si nenek. 

"Apa?!" Andika terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. 

Selagi masih terbelalak bodoh seperti itu, si nenek aneh menarik tangannya. 

"Ayo ikut aku, Anak Muda! Sebaiknya kau melihat dulu anak gadisku," ujar si nenek semena-mena.  

"Tapi...." 

"Biar kau tahu dan jelas benar kalau anak gadisku memang molek!" terabas nenek pertapa, tak peduli. Andika pun ditariknya seperti kambing congek. 

Baru beranjak sekitar empat tombak dari tempat semula, seseorang menghadang tepat di depan si nenek. 

Gerakannya ringan. Sewaktu berkelebat, Andika menangkap warna merah pakaian si penghadang. Juga, sempat menangkap rambutnya yang panjang. Maka, hatinya pun mulai menduga kalau si penghadang adalah Anggraini. Dugaannya terbukti, ketika matanya jelas-jelas melihat wajah Anggraini yang sudah te-gak berdiri dengan sikap tegang. 

"Nhaaa! Pucuk dicinta ulam pun tiba!" sambut si nenek senang sekali bisa menemukan Anggraini yang dicarinya, tanpa harus susah payah. 

Sementara, Andika sibuk memperingati Anggraini 

Di belakang si nenek. Tangannya memberi isyarat di udara, menyuruh Anggraini untuk segera pergi. Anak muda itu tidak mau urusan jadi runyam akibat kesalahpahaman, karena si nenek belum sadar kalau sebenarnya muridnya lah yang bersalah. 

"Jangan coba macam-macam di belakangku, Anak Muda!" ancam si nenek tanpa menoleh. "Bisa-bisa, kubuat rujak kau!"  

Andika meringis. Tangannya berhenti bergerak-gerak. 

"Nah! Mumpung kau ada di sini, Anak Gadis. Katakan padaku, apa kau bertanggung jawab terhadap luka yang diderita muridku tempo hari?" tanya si nenek memulai lagi. 

"Maaf, Nek. Aku menghadang bukan untuk berurusan denganmu. Urusanku dengan pemuda itu," ucap Anggraini menusuk, seraya melempar isyarat mata yang panas kepada Andika. 

Kalau sebelumnya pemuda berkain corak catur itu meringis mendengar ancaman aneh si nenek, kini mulutnya meringis karena sikap dan ucapan Anggraini. Sama sekali tidak dimengerti maksud gadis itu. Menurut dugaannya, tentu ada sesuatu yang melatar belakangi sikap Anggraini yang kini berubah tak ramah padanya. Apa mungkin gadis itu sudah tahu kalau Andika adalah pembunuh ayahnya? 

Sembarangan saja kau membacot!" sergah si nenek kasar. "Jelas-jelas kau berurusan denganku, kalau kau telah melukai muridku tempo hari! Ayo jujur... jur... jur!" 

Cukup lama Anggraini menatap si nenek. Matanya sebentar-sebentar melempar bara panas ke arah Andika. Meski begitu, ada sesuatu yang lain ditangkap mata Andika. Pancaran mata yang menyeruak di antara kebencian, yang berasal dari hati terdalamnya. Ya! Andika menangkap rasa cinta di antara sinar kebencian pada pandangan mata Anggraini! 

"Baiklah kalau begitu," putus Andika. "Bisakah kau menjelaskan padaku duduk permasalahannya? Terus terang saja, aku sama sekali tidak mengenalimu." 

Kata-kata Anggraini tetap mempertahankan kesopanan pada perempuan tua di depannya. 

"Kau ingat pertempuran dengan Ratu Lebah?" tanya si nenek. 

Anggraini mengangguk. 

"Orang yang melarikan Ratu Lebah adalah aku. Ada lagi yang perlu kau tahu, aku adalah guru perempuan itu...," papar si nenek tegas dan mantap. Kalau bisa busungkan dada, tentu dia akan membusung. Sayang, punggungnya sudah bungkuk. 

"Ya! Sekarang aku paham," lanjut Anggraini. 

"Nah, bagus!" 

"Lalu, apa maumu denganku, Nek?" tanya Anggraini. 

"Lho? Katanya paham? Bagaimana ini?" si nenek menggerutu seraya menoleh pada Andika. Andika membalasnya dengan mengangkat bahu. 

"Begini," lanjut si nenek memulai lagi. "Aku mau meminta pertanggung jawabanmu...." 

"Kau tak bisa semena-mena begitu, Nek,", selak Andika. "Dalam hal ini, muridmulah yang bersalah...." 

"Diammm! Aku tak perlu pendapatmu!" bentak si nenek geram sekali. Bibirnya sampai terpuntir-puntir sewaktu membentak. 

"Sudahlah, Nek," putus Anggraini. "Menurutku, aku tak perlu mempertanggung jawabkan tindakanku terhadap muridmu...." 

"Apa?!" mata si nenek mendelik besar-besar. "Kau ingin menyangkal perbuatanmu?!" 

"Aku tidak menyangkal. Kuakui, aku memang telah melukai muridmu. Tapi kalau kau katakan bersalah, jelas aku tak akan mengakuinya...." 

"Eee! Anak gadis slompret! Nih, kuberi sedikit pelajaran, biar kau tahu adat!" 

Tangan keriput perempuan pertapa itu meraih daun-daun kering penutup auratnya. Dalam sekerdipan mata saja, si nenek bisa sekaligus melemparkan dedaunan kering ke arah Anggraini.  

Wes! Wes! Wes! 

Beberapa lembar daun berwarna cokelat berkelebat deras, dan nyaris tak tertangkap mata Andika dan Anggraini. 

Mata Andika yang terlatih untuk bersiaga pada setiap sambaran lidah petir di Lembah Kutukan, sempat melihat kehebatan lain pada kelebatan daun-daun yang dilempar si nenek. Masing-masing daun, ternyata telah diisi tenaga dorong menyamping. Pada saat meluncur, daun yang satu dengan daun yang lain akan saling mendorong. Se-hingga, dapat bergerak mengembang untuk mengurung seluruh ruang gerak Anggraini bila menghindar. Jika gadis itu mencoba menghindar, maka malah akan terkena sambaran salah satu daun. 

"Jangan menghindar!" seru Andika, secepat kelebatan dedaunan yang dilempar si nenek. 

Sayang, peringatan Andika terlambat. Anggraini dengan amat sigap telah lebih dahulu bergerak menghindar. Aki-batnya.... 

Des! 

Daun yang ringan itu kontan melabrak tubuh Anggraini bagai palu raksasa sebesar kerbau. Kontan saja tubuh gadis itu melayang deras ke belakang, seolah-olah bobotnya tak lebih berat dari daun yang menghajarnya. 

Grusak! 

Setelah melayang hampir sepuluh tombak, Anggraini jatuh menimpa gerombolan bunga matahari. 

"Kau sudah sinting, Nenek Moyang Gendoruwo!" maki Andika murka, menyaksikan kesewenang-wenangan si nenek di depan matanya. 

"Eee! Memaki orang tua, ya?! Mau kualat kau?!" Salak si nenek tak ambil pusing dengan kegusaran pemuda berambut gondrong itu. 

"Kau tak pantas kuhormati! Kau lebih pantas kuhajar!" cecar Andika lagi. 

Beriring makiannya, Andika menghentak pergelangan tangan yang masih digenggam si nenek. Tak lepas! Padahal, si nenek tak tampak sungguh-sungguh mencekalnya. Andika mencoba lagi. Kali ini disertai penyaluran ke-kuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan sampai tingkat kedelapan. Tapi tetap tak bisa! Cekalan tangan si nenek hanya tersentak sedikit, tanpa terle-pas dari pergelangan tangan Andika. 

"Ayo! Kerahkan tenaga saktimu sampai tingkat kesembilan belas!" leceh si nenek, memanas-manasi. 

Begitu mendengar penuturan perempuan tua yang mencekalnya, Andika kontan terdiam. 

"Tingkat kesembilan belas, katanya?" bisik hati Andika. "Bagaimana dia bisa tahu kalau tenaga sakti warisan buyutku mencapai kekuatan pamungkas pada tingkat kesembilan belas?" 

"Wah! Masih muda sudah sering linglung! Hik hik hik!"  

* * *  

4  

Sementara itu Pangeran Neraka tengah mengadakan pembicaraan rahasia dengan dua sekutu barunya, Kembar Dari Tiongkok. Di sebuah pondok di kaki bukit yang Neraka Dunia, ketiganya berkumpul. 

"Aku tak mengerti, kenapa Mayang-seruni tiba-tiba menghilang tanpa terlebih dahulu meminta izin padaku?" kata Pangeran Neraka, membuka percakapan. 

Lelaki berkulit cacat itu berjalan hilir mudik dalam ruangan. Tangannya terlipat di depan dada. 

"Sebelum menghilang, apa ada ke-jadian di tempat kita ini, Ketua?" tanya Chia Jui yang bersila bersebelahan dengan saudara kembarnya, Chia Kuo. 

Dua lelaki Cina itu memang telah mengangkat Pangeran Neraka sebagai 'ketua'. Di samping karena tingkat ilmu Pangeran Neraka lebih tinggi, mereka juga membutuhkan pelindung. Paling tidak bisa membantu mereka jika suatu hari harus berhadapan dengan orang-orang kerajaan yang hendak mereka tumbangkan dulu bersama Begal Ireng. Khususnya, jika harus berhadapan dengan seseorang yang begitu mereka takuti.... Pendekar Slebor (Baca episode "Dendam dan Asmara"). 

"Ya! Memang telah terjadi sesuatu, sebelum Mayangseruni menghilang," gumam Bureksa alias Pangeran Neraka. Sekali lagi, disebutkannya nama asli Ratu Lebah. 

Chia Jui dan Chia Kuo menunggu uraian Bureksa lebih lanjut. 

"Menurut keterangan kemenakanku yang bernama Anggraini, Mayangseruni bertempur dengannya. Dan... ah! Baru aku ingat sekarang! Anggraini juga bercerita kalau ada seseorang melarikan Mayangseruni, ketika Anggraini berhasil melukainya!" cetus Bureksa. 

"Kira-kira, berada di pihak mana orang yang telah melarikan Mayangseruni?" tanya Chia Kuo. 

Pertanyaan itu wajar saja diajukannya. Dia maupun saudara kembarnya memang khawatir jika ada orang lain yang berdiri di pihak lawan. Malah, kesempatan mereka untuk mencari perlindungan di bawah ketiak Pangeran Neraka, menjadi semakin tak bisa diharapkan. Sebaliknya, jika ada orang lain yang memihak mereka, tentu dengan begitu akan lebih banyak memiliki ke-sempatan lolos dari tangan pihak kerajaan. 

"Aku masih belum bisa memastikan. Yang jelas, orang itu memiliki kepandaian sulit diukur. Begitu menurut Anggraini yang sempat melihat cara orang itu melarikan Mayangseruni," jawab Bureksa gamang, karena merasa ke-hilangan seorang kaki tangan setangguh Ratu Lebah. 

Chia Kuo dan Chia Jui tak suka mendengarnya. Mungkinkah dengan begitu mereka akan digerayangi rasa waswas, karena belum bisa mengetahui orang itu berada di pihak mana? 

"Bagaimana dengan rencanamu membalas hutang nyawa Begal Ireng?" tanya Chia Jui kemudian. 

Pangeran Neraka mengambil tempat duduk di depan lelaki gundul kembar itu. Pembicaraan makin sungguh-sungguh baginya, jika sudah membahas soal rencana balas dendam terhadap Pendekar Slebor. 

"Justru itu yang hendak kubicarakan pada kalian. Aku punya rencana cemerlang untuk mengirim pemuda itu ke neraka! Hu hu hu!" Bureksa mengekori kalimatnya dengan tawa anehnya. 

Kembar Dari Tiongkok langsung menampakkan wajah penasaran mendengar penuturan Pangeran Neraka. Mata keduanya pun tampak berbinar-binar penuh luap. Dengan membantu membalaskan dendam Bureksa, mereka bisa sekaligus memetik keuntungan. Selamat dari buruan Pendekar Slebor! Dan hal itu memang yang amat diharapkan. 

"Kalian tahu," kata Pangeran Neraka, seraya mengangsurkan wajah ke dekat Kembar Dari Tiongkok. Cara bicaranya penuh tekanan, memancing keingintahuan Kembar Dari Tiongkok. "Pendekar keparat itu akan mati, tanpa aku mesti turun tangan sedikit pun!" 

Chia Jui dan Chia Kuo menatap sungguh-sungguh mata Bureksa. Kelopak mata mereka tak berkedip. Jangan tanya, bagaimana rasa penasaran mereka. 

"Bagaimana cara kau melakukan itu, Ketua?!" ujar! Chia Jui tak sabar menanti penuturan Bureksa selanjutnya. 

"Huhuhu!" 

Bureksa melempar tawa khasnya ke segenap ruangan, hingga memadati pondok kecil itu. Alis matanya yang tebal dan lebat diungkit-ungkit. 

"Kalian tunggu saja hari kematian anak sial itu!" bisik Bureksa, mendesis.  

* * *  

Apa yang sebenarnya dialami Anggraini setelah terhajar daun yang dilempar nenek pertapa? Andika tidak tahu jawabannya. Sejauh yang diketahuinya, Anggraini terpental jauh, lalu jatuh menyeruak gerombolan bunga matahari. 

Dan sampai sejauh itu, pemuda urakan ini tak habis pikir , siapa sesungguhnya nenek aneh itu. Sewaktu bertemu untuk yang kedua kalinya di dekat sungai kecil, perempuan tua itu meninggalkannya begitu saja. Padahal, Andika mengira akan dilabrak atas luka-luka yang diderita Ratu Lebah. Lalu pada waktu yang bersamaan ini, si nenek dengan telengas melabrak Anggraini. Sekaligus, membuat suatu kejutan dengan mengetahui tingkat pamungkas tenaga sakti Andika. 

"Katakan padaku! Siapa kau sebenarnya, Nenek jelek?!" maki Andika, usai terbebas dari ketertegunannya. 

"Jangan sebut-sebut aku nenek jelek! Kalau tak salah, di antara nenek-nenek, akulah yang paling cantik! Hik hik hik!" 

"Kau tak lebih dari tukang sihir kampung! Aku tak akan takut menghadapimu, meski ilmumu jauh lebih tinggi dariku. Bagiku, mengadu jiwa dengan manusia-manusia zalim adalah kehormatan!" 

"Hush! Hush! Jangan terus sewot begitu! Yang zalim itu siapa, Pemuda Tolol?!" dalih si nenek seraya mengacung-acungkan jari. 

"Kau telah berlaku keji pada gadis itu!" bentak Andika lagi. Jarinya menunjuk ke arah Anggraini terjerembab. 

Gadis itu belum tampak muncul dari gerombolan pohon bunga matahari yang jangkung. "Kau yakin aku telah berbuat keji pada gadis ayu tadi?" kelit si nenek tenang. 

Andika tak melanjutkan caci makinya. Matanya yang mulai memerah karena marah, menatap si nenek lurus-lurus. 

"Jangan main-main padaku, Nenek Jelek! Apa maksud perkataanmu?" tanya Andika, masih dengan nada tinggi. 

"Dasar anak muda! Selalu saja terburu nafsu dalam segala hal. Hik hik hik! Coba sana, kau lihat ke tempat gadis ayu tadi jatuh," ujar si nenek. 

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu ragu-ragu melirik tempat jatuhnya Anggraini. 

Ajaib! Saat itu, si gadis berpakaian merah-merah muncul tanpa luka sedikit pun. Anggraini tampak sedang mengebut-ngebutkan pakaian dari dedaunan pohon bunga matahari yang menempel. 

"Nah, kan.... Kubilang juga apa...," seloroh si nenek penuh kemenangan. "Sudah, ya! Aku akan pergi dulu! Urusanku dengan kalian sudah beres. Menurutku, kalian anak muda yang jujur...." 

Si nenek pun berkelebat dan hi-lang. 

Sepeninggalannya, Andika menggaruk-garuk kepala. Ingin rasanya dia menganggap semua kejadian dengan si nenek hanya mimpi. Semuanya begitu membingungkan!" 

"Jadi hanya begitu saja?" gumam Andika, seperti orang bodoh. 

"Aku punya urusan yang belum terselesaikan denganmu, Andika!" sentak Anggraini, mengejutkan pemuda itu. 

Gadis berambut panjang itu sudah berdiri empat tombak di depannya. Sikapnya begitu kaku, sarat ancaman. 

"Ada apa lagi ini?" tanya Andika, melihat sikap tak bersahabat Anggraini. 

"Aku ingin menuntut hutang nyawa!" 

Pandangan Andika terjatuh. 

"Sudah kuduga, akhirnya kau akan tahu juga...," desah Pendekar Slebor. "Kuakui, memang aku telah ......membunuh Begal Ireng, ayahmu. Tapi...." 

"Aku tak butuh alasanmu!" penggal Anggraini dengan wajah merah penuh kemarahan. 

"Kau harus dengar aku dulu, Anggraini!" 

Andika berusaha menjelaskan pada Anggraini kembali Sia-sia. Gadis itu tampaknya sudah sampai pada ambang batas kemurkaan. Sebuah gejolak dendam membunuh siap tertumpah. 

"Aku paham, bagaimana rasanya tak memiliki orangtua," bujuk pemuda itu tak menyerah begitu saja. 

"Aku tak peduli!" 

Anggraini langsung memasang jurus pembuka. "Anggraini, tunggu!" cegah Andika. Tapi....  

"Hiaaat!" 

Sudah tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Slebor menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Dan ketika satu tusukan jari Anggraini lurus-lurus mengancam keningnya, Andika dengan sigap menahannya dengan himpitan telapak tangan. 

Tap! 

Tepat di depan wajah Pendekar Slebor, gerakan jemari halus namun berkekuatan milik Anggraini tertahan karena himpitan telapak tangan Andika. 

Gadis dari Tanah Buangan ini sudah gelap mata Serangan susulan membabibuta pun segera dilancarkan. Sebelah tangannya yang bebas, menerabas dari samping kiri, menuju pelipis Pendekar Slebor. 

Wuk! 

Suara santer yang tercipta menyadarkan Pendek Slebor, kalau pelipisnya terancam sebentuk tenaga dalam yang bukan hanya meremukkan, melainkan mampu membuat keningnya hancur lebur! 

Pendekar Slebor sadar. Dia harus memapaki tebasan tangan Anggraini jika tak ingin pelipisnya jadi sasaran empuk. Untuk melakukannya, yang dibutuhkan ialah tangan. Tapi, kedua tangannya masih menghimpit satu tangan lain Anggraini. Kalau sedikit saja himpitan telapak tangan dikendurkan, maka jari Anggraini akan langsung menusuk kening! 

Kedudukan sulit itu dengan cerdik dipecahkan Pendekar Slebor. Seluruh kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan segera disalurkannya ke sepasang telapak tangannya. Kekuatan sakti itu dalam sekejap menekan tenaga dalam yang berada dalam tangan Anggraini yang telah dihimpit. Maka tak ada sekerdipan mata, sebelah tangan Anggraini langsung bisa dikuasai Andika. Lalu dengan amat cepat, tangan Anggraini digiring untuk ditusukkan dengan sebelah tangan gadis itu yang lain. 

Aaagh! 

Selamatlah pelipis Andika dari tebasan tangan gadis kalap ini. Yang menjadi sasarannya malah tangan Anggraini yang sebelah lagi. Ketika bertumbukan, Anggraini merasakan  tulang-tulang tangannya seperti diloloskan dari daging. 

Bagai singa betina terluka, Anggraini tak peduli akan rasa menyiksa di bagian tangannya. Sesaat setelah sepasang telapak tangan Pendekar Slebor melepaskan himpitan, dikirimkannya tendangan cepat bertubi-tubi ke beberapa bagian tubuh Pendekar Slebor. 

"Hiaaa!"  

Deb! 

Satu tendangan pertama dilepaskan dengan mantap. Sasarannya tulang rusuk kiri Pendekar Slebor. 

Masih dengan mudah, Andika mementahkan serangan Anggraini. Gerakannya yang kesohor amat cepat, mementahkan tendangan gadis itu dengan satu kelitan manis. 

Deb! 

Anggraini memburu. Tendangan berikutnya mendarat lurus ke dada bidang Andika. 

Untuk tendangan kali ini, Pendekar Slebor tak hanya mengelak. Satu siasat tempur diterapkannya. Tangan Anggraini yang terangkat tinggi segera disambut angsuran tangan ke bawah kaki. Berbarengan dengan itu Andika menyalurkan sebagian kekuatan warisan buyutnya yang sanggup menahan serudukan banteng jantari sekali pun. Dan jari tangannya pun menjepit bagian bawah kaki Anggraini. 

Tap! 

"Aaaw!" pekik Anggraini saat itu juga. 

Jepitan jari Andika, tanpa sengaja rupanya mengenai bagian bawah pahanya. Tak terlalu sakit. Hanya karena daerah itu cukup peka, Anggraini seketika jadi menjerit kaget. 

Sementara Andika sudah mengunci gerak Anggraini dengan menekan kaki bagian atas dengan tangannya yang lain. Kuncian yang demikian kuat bagai himpitan batu karang, membuat Anggraini tidak bisa bergerak. Walaupun tangannya masih bebas, tetap tidak bisa menjangkau Andika. 

"Kurang ajar kau!" maki gadis itu. 

Andika tersenyum serba salah. 

"Aaa..., aku tak sengaja!" kilah pemuda itu, gagap. 

"Lepaskan aku! Kita bertarung mengadu jiwa!" 

"Jangan bernafsu begitu, Anggraini! Tak baik menyelesaikan persoalan dengan kepala mendidih," ujar Andika, menasihati. 

"Aku tak perlu menyelesaikan persoalan hanya dengan bicara. Persoalan ini akan tuntas kalau kau sudah masuk liang kubur!" tandas Anggraini bergejolak. 

"Tenanglah dulu...," ucap Andika, kehabisan kata menghadapi amukan dendam gadis ini. 

"Lepaskan aku pengecut!" hardik Anggraini. 

Karena tak ingin dianggap kurang ajar, Andika akhirnya melepaskan juga kuncian itu. Kalau lebih lama, akan menjadi kian risih. 

Selagi melepas kuncian, pendekar muda kesohor itu melenting ringan ke belakang, untuk mengambil jarak. Ia berniat membujuk Anggraini sekali lagi. 

"Anggraini, sabar.... Mestinya kau berpikir, kenapa aku tidak membunuhmu selagi aku tahu, kau akan menuntut balas terhadap kematian ayahmu," jelas Andika dengan tangan terangkat ke depan, mencoba menyabarkan Anggraini. 

Sembilan tombak dari tempatnya, Anggraini mulai maju selangkah demi selangkah. Matanya menusuk lurus, amat mengancam. Sementara tangannya bergerak-gerak memainkan kembangan jurus yang pernah diajarkan ibunya. 

"Aku pernah berpikir seperti itu," geram Anggraini. 

"Lalu?" tanya Andika tersurut-surut, seperti tikus selokan tertangkap basah oleh kucing betina. 

"Aku tak peduli pada hal itu lagi!" 

"Itu artinya kau tak mau mendengar suara hatimu, Anggraini. Sadarlah.... Apakah kau tak tahu, suara hati kerap kali membawa kebenaran?" 

"Kukatakan sekali lagi, aku tak peduli!" 

"O, Tuhan...," keluh Andika. 

Kepala Pendekar Slebor menengadah ke angkasa. 

"Apa duniamu ini sudah terbalik? Mengapa orang yang ingin menegakkan kebenaran seperti diri hamba harus dituding bagai orang hukuman?" bisik Pendekar Slebor, seperti menggugat. 

Sang Maha Tunggal pasti mendengar keluh Andika. 

Tapi apa Anggraini sudi mendengarkan juga? Tidak! gadis itu menerkam Pendekar Slebor manakala jarak mereka tinggal empat tombak lagi.  

"Hiaaah!" 

Sepuluh jari indah gadis itu seketika menegang, memperlihatkan kesan kebengisan. Setelah bersalto, tubuhnya meluruk di udara dengan sepasang tangan mencabik udara. 

Srah! Srah! Srah! 

Tiba di dekat Andika, cabikan tangan Anggraini yang hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan tenaga ke telapak tangan, mengembang lebar dan mengepak indah bagai sepasang sayap kupu-kupu. Angin besar tercipta dari kepakannya, pertanda kekuatan yang tersimpan pada serangan tak bisa dianggap main-main. Kupu-kupu Merah, Ibunya, memang telah mewariskan ilmu 'Kepakan Sang Kupu-kupu' yang dahsyat kepada anak tunggalnya! 

Tindakan Anggraini tersebut memaksa Andika mengeluarkan pula satu jurus yang cukup diandalkan. 'Guntur Selaksa'! 

"Heaaa!" 

Deb! Deb! Deb! * * * 

 

Wajar saja kalau Andika terheran-heran terhadap si nenek pertapa, guru Ratu Lebah yang sebenarnya bernama Nyai Sililililu. Satu nama aneh yang entah didapat dari mana. Dia adalah seorang pertapa berusia amat uzur. Bahkan untuk ukuran seorang nenek sekalipun. Dia telah hidup lebih dari tiga keturunan. Dunia persilatan sudah menganggapnya sebagai siluman perempuan, karena tabiatnya sulit dipahami dengan kesaktian yang demikian tinggi. 

Nyai Sililililu kini kembali ke tempat persembunyiannya. Seperti biasa, dia masuk ke dalam satu wilayah pemakaman tua. Melalui pintu rahasia pada pohon besar di tengah kuburan, perempuan tua itu masuk ke ruang bawah tanah. Dan akhirnya si nenek pertapa tiba di ruangan, tempat tubuh Mayangseruni atau Ratu Lebah terbaring. 

Kini si nenek menghampiri satu sudut ruangan, tempat penyimpanan segala perabotannya. Beberapa saat, diaduk-aduknya barang-barang yang sudah bagai tumpukan loak itu. Seisi ruangan jadi bising tak karuan. 

Kalau saja ada orang yang melihat, tentu orang itu akan bingung. Sebenarnya, si nenek sedang mencari sesuatu atau sedang uring-uringan? 

Gedumbrang... gedumbreng! Prak! Cit, cit, cit! 

Seekor tikus kurus lari terbirit-birit, ketika tangan luput si nenek menggapai satu baki rombeng dari tuang laut. 

"Selalu saja kau susah ditemukan kalau sedang dibutuhkan! Dasar baki kentut!" maki perempuan tua ini, sebal. 

Tertatih-tatih, Nyai Sililililu membawa baki yang disebutnya sebagai Baki Penerawang itu ke sebuah meja, setelah sebelumnya diisi air dari gentong di satu sudut. Tak cuma baki yang menempati meja. Tubuh kurusnya pun ambil bagian di atas meja batu. 

Kini Nyai Sililililu bersila tepat di depan baki. Baki dan pemiliknya sudah mirip penghias meja. Mata Nyai Sililililu terpejam. Tangannya menyentuh sisi kening. 

"Nyam..., nyammm.... Khoekchuih!" perempuan tua itu memulai mantera-manteranya. 

Dal del dol perkedel nonjol... 

Pak tani ketiban papan.... 

Matinya jam delapan.... 

Kuburnya tahun depan.... Ngik! Nyam... nyam" Dari balik rompi kulit pohonnya, perlahan-lahan tangan Nyai Sililililu mengeluarkan selembar kecil sobekan kain berwarna hijau muda dari sobekan baju Andika. Sengaja sobekan kain itu disembunyikan, sewaktu Andika sedang mandi di sungai kecil beberapa waktu yang lalu, 

Dengan lemah gemulai, sobekan kain bau apek itu dilemparkan ke dalam baki berisi air hingga menjadi basah. Beberapa saat mengapung, lalu tenggelam ke dasar baki. 

Kelopak mata Nyai Sililililu pun menyusul membuka. Cukup lama matanya melirik-lirik ke seluruh bagian baki. Alisnya yang putih sampai-sampai melengkung hebat. Sesuatu yang diharapkannya belum juga muncul. Perempuan tua ini mulai mangkel. Bibirnya maju mundur tak teratur, lebih jelek daripada mulut mujair. 

"Baki slomprettt! Jangan coba-coba mogok kerja, ya?!" maki Nyai Sililililu dengan segenap semburan liur. 

Setelah dimaki, terjadi perubahan pada baki. Dan wajah keriput si nenek pun ikut berubah. Cerah ceria, gemah ripah dan sebagainya.... 

"Mmm emmm emmm...," gumam Nyai Sililililu sambil mengangguk-angguk kepala berirama. "Ya ya ya. Sudah kuduga sebelumnya. Anak muda itu memang masih ada hubungan denganku. Dia itu cucunya si Sapta Cakra buduk, adikku yang ileran sewaktu masih kecil. Iik hik hik! Her... iler...." 

Inilah satu tabir rahasia yang sampai saat ini belum terbuka untuk Pendekar Slebor. Sesungguhnya, Nyai Sililililu kakak perempuan dari Ki Saptacakra, buyut Andika sendiri. Seperti juga Ki Saptacakra yang lebih dikenal sebagai Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Sililililu juga sudah menjadi cerita rakyat. Jika nama Pendekar Lembah Kutukan besar karena ksatriaannya, maka Nyai Sililililu besar karena sifatnya yang ganjil. Namun begitu, tetap ada satu kejelasan kalau perempuan tua itu tak akan pernah sudi memihak pada golongan sesat. Meski, tak juga memerangi kalau benar-benar tak terpaksa. Dengan begitu, orang sering juga menyebutnya si Nenek pertapa rendah hati. Karena, dianggap tak mau memamerkan kesaktiannya. 

Nyai Sililililu kini menepuk-nepuk dengkul sebentar. Lalu mulai bergumam lagi. Suara gumamannya terdengar seperti orang berkumur. 

"E e e! Rupanya dia juga pernah makan buah 'inti petir'! Wih! Rakus juga anak muda itu, ya? Dan... lho? kok gambarnya hilang?!" sentak Nyai Sililililu. Matanya terbelalak, mulai mau mengamuk lagi dia. Sebelum semburan mulutnya terjadi, bayangan di baki muncul lagi. 

"Lho? Anak muda ini sedang bertempur dengan kawan wanitanya. Kok, bisa begitu ya? Wah! Mesti cepat-cepat kulerai. Kalau tidak, bisa ada yang 

celaka....' 

Nyai Sililililu bergegas bangkit dari meja batunya 

Gedumprang! 

Nyai Sililililu tiba di tempat pertempuran, saat sepasang anak muda itu sedang terlibat pertukaran jurus hebat. Debu menyelimuti arena pertempuran, Kehebatan tenaga dalam yang dimiliki masing-masing menciptakan gulungan debu tinggi serta pusaran angin yang menghempas batuan ke mana-mana saat terjadi benturan. Sebagian padang tanaman bunga matahari pur sudah tak jelas lagi bentuknya. 

"Boleh juga ilmu mereka," puji Nyai Sililililu. Nenek itu berdiri cukup jauh. Jarak yang cukup untuk bisa menikmati pertempuran. 

"Iya, ya. Kalau cepatcepat kulerai, aku bisa kehilangan tontonan seru," gumam Nyai Sililililu. "Lebih asyik kalau. kunikmati dulu dua muda-mudi itu baku hantam. Setelah mereka mulai tak terkendali, baru kulerai. Hik hik hik! Gagasan yang bagus!" 

Maka, Nyai Sililililu yang semula hendak melerai Andika dan Anggraini, sekarang malah duduk santai mengguncang-uncang kaki di bawah serumpun bambu kuning. Tingkahnya yang sudah berlipat seperti gombal, mencoba bersiul. Yang dihasilkan malah suara sember seperti kaleng rombeng ditiup angin! 

"Hiaaa!" 

Des! Deb! Deb! 

Biar bagaimanapun, Pendekar Slebor tetap berada atas angin. Sekian puluh jurus tangguh dikerahkan Anggraini, tetap tidak bisa menjatuhkannya. Bahkan untuk sekadar membuat terdesak sekalipun. 

Jurus-jurus ciptaan Andika di Lembah Kutukan memang bukanlah tandingan gadis yang masih hijau di dunia persilatan ini. Kalaupun Anggraini telah mengeluarkan beberapa tingkat ilmu Kekuatan Kembarnya, tetap tak menjamin bisa mengungguli Andika. 

Setiap kali telapak tangan Anggraini melepas pukulan 'Kekuatan Kembar', Pendekar Slebor meredamnya dengan selubung kekuatan sakti warisan Ki Saptacakra yang sanggup menahan gempuran petir! 

Sampai satu ketika.... 

Tap! 

Kecepatan tangan Andika yang sering membuat Warga persilatan kagum, mencekal pergelangan tangan gadis itu. Sekali terkena, tangan Pendekar Slebor langsung lekat bagai bertemunya dua besi sembrani. 

Dalam serangkai gerakan yang sulit diikuti mata awam, Andika langsung memutar tubuh Anggraini hingga membelakanginya. Pada jarak berhimpitan itu, sebelah tangan Andika lain dengan tangkas meraih pinggang gadis itu dari belakang. 

Tap! 

Pendekar Slebor pun langsung mengunci tubuh Anggraini dalam pelukannya. 

Gadis itu berusaha meronta sepenuh tenaga. Tapi tetap tak berhasil melepaskan diri. Tentu saja, tenaga Pendekar Slebor jauh lebih unggul darinya. 

"Lepaskan aku, Pengecut! Apa kau hanya bisa berbuat seperti ini?!" maki Anggraini dalam rontaannya yang siasia. 

"Kalau kau terus meronta, aku akan terus mendekapmu," kata Andika, tepat di belakang telinga Anggraini. Kata-katanya diucapkan tanpa amarah dan berkesan dalam. 

Ternyata tak sekadar telinga Anggraini yang menangkap kalimat Andika barusan. Hati wanitanya pun  menangkapnya. Ada getaran yang tercipta di dada gadis ini. Gemuruh yang sejuk. Maka perlahan-lahan tenaga rontaannya memupus, lalu hilang sama sekali. Anggraini tergugu dalam dekapan tangan kekar pemuda yang menitipkan cinta pertama baginya. 

Di antara tarikan napas Anggraini yang masih terhela, Andika mendekatkan mulutnya. "Kau bisa memusuhiku. Bahkan kau bisa membunuhku. Tapi asal kau tahu, aku tak akan mungkin membunuh dan memusuhimu...," bisik Andika. 

Anggraini bisa menikmati selenting rasa damai dalam kalimat Andika. Dan itu membuatnya seperti makin tertawan dalam sangkar cinta yang mendadak menyembul, manakala tak berdaya di dada bidang sang jejaka. 

"Kau tahu sebabnya? Karena kau tak pantas mendapatkan sikap permusuhanku. Kau gadis yang berhati pualam. Rasa sayangmu terhadap orang tua, membuktikannya. Jadi, kau tak bisa memaksaku memusuhimu," desah Andika, seraya mengendurkan cekalannya pada tangan Anggraini. 

Dengan hati-hati pula, Andika melepas pelukan sebelah tangannya pada pinggang Anggraini. Kakinya lantas mundur beberapa langkah, membiarkan Anggraini terpaku merenungi kata-kata tadi. 

Tak lama kemudian, bahu gadis itu tampak berguncang-guncang kecil. Kepalanya merunduk. Sementara, sebelah tangannya menutup bibir. 

"Anggraini!" panggil Andika, ketika gadis menawan berlari membawa isak tertahannya. 

Plok! Plok! Plok...! 

"Weleh..weleh..weleh! Sebuah adegan yang mengharukan," ceracau Nyai Sililililu sepeninggalan Anggraini. 

Dihampirinya Andika. Sementara pemuda itu masih terpaku menatap hilangnya Anggraini di kejauhan. 

"Heh, sudah jangan sedih! Nanti! Uwak belikan gasing dari kulit jengkol...," tegur Nyai Sililililu, sambil menepuk pundak Andika. 

Mendengar seloroh si nenek, Andika menoleh Meski dengan kalimat menggoda, Andika tahu ucapan Nyai Sililililu ditujukan untuk menghibur kegalauan hatinya terhadap sikap Anggraini. 

"Kau lagi, Nek. Ada perlu apa lagi?" tanya Andika. Tak seperti sebelumnya, kali ini pendekar muda itu bersikap lebih ramah. 

"Aku butuh pertolonganmu," kata Nyai Sililililu singkat. Lalu tanpa banyak mulut, tangan Andika langsung ditariknya. 

"Mau ke mana kita, Nek?" 

"Nanti juga kau tahu!" 

"Asal jangan dibawa ke neraka saja...." 

"Kalau banyak tanya, kau bakal sampai ke neraka!! 

Andika meringis ngeri.  

* * * 

 6  

Pendekar Slebor begitu terbawa pesona, menatapi sosok yang terbaring di depannya. Berkelopak mata lembut, diperindah sebaris bulu lentik nan legam. Matanya terkatup. Di bawah sepasang mata berbulu lentik, mencuat hidung tipis dan bangir. Sisi-sisi pangkalnya mempertegas cekung kelopak mata, mempersarat kesan menggoda. Di bawah cuping hidung yang melancip, ada terbentang bibir merah menggemaskan. Bagian atasnya tipis, sedang bagian bawahnya merekah. Dalam keadaan setengah terbuka, bibir itu seperti mengundang birahi setiap pria. Semuanya ada dalam sebentuk wajah bulat telur, dipermanis kulit kuning langsat bercahaya. 

Sosok itu diam dalam kedamaian yang dimilikinya. Dalam kedamaian, dia seperti terbebas dari sebuah belenggu. 

"Dhuarrr...!" 

Andika kontan tersentak dari keterpesonaannya terhadap wajah Mayangseruni yang masih tak sadarkan diri. 

Sementara itu, Nyai Sililililu berada di belakangnya. Tampak cengar-cengir, memergoki Andika yang tadi tengah menikmati mana karya Tuhan yang terbentang diam di meja batu. 

"Suaramu masih lumayan keras untuk membuat copot jantungku, Nek," seloroh Andika, berusaha berkelit dari tatapan mata Nyai Sililililu yang menggoda. 

"Tertangkap basah?" cecar Nyai Sililililu. 

"Iya, Nek. He he he," sahut Andika, mati kutu. 

"Apa kubilang. Kau akan terpesona setelah memperhatikan muridku...," tukas nenek pertapa itu seraya membenahi perabotannya yang lupa dibereskan. 

"Aku tak mengira wanita yang kejam bisa memancarkan kedamaian dalam ketidaksadarannya," kata Andika agak bergumam. 

"Slompret kau! Dia bukannya gadis jahat! Jangan coba-coba lagi kau sebut dia begitu!" hardik Nyai Sililililu gemas. 

"Tapi..." 

"Ya..., ya! Kau akan mengatakan tentang tindak-tanduknya di lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia, bukan?" serobot Nyai Sililililu sambil terus sibuk meletakkan barang-barangnya ke tempat semula. "Sebenarnya, itu bukan sifat asli Mayangseruni, Anak Muda. Dia berubah sifat, karena terkena racun 'Perusak Saraf milik Bureksa!" 

"Bureksa?" tanya Andika. Jangankan nama Bureksa, julukan lelaki itu pun Andika belum tahu. 

"Itu, lho.... Pangeran Neraka," tambah Nyai Sililililu, menegaskan. "Pangeran Neraka?" 

Mata perempuan tua itu memelototi Andika. 

"Kau ini bagaimana? Malang melintang di dunia persilatan, tapi belum tahu kalau musuh yang telah kau tumpas punya seorang kakak lelaki. Maksudku, si Bureksa itu adalah kakaknya Begal Ireng, Tolol!" dengus Nyai Sililililu. 

Andika tak memberi tanggapan apaapa. Pemuda itu diam dengan kelopak mata menyipit. Ada sesuatu yang dipikirkannya, setelah mendengar penjelasan Nyai Sililililu. 

"Pantas saja Anggraini cepat tahu kalau aku adalah pembunuh ayahnya," gumam pemuda berambut gondrong ini. "Pasti, lelaki itu yang telah memberitahu. Dia pula tentu yang menghasut-hasut Anggraini, dengan memutarbalikkan kenyataan sebenarnya.... Licik!" 

"Betul!" sambut perempuan tua ini seraya menuding telunjuk di depan wajah Andika. "Lelaki slompret itu memang licik! Cepat atau lambat, kau pasti akan menghadapinya juga. Untuk itu, aku peringati. Hati-hati terhadap Bureksa! Dia selicik serigala dan selicin belut!" 

Kepala Andika mengangguk-angguk. 


"Bagus! Sekarang kau harus membantuku menolong anak gadisku yang malang ini," ujar Nyai Sililililu. 

Segera perempuan tua itu mendekati meja batu tempat Mayangseruni tergeletak. 

"Oh, iya! Ada satu hal lagi, sebelum kita berusaha menolong anak gadisku. Kau harus memanggilku 'Uwak'!" sambung si nenek, sama sekali membuat Andika tak mengerti. 

"Kenapa aku harus memanggilmu 'Uwak'?" tanya Andika. 

"Karena kau adalah cicit kemenakanku..."  

"Maksudmu bagaimana, Nek?"  

"Uwak!" 

"Eh, iya! Maksudmu bagaimana..., Uwak?" 

"Aaah, slompret kau! Sudah kubilang jangan banyak tanya! Telingaku sudah terlalu tua untuk menerima pertanyaanmu yang tak habis-habisnya!" 

Andika hanya bisa menggaruk-garuk kepala, meski tak gatal. 

Untuk menyembuhkan Mayangseruni, memang dibutuhkan bantuan seseorang yang sudah pernah memakan buah 'inti petir'. Salah seorang yang beruntung memakan buah langka itu adalah Andika. Ki Saptacakra telah memberi buah itu, ketika Andika menyelesaikan penyempurnaannya di Lembah Kutukan (Baca episode : "Dendam dan Asmara"). 

Sudah menjadi semacam cerita di dunia persilatan, bahwa bila seseorang memakan buah mukjizat itu, maka akan sanggup menyerap tenaga petir ke dalam seluruh serat tubuhnya. Bahkan sekaligus dapat memanfaatkan tenaga petir itu menjadi sebentuk pukulan maha dahsyat berkekuatan geledek raksasa! 

Kejadian sebenarnya, nyata-nyata bukan sekadar cerita. Andika kerap kali mengalami hal ini, setelah memakan buah 'inti petir'. Dalam saat-saat genting menghadapi musuh yang terlampau tangguh, Pendekar Slebor bisa melancarkan pukulan maut sekuat petir setelah terlebih dahulu menyerapnya dari angkasa. Sayangnya, kehebatan itu tak selalu bisa diwujudkan, selama tak ada arakan awan hitam pekat. Dan Andika lebih suka menganggapnya sebagai suatu bukti kekuasaan Tuhan. Tanpa kehendak dan kodratNya, segala hal yang mungkin terjadi tidak mungkin. Sebaliknya, hal yang terkadang mustahil, mendadak bisa terjadi. 

Saat ini, kemukjizatan buah 'inti petir' yang sudah menyatu dengan darah dan daging Andika, hendak dicoba dimanfaatkan oleh Nyai Sililililu demi kesembuhan murid tunggalnya. 

Sewaktu ditanya caranya, jawaban Nyai Sililililu mengejutkan Andika. Katanya, untuk bisa memulihkan simpul-simpul saraf dalam jaringan otak Mayangseruni yang terganggu, Pendekar Slebor harus mencoba menyerap sambaran 

petir. 

Andika berpikir, itu pun gila. Kalau sebelumnya tubuhnya menyerap kekuatan petir, itu semata-mata di luar kehendaknya. Petir tiba-tiba menyambar. Dan dia merasakan penderitaan luar biasa bagai disayat-sayat sejuta kuku hewan buas. 

Maka jika sekarang harus menanti disambar petir di atas sebuah bukit gundul, itu sama artinya menyiksa diri. Padahal setiap kali mengalami penyerapan kekuatan petir, Andika selalu berharap hal itu tak akan terjadi lagi padanya, untuk seumur hidupnya! 

"Kalau begitu, kau bukanlah ksatria sejati!" rutuk Nyai Sililililu menerima penolakan Andika.   

"Ini sama saja bunuh diri!" kilah Andika. 

Bukannya Pendekar Slebor gentar, tapi hanya agak ragu. Apakah pada saat dia sengaja membiarkan dirinya disambar petir, nyawanya tetap utuh di badan? Itu berarti dirinya telah melakukan kebodohan andai benar-benar tewas. Lagi pula, sengaja menentang kekuatan alam, seperti hendak menjajal-jajal kekuasaan Tuhan. Dan dia tak mau jadi manusia durhaka! 

"Kau tak perlu menganggapnya bunuh diri, Tolol! Kau harus menganggapnya usaha menolong sesama!" kilah Nyai Sililililu, tak mau kalah bersikeras. "Aku tak mau menentang kekuasaan Tuhan dengan sengaja!" 

"Anak bandel! Apa kau pikir Tuhan tak tahu hatimu? Dia itu mengetahui apa-apa yang dilahirkan atau disembunyikan hati manusia. Kalau niatmu ikhlas untuk menolong orang lain, tentu tindakanmu tergolong tugas suci!" 

Andika diam dengan wajah terlipat. Pemuda itu duduk melengkung di bangku batu milik si nenek pertapa. Kedua tangannya menopang dagu. 

Melihat Andika duduk bertopang dagu seperti itu, lama kelamaan Nyai Sililililu menjadi sebal. 

"Huh! Tak kukira aku akan punya cicit kemenakan sepengecut kau!" 

Andika terusik. Telah dua kali telinganya mendengar si nenek menyebut dirinya 'cicit kemenakan'. Benar-benar mengundang keingintahuannya. 

"Siapa kau ini sebenarnya, Uwak? Sudah dua kali kau menyebutku cicit kemenakan...?" tanya Andika penasaran. 

"Janji dulu padaku, kau harus menolong Mayangseruni. Setelah itu, baru kau kuceritakan siapa aku sebenarnya!" elak si nenek, menuntut satu perjanjian tak tertulis. 

"Baik..., baiklah!" putus Andika akhirnya. "Tapi bukan karena aku ingin tahu siapa kau sebenarnya. Aku merenungi kata-katamu barusan. Sepertinya, ucapanmu ada benarnya, Uwak," tutur Andika jujur. 

"Hik hik hik! Itu baru cicit kemenakanku!" 

"Sekarang ceritakanlah?" pinta Andika. 

Nyai Sililililu pun memulai ceritanya. 

***  

Dua hari berlalu sudah. Kuburan tua tempat tinggal Nyai Sililililu tampak lengang. Kabut pagi bergentayangan lamban. Hujan yang sejak semalam mengguyuri hebat, pagi itu tinggal tersisa rintikrintik gerimis saja.  

Dalam rinai gerimis halus, dua sosok tubuh berjalan beriringan. Salah seorang berbadan gagah dan tegap, membopong tubuh sintal seorang wanita. Di sisinya, tertatih-tatih melangkah nenek tua bungkuk berpakaian ganjil. 

Keduanya adalah Andika dan Nyai Sililililu. Sedangkan wanita yang dibopong Pendekar Slebor tentu saja Mayangseruni. 

Semalam, ketika hujan badai merangsek bumi keduanya membawa segera Mayangseruni ke bukit terdekat. Sebuah bukit yang gundul kerontang, tanpa ada sebatang pohon menjulang. Tempat itulah yang amat tepat bagi orang yang hendak menyudahi hidup, dalam hujan menggila. Petir setiap saat akan mencari perantara ke bumi. Jika tidak ada sebatang pohon pun, maka setiap benda yang sudi berdiri tegak di sana akan menjadi sasarannya. Termasuk, manusia. 

Dan tempat itu pula, sangat tepat untuk melaksanakan rencana pengobatan Mayangseruni menurut Nyai Sililililu. Andika pun berpikir begitu, setelah niatnya benar-benar bulat untuk menolong si gadis malang. 

Maka, malam itu juga mereka berangkat. Tebing-tebing terjal yang memagari bukit tak menjadi halangan bagi kedua tokoh sakti berbeda usia itu. Tak juga badai yang mengamuk, tak juga jurang-jurang yang siap menelan tubuh mereka. 

Begitu tiba di ubun-ubun bukit, Nyai Sililililu bergegas menjauhi Andika yang tegak menentang angkasa, serta tubuh Mayangseruni yang rebah di dekatnya. Meski dalam hal kesaktian, si nenek berada beberapa tingkat ilmu atas Andika, namun tak akan sudi hangus diterjang lidah petir. Hanya orang-orang yang beruntung memakan buah 'inti petir' saja yang bisa menaklukkan gejala alam dahsyat itu. 

Belum lagi tubuh bungkuk Nyai Sililililu mencapai jarak yang cukup jauh, sejulur lidah petir menyalak, membelah langit.  

Glar! 

Tubuh Andika yang menjadi ujung puncak bukit, tak ayal lagi disambarnya. Pada kejap yang berselang begitu tipis, tubuh si jejaka bergetar dan tersentak-sentak. 

Yang terjadi selanjutnya, siksaan tak terhingga dialami Andika. Penderitaannya lebih hebat, dibanding tubuhnya ditarik seratus ekor kuda liar. Atau lebih menyakitkan dari sayatan sejuta sembilu. 

Tak ada satu benteng diri yang sanggup menahan penderitaan itu. Tak juga milik pemuda berhati baja Pendekar Slebor. Alam memang terkadang bisa ditaklukkan. Tapi, manusia tetap tak kuasa mengaturnya. Maka, mulut Andika pun melempar teriakan melengking bagai hendak menyaingi salakan guntur merobek angkasa! 

Tangan Andika mengejang serta membentang tinggi-tinggi ke atas. Kepalanya menengadah, seakan hendak merobek lehernya sendiri. Seluruh otot-otot di tubuhnya meregang, dialiri tegangan petir alam raksasa.  

Kekokohan poros hati pemuda ini memang patut dikagumi. Meski dalam penderitaan yang bisa melempar kesadarannya, Andika ternyata mampu mempertahankan tekad untuk menolong Mayangseruni. Dia bertahan untuk tidak jatuh pingsan. Dan kesadarannya meronta-ronta, untuk segera melakukan tindakan 

terhadap gadis di dekat tempatnya berdiri. 

Perjuangan antara hidup dan mati dimulai. Andika berusaha menahan tegangan lidah-lidah petir raksasa dalam tubuhnya, agar tak langsung terserap bumi. Sesuai nasihat Nyai Sililililu, Andika harus menyalurkan sebagian tenaga petir ke tubuh Mayangseruni melalui keningnya. 
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

Dalam cucuran hujan dan terpaan badai, dalam gelombang siksaan yang tak kunjung henti, dan dalam getaran tubuh, Andika perlahan-lahan menurunkan dua jari telunjuknya ke pelipis gadis itu. 

Begitu kedua jari telunjuk Pendekar Slebor menyentuh pelipis Mayangseruni, gelombang hebat tenaga petir raksasa dalam tubuhnya mengalir liar menuju tubuh gadis ini. 

Srrrt! 

Tubuh basah kuyup Mayangseruni tersentak-sentak seperti dialami Andika sebelumnya. Dada montoknya terangkat-angkat cepat, bagai dirasuki makhluk halus buas. 

Pada kala itulah Pendekar Slebor harus segera memenggal aliran lidah petir raksasa yang menjadikan tubuh gadis itu sebagai perantara ke bumi. Jika tidak, Mayangseruni bukannya bisa disembuhkan. Malah, justru nyawanya akan melayang! Namun, tindakan itu bukanlah hal yang mudah buat Andika. Tubuh halus gelombang lidah petir raksasa yang sudah mendapat perantara menuju bumi, akan sulit diputuskan manakala telanjur menemukan jalan. Untuk  itu, Andika harus mengempos seluruh kekuatan dalam setiap jengkal dirinya. 

"Heeeaaakh!" teriak Andika serak mengerikan. 

Di akhir teriakan, jari Andika dapat diangkat dari pelipis Mayangseruni. Berbarengan dengan itu, tubuh Pendekar Slebor terlempar jauh ke belakang terhempas tenaganya sendiri. 

Pemuda berhati baja itu baru bisa bangkit, setelah hujan mereda. Itu pun telah dibantu Nyai Sililililu dengan menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya. 

"Kira-kira, kapan dia akan siuman, Uwak?" tanya Andika ketika mereka tiba di pintu masuk yang terdapat  di tubuh pohon besar. Pakaiannya tampak koyak-moyak, seperti dicabik-cabik sekawanan serigala. Wajahnya yang basah masih tampak pucat, setelah mengalami perjuangan antara hidup dan mati di atas bukit. 

"Kenapa kau bertanya begitu, Bocah Slompret?" Nyai Sililililu malah balik bertanya. Bibirnya tersungging kecil, penuh arti. "Apa kau sudah tak sabar ingin mengenal lebih dekat gadis 

yang telah kau tolong? Kau punya pamrih sewaktu berniat menolong, ya?" 

Andika tentu saja tahu kalau nenek tua yang telah diketahui sebagai kakak kandung buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan, hanya ingin bergurau. 

Sewaktu melewati anak tangga batu menuju ruang bawah tanah, mata Andika memperhatikan seluruh anak tangga yang aneh menurutnya. 

"Uwak! Boleh kutanya sedikit?" aju Pendekar Slebor pada si nenek. 

"Ah! Kau selalu saja bertanya!" tukas Nyai Sililililu. 

"Kenapa tangga batu ini aneh sekali? Beberapa anak tangga diwarnai merah. Sebagian lain kuning, dan sisanya hijau. Apa maksudnya?" 

Nyai Sililililu berhenti pada satu anak tangga. Andika mengikuti. Jari telunjuk nenek itu lalu menotok-notok kening Andika keras-keras. Sampai-sampai, kepalanya melengak-lengak. 

"Pikir..., pikir! Anak muda bebal! Sepanjang pengetahuanku, keturunanku memiliki otak yang encer!"  

* * *  

7  

Gubuk kecil tempat kediaman Pangeran Neraka dan anteknya, Kembar Dari Tiongkok kelihatan sepi. Tak ada suara seorang pun di dalamnya. 

Sementara, Anggraini tiba di anak tangga masuk. Dan saat itulah Pangeran Neraka muncul bersama Kembar Dari Tiongkok. 

"Anggraini!" panggil Pangeran Neraka. 

Anggraini menoleh. Langkahnya untuk menaiki tangga gubuk diurungkan. 

"Dari mana saja kau?" tanya Bureksa, setelah dekat. "Kami sudah mencari-cari kau belakangan ini. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap dirimu...." 

Katakata Bureksa seolah penuh perhatian. Padahal dalam hatinya ada rencana busuk yang akan melibatkan kemenakannya sendiri. Itu sebabnya dia mencari-cari Anggraini. 

"Aku hanya berkeliling-keliling," jawab Anggraini berbohong. Dihindarinya tatapan mata si paman berjiwa bejat, namun belum diketahuinya sampai saat itu. 

"Kau tak apaapa, bukan?" tanya Bureksa lagi. "Kelihatannya kau murung sekali?" 

"Aku tak apa-apa, Paman. Hanya lelah...." 

Anggraini membalikkan tubuh, lalu mulai meniti anak tangga. 

"Aku ingin istirahat dulu Paman," pamit gadis itu dengan suara tak bergairah. Tubuh Anggraini menghilang di balik pintu gubuk beberapa saat. Setelah itu, Bureksa melirik Chia Jui dan Chia Kuo dengan pandangan licik. 

"Hari ini, kita harus mematangkan rencana," desis Bureksa perlahan. 

Chia Jui dan Chia Kuo mengangguk berbarengan. 

"Kalian lihat pandangan gadis itu barusan? Apa kalian bisa melihat ada sesuatu yang terjadi padanya. Kuyakini, ini ada hubungannya dengan Ratu Lebah, atau Andika. Sore nanti, kalian berpura-pura hendak keluar. Aku akan mengorek keterangan dari gadis itu yang nantinya akan bisa mempermulus rencana kita...." 

"Menyingkirkan Pendekar Slebor keparat!" tambah Chia Jui diiringi seringai. 

"Ya!" timpal Bureksa mantap. 

Lalu, ketiganya segera masuk ke dalam gubuk.  

***  

Tanpa terasa, sore pun tiba. Sesuai rencana Pangeran Neraka, Kembar Dari Tiongkok pamit keluar gubuk. Mereka hendak mencari bahan makanan di kotapraja. Begitu alasan mereka. 

Di dalam gubuk, kini tinggal Bureksa dan Anggraini. 

Kepura-puraan Pangeran Neraka saat itu diumbar lagi. Dengan penuh kepalsuan, dibuatkannya teh hangat untuk Anggraini. Agar dianggap kalau dirinya menaruh rasa sayang pada kemenakan sendiri. 

Benar kata Nyai Sililililu pada Andika beberapa waktu lalu. Bureksa memang selicik serigala dan selicin belut. Dia mampu bersandiwara dengan sempurna di hadapan Anggraini. Dalam benaknya sendiri, tak pernah ada rasa sayang pada kemenakannya. Yang ada hanya kelicikan dengan memanfaatkan Anggraini, untuk mengenyahkan Pendekar Slebor. Sebab, lelaki itu amat jeli membaca pikiran Anggraini yang ayahnya dibunuh Andika. Dendam pasti sedang bergelora dalam hati gadis itu. Begitu pikir Bureksa. Dendam itulah yang akan dipicunya, sehingga Anggraini akan mengenyahkan Andika! 

"Kau perlu meminum teh hangat ini, untuk menyegarkan tubuh," kata Bureksa dengan tata krama yang manis. Diletakkannya cangkir teh di depan Anggraini. 

"Terima kasih, Paman," hatur Anggraini. 

Saat ini gadis itu sedang duduk menekuk lutut di lantai beralas tikar pandan. Baru saja Anggraini selesai bersemadi. 

"Kau tampaknya sedang ada masalah, Anakku," kata Bureksa memulai 

kembali. "Kau bisa menceritakan masalahmu padaku. Anggaplah aku sebagai pengganti Ayahmu...." 

Anggraini menoleh sejenak. Bibirnya menyembulkan senyum tawar. Beberapa saat, dia hanya menimbang. 

"Paman benar. Aku memang sedang memiliki masalah," kata gadis itu. 

"Ceritakanlah...," bujuk Pangeran Neraka. Matanya berbinar-binar culas, mengetahui Anggraini mulai mau membuka mulut. 

"Kau tentu tahu pemuda yang bersamaku dulu, Paman...." 

"Yang berpakaian hijau itu?"  

"Ya." 

"Kau masih berhubungan dengan pembunuh ayahmu itu?" kata Bureksa, berpura-pura tersentak kaget. Anggraini menggeleng. 

"Aku justru menemuinya untuk menuntut balas atas kematian Ayah...," tutur Anggraini datar.  

"Lalu?" 

"Kurasa aku tak sanggup membunuhnya...." 

"Dia memang terlampau sakti untukmu." 

"Bukan itu, Paman," sergah Anggraini. "Melainkan, aku tak bisa melakukannya. Hatiku menolak setiap kali aku berusaha membunuh pembunuh itu." 

Bureksa mengangguk-angguk dengan wajah dibuat sebijak mungkin. 

"Kalau kau merasa tak sanggup, kenapa tak lupakan saja dendammu padanya? Dendam itu selamanya tak baik, Anakku...," tutur Bureksa halus. "Kalaupun aku melarangmu berhubungan dengan pemuda itu, bukan berarti menganjurkan untuk membunuhnya karena luapan dendam kesumat." 

Bureksa tampaknya berusaha memancing keingintahuan Anggraini, dengan membuat tekanan kalimat.  

Sementara Anggraini kemudian menyeruput teh. Diletakkannya kembali cangkir tanah liat di tempatnya. 

"Kenapa Paman melarangku berhubungan dengan pemuda itu?" tanya gadis itu kemudian, terpancing gaya bicara Bureksa. 

Bureksa tertawa ringan. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan begitu berat menjelaskan hal yang akan diutarakannya. 

"Ayolah, Paman...," desak Anggraini, lagilagi terpancing sikap Bureksa. 

"Kularang kau mencintai pemuda itu, bukan karena telah membunuh adik kandungku, ayahmu. Aku tidak sepicik itu, Anggraini. Sebabnya karena...." 

Sengaja Bureksa memenggal kalimat. 

"Katakan saja, Paman!" 

"Kau yakin siap mendengarnya?" Andika mengangguk, meski agak ragu. 

"Kau tak akan kecewa?" 

Kini kepala gadis itu menggeleng lamban. 

"Baiklah...," desah Bureksa, langsung diam sesaat. "Sebenarnya, pemuda itu adalah seorang hidung belang. Di dunia persilatan, dia dikenal sebagai Iblis Pemetik Bunga. Banyak gadis yang sudah menjadi korbannya. Setiap gadis akan mengalami kematian mengenaskan, setelah digauli pemuda itu. Dia memiliki ilmu yang menuntut tumbal kehormatan gadis suci seperti kau. Setiap kali seorang gadis dikorbankan, ilmunya bertambah beberapa tingkat...," papar Pangeran Neraka dengan sandiwaranya yang sempurna. 

Selesai mendengar penuturan Bureksa, mata Anggraini berkaca-kaca. Tampak tersirat rasa kegeraman di sana. Giginya terdengar bergeletuk dihantam kekecewaan mendalam. 

"Pantas saja dia tak segera membunuhku, sementara mengetahui aku hendak menuntut balas padanya. Rupanya, pemuda keparat itu ingin menjadikan aku tumbal ilmu iblisnya!"  

Pak! 

Dengan tinjunya, Anggraini menghajar lantai kayu pondok. Hantaman itu membuat lubang cukup besar, Pertanda kegeraman dan kebenciannya telah terbakar cepat! 

Bureksa menepuk-nepuk bahu Anggraini. Wajahnya ditampakkan se prihatin mungkin, terhadap keadaan hati gadis kemenakannya. 

"Sudahlah...," bujuk Pangeran Neraka. "Lupakan pemuda itu. Lupakan pula dendammu. Kembalilah ke Tanah Buangan menemani ibumu. Tentu beliau kesepian di sana...." 

"Aku tak akan kembali ke Tanah Buangan sebelum membunuh pemuda itu, Paman!" tandas Anggraini. Matanya memerah penuh. "Dia telah membuat Ibu kesepian dengan tewasnya Ayah!" 

Kepala Bureksa menggeleng-geleng perlahan. Sementara, raut wajahnya tetap mempertahankan kesan prihatin. Sedang benaknya sendiri melantunkan tawa puas. Tawa tersembunyi penuh kemenangan! 

Pada saat yang sama, Mayangseruni sedang berbincang-bincang dengan gurunya, Nyai Sililililu dalam tempat rahasia. Beberapa saat waktu lalu, gadis menawan itu telah siuman. 

Sementara keduanya berbicara hilir udik, melepas kerinduan setelah tak berjumpa demikian lama, Andika masuk melalui tangga batu. Dia baru saja keluar untuk mencari pengganti pakaian, atas saran Nyai Sililililu. 

Begitu Andika hendak memasuki sebuah pintu yang menghubungkan ruang bawah tanah dengan anak tangga, kakinya tertahan untuk melangkah lebih lanjut. Andika tertarik oleh pembicaraan dua perempuan yang usianya terpaut jauh itu. Telinganya mendengar namanya disebut-sebut. 

"Pemuda yang menolongmu bernama Andika," terdengar suara Nyai Sililililu sayup. 

"Andika? Rasanya aku pernah mendengar selentingan nama pemuda itu," susul suara Mayangseruni yang halus terdengar. 

"Tentu saja kau pernah mendengarnya, 'Nduk'. Apa kau lupa kalau Andika adalah nama asli Pendekar Slebor.... Hik hik hik!" 

Si nenek tertawa pada akhir kalimat. Padahal, tidak ada yang lucu untuk ditertawakan. 

"Pendekar Slebor, Guru?! Jadi pendekar muda terhormat itu yang telah membantuku menawarkan racun dalam tubuhku?!" 

Suara Mayangseruni terdengar meninggi. Tampaknya, gadis ini demikian terperanjat. 

"Ya! Apa telingamu tuli, 'Nduk'?" 

"Ya, Tuhan.... Ini benar-benar membuat hatiku berbunga-bunga, Guru!" 

"Eh, eh! Apa kau tahu, anak muda itu mati-mati dalam usaha menolongmu. Kupikir, kalau ada pemuda yang paling cocok denganmu, ya dia orangnya!" Andika tersenyum sendiri mendengarnya. 

"Ah, Guru...!" desah Mayangseruni malu-malu. 

"Eee! Bagaimana kalau dia naksir kau. Dan kau harus tahu malu pada Andika. Dia sudah mempertaruhkan nyawa demi kesembuhanmu!" 

Tak terdengar tanggapan Mayangseruni. Mungkin hatinya begitu risih mendengar celoteh guru ceriwisnya yang terlalu memojokkan. 

"Bayangkan saja, dia harus membiarkan dirinya disambar petir!" 

"Untuk menolongku?" 

"Iya! Apa kau belum tahu, racun 'Perusak Saraf hanya bisa dilumpuhkan dengan menyalurkan sebagian kekuatan petir ke dalam tubuhmu? Dan hanya orang yang pernah memakan buah 'inti petir' saja yang bisa melakukannya...." 

"Uggg, sekarang mmm, Kang Andika di mana, Guru?" 

"Weit, weit! Belum apa-apa sudah panggil-panggil 'Kang'. Mesra sekali kedengarannya.... Hik hik hik!" 

"Guru kenapa terus menggodaku!" 

"Kakang mu itu sekarang sedang sembunyi seperti cecurut di balik pintu itu!" tukas Nyai Sililililu, mengejutkan Andika. 

Andika benar-benar tak menyangka kalau uwaknya mengetahui kehadirannya. Padahal, dia sudah begitu hati-hati. 

"Alah, tidak usah pura-pura segala! Ayo masuk!" bentak si nenek dari dalam. 

Dengan wajah merah padam, Andika terpaksa masuk juga. Perempuan bangkotan itu memang paling hebat menangkap basah seseorang! 

"Nah! Inilah Pendekar Slebor, 'Nduk'! Sudah lama kau ingin kenal dengannya, bukan?" cerocos Nyai Sililililu, seolah hendak menelanjangi Andika di tempatnya. 

Untuk pertama kalinya, Andika bisa menyaksikan pribadi Mayangseruni sesungguhnya. Tak ada lagi kesan keji pada wajah gadis ayu luar biasa ini. Mata lentiknya kini memancarkan keanggunan serta kesungkanan, sekaligus manakala bentrok dengan mata elang Andika. Hati pemuda ini terasa sejuk dibuatnya. 

"Ayo! Ke sini, Anak Muda Slompret!" maki Nyai Sililililu semena-mena, mendapati Andika terdiam di mulut pintu masuk ruang bawah tanah. 

Andika tersentak. Matanya mengerjap-ngerjap layaknya bocah kampung cacingan. 

Sewaktu pendekar muda itu melangkah lebih dekat ke arah dua perempuan berbeda usia yang duduk bersandingan di meja batu, Mayangseruni tampak tertunduk-tunduk. Wajah halusnya tampak bersemu merah. 

Nyai Sililililu bangkit dari meja batu. Lalu dia berjalan membungkuk-bungkuk menuju ruang semadinya. 

"Ajak anak gadisku cari angin! Terserah kalian, di luar mau berbuat apa! Mau main petak umpet, kek. Atau apa, kek! Masabodoh! Asal jangan berbuat yang macam-macam! Bisa kusunat dua kali kau Andika!" kata Nyai Sililililu. 

Pendekar Slebor menarik napas sedalam mungkin. Untung dia hanya punya satu uwak seperti Nyai Sililililu. Kalau lebih sedikit saja, bisa-bisa mati berdiri. 

"Heh, tunggu apa lagi?!" sentak Nyai Sililililu di belakang Andika. "Ayo, gandeng tangan Mayangseruni! Ajak dia keluar! Kalian hanya membuat tempat tinggalku sumpek!" 

Puas berkoar-koar, nenek pertapa itu menghilang di balik dinding ruang semadinya. 

Tinggal Andika dan Mayangseruni yang masih terdiam, menikmati keterpesonaan masing-masing.  

* * *  

"Kita akan ke mana, Kang Andika?" tanya Mayangseruni pada pemuda di sisinya. 

Mereka kini berjalan beriringan. Pagi tadi, mereka baru saja pamit pada Nyai Sililililu. 

Sebenarnya, Andika tak berniat pergi bersama-sama murid tunggal uwaknya. Berhubung Nyai Sililililu mendesaknya terus untuk mengajak Mayangseruni, Andika akhirnya mengizinkan juga gadis itu pergi bersamanya. 

Mayang sendiri memang sudah lama merindukan bisa berjalan beriringan bersama pendekar besar macam Andika. Biarpun masih agak risih, hatinya tentu saja gembira mendengar desakan gurunya pada Pendekar Slebor. 

"Kang Andika...," tegur Mayangseruni. Pertanyaannya tadi belum dijawab Andika. 

"Eh, apa?" gagap Andika tersadar. 

"Kakang melamun, ya?" goda Mayang, sungkan-sungkan. 

"Ah, tidak...! Eh, iya!"  

"Melamun apa?" Andika tersenyum kecil. 

"Kau tadi tanya apa padaku?" Andika mengalihkan pembicaraan. 

Merasa Andika tak mau membicarakan isi pikirannya, Mayangseruni tidak ingin memaksa. 

"Aku tanya, kita akan ke mana...?" ulang Mayangseruni. 

"Ooo, itu. Kita akan ke lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia," jawab Andika. 

"Apa Kakang ada urusan di sana?" tanya Mayangseruni lagi. 

Sementara kesadarannya pulih, Mayangseruni tak lagi ingat tentang tempat tersebut. Termasuk, tentang dirinya yang diperalat Pangeran Neraka. 

Andika maklum akan hal itu. 

"Aku punya sobat baru. Dia masih hijau dalam dunia persilatan. Karena suatu hal, aku harus mengenyahkan ayahnya. Lalu, dia pun mencari pembunuh ayahnya. Ketika tahu dari pamannya kalau akulah pembunuh ayahnya, dia pun mulai memusuhiku. Aku hendak mencarinya di sana, karena khawatir terhadap kelicikan si paman," tutur Andika gamblang. 

"Entah kenapa, aku sepertinya merasa pernah mendengar tentang tempat itu...," kata Mayangseruni, seperti bergumam sendiri. 

Karena merasa yakin Mayangseruni sudah siap, Andika memutuskan untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa Mayangseruni. 

"Apa kau ingat dengan seorang tokoh golongan sesat berjuluk Pangeran Neraka?" pancing Andika, memulai membuka ingatan si gadis. 

Beberapa ayunan langkah, gadis berparas amat mempesona itu mengingat-ingat nama yang disebutkan Andika. Kening halusnya sedikit terlipat. 

"Ya, aku ingat kini...," ucap Mayangseruni kemudian. "Sebenarnya, ada urusan apa antara kau dan lelaki itu?" tanya Andika lagi. 

Kali ini, pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk memancing ingatan Mayangseruni. Andika hanya ingin tahu lebih jelas duduk persoalan antara gadis itu dengan Pangeran Neraka, hingga melibatkan diri Mayangseruni jauh ke lembah kaum sesat. 

"Apa Kakang tak tahu kalau lelaki itu adalah kakak kandung Begal Ireng?" 

Kelopak mata teduh Mayangseruni sedikit membesar. Ditatapnya mata Andika, meminta jawaban. 

"Aku baru mengetahuinya belakangan ini. Tapi, apa hubungan perkaramu dengan urusan antara aku dan Begal Ireng?" Andika balik tanya. Caranya melempar pertanyaan berkesan menyudutkan gadis berpakaian merah-merah di sisinya. 

Tetap dengan kesungkanan yang menyertainya, Mayangseruni akhirnya membuka satu rahasia yang selama ini disimpannya sendiri. 

"Sebenarnya, aku tak ada urusan apa-apa dengan Pangeran Neraka," aku Mayangseruni. 

"Tapi, kenapa kau bisa sampai terlibat jauh dengan lelaki itu?" tanya Andika, dengan alis legam bertaut rapat, pertanda mulai terbawa arus keingintahuannya. 

"Sewaktu Kakang hendak menumpas gerombolan Begal Ireng, namamu jadi kesohor ke seantero penjuru angin. Aku kerap kali mendengar nama harum Kakang disebut-sebut di mana-mana. Banyak kudengar tentang diri Kakang, tentang pribadi. Juga...." Mayang tersipu. "Juga, tentang ketampanan Kakang." 

Mendengar hal itu, Andika kontan terbahak. 

"Lalu?" tanya Pendekar Slebor penasaran. Bibirnya masih menyisakan senyum lebar. 

"Suatu hari, aku juga mendengar desas-desus kalau Pangeran Neraka hendak membantu Begal Ireng. Dia merencanakan pembunuhan licik terhadap diri Kakang. Lalu...." 

Anggraini kembali memenggal cerita. Ada sesuatu yang membuatnya malu mengutarakan kelanjutan cerita. 

"Lalu apa? Ayo, lanjutkanlah! Aku toh, bukan siapasiapa bagimu. Maksudku, aku toh, masih cicit kemenakan gurumu sendiri. Nyai Sililililu sudah mengatakannya padamu, bukan?" desak Andika, halus. 

"Lalu, aku berusaha menggagalkan rencana licik Pangeran Neraka...," tambah Mayangseruni, hampir-hampir berbisik karena diusik kesungkanan. 

"Apa?" mata Andika kontan membesar seperti hampir tak percaya. "Jadi, kau bertaruh nyawa menghadapi Pangeran 

Neraka hanya karena ingin menyelamatkanku?!" 

Anggraini tertunduk. Gadis yang berkepribadian agak pemalu itu memainkan ujung-ujung kukunya. Tak berani matanya menatap langsung mata jantan Andika. Seolah-olah, takut ada sinar mencemooh di sana. Kepala Andika menggeleng-geleng. "Aku harus bilang apa padamu? Rupanya, kau terlalu termakan desas-desus tentang diriku. Kau tertarik padaku, sementara orangnya belum lagi kau kenal. Padahal, aku ini, ya hanya begini...," ucap Andika tanpa tedeng aling-aling. Sifat acuhnya membuat ingatannya terlupa kalau sedang berbicara dengan gadis yang agak pemalu. 

Sebentar saja, Andika menyadari kebodohan ucapannya. Sambil mengumpati diri dalam hati, keningnya ditampar gemas-gemas. 

"Tapi, terus terang. Terima kasih saja, rasanya belum cukup kuberikan untukmu. Karena, kau telah begitu berani menentang Pangeran Neraka...," hatur Andika, seperti hendak meralat kesalahan ucapannya barusan. 

Mayangseruni tetap diam. Pandangannya masih saja terjatuh mengawal langkah-langkah kakinya. 

"Terima kasih, Mayang.... Dengan berbuat itu, berarti kau telah membantuku dalam menegakkan kebenaran!" 

"Aku malu, Kang...," kata Mayangseruni, seperti berbisik. 

"Kenapa harus malu dalam melaksanakan hal yang baik?" 

"Aku malu karena alasanku mencoba menggagalkan rencana Pangeran Neraka, hanya karena ingin menyelamatkanmu...." 

"Apa itu perbuatan dosa? Bukankah tugas kita untuk saling bahu membahu dalam kebaikan dan kebenaran?" hibur Andika kembali. 

Bibir ranum Mayangseruni memperlihatkan senyum sejuk. 

"Nah, begitu! Jadi, pada dasarnya kita telah lunas, bukan? Kau telah berusaha menyelamatkanku, dan aku pun telah berusaha menyelamatkanmu...," tambah Pendekar Slebor seraya menggandeng bahu gadis itu. Dan seketika wajah Mayangseruni mendadak matang. 

Sementara kedua anak muda itu melanjutkan langkah begitu akrab, sepasang mata terus mengawasi dari kejauhan. Mengawasi terus, dan terus. Melihat keakraban Andika dan Mayangseruni, matanya perlahan namun pasti, mulai menyimpan bara kebencian.... Anggraini. Gadis itulah yang menguntit Andika dan Mayangseruni selama ini. Api kebencian yang berhasil disulut Pangeran Neraka, makin berkobar-kobar melihat bagaimana mesranya Andika dengan Mayangseruni. Paling tidak, begitulah dalam pandangan Anggraini. 

Masih teringat kalimat-kalimat yang diutarakan Bureksa, pamannya, manakala menanyakan tentang Ratu Lebah atau Mayangseruni. 

"Kau tahu, perempuan itu sesungguhnya adalah kekasih Iblis Pemetik Bunga," tutur Pangeran Neraka waktu itu. Disebutnya Andika dengan julukan karangannya sendiri. "Jangan heran kalau suatu saat nanti, kau akan melihat mereka berjalan beriringan dengan mesra. Terus terang saja Paman katakan, kau telah dikelabui mereka mentahmentah, Anakku...." 

Tentu saja Bureksa bisa menduga demikian, karena begitu tahu siapa Mayangseruni. Seorang pendekar wanita yang begitu menyanjung Andika. Setelah mendengar dari Anggraini kalau Ratu Lebah alias Mayangseruni dibawa seorang nenek ceriwis yang diyakini Bureksa sebagai gurunya, maka lelaki itu yakin, cepat atau lambat Andika akan dekat dengan Mayangseruni. Apalagi, Bureksa tahu. Hanya Andika yang bisa membantu menyembuhkan Mayangseruni dari racun miliknya. 

Dapat dibayangkan, betapa liciknya tokoh sesat ini. Semua kenyataan diputarbalikkan, agar Anggraini terperangkap ke dalam tipu dayanya. Tak lagi dipedulikannya hubungan darah antara dirinya dengan Anggraini. Baginya, 

yang terpenting adalah mencapai tujuan yang diinginkan. Tanpa mempedulikan, apakah cara mencapai tujuan itu mengorbankan orang lain atau tidak. Tidak juga kemenakannya sendiri! 

"Jika kau telah berhasil dijadikan tumbal ilmu sesat pemuda itu, maka mereka akan menertawai bangkaimu, Anggraini.... Bangkaimu!" tandas Bureksa, memberi pengulangan pada kata terakhirnya. Hal itu akan mengendap lekat-lekat di dasar benak Anggraini. Dan Bureksa tahu itu.  

*** 

 

Lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Andika dan Mayangseruni akhirnya tiba di sana. Tanpa diketahui keduanya, Anggraini yang terpedaya mentah-mentah semua hasutan pamannya, terus mengikuti. 

"Ke mana kira-kira aku harus mencari gadis itu?" tanya Andika pada diri sendiri. Matanya mencari-cari ke segenap lembah yang berbukit-bukit. 

"Jadi, sobat barumu itu wanita, ya Kang Andika?" usik Mayangseruni. 

Andika hanya menjawab dengan anggukan kecil. Dia masih sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar lembah yang luas. 

"Cantik, Kang?" 

"Apa?" "Apa gadis itu cantik?" ulang Mayangseruni.  

"Mmm, yah.... Bisa dibilang begitu."  

"Boleh tanya sedikit yang sifatnya agak pribadi, Kang?" 

Pendekar muda itu menghentikan kesibukan matanya. Sekarang sepasang mata perkasanya ditujukan langsung ke bola mata Mayangseruni yang selalu tak punya daya untuk membalas tatapan itu. Timbul semacam kerikuhan apabila mencobanya. Mata Andika terlalu menelusupkan pesona ke dalam dirinya. Itu sebabnya kepalanya menunduk. 

"Tanya soal apa?" ucap Andika. 

"Apa.... Kang Andika tertarik pada gadis itu?" 

Pertanyaan Mayangseruni memaksa Andika tergelak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Pendekar Slebor, di antara derai tawa lepasnya. 

"Tidak apa-apa, Kang...," kilah Mayangseruni, seraya mengangkat bahu. 

"Tak mungkin. Tak mungkin kau tak punya alasan menanyakan hal itu," sanggah Andika, main-main. 

Tapi siapa nyana kalau ucapan main-main Andika, justru ditanggapi sungguh-sungguh oleh gadis itu. Pendekar Slebor melihat wajah ayu gadis itu berubah. Kedua belah pipinya bersemu merah menggemaskan. 

"Ah! Sudahlah, Mayang.... Tak perlu dipersoalkan lagi. Aku memperhatikan gadis itu, karena akulah yang membuatnya kehilangan seorang ayah. Meski tak merasa berdosa, aku tetap merasa bersalah padanya. Kau paham?" 

Mayangseruni mengangguk perlahan. 

"Sekarang, kita harus secepatnya menemukan gadis itu. Aku tak ingin Pangeran Neraka yang licik menguasainya. Dia masih terlalu hijau untuk menyadari kebusukan dunia persilatan...," tambah Andika. 

"Bagaimana kalau kita berpencar, Kang. Biar bisa lebih cepat menemukannya," usul Mayangseruni. 

"Kau yakin?" tanya Andika. 

Pendekar Slebor hanya agak khawatir terhadap keselamatan Mayangseruni. Namun karena Andika percaya Mayangseruni dapat menjaga dirinya sendiri, akhirnya disetujuinya. Bukankah dia pernah melihat sendiri kehebatan murid uwaknya itu, ketika bertarung melawan Anggraini? Dan kalaupun dulu pernah dipecundangi Pangeran Neraka, tentu karena lawannya memperdayai gadis itu dengan tipu muslihat licik.... (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode : "Pendekar Wanita Tanah Buangan"). 

"Aku akan mencarinya ke timur. Kau mencarinya ke barat. Bagaimana?" kata Andika, menanggapi usul Mayangseruni. 

Gadis itu mengangguk. "Dan kalau terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungiku. Kau punya caranya?" 

Mayangseruni berpikir sejenak. 

"Aku akan melepas lebah-lebah keangkasa," jawab Mayangseruni cepat. 

"Pikiran jitu!" puji Andika. 

Lalu keduanya pun segera berpisah. Seperti rencana, Andika mulai menyusuri lembah bagian timur, Sedangkan Mayangseruni, si Ratu Lebah, akan menyusuri arah yang berlawanan. 

Dengan berpisahnya Andika dengan Mayangseruni, Anggraini yang menguntit mesti membuat keputusan. Hendak mengikuti Andika atau Mayangseruni. Gejolak kebencian yang diwarnai rasa cemburu, tanpa disadari telah mendorongnya untuk mengikuti Mayangseruni. 

Anggraini pun menuju lembah bagian barat. Sepeminum teh kemudian, Mayangseruni sampai di sebuah bukit yang membentang di bagian barat lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Tak seperti di tempat semula, tempat ini ditumbuhi pepohonan cemara besar yang berbaris seperti gerombolan pendaki. 

Mayangseruni sejenak melepas lelah. Tubuhnya bersandar di batang sebuah pohon cemara. Rasa sejuk ditariknya ke dalam dada, untuk mengusir penat setelah mencari cukup lama. 

"Apa mungkin gadis yang dicari Kang Andika masih berada di daerah ini?" gumam Mayangseruni, pelan. 

Dalam benak, Mayangseruni tetap saja digerayangi pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan gadis yang sedang dicarinya dengan Andika. Yang pasti, dia ingin langsung mempercayai perkataan Andika, bahwa pemuda itu tak memiliki hubungan khusus dengan Anggraini. Namun, keresahan dan kekhawatiran tetap saja melingkupi benaknya. 

Mayangseruni cukup sadar. Perasaan seperti itu lahir dalam dirinya, mungkin karena berharap banyak terhadap pemuda pujaannya. Seperti pernah diungkapkan langsung pada Andika, Mayangseruni memang memuja Andika yang sebelumnya hanya diketahui dari seliweran kabar burung. Tentang Pendekar Slebor yang muda, tampan, dan gagah. Pendekar Slebor yang banyak mengecoh bahkan memberantas tokoh-tokoh atas golongan sesat. 

Belum lagi bertemu, Mayangseruni sudah begitu mengagumi. Apalagi kini telah bertemu langsung tokoh muda pujaannya itu? 

Memikirkan semua itu, Mayangseruni jadi tak memiliki semangat lagi untuk meneruskan pencarian. 

Mendadak sontak, Mayangseruni dikejutkan suara mendesir yang datang dari sebelah kiri. Lamunannya koyak seketika. Meski belum tahu suara apa, namun gadis berjuluk Ratu Lebah itu 

serta-merta berjungkir balik ke depan.  

Wesss!  

Blar! 

Firasat pekanya terbukti. Sebentuk bahaya maut baru saja luput! Manakala mata Mayangseruni menemukan tempatnya berdiri tadi, pohon cemara yang dijadikan sandaran telah hancur lantak bagai baru tersambar petir. Batangnya tumbang, menciptakan suara bergemuruh. Pada bagian yang terhajar desiran tadi, mengepulkan asap tipis. Bahkan bagian atasnya membara! 

Bukan orang sembarangan yang bisa melakukan pukulan jarak jauh seperti itu. Maka murid tunggal Nyai Sililililu itu langsung saja bersiaga. 

"Jangan beraninya main bokong! Keluar kau!" tantang Ratu Lebah pada si penyerang gelap. 

Di ujung kalimat Mayangseruni, sesosok tubuh berkelebat keluar dari semak-semak. Pakaiannya sewarna dengan Mayangseruni. Merah-merah. Begitu juga panjang rambutnya. Sepintas saja, penampilan mereka sulit dibedakan. 

"Siapa kau?!" tanya Mayangseruni gusar. 

Gadis itu sama sekali tidak mengenali kalau wanita yang berdiri di hadapannya adalah Anggraini, orang yang pernah bertarung dengannya beberapa waktu lalu. 

"Jangan banyak basa basi, Perempuan Lacur!" maki Anggraini amat kasar dan menyakitkan telinga. 

Mayangseruni tak begitu terpengaruh mendengar makian Anggraini. Malah diamatinya penampilan gadis di hadapannya dengan kelopak mata agak menyipit. Penampilan perempuan ini amat mirip dengan gambaran yang diberikan Andika. 

"Apakah kau Anggraini?" tanya Mayangseruni hati-hati. 

"Apa pedulimu menanyakan namaku?!" balas Anggraini, tetap kasar. Sehingga, membuat Mayangseruni jadi ragu apakah telah menemukan wanita yang dimaksud Andika atau bukan. 

"Kalau kau Anggraini, kenapa kau menyerangku?" tanya Mayangseruni kembali, berusaha tetap menjaga kesabaran. 

"Karena kau perempuan bejat yang patut kukirim ke neraka!" 

Selesai itu, Anggraini langsung membuka jurusnya.  

"Terimalah kematianmu, Perempuan Keparat! Hiaaa!" 

"Tunggu!" tahan Mayangseruni. 

Usaha Mayangseruni sudah terlambat. Anggraini telah menggempurnya dengan serangkai tusukan anak panah yang baru saja diloloskan dari tempatnya. 

Jep! Jep! Jep! 

Tampaknya, gadis dari Tanah Buangan itu tidak ingin lagi melihat lawannya hidup dalam keadaan utuh. Cemburu dan benci telah menjadi satu, menghasutnya untuk merobek-robek tubuh Ratu Lebah. Seakan Anggraini tidak sudi melihat kecantikan Mayangseruni melebihi dirinya. 

Dalam segebrakan, tiga tusukan mengancam bagian-bagian mematikan di tubuh Mayangseruni. Sementara, Ratu Lebah sendiri sudah pasti tidak ingin dijadikan satai hidup-hidup. Dengan lincah tanpa kehilangan kegemulaiannya, tubuhnya berkelit cepat dalam tiga kali menyempongkan tubuh. 

Karena tak mungkin untuk terus menghindar, Mayangseruni pun melancarkan serangan balasan. Satu anak panah Anggraini yang hendak menembus dada kanannya, segera dihantam dengan bacokan tangan. Maksudnya, tentu saja hendak mematahkan senjata itu. 

Namun betapa tersentaknya Mayangseruni, tatkala tangannya berbenturan dengan anak panah yang hanya terbuat dari kayu. Sekujur tangan hingga ke bagian rusuknya terasa tersengat api. Bagaimana mungkin panas yang demikian tinggi, bisa disalurkan dalam sebatang kayu tipis tanpa terbakar? 

Di lain pihak, Anggraini tak memberi kesempatan pada Mayangseruni, walau sekadar untuk terheran. 

"Heaaa!" 

Swing! 

Mata panah di tangan kiri Anggraini membabat udara menuju perut Mayangseruni. Hendak dirobeknya perut gadis cantik itu. Jika perlu, sampai isi perutnya bobol keluar! 

Sekali lagi Mayangseruni terkesiap. Gesekan mata panah dari baja dengan udara, menimbulkan bunga api di sepanjang jalur babatan! Kini makin yakinlah Mayangseruni. Ternyata, lawannya benar-benar tidak ingin memberinya kesempatan untuk hidup. Padahal, murid si nenek pertapa semula hanya menganggap Anggraini ingin memberinya pelajaran, karena kecemburuan pada sikap akrab Andika padanya. Paling tidak, begitu dugaannya. 

Tak ada pilihan lain bagi Mayangseruni kini. Dia pun harus melakukan perlawanan seimbang. Maka tanpa ragu lagi, gadis yang lebih dikenal sebagai Ratu Lebah itu langsung saja memainkan jurus-jurus andalannya. 

"Bagus! Keluarkan semua ilmu andalanmu! Agar aku puas membunuhmu!" geram Anggraini, Pendekar Wanita dari Tanah Buangan. 

Pertarungan hebat yang kedua kali bisa dipastikan akan segera tercipta kembali. Namun.... 

"Tahan...!" 

Satu bentakan lantang, tiba-tiba menggetarkan pepohonan dan merontokkan dedaunan. 

Dua lelaki berkepala gundul tahu-tahu telah berdiri di dekat arena pertarungan. Keduanya berpenampilan amat mirip. Dari pakaian sampai ke wajah mereka. Anggraini mengenali mereka sebagai Kembar Dari Tiongkok. 

"Paman Chia Kuo.... Paman Chia Jui! Kenapa kalian menghentikan pertarunganku?" tanya Anggraini terheran-heran. Kemarahannya yang sudah memuncak menjadi surut kembali. 

Sementara Kembar Dari Tiongkok tak bergeming dari tempat berdiri. "Pamanmu menyuruh kau untuk segera kembali," ucap Chia Jui. 

"Dan kau harus kembali, begitu kata pamanmu," timpal Chia Kuo memberi tekanan pada kata 'harus'. 

Anggraini tidak bisa terima. Kenapa pada saat harus menumpas perempuan jahat seperti dikatakan pamannya, dia harus berhenti menggempur lalu pulang begitu saja. 

"Tapi, Paman...." 

"Tak ada tetapi, Anggraini! Kau harus menuruti perintah pamanmu!" 

Anggraini ingin menolak perintah kedua lelaki dari tanah Tiongkok itu, tapi secepatnya Chia Jui memotong. 

Meski memendam perasaan tak menentu, benturan perasaan antara penasaran ingin menghabisi Ratu Lebah dengan keheranan terhadap perintah pamannya, Anggraini akhirnya meninggalkan sang lawan. 

"Kita akan segera bertemu lagi, Perempuan Laknat!" ancam Anggraini pada Mayangseruni yang masih berdiri dengan kuda-kuda siap tempur. 

Tak beda dengan Anggraini, Mayangseruni pun dibuat heran atas tindak-tanduk mereka semua. Menurut cerita Andika, paman Anggraini adalah Pangeran Neraka. Bila lelaki itu tahu kalau kemenakannya bertarung dengan Mayangseruni, tentunya tak akan memerintah untuk menghentikan pertarungan. Apa mungkin Pangeran Neraka tidak tahu, dengan siapa kemenakannya bertarung? 

Sebelum benar-benar pergi, seorang dari dua lelaki kembar itu melesatkan sebuah tabung bambu ke arah Mayangseruni. Amat cepat meluncur, namun tidak begitu berarti bagi gadis murid Nyai Sililililu. Tanpa menemui kesulitan, tangannya menyergap benda itu. 

Pada dasarnya, tabung bambu sepanjang jengkalan tangan itu memang tidak dimaksudkan untuk menyerang. Buktinya, setelah meneliti sebentar, Mayangseruni menemukan secarik surat. 

Dan Mayangseruni membacanya.  

"Pendekar Slebor! Tunggu aku di penginapan, sebelah utara Bukit Cemara jajar.  Pangeran Neraka" 

Sepeninggalan gadis yang diyakini sebagai Anggraini dan dua lelaki Tiongkok tadi, Mayangseruni segera pula meninggalkan tempat ini. Hendak disusul nya Andika ke arah timur. 

***  

Tanpa kesulitan berarti, Mayangseruni cepat menemukan Andika. Lalu, segera diceritakannya kejadian yang terjadi secara singkat dan gamblang. 

Usai mendengar penuturan gadis itu, Andika terdiam sambil mengetuk-ngetuk siku tangan yang disilangkan ke depan dada. Sedangkan matanya menerawang jauh. 

"Aku merasa ada yang ganjil dengan peristiwa itu," ucap Pendekar Slebor samar, namun cukup jelas ditangkap telinga Mayangseruni. 

"Ya! Entah bagaimana, aku pun merasakan hal yang sama," timpal Mayangseruni. 

"Kau kenal dua lelaki yang menyusul Anggraini?" tanya pemuda sakti dari Lembah Kutukan ini. 

"Tidak," jawab Mayangseruni. 

"Kalau menilik gambaran yang kau berikan, aku yakin mereka adalah Kembar Dari Tiongkok. Kau tentu pernah mendengar dua kaki tangan Begal Ireng, bukan? Merekalah orangnya. Pasti mereka telah bersekongkol dengan Pangeran Neraka...." 

Kepala Mayangseruni mengangguk-angguk. Dia ingat sekarang tentang Kembar Dari Tiongkok yang menjadi orang kepercayaan Begal Ireng, sewaktu mengadakan makar jahat terhadap kerajaan Alangkah. 

Andika tak berhenti berpikir sampai di situ. Otaknya yang encer, berjalan lagi. 

Kalau Kembar Dari Tiongkok bergabung cukup lama dengan Pangeran Neraka, tentunya sudah mengenal Mayangseruni sebagai Ratu Lebah yang kejam, pendamping Pangeran Neraka. Kalau kini kedua lelaki itu tak menggubris Mayangseruni, berarti pula Pangeran Neraka tahu kalau Mayangseruni sudah sembuh dari pengaruh racun Perusak Syarafnya. Begitulah yang dipikirkan pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini. 

Bukankah menurut Nyai Sililililu, Pangeran Neraka adalah lelaki yang memiliki kelicikan serigala dan licin bagai belut? 

Kalau tiba-tiba dia tak mempedulikan kehadiran Ratu Lebah, sudah pasti ada satu rencana licik pula dalam benaknya.... 

"Hmmm.... Apa maumu, Setan Gundul!" bisik Andika geram, mengumpat lelaki sesat yang kini merongrong pikirannya.        

"Kang...," tegur Mayangseruni, melihat pemuda itu mondar-mandir tak karuan seperti mandor perkebunan jengkol! 

Andika tak memperhatikan teguran gadis di dekatnya. Otaknya masih sibuk teraduk-aduk. 

"Kang Andika...," panggil Mayangseruni sekali lagi. 

Barulah Andika tersadar. "E, apa?" tanya Andika.  

"Ternyata dugaanku benar."  

"Benar apa?" 

"Gadis itu memang cantik." 

"Gadis apa? Eh..., gadis yang mana?" tanya Andika acuh tak acuh. Kembali kebingungannya dilanjutkan memikirkan rencana licik Pangeran Neraka. 

"Anggraini, Kang. Siapa lagi?" ucap Mayangseruni, sungkan. 

Gadis itu masih malu-malu menghadapi Andika yang sifatnya berlawanan sama sekali dengannya. 

"Iya.... Anggraini.... Siapa lagi...," gumam Andika, tak sadar mengulang ucapan Mayangseruni. "Eh, tunggu dulu! Anggraini?!" sentaknya tibatiba. Kalau ada cecurut jantungan di dekatnya, tentu binatang itu akan tewas seketika! 

"Oh, ya! Ada pesan untukmu, Kang!" kata Mayangseruni lagi. Disodorkannya secarik surat pada Andika. "Surat ini kudapat dari Kembar Dari Tiongkok itu." 

Andika segera membaca. Dan seketika air mukanya berubah, setelah membaca. Ada satu hal yang baru saja disimpulkan pemuda itu. Kini kepalanya mengangguk-angguk. 

"Rasanya sekarang aku mulai bisa membaca niat busuk lelaki itu," ujar Andika meletup-letup. "Ayo, kita segera tinggalkan tempat ini, Mayang!" 

Seketika Pendekar Slebor menyambar tangan gadis cantik rupawan itu semena-mena, lalu membawanya lari.  

***  

9   

Penginapan yang dimaksud dalam surat Pangeran Neraka, terletak tepat di kaki Bukit Cemarajajar. Sesuai namanya, bukit itu dikepung jajaran pepohonan cemara yang tumbuh rapat tak teratur hingga merambahi kakinya. Panoramanya memikat. Barisan cemara yang tumbuh pada dataran miring, akan terlihat seperti payung-payung kuncup dari kejauhan. 

Penginapan itu dibentengi pagar tembok tak terlalu tinggi. Di halaman depan dan belakangnya yang luas, beberapa batang cemara dibiarkan tumbuh pada setiap sudut dan tepian jalan masuk. Rumput jarum tumbuh subur di seluruh taman, bak permadani hijau terhampar luas. Pada beberapa bagian taman, ditempatkan patung-patung kayu ukir bernilai seni tinggi. Di tambah sebuah kolam buatan berisi ikan berwarna-warni serta tanaman bunga di sisinya. Sehingga menyempurnakan taman menjadi tempat yang menawarkan kenyamanan. 

Tampaknya, si pemilik penginapan tak mau tanggung-tanggung dalam mengelola penginapannya, agar benar-benar menarik pengunjung. Terbukti, bangunannya dirancang sedemikian rupa. Sebagian mengambil rancangan seni leluhur, bagian lain mengambil gaya bangunan Cina. Meski si pemilik tahu, tempatnya agak terpencil. 

Andika dan Mayangseruni tiba di sana. Mereka masuk sambil mengagumi taman dan bangunannya. Dalam hati, Pendekar Slebor jadi berseloroh sendiri. 

"Selera Pangeran Slompret itu rupanya tinggi juga....?" 

Melalui jalan setapak dari susuran batuan sungai halus, dua anak muda itu melangkah terus sampai memasuki bangunan penginapan. 

Di ruang penerimaan tamu yang tak begitu besar, keduanya disambut lelaki yang tampaknya berdarah campuran Melayu Cina. 

"Ada yang bisa hamba bantu?" tanya penerima tamu ramah, layaknya pemilik penginapan lain. 

"Kami hendak memesan kamar," kata Andika, menanggapi sambutan penerima tamu. 

Tanpa banyak tanya, si penerima tamu berjalan menuju meja berukir di sudut ruangan. Dari lacinya, diambilnya dua anak kunci. 

"Kamarnya terletak agak berjauhan," kata penerima tamu yang sekaligus pemilik penginapan, setibanya di dekat Andika dan Mayangseruni.  

"Satu kamar berada di sayap timur, sedang yang lain berada di sayap kanan. Aku harap, Tuantuan dapat mengerti. Karena hanya kamar-kamar itu yang belum terisi." 

Ketajaman otak Andika menangkap suatu yang mencurigakan dengan sambutan yang berkesan tergesagesa itu. Bukan Pendekar Slebor kalau tak bisa mencium gelagat aneh, meski hanya sekelebatan. Tak percuma orang-orang persilatan sering membicarakannya sebagai pendekar yang memiliki otak lebih encer dari pada bubur bayi! 

"Dari mana lelaki ini tahu kalau aku dan Mayangseruni hendak menginap dengan dua kamar terpisah?" tanya Andika. "Padahal, lazimnya pemilik penginapan selalu menanyakan berapa kamar yang hendak dipesan, jika kedatangan tamu lebih dari satu orang...." 

Tanpa hendak memperlihatkan kecurigaan, Pendekar Slebor menerima sodoran anak kunci dari lelaki berdarah campuran itu. Satu hal lagi keganjilan yang ditangkap mata Andika. Ketika memberi kunci, lelaki itu seperti tahu hendak menyerahkan kunci yang mana pada Andika, dan yang mana pula untuk Mayangseruni. 

"Terima kasih," tutur Andika datar. 

Menurut dugaan, lelaki pemilik penginapan tentu telah terlibat dalam rencana busuk Pangeran Neraka. Kalau melihat sinar matanya, tampaknya tak ada sifatsifat jahat dalam dirinya. Barangkali, dia terpaksa terlibat karena diancam. 

Setelah Mayangseruni menyusul pula kata terima kasih, keduanya lalu menuju kamar masing-masing. Kedua kamar itu terletak sama-sama di lantai atas. Tapi, jaraknya berjauhan. Kira-kira, terpisah jarak dua puluh lima tombak. 

Andika masuk ke dalam kamarnya. Hampir berbarengan, Mayangseruni pun masuk.  

* * * 

 Malam pun tiba. Sejauh ini tak ada tanda-tanda mencurigakan bakal terjadi. Pendekar Slebor berusaha terus untuk tetap waspada, sesuatu bisa saja terjadi secara tiba-tiba. 

Jangkrik berkerik-kerik tanpa bosan-bosan. Nyanyian hewan malam lain turut menimpali, membuat suasana makin terasa tegang. 

Tanpa mampu memicingkan mata sejenak pun, Pendekar Slebor berjalan hilir mudik di dalam kamarnya yang sengaja tidak diberi penerangan. Dalam keadaan gelap itu, matanya justru lebih leluasa meneliti keadaan di luar. Sementara itu, pikirannya terus digelayuti kegelisahan. Andika khawatir akan keselamatan Mayangseruni di kamar lain. Biarpun ilmu dara cantik tersebut tidak diragukan, namun tetap merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatannya. 

Waktu terus merangkak. Entah sudah berapa lama Andika seperti itu, tetap juga tak terjadi apa-apa. 

Untuk menghempas kejenuhan, Pendekar Slebor mencoba sedikit menyibak kerai jendela. Angin menerobos diam-diam, sedikit pun tak membuatnya menjadi merasa lebih tenang. Di angkasa maha luas, matanya menemukan sinar pucat rembulan. Benda langit itu seakan menambah kegelisahan hatinya. 

Di kamar lain, Mayangseruni pun 

mengalami hal yang sama. Matanya juga tak bisa dipicingkan. Hatinya pun gelisah, seperti pemuda pujaannya. 

Bedanya, kalau Andika berjalan tak karuan, gadis itu memilih untuk duduk diam di atas pembaringan dalam keadaan bersemadi. Dalam gelap, mata berbulu lentik Mayangseruni sesekali bergerak waspada. Gadis itu pun rupanya berpendapat sama dengan Andika. Jika tidak ingin diawasi orang lain dari luar, lentera kamarnya harus dipadamkan. 

Suatu saat, perasaan Mayangseruni tiba-tiba memperingati akan suatu bahaya mengancam. Dia belum tahu, apa yang bakal terjadi. Yang jelas, nalurinya memperingati harus waspada. 

Wesss! 

Benar juga. Dari arah lubang angin di atas pintu, mendesis suara tajam menuju dirinya. 

Tangkas sekali Mayangseruni melempar tubuh ke samping ranjang. Tak ada sekejap, desisan tadi menghujam ranjangnya, melahirkan suara lain yang tak begitu kentara. 

Bles! 

Seusai suara tadi, tak ada kejadian lain menyusul. Hanya kelengangan merajai kamarnya, serta suara lamat-lamat jangkrik yang berdendang. Untuk lebih yakin, sengaja Mayangseruni menunggu beberapa lama dalam sikap memasang kuda-kuda siaga. 

Karena tetap tak terjadi apa-apa, barulah Mayangseruni mencoba menghidupkan lentera yang sejak tadi dipadamkan. Bunyi pemantik api penginapan terdengar, menyusul ruangan menjadi terang. 

Kini, mata Mayangseruni bisa melihat jelas, benda apa yang telah memangsa ranjangnya. Di sana, tertancap sebilah anak panah yang di tengahnya diikatkan secarik surat. 

Cepat Mayangseruni menjemput anak panah tersebut. Dari ikatannya Mayangseruni melepas surat pada anak panah. 

“Asal kau tahu, perempuan tak tahu malu! Pemuda tampan yang kini bersamamu, adalah kekasihku. Kau telah berani-beraninya merebut Andika dari pelukanku. Bukankah wanita seperti itu pantas disebut sebagai wanita murahan. 

Anggraini”  

Betapa panasnya wajah Mayangseruni membaca surat yang berisi bukan hanya kecaman, tapi juga caci maki. Seluruh kata yang tertulis dalam surat, seperti menyeruak paksa ke setiap jalan darahnya. Dadanya mendadak sesak, memaksa hidungnya menarik napas setarikan demi setarikan dengan terseret-seret. 

Wanita mana yang sudi dikatakan wanita murahan? Tidak juga diri gadis cantik itu. Sebutan itu lebih menyakitkan ketimbang hantaman godam raksasa seberat ribuan kati! 

Saat itu, yang tebersit dalam pikiran Mayangseruni hanya perkataan kalau pemuda idamannya telah menipu dirinya mentah-mentah. Cinta murninya telah dipermainkan Andika. Cintanya yang selama ini terbangun dengan pengorbanan, terserpih begitu mudah. 

Perlahan-lahan, desakan rasa pedih dari dalam dada Mayangseruni memaksa garis bening merembes dari kelopak matanya. Dia memang seorang pendekar wanita. Tapi, tentu saja tak akan sanggup memungkiri kewanitaannya. Biar bagaimanapun, air mata tetap menjadi bagian dalam hidup seorang wanita seperti Mayangseruni. 

Mayangseruni tak ingin terisak. Cukup air mata saja yang jatuh sebagai tanda kekecewaan mendalam. 

Mayangseruni melempar surat dan anak panah di tangan. Dengan hati luluh lantak, kakinya melangkah menuju pintu kamar dan keluar dari sana. Jika seseorang menanyakan hendak ke mana saat itu, dia tidak bisa menjawab. Mayangseruni hanya ingin meninggalkan tempat itu. Seakanakan, hanya dengan begitu bisa membuang jauh-jauh segala hal tentang Andika. 

Bagaimana dengan Andika sendiri? Tidak! Pemuda itu tak pernah tahu kalau Mayangseruni pergi. Jendela kamarnya membelakangi kamar Mayangseruni. Sehingga apa pun yang terjadi di kamar gadis itu, Andika tidak dapat melihatnya. Sementara, letak yang cukup jauh, membuat suara halus anak panah tersapu angin tak dapat tertangkap telinga Andika. 

"Sudah lewat dini hari, tapi kenapa belum terjadi apa-apa juga...," gumam Andika berbisik. 

Untuk yang ke sekian kalinya, Pendekar Slebor melepas pandangan keluar dari jendela, seraya menajamkan indera pendengarannya. Tapi tetap saja tak tertangkap suatu yang mencurigakan. 

"Apakah aku sudah salah perhitungan?" tanya Pendekar Slebor pada diri sendiri, ragu. "Apa mungkin aku justru telah benar-benar masuk ke dalam perangkap pangeran sial itu tanpa kusadari?" 

Andika makin digebah keraguan. Sebelumnya pemuda itu sudah merasa yakin, telah berhasil membaca rencana licik Pangeran Neraka. Semua hal-hal yang berkesan ganjil, direkam serta diolah otaknya. Dia yakin, telah berada pada arah yang tepat menuju puncak rencana lawan. 

Kalau sampai selarut itu perkiraannya belum terbukti, tentu saja Andika menjadi ragu. Segera Andika memutuskan untuk memeriksa kamar murid bibi buyutnya. Bukankah Pangeran Neraka amat licik? Bisa saja, dia telah memperdayai Mayangseruni tanpa sepengetahuannya. 

Namun baru saja tangannya hendak menjemput gagang pintu, tiba-tiba saja matanya melihat seseorang mengendap-endap ringan di atas wuwungan. Tak jelas, apakah orang itu wanita atau lelaki. Sebab pada saat itu, bulan diselimuti awan hitam pekat. Gerakan orang itu amat ringan, seringan kucing liar. Tak ada keributan yang ditimbulkannya. 

Anehnya, begitu melihat kehadiran sosok tak dikenal itu, Andika telah mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, bibirnya malah memperlihatkan senyum. 

Hanya Pendekar Slebor sendiri yang tahu, kenapa begitu. 

"He he he, kukira aku sudah salah perhitungan...," bisik Andika samar. 

Selang beberapa waktu berikutnya, pemuda urakan yang terkadang sulit dimengerti itu, mengangkat kesepuluh jarinya. Satu persatu, jari tersebut dilipat seraya menghitung. 

"Satu... dua... tiga...." 

Pada hitungan kesepuluh, Andika bergegas membuka pintu kamarnya. Wajahnya kini dibuat seperti sedang diguncang kekhawatiran. Namun karena dasarnya memang urakan, masih sempat-sempat pula bibirnya tersungging kecil. 

Aneh! 

Lalu, pemuda dari Lembah Kutukan itu berlari-lari, seolah memburu suatu yang mencemaskan. Arahnya, menuju kamar Mayangseruni. Agar lebih terlihat seperti sungguh-sungguh, Andika pun mengerahkan sebagian ilmu meringankan tubuhnya yang amat dikagumi banyak tokoh persilatan. 

Whus! 

Lebih cepat dari 'gas buangan' siapa pun, Pendekar Slebor telah tiba di depan kamar Mayangseruni. Tepat di depan pintu kamar, pemuda itu berdiri sejenak. Dibenarkannya letak kerah baju, kemudian menjemput gagang pintu. 

Pintu terbuka. Ruangan ternyata sudah gelap kembali. Ada seseorang yang telah mematikan kembali lentera yang baru saja dinyalakan Mayangseruni sebelumnya. 

Entah, siasat apa lagi yang sedang dijalankan pemuda berotak encer itu. Yang jelas, dia berlagak seperti orang yang bersiaga penuh. Kakinya melangkah satu-satu, melewati mulut pintu. Sepasang tangannya teracung ke depan dengan otot menegang. Diliriknya ranjang di dalam kamar. Ada seseorang sedang terlelap di sana. 

"Mayang..., ssst, Mayang," bisik Pendekar Slebor hati-hati seraya mendekat perlahan-lahan ke sisi ranjang. 

Makin dekat, gaya anak muda brengsek itu makin dibuat-buat. Sepertinya, Andika begitu tahu ada orang lain selain wanita di ranjang yang sedang mengawasi semua gerak-geriknya. Kaki Andika mulai berjingkat-jingkat kecil menuju tepi ranjang, seperti maling jemuran. Tangannya pun mencak sana mencak sini tak karuan. 

Sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran Andika saat itu? 

"Mayang.... Mayang...," ulang Pendekar Slebor, memanggil nama gadis yang sudah tidak ada lagi di tempatnya. 

Tepat ketika benar-benar tiba di tepi ranjang.  

Werrr! 

Selimut yang menutupi sebagian badan tersingkat amat cepat. Seiring dengan itu, seberkas suara mendesis halus terdengar. 

Seth! 

Tahu-tahu, telah menempel benda kecil tajam yang dingin tepat di tenggorokkan Andika. Namun Pendekar Slebor tak tampak terperanjat mendapat sambutan tak ramah itu. Malah dia memperlihatkan cengiran kudanya yang menjengkelkan. 

"Apa kabar, Anggraini?" tegur Pendekar Slebor. 

Sungguh pada saat itu, tak ada sedikit cahaya yang menerangi wajah wanita di depannya. Semuanya memang telah diperhitungkan Pendekar Slebor. Jadi, tanpa perlu melihat jelas pun, Andika sudah tahu kalau wanita itu adalah Anggraini. Kalaupun sebelumnya memanggil-manggil nama Mayangseruni, itu semata-mata hanya berpura-pura. 

"Tak perlu berbasa-basi lagi padaku, Penipu Laknat!" geram Anggraini. Di tangannya telah siap busur yang merentang tegang. Ujung anak panahnya menempel di tenggorokkan Andika. 

"Kukira aku tidak seperti apa yang kau ucapkan," sangkal Andika tenang. "Aku yakin, kau telah termakan hasutan pamanmu. Bukan begitu, Anggraini?" 

"Sekali lagi kau berbicara, lehermu akan tertembus anak panahku!" ancam Anggraini. "Sekarang nyalakan lentera itu!" 

Andika menuruti perintah gadis yang dibakar api dendam buta ini. Perlahan tubuhnya beringsut ke tempat lentera tergantung. Dengan pemantik api di dekatnya, dinyalakannya lentera minyak itu hati-hati di bawah ancaman busur Anggraini. 

"Sekarang, aku bisa melihat wajah pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas melihat, bagaimana wajahmu ketika meregang maut...," desis Anggraini geram dengan menyipit. 

Andika tak peduli dengan kegeraman di wajah ayu yang terbakar warna merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata Anggraini, seakan sedang berusaha menembus langsung ke hati gadis itu. 

"Apa kau yakin hendak membunuhku?" tanya Andika. 

Ucapan Pendekar Slebor mungkin tak beda dengan sebuah tantangan. Namun, nada kalimat yang dibuatnya mengandung tekanan mantap, mencoba menggoyahkan niat membunuh dalam diri gadis itu. 

Anggraini tak segera menjawab. 

"Kenapa kau diam, Anggraini? Apakah kau ragu?" susul Andika lagi. 

"Diam kau! Aku tak pernah ragu untuk membunuh orang yang telah membunuh ayahku!" bentak gadis itu hampir tersekat isak yang muncul tanpa tertahan. 

"Kau tak akan percaya bila kukatakan, kalau aku telah melakukan tindakan yang benar dengan membunuh ayahmu," ucap Andika kembali, tanpa takut Anggraini melepas tali busurnya. 

"Kau penipu!" maki Anggraini. Wajahnya menyimpan mendung. Kalau saja tak berusaha menahan, tentu isaknya sudah terlempar keluar. 

"Aku memang pembunuh ayahmu. Tapi, aku bukan penipu seperti katamu," sangkal Andika. "Pamanmu lah yang pantas disebut penipu...." "Diam!" bentak Anggraini. Tapi, Andika tak peduli. 

"Dia telah memutar balikkan kenyataan sesungguhnya. Kau telah berhasil dipermainkan lelaki itu, lalu dimanfaatkan untuk melaksanakan keinginannya untuk membunuhku...." 

"Diam! Diam! Diam! Kalau kau tidak diam...." 

"Kalau aku tak diam, apa yang akan kau lakukan Anggraini? Apa? Membunuhku dengan anak panahmu ini? Ayo, bunuhlah aku! Ayo bunuh!" Andika terus menyudutkan Anggraini dengan kata demi katanya. 

Anggraini tidak bisa menjawab. Bibirnya bergerak-gerak, hendak mengucapkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir bening yang sejak tadi bergelayut di kelopak matanya, kini mulai gugur di sepanjang pipi halusnya. 

"Kenapa kau belum juga membunuhku, Anggraini? Kau ragu bukan? Karena, kau tidak ingin menyesal seumur hidup setelah tahu aku tak pantas dibunuh...," sambung Andika agak melembut. 

Sementara hati gadis di depan Pendekar Slebor makin goyah diberondong isak. 

"Perlu kau tahu. Sebenarnya, aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini. Kelicikan pamanmu sudah dapat kubaca. Manakala tahu Mayangseruni telah bersamaku, dia pun segera mengatur siasat licik untuk mengenyahkanku dengan tanganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni hampir sulit dibedakan, jika dilihat sekilas. Apalagi dalam gelap seperti tadi...," kata Andika, lalu diam sesaat. "Dia mengira, aku bisa tertipu dengan menempatkanmu di kamar Mayangseruni. Tidak! Aku tidak tertipu. Kalaupun aku datang juga ke kamar ini, itu karena ingin membuktikan padamu bahwa aku tidak. bersalah dengan membunuh ayahmu. Aku yakin, telah melakukan tindakan benar. Jadi, kenapa aku harus takut menghadapi tuntutan dendammu?" 

Seluruh kalimat Andika bagai menghujam ke dalam batin Anggraini. Di telinganya, kata-kata itu begitu mantap terulur bagai tak memiliki keraguan atau kedustaan sepercik pun. 

Di lain sisi, justru keraguan dalam diri Anggraini makin membesar dan membesar. Bahkan berkembang perlahan bagai daging tumbuh yang menyiksa. 

Tangan Anggraini yang merentangkan busur makin kehilangan kekuatan. Getarannya menghebat. 

Biar bagaimanapun, dendam buta membakar, cinta pula yang bisa menerobos dari kepungannya. Anggraini tak kuasa menghalangi rontaan cinta dari dalam dirinya. Sementara, kata demi kata pemuda di hadapannya telah jatuh tepat di gerbang cinta itu sendiri. 

"Sadarlah. Anggraini. Begal Ireng, ayahmu, adalah tokoh sesat yang harus kusingkirkan...." 

Mendapat kalimat terakhir Andika, mata Anggraini yang semula terjatuh, kini membeliak beringas. 

"Kebohongan apa lagi yang kau katakan, Andika?" geram Anggraini. 

"Kalau kau benar-benar ingin membunuhku, cari tahulah tentang ayahmu di Istana Alengka, agar nanti tak menyesal. Dan kau pun harus benar meyakini setiap ucapan pamanmu...." 

Saat berbicara, mata Andika mencari-cari sesuatu dalam kamar. Ditemukannya remasan surat yang ditujukan untuk Mayangseruni, serta anak panah di satu sudut ruangan. 

Sejak semula, Andika sudah tahu kalau Pangeran Neraka akan memperdayai Mayangseruni agar keluar dari kamar itu, lalu memperdayai Anggraini pula agar menggantikan Mayangseruni di kamarnya. Hanya sampai semuanya terjadi, Andika tidak tahu bagaimana cara Pangeran Neraka melakukannya. 

Setelah melihat secarik surat lusuh dan anak panah itu, pikiran Andika terbuka kembali. Kini dia tahu, Pangeran Neraka mengeluarkan Mayangseruni dari kamar secara halus. Tampaknya, tidak akan terjadi apaapa terhadap diri gadis itu. Karena, sasaran Pangeran Neraka hanya Andika sendiri. 

"Kau lihat secarik surat lusuh dan anak panah di sudut ruangan itu?" kata Andika memulai kembali pada Anggraini. "Dengan benda-benda itu, kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya pamanmu...." 

"Apa maksudmu?!" sentak Anggraini bersama derai air mata yang tak bisa lagi dibendung.  

"Apa kau tak mengenali kalau anak panah itu adalah anak panahmu? Meskipun belum sempat kubaca, namun aku yakin isi surat itu mengatas namakan dirimu. Sementara, kau tak pernah mengirimnya pada Mayangseruni yang sebelumnya menempati kamar ini...." 

Mata sembab gadis itu melirik ragu ke sudut ruangan. 

"Ayo, lihatlah.... Aku tak akan lari. Dan aku tak akan membokongmu...," ucap Andika. 

Mata Anggraini kini beralih pada mata Andika. Ditembusnya manik-manik mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia ingin mencaritahu apakah Andika berusaha menipunya atau tidak. Tapi, sebetik pun tak ditemukan kedustaan di sana. 

Perlahan-lahan, tubuh Anggraini beringsut menghampiri anak panah dan secarik surat lusuh tadi. Mata anak panah di tangannya tetap ditujukan pada Andika, seperti juga matanya yang tetap mengawasi. 

Begitu tangan lembut Anggraini hendak menjemput kedua benda itu.... 

Brak! 

Mendadak saja, dinding kamar jebol. Serangkum pukulan bertenaga dalam dahsyat yang ditujukan pada Andika, merangsek masuk dengan amat kasar! Andika terkesiap. Begitu juga Anggraini. Apalagi, pukulan jarak jauh dahsyat itu searah dengan tempat Anggraini. 

Pendekar Slebor yang sering kali menelan kejadian-kejadian tak terduga selama petualangannya serta-merta mengerahkan seluruh kemampuan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan. 

"Anggraini awas!" 

Sekelebat gerak yang sulit diikuti mata, dilakukan pendekar muda itu. Disergapnya tubuh sintal Anggraini, sekaligus menyelamatkan diri dari terjangan pukulan jarak jauh tadi. 

Tak ayal lagi, tubuh mereka bergulingan di lantai. 

Ketika guguran dinding kayu berserakan tanpa daya, ketika debu-debu ruangan sudah tergolek di seluruh ruangan, tubuh Andika dan Anggraini terdiam. Andika masih memeluk punggung Anggraini di bawahnya. Pemuda itu menanti serangan lebih lanjut, tapi tak kunjung datang juga. 

Andika lalu berkesimpulan, penyerang gelapnya adalah Pangeran Neraka. Tahu kalau sasarannya selamat, Bureksa mungkin menyingkir secepatnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mau mengambil bahaya menghadapi Andika secara langsung. 

"Manusia kentut pengecut!" umpat Pendekar Slebor geram. 

Andika bangkit, seraya membantu Anggraini. "Kau tidak apa-apa, Anggraini?" tanya Andika lembut. 

Sulit digambarkan, bagaimana wajah Anggraini saat itu. Sehimpun rasa berbaur menjadi satu. Gundah, kalut, kecewa, serta dendam. Kini dia tahu, ucapan Andika seluruhnya benar. Pamannya telah mengkhianati. 

Tanpa berniat menjawab pertanyaan Andika, Anggraini menghambur keluar kamar, membawa isak dan segala kepedihan tak tertanggungkan. 

"Anggraini, tunggu!" tahan Andika. 

Tapi, kehancuran batin Anggraini memaksanya untuk tidak mempedulikan apa-apa lagi. Dia terus berlari..., berlari..., membawa seluruh luka dalam diri. Akan ke mana kau, Anggraini?  

S E L E S A I