LIMA
"Seperti yang ku utarakan di istana, kami memang sengaja datang menemuimu di
istana Karang Setra, Kakang Rangga. Dan memang, tujuan ke sana karena diutus
guru kami yang bernama Nyai Langis. Kami datang memang untuk meminta bantuan
padamu, untuk mencari Selendang Sutera Emas milik guru kami yang hilang,"
Rahtama memulai menceritakan semua tujuannya menemui Pendekar Rajawali Sakti
di Istana Kerajaan Karang Setra.
"Ya! Kau sudah mengatakannya di istana," selak Pandan Wangi. "Tapi, kenapa
kalian membutuhkan bantuan Kakang Rangga? Sedangkan kalian memiliki kepandaian
tinggi. Terutama, Paman Randaka."
"Sebenarnya, kami juga tidak ingin merepotkan orang lain, Nini. Tapi,
yaaah.... Semua ini kami lakukan karena terpaksa. Orang yang mencuri Selendang
Sutera Emas berkepandaian sangat tinggi. Dan kami semua tidak sanggup
menandingi kepandaiannya. Jadi, terpaksa harus mencari pendekar tangguh yang
memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi lagi," Paman Randaka yang menjelaskan
pertanyaan Pandan Wangi.
"Sebentar...," selak Rangga. "Bisa kalian jelaskan, seperti apa Selendang
Sutera Emas itu? Apakah selendang itu sangat penting artinya bagi kalian?"
"Bukan untuk kami, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rahtama.
"Memang bukan untuk kami. Tapi, selendang itu merupakan benda pusaka yang
sangat penting artinya bagi guru kami," sambung Anggita.
"Nyai Langis...?"
"Benar. Tanpa Selendang Sutera Emas, semua kepandaian yang dimiliki Nyai
Langis tidak ada artinya. Dan dengan mudah sekali guru kami bisa dikalahkan
musuh, karena sebagian jiwanya sudah dipindahkan ke dalam selendang itu,"
sambung Rahtama.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Kakang, kalau begitu keselamatan Nyai Langis sedang terancam," desis Pandan
Wangi setengah berbisik.
Rangga hanya diam saja. Sedangkan pandangannya menerawang jauh ke depan.
Sementara, semua orang yang duduk melingkari api unggun ini memandanginya.
"Di mana Nyai Langis menunggu kalian?" tanya Rangga sambil menatap Rahtama.
"Puncak Bukit Batu," sahut Rahtama.
"Hm..... Kalian di sini saja. Dan besok pagi baru ke sana," kata Rangga sambil
bangkit berdiri.
"Kau sendiri mau ke mana...?" tanya Anggita.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat mendengar pertanyaan gadis itu
karena sudah melesat begitu cepat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Begitu cepatnya,
seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan tertelan bumi saja.
"Mau ke mana dia?" tanya Paman Randaka.
"Ke Bukit Batu," sahut Pandan Wangi.
"Malam-malam begini...?" selak Anggita terpana.
Namun Pandan Wangi hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan gadis itu. Dan
memang, tidak ada seorang pun dari mereka yang tahu kalau Rangga memiliki
seekor burung rajawali raksasa yang bisa dikendarai ke mana saja dalam waktu
singkat. Hanya Pandan Wangi saja yang tahu. Dan si Kipas Maut itu juga
langsung bisa menebak kalau Pendekar Rajawali Sakti pasti menuju Bukit Batu
menggunakan Rajawali Putih, yang sekaligus gurunya.
"Paman, kita harus segera menyusul," kata Suryadanta.
"Tanyakan dulu pada Nini Pandan Wangi. Kalau dia bilang tidak perlu, kalian
tidak perlu memaksa," sahut Paman Randaka kalem.
"Tapi...."
"Sudahlah, kalian tidur saja. Besok pagi, baru kita pergi sama-sama ke Bukit
Batu," selak Pandan Wangi cepat, memutuskan ucapan Suryadanta.
Meskipun masih diliputi kecemasan dan ketidakmengetian, tapi tak ada seorang
pun yang bisa membantah lagi. Sementara, Pandan Wangi sudah bangkit berdiri
dan melangkah menjauhi api unggun. Paman Randaka juga berdiri, dan berjalan
mengikuti si Kipas Maut. Dia ikut duduk, begitu Pandan Wangi duduk di atas
sebatang pohon mati yang sudah roboh. Sementara, Rahtama dan kedua adiknya
masih saja duduk di dekat api unggun.
"Kenapa kau kelihatan begitu tenang, Nini?" tanya Paman Randaka ingin tahu
sikap Pandan Wangi yang seperti tidak peduli atas kepergian Rangga seorang
diri ke Bukit Batu.
"Paman sendiri, kenapa juga kelihatan tenang?" Pandan Wangi malah balik
bertanya.
"Aku harus bisa bersikap tenang di depan mereka, Nini Pandan," sahut Paman
Randaka beralasan.
"Dan kau sendiri?"
"Sudah lama sekali aku selalu bersama-sama Kakang Rangga. Dan aku tahu apa
yang dilakukannya tidak akan membahayakan dirinya. Kalaupun terjadi sesuatu,
aku yakin Kakang Rangga bisa mengatasi," sahut Pandan Wangi kalem.
"Tampaknya kau begitu percaya pada kemampuannya, Nini Pandan," ujar Paman
Randaka.
"Ya...," sahut Pandan Wangi agak mendesah.
"Aku memang seringkali mendengar tentang dia, Nini Pandan. Dan kudengar, dia
memiliki burung raksasa yang bisa ditunggangi. Benarkah itu, Nini..?"
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Apakah kepergiannya ke Bukit Batu sekarang ini juga menggunakan tunggangannya
itu?" tanya Paman Randaka ingin meyakinkan diri.
"Aku rasa begitu, Paman," sahut Pandan Wangi kalem.
"Sungguh hebat dia," puji Paman Randaka.
Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum mendengar pujian itu. Sementara, Paman
Randaka sudah berdiri lagi.
"Tidurlah, Nini. Biar aku yang menjaga malam ini," kata Paman Randaka.
"Terima kasih, Paman," sahut Pandan Wangi.
Saat Paman Randaka berlalu, Anggita tampak menghampiri si Kipas Maut.
Sedangkan Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya. Kedua tangannya terlipat
di bawah kepala, untuk dijadikan bantal. Anggita langsung saja merebahkan
tubuhnya di samping si Kipas Maut. Hanya sedikit Pandan Wangi melirik,
kemudian mengangkat kepalanya sedikit.
Ditatapnya Paman Randaka yang kini tengah berbincang-bincang dengan Rahtama
dan Suryadanta. Tampaknya, ketiga laki-laki itu sudah memutuskan untuk tidak
tidur malam ini. Pandan Wangi kembali melirik Anggita, namun gadis itu sudah
memejamkan matanya. Tapi Pandan Wangi tahu, Anggita belum tidur. Atau paling
tidak tengah berusaha untuk bisa tidur lelap.
"Hhh.." Sambil menghembuskan napas panjang-panjang, Pandan Wangi memejamkan
matanya. Gadis itu juga ingin sekali tidur. Tubuhnya sudah terasa begitu
penat, setelah seharian penuh terguncang-guncang di atas punggung kuda. Bahkan
senja tadi, sampai malam harus menggali lubang untuk menguburkan Ki Wirasaba
dan semua muridnya yang tewas.
***
Sementara itu, Rangga yang pergi malam itu juga ke Bukit Batu, memang
memanggil Rajawali Putih untuk mengantarkannya. Dengan demikian Pendekar
Rajawali Sakti bisa cepat sampai ke tempat tujuan. Bahkan hanya dalam waktu
sebentar saja, sudah tiba di atas puncak Bukit Batu. Beberapa kali Rangga
meminta Rajawali Putih memutari puncak bukit itu. Dan memang sesuai dengan
namanya, bukit itu hanya terdiri dari batu-batu saja. Satu pun tidak terlihat
adanya pepohonan yang tumbuh di sana. Tapi di sekitar kaki bukit, begitu lebat
pepohonan yang tumbuh.
"Turun di sana, Rajawali!" seru Rangga sambil menunjuk ke sebuah batu sebesar
kerbau yang berada tepat di tengah-tengah puncak Bukit Batu.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung meluruk ke arah yang ditunjuk Rangga.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah tiba di tempat yang
diinginkan Rangga.
Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari
punggung rajawali raksasa tunggangannya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sedikit pun tidak
menimbulkan suara saat kakinya menjejak bebatuan di atas bukit ini. Sebentar
pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun
di sekitar puncak bukit ini. Sepanjang mata memandang, hanya bebatuan saja
yang tampak. Bahkan hanya desir angin saja yang terdengar, menyapu telinganya.
"Khrrrk...!"
Rangga berpaling begitu mendengar Rajawali Putih mengkirik kecil sambil
menjulurkan kepala melewati bahu pemuda berbaju rompi putih itu. "Ada apa,
Rajawali?" tanya Rangga sambil memandangi wajah burung rajawali raksasa itu.
"Khrrr...!"
"Hm...." Sebentar Rangga mencoba memahami. Keningnya sedikit berkerut, dan
kelopak matanya jadi menyipit. Kemudian, pandangannya diarahkan, sejajar
juluran kepala burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Hup!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat. Begitu sempurnanya
ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali lompatan saja, dia sudah
sampai di tepi sebuah jurang yang ada di tengah-tengah puncak bukit ini.
"Heh...?!" Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti saat menjulurkan
kepalanya ke bawah. Tampak di dasar jurang yang berbatu, tergeletak sesosok
tubuh perempuan tua dengan kepala hancur dan dada terbelah. Darah yang keluar
sudah membeku. Dan tidak jauh dari tubuh wanita tua itu, terlihat seekor
anjing hutan tengah mengendap-endap mendekati. Bau anyir darah rupanya menarik
perhatian binatang liar pemakan daging itu.
"Oh, tidak... Binatang keparat itu tidak boleh menjamah tubuhnya," desis
Rangga dalam hati. Terkesiap hati Rangga saat melihat anjing hutan semakin
mendekati sosok tubuh perempuan tua yang tergeletak tak bernyawa lagi di dasar
jurang batu itu. Dan lebih terkesiap lagi, begitu melihat bukan hanya satu
ekor yang datang. Tapi, masih ada beberapa ekor lagi. Cepat Rangga berpaling
ke belakang, menatap Rajawali Putih yang masih mendekam membelakangi sebongkah
batu yang besarnya hampir sama dengan tubuh burung rajawali raksasa itu.
"Rajawali! Usirlah anjing-anjing liar itu!" seru Rangga sambil menunjuk ke
dasar jurang.
"Khraaagkh...!"
"Hup! Yeaaah...." Secepat Rajawali Putih melesat, secepat itu pula Rangga
meluruk turun ke dasar jurang. Begitu ringan sekali gerakannya, seakan-akan
kedua kakinya tidak menjejak bebatuan sama sekali. Dan tepat di saat Rangga
mencapai dasar jurang, seekor anjing hutan sudah melompat hendak menerkam
tubuh perempuan tua yang kepalanya telah pecah itu.
"Hiyaaat..!" Tapi Rangga lebih sigap lagi. Dengan kecepatan luar biasa,
Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil melepaskan satu tendangan keras tanpa
tenaga dalam sedikit pun juga. Begitu cepat tindakannya sehingga tendangannya
tepat menghantam tubuh anjing hutan itu. Tapi baru saja anjing hutan itu
terpental, datang seekor lagi yang langsung melompat hendak menerkam Pendekar
Rajawali Sakti.
"Heyaaa...!! " Belum juga anjing hutan itu sampai, Rangga sudah lebih dulu
melesat. Langsung diberikannya satu pukulan keras, tanpa disertai pengerahan
tenaga dalam sedikit pun juga. Anjing hutan itu menlengking begitu tubuhnya
terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan,
dari angkasa meluruk deras Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!" Sambil berkaokan keras, burung rajawali raksasa itu
mengebutkan sayapnya ke arah anjing-anjing hutan yang semakin liar saja.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Rangga. Dengan cepat sekali pemuda itu
melompat, dan langsung menyambar tubuh perempuan tua yang sudah tidak bernyawa
lagi
"Hup! Hiyaaa...!" Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan, Rangga langsung melesat tinggi ke udara. Dan
dengan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti hinggap di atas punggung Rajawali
Putih sambil memondong tubuh perempuan tua itu.
"Cepat pergi dari sini, Rajawali!" seru Rangga.
"Khragkh...!" Wusss! Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih
sudah melambung tinggi ke angkasa. Sementara di dasar jurang, anjing- anjing
hutan melolong-lolong sambil menengadahkan kepalanya. Sedangkan Rajawali Putih
sudah tinggi melambung ke angkasa, dan terus melesat ke arah Selatan.
"Terus saja ke balik bukit sana, Rajawali!" seru Rangga sambil menunjuk sebuah
bukit kecil di depannya.
"Khragkh...!" Tidak jauh di balik bukit itu, Pandan Wangi, Paman Randaka dan
ketiga orang murid Nyai Langis tengah menunggu. Tapi, sudah tentu Rangga tidak
membawa Rajawali Putih sampai ke sana. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti
sudah punya tempat untuk mendarat. Dan yang pasti, tidak akan ada seorang pun
yang tahu. Rangga memang selalu memilih tempat yang sepi kalau bersama
Rajawali Putih.
"Khragkh...!"
"Ada apa, Rajawali,..?" tanya Rangga.
"Khragkh...!"
Rangga jadi kelihatan bingung, tidak tahu apa yang dilihat Rajawali Putih
sebenarnya, hingga berkaokan begitu keras. Dan tampaknya, burung rajawali
raksasa itu gelisah sekali. Apa sebenarnya yang dilihat Rajawali Putih dari
angkasa...?
"Heh...?! Apa itu...?" Kedua kelopak mata Rangga jadi terbelalak lebar.
Ternyata Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah pertarungan di tengah-tengah
hutan, tempat Pandan Wangi, Paman Randaka, dan ketiga orang murid Nyai Langis
menunggu. Jelas sekali terlihat dari angkasa, mereka tengah bertarung sengit
melawan puluhan orang.
"Edan..!! Dengan siapa mereka bertarung...?" desis Rangga bertanya sendiri
dalam hati. Dari angkasa, Pendekar Rajawali Sakti terus memperhatikan. Jelas
sekali terlihat kalau yang dihadapi sahabat-sahabatnya berjumlah sangat besar.
Dan Pandan Wangi sendiri kelihatannya sudah mengeluarkan kedua senjata
mautnya. Dan itu berarti lawan-lawan yang dihadapi tidak sembarangan. Paling
tidak, memiliki tingkat kepandaian yang tidak rendah.
"Rajawali, bubarkan mereka semua," perintah Rangga.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung saja meluruk turun dengan deras sekali
sambil berkaokan keras. Dan begitu dekat, sayapnya dikepak-kepakkan beberapa
kali, sambil terus berkaokan keras memekakkan telinga. Kemunculan burung
rajawali raksasa itu tentu saja membuat mereka yang tengah bertarung jadi
terkejut setengah mati. Dan sebentar saja, mereka jadi kehilangan kendali.
Bahkan beberapa orang terlihat berpentalan terkena sambaran sayap Rajawali
Putih yang sangat besar dan kokoh. Sementara, Pandan Wangi berlompatan
mendekati Paman Randaka dan ketiga murid Nyai Langis.
"Cepat kalian menyingkir. itu Kakang Rangga...!" seru Pandan Wangi
"Ayo, cepat menyingkir...!" teriak Paman Randaka.
Meskipun masih kebingungan, ketiga murid Nyai Langis langsung berlompatan
menyingkir. Mereka mengikuti Pandan Wangi dan Paman Randaka yang sudah lebih
dulu keluar dari kancah pertarungan. Sementara, Rangga yang berada di atas
punggung Rajawali Putih, baru bisa menarik napas lega setelah melihat semua
sahabatnya sudah berada di tempat yang aman.
"Usir mereka semua, Rajawali. Tapi, jangan sampai ada yang terbunuh!" perintah
Rangga lagi.
"Khraaagkh...!" Rajawali putih terus berputaran sambil mengepakkan sayapnya
yang lebar. Akibatnya orang-orang yang tadi menggempur sahabat-sahabat
Pendekar Rajawali Sakti jadi berpelantingan tak tentu arah. Mereka berusaha
sebisa mungkin menghindari amukan burung rajawali raksasa.
Teriakan-teriakan keras menggema saling susul, ditingkahi erangan kesakitan.
Sebentar saja, mereka semua sudah berlarian meninggalkan tempat itu. Dan
Rangga segera memerintahkan Rajawali Putih untuk mendarat. Meskipun bertubuh
hampir sebesar bukit, burung rajawali raksasa itu bisa mendarat ringan bagai
segumpal kapas. Rangga langsung melompat turun sambil tidak melepaskan tubuh
perempuan tua dari pondongannya, yang dibawa dari puncak Bukit Batu.
"Nyai...!" Anggita menjerit keras, dan langsung menghambur begitu Rangga
menurunkan tubuh perempuan tua itu dari pondongannya. Gadis cantik berbaju
kuning gading itu menubruk tubuh yang sudah kaku tak bernyawa lagi, sesaat
setelah Rangga menaruhnya di atas tanah berumput yang dibasahi embun.
Saat itu, Rahtama dan Suryadanta menghampiri. Kedua pemuda itu berdiri
mematung di belakang Anggita, dengan pandangan mata nanar dan berkaca-kaca.
Paman Randaka dan Pandan Wangi melangkah menghampiri Rangga yang jadi
terlongong melihat Anggita menangis sambil memeluk tubuh perempuan tua yang
dibawa dari Bukit Batu. Sungguh sama sekali tidak diketahuinya kalau perempuan
tua yang diba-wanya ini adalah Nyai Langis, guru ketiga anak muda itu. Dan
memang, Rangga belum pernah mengenal Nyai Langis.
"Di mana kau temukan jasadnya, Rangga?" tanya Paman Randaka, agak parau
suaranya.
"Di dalam jurang, di puncak Bukit Batu," sahut Rangga.
"Tampaknya sudah lama meninggalnya," desah Pandan Wangi menyelak.
"Ya! Dia kutemukan sudah seperti itu," sahut Rangga, juga mendesah suaranya.
Keheningan kembali menyelimuti mereka semua. Tak ada seorang pun yang membuka
suara, kecuali isak tangis Anggita yang tertahan. Sementara, Rahtama dan
Suryadanta masih tetap berdiri mematung, tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Walaupun tidak ada setitik pun air mata yang keluar, tapi sudah pasti mereka
begitu berduka mendapatkan gurunya sudah tak bernyawa lagi.
***
ENAM
Perlahan Anggita bangkit berdiri, dan perlahan pula berpaling ke belakang
memandangi kedua kakak seperguruannya yang tengah berbincang-bincang dengan
Paman Randaka, Pandan Wangi, dan Pendekar Rajawali Sakti. Kembali wajahnya
berpaling memandangi pusara gurunya.
Sementara, matahari sudah naik cukup tinggi. Setelah berdiri mematung di
samping makam Nyai Langis cukup lama, gadis itu baru memutar tubuhnya dan
melangkah menghampiri yang lain. Pandan Wangi langsung menghampiri, dan
melingkarkan tangannya ke pundak Anggita. Memang, di antara mereka semua hanya
Anggita yang kelihatannya begitu terpukul atas kematian Nyai Langis. Kedua
matanya jadi membengkak karena semalaman penuh menangis. Dan tangisnya baru
berhenti setelah jasad gurunya dikebumikan.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Rangga? Nyai Langis sudah tidak ada.
Dan kita tidak tahu, di mana pencuri Selendang Sutera Emas itu berada," kata
Paman Randaka.
"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan mencari Selendang Sutera Emas itu.
Walaupun nyawa taruhannya," desis Rahtama tegas.
"Aku akan meletakkan selendang itu di samping jasad Nyai Guru."
"Bagaimana kau akan mencari si pencuri itu, Rahtama?" tanya Paman Randaka.
Rahtama tidak langsung menjawab. Memang, sekarang ini bukan hanya dia saja
yang tidak tahu keberadaan si pencuri Selendang Sutera Emas. Tapi memang
semuanya tidak ada yang tahu. Terlebih lagi, Rangga dan Pandan Wangi. Kedua
pendekar muda dari Karang Setra itu benar-benar tidak tahu tentang hal ini.
Bahkan belum pernah melihat bentuk Selendang Sutera Emas itu.
"Paman! Sebagian jiwa Nyai guru Langis ada pada Selendang Sutera Emas itu. Aku
yakin, Nyai Guru Langis belum seutuhnya meninggal. Nyai Guru pasti bisa
bangkit lagi kalau selendang itu sudah didapatkan kembali," kata Rahtama
mantap.
"Gurumu sudah meninggal, Rahtama. Sebaiknya relakan saja kepergiannya," kata
Paman Randaka.
"Tidak, Paman. Meskipun Nyai Guru tidak bisa bangkit lagi, tapi aku harus
membalas kematiannya," sentak Rahtama tegas.
"Hm.... Aku yakin, orang yang membunuh Nyai Guru Langis pasti juga yang
membunuh Paman Wirasaba dan murid-muridnya."
"Dia bisa mengalahkan guru dan paman gurumu, Rahtama. Pasti kepandaianmu tidak
ada seujung kuku baginya. Bagaimana kau bisa membalaskan kematiannya...?"
"Aku siap mati untuk itu, Paman," tegas Rahtama.
"Ya! Aku juga, Paman. Demi baktiku pada Nyai Guru, nyawaku akan kukorbankan,"
sahut Suryadanta.
"Kami bertiga akan menuntut balas kematian Nyai Guru, Paman," sambung Anggita.
Suaranya masih terdengar agak bergetar, karena kesedihannya.
Paman Randaka tidak bisa berkata-kata lagi melihat tekad anak-anak muda itu.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan semua
pembicaraan itu. Tapi dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti memuji tekad keras
dari anak-anak muda itu. Memang, tidak ada yang lebih terpuji dari tindakan
seorang murid, selain menunjukkan bakti setianya. Sekalipun nyawa harus
dikorbankan demi darma bakti pada guru yang telah membimbing dan membekali
ilmu-ilmu kedigdayaan.
Dan memang, sejak Rahtama dan adik-adik seperguruannya menemui Rangga di
Istana Karang Setra, sudah beberapa kali mendapat serangan orang-orang yang
tidak dikenal. Seperti serangan tadi. Mereka hampir dibuat kalang-kabut oleh
serangan dari orang-orang tak dikenal. Untung saja, Pendekar Rajawali Sakti
cepat datang bersama Rajawali Putih. Mereka memang tahu, orang-orang itu
menginginkan Selendang Sutera Emas.
Apalagi sekarang ini kabar tentang selendang sakti itu sudah tersebar luas di
kalangan orang-orang persilatan. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang haus
benda-benda sakti untuk memburunya. Tapi entah kenapa, justru murid-murid Nyai
Langis yang dikira menyimpan Selendang Sutera Emas itu.
Rangga sendiri jadi penasaran dan ingin tahu, seperti apa Selendang Sutera
Emas itu. Rasa penasarannya inilah yang membuatnya selalu mengkuti ketiga
murid Nyai Langis itu, di samping juga ingin membantu mendapatkan kembali
Selendang Sutera Emas. Tapi, sampai mereka menguburkan jasad Nyai Langis,
belum juga diperoleh petunjuk sedikit pun juga, tentang keberadaan Selendang
Sutera Emas itu.
"Sebaiknya, kita ke padepokan Nyai Langis saja. Siapa tahu di sana kita
memperoleh petunjuk," saran Pandan Wangi.
"Sejak Selendang Sutera Emas hilang, tidak ada seorang pun yang datang lagi ke
sana. Dan memang, Nyai Guru Langis melarang kami datang ke sana, sebelum
Selendang Sutera Emas ditemukan," kata Rahtama.
"Di mana letak padepokan guru kalian?" tanya Rangga.
"Sebelah Timur Bukit Batu, tidak jauh dari bukit itu. Dan Bukit Batu dijadikan
tempat berlatih kami," jelas Rahtama.
"Sebaiknya, kalian semua memang pergi ke sana. Biar aku yang menjaga dari
atas," kata Rangga.
Mereka semua serentak memalingkan wajah menatap Rajawali Putih yang berada
tepat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Rajawali Putih mengkirik kecil
sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan-akan mengerti semua pembicaraan itu
tadi.
"Bagaimana...?" tanya Pandan Wangi.
Semua mengangkat pundak. Langsung saran yang diberikan Rangga tadi disetujui.
Dan mereka memang sudah begitu percaya pada Rajawali Putih. Semalam saja
dengan mudah mampu membubarkan pertarungan, tanpa ada seorang pun yang terluka
parah. Apalagi, sampai terbunuh. Memang kalau yang belum mengenal, bisa mati
berdiri bila melihat Rajawali Putih. Burung tunggangan Pendekar Rajawali Sakti
itu memang sangat menyeramkan.
"Sebaiknya, berangkat saja sekarang. Aku rasa, menjelang senja nanti sudah
sampai di padepokan Nyai Langis," kata Rangga.
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Pandan Wangi.
Rangga baru melompat naik ke punggung Rajawali Putih, setelah yang lain
bergerak menuju ke Padepokan Nyai Langis. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah mengangkasa. Dari atas awan, matanya terus memperhatikan kelima
orang yang bergerak cepat menembus lebatnya hutan. Memang dengan berkuda
seperti itu, perjalanan jadi lebih singkat. Sebentar saja mereka sudah keluar
dari hutan, dan terus menuju Bukit Batu. Lalu, mereka menyusuri kaki bukit
menuju ke Timur.
Sementara dari angkasa, Rangga sudah melihat sebuah bangunan sederhana yang
letaknya tidak jauh di sebelah Timur Bukit Batu. Sebuah bangunan yang tidak
begitu besar, dan tampak sunyi sekali, karena memang tidak lagi ditempati.
Tapi keadaannya masih tetap kelihatan bersih dan rapi.
"Turun di sini, Rajawali!" pinta Rangga sambil menunjuk ke arah bangunan
sederhana yang letaknya cukup terpencil. "Tapi jangan terlalu dekat. Firasatku
mengatakan kalau ada orang di dalam rumah itu."
"Khraaagkh...!"
Rangga meminta Rajawali Putih meninggalkan tempat itu, setelah hinggap di
tanah. Tapi Rajawali Putih juga diminta agar tidak terlalu jauh. Setelah
Rajawali Putih kembali mengangkasa, baru Rangga melangkah menghampiri bangunan
yang terbuat dari belahan papan kayu yang sangat sederhana bentuknya. Tapi
begitu jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi dari pintu, mendadak
saja....
Wusss!
"Heh...?! Uts!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu
tiba-tiba dari sebuah jendela terbuka yang berada di sebelah kanan pintu,
meluncur sebatang tombak yang begitu cepat. Tombak ini melesat, lewat sedikit
di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga pemuda berbaju rompi
putih itu bisa tegak kembali, dari jendela yang terbuka cukup lebar itu
kembali terlihat beberapa batang tombak berhamburan dengan kecepatan luar
biasa ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan
dengan mempergunakan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega' dihalaunya
tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Kedua tangannya bergerak
begitu cepat, diimbangi gerakan tubuh yang sangat indah. Sehingga tak satu pun
tombak-tombak yang berhasil menyentuh tubuhnya. Bahkan tidak sedikit yang
berpatahan terkena sambaran kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bergerak
begitu cepat bagai sepasang sayap rajawali.
"Hap!" Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga sedikitpun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah
kembali. Dan tombak-tombak itu pun tidak lagi terlihat berhamburan dari balik
jendela bangunan rumah padepokan itu. Rangga berdiri tegak dengan sikap
waspada penuh. Tatapan matanya begitu tajam tanpa berkedip sedikit pun.
"Siapa di dalam?! Keluar...!" seru Rangga dengan suara lantang menggelegar.
Tak ada sahutan sedikit pun juga. Tapi tidak berapa lama kemudian....
Slap!
"Hup...!" Tepat di saat sebuah bayangan meluncur cepat keluar dari jendela,
Rangga langsung melenting ke belakang dan berputaran be berapa kali. Begitu
indah gerakannya. Bahkan manis sekali kakinya menjejak ke tanah kembali. Saat
itu juga keningnya jadi berkerut, begitu melihat seorang wanita muda berwajah
cantik sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak di depannya.
"Siapa kau, Kisanak?! Apa keperluanmu datang ke sini?" tanya wanita muda dan
cantik berbaju merah menyala yang ketat itu. Meskipun suaranya terdengar halus
dan lembut, tapi di balik suaranya tersimpan nada yang sangat dingin.
Dan belum juga Rangga bisa menjawab, pintu bangunan padepokan Nyai Langis
sudah terbuka. Dan dari dalam, muncul empat orang gadis cantik yang semuanya
mengenakan baju warna kuning, dengan sebilah pedang tergantung di pinggang.
Keempat gadis itu mengambil tempat di belakang wanita cantik berbaju merah
menyala yang keluar lebih dulu.
"Dengar, Kisanak. Kalau kau tidak ada keperluan di sini, sebaiknya segera
pergi," kata wanita cantik berbaju merah itu dingin.
"Aku tidak kenal kalian semua. Apakah kalian murid Nyai Langis...?" tanya
Rangga kalem. Tapi, nada suaranya jelas mengandung kecurigaan.
"Heh...?! Kau kenal Nyai Langis? Apa hubunganmu dengannya?" wanita cantik
berbaju merah itu tampak terkejut atas pertanyaan Rangga.
"Aku ingin bertemu dengannya. Ada sesuatu yang hendak kusampaikan padanya,"
sahut Rangga memancing.
"Apa yang ingin kau sampaikan?"
"Sayang sekali, aku harus menyampaikan langsung pada orangnya, dan tidak bisa
diwakili. Karena, ini menyangkut sebuah benda pusaka yang tidak ada
bandingannya di jagat raya ini," sahut Rangga, terus memancing.
"Hm.... Benda apa itu?"
"Selendang Sutera Emas."
"Heh...?!" Bagaikan tersambar petir, wanita cantik berbaju merah itu begitu
terkejut. Bahkan sampai terlompat ke belakang dua langkah. Namun sesaat
kemudian, tatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam,
seperti tengah menyelidik. Sedangkan Rangga kelihatan begitu tenang.
"Di mana Selendang Sutera Emas itu? Apa ada padamu?" tanya wanita cantik
berbaju merah menyala itu tidak sabar.
"Kau ini siapa?! Aku tidak bisa memberikan Selendang Sutera Emas itu pada
siapa pun juga, selain Nyai Langis atau murid-muridnya yang dipercayakan."
"Aku Nyai Selasih, orang kepercayaan Nyai Langis. Kau bisa menyerahkan
Selendang Sutera Emas padaku. Nyai Langis sedang bersemadi, dan tidak bisa
diganggu siapa pun juga," kata wanita cantik itu. Nada suaranya kelihatan
dibuat-buat, agar kelihatan tegas.
"Hm...," Rangga menggumam kecil dengan kelopak mata sedikit menyipit. Jelas
sekali apa yang dikatakan wanita cantik yang mengaku Nyai Selasih itu hanya
bualan saja. Dan pancingan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mengenai
sasaran. Kecurigaan yang sejak tadi sudah tumbuh, kini semakin menebal saja.
Rangga yakin, wanita-wanita cantik ini pasti segelintir orang-orang yang
menginginkan Selendang Sutera Emas. Dan tampaknya, Nyai Selasih tidak
menyadari kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu sedang menjebaknya.
"Maaf. Setahuku, hanya tiga orang saja murid Nyai Langis. Dan hanya satu orang
saja yang wanita...," kata Rangga, tetap tenang nada suaranya.
"Kisanak...! Berikan Selendang Sutera Emas itu padaku! Cepat..!" sentak Nyai
Selasih mulai tidak sabar.
"Maaf. Aku tidak bisa memberikannya padamu atau siapa pun juga. Aku harus
menyerahkan pada pemiliknya, atau murid-muridnya," tegas Rangga.
"Keparat..! Serahkan selendang itu atau kau ingin mampus, heh...?" geram Nyai
Selasih tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dan sikap yang ditunjukkan
wanita cantik berbaju merah menyala itu sudah membuat Rangga semakin tidak
percaya saja. Diyakini wanita-wanita cantik ini adalah beberapa dari mereka
yang sedang memburu Selendang Sutera Emas milik Nyai Langis yang hilang dicuri
orang.
Tapi, Rangga juga tidak bisa memastikan, apakah mereka juga telah membunuh
Nyai Langis, Ki Wirasaba, dan semua muridnya. Tapi kalau dilihat dari senjata
yang tersandang, rasanya memang tidak mungkin kalau mereka yang melakukan
semua pembunuhan itu. Jelas, luka-luka yang ada adalah akibat tebasan senjata
golok. Sedangkan wanita-wanita ini menyandang senjata berbentuk pedang.
"Cepat serahkan Selendang Sutera Emas itu!" bentak Nyai Selasih, mulai
terdengar kasar suaranya.
"Maaf, aku...!"
"Setan...! Serang dia...!" geram Nyai Selasih memerintah dengan suara lantang
menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu tiba-tiba saja empat orang gadis
yang berada di belakang Nyai Selasih berlompatan sambil mencabut pedang
masing-masing. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah dikepung dari
empat penjuru oleh empat orang gadis cantik yang semuanya menghunus pedang.
"Hm...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menilai,
sampai di mana tingkat kepandaian keempat orang gadis cantik ini dari cara
melompat tadi. Begitu indah dan ringan gerakannya, pertanda memiliki
kepandaian yang tidak bisa dipandang rendah. Dan Rangga yakin, wanita cantik
berbaju merah yang bernama Nyai Selasih itu memiliki kepandaian lebih tinggi
daripada keempat gadis cantik pengawalnya.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Tanpa diperintah lagi, empat orang gadis cantik yang semuanya mengenakan baju
warna kuning gading itu langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti
secara bersamaan, dari empat jurusan. Tapi, bukanlah Rangga kalau hanya
mendapat serangan seperti itu sudah gentar. Dan pemuda berbaju rompi putih itu
segera menggeser kakinya sedikit ke depan. Lalu dengan gerakan manis sekali
tubuhnya di-rundukkan, menghindari sabetan sebatang pedang yang datang dari
sebelah kiri.
Wuk! "Yeaaah...!"
Begitu mata pedang lewat di atas kepala, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya. Dan begitu salah seorang gadis yang di depan sudah begitu
dekat, satu kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentak, tepat mengarah ke
perut. Begitu cepat sentakan kaki kanannya, sehingga gadis berbaju kuning itu
jadi terperangah. Namun belum juga telapak kaki Rangga bisa menghantam perut
gadis itu, tiba-tiba saja....
Bet! "Uts...!"
Hampir saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terbabat putus, kalau tidak segera
ditarik. Salah seorang gadis pengawal Nyai Selasih begitu cepat mengebutkan
pedang, untuk menyelamatkan temannya yang teran-cam tendangan dahsyat Pendekar
Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga Rangga bisa berdiri tegak, dari arah
belakang sudah datang lagi satu serangan yang begitu cepat luar biasa. Suara
desingan pedang melayang membuat Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat
merundukkan tubuhnya. Maka, tebasan pedang dari arah belakang itu hanya lewat
di atas kepala.
"Hup...!" Cepat-cepat Rangga melompat ke depan dua langkah, dan langsung
melenting ke udara begitu kakinya menjejak tanah. Pada saat yang bersamaan,
em-pat orang gadis yang mengeroyoknya berlompatan me-nyerang kembali sambil
cepat membabatkan pedang secara bergantian.
"Hiyaaa...!" Beberapa kali Rangga melakukan putaran di udara, kemudian kembali
meluruk ke bawah dan menjejakkan kakinya ke tanah. Kini, jaraknya dengan
keempat gadis pengeroyoknya sekitar satu batang tombak. Tapi, keempat gadis
yang semuanya mengenakan baju warna kuning itu cepat memutar tubuhnya
berbalik, dan mereka langsung berlompatan hendak mengurung Pendekar Rajawali
Sakti kembali.
"Hup! Yeaaah...!"
Dengan cepat sekali Rangga sudah melenting ke udara. Dan bagaikan kilat
tubuhnya meluruk deras, menyongsong keempat gadis cantik itu. Sungguh sukar
diikuti pandangan mata biasa, tahu-tahu Rangga sudah melepaskan
pukulan-pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan
gadis-gadis itu tidak sempat lagi menghindari serangan yang datang begitu
cepat luar biasa. Sedangkan saat itu, me-reka semua sedang berlompatan hendak
melakukan serangan, tapi Rangga sudah lebih dulu menyerang. Dan...
Des!
Buk!
"Akh.."
"Hegkh...!"
Dua orang gadis langsung terpental ke belakang, begitu terkena pukulan keras
bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dua
orang lagi berhasil menghindar dengan melenting ke atas dan berputaran
beberapa kali. Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah, dan
langsung saja berhadapan dengan Nyai Selasih. Wanita cantik berbaju merah itu
jadi terpana melihat empat gadis pengawalnya dibuat tidak berdaya menghadapi
pemuda tampan yang berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung
rajawali di punggung.
Sementara, dua orang gadis merintih sambil berusaha bangkit berdiri dibantu
dua orang gadis lain yang berhasil menghindari serangan kilat Pendekar
Rajawali Sakti tadi. Tampak dari sudut bibir kedua gadis cantik berbaju kuning
itu mengeluarkan darah agak kental. Memang cukup keras juga pukulan yang
dilepaskan Rangga, walaupun hanya disertai pengerahan tenaga dalam tidak
penuh.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Nyai Selasih begitu terbangun dari
keterpanaannya.
"Hm...," Rangga hanya menjawab dengan gumaman kecil saja.
***
TUJUH
Perlahan Rangga menggeser kakinya beberapa langkah ke depan, lebih dekat
dengan Nyai Selasih. Sementara, empat orang gadis yang semuanya berwajah
cantik dan mengenakan baju warna kuning gading sudah berada di belakang wanita
cantik berbaju merah menyala itu. Tampak dua orang gadis yang terkena pukulan
Rangga tadi, masih berusaha mengatur jalan pernapasannya.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak. Siapa kau, dan apa tujuanmu
menguasai pondok Nyai Langis ini...?" terdengar dingin sekali nada suara
Rangga. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat begitu tajam, seakan-akan
hendak menembus langsung ke dalam hati Nyai Selasih lewat dua bola matanya
yang bening dan indah. Dan tatapan Rangga yang begitu tajam, dibalas Nyai
Selasih dengan tidak kalah tajamnya. Seakan-akan, mereka berdua sedang
mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Aku tahu, kau memiliki kepandaian tinggi, Kisanak. Tapi tidak ada gunanya
dipamerkan di depanku," desis Nyai Selasih, tidak kalah dingin.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam kecil.
"Kau baru boleh bertanya padaku, kalau mampu mengalahkanku, Kisanak," kata
Nyai Selasih lagi.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut mendengar kata-kata Nyai Selasih
yang begitu dingin dan mengandung nada tantangan. Perlahan kakinya bergeser ke
kiri beberapa langkah, tapi Nyai Selasih malah mengikuti arah geserannya.
Perlahan Nyai Selasih menarik tangannya, dan meletakkan di atas gagang pedang
yang tersampir di pinggang. Kemudian gagang pedangnya digenggam erat-erat.
Sedangkan Rangga hanya memandang saja tangan yang sudah menggenggam pedang
itu. Walau belum tercabut dari warangka. Dan suasana pun terasa begitu tegang.
Sementara, empat orang gadis berbaju kuning gading yang tadi bertarung melawan
Pendekar Rajawali Sakti sudah mulai menyingkir menjauh. Mereka tahu, tidak
berapa lama lagi pasti akan terjadi pertarungan sengit antara dua tokoh sakti
yang memiliki ilmu-ilmu kedigdayaan tinggi.
Sret! Cring!
"Oh...?!" Rangga sempat terkesiap begitu Nyai Selasih mencabut pedangnya.
Seketika itu juga, menyemburat cahaya terang yang menyilaukan dari seluruh
mata pedang di tangan Nyai Selasih. Begitu terangnya, sampai-sampai Rangga
harus menyipitkan kelopak matanya. Kemudian kakinya ditarik ke belakang
beberapa langkah, namun pada saat itu juga....
"Hiyaaat...!"
"Heh...?! Hup!" Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika
tiba-tiba saja Nyai Selasih melompat begitu cepat bagai kilat. Pedangnya juga
langsung dibabatkan ke leher pemuda berbaju rompi putih itu.
Wuk! "Uts...!" Cepat-cepat Rangga menarik kepala ke belakang, hingga tubuhnya
jadi agak doyong ke belakang untuk menghindari tebasan pedang wanita cantik
berbaju merah itu. Dan bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang
sejauh lima langkah, begitu ujung pedang yang memancarkan cahaya menyilaukan
mata itu lewat di depan tenggorokannya.
"Hap...!"
"Hiyaaa...!"
Tapi, Nyai Selasih tampaknya tidak sudi membiarkan Pendekar Rajawali Sakti
mengambil kesempatan untuk balas menyerang. Dengan cepat sekali dia kembali
melompat menyerang, sebelum Rangga benar-benar siap. Tapi, kebutan pedang yang
begitu cepat kembali dapat dihindari Rangga dengan mudah. Dan Nyai Selasih
kelihatannya jadi semakin berang saja.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...."
Beberapa kali Nyai Selasih mengebutkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi sekali. Begitu tinggi tingkat tenaga dalamnya, sehingga setiap
pedangnya bergerak berkelebat, selalu menimbulkan deru angin keras
menggetarkan jantung.
Tapi, Rangga bukanlah anak kemarin sore yang mudah gentar mendengar kebutan
senjata yang begitu dahsyat. Walaupun tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang, tapi dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib, serangan-serangan itu
bisa dihindari dengan manis dan tangkas sekali.
Dan serangan-serangan yang dilancarkan Nyai Selasih pun semakin dahsyat saja.
Begitu cepat sekali pedangnya berkelebat, sehingga cahaya yang memancar dari
pedangnya tampak menutupi seluruh tubuhnya. Dan ini membuat Rangga semakin
sulit untuk membalas. Sedikit pun tidak ada kesempatan untuk membalas
menyerang baginya.
"Hup! Hiyaaa..."
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara, tepat di saat Nyai
Selasih membabatkan pedangnya ke arah kaki. Dan begitu berada di atas kepala,
bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras. Kedua kakinya bergerak
berputar begitu cepat, mengarah ke kepala wanita cantik yang seluruh tubuhnya
sudah berselubung cahaya berkilatan dari pedang di tangan kanan.
"Heh...?!" Wuk!
Begitu terkejutnya Nyai Selasih mendapat serangan yang begitu cepat dan
tiba-tiba dari Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa disadari, pedangnya
dikebutkan ke atas kepala. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga malah
berputar begitu cepat. Dan tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri di
depan wanita berbaju merah itu. Lalu sebelum Nyai Selasih bisa menyadari,
tiba-tiba saja Rangga sudah menghentakkan tangan kanannya dengan kecepatan
luar biasa ke arah dada.
"Yeaaah...!" Begkh!
"Akh...!" Begitu keras dan cepat pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga Nyai
Selasih tidak sempat lagi menghindar. Dan pukulan yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dada, membuat wanita itu terpekik dan
langsung terpental jauh ke belakang. Begitu kerasnya, hingga tiga batang pohon
yang terlanda tubuh Nyai Selasih hancur seketika. Dan wanita itu berhenti
melayang setelah menghantam sebongkah batu sebesar kerbau, sampai hancur
berkeping-keping. Nyai Selasih terkapar dengan mulut penuh darah di antara
pecahan batu. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada.
"Nyai...!" Empat orang gadis pengawal Nyai Selasih segera berhamburan
menghampiri. Mereka langsung menjatuhkan diri, berlutut mengelilingi wanita
cantik yang masih tergeletak dengan mulut berlumur darah. Memang sungguh
dahsyat pukulan yang dilepaskan Rangga. Tadi, Pendekar Rajawali Sakti
mempergunakan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali yang disertai tenaga dalam
tinggi, walaupun tidak sepenuhnya. Sedikit pun Nyai Selasih tidak bergerak,
dan ini membuat empat orang gadis pengawalnya jadi kebingungan. Namun,
tiba-tiba saja mereka bangkit berdiri. Pandangan mereka langsung tertuju
begitu tajam sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat..! Bunuh dia...!" seru salah seorang gadis itu.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
Bagaikan singa-singa betina yang sedang murka, keempat gadis cantik itu
berlompatan menyerang Rangga. Pedang mereka langsung berkelebat cepat mengarah
ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun dengan gerakan begitu manis,
Pendekar Rajawali Sakti berlompatan sambil meliuk menghindari setiap serangan
yang datang.
"Hiyaaa...!" Cepat sekali Rangga merubah jurusnya dari jurus Sembilan Langkah
Ajaib ke jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Kedua tangannya terpentang lebar
dan bergerak begitu cepat, menyambar keempat gadis-gadis yang menyerangnya.
Demikian cepat serangannya, sehingga keempat gadis cantik itu tidak dapat lagi
menghindar. Jeritan-jeritan tertahan kesakitan pun seketika terdengar saling
sambut, disusul bergelimpangannya gadis-gadis itu.
Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada. Sedangkan keempat gadis itu tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri.
Mereka bergelimpangan sambil merintih menahan sakit pada tubuhnya, akibat
terkena kebutan kedua tangan Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan pada saat itu, datang Pandan Wangi yang diikuti Paman Randaka dan
ketiga murid Nyai Langis.
Rangga berpaling sedikit begitu telinganya mendengar langkah kaki kuda
menghampiri. Tampak mereka yang datang berlompatan turun dari punggung kuda
masing-masing, dan bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka tampak
kebingungan melihat di sekitar tempat itu ada lima orang wanita cantik
bergelimpangan dengan mulut penuh berlumur darah. Sedikit pun tak terlihat
luka pada tubuh mereka, tapi tak ada seorang pun yang bergerak lagi.
"Siapa mereka, Kakang...?" tanya Pandan Wangi sambil mengedarkan pandangan
memandangi wanita-wanita yang bergelimpangan.
"Aku tidak tahu, siapa mereka sesungguhnya. Mereka sudah ada di sini, dan
menginginkan Selendang Sutera Emas milik Nyai Langis," sahut Rangga.
"Aku kenal perempuan itu...!" sentak Paman Randaka tiba-tiba, sambil menunjuk
Nyai Selasih.
Bukan hanya Rangga dan Pandan Wangi yang terkejut dan langsung berpaling ke
arah yang ditunjuk Paman Randaka. Bahkan ketiga murid Nyai Langis langsung
berpaling menatap wanita berbaju merah yang tergeletak tak bergerak-gerak di
antara reruntuhan pecahan batu yang tadi terlanda tubuhnya.
"Maksud, Paman. Nyai Selasih...?" tanya Rangga ingin mematikan.
"Benar! Perempuan laknat itu," sahut Paman Randaka, agak mendengus suaranya.
"Aku tahu betul, siapa dia. Hm... Pasti dia yang membunuh Nyai Langis."
"Siapa dia sebenarnya, Paman?" tanya Rahtama, agak gusar nada suaranya.
Belum juga Paman Randaka bisa menjawab, Nyai Selasih terlihat mulai bergerak
sambil merintih kecil. Disekanya darah yang menggumpal memenuhi rongga
mulutnya. Perlahan kedua kelopak matanya mulai mengerjap terbuka, lalu
bergerak bangkit perlahan-lahan.
"Ohhh...!?" Nyai Selasih jadi terperanjat, begitu melihat di sekitarnya sudah
ada orang lain, selain Pendekar Rajawali Sakti. Cepat tubuhnya menggerinjang
bangkit berdiri, namun jadi limbung. Seketika tangan kanannya mendekap dada
erat-erat. Dan belum juga bisa berdiri tegak kembali, segumpal darah kental
berwarna agak kehitaman tersembur dari mulutnya.
"Hoeeek...!" Tubuh Nyai Selasih kembali limbung, lalu jatuh terduduk dengan
napas terengah. Sepertinya, rongga dadanya terhimpit sebongkah batu yang
sangat besar. Pandangan matanya pun jadi nanar berkunang-kunang. Kembali
dicobanya bangkit berdiri. Tapi belum juga tubuhnya bisa diangkat, kembali
terjatuh. Sedikit suara rintihan kecil terdengar. Kemudian, wanita itu kembali
menggeletak diam tak sadarkan diri.
"Dia terluka dalam. Tolong pindahkan ke dalam," ujar Rangga meminta.
"Tapi...," Rahtama ingin membantah. Namun sebelum bantahan pemuda itu selesai,
Rangga sudah bergerak tanpa bicara lagi. Langsung saja tubuh wanita cantik
berbaju merah menyala itu diangkat, dan dibawa masuk ke dalam pondok Nyai
Langis.
Sementara yang lain hanya memandangi saja, tidak mengerti semua yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengerti benar
dengan watak Rangga, segera mengangkat salah seorang gadis yang menggeletak
dekat dengannya. Dan kakinya melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang
masuk ke dalam pondok
"Ayo, angkat yang lain," perintah Paman Randaka.
Tanpa bisa membantah lagi, ketiga murid Nyai Langis itu mengikuti jejak Rangga
dan Pandan Wangi. Hanya Anggita saja yang tidak mendapat bagian, dan hanya
mengkuti dari belakang. Tapi, kelihatan jelas kalau kening gadis itu berkerut.
Mungkin masih belum mengerti dengan semua yang dilakukan para pendekar digdaya
itu. Jelas sekali, wanita-wanita itu bisa tidak sadarkan diri karena bertarung
dengan Rangga tadi. Tapi, justru pendekar itu malah ingin menolongnya.
Memang sulit memahami watak seorang pendekar. Terlebih lagi, kalau seorang
pendekar besar dan digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti. Bagi Anggita yang
belum berpengalaman dalam rimba persilatan, apa yang dilakukan Rangga memang
tidak bisa dimengerti akal sehatnya. Tapi memang tidak ada kesempatan baginya
untuk bisa mengerti. Sementara di dalam pondok, Rangga, Pandan Wangi, dan
Paman Randaka sudah mulai sibuk mengobati wanita-wanita itu. Sedangkan ketiga
murid Nyai Langis hanya bisa menyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa.
***
Nyai Selasih dan keempat gadis pengawalnya hanya bisa duduk bersimpuh di depan
Pendekar Rajawali Sakti yang didampingi Pandan Wangi. Sedangkan Paman Randaka
dan ketiga murid Nyai Langis duduk di belakang kedua pendekar muda dan digdaya
dari Karang Setra itu. Tampak sekali, kesehatan wanita-wanita itu sudah pulih
kembali, walaupun wajah mereka masih kelihatan pucat. Namun, terlihat jelas
kalau sorot mata Nyai Selasih seperti menyimpan dendam pada Pendekar Rajawali
Sakti yang telah menjadikannya pecundang.
"Kenapa kau tidak membunuh saja kami semua, Kisanak? Kami akan merasa lebih
terhormat kalau mati di tangan pendekar berilmu tinggi," kata Nyai Selasih
dengan sorot mata begitu tajam, seakan-akan hendak menembus ke dalam mata
Pendekar Rajawali Sakti.
"Terlalu banyak alasan untuk tidak mengirim orang sepertimu ke neraka, Nyai
Selasih. Dan aku tidak bisa membunuh orang yang aku tidak tahu alasannya,"
tenang sekali jawaban Rangga.
"Itu juga bukan alasan orang yang sudah lama berkecimpung dalam rimba
persilatan, Kisanak. Aku tahu, siapa dirimu. Jurus-jurus yang kau perlihatkan
tidak ada duanya di dunia ini. Kau pasti yang dikenal sebagai Pendekar
Rajawali Sakti. Hm... Ternyata hanya seperti itu seorang pendekar ternama yang
ditakuti. Tidak mau membunuh lawannya yang sudah kalah," terasa begitu dingin
nada suara Nyai Selasih.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja mendengarnya. Dan diakui kata-kata yang
diucapkan Nyai Selasih tadi bisa membuat darah siapa saja yang mendengarnya
jadi bergolak mendidih. Namun tidak demikian halnya dengan Rangga yang memang
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sama sekali tidak terpancing,
bahkan membalasnya dengan senyum.
Lain halnya dengan Pandan Wangi, Paman Randaka, dan ketiga murid Nyai Langis.
Mereka sudah begitu geram melihat sikap yang ditunjukkan Nyai Selasih.
Terlebih lagi, kata-katanya yang mengandung tantangan terbuka pada Rangga
tadi. Namun mereka tidak bisa berbuat sesuatu, melihat Rangga hanya diam saja.
Bahkan tersenyum tenang mendapatkan tantangan yang begitu terbuka tadi.
"Nyai! Kau tahu, di mana Nyai Langis sekarang berada...?" tanya Rangga setelah
terdiam sesaat.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti jelas sekali tidak menghiraukan tantangan
yang diberikan Nyai Selasih tadi. Tapi bagi wanita cantik yang mengenakan baju
merah menyala itu, pertanyaan Rangga barusan merupakan sebuah jawaban pasti
dari tantangannya. Dan bibirnya jadi tersenyum mendengar pertanyaan itu.
Sebuah senyuman yang mengandung banyak arti.
"Kau berada di pondok Nyai Langis. Tentu kau tahu, bagaimana Nyai Langis
sekarang...," kata Rangga dengan suara terdengar seperti terputus.
"Ya, aku sudah tahu," sahut Nyai Selasih sambil tersenyum sinis.
"Kau tahu, siapa yang membunuhnya?" tanya Rangga, agak ditekan suaranya.
"Tahu," tegas Nyai Selasih. Bibir wanita itu masih saja menyunggingkan
senyuman sinis. Sedangkan sorot matanya begitu tajam menatap ketiga murid Nyai
Langis yang duduk bersila di belakang Rangga. Tampak jelas sekali kalau ketiga
murid Nyai Langis itu berusaha menahan diri mendengar jawaban-jawaban yang
ketus dari wanita ini.
Sebentar kemudian, pandangan Nyai Selasih kembali beralih pada wajah tampan
Rangga. Meskipun sorot matanya masih tetap terlihat tajam, namun senyuman di
bibirnya sudah berubah, begitu pandangannya kembali bersarang di wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang membunuh Nyai Langis?" tanya Rangga tetap dengan nada suara
ditekan.
"Gajah Ireng," sahut Nyai Selasih diiringi senyum di bibir.
"Siapa itu Gajah Ireng?" selak Rahtama dengan suara terdengar gusar. Tapi Nyai
Selasih hanya menjawab pertanyaan itu dengan tawa kecil saja. Dan ini membuat
Rahtama semakin bertambah gusar saja. Maka, mendadak saja dia bangkit berdiri,
dan langsung melompat menerjang perempuan cantik berbaju merah menyala itu.
"Perempuan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Sret! Bet!
"Hait..!"
Cepat sekali Rahtama mencabut pedangnya sambil melompat menerjang. Langsung
pedangnya dibabatkan ke leher Nyai Selasih. Tapi hanya menarik kepala sedikit
saja, Nyai Selasih bisa menghindarinya. Dan sabetan pedang pemuda itu hanya
lewat di depan tenggorokan saja.
"Yeaaah...!" Tapi, Rahtama tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat sekali
pedangnya diputar, dan langsung ditusukkan ke arah dada. Dan tepat pada saat
itu, Nyai Selasih merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sehingga,
ujung pedang Rahtama yang hampir menembus kulit dada yang membusung indah itu
berhasil dijepit kuat.
"Hih...!" Sambil mengerahkan tenaga dalam, Rahtama mencoba menarik pedang dari
jepitan kedua telapak tangan Nyai Selasih. Dan pada saat yang bersamaan, Nyai
Selasih menghentakkan kedua tangan ke depan sambil melepaskan jepitannya pada
pedang pemuda itu. Hingga tak pelak lagi, tubuh Rahtama terpental deras ke
belakang.
"Hiyaaa...!" Untung saja pada saat yang gawat, Rangga melompat cepat Langsung
ditangkapnya tubuh Rahtama yang hampir saja menghantam tiang yang berdiri di
tengah-tengah ruangan depan pondok Nyai Langs. Manis sekali Rangga menjejakkan
kakinya di lantai, dan menurunkan Rahtama dari pondongannya.
"Tahan, Rahtama...!" sentak Rangga sambil mencekal tangan Rahtama yang sudah
terangkat naik hendak menyerang Nyai Selasih lagi.
"Huh!" Rahtama mendengus kesal. Lalu tangannya diturunkan lagi setelah Rangga
melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan yang menggenggam pedang.
Kemudian satu langkah Rangga maju ke depan. Sementara, Nyai Selasih dan
keempat gadis pengawalnya sudah berdiri dengan sikap menantang. Saat itu,
mereka yang tadi duduk di belakang Rangga juga sudah berdiri. Sikap mereka
tampak siaga, menghadapi pertarungan yang bisa saja terjadi, mengingat suasana
sudah demikian panas.
***
DELAPAN
"Hup!" "Hiyaaa...!" Begitu Nyai Selasih melesat keluar dari dalam pondok ini,
keempat gadis pengawalnya juga mengikuti.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak, Pandan Wangi, Paman Randaka,
Suryadanta, dan Anggita sudah berlompatan mengejar Nyai Selasih dan keempat
orang gadis pengawalnya.
"Hup! Hiyaaa....'" Rahtama juga bergegas keluar. Sedangkan Rangga masih tetap
berdiri tegak memandangi mereka yang kini sudah berdiri saling berhadapan di
tengah-tengah halaman yang cukup luas di depan. Dengan ayunan kaki yang begitu
tenang, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke luar. Dan dia berdiri saja di
ujung tangga beranda depan pondok yang berukuran cukup besar ini.
"Tahan...!!" Keras sekali teriakan Rangga, tepat di saat mereka yang berada di
luar hendak bertarung. Bentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna
itu membuat mereka semua yang ada di tengah-tengah lapangan langsung berpaling
ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti. Sehingga hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berdiri tegak di
tengah-tengah, antara dua kelompok yang sudah saling bersitegang ini. Rangga
berdiri tegak, tepat di antara Nyai Selasih dan Paman Randaka yang berdiri
saling berhadapan.
"Kuminta kalian semua bisa menahan diri. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah
tanpa diketahui sebab-sebabnya," terdengar lantang sekali suara Pendekar
Rajawali Sakti.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua mengarahkan pandangan
pada pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi warna putih itu.
Dan pada saat itu, dari arah jalan setapak yang menuju pondok ini, terlihat
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap tanpa baju tengah berjalan. Ayunan
kakinya man tap dan lebar-lebar. Seketika, pandangan semua orang yang ada di
tengah-tengah halaman depan pondok mendiang Nyai Langis jadi tertuju pada
laki-laki berusia separuh baya yang menyandang sebilah golok berukuran cukup
besar di pundak kanan.
"Ada apa ini, Nyai Selasih...?" tanya laki-laki bertubuh tinggi tegap dan
tidak mengenakan baju, begitu dekat dengan Nyai Selasih.
"Tanyakan saja pada mereka, Gajah Ireng," sahut Nyai Selasih sambil
mencibirkan bibirnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan orang-orang yang ada
di belakang pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
"Ah! Sudahlah, Nyai. Biarkan saja mereka. Yang penting, Selendang Sutera Emas
yang kau inginkan sudah kudapatkan," kata laki-laki bertubuh tinggi tegap yang
ternyata Gajah Ireng.
"Oh! Benarkah itu...? Mana selendang itu, Gajah Ireng?" kedua bola mata Nyai
Selasih langsung berbinar bercahaya.
"Ada! Tapi, kau harus penuhi dulu janjimu, Nyai," sahut Gajah Ireng kalem.
"Aku tidak pernah ingkar, Gajah Ireng. Serahkan dulu Selendang Sutera Emas itu
padaku, baru anak dan istrimu akan kubebaskan," sahut Nyai Selasih.
"Di mana mereka, Nyai?"
"Mereka ada di tempat yang aman dan nyaman. Kau tidak perlu khawatir, Gajah
Ireng. Kalau selendang itu sudah kau serahkan, baru kuberitahukan tempatnya.
Oh, ya di mana kau dapatkan selendang itu? Dan siapa yang mencurinya?"
"Selendang itu kutemukan di perguruan milik adik bungsu Nyai Langis, karena
memang dititipkan di sana. Dan tanpa kekerasan yang berarti, aku berhasil
mengambil selendang itu. Bodoh sekali wanita itu. Dia pergi bersemadi dengan
hanya meninggalkan murid-murid keroco. Maka mudah sekali aku menyusup ke
perguruannya untuk mengambil selendang itu," jelas Gajah Ireng.
Gajah Ireng melepaskan kantung kulit yang diikatkan di pinggangnya dengan
sulur pohon. Tapi begitu tangannya menjulur hendak menyerahkan kantung kulit
itu, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat begitu cepat. Dan tahu-tahu,
kantung kulit tangan Gajah Ireng sudah lenyap.
"Heh...?!" Bukan hanya Gajah Ireng yang terbeliak kaget. Bahkan Nyai Selasih
sampai terlompat ke belakang dua langkah. Dan begitu mereka berpaling, tampak
Paman Randaka sudah memegang kantung kulit yang tadi berada di tangan Gajah
Ireng. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk dan berbaju jubah panjang warna
hitam itu cepat-cepat membuka kantung kulit itu. Dan dari dalamnya
dikeluarkannya sebuah selendang sutera berwarna kuning keemasan yang
berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Setan keparat! Berikan selendang itu...!" bentak Gajah Ireng berang.
Wuk!
Langsung saja Gajah Ireng mengebutkan goloknya ke depan. Kedua tangannya yang
kokoh dan berotot menggenggam tangkai golok dengan erat Ujung goloknya
diarahkan ke dada Paman Randaka. Sementara, Nyai Selasih juga berang melihat
Selendang Sutera Emas yang diimpikannya kini jatuh ke tangan laki-laki tua
berjubah hitam yang dikenal bernama Paman Randaka.
"Bunuh dia, Gajah Ireng!" bentak Nyai Selasih gusar.
"Ghrrr...!" Gajah Ireng menggereng bagaikan seekor binatang buas. Perlahan
kakinya melangkah menghampiri Paman Randaka yang sudah memasukkan kembali
Selendang Sutera Emas ke dalam kantung kulit harimau. Dan Paman Randaka
sendiri cepat-cepat melangkah mundur begitu melihat Gajah Ireng sudah
mendekati dengan golok terhunus ke arahnya.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Gajah Ireng melompat begitu
cepat menerjang Paman Randaka. Goloknya yang berukuran sangat besar diayunkan
disertai pengerahan tenaga dalam penuh, hingga menimbulkan suara angin menderu
bagai topan.
Wuk! "Haiiit..!"
Tapi dengan gerakan ringan dan manis sekali, Paman Randaka berhasil
menghindari sabetan golok berukuran besar itu. Dan Gajah Ireng tidak berhenti
sampai di situ saja. Dengan cepat sekali goloknya ditarik, dan langsung
dibabatkan ke arah kepala laki-laki tua berjubah hitam itu sambil berteriak
keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!" Namun pada saat yang bersamaan, tiba-tiba saja Rangga
melesat bagai kilat, hingga sukar sekali diikuti pandangan mata biasa. Begitu
cepatnya, hingga tidak ada seorang pun yang bisa melihat kalau Pendekar
Rajawali Sakti menjentikkan ujung jarinya, tepat pada ujung golok Gajah Ireng
yang hampir saja membelah kepala Paman Randaka.
Tring! "Ikh...!"
Hampir saja golok di tangan Gajah Ireng terlepas, kalau saja tidak segera
dipindahkan ke tangan kiri. Cepat-cepat laki-laki tinggi besar itu melompat ke
belakang sambil berputar beberapa kali di udara, sebelum kakinya kembali
menjejak tanah. Mulutnya menggereng seperti seekor singa terluka, begitu
melihat Rangga tahu-tahu sudah berdiri di depan Paman Randaka.
"Ghrrr...!"
"Tahan...! Tidak seharusnya kau menyerang orang yang tidak bersalah, Paman,"
ujar Rangga, agak keras suaranya.
"Minggir kau, Bocah!" bentak Gajah Ireng.
"Sekilas, kudengar percakapanmu dengan Nyai Selasih tadi," kata Rangga kalem.
"Paman..., aku ingin membantumu. Tapi, kuminta tahanlah dirimu sedikit saja."
"Hm...," Gajah Ireng menggumam perlahan. Sedikit matanya melirik Nyai Selasih
yang kelihatan jadi begitu gusar dengan turun tangannya Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, Rangga sudah
melangkah mendekati Gajah Ireng dengan sikap tenang. Senyuman manis pun
tersungging di bibirnya.
"Aku tahu, kenapa kau bertindak di luar keinginanmu, Paman. Tapi, setidaknya
sekarang ini kau bisa melihat lebih jauh lagi. Kau tahu, Paman. Ketiga orang
itu adalah murid Nyai Langis, pemilik tunggal Selendang Sutera Emas. Sedangkan
Paman Randaka adalah saudara kandung Nyai Langis. Jadi, memang lebih pantas
kalau mereka yang memegang selendang itu, setelah Nyai Langis meninggal.
Sedangkan kau mendapatkan selendang itu hanya untuk diserahkan pada Nyai
Selasih. Apakah kau yakin, kata-katanya bisa dipercaya...? Kau percaya kalau
anak istrimu sekarang ini dalam keadaan sehat dan aman?"
Gajah Ireng tidak bisa berkata-kata lagi mendengar penuturan Rangga yang
begitu tegas dan bijaksana. Sedikit matanya melirik Nyai Selasih. Jelas
sekali, wajah wanita cantik itu tampak memerah.
"Semua putusan sekarang ada padamu, Paman Gajah Ireng. Dan aku tidak akan
mencampuri urusan ini. Tapi kalau ada yang bertindak curang, terpaksa aku akan
ikut turun tangan," kata Rangga lebih tegas lagi. Berkali-kali Gajah Ireng
memandang Rangga dan Nyai Selasih bergantian. Dan perlahan tubuhnya diputar
berbalik menghadap wanita cantik yang mengenakan baju warna merah menyala
cukup ketat itu. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata
Nyai Selasih yang indah.
"Katakan, di mana anak dan istriku sekarang, Nyai...?" desis Gajah Ireng
dingin menggetarkan.
"Kau tidak bisa menggertakku, Gajah Ireng!" bentak Nyai Selasih berang,
"Turuti perintahku, atau kau ingin anak dan istrimu mampus...!"
"Perempuan setan...! Kubunuh kau bila sampai menyakiti mereka!" desis Gajah
Ireng geram.
"Berikan dulu Selendang Sutera Emas itu padaku, baru kuberi tahu keberadaan
anak dan istrimu," kata Nyai Selasih masih bertahan.
"Tidak! Katakan dulu, di mana mereka!" bentak Gajah Ireng.
Nyai Selasih tersenyum tipis. Sementara, Gajah Ireng semakin kelihatan
bertambah berang saja melihat sikap wanita cantik itu. Sambil menggereng bagai
harimau, kakinya melangkah mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba saja....
"Perempuan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Wuk!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, tiba-tiba saja Gajah Ireng
membabatkan goloknya ke arah kepala Nyai Selasih. Tapi hanya sedikit Nyai
Selasih menarik kepala ke belakang, sabetan golok yang berukuran cukup besar
itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Yeaaah...!" Dan tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Nyai Selasih
menghentakkan kaki kanannya sambil memutar tubuhnya sedikit. Begitu cepatnya
tendangan yang dilepaskan wanita itu, sehingga Gajah Ireng tidak sempat lagi
menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh perhatian dan kekuatannya
tersalurkan pada goloknya yang dibabatkan ke arah kepala tadi. Hingga....
Des! "Hugkh...!"
Gajah Ireng mengeluh pendek begitu tendangan Nyai Selasih bersarang telak di
perutnya. Dan di saat tubuhnya terbungkuk, cepat sekali Nyai Selasih
melepaskan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Begitu cepat pukulannya, sehingga Gajah Ireng tidak sempat lagi berkelit
menghindar. Dan...
Des! "Akh...!" Gajah Ireng langsung terpental begitu wajahnya terkena pukulan
keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tubuh tinggi besar dan
berkulit hitam itu terpental sejauh dua batang tombak ke belakang, dan hampir
saja jatuh telentang kalau saja Rangga tidak segera melompat menahannya. Tapi,
wajah laki-laki berkulit hitam itu sudah berlumuran darah akibat terkena
pukulan yang begitu keras luar biasa dari Nyai Selasih tadi.
"Kau memang sudah tidak ada gunanya lagi, Gajah Ireng. Sudah saatnya kau
mampus! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Nyai Selasih melesat begitu cepat
bagai kilat. Dan saat itu juga, pedangnya dicabut dan langsung dibabatkan
kearah leher Gajah Ireng.
Namun pada saat yang tepat, Rangga cepat merampas golok yang masih tergenggam
di tangan laki-laki berkulit hitam itu. Lalu dengan cepat sekali golok itu
dikebutkan untuk melindungi leher pemiliknya dari sabetan pedang Nyai Selasih.
Trang!
"Ikh...!" Nyai Selasih jadi terpekik kecil begitu pedangnya membentur golok
yang kini berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat-cepat wanita itu
melompat ke belakang. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat
pedangnya kini tinggal separuh. Begitu sempurna tenaga dalam yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti, sehingga bisa membabat buntung pedang di tangan Nyai
Selasih. Dan belum juga perempuan berbaju merah menyala itu bisa menghilangkan
keterpanaannya, mendadak saja Rahtama sudah melompat begitu cepat sekali
sambil mengebutkan pedang.
"Hiyaaat..." Bet!
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Rahtama, sehingga Nyai Selasih tidak
sempat lagi berkelit. Terlebih lagi, saat itu dia masih terpana karena pedang
kebanggaannya terpenggal hanya oleh sebuah golok yang sebenarnya tidak berarti
sama sekali. Tapi, di tangan Pendekar Rajawali Sakti, golok itu benar-benar
bagaikan membabat sebuah batang pisang yang sangat rapuh. Sementara itu,
kebutan pedang Rahtama sudah hampir mendekat Dan....
Wuk! Cras!
"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tiba-tiba saja terdengar begitu menyayat.
Saat itu, Nyai Selasih tersentak. Dan begitu disadari, dadanya sudah terbelah
mengeluarkan darah segar. Hampir tidak dipercayai dengan apa yang terjadi pada
dirinya. Dan belum juga bisa menyadari semua yang telah terjadi, Rahtama sudah
membabatkan pedangnya kembali sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya
dengan penuh.
"Hiyaaa...!"
Bet! Cras!
Kali ini, Nyai Selasih tidak menjerit sedikit pun. Tubuh wanita itu hanya bisa
berdiri terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tampak
ternganga, walaupun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Beberapa saat
kemudian, tubuhnya jadi limbung. Dan tepat begitu Rahtama menjejakkan kakinya
kembali di tanah, tubuh Nyai Selasih sudah terguling jatuh. Seketika,
kepalanya terpisah dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang kini
sudah tidak berkepala lagi.
"Mampus kau, huh...!" dengus Rahtama sambil menyemburkan ludahnya.
Sementara itu, empat orang gadis pengawal Nyai Selasih hampir saja mengambil
langkah seribu kalau saja Pandan Wangi tidak cepat melompat menghadang bersama
Rangga.
"Katakan! Di mana kalian menahan anak dan istri Paman Gajah Ireng?" tanya
Rangga langsung dengan nada suara begitu dingin dan menggetarkan.
"Di..., di pondok Nyai Selasih," sahut salah seorang gadis, tergagap.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Gajah Ireng yang tahu-tahu sudah berada di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik..., baik-baik saja."
"Kalian harus ikut mengantar ke sana!" dengus Gajah Ireng.
Empat orang gadis itu saling berpandangan, kemudian sama-sama menganggukkan
kepala. Gajah Ireng langsung saja memutar tubuhnya berbalik, setelah
mengucapkan terima kasih pada Rangga dan menyalaminya. Empat orang gadis anak
buah Nyai Selasih yang kini sudah tidak memiliki pegangan lagi itu tidak bisa
lagi berbuat lain, selain mengikuti Gajah Ireng meninggalkan pondok
peninggalan Nyai Langis.
Sementara itu, Paman Randaka dan ketiga murid Nyai Langis menghampiri Rangga
dan Pandan Wangi yang tengah memandangi kepergian Gajah Ireng bersama keempat
orang gadis pengawal Nyai Selasih.
"Kenapa kau lepaskan dia, Kakang Rangga? Bukankah dia yang membunuh Nyai Guru
kami?" tanya Rahtama seperti tidak puas karena Rangga membiarkan Gajah Ireng
pergi begitu saja.
"Dia melakukannya karena terpaksa dan mendapat tekanan. Jadi, menurutku dia
tidak bersalah," sahut Rangga mencoba menjelaskan.
Rahtama dan kedua adik seperguruannya tidak bisa membantah lagi. Mereka
percaya, semua yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti tentu dari hasil
pemikiran yang matang. Sedangkan Paman Randaka hanya mengangguk-anggukkan
kepala saja. Di dalam hati, dipujinya keluhuran hati Pendekar Rajawali Sakti
yang bisa menilai begitu cepat, dan bertindak sangat bijaksana.
"Rahtama! Ini milik gurumu dan kalian semua. Jadi, sudah sepantasnya kalau
kalian yang menyimpannya," kata Paman Randaka sambil menyerahkan Selendang
Sutera Emas yang masih tersimpan di dalam kantung dari kulit harimau.
"Tidak. Biar saja Paman Randaka yang menerimanya," tolak Rahtama halus dan
tegas.
"Selendang Sutera Emas ini tidak ada gunanya bagiku. Dan hanya bisa digunakan
oleh wanita," kata Paman Randaka, juga menolak.
"Kalau begitu, hanya Anggita saja yang berhak menerimanya," sentak Pandan
Wangi mengambil jalan tengah.
"Tapi...," Anggita juga ingin menolak.
"Tidak ada alasan lagi untuk menolak, Anggita. Hanya kau satu-satunya yang
berhak mewarisi benda pusaka ini," kata Paman Randaka cepat.
Anggita jadi kebingungan. Tapi begitu Paman Randaka menyerahkan kantung kulit
berisi benda pusaka yang diributkan itu, gadis ini tidak dapat menolaknya
lagi.
Dan setelah semuanya bisa terselesaikan, Rangga dan Pandan Wangi bergegas
mohon diri. Meskipun Paman Randaka dan ketiga murid mendiang Nyai Langis
mencoba menahan, tapi Pendekar Rajawali Sakti tetap ingin meneruskan
petualangannya. Maka, kepergian Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa ditahan
lagi. Dengan menunggang kuda, Rangga mengajak Pandan Wangi untuk menemui
Rajawali Putih yang masih menunggu di tempat yang sudah ditentukan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA
SILUMAN MUKA KODOK
Emoticon