SATU
"Yeaaah...!"
Glarrr!
Teriakan-teriakan keras terdengar saling sambut, disusul ledakan dahsyat
menggelegar yang memecah kesunyian pagi ini. Tampak gumpalan asap membumbung
tinggi ke angkasa dari balik sebuah bukit batu yang gersang. Tak lama
kemudian....
"Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat,
menggema karena dipantulkan batu-batuan yang memenuhi bukit itu. Tampak
sesosok tubuh tak berdaya melayang deras ke dalam jurang. Keras sekali
tubuhnya menghantam bebatuan, hingga kepalanya hancur. Darah seketika
berhamburan, membasahi batu-batu di dasar jurang kering itu. Sementara seorang
laki-laki bertubuh kekar hanya memandangi sambil bertolak pinggang dari atas
sebongkah batu yang cukup besar.
"Ha ha ha...." Laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berkulit hitam bagai arang
itu tertawa terbahak-bahak sambil memandangi orang yang sudah tewas di dasar
Jurang. Tawanya berhenti ketika telinganya mendengar langkah menghampiri dari
belakang.
Perlahan tubuhnya berputar berbalik, dan langsung membungkuk. Kemudian dia
melompat turun dari atas batu, begitu seorang wanita muda berwajah cantik
datang menghampiri. Bajunya yang ketat berwarna merah, membentuk tubuhnya yang
ramping dan indah dipandang mata. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal
enam langkah lagi. Tampak empat orang gadis cantik berbaju kuning mendampingi
di belakangnya.
"Mana Selendang Sutera Emas itu, Gajah Ireng?" tanya wanita cantik berbaju
warna merah ketat itu. Suaranya terdengar datar dan dingin sekali. Sedikit pun
tak terdengar ada tekanan pada nada suaranya. Malah tatapan matanya begitu
tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke bola mata laki-laki berkulit
hitam yang dipanggil Gajah Ireng. Bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu
pun tidak mengukir senyum sedikit pun.
"Maaf, Nyai. Selendang itu mungkin jatuh bersamanya ke jurang," sahut Gajah
Ireng.
"Bodoh! Cepat ambil...!" bentak wanita cantik berbaju merah itu lantang.
"Baik, Nyai." Bergegas Gajah Ireng membungkukkan tubuhnya, dan segera
berputar. Kemudian, kakinya melangkah menuruni tebing jurang yang cukup terjal
dan berbatu ini. Begitu ringan gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya
sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja Gajah Ireng sudah sampai di dasar
jurang. Langsung dihampirinya sosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi
dengan kepala hancur. Ternyata, sosok tubuh itu adalah seorang wanita tua.
Begitu Gajah Ireng membalikkan tubuh wanita tua itu, kedua bola matanya jadi
mendelik tiba-tiba.
"Keparat,!" Sambil menggeram, Gajah Ireng mengambil sebuah, kotak kayu yang
tutupnya sudah terbuka. Tadi, kotak itu tertindih tubuh perempuan tua itu. Dan
kini, tampaknya kotak itu tidak ada isinya sama sekali. Bergegas Gajah Ireng
kembali naik ke atas jurang, langsung menghampiri wanita cantik berbaju merah
yang masih menunggu didampingi empat orang gadis cantik dengan sebilah pedang
di punggung.
"Mana...?" wanita itu langsung saja bertanya sambil menyodorkan tangannya.
"Maaf, Nyai. Kotak itu sudah tidak ada lagi isinya," sahut Gajah Ireng sambil
membungkukkan tubuh sedikit. Dengan tangan agak bergetar, Gajah Ireng
menyerahkan kotak kayu yang diambilnya dari dasar jurang.
Wanita cantik berbaju merah itu segera mengambilnya dengan kasar. Dan begitu
tutup kotak kayu itu dibuka, wajahnya seketika berubah merah. Kedua matanya
terbeliak lebar, menatap ke dalam kotak kecil yang kosong sama sekali.
"Setan...!" Sambil mendengus geram, wanita itu membanting kotak kayu berukuran
kecil itu ke atas bebatuan hingga hancur berkeping-keping. Tatapannya langsung
tertuju pada Gajah Ireng yang masih berdiri dengan kepala tertunduk dan tubuh
sedikit membungkuk.
"Maafkan aku, Nyai Selasih. Aku...."
"Sudah!" sentak wanita cantik berbaju merah yang ternyata bernama Nyai
Selasih.
Nyai Selasih mengayunkan kakinya sambil mendengus mendekati bibir jurang yang
berbatu. Sedikit kepalanya dijulurkan, melongok ke dasar jurang. Kemudian
tubuhnya berputar berbalik, dan kembali melangkah melewati Gajah Ireng.
Wajahnya masih kelihatan merah, seperti menahan marah. Sedangkan kepala Gajah
Ireng sama sekali tidak terangkat, dan tetap tertunduk.
"Dengar, Gajah Ireng! Aku tidak sudi lagi mendengar alasan apa pun juga. Cari
Selendang Sutera Emas sampai dapat. Dan, jangan kembali sebelum dapat.
Mengerti...?!" tegas Nyai Selasih dengan suara lantang menggetarkan jantung.
"Mengerti, Nyai," sahut Gajah Ireng seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Ingat! Kalau dalam waktu satu pekan selendang itu belum juga didapat, tahu
sendiri akibatnya!" sambung Nyai Selasih bernada mengancam.
Gajah Ireng hanya diam saja sambil menundukkan kepala. Sementara, Nyai Selasih
sudah memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah lebar-lebar meninggalkan
puncak bukit batu itu diiringi empat orang gadis pengawalnya. Gajah Ireng baru
menegakkan tubuhnya kembali setelah Nyai Selasih dan empat orang gadis
pengawalnya tidak terlihat lagi.
"Hhh...! Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana lagi Selendang Sutera Emas
harus kucari...?" desah Gajah Ireng. Suaranya terdengar lesu. Sambil
menghembuskan napas panjang, laki-laki berkulit hitam itu menghempaskan
tubuhnya, duduk di atas batu di tepi jurang. Pandangannya langsung saja
tertuju pada perempuan tua yang masih tergeletak tak bernyawa lagi di dasar
jurang.
"Hanya tiga orang murid Nyai Langis. Hm..., apa mungkin Selendang Sutera Emas
sudah diserahkannya pada salah seorang muridnya...? Tapi, dia juga punya tiga
saudara. Hhh...! Rasanya tidak mungkin dalam waktu satu pekan harus mencari
mereka semua. Sedangkan tempat tinggal mereka sangat berjauhan," gumam Gajah
Ireng berbicara pada diri sendiri.
Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Cukup lama juga Gajah Ireng duduk mematung di pinggiran jurang berbatu itu.
Dan saat matahari sudah naik cukup tinggi, baru laki-laki berkulit hitam itu
bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang dan terasa berat.
Pandangannya masih terus tertuju ke dasar jurang, tempat tergoleknya mayat
perempuan tua yang kepalanya hancur berlumur darah.
"Baiklah. Aku akan menemui mereka satu persatu. Dan kuharap, tidak ada seorang
pun yang memaksaku untuk mengotori tangan dengan darah lagi. Tapi..., ah! Masa
bodoh! Apa pun akan kulakukan asalkan Selendang Sutera Emas bisa
kuperoleh...," desah Gajah Ireng mengambil keputusan.
Sebentar laki-laki berkulit hitam itu mendongak menatap matahari. Kemudian,
tubuhnya berputar dan berjalan. Ayunan kakinya tampak cepat dan
panjang-panjang, meninggalkan bibir jurang di atas bukit batu ini.
Dihampirinya seekor kuda yang sejak tadi terlihat seperti menunggu.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Gajah Ireng melompat naik ke atas
punggung kuda berwarna coklat belang putih. Dan sekali sentak saja, kuda itu
langsung berlari cepat menuruni lereng bukit batu ini.
"Hiya! Hiya! Hiya...!" Gajah Ireng memacu cepat kudanya. Padahal jalan yang
dilalui adalah lereng bukit batu yang cukup terjal. Berkat kemahirannya dalam
mengendarai kuda, jalan seperti itu seperti tidak ada apa-apanya bagi Gajah
Ireng. Laki-laki berkulit hitam itu baru berbelok ke arah Timur, setelah
mencapai kaki bukit yang sudah mulai ditumbuhi pepohonan.
Kuda coklat belang putih itu terus dipacu cepat bagaikan dikejar setan.
Sementara, matahari terus merayap naik semakin tinggi, mengikuti kepergian
laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berotot tanpa mengenakan baju.
***
Menjelang senja, Gajah Ireng baru menghentikan lari kudanya. Dengan gerakan
ringan sekali, dia melompat turun. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya
menjejak tanah berumput di samping kanan kudanya.
"Hm...," sedikit Gajah Ireng menggumam. Pandangan mata laki-laki berkulit
hitam itu sedikit pun tak berkedip ke arah sebuah bangunan di tengah-tengah
hutan yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu gelondongan. Pada bagian atasnya
berbentuk runcing, seakan-akan mencegah orang luar masuk ke dalam lingkungan
bangunan yang menyerupai sebuah benteng pertahanan itu.
Sebentar Gajah Ireng mengedarkan pandangannya berkeliling, kemudian
mengayunkan kakinya melangkah menghampiri bangunan bagai benteng pertahanan
itu. Ayunan kakinya begitu mantap. Dan kedua matanya sedikit pun tidak
berkedip memandang ke arah pintu gerbang yang dijaga dua orang bersenjata
tombak dan golok terselip di pinggang.
"Berhenti...!" Gajah Ireng sama sekali tidak menghentikan ayunan langkahnya,
walaupun salah seorang penjaga yang masih berusia sekitar delapan belas tahun
sudah memerintahkan berhenti. Kedua penjaga yang masih berusia muda itu saling
berpandangan sejenak, kemudian melangkah ke depan bersamaan. Dan mereka
berhenti setelah berjarak tinggal beberapa langkah lagi. Langsung tombak
mereka disilangkan, dengan sikap menghadang langkah Gajah Ireng.
"Berhenti!" bentak salah seorang penjaga lagi. Gajah Ireng baru menghentikan
langkah, setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sorot matanya
begitu tajam menatap wajah kedua penjaga itu bergantian. Sedikit mulutnya
menggumam, dan tiba-tiba saja...
"Yeaaah...!" Bet! Wuk!
"Aaakh!" "Aaa...!"
Dua kali jeritan panjang menyayat seketika terdengar begitu Gajah Ireng
mengebutkan tangan sambil mencabut goloknya dengan kecepatan sukar diikuti
pandangan mata biasa. Kedua penjaga itu langsung ambruk dengan dada terbelah
tersabet golok. Darah kontan berhamburan keluar dengan deras sekali. Hanya
sebentar saja kedua penjaga itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak
lagi. Mati!
"Maaf! Aku akan membabat habis siapa saja yang mencoba menghalangi niatku,"
desis Gajah Ireng sambil mengayunkan kakinya, mendekati pintu gerbang. Tapi
belum juga sampai, pintu yang terbuat dari gelondongan kayu berukuran cukup
besar dan tinggi itu sudah terbuka. Dan dari dalamnya, bermunculan sekitar
sepuluh orang pemuda yang semuanya memegang tombak, dan golok terselip di
pinggang masing-masing. Mereka tampak sangat terkejut melihat dua orang
temannya sudah tergeletak tak bernyawa dengan dada terbelah lebar mengeluarkan
darah.
"Ada apa ini?! Siapa kau...?!" bentak salah seorang yang berada paling depan.
"Aku Gajah Ireng, ingin bertemu Ki Wirasaba," sahut Gajah Ireng lantang. "Dan
kuharap, kalian tidak membuat kesulitan sendiri."
"Keparat...! Kau yang membunuh dua orang teman kami, heh...?!" bentak pemuda
itu lagi. Wajah pemuda itu kelihatan memerah menahan marah. Sedangkan Gajah
Ireng hanya menatap tajam. Sementara, sembilan orang lainnya sudah menerobos
keluar. Mereka langsung berpencar, mengurung laki-laki separuh baya bertubuh
kekar berotot tanpa mengenakan baju itu.
Hanya dengan sudut ekor matanya, Gajah Ireng memperhatikan sepuluh orang
pemuda yang sudah mengepung rapat. "Huh...!" Sedikit Gajah Ireng mendengus,
lalu mendadak saja.... "Hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Gajah Ireng tiba-tiba
melompat ke depan sambil mengebutkan goloknya yang sudah berlumuran darah.
Luar biasa! Kecepatannya sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Begitu
cepat gerakannya, sehingga dua orang yang berada di depannya tidak sempat lagi
mengambil tindakan menghindar. Dan...
Bret! Crak!
"Aaa...!" "Aaakh...!
Dua kali jeritan panjang melengking kembali terdengar, disusul ambruknya dua
orang pemuda. Mereka memang tidak sempat lagi menghindari serangan Gajah Ireng
yang begitu cepat bagai kilat. Dan hal ini membuat delapan orang pemuda
lainnya jadi terperangah. Dan sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Gajah Ireng
sudah kembali bergerak cepat sambil mengebutkan goloknya beberapa kali.
"Hiyaaa...!" Bet! Wuk!
Begitu golok berkelebat, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking
menyebarkan hawa kematian. Dan seketika tubuh-tubuh bersimbah darah
bertumbangan, menggelepar meregang nyawa. Hanya dalam beberapa gebrakan saja,
sepuluh orang pemuda sudah tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri.
"Hm...," Gajah Ireng menggumam perlahan. Sebentar laki-laki berkulit hitam itu
memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitarnya.
Kemudian, kakinya terayun mantap mendekati pintu gerbang yang sudah terbuka
cukup lebar. Sebentar dia berhenti melangkah, setelah sampai di ambang pintu.
Sorot matanya yang tajam, beredar merayapi bagian dalam bangunan bagai benteng
pertahanan ini. Kemudian, perlahan-lahan kakinya kembali terayun memasuki
pagar berbentuk benteng itu.
Tapi baru saja melewati pintu beberapa langkah, tiba-tiba saja puluhan batang
tombak sudah berhamburan ke arahnya.
"Hup! Hiyaaa...!" Gajah Ireng tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi,
tubuhnya melenting ke udara sambil cepat memutar goloknya. "Yeaaah...!"
Tring! Trak!
Tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuh Gajah Ireng seketika
berpatahan terkena sambaran goloknya. Begitu cepat dan ringan gerakannya
sehingga tak satu tombak pun yang bisa menyentuh tubuhnya.
"Hap!" Gajah Ireng baru bisa menjejakkan kakinya kembali setelah tidak ada
lagi tombak yang datang menghampiri. Namun dia jadi mendengus, karena di
sekelilingnya sudah mengepung sekitar tiga puluh orang pemuda dengan golok
terhunus di tangan. Begitu rapat kepungan ini, sehingga tidak ada sedikit pun
celah untuk bisa meloloskan diri.
"Menghadapi keroyokan seperti ini, tidak mungkin aku menggunakan jurus-Jurus
biasa," gumam Gajah Ireng dalam hati.
Cring!
Manis sekali Gajah Ireng memasukkan kembali goloknya yang sudah berlumuran
darah ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya ditarik perlahan-lahan
hingga terpentang ke samping. Perlahan pula tubuhnya direndahkan sampai kedua
lututnya tertekuk ke depan. Lalu....
"Hap!" Bersamaan merapatnya kedua telapak tangan di depan dada, Gajah Ireng
melompat kecil sambil merapatkan kedua kakinya kembali. Dan semua orang yang
mengepungnya jadi terbeliak. Ternyata kedua telapak kaki Gajah Ireng tidak
lagi menyentuh tanah! Dia mengambang, seperti kapas dipermainkan angin. Dan
belum juga ada yang menyadari, Gajah Ireng sudah merentangkan kedua tangannya
ke samping. Dan....
"Yeaaah...!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja tubuh Gajah
Ireng berputar cepat Bahkan bentuk tubuhnya tidak terlihat lagi. Dan pada saat
itu, dari lingkaran bayangan tubuh laki-laki separuh baya ini mengeluarkan
percikan-percikan api yang menyebar ke segala arah.
"Awas...!"
Begitu cepatnya percikan-percikan api itu meluncur, sehingga tidak sedikit
pemuda yang mengepung Gajah Ireng menjadi sasaran. Seketika Itu,
jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat kembali terdengar saling
sambut. Sebentar kemudian, tampak tubuh-tubuh yang sudah hangus terbakar mulai
ambruk satu persatu. Percikan-percikan api itu juga membakar beberapa bangunan
kecil yang ada di dalam lingkungan pagar berbentuk benteng pertahanan ini.
Sebentar saja, api sudah berkobar cukup besar, melahap beberapa bangunan yang
tidak jauh dari Gajah Ireng. Sedangkan pemuda-pemuda yang memiliki kepandaian
lebih, harus berjumpalitan. Mereka memang harus menghindari percikan-percikan
bunga api yang terus keluar dari lingkaran bayangan tubuh Gajah Ireng yang
terus berputar cepat.
"Cukup...!"
***
DUA
Gajah Ireng langsung berhenti, begitu terdengar bentakan keras menggelegar.
Akibatnya, tanah di tengah hutan ini seakan-akan bagai diguncang gempa. Tampak
di ujung undakan tangga rumah yang paling besar berdiri seorang laki-laki
berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Jubah putih panjang yang dikenakannya
berkibar-kibar tertiup angin, memperlihatkan sebilah pedang berwarna kuning
keemasan di pinggangnya.
Sementara, Gajah Ireng berdiri tegak dengan tangan kanan sudah menggenggam
gagang goloknya. Walaupun, belum dicabut dari warangkanya. Sementara di
sekitarnya, tidak kurang dari dua puluh orang tergeletak dengan tubuh
menghitam hangus bagai arang. Dari tiga puluh orang lebih yang mengepungnya,
kini tinggal sekitar sepuluh orang saja yang masih hidup.
"Hm.... Kau yang bernama Ki Wirasaba?" tanya Gajah Ireng langsung sambil
mengayunkan kakinya. Dihampirinya orang tua berjubah putih yang berdiri di
ujung atas beranda depan bangunan berukuran cukup besar itu.
"Benar! Dan kau siapa?! Kenapa mengacau di padepokanku?" sahut orang tua
berjubah putih yang ternyata Ki Wirasaba.
"Kedatanganku memang hendak bertemu denganmu, Ki Wirasaba. Tapi, murid-muridmu
mencoba menghalangiku. Maaf, kalau aku terpaksa harus membungkam mereka," kata
Gajah Ireng, agak datar nada suaranya.
"Rasanya, aku belum pernah bertemu denganmu, Kisanak. Apa keperluanmu hendak
bertemu denganku?" agak menggumam pelan suara Ki Wirasaba.
"Kedatanganku bukan bermaksud berdebat mulut, atau membahas ilmu kedigdayaan
denganmu. Tapi kedatanganku untuk mengambil Selendang Sutera Emas. Dan
kuharap, kau tidak bertindak yang bisa membuatmu menyesal sampai keliang
kubur," tegas Gajah Ireng dengan suara cukup lantang.
"Heh...?! Apa katamu...?!" Ki Wirasaba tampak terkejut. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai Ki Wirasaba terlompat hingga turun dari undakan beranda. Namun
begitu, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah
di ujung bawah undakan. Dan kini, jaraknya dengan Gajah Ireng hanya sekitar
tujuh langkah lagi.
"Aku hanya bicara sekali saja, Ki Wirasaba. Aku juga terpaksa membunuh saudara
perempuanmu, tapi tidak menemukan Selendang Sutera Emas padanya. Sedangkan
yang kutahu, kau adalah adik kandung Nyai Langis. Nah! Sekarang, serahkan
Selendang Sutera Emas itu padaku. Dan, jangan coba-coba memaksaku bertindak
lebih keras lagi. Lihat murid-muridmu ini. Aku tidak ingin kau bernasib sama
dengan mereka," tegas Gajah Ireng, bernada mengancam.
"Keparat..,! Setan neraka mana yang mengirimmu, heh...?! Berani benar kau
umbar mulut di depanku?!" desis Ki Wirasaba menggeram marah.
Wajah laki-laki tua berjubah putih itu terlihat memerah menahan geram. Bahkan
kedua tangannya sudah terkepal erat, sampai otot-ototnya bersembulan. Namun,
tampaknya Ki Wirasaba masih mencoba menahan din. Dia seperti kurang percaya
kalau kakak kandungnya sudah tewas di tangan tamu tak diundang ini. Tapi
melihat lebih dari separuh muridnya tewas dengan mudah, Ki Wirasaba tidak
berani sembarangan. Terlebih lagi, memandang enteng pada laki-laki kekar yang
memperkenalkan diri sebagai Gajah Ireng ini.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu, Ki. Sebaiknya cepat katakan, di
mana Selendang Sutera Emas disimpan," desak Gajah Ireng tidak sabar lagi.
"Selendang itu tidak ada padaku. Kalau kau menginginkannya, minta saja pada
pemiliknya," sahut Ki Wirasaba, agak mendengus berang.
"Jangan coba-coba membohongiku, Ki Wirasaba. Nyai Langis sudah mati, dan
Selendang Sutera Emas tidak ada padanya. Pasti kau yang menyimpannya, Ki.
Serahkan saja padaku, dan jangan memaksaku untuk bertindak lebih kasar lagi,"
sambut Gajah Ireng tegas, bernada mengancam.
"Edan,..! Lancang benar mulutmu, Kisanak," geram Ki Wirasaba.
"Kesabaranku sudah habis, Ki," Gajah Ireng memperingatkan.
"Sudah kukatakan, Selendang Sutera Emas tidak ada padaku! Sebaiknya, cepat
angkat kaki dari sini. Jangan sampai aku menjatuhkan tangan pada orang edan
sepertimu!" bentak Ki Wirasaba berang.
"Kau sudah memaksaku, Ki."
"Phuih! Muak rasanya melayani sesumbarmu!" dengus Ki Wirasaba sambil
menyemburkan ludahnya.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Gajah Ireng menghentakkan tangan kanannya ke
samping. Maka seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah bola
api yang langsung menghantam sebuah bangunan di samping rumah besar di
depannya.
Glarrr...!! Ledakan keras seketika terdengar menggelegar. Bola api yang
meluncur keluar dari telapak tangan Gajah Ireng, seketika menghancurkan rumah
berukuran tidak seberapa besar itu. Api langsung saja berkobar, melahap
kepingan bangunan rumah itu.
"Keparat...!" geram Ki Wirasaba, langsung memuncak amarahnya.
"Kalau kau sayang padepokanmu, sebaiknya serahkan saja Selendang Sutera Emas
padaku," desis Gajah Ireng dingin.
"Keparat busuk! Mampuslah kau, hiyaaat..." Ki Wirasaba tidak dapat lagi
menahan kemarahannya. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang sambil melepaskan
satu pukulan dahsyat menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hait!!" Namun hanya mengegoskan tubuh sedikit saja ke samping, Gajah Ireng
berhasil menghindari serangan kilat Ki Wirasaba. Lalu dia cepat-cepat melompat
ke kanan, begitu merasakan hembusan angin pukulan mengandung hawa panas
menyengat bagai hendak membakar seluruh tubuhnya.
"Hih!" Gajah Ireng langsung melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya.
Dan pada saat itu, Ki Wirasaba sudah cepat memutar tubuhnya. Dan secepat kilat
pula ditepaskannya satu tendangan sambil memutar tubuhnya, mengarah langsung
ke dada Gajah Ireng.
"Hap!" Tapi Gajah Ireng kali ini tidak berusaha menghindari serangan itu.
Bahkan malah mengangkat tangan kanannya, dan menangkis tendangan keras
menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga sangat tinggi itu. Hingga tak
pelak lagi, kaki kiri Ki Wirasaba beradu keras dengan tangan kanan Gajah
Ireng. Dua kekuatan mengandung tenaga dalam tingkat tinggi beradu keras
sekali.
"Hup!" "Hap!"
Mereka sama-sama berlompatan mundur untuk membuat jarak. Beradunya dua
kekuatan tenaga dalam, membuat mereka sama-sama tidak mau gegabah. Saat itu
juga, mereka sudah saling mengetahui tingkat kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, Gajah Ireng dan Ki Wirasaba melompat ke atas. Dan secara
bersamaan pula, kedua tangan mereka saling menghentak ke depan. Hingga tak
pelak lagi, dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung kekuatan
tenaga dalam beradu keras di udara. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan
ledakan dahsyat menggelegar bagaikan ledakan gunung berapi. Tampak mereka
sama-sama terpental ke belakang, dan berputaran di udara beberapa kali. Namun
begitu menjejakkan kaki, Gajah Ireng langsung saja melesat cepat bagai kilat
menyerang laki-laki tua berjubah putih itu. Sedangkan saat itu Ki Wirasaba
baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Sesaat hatinya terkesiap menerima
serangan yang begitu cepat.
"Uts...!" Cepat-cepat Ki Wirasaba menarik tubuhnya ke kiri, menghindari
pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dari Gajah Ireng. Dan
begitu tangan kanan Gajah Ireng lewat di samping tubuhnya, cepat-cepat Ki
Wirasaba menghentakkan tangannya. Langsung diberikannya sodokan keras
bertenaga dalam ke arah lambung.
"Hait..!" Namun dengan gerakan manis sekali, Gajah Ireng meliukkan tubuhnya.
Sehingga, sodokan yang diberikan Ki Wirasaba tidak sampai mengenai sasaran.
Dan pada saat itu juga, tubuhnya melenting berputar ke belakang satu kali.
Tepat di saat itu pula kedua kakinya dihentakkan, tepat mengarah ke dada Ki
Wirasaba yang kosong. Begitu cepat tindakannya sehingga Ki Wirasaba tidak
sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, tangannya masih menjulur ke depan dan
belum sempat ditarik pulang. Sehingga...
Diegkh! "Akh...!"
Ki Wirasaba terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya tendangan yang
dilepaskan Gajah Ireng, sehingga membuatnya terpental sampai sejauh tiga
batang tombak. Melihat gurunya terpental, sepuluh orang murid Ki Wirasaba yang
masih tersisa langsung saja berlompatan sambil mencabut golok masing-masing.
Tanpa diperintah lagi, mereka menyerang Gajah Ireng dari segala penjuru.
Sebentar saja, Gajah Ireng sudah dipaksa berjumpalitan menghindari
serangan-serangan golok yang begitu cepat dari segala penjuru.
"Hap! Yeaaah...!" Srett! Bet!
Cepat sekali Gajah Ireng mencabut goloknya, dan langsung dibabatkan pada salah
seorang penyerangnya yang terdekat. Begitu cepat sabetan goloknya, sehingga
sulit sekali dihindari.
Cras! "Aaa...!" "Hiyaaa..."
Gajah Ireng tidak menghiraukan satu korbannya yang menjerit keras, begitu
dadanya terbelah oleh sabetan goloknya yang berukuran cukup besar. Bagaikan
kilat, Gajah Ireng berlompatan sambil membabatkan goloknya cepat sekali.
Seketika itu juga jeritan panjang melengking dan menyayat terdengar saling
sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah terkena sabetan golok
Gajah Ireng. Sementara itu, Ki Wirasaba sudah bangkit berdiri lagi. Namun pada
saat bisa berdiri tegak....
"Aaa...!" "Heh...?!" Wirasaba jadi terperanjat bukan main begitu mendengar
jeritan melengking tinggi yang terakhir. Kedua bola matanya jadi terbeliak
lebar, manakala melihat semua muridnya sudah tidak ada lagi yang berdiri
tegak. Hanya dalam waktu sebentar saja, Gajah Ireng sudah menghabisi sepuluh
orang murid, hingga tak seorang pun yang masih bisa bernapas lagi. Semuanya
tewas dengan luka-luka yang menganga lebar, membuat darah deras sekali
berhamburan keluar.
"Keparat..! Kubunuh kau, Iblis! Hiyaaat..!" Wirasaba benar-benar tidak dapat
lagi menahan kemarahannya. Sambil melompat, langsung saja pedangnya yang sejak
tadi tergantung di pinggang dicabut. Secepat kilat pula pedangnya yang
berwarna kuning keemasan disabetkan ke arah leher Gajah Ireng
"Hait..!" Namun hanya sedikit saja Gajah Ireng mengegoskan kepalanya, tebasan
pedang Ki Wirasaba manis sekali berhasil dielakkan. Tapi belum juga Gajah
Ireng bisa menarik kepalanya tegak kembali, Ki Wirasaba sudah melancarkan
serangan cepat dan dahsyat kembali. Pedangnya berkelebat sangat cepat,
berputar mengancam dada.
"Hup!" Gajah Ireng tidak punya kesempatan menghindar lagi. Cepat-cepat
goloknya diangkat, untuk menangkis tebasan pedang yang berwarna kuning
keemasan.
Tring! "Hup!" "Hap!"
Mereka sama-sama berlompatan mundur sambil memegangi pergelangan tangan
masing-masing. Tampak mulut Ki Wirasaba meringis merasakan nyeri pada
pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sementara, Gajah Ireng langsung
bisa menguasai keadaan, walaupun seluruh tangannya yang memegang golok terasa
cukup nyeri dan bergetar.
"Phuih! Hiyaaa...!" Sambil menyemburkan ludahnya, Gajah Ireng kembali melompat
secepat kilat melakukan serangan. Goloknya yang berukuran cukup besar dan
masih berlumuran darah, dikibaskan cepat sekali ke arah dada Ki Wirasaba.
Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah putih itu berhasil
menghindarinya. Dan sambil melompat ke belakang, pedangnya dikibaskan ke
depan. Tapi pada saat itu juga, Gajah Ireng sudah memutar goloknya. Hingga tak
pelak lagi, satu benturan keras dari dua senjata terjadi lagi.
Trang...!
"ikh..." Ki Wirasaba jadi terpekik kaget. Hampir saja pedangnya terpental,
untung segera dipindahkan ke tangan kiri. Namun pada saat yang tepat, Gajah
Ireng sudah melepaskan satu tendangan kilat sambil memiringkan tubuhnya
sedikit ke kin. Begitu cepatnya serangan susulan Gajah Ireng, sehingga Ki
Wirasaba tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Plak! "Akh...!" Ki Wirasaba benar-benar terperanjat setengah mati. Tendangan
Gajah Ireng ternyata tidak diarahkan ke tubuhnya, tapi ke pergelangan tangan
kiri yang masih menggenggam pedang. Begitu keras tendangan itu sehingga Ki
Wirasaba tidak dapat lagi mempertahankan senjatanya. Pedang berwarna kuning
keemasan itu langsung terpental, melambung tinggi ke udara.
Sementara, Ki Wirasaba cepat-cepat melompat ke belakang. Dan laki-laki tua itu
jadi terlongong, seperti tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi pada
dirinya sekarang ini. Pergelangan tangan kirinya kini seperti remuk, terkena
tendangan keras menggeledek tadi. Namun belum juga Ki Wirasaba bisa berbuat
lebih banyak lagi, Gajah Ireng sudah melesat menyerang kembali. Goloknya yang
berlumuran darah langsung dikibaskan ke arah dada.
"Hait..!" Hampir saja golok itu membelah dada, kalau saja Ki Wirasaba tidak
segera menarik tubuhnya ke belakang. Hanya beberapa rambut saja ujung golok
berlumuran darah itu lewat di depan dada. Namun tanpa diduga sama sekali,
Gajah Ireng melompat tanpa menjejak tanah lagi. Begitu cepat lesatannya,
sehingga sulit disaksikan mata biasa.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Gajah Ireng melepaskan satu pukulan
menggeledek dengan tangan kiri ke perut. Tapi, pukulan itu masih juga berhasil
dihindari Ki Wirasaba dengan merundukkan tubuhnya sedikit ke depan. Dan pada
saat tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terbungkuk, Gajah Ireng
cepat-cepat melepaskan satu tendangan keras, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
"Yeaaah...!" Begitu cepat tendangan yang dilakukan Gajah Ireng, sehingga Ki
Wirasaba tidak sempat lagi menghindar. Telapak kaki Gajah Ireng telak sekali
menghantam wajah Ki Wirasaba. Akibatnya, orang tua itu meraung keras sambil
memegangi wajahnya. Tampak darah merembes dari sela-sela jari tangannya. Dan
saat itu juga, Gajah Ireng tidak menyia-nyiakan kesempatan. Di saat Ki
Wirasaba tengah merasakan sakit pada wajahnya, Gajah Ireng sudah melompat
sambil membabatkan golok.
"Hiyaaat...!" Bet!
Ki Wirasaba yang tidak mungkin bisa menghindar lagi, benar-benar menjadi
sasaran empuk golok berlumuran darah milik Gajah Ireng. Dan...
Bres! "Aaa...!" Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat,
tepat di saat mata golok Gajah Ireng membelah dada Ki Wirasaba. Darah seketika
muncrat dengan deras, membasahi bumi. Dan tampaknya, Gajah Ireng belum merasa
puas juga. Maka sekali lagi, goloknya dikibaskan, dan kali ini diarahkan ke
leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit dilihat. Tahu-tahu saja tebasan
golok itu sudah mencapai sasaran.
Bruk! Belum juga Gajah Ireng bisa berbuat sesuatu lagi, tahu-tahu Ki Wirasaba
sudah ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding. Darah langsung saja
berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.
Cring!
Gajah Ireng segera memasukkan goloknya kembali ke dalam warangka di pinggang,
kemudian melompat masuk ke dalam rumah berukuran cukup besar. Sama sekali
tidak dihiraukannya tubuh Ki Wirasaba yang sudah terbujur kaku tanpa kepala
lagi. Darah terus mengucur keluar dari lehernya yang buntung.
Sementara di sekitarnya bergelimpangan mayat murid-muridnya yang tewas di
tangan Gajah Ireng. Cukup lama juga Gajah Ireng berada di dalam. Dan begitu
keluar, terdengar umpatan dan makiannya yang bernada kesal. Tampak wajahnya
memerah, dan tubuhnya agak menggeletar. Dia berdiri tegak di ujung bawah
tangga beranda. Sorot matanya begitu tajam merayapi mayat-mayat yang
bergelimpangan di depannya.
"Phuuuih... Selendang itu benar-benar tidak ada di sini! Huh...." dengus Gajah
Ireng sambil menendang satu tubuh yang berada di dekatnya. Tubuh tak bernyawa
itu kontan melambung dan terpental cukup jauh. Kemudian perlahan Gajah Ireng
memutar tubuhnya, dan perlahan pula melangkah mundur. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaa....'" Gajah Ireng berteriak keras menggelegar. Tepat pada saat itu
kedua tangannya dihentakkan ke depan. Dua buah bola api langsung saja meluncur
cepat ke arah rumah berukuran besar itu.
Glarrr... Ledakan keras terdengar menggetarkan tanah, begitu dua bola api
menghantam bangunan rumah padepokan itu. Sementara, Gajah Ireng seperti tidak
ada puasnya. Semua bangunan yang berdiri diledakkan. Bahkan pagar gelondong
kayu yang mengelilingi padepokan ini pun dihancurkan, hingga sedikit pun tidak
ada yang tersisa. Sebentar saja padepokan yang didirikan Ki Wirasaba itu
hancur tanpa tersisa lagi.
"Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangiku! Mereka yang coba-coba,
harus mampus!" dengus Gajah Ireng sambil berkacak pinggang memandangi kobaran
api yang melahap seluruh bangunan padepokan ini. Sementara, api terus berkobar
semakin besar. Sedangkan Gajah Ireng sudah melangkah meninggalkan tempat itu.
Kembali dihampiri kudanya yang masih tetap setia menunggu. Dengan gerakan
sangat indah dan ringan, Gajah Ireng melompat naik ke punggung kudanya.
Sebentar dipandanginya kehancuran padepokan yang didirikan Ki Wirasaba.
Kemudian...
"Hiya! Yeaaah...!" Gajah Ireng langsung saja menggebah kudanya hingga berlari
cepat bagai dikejar setan. Kuda coklat belang putih itu terus saja berlari
kencang menuju Selatan. Entah ke mana lagi tujuan Gajah Ireng untuk mencari
Selendang Sutera Emas.
***
TIGA
Matahari belum lagi bergulir ke arah Barat, ketika tiga orang penunggang kuda
terlihat merambah lebarnya hutan. Arah tujuan mereka jelas menuju padepokan Ki
Wirasaba. Kuda-kuda itu dikendalikan perlahan-lahan dan tampaknya mereka tidak
tergesa-gesa. Tapi mendadak saja, mereka sama-sama menghentikan langkah
kudanya. Bahkan satu sama lain saling melemparkan pandangan, setelah menatap
ke arah kepulan asap hitam yang kelihatannya tidak jauh lagi di depan.
"Paman Wirasaba...," desis salah seorang, agak bergetar suaranya.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!" "Yaaa...!"
Mereka langsung saja menggebah kencang kudanya. Seketika debu dan daun-daun
kering berhamburan terbang tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai
dikejar setan. Ketiga penunggang kuda itu terus memacu kudanya semakin cepat
saja, tidak peduli dengan pepohonan yang semakin rapat saja.
"Hooop...!"
Hampir bersamaan, ketiga penunggang kuda itu menghentikan lari kudanya. Dan
secara bersamaan pula, mereka berlompatan setelah tiba di depan sebuah
bangunan berbentuk seperti benteng yang sudah hancur terbakar. Satupun tak
terlihat bangunan yang masih berdiri. Semuanya sudah hangus jadi arang. Asap
hitam masih tertihat mengepul ke angkasa. Dan api juga masih terlihat di
beberapa tempat.
Ketiga penunggang kuda yang semuanya masih berusia muda itu berdiri terpaku di
depan tunggangannya masing-masing, memandang puing-puing hitam bekas padepokan
Ki Wirasaba. Salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala,
mengayunkan kakinya perlahan. Dilewatinya sesosok mayat yang dadanya terbelah
lebar mengeluarkan darah. Dua orang lainnya segera mengikuti.
"Apa yang telah terjadi di sini...?" desis salah seorang yang ternyata gadis
berwajah cantik. Bajunya berwarna kuning gading dan agak ketat. Dia seperti
bertanya pada diri sendiri. Sebilah pedang tergantung di pinggang ramping
gadis itu.
Sedangkan dua orang lagi yang ternyata pemuda-pemuda tampan, hanya diam saja
sambil mengedarkan pandangan ke sekeliiing. Sepanjang mata memandang, hanya
puing-puing kehancuran dan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang
tindih. Satu pun tak ada yang masih bernapas. Semuanya sudah tewas dengan
luka-luka mengerikan, berlumur darah segar.
"Kakang, ke sini...!" seru gadis berbaju kuning gading itu. Dua orang pemuda
yang terpisah dari gadis cantik itu langsung berpaling. Bergegas gadis cantik
berbaju kuning gading itu dihampiri. Mereka langsung terpaku begitu melihat
tubuh Ki Wirasaba terbujur kaku, terhimpit sebuah balok kayu yang sudah
menghitam jadi arang. Asap masih mengepul dari balok kayu yang terbakar
hangus.
"Paman...," desis pemuda yang mengenakan baju warna merah menyala.
Ketiga anak muda itu langsung berlutut dengan wajah tertunduk, diselimuti
mendung kedukaan. Tak ada seorang pun yang membuka suara, apa lagi berbuat
sesuatu. Seluruh tulang persendian mereka seakan-akan lumpuh seketika, seperti
tak bisa digerakkan lagi. Kesunyian begitu terasa mencekam di reruntuhan
padepokan Ki Wirasaba itu. Begitu sunyinya, hingga suara langkah kaki yang
mendekati reruntuhan padepokan jelas sekali terdengar. Dan mungkin karena
terlalu larut dalam kedukaan, hingga tidak seorang pun menyadari kalau ada
orang datang menghampiri.
"Tidak perlu ditangisi. Yang sudah pergi, biarkanlah pergi dengan tenang...,"
"Heh...?!" Ketiga anak muda itu terkejut sekali, begitu tiba-tiba terdengar
suara yang sangat berat dari arah belakang. Cepat mereka bangkit berdiri dan
berbalik.
Namun begitu melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih,
dengan sebilah pedang tersembul di balik punggung, mereka langsung saja
berlutut sambil merapatkan kedua tangan di depan hidung. Di samping pemuda
tampan berbaju rompi putih itu, berdiri seorang gadis cantik. Bajunya warna
biru muda dan sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah
menggiurkan. Di pinggangnya terselip sebuah kipas dari baja putih berwarna
keperakan. Sedangkan di punggungnya menyembul sebuah gagang pedang berbentuk
kepala naga berwarna hitam mengkilat.
"Bangunlah kalian. Tidak pantas bersikap begitu padaku," ujar pemuda tampan
berbaju rompi putih itu. Nada suaranya terdengar sangat lembut.
Perlahan ketiga anak muda yang masih berusia sekitar dua puluh tahun itu
bangkit berdiri. Sekali lagi, mereka memberi hormat dengan membungkukkan tubuh
sedikit, dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan pemuda
tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja, lalu perlahan melangkah
lebih mendekat.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya pemuda tampan berbaju rompi putih itu sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Entahlah. Kami sendiri tidak tahu, apa yang terjadi. Kami juga baru sampai di
sini, dan keadaannya sudah seperti ini," sahut pemuda yang berbaju merah
ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggung.
"Sebaiknya kita kuburkan saja dulu semuanya," kata pemuda berbaju rompi putih
itu mengajak.
Tidak ada seorang pun yang membantah. Mereka segera saja mengumpulkan
mayat-mayat yang berserakan. Kemudian, mereka membuat lubang-lubang dan
menguburkan mayat-mayat itu satu persatu. Tak ada seorang pun yang membuka
suara saat menguburkan. Dan terakhir, mereka baru menguburkan jasad Ki
Wirasaba.
***
Sampai hari menjadi gelap, mereka baru selesai menguburkan jasad Ki Wirasaba
dan semua muridnya. Kelelahan begitu terlihat di wajah-wajah mereka yang
terselimut duka. Hanya seorang saja yang kelihatan tenang, yakni pemuda
berbaju rompi putih itu. Dia kelihatannya tidak ingin ikut larut dalam selimut
duka.
Pemuda itu berdiri di dekat gadis cantik yang mengenakan baju agak ketat
berwarna biru muda. Dan gadis itu juga kelihatan tenang, walaupun dari sorot
matanya memancarkan kedukaan, meskipun tidak sedalam yang dialami dua orang
pemuda dan seorang gadis yang datang lebih dulu ke padepokan ini.
"Kalau saja kita tidak singgah dulu di Desa Welasih, mungkin peristiwa ini
tidak akan terjadi Pandan," kata pemuda berbaju rompi putih itu pelan.
"Tapi, Kakang. Tidak mungkin mereka yang sedang dilanda kesusahan ditinggalkan
begitu saja. Hhh...! Mungkin semua ini sudah menjadi suratan takdir, Kakang.
Tidak mungkin kita bisa melawan takdir yang sudah ditentukan Sang Hyang Widi,"
sergah gadis cantik berbaju biru muda yang dipanggil Pandan.
Gadis itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan, dia lebih
dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda yang mengenakan baju rompi
putih tak lain adalah Rangga, dan juga dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka memang sepasang pendekar muda yang telah menggemparkan rimba
persilatan. Dan sampai saat ini, tidak ada seorang tokoh persilatan pun yang
bisa menandingi kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yaaah.... Semua memang sudah menjadi suratan takdir. Dan tak ada seorang pun
yang bisa menentang kehendak Sang Hyang Widi," desah Rangga perlahan.
Mereka kembali terdiam. Sedangkan ketiga anak muda yang duduk melingkari api
unggun, tidak berbicara sedikit pun juga. Kepala mereka terlihat tertunduk,
menekuri tanah berumput yang sudah mulai basah tersiram embun.
"Bisa kau duga, siapa kira-kira pelaku pembantaian ini, Kakang?" tanya Pandan
Wangi sambil berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sulit," sahut Rangga agak mendesah. "Masalahnya, luka-luka yang ada pada
mereka hanya luka biasa. Seperti terkena senjata tajam biasa. Tapi, memang
cukup dalam. Dan yang pasti dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi"
"Tapi kukira, itu bukan luka karena sabetan pedang, Kakang," kata Pandan Wangi
lagi.
"Memang..."
"Golok...?"
"Kelihatannya begitu"
"Hm...," Pandan Wangi menggumam perlahan.
"Kau bisa mengenalinya?" tanya Rangga sambil menatap dalam-dalam kedua bola
mata si Kipas Maut.
"Terlalu banyak yang menggunakan senjata golok, Kakang. Sulit untuk
menentukan, siapa orangnya. Tapi aku yakin, orang itu pasti memiliki
kepandaian tinggi. Buktinya murid-murid Ki Wirasaba bisa dibantai habis.
Bahkan bisa membunuh Ki Wirasaba. Pasti ilmunya lebih tinggi daripada Ki
Wirasaba," kata Pandan Wangi lagi.
"Kau berbicara, sepertinya yang melakukan ini hanya satu orang, Pandan," desis
Rangga terus menatap dalam bola mata si Kipas Maut
"Semua luka yang ada sama bentuknya, Kakang. Dan aku yakin, hanya satu senjata
saja yang digunakan. Dan itu berarti hanya satu orang saja yang melakukannya,"
jelas Pandan Wangi.
"Hm..., pengamatanmu sangat tajam, Pandan," puji Rangga tulus.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja menerima pujian tulus itu. Pandangannya
dilayangkan jauh ke depan, seakan-akan ingin menyembunyikan rona merah yang
tiba-tiba saja menyemburat membakar kedua pipinya yang berkulit halus.
Pendekar Rajawali Sakti sudah melihat perubahan warna pada pipi itu, namun tak
menginginkan Pandan Wangi terus begitu. Sambil menghembuskan napas panjang,
Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri ketiga anak muda yang masih
tetap duduk melingkari api unggun.
Gadis berwajah cukup cantik yang mengenakan baju kuning gading, segera
menggeser duduknya begitu melihat Rangga menghampiri. Dan Pendekar Rajawali
Sakti langsung saja duduk di samping gadis ini. Sedangkan dua orang pemuda
yang lain sudah duduk berdampingan, hanya memandang saja. Sementara, Pandan
Wangi juga melangkah menghampiri, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali
Sakti.
"Apa rencana kalian besok?" tanya Rangga memecah kesunyian yang terjadi
beberapa saat.
"Entahlah, Gusti Pra...."
"Ssst..!" Rangga cepat-cepat memutuskan ucapan pemuda berbaju merah menyala
itu. Jari telunjuknya bergoyang-goyang di depan bibirnya yang memperdengarkan
suara mendesis seperti ular. "Kuminta, kalian tidak lagi memanggilku dengan
sebutan seperti itu. Panggil saja seperti Pandan Wangi memanggilku," pinta
Rangga.
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapi," selak Rangga cepat.
Kedua pemuda yang masih berusia sekitar dua puluh satu tahun itu hanya saling
melempar pandangan saja. Sedangkan gadis yang duduk di samping Rangga, hanya
menundukkan kepala, seakan-akan tidak berani membalas pandangan kedua pemuda
yang berada di depannya.
"Kalian harus tahu. Kakang Rangga bila di luar kerajaan, bukanlah Prabu Rangga
Pati Permadi, atau Raja Karang Setra. Tapi, Rangga yang bergelar Pendekar
Rajawali Sakti. Dan sudah tentu kalian tidak perlu lagi memanggilnya Gusti
Prabu. Cukup panggil saja Kakang Rangga," selak Pandan Wangi memberi tahu.
"Dan itu lebih bagus lagi," sambung Rangga sambil melemparkan senyum manis.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara. "Bagaimana, Anggita...?" Rangga
berpaling, langsung menatap gadis cantik berusia sekitar delapan belas tahun
yang duduk di sebelahnya.
"Terserah yang lain saja," sahut gadis cantik berbaju kuning gading yang
dipanggil Anggita.
"Rahtama...? Suryadanta...?" Rangga menatap dua orang pemuda di depannya.
"Baiklah, kalau memang itu yang diinginkan. Tapi maaf, jangan dianggap kalau
kami tidak tahu sopan dan tata krama," sahut pemuda berbaju merah menyala yang
bernama Rahtama.
"Bagus! Aku senang mendengarnya," sambut Rangga seraya tersenyum lebar.
"Nah..., apa kalian besok akan melanjutkan perjalanan untuk menemui guru
kalian?"
"Ya! Kami harus segera ke Bukit Batu. Nyai Langis pasti sudah lama menunggu,"
sahut Rahtama.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian istirahat saja. Malam masih terlalu panjang.
Dan perjalanan ke Bukit Batu perlu waktu seharian penuh dari sini," jelas
Rangga.
"Lalu, kau sendiri...?" tanya Rahtama, terdengar agak kaku nada suaranya.
"Aku dan Pandan Wangi akan terus mendampingi kalian sampai ke Bukit Batu,"
sahut Rangga.
"Terima kasih," ucap Rahtama. "Tapi, seharusnya Kakang Rangga tidak perlu
bersusah-susah begitu. Kami sanggup jaga diri masing-masing," kata Anggita.
"Jangan bersikap sungkan begitu, Anggita. Apa yang kulakukan sekarang ini,
tidak sebanding dengan yang telah dilakukan guru kalian," balas Rangga.
"Tapi... " Anggita masih tetap akan menolak.
"Sudahlah... Sebaiknya, kau tidur saja. Kau kelihatan yang paling lelah
sekali," selak Rangga memutuskan ucapan gadis itu.
"Ayo, Anggita. Kita cari tempat yang nyaman buat tidur," ajak Pandan Wangi,
setelah pinggangnya kena sikut Pendekar Rajawali Sakti. Anggita tidak bisa
menolak. Gadis itu bangkit berdiri begitu Pandan Wangi berdiri. Dan mereka
melangkah pergi, mencari tempat yang lebih nyaman untuk beristirahat.
Sementara Rangga, Rahtama dan Suryadanta masih tetap duduk menghadapi api
unggun yang mulai mengecil nyala apinya.
"Kalian tidurlah. Biar aku yang menjaga malam ini," kata Rangga menyuruh kedua
pemuda itu beristirahat
"Biar aku saja, Kakang," tolak Rahtama.
"Baiklah...," desah Rangga seraya mengangkat pundaknya sedikit. Rangga memang
tidak ingin memaksa. Dan tubuhnya segera direbahkan, tak jauh dari api unggun
yang nyala apinya semakin meredup. Sedangkan Rahtama tetap duduk sambil
menambahkan beberapa ranting kering ke dalam api.
Sementara Suryadanta sudah melingkar di bawah pohon. Dan malam pun terus
merayap semakin bertambah larut. Tak terdengar lagi suara percakapan. Yang ada
hanya suara desiran angin menggesek dedaunan. Dan sesekali terdengar lolongan
anjing hutan di kejauhan.
"Hhh...!" Rahtama menggeliatkan tubuhnya yang terasa begitu penat. Sebentar
pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian bangkit berdiri. Lalu, tubuhnya
digerak-gerakkan sebentar, mencoba mengurangi rasa penat. Pandangan matanya
kemudian tertuju pada Pandan Wangi dan Anggita yang tidur berdampingan sambil
memeluk lutut. Udara malam ini memang terasa begitu dingin, hingga Rahtama
harus sering menambahkan ranting-ranting kering ke dalam api, agar terasa
sedikit lebih hangat. Pemuda itu kembali duduk dekat api unggun yang mulai
menyala besar kembali. Tangannya menjulur hendak mengambil daging ayam hutan
panggang. Tapi belum juga berhasil meraih, tiba-tiba saja...
Wusssh!!
"Heh...?!"
Cepat-cepat Rahtama menarik tangannya, begitu merasakan adanya angin mendesir
mengarah ke tangannya. Dan saat itu, terlihat sebuah benda sepanjang tiga
jengkal tengah meluncur hampir menyambar tangannya. Tapi pada saat itu,
terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali, sehingga Rahtama
tidak sempat lagi melihat. Dan tahu-tahu, di samping pemuda itu sudah berdiri
Pendekar Rajawali Sakti. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang anak
panah bermata dari perak putih yang berkilat
"Bangunkan yang lain, Rahtama," perintah Rangga dengan suara agak berbisik.
"Baik," sahut Rahtama.
Tanpa diperintah dua kali, Rahtama segera membangunkan Suryadanta, Pandan
Wangi, dan Anggita. Mereka langsung saja menghampiri Pendekar Rajawali Sakti,
dan berdiri di belakangnya. Tak ada seorang pun yang berbicara. Sedangkan
Rangga memusatkan perhatiannya ke arah datangnya anak panah bermata perak
putih di tangan kanannya.
"Kisanak! Jika kau bermaksud baik, keluarlah...!" seru Rangga, terdengar
lantang suaranya. Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu terdengar
keras dan menggema. Bahkan sempat menggetarkan pepohonan yang tumbuh cukup
rapat di sekitarnya, sehingga membuat daun-daun sampai berguguran.
"He he he...!" Tiba-tiba saja terdengar tawa terkekeh kering.
Sulit untuk menemukan sumber arah suara itu, karena terdengar menggema seperti
datang dari segala penjuru mata angin. Hanya Rangga saja yang tetap
mengerahkan pandangannya ke satu arah. Sedangkan mereka yang berada di
belakangnya malah mengedarkan pandangan ke sekeliling, seperti berusaha
mencari arah tawa terkekeh yang terdengar menggema dan sangat kering.
Belum lagi hilang suara tawa terkekeh kering itu, tiba-tiba saja berkelebat
sebuah bayangan begitu cepat, ke arah Rahtama yang berada agak ke samping kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya berkelebat, sehingga membuat Rahtama
jadi terlongong seperti melihat bayangan setan saja. Tapi belum juga bayangan
itu bisa menyambar tubuh Rahtama, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali
Sakti sudah melesat memapak.
Buk!
Seketika itu juga, terdengar benturan keras sekali. Lalu, terlihat bayangan
hitam itu terpental balik ke belakang. Sedangkan Rangga tampak melesat ke
udara, dan berputaran beberapa kali. Dan dengan ringan sekali Pendekar
Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya
menjejak tanah yang penuh dedaunan kering.
"Mundur kalian semua," desis Rangga, agak datar nada suaranya.
Pandan Wangi segera menarik tangan Anggita dan Suryadanta ke belakang, Rahtama
juga bergegas menggeser kakinya ke belakang, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara sekitar dua batang tombak di depan pemuda berbaju rompi putih itu
terlihat seorang laki-laki tua berjubah hitam yang tubuhnya sudah terlihat
membungkuk. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak
beraturan bentuknya. Tampak seuntai kalung berbentuk kepala tengkorak
melingkar di lehernya. Cukup sulit untuk mengenali wajahnya, karena hampir
seluruhnya tertutup rambut yang sudah memutih dan panjang.
Namun dari balik rambut yang putih itu terlihat sorotan sepasang mata merah
yang be-gitu tajam, menatap Pendekar Rajawali Sakti. Sorotannya bagai sepasang
bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda itu.
"Aku tidak berurusan denganmu, Pendekar Rajawali Sakti! Minggir kau...!"
bentak laki-laki tua berjubah hitam itu kasar.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau ingin menyerang sahabatku?" tanya Rangga tidak
menghiraukan bentakan laki-laki tua itu.
"Aku Setan Tengkorak Hitam. Apa pun yang kulakukan, bukan urusanmu!" sahut
laki-laki tua itu bernada mendengus kasar.
"Setan Tengkorak Hitam. Hm..., namamu sudah pernah kudengar. Tapi, apa
urusanmu dengan sahabatku ini...?" suara Rangga terdengar agak menggumam.
"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!"
"Apa pun yang menjadi urusan sahabatku, juga menjadi urusanku, Kisanak."
"Ghrrr...!" Setan Tengkorak Hitam menggeram dingin. Sorot mata orang yang
berjuluk Setan Tengkorak Hitam itu tampak merah. Bahkan terlihat semakin tajam
saja. Seakan-akan hendak menembus langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Sekilas matanya melirik Rahtama dan kedua
adik seperguruannya yang kini sudah berada agak jauh. Lalu, kembali ditatapnya
Rangga yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali.
"Kenapa kau membela bocah-bocah keparat itu, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Setan Tengkorak Hitam. Suaranya masih terdengar mendesis kering.
"Semua sahabatku selalu kubela, Kisanak," sahut Rangga kalem."
"Walaupun mereka pencuri busuk...?"
"Pencuri...?" Entah kenapa, tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hitam tertawa
terbahak-bahak.
Begitu keras tawanya, sehingga membuat telinga siapa saja yang mendengarnya
jadi terasa sakit. Dan suara tawa itu semakin terdengar keras menggelegar.
Rangga yang sudah malang-melintang dalam rimba persilatan, langsung bisa
merasakan kalau tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sedikit
Pendekar Rajawali Sakti melirik ke belakang. Tampak Rahtama, Suryadanta, dan
Anggita mulai menggeletar tubuhnya sambil menutup telinga dengan kedua telapak
tangan. Sementara, Pandan Wangi sudah merapatkan kedua tangannya di depan
dada.
"Hentikan tawamu, Kisanak!" desis Rangga dingin menggetarkan.
"Ha ha ha...!" Tapi, Setan Tengkorak Hitam terus saja tertawa terbahak-bahak.
Bahkan tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu semakin
terdengar dahsyat dan menggelegar. Saat itu, bumi mulai terasa berguncang. Dan
pepohonan pun sudah mulai berguguran daun-daunnya.
Sementara, Rangga sudah membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya, lalu
dirapatkan di depan dada.
"Hap! Yeaaah...!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pendekar
Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu juga,
terdengar suara mendesir yang cukup keras. Sehingga, Setan Tengkorak Hitam
jadi tersentak kaget. Dan begitu merasakan adanya kekuatan dorongan yang
begitu dahsyat, cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara. Maka, seketika itu
juga suara tawanya lenyap, begitu tubuh laki-laki tua itu melesat ke
angkasa.
***
EMPAT
"Hap!" Begitu ringan Setan Tengkorak Hitam menjejakkan kakinya di tanah yang
ditutupi dedaunan. Sedikit pun tak ada suara saat kakinya menjejak tanah. Dari
sini bisa dinilai kalau Setan Tengkorak Hitam itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang tidak bisa dipandang rendah. Dan itu berarti juga tingkat
kepandaiannya sudah demikian tinggi.
"Aku akui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku benar-benar
tidak ingin urusan-ku dicampuri orang lain. Ini persoalan pribadiku, antara
bocah-bocah keparat itu denganku," kata Setan Tengkorak Hitam dingin.
"Persoalan pribadi...? Tapi kenapa kau sepertinya ingin membunuh mereka?"
tanya Rangga ingin tahu.
"Memang sudah sepantasnya mereka mampus!" dengus Setan Tengkorak Hitam.
"Hm...." Sekilas Rangga melirik Rahtama, kemudian berpindah pada Suryadanta
dan Anggita. Dengan ujung jari tangannya, Pendekar Rajawali Sakti memanggil
Rahtama. Dan tanpa diucapkan lagi, pemuda itu segera menghampiri Rangga. Lalu
diambilnya tempat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau mengenalnya, Rahtama?" tanya Rangga seraya menatap Setan Tengkorak Hitam.
"Ya," sahut Rahtama, singkat.
"Hm.... Kau punya urusan apa dengannya, sampai ingin membunuhmu?" tanya Rangga
lagi.
Tapi, kali ini Rahtama tidak langsung menjawab. Malah, ditatapnya orang tua
bertubuh bungkuk itu dengan sorot mata yang begitu dingin. Sosok orang tua
berbaju jubah hitam panjang dan mengaku berjuluk Setan Tengkorak Hitam itu
juga malah membalas tatapan Rahtama dengan sorot mata merah dan tidak kalah
tajamnya.
"Katakan saja terus terang padaku, Rahtama. Apa urusanmu dengannya?" tanya
Rangga lagi. Kali ini, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti terdengar mendesak.
Sementara, Suryadanta dan Anggita sudah melangkah menghampiri. Dan mereka kini
berdiri sekitar tiga langkah lagi di belakang Rahtama. Sedangkan Pandan Wangi
masih tetap di tempatnya, tapi terus saja memperhatikan sambil memasang
telinga tajam-tajam.
"Bukan aku atau adik-adik seperguruanku yang memulai, Kakang. Tapi dia yang
mencari perkara lebih dulu," tuding Rahtama.
"Bocah setan...!" desis Setan Tengkorak Hitam geram, mendapat tudingan tajam
dari Rahtama. "Kubunuh kau, hih...!"
"Tunggu...!" sentak Rangga mencegah. Tapi belum juga cegahan Rangga menghilang
dari pandangan, Setan Tengkorak Hitam sudah menghentakkan tangan kanannya ke
belakang. Lalu begitu cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke depan. Saat
itu juga terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah Rahtama. Tapi
belum juga anak panah berkepala perak putih itu bisa menembus kulit tubuh
Rahtama, Rangga sudah cepat sekali mengebutkan tangannya.
"Hap!" Tak! Anak panah itu langsung terpental jauh begitu terkena kebutan
tangan Pendekar Rajawali Sakti. "Masih banyak cara untuk menyelesaikan
persoalan, Kisanak. Dan kuharap, kau bisa menahan diri sedikit," sentak Rangga
tegas.
"Aku tidak perlu nasihatmu, Pendekar Rajawali Sakti. Minggir kau! Atau kau
juga ingin mampus, heh,..?!" dengus Setan Tengkorak Hitam menggeram kasar.
"Aku hanya ingin membantu menyelesaikan per-soalanmu dengan mereka, Kisanak,"
kata Rangga masih mencoba bersabar, walaupun sikap si Setan Tengkorak Hitam
jelas-jelas sangat kasar.
"Aku tidak perlu bantuanmu! Minggir...!" bentak Setan Tengkorak Hitam kasar.
Baru saja Rangga hendak membuka mulutnya, Rahtama sudah menyentuh pundaknya.
"Biarkan kami bertiga yang menghadapinya, Kakang. Dia tidak akan puas sebelum
melampiaskan kemarahannya," pinta Rahtama.
"Diam sajalah, Rahtama. Biar saja kuselesaikan sendiri," tolak Rangga halus,
tapi bernada tegas.
"Bagus! Biar kalian semua maju bersama-sama!" dengus Setan Tengkorak Hitam
dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Ayo, maju kalian semua! Biar tubuh kalian kujadikan makanan cacing-cacing
tanah!" bentak Setan Tengkorak Hitam menantang kasar.
"Kenapa harus menggunakan kekerasan, Kisanak?" Rangga masih saja mencoba
bersabar, dan tidak ingin terjadi pertarungan.
"Tutup mulutmu, Bocah! Ayo lawan aku...!" bentak Setan Tengkorak Hitam kasar.
"Hm...!"
"Yeaaah...."
"Mundur kalian! Hup...!" Setelah menyuruh Rahtama dan kedua adik
seperguruannya mundur, Rangga cepat melompat ke depan. Langsung dihadangnya
terjangan Setan Tengkorak Hitam. Tepat begitu Setan Tengkorak Hitam
menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu juga Rangga menghentakkan
kedua tangannya ke depan pula. Hingga tak pelak lagi, dua pasang telapak
tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi tepat beradu pada titik tengah.
Plak!
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Tampak mereka saling berlompatan mundur sambil berputaran beberapa kali di
udara. Dan secara bersamaan, mereka menjejakkan kaki di tanah berdaun kering
ini. Namun belum juga Rangga bisa menguasai keseimbangannya, Setan Tengkorak
Hitam sudah kembali melompat melancarkan serangan.
"Hiyaaat..!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Serangan-serangan si
Setan Tengkorak Hitam harus dihadapinya. Terlebih lagi, kekuatan tenaga dalam
laki-laki tua itu dahsyat sekali. Dan Rangga sudah bisa mengukur kalau Rahtama
dan kedua adiknya tidak akan mungkin mampu menandinginya.
Maka pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Serangan-serangan Setan
Tengkorak Hitam memang dahsyat luar biasa. Setiap pukulannya mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tingginya, sehingga setiap pukulannya
menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, di samping mengandung hawa panas
sangat menyengat. Bukti kedahsyatan pukulan-pukulan yang dilepaskan Setan
Tengkorak Hitam adalah hancurnya beberapa pohon.
Dan tampaknya, laki-laki tua berjubah hitam itu tidak ingin memberi kesempatan
pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang. Serangan-serangan dahsyat
dan gencar terus dilancarkan, sehingga membuat Rangga terpaksa harus
berjumpalitan menghindarinya. Dan dari gerakan-gerakan menghindar yang
dilakukan Rangga, sudah bisa dipastikan kalau yang digunakannya saat ini
adalah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Setan Tengkorak Hitam semakin meningkatkan serangannya lebih dahsyat lagi.
Bahkan sudah mulai menggunakan tongkatnya untuk menyerang. Ujung runcing
tongkat kayu berbentuk tak beraturan itu seringkali hampir membuat kulit tubuh
Pendekar Rajawali Sakti tergores. Tapi memang Rangga bukanlah pendekar
sembarangan. Walaupun terdesak terus, tapi tetap saja terasa sulit bagi si
Setan Tengkorak Hitam untuk mendaratkan tongkatnya.
"Hup!" Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hitam melompat ke belakang sejauh lima
langkah.
Sementara, Rangga berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Saat itu, Rahtama dan kedua adik seperguruannya sudah kembali berada di dekat
Pandan Wangi. Dan mereka benar-benar merasa berada di tempat yang cukup aman.
"Kau tinggal pilih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku atau kau yang lebih dulu
masuk ke lubang kubur," desis Setan Tengkorak Hitam, dingin dan menggetarkan.
"Hm..." Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Dan....
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Bagaikan kilat, Setan Tengkorak Hitam melompat sambil mengebutkan tongkat
kayunya yang berujung runcing. Namun hanya mengegos sedikit saja, Rangga
berhasil menghindarinya. Dan kakinya segera bergeser ke samping, begitu Setan
Tengkorak Hitam melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Haps!"
Hanya sedikit saja tendangan Setan Tengkorak Hitam lewat di depan dada
Pendekar Rajawali Sakti. Dan cepat bagai kilat, Rangga melepaskan satu pukulan
turus sambil memiringkan tubuhnya. Begitu cepat pukulannya, sehingga tidak ada
kesempatan bagi Setan Tengkorak Hitam untuk menghindar. Karena tidak ada
pilihan lain, maka Setan Tengkorak Hitam cepat-cepat mengebutkan tongkatnya.
Langsung ditangkisnya pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! Trak!
"Heh...?!" Kedua bola mata Setan Tengkorak Hitam jadi terbeliak lebar,
Ternyata tongkatnya patah jadi dua bagian, setelah membentur kepalan tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Maka, bergegas dia melompat ke belakang.
Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, Rangga sudah melesat cepat bagai
kilat. Sebuah tendangan keras menggeledek langsung dilepaskan begitu cepat,
hingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Uts...!" Setan Tengkorak Hitam buru-buru meliukkan tubuhnya, menghindari
tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi
belum juga bisa meluruskan tubuhnya kembali, Rangga sudah melepaskan satu
pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaa...!" Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga Setan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Desss..! "Akh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghantam dada laki-laki tua berjubah
hitam itu. Begitu kerasnya pukulan tadi, sehingga Setan Tengkorak Hitam
terpental jauh ke belakang. Dan lontarannya baru berhenti setelah menghantam
sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh laki-laki tua agak bungkuk
ini.
"Ugkh! Hoeeek...!" Segumpal darah kental agak kehitaman langsung menyembur
dari mulut si Setan Tengkorak Hitam. Sambil memegangi dadanya, laki-laki tua
berjubah hitam itu berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri
sempurna, Rangga sudah kembali melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
"Hiyaaa...!" Namun belum juga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di
tubuh si Setan Tengkorak Hitam, mendadak saja....
"Kakang, jangan...!"
"Upfs...!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang, dan berputaran dua kali
sambil menarik kembali serangannya. Wajahnya langsung berpaling, begitu
kakinya menjejak tanah.
Sementara Tengkorak Hitam hanya bisa berdiri lemas sambil berusaha mengatur
pernapasannya yang tersengal. Rasanya, dadanya bagai terhimpit sebongkah batu
yang sangat besar. Memang keras sekali pukulan yang diterimanya tadi. Kalau
saja tidak memiliki kepandaian tinggi, pasti sekarang ini si Setan Tengkorak
Hitam sudah menggeletak dengan dada hancur remuk.
Saat itu Anggita terlihat melangkah cepat, setengah berlari menghampiri Rangga
yang tengah berpaling menatapnya. Gadis itu berdiri di samping kanan Pendekar
Rajawali Sakti. Sebentar ditatapnya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti,
kemudian beralih pada Setan Tengkorak Hitam. Sementara, Rahtama dan Suryadanta
juga sudah menghampiri, diikuti Pandan Wangi dari belakang. Mereka berdiri
mengapit Rangga. Sedangkan Setan Tengkorak Hitam hanya berdiri saja dengan
napas tersengal sambil memegangi dadanya yang terkena pukulan keras bertenaga
dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Sudah, Kakang. Jangan diteruskan," kata Anggita memohon.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja dengan kening berkerut. Dipandanginya
gadis berwajah cukup cantik ini.
Sementara, Anggita melangkah menghampiri Setan Tengkorak Hitam yang kini sudah
duduk bersila. Laki-laki berjubah hitam itu masih mencoba mengatur
pernapasannya yang masih terasa begitu sesak. Gadis itu langsung saja duduk di
depannya. Saat itu pula, Rahtama dan Suryadanta menghampiri. Kedua pemuda itu
juga duduk di depan laki-laki tua ini. Secara bersamaan, mereka merapatkan
kedua telapak tangan, dan meletakkannya di depan hidung.
"Heh...?! Apa-apaan ini...?" Rangga jadi tersentak kaget melihat sikap ketiga
anak muda itu. Memang sulit dimengerti, karena tiba-tiba saja sikap Rahtama
dan kedua adik seperguruannya jadi berubah. Padahal, tadi si Setan Tengkorak
Hitam begitu marah dan hendak membunuh ketiga anak muda itu Tapi sekarang,
setelah si Setan Tengkorak Hitam sudah terluka dalam, ketiga anak muda itu
malah menunjukkan sikap seperti seorang murid pada gurunya. Inilah yang
membuat Rangga jadi tidak mengerti.
"Ada apa dengan mereka, Kakang? Kenapa mereka...?" Rangga merentangkan
tangannya sedikit, membuat pertanyaan Pandan Wangi jadi terputus. Perlahan
kedua pendekar muda itu melangkah lebih mendekat.
Sementara, Setan Tengkorak Hitam sudah mulai bersemadi untuk menyembuhkan luka
dalam yang diderita, akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan, Rahtama, Suryadanta, dan Anggita masih tetap duduk bersimpuh di
depan laki-laki tua berjubah hitam ini. Perlahan Rahtama berpaling ke
belakang. Pandangannya langsung tertuju pada wajah Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian, dia bangkit berdiri dan menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.
Sedangkan kedua adiknya masih tetap duduk bersimpuh menunggui Setan Tengkorak
Hitam yang sedang bersemadi.
"Maafkan kami, Kakang. Sebenarnya....!"
"Tidak perlu kau yang menjelaskan, Rahtama...!" Ucapan Rahtama seketika
terputus, ketika tiba-riba saja Setan Tengkorak Hitam bangun dari semadinya.
Laki-laki tua itu langsung saja berdiri dan melangkah menghampiri Rahtama yang
berpaling ke arahnya. Sementara, Suryadanta dan Anggita juga bangkit berdiri.
Mereka ikut melangkah, lalu mengambil tempat di belakang laki-laki tua
berjubah hitam yang tampaknya sudah pulih kembali.
"Sebenarnya, namaku bukan Setan Tengkorak Hitam. Tapi Randaka. Dan aku bukan
orang lain bagi mereka bertiga. Nyai Langis, guru mereka, adalah kakakku.
Jadi, aku termasuk guru mereka juga," jelas Setan Tengkorak Hitam yang
sebenarnya bernama Randaka.
"Benar, Kakang. Paman Randaka tadi hanya mengujimu saja. Tidak lebih," sambung
Rahtama.
"Menguji..? Untuk apa?!" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Paman Randaka hanya ingin memastikan kalau kami bertiga tidak salah menemuimu
jauh-jauh ke Karang Setra," jelas Rahtama.
"Sebentar...," selak Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka
semua langsung mengarahkan pandangan pada gadis cantik berbaju biru yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sementara, Pandan Wangi menggeser kakinya
semakin mendekati Rangga. "Kuharap, salah satu dari kalian menjelaskan
semuanya. Dan aku tidak ingin ada lagi permainan yang berbahaya seperti tadi.
Kalian tahu, Kakang Rangga tadi bisa saja membunuh Paman Randaka," tegas
Pandan Wangi, meminta penjelasan.
"Maaf, Nini. Hanya dengan jalan itu aku baru bisa percaya, kalau pilihan
murid-murid kakakku memang tidak salah," sahut Paman Randaka.
"Maksudmu memilih Kakang Rangga itu untuk apa, Rahtama?" tanya Pandan Wangi
lagi.
Rahtama tidak langsung menjawab. Matanya melirik sedikit pada Paman Randaka,
kemudian beralih pada kedua adik seperguruannya yang terdiam saja sejak tadi.
Dan kini malah menatap Pandan Wangi, dan terakhir pada Rangga yang sejak tadi
memang tengah memandang.
"Ceritakan semuanya, Rahtama. Jangan sampai ada yang terlewat," ujar Paman
Randaka.
"Baiklah...," desah Rahtama sambil menghembuskan napas panjang-panjang. "Tapi,
sebelumnya kukabarkan pada Paman, kalau Paman Wirasaba telah tewas."
"Apa...?!" Paman Randaka tersentak, bagai mendengar petir di siang bolong.
Kemudian, Rahtama menceritakan apa yang dili-hatnya bersama adik-adik
seperguruannya, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pandan Wangi. Sementara,
laki-laki separuh baya itu tampak tabah. Walaupun tidak menangis, tapi jelas
terlihat kalau wajahnya terselimut mendung kedukaan. Setelah Rangga menghibur
dengan kata-kata lembut, barulah Paman Randaka bisa mengangkat wajahnya.
Benar-benar tabah laki-laki ini.
Rangga kemudian mengajak semuanya duduk di dekat api yang sudah mengecil
nyalanya. Ditambahkannya beberapa ranting kering, agar api kembali menyala
besar untuk mengusir udara dingin yang menusuk sampai ke tulang. Mereka semua
duduk melingkari api unggun yang kini sudah menyala cukup besar, menghangatkan
udara malam yang sangat dingin ini. Dan kini, Rahtama benar-benar bersiap
memulai ceritanya.
***
Emoticon