SATU
"Aaa...!" Suatu jeritan melengking terdengar memecah keheningan malam. Bulan
yang bersinar penuh, langsung redup tertutup awan hitam. Seakan-akan, sang
dewi malam tersentak mendengar jeritan panjang yang menyayat hati tadi. Belum
lagi gema jeritan tadi hilang, mendadak terdengar suara genderang dipukul
bertalu-talu.
Suara itu datang dari sebuah bukit yang curam dan terlihat rapuh. Cahaya dari
api unggun menyemburat, menerangi tengah-tengah bukit itu. Sekitar sepuluh
orang tampak berdiri berjajar mengeliling api unggun. Tampak sesosok tubuh
menggeliat-geliat terpancang di tiang, di tengah-tengah api unggun.
Jeritan-jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Api yang besar kembali
menjilati tubuh yang terpancang di tiang itu. Tidak jauh dari api itu, tampak
seorang wanita mengenakan jubah panjang berwarna merah menyala. Tangannya
terangkat tinggi-tinggi ke atas.
"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan panjang ketika tangan wanita berjubah
merah menghentak ke depan. Api langsung berkobar membesar, menimbulkan
percikan dan suara gemuruh dari kayu-kayu yang terbakar. Tampak di dalam api
itu, sesosok tubuh menggeliat-geliat, kemudian diam lunglai tidak
bergerak-gerak lagi.
"Hi hi hi...!" Sambil memperdengarkan suara mengikik, perempuan berjubah merah
panjang itu berbalik. Tampak raut wajahnya yang menyerupai tengkorak, hampir
tertutup rambut panjang terurai. Sepuluh orang yang mengelilinginya,
menjatuhkan diri dan berlutut dengan kepala tertunduk. Mereka semua adalah
wanita muda dengan wajah cantik. Pakaian mereka semua berwarna merah dengan
ikat pinggang berwarna kuning emas.
Suara genderang yang dipukul bertalu-talu oleh seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap, kini berhenti terdengar. Penabuh genderang itu juga berlutut
dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Sebentar wanita berjubah merah dan
berwajah bagai tengkorak itu memandang berkeliling, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Hi hi hi...!" Tangan kanan wanita berwajah tengkorak itu terangkat
perlahan-lahan. Kemudian salah seorang wanita bangkit berdiri, membawa sebuah
baki dengan sebuah cawan di atasnya. Kakinya melangkah perlahan-lahan
mendekati, lalu berlutut di depan perempuan berjubah merah itu. Dengan sikap
hormat, diberikannya baki itu.
Wanita berjubah merah itu mengambil cawan dari atas baki yang disodorkan.
Diangkatnya cawan itu tinggi-tinggi, lalu berbalik menghadap api yang masih
berkobar besar. Mulutnya bergerak-gerak, kemudian perlahan-lahan tangannya
turun. Ditenggaknya isi cawan itu, dan cawannya dibuang ke dalam api. Maka
mendadak saja api itu padam.
"Ha ha ha..!" perempuan berjubah merah itu kembali tertawa terbahak-bahak.
"Akulah Ratu Bukit Brambang! Mulai saat ini, setiap malam harus ada
persembahan darah dari seorang laki-laki muda yang sehat dan perkasa! Ha ha
ha...!"
"Hamba akan melayani Yang Mulia Gusti Ratu...!" sahut semua orang yang berada
di puncak bukit itu, bersamaan.
"Bagus! Kalian memang harus patuh pada perintahku! Siapa yang mencoba
membangkang, yang pantas hanya hukuman mati!" mantap dan lantang suara wanita
berjubah merah yang wajahnya mirip tengkorak itu.
"Bakti, Yang Mulia Gusti Ratu...!"
"Ha ha ha...!" perempuan berjubah merah yang mengangkat dirinya sebagai Ratu
Bukit Brambang ini tertawa terbahak-bahak. Sebentar Ratu Bukit Brambang
memandang berkeliling, kemudian melangkah perlahan-lahan.
Sepuluh orang wanita dan seorang laki-laki bertubuh tegap, bergegas berdiri.
Mereka berjalan mengikuti dari belakang. Laki-laki tegap dan berkulit agak
hitam itu melangkah paling belakang membawa genderang di pundaknya. Mereka
berjalan beriringan perlahan-lahan, melintasi bukit ini.
Suasana di Bukit Brambang itu kini menjadi hening. Tidak lagi terdengar suara,
kecuali desir angin malam saja yang menggaung di sekitar bukit itu. Malam
terus merayap semakin larut. Sementara bulan pun kembali bersinar penuh,
menyibak awan hitam yang tadi sempat menghalanginya.
***
Kabut masih menyelimuti sebagian permukaan bumi. Matahari belum lagi sempurna
menampakkan diri. Di sebelah Barat Bukit Brambang, tampak sebuah perkampungan
yang tidak begitu besar. Namun bila dilihat dari bentuk rumah yang ada, dapat
dipastikan kalau perkampungan itu sangat makmur. Hari memang masih sangat
pagi, tapi penduduk Desa Gedangan ini sudah banyak yang ke luar. Bahkan tidak
sedikit yang sudah sibuk di ladangnya.
Saat matahari sudah muncul sempurna di ufuk Timur, seluruh penduduk Desa
Gedangan tidak ada lagi yang berada di dalam rumah. Mereka sibuk den-gan
pekerjaan masing-masing. Anak-anak berlarian menuju ke sungai. Gadis-gadis
bergerombol membawa rinjing cucian dengan canda tawa serta senda gurau mereka
yang mewarnai pagi nan cerah ini. Ditingkahi lenguhan lembu dan kicauan burung
di dahan-dahan, suasana pagi memang terasa indah.
Anak-anak muda duduk bergerombol menggoda gadis-gadis yang hendak pergi ke
sungai. Segala macam celotehan dan gurauan mewarnai canda mereka. Dan semua
yang terjadi pagi ini, selalu terjadi di pagi-pagi sebelumnya. Keceriaan
memang selalu mewarnai Desa Gedangan. Tak ada kemurungan membias di wajah
mereka. Terlebih lagi, saat masa panen sudah dekat. Sehingga membuat keceriaan
semakin bertambah di wajah mereka.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di lereng bukit dekat sungai,
terlihat dua orang wanita berbaju merah duduk di atas punggung kuda. Dua orang
wanita berwajah cantik itu memperhatikan seke-lompok pemuda yang tengah
menggoda gadis-gadis.
"Mana yang kau pilih, Widarti?" tanya salah seorang dari dua wanita yang
menunggang kuda di lereng bukit itu.
"Menurutmu, mana yang lebih baik, Karina?" Widarti balik bertanya.
"Hm...," wanita yang bernama Karina hanya menggumam tidak jelas. Dia sendiri
bingung untuk menentukan salah satu dari sekian banyak pemuda ditepi sungai
itu.
Desa Gedangan memang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik-cantik, serta
pemudanya yang tampan-tampan dan gagah-gagah. Tidak heran kalau kedua wanita
di lereng bukit itu kebingungan untuk memilih. Mereka memandangi satu persatu
sekelompok pemuda yang belum juga menyadari kalau tengah diincar.
"Bagaimana kalau yang memakai baju hijau, Karina?" Widarti meminta pendapat.
"Yang di bawah pohon kenanga itu?"
"Iya. Kelihatannya, dia lebih tampan dari yang lain. Lagi pula, dia
menyendiri. Jadi, mudah untuk membawanya."
"Penglihatanmu tajam juga, Widarti," puji Karina.
"Ayolah, selagi masih pagi."
Kedua wanita berbaju merah dan berikat pinggang kuning keemasan itu melompat
turun dari punggung kuda. Mereka berlompatan menuruni lereng bukit, dengan
gerakan yang sungguh ringan dan cepat. Sehingga dalam sebentar saja, mereka
sudah berada di belakang seorang pemuda berbaju hijau yang tengah duduk
menyendiri di bawah pohon kenanga.
"Ehm-ehm...!" Widarti mendehem.
"Eh...!" pemuda itu terkejut, dan langsung menoleh.
"Boleh bertanya, Kisanak?" lembut suara Widarti.
"Boleh..., boleh," sahut pemuda itu agak tergagap. Buru-buru pemuda itu
bangkit berdiri. Agak heran juga dia melihat dua orang wanita cantik tahu-tahu
sudah di belakangnya.
"Kisanak tahu, di mana Padang Saga?" tanya Widarti, tetap lembut suaranya.
"Padang Saga...?!" pemuda itu terkejut. Wajahnya langsung pucat mendengar
tempat yang disebutkan itu.
"Kenapa, Kisanak?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja," sahut pemuda itu
tergagap. "Untuk apa Nisanak berdua menanyakan tempat itu?"
"Kami dengar, di sana tempat tumbuhnya jamur obat yang sangat mujarab.
Orangtua kami sakit keras. Dan tabib menyarankan agar mencari obat dari jamur
yang tumbuh di Padang Saga," kata Widarti, jelas semua itu hanya alasannya
saja. Paling tidak, untuk memancing pemuda itu menjauh dari keramaian.
"Memang, di sana tumbuh sejenis jamur untuk obat. Tapi sangat sukar mencapai
ke sana, karena daerah itu kini dikuasai seorang perempuan iblis yang sangat
kejam. Sekarang ini, tidak ada orang yang berani ke sana. Kalaupun ada, tidak
akan pernah kembali lagi," jelas pemuda itu.
"Tapi kami harus ke sana. Kau bersedia mengantarkannya, Kisanak?" bujuk
Widarti.
Pemuda itu ragu-ragu menjawab. Dipandanginya kedua wanita itu bergantian. Ada
rasa iba dan sayang kalau wanita secantik ini harus menjadi korban keganasan
perempuan iblis yang menguasai Padang Saga.
"Kami tidak memintamu untuk mengantarkan sampai ke sana. Cukup menunjukkan
jalannya saja. Kalau sudah dekat, biar kami saja yang ke sana," kata Widarti
mengetahui kalau pemuda itu kelihatan ragu-ragu.
"Kalau boleh kuberi saran, sebaiknya urungkan saja niat Nisanak berdua," ujar
pemuda itu.
"Sudah jauh kami berjalan. Dan rasanya tidak akan mundur lagi, apa pun yang
akan terjadi," mantap kata-kata Widarti.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Tapi hanya sampai di persimpangan
jalan saja. Setelah itu, kalian sendiri yang ke sana," pemuda itu menyerah.
"Terima kasih," ucap Widarti senang.
Mereka bergegas berangkat. Widarti lalu mengerling pada Karina yang sejak tadi
diam saja. Kedua wanita cantik berbaju merah menyala itu berjalan di belakang
pemuda yang tidak menyadari kalau dirinya tengah terjebak. Mereka terus
berjalan menyusuri jalan setapak semakin jauh, meninggalkan sungai.
Mereka kemudian merambah hutan, menuju ke jalan setapak yang agak mendaki.
Jalan setapak itu kelihatan tidak pernah lagi dilalui manusia. Rumput-rumput
mulai tinggi menyemaki, hampir menutupi jalan kecil itu. Pemuda yang berjalan
di depan, berhenti melangkah setelah sampai pada persimpangan jalan yang
bercabang tiga. Tubuhnya berbalik, dan memandang kedua wanita cantik di
belakangnya.
"Maaf. Aku sampai di sini saja. Kalian bisa terus mengikuti jalan ini. Tidak
berapa jauh lagi, Padang Saga bisa kalian temukan," kata pemuda itu.
"Kau baik sekali. Tapi sayang, kami harus membawamu," kata Widarti dengan
bibir mengulas senyum.
"Heh...!" pemuda itu terkejut. Tapi belum sempat pemuda itu menyadari apa yang
terjadi, mendadak Karina sudah bergerak cepat menotok jalan darahnya. Widarti
buru-buru menyangga tubuh pemuda yang kini lunglai tertotok jalan darahnya.
"Gusti Ratu pasti senang menerima persembahan kita ini, Karina," kata Widarti.
"Benar. Tapi kita harus cepat sebelum ada orang yang melihat," kata Karina.
"Cepatlah kau ambil kuda, Karina. Aku tunggu di sini."
"Jangan ke mana-mana, aku pasti segera kembali."
"Cepatlah!" Karina melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat cukup tinggi. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata.
Sementara Widarti menarik tubuh pemuda yang sudah lemas tertotok jalan
darahnya. Disandarkannya pemuda itu pada sebatang pohon yang cukup rindang.
Sedangkan dia sendiri duduk di sampingnya. Matanya tidak lepas merayapi wajah
tampan itu. Entah kenapa, bibirnya tersenyum. Dan tangannya mengusap-usap
wajah pemuda itu dengan lembut.
***
"Hi hi hi...! Bagus! Kau memang muridku yang paling hebat, Widarti," puji
perempuan berjubah merah.
"Bukan hanya hamba sendiri, Yang Mulia Gusti Ratu. Hamba dibantu Karina,"
jelas Widarti, seraya melirik Karina yang duduk bersimpuh di sampingnya.
"Kalian patut mendapat hadiah dariku. Datanglah ke bilikku tengah malam
nanti."
"Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan Karina bersamaan.
Perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu melangkah
meninggalkan dua orang wanita cantik yang mengenakan baju warna merah juga.
Mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum. Widarti bergegas
mengajak Karina keluar dari ruangan besar berlantaikan batu pualam putih ini.
Wajah mereka cerah, dengan bibir menyungging senyum.
"Mudah-mudahan saja, Gusti Ratu memberi, kita satu ilmu yang tangguh, Karina,"
kata Widarti sambil terus melangkah keluar dari ruangan besar itu.
"Kalau Gusti Ratu menawarkan, kau ingin minta apa?" tanya Karina.
Kedua wanita itu terus saja melangkah keluar dari bangunan besar bagai istana
yang terletak di puncak Bukit Brambang. Beberapa orang wanita terlihat di
sekitar halaman berumput itu. Mereka yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan,
segera menghentikan latihannya dan langsung mengerumuni Widarti dan Karina.
"Hebat kau, Widarti. Pasti Gusti Ratu memberi kalian hadiah besar," puji salah
seorang dengan perasaan kagum.
"Minta saja ilmu kesaktian yang tinggi," sambung seorang lagi mengusulkan.
"Benar. Di antara kita semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat
kepandaiannya."
Widarti dan Karina jadi berbunga hatinya. Mereka tidak bisa berkata-kata lagi,
kecuali tersenyum dengan wajah cerah menerima pujian dan saran-saran
teman-temannya. Kedua wanita itu kemudian ikut berlatih memantapkan
ilmu-ilmunya yang dipelajari dari pemimpin, sekaligus guru mereka dalam ilmu
olah kanuragan.
Sementara hari terus merayap semakin tinggi. Siang pun berganti senja, dan
terus bergerak menjadi malam. Udara yang panas di sekitar bukit itu, kini
berubah dingin bagaikan terselimut salju yang membekukan. Tampak cahaya api
membias di tengah-tengah dataran luas di depan bangunan besar bagai istana
yang hanya satu-satunya di puncak Bukit Brambang itu.
Suasana sunyi senyap mewarnai sekitar puncak bukit itu. Deru angin malam
terasa kencang membawa udara dingin menggigilkan tulang. Tidak ada seorang pun
yang terlihat, kecuali dua orang wanita cantik berbaju merah. Mereka adalah
Widarti dan Karina. Kedua wanita itu tengah berjalan mendekati sebuah mulut
gua yang terletak di bagian kanan bangunan besar bagai istana yang bagian
belakangnya menempel pada dinding tebing batu cadas.
Widarti dan Karina berlutut di depan mulut gua. Kepala mereka tertunduk
menekuri tanah berumput lembab tersiram titik-titik air embun. Sementara,
malam terus merayap semakin larut. Angin yang berhembus kencang membawa udara
dingin tidak dipedulikan. Mereka tetap berlutut dengan kepala tertunduk dalam.
"Masuklah kalian...!" Terdengar suara kering dari dalam gua itu.
Widarti dan Karina beranjak bangkit, kemudian melangkah perlahan-lahan
memasuki gua itu. Keadaan di dalam sangat gelap, sehingga tidak bisa melihat
apa-apa. Namun begitu kaki mereka menginjak bagian tengah, mendadak ruangan
gua jadi terang-benderang.
Entah bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka terdapat seonggok kayu
bakar yang menyala termakan api. Di balik api, terlihat seorang wanita
berambut panjang terurai tengah duduk bersila di atas sebuah altar batu pualam
putih berkilat. Di sampingnya, tampak tergolek seorang pemuda bertelanjang
dada. Pemuda berwajah tampan itu hanya tertutup selembar kain merah dari batas
pinggang ke bawah. Widarti sempat melirik pada pemuda yang dibawanya siang
tadi untuk ratunya.
"Seperti yang kukatakan siang tadi pada kalian, aku akan memberi hadiah
sebagai tanda terima kasihku pada kalian. Suatu hadiah yang tidak bisa kalian
duga sebelumnya," kata wanita berjubah merah yang selalu dipanggil Ratu Bukit
Brambang itu.
"Terima kasih, Gusti Ratu," ucap Widarti dan Karina bersamaan.
"Kalian lihat itu...?!" Ratu Bukit Brambang menunjuk sebuah kotak yang
tertutup rapat, terletak di sebelah kanan Widarti. Kedua gadis itu menoleh ke
arah yang ditunjuk Ratu Bukit Brambang.
"Di dalam kotak itu terdapat sepasang pedang yang sudah kupersiapkan untuk
siapa saja yang berhasil membawa seorang pemuda pertama kali padaku. Dan
kalian yang berhasil. Maka, senjata pusaka itu menjadi hak kalian."
Widarti dan Karina saling berpandangan. Mereka tahu, pedang itu adalah senjata
pusaka yang dibanggakan Ratu Bukit Brambang. Keampuhannya tidak tertandingi
sampai saat ini. Dengan sepasang pedang itu, Ratu Bukit Brambang telah
berhasil menaklukkan rimba persilatan.
"Ambillah. Dan gunakan senjata itu sebaik mungkin. Terutama, gunakan untuk
mempertahankan diri. Sebab aku mempercayakan kalian berdua untuk memimpin yang
lain, di saat aku tengah memusatkan diri menyempurnakan ilmu-ilmuku," ujar
Ratu Bukit Brambang.
Widarti memberi hormat, kemudian mengambil kotak itu. Matanya agak terbeliak
begitu tutup kotak terbuka. Tampak sepasang pedang berwarna merah berada di
dalam kotak yang berlapis kain beludru merah berkilat. Widarti mengambil satu
pedang, dan memberikannya pada Karina. Kemudian satunya lagi diambil untuknya
sendiri.
"Sarung pedang itu sudah ada di kamar kalian masing-masing. Nah, sekarang
keluarlah. Masih banyak yang harus kukerjakan malam ini."
"Hamba mohon pamit, Gusti Ratu," ucap Widarti dan Karina bersamaan. Kedua
wanita itu membungkuk memberi hormat, kemudian melangkah mundur keluar dari
gua itu. Mereka baru berbalik setelah berada di luar, dan bergegas melangkah
pergi kembali ke bangunan besar bagai istana itu. Wajah mereka berseri-seri
karena mendapatkan senjata yang selalu diinginkan seluruh pengikut Ratu Bukit
Brambang.
Sementara di dalam gua, wanita berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu
memandang pemuda, yang tergolek di sampingnya. Sepasang bola matanya berkilat.
Terdengar tawanya yang mengikik kecil dan bernada kering. Kemudian tangan
kanannya mengebut ke arah api yang berkobar melahap kayu di tengah-tengah
ruangan itu. Seketika api padam, dan gua jadi gelap gulita.
"Hi hi hi..!" Kembali terdengar suara tawa mengikik. Kemudian suara tawa itu
menghilang, dan disusul desah napas mendengus kencang. Tidak berapa lama
berse-lang, terdengar erangan-erangan dan rintihan lirih disertai dengusan
napas memburu bagai kuda yang dipacu cepat mendaki bukit. Tidak lama hal itu
berlangsung, karena sesaat kemudian terdengar jeritan melengking tinggi.
"Aaa...!"
"Hi hi hi..!"
***
DUA
Hari terus berjalan sesuai dengan peredaran waktu. Dan waktu-waktu yang
berjalan itu digunakan pengikut Ratu Bukit Brambang untuk memamerkan sepak
terjangnya yang semakin merajalela. Dalam waktu singkat saja, nama Ratu Bukit
Brambang telah melambung tinggi dan sangat ditakuti semua orang. Dan pengaruh
yang paling terasa adalah di Desa Gedangan, yang paling dekat dengan Bukit
Brambang.
Desa yang biasanya selalu ceria, kini tampak muram dan lengang. Tidak lagi
terlihat anak-anak muda berkeliaran di jalan-jalan. Tidak terdengar lagi senda
gurau pemuda yang menggoda gadis-gadis. Mereka semua sepertinya takut menjadi
korban Ratu Bukit Brambang. Hampir tiap hari terdengar tangisan dan rintihan
meratap dari rumah-rumah penduduk Desa Gedangan. Bahkan ratapan yang sama juga
terdengar di desa-desa lain, di sekitar Bukit Brambang.
Hampir tiap hari, pasti ada seorang pemuda yang hilang tidak ketahuan
rimbanya. Para penculik itu tidak lagi menggunakan kelembutan, tapi sudah
menjurus kasar dan paksaan. Tidak sedikit orang yang tewas dibantai, karena
mencoba mempertahankan anaknya. Bahkan banyak para pemuda yang mencoba
melawan, terbunuh seketika itu juga. Dan tidak sedikit yang dibawa pergi dalam
keadaan tertotok pingsan.
Siang itu udara di sekitar Desa Gedangan terasa lebih panas daripada biasanya.
Angin bertiup keras membawa udara kering. Langit cerah tanpa sedikit pun awan
menggantung. Matahari memancarkan sinarnya dengan garang, seakan-akan hendak
membakar seluruh yang ada di permukaan bumi ini.
Seekor kuda hitam bertubuh tinggi tegap berotot, tampak berjalan
perlahan-lahan melintasi jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah
tampan dengan rambut panjang meriap. Bajunya rompi putih, dengan pedang
bergagang kepala burung menyembul di balik punggungnya. Kuda hitam itu
berhenti di pinggir galangan pematang sawah. Penunggangnya melompat turun,
lalu melangkah menghampiri seorang laki-laki tua yang sedang duduk di
pematang. Pandangannya lurus menatap padi yang menguning, siap untuk dipanen.
"Kapan dituainya, Ki?" tegur pemuda itu ramah.
"Oh...!" laki-laki tua itu terkejut langsung menoleh.
"Maaf, aku mengejutkanmu."
"Tidak, Aku tadi sedang melamun, jadi tidak tahu kalau ada orang datang."
Laki-laki tua itu menggeser duduknya untuk memberi tempat. Maka pemuda itu
duduk di sampingnya. Pandangannya menatap hamparan sawah yang menguning. Agak
heran juga dia, karena sepanjang mata memandang tidak ada seorang pun
terlihat. Burung-burung pipit tampak berpesta pora mengganyang padi yang tidak
terjaga. Pemuda itu menoleh menatap laki-laki tua yang juga tengah memandang
ke tengah sawah. Pandangannya kosong, dan sepasang bola mata tuanya terlihat
berkaca-kaca.
"Kau kelihatan sedih, Ki. Ada apa?" tanya pemuda itu hati-hati.
"Hhh...!" laki-laki tua itu menarik napas panjang dalam-dalam. "Tidak lama
lagi, padi-padi ini dituai. Tapi, tidak ada lagi yang mau mengerjakannya.
Jerih payah selama berbulan-bulan ternyata harus ditinggalkan sia-sia."
"Kenapa? Sayang sekali kalau padi sebagus ini harus ditinggalkan begitu saja."
Laki-laki tua itu mendesah berat. Kepalanya kemudian menoleh, menatap pemuda
di sampingnya. Begitu dalam, seakan-akan tengah menyelidik.
"Kau tentu bukan dari desa ini, atau desa-desa lain di sekitar sini. Aku belum
pernah melihatmu," pelan suara laki-laki tua itu.
"Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini, Ki," sahut pemuda
itu ramah, disertai senyum di bibir.
"Sebaiknya cepat tinggalkan desa ini. Terlalu berbahaya bagimu. Kau seorang
pemuda tampan dan gagah. Mereka pasti menginginkanmu," agak tersendat suara
laki-laki tua itu.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, sehingga sepasang alisnya yang tebal jadi
bertaut. Sungguh sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba laki-laki tua ini
menyuruhnya segera pergi? Dan hal ini membuat pemuda itu jadi bertanya-tanya.
Belum lagi pemuda itu sempat bertanya, mendadak laki-laki tua itu bangkit
berdiri bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Pandangannya lurus menatap ke satu arah. Melihat hal ini, pemuda tampan
berbaju rompi putih itu jadi keheranan. Dia juga ikut berdiri, dan menoleh ke
arah yang sama dengan laki-laki tua di sampingnya. Agak terkejut juga dia
begitu melihat ada empat orang wanita berwajah cantik tahu-tahu telah berdiri
agak jauh darinya.
Mereka semua mengenakan baju merah dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Di
punggung masing-masing tersandang sebilah pedang yang tangkai ujungnya
berbentuk tengkorak manusia.
"Tua-tua masih suka membual! Apa kau sudah bosan hidup, heh?!" bentak salah
seorang yang berdiri paling kanan.
"Ampun, Nini.... Aku..., aku.." laki-laki tua itu tergagap dengan tubuh
membungkuk beberapa kali.
"Phuih! Tidak ada alasan buatmu, Pembual! Kau menyimpan seorang pemuda, tapi
tidak menyerahkannya pada kami! Kau tahu, apa hukumannya, Orang Tua? Mati...!"
"Ampun, Nini.... Ampun.,.," rintih laki-laki tua itu seraya menjatuhkan diri
berlutut.
"Bersiaplah untuk mampus, Tua Bangka! Hiyaaa...!"
Salah seorang dari empat wanita itu melompat sambil mencabut pedangnya. Cepat
sekali terjangannya. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat, sehingga menimbulkan
suara angin berdesir. Namun begitu mata pedang hampir memenggal leher
laki-laki tua itu, mendadak dia terpekik. Seketika, tubuhnya kembali mencelat
ke belakang.
Wanita berbaju merah itu terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kanannya.
Wajahnya kontan merah padam, dan bibirnya mendesis bagai ular. Sedangkan yang
tiga orang lagi langsung berlompatan mengurung pemuda berbaju rompi putih yang
tetap berdiri tegak di samping laki-laki tua itu.
"Keparat kau berani melawan kami, heh!" geram perempuan itu sengit.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkanmu untuk membunuh orang tua yang
tidak berdaya begitu saja," kalem namun bernada tantangan kata-kata pemuda
itu.
"Pembual itu tidak pantas lagi hidup lebih lama. Dia harus mati. karena berani
membangkang kehendak Yang Mulia Gusti Ratu Bukit Brambang!" lantang kata-kata
wanita yang berada di depan pemuda itu.
"Benar itu, Ki?" tanya pemuda itu pada laki-laki tua yang tetap berlutut
dengan tubuh bergetar.
"Anak muda! Sebaiknya, kau cepat pergi. Biarkan aku di sini. Mereka sangat
kejam. Kau akan mati jika menuruti keinginannya," kata laki-laki tua itu.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!"
"Hm..." gumam pemuda itu pelan. Tatapannya tajam, lurus pada wanita yang
berada di sebelah kanannya. Wanita itu yang tadi mengeluarkan bentakan.
"Kisanak, sebaiknya segera ikut kami. Dan tua bangka itu akan bebas hidup,"
kata yang seorang lagi lebih lembut.
"Ke mana?" tanya pemuda itu.
"Menemui Yang Mulia Gusti Ratu."
"Untuk apa? Aku tidak kenal kalian. Dan aku tidak pernah mendengar ratumu. Aku
baru hari ini ada di sini."
"Jangan membantah! Hanya ada dua pilihan, mati atau ikut!"
"Edan! Untuk apa harus ikut tanpa tahu urusannya? Kalian boleh membawaku asal
mampu!"
"Keparat! Rupanya kau lebih senang mampus, heh!" Salah seorang wanita itu
segera mencabut pedangnya, lalu melompat cepat sambil berteriak melengking.
Pedangnya dikibaskan kuat-kuat. Namun hanya sedikit saja pemuda itu menarik
tubuhnya ke belakang, maka tebasan pedang itu luput dari sasaran. Hal ini
membuat ketiga wanita lainnya jadi berang, sehingga segera berlompatan
menyerang.
Sementara itu, laki-laki tua itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Tapi
hatinya merasa penasaran, dan berhenti setelah cukup jauh. Dengan tubuh
gemetaran disaksikannya pertempuran itu. Tampak empat orang wanita berbaju
merah itu kewalahan juga menghadapi pemuda yang mengenakan baju rompi putih.
Bahkan sampai jatuh bangun, dan tidak satu pun serangannya berhasil menyentuh
lawan.
"Lepas...!" Tiba-tiba pemuda tampan itu berteriak keras. Sedangkan tangannya
menyampok tangan salah seorang penyerangnya. Orang itu memekik tertahan, dan
pedangnya melesat tinggi ke udara. Belum lagi hilang rasa terkejutnya,
mendadak satu tendangan keras mendarat di tubuhnya.
"Akh!" kembali wanita itu memekik tertahan. Pada saat wanita itu terjengkang,
pemuda tampan berbaju rompi putih memutar tubuhnya. Langsung disampoknya dua
orang lawan. Pekikan keras tertahan terdengar saling sahut. Kemudian satu
orang lawan terakhir dibuat sampai terjungkal mencium tanah. Empat wanita
pengikut Ratu Bukit Brambang sekarang mengerang kesakitan sambil berusaha
bangkit. Dan pemuda itu bergerak cepat. Tahu-tahu, di tangannya sudah
tergenggam pedang-pedang lawan.
"Pergilah kalian!" bentak pemuda itu keras.
Keempat wanita itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit. Mereka
saling berpandangan sejenak, lalu berbalik.
"Nih, pedang kalian!" pemuda itu melemparkan pedang yang dirampasnya.
Empat batang pedang itu melayang, dan jatuh tepat di ujung kaki mereka.
Cepat-cepat keempat wanita cantik berbaju merah itu memungutnya, kemudian
melompat cepat dan berlari masuk ke dalam hutan.
Pemuda itu berbalik setelah keempat wanita itu tidak terlihat lagi.
Dihampirinya laki-laki tua yang masih berdiri memandanginya dengan rasa kagum.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda itu ramah.
"Oh, tidak,... Tidak apa-apa" sahut lelaki tua itu. "Terima kasih, Raden. Kau
telah mengusir mereka."
"Jangan panggil aku raden, Ki. Panggil saja Rangga," ujar pemuda itu
memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti.
"Aku Ki Kusha, penduduk Desa Gedangan ini," laki-laki tua itu juga
memperkenalkan diri.
"Hm.... Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki? Tampaknya mereka sudah
mengenalmu," selidik Rangga.
"Ceritanya panjang, Rangga. Dan sebaiknya, segera kita tinggalkan tempat ini.
Mari ke rumahku saja," ajak Ki Kusha.
"Dengan senang hati, Ki," sambut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Lalu melangkah menuntun kuda
hitam yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan Ki Kusha berjalan di samping kanannya.
Mereka melangkah tanpa berkata-kata lagi.
***
Rangga duduk bersila di atas dipan bambu yang rendah, beralaskan tikar daun
pandan. Di depannya duduk Ki Kusha yang didampingi istrinya. Seorang anak
perempuan berusia sekitar tiga tahun tengah tiduran di pangkuan Nyai Kusha.
Sebentar matanya yang bulat bening terbuka menatap Rangga, sebentar kemudian
terpejam kembali.
Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya ketika seorang wanita muda keluar
dari bilik kamar belakang sambil membawa sebuah baki yang di atasnya terdapat
beberapa gelas tanah liat mengepulkan uap hangat. Sepiring ketela rebus
terhidang juga. Wanita itu mengangguk dan tersenyum pada Rangga, kemudian
menghidangkan apa yang dibawanya.
"Silakan, Rangga. Hanya ini yang masih ada," ucap Ki Kusha.
"Terima kasih, Ki. Ini juga sudah lebih dari cukup," ujar Rangga seraya
mengangkat gelas dan menghirup sedikit isinya.
"Beginilah keadaan di sini sekarang. Sepi, selalu dicekam ketakutan," kata Ki
Kusha pelan. "Semua ini gara-gara si Ratu Bukit Brambang itu!" sambung Nyai
Kusha.
"Lihat anak ini. Ayahnya diculik. Sampai sekarang, tidak ketahuan nasibnya.
Ibunya jadi gila dan bunuh diri di jurang."
Rangga menatap anak perempuan yang tiduran di pangkuan Nyai Kusha, kemudian
beralih pada wanita muda yang memakai baju merah muda di samping Ki Kusha.
Wanita itu hanya menunduk saja. Sore tadi, Ki Kusha telah memperkenalkannya.
Dan Rangga masih ingat, anak gadis Ki Kusha itu bernama Lasmi. Dia juga
kehilangan ke kasihnya. Padahal selesai panen ini rencananya mereka akan
menikah.
"Mereka sangat kejam, Rangga. Selalu menculik pemuda-pemuda, dan membunuh
anak-anak serta orang tua. Kalau begini terus, bisa habis semua orang sini.
Mereka akan membunuh siapa saja kalau tidak mendapatkan pemuda," kata Ki Kusha
bernada mengeluh.
"Apakah pemuka desa tidak bertindak?" tanya Rangga.
"Sudah, Rangga. Bahkan kepala desa kami tewas karena mencoba melawan. Sekarang
ini, Desa Gedangan tidak punya pemimpin. Tidak ada yang memikirkan itu lagi.
Yang penting, bisa selamat itu juga sudah cukup," sahut Ki Kusha lagi.
"Aneh.... Untuk apa mereka menculik anak-anak muda?" gumam Rangga seperti
bertanya pada diri sendiri
"Mungkin buat tumbal, Rangga," celetuk Nyai Kusha.
"Tumbal...?" Rangga mengernyitkan keningnya.
"Biasanya begitu, Rangga. Orang yang menganut Ilmu sesat, biasanya memerlukan
tumbal untuk kelangsungan hidup dan ilmunya. Yaaah..., macam-macam saja jenis
tumbalnya," Ki Kusha mencoba menjelaskan, tapi hanya menduga-duga saja.
Rangga terdiam dengan kepala tertunduk. Kalau memang dugaan Ki Kusha benar,
tidak ada harapan hidup lagi bagi mereka yang diculik. Biasanya, tumbal
dipersembahkan bagi sesembahan dan dalam bentuk sudah menjadi mayat atau masih
hidup yang kemudian dibunuh. Untuk sesaat keheningan menyelimuti mereka semua.
Tidak ada yang membuka suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Nyai
Kusha bangkit berdiri, lalu turun dari dipan bambu ini. Dia membawa cucunya ke
dalam, dan tidak lama kemudian kembali lagi.
"Temani adikmu tidur, Lasmi," perintah Nyai Kusha.
"Baik, Bu," sahut Lasmi seraya beranjak bangkit. "Tinggal dulu, Kang."
"Silakan," ucap Rangga seraya tersenyum dengan kepala sedikit terangguk.
Lasmi melangkah pergi masuk ke dalam kamar. Entah lupa atau disengaja,
pintunya tidak ditutup kembali. Rangga sempat melirik gadis itu saat
membaringkan tubuhnya di samping anak kecil yang sudah lelap dibuai mimpi.
Kemudian pandangannya dialihkan ketika Lasmi berbalik memiringkan tubuhnya.
Dia tidak ingin lama-lama menatap gadis itu.
"Desa ini sekarang hanya dihuni orang tua dan anak-anak saja. Pemuda-pemudanya
telah meninggalkan desa, dan pergi ke kota atau ke desa lain yang jauh. Banyak
juga yang tewas atau diculik mereka...," kata Ki Kusha setelah lama terdiam.
"Apakah mereka masih suka datang ke sini?" tanya Rangga.
"Sering, Rangga. Kalau tidak mendapatkan yang dicari, mereka membunuh siapa
saja yang ditemui. Bahkan merusak, dan membakar rumah-rumah penduduk. Desa ini
sudah menjadi neraka saja, Rangga," sahut Ki Kusha lirih.
"Oh...! Sampai sejauh itukah perbuatan mereka...?" desah Rangga sedikit
terkejut.
"Mereka memang kejam, tapi sangat tangguh. Tidak ada yang bisa menandinginya."
"Mereka harus segera dihentikan!" desis Rangga datar.
"Percuma, Rangga. Sudah ada beberapa pendekar yang mencoba menghentikan
mereka, tapi semuanya tewas. Mereka sangat tangguh. Lebih-lebih yang bernama
Widarti dan Karina. Tidak ada yang sanggup menandinginya. Apalagi, si Ratu
Bukit Brambang...," keluh Ki Kusha pelan.
"Aku yang akan menghentikan mereka, Ki!" tegas Rangga.
"Rangga...!" Ki Kusha tersentak kaget. "Aduh.... Jangan, Rangga. Lebih baik
tinggalkan saja desa ini. Mereka sangat tangguh dan kejam...,"! ujar Nyai
Kusha memohon.
"Harus ada orang yang bisa menghentikan mereka, Nyai. Mungkin sang Hyang Widi
menunjukkan jalan padaku hingga sampai ke sini," kata Rangga tanpa bermaksud
menyombongkan diri.
"Rangga...." Belum habis Ki Kusha bicara, tiba-tiba terdengar tawa
terbahak-bahak mengikik.
Suara tawa itu demikian jelas terdengar. Ki Kusha dan Nyai Kusha langsung
bergetar, dan wajah mereka pucat pasi. Rangga melompat tangkas, turun dari
dipan bambu. Dia berdiri tegak menatap ke pintu.
"Rangga...," bergetar suara Ki Kusha.
"Sebaiknya Aki dan Nyai masuk saja ke dalam. Biar aku yang menghadapi," kata
Rangga tanpa menoleh.
"Hati-hati, Rangga," ucap Ki Kusha.
Rangga tidak menjawab, dan hanya melangkah tenang mendekati pintu.
Perlahan-lahan dibukanya pintu itu. Sementara, Ki Kusha membawa istrinya ke
dalam kamar. Di sana, Lasmi juga terbangun. Kedua wanita itu berpelukan. Ki
Kusha keluar kembali dari kamar, dan melihat Rangga berjalan tenang ke luar.
Dan ditutupnya kembali pintu rumah itu. Ki Kusha bergegas mendekati, dan
mengintip melalui celah-celah papan pintu.
***
TIGA
Malam begitu pekat Angin berhembus kencang membawa udara dingin menggigilkan.
Saat ini Rangga tengah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah Ki Kusha
yang cukup luas. Di depannya, berdiri sekitar enam orang wanita berbaju merah
dengan sabuk kuning keemasan. Masing-masing menyandang sebilah pedang yang
bergagang kepala tengkorak di punggung. Tampak dua orang gadis berwajah cantik
berdiri paling depan.
Sudah bisa ditebak, kedua gadis yang berdiri paling depan adalah Widarti dan
Karina. Sedangkan empat wanita lagi yang berada di belakangnya sudah dikenali
Rangga. Merekalah yang siang tadi sempat diperdaya Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya, mereka mengadu, dan kini datang kembali untuk membuat perhitungan.
Apalagi, kini ada dua orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi. Dan Rangga
sudah menduga semua itu.
"Rupanya kau memiliki nyali besar juga, Kisanak," ketus nada suara Widarti.
"Siapa namamu?" selak Karina membentak.
"Untuk apa kau tahu namaku?" sambut Rangga sinis.
"Sombong!" dengus Karina sengit.
"Sebaiknya, kalian angkat kaki dari sini. Aku malas berurusan dengan
gadis-gadis telengas macam kalian!" kata Rangga sinis.
"Keparat! Kau belum tahu siapa kami, heh?! Sekalipun kau tampan seperti
pangeran, nyawamu berada di ujung pedang, tahu!" bentak Widarti panas.
"Aku hanya punya nyawa satu. Tapi, cukup untuk membungkam mulut kalian yang
nyinyir!"
"Setan alas! Kurobek mulutmu, Keparat!" Karina tidak bisa lagi menahan diri,
sehingga langsung berteriak keras dan melompat menerjang. Diberikannya dua
pukulan beruntun yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam cukup
tinggi.
Tapi, Rangga hanya menggeser kakinya sedikit sambil memiringkan tubuh, maka
serangan Karina lewat begitu saja tanpa mengenai sasaran.
"Bagus! Rupanya kau punya mainan juga, Pemuda Tampan!" dengus Karina sambil
bersiap menyerang kembali. "Tahan seranganku! Hiyaaat..!"
"Hup!" Sret!
Karina tidak tanggung-tanggang lagi. Langsung pedangnya dicabut, dan
dikibaskan cepat ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan sigap,
Rangga melompat. Kemudian, kakinya melayang mengarah ke kepala. Karina
terpekik terkejut. Buru-buru kepalanya merunduk, menghindari sepakan kaki itu.
Dan belum lagi sempurna menarik tubuhnya ke belakang, Rangga sudah menggedor
dadanya dengan satu pukulan keras.
"Akh...!" Karina kembali memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Meskipun tadi Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam, tapi gedoran itu cukup
membuat dada Karina sesak juga. Wajahnya merah padam menahan marah. Kembali
gadis itu bersiap menyerang. Dan pada saat itu, Widarti sudah mencabut
pedangnya diikuti empat gadis lain. Mereka langsung mengurung Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas. Dari sudut matanya, Pendekar Rajawali
Sakti memperhatikan setiap gerak gadis-gadis cantik yang mengepungnya. Rangga
mempersiapkan diri menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia juga
siap-siap dengan perubahan cepat, menuju jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Hiyaaa...!" "Yeaaat..!"
Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul berlompatannya keenam gadis berbaju
merah itu. Pedang mereka berkelebatan langsung, mengurung Pendekar Rajawali
Sakti.
Begitu cepat serangan mereka, tapi sayangnya Rangga sukar didekati. Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat ampuh. Gerakan kakinya begitu lincah,
diimbangi tubuh yang meliuk-liuk lentur bagai belut. Serangan yang datang dari
enam jurusan, tidak satu pun mengenai sasaran. Bahkan sekali-sekali Rangga
membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.
Jurus demi jurus terlampau dengan cepat. Tidak terasa, enam orang pengikut
Ratu Bukit Brambang itu sudah menghabiskan sepuluh jurus. Tapi, Pendekar
Rajawali Sakti hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang diseling
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Hanya dengan dua jurus saja, enam orang
gadis itu sukar mendesak. Lebih-lebih berharap menjatuhkannya. Menyentuh ujung
rambutnya saja, tidak ada yang mampu.
"Jebol...!" Tiba-tiba Rangga berseru keras. Tangan kanannya cepat mengibas ke
samping. Pada saat itu, satu orang penyerangnya sudah melompat sambil
mengibaskan pedang ke arah leher. Tapi, kibasan tangan Rangga yang begitu
cepat, tidak bisa dihindari lagi.
Gadis itu memekik keras, dan tubuhnya kontan terlontar sejauh dua batang
tombak ke belakang. Belum lagi hilang jeritan itu, Rangga sudah cepat memutar
tubuhnya. Kakinya langsung melayang deras menghantam dada seorang lagi,
disusul sodokan tangan kiri yang masuk telak ke perut seorang lagi.
Dua orang langsung menggeletak mengerang kesakitan. Pendekar Rajawali Sakti
kemudian cepat melenting ke atas, lalu meluruk dengan kaki bergerak bagai
kilat. Kini, Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Aaa...! Satu jeritan melengking tinggi terdengar, begitu ada suara sesuatu
yang berderak bagai sebuah benda keras retak. Tampak salah seorang dari gadis
itu menggelimpang sambil memegangi kepalanya. Darah mengucur dari kepala yang
pecah.
Rangga melentingkan tubuhnya kembali ke atas, dan hinggap di tonggak kayu yang
menjadi pembatas halaman rumah Ki Kusha dengan jalan.
"Satu peringatan buat kalian! Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum aku haus
darah kalian!" bentak Rangga dingin.
Widarti dan Karina saling berpandangan sejenak. Kemudian, mereka mengedarkan
pandangan pada empat tubuh yang menggeletak. Satu orang jelas sudah tewas.
Sedangkan yang lainnya masih merintih kesakitan. Kedua gadis itu memasukkan
kembali pedangnya, kemudian bergegas melompat pergi tanpa menghiraukan
teman-temannya. Ketiga gadis yang tertinggal, berusaha bangkit meskipun harus
menahan sakit. Mereka segera menyarungkan senjatanya kembali, dan menggotong
yang tewas dengan kepala hancur.
Rangga masih berdiri tegak di atas tonggak bambu. Diperhatikannya gadis-gadis
yang melangkah tergesa-gesa membawa mayat temannya. Pendekar Rajawali Sakti
baru melompat turun setelah gadis-gadis itu tidak terlihat lagi.
***
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan menghampiri pintu rumah yang
terbuka tiba-tiba. Maka muncullah Ki Kusha dari dalam rumah. Dengan
tergopoh-gopoh, dihampirinya pemuda berbaju rompi putih itu. Wajahnya masih
kelihatan pucat, meskipun sinar matanya berbinar. Dipandanginya wajah Rangga
dengan perasaan kagum. Baru kali ini dia melihat Orang-orang Ratu Bukit
Brambang dibuat tidak berkutik. Bahkan salah seorang tewas dengan kepala
hancur.
"Wah...! Kau hebat! Mereka pasti kapok!" puji Ki Kusha tulus.
"Mereka pasti kembali lagi, Ki," sahut Rangga kalem. Ki Kusha tampak terkejut.
"Jangan khawatir, Ki. Selama mereka masih , berkeliaran, aku akan tetap di
sini," Rangga menjamin.
"Terima kasih, Rangga," ucap Ki Kusha.
Pendekar Rajawali Sakti mengajak laki-laki tua itu masuk ke dalam rumahnya. Ki
Kusha bergegas menutup pintu dan menguncinya dengan palang begitu mereka
berada di dalam. Rangga menghenyakkan tubuhnya di dipan bambu. Diambilnya
gelas yang berisi kopi dan diteguknya hingga tandas. Dari bilik kamar, Lasmi
muncul. Gadis itu menghampiri dan mengambil gelas yang masih di tangan Rangga.
"Biar kubuatkan lagi, Kang," kata Lasmi.
"Terima kasih, tidak usah," ucap Rangga menolak.
"Tidak apa, Kang. Kau pasti haus."
"Cepat bikinkan, Lasmi," perintah Ki Kusha seraya duduk bersila di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
Lasmi berbalik dan melangkah ke belakang. Rangga sempat melirik ke pintu,
tempat gadis itu menghilang. Lasmi keluar lagi sambil membawa gelas yang
mengepulkan uap hangat. Diletakkannya gelas berisi kopi itu di depan Rangga.
Bibirnya yang mungil dan selalu merah basah mengulum senyum. Rangga
membalasnya dengan senyuman tipis saja. Diambilnya gelas itu dan isinya
dihirup sedikit. Kemudian diletakkannya kembali di tempat semula
"Kau pasti mengantuk. Tidurlah dulu," kata Rangga lembut.
"Tidak, Kang. Kantukku jadi hilang," sahut Lasmi.
"Kalau begitu, biar aku saja yang tidur," celetuk Ki Kusha tiba-tiba.
"Silakan, Ki. Aku akan jaga malam ini," kata Rangga.
Ki Kusha beranjak turun dari dipan itu, lalu melangkah ke kamar tidur yang
pintunya terbuka. Tampak Nyai Kusha duduk di tepi pembaringan. Ki Kusha
berhenti tepat di ambang pintu. Wajahnya menoleh pada Rangga yang tetap duduk
bersila di tempatnya. Sedangkan Lasmi duduk tidak jauh di depan agak ke kanan
dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Kalau Rangga perlu sesuatu, jangan segan-segan melayani," pesan Ki
Kusha.
"Baik, Ayah," sahut Lasmi tanpa menoleh. Kepalanya selalu tertunduk menekuri
ujung bajunya.
"Aku tinggal dulu, Rangga."
"Silakan, Ki."
Ki Kusha masuk ke dalam kamar tidurnya. Ditutupnya pintu kamar itu, maka nyala
pelita di dalam kamar langsung meredup. Rangga mendesah panjang. Dipandangnya
gadis di depannya yang selalu tertunduk. Jari-jari tangan yang lentik itu
memain-mainkan ujung baju.
"Kau tidak mengantuk, Lasmi?" tegur Rangga pelan setengah berbisik.
Lasmi hanya menggelengkan kepala saja. Sama sekali kepalanya tidak diangkat.
"Kuperhatikan kau selalu murung...," kata Rangga terputus.
Saat itu, Lasmi mengangkat kepala. Tatapan matanya langsung menembus bola mata
pemuda di depannya. Rangga segera menggeser duduknya lebih mendekat.
"Sekilas, ayahmu sudah menceritakan tentang dirimu. Aku ikut prihatin," ucap
Rangga perlahan.
"Terima kasih," ucap Lasmi, hampir tidak terdengar suaranya. "Tapi, aku sudah
mencoba melupakannya. Aku tahu, Kang Jeje tidak akan kembali lagi."
Rangga menarik napas dalam-dalam. Dia kagum juga dengan ketabahan hati gadis
ini.
"Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?" pinta Lasmi berharap.
"Katakanlah," desah Rangga.
"Aku merasa, kejadian malam ini akan berbuntut panjang. Dan yang pasti, mereka
akan membunuh kami semua. Terus terang, aku tidak takut pada mereka sekalipun
harus mati...," agak tersendat suara Lasmi.
"Kau menginginkan aku pergi, Lasmi?" tebak Rangga.
"Aku tidak berkata begitu, Kang. Tapi, demi kebaikan dan keselamatanmu juga.
Aku tidak ingin ada korban lagi. Kau begitu baik, dan mereka pasti
menginginkanmu. Karena, kau...," lagi-lagi ucapan Lasmi terputus. Gadis itu
kembali tertunduk menekuri ujung bajunya.
"Lasmi.... Sekalipun tidak di sini, aku tetap akan menghentikan mereka. Aku
bertanggung jawab atas keselamatan kalian semua. kalau saja aku tidak menemui
ayahmu, mereka tentu tidak akan ke rumah ini, " kata Rangga mantap.
"Sama saja, Kakang," desah Lasmi
"Sama...? Maksudmu?"
"Mereka sudah beberapa kali datang ke sini. Dan ayah termasuk sesepuh di sini
yang masih hidup. Mereka mendesak dan mengancam ayah untuk menyediakan seorang
pemuda. Paling tidak, satu orang dalam sepekan. Tapi ayah tidak sudi menuruti.
Maka setiap mereka menagih, selalu ada tiga orang penduduk yang dibunuh. Kalau
sampai pekan depan ayah tidak juga menyediakan seorang pemuda, mereka akan
membunuh kami semua," pelan suara Lasmi.
"Biadab!" desis Rangga geram.
"Mereka bisa lebih kejam lagi, Kakang. Apalagi mereka sudah tahu kalau kau ada
di sini," sambung Lasmi.
"Dengar, Lasmi. Apa pun yang akan terjadi pada diriku, aku tetap akan
menyelamatkanmu dan seluruh keluargamu, serta penduduk desa ini. Mereka harus
dihentikan. Aku tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat keangkaramurkaan
merajalela," mantap kata-kata Rangga.
"Mereka begitu kuat, Kakang. Kau tidak akan bisa melawan mereka seorang diri.
Sudah banyak pendekar tangguh yang mencoba, tapi semuanya tewas. Tidak ada
seorang pun yang mampu menandingi Ratu Bukit Brambang. Dia itu seperti iblis
yang tidak bisa, mati," ujar Lasmi.
"Dia hanya manusia biasa, Lasmi. Tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang
hidup abadi. Kematian pasti menjemput mereka. Dan itu sudah takdir yang
digariskan sang Hyang Widi. Kau percaya dengan kekuasaan sang Hyang Widi,
Lasmi? Hanya dia yang bisa menentukan segala-galanya"
Lasmi tidak berkata-kata lagi. Ucapan Rangga barusan begitu menyentuh hatinya.
Maka ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seolah-olah ingin
memastikan saat ini tidak berhadapan dengan dewa yang turun ke bumi. Kata-kata
Rangga begitu lembut, namun sangat mengena. Entah kenapa, perasaan gadis itu
jadi tenteram. Rasanya seperti bara api yang tersiram air dingin menyejukkan.
"Sudah larut malam. Tidurlah," ucap Rangga melihat air muka gadis itu berubah
tenang.
"Izinkan aku menemanimu, Kakang," pinta Lasmi.
"Besok kau pasti mengantuk. Kau harus membantu ibumu, bukan?"
"Tidak ada yang bisa dikerjakan. Sejak perempuan iblis itu merambah desa ini,
tidak ada lagi yang perlu dikerjakan. Semuanya seperti mati."
"Baiklah. Tapi kalau besok mengantuk, jangan salahkan aku," pinta Rangga
menyerah. Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti senang juga ditemani seorang
gadis cantik seperti Lasmi ini. Namun karena hatinya terikat dengan Pandan
Wangi yang kini berada di Kerajaan Karang Setra, Rangga berusaha menekan
perasaannya dalam-dalam.
"Aku senang bercakap-cakap denganmu, Kakang. Kau seperti dewa dari kahyangan
yang turun ke bumi. Kata-katamu bagai air sejuk, sehingga membuat hati jadi
damai," ujar Lasmi terus terang.
Sebenarnya Rangga ingin tertawa mendengarnya. Tapi, dia berusaha menahan
perasaan geli yang menggelitik tenggorokannya. Malam-malam begini tidak pantas
tertawa. Bisa-bisa malah menimbulkan kecurigaan macam-macam. Apalagi, dalam
suasana seperti ini.
Malam terus merambat semakin larut. Rangga dan Lasmi masih tetap terjaga.
Bahkan kini terlibat percakapan ringan yang tidak membosankan. Dan Lasmi
selalu terpesona bila Rangga bertutur tentang hakikat hidup manusia.
***
Sudah tiga hari Rangga berada di rumah Ki Kusha. Dan selama itu, tidak ada
lagi peristiwa yang dialami. Sepertinya Ratu Bukit Brambang tidak ingin
memperpanjang persoalannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun
demikian, Rangga tetap yakin kalau suatu saat mereka pasti datang lagi.
Tewasnya salah seorang dari mereka, tentu tidak akan mungkin didiamkan begitu
saja.
Rangga tahu betul watak-watak tokoh rimba persilatan golongan hitam. Mereka
selalu menurut kata hati dan perasaan dendam. Kehilangan satu nyawa, harus
ditebus sepuluh nyawa. Bahkan lebih dari itu bisa dilakukan. Dari herannya,
selama tiga hari ini tidak kelihatan seorang pun pengikut Ratu Bukit Brambang
berkeliaran. Mereka seperti menghilang begitu saja.
Sementara, hubungan Rangga dengan keluarga Ki Kusha semakin erat saja.
Terlebih Lasmi. Wajah gadis itu tidak lagi murung seperti hari-hari yang lalu.
Perubahan pada diri Lasmi mendapat perhatian dari kedua orangtuanya. Namun,
mereka tidak ingin menduga lebih jauh lagi. Yang jelas, mereka sudah senang
melihat anaknya tidak lagi murung dan menyendiri di dalam kamar.
"Bu, Lasmi ke sungai dulu," kata Lasmi pagi itu. Gadis itu sudah menjinjing
keranjang cucian. Dia hanya mengenakan selembar kain yang melilit tubuhnya.
Sehingga bagian dada atas dan bahunya terbuka lebar, menampakkan kulit yang
putih halus.
"He?! Apa katamu...?!" Nyai Kusha terkejut.
"Lasmi ingin ke sungai," Lasmi mengulangi perlahan-lahan dengan suara agak
dikeraskan.
"Jangan macam-macam, Lasmi!" sentak ibunya.
"Sudah lama tidak ke sungai, Bu. Cucian sudah banyak," Lasmi beralasan.
"Dengar, Lasmi. Tidak ada seorang pun di sungai. Jangan mencari penyakit!"
tukas ibunya sengit.
"Jangan khawatir, Bu. Kang Rangga bersedia menemani, kok," kalem jawaban
Lasmi.
"Rangga...?" Nyai Kusha setengah tidak percaya.
"Biarkan saja, Bu," tiba-tiba Ki Kusha muncul.
"Pergi dulu, Bu, Yah...!" pamit Lasmi dengan wajah ceria. Gadis itu langsung
melangkah mengepit keranjang cucian yang terbuat dari anyaman bambu.
Langkahnya begitu ringan dan lincah. Bahkan terdengar gumamannya mendendangkan
satu tembang ceria.
Nyai Kusha hanya memandangi setengah tidak percaya. Bahkan sampai terbengong
melihat perubahan anak gadisnya yang begitu luar biasa. Sedangkan Ki Kusha
hanya tersenyum-senyum saja.
Lasmi menghampiri Rangga yang sedang membelah kayu bakar dengan kapak. Gadis
itu berjingkat-jingkat, dan menepuk bahu Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
terlonjak kaget, sedangkan Lasmi hanya tertawa sambil berlari menghindar.
"Heh!? Awas kamu, Lasmi...!" rutuk Rangga sambil berlari mengejar. Lasmi terus
berlari sambil tertawa renyah.
Sementara, dari balik jendela Ki Kusha memperhatikan dengan bibir menyungging
senyum. Lain halnya Nyai Kusha. Wanita tua itu tampak masih belum percaya
kalau anak gadisnya begitu riang seperti dulu-dulu lagi. Suara tawa Lasmi
begitu lepas, pecah berderai.
"Heh! Melamun...!" tegur Ki Kusha, tahu-tahu sudah duduk di samping istrinya.
Nyai Kusha tersentak kaget. Seorang anak perempuan kecil berlari-lari
menghampiri, dan langsung duduk di pangkuan Nyai Kusha. Perempuan tua itu
memeluknya dan menggoyang-goyangkan kakinya. Anak itu segera merebahkan kepala
di dada yang kempes. Tampaknya, bocah perempuan itu mengantuk. Sebentar saja
matanya terpejam.
"Apa yang kau lamunkan, Nyai?" tegur Ki Kusha sambil mengasah goloknya dengan
batu asahan.
"Lasmi...," sahut Nyai Kusha seraya melayangkan pandangannya ke depan. Namun
anak gadisnya sudah tidak terlihat lagi.
"Memangnya, Lasmi kenapa?" tanya Ki Kusha setengah memancing.
"Apa kau tidak melihat perubahannya, Ki?" dengus Nyai Kusha sewot.
"Biar saja. Daripada murung terus."
"Aku malah jadi cemas, Ki."
"Aneh...! Waktu dia murung dan menyendiri terus, kau cemas. Dan sekarang
setelah berubah, kau juga cemas. Memangnya Lasmi itu harus bagaimana...?"
"Tapi, Ki...."
"Kau mencurigai Rangga?" tebak Ki Kusha langsung.
"Entahlah," sahut Nyai Kusha ragu-ragu.
"Jangan berprasangka buruk, Nyai. Rangga itu orang baik. Seorang pendekar
lagi. Aku bisa merasakan keluhuran jiwanya. Mungkin saja Lasmi bisa.
menyadari, setelah Rangga memberi nasihat yang mengena di hatinya. Nyai...,
seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih padanya. Bukan malah
mencurigainya dengan prasangka buruk," Ki Kusha menasihati panjang lebar.
"Aku tidak berprasangka buruk padanya, Ki. Aku hanya heran, kenapa begitu
cepat Lasmi bisa berubah," bantah Nyai Kusha.
"Seseorang bisa saja berubah mendadak, Nyai."
"Dan pendekar itu juga manusia, bukan...?"
"Lagi-lagi kau menaruh kecurigaan!" dengus Ki Kusha.
"Curiga itu boleh, Ki. Toh sampai saat ini kita belum tahu tentang dia dan
asal-usulnya. Ki.... Kalau ada waktu, tanyakan asal-usulnya. Kau harus tahu,
siapa dia sebenarnya. Saat seperti ini, kita tidak boleh percaya penuh pada
siapa saja."
"Baik. Nanti akan kutanyakan," sahut Ki Kusha tidak mau memperpanjang. Ki
Kusha bangkit berdiri dan menyelipkan golok yang baru diasah di pinggangnya.
Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kayu-kayu bakar yang sudah dibelah
Rangga tadi. Laki-laki tua itu mengumpulkan dan menumpuknya di samping
rumah.
***
EMPAT
Rangga duduk di atas batu memperhatikan Lasmi yang sedang mandi di sungai,
setelah selesai mencuci gadis itu merendam tubuhnya sampai sebatas dada dan
seperti tidak peduli kalau ada seorang pemuda di situ. Dia juga tidak peduli
dengan beberapa bagian tubuhnya yang tersingkap ketika kain yang membelit
dipermainkan arus sungai. Beberapa kali Rangga mengalihkan perhatiannya ke
arah lain.
"Kau tidak mandi sekalian, Kakang...?!" seru Lasmi
"Sudah tadi," sahut Rangga seraya menoleh.
Pada saat itu Lasmi membenahi kainnya. Maka bagian dadanya sedikit terbuka.
Buru-buru Rangga mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sebagai laki-laki yang
sehat nafsunya, Rangga tak memungkiri kalau saat ini jantungnya jadi berdetak
keras, dan darahnya berdesir cepat tidak teratur. Sekuat mungkin Rangga
berusaha menenangkan perasaannya yang mendadak jadi tidak menentu. Dia bangkit
berdiri, dan melompat ke batu lain yang agak ke tepi.
Lasmi keluar dari dalam sungai. Sebentar dibenahinya kain yang basah, kemudian
memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada di tepi sungai. Melihat
pemuda itu memandang ke arah lain dengan sikap memunggungi, Lasmi buru-buru
mengganti kainnya yang basah dengan kain kering. Kemudian, kakinya melangkah
ke tepi sambil mengepit rinjing cuciannya.
"Pulang, yuk," ajak Lasmi yang sudah di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah mencucinya?" tanya Rangga seenaknya.
"Sudah," sahut Lasmi seraya tersenyum.
Mereka kemudian berjalan bersisian tanpa bicara lagi. Tapi baru saja beberapa
depa melangkah, mendadak Rangga berhenti. Langsung ditariknya tangan Lasmi ke
dekatnya. Lasmi jadi heran dan memandang pemuda itu lekat-lekat. Dengan halus
dilepaskannya, genggaman pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Lasmi melihat Rangga memiring-miringkan kepalanya.
Belum sempat Rangga menjawab, tiba-tiba saja dari balik semak bermunculan
gadis-gadis cantik ber-baju merah dengan pedang terhunus. Mereka langsung
mengepung Pendekar Rajawali Sakti dan Lasmi. Seketika, wajah gadis itu jadi
pucat pasi. Tubuhnya juga gemetar menggigil ketakutan. Gadis-gadis berbaju
merah itu berjumlah sepuluh orang. Dua di antaranya adalah Widarti dan Karina.
"Berikan rinjingmu padaku, Lasmi," ujar Rangga setengah berbisik. Belum juga
Lasmi memberikan keranjang cuciannya, Rangga sudah merebut dan mengepitnya di
pinggang. Kemudian ditariknya gadis itu ke belakang tubuhnya.
"Jangan jauh-jauh dariku," pinta Rangga.
"Baik," sahut Lasmi, agak bergetar suaranya.
"Kisanak! Yang Mulia Gusti Ratu memerintahkan agar kau menyerah dan bersedia
ikut dengan kami ke istana!" kata Widarti lantang.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Rangga ketus.
"Kau benar-benar keras kepala! Gusti Ratu menginginkanmu, dan berjanji tidak
akan mengganggu Desa Gedangan lagi!"
"Sama sekali aku tidak mempercayai janji perempuan iblis itu!" dengus Rangga
dingin.
"Keparat! Kau berani menghina junjungan kami bentak Karina.
"Sebaiknya, suruh saja ratu iblismu itu menemuiku. Biar kucincang tubuhnya!"
kata Rangga mengejek.
"Kadal buduk! Kurobek mulutmu, Keparat...!'geram Karina yang tidak pernah bisa
menahan kesabaran.
Setelah berkata demikian, Karina langsung melompat menerjang sambil berteriak
keras. Rangga yang harus melindungi Lasmi, tidak berani mengegos menghindari
serangan itu. Maka tangannya yang bebas segera diangkat. Dengan demikian,
pedang Karina yang mengarah dadanya, langsung terjepit kedua jarinya. Pada
saat yang hampir bersamaan, kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti melayang ke
depan. Langsung dihantamnya perut Karina.
Hantaman yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam,
membuat Karina mengeluh pendek, Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke
belakang begitu Rangga melepaskan jepitan jarinya pada pedang gadis itu.
"Serang..!" seru Widarti keras.
Seketika itu juga, yang lain berlompatan menyerang Rangga. Agak repot juga
Pendekar Rajawali Sakti menghadang serangan sepuluh orang yang rata-rata
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Terlebih lagi, harus juga melindungi
Lasmi yang tidak mengerti sama sekali ilmu olah kanuragan. Rangga tidak punya
pilihan lain lagi. Apalagi gadis-gadis itu bukan hanya menyerang dirinya, tapi
juga mengancam nyawa Lasmi.
Sret!
Cahaya biru langsung menyemburat berkilat begitu Rangga mencabut Pedang
Rajawali Sakti dari warangka. Dan dengan kecepatan kilat, pedangnya dikibaskan
untuk melindungi dirinya serta Lasmi dari serangan sepuluh orang gadis itu.
Trang! Tring!
"Akh...!" Pekik tertahan terdengar saling sambut begitu Rangga mengadukan
senjatanya dengan pedang-pedang yang mengurungnya. Dua orang melompat mundur
dengan bibir meringis kesakitan. Meskipun tidak mengalami luka, namun tangan
mereka jadi kaku akibat benturan senjata yang mengandung tenaga dalam luar
biasa dahsyatnya.
"Hiyaaa...!" Rangga berteriak keras. Seketika itu juga, kaki Pendekar Rajawali
Sakti bergerak cepat mengelilingi Lasmi. Pedangnya diputar-putar bagaikan
kilat, menghantam senjata-senjata yang berkelebatan di sekitarnya. Suara
denting senjata terdengar beberapa kali, disusul pekik tertahan. Tampak
gadis-gadis itu berlompatan mundur dengan bibir meringis, seraya mengurut-urut
pergelangan tangan.
"Mundur...!" seru Widarti tiba-tiba. Sepuluh orang gadis berpakaian merah
menyala itu langsung berlompatan kabur. Ilmu meringankan tubuh yang mereka
miliki memang cukup tinggi tingkatannya. Sehingga dalam sekejap saja, sudah
lenyap tidak terlihat lagi. Rangga menyarungkan kembali pedangnya. Maka,
cahaya biru lenyap seketika begitu Pedang Rajawali Sakti tenggelam dalam
warangka.
"Ayo kita pulang," ajak Rangga. Setengah berlari, Lasmi mengikuti langkah
Pendekar Rajawali Sakti. Padahal Rangga terlihat hanya berjalan biasa saja.
Memang tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Dan Rangga baru sadar setelah Lasmi berteriak.
"Kakang, tunggu...!" Lasmi berlari secepat-cepatnya menyusul. Rangga sendiri
jadi terkejut, karena baru sadar kalau tadi menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Lasmi terengah-engah begitu sampai di dekat Rangga. Wajahnya memerah
kecapaian. Dia tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi langkah Pendekar
Rajawali Sakti. Namun, Lasmi memang tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Sehingga nafasnya jadi tersengal-sengal.
"Maaf. Aku lupa kalau kau tidak bisa...."
"Huh! Hampir habis napas ku!" dengus Lasmi memotong ucapan Rangga.
"Mari aku gendong," kata Rangga langsung.
"Apa...?!" Lasmi terbeliak kaget.
"Biar lebih cepat," Rangga beralasan.
"Tidak! Biar jalan saja!" tolak Lasmi, langsung memerah wajahnya.
"Baiklah. Tapi cepat ya," Rangga menyerah.
Lasmi tidak menyahut, dan kembali melangkah. Wajah gadis itu masih memerah
jambu. Perkataan Rangga yang tadi, membuat jantungnya jadi berdegup keras.
Mereka terus melangkah cepat tanpa berkata-kata lagi. Dan Lasmi sampai lupa
kalau keranjang cuciannya masih berada di tangan Rangga.
***
Lasmi duduk menyendiri di bangku ruangan depan rumahnya. Pandangannya lurus ke
depan, menatap jalan yang sepi lengang. Beberapa kali ditariknya napas panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat. Sementara, malam sudah semakin larut. Namun
gadis itu belum juga beranjak masuk ke dalam kamar. Sepertinya ada sesuatu
yang membuatnya begitu gelisah malam ini.
Belum tidur, Lasmi...?"
"Oh!" Lasmi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang.
Gadis itu langsung berbalik, dan Rangga tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya.
Lasmi langsung bangkit dan melangkah ke dipan bambu, dan kembali duduk di
sana. Kakinya menjulur ke depan. Gadis itu membenahi kainnya yang tadi sedikit
tersingkap.
Rangga menghampiri, dan duduk di samping gadis itu setelah menutup jendela.
"Maaf, kata-kataku siang tadi," kata Rangga pelan.
Lasmi menghembuskan napas panjang, dan agak terkejut juga dengan kata-kata
Rangga. Memang, tadi dia melamun karena perkataan Rangga siang tadi yang ingin
menggendongnya. Padahal, belum pernah ada seorang pemuda yang berkata begitu
padanya. Meskipun punya kekasih yang hampir menikah, tapi kekasihnya itu belum
pernah menyentuhnya. Dan kini kekasihnya hilang diculik anak buah Ratu Bukit
Brambang.
Gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tidak marah atau tersinggung. Bahkan
seperti ada satu dorongan kuat untuk mendengar kembali. Kini malah Lasmi
sering membanding-bandingkan antara Rangga dengan kekasihnya dulu. Dan dia
tidak menemukan apa yang diinginkannya pada kekasihnya. Seolah-olah, apa yang
ada dalam diri Pendekar Rajawali Sakti ada dalam setiap mimpinya. Tapi,
bagaimana dengan Rangga sendiri?
Sebenarnya, cinta Rangga tetap pada Pandan Wangi yang kini tinggal di Kerajaan
Karang Setra. Sikapnya terhadap Lasmi hanya karena sifat kelaki-lakiannya
saja, namun dalam batas-batas wajar. Atau boleh dibilang, sifat ingin
melindungi kaum lemah.
"Tadi aku ke Bukit Brambang," kata Rangga merasa bosan karena diam terus.
"Mau apa ke sana...?!" sentak Lasmi terkejut.
"Menyelidiki keadaan," sahut Rangga kalem.
Lasmi menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Ada cahaya kecemasan
di dalam sinar matanya. Entah kenapa, dia begitu cemas mendengar pemuda itu
pergi ke Bukit Brambang. Lasmi seperti menjadi takut kehilangan.
"Cukup luas juga puncak bukit itu. Malah, cukup sulit untuk mencapainya," kata
Rangga lagi.
"Kau sendiri ke sana?" tanya Lasmi tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Iya," sahut Rangga mendesah.
"Lalu?"
"Aku sempat bentrok dengan beberapa orang. Yaaah..., terpaksa lima orang di
antara mereka kutewaskan."
"Terus...?" Lasmi jadi ingin tahu.
"Aku terpaksa pergi, karena jumlah mereka semakin banyak. Entah berapa
pastinya. Yang jelas, lebih dari tiga puluh orang. Dan rata-rata memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Tidak heran kalau banyak pendekar yang tewas di
sana," Rangga mengakui terus terang.
"Mereka pasti akan mencarimu, Kakang," desah Lasmi lirih.
"Itu yang kuharapkan," sahut Rangga kalem.
"Kau...?!" Lasmi terbeliak kaget. Sungguh mati Lasmi tidak mengharapkan
jawaban itu. Tanpa disadari, Lasmi menggamit tangan Rangga dan menggenggamnya
erat-erat. Sorot matanya begitu banyak menyimpan arti yang sukar dilukiskan.
"Kau kelihatan cemas, Lasmi," bisik Rangga pelan.
"Aku.... Oh...!" Lasmi jadi tergagap.
Gadis itu menunduk dan melepaskan genggamannya. Tapi, Rangga malah menarik
kembali tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan hangat. Perlahan-lahan
ujung jari Pendekar Rajawali Sakti menggamit dagu Lasmi dan membawanya ke
atas. Sehingga, pandangan mereka saling beradu. Terlihat bibir gadis itu
bergetar setengah terbuka. Wajah mereka begitu dekat, sehingga dengus napas
Rangga menerpa hangat kulit wajah gadis itu.
"Jangan pikirkan yang macam-macam. Aku sudah menyelidiki kekuatan mereka. Dan
aku sudah punya rencana untuk menghancurkannya," kata Rangga setengah
berbisik.
"Kakang..., aku...," tersekat suara Lasmi di tenggorokan. Lasmi tidak sanggup
lagi menahan gejolak hatinya. Kepalanya direbahkan di dada Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga melingkarkan tangannya, memeluk gadis itu. Sesaat lamanya mereka
terdiam. Kemudian perlahan-lahan Lasmi melepaskan diri dan kembali menatap
pemuda itu dalam-dalam.
"Aku takut, Kakang...," desah Lasmi lirih.
"Apa yang kau takutkan?" tanya Rangga lembut.
"Aku..., aku takut kehilanganmu...," tersendat suara Lasmi.
Rangga tersenyum lembut. Baru disadari kalau gadis itu ternyata sudah menaruh
hati padanya. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rangga tidak ingin gadis ini
terlalu jauh dihanyutkan perasaannya. Pendekar Rajawali Sakti tidak mau
menyakitkan hati wanita lain. Dia merasa sudah menjadi milik Pandan Wangi,
seorang wanita yang sangat dicintainya. Karena itu Rangga harus
menghindarinya, tanpa harus menyakiti.
"Lasmi. Kau percaya adanya kedatangan dan kepergian dalam kehidupan?" nada
suara Rangga seperti bertanya. Lasmi tidak menjawab, dan hanya menatap saja.
"Sang Hyang Widi selalu menciptakan semua yang ada di bumi dalam berpasangan.
Dan hidup semua pasangan itu sudah digariskan. Semua itu tidak terlepas dari
takdir yang berhubungan erat dengan kedatangan dan kepergian," kata Rangga
memberi wejangan. Lasmi tetap diam. "Manusia datang ke mayapada ini melalui
kelahiran, dan akan kembali ke asalnya melalui kematian. Begitu juga makhluk
lainnya. Mereka semua ada di bumi ini hanya untuk sementara, tidak selamanya.
Mereka datang, untuk kemudian kembali. Ibarat seorang tamu yang berkunjung,
tidak akan selamanya berada di sana," lanjut Rangga.
"Jadi...," suara Lasmi terputus.
"Aku adalah tamu di sini. Bukan hanya di rumah ini, tapi juga di seluruh desa
ini. Tidak mungkin aku menetap selamanya tanpa harus kembali ke tempat
asalku," kata Rangga.
"Oh, Kakang...," Lasmi menjatuhkan kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Lasmi. Aku bisa memahami perasaanmu. Tapi, kau juga harus bisa mengerti
keberadaanku," Rangga. meminta pengertian gadis itu.
"Aku mengerti, Kakang," sahut Lasmi seraya mengangkat kepalanya.
Mereka kembali saling berpandangan tanpa berkata-kata. Sementara, malam terus
merayap semakin larut. Udara dingin berhembus masuk melalui celah-celah
jendela. Lasmi menggeser tubuhnya lebih mendekat, sehingga tidak ada jarak
lagi di antara mereka.
"Kehadiranmu bagaikan matahari yang menerangi kegelapan hatiku, Kakang," bisik
Lasmi seraya merebahkan kepala kembali di dada pemuda itu. Rangga memeluk
tubuh ramping itu lebih erat. Hatinya bergetar juga mendengar ucapan Lasmi
yang begitu polos dan sederhana. "Aku pasti akan merindukanmu," bisik Lasmi
lagi.
Rangga mengangkat wajah gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam bola mata yang
bening indah itu. Darah kelaki-lakian Pendekar Rajawali Sakti bergolak
sejenak. Dan untuk sementara, dilupakannya Pandan Wangi. Paling tidak, agar
Lasmi tidak kecewa.
Maka perlahan-lahan kepalanya merunduk. Nafasnya begitu hangat menerpa kulit
wajah Lasmi. Sesaat, mata gadis itu terpejam. Sedangkan bibirnya hanya
bergetar ketika bibir Rangga menyentuhnya lembut. Kehangatan menjalar
seketika, membuat seluruh tubuh gadis itu bergetar.
Hanya sedikit Rangga mengecup bibir gadis itu, namun cukup membuat perasaan
Lasmi tidak menentu. Gadis itu membuka matanya, dan langsung menyurukkan
kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti. Disembunyikannya rona merah yang
menjalar seketika. Ada rasa bahagia, malu, dan segudang perasaan lain yang
menyatu di dalam hati.
***
LIMA
Sementara itu di Istana Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang tampak berang
menerima laporan para gadis pengikutnya yang gagal membawa Rangga. Terlebih
lagi, siang tadi lima orang pengikutnya tewas terbunuh di bukit ini.
"Kalian semua bodoh! Dungu...!" gerutu Ratu Bukit Brambang berang.
"Ampun, Gusti Ratu. Pemuda itu sangat tangguh. Kepandaiannya sangat
tinggi...," kilah Widarti seraya memberi hormat.
"Kalian memang gentong nasi! Tidak punya otak, dengus Ratu Bukit Brambang
berang.
Widarti, Karina, dan sekitar dua puluh lima orang gadis lainnya terdiam sambil
menundukkan kepala. Sejak kemunculan pemuda berbaju rompi putih itu Ratu Bukit
Brambang yang wajahnya seperti tengkorak jadi sering berang. Terlebih,
sekarang ini mereka kesulitan mencari pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmu
Ratu Bukit Brambang.
Memang, setiap malam harus ada seorang pemuda yang akan dijadikan tumbal untuk
wanita berjubah merah yang wajahnya bagai tengkorak itu. Pemuda-pemuda itu
dipaksa melayani hasratnya sebelum dibunuh dan diambil jantungnya. Dengan cara
begitu, ilmu iblis yang dimiliki Ratu Bukit Brambang tetap abadi dan semakin
sempurna. Di samping untuk kelangsungan hidupnya dari zaman ke zaman.
"Kuperintahkan pada kalian, bawa pemuda itu ke sini besok malam! Dan sebagian,
harus menyediakan satu pemuda malam ini. Paham...!" agak keras suara Ratu
Bukit Brambang.
"Paham, Gusti Ratu," sahut gadis-gadis itu serempak.
"Kerjakan sekarang!" perintah Ratu Bukit Brambang.
Semua gadis itu serempak memberi hormat dengan membungkukkan badan. Kemudian,
mereka berbalik dan melangkah ke luar.
"Widarti, Karina...!" panggil Ratu Bukit Brambang.
"Hamba, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina bersamaan. Mereka kembali
berbalik dan membungkuk memberi hormat.
"Ada tugas khusus untuk kalian berdua," kata Ratu Bukit Brambang seraya
bangkit dari singgasana. Singgasananya berbentuk seperti kepala tengkorak
manusia yang sangat besar.
Perempuan berjubah merah itu juga berpijak pada tumpukan tengkorak-tengkorak
manusia. Entah berapa puluh orang dibunuhkan untuk membuat singgasana itu.
Seluruh hiasan di ruangan pengap ini terbuat dari tulang-belulang manusia.
Bokor pendupaan yang berada di samping kiri dan kanan singgasana, juga
tersusun dari kepala tengkorak manusia. Suatu tempat yang membuat bulu kuduk
merinding bila memandangnya.
"Berapa kali kalian bentrok dengan pemuda itu tanya Ratu Bukit Brambang.
"Lebih dari tiga kali, Gusti Ratu," sahut Widarti seraya membungkuk memberi
hormat.
"Hm.... Dari ciri-ciri yang kalian ceritakan padaku sepertinya aku pernah
mendengar namanya," gumam Ratu Bukit Brambang pelan, seolah-olah bicara pada
diri sendiri. "Apa kalian tahu namanya?"
"Tidak, Gusti Ratu. Dia tidak pernah menyebutkan namanya," sahut Widarti.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba telah menyelidiki tentang pemuda itu. Namanya
Pendekar Rajawali Sakti", selak Karina.
"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ratu Bukit Brambang dengan kepala
menengadah ke atas.
Sebentar kemudian, wanita berwajah bagai tengkorak itu menatap kedua gadis
yang berdiri setengah membungkuk. Dia memang pernah mendengar nama itu
sebelumnya. Nama yang selalu menjadi pembicaraan di kalangan tokoh sakti rimba
persilatan. Sangat disegani dan sangat ditakuti. Ratu Bukit Brambang mendesah
panjang, lalu berbalik dan melangkah kembali ke singgasananya. Dia duduk di
sana dengan wajah terlihat berubah agak mendung. Dipandanginya kedua gadis
cantik yang masih berdiri setengah membungkuk itu. Sementara, yang dipandang
hanya diam tidak bergeming sedikit pun.
"Dia selalu bersama-sama dengan seorang gadis Desa Gedangan, Gusti Ratu," kata
Widarti.
"Kadal buduk...! Kenapa baru sekarang kalian bilang, heh?!" sentak Ratu Bukit
Brambang.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba tidak punya kesempatan bicara," ujar Widarti
takut-takut.
"Kami juga sudah mencoba menculik gadis itu, tapi tetap saja sulit, Gusti
Ratu. Pendekar Rajawali Sakti seperti ada di mana-mana. Selalu saja bisa
menolongnya," celetuk Karina.
"Rasanya, aku tidak perlu mengajarkan kalian. Bawa gadis itu ke sini. Pancing
Pendekar Rajawali Sakti agar datang ke sini. Kalian mengerti maksudku?"
"Mengerti, Gusti Ratu," sahut Widarti dan Karina serempak.
"Ini tugas kalian. Dan aku tidak sudi lagi mendengar kegagalan."
"Hamba, Gusti Ratu."
"Berangkatlah sekarang juga!"
Widarti dan Karina membungkuk memberi hormat. Mereka melangkah mundur beberapa
tindak, kemudian berbalik dan bergegas keluar dari ruangan pengap mengerikan
itu. Ratu Bukit Brambang masih duduk di singgasananya meskipun kedua gadis
pilihannya sudah keluar dari ruangan ini.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desisnya pelan.
***
Emoticon