SATU
HARI masih terlalu pagi. Matahari juga belum menampakkan diri. Hanya bias
cahayanya saja yang mencuat di balik puncak gunung sebelah timur. Namun
begitu, suasana alam sudah diramaikan oleh kicauan burung yang mencari makan,
setelah semalaman harus menahan lapar. Di kaki Gunung Lanjaran, terlihat
serombongan orang berkuda menyusuri jalan setapak.
Dari pakaian dan umbul-umbul yang dibawa oleh seorang penunggang kuda paling
depan, sudah bisa dipastikan kalau mereka adalah sepasukan prajurit sebuah
kerajaan. Sebuah lambang yang tertera pada umbul-umbul, memperjelas kalau
mereka dari Kerajaan Ringgading, yang terletak di daerah Selatan. Entah apa
tujuan mereka sehingga terlihat berada di kaki Gunung Lanjaran yang berada di
daerah Utara ini.
"Hooop...!" Tiba-tiba saja, seorang prajurit yang berkuda paling depan
mengangkat tinggi-tinggi ke atas kepala, bendera umbul-umbul yang dibawanya
sambil berteriak keras. Suaranya sampai terdengar ke barisan paling belakang.
Maka seketika itu juga, rombongan berkuda itu berhenti bergerak. Tampak
seorang penunggang kuda berpakaian patih, memacu cepat kudanya dari bagian
tengah menuju ke depan. Kemudian prajurit pembawa lambang kerajaan, memberi
hormat begitu patih itu sudah berada dekat di sebelah kanannya.
"Ada apa, Prajurit?" tanya patih itu dengan suara besar dan berwibawa.
"Ampun, Gusti Patih Gandaraka. Sekilas tadi, hamba melihat sebuah bayangan
berkelebat memotong jalan di depan," sahut prajurit itu dengan sikap hormat.
"Di mana?" tanya Patih Gandaraka sambil mengarahkan pandangannya ke depan.
"Se...." Belum juga prajurit yang masih muda itu bisa meneruskan jawabannya,
tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur begitu cepat bagai kilat menuju ke
arahnya. Begitu cepatnya melesat, sehingga prajurit pembawa lambang kerajaan
itu tidak sempat lagi menghindari. Dan....
Crab! "Aaa...!"
"Siaga...!" teriak Patih Gandaraka dengan suara keras menggelegar.
Sret! Cring!
Semua prajurit langsung mencabut senjata masing-masing. Sementara seorang
prajurit pembawa umbul-umbul lambang kerajaan, sudah menggeletak tewas di
samping kudanya. Sebatang anak panah tampak menembus lehernya. Darah mengucur
deras dari lubang di leher yang tertembus anak panah.
Sementara, Patih Gandaraka sudah melompat turun dari punggung kudanya, diikuti
sekitar dua puluh orang prajurit berpangkat punggawa. Dan mereka semua sudah
menghunus pedang masing-masing. Seketika keadaan menjadi sunyi sekali, seperti
berada di tengah-tengah hutan lebat dan tidak berpenghuni. Hanya desir angin
saja yang terdengar, mempermainkan dedaunan yang saling bergesekan.
Patih Gandaraka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit pun tak
terlihat tanda-tanda ada orang bersembunyi di balik lebatnya pepohonan dan
semak belukar yang tumbuh di kaki Gunung Lanjaran ini. Namun mendadak saja....
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!" Srak!
Dari balik pepohonan dan Semak belukar seketika bermunculan orang-orang
berpakaian seragam serba hitam, dengan kepala terselubung kain hitam pula.
Hanya bagian mata dan mulut saja yang terlihat, karena adanya dua lubang di
bagian mata dan satu lubang pada bagian mulut. Begitu cepat kejadian itu.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, prajurit-prajurit Kerajaan Ringgading
sudah terkepung oleh sekitar seratus orang berpakaian serba hitam itu. Bahkan
para pengepung sudah menggenggam pedang terhunus yang berkilatan di depan
dada.
Saat itu, Patih Gandaraka menarik kakinya ke belakang, mendekati para
prajuritnya yang sejak tadi sudah bersiaga penuh. Pandangan mata patih itu
tertuju lurus pada seseorang yang juga berbaju hitam gelap dan ketat, walaupun
sedikit berbeda dari yang lain. Pada bagian tengah dadanya, terdapat sebuah
sulaman benang emas, bergambar sebuah lingkaran dan gambar bintang di bagian
tengahnya.
Senjatanya juga bukan pedang seperti yang lain, tapi sebatang tongkat berwarna
putih keperakan sepanjang lengan yang tergenggam di tangan kanannya. Pada
kedua ujung tongkat itu berbentuk bintang bersegi lima yang ujung-ujungnya
sangat runcing.
Patih Gandaraka menduga kalau orang itu adalah pemimpinnya. Ini bisa dilihat
dari senjata dan pakaiannya yang berbeda dengan yang lain. Kini orang itu
melangkah beberapa tindak, mendekati Patih Gandaraka yang berdiri di depan
para prajuritnya.
"Kau pemimpinnya...?" terdengar sangat berat suara orang bertongkat putih
keperakan yang kedua ujungnya berbentuk bintang bersegi lima itu, seraya
menunjuk Patih Gandaraka dengan satu ujung tongkatnya.
"Benar," sahut Patih Gandaraka, tegas. "Aku Patih Gandaraka dari Kerajaan
Ringgading. Dan kau sendiri, apakah juga pemimpin mereka semua?"
"Tidak salah. Akulah pemimpin mereka. Tapi, masih ada pemimpin yang lebih
tinggi lagi. Dan aku selalu dipanggil dengan julukan si Tongkat Bintang
Perak."
"Hm.... Julukan yang bagus," gumam Patih Gandaraka, memuji tulus.
"Patih Gandaraka! Kau jauh-jauh datang ke wilayah Utara ini bersama sepasukan
prajurit?" tanya si Tongkat Bintang Perak, masih dengan suara besar dan
menggetarkan.
"Maaf! Kami mendapat tugas penting dan sangat rahasia dari junjungan kami yang
bernama Gusti Prabu Gading Anom. Jadi, tujuan kami semua datang ke wilayah
Utara ini tidak bisa dijelaskan. Dan perlu kau ketahui, kami hanya lewat saja
di kaki gunung ini. Sebenarnya, bukan di sini tujuan kami," sahut Patih
Gandaraka, mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Kau tahu, Patih?! Di sekitar Gunung Lanjaran ini tidak ada yang lebih
berkuasa, selain junjungan kami. Maka tidak ada seorang pun yang boleh lewat
begitu saja di sini, kecuali membayar upeti kepada kami.. Kau mengerti
maksudku, Patih,..?" lantang sekali suara si Tongkat Bintang Perak.
"Hm.,.," Patih Gandaraka menggumam perlahan. Kening patih itu jadi berkerut.
Sedangkan kelopak matanya menyipit, menatap dengan sinar cukup tajam ke bola
mata orang di depannya yang mengaku sebagai pemimpin orang-orang berseragam
hitam itu. Walaupun dari suaranya sudah jelas laki-laki, tapi wajahnya memang
sulit dikenali. Hanya kedua mata dan mulutnya saja yang terlihat, karena
seluruh wajahnya tertutup kain hitam.
Patih Gandaraka bisa memahami arti kata-kata orang berbaju serba hitam yang
mengaku berjuluk si Tongkat Bintang Perak. Dan tentu saja, permintaan itu
tidak bisa dianggap main-main. Apalagi, kemunculan mereka begitu tiba-tiba.
Bahkan sudah, menewaskan satu orang prajurit. Patih Gandaraka menjentikkan
ujung jarinya sedikit. Maka para prajurit yang berada di belakangnya, sudah
bisa mengerti artinya. Mereka langsung saja bersiaga, siap menunggu perintah.
"He he he...! Rupanya kau lebih sayang harta, Patih. Bagus...! Pertahankan
milikmu kalau mampu," ujar si Tongkat Bintang Perak diiringi tawanya yang
terkekeh.
Patih Gandaraka hanya diam saja. Perlahan pedangnya yang sejak tadi tergantung
di pinggang dicabut. Tatapan matanya tertuju lurus, seakan-akan hendak
menembus kain hitam yang menutupi wajah si Tongkat Bintang Perak.
"Seraaang...!" Tiba-tiba si Tongkat Bintang Perak berteriak lantang
menggelegar. Begitu keras teriakannya, karena disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dan seketika itu juga....
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
"Hadang mereka...!" seru Patih Gandaraka memberi perintah.
"Yeaaah...!" "Hiyaaat..!"
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Begitu mendapat perintah,
orang-orang berseragam hitam itu langsung saja berlompatan menyerang. Begitu
juga para prajurit Kerajaan Ringgading, yang segera menyambut serangan.
Sedikit pun tak tersirat kegentaran di mata para prajurit. Dengan tangkas
sekali, serangan yang begitu gencar segera disambut.
Tapi, rupanya orang-orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa dianggap
sembarangan. Mereka tampaknya sudah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran
seperti ini. Hingga dalam waktu yang tidak begitu lama, para prajurit yang
memang kalah dalam hal jumlahnya, sudah terdesak. Pertarungan baru berjalan
beberapa saat saja, tapi sudah separuh lebih para prajurit yang tewas.
Dan hal ini membuat Patih Gandaraka jadi gusar. Terlebih lagi saat melihat
orang-orang berbaju serba hitam itu bertarung seperti orang kesetanan saja.
Sedikit pun tak tersirat rasa takut. Bahkan mereka terus saja merangsek maju.
Kegentaran mulai terlihat pada sinar mata para prajurit. Sementara,
orang-orang berbaju serba hitam itu semakin kelihatan ganas saja. Jerit dari
pekikan melengking tinggi semakin sering terdengar. Sementara, tubuh-tubuh
bersimbah darah terus berjatuhan. Bau anyir darah semakin terasa mengusik
lubang hidung.
"Berhenti...!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Bentakan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu membuat pertarungan jadi terhenti
seketika. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam segera berlompatan
mundur, walaupun masih mengepung para prajurit Kerajaan Ringgading.
Tampak Patih Gandaraka berdiri berhadapan dengan si Tongkat Bintang Perak
dengan jarak cukup dekat. Tapi, secara bersamaan mereka cepat-cepat
berlompatan mundur, begitu tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat begitu cepat
bagai kilat. Setelah ditunggu-tunggu beberapa saat, tapi tak ada seorang pun
yang kelihatan muncul.
Semua orang yang tadi bertarung, jadi kelihatan bingung. Mereka saling
berpandangan satu sama lain. Tadi, bentakan itu jelas sekali terdengar. Begitu
keras menggelegar, dan mengejutkan. Buktinya, mampu membuat pertarungan jadi
terhenti seketika. Dan di saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Tepat ketika terdengar teriakan serak yang begitu keras, terlihat sebuah
bayangan di angkasa, melewati tempat pertarungan itu. Secara bersamaan, mereka
mengangkat kepala memandang ke atas. Maka saat itulah terlihat seekor burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan, tengah terbang melayang memutari
tempat dua kekuatan yang saling berhadapan tadi.
"Kalian yang dari Kerajaan Ringgading, cepat menyingkir dari sana...!"
Tiba-tiba kembali terdengar suara yang begitu keras menggelegar, mengandung
pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan sampai menggema, seperti datang
dari segala arah. Dan tentu saja, hal itu membuat semua orang yang berada di
bawahnya jadi terkejut setengah mati. Sampai-sampai tak ada seorang pun yang
bergerak. Mereka semua diam mematung, dengan kepala terdongak ke atas
memandangi burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang masih tetap
berputaran di udara.
"Cepat kalian menyingkir...!"
Kembali terdengar bentakan keras menggelegar. Dan kali ini, jelas sekali kalau
suara itu dari atas. Sepertinya, yang berbicara burung rajawali raksasa itu.
Namun cukup jelas terlihat kalau paruh burung itu tidak bergerak sedikit pun.
"Menyingkir, cepaaat...!" seru Patih Gandaraka dengan suara lantang dan
menggelegar. Mendengar perintah yang begitu menggelegar dari pemimpinnya, maka
seketika itu juga para prajurit Kerajaan Ringgading segera bergerak menjauhi
tempat itu.
Sedangkan orang-orang berpakaian serba hitam yang dipimpin si Tongkat Bintang
Perak masih terlongong bengong, memandangi burung rajawali raksasa berbulu
putih keperakan di atas sana. Dan begitu para prajurit Kerajaan Ringgading
sudah cukup jauh, tiba-tiba saja burung rajawali putih raksasa itu meluruk
deras ke bawah sambil mengeluarkan suara serak dan menyakitkan gendang
telinga.
"Khraaagkh...!" Begitu cepatnya burung raksasa itu menukik, sehingga membuat
orang-orang berpakaian serba hitam hanya terlongong bengong, tanpa bertindak
sesuatu. Dan belum juga ada yang sempat menyadari, tiba-tiba saja terdengar
jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul. Kemudian,
terlihat puluhan orang berpakaian serba hitam itu berpentalan ke angkasa, lalu
keras sekali jatuh menghantam tanah.
Hanya dalam waktu beberapa saat saja, sudah lebih dari tiga puluh orang
bergelimpangan dengan nyawa melayang. Burung rajawali raksasa putih keperakan
itu kembali melambung tinggi ke angkasa. Dan bagaikan kilat, kembali meluruk
deras sambil berkaokan. Suaranya begitu keras, menyakitkan gendang telinga.
"Khraaagkh...!"
"Cepat berlindung...!" teriak si Tongkat Bintang Perak sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa..!" "Yeaaah...!"
Beberapa orang memang masih sempat berlompatan menghindari serangan burung
rajawali raksasa itu. Tapi, tidak sedikit yang terlambat. Mereka berpentalan
ke angkasa sambil menjerit keras menyayat, lalu berjatuhan tanpa nyawa lagi
"Gila...! Burung apa itu...?!" desis si Tongkat Bintang Perak.
"Khragkh...!"
"Heh...?! Hup...!" Si Tongkat Bintang Perak jadi terperanjat setengah mati,
begitu tiba-tiba burung rajawali raksasa berbulu putih itu meluruk deras
menyerangnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke samping. Tubuhnya langsung
dibanting ke tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali menghindari serangan
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Hup!" Bergegas si Tongkat Bintang Perak melompat bangkit berdiri begitu
berhasil menghindari serangan yang sangat mengerikan itu. Tapi baru saja
kakinya menjejak tanah, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu
sudah kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi sekali.
"Haiit..!" Cepat-cepat si Tongkat Bintang Perak melompat ke kanan, menghindari
terjangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, sayap burung rajawali raksasa
itu bergerak mengepak begitu cepat tanpa dapat dihindari oleh si Tongkat
Bintang Perak. Apalagi, saat itu sedang berada di atas tanah. Maka....
Plak! "Akh...!" Begitu kerasnya sambaran sayap burung raksasa itu, sehingga
membuat tubuh si Tongkat Bintang Perak terpental deras sekali. Dan luncuran
tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu besar, hingga hancur
berkeping-keping. Si Tongkat Bintang Perak menggeliat sambil merintih lirih di
antara kepingan pecahan batu yang terlanda tubuhnya tadi. Tampak darah kental
menggumpal, memenuhi mulutnya.
"Phuih...!" Si Tongkat Bintang Perak menyemburkan darah yang memenuhi
mulutnya, lalu mencoba bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna,
tiba-tiba saja burung rajawali raksasa itu sudah kembali mengebutkan sayapnya
yang sangat besar dan kokoh. Dan hal ini membuat si Tongkat Bintang Perak jadi
terlongong tanpa dapat berbuat apa-apa. Dan...
Plak! "Aaakh...!"
Kembali si Tongkat Bintang Perak menjerit keras melengking tinggi, begitu
sayap burung rajawali raksasa itu kembali menghantam telak tubuhnya dengan
keras sekali. Bagaikan batu yang dilontarkan oleh ketapel, tubuh si Tongkat
Bintang Perak kembali melayang deras. Bahkan langsung menghantam beberapa
batang pohon hingga hancur berkeping-keping. Lalu, dia jatuh keras sekali ke
tanah, sehingga tubuhnya menggeliat sambil merintih lirih merasakan sakit yang
amat sangat. Darah semakin banyak mengalir dari mulutnya.
Hebatnya, si Tongkat Bintang Perak masih juga berusaha bangkit berdiri. Tapi
belum juga bisa berdiri sempurna, mendadak saja paruh burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan yang setajam pedang sudah menyambar kedua kaki
laki-laki berpakaian serba hitam itu. Begitu cepat sambarannya, sehingga si
Tongkat Bintang Perak tidak sempat lagi menghindarinya.
Krasss! "Aaakh...!"
Si Tongkat Bintang Perak menjerit keras begitu kakinya tersambar paruh burung
rajawali raksasa itu. Seketika, laki-laki berpakaian serba hitam itu jatuh
kembali bergelimpangan. Tampak dari kaki kanannya darah deras sekali
berhamburan keluar. Si Tongkat Bintang Perak merintih kesakitan sambil
memegangi kakinya yang ternyata sudah hampir buntung. Rasanya, tidak mungkin
dia bisa bangkit berdiri lagi dengan sebelah kaki yang sudah hampir buntung.
"Setan keparat! Kubunuh kau, Burung Keparat...!" geram si Tongkat Bintang
Perak sambil meringis menahan sakit yang amat sangat pada kaki kanannya.
"Khraaagkh...!"
Sedangkan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah melambung
tinggi ke angkasa sambil memperdengarkan suaranya yang serak dan sangat keras
menyakitkan gendang telinga. Burung rajawali raksasa itu terus berputaran di
angkasa, mengelilingi hutan di kaki Gunung Lanjaran ini.
"Khraaagkh...!"
Sementara, si Tongkat Bintang Perak berusaha bangkit berdiri, walaupun
kelihatannya memang sulit sekali. Sambil mendengus berat, ditotoknya jalan
darahnya beberapa kali di sekitar luka yang menganga lebar pada kakinya. Dan
seketika itu juga, darah berhenti mengalir keluar. Dengan bantuan tongkatnya,
si Tongkat Bintang Perak kembali berusaha susah payah untuk berdiri. Dan
akhirnya, dia mampu juga berdiri. Namun berdirinya tidak bisa kembali tegak,
dan harus ditopang tongkatnya.
"Phuih...!" Sambil menyemburkan ludahnya dengan kesal, si Tongkat Bintang
Perak langsung mengempos tubuhnya disertai pengerahan tenaga dalam. Tapi
begitu melompat, tiba-tiba saja jatuh terguling ke tanah. Mulutnya memekik
keras, begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras sekali, dan
bergelimpangan beberapa kali.
"Setan keparat...!" makinya semakin berang. Sementara itu, orang-orang berbaju
serba hitam yang melihat pemimpinnya sudah kehilangan kekuatan dan tenaga
lagi, bergegas berlarian kabur. Tidak dihiraukan lagi si Tongkat Bintang Perak
yang berteriak-teriak memerintahkan mereka untuk kembali.
Seorang pun tak ada yang mau mendengarkan perintahnya, sehingga membuat si
Tongkat Bintang Perak jadi memaki-maki dan menyumpah serapah sendiri.
Laki-laki berpakaian hitam itu masih mencoba bangkit berdiri lagi, tapi
tenaganya memang sudah lenyap. Entah kenapa, setelah kakinya tersambar paruh
burung rajawali raksasa itu, seketika tenaganya jadi lenyap. Dan tenaga
dalamnya benar-benar tidak bisa lagi dikerahkan. Bahkan untuk bisa berdiri
lagi saja, terasa sangat sulit.
"Huh...!"
***
DUA
Si Tongkat Bintang Perak terus memaki-maki dan menyumpah serapah. Sementara,
tidak seorang pun lagi anak buahnya yang masih tertinggal. Sedangkan Patih
Gandaraka sudah melangkah menghampiri diikuti para prajuritnya yang kini
tinggal separuhnya. Patih Kerajaan Ringgading itu baru berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi dari si Tongkat Bintang Perak.
Sementara, para prajuritnya langsung mengepung rapat. Dengan senjata terhunus,
mereka siap mencabik tubuh orang berbaju serba hitam yang kepalanya tertutup
kain hitam itu.
"Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak mendengus berat, sambil menyemburkan
ludahnya dari lubang kain pada bagian mulutnya.
"Aku ingin tahu seperti apa wajahmu, Tongkat Bintang Perak," desis Patih
Gandaraka, agak dingin nada suaranya. Bret! Cepat sekali Patih Gandaraka
merenggut kain yang menyelubungi kepala si Tongkat Bintang Perak. Dan begitu
kain hitam terlepas, terlihatlah seraut wajah berusia separuh baya, namun
masih kelihatan gagah dan cukup tampan. Tapi di balik kegagahannya,
tersembunyi sorot mata dan garis-garis kebengisan serta kekejaman.
"Setan! Phuih...!" si Tongkat Bintang Perak memaki sambil menyemburkan
ludahnya dengan sengit.
"Hm.... Kau sekarang tidak punya daya lagi, Kisanak. Apa yang akan kau lakukan
sekarang...?" masih terdengar dingin sekali nada suara Patih Gandaraka.
"Bunuhlah aku...!" bentak si Tongkat Bintang Perak, geram.
"Terlalu enak kalau langsung membunuhmu, Tongkat Bintang Perak. Aku ingin tahu
lebih dulu, kenapa kau dan orang-orangmu ingin meminta upeti pada kami?
Padahal, kami tidak membawa apa-apa selain senjata, perbekalan, dan pakaian
yang melekat di badan. Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Patih Gandaraka.
"Kau tidak bisa mendapat jawaban dariku, Patih Keparat!" geram si Tongkat
Bintang Perak dengan bola mata mendelik lebar. "Tapi, kau akan mendapat
balasan dari gerombolan Tongkat Putih!" Wajah si Tongkat Bintang Perak yang
kaku, semakin terlihat bengis. Sorot matanya begitu tajam, memancarkan dendam
dan kebencian yang amat sangat pada Patih Gandaraka.
Namun memang, dia tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Bahkan untuk menggerakkan
tangannya saja sudah terasa sangat sulit. Si Tongkat Bintang Perak hanya bisa
mendengus dan memaki dalam hati. Seluruh tenaganya benar-benar tidak ada lagi,
setelah beberapa kali terkena hantaman dan kebutan sayap burung rajawali
raksasa berbulu putih keperakan yang tiba-tiba saja muncul dan langsung ganas
menyerangnya.
Sementara di angkasa burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan masih
terlihat melayang-layang memutari hutan kecil di kaki Gunung Lanjaran ini.
Sepertinya burung itu belum mau meninggalkan hutan ini, sebelum para prajurit
Kerajaan Ringgading benar-benar merasa aman.
"Hih!" Sret!
Tiba-tiba saja si Tongkat Bintang Perak mengangkat tongkat yang ujungnya
berbentuk bintang dengan sisa tenaganya. Dan sebelum ada yang bisa menyadari,
mendadak saja ujung tongkatnya yang berbentuk bintang dihunjamkan ke dadanya
sendiri.
Jleb!
"Akh...!"
"Heh...?!" Begitu cepat tindakan yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak,
sehingga Patih Gandaraka tidak sempat lagi mencegah. Seketika tongkat berujung
bintang berwarna putih keperakan itu langsung menghunjam begitu dalam ke dada
si Tongkat Bintang Perak.
Hanya sebentar saja laki-laki separuh baya itu menggeliat meregang nyawa
sambil memegangi bagian tengah tongkatnya yang menghunjam dalam di dadanya,
kemudian sudah menegang kaku disertai erangan lirih. Lalu, tubuhnya diam tak
bergerak-gerak lagi.
Sementara, Patih Gandaraka hanya bisa memandangi tanpa mampu berbuat apa pun
lagi untuk menyelamatkan nyawa si Tongkat Bintang Perak.
"Edan...!" dengus Patih Gandaraka mendesis. Memang sulit dipahami tindakan
yang dilakukan si Tongkat Bintang Perak. Nyawanya sendiri rela dihabisi
daripada harus menjadi tawanan musuhnya. Suatu tindakan yang dilandasi
keberanian besar. Sangat sulit menemukan orang yang rela menghabisi nyawanya
sendiri. Dan itu merupakan satu pilihan yang sangat sulit!
"Huuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Patih Gandaraka menghempaskan
tubuhnya yang langsung jatuh terduduk lemas di samping mayat si Tongkat
Bintang Perak.
Sementara, sisa prajuritnya hanya bisa diam saja memandangi tanpa mampu
berbuat sesuatu pun. Untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka
suara. Dan tanpa disadari, Patih Gandaraka mendongakkan kepalanya. Dan burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya mengalahkan
orang-orang berbaju serba hitam juga masih terlihat.
"Kematiannya tidak perlu disesali, Patih. Sebaiknya bawalah sisa prajuritmu
pergi dari tempat itu secepatnya. Kau akan mendapat kesulitan yang lebih besar
lagi kalau tidak segera meninggalkan tempat itu," tiba-tiba saja terdengar
suara menggema yang sangat keras.
Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
sempurna, sehingga bagaikan datang dari segala penjuru mata angin. Sangat
sulit diketahui, dari mana asal suara itu. Dan ini tentu saja membuat Patih
Gandaraka jadi tersentak kaget setengah mati. Bahkan semua prajuritnya juga
terkejut.
"Hup!" Bergegas Patih Gandaraka melompat bangkit berdiri. Dia berkacak
pinggang sambil menengadahkan kepalanya. Saat itu, di angkasa terlihat burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang telah membantunya tadi sedikit
terbang berputar. Dan Patih Gandaraka sempat melihat kalau di atas punggung
burung raksasa itu ada seseorang. Walaupun hanya terlihat sekilas, tapi dia
sempat terperanjat juga. Tidak disangka kalau rajawali raksasa itu ditunggangi
seseorang yang sama sekali tidak jelas, baik bentuk tubuh maupun rupanya. Dan
belum juga Patih Gandaraka bisa memastikan, burung raksasa itu sudah melesat
cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah
lenyap dari pandangan.
"Hm.... Siapapun dia, pasti bermaksud baik padaku. Baiklah, kata-katanya akan
kuturuti," gumam Patih Gandaraka di dalam hati.
Sebentar laki-laki itu masih menengadahkan kepalanya. Kini burung raksasa yang
telah membuatnya begitu tercengang sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
Kemudian, para prajuritnya diperintahkan untuk segera melanjutkan perjalanan.
Sebentar kemudian, para prajurit Kerajaan Ringgading itu sudah kembali
bergerak meninggalkan kaki Gunung Lanjaran ini.
***
Sementara itu, tidak jauh di sebelah Selatan Gunung Lanjaran, terlihat seorang
gadis cantik berbaju biru muda tengah duduk menyendiri di atas sebongkah batu
besar yang menghadap ke sebuah lembah yang sangat indah. Dan saat itu,
matahari sudah agak condong ke arah Barat. Gadis itu memandangi mentari yang
terus bergerak turun ke tempat peraduannya. Begitu indah terlihat. Terlebih
lagi, saat ini angin bertiup lembut. Sehingga indahnya suasana senja ini makin
bertambah saja.
Gadis cantik berbaju ketat warna biru yang tampaknya bukan orang sembarangan
itu sedikit memutar tubuhnya ke kanan. Saat itu dirasakan adanya hembusan
angin lain. Dan memang, dia bukan gadis sembarangan. Dan ini bisa dilihat dari
sebilah pedang bergagang kepala seekor naga hitam yang bertengger di
punggungnya. Sedangkan di bagian perutnya, terselip sebuah kipas tertutup,
yang berwarna putih keperakan. Pada bagian ujung-ujung kipas itu berbentuk
seperti mata anak panah yang kecil sekali ukurannya.
Dilihat dari pakaian dan senjata yang disandang, tentu tidak akan ragu-ragu
lagi mengenalinya. Dan sepak terjangnya memang sudah terkenal di kalangan
rimba persilatan. Dialah yang dikenal berjuluk si Kipas Maut, walaupun nama
sebenarnya Pandan Wangi.
"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit berdiri
begitu melihat ada seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan
mendarat tidak jauh di sebelah kanannya.
Dan dari punggung binatang raksasa itu melompat turun seorang pemuda berwajah
tampan berbaju rompi warna putih. Tampak juga sebuah gagang pedang berbentuk
kepala burung rajawali menyembul di balik, punggungnya. Pemuda tampan berbaju
rompi putih itu bergegas menghampiri gadis cantik yang sudah berdiri menunggu
sambil berkacak pinggang. Tampak jelas kalau Pandan Wangi memasang wajah kaku,
dengan sorot mata begitu tajam. Seakan-akan sorotannya hendak menembus
langsung bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih yang selama ini dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke mana saja kau, Kakang? Kenapa begitu lama...?" Pandan Wangi langsung
menodongnya dengan pertanyaan beruntun.
"Sabar, Pandan...," ucap Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di atas batu
yang tadi diduduki si Kipas Maut.
Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri berkacak pinggang sambil memandangi
Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata cukup tajam. Sementara yang
dipandangi kelihatan tenang, sambil mengatur jalan nafasnya yang terdengar
sedikit memburu.
"Ada suatu peristiwa di perjalanan tadi," kata Rangga lagi, tanpa menghiraukan
kekesalan si Kipas Maut itu. Memang, gadis cantik itu terpaksa harus menunggu
hampir setengah harian di tempat yang sangat sunyi ini.
"Peristiwa apa?" tanya Pandan Wangi lagi, masih terdengar kaku.
"Peristiwa yang tidak bisa dikatakan kecil. Dan terpaksa Rajawali Putih
kuminta untuk mengatasinya," sahut Rangga, masih terdengar kalem suaranya.
"Ceritakan saja yang jelas, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Waktu sedang menuju ke sini, aku melihat sebuah pertarungan. Dan kedua
kelompok yang bertarung itu kukenali betul. Aku juga tidak perlu berpikir
panjang untuk berpihak pada salah satu kelompok itu. Lalu, Rajawali Putih
kuperintahkan untuk menghentikan pertarungan. Semula, aku tidak ingin sampai
Rajawali Putih bertindak keras. Tapi, ternyata kekerasan harus dilakukan
juga," Rangga memulai menceritakan peristiwa yang dialaminya dalam perjalanan
menuju ke lembah ini.
"Lalu...?" Pandan Wangi meminta meneruskan.
"Rajawali Putih memang berhasil mengusir salah satu kelompok itu. Bahkan
berhasil melukai pemimpinnya. Tapi sungguh tidak kusangka kalau Rajawali Putih
membuat pemimpin satu kelompok itu sampai tidak berdaya sama sekali. Bahkan
jadi putus asa, dan membunuh dirinya sendiri...," semakin terdengar pelan
suara Rangga pada kalimat terakhir.
"Kelompok mana yang kau usir? Dan, mana yang kau bela, Kakang?" tanya Pandan
Wangi jadi ingin tahu.
"Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan percaya, Pandan," sahut Rangga kalem.
"Katakan, Kakang. Siapa saja mereka...?" desak Pandan Wangi semakin penasaran
ingin tahu.
Rangga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah bangkit berdiri dan
berjalan menghampiri Rajawali Putih yang mendekam tidak jauh jaraknya.
Perlahan, tubuhnya diputar berbalik, setelah dekat dengan Rajawali Putih.
Burung raksasa itu segera menyodorkan kepalanya. Rangga langsung menyambut dan
memeluknya dengan hangat. Lembut sekali bola mata burung raksasa itu
dikecupnya.
Sementara, Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan rasa penasaran.
Terutama, karena pertanyaannya tadi belum juga dijawab Pendekar Rajawali
Sakti.
"Siapa saja mereka, Kakang...?" Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya yang
belum juga terjawab tadi. Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja memeluk kepala burung tunggangannya,
sekaligus gurunya dalam ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan.
Rangga kemudian melepaskan pelukannya. Sedikit diberikannya senyum tipis pada
gadis cantik berbaju biru yang kini sudah dekat di depannya.
"Para prajurit dari Kerajaan Ringgading," sahut Rangga seperti tidak peduli
rasa keingintahuan Pandan Wangi.
"Lalu..., kelompok yang satunya lagi?" desak Pandan Wangi, belum puas atas
jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan.
"Orang-orang Walet Hitam," sahut Rangga masih dengan nada yang sama.
"Maksudmu.... Perguruan Walet Hitam, Kakang...?" sentak Pandan Wangi,
kelihatan terkejut sekali.
Rangga hanya tersenyum dan mengangguk sedikit. Sedangkan Pandan Wangi menarik
napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat mereka jadi
terdiam.
Sementara, Rangga sudah melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sedangkan
Pandan Wangi masih tetap saja berdiri dengan pandangan lurus ke depan,
seakan-akan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
"Ayo, Pandan. Jangan membuang waktu. Kita harus segera sampai sebelum terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan," ajak Rangga.
Pandan Wangi mengangkat kepalanya, menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
berada di atas punggung Rajawali Putih. Sedangkan Rangga terus memandangi
dengan bibir masih menyunggingkan senyuman tipis. Entah apa arti dari
senyumannya. Sementara, Pandan Wangi masih saja berdiri memandanginya dengan
sinar mata sulit diartikan. Tapi, tampaknya Rangga sudah bisa menebak pancaran
cahaya bola mata si Kipas Maut itu.
"Ayolah, Pandan. Tidak ada waktu memikirkan orang-orang Walet Hitam. Kita
harus segera berangkat sebelum terlambat," desak Rangga, mulai tidak sabar.
Pandan Wangi masih saja berdiri mematung memandangi pemuda tampan berbaju
rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa saat kemudian,
gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah melesat ke atas,
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf tinggi. Begitu
ringan gerakannya, sehingga sebentar saja sudah berada di punggung Rajawali
Putih, tepat didepan Rangga.
"Ayo, Rajawali, Kita ke Utara!" seru Rangga sambil menepuk leher Rajawali
Putih.
"Khraaagkh...!"
Pandan Wangi mencengkeram erat bulu-bulu leher Rajawali Putih. Meskipun sudah
beberapa kali menunggang burung rajawali raksasa ini, tapi kengerian masih
juga menyelinap di hatinya.
Sedangkan Rangga tampak tenang, duduk di belakangnya. Begitu cepatnya Rajawali
Putih melesat, sehingga sebentar saja sudah di atas sekitar Gunung Lanjaran.
Telunjuk tangan kanan Rangga menuding ke salah satu arah, maka Rajawali Putih
mengikutinya.
Sementara Pandan Wangi mengarahkan pandangannya juga ke arah yang ditunjuk
Rangga hanya dengan ekor matanya. Dia benar-benar belum berani menatap ke
bawah secara langsung dari ketinggian seperti ini.
Sementara, Rajawali Putih terus meluncur cepat bagai kilat membelah awan.
"Kau lihat di kaki gunung sana, Pandan," kata Rangga sambil menunjuk ke kaki
Gunung Lanjaran.
"Yang mana...?" tanya Pandan Wangi seraya mengerahkan pandangan ke arah yang
ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Itu...! Di tepi aliran sungai," sahut Rangga.
Pandan Wangi tidak menjawab. Gadis itu memang melihat ada puluhan orang tengah
menyusuri tepian sungai di kaki Gunung Lanjaran yang berkelok-kelok bagaikan
ular. Walaupun dari ketinggian seperti ini, tapi masih jelas terlihat kalau
orang-orang yang bergerak cepat menyusuri sungai itu adalah para prajurit
Kerajaan Ringgading. Dan mereka semua tampaknya menunggang kuda, sehingga bisa
bergerak lebih cepat. Dari angkasa ini jelas terlihat, kalau kuda mereka
dipacu cepat, seakan-akan tengah memburu sesuatu.
"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi dengan kening berkerut.
Kelopak matanya juga jadi menyipit, memandangi para prajurit yang bergerak
begitu cepat dengan menunggang kuda.
"Lihat saja, nanti, Pandan. Kalau mereka menyeberangi jembatan di hulu sana,
pasti menuju Karang Setra," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah jembatan kayu
yang ada di hulu sungai.
"Ke Karang Setra...? Mau apa mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi semakin tidak
mengerti.
Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu tidak sempat menjawab. Dan dugaan Rangga
ternyata tepat Rombongan prajurit Kerajaan Ringgading itu benar-benar menuju
ke arah jembatan di hulu sungai, dan menyeberanginya tanpa mengurangi
kecepatan lari kuda sedikit pun juga.
Sementara dari angkasa, Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan.
Sementara, rombongan prajurit itu terus bergerak cepat. Dan dugaan Rangga
semakin menguat saja. Mereka memang benar-benar menuju Kerajaan Karang Setra,
tanah kelahiran Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lama lagi, para prajurit yang
dipimpin Patih Gandaraka itu akan melewati pintu gerbang perbatasan kerajaan.
"Mereka berhenti, Kakang...," desis Pandan Wangi, hampir tidak terdengar.
Suaranya seperti termakan deru angin yang begitu keras di angkasa ini.
"Hm...!" tapi Rangga hanya menggumam kecil saja.
Para prajurit Kerajaan Ringgading memang berhenti, tidak jauh dari gerbang
perbatasan Kerajaan Karang Setra yang dijaga sekitar dua puluh orang prajurit
dan dua orang tamtama. Namun, mereka masih berada di luar wilayah Kerajaan
Karang Setra. Tampak para prajurit itu berlompatan turun dari punggung kuda
masing-masing, lalu berbaris rapi di samping kuda binatang tunggangannya.
Sementara paling depan, terlihat Patih Gandaraka memegangi tali kekang
kudanya. Dia berdiri tegak, memandang ke arah gerbang perbatasan yang dijaga
sekitar dua puluh orang prajurit dan dua orang tamtama.
Sementara para prajurit Karang Setra yang sudah melihat rombongan prajurit
dari kerajaan lain itu, sudah langsung berdiri berjajar dengan sikap
menghadang. Senjata pun sudah siap-siap untuk keluar dari tempatnya. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi yang berada di angkasa, terus saja memperhatikan
dengan dada berdebar cukup keras.
"Mereka mendirikan tenda, Kakang," kata Pandan Wangi memberi tahu. Padahal,
dia sendiri tahu, Rangga juga terus memperhatikan.
"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam saja perlahan.
Para prajurit Kerajaan Ringgading memang kelihatan sibuk mendirikan tenda. Dan
saat ini, senja memang sudah jatuh turun menyelimuti sebagian permukaan bumi.
Sedangkan para prajurit Karang Setra terus mengawasi dari dalam wilayah
kerajaannya. Seorang pun tidak ada prajurit penjaga gerbang perbatasan ini
yang menghampiri. Memang, mereka tidak boleh sampai ke luar wilayah
kerajaannya. Sehingga, mereka hanya bisa memperhatikan sambil bersiaga penuh
dari jarak yang tidak begitu jauh lagi.
"Sebaiknya kau turun, Kakang. Tanyakan pada mereka, apa tujuannya datang ke
Karang Setra," saran Pandan Wangi.
"Lihat saja nanti," sahut Rangga kalem.
Pandan Wangi tidak bicara lagi. Dan memang, sulit baginya untuk mendesak
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi gadis itu tahu kalau Rangga tengah memikirkan
sarannya tadi, walau sedikit pun tidak diperlihatkannya.
Sementara Rajawali Putih terus melayang berputar-putar, tepat di atas
rombongan prajurit Kerajaan Ringgading yang sudah membuat tenda, tidak jauh
dari perbatasan Kerajaan Karang Setra. Tampak jelas kalau Patih Gandaraka
berdiri tegak, sambil menengadahkan kepala ke atas. Sepertinya, kehadiran
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah diketahuinya.
Walaupun, dia tidak tahu kalau di punggung burung rajawali itu ada Rangga dan
Pandan Wangi yang juga tengah memperhatikannya sejak tadi.
***
TIGA
Sementara itu di istana, Danupaksi mendapat kepercayaan dari Rangga Pati
Permadi, Raja Karang Setra, untuk mewakili pemerintahannya. Dan dia sudah
mendapatkan laporan tentang adanya satu pasukan berjumlah cukup besar dari
Kerajaan Ringgading yang kini membuat kubu tidak jauh dari perbatasan. Salah
seorang prajurit penjaga perbatasan sudah melaporkannya, walaupun belum
mengetahui pasti tujuan kedatangan mereka ke Kerajaan Karang Setra ini.
"Kau harus cepat bisa mengambil keputusan, Kakang. Hanya kaulah yang bisa
bertindak selama Kakang Rangga tidak ada," ujar Cempaka, yang selalu
mendampingi.
"Ini keputusan yang sangat sulit, Cempaka. Belum pernah Karang Setra
kedatangan satu pasukan prajurit dari kerajaan lain. Sementara kita belum
tahu, apa tujuan mereka datang ke sini," sahut Danupaksi sambil bangkit dari
kursinya.
Perlahan kaki pemuda itu terayun mendekati jendela. Lalu, Danupaksi berdiri
mematung di depan jendela yang terbuka lebar, memandang jauh ke depan.
Sedangkan Cempaka masih tetap duduk diam di kursinya sambil memandangi pemuda
bertubuh tegap dan berotot itu. Beberapa saat lamanya Danupaksi terdiam
mematung di situ, memandang lurus ke luar. Kemudian, perlahan tubuhnya
berputar berbalik, sambil menghembuskan napas yang sangat panjang.
"Sebaiknya, kirim saja utusan untuk menanyakan maksud tujuan mereka datang ke
sini, Kakang...?" kembali Cempaka membuka suara.
"Maksudmu?" Danupaksi meminta Cempaka memperjelas sarannya.
"Ya.... Kita kirim satu atau dua orang punggawa ke sana, untuk menanyakan
tujuan mereka membuat kubu di perbatasan tanpa meminta izin terlebih dahulu,"
kata Cempaka, menjelaskan usulnya tadi.
"Mereka berkemah di luar perbatasan, Cempaka. Dan kita tidak bisa sembarangan
menegurnya. Apalagi, menanyakan maksud membuat kubu di sana. Selama mereka
tidak mengganggu kehidupan rakyat Karang Setra, kita tidak bisa bertindak
apa-apa. Kecuali, kalau mereka memang membuat perkemahan di dalam wilayah
kerajaan ini. Atau paling tidak, tepat di perbatasan," tegas sekali Danupaksi
menolak saran adik tirinya ini.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Cempaka ingin tahu.
"Untuk sementara, tidak ada salahnya kalau mendiamkan saja dulu. Tapi, kita
juga jangan sampai lengah. Mereka tetap harus diawasi sambil berjaga-jaga.
Mungkin saja mereka melakukan sesuatu yang bisa merugikan," sahut Danupaksi
kalem, tapi nada suaranya terdengar tegas sekali.
"Hhh! Ucapan dan tindakanmu sekarang sudah sangat mirip Kakang Rangga...,"
dengus Cempaka sambil menghembuskan napas panjang.
Danupaksi hanya tersenyum saja. Memang, pemuda itu selalu meniru semua yang
diucapkan dan dilakukan kakak tirinya yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti, sekaligus Raja Kerajaan Karang Setra. Baginya, Rangga merupakan seorang
tokoh yang patut dicontoh. Baik ucapan, jalan pikiran, maupun segala
tindakannya. Tidak heran kalau para pembesar Kerajaan Karang Setra, sedikit
pun tidak melihat adanya perbedaan dalam kepemimpinan antara Rangga dengan
Danupaksi. Hanya saja, Danupaksi tidak bisa seenaknya pergi mengembara seperti
yang dilakukan kakak tirinya.
Saat itu, terlihat Ki Lintuk, Rakatala, dan Paman Wirapati masuk ke dalam
ruangan Balai Sema Agung yang sangat besar dan megah, yang langsung disambut
Danupaksi dan Cempaka. Mereka kemudian duduk di kursi masing-masing, dan
menghadap Danupaksi yang duduk di kursi singgasana. Dan memang, kalau Rangga
tidak ada di istana maka yang menduduki kursi singgasana adalah Danupaksi.
Tapi kalau Danupaksi tidak ada, Cempakalah yang harus menggantikannya. Dan
semua itu sudah menjadi keputusan yang ditetapkan Rangga saat dinobatkan
menjadi Raja Karang Setra.
"Paman semua tentu sudah tahu, kenapa kuminta untuk berkumpul di Balai Sema
Agung ini...," kata Danupaksi langsung saja membuka suara.
"Kami sudah mendengar semuanya, Gusti Danupaksi," sahut Ki Lintuk sambil
memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Kalau begitu, aku tidak perlu lagi menjelaskan. Dan memang, semuanya belum
jelas benar. Pasukan prajurit itu sudah membuat kubu pertahanan tidak jauh
dari perbatasan. Tapi, sampai sekarang ini kita semua belum tahu maksud dan
tujuan kedatangan mereka ke sini," kata Danupaksi lagi.
"Rasanya, tidak ada tujuan lain kalau sebuah kerajaan mengirimkan sepasukan
prajurit berjumlah besar ke kerajaan lain, Gusti Danupaksi," selak Paman
Wirapati yang di Karang Setra ini menjabat Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali maksud kedatangan mereka tidak baik.
Hamba sendiri sempat melihat ke sana. Mereka bukan hanya berjumlah cukup
besar, tapi juga memiliki persenjataan lengkap, seperti hendak berperang,"
sambung Panglima Rakatala seorang panglima di Kerajaan Karang Setra.
Sedangkan Ki Lintuk yang merupakan penasihat tertinggi, hanya diam saja
mendengarkan.
"Mereka berjumlah cukup banyak, Gusti Danupaksi Persenjataan mereka pun
lengkap, seperti hendak berperang," jelas Panglima Rakatala.
Danupaksi dan Cempaka tampak berpikir keras. Dia tengah memikirkan
pendapat-pendapat dari para panglima dan tetua Karang Setra tanpa membuka
suara sedikit pun juga. Tapi kerut-kerut di keningnya terlihat semakin dalam
saja, pertanda tengah berpikir keras. Danupaksi dan Cempaka mengarahkan
pandangan pada orang tua yang selalu mengenakan jubah panjang dan longgar,
berwarna putih bersih dari bahan sutera halus. Sedangkan yang dipandangi masih
saja diam dengan kepala tertunduk, merayapi lantai yang beralaskan permadani
berbulu tebal yang sangat halus dan indah.
"Ki Lintuk...?" tanya Danupaksi melihat Ki Lintuk sejak tadi hanya diam saja.
"Ampun, Gusti Danupaksi. Sekarang ini hamba belum bisa mengemukakan pendapat
apa pun juga. Rasanya, masih terlalu dini untuk menyimpulkan maksud kedatangan
mereka," sahut Ki Lintuk seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
"Jadi, bagaimana menurutmu yang terbaik, Ki?" tanya Danupaksi tetap mendesak
meminta pendapat laki-laki tua penasihat istana itu.
Namun, Ki Lintuk tidak langsung memberi jawaban. Dia kembali terdiam, dengan
kepala tepekur merayapi ujung-ujung jari kakinya. Sementara, Panglima Rakatala
dan Wirapati hanya diam saja memandangi. Cempaka juga mengarahkan pandangan ke
wajah laki-laki tua yang sudah begitu banyak keriputnya itu.
Cukup lama juga Ki Lintuk berdiam diri membisu, kemudian perlahan mengangkat
kepalanya sambil menghembuskan napas panjang. Pandangan orang tua itu langsung
bertemu sorot mata Danupaksi yang sejak tadi tidak berkedip memandanginya.
Kemudian tatapannya beralih pada Cempaka, Wirapati, dan Panglima Rakatala.
Semuanya masih memandanginya, menunggu jawaban dari pertanyaan yang diberikan
Danupaksi tadi. Beberapa saat kemudian, Ki Lintuk kembali menatap adik tiri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jika Gusti Danupaksi tetap ingin tahu maksud kedatangan para prajurit itu,
sebaiknya menunggu barang satu atau dua hari lagi. Mungkin mereka akan
mengirimkan utusannya ke sini," usul Ki Lintuk. Suaranya jelas terdengar
hati-hati.
"Kenapa harus begitu, Ki?" selak Panglima Rakatala, meminta penjelasan.
"Hanya untuk menjaga kewibawaan saja, Adi Rakatala," sahut Ki Lintuk kalem.
"Kewibawaan...? Bukankah kewibawaan sebuah kerajaan diukur oleh kecepatan
bertindak, bersikap tegas, dan penuh perhitungan dari pemimpinnya? Dan lagi,
tidak ada salahnya kalau kita yang lebih dulu mengirimkan utusan dan
menanyakan maksud kedatangan mereka ke sini yang membawa sepasukan prajurit
berjumlah cukup besar begitu," kata Panglima Rakatala, mengemukakan
pendapatnya.
"Justru hal itu bisa menimbulkan prasangka buruk, Adi Rakatala. Bukan hanya
mereka saja yang bisa menyangka kalau kita selalu saja mencurigai orang yang
datang ke kerajaan ini. Dan itu bisa memperburuk citra Karang Setra yang sudah
terkenal akan kecintaannya pada perdamaian," tegas sekali Ki Lintuk membantah
pendapat yang dikemukakan Panglima Rakatala.
"Tapi, Ki..."
"Sebentar...," selak Danupaksi memutuskan ucapan Panglima Rakatala.
Semua mata langsung beralih, menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang
duduk di singgasana. Sementara yang dipandangi bangkit berdiri, lalu melangkah
beberapa tindak ke depan.
"Aku kira, ada benarnya juga kata-kata Ki Lintuk. Kita memang tidak perlu
bertindak gegabah. Memang, sebaiknya tunggu dulu barang satu atau dua hari.
Atau paling tidak, sampai ada utusan dari mereka datang ke sini," kata
Danupaksi mengambil keputusan.
"Bukankah itu berarti kita memberi kesempatan mereka untuk mempersiapkan
kekuatan dan menyelidiki kekuatan kita, Gusti Danupaksi...?" sambut Wirapati.
"Jangan langsung menuduh kalau mereka hendak mengadakan penyerangan, Adi
Wirapati," selak Ki Lintuk.
"Maaf, Ki. Maksudku bukan begitu," ujar Wirapati.
"Lalu...?" tanya Ki Lintuk meminta penjelasan.
"Aku hanya menjaga dari segala kemungkinan yang terburuk, Ki," sahut Wirapati.
"Itu boleh saja. Tapi tidak ada salahnya kalau kita sedikit bersabar, menunggu
sampai ada utusan dari mereka yang datang ke sini," sergah Ki Lintuk.
"Kalau seandainya tidak ada utusan?" tanya Panglima Rakatala.
"Hanya dua hari batasnya. Dan kalau memang tidak ada juga, tunggu satu hari
lagi," sahut Ki Lintuk. "Kalau ternyata juga tidak ada utusan yang datang?"
selak Cempaka.
"Terpaksa, harus dikirim satu atau dua orang utusan untuk menanyakan tujuan
mereka datang dan membuat perkemahan dekat perbatasan," sahut Ki Lintuk tegas.
"Aku rasa, itu hanya membuang-buang waktu saja, Ki," selak Panglima Rakatala
tidak setuju.
"Kita harus tunjukkan kewibawaan dan kesabaran pada mereka. Aku yakin, kalau
kita bisa bersikap sabar, mereka juga akan berpikir seribu kail. Itu kalau
kedatangan mereka ke sini benar-benar bermaksud menyerang dan menjajah negeri
ini," sahut Ki Lintuk tegas.
"Kau benar, Ki," ujar Danupaksi langsung setuju. "Aku rasa, Kakang Rangga juga
pasti akan mengambil sikap seperti itu."
"Hhh.... Sayang, Kakang Rangga tidak ada di sini. Kalau ada, pasti tidak akan
membuat kita semua jadi pusing begini," desah Cempaka.
"Semua bisa diatasi kalau mau bersikap sabar dan sedikit menahan diri, Nini
Cempaka," sambut Ki Lintuk.
Tidak ada lagi yang membuka suara. Mereka semua terdiam dengan pikiran
masing-masing berkecamuk dalam kepala. Dan memang, tidak ada seorang pun yang
bisa membantah kata-kata yang dilontarkan Ki Lintuk. Dan seandainya Rangga
sendiri pun, pasti akan bertanya lebih dulu pada orang tua ini tentang
tindakan yang akan diambil.
Dan biasanya pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membantah setiap
kali Ki Lintuk mengemukakan pendapatnya. Bahkan semua pembesar Kerajaan Karang
Setra ini tidak ada yang bisa membantah semua kata-kata Ki Lintuk, yang
dianggap begitu bijaksana dalam mengemukakan pendapat dan jalan pikiran.
Mereka juga menyadari kalau apa yang dikatakan Ki Lintuk adalah demi kejayaan,
keutuhan, dan kewibawaan Kerajaan Karang Setra.
Pada saat mereka semua tengah terdiam, seorang prajurit penjaga gerbang istana
memasuki ruang Balai Sema Agung yang berukuran sangat besar dan megah. Semua
mata langsung mengarahkan pandan-gan pada prajurit yang masih muda itu. Dia
segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Kedua telapak tangannya tampak
merapat di depan hidung, lalu duduk bersila di lantai yang beralaskan
permadani berbulu tebal dan sangat halus buatannya.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Wirapati, Panglima Tertinggi Kerajaan Karang Setra.
"Ampun, Gusti. Hamba datang menghadap untuk memberi laporan," sahut prajurit
muda itu sambil memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung.
"Katakan saja," selak Danupaksi meminta.
"Di depan, ada dua orang utusan hendak ber-temu Gusti Prabu Rangga Pati
Permadi. Mereka dua orang punggawa dari Kerajaan Ringgading, ingin memberi
tahu kalau yang lain sudah ada di luar perbatasan. Kedatangan mereka hanya
dipimpin seorang patih, tanpa ada seorang pun panglima perang," sahut prajurit
muda itu, menjelaskan panjang lebar.
Semua yang ada di ruangan Balai Sema Agung saling melemparkan pandang.
Sementara, Danupaksi memutar tubuhnya berbalik dan kembali duduk di
singgasana. Sedangkan prajurit muda itu merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung, memberikan sembah setelah Danupaksi duduk di singgasana.
"Perintahkan mereka masuk," perintah Danupaksi, dengan nada dibuat tegas.
"Hamba, Gusti," sahut prajurit muda itu seraya memberi sembah.
***
EMPAT
Danupaksi memandangi dua orang punggawa Kerajaan Ringgading yang datang ke
Balai Sema Agung. Mereka diantar prajurit penjaga gerbang istana yang tadi
melaporkan kedatangan kedua punggawa itu. Kedua punggawa itu masih berusia
muda, dan mungkin sebaya dengan Danupaksi. Bukan saja Danupaksi yang
mengamati, tapi juga Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Wirapati, dan Cempaka.
Mereka terus memandangi kedua punggawa berusia muda yang duduk tepat di
tengah-tengah, menghadap Danupaksi yang tetap duduk di singgasana.
"Silakan, jika ada yang ingin disampaikan," ujar Danupaksi, mempersilakan.
Tangannya dijulurkan ke depan, dengan telapak menghadap ke atas. Ramah sekali
sikapnya, tidak jauh berbeda dengan Rangga yang sebenarnya Raja Karang Setra.
"Terus terang, sebenarnya kami datang hendak menghadap Gusti Prabu Rangga.
Tapi...," salah seorang punggawa mulai membuka suara, tapi kemudian memutuskan
ucapannya.
"Aku memang bukan Gusti Prabu Rangga. Aku hanya adiknya yang diberi kekuasaan
penuh untuk mewakili, selama Gusti Prabu bepergian," kata Danupaksi memberi
tahu.
Kedua punggawa itu saling melemparkan pandangan, kemudian sama-sama memberi
sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan
Danupaksi hanya mengangkat tangan kanannya sedikit saja.
"Maafkan kami, Gusti. Terpaksa kami tidak bisa mengatakan apa pun juga. Kami
hanya menjalankan perintah, dan harus langsung bertemu Gusti Prabu Rangga Pati
Permadi. Sekali lagi, kami mohon maaf," ucap punggawa itu lagi seraya memberi
sembah hormat
"Maaf, Punggawa...," selak Wirapati. "Gusti Prabu Rangga atau Gusti Danupaksi
sama saja. Jika tidak ada Gusti Prabu Rangga di istana ini, maka Gusti
Danupaksi lah yang menduduki singgasana. Dan itu kepercayaan langsung dari
Gusti Prabu Rangga. Jadi kalau ada sesuatu, Gusti Danupaksi lah yang
menanganinya langsung, selama Gusti Prabu Rangga tidak berada di istana ini."
"Tapi, kami tetap tidak bisa menyampaikannya. Maafkan, kami terpaksa harus
kembali dan menunggu sampai Gusti Prabu Rangga ada di istana," kata punggawa
muda itu lagi, masih bersikap hormat.
Setelah berkata begitu, kedua punggawa Kerajaan Ringgading memberi sembah.
Kemudian, mereka bangkit berdiri, dan kembali memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangan di depan hidung. Setelah memberi salam penghormatan,
mereka memutar tubuhnya dan melangkah keluar dan ruangan Balai Sema Agung.
"Tidak ada seorang pun yang mencegah kepergian kedua punggawa itu. Bahkan
Danupaksi sendiri hanya diam saja memandangi. Sementara, Cempaka sudah bangkit
berdiri dan hendak mengejar kedua punggawa itu. Tapi baru saja kakinya terayun
beberapa langkah, Danupaksi sudah keburu mencegahnya.
"Biarkan mereka pergi, Cempaka."
"Tapi, Kakang.... Sikap mereka sudah menghina dan merendahkanmu," selak
Cempaka, terdengar agak berang.
"Benar, Gusti Danupaksi. Jelas sekali kalau kedua punggawa itu tidak memandang
sebelah mata pun juga. Mereka telah menghina Gusti Danupaksi. Kita harus
menyerang mereka untuk membalas penghinaan ini!" sambut Wirapati sambil
bangkit berdiri dari kursinya.
***
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak lagi berada di angkasa
bersama Rajawali Putih. Sepasang pendekar muda digdaya itu kini sudah tidak
jauh lagi dari perbatasan. Mereka bisa melihat jelas tenda-tenda berwarna
putih yang berdiri tidak jauh di luar perbatasan Kerajaan Karang Setra. Sebuah
bendera berukuran besar berlambang Kerajaan Ringgading berada di tengah-tengah
tenda yang berdiri membentuk lingkaran itu.
Sementara itu di dalam perbatasan, terlihat para prajurit sudah bersiaga
penuh, bagaikan hendak menghadapi perang besar saja. Mereka semua sudah
menyandang senjata lengkap. Bahkan sudah membuat benteng-benteng pertahanan di
sekitar perbatasan. Tampak Wirapati yang merupakan Panglima Perang Tertinggi
Kerajaan Karang Setra, begitu gagah duduk di atas punggung kuda dengan pakaian
perangnya.
"Kenapa jadi begini, Kakang...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri
sendiri. Rangga hanya diam saja seperti tidak mendengar. "Pasti ada
kesalahpahaman," kata Pandan Wangi lagi.
Nada suaranya terdengar agak menggumam. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti masih
saja diam. Malah pandangan matanya sedikit pun tidak berkedip ke arah dua
kekuatan yang sudah sama-sama siaga penuh. Mereka seperti sudah siap-siap,
tinggal menunggu perintah saja dari masing-masing pemimpinnya
"Kita harus segera mencegah sebelum terjadi peperangan, Kakang. Lihat saja!
Masing-masing sudah siap akan perang," kata Pandan Wangi lagi sambil menunjuk
ke arah dua kekuatan yang sudah sama-sama siap-siap, bagai hendak berperang.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan. Pendekar Rajawali Sakti masih
tetap berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit yang tidak begitu tinggi,
tidak jauh dari gerbang perbatasan Kerajaan Karang Setra. Dari atas puncak
bukit ini, memang bisa jelas memandang ke perbatasan itu. Tapi, tidak mungkin
bagi mereka yang berada di perbatasan itu untuk bisa melihat sampai ke puncak
bukit yang begitu lebat ditumbuhi pepohonan.
Melihat Rangga hanya diam saja dengan mata tidak berkedip, Pandan Wangi jadi
tidak sabar. Dan baru saja kakinya hendak terayun menuruni bukit ini, tapi
cepat sekali Rangga sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa, si Kipas
Maut itu tidak jadi menuruni bukit ini. Kepalanya berpaling, langsung menatap
tajam bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan bertindak gegabah, Pandan," kata Rangga, agak mendesis suaranya.
"Tapi...," suara Pandan Wangi terputus.
"Percayalah, tidak akan terjadi sesuatu. Seperti katamu tadi, mereka pasti
hanya salah paham saja," bujuk Rangga.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan
gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Dan pandangan matanya kembali terarah
pada tenda-tenda putih yang membentuk lingkaran, tidak jauh dari perbatasan
Kerajaan Karang Setra. Kemudian tatapannya beralih pada prajurit Karang Setra
yang masih di dalam wilayahnya. Kini, terlihat Panglima Wirapati sudah berada
tepat di tengah-tengah gerbang perbatasan. Berpakaian panglima perang seperti
itu, Panglima Wirapati kelihatan sangat gagah. Apalagi saat ini menunggang
kuda putih yang tinggi dan tegap berotot.
"Kau harus bertindak cepat, Kakang. Sepertinya Paman Wirapati sudah siap
menyerang," ujar Pandan Wangi. Jelas sekali kalau nada suara si Kipas Maut
terdengar mengandung kekhawatiran, saat melihat Panglima Wirapati sudah berada
di tengah-tengah gerbang perbatasan.
Sedangkan puluhan prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris rapi di
belakangnya. Se-mentara di sepanjang tembok perbatasan, pasukan panah pun
sudah siap melepaskan anak panah di busurnya. Mereka semua benar-benar sudah
siap, dan tinggal menunggu perintah saja. Tapi lain halnya para prajurit
Kerajaan Ringgading. Tampaknya mereka tidak gentar sedikit pun melihat
kekuatan prajurit-prajurit Karang Setra. Walaupun mereka juga sudah siap
dengan senjata masing-masing, tapi sedikit pun tidak kelihatan kalau
benar-benar ingin berperang.
"Siaaap...!" Tiba-tiba saja Panglima Wirapati berteriak lantang menggelegar,
seraya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Teriakannya
langsung disambut teriakan gegap-gempita seluruh prajurit yang berada di
belakangnya. Mereka juga mengangkat tangan kanannya ke atas, sambil
mengacungkan senjata masing-masing yang beraneka ragam bentuknya. Namun belum
juga Panglima Wirapati memberikan perintah selanjutnya, mendadak saja....
"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"
Begitu terdengar siulan nyaring melengking, seketika itu juga terdengar suara
serak dan keras, bagai hendak membelah bukit. Begitu kerasnya, sehingga bumi
jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Dan saat itu juga, dari angkasa
terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur turun dengan
kecepatan bagai kilat.
"Hah...?!" Panglima Wirapati jadi terbeliak setengah mati begitu melihat
burung rajawali raksasa tiba-tiba saja muncul.
Burung itu melayang dekat di atas pucuk pepohonan. Sayapnya yang lebar terus
mengepak, membuat sekitar perbatasan Kerajaan Karang Setra bagaikan dilanda
badai. Angin akibat kepakannya memang sangat dahsyat. Hanya sebentar saja,
sudah banyak pepohonan yang tumbang. Debu dan daun-daun kering berhamburan
terhembus angin kepakan sayap burung rajawali raksasa itu.
Dan kemunculan burung itu membuat seluruh prajurit Karang Setra jadi
terperanjat setengah mati. Bahkan para prajurit Kerajaan Ringgading juga
terlongong bengong. Walaupun pernah melihat burung rajawali raksasa itu
sebelumnya, tapi tetap saja kemunculannya membuat mereka tercengang setengah
mati.
"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"
Begitu terdengar siulan yang panjang melengking, burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu langsung melesat tinggi ke angkasa. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi,
tertelan awan tebal bergulung-gulung di langit. Dan semua prajurit yang ada di
sekitar perbatasan itu masih terlongong bengong, memandang ke angkasa.
Padahal, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tidak
terlihat lagi.
***
Sementara itu dari atas bukit, Pandan Wangi menyaksikan semua kejadian yang
cepat tadi dengan mata tidak berkedip. Sungguh tidak disangka kalau Rangga
akan bertindak begitu cepat mencegah Panglima Wirapati menyerang para prajurit
Kerajaan Ringgading. Dan memang, kemunculan Rajawali Putih tadi, telah membuat
panglima itu jadi terlongong seperti orang kebanyakan minum arak. Sehingga
bagai tidak menyadari kalau dirinya berpakaian panglima perang.
"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan perlihatkan diri dulu," kata Rangga sambil
menepuk pundak si Kipas Maut
"Eh...?! Kau akan ke mana...?" tanya Pandan Wangi tersentak kaget.
Tapi baru saja pertanyaan Pandan Wangi selesai diucapkan, Rangga sudah melesat
begitu cepat bagai kilat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga
dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan
Pandan Wangi, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali
Sakti, masih juga berdecak kagum terhadap kepandaian pendekar yang juga
kekasihnya itu.
Meskipun kepandaiannya tidak bisa dikatakan rendah, tapi bila dibandingkan
dengan Rangga, rasanya masih terlalu jauh untuk bisa menyamai. Pandan Wangi
tidak bisa lagi berlama-lama mengagumi Pendekar Rajawali Sakti, karena
pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki kuda dari arah belakang. Dan
begitu tubuhnya berbalik, tahu-tahu di puncak bukit ini Rangga sudah kembali,
duduk di punggung seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu mendengus-dengus sambil
mengangguk-anggukkan kepala, begitu Rangga menarik tali kekangnya agar
berhenti tepat di depan Pandan Wangi. Sementara, gadis itu masih berdiri
mematung, memandangi Rangga seperti tidak percaya. Karena baru beberapa saat
saja Pendekar Rajawali Sakti pergi, dan kini sudah kembali lagi bersama Dewa
Bayu.
Kuda itu memang bukan kuda sembarangan, tapi merupakan pemberian dewa dari
kahyangan pada Adipati Arya Permadi, ayah kandung Pendekar Rajawali Sakti.
Binatang itu juga tidak bisa ditandingi kuda-kuda manapun di seluruh jagat
raya ini. Kecepatan larinya melebihi kilat. Jadi tidak heran kalau Rangga bisa
memanggil Dewa Bayu dari Istana Karang Setra ke puncak bukit ini dalam waktu
singkat sekali. Tapi, hal itu tetap saja membuat Pandan Wangi tercengang
kagum, walaupun sudah seringkali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti dan
Kuda Dewa Bayu ini.
"Kau jangan ke mana-mana, Pandan. Tunggu saja di sini," ujar Rangga tanpa
turun dari punggung kudanya.
"Lalu, kau sendiri mau ke mana?" tanya Pandan Wangi.
"Aku akan menemui Patih Gandaraka," sahut Rangga.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut. Sedangkan kelopak matanya terlihat
menyipit, memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang masih saja duduk di punggung
Dewa Bayu. Sungguh sejak tadi belum disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti
kini sudah berganti pakaian. Pakaiannya tidak lagi biasanya seperti setiap
kali mengembara, tapi kini layaknya seorang raja.
Keterpanaan Pandan Wangi pun semakin mendalam. Rangga kelihatan sangat tampan
mengenakan pakaian seperti itu. Dia yakin, pasti tidak akan ada seorang pun
yang bisa mengenalinya lagi sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Benar-benar lain
dari yang selama ini dikenalnya. Tapi pedang yang tersampir di punggung pemuda
itulah yang membuat Pandan Wangi langsung bisa mengenalinya. Karena, tidak ada
satu pun pedang di jagat raya ini yang menyamai Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Aku pergi dulu, Pandan," pamit Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga sudah memutar kudanya
berbalik, dan langsung cepat menggebahnya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu
berlari bagaikan kilat, seakan-akan keempat kakinya yang kokoh tidak menyentuh
tanah. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah
lenyap tidak terlihat lagi, meninggalkan debu yang membumbung ke angkasa.
"Hm.... Apa yang akan dilakukannya nanti...?" gumam Pandan Wangi bertanya
sendiri dalam hati.
***
Saat itu, Rangga terus memacu cepat kudanya menuruni lereng bukit. Sengaja
diambilnya jalan memutar, sehingga sampai pada bagian belakang perkemahan para
prajurit Kerajaan Ringgading. Pendekar Rajawali Sakti baru menghentikan lari
kudanya, setelah benar-benar dekat dengan perkemahan prajurit dari Kerajaan
Ringgading itu.
"Hup!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga melompat turun setelah
kuda hitamnya berhenti. Tepat begitu kakinya menjejak tanah, dua orang
prajurit melihatnya. Dan mereka langsung menghampiri dengan senjata tombak
tergenggam erat di tangan kanan. Rangga hanya berdiri saja sambil memegangi
tali kekang kudanya. Ditunggunya sampai kedua prajurit itu dekat.
"Hm...." Kening Rangga berkerut melihat kedua prajurit itu langsung
menghunuskan tombaknya. Bahkan ujung mata tombak itu hampir menempel di dada
Rangga yang bidang dan tegap berotot. Namun belum juga prajurit-prajurit itu
membuka suara, dari dalam salah satu tenda keluar Patih Gandaraka. Laki-laki
berusia separuh baya itu tampak terkejut begitu melihat Rangga dihadang dua
orang prajuritnya dengan ujung mata tombak hampir menempel di dada.
"Mundur kalian...!" bentak Patih Gandaraka.
Mendengar bentakan pemimpinnya, kedua prajurit itu segera bergerak mundur
beberapa langkah. Mereka langsung menggeser ke samping, dan membungkuk begitu
Patih Gandaraka melewati. Patih Kerajaan Ringgading itu langsung membungkukkan
tubuhnya sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu tiba di
depan Rangga. Kemudian laki-laki setengah baya itu merendahkan dirinya dan
berlutut dengan tangan masih merapat di depan dada. Melihat pemimpinnya
bersikap begitu hormat pada pemuda ini, kedua prajurit itu jadi terlongong
bengong. Cepat-cepat mereka menekuk kaki, dan berlutut mengikuti sikap Patih
Gandaraka.
"Maafkan atas kelancangan penyambutan kedua prajurit hamba, Gusti Prabu.
Mereka memang belum mengenal Gusti Prabu sebenarnya," ucap Patih Gandaraka,
penuh rasa hormat.
"Bangunlah, Paman Patih," sambut Rangga sambil memberi senyum.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Patih Gandaraka lagi, seraya memberi
sembah. Perlahan kemudian patih itu bangkit berdiri.
Sementara kedua prajurit yang tadi menodongkan tombak ke dada Pendekar
Rajawali Sakti masih tetap berlutut dengan kepala tertunduk. Mereka seperti
menyesal atas sikapnya tadi, karena memang belum mengenal pemuda tampan yang
datang bersama kuda hitamnya ini.
"Kalian juga, Prajurit. Bangunlah...," pinta Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu berbarengan, sambil memberi
sembah. Kemudian, mereka bangkit berdiri dan kembali merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Tombak yang tadi tergenggam di tangan, dibiarkan
tergeletak di atas tanah. Rangga mengayunkan kakinya. Dipungutnya kedua tombak
itu, lalu diberikannya pada kedua prajurit ini.
"Kalian tidak perlu meninggalkan senjata," kata Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," sahut kedua prajurit itu sambil menerima
tombaknya kembali, kemudian memberikan sembah lagi.
"Kalian kembali ke tempat tugas," perintah Patih Gandaraka.
"Hamba, Gusti Patih." Kedua prajurit itu segera berlalu, setelah memberi
penghormatan pada Pendekar Rajawali Sakti dan Patih Gandaraka.
Setelah kedua prajurit itu kembali ke tempat tugasnya, Patih Gandaraka
mengajak Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam tendanya. Tanpa menolak
sedikit pun juga, diikutinya ayunan kaki Patih Gandaraka. Sementara Dewa Bayu
telah ditambatkan pada sebatang pohon yang tumbang.
"Maafkan atas kedatangan kami yang seperti ini, Gusti Prabu," ucap Patih
Gandaraka, setelah berada dalam tendanya yang dijaga empat orang prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang di pinggang.
Rangga dan Patih Gandaraka duduk bersila, beralaskan permadani tebal dan
halus. Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja menerima permintaan maaf
Patih Kerajaan Ringgading ini.
"Kau datang bersama sepasukan prajurit, sepertinya hendak menjarah negeri
orang saja. Pasti ada alasannya, kenapa sampai membawa begitu banyak prajurit,
Paman Patih," kata Rangga dengan nada suara lembut dan berwibawa.
"Perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang dan penuh rintangan, Gusti
Prabu...."
"Jangan panggil seperti itu, Paman," selak Rangga memutuskan ucapan Patih
Gandaraka.
"Tapi..."
"Aku memang sengaja mengenakan pakaian seperti ini agar prajuritmu mudah
mengenali. Tapi, nyatanya sama saja. Maaf, nanti aku akan mengganti pakaian,"
kata Rangga.
"Dan, sebaiknya kau panggil saja aku Rangga. Jangan Gusti Prabu."
"Baiklah. Aku akan memanggilmu Dimas Rangga," sahut Patih Gandaraka.
"Itu lebih baik, Paman," sambut Rangga diiringi senyum lebar.
Patih Gandaraka memang tidak bisa menolak. Apalagi, dia sudah tahu pula watak
Raja Karang Setra, yang juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Nah, sekarang katakan. Apa alasanmu keluar dari wilayah Kerajaan Ringgading
dengan membawa prajurit berjumlah besar seperti ini," pinta Rangga.
"Terpaksa, Dimas," sahut Patih Gandaraka.
"Terpaksa...?!" kening Rangga berkerut dalam. Dipandanginya kedua bola mata
laki-laki separuh baya yang duduk bersila di depannya. Seakan, dia ingin
mencari jawaban pasti dan sepasang bola mata redup dan memerah itu. Tapi,
memang sulit. Dan Rangga tidak menemukan apa pun di sana, kecuali sorot mata
yang redup tanpa cahaya, seperti kehilangan gairah hidup lagi. Dan itu tentu
saja membuat berbagai macam dugaan berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali
Sakti.
"Ceritakan yang jelas, Paman," pinta Rangga lagi
"Baiklah...," desah Patih Gandaraka.
***
Emoticon