LIMA
"Sebenarnya, aku tidak ingin mengganggu para sahabat Kerajaan Ringgading. Tapi
semua ini terpaksa kulakukan. Sudah beberapa kerajaan kudatangi, tapi tak ada
satu pun yang sanggup. Dan sekarang, tinggal satu harapanku. Kalau ini juga
tidak berhasil, entah apa lagi yang akan kulakukan," suara Patih Gandaraka
terdengar pelahan sekali. Bahkan terasa agak tersendat, seperti menanggung
sebuah beban yang teramat berat untuk disandangnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sana, Paman? Sampai-sampai harus meninggalkan
kerajaan begini jauh..," tanya Rangga ingin tahu.
Di dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga, pasti telah terjadi
sesuatu di Kerajaan Ringgading. Mustahil Patih Gandaraka meninggalkan kerajaan
itu bersama sejumlah besar prajurit, kalau tidak terjadi apa-apa. Terlebih
lagi, setelah mendengar penuturan yang baru sedikit tadi. Rangga sudah bisa
menebak, dan teramat yakin kalau telah terjadi sesuatu yang sangat besar di
Kerajaan Ringgading.
"Kau memang harus tahu, Dimas Rangga. Karena, tinggal kaulah satu-satunya
harapanku," kata Patih Gandaraka, seraya mengangkat kepalanya. Langsung
ditatapnya bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di hadapannya.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
"Malapetaka besar telah terjadi di Kerajaan Ringgading. Seseorang berwajah
buruk, persis seekor kodok, telah menguasai singgasana. Dia sangat kejam.
Bahkan setiap hari harus memakan daging manusia. Minumnya juga darah manusia
yang masih segar...," Patih Gandaraka mulai menceritakan keadaan di Kerajaan
Ringgading.
Sementara Rangga hanya diam saja, mendengarkan penuh perhatian. Terlihat jelas
sekali kalau keningnya berkerut semakin dalam. Dugaannya memang tepat sejak
tadi. Telah terjadi sesuatu yang sangat besar di Kerajaan Ringgading. Tapi,
sungguh tidak disangka kalau bencana itu benar-benar besar. Tidak ada lagi
bencana yang terbesar bagi sebuah kerajaan, selain runtuhnya singgasana.
Terlebih lagi, kalau singgasana sampai diduduki orang lain yang tidak berhak.
"Semula, Gusti Prabu Gading Anom masih bisa bertahan, dengan memberi
tawanan-tawanan untuk menjadi santapan Siluman Muka Kodok. Tapi setelah tidak
ada lagi tawanan yang bisa dikorbankan, terpaksa rakyat harus jadi korban. Dan
ini membuat Gusti Prabu Gading Anom tidak bisa bertahan lagi," sambung Patih
Gandaraka.
Dan Rangga masih tetap diam mendengarkan kelanjutannya.
"Gusti Prabu Gading Anom benar-benar sudah tidak tahan lagi. Hingga akhirnya,
beliau pergi dari istana dengan membawa satu pasukan prajurit dan dua puluh
pengawal pribadi. Seluruh keluarganya ikut dalam pelarian itu. Beruntung,
Siluman Muka Kodok tidak mengejar. Lalu, Gusti Prabu memerintahkan hamba untuk
mencari bantuan. Maka hamba terpaksa membawa seluruh prajurit yang tersisa,
karena Siluman Muka Kodok tidak lagi memilih-milih orang untuk santapannya.
Sudah banyak prajurit yang menjadi korban kebiadabannya, sambung Patih
Gandaraka lagi.
"Di mana Gusti Prabu Gading Anom sekarang berada?" tanya Rangga ingin tahu.
"Di Pertapaan Sangkalima," sahut Patih Gandaraka.
"Hm...," Rangga menggumam panjang. Pendekar Rajawali Sakti tahu, pertapaan itu
masih termasuk wilayah Kerajaan Ringgading. Dan di sana memang aman bila untuk
tempat persembunyian sementara. Tapi, bukannya tidak mustahil kalau Siluman
Muka Kodok bisa juga mengetahui dan mendatanginya ke sana.
"Maaf, Paman. Bukankah Ringgading memiliki jago-jago persilatan yang tangguh
dan berilmu tinggi. Apakah mereka tidak sanggup menandingi Siluman Muka Kodok.
Sampai-sampai Gusti Prabu harus mengungsi. Dan kau sendiri pun harus pergi
jauh, hanya untuk meminta bantuan," kata Rangga bernada hati-hati, agar tidak
menyinggung perasaan patih ini.
"Sudah berulang kali jago silat Ringgading mencoba melawan. Tapi, tidak satu
pun yang berhasil. Bahkan mereka menjadi korban kebuasannya. Siluman Muka
Kodok sangat sakti dan sukar sekali ditandingi, Dimas Rangga. Tubuhnya juga
tidak mempan senjata tajam apa pun bentuknya. Benar-benar kebal dia. Bahkan
juga memiliki ilmu suara yang sangat dahsyat. Sebuah bukit batu bisa
diruntuhkannya hanya dengan suaranya saja" sahut Patih Gandaraka menjelaskan,
tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun juga.
"Begitu tangguhkah...?" desis Rangga.
"Bukan hanya jago-jago silat Ringgading yang sudah mencoba, tapi juga dari
rimba persilatan. Dan ternyata mereka hanya mengantarkan nyawa saja menantang
Siluman Muka Kodok," lanjut Patih Gandaraka.
"Hm..., gumam Rangga lagi. Sementara, Patih Gandaraka tidak berbicara lagi.
Dia terdiam dengan sorot mata tertuju lurus ke wajah tampan Pendekar Rajawali
Sakti. Sepertinya, dia sedang menunggu kesanggupan pemuda itu untuk mengusir
Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading. Bahkan kalau perlu, melenyapkan
untuk selama-lamanya.
"Berapa kekuatannya?" tanya Rangga, setelah cukup lama terdiam.
"Maksud, Dimas...?" Patih Gandaraka meminta penjelasan.
"Orang-orang yang berada di belakangnya."
"Dia hanya seorang diri saja, Dimas"
"Seorang diri...?"
"Benar. Hanya seorang diri."
"Dan sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa mengenyahkannya...?"
Jelas sekali kalau nada suara Rangga seperti tidak percaya. Hanya seorang diri
ternyata orang yang berjuluk Siluman Muka Kodok bisa menaklukkan sebuah
kerajaan yang bisa dikatakan cukup besar. Kalau memang benar demikian,
tentulah orang itu tidak bisa lagi diukur tingkat kepandaiannya. Meskipun
sulit dipercaya, tapi Rangga yakin kalau Patih Gandaraka berkata yang
sesungguhnya. Dia tahu betul, patih itu tidak pernah berkata dusta. Terlebih
lagi dalam menghadapi persoalan yang begini besar.
"Hm, dia datang dari mana?" tanya Rangga lagi.
Patih Gandaraka menggelengkan kepala beberapa kali sambil menghembuskan napas
panjang-panjang. Sedangkan Rangga juga menarik napas panjang, dan
menghembuskannya kuat-kuat. Dari gelengan kepala Patih Gandaraka, bisa
diketahui kalau tidak ada seorang pun yang mengetahui asal-usul Siluman Muka
Kodok.
"Sudah berapa lama hal ini berlangsung?" tanya Rangga lagi, setelah cukup lama
terdiam. "Entahlah, Dimas. Mungkin sudah lebih dari tiga purnama. Aku tidak
bisa mengingatnya lagi dengan pasti," sahut Patih Gandaraka
"Berapa orang korbannya setiap hari?"
"Dua atau tiga orang. Bahkan bisa sampai lima orang lebih, kalau sedang marah.
"Hm...," kembali Rangga menggumam.
Dan keadaan pun kembali sunyi senyap. Tidak ada lagi yang membuka suara.
Masing-masing tengah disibuki oleh pikirannya. Tapi dari sorot mata Patih
Gandaraka, jelas sekali kalau kesediaan Pendekar Rajawali Sakti sangat
diharapkan untuk mengusir Siluman Muka Kodok dari Kerajaan Ringgading
selama-lamanya. Rangga sendiri masih tetap diam membisu dengan kening berkerut
cukup dalam. Entah apa yang ada dalam benaknya.
"Baiklah, Paman. Aku akan secepatnya datang ke sana. Mudah-mudahan saja
singgasana Gusti Prabu Gading Anom bisa kurebut kembali," kata Rangga
menyanggupi, setelah terdiam membisu cukup lama.
"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Dimas," ucap Patih Gandaraka, langsung
berbinar bola matanya.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit.
***
Rangga berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput yang cukup luas, di
tengah-tengah hutan yang rapat oleh pepohonan. Sementara tidak jauh di sebelah
kanan Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Gadis yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu hanya memandangi saja. Sementara, Rangga terus
berdiri te-gak dengan kepala menengadah memandang langit.
"Suiiit...!"
Siulan yang bernada aneh dan sangat panjang melengking tinggi, terdengar
menyakitkan telinga. Pandan Wangi sampai tersentak kaget, dan cepat-cepat
menutup telinga dengan telapak tangan. Dia tahu, Rangga sedang memanggil
Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang
menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dari burung rajawali itu
juga semua ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan diperolehnya.
"Suiiit...!"
"Khraaagkh...!"
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum begitu telinganya mendengar suara yang
serak, meskipun masih terdengar kecil dan jauh sekali. Dan senyum yang
menghiasi bibirnya semakin lebar saat terlihat sebuah titik berkilat keperakan
tengah melayang bagai kilat di angkasa. Dan semakin lama, titik keperakan itu
semakin terlihat jelas bentuknya.
"Khraaagkh...!"
Rangga melambaikan tangannya, setelah Rajawali Putih sudah terlihat jelas dan
dekat. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung mendarat
sekitar dua batang tombak di depan Rangga. Meskipun bertubuh besar, tapi
gerakannya sangat ringan. Sedikit pun tak ada getaran saat cakar-cakar
Rajawali Putih menyentuh tanah. Kepakan sayapnya yang lebar, membuat beberapa
pohon tumbang seketika terkena hempasan anginnya yang luar biasa keras.
"Khrrr...!"
"Maaf, aku terpaksa mengganggu istirahatmu lagi, Rajawali," ucap Rangga seraya
melangkah mendekati.
"Khrrrkh...!" Rajawali Putih hanya mengkirik kecil.
"Kita tidak punya banyak waktu, Rajawali. Secepatnya harus sampai di
Ringgading," kata Rangga begitu dekat dengan burung rajawali raksasa itu.
"Khrkh...!"
"Hup!" Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali
Sakti. Sehingga hanya sekali genjotan saja, sudah meluncur naik dan hinggap di
punggung Rajawali Putih. Langsung ditatapnya Pandan Wangi yang masih saja
berdiri mematung di tempat semula. Walaupun sudah seringkali berjumpa, bahkan
sudah beberapa kali menunggangi, tapi tetap saja Pandan Wangi mempunyai suatu
perasaan yang sulit diartikan pada burung rajawali raksasa ini. Dan gadis itu
juga selalu merasa takut kalau harus menungganginya. Belum pernah hatinya
merasa tenang kalau sudah mengangkasa bersama Rangga dan Rajawali Putih.
"Ayo, Pandan. Kau ingin ikut tidak..,?" ajak Rangga.
Pandan Wangi masih saja diam, dan seperti ragu-ragu untuk mengikuti Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi dalam hatinya, sedikit pun tidak terbetik kerelaan kalau
Rangga berjalan sendiri menghadapi maut di Kerajaan Ringgading. Rangga memang
sudah menceritakan semua hasil pembicaraannya dengan Patih Gandaraka. Pandan
Wangi sendiri sempat terperanjat mendengarnya, dan hampir-hampir tidak
percaya.
Perlahan Pandan Wangi mengayunkan kakinya menghampiri Rangga yang sudah berada
di punggung Rajawali Putih. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kembali
menghentikan ayunan kakinya, setelah jaraknya tinggal sekitar satu tombak lagi
dari Rajawali Putih.
"Cepat, Pandan. Kita tidak punya banyak waktu," desak Rangga mulai tidak
sabar.
"Hup!" Beberapa saat Pandan Wangi masih terdiam mematung, kemudian melompat
ringan. Lalu tubuhnya hinggap di punggung Rajawali Putih, tepat di depan
Rangga. Gadis itu langsung duduk dan mencengkeram bulu punggung Rajawali Putih
yang besar dan tebal ini.
"Ayo, Rajawali. Gunakan kecepatan penuh, karena kita harus segera sampai di
Ringgading," ajak Rangga.
"Khraaagkh...!"
Wusss!
***
Tepat di saat matahari sudah condong ke Barat, Rangga dan Pandan Wangi yang
menunggang Rajawali Putih sudah sampai di angkasa Kerajaan Ringgading. Dari
ketinggian di atas awan seperti ini, masih terlalu sulit untuk bisa melihat
jelas. Hanya atap-atap bangunan dan pepohonan saja yang bisa terlihat. Itu pun
kelihatannya kecil-kecil sekali.
"Kau terbang terlalu tinggi, Rajawali. Lebih dekat lagi...!" seru Rangga,
meminta.
"Khragkh...!" Rajawali Putih segera merendahkan jarak terbangnya, sehingga
Rangga bisa melihat jelas keadaan Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sesaat, kening
Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Kota yang sangat besar itu kelihatan
sangat sunyi, seperti tidak berpenghuni. Tidak seorang pun juga yang terlihat,
kecuali anjing-anjing liar dan binatang-binatang yang berkeliaran di
jalan-jalan kota ini.
"Turun di sana, Rajawali!" teriak Rangga sambil menunjuk sebuah padang rumput
yang ada di sebelah Timur Kotaraja Kerajaan Ringgading.
"Khraaagkh...!"
Sungguh cepat Rajawali Putih melesat. Hingga dalam sekejap saja sudah mendarat
lunak di pinggir padang rumput yang tidak jauh dengan perbatasan kotaraja
sebelah Timur. Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih.
Pandan Wangi juga bergegas mengikuti, turun dari punggung burung rajawali
raksasa ini.
"Kau boleh pergi, Rajawali. Tapi jangan terlalu jauh," ujar Rangga sambil
menepuk kaki burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Khrrrkh...!"
"Hm.... Jangan terlalu mencemaskan aku, Rajawali," ujar Rangga seakan-akan
bisa mengerti kekhawatiran yang ditunjukkan Rajawali Putih melalui suaranya
yang mengkirik lirih.
Kepala burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu bergerak menggeleng
perlahan beberapa kali. Sementara, Rangga memperhatikan dengan kening
berkerut. Pandan Wangi juga memperhatikan tingkah Rajawali Putih, tapi terlalu
sulit baginya untuk bisa mengerti. Dan memang, hanya Rangga saja yang bisa
mengerti.
"Baiklah, Rajawali. Kau boleh mengawasi dari angkasa. Tapi jangan bertindak
apa pun sebelum kuminta," kata Rangga akhirnya.
"Khrrr...!"
"Pergilah...."
"Khraaagkh...!"
Hanya sekali saja mengepakkan sayapnya, Ra-jawali Putih sudah melambung tinggi
ke angkasa. Sementara, Rangga langsung mengajak Pandan Wangi memasuki Kotaraja
Kerajaan Ringgading. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga pintu gerbang
sebelah Timur ini. Namun begitu, Rangga meminta Pandan Wangi untuk selalu
berhati-hati. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepalanya ke atas,
maka tampak Rajawali Putih masih di atas awan. Memang kelihatan kecil sekali,
bahkan terkadang menghilang tertutup awan.
"Sepertinya kau tidak senang Rajawali terus mengikutimu, Kakang," kata Pandan
Wangi.
"Jangan berkata begitu, Pandan. Dia bisa mendengar semua yang kau katakan,"
sahut Rangga sambil mendongakkan kepala ke atas.
"Khraaagkh...!" Dari angkasa terdengar suara serak yang sangat nyaring
melengking tinggi.
"Apa kubilang, dia bisa mendengar," kata Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja, lalu terus mengayunkan kakinya
mengikuti langkah Rangga dari sebelah kanan. Sementara, mereka sudah memasuki
Kotaraja Kerajaan Ringgading. Memang sangat sunyi keadaannya. Tidak satu pun
manusia yang dijumpai sejak melewati gerbang masuk ke kota ini. Bahkan tidak
satu rumah pun di sepanjang jalan ini yang membuka pintu atau jendela.
Benar-benar seperti sebuah kota mati yang tidak lagi berpenghuni.
"Sepi sekali..." desah Pandan Wangi pelan sekali. Hampir tidak terdengar
suaranya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja, seolah-olah tidak mendengar ucapan Pandan
Wangi tadi. Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu kesaktian aji
Pembeda Gerak dan Suara, sebuah ilmu yang bisa menajamkan pendengaran. Bahkan
bisa memilah-milah suara yang diinginkan untuk didengar jelas.
Tanpa disadari, sejak tadi Pandan Wangi terus memperhatikan. Gadis itu tahu,
Pendekar Rajawali Sakti sedang mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara.
"Ada yang kau dapatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Hm..." Rangga hanya menjawab dengan gumaman kecil saja. Tiba-tiba saja,
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Pandan Wangi juga langsung
berhenti melangkah di samping kanan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.
Tampak Rangga memiringkan kepalanya sedikit ke kanan. Dan....
"Hap!" Begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya. Dan
tahu-tahu, dalam genggaman tangan pemuda itu sudah ada sebatang tongkat
berukuran cukup panjang berwarna putih bagai terbuat dari perak. Sedikit
kakinya bergeser ke belakang. Sementara, Pandan Wangi langsung memegang
senjata kipas mautnya, walaupun belum tercabut dari balik ikat pinggangnya.
"Hati-hati, Pandan. Tampaknya kedatangan kita sudah diketahui," kata Rangga
memperingatkan.
"Hm," Pandan Wangi hanya menggumam saja.
Suasana terasa begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tak terdengar suara yang
mencurigakan, kecuali desir angin saja yang mengusik telinga. Sementara,
perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya begitu tajam
memandangi sekitarnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap diam di tempat dengan
sikap penuh kewaspadaan.
"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"
"Hup!" Rangga cepat melompat ke belakang mendekati Pandan Wangi, begitu
tiba-tiba dari balik dinding rumah dan atap bermunculan orang-orang. Mereka
langsung saja mengepung kedua pendekar muda dari Karang Setra itu di
tengah-tengah jalan. Sebentar saja sudah tidak ada lagi celah bagi Rangga dan
Pandan Wangi untuk bisa meloloskan diri. Sekelilingnya sudah terkepung tidak
kurang dari tiga puluh orang yang semuanya menggenggam sebatang tongkat
berwarna putih.
"Selamat datang di wilayah kami, Kisanak dan Nisanak!"
Rangga dan Pandan Wangi langsung berpaling, dan mendongak ke atas begitu
mendengar sambutan keras dan menggelegar menyakitkan telinga. Tampak di atas
atap sebuah rumah berdiri seorang laki-laki tua berjubah panjang dan longgar
berwarna putih bersih. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang
juga berwarna putih, persis dengan tongkat para pengepung dua orang pendekar
muda dari Karang Setra ini.
"Mengapa kalian menghadang perjalanan kami?" tanya Rangga dengan suara
lantang.
"Seorang anak buahku yang lolos mengatakan kalau si Tongkat Bintang Perak
lumpuh. Dan itu gara-gara seekor rajawali raksasa berbulu putih. Aku yakin,
burung sialan itu milikmu. Karena dari ciri-cirimu, aku tahu kau adalah
Pendekar Rajawali Sakti. Dan hanya seorang pendekar yang memiliki rajawali
seperti itu, yaitu kau sendiri!" dengus laki-laki tua berjubah putih itu.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Rangga, pura-pura tidak mengerti.
"Kau tidak berhak bertanya, Bocah!" bentak orang tua itu kasar. "Hup!" Sungguh
ringan gerakan orang tua itu saat melompat turun dari atas atap. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat sekitar satu batang
tombak lagi di depan Rangga. Gerakannya sangat cepat, indah, dan ringan,
pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi. Tentu
kepandaiannya juga sangat tinggi, jika melihat dari caranya mengerahkan ilmu
meringankan tubuh tadi.
"Dan sekarang, aku menuntut balas atas kematian muridku!" dengus orang tua
berjubah putih itu, ketus.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit "Lihat sekelilingmu, Pendekar
Rajawali Sakti. Semua muridku tidak akan segan-segan mencincangmu!"
***
ENAM
Bukan hanya Rangga saja yang terkejut. Bahkan Pandan Wangi juga jadi tersentak
setengah mati begitu mendengar ancaman orang tua berjubah putih ini.
"Kau harus membayar mahal nyawa muridku, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya
menyerah saja, sebelum murid-muridku kuperintahkan mencincangmu!" terasa
dingin sekali nada suara orang tua berjubah putih itu.
"Tunggu dulu...!" sentak Rangga begitu orang tua berjubah putih itu sudah
mengangkat tangan kanannya yang menggenggam tongkat.
"Ada apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti?"
"Kaukah yang bernama Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih...?" tanya
Rangga ingin memastikan.
"Benar! Aku memang Ki Sadewa, Ketua Gerombolan Tongkat Putih. Dan mereka
adalah murid-muridku yang sudah terlatih baik untuk mencincang orang-orang
macam kau...!" tegas Ki Sadewa.
"Sebentar, Ki. Kau salah paham. Justru muridmulah yang hendak merampok
rombongan dari Kerajaan Ringgading," Rangga mencoba menjelaskan dengan
singkat.
"Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Pendekar Rajawali Sakti?" Dan belum
juga Rangga menjelaskan, tiba-tiba saja....
"Ghrrrogkh...!"
"Heh...?! Apa itu...?!" sentak Pandan Wangi terkejut.
Bukan hanya Pandan Wangi saja yang tersentak kaget. Rangga, Ki Sadewa, dan
murid-muridnya juga jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja terdengar
suara menggorok yang sangat keras. Saat itu juga, terlihat wajah Ki Sadewa
jadi berubah menegang. Bahkan semua muridnya kelihatan gelisah.
"Bersembunyi kalian semua. Cepaaat...!" seru Ki Sadewa lantang menggelegar
kepada murid-muridnya.
Belum juga hilang perintah Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu, semua muridnya
langsung berlarian mencari tempat persembunyian. Bahkan saat itu juga,
rumah-rumah yang semula pintunya tertutup rapat langsung terbuka, memberi
kesempatan masuk pada murid-murid Ki Sadewa. Sebentar saja, sudah tidak
terlihat lagi murid-murid Gerombolan Tongkat Putih itu. Dan di tengah jalan
ini tinggal Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Sadewa saja. Sementara,
perlahan-lahan Ki Sadewa menarik kakinya ke tepi jalan, lalu....
"Hup!"
"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Ki Sadewa melesat
cepat. Dan belum juga Pendekar Ra-jawali Sakti bisa mencegah, bayangan tubuh
Ketua Gerombolan Tongkat Putih itu sudah tidak terlihat lagi. Kini, tinggal
kedua pendekar muda dari Karang Setra saja yang masih berada di tengah-tengah
jalan. Sementara, sekelilingnya begitu sunyi. Tak seorang pun yang terlihat
lagi di luar rumah. Sedangkan semua pintu dan jendela rumah yang ada di
sepanjang kiri dan kanan jalan ini tidak ada yang terbuka.
"Ada apa dengan mereka, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, agak menggumam
suaranya. Seperti bertanya pada diri sendiri. Namun Rangga tidak menjawab
pertanyaan si Kipas Maut itu. Dia sendiri tidak mengerti melihat Ki Sadewa dan
murid-muridnya. Mereka langsung pergi bersembunyi begitu mendengar suara
menggorok tadi. Sedangkan suara itu hanya sekali saja terdengar. Dan kini
sudah menghilang entah ke mana. Entah dari mana suara itu datang. Belum juga
Rangga dan Pandan Wangi bisa mengerti, mendadak....
"Aaa...!"
"Heh...?! Hup...!" Rangga langsung melesat cepat bagai kilat, begitu terdengar
jeritan panjang yang melengking tinggi. Sementara, Pandan Wangi masih terpaku
sesaat, lalu bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Langsung
dikerahkannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
"Oh...?!" Rangga jadi tersedak begitu melihat sebuah kepala manusia tergeletak
di depan sebuah rumah. Darah berceceran di mana-mana. Tidak jauh dari kepala
itu, tergeletak sebuah kaki yang masih mengucurkan darah segar. Belum juga
Rangga bisa berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Gadis
itu juga terkejut setengah mati melihat kepala buntung dan sebuah kaki
tergeletak di halaman sebuah rumah kecil.
"Ghrooogkh...!"
"Heh...?!" Tepat ketika terdengar suara menggorok serak, terlihat sebuah
bayangan berkelebat begitu cepat keluar dari dalam rumah melalui atap. Begitu
cepatnya berkelebat, sehingga hanya sekilas saja Rangga bisa melihat. Dan
bayangan itu kini sudah lenyap dalam sekejap mata saja.
"Kau tunggu di sini, Pandan," kata Rangga.
"Kau mau...?"
"Hup!" Belum juga Pandan Wangi selesai bertanya, Rangga sudah melesat begitu
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai kesempurnaan.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan mata.
Sementara, Pandan Wangi hanya bisa diam terpaku tanpa dapat berbuat sesuatu.
Belum juga Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja murid-murid
Gerombolan Tongkat Putih sudah bermunculan. Bahkan ada beberapa orang di atas
atap yang mengarahkan panah terpasang di busur ke arah si Kipas Maut ini.
Pandan Wangi jadi kelabakan sendiri. Sementara, Rangga pergi entah ke mana.
Pendekar Rajawali Sakti tadi mengejar bayangan yang berkelebat cepat, keluar
dari dalam rumah ini. Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya, dan langsung
menatap tajam Ki Sadewa yang melangkah perlahan-lahan menghampiri.
"Mau apa kalian,..?!" sentak Pandan Wangi.
"Aku terpaksa harus menahanmu, Nisanak," sahut Ki Sadewa.
"Heh...?! Apa salahku?!"
Tapi pertanyaan Pandan Wangi tidak ada yang menjawab. Ki Sadewa sudah
menjentikkan ujung jari tangannya. Maka saat itu juga empat orang muridnya
berlompatan maju sambil memutar-mutar tambang. Namun belum juga keempat murid
Gerombolan Tongkat Putih menyerang, mendadak...
"Khraaagkh...!" Wusss!
"Eh?! Apa itu...?!" sentak Ki Sadewa terkejut.
Bukan hanya Ki Sadewa saja yang terkejut Pandan Wangi juga terperanjat
setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Rajawali Putih yang memang sejak
tadi mengawasi dari angkasa bisa melihat keadaannya yang tidak menguntungkan
ini. Dan begitu cepat burung rajawali itu menukik turun, lalu menyambar si
Kipas Maut dengan sepasang cakarnya yang kuat, sebelum Ki Sadewa dan
murid-muridnya bisa berbuat sesuatu. Bagaikan kilat, Rajawali Putih membawa
terbang Pandan Wangi dalam cengkeramannya.
Dalam sekejapan mata saja, burung rajawali itu sudah kembali melambung tinggi
ke angkasa. Sementara, Pandan Wangi langsung memejamkan matanya, tidak sanggup
melihat ke bawah dalam keadaan tubuh menghadap ke bumi seperti ini.
"Rajawali, turunkan, aku...!" teriak Pandan Wangi.
"Khragkh...!" Rajawali Putih kembali meluruk deras dengan kecepatan bagai
kilat. Sehingga membuat jantung Pandan Wangi seakan hendak copot rasanya.
Gadis itu benar-benar tidak kuasa membuka matanya. Dan matanya baru dibuka
saat kakinya terasa menyentuh tanah. Saat Rajawali Putih melepaskan
cengkeramannya, Pandan Wangi langsung jatuh terguling. Cepat-cepat gadis itu
melompat bangkit berdiri. Sementara Rajawali Putih sudah mendekam di depannya.
"Kau tidak perlu berbuat begitu, Rajawali. Aku bisa mengatasi mereka!" dengus
Pandan Wangi sambil mengibaskan kotoran tanah yang melekat di bajunya.
"Khrrr...!"
"Sudah! Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," sentak Pandan Wangi kesal.
Gadis cantik itu langsung mengedarkan pandangan berkeliling. Saat itu,
keningnya jadi berkerut. Ternyata Rajawali Putih membawanya ke tempat yang
belum dikenalnya sama sekali. Sebuah tempat sangat indah, bagaikan berada di
dalam sebuah taman istana. Pandan Wangi tidak tahu, di mana kini berada. Yang
jelas, dia seperti merasa tidak lagi berada di dalam wilayah Kerajaan
Ringgading. Sebentar kemudian gadis itu sudah menatap Rajawali Putih yang
masih mendekam dengan kepala agak tertunduk ke bawah.
"Di mana ini, Rajawali?" tanya Pandan Wangi.
Namun Rajawali Putih tidak menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Bahkan
tiba-tiba saja sudah mengepakkan sayapnya, dan langsung melesat ke angkasa.
"Hei, tunggu...!" seru Pandan Wangi terkejut. Tapi Rajawali Putih sudah
melambung tinggi, dan terus melesat cepat bagai kilat meninggalkan gadis
cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Sebentar saja, burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu sudah tidak terlihat lagi.
"Edan...! Apa maksudnya meninggalkan aku di sini...?" dengus Pandan Wangi
menggerutu sendiri. "Huh!" Pandan Wangi tidak sempat lagi memikirkan sikap
Rajawali Putih yang membuat kesal hatinya. Kembali pandangannya beredar ke
sekeliling. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat sebuah bangunan kecil
dari batu berbentuk puri, terletak di sudut dari taman ini.
"Hm..." Baru saja Pandan Wangi mengayunkan kakinya beberapa langkah hendak
mendekati puri kecil itu, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan
orang-orang berseragam prajurit Kerajaan Ringgading. Mereka langsung
berlompatan, dan mengepungnya.
Sret!
Pandan Wangi langsung mencabut kipas mautnya, dan membukanya di depan dada.
Sementara, lebih dari tiga puluh orang berpakaian seragam prajurit Kerajaan
Ringgading sudah rapat mengepungnya dengan senjata tombak dan pedang terhunus.
Saat itu, dari dalam puri muncul seorang laki-laki berusia separuh baya,
didampingi empat orang laki-laki tua. Semuanya mengenakan jubah warna kuning
gading, dengan kepala gundul. Mereka langsung menghampiri Pandan Wangi yang
sudah siap dengan kipas maut terkembang di depan dada.
"Kaukah Pandan Wangi yang berjuluk si Kipas Maut..?" tanya laki-laki separuh
baya berpakaian indah merah muda dari bahan sutera halus, begitu dekat dengan
gadis yang berjuluk si Kipas Maut.
"Benar," sahut Pandan Wangi singkat.
"Aku Prabu Gading Anom...."
"Oh..." Pandan Wangi baru menyadari kalau kini berada di dalam lingkungan
Pertapaan Sangkalima. Cepat-cepat kipas mautnya ditutup lagi, dan langsung
berlutut seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, begitu tahu
kalau laki-laki separuh baya yang berada di depannya adalah Prabu Gading Anom.
Dan belum lama gadis itu berlutut memberi sembah, Prabu Gading Anom sudah
menyentuh pundaknya. Segera dibawanya si Kipas Maut itu berdiri lagi.
"Maafkan atas sambutan yang tidak enak ini, Nini Pandan," ucap Prabu Gading
Anom.
"Ah...," Pandan Wangi hanya bisa mendesah saja. Pandan Wangi memang tidak
mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Sungguh tidak diketahuinya kalau Rajawali
Putih membawanya ke Pertapaan Sangkalima. Dari Rangga, gadis itu tahu kalau
Prabu Gading Anom sementara bersembunyi di pertapaan ini, selama Siluman Muka
Kodok masih menguasai istananya.
"Kau datang tidak bersama Prabu Rangga, Nini Pandan?" tanya Prabu Gading Anom.
"Ada sedikit peristiwa yang membuat kami terpisah," sahut Pandan Wangi. Tanpa
diminta lagi, si Kipas Maut menceritakan semua yang terjadi begitu dia dan
Rangga sampai di Kotaraja Kerajaan Ringgading. Sementara, Prabu Gading Anom
terangguk-angguk mendengarkan semua kejadian yang dialami sahabat-sahabatnya.
Bahkan Pandan Wangi juga menceritakan tentang kedatangan Patih Gandaraka dan
prajurit-prajuritnya ke Karang Setra. Tapi, sekarang ini mereka semua sudah
diterima baik. Bahkan tidak lagi harus berkemah di luar perbatasan. Atas
perintah Rangga, Danupaksi mengatur tempat beristirahat untuk Patih Gandaraka
dan para prajuritnya, sampai Siluman Muka Kodok terusir dari Istana Kerajaan
Ringgading.
"Aku gembira mendengar Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritku sudah aman di
Karang Setra. Ah..., sulit sekali mengucapkan terima kasih pada Prabu Rangga,"
ucap Prabu Gading Anom.
"Demi persahabatan, aku dan Kakang Rangga sudah bertekad mengusir Siluman Muka
Kodok. Bahkan kalau perlu, melenyapkan untuk selama-lamanya," tegas Pandan
Wangi.
"Aku percaya kau dan Prabu Rangga pasti mampu mengalahkannya. Yaaah..., memang
tidak ada lagi yang bisa kuharapkan selain kalian berdua. Kalian bukan saja
orang utama di Karang Setra, tapi juga pendekar-pendekar muda yang tangguh
dari digdaya. Rasanya, tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktian
Prabu Rangga sekarang ini," puji Prabu Gading Anom.
"Ah...! Gusti Prabu terlalu berlebihan," desah Pandan Wangi, langsung memerah
wajahnya, mendapat pujian tulus seperti itu.
"Aku tidak berlebihan. Tapi, ini memang kenyataan, Nini."
Pandan Wangi hanya bisa tersenyum saja. Sementara dia sendiri merasa bukanlah
apa-apa bila saja tidak bersama-sama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kepandaian
yang dimiliki Pandan Wangi juga tidak bisa dikatakan rendah. Terlebih lagi,
kalau sudah bertarung mengeluarkan Pedang Naga Geni. Kehadirannya bagaikan
malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tidak sedikit tokoh persilatan yang
mengaguminya. Dan memang, semua orang mengakui kalau Pendekar Rajawali Sakti
dan si Kipas Maut merupakan pasangan yang sangat pas. Mereka sama-sama masih
muda, dan berkepandaian sangat tinggi.
Sementara Prabu Gading Anom mengajak si Kipas Maut berjalan-jalan di sekitar
taman Pertapaan Sangkalima ini. Dan ajakan itu tidak bisa ditolak Pandan
Wangi. Dia berjalan di samping kanan laki-laki separuh baya yang masih
kelihatan gagah ini. Sementara, empat orang pertapa yang tadi menyertai Prabu
Gading Anom keluar, sudah masuk lagi ke dalam puri. Bahkan para prajurit yang
tadi sempat mengepung Pandan Wangi pun sudah tidak terlihat lagi. Kini di
dalam taman itu hanya ada Pandan Wangi dan Prabu Gading Anom saja.
"Sunyi sekali di sini...," desah Pandan Wangi agak menggumam.
"Memang. Aku sengaja membuatnya sunyi agar Siluman Muka Kodok tidak curiga,"
sahut Prabu Gading Anom. "Aku juga tidak ingin ada perubahan yang menyolok di
sini. Tempat ini sengaja kupertahankan seperti apa adanya."
"Berapa lama lagi Gusti Prabu akan tinggal di sini?" tanya Pandan Wangi ingin
tahu.
"Secepatnya aku pergi dari sini, setelah Prabu Rangga bisa mengusir Siluman
Muka Kodok dari istanaku," sahut Prabu Gading Anom.
"Rasanya Ringgading memiliki prajurit tangguh. Juga banyak jago silat tangguh
berada di sini. Tapi, kenapa sampai tidak bisa menandingi Siluman Muka
Kodok..?"
"Sudah berulangkali dicoba, tapi memang Siluman Muka Kodok sangat tangguh.
Bukan hanya kepandaiannya saja yang sangat tinggi, tapi juga kebal terhadap
segala jenis senjata. Dia juga sangat ganas. Setiap hari, selalu mengambil
korban untuk disantap."
"Hanya iblis neraka yang bisa berbuat begitu," desis Pandan Wangi, gusar.
"Dia memang iblis, Nini Pandan. Entah datang dari mana, tahu-tahu sudah ada di
istana. Bahkan membantai puluhan prajurit. Akibatnya juga, aku kehilangan
banyak panglima dan jago silat istana. Dia hanya seorang diri, tapi
kekuatannya melebihi seribu prajurit," kata Prabu Gading Anom.
"Hebat..." desis Pandan Wangi memuji dengan tulus. Tapi di balik pujiannya
yang tulus, terselip rasa khawatir dalam hatinya. Gadis cantik ini takut
kalau-kalau Rangga tidak sanggup menghadapinya seorang diri. Dari semua yang
diceritakan Prabu Gading Anom tentang Siluman Muka Kodok, sudah bisa dinilai
kalau kepandaiannya sangat tinggi. Bahkan Pandan Wangi juga sudah bisa
mengukur kalau dirinya sendiri tidak akan sanggup menandingi. Tapi, apakah
Pendekar Rajawali Sakti mampu menandingi kesaktian yang dimiliki Siluman Muka
Kodok...?
Kekhawatiran semakin dalam menyelimuti hari si Kipas Maut itu. Dia tahu,
Rangga tadi meninggalkannya karena mengejar bayangan yang berkelebat cepat,
keluar dari dalam rumah rakyat Ringgading. Dan dari cerita Prabu Gading Anom,
Pandan Wangi sudah bisa menebak kalau bayangan yang dikejar Rangga pastilah
Siluman Muka Kodok. Juga kepala dan kaki yang ada di luar rumah itu, pastilah
salah satu korbannya. Mengingat itu, Pandan Wangi semakin diliputi kecemasan
akan nasib Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, hatinya begitu cemas. Dan
ini tidak pernah dirasakan sebelumnya.
"Dewata Yang Agung..., lindungi Kakang Rangga dari bencana," desah Pandan
Wangi dalam hati.
***
TUJUH
Sementara itu Rangga sudah tiba di depan gerbang Istana Kerajaan Ringgading.
Sekilas masih sempat terlihat kalau bayangan hitam yang dikejarnya menghilang
setelah masuk ke dalam istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh
ini. Pendekar Rajawali Sakti hendak melanjutkan pengejarannya, dan langsung
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Diamatinya keadaan sekitar. Terasa sangat sunyi. Tidak terlihat seorang pun di
sekitarnya. Begitu sunyi, bagaikan berada di tengah-tengah padang pasir yang
sangat luas tak bertepi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menggesek
dedaunan.
"Patih Gandaraka mengatakan, Siluman Muka Kodok hanya seorang diri, Hm....
Bagaimanapun juga aku harus hati-hati. Mungkin banyak jebakan di sekitar
istana ini," gumam Rangga berbicara sendiri.
Kembali Rangga merayapi keadaan sekitarnya. Sedikit pun tidak tampak adanya
tanda-tanda jebakan di sekitar istana ini. Perlahan kakinya terayun beberapa
tindak, mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat. Pendekar Rajawali Sakti
menggumam perlahan. Dan rasanya tidak mudah menjebol pintu gerbang yang
terbuat dari besi baja ini. Kalaupun bisa, pasti akan menimbulkan keributan.
Dan Siluman Muka Kodok dengan mudah bisa mengetahui kehadirannya.
"Aku harus melompati tembok ini," gumam Rangga dalam hati. Sebentar Pendekar
Rajawali Sakti mengamati ketinggian tembok batu yang mengelilingi bangunan
istana ini. Beberapa saat kemudian...
"Hup!" Bagaikan kapas, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu indah dan ringan
gerakannya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu
manis sekali hinggap di bibir atas tembok.
"Ups...!" Cepat Rangga memalingkan mukanya sambil menutup hidung, begitu bau
busuk langsung menyergap lubang hidungnya. Sungguh tidak sedap pemandangan di
dalam lingkungan benteng istana ini. Tulang-tulang tengkorak manusia
berserakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit mayat yang sudah membusuk
bergelimpangan.
Siluman Muka Kodok benar-benar membuat keadaan Istana Ringgading menjadi
tempat pembantaian manusia. Entah berapa ratus orang sudah menjadi korbannya.
Luasnya halaman istana, dipenuhi tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang
sudah membusuk menyebarkan bau tidak sedap.
"Hup!" Bau busuk yang sangat menusuk, membuat perut Rangga jadi bergolak mual
hendak muntah. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti kembali melompat turun,
namun jadi agak limbung begitu kakinya menjejak tanah. Bau busuk dari
mayat-mayat yang berserakan di sekitar istana ini, membuat kepalanya jadi
pening.
"Phuuuh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga menarik kakinya ke
belakang menjauhi istana. ini. Sulit dipercaya dengan apa yang baru saja
disaksikannya. Begitu banyak tulang tengkorak berserakan di ha-laman depan
istana.
"Hhh! Tidak mungkin aku masuk ke sana. Bisa-bisa aku mati karena bau
busuk...!" dengus Rangga dalam hati. "Hm..., apa akalku sekarang...?"
Rangga terus memutar otaknya, mencari jalan agar bisa mengusir Siluman Muka
Kodok dari Istana Ringgading. Untuk masuk ke dalam, memang tidak mungkin lagi.
Dia yakin, bukan hanya di halaman saja banyak tulang tengkorak dan mayat-mayat
membusuk berserakan. Di dalam bangunan istana itu pasti juga sudah penuh
mayat-mayat membusuk.
"Aku harus bisa memancingnya keluar. Hm, tapi bagaimana caranya...?"
kembali Rangga menggumam bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pikiran Pendekar
Rajawali Sakti benar-benar terasa buntu saat ini. Tidak tahu lagi, bagaimana
caranya bisa bertemu Siluman Muka Kodok. Tanpa disadari, kepalanya mendongak
ke atas. Dan begitu melihat Rajawali Putih melayang memutari bangunan istana
ini, bibirnya jadi menyunggingkan senyum.
"Suiiit...!" Rangga memanggil Rajawali Putih dengan siulannya.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung meluruk turun dengan kecepatan bagai
kilat. Sebentar saja burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah
mendarat, tidak jauh di depan Rangga.
"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat naik ke punggung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.
"Rajawali! Aku ingin kau bisa memancing Siluman Muka Kodok keluar dari
istana," pinta Rangga.
"Khragkh..." Wusss!
Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat naik ke angkasa. Hanya
sekali saja sayapnya dikepakkan, sudah melambung sangat tinggi sekali. Dari
atas, Rangga bisa melihat jelas keadaan dalam lingkungan benteng Istana
Ringgading, tanpa khawatir terserang bau busuk dari mayat-mayat yang
berserakan di dalam sana.
Memang benar dugaannya. Hampir di setiap pelosok sudah penuh oleh
tulang-tulang tengkorak dan mayat-mayat yang sudah membusuk. Sepertinya, tidak
ada lagi tempat kosong. Istana ini bagaikan sebuah kuburan terbuka, penuh
terisi mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Tapi, sedikit pun tak
terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Walaupun sudah bersama Rajawali Putih
di angkasa, tapi Rangga belum juga bisa mendapatkan cara untuk memancing
Siluman Muka Kodok keluar. Dan hanya diamatinya saja setiap sudut dari Istana
Ringgading ini. Sementara, Rajawali Putih terus berputar-putar mengelilingi
istana ini.
"Ke bagian belakang, Rajawali.!" pinta Rangga dengan suara dikeraskan, karena
angin di angkasa ini begitu kencang.
"Khraaagkh...!" Rangga menajamkan matanya begitu Rajawali Putih sudah sampai
ke bagian belakang Istana Ringgading. Tapi, tidak ada yang bisa didapatkan
juga di bagian belakang istana ini. Dan baru saja ingin memerintahkan Rajawali
Putih ke bagian depan lagi, mendadak saja....
Slap!
"Awas...!"
"Khraaagkh...!"
"Hup...!"
Cepat sekali Rangga melesat sambil mengibaskan tangannya, begitu melihat
secercah cahaya kuning kemerahan melesat cepat bagai kilat ke arahnya.
Sementara, Rajawali Putih langsung mengepakkan sayapnya berusaha menghindari
terjangan cahaya kuning kemerahan itu. Cahaya kuning kemerahan itu lewat di
antara Rajawali Putih dan Rangga yang berputaran di udara sambil mengembangkan
kedua tangan ke samping, bagai sepasang sayap burung.
"Khraaagkh...!"
Rangga terus meluncur ke bawah sambil berputaran karena berusaha menguasai
keseimbangan tubuhnya. Melihat hal ini, Rajawali Putih cepat sekali meluruk ke
arah pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu. Namun belum juga
sampai, mendadak saja kembali terlihat secercah cahaya kuning kemerahan
meluruk deras ke arahnya.
"Khraaakgh...!" Rajawali Putih langsung menarik dirinya, menghindari terjangan
cahaya kuning kemerahan itu. Sementara, Rangga terus meluruk deras ke bawah
dengan tubuh berputaran. Meskipun sudah mengerahkan jurus Sayap Rajawali
Membelah Mega, tapi tetap saja Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat ke
bawah.
"Khraaakgh...!" Melihat Rangga sudah tidak bisa lagi menguasai keseimbangan
dirinya, Rajawali Putih kembali meluruk cepat hendak menyambarnya. Dan pada
saat itu, cahaya kuning kemerahan kembali terlihat melesat ke arah burung
rajawali raksasa itu. Namun pada saat yang bersamaan, Rajawali Putih sudah
dekat dengan Rangga.
"Awas, Rajawali...!" seru Rangga memperingatkan.
"Khrakgh,..!"
Tapi, Rajawali Putih tampaknya tidak mempedulikan peringatan Rangga, dan terus
meluruk deras ke arahnya. Sehingga tanpa dapat dihindari lagi, cahaya kuning
kemerahan itu tepat menghantam tubuhnya.
"Khreeeaaagkh..."
"Oh, tidaak...!" Rangga menjerit sekuat-kuatnya begitu Rajawali Putih
terhantam cahaya kuning kemerahan yang melesat begitu cepat bagai kilat.
Rajawali Putih menjerit keras sambil menggelepar di udara. Namun tanpa diduga
sama sekali, burung raksasa berbulu putih keperakan itu masih bisa meluncur
deras. Langsung disambarnya tubuh Rangga dengan cakarnya yang kuat dan kokoh.
"Khraaakgh...!"
Begitu berhasil menyambar tubuh Rangga yang melayang di udara, secepat kilat
Rajawali Putih melesat naik ke angkasa. Dan pada saat itu, kembali secercah
cahaya kuning kemerahan meluncur cepat bagai kilat ke arah burung rajawali
raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Sret!
Cring!
Rangga tidak ingin cahaya kuning kemerahan itu menghantam tubuh Rajawali Putih
lagi. Dengan cepat sekali, pedang pusakanya dicabut, dan langsung dikibaskan
untuk menangkis cahaya kuning kemerahan itu.
Trang!
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar seketika terdengar disertai percikan api yang
menyebar ke segala arah, begitu pedang di tangan Rangga beradu dengan cahaya
kuning kemerahan yang keluar dari dalam Istana Ringgading ini. Tampak Rajawali
Putih jadi oleng terbangnya. Namun cepat sekali bisa menguasai keseimbangan
dirinya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia meluncur deras sambil membawa
Rangga pada cakarnya, menjauhi bangunan istana yang sudah tidak terawat dan
dipenuhi tulang tengkorak serta mayat-mayat membusuk itu.
***
"Hup...!" Rangga langsung memutar tubuhnya begitu Rajawali Putih melepaskan
cengkeraman cakarnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di
udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah yang berumput cukup
tebal ini. Sementara itu, Rajawali Putih langsung jatuh tergeletak di tanah.
Tampak dari paruhnya mengeluarkan darah kental agak kehitaman.
"Rajawali...." Rangga bergegas menghampiri burung tunggangannya. Tampak jelas
kalau Rajawali Putih terluka dalam yang cukup parah, akibat terkena serangan
sinar kuning kemerahan tadi. Dan pada bagian dada, kelihatan menghitam seperti
terbakar. Rangga cepat-cepat memberi totokan beberapa kali di sekitar bulatan
hitam di dada Rajawali Putih.
"Apa yang kau rasakan rajawali?" tanya Rangga dengan nada dipenuhi kecemasan.
"Khrrrkh...!"
Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya menggeletak di tanah.
Sedangkan sinar matanya kelihatan begitu redup. Darah masih terlihat memenuhi
paruhnya, walaupun tidak mengalir lagi seperti tadi.
"Bertahanlah, Rajawali. Aku akan mencoba menyembuhkan luka dalammu," ujar
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk bersila di depan Rajawali Putih. Kedua
telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Perlahan kedua kelopak matanya
mulai terpejam. Sementara, Rajawali Putih masih tetap menggeletak dengan
kepala terkulai lemas di tanah. Kedua sayapnya terkembang lemas. Burung
raksasa itu benar-benar bagai tidak memiliki kekuatan lagi, akibat luka dalam
yang diderita.
"Hap!" Begitu kedua kelopak matanya terbuka, Rangga langsung menempelkan kedua
telapak tangan, tepat di dada Rajawali Putih. Tampak asap tipis mengepul dari
sela-sela jari tangan pemuda itu. Rajawali Putih mengkirik lirih sambil
menggeliat. Darah kembali mengucur dari paruhnya yang terbuka. Sementara,
Rangga terus menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh burung rak-sasa ini.
"Hhh!" Begitu besarnya hawa murni yang harus disalurkan, membuat seluruh tubuh
Pendekar Rajawali Sakti basah bersimbah keringat. Tampak jelas kalau tubuhnya
mulai menggeletar. Kerut-kerut di keningnya semakin terlihat banyak, dan
kelopak matanya pun mulai menyipit. Sementara, asap yang mengepul dari
sela-sela jari tangannya semakin terlihat menebal. Namun, Rangga seperti tidak
peduli. Meskipun harus mengerahkan seluruh kemampuannya, dia terus menyalurkan
hawa murni ke dalam tubuh Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
Tiba-tiba saja Rajawali Putih mengangkat kepalanya, dan seketika itu juga
melesat sambil mengeluarkan suara sangat keras. Dan pada saat itu juga, tampak
Rangga terpental sejauh dua batang tombak disertai pekikan keras yang
melengking.
"Aaakh...!"
Sebatang pohon yang sangat besar seketika hancur berkeping-keping terlanda
punggung Pendekar Rajawali Sakti. Tampak Rangga jatuh bergulingan beberapa
kali, namun cepat duduk bersila. Beberapa kali kedua tangannya digerakkan di
depan dada. Lalu sambil menahan napas, kedua telapak tangannya dirapatkan di
depan dada.
Sementara, Rajawali Putih kembali mendarat di tanah. Burung raksasa berbulu
putih keperakan itu memuntahkan darah kental dari paruhnya. Dia mendekam
memandangi Rangga yang tengah bersemadi untuk mengembalikan tenaganya, setelah
terkuras akibat pengerahan hawa murni yang begitu besar ke dalam tubuh
Rajawali Putih.
"Ugkh....! Hoeeekh...."
Rangga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dan saat itu juga, dia jatuh
terkulai. Keringat semakin banyak membanjiri tubuhnya. Namun sebentar
kemudian, Pendekar Rajawali Sakti kembali bangkit dengan napas tersengal
memburu. Sedangkan Rajawali Putih segera menyorongkan kepalanya.
"Khrrr...! "
"Aku tidak apa-apa, Rajawali," ujar Rangga seraya tersenyum. "Bagaimana
denganmu?" Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepala sambil mengkirik
perlahan. Senyuman di bibir Rangga semakin terlihat lebar. Dia tahu, Rajawali
Putih sudah sembuh dari luka dalamnya, meskipun hampir mengorbankan dirinya
tadi. Untung saja Rajawali Putih tadi cepat melesat, sehingga penyaluran hawa
murni yang berlebihan bisa dihentikan. Kalau tidak..., mungkin saat ini Rangga
sendiri sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Uh..." Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga bangkit berdiri. Seluruh
tubuhnya terasa lemas sekali. Dia benar-benar telah begitu banyak kehilangan
tenaga. Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri leher.
Sementara, Rajawali Putih terus mendekam memandangi pemuda itu. Di paruhnya
yang besar, masih terlihat sisa-sisa darah melekat.
"Aku akan bersemadi dulu, Rajawali," kata Rangga sambil melangkah, mendekati
sebongkah batu besar yang bagian atasnya datar.
"Khrrr...!"
Rangga naik ke atas batu itu, kemudian duduk bersila dan mengambil sikap
bersemadi. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas lututnya yang tertekuk.
Perlahan kemudian pernafasannya mulai diatur. Lalu, kelopak matanya mulai
terpejam. Sedangkan Rajawali Putih tetap mendekam menunggui. Jelas terlihat
kalau kelopak mata burung raksasa itu juga terpejam. Sepertinya, Rajawali
Putih juga melakukan semadi seperti yang sedang dilakukan pemuda yang dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
***
Semalaman penuh, Rangga dan Rajawali Putih bersemadi untuk memulihkan kekuatan
tubuh. Dan di saat matahari menampakkan diri di ufuk Timur, mereka baru bangun
dari semadi. Rangga segera melompat turun dari atas batu tempat bersemadi, dan
menghampiri Rajawali Putih yang sudah berdiri di atas kedua kakinya yang besar
dan sangat kokoh.
"Kau kelihatan segar sekali pagi ini, Rajawali," kata Rangga diiringi senyuman
tebar.
"Khragkh...!"
Rajawali Putih menyambutnya dengan cerah. Kepalanya diangguk-anggukkan sambil
mengepakkan sayapnya yang lebar. Rangga menepuk leher burung rajawali raksasa
berbulu putih keperakan itu, kemudian memeluknya dengan hangat. Pagi ini,
mereka memang sudah benar-benar pulih seperti semula. Wa-laupun semalaman
harus bersemadi, tapi sedikit pun tidak terlihat adanya kelelahan di wajah
mereka berdua.
"Kakang... "
"Heh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara merdu
memanggilnya. Cepat-cepat tubuhnya berbalik. Tampak Pandan Wangi berlari-lari
kecil menghampiri. Sedangkan Rangga melangkah beberapa tindak ke depan. Pandan
Wangi baru berhenti setelah dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Nafasnya
terlihat terengah-engah, dan keringat membanjiri lehernya yang jenjang dan
putih. Seakan-akan, gadis cantik yang dijuluki si Kipas Maut itu baru saja
berlari jauh sekali.
"Aku cari ke mana-mana, tidak tahunya ada di sini," ujar Pandan Wangi setelah
bisa mengatur jalan pernafasannya.
"Semalaman aku ada di sini," sahut Rangga.
"Kakang..., aku sudah bertemu Prabu Gading Anom," kata Pandan Wangi langsung
memberi tahu.
"Oh, ya...? Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga.
"Sehat Prabu Gading Anom juga menitipkan salam untukmu. Dia mengharapkan
sekali kau bisa mengusir Siluman Muka Kodok dari istana," jelas Pandan Wangi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang, dan terasa sangat berat.
Pandangannya langsung tertuju ke depan, ke arah Istana Ringgading. Kemarin,
Pendekar Rajawali Sakti sudah mencoba menyusup masuk ke istana itu. Tapi yang
didapat, hampir saja dirinya dan Rajawali Putih terbunuh, Sedangkan keadaan di
sekitar istana sekarang ini..., rasanya Rangga tidak akan sanggup mengatakan
keadaan di dalam istana itu. Mayat-mayat yang sudah membusuk dan menyebarkan
bau yang tidak sedap, membuat perut Pendekar Rajawali Sakti jadi bergolak
hendak muntah. Rasanya tidak ada seorang pun yang akan sanggup menghalau bau
busuk dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi semua bagian istana.
"Aku dapat pesan dan Prabu Gading Anom, kau ditunggu di depan istana," kata
Pandan Wangi memberi tahu.
"Heh...?! Mau apa Prabu Gading Anom ke sana...?" tanya Rangga tersentak kaget.
"Mau menyerang Siluman Muka Kodok," sahut Pandan Wangi kalem.
"Huh! Dia bukan manusia sembarangan, Pandan" dengus Rangga.
"Tapi sebelum matahari terbit tadi, Prabu Gading Anom sudah berangkat dari
Pertapaan Sangkalima bersama para prajuritnya. Dan sekarang ini pasti sudah
sampai di istana, Kakang," jelas Pandan Wangi lagi. "Katanya, dia sudah
terlalu banyak mengor-bankan orang tak berdosa pada Siluman Muka Kodok. Dan
dia tak mau lagi mengorbankan orang sepertimu, yang sudah begitu baik padanya.
Maaf, Kakang. Aku tidak bisa mencegah."
Rangga tidak berkata apa-apa lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti
melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Sementara, Pandan Wangi masih tetap
berdiri diam memandangi. Dan Rangga juga memandangi gadis itu dengan sinar
mata sangat dalam.
"Ayo cepat, Pandan. Aku tidak punya waktu lagi untuk membujukmu," kata Rangga,
meminta Pandan Wangi cepat-cepat naik ke punggung Rajawali Putih. Sebentar,
Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu.
"Ayo cepat, Pandan...," desak Rangga tidak sabar.
"Baik. Hup...!" Dengan memantapkan hati, Pandan Wangi melompat naik ke
punggung burung raksasa berbulu putih keperakan ini dan langsung duduk di
depan Rangga. Rajawali Putih segera melesat ke angkasa begitu Rangga menepuk
lehernya tiga kali. Seketika Pandan Wangi cepat-cepat memejamkan mata, dan
saat itu juga jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Namun, Rajawali
Putih terus melesat dengan kecepatan sangat tinggi.
"Ke istana, Rajawali...!" pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
***
DELAPAN
Dari angkasa, terlihat jelas sekali kalau prajurit-prajurit Ringgading tengah
menggempur seseorang yang berbaju hitam ketat. Namun, tampaknya orang itu
tidak gentar sama sekali. Bahkan gerakan-gerakannya cepat sekali, sehingga
bisa memporak-porandakan gempuran prajurit-prajurit itu. Jerit dan pekik
melengking tinggi terdengar saling sambut, disertai berjatuhannya para
prajurit Ringgading.
Sementara, di luar ajang pertarungan yang tidak seimbang itu, terlihat Prabu
Gading Anom seperti gelisah melihat prajurit-prajuritnya tidak mampu
menghadapi orang berpakaian serba hitam. Malah semakin banyak pula prajurit
Ringgading yang ambruk tak bernyawa lagi, dengan luka menganga mengeluarkan
darah di tubuh.
"Cepat turun, Rajawali!" perintah Rangga.
"Khraaagkh...!"
Bagaikan kilat, Rajawali Putih menukik turun. Tujuannya langsung ke
tengah-tengah ajang pertarungan.
"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga sambil mengerahkan kekuatan tenaga
dalamnya. Teriakan Rangga yang begitu keras menggelegar bagai guntur, membuat
prajurit-prajurit Ringgading jadi tersentak kaget. Dan seketika itu juga,
mereka berlompatan mundur begitu melihat seekor burung rajawali raksasa
menukik sangat cepat bagai kilat. Dan di saat Rajawali Putih hampir mencapai
tanah, cepat sekali Rangga melompat turun.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pandan Wangi juga langsung melompat turun. Sementara, Rajawali Putih kembali
melambung tinggi ke angkasa. Beberapa kali pendekar-pendekar muda dari Karang
Setra itu berputaran di udara, kemudian manis sekali mendarat tepat sekitar
tiga batang tombak di depan laki-laki berbaju serba hitam.
"Ohh...?!" Pandan Wangi langsung tersedak begitu melihat wajah orang itu.
Bukan wajah manusia yang terlihat, tapi wajah yang sangat mirip dengan kodok.
Bahkan seluruh kulit tubuhnya juga tidak jauh berbeda dengan binatang yang
hidup di dua alam itu. Benar-benar mengerikan! Kedua bola matanya yang merah,
langsung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri agak ke depan dari
Pandan Wangi.
"Menjauhlah, Pandan," pinta Rangga dengan suara ditekan agak dalam.
"Hati-hati, Kakang. Kelihatannya dia sangat ganas," kata Pandan Wangi
memperingatkan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit. Pendekar Rajawali Sakti
mengayunkan kaki ke depan perlahan-lahan, namun mantap.
Sementara, Pandan Wangi bergerak menyingkir mendekati Prabu Gading Anom. Raja
Ringgading itu kini sudah turun dari punggung kudanya, begitu melihat Rangga
dan Pandan Wangi datang bersama seekor burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan.
Kini jarak antara Rangga dan Siluman Muka Kodok tinggal sekitar satu batang
tombak lagi. Sedikit Rangga memalingkan muka, karena tidak tahan dengan bau
busuk yang menyebar dari dengusan napas Siluman Muka Kodok itu. Setiap
hembusan nafasnya memperdengarkan suara menggorok seperti seekor katak.
"Ghrogkh! Siapa kau, Anak Muda?" terdengar sangat berat suara Siluman Muka
Kodok. Bahkan hampir tidak jelas kata-katanya di telinga.
"Aku Rangga, yang akan mengusirmu dari Ringgading," sahut Rangga tegas.
"Ghrogkh! Ghrooogkh...! Sia-sia saja, Anak Muda. Kau hanya datang mengantarkan
nyawa seperti yang lain."
"Lihat saja nanti. Kau atau aku yang akan lebih dulu menghuni lubang kubur."
"Ghrooogkh...!" Siluman Muka Kodok seperti marah mendengar tantangan terbuka
dari Pendekar Rajawali Sakti. Kedua bola matanya yang merah, semakin terlihat
membara, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh
pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Perlahan tubuhnya yang berkulit hitam
dan kasar penuh benjolan itu bergerak membungkuk. Namun, sorot matanya masih
tetap tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrooogkh...!" Diiringi suara menggorok keras, bagaikan kilat Siluman Muka
Kodok melompat sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan. Begitu cepat
serangannya, sehingga membuat Rangga jadi terhenyak sesaat
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, sehingga terjangan
Siluman Muka Kodok hanya lewat di bawah kakinya. Tapi tanpa diduga sama
sekali, dengan kecepatan tinggi, Siluman Muka Kodok berbalik dan langsung
melesat ke udara. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ups...!" Rangga sempat juga terhenyak kaget. Dan manis sekali tubuhnya meliuk
menghindari serangan Siluman Muka Kodok yang sangat cepat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Begitu pukulan Siluman Muka Kodok lewat di samping tubuhnya, cepat sekali
Rangga meliukkan tubuhnya ke samping. Langsung dilepaskannya satu pukulan
keras menggeledek dari jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.
"Ghrogkh...!" Namun, Siluman Muka Kodok memang sangat luar biasa kecepatan
geraknya. Hanya sedikit saja meliukkan tubuhnya, serangan balasan Pendekar
Rajawali Sakti berhasil dihindarinya.
"Hap...!" Saat serangannya tidak mencapai sasaran, Rangga cepat-cepat meluruk
ke bawah. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali
menjejakkan kakinya kembali di tanah. Tepat pada saat itu, Siluman Muka Kodok
sudah mendarat juga dengan indah sekali.
"Ghrogkh...!" Belum juga Rangga bisa melakukan sesuatu, Siluman Muka Kodok
sudah kembali melesat dengan kecepatan sangat tinggi. Kedua tangannya terjulur
ke depan dengan jari-jari terkembang kaku, siap menerkam Pendekar Rajawali
Sakti
"Hap! Yeaaah...!"
Sedikit Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan begitu terkaman Siluman Muka
Kodok berhasil dihindari, cepat sekali tangan kirinya dikibaskan. Langsung
diberikannya satu sodokan keras ke arah perut, disertai pengerahan tenaga
dalam tingkat sempurna. Kali ini serangan Pendekar Rajawali Sakti memang
sangat cepat luar biasa. Akibatnya, Siluman Muka Kodok tidak sempat lagi
menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya tengah doyong ke depan dan
seluruh perhatiannya tertumpah pada serangan yang gagal.
Begkh!
"Ghraaagkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga benar-benar tidak lagi membuang-buang kesempatan. Begitu tubuh Siluman
Muka Kodok terbungkuk akibat sodokan tangan kiri yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi pada perut, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat.
Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat sekali serangan yang dilakukan
Rangga kali ini, sehingga....
Diegkh!
"Aaargkh...!"
Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar begitu wajahnya yang buruk
terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras sekali. Akibatnya, dia
jadi terdongak ke atas dan terhuyung ke belakang. Dan pada saat itu juga,
Rangga cepat sekali melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus
Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Begitu sempurna jurus mautnya,
sehingga kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah bagai
sebatang besi terbakar di dalam tungku.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Aaargkh...!"
Untuk kedua kalinya, Siluman Muka Kodok meraung keras menggelegar. Pukulan
yang dilepaskan Rangga dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkatan
terakhir, tepat menghantam dada. Dan akibatnya, laki-laki berwajah seperti
seekor katak itu terpental jauh ke belakang. Beberapa batang pohon hancur
seketika, begitu terlanda tubuhnya yang terus meluncur deras bagai anak panah
terlepas dari busur.
"Hiyaaat..!"
Belum juga tubuh Siluman Muka Kodok berhenti, Rangga sudah melesat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat
sempurna. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu Rangga melepaskan satu pukulan
keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, mendadak saja
Siluman Muka Kodok memutar tubuhnya. Padahal saat itu tubuhnya masih melayang
deras di atas permukaan tanah.
"Ghrogkh!"
"Ups...! Yeaaah...!"
Hampir saja sodokan kaki Siluman Muka Kodok mendarat di dada, kalau saja
Rangga tidak cepat-cepat melenting dan berputaran di udara, menghindari
sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
"Hap!" Manis sekali Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.
Sementara, Siluman Muka Kodok sudah lebih dulu mendarat indah dan ringan
sekali, walaupun tadi beberapa kali mendapatkan serangan-serangan telak dari
Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali tubuhnya terkena pukulan dahsyat dari jurus
Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, tapi sedikit pun tidak
berpengaruh apa-apa. Dan ini membuat Rangga jadi berkerut keningnya. Hampir
Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau pukulan dari jurus Pukulan Maut
Paruh Rajawali tingkat terakhir tidak berpengaruh sama sekali terhadap lawan.
Padahal, biasanya tidak ada seorang lawan pun yang sanggup bertahan jika sudah
terkena pukulan dahsyat itu. Atau paling tidak, lawan akan menderita luka
dalam yang sangat parah. Tapi, Siluman Muka Kodok kini masih terlihat berdiri
tegak dengan tegar sekali. Bahkan bekas-bekas pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti tadi juga sama sekali tidak terlihat.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Cring!
"Heh...?!" Rangga sempat terkejut ketika Siluman Muka Kodok mengeluarkan
senjatanya yang tadi sama sekali tidak terlihat. Senjata itu bagaikan keluar
dari dalam perutnya saja. Sebuah senjata tongkat berukuran pendek, tapi pada
kedua ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan.
Bet! Bet!
Begitu Siluman Muka Kodok mengebutkan tongkatnya beberapa kali, dari kedua
ujungnya yang bulat terlihat mengeluarkan cahaya kuning kemerahan. Sesaat
Rangga jadi terkesiap. Dia tahu, cahaya itulah yang sempat melukai Rajawali
Putih. Itu terjadi saat dia dan Rajawali Putih tengah mengamati keadaan Istana
Ringgading dari angkasa.
"Ghrooogkh...!" Bet!
Sambil mengeluarkan suara menggorok yang sangat keras, Siluman Muka Kodok
melompat cepat bagai kilat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala
Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya kuning kemerahan yang memancar dari ujung
tongkat berbentuk bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa itu jadi berubah
memanjang, bagaikan sepasang mata pedang kembar yang memancarkan cahaya kuning
kemerahan.
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga menundukkan kepalanya, menghindari serangan senjata aneh
Siluman Muka Kodok. Lalu bergegas dia melompat ke belakang sejauh beberapa
langkah.
Tapi, Siluman Muka Kodok tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada
Pendekar Rajawali Sakti untuk mengatur perlawanan. Begitu serangan pertamanya
dapat digagalkan, dengan cepat sekali kembali dilakukan serangan-serangan
beruntun dan sangat cepat.
Akibatnya Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari serangan-serangan yang datang beruntun dan sangat cepat luar
biasa.
Wuk!
"Hup! Hiyaaat...!"
Tepat di saat tongkat Siluman Muka Kodok berkelebat mengarah ke kaki, cepat
sekali Rangga melenting ke udara. Dan tubuhnya berputaran dua kali, sebelum
kakinya kembali menjejak tanah. Saat itu juga, tangan kanannya sudah memegang
gagang Pedang Rajawali Sakti yang masih tersimpan dalam warangkanya di
punggung.
"Ghrokh...!"
Bet!
"Hiyaaa...!"
Sret!
Wuk!
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya, tepat begitu
Siluman Muka Kodok membabatkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi sekali.
Rangga langsung saja mengebutkan pedangnya, menangkis serangan tongkat yang
ujungnya memancarkan cahaya kuning kemerahan. Begitu cepatnya mereka bergerak,
sehingga benturan dua senjata yang sangat dahsyat tidak dapat dielakkan lagi.
Dan....
Trang!
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar seketika terjadi, begitu dua senjata berpamor
dahsyat beradu. Tampak Rangga dan Siluman Muka Kodok sama-sama terpental ke
belakang, sejauh satu batang tombak.
"Hep!" Rangga langsung menyilangkan pedang di depan dada, begitu kakinya
menjejak tanah dengan manis sekali. Cahaya biru menyilaukan mata yang memancar
dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti bagaikan hendak menutupi seluruh tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu, Siluman Muka Kodok sudah memutar-mutar tongkatnya sambil
mendengus-dengus berat. Suaranya terdengar menggorok, bagai orang tengah tidur
mendengkur.
"Haaap...!" Rangga segera menggosok mata pedang dengan telapak tangan kirinya.
Saat itu juga, aji 'Cakra Buana Sukma' dikerahkan. Sebuah ilmu kedigdayaan
yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini. Tampak cahaya
biru yang memancar dari pedang itu langsung menggumpal membentuk bulatan di
ujungnya, begitu telapak tangan kiri berada di pangkal pedang.
"Ghraaaugkh...!"
"Aji Cakra Buana Sukma. Hiyaaa...!"
Secara bersamaan mereka melompat ke depan sambil mengerahkan ilmu kedigdayaan
yang sangat dahsyat. Tampak Rangga mengayunkan pedangnya, tepat di saat
Siluman Muka Kodok juga mengayunkan tongkatnya ke depan. Saat itu juga dua
sinar yang saling berlawanan meluruk deras sekali, hingga bertemu di
tengah-tengah. Dan....
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar dan sangat dahsyat kembali terjadi. Saat itu,
terlihat Siluman Muka Kodok terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Bahkan sampai jatuh terguling beberapa kali sambil mengeluarkan raungan keras
dan menyakitkan telinga.
Sementara itu, Rangga hanya terdorong dua langkah saja, lalu kakinya kembali
menjejak tanah dengan manis sekali. Pedangnya juga langsung disilangkan di
depan dada.
"Ghraaaugkh...!" Sambil menggerung keras, Siluman Muka Kodok kembali melompat
bangkit. Dan saat itu, cahaya kuning kemerahan tidak lagi terlihat memancar
dari ujung-ujung tongkatnya yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan.
Terlihat dari sudut bibirnya mengalirkan darah kental berwarna kehitaman.
Sorot matanya begitu tajam tertuju langsung ke bola mata Pendekar Rajawali
Sakti. Sepertinya, sinar mata itu memancarkan dendam yang sangat mendalam.
"Ghrogkh! Kau akan menyesal, Anak Muda!" terasa sangat dingin dan berat suara
Siluman Muka Kodok.
Sedangkan Rangga hanya menghembuskan napas saja.
"Tunggu pembalasanku, Anak Muda! Ghrogkh...!" Selesai berkata demikian,
tiba-tiba saja Silu-man Muka Kodok berputar cepat sekali. Dan saat itu juga,
seluruh tubuhnya terselubung asap yang sangat tebal. Saat asap itu menghilang
tertiup angin, tahu-tahu Siluman Muka Kodok sudah lenyap tak berbekas sama
sekali.
Dan ini tentu saja membuat Rangga jadi terkejut. Bergegas Pendekar Rajawali
Sakti berlari menghampiri, tapi Siluman Muka Kodok benar-benar sudah
menghilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun juga.
"Ke mana dia, Kakang...?" Tahu-tahu Pandan Wangi sudah berada di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling sedikit. Sebentar dipandangnya gadis cantik berjuluk si Kipas
Maut itu, kemudian beralih pada Prabu Gading Anom yang juga sudah berada di
dekatnya.
"Dia sudah pergi," sahut Rangga.
"Apakah dia akan kembali lagi?" tanya Prabu Gading Anom.
"Aku tidak tahu," sahut Rangga seraya mengangkat pundaknya. "Tapi tampaknya
dia sangat dendam padaku."
"Itu sangat berbahaya, Prabu Rangga," sambut Prabu Gading Anom.
Rangga hanya diam saja. Dipandanginya tanah tempat Siluman Muka Kodok
menghilang, setelah seluruh tubuhnya terselubung asap tebal tadi. Cukup lama
juga Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung, dengan bibir terkatup rapat dan
mata menatap lurus tak berkedip ke tanah yang masih sedikit mengepulkan asap.
Sementara, Prabu Gading Anom sudah memerintahkan prajurit-prajuritnya masuk ke
dalam istana. Tapi begitu pintu gerbang terbuka, prajurit-prajurit itu
langsung berlompatan mundur. Bau busuk seketika menyergap hidung, membuat
perut mereka bergolak hendak muntah. Prabu Gading Anom cepat-cepat
memerintahkan menutup pintu gerbang kembali.
"Gila! Apa yang dilakukannya di istanaku...?" desis Prabu Gading Anom.
Sementara Rangga hanya memandangi Raja Ringgading. Dan sebenarnya, dia sudah
ingin memberi tahu. Tapi rupanya, Prabu Gading Anom sudah keburu memerintahkan
prajuritnya membuka pintu gerbang masuk ke istana. Dan kini, Pendekar Rajawali
Sakti menghampiri Pandan Wangi.
"Ayo kita pergi," ajak Rangga.
"Tapi..." Pandan Wangi ingin menolak, tapi Rangga sudah mencekal pergelangan
tangannya. Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat
sambil menyeret Pandan Wangi. Sehingga, membuat si Kipas Maut itu terpaksa
harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sementara, Prabu Gading Anom masih mengumpat dan memaki-maki, melihat
istananya kini sudah penuh tengkorak dan mayat-mayat yang menyebarkan bau
busuk. Benar-benar tidak disadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah
meninggalkannya.
TAMAT
Ke manakah Rangga dan Pandan Wangi pergi? Bagaimana dengan ancaman Siluman
Muka Kodok, yang akan mengadakan pembalasan pada Pendekar Rajawali Sakti?
Tentunya dia tidak main-main dengan ancaman tersebut! Nah, para pembaca yang
ingin tahu kisah pembalasannya, silakan ikuti serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode Tujuh Mata Dewa.
Emoticon