Malam terus merayap semakin larut Udara dingin berhembus kencang,
mempermainkan pucuk pepohonan. Langit tampak kelam tertutup awan hitam. Desa
Gedangan tampak gelap. Hanya beberapa pelita saja terlihat redup dengan api
meliuk-liuk dipermainkan angin malam. Sepanjang malam jalan utama desa itu
tampak lengang, tak terlihat seorang pun di luar rumah.
Di malam yang hening dan gelap ini, masih juga terlihat dua sosok tubuh
manusia bergerak cepat, menyelinap dari rumah-rumah penduduk dan balik
pepohonan. Begitu cepat bergeraknya, sehingga yang terlihat hanya bayangan
merah saja. Dua sosok tubuh itu berhenti tepat di depan rumah Ki Kusha.
"Sebarkan ilmu Sirep, Karina," bisik salah seorang perlahan. Begitu pelannya
hampir tidak terdengar.
"Aku tidak yakin ilmu Sirepku berpengaruh bagi Pendekar Rajawali Sakti," sahut
Karina.
Memang, mereka adalah Karina dan Widarti yang mendapat tugas khusus dari Ratu
Bukit Brambang.
"Kalau dia tidak terpengaruh, biar aku yang hadapi. Dan kau culik gadis itu,"
kata Widarti.
Karina tidak menyahut. Pandangannya lurus menatap rumah yang tampak terang
bagian dalamnya. Malam ini, mereka hendak melaksanakan tugas menculik Lasmi
untuk memancing Pendekar Rajawali Sakti agar datang ke Bukit Brambang.
"Cepatlah, Karina. Aku masih mendengar suara dari dalam rumah itu," desah
Widarti tidak sabar.
"Hm...," Karina bergumam perlahan. Kemudian Karina mengangkat tangannya ke
atas kepala, lalu perlahan-lahan kedua tangannya turun membentuk silang di
depan dada. Kedua matanya terpejam dengan kepala setengah menunduk. Sebentar
kemudian, terdengar suara mendesis bagai ular. Lalu, gadis itu mendorong
tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar. Kedua matanya terbuka
menatap tajam ke depan. Tubuhnya agak bergetar, dan dari bibirnya terdengar
suara mendesis halus. Tidak berapa lama kemudian, kedua tangannya bergerak
turun. Kini kepalanya menoleh pada Widarti yang sejak tadi memperhatikan rumah
di depan itu.
"Bagaimana, Karina?" tanya Widarti.
"Mudah-mudahan berhasil," sahut Karina.
"Ayo, jangan buang-buang waktu."
Kedua gadis berbaju merah itu segera melompat cepat dan ringan mendekati rumah
Ki Kusha. Mereka tiba di depan pintu rumah dengan tubuh agak merapat ke
dinding. Sebentar mereka terdiam dengan mata saling melempar pandang. Widarti
mendorong pintu itu, tapi kepalanya menggeleng. Pintu itu ternyata tidak
bergerak sedikit pun. Widarti menganggukkan kepala sedikit. Sementara, Karina
menggeserkan kakinya lebih ke depan di pintu dengan jarak sekitar tiga
langkah. Sebentar perhatiannya dipusatkan, kemudian dengan cepat kedua
tangannya dihentakkan ke depan.
Brakkk!
Pintu kayu itu jebol begitu tangan Karina mendorong kuat ke depan. Widarti
langsung melompat masuk ke dalam, diikuti Karina. Mereka berdiri berdampingan
dengan mata merayapi sekitarnya. Tidak ada yang dapat dilihat di dalam ruangan
depan yang tidak begitu besar ini. Hanya ada sebuah dipan bambu yang kosong,
dua kursi kayu, dan sebuah meja bundar di bawah jendela. Tidak ada seorang pun
yang terlihat.
"Kau periksa setiap kamar, Karina. Biar aku menjaga di sini," kata Widarti
setengah berbisik.
"Hup!" Karina bergegas melompat menuju ke sebuah kamar yang pintunya sedikit
terbuka. Dengan hati-hati sekali didorongnya pintu itu. Cahaya pelita langsung
menerobos keluar. Gadis itu menggelengkan kepala, karena di dalam kamar itu
tidak terlihat seorang pun. Karina kembali melompat mendekati pintu kamar
satunya lagi. Didorongnya pintu itu perlahan-lahan. Kembali kepalanya
menggeleng perlahan, karena di dalam kamar ini juga tidak ada seorang pun.
Karina memandang Widarti yang berdiri dengan sikap siaga penuh di
tengah-tengah ruangan depan yang menjadi satu dengan ruangan tengah.
"Mustahil. Tadi aku mendengar ada suara di sini, desah Widarti jadi keheranan
juga"
"Aku lihat ke belakang, Widarti," kata Karina.
"Cepatlah!" Karina bergegas melompat ke bagian belakang rumah ini, namun tidak
lama kemudian sudah kembali lagi dengan bahu terangkat dan kepala menggeleng.
Widarti mendengus kesal. Dipandangnya setiap sudut ruangan kecil ini.
Keningnya sedikit berkerut. Ada keanehan di rumah ini setiap ruangan begitu
terang benderang, tidak seperti rumah-rumah lain.
"Hm..., jangan-jangan...," gumam Widarti perlahan seperti untuk dirinya
sendiri.
"Jebakan...!" desis Karina.
Kedua gadis itu berpandangan sejenak, lalu cepat melompat ke luar. Tapi
alangkah terkejutnya mereka, begitu sampai di luar rumah. Ternyata sekeliling
rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata aneka macam bentuknya.
Mereka semua membawa obor dengan senjata terhunus. Tampak di antara mereka,
berdiri paling depan adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat..!" desis Widarti geram begitu menyadari dirinya sudah terkepung
rapat.
"Apa akal kita, Widarti?" tanya Karina berbisik.
"Terpaksa. Malam ini harus banjir darah," sahut Widarti datar.
"Hm..." Karina menggumam perlahan.
Sret!
Kedua gadis itu langsung saja mencabut pedangnya. Pedang berwarna merah dengan
tangkai berbentuk kepala tengkorak manusia. Dengan gerakan yang hampir
serentak, mereka menyilangkan pedang di depan dada. Pandangan mata mereka
begitu tajam menatap ke sekeliling.
Rangga merentangkan tangannya ke samping, kemudian melangkah ke depan beberapa
tindak. Pendekar Rajawali Sakti berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima
langkah lagi di depan kedua gadis cantik berbaju merah itu. Untuk sesaat
lamanya, mereka hanya saling pandang saja. Sementara puluhan orang yang
sehari-harinya bergelut di ladang, bergerak mundur beberapa langkah. Namun,
sikap mereka masih tetap waspada.
Widarti menganggukkan kepalanya pada Karina yang disambut dengan anggukan
kepala juga. Pada saat itu, Rangga sudah membuka mulutnya akan bicara. Namun,
mendadak saja kedua gadis itu berteriak nyaring sambil melompat menerjang.
Pedang mereka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh Pendekar
Rajawali Sakti yang mematikan.
"Hait...!" Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil
menghindari terjangan kedua gadis itu. Namun baru saja kakinya menjejak tanah,
serangan berikut sudah datang lagi secara beruntun. Rangga terpaksa
berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang.
Pendekar Rajawali Sakti mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Jurus
yang sangat sulit ditaklukkan, meskipun dengan jurus ampuh sekalipun.
Sementara itu, di antara penduduk Desa Gedangan yang mengepung sekitar
pertarungan, terlihat Lasmi berdiri di samping ayahnya. Gadis itu tampak
gelisah sekali melihat pertarungan antara Rangga melawan dua gadis pengikut
Ratu Bukit Brambang. Meskipun sudah beberapa kali melihat kehebatan Pendekar
Rajawali Sakti, namun kekhawatiran masih juga menyelimuti hatinya.
"Ayah, kenapa tidak dikeroyok saja?" bisik Lasmi tidak bisa menutupi
kecemasannya.
"Rangga tidak mengizinkan. Nanti kalau sudah diberi tanda, baru semuanya
bergerak," sahut Ki Kusha.
"Tapi..."
"Jangan terlalu dicemaskan, Lasmi Rangga seorang pendekar yang sudah ternama.
Dia pasti bisa mengatasi kedua perempuan iblis itu," Ki Kusha mencoba
menenangkan anak gadisnya.
Lasmi tidak bicara lagi. Namun kecemasan masih menghantui seluruh relung
hatinya. Sementara pertarungan itu berjalan semakin sengit. Dan sampai sejauh
ini, belum ada tanda-tanda kalau Rangga memberi perlawanan berarti. Tapi,
kedua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang sudah mengeluarkan jurus-jurus
andalan.
"Karina, cari jalan keluar. Biar ku hadang manusia keparat ini!" desah Widarti
di sela nafasnya yang tersengal.
Widarti sudah merasa tidak akan mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan
dia mengambil keputusan agar Karina bisa meloloskan diri dari kepungan ini.
Namun, Karina rupanya tidak mempedulikan peringatan itu, dan terus saja
merangsek lawannya dengan jurus-jurus andalan yang terakhir.
"Karina, cepat pergi...!" sentak Widarti jadi gusar.
"Kau saja yang pergi, Widarti!" sahut Karina sambil terus melancarkan
serangan-serangan dahsyat pada Pendekar Rajawali Sakti. Widarti jadi bimbang,
tapi akhirnya mengambil keputusan juga. Selagi Rangga sibuk melayani Karina,
gadis itu mengambil kesempatan meloloskan diri. Dan pada saat itu, Rangga
berhasil mendaratkan pukulan mautnya ke dada Karina. Akibatnya, gadis itu
memekik keras dan tubuhnya terlontar beberapa depa ke belakang.
"Karina...!" jerit Widarti terkejut.
"Jangan hiraukan aku! Cepat pergi!" seru Karina seraya melompat bangkit. Gadis
itu kembali menyerang Rangga. Namun sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah
menyarangkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul tendangan ke perut. Dan
belum lagi Karina ambruk, Rangga mengibaskan tangannya mempergunakan jurus
Sayap Rajawali Membelah Mega.
"Aaa...!" Karina menjerit keras melengking. Dari kepala gadis itu kontan
mengucur darah segar. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam batok kepala
hingga retak. Karina jatuh menggelepar di tanah.
Sementara, Widarti jadi terpaku. Namun seketika itu juga, dia melesat kabur
selagi semua orang terpana memandang kematian Karina dengan kepala pecah dan
dada melesak ke dalam. Rupanya beberapa orang penduduk yang melihat Widarti
lari, segera mencoba mengejar. Cepat-cepat Widarti mengibaskan pedangnya
sambil melompat ke atas. Kibasan yang cepat bagai kilat itu kontan memenggal
dua kepala sekaligus. Dua penduduk yang mencoba mengejar, langsung ambruk. Dan
sisanya, langsung terpaku diam dengan hati kecut.
"Biarkan dia pergi!" seru Rangga melihat beberapa penduduk ingin mengejar
kembali.
Mereka langsung menghentikan niatnya, dan membiarkan Widarti melarikan diri.
Saat itu Karina sudah terbujur kaki dengan nyawa hilang dari badan. Darah
masih mengalir deras membasahi tanah bagian depan halaman rumah Ki Kusha.
Sementara, Ki Kusha dan Lasmi serta para penduduk Desa Gedangan bergerak
mengerumuni Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping mayat Karina.
Rangga kemudian meminta semua penduduk Desa Gedangan untuk berjaga-jaga
sepanjang malam ini. Dan dia juga meminta beberapa orang untuk mengurus mayat
Karina. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah manusia yang kematiannya harus
disempurnakan selayaknya. Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah ke rumah
Ki Kusha. Tubuhnya dihenyakkan di balai-balai bambu reot yang ada di beranda
rumah itu. Ki Kusha dan Lasmi menghampiri, lalu duduk mengapit Pendekar
Rajawali Sakti.
***
"Untung kau cepat bertindak, Kakang. Tapi aku cemas juga tadi," kata Lasmi
seraya menghembuskan napas panjang untuk melonggarkan rongga dadanya.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka akan datang ke sini?" tanya Ki Kusha.
"Aku sempat melihat kedatangan mereka tadi, Ki. Mereka begitu ceroboh, datang
secara terang-terangan.
Hhh...! Tadinya aku tidak mengharapkan penduduk desa ini bergerak," ucap
Rangga pelan.
"Mereka sudah mendengar kehebatanmu. Makanya, begitu aku memberi tahu
kedatangan iblis-iblis itu, mereka langsung saja bersemangat. Tekanan yang
mereka derita cukup parah, Rangga. Mereka memang menunggu saat-saat seperti
ini. Bahkan tidak takut mati lagi demi membela kebenaran," kata Ki Kusha
sedikit bangga bisa mengumpulkan sekian banyak penduduk dalam waktu singkat.
"Mungkin sudah saatnya bangkit...," desah Rangga seperti bicara untuk dirinya
sendiri.
"Benar, Rangga," sambut Ki Kusha cepat.
Rangga menarik napas panjang. Tatapannya dilayangkan ke depan. Tampak desa
yang semula gelap, kini terang benderang oleh beberapa obor terpancang.
Rumah-rumah juga menyalakan pelita besar-besar. Beberapa laki-laki yang sudah
tidak bisa dikatakan muda lagi, berjaga-jaga di depan rumah masing-masing.
Mereka memegang senjata apa saja yang bisa digunakan.
"Oaaah,..!" Ki Kusha menguap lebar sambil menutup mulutnya. Tidak berapa lama
kemudian, Lasmi juga menguap. Namun, gadis itu mampu menahannya. Padahal,
punggung tangannya sudah menggosok-gosok mata.
Rangga memperhatikannya dengan bibir menyunggingkan senyum. Dia tahu, rumah
ini masih dipenuhi Ilmu Sirep yang dilepaskan Karina. Ilmu itu tidak akan
berpengaruh pada Pendekar Rajawali Sakti, karena hawa murni dalam tubuhnya
sudah begitu sempurna dan selalu bekerja secara langsung bila mendapat
rangsangan.
"Kalian terkena ilmu Sirep. Tidurlah," ujar Rangga.
"Uh! Aku mengantuk sekali...!" keluh Ki Kusha seraya bangkit berdiri. Ki Kusha
melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pintu depan yang jebol, tidak dipedulikan
lagi. Laki-laki tua itu langsung merebahkan diri di balai-balai bambu, dan
tertidur seketika.
Rangga sempat melirik sebentar, kemudian menoleh menatap Lasmi yang sudah
menguap beberapa kali. Gadis itu masih mencoba menahan rasa kantuk akibat
pengaruh aji 'Sirep' yang masih bekerja di rumah ini. Meskipun kekuatannya
tidak begitu besar lagi, namun masih mampu membuat orang ingin tidur.
"Tidurlah. Jangan paksakan diri menahan ajian itu kata Rangga seraya menepuk
punggung tangan gadis itu.
"Aku masih ingin menemanimu, Kakang," sahut Lasmi sedikit lesu.
"Percuma. Kau pasti akan tidur tanpa disadari."
"Uh...!" Lasmi mengeluh. Kelopak matanya semakin terasa berat, dan rasanya
tidak sanggup lagi bertahan. Lasmi beranjak bangkit, namun jadi limbung. Kalau
Rangga tidak cepat-cepat menyanggah, mungkin gadis itu sudah ambruk karena
tidak kuat lagi menahan kantuknya.
Rangga memapah gadis itu masuk ke dalam. Lasmi antara sadar dan tidak,
mengayunkan kakinya dengan berat. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti membawanya
masuk ke dalam kamar. Dengan hati-hati sekali, Rangga membaringkan Lasmi di
pembaringan. Gadis itu masih mencoba bertahan untuk tidak tidur. Namun,
kelopak matanya semakin berat dan selalu ingin terpejam. Rangga memandanginya
dengan bibir tersungging senyuman.
"Kakang, di mana kau titipkan ibu tadi?" tanya Lasmi teringat ibunya yang
terpisah ketika Rangga menyuruh mereka keluar tadi dari rumah ini.
"Ada di tempat yang aman," sahut Rangga lembut.
"Di mana?" desah Lasmi semakin lirih.
"Di rumah adiknya."
"Seharusnya aku ada di sana, Kakang. Kasihan ibu. Pasti cemas menunggu."
"Besok pasti bisa bertemu kembali," Rangga menjamin.
Sekali lagi Lasmi menguap. Diraihnya tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan
digenggamnya erat-erat. Lalu dibawanya tangan pemuda itu ke dadanya,
seakan-akan tidak ingin dilepaskan lagi. Rangga membiarkan saja, dan duduk di
tepi pembaringan ini.
"Aku tahu kau akan pergi, Kakang. Aku tidak bisa menghalangimu. Aku sadar,
hidup kita berbeda jauh...," ujar Lasmi seraya menahan kantuknya.
"Tidurlah," desah Rangga lembut.
"Hm...," Lasmi menggumam seraya tersenyum. Tangan gadis itu menjulur menggapai
leher Rangga dan menariknya agar mendekat. Rangga terpaksa membungkuk,
sehingga wajah mereka begitu dekat. Dengus napas mereka terasa hangat menerpa
kulit wajah. Sesaat, mereka saling berpandangan dengan jarak begitu dekat.
"Peluklah aku, Kakang. Berilah aku kedamaian untuk sekali lagi," pinta Lasmi
mendesah.
Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Menolak saja tidak mampu. Terlebih
lagi, Lasmi sudah melingkarkan tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti,
dari menekannya ke bawah. Sesaat kemudian, bibir mereka sudah menyatu rapat.
Hanya sebentar saja Rangga merasakan balasan kecupan hangat itu. Sesaat
kemudian, gadis itu benar-benar tertidur.
Rangga melepaskan pelukan Lasmi, kemudian bangkit berdiri. Sebentar
dipandanginya sekujur tubuh ramping yang tertidur pulas. Kemudian, diambilnya
kain dan ditutupinya tubuh Lasmi sampai sebatas dada. Rangga melangkah ke
luar, dan langsung menutup pintu kamar itu. Pendekar Rajawali Sakti terus
berjalan keluar rumah Ki Kusha, dan kembali duduk di balai-balai bambu yang
ada di beranda depan.
***
ENAM
Brakkk!
Ratu Bukit Brambang menggebrak meja di depannya hingga hancur berantakan.
Sepasang bola matanya yang celong ke dalam, tampak merah membara dan
berkilatan seperti bola api. Di depannya, tampak Widarti duduk bersimpuh
dengan kepala tertunduk dalam. Di belakang gadis itu, duduk bersimpuh sekitar
tiga puluh orang gadis yang semuanya memakai baju merah menyala dengan sabuk
kuning emas.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam gadis-gadis muda di depannya. Dia begitu
geram, karena malam ini tidak ada seorang pun pemuda yang diperoleh
pengikutnya. Bahkan Widarti membawa laporan buruk tentang tewasnya Karina,
salah seorang pengikutnya yang terbaik.
"Kalian semua bodoh! Percuma kalian kuambil sebagai murid kalau baru segitu
saja tidak becus!" rungut Ratu Bukit Brambang gusar.
"Maaf, Gusti Ratu. Pemuda itu tangguh sekali. Bahkan seluruh penduduk Desa
Gedangan sudah berani melawan," ujar Widarti tetap menunduk bersimpuh.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, Widarti! Aku lebih senang menerima kabar
kematianmu daripada kau kembali dengan kegagalan!" bentak Ratu Bukit Brambang.
Widarti tidak berkata lagi, dan diam sambil tetap menekuri lantai. Sedangkan
tiga puluh gadis lain di belakang Widarti juga tidak bergeming. sedikit pun.
Tidak ada yang berani mengangkat kepala saat Ratu Bukit Brambang diliputi
kemarahan besar begini.
"Aku tidak peduli kalian akan cari ke mana. Malam ini, kalian harus dapatkan
satu pemuda untukku! Mengerti...?" keras suara Ratu Bukit Brambang.
"Mengerti, Gusti Ratu...!" sambut gadis-gadis itu serempak.
"Cepat kerjakan!"
Tiga puluh orang gadis berbaju seragam merah itu segera bangkit dan menjura
memberi hormat hanya Widarti yang masih tetap duduk bersimpuh tanpa bergeming,
meskipun teman-temannya sudah meninggalkan ruangan pengap menyeramkan ini.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam pada gadis itu.
"Kalau tidak berangkat juga, Widarti...?" dengus Ratu Bukit Brambang dingin.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba mohon diberi kesempatan sekali lagi," ujar Widarti
seraya memberi hormat "Kesempatan apa lagi?"
"Membawa pemuda itu ke sini."
"Percuma! Kau tidak akan mampu menghadapinya!" dengus Ratu Bukit Brambang.
"Jika Gusti Ratu memberi hamba sepuluh orang, hamba yakin mampu membawa pemuda
itu ke sini."
"Jika gagal?"
Widarti diam membisu.
"Sudahlah, Widarti. Kau satu-satunya muridku yang tertua. Aku tidak ingin lagi
kehilangan murid utamaku, Biarlah Karina menjadi korban.... Hm...," Ratu Bukit
Brambang memutus kata-katanya. Dan perempuan itu bergumam dengan ujung jari
menggaruk-garuk pipi yang terlihat seperti tulang saja.
"Gusti Ratu punya pemikiran lain...?" Widarti berharap.
"Tidak," sahut Ratu Bukit Brambang seraya bangkit berdiri dari singgasananya.
Widarti juga ikut bangkit. Badannya segera dibungkukkan begitu wanita berjubah
merah dan berwajah seperti tengkorak itu melangkah melewatinya. Widarti masih
membungkuk meskipun Ratu Bukit Brambang sudah meninggalkan ruangan pengap
penuh tengkorak manusia bersusun itu. Sebentar Widarti memandangi ruangan
pengap itu, kemudian berjalan ke luar dengan langkah lesu. Gadis itu menarik
napas dalam-dalam setelah berada di luar.
Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya. Sejenak dia berhenti
berjalan. Kepalanya lalu menengadah menatap rembulan yang menggantung penuh di
langit kelam. Perlahan-lahan kakinya kembali terayun melangkah menyusuri tanah
berumput halus yang dibasahi embun.
"Widarti...!"
Widarti menoleh ketika mendengar panggilan arah samping kanannya. Tampak tiga
orang gadis berjalan cepat menghampirinya. Ketiga gadis itu masing-masing
bernama Sitara, Tila, Andini. Mereka juga pernah bentrok dengan Rangga
beberapa kali. Dan biasanya mereka selalu berempat, tapi yang seorang sudah
tewas ketika Rangga mencoba menyelidiki Bukit Brambang ini.
Ketiga gadis itu berdiri di depan Widarti. Dari pandangan, tampaknya mereka
seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan Widarti paham maksudnya, meskipun ketiga
temannya ini belum mengatakan apa-apa. Saat ini, nasib mereka bisa dikatakan
sama. Sama-sama kehilangan seorang teman dekat yang selalu bersama-sama ke
mana pun pergi dalam menjalankan tugas dari ratu mereka.
"Aku sedih dengan kematian Karina, Widarti, ucap Andini pelan.
"Dia terlalu nekat. Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi," kata Widarti
menyesal.
"Widarti, kita harus membalas. Keparat itu tidak boleh terlalu lama dibiarkan
hidup. Sudah banyak teman kita tewas di tangannya!" tegas Tila.
"Hhh...!" Widarti menarik napas panjang dan berat.
"Ada apa, Widarti?" tanya Sitara melihat kemurungan menyemburat di wajah
Widarti. Lagi-lagi Widarti hanya mendesah panjang. Kepalanya menggeleng
beberapa kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan ketiga temannya yang jadi
bengong keheranan saling berpandangan. Mereka tidak mengerti terhadap sikap
Widarti yang terasa aneh. Ketiga gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri
Widarti yang terus berjalan perlahan-lahan, langsung mensejajarkan langkah di
samping gadis itu.
"Aku berharap, kau masih menganggap kami teman, Widarti," kata Andini. Widarti
hanya diam saja. "Kau seperti sedang mengalami kesulitan. Jika kau masih sudi
menganggap kami teman, tidak ada salahnya bila mengutarakan kesulitanmu.
Sekarang ini, nasib kita sama. Sama-sama kehilangan sahabat dekat," kata
Andini lagi.
Widarti menghentikan langkahnya. Langsung dipandanginya ketiga temannya.
Desahan panjang kembali terhembus dari sela-sela hidungnya. "Kalian memang
baik, Tapi, aku tidak tahu harus mengatakan apa pada kalian. Semua ini memang
salahku, sehingga banyak teman-teman jadi korban. Kalau saja aku berhasil
mengalahkan si keparat itu, tidak akan begini jadinya," kata Widarti setengah
mengeluh.
"Kalau hanya itu, bukan kesalahanmu, Widarti. Pemuda itu memang tangguh.
Tingkat kepandaiannya jauh berada di atas kita semua. Aku rasa, semua teman
kita juga tidak ada yang sanggup menghadapinya. Entah kalau Gusti Ratu
sendiri," sahut Andini.
"Itulah persoalannya...," desah Widarti tanpa sadar.
"Maksudmu?" desak Andini.
Widarti tidak segera menyahuti. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat. Disadari betul kalau tadi sudah keterlepasan bicara. Dan ini tidak
mungkin ditarik kembali. Padahal ketiga gadis temannya itu sudah mendesaknya.
"Lupakan saja. Kalian tidak akan percaya kalau aku mengatakannya," kata
Widarti setengah mendesah.
"Katakan saja, Widarti," desak Andini.
"Ah sudahlah...!" desah Widarti menghindar. Widarti kembali melangkah
meninggalkan keti-ga gadis temannya, dan terus berjalan tanpa menoleh-noleh
lagi. Sementara ketiga gadis itu hanya saling berpandangan saja. Mereka
sama-sama mengangkat bahu, dan membiarkan Widarti pergi entah ke mana.
***
Malam masih menyelimuti sebagian permukaan mayapada. Suasana di Desa Gedangan
juga belum menampakkan perubahan. Meskipun penduduknya sudah bangkit dan
berani menentang Ratu Bukit Brambang, namun sebagian masih ada yang merasa
takut akan ancamannya. Sedangkan Rangga sendiri tidak mungkin bisa menjamin
keselamatan mereka semua.
Desa Gedangan ini cukup besar, meskipun jumlah penduduknya tidak begitu
banyak. Di depan rumah Ki Kusha, tampak Rangga duduk menyendiri di balai-balai
bambu yang terletak di bawah jendela depan rumah itu. Sepasang bola matanya
tidak lepas merayapi sekitarnya yang sunyi sepi. Angin malam yang dingin
berhembus kencang, mempermainkan rambutnya yang panjang sedikit tergelung ke
atas.
"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti bergumam pelan ketika matanya menangkap
sesosok tubuh berlindung dari bayang-bayang pohon besar tidak jauh dari rumah
ini. Pandangan matanya seketika beralih. Pada saat itu terlihat satu bayangan
merah berkelebat cepat menyelinap ke bagian belakang rumah.
Rangga langsung menggelinjang bangkit. Dan bagaikan seekor burung rajawali,
tubuhnya melesat cepat ke atas. Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya
mendarat lunak di atap. Lututnya tertekuk hampir menyentuh atap. Sebentar
matanya mengawasi sekitarnya. Tiba-tiba Rangga tersentak. Dia melihat satu
bayangan merah berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah.
Rangga lebih terkejut lagi, karena bayangan merah itu keluar dari jendela
kamar Lasmi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat
cepat bagaikan kilat. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,
sehingga Pendekar Rajawali Sakti bisa melewati bayangan merah dan langsung
berdiri menghadang di depan.
"Berhenti...!" bentak Rangga keras.
"Keparat!" geram bayangan merah yang ternyata Widarti. Di pundak gadis itu
terpanggul sesosok tubuh ramping terbungkus kain.
"Tidak semudah itu kau menculik Lasmi, Perempuan Iblis!" Rangga langsung dapat
menebak, siapa yang berada di pundak Widarti.
"Aku memang tidak butuh barang rongsokan ini. Hih...!" Tiba-tiba saja Widarti
melemparkan tubuh ramping di pundaknya.
Rangga terkejut bukan main. Maka buru-buru dia melompat dan menangkap tubuh
yang melayang deras ke arahnya. Dan pada saat tubuh itu berhasil ditangkapnya,
Widarti sudah melompat sambil mencabut pedang.
Sret! "Hiyaaat!"
"Hup! Hyaaa...!" Begitu jari kakinya menyentuh tanah, Rangga langsung
melentingkan tubuhnya kembali. Maka kibasan pedang Widarti hanya mengenai
angin kosong di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali Rangga
berjumpalitan di udara, kemudian hinggap di atas atap sebuah rumah.
Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh wanita yang diyakininya adalah Lasmi
di situ, kemudian cepat melesat turun. Langsung dilepaskannya dua pukulan
beruntun ke arah Widarti. Namun, gadis itu sudah cepat berkelit sambil
membalas menyerang dengan mengibaskan pedangnya. Pertarungan tidak dapat
dihindari lagi. Dan kali ini, rupanya Rangga tidak main-main. Langsung jurus
andalannya dikerahkan, sehingga menyulitkan Widarti menghadapinya.
"Akh...!" tiba-tiba Widarti memekik keras. Satu sodokan keras berhasil
disarangkan Rangga pada bagian perut gadis itu. Dan selagi tubuh Widarti
terdorong limbung ke belakang, Rangga cepat melompat sambil menggerakkan
tangannya dengan lincah.
Widarti tidak bisa lagi menghindar, dan kembali memekik tertahan. Tubuhnya
langsung ambruk ke tanah, tidak bergerak lagi. Hanya bagian leher ke atas saja
yang masih bisa digerakkan, Pedangnya terlepas cukup jauh.
Rangga melangkah menghampiri gadis itu. Dia memang berhasil menotok jalan
darah Widarti. Sehingga, gadis itu seperti lumpuh, tidak bisa bergerak lagi.
"Keparat! Bunuhlah aku...!" dengus Widarti geram.
"Kau terlalu enak kalau cepat dibunuh, Perempuan Iblis!" sahut Rangga dingin
dan datar.
"Phuih!" Widarti menyemburkan ludahnya. Rangga tersenyum saja melihat
keberangan gadis itu. Tapi mendadak, dia jadi tersentak. Pendengarannya yang
setajam pisau, mendengar desiran angin yang halus di belakangnya. Pendekar
Rajawali Sakti langsung menoleh. Dan pada saat itu, satu bayangan merah
melesat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh yang ditinggalkan Rangga di atas
atap.
"He...!" Rangga terkejut bukan main. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar
Rajawali Sakti melenting, mengejar bayangan merah lain yang menyambar tubuh
Lasmi. Namun begitu Rangga ada di atas atap sebuah rumah, mendadak dari arah
depan melesat satu bayangan merah ke arahnya. Sesaat, Pendekar Rajawali Sakti
terperangah.
"Hup...!" Cepat sekali Rangga melenting, dan bayangan merah itu lewat bagaikan
kilat di bawah tubuhnya. Rangga langsung meluruk mengejar dengan menyentilkan
ujung jari kakinya pada atap. Tubuhnya kembali melenting cepat bagai kilat.
Tapi, bayangan merah itu tiba-tiba berbalik cepat dan mengibaskan sesuatu ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Jarum beracun...!" desis Rangga tersentak. Rangga tidak punya pilihan lain
lagi. Dengan cepat tubuhnya berputar di udara, menghindari serbuan jarum-jarum
beracun berwarna merah itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, bayangan merah
itu sudah tidak tampak lagi. Entah pergi ke mana...?
"Sial...!" umpat Rangga kesal seraya menghentakkan kakinya ke tanah. Pendekar
Rajawali Sakti berpaling ke arah Widarti. Tampak gadis itu masih tergeletak
dengan jalan darah tertotok. Namun dari bibirnya, tersungging senyuman
mengejek. Bahkan tiba-tiba saja gadis itu tertawa terbahak-bahak. Rangga jadi
kesal. Dihampirinya gadis itu dan diangkatnya berdiri. Widarti masih tertawa
saja, meskipun Rangga mencekal pundaknya dengan keras.
"Siapa dia?!" tanya Rangga tajam.
"Kau akan terkejut kalau kuberi tahu, Pemuda Tampan," sahut Widarti sinis.
"Siapa...?!" bentak Rangga kasar.
"Ratu Bukit Brambang!" dingin jawaban Widarti.
"Hih!" Dengan kasar Rangga menyentakkan tangannya, sehingga tubuh Widarti
terlempar ke belakang beberapa depa. Gadis itu memekik tertahan begitu
tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak.
Totokan di tubuhnya begitu kuat, dan tidak bisa dilepaskan meskipun sudah
mengerahkan hawa murni.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang datang membawa obor dan senjata
beraneka macam. Melihat itu, Widarti agak ciut juga hatinya. Sementara, Rangga
sudah menghampiri lagi dengan wajah menahan geram. Ada sekitar dua puluh orang
penduduk yang rata-rata sudah berusia lanjut, langsung mengepung Widarti.
Gadis itu memandang berkeliling dengan wajah agak pucat.
"Rangga...! Rangga...!" Rangga menoleh. Tampak Ki Kusha berlari-lari
menghampirinya. Nafasnya tersengal begitu sampai di depan Rangga. Wajahnya
tampak pucat, dan tubuhnya gemetar. "Lasmi, Rangga.... Lasmi hilang...," lapor
Ki Kusha, terengah-engah nafasnya.
"Tenang, Ki. Aku sudah tahu," kata Rangga seraya melirik Widarti yang masih
menggeletak di tanah.
"Keparat...! kau menculik anakku...!" geram Ki Kusha begitu melihat Widarti.
"Ki...!" Rangga langsung menarik tangan Ki Kusha.
"Lepaskan! biar kubunuh perempuan iblis ini! dengus Ki Kusha memberontak.
Dengan sekuat tenaga, Ki Kusha memberontak untuk melepaskan cekalan Rangga.
dan begitu terlepas, langsung ditubruknya tubuh Widarti. Kedua tangannya
bergerak cepat menghajar gadis berbaju merah yang sudah tidak berdaya itu.
Tapi, Widarti malah tertawa terbahak-bahak.
"Hentikan, ki!" sentak Rangga sambil merenggut pundak laki-laki tua itu.
Hentakan Rangga yang begitu keras, membuat tubuh laki-laki tua itu langsung
terangkat Ki Kusha menatap tajam Rangga. Wajahnya merah padam menahan
kemarahan yang memuncak. Nafasnya mendengus kencang bagai kuda pacu yang sudah
berlari satu harian penuh.
"Dengar, Ki. mereka tidak akan mencelakakan anakmu. Mereka hanya menginginkan
diriku, percayalah. Aku akan menyelamatkannya," kata Rangga berusaha lembut.
"Aku mengerti, Rangga. Tapi Lasmi anak gadisku satu-satunya yang masih hidup.
kakak laki-lakinya mereka culik dan kakak perempuannya bunuh di karena
suaminya diculik juga. Sekarang mereka juga menculik anakku yang tersisa..."
rintih Ki Kusha tidak bisa menahan kesedihannya.
"Percayalah, Ki. Lasmi akan selamat," Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
"Tolong, Rangga. selamatkan anakku. Hanya dialah satu-satunya harapanku
sekarang. Tolong, Rangga, selamatkan anakku...."
"Aku akan menyelamatkannya, Ki." Rangga kemudian meminta para penduduk membawa
Ki Kusha ke rumahnya. kemudian, dia sendiri menghampiri Widarti. Pendekar
Rajawali Sakti membebaskan totokannya, tapi tetap membiarkan kedua tangan
gadis itu tetap tertotok. Rangga mengangkat tubuh gadis itu agar berdiri.
Sedangkan Widarti menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Dia bisa berdiri,
tapi kedua tangannya tidak lagi bisa bergerak.
"Kau harus membantuku membebaskan Lasmi," kata Rangga dingin.
"Huh! kau pikir aku akan membantumu?" sinis nada suara Widarti.
"Suka atau tidak suka, aku akan membawamu kembali ke ratumu. aku akan
menukarnya dengan Lasmi!"
"Kau gila!" sentak Widarti terkejut.
"Tidak ada waktu lagi buat berdebat!"
"Hey...!" Widarti terkejut bukan main, karena tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti sudah menyambar tubuhnya dan langsung melompat cepat bagaikan kilat
begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sekejap saja
sudah lenyap tanpa bekas. Beberapa penduduk Desa Gedangan yang masih berada di
sekitar situ jadi terperangah keheranan.
***
TUJUH
Matahari baru saja menampakkan diri di belahan bumi Timur. Cahayanya yang
hangat menyibakkan embun-embun dan kabut yang menyelimuti seluruh Bukit
Brambang. Di pinggir bukit tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak
memandang sekitar puncak bukit yang tidak begitu luas, namun tampak luas
dengan hamparan rumput hijau. Di sampingnya, berdiri Widarti dengan tangan
lunglai tertotok jalan darahnya.
"Urungkan saja niatmu. Kau tidak akan berhasil...," kata Widarti dengan suara
pelan.
Rangga menoleh dan menatap tajam gadis di sampingnya. Sedangkan Widarti
melayangkan pandangannya ke depan. Perlahan-lahan kepalanya menoleh, dan
langsung bertumbukan dengan tatapan mata pemuda tampan itu. Tampak Widarti
agak serba salah, namun memang pandai mengatur perasaannya. Dan gadis itu
malah tersenyum tipis.
"Dengar, Widarti. Kalau terjadi apa-apa pada Lasmi, kau akan menanggung
akibatnya. Aku tidak peduli siapa pun yang menculiknya. Tapi, aku hanya
memandangmu yang bertanggung jawab!" ancam Rangga tegas.
Widarti menoleh kembali, menatap ke arah puncak bukit. Dia tahu, ancaman itu
tidak main-main. Meskipun diyakini Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mampu
menandingi Ratu Bukit Brambang, namun dalam hatinya menyayangkan kalau pemuda
setampan ini akan menjadi korban ratunya. Sejak pertama kali melihat pemuda
ini, Widarti memang sudah tertarik, Tapi dia tidak bisa mementingkan diri
sendiri, karena harus patuh pada perintah ratunya.
"Di mana ruangan pribadi ratumu?" tanya Ranggi dingin. Widarti tidak segera
menjawab. "Hm.... Mungkin aku harus menggunakan cara lain untuk membuka
mulutmu," gumam Rangga.
"He! Apa yang kau lakukan...?" bentak Widarti terkejut.
Tiba-tiba saja Rangga memondong tubuh gadis itu. Tangannya cepat menjambret
sulur pohon yang banyak tergantung di sini. Kemudian, tubuhnya melesat tinggi
dan hinggap di atas dahan yang cukup tinggi. Widarti mencoba memberontak, tapi
Rangga cepat-cepat bekerja. Diikatnya kedua kaki gadis itu hingga menyatu,
kemudian ujung sulur lainnya diikatkan di dahan yang kuat. Pendekar Rajawali
Sakti lalu melompat turun sambil membawa tubuh gadis itu, Dan pada saat
kakinya menjejak tanah, tubuh Widarti menggantung dengan kaki di atas.
"Keparat! Lepaskan aku...!" bentak Widarti berusaha memberontak.
"Aku akan menemui ratumu, sementara kau menunggu di sini. Berdoalah agar
nasibmu baik tidak bertemu serigala lapar," kata Rangga kalem.
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" jerit Widarti ketakutan juga. Widarti tahu, di
sekitar lembah ini bila malam hari dipenuhi serigala liar yang kelaparan
mencari makan. Jarak tubuhnya dengan tanah tidak seberapa jauh, dan mudah
dicapai binatang liar. Dalam keadaan tangan tertotok dan tubuh terikat
terbalik begini, tidak mungkin bisa melepaskan diri. Sementara Rangga sudah
melangkah mundur menjauhi.
"Tunggu...!" seru Widarti keras.
"Kau berubah pikiran?" Rangga berhenti melangkah.
"Akan kutunjukkan, di mana Gusti Ratu berada. Lepaskan dulu ikatan ini!" kata
Widarti menyerah.
"Apa itu bukan alasanmu saja untuk kabur...?"
"Sumpah! Aku tidak akan kabur. Aku tahu, di mana Gusti Ratu mengurung Lasmi.
Aku juga tahu, di mana biasanya Gusti Ratu berada. Kau tidak akan bisa
mencapai istana itu tanpa bantuanku!" kata Widarti langsung berubah pikiran.
"Baik. Tapi, jangan coba-coba mengkhianatiku!" ancam Rangga.
"Aku bersumpah akan membantumu!" janji Widarti.
Rangga melompat ke atas, dan tangannya langsung mengibas ke arah sulur yang
menggantung Widarti. Gadis itu terpekik begitu tubuhnya melorot turun jatuh
dengan keras di tanah. Mulutnya tampak meringis sedikit merasakan sakit pada
tubuhnya. Rangga membuka ikatan di kaki gadis itu dan membantunya berdiri.
"Tanganku...," kata Widarti. Rangga menatap tajam.
"Aku tidak bisa membawamu ke sana dengan tangan begini. Kau tahu. Sekali saja
aku ketahuan membantumu, tidak ada ampun lagi. Gusti Ratu sudah tahu kalau aku
tertawan olehmu. Kalau dia melihatku masih hidup, itu tandanya aku telah
berkhianat. Dia pasti akan membunuhku. Kau harus percaya padaku, Pen...."
"Rangga. Panggil saja aku Rangga," potong Rangga cepat.
"Kau bisa mempercayaiku, Rangga. Keadaanku saat ini terjepit. Aku tidak
mungkin kembali ke sana dalam keadaan hidup. Sudah menjadi peraturan, siapa
saja yang tertangkap harus mati bunuh diri atau terbunuh," Widarti mencoba
meyakinkan.
"Kenapa tidak kau lakukan itu?" pancing Rangga.
"Bodoh! Aku masih ingin hidup, tahu!" dengus Widarti. "Kau pikir aku gila,
sehingga lebih suka bunuh diri hanya karena tertangkap? Lebih baik mati dalam
pertarungan, daripada mati tanpa guna!"
"Aku kagum pada pendirianmu. Tapi sayang, kau berada di jalan yang salah,"
ujar Rangga tulus.
"Terima kasih. Sekarang bukan saatnya untuk memuji." Rangga mengangkat
bahunya, lalu kembali ke sisi bukit.
Sementara Widarti mengikuti dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Udara di sekitar Bukit Brambang ini
terasa panas. Rangga masih tetap diam dengan mata menatap langsung ke bangunan
besar dan indah bagai istana itu.
***
Rangga sendiri tidak mengerti, suasana di sekitar Bukit Brambang ini tampak
sepi dan tenang. Hampir setengah harian berada di sini, tapi tidak terlihat
seorang pun. Sangat berbeda dengan kunjungannya pertama kali, yang langsung
disambut gadis-gadis cantik dan serangan-serangan dahsyat mematikan.
Sepertinya, puncak bukit ini sudah ditinggalkan mereka, Pendekar Rajawali
Sakti menoleh menatap Widarti.
Pada saat yang bersamaan, Widarti juga menoleh ke arahnya. Sesaat mereka
saling melempar pandang. Tanpa berkata-kata lagi, Rangga menjulurkan tangannya
hendak membebaskan totokan pada kedua lengan gadis itu. Tapi belum juga
niatnya tersampaikan, mendadak dari arah belakang melesat sekitar empat orang
gadis berpakaian merah menyala, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!" Tangkas sekali Rangga mendorong tubuh Widarti. Sementara, dia
sendiri melenting ke samping. Serangan pedang keempat gadis itu luput dari
sasaran. Tiga orang kembali menyerang tanpa mengeluarkan kata-kata, dan
seorang lagi menghampiri Widarti yang jatuh ke tanah. Dibebaskannya totokan
pada kedua tangan Widarti dan membantunya berdiri.
"Aku harus membawamu pada Gusti Ratu, Widarti," kata gadis itu.
Widarti tidak menyahuti. Matanya segera menatap Rangga yang tengah dikeroyok
tiga orang gadis bersenjata pedang berwarna merah. Kemudian, pandangannya
beralih pada gadis sebayanya yang baru membebaskan totokannya. Dia tahu,
menghadap Ratu Bukit Brambang sama saja mendapat hukuman mati. Dan itu memang
sudah peraturan yang ditetapkan Ratu Bukit Brambang.
"Katakan pada Gusti Ratu, aku akan datang sendiri nanti," kata Widarti.
"Tidak bisa, Widarti. Gusti Ratu menginginkan aku yang membawamu. Maaf, aku
harus mengikatmu," kata gadis itu.
Widarti paham sekarang. Matanya langsung menatap tajam gadis sebayanya itu.
Dan tiba-tiba saja, tangannya bergerak cepat langsung direbutnya pedang gadis
itu. Sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang terjadi, Widarti sudah
mengibaskan pedang rampasannya ke perut.
"Haaait...!" "Aaa...!" gadis itu menjerit melengking tinggi. Darah langsung
menyembur keluar dari perut yang sobek terbabat pedang. Jeritan melengking itu
membuat ketiga gadis yang mengeroyok Rangga jadi terperanjat. Mereka
berlompatan mundur, dan memandang Widarti setengah tidak percaya.
"Widarti! Apa yang kau lakukan?!" bentak salah seorang.
"Katakan pada Gusti Ratu, mulai saat ini aku tidak akan kembali lagi ke sana!"
lantang kata-kata Widarti.
"Widarti...!" Ketiga gadis itu terkejut.
"Cepat pergi" bentak Widarti. Ketiga gadis itu saling berpandangan.
"Widarti! Sadarkah apa yang kau lakukan? Kau akan menerima hukuman lebih besar
kalau Gusti Ratu tahu," salah seorang mencoba membujuk. "Sebaiknya, menyerah
dan berserah diri saja pada Yang Mulia Gusti Ratu. Beliau pasti akan
mengampunimu."
"Menyerah...? Heh! Aku tahu, apa yang akan kuterima. Dan aku belum ingin mati
sekarang! Kalian dengar itu!" tetap lantang suara Widarti.
"Widarti! Semua peraturan yang berlaku sudah disetujui bersama waktu menjadi
pengikut Gusti Ratu. Dan kita semua wajib mentaatinya. Beliau sudah berbuat
banyak untuk kita, dan sepantasnyalah kalau...."
"Cukup!" bentak Widarti memotong cepat. "Aku tidak peduli semua peraturan. Aku
masih ingin hidup!"
"Widarti...."
"Sebaiknya, kalian cepat pergi sebelum aku berubah pikiran! Kalian semua
bodoh. Kalian tahu, siapa 'Ratu Bukit Brambang?! Dia hanya nenek-nenek tua
yang menginginkan jadi gadis kembali. Kalian semua tidak akan diperlukan lagi
kalau semua cita-citanya terlaksana. Kalian semua akan dibunuh untuk
kesempurnaan terakhir ilmu setannya!" tandas Widarti.
"Widarti! Apa yang kau katakan?" sentak gadis yang berada di tengah.
"Kalian tahu, aku sempat mendengar pembicaraan Ratu Bukit Brambang dengan
Cakarang. Kalian semua bodoh. Cakarang tidak bisu, dan tidak tuli. Dialah yang
membantu semua maksud nenek-nenek itu. Dengar! Sebelum kalian semua dibunuh,
kalian akan diserahkan pada Cakarang. Dan itu memang sudah perjanjian mereka
berdua!"
"Kau pembual, Widarti! Pengkhianat..!" geram salah seorang gadis yang berada
paling kanan.
"Kau pikir kami percaya bualanmu itu, heh?!" sambung gadis satunya lagi. "Kau
akan menanggung akibatnya, Widarti."
Ketiga gadis itu langsung melesat pergi, menuju bangunan besar bagai istana
itu dengan gerakan ringan dan cepat. Widarti menarik napas panjang dan
melangkah menghampiri Rangga. Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap saja
setengah tidak percaya. Sungguh sukar dipercaya kalau Widarti bisa berubah
begitu cepat, dan kini berbalik berada di pihaknya.
"Aku terpaksa mengatakan semua ini di depanmu, Rangga. Sebenarnya, aku kasihan
pada mereka yang tidak tahu apa-apa. Mereka akan mati semua, dan Cakarang akan
menikmati mereka satu persatu," kata Widarti pelan. Rangga diam saja.
"Sebenarnya sudah lama aku tahu tentang semua ini. Tapi, aku belum punya
kesempatan untuk pergi. Lagi pula, aku tidak tega meninggalkan mereka yang
tidak tahu apa-apa. Hanya satu yang sudah kuberi tahu, tapi sudah tewas di
tanganmu. Karina memang memilih tewas dalam pertarungan daripada harus menjadi
santapan Cakarang. Kasihan Karina... Padahal, aku dan dia sudah merencanakan
meninggalkan tempat ini," ada sedikit keluhan pada nada suara gadis itu.
"Siapa Cakarang itu?" tanya Rangga.
"Dia seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi besar. Dan wajahnya
menyeramkan seperti gorila. Selama ini, kami semua hanya tahu kalau dia
pembantu setia Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Aku
tidak tahu, berapa umurnya. Mungkin sudah seratus tahun lebih. Dia memiliki
ilmu yang bisa membuat umur panjang. Dan sekarang, dia ingin menjadi muda
kembali dengan bersekutu pada Cakarang yang punya ilmu awet muda. Sehingga,
Ratu Bukit Brambang masih tetap kelihatan muda meskipun usianya sudah lebih
dari seratus tahun," jelas Widarti.
"Kau tahu, apa perjanjiannya?" tanya Rangga jadi tertarik.
"Tentu! Nyai Pancalas menyanggupi menyediakan dua puluh lima gadis muda untuk
Cakarang, asal bisa memperoleh Ilmu untuk menjadi muda kembali dan bisa hidup
lebih lama lagi. Mereka juga bersekutu untuk menguasai seluruh rimba
persilatan."
"Dari mana kau tahu semua itu? tanya Rangga.
"Aku menguping ketika mereka berbicara di ruangan pribadi Ratu Bukit Brambang.
Aku sendiri terkejut, tapi mencoba bertahan karena ingin tahu semuanya. Mereka
membicarakan semua itu, karena kau telah menewaskan banyak gadis. Cakarang
khawatir kalau gadis-gadis itu akan habis dan tidak ada dua puluh lima lagi.
Padahal, Nyai Pancalas sudah menyediakan lebih dari empat puluh. Hhh...!
Sekarang jumlahnya sudah berkurang. Tidak ada lagi tiga puluh."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Tubuhnya segera dihenyakkan, duduk di
pohon yang tumbang. Widarti juga duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Pandangan mereka tetap tertuju ke arah puncak Bukit Brambang, di mana berdiri
sebuah bangunan besar menyerupai istana. Di bangunan besar itulah Ratu Bukit
Brambang tinggal bersama gadis-gadisnya.
***
Rangga benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk mengorek keterangan
sebanyak-banyaknya dari Widarti. Gadis pengikut Ratu Bukit Brambang ini
rupanya sudah benar-benar bertekad keluar memisahkan diri, setelah tahu maksud
sebenarnya dari Nyai Pancalas atau Ratu Bukit Brambang.
"Widarti! Kenapa kau dulu ikut dengan perempuan tua itu?" tanya Rangga, ingin
tahu.
"Seperti yang lain, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kedua orangtua ku
tewas terbunuh ketika desa kami diserang gerombolan perampok. Aku dendam dan
ingin membalas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu aku bertemu Karina yang
waktu itu sudah menjadi murid Nyai Pancalas. Karina sendiri tidak tahu, siapa
sebenarnya Ratu Bukit Brambang itu. Perempuan tua itu memang datang ke desa
untuk mencari gadis-gadis yang ingin belajar ilmu olah kanuragan. Aku tertarik
dan bersedia ikut dengannya," Widarti menceritakan kisahnya.
"Dan langsung ke tempat ini?" tebak Rangga.
"Benar. Waktu itu, hanya aku dan Karina saja yang ada. Karina sendiri belum
tinggi tingkatannya. Dan aku berhasil mengejar ketinggalan, sehingga bisa
melebihi Karina. Sejak saat itu kami berdua menjadi akrab dan mendapat tugas
mencari gadis-gadis lainnya. Itu pun setelah Nyai Pancalas merasa kalau ilmu
yang kami miliki sudah cukup untuk turun dari bukit ini."
"Kau mendapatkannya?"
"Tidak sulit mencari gadis-gadis. Di desaku banyak gadis yang kehilangan
orangtua dan saudara. Mereka semua menyimpan dendam, dan berharap bisa keluar
dari bukit ini setelah menamatkan pelajarannya. Ratu Bukit Brambang menyetujui
dengan satu syarat. Memang, kami semua harus patuh dan taat akan
peraturan-peraturan yang dibuatnya. Termasuk, harus mencari pemuda-pemuda
untuk kesempurnaan ilmunya. Terus terang, kami semula tidak sadar kalau selama
ini hanya diperalat. Aku juga begitu sebelum mengetahui siapa sebenarnya Ratu
Bukit Brambang itu."
Rangga bisa merasakan ada nada penyesalan pada suara Widarti. Pendekar
Rajawali Sakti tidak bisa menyalahkan Widarti ataupun gadis-gadis lain dalam
hal ini. Dan, seharusnyalah mereka diselamatkan sebelum telanjur menjadi
korban lebih jauh lagi. Rangga sadar, kalau harus menghadapi Ratu Bukit
Brambang tanpa harus melukai salah seorang dari gadis-gadis itu lagi. Apalagi
membunuhnya.
"Kau yang tahu seluk-beluk tempat ini, Widarti. Kita harus menyelamatkan
mereka secepatnya sebelum terlambat," kata Rangga.
"Kau tidak akan mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, Rangga. Ilmunya sangat
tinggi," kata Widarti pelan.
"Setinggi apa pun ilmunya, aku harus membunuhnya," tegas Rangga.
"Percuma..." Widarti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa yang percuma?"
"Kalaupun kau berhasil, mereka pasti akan mengeroyokmu. Kau lihat sendiri.
Tiga orang sudah tidak percaya, meskipun aku sudah menjelaskan. Mereka sudah
begitu patuh dan rela mati demi gurunya. Itu sudah menjadi sumpah mereka dulu,
Rangga. Aku yakin, kau juga akan bersikap begitu pada gurumu."
Rangga terdiam. Kata-kata Widarti memang sukar dibantah. Setiap orang yang
berguru, pasti akan membela gurunya. Entah itu benar, atau salah. Kalau
mencoba membangkang, jelas dianggap murid mur-tad. Dan hukuman yang pantas
adalah mati. Itu sudah menjadi satu hukum rimba persilatan. Seorang guru bisa
saja membunuh muridnya yang dianggap berkhianat Tidak ada seorang pun yang
bisa menghalanginya. Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran
masing-masing.
Beberapa kali Rangga mendesah panjang. Rasanya memang sulit mencari jalan
keluar, melenyapkan Ratu Bukit Brambang tanpa melukai atau membunuh salah
seorang dari gadis-gadis itu. Dan rasanya hal itu mustahil bisa dilakukan.
Pendekar Rajawali Sakti menatap Widarti, dan tiba-tiba saja mendapat satu
pikiran yang belum terjawab.
"Widarti, kenapa kau menculik Lasmi semalam?" tanya Rangga.
"Sebenarnya untuk menghindarinya dari incaran Nyai Pancalas," sahut Widarti.
"Tapi, justru dia malah diculik oleh murid Nyai Pancalas yang lain."
"Kenapa dengan cara itu? Kau kan bisa bicara denganku," Rangga menyesalkan.
"Kau tidak akan mempercayaiku, Rangga. Lagi pula, aku baru tahu tentang Ratu
Bukit Brambang yang sebenarnya juga belum lama ini."
"Waktu bersama temanmu, kau sudah tahu siapa ratumu itu?" selidik Rangga.
"Sudah," sahut Widarti.
"Kenapa masih juga melakukan pekerjaan itu?"
"Untuk yang terakhir kali. Ratu Bukit Brambang biasanya memberikan kebebasan
pada siapa saja yang berhasil melakukan tugasnya. Pada saat itu, aku dan
Karina merencanakan melarikan diri. Tapi, yaaah.... Karina memang malang. Dia
tewas sebelum berhasil."
"Aku menyesal, Widarti. Seandainya tahu, mungkin waktu itu aku tidak membunuh
temanmu. Bahkan dengan sukarela akan ikut kalian agar bisa bertemu Ratu Bukit
Brambang. Dengan begitu, aku akan bisa cepat membereskannya. Tapi, semua sudah
telanjur," sesal Rangga.
"Tidak perlu disesalkan, Rangga. Karina memang menginginkan begitu.
Seharusnya, aku saja yang mati. Bukan dia."
Kembali mereka terdiam. Tampak kemurungan menyelimuti wajah gadis itu.
Sementara, Rangga sendiri kembali sibuk mencari jalan keluar dari kemelut ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Widarti?" tanya Rangga meminta pendapat.
"Entahlah. Aku tidak tahu lagi," desah Widarti.
"Kau ingin pergi?"
Widarti tidak menjawab. Ditatapnya Rangga dalam-dalam, kemudian kepalanya
menggeleng perlahan beberapa kali. "Aku akan bersamamu membebaskan Lasmi dan
yang lain," kata Widarti.
Rangga tersenyum dan bangkit berdiri. Kakinya melangkah lebih ke tepi lagi
dari bibir bukit ini. Widarti juga ikut berdiri dan menghampirinya. Mereka
sama-sama memandang ke arah bangunan besar bagai istana itu. Dan bagaikan dua
ekor kijang yang berlompatan lincah mereka menuju ke sana.
***
DELAPAN
Sementara itu di dalam ruangan depan bangunan istana di Bukit Brambang, Ratu
Bukit Brambang tampak berang mendengar laporan ketiga gadisnya yang kembali.
Ketiga gadis itulah yang tadi bertemu Widarti. Ratu Bukit Brambang benar-benar
berang, karena Widarti jelas-jelas membangkang. Bahkan berani menguping
pembicaraannya yang teramat rahasia.
Ratu Bukit Brambang berdiri, lalu menghampiri tiga gadis yang duduk bersimpuh
di lantai dengan kepala tertunduk. Tidak ada lagi orang lain di ruangan itu
selain mereka berempat, dan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berwajah
penuh brewok lebat. Laki-laki itu juga tampak berang, dan wajahnya memerah
menambah keseramannya.
"Kalian memang setia padaku. Tapi, kalian sudah mengetahui siapa aku
sebenarnya. Juga tentang Cakarang. Rasanya, aku tidak lagi membutuhkan kalian
bertiga," kata Ratu Bukit Brambang dingin.
Ketiga gadis itu terkejut, dan langsung mengangkat kepala. Namun belum juga
bisa bersuara, mendadak perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak
itu mengibaskan pedang yang selalu tergantung di pinggang. Begitu cepat
kibasannya, sehingga ketiga gadis itu tidak bisa lagi bersuara. Kepala mereka
kontan menggelinding, tertebas pedang. Lantai dari batu pualam putih itu jadi
merah bersimbah darah yang mengucur deras dari ketiga leher yang buntung.
Ratu Bukit Brambang menyarungkan kembali pedangnya yang berwarna merah dengan
gagang berbentuk kepala tengkorak manusia. Tubuhnya berbalik dan kembali duduk
di kursinya. Pandangannya tertuju langsung pada laki-laki di sampingnya. Ratu
Bukit Brambang kemudian menjambak rambutnya sendiri, dan mengangkatnya. Rambut
putih panjang itu terangkat dan kulit wajahnya yang menyerupai tengkorak juga
terangkat. Dicampakkannya benda. itu, begitu saja ke lantai. Tampak seraut
wajah yang cantik terpampang. Lelaki berwajah kasar penuh brewok itu
memandanginya.
"Aku tidak perlu lagi topeng itu," ujar Ratu Bukit Brambang dingin.
"Wajahmu sudah berubah cantik kembali. Tapi, suaramu masih belum sempurna,
Nyai Pancalas."
"Tinggal satu pemuda lagi, Cakarang. Dan pemuda itu berada tidak jauh dari
sini," kata Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas.
Suaranya masih terdengar seperti orang tua renta, meskipun wajahnya cantik
seperti seorang gadis berusia delapan belas tahun.
"Pemuda itu sangat tangguh, Nyai. Kau harus ingat. Sebelum seluruhnya
sempurna, kekuatanmu sedang berkurang separuh. Aku khawatir, kau tidak akan
mampu menghadapinya," kata Cakarang memperingatkan.
"Kau bisa menghadapinya, Cakarang?"
"He he he...!" Cakarang terkekeh.
"Bisa saja, asal ada imbalannya."
"Setan!" rungut Nyai Pancalas.
"Bagaimana?"
"Apa imbalannya?"
"Seratus gadis lagi."
"Keparat kau, Cakarang! Dari mana aku bisa memperoleh begitu banyak...?"
"Terserah. Satu pemuda lagi kau sudah sempurna. Dan kau bisa mendapatkan
seratus gadis dengan mudah. He he he.... Kita bisa menjadi pasangan serasi dan
akan menguasai dunia, Nyai Pancalas. Dengan seratus gadis, aku akan bisa lebih
muda lagi. Dan tentunya, lebih tampan dari seorang pangeran di dunia ini."
"Apa dua puluh lima tidak cukup?"
"Itu hanya untuk kesempurnaan ilmuku saja, Nyai. Sedangkan kau sendiri, sudah
hampir mencapai seratus pemuda. Dan sekarang tinggal membutuhkan satu lagi.
Setelah itu, seluruh ilmu dan tubuhmu benar-benar menjadi muda dan sempurna.
Tidak ada lagi yang bisa menandingi ilmu dan kecantikanmu."
"Huh!" dengus Nyai Pancalas.
"Ingat, Nyai. Semua ini karena jasaku. Kau tidak mungkin bisa seperti ini
kalau bukan karena aku. Semua itu ilmuku. Kau lihat, Aku bisa hidup lebih dari
seratus tahun."
"Baiklah, aku terima syaratmu. Tapi, kau harus serahkan pemuda itu dalam
keadaan hidup. Belakangan ini, aku hanya menikmati mayat. Dan sekarang aku
inginkan yang masih hidup."
"He he he...," Cakarang terkekeh kesenangan.
"Dia ada di puncak bukit sebelah Utara. Kau bisa ke sana dan bawa dia ke
sini," kata Nyai Pancalas lagi.
"Untuk apa repot-repot ke sana? Dia pasti datang sendiri ke sini. He he he...
Tawananmu cantik sekali, Nyai. Dia pasti akan datang untuk membebaskan
gadisnya."
"Dia tawananku, Cakarang. Aku tidak suka kalau kau menyentuhnya!" dengus Nyai
Pancalas.
"Tentu saja tidak. Tapi, aku inginkan dia yang pertama setelah aku serahkan
pemuda itu padamu."
"Terserah. Asal, kau tidak menggangguku."
"He he he...!" lagi-lagi Cakarang terkekeh.
Cakarang bangkit berdiri dan menghampiri Nyai Pancalas. Tangannya langsung
diletakkan di pundak, dan segera dipeluknya wanita itu dari belakang. Dengan
liar sekali, diciumi wajah dan lehernya. Nyai Pancalas menggelinjang, berusaha
melepaskan pelukan itu. Dia berdiri dan berbalik, tapi Cakarang kembali
memeluknya erat-erat.
Nyai Pancalas tidak bisa lagi menghindari ciuman-ciuman Cakarang yang memburu.
Dia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi Cakarang memeluknya terlalu kuat.
Ciuman-ciumannya juga gencar memburu, membuat Nyai Pancalas tidak mampu lagi,
membendung gairahnya. Perlahan namun pasti, dia tidak memberontak lagi. Bahkan
kini malah membalasnya dengan hangat.
"Ah...!" Nyai Pancalas memekik tertahan. Tubuhnya jatuh terguling di lantai,
bersamaan tubuh Cakarang. Tidak ada kesempatan lagi bagi wanita itu untuk
melepaskan himpitan tubuh besar dan kekar itu. Cakarang sudah mencumbunya
penuh gairah menggelegak. Tidak ada lagi kata-kata yang terdengar. Semuanya
berganti erangan dan rintihan lirih, disertai dengus napas memburu. Mereka
tidak lagi mempedulikan tiga mayat yang tergeletak dengan kepala
buntung.
***
"Setan...!" Nyai Pancalas menggeretak geram. Buru-buru perempuan tua yang
berwajah muda itu bangkit dan merapikan pakaiannya kembali. Cakarang juga
bergegas melompat sambil membetulkan pakaiannya. Di luar sana terdengar
jeritan-jeritan melengking ditingkahi denting senjata beradu.
Mereka langsung saja melompat ke luar, dan kontan terkejut begitu melihat
Widarti mengamuk dikeroyok beberapa orang gadis. Tidak jauh dari Widarti,
tampak seorang pemuda berbaju rompi putih menghadapi keroyokan gadis-gadis
berbaju merah.
"Berhenti...!" bentak Nyai Pancalas keras disertai pengerahan tenaga dalam
pada suaranya. Seketika pertarungan terhenti.
Tidak kurang dari dua puluh enam gadis berbaju merah berlompatan mundur. Dan
tinggal Widarti serta Rangga berdiri di tengah-tengah kepungan gadis
bersenjata pedang terhunus. Widarti menggeser kakinya mendekati Pendekar
Rajawali Sakti.
"Widarti, kemari!" bentak Nyai Pancalas keras.
"Huh! Kau tidak bisa seenaknya menyuruhku, Nyai Pancalas. Aku bukan lagi
budakmu!" sahut Widarti sinis.
"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin memberontak, heh!" geram Nyai
Pancalas.
"Aku tidak memberontak, tapi melepaskan diri dari semua rencana busukmu!"
"Setan! Kubunuh kau, Widarti! Hiyaaat..!" Nyai Pancalas tidak bisa lagi
menahan amarahnya. Ratu Bukit Brambang itu melompat cepat sambil cepat
mencabut pedangnya. Dan bagaikan kilat, pedangnya dikibaskan ke arah leher
Widarti. Sesaat Widarti terkesiap.
Tapi sebelum pedang itu memenggal lehernya, Rangga cepat bertindak. Pendekar
Rajawali Sakti melompat menghadang, dan menangkap pedang itu dengan kedua
telapak tangannya.
"Hih!" Nyai Pancalas berusaha menarik kembali pedangnya, tapi jepitan Rangga
begitu kuat. Dan tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya
kuat-kuat ke depan sambil membuka jepitannya.
"Akh!" Nyai Pancalas memekik tertahan. Tubuh wanita tua itu terdorong hebat ke
belakang. Kalau saja Cakarang tidak segera menangkapnya, wanita itu sudah
jatuh tersuruk. Nyai Pancalas menggeram dahsyat. Dan dia ingin menyerang lagi,
tapi Cakarang cepat menahannya. Nyai Pancalas menatap laki-laki berwajah kasar
itu.
"Kenapa tidak bicara saja, Cakarang. Kau tidak bisu dan tuli, bukan?" ejek
Widarti sinis. Cakarang menggeram marah mendengar ejekan itu. "Buka telinga
kalian lebar-lebar! Kalian akan dijadikan tumbal oleh mereka...!" lantang
suara Widarti.
"Tutup mulutmu, Widarti!" bentak Nyai Pancalas gusar. "Oh... Rupanya kau takut
juga kedokmu terbuka, Nyai Pancalas. Dan rupanya topeng tengkorakmu juga sudah
terlepas," sinis nada suara Widarti.
Nyai Pancalas baru tersadar kalau tidak memakai topeng tengkorak lagi.
Wajahnya merah padam, karena kedoknya sudah terbongkar muridnya sendiri.
Dengan menggeram marah, wanita berjubah merah itu melompat menerjang Widarti.
Tapi Rangga yang sudah siap sejak tadi, lebih cepat lagi menghadang. Nyai
Pancalas jadi geram setengah mati. Dan matanya langsung melirik Cakarang.
Tapi, laki-laki berwajah kasar itu malah diam saja.
"Cakarang, bunuh dia! Aku tidak peduli, kau serahkan dalam keadaan hidup atau
sudah mati!" seru Nyai Pancalas gusar.
Pada saat ini, Nyai Pancalas sendiri sudah kewalahan menghadang gempuran
Rangga yang dahsyat dan bertubi-tubi. Memang, kekuatan dan ilmunya sedang
berkurang jauh. Bahkan hanya separuhnya saja. Sehingga dalam menghadapi
gempuran Rangga, Ratu Bukit Brambang itu kewalahan setengah mati.
"Cakarang! Bantu aku...!" teriak Nyai Pancalas semakin terdesak.
"Maaf, Nyai. Aku tidak bisa," kata Cakarang.
"Heh...!" Nyai Pancalas terkejut.
Pada saat yang sama, Rangga menggedor dadanya disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Gedoran yang cepat dan tidak terduga itu, tidak dapat dihindari
lagi. Nyai Pancalas memekik keras, dan tubuhnya terlontar jauh ke belakang
sampai menghantam pilar. Belum lagi wanita berjubah merah itu sanggup berdiri,
Rangga sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan sekaligus.
"Modar!"
"Aaakh...!" Nyai Pancalas menjerit melengking tinggi. Kembali wanita berjubah
merah itu terlontar ke belakang. Tubuhnya juga kembali menghantam tembok.
Seperti juga pilar itu, tembok itu juga hancur berantakan. Nyai Pancalas
berusaha bangkit berdiri, dan langsung memuntahkan darah kental. Tubuhnya
limbung, meskipun bisa berdiri.
Rangga yang mengetahui kelemahan wanita berjubah merah yang berjuluk Ratu
Bukit Brambang, bersiap-siap mengeluarkan ajian pamungkasnya. Dia tidak ingin
lebih lama lagi bertarung. Apalagi, membiarkan manusia berhati iblis seperti
ini yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat dengan
kedua tangan menjulur ke depan. Nyai Pancalas terperangah sesaat, dan
buru-buru melompat ke samping. Namun, gerakannya sudah lemah. Dan dia sudah
tidak keburu lagi menghindari serangan itu. Kedua tangan Pendekar Rajawali
Sakti tepat dan telak menggedor dadanya.
"Aaa...!" Dengan satu jeritan panjang melengking, Nyai Pancalas terjungkal dan
tewas seketika. Dadanya kontan hancur. Dan dari mulutnya menyembur darah
kental.
Rangga berdiri tegak, dan berbalik menghadapi Cakarang. Perlahan-lahan Rangga
melangkah menghampiri laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu. Cakarang
bergerak mundur dengan wajah pucat seketika. Tubuhnya yang tinggi tegap, jadi
bergetar. Pendekar Rajawali Sakti juga jadi heran melihat perubahan laki-laki
menyeramkan ini. Dia berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar
empat langkah lagi. Sementara begitu melihat Nyai Pancalas mati, gadis-gadis
itu seperti ciut nyalinya. Jangankan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti,
maju setindak saja tidak mereka lakukan.
"Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku hanya ahli obat dan ramuan. Aku tidak
bersalah apa-apa...," ratap Cakarang dengan suara tersendat dan bergetar.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga dingin.
"Aku Cakarang, seorang tabib ahli pengobatan, Aku menemukan ramuan yang bisa
membuat orang kembali muda. Terus terang, aku sendiri tidak yakin. Tapi, Nyai
Pancalas mendesak terus dengan semua akibatnya. Aku sendiri belum pernah
mencobanya. Sungguh. Aku tidak bisa ilmu olah kanuragan. Aku hanya seorang
tabib", kata Cakarang sungguh-sungguh.
"Kenapa kau pura-pura bisu?" tanya Widarti ketus.
"Aku.... Aku..., hanya disuruh Nyai Pancalas, Katanya, untuk menutupi maksud
sebenarnya."
Rangga menggeser kakinya mendekati Widarti. Pandangannya masih tetap tajam
menusuk langsung ke bola mata Cakarang. Meskipun Rangga mendengar adanya nada
kesungguhan, tapi masih belum mempercayai semua kata-kata laki-laki tinggi
besar itu. Widarti sendiri menggeser kakinya mendekati Rangga. Dan kini mereka
berdiri bersisian.
"Kau cari Lasmi, dan bawa ke sini," kata Rangga setengah berbisik.
"Baik," Widarti mengangguk. Gadis berbaju merah itu langsung melompat cepat
melewati kepala beberapa orang. Dia langsung menuju bagian belakang bangunan
besar bagai istana itu. Sepertinya, Widarti sudah begitu paham tempat Lasmi
disekap.
Sementara, Rangga kembali menggeser kakinya lebih dekat lagi ke arah
Cakarang... "Cakarang! Benar kau ingin menjadikan gadis-gadis ini sebagai
tumbalmu?" tanya Rangga.
Cakarang tidak langsung menjawab. Dipandanginya gadis-gadis di sekitarnya.
Sedangkan gadis-gadis itu tampak malah kebingungan, tidak mengerti kejadian
semua ini.
"Jawab pertanyaanku, Cakarang!" sentak Rangga agak keras.
"Bu..., bukan tumbal. Tapi..." jawab Cakarang tergagap.
"Tapi apa?" desak Rangga.
"Hanya sebagai alat pembayaran saja. Nyai Pancalas membayar semua usahaku
dengan gadis-gadis ini. Dan itu pun masih kurang," aku Cakarang terus terang.
Tampak dua puluh tujuh gadis itu terkejut mendengar pengakuan Cakarang.
"Itu syarat yang kau ajukan, Cakarang?" desak Rangga lagi.
Cakarang kembali diam tidak menjawab. Wajahnya semakin kelihatan pucat. Tapi,
sebentar kemudian berubah memerah bagai seorang gadis menyembunyikan rasa
malu.
"Jawab!" bentak Rangga keras.
"iy... iya."
"Setan! Keparat! Kubunuh kau...!"
Gadis-gadis itu menggerutu marah mendengar pengakuan Cakarang. Tanpa dapat
dicegah lagi, mereka langsung berlompatan menyerbu dengan pedang terhunus.
Cakarang jadi gugup, tapi buru-buru dia melompat. Entah bagaimana, tiba-tiba
saja di tangannya sudah tergenggam seutas cambuk yang tidak begitu besar dan
tipis.
Ctar!
Cakarang menghentakkan cambuknya kuat-kuat. Dan satu kali hentakan saja, sudah
membuat seorang gadis menjerit keras sambil bergulingan di tanah. Tampak darah
merembes keluar dari wajah, dada, dan perutnya yang sobek. Gadis itu
menggelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Kejadian ini membuat yang lain semakin marah. Mereka langsung merangsek
mengeroyok dengan jurus-jurus dahsyat. Sementara, Rangga tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa memperhatikan dan menjaga
kalau-kalau Cakarang bermain curang. Pada saat itu, Widarti datang
menghampiri. Di sampingnya tampak berjalan tergesa-gesa seorang gadis lain.
Dialah Lasmi, yang diculik semalam dari kamar tidurnya.
"Ada apa ini?" tanya Widarti begitu dekat.
"Mereka marah mendengar pengakuan Cakarang," sahut Rangga.
"Hentikan, Rangga. Cakarang punya kepandaian tinggi. Aku tidak percaya dengan
pengakuannya!" sentak Widarti cemas. "Mereka bisa mati semua, Rangga!"
"Hm...," gumam Rangga tidak jelas. Rangga semakin tajam memperhatikan
gerakan-gerakan Cakarang yang tengah menghadapi keroyokan lebih dari dua puluh
orang gadis. Sementara, sudah empat orang gadis yang menggeletak tak bernyawa
lagi. Sedangkan tampaknya gadis-gadis itu kesulitan untuk mendesak. Gerakan
Cakarang begitu lincah, dan sukar didekati.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Cakarang berteriak keras. Dan seketika itu juga, tubuh
Cakarang melesat tinggi ke udara. Mendadak, tangannya cepat dikibaskan. Tampak
puluhan jarum beracun berwarna merah meluncur deras bagaikan hujan ke arah
gadis-gadis itu.
"Hup, hiyaaa...!" Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas.
Langsung pedangnya dicabut, maka cahaya biru kontan menyemburat. Cepat sekali
Rangga berlompatan memutar pedangnya bagai baling-baling, menyampok semua
jarum yang dilepaskan Cakarang. Rangga langsung mendarat begitu jarum-jarum
merah terbabat habis selagi masih di udara.
Tampak Cakarang terkejut, dan langsung melangkah mundur begitu kakinya
mendarat di tanah.
"Pengecut! Licik...!" umpat Rangga menggeram.
"Mereka yang memulai. Aku hanya mempertahankan diri," bela Cakarang.
"Itukah yang namanya membela diri, setelah kau tipu mereka?" sinis nada suara
Rangga.
Cakarang tidak menyahuti.
"Akulah lawanmu, Cakarang! Bukan mereka!" tantang Rangga.
Cakarang tetap diam, tapi tatapan matanya sudah demikian tajam menusuk.
Perlahan-lahan, kakinya bergerak menggeser ke samping. Kedua tangannya tampak
memegang cambuk yang merentang di depan dada. Sesaat keheningan meliputi
sekitarnya. Rangga tidak berkedip memperhatikan setiap gerak langkah kaki
laki-laki tinggi besar itu.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Cakarang menjerit keras. Seketika tubuhnya melesat
ke udara. Kuat sekali cambuknya dihentakkan begitu berada di udara. Ujung
cambuk itu menjurus ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!" Rangga cepat mengangkat tangannya. Dan saat ujung cambuk itu berada di
depan wajah, langsung ditangkapnya dengan kedua tangan. Dengan mengerahkan
tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menariknya kuat-kuat.
Cakarang kontan tersentak tertarik ke bawah, namun manis sekali memutar
tubuhnya. Dipinjamnya tenaga tarikan itu untuk meluruk ke arah Rangga sambil
melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hait!" Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kanan. Pada saat itu, pegangannya
pada ujung cambuk dilepaskan. Lalu, dengan cepat sekali tangannya bergerak ke
bawah memapak tendangan itu. Cakarang terperanjat setengah mati, dan berusaha
menarik kembali kakinya. Tapi, gerakannya kalah cepat. Pukulan tangan Pendekar
Rajawali Sakti tepat menghantam tulang keringnya.
"Aaakh...!" Cakarang menjerit keras. Tubuh besar itu jatuh ke tanah dan
bergulingan beberapa kali. Dia berusaha bangkit berdiri, namun limbung dan
kembali ambruk ke tanah. Satu kakinya patah terkena pukulan Pendekar Rajawali
Sakti.
"Setan keparat..!" umpat Cakarang sambil berusaha bangkit berdiri. Namun belum
juga bisa bangkit, Widarti sudah berteriak dan melompat cepat. Dengan pedang
di tangan, Widarti menghambur ke arah laki-laki tinggi besar berwajah brewok
itu.
Cakarang terkesiap. Buru-buru tubuhnya digelimpangkan, menghindari tebasan
pedang gadis itu. Namun Widarti tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus
mencecar dengan tebasan pedangnya yang bertubi-tubi. Cakarang bergelimpangan
ke sana ke mari, menghindari tebasan yang begitu cepat tidak ada hentinya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja gadis-gadis yang tadi diam berlompatan ke arah Cakarang. Dan
mereka langsung menghujani dengan tusukan pedang. Cakarang terkesiap, tidak
bisa lagi menghindar. Dan...
"Aaa...!" Cakarang menjerit keras melengking. Darah langsung muncrat dari
tubuh Cakarang yang terpanggang pedang. Belum lagi hilang rasa sakitnya,
datang lagi tusukan beruntun, ditambah tebasan dari berbagai arah.
Cakarang tewas seketika dengan tubuh tercincang. Lima bilah pedang tertancap
di tubuhnya. Dan gadis-gadis itu seperti kerasukan setan saja. Selesai
mencincang Cakarang, mereka memburu mayat Nyai Pancalas. Kembali kemarahan
dilampiaskan pada perempuan berjubah merah yang telah menjadi mayat itu.
Rangga tidak bisa lagi mencegah, dan hanya bisa mendesah panjang. Kini
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Lasmi yang tidak sanggup memandang semua
kejadian itu. Dirangkulnya pundak Lasmi dan dibawanya melangkah pergi.
"Bagaimana dengan mereka, Kakang?" tanya Lasmi sambil melirik gadis-gadis yang
tengah mengeroyok, mencincang tubuh Nyai Pancalas.
"Mereka bisa pulang ke desanya masing-masing," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Dan tiba-tiba, diangkatnya tubuh
gadis itu dan dipondongnya. Lasmi terpekik kaget
"Kakang, turunkan...!"
"Biar cepat. Kalau takut, pejamkan matamu," kata Rangga.
"Ah...!" Lasmi langsung menutup matanya rapat-rapat begitu Rangga melompat
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Pada saat itu dari kerumunan gadis-gadis, mencuat seorang gadis. Dialah
Widarti yang sekilas mendengar pekikan ketakutan dari Lasmi yang dipondong dan
dibawa lari cepat bagaikan angin.
"Rangga...," desis Widarti seraya memandang bayangan tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. Widarti menarik napas panjang. Disadari kalau Rangga hanya mengantarkan
Lasmi pulang pada orangtuanya. Karena pendekar muda macam Pendekar Rajawali
Sakti untuk saat ini lebih mementingkan pengabdian daripada kesenangan
pribadi. Lagi pula, Rangga seorang pendekar yang tidak pernah tinggal menetap
pada satu tempat saja. Widarti tahu itu. Pendekar Rajawali Sakti pasti akan
pergi mengembara kembali.
"Aku akan pergi mengembara. Mudah-mudahan bisa bertemu Pendekar Rajawali
Sakti, " gumam Widarti, mendesah perlahan.
Widarti langsung melompat, meninggalkan puncak bukit ini. Tidak dipedulikan
lagi yang lain. Gadis itu berlari cepat, berlompatan menuruni tebing Bukit
Brambang yang cukup curam dan berbatu cadas rapuh. Sebentar saja, tubuhnya
lenyap di bibir lembah. Dan bersamaan dengan itu, semua gadis yang ada di
puncak Bukit Brambang bergerak pergi. Puncak Bukit Brambang kembali sunyi. Dan
akan selamanya sunyi seperti sediakala, sebelum Ratu Bukit Brambang muncul.
TAMAT
Ikuti Petualangan Pendekar Rajawali Sakti Berikutnya dalam Episode SELENDANG
SUTERA EMAS
Emoticon