Kening Rangga berkerut ketika Ki Sara Denta membawanya ke bangunan besar
yang tampak tidak terurus lagi. Dipandanginya bangunan itu dalam-dalam.
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya sesuatu yang
menyelimuti bangunan itu. Sesuatu yang dirasakan seperti menyimpan
misteri.
Sementara Ki Sara Denta hanya terdiam saja sampingnya. Wajah laki-laki tua
itu kelihatan menegang, sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi
istana tua yang berdiri kokoh di depannya. sejenak mereka hanya saling
pandang saja, tidak berbicara sedikit pun.
"Untuk apa kita ke sini, Ki?" tanya Rangga.
"Di sinilah nerakanya, Rangga," sahut Ki Sara Denta.
Rangga mengerutkan keningnya memandangi Tua Gila itu dalam-dalam.
Benar-benar sulit dimengerti apa yang dimaksud Ki Sara Denta barusan.
Pendekar Rajawali Sakti mengalihkan pandangannya pada bangunan di depannya.
"Sudah banyak yang mencoba, tapi mereka tidak pernah kelihatan keluar lagi.
Entah bagaimana nasib mereka di dalam sana," kata Ki Sara Denta, agak
mengeluh nada suaranya.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" tanya Rangga.
"Para pendekar yang diundang oleh Prabu Yudanegara," sahut Ki Sara Denta.
Rangga terdiam. Perasaannya yang tajam, langsung menduga kalau di dalam
istana ini terjadi sesuatu. Suatu misteri yang menantang Rangga untuk segera
menyingkapnya. Misteri yang sudah terasakan olehnya ketika pertama kali
melihat istana itu. Apakah ini yang dinamakan istana maut itu?
Rangga bertanya-tanya dalam hati. Hal itu memang sudah didengarnya dari
orang-orang di lembah sana, kalau istana itu merupakan istana maut yang
sudah banyak meminta korban nyawa. Tapi sampai saat ini Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu, bagaimana caranya istana ini bisa meminta korban manusia.
Keadaannya memang sungguh mengerikan, dan terkesan angker. Tapi tidak
terlihat seorang pun yang tinggal di dalam istana ini. Suasananya begitu
sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan, baik di luar maupun di dalam.
"Aku akan melihat ke dalam, Ki," kata Rangga ingin tahun.
"Kau akan mati begitu berada di dalam, Rangga," sergah Ki Sara Denta.
"Bagaimana kau bisa memastikannya, Ki? Sedangkan tidak ada seorang pun yang
bisa mengetahui datangnya kematian. Kau tidak ingin ikut masuk?" Rangga
tersenyum.
"Tidak," sahut Ki Sara Denta tegas.
"Kenapa?"
"Kalau aku masuk ke sana, dan kemudian mati, maka tidak ada lagi yang bisa
disuruh untuk mencari pendekar-pendekar oleh Prabu Yudanegara," sahut Sara
Denta lagi.
"Hm.... Jadi selama ini kau selalu berkelana untuk mencari para pendekar,
dan kemudian menyuruh mereka masuk ke dalam istana ini. Begitu?" tebak
Rangga langsung bisa menangkap. Ki Sara Denta tidak menjawab.
"Sudah berapa pendekar yang kau undang dan masuk ke sana?" tanya Rangga,
agak tajam nada suaranya.
"Entahlah. Aku tidak pernah menghitung," sahut Ki Sara Denta setengah
mendesah.
"Semua, kau yang mengundangnya?" Tanya Rangga lagi. Kembali Ki Sara Denta
terdiam, dan hanya menganggukkan kepala saja.
"Hhh...!"Rangga menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti jadi
berpikir keras. Sungguh tidak diduga kalau Ki Sara Denta sudah begitu banyak
mengundang pendekar. Dan mereka disuruh masuk ke dalam istana ini tanpa
diketahui maksudnya. Dan sekarang giliran Pendekar Rajawali Sakti mengalami
hal yang serupa. Dia diminta masuk ke dalam istana itu, tanpa diketahui
maknanya.
"Jelaskanlah padaku, Ki. Kenapa kau mengundang para pendekar dan menyuruhnya
masuk ke istana itu?" desak Rangga meminta penjelasan.
"Bukan aku yang mengundang, Rangga. Tapi, Gusti Prabu. Beliau jugalah yang
meminta mereka masuk ke istana itu. Aku hanya menjalankan tugas saja,
diperintah untuk mencari para pendekar. Dan yaaah..., hanya itu yang
kuketahui, Rangga," keluh Ki Sara Denta menjelaskan kedudukannya.
"Hm..., lalu apakah kau sudah pernah mencoba masuk ke sana?" tanya Rangga.
"Belum," sahut Ki Sara Denta terdengar ragu-ragu.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku belum ingin mati, Rangga," sahut Ki Sara Denta.
"Kau belum pernah masuk ke sana, bagaimana kau tahu akan mati?" desak Rangga
jadi curiga.
"Mereka yang masuk ke sana tidak pernah keluar lagi. Dan setiap kali mereka
masuk, aku selalu mendengar jerit kesakitan, lalu tidak terdengar suara
apa-apa lagi. Aku selalu menunggu di sini sampai beberapa hari. Kemudian
utusan Gusti Prabu Yudanegara datang, dan memerintahkan aku untuk mencari
pendekar lagi," jelas Ki Sara Denta.
"Kemudian kau pergi, lalu datang lagi ke sini bersama pendekar-pendekar yang
selanjutnya disuruh masuk ke istana itu. Begitu?" selak Rangga cepat.
Ki Sara Denta hanya menunduk tidak menjawab. Dari raut wajahnya jelas
terlihat penyesalan atas apa yang telah dilakukannya selama ini.
Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seakan-akan meminta
pengertiannya atas apa yang telah dikerjakannya selama ini. Sementara Rangga
hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa.
"Sebenarnya aku tidak suka melakukan pekerjaan mi, Rangga. Tapi itu tidak
bisa kutolak, dan itu harus kulakukan. Karena..., ah...!" Ki Sara Denta
tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
"Teruskan, Ki," pinta Rangga. "Kenapa perintah. itu tidak bisa kau tolak,
padahal kau sendiri tidak ingin melakukannya?"
"Aku.... Aku tidak bisa menolak perintah Gusti Prabu, Rangga."
Rangga kembali menarik napas dalam-dalam memandangi laki-laki tua di
depannya ini. Sungguh tidak diduga kalau ada orang yang begitu setia,
sehingga tidak bisa menolak suatu perintah, meskipun hatinya menolak. Dan,
Pendekar Rajawali Sakti memang belum bisa memahami apa yang sebenarnya
sedang terjadi di sini. Semuanya masih terselimut misteri dan belum bisa
diungkapkan secara dini. Sedangkan laki-laki tua ini tidak mau mengatakannya
secara gamblang dan terus terang, karena dirinya sendiri juga tidak mengerti
apa yang sedang dilakukannya saat ini.
Sementara senja sudah merayap turun ke pelukan bumi, tapi Pendekar Rajawali
Sakti sampai saat ini belum bisa memecahkan misteri yang mengganjal hatinya.
Sedangkan Ki Sara Denta sudah tidak bisa lagi didesak untuk mengatakan yang
sebenarnya. Memang, laki-laki tua yang selalu dipanggil si Tua Gila itu
sudah bersumpah kalau dirinya tidak tahu apa-apa. Dia hanya menjalankan
perintah saja dari Prabu Yudanegara.
Matahari sudah condong di belahan Barat Dan sinarnya yang semula terik, kini
tidak terasa lagi menyengat kulit. Suasana di sekitar pelataran istana tua
itu jadi remang-remang, karena sinar matahari semakin meredup. Keindahan
rona jingga matahari yang hampir tenggelam di balik peraduannya, tidak
ternikmati oleh dua orang yang masih terpaku di depan bangunan istana itu.
"Aku akan masuk ke sana, Ki," kata Rangga setelah berpikir beberapa saat
lamanya.
"Rangga...?!" Ki Sara Denta tampak terkejut mendengar keputusan Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, lalu menepuk lembut pundak si Tua
Gila itu. Sebentar kemudian kakinya melangkah mendekati istana tua yang
tidak terurus itu. Sementara Ki Sara Denta hanya bisa menyaksikan dengan
wajah diliputi kecemasan yang amat sangat. Sungguh, laki-laki tua itu tidak
menginginkan adanya korban lagi di dalam bangunan istana itu.
"Rangga...!" panggil Ki Sara Denta keras.
Rangga berpaling tanpa membalikkan tubuhnya. Pada saat itu berkelebat
secercah cahaya kemerahan ke arah si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti
terkejut bukan main.
"Awas...!" teriak Rangga keras. "Hup! Yeaaah...!" Seketika itu juga Rangga
melesat ke arah datangnya cahaya kemerahan yang mengancam tubuh Ki Sara
Denta.
Secepat kilat laki-laki tua itu menjatuhkan dirinya bergulingan di tanah
beberapa kali. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mencoba menghentikan
arus benda berwarna merah itu, terlambat sedikit. Akibatnya, benda itu terus
meluncur ke arah si Tua Gila yang sedang bergulingan di tanah. Meskipun
sudah berusaha sekuat daya, namun benda berwarna merah itu masih juga
menyambar bagian paha kiri si Tua Gila.
"Akh...!" Ki Sara Denta menjerit keras agak tertahan.
"Ki...!" seru Rangga terkejut. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti meluruk
memburu Ki Sara Denta yang sedang bergulingan di tanah. Tampak sebuah benda
merah menancap pada bagian paha kirinya. Ki Sara Denta berusaha bangkit,
namun kembali jatuh bergulingan sambil memekik keras agak tertahan.
"Ki...,"Rangga langsung menghampiri dan menyanggah tubuh laki-laki tua itu.
"Ugkh! Kakiku...," keluh Ki Sara Denta seraya memegangi paha kirinya yang
tertancap sebuah senjata berwarna merah sepanjang satu jengkal.
Rangga merasakan tubuh si Tua Gila ini mendadak jadi panas, dan keringat
menitik deras di keningnya. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
begitu melihat wajah Ki Sara Denta mendadak membiru dan seluruh bola matanya
memutih.
"Oh...!" desis Rangga terkejut. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengetahui
kalau Ki Sara Denta terkena senjata beracun yang kerjanya sangat cepat.
Cepat-cepat tubuh laki-laki tua itu direbahkan, lalu dicabutnya senjata
sepanjang jengkal berwarna merah yang menancap di paha kiri si Tua Gila.
Darah berwarna merah kehijauan langsung menyembur keluar dari luka di
pahanya.
"Akh!" Ki Sara Denta memekik tertahan.
Rangga membuang senjata beracun itu, kemudian menekan luka di paha Ki Sara
Denta. Tekanan yang begitu kuat, membuat laki-laki tua itu menjerit keras
sambil menggeliat-geliat kesakitan. Sedangkan Rangga terus menekan kuat-kuat
luka di paha itu dengan telapak tangan kanannya. Tampak asap tipis mengepul
dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara si Tua Gila terus menjerit-jerit kesakitan sambil
menggeliat-geliat, seperti ayam yang disembelih lehernya. Tampak dari
mulutnya mengeluarkan darah kental kehitaman yang bercampur cairan hijau
kekuning-kuningan. Dari luka yang ditekan Rangga juga mengucurkan darah
bercampur cairan hijau kekuning-kuningan.
"Hih!" Rangga menekan keras luka di paha si Tua Gila itu, kemudian
menepak-nepaknya, lalu melepaskan tangannya dari luka itu. Seketika darah
merah segar muncrat keluar. Cepat-cepat diberikannya dua totokan pada
sekitar luka, maka darah berhenti mengalir seketika itu juga.
Sementara Ki Sara Denta sudah terkulai tidak sadarkan diri. Terlalu berat
penderitaan yang dideri-tanya saat ini. Pendekar Rajawali Sakti menghembus
kan napas panjang sambil menjatuhkan diri, duduk di samping si Tua Gila itu.
Sebentar dipandanginya laki-laki tua yang menggeletak tidak sadarkan diri.
Kemudian pandangannya beralih pada istana di depan.
"Hhh...!"
***
Malam telah menyelimuti sekitar istana tua yang kelihatannya tidak
berpenghuni itu. Sementara Rangga menunggu Ki Sara Denta yang belum sadarkan
diri. Serangan gelap yang terjadi sore tadi, membuat Pendekar Rajawali Sakti
berpikir seribu kali untuk meninggalkan si Tua Gila. Sudah beberapa kali
laki-laki tua itu mendapat serangan dari orang-orang yang menamakan dirinya
Partai Naga. Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa justru Ki Sara Denta
yang selalu menjadi sasaran, dan bukan dirinya atau orang lain.
Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat kata-kata si Tua Gila, meskipun
belum begitu jelas. Namun setelah dihubung-hubungkan dengan semua peristiwa
yang terjadi, Rangga bisa mengambil kesimpulan kalau sebenarnya orang yang
menamakan diri Partai Naga tidak menghendaki di-rinya ada di tempat ini. Dan
mereka seperti menyalahkan Ki Sara Denta, sehingga mencoba membunuhnya
dengan berbagai cara.
"Hm.... Siapa sebenarnya mereka...?" tanya Rangga dalam hati. Pertanyaan
seperti itu terus mengganggu pikiran Rangga selama ini. Tetapi Pendekar
Rajawali Sakti sekarang tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selama si Tua Gila
belum siuman. Rangga merasa dirinya seperti seorang buruan yang tidak bisa
berbuat apa-apa, selain menunggu pemburu datang untuk mencincang tubuhnya.
Posisi seperti ini yang tidak pernah disukainya.
Srek! Rangga terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara berkeresek dari balik
semak yang. berasal dari arah belakangnya. Kepalanya cepat berpaling ke arah
sumber suara. Dan secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke
dalam semak yang berada di belakangnya.
"Jangan..!"
Betapa terkejut Rangga begitu melihat yang disergap ternyata seorang wanita
muda berusia sekitar delapan belas tahun, dan nyaris melayangkan pukulan.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit sambil menjambret tangan
gadis itu hingga ikut berdiri juga.
"Siapa kau?" tanya Rangga seraya mengamati gadis yang cukup cantik ini.
"Aku.... Aku...," gadis itu meringis kesakitan.
Rangga melepaskan cekalannya pada pergelangan tan-gan gadis itu, lalu mundur
dua tindak. Sedangkan gadis itu masih meringis menahan sakit pada
pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram kuat oleh Pendekar Rajawali
Sakti. Segera tangannya yang terasa sakit diurut-urut. Pendekar Rajawali
Sakti teringat akan Ki Sara Denta yang ditinggalkannya. Bergegas dia keluar
dari semak sambil membawa gadis yang hampir saja menjadi sasaran
kejengkelannya tadi. Tapi begitu sampai di sana, alangkah terkejutnya Rangga
karena orang tua yang biasa dipanggil si Tua Gila itu sudah tidak ada lagi
di tempat
"He...?! Di mana dia...?!" Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tak ada tanda-tanda sama sekali kalau Ki Sara Denta pergi dari
tempat ini. Dan seingatnya, si Tua Gila belum sadarkan diri. Rangga langsung
menatap tajam gadis muda di sampingnya.
"Gara-gara kau...!" dengus Rangga melampiaskan kegusarannya pada gadis itu.
"He...! Kenapa kau marah padaku...?" gadis itu mendelik, tidak menerima
dirinya dijadikan sasaran kemarahan.
"Siapakah kau ini?" tanya Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Talia," sahut gadis itu menyebutkan namanya.
"Kenapa kau berada di sini?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku mencari ayahku. Kau tahu di mana ayahku berada? Kulihat, dia ke
sini bersamamu siang tadi." Rangga mengamati gadis itu lekat-lekat.
"Siapa ayahmu?" tanya Rangga lagi
"Ki Sara Denta."
Pendekar Rajawali Sakti terhenyak mendengar nama Ki Sara Denta disebut Yang
lebih mengejutkan lagi, gadis ini mengaku kalau Ki Sara Denta adalah
ayahnya. Sedangkan selama ini Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui
secara pasti tentang diri si Tua Gila itu. Melihat tingkahnya yang selalu
konyol dan tidak mengenal santun itu, Rangga menduga kalau si Tua Gila hidup
sebatang kara. Siapa nyana, sekarang ada seorang gadis berparas cukup cantik
mengaku sebagai anak Ki Sara Denta.
***
LIMA
Rangga menghenyakkan tubuhnya, dan langsung terduduk lemas setelah gadis itu
meyakinkan kalau dirinya benar-benar putri si Tua Gila yang kini lenyap
entah ke mana. Hilangnya Ki Sara Denta yang begitu cepat dan tidak terduga,
menimbulkan suatu kesimpulan kalau ada seseorang yang menculiknya. Dan tentu
orang itu memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mustahil kalau orang biasa
bisa lenyap begitu saja sambil membawa seseorang yang sedang terluka dalam
waktu yang begitu singkat.
"Jadi kau benar anak Ki Sara Denta...?" Rangga seakan-akan ingin menegaskan
dirinya pada gadis itu.
"Benar," sahut gadis itu yang mengaku bernama Talia.
"Aku bersamanya di lembah sana selama beberapa hari. Lalu, kenapa aku tidak
bertemu denganmu?" tanya Rangga menyelidik
"Aku memang tidak ikut ke lembah. Ayah selalu melarangku ikut ke sana,"
sahut Talia.
"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Katanya di sana hanya tinggal orang-orang gila."
Rangga terkejut juga mendengar keterangan gadis ini. Timbul rasa ingin tahu
di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti juga berharap agar gadis yang mengaku
putri si Tua Gila ini bisa memberi banyak petunjuk untuk mengungkapkan
misteri yang sedang dihadapinya ini.
"Talia, memang benar aku tadi bersama ayahmu di sini Tapi sekarang, tidak
lagi. Ayahmu lenyap begitu kau muncul tadi," kata Rangga mencoba menjelaskan
dengan hati-hati.
"Hilang...!?" Talia seperti tidak percaya.
"Ayahmu terluka...."
"Oh, tidak...!" sentak Talia agak histeris. Gadis itu menutupi wajah dengan
kedua tangannya. Sedangkan Rangga tidak bisa meneruskan penjelasan tentang
hilangnya si Tua Gila. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menarik napas
panjang melihat gadis itu menangis sesenggukan mendengar ayahnya lenyap di
tempat ini.
Rangga hanya mendiamkan dan membiarkan Talia menumpahkan air mata
sepuas-puasnya. Bahkan ketika gadis itu merangkul dan memeluknya, Pendekar
Rajawali Sakti membiarkan tanpa berusaha untuk meredakan tangis gadis ini.
Lama juga Talia menangis di dada Pendekar Rajawali Sakti, hingga baju pemuda
itu basah. Gadis itu mulai tenang setelah dengan lembut Rangga memegang
pundaknya. Perlahan-lahan kepalanya diangkat dan air matanya dihapus dengan
ujung baju. Gadis itu menarik napas panjang, mencoba mengurangi
kesedihannya.
"Aku akan mencari ayahmu sampai dapat. Aku janji," kata Rangga mencoba
menenangkan gadis itu.
"Aku yang salah. Seharusnya, aku memang tidak datang ke sini tadi," rintih
Talia lirih, masih terdengar terisak.
"Aku mengerti, kau pasti mencemaskan ayahmu,! ujar Rangga lembut.
"Ya.... Setiap kali ayah mendapat tugas, aku selalu cemas. Apalagi sekarang
ini. Ayah selalu mendapat tugas yang begitu berat. Bahkan ayah sering
mengeluh kalau sebenarnya tidak ingin menjalankan tugas itu, tapi tidak
berani menentang kehendak Gusti Prabu." Talia memandang wajah pemuda tampan
berbaju rompi putih di depannya. Sedangkan yang dipandang hanya tersenyum
saja.
"Kenapa kau mau diajak ayah ke sini?" tanya Talia seperti menyesalkan
kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di daerah ini.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja seraya berdiri. Talia ikut
berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Mereka tidak bicara lagi,
dan masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun pandangan mereka
tidak lepas dari bangunan istana tua yang tampak angker itu. Rangga menarik
napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling, memandang gadis cantik berbaju biru di
sampingnya. Pada saat yang sama, Talia juga memalingkan mukanya. Maka, mau
tak mau pandangan mereka bertemu pada satu titik. Perlahan-lahan Talia
menundukkan kepalanya. Tampak dalam keremangan cahaya rembulan, wajah gadis
itu bersemu merah dadu.
"Sebaiknya kau pulang saja, Talia. Aku janji akan membawa pulang ayahmu
dalam keadaan sehat," bujuk Rangga.
Talia mengangkat kepalanya, dan kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti
dalam-dalam. Sedangkan Rangga sendiri membalasnya dengan lembut.
"Kau berjanji akan membawa ayah pulang padaku?" tanya Talia seakan tidak
percaya pada ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku janji," sahut Rangga setengah berbisik.
"Terima kasih." Tiba-tiba saja gadis itu memeluk, dengan tangan melingkar di
leher pemuda berbaju rompi putih itu. Akibatnya Rangga sedikit kelabakan.
Namun hanya sebentar Talia melakukan hal itu, kemudian melepaskan kembali
dan berbalik. Gadis itu langsung berlari meninggalkan tempat ini, menuju
hutan yang cukup lebat.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi kepergian Talia yang sebentar saja sudah
lenyap ditelan kelebatan hutan dan kegelapan malam. Tapi, mendadak Pendekar
Rajawali Sakti tersadar kalau dirinya tidak tahu, di mana gadis itu tinggal.
Jadi bagaimana mungkin dia akan membawa ayahnya nanti?
Namun Rangga jadi tersenyum sendiri. Tentu saja hal itu mudah dilakukan jika
bisa menemukan kembali si Tua Gila. Dan persoalannya sekarang, di mana
sebenarnya si Tua Gila itu berada...?
***
Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu masuk bangunan istana tua itu.
Pintu yang terbuka lebar itu seakan-akan memang sengaja diperuntukkan bagi
dirinya. Rangga berhenti setelah sampai di ambang pintu. Sebentar diamatinya
keadaan dalam yang begitu gelap, tanpa penerangan sedikit pun. Padahal malam
ini langit cerah, dan bulan bersinar penuh tanpa terhalang awan sedikit pun,
Namun cahaya rembulan rupanya tidak sanggup menerobos sampai ke dalam
bangunan istana tua ini.
Rangga melangkah satu tindak memasuki bangunan ini. Tapi sebelum kakinya
menyentuh lantai, mendadak dia tersentak. Langsung saja kakinya ditarik
kembali ke belakang, mundur dua tindak. Keningnya berkerut memandangi lantai
bangunan istana yang gelap dan menghitam. Tidak ada kilatan cahaya sedikit
pun seperti lantai-lantai bangunan istana lain yang biasanya terbuat dari
batu pualam putih berkilat.
"Hm.... Lantai ini mengandung hawa racun yang sangat kuat, namun kerjanya
tidak begitu cepat. Bahkan bisa di kata kan lambat," gumam Rangga dalam
hati.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, namun
dia tidak mau sembarangan terhadap satu jenis racun. Bagaimanapun juga,
dirinya sadar kalau hanya manusia biasa, yang tidak akan mungkin terhindar
dari kenaasan. Rangga teringat akan pengalamannya yang pernah keracunan
sehingga tidak bisa mengingat dirinya sendiri.
Rangga memandangi pintu bangunan istana yang besar sekali, dan tidak ada
penutupnya. Kembali kakinya melangkah mundur beberapa tindak, lalu dengan
cepat melompat, melesat masuk sambil berteriak keras.
"Hiyaaa...!" Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Terlebih lagi ilmu meringankan tubuhnya yang
begitu sempurna, sehingga lesatannya begitu cepat bagai kilat. Dalam sekejap
mata saja, Rangga sudah masuk ke dalam. Tubuhnya melayang deras dengan kedua
tangan merentang lebar ke samping. Pendekar Rajawali Sakti rupanya tengah
mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' pada tahapan yang terakhir,
diimbangi ilmu meringankan tubuh.
Maka tak heran kalau dia bisa melayang bagai kapas tertiup angin. Namun
begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa melayang selamanya seperti seekor
burung. Paling tidak harus ada pijakan untuk memantapkan tubuhnya.
"Hap!" Rangga menjejakkan kakinya di tengah-tengah ruangan sambil
mengerahkan tenaga dalam yang digabung pengerahan hawa murni yang berpusat
pada sumber kekuatan dalam tubuh. Kini seluruh tubuhnya terasa jadi dingin.
Namun....
"Akh...!" Entah kenapa, mendadak saja Rangga memekik keras tertahan. Saat
itu bagian telapak kakinya terasa jadi panas membara, seolah-olah berada di
atas bara api. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti
melentingkan tubuhnya, dan langsung melesat keluar. Namun sebelum Pendekar
Rajawali Sakti sampai di pintu luar, mendadak dari bagian atas pintu itu
meluncur jeruji yang begitu cepat menutup jalan. Rangga terkejut bukan main,
dan seketika berusaha untuk menarik tubuhnya. Namun terlambat. Karena dia
melesat dengan kekuatan penuh, akibatnya Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa
lagi menghindari benturan dengan pintu jeruji itu.
Brak! "Akh...!" Rangga menjerit keras. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti keras
sekali terpental balik ke belakang, dan tidak bisa dicegah lagi. Tubuhnya
jatuh bergulingan di lantai yang hitam pekat dan dingin itu. Seketika Rangga
merasa kan seluruh tubuhnya jadi panas bagai terbakar. Dia sadar betul kalau
racun yang tersebar di seluruh lantai istana ini sudah merambat ke tubuhnya.
Namun berkat kesempurnaan hawa murni yang dimiliki, racun itu tidak sampai
masuk dalam jaringan darahnya. Atau mungkin memang belum sampai. Dan Rangga
tidak yakin kalau dirinya mampu bertahan lama, meskipun memiliki kekebalan
tubuh terhadap segala jenis racun. Tapi di dalam istana ini racunnya sungguh
dahsyat dan kuat.
"Hup! Yeaaah...!"
Sret! Cring!
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas
sambil mencabut Pedang Rajawali Sakti yang tersimpan dalam warangkanya di
punggung. Seketika itu cahaya biru yang memancar dari pedang itu menerangi
seluruh ruangan ini.
"Hiyaaa...!" Rangga meluruk cepat ke bawah sambil mengayunkan pedangnya
disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Suatu jurus yang dahsyat
dan menjadi andalan dalam setiap pertarungan.
Glarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi ketika Pedang Rajawali Sakti menghantam lantai
istana. Dan seketika, seluruh bangunan istana ini bergetar hebat bagai
diguncang gempa dahsyat.
"Hiyaaat..!" Kembali Rangga menghantamkan pedangnya dl sertai pengerahan
tenaga dalam yang sangat sempurna. Untuk kedua kalinya terdengar ledakan
menggelegar seperti gunung meletus, sehingga bangunan istana ini semakin
dahsyat berguncang. Akibatnya beberapa dindingnya ambruk, menimbulkan suara
bergemuruh disertai getaran keras. Rangga menjejakkan kakinya sedikit ke
lantai, lalu cepat melentingkan tubuhnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti
melesat sambil mengayunkan pedangnya dua kali ke arah pintu berjeruji besi
itu.
"Hiaaat..!"
Crang...!
Pintu jeruji baja itu hancur berantakan terbabat pedang bercahaya biru yang
menyilaukan mata itu. Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, dan
jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Cepat-cepat dia melompat bangkit
dan memasukkan pedangnya ke dalam warangka di punggung, lalu secepat itu
pula duduk bersila sambil merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sebentar
napasnya ditarik dalam-dalam, dan ditahannya agak lama. Tampak asap
kehitaman mengepul dari ujung kepala. Dan kini seluruh tubuhnya bersinar
merah membara, seperti besi terbakar.
"Yeaaah...!" Sambil berteriak keras melengking tinggi, Pendekar Rajawali
Sakti menghentakkan tangannya ke samping. Lalu dengan cepat tangannya
ditarik ke depan, dan bergerak perlahan sebelum ditarik panjang, Perlahan
matanya terbuka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti bangkit dengan keadaan
tubuh segar. Matanya memandangi bangunan istana di depannya. istana maut itu
tidak lagi berguncang, tetap kokoh berdiri tegar, seperti menantang Pendekar
Rajawali Sakti untuk menaklukkannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya
kuat-kuat.
***
Semalaman Pendekar Rajawali Sakti memutari seluruh bagian luar istana ini.
Sama sekali tidak diketemukan celah yang bisa digunakan untuk masuk tanpa
melalui pintu depan. Seluruh dinding bangunan ini terbuat dari batu keras.
Sementara pagi sudah menjelang, sedangkan Rangga belum bisa melakukan
sesuatu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di depan pintu depan
bangunan istana dari batu itu.
"Hm, tidak heran kalau tidak ada seorang pun yang sanggup memasukinya...,"
gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti seketika teringat akan si Tua
Gila yang juga tidak berani masuk ke dalam istana ini. Memang alasan yang
dikemukakannya cukup kuat. Tapi, Rangga mendapatkan sesuatu dari kata-kata
Si Tua Gila itu. Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan kalau laki-laki tua
itu menyimpan sesuatu, dan sepertinya sudah mengetahui kalau seluruh lantai
istana itu mengandung racun yang dahsyat dan sangat mematikan.
Saat Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras, tiba-tiba terdengar
derap langkah kuda yang semakin jelas dan dekat. Sebentar pandangannya
beredar berkeliling, lalu tubuhnya cepat melesat ke sebatang pohon yang
cukup tinggi dan lebat daunnya. Pendekar Rajawali Sakti langsung lenyap
ditelan kerimbunan daun pohon itu. Kakinya hinggap di sebuah dahan yang
cukup terhalang. Tapi dari tempat ini, bisa melihat jelas ke sekitar
bangunan istana maut itu.
Tidak lama kemudian, dari arah lembah tempat Kerajaan Mandalika berdiri,
muncul beberapa orang berkuda. Rangga menghitung dalam hati. Jumlah mereka
tidak kurang dari tiga puluh orang, ditambah seorang yang berkuda paling
depan. Pendekar Rajawali Sakti mengenali betul pemuda yang berkuda paling
depan. Dialah Raden Sambung Wulung, menantu Prabu Yudanegara.
Rombongan berkuda itu berhenti tepat di depan bangunan istana maut ini.
Sedangkan Rangga yang berada di atas pohon, berada tidak seberapa jauh dari
mereka. Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat dan mendengar jelas apa yang
dibicarakan, tanpa harus mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suatu
ilmu yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh, dan bisa membedakan
jenis-jenis suara sekecil apa pun.
"Hm, apa yang mereka lakukan di sini...?" tanya Rangga dalam hati. Pendekar
Rajawali Sakti memandangi Raden Sambung Wulung yang turun dari punggung
kudanya, diikuti seorang laki-laki tua berjubah putih. Mereka berdiri
berdampingan memandangi bangunan Istana itu. Sedangkan orang-orang yang
berpakaian prajurit, masih berada di punggung kuda masing-masing. Begitu
tangan Raden Sambung Wulung memberi aba-aba, para prajurit langsung turun
dari punggung kuda.
"Istana ini semakin parah keadaannya, Eyang Wiratma," kata Raden Sambung
Wulung setengah bergumam.
"Benar, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Eyang
Wiratma tadi.
"Mari, Eyang. Kita lihat ke dalam. Aku ingin lihat mayat si manusia sombong
itu," ajak Raden Sambung Wulung seraya mengayunkan kakinya menghampiri
Istana maut itu.
"Hati-hati, Raden. Aku melihat Pendekar Rajawali Sakti itu tidak seperti
pendekar-pendekar lainnya," ujar Eyang Wiratma memperingatkan. Raden Sambung
Wulung hanya tersenyum saja, dan terus melangkah semakin mendekati pintu
masuk istana maut itu.
Sementara Rangga yang berada di atas pohon, terus memperhatikan dengan hati
bertanya-tanya. Pendekar Rajawali Sakti terkejut juga melihat Raden Sambung
Wulung dan Eyang Wiratma memasuki bangunan tua itu, tanpa khawatir kalau
lantainya sudah tersebar racun yang sangat ganas.
Namun tidak lama mereka berada di dalam, dan kini sudah keluar kembali
dengan langkah cepat dan wajah merah padam. Raden Sambung Wulung langsung
melompat ke punggung kuda, dan secepat itu menggebahnya, meninggalkan
pelataran istana maut ini. Eyang Wiratma dan para prajurit yang menyertainya
bergegas mengejar.
Sementara Rangga yang memper-hatikan dari tempat persembunyian, jadi heran
juga. Berbagai macam pertanyaan dan dugaan muncul di benaknya seketika
setelah melihat kejadian yang berlangsung barusan.
***
ENAM
Rangga baru saja melompat turun dari pohon, hendak membuntuti rombongan
Raden Sambung Wulung. Tapi, tiba-tiba dari dalam semaksemak muncul seorang
gadis cantik berbaju biru. Rangga terkejut melihat kemunculan gadis ini.
Seketika niatnya untuk membuntuti Raden Sambung Wulung diurungkan. Pendekar
Rajawali Sakti menghampiri gadis yang ternyata adalah Talia.
"Talia...," desis Rangga seraya memandangi gadis itu dalam-dalam. "Kenapa
kau berada di sini?"
"Aku ingin membantumu, Kakang," sahut Talia.
"Membantuku...? Apa yang bisa kau lakukan di tempat ini?"
"Aku memang tidak bisa apa-apa, tapi pasti bisa membantumu menghancurkan
mereka," tenang sekali jawaban Talia.
Rangga semakin dalam memandangi gadis ini, dan jadi mendengus dalam hati.
Gadis ini tidak berbeda jauh dengan ayahnya, yang selalu bermain teka-teki
membingungkan. Tapi jawaban Talia barusan sudah mengisyaratkan kalau dirinya
tahu banyak tentang semua yang terjadi di sekitar daerah ini.
"Apa yang kau ketahui tentang mereka, Talia?" tanya Rangga setelah berpikir
sejenak.
"Tentang Partai Naga itu...?" Talia seperti ingin menegaskan.
"Jadi kau juga mengetahui tentang Partai Naga itu?" Rangga agak terkejut
juga kala Talia menyebut nama Partai Naga. Sedangkan selama ini, si Tua Gila
juga selalu menyebut-nyebut partai itu, khususnya sejak mereka bertemu dan
saling mengenal diri. Dan sekarang, gadis ini juga menyebut nama partai itu.
Talia mengangguk membenarkan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
Rangga semakin ingin tahu, karena diyakini kalau Partai Naga erat kaitannya
dengan persoalan ini. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti belum tahu, siapa
dan di mana tempat persembunyian Partai Naga itu. Mereka selalu muncul
tiba-tiba, tanpa diketahui pasti. Bahkan perginya juga tiba-tiba seperti
hantu saja.
"Apa saja yang kau ketahui tentang Partai Naga?"' tanya Rangga lebih lanjut.
"Mereka adalah musuh besar ayah. Padahal ayah sendiri tidak pernah
menganggap mereka musuh," jelas Talia.
"Kenapa mereka memusuhi ayahmu?" tanya Rangga lagi.
"Kekuasaan," sahut Talia kalem.
"Maksudmu?" Rangga tidak mengerti.
"Dulu ayah seorang panglima perang yang paling disayangi Prabu Yudanegara.
Sudah banyak ayah melakukan peperangan dan berhasil gemilang. Tapi setelah
semuanya berakhir, ayah tersingkir dari jabatannya. Bahkan beberapa kali
mengalami percobaan pembunuhan, tapi selalu gagal. Tapi ayah tidak ingin
memperpanjang urusan, dan memilih diam dengan berpura-pura gila. Memang,
ayah tersingkir selamanya dari istana. Tapi tersingkirnya ayah, malah
membuat bencana besar bagi seluruh kerajaan ini," Talia mengisahkan
perjalanan hidup ayahnya.
Sementara Rangga terus mendengarkan penuh perhatian. Walaupun perebutan
kedudukan dan kekuasaan adalah hal yang tidak terlalu aneh, tapi bagi
Pendekar Rajawali Sakti adalah suatu hal yang menarik. Baik itu kerajaan
besar maupun kerajaan kecil.
"Orang Partai Naga-lah yang menginginkan ayah tersingkir untuk selamanya.
Dan sekarang, mereka menguasai seluruh Kerajaan Mandalika ini," sambung
Talia.
"Oh...!" kali ini Rangga benar-benar terkejut.
"Ada apa, Kakang?"
"Tidak, teruskan saja," sahut Rangga.
"Mereka bahkan menjadikan Prabu Yudanegara sebagai raja boneka yang bisa
dikendalikan. Prabu Yudanegara memang tidak mungkin digulingkan, karena akan
membuat seluruh rakyat marah. Maka, kemudian dibuat suatu malapetaka bagi
seluruh rakyat dengan merubah istana ini menjadi istana maut yang selalu
merenggut nyawa siapa saja yang berani memasukinya. Bahkan juga disebarkan
kabar bohong, bahwa di dalam istana ini sekarang dihuni makhluk buas yang
tidak bisa mati dan selalu makan daging manusia. Mereka memang bisa
mengelabui Prabu Yudanegara maupun seluruh rakyat, tapi tidak bisa
mengelabui ayah. Itulah sebabnya mereka selalu mencari perkara dan berusaha
menyingkirkan ayah secara halus agar tidak terlihat jelas di mata Prabu
Yudanegara."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Disimaknya semua cerita yang
dikisahkan gadis berbibir mungil ini. Pendekar Rajawali Sakti seperti tak
puas-puasnya memandangi bibir yang indah itu, seolah-olah tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini. Ada suatu daya tarik tersendiri kala bibir
itu bergerak-gerak meluncurkan kata-kata. Sedangkan gadis itu tidak
menyadari kalau Rangga memandangi bibirnya.
"Kenapa memandangiku terus, Kakang?" gadis itu tersadar juga.
"Oh, tidak...," Rangga jadi tergagap. Pendekar Rajawali Sakti buru-buru
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Malu juga rasanya karena dipergoki
sedang memandangi seraut wajah cantik dengan bibir indah mengagumkan.
Kecantikan yang dimiliki Talia memang terletak pada bibirnya yang indah dan
selalu basah memerah.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas kuat-kuat. Pendekar Rajawali Sakti
mencoba menghilangkan pikiran buruk yang tiba-tiba saja memenuhi benaknya.
Semalam, daya tarik yang dimiliki Talia memang tidak begitu diperhatikan.
Tapi siang ini, Rangga sungguh tidak bisa menghindar lagi. Begitu
terpesonanya, sehingga tanpa disadari Pendekar Rajawali Sakti telah
menikmati kecantikan gadis itu lewat pandangan matanya.
***
Rangga mengayunkan kaki mendekati bangunan istana maut itu. Begitu sampai di
ambang pintu, masih terasa adanya hawa racun di lantai istana ini. Sementara
Talia menunggu, berjarak agak jauh. Gadis itu hanya memperhatikan saja.
Rangga memutar tubuhnya, kembali menghampiri Talia yang masih tetap
menunggu.
"Apakah ayah ada di dalam sana, Kakang?" tanya Talia langsung begitu Rangga
sampai di depannya. "Tidak," sahut Rangga seraya mengangkat bahunya.
"Tidak...?" Talia seperti tidak percaya.
"Semalam aku sudah mencoba masuk. Tapi..., yaaah. Istana itu memang maut.
Tidak heran jika ayahmu sendiri tidak berani memasukinya," jelas Rangga.
"Kalau tidak ada di sana, lalu di mana?" tanya Talia seperti untuk dirinya
sendiri.
"Entahlah, Talia. Aku sendiri tidak tahu, di mana ayahmu sekarang berada,"
sahut Rangga.
"Kasihan ayah...," keluh Talia lirih. Gadis itu memandangi Pendekar Rajawali
Sakti dengan wajah mendung dan sinar mata seakan-akan berharap.
Rangga hanya bisa menarik napas panjang tanpa dapat berbuat sesuatu.
Masalahnya, dirinya sendiri tidak tahu, di mana sekarang Ki Sara Denta
berada. Tak ada yang bisa dilakukan Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Dia
sudah mencari ke sekeliling bangunan istana ini, tapi si Tua Gila tetap
tidak ditemukan. Rangga menjadi iba melihat Talia yang begitu berharap.
Padahal, dia sudah berjanji untuk membawa ayahnya kembali padanya. Tapi
sampai saat ini, belum ditemukan tanda-tanda di mana si Tua Gila itu berada.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti hanya merenung, memikirkan segala
kemungkinan. Tiba-tiba Rangga tersentak. Pendekar Rajawali Sakti baru ingat
kalau Raden Sambung Wulung atau yang juga menantu Prabu Yudanegara itu
datang dan masuk ke istana bersama seorang laki-laki tua yang diketahuinya
bernama Eyang Wiratma. Tapi, kedua orang itu tetap segar bugar saat keluar
dari istana itu. Sedangkan seluruh lantai istana itu sudah tercemar racun
yang dahsyat dan sangat mematikan. Keadaan ini membuat Rangga jadi
bertanya-tanya sendiri.
"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"He...! Mau ke mana...?" sentak Talia yang tertarik, dan hampir tersungkur.
Untung dia cepat-cepat berlari mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus berjalan cepat setengah berlari menuju lembah di seberang
sungai. Talia menahan langkahnya ketika mereka sampai di tepi sungai. Rangga
pun terpaksa ikut menghentikan langkahnya. Ditatapnya dalam-dalam gadis di
sebelahnya yang seakan-akan enggan menyeberangi sungai di depan sana.
Sementara Talia melepaskan cekalan tangan Rangga, lalu melangkah mundur dua
tindak. Pendekar Rajawali Sakti jadi heran melihat sikap Talia yang
jelas-jelas tidak ingin menyeberangi sungai ini.
"Ada apa, Talia?" tanya Rangga.
"Aku tidak mau ke sana!" sahut Talia
"Kenapa...?" tanya Rangga tidak mengerti atas sikap gadis ini.
"Pokoknya aku tidak mau ke sana!" bentak Talia keras.
Rangga jadi tertegun dan terus memandangi gadis ini. Sungguh tidak
dimengerti, mengapa sikap Talia mendadak berubah? Rangga menghampiri, lalu
dengan lembut tangannya diletakkan di bahu gadis itu. Sedangkan Talia hanya
memandangi dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda
berompi putih itu.
"Kau tidak mau ke sana, tentu punya alasan, bukan?" desak Rangga membujuk
lembut.
"Apakah kau ingin aku mati di sana...?!" sentak Talia sengit. Ketus sekali
nada suaranya.
Kening Rangga berkerut mendengar jawaban yang bernada ketus itu. Sungguh
tidak diduga kalau Talia akan berkata seketus itu. Tapi yang membuat
Pendekar Rajawali Sakti tertegun bukan keketusannya, tapi pernyataannya yang
lugas dan tegas.
"Aku menunggu saja di sini. Kau saja yang ke sana, Kakang. Kau lebih bebas
di sana, daripada aku" ujar Talia kembali lembut suaranya.
Rangga mengangkat bahunya. Meskipun gadis ini tidak bersedia menjelaskan,
namun Rangga tidak ingin mendesak lagi. Sudah bisa ditebak kalau
ketidakinginan Talia ke lembah itu disebabkan ceritanya sendiri. Gadis itu
telah mengatakan kalau orang-orang di lembah sana gila dan haus kekuasaan
serta nafsu duniawi. Mengingat cerita Talia, Pendekar Rajawali Sakti agak
bingung untuk menentukan siapa lawan dan siapa kawan. Namun ada satu cara
untuk mengatasi semua persoalan ini. Dan itu pun sudah ditentukan dari mana
harus memulainya.
"Baiklah. Kau tunggu saja di sini," kata Rangga menyerah.
Talia hanya mengangguk. Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti
memandangi Talia, kemudian membalikkan tubuhnya. Namun belum juga melangkah
pergi, mendadak dari dalam sungai bersembulan kepala-kepala manusia, yang
kemudian langsung berlompatan keluar. Rangga cepat menarik tangan Talia ke
belakang. Mereka yang baru muncul dari dalam sungai itu mengenakan baju
hitam, dan ada gambar naga di dadanya. Semuanya juga memakai gelang yang
tidak sama jumlahnya pada pergelangan tangan kanan. Sama sekali Pendekar
Rajawali Sakti tidak mengenali mereka, kecuali satu orang. Dialah Parang
Kati, orang yang memakai gelang berjumlah lima buah.
"Hm.... Rupanya kau belum mampus juga, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus
Parang Kati dingin.
"Jika hanya racun yang kalian taburkan di istana itu, belumlah cukup untuk
membunuhku," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Bagus! Aku senang ada orang yang bisa lolos dari dalam istana maut. Tapi
kali ini kau tidak mungkin bisa lolos. Ha ha ha...!" Parang Kati tertawa
terbahak-bahak.
Rangga hanya mendengus saja. Memang kali ini orang-orang yang dibawa Parang
Kati berjumlah tiga kali lipat, dan sudah siap dengan sepasang tongkat merah
di tangan. Rangga mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ternyata dirinya
sudah terkepung oleh orang-orang berbaju hitam dengan gambar naga pada
dadanya. Hanya Parang Kati yang mengenakan gelang berjumlah lima. Sedangkan
yang lainnya hanya mengenakan gelang berjumlah di bawah lima. Ini berarti
hanya Parang Kati-lah yang memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding yang
lainnya.
Rangga dan Talia benar-benar sudah terkepung, dan sudah tidak ada celah
untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak, tidak kurang dari
seratus orang. Ini merupakan jumlah kesatuan prajurit kerajaan. Rangga
menghembuskan napasnya kuat-kuat beberapa kali. Diliriknya Talia yang
kelihatannya begitu tenang, seakan-akan tidak mempedulikan kepungan
orang-orang berbaju hitam ini.
"Kau bisa menghadapi mereka, Talia?" tanya Rangga ragu-ragu terhadap
kemampuan gadis ini.
"Lihat saja nanti," sahut Talia kalem.
"Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menggempur mereka lebih dahulu. Hm....
Kita harus melewati yang depan dan terus menyeberangi sungai. Bagaimana,
Talia?" bisik Rangga meminta pendapat gadis itu.
"Yaaah..., memang tidak ada jalan lain lagi," Talia mengangkat bahunya
sedikit.
Hanya ada satu jalan untuk bisa lolos dari kepungan, yaitu dengan
menyeberangi sungai. Dengan demikian mereka dituntut untuk menggunakan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Memang, sungai ini tidak mungkin diseberangi
oleh orang yang hanya memiliki tingkat kepandaian tanggung. Inilah yang
membuat Rangga berpikir, karena tidak tahu, sampai di mana tingkat
kepandaian yang dimiliki Talia. Kalau untuk dirinya sendiri, melompati
jurang yang lebar pun tidak ada persoalan. Apalagi sungai seperti ini. Tapi
bagaimana dengan Talia...?
"Ayo, Kakang. Kita mulai," desis Talia berbisik.
Tiba-tiba saja Talia melompat secepat kilat sambil berteriak nyaring
melengking tinggi. Tubuhnya yang ramping, meliuk dan berputaran di udara
dengan gerakan indah. Tindakan Talia ini membuat Parang Kati dan yang
lainnya jadi terkejut. Mereka segera berlompatan hendak memapak gadis itu.
Namun sebelum bisa menyambar tubuh Talia, Rangga sudah lebih dahulu melompat
sambil melontarkan beberapa pukulan kilat bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Desss!
Bugkh!"
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti mengenai beberapa
orang hingga berjumpalitan jatuh sebelum mencapai tubuh Talia.
Sedangkan gadis itu terus berjumpalitan di udara, melewati beberapa kepala.
Sekali Talia menukik turun, kemudian dengan ujung jari kakinya menotok tanah
di tepi sungai. Kini tubuhnya kembali melenting menyeberangi sungai. Indah
sekali gerakannya. Gadis itu berputaran di udara, kemudian menotok permukaan
air sungai sekali, lalu kembali melesat. Talia selamat sampai di seberang
sungai.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapi beberapa orang yang
menyerangnya, sebelum melesat menyeberangi sungai. Dan kini hanya sekali
lompat saja, Rangga sudah berhasil sampai di seberang sungai.
"Kejar...! Jangan biarkan mereka lolos...!" teriak Parang Kati memberi
perintah.
Rangga dan Talia tertegun melihat orang-orang Partai Naga itu serentak
melemparkan tongkat merahnya ke dalam sungai. Lalu, mereka berlompatan ke
atas tongkat yang mengambang di permukaan air. Sungguh menakjubkan. Mereka
bisa meluncur cepat di atas permukaan sungai hanya dengan bertumpu pada
sebatang tongkat yang biasa dijadikan senjata dalam pertarungan.
"Ayo, Kakang...!" ajak Talia.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk
sedikit dan menjumput beberapa batu kerikil. Dan dengan mengerahkan tenaga
dalamnya, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan batu-batu kerikil tadi.
Batu-batu itu meluncur deras ke arah orang-orang Partai Naga yang sedang
meluncur di atas permukaan sungai.
"Aaa...!" Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar, disusul berjatuhannya
orang-orang itu ke dalam sungai. Batu-batu kerikil yang dilemparkan Rangga
tepat menghantam mereka. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti rupanya dapat
menghambat pengejaran.
Tentu saja hal ini membuat Talia senang. Gadis itu menjumput beberapa
kerikil, lalu melemparnya ke arah mereka diselingi pengerahan tenaga dalam
tinggi. Jeritan-jeritan tinggi menyayat, kembali terdengar. Dan kini
orang-orang berbaju hitam yang di dadanya terdapat gambar seekor naga itu
berjatuhan ke dalam sungai. Air sungai yang semula jernih, seketika berubah
warnanya menjadi merah karena tercemar darah.
Talia terus melemparkan batu-batu kerikil sambil tertawa-tawa kesenangan.
Sedangkan Rangga yang menyaksikan tingkah gadis itu tersenyum-senyum geli,
dan tidak lagi melemparkan batu kerikil.
"Mundur...!" teriak Parang Kati yang masih berada di seberang sungai.
Orang-orang dari Partai Naga itu berbalik kembali ke seberang sungai.
Sebentar saja hampir separuh jumlah mereka sudah mengambang di sungai.
"Ha ha ha...! Ayo, maju kalian kalau berani...!" tantang Talia dengan suara
lantang. Tampak di seberang sungai sana, Parang Kati memaki-maki sambil
menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Wajahnya memerah menahan
kemarahan yang amat sangat. Dua kali dia berhadapan dengan Pendekar Rajawali
Sakti, dan dua kali pula menderita kekalahan yang menyakitkan.
"Kubunuh kalian! Dengar...! Kubunuh kalian...!" teriak Parang Kati sambil
mengacungkan kepalan tangannya. Amarahnya memuncak luar biasa karena
kekalahan yang menyakitkan ini.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum-senyum saja. Sementara Talia terus tertawa
terbahak-bahak sambil mengejek menantang agar mereka menyeberangi sungai.
Pada saat itu, Parang Kati melompat ke sungai. Tindakan orang bergelang lima
buah itu diikuti yang lainnya. Mereka semua berlompatan masuk ke sungai yang
sudah berwarna merah oleh darah itu.
Seketika Talia menghentikan tawanya. Sedangkan Rangga mengamati ke sungai
dengan sinar mata tajam tanpa mengerjap sedikit pun. Orang-orang dari Partai
Naga itu tidak muncul-muncul lagi. Mereka seperti tenggelam ke dalam sungai!
"Mereka tidak timbul lagi, Kakang...," desis Talia setengah berbisik. Gadis
itu juga mengamati permukaan sungai yang berwarna merah oleh darah. Sepasang
bola mata yang bulat bening itu tidak berkedip memperhatikan permukaan
sungai. Sedangkan Rangga hanya diam saja, namun benaknya terus berputar.
"Kau tunggu di sini, Talia," kata Rangga.
"He! Kau mau ke mana...?" tanya Talia tersentak. Tapi Rangga tidak menjawab.
"Kakang...!" sentak Talia terkejut.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat ke dalam sungai. Talia
kebingungan ditinggal sendirian. Gadis itu mencari-cari Rangga yang sudah
tidak kelihatan lagi setelah menceburkan diri ke dalam sungai yang bernoda
darah itu.
"Kakang...!" teriak Talia memanggil. Tapi Rangga sudah tidak timbul lagi.
Gadis itu jadi cemas juga, di samping takut berada seorang diri di tempat
ini. Talia teringat akan kata-kata ayahnya jangan sekali-kali menginjakkan
kaki ke seberang sungai ini. Apalagi sampai ke lembah sana.
"Aku menyusul, Kakang...!" seru Talia. "Hiyaaa...!" Byurrr...!
Tanpa berpikir panjang lagi, Talia langsung menceburkan diri ke dalam
sungai, mengikuti Rangga. Sebentar kepala Talia menyembul ke permukaan,
kemudian tidak timbul-timbul lagi. Sementara permukaan air sungai terus
mengalir, membawa serta tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa.
***
TUJUH
Sama sekali Rangga tidak menyangka kalau sungai ini begitu dalam, bagai tak
berdasar. Pendekar Rajawali Sakti terus menyelam semakin dalam. Tidak ada
kesulitan baginya berada di dalam air seperti ini. Dengan ilmu yang didapat
dari Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali Sakti bisa bernapas seperti
layaknya di darat. Bahkan gerakannya begitu cepat dan lincah bagaikan ikan
lumba-lumba.
"Hm...," Rangga bergumam dalam hati. Penden-garannya yang tajam dapat
menangkap suara lain dari arah belakang. Rangga terkejut ketika berpaling.
Tampak tidak jauh di belakangnya, Talia sedang berenang cepat mengejar.
"Talia...," desis Rangga dalam hati. Wajah gadis itu sudah memerah, karena
terlalu lama berada dalam air. Cepat Rangga memburu, dan menangkap
tangannya. Pendekar Rajawali Sakti memandangi sekitarnya. Matanya langsung
tertumbuk pada sebuah mulut gua yang berada di dasar sungai ini. Cepat dia
berenang ke arah gua itu. Tanpa pikir panjang lagi, Rangga terus menerobos
ke dalam gua. Ternyata gua ini tidak terlalu panjang, dan sepertinya
mengarah ke atas. Sambil mencekal tangan Talia, Pendekar Rajawali Sakti
terus menembus air dalam gua ini.
"Ah...!" Talia langsung menarik napas dalam-dalam begitu kepalanya menyembul
ke permukaan air. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena terlalu
lama menahan napas.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tidak sedikit pun terpengaruh. Dia terus
menyeret gadis itu ke tepi, dan membantunya naik.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam saat mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Ternyata mereka kini berada dalam sebuah ruangan batu, atau
lebih tepat dikatakan gua yang cukup besar ukurannya. Seluruh dindingnya
terdiri dari batu cadas keras berwarna hitam, di seluruh permukaannya
ditumbuhi lumut tebal. Pendekar Rajawali Sakti menyipitkan matanya ketika
melihat ada undakan batu di sebelah kanan.
Namun belum sempat melangkah, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang
berbicara. Suara itu jelas dari dalam mulut gua yang terdapat undakan batu
menuju ke atas. Rangga cepat menarik tangan Talia, lalu dibawanya ke balik
sebongkah batu besar yang tidak jauh dari air yang membentuk danau kecil di
dalam gua ini.
Sementara Talia yang sedang berusaha mengatur jalan napasnya, jadi tersentak
kaget. Tapi belum juga mengungkapkan kekesalannya, tubuhnya sudah tertarik
ke balik batu besar. Pada saat itu, dari lorong yang berundak, muncul dua
orang laki-laki. Yang seorang masih terlihat muda, sedangkan seorang lagi
sudah tua. Tidak jauh di belakang mereka menyusul dua orang lagi yang
rata-rata berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
"Raden Sambung Wulung...," desis Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti
mengenali pemuda yang berjalan di sisi laki-laki tua berjubah putih. Dan
Rangga juga mengenali mereka semua. Yang tua adalah Eyang Wiratma, sedangkan
dua orang di belakang mereka adalah para patih Kerajaan Mandalika. Rangga
tidak perlu lagi berpikir tentang keberadaan mereka di tempat ini. Jelas,
mereka adalah orang-orang Partai Naga. Hanya saja, untuk apa mereka memusuhi
rajanya sendiri...?
Pertanyaan inilah yang menjadi beban dalam benak Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka berjalan menyeberangi danau kecil di tengah-tengah ruangan batu ini
dengan menggunakan seutas tambang yang merentang di atasnya. Rata-rata semua
memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, sehingga tidak ada
kesulitan berjalan di atas seutas tambang. Buktinya, sebentar saja sudah
sampai di seberang.
Baik Rangga maupun Talia, jadi tertegun begitu melihat dinding gua di
seberang danau terbelah, bergeser ke samping. Ketika keempat orang itu
melewatinya, dinding itu kembali bergerak menutup. Rangga bergegas melompat
keluar diikuti Talia yang sudah bisa menguasai napasnya kembali. Dan
wajahnya pun tidak lagi terlihat merah.
"Sudah kuduga, pasti" mereka biang keladinya!" dengus Talia.
"Ayo, Talia...," ajak Rangga seraya menggamit lengan gadis itu.
"He! Mau ke mana lagi...?" tanya Talia.
Rangga tidak menjawab, dan terus berjalan cepat menuju lorong batu yang
berundak itu. Perlahan-lahan mereka berjalan meniti undakan batu yang
melingkar-lingkar menuju ke atas. Keadaan di situ cukup terang, karena dalam
jarak tertentu terdapat obor yang terpancang di dinding. Cukup panjang juga
lorong berundak ini, sehingga membuat Talia kelelahan. Dan kini napasnya
kembali tersengal.
"Istirahat dulu, Kakang," desah Talia agak tersengal.
Rangga menatap gadis itu dalam-dalam. Meskipun diakui kalau gadis ini
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi sikap manjanya masih melekat.
Buktinya baru berjalan segitu saja sudah mengeluh minta istirahat. Sedangkan
undakan ini sepertinya masih terlalu jauh. Pendekar Rajawali Sakti
memandangi lorong yang terus berundak menuju ke atas ini.
"Sebentar lagi, ayo...," ajak Rangga seraya menarik tangan gadis itu.
"Istirahat sebentar saja, Kakang...," rengek Talia.
Rangga mengeluh di dalam hati. Segera punggungnya disandarkan ke dinding
lorong batu ini. Tangan kirinya menekan sebongkah batu yang menonjol keluar.
Tapi mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut... "Heh...!
Dinding batu yang disandari Pendekar Rajawali Sakti bergerak menggeser,
memperdengarkan suara gemuruh. Cepat Rangga melompat berbalik. Bukan hanya
dirinya saja yang terkejut. Bahkan Talia sampai ternganga melihat dinding
lorong ini bergerak ke samping. Tampak di depan mereka terdapat sebuah
lorong lain yang tampaknya cukup panjang. Pada setiap jarak tertentu, pada
dinding terpancang obor yang kelihatannya tidak pernah padam. Rangga dan
Talia saling berpandangan sejenak, kemudian memasuki lorong itu. Dinding
batu kembali bergerak menggeser menutup. Mereka berjalan perlahan-lahan
menyusuri lorong itu.
"Ke mana ini...?" tanya Talia seperti untuk dirinya sendiri.
"Entahlah," desah Rangga setengah berbisik.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang diterangi cahaya obor. Hingga
akhirnya mereka sampai pada ujung lorong. Rangga jadi tertegun. Ternyata
ujung lorong ini buntu. Tak ada jalan lain, karena di depannya menghadang
dinding batu yang cukup tebal.
"Kita terjebak, Kakang," kata Talia agak mengeluh.
"Tempat ini penuh rahasia, Talia. Aku yakin ada jalan keluar dari sini,"
hibur Rangga.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekitarnya, mencari-cari kemungkinan
adanya suatu rahasia untuk mencapai jalan keluar dari lorong buntu ini.
Semua dinding, lantai, dan atap lorong ini terbuat dari batu berlumut.
Pendekar Rajawali Sakti meraba-raba setiap jengkal dinding. Keningnya
berkerut ketika merasakan adanya hembusan angin saat tangannya meraba bagian
bawah dinding. Cepat Rangga mengorek batu-batuan di bawah dinding batu ini.
Memang cukup keras. Tapi jika mempergunakan tenaga dalam yang dipadu jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Pendekar Rajawali Sakti berhasil membuat
lubang sebesar kepalan tangan pada bagian bawah dinding batu itu. Tampak
seberkas cahaya menyemburat masuk.
"Mundur, Talia...," perintah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti juga bergerak
mundur beberapa langkah. Sedangkan Talia berada di belakangnya. Rangga
merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sebentar matanya terpejam.
Kemudian tepat saat kelopak matanya terbuka, kedua tangannya dihentakkan ke
depan sambil berteriak lantang.
"Hiyaaa...!"
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar ketika dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti meluncur seberkas sinar yang langsung menghantam dinding batu
didepannya. Seketika dinding batu itu hancur berkeping-keping menimbulkan
gumpalan debu yang menyebar sehingga napas jadi sesak.
Talia terbatuk-batuk kecil. Tangannya dikibas-kibaskan di depan hidung,
mencoba mengusir debu dari reruntuhan dinding batu itu.
Setelah debu menghilang, tampak di depan terdapat sebuah ruangan besar
berlantai hitam pekat. Bergegas Rangga melompat ke ambang pintu yang tadi
berupa dinding batu. Talia yang hendak menerobos cepat-cepat ditahannya.
Ternyata Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya hawa racun
yang tersebar di ruangan itu. Dan memang, ruangan ini merupakan salah satu
ruangan di dalam istana maut!
"Ada apa?" tanya Talia.
"Ruangan ini beracun," sahut Rangga.
"Oh..!" Talia terkejut "Jadi...?"
"Ya! Lorong ini tembus ke istana," jelas Rangga.
"Terus, bagaimana ini...?" tanya Talia cemas.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjawab, tiba-tiba terdengar suara
mendesing dari arah belakang. Cepat tubuhnya berbalik sambil mendorong Talia
ke samping. Gadis itu terkejut, dan tidak bisa menguasai keseimbangan
tubuhnya. Akibatnya dia terjajar hingga merapat ke dinding. Pada saat itu
terlihat dua buah benda berwarna merah melesat bagai Kilat.
"Hap!" Cepat sekali Rangga mengibaskan tangannya, menangkap dua senjata
berbentuk batangan pendek berukuran sejengkal berwarna merah itu. Lalu
dengan cepat pula dilontarkannya kembali ke arah semula. Dua senjata yang
kedua ujungnya runcing itu melesat lebih cepat dari semula, membuat gerakan
berputar. Dan...
"Aaakh...!" "Aaa...!" Dua jeritan melengking tinggi terdengar menyayat,
menggema terpantul dinding lorong batu ini. Sebentar kemudian terlihat dua
sosok tubuh berbaju hitam terjungkal bergelimpangan. Rupanya tubuh mereka
tertembus senjatanya sendiri yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar kedua orang berbaju hitam yang bagian dadanya bergambar naga itu
menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Belum juga Rangga bisa bernapas lega, tiba-tiba atap lorong batu ini
terbuka. Seketika dari atap itu berhamburan manusia-manusia berbaju hitam.
Mereka semua memegang sepasang tongkat pendek berwarna merah yang pada kedua
ujungnya runcing. Panjangnya tidak lebih dari sehasta. Mereka langsung saja
menyerang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Tidak ada pilihan lain bagi
mereka, kecuali menghadapi sekitar dua puluh orang berbaju hitam ini.
"Yeaaah...!" Menyadari kalau harus juga melindungi Talia, Rangga tidak punya
pilihan lain lagi. Cepat-cepat pedang pusakanya dicabut dari dalam warangka
di punggung. Cahaya biru berkilau, seketika menyemburat menyilaukan mata.
Dengan Pedang Rajawali Sakti, Rangga bagai malaikat maut pencabut nyawa.
Setiap kali pedangnya dikibaskan, terdengar jeritan melengking tinggi dan
menyayat. Kemudian, disusul ambruknya tubuh berlumuran darah.
Dalam keadaan terdesak begini, Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi.
Tebasan pedangnya tak bisa terbendung lagi. Bahkan yang coba-coba menangkis,
langsung terpental dengan tongkat terpotong jadi dua bagian. Bukan itu saja.
Arus pedang Pendekar Rajawali Sakti juga tidak bisa terbendung, dan terus
membabat pemilik tongkat itu. Akibatnya mereka terjungkal ambruk ke lantai
lorong gua ini.
Sementara Talia yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jadi
menganggur, karena orang-orang berbaju hitam tidak ada yang bisa menembus
pertahanan pemuda berbaju rompi putih itu. Satu persatu mereka
bergelimpangan berlumuran darah. Jumlah yang banyak, dalam waktu sebentar
sudah berkurang lebih dari separuhnya. Mereka jadi gentar juga, sehingga
agak ragu-ragu menyerang.
Pada saat itu, dari atas langit-langit lorong yang kini terbuka, meluncur
seorang berbaju putih longgar, Jatuhnya tepat di belakang Talia, dan dengan
cepat pula menotok punggung gadis itu. Talia yang belum menyadari, hanya
bisa terpekik tertahan, dan langsung jatuh lunglai. Namun sebelum tubuhnya
menyentuh dasar lorong gua, orang berjubah putih itu sudah menyangganya. Dia
langsung melesat naik sambil memondong tubuh Talia yang lemas tertotok jalan
darahnya.
"Talia...!" sentak Rangga terkejut. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti
meluncur mengejar orang berjubah putih yang membawa Talia, Namun beberapa
batang tongkat pendek berwarna merah meluncur mengancamnya. Rangga cepat
mengibaskan pedangnya sambil terus melentingkan tubuh ke atas. Tepat ketika
atap lorong itu bergerak menutup, Rangga sudah melewatinya.
"Talia...!"
Rangga jadi celingukan karena kini sudah berada di sebuah hutan, tepat di
samping bangunan istana maut. Orang berjubah putih yang membawa Talia, sudah
lenyap tidak ketahuan ke mana perginya. Selagi Pendekar Rajawali Sakti
kebingungan, mendadak matanya menangkap sebuah bayangan putih berkelebat di
dalam hutan. Secepat kilat, tubuhnya melesat mengejar.
Namun kembali Pendekar Rajawali Sakti kehilangan jejak. Ternyata bayangan
putih itu cepat sekali menghilang. Tubuh Rangga melenting ke atas, dan
hinggap di cabang pohon yang paling tinggi. Dari ketinggian ini,
pandangannya beredar ke sekeliling. Tapi bayangan putih yang membawa Talia
tidak juga bisa terlihat.
"Setan...!" geram Rangga gusar bukan main. Pendekar Rajawali Sakti kembali
meluruk turun ke bawah. Namun begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja
dari dalam tanah bermunculan manusia-manusia berbaju hitam bergambar naga
pada dadanya. Mereka langsung berlompatan menyerang.
Sejenak Rangga tersentak kaget. Namun cepat sekali tubuhnya berputar,
langsung melontarkan beberapa pukulan bertenaga dalam sangat sempurna.
Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga pukulannya tidak terbendung lagi.
Terdengar jeritan melengking tinggi saling susul. Kemudian tampak beberapa
tubuh bergelimpangan di tanah dengan mulut menyemburkan darah segar. Rangga
yang sedang dihinggapi kemarahan, langsung meluapkannya pada orang-orang
berbaju hitam itu.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Desss!
Bugkh!
"Aaa...!"
Dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Rangga mengamuk
bagai banteng liar. Gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap
pukulan yang dilepaskan, selalu meminta korban nyawa. Sebentar saja orang
berbaju hitam yang berjumlah dua puluh orang itu, tewas tak tersisa lagi.
Bau anyir darah langsung meresap ke hidung.
Mata Pendekar Rajawali Sakti memandangi mereka yang tergeletak tak bernyawa
lagi. Mereka semua mengenakan gelang berjumlah satu buah, sehingga jelas
hanya memiliki kepandaian tidak begitu tinggi. Tidak heran kalau Rangga
mudah sekali menghancurkannya.
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Matanya tajam
memandang ke sekitarnya. Bahkan tanah berumput yang dilalui tidak luput dari
perhatian. Namun sampai jauh berjalan, tidak juga ditemukan adanya
tanda-tanda bekas orang berjalan. Rangga mendengus kesal, sambil mengepalkan
tangannya kuat-kuat.
Pendekar Rajawali Sakti jadi semakin kesal. Ternyata kini baru disadari
kalau dirinya hanya berputar-putar saja di sekitar bangunan istana maut yang
masih berdiri tegak dengan angkuhnya. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri
tegak memandangi bangunan istana maut yang tampak angker itu.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba Rangga menghentakkan kedua tangannya sambil berteriak
keras menggelegar. Maka seketika dari kedua telapak tangannya meluncur dua
berkas sinar merah membentuk bola api yang langsung menghantam dinding
istana maut. Ledakan dahsyat terdengar, bersama hancurnya istana itu.
Beberapa kali Rangga melontarkan bola-bola api. Memang, kemarahannya
dilampiaskan pada bangunan istana maut itu.
"Ha ha ha...!"
Rangga menghentikan lontaran bola apinya ketika terdengar suara tawa
terbahak-bahak yang begitu keras menggema. Pendekar Rajawali Sakti memutar
tubuhnya, mencoba mencari sumbernya. Namun suara tawa itu seperti datang
dari segala penjuru mata angin. Dan Rangga langsung bisa menebak kalau
pemilik suara tawa itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi
"Siapa kau? Keluar...!" bentak Rangga keras.
"Ha ha ha...!"
***
DELAPAN
"Eyang Wiratma...," desis Rangga ketika melihat seorang laki-laki tua
berjubah putih keluar dari balik sebatang pohon di depannya.
Laki-laki tua yang dikenal bernama Eyang Wiratma itu berjalan menghampiri
Rangga, dan berhenti setelah jaraknya sekitar dua langkah lagi di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jadi kau dalang dari semua ini...?" gumam Rangga seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
"Kau salah jika menyangka demikian, Pendekar Rajawali Sakti," bantah Eyang
Wiratma, terdengar kalem nada suaranya. "Bukan aku yang merencanakan semua
ini, karena ada yang lebih tinggi lagi dariku. Sedangkan aku hanya sekadar
membantu saja, menyediakan pasukan khusus yang tangguh dan dapat diandalkan
serta dipercaya penuh."
"Apa pun alasanmu, untuk apa kau lakukan semua itu?" tanya Rangga ingin
tahu.
"Kekuasaan!" sahut Eyang Wiratma tegas. "Kau tahu apa itu kekuasaan? He he
he...! Semua orang di dunia ini pasti menghendaki kekuasaan. Dan kau juga
tidak mungkin menghindari keinginan itu, Pendekar Rajawali Sakti!"
"Kekuasaan apa yang kau inginkan?" tanya Rangga mulai tidak senang.
"Seluruh wilayah kerajaan ini. Bahkan seluruh dunia!" sahut Eyang Wiratma
pongah.
"Hm.... Karena itu kau membantai para pendekar?" tebak Rangga langsung.
"Ha ha ha...! Kau memang terlalu cerdik, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau
tidak bisa mengalahkan aku!"
Rangga menggumam kecil. Sedangkan Eyang Wiratma menggeser kakinya ke
belakang beberapa tindak. Mereka saling menatap tajam, seakan-akan sedang
mengukur kekuatan satu sama lain.
Laki-laki tua berjubah putih itu menggeser kakinya ke samping beberapa
tindak, dan berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang tombak dari
Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu, saat ini kau adalah pendekar, digdaya yang tidak tertandingi.
Tapi itu bukanlah penghalang besar bagiku, Pendekar Rajawali Sakti. Kau
boleh saja berbangga karena dapat lolos dari istana maut, tapi tidak akan
luput dari kematian!" terdengar dingin nada suara Eyang Wiratma.
Rangga hanya diam saja memperhatikan laki-laki tua itu yang sudah mencabut
senjatanya berupa tongkat pendek berwarna merah menyala. Ujung-ujung tongkat
itu dipegang dengan kedua tangannya, lalu perlahan ditarik hingga sepanjang
rentangan tangannya.
Wuk! Wuk...! Tangkas sekali tongkatnya dikebutkan, kemudian diputar-putar
cepat bagai baling-baling. Kini bentuk tongkat itu jadi hilang, dan yang
terlihat hanya bulatan lingkaran merah membentuk perisai. Memang sepertinya
permainan tongkat itu tidak berarti. Tapi mendadak saja, Rangga merasakan
adanya aliran hawa panas yang semakin lama semakin menyengat kulit.
"Hawa racun..." desis Rangga perlahan.
Memang dari tongkat merah itu memancar hawa racun yang mengandung udara
panas menyengat kulit, yang semakin lama semakin terasa. Meskipun disadari
kalau dirinya memiliki kekebalan terhadap segala jenis racun, tapi Pendekar
Rajawali Sakti mencoba menandinginya dengan mengerahkan hawa murni yang
dipusatkan pada aliran jalan darah. Rangga tetap berdiri tenang, dan tak
sedikit pun terpengaruh oleh serangan hawa racun yang dibuat oleh Eyang
Wiratma melalui senjata tongkat merahnya.
Sikap Pendekar Rajawali Sakti itu membuat kening Eyang Wiratma jadi berkerut
juga. Serangannya semakin diperhebat, disertai pengerahan seluruh kekuatan
untuk melumpuhkan pemuda berbaju rompi putih itu. Wajah laki-laki tua itu
sampai memerah, karena seluruh kekuatannya dikerahkan dalam menyalurkan hawa
racun dari tongkat merah kebanggaannya.
"Hm...!" Rangga tersenyum melihat laki-laki tua itu semakin memperhebat
serangannya.
"Bocah setan...!" geram Eyang Wiratma merasa kewalahan juga. Tiba-tiba saja
laki-laki tua berjubah putih itu berteriak nyaring melengking tinggi. Maka
seketika tubuhnya melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh
luar biasa serangannya kali ini. Tongkat merah yang dikebutkan tiga kali itu
menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika ujung tongkat Eyang Wiratma meluruk ke arah dada, cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan,...
"Hih!"
Tap!
Ujung tongkat yang runcing berwarna merah menyala itu terjepit erat di kedua
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat Eyang Wiratma
terkejut setengah mati. Dicobanya untuk menarik pulang tongkatnya, namun
jepitan tangan Rangga begitu kuat. Akibatnya, sukar baginya untuk melepaskan
tongkat itu. Eyang Wiratma mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, tapi
tetap saja jepitan itu tidak bergeming sedikit pun.
"Hih! Hiyaaa...!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Eyang
Wiratma menghentakkan tongkatnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan,
kakinya menendang ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, sehingga tendangan itu hanya
lewat di samping pinggang. Pada saat yang sama, Rangga menghentakkan
tangannya ke atas tanpa melepaskan jepitan pada ujung tongkat merah itu.
"Hiyaaa...!"
Wut!
"Whaaa...!" Eyang Wiratma terpekik kaget ketika tiba-tiba tubuhnya melayang
terangkat ke udara. Dan tanpa dapat dicegah lagi, laki-laki tua itu
terpental jauh melambung tinggi ke angkasa.
Namun begitu tubuhnya berada di udara, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiyaaat...!" Rangga berteriak keras melengking. Dua kali tangan Rangga
mengibas ke tubuh laki-laki tua berjubah putih itu.
Sementara Eyang Wiratma sendiri tidak bisa lagi menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan demikian tidak mungkin lagi serangan Pendekar Rajawali
Sakti dihindarinya. Maka, tepat sekali kedua tangan Rangga yang mengembang
lebar berkelebat membabat tubuh Eyang Wiratma.
"Aaa...!" Eyang Wiratma menjerit melengking tinggi. Tubuh laki-laki tua itu
meluncur turun ke bawah.
Dan sebelum sempat menyentuh tanah, Rangga sudah cepat mengejar. Pendekar
Rajawali Sakti meluruk deras disertai pengerahan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Sepasang kakinya bergerak cepat, langsung menghantam
kepala Eyang Wiratma.
Tak ada lagi jeritan yang terdengar. Laki-laki tua itu sudah tewas sebelum
tubuhnya menghantam tanah. Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya di
tanah. Ditariknya napas panjang, seraya memandangi mayat laki-laki tua
berjubah putih itu.
Rangga memutar tubuhnya, langsung memandang pohon tempat Eyang Wiratma
muncul tadi. Dengan sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah
mencapai pohon itu. Perlahan pohon itu diputari. Seketika matanya terbeliak
melihat Talia tergeletak di tanah dengan tubuh hampir tertutup dedaunan
kering.
"Talia...!" Bergegas Rangga mengangkat tubuh gadis itu, dan membawanya ke
tempat yang lebih baik. Dibaringkannya kembali gadis itu. Sebentar Rangga
memeriksa tubuh Talia, kemudian menggerakkan jari-jari tangannya ke beberapa
bagian tubuh gadis itu.
"Ohhh...!" Talia merintih seraya menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu
langsung menggerinjang bangkit duduk begitu tersadar dari pengaruh totokan.
Dipandanginya Rangga dalam-dalam, kemudian beralih pada seorang laki-laki
tua berjubah putih yang tergeletak berlumuran darah tidak jauh dari tempat
ini. Kembali Talia mengalihkan pandangannya ke arah Rangga yang juga tengah
memandang padanya. Kelihatan sekali kalau gadis itu hendak meminta
penjelasan.
"Apa yang terjadi padaku, Kakang?" tanya Talia. Talia mengedarkan pandangan
ke sekeliling, dan langsung terpaku pada bangunan istana yang hancur
berantakan. Bangunan itu tidak berbentuk lagi, dan telah hancur
berkeping-keping menjadi puing-puing yang tak bisa ditempati lagi.
"Kau terkena totokan pada jalan darahmu," jelas Rangga.
"Oh! Kita harus membebaskan ayah secepatnya, Kakang. Ayah ada di lembah,"
kata Talia.
"Dari mana kau tahu?" tanya Rangga.
"Eyang Wiratma yang mengatakannya padaku. Dia sempat membebaskan totokan
pada bagian kepalaku. Katanya, sebentar lagi ayah akan mati. Mereka kemudian
akan menguasai seluruh wilayah Kerajaan Mandalika, setelah menggulingkan
Prabu Yudanegara. Tapi yang jelas, mereka ingin membunuhmu lebih dulu agar
tidak menjadi penghalang," tutur Talia.
"Kau sudah tahu, lalu kenapa pakai tanya segala?" dengus Rangga.
"Maksudku hanya ingin meyakinkan saja, Kakang. Soalnya tadi aku antara sadar
dan tidak," sahut Talia beralasan.
Rangga bangkit berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada gadis itu. Talia
langsung menerimanya dengan bibir mengulas senyuman manis. Gadis itu bangkit
berdiri dibantu Pendekar Rajawali Sakti.
"Talia. Kau tahu, siapa biang keladi semua ini?" tanya Rangga seraya
mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Sambung Wulung," sahut Talia yang berjalan di samping Pendekar Rajawali
Sakti.
"Kau yakin?"
"Sejak semula aku sudah yakin kalau dialah biang keladinya. Hanya saja aku
belum punya bukti kuat. Dan ayah sendiri juga sudah tahu kalau Sambung
Wulung selalu membuat keonaran di Kerajaan Mandalika ini."
"Kenapa ayahmu pura-pura tidak tahu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sengaja, karena tidak ingin menyakitkan hati Gusti Prabu. Ayah terlalu
menghormati dan mencintainya. Apalagi Sambung Wulung menantu satu-satunya
Gusti Prabu yang sangat disayang. Ayah sudah berkorban banyak. Tapi, rupanya
Sambung Wulung selalu saja mengusik kehidupan ayah. Padahal ayah sendiri
juga, sudah berjanji tidak akan mencampuri urusannya dalam menggulingkan
tahta Gusti Prabu Yudanegara."
"Aku bisa menghargai kesetiaan ayahmu, Talia," ujar Rangga agak bergumam.
"Ya.... Ayah memang terlalu setia pada Gusti Prabu, tapi kadang-kadang
membuatku jengkel. Kalau saja ayah mau, sudah dari dulu si keparat itu
mampus!' agak jengkel terdengar nada suara Talia.
Rangga terdiam. Memang sukar dicari nilai kesetiaan seseorang. Ki Sara Denta
rela mengorbankan segalanya demi kesetiaannya pada Prabu Yudanegara. Bahkan
rela dihina dengan berpura-pura menjadi gila. Semua itu dilakukan agar Prabu
Yudanegara tetap menduduki tahta.
Raden Sambung Wulung memang tidak akan mungkin menduduki tahta selama Prabu
Yudanegara belum mangkat. Apalagi untuk merebut tahta secara kekerasan.
Karena, itu akan membangkitkan kemarahan seluruh rakyat Kerajaan Mandalika.
Tidak ada gunanya menjadi raja jika rakyat tidak menyukai, bahkan malah
membencinya. Bisa-bisa setiap hari yang diurusi hanya pemberontakan saja.
Tapi rupanya pemuda itu tidak sabar lagi. Terlebih lagi setelah merasa gagal
menyingkirkan Pendekar Rajawali Sakti. Memang matang rencana Raden Sambung
Wulung. Dia tahu kalau Ki Sara Denta memiliki banyak teman dari kalangan
pendekar. Bahkan Prabu Yudanegara sendiri menganggap seluruh pendekar di
dunia ini adalah sahabatnya. Raden Sambung Wulung sengaja melenyapkan para
pendekar untuk mengurangi kekuatan yang akan dihadapi.
Ya! Caranya adalah mencemarkan seluruh lantai istana dengan racun. Hal itu
bisa dilakukan berkat bantuan Eyang Wiratma yang memang terkenal pembuat
racun ganas. Dan sekarang Pendekar Rajawali Sakti tinggal menangkap biang
keladinya.
***
Raden Sambung Wulung terkejut ketika tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti
muncul di depannya. Saat itu dia tengah bercengkerama bersama istrinya,
putri tunggal Prabu Yudanegara. Keterkejutan Raden Sambung Wulung semakin
bertambah ketika Talia muncul juga.
"Kau terkejut, Sambung Wulung...?" terdengar sinis nada suara Talia.
"Talia..., seharusnya kau sudah mati!" desis Raden Sambung Wulung.
"Itu perkiraanmu, Sambung Wulung. Racun yang kau berikan pada minumanku
tidak berarti sama sekali bagi diriku. Kau lupa, Sambung Wulung. Eyang Guru
telah memberiku ilmu untuk memunahkan segala jenis racun yang kau pelajari,"
ketus kata-kata Talia.
"Setan...! Seharusnya kupenggal kepalamu, Talia!" geram Raden Sambung
Wulung. Raden Sambung Wulung melirik Rara Ayu Arsih yang berada di
sampingnya. Terlintas satu pikiran licik di benaknya. Dengan cepat tangannya
hendak menjambret pergelangan tangan wanita itu.
Namun belum juga tangannya sampai, mendadak saja Rangga menghentakkan
kakinya, menendang kerikil yang ada tepat di ujung jari kakinya. Batu
kerikil itu melesat bagai kilat menghantam pergelangan tangan Raden Sambung
Wulung.
"Akh...!" Raden Sambung Wulung terpekik. Dia langsung menarik tangannya
kembali.
Sementara itu, cepat sekali Talia melompat menyambar tubuh Rara Ayu Arsih
hingga mereka jatuh bergulingan menjauhi Raden Sambung Wulung.
"Ada apa ini...?!" sentak Rara Ayu Arsih tidak mengerti. Wanita cantik itu
buru-buru bangkit berdiri. Tapi belum juga berlari ke arah suaminya. Talia
sudah mencekal tangannya. Wanita itu mencoba memberontak, tapi cekalan
tangan Talia begitu kuat.
"Nanti akan ku jelaskan, Gusti Ayu," kata Talia.
"Talia...! Kau putri Panglima Sara Denta, bukan...?" "Benar, Gusti Ayu.
Nanti kujelaskan persoalannya," sahut Talia lembut.
Sementara Talia menjelaskan persoalannya, Raden Sambung Wulung berteriak
memanggil pengawal. Tapi yang datang bukan prajurit pengawal kerajaan,
melainkan orang-orang berpakaian serba hitam yang pada bagian dadanya
terdapat gambar naga. Bukan hanya Rangga dan Talia yang terkejut, tapi juga
Rara Ayu Arsih juga terkejut melihat kemunculan orang-orang berbaju hitam
itu.
"Serang mereka! Semuanya...!" seru Raden Sambung Wulung lantang.
"Kakang...!" sentak Rara Ayu Arsih terkejut mendengar perintah suaminya
barusan.
"Kau juga harus mati, Arsih! Ha ha ha...!"
Tidak kurang dari seratus orang berpakaian serba hitam itu berlompatan
menyerang Rangga, Talia, dan Rara Ayu Arsih. Tentu saja wanita yang tidak
mengetahui tentang ilmu olah kanuragan itu jadi terbeliak tidak percaya.
Tapi tangkas sekali, Talia selalu menyelamatkannya dari ancaman senjata
orang-orang berbaju hitam yang menyerang ganas. Sementara Rangga juga sudah
harus menghadapi keroyokan dari orang yang jumlahnya begitu besar.
"Hiyaaat..!"
Sret!
Pendekar Rajawali Sakti langsung, mencabut Pedang Rajawali Sakti. Seketika
sinar biru menyemburat menyilaukan mata. Rangga kini tidak tanggung-tanggung
lagi. Langsung dikerahkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang belum ada
tandingannya sampai saat ini. Dengan pedang di tangan dan disertai jurus
dahsyat itu, Rangga bagaikan malaikat maut pencabut nyawa.
Pedang bersinar biru itu berkelebat cepat tak terbendung lagi, ditambah
gerakan tubuh yang lincah dan cepat. Setiap kali pedang itu berkelebat, tiga
atau empat nyawa melayang. Belum lagi pukulan-pukulan dahsyatnya yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Tentu saja hal ini membuat para
penyerangnya tak mampu lagi mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Melihat orang-orangnya jadi kacau berantakan, Raden Sambung Wulung mencoba
melarikan diri. Namun tindakannya cepat diketahui Rangga yang memang sejak
tadi terus memperhatikannya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat
melewati beberapa kepala sambil membabatkan pedangnya. Jeritan-jeritan
menyayat masih terdengar saling sahut. Sementara Talia juga tidak mau kalah.
Gadis itu mengamuk sambil melindungi Rara Ayu Arsih yang semakin pucat
wajahnya.
"Mau lari ke mana kau...?!" bentak Rangga begitu menjejakkan kakinya di
depan Raden Sambung Wulung.
Pemuda itu jadi pucat wajahnya. Disadari kalau kemampuannya tidak akan
sanggup menandingi Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum menantu Prabu
Yudanegara itu melakukan sesuatu, Rangga sudah bergerak cepat mengibaskan
pedangnya ke arah leher pemuda itu. Sesaat Raden Sambung Wulung terbeliak,
dan tidak mampu berkelit lagi. Akibatnya....
Cras!
"Aaa...!" Raden Sambung Wulung menjerit keras menyayat. Sebentar menantu
Prabu Yudanegara itu masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan leher
terbabat hampir buntung. Darah langsung muncrat keluar dari leher yang
menganga lebar. Raden Sambung Wulung menggeliat beberapa saat, kemudian diam
tak bergerak-gerak lagi.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan keras yang datang dari arah istana
kecil di lembah ini. Tampak para prajurit Kerajaan Mandalika berlarian
sambil mengacung-acungkan pedang di atas kepala. Melihat kedatangan para
prajurit itu, orang-orang berbaju hitam bergambar naga di dada, langsung
berlompatan kabur. Tapi para prajurit yang sebagian menunggang kuda itu
langsung mengejar. Sementara itu terlihat Prabu Yudanegara memacu cepat
kudanya. Dia langsung melompat turun menghampiri putrinya.
"Ayah...!" seru Rara Ayu Arsih. Wanita itu langsung memeluk dan menangis
dalam pelukan Prabu Yudanegara.
Sementara Talia menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang sudah memasukkan
pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung.
"Ayah sudah tahu semuanya. Tabahlah, Anakku...," ucap Prabu Yudanegara
lembut.
Rara Ayu Arsih masih menangis terisak dalam pelukan ayahnya. Sementara Prabu
Yudanegara memandang Pendekar Rajawali Sakti dan Talia. Kedua mata laki-laki
tua itu merembang berkaca-kaca.
"Terima kasih...," ucap Prabu Yudanegara agak tersendat. "Seharusnya aku
sudah bertindak dari dulu. Sudah lama aku menaruh kecurigaan padanya, tapi
belum punya bukti kuat. Yaaah, semuanya memang sudah digariskan sang Hyang
Widi". Rangga dan Talia hanya diam saja. "Talia, kau bisa menemui ayahmu di
istana," sambung Prabu Yudanegara lagi.
Talia memandang Rangga sejenak. Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya
menganggukkan kepalanya sedikit. Talia membungkukkan tubuhnya memberi hormat
pada Prabu Yudanegara, kemudian berlari kecil menuju istana kecil di lembah
ini. Sedangkan Prabu Yudanegara semakin erat memeluk putrinya.
Diam-diam Rangga mengayunkan kakinya meninggalkan tempat ini. Bibirnya
tersenyum melihat tangis kebahagiaan dari semua penghuni lembah ini,
meskipun ada seseorang yang berduka karena kehilangan suaminya. Suami yang
mengkhianati kepercayaan, demi mencapai kekuasaan.
Ya! Kekuasaan, harta, dan kedudukan memang membuat orang silau.
TAMAT
Ikuti Petualangan Pendekar Rajawali Sakti Berikutnya dalam Episode RATU
BUKIT BRAMBANG
Emoticon