Bagian 2
Matahari merayap perlahan menuju peraduannya. Sinar kuning kemerahan
memancar lembut seolah ingin mengucapkan selamat datang pada sang Dewi
Malam. Sementara itu, Rangga tengah membelah kayu di samping rumah kecil
yang terpencil dari rumah lainnya. Keringat tampak mengucur membasahi wajah
dan lehernya. Otot-otot tangannya bersembulan saat kapaknya terayun.
Rangga menghentikan ayunan kapaknya ketika mendengar langkah kaki ringan di
belakang. Diturunkannya kapak yang sudah terangkat, lalu menoleh. Bibirnya
menyunggingkan senyum melihat Putri Kencana Wungu sudah berdiri di
belakangnya membawa baki berisi kendi dan gelas dari bahan tanah liat.
“Istirahat dulu,” kata Kencana Wungu lembut. Senyumnya begitu menawan
merekah merah.
Rangga kemudian duduk di atas tumpukan kayu bakar. Kapak besar masih
tergenggam di tangan kirinya. Sedangkan Kencana Wungu menghampiri dan
menyodorkan baki pada pendekar muda dan digdaya itu. Rangga mengambil
gelasnya, dan Putri Kencana Wungu menuangkan air dari dalam kendi. Rangga
tidak jadi meneguk air di dalam gelas yang sudah terangkat mendekati
bibirnya. Kepalanya mendongak, dan menoleh ke kiri dan kanan. Telinganya
yang tajam mendengar langkah-langkah kaki ringan, mendekati rumah ini.
Segera dia bangkit dan melangkah tiga tindak ke depan. Kapak besar pembelah
kayu masih tergenggam di tangannya. Putri Kencana Wungu menghampiri dan
berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu tampak keheranan
melihat sikap yang aneh pada diri Rangga.
“Ada apa?” tanya Kencana Wungu.
“Di mana Panglima Gadalarang?” Rangga malah balik bertanya.
“Aku di sini,” terdengar sahutan dari samping kanan. Rangga menoleh.
Sementara panglima muda itu menghampiri, lalu berdiri di samping Putri
Kencana Wungu. Rangga memiringkan kepalanya, ketika suara langkah kaki itu
semakin jelas terdengar dari segala arah. Tangan kanannya terentang memberi
isyarat agar Putri Kencana Wungu dan Panglima Gadalarang diam di tempat.
“Ambilkan pedangku,” kata Rangga, berbisik.
Panglima Gadalarang melangkah mundur, seraya mengulurkan tangannya untuk
menjumput Pedang Rajawali Sakti dari tumpukan kayu bakar. Kemudian
diserahkannya pedang itu pada Pendekar Rajawali Sakti. Segera Rangga
mengenakan kembali di punggungnya, sedangkan tangan kanannya kembali
memegang gagang kapak besar pembelah kayu.
“Kita kedatangan tamu,” kata Rangga pelan.
“Siapa?” tanya Putri Kencana Wungu agak bergetar suaranya.
Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba muncul sekitar dua puluh orang
bersenjata tombak panjang dari balik pepohonan. Di antaranya tampak ada
seorang mengenakan baju serba merah. Mereka langsung mengepung dengan sikap
jelas tidak bermaksud baik. Rangga memandangi para pengepungnya yang
semuanya mengenakan pakaian hitam bersulamkan gambar burung gagak dari
benang emas di bagian dada. Sedangkan yang mengenakan jubah merah
menggenggam sebatang tongkat berwarna merah juga. Pendekar Rajawali Sakti
bisa memastikan kalau orang ini memiliki kepandaian yang tidak rendah.
“Hati-hati. Orang itulah yang bernama Setan Jubah Merah,” bisik Panglima
Gadalarang.
“Hm...,” Rangga hanya bergumam.
“Siapa di antara kalian yang bernama Badil?” tanya si Setan Jubah Merah.
Suaranya besar dan lantang.
“Aku!” Rangga cepat menyahut.
Panglima Gadalarang melongo hanya diam, karena Rangga sudah memberi isyarat
dengan kerlingan mata.
“Ketua Agung Gagak Item memerintahkan agar kau ikut ke istana!” kata Setan
Jubah Merah congkak.
“Kenapa bukan dia saja yang ke sini?”
“Kurang ajar! Kuperintahkan, letakkan senjata sebelum kugunakan cara kasar!”
geram Setan Jubah Merah.
“Kata-katamu sudah cukup kasar. Dan orang-orang yang mengepung itu, kurasa
pertanda satu tantangan. Bukankah begitu?” kata-kata Rangga terdengar tenang
dan lembut, tapi sangat menyakitkan telinga.
“Monyet busuk! Rupanya, kau ingin cara kasar, heh?!” dengus Setan Jubah
Merah menggeram.
“Aku juga bisa bertindak kasar,” tantang Rangga.
Trek!
Setan Jubah Merah menjentikkan jemarinya. Seketika, empat orang langsung
menyerang dengan menyodokkan tombak ke arah Rangga. Hanya dengan memiringkan
tubuhnya, pendekar Rajawali Sakti menangkap satu tombak dari arah depan.
Sedangkan kaki kanannya melayang menyepak tombak satunya lagi. Sementara
jari tangan kirinya menjentik ujung tombak yang datang dari arah kiri. Dan
satunya lagi berhasil dielakkan melewati atas kepala.
Rangga cepat memutar tubuhnya. Kaki kanannya cepat melayang bersamaan dengan
berputarnya tubuh. Maka empat orang itu kontan mengeluh pendek. Mereka
terdorong mundur dan terjungkal deras. Di dada mereka tampak tergambar tapak
kaki yang merah. Sebentar mereka mampu bertahan, untuk kemudian ambruk dan
tidak bangun-bangun lagi. Mereka memang bukan lawan Pendekar Rajawali Sakti.
Maka hanya dengan sekali gebrakan, empat orang langsung roboh terkena
tendangan maut dari jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.
“Bedebah!” geram Setan Jubah Merah melihat empat anak buahnya tewas dalam
sekejap.
Kembali Setan Jubah Merah menjentikkan jemarinya. Kini sepuluh orang
berlompatan ke depan. Rangga melirik Panglima Gadalarang dan Putri Kencana
Wungu sambil mengegoskan kepala ke arah bayangan merah. Kini, Rangga tidak
perlu lagi khawatir. Perhatiannya juga dipusatkan pada pengeroyoknya. Tapi,
pengamatannya dari dua orang yang kini sudah berdiri dekat tumpukan kayu
bakar tidak lepas. Sambil berteriak nyaring, sepuluh orang itu merangsek
secara bersamaan dan bergelombang. Rangga yang sudah jemu dan muak melihat
tingkah mereka, langsung mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’. Kapak besar di
tangannya terayun cepat, seirama gerakan kaki dan tubuhnya. Jeritan dan
pekik kesakitan terdengar saling sambung, disusul berjatuhannya tubuh-tubuh
manusia dengan dada robek dan kepala hampir putus terbabat mata kapak yang
besar dan tajam. Maka dalam satu gebrakan saja, tidak kurang dari enam orang
sudah tewas berlumuran darah.
“Mundur!” teriak Setan Jubah Merah menggeram marah.
Empat orang yang selamat, segera melompat mundur bersamaan. Sementara itu
Setan Jubah Merah langsung mencelat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan
jurus-jurus tongkat mautnya. Rangga segera melayani hanya dengan kapak
pembelah kayu di tangan. Maka terjadilah pertarungan alot, cepat, dan
mematikan. Begitu cepatnya mereka bertarung, hingga sulit diikuti
penglihatan mata biasa. Yang tampak hanyalah kelebatan-kelebatan bayangan
merah dan putih saling menerjang dan bertahan.
Dalam waktu tidak berapa lama, Setan Jubah Merah sudah menghabiskan sepuluh
jurus. Sedangkan, Rangga baru mengeluarkan dua jurus dari lima rangkaian
jurus ‘Rajawali Sakti’. Dan kini, Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut
Paruh Rajawali’. Maka, seketika kedua tangannya berubah jadi merah membara
bagai terbakar. Setiap lontaran pukulannya, mengandung hawa panas luar biasa
yang menyengat kulit.
“Gila! Ilmu apa yang dipakai?” dengus Setan Jubah Merah terkejut.
Buru-buru laki-laki berpakaian merah itu melompat mundur. Matanya tajam
menatap Rangga yang berdiri tegak dengan tangan menjuntai di samping
tubuhnya. Kapak Pendekar Rajawali Sakti juga telah menggeletak di ujung
kakinya.
Kini Rangga segera mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Setan
Jubah Merah memutar tongkatnya dengan cepat. Sambil berteriak keras
diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang diterjang pun tidak
bergeming. Dan ketika ujung tongkat Setan Jubah Merah hampir menyodok
dadanya, cepat Pendekar Rajawali Sakti menangkapnya.
Tap!
Jepitan kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti bagai sebuah penjepit
baja yang amat kuat. Setan Jubah Merah makin terkejut, karena tongkatnya
terasa bagaikan menancap pada sebongkah batu cadas yang amat keras. Sedikit
pun tongkat itu tidak bergeming, meskipun kekuatan tenaga dalamnya sudah
dikerahkan penuh. Setan Jubah Merah segera menggunakan akal licik.
Dikerahkannya racun melalui tongkat merahnya. Dan begitu racun itu menyentuh
telapak tangan, seketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar. Langsung
disadari kalau lawannya menyalurkan racun yang dahsyat dan mematikan lewat
tongkatnya.
“Aji Cakra Buana Sukma...!” teriak Rangga tiba-tiba.
Seketika, tangan yang semula berwarna merah menyala berubah biru terang
berkilau. Tentu saja perubahan yang cepat itu sangat mengejutkan Setan Jubah
Merah. Tongkatnya berusaha ditarik, tapi malah semakin terjepit di telapak
tangan Rangga. Setan Jubah Merah berusaha melepaskan tangannya dari tongkat
itu, tapi malah jadi kaget setengah mati. Kedua tangannya seperti terpatri
pada tongkatnya sendiri!
“Akh!” Setan Jubah Merah memekik tertahan. Cahaya biru yang keluar dari
tangan Pendekar Rajawali Sakti mulai merayap menyelimuti tongkat merah itu.
Bahkan semakin lama semakin mendekati tangan Setan Jubah Merah. Laki-laki
berpakaian serba merah itu akan menendang, tapi kedua kakinya terasa begitu
berat, bagai terpaku di tanah saja.
“Gila!” dengus Setan Jubah Merah kehilangan akal. Segala cara sudah
ditempuh, tapi tidak satu pun yang berhasil. Keringat telah membanjiri wajah
dan lehernya. Paras mukanya jadi berubah-ubah. Sebentar pucat, sebentar
kemudian memerah bagai kepiting rebus. Dia benar-benar putus asa. Jiwanya
kacau, otaknya tak mampu lagi diajak berpikir. Bahkan seluruh aliran
darahnya jadi terbalik arah. Cahaya biru merayap menyelimuti seluruh tubuh
Setan Jubah Merah. Juga dirasakan kalau seluruh tenaga tersedot. Setan Jubah
Merah benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan aji ‘Cakra Buana Suka’.
“Akh! Aaakh...!” Setan Jubah Merah menjerit melengking. Tubuh laki-laki
berpakaian serba merah itu menggeliat-geliat bagai dirubung jutaan semut
merah. Kemudian tubuhnya menegang meregang nyawa. Mati! Rangga segera
menarik kembali ajiannya. Kemudian, ditatapnya sebentar tubuh Setan Jubah
Merah itu. Semua orang yang ada di tempat itu melongo keheranan. Beberapa
orang yang tadi mengepung, langsung melarikan diri. Hanya sekitar lima orang
yang langsung membuang senjatanya dan berlutut menyerahkan diri.
***
LIMA
Brak!
Gagak Item menggebrak meja keras-keras. Wajahnya merah padam menahan amarah.
Hampir tidak dipercayanya kalau Setan Jubah Merah kalah oleh orang yang
konon hanyalah petani dusun. Padahal Setan Jubah Merah adalah salah seorang
yang paling diandalkan. Sementara, lima orang yang kembali membawa berita
kematian Setan Jubah Merah hanya menunduk.
Pandangan Gagak Item beralih pada tiga orang yang berdiri di belakang.
Mereka bertubuh tegap, dengan wajah mencerminkan kekasaran dan kekejaman.
Mereka dikenal berjuluk Tiga Golok Iblis. Di pinggang mereka masing-masing
terselip sebilah golok besar yang salah satu matanya bergerigi.
“Kalian bertiga, seret petani dungu itu ke sini!” perintah Gagak Item.
Tiga Golok Iblis membungkukkan badan. Dan tanpa banyak bicara, mereka segera
meninggalkan ruangan. Gagak Item atau Gusti Pragala memerintahkan lima orang
yang masih duduk bersimpuh ikut serta. Walau hatinya seperti diliputi rasa
kegentaran, mereka beranjak pergi.
“Aku tidak yakin kalau dia hanya petani biasa,” terdengar suara lembut dari
belakang.
Gagak Item menoleh, dan menghampiri seorang wanita cantik mengenakan pakaian
ketat berwarna merah muda yang telah berdiri di ambang pintu. Bibir merahnya
menyunggingkan senyum menggoda. Gagak Item meletakkan tangannya yang hanya
sebelah di bahu wanita itu. Mereka kemudian melangkah masuk. Dengan tumit
kaki kiri, Gagak Item menutup pintu. Wanita itu terus melangkah mundur dan
duduk di tepi pembaringan yang beralaskan kain sutra biru muda yang halus
dan tipis. Dengan gerakan lembut menggoda, dilepaskannya baju Gagak Item,
dan dilemparkannya begitu saja ke lantai.
“Lupakan dulu persoalanmu, Kakang Gagak Item. Biarkan mereka yang mengurusi
tikus itu,” lembut sekali suara wanita itu.
“He he he.... Kau selalu bisa membuatku terangsang, Nini Bawuk,” rayu Gagak
Item terkekeh.
Wanita yang dipanggil Nini Bawuk itu hanya tersenyum. Direbahkan dirinya di
pembaringan. Perlahan-lahan jari-jari tangannya yang lentik halus melepaskan
pakaiannya sendiri. Sebentar bajunya diputar-putar dilemparkannya
sembarangan.
“He he he...!” Gagak Item terkekeh.
Nini Bawuk menggeser tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Tubuhnya
yang indah, terbalut kulit halus putih menggiurkan. Gagak Item duduk di tepi
pembaringan. Tangannya diletakkan di paha wanita itu. Dia masih terkekeh
dengan mata liar, merayapi wajah dan tubuh yang tergolek menantang di
pembaringan.
“Aaa...,” Nini Bawuk mengeluh lirih.
Tubuhnya menggeliat, membuat gerakan-gerakan membangkitkan gairah. Sepasang
tangan yang halus lembut itu menggamit leher Gagak Item, dan menariknya
kuat-kuat. Akibatnya, Gagak Item langsung jatuh menyuruk. Seketika itu juga,
bibir mereka menyatu rapat. Liar dan buas sekali Gagak Item melumat bibir
yang berdecak-decak membangkitkan gairah. Jari-jari tangan Gagak Item
bagaikan bermata saja, menjelajahi bagian-bagian tubuh Nini Bawuk yang
paling peka.
Wanita itu mengerang lirih. Tubuhnya menggeliat-geliat di bawah himpitan
tubuh yang besar berlengan satu. Keringat mulai mengalir membasahi seluruh
tubuh mereka. Tidak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti
desahan dan rintihan lirih, mengikuti irama gerakan tubuh yang menyatu
rapat. Untuk sesaat mereka larut, dan melupakan semua kekalutan yang sedang
terjadi. Mereka sama-sama menempuh puncak kenikmatan dunia.
“Kakang..., ah!” Nini Bawuk memekik tertahan.
Sebentar tubuh wanita itu mengejang, lalu terkulai lemah bersimbah keringat.
Gagak Item meringis, dan mendesah panjang. Tubuhnya bergulir dari atas tubuh
Nini Bawuk. Wanita itu menarik kain sutra biru yang tadi tercampakkan.
Segera ditutupinya tubuhnya dan tubuh Gagak Item yang tergolek di
sampingnya. Gerak dada Gagak Item semakin teratur. Keringat masih mengalir
di dadanya yang bidang berbulu lebat.
“Kakang...,” Nini Bawuk mendesah lirih. Diletakkannya kepalanya di dada
Gagak Item.
“Kau hebat, Nini Bawuk,” desah Gagak Item di sela-sela dengus napasnya yang
belum teratur penuh.
“Kau juga perkasa,” balas Nini Bawuk.
Gagak Item memejamkan matanya rapat-rapat, membayangkan peristiwa yang baru
dialaminya. Peristiwa yang membuat detak jantungnya jadi berdebar lebih
cepat dari biasa. Peristiwa yang membuatnya mabuk, dan melupakan semua yang
tengah melanda di sekitarnya. Nini Bawuk benar-benar seorang wanita hebat.
Hebat dalam menaklukkan laki-laki di atas ranjang, juga hebat dalam
pertarungan.
Nini Bawuk bisa lembut menggairahkan di atas ranjang, tapi bisa buas dan
liar bagai seekor singa betina dalam pertarungan. Nini Bawuk tidak akan
pernah puas hanya oleh satu laki-laki saja. Dan dia memang seperti ular,
tidak peduli dengan siapa dan berada di mana. Yang penting, gairahnya bisa
terpuaskan. Lebih-lebih, kalau mendapatkan pemuda tampan dan gagah. Dia
tidak akan puas kalau belum menundukkan di atas ranjang.
Keadaan di dalam kamar yang indah ini sunyi. Gagak Item mendengkur
kelelahan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kepuasan. Perlahan-lahan
Nini Bawuk bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Gagak Item yang sudah
pulas mendengkur. Kemudian pakaiannya dikenakannya lagi. Nini Bawuk lalu
melangkah perlahan-lahan, keluar dan pergi entah ke mana. Sementara, Gagak
Item masih tetap lelap dalam buaian mimpi indah bersama wanita-wanita cantik
yang mengelilinginya.
***
Sementara itu, di dalam tahanan bawah tanah, Paman Nara Soma sudah kelihatan
segar. Meskipun, keadaan tubuhnya masih lemah. Dia sudah bisa duduk
bersandar di atas dipan kayu yang reyot. Sedang Raden Sanjaya duduk melonjor
di lantai.
“Paman tahu, di mana mereka menyembunyikan Ayahanda Prabu?” tanya Raden
Sanjaya setelah agak lama berdiam diri.
“Aku tidak tahu, Raden. Entah bagaimana nasibnya, apakah Gusti Prabu sudah
mati atau masih hidup. Sejak peristiwa itu, aku dimasukkan ke dalam penjara
ini sampai sekarang,” Paman Nara Soma berkata pelan. Ada nada kesenduan dari
suaranya.
“Ibu?” tanya Raden Sanjaya lagi.
“Ibunda Permaisuri berhasil menyelamatkan diri bersama beberapa pengawal,
dayang dan juga beberapa mentri,” sahut Paman Nara Soma menjelaskan.
“Apakah beliau tidak ke Magada?” Raden Sanjaya menggelengkan kepala. Sejak
mendengar berita runtuhnya Kerajaan Bantar, dia tidak pernah lagi bertemu
ayah dan ibunya. Saat itu juga, dia masih memikirkan keselamatan kakaknya.
Putri Kencana Wungu yang kini mungkin masih berada di rumah kecil di pinggir
batas Kerajaan Bantar yang kini menjadi Desa Mayang.
“Raden...,” suara Paman Nara Soma terputus di kerongkongan.
Bersamaan dengan itu, pintu kamar tahanan ini terkuak perlahan. Di ambang
pintu, tampak berdiri seorang wanita berpakaian ketat warna merah muda.
Sehingga, membentuk lekuk tubuhnya yang indah menggairahkan. Di belakangnya
berdiri dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berwajah kasar, menyandang
pedang di punggung. Wanita cantik itu melangkah masuk, sementara dua orang
laki-laki yang mengawalnya menjaga di depan pintu.
Wanita yang tidak lain adalah Nini Bawuk ini menutup pintu yang terbuat dari
baja tebal dan kuat. Dengan tersenyum dipandangnya Raden Sanjaya. Gairahnya
meletup-letup mendapatkan ketampanan dan kegagahan Raden Sanjaya.
“Mau apa kau ke sini?” sinis suara Raden Sanjaya.
“Kenapa kau selalu bersikap begitu padaku, Sanjaya? Aku datang bermaksud
baik padamu,” Nini Bawuk tersenyum manis.
“Heh! Sedikit pun aku tidak pernah percaya pada kata-kata manismu.”
“Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi, kau harus percaya kalau aku sudah
melihat ayahmu!”
Raden Sanjaya bangkit berdiri. Matanya nyalang menatap tajam Nini Bawuk. Dia
melangkah mendekat, dan mencekal erat-erat tangan wanita cantik itu. Nini
Bawuk tidak bergeming sedikit pun, dan malah tersenyum manis meskipun
pergelangan tangannya terasa sakit.
“Di mana ayahku?” tanya Raden Sanjaya dingin.
“Ada! Dia sehat,” sahut Nini Bawuk kalem.
Dengan halus Nini Bawuk melepaskan cengkeraman tangan itu. Tubuhnya segera
berbalik dan mendekati pintu. Dari lubang persegi, matanya mengawasi dua
orang yang menjaga di depan pintu. Perlahan-lahan tangannya membuka pintu.
Dua orang itu menoleh, tapi....
Des, des!
Kedua orang itu hanya bisa mengeluh sebentar. Begitu cepatnya Nini Bawuk
melancarkan pukulan telak ke dada mereka. Seketika dua orang bertubuh tinggi
besar ambruk dengan dada merah bergambar lima jari tangan. Nini Bawuk
melancarkan ilmu ‘Tapak Wisa’ yang sangat mematikan. Tak seorang pun sanggup
menandinginya.
Raden Sanjaya terkejut melihat Nini Bawuk merobohkan dua orang penjaga hanya
sekali pukul saja. Dia tidak mengerti terhadap sikap wanita jalang ini.
Sanjaya tahu betul, siapa Nini Bawuk. Tokoh wanita yang sangat tinggi
ilmunya memang sangat kejam, dan selalu bertingkah aneh. Kalangan rimba
persilatan bingung untuk menentukan golongannya. Dia bisa kejam melebihi
tokoh sakti beraliran hitam manapun, tapi kadang kala juga membantu pihak
yang lemah.
Hanya satu yang tidak bisa dihilangkan dalam diri Nini Bawuk. Kegemarannya
bermain asmara dengan setiap laki-laki yang diinginkannya tidak pernah bisa
hilang. Setiap kali menolong, selalu ada pamrihnya. Dan Raden Sanjaya
menyadari itu. Dia tahu, wanita itu pasti menginginkan dirinya untuk
bergumul di atas ranjang.
“Ikuti aku!” kata Nini Bawuk menoleh.
Raden Sanjaya mendekati Paman Nara Soma, dan membantunya berdiri. Mereka
keluar dari kamar tahanan. Bukan main terkejutnya Raden Sanjaya ketika Nini
Bawuk menyerahkan sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. Raden
Sanjaya ragu-ragu menerimanya. Dia tahu, pedang ini hanya senjata biasa yang
sering digunakan prajurit.
“Kau butuh senjata. Penjagaan di sini sangat ketat,” kata Nini Bawuk
setengah memaksa.
Raden Sanjaya menerima pedang itu dan mengikat di pinggangnya. Paman Nara
Soma mengambil pedang yang berada di punggung salah seorang penjaga.
Laki-laki tua itu menolak uluran tangan Raden Sanjaya yang ingin membantunya
berjalan. Kini dia sudah merasa mampu dan sehat untuk bertindak sendiri.
Mereka kembali berjalan, tapi tidak menuju keluar. Raden Sanjaya tahu, Nini
Bawuk akan membawanya pada ruang penjara yang berada paling ujung. Mungkin,
di situ ayahnya dikurung.
“Raden, hati-hati,” bisik Paman Nara Soma pelan.
“Ya,” sahut Raden Sanjaya juga berbisik. Tak seorang penjaga pun yang ada di
sepanjang lorong penjara. Mereka bisa leluasa melangkah hingga sampai ke
ujung. Nini Bawuk berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja
kasar dan kokoh. Dibukanya kunci pintu dan dikuakkannya perlahan-lahan.
Bunyi berderit terdengar menggema saat pintu terbuka. Tampak satu ruangan
yang cukup indah terpampang.
“Ayah...!” seru Raden Sanjaya begitu melihat seorang laki-laki tua dengan
rambut dan jenggot putih semua.
Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya. Sinar matanya langsung berbinar
begitu melihat Raden Sanjaya melangkah masuk dan mendekati. Sebentar mereka
hanya saling pandang, lalu berpelukan penuh kerinduan.
“Ayah...,” Raden Sanjaya melepaskan pelukannya. Kedua bola matanya
berkaca-kaca menatap lurus mata tua yang juga berkaca-kaca. Namun, sinar
mata itu memancarkan satu pengharapan.
“Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” tanya Prabu Bantar Kencana
terbata-bata.
“Ceritanya panjang, Ayah,” sahut Raden Sanjaya
Prabu Bantar Kencana menatap Paman Nara Soma yang berdiri di ambang pintu di
samping Nini Bawuk. Saat matanya menatap wanita cantik itu, raut wajahnya
langsung berubah kecut.
“Dialah yang menolongku. Dan sekarang, kita harus keluar dari tempat ini,”
buru-buru Raden Sanjaya menjelaskan.
“Hm.... Kau tahu siapa perempuan itu?” ketus suara Prabu Bantar Kencana.
Matanya tetap menatap tajam pada Nini Bawuk.
“Aku tahu, Ayah,” sahut Raden Sanjaya. Kemudian dibisikkannya sesuatu di
depan telinga ayahnya. Kini Prabu Bantar Kencana mengangguk-anggukkan
kepala.
“Kita akan punya banyak waktu,” kata Nini Bawuk tiba-tiba.
“Mari, Ayah,” ajak Raden Sanjaya.
Prabu Bantar Kencana berdiri. Sebentar matanya masih menatap tajam pada Nini
Bawuk yang sudah melangkah keluar. Kemudian laki-laki tua itu berjalan tegap
didampingi Raden Sanjaya dan Paman Nara Soma. Mereka meninggalkan kamar
tahanan yang cukup indah. Nini Bawuk tidak mengajak keluar, tapi malah terus
masuk ke dalam lorong ini. Semakin dalam mereka berjalan, semakin sempit
keadaan lorong bawah tanah ini. Tidak ada penerangan sama sekali, sehingga
mereka harus merayap merapat ke dinding.
“Hm..., rupanya dia sudah tahu rahasia lorong ini,” gumam Prabu Bantar
Kencana dalam hati.
Ujung lorong tahanan bawah tanah merupakan sebuah jalan rahasia. Letaknya di
dalam hutan, dan agak keluar dari Kerajaan Bantar atau kini Desa Mayang.
Lorong itu berakhir pada mulut gua yang tertutup batu besar. Tapi, Nini
Bawuk dengan mudah menggeser batu yang beratnya mungkin lima puluh kali
lipat dari berat tubuhnya. Sepotong bulan langsung menyambut mereka dengan
cahayanya yang lembut keemasan. Angin malam mengusap bagai hendak
mengucapkan selamat datang di dunia bebas. Prabu Bantar Kencana menarik
napas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Sekarang tugasku sudah selesai. Kalian bisa berjalan terus ke arah timur.
Di sana, akan kalian temui sebuah pondok kecil tempat Gusti Permaisuri
tinggal bersama beberapa dayang dan pengawal,” jelas Nini Bawuk.
“Tunggu!” cegah Raden Sanjaya begitu Nini Bawuk membalikkan tubuh hendak
berlalu.
“Aku hanya bisa menolong kalian sampai di sini,” kata Nini Bawuk tanpa
berbalik lagi.
“Kenapa kau menolong kami?” tanya Raden Sanjaya.
“Kau akan tahu nanti,” jawab Nini Bawuk, terus melangkah masuk ke dalam
lorong bawah tanah.
Prabu Bantar Kencana menahan tangan putranya yang hendak mencegah Nini Bawuk
pergi. Wanita itu kembali menutup batu penyumpal mulut gua kecil yang
langsung berhubungan dengan lorong bawah tanah. Raden Sanjaya memandangi
wajah ayahnya, kemudian beralih menatap Paman Nara Soma. Sikap Nini Bawuk
memang membuat pikiran Raden Sanjaya tidak tenang. Rasanya tidak mungkin
kalau wanita ini menolong tanpa pamrih apa-apa. Hampir semua orang tahu dia
seorang tokoh wanita yang sangat licik dan kejam. Beberapa saat lamanya
ketiga orang itu masih berdiri tanpa berkata sedikit pun.
“Aku tidak mengerti, kenapa Nini Bawuk menolong kita?” Raden Sanjaya seperti
bertanya pada diri sendiri.
“Sudahlah, Sanjaya. Kita akan mengetahuinya nanti. Yang penting sekarang,
kita harus percaya kata-katanya dulu. Mari kita berangkat,” ajak Prabu
Bantar Kencana.
“Ayah masih kuat berjalan?” Raden Sanjaya mencemaskan keadaan ayahnya.
“Aku tidak apa-apa. Bagaimana dengan Paman Nara Soma?”
“Jangan cemaskan aku,” tegas Paman Nara Soma.
Mereka kemudian bergerak mengikuti petunjuk Nini Bawuk. Hutan ini tidak
terlalu lebat, sehingga tidak begitu sulit untuk dilalui. Apalagi ditambah
penerangan dari sinar bulan yang memancar penuh. Sepanjang perjalanan,
mereka membisu. Lain halnya Raden Sanjaya. Kepalanya masih dipenuhi tanda
tanya oleh sikap Nini Bawuk yang aneh. Dia tidak percaya kalau wanita jalang
itu menolongnya tanpa mengharapkan balas jasa.
Dari pancaran sinar matanya, bisa diartikan kalau dirinyalah yang akan
menebus semua pertolongan ini. Ya! Nini Bawuk tidak akan mengharapkan
apa-apa, selain seorang pemuda tampan dan gagah sebagai imbalannya. Bergidik
juga Raden Sanjaya membayangkan kalau harus melayani Nini Bawuk di atas
ranjang.
Tanpa terasa, mereka sudah jauh berjalan. Dan hutan yang dilalui semakin
rapat saja. Raden Sanjaya terpaksa menggunakan pedang untuk membuka jalan.
Mereka berhenti ketika di depan menghadang sebuah danau kecil. Raden Sanjaya
mengedarkan pandangannya berkeliling. Matanya nanar begitu melihat sebuah
pondok kecil berdiri di tepi danau, agak tersembunyi letaknya. Tampak
beberapa orang bersenjata berjaga-jaga di sekitar pondok itu.
“Itu pasti pondok yang ditunjukkan Nini Bawuk,” gumam Raden Sanjaya.
“Ya! Mereka adalah para pengawal istana,” sambung Prabu Bantar Kencana.
“Tunggu!” Paman Nara Soma mencegah begitu Raden Sanjaya dan ayahnya akan
mendekati pondok. Tapi terlambat.
Ternyata orang-orang bersenjata itu sudah keburu melihat. Mereka serentak
berlompatan mengurung tiga orang ini sambil menghunus tombak dan pedang,
dengan sikap penuh kecurigaan. Prabu Bantar Kencana maju dua tindak ke
depan. Dia bisa mengenali pakaian yang dikenakan orang-orang ini. Pakaian
prajurit pengawal Istana Kerajaan Bantar.
“Kalian lihat baik-baik, siapa aku!” suara Prabu Bantar Kencana terdengar
berwibawa.
“Gus... Gusti Prabu....” Salah seorang yang mungkin pemimpinnya, langsung
menjatuhkan diri berlutut. Mereka yang juga bisa mengenali orang-orang yang
kini berdiri, langsung menjatuhkan diri berlutut.
Prabu Bantar Kencana tersenyum melihat para prajurit pengawal istananya
masih setia dan bisa mengenali, meskipun sudah tiga tahun tidak bertemu.
“Bangunlah kalian,” ujar Prabu Bantar Kencana.
“Maafkan hamba, Gusti Prabu,” ucap salah seorang yang berlutut persis di
depan Prabu Bantar Kencana. Dari pakaian yang dikenakannya, sudah jelas
kalau dia seorang punggawa tinggi.
“Di mana permaisuriku?” tanya Prabu Bantar Kencana.
“Di dalam pondok.”
Prabu Bantar Kencana mengayunkan langkahnya mendekati pondok, diikuti Raden
Sanjaya dan Paman Nara Soma. Prajurit pengawal yang jumlahnya tidak kurang
dari lima belas orang mengikuti dari belakang. Mereka tidak lagi menghunus
senjata.
Sementara, Prabu Bantar Kencana berdiri sebentar di depan pintu pondok
sebelum membukanya. “Dinda...,” agak bergetar suara laki-laki tua itu begitu
melihat seorang wanita duduk di pembaringan dikelilingi enam dayang-dayang.
“Kanda...!” Raden Sanjaya memalingkan muka, tidak sanggup menyaksikan
pertemuan yang begitu mengharukan. Prabu Bantar Kencana memeluk istrinya
erat-erat. Tidak terasa, setitik air bening menggulir di pipinya yang mulai
keriput. Lama mereka berpelukan melepaskan rindu. Para dayang dan prajurit
pengawal yang menyaksikan, hanya menundukkan kepala. Di antaranya malah ada
yang menitikkan air mata haru.
“Lihat, siapa yang bersamaku,” kata Prabu Bantar Kencana setelah melepaskan
pelukannya.
“Sanjaya..., anakku...,” desah Gusti Permaisuri.
“Ibu...!” Raden Sanjaya tidak dapat lagi menahan air matanya yang memang
sejak tadi akan bobol tumpah.
Pemuda itu menangis dalam pelukan ibunya. Beberapa prajurit langsung keluar
dan berjaga-jaga di luar. Sedangkan Prabu Bantar Kencana meminta para dayang
meninggalkan ruangan. Tinggal Paman Nara Soma yang masih berdiri di depan
pintu yang sudah tertutup rapat. Setelah agak lama melepaskan pelukan pada
ibunya, Raden Sanjaya duduk di samping wanita setengah baya yang masih
kelihatan cantik ini. Prabu Bantar Kencana juga duduk di sampingnya.
Sementara Paman Nara Soma tetap berdiri di tempatnya.
“Di mana kakakmu?” tanya Gusti Permaisuri pada Raden Sanjaya.
“Ada. Dia selamat,” sahut Raden Sanjaya menekan suaranya. Sengaja dia
berkata begitu untuk menenangkan hati ibunya.
“Kenapa tidak kau bawa saja sekalian?”
“Dia sedang membangun kekuatan untuk merebut kembali tahta ayah, Bu.”
“Dengan siapa?” tanya Prabu Bantar Kencana yang baru mempunyai kesempatan
bertanya.
“Panglima Gadalarang, dibantu seorang pendekar pilih tanding,” sahut Raden
Sanjaya.
Tanpa diminta, diceritakannya semua yang dilakukannya selama ini. Semua yang
diceritakan sama dengan apa yang dikatakan pada Paman Nara Soma waktu di
dalam kamar tahanan di bawah tanah. Ada sinar kebanggaan terpancar di mata
Prabu Bantar Kencana mendengar cerita Raden Sanjaya. Sedangkan wanita
setengah baya yang duduk di sampingnya terus menitik air mata.
“Besok aku akan menjemput mereka semua, dan mengirim utusan ke Magada untuk
meminta bantuan prajurit,” kata Raden Sanjaya setelah selesai bercerita.
“Bagus!” sambut Prabu Bantar Kencana langsung.
“Paman bisa ikut denganku besok,” pinta Raden Sanjaya.
“Hamba selalu siap, Raden,” sahut Paman Nara Soma.
“Nah! Kalau begitu, sekarang istirahatlah. Sebelum matahari terbit, kalian
sudah bisa melaksanakan pekerjaan yang berat ini,” kata Prabu Bantar
Kencana.
Paman Nara Soma memberi hormat, lalu berbalik. Dibukanya pintu pondok
sebelum melangkah keluar. Raden Sanjaya mengikutinya, tapi langkahnya
tertahan karena ibunya memanggil.
“Kau tidur di dalam sini, Sanjaya.”
“Aku ingin menghitung kekuatan yang ada di sini,” sahut Raden Sanjaya terus
saja melangkah keluar.
“Biarkan, Dinda. Aku bangga memiliki putra gagah seperti dia,” ujar Prabu
Bantar Kencana.
Sesaat kemudian, di dalam pondok itu sunyi sepi. Beberapa prajurit masih
tetap berdiri di depan pintu dan sekitar pondok. Sedang Raden Sanjaya duduk
menghadap api unggun bersama Paman Nara Soma. Dia bicara mengenai semua yang
sudah direncanakan bersama Panglima Gadalarang dan kakaknya, Putri Kencana
Wungu.
***
ENAM
Raden Sanjaya terkejut melihat rumah kecil yang selama ini jadi tempat
tinggalnya, ternyata tinggal puing-puing. Asap dari bara api masih mengepul,
pertanda rumah kecil itu baru saja habis terbakar. Tak seorang pun terlihat
di sekitar tempat ini. Hanya beberapa mayat berpakaian hitam bergelimpangan
tak tentu arah. Bahkan ada yang tertimbun puing yang masih membara merah.
Pandangan mata Raden Sanjaya tertumbuk pada seorang yang duduk di atas batu
membelakanginya. Meskipun membelakangi, Raden Sanjaya bisa mengenalinya.
Orang itu mengenakan baju rompi putih, dengan pedang berkepala burung di
punggung.
“Rangga...!” seru Raden Sanjaya memanggil.
Orang yang duduk di atas batu memang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
langsung berbalik tanpa merubah sikap duduknya. Saat melihat Raden Sanjaya
berdiri didampingi seorang laki-laki tua berjubah putih, Rangga langsung
melayang. Kemudian mendarat ringan di depan Raden Sanjaya.
“Apa yang terjadi di sini? Di mana Panglima Gadalarang dan Putri Kencana
Wungu?” tanya Raden Sanjaya memberondong.
Rangga tidak segera menjawab. Tatapan matanya tertuju pada Paman Nara Soma
yang berdiri di samping Raden Sanjaya. Kemudian, pandangannya beralih pada
pemuda di depannya.
“Oh! Aku lupa mengenalkan. Dia Paman Nara Soma. Penasihat dan kepercayaan
Ayahanda Prabu,” Raden Sanjaya mengerti arti pandangan Rangga. “Paman, ini
Pendekar Rajawali Sakti yang kuceritakan.”
Paman Nara Soma mengangguk kecil. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh
persahabatan. Rangga membalas anggukan pula.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Raden Sanjaya mengulangi pertanyaannya
yang belum terjawab.
“Mereka datang semalam, dan membakar rumah ini,” sahut Rangga kalem.
“Lantas....?”
“Panglima Gadalarang dan kakakmu selamat. Mereka kini ada di tempat latihan
prajurit.”
Raden Sanjaya menarik napas. Dadanya terasa lega mendengar kakaknya selamat.
Sejak kemarin dalam tahanan, dia sudah mengkhawatirkan keselamatan mereka
semua. Kini, perasaannya benar-benar lega.
“Aku sengaja menunggu di sini untuk memberitahumu,” lanjut Rangga.
“Kau tahu aku akan ke sini?” tanya Raden Sanjaya heran.
“Seseorang memberi tahu dengan ini.” Rangga menyerahkan sepucuk surat yang
terikat pada sebatang anak panah. Raden Sanjaya menerima benda itu, dan
membaca isi suratnya. Bibirnya menyunggingkan senyum setelah mengetahui
isinya.
“Kau tahu, siapa yang mengirimkan ini?” tanya Raden Sanjaya.
“Tidak,” sahut Rangga.
“Dia pasti Nini Bawuk,” Raden Sanjaya sedikit bergumam.
Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Raden Sanjaya bercerita sedikit
mengenai Nini Bawuk dan pengalamannya selama ini, sampai bisa keluar dari
kamar tahanan bersama Paman Nara Soma dan ayahnya. Juga diceritakan tentang
tempat tinggal ibunya yang sekarang tanpa ada yang ditutupi. Raden Sanjaya
percaya penuh kalau Rangga berada di pihaknya.
Saat mereka berbicara, mendadak terdengar suara riuh dibarengi
langkah-langkah kaki mendekati. Tampak dari arah timur, terlihat serombongan
manusia berpakaian seragam bagai prajurit berjalan berbaris mengikuti empat
orang penunggang kuda. Dua di antara penunggang kuda itu adalah Putri
Kencana Wungu dan Panglima Gadalarang. Sedangkan dua orang lagi patih dari
Kerajaan Magada. Seragam yang dikenakan orang-orang di belakangnya juga
berbeda, terpisah jadi dua kelompok.
Sudah dapat dipastikan kalau yang satu pasti prajurit Kerajaan Bantar,
sedangkan lainnya dari Magada. Raden Sanjaya tersenyum lebar melihat
kekuatan prajurit yang jumlahnya hampir mencapai seribu orang itu. Tak lama
kemudian mereka tiba di tempat Raden Sanjaya, Rangga, dan Paman Nara Soma
menunggu.
“Kenapa ayah tidak ikut?” Putri Kencana Wungu langsung bertanya begitu
sampai.
“Dari mana kau tahu tentang ayah?” tanya Raden Sanjaya sambil menduga-duga.
“Seseorang yang tidak kuketahui memberikan surat melalui panah padaku,”
sahut Putri Kencan Wungu.
“Hm..., lagi-lagi dia. Apa maksudnya?” gumam Raden Sanjaya perlahan.
Dugaannya sudah jelas kalau semua ini seperti diatur Nini Bawuk.
“Siapa dia?” tanya Putri Kencana Wungu.
“Aku baru menduga,” sahut Raden Sanjaya tak berterus terang.
Tiga orang prajurit datang menuntun tiga ekor kuda. Masing-masing diserahkan
pada Rangga, Raden Sanjaya, dan Paman Nara Soma. Kini ada tujuh orang
menunggang kuda. Yang dipimpin langsung Raden Sanjaya. Rombongan yang cukup
besar itu langsung bergerak, begitu Raden Sanjaya memberi aba-aba.
***
Pagi-pagi sekali, setelah beristirahat semalaman di tepi danau tempat
tinggal Prabu Bantar Kencana dan permaisurinya, prajurit-prajurit yang
dipimpin Raden Sanjaya bergerak menuju ke Kerajaan Bantar yang diubah
namanya oleh Gagak Item menjadi Desa Mayang. Dan kini, pagi itu di setiap
pelosok terjadi pertempuran sengit. Raden Sanjaya bertarung bagai banteng
luka, mengamuk dan membabat orang-orang Gagak Item.
Maka tak heran kalau sedikit demi sedikit para prajurit yang dipimpin
langsung putra mahkota Kerajaan Bantar itu mendekati benteng istana. Di sini
mereka terhalang tembok benteng yang tebal dan tinggi. Bahkan
prajurit-prajurit Gagak Item menghujani mereka dengan anak-anak panah dari
atas tembok benteng. Raden Sanjaya terpaksa menghentikan perlawanan dan
mencari siasat untuk menembus benteng itu.
Sementara itu, Prabu Bantar Kencana yang selalu didampingi permaisuri dan
putrinya, Putri Kencana Wungu, tersenyum bangga melihat rakyatnya memanggul
senjata apa saja yang dimiliki untuk membantu perjuangan. Mereka bertekad
merebut kembali tahta kerajaan yang selama tiga tahun diduduki Gagak Ireng
alias Wiratma.
“Bagaimana, Ayah? Mungkinkah kita menembus benteng itu?” Raden Sanjaya
meminta pendapat Prabu Bantar Kencana.
Prabu Bantar Kencana tidak langsung menjawab. Matanya tajam menatap ke arah
pintu gerbang yang tertutup rapat. Sementara, para prajurit sudah berbaur
dengan rakyat yang masih setia pada rajanya, berjaga-jaga menunggu perintah.
“Hm.... Sebaiknya, kita melalui jalan rahasia saja,” usul Paman Nara Soma
teringat lorong tahanan bawah tanah.
“Jangan!” sentak Prabu Bantar Kencana. “Terlalu berbahaya melewati jalan ke
sana.”
“Lantas, apa yang harus kita lakukan? Berdiam diri di sini, menunggu sampai
mereka yang ada di dalam benteng mati kelaparan?” Raden Sanjaya tidak
sabaran lagi.
Belum lagi Prabu Bantar Kencana memberi jawaban, Rangga berdiri dari
duduknya di samping Panglima Gadalarang. Tubuhnya berbalik, menatap langsung
ke arah pintu gerbang benteng yang tertutup rapat. Tatapannya beralih ke
atas benteng. Tampak beberapa orang berlindung dengan panah siap
ditembakkan. Mereka menjaga sekeliling benteng, tak ada satu celah pun yang
bisa diterobos.
“Rangga...! Mau ke mana?” teriak Raden Sanjaya begitu melihat Pendekar
Rajawali Sakti melangkah.
“Persiapkan prajuritmu. Aku akan menembus benteng itu!” sahut Rangga terus
melangkah.
“Gila! Dia bisa mati konyol!” dengus Paman Nara Soma.
“Dia seorang pendekar, Paman. Dia tahu apa yang harus dilakukan,” Panglima
Gadalarang menenangkan.
Raden Sanjaya segera mengumpulkan para kepala pasukan dan memerintahkan
untuk bersiap-siap. Sedangkan Panglima Gadalarang mengikuti langkah Rangga
dari jarak cukup jauh. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
tegak tak jauh dari pintu gerbang.
Sret!
Cahaya biru berkilau membias begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut
pedangnya yang langsung disilangkan di depan dada. Kedua kakinya terpentang
lebar dengan pandangan mata tajam, ke arah pintu. Semua orang yang
menyaksikan berdebar-debar menunggu apa yang akan dilakukan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Aji Pedang Pemecah Sukma...!” mendadak Rangga berteriak lantang.
Bersamaan itu, Pendekar Rajawali Sakti berlari cepat sambil memutar-mutar
pedangnya di atas kepala. Maka orang-orang di atas benteng, langsung
memuntahkan anak-anak panah ke arah pendekar muda. Benar-benar menakjubkan!
Tak ada satu batang anak panah pun yang sanggup mendekati tubuhnya. Semua
rontok begitu saja saat terkena pancaran sinar biru yang bergulung-gulung
dari Pedang Rajawali Sakti. Dan ketika jaraknya tinggal dua batang tombak di
pintu gerbang, Pendekar Rajawali Sakti melompat seraya mengibaskan pedangnya
ke depan. Pekikan keras terdengar disusul ledakan dahsyat, begitu pedangnya
menghantam pintu gerbang yang tebal dan kokoh.
“Serang...!”
Raden Sanjaya memberi perintah begitu pintu gerbang hancur berantakan.
Teriakan-teriakan terdengar bersamaan dengan menghamburnya para prajurit
gabungan. Raden Sanjaya dengan kuda tunggangannya melaju cepat bagai anak
panah lepas dari busurnya. Kemudian menyusul Panglima Gadalarang, Paman Nara
Soma, dan dua orang patih perang dari Kerajaan Magada. Di belakangnya, tidak
kurang dari seribu prajurit dibantu rakyat menyerbu seraya meneriakkan
pekik-pekik peperangan.
Tidak terhitung lagi, berapa yang jatuh tersungkur tertembus anak panah
sebelum mencapai pintu. Tapi hal itu tidak menyurutkan semangat. Sementara
itu, di dalam benteng Pendekar Rajawali Sakti tengah mengamuk dengan pedang
di tangan menghadapi puluhan orang berpakaian hitam yang mengeroyoknya.
“Rangga...! Hiyaaa...!”
Raden Sanjaya langsung melompat dari punggung kuda begitu sampai di halaman
dalam istana.
“Bagus!” seru Rangga melihat Raden Sanjaya sudah terjun dalam pertarungan.
Panglima Gadalarang, Paman Nara Soma, dan dua orang patih dari Magada sudah
terlibat dalam pertempuran. Tak sedikit para prajurit gabungan yang berhasil
menerobos masuk ke dalam benteng. Pekik peperangan dan jerit kematian
berbaur jadi satu. Tidak terhitung lagi jumlah korban yang jatuh.
Namun peperangan terus berkobar sengit. Rangga yang sibuk menghadapi para
pengeroyoknya, sempat melihat seorang perempuan cantik berbaju merah muda
tipis keluar dari dalam istana. Maka, Pendekar Rajawali Sakti langsung
melompat dan membabatkan pedangnya ke arah para prajurit. Kemudian, dia
berteriak keras seraya melenting tinggi dan meluruk ke arah wanita cantik
itu.
“Aku lawanmu, Iblis!” geram Rangga begitu kakinya menjejak tanah di depan
wanita cantik yang tidak lain Nini Bawuk.
“Oh...! Kau tampan sekali, Anak Muda,” Nini Bawuk tersenyum manis. Bola
matanya berbinar menatap wajah Rangga yang tampan.
“Di mana Wiratma?” tanya Rangga yang bisa memastikan si pembuat kerusuhan
ini.
“Hi hi hi.... Tidak ada yang bernama Wiratma di sini,” sahut Nini Bawuk
terkikik genit.
Belum lagi Rangga membuka mulut, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat.
Tahu-tahu, Raden Sanjaya sudah berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Matanya tajam menyorot ke arah Nini Bawuk. Sedang wanita cantik itu makin
berseri melihat kedatangan Raden Sanjaya. Bibirnya berdecak menahan gairah
yang meluap-luap dalam dada. Nini Bawuk memang selalu bergairah bila melihat
pemuda gagah dan tampan.
“Nini Bawuk! Aku akan membayar hutangku sekarang!” dengus Raden Sanjaya.
“Bagus! Mari ke dalam,” sambut Nini Bawuk.
“Tidak perlu! Keluarkan senjatamu. Kita lunasi semua hutang di sini!” sentak
Raden Sanjaya.
Merah padam muka Nini Bawuk. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah yang
bergolak dalam dada. Kata-kata Raden Sanjaya merupakan tantangan langsung
tanpa tedeng aling-aling.
"Phuih! Kau tahu, apa arti kata-katamu, Sanjaya?” geram Nini Bawuk.
“Mati untukmu!” sahut Raden Sanjaya dingin.
“Edan!”
“Bersiaplah, Nini Bawuk!”
***
Meskipun Raden Sanjaya pernah ditolong Nini Bawuk, tidak sudi percaya pada
perempuan jalang itu. Lebih baik mati daripada harus melayani Nini Bawuk di
tempat tidur. Raden Sanjaya langsung menyerang dengan jurus-jurus pedang
yang cepat dan berbahaya. Namun, Nini Bawuk bukanlah lawan Raden Sanjaya.
Semua serangan pemuda itu ternyata bisa dikandaskan di tengah jalan.
Sementara, Rangga mengawasi jalannya pertarungan yang sudah berlangsung
lebih dari lima jurus. Bisa dipastikannya kalau Raden Sanjaya tidak akan
unggul menghadapi Nini Bawuk. Memasuki jurus ke delapan, Raden Sanjaya sudah
mulai kewalahan. Serangannya sudah ngawur. Bahkan semakin terdesak. Suatu
saat, ketika Nini Bawuk mengarahkan pukulan ke kepala, Raden Sanjaya
langsung merunduk. Tapi dengan cepat Nini Bawuk mengibaskan kaki kanannya ke
arah pinggang. Raden Sanjaya yang tidak menyadari akan mendapat serangan
beruntun demikian cepat, tidak dapat mengelak lagi.
“Hugh!” Raden Sanjaya mengeluh pendek. Tubuhnya langsung sempoyongan. Belum
juga pemuda tampan itu menguasai keseimbangan tubuhnya, satu pukulan keras
disertai tenaga dalam mendarat di dada. Raden Sanjaya terjengkang ke
belakang sejauh satu batang tombak. Nini Bawuk langsung melompat hendak
menjejakkan kakinya di dada pemuda itu, tapi serangannya terhalang oleh
Rangga yang cepat melompat menghadang. Terpaksa Nini Bawuk melenting kembali
ke belakang.
“Pimpin prajuritmu. Biar dia kubereskan!” ujar Rangga.
Raden Sanjaya bangkit. Bibirnya meringis menahan sakit pada pinggang dan
dadanya. Napasnya agak tersengal, tapi segera diaturnya. Sementara, Pendekar
Rajawali Sakti langsung melompat sambil mengibaskan pedangnya menggunakan
jurus ‘Rajawali Sakti’ yang keempat, yaitu jurus ‘Pukulan Maut Paruh
Rajawali Sakti’ tingkat pertama. Dengan pedang pusaka di tangan, jurus itu
terlihat sangat dahsyat. Bahkan bisa menyamai tingkatan yang terakhir.
Mendapat serangan beruntun yang tersusun rapi, Nini Bawuk jadi kelabakan.
Beberapa kali tubuhnya jatuh bangun menghindari serangan ganas Pendekar
Rajawali Sakti. Saat mendapat kesempatan sedikit, Nini Bawuk melompat
mundur. Matanya tajam menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
bersiap-siap mengerahkan ilmu ‘Pedang Pemecah Sukma’.
Sret!
Nini Bawuk meloloskan senjatanya berupa sebuah pedang pendek. Senjata
bermata dua bagai garpu raksasa itu memancarkan sinar kuning keemasan. Dua
tokoh sakti kini berhadapan dengan mengerahkan ilmu andalan masing-masing.
Tapi Rangga, belum mengeluarkan ilmu andalannya yang terakhir.
“Hiya...!"
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak nyaring, mereka saling terjang. Rangga mengarahkan
pedangnya lurus ke depan. Sedangkan Nini Bawuk cepat mengibaskan pedangnya.
Trang, tring!
Dua senjata pusaka beradu di udara. Dan bersamaan dengan itu, kaki Pendekar
Rajawali Sakti melayang cepat menghantam perut. Nini Bawuk memekik tertahan.
Tubuhnya kontan jatuh, tapi dengan cepat bisa menguasai diri. Dan begitu
kaki Rangga menapak bumi, wanita itu langsung menyerang dengan ilmu
andalannya. Dua sinar berkelebat cepat mengurung tubuh. Begitu cepatnya
pertarungan, sehingga tubuh mereka bagai hilang tertelan dua sinar yang
bercampur aduk.
“Aji Cakra Buana Sukma...!” teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti menempelkan pedangnya ke pedang
bermata dua milik Nini Bawuk. Tentu saja wanita cantik itu kaget setengah
mati, karena mendadak senjatanya terasa bagai terpatri erat pada pedang
lawannya. Maka seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk menarik
pulang senjatanya. Tapi semakin mengerahkan tenaga dalamnya, semakin banyak
tenaganya tersedot habis.
“Ih!” Nini Bawuk melepaskan genggamannya pada tangkai pedang. Dan dia
benar-benar terkejut, karena telapak tangannya tidak terlepas. Nini Bawuk
menggeliat, berusaha melepaskan diri dari tarikan yang begitu menyedot
tenaganya. Sedangkan cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang Pendekar
Rajawali Sakti perlahan-lahan merayap menyelimuti pedang Nini Bawuk.
“Setan! Ilmu apa yang dipakai?” dengus Nini Bawuk cemas.
Seluruh tubuh dan wajah wanita cantik ini basah bersimbah keringat. Wajahnya
sebentar memucat dan sebentar merah padam bagai kepiting rebus. Seluruh
tubuh Nini Bawuk bergetar menahan arus tenaga sedotan yang bisa menguras
tenaganya yang bisa mengakibatkan mati lemas. Perlahan namun pasti, sinar
biru yang memancar bergulung-gulung dari Pedang Rajawali Sakti menyelimuti
tubuh Nini Bawuk. Dan begitu seluruh tubuh wanita itu terselubung sinar
biru, Rangga berteriak nyaring sambil menyentakkan pedangnya. Seketika,
terdengar ledakan keras bersamaan dengan terlontarnya tubuh Nini Bawuk yang
menggeliat-geliat meregang nyawa. Yang tak lama kemudian nyawanya terpisah
dari raganya. Mati!
Rangga mendesah panjang sambil memasukkan pedang pusaka ke dalam
warangkanya. Matanya memandang berkeliling. Tampak pertempuran masih terus
berlangsung sengit. Sementara, terlihat orang-orang berpakaian hitam mulai
terdesak. Bahkan beberapa di antaranya mencoba melarikan diri. Tapi para
prajurit yang dipimpin langsung Raden Sanjaya tidak membiarkan mereka lolos.
Semua dibabat habis tanpa mengenal ampun.
Sekelebat Rangga melihat sebuah bayangan putih di atas atap. Tanpa membuang
waktu lagi, langsung tubuhnya melenting dengan menggunakan jurus ‘Sayap
Rajawali Sakti Membelah Mega’. Tubuhnya kini jadi ringan bagaikan kapas. Dan
dalam sekejap mata, Rangga sudah berada di atap. Matanya yang tajam bagai
mata elang, masih sempat melihat bayangan putih meluruk ke balik tembok
benteng bagian belakang.
Rangga langsung mengejar. Diyakini kalau bayangan putih itu adalah Wiratma
atau Gagak Item. Tidak ada yang mengetahui, ke mana Rangga pergi. Hanya
Prabu Bantar Kencana dan Paman Nara Soma saja yang sempat bisa melihat
kepergian Rangga. Sementara pertempuran sudah berhenti. Sisa-sisa orang yang
merebut Kerajaan Bantar segera meletakkan senjata. Mereka merasa kalau
pemimpinnya sudah melarikan diri, jadi tak ada gunanya melawan lagi.
“Di mana Rangga, Paman?” tanya Raden Sanjaya. Keringat masih mengucur deras
di sekujur tubuhnya.
“Dia sudah pergi,” sahut Paman Nara Soma.
“Pergi? Ke mana?” desak Raden Sanjaya.
“Mengejar Gagak Item, ke arah sana!” Paman Nara Soma menunjuk benteng bagian
belakang, ke arah Rangga mengejar bayangan putih.
Raden Sanjaya langsung melompat ke arah yang ditunjuk Paman Nara Soma.
Panglima Gadalarang juga segera melompat mengejar.
“Sanjaya, tunggu!” teriak Putri Kencana Wungu.
“Kencana Wungu...!”
Prabu Bantar Kencana terkejut melihat putrinya sudah melompat mengejar
adiknya dan Panglima Gadalarang. Tapi, Putri Kencana Wungu cepat menghilang
di balik tembok. Prabu Bantar Kencana memerintahkan Paman Nara Soma untuk
mengejar sambil membawa beberapa prajurit, tapi dicegah dua orang patih
perang dari Magada. Mereka kemudian mengikuti, disertai tidak kurang dari
lima puluh orang prajurit
***
TUJUH
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bagai seekor burung yang terbang dari puncak
pohon yang satu ke puncak pohon lainnya. Tatapannya tajam mengamati ke
bawah, ke arah bayangan putih yang terlihat berkelebat dari balik pohon yang
lebat. Menyadari kalau begini terus akan kehilangan jejak, Rangga segera
mengempos tenaganya dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai titik kesempurnaan.
Bagaikan seekor rajawali hendak menyambar mangsa, tubuh Pendekar Rajawali
Sakti menukik deras ke arah bayangan putih di bawah. Saat ini Rangga
mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Tidak dapat
dibayangkan, betapa terkejutnya si Gagak Item atau Wiratma alias Gusti
Pragala begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadangnya.
“Cukup, Wiratma! Perbuatanmu sudah melampaui batas!” sentak Rangga
menggeram.
“He he he.... Ada ular mencari penggebuk rupanya,” Wiratma hanya tertawa
terkekeh.
“Ya! Ular itu adalah kau!”
Merah padam wajah Wiratma. Maka seketika segera dibukanya jurus mautnya. Dia
sadar, siapa yang berada di depannya sekarang. Seorang pendekar muda yang
pernah bertarung dengannya, dan membuntungi tangannya. Wiratma tidak mau
memandang remeh. Baginya, kehilangan satu tangan sudah cukup sebagai
peringatan keras.
Rangga yang sudah muak oleh tingkah polah Wiratma, tidak mau
tanggung-tanggung. Segera dikeluarkannya senjata pusakanya. Maka, seketika
itu juga keremangan di dalam hutan jadi berubah terang benderang oleh sinar
biru yang memancar dari Pedang Rajawali Sakti.
Meskipun sudah pernah melihat pedang itu, tapi Wiratma masih terkejut
melihat kedahsyatan pamornya. Kakinya melangkah mundur satu tindak, dan
bergeser ke kiri. Tatapannya tajam memandang ke ujung pedang yang
memancarkan sinar biru berkilauan.
“Lihat pedang!” teriak Rangga tiba-tiba.
Bersamaan bentakan itu, tubuh Rangga berkelebat cepat seraya mengibaskan
pedangnya ke arah dada lawan. Wiratma langsung melompat, menghindari tebasan
pedang Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dibalas serangan itu dengan
menusukkan goloknya yang bergerigi ke arah lambung Rangga. Tapi dengan manis
sekali Rangga berhasil mengelakkannya.
Pertarungan terus berlangsung begitu cepat. Masing-masing saling menyerang
dan menghindari. Dalam waktu tidak berapa lama, mereka sudah menghabiskan
sekitar delapan jurus. Dan ini sangat disadari Rangga, kalau Wiratma
bukanlah lawan enteng. Dia tidak tahu kalau Wiratma bertarung sangat
hati-hati dan selalu menghindari bentrokan senjata secara langsung.
Setelah pertarungan berjalan lebih dari lima belas jurus, Rangga mulai
tampak senang. Karena Wiratma harus selalu berkelit dan berusaha untuk tidak
berbenturan senjata. Maka serangannya makin diperhebat dengan jurus-jurus
andalan. Hingga beberapa kali Wiratma harus jungkir balik menghindari setiap
kibasan pedang.
Satu saat, Rangga melenting tinggi ke udara. Kemudian dengan cepat sekali
tubuhnya menukik tajam dengan ujung pedang lurus mengarah ke kepala lawan.
Wiratma melompat ke kanan, sambil merundukkan kepalanya. Tapi tidak diduga
sama sekali, pedang Pendekar Rajawali Sakti berbalik arah begitu cepat ke
arah pinggang.
“Ikh!” Wiratma memekik tertahan, dan buru-buru membanting tubuh ke tanah.
Belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, mendadak kaki Pendekar Rajawali Sakti
terayun deras. Wiratma tidak sanggup lagi menghindar. Tendangannya yang
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu langsung menghantam iganya.
Wiratma mengeluh pendek begitu terasa kalau tulang-tulang iganya seperti
patah.
“Setan!” dengus Wiratma menggeram.
“Mampus kau, Wiratma!” bentak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya ke arah leher.
Kali ini, Wiratma yang keseimbangan tubuhnya belum penuh, tidak punya
pilihan lain. Segera senjatanya diangkat untuk memapak pedang lawan.
Tring!
Dua senjata pusaka beradu keras, sehingga menimbulkan pijaran bunga api
memercik ke segala arah. Wiratma langsung memutar senjatanya. Tapi Rangga
malah cepat membalikkan pedangnya sehingga masuk ke dalam gerigi tajam golok
Wiratma.
“Hih!”
Wiratma berusaha menarik senjatanya. Tapi usaha Wiratma sia-sia. Ternyata
Rangga sudah lebih dulu mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’. Dengan
demikian, kedua pedang pusaka itu menempel erat bagai terpatri. Wiratma
melepaskan genggamannya pada tangkai senjatanya, namun kontan terkejut.
Ternyata telapak tangannya menempel erat pada tangkai senjatanya sendiri.
Sekuat tenaga dia berusaha menarik tangannya yang terpatri erat pada tangkai
senjatanya sendiri. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga, semakin terasa
kalau tenaganya tersedot. Sinar biru dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti mulai
bergulung-gulung bergumpal jadi satu dan merayap mendekati tangan Wiratma
yang menempel erat pada tangkai senjatanya sendiri.
Hal ini membuat Wiratma semakin melebarkan kelopak mata. Seluruh paras
wajahnya menegang dan memucat. Apa yang dikhawatirkan jadi kenyataan. Semua
yang dimiliki telah dikeluarkan, tapi tak mampu membendung arus aji ‘Cakra
Buana Sukma’.
Rangga menoleh ketika mendengar langkah-langkah kaki mendekati. Dari balik
pepohonan, muncul Raden Sanjaya diikuti Panglima Gadalarang. Lalu, tidak
lama kemudian para prajurit kerajaan Magada dipimpin dua orang patih
perangnya juga muncul. Terakhir kali, datang Putri Kencana Wungu.
“Kakang Rangga...!” panggil Putri Kencana Wungu keras.
“Jangan dekat!” sentak Rangga melihat gadis itu melangkah mendekati.
“Kakang, hentikan. Biar kami yang mengadili orang ini,” kata Putri Kencana
Wungu.
Rangga menahan arus aji ‘Cakra Buana Sukma’. Sinar biru yang sudah
menggulung seluruh tangan Wiratma jadi terhenti gerakannya. Tapi laki-laki
bertangan satu itu tetap tak mampu berbuat apa-apa. Seluruh tenaganya
terkuras habis. Hanya dari kekuatan aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang membuatnya
masih mampu berdiri. Wiratma memandang orang-orang yang sudah mengepung di
sekelilingnya. Perlahan-lahan, Putri Kencana Wungu melangkah mendekati.
Raden Sanjaya juga ikut mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
“Jangan dekat, Kencana Wungu. Kau bisa celaka nanti!” Rangga memperingatkan.
“Hentikan, Kakang. Tidak ada gunanya membunuh orang itu,” kata Putri Kencana
Wungu. Suaranya begitu memelas.
“Dia sangat berbahaya. Tidak pantas hidup lebih lama lagi!” sahut Rangga
dingin.
“Kencana Wungu...,” Raden Sanjaya menahan tangan gadis itu.
Melihat sinar mata Putri Kencana Wungu yang begitu mengharap, Rangga jadi
ragu-ragu. Dipandangnya Raden Sanjaya yang menatap Wiratma dengan sinar
penuh kebencian. Memang, kakak beradik ini sangat berbeda sekali sifatnya.
Putri Kencana Wungu mendalami segi hukum dan pemerintahan, sedangkan Raden
Sanjaya lebih senang menggeluti ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian.
Rangga kemudian melepaskan aji ‘Cakra Buana Sukma’. Maka seketika tubuh
Wiratma jatuh ke tanah. Dan bersamaan dengan itu, Raden Sanjaya melompat
cepat sambil mengibaskan pedangnya ke leher Wiratma. Tanpa dapat dicegah
lagi, mata pedang Raden Sanjaya memenggal leher Wiratma yang sudah tak
berdaya lagi. Kepala Wiratma kontan menggelinding bersamaan dengan ambruknya
tubuh yang hanya memiliki satu lengan itu.
“Sanjaya!” pekik Putri Kencana Wungu keras.
Raden Sanjaya berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah di dekat tubuh
Wiratma yang sudah tak bernyawa lagi. Pemuda itu menatap Putri Kencana Wungu
tajam. Sementara para prajurit yang mengepung memasukkan senjatanya kembali
ke dalam sarungnya.
“Terlalu! Kau membunuh orang yang sudah tidak berdaya!” dengus Putri Kencana
Wungu.
“Dia tidak pantas hidup, Kencana Wungu. Untuk apa harus diadili? Toh,
akhirnya juga harus mati di tangan algojo!” Raden Sanjaya balas menggeram.
“Tapi bukan begitu caranya, Sanjaya! Ingat! Kau seorang putra mahkota, yang
harus bertindak adil dan berpikir lebih dulu sebelum mengambil tindakan!”
“Dia sudah mati. Tidak ada gunanya diributkan!” Raden Sanjaya tidak ingin
memperpanjang persoalan.
“Sikapmu seperti bukan seorang putra mahkota saja!” gerutu Putri Kencana
Wungu.
Raden Sanjaya hanya tersenyum tipis dan melangkah mendekati Pendekar
Rajawali Sakti. Sedikit pun tidak mempedulikan ocehan kakaknya.
“Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa padamu,” kata Raden Sanjaya pelan.
Rangga hanya tersenyum.
“Silakan mampir ke istana, Rangga,” pinta Raden Sanjaya ingin menjamu
Rangga. “Ayahanda sangat berterima kasih atas bantuanmu ini.”
“Aku ada janji, Sanjaya. Seseorang telah menungguku di Lembah Naga,” tolak
Rangga halus.
“Di Lembah Naga? Tempat yang sangat sulit dicapai?” tanya Raden Sanjaya
heran. “Untuk apa kau ke sana?”
“Memenuhi tantangan seseorang.”
Dan tanpa diduga sama sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah mencelat
ke atas, lalu hilang tanpa diketahui ke mana perginya. Tentu saja semua
orang yang ada di situ jadi terperangah keheranan. Termasuk, Raden Sanjaya,
Putri Kencana Wungu, dan Panglima Gadalarang. Mereka jadi celingukan
mencari-cari Rangga.
“Aku tidak yakin kalau dia manusia biasa,” gumam Raden Sanjaya pelan.
“Barangkali titisan dewa yang memberantas kejahatan di muka bumi ini,”
sambung Panglima Gadalarang.
“Mungkin juga,” desah Raden Sanjaya.
***
Ke mana sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti pergi? Memang sudah jadi
kebiasaannya, setiap kali menyelesaikan satu masalah, selalu menghilang
begitu saja. Jarang sekali mau berlama-lama kalau tidak ada kepentingan
mendesak.
Ya..., kali ini Rangga si Pendekar Rajawali Sakti harus memenuhi janjinya
pada Bayangan Putih untuk bertarung. Sebuah perjanjian gila penuh maut
mempertaruhkan nyawa. Sebenarnya Rangga enggan bertarung dengan sesama
pendekar dalam satu golongan. Tapi karena Bayangan Putih memaksa, apa boleh
buat. Perjanjian itu harus dipenuhinya. Bukan untuk mencari orang yang
pantas disebut pendekar nomor satu, tapi hanya ingin memenuhi janji sebagai
pendekar sejati!
Rangga terus mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke Lembah Naga, tempat
perjanjian itu akan berlangsung. Puncak Bukit Naga yang membelakangi Lembah
Naga sudah kelihatan dari tempat Rangga berlari. Begitu cepat dan sempurna
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga yang tampak hanyalah
sekelebatan bayangan putih meluncur dari balik pohon yang satu ke pohon
lainnya.
Mendadak Rangga berhenti berlari ketika tiba-tiba sebuah bayangan biru
berkelebat cepat memotong di depannya. Tubuhnya melenting ke udara dan
berputaran dua kali, sebelum kakinya menjejakkan tanah ringan tanpa suara.
“Pandan...!” seru Rangga terkejut begitu melihat didepannya berdiri seorang
gadis cantik berpakaian ketat serba biru
Gadis itu tersenyum manis. Wajahnya mencerminkan kecerahan bisa bertemu lagi
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kakinya terayun gemulai mendekati pemuda
itu. Bibirnya yang selalu merah basah, terus menyunggingkan senyum manis.
“Bagaimana kabarmu, Kakang?” sapa Pandan Wangi lembut.
“Baik,” sahut Rangga singkat. Pendekar Rajawali Sakti masih terpana setengah
tidak percaya bisa bertemu kekasihnya lagi.
“Kapan kau berangkat dari Karang Setra?” tanya Rangga.
“Belum lama. Baru seminggu,” sahut Pandan Wangi, lembut suaranya.
Rangga mengalihkan pandangannya ke Bukit Naga, kemudian kepalanya
menengadahkan ke langit. Bulan terlihat hampir penuh. Besok malam, bulan
purnama penuh. Dan itu berarti harus sudah berada di Lembah Naga yang berada
di Lereng Bukit Naga untuk memenuhi perjanjiannya dengan si Bayangan Putih.
“Kau tampak terburu-buru sekali. Ada yang dikejar?” tanya Pandan Wangi tanpa
mengalihkan perhatian pada wajah tampan di depannya.
“Tidak,” sahut Rangga. Pandangan tetap ke arah Bukit Naga.
“Ada apa di bukit itu?” tanya Pandan Wangi, juga menatap ke arah Bukit Naga.
“Seseorang menungguku di sana,” pelan suara Rangga.
“Seseorang? Siapa?”
“Bayangan Putih.”
“Bayangan Putih? Untuk apa dia menunggumu disana?”
Rangga mengalihkan tatapan pada gadis di depannya. Bibirnya menyunggingkan
senyuman tipis. Perlahan-lahan diceritakannya pertemuannya dengan Bayangan
Putih. Juga, mengenai perjanjian gila yang terpaksa disetujui. Pandan Wangi
menatap Pendekar Rajawali Sakti setengah tidak percaya. Dia tahu, siapa
Bayangan Putih yang merupakan seorang tokoh sakti beraliran putih pilih
tanding. Rasanya tidak masuk akal kalau Bayangan Putih menantang Pendekar
Rajawali Sakti, yang sudah jelas satu aliran.
“Sebenarnya aku tidak ingin bertarung sesama pendekar golongan putih,” kata
Rangga setelah lama terdiam. Suaranya terdengar pelan penuh penyesalan.
“Aku tahu, Bayangan Putih memang keras. Kau tidak perlu menyesali perjanjian
itu,” kata Pandan Wangi mencoba menasihati.
Rangga tersenyum tipis. Kakinya terayun, kembali melangkah menuju Bukit Naga
yang dikelilingi lembah besar dan dalam. Pandan Wangi bergegas mengikuti di
samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Mereka berjalan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh
meninggalkan tempat pertemuan tadi. Mereka berhenti berjalan setelah dekat
dengan Lembah Naga. Di depan tampak terhampar padang rumput yang luas,
berlatar belakang bukit terselimut kabut tebal.
“Di sana kau akan menghadapi Bayangan Putih, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Benar,” sahut Rangga singkat. Matanya tetap lurus memandang hamparan padang
rumput yang luas bagai permadani.
“Aku tidak melihat seorang pun di sini. Barangkali si Bayangan Putih belum
datang,” Pandan Wangi sedikit bergumam. Rangga hanya tersenyum saja.
Tubuhnya dihenyak-kan, bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar dan
melindungi dari hempasan angin lembah yang dingin dan kencang. Pandan Wangi
ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Ada yang mendengar tentang perjanjian itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Entahlah. Aku sendiri tidak tahu,” sahut Rangga ragu-ragu.
“Kalau begitu, sebaiknya aku tidak menampakkan diri,” kata Pandan Wangi.
“Tidak perlu. Bayangan Putih pasti akan memilihmu sebagai saksi.”
“Kalau dia tidak ingin ada orang lain yang menyaksikan?”
“Apa boleh buat, kau harus pergi.”
“Heh...,” Pandan Wangi mengeluh panjang.
“Jangan khawatir. Aku yang akan memintamu untuk jadi saksi nanti.” Rangga
tahu, gadis ini kecewa.
“Sungguh?” senang sekali Pandan Wangi mendengarnya.
Dia memang tertarik untuk menyaksikan pertarungan tingkat tinggi, walaupun
sudah malang melintang dalam rimba persilatan bersama Pendekar Rajawali
Sakti. Bahkan ikut pula melatih ilmu olah kanuragan bagi prajurit-prajurit
Karang Setra. Pertarungan dua pendekar sakti tentu akan menarik sekali,
karena masing-masing pasti tidak ada yang mau mengalah. Pertarungan juga
bisa berjalan panjang kalau dimulai dari jurus-jurus dasar.
Sementara malam merayap larut. Udara pun bertambah dingin membekukan tulang.
Rangga menggeser tubuhnya agak rebah. Dipergunakannya ilmu pelepas jiwa
untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Sebentar kemudian, dia duduk
bersila, kedua telapak tangannya diletakkan di lutut. Kelopak matanya
terpejam rapat.
Pandan Wangi tahu, kekasihnya tengah menjalankan semadi untuk menenangkan
diri. Suatu cara yang khas seorang pendekar dalam beristirahat. Semadi lebih
utama daripada tidur. Dalam semadi, kewaspadaan masih bisa terjaga penuh.
Lain halnya kalau tidur. Seluruh panca indera tertutup, dan sudah pasti
kewaspadaan jadi hilang.
“Aku akan melihat-lihat keadaan sebentar,” gumam Pandan Wangi seraya bangkit
berdiri.
“Hm...,” Rangga hanya bergumam saja.
Pandan Wangi mengayunkan langkah pelan-pelan, tidak ingin mengganggu semadi
Rangga. Sesaat Rangga membuka kelopak matanya sedikit, dan tersenyum melihat
Pandan Wangi berjalan mengelilingi lembah yang sangat luas itu. Kemudian
kelopak matanya ditutup, kembali bersemadi menyatukan jiwa dengan alam
sekitar. Tapi kewaspadaan dirinya tidak berkurang terhadap segala
kemungkinan.
***
DELAPAN
Hari masih terlalu pagi. Matahari baru saja mengintip dari balik Bukit Naga.
Di tengah-tengah Lembah Naga tampak berdiri seorang laki-laki berpakaian
ketat serba putih, membentuk tubuhnya yang tegap. Pandangannya lurus ke
puncak bukit. Entah kapan datangnya, tahu-tahu si Bayangan Putih sudah ada
di Lembah Naga ini.
Rangga bangkit dari duduknya setelah semalam bersemadi. Sebentar ditariknya
napas dalam-dalam, menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Kemudian
kakinya melangkah pelan-pelan menghampiri si Bayangan Putih. Mendengar suara
langkah mendekati, Bayangan Putih membalikkan tubuhnya. Rangga terus
melangkah, dan berhenti setelah jaraknya dari Bayangan Putih tinggal tiga
langkah. Mereka kini berdiri berhadapan.
“Kau bawa teman, Pendekar Rajawali Sakti?” pelan suara Bayangan Putih
menyapa.
“Untuk saksi,” sahut Rangga.
“Bagus! Aku juga sudah berpikir untuk mengambil saksi, tapi tidak
mendapatkan seorang pun yang pantas,” sambut Bayangan Putih.
Rangga melirik Pandan Wangi yang berdiri mengawasi dari jarak cukup jauh.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit. Pandan
Wangi membalas anggukkan kepala, dan mengambil tempat duduk di bawah pohon.
“Jauh-jauh aku datang dari timur, hanya untuk bertemu denganmu. Bagaimana?
Kau punya tambahan usul?” Bayangan Putih memberi kesempatan.
“Tidak,” sahut Rangga cepat-cepat dan tegas.
“Kalau begitu, aku akan mengusulkan.”
“Silakan. Apa usulmu?”
“Kita saling uji, dan langsung pada jurus andalan dan ilmu kesaktian tingkat
tinggi. Tidak perlu basa-basi, tidak perlu sungkan dan tidak ada rasa belas
kasihan. Kita bertarung seperti layaknya dua orang bermusuhan. Bagaimana?”
“Boleh,” Rangga setuju.
Dia memang tidak ingin mengemukakan sesuatu yang bisa disalah-artikan.
Pendekar Rajawali Sakti harus menjaga agar tetap tidak terjadi permusuhan
sungguhan, yang nantinya bisa berakibat buruk.
“Bagus! Kalau begitu, kita bertarung sampai salah satu di antara kita ada
yang tewas!”
Rangga tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Bayangan Putih
menginginkan hal itu. Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti tega membunuh
Bayangan Putih? Pantang bagi Rangga untuk mencelakakan sesama pendekar
golongan putih, apa lagi sampai membunuhnya. Tapi semua sudah terlambat.
Usul yang dikatakan Bayangan Putih sudah disetujui. Pantang bagi seorang
pendekar menjilat ludah yang telah dimuntahkan.
“Kau kelihatan tidak setuju, Rajawali Sakti...?” Bayangan Putih menatap
tajam pada bola mata Rangga.
“Tidak. Apa pun yang kau katakan, aku tetap setuju!” tegas suara Rangga.
“Bagus! Kau memang seorang pendekar sejati. Aku senang bisa berkenalan
denganmu. Mati pun aku tidak akan menyesal. Apalagi, mati di tangan seorang
pendekar sejati!” Bayangan Putih tersenyum lebar. Rangga memiringkan kepala
sedikit, dan seketika matanya agak menyipit. Tiba-tiba saja terdengar
sesuatu yang aneh. Dan apa yang didengar Rangga rupanya juga didengar si
Bayangan Putih pula.
“Hm.... Ada tamu tak diundang,” gumam Rangga.
Serentak mereka menoleh ketika gerumbul semak bergoyang. Belum lagi dua
pendekar itu bergerak, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat di atas
kepala. Tahu-tahu, Pandan Wangi sudah berdiri menghadang di gerumbul semak
itu.
“Tahan...!” terdengar bentakan keras, disusul munculnya seorang pemuda
tampan dan gadis cantik dari dalam semak belukar itu.
“Raden Sanjaya..., Putri Kencana Wungu!” desis Rangga langsung menghampiri.
Memang, yang datang adalah Raden Sanjaya dan Putri Kencana Wungu. Sementara
itu Bayangan putih juga ikut menghampiri. Dia berdiri di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi memasukkan lagi kipas mautnya ke
balik ikat pinggang.
“Untuk apa kalian datang ke sini?” tanya Rangga.
“Aku ingin jadi saksi pertarungan kalian,” sahut Putri Kencana Wungu
gembira.
“Bagus!” sambut Bayangan Putih gembira.
“Makin banyak saksi, makin bagus!”
“Aku tidak akan mencampuri urusan kalian, hanya ingin menyaksikan siapa di
antara kalian yang memang pantas disebut pendekar nomor satu,” lanjut Raden
Sanjaya.
Rangga tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka memang mengetahui tentang
pertarungan itu. Dan Bayangan Putih rupanya mengizinkan mereka untuk
menyaksikan. Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat pundaknya, dan kembali
ke tengah-tengah lembah, tempat pertarungan itu akan dilaksanakan. Rangga
duduk bersila. Perlahan-lahan matanya terpejam. Syarat yang diajukan
Bayangan Putih membuatnya gelisah. Maka, dia ingin menenangkan diri dengan
bersemadi, memohon petunjuk Sang Dewata Agung. Meminta keselamatan dirinya
dan si Bayangan Putih.
***
Malam telah larut. Kegelapan menyelimuti sekitar Lembah Naga. Sinar bulan
yang keemasan, memancar penuh di langit. Wajahnya yang bulat bersinar,
tampak redup. Seolah-olah menyayangkan adanya pertarungan dua pendekar di
Lembah Naga. Suasananya sungguh mencekam. Bahkan angin seperti tak
berhembus. Semua binatang malam seperti turut gelisah menyaksikan jalannya
pertempuran. Sekeliling lembah seperti dirundung nestapa. Sunyi, bagai tak
berpenghuni.
Dua pendekar pilih tanding sudah saling berhadapan di tengah-tengah Lembah
Naga ini. Mereka menanti saat-saat yang tepat di tengah malam, saat bulan
berada di atas kepala. Sedangkan agak jauh, nampak berdiri beberapa orang
mengawasi. Semua yang ada di lembah ini ikut merasakan kegelisahan. Sulit
bagi mereka untuk menentukan, siapa di antara dua pendekar itu yang akan
unggul. Kedua pendekar itu sama-sama sakti dan digdaya.
“Kau gelisah, Pendekar Rajawali Sakti?” Bayangan Putih memecah kesunyian.
“Tidak,” sahut Rangga tegas.
“Masih ada waktu untuk memilih.”
“Pantang bagiku mundur sebelum bertarung.”
“Bagus! Kalau begitu bersiaplah, Rajawali Sakti,” Bayangan Putih tersenyum
sinis.
“Silakan, kuberi kau kesempatan lebih dulu,” kata Pendekar Rajawali Sakti.
“Tahan seranganku sampai sepuluh jurus, Rajawali Sakti.”
“Silakan!” Bayangan Putih mendongakkan kepala ke atas, memandang bulan yang
berada tepat di atas kepala. Kemudian kakinya merenggang, memasang kuda-kuda
untuk memulai jurus pertama. Rangga juga sudah bersiap-siap menerima
serangan dari si Bayangan Putih.
“Tahan serangan, yeaaah...!”
Bayangan Putih berteriak nyaring membelah keheningan. Bersamaan dengan itu,
tubuh Bayangan Putih mencelat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari
busurnya. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus
tangan kosong yang cepat dan berbahaya. Begitu cepat jurus-jurus yang
dimainkannya, sehingga yang tampak hanyalah kelebatan bayangan putih.
“Hm...,” Rangga bergumam kecil. Pukulan-pukulan yang dilepaskan Bayangan
Putih sungguh dahsyat. Angin pukulannya saja mampu menghancurkan pohon
besar, dan meluluhkan batu sebesar kerbau. Begitu cepatnya pertarungan
berjalan, sehingga lima jurus sudah terlewati. Dan Rangga memang tidak mau
membalas sebelum Bayangan Putih mencapai sepuluh jurus. Pendekar Rajawali
Sakti hanya menangkis dan berkelit. Dan memang, belum ada satu pukulan pun
yang berhasil disarangkan Bayangan Putih ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Cukup!” sentak Rangga tiba-tiba. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat
keluar dari arena pertarungan.
Bayangan Putih juga menghentikan serangannya. Jelas sekali kalau paras
wajahnya memerah. Sudah sepuluh jurus Bayangan Putih menyerang, tapi tidak
satu pukulan pun yang mengenai sasaran. Sedangkan sekitar lembah ini sudah
porak-poranda akibat pertarungan yang baru berlangsung sepuluh jurus.
“Kau hebat, Rajawali Sakti. Sepuluh jurus sudah kumainkan, dan satu pun
tidak kau balas seranganku,” kata Bayangan Putih memuji tulus.
“Aku memberi kesempatan padamu lima jurus lagi, Bayangan Putih,” kata Rangga
kalem.
“Tidak! Kini kau yang menyerang. Kuberi kesempatan dua puluh jurus!” balas
Bayangan Putih.
“Baiklah. Dalam lima jurus kau tidak bisa kujatuhkan, aku mengaku kalah!”
sahut Rangga.
“Silakan mulai, Rajawali Sakti!”
“Bersiaplah!” Rangga membuka jurus pertama dari lima rangkai jurus ‘Rajawali
Sakti’. Dia juga membuka jurus ‘Cakar Rajawali’ tahap yang pertama.
“Lihat tangan!” teriak Rangga sambil menerjang.
“Uts!” Bayangan Putih kaget menerima serangan begitu dahsyat dari Pendekar
Rajawali Sakti. Cepat tubuhnya berkelit dan membuang diri ke samping. Tapi
belum juga tubuhnya sempurna, serangan sudah cepat datang lagi. Bayangan
Putih terpaksa berlompatan jungkir balik menghindari setiap serangan jurus
‘Cakar Rajawali’ yang dahsyat dan bertahap.
“Jurus kedua!” teriak Rangga.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi ‘Sayap
Rajawali Sakti Membelah Mega’. Kedua tangannya terkembang lebar.
Gerakan-gerakan tangannya begitu cepat mengibas ke arah bagian-bagian tubuh
Bayangan Putih yang sangat mematikan. Serangan yang digabung datang dari
segala arah. Hal ini membuat Bayangan Putih agak kewalahan, karena serangan
Rangga sulit diduga arahnya. Kadang-kadang berada di bawah, dan sekejap
kemudian berpindah menyerang dari atas.
Dua jurus berlalu, tapi Bayangan Putih masih sanggup menandingi. Sampai pada
tahapan terakhir dari jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, Bayangan Putih
masih mampu bertahan. Rangga tersenyum juga melihat Bayangan Putih mampu
bertahan menghadapi dua dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’!
“Jurus ketiga!” seru Rangga langsung mengubah jurusnya.
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat tinggi ke udara. Langsung
dikeluarkannya jurus ‘Rajawali Sakti Menukik Menyambar Mangsa’, jurus
lanjutan dari jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Kedua kakinya bergerak
cepat sambil menukik tajam ke arah kepala Bayangan Putih.
Wut, wut!
“Ikh!”
Bayangan Putih langsung menjatuhkan diri ke tanah, menghindari kepalanya
dari telapak kaki Rangga. Dan begitu melompat bangkit, Rangga sudah memberi
sodokan tangan kanan ke arah perut. Bayangan Putih kontan melotot. Buru-buru
tangannya dikibaskan untuk menangkis sodokan yang cepat itu.
Trak!
Dua tangan beradu keras di depan perut Bayangan Putih. Seketika Bayangan
Putih meringis. Pergelangan tangannya kontan terasa kesemutan waktu beradu
tadi. Dia langsung melompat mundur sambil meringis. Rangga berdiri tegak,
tidak melanjutkan serangannya. Dia tahu, Bayangan Putih sedang merasakan
sakit pada pergelangan tangannya. Ditunggunya sampai Bayangan Putih kembali
siap menerima serangan kembali. Sebenarnya kalau Rangga mau, bisa saja
mencecar. Yang kemungkinan Bayangan Putih akan jatuh pada jurus ke tiga.
Tapi, jiwa kependekaran yang dimiliki Rangga tidak mengizinkan menyerang
lawan yang belum siap.
“Bagaimana?” tanya Rangga.
“Kau hebat, Rajawali Sakti. Dalam tiga jurus, kau mampu membuatku goyah.
Tapi itu bukan berati kau sudah menang!” sahut Bayangan Putih sedikit
mendengus.
“Masih dua jurus lagi, Bayangan Putih,” Rangga menawarkan.
“Hm.... Kau masih merasa sungkan rupanya,” gumam Bayangan Putih kurang
senang.
Rangga hanya tersenyum, kemudian bersiap-siap mengeluarkan jurus ‘Pukulan
Maut Paruh Rajawali’, jurus keempat dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali
Sakti’. Bahkan jurusnya dikerahkan pada tahap terakhir. Begitu jurus itu
dikerahkan, mendadak kedua tangannya jadi berubah merah menyala bagai
terbakar. Bayangan Putih mendelik melihat jurus yang dikeluarkan Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan langsung melompat mundur sambil mengangkat tangannya
ke depan.
“Tunggu!” sentak Bayangan Putih keras.
“Hm..., ada apa?” tanya Rangga.
“Belum saatnya mengeluarkan ilmu kesaktian, Rajawali Sakti!”
“Ini pengaruh dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Tidak ada unsur
kesaktian dalam jurus ini. Kau akan merasakannya nanti setelah bertarung,
Bayangan Putih,” jelas Rangga.
“Hm...,” Bayangan Putih menyipitkan matanya.
Rangga menggerak-gerakkan tangan, kaku, dan tubuhnya memamerkan gerakan dari
jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Melihat gerakan-gerakan itu, Bayangan
Putih baru percaya kalau Rangga memang belum mengerahkan ilmu kesaktian.
“Bagaimana?” tanya Rangga.
“Teruskan!”
“Tahan seranganku, Bayangan Putih!” seru Rangga.
Begitu selesai berkata, Pendekar Rajawali Sakti cepat melontarkan pukulan ke
arah dada. Bayangan Putih memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga
sama sekali, tangan kanan Rangga berputar menyampok ke pinggang. Bayangan
Putih memekik tertahan, dan buru-buru melompat mundur. Dua serangan yang
begitu cepat dan berantai, gagal. Namun, Bayangan Putih sempat merasakan
angin pukulan yang panas menyengat.
Rangga terus melompat memberi serangan-serangan beruntun. Cahaya merah
berkelebat mengurung tubuh Bayangan Putih. Udara dingin di sekitar lembah
ini berubah panas, akibat pengaruh jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ yang
dikeluarkan Rangga. Semakin lama, udara di sekitar pertarungan makin
menyengat. Bayangan Putih merasakan dadanya sesak, dan kulitnya seperti
terbakar. Begitu perih dan menyakitkan!
“Awas kepala!” tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Secepat kilat Bayangan Putih merunduk, begitu tangan kiri Rangga melayang ke
arah kepala. Namun rupanya itu hanya tipuan saja, karena tangan kiri Rangga
cepat berbalik arah menuju dada. Bayangan Putih terkejut, buru-buru tubuhnya
ditarik ke belakang. Dan pada saat itu, Rangga mengibaskan kakinya cepat,
menyampok kaki Bayangan Putih.
“Ikh!” seru Bayangan Putih melompat.
Tiba-tiba tangan kanan Rangga melayang deras ke arah perut. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, pukulan maut itu bersarang di perut Bayangan Putih. Maka,
kontan tubuh laki-laki berpakaian serba putih itu terguling.
Rangga berdiri tegak menanti Bayangan Putih bangkit. Namun, Bayangan Putih
terus menggeletak. Setelah agak lama, baru dia bangkit perlahan-lahan.
Tampak pada bagian dada dan perutnya tergambar tapak tangan berwarna merah
bagai terbakar.
“Ugh! Hebat! Hebat kau, Rajawali Sakti,” suara Bayangan Putih tersengal.
“Maaf. Apakah kau merasakan sesuatu di perut?” tanya Rangga.
“Hanya panas. Ugh!” sahut Bayangan Putih.
“Bersemadilah dulu barang sebentar,” kata Rangga mendekati.
Bayangan Putih duduk bersila. Kedua telapak tangannya segera dirapatkan di
depan dada. Kedua kelopak matanya terpejam rapat. Rangga menempelkan
tangannya ke perut yang tergambar telapak tangan yang bersarang akibat jurus
‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’!
Asap tipis kemerahan mengepul dari telapak tangan yang menempel di perut.
Bayangan Putih meringis, lalu membuka matanya perlahan-lahan. Rangga
melepaskan tangannya setelah warna merah di perut itu hilang tak berbekas.
Peluh mengucur deras di wajah Bayangan Putih. Sementara Pendekar Rajawali
Sakti sudah duduk bersila di depannya. Dibiarkannya Bayangan Putih
memulihkan tenaganya dulu.
“Ugh! Aku mengaku kalah, Rajawali Sakti,” kata Bayangan Putih pelan. “Kau
mampu menjatuhkanku dalam empat jurus. Aku berani bertaruh, kalau
pertarungan ini dilanjutkan aku akan mati di tanganmu.”
“Kita belum mencapai pada ilmu kesaktian, Bayangan Putih,” Rangga
seolah-olah mengingatkan kesombongan Bayangan Putih.
“Tidak! Aku tidak akan mampu menandingi aji ‘Cakra Buana Sukma’ milikmu,
Rajawali Sakti. Apalagi, Pedang Rajawali mu itu!” sahut Bayangan Putih
mengakui kekalahannya.
Rangga bangkit berdiri, dan mengulurkan tangannya membantu Bayangan Putih
berdiri. Pengaruh dari ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ belum hilang sepenuhnya
di tubuhnya. Untung saja Rangga mengerahkannya tidak penuh. Kalau saja
dengan kekuatan penuh, pasti perut Bayangan Putih sudah jebol berantakan.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
“Kembali ke timur. Aku harus lebih banyak lagi memperdalam jurus-jurusku.
Kelak, aku akan menantangmu kembali, Rajawali Sakti,” sahut Bayangan Putih.
“Kutunggu tantanganmu,” sahut Rangga tersenyum.
“Sampai ketemu lagi, Rajawali Sakti!”
Bayangan Putih langsung melompat dan meninggalkan lembah ini. Rangga
memandangi disertai senyuman di bibir. Tubuh Bayangan Putih hilang di balik
pepohonan. Sementara itu, matahari mulai menampakkan diri dari balik Bukit
Naga yang terselimut kabut tebal. Rangga masih berdiri mematung, memandang
ke arah Bayangan Putih pergi.
Pandan Wangi menghampiri dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Raden Sanjaya bersama Putri Kencana Wungu juga berdiri di dekat
Rangga. Beberapa saat mereka semua terdiam, memandang ke arah lenyapnya
Bayangan Putih.
“Apakah dia tidak dendam padamu, Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya menoleh
menatap wajah tampan di sampingnya.
“Tidak,” sahut Rangga tanpa menoleh sedikit pun.
“Kenapa kau tidak membunuhnya, Kakang?” celetuk Putri Kencana Wungu polos.
Sejak tadi, matanya menatap Rangga dengan sinar penuh kekaguman.
Rangga menoleh. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan. “Dia bukan orang
jahat, Adikku,” kata Rangga tersenyum manis.
“Tapi, dia menantangmu.”
“Seseorang yang menantang bertarung, belum tentu jahat. Pertarungan bukan
hanya untuk saling membunuh, tapi juga untuk saling menguji. Hanya satu yang
harus kau pahami dalam-dalam, Kencana Wungu. Ilmu olah kanuragan dan ilmu
kesaktian bukanlah untuk membunuh, tapi untuk membela diri dari orang-orang
jahat,” Rangga memberi petuah.
“Kakang sudi memberiku beberapa jurus, kan?”
“Tentu, Adikku,” sahut Rangga.
“Sungguh? Kapan?”
“Nanti, kalau tugasku sudah selesai,” sahut Rangga.
“Kapan?”
“Kencana...,” Raden Sanjaya menarik tangan adiknya.
Rangga tersenyum. Dia merasa Putri Kencana Wungu sungguh-sungguh ingin
mempelajari beberapa jurus darinya. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat
saat masih kecil dulu. Dia juga gemar mempelajari ilmu olah kanuragan. Dan
selalu menuntut untuk diajarkan, di samping banyak membaca kitab yang
menulis tentang ilmu-ilmu olah kanuragan dan falsafah hidup.
“Maafkan kelancangan adikku, Rangga,” kata Raden Sanjaya.
“Tidak apa. Aku memang berniat untuk memberikan beberapa jurus padanya,”
sahut Rangga.
“Hm. Kalau begitu, aku harus mempersiapkan diri mulai sekarang,” sambut
Putri Kencana Wungu gembira.
“O ya, bagaimana kalau kita mampir ke Istana Bantar dulu, Pandan? Sekalian
bertemu Gusti Prabu Bantar,” usul Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Melihat ini semua, Raden Sanjaya dan
Putri Kencana Wungu merasa sangat gembira. Mereka berhasil mengajak kedua
pendekar muda digdaya itu mengunjungi Istana Bantar.
Tepat ketika matahari berada di atas kepala tampak empat sosok bayangan
berjalan perlahan-lahan meninggalkan Lembah Naga. Rangga menggandeng tangan
Pandan Wangi, sementara Raden Sanjaya berjalan beriring dengan adiknya,
Putri Kencana Wungu. Empat sosok bayangan itu semakin lama semakin mengecil.
Hingga akhirnya lenyap di kejauhan.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
ISTANA MAUT
Emoticon