SATU
SEORANG pemuda tampan berompi putih tengah berdiri tegak di sebuah lembah.
Udara siang ini tidak begitu panas. Angin bertiup sepoi-sepoi, mempermainkan
rambut panjang milik pemuda tampan itu. Melihat raut wajahnya yang tegang,
bisa ditebak kalau dia tengah berpikir keras. Sepertinya, dia tidak peduli
dengan keadaan sekitarnya.
“Hm.... Untuk mencapai Lembah Naga ini saja, tidak mudah. Lalu, mengapa si
Bayangan Putih mengajakku bertarung di sini? Aku jadi tidak mengerti, untuk
apa sebenarnya Bayangan Putih mengajakku bertarung? Padahal masih banyak
tantangan yang harus kuhadapi,” gumam pemuda berompi putih, yang di balik
punggungnya tampak menyembul gagang pedang berbentuk kepala burung.
Semua pikiran itu sepertinya menghantui benaknya. Memang, melihat dari
ciri-cirinya, jelas kalau pemuda itu adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti. Keberadaannya di tempat ini adalah untuk memenuhi
undangan si Bayangan Putih yang mengajak bertarung. Sebagai tokoh persilatan,
pantang bagi Pendekar Rajawali Sakti menolak tantangan.
Namun biar bagaimana pun, otaknya terus bekerja keras untuk mencari jalan
keluar agar pertarungan dapat dihindari. Atau paling tidak, jangan sampai ada
yang mati. Dan yang lebih dipikirkan lagi, mengapa harus dengan pertarungan
kalau hanya untuk mengadu ilmu?
“Kalau sesama pendekar saling bertarung, bukanlah membuat tokoh-tokoh sakti
golongan hitam tertawa? Aku jadi benar-benar tidak mengerti keinginan si
Bayangan Putih itu. Sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam diriku. Tapi,
untuk apa bentrok dengan sesama golongan putih?” tanya Rangga dalam hati.
Hampir setengah harian Rangga berdiri mematung sambil memandang sebuah kampung
yang kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Seperti sebuah kampung mati. Tak
terlihat seorang pun di sana. Bahkan sepertinya, seekor binatang pun enggan
hidup di kampung itu. Entah, apa sebabnya.
“Aneh...,” gumam Rangga perlahan.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak melangkah, tiba-tiba gerumbul semak
di depannya bergerak-gerak. Sebentar kemudian, muncul seorang pemuda yang
tubuhnya berlumur darah. Sebentar pemuda itu terhuyung-huyung, lalu jatuh
begitu sampai di depan Rangga.
“Tolong...,” rintih pemuda itu lirih.
Rangga cepat-cepat menghampiri. “Siapa kau? Dan, kenapa bisa begini?” tanya
Rangga.
“Aku.... Aku Risman, dari Kampung Rapak. Mereka menghancurkan kampungku.
Tolong, Tuan. Tolong kami...,” rintih pemuda yang mengaku bernama Risman,
memelas.
“Apa yang terjadi?” tanya Rangga.
“Mereka merampok, membunuh, dan menculik gadis-gadis desa. Akh!”
Pendekar Rajawali Sakti mengguncang-guncang tubuh berlumur darah yang sudah
tak bergerak-gerak lagi. Sebentar diperiksanya keadaan Risman, lalu mulutnya
mendesah panjang.
“Hhh..., pingsan. Terlalu banyak darah yang keluar.”
Rangga memondong tubuh Risman. Kemudian, dibawanya tubuh tak berdaya itu, dan
dibaringkannya di bawah pohon rindang. Dengan caranya sendiri, diobatinya
luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah cukup lama Rangga menunggui, akhirnya
Risman sadar juga. Keadaan tubuhnya tampak masih lemah. Rangga kemudian
mencegah agar Risman tidak terlalu banyak bergerak dulu.
“Oh..., Tuan siapa?” tanya Risman.
“Aku Rangga. Berbaringlah dulu. Lukamu cukup parah,” ujar Rangga disertai
senyumnya.
Risman memandangi luka-luka di tubuhnya yang sudah terbalut. Tidak ada lagi
bercak-bercak darah yang melekat. Sebentar dipandanginya Rangga yang duduk
bersila di sampingnya. Senyuman tipis tetap tersungging di bibir Pendekar
Rajawali Sakti.
“Terima kasih atas pertolonganmu,” ucap Risman, pelan.
“Berterima kasihlah pada Sang Hyang Widi yang telah menyelamatkanmu,” sahut
Rangga merendah.
“Tuan pasti seorang pendekar,” tebak Risman.
Rangga hanya tersenyum.
“Oh...!” Risman beringsut, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup
besar dan rindang, sehingga melindungi dirinya dari sengatan matahari yang
sudah mulai garang lagi.
“Kenapa kau sampai terluka?” tanya Rangga, setelah melihat Risman cukup pulih
untuk diajak bicara.
“Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu tangguh,” desah Risman lirih.
"Mereka? Mereka siapa?”
“Gerombolan perampok yang menamakan diri Gagak Item,” sahut Risman.
“Berapa orang kekuatan mereka?”
“Banyak. Aku tidak tahu pasti jumlahnya. Yang pasti, mereka sangat kejam.
Ah...! Aku tidak tahu lagi, apakah masih ada yang hidup selain diriku.”
Pendekar Rajawali Sakti memandang kampung di depan sana. Pantas, kampung itu
kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Rangga agak terkejut ketika melihat
banyak burung pemakan bangkai yang seperti sedang pesta di sana. Suaranya
ribut dan memekakkan telinga. Risman hanya menunduk, tak kuasa menyaksikan
pesta burung-burung itu.
“Apa masih ada kerabatmu di sana?” tanya Rangga.
Risman menggeleng lemah.
“Kau hidup sendiri?”
“Tidak. Ada kakakku, tapi....”
"Kenapa?”
“Aku tidak tahu nasibnya lagi. Mereka telah menculik Ningsih, dan aku tidak
bisa menolongnya,” semakin lirih suaranya.
Titik-titik air bening tampak menggulir di pipinya. Rangga tidak lagi
bertanya. Dibiarkannya saja Risman menghabiskan air matanya. Rasanya memang
tidak pantas bertanya terus-menerus dalam suasana seperti ini. Apalagi, Risman
masih sulit ditanyai.
***
Hati Rangga tersayat ketika menyaksikan pemandangan Desa Rapak. Mayat-mayat
membusuk, sehingga menyebarkan aroma tidak sedap, memualkan perut. Anehnya
dari sekian banyak mayat, tak ada mayat wanita muda seorang pun di sana. Semua
terdiri dari laki-laki, anak-anak, dan perempuan-perempuan tua. Benar-benar
pemandangan yang tidak sedap dipandang mata. Keadaan mayat-mayat itu tidak ada
yang utuh. Semuanya rusak, tak dapat dikenali lagi. Bahkan beberapa rumah
tampak sudah hangus jadi arang.
Sementara, Risman yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti, tidak
henti-hentinya menutup hidung. Dia tidak sanggup lagi melihat pemandangan yang
mengenaskan ini. Rangga mengajak Risman meninggalkan Desa Rapak. Mereka
berhenti setelah agak jauh, namun bau busuk masih juga tercium.
Sementara, burung-burung pemakan bangkai mulai berdatangan kembali, bersama
anjing-anjing liar yang keluar dari hutan. Pendekar Rajawali Sakti mengajak
Risman semakin jauh meninggalkan desa yang sudah porak-poranda dan tak
berpenghuni itu. Mereka kembali berhenti, setelah bau busuk tidak tercium
lagi.
“Aku sungguh tidak mengerti, mengapa masih ada orang yang begitu tega
membantai habis seluruh desa,” gumam Rangga perlahan.
“Mereka memang kejam!” dengus Risman, sedikit ditahan suaranya.
“Di mana mereka tinggal?” tanya Rangga.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi kata orang-orang, sarang mereka dinamakan Bukit
Gagak,” sahut Risman.
“Letaknya?”
Risman menggelengkan kepala, karena memang tak tahu persis letak bukit itu.
Itu pun hanya dengar-dengar dari cerita orang saja.
“Apa setiap merampok mereka selalu bertindak seperti itu?” tanya Rangga lagi.
“Biasanya tidak,” sahut Risman. “Tapi, karena kemarin ada seorang pendekar
yang mencoba melawan, sehingga Gerombolan Gagak Item jadi marah. Akibatnya,
mereka membantai semua penduduk.”
“Kau tahu, siapa pendekar itu?”
“Tidak. Dia kabur setelah menderita luka parah.”
“Laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan. Makanya, semua gadis-gadis di Desa Rapak diculik.”
Rangga mulai mengerti sekarang. Rupanya, ada pendekar tanggung yang coba-coba
bertindak. Atau mungkin, salah seorang murid padepokan yang sedang berlibur.
Kalau memang pendekar, mustahil bisa terluka parah hanya untuk melawan
segerombolan perampok. Rasa-rasanya, tak ada seorang pendekar pun yang sudi
melarikan diri, dengan mengorbankan sekian banyak nyawa. Itu hanya terjadi
kalau yang berbuat adalah tokoh dari golongan hitam.
“Aku yakin, kau seorang pendekar,” tegas Risman, menatap Rangga agak tajam.
“Kau bersedia membantuku membebaskan mereka yang diculik?”
“Bagaimana caranya membebaskan, kalau kau sendiri tidak tahu sarang mereka?”
agak sinis suara Rangga.
“Kita bisa mencari keterangan di desa-desa lain,” sahut Risman tegas.
“Kau bisa melakukannya?” Rangga masih kurang yakin.
“Kenapa tidak? Lebih baik mati daripada kejahatan didiamkan!”
Pendekar Rajawali Sakti kagum juga terhadap sikap tegas Risman. Dalam hati,
dia tersenyum dan memuji. Hal ini membuat Rangga jadi tertarik untuk membantu
Risman. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengambil keputusan untuk
menyelesaikan masalah ini dulu, baru setelah itu menghadapi tantangan si
Bayangan Putih di Lembah Naga.
“Desa mana tujuan pertamamu?” tanya Rangga.
“Mungkin Desa Mayang. Konon, di sana sering terjadi perampokan,” sahut Risman.
“Apakah di sana ada yang kau kenal?”
“Hampir semua penduduk Desa Mayang kukenal baik, karena kami bertetangga.”
“Kalau begitu, ayo kita berangkat,” ajak Rangga.
Risman tersenyum. Kakinya lalu terayun menuju Desa Mayang yang tidak berapa
jauh lagi. Rangga mengikuti di sampingnya. Kening Pendekar Rajawali Sakti
seketika berkerut, karena Risman ternyata menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Rangga kemudian mengimbangi di samping ingin mengukur, sampai di mana tingkat
ilmunya. Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi tersenyum, karena ilmu Risman masih
jauh di bawah tingkatannya.
“Di mana kau belajar ilmu olah kanuragan?” tanya Rangga.
“Oh!” Risman terkejut begitu ditanya seperti itu.
“Aku belajar dari mendiang ayah.”
“Hm. Beliau sudah tewas?”
“Ya. Sewaktu melawan Gerombolan Gagak Item.”
“Hm.... Kau dendam?”
“Mungkin.”
Rangga berhenti melangkah begitu di depannya terhampar sebuah perkampungan
yang lumayan ramai. Risman juga menghentikan langkahnya. Sejenak mereka diam
dan memandang lurus ke depan.
“Itu Desa Mayang?” tanya Rangga ingin menegaskan.
“Benar. Rasanya tidak pantas disebut desa. Terlalu besar dan ramai,” sahut
Risman, sedikit menjelaskan.
“Kita cari penginapan dulu,” usul Rangga.
“Tidak perlu. Aku punya teman yang pasti bersedia kalau rumahnya ditempati
sementara,” tolak Risman.
“Baiklah. Tapi kalau dia tidak mau, jangan dipaksa.”
“Tenang saja. Dia sahabat baikku.”
Kemudian mereka melangkah memasuki perbatasan desa. Setiap langkah, Rangga
mengedarkan pandangannya. Memang keadaan di sini tidak pantas kalau disebut
desa. Terlalu besar dan ramai. Pantasnya desa ini disebut dengan kadipaten.
Rumah-rumah penduduknya juga bagus dan besar. Dan lagi, rasanya tak sulit
mendapatkan rumah makan atau penginapan, karena sepanjang jalan utama dipenuhi
dua sarana bagi para pengembara itu.
Rangga mengikuti ke mana Risman berjalan. Tidak sedikit yang menegur Risman.
Yang kemudian dibalasnya dengan senyum ramah. Bahkan kelihatannya Risman
begitu dihormati. Mereka kemudian berhenti begitu sampai di sebuah rumah yang
agak menyendiri. Rumah itu tidak begitu besar. Dinding-dindingnya terbuat dari
belahan papan, sedang atapnya terbuat dari rumbia. Sejenak Rangga mengamati
keadaannya yang sepi dan tenang.
“Tunggu sebentar di sini,” ujar Risman.
“Kau akan ke mana?” tanya Rangga, mencegah tangan Risman yang akan melangkah.
“Aku akan menemui temanku dulu,” sahut Risman.
Rangga tidak mencegah lagi, dan dia kembali mengamati keadaan sekitarnya. Tak
lama, Risman sudah keluar dari pintu depan bersama seorang laki-laki dan
seorang wanita yang masih muda. Mereka mengenakan pakaian sederhana,
sebagaimana layaknya keluarga petani. Rangga menghampiri, karena mereka
berdiri saja di depan rumah.
“Rangga! Ini teman karibku. Badil dan istrinya, Sadiah,” jelas Risman,
mengenalkan.
Rangga menganggukkan kepala. Dua orang di samping Risman juga balas mengangguk
dengan bibir menyunggingkan senyum.
“Tadi sudah kuceritakan maksud kita, dan mereka mengizinkan kita menginap di
sini sampai kapan saja,” lanjut Risman.
“Maaf, jadi merepotkan,” sambung Rangga.
“Tidak apa-apa,” sahut Badil juga ramah.
“Antara aku dan Risman memang sudah seperti saudara. Lebih-lebih keadaan
Risman sekarang ini. Dan aku wajib menolongnya. Bukan begitu, Sadiah?”
“Benar! Anggap saja seperti di rumah sendiri,” sambung Sadiah sambil
tersenyum.
“Terima kasih,” hanya itu yang diucapkan Rangga.
“Mari masuk. Pasti kalian telah lelah sekali menempuh perjalanan jauh,” ajak
Badil.
“Iya! Aku juga ingin mendengar, bagaimana kejadiannya,” sambung Sadiah.
“Nanti kuceritakan,” janji Risman.
***
Malam baru saja datang. Udara dingin berselimut kabut terasa menusuk sampai
tulang sumsum. Namun, Desa Mayang masih tetap ramai, karena banyak penduduk
yang menikmati keindahan alam. Lampu-lampu pelita dan cahaya api obor menambah
semarak suasana. Rangga juga tidak ingin ketinggalan. Dia berjalan-jalan
sepanjang jalan utama, menikmati udara malam. Hampir setiap sudut desa tampak
ramai. Laki-laki, perempuan, besar kecil berbaur jadi satu.
Benar-benar bagai sebuah sorga dunia saja layaknya. Rangga sempat berpikir,
jarak Desa Mayang ini tidak begitu jauh dengan Desa Rapak yang beberapa hari
lalu hancur berantakan. Tapi sepertinya desa ini tak terpengaruh sedikit pun.
Dan tampaknya kejadian di desa sebelah merupakan hal biasa. Tak seorang pun
yang membicarakannya.
“Uts!” Rangga melompat ketika seorang laki-laki mabuk hampir menabraknya.
“He, Monyet! Apa tidak punya mata?! Minggir!” bentak laki-laki itu mendengus.
Dari mulutnya tercium bau arak yang sangat kuat.
“Maaf,” hanya itu yang diucapkan Rangga, karena enggan melayani orang mabuk.
“Maaf, maaf. Huh! Kau harus bayar mahal seguci arakku yang jatuh!”
Rangga mengerutkan keningnya, karena memang sama sekali tidak bersentuhan.
Tapi, nyatanya ada seguci arak yang jatuh dan pecah berantakan. Jelas, itu
karena orang di depannya sedang mabuk, hingga tidak sadar kalau sedang membawa
seguci arak. Rangga yang malas mengurusi orang mabuk, melengos dan melangkah
pergi.
“He, Monyet! Ganti dulu arakku, atau...!” Rangga tetap berjalan. “Kau ingin
mati rupanya! Hiyaaa...!”
Orang itu langsung menerjang. Rangga cepat berbalik dan memiringkan tubuhnya.
Sehingga terjangan itu lewat sedikit di sampingnya. Dengan sedikit ayunan
tangan, Rangga mencoba menepuk pundak orang itu. Tapi tanpa diduga, dengan
cepat orang itu berkelit.
“He he he...! Ingin coba-coba melawan Macan Lembah Iblis, heh?!” orang itu
terkekeh.
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alis. Dia heran, karena tiba-tiba saja orang
itu tidak mabuk. Kuda-kudanya begitu kokoh, tak sedikit pun tampak goyah.
Mukanya merah, dan tatapannya tajam.
“Siapa kau, Monyet Jelek?!” tanya si Macan Lembah Iblis.
“Maaf, aku tidak ada waktu,” kata Rangga kembali membalikkan tubuh.
“Bangsat!” geram si Macan Lembah Iblis.
Tiba-tiba kedua tangan laki-laki itu mendorong ke depan. Mendadak Rangga
merasakan satu dorongan kuat dari belakang. Dengan cepat dia melompat dan
berputar di udara. Sebuah gubuk kecil kontan hancur berantakan. Rangga ringan
sekali menjejakkan kakinya di depan si Macan Lembah Iblis.
“Aku tidak segan-segan membunuhmu Monyet Jelek!” dengus si Macan Lembah Iblis
menggeram.
“Apa yang kau inginkan? Kalau ingin uang, aku tidak punya!” balas Rangga tidak
kalah sengitnya.
“Bukan uang, tapi nyawamu!”
“Hm...,” Rangga menggumam. Alis Pendekar Rajawali Sakti agak merapat. Matanya
tajam meneliti tongkrongan orang tinggi dan besar berwajah kasar di depannya.
“Bersiaplah, Anak Muda!”
Setelah berkata demikian, si Macan Lembah Iblis langsung melompat sambil
berteriak nyaring. Sementara Rangga hanya menggeser kakinya sedikit, dan cepat
mengangkat tangannya.
Plak!
Kaki yang mengarah ke depan langsung ditepak keras oleh Pendekar Rajawali
Sakti.
“Phuih!” Macan Lembah Iblis mendengus geram. “Rupanya kau punya isi juga,
Bocah!”
“Maaf, aku tidak suka ribut,” sahut Rangga bersikap mengalah.
“He he he.... Lagakmu seperti seorang pendekar saja! Kau tahu, siapa yang ada
di depanmu, heh? Aku si Macan Lembah Iblis! Tidak ada seorang pun yang lolos
kalau aku menginginkan darahnya!” ancam si Macan Lembah Iblis, congkak.
"Tapi tidak begitu denganku,” sambut Rangga kalem.
“Setan alas! Kau menantangku, Bocah?!”
“Terlanjur.”
“Tahan seranganku! Hiyaaa...!”
***
DUA
Si Macan Lembah Iblis melompat sambil mencabut goloknya yang besar berwarna
hitam pekat. Begitu Rangga melangkah mundur dua tindak, ternyata sabetan golok
yang begitu dahsyat itu hanya menyambar angin kosong. Kalau bukan Pendekar
Rajawali Sakti, mungkin baru kena angin sambaran goloknya saja sudah lari
terbirit-birit. Tapi tidak demikian halnya dengan Rangga yang malah semakin
tenang.
Melihat lawannya mampu menandingi sampai lima jurus, si Macan Lembah Iblis
jadi semakin geram. Serangannya diperhebat sambil terus menyumpah. Sekitar
pertarungan telah porak-poranda terkena kibasan golok si Macan Lembah Iblis.
Beberapa orang yang berada di sekitarnya cepat-cepat menyingkir mencari
selamat. Hanya beberapa orang berkemampuan agak tinggi yang masih menyaksikan
jalannya pertarungan.
Bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai arena judi. Mereka
masing-masing memilih jagonya dengan bayaran sejumlah uang. Dan sebenarnya
Rangga mendengar pertaruhan itu, meskipun dalam keadaan tengah bertarung. Maka
seketika hatinya jadi geram. Ternyata, penduduk desa ini telah terjangkiti
penyakit yang merusak moral.
“Awas kaki...!” teriak Rangga sambil menyampokkan kakinya ke kaki lawan.
“Uts!” si Macan Lembah Iblis menghindarinya dengan cepat. Tapi belum si Macan
Lembah Iblis sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba tangan kanan Rangga
sudah menyodok ke depan. Laki-laki kasar itu tidak punya pilihan lain. Segera
tubuhnya mengegos sambil mengayunkan golok dengan cepat ke tangan Rangga.
Tap!
Rangga menjepit golok itu kuat-kuat di antara kedua jarinya. Si Macan Lembah
Iblis kontan terkejut. Segera seluruh tenaganya dikerahkan untuk melepaskan
goloknya. Tapi golok itu bagai dijepit oleh baja yang amat kuat, hingga si
Macan Lembah Iblis sampai berkeringat. Padahal, seluruh tenaga dalamnya sudah
dikerahkan, tapi sedikit pun tak bergeming.
“Hih!”
Rangga menghentakkan tangannya ke bawah. Begitu kuat dan cepatnya, sehingga si
Macan Lembah Iblis sampai tertarik ke depan. Begitu tubuhnya doyong secepat
kilat Rangga mengayunkan kakinya ke depan.
Buk! “Hugh!”
Si Macan Lembah Iblis mengeluh pendek. Telak sekali kaki Rangga mendarat di
dada si Macan Lembah Iblis. Akibatnya pegangan pada gagang goloknya terlepas
dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Belum lagi keseimbangan tubuhnya
dikuasai, secepat kilat Rangga menjentikkan jemarinya yang mengepit golok.
Maka, seketika golok itu meluncur deras ke arah si Macan Lembah Iblis.
“Aaakh...!” Si Macan Lembah Iblis menjerit melengking tinggi. Dada si Macan
Lembah Iblis kontan tertancap senjatanya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk,
dan menggelepar di tanah. Darah tampak mengucur deras dari dadanya. Sejenak
Rangga memandangi tubuh yang sudah tak bergerak-gerak lagi, kemudian kakinya
terayun meninggalkan tempat itu.
Setelah Rangga pergi, orang-orang yang menyaksikan kejadian ini keluar, dan
langsung mengerumuni mayat si Macan Lembah Iblis. Macam-macam gumaman
terdengar saling sambut. Yang menang bertarung, tertawa-tawa senang. Sedangkan
yang kalah menggerutu karena jagonya tewas.
Tak seorang pun yang mempedulikan ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi. Bagi
mereka, seorang pendatang yang memperlihatkan kebolehannya merupakan satu
tontonan biasa. Lain halnya Rangga. Kejadian barusan membuatnya jadi lebih
banyak berpikir. Dia makin heran atas keadaan Desa Mayang yang dianggapnya
aneh dan tidak wajar. Baru kali ini Rangga menemukan sebuah desa yang memiliki
keanehan tersendiri.
***
“Kau pulang larut sekali malam tadi.”
Pendekar Rajawali Sakti menoleh dan tersenyum begitu melihat Risman sudah
duduk di sampingnya. Rangga memang pulang hampir pagi. Dan semua penghuninya
sudah terlelap. Namun tidak diduga kalau Risman bisa mengetahui kedatangannya.
“Ke mana saja kau semalam?” tanya Risman lagi
“Jalan-jalan,” jawab Rangga, singkat.
“Kudengar, ada keributan semalam. Katanya si Macan Lembah Iblis tewas
bertarung melawan seorang pendekar muda yang baru singgah di sini. Aku yakin
pasti kau yang bertarung semalam,” duga Risman.
Rangga kaget dibuatnya. Begitu cepat berita itu tersiar. Sampai pagi-pagi
begini, Risman sudah tahu apa yang terjadi semalam.
“Kau tahu, siapa si Macan Lembah Iblis itu?”
“Tidak,” sahut Rangga singkat.
“Dia adalah salah satu pengawal orang terpandang di desa ini,” jelas Risman.
“Maksudmu, kepala desa?”
“Lebih dari itu. Selain kepala desa, juga saudagar dan tuan tanah yang sangat
kaya.”
“Hm. Siapa namanya?”
“Orang memanggilnya Gusti Pragala.”
“Lalu, apa yang membuatmu cemas?”
“Gusti Pragala pasti tidak akan menerima kematian pengawalnya. Masalahnya si
Macan Lembah Iblis adalah kaki tangannya yang paling diandalkan dan
dipercaya.”
“Kau takut?”
“Untuk apa? Semua orang menganggapmu hanya pendatang yang kebetulan singgah.
Tak seorang pun yang tahu kalau kau ada di sini,” tegas Risman.
“Kecuali aku!” tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar.
Rangga dan Risman kontan menoleh ke arah suara itu. Mereka cukup terkejut oleh
suara yang bagai guntur tadi. Tampak di tengah-tengah halaman rumah berdiri
seorang laki-laki tinggi besar. Dadanya dibiarkan terbuka, memperlihatkan
bulu-bulunya yang hitam lebat. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang
panjang dan besar bergagang perak. Wajahnya bengis dan kasar, penuh ditumbuhi
brewok.
Perlahan-lahan Rangga bangkit berdiri, diikuti Risman. Pendekar Rajawali Sakti
melangkah mendekati orang yang berdiri tegak dan angkuh di depan. Langkahnya
baru berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi. Matanya tajam
merayapi orang di depannya. Agak berkerut juga kening Rangga ketika melihat
tampang yang menyeramkan, persis raksasa kelaparan.
“Maaf. Apakah aku pernah mengenalmu, Kisanak?” Rangga membuka suara lebih
dahulu. Mungkin saja ingatannya terlupa, barangkali dia pernah mengenal orang
itu. Makanya dia bertanya seperti itu.
“Aku Rakyan Buto! Kedatanganku ke sini untuk menuntut balas atas kematian
adikku semalam!” jawab Rakyan Buto.
“Hm. Jadi Macan Lembah Iblis itu adikmu?” tanya Rangga tenang sekali.
“Benar! Dan kau berhutang nyawa padaku!”
“Maaf. Aku tidak sengaja membunuhnya. Dialah yang ingin membunuhku. Dan aku
hanya membela diri.”
“Phuih! Membela diri atau bukan, kau harus membayar nyawa adikku!”
Rangga melirik Risman yang kini sudah didampingi Badil dan istrinya. Wajah
suami istri itu tampak begitu ketakutan, sampai-sampai lutut mereka gemetar.
Hanya Risman yang kelihatan tenang. Bahkan matanya tajam mengawasi laki-laki
tinggi besar yang ternyata bernama Rakyan Buto.
“Bersiaplah, Bocah!” sentak Rakyan Buto.
Setelah berkata demikian, Rakyan Buto langsung mencabut pedangnya. Sinar
keperakan yang menyilaukan langsung berpendar begitu pedang keluar dari
warangka. Sementara Rangga melangkah mundur dua tindak, bersiap-siap dengan
jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
Perlahan-lahan tangannya berubah jadi berwarna merah bagai terbakar. Pendekar
Rajawali Sakti tidak mau tanggung-tanggung, karena sudah bisa menilai kalau
lawan yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah. Maka langsung
dikerahkannya jurus ke empat dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’.
“Hiyaaa...!” Rakyan Buto berteriak nyaring. Pada saat yang sama, tubuh tinggi
besar itu melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sinar putih keperakan
berkelebat ke arah leher Rangga. Namun dengan sedikit menarik kepala, kibasan
pedang itu lewat di depan lehernya. Dan belum lagi Rangga bisa berbuat
sesuatu, kaki Rakyan Buto sudah melayang ke pinggang. Maka dia segera
melompat, seraya mengirimkan satu tendangan keras ke arah kepala. Rakyan Buto
merunduk cepat. Pertarungan tampak jadi berlangsung makin sengit.
Masing-masing mengeluarkan ketinggian ilmunya.
Sementara, Rangga masih tetap mengerahkan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
Sedangkan Rakyan Buto sudah menghabiskan tidak kurang dari lima jurus.
Memasuki jurus keenam, Rakyan Buto semakin cepat dan berbahaya. Pedangnya
berkelebat mengurung tubuh Rangga. Begitu cepatnya bergerak, sehingga yang
terlihat hanya bayangannya. Bahkan ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti
sepertinya tertutup oleh kelebatan sinar-sinar keperakan dari pedang Rakyan
Buto.
Rangga mengerahkan tingkatan terakhir dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh
Rajawali’. Sinar yang keluar dari kedua tangannya semakin memancar mengalahkan
sinar pedang Rakyan Buto. Sinar-sinar merah meluncur ke sana kemari, mengarah
tubuh Rakyan Buto yang jadi kerepotan menghindarinya.
“Hiyaaa...!”
“Akh!”
Mendadak, Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras. Bersamaan dengan itu, kedua
tangannya bergerak cepat ke atas dan ke bawah, disertai putaran tubuhnya yang
cepat bagai gasing. Sinar merah yang keluar dari telapak tangannya memancar ke
segala arah. Dan salah satunya menghantam tangan kanan Rakyan Buto yang
menggenggam pedang.
Rakyan Buto langsung melompat mundur. Pedangnya seketika terlepas dan tangan
kanannya, hangus terbakar mengeluarkan asap tipis berwarna merah. Rakyan Buto
meringis memegangi sebelah tangannya yang kini mati.
“Kurang ajar!” geramnya marah.
“Aku masih memberimu kesempatan hidup. Pergilah, jangan ganggu ketenangan
kami!” ancam Rangga, dingin sekali.
“Phuih! Pantang bagiku mundur sebelum mencabut nyawamu!” dengus Rakyan Buto.
“Hm.... Rupanya kau termasuk orang yang keras kepala,” kata Rangga, sengit
“Sudah saatnya mengadu nyawa, Bocah!”
Rakyan Buto langsung merenggangkan kakinya. Kemudian, kedua tangannya
merentang ke depan. Bibirnya sedikit meringis saat memaksakan tangan kanannya
terangkat. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan, lalu ditarik dengan siku
tertekuk di samping dada. Rangga mengerutkan kening seperti pernah melihat
jurus ilmu kesaktian itu. Tapi, entah di mana?
Dan belum memperoleh jawaban, mendadak seberkas sinar kuning meluncur cepat ke
arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat. Maka sinar kuning itu
hanya menghantam sebatang pohon hingga hancur.
“Edan!” dengus Rangga. “Aku tidak boleh main-main. Dia benar-benar ingin
membunuhku!”
Saat sinar kuning yang kedua kembali meluncur, mau tak mau secepat kilat
Rangga mengerahkan ilmu ‘Cakra Buana Sukma’. Yang langsung didorong dengan
tangannya ke depan. Dua sinar saling bertemu di satu titik. Sinar biru dan
kuning tampak saling mendorong, adu kekuatan. Beberapa saat, mulai kelihatan
kalau sinar kuning semakin terdesak mundur. Padahal, Rakyan Buto sudah
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong sinar biru. Tapi usahanya
sia-sia. Ternyata sinar biru itu semakin kuat mendorong. Hingga akhirnya,
seluruh sinar kuning lenyap dari pandangan. Bahkan kini kedua tangan Rakyan
Buto telah diselimuti sinar biru.
“Hih, akh!” Rakyan Buto menggeliat. Terasa sekali kalau tenaga Rakyan Buto
semakin tersedot keluar. Semakin mencoba untuk bertahan, semakin kuat
tenaganya tersedot.
“Hiya...!” tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Suatu ledakan keras terdengar,
seketika itu juga sosok tubuh Rakyan Buto terlontar ke belakang, kemudian
sosok tubuh itu menggeliat-geliat meregang nyawa. Mati! Akibat terkena pukulan
ilmu pamungkas Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menarik kembali ajiannya. Sebentar ditariknya napas panjang. Sementara
benaknya masih diliputi pertanyaan mengenai ilmu yang pernah dikenal beberapa
waktu lalu. Sepertinya, ilmu seperti itu pernah dihadapinya. Tapi entah di
mana, kapan dan dengan siapa. Belum sempat terjawab, Risman sudah berlari-lari
ke arahnya. Risman berdiri sekitar tiga langkah di depan Rangga. Sementara
Badil dan istrinya mengikuti. Mata mereka menatap Pendekar Rajawali Sakti
dengan sinar yang sulit dilukiskan.
“Keadaan kita sudah tidak aman lagi,” pelan suara Risman terdengar.
“Ya! Gusti Pragala pasti akan mengirim jago-jagonya ke sini,” lanjut Badil.
“Sebaiknya, kau segera pergi sebelum tubuhmu dicincang,” sambung Sadiah.
Rangga hanya mendesah seraya mengayunkan langkahnya menuju rumah kecil itu.
Dia berbalik, lalu duduk di lantai beranda yang terbuat dari papan. Pikirannya
tidak terpusat pada kekhawatiran ketiga orang itu, tapi masih tertuju pada
ilmu yang tadi dikerahkan Rakyan Buto. Rangga yakin sekali kalau pernah
bentrok dengan seseorang yang memiliki ilmu kesaktian seperti itu. Hanya saja,
tingkatannya lebih kuat dan dahsyat.
***
Malam telah merayap naik. Udara di sekitar Desa Mayang semakin dingin. Sejak
sore Rangga keluar rumah ingin menyelidiki keadaan desa yang menurutnya punya
ciri khas tersendiri. Sementara di beranda depan, Risman duduk ditemani Badil
dan istrinya.
Sejak Rangga pergi, tak seorang pun yang bicara. Masing-masing sibuk dengan
pikirannya. Risman menghela napas panjang, sebelum meneguk kopinya yang sudah
dingin. Matanya merayapi sekitarnya. Hanya kegelapan saja yang nampak
menyelimuti bagai di tengah-tengah kuburan. Onggokan debu dari tubuh Rakyan
Buto, perlahan-lahan mulai terkikis terbawa angin malam.
“Aku belum yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti,” gumam Badil memecah
kesunyian.
“Kau tidak lihat pedang di punggungnya tadi, Kakang?” Risman membantah dugaan
Badil.
“Tidak sedikit senjata yang memiliki gagang berbentuk kepala burung. Menurut
keterangan yang kudengar, pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan sinar
biru yang sangat terang dan menyilaukan mata,” tegas Badil.
“Kau sudah melihat saat dia menggunakan pedang itu, Risman?” tanya Sadiah ikut
bicara.
“Belum,” sahut Risman terus terang.
“Nah! Kenapa kau begitu yakin?”
“Dari ciri-cirinya!” Risman tetap pada pendiriannya.
“Aku hanya mengingatkanmu, Risman,” kata Badil.
“Terima kasih,” ucap Risman.
Beberapa saat mereka kembali terdiam.
“Sudah dua tokoh sakti tewas di tangannya. Dan mereka bukanlah orang
sembarangan. Aku jadi sangsi, semuanya akan gagal,” Sadiah bergumam pelan.
“Hilangkan keraguanmu, Sadiah! Kita harus selalu bersikap wajar sebelum yakin
bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti!” celetuk Badil.
“Iya, kalau benar. Kalau salah?”
“Masih ada waktu. Dan kukira pemuda itu bisa diandalkan. Lihat saja! Rakyan
Buto yang begitu sakti dan tidak ada tandingannya tewas di tangannya?!” Risman
mencoba meyakinkan.
“Rakyan Buto dan Macan Lembah Iblis masih jauh tingkatannya dibandingkan...,”
Sadiah tidak meneruskan kata-katanya. Mereka seketika mengalihkan pandangan ke
depan. Tampak Pendekar Rajawali Sakti berjalan santai ke arah mereka. Rangga
tersenyum dan mengangguk begitu kakinya menginjak lantai beranda yang terbuat
dari belahan papan. Tanpa dipersilakan lagi, dia duduk di samping Risman.
“Dari mana?” tanya Sadiah lembut.
“Jalan-jalan,” sahut Rangga.
“Bagaimana menurutmu keadaan desa ini?” tanya Badil basa-basi.
“Menyenangkan! Seperti bukan sebuah desa. Terlalu besar dan ramai, bagai
kadipaten.”
“Memang begitu keadaannya. Mungkin nanti desa ini juga akan berubah jadi
kadipaten, atau bisa jadi kerajaan kecil,” celetuk Risman agak bergumam.
Risman mengalihkan wajah saat menyadari tengah dipandangi oleh Badil dan
Sadiah.
“Yah, memang pantas desa ini diubah jadi kadipaten,” sambut Rangga polos.
Ketiga orang itu saling berpandangan. Tatapan mata Sadiah sedikit tajam
memandang mata Risman. Sementara, Rangga bangkit. Setelah berbasa-basi
sebentar, kakinya melangkah ke dalam rumah. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Dia
ingin menikmati istirahat sejenak untuk melemaskan otot-ototnya.
“Risman, jaga mulutmu!” sentak Sadiah tertahan, begitu Pendekar Rajawali Sakti
sudah tak terlihat lagi.
“Maaf, aku keterlepasan bicara,” sahut Risman.
“Huh! Untung dia tidak curiga,” dengus Badil pelan.
“Mudah-mudahan saja begitu, sampai rencana kita terlaksana,” gumam Sadiah.
Risman mengangkat bahunya, lalu beranjak meninggalkan beranda. Langkahnya
tertahan ketika Sadiah memanggil.
“Mau ke mana kau?” Sadiah balik bertanya.
“Keluar, cari hiburan,” sahut Risman kalem.
“Ingat! Kau harus hati-hati, Risman!” Badil mengingatkan.
“Jangan khawatir! Aku bisa jaga diri!”
Risman kembali melangkahkan kakinya. Tinggal Badil dan Sadiah di situ. Mata
mereka lurus menatap punggung Risman yang semakin menghilang ditelan kegelapan
malam.
“Anak itu perlu diawasi, Kakang,” kata Sadiah pelan.
“Aku percaya, dia sudah cukup dewasa, sehingga bisa memilih mana yang harus
dikerjakan dan ditinggalkan,” sahut Badil kalem.
“Tapi....”
“Ah, sudahlah. Tidak perlu dicemaskan. Mungkin di dalam kepalanya ada rencana
yang tidak kita ketahui. Buah pikirnya selalu cemerlang,” ada nada pujian pada
suara Badil.
“Terserahlah. Tapi kau harus ingat, Kakang. Mulutnya gampang terbuka!”
“Sebaiknya, kau istirahat saja,”
Badil tidak mempedulikan kekhawatiran Sadiah. Wanita ayu berkulit kuning
langsat itu mengangkat pundaknya, lalu melangkah masuk. Badil menghela napas
panjang begitu tubuh Sadiah lenyap di balik pintu. Sebentar dia masih duduk di
kursi bambu, kemudian beranjak masuk juga. Keadaan di dalam rumah lengang
sekali. Cahaya yang ada hanya sebuah pelita dari buah jarak kecil yang
tergantung di tengah-tengah ruangan depan. Sementara malam merayap larut,
angin pun semakin dingin berhembus.
***
TIGA
Risman terkejut ketika tiba-tiba langkahnya dihadang lima orang bertampang
sangar yang masing-masing menggenggam tongkat panjang. Dan begitu berbalik,
ternyata di belakangnya sudah muncul lima orang lagi, bersenjatakan tongkat
juga. Dan, tiba-tiba muncul, masing-masing dari samping kanan dan samping
kiri.
Kini Risman dikepung tidak kurang dua puluh orang. Beberapa saat Risman
berputar memandang wajah-wajah pengepung yang tidak dikenalnya. Menyesal dia
hanya membawa pisau-pisau kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya.
“Siapa kalian? Dan apa maksudnya menghalangi jalanku?” tanya Risman bersikap
waspada.
“Kau tidak perlu tahu tentang kami! Saat ini, kau hanya boleh menyebut nama
leluhurmu!” jawab salah seorang dingin.
“Aku tidak kenal kalian. Apa urusannya sehingga kalian menginginkan nyawaku?”
Risman sudah bisa mengerti maksud orang-orang ini.
“Kau pengkhianat, Risman!”
“Aku...?!”
Belum sempat Risman meneruskan kalimatnya, tiba-tiba empat orang sudah
melompat sambil mengayunkan tongkatnya yang panjang. Risman cepat melompat
sambil menangkis tongkat-tongkat yang mengancam tubuhnya. Beberapa saat
pertarungan berlangsung, sudah kelihatan kalau kepandaian Risman jauh di atas
keempat penyerangnya.
Pada satu kesempatan, ketika salah seorang menyodokkan tongkat dari samping
kanan, Risman cepat menarik tubuhnya ke belakang. Lalu secepat kilat tangannya
menangkap tongkat itu, dibarengi satu tendangan telak yang langsung menghajar
perut penyerangnya.
“Hugh!” orang itu mengeluh tertahan.
Gerakan Risman begitu cepat, tahu-tahu tongkat panjang itu sudah berpindah ke
tangannya. Belum lagi orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Risman
langsung mengayunkan tongkat rampasannya dengan deras sekali ke arah kepala si
pemilik tongkat.
Trak!
Orang itu kontan meraung keras sambil memegangi kepalanya yang pecah oleh
tongkatnya sendiri. Sebentar dia mampu berdiri, sebelum tubuhnya ambruk
menggelepar di tanah. Risman menyilangkan tongkat rampasannya di depan dada,
begitu melihat salah satu lawannya tewas dengan kepala pecah.
“Serang...!”
Satu teriakan keras terdengar diikuti berlompatannya sepuluh orang lainnya.
Kini Risman dikurung rapat dari segala penjuru. Mereka memutar-mutar tongkat,
dan mengebut-ngebutkan hingga di sekitarnya tercipta angin menderu-deru bagai
terjadi badai topan. Risman menggerakkan kakinya berputar sambil
menggerak-gerakkan tongkat. Matanya tajam mengawasi setiap orang yang
mengepungnya. Tiga belas orang kini bergerak memutar, sambil memainkan
tongkat.
“Mulai...!” Begitu terdengar teriakan keras, mereka semua berlompatan sambil
mengayunkan tongkat.
Sementara Risman memutar tongkat rampasannya dengan cepat bagai baling-baling,
sehingga menjadikan perisai bagi dirinya.
Trak, trak, trak!
Suara-suara tongkat beradu memekakkan telinga, ditingkahi teriakan semangat
pertempuran. Risman agak kewalahan juga menghadapi banyak pengeroyok, meskipun
rata-rata kepandaiannya berada di bawah.
“Hih!”
Risman mengebutkan tangannya seketika.
“Aaakh...!” Satu jeritan melengking terdengar begitu sebuah cahaya keperakan
berkelebatan dari tangan kiri Risman yang bergerak cepat. Rupanya satu
pisaunya telah digunakan untuk mengurangi daya tahan penyerangnya. Belum lagi
hilang jeritan tadi, tak lama disusul jeritan lain berturut-turut.
Satu persatu, tubuh-tubuh penyerang itu bergelimpangan dengan beberapa bagian
tubuh tertancap pisau kecil dari perak murni. Dalam waktu tidak berapa lama
saja, sudah lima mayat tergeletak dengan tubuh tertancap pisau. Melihat hal
ini, para penyerangnya jadi gentar juga. Mereka serentak berlompatan mundur
dengan sikap tetap waspada.
“Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir sebelum semua kuhabisi!” dengus Risman
dingin bergetar.
“Phuih! Jangan berbangga hati dulu, Pengkhianat! Hadapi aku!”
Sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Tahu-tahu di depan Risman berdiri
seorang laki-laki tua berjubah merah longgar. Wajahnya kurus berkeriput,
dengan mata merah menatap tajam tak berkedip. Seluruh rambutnya sudah berwarna
putih tergulung ke atas. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna
merah berkeluk-keluk bagai ular.
Risman melangkah mundur dua tindak. Dia tahu siapa yang kini berdiri di
depannya. Seorang yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah, tokoh sakti dan
sulit dicari tandingannya. Tongkat merahnya sungguh dahsyat, dan mengandung
racun yang bekerja cepat dan sangat mematikan. Risman bergidik, dan ragu akan
kemampuannya. Sungguh disadari, siapa lawan yang akan dihadapi.
“Mundur!” Setan Jubah Merah merentangkan tangannya. Orang-orang bertongkat itu
langsung melangkah mundur. Sedangkan Setan Jubah Merah maju mendekat dan
berhenti, setelah jaraknya tinggal tiga langkah di depan Risman. Kedua bola
matanya yang merah, menatap tajam.
“Aku diperintahkan untuk membawamu, Risman. Kau harus diadili di depan ketua
agung!” datar suara Setan Jubah Merah terdengar.
“Tidak semudah itu, Setan Jubah Merah!” dengus Risman.
“Sayang sekali. Aku diperintahkan untuk membawamu hidup-hidup,” gumam Setan
Jubah merah agak menggeram.
“Dan aku akan membunuhmu di sini!” tantang Risman.
Setan Jubah Merah menggeram keras. Kata-kata Risman membuatnya marah sekali.
Maka tanpa banyak kata lagi, langsung diserangnya anak muda itu dengan
jurus-jurus pendek tangan kosong. Sedangkan Risman melayaninya dengan
sungguh-sungguh. Dia sadar kalau kepandaiannya jauh di bawah si Setan Jubah
Merah.
Sehingga, jurus mautnya terpaksa harus dikerahkan. Agak kerepotan juga Setan
Jubah Merah menghadapi jurus-jurus tangan kosong Risman yang begitu cepat dan
sangat berbahaya. Dia segera melompat ke udara, lalu cepat menukik sambil
mengayunkan kakinya.
Risman yang tidak menyangka akan mendapat bokongan, tidak bisa lagi mengelak.
Tendangan Setan Jubah Merah telak mendarat di punggungnya, sehingga membuatnya
terjungkal beberapa langkah ke depan. Buru-buru tubuhnya berbalik dan
bersiap-siap. Sementara Setan Jubah Merah berdiri tegak mengawasi.
“Hih!” Risman mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu perlahan-lahan
diturunkan dengan gemetaran. Kemudian, tangan itu berhenti di depan mukanya.
Sedangkan tangan kiri menyilang di depan dada. Melihat Risman mengeluarkan
jurus andalan terakhirnya, Setan Jubah Merah segera mengimbanginya.
“Hiyaaa...!"
Risman melompat sambil memekik nyaring. Setan Jubah Merah juga melompat cepat.
Kedua tangan Risman bergerak cepat selagi di udara. Sementara Setan Jubah
Merah mengimbanginya dengan menggerakkan tangannya dengan cepat pula.
Des!
Satu pukulan keras mendarat di dada Risman tanpa mampu menangkis lagi. Tubuh
Risman langsung menukik deras ke tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali,
sebelum mampu bangkit dengan sempoyongan. Setan Jubah Merah mendarat manis di
tanah. Dia berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan bibir tersenyum
meremehkan.
“Ikat dia!” perintah Setan Jubah Merah.
Empat orang langsung melompat maju sambil mengeluarkan seutas tambang. Mereka
cepat memutar-mutar tambangnya dan melemparkan ke arah Risman. Dua tambang
berhasil dihindari. Tapi satu tambang lain telah membelit lengan kanannya, dan
satu lagi mengikat kaki kiri. Belum juga Risman sempat berbuat sesuatu, dua
tambang lagi sudah menjerat tangan dan kakinya yang masih bebas.
Bruk!
Tak ampun lagi, Risman jatuh dengan kaki dan tangan terikat. Sia-sia dia
memberontak, karena ikatan itu begitu kuat membelenggu. Bahkan dadanya semakin
terasa sesak setiap kali tenaganya dikerahkan un-tuk melepaskan diri.
“Seret!” perintah Setan Jubah Merah.
Dua orang memegangi tambang. Sementara dua lagi mengikuti dari belakang.
Sedangkan dua orang lagi menyeret dari depan. Risman benar-benar tidak berdaya
lagi dibuatnya. Si Setan Jubah Merah tertawa-tawa mengikuti dari belakang.
“Lepaskan! Kubunuh kalian semua!” teriak Risman terus meronta-ronta.
“Diam, Bocah!” bentak Setan Jubah Merah.
“Kau akan menyesal, Setan Jubah Merah!” geram Risman.
“Jangan menggertak, Bocah. Kalau bukan ketua agung yang memerintah, sudah
sejak tadi kubunuh kau, Pengkhianat!” Setan Jubah Merah tidak kalah gertak.
“Phuih!” Risman meludah geram.
“Ha ha ha...!” Setan Jubah Merah hanya tertawa saja terbahak-bahak.
Risman terus diseret, tanpa mampu berbuat apa-apa lagi. Punggungnya jadi babak
belur dan terasa perih, mungkin akibat terseret. Mulutnya meringis saat
beberapa ranting tajam menusuk punggungnya. Hingga sepanjang jalan yang
dilalui darah berceceran bercampur debu.
“Kubunuh kau, Setan Jubah Merah! Kubunuh kauuu...!” teriak Risman
berulang-ulang.
“Ha ha ha...!” Setan Jubah Merah hanya tertawa saja.
Risman hanya bisa berteriak-teriak melampiaskan kemarahannya, namun apa
dayanya lagi? Dia tahu, apa yang akan diterima kalau sudah dihadapkan pada
ketua agung nanti. Dan itu memang sudah diperhitungkannya sejak semula. Hanya
saja, sungguh tidak disangka kalau sampai secepat ini.
Dalam hati, dia mengumpat habis-habisan karena tidak membawa senjata tadi.
Kalau saja Risman membawa senjata pusaka, rasanya hal seperti ini tidak akan
mungkin terjadi. Paling tidak, dia masih bisa meloloskan diri sebelum mereka
berhasil menangkapnya. Dalam hati, dia mengutuk dirinya sendiri! Kenapa begitu
tolol meninggalkan pusaka di rumah!
Otaknya terus berputar, mencari cara agar dapat meloloskan diri. Tapi
keadaannya saat ini memang tidak menguntungkan. Begitu banyak yang mengawal.
Belum lagi ada si Setan Jubah Merah yang berjalan di ujung kakinya. Keadaan
Risman kali ini benar-benar terjepit, tidak ada celah untuk membebaskan diri.
Sementara, malam makin larut. Angin dingin berhembus lebih kencang, membawa
titik-titik embun yang jatuh ke tanah. Sedangkan segala kegiatan malam Desa
Mayang tampaknya mulai memudar. Beberapa kedai sudah terlihat tutup.
Lampu-lampu penerang jalan sudah banyak dipadamkan. Risman terus diseret
melintasi jalan utama. Tak seorang pun yang mau peduli. Siapa orang yang tidak
kenal Setan Jubah Merah? Mencampuri urusan Setan Jubah merah, sama saja
menyerahkan nyawa sia-sia.
***
Rangga membasuh mukanya di pancuran yang terletak di belakang rumah. Kepalanya
menoleh ketika mendengar suara langkah halus menghampirinya. Bibirnya langsung
tersenyum begitu melihat Sadiah datang membawa sekeranjang cucian.
“Pagi-pagi begini sudah ingin mencuci?” tegur Rangga ramah.
“Sudah biasa,” sahut Sadiah, seraya meletakkan keranjang cuciannya.
“Oh. Ya. Aku tidak melihat Risman pulang semalam. Ke mana dia, ya?” Rangga
seperti bertanya pada diri sendiri.
“Ah! Paling-paling, ke rumah Surti,” sahut Sadiah, acuh.
“Surti? Siapa dia?” tanya Rangga.
“Biasa,” masih acuh jawaban Sadiah.
Rangga jadi berkerut keningnya. Sulit dimengerti jawaban Sadiah yang bernada
tidak mau tahu itu. Belum Rangga bertanya lebih lanjut, Badil datang
menghampiri. Laki-laki tinggi tegap berkulit sawo matang itu langsung menyeret
Rangga begitu sampai. Tentu saja sikap Badil yang aneh ini semakin membuat
Pendekar Rajawali Sakti jadi kebingungan. Sadiah juga mengikuti, tidak peduli
pada cuciannya yang sudah basah.
Badil langsung saja membawa Rangga ke dalam rumah. Segera ditutupnya semua
pintu dan jendela. Sebentar sebelah matanya mengintip keluar dari celah-celah
daun jendela. Kemudian, tubuhnya berbalik menghadapi Rangga yang hanya berdiri
saja tak mengerti atas sikap Badil yang aneh ini. Sadiah juga berdiri saja di
samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Ada apa?” tanya Rangga tidak sabar.
“Celaka!” suara Badil agak tertahan di kerongkongan. Napasnya juga jadi
tersengal.
“Celaka? Apa yang terjadi?!” tanya Sadiah mendekati suaminya.
“Risman! Aduh..., celaka besar. Bisa kiamat, nih urusannya!”
“Tenang! Apa yang terjadi pada Risman?” Rangga berusaha menenangkan.
Sadiah menuangkan air kendi ke dalam gelas, dan menyerahkannya pada Badil.
Laki-laki itu meneguk air yang diberikan istrinya dengan tangan gemetaran.
Sebentar napasnya diatur agar lebih tenang sedikit. Lalu, dia duduk di kursi
menghadapi meja bundar yang ada di tengah-tengah ruangan ini.
“Ceritakan, apa yang terjadi terhadap Risman?” tanya Rangga.
“Orang-orang mengatakan kalau Risman semalam ditangkap,” suara Badil sudah
terdengar lebih tenang.
“Ditangkap? Ditangkap siapa?” nada suara Sadiah terdengar cemas.
“Setan Jubah Merah,” sahut Badil.
Sadiah memekik kecil sambil mendekap mulutnya. Kedua bola matanya berputar
seperti tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sejak semalam Risman memang
belum pulang. Malah, baru saja Rangga menanyakan. Sadiah duduk dekat Badil.
Tangannya menggenggam tangan suaminya erat-erat. Tatapannya lurus menusuk
langsung ke bola mata laki-laki tegap itu.
“Kau tidak bergurau kan, Kakang?” tanya Sadiah masih tidak percaya.
“Aku sungguh-sungguh, Sadiah. Semalam Risman ditangkap. Kedua tangan dan
kakinya diikat, lalu diseret melalui jalan utama desa. Itu yang kudengar dari
orang-orang,” jelas Badil. Suaranya terdengar sungguh-sungguh.
“Apa ada yang melihat?” tanya Sadiah lagi.
“Banyak. Malah Surti juga melihat.”
“Lalu?”
Badil tidak langsung bisa menjawab, karena tidak tahu lagi harus berkata
apalagi. Ini memang sudah jadi bahan pikirannya, begitu Risman mengemukakan
maksudnya pada mereka. Dan kini, apa yang dikhawatirkan jadi kenyataan. Maka,
tidak mustahil mereka berdua akan ikut terlibat. Perlahan-lahan kepala Badil
terangkat. Matanya langsung tertuju pada Rangga yang masih tetap berdiri di
tempatnya. Sadiah juga memandang ke arah yang sama. Dari tatapan mata mereka,
jelas terpancarkan satu permintaan yang sulit diucapkan oleh kata-kata.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di depan suami istri itu.
Beberapa saat lamanya mereka hanya membisu. Tidak ada yang berusaha memulai
percakapan. Hanya sinar mata saja yang banyak mengatakan sesuatu. Sesuatu yang
terkandung di dalam hati, namun sulit dikeluarkan.
“Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Rangga. Suaranya terdengar datar, tanpa
tekanan sama sekali.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Rangga. Suami istri itu hanya saling
pandang saja. Berat rasanya bagi mereka untuk mengatakan yang sebenarnya pada
Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan sekali Sadiah menganggukkan kepala. Kemudian
Badil menatap pemuda yang duduk di depannya dengan sorot mata agak tajam.
“Apakah kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti?” Badil malah bertanya.
Rangga tersenyum dan mengangguk. Hatinya diliputi berbagai macam pertanyaan
yang belum juga terjawab. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Dan,
mengapa Badil meragukan kalau dirinya Pendekar Rajawali Sakti? Memang tidak
semua orang kenal Rangga. Lebih-lebih, Badil yang hanya seorang petani menurut
pengakuannya sendiri.
“Apa buktinya kalau kau Pendekar Rajawali Sakti?” Badil masih belum percaya
juga.
“Terus terang, aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kau inginkan?” Rangga
semakin bingung jadinya.
“Kami membutuhkan seorang pendekar pilih tanding. Dan menurut keterangan yang
kudapat, hanya ada seorang pendekar yang bisa membantu. Dialah Pendekar
Rajawali Sakti,” tegas juga kata-kata Badil, seperti bukan seorang petani
biasa saja.
“Hm.... Aku jadi semakin tidak mengerti,” gumam Rangga.
“Kau akan mengerti kalau dirimu benar-benar seorang pendekar pilih tanding,
seperti yang kami butuhkan saat ini,” celetuk Sadiah.
“Kalau aku bukan pendekar yang kalian butuhkan?” Rangga memberi pilihan juga.
“Terpaksa kami meninggalkanmu di sini,” tegas jawaban Badil.
“Lantas, apa yang kau ketahui tentang Pendekar Rajawali Sakti?” pancing
Rangga.
“Dia memiliki pedang sakti yang bisa memancarkan sinar biru. Memang,
ciri-cirinya ada semua padamu. Tapi aku belum yakin kalau belum menyaksikan
Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti!” sahut Badil.
“Baiklah, lihat!”
Sret!
Rangga meloloskan pedang pusaka dari warangka di punggung. Seketika itu juga,
ruangan ini jadi terang benderang oleh sinar biru yang terpancar dari Pedang
Pusaka Rajawali Sakti. Badil dan Sadiah kontan ternganga menyaksikan pamor
pedang yang begitu dahsyat. Sebentar kemudian Rangga memasukkan kembali
pedangnya, sebelum Badil dan Sadiah hilang rasa takjubnya.
“Kau sudah melihat sendiri. Nah! Masih belum percaya juga?” dengus Rangga.
“Baiklah! Aku percaya, kau memang Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Badil.
“Tidak ada seorang pendekar pun yang memiliki pedang seperti itu,” sambung
Sadiah.
“Nah! Sekarang katakan, apa sebenarnya yang terjadi pada kalian?” desak Rangga
agak dingin suaranya.
Sebentar Badil menarik napas panjang sebelum menjawab permintaan Pendekar
Rajawali Sakti. Diliriknya Sadiah yang duduk di sampingnya. Sedangkan Sadiah
hanya menganggukkan kepala dengan bibir tersenyum tipis.
Rangga menunggu sabar dengan mata tetap tajam menatap Badil yang masih diam.
Dia memang tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan.
Sementara, Sadiah bangkit berdiri dan melangkah ke belakang. Tidak lama,
wanita itu kembali lagi bersama baki di tangannya. Baki itu tertutup kain
berwarna merah tua, dan berenda benang emas. Sadiah meletakkan baki itu di
atas meja, kemudian duduk di samping Badil.
“Aku dan Sadiah sebenarnya bukan suami istri,” Badil memulai.
“Ya! Sebenarnya kami dua orang pelarian. Seperti juga Risman,” sambung Sadiah.
“Hm, teruskan,” pinta Rangga agak kaget juga.
“Berminggu-minggu kami mencari pendekar pilih tanding, tapi belum juga
berhasil. Suatu saat, aku mendengar kalau saat ini ada seorang pendekar pilih
tanding yang sangat digdaya. Aku mencari keterangan lebih jelas. Dan ternyata
pendekar itu adalah kau sendiri, Rangga,” lanjut Badil.
“Lantas, apa yang harus kukerjakan?” tanya Rangga.
“Membantu kami membebaskan Gusti Prabu,” sahut Sadiah.
Rangga mengerutkan keningnya. Pendekar Rajawali Sakti semakin tidak mengerti
saja dengan semua yang dialaminya saat ini. Semua yang diketahui, semakin
membuatnya bingung dan bertanya-tanya. Belum begitu jelas, apa sebenarnya yang
terjadi. Dan, siapa sebenarnya Badil, Sadiah, dan Risman?
“Bisa kalian ceritakan lebih jelas?” pinta Rangga.
“Sebenarnya, Risman adalah putra mahkota Kerajaan Bantar. Namanya pun bukan
Risman, tapi Raden Sanjaya. Dan aku sendiri seorang panglima, namaku Panglima
Gadalarang. Sedangkan Sadiah, aslinya bernama Putri Kencana Wungu, kakak putra
mahkota Raden Sanjaya.” Badil menjelaskan siapa sebenarnya mereka bertiga.
“Dulu, Desa Mayang ini sebenarnya sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan
Bantar. Makanya, keadaannya tidak seperti sebuah desa biasa. Bahkan lebih
daripada kadipaten,” sambung Sadiah atau Putri Kencana Wungu.
“Kenapa bisa jadi seperti sekarang ini?” tanya Rangga mulai sedikit mengerti.
“Kira-kira tiga tahun yang lalu, segerombolan pemberontak mengacau Kerajaan
Bantar ini. Mereka merampas istana, dan menggulingkan Gusti Prabu Bantar
Kencana. Mereka menduduki singgasana sampai sekarang. Sebenarnya, kami sudah
berusaha merebut kembali, tapi Gagak Item terlalu tangguh. Belum lagi, para
pengawalnya yang rata-rata memiliki tingkatan tidak rendah. Akhirnya kami
tinggal bertiga dan memutuskan untuk mencari bantuan dari para pendekar
beraliran putih. Yaaah..., seperti yang kau lihat. Usaha kami masih belum
berhasil. Sudah banyak para pendekar dan tokoh sakti golongan putih yang
mencoba membantu. Tapi, semuanya tidak ada yang berhasil,” Badil, yang
sebenarnya Panglima Gadalarang, menceritakan awal mulanya.
“Kakang Sanjaya kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Gagak Item. Dia
menyamar sebagai seorang pengembara beraliran hitam, dan memakai nama Risman,
sedangkan aku jadi Sadiah. Dengan begini, kami masih bisa bertahan hidup
sampai sekarang sambil menyusun kekuatan baru,” sambung Putri Kencana Wungu.
“Aku tidak tahu, mungkin penyamaran Risman sudah terbongkar. Dan ini bisa
mencelakakan kita semua. Rencana yang telah kami susun selama satu tahun bisa
berantakan,” Panglima Gadalarang sedikit mengeluh.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala, mulai mengerti semuanya. Pantas, mereka
bertiga seperti menyimpan sesuatu yang sangat dirahasiakan. Dan keadaan desa
ini begitu aneh. Tidak mencerminkan sebuah desa, tapi lebih mirip sebuah
kadipaten atau kerajaan kecil. Rangga jadi ingat kata-kata Risman. Putra
mahkota yang sebenarnya bernama Raden Sanjaya itu pernah keterlepasan bicara.
Dan itu mendapat sorotan mata tajam dari Panglima Gadalarang dan Putri Kencana
Wungu.
Kini Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerti segalanya. Rupanya, Risman saat
itu memang ingin melepaskan diri dari Gerombolan Gagak Item. Namun nasibnya
malang, karena mendapat cidera ketika berusaha membantu rakyat desa yang
diamuk Gerombolan Gagak Item. Memang Raden Sanjaya tidak tega rakyatnya
dibasmi seperti binatang. Syukur dia masih bisa melarikan diri, dan
diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, kini entah bagaimana nasibnya.
“Apakah selama itu Gerombolan Gagak Item tidak mengenali kalian?” tanya Rangga
masih tanda tanya juga.
“Tidak! Tidak seorang pun yang bisa mengenali, kecuali rakyat kami sendiri.
Dan selama ini, rakyat kami tutup mulut. Bahkan banyak membantu memberi
keterangan. Beberapa di antaranya yang masih muda-muda, rela mengangkat
senjata membentuk barisan,” jelas Panglima Gadalarang.
“Bagaimana mungkin tidak ada yang mengenali kalian?”
“Saat peristiwa pemberontakan berlangsung, aku, Raden Sanjaya, dan Putri
Kencana Wungu tengah mengunjungi ayahanda Prabu Bantar Kencana di Kerajaan
Magada. Kami sendiri baru tahu dari salah seorang punggawa yang berhasil lolos
sampai ke Magada,” jelas Panglima Gadalarang lagi.
“Hm.... Apa ada orang kerajaan yang terlibat dalam pemberontakan ini?” tanya
Rangga lagi.
“Ada, namanya Patih Batang Kati. Dia memang sangat berminat untuk menjadi
raja,” sahut Putri Kencana Wungu.
“Tidak masuk akal kalau dia tidak mengenali kalian,” gumam Rangga pelan.
“Patih Batang Kati tewas dibunuh Gagak Item,” tegas Putri Kencana Wungu.
“Oh!” Rangga terkejut.
“Patih Batang Kati hanya diperalat. Dan setelah Kerajaan Bantar runtuh, dia
tidak dipakai lagi dan dibunuh. Kini yang menguasai seluruh Kerajaan Bantar si
Gagak Item. Kemudian, kerajaan ini diganti namanya jadi Desa Mayang,” jelas
Panglima Gadalarang.
“Hm...,” Rangga menggumam seraya mengangguk-anggukkan kepala.
“Sekarang kami baru punya kekuatan sekitar dua ratus orang pemuda sukarela.
Mereka kini tengah menjalani gemblengan ilmu keprajuritan di Gunung Panggang,
di bawah bimbingan Panglima Bagar Lintang dan beberapa punggawa Kerajaan
Magada,” Panglima Gadalarang menjelaskan lagi.
“Berapa kekuatan Gerombolan Gagak Item?” tanya Rangga.
“Lebih dari seratus orang,” sahut Panglima Gadalarang.
“Ah! Kekuatanmu sudah lebih dari cukup!” seru Rangga.
“Memang, kalau mereka semua para prajurit. Tapi mereka bukan prajurit, dan
hanya pemuda biasa yang merasa terinjak dan setia pada Gusti Prabu Bantar
Kencana. Mereka tidak mengerti sama sekali tata keprajuritan. Kekuatan lima
ratus orang juga tidak akan mampu menandingi seratus orang anak buah Gagak
Item yang rata-rata memiliki kepandaian tidak rendah, dan sudah berpengalaman
dalam medan pertempuran,” kata Panglima Gadalarang.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala lagi. Kata-kata Panglima Gadalarang memang
benar. Tidak mungkin pemuda desa digembleng ilmu keprajuritan dalam waktu
singkat. Bahkan untuk menandingi mereka yang sudah berpengalaman dalam medan
pertempuran. Satu pekerjaan bunuh diri, kalau hal ini dipaksakan. Mereka terus
berbicara panjang lebar, dan Rangga lebih banyak bertanya, yang kemudian
dijawab Panglima Gadalarang bergantian bersama Putri Kencana Wungu. Mereka
baru berhenti, setelah hari menjelang senja. Rangga sudah banyak mendapat
penjelasan, dan kini sudah benar-benar mengerti permasalahannya.
***
EMPAT
Sementara itu di sebuah bangunan megah yang dikelilingi tembok besar dan
tinggi bagai sebuah benteng, tampak seorang laki-laki bertangan buntung duduk
di kursi bertahtakan manik-manik indah, berlapiskan emas murni. Laki-laki itu
sudah berumur, tapi masih kelihatan gagah. Sinar matanya tajam menatap seorang
pemuda berpakaian koyak dan kotor berdebu. Bercak-bercak darah kering masih
melekat di tubuhnya. Dari raut wajahnya yang kotor penuh bercak darah, dapat
diketahui kalau pemuda itu adalah Risman, yang sebenarnya Raden Sanjaya.
“Memalukan! Benar-benar memalukan!” geram laki-laki bertangan buntung itu.
Dialah Wiratma yang sekarang memakai nama Gagak Item, dan juga bergelar Gusti
Pragala. Perlahan-lahan kepala Raden Sanjaya terangkat. Sinar matanya sangat
tajam, menerobos langsung ke bola mata Gagak Item.
“Rapi sekali cara kerjamu. Sehingga, begitu lama aku sampai tidak tahu siapa
kau sebenarnya. Raden Sanjaya..., Putra Mahkota Kerajaan Bantar yang perkasa,
cerdik, dan lihai menyamarkan diri. Sayang..., sayang sekali kau harus
berhadapan dengan Gagak Item!”
“Kau pikir aku takut? Phuih!” Raden Sanjaya menyemburkan ludahnya sengit.
“Ha ha ha..., tikus kecil yang malang,” Gagak Item menggeleng-gelengkan
kepala. Suara tawa lepas berderai, memenuhi ruangan besar yang indah ini.
Raden Sanjaya berdiri tegak, meskipun kedua tangannya terikat ke belakang.
Tatapan matanya masih tajam, dan raut wajahnya menegang memancarkan ke-bencian
yang sangat. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Raden Sanjaya merasakan
rongga dadanya jadi sesak, menahan rasa marah yang bergolak.
“Setan Jubah Merah!” panggil Gagak Item keras. Setan Jubah Merah melangkah
maju beberapa tindak ke depan. Badannya dibungkukkan sedikit untuk memberi
hormat.
“Pergi ke rumah petani Badil! Seret dia ke sini sekarang juga!” perintah Gagak
Item.
“Jangan!” sentak Raden Sanjaya cepat. “Dia tidak bersalah! Jangan ganggu dia!”
“Kerjakan perintahku, cepat!” bentak Gagak Item.
Setan Jubah Merah berlalu setelah memberi hormat. Raden Sanjaya ingin
mencegah, tapi empat orang bersenjata tombak sudah menghadang, dan menempelkan
ujung mata tombak di tubuhnya. Raden Sanjaya menggereng murka, namun tidak
dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja yang menatap tajam, penuh amarah
pada Gagak Item.
“Kubunuh kau, Gagak Item!” geram Raden Sanjaya menggereng bagai kerbau
terluka.
“Ha ha ha...!”
Gagak Item hanya tertawa saja mendengar ancaman Raden Sanjaya. Ancaman itu
dianggapnya hanya di mulut saja. Mana mungkin Raden Sanjaya bisa melakukan,
sedang sekarang dalam keadaan tangan terikat dan ditodong empat batang tombak.
Gagak Item menjentikkan jemarinya. Maka, empat orang yang menghunus tombak
panjang ke tubuh Raden Sanjaya langsung menggiringnya keluar dari ruangan
agung Istana Bantar ini.
Sementara suara tawa Gagak Item terus terdengar bersamaan dengan tergiringnya
Raden Sanjaya. Anak muda itu menyumpah serapah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Raden Sanjaya digiring terus ke bagian belakang istana megah ini. Dia tahu,
jalan ini menuju ke dalam tahanan bawah tanah. Di sepanjang jalan, para
penjaga berseragam serba hitam berdiri berjajar dengan tombak terhunus di
tangan.
Raden Sanjaya mengamati wajah-wajah para penjaga itu. Beberapa di antaranya,
dikenali sebagai prajurit Kerajaan Bantar dulu. Dan yang mengenal Raden
Sanjaya, hanya bisa menundukkan muka saja. Pintu tahanan terbuka, menimbulkan
suara bergernyit mengilukan hati. Udara lembab dan pengap langsung menyergap
begitu kaki Raden Sanjaya menginjak lantai tahanan ini. Dia terus digiring,
melewati lorong gelap yang hanya diterangi obor kecil yang menancap di
dinding.
“Akh!” Raden Sanjaya memekik kaget ketika tiba-tiba salah seorang yang
berjalan di belakangnya mendorong keras. Belum lagi Raden Sanjaya bisa berbuat
sesuatu, terdengar suara pintu dari besi baja tebal ditutup rapat. Seketika,
ruangan itu jadi gelap. Hanya bias cahaya obor dari luar pintu saja yang
menerangi samar-samar. Raden Sanjaya berusaha bangun berdiri, dan
menggerak-gerakkan tangannya yang sudah terlepas dari ikatan. Pergelangan dan
jari-jari tangannya terasa pegal dan kesemutan.
Sebentar matanya menerawang membiasakan diri dalam keadaan gelap begini.
Beberapa saat diamatinya sekitar ruangan yang pengap dan lembab ini. Dua ekor
tikus berebut sesuatu di pojok ruangan. Raden Sanjaya terkejut begitu melihat
seorang lelaki tua tergolek di lantai ruangan. Bergegas dihampirinya laki-laki
itu.
“Paman...!” Raden Sanjaya memekik tertahan begitu mengenali laki-laki tua yang
kini sudah berada dalam pelukannya.
Dua ekor tikus lari terbirit-birit meninggalkan suara ribut yang menyakitkan
telinga. Raden Sanjaya memeriksa denyut nadi dan aliran darah lelaki itu.
Seulas senyum tipis terukir di bibirnya begitu mengetahui kalau lelaki tua ini
masih hidup. Hanya saja denyut nadinya lemah, dan hampir tak terasa. Sejenak
lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu kelopak matanya mulai terbuka
perlahan.
“Ra... de... nnn...,” lemah sekali suaranya. Namun ada seulas senyuman di
bibir yang kering pecah-pecah.
“Paman..., Paman Nara Soma.... Oh! Syukur, Paman masih hidup,”
Raden Sanjaya gembira melihat abdi setia penasihat Gusti Prabu Bantar Kencana
ternyata masih hidup. Raden Sanjaya menggotong tubuh tua kurus itu, la-lu
meletakkannya di atas dipan kayu yang sudah reyot, bunyi deritnya terdengar.
Putra Mahkota Kerajaan Bantar membuka ikat kepalanya, dan membersihkan
luka-luka di tubuh Paman Nara Soma. Tampak satu jari kelingkingnya putus
digerogoti tikus.
Sebentar Raden Sanjaya mengamati setiap sudut ruangan. Tak ada satu celah pun
yang dapat menghubungkan dengan luar. Ruangan ini biasanya memang digunakan
untuk menahan penjahat kelas berat yang siap dihukum mati. Tidak ada jalan
sedikit pun untuk meloloskan diri. Dan ketika dia melangkah ke sudut, ada
tetes-tetes air mengucur kecil dari langit-langit.
Raden Sanjaya melepas sabuk kulitnya yang besar, untuk dibuat corong.
Ditadahinya titik-titik air yang jatuh dari tempat itu, dengan cepat dibawanya
ke Paman Nara Soma. Seteguk demi seteguk tenggorokan laki-laki tua itu dialiri
air. Beberapa kali Raden Sanjaya menuangkan air ke mulut yang kering
pecah-pecah dan membiru itu, sampai Paman Nara Soma menolak air yang diberikan
pemuda ini.
“Cukup, Raden. Terima kasih,” masih lemah suara Paman Nara Soma.
Raden Sanjaya menempatkan bokongnya di pinggir dipan kayu ini. Bunyi bergerit
terdengar begitu menerima berat tubuh Raden Sanjaya. Sepertinya dipan kayu
lapuk ini begitu menderita menerima beban begitu berat dari dua orang
laki-laki malang.
“Bagaimana kau bisa masuk sini?” tanya Paman Nara Soma dengan suara bergetar
lirih.
“Ceritanya panjang, Paman,” sahut Raden Sanjaya tertunduk.
“Ceritakanlah,” pinta Paman Nara Soma.
Tanpa diminta dua kali, Raden Sanjaya menceritakan semuanya hingga sampai
masuk tahanan. Juga diceritakannya tentang Panglima Gadalarang dan Putri
Kencana Wungu yang kini mungkin menunggunya di rumah bersama Pendekar Rajawali
Sakti. Sampai di situ, ceritanya dihentikan.
Paman Nara Soma diam merenung begitu Raden Sanjaya menuntaskan ceritanya. Lama
mereka hanya diam membisu. Suara desahan berat terdengar menghembus dari
hidung Paman Nara Soma.
“Mudah-mudahan mereka selamat,” gumam Paman Nara Soma lirih.
“Ya, mudah-mudahan,” desah Raden Sanjaya.
***
Emoticon