SATU
Clark! Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar, tak lama setelah cahaya kilat membelah
langit hitam oleh gulungan awan tebal. Di bawahnya, permukaan Laut Utara
tampak bergolak bagai diamuk ribuan tangan-tangan raksasa. Rintik-rintik air
hujan pun mulai terlihat turun dari gumpalan awan hitam yang menutupi seluruh
langit Pesisir Pantai Laut Utara ini.
Dari gulungan ombak yang setinggi gunung, terlihat sebuah perahu kecil
bercadik tengah berusaha menepi. Hanya seorang laki-laki setengah baya saja
yang ada di dalamnya. Dan tampaknya, dia begitu takut melihat laut yang
bergelombang besar, bagai hendak menenggelamkan perahu kecilnya. Sedikit demi
sedikit perahu bercadik itu mulai menepi.
Laki-laki setengah baya yang bertelanjang dada itu, bergegas melompat keluar
begitu perahunya sudah menepi. Dengan sekuat tenaga, perahunya berusaha
ditarik. Kemudian, talinya diikatkan di tonggak kayu. Sebentar dipandanginya
langit yang hitam sambil menyeka keringat di leher dengan punggung tangan.
"Huh! Bakal ada kejadian apa ini...?" keluhnya berat.
Setelah meyakinkan kalau perahunya sudah aman, bergegas tubuhnya berputar dan
melangkah pergi meninggalkan pesisir pantai. Tapi baru saja kakinya terayun
beberapa langkah, mendadak saja terdengar ledakan keras menggelegar yang
mengejutkan, bersamaan dengan percikan cahaya kilat di angkasa. Laki-laki
setengah baya itu cepat memutar tubuhnya berbalik kembali.
"Oh...?!" Kedua bola mata laki-laki itu jadi terbeliak lebar, dan mulutnya
ternganga. Seluruh tubuhnya langsung mengejang kaku. Hampir penglihatannya
sendiri tidak dipercaya.
Ternyata di tengah laut yang bergelombang sangat besar terlihat seekor ular
naga raksasa berwarna hijau dan memancarkan cahaya terang menyilaukan mata.
Binatang yang hidup di alam dongeng itu ternyata benar-benar ada, dan kini
muncul di permukaan laut!
"Dewata Yang Agung.... Apa itu...?" desahnya dengan suara bergetar.
Namun pada saat itu juga, kilat kembali menyambar dari angkasa. Dan begitu
cahayanya lenyap, ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya terang itu pun
langsung lenyap. Sementara, laki-laki setengah baya yang otot tubuhnya
bertonjolan itu masih tetap berdiri terpaku memandang ke tengah laut
"Oh...." Kembali dia melenguh panjang, saat langit yang semula kelam
terselimut awan hitam mendadak jadi terang dan sangat cerah. Bahkan sedikit
pun tak ada awan yang terlihat menggantung di angkasa sana. Hujan
rintik-rintik pun ikut lenyap. Semua yang terjadi saat itu benar-benar lenyap,
begitu ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya di tengah laut menghilang.
"Mimpikah aku...? Benarkah itu Naga Laut?" Laki-laki setengah baya itu jadi
bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Rasanya saat itu tengah bermimpi saja. Tapi saat tubuhnya diputar,
perkampungan nelayan yang ada di Pesisir Pantai Utara ini kelihatan sunyi
sekali. Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat. Semua rumah dalam keadaan
tertutup, baik pintu maupun jendelanya! Dan keadaan perkampungan itu
benar-benar seperti baru dilanda badai.
"Hal ini harus cepat-cepat kulaporkan pada Ki Amus," ujar laki-laki setengah
baya itu berbicara pada diri sendiri. "Dia kepala desa. Jadi, harus tahu
peristiwa ini lebih dulu daripada yang lain."
Bergegas laki-laki setengah baya itu melangkah dengan ayunan kaki lebar-lebar.
Nafasnya langsung memburu, begitu memasuki perkampungan nelayan di Pesisir
Pantai Utara ini. Dia terus berjalan dengan langkah lebar dan cepat, walaupun
tarikan nafasnya semakin tersengal.
***
"Kau tidak bergurau, Paman Ardaga?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Amus.
"Aku berani sumpah, Ki," sahut Paman Ardaga bersungguh-sungguh.
"Hm...." Ki Amus terdiam sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih dan
panjang. Pandangannya terus tertuju ke arah laut, dari beranda depan rumahnya.
Sedangkan laki-laki setengah baya yang tidak mengenakan baju dan tadi
dipanggil Paman Ardaga itu terus memandangi wajah laki-laki tua yang menjadi
kepala desa nelayan di perkampungan Pesisir Pantai Utara ini.
"Aku berani sumpah, Ki. Aku melihat sendiri. Naga Laut itu benar-benar muncul
saat badai tadi," tegas Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa
itu.
"Naga Laut hanya ada dalam dongeng, Paman," kata Ki Amus, masih belum percaya
terhadap cerita laki-laki setengah baya itu.
"Tapi aku benar-benar melihatnya, Ki."
"Di mana kau melihatnya?" tanya Ki Amus.
"Di pantai, Ki. Aku buru-buru pulang, karena badai itu datangnya tiba-tiba
sekali. Perahu sudah kutambatkan waktu Naga Laut muncul. Ini benar-benar
terjadi, Ki. Aku tidak bohong. Apalagi bermimpi," Paman Ardaga terus berusaha
meyakinkan kepala desa itu.
Ki Amus terdiam dengan pandangan terus ke tengah laut Begitu indah dan cerah,
seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan riak gelombang laut pun terlihat
sangat tenang. Tapi, tak ada seorang nelayan pun yang pergi menangkap ikan.
Semua penduduk desa ini masih terlalu sibuk membenahi kerusakan rumah, akibat
badai yang tadi datang tiba-tiba dan sangat aneh.
"Bagaimana keadaan perahu mu?" tanya Ki Amus membelokkan pembicaraan,
seakan-akan tidak ingin terus membicarakan kemunculan Naga Laut
"Rusak akibat badai tadi," sahut Paman Ardaga polos. 鈥淬api tidak terlalu
berat."
"Sebaiknya, kau pulang saja dulu. Anak dan istrimu pasti sudah gelisah
menunggu di rumah," kata Ki Amus sambil menepuk pundak warga desanya itu.
"Baik, Ki. Aku permisi," ucap Paman Ardaga.
Ki Amus hanya mengangguk saja, dan masih tetap berdiri di depan beranda
rumahnya sambil memandang ke tengah laut. Sementara Paman Ardaga sudah pergi
meninggalkannya, kembali ke rumahnya yang ada di ujung jalan perkampungan
nelayan ini.
"Hm...," Ki Amus menggumam panjang dan perlahan. Dan sambil menghembuskan
napas panjang, kepala desa itu memutar tubuhnya berbatik. Lalu, kakinya
melangkah memasuki beranda depan rumahnya yang cukup luas.
Dan baru saja tubuhnya dihenyakkan di kursi, dari dalam rumah muncul seorang
gadis muda yang cukup cantik. Bajunya agak ketat dan berwarna merah muda.
Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Ki Amus hanya melirik
sedikit saja. Pandangannya kembali tertuju ke arah laut yang kelihatan tenang
dan biru.
Sedangkan gadis cantik itu mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya.
Hanya sebuah meja bundar dengan alas terbuat dari batu pualam putih yang
membatasi mereka. Kembali Ki Amus melirik sedikit pada gadis cantik itu.
"Ayah percaya pada cerita Paman Ardaga tadi...?" Terdengar pelan suara gadis
Itu, seakan-akan tidak ingin didengar orang lain.
"Kau mendengar semuanya tadi, Layung?" Ki Amus malah balik bertanya.
Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Layung itu hanya mengangguk sedikit.
Dan nama gadis itu adalah Layung Sari. Pandangannya juga diarahkan lurus ke
tengah laut yang kelihatan begitu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi
apa-apa. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama berpaling, lalu saling
bertatapan.
"Aku ke dalam dulu, Ayah," pamit Layung seraya bangkit berdiri.
Ki Amus tidak menjawab, dan hanya memandangi anak gadisnya yang berlalu masuk
kembali ke dalam rumah berukuran cukup besar ini. Laki-laki tua yang juga
kepala desa itu tetap duduk di kursinya, dan kembali memandang ke tengah laut.
Entah, apa yang ada di dalam kepalanya sekarang ini. Tapi, pandangan matanya
tidak terlepas dari birunya riak gelombang Laut Utara di depan sana.
"Ki...! Ki Amus...!"
"Heh...?! Ada apa lagi ini...?"
Ki Amus langsung terlompat bangkit berdiri, saat telinganya mendengar orang
berteriak-teriak memanggilnya. Saat kepalanya berpaling ke kiri, tampak
seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun tengah berlari-lari
menghampirinya. Bergegas Ki Amus melangkah, keluar dari dalam beranda depan
rumahnya. Sebentar kemudian, mereka bertemu di tengah-tengah halaman yang
sedikit berpasir.
"Ada apa, Ki Adong?" tanya Ki Amus.
"Aduh.... Tolong, Ki. Tolong aku...," tersedak suara laki-laki tua yang
ternyata bernama Ki Adong.
鈥淬enang.... Ada apa? Ceritakanlah yang tenang," pinta Ki Amus.
Ki Adong menarik nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat
beberapa kali. Dicobanya untuk menenangkan diri, namun nafasnya masih saja
tersengal. Sedangkan Ki Amus menunggu dengan sabar, sampai laki-laki tua warga
desanya itu bisa tenang.
"Katakan, ada apa...?" ujar Ki Amus dengan suara lembut.
"Anakku, Ki. Anak gadisku...," suara Ki Adong masih terdengar tersendat.
"Maksudmu, si...?"
"Puspita."
"Iya, ada apa dengan Puspita?"
"Puspita hilang, Ki. Tolong aku, Ki. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi
Puspita benar-benar hilang."
"Kapan kejadiannya?"
"Waktu badai, Ki."
Ki Amus langsung terdiam. Sedangkan Ki Adong terus merengek meminta
pertolongan kepala desanya untuk mencari anak gadisnya yang hilang, tepat di
saat badai berlangsung dan melanda perkampungan nelayan di Pesisir Pantai
Utara ini.
"Tolong aku, Ki. Puspita anakku satu-satunya. Tidak ada lagi yang mengurus ku,
kalau Puspita tidak ada," rengek Ki Adong memohon.
"Baik, baik. Tenanglah. Aku akan menolong," bujuk Ki Amus mencoba menenangkan.
"Terima kasih, Ki. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongku selain kau, Ki.
Tolong temukan Puspita."
Ki Amus mencoba tersenyum, tapi terasa kalau seperti dipaksakan. Ditepuknya
sedikit pundak laki-laki tua yang mengenakan baju warna hitam dari kain yang
sudah lusuh itu.
"Pulanglah dulu. Aku akan mengerahkan orang-orangku untuk mencari Puspita,"
kata Ki Amus.
"Baik, Ki. Terima kasih," ucap Ki Adong seraya membungkukkan tubuh sedikit.
"Pulanglah."
Ki Adong segera berlalu tergesa-gesa. Sedangkan Ki Amus masih tetap berdiri
mematung memandangi. Dia masih tetap berdiri di tengah-tengah halaman
rumahnya, walaupun Ki Adong sudah tidak terlihat lagi.
"Hhh...!"
***
Kemunculan Naga Laut cepat sekali tersebar ke seluruh desa nelayan di Pesisir
Pantai Utara. Semua orang membicarakan tentang munculnya Naga Laut. Bahkan
langsung saja menghubungkannya dengan hilangnya Puspita, anak satu-satunya Ki
Adong itu. Berbagai macam pikiran dan dugaan terlontar. Dan kebanyakan dugaan
mereka sulit diterima akal pikiran sehat.
Sementara, Paman Ardaga yang melihat langsung kemunculan Naga Laut itu jadi
merasa sangat cemas. Terlebih lagi, hilangnya Puspita bersamaan dengan
munculnya Naga Laut. Dan kecemasan Paman Ardaga memang beralasan, karena juga
memiliki anak gadis yang sudah menginjak usia delapan belas tahun.
Kecemasannya semakin menjadi-jadi, bila mendengar kemunculan Naga Laut akan
membawa korban seorang gadis muda. Hal ini sudah cepat tersebar luas dan tentu
saja membuat seluruh penduduk desa nelayan di Pesisir Pantai Utara menjadi
cemas. Terlebih lagi, bagi yang memiliki anak gadis.
"Sudah malam, Ayah. Kenapa belum juga tidur...?"
"Oh...?!" Paman Ardaga tersentak kaget, dan langsung terbangun dari
lamunannya. Cepat wajahnya berpaling, lalu tersenyum saat melihat seraut wajah
manis yang dekat di belakangnya. Duduknya di geser, untuk memberi tempat pada
gadis cantik yang berdiri di ambang pintu. Gadis berwajah manis dan berkulit
kuning langsat itu duduk di samping laki-laki setengah baya ini.
"Kau sendiri, kenapa belum juga tidur, Andari?" tanya Paman Ardaga sambil
mencoba memberi senyum.
"Aku tidak bisa tidur," sahut gadis manis yang bernama Andari, juga tersenyum.
Andari anak gadis Paman Ardaga. Dia seorang gadis manis, walaupun bentuk
tubuhnya sedikit gemuk. Dan sebenarnya, Paman Ardaga masih mempunyai dua anak
lagi, tapi berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan Andari adalah anak bungsu
Paman Ardaga.
"Ayah...," terdengar ragu-ragu suara Andari.
"Ada apa?" tanya Paman Ardaga seraya berpaling menatap wajah manis anak
gadisnya.
"Benar Ayah melihat Naga Laut itu?" Tanya Andari masih dengan suara terdengar
seperti takut-takut.
"Hhh...!" Paman Ardaga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dihembuskan
nafasnya panjang-panjang, dan terasa berat. Memang sejak siang tadi, dia tidak
menceritakan tentang Naga Laut yang dilihatnya saat terjadi badai pada
anak-anaknya. Dan Paman Ardaga sendiri sebenarnya sedang kebingungan, karena
apa yang dilihatnya siang tadi hanya diceritakan pada Ki Amus saja.
Tapi, ternyata munculnya Naga Laut itu sudah cepat sekali tersebar. Paman
Ardaga sendiri jadi tidak mengerti, dari mana berita tentang Naga Laut cepat
tersebar. Padahal hal itu tidak diceritakannya pada siapa pun juga, kecuali
pada Ki Amus saja. Pada ketiga anaknya pun juga tidak diceritakannya. Dan
sekarang, anak gadisnya menanyakan tentang Naga Laut itu.
"Dari mana kau tahu kalau aku yang melihat Naga Laut itu, Andari?" Paman
Ardaga malah balik bertanya.
"Semua orang mengatakan kalau Ayah melihat langsung Naga Laut waktu badai
berlangsung," sahut Andari agak manja nada suaranya.
"Hhh...!" Kembali Paman Ardaga menarik napas panjang, dan menghembuskannya
kuat-kuat. Tangannya meraih guci dari tanah liat, lalu meneguk arak yang ada
di dalamnya. Pandangannya langsung tertuju ke tengah laut yang kini tampak
hitam. Deburan ombak terdengar begitu keras, menghantam karang dari pantai.
Begitu akrab di telinga penduduk desa ini.
"Kau percaya pada omongan mereka?" Paman Ardaga kembali bertanya.
Dan kini, Andari tidak bisa menjawab. Hanya dipandanginya saja kedua bola mata
ayahnya yang tidak berkedip, memandang lurus ke tengah laut Seakan-akan, gadis
itu sedang mencari kesungguhan dari cerita orang-orang tentang Naga Laut yang
didengarnya. Dia ingin kepastian, apakah kata mereka benar kalau ayahnya
melihat naga raksasa itu muncul.
"Waktu itu, Ayah memang tidak ada di rumah. Dan Ayah baru pulang setelah badai
berhenti," kata Andari perlahan.
"Benar Ayah melihat Naga Laut itu...?"
"Benar," sahut Paman Ardaga agak mendesah perlahan suaranya.
"Jadi...?" suara Andari terputus.
Paman Ardaga memalingkan wajah, dan memandangi wajah anak gadisnya
dalam-dalam. Kemudian direngkuhnya Andari ke dalam pelukan penuh kasih sayang
seorang ayah terhadap putrinya. Andari jadi manja. Seketika kepalanya
ditelusupkan ke dalam pelukan laki-laki setengah baya ini. Beberapa saat
lamanya mereka baru melepaskan pelukan, dan sama-sama memandang ke tengah laut
yang hitam dan penuh cahaya, yang dipantulkan cahaya bulan dan bintang bagai
taburan mutiara.
"Ayah memang melihat Naga Laut itu, Andari. Tapi ayah tidak pernah
menceritakannya pada siapa pun, kecuali pada Ki Amus," jelas Paman Ardaga.
"Kalau begitu, mereka mendengarnya dari Ki Amus, Ayah?" tanya Andari ingin
memastikan.
"Entalah...," sahut Paman Ardaga mendesah.
"Mungkin benar, mungkin juga tidak."
"Atau barang kali ada orang lain yang juga melihatnya, Ayah," duga Andari.
"Mungkin," desah Paman Ardaga.
"Lalu hilangnya Puspita, apa ada hubungannya dengan Naga Laut itu, Ayah?"
Tanya Andari lagi.
"Ayah tidak dapat memastikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak," sahut Paman
Ardaga mencoba jawab bijaksana.
Saat itu, Andari terdiam. Dan Paman Ardaga juga tidak mengeluarkan suara lagi.
Mereka sama-sama terdiam membisu untuk beberapa saat. Perlahan Andari berdiri
dari duduknya di balai bambu yang ada di depan rumahnya.
"Aku pergi tidur dulu, Ayah," pamit Andari.
Paman Ardaga hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Sedangkan Andari sudah
menghilang di dalam rumah yang hanya terbuat dari belahan papan dan bilik
anyaman bambu ini. Sementara, Paman Ardaga masih tetap duduk di atas balai
bambu beralaskan tikar daun pandan. Pandangannya masih tidak beralih dari
tengah laut yang menghitam pekat, dan bertaburkan cahaya bagai lautan mutiara.
"Hhh! Dari mana mereka bisa tahu...?" desah Paman Ardaga bertanya pada diri
sendiri.
***
DUA
Wrrr!
Angin begitu kencang menghantam seluruh Pesisir Pantai Laut Utara ini,
seakan-akan ingin menghancurkan desa yang ada di sepanjang tepiannya.
Debu-debu pasir berputaran, beterbangan ke angkasa. Para nelayan sibuk
mengamankan perahunya dari hantaman ombak yang tinggi dan ganas. Matahari yang
semula bersinar sangat terik, mendadak saja lenyap tersaput awan hitam yang
datang bergulung-gulung cepat sekali.
Entah, datang dari mana. Dalam waktu sekejap saja, seluruh Pesisir Pantai
Utara ini diliputi kegelapan bagai malam yang teramat pekat. Keadaan yang
begitu cepat berubah, membuat seluruh penduduk desa nelayan itu jadi kalang
kabut. Mereka berlarian kembali ke rumah masing-masing dan meninggalkan
perahunya yang sudah tertambat aman di pantai.
Beberapa buah perahu yang tidak sempat diamankan, sudah hanyut terbawa arus
gelombang yang begitu ganas. Bahkan ada beberapa perahu yang sudah hancur
dihantam gelombang yang sangat besar. Sebentar saja, di pantai itu tidak
terlihat orang lagi. Mereka semua berlindung dari amukan alam yang ganas ini
di dalam rumah masing-masing. Hanya seorang laki-laki tua saja yang masih
terlihat berada di depan rumahnya. Dialah Ki Amus, kepala desa nelayan ini.
"Hm.... Ini bukan badai biasa," gumam Ki Amus perlahan.
"Aku merasakan adanya kekuatan lain. Hm...."
Saat itu.... Clraaak! Glaaar...!
Begitu cepat kilat membersit, terdengar ledakan bagai hendak membelah angkasa
yang gelap tersaput awan hitam. Peristiwa alam itu terjadi, tepat di tengah
laut yang bergelombang setinggi gunung. Dan pada saat itu terlihat sebuah
bentuk tengah menggeliat di tengah laut. Sebuah bentuk seekor ular naga
raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang berkilau, menyilaukan
mata.
"Oh...?!" Ki Amus jadi terkejut setengah mati. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua bola matanya jadi
terbeliak, dan mulutnya ternganga lebar. Pandangannya sedikit pun tidak
berkedip, ke arah ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya
terang berkilau di tengah laut.
"Oh! Benarkah yang kulihat ini...?" Ki Amus merasakan seperti sedang bermimpi.
Sungguh tak disangka, ular naga itu benar-benar ada. Bahkan sekarang muncul,
dan terlihat di tengah laut Warnanya hijau, memancarkan cahaya terang
berkilau. Dan kini, tampak binatang itu bergerak ke arah pantai. Dari lubang
hidungnya, api menyembur disertai asap kehijauan yang mengepul, membumbung ke
angkasa.
Clark! Glarrr...!
Tepat di saat Naga Laut itu berada di garis pantai, kilat menyambar dari
angkasa, diikuti ledakan guntur yang menggelegar dan menggetarkan jantung. Dan
pada saat itu, Naga Laut sudah menghilang dari pandangan. Bersamaan dengan
lenyapnya ular naga raksasa, alam pun mendadak jadi cerah kembali. Awan hitam
yang bergulung-gulung di angkasa, seketika lenyap tak berbekas sedikit pun
juga.
Langit kembali cerah. Cahaya matahari sudah bersinar terang menghangatkan
bumi. Angin pun kini tidak lagi bertiup kencang. Bahkan laut pun tampak
tenang, dengan lidah-lidah ombak yang lembut menebur batu-batu karang di
Pesisir Pantai Utara.
Sementara, Ki Amus masih tetap berdiri mematung di depan rumahnya. Matanya
masih memandang lurus ke tengah laut. Rasanya, seakan-akan seperti tengah
bermimpi. Begitu cepat keadaan alam ini berubah. Laki-laki tua berjubah
panjang berwarna putih itu baru tersentak sadar, saat mendengar batuk kecil
dari belakang. Cepat tubuhnya diputar. Matanya langsung menyipit begitu
melihat Paman Ardaga tahu-tahu sudah ada di depan rumahnya.
"Kau percaya pada cerita ku, Ki? Naga Laut itu memang ada," kata Paman Ardaga
seraya melangkah mendekati kepala desa itu.
"Entahlah.... Rasanya aku tadi bermimpi," sahut Ki Amus mendesah pelan.
"Kemunculan Naga Laut itu pasti akan membawa bencana bagi desa ini, Ki," kata
Paman Ardaga.
Ki Amus tidak langsung menanggapi, dan hanya diam saja. Seakan-akan
perasaannya masih diliputi suasana yang begitu mencekam dan sukar sekali
diterima akal sehat. Kenyataan itu benar-benar belum bisa diterima akalnya.
Bahkan memang sukar dipahami.
Naga Laut yang selama ini selalu menjadi dongeng anak-anak kecil sebelum
tidur, kini benar-benar menjadi kenyataan dengan kemunculannya. Apakah dugaan
Paman Ardaga menjadi kenyataan, kalau kemunculan Naga Laut itu akan membawa
bencana.
***
Satu pekan sudah perkampungan desa nelayan di Pesisir Pantai Utara dilanda
ketakutan atas munculnya Naga Laut. Ketakutan mereka memang sangat beralasan.
Betapa tidak? Setiap kali Naga Laut muncul, selalu saja ada seorang gadis yang
masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun hilang. Bahkan
sudah banyak orang yang melihat munculnya Naga Laut itu.
Dan belakangan ini, kemunculannya selalu menimbulkan kerusakan. Malah, sudah
beberapa orang anak buah Ki Amus yang tewas, karena mencoba mengusir Naga Laut
dari desa nelayan ini. Ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan
cahaya terang di seluruh tubuhnya itu kelihatannya semakin ganas saja. Dan
kemunculannya pun tidak lagi hanya sekejap. Dia baru pergi setelah mendapatkan
seorang gadis, dan melahap satu atau dua orang laki-laki yang ditemuinya.
Siang itu, udara di sekitar Pesisir Pantai Utara terasa sangat panas, tidak
seperti hari-hari biasanya. Matahari bersinar sangat terik, seakan-akan ingin
membakar semua yang ada di Pesisir Pantai Utara itu. Sedikit pun tak terasa
adanya angin berhembus. Dan laut pun kelihatan begitu tenang dengan riak
gelombangnya yang kecil menerpa pasir putih di pantai.
Saat ini, tak ada seorang nelayan pun yang turun ke laut. Mereka semua dilanda
ketakutan, karena sudah empat perahu hilang di tengah laut. Kegairahan mereka
pun lenyap. Wajah-wajah muram terlihat jelas dari mereka yang kini hanya
duduk-duduk di beranda depan rumah, sambil memperbaiki jala yang rusak.
Di tengah-tengah kemurungan wajah desa nelayan itu, terlihat seorang pemuda
tengah menunggang kuda putih menyusuri tepian pantai. Pakaiannya yang berwarna
biru terang, kelihatan mewah membungkus tubuhnya yang tegap dan berotot.
Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Wajahnya pun sangat tampan, bagai
seorang putra mahkota.
Sementara semua penduduk desa nelayan itu hanya bisa memandangi. Namun pemuda
itu kelihatan tidak peduli, dan terus saja mengendalikan kudanya agar berjalan
perlahan-lahan memasuki perkampungan di Pesisir Pantai Utara ini. Langkah
kudanya baru dihentikan, setelah sampai di depan rumah Ki Amus.
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, pemuda tampan berpakaian mewah itu
melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar dia berdiri memandangi rumah Ki
Amus yang kelihatan sepi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya. Beberapa
penduduk yang ada didepan rumahnya, terus memperhatikan dengan sinar mata
memancarkan kecurigaan.
Setelah memperhatikan keadaan rumah itu beberapa saat, pemuda itu baru
mengayunkan kakinya memasuki halaman yang hanya dipagari belahan bambu.
Sementara, kuda putih tunggangannya mengikuti dari belakang. Pemuda itu terus
melangkah perlahan-lahan, namun ayunannya terlihat mantap. Pandangannya
tertuju lurus, sedikit pun tak berkedip ke arah pintu rumah yang tertutup
rapat. Dan begitu ayunan kakinya berhenti tepat di ujung bawah anak tangga
beranda, pintu rumah itu bergerak terbuka. Kemudian, dari dalam muncul Ki
Amus.
"Kau kepala desa di sini...?" Tanya pemuda itu langsung tanpa memberi hormat
sedikit pun.
"Benar," sahut Ki Amus agak terkejut "Nama ku Ki Amus."
Laki-laki tua kepala desa itu memandangi pemuda yang berdiri tegak didepan
beranda rumahnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Perlahan kakinya
melangkah mendekati, dan berhenti pada undakan kedua.
Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju kain sutra halus berwarna biru
terang, tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam, menusuk langsung ke bola
mata Ki Amus.
"Maaf, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa denganku?" Tanya Ki Amus.
Sikap dan suaranya terdengar sopan.
"Namaku Raden Banyu Samodra. Aku diutus Ayahanda Prabu Naga Pendaka untuk
menemui seseorang di sini." Sahut pemuda itu memperkenalkan diri, dan langsung
mengatakan tujuannya datang ke desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.
"Oh...! Kau seorang pangeran," desah Ki Amus tersedak, tidak menyangka kalau
pemuda tampan yang datang menemuinya ternyata seorang putra raja.
"Tapi..., dari kerajaan mana Raden datang?"
"Kerajaan Karang Emas."
"Lalu, siapa yang akan Raden temui?" Tanya Ki Amus lagi.
"Raja Karang Setra."
"Maksud Raden..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?" Ki Amus ingin
menegaskan.
"Benar," tegas Raden Banyu Samodra.
"Wilayah ini memang masih termasuk Kerajaan Karang Setra. Tapi, ibu kotanya
masih jauh dari sini. Paling tidak memerlukan waktu satu pekan kalau ingin
menempuh ke sana," jelas Ki Amus.
"Aku tidak akan ke ibu kota. Apa lagi, datang ke istana. Aku ingin menemuinya
di sini," kata Raden Banyu Samodra, tetap tegas nada suaranya.
"Maaf, Raden. Apakah Raden sudah ada janji untuk bertemu di sini?" Tanya Ki
Amus, ingin tahu
"Tidak. Tapi aku harus menunggu di sini. Dan itu perintah langsung dari
Ayahanda Prabu Naga Pendaka."
Ki Amus mengangguk-anggukkan kepala. Sekali lagi, diperhatikannya pemuda yang
mengaku putra raja itu dalam-dalam. Dan memang, kalau dilihat dari perawakan
serta pakaian yang dikenakan, orang pasti akan menyangka kalau dia seorang
putra mahkota. Atau paling tidak, seorang putra bangsawan. Tapi, sikapnya yang
angkuh membuat Ki Amus jadi ragu-ragu. Bahkan memandangnya dengan sinar mata
curiga.
Namun yang dipandangi seperti tidak menangkap kecurigaan laki-laki tua kepala
desa itu. Bahkan malah melangkah menaiki undakan tangga beranda depan rumah
kepala desa itu, lalu berhenti dengan jarak satu undakan di depan Ki Amus.
"Boleh aku beristirahat di sini sambil menunggu Raja Karang Setra...?" Pinta
Raden Banyu Samodra dengan sikap masih kelihatan angkuh.
"Jika Raden bersedia istirahat di gubuk reyot ini, aku sama sekali tidak
berkeberatan," sahut Ki Amus tidak bisa menolak permintaan itu.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Raden Banyu Samodra melangkah melewati kepala
desa itu. Dan dengan enak sekali tubuhnya dihempaskan di kursi rotan. Kedua
kakinya diangkat, lalu ditumpangkan ke atas meja. Kedua bola mata Ki Amus jadi
terbeliak melihat sikap kurang ajar pemuda itu. Dia benar-benar tidak
memandang hormat sedikit pun sebagai tamu.
"Kau tidak memiliki pelayan di sini, Orang Tua?" terasa angkuh sekali nada
suara Raden Banyu Samodra.
"Untuk apa?" Ki Amus malah balik bertanya ketus.
Laki-laki setengah baya itu mulai tidak senang terhadap sikap pemuda tampan
yang seperti tak punya tata krama. Sedikit pun tidak memandang hormat pada
pemilik rumah, sehingga membuat jengkel. Tapi Ki Amus masih berusaha
mengendalikan diri, mengingat pemuda yang tengah dihadapinya adalah seorang
pangeran dan sedang menunggu Raja Karang Setra.
Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk ke dalam wilayah
Kerajaan Karang Setra. Dan itu yang membuat Ki Amus terpaksa harus bisa
menahan diri melihat sikap angkuh dan ketidak-sopanan pemuda asing ini.
"Aku ingin kau melayaniku dengan baik, Ki. Juga seluruh penduduk desa ini
harus mematuhi semua yang kukatakan. Termasuk kau...!" kata Raden Banyu
Samodra seraya menuding ke wajah Ki Amus dengan jari telunjuknya.
"Edan...!" desis Ki Amus langsung memerah wajahnya. Terdengar keras gemeretuk
gerahamnya menahan kemarahan. Harga diri Ki Amus merasa telah terinjak dalam
sesaat saja. Seluruh tubuh laki-laki tua itu jadi menggeletar menahan
kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Sedangkan pemuda yang
mengaku pangeran itu sikapnya semakin membuat mual perut Ki Amus.
"Aku akan tinggal di sini sampai Raja Karang Setra muncul. Dan kau, serta
semua penduduk desa ini, harus tunduk pada perintahku!" tegas Raden Banyu
Samodra.
"Keparat..! Iblis dari mana kau ini, heh?" geram Ki Amus tidak dapat lagi
menahan kejengkelannya.
Tapi Raden Banyu Samodra hanya tersenyum saja melihat kejengkelan laki-laki
tua kepala desa itu. Bahkan sikapnya tampak mengejek dan meremehkan. Sedangkan
wajah Ki Amus sudah kelihatan semakin memerah, menahan kemarahan yang
meluap-luap tak tertahankan lagi.
"Kuharap, kau segera angkat kaki dari desa ini, Anak Muda," desis Ki Amus
dingin, tidak memandang kepangeranan pemuda itu.
"Sudah kuduga, kau pasti akan menjadi orang pertama yang membangkang, Ki,"
sambut Raden Banyu Samodra datar.
"Pergi kau, cepaaat...!" bentak Ki Amus langsung.
Raden Banyu Samodra masih tetap tersenyum meremehkan. Perlahan dia bangkit
berdiri. Dan tiba-tiga saja....
"Hih!"
Slap!
"Hap!" Ki Amus cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba sekali
Raden Banyu Samodra mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga,
terlihat sebuah benda bercahaya kehijauan meluncur deras hendak menyambar
tubuh laki-laki tua kepala desa ini. Tapi gerakan menghindar yang dilakukan Ki
Amus memang cepat dan manis sekali. Hingga, benda bercahaya kehijauan itu
hanya lewat sedikit di samping tubuhnya.
Namun hatinya jadi tersentak kaget setengah mati, karena pada saat benda
bercahaya kehijauan tadi lewat di samping tubuhnya, saat itu juga terasakan
adanya hembusan hawa yang sangat panas dan menyengat. Cepat-cepat Ki Amus
melompat, keluar dari beranda depan rumahnya. Dua kali dia berputaran di
udara, sebelum menjejakkan kakinya di halaman dengan manis dan ringan sekali.
Glarrr!
"Heh...?!" Ki Amus langsung berpaling dan terkejut setengah mati, begitu
tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar dari arah belakang. Dan kedua
bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat pohon beringin besar
yang tumbuh didepan rumahnya mendadak saja hancur berkeping-keping setelah
terlanda benda bercahaya kehijauan yang dilepaskan Raden Banyu Samodra tadi.
"Gila...!" desis Ki Amus masih dihinggapi rasa terkejut yang amat sangat
"Mudah sekali aku melumatkan tubuhmu hingga jadi debu, kalau kau tidak mau
menuruti perintahku, Orang Tua," terasa sangat dingin nada suara Raden Banyu
Samodra.
"Phuih! Siapa pun dan dari mana pun kau berasal, sekarang juga angkat kaki
dari desa ini!" dengus Ki Amus sengit.
"Kau akan menyesali sikapmu, Ki," Raden Banyu Samodra memperingatkan.
"Sekali lagi kuperingatkan, pergi!" sentak Ki Amus lantang.
Tapi Raden Samodra hanya diam saja. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman
yang sangat tipis. Dia masih berdiri didepan kursi yang tadi didudukinya.
Perlahan kakinya terayun melangkah ke depan dua tindak. Dan begitu berhenti,
cepat bagai kilat, tangan kirinya kembali mengebut ke depan.
Slap!
"Hap!"
Ki Amus langsung saja melenting ke udara, tapi tak ada satu pun benda yang
meluncur dari telapak tangan kiri yang menjulur ke depan itu. Dan ini membuat
Ki Amus jadi tersedak. Cepat disadari kalau gerakan yang dilakukan pemuda
tampan itu hanya tipuan belaka. Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra
melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Amus yang masih berjumpalitan di udara.
"Yeaaah...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Ki Amus meluruk ke bawah, menghindari terjangan kilat Raden Banyu
Samodra. Tapi begitu kakinya menjejak tanah berpasir didepan rumahnya, tanpa
diduga sama sekali Raden Banyu Samodra cepat memutar tubuhnya. Saking
cepatnya, sehingga sukar sekali diikuti oleh mata biasa. Dan tahu-tahu, dia
sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah langsung ke
dada kepala desa itu.
"Hih!" Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk berkelit menghindari
tendangan keras menggeledek itu. Maka cepat-cepat tangannya dikebutkan untuk
menangkisnya. Hingga tak pelak lagi....
Plak!
"Akh...!"
Ki Amus memekik kecil agak tertahan. Bergegas dia melompat mundur beberapa
langkah sambil memegangi tangan kirinya yang tadi digunakan untuk menangkis.
Namun belum juga melihat tangannya yang langsung membiru, pemuda tampan yang
mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu sudah melompat cepat sambil mencabut
pedang yang tergantung di pinggang.
Sret! Cring!
"Hiyaaa...!"
"Hap!"
Ki Amus bergegas merundukkan kepala, menghindari tebasan pedang yang berkilat
dan memancarkan cahaya hijau. Namun belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak
kembali, Raden Banyu Samodra langsung melepaskan satu tendangan keras
menggeledek ke arah perut. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Ki Amus
tidak sempat lagi berkelit menghindari. Hingga....
Des!
"Ugkh...!"
Ki Amus terlenguh pendek. Tubuh tua berjubah putih panjang itu seketika
terpental deras sekali ke belakang. Dan luncurannya baru berhenti setelah
menabrak sebatang pohon yang langsung hancur terlanda tubuh tua dan kurus itu.
"Hiyaaat...!"
Raden Banyu Samodra kembali melompat hendak menyerang laki-laki tua kepala
desa itu lagi. Maka satu pukulan yang teramat keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi pun mendarat di dada laki-laki tua ini. Akibatnya, Ki Amus
terpekik cukup keras. Semua penduduk desa nelayan yang mendengar pekikan itu
kontan keluar dari dalam rumah masing-masing. Dan mereka langsung berhamburan
ke tempat ini. Sebentar saja, sekeliling halaman depan rumah kepala desa itu
sudah dipadati orang yang baru keluar dari dalam rumahnya.
"Katakan pada mereka, kalau sekarang aku yang berkuasa di desa ini, Ki Amus,"
kata Raden Banyu Samodra dingin.
"Phuih! Kau tidak akan bisa merebut desa ini begitu saja, Anak Setan! Langkahi
dulu mayat kami!" sambut Ki Amus lantang.
"Hm. Rupanya kau keras kepala juga, Ki Amus," desis Raden Banyu Samodra
dingin.
Setelah berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa sekali pemuda tampan
berpakaian mewah dari sutra halus itu melompat menerjang Ki Amus.
"Hiyaaat...!"
"Hap! Yeaaah...!"
***
TIGA
Ki Amus cepat-cepat melesat, begitu Raden Banyu Samodra melompat menerjang
dengan kecepatan sangat tinggi. Maka serangan pemuda tampan berpakaian mewah
dari bahan sutra halus itu tidak mengenai sasaran. Tapi kegagalan serangannya
malah membuat Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh, seakan-akan senang
mendapat sambutan dari serangannya tadi.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Orang Tua. Tapi tahanlah seranganku
berikutnya.
Hiyaaat..!"
"Hait!"
Ki Amus segera memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu Raden Banyu Samodra
melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Namun, dia jadi terkejut dan cepat-cepat me-lompat ke belakang beberapa
langkah, saat merasakan adanya hembusan angin berhawa panas menyengat dari
sambaran pukulan lawan.
"Hap!" Kepala desa itu segera melakukan beberapa gerakan dengan kedua
tangannya. Sementara, Raden Banyu Samodra sudah bersiap hendak menghadang
lagi. Jelas kalau dari sikapnya, pemuda itu meremehkan kemampuan kepala desa
itu. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Bahkan pandangannya sedikit pun tidak
berkedip, lurus ke bola mata laki-laki tua yang berada sekitar satu batang
tombak di depannya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyu Samodra tiba-tiba saja melesat
tinggi ke udara. Dan bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kedua
tangan terkembang seperti sayap seekor burung yang hendak menghantam mangsa.
Begitu cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Amus jadi terperangah sesat.
"Hap!" Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Ki Amus melompat ke
belakang. Maka serangan pemuda tampan itu dapat dihindarinya. Dan tepat di
saat Raden Banyu Samodra baru menjejakkan kaki di tanah, Ki Amus sudah memberi
satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Hampir saja tendangan Ki Amus menghantam dada. Untungnya, Raden Banyu Samodra
cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Lalu sambil menggeser kaki ke samping,
tubuhnya meliuk seraya melepaskan satu sodokan cepat terarah ke perut
laki-laki tua kepala desa itu.
"Hih!"
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk menghindari sodokan tangan kiri
lawan. Maka dengan cepat tangan kanannya dikebutkan untuk menangkis sodokan
yang sangat cepat dan terarah ke perutnya. Hingga tak pelak lagi, dua tangan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun beradu tepat didepan
perut Ki Amus.
Plak!"
"Ikh...!"
Ki Amus jadi terpekik kecil, begitu tangannya beradu dengan tangan Raden Banyu
Samodra. Saat itu juga tulang-tulang tangannya terasa bagaikan remuk terhantam
besi baja yang sangat keras. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang
beberapa langkah, sambil memegangi tangan kirinya dengan tangan kanan. Namun
pada saat itu, Raden Banyu Samodra sudah memberi serangan kembali yang tidak
kalah dahsyatnya.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Raden Banyu Samodra, sehingga Ki Amus
tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Ki Amus terpekik agak tertahan, begitu dadanya terhantam pukulan keras
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu keras pukulan itu, sehingga
membuat tubuh Ki Amus terpental sejauh dua batang tombak.
Brak!
Tubuh tua itu baru berhenti meluncur setelah menghantam sebatang pohon yang
cukup besar batangnya, hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaat...!" Rupanya, Raden Banyu Samodra tidak sudi lagi memberi kesempatan
pada laki-laki tua kepala desa itu untuk dapat melihat matahari esok pagi.
Bagaikan kilat tubuhnya melesat, seraya melepaskan satu pukulan dahsyat
menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun belum juga
pukulan mematikan itu mendarat di tubuh Ki Amus, mendadak saja....
Slap!
"Heh...?!
Utfs...!"
Raden Banyu Samodra segera melenting dan berputar ke belakang, begitu
tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan memapak arus serangannya terhadap Ki
Amus. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tampak seorang gadis berwajah cantik
berbaju ketat warna merah muda sudah berdiri menghadang di depan laki-laki tua
kepala desa nelayan itu.
"Iblis pengecut...! Bisanya hanya menghadapi orang tua!" dengus gadis itu
mendesis geram.
"Hhh! Rupanya ada juga gadis cantik berkepandaian tinggi di desa ini," dengus
Raden Banyu Samodra begitu rasa terkejutnya hilang dari dadanya. Saat itu, Ki
Amus sudah bisa bangkit berdiri. Lalu, dihampirinya gadis cantik berpakaian
ketat berwarna merah muda itu. Dia berdiri di sebelah kanannya. Dan begitu
melihat wajah cantik yang telah menyelamatkan nyawanya, Ki Amus jadi kaget
setengah mati.
"Layung...," desis Ki Amus perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Belum juga gadis cantik yang ternyata Layung Sari bisa membuka mulutnya untuk
menghilangkan keterkejutan kepala desa itu, Raden Banyu Samodra segera
bergerak menghampiri. Kakinya menggeser, menyusuri tanah berpasir putih di
halaman depan rumah Ki Amus yang sangat luas ini.
"Jangan banyak omong! Pergi kau dari sini, atau kepalamu ingin pecah!" bentak
Layung Sari langsung kasar.
"Wueh...! Galak juga kau rupanya, Cah Ayu...."
Saat itu, Ki Amus sudah berada di samping putrinya. Ditariknya tangan Layung
Sari hingga gadis itu tertarik ke belakang dua langkah.
"Jangan layani dia, Layung. Biar aku saja yang mengusirnya," kata Ki Amus
setengah berbisik.
"Orang kurang ajar seperti dia harus diberi sedikit pelajaran, Ayah," suara
Layung Sari terdengar agak menyentak.
"Sudah, kau minggir sana!" perintah Ki Amus.
Layung Sari hendak membantah, tapi Ki Amus sudah melangkah ke depan sambil
mendorong tubuhnya. Maka terpaksa gadis itu harus menarik kakinya ke belakang
beberapa langkah.
Sementara, Raden Banyu Samodra masih kelihatan tenang dengan sikap meremehkan.
Sedikit pun dia tidak memandang sebelah mata laki-laki tua kepala desa itu.
Sedangkan Layung Sari sudah begitu gemas melihat kecongkakan pemuda tampan
yang baru pertama kali ini dilihatnya.
"Sudahlah, Orang Tua. Jangan paksakan dirimu lagi. Kalau aku mau, dengan mudah
batang lehermu bisa kupatahkan," kata Raden Banyu Samodra merendahkan.
"Anak Muda, kuperintahkan sekali lagi. Kalau kau tidak segera angkat kaki dari
sini, semua orang di desa ini bisa merancah mu jadi daging cincang!" ancam Ki
Amus tidak main-main lagi.
"He he he...!" tapi Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh. Sama sekali
pemuda itu tidak gentar mendengar ancaman Ki Amus tadi. Bahkan kakinya
melangkah beberapa tindak mendekati laki-laki tua kepala desa itu. Sedikit
matanya melirik Layung Sari. Senyumnya terkembang melihat kecantikan gadis
itu. Tapi, Layung Sari Malah menyemburkan ludahnya dengan wajah memerah
berang.
"Anak gadismu cantik sekali, Orang Tua. Rasanya dia pantas mendampingiku di
istana," kata Raden Banyu Samodra sambil memandang wajah cantik Layung Sari.
"Keparat...!" desis Layung Sari, menggeram.
"Kata-katamu semakin kurang ajar saja, Anak Muda. Jangan memaksaku bertindak
lebih kasar lagi padamu," desis Ki Amus langsung menggelegak amarahnya.
"He he he...," Raden Banyu Samodra hanya terkekeh saja mendengar kata-kata
kasar bernada marah itu.
Sedangkan Ki Amus sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap
kurang ajar pemuda asing ini. Sementara, Layung Sari sudah menggenggam gagang
pedang di pinggang, walaupun masih belum mencabutnya. Wajah gadis itu
kelihatan memerah menahan amarah yang sudah meluap-luap dalam dada.
Sementara, pertengkaran yang terjadi sudah menarik perhatian seluruh penduduk
di desa nelayan Pesisir-Pantai Utara. Sekitar halaman rumah Ki Amus yang cukup
luas, sudah hampir dipadati penduduk desa. Mereka semua memandang geram pada
Raden Banyu Samodra. Tapi, yang dipandangi malah tersenyum dan terkekeh kecil.
Dia benar-benar tidak memandang sedikit pun, walau keadaannya bisa dikatakan
sudah terkepung.
"Ki Amus! Aku akan mengadakan perjanjian denganmu," kata Raden Banyu Samodra
agak lantang suaranya. Sehingga, bisa terdengar jelas oleh orang-orang yang
berada di sekitar halaman rumah kepala desa ini.
"Hm, perjanjian apa?" Tanya Ki Amus agak sinis.
"Aku akan menantang kau dan anak gadismu. Tapi dengan satu perjanjian yang
adil," kata Raden Banyu Samodra menawarkan.
Ki Amus berpaling sedikit ke belakang, memandang Layung Sari. Sedangkan gadis
itu hanya diam saja. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju lurus ke bola
mata Raden Samodra. Perlahan Ki Amus kembali memalingkan wajahnya, dan menatap
pemuda tampan yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya.
"Katakan, apa perjanjianmu?" dengus Ki Amus tegas.
"Kau dan anak gadismu boleh bertarung melawanku bersamaan. Tapi kalau kalian
kalah, desa ini ada di bawah kekuasaanku. Dan kalau aku kalah, desa ini aman
dari gangguan siapa pun juga. Aku akan menjaga desa ini, walaupun tidak
tinggal di sini. Bagaimana...?"
Ki Amus tidak langsung menjawab. Kembali dipandangnya Layung Sari. Dan
pandangannya beralih pada deretan orang tua yang ada di belakang gadis itu.
Tatapan matanya terpaku pada Paman Ardaga beberapa saat lamanya. Permintaan
Raden Banyu Samodra yang diucapkan lantang, terdengar jelas sekali oleh semua
orang yang ada di sekitar halaman rumah kepala desa itu.
Cukup lama juga Ki Amus mempertimbangkan permintaan perjanjian Raden Banyu
Samodra. Dan tampaknya, semua orang menyerahkan segala keputusan padanya. Tak
ada seorang pun yang membuka suara. Tapi dari sorot mata, mereka mengharapkan
Ki Amus dapat mengalahkan pemuda congkak itu. Walaupun, tanpa dibantu anak
gadisnya yang memang memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Malah,
tak ada seorang pun pemuda di desa ini yang berani mendekatinya.
"Bagaimana, Ki Amus...?" Tanya Raden Banyu Samodra tidak sabar lagi menunggu.
"Baik! Tantanganmu kuterima," sahut Ki Amus tegas.
"Ha ha ha...!" Raden Banyu Samodra tertawa terbahak-bahak.
Semua orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu segera
menyingkir menjauh. Sedangkan Layung Sari sudah berada sekitar lima langkah di
sebelah kanan ayahnya. Sementara, Raden Banyu Samodra menyunggingkan senyuman
yang sangat manis. Tapi di dalam pandangan semua orang, senyuman itu merupakan
seringai iblis yang akan menghancurkan desa di Pesisir Pantai Utara ini.
"Bersiaplah, Ki," ujar Raden Banyu Samodra kalem.
"Hm...," Ki Amus hanya menggumam kecil.
"Kau boleh menyerang lebih dulu, Cah Ayu," kata Raden Banyu Samodra sambil
menatap Layung Sari.
"Phuih!" Layung Sari menyemburkan ludahnya sengit. Kaki gadis itu langsung
bergerak mantap, menyusuri tanah berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam
tanpa berkedip sedikit pun, bagai hendak melahap bulat-bulat seluruh tubuh
pemuda tampan dan congkak itu. Perlahan pedangnya ditarik keluar dari
warangkanya yang tergantung di pinggang.
"Hiyaaat..!" Bet!
Sambil berteriak nyaring, Layung Sari melompat begitu cepat sambil membabatkan
pedangnya yang diarahkan langsung ke leher Raden Banyu Samodra. Semua orang
yang melihat, seketika itu juga menahan nafasnya. Terlebih lagi, Raden Banyu
Samodra seperti tidak berusaha menghindari sabetan pedang yang berkilatan
tajam itu.
"Hhh!" Tapi begitu mata pedang yang berkilat hampir saja memenggal batang
lehernya, mendadak saja Raden Banyu Samodra menarik kepalanya ke belakang
dengan gerakan manis sekali. Dan begitu ujung pedang Layung Sari lewat didepan
tenggorokan, cepat sekali kedua telapak tangannya diayunkan. Hingga...
Tap! "Heh...?!"
Layung Sari jadi terkejut setengah mati, begitu ujung mata pedangnya terjepit
di antara kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra. Cepat seluruh kekuatan
tenaga dalamnya dikerahkan untuk menarik pedangnya dari jepitan kedua telapak
tangan itu. Tapi sungguh sulit dipercaya, ternyata pedangnya sedikit pun tidak
bergeming dari jepitan kedua telapak tangan pemuda itu.
"Yeaaah...?!" Namun pada saat itu, Ki Amus sudah melompat cepat sekali sambil
melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Pukulannya langsung diarahkan ke kepala Raden Banyu Samodra.
"Utfs!" Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, Raden Banyu Samodra bisa
menghindari serangan laki-laki tua kepala desa itu. Dan tanpa diduga sama
sekali, kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke samping, tepat
terarah pada Ki Amus. Dan tindakan itu tentu saja membuat Ki Amus jadi
terbeliak. Terlebih lagi Layung Sari.
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Ki Amus melenting ke udara, menghindari terjangan pedang Layung
Sari yang sudah tidak terkendali lagi setelah dihentakkan Raden Banyu Samodra.
Dan saat itu juga, Layung Sari mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Cepat
pedangnya dikebutkan ke bawah, hingga lewat di bawah telapak kaki Ki Amus.
"Hup!"
Layung Sari bergegas melompat ke belakang beberapa tindak jauhnya. Sementara,
Ki Amus berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan
kakinya kembali di tanah berpasir putih. Sedangkan Raden Banyu Samodra tampak
berdiri tegak dengan kedua tangan tepat didepan dada. Bibirnya terus
menyunggingkan senyum.
"Kau serang dia dari bawah, Layung," kata Ki Amus agak berbisik perlahan.
Layung Sari cepat mengangguk. Dan....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Layung Sari kembali melompat menghampiri Raden Banyu
Samodra. Dan begitu kakinya menjejak tanah berpasir putih, bagaikan kilat
pedangnya dikebutkan ke arah kaki pemuda itu.
"Hup!"
Raden Banyu Samodra cepat-cepat melompat menghindari sabetan pedang yang
mengarah ke kakinya. Tapi begitu berada di udara, Ki Amus sudah melesat cepat
sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengarah langsung ke
dada.
"Hap!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali, ternyata Raden Banyu Samodra tidak
berusaha menghindari sedikit pun juga. Bahkan memapak pukulan kepala desa itu
dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan. Hingga tak pelak lagi, dua
tangan berkekuatan tenaga dalam tinggi beradu.
Plak!
"Akh...!"
"Ayah...!" jerit Layung Sari terperanjat.
Cepat-cepat gadis itu menghambur, begitu melihat ayahnya terpental ke belakang
dan jatuh bergulingan beberapa kali di tanah. Seketika dari mulut orang tua
itu keluar darah kental berwarna agak kehitaman. Ki Amus berusaha bangkit
berdiri, tapi saat itu juga seluruh tubuhnya terasa jadi lemas seperti tidak
memiliki tulang-tulang lagi. Seluruh tenaganya seketika itu juga seperti
lenyap.
"Ayah...." Layung Sari berusaha membantu ayahnya berdiri.
Tapi, Ki Amus memang tidak sanggup lagi berdiri. Sedangkan darah semakin
banyak saja keluar dari mulutnya. Hal ini tentu saja membuat Layung Sari jadi
kalang kabut. Seketika mulutnya mendesis geram begitu sorot matanya tertumbuk
pada Raden Banyu Samodra yang tengah tertawa terkekeh, setelah berhasil
menjatuhkan satu orang lawan.
"Setan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Layung Sari tidak dapat lagi mengendalikan diri. Seperti seekor singa betina
yang kehilangan anaknya, langsung diserangnya pemuda tampan yang baru sekali
ini datang ke desa nelayan itu. Bagaikan kilat, Layung Sari mengebutkan
pedangnya beberapa kali, bagai hendak merancah tubuh lawan.
"Haiiit...!"
Tapi dengan gerakan-gerakan indah dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra
berhasil menghindarinya. Dan tampaknya, dia seperti sengaja mempermainkan,
sehingga membuat Layung Sari semakin dihinggapi perasaan marah. Semua
serangannya satu pun tidak ada yang berhasil mengenai sasaran.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Layung Sari semakin memperhebat serangan-serangannya. Semua kebutan pedangnya
mengandung penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi. Hingga setiap berkelebat,
selalu menimbulkan desiran angin yang dapat membuat hati siapa saja yang
mendengarnya langsung ciut.
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Layung Sari melompat ke atas. Pedangnya
langsung dibabatkan ke arah kepala Raden Banyu Samodra dengan kecepatan bagai
kilat dan sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hap!"
Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata Raden Banyu Samodra bukannya berusaha
berkelit menghindar. Bahkan malah ikut melompat dan tiba-tiba sekali tangan
kirinya mengibas cepat. Tahu-tahu, kini ujung pedang Layung Sari sudah
terjepit di antara dua jemari tangan pemuda itu.
"Ikh...!"
Layung Sari cepat berusaha mencabut pedangnya dari jepitan dua jemari tangan
itu, tapi sedikit pun tidak bergeming. Apalagi terlepas. Dan pada saat itu
juga, Raden Banyu Samodra melepaskan satu pukulan keras yang begitu cepat,
hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Begitu cepat pukulannya, sehingga
Layung Sari tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terlebih lagi, seluruh
perhatiannya tengah tertumpah pada pedangnya yang terjepit di antara dua jari
tangan pemuda itu. Hingga tak pelak lagi, pukulan Raden Banyu Samodra tepat
menghantam dadanya.
Des!
"Akh...!"
Layung Sari terpekik agak tertahan. Seketika, tubuhnya terpental ke belakang
sejauh beberapa langkah. Dan pedangnya tidak dapat lagi dipertahankan, hingga
terlepas dari genggaman. Gadis itu juga kontan jatuh terjerembab cukup keras.
Dan pada saat hendak bangkit berdiri, tahu-tahu Raden Banyu Samodra sudah
berdiri dekat. Seketika ujung pedang di tangannya ditempelkan tepat di
tenggorokan Layung Sari.
"Kau kalah, Manis," ujar Raden Banyu Samodra sambil tersenyum menyeringai
lebar.
"Phuih!"
Layung Sari menyemburkan ludahnya.
"He he he...!"
***
EMPAT
Sambil tertawa terbahak-bahak, Raden Banyu Samodra menghampiri rumah Ki Amus.
Dan dengan angkuh sekali dia memasuki beranda, lalu berdiri tegak sambil
berkacak pinggang di pinggiran beranda depan rumah kepala desa itu. Sementara,
Layung Sari, Paman Ardaga, dan beberapa orang tua membantu berdiri Ki Amus.
Kepala desa itu masih menderita kelumpuhan, akibat beradu tenaga dalam dengan
Raden Banyu Samodra tadi.
"Dengar kalian semua...! Mulai saat ini, aku yang berkuasa di sini. Kalian
harus patuh pada perintahku. Siapa saja berani membangkang, tidak segan-segan
kepala kalian kujadikan hiasan tiang-riang perahu!" lantang sekali suara Raden
Banyu Samodra.
Tak ada seorang pun yang membuka suara, meskipun di dalam hati mengutuki
pemuda itu. Semua penduduk di desa nelayan itu sudah melihat kedigdayaannya.
Dan tak ada seorang pun yang berani menantang. Ki Amus saja yang diketahui
memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi, bisa dibuat lumpuh seketika.
"Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, pemuda berpakaian sutra halus
yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu melangkah masuk ke dalam rumah Ki
Amus. Dia memang bermaksud menjadikan rumah kepala desa itu sebagai istananya.
Dan memang, hanya rumah Ki Amus saja yang paling bagus di desa nelayan Pesisir
Pantai Utara.
"Ayo, Ki. Sebaiknya tinggal di rumahku saja dulu," kata Paman Ardaga sambil
memapah Ki Amus.
"Terima kasih," ucap Ki Amus pelan.
Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Amus, Kecuali menurut saja saat
dipapah Paman Ardaga dan Layung Sari. Sementara, semua orang hanya dapat
memandangi dengan wajah lesu. Mereka baru meninggalkan halaman depan rumah
kepala desanya setelah Ki Amus tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumah
Paman Ardaga bersama putrinya.
***
Sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa nelayan di Pesisir Pantai Utara,
keadaannya bagaikan berada dalam lingkaran api neraka. Keinginannya
macam-macam saja dan tidak bisa dibantah lagi. Beberapa pemuda desa yang
mencoba menentang, kepalanya benar-benar menjadi hiasan tiang perahu. Bahkan
tidak sedikit gadis yang diambil paksa dari tangan orang tuanya.
Bahkan setiap gadis yang sudah jatuh ke tangannya, tak akan ada yang bisa
melihat lagi. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasib gadis-gadis
itu. Hari demi hari berlalu. Keadaan di desa itu semakin gersang oleh ulah
Raden Banyu Samodra. Dia benar-benar menancapkan kuku kekuasaannya begitu
dalam. Hingga, tak ada seorang pun yang berani menentangnya.
Tapi anehnya, sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa itu, Naga Laut berwarna
hijau yang memancarkan cahaya tidak pernah kelihatan lagi. Bahkan desa itu
tidak pernah lagi dilanda badai.
"Kita harus segera bertindak, Ki," kata Paman Ardaga dengan nada suara
terdengar geram.
"Dengan cara apa...?" tanya Ki Amus lesu. "Sedangkan aku sudah tidak punya
daya lagi. Jangankan untuk menantang, mengangkat tanganku saja sudah tidak
mampu lagi."
"Tapi, Ki. Kalau didiamkan terus begini, desa kita ini bisa hancur," desah
Paman Ardaga.
"Desa ini memang sudah hancur. Bahkan sudah musnah," selak Layung Sari sambil
menyuapi ayahnya.
"Aku tidak akan tinggal diam begitu saja, Ki," kata Paman Ardaga lagi.
"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Ki Amus.
Paman Ardaga tidak segera menjawab. Tapi memang, dia tidak mempunyai satu cara
pun untuk mengusir Raden Banyu Samodra. Sedangkan ilmu olah kanuragan saja
hanya sedikit dimilikinya. Jadi tidak mungkin dia bisa menantang Raden Banyu
Samodra yang semakin menggila saja tingkahnya.
"Ki! Bukankah kau pernah mengatakan kalau kedatangan si iblis keparat itu
karena mencari seseorang...," kata Paman Ardaga, setelah cukup lama berdiam
diri termenung.
"Benar. Dia sendiri yang mengatakannya padaku," sahut Ki Amus.
"Siapa orangnya yang sedang dicari, Ki?" Tanya Paman Ardaga ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Ardaga?" Ki Amus malah batik bertanya.
"Mungkin kalau kita bisa bertemu orang yang dicarinya lebih dahulu, desa ini
bisa dikembalikan seperti semula, Ki," kata Paman Ardaga agak ragu-ragu nada
suaranya terdengar.
"Hm.... Kau yakin itu?" Tanya Ki Amus juga ragu-ragu.
"Itu hanya kemungkinan saja, Ki," sahut Paman Ardaga.
Ki Amus terdiam. Matanya melirik sedikit pada Layung Sari yang masih tetap
duduk di sampingnya. Sedangkan gadis itu malah memandangi, seakan-akan sedang
membaca jalan pikiran laki-laki setengah baya yang menampung mereka di
rumahnya ini, sejak Raden Banyu Samodra menjadikan rumah mereka untuk tempat
tinggalnya.
Saat itu, dari dalam sebuah kamar muncul seorang gadis cantik yang mengenakan
baju dari bahan sederhana. Kepalanya mengangguk sedikit pada Ki Amus. Lalu,
dengan cekatan sekali dibenahinya bekas makan yang berserakan di atas meja.
Layung Sari bergegas turun dari balai bambu, dan mem-bantu gadis itu membenahi
bekas makan mereka semua.
"Mari kubantu kau mencuci ini semua, Andari," kata Layung Sari.
"Ah, jangan. Biar aku saja yang mengerjakannya," tolak Andari halus.
"Sudah beberapa hari aku dan ayahku menumpang di sini. Sudah selayaknya kalau
ikut mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di sini," kata Layung Sari
memaksa.
Andari melirik sedikit ayahnya. Sedangkan Paman Ardaga hanya tersenyum saja.
Maka Andari tidak bisa menolak lagi. Kedua gadis itu sebentar saja sudah
menghilang di bagian belakang rumah sederhana yang hanya terbuat dari balik
anyaman bambu ini. Sementara, Ki Amus dan Paman Ardaga masih tetap duduk di
balai bambu, di ruangan depan. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tidak
ada yang membuka suara. Sampai Andari dan Layung Sari muncul lagi, belum ada
yang membuka suara sedikit pun. Kini kedua gadis itu duduk berdampingan di
bangku panjang yang ada di bawah jendela.
"Kau lihat Ki. Tidak ada seorang pun yang pergi ke laut lagi. Padahal, dari
sanalah sumber penghidupan semua orang di sini," kata Paman Ardaga baru
membuka suara lagi. Ki Amus hanya diam saja. Kedua bola matanya kelihatan
nanar, memandang ke arah laut dari jendela yang terbuka lebar. Angin laut yang
berhembus lembut, membawa aroma yang sudah tidak asing lagi bagi hidung
mereka. Dan di sana, terlihat perahu nelayan yang semuanya tertambat di
pantai. Tak ada seorang pun yang kelihatan berada di tengah laut. Dan kejadian
ini sudah berlangsung lebih dari dua pekan lamanya.
"Ki, kurasa tidak ada salahnya kalau salah satu dari kita berusaha bertemu
lebih dahulu dengan orang yang dicari si iblis keparat itu," kata Paman Ardaga
lagi.
"Inilah yang menjadi persoalannya, Ardaga," kata Ki Amus agak mendesah
perlahan.
"Maksudmu, Ki...?" Paman Ardaga meminta penjelasan.
"Orang yang dicari adalah Raja Karang Setra," sahut Ki Amus pelan.
"Maksudmu..., Gusti Prabu Rangga Pati Permadi...?"
Jelas sekali, kalau dari nada suaranya Paman Ardaga terkejut mendengar maksud
kedatangan Raden Banyu Samodra sebenarnya yang hanya untuk mencari Raja Karang
Setra. Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk Kerajaan
Karang Setra. Dan semua orang sudah tahu, Raja Karang Setra juga seorang
pendekar digdaya yang lebih banyak mengembara daripada di istananya.
Jelas sangat sulit untuk bertemu Raja Karang Setra. Dan rupanya, hal ini yang
menjadikan beban pikiran Ki Amus sampai saat sekarang. Paman Ardaga sendiri
jadi terdiam termenung begitu mendengar penjelasan Ki Amus, tentang tujuan
Raden Banyu Samodra.
"Tapi, Ayah.... Untuk apa dia mencari Gusti Prabu Rangga?" Tanya Layung Sari
menyelak, di saat semua terdiam membisu.
Ki Amus tidak langsung menjawab, karena memang tidak tahu tujuan Raden Banyu
Samodra mencari Raja Karang Setra. Tapi, Raden Banyu Samodra memang pernah
berkata kalau Raja Karang Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti akan datang ke desa ini. Tapi entah kapan, tak ada seorang pun yang bisa
memastikannya.
Sedangkan saat ini, hampir semua orang di Karang Setra tahu kalau Rangga
sedang mengembara bersama Pandan Wangi. Dan seorang pun tak ada yang tahu, di
mana mereka berada. Apakah benar Rangga akan datang ke desa nelayan ini,
seperti yang dikatakan Raden Banyu Samodra...?
***
Emoticon