SATU
PAGI yang seharusnya hening, dipecahkan teriakan-teriakan keras seorang
wanita. Setiap hari, semua orang di Desa Tampuk mendengar teriakan-teriakan
itu. Dan mereka sudah terbiasa mendengarnya, walaupun merasa terganggu juga.
Bukan hanya di pagi hari, tapi hampir setiap saat teriakan-teriakan itu selalu
terdengar.
Teriakan itu datang dari sebuah gubuk kecil yang sudah rapuh.
Dinding-dindingnya sudah penuh lubang, dan atapnya sudah banyak yang
berjatuhan. Hampir semua orang yang melintas di depan gubuk kecil itu selalu
menyemburkan ludah, diser-tai sumpah serapah. Dan teriakan-teriakan pagi ini,
membuat orang-orang yang melintas di depan gubuk kecil itu jadi menggerutu.
Mereka menyumpah serapah sambil menyemburkan ludahnya.
"Huh, mengganggu! Seharusnya dibuang saja ke tengah hutan, biar dimakan
binatang buas!" dengus seorang laki-laki tua menggerutu, sambil menyemburkan
ludahnya tepat di depan pintu gubuk kecil yang terbuka sedikit.
"Sudah, Ki. Biar saja," timpal perempuan tua yang berjalan di sampingnya.
Teriakan-teriakan dari dalam gubuk reyot itu berhenti. Dan kini, berganti
tangisan yang terisak, begitu memilukan. Tapi, sebentar kemudian tangisan itu
sudah berganti lagi dengan gumaman-gumaman kecil, menendangkan lagu yang tidak
jelas iramanya. Kembali, sebentar kemudian sudah berganti tangisan terisak
yang memilukan.
Kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang menyemburkan ludahnya lagi di
depan gubuk kecil ini. Dan kebencian mereka oleh gangguan teriakan-teriakan
tadi pun langsung berganti, kepiluan. Isak tangis itu memang membuat hati
mereka yang mendengarnya jadi trenyuh.
"Kasihan...," desah seorang gadis muda yang melintas di depan gubuk kecil dan
reyot itu.
"Iya. Tidak bisa kubayangkan, seandainya aku yang jadi dia,” sambut seorang
gadis lain yang berjalan bersamanya.
"Seharusnya dia dibiarkan saja hidup bebas," kata gadis itu lagi.
"Sembarangan saja kalau bicara. Dia bisa membunuh orang lagi, kalau dibiarkan
bebas," celetuk seorang gadis lagi yang bertubuh gemuk.
"Ah, sudahlah. Ayo terus saja ke sungai," selak seorang gadis lainnya.
Gadis-gadis itu tidak lagi berbicara, dan terus berjalan menuju sungai.
Sementara, isak tangis yang memilukan dari dalam gubuk itu pun sudah tidak
lagi terdengar. Kini suasana begitu sunyi, sedikit pun tak terdengar suara
dari dalam gubuk di pinggir jalan Desa Tampuk ini.
Sementara, matahari semakin menggelincir naik ke langit yang bening. Sedikit
pun tak terlihat awan berarak. Semua penduduk Desa Tampuk sudah sejak tadi
sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jalan tanah yang tadi masih kelihatan
sepi, kini sudah ramai dipenuhi orang yang hendak berangkat menuju ke
pekerjaannya masing-masing.
Hampir semua orang yang melintasi gubuk kecil itu selalu berhenti sebentar.
Bermacam-macam pembicaraan terlontar dari mulut mereka, dengan pendapat yang
berbeda. Tapi, suara-suara dari dalam gubuk kecil itu sudah tidak lagi
terdengar. Saat itu terlihat seorang perempuan tua renta yang tubuhnya begitu
kurus, berjalan tertatih-tatih menghampiri gubuk kecil ini.
Tak ada seorang pun yang menghiraukan. Bahkan tak ada seorang pun yang
meliriknya, saat perempuan tua kurus dan bungkuk itu masuk ke dalam gubuk ini.
Bau debu langsung menyengat hidungnya, saat perempuan tua itu berada di dalam.
Tampak seorang wanita yang masih muda usianya, tengah duduk lemah di atas
tumpukan jerami kering. Kedua kakinya terpasung balok kayu yang cukup besar
dan terikat rantai besi yang sangat kuat Wanita muda yang kotor berdebu Ini
hanya melirik sedikit saja pada perempuan tua kurus itu.
"Ku bawakan makanan kesukaan mu, Angki," kata perempuan tua kurus itu.
Suara perempuan tua itu terdengar serak dan kering sekali, namun nadanya
terdengar ditahan. Dia melangkah tertatih menghampiri wanita yang kedua
kakinya terpasung itu. Sebuah bungkusan daun waru diletakkan di depannya.
Tapi, wanita muda bertubuh kotor dan berbaju lusuh penuh sobekan itu hanya
melirik sedikit saja. Kemudian, matanya menatap tajam pada perempuan tua
bertubuh kurus kering yang kini sudah duduk di depannya.
"Kenapa kau selalu mengirim makanan untuk ku, Nyai Suti?" terdengar datar
suara wanita terpasung yang dipanggil Angki itu.
Sementara wanita yang dipanggil Nyai Suti hanya tersenyum saja. Dibukanya
bungkusan daun waru itu ternyata berisi makanan dengan ikan bakar yang
kelihatannya begitu sedap. Nini Angki sempat menelan air liurnya saat melihat
makanan yang memang sangat disukainya. Tapi makanan itu tidak disentuh sedikit
pun juga, dan hanya dipandangi saja beberapa saat. Kemudian kembali matanya
menatap dengan sinar yang begitu tajam pada wajah tua penuh keriput di
depannya.
"Makanlah, Nini. Semua ini aku buatkan hanya untukmu," kata Nyai Suti diringi
senyum manis tersungging di bibirnya yang kering keriput
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Nyai. Mereka pasti akan membenci
mu," kata Nini Angki.
"Aku tidak peduli!" dengus Nyai Suti. "Mereka semua kejam. Aku tidak suka cara
mereka memasung mu sampai bertahun-tahun begini. Kau manusia, Nini. Kau bukan
binatang. Tidak sepatutnya diperlakukan begini."
Nini Angki terus memandangi perempuan tua kurus ini, namun sinar matanya tidak
lagi tajam seperti tadi. Terlihat titik-titik air mengambang di pelupuk
matanya. Perlahan tangannya bergerak menjulur, meraih bungkusan daun waru itu.
Kemudian makanan yang dibawakan perempuan tua kurus ini mulai dinikmatinya.
Nyai Suti tersenyum melihat gadis dalam pasungan ini menikmati makanannya. Di
tuangkannya air bening dari dalam kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang
dibawa, lalu disodorkannya pada Nini Angki Dengan sikap sedikit ragu-ragu,
Nini Angki menerima gelas bambu yang kasar buatannya ini. Kemudian, isinya
diteguk hingga tandas tak bersisa.
"Habiskan, Nini. Aku senang kalau kau menghabiskan semua makanan yang kubawa,"
ujar Nyai Suti senang.
“Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki.
Sampai matahari berada di atas kepala, Nyai Suti baru keluar dari dalam gubuk
kecil yang reyot di pinggir jalan itu. Tapi baru beberapa langkah gubuk Itu
ditinggalkan, tiba-tiba saja hatinya jadi tersedak. Bahkan ayunan kakinya
langsung terhenti, begitu melihat seorang laki-laki setengah baya berjalan
dari arah yang berlawanan. Di belakangnya, mengikuti empat orang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berotot. Di pinggang mereka masing-masing terselip
sebilah golok. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna
biru muda, menggenggam tongkat berwarna hitam di tangan kanan.
"Ki Rampak...," desis Nyai Suti perlahan.
Seluruh tubuh Nyai Suti bergetar menggigil, seperti terserang demam. Dia tahu,
laki-laki setengah baya yang berjalan ke arahnya dan diiringi empat orang
bertubuh tinggi tegap berotot itu adalah Kepala Desa Tampuk ini. Dan dialah
yang memerintahkan untuk memasung Nini Angki. Mereka berhenti berjalan setelah
dekat dengan Nyai Suti. Sedangkan perempuan tua bertubuh kurus kering itu
hanya menundukkan kepala saja. Tubuhnya yang sudah bungkuk, semakin terlihat
terbungkuk.
"Apa yang kau lakukan di sana, Nyai?" Tanya Ki Rampak sambil menunjuk gubuk
kecil, tempat Nini Angki dipasung.
"Aku..., aku hanya memberi makanan saja," sahut Nyai Suti tergagap.
"Sudah berapa kali kuperingatkan, Nyai. Jangan lagi memberi makanan padanya!"
bentak Ki Rampak kasar.
“Tapi...."
"Diam...!" bentak Ki Rampak lantang.
Nyai Suti seketika terdiam. Sementara tubuhnya jadi semakin keras menggigil
ketakutan. Memang sudah berulang kali kepala desa itu memergoki Nyai Suti yang
datang mengunjungi Nini Angki. Terlebih lagi memberi makanan pada gadis
pasungan itu. Padahal, hal itu adalah larangan. Tapi entah kenapa, Nyai Suti
tidak pernah mengindahkan larangan itu. Dan setiap hari, perempuan tua ini
selalu datang memberi makanan pada gadis pasungan itu.
"Dengar, Nyai ini peringatanku yang terakhir. Kalau kau masih saja suka
memberi makanan padanya, aku tidak segan-segan memberi hukuman yang berat
padamu," ancam Ki Rampak.
Nyai Suti hanya bisa diam membisu saja, tidak berani lagi membuka suara.
Sementara, Ki Rampak sudah melangkah pergi diikuti empat orang pengawalnya.
Nyai Suti masih tetap diam memandangi kepergian kepala desa itu. Dan dia baru
melangkah pergi setelah Ki Rampak tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu
perlahan dan tertatih. Kepalanya juga terus tertunduk, mengikuti ayunan
langkah kakinya yang perlahan.
Langkah perempuan tua itu baru terhenti setelah tiba di depan rumahnya yang
kecil dan kumuh. Perlahan kepalanya terangkat naik. Dan pandangannya langsung
tertumbuk pada seorang laki-laki tua renta yang tengah menggosok-gosok mata
cangkul. Di adalah Ki Sampar, suami Nyai Suti. Laki-laki tua renta yang sudah
berusia delapan puluh tahun itu menghentikan pekerjaannya. Langsung
dipandangnya Nyai Suti yang berdiri saja mematung memandanginya.
"Tadi kulihat Ki Rampak lewat sini. Kau bertemu dengannya, Nyai?" Ujar Ki
Sampar dengan suara bergetar, karena termakan usia.
Nyai Suti tidak menyahut, tapi melangkah menghampiri. Tubuhnya segera
dihenyakkan di samping suaminya. Wajahnya masih kelihatan murung. Pandangannya
begitu kosong, menatap lurus ke depan, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup.
Sedangkan Ki Sampar memandanginya dengan kening semakin banyak berkerut Dia
tahu, apa yang telah terjadi pada istrinya.
"Aku sudah katakan padamu, Nyai. Tidak ada gunanya berbelas kasih pada Nini
Angki. Semua orang jadi membenci dia. Bahkan anak-anak kita sendiri tidak ada
lagi yang sudi datang. Sudahlah, Nyai.... Tidak perlu lagi ke sana, walau
hanya mengantarkan makanan saja," kata Ki Sampar lembut.
"Aku kasihan melihatnya, Ki. Dia sudah hidup sebatang kara, bahkan sekarang
harus menjalani pasungan," ujar Nyai Suti lirih.
"Aku tahu, Nyai. Kita boleh saja kasihan pada orang lain. Tapi, rasa kasihan
itu jangan sampai membuat kita sendiri jadi sengsara. Sudah hidup kita susah,
malah sekarang dibenci orang. Semua itu hanya karena kau sering datang memberi
makanan pada Nini Angki," kata Ki Sampar, bernada menyesali perbuatan
istrinya.
Nyai Suti hanya diam saja. Memang sulit berbuat baik pada seseorang. Dan
terkadang, orang lain tidak mau mengerti terhadap perbuatan baik yang
dilakukan. Orang biasanya hanya melihat dari luar saja, tidak mau melihat jauh
ke dalam. Dan Ki Sampar sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap semua orang di
Desa Tampuk ini.
"Sudah kau masuk sana, Nyai. Sudah siang, apa kau tidak mau lagi menyediakan
makan buat ku...?" Kata Ki Sampar lagi.
Nyai Suti bangkit berdiri tanpa berkata apa-apa lagi. Dia melangkah masuk ke
dalam rumahnya kecil dan sudah hampir rubuh ini. Sementara, Ki Sampar
meneruskan pekerjaannya, menajamkan mata cangkul. Sekilas matanya masih
melirik istrinya sebelum menghilang ke dalam rumah. Dia hanya bisa
menghembuskan napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
***
Waktu terus bergulir, tetap sejalan dengan peredaran matahari yang
mengelilingi bumi. Siang yang begitu terik pun berganti malam. Seluruh Desa
Tampuk sudah terselimut kegelapan malam yang begitu pekat. Tak terlihat satu
pun bintang di langit yang menghitam kelam. Dan suasana malam ini terasa
begitu lain dari biasanya. Angin pun seakan-akan enggan berhembus, membuat
udara malam ini terasa begitu panas!
Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh berkelebat cepat dari satu rumah ke
rumah Iain. Gerakannya begitu cepat dan ringan, hingga tidak menimbulkan suara
sedikit pun juga. Sosok tubuh itu berhenti bergerak. Bahkan langsung cepat
menyelinap ke balik sebatang pohon yang sangat besar di pinggir jalan, ketika
terlihat dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berjalan sambil berbicara
dari arah depan. Mereka adalah dua orang pengawal Ki Rampak
"Panas sekali malam ini, Kakang Tarik," ujar salah seorang.
"Benar! Tidak seperti biasanya," sahut orang yang bernama Tarik.
"Sebaiknya kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu, Adi Carwa."
Orang yang dipanggil Carwa melirik ke arah pohon di pinggir jalan yang
ditunjuk Tarik. Kemudian, kepalanya terangguk. Tampaknya dia menyetujui ajakan
itu. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang cukup besar, berdaun lebat
dan rimbun sekali. Tapi, sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada
daun-daun pohon itu. Memang, kelihatannya tidak terasa ada angin berhembus.
"Uh...!" Carwa mengeluh pendek begitu duduk di atas akar yang menyembul keluar
dari dalam tanah.
"Kenapa kau mengeluh, Carwa?" tegur Tarik.
"Aku merasa tidak enak malam ini, Kakang," sahut Carwa seraya mendesah pendek.
"Ada yang kau pikirkan, Carwa?" Tanya Tarik ingin tahu.
"Entahlah...," desah Carwa.
Kening Tarik jadi berkerut melihat Carwa tampak begitu gelisah. Dan duduknya
juga tidak tenang, seperti berada di atas bara api yang setiap saat bisa saja
membakar sampai jadi arang. Mereka terdiam dan tidak bicara lagi sedikit pun
juga. Perlahan Carwa bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Tarik
jadi ikut berdiri, dan terus memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ayo kita pulang saja, Kakang. Perasaan ku semakin tidak enak saja," ajak
Carwa.
"Baiklah," sahut Tarik, sedikit mendesah.
Tapi baru saja mereka akan melangkah meninggalkan pohon di pinggir jalan itu,
mendadak...
Slap!
"Heh...?!"
“Hah...?!"
Kedua orang pengawal kepala desa itu jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba
saja berkelebat sebuah bayangan dari balik pohon. Begitu cepatnya berkelebat,
tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang membuat kedua bola mata
jadi terbeliak lebar.
"Kau...?!" tersekat suara Carwa. Tapi belum juga mereka bisa berbuat sesuatu,
tiba-tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat. Tapi kedua pengawal
kepala desa itu cepat menyadari. Maka, mereka langsung berlompatan menyebar
menghindari serangan cepat itu.
"Hiyaaa...!" Baru saja Carwa menjejakkan kakinya di tanah, orang aneh itu
sudah kembali bergerak begitu cepat bagai kilat Pada saat itu, terlihat
kilatan cahaya keperakan berkelebatan begitu cepat ke arah leher laki-laki
bertubuh tegap berotot ini. Begitu cepatnya, hingga Carwa tidak sempat lagi
menghindar. Terlebih lagi rasa terkejut dan keseimbangan tubuhnya belum bisa
dikuasainya. Sehingga....
Crasss! "Aaakh...!"
Carwa menjerit melengking. Carwa langsung jatuh menggelepar dengan leher
terbabat hampir buntung. Darah langsung menyembur deras sekali dari lehernya
yang menganga lebar hampir buntung. Hanya sebentar saja Carwa mampu bergerak
menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian sudah mengejang kaku.
Lalu, dia diam tak bergerak-gerak lagi. Mati.
"Carwa...," desis Tarik tertahan. Namun pada saat yang sama, orang aneh itu
sudah bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali, kilatan cahaya keperakan
terlihat berkelebat begitu cepat, bersamaan dengan gerakan tangan kanannya.
"Heh...?! Utts!"
Cepat-cepat Tarik melompat ke belakang, menghindari serangan yang begitu cepat
bagai kilat. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak
tanah. Hanya sedikit saja suara yang ditimbulkannya. Tapi baru saja bisa
menguasai keseimbangan tubuhnya, satu serangan cepat bagai kilat sudah kembali
meluruk ke arahnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Tarik melenting ke udara, dan kembali berputaran beberapa kali.
Tapi tanpa diduga sama sekali, orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Dan
pada saat yang sama, tangan kanannya kembali dikibaskan, yang kemudian disusul
cahaya kilat keperakan yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dada laki-laki
bertubuh tinggi tegap itu. Begitu cepatnya serangan orang aneh ini, sehingga
membuat Tarik yang berada di udara tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Bret "Akh...!” Begkh!
Satu tendangan yang begitu keras, membuat tubuh Tarik terbanting ke tanah.
Darah terlihat muncrat keluar dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet
pedang. Namun, Tarik masih bisa bangkit berdiri, meskipun terhuyung. Darah
semakin banyak mengucur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.
"Yeaaah...!"
Belum juga Tarik bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, orang aneh itu sudah
meluruk lagi dengan kecepatan begitu luar biasa. Sementara, Tarik hanya bisa
terbeliak lebar, dengan mulut tern-ganga.
Bet! Cras! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak Tarik terpaku
diam, kemudian limbung beberapa saat. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia jatuh
terguling dengan kepala terpisah dari leher. Seketika itu juga, darah
menyembur deras sekali dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Sementara, orang aneh itu berdiri tegak meman-dangi. Sebentar kemudian,
tubuhnya melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga hanya sekejapan
mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya. Dan pada saat itu juga,
tampak rumah-rumah di sekitar jalan itu menyalakan lampunya. Dan tak lama,
terlihat penduduk Desa Tampuk bermunculan dari dalam rumah masing-masing.
Suara pertarungan yang hanya sebentar itu, sudah membuat semua penduduk yang
tengah tertidur lelap jadi terbangun. Dan mereka bermunculan hendak mengetahui
keributan yang terjadi hanya beberapa saat itu. Tapi begitu mengetahui ada dua
orang yang tergeletak di tengah jalan, tidak ada seorang pun yang menghampiri.
Terlebih lagi setelah tahu, siapa yang tergeletak di tengah jalan dengan darah
berhamburan. Sementara tidak jauh dari jalan itu, terlihat Nyai Suti dan
suaminya juga keluar dari dalam rumahnya. Terlebih lagi, pertarungan itu
memang tidak jauh di depan rumah mereka. Maka tentu saja mereka berdua yang
lebih jelas melihat dua orang pengawal kepala desa itu tergeletak tak bernyawa
dengan keadaan begitu mengerikan.
"Malapetaka apa lagi ini...?" desah Ki Sampar, bernada seperti bertanya pada
diri sendiri.
"Rupanya Sang Hyang Widi sudah memperlihatkan kebesarannya," gumam Nyai Suti
perlahan, seakan bicara untuk diri sendiri. Suami istri berusia lanjut itu
kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara, tak ada seorang pun yang berani
mendekati dua pengawal kepala desa yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka juga
satu persatu kembali masuk ke dalam rumah, dan hanya memperhatikan saja dari
balik jendela. Entah kenapa, mereka jadi begitu takut untuk mendekat.
***
DUA
Kematian dua orang pengawal Ki Rampak, membuat Desa Tampuk jadi gempar. Tapi,
tak ada seorang pun yang berani membicarakannya. Dan kalaupun membicarakan,
selalu dengan sikap hati-hati sekali, seakan-akan takut ada orang lain yang
mendengar. Tapi, di antara penduduk desa itu hanya Nyai Suti yang kelihatan
gembira atas kematian dua orang pengawal Kepala Desa Tampuk.
"Biar manusia-manusia durjana itu mampus semua!" dengus Nyai Suti.
"Jangan sembarangan kalau bicara, Nyai," tegur Ki Sampar.
"Sudah lama aku berharap agar ada orang yang membunuh orang-orang durhaka
itu," Cetus Nyai Suti lagi.
"Sudah, Nyai. Bisa celaka kalau ada orang yang mendengar."
"Biar saja. Mereka semua pengecut! Sudah tahu hidup tertindas, tapi tidak juga
bertindak apa-apa.
Huh! Kalau saja aku masih muda, sudah ku obrak-abrik manusia-manusia iblis
itu," dengus Nyai Suti, meluapkan semua ganjalan yang selama ini tertekan
dalam hatinya.
Sedangkan Ki Sampar hanya menggeleng-geleng saja. Bisa dimaklumi tumpahan isi
hati istrinya. Dan memang di dalam hatinya sendiri dia juga senang kalau ada
orang yang bisa mengikis habis kezaliman yang ada di Desa Tampuk. Kepala desa
ini memang hidup seperti raja kecil saja. Segala perkataannya merupakan sebuah
peraturan yang tidak bisa dibantah sedikit pun juga. Bukan hanya pasangan
suami istri berusia lanjut ini saja yang pernah merasakan kezaliman Ki Rampak.
Bahkan, semua penduduk Desa Tampuk ini sudah merasakannya.
Tapi memang, tak ada seorang pun yang berani menentangnya. Apalagi, Ki Rampak
selalu dikelilingi empat orang pengawalnya yang tidak segan-segan menurunkan
tangan kejam. Buktinya sekarang, sudah dua orang yang tewas dalam semalam.
Tapi, Itu bukan berarti kekuatan Ki Rampak sudah berkurang banyak. Memang
masih ada pengawal-pengawal lain yang tidak kalah dinginnya daripada empat
orang pengawal utamanya itu.
Apalagi, telah bertahun-tahun Ki Rampak ditumpangi hidup oleh adiknya yang
sudah malang melintang dalam rimba persilatan. Dan semua orang di Desa Tampuk
sudah mengenalnya. Bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi, tapi juga
ke-kejamannya tidak kalah dibanding Ki Rampak. Adik kepala desa itu biasa
dipanggil dengan nama Ki Gagak Bulang.
"Aku akan ke ladang dulu, Nyai," kata Ki Sampar memutuskan lamunannya.
Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar dari rumahnya. Dia tidak ingin
istrinya terus mengoceh, menumpahkan ganjalan dalam dadanya yang sudah lama
ditahannya. Perasaan itu paling tidak sudah ditahan selama Ki Rampak menguasai
desa ini dan mengangkat dirinya sendiri menjadi kepala desa. Tanpa menunggu
jawaban istrinya lagi, Ki Sampar terus saja melangkah meninggalkan rumahnya.
Sementara, Nyai Suti juga bergegas membungkus makanan. Dan tak lama kemudian
laki-laki tua itu sudah keluar dari rumahnya. Langkahnya tampak tertatih,
dengan tubuh terbungkuk. Walaupun sudah begitu renta, tapi jalannya tanpa
bantuan tongkat sebatang pun juga. Nyai Suti terus berjalan tertatih-tatih
menuju gubuk kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Letaknya di pinggir jalan
membelah Desa Tampuk ini. Beberapa orang yang melihatnya kelihatan tidak ambil
peduli. Dan bahkan mereka seperti tidak sudi melihat perempuan tua renta yang
sudah memasuki gubuk kecil itu.
"Kau sudah dengar apa yang terjadi semalam, Angki...?" Tanya Nyai Suti begitu
duduk di depan gadis muda yang terpasung kedua kakinya.
Sedangkan Nini Angki hanya diam saja sambil memandangi. Diambilnya bungkusan
daun waru yang dibawa Nyai Suti, lalu dibukanya perlahan-lahan. Tanpa disuruh
lagi, dilahapnya makanan yang dibungkus daun waru itu. Nyai Suti tersenyum,
dan menuangkan air dari kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang kasar
buatannya. Lalu di-letakkannya gelas bambu itu ke atas balok yang membelenggu
kedua kaki Nini Angki.
"Dua orang pengawal Ki Rampak dibunuh orang semalam," kata Nyai Suti
melanjutkan.
Nini Angki menghentikan makannya. Di tatapnya perempuan tua itu dalam-dalam.
Tapi, sorot matanya terlihat begitu kosong. Tak berapa lama, kembali,
dinikmati makan tanpa berbicara sedikit pun juga. Sedangkan Nyai Suti tidak
bicara lagi, dan terus memperhatikan perempuan terpasung yang tengah menikmati
makanan.
"Kalau mereka sudah habis, kau pasti akan bebas, Nini," kata Nyai Suti lagi.
"Tidak ada seorang pun yang akan membebaskan aku, Nyai. Kecuali diriku
sendiri," ujar Nini Angki datar.
"Ah! Jangan dihiraukan orang lain. Aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan
bebas," hibur Nyai Suti membesarkan hati gadis ini.
Tapi, Nini Angki hanya tersenyum kecil. Dilemparkannya daun waru bekas
bungkusan makanannya begitu saja. Kemudian diambilnya gelas bambu dan isinya
diteguk sampai tandas tak bersisa lagi. Nyai Suti menambahkan lagi air bening
ke dalam gelas yang sudah kosong itu. Sementara bibirnya yang keriput tetap
menyunggingkan senyum. Entah kenapa, sejak tadi perempuan tua itu selalu
tersenyum. Mungkin hatinya gembira melihat dua orang pengawal Ki Rampak mati
terbunuh semalam. Bahkan peringatan Ki Rampak tidak dipedulikannya lagi. Dia
benar-benar sudah nekat.
"Nyai! Sebaiknya kau tidak perlu lagi datang ke sini. Aku tidak ingin kau
mendapat kesulitan. Lagi pula, semua orang di desa ini jadi membenci mu," kata
Nini Angki pelan.
"Biarkan mereka membenci ku, Nini. Mereka pasti akan mendapat ganjarannya,
karena telah memasung mu," sahut Nyai Suti tegas.
"Aku tetap akan mengunjungimu."
"Nyai.... Apa kau tidak ingat, kenapa aku sampai dipasung begini...?"
"Aku tahu. Tapi aku yakin, kau tidak bersalah. Dan bukan kau yang
melakukannya, Nini. Dan kau Juga tidak gila. Hanya mereka saja yang
menganggapmu gila, Nini„" sahut Nyai Suti tetap tegas nada suaranya.
Nini Angki tersenyum tipis. Begitu hambar senyumannya. Kepalanya yang
ditumbuhi rambut panjang teriap tak teratur, bergerak menggeleng beberapa
kali. Nyai Suti melihat adanya kesenduan dalam bola mata yang lesu tanpa
gairah hidup lagi itu.
Beberapa saat mereka terdiam tak berbicara sedikit pun juga. Dan beberapa kali
pula sorot mata mereka bertemu. Sementara, matahari terus beranjak naik
semakin tinggi. Sinarnya yang terik, menerobos masuk melalui lubang yang
begitu banyak terdapat di dinding dan atap gubuk ini. Nyai Suti beranjak
bangkit berdiri Didekatkannya kendi tanah liat ke samping sebelah kiri Nini
Angki
"Aku pulang dulu, Nini," pamit Nyai Suti.
"Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki perlahan.
"Tidak lama lagi, kau pasti bebas Nini, percayalah padaku," kata Nyai Suti
mantap.
Nini Angki hanya tersenyum saja. Masih terlihat hambar sekali senyumannya.
Sementara, Nyai Suti sudah melangkah keluar dari dalam gubuk pasungan ini.
Tapi baru saja mencapai pintu, Nini Angki sudah memanggilnya. Nyai Suti segera
memutar tubuhnya berbalik.
"Ada apa, Nini?" Tanya Nyai Suti lembut, seperti seorang ibu pada anak
gadisnya yang manja.
"Nyai, boleh aku minta sesuatu pada mu...?"
"Katakan saja. Apa yang kau minta, mudah-mudahan bisa ku turuti."
“Tolong Bawakan selembar kain hitam, Nyai?” pinta Nini Angki.
"Kain hitam...? Untuk apa, Nini?"
"Udara di sini terlalu dingin. Barangkali saja bisa sedikit menghangatkan
tubuhku, Nyai.”
"Bagaimana kalau ku buatkan baju saja, Nini? Biar kau bisa memakainya," usul
Nyai Suti.
"Itu juga boleh. Tapi aku minta yang berwarna hitam. Kalau kau tidak
keberatan, Nyai."
"Nanti sore akan ku bawakan. Kebetulan siang ini ada pasaran, jadi aku bisa
membelikan baju buatmu," kata Nyai Suti
“Terima kasih, Nyai."
Nyai Suti tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Kini dia terus berjalan
tertatih-tatih, tidak mempedulikan pandangan orang padanya. Sedangkan dari
dalam, Nini Angki terus memandangi punggung perempuan renta itu sampai tak
terlihat lagi.
***
Kematian dua orang pengawalnya, membuat Ki Rampak jadi berang setengah mati.
Di perintahkannya semua orang-orangnya yang berjumlah puluhan untuk mencari
pembunuh dua orang pengawal kebanggaannya. Dan ini membuat kesengsaraan
penduduk Desa Tampuk semakin bertambah. Orang-orang Ki Rampak sudah langsung
bertindak kasar dalam mencari pembunuh dua orang pengawal kepala desa itu.
Mereka tidak segan-segan menjatuhkan tangan, hanya untuk mencari keterangan
saja. Tapi, memang tidak ada seorang penduduk pun yang tahu siapa orangnya.
Hingga sampai malam, tidak ada suatu keterangan pun yang diperoleh. Dan ini
membuat Ki Rampak semakin bertambah berang. Sementara, adiknya yang baru
datang kemarin dari pengembaraannya, sudah berulangkali mencoba menyabarkan.
Malam ini juga, Ki Rampak memerintahkan semua orang-orangnya untuk meronda,
kalau-kalau pembunuh aneh itu muncul lagi.
"Kau tidak bisa mencari dengan cara seperti ini, Kakang," sergah Ki Gagak
Bulang, mengingatkan.
"Huh! Aku ingin kepala si keparat itu!" dengus Ki Rampak.
Ki Rampak bangkit berdiri dari kursi rotan di beranda depan rumahnya yang
besar ini. Tapi baru saja bisa menegakkan tubuhnya, mendadak saja terlihat
secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.
"Utfs!" Cepat-cepat Ki Rampak memiringkan tubuhnya, menghindari terjangan
benda bercahaya keperakan itu. Maka, benda itu lewat sedikit saja di samping
dadanya yang miring dan langsung menghantam dinding kayu rumahnya.
"Hup!" Cepat-cepat Ki Rampak melompat keluar dari depan rumahnya. Begitu cepat
dan ringan gerakannya, tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah halaman
depan rumahnya yang luas. Tapi, tak ada seorang pun berjaga malam.
Sementara, Ki Gagak Bulang melompat cepat dari kursinya, menghampiri benda
berwarna keperakan yang menancap cukup dalam di dinding papan rumahnya.
"Hih!" Ki Gagak Bulang terpaksa harus mengerahkan tenaga dalam untuk bisa
mencabut sebuah benda berbentuk bintang dari bahan perak. Sebentar
diperhatikan, kemudian bergegas dihampirinya Ki Rampak yang berdiri tegak
sambil mengedarkan pandangan berkeliling, di tengah-tengah halaman rumahnya.
Ki Gagak Bulang langsung menunjukkan bintang perak yang dicabutnya dari
dinding. Tapi, Ki Rampak hanya melirik saja sedikit pada benda yang berada di
telapak tangan adiknya.
"Kau kenal benda ini, Kakang?" Tanya Ki Gagak Bulang.
"Tidak," sahut Ki Rampak.
"Benda ini jelas ditujukan padamu, Kakang," terdengar agak menggumam suara Ki
Gagak Bulang, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Hhh! Rupanya dia sudah ingin main-main denganku!" dengus Ki Rampak kesal.
"Kau harus hati-hati, Kakang. Aku yakin, dia mengirimkannya sebagai peringatan
untukmu," kata Ki Gagak Bulang.
"Huh. Dia harus mampus di tanganku!" Dengus Ki Rampak. Sambil menghentakkan
kakinya, Ki Rampak kembali masuk ke dalam beranda depan rumahnya.
Sementara, Ki Gagak Bulang memperhatikan sebentar, kemudian melangkah
mengikuti. Begitu sampai, tubuhnya dihempaskan di kursi yang tadi didudukinya.
Sedangkan Ki Rampak sudah sejak tadi duduk di kursinya kembali. Raut wajah
kepala desa itu kelihatan menegang dan merah bagai kepiting rebus dalam kuali.
Ki Rampak merebut bintang perak dari tangan adiknya. Kemudian diperhatikannya
benda itu dengan seksama.
Setelah puas membolak-balik bintang perak itu, lalu diletakkan ke atas meja di
depannya. Hanya sebuah benda biasa yang berbentuk bintang. Sedikit pun tak
terasa adanya racun atau sesuatu yang bisa berbahaya. Ki Rampak menghembuskan
napas yang panjang dan terasa berat.
Namun baru saja dia bisa merasa sedikit tenang, tiba-tiba saja....
"Aaa...!"
"Heh...?! Apa lagi itu...?" sentak Ki Rampak terkejut.
"Hup?" Sedangkan Ki Gagak Bulang sudah melompat cepat meninggalkan beranda. Ki
Rampak bergegas mengikuti ke arah sumber jeritan melengking yang terdengar
begitu mengejutkan tadi. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi,
sehingga bisa melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejapan mata saja, mereka
sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya, lenyap tertelan kegelapan malam
yang begitu pekat. Sedikit pun tidak diterangi bintang maupun bulan.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Kakak beradik itu terus berlompatan beberapa kali. Hingga akhirnya, mereka
berhenti setelah tiba di dekat pagar tembok yang mengelilingi rumah ini di
bagian belakang. Kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu melihat
empat orang yang menjaga bagian belakang rumah ini sudah tergeletak tak
bernyawa dengan leher terbabat hampir buntung. Darah masih terlihat mengalir
keluar dari luka menganga di leher.
"Keparat..!" desis Ki Rampak geram.
***
Hari terus berjalan terasa lambat. Satu pekan sudah Desa Tampuk dihantui orang
penuh teka-teki yang membantai orang-orang Ki Rampak. Satu persatu para
pengawal kepala desa itu dibunuh secara gelap. Dan tentu saja hal ini membuat
mereka jadi dicekam rasa takut, karena pembunuh itu selalu muncul secara
diam-diam. Dan setiap hari dalam kemunculannya, selalu saja ada yang tewas.
Kejadian ini tentu saja membuat penduduk Desa Tampuk merasa senang, tapi juga
khawatir oleh keadaan yang semakin memanas. Mereka senang, karena rasa sakit
hati bisa terbalas, walaupun dengan tangan orang lain. Tapi mereka juga
khawatir kalau-kalau Ki Rampak jadi membabi buta, karena telah kehilangan
banyak anak buahnya. Dan kegembiraan ini hanya tersimpan di dalam hati.
Tak ada seorang pun yang berani mengungkapkannya, kecuali Nyai Suti. Perempuan
tua itu seperti tidak peduli. Bahkan terang-terangan menyatakan kegembiraannya
atas munculnya pembunuh gelap itu. Dan tentu saja hal ini membuat Ki Rampak
merasa curiga. Maka diutuslah orang-orangnya untuk menangkap Nyai Suti.
"Lepaskan! Kenapa kalian menangkapku, heh...?” bentak Nyai Suti terus
memberontak, tidak senang diperlakukan kasar begini.
Tapi, orang-orang suruhan Ki Rampak tidak ambil peduli. Mereka terus saja
menyeret perempuan tua itu dengan tambang yang diikatkan di kedua tangannya.
Nyai Suti terus berteriak-teriak sambil berusaha memberontak, mencoba
melepaskan diri dari belenggu tambang yang mengikat kedua tangannya. Tapi,
ikatan tambang itu demikian kuat. Maka, tentu saja tenaga tuanya sama sekali
tidak mampu melepaskannya.
Sedangkan Ki Sampar tidak bisa berbuat apa-apa. Laki-laki tua itu hanya bisa
mengelus dadanya yang kerempeng, sambil meratapi kemalangan istrinya. Dengan
mata berkaca-kaca, dia memandangi istrinya yang terus diseret tanpa ampun oleh
orang-orang suruhan Ki Rampak. Sementara penduduk desa yang menyaksikan juga
tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolong. Mereka hanya bisa memandangi
dengan hati trenyuh. Tampak Nyai Suti jatuh bangun, terseret di tengah jalan
yang berdebu membelah Desa Tampuk ini. Tapi belum juga jauh Nyai Suti diseret
dari rumahnya, tiba-tiba saja....
Wus! Bet! Tas...!
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Semua orang yang melihat, seketika jadi terpana bengong. Begitu cepat sekali,
tahu-tahu sebuah bayangan hitam berkelebat dan langsung memutuskan tambang
yang mengikat kedua tangan Nyai Suti. Dan sebelum ada yang bisa menyadari
lebih jauh lagi, mendadak bayangan hitam itu kembali berkelebat begitu cepat,
disertai kilatan cahaya keperakan yang melesat cepat bagai kilat. Dan....
"Aaa...!"
"Akh...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, seketika terdengar begitu menyayat
saling sambut. Tampak enam orang yang menyeret Nyai Suti, seketika
bertumbangan ambruk dengan leher terbabat hampir buntung. Darah langsung
berhamburan membasahi Jalan tanah yang berdebu.
Sementara, Nyai Suti sudah tergeletak tak sadarkan diri. Dan belum Juga ada
yang sempat menyadari, sosok tubuh hitam itu bergerak cepat menyambar Nyai
Suti, lalu bagaikan kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam
sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Tinggallah kini enam orang
suruhan Ki Rampak yang bergelimpangan berlumuran darah dari lehernya. Mati.
Begitu cepatnya kejadian itu, hingga tak ada seorang pun yang sempat
memperhatikan, siapa orang berpakaian serba hitam yang gerakannya begitu cepat
bagai kilat. Bahkan enam orang suruhan Ki Rampak yang rata-rata berkepandaian
lumayan tidak mampu berbuat apa pun Juga. Dan mereka langsung tewas dengan
leher terbabat hampir buntung.
Saat itu juga, semua orang yang tadi berada di sepanjang pinggir Jalan
langsung berhamburan bubar. Dan sebentar saja, Jalan Desa Tampuk itu Jadi
sunyi lengang, tak terlihat seorang pun di sana lagi.
"Nyai...," desis Ki Sampar tanpa sadar. Laki-laki tua itu masih tetap berdiri
terpaku, memandang kosong ke depan seperti tengah bermimpi. Istrinya yang tadi
diseret kasar, kini sudah lenyap disambar sosok tubuh serba hitam yang muncul
begitu tiba-tiba.
"Oh...! Aku harus cepat pergi dari desa ini," desah Ki Sampar begitu tersadar.
Bergegas laki-laki tua itu memutar tubuhnya berbalik, dan setengah berlari
masuk ke dalam rumah.
Sementara, keadaan di desa itu jadi sepi lengang, tak terlihat seorang pun di
luar. Enam orang suruhan Ki Rampak masih terlihat bergelimpangan di tengah
Jalan. Darah masih terlihat mengucur dari leher-leher yang terbabat hampir
buntung. Saat itu, Ki Sampar terlihat keluar dari dalam rumahnya. Dengan
langkah tergesa-gesa, ditinggalkannya rumah gubuk reyotnya. Sedikit pun
kepalanya tidak berpaling ke belakang, dan terus berjalan secepat kemampuan
untuk meninggalkan Desa Tampuk ini.
***
TIGA
"Keparat! Cari orang tua itu! Bawa kepalanya padaku....'" geram Ki Rampak
Wajah Ki Rampak memerah, dan bola matanya terlihat berapi-api.
Dia begitu marah mendengar enam orang suruhannya tewas, dan Nyai Suti
menghilang tanpa jejak. Sedangkan Ki Sampar juga hilang melarikan diri.
Kemarahannya begitu memuncak, hingga semua orangnya diperintahkan untuk
mencari suami istri lanjut usia itu. Bahkan diperitahkannya pula untuk
membunuh mereka di tempat.
"Kumpulkan semua orang ke sini!" perintah Ki Rampak lantang menggelegar.
"Untuk apa Kakang?" selak Ki Gagak Bulang bertanya.
"Huh! Mereka semua harus bertanggung jawab. Mereka pasti sekongkol ingin
menjatuhkan kedudukanku!" dengus Ki Rampak masih diliputi kegeraman yang
memuncak.
"Kau tidak bisa menimpakan kemarahan mu pada penduduk desa ini, Kakang. Dan
lagi, belum tentu mereka terlibat langsung. Sebaiknya, pusatkan saja
perhatianmu pada dua orang itu. Terutama, si pembunuh aneh itu," kata ki Gagak
Bulang, mencoba meredakan amarah Ki Rampak yang meluap-luap, dan sudah
mencapai titik kepalanya.
"Huh!" Ki Rampak hanya mendengus saja sambil menyemburkan ludahnya. Sementara,
semua orang yang diperintah langsung mengerjakan perintahnya. Mereka
menggeledah semua rumah yang ada di Desa Tampuk ini, dan mengumpulkan semua
penduduk secara paksa di depan halaman rumah kepala desa itu.
Sementara, Ki Rampak dengan angkernya berdiri tegak di tangga atas beranda
rumahnya. Matanya yang memerah terlihat begitu tajam mengerikan, merayapi
orang yang semakin banyak berkumpul di halaman yang luas ini. Tak ada seorang
pun penduduk Desa Tampuk pun yang berani mengangkat kepalanya. Terlebih lagi,
menentang sorot mata Ki Rampak yang begitu tajam berwarna merah bagai sepasang
biji saga.
Meskipun banyak orang, tapi suasananya begitu sunyi mencekam. Seorang pun tak
ada yang membuka suara. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat bagai kilat. Tahu-tahu, di atas atap rumah kepala desa itu
sudah berdiri seseorang bertubuh ramping, dengan seluruh tubuh terselubung
pakaian berwarna hitam pekat. Seluruh kepalanya juga tertutup kain hitam,
kecuali bagian matanya yang terlihat. Seketika, suasana yang sunyi senyap jadi
gaduh oleh gumaman-gumaman orang-orang yang memadati halaman depan rumah
kepala desa itu.
"Pengecut! Bukan begitu seharusnya cara seorang ksatria!" Terasa begitu dingin
nada suara orang berbaju serba hitam itu.
Tapi dari nada suaranya, jelas bisa di ketahui kalau dia seorang wanita. Hanya
saja, sulit diketahui orangnya, karena seluruh kepala dan wajahnya terselubung
kain berwarna hitam pekat. Hanya matanya saja yang terlihat dari dua lubang
pada kain hitam selubung kepala itu.
"Setan keparat..!" desis Ki Rampak geram.
"Tangkap dia...!"
"Hiyaaa...!"
“Yeaaah...!"
Belum lagi lenyap teriakan perintah Ki Rampak, dua orang pemuda langsung
melompat naik ke atas atap sambil mencabut goloknya. Ringan sekali gerakan
mereka, pertanda memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi belum juga kedua
pemuda tadi sampai di atas atap, wanita berbaju hitam itu sudah mengebutkan
tangan kanannya dua kali dengan kecepatan yang begitu tinggi.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Seketika itu juga, terlihat dua benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai
kilat ke arah dua orang pemuda tadi. Begitu cepatnya melesat, sehingga kedua
pemuda yang tengah meluncur ke atas atap tidak sempat menghindar. Dan....
Crab! Bres!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Tak pelak lagi, mereka jatuh begitu dadanya tertembus benda-benda berbentuk
bintang berwarna keperakan. Keras sekali mereka jatuh menghantam tanah, dan
langsung tewas seketika itu juga. Pada saat itu, semua penduduk yang berkumpul
di halaman depan rumah ki Rampak langsung berhamburan menyelamatkan diri
masing-masing.
Kegaduhan langsung terjadi saat itu juga. Tak ada seorang pun dari penduduk
yang mau ikut campur dalam urusan ini. Dan mereka lebih baik cepat pergi
menyelamatkan diri, daripada harus menjadi korban. Maka sebentar saja, sudah
tidak terlihat seorang penduduk pun di halaman depan rumah kepala desa itu.
Tinggal Ki Rampak dan adiknya, serta puluhan orang pengikutnya yang masih
berada di halaman luas bagai sebuah padang rumput di tengah desa ini.
"Hup!"
Slap...!
Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melesat cepat bagai kilat.
Hingga dalam sekejap mata saja, sudah lenyap tak terlihat lagi. Tapi, Ki
Rampak masih sempat melihat arah kepergian wanita aneh itu.
"Kejar dia ke Selatan...!" seru Ki Rampak lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, semua pengikut Ki Rampak yang berjumlah
puluhan itu langsung berlarian menuju ke arah Selatan. Sementara, Ki Rampak
sendiri bergegas melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.
Ki Gagak Bulang segera mengikuti kepala desa yang juga kakaknya itu. Sebentar
kemudian, mereka sudah memacu kudanya dengan cepat menuju arah Selatan.
"Hiya...!"
“Yeaaah...!"
***
Ki Rampak dan para pengikutnya menghentikan pengejarannya, setelah tiba di
tepi sebuah hutan yang berbatasan langsung dengan Desa Tampuk sebelah Selatan.
Ki Rampak langsung memerintahkan orang-orang agar menyebar, memeriksa setiap
jengkal hutan ini. Sedangkan dia sendiri menunggu di tepi hutan bersama dua
orang pengawal kebanggaannya.
Sementara, Ki Gagak Bulang ikut mencari wanita aneh berbaju serba hitam itu
bersama yang lainnya. Bersama enam orang, Ki Gagak Bulang terus menerobos
lebih jauh masuk ke dalam hutan. Keadaan hutan yang tidak begitu lebat,
membuat ge-rakan mereka lebih leluasa.
"Berhenti dulu," perintah Ki Gagak Bulang.
Enam orang pemuda yang mengikuti segera menghentikan langkahnya. Sementara Ki
Gagak Bulang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan. Pendengarannya yang
setajam mata pisau, saat itu mendengar tarikan napas yang halus dan memburu,
tidak jauh di sebelah kanan.
"Hup...!"
Cepat sekali Ki Gagak Bulang melompat masuk ke dalam sebuah semak belukar. Dan
tak lama kemudian, dia sudah kembali melesat sambil memanggul seseorang di
pundaknya. Begitu kakinya menjejak tanah, orang itu segera dijatuhkan dengan
keras, hingga terguling beberapa kali. Terdengar pekikan tertahan, disertai
keluhan merintih panjang.
"Ki Sampar...," desis Ki Gagak Bulang, begitu mengetahui orang yang
ditemukannya di balik semak belukar.
Sementara, laki-laki tua renta yang ternyata memang Ki Sampar tampak gemetar
ketakutan. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan tubuhnya menggigil seperti
terserang demam. Saat itu, enam orang pemuda yang mengikuti Ki Gagak Bulang
sudah men-gepung laki-laki tua yang meninggalkan Desa Tampuk, setelah Istrinya
dilarikan seseorang ketika sedang diseret paksa oleh para pengikut Ki Rampak.
"Phuih! Cari bawal yang didapat malah teri!" sungut Ki Gagak Bulang kesal,
mengetahui yang didapatkan malah Ki Sampar.
"Oh..., ampun..., ampun, Ki. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sedang mencari
kayu bakar," rintih Ki Sampar memelas.
"Diam! Aku tidak tanya!" Bentak Ki Gagak Bulang kesal.
Ki Sampar langsung terdiam. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap sorot
mata yang mendelik tajam. Sementara, Ki Gagak Bulang sudah melangkah lebih
mendekat lagi. Terdengar gemeletuk gerahamnya karena menahan geram. Dia memang
sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya, atas semua yang telah terjadi
terhadap kakaknya yang telah dibuat malu di depan orang banyak
"Bangun," terasa dingin sekali suara Ki Gagak Bulang.
"Oh, Ki...."
"Bangun kataku, cepat..!" bentak Ki Gagak Bulang kasar. Dengan tubuh
menggeletar ketakutan, Ki Sampar beranjak bangun perlahan-lahan. Tapi belum
juga bisa berdiri dengan sempurna, mendadak saja....
"Hih!"
Bek!
"Aduh...!"
Ki Sampar mengeluh, begitu tiba-tiba satu pukulan keras mendarat telak di
dadanya. Seketika itu juga, tubuh yang kurus kering itu terpental jatuh ke
tanah. Nafasnya yang sejak tadi sudah tersendat, semakin tersengal setelah
menerima pukulan keras tadi. Meskipun, tidak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Bangun...!" desis Ki Gagak Bulang dingin.
"Ugkh...!" Ki Sampar melenguh, merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya.
Tapi, dia tetap berusaha bangkit berdiri Kembali.
Ki Gagak Bulang memberi satu pukulan keras ke perut laki-laki tua renta itu,
sehingga tubuhnya jadi terbungkuk. Pada saat itu, satu pukulan lagi mendarat
di wajahnya. Akibatnya, Ki Sampar terdongak seketika. Tampak darah muncrat
keluar dari mulutnya. Dan begitu satu pukulan lagi mendarat di dada, dia tidak
dapat bertahan berdiri lagi. Tubuhnya langsung terpental ke belakang, dan
jatuh bergelimpang keras sekali di atas tanah yang penuh ranting dan dedaunan
kering.
"Katakan, Orang Tua.... Di mana perempuan setan itu tinggal?" Desis Ki Gagak
Bulang bertanya, dengan suara dingin menggetarkan.
Tentu saja dengan mulut dipenuhi darah, sukar bagi ki Sampar menjawab
pertanyaan itu. Terlebih lagi, nafasnya semakin tersengal. Bahkan dadanya juga
terasa begitu nyeri. Ki Sampar hanya bisa menggeletak diam merasakan sakit
yang amat sangat di sekujur tubuhnya. Seakan-akan seluruh tulang-tulang tuanya
terasakan sudah berpatahan.
"Jawab pertanyaanku. Setan!" Bentak Ki Gagak Bulang.
Namun Ki Sampar tetap diam. Bibirnya bergerak-gerak menggeletar, seakan ingin
mengatakan sesuatu. Tapi, yang terdengar hanya gumaman-gumaman tidak jelas.
Darah yang memenuhi rongga mulutnya, membuatnya sulit bicara. Sedangkan Ki
Gagak Bulang tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Perlahan, dihampiri orang tua
renta itu.
"Jangan menunggu kesabaranku habis. Keparat!" Desis Ki Gagak Bulang mengancam.
Namun, tetap gumaman-gumaman kecil yang keluar dari mulut Ki Sampar.
"Keparat..,! Rupanya kau ingin mampus, heh? Hih...!"
Begkh!
"Ugkh...!"
Ki Sampar hanya bisa terlenguh sedikit, begitu kaki Ki Gagak Bulang mendarat
tepat di lambungnya. Kembali orang tua renta itu terguling beberapa kali dan
baru berhenti setelah tubuhnya menabrak akar pohon yang menyembul keluar dari
dalam tanah. Ki Gagak Bulang melangkah perlahan menghampiri. Gemeretak
gerahamnya terdengar begitu jelas. Sementara, enam orang pemuda yang
menyertainya hanya bisa menyaksikan saja, tanpa dapat berbuat sesuatu.
"Katakan! Di mana perempuan keparat itu, Tua Bangka...?!" Desis Ki Gagak
Bulang menggeram. Kaki Ki Gagak Bulang terus terayun, semakin mendekati Ki
Sampar.
Sementara, orang tua itu tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Seluruh
tulang-tulang tuanya seakan sudah hancur terkena pukulan dan tendangan Ki
Gagak Bulang yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga
dalam sedikit pun juga. Tapi, Ki Sampar memang orang biasa yang sama sekali
tidak mengerti ilmu-ilmu olah kanuragan. Sehingga, siksaan ini membuat seluruh
tulangnya jadi seperti remuk, dan membuat tubuhnya sulit digerakkan lagi.
Laki-laki tua itu sudah pasrah. Apa yang akan terjadi pada dirinya akan
direlakan saja.
"Katakan, di mana perempuan keparat itu..?! Atau ingin kupercepat ke neraka,
heh...?!" Bentak Ki Gagak Bulang lagi.
Tapi, Ki Sampar tetap saja diam. Darah terus mengucur dari mulutnya.
Sementara, Ki Gagak Bulang sudah begitu dekat. Dan tiba-tiba saja...
"Keparat..! Hih!"
Diegkh!
"Akh...!"
Satu tendangan lagi mendarat tepat di dada Ki Sampar. Akibatnya, orang tua itu
terpental sejauh satu batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam pohon,
membuatnya kembali terpekik, merasakan sakit yang amat sangat.
“Mampus kau, Orang Tua Keparat! Hiyaaa...!"
Gagak Bulang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Bagaikan kilat dia
melompat sambil mengarahkan pukulan disertai tenaga dalam ke tubuh Ki Sampar.
Sementara, orang tua itu sudah memejamkan mata, pasrah menerima kematian di
tangan adik kandung Kepala Desa Tampuk ini. Tapi begitu pukulan Ki Gagak
Bulang hampir menjebol dada Ki Sampar, mendadak....
Plak!
"Ikh...!"
Ki Gagak Bulang jadi terpekik kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting kembali ke
belakang beberapa kali. Dia sempat melihat sebuah bayangan putih berkelebat
begitu cepat. Juga dirasakan pukulannya tadi seperti membentur suatu kekuatan
yang melebihi kekuatan tenaga dalamnya.
"Hap!"
Namun, cepat Ki Gagak Bulang bisa menguasai keseimbangan dirinya. Dan dengan
satu gerakan indah, kakinya mendarat manis sekali di tanah. Sedikit pun tidak
terdengar suara saat kakinya menjejak tanah berumput yang banyak ditaburi
daun-daun kering.
"Setan...!" Ki Gagak Bulang begitu geram setengah mati Sorot matanya terlihat
tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan yang tahu-tahu sudah
berdiri di depan Ki sampar. Pemuda itu berbaju rompi putih, dengan sebilah
pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Dia berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada.
Srek!
Saat itu, terdengar suara gemerisik dari dalam sebuah semak tak jauh dari
sebelah kanan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Kemudian muncullah
seorang gadis cantik yang mengenakan baju biru muda agak ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang indah dan ramping. Gadis itu melangkah tenang
menghampiri Ki Sampar. Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya
melirik saja sedikit, memperhatikan gadis cantik berbaju biru muda yang
memeriksa luka di tubuh laki-laki tua renta ini.
"Hanya luka luar," kata gadis itu memberi tahu.
"Hm...." Pemuda tampan berbaju rompi putih itu kembali mengarahkan
pandangannya pada Ki Gagak Bulang.
Sementara enam orang pemuda yang ikut bersama adik kandung Kepala Desa Tampuk
itu kini sudah berdiri berjajar di belakangnya. Mereka semua sudah menghunus
golok masing-masing.
"Anak muda, menyingkir kau! Ini bukan urusanmu....” bentak Ki Gagak Bulang
kasar.
"Hmm. Kalau urusanmu menyiksa orang tua lemah ini, tentu aku tidak akan
tinggal diam begitu saja," sahut pemuda berbaju rompi putih itu dingin.
"Keparat..! Mau cari mampus rupanya, heh...?!" Desis Ki Gagak Bulang
menggeram.
"Mati dan hidupku bukan di tanganmu, Kisanak," kata pemuda itu lagi, terdengar
tenang nada suaranya.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit.
Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih itu kembali melirik sedikit pada
gadis cantik yang tengah mengobati Ki Sampar, dengan beberapa totokan dan
pijatannya.
"Kau bawa dulu, Pandan. Nanti aku menyusul," kata pemuda itu perlahan.
Gadis cantik berbaju biru muda yang dipanggil Pandan hanya mengangguk saja.
Kemudian ringan sekali tubuh kurus itu dipondongnya. Begitu ringannya,
bagaikan mengangkat sekantung kapas saja. Dan tanpa berbicara sedikit pun
juga, tubuhnya melesat pergi begitu cepat. Hingga dalam sekejapan mata saja,
sudah lenyap dari pandangan.
"Phuih!" Ki Gagak Bulang semakin geram saja melihat gadis cantik itu melarikan
Ki Sampar.
Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih ini sudah menggeser kakinya ke
kanan beberapa langkah. Tatapan matanya masih terlihat tajam, memperhatikan Ki
Gagak Bulang yang menyemburkan ludahnya dengan kesal beberapa kali.
"Cincang bocah keparat itu...!" Perintah Ki Gagak Bulang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, enam orang pemuda yang ada di belakang Ki
Gagak Bulang langsung berlompatan menyerang pemuda tampan berbaju rompi putih
ini. Tapi belum juga mereka sampai, tiba-tiba saja pemuda tampan itu sudah
melesat cepat ke atas. Lalu....
Slap!
"Heh,..?!"
Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget setengah mati. Demikian pula keenam orang
pemuda yang menyertainya. Mereka jadi kebingungan, karena tiba-tiba saja
pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu lenyap seperti asap. Entah
ke mana arah kepergiannya, tak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya.
“Phuih! Keparat..!" geram Ki Gagak Bulang.
Ki Gagak Bulang benar-benar geram oleh kejadian ini. Belum pernah dia
dipermainkan seperti ini. Kemarahannya benar-benar tidak bisa lagi ditakar.
Sambil mengumpat memaki-maki, Ki Gagak Bulang memerintahkan enam orang pemuda
yang menyertainya untuk mencari pemuda tampan yang telah mempermainkannya
begitu rupa.
"Cari sampai dapat!" bentak Ki Gagak Bulang.
Enam orang pemuda itu tidak bisa lagi menolak. Mereka langsung berpencar,
mencari pemuda berbaju rompi putih yang telah mempermainkan Ki Gagak Bulang.
Sementara, laki-laki setengah baya ini terus memaki-maki sambil melangkah
pergi meninggalkan tempat ini. Hentakan kakinya begitu keras, menandakan
hatinya kalau sedang kesal.
"Kupecahkan kepalanya kalau bertemu, huh!" dengus Ki Gagak Bulang.
Sementara, matahari terus bergerak menggelincir semakin tinggi. Tapi, mereka
tidak juga bisa menemukan pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Apalagi,
untuk bisa menemukan gadis cantik yang membawa lari Ki Sampar. Dan ini membuat
Ki Gagak Bulang jadi semakin gusar. Hatinya benar-benar geram, karena merasa
telah dipermainkan seorang pemuda yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Ayo, kita kembali saja ke Desa Tampuk," ajak Ki Gagak Bulang, setelah enam
orang yang menyertainya sudah berkumpul lagi.
“Tidak diteruskan mencarinya, Ki?" Tanya salah seorang.
"Tidak," sahut Ki Gagak Bulang mendengus.
Keenam pemuda itu tidak membantah lagi, lalu segera melangkah mengikuti
laki-laki setengah baya ini. Mereka berjalan cepat menerobos hutan yang begitu
lebat ini, kembali menuju Desa Tampuk. Sementara, Ki Gagak Bulang yang
berjalan di depan tidak henti-hentinya menggerutu. Sesekali ludahnya
disemburkan dengan kesal. Sampai di tepi hutan, mereka bertemu Ki Rampak. Tapi
Ki Gagak Bulang tidak berbicara sedikit pun juga. Dia hanya memandang sedikit
saja pada Ki Rampak dan terus mengayunkan kakinya kembali ke Desa Tampuk.
Sementara, matahari terus menggelincir ke arah Barat. Sinarnya pun sudah tidak
lagi terasa begitu terik seperti tadi. Dan cahayanya mulai memudar, tertutup
awan yang semakin menebal. Angin pun kini bertiup begitu kencang, pertanda
hari sebentar lagi akan berganti senja.
"Ayo kembali...!" seru Ki Rampak, setelah semua orang-orangnya kembali dari
dalam hutan tanpa hasil.
***
EMPAT
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Tampuk. Kesunyian begitu terasa di
desa ini. Tak ada seorang pun yang terlihat di luar. Dan rumah-rumah yang ada
pun tampak tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya redup dari pelita
kecil saja yang terlihat dari kisi-kisi pintu dan jendela setiap rumah. Tapi,
keadaan terang-benderang terlihat di rumah Ki Rampak. Bahkan beberapa obor
terpancang di setiap sudut halaman rumahnya. Keadaannya seperti tengah
mengadakan pesta, namun hanya para penjaga saja yang terlihat.
Sementara di dalam salah satu kamar, terlihat Ki Rampak belum juga bisa
merebahkan tubuhnya. Hatinya tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam
kamar ini. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai
hembusan napas yang terasa begitu berat.
Bruk!
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Ki Rampak tersentak kaget, ketika mendengar suara seperti orang
terjatuh. Cepat-cepat dia melompat ke jendela. Tapi belum juga sampai,
mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memasuki kamar ini
melalui jen-dela yang terbuka lebar.
"Utfs...!"
Hampir saja Ki Rampak terlanda bayangan hitam itu, kalau saja tidak
cepat-cepat melenting ke belakang. Dua kali dia berputaran di udara. Lalu
manis sekali mendarat di lantai yang keras dan licin. Saat itu, seorang
bertubuh ramping sudah ber-diri membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya
tertutup baju ketat berwarna hitam. Sementara seluruh kepalanya juga
terselubung kain hitam pekat. Hanya dua lubang kecil pada matanya saja yang
terlihat.
"Siapa kau...?" bentak Ki Rampak.
Tangan kanan Ki Rampak cepat menyambar pedang yang tergeletak di atas meja,
tidak jauh di sebelah kanan. Begitu dapat, cepat-cepat dipindahkannya ke
tangan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba
hitam tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun juga. Dari dua lubang di
bagian mata, terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk langsung ke
bola mata Kepala Desa Tampuk ini. Dari bentuk tubuhnya, sudah dapat dipastikan
kalau dia seorang wanita.
"Hiyaaa...."
Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagai kilat,
menerjang Ki Rampak. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Ki Rampak
terhenyak sesaat Namun dengan cepat pula dia melompat ke samping, sambil
meliukkan tubuhnya. Langsung dihindarinya satu pukulan yang melayang deras ke
arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu lepas dari serangan, Ki Rampak cepat melepaskan satu tendangan keras
menggeledek, dengan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang begitu cepat,
mengarah langsung ke dada wanita ini
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, wanita berbaju serba hitam itu malah
menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambutnya tendangan kaki kanan Kepala
Desa Tampuk ini. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki itu beradu keras tak
terelakan lagi.
Plak!
"Ikh...!"
"Hup!"
Ki Rampak terpekik kecil. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa
langkah. Sedangkan wanita berbaju serba hitam itu juga cepat melenting ke
belakang beberapa kali. Dan mereka kini kembali berdiri berhadapan, berjarak
beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Namun wanita berbaju serba hitam itu kem-bali melompat menyerang dengan
kecepatan luar biasa. Beberapa pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi, langsung dilepaskan secara beruntun. Akibatnya Ki Rampak
terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Maka pertarungan di dalam kamar yang
cukup luas ini pun tidak dapat terelakkan lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu memiliki kesempatan, Ki Rampak cepat melenting ke udara. Lalu, cepat
sekali tangannya mengibas ke arah kepala wanita yang berselubung kain hitam
ini. Namun dengan gerakan kepala yang begitu manis, sambaran tangan Ki Rampak
berhasil dihindarinya.
“Yeaaah...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Rampak memutar tubuhnya. Dan secepat itu
pula, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek dengan tubuh berputar
cepat. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan kepala desa ini, sehingga
wanita berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi menghindari. Dan....
Bek!
"Akh...!"
Wanita itu terpekik keras agak tertahan. Tendangan yang mendarat tepat di
dadanya begitu keras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lontarannya baru
berhenti setelah menghantam dinding kamar ini hingga bergetar hendak rubuh.
Namun, dia cepat bisa menguasai diri, dan kembali berdiri tegak. Sambil
memegangi dadanya yang terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi
tadi, matanya menyorot tajam ke arah Ki Rampak.
"Hiyaaa...!"
Ki Rampak langsung melompat menyerang, sambil mencabut pedangnya yang
tergenggam di tangan kiri. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan ke arah
kepala wanita aneh berbaju serba hitam itu.
"Hih! Yeaaah...!"
Wanita berbaju serba hitam itu cepat mencabut sebatang tongkat kayu sepanjang
tiga jengkal dari balik ikat pingggangnya. Kemudian langsung cepat
dikebutkannya untuk menangkis sabetan pedang kepala desa itu.
Trang!
"Heh...?!"
Ki Rampak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat pedangnya ditarik
pulang, lalu melompat ke belakang beberapa langkah. Hampir dia tidak percaya
dengan apa yang terjadi barusan. Tongkat yang kelihatannya terbuat dari kayu
biasa itu ternyata bagaikan sebatang tongkat besi baja yang begitu kuat.
Bahkan tangannya tadi sampai bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat
kayu yang ujungnya runcing.
"Hap!"
Ki Rampak cepat melintangkan pedangnya di depan dada. Perlahan kakinya
bergeser ke samping beberapa langkah. Kemudian cepat sekali tangan kirinya
bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat beberapa buah benda bulat
berwarna merah melesat cepat dari tangan kiri kepala desa itu.
"Hup!" "Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan melompatnya wanita aneh berbaju serba hitam itu dalam
menghindari senjata-senjata rahasia itu, Ki Rampak sudah lebih cepat lagi
melesat ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya. dibabatkan ke arah
lambung. Tapi, wanita itu lebih cepat lagi menarik tubuhnya ke belakang.
Sehingga, tubuhnya jadi agak terbungkuk. Dan pada saat itu, Ki Rampak
mengibaskan tangan kirinya ke arah ujung kepala.
Bret! "Ikh...!"
Wanita itu jadi terpekik begitu kain hitam yang menyelubungi kepalanya
terampas tangan kiri Ki Rampak. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sambil
berputaran beberapa kali. Tampak di batik selubung kain hitam, tergerai rambut
hitam yang panjang tak teratur. Tepat pada saat kaki wanita itu menjejak
lantai, Ki Rampak juga mendarat manis sekali. Namun saat itu juga matanya jadi
terbeliak.
"Kau...?!"
"Ya aku...! Hik hik hik...!"
Bet!
Begitu cepat dan tiba-tiba sekali wanita itu mengebutkan tongkat kayunya yang
berujung runcing ke leher Ki Rampak. Sementara laki-laki setengah baya itu
masih terpana seperti bermimpi. Sehingga, dia tidak sempat menyadari lebih
cepat lagi terhadap serangan ini. Dan....
Cras!
“Aaakh...!"
Darah langsung muncrat begitu ujung tongkat wanita itu membabat leher Ki
Rampak, hingga hampir buntung. Hanya sebentar Kepala Desa Tampuk itu masih
bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di lantai
kamarnya. Darah berhamburan deras sekali dari lehernya yang menganga terbabat
tongkat kayu berujung runcing. Sebentar kemudian, seluruh tubuh Ki Rampak
mengejang, terdiam kaku tak bergerak-gerak lagi.
"Hik hik hik...!"
Slap!
Sambil memperdengarkan suara tawa yang terkikik kering mengerikan, wanita
berbaju serba hitam itu melesat cepat keluar dari kamar ini melalui jendela
yang masih terbuka lebar. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejapan
mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu, Ki Rampak sudah
tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung dan
mengucurkan darah segar.
***
Sementara itu, terlihat api membumbung tinggi ke angkasa. Sehingga, membuat
Desa Tampuk yang gelap ini jadi terang benderang. Dan udara yang semula,
dingin pun jadi panas oleh kobaran api yang semakin terlihat membesar itu.
Beberapa orang yang menjaga di rumah Ki Rampak, jadi terkejut melihat api yang
tiba-tiba saja berkobar begitu besar. Bahkan beberapa penduduk mulai terlihat
keluar.
Mereka serentak berlarian menuju ke arah api yang berkobar itu. Tapi begitu
sampai, tak ada seorang pun yang berani mendekat. Karena, api yang berkobar
besar itu telah membakar habis gubuk reyot, tempat Nini Angki dipasung.
Sementara, Ki Gagak Bulang yang juga melihat kobaran api itu bergegas berlari
menuju ke kamar Ki Rampak
"Kakang...! Kakang...!" panggil Ki Gagak Bulang sambil menggedor pintu kamar
kakaknya.
Tapi, tak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Kening Ki Gagak Bulang jadi
berkerut. Dicobanya untuk membuka pintu. Dan dengan mudah sekali pintu itu
terdorong terbuka. Keheranannya semakin bertambah, karena Ki Gagak Bulang tahu
kalau kakaknya tidak pernah lupa mengunci pintu kalau sudah berada di dalam
kamarnya. Dan begitu pintu terbuka lebar...
"Kakang...!" sentak Ki Gagak Bulang terperanjat.
Cepat Ki Gagak Bulang melompat masuk ke dalam, begitu melihat Ki Rampak
tergeletak di lantai berlumuran darah. Hampir dia tidak percaya melihatnya.
Leher Ki Rampak terbabat Hampir buntung, persis seperti korban-korban
pembunuhan yang lainnya. Beberapa saat Ki Gagak Bulang tertegun seperti tengah
bermimpi, kemudian berteriak memanggil para penjaga.
Sebentar saja beberapa orang berdatangan masuk ke dalam kamar ini. Dan mereka
jadi terperanjat setengah mati begitu melihat Ki Kampak tergeletak di lantai
tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung. Darah menggenang dari
leher yang menganga lebar itu. Pada saat itu, terdengar suara mengerang lirih
dari luar jendela.
"Hap!" Ki Gagak Bulang cepat melompat keluar melalui jendela. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Tampak lima
orang yang bertugas menjaga kamar kepala desa ini bergelimpangan dengan leher
terkoyak hampir buntung.
"Ohhh...!"
"Heh...?!"
Ki Gagak Bulang kembali tersentak, begitu mendengar rintihan dari balik semak
pohon perdu. Bergegas dihampirinya semak yang bergerak-gerak itu. Dan begitu
disibakkan, ternyata seorang pemuda terbaring didalam semak. Pemuda itu
merintih lirih. Darah masih terlihat dari lehernya yang robek cukup lebar.
Cepat-cepat Ki Gagak Bulang mengeluarkannya dari semak perdu ini. Sementara,
puluhan orang pengikut Ki Rampak sudah berdatangan. Dan beberapa orang
terlihat di jendela kamar Kepala Desa Tampuk ini.
"Apa yang terjadi...?! Siapa yang melakukan ini?!" Tanya Ki Gagak Bulang,
sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.
"Ni..., Nini Angki...!"
"Siapa...?!" Rasanya seperti tersambar guntur, begitu mendengar nama Nini
Angki disebut dengan suara parau dan lemah sekali.
Tapi Ki Gagak Bulang tidak bisa lagi terus bertanya, karena pemuda itu sudah
terkulai tak bernyawa lagi. Dan hanya satu nama saja yang sempat disebutkan,
tapi cukup membuat semua yang mendengarnya jadi tersentak, seperti tersengat
ribuan lebah berbisa.
"Mustahil...!" Desis Ki Gagak Bulang seraya bangkit berdiri.
Pada saat itu, terlihat berlari-lari dua orang pemuda. Mereka langsung
menghampiri Ki Gagak Bulang. Napas mereka tersengal, dan keringat mengucur
deras membasahi sekujur tubuhnya.
"Ada apa lagi ini...?" sentak Ki Gagak Bulang. Kedua bola matanya mendelik
lebar menatap dua pemuda yang terengah-engah di depannya.
"Nini Angki.... Gubuk Nini Angki terbakar. Dan dia..., dia membunuh sepuluh
orang di Selatan, Ki," lapor salah seorang pemuda itu dengan suara tersendat
dan napas tersengal.
"Apa...?!"
"Tinggal kami berdua saja yang berhasil lolos, Ki. Nini Angki mengamuk,
membunuh sepuluh orang di Selatan," ulang pemuda satunya lagi
"Keparat...!" desis ki Gagak Bulang geram.
Seluruh wajah Ki Gagak Bulang memerah. Sedangkan kedua bola matanya memancar
tajam berapi-api. Nafasnya jadi memburu seperti kuda yang seharian penuh
dipacu cepat. Sementara, tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua
memandang pada adik kandung Kepala Desa Tampuk ini
"Sebagian urus jasad Kakang Rampak. Sebagian lagi ikut aku," perintah Ki Gagak
Bulang.
Bergegas Ki Gagak Bulang melangkah menuju kandang kuda yang berada di bagian
halaman belakang rumah ini. Sedangkan sekitar dua puluh orang bergegas
mengikuti, dan sebagian lagi segera mengurus mayat Ki Rampak. Tak berapa lama
berselang, Ki Gagak Bulang sudah memacu kudanya diikuti dua puluh orang yang
juga menunggang kuda. Mereka bergerak cepat menuju ke arah Selatan.
Sementara, api masih terlihat berkobar besar, membakar gubuk tempat Nini Angki
dipasung. Hampir semua penduduk sudah keluar dari rumahnya. Dan mereka hanya
bisa memandangi gubuk pasungan Nini Angki yang semakin habis dimakan api. Tak
ada seorang pun yang berani mendekati. Dan mereka juga hanya bisa meman-dangi
kepergian Ki Gagak Bulang bersama dua puluh orang menuju Selatan. Mereka hanya
bisa bertanya-tanya saja di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang berani
mengucapkannya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sementara, Ki Gagak Bulang terus memacu cepat kudanya, diiringi dua puluh
orang pengikutnya dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju ke arah
Selatan.
***
Sementara itu jauh dari Desa Tampuk, tampak sebuah api unggun menyala kecil di
bawah kerindangan sebatang pohon yang batangnya sangat besar. Tidak jauh dari
api unggun itu, terlihat Ki Sampar duduk bersila di dampingi seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih dan seorang gadis cantik mengenakan baju biru muda
yang agak ketat.
"Bagaimana sekarang, Ki? Sudah enakan...?" Tanya pemuda tampan berbaju rompi
putih itu.
Ki Sampar tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Untung hanya luka luar saja. Jadi, tidak terlalu sulit menyembuhkannya,"
desah gadis berbaju biru yang duduk di sebelah kiri Ki Sampar.
"Terima kasih, atas usaha kalian yang telah bersusah payah menolongku," ucap
Ki Sampar.
"Apa yang kami lakukan sudah biasa, Ki. Kami tidak bisa melihat penganiayaan
terjadi di depan mata," kata gadis cantik itu, tanpa bermaksud menyombongkan
diri.
"Kalian tentu para pendekar muda," kata Ki Sampar lagi, "Siapa kalian ini, dan
dari mana kalian datang...?"
"Aku Rangga," pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku Pandan Wangi, Ki. Tapi panggil saja aku Pandan," sambung gadis cantik
berbaju biru muda.
Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi yang tengah mengembara, setelah beberapa
hari lamanya berada di Kerajaan Karang Setra. Dan mereka lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Sepasang pendekar muda
yang tidak asing lagi di kalangan rimba persilatan. Tapi bagi Ki Sampar, nama
mereka baru kali ini terdengar di telinganya. Karena memang, dia bukanlah
orang persilatan. Jadi tidak tahu perkembangan dunia persilatan sekarang ini.
"Kenapa kau sampai teraniaya tadi, Ki?" Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Entahlah..., aku sendiri tidak tahu," sahut Ki Sampar mendesah perlahan.
"Tentu ada sebabnya, Ki," desak Pandan Wangi.
Ki Sampar tertunduk. Wajahnya kelihatan murung terselimut mendung. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang, Mereka merasa kalau ada
sesuatu yang disembunyikan orang tua ini. Dan mereka juga yakin ada suatu
persoalan, sampai orang tua renta ini teraniaya. Bahkan hampir saja mati
terbunuh kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat menolongnya.
"Semua ini berawal dari munculnya pembunuh gelap itu...," ujar Ki Sampar
perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Pembunuh gelap...?" selak Pandan Wangi, langsung menatap dalam-dalam ke bola
mata orang tua renta itu.
“Ya! Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku dan istriku dilibatkan. Sampai-sampai,
aku tidak tahu lagi, di mana istriku berada. Dan aku sendiri..., hampir saja
mati di tangan Ki Gagak Bulang," sahut Ki Sampar masih terdengar pelan
suaranya.
"Kau berasal dari Desa Tampuk, Ki?" selak Rangga.
"Benar," sahut Ki Sampar.
"Ceritakan, Ki. Apa yang telah terjadi," pinta Pandan Wangi jadi ingin tahu.
"Semua terjadi begitu saja, Nini. Orang itu tiba-tiba saja muncul, dan
membunuhi pengikut-pengikut Ki Rampak," kata Ki Sampar.
"Siapa itu Ki Rampak?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Kepala Desa Tampuk. Tapi, semua orang tidak menyukainya. Dia kejam dan
memeras penduduk dengan kekuatannya. Tidak ada seorang pun yang berani
menentangnya. Bahkan ketika memasung anak gadis kepala desa yang dulu pun,
tidak ada seorang pun yang berani menentang. Bahkan semua penduduk diharuskan
membenci gadis malang itu. Hanya istriku saja yang tidak sudi menuruti
perintahnya. Setiap hari istriku mengirimkan makanan untuk Nini Angki," Ki
Sampar memulai ceritanya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
“Teruskan, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Bertahun-tahun, Desa Tampuk berada dalam genggaman Ki Rampak. Dan belakangan
ini, muncul seseorang yang membunuh para pengikut Ki Rampak. Dan itu adalah
awal malapetaka. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku dan istriku sampai di
libatkan. Padahal, aku tidak tahu-menahu terhadap semua itu," sambung Ki
Sampar tetap pelan suaranya.
"Lalu, di mana istrimu, Ki?" Tanya Pandan Wangi.
"Dibawa orang aneh itu," sahut Ki Sampar.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi meminta penjelasan.
Ki Sampar pun langsung menceritakan semua kejadian yang menimpa istrinya,
sampai dia memutuskan untuk meninggalkan Desa Tampuk. Tapi, Ki Gagak Bulang
berhasil menemukannya. Bahkan hampir saja mati kalau saja tidak segera
tertolong Pendekar Rajawali Sakti. Ki Sampar jelas sekali menceritakannya,
sementara Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian. Beberapa kali
pendekar-pendekar muda itu saling melemparkan pandang. Dan mereka tidak
berbicara lagi, walaupun Ki Sampar sudah menyelesaikan ceritanya.
***
Emoticon