Malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Utara. Angin
berhembus cukup kencang, membuat udara terasa sangat dingin. Namun, langit
kelihatan cerah dihiasi cahaya bulan yang penuh, serta gemerlapnya
bintang-bintang. Namun semua keindahan itu hanya bisa dinikmati sendu oleh
seorang gadis cantik yang duduk mencangkung di depan rumah Paman Ardaga.
Gadis berwajah cantik yang mengenakan baju merah cukup ketat itu
memukul-mukulkan pedang yang masih tersimpan di dalam warangka, ke tanah
berpasir putih. Entah, sudah berapa lama dia duduk mencangkung di atas dahan
pohon yang sudah roboh itu. Dan pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit pun,
ke tengah laut yang meriak bergelombang kecil, mempermainkan perahu-perahu
nelayan yang sudah beberapa hari tidak pernah melaut lagi.
"Hhh...!" Terdengar tarikan nafasnya yang panjang dan terasa berat. Sedikit
tubuhnya menggeliat, dan memasang kembali tali pedangnya ke pinggang.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Kepalanya sedikit berpaling ke pintu rumah
yang sedikit terbuka. Tak terlihat seorang pun di dalam rumah itu. Mungkin
semua penghuninya sudah tertidur lelap. Dan memang, malam sudah begitu larut.
Hanya debur ombak saja yang memecah kesunyian malam ini. Perlahan kakinya
terayun hendak masuk ke dalam rumah itu. Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah, mendadak saja...
Clraaak! "Heh...?!"
Gadis cantik yang tak lain Layung Sari, jadi terkejut setengah mati begitu
tiba-tiba membersit cahaya kilat di angkasa. Padahal, malam ini langit
kelihatan begitu cerah. Dan begitu kepalanya menengadah, tiba-tiba saja datang
awan hitam bergulung-gulung, seakan-akan datang dari tengah laut Dan sebentar
saja, seluruh Pesisir Pantai Utara sudah terselimut awan hitam yang begitu
tebal. Saat itu, hembusan angin pun semakin terasa kencang, memperdengarkan
suara menggemuruh menggetarkan jantung.
Crasss!
Kembali kilat membersit bagai hendak membelah angkasa. Ujung kilat itu tempat
menyambar ke permukaan laut yang kini bergelombang sangat besar. Dan pada saat
itu....
"Oh...?!" Kedua bola mata Layung Sari jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya
sampai ternganga begitu melihat di tengah laut ada seekor ular raksasa yang
memancarkan cahaya hijau terang, bergerak-gerak menggeliat menuju tepi pantai.
Begitu cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu sebentar saja binatang
yang selama ini selalu disebut Naga Laut sudah sampai di tepi pantai. Dan pada
saat itu, terlihat seseorang berlari-lari kecil sambil memanggul sesuatu di
pundaknya.
"Raden Banyu Samodra...," desis Layung Sari agak tercekat suaranya di
tenggorokan.
Jelas sekali terlihat kalau orang yang berlari-lari kecil menghampiri Naga
Laut itu Raden Banyu Samodra. Tapi Layung Sari jadi terkesiap, begitu tahu
kalau benda yang dipanggul adalah seorang gadis yang seluruh tubuhnya
terbungkus kain putih. Hanya bagian kepalanya saja yang terlihat Rambutnya
yang panjang bergerai tampak menjuntai ke bawah.
"Hup...!" Layung Sari cepat melompat. Dia kemudian berlindung di balik
sebatang pohon yang cukup besar, begitu Raden Banyu sudah dekat di depan Naga
Laut yang memancarkan cahaya hijau. Tampak Raden Banyu Samodra menoleh ke
kanan dan ke kiri, lalu memutar tubuhnya untuk menyelidiki sekitarnya.
Seakan-akan dia takut ada orang lain yang melihatnya. Kemudian pemuda itu
menurunkan beban yang ada di pundaknya, tepat didepan Naga Laut.
Semua itu terlihat jelas sekali dari tempat persembunyian Layung Sari. Pemuda
yang kini menguasai desa ini dengan cara kejam, tampak membungkukkan tubuhnya
dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Rupanya, dia memberi hormat
pada Naga Laut.
"Gila...! Apa yang dilakukannya...?" Desis Layung Sari hampir tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
Sedikit pun gadis itu tidak mengerdipkan matanya dan terus memperhatikan semua
yang dilakukan Raden Banyu Samodra. Begitu inginnya untuk mengetahui lebih
jelas lagi, Layung Sari pelan-pelan segera menggeser kakinya lebih mendekat.
Tapi, dia terus berusaha berlindung dan tidak ingin diketahui kehadirannya.
Gadis itu baru berhenti menggeser kakinya, setelah jaraknya terasa sudah cukup
dekat dengan Raden Banyu Samodra.
"Edan...!" desis Layung Sari dalam hati. Apa yang disaksikannya, saat ini
benar-benar sukar bisa dipercaya. Bahkan perutnya terasa jadi mual hendak
muntah. Ternyata, Raden Banyu Samodra tengah mempersembahkan seorang gadis
yang dirampasnya dari tangan orang tuanya untuk Naga Laut. Dan dengan buas
sekali, Naga Laut mengoyak tubuh gadis malang itu hingga tidak tersisa sedikit
pun juga.
Setelah puas melahap gadis muda itu, Naga Laut kembali masuk ke dalam laut.
Tepat di saat ular naga raksasa bercahaya hijau terang itu lenyap ke dalam
laut langit yang diselimuti awan tebal pun kembali cerah. Bahkan angin pun
tidak lagi berhembus menggila. Perubahan ini terjadi begitu cepat bersamaan
dengan menghilangnya Naga Laut.
Sementara Layung Sari terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya, Raden
Banyu Samodra kembali ke rumah kepala desa yang kini menjadi tempat
tinggalnya. Sama sekali tidak di sadarinya kalau semua yang dilakukan mendapat
perhatian dari seorang gadis cantik, putri kepala desa nelayan di Pesisir
Pantai Utara ini.
"Gila...! Ini tidak bisa didiamkan terus. Bisa habis semua gadis-gadis desa
ini, kalau setiap malam harus dipersembahkan pada Naga Laut," desis Layung
Sari dalam hati. "Hhh! Apa yang harus kulakukan...?"
Memang sulit menghentikan sepak terjang Raden Banyu Samodra. Terlebih lagi,
pemuda yang kini menguasai seluruh desa di Pesisir Pantai Utara memiliki
kepandaian yang sulit dicari tandingannya.
"Aku harus bicarakan semua ini pada Paman Ardaga. Hanya dia saja yang bisa
diajak bicara sekarang ini," ujar Layung Sari dalam hati lagi.
Mendapat pikiran begitu, bergegas gadis itu melesat kembali ke rumah Paman
Ardaga. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah cukup tinggi.
Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah sampai di rumah Paman Ardaga
yang selama ini juga menjadi tempat tinggalnya bersama ayahnya.
Hampir saja Layung Sari bertabrakan dengan Paman Ardaga saat akan masuk ke
pintu. Cepat-cepat gadis itu melompat ke belakang. Sementara, Paman Ardaga
juga langsung terlompat ke belakang, dan masuk lagi ke dalam rumah. Tapi,
sebentar kemudian mereka sudah bertemu lagi didepan pintu.
"Layung...," desah Paman Ardaga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman.... Bikin aku terkejut saja," desah Layung Sari sambil menarik napas
dalam-dalam.
"Kenapa terburu-buru?" Tanya Paman Ardaga sambil duduk di balai bambu yang ada
di beranda depan rumahnya.
Layung Sari tidak langsung menjawab. Lalu, diambilnya tempat tidak jauh dari
laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu. Sedangkan Paman Ardaga
sudah asyik melinting tembakau, dan di sulutkan ke ujung api pelita yang
tergantung di tiang beranda. Harum sekali bau tembakau, sehingga membuat
Layung Sari seakan-akan sulit mengatakan semua yang telah disaksikannya di
tepi pantai tadi.
"Ada yang ingin kau katakan, Layung?" Tanya Paman Ardaga sambil membuang
lintingan tembakaunya yang sudah hampir habis terhisap.
"Hhh...," Layung Sari malah menghembuskan napas panjang.
Paman Ardaga memandangi dengan kening berkerut dan mata menyipit. Bisa diduga
kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu, tapi kelihatannya begitu
berat Sedikit duduknya bergeser lebih mendekat. Sedangkan Layung Sari
mengarahkan pandangan lurus ke arah laut yang menggelombang kecil menghantam
pantai. Begitu indah permukaan laut malam ini, dihiasi pantulan cahaya bulan
dan bintang yang bagai bertaburkan ribuan batu-batu mutiara gemeriapan.
"Paman, ada yang ingin kuceritakan. Tapi...," ucapan Layung Sari terputus.
"Katakan saja, Layung," pinta Paman Ardaga lembut.
"Aku..., aku baru saja melihat Naga Laut," terdengar pelan sekali suara Layung
Sari.
"Kau..., melihat...?!" Paman Ardaga tidak bias melanjutkan.
Suara laki-laki setengah baya itu seperti tertahan di tenggorokan. Hanya bisa
dipandanginya saja wajah cantik Layung Sari. Sedangkan yang dipandangi malah
mengarahkan pandangannya ke tengah laut. Beberapa saat lamanya mereka terdiam,
dan tak ada yang membuka suara lagi. Perlahan Layung Sari menarik napas
panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin mencari
kekuatan untuk mengatakan semua yang telah disaksikannya tadi.
"Ceritakan, apa saja yang sudah kau lihat, Layung," pinta Paman Ardaga setelah
cukup lama terdiam membisu karena terkejut.
Dengan suara pelan, Layung Sari kemudian menceritakan semua yang disaksikannya
di tepi pantai tadi. Sedangkan Paman Ardaga mendengarkannya penuh perhatian.
Sedikit pun cerita gadis itu tidak diselaknya. Seakan-akan, semua kata-kata
yang meluncur bagai air sungai dari bibir yang merah menawan itu ditelan
bulat-bulat.
Paman Ardaga masih tetap terdiam, walaupun Layung Sari sudah menyelesaikan
ceritanya. Dihembuskannya napas panjang, sambil mengalihkan pandangan ke
tengah laut saat Layung Sari berpaling menatapnya. Beberapa saat mereka masih
tetap terdiam, Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing saat ini.
"Paman..., apa yang harus kita lakukan sekarang...?" Tanya Layung Sari pelan,
seperti bertanya untuk diri sendiri.
"Bagaimanapun juga, hal ini harus dilaporkan ke Istana Karang Setra. Ada atau
tidak Gusti Prabu Rangga di istana, kita harus segera melaporkannya," sahut
Paman Ardaga terdengar tegas sekali nada suaranya.
"Tapi, Paman.... Kelihatannya ayah tidak setuju."
"Salah satu dari kita harus pergi ke kotaraja. Ini harus, dan tidak bisa
didiamkan terus-menerus. Bisa-bisa, kau atau anakku yang menjadi korbannya
nanti," kata Paman Ardaga terdengar tegas nada suaranya.
"Kalau begitu, biar aku saja yang pergi, Paman," pinta Layung Sari mantap.
"Perjalanan dari sini ke kotaraja sangat jauh, Layung. Bisa tiga hari tiga
malam dengan berkuda."
"Aku bisa menunggang kuda dengan baik, Paman."
"Hanya seorang diri?"
"Andari bisa menemaniku."
Paman Ardaga terdiam. Dia tahu, anak gadisnya sangat mahir menunggang kuda.
Tapi Andari tidak menguasai ilmu olah kanuragan sedikit pun juga. Dan inilah
yang membuatnya jadi harus berpikir dua kali untuk mengizinkan Andari pergi ke
Kotaraja Karang Setra. Walaupun, kepergiannya bersama Layung Sari yang sudah
tidak diragukan lagi kepandaian ilmu olah kanuragannya. Tapi kehidupan di
dunia luar tidak bisa mudah diramalkan.
Terlalu banyak tokoh persilatan dari berbagai macam golongan yang berkeliaran.
Dan sudah pasti, tidak sedikit rintangan yang akan dihadapi. Sedangkan
perjalanan ke Kotaraja Karang Setra sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari
tiga malam perjalanan berkuda. Itu bukan waktu yang sedikit
"Bagaimana, Paman...?" desak Layung Sari.
"Biar ku putuskan besok," sahut Paman Ardaga.
Layung Sari tidak bisa memaksa, dan bisa mengerti keberatan Paman Ardaga untuk
membawa Andari pergi dari desa ini. Walaupun, kepergiannya untuk menyelamatkan
desa nelayan ini dari kehancuran dan cengkeraman kebiadaban Raden Banyu
Samodra.
***
LIMA
Tepat seperti perhitungan Paman Ardaga, setelah menempuh perjalanan panjang
selama tiga hari tiga malam, Layung Sari dan Andari baru tiba di Istana
Kerajaan Karang Setra, Kedua gadis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara
itu langsung diterima Danupaksi. Kemudian Layung Sari menceritakan semua
peristiwa yang terjadi di desanya, setelah diterima orang kedua Karang Setra.
Setelah mendengar semua cerita tentang keadaan yang terjadi di desa nelayan
itu, Danupaksi segera menyampaikannya pada Rangga. Dan saat ini, Rangga memang
kebetulan berada di istana, dan sedang bercengkerama bersama Pandan Wangi dan
Cempaka di taman keputren belakang istana. Pendekar Rajawali Sakti yang
mendapat laporan dari adik tirinya, bergegas menemui Layung Sari dan Andari di
ruangan Bangsal Pendopo Agung. Cempaka dan Pandan Wangi tidak ketinggalan
mendampinginya.
"Semua yang kalian ceritakan sudah kudengar dari Danupaksi. Hm..., sudah
berapa lama berlangsung?" Rangga yang juga Raja Karang Setra langsung membuka
suara, begitu duduk di singgasana.
"Lebih dari satu purnama, Gusti Prabu," sahut Layung Sari dengan sikap begitu
hormat.
"Satu Purnama...? Kenapa baru datang ke sini?" Tanya Rangga agak terkejut.
"Ampun, Gusti. Kesempatan untuk meninggalkan desa yang tidak ada. Dan lagi,
kami khawatir Gusti tidak berada di istana," sahut Layung Sari lagi.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti melirik Cempaka,
Danupaksi, dan Pandan Wangi yang mendampinginya. Kemudian, pandangannya
kembali tertuju pada Layung Sari dan Andari yang duduk bersimpuh di lantai
beralaskan permadani berbulu tebal dan halus lembut. Raja Karang Setra yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini bangkit dari singgasananya
sambil menghembuskan napas panjang. Dengan ayunan kaki mantap, dihampirinya
kedua gadis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara itu.
"Bangunlah," pinta Rangga lembut.
"Ampun, Gusti Rangga," ucap Layung Sari sambil memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Andari juga mengikuti dengan sikap sama. Setelah Rangga meminta untuk kedua
kali, baru kedua gadis itu bangkit berdiri. Sikap mereka begitu hormat. Dan
mereka memberi sembah sekali lagi, setelah berdiri dengan tubuh agak
membungkuk.
"Cempaka, antarkan mereka ke tempat peristirahatannya," pinta Rangga.
"Baik, Kakang Prabu," sahut Cempaka sambil merapatkan kedua tangannya di depan
hidung.
Cempaka langsung mengajak kedua gadis itu meninggalkan Bangsal Pendopo Agung.
Sementara, Rangga masih berdiri mematung memandangi gadis-gadis itu sampai
lenyap di balik dinding penyekat Sedangkan, Pandan Wangi dan Danupaksi sudah
menghampiri, mengapit Pendekar Rajawali Sakti yang saat ini mengenakan pakaian
kebesaran seorang raja.
"Kalian berdua tetap di sini," kata Rangga.
"Kakang akan pergi sendiri?" Tanya Pandan Wangi dengan nada suara menyesalkan
keinginan Pendekar Rajawali Sakti yang akan pergi sendiri ke Pesisir Pantai
Utara.
"Ya! Aku akan datang sendiri ke sana. Dia menginginkan aku sendiri yang datang
ke sana," sahut Rangga mantap.
"Tapi...."
Rangga cepat-cepat menggoyangkan tangannya, sehingga memutuskan ucapan Pandan
Wangi. Sedangkan Danupaksi hanya diam saja dengan kening agak berkerut. Entah,
apa yang sedang dipikirkan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
Sementara, Rangga sudah melangkah meninggalkan ruangan yang berukuran sangat
besar dan megah ini.
Tinggallah Pandan Wangi dan Danupaksi yang masih berada di dalam ruangan.
Mereka semua terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang terus melangkah
tanpa menoleh lagi menuju bagian belakang istana. Dan pemuda itu lenyap
setelah memasuki sebuah lorong yang cukup panjang.
"Bagaimana, Danupaksi...?" ujar Pandan Wangi meminta pendapat Danupaksi
mengangkat bahunya sedikit.
Dia tahu bila Rangga sudah mengatakan ingin pergi sendiri, tidak mungkin bisa
dibantah lagi. Dan tidak mungkin dia atau siapa pun juga membuntutinya. Hal
ini juga sudah diketahui Pandan Wangi yang setiap saat selalu mendampingi
Pendekar Rajawali Sakti dalam pengembaraannya, menjalankan tugas sebagai
seorang pendekar.
"Aku akan pergi ke sana sendiri," kata Pandan Wangi.
"Jangan, Kak. Bisa celaka kalau tetap pergi diam-diam," cegah Danupaksi.
"Perasaanku tidak enak, Danupaksi."
"Tapi aku percaya, Kakang Rangga pasti bisa mengatasinya sendiri. Lagi pula,
Raden Banyu Samodra menghendaki Kakang Rangga sendiri yang datang," kata
Danupaksi tetap menghalangi keinginan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas
Maut.
"Tapi...."
"Sudahlah, Kak. Untuk sekali ini, sebaiknya turuti saja," potong Danupaksi
cepat. Pandan Wangi terdiam.
"Ayo, Kak. Sebaiknya temui kedua gadis itu. Barangkali saja ada yang lupa
diceritakan," ajak Danupaksi.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka kemudian bergegas meninggalkan
ruangan Bangsal Pendopo Agung, menuju tempat peristirahatan untuk tamu-tamu
istana.
***
"Khraaagkh...!"
"Agak rendah sedikit Rajawali...!" teriak Rangga agak keras suaranya, agar
bisa mengalahkan deru angin yang membuat telinganya terasa sakit.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih Raksasa merendahkan terbangnya, sehingga Rangga
bisa melihat jelas ke bawah. Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja memanggil
burung raksasa tunggangannya agar lebih cepat sampai ke Pesisir Pantai Utara.
Dan pakaiannya kini sudah kembali seperti biasa yang menjadi ciri utama di
dalam dunia kependekaran. Sebuah baju rompi putih dengan Pedang Pusaka
Rajawali Sakti bertengger di punggung.
"Khraaagkh...!"
"Jangan terlalu ribut Rajawali. Lihat..! Perkampungan itu sudah terlihat dari
sini," kata Rangga sambil menunjuk ke sebuah perkampungan yang berdiri di
Pesisir Pantai Utara.
Tampak jelas dari angkasa kalau keadaan perkampungan itu sangat sunyi, seakan
tidak berpenghuni lagi. Dan keadaannya pun seperti baru saja dilanda badai
yang sangat dahsyat. Rangga meminta Rajawali Putih lebih merendah lagi
terbangnya, hingga tepat di atas desa nelayan yang sunyi. Rangga memperhatikan
setiap sudut desa itu dengan tatapan mata tajam, tanpa berkedip sedikit pun
juga.
"Turun di sebelah sana, Rajawali!" pinta Rangga sambil menunjuk sebuah hutan
bakau di sebelah Selatan Pantai Utara.
"Khraaagkh...!" Cepat sekali Rajawali Putih meluruk ke arah hutan bakau yang
ditunjuk Rangga. Dalam waktu sekejap saja, burung rajawali raksasa itu sudah
mendarat di pinggir hutan bakau.
Rangga langsung melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Sebentar
pandangannya beredar berkeliling. Tak seorang pun yang terlihat di sekitarnya.
Bahkan binatang kecil pun tidak dijumpainya. Benar-benar sunyi suasana di
Pesisir Pantai Utara ini. Hanya desiran angin dan debur ombak saja yang
terdengar mengusik gendang telinga.
"Rajawali, menyingkirlah. Tapi jangan terlalu jauh. Aku pasti akan membutuhkan
mu lagi," kata Rangga sambil menepuk leher binatang raksasa tunggangannya.
"Khrrrk...!"
"Pergilah."
Hanya sekali mengepakkan sayapnya, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke
angkasa. Binatang itu lenyap dari pandangan mata, begitu menembus awan yang
berarak di langit.
Sebentar Rangga masih menengadahkan pandangannya keatas, kemudian menarik
napas dalam-dalam. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuju perkampungan
nelayan yang berada tidak begitu jauh dari tepian hutan bakau ini. Ayunan
kakinya begitu tenang dan mantap. Pandangannya pun tertuju lurus ke depan.
Begitu menginjakkan kakinya, Rangga sudah merasakan kalau desa nelayan ini
tidak ditinggalkan penduduknya. Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat.
Bahkan tak ada satu rumah pun yang membuka pintu atau jendelanya. Pendekar
Rajawali Sakti bisa merasakan adanya napas kehidupan di tiap-tiap rumah yang
dilewatinya.
"Hm. Sebaiknya aku langsung saja ke salah satu rumah desa ini. aku ingin tahu,
apa cerita Layung Sari itu benar...," gumam Rangga dalam hati.
Rangga terus berjalan dengan ayunan kaki mantap. Dan dia baru berhenti
melangkah setelah sampai didepan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas.
Keadaannya sangat sunyi. Bahkan sedikit pun tak terdengar suara dari dalamnya.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti meneliti keadaan rumah di depannya,
tanpa menggunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dia tidak ingin getaran ajian
itu bisa ditangkap orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.
"Sunyi sekali.... Apakah memang tidak ada orang di dalam sana...?" gumam
Rangga bicara sendiri.
Perlahan kepala Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak ada
seorang pun yang terlihat. Namun, tiba-tiba saja kening Pendekar Rajawali
Sakti jadi berkerut. Tidak jauh dari rumah ini, tampak sebuah rumah berukuran
kecil yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tampak juga sebuah jendela
di rumah itu terbuka, walaupun hanya sedikit. Sekilas, terlihat ada sepasang
mata mengintai dari balik jendela.
"Hup...!" Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba saja melesat.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam
sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan tahu-tahu, Pendekar
Rajawali Sakti sudah berdiri didepan jendela rumah yang sedikit terbuka itu.
"Kisanak yang di dalam, boleh aku bertanya sesuatu...?" ujar Rangga dengan
suara dibuat sopan.
Tak ada jawaban sedikit pun juga dari dalam rumah itu. Tapi telinganya yang
tajam, bisa mendengar adanya tarikan napas agak ditahan. Rangga bisa menebak,
di dalam rumah ini ada dua orang laki-laki. Dan dia tahu, yang seorang sudah
tua usianya. Sedangkan, yang seorang lagi masih berusia sekitar lima puluh
tahun. Semua itu diketahuinya dari tarikan napas yang terdengar.
"Kisanak...!" panggil Rangga lagi setelah berpindah ke depan pintu. Tetap tak
ada jawaban dari dalam. Tapi begitu Rangga hendak mengetuk pintu, mendadak
saja....
"Hup...!" Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang, begitu
meluncur sebuah benda panjang yang ternyata sebatang tombak saat pintu rumah
itu tiba-tiba terbuka.
Tap!
Dengan satu gerakan tangan yang sangat cepat Pendekar Rajawali Sakti berhasil
menangkap tombak itu. Lalu, begitu ringan kakinya menjejak kembali di tanah.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak
menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah berpasir putih ini.
"Kisanak, kenapa kau menyerangku? Aku bukan musuhmu," kata Rangga, agak
dikeraskan suaranya.
"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini...?" Terdengar suara lantang dari
dalam rumah itu.
Sementara, Rangga menggeser kakinya ke depan beberapa langkah. Lalu
ditancapkannya tombak yang tadi meluncur dari dalam rumah itu, dan
ditinggalkan begitu saja di belakangnya. Sedangkan pintu rumah itu masih
terbuka lebar, tapi memang sulit untuk bisa melihat jelas ke dalam. Keadaan di
dalam rumah itu sangat gelap. Ayunan kaki Rangga baru berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan pintu rumah ini.
"Aku Rangga," Rangga memperkenalkan diri, tanpa merasa tersinggung sedikit pun
juga atas sambutan yang tidak mengenakkan tadi.
"Apakah aku berbicara dengan Ki Amus...?"
Saat itu, terdengar tarikan napas yang panjang. Dan tak lama kemudian, seorang
laki-laki berusia setengah baya bertubuh tegap berotot, keluar dari dalam
rumah dengan langkah tergopoh-gopoh. Langsung dijatuhkan dirinya untuk
berlutut, seraya merapatkan kedua tangannya di depan hidung begitu sampai di
depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh! Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak tahu kalau yang datang Gusti
Prabu sendiri," ujar laki-laki setengah baya yang tak lain Paman Ardaga.
"Bangunlah, Paman," pinta Rangga sambil menyentuh pundak Paman Ardaga.
Perlahan laki-laki setengah baya itu bangkit berdiri. Namun, tubuhnya masih
sedikit membungkuk hormat Rangga tersenyum dan melangkah lebih mendekat.
"Silakan masuk, Gusti Prabu. Tapi keadaan rumah Hamba sangat tidak
menyenangkan," ajak Paman Ardaga dengan sikap sangat hormat.
"Terima kasih, Paman," sahut Rangga sambil tersenyum.
Tanpa ada keraguan sedikit pun juga, Rangga melangkah masuk ke dalam rumah
itu. Sementara, Paman Ardaga membuntuti dari belakang. Dengan sikap yang enak
sekali, Pendekar Rajawali Sakti duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela
yang tertutup rapat. Sementara, di depannya terdapat sebuah balai-balai dari
bambu yang di atasnya terbaring sesosok tubuh laki-laki tua. Hanya bagian
kepalanya saja yang bisa bergerak. Sedangkan seluruh tubuhnya tidak dapat
digerakkan lagi.
"Ki Amus menderita kelumpuhan setelah bertarung melawan Iblis Raden Banyu
Samodra," jelas Paman Ardaga, tanpa diminta lebih dahulu.
"Hm, sudah berapa lama?" Tanya Rangga seraya bangkit berdiri dan menghampiri
laki-laki tua yang terbaring di atas balai-balai bambu yang memang Ki Amus,
kepala desa nelayan di Pesisir Pan tai Utara ini.
"Sejak Raden Banyu Samodra datang ke desa ini, Gusti Prabu," sahut Paman
Ardaga. Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
Sebentar diperiksanya beberapa bagian tubuh Ki Amus. Kemudian nafasnya
berhembus panjang, dan kembali duduk di kursinya tadi. Sementara, Paman Ardaga
masih tetap berdiri di ujung balai-balai bambu dengan sikap agak membungkuk.
Walaupun saat ini Rangga berpakaian biasa, tapi sudah dikenal seluruh
rakyatnya. Sehingga, tidak mungkin lagi bisa menyembunyikan keadaan dirinya.
Semua rakyat di Kerajaan Karang Setra sudah tahu, raja mereka adalah seorang
pendekar tangguh dan digdaya. Dan di dalam kalangan rimba persilatan, dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Gusti Prabu...."
"Jangan panggil aku seperti itu, Paman," potong Rangga cepat
"Tapi...."
"Aku lebih senang kalau dipanggil Rangga saja," kembali Rangga memotong,
hingga Paman Ardaga tidak bisa melanjutkan bicaranya.
Sikap Rangga yang begitu, membuat Paman Ardaga jadi bertambah kaku. Sikapnya
jadi serba salah. Memang, bagaimanapun pakaian yang dikenakan Pendekar
Rajawali Sakti, tetap saja seorang raja. Jadi tidak mungkin bagi Paman Ardaga
untuk memanggil nama rajanya.
"Kau bisa memanggilku apa saja, Paman. Asal jangan Gusti Prabu," pinta Rangga.
Paman Ardaga hanya bisa menganggukkan kepala saja. Namun begitu, tetap saja
tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
Rangga hanya tersenyum. Dia tahu, Paman Ardaga kebingungan untuk memanggilnya
nanti. Tapi hal seperti ini memang sudah seringkali ditemui, jika berada di
dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga yakin, Paman Ardaga nantinya
pasti akan terbiasa.
"Paman, coba ceritakan semua yang telah terjadi di desa ini," pinta Rangga.
"Maksud, Gusti Pra.... Eh, Raden...?" Paman Ardaga jadi tergagap.
"Dua orang gadis dari desa ini datang ke istana. Dan kebetulan sekali, aku ada
di sana. Aku langsung datang setelah mendengar ceritanya. Tapi, aku ingin
Paman sendiri yang mengatakannya. Mungkin bisa lebih lengkap lagi," jelas
Rangga.
"Oh, jadi Layung Sari dan Andari sudah sampai di sana...?" desah Paman Ardaga,
merasa lega saat itu juga.
"Benar. Dan mereka kuminta tetap tinggal di sana, sampai keadaan di sini bisa
teratasi," sahut Rangga menjelaskan lagi.
"Dewata Yang Agung...," desah Paman Ardaga bersyukur.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum. Tapi, kali ini senyumannya terasa hambar.
Melihat sikap Paman Ardaga seperti itu, Rangga sudah bisa menduga kalau
keadaan yang akan dihadapi tidak seperti bayangannya. Pasti akan lebih sulit
lagi.
"Nah, Paman. Kau bisa menceritakannya dari awal sekarang," ujar Rangga lembut.
"Baik, Den," sahut Paman Ardaga, masih bersikap hormat sekali.
Tanpa diminta lagi, Paman Ardaga menceritakan semua yang telah terjadi dari
awal hingga saat ini. Juga diceritakan kalau hampir setiap hari ada saja gadis
yang hilang entah ke mana. Tapi, Layung Sari pernah melihat kalau Raden Banyu
Samodra mempersembahkan gadis-gadis desa untuk menjadi santapan Naga Laut.
Hanya saja, Paman Ardaga belum bisa menarik kesimpulan lebih banyak lagi. Dan
dia hanya bisa menceritakan apa adanya, seperti yang diketahui selama ini.
Sedangkan Rangga mendengarkan penuh perhatian. Sedikit pun tidak menyelak,
sampai Paman Ardaga selesai dengan ceritanya.
***
ENAM
Tepat tengah malam, Rangga berada di depan rumah Ki Amus yang sekarang
ditempati Raden Banyu Samodra. Paman Ardaga terus mendampingi Pendekar
Rajawali Sakti itu. Tapi kelihatannya dia begitu gelisah sekali. Kedua bola
matanya terus melirik ke kanan dan ke kiri. Seakan dia takut ada orang lain
yang melihatnya berada di tempat ini bersama seorang pemuda yang sudah dikenal
dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
鈥淧aman disini saja," kata Rangga setengah berbisik.
"Raden akan ke mana?" Tanya Paman Ardaga juga berbisik pelan suaranya.
"Aku ingin melihat ke dalam," sahut Rangga.
"Hati-hati, Den," pesan Paman Ardaga.
Rangga tersenyum kecil, lalu menepuk pundak laki-laki setengah baya itu.
Sebentar masih diamatinya keadaan rumah kepala desa itu. Kemudian dengan
kecepatan kilat, tubuhnya melesat naik ke atas atap. Begitu sempurnanya ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti
sudah berada di atas atap rumah itu.
Sementara, Paman Ardaga bergegas mencari tempat untuk berlindung untuk
menyembunyikan diri. Hatinya baru merasa aman setelah berada di balik sebatang
pohon yang cukup besar, hingga melindungi dirinya dari bayang-bayang cahaya
rembulan.
Sementara, Rangga terus bergerak ringan sekali di atas atap bangunan rumah.
Dan dengan gerakan yang ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun
ke bagian belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, manis sekali kakinya
menjejak ke tanah berpasir. Sebentar, diamatinya keadaan sekitarnya.
"Hm. Pintu ini tidak terkunci," gumam Rangga dalam hati. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti mendorong pintu belakang yang memang tidak terkunci. Tapi baru
saja daun pintu itu terdorong sedikit, mendadak saja Rangga merasakan adanya
hempasan angin yang begitu kuat dari balik daun pintu.
"Hup!" Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang. Tepat pada saat kakinya
menjejak tanah, daun pintu itu hancur berkeping-keping. Dan pada saat yang
bersamaan, dari dalam meluncur deras puluhan benda kecil berbentuk mata tombak
ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!" Manis sekali Rangga melenting, dan berputaran di udara
menghindari benda-benda kecil berbentuk mata tombak yang meluruk deras
mengancam nyawa. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru bisa menjejakkan kakinya
kembali di tanah, setelah tidak ada lagi benda-benda berbahaya yang mengancam
jiwanya.
"Hm...," gumam Rangga perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menunggu,
tapi tidak juga ada sambutan lagi yang datang. Perlahan kakinya terayun
melangkah mendekati pintu yang kini sudah hancur berkeping-keping. Tak
terlihat ada gerakan sedikit pun di dalam rumah ini. Segera dikerahkannya aji
'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi, sama sekali tidak terdengar menyusup ke dalam
telinganya.
Rumah ini benar-benar bagaikan tidak berpenghuni lagi, dan seakan-akan tidak
ada seorang pun di dalamnya. Tapi, sambutan dari benda-benda kecil berbentuk
mata tombak itu membuat Rangga harus bersikap lebih waspada lagi. Diyakininya
kalau ada orang di dalam rumah ini, meskipun dengan penge-rahan aji 'Pembeda
Gerak dan Suara', sedikit pun tidak terdengar suara yang menandakan adanya
kehidupan.
"Raden Banyu Samodra, keluarlah...! Aku Rangga. Bukankah kau sedang menantikan
kedatanganku...?" Terdengar lantang sekali suara Rangga.
Namun, sedikit pun tidak terdengar jawaban dari dalam. Keadaannya masih tetap
sunyi. Perlahan Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Pandangan
matanya tetap tajam, tertuju langsung ke pintu yang sudah hancur
berkeping-keping. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak membuka
mulutnya kembali, mendadak saja dari dalam rumah melesat sebuah bayangan
begitu cepat bagai kilat.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat melenting ke samping, menghindari terjangan
bayangan yang meluncur secepat kilat dari dalam rumah. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak di tanah berpasir.
Saat itu, didepan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan, namun memiliki sorot mata yang begitu tajam. Dialah pemuda
asing yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra
"Kau yang bernama Raden Banyu Samodra?" Tanya Rangga, langsung saja.
"Kau sendiri, apakah kau Rangga, Raja Karang Setra, dan juga bergelar Pendekar
Rajawali Sakti?" Raden Banyu Samodra malah balik bertanya.
"Benar," sahut Rangga agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha... bagus! Ternyata nama besarmu tidak kosong belaka. Kau benar-benar
punya nyali besar hingga datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti."
"Raden Banyu Samodra, katakan saja terus terang. Apa tujuanmu sebenarnya ingin
bertemu denganku secara seperti ini?" Tanya Rangga langsung.
"Ha ha ha...!" Tapi Raden Banyu Samodra hanya tertawa saja terbahak-bahak
mendengar pertanyaan Rangga.
Sementara, Rangga sudah mulai tidak suka atas sikap yang meremehkan seperti
ini. Tapi dia harus bisa menahan diri. Harus diketahuinya lebih dahulu tujuan
pemuda asing yang tidak dikenalnya hingga datang ke desa nelayan ini dan
membuat keka-cauan hanya karena ingin bertemu dengannya.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Kedatanganku atas perintah ayahku. Aku
sengaja datang ke sini untuk bertemu denganmu," kata Raden Banyu Samodra
dengan suara lantang menggelegar.
"Hm, siapa ayahmu?" Tanya Rangga datar.
"Ayahanda Prabu Naga Pendaka."
Rangga mengerutkan keningnya sambil menggumamkan nama yang tadi disebutkan
Raden Banyu Samodra. Dicobanya mengingat-ingat nama itu, tapi memang baru
mendengarnya malam ini. Sama sekali tidak diketahuinya, siapa Prabu Naga
Pendaka yang diakui Raden Banyu Samodra sebagai ayahnya itu.
"Lalu, apa maksudmu kau ingin bertemu denganku?" Tanya Rangga lagi.
"Membawamu ke Kerajaan Karang Emas," sahut Raden Banyu Samodra mantap.
"Untuk apa?"
"Kau akan tahu kalau sudah sampai di sana, Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak
bisa mengatakannya sekarang padamu."
"Hm...," gumam Rangga kembali.
Kedua kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat agak menyipit, merayapi
Raden Samodra dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan tengah
dinilainya kemampuan pemuda tampan yang berwajah keras, lewat sorot mata yang
sangat tajam itu. Tapi benak Pendekar Rajawali Sakti terus berputar dan
menduga-duga, apa tujuan pemuda itu sebenarnya hingga ingin bertemu
den-gannya. Walaupun tadi sudah mengatakan hendak membawanya ke Kerajaan
Karang Emas. Sedangkan Rangga sama sekali belum pernah mendengar nama kerajaan
itu.
"Ayo, ikut aku..."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Raden Banyu Samodra langsung melangkah tanpa
sedikit pun ada perasaan curiga kalau-kalau Rangga melakukan serangan dari
belakang. Dia terus saja berjalan dengan ayunan kaki mantap.
Sementara, Rangga masih tetap diam memandangi. Entah, apa yang ada dalam
pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan Raden Banyu Samodra sudah cukup
jauh berjalan meninggalkannya. Jelas, arah yang dituju adalah pantai.
"Apa maksudnya ini...?" Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti melangkah, Paman Ardaga tiba-tiba saja
muncul. Laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu langsung
menghampiri Rangga yang sudah menghentikan langkahnya lagi. Sementara, Raden
Banyu Samodra terus saja berjalan tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Mau apa dia, Raden?" Tanya Paman Ardaga.
"Entahlah," sahut Rangga agak mendesah.
"Dia menuju ke laut, Raden," kata Paman Ardaga masih dengan suara perlahan
berbisik.
Rangga tidak bicara lagi. Kini kakinya terayun mengikuti pemuda asing yang
mengaku bernama Raden Banyu Samodra. Sementara Paman Ardaga hanya bisa berdiri
mematung sambil memandangi. Hatinya jadi ragu-ragu juga untuk mengikuti dua
orang pemuda yang menuju tepian pantai.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" Desah Paman Ardaga jadi kebingungan
sendiri.
Padahal, tadi dikiranya akan menyaksikan suatu pertarungan seru. Tapi
kenyataannya, Rangga malah mengikuti Raden Banyu Samodra menuju laut. Dan ini
yang membuat Paman Ardaga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bahkan
kecemasan mulai tumbuh menyelimuti hati.
Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah sampai di tepian pantai. Tubuhnya
baru diputar menunggu Rangga yang masih berjalan menghampiri. Debur ombak
terdengar sangat keras menghantam baru karang yang banyak terdapat di
sepanjang Pesisir Pantai Utara. Dan Rangga baru berhenti melangkah setelah
jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi didepan Raden Banyu Samodra.
"Kau benar-benar Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" Tanya Raden Banyu
Samodra seperti sedang memastikan.
"Benar," sahut Rangga datar.
"Terus terang, sebenarnya aku ragu-ragu. Apakah kau memang benar Pendekar
Rajawali Sakti, atau bukan. Dan untuk meyakinkan, terpaksa harus ku uji lebih
dahulu, sebelum kubawa ke kerajaan ku," kata Raden Banyu Samodra mantap.
"Hm, apa maksudmu...?" Tanya Rangga tidak mengerti.
Tapi, jawaban yang diterima Rangga ternyata sebuah serangan kilat dari
senjata-senjata kecil berbentuk mata tombak yang dilepaskan Raden Banyu
Samodra dengan kecepatan luar biasa.
"Hup!" Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk mencegah. Terpaksa menghindari
serangan senjata-senjata berbahaya itu. Kedua tangannya langsung bergerak
cepat, mengibas melindungi tubuhnya dari incaran senjata-senjata rahasia.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga meluruk
deras sambil mengebutkan kedua tangan dengan cepat sekali. Saat itu langsung
dikerahkannya jurus Rajawali Sakti Menukik Menyambar Mangsa, yang dipadukan
dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega!
Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Raden Banyu Samodra jadi terperangah
sesaat.
"Hap!" Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra
berhasil menghindari kebutan kedua tangan dan tendangan menggeledek yang
langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sempat juga Raden Banyu Samodra
kelabakan menghindari serangan balik yang dilakukan pemuda berbaju rompi putih
ini. Tapi, dia cepat dapat menguasai keadaan dengan melompat ke belakang,
sejauh dua batang tombak. Lalu dengan manis sekali kakinya menjejak pantai
yang berpasir putih bagai mutiara. Maka serangan-serangan senjatanya pun
seketika terhenti. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan
terlihat di depan dada.
"Hebat...! Seranganmu sungguh dahsyat," puji Raden Banyu Samodra sambil
menghembuskan napas berat.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Tapi, itu belum membuktikan kalau kau Pendekar Rajawali Sakti," sambung Raden
Banyu Samodra.
"Katakan, apa saja yang kau ketahui tentang Pendekar Rajawali Sakti," terasa
dingin nada suara Rangga.
Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti mulai tidak menyukai sikap Raden
Banyu Samodra yang angkuh ini. Tapi tetap saja dia harus bisa menahan diri,
karena tidak ingin terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan penyesalan di
belakang hari. Rangga khawatir kalau sikap yang ditunjukkan Raden Banyu
Samodra hanya berpura-pura saja, untuk memancing amarahnya.
"Aku tidak bisa mengatakannya, tapi harus melihatnya sendiri. Dan itu harus
dilakukan dengan pengujian menurut caraku," tegas Raden Banyu Samodra.
Rangga kembali terdiam.
"Nah, bersiaplah kau. Hiyaaa...!"
"Hap!"
Sesaat Rangga sempat terkesiap, ketika tiba-tiba Raden Banyu Samodra melompat
sambil melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek yang mengarah langsung ke
dada. Tapi dengan memiringkan tubuh ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti berhasil
menghindarinya.
"Hup!" Bergegas Rangga melompat kesamping, tepat di saat Raden Banyu Samodra
memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Untuk kedua kakinya, serangan
pemuda tampan itu berhasil dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan
manis sekali.
"Hooop...! Yeaaah...!"
"Hap...?! Hup!"
Rangga jadi terbeliak setengah mati, begitu tiba-tiba Raden Banyu Samodra
menghentakkan kedua tangan ke depan. Dan dari kedua telapak tangan itu,
meluncur dua baris sinar berwarna merah bagai lidah api yang menjulur cepat ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan kecepatan bagai kilat pula, Rangga melenting ke udara,
menghindari terjangan cahaya merah bagai lidah api. Beberapa kali Rangga
berputaran di udara, lalu melesat ke belakang dengan mengempos tubuhnya.
Begitu manis dan ringan Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di pasir
pantai yang putih ini. Tepat pada saat itu, terdengar suara ledakan dahsyat
menggelegar yang menggetarkan seluruh permukaan Pesisir Pantai Laut Utara ini.
"Edan...?!" desis Rangga kagum.
Sebuah perahu seketika hancur berkeping-keping terlanda sinar merah yang
meluncur bagai kilat dari kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra. Begitu
dahsyatnya, hingga membuat Rangga jadi kagum. Namun Pendekar Rajawali Sakti
tidak bisa berlama-lama mengagumi kedahsyatan ilmu yang dimiliki Raden Banyu
Samodra, karena sudah kembali diserang dengan ilmu-ilmu kedigdayaan yang
sangat dahsyat.
Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus melayani dengan ilmu-ilmu
kedigdayaan pula. Seketika itu, juga suara ledakan dahsyat terdengar
menggelegar beruntun, disertai kilatan-kilatan cahaya dan percikan bunga api.
Pesisir pantai yang semula gelap, kini jadi terang benderang oleh
kilatan-kilatan cahaya dan kobaran api yang menghanguskan perahu-perahu
nelayan, akibat menjadi sasaran pertarungan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat
tinggi itu.
Suara pertarungan membuat seluruh penduduk desa nelayan jadi keluar dari
rumahnya. Dan mereka terlongong bengong menyaksikan sebuah pertarungan tingkat
tinggi yang seumur hidup belum pernah disaksikannya. Terlebih lagi, Paman
Ardaga yang memang sejak tadi membuntuti terus. Matanya sampai tidak berkedip
menyaksikan pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Raden Banyu
Samodra.
"Siapa anak muda itu, Paman?" Tanya salah seorang penduduk yang berdiri di
dekat Paman Ardaga.
"Den Rangga," sahut Paman Ardaga, tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Mudah-mudahan saja mampu mengalahkan iblis itu," sambung salah seorang lagi.
Paman Ardaga hanya melirik saja sedikit. Sementara, pertarungan antara Raden
Banyu Samodra melawan Pendekar Rajawali Sakti masih terus berlangsung sengit.
Dan tampaknya, pertarungan masih akan berlangsung lama. Terbukti, mereka masih
sama-sama memiliki ketangguhan untuk saling memberi serangan. Tapi,
pertarungan yang berlangsung sudah cukup lama itu malah membuat hati Paman
Ardaga jadi cemas. Dia khawatir, kalau-kalau Rangga tidak dapat mengalahkan
Raden Banyu Samodra.
"Hap!"
Cring!
Tiba-tiba saja Raden Banyu Samodra mencabut pedangnya yang tergantung di
pinggang. Begitu tercabut terlihat asap berwarna merah mengepul dari mata
pedangnya. Saat itu juga, Rangga melompat ke belakang. Dirasakan adanya hawa
racun pada pedang yang mengepulkan asap merah itu.
"Hm...."
Sret!
Cepat Rangga mencabut pedangnya. Seketika, malam yang begitu pekat jadi terang
benderang oleh cahaya biru berkilauan yang memancar dari Pedang Pusaka
Rajawali Sakti. Semua orang yang menyaksikan pedang Rajawali Sakti jadi
tercengang. Bahkan Raden Banyu Samodra sampai terlongong dengan mata terbeliak
lebar dan mulut ternganga. Mereka semua begitu kagum melihat pedang di tangan
Rangga yang berpamor sangat dahsyat.
"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti...!" sentak Raden Banyu Samodra sambil
memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di pinggang.
Sementara, Rangga masih menggenggam pedang pusakanya dengan erat, tersilang di
depan dada. Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuatnya bagaikan
sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tampak Raden Banyu Samodra
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Namun hal itu membuat Rangga jadi
terlongong bengong tidak mengerti. Bahkan semua orang yang menyaksikan sejak
tadi juga jadi terpaku diam, tidak mengerti sikap Raden Banyu Samodra yang
begitu cepat sekali berubah setelah Rangga mencabut pedang pusaka yang
berpamor sangat dahsyat itu.
"Kenapa dia...? Apa ini bukan hanya tipu daya Belaka..?" gumam Rangga bertanya
sendiri dalam hati.
***
TUJUH
Perlahan Rangga memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangka di
punggung. Sementara, tubuh Raden Banyu Samodra masih sedikit terbungkuk,
dengan sikap begitu hormat. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun
melangkah mendekati, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam
langkah lagi di depan pemuda tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra.
"Sudah cukup, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sekarang percaya kalau kau memang
Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus Raja Karang Setra," kata Raden
Banyu Samodra.
"Apa arti dari semua ini, Raden Banyu Samodra?" Tanya Rangga meminta
penjelasan.
Raden Banyu Samodra tidak langsung menjawab. Malah pandangannya kini beredar
ke sekeliling, merayapi orang-orang yang kini sudah cukup dekat berada di
sekitar pesisir pantai ini. Sikap dan sorot mata mereka sekarang tidak lagi
mencerminkan ketakutan. Mereka sudah begitu percaya kalau Pendekar Rajawali
Sakti bisa mengatasi kedigdayaan Raden Banyu Samodra. Bahkan seakan-akan
mereka ingin merancah halus tubuh pemuda itu.
Perlahan Raden Banyu Samodra lebih mendekati Pendekar Rajawali Sakti, dan
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedikit tubuhnya
dibungkukkan untuk memberi hormat. Dan Rangga membalasnya dengan hanya
menganggukkan kepala sedikit. Meskipun sikap Raden Banyu Samodra sudah jauh
berubah, tapi tetap saja Rangga bersikap waspada.
"Kuharap, kau sudi memaafkan semua yang telah kulakukan di sini, Pendekar
Rajawali Sakti. Semua ini karena terpaksa. Aku sendiri sebenarnya tidak
menginginkan hal ini terjadi," kata Raden Banyu Samodra dengan sikap dan tutur
kata sopan.
"Terus terang, aku tidak mengerti semua yang kau katakan tadi, Raden Banyu
Samodra," kata Rangga meminta penjelasan dengan halus.
"Memang sulit dijelaskan, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang harus ku
jelaskan. Dan kuharap kau mengerti, karena semua yang kulakukan ini hanya
untuk menarik perhatianmu. Dan tujuanku sebenarnya adalah ingin memohon
pertolonganmu," kata Raden Banyu Samodra memulai menjelaskan.
"Hm, pertolongan apa?" Tanya Rangga.
"Membebaskan ayah dan rakyat ku dari cengkeraman Naga Laut," sahut Raden Banyu
Samodra.
"Naga Laut...?" Kening Rangga jadi berkerut mendengar Naga Laut disebut Raden
Banyu Samodra.
Sedangkan selama ini yang diketahuinya dari Layung Sari, Andari, dan Paman
Ardaga justru Raden Banyu Samodralah yang disangka sebagai orang suruhan dari
si Naga Laut. Bahkan Layung Sari telah berterus terang telah melihat dengan
mata kepala sendiri, kalau Raden Banyu Samodra menyerahkan seorang gadis untuk
santapan si Naga Laut. Dan sekarang, pemuda itu mengatakan ingin meminta
bantuan Pendekar Rajawali Sakti untuk membebaskan ayah dan seluruh rakyatnya
dari cengkeraman si Naga Laut. Kalau begitu, mana yang benar...?
Rangga jadi tidak mengerti, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari
yang benar. Dia harus memutar otak agar tidak terjebak dalam persoalan yang
rumit ini.
"Sudah lebih dari lima tahun ini, Kerajaan Karang Emas dikuasai Naga Laut. Dan
kami semua tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari, kami harus menyediakan
seorang gadis untuk santapannya. Dan sekarang, tidak ada lagi gadis yang bisa
dijadikan santapan di sana. Jadi, terpaksa aku harus mencari gadis-gadis dari
kerajaan lain. Dan tempat yang terdekat hanyalah Pesisir Pantai Utara ini. Di
samping itu pula, ayahku memang mengatakan kalau daerah Pesisir Pantai Utara,
ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kerang Setra. Dan ayah bilang, kalau Raja
Karang Setra adalah seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk itulah aku segera datang di sini. Dan aku tidak tahu lagi, apa yang
harus kulakukan. Aku harus meminta bantuan padamu, juga harus menyediakan
seorang gadis muda untuk santapan si Naga Emas setiap malam,"
Raden Banyu Samodra langsung menceritakan panjang lebar. Sementara, Rangga
hanya diam saja mendengarkan. Sedikit matanya melirik Paman Ardaga yang kini
sudah berada tidak jauh di sebelah kirinya. Laki-laki setengah baya bertubuh
kekar berotot itu juga mendengar semua cerita Raden Banyu Samodra tanpa
membuka suara sedikit pun juga. Dia sendiri baru tahu semua tujuan dari
perbuatan pemuda itu, selama di desa nelayan ini.
"Sudah berapa orang gadis yang kau berikan pada Naga Laut itu?" Tanya Rangga
setelah cukup lama berdiam diri.
"Entahlah. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi," sahut Raden Banyu Samodra
pelan.
"Malam ini, apakah Naga Laut akan datang untuk meminta santapannya?" Tanya
Rangga lagi.
"Ya, sebentar lagi," sahut Raden Banyu Samodra.
"Hm.... Kau memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Raden. Tapi kenapa tidak
kau saja yang melawannya?"
"Semua yang kumiliki tidak ada artinya sama sekali bagi Naga Laut, Pendekar
Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra dengan suara terdengar lesu.
"Kenapa...?" Tanya Rangga ingin tahu.
Raden Banyu Samodra tidak langsung menjawab. Kembali pandangannya beredar ke
sekeliling, dan bertumpu pada Paman Ardaga. Kemudian, kembali ditatapnya
Rangga yang berdiri sekitar beberapa langkah di depannya. Cukup lama juga dia
terdiam, tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Perlahan
ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan
ingin dilonggarkannya rongga dada yang mendadak saja jadi terasa sesak.
"Kenapa semua kepandaian yang kau miliki tidak berarti bagi Naga Laut, Raden?"
Rangga mengulangi pertanyaan yang tadi belum juga terjawab.
"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengalahkan Naga Laut Apalagi
membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut sudah hidup ribuan tahun,
bahkan mungkin sejak dunia ini ada. Dan...," Raden Banyu Samodra tidak
melanjutkan.
"Tapi, kenapa kau meminta ku untuk membunuhnya?" Tanya Rangga karena menunggu
cukup lama, tapi Raden Banyu Samodra tidak juga melanjutkan kata-katanya yang
terputus tadi.
"Karena, hanya kau yang mampu mengalahkannya, Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun belum tahu, apakah kau bisa membunuhnya. Tapi paling tidak, bisa
melenyapkannya sampai namamu tidak terdengar lagi olehnya," sahut Raden Banyu
Samodra.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Tampak kening Pendekar Rajawali Sakti
berkerut. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin kata-kata Raden Banyu
Samodra tadi yang membuatnya tampak berpikir keras. Memang sulit diterima akal
pikiran manusia biasa. Tapi, di dalam kalangan rimba persilatan, hal seperti
itu memang bukanlah sesuatu yang aneh lagi.
Seseorang yang memiliki ilmu kedigdayaan tingkat tinggi begitu banyak, bisa
saja kalah oleh orang yang hanya memiliki satu ilmu kedigdayaan saja. Tapi,
semua itu memang tidak bisa diramalkan siapa pun juga. Dan kata-kata Raden
Banyu Samodra yang mengatakan kalau hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang
mampu mengalahkan Naga Laut, membuatnya jadi berpikir keras.
Sementara, Rangga tahu kalau ilmu kedigdayaan yang dimiliki Raden Banyu
Samodra saja sudah begitu tinggi. Dan Rangga sendiri mengakui kalau hampir
saja kewalahan menghadapinya, hingga terpaksa harus mengeluarkan pedang pusaka
yang sudah terkenal sangat dahsyat.
"Raden, bagaimana kau bisa mengatakan kalau hanya aku yang bisa mengalahkan si
Naga Laut itu...?" Tanya Rangga, ingin tahu.
"Ayahku yang mengatakannya begitu," sahut Raden Banyu Samodra.
"Ayahmu...?"
"Ya! Seribu tahun lalu, atau bahkan mungkin lebih. Naga Laut merah muncul dan
melahap begitu banyak gadis tak berdosa. Begitu banyak pendekar yang mencoba
untuk membunuhnya, tapi tak ada seorang pun yang berhasil. Dan Naga Laut itu
berhasil dihentikan kiprahnya, hanya oleh seorang pendekar saja," jelas Raden
Banyu Samodra.
"Siapa pendekar itu?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Gurumu," sahut Raden Banyu Samodra.
"Guruku...?!" Rangga jadi terkejut.
"Ya! Pendekar Rajawali yang menjadi guru mu."
"Hm. Dia hidup lebih dari seratus tahun yang lalu. Bagaimana mungkin kau bisa
begitu yakin kalau aku muridnya, Raden Banyu Samodra?"
"Hanya orang yang memegang Pedang Pusaka Rajawali Sakti sajalah yang menjadi
pewaris ilmu-ilmu Pendekar Rajawali. Dan kini, pedang itu ada di tanganmu. Itu
berarti, kau adalah murid Pendekar Rajawali. Dan lagi, kau sendiri mendapat
gelar Pendekar Rajawali Sakti. Nah, dari situlah aku yakin kalau kau murid
Pendekar Rajawali. Hanya mereka yang memiliki pedang pusaka itulah yang bisa
mengalahkan Naga Laut," jelas Raden Banyu Samodra gamblang.
Kali ini, Rangga benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dan dia hanya
bisa memandangi Raden Banyu Samodra yang telah mengupas semua asal muasal
ilmu-ilmu kedigdayaannya. Bahkan sampai kehidupan Pendekar Rajawali yang
memang gurunya. Walaupun, apa yang sekarang dimiliki tidak langsung didapat
dari Pendekar Rajawali.
"Kalau bisa mengalahkan Naga Laut, kau bukan hanya membebaskan Kerajaan Karang
Emas dari cengkeramannya, tapi juga membebaskan dunia ini dari kehancuran,
Pendekar Rajawali Sakti. Kau tentu bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau
semua gadis di dunia ini harus menjadi santapan Naga Laut setiap hari," kata
Raden Banyu Samodra, seperti membujuk nada suaranya.
"Dengan apa aku harus menghadapinya?" Tanya Rangga bernada menguji.
"Pedangmu itu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam.
"Aku rasa tidak ada waktu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut
sebentar lagi pasti datang untuk meminta seorang gadis lagi untuk
santapannya," desak Raden Banyu Samodra.
"Di mana akan munculnya?" Tanya Rangga.
Tapi belum juga Raden Banyu Samodra bisa menjawab, mendadak saja bertiup angin
kecang yang membuat laut bergelombang begitu besar. Seketika itu juga, semua
orang yang tadi memadati pantai ini langsung berhamburan berlarian ke rumah
masing-masing. Dan sebentar saja, di tepian pantai itu tinggal Raden Banyu
Samodra, Rangga, dan Paman Ardaga.
Sementara, angin yang bertiup semakin terasa kencang, hingga menimbulkan suara
menderu bagai hendak membalikkan seluruh Pesisir Pantai Utara. Tampak laut
bergelombang begitu besar setinggi gunung. Dan sebentar saja, sudah ada
beberapa pohon yang tumbang, tercabut dari akarnya.
Crraaak! Glaaar...!"
Paman Ardaga langsung melompat ke belakang begitu terlihat kilat menyambar
disertai ledakan guntur yang sangat dahsyat menggelegar memekakkan telinga.
Saat itu, terlihat cahaya terang kehijauan membersit keluar dari tengah laut.
Semakin lama, cahaya terang kehijauan itu semakin terlihat membesar.
Sementara, Paman Ardaga diam-diam sudah melangkah mundur menjauh. Tinggal
Rangga dan Raden Banyu Samodra yang masih tetap berdiri tegak memandang ke
arah cahaya terang kehijauhan di tengah laut.
"Hm.... Kemunculannya sangat dahsyat," gumam Rangga dalam hati.
Tepat ketika cahaya terang kehijauan itu bergerak ke pantai, Raden Banyu
Samodra menggeser kaki ke belakang beberapa langkah. Sementara, Rangga yang
sempat melirik tetap saja berdiri tegak menanti cahaya terang kehijauan itu.
Malam yang semula begitu pekat karena langit terselimut awan hitam dan tebal,
kini jadi terang benderang oleh cahaya kehijauan yang muncul dari tengah laut.
"Hup!" Rangga cepat melompat ke belakang, hingga kembali berdiri di samping
Raden Banyu Samodra, tepat di saat cahaya terang kehijauan itu sampai di garis
tepi pantai. Dan saat itu, cahaya kehijauan meredup. Lalu, terlihatlah bentuk
seekor ular naga raksasa yang berwarna hijau dan bercahaya pada seluruh tubuh.
Sungguh besar dan sangat mengerikan bentuknya. Kedua bola matanya yang
memancarkan sinar kehijauan, menatap begitu tajam pada Raden Banyu Samodra.
Dari kedua lubang hidungnya yang besar, selalu mengepulkan asap kehijauan. Air
liur tampak menetes dari sela-sela bibirnya yang memperlihatkan gigi-gigi yang
tajam dan runcing bagai barisan mata tombak. Perlahan-lahan kepalanya
disorongkan mendekati Raden Banyu Samodra.
"Maaf, Naga Laut. Malam ini aku tidak bisa memberimu santapan. Aku tidak bisa
menyediakan gadis untukmu lagi," tegas Raden Banyu Samodra dengan suara
terdengar agak bergetar dan tertahan.
"Ghrrr...!" Naga Laut itu menggereng. Tampaknya, dia marah sekali mendengar
kata-kata Raden Banyu Samodra. Dan tiba-tiba saja....
"Awas...!" seru Rangga keras.
"Hup!" Begitu cepat Rangga melesat sambil menyambar tubuh Raden Banyu Samodra,
ketika kepala ular raksasa berwarna hijau itu meluruk cepat bagai kilat sambil
membuka moncongnya lebar-lebar. Tapi, tindakan Rangga memang begitu cepat,
sehingga moncong Naga Laut hanya menyambar pasir pantai yang kosong.
"Ghraaaugkh...!" Naga Laut menggerung keras, dan kelihatan begitu marah.
Serangannya pada Raden Banyu Samodra yang dapat digagalkan, membuatnya semakin
murka.
Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah berpasir putih
ini. Dengan sedikit merentang tangan, dia meminta Raden Banyu Samodra untuk
menyingkir ke belakang. Tanpa diucapkan dengan kata-kata, Raden Banyu Samodra
segera melangkah mundur menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrrr...!" Naga Laut kelihatan benar-benar marah melihat Rangga yang telah
menyelamatkan Raden Banyu Samodra. Perlahan ular raksasa itu melata
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, Raden Banyu Samodra sudah berada cukup jauh bersama Paman Ardaga,
dan berada di tempat yang cukup aman dan terlindung. Sedangkan Rangga tetap
berdiri tegak menanti ular naga raksasa berwarna hijau itu.
"Ghraaaugkh...?"
"Hup! Yeaaah...!"
Tepat begitu Naga Laut menyerang dengan menyorongkan kepala, Rangga
cepat-cepat melenting ke udara. Tapi begitu baru saja melakukan satu putaran,
mendadak saja kepala naga raksasa itu sudah terangkat sambil membuka mulutnya
lebar-lebar. Saat itu juga, dari mulutnya yang bergigi runcing menyemburkan
api sangat besar.
"Hap! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Rangga memutar tubuhnya ke belakang, lalu membanting ke tanah
berpasir putih ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali bergulingan
menghindari semburan api Naga Laut. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Dengan gerakan kaki yang begitu cepat dan lincah serangan
dan semburan api Naga Laut berhasil dihindarinya.
"Ghraaagukh...!" Naga Laut semakin kelihatan marah, karena
serangan-serangannya tidak membawa hasil. Bahkan seperti disengaja, Rangga
membawa ular naga raksasa itu menjauhi pantai. Juga, menjauhi perumahan
penduduk nelayan di Pesisir Pantai Utara. Pendekar Rajawali Sakti terus
berjumpalitan dan bergerak mendekati hutan bakau yang letaknya cukup jauh dari
perumahan penduduk.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Ghraaaugkh...!"
Rangga terus bergerak cepat dan lincah sekali untuk memancing ular naga
raksasa semakin menjauhi rumah-rumah penduduk. Sementara, dari jarak yang
cukup jauh, Raden Banyu Samodra dan Paman Ardaga terus mengikuti sambil
memperhatikan jalannya pertarungan aneh itu. Pertarungan antara manusia
melawan ular naga raksasa, tapi terjadi sangat dahsyat.
Sedikit kelengahan saja bisa membuat keadaan Pendekar Rajawali Sakti tidak
bisa tertolong lagi. Semburan-semburan api Naga Laut begitu dahsyat dan
menghanguskan. Bahkan batu karang yang sangat keras sekalipun, langsung hancur
jadi debu terkena semburan api Naga Laut. Sulit dibayangkan, bagaimana jika
semburan api itu mengenai tubuh manusia.
"Rangga, gunakan pedang pusaka mu...!" teriak Raden Banyu Samodra.
"Ghraaaugkh...!"
Teriakan Raden Banyu Samodra rupanya mengejutkan Naga Laut. Maka bagaikan
kilat, tubuhnya diputar dan langsung meluruk deras ke arah Raden Banyu
Samodra. Begitu cepat gerakan binatang itu, hingga membuatnya jadi terkesiap.
"Hiyaaat...!"
Tapi belum juga serangan kilat Naga Laut sampai pada sasaran, Rangga sudah
melesat begitu cepat melebihi kilat. Langsung disambarnya tubuh Paman Ardaga
yang berada tidak seberapa jauh dari Raden Banyu Samudra. Pada saat yang
bersamaan pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan, hingga membuat
tubuh Raden Banyu Samodra terpental jauh ke belakang.
"Ghraaagkh...!"
Naga Laut semakin bertambah murka melihat serangannya pada Raden Banyu Samodra
kembali gagal. Sementara, Rangga sudah membawa Paman Ardaga ke tempat yang
lebih aman, lalu langsung melesat menghampiri Raden Banyu Samodra yang
terpental jauh akibat sentakan tangan kanannya tadi. Sebongkah batu karang
yang cukup besar menahan tubuh Raden Banyu Samodra. Tapi, batu karang itu
langsung hancur seketika, sehingga membuat Raden Banyu Samodra terkapar sambil
merintih nyeri.
"Hap!" Begitu menjejak Pendekar Rajawali Sakti langsung menyambar tubuh Raden
Banyu Samodra. Kembali Rangga melesat cepat bagai kilat menyelamatkan pemuda
itu dari serangan Naga Laut. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam waktu
sekejapan mata saja sudah kembali di depan Paman Ardaga. Pendekar Rajawali
Sakti menurunkan tubuh Raden Banyu Samodra dari pondongan, dan membaringkannya
di tanah berpasir putih, tepat di depan Paman Ardaga.
"Tolong jaga dia, Paman. Kalau bisa jauhkan dari sini," pinta Rangga.
"Apakah dia terluka, Den?" Tanya Paman Ardaga.
"Tidak!" sahut Rangga singkat.
"Den...."
Suara Paman Ardaga jadi terputus, karena Rangga sudah begitu cepat melesat
menghampiri Naga Laut kembali yang sudah bergerak hendak mendekati Raden Banyu
Samodra. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan
mata saja sudah kembali didepan Naga Laut.
"Aku lawanmu, Naga Laut!" desis Rangga dingin.
"Ghrrr...!" Dengan kedua bola matanya yang menyala hijau, Naga Laut menatap
Pendekar Rajawali Sakti begitu tajam. Seakan-akan ingin dihancurkannya pemuda
berbaju rompi putih itu hingga lumat jadi tepung dengan cahaya hijau dari
matanya.
Tapi, Rangga malah membalasnya dengan tatapan mata yang tidak kalah tajam.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada. Sedangkan jaraknya dengan Naga Laut hanya sekitar dua batang tombak
saja.
"Ghraaaugkh...!" Sambil menggerung keras, Naga Laut meluruk deras menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, rupanya Rangga memang sudah siap sejak tadi. Dan begitu moncong yang
terbuka lebar itu hampir melahapnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
melesat ke belakang. Dan hanya menghentakkan sedikit ujung jemari kakinya,
tubuhnya langsung melenting ke udara, hingga melewati bagian atas kepala ular
naga raksasa itu.
"Yeaaah...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga melepaskan satu
pukulan dahsyat dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali, tepat ke arah bagian
tengah kepala ular naga raksasa itu. Pukulan tingkatan terakhir dari jurus
Pukulan Maut Paruh Rajawali memang sangat cepat dan dahsyat. Sehingga, Naga
Laut tidak sempat lagi bergerak menghindar. Dan....
Diegkh! "Ghraaaugkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
***
DELAPAN
Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke angkasa dan berputaran beberapa
kali. Sementara, Naga Laut meraung keras sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Pukulan tingkatan terakhir dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali yang
dilepaskan Rangga, dan tepat menghantam bagian tengah kepala itu membuat Naga
Laut semakin bertambah murka. Bumi jadi berguncang bagai dilanda gempa, saat
seluruh tubuh ular naga raksasa itu menggelepar merasakan sakit yang amat
sangat pada kepala.
Tampak dari bagian kepala yang terkena pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti
tadi mengucurkan darah segar. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan
kakinya ringan di tanah.
"Ghraaaugkh...!" Begitu cepatnya Naga Laut melupakan kepala yang retak akibat
pukulan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti hingga mengeluarkan darah. Dan kini,
kembali meluruk deras menyerang pemuda berbaju rompi putih itu. Tapi dengan
kecepatan luar biasa sekali, Rangga kembali melesat ke udara. Dan begitu baru
saja hendak meluruk melakukan serangan balasan, Naga Laut sudah mendongakkan
kepala sambil menyemburkan api dari mulutnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Namun, Rangga sudah lebih cepat lagi melesat ke belakang, hingga semburan api
tidak sampai menjilat tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara.
Namun begitu hendak menjejakkan kakinya di pasir pantai lagi, mendadak saja
Naga Laut mengibaskan ekornya cepat sekali. Hingga....
Wuk! Plak! "Akh...!"
Rangga terpekik keras begitu ekor Naga Laut menyambar tubuhnya. Tak pelak
lagi, Pendekar Rajawali Sakti terpental jauh ke belakang. Begitu kerasnya
hantaman tadi, hingga beberapa pohon kelapa bertumbangan terlanda tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Dan meluncurnya baru berhenti setelah menghantam
gundukan batu karang hingga hancur berkeping-keping.
"Ghraaaugkh...!"
"Hup!" Rangga cepat-cepat melenting bangkit berdiri kembali, begitu Naga Laut
kembali meluruk deras hendak melumatnya. Bergegas Rangga melompat ke samping,
dan kembali melesat hingga melewati tubuh ular naga raksasa itu.
"Hiyaaa...!" Saat berada di udara, Rangga melepaskan satu kibasan tangan kanan
mempergunakan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Dan rupanya kibasan
tangannya itu tepat menghantam bagian leher Naga Laut. Akibatnya, ular raksasa
itu menggerung dahsyat sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Hap! Yeaaah...!" Rangga kembali melenting tinggi-tinggi ke udara, dan kembali
meluruk deras sambil melepaskan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan
tenaga dalam sempurna dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir.
Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti
jadi berwarna merah, bagai batang besi terbakar dalam tungku.
"Hiyaaa...!"
Begkh! "Ghraaaugkh...!"
Begitu keras dan cepatnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga Naga Laut itu tidak bisa lagi menghindar. Dan binatang raksasa itu
meraung dahsyat sambil menggeliatkan tubuhnya. Kembali daerah Pesisir Pantai
Utara itu berguncang bagai dilanda gempa yang amat dahsyat, membuat
rumah-rumah yang berdiri di sekitarnya berguncang. Bahkan sudah ada beberapa
rumah yang kelihatannya hampir runtuh, karena terus-menerus menerima guncangan
yang sangat keras dan dahsyat.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh tiga batang tombak.
Dengan punggung tangan, disekanya keringat yang membanjiri leher.
Pertarungannya dengan Naga Laut ini benar-benar menguras tenaga. Sudah
beberapa kali ular naga raksasa itu terkena pukulan dahsyat yang mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi tetap saja masih kuat, walaupun meraung
keras merasakan kesakitan yang amat sangat.
"Hm, Naga Laut ini benar-benar kuat. Apakah aku harus menggunakan Pedang
Pusaka Rajawali Sakti...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati.
Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah terbangun dari pingsannya. Tubuhnya
langsung menggerinjang bangkit berdiri. Dan dia hampir saja melompat menerjang
Naga Laut, kalau saja Paman Ardaga tak segera mencegah. Sedangkan saat itu,
Rangga sudah mulai menggenggam gagang pedangnya, walaupun belum tercabut dari
warangka di punggung.
"Ghrrr...!" Naga Laut menggereng keras sambil membuka mulut lebar-lebar. Dari
dalam mulutnya, menyembur api yang sangat besar dan langsung menghanguskan
beberapa batang pohon kelapa yang ada di dekatnya. Kedua bola matanya yang
semula berwarna hijau, kini jadi merah membara bagaikan sepasang bola api.
Tatapannya begitu tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghraaaugkh...!" Sambil meraung dahsyat, Naga Laut kembali meluruk menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi belum juga serangannya sampai, Rangga sudah
melentingkan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu ringan dan
cepat, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah melambung tinggi di angkasa.
"Hiyaaat...!"
Sret! Cring!
Bagaikan kilat, Rangga meluruk deras sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali
Sakti. Seketika itu juga, cahaya biru terang menyemburat menyilaukan mata.
Melihat pedang yang berpamor sangat dahsyat tergenggam di tangan lawan, Naga
Laut meraung keras. Dan dengan gerakan cepat dihindarinya tebasan pedang
bercahaya biru terang itu.
"Hap! Hiyaaa...!"
Begitu menjejakkan kaki di pasir pantai, Rangga kembali melesat sambil
mengibaskan pedang dengan cepat sekali. Sinar biru yang memancar dari
pedangnya berkelebat begitu cepat, bergulung-gulung bagaikan hendak menggulung
tubuh ular naga raksasa itu. Dari gerakan-gerakannya, sudah dapat dipastikan
kalau saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Sebuah jurus
simpanan yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Gerakan tubuh Rangga begitu cepat, mengimbangi tebasan-tebasan pedangnya.
Saking cepatnya, sehingga sulit sekali dilihat. Dan kini, yang terlihat hanya
gulungan cahaya biru berkelebat mengurung Naga Laut
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak nyaring. Tubuhnya langsung
melenting tinggi ke udara, tepat bersamaan dengan terangkatnya kepala Naga
Laut ke atas. Dan pada saat itu juga, pedangnya dikebutkan dengan kecepatan
bagai kilat disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Begitu cepat
serangannya, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu...
Cras! "Aaargkh...!"
Raungan yang begitu keras terdengar dahsyat menggelegar. Tampak Naga Laut
menggelepar, membuat seluruh permukaan Pantai Utara ini jadi terguncang hebat
bagai dilanda gempa sangat dahsyat. Sementara, terlihat Rangga berputaran di
udara beberapa kali, lalu meluruk ke bawah. Kemudian kakinya menjejak tanah
berpasir dengan indah dan ringan sekali.
"Ghraaaugkh...!"
"Hap!" Melihat Naga Laut yang sudah terbabat bagian tenggorokannya masih ingin
menyerang lagi, cepat-cepat Rangga menempelkan telapak tangan kiri pada Pedang
Rajawali Sakti. Lalu digosokkannya pedang itu hingga sampai ke ujung dan
kembali bergerak sampai ke pangkalnya.
Saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang, berkumpul membentuk
bulatan pada ba-gian ujungnya. Tepat di saat Naga Laut menerjang dengan
kecepatan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pedangnya ke depan
sambil berteriak keras bagai guntur meledak di angkasa.
"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!"
Wuk!
Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedang pusakanya, sehingga
membuat bulatan cahaya biru pada ujung pedang langsung terlontar ke depan
dengan kecepatan melebihi kilat. Seketika bulatan cahaya biru itu langsung
menghantam tubuh Naga Laut keras sekali.
"Ghraaaugkh...!"
"Hih!"
Rangga segera menyilangkan pedang di depan dada. Dan dengan seluruh kekuatan
yang ada, dikerahkannya aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat. Sinar
biru yang memancar dari mata pedangnya semakin banyak menggumpal, menyelimuti
seluruh tubuh ular naga raksasa. Tubuh Naga Laut hanya menggeliat-geliat
sambil menggerung-gerung dahsyat.
"Edan! Hih! yeaaah...!"
Rangga merasakan adanya kekuatan yang sangat dahsyat menentang aji
kesaktiannya. Sehingga, seluruh kekuatannya harus dikerahkan. Dan ini membuat
kakinya yang menjejak pasir seketika amblas sampai ke betis. Namun Pendekar
Rajawali Sakti tidak sudi menyerah. Aji Cakra Buana Sukma terus dikerahkan,
hingga sampai tingkat terakhir. Tampak titik-titik keringat mulai membanjiri
seluruh wajah, leher, dan tubuhnya. Pakaian yang dikenakan pun sudah basah
oleh keringat.
Pertarungan kali ini benar-benar menguras seluruh kemampuan Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, kedua kaki Rangga semakin dalam terbenam ke dalam pasir
pantai. Dan sekarang, malah sudah terbenam sampai ke batas lutut. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti terus mengerahkan seluruh tenaga, untuk mengalahkan
Naga Laut.
"Hih! Yeaaah...!"
Brus!
Sambil mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ada, Rangga menghentakkan
tubuhnya hingga melesat ke udara. Dan cepat sekali tubuhnya meluruk deras ke
arah Naga Laut yang masih menggeliat-geliat dalam lingkaran cahaya biru yang
memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan
pedangnya ke atas kepala. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar
tercabut. Namun dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti
mengebutkan pedangnya, tepat terarah ke kepala Naga Laut. Begitu cepat
serangannya sehingga Naga Laut tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Cras! "Aaargkh...!"
Darah seketika muncrat begitu pedang di tangan Rangga menghantam kepala Naga
Laut, tepat di bagian tengah antara kedua matanya. Ular naga raksasa itu
menggerung-gerung sambil bergelimpangan. Tubuhnya terus menggeliat-geliat
dahsyat, membuat bumi jadi berguncang hebat.
Hap!" Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Rangga kembali menjejakkan
kakinya di tanah. Sementara, tangan kanannya langsung bergerak indah
memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Seketika itu juga cahaya biru yang memancar terang jadi lenyap, tepat di saat
Pedang Rajawali Sakti kembali tenggelam dalam warangka.
"Haaap...! Yeaaah...!"
Begitu cepat Rangga melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangan merapat di
depan dada. Gerakannya meliuk-liuk seperti ular. Lalu sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangan ke depan
setelah merentangkan kedua kaki lebar-lebar ke samping, hingga tubuhnya jadi
agak rendah.
Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur sinar biru yang
sangat terang hingga menyilaukan mata. Sinar itu meluncur deras melebihi
kilat, dan langsung menghantam tubuh Naga Laut yang masih menggeliat-geliat
sambil menggerung keras.
Glaaar...!
"Ghraaaugkh...!"
Begitu terdengar ledakan dahsyat menggelegar, terdengar pula raungan keras
yang menggetarkan jantung. Tampak kilatan-kilatan bunga api menyebar diiringi
memancarnya api yang begitu besar menyelubungi seluruh tubuh Naga Laut. Dan
tak berapa lama kemudian....
Blarrr...!
Kembali terdengar ledakan menggelegar yang begitu keras dan dahsyat. Tampak
tubuh Naga Laut hancur berkeping-keping, tersebar ke segala penjuru. Saat itu
juga, Rangga melompat ke belakang untuk menghindari terpaan serpihan tubuh
Naga Laut yang meledak hancur akibat aji kesaktian yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Huhhh...!" Rangga menyeka keringat di lehernya sambil mendengus panjang.
Kakinya kemudian ditarik ke belakang beberapa langkah. Pandangannya tak
berkedip sedikit pun memperhatikan kepulan asap merah kehijauan yang
menggumpal di tempat Naga Laut tadi berada. Dan begitu asap merah kehijauan
lenyap....
"Heh...?!" Rangga jadi tersentak kaget.
Ternyata, di tempat tadi Naga Laut berada kini sudah berdiri seorang laki-laki
berusia lanjut mengenakan baju jubah panjang berwarna hijau dan memancarkan
cahaya terang. Dia berdiri tegak, walaupun usianya sudah sangat lanjut.
Pandangannya tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku mengaku kalah, Anak Muda...," kata laki-laki tua berjubah hijau itu agak
lirih nada suaranya terdengar.
"Hm...," Rangga menanggapi hanya dengan menggumam kecil.
"Aku berjanji tidak akan muncul lagi, dan mengganggu siapa pun juga,"
sambungnya masih tetap terdengar lirih.
"Selamanya...?" Rangga ingin menegaskan.
"Tidak. Hanya sampai kau tidak ada lagi di dunia ini," tegas laki-laki tua
berjubah hijau jelmaan Naga Laut.
"Apa...?!"
Belum juga keterkejutan Rangga bisa hilang, tiba-tiba saja laki-laki tua
jelmaan Naga Hijau itu lenyap, setelah seluruh tubuhnya terlebih dahulu
memancarkan sinar terang. Sedikit pun tak ada bekas yang ditinggalkannya.
Beberapa saat Rangga masih mematung. Ingin dipastikannya kalau Naga Laut
benar-benar telah lenyap.
Kemudian tubuhnya memutar, dan melangkah menghampiri Raden Banyu Samodra yang
masih tetap didampingi Paman Ardaga. Dan entah datang dari mana, seekor kuda
kini sudah ada di be-lakang Raden Banyu Samodra. Seekor kuda yang sangat gagah
dan bagus. Rangga berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga
langkah lagi di depan Raden Banyu Samodra.
"Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Raden Banyu Samodra, sebelum Rangga bisa
membuka mulut.
Raden Banyu Samodra langsung menyodorkan tangannya dengan sikap tubuh agak
membungkuk, seperti sedang memberi hormat pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan
uluran tangan ini tidak bisa lagi ditolak. Rangga segera menyambutnya, membuat
kedua pemuda itu berjabatan tangan erat sekali.
"Izinkan aku pergi sekarang untuk mengabarkan kegembiraan ini pada rakyat ku,
Gusti Prabu," ujar Raden Banyu Samodra berpamitan.
"Pergilah," sahut Rangga.
"Terima kasih." Raden Banyu Samodra langsung saja melompat naik ke punggung
kudanya. Dan sekali hentak saja, kuda itu sudah melesat kencang bagai anak
panah terlepas dari busur.
Sementara Rangga dan Paman Ardaga berdiri berdampingan memandangi kepergian
Raden Banyu Samodra sampai lenyap tak terlihat lagi. Tak ada dendam lagi yang
tertanam di hati penduduk desa nelayan di Pesisir Pantai Utara. Mereka semua
menyadari, perbuatan Raden Banyu Samodra semata-mata karena terpaksa. Mungkin
kalau hal ini dihadapkan pada mereka, bisa jadi mereka juga akan melakukan
tindakan yang sama dengan Raden Banyu Samodra.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PERAWAN DALAM PASUNGAN
Emoticon