SATU
Cras!
“Aaa...!” Satu jeritan melengking panjang terdengar
menyayat, membelah keheningan malam ini. Suara itu menggema, datang dari sebuah
lembah yang tampak terang bagai siang hari saja. Hanya beberapa saat saja
terdengar jeritan panjang itu, kemudian suasana kembali sunyi. Kini tak
terdengar satu suara pun, kecuali desir angin saja yang menggesek dedaunan.
Namun belum juga lama kesunyian kembali menyelimuti
malam ini, mendadak saja terdengar tawa yang pecah berderai menggelegar. Suara
tawa itu jelas datang dari arah lembah.
“Ha ha ha...!”
Tampak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
lima tahun berdiri tegak di atas sebongkah batu yang memancarkan cahaya terang berkilauan.
Bajunya merah agak ketat. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang menjuntai
ke bawah. Terlihat jelas, dari ujung pedang itu menetes darah segar yang
langsung menimpa batu yang dipijaknya.
“Hup...!”
Laki-laki berbaju merah itu melompat ringan. Tanpa
bersuara sedikit pun, tahu-tahu kakinya sudah menjejak tidak jauh dari sesosok
tubuh yang tergeletak tak berkepala lagi. Sedangkan kepalanya berada beberapa
depa jauhnya dari tubuh yang telah dingin. Darah mengucur deras dari leher yang
buntung. Laki-laki itu mendengus, dan kakinya menyepak tubuh tak berkepala
lagi, sehingga menggelinding menjauh.
Kemudian dihampirinya kepala yang tergeletak masih
mengucurkan darah. Dikeluarkannya selembar kain hitam yang sudah lusuh dari
balik bajunya. Setelah memasukkan pedang ke dalam sarungnya di pinggang,
laki-laki berbaju merah itu membungkus kepala dengan kain hitam, lalu
mengikatnya di ujung bambu yang sebelumnya diambil di sekitar tempat itu.
“Ha ha ha...!”
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki itu
berjalan meninggalkan lembah. Tampaknya dia seperti jalan biasa saja. Namun
ayunan langkah kakinya begitu ringan. Bahkan tak ada sedikit pun suara yang
ditimbulkannya. Begitu ringannya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah
lenyap ditelan kegelapan malam. Namun suara tawanya masih terdengar semakin
kecil dan menjauh.
“Ha ha ha...!”
***
Siang ini udara terasa begitu panas. Langit tampak
cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di sana. Seakan-akan membuat sang
mentari merajalela memancarkan sinarnya, untuk membakar permukaan bumi ini.
Sedangkan angin bertiup kencang, memaksa pepohonan harus menggugurkan
daun-daunnya.
Di bawah teriknya sinar matahari, tampak seorang
pemuda memacu cepat kudanya. Debu mengepul menambah pengapnya udara siang ini.
Meskipun pandangannya agak terhalang, namun lari kudanya tidak juga
diperlambat. Bahkan semakin sering menggebah agar berlari lebih cepat lagi.
Dan saat memasuki sebuah desa, pemuda itu tidak
juga mengendurkan lari kudanya. Dia malah semakin sering menggebah kudanya agar
berlari lebih cepat lagi. Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan, bergegas
menyingkir. Mereka tidak sempat lagi menyelamatkan barang-barangnya yang
seketika itu juga jadi berantakan diterjang kaki kuda.
“Minggir...! Minggir...!”
Pemuda itu tidak peduli dengan makian orang-orang
yang merasa terganggu, dan terus menggebah kudanya semakin cepat. Bahkan ketika
tiba-tiba seorang laki-laki tua bertongkat melintas menyeberangi jalan, pemuda
itu jadi terkejut. Tapi lari kudanya tidak mungkin dihentikan lagi.
“Minggir...!” teriak pemuda itu keras.
“Awas, Ki...!”
Terdengar seruan-seruan keras memperingatkan, namun
laki-laki itu seperti jadi kebingungan. Dan pada saat kuda itu hampir saja
menerjangnya, mendadak saja seorang pemuda berbaju rompi putih melesat
menyambar laki-laki tua itu. Maka orang tua itu selamat dari terjangan kuda coklat
yang dipacu bagai kesetanan itu.
Beberapa kali mereka bergulingan di tanah, namun
pemuda yang menunggang kuda itu sama sekali tidak peduli. Dia terus saja
menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Membuat sepanjang jalan dipenuhi
teriakan dan makian serta sumpah serapah.
“Anak setan...!” geram laki-laki tua seraya bangkit
berdiri dibantu penolongnya.
“Kau tidak apa-apa, Ki?” tanya pemuda yang
menolongnya tadi.
“Tidak. Terima kasih,” sahut laki-laki tua seraya
menerima tongkatnya. Bajunya segera dibersihkan dari debu yang melekat.
“Siapa penunggang kuda itu?” tanya pemuda berbaju
rompi putih itu lagi.
“Rupadi, anak kepala desa ini,” salah seorang
perempuan gemuk menyahuti.
Pemuda itu melirik sedikit, kemudian membantu
laki-laki tua bertongkat itu menepi. Didudukkannya laki-laki tua itu di sebuah
pohon yang tumbang di pinggir jalan.
“Tidak tahu kenapa, beberapa hari ini dia jadi gila
begitu,” gumam laki-laki tua itu lagi.
“Kenapa tidak dilaporkan saja pada orang tuanya,
Ki?”
“Huh! Percuma...!”
Pemuda itu mengarahkan pandangannya pada Rupadi
yang terus memacu cepat kudanya. Debu semakin banyak mengepul. Dan makian serta
sumpah serapah semakin sering terdengar sepanjang jalan. Dalam waktu beberapa
saat saja, sepanjang jalan Desa Pucung jadi berantakan seperti baru saja
terlanda angin badai.
Sementara Rupadi terus memacu kudanya semakin
cepat. Sama sekali tidak dipedulikannya orang-orang yang memaki karena merasa
terganggu kesibukannya. Bahkan kudanya semakin dipacu cepat begitu sebuah rumah
yang besar dan paling megah di desa ini terlihat.
“Hup! Hiyaaa...!”
Pemuda yang mengenakan baju putih itu melompat dari
punggung kuda begitu tiba di depan rumah yang memiliki halaman luas tanpa
pagar. Ringan sekali kakinya menjejak tanah, tepat di depan undakan beranda
depan. Bergegas dia melangkah setengah berlari menaiki undakan beranda depan
itu. Seorang laki-laki tua, muncul dari samping rumah. Lalu, diambilnya kuda
coklat itu dan dibawanya ke samping.
Sementara Rupadi terus berjalan cepat melintasi
beranda depan. Pada saat baru saja hendak masuk ke dalam rumah, mendadak
seorang gadis cantik berbaju kuning gading muncul hendak keluar. Hampir saja
mereka bertabrakan.
“He...! Matamu di mana sih...?!” bentak gadis itu
mendelik.
“Minggir!” sentak Rupadi seraya mendorong kasar
tubuh gadis itu.
“Ah...!” gadis itu terpekik.
Tubuhnya terhuyung ke belakang hingga punggungnya
menubruk sebuah pilar kayu hitam yang keras. Kembali gadis itu memekik
kesakitan. Bibirnya meringis menahan sakit di punggungnya. Hampir saja dia
memaki, kalau saja Rupadi tidak cepat menghilang ditelan pintu yang langsung
tertutup.
“Dasar bergajul...!” maki gadis itu seraya
meringis.
Makian gadis itu tidak terdengar, karena Rupadi
sudah terus masuk ke dalam melewati ruangan depan yang cukup luas. Pemuda itu
baru berhenti berjalan setelah tiba di ruangan tengah. Tampak seorang laki-laki
setengah baya mengenakan pakaian perlente tengah duduk ditemani seorang wanita
cantik berbaju ketat warna biru laut yang tipis, sehingga memetakan bentuk
tubuhnya. Hanya sebentar Rupadi menatap wanita itu, kemudian mengayunkan
kakinya menghampiri.
“Pakaianmu kotor sekali, Rupadi. Dari mana saja
kau...?” tegur laki-laki setengah baya itu langsung.
“Ada yang ingin kukatakan, Ayah,” kata Rupadi,
tidak mempedulikan teguran itu.
“Katakan saja,” sahut laki-laki setengah baya yang
dikenal bernama Ki Rejo, Kepala Desa Pucung ini.
Rupadi tidak langsung mengatakannya. Ditariknya
napas panjang beberapa kali, mencoba menguasai jalan napasnya yang
terengah-engah.
“Minum dulu, Rupadi,” wanita cantik yang duduk di
samping Ki Rejo menyodorkan secangkir teh hangat.
Rupadi hanya memandangi saja, namun menerima
cangkir dari keramik itu. Kemudian tehnya dihirup sedikit, lalu diletakkan
kembali ke atas meja.
“Ada apa, Rupadi?” tanya Ki Rejo.
“Ada mayat lagi, Ayah. Di Lembah Intan...,” sahut
Rupadi.
“Huh! Itu saja yang bisa kau katakan...? Apa tidak
punya kerjaan lain lagi, hah...!” dengus Ki Rejo sambil mendelik.
“Tapi, Ayah....”
“Sudah...!” sentak Ki Rejo cepat. Rupadi langsung
terdiam.
“Kau selalu mengatakan ada mayat, tapi tak pernah
ada buktinya. Bahkan tak seorang pun yang melaporkan ada keluarganya yang
hilang. Sudah...! Lebih baik kerjakan yang lain, yang lebih bermanfaat,” kata
Ki Rejo.
“Aku benar melihatnya, Ayah. Mayat-mayat itu ada di
Lembah Intan. Tidak ada kepalanya lagi,” Rupadi mencoba meyakinkan.
“Kalau memang ada, urus saja sendiri. Aku tidak
suka dikatakan gila karena menanggapi orang yang sudah tidak waras!”
“Ayah...!” sentak Rupadi tersinggung dikatakan
tidak waras.
“Dengar, Rupadi. Kau kubesarkan bukan untuk jadi
cemoohan orang. Kau calon kepala desa di sini, untuk menggantikan aku.
Bagaimana mungkin kau bisa jadi kepala desa kalau pikiranmu sudah tidak waras
lagi...? Hentikan semua khayalanmu itu, Rupadi!” tegas Ki Rejo.
Rupadi gusar, lalu cepat berbalik dan langsung
beranjak pergi tanpa berkata apa pun juga. Ayunan kakinya lebar dan terhentak.
Ki Rejo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat tingkah anak
laki-lakinya yang semakin aneh belakangan ini.
“Seharusnya jangan berkata kasar seperti itu,
Kakang. Kasihan. Nanti dia bisa kehilangan kepercayaan diri,” ujar wanita di
sebelah Ki Rejo dengan suara lembut.
“Kelakuannya semakin aneh saja. Bagaimana mungkin
dia bisa mengkhayal begitu...?” dengus Ki Rejo seraya mendesah panjang.
“Mungkin dia memang melihat ada mayat di sana,
Kakang.”
“Kau jangan ikut-ikutan jadi edan, Rusila!” sentak
Ki Rejo.
“Maaf. Bukannya aku ingin mencampuri, tapi tidak
ada salahnya jika kau sesekali melihat ke sana,” kilah wanita yang dipanggil
Rusila itu lagi. Dia adalah istri muda Ki Rejo.
“Ah..., sudahlah. Aku tidak ingin membicarakan itu
lagi!” sentak Ki Rejo.
Laki-laki tua itu mengambil tangan Rusila, dan
membawanya ke bibir. Kemudian dengan lembut dikecupnya. Namun dengan halus
sekali wanita itu melepaskan genggaman tangan laki-laki setengah baya yang menjadi
suaminya. Bibir yang selalu memerah, mengulas senyuman manis menggairahkan. Ki
Rejo malah melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping.
“Kakang.... Nanti ada Lintang,” lembut sekali
Rusila menolak laki-laki setengah baya itu.
Sementara Rupadi sudah berada di ruangan depan
kembali. Dengan kasar dibukanya pintu, dan kembali tubuhnya hampir bertabrakan
lagi dengan gadis berbaju kuning gading. Gadis itu lagi-lagi memekik, dan
langsung mendelik berang begitu melihat Rupadi lagi yang hampir menabraknya.
“Matamu sudah buta, ya...!” sentak gadis itu
berang.
Rupadi tidak menanggapi, tapi malah merebut guci
yang ada di tangan gadis itu. Langsung ditenggaknya isi guci itu hingga tandas.
“He...! Itu punya ayah...!”
Rupadi malah membuang guci itu ke luar halaman.
“Katakan pada ayah, araknya sudah kuminum.” Setelah berkata demikian, Rupadi
langsung saja berjalan pergi.
“Dasar edan...!” rutuk gadis itu memberengut.
“Lintang...!” terdengar panggilan keras dari dalam.
“Iya, Ayah! Sebentar...!” teriak gadis berbaju
kuning gading yang ternyata bernama Lintang, menyahuti.
Bergegas Lintang melangkah masuk. Sementara Rupadi
sudah kembali mengge-bah kudanya meninggalkan halaman rumah besar itu. Kudanya
dipacu cepat sambil berteriak-teriak keras. Beberapa orang pekerja di rumah itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala saja sambil mengurut dada, melihat tingkah
Rupadi yang semakin ugal-ugalan saja.
***
Di sebuah bukit kecil, Rupadi tengah memandangi
lembah yang tidak begitu besar. Bukit itu membatasi lembah dengan Desa Pucung.
Dari bukit ini, bisa terlihat setiap sudut lembah dengan leluasa sekali, tanpa
ada penghalang.
“Aneh.... Padahal, tadi aku lihat mayat itu ada di
sini,” gumam Rupadi pelan.
Tatapan mata pemuda itu lurus ke satu arah, di mana
terlihat sebongkah batu besar bercahaya bagaikan intan. Kepalanya
menggeleng-geleng. Sinar matanya seakan-akan tidak percaya dengan apa yang kini
dilihatnya. Dia begitu yakin kalau tidak jauh dari batu itu, ada sesosok mayat
tanpa kepala. Tapi sekarang, sudah tidak ada lagi. Bahkan tetesan darahnya pun
tidak terlihat lagi di sana.
“Apa yang kau cari, Anak Muda...?”
“Heh...?!” Rupadi terperanjat ketika tiba-tiba saja
terdengar teguran dari arah belakang.
Seketika tubuhnya berbalik. Tampak di depannya
kini, berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Laki-laki itu
mengenakan baju merah menyala. Tampak sebilah pedang yang bergagang kuning
seperti terbuat dari emas tergantung di pinggangnya. Rupadi agak bergidik juga
saat memandang mata laki-laki itu yang begitu tajam menusuk.
“Siapa kau...?” tanya Rupadi, agak bergetar
suaranya.
“Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Rupadi,” sahut
orang berbaju merah itu, dingin dan datar suaranya.
“He...?! Kau tahu namaku...?” Rupadi semakin
terperanjat.
“Aku tahu siapa dirimu, dan apa yang kau lakukan di
sini, Rupadi. Sebaiknya, hentikan saja pekerjaan kosongmu itu. Tidak ada yang
bisa kau dapatkan di sini,” tegas laki-laki itu, tetap dingin nada suaranya.
“Kau tidak berhak melarangku!” sentak Rupadi ketus.
“Kau memang keras kepala, tapi lembek. Kau bisa
kasar pada orang lain. Tapi menghadapi tua bangka hidung belang itu, kau malah
bersembunyi seperti tikus!” dengus laki-laki berjubah merah itu.
“Kisanak, aku tidak kenal dirimu. Apa maksudmu
berkata demikian...?!” hati Rupadi mulai panas.
Rupadi sudah bisa menebak kalau laki-laki berbaju
merah menyala ini menyinggung ayahnya. Dan pemuda itu tidak mau ayahnya dihina.
Apalagi direndahkan, dengan perkataan hidung belang yang doyan lalap muda.
Suatu penghinaan yang sukar dimaafkan.
“Ha ha ha.... Kenapa jadi marah begitu, Rupadi?
Seharusnya kau marah pada ayahmu. Bahkan kalau perlu, membunuhnya! Karena dia
sudah....”
“Tutup mulutmu, Keparat!” bentak Rupadi memutuskan
ucapan orang berbaju merah itu.
“Seharusnya kau patut dikasihani. Tapi sayang
sekali..., kau malah dibenci dan ayahmu enak-enakan dengan....”
“Cukup! Kalau tidak mau enyah dari sini, kubunuh
kau!” bentak Rupadi mengancam.
“Ha ha ha.... Kau belum cukup mampu untuk
membunuhku, Rupadi. Bahkan ayahmu sendiri tidak akan mampu menandingiku
meskipun dalam dua jurus saja.”
“Keparat...!” Merah seluruh wajah Rupadi.
Kemarahannya sudah mencapai puncak setelah mendengar kata-kata yang ringan namun
sangat menyakitkan itu. Langsung saja pedangnya dicabut, dan....
Sret!
“Hiyaaat...!”
Rupadi langsung melompat menerjang sambil
membabatkan pedang ke arah leher laki-laki berbaju merah itu. Namun orang itu
hanya sedikit saja menarik kepalanya. Maka ujung pedang Rupadi hanya lewat
begitu saja tanpa mengenai sasaran. Namun pemuda itu tidak diam sampai di situ
saja. Dengan cepat sekali pedangnya diputar, dan langsung dibabatkan ke arah
perut. Tapi orang berbaju merah itu meliukkan tubuhnya sedikit, tanpa menggeser
kakinya. Tebasan pedang itu tidak mengenai sasaran lagi. Hal ini membuat pemuda
berbaju putih itu semakin geram.
“Hiyaaat...!”
Rupadi semakin meningkatkan serangan-serangannya.
Pedang itu berkelebat cepat, sehingga bentuknya jadi hilang. Dan yang terlihat
kini hanya sinar keperakan yang berkelebatan cepat mengurung tubuh laki-laki berbaju
merah itu. Namun sampai Rupadi melewatkan sepuluh jurus, belum juga mampu
mendesak orang berbaju merah menyala itu.
“Cukup, Rupadi. Hentikan...!” sentak orang itu
keras.
Tapi Rupadi tidak mendengarkan, dan malah semakin
gencar menyerang. Akibatnya, orang berbaju merah itu menggeram agak tertahan.
Wajah yang pucat kaku, semakin terlihat pucat bagai tak teraliri darah lagi.
“Hup! Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke atas. Dan
dengan kecepatan bagai kilat, mendadak saja dilepaskannya satu pukulan ke arah
dada Rupadi. Sementara pemuda itu benar-benar tidak menyangka akan datang
serangan yang mendadak dan cepat luar biasa itu, sehingga tidak bisa lagi
berkelit. Ujung jari orang berbaju merah itu tepat menotok dadanya.
“Akh...!” Rupadi terpekik tertahan. Seketika itu
juga tangannya terkulai, pedangnya jatuh terlepas dari genggaman. Sebelum
pemuda itu bisa menyadari apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah ambruk
tergeletak di tanah. Langsung pandangannya jadi gelap, kemudian tidak tahu lagi
apa yang terjadi selanjutnya.
Laki-laki berbaju merah itu berdiri tegak
memandangi. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Sesaat
kemudian, tubuhnya berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Rupadi yang
tergeletak di tanah berumput.
“Sayang sekali, aku tidak boleh membunuhnya,” gumam
laki-laki berbaju merah itu setengah mendesah.
Dia terus saja berjalan tanpa menoleh lagi. Ayunan
kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak menjejak tanah. Dalam waktu sebentar
saja, laki-laki berbaju merah itu sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Sementara Rupadi masih tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
Bukit dekat lembah itu kembali sunyi senyap. Hanya
desir angin yang terdengar menggeser dedaunan. Tak ada lagi suara lain yang
bisa terdengar. Sementara matahari sudah semakin condong ke arah barat.
Sinarnya tidak lagi terik seperti siang tadi, dan kini terasa lembut dan
menyejukkan.
***
DUA
“Rangga...! Cepat ke sini...!”
Teriakan keras terdengar memecah keheningan senja
di Lembah Intan. Terlihat seorang laki-laki muda berpakaian indah warna biru
muda, berdiri di dekat sesosok tubuh berbaju putih yang tergeletak tak bergerak
di tanah berumput. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang pemuda mengenakan
baju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak bertengger di
punggungnya.
“Ada apa, Raden Antaka?” tanya pemuda berbaju rompi
putih yang dipanggil dengan nama Rangga.
Dan memang, pemuda itu adalah Rangga yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju biru muda
yang dipanggil Raden Antaka, hanya menunjuk saja ke tubuh yang tergeletak tak
bergerak di depannya. Rangga memandangi beberapa saat.
Begitu mengenali orang yang tergeletak itu, Rangga
buru-buru memeriksanya. Ditariknya napas panjang setelah memeriksa, dan
diberikannya beberapa totokan di beberapa bagian tubuh orang yang tergeletak
itu.
“Hanya pingsan, tidak apa-apa,” jelas Rangga.
“Kau kenali dia?” tanya Raden Antaka.
“Namanya Rupadi. Dia anak Kepala Desa Pucung. Tidak
jauh dari sini,” sahut Rangga.
“Kenapa pingsan di sini?” tanya Raden Antaka.
“Entahlah. Pingsannya akibat terkena totokan tenaga
dalam cukup tinggi juga. Sebentar lagi juga dia sadar,” sahut Rangga.
“Berarti dia baru saja bertarung.... Begitu kan
maksudmu, Rangga?” agak bergumam suara Raden Antaka.
“Dugaanku begitu,” sahut Rangga kalem.
“Bertarung dengan siapa? Apakah dia punya musuh?”
tanya Raden Antaka lagi.
“Maaf, Raden. Aku mengenalnya hanya dari cerita
orang-orang di desa saja. Aku tidak tahu pasti, siapa dia sesungguhnya,” sahut
Rangga mulai terasa jenuh mendengar pertanyaan yang tidak ada habisnya dari
anak muda yang baru berusia sekitar delapan belas tahun ini.
“Apakah kita tinggalkan saja dia di sini?” Raden
Antaka meminta pendapat.
“Sebaiknya jangan, Raden. Terlalu berbahaya baginya
berada di sini dalam keadaan tidak sadarkan diri,” sergah Rangga kalem.
“Tapi perjalanan kita sendiri masih panjang,
Rangga. Dan aku tidak ingin terhalang hanya karena mengurusi persoalan begitu
saja.”
“Sebentar lagi malam, Raden. Ada baiknya kalau kita
bermalam di sini,” tegas Rangga.
“Katamu Desa Pucung tidak berapa jauh lagi. Kita
bisa mencari penginapan di sana, Rangga.”
“Sama saja, Raden. Di sini atau di penginapan,
tidak ada bedanya. Lagi pula, tujuan kita bukan hanya mencari penginapan yang
baik. Tapi, ada tugas penting yang harus diselesaikan secepatnya,” Rangga mengingatkan.
“Terserah kau sajalah,” Raden Antaka mengangkat
bahunya. “Kau yang dipercayakan Ayahanda Prabu untuk meringkus buronan itu, dan
aku tinggal mengikuti saja.”
Rangga hanya mendengus saja. Kalau saja bukan
karena sahabatnya yang meminta, malas rasanya berjalan bersama anak manja
seperti ini. Permintaan bantuan Prabu Ranakali saja sudah cukup berat. Pendekar
Rajawali Sakti tahu, siapa yang harus dicarinya. Dengan adanya anak manja ini,
bebannya semakin bertambah saja.
Tapi Rangga tidak ingin mengecewakan sahabatnya
itu. Meskipun berat, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menerima saat Raden
Antaka memohon pada ayahnya untuk ikut serta meringkus buronan itu. Tanpa
banyak bicara lagi, Rangga mencari ranting-ranting kering. Kemudian ditumpuknya
ranting itu di bawah pohon yang cukup besar, dengan daun-daunnya yang rimbun.
Sedangkan Raden Antaka hanya diam saja, duduk sambil memandang ke sekitarnya.
Rangga sempat melirik kesal pada pemuda manja itu, namun hanya dipendam di
dalam hati.
“Sudah berapa lama kau menjadi pengembara, Rangga?”
tanya Raden Antaka. Sedikit pun pemuda itu tidak menaruh rasa hormat pada
Pendekar Rajawali Sakti, meskipun jauh lebih muda.
“Aku tidak pernah menghitung,” sahut Rangga
singkat.
“Kau pasti memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga
Ayahanda Prabu begitu mempercayaimu,” agak sinis nada suara Raden Antaka.
“Tidak juga,” sahut Rangga merendah.
“Jadi seorang pengembara, setidaknya harus memiliki
bekal kepandaian dalam ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Aku tidak percaya
kalau kau hanya sedikit saja memilikinya. Padahal julukanmu Pendekar Rajawali
Sakti.”
“Sebuah julukan belum pasti memiliki tingkat
kepandaian tinggi, Raden. Kau sendiri juga bisa memperoleh julukan itu.
Terserah saja, apa julukan yang kau sukai. Asalkan, cocok dengan segala tingkah
laku dan perbuatanmu,” sahut Rangga.
“Menurutmu, julukan apa yang pantas untukku?” tanya
Raden Antaka meminta pendapat.
Sedikit pun pemuda itu tidak merasa kalau kata-kata
Rangga tadi mengandung sindiran sinis pada dirinya. Bahkan seperti mendapat
pujian saja, sehingga meminta pendapat Pendekar Rajawali Sakti untuk
mendapatkan sebuah julukan baginya.
“Hanya Raden sendiri yang bisa menentukannya,”
sahut Rangga enggan.
“Tapi menurutmu, aku pantasnya pakai julukan apa?”
desak Raden Antaka tidak puas dengan jawaban Rangga.
“Maaf, Raden. Aku tidak bisa mengatakannya
sekarang. Aku belum tahu persis, bagaimana kehidupanmu sehari-harinya. Sebuah
julukan dalam kalangan persilatan, biasanya ditentukan tingkah laku dan
perbuatan sehari-hari. Atau bisa juga dari nama jurus andalannya. Bahkan ada
yang mengambil dari senjata pusakanya, atau dari tempat asalnya. Berbagai macam
bisa digunakan untuk mengambil nama julukan, Raden. Dan itu tergantung dari
yang menginginkannya,” jelas Rangga dengan rinci.
“Lalu kau sendiri, kenapa memakai julukan Pendekar
Rajawali Sakti?” tanya Raden Antaka ingin tahu.
Sukar bagi Rangga untuk menjawab pertanyaan itu.
Karena julukan Pendekar Rajawali Sakti bukan kehendak dirinya sendiri,
melainkan memang pemberian gurunya yang sudah meninggal seratus tahun yang
lalu. Tidak mungkin Rangga menjelaskannya pada Raden Antaka, karena itu sama
saja dengan membuka rahasia dirinya sendiri yang selama ini tertutup rapat.
Memang kadang-kadang rasa keingintahuan Raden
Antaka membuat Rangga jadi kepusingan sendiri. Terkadang pertanyaannya terlalu
sulit dijawab. Tapi Rangga memang mengakui kalau Raden Antaka memiliki otak cerdas,
di samping daya tangkap dan daya ingatnya sungguh tajam. Dan paling tidak,
melebihi pemuda-pemuda lain seusianya.
“Dari mana kau ambil julukan itu, Rangga?” desak
Raden Antaka belum merasa puas kalau pertanyaannya belum terjawab.
“Maaf. Aku tidak bisa menjawabnya,” sahut Rangga.
“Kenapa?”
“Karena itu merupakan rahasia seorang pendekar yang
tidak boleh diketahui orang lain,” Rangga mencoba menjelaskan, meskipun terasa
sulit sekali.
“Apakah semua orang-orang persi-latan juga
merahasiakan julukannya?” tanya Raden Antaka lagi.
“Ya. Tapi ada juga yang tidak.”
Raden Antaka mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mungkin bisa mengerti atau mungkin juga merasa tidak ada gunanya lagi mendesak.
Kalau saja yang dihadapi bukan Pendekar Rajawali Sakti, pasti sudah didesaknya
dengan mempergunakan kekuasaan sebagai putra mahkota. Namun karena Rangga
adalah sahabat karib ayahnya, tidak mungkin terus didesak. Apalagi memaksa
kehendaknya. Entah kenapa, Raden Antaka merasa sungkan pada Pendekar Rajawali
Sakti ini.
“Sebaiknya malam ini Raden tidur saja. Biar aku
yang menjaga,” kata Rangga.
“Aku memang ingin tidur. Penat rasanya seluruh
badanku, setelah seharian berada di punggung kuda.”
“Nanti juga akan terbiasa kalau sering-sering
mengembara mencari pengalaman, Raden,” ujar Rangga seraya tersenyum.
“Kalau bersamamu, selamanya pun aku mau.”
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa
arti senyumnya kali ini. Mungkin karena sikap Raden Antaka yang mulai berubah
selama ikut mengembara dengannya, mencari seorang pelarian yang kabur dari
dalam penjara. Memang kehidupan di alam bebas bisa merubah seseorang dalam
waktu singkat. Mereka yang hidup di alam bebas, mau tak mau harus menyesuaikan
diri dengan alam sekitarnya. Karena bagaimanapun kuatnya seseorang, tidak akan
mungkin bisa menaklukkan alam yang banyak menyimpan misteri ini.
***
“Aaa...!”
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar
jeritan panjang melengking tinggi. Jelas sekali kalau jeritan itu datang dari
arah lembah di depan sana. Pendekar Rajawali Sakti melirik sebentar pada Raden
Antaka yang terlelap dalam buaian mimpi. Sedikit pun anak muda itu tidak
bergeming meskipun jeritan tadi terdengar jelas.
“Hup...!” Rangga melesat cepat bagaikan kilat.
Gerakannya sungguh ringan, dan tak menimbulkan suara sedikit pun juga. Begitu
cepatnya, sehingga dalam tiga kali lesatan saja sudah berada di bibir lembah
yang selalu terang-benderang jika malam hari. Pendekar Rajawali Sakti terbeliak
begitu melihat seseorang berpakaian serba merah, berdiri tegak di samping
sesosok tubuh yang tergeletak dengan kepala terpisah dari leher.
“Singo Wulung...,” desis Rangga begitu mengenali
laki-laki berbaju merah menyala itu.
Seketika itu juga, Rangga melesat ke dalam lembah
yang terang-benderang. Memang, batu-batu yang berserakan di lembah itu
memancarkan cahaya terang. Cepat dan ringan sekali lesatan Pendekar Rajawali
Sakti itu, sehingga tahu-tahu sudah berdiri sekitar dua tombak di depan
laki-laki berjubah merah, yang dikenali sebagai Singo Wulung.
“He...?!” Singo Wulung terperanjat kaget begitu
tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang pemuda mengenakan baju rompi putih.
“Rupanya kau bersembunyi di sini, Singo Wulung?”
desis Rangga dengan suara yang dingin membekukan.
“Pendekar Rajawali Sakti...,” Singo Wulung rupanya
juga mengenali Rangga. “Mau apa kau berada di sini?!”
“Membawamu kembali ke Kerajaan Talang Mega,” sahut
Rangga datar.
“Ha ha ha.... Rupanya Prabu Ranakali meminta
bantuanmu untuk menangkapku kembali, Pendekar Rajawali Sakti. Berapa banyak kau
dibayar, heh...?!” lantang sekali suara Singo Wulung.
“Aku bukan orang bayaran sepertimu, Singo Wulung!”
sentak Rangga mendesis.
“Ha ha ha...!” Singo Wulung kembali tertawa
terbahak-bahak.
“Hm.... Rupanya kau sudah bertingkah lagi, Singo
Wulung,” desis Rangga seraya melirik tubuh yang tergeletak tak bernyawa di
depannya.
Dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi,
mengucur darah segar yang seakan-akan tak mau berhenti mengalir. Jelas sekali
kalau orang itu belum lama tewas di sini. Sukar bagi Rangga untuk mengenalinya,
karena kepala orang itu sudah terbungkus sehelai kain lusuh.
“Nasibmu akan seperti dia jika coba-coba mengusikku,
Pendekar Rajawali Sakti...!” ancam Singo Wulung mendesis.
“Sayang sekali. Aku sudah berjanji untuk membawamu
kembali ke penjara, Singo Wulung,” sahut Rangga, dingin sekali suaranya.
“Ha ha ha.... Tidak semudah itu, Pendekar Rajawali
Sakti. Kau boleh membawa kepalaku, asal langkahi dulu mayatku!”
Rangga terdiam dengan bibir terkatup rapat. Jelas
sekali kalau kata-kata lantang itu mengandung nada tantangan dan ancaman yang
tidak bisa dianggap main-main. Dan Rangga sudah banyak mendengar tentang
laki-laki berbaju merah ini. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga
jago-jago dari Kerajaan Talang Mega sendiri tidak ada yang sanggup
menandinginya. Maka Prabu Ranakali terpaksa harus meminta bantuan Pendekar
Rajawali Sakti.
Bet!
Wuk!
Singo Wulung menggerak-gerakkan kedua tangannya di
depan dada, membuka jurus. Gerakan tangan yang tampak halus dan tidak bertenaga
itu ternyata menimbulkan angin kencang. Saat itu juga Rangga menggeser kakinya
ke samping beberapa tindak. Disadarinya kalau Singo Wulung bukanlah lawan
enteng. Gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu saja, sudah menandakan
kalau laki-laki berbaju marah menyala ini memiliki tenaga dalam tinggi.
“Aku akan mengakui ketangguhanmu jika kau berhasil
menahan serangan-seranganku. Pendekar Rajawali Sakti,” tegas Singo Wulung
dingin.
“Hm...,” gumam Rangga perlahan.
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan...!
Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Singo Wulung
langsung memberi serangan dahsyat. Sedikit pun kakinya tidak digerakkan. Tapi
tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke depan. Seketika seberkas cahaya
merah meluncur deras ke arah pemuda berbaju rompi putih.
“Uts...!” Buru-buru Rangga menarik tubuhnya ke
samping, sehingga sinar merah yang membentuk bulatan itu lewat di samping
tubuhnya. Namun pada saat yang sama, Singo Wulung melompat sambil berteriak
nyaring.
“Hiyaaat..!”
Bet! Bet!
Dua kali Singo Wulung melepaskan pukulan keras
bertenaga dalam tinggi sekali. Seketika Rangga meliukkan tubuhnya menghindari
serangan cepat dan dahsyat itu. Namun Pendekar Rajawali Sakti sempat
terperangah juga, karena merasakan adanya angin dorongan yang sangat kuat dari
tenaga pukulan yang dilepaskan Singo Wulung tadi. Dan ini membuat Rangga
sedikit terhuyung, terdorong ke belakang beberapa tindak.
“Hup! Haaap...!”
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti
menggerak-gerakkan tangannya di depan dada sambil mengerahkan tenaga dalam untuk
mengimbangi tenaga dalam yang dimiliki Singo Wulung. Pada saat itu, Singo
Wulung sudah kembali memberi serangan keras dan beruntun. Rangga berkelit dan
langsung menggerakkan kakinya dengan lincah sambil meliuk-liukkan tubuhnya.
Gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
sungguh indah sekali. Terlihat pelan dan lembut, namun sukar bagi Singo Wulung
untuk memasukkan pukulan dan tendangannya. Karena, Rangga mengerahkan jurus
‘Sembilan Langkah Ajaib’. Suatu jurus yang seringkali digunakan, dan belum ada
seorang pun yang bisa memecahkan kelemahannya dalam keadaan bertarung.
“Phuih! Hup...!”
Sambil menyemburkan ludahnya, Singo Wulung langsung
melompat ke belakang sejauh lima tindak. Hatinya benar-benar kesal, karena
Rangga bertarung seperti main-main saja, dan sedikit pun tidak memberi serangan
balasan. Pendekar Rajawali Sakti hanya menghindar dengan gerakan-gerakan
membingungkan, seolah-olah sama sekali tidak mengeluarkan jurus satu pun juga.
“Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kau ajak
main-main, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Singo Wulung.
“Hm...” Rangga hanya tersenyum saja sambil
menggumam perlahan.
Memang jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang
dimilikinya selalu membuat lawan jadi kesal. Dan tujuan jurus itu memang
demikian. Memancing kemarahan lawan hingga tidak bisa mengendalikan diri lagi.
Dengan demikian, tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk mendikte lawan. Hal ini
sering dialami Pendekar Rajawali Sakti dalam pertarungan. Suatu jurus aneh dan
sangat dibanggakannya. Meskipun lawan memiliki kepandaian tinggi sekali, paling
tidak akan membutuhkan waktu lama untuk bisa mengetahui kelemahannya. Memang
jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ ini hampir saja mencapai kesempurnaan, sehingga
hampir tidak ada kelemahannya.
“Hap...!”
Bet! Bet...!
Cepat sekali Singo Wulung melakukan beberapa
gerakan tangan disertai liukan tubuh yang lentur. Kemudian mendadak tangannya
menghentak ke depan. Pada saat itu, terlihat secercah cahaya merah memancar
keluar dari kedua telapak tangannya yang terbuka lebar, langsung meluruk deras
ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!”
Secepat kilat Rangga melompat ke atas dengan tubuh
berputaran beberapa kali di udara. Maka sinar merah itu lewat di bawah
tubuhnya. Namun Singo Wulung terus menghentakkan tangannya beberapa kali.
Akibatnya beberapa sinar merah yang membentuk bulatan seperti bola, terus
mencecar tubuh Rangga yang kini terpaksa berjumpalitan di udara. Beberapa
ledakan terdengar meng-gelegar saat bola-bola sinar merah itu mengantam tanah
dan bebatuan serta pohon-pohon yang langsung hancur seketika.
“Hap...!”
Bergegas Rangga meluruk turun begitu bola-bola
sinar merah tidak lagi mencecarnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi kaget
setengah mati, karena di tempat ini sudah tidak ada lagi laki-laki berbaju
merah menyala yang tadi menyerangnya dengan bola-bola merah. Entah kapan
perginya, tahu-tahu Singo Wulung sudah lenyap begitu saja seperti ditelan bumi.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi tak ada seorang pun yang
terlihat di lembah ini.
“Setan...!” dengus Rangga kesal.
“Aaa...!”
Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang yang
melengking tinggi. Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut. Lebih terkejut lagi,
karena jeritan itu datang dari arah dia meninggalkan Raden Antaka yang tengah
tidur. Dan di sana pula ada Rupadi, putra Kepala Desa Pucung.
“Hup! Hiyaaa...!”
Seketika itu juga Rangga melesat cepat bagaikan
kilat. Gerakannya sungguh luar biasa, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah
memiliki kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu
sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
“Raden...!” seru Rangga begitu sampai di tempat
Raden Antaka ditinggalkan. Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti,
karena Raden Antaka sudah tidak ada lagi di tempatnya. Sedangkan Rupadi masih
tergolek tak sadarkan diri. Tiga ekor kuda masih berada di tempatnya semula.
Hanya Raden Antaka yang menghilang.
“Raden...!” teriak Rangga kencang memanggil. Namun
tak ada sahutan. Suara panggilan keras itu menggema terpantul kembali. Sunyi,
tak ada suara sedikit pun terdengar. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan
pandangannya berkeliling.
“Hhh.... Seharusnya aku tidak meninggalkannya di
tempat ini,” keluh Rangga seraya menjatuhkan diri.
Tidak ada yang bisa dilakukannya. Raden Antaka
benar-benar lenyap. Dan hanya satu nama yang bisa terlintas di benak Pendekar
Rajawali Sakti itu. Rangga jadi cemas kalau Raden Antaka sampai jatuh ke tangan
Singo Wulung. Karena jelas betul, laki-laki berbaju merah yang menjadi buronan
pihak Kerajaan Talang Mega itu seorang laki-laki kejam.
“Kalau saja dia tidak bersikeras untuk ikut, tentu
tidak akan sampai begini. Hhh.... Anak itu benar-benar bikin susah...!” kembali
Rangga menggerutu mengeluh.
***
TIGA
Rangga memalingkan mukanya ketika mendengar
rintihan lirih. Saat itu pagi sudah datang menjelang. Matahari sudah agak
tinggi menyinari bumi. Cahayanya cukup terik membakar. Tampak Rupadi mulai
sadarkan diri. Kepalanya bergerak-gerak menggeleng, sebentar kemudian
menggerinjang bangkit duduk. Pemuda itu terkejut saat melihat ada orang lain di
dekatnya. Dan lebih terkejut lagi, begitu menyadari kalau masih berada di dekat
Lembah Intan.
“Oh, siapa kau? Kenapa kau berada di sini?” tanya
Rupadi.
“Tenangkan dulu dirimu. Kau baru saja bangun dari
pingsan semalaman,” jelas Rangga kalem.
“Pingsan...? Aku pingsan semalaman?!” Rupadi
terbeliak seakan-akan tidak percaya.
Pemuda itu mengingat-ingat kembali apa yang
dialaminya kemarin. Dan.... Memang dia tidak sadarkan diri setelah bertarung
melawan seorang berbaju merah. Rupadi memandangi Pendekar Rajawali Sakti
dalam-dalam, kemudian langsung beranjak bangkit berdiri dan berlari ke bibir
lembah. Pemuda itu memandangi lembah yang tidak seberapa besar di depannya.
“Kau berada di sini semalam?” tanya Rupadi seraya
memutar tubuhnya.
“Benar,” sahut Rangga seraya bangkit berdiri.
“Apakah ada suatu kejadian semalam di sini?” tanya
Rupadi lagi.
Pemuda itu mengayunkan kakinya mendekati Rangga
yang tengah membenahi kudanya. Kuda hitam yang tinggi dan tegap serta berotot
kuat. Namanya Dewa Bayu. Sedangkan Rupadi sendiri menghampiri kudanya. Sungguh
tidak disadari kalau Rangga tidak menjawab pertanyaannya tadi.
“Kuda siapa itu?” tanya Rupadi lagi.
“Teman,” sahut Rangga singkat.
“Lalu, ke mana temanmu?”
Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya
pemuda yang pernah dilihatnya beberapa hari yang lalu ketika menunggang kuda
seperti kesetanan, sehingga membuat hampir seluruh Desa Pucung gempar. Bahkan
hampir saja kuda milik Rupadi melanda seorang laki-laki tua. Dan rasanya tidak
mungkin Rangga bisa berterus-terang pada pemuda edan ini.
“Pergi,” hanya itu yang bisa dijawab Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung
kudanya. Sebentar dipandanginya kuda milik Raden Antaka. Jelas kalau itu hanya
kuda biasa yang tidak memiliki keistimewaan sama sekali. Tanpa berkata apa-apa
lagi, pemuda berbaju rompi putih itu berdecak seraya menghentakkan tali kekang
kudanya.
“Ck ck, yeh! Yeah!”
Kuda hitam itu melangkah perlahan meninggalkan
daerah sekitar lembah itu. Sedikit pun tidak dipedulikannya Rupadi yang
bergegas naik ke punggung kudanya. Rupadi mengambil tali kendali kuda yang
ditinggalkan Rangga. Bergegas kudanya digebah, menyusul Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hei, apa kau tidak membutuhkan kuda ini lagi?”
teriak Rupadi.
Rangga tidak menjawab, dan terus saja mengendalikan
kudanya dengan langkah perlahan. Rupadi mensejajarkan langkah kaki kudanya di
kanan pemuda berbaju rompi putih itu. Saat ini Rangga memang lagi segan bicara.
Semalaman Pendekar Rajawali Sakti tidak tidur, karena mencari Raden Antaka di
sekitar Lembah Intan itu. Tapi jejaknya saja tidak ditemukan. Pikirannya selalu
terpusat pada Putra Mahkota Kerajaan Talang Mega itu. Dia benar-benar
mencemaskan keselamatan Raden Antaka.
“Kalau tidak salah, aku pernah melihatmu,” kata
Rupadi seraya mengingat-ingat. Pemuda itu begitu yakin kalau pernah melihat
pemuda berbaju rompi putih ini. Tapi sukar untuk mengingat kembali, meskipun
telah berusaha. Tapi Rupadi begitu yakin kalau pernah melihatnya.
“Saat kau gila-gilaan memacu kuda. Hampir saja kau
membunuh seorang laki-laki tua,” jelas Rangga datar. Sedikit pun kepalanya
tidak menoleh pada Rupadi yang berkuda di sebelah kanannya.
“Oooh..., iya. Aku ingat. Maaf, waktu itu aku
buru-buru sekali,” Rupadi baru ingat.
Pemuda berbaju rompi putih inilah yang
menyelamatkan orang tua yang hampir saja terlanda kudanya waktu itu. Memang
hanya sekejap saja, sehingga Rupadi tidak sempat memperhatikan. Apalagi waktu
itu memang sedang terburu-buru. Tapi kenyataan yang dihadapinya sungguh pahit.
Ayahnya sendiri sudah tidak lagi mau percaya padanya. Dan Rupadi yakin,
kalaupun apa yang telah dilihatnya selama ini dikatakannya, pasti pemuda
berbaju rompi putih itu juga tidak akan mempercayai.
Rupadi jadi mengeluh sendiri karena kini tidak ada
lagi orang yang bisa mempercayai dirinya. Semua orang akan mencibir dan
melecehkannya. Bahkan yang lebih menyakitkan lagi, semua orang menganggap
dirinya sudah gila. Rupadi melirik pemuda berbaju rompi putih yang berkuda di
sebelah kirinya.
“Apakah dia juga menganggapku tidak waras lagi...?”
Rupadi bergumam sendiri di dalam hati. Otak pemuda itu terus bekerja keras,
menduga-duga tentang orang di sebelahnya.
“Kelihatannya kau bukan penduduk Desa Pucung,”
tebak Rupadi lagi.
“Memang,” sahut Rangga singkat.
“Apa kau sudah dengar tentang mayat-mayat tak
berkepala di Lembah Intan itu?” Rupadi mulai memancing. Dia memang masih belum
yakin kalau pemuda yang belum dikenalnya ini bisa mempercayainya atau tidak.
Namun kata-kata Rupadi barusan membuat Rangga
tersentak, sehingga langsung menghentikan langkah kaki kudanya. Dipandanginya
pemuda itu dalam-dalam. Sedangkan Rupadi sendiri juga terkejut, karena tidak
menduga kalau orang yang diajaknya bicara ini begitu terkejut. Bahkan seperti
belum mendengar tentang mayat-mayat tak berkepala yang selalu ditemuinya di
Lembah Intan.
“Maaf, seharusnya memang aku tidak berkata seperti
itu tadi. Kalau tidak suka mendengarnya, kuminta jangan menuduhku gila dan
pemimpi,” kata Rupadi buru-buru.
“Apa kau melihat tentang mayat tak berkepala itu
semalam...?” Rangga malah bertanya hal yang sama, disertai pandangan tajam
penuh selidik.
“Apa...?!” Rupadi sampai terbeliak mendengar
pertanyaan Rangga barusan.
Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju rompi
putih itu menanggapi sungguh-sungguh. Tapi... apakah memang ada lagi mayat tak
berkepala semalam...? Dan pemuda berbaju rompi putih ini.... Rupadi malah
memandangi Rangga dalam-dalam, seakan ingin meyakinkan pendengarannya barusan.
Keterkejutan Rupadi rupanya membawa kegembiraan juga. Pertanyaan Rangga barusan
sudah menandakan kalau selama ini dia tidak bermimpi. Dan memang benar ada
mayat-mayat tak berkepala di dalam lembah yang selalu bersinar terang pada
malam hari itu.
***
Senja sudah mulai merayap turun ke kaki langit.
Sang surya yang semula bersinar terik, kini jadi redup. Bahkan terasa lembut
sekali menyentuh kulit. Cahayanya memerah jingga membayang di balik belahan
bumi bagian barat. Begitu indahnya, sehingga tak patut jika dilewatkan begitu saja.
Namun keindahan senja ini tidak bisa dinikmati
seorang pemuda berwajah tampan yang rambutnya panjang meriap, sedikit tergelung
ke atas. Baju putih tanpa lengan yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin
yang cukup keras, menebarkan hawa sejuk menyegarkan. Pemuda berbaju rompi putih
itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil menuntun kuda hitamnya yang
mengikuti di belakang. Dia memang Rangga atau yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti.
Rangga tidak yakin kalau Singo Wulung beraksi tanpa
sebab. Terlebih lagi kali ini laki-laki itu seperti menyimpan sesuatu. Pasti
ada sesuatu yang terjadi di sekitar Desa Pucung dan Lembah Intan ini. Tapi
bukan hanya itu saja yang sekarang jadi beban pikiran Rangga. Karena sampai
saat ini nasib Raden Antaka yang menghilang begitu saja belum diketahuinya,
tanpa ada jejak sama sekali.
“Tolooong...!”
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
mendengar teriakan keras yang tidak seberapa jauh darinya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali
Sakti melesat cepat. Kudanya ditinggalkan begitu saja. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap saja Rangga sudah begitu jauh. Pendekar Rajawali Sakti
berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dia seperti berlari di
atas angin saja, seakan-akan kedua kakinya tidak menjejak tanah sama sekali.
Pendekar Rajawali Sakti terbeliak saat melihat
empat orang laki-laki yang kelihatannya masih muda dan tanggung, tengah memaksa
seorang gadis cantik berbaju kuning gading. Dua orang memegangi tangan gadis
itu dan berusaha menyeretnya. Sedangkan dua orang lagi menakut-nakutinya dengan
golok. Gadis itu meronta-ronta, mencoba melepaskan diri.
“He!...!” bentak Rangga keras.
Bentakan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu keras
membuat empat pemuda tanggung itu terkejut dan langsung melepaskan gadis itu.
Seketika mereka berlari kencang berserabutan, dan berpencaran menembus semak
dan kebun. Sedangkan gadis berbaju kuning gading itu bergegas menghampiri
Rangga. Air matanya bercucuran membasahi pipi yang kemerahan. Dia langsung
jatuh terduduk dan menangis sesenggukan.
“Ssst.., sudah. Mereka sudah tidak ada lagi,” bujuk
Rangga agar gadis itu diam tak menangis lagi.
Gadis berbaju kuning gading itu terus menangis
sesenggukan. Kemudian kepalanya diangkat, seraya menyeka air matanya dengan
punggung tangan. Lalu dipandanginya Rangga dengan sesekali masih terisak sambil
menggosok matanya dengan punggung tangan. Perlahan dia bangkit berdiri.
“Terima kasih,” ucap gadis itu tersendat.
“Sudahlah. Sebaiknya kau cepat pulang. Mereka sudah
pergi,” kata Rangga lembut, seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Tapi gadis itu malah memandangi Rangga dalam-dalam.
Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi tersenyum maklum. Tentu saja gadis ini tidak
berani pulang sendirian, dan pasti takut dicegat anak-anak berandal tadi.
Anak-anak tanggung yang mencoba berbuat nakal tanpa memikirkan akibatnya.
“Di mana rumahmu? Mari kuantar kau pulang,” Rangga
menawarkan jasa.
“Terima kasih,” ucap gadis itu perlahan.
Mereka kemudian melangkah perlahan-lahan. Gadis
berbaju kuning gading itu berjalan sambil menundukkan kepala. Seekor kuda hitam
datang menghampiri. Kuda itu mendengus-dengus dengan kepala terangguk-angguk
begitu dekat di depan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil tali kekang kuda
itu dan menuntunnya. Mereka terus saja berjalan tanpa bicara sedikit pun.
Sesekali gadis berbaju kuning gading itu melirik pemuda tampan berbaju rompi
putih yang berjalan di sampingnya. Saat pandangannya bertemu tatapan mata
pemuda itu, buru-buru perhatiannya dialihkan ke arah lain.
“Kakang pasti bukan dari Desa Pucung, ya...?” gadis
itu memulai pembicaraan.
“Benar,” sahut Rangga kalem.
“Kakang dari mana?” tanya gadis itu lagi.
“Dari jauh,” sahut Rangga seenaknya.
“Maksudku, dari desa mana?”
“Tidak tahu.”
“Kok tidak tahu...?” gadis itu jadi keheranan.
“Aku lahir dan besar di alam bebas. Jadi tidak tahu
berasal dari desa mana,” jelas Rangga. Tentu saja jawaban yang diberikan Rangga
tidak benar sama sekali. Dan itu memang disengaja, karena Pendekar Rajawali
Sakti tidak ingin ada orang lain mengetahui asal-usulnya, kecuali orang-orang
tertentu saja.
“Ooo.... Pengembara, ya...?” tebak gadis itu.
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja sambil
sedikit memberi senyuman. Mereka terus saja berjalan tanpa berbicara lagi.
Sementara Desa Pucung sudah terlihat di depan. Sebuah desa yang cukup ramai,
meskipun agak sedikit kumuh. Namun desa itu tergolong besar juga.
“Masih jauh rumahmu?” tanya Rangga.
“Dari sini juga sudah kelihatan,” sahut gadis itu.
“Yang mana?”
“Itu..., yang paling besar. Di depannya ada pohon
waru.”
Rangga sedikit tertegun juga saat gadis itu
menunjuk rumah yang paling besar di desa itu. Dan Rangga tahu kalau rumah itu
milik Kepala Desa Pucung. Pendekar Rajawali Sakti kemudian memandangi gadis
berbaju kuning gading yang berjalan di sampingnya ini.
“Kau anak kepala desa?” tebak Rangga.
“Benar. Namaku Lintang,” gadis itu membenarkan
tebakan Rangga seraya memperkenalkan namanya. “Kakang siapa?”
“Rangga,” sahut Rangga singkat.
“Kakang sudah pernah ke sana?” tanya Lintang lagi.
“Kemarin,” sahut Rangga, tetap singkat saja.
Kembali mereka terdiam. Sementara Desa Pucung sudah
semakin dekat saja. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melirik gadis di
sebelahnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran pemuda berbaju rompi putih saat
itu. Yang jelas, ingatannya langsung tertuju pada Rupadi yang saat ini entah
berada di mana saat ditinggalkan di dekat Lembah Intan.
Dia juga sudah pernah mendengar tentang Rupadi yang
dikatakan sebagai pemimpi. Ini karena dia selalu merasa yakin kalau benar
melihat mayat-mayat tanpa kepala di lembah itu. Dan semalam, Rangga juga
melihat. Bahkan tahu siapa pelakunya. Pendekar Rajawali Sakti sempat pula
bertarung beberapa jurus. Sayangnya orang yang selalu mengenakan baju merah itu
sempat kabur.
“Kok diam, Kakang?” tegur Lintang.
“Ah, tidak. Aku hanya sedang berpikir...,” sahut
Rangga dengan sengaja memutuskan ucapannya.
“Boleh kutahu, apa yang kau pikirkan, Kakang?”
pinta Lintang.
“Tentu saja. Aku sedang memikirkan dirimu,” sahut
Rangga.
“Memikirkan aku...?!” Lintang tampak terkejut.
“Iya. Aku heran, untuk apa kau datang ke tempat
seperti itu seorang diri...?” Ada saja pikiran yang terlintas di benak Rangga
saat ini.
“Aku mencari kakakku,” sahut Lintang.
“Siapa kakakmu?” tanya Rangga berpura-pura.
“Kakang Rupadi. Apa Kakang melihatnya? Dia
menunggang kuda coklat, berbaju putih dan membawa pedang,” Lintang menyebutkan
ciri-ciri kakaknya.
Sedangkan Rangga yang sebenarnya sudah mengetahui,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tepat sekali ciri-ciri yang diberikan Lintang
tentang Rupadi.
“Lalu, siapa anak-anak itu tadi?” tanya Rangga
lagi.
“Aku tidak tahu. Katanya mereka melihat Kakang
Rupadi. Tidak tahunya, aku malah dibawa ke sana...,” agak bergidik tubuh
Lintang begitu teringat kejadian tadi.
“Apa mereka bukan penduduk Desa Pucung?”
“Tidak tahu. Aku tidak kenal semua orang di sini,”
sahut Lintang polos.
Rangga hanya tersenyum saja. Lintang benar-benar
merupakan gadis desa yang polos dan lugu. Gadis remaja yang tak pernah keluar
rumah dan selalu menuruti kata orang tua, tanpa peduli dengan perasaan hatinya
sendiri. Masih banyak gadis desa di sekitar wilayah kulon ini, bukan hanya
gadis desa seperti Lintang ini, bahkan gadis-gadis bangsawan pun begitu. Bahkan
lebih parah lagi, mereka tidak bisa bebas bergaul, apalagi keluar dari pintu
rumahnya. Jika mereka ingin keluar rumah, maka puluhan orang yang mengawalnya.
Mereka terus saja berjalan, dan kini memasuki Desa
Pucung yang selalu ramai. Mereka yang berpapasan, menganggukkan kepalanya. Dan
Lintang hanya membalas dengan senyum saja sambil mengangguk sedikit. Rupanya
semua penduduk desa ini mengenali Lintang. Tapi gadis itu sendiri tidak kenal
mereka semua. Hanya orang-orang tertentu saja yang dikenali.
***
Rangga duduk sendiri menghadapi sebuah meja kecil
berbentuk persegi. Hanya ada seguci arak dan gelas bambu yang digosok halus
sekali. Tidak begitu banyak orang yang bertandang di kedai ini. Hanya ada dua
orang laki-laki setengah baya yang kelihatannya sudah mabuk kebanyakan minum
arak. Kemudian seorang perempuan yang masih muda, serta empat anak muda yang
mungkin rata-rata berusia di bawah dua puluh tahun.
Pendekar Rajawali Sakti lebih tertarik pada keempat
pemuda itu, karena pernah bertemu, meskipun itu hanya sebentar saja. Pertemuan
yang tidak mengenakkan sekali. Tapi rupanya empat orang anak muda itu tidak
mengenali Rangga lagi. Mereka minum arak sambil berceloteh, dan sesekali
terdengar tawa berderai.
“Hm, rupanya mereka penduduk desa ini juga,” gumam
Rangga. “Ah kenakalan anak-anak muda.”
Entah kenapa Rangga jadi tersenyum sendiri. Dan
kini pandangan Pendekar Rajawali Sakti terpaku pada seorang wanita berwajah
cantik yang mengenakan baju merah muda. Wanita itu baru saja keluar dari bagian
dalam kedai ini. Baju yang dikenakan begitu ketat dan agak tipis, seakan-akan
sengaja untuk mengundang gairah laki-laki.
Wanita itu menghampiri empat anak muda yang tengah
berpesta di sudut. Keempat anak muda itu langsung terdiam saat wanita itu
tahu-tahu duduk di situ. Mereka memandangi tanpa berkedip. Sedangkan wanita itu
hanya tersenyum saja.
“Bagaimana...?” datar sekali nada suara wanita itu.
Dirayapinya wajah-wajah empat anak muda tanggung di hadapannya.
“Payah, Nyai Rusila,” sahut salah seorang dengan
wajah agak gusar.
“Payah...? Maksudmu?”
“Gagal.”
“He....?” wanita cantik yang ternyata istri muda
kepala desa itu tampak terkejut sekali.
Pandangan matanya kini tidak lagi lembut, tapi
terlihat liar. Dan keempat anak muda tanggung itu jadi tertunduk. Tak terdengar
lagi celotehan yang selalu mengundang tawa. Sementara di sudut lain, Rangga
selalu memperhatikan melalui sudut ekor matanya. Pendekar Rajawali Sakti
sengaja merapatkan tubuhnya ke dinding, agar terhalang oleh tiang. Dia tidak
ingin mereka mengetahui kehadirannya di sini.
“Bagaimana kalian bisa gagal, heh...?!”
“Ada yang menolongnya, Nyai,” sahut anak muda yang
memakai baju kuning dan dadanya dibiarkan terbuka lebar.
“Siapa?”
Empat anak muda tanggung itu tidak ada yang
menjawab. Mereka saling berpandangan. Sedangkan wanita cantik berbaju merah
muda itu memandangi tajam satu persatu tanpa berkedip. Wajah yang cantik bagai
bidadari itu terlihat menegang. Memang terlihat semakin cantik. Namun di balik
kecantikannya, tersimpan sesuatu yang agaknya sangat mengerikan.
“Aku tanya, siapa yang menolongnya?” dingin sekali
nada suara wanita itu.
“Tidak tahu, Nyai.”
“Tidak tahu...?!” wanita itu semakin mendelik.
Empat anak muda itu semakin menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Mereka memang tidak sempat melihat Rangga waktu itu, karena
langsung kabur begitu mendengar bentakan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kali ini kalian harus berhasil. Dan aku tidak mau
mendengar kegagalan lagi,” tegas wanita itu lagi. Dingin sekali nada suaranya.
Mereka hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Sekarang dia ada di sungai. Sebaiknya kalian
tunggu di tempat yang sepi. Dan ingat, jangan sampai gagal lagi...!”
Setelah berkata demikian, wanita cantik berbaju
merah muda itu beranjak bangkit. Dia langsung saja melangkah pergi melalui
jalan belakang kedai ini. Sedangkan empat pemuda tanggung itu saling
berpandangan sejenak. Mereka sama-sama mengangkat bahunya. Tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka pun beranjak pergi meninggalkan kedai ini.
***
Senja sudah mulai merayap turun menyelimuti
mayapada ini. Cahaya matahari tidak lagi memancar terik. Sinarnya kini begitu
redup dan lembut membelai dedaunan. Di bawah siraman lembutnya sinar sang
surya, terlihat seorang gadis mengenakan baju kuning gading tengah berjalan
perlahan-lahan. Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap ke depan, melewati bahu
kanannya.
Gadis itu menghentikan ayunan langkahnya ketika
tiba-tiba saja empat orang anak muda tanggung menghadang di tengah-tengah
jalan. Wajahnya yang cantik mendadak saja jadi memucat pasi. Dan keempat anak
muda itu tersenyum-senyum sambil melangkah mendekati.
“Mau apa kalian...?!” bentak gadis itu dengan suara
bergetar. Gadis itu melangkah mundur perlahan. Sedangkan empat anak muda itu
malah tertawa-tawa, membuat gadis itu semakin ketakutan. Bergegas tubuhnya
diputar dan berlari sekencang-kencangnya. Tapi keempat anak muda itu lebih
cepat lagi mengejar. Mereka berlompatan, dan tahu-tahu dua orang sudah
menghadangnya.
“Pergi! Jangan ganggu aku...!” bentak gadis itu
semakin bergetar ketakutan.
Gadis itu ingin berlari. Tapi salah seorang sudah
lebih dahulu melompat, dan langsung mencengkeram pergelangan tangannya. Tentu
saja gadis itu terpekik kaget, dan langsung meronta berusaha melepaskan diri.
Namun sebelum usahanya membawa hasil, seorang lagi sudah menyergap memeluk
pinggangnya.
“Lepaskan...!” sentak gadis itu sambil terus
meronta.
Rontaan yang kuat membuat dua orang anak muda itu
agak kewalahan juga. Tentu saja mereka jadi kehilangan keseimbangan. Tak pelak
lagi, mereka jatuh bergulingan di tanah disertai pekikan tertahan. Cengkeraman
pemuda itu terlepas. Namun sebelum gadis berbaju kuning gading itu bisa
meloloskan diri, seorang anak muda lainnya sudah keburu menyergap. Kembali
mereka bergulingan. Anak muda itu memeluk kuat sekali.
“Kurang ajar! Lepaskan...!” teriak gadis itu seraya
berusaha meronta mencoba melepaskan diri.
Tapi rupanya gadis ini benar-benar sedang sial.
Karena belum juga usahanya berhasil, dua orang anak muda lainnya sudah
memegangi tangannya kuat-kuat. Kedua tangan mungil itu direntangkan, dan
ditekan ke tanah. Seorang lagi tetap memeluknya, menindih tubuh ramping yang
terus menggeliat meronta, mencoba melepaskan diri.
“Tolooong....!” teriak gadis itu sekuat-kuatnya.
“Diam...!” bentak salah seorang anak muda.
Plak!
“Akh...!” gadis itu memekik saat tiba-tiba saja
pipinya terasa panas.
Satu tamparan keras menghentikan usaha gadis itu.
Dan dia hanya bisa merintih, menghiba, memohon agar dilepaskan. Namun empat
pemuda itu sama sekali tidak melepaskannya. Mereka seakan-akan tidak mendengar
rintihan lirih gadis itu. Bahkan salah seorang tiba-tiba saja mulai bertindak.
Bret!
“Auw...!” lagi-lagi gadis itu terpekik.
Air mata langsung mengalir saat tangan kasar anak
muda itu merobek baju yang dikenakannya. Tampak bagian dada telah terbuka,
karena baju yang menutupinya terenggut kasar. Terlihat kulit yang putih mulus
yang membalut dua gundukan indah terpampang lebar. Empat pasang mata terbeliak
tak berkedip penuh nafsu. Jakun mereka bergerak-gerak turun naik seperti
menahan air liur. Mendadak saja napas mereka terengah melihat pemandangan indah
dan membangkitkan gairah itu.
“Jangan..., lepaskan aku...,” rintih gadis itu
memohon.
“He he he....”
Tapi empat anak muda itu malah terkekeh-kekeh
sambil merayapi bagian dada gadis itu dengan penuh gairah yang menggelegak. Dan
salah seorang mulai menggerayangi tubuh gadis itu. Tangan kasar itu meremas
bukit putih kembar yang halus terbuka menantang. Gadis itu memekik dan
merintih. Air mata semakin deras mengalir bagai tanggul jebol.
Bret!
“Awh...!”
Gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi.
Tangan-tangan kasar mencabik-cabik kain yang menutupi tubuhnya. Beberapa bagian
tubuhnya terbuka lebar, membuat jantung empat anak muda itu semakin keras
berdegup. Napas mereka tersengal dan mendengus-dengus. Tangan-tangan kasar
meremas dan menggerayangi bagian-bagian tubuh yang terbungkus kulit putih
halus. Sementara gadis itu semakin tak berdaya.
Sia-sia saja dia meronta, mencoba melepaskan diri.
Jelas tenaganya kalah jauh dibanding empat anak muda yang sudah dirasuki nafsu
binatang itu. Gadis itu hanya bisa merintih dan menangis memohon belas kasihan.
Namun rintihannya semakin membuat empat anak muda ini tergugah gairahnya.
“Binatang...!” Tiba-tiba saja terdengar bentakan
keras menggelegar. Bentakan itu membuat empat anak muda yang tengah dirasuki
nafsu iblis, tersentak kaget. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu, mendadak
saja satu bayangan putih berkelebat cepat. Dan tahu-tahu empat anak muda itu
berpentalan ke atas.
Pekikan-pekikan keras terdengar melengking. Empat
tubuh jatuh keras dan bergelimpangan di tanah. Merasa terlepas dari cengkeraman
nafsu iblis empat anak muda, gadis itu buru-buru bangkit seraya membenahi
pakaiannya yang tidak karuan lagi bentuknya.
Dia berusaha menutupi tubuh yang terbuka seadanya
dengan pakaian sobek tak karuan lagi. “Oh, tolong aku...,” rintih gadis itu
seraya berlari ke arah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tahu-tahu
sudah berdiri tegak memandangi empat anak muda.
Keempat anak muda itu merintih kesakitan dan
berusaha bangkit berdiri. Mereka terkejut begitu melihat sudah ada seorang
pemuda berbaju rompi putih berdiri di depannya. Sementara gadis itu telah
berada di belakang punggungnya, menyembunyikan diri dengan wajah pucat dan
tubuh gemetaran.
“Pergi! Atau kubuntungi tangan kalian!” bentak
pemuda itu keras.
Empat anak muda tanggung itu langsung saja berlari
sekencang-kencangnya. Bentakan laki-laki tampan berbaju rompi putih itu bagai
suatu kesempatan agar bisa bernapas panjang lagi. Sebentar saja mereka sudah
jauh. Pemuda berbaju rompi putih itu segera memutar tubuhnya.
“Kau tidak apa-apa, Lintang?” lembut sekali
suaranya. Gadis yang memang bernama Lintang itu tidak menjawab. Dia langsung
menangis terduduk lemas. Sudah dua kali gadis itu terlepas dari cengkeraman
anak-anak muda berandal. Dan dua kali pula pemuda ini menolongnya.
***
EMPAT
Saat itu Rupadi masuk dengan langkah tergesa-gesa.
Pemuda itu tertegun saat pandangannya tertumbuk pada pemuda berbaju rompi putih
yang duduk di depan ayahnya dan Lintang. Mereka semua memandang Rupadi yang
kelihatan lusuh dan kotor berdebu.
“Ayah...,” Rupadi menghampiri.
“Ada apa lagi? Mau melaporkan omongan kosong
lagi...?” sentak Ki Rejo langsung mendelik.
Rupadi langsung diam, kemudian menyambar cangkir
teh yang berada di depan Rangga. Langsung dihirupnya teh itu hingga tuntas tak
bersisa.
“He...! Itu punya tamu!” sentak Lintang.
“Tanggung,” seenaknya saja Rupadi menyahuti.
Diletakkannya kembali cangkir yang sudah kosong itu.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum geli saja.
“Kau benar-benar tidak tahu tata krama, Rupadi...,”
desis Ki Rejo berang.
Rupadi tidak menanggapi. Tubuhnya dihenyakkan di
kursi yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Lintang dan Ki
Rejo jadi marah melihat sikap Rupadi yang begitu seenaknya. Malah sepertinya
tidak peduli kalau di situ ada orang lain yang menjadi tamu di rumah ini.
“Aku kenal. Kebetulan ada di sini,” kata Rupadi
ringan.
“Kau jangan sembarangan, Rupadi!” bentak Ki Rejo.
“Katakan pada ayahku, kalau kau juga melihat mayat
tanpa kepala di Lembah Intan, Rangga,” kata Rupadi tidak peduli dengan bentakan
ayahnya.
Ki Rejo mendelik kesal terhadap sikap anak
laki-lakinya ini. Tapi dia agak terkejut juga mendengar kata-kata Rupadi
barusan. Laki-laki setengah baya yang selalu perlente itu memandang Pendekar
Rajawali Sakti. Dia berharap kalau pemuda berbaju rompi putih ini tidak
membenarkan apa yang dikatakan Rupadi tadi.
Tapi laki-laki setengah baya itu jadi terkejut,
karena Rangga menganggukkan kepalanya. Jadi berarti juga membenarkan kalau di
Lembah Intan selalu terjadi pembunuhan keji. Dan Rupadi selalu menemukan mayat
tanpa kepala lagi di sana. Ki Rejo memandangi Rupadi yang tersenyum-senyum
penuh kemenangan. Baginya, kehadiran Rangga di rumah ini merupakan bintang
terang yang bersinar cemerlang meneranginya.
“Benar kau melihatnya, Nak Rangga?” Ki Rejo ingin
memastikan.
“Bukan hanya melihat, Ayah. Tapi Rangga juga
bertarung dengan pembunuhnya,” Rupadi yang menyahuti.
“Aku tidak bertanya padamu, Rupadi!” bentak Ki
Rejo.
Rupadi langsung bungkam. Namun ada senyum tipis
tersungging di bibirnya. Sedangkan Lintang hanya diam saja mendengarkan. Dia
tidak peduli. Namun hatinya kesal juga karena dia yang membawa pemuda tampan
itu ke rumah ini. Dan sekarang, yang dibicarakan malah sesuatu yang tidak
diinginkan sama sekali. Lintang memaki dalam hati terhadap Rupadi yang muncul
pada saat tidak diharapkan.
“Benar begitu, Nak Rangga?” tanya Ki Rejo belum
yakin.
“Benar, Ki. Bahkan aku mengenalinya. Dan memang
dialah yang sedang kucari selama ini,” sahut Rangga kalem.
Senyum di bibir Rupadi semakin lebar. Hatinya
benar-benar mekar sekarang. Terlebih lagi melihat raut wajah ayahnya yang
langsung berubah mendengar jawaban langsung Pendekar Rajawali Sakti. Jawaban
yang sebenarnya tidak diharapkan sama sekali oleh laki-laki setengah baya
perlente ini.
Ki Rejo tidak bertanya-tanya lagi. Keningnya
terlihat berkerut dalam. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
Sedangkan Rangga sama sekali tidak memperhatikan, karena tidak ingin terlibat
di dalam rumah tangga kepala desa ini. Kedatangannya ke desa ini dengan maksud
menangkap Singo Wulung dan membawanya kembali ke Kerajaan Talang Mega. Tapi
masih ada satu persoalan lagi yang harus dihadapinya, Pendekar Rajawali Sakti
harus menemukan Raden Antaka yang menghilang tak ketahuan rimbanya sampai saat
ini. Rangga mencemaskan nasib putra mahkota itu.
“Maaf, aku tinggal dulu,” ujar Ki Rejo seraya
bangkit berdiri. Laki-laki setengah baya itu langsung saja beranjak pergi
sebelum Rangga menjawab. Saat itu Rangga baru menyadari ada sesuatu yang
berubah pada raut wajah Ki Rejo. Namun sulit bisa diketahui lebih jauh lagi.
Sementara laki-laki setengah baya itu sudah menghilang di balik pintu. Rangga
hanya mendesah panjang, menghilangkan semua dugaannya terhadap laki-laki
setengah baya itu.
“Sekarang semua orang baru percaya padaku. Hilang
sudah semua anggapan gila pada diriku...,” desak Rupadi lega.
Pemuda itu menepuk pundak Rangga, lalu bangkit
berdiri. Sambil bersiul-siul kakinya diayunkan meninggalkan beranda itu, menuju
samping rumah. Siulannya yang tak berirama itu terus terdengar. Kemudian
menghilang bersamaan dengan tidak terlihatnya punggung pemuda itu.
“Huh! Bosan...! Itu-itu saja yang dibicarakan,”
dengus Lintang memberengut.
Rangga memandangi gadis yang sudah mengenakan baju
merah muda itu. Lintang semakin kelihatan cantik dalam keadaan rapi dan bersih
seperti ini. Namun pikiran Rangga sekarang sedang bertumpuk. Apa yang
didengarnya tadi merupakan tanda kalau sepak terjang Singo Wulung memang
merajalela lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, kalau Singo Wulung
selalu bergerak bila ada yang membayar tinggi. Yang menjadi pertanyaannya
sekarang, siapa yang membayar si Singo Wulung? Dan apa tujuannya menggunakan
pembunuh bayaran itu di Desa Pucung yang kumuh ini?
Pertanyaan yang sukar untuk dijawab secepat ini.
Dan Rangga melihat adanya tantangan untuk bisa mengungkap, selain juga harus
membekuk dan membawa buronan itu kembali ke Kerajaan Talang Mega. Memang Prabu
Ranakali memberi kebebasan untuk melenyapkan buat selama-lamanya. Tapi Rangga
akan berusaha agar bisa membawa Singo Wulung dalam keadaan hidup.
***
Rangga mendadak sekali menghentikan lari kudanya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun dari punggung kuda hitam yang
bernama Dewa Bayu itu. Tatapan matanya tidak berkedip, terpaku lurus pada empat
sosok tubuh yang tergeletak di tengah jalan. Rangga mengenali kalau empat orang
pemuda itu adalah pemuda-pemuda tanggung yang dua kali hampir merenggut
kehormatan Lintang.
Namun belum juga Rangga melangkah mendekati,
mendadak saja telinganya yang peka mendengar desiran angin halus dari samping
kanannya. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga sebuah benda halus seperti jarum berwarna kemerahan lewat di depan
dadanya.
“Hup...!” Bergegas Pendekar Rajawali Sakti
melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang dua kali. Dengan manis sekali
kakinya mendarat di tanah. Kemudian tubuhnya berputar ke kanan. Dan sebelum
bisa melakukan sesuatu, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat
bagai kilat menerjangnya.
Begitu cepat terjangannya, sehingga Rangga hampir
saja tidak sempat lagi berkelit. Bayangan merah itu langsung menghantam ke arah
dada. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti harus berseru keras, sambil mengibaskan
tangannya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental sejauh tiga batang tombak ke
belakang, begitu tangannya membentur sesuatu dengan keras.
Beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, namun
cepat bangkit berdiri. Bergegas Rangga melakukan beberapa gerakan disertai
pengaturan napas yang baik. Saat itu bayangan merah sudah kembali berkelebat
menerjang cepat bagai kilat.
“Hup! Yeaaah...!” Buru-buru Rangga melentingkan
tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Namun sebelum
sempat bangkit berdiri, beberapa benda berbentuk jarum halus bertebaran ke
arahnya.
“Bedebah...!” umpat Rangga berang. Pendekar
Rajawali Sakti terpaksa menggulirkan tubuhnya beberapa kali ke kanan dan ke
kiri, menghindari serbuan jarum-jarum berwarna merah itu. Namun salah satu
jarum berhasil menghantam kakinya.
Crab!
“Akh...!” Rangga terpekik tertahan. Seketika kaki
kanannya terasa jadi panas bagai terbakar. Panas itu semakin menjalar ke
seluruh tubuhnya. Rangga menggelepar sambil berteriak-teriak, namun cepat
bangkit duduk bersila. Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat melakukan
sesuatu, satu hantaman keras mendarat dadanya. Begitu tiba-tiba, dan demikian keras!
Deghk!
“Akh...!” lagi-lagi Rangga terpekik keras agak
tertahan. Pendekar Rajawali Sakti terpental bergulingan kembali ke tanah.
Sebongkah batu yang cukup besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya sebentar saja mampu menggeliat dan
mengerang. Sesaat kemudian, diam tak berkutik lagi.
“Ha ha ha...!” terdengar tawa menggelegar. Kembali
terlihat bayangan merah itu berkelebat dan langsung menyambar tubuh Pendekar
Rajawali Sakti yang tergeletak pingsan di tanah. Saat bayangan merah itu
berkelebat, seketika itu juga lenyap bersamaan dengan lenyapnya tubuh Rangga.
Sebentar saja suasana kembali sunyi seperti tidak
pernah terjadi sesuatu di tepi hutan dekat perbatasan sebelah selatan Desa
Pucung itu. Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti langsung
menjadi beringas di tempatnya. Mungkin karena ada ikatan batin, seakan-akan
kuda itu marah melihat peristiwa yang baru saja berlangsung. Dewa Bayu
meringkik sambil menghentak-hentakkan kakinya ke depan.
***
Sementara itu, tampak seekor kuda coklat berpacu
membelah jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berbaju putih yang rambut
panjangnya dibiarkan meriap. Hanya selembar pita hijau yang mengikat kepalanya.
“Hooop...!” Pemuda itu menghentikan langkah kaki
kudanya dengan mendadak sekali. Dia langsung melompat turun dari punggung kudanya.
Kedua matanya membeliak lebar melihat empat sosok tubuh tergeletak tak bernyawa
lagi menghadang di tengah jalan. Darah yang keluar dari dada, sudah hampir
mengering. Dan tidak jauh dari keempat mayat itu tampak seekor kuda hitam yang
tinggi dan tegap tengah melonjak-lonjak seperti melihat hantu.
“Rangga...,” pemuda itu mendesis perlahan. Bergegas
dihampiri kuda itu. Namun belum juga dekat, kuda itu langsung melompat kabur.
Hampir saja kuda hitam itu menerjang. Untung pemuda itu cepat-cepat melompat
menyingkir. Kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti terus berlari kencang
bagai angin menembus lebatnya hutan.
“Pasti sesuatu telah terjadi pada Rangga,” desis
pemuda itu setengah bergumam.
Cepat-cepat pemuda itu melompat naik ke punggung
kudanya. Langsung digebahnya kuda itu dengan kecepatan tinggi. Kuda coklat itu
melompat berlari kencang, kembali menuju Desa Pucung.
“Hiya...! Hiya...!”
Pemuda itu terus menggebah kudanya meskipun sudah
memasuki Desa Pucung. Orang-orang yang berada di sepanjang jalan desa itu
mengumpat dan memaki sambil buru-buru menyingkir.
“Rupadi kumat lagi!” umpat orang-orang itu.
Dan seperti biasanya, pemuda yang memang Rupadi itu
tidak peduli. Kudanya terus saja dipacu cepat. Beberapa barang yang menghadang
di tengah jalan langsung saja diterjang tak peduli. Padahal pemiliknya
memaki-maki sambil melemparinya dengan macam-macam benda yang bisa terjangkau.
“Hiya, hiya...!”
Rupadi terus saja menggebah kudanya semakin cepat.
Sama sekali tidak dipedulikan benda-benda yang melayang mengarah padanya.
Kudanya terus digebah semakin sering dan cepat. Kuda itu menuju rumah Kepala
Desa Pucung ini. Beberapa orang yang berada di depan pintu pagar rumah itu
bergegas menyingkir saat melihat Rupadi memacu kuda bagai kesetanan.
“Awas, minggir...!” teriak Rupadi keras.
“Edan..!”
Orang-orang itu hanya bisa mengumpat sambil
mengurut dada melihat kegilaan Rupadi kambuh lagi, padahal beberapa hari ini
telah lenyap. Pemuda itu menerobos pintu pagar dan terus melintasi halaman
depan yang luas.
“Hup! Hiyaaa...!”
Tanpa menghentikan lari kudanya, Rupadi langsung
melompat turun. Dua kali tubuhnya berjumpalitan di udara. Gerakannya manis
sekali. Kemudian kakinya mendarat tepat di beranda depan. Langsung diterobosnya
pintu, lalu masuk ke dalam. Lintang yang berada di beranda itu jadi terkejut
dan hanya bisa melongo memandangi saja.
Rupadi langsung saja menerobos masuk ke dalam.
Namun setelah agak lama berada di dalam rumah besar itu, dia keluar lagi.
Ayunan kakinya cepat dan lebar-lebar. Namun begitu melihat Lintang yang tengah
duduk mencangkung di beranda, ayunan kakinya langsung berhenti.
“Ayah mana, Lintang?” tanya Rupadi.
“Mana aku tahu...? Cari saja sendiri,” sahut
Lintang acuh.
“Kau jangan main-main, Lintang. Aku
sungguh-sungguh!” Rupadi jadi gusar melihat sikap adiknya yang masa bodoh saja.
“Aku tidak tahu...!” bentak Lintang balas mendelik.
“Huh!” Rupadi mendengus.
Pemuda itu mengedarkan pandangannya berkeliling.
Sudah dicari ke seluruh ruangan rumah ini, tapi ayahnya tidak ditemukan. Bahkan
perempuan muda yang dibencinya juga tidak ada. Rupadi kembali menatap adiknya
yang kelihatan acuh saja, asyik dengan sulamannya.
“Kau lihat Rusila, Lintang?” tanya Rupadi.
“He...?! Apa kau bilang...?” Lintang mendelik.
“Kau lihat Rusila, tidak...?” Rupadi mengeraskan
suaranya.
“Kau sama sekali tidak menghormati ibu, Kakang,”
dengus Lintang tanpa menyahuti pertanyaan kakaknya ini.
“Dia bukan ibuku! Bukan ibumu!” sentak Rupadi
kasar. “Mana dia...?”
“Tidak tahu. Cari saja sendiri.”
“Setan kau!” dengus Rupadi kesal.
“Apa...?!” Lintang mendelik.
Tapi sebelum gadis itu membalas, Rupadi sudah cepat
meninggalkannya dengan langkah lebar-lebar. Lintang hanya bisa memaki dalam
hati. Entah kenapa, sejak ayah mereka kawin lagi selalu saja ada pertengkaran
bila kakak adik ini bertemu. Lintang sendiri tidak mengerti kenapa Rupadi
begitu membenci ibu tirinya. Meskipun ibu tiri mereka usianya hanya terpaut
satu tahun dengan Lintang, tapi sudah resmi menjadi istri Ki Rejo. Dan itu
berarti jadi ibu mereka juga.
“Huuuh..., dasar...!” Lintang mencibir kesal.
Kembali ditekuni sulamannya. Sedangkan Rupadi sudah
tidak kelihatan lagi. Entah pergi ke mana. Sama sekali gadis itu tidak ambil
peduli. Kesibukannya membuat sulaman begitu menyita perhatiannya. Sehingga
Lintang tidak mau tahu, apa yang tengah terjadi di rumah ini.
***
LIMA
Byur!
Rangga gelagapan ketika tiba-tiba saja seember air
mengguyur tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti langsung terbangun dari
ketidaksadarannya. Pemuda berbaju rompi putih itu terkejut saat mengetahui
dirinya berada di dalam sebuah ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari
belahan papan.
Sebentar Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya,
mencoba mengusir rasa pening yang menghantam kepalanya. Air yang mengguyur
seluruh tubuhnya begitu dingin, membuatnya menggeletar menggigil. Pendekar
Rajawali Sakti meringis saat sebuah tangan kasar menjambak rambutnya dan
memaksa kepalanya terangkat. Tampak di depannya kini berdiri seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun lebih. Bajunya merah menyala dan agak ketat.
“Hih...!” laki-laki berbaju merah itu menyentakkan
kepala Rangga.
Seketika itu juga Rangga terpental ke belakang dan
jatuh ter-jerembab telentang. Pendekar Rajawali Sakti mencoba menggerakkan
tubuhnya, tapi langsung menyadari kalau jalan darahnya sudah tertotok. Dan ini
membuat seluruh anggota tubuhnya jadi lumpuh, tak bisa digerakkan lagi. Hanya
kepalanya saja yang masih bisa bergerak bebas.
“Seharusnya aku sudah membunuhmu, Pendekar Rajawali
Sakti,” dingin sekali nada suara laki-laki berbaju merah menyala itu.
“Kenapa tidak kau lakukan, Singo Wulung?” balas
Rangga dengan suara yang juga dingin menggetarkan.
“Ha ha ha...!” laki-laki berbaju merah menyala yang
dikenali Rangga bernama Singo Wulung, tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya demikian keras menggelegar,
seakan-akan ingin meruntuhkan ruangan kecil yang pengap ini. Namun hanya
sebentar saja tertawa, selanjutnya rahangnya dikatupkan rapat-rapat. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk, seakan-akan hendak menguras isi hati Pendekar
Rajawali Sakti. Untuk sesaat lamanya, suasana di dalam ruangan sempit dan kotor
ini jadi sunyi senyap.
“Terlalu mudah untuk membunuhmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Kau memang harus mati, tapi penderitaan
panjang akan membuat matimu lebih berkesan,” kata Singo Wulung dingin
menggetarkan.
Rangga hanya diam saja. Agak bergetar juga hatinya
mendengar ancaman itu. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Singo Wulung tidak
akan berkata kosong kalau sudah diiringi nada ancaman seperti ini. Ancamannya
akan dilaksanakan, cepat atau lambat. Singo wulung adalah sosok manusia berhati
iblis.
Hatinya akan senang dan tertawa gembira melihat
suatu penderitaan di depan matanya. Baginya, rintihan kesakitan dan jerit
kematian merupakan irama merdu yang sangat menghibur hatinya. Tak ada yang bisa
membuat hatinya gembira, selain melihat penderitaan orang lain. Terlebih lagi
jika penderitaan itu dilakukannya sendiri.
“Kau akan merasakan penderitaan itu, Pendekar
Rajawali Sakti. Ha ha ha...!”
Singo Wulung melangkah keluar diiringi tawanya yang
lepas berderai. Sedangkan Rangga hanya bisa diam tanpa mampu berbuat apa-apa
lagi. Seluruh jalan darahnya sudah tertotok. Terlalu sukar untuk melepaskannya,
karena yang melakukan totokan ini memiliki ilmu tenaga dalam tinggi. Mungkin
Rangga bisa melepaskan totokan ini, tapi membutuhkan waktu dan pengerahan hawa
murni yang tidak sedikit. Dan bisa-bisa akan lumpuh untuk selamanya jika
kekuatan hawa murninya tidak bisa mengalahkan totokan ini. Untuk melawan dengan
tenaga dalam, rasanya terlalu riskan. Sangat besar risikonya.
Rangga berpikir keras mencari jalan keluar untuk
bisa terbebas dari belenggu yang sangat menyiksa ini. Masalahnya Pendekar
Rajawali Sakti tidak tahu, seberapa tinggi tingkatan tenaga dalam yang dimiliki
Singo Wulung. Kalau masih berada satu tingkat saja, itu akan mengandung akibat
yang tidak kecil. Bahkan bisa lebih parah lagi. Paling tidak bisa mengakibatkan
kematian yang menyiksa sekali. Dan Rangga tidak ingin mati dengan cara seperti
ini.
“Huhhh...!” Rangga mengeluh panjang. Otaknya terasa
buntu, sukar diajak berpikir. Pandangannya kembali beredar ke sekeliling. Tapi
tak ada yang bisa dijadikan alat untuk membebaskan diri dari belenggu yang
menyiksa ini. Ruangan sempit ini tidak ada apa-apanya sama sekali. Bahkan
sepotong kayu pun tidak nampak. Benar-benar ruangan kosong.
“Setan...!” Rangga memaki sendiri.
***
Suara tawa Singo Wulung masih terdengar. Kemudian
perlahan mengecil, lalu menghilang dari pendengaran. Laki-laki berbaju merah
yang menjadi buronan Pendekar Rajawali Sakti itu masuk ke dalam ruangan lain
yang agak besar, namun seluruh dindingnya terbuat dari belahan papan.
Suara tawa terkekeh terdengar dari bibir yang
selalu merapat kaku, mencerminkan kekejaman yang terpancar dari sorot matanya.
Singo Wulung memandangi sesosok tubuh yang terbaring di atas pembaringan kayu.
Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alasnya. Tikar itu sudah lusuh,
dan di beberapa bagian sudah mulai sobek dimakan usia.
“He he he.... Kau sekarang punya teman, Raden
Antaka,” terdengar kering nada suara Singo Wulung.
Tubuh yang terbaring itu hanya diam saja. Hanya
kepalanya saja yang masih bisa bergerak menoleh. Laki-laki yang terbaring lemas
itu memang Raden Antaka. Jalan darahnya juga tertotok seperti yang dialami
Pendekar Rajawali Sakti. Wajah pemuda itu nampak memerah, menyimpan segudang
kemarahan. Matanya menatap tajam dan dingin sekali.
“Temanmu itu akan mati secara perlahan-lahan dan
menyakitkan sekali. Tapi sebelumnya harus menyaksikan kematian menyedihkan dari
orang yang harus dilindunginya. Ha ha ha...!” sambung Singo Wulung diiringi
tawanya yang lepas berderai.
“Keparat..!” geram Raden Antaka.
Pemuda itu sudah bisa menebak siapa yang
dimaksudkan Singo Wulung barusan. Hanya saja hatinya belum yakin kalau Pendekar
Rajawali Sakti bisa tertangkap oleh buronan dari kerajaannya ini. Namun
mengingat tingkat kepandaian Singo Wulung memang tinggi sekali, Raden Antaka
jadi cemas juga. Tidak mungkin Singo Wulung akan berkata demikian jika
kata-katanya belum terbukti.
“Rangga akan menangkapmu, Singo Wulung. Dan kau akan
dihukum mati di depan rakyat Talang Mega!” ancam Raden Antaka lagi.
“Ha ha ha...! Tak ada yang mampu menangkapku,
Raden. Dan ayahmu pasti akan gembira menerima hadiah kepala putranya sendiri.
Raja goblok itu akan gembira dan menangis sampai mengeluarkan darah. Kau dan
kepalamu akan kembali ke istana seperti pendekar-pendekar lain yang dikirim
ayahmu ke sini. Ha ha ha...!”
“Iblis...!” Raden Antaka memang tahu kalau ayahnya
mengirimkan beberapa pendekar tangguh dengan bayaran tinggi untuk menangkap
Singo Wulung. Hidup atau mati. Rupanya jago-jago yang dikirim Prabu Ranakali
tidak mampu menandingi kesaktian buronan ini. Mereka tewas dengan kepala
terpenggal. Singo Wulung kemudian mengirimkan kepala jago-jago itu kembali pada
Prabu Ranakali.
“Ha ha ha...!” Sambil tertawa terbahak-bahak, Singo
Wulung melangkah keluar dari dalam ruangan itu. Dia terus berjalan meninggalkan
kamar itu, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Sementara Raden Antaka hanya bisa
memaki sendiri dalam hati.
Singo Wulung terus berjalan sambil tertawa-tawa.
Hatinya begitu gembira, karena satu-satunya rintangan yang terberat sudah jatuh
ke tangannya sekarang. Tak ada lagi pendekar tangguh yang bisa menandinginya,
jika Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak berdaya lagi.
Singo Wulung terus berjalan keluar dari pondok yang
cukup besar ini. Sebuah pondok yang terletak di tengah hutan, tidak jauh dari
Lembah Intan. Letaknya memang cukup tersembunyi, karena berada di antara
lebatnya pepohonan dan semak belukar. Laki-laki berbaju merah menyala itu menghenyakkan
tubuhnya di kursi bambu. Suara tawanya tidak lagi terdengar. Dan pandangan
matanya terarah lurus ke depan. Bibir yang tipis menyunggingkan senyuman tipis
saat mendengar langkah kaki kuda yang semakin terdengar jelas dan menuju ke
arahnya.
“Hm, dia datang tepat pada waktunya. Bagus...!”
gumam Singo Wulung pelan.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda
putih yang keempat kakinya berwarna hitam, datang menghampiri. Di punggung kuda
itu duduk seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian perlente terbuat
dari sutra halus berwarna biru terang. Sebilah pedang panjang tergantung di
pinggangnya.
Singo Wulung tetap saja duduk di kursinya, seperti
tidak mempedulikan kehadiran penunggang kuda itu. Laki-laki setengah baya
perlente itu melompat turun. Ringan sekali gerakannya, pertanda tingkat
kepan-daiannya cukup tinggi. Dengan langkah lebar, dihampirinya Singo Wulung.
Langsung saja tubuhnya dihenyakkan di depan laki-laki berbaju merah itu.
“Kau kelihatan kesal sekali, Kakang. Ada apa?”
tanya Singo Wulung langsung, begitu melihat kemurungan wajah laki-laki setengah
baya yang ternyata adalah Ki Rejo.
“Singo, kalau boleh kuberi saran, sebaiknya kau
tinggalkan saja tempat ini secepatnya,” ujar Ki Rejo dengan nada berharap.
“Kau mulai tidak menyukai kehadiranku, Kakang,”
desis Singo Wulung langsung, dingin sikapnya.
“Bukannya tidak menyukai kehadiranmu di desa ini,
Adikku. Tapi kau sekarang sudah lain. Sekarang kau jadi buronan pihak kerajaan.
Aku tidak ingin tersangkut lagi, Singo. Masalahnya aku sudah mendengar adanya
desas-desus kalau pihak kerajaan mulai mencurigaiku. Kau tentu tidak ingin
menyengsarakan keluarga kakakmu sendiri, bukan? Pikirkan itu, Singo,” kata Ki
Rejo berharap sekali.
Singo Wulung tidak menyahuti. Ditatapnya
dalam-dalam laki-laki setengah baya yang tidak lain adalah kakak kandungnya
sendiri. Jalan hidup mereka memang berbeda, dan sangat jauh bertolak belakang.
Singo Wulung lebih memilih menjadi seorang pengelana yang menjelajah luasnya
rimba persilatan yang penuh kekerasan. Namun persoalan besar terjadi saat
dengan sengaja dia membantu pemberontak untuk menggulingkan kekuasaan Prabu
Ranakali. Tapi usaha pemberontakan itu gagal, dan Singo Wulung tertangkap.
Saat itu Singo Wulung memang sukar ditundukkan.
Untunglah dia tertangkap oleh seorang pendekar muda yang membantu Prabu
Ranakali membe-rantas pemberontakan. Pendekar muda itulah yang sekarang
memburunya, setelah Singo Wulung berhasil meloloskan diri dari dalam penjara.
Padahal hukumannya sudah ditentukan, tinggal pelaksanaannya saja. Tapi pendekar
itu sekarang berada di dalam genggamannya, dan kini terkurung dalam sebuah
kamar di pondok ini dalam keadaan tertotok.
“Singo, orang-orang sudah mulai percaya dengan
omongan Rupadi,” jelas Ki Rejo.
“Biarkan saja. Toh aku tidak pernah meninggalkan
mayat selama satu malam di Lembah Intan,” kilah Singo Wulung.
“Tapi sekarang, hampir setiap malam ada saja yang
datang ke lembah itu, Singo. Bahkan kulihat beberapa orang utusan kerajaan juga
tertarik dengan cerita anakku itu. Mereka sepanjang malam selalu berada di
sekitar lembah,” kembali Ki Rejo memberi laporan.
“Lalu, apa yang kau khawatirkan?”
Ki Rejo tidak langsung menjawab. Memang Rupadi
tidak pernah tahu kalau mempunyai paman yang sekarang menjadi buronan kerajaan.
Hal itu bisa saja terjadi karena Singo Wulung sendiri tidak pernah mengunjungi
kakaknya di Desa Pucung. Setiap kali dia ingin bertemu kakaknya, selalu di
pondok ini.
“Singo, apakah sebaiknya aku memberi tahu Rupadi
kalau kau adalah pamannya...?” saran Ki Rejo.
“Jangan!” sentak Singo Wulung. “Aku tidak mau siapa
pun mengetahui tentang diriku sebenarnya. Hanya kau yang tahu, Kakang.”
“Tapi keadaan semakin bertambah gawat, Singo.”
“Aku akan menghadapinya sendiri. Kujamin, tidak ada
yang menghubungkan aku dengan dirimu.”
“Jika pihak kerajaan mencurigaiku dan mendesakku?”
“Katakan kalau kau tidak tahu aku ada di sini. Aku
yakin mereka tidak berhak mengusik kehidupanmu, Kakang. Jika hal itu dilakukan
juga, aku bersumpah akan menumpas habis seluruh anggota keluarga Prabu
Ranakali,” tegas Singo Wulung.
“Kau selalu saja mencari kesulitan sendiri, Singo.
Tidakkah kau berniat sedikit untuk merubah hidupmu secara wajar? Punya istri
dan keluarga, Singo?”
“Takdirku sudah berkata, kalau aku harus menjalani
hidup seperti ini.”
“Tidak, Singo. Kau bisa merubahnya. Kau bisa pergi
jauh dari sini. Ke tempat yang tenang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui
latar belakang kehidupanmu.”
Singo Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
menyunggingkan senyuman tipis. Sedangkan Ki Rejo hanya bisa menarik napas
panjang. Memang sukar untuk membujuk adiknya ini. Karena Singo Wulung begitu
keras, dan hati telengasnya sudah menyatu dalam kehidupan yang selalu diwarnai
kekerasan dan darah.
“Sebaiknya kau kembali saja, Kakang. Aku tidak
ingin ada orang yang melihatmu menemuiku di sini,” kata Singo Wulung.
“Baiklah. Aku pergi sekarang. Hati-hatilah, kau
harus bisa menjaga dirimu sendiri. Aku sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa,
Singo,” ujar Ki Rejo.
“Kau sudah banyak memberi bantuan padaku, Kakang.
Maaf, aku selalu menyulitkanmu.”
Ki Rejo tersenyum getir. Lalu bangkit berdiri dan
menepuk pundak adiknya ini. Kemudian Ki Rejo membalikkan tubuhnya. Dengan
gerakan ringan sekali, kepala desa itu melompat naik ke punggung kudanya.
Sebentar Ki Rejo memandangi Singo Wulung yang masih duduk di kursinya, kemudian
menggebah kudanya.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Kuda putih itu langsung melesat kencang. Dalam
waktu tidak berapa lama saja, sudah lenyap ditelan lebatnya hutan ini.
Sementara Singo Wulung masih tetap duduk di kursinya, memandang ke arah
kepergian Ki Rejo.
“Hhh...!” Singo Wulung menarik napas panjang.
Sebentar kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah
masuk ke dalam pondok. Tubuh berbaju merah itu langsung lenyap begitu pintu
pondok tertutup rapat. Tak ada lagi suara terdengar, kecuali desir angin saja
yang terdengar menggosok dedaunan.
***
Saat itu malam sudah merayap turun. Sekitar Lembah
Intan telah terselimut kegelapan. Hanya lembah itu saja yang masih terlihat
terang-benderang. Memang, batu-batu yang berserakan di dalam lembah itu
memancarkan cahaya terang, membuat lembah itu tak pernah mengenal kata
kegelapan.
Di dalam sebuah kamar pondok yang gelap tanpa
penerangan dan yang terpencil di tengah hutan, Rangga masih terbaring tak
berdaya di atas lantai batu yang dingin membekukan tulang. Sudah beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti mencoba membuka sumbatan jalan darahnya. Tapi setiap
kali mencoba, selalu kegagalan yang didapatkan.
“Hsss...!”
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
telinganya mendengar suara mendesis yang tidak seberapa jauh darinya. Dinding
papan yang tidak terlalu rapat memberi sedikit cahaya untuk menerobos. Maka
ruangan ini sedikit menyingkap selimut kegelapan. Rangga mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tampak seekor ular berwarna hitam yang sebesar lengan
merayap masuk dari lubang di bawah dinding papan ruangan ini.
“Hsss...!”
Rangga langsung teringat kalau dia bisa berhubungan
dengan segala jenis ular di mana pun juga di muka bumi ini. Ilmu itu diperoleh
dari Satria Naga Emas, raja dari segala jenis ular. Ilmu itu memang jarang
sekali digunakan, karena Rangga sendiri lebih menyukai jurus-jurus dan
ilmu-ilmu murni dari Rajawali Sakti.
Tapi dalam keadaan seperti ini, Rangga memang
membutuhkan sesuatu untuk bisa terlepas dari belenggu yang menyiksa. Pendekar
Rajawali Sakti kemudian merapalkan ajian yang bisa digunakan untuk berhubungan
dengan ular.
“Sahabat! Kau dengar suaraku...?” Rangga mencoba
berhubungan dengan ular yang melingkar di sudut ruangan tidak jauh darinya.
“Hsss...!”
Ular itu menjulurkan kepalanya sedikit ke atas.
Rupanya binatang melata itu mendengar suara Rangga yang disalurkan lewat
pengerahan ilmu khusus. Rangga jadi tersenyum gembira melihat ular hitam
sebesar lengan itu rupanya mendengar suaranya. Ada secercah harapan di hatinya
untuk bisa terbebas dari belenggu ini.
“Kemarilah, Sahabatku. Aku perlu pertolonganmu,”
pinta Rangga dengan suara yang agak mendesis, bagai suara seekor ular.
“Hsss...!”
“Benar. Aku ada di sini. Tidak jauh darimu. Kau
melihatku, bukan...?” Rangga sepertinya benar-benar bisa mengerti akan bahasa
aneh ular itu.
“Hsss...!”
“Namaku Rangga. Aku putra angkat Satria Naga Emas.
Aku bisa berhubungan dengan bangsamu, karena sudah didaulat oleh Satria Naga
Emas menjadi putra angkatnya,” jelas Rangga.
Rupanya ular hitam itu ingin mengetahui lebih
dahulu tentang diri Rangga. Maka dengan senang hati Pendekar Rajawali Sakti
menjelaskan tentang diri dan hubungannya dengan Satria Naga Emas, yang
menguasai seluruh bangsa ular di seluruh mayapada ini. Mendengar penjelasan
Rangga, ular itu bergerak menyusur lantai batu yang dingin ini. Dia melata
perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum melihat ular
itu sudah dekat dengannya.
“Hsss....”
“Berikan saja pagutan pada dada kiri dan kanan serta
pusat perutku. Limpahkan seluruh bisa yang kau miliki,” jelas Rangga memberi
tahu caranya untuk bisa terbebas dari totokan Singo Wulung.
“Hsss....”
“Jangan khawatir, Sahabat. Aku tidak akan
terpengaruh bisamu. Bahkan bisamu membantu mempercepat terbukanya sumbatan pada
jalan darahku,” jelas Rangga lagi.
Ular hitam sebesar lengan itu merayap naik ke tubuh
Rangga. Dia berhenti setelah berada di dada Pendekar Rajawali Sakti. Lidahnya
menjulur-julur. Dan matanya yang bulat merah menatap lurus bola mata pemuda
berbaju rompi putih itu.
“Lakukan saja,” kata Rangga mengetahui kalau ular
itu ragu-ragu.
Crab! Crab!
“Akh...!” Rangga terpekik tertahan ketika cepat
sekali ular hitam itu memagut dada kanan dan kirinya.
Kemudian ular itu berbalik, lalu kembali mematuk
bagian pusat perut Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti memekik agak
tertahan. Mendadak saja seluruh tubuhnya mengejang, dan keringat sebesar-besar
butiran jagung menitik dari seluruh pori-pori tubuhnya. Ular hitam itu bergegas
merayap turun dari tubuh Rangga, lalu melingkar tidak jauh dari Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Sementara Rangga terus mengerang dan seluruh
tubuhnya menggeletar. Namun sebentar kemudian dia mengejang kaku, lalu diam tak
bergerak-gerak lagi. Hanya sebentar Rangga tak bergeming, kemudian
perlahan-lahan kepalanya bergerak berpaling menatap ular hitam yang melingkar
di sampingnya. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Hsss....”
“Terima kasih, Sahabat,” ucap Rangga. Setelah
berkata demikian, Rangga bergerak bangkit dan duduk bersila. Tangannya
digerak-gerakkan beberapa kali di depan dada. Kemudian kedua telapak tangannya
menyatu rapat di depan dada. Perlahan-lahan matanya terpejam. Pendekar Rajawali
Sakti bersemadi untuk memulihkan kondisi tubuhnya seperti sediakala.
Tidak lama Rangga melakukan semadi, kemudian
membuka matanya seraya merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu cepat
sekali tangannya dihentakkan ke depan. Terdengar suara hembusan napas panjang
bagai desisan seekor ular. Kembali Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Tangan
kanannya direntangkan pada ular hitam itu.
“Terima kasih. Kuharap bisamu tidak habis terserap
oleh tubuhku,” ucap Rangga seraya membelai kepala ular itu.
“Hsss...!”
“Ya, aku tahu. Kau memang memiliki banyak bisa.
Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu...?” Rangga memandangi bola mata ular itu
dalam-dalam.
“Hsss....”
“Di mana? Tunjukkan jalannya padaku.” Rangga
bergegas bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti agak terkejut juga karena
ular hitam itu mengatakan kalau melihat ada orang lain lagi yang juga terbaring
tak berdaya di kamar lain di dalam pondok ini. Dan sudah bisa ditebak kalau
yang dilihat ular ini pasti Raden Antaka.
Pendekar Rajawali Sakti tidak punya waktu lagi. Dia
harus membebaskan orang itu. Siapa pun orangnya, yang jelas harus dibawa keluar
pondok ini. Rangga kemudian membungkuk menjulurkan tangannya. Kemudian ular itu
bergerak, melingkar di tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
***
ENAM
“Sudah kuduga, kau pasti akan datang membebaskanku,
Rangga,” kata Raden Antaka begitu melihat Rangga masuk ke dalam ruangan yang
mengurungnya dalam keadaan tubuh tertotok jalan darahnya.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian cepat
menggerakkan jari-jari tangannya, membuka totokan di tubuh Raden Antaka.
Sebentar kemudian pemuda itu sudah menggerinjang, melompat bangkit dari
pembaringan kayu itu. Tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal
yang membuat tulang-tulangnya terasa kaku.
“Cepat tinggalkan tempat ini,” kata Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi keduanya bergegas keluar
dari kamar itu. Mereka lewat ruangan tengah dan terus ke ruangan depan.
Sebentar saja kedua anak muda itu sudah berada di luar pondok. Mereka langsung
saja berlari cepat menjauhi pondok, dan baru berhenti setelah berlari cukup
jauh. Rangga melepaskan ular hitam yang melilit tangan kirinya. Ular itu
menoleh sebentar pada Pendekar Rajawali Sakti, kemudian merayap masuk ke dalam
semak belukar.
“Ayo...,” ajak Rangga seraya mencolek tangan Raden
Antaka.
Raden Antaka tersentak. Pemuda itu agak terpaku
melihat Rangga bersahabat dengan seekor ular hitam yang tentu saja sangat
berbisa dan berbahaya sekali. Tapi ular itu kelihatan jinak sekali. Namun Raden
Antaka tidak sempat bertanya, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah berjalan
cepat. Bergegas Raden Antaka menyusul sambil mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Tentu saja untuk mengimbangi ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti yang
bergerak cepat.
“Kita pergi ke mana, Rangga?” tanya Raden Antaka.
“Ke Desa Pucung,” sahut Rangga tanpa memperlambat
ayunan langkahnya.
“Desa Pucung jauh dari sini, Rangga. Baru tengah
hari nanti bisa sampai ke sana.”
“Memang, kenapa...?”
“Sebaiknya kau cari kuda dulu, Rangga.”
Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya.
Ditatapnya dalam-dalam pemuda itu. Hatinya benar-benar gemas dengan kemanjaan
Raden Antaka. Baru berjalan begini saja sudah mengeluh. Malah pakai menyuruh
mencari kuda segala.
“Dengar, Raden. Aku bukan pembantumu. Dan aku bisa
meninggalkanmu sendirian di sini,” ancam Rangga tidak bisa lagi memendam
kekesalannya.
“Tapi....”
“Kau yang memaksa ikut denganku, dan aku tidak
keberatan selama kata-kataku kau turuti. Ingat, aku bukan pelayanmu, dan kau
tidak punya hak memerintahku begitu saja. Jika tidak ingin berjalan, sebaiknya
tinggal saja di sini. Atau kembali saja ke istana sendirian,” tegas kata-kata
Rangga.
Raden Antaka langsung terdiam. Pandangannya beredar
ke sekeliling. Bodoh sekali kalau berkeras kepala tinggal di dalam hutan yang
gelap dan mengerikan seperti ini. Sementara Rangga sudah kembali mengayunkan
kakinya. Bergegas Raden Antaka melangkah menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
“Maafkan aku, Kakang,” ucap Raden Antaka.
Rangga hanya tersenyum saja. Ditepuknya pundak
pemuda manja itu. Baru kali ini Rangga mendengar Raden Antaka memanggilnya
dengan sebutan kakang. Rupanya nyali pemuda ini masih sebesar kuku jari. Hanya
kesombongan saja yang ada di hatinya. Mereka terus berjalan tanpa berbicara
lagi. Sementara malam semakin larut. Udara pun semakin terasa dingin
menggigilkan tubuh. Namun kedua pemuda itu tetap saja berjalan menembus
kegelapan dan lebatnya hutan ini.
***
Tepat di saat matahari berada di atas kepala,
Rangga dan Raden Antaka sudah sampai di perbatasan sebelah selatan Desa Pucung.
Mereka menghentikan ayunan kakinya ketika melihat seekor kuda dipacu cepat
melintasi jalan desa yang berdebu. Dari jauh Rangga sudah bisa memastikan kalau
penunggang kuda itu adalah Rupadi. Itu bisa dipastikan dari caranya menunggang
kuda yang ugal-ugalan, dan tak ada lagi duanya di desa ini. Hanya Rupadi yang
biasa menunggang kuda seperti itu.
Dugaan Rangga tidak meleset sedikit pun. Penunggang
kuda itu memang Rupadi. Pemuda itu langsung menghentikan kudanya begitu tiba di
depan Rangga dan Raden Antaka. Rupadi bergegas melompat dari punggung kudanya.
Cepat dihampirinya dua pemuda yang berdiri menghadang di tengah jalan itu.
“Kebetulan sekali kau datang, Rangga,” kata Rupadi
dengan napas agak terengah.
“Ada apa?” tanya Rangga.
“Semua orang di desa ini sudah percaya denganku.
Bahkan beberapa hari yang lalu, ada beberapa jago dari istana datang ke sini.
Mereka tahu kalau pelaku pembunuhan di Lembah Intan itu buronan Kerajaan Talang
Mega,” jelas Rupadi.
Rangga melirik Raden Antaka yang saat itu juga
tengah memandangnya. Raden Antaka yang sudah akan membuka mulut, langsung
mengurungkan niatnya kala melihat lirikan Rangga yang begitu tajam menusuk. Dia
tahu kalau Rangga menginginkan dirinya diam saja.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya Rangga mulai
menduga-duga.
“Sepuluh orang jago dari istana dan tiga puluh
orang prajurit, semalam bertarung melawan orang itu. Tapi mereka semua tewas.
Bahkan beberapa penduduk yang membantu juga tewas,” sahut Rupadi.
“Bicara yang benar, Kisanak. Kau jangan
main-main...!” sentak Raden Antaka tidak bisa lagi menahan diri.
Raden Antaka benar-benar terkejut bukan kepalang
mendengar sepuluh jago istana dan tiga puluh prajurit tewas. Karena tidak dapat
lagi menahan diri, langsung disentaknya Rupadi. Tentu saja sentakan ini
menjadikan Rupadi mendelik. Dia memang tidak tahu siapa sebenarnya pemuda yang
bersama Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga menghembuskan napasnya saja
melihat kelakuan Raden Antaka yang tidak juga berubah.
“Siapa dia, Rangga?” tanya Rupadi.
“Tanyakan saja sendiri,” sahut Rangga enggan.
Rupadi menatap tajam Raden Antaka yang belum
dikenalnya ini. Meskipun Desa Pucung berada di dalam wilayah Kerajaan Talang
Mega, namun memang tidak semua rakyat di wilayah kerajaan itu kenal Raden
Antaka. Bahkan tidak semua orang pernah melihat wajah Prabu Ranakali. Dan itu
memang sudah biasa. Rakyat biasa tidak mengenal dan tidak mengetahui anggota
keluarga istana. Biasanya mereka hanya mengetahui nama saja, tanpa mengenal rupa.
“Maaf, Kisanak. Aku hanya bicara pada Rangga. Jadi
kalau tidak ada kepentingan dengan urusan ini, sebaiknya diam saja,” kata
Rupadi, agak dingin nada suaranya.
“Lancang sekali bicaramu...!” dengus Raden Antaka
geram.
Sementara Rangga yang mengetahui suasana jadi
menghangat, hanya bisa menarik napas saja. Pendekar Rajawali Sakti sendiri
sebenarnya sebal dengan tingkah Raden Antaka yang terlalu pongah, dan selalu
merendahkan orang-orang biasa. Tapi rasanya kasihan juga melihat Rupadi.
Masalahnya, Raden Antaka tidak bisa tersinggung sedikit saja. Dan Rangga tidak
bisa membayangkan seandainya Rupadi tahu siapa pemuda yang berada di depannya
ini sebenarnya.
“Tampaknya kau bukan dari Desa Pucung ini. Apakah
kau juga seorang pengembara seperti Rangga?” agak sinis nada suara Rupadi.
“Sepatutnya kau diberi pelajaran tata krama...!”
desis Raden Antaka tak bisa menahan geramnya.
“Ha ha ha...! Kau bicara tata krama, tapi kau
sendiri tidak mengetahui apa itu tata krama.”
Mendadak saja tangan Raden Antaka melayang.
Langsung ditamparnya pipi Rupadi. Kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga itu
membuat Rangga terkejut. Bahkan Rupadi juga tersentak kaget. Tubuhnya sampai
terpelintir mendapatkan tamparan keras pada pipinya. Seketika itu juga darah
mudanya menggelegak mendidih. Wajahnya memerah, dan bibirnya terkatup rapat
memperdengarkan suara mendesis bagai seekor ular.
“Setan...!” geram Rupadi.
Sret! Cring!
Rupadi langsung saja mencabut pedangnya yang
tergantung di pinggang. Pedangnya diputar sedikit dan langsung disilangkan di
depan dada. Kemudian, tiba-tiba saja tubuhnya melompat menerjang sambil
membabatkan pedang yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaat...!”
Wut!
“Uts...!”
Buru-buru Raden Antaka memiringkan tubuhnya ke
samping sambil sedikit ditarik ke belakang. Maka tebasan pedang Rupadi berhasil
dielakkannya. Raden Antaka langsung melompat mundur begitu Rupadi menarik
pulang pedangnya dengan kecepatan tinggi.
Sret!
Raden Antaka tidak mau kalah. Segera pedangnya juga
dicabut cepat. Pada saat yang bersamaan, Rupadi sudah kembali melancarkan
serangan dengan menusukkan pedang ke arah dada. Namun tangkas sekali Raden
Antaka mengibaskan pedangnya, menangkis serangan anak kepala desa itu.
Trang!
Dua senjata beradu di depan dada, menimbulkan suara
yang cukup keras juga. Mereka sama-sama melompat mundur satu tindak. Namun
cepat sekali Rupadi sudah kembali memberi serangan. Jurus-jurus pedangnya
ternyata cukup membuat Raden Antaka kerepotan juga. Namun Raden Antaka rupanya
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi juga, sehingga masih mampu
menandingi putra kepala desa itu.
Mereka masing-masing bertarung mempergunakan
senjata pedang. Sementara Rangga hanya menyaksikan saja dari jarak yang tidak
seberapa jauh. Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa melihat kalau tingkat
kepandaian mereka ternyata seimbang. Hanya kecerdikan dan kelincahan gerak saja
yang akan memenangkan pertarungan ini.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung semakin
sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat. Masing-masing rupanya ingin segera
menjatuhkan lawan. Namun tingkat kepandaian yang setaraf, akan mempersulit
usaha mereka. Dan kalau tidak dihentikan, pertarungan ini akan terus
berlangsung lama. Bahkan bukannya mustahil kalau bakal ada yang tewas. Dan ini
sama sekali tidak diinginkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Cukup...!” tiba-tiba Rangga berteriak keras
disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Seketika itu juga pertarungan terhenti. Kedua
pemuda itu sama-sama berlompatan mundur beberapa tindak ke belakang, dan
sama-sama memandang Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak tidak seberapa
jauh.
“Kalian benar-benar picik! Untuk apa kalian
bertarung, heh?! Apa dengan bertarung akan menyelesaikan persoalan sepele
ini?!” agak kasar suara Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli kalau
bentakannya juga untuk Raden Antaka. Hatinya benar-benar sudah sebal melihat
tingkah Raden Antaka yang cepat naik darah dan selalu memanfaatkan kedudukannya
sebagai putra mahkota.
“Manusia keparat ini telah menghinaku, Kakang,”
kata Raden Antaka seraya menunjuk Rupadi dengan ujung pedangnya.
“Kau yang memulai mencari gara-gara!” sentak Rupadi
tidak mau kalah.
“Kalian bisa diam, tidak heh...?!” sentak Rangga
keras.
Kembali kedua anak muda itu terdiam.
“Raden, masukkan kembali pedang itu,” kata Rangga
meminta. “Dan kau juga, Rupadi.”
Saat itu Rupadi memandangi Rangga dan Raden Antaka
bergantian. Pemuda itu seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja
didengarnya. Pendekar Rajawali Sakti memanggil pemuda itu dengan sebutan raden.
Siapakah sebenarnya dia...? Rupadi jadi bertanya-tanya dalam hati.
Dipandanginya pemuda yang dipanggil raden itu dalam-dalam. Masih belum bisa
dipercaya, apa yang baru saja didengarnya.
“Raden...,” desis Rupadi dengan nada suara setengah
bergumam. “Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Raden Antaka, putra Prabu Ranakali,” sahut
Raden Antaka dengan suara yang dalam dan terdengar tegas.
“Oh...,” Rupadi mengeluh lesu. Seketika itu juga,
pedang yang tergenggam di tangannya jatuh melumpruk di tanah di samping
kakinya. Dan sesaat kemudian, putra kepala desa itu pun jatuh berlutut. Kedua
telapak tangan menekan tanah, dan kepalanya tertunduk dalam.
“Ampunkan hamba, Raden...,” ucap Rupadi lirih,
dengan nada suara penuh penyesalan.
“Mm...,” Raden Antaka hanya menggumam saja setengah
mendengus. Rupanya Raden Antaka masih kesal dengan sikap Rupadi yang tadi tidak
memandangnya sama sekali. Sementara itu Rangga sudah berada di samping Raden
Antaka. Dipegangnya tangan Raden Antaka yang menggenggam pedang. Putra Mahkota
Kerajaan Talang Mega itu lalu memasukkan pedangnya ke dalam sarung di pinggang.
“Bangunlah, Rupadi,” kata Rangga seraya menepuk
pundak Rupadi.
Perlahan Rupadi mengangkat kepalanya, kemudian
bangkit berdiri. Namun kepalanya kembali tertunduk. Rangga memungut pedang
pemuda itu, lalu memasukkan ke dalam sarungnya yang tergantung di pinggang
Rupadi. Sedangkan putra kepala desa itu hanya melirik sedikit saja. Sungguh
hatinya menyesal, karena tidak tahu kalau pemuda yang baru saja bertarung
dengannya adalah Raden Antaka, Putra Mahkota Kerajaan Talang Mega.
***
Memang tidak mudah menghadapi anak-anak muda yang
masih berusia remaja. Mereka biasanya selalu mendewakan keinginan hati tanpa
memikirkan akibatnya. Darah muda memang masih melekat dalam di hati mereka.
Segala yang dilakukannya hanya karena terdorong luapan nafsu yang belum bisa
dikendalikan. Dan ini sangat dirasakan Rangga yang baru pertama kali ini
menghadapi darah-darah muda seperti Raden Antaka dan Rupadi.
Meskipun Rangga telah meluruskan semua
kesalahpahaman yang terjadi, namun tampaknya satu sama lain belum bisa menerima
begitu saja. Terutama Raden Antaka yang masih menyimpan kekesalan. Padahal
Rupadi telah meminta maaf, dengan merendahkan diri. Raden Antaka kelihatannya
belum puas, dan masih ingin melanjutkan pertarungannya dengan Rupadi. Tapi
karena ada Pendekar Rajawali Sakti di sini, terpaksa semuanya harus disimpan di
dalam hati.
“Nah, Rupadi, sekarang katakan padaku, apa saja
yang telah kau ketahui, dan apakah orang itu telah menjarah sampai ke desa
ini?” tanya Rangga.
“Tampaknya pembunuh itu tidak ingin masuk ke desa,
Rangga. Dia tetap berada di sekitar Lembah Intan ini,” sahut Rupadi mencoba
menjelaskan apa saja yang diketahuinya.
Bagi Rupadi, kejadian ini merupakan kesempatan
baginya untuk membuktikan kalau dirinya ingin mengabdi pada Prabu Ranakali. Dan
di hati pemuda itu memang terbetik satu keinginan, dia ingin menjadi seorang prajurit
yang handal dan dapat dipercaya. Dalam hati, Rupadi berharap, dengan peristiwa
ini dia bisa lancar memenuhi segala impiannya selama ini. Tapi kesalahpahaman
yang terjadi dengan Raden Antaka barusan, sedikitnya telah membuyarkan
keinginan untuk bisa menjadi seorang prajurit.
“Lalu, ada berapa banyak prajurit dan jago istana
yang sudah ada di Desa Pucung ini?” tanya Rangga lagi.
“Pastinya aku tidak tahu. Tapi kulihat ada seorang
panglima,” sahut Rupadi.
“Panglima siapa?” selak Raden Antaka bertanya.
“Hamba tidak tahu namanya, Raden,” sahut Rupadi
dengan sikap hormat.
“Kau tidak tahu nama panglima itu? Lalu apa saja
kerjamu di sini sebagai putra kepala desa, heh?!” agak kasar nada suara Raden
Antaka. Rupanya putra mahkota itu masih ingin melampiaskan kekesalannya. Dan
Rangga mengetahui, tapi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ampun, Raden. Apa yang hamba ketahui sangat
terbatas. Panglima itu kini tinggal di rumah ayah hamba. Dan yang hamba
ketahui, ada sekitar seratus prajurit menyertainya,” jelas Rupadi masih dengan
sikap hormat.
“Seratus prajurit... seperti mau perang saja,”
dengus Raden Antaka setengah bergumam. Raden Antaka memandang Pendekar Rajawali
Sakti yang berdiri di sampingnya. Sedangkan yang dipandang tidak menunjukkan
tanggapan apa pun juga.
“Ayahanda Prabu seperti tidak percaya padamu,
Kakang,” kata Raden Antaka. Nada suaranya seperti menyesali tindakan ayahnya
yang mengutus jago-jago istana dan prajurit dalam jumlah besar.
“Mungkin ada pertimbangan lain, Raden,” sahut
Rangga. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak tersinggung dengan tindakan
Prabu Ranakali.
“Pertimbangan apa...? Ayahanda Prabu sudah
mempercayakan masalah ini padamu. Seharusnya tidak perlu bertindak apa pun
sebelum mendapat kepastian. Dengan begini, akan semakin banyak korban jatuh.
Singo Wulung bukan lawan yang enteng, Kakang. Dia memiliki kepandaian yang
sangat tinggi,” kata Raden Antaka dengan nada suara tinggi.
Rangga hanya tersenyum saja. Kadang-kadang jalan
pikiran Raden Antaka patut mendapat pujian juga. Tapi lebih banyak membuat
kekesalan daripada berbuat sesuatu yang menurut akal pikiran bisa dimengerti
dan patut mendapat pujian. Raden Antaka kembali memandang pada Rupadi.
“Rupadi, jika kau bisa berbuat sesuatu untuk
mencegah pertumpahan darah, aku akan melupakan persoalan di antara kita tadi.
Bahkan aku akan mengangkatmu menjadi pengawal pribadiku. Kau akan langsung
memiliki pangkat punggawa,” tegas Raden Antaka mantap.
“Raden..., apa yang bisa hamba lakukan? Hamba
hanyalah rakyat biasa yang mungkin belum apa-apa untuk mengabdi pada Gusti
Prabu,” ujar Rupadi merendah. Padahal di hati Rupadi begitu gembira. Ini
berarti dia punya kesempatan yang lebih besar lagi untuk bisa menjadi prajurit.
Terlebih lagi menjadi seorang pengawal pribadi seorang putra mahkota. Semua
prajurit pasti akan merindukan jabatan seperti itu. Dan memang, para pengawal
anggota keluarga istana rata-rata semuanya berpangkat punggawa.
“Kau memiliki kemampuan yang cukup, Rupadi. Aku
yakin kau bisa melakukan sesuatu,” desak Raden Antaka.
“Raden...,” Rangga menarik tangan Raden Antaka.
Pendekar Rajawali Sakti membawa Raden Antaka agak
menjauh dari Rupadi. Putra mahkota itu ingin menolak, tapi tidak berani menolak
keinginan Rangga. Bukan karena Rangga memiliki tingkat kepandaian jauh lebih
tinggi darinya, tapi karena mengingat Rangga adalah sahabat ayahnya.
“Apa maksudmu berkata seperti itu pada Rupadi,
Raden?” tanya Rangga yang menangkap adanya maksud tersembunyi dari kata-kata Raden
Antaka tadi. “Raden Antaka, persoalan pribadi bisa diselesaikan nanti secara
pribadi. Dan aku paling tidak suka persoalan pribadi disangkut-pautkan dengan
persoalan yang menyangkut keamanan dan ketertiban wilayah kerajaan.”
“Kau jangan mencurigaiku terus, Kakang,” kilah
Raden Antaka mencoba mengelak.
“Sorot matamu tidak bisa berdusta, Raden,” desak
Rangga.
“Sungguh, aku tidak punya maksud tertentu,” Raden
Antaka mencoba meyakinkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Baiklah. Kalau begitu, aku jadi saksi dari janjimu
tadi. Dan jika kau mengingkarinya, maka aku pribadi yang akan menghukummu atas
persetujuan Prabu Ranakali,” tegas kata-kata Rangga.
Raden Antaka tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya
menggerutu dalam hati. Putra mahkota itu tahu kalau apa yang diucapkan Rangga
tidak akan ditarik kembali.
***
TUJUH
Kaki Rangga terayun perlahan-lahan menyusuri
halaman belakang rumah Ki Rejo yang luas ini. Udara senja hari ini terasa
begitu segar. Angin berhembus perlahan membawa kesejukan. Sudah dua hari Rangga
tinggal di rumah kepala desa ini, namun tidak melakukan sesuatu. Pendekar
Rajawali Sakti memang sengaja tidak melakukan sesuatu karena ingin memberi
kesempatan pada Rupadi. Pemuda itu memohon pada Pendekar Rajawali Sakti untuk
mencari tahu, di mana Singo Wulung bersembunyi, karena pondok di dalam hutan
sekitar Lembah Intan sudah tidak dihuni lagi.
Bukan hanya Rupadi, tapi para prajurit dan jago-jago
dari Kerajaan Talang Mega juga terus berusaha mencari Singo Wulung yang kini
menghilang entah ke mana. Mungkin juga Singo Wulung mengetahui kalau Prabu
Ranakali mengirimkan begitu banyak prajurit untuk menangkapnya kembali. Maka
dia kini bersembunyi di suatu tempat yang sukar diketahui.
Rangga menghentikan ayunan kaki-nya ketika
mendengar langkah kaki halus dari arah belakang. Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya. Terlihat Lintang berjalan perlahan menuju arahnya. Gadis itu
mengenakan baju hijau muda yang agak ketat membungkus tubuhnya, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
“Mengganggu, Kakang...?” Lintang membuka suara
lebih dahulu.
“Tidak,” sahut Rangga.
Lintang menghenyakkan tubuhnya di kursi bambu yang
ada di bawah sebatang pohon kemuning. Sayang sekali, pohon ini sedang tidak
berbunga, jadi kurang sedap dinikmati. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja di
depan gadis itu.
“Kakang masih ingat dengan anak muda yang
ingin...,” ucapan Lintang terputus.
“Masih,” sahut Rangga.
“Mereka tidak akan lagi menggangguku, Kakang,” kata
Lintang.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja.
Tentu saja empat anak muda tanggung itu tidak akan
bisa lagi mengganggu gadis ini, karena sudah terkubur dan menjadi santapan
cacing tanah. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengetahui siapa
yang membunuh mereka.
“Paman sudah membuat mereka tidak bisa lagi
menggangguku, Kakang,” jelas Lintang. Ada seulas senyum di bibir gadis itu.
“Apa yang dilakukan pamanmu?” tanya Rangga
berpura-pura tidak tahu.
“Melenyapkan mereka untuk selamanya,” sahut Lintang
langsung.
“Siapa pamanmu?” tanya Rangga lagi.
“Aku tidak tahu,” sahut Lintang.
“Lalu, dari mana kau tahu tentang mereka?”
“Ayah yang mengatakannya.”
Rangga terdiam, namun keningnya agak berkerut dalam.
Dirasakan adanya satu keanehan dalam kata-kata Lintang barusan. Terutama
sekali, gadis itu mengatakan kalau tidak mengetahui siapa nama pamannya yang
begitu berbaik hati telah membebaskan dirinya dari gangguan anak-anak muda
tanggung.
Rasanya mustahil seorang keponakan tidak mengetahui
tentang pamannya sendiri. Terlebih lagi pamannya itu telah membunuh empat orang
yang telah mengganggu keponakannya.
“Lintang, apa kau tidak menanyakan tentang pamanmu
itu?” tanya Rangga semakin ingin tahu dan penasaran.
“Aku sendiri baru tahu kalau masih punya paman,
Kakang. Tapi ayah mengatakan, paman sudah pergi dan memang tidak ingin
diketahui siapa pun juga.”
“Kakakmu tahu tentang ini?” tanya Rangga yang
langsung teringat Rupadi.
“Huuu..., Kakang Rupadi tidak mau tahu di rumah
ini,” sahut Lintang.
“Kenapa?”
“Yaaah.... Setelah...,” Lintang tidak meneruskan.
“Setelah apa, Lintang?” desak Rangga semakin ingin
tahu.
“Sejak kekasihnya jadi ibu kami,” sahut Lintang.
“Maksudmu.... Kekasihnya Rupadi sekarang jadi
istri...,” Rangga juga jadi terputus suaranya. Rangga kini baru mengerti,
kenapa sikap Rupadi selalu ugal-ugalan. Dan sepertinya anak muda itu sedang
mencari-cari sesuatu yang bisa untuk membahayakan dirinya sendiri. Rupanya
Rupadi sedang melampiaskan kekecewaan hatinya karena ayahnya yang justru
merebut kekasihnya.
“Sebenarnya aku kasihan pada Kakang Rupadi. Tapi
aku juga tidak ingin mendurhakai ayah,” nada suara Lintang terdengar mengeluh.
“Lantas, kau berpihak pada siapa?” tanya Rangga
ingin tahu.
“Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi memang
hubunganku dengan ibu tidak dekat. Meskipun, aku tidak pernah bersikap
memusuhinya,” sahut Lintang.
Rangga tersenyum dalam hati. Dibenarkannya juga
sikap Lintang yang tidak berpihak pada siapa pun juga. Tapi Rangga juga tidak
menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Dan dia tidak ingin terlibat terlalu jauh.
Baginya itu merupakan masalah dalam keluarga, dan tidak ada hak untuk ikut
campur. Sedangkan persoalannya sendiri saja belum tuntas benar. Pendekar
Rajawali Sakti masih harus meringkus buronan yang bernama Singo Wulung.
“Kalau dipikir-pikir, ayah salah juga, ya...,” ujar
Lintang setengah bergumam, seperti meminta pendapat.
“Jangan cepat menyalahkan sebelum mengetahui jelas
persoalannya, Lintang,” Rangga menasihati.
“Aku memang tidak tahu persis apa persoalannya.
Terserahlah. Itu urusan ayah dengan Kakang Rupadi,” sahut Lintang.
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja. Entah apa arti
senyumnya kali ini. Sedangkan Lintang memandangi pemuda tampan itu, seakan-akan
ingin menikmati ketampanan wajah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memalingkan
mukanya, begitu tahu Lintang memandanginya terus.
“Lintang, boleh aku tahu siapa nama ibumu?” pinta
Rangga.
“Rusila,” sahut Lintang.
“Ohhh...,” Rangga mendesah panjang. Dia teringat
wanita cantik di kedai yang menemui empat laki-laki yang dua kali mencoba
memperkosa Lintang. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tertegun. Untuk apa Rusila
mencelakakan anak tirinya sendiri?
“Ada apa, Kakang?” tanya Lintang.
“Tidak...,” sahut Rangga tidak ingin mengungkapkan
yang belum pasti.
“Kakang sering melamun, ya...?”
“Lintang, kau pernah punya masalah dengan ibu
tirimu?” Rangga malah bertanya.
“Dulu, sebelum dia jadi istri ayah,” sahut Lintang.
“Boleh aku tahu?”
“Dia punya adik laki-laki yang menyukaiku. Tapi aku
tidak suka, Kakang. Dia lebih muda, dan lagi aku juga belum ingin berumah
tangga....”
“Lalu?”
“Waktu dia mengatakan ingin melamar, aku
tegas-tegas menolaknya. Eeeh..., dia malah bunuh diri. Rusila pernah
menyalahkan aku, tapi entah kenapa, malah dia menerima lamaran ayah,” tutur
Lintang.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kini
sudah mengerti kalau Rusila menyimpan dendam. Dan untuk memudahkan, dia
menghancurkan hati Rupadi. Dan sekarang berusaha merusak masa depan Lintang.
Yang pasti Rusila punya maksud untuk menghancurkan keluarga ini dengan cara
yang halus. Rangga memalingkan muka ke arah lain. Dan pada saat itu, tampak
sebuah bayangan merah berkelebat keluar dari salah satu jendela yang terbuka.
“Kau di sini, Lintang,” ujar Rangga.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat
cepat, sehingga membuat Lintang terperangah bengong. Dalam sekejapan mata saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Lintang masih terpaku
memandangi ke arah Rangga tadi lenyap. Sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba saja
pemuda itu pergi dengan kecepatan tinggi. Sehingga dia tidak sempat lagi
mengucapkan sesuatu.
***
Ringan sekali Rangga hinggap di atas atap, dan
kembali melentingkan tubuhnya ke udara begitu matanya menangkap lagi bayangan
merah yang berkelebat cepat menyelinap dari rumah yang satu ke rumah lain.
Rangga terus melesat cepat mengejarnya. Gerakannya sungguh cepat, dan ilmu
meringankan tubuhnya memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga
Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat tanpa dapat diikuti pandangan mata
biasa.
Pendekar Rajawali Sakti terus bergerak cepat tanpa
berkedip mengamati bayangan merah yang terus bergerak menuju ke arah selatan.
Dan Rangga tahu kalau arah yang dituju adalah Lembah Intan. Pendekar Rajawali
Sakti semakin mempercepat larinya. Diyakini kalau bayangan merah itu adalah
Singo Wulung, orang yang selama ini menjadi buronan. Bukan saja olehnya
sendiri, tapi sekarang tidak sedikit para prajurit dan jago-jago dari Kerajaan
Talang Mega ikut mencarinya. Dan yang pasti, tujuan mereka sama.
Slap...!
“Heh...!” Rangga terkejut ketika tiba-tiba sebuah
bayangan biru berkelebat memotong arah larinya, ketika sudah keluar dari Desa
Pucung.
Cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang,
sehingga terjangan bayangan biru itu tak sempat melanda tubuhnya. Namun begitu
Rangga baru menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja bayangan biru itu
berbalik. Kembali diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan kecepatan tinggi.
“Hap...!” Bergegas Rangga meletakkan kedua
tangannya di samping pinggang. Lalu pada saat bayangan biru itu dekat, cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke depan.
Deghk!
Satu benturan keras terjadi. Rangga cepat
melentingkan tubuhnya ke belakang dan berputaran dua kali sebelum mendarat
ringan di tanah. Pada saat yang bersamaan, sosok tubuh berbaju biru juga
mendarat manis sekali di tanah.
Rangga menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih
jelas lagi. Namun karena suasana senja mulai gelap, ditambah lagi posisinya
tengah membelakangi matahari yang semakin tenggelam di balik cakrawala, rasanya
tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa melihat lebih jelas lagi.
Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya ke kanan
beberapa tindak. Dan keyakinannya semakin menebal saat bisa memandang orang itu
agak jelas. Orang itu mengenakan baju biru tua agak ketat. Seluruh kepalanya
terselubung kain biru tua juga. Dan itulah yang membuatnya tidak bisa
mengenalinya, karena hanya matanya saja yang terlihat
“Siapa kau?” tanya Rangga, agak dalam suaranya.
Orang berbaju biru tua itu tidak memberi jawaban
sama sekali, tapi malah meloloskan pedang yang tergantung di pinggang. Rangga
semakin menggeser ke samping. Disadari kalau dalam posisi membelakangi matahari
begitu, sangat tidak menguntungkan.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti memperoleh
tempat yang lebih baik lagi, mendadak saja orang berbaju biru itu sudah
melompat cepat menerjangnya. Pedang keperakan di tangannya berkilatan membuat
mata Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tidak bisa melihat dengan jelas.
“Uts...!” Buru-buru Rangga menarik tubuhnya ke
belakang hingga doyong dan hampir roboh ketika ujung pedang itu berkelebat
cepat mengarah ke lehernya. Pada saat yang sama, orang itu melontarkan satu
tendangan keras mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Beghk!
Satu benturan keras terjadi ketika Rangga menyampok
tendangan itu dengan tangkisan tangan kanannya. Pendekar Rajawali Sakti
terdorong ke belakang beberapa tindak. Namun begitu datang serangan dari pedang
yang berkelebatan cepat, bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur.
Tubuhnya diputar beberapa kali ke belakang, sehingga lolos dari serangan itu.
Namun orang itu terus mencecarnya dengan sabetan-sabetan pedang yang
berkelebatan cepat mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
“Hup! Yaaah...!” Sambil berteriak nyaring
melengking tinggi, Rangga cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Beberapa kali
dia berputaran di udara, membuat salto yang manis dan indah sekali. Maka
serangan-serangan orang itu jadi tak terarah lagi. Pada saat yang sedikit ini,
Rangga cepat mengibaskan tangannya dalam keadaan masih berada di udara.
Bet! Bet!
Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti mengibas
sambil mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Namun rupanya orang
berselubung biru itu bisa mengelak dengan merundukkan kepala sedikit. Namun
begitu Rangga merubah posisi tubuhnya dan langsung menukik deras dengan kaki
bergerak cepat mengarah ke kepala, orang berselubung biru itu jadi gelagapan
juga. Buru-buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Tepat di saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, orang berselubung biru itu melompat
bangkit berdiri dengan indahnya.
“Hup...!”
Orang itu langsung menyilangkan pedangnya di depan
dada. Dan setelah pedangnya membuat beberapa gerakan, kembali orang itu
melompat memberikan serangan lagi. Pada saat itu Rangga sudah siap menerima
serangan berikutnya. Dan ketika ujung pedang orang berbaju biru itu berada
tepat di depan dadanya, secepat kilat Rangga mengatupkan telapak tangannya
hingga menyatu rapat.
Tap!
Ujung pedang orang berselubung biru itu terjepit
pada kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, kuat sekali. Orang itu
berusaha untuk melepaskan jepitan, namun tenaga dalam yang dimilikinya kalah
kuat dibandingkan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
“Yaaah...!” tiba-tiba saja Rangga berteriak
nyaring. Dan seketika itu juga kakinya dihentakkan ke depan, cepat dan disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang
tidak terduga itu tak dapat dihindarkan lagi.
Des!
“Heghk...!” orang itu mengeluh pendek saat
tendangan Rangga tepat menghantam perutnya.
Pada saat orang itu terbungkuk, Rangga melepaskan
jepitan pada pedang. Dan dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu
memberi satu pukulan keras ke arah wajah.
Plak!
“Akh...!” orang itu memekik keras. Kepalanya
terdongak ke atas. Dan sebelum bisa melakukan sesuatu, kembali Rangga
melayangkan tangannya. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti sungguh cepat luar
biasa. Akibatnya, tidak sempat lagi orang berselubung biru itu menyadarinya.
Bret!
Rangga menjambret selubung kepala orang itu, dan
kembali mengirimkan satu pukulan telak yang mendarat tepat di dada. Orang itu
memekik keras. Tubuhnya terlontar ke belakang sejauh dua batang tombak, lalu
keras sekali ambruk ke tanah.
“Yeaaah...!” Sambil berteriak keras Rangga
melompat. Kakinya menyepak pergelangan tangan orang itu, sehingga pedangnya
terlempar jauh entah ke mana. Dan begitu mendarat, Rangga langsung menjejakkan
kakinya di leher. Namun seketika itu juga, pijakannya ditarik kembali.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur dua tindak begitu melihat
wajah yang tidak lagi berselubung kain biru.
“Kau...,” terputus suara Rangga. Pendekar Rajawali
Sakti memandangi wajah yang sudah dikenalnya. Dia hampir tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Sedangkan orang itu menggeliat sedikit, kemudian
perlahan bangkit berdiri sambil meringis menahan rasa sakit pada dadanya.
Perutnya juga masih terasa mual, kepalanya jadi pening, dan mata
berkunang-kunang.
***
“Kenapa kau lakukan ini, Ki?” tanya Rangga tidak
mengerti dengan sikap Ki Rejo yang menghalanginya mengejar bayangan merah tadi,
bayangan merah yang diyakininya adalah Singo Wulung, buronan Kerajaan Talang
Mega.
Sedangkan orang berbaju biru tua yang memang adalah
Ki Rejo, Kepala Desa Pucung ini hanya meringis saja. Dada dan perutnya masih
terasa sakit, meskipun sudah agak berkurang.
“Perbuatanmu ini bisa sangat membahayakan sekali,
Ki,” kata Rangga menyesali. “Kenapa kau menghalangiku mengejar buronan itu?”
“Karena dia adikku,” sahut Ki Rejo, agak tertahan
suaranya.
“Apa...?!” Rangga tersentak kaget. Pendekar
Rajawali Sakti memandangi Ki Rejo dalam-dalam, seakan hendak mencari kepastian
dari jawaban kepala desa yang sangat mengejutkan itu. Sungguh tidak diduga sama
sekali kalau Singo Wulung adalah adik kandung Ki Rejo yang mempunyai kedudukan
paling terhormat di desa ini.
“Seharusnya Prabu Ranakali memberi tahu padamu
terlebih dahulu sebelum kau diberi tugas untuk menangkapnya,” tutur Ki Rejo
lagi
“Jadi selama ini kau menyembunyikan Singo Wulung?”
tanya Rangga ingin tahu.
“Tidak,” sahut Ki Rejo tegas. “Ini tanah
kelahirannya, dan dia bisa kapan saja berada di sini. Tanpa aku harus
menyembunyikan pun, dia pasti akan ada di sini untuk menghindari pengejaran
para prajurit dan jago-jago istana.”
“Di mana sekarang dia berada?” tanya Rangga lagi.
“Aku tidak tahu,” sahut Ki Rejo.
“Ki..., sikapmu itu bisa menjatuhkan tuduhan kalau
kau berkomplot dengan pemberontak. Kau tahu apa hukumannya, bukan...?” Rangga
mencoba membujuk.
“Aku benar-benar tidak tahu. Tadi dia memang
menemuiku, dan hanya mengatakan akan menghadapi siapa saja yang mencoba
menangkapnya. Aku melihat kau mengejar dan mencoba menghalangimu,” Ki Rejo
memberi keterangan.
“Kenapa kau lakukan itu?”
“Bagaimanapun juga, dia itu adikku. Tidak ada
seorang kakak yang tega membiarkan adiknya tertangkap, meskipun sudah
nyata-nyata melakukan kesalahan besar. Seorang kakak akan selalu membela
adiknya, meskipun harus mengorbankan segala apa yang dimilikinya,” sahut Ki
Rejo.
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ki. Saat
ini tugasku hanya menangkap Singo Wulung. Masalah dia itu adikmu atau bukan,
dan kau ingin menghalangi atau tidak, itu bukan urusanku. Kau bisa
menghadapinya sendiri di depan Prabu Ranakali nanti,” tegas Rangga.
“Kau memang seorang pendekar sejati, Rangga.
Lakukanlah. Dan aku tidak akan menghalangimu. Tapi aku minta padamu, usahakan
agar dia masih bisa hidup dan tidak mati di tanganmu. Aku lebih senang kalau
dia mati di tiang gantungan untuk membalas segala apa yang telah dilakukannya
selama ini,” kata Ki Rejo.
“Akan kuusahakan, Ki,” janji Rangga.
“Terima kasih,” hanya itu yang terucapkan dari
bibir Ki Rejo yang sudah keriput.
Setelah beberapa saat terdiam, Rangga kemudian
cepat memutar tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti segera melesat mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya,
sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata Ki Rejo. Saat
itu kegelapan memang sudah menyelimuti seluruh angkasa Desa Pucung. Ki Rejo
menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Perlahan kaki
laki-laki tua itu terayun meninggalkan tempat ini. Namun belum juga jauh
berjalan, terlihat serombongan orang berkuda bergerak cepat menuju ke arahnya
dari Desa Pucung.
Ki Rejo tahu kalau mereka adalah Raden Antaka yang
didampingi seorang yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mengenakan
pakaian seorang panglima. Ki Rejo menghentikan langkahnya ketika rombongan
berkuda itu dekat di depannya.
“Ki Rejo, apakah kau melihat Rangga lewat sini?”
tanya Raden Antaka langsung, tanpa turun dari kudanya.
“Ya. Dia menuju ke selatan,” sahut Ki Rejo.
“Terima kasih, Ki,” ucap Raden Antaka.
Raden Antaka langsung menggebah kudanya dengan
kecepatan tinggi sekali. Para prajurit dan seorang panglima perang yang
menyertai segera menggebah kudanya menuju ke arah selatan. Ki Rejo hanya
berdiri saja setelah melompat ke samping, sehingga terhindar dari terjangan
kuda-kuda yang dilarikan cepat bagai kesetanan itu.
***
DELAPAN
Rangga memandangi pondok yang cukup besar dan
tersembunyi di dalam hutan yang lebat ini. Depan pondok yang cukup lapang hanya
ditumbuhi rerumputan yang tidak seberapa tinggi. Di pondok itu Pendekar
Rajawali Sakti pernah dikurung Singo Wulung. Keadaan di sekitarnya begitu
sunyi. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar. Sementara malam telah
menyelimuti sebagian belahan bumi ini. Udara terasa begitu dingin menggigilkan.
Meskipun tak terasa angin berhembus. Alam di sekitar dekat Lembah Intan ini
seakan-akan ikut merasakan ketegangan yang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya mendekati
pondok itu dan berhenti setelah jaraknya dengan pintu depan pondok sekitar dua
batang tombak lagi. Dari pintu yang terbuka, hanya kegelapan yang tampak di
dalam. Pintu yang terbuka itu seakan-akan memberi suatu pesan atau mungkin juga
penyambutan bagi Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm...,” Rangga menggumam dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menge-rahkan ilmu ‘Pembeda
Gerak dan Suara’. Suatu ilmu yang dapat membuat pendengaran menjadi lebih tajam
dan peka. Sekecil suara apa pun yang terdengar, dapat jelas terdengar.
“Hm...,” kembali Rangga menggumam dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti mendengar tarikan napas yang halus dari dalam pondok.
Begitu halusnya, sampai-sampai sukar untuk bisa didengar, meskipun sudah
menggunakan ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti
itu bisa berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja dari dalam pondok itu melesat
sebuah benda bulat berwarna merah. Benda bulat sebesar mata kucing itu meluncur
deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup...!” Manis dan cepat sekali Rangga
melentingkan tubuhnya ke atas, sehingga benda bulat berwarna merah itu melesat
lewat di bawah kakinya. Benda itu terus meluncur menghantam sebatang pohon
hingga hancur dan menimbulkan ledakan keras.
Baru saja Rangga menjejakkan kakinya di tanah,
kembali meluncur benda bulat berwarna merah yang besarnya tidak lebih dari mata
kucing itu. Kali ini Rangga tidak mungkin lagi melentingkan tubuhnya untuk
menghindar. Tapi dengan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti memiringkan
tubuhnya ke kanan, maka benda itu lewat sedikit di samping tubuhnya.
Kembali terdengar ledakan saat benda bulat berwarna
merah itu menghantam pohon di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika
pohon itu hancur berkeping-keping. Rangga kembali berdiri tegak. Dua kali
serangan itu berhasil dielak-kannya. Sebenarnya tidak sukar bagi Rangga untuk
memaksa orang di dalam pondok itu agar keluar. Pendekar Rajawali Sakti bisa
saja menghancurkan pondok itu dengan menggunakan pukulan jarak jauhnya, tapi
hal itu enggan dilakukannya. Karena orang yang di dalam pondok itu bisa hancur
jika tidak memiliki kepekaan dalam menerima angin pukulan jarak jauh.
“Singo Wulung, sebaiknya kau keluar...!” seru
Rangga keras menggelegar.
Tapi tak ada sahutan sedikit pun. Rangga yakin
kalau yang di dalam pondok itu adalah Singo Wulung. Dua serangan yang datang tadi
merupakan serangan-serangan senjata rahasia yang dimiliki Singo Wulung. Sangat
dahsyat dan berbahaya sekali.
Slap! Mendadak saja dari dalam pondok itu melesat
satu bayangan merah yang langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Bergegas Rangga melompat ke samping, sehingga bayangan merah itu tidak sampai
menabraknya. Dan bayangan merah itu lewat sedikit di samping tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dari hempasan anginnya, membuat Rangga agak terhuyung
juga. Dan sebelum Rangga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya kembali, bayangan
merah itu sudah kembali meluruk deras ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga
Rangga tak sempat lagi menghindar.
Plak!
“Akh...!” Rangga memekik agak tertahan. Pendekar
Rajawali Sakti merasakan adanya suatu gedoran sangat kuat pada dadanya.
Akibatnya, tubuh pemuda berbaju rompi putih itu terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak, namun manis sekali berputaran di udara beberapa kali. Lalu
kakinya kini mendarat ringan di tanah.
Cepat Rangga membuat beberapa gerakan tangan di
depan dadanya, begitu merasakan napasnya agak terganggu. Kembali Pendekar
Rajawali Sakti berdiri tegak, dan bersiap menerima serangan berikut. Namun
serangan yang ditunggu-tunggu tidak juga kunjung datang. Rangga memandangi
laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berdiri tegak sekitar tiga
batang tombak di depannya. Bajunya merah menyala dengan sebilah pedang
tergantung di pinggangnya.
***
“Singo Wulung, sebaiknya kau menyerah saja. Tidak
ada gunanya melakukan perlawanan,” bujuk Rangga.
“Bicaramu enak sekali, Pendekar Rajawali Sakti. Kau
pikir apa untungnya membiarkan leherku tergantung, heh...?!” terdengar sinis
nada suara Singo Wulung.
“Aku yakin, kau adalah laki-laki ksatria. Seorang
ksatria tidak akan memikirkan untung dan rugi dalam menerima segala akibat
perbuatannya,” kata Rangga tetap dengan nada membujuk.
“Jangan coba-coba mempengaruhiku, Pendekar Rajawali
Sakti. Aku masih memberimu pilihan. Tinggalkan tempat ini, atau akan kembali ke
Talang Mega dengan meninggalkan tubuhmu di sini? Dengan senang hati aku akan
mengirimkan kepalamu pada Prabu Ranakali, seperti yang lainnya,” dingin sekali
nada suara Singo Wulung.
Rangga menyipitkan matanya. Kata-kata Singo Wulung
barusan seakan-akan menyentakkan kesadarannya. Selama beberapa hari ini,
Pendekar Rajawali Sakti mendengar kalau Rupadi selalu melihat mayat-mayat tanpa
kepala di Lembah Intan. Sedangkan Ki Rejo sendiri mengatakan, kalau setiap kali
anaknya melaporkan ada mayat tanpa kepala di Lembah Intan, namun mayat itu tak
pernah ada lagi di sana, saat dia dan para penduduk desa membuktikannya. Itulah
sebabnya kenapa Rupadi dikatakan gila dan pemimpi.
Rupanya apa yang dilihat Rupadi itu memang benar.
Dan mayat-mayat itu adalah para jago Talang Mega yang dikirim Prabu Ranakali
untuk menangkap Singo Wulung dalam keadaan hidup atau mati. Pantas saja kalau
Ki Rejo tidak pernah mendapatkan laporan kehilangan dari penduduknya. Karena
mereka yang tewas di Lembah Intan memang bukan penduduk Desa Pucung.
Hanya saja Rangga tidak tahu kalau setiap kali
mayat itu diketahui Rupadi, dengan cepat Ki Rejo menyingkirkan mayat itu
sebelum diketahui penduduk. Ini dilakukan kepala desa itu untuk menghindari
penduduknya dari ketakutan. Tapi akibatnya, Rupadi disangka gila dan pemimpi
oleh semua orang. Dan bagi Ki Rejo, hal ini lebih baik daripada penduduknya
dibuat resah dan ketakutan. Sedangkan Singo Wulung selalu mengirimkan
kepala-kepala itu kepada Prabu Ranakali di Istana Talang Mega.
“Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti...? Jika kau
masih sayang kepalamu, sebaiknya cepat angkat kaki dari sini. Dan jangan lagi
mencampuri semua urusanku,” tegas Singo Wulung membangunkan lamunan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Sayang sekali, aku harus membawamu ke tiang
gantungan di Talang Mega, Singo Wulung,” sahut Rangga mantap.
“Phuih...! Rupanya kau lebih memilih mampus,
Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Singo Wulung geram. Singo Wulung langsung
menggeser kakinya ke samping menyusuri tanah sejauh beberapa tindak. Sedangkan
Rangga masih berdiri tegak tanpa berkedip menatap tajam buronan berbaju merah
itu.
“Kau sudah memilih jalan kematianmu sendiri,
Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah...!” desis Singo Wulung dingin.
Setelah berkata demikian, Singo Wulung berteriak
keras melengking tinggi. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat cepat
bagaikan kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki berbaju merah
menyala itu langsung mengirimkan beberapa pukulan beruntun yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
“Yeaaah...!”
Saat itu juga Rangga menggerakkan lincah kakinya
disertai gerakan tubuh yang indah dan meliuk-liuk bagai seekor belut.
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Singo Wulung tidak mengenai sasaran sama sekali.
Semuanya dapat dimentahkan dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti yang
menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Satu jurus yang selalu digunakan
Rangga dalam menghadapi serangan-serangan mendadak seperti ini.
“Setan...!” rutuk Singo Wulung geram. Laki-laki
berbaju merah menyala itu langsung merubah jurusnya. Terus dicecarnya Pendekar
Rajawali Sakti dengan jurus-jurus ampuh, cepat, dan berbahaya sekali. Dan
setelah mengeluarkan lima jurus dan belum juga mendapatkan hasil, Singo Wulung
sudah mengetahui kelemahan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang dimainkan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Phuih...!” Sambil menyemburkan ludahnya dengan
sengit, Singo Wulung langsung menghentakkan kakinya. Diberikannya tendangan
menggeledek ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Tendangan yang cepat dan
setengah memutar itu membuat Rangga tersentak kaget.
“Hup...!” Buru-buru Rangga melentingkan tubuhnya ke
udara dan berputaran beberapa kali. Namun selagi masih berada di udara, Singo
Wulung memberi serangan kembali yang cepat dan sukar untuk diduga sebelumnya.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Dua pukulan beruntun dilontarkan Singo Wulung
seraya melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun berada di
udara, Rangga masih bisa mengelakkan pukulan itu manis sekali. Bahkan segera
membuka jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Kedua tangan Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung terbuka mengembang, dan....
Bet! Bet!
Dua kali Rangga mengibaskan tangannya cepat ke arah
kepala dan dada Singo Wulung. Namun laki-laki berbaju merah menyala itu tangkas
sekali berhasil mengelakkan serangan Rangga yang cepat dan dahsyat itu.
Kemudian mereka sama-sama meluruk turun ke bawah. Dan hampir bersamaan, mereka
menjejakkan kakinya di tanah.
Saat itu juga, Singo Wulung kembali menyerang lewat
jurus-jurus tangan kosong yang cepat dan bertenaga dalam tinggi. Sedangkan
Rangga manis sekali melayaninya. Beberapa kali diberikannya serangan balasan.
Dan setiap kali Rangga melakukan serangan balik, Singo Wulung jadi gelagapan
dan kalang kabut menghadapinya.
“Phuih...!” Beberapa kali Singo Wulung menyemburkan
ludahnya dengan geram. Laki-laki ini benar-benar terkejut sekali. Ternyata
Pendekar Rajawali Sakti mampu bertahan setelah sepuluh jurus dikeluarkan.
Padahal waktu itu terasa mudah sekali melumpuhkan Rangga. Singo Wulung tidak
tahu kalau kekalahan Pendekar Rajawali Sakti waktu itu karena pikirannya
bercabang dua. Di sisi lain Pendekar Rajawali Sakti harus mencari Raden Antaka
yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan di sisi lain lagi, juga harus
menghadapi Singo Wulung.
Singo Wulung memang tidak menyadari kalau terlalu
menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih itu. Bahkan serangan-serangan
balik yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti sungguh berbahaya.
“Yeaaah...!” tiba-tiba saja Rangga berteriak keras
menggelegar.
Dan bagaikan seekor burung rajawali, Pendekar
Rajawali Sakti melesat ke udara bagai kilat. Lalu tiba-tiba sekali tubuhnya
menukik turun dengan kaki berada di bawah. Kedua kakinya bergerak cepat
mengarah ke kepala Singo Wulung.
“Ikh...?!” Singo Wulung terkejut bukan main.
Buru-buru dirinya dijatuhkan ke tanah dan bergulingan beberapa kali di tanah
berumput tebal itu. Sedangkan serangan yang dilancarkan Rangga, menemui tempat
kosong. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya, tepat pada
saat Singo Wulung bangkit berdiri. Saat itu Rangga sudah cepat mengerahkan
jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
“Yeaaah...!” teriak Rangga menggelegar.
Des!
“Akh...!” Singo Wulung memekik keras agak tertahan.
Pukulan Rangga menggunakan ‘Pukulan Maut Paruh
Rajawali’, tak bisa terbendung lagi. Kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti
tepat menghan-tam dada Singo Wulung. Akibatnya buronan berbaju merah menyala
itu terpental menghantam tanah keras sekali.
“Hup...!”
Namun cepat sekali Singo Wulung bisa bangkit
berdiri. Meskipun limbung, namun hanya sebentar saja. Terlihat dari sudut
bibirnya mengeluarkan darah segar. Singo Wulung menyeka darah dengan punggung
tangannya. Mulutnya mendesis menggeram, dan matanya memancarkan kemarahan yang
menggelegak dalam dada.
Sret! Cring!
Singo Wulung mencabut pedangnya yang sejak tadi
tergantung di pinggang. Pedangnya dikibaskan bebe-rapa kali di depan dada,
membuat beberapa gerakan pembuka jurus.
“Hiyaaa...!”
Bet! Wuk!
Singo Wulung berteriak keras sambil mengebutkan
pedangnya beberapa kali ke arah bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Namun manis sekali Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan pedang
yang dilancarkan Singo Wulung. Singo Wulung semakin bertambah geram, karena
serangan-serangannya tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Saat itu juga
disadari kalau tengah berhadapan dengan tokoh rimba persilatan yang masih
berusia muda dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar diukur.
Bet! Tap!
Tepat ketika pedang Singo Wulung menusuk ke arah
dada, cepat sekali Rangga mengebutkan tangannya. Dan tiba-tiba saja, ujung
pedang buronan berbaju merah itu terjepit di antara dua jari tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Hih...!”
Singo Wulung mencoba melepaskan pedang dari jepitan
jari tangan Rangga yang bagaikan penjepit baja itu. Meskipun sudah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam, namun jepitan itu sungguh kuat. Bahkan sedikit pun
pedang itu tidak bergerak. Dan sebelum Singo Wulung sempat berpikir keras,
mendadak saja Rangga sudah melayangkan satu tangannya lagi ke pedang itu.
“Hiyaaa...!”
Trak!
Bukan main terkejutnya Singo Wulung ketika
tiba-tiba saja pedangnya patah jadi dua bagian tertebas tangan Rangga.
Akibatnya laki-laki itu terpental sejauh beberapa tindak ke belakang. Dan belum
lagi sempat melakukan sesuatu, Rangga sudah lebih cepat melompat sambil
melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah dada.
Des!
“Akh...!” Singo Wulung memekik keras.
Tendangan Rangga tepat menghantam dada laki-laki
berbaju merah itu. Kembali Singo Wulung terpental jauh ke belakang, dan keras
sekali kembali terhempas ke tanah. Singo Wulung menggeliat sambil menyeringai
menahan sakit pada seluruh tubuhnya yang terasa bagai remuk. Namun sebelum
Singo Wulung melakukan sesuatu lagi, Rangga sudah cepat melompat menghampiri.
Dan begitu kakinya mendarat di samping Singo Wulung, cepat sekali Pendekar
Rajawali Sakti itu memberi totokan pada jalan darah di tubuh laki-laki berbaju merah
menyala itu.
“Oh...,” Singo Wulung merintih lesu. Tubuh
laki-laki itu tak bisa lagi digerakkan setelah tertotok pada jalan darahnya.
Sedangkan Rangga sudah melangkah mundur dua tindak dari Singo Wulung yang
tergeletak tak berdaya lagi di tanah berumput tebal.
Baru saja Rangga memutar tubuhnya, tampak Raden
Antaka bersama para prajurit serta seorang panglima datang sambil menunggang
kuda. Mereka langsung berlompatan turun. Raden Antaka menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti dengan ayunan kaki lebar dan bergegas sekali.
“Kau sudah melumpuhkannya, Kakang...?” ujar Raden
Antaka dengan nada bertanya.
“Dia sudah tertotok jalan darahnya. Kau bisa
membawanya ke Talang Mega, Raden,” jelas Rangga seraya mengayunkan kakinya
melangkah.
“Kakang...!” panggil Raden Antaka bergegas mengejar
dan berdiri menghadang di depan.
Rangga terpaksa menghentikan langkahnya.
“Kau mau ke mana?” tanya Raden Antaka.
“Masih banyak tugas lain yang harus kuselesaikan,
Raden,” sahut Rangga.
“Tidakkah kau ingin kembali ke Istana Talang Mega,
Kakang?” nada suara Raden Antaka seperti berharap.
“Sampaikan saja salam hormatku pada Prabu
Ranakali,” ucap Rangga seraya tersenyum. Rangga kembali mengayunkan kakinya.
Namun baru beberapa langkah berjalan, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan ayunan
kakinya.
“Raden, siapa yang memberitahumu aku ada di sini?”
tanya Rangga seperti teringat sesuatu.
“Rupadi. Kemudian aku bertemu Ki Rejo di jalan,”
sahut Raden Antaka.
“Itu berarti Raden harus menepati janji,” Rangga
mengingatkan.
Raden Antaka tidak menjawab. Pemuda itu jadi
teringat dengan janjinya pada Rupadi, untuk dijadikan pengawal pribadi dengan
pangkat punggawa. Janji seorang putra mahkota tak bisa dicabut kembali. Dan
Raden Antaka memang mengakui kalau Rupadi telah banyak berjasa memberi
keterangan tentang keberadaan Singo Wulung di sekitar Desa Pucung ini.
Selagi Raden Antaka terdiam, Rangga sudah melesat
cepat meninggalkan hutan itu. Dan Raden Antaka baru tersadar kalau Pendekar
Rajawali Sakti sudah tidak ada lagi, dan hanya bisa menarik napas panjang.
Meskipun sudah mengedarkan pandangannya berkeliling, tapi bayangan Pendekar
Rajawali Sakti tidak juga bisa terlihat lagi.
Sementara itu para prajurit sudah mengikat Singo
Wulung dan menaikkannya ke atas kuda yang memang sudah dipersiapkan. Raden
Antaka kemudian melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Langsung
diperintahkannya para prajurit untuk bergerak meninggalkan hutan ini, kembali
ke Kerajaan Talang Mega.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
GENTA KEMATIAN
Emoticon