Serial Pendekar Gila episode 30 Dewi Ratu Maksiat
1
Malam itu angin berhembus kencang dan menderu-deru,
seolah suatu pertanda bakal datang badai besar. Hawa dingin terasa semakin
menusuk tulang sum-sum. Dan mendung tebal yang sejak sore bergayut di langit
telah berubah menjadi hujan, menambah suasana kian mencekam. Desa Tumpang
nampak sepi. Tak satu pun orang yang berada di luar rumah, kecuali tiga lelaki
yang sedang menjalankan tugas ronda. Karena hujan kian deras, ketiganya hanya
duduk ngobrol di gardu sambil mengisap rokok kawung.
"Huh..., tidak biasanya malam seperti
ini," gumam Bondan mengeluh. Matanya sesekali memandang ke luar gardu yang
tampak gelap gulita.
Tak ada suara apa pun kecuali deru angin yang
bercampur rintik hujan.
"Iya, aneh. Padahal saat ini musim
kemarau," sambut Busran. "Mestinya belum ada hujan."
"Namanya alam. Siapa yang bisa memasti-kan.... Tapi, kurasa hujan ini
memang aneh," tukas Pardi. "Terus terang, sejak tadi aku merinding.
Jangan-jangan...." Pardi tak meneruskan kata-katanya. Matanya memandang
dengan tegang ke sekeliling gardu yang nampak sepi dan gelap, semakin membuat
bulu kuduknya berdiri.
"Jangan-jangan kenapa, Di?" tanya Busran
penasaran karena temannya tidak meneruskan kata-katanya.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Pardi.
"Setan maksudmu?" terka Bondan.
Pardi hanya mengangguk kecil. Matanya masih
membelalak tegang, memandang ke sekeliling yang dirasakan kian mencekam.
Apalagi angin semakin kencang menderu. Bulu kuduknya semakin meremang.
Bondan tertawa kecil. Suaranya terdengar sumbang
dan bergetar, karena diliputi perasaan tercekam. Dia pun merasakan bulu
kuduknya meremang, namun tetap berusaha menekan rasa takutnya.
"Di.... Pardi. Kamu ini kayak anak kecil
saja," gumam Bondan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Sudah tua
kok masih takut dengan setan." "Bukan begitu. Sejak tadi hatiku
memang tak enak rasanya. Dan..., heh... bau kemenyan, Bon" tubuh Pardi
bergidik ketika hidungnya mencium bau kemenyan yang menyengat. Sepertinya ada
orang yang membakar dupa.
Bondan dan Pardi mengendus-endus, berusaha mencium
bau kemenyan. Seketika keduanya merinding di sekujur tubuh, ketika hidung
mereka pun mencium bau kemenyan yang menyengat. Bahkan kemudian bercampur aroma
wangi bunga kenanga, yang mengingatkan mereka pada kematian.
"Benar, Di. Bau kemenyan dan bunga
kenanga...," kata Busran dengan mata membelalak.
"Hiii..." Bondan semakin bergidik,
wajahnya memucat. Rasa takut itu tak hanya melanda hati lelaki muda itu. Kedua
temannya pun semakin merasa tercekam deh suasana gelap, sunyi, dan hawa dingin
yang dihembuskan angin. Ketiga peronda itu sebenarnya ingin sekali meninggalkan
gardu. Namun keadaan di luar membuat mereka takut Sesaat tak satu pun yang
mengeluarkan suara. Kini yang terdengar hanya rintik hujan dan deru angin
kencang.
Wuss Krak Ketiga peronda tersentak kaget ketika
dari luar terdengar suara hembusan hawa aneh disertai retaknya tanah. Mereka
terpaku di tempat duduk masing-masing, seakan tak mampu berbuat sesuatu.
Wuss Krak Suara itu kembali terdengar. Tiba-tiba
dari dalam tanah di depan gardu, keluar asap tebal.
Tidak hanya satu kepulan. Ada delapan tempat yang
tanahnya merekah dan mengepulkan asap putih. Sementara itu getaran-getaran pun
mulai terasa di sekitar gardu ronda.
Mata ketiga peronda itu terbelalak, menatap penuh
ketegangan kepulan asap yang keluar dari retakan tanah. Tubuh mereka menggigil
ketakutan.
Asap putih kehijau-hijauan itu perlahanlahan
berubah warna. Semakin lama, kepulankepulan asap itu membentuk warna merah
darah.
Lalu membentuk sosok makhluk yang mengerikan. Sosok
manusia berwajah tengkorak dengan memakai jubah warna merah darah hingga
menutup kepala. Sosok-sosok manusia berjubah dan tudung merah itu seperti mayat
hidup. Mata mereka tampak menyorot merah. Dan mulut mereka bergigi taring.
"Mayat hidup" sentak Pardi yang telah
gu-gup. Matanya semakin membelalak tegang, menyaksikan makhluk-makhluk aneh
itu.
"Se... se... setan..." pekik Busran
dengan suara menggeragap.
"Ma... ma... mayat hidup..." jerit Bondan.
Ketiga peronda itu kini saling merapat ketakutan.
Tak ada yang berani berlari, karena makhluk-makhluk itu berada di depan mereka.
Bahkan kini makhluk-makhluk aneh itu bergerak
mendekat. Sepertinya mereka hendak melakukan sesuatu terhadap ketiga peronda
itu, yang semakin ketakutan.
Delapan mayat hidup itu mengelilingi gardu ronda,
membuat ketiga peronda itu bertambah ketakutan. Terlebih jika memandang ke
wajah manusia-manusia bermuka tengkorak yang berlumuran darah.
"Tolong... Tolooong..." "To...
tolong..." ketiga peronda mulai berteriak-teriak. Mereka saling rapat satu
sama lain, dengan mata membelalak ketakutan memandang kedelapan manusia bermuka
tengkorak yang menyeringai dengan suara-suara yang aneh pula.
Makhluk-makhluk itu tampaknya berbicara dalam
bahasa mereka. Kemudian salah satu dari mereka menunjuk ke arah Busran yang
paling tampan di antara ketiga peronda itu. Sedangkan yang di sampingnya
mengangguk-anggukkan kepala, seakan menyetujui apa yang dikatakan kawannya.
Makhluk bermuka tengkorak yang mengangguk-anggukkan kepala memerintahkan kepada
anak buahnya untuk menangkap Busran.
"Tidak Jangan..." pekik Busran berusaha
menolak, ketika dua mayat hidup maju mendeka-tinya dan siap menangkap.
Kedua makhluk aneh itu seperti tak peduli dengan
teriakan Busran. Mereka terus memegang tangan Busran dan menyeretnya agar ikut
"Jangan..." teriak Busran meronta-ronta ketakutan.
"Tolong..." Bondan dan Pardi hanya kebingungan. Keduanya tak tahu
harus berbuat apa untuk menolong Busran. Mereka merasa tak tahan melihat wajah
makhluk-makhluk aneh yang berlumuran darah itu. Tubuh kedua peronda itu
menggigil.
Tak ada yang berani melangkah untuk menolong
Busran, karena manusia-manusia bermuka tengkorak itu masih menjaga mereka.
Saking takutnya, Bondan dan Pardi tak sadar
terkencing di celana. Wajah mereka pucat pasi. Tubuh mereka sudah lemas dan
basah oleh keringat dingin yang keluar karena rasa takut yang tak terkira.
Wass Mendadak makhluk-makhluk aneh itu lenyap
seketika, kembali menjadi asap. Lalu terdengar suara gemuruh pecahnya tanah di
sekeliling gardu. Bersamaan dengan itu, kepulan asap jelmaan makhluk-makhluk
aneh itu lenyap.
"Hah?" kedua peronda yang ketakutan itu
membelalakkan matanya semakin tegang menyaksikan kejadian yang aneh itu. Mereka
tak tahu Busran dibawa ke mana oleh makhlukmakhluk aneh itu.
"Tolong... Setan-setan" Keduanya lari
terbirit-birit sambil berteriak-teriak.
"Tolong Tolong ada mayat hidup..." Warga
Desa Tumpang yang mendengar suara teriakan para petugas ronda langsung keluar,
ingin tahu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Tumpang turut keluar.
"Ada apa, Pardi, Bondan? Seperti orang dikejar
setan saja kalian. Jejeritan di malam begini?" tanya Ki Kuswara, lelaki
kurus tinggi dengan pakaian warna abu-abu tua lengan panjang. Berwajah angker
dengan kumis tebal melintang. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini,
merupakan Kepala Desa Tumpang.
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa
Busran," jawab Bondan.
Mendengar laporan Bondan, para warga yang ada di
tempat itu terbelalak kaget. Namun Kepala Desa Tumpang seakan tak percaya
dengan cerita itu.
"Jangan main-main kau, Bondan?" bentak Ki
Kuswara dengan mata melotot.
"Benar, Ki," timpal Pardi, "Lihat,
kami benar-benar ketakutan Bahkan aku... aku sampai kencing di celana."
Pardi menunjuk ke selangkangannya. Celana kolor panjangnya yang berwarna kuning
terang basah kuyup dan bau pesing. Bondan pun berusaha meyakinkan Ki Kuswara
dengan merenggangkan selangkangan yang basah.
Semua warga yang melihat kedua peronda itu ngompol,
seketika tertawa terbahak-bahak Kesunyian malam yang semula tegang, seketika
berubah menjadi riuh oleh gelak tawa mereka. Namun tiba-tiba....
"Tolong Tolong..." Suara jeritan itu
ternyata dari rumah Ki Kuswara. Para warga desa yang mendengar jeritan menantu
Ki Kuswara seketika berlarian menuju rumah kepala desa itu.
"Hantu..., hantu..." "Setan Mayat
hidup..." Para warga yang telah sampai di rumah Ki Lurah Kuswara langsung
berteriak-teriak ketakutan. Mereka melihat makhluk-makhluk aneh bergigi taring
dan berlumuran darah tengah berusaha menyeret anak lelaki Ki Lurah Kuswara.
Menyaksikan hal itu, Ki Kuswara yang tidak ingin
putranya dibawa kabur oleh makhlukmakhluk aneh itu segera bertindak. Lelaki
setengah baya itu melompat dan menghadang mayatmayat hidup itu.
"Berhenti Lepaskan anakku" bentak Ki
Kuswara dengan keras, seperti tak takut sama sekali terhadap makhluk-makhluk
aneh yang menatapnya dengan wajah mengerikan.
Salah satu dari mayat hidup itu menggerakkan
tangan, seperti memerintah pada anak buahnya untuk membereskan Ki Kuswara.
"Hng..." Tiga mayat bermuka pucat dan
bergigi taring maju menghadapi Ki Kuswara yang masih berdiri dengan mata
menatap tajam. Sepertinya Ki Kuswara belum yakin, kalau sosok-sosok makhluk
aneh yang menyeramkan itu setan.
"Jangan kira aku takut menghadapi kalian"
dengus Ki Kuswara pada tiga mayat hidup yang menghampirinya. Tapi ketiganya tak
juga mau membuka kedoknya, justru terdengar suara menggereng dari mulut mereka.
"Hnghh..." Ketiga mayat hidup dengan
berang menyerang Ki Kuswara. Tangan mereka yang hanya tulang-belulang berkuku
panjang dan runcing, menyambar dengan cakaran ke tubuh kepala desa itu.
Seketika itu pula Ki Kuswara tersentak kaget melihat bahwa manusia-manusia itu
ternyata tengkorak.
"Mayat hidup...?" tanya Ki Kuswara,
seraya mengelakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih membelalak tegang,
ngeri menyaksikan kenyataan yang ada.
Warga Desa Tumpang yang melihat tangan manusia-manusia
yang menyeramkan itu hanya tulang-belulang, seketika menjerit ketakutan.
Serentak mereka pun lari terbirit-birit. Terlebihlebih kedua peronda yang telah
melihat sebelumnya, langsung lari tunggang-langgang.
'Tolong Mayat hidup Tolong..." Hiruk-pikuk
jeritan warga seketika menggema, memecahkan kesunyian malam. Tak seorang pun
warga yang berani membantu kepala desanya, setelah tahu kalau makhluk itu bukan
manusia.
Ki Kuswara terpaksa harus bertarung melawan ketiga
mayat hidup seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga makhluk aneh
yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris yang sejak tadi terselip di
pinggang. Segera dikerahkan jurus 'Sambar Nyawa' dengan Keris Lekuk Pitu yang
mengeluarkan sinar hijau.
"Hea" Keris Lekuk Pitu di tangan Ki
Kuswara bergerak cepat, menusuk ke dada salah satu makhluk siluman. Kilatan
cahaya keris itu, terus menyeruak masuk berusaha menekan ketiga lawannya.
Sementara itu, makhluk aneh yang tadi membawa anak Ki Kuswara kini telah raib
entah ke mana. Ki Kuswara hanya sempat menyaksikan ketika makhluk itu berubah
menjadi asap di tanah retak. Hal itu semakin membuat mata kepala desa itu
membelalak tegang dan merasa kebingungan. Kejadian itu rasanya tak masuk akal
baginya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan semata, tanpa mengerti ilmu gaib.
Tusukan keras dan cepat Keris Lekuk Pitu di tangan
Ki Kuswara tak dihiraukan oleh lawannya. Jlep Keris Lekuk Pitu menghunjam ke
dada manusia bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menancap ke dalam,
seperti disedot suatu kekuatan gaib. Ki Kuswara kembali tersentak kaget
merasakan kejadian yang sangat aneh itu.
"Akh Kerisku tertarik ke dalam?" pekik Ki
Kuswara kaget. Dia berusaha mencabut kembali kerisnya dari dada mayat hidup.
Namun justru tubuhnya sendiri tertarik oleh kekuatan tubuh makhluk aneh itu.
Keadaan ini membuat Ki Kuswara semakin tegang. Apalagi ketika sekujur tubuhnya
tiba-tiba tersengat hawa panas, bagaikan ada api yang menjalar begitu cepat
"Akh" jerit Ki Kuswara.
"Hngh..." Mayat-mayat hidup itu menggeram
keras.
Pada saat itu, tubuh manusia siluman yang tertusuk
Keris Lekuk Pitu milik Ki Kuswara tiba-tiba bersinar hijau. Sinar itu terus
membesar, menyelimuti sekujur makhluk itu. Kemudian menjalar ke tangan Ki
Kuswara.
"Wua..." Ki Kuswara menjerit setinggi
langit, ketika tubuhnya tersengat sinar hijau yang keluar dari tubuh manusia
siluman. Bagaikan arus listrik yang kuat, menyambar tubuhnya.
Ki Kuswara berusaha melepaskan cekalannya pada
keris yang menancap dada lawan. Namun tangannya dirasakan telah melekat kuat
pada keris itu. Sehingga sangat sulit baginya untuk dapat melepaskan tangannya.
Bahkan semakin kuat berontak, semakin lengket tangannya pada gagang keris.
Semakin kuat pula tenaga tarikan makhluk aneh itu.
"Hng" "Heik-heik" "Wuk
wek-wek" Ketiga mayat hidup itu berbicara dengan bahasa mereka yang tak
dimengerti Ki Kuswara.
Kepala desa itu terus berusaha melepaskan pegangan
tangannya pada gagang keris. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun
tetap tak mampu melepaskan tangan yang melekat pada gagang keris.
"Ukh" Ki Kuswara melenguh lirih. Wajahnya
semakin pucat pasi, setelah tenaga dalam terkuras habis. Matanya membelalak
tegang sekarat "Wua..." Diiringi jeritan tertahan. Ki Kuswara
akhirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan keadaan tubuh mengerikan.
Sekujur wajah dan tubuhnya pucat pasi bagaikan tak berdarah. Matanya melotot.
"Zzsst Zzsst" Kedua mayat hidup lainnya
menganggukanggukkan kepala. "Hng" Usai melepaskan tubuh Ki Kuswara,
ketiga mayat hidup menjatuhkan sesuatu dari tangannya tepat di muka kepala desa
itu. Ternyata sebuah benda berupa gambar makhluk aneh bermata merah darah
Ketiga makhluk aneh menghilang, bersama asap yang menyelimuti mereka. Mereka
masuk ke tanah, setelah berubah menjadi asap tebal kemerahan.
2
Sore telah datang, mentari menggelincir di ufuk
barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan
yang membawa suasana mencekam. Para petani pulang dari sawah dengan peralatan
terpanggul di pundak.
Burung-burung pun berterbangan pulang ke sarang
masing-masing dengan suara bersahutsahutan. Cahaya merah tembaga membias di
kaki langit sebelah barat, seakan ingin menyongsong malam yang hampir tiba.
Desir angin senja hari menghembuskan hawa dingin, seperti datang bersama
kegelisahan.
Dua sosok bayangan nampak melangkah perlahan di
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu saling bersenda-gurau dengan riangnya,
menikmati suasana senja yang indah.
"Kakang, nampaknya desa ini tengah
berduka," kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung dua di
atas. Kulit gadis itu kuning langsat, hidungnya tidak terlalu mancung.
Matanya agak sipit, dihiasi bulu-bulu lentik.
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit
ular, berambut gondrong agak berombak.
Kulit pemuda itu bersih, wajahnya tampan.
Sangat serasi pasangan muda-mudi itu.
Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang
perempuan cantik dan elok. Di pundak gadis cantik yang berpakaian Cina,
tersandang sebilah pedang. Sedangkan pemuda itu, nampak di pinggangnya terselip
sebuah suling berkepala naga.
Dilihat dari senjata dan pakaian yang disandang,
kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya,
Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa. Pedang di pundaknya tentu Pedang
Bidadari.
Pendekar Gila meringis sambil tangannya menggaruk-garuk
kepala. Matanya memandang ke sekeliling yang nampak sunyi dan sepi. Ada
panji-panji atau benda berwarna hitam terpancang di pintu masuk desa, yang
menandakan bahwa desa tengah berkabung. "Aha, mungkin kematian biasa, Mei
Lie." "Tapi, Kakang...," potong Mei Lie. "Aha, kau begitu
nakal, Mei Lie Ayolah, kita cepat pergi Sebentar lagi malam tiba. Kita harus
segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil meng-gandeng
tangan kekasihnya. Namun gadis cantik itu menolak.
"Tunggu, Kakang Firasatku mengatakan, pasti
telah terjadi sesuatu di sini." Sena tertawa-tawa mendengar penuturan Mei
Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Hal itu membuat Mei Lie
merengut.
Pendekar Gila langsung menghentikan tingkahnya yang
persis orang gila itu, setelah melihat sang Kekasihnya cemberut. Dengan masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena menghela napas panjang.
"Hih hi hi Nakalmu semakin jadi, Mei Lie.
Ah ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi
sesuatu. Kematian, bukan?" goda Sena, semakin membuat Mei Lie bertambah
merengut.
Matanya mendelik ke arah Pendekar Gila yang masih
cengengesan.
"Uuh, Kakang" keluh Mei Lie cemberut
"Aku bersungguh-sungguh, Kakang." "Aha, apa aku tidak, Mei
Lie?" sahut Sena masih saja menggoda, semakin membuat Mei Lie bertambah
mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini. Sudahlah, Mei Lie Sebentar
lagi malam, kita harus segera mencari penginapan." Sena kembali mengajak
Mei Lie meninggalkan tempat itu. Akhirnya gadis itu pun menurut Keduanya melangkah
meninggalkan mulut desa itu. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba....
"Berhenti" Sena dan Mei Lie terkejut.
Namun keduanya segera membalikkan tubuh, melihat siapa yang telah menyuruh
mereka berhenti. Nampak seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis panjang
melintang, berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga kepada mereka. Di
belakang lelaki itu berdiri beberapa orang warga desa. Wajah mereka pun
menyiratkan kecurigaan terhadap kedua orang yang itu.
Tiba-tiba Sena tertawa terbahak-bahak.
Tingkah lakunya yang konyol muncul. Dia cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat
Menyaksikan tingkah laku pemuda berpakaian rompi kulit ular, seketika lelaki
yang berdiri paling depan mengerutkan kening keheranan.
"Rasa-rasanya aku pernah mendengar tentang
pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" tanya lelaki itu dalam hati.
Keningnya mengerut, memperhatikan penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Dan kalau tak salah, gadis ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah
mereka...?" "Hi hi hi... Kalian ini aneh. Tiba-tiba menghentikan
langkah kami? Hi hi hi..." Sena masih konyol, menepuk-nepuk pantat sambil
berjingkrak-jingkrak. Sedangkan Mei Lie nampak waspada, khawatir kalau
orang-orang yang menghadangnya hendak bermaksud jahat "Siapa kalian?"
tanya lelaki bernama Rapuji itu ingin membuktikan dugaannya.
"Hi hi hi... Lucu, lucu sekali kau,
Kawan." Pendekar Gila semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kalian ingin tahu siapa kami. Baiklah, kami sepasang muda-mudi yang
sedang bertualang mengikuti langkah kaki.
Nah, apakah belum jelas?" "Apa kalian
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Rapuji berusaha
memas-tikan. "Ya" sahut Mei Lie menyela. "Ada apa kalian
menghadang kami?" "O, maafkanlah tindakan kami yang lancang Kalau
benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami mengharap sudilah
kalian mampir dan singgah ke rumah kami," pin-ta Rapuji.
"Hm, untuk apa?" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie Bagaimana
kalau kita ikuti saja permintaannya? Bukankah kita di sini merupakan
tamu?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan kekasihnya yang garang.
Nampaknya Mei Lie masih ingat kejadian di Lembah Lamur, di mana orang-orang
yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya dia tak mudah percaya dengan
orang lain.
(Mengenai trauma Mei Lie, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kwan Im"). "Baiklah
Tapi jangan sekali-kali bermaksud jahat Aku tak segan-segan membunuh kalian
Bahkan seluruh penduduk desa ini akan kumusnahkan" ancam Mei Lie.
"Baiklah, Nini Pendekar," sahut Rapuji
penuh hormat.
"Aha, ayolah" ajak Pendekar Gila.
Keduanya melangkah mengikuti Rapuji dan warga desa.
Sementara langit di sebelah barat sudah tak menampakkan bias cahaya matahari.
Dan malam pun telah turun.
Rumah Rapuji
nampak terang-benderang.
Lampu pelita besar dan lampu gantung yang biasanya
tidak dipasang, malam itu dinyalakan semua. Sehingga suasana di dalam rumah
itu, khususnya di beranda, terang-benderang. Tiga orang tampak duduk di kursi
rotan, sementara yang lain duduk bersila di lantai. Nampaknya para warga tengah
berkumpul, setelah kematian lurah mereka.
Yang duduk di atas bangku, Sena, Mei Lie, dan
Rapuji. Ketiganya tengah membicarakan perihal yang melanda Desa Tumpang yang
baru saja dilanda malapetaka.
Kepada Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji
menceritakan peristiwa aneh yang terjadi kemarin di Desa Tumpang. Dengan tenang
Mei Lie mendengarkan cerita itu. Sementara, Pendekar Gila tak henti-henti
cengengesan sambil menggarukgaruk kepala selama Rapuji bercerita. Tentu saja
sikapnya yang aneh dan lucu itu membuat para warga yang melihat
tersenyum-senyum keheranan. "Hm," Pendekar Gila bergumam. Sedangkan
Mei Lie nampak terus memperhatikan dengan seksama setiap cerita yang dipaparkan
Rapuji.
"Aneh, mayat-mayat dari mana?"
"Itulah yang kami pikirkan. Keris sakti milik Ki Lurah Kuswara yang
bernama Lekuk Pitu hilang entah ke mana. Menurut orang yang melihat, keris itu
masuk ke dada salah satu mayat hidup itu...." "Heh?" Sena
tersentak dengan mata membelalak kaget.
"Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan
geram mendengar cerita yang dituturkan Rapuji.
"Kurasa ada yang mendalanginya"
"Entahlah. Ada atau tidak, kami rasa hal ini harus dicegah...,"
tandas Rapuji dengan suara geram. "Hm," lagi-lagi Pendekar Gila
bergumam tak jelas. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Apa mereka kalau keluar selalu malam
hari?" tanya Mei Lie.
"Baru kali ini terjadi, Nini. Jadi...,"
"Hm, ada yang tahu persis? Bagaimana mula mereka keluar?" tanya Mei
Lie.
"Saya, Nini Pendekar," sahut seorang
lelaki setengah baya yang ternyata Pardi.
"Bisa, Bapak menjelaskan?" pinta Mei Lie
yang disambut anggukan oleh Pardi.
Secara singkat dan jelas, Pardi pun menceritakan
apa yang telah dialami bersama kedua peronda lainnya, yang salah satunya
menjadi korban mayat-mayat hidup.
Selama Pardi bercerita Mei Lie memperhatikan dengan
seksama. Sesekali mulutnya menggumam. Sedangkan Pendekar Gila tampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya ada juga bangsa siluman yang
ingin turut campur dengan urusan manusia.
Hi hi hi... Lucu sekali," Sena tertawa
cekikikan.
Tingkah lakunya semakin konyol, membuat semua orang
yang ada di situ tersenyum-senyum melihatnya.
"Siluman...?" tanya Rapuji dengan mata
membelalak.
"He he he... Begitulah menurut dugaanku,"
jawab Sena sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan setelah
mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati mereka bertanya-tanya, dari mana
siluman-siluman itu datang? Lalu hendak bermaksud apa mereka datang ke alam
manusia? "Hm, kalau benar mereka bangsa siluman, bagaimana kita harus
menghadapi makhluk itu...?" tanya Rapuji nampak kebingungan. Jelas akan
sulit sekali manusia biasa sepertinya dan warga desa untuk menghadapi
makhluk-makhluk siluman. Hanya orang-orang yang menguasai ilmu gaib mampu
menghadapi makhluk-makhluk dari alam gaib seperti itu.
Pendekar Gila nyengir. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya. Dia pun belum bisa memutuskan untuk berbuat sesuatu
atau mengambil kesimpulan. Sebab dia sendiri belum tahu seperti apa
makhluk-makhluk siluman itu.
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena
ti-ba-tiba, menyentakkan semua orang yang ada di situ. Tak terkecuali Mei Lie
yang seketika membelalakkan matanya. Hal itu membuat Pendekar Gila nyengir,
lalu sambil garuk-garuk kepala melanjutkan, "Hi hi hi... Kurasa, ada
baiknya kita membicarakan masalah ini." "Justru karena itulah, kami
mengundang, Tuan Pendekar singgah di rumahku," sahut Rapuji.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
Mei Lie tak menyahut, hanya menganggukangguk kepala
tanda setuju.
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut,
kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembicaraan. Bagaimana kalau kita
berpencarpencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti.
"Mungkin makhluk-makhluk siluman itu malam ini
akan kembali datang. Dan..., kurasa ada sesuatu di desa ini. Bagaimana kalau
kita menyelidikinya?" usul Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menurut
Tuan Pendekar baik, aku setuju saja," jawab Rapuji.
Mei Lie kembali hanya menganggukanggukkan kepala,
menanggapi usul kekasihnya.
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena.
"Kami setuju," sahut warga yang berada di
rumah Rapuji.
"Aha, bagus Kuminta beberapa orang untuk
meronda. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, segera bunyikan
kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu, aku dan Mei Lie akan segera
datang," ujar Sena memberi saran.
"Gagasan yang bagus," puji Rapuji.
"Sementara yang lainnya, tolong ikuti Ki
Rapuji untuk memeriksa desa ini. Aku dan Mei Lie akan berada di sebelah barat
desa. Kita akan bertemu jika kita mendengar salah seorang membunyikan
kentongan" papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita
mulai," kata Rapuji.
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, mereka pun
segera menjalankan keputusan itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat.
Sedangkan Rapuji dan warga desa berjalan ke timur.
Lima orang warga nampak masih berada di rumah Rapuji berjaga-jaga dengan
kentongan siap di tangan.
"Tolong..." Baru saja mereka berpencar,
tiba-tiba terdengar suara jeritan.
"Tolong Gendruwo Setan..." Seorang wanita
muda menjerit-jerit sambil berlari ketakutan. Mungkin karena takutnya, wanita
cantik itu tak sadar kalau tubuhnya dalam keadaan setengah telanjang. Hanya
kain yang menutup bagian bawah tubuhnya. Mendengar suara jeritan itu, Rapuji
yang belum begitu jauh dari rumahnya langsung berbalik arah, diikuti beberapa
warga yang menyertainya. Begitu pula yang dilakukan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ada apa, Sukarti?" tanya Rapuji
mendapa-ti anaknya nampak ketakutan.
"Ada setan, Ayah Setan itu membawa pergi
Kangmas Anggoro" ujar Roro Sukarti sambil menangis ketakutan.
"Hah Anggoro, menantuku diculik?" Rapuji
tersentak, matanya membelalak tegang mendengar penuturan anaknya.
Anggoro dan Roro Sukarti baru saja menikah seminggu
yang lalu. Kini tiba-tiba muncul mayat-mayat hidup menculik Anggoro.
Semua belum hilang dari kekagetan, tibatiba....
"Setan..." "Gendruwo..." Terdengar teriakan-teriakan para
penduduk sambil berlarian ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak melihat para
penduduk berteriak-teriak ketakutan.
Tingkahnya yang konyol, membuat Mei Lie melotot.
Hal itu menjadikan Sena langsung diam.
Meski begitu Pendekar Gila tetap cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa? Ada apa ini?" tanya Rapuji
kepada para warga.
"Rumah kami dirampok" "Anak kami
yang masih perjaka diculik" "Suami saya dibawa. Padahal kami baru
menikah bareng dengan Den Sukaiti," seorang gadis muda berkulit kuning
langsat dan manis menangis tersedu-sedu.
Rapuji semakin melongo bengong. Dia tidak tahu
harus berbuat apa menghadapi para warga beramai-ramai melaporkan kejadian di
rumah mereka. Lelaki setengah baya yang menjabat sebagai Ketua Desa Tumpang
setelah tewasnya Ki Lurah Kuswara itu tampak kebingungan. Dirinya tak habis
pikir untuk apa para lelaki muda diculik oleh makhluk-makhluk aneh itu.
Belum tuntas
Rapuji dan Pendekar Gila mendengar keterangan dari para warga yang telah
dilanda malapetaka itu, tiba-tiba datang pula beberapa orang dari arah selatan.
Mereka melaporkan baru saja mendengar kejadian serupa di Desa Kaliwalang.
Mendengar laporan itu, Rapuji disertai Pendekar Gila, Mei Lie, dan para warga
langsung berlari menuju Desa Kaliwalang yang merupakan desa terdekat dengan
Desa Tumpang.
"Ada apa, Ki Rapuji...?" tanya Ki Lurah
Rejasa menyambut Rapuji dan beberapa warga Desa Tumpang.
Rapuji menceritakan semua yang terjadi.
Hal itu menjadikan mata Ki Lurah Rejasa membelalak.
"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Ki Lurah Rejasa. "Aku
heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa pergi? Kemudian keesokan
harinya mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengerikan sekali. Bukankah
warga desa sini juga melihatnya?" Para warga semua terdiam, tak ada yang
berkata. Semua tengah berpikir, bertanya-tanya dalam hati, apa sebenarnya yang
terjadi di desa mereka ini. Dan apa yang dikehendaki manusiamanusia siluman
itu.
Hanya Pendekar Gila yang masih tersenyum-senyum.
Malah bersiul-siul. Wajahnya memandang ke langit yang gemerlapan.
"Em... kalau aku boleh tahu, apakah
orang-orang yang diculik pernah melakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat
misalnya?" Mei Lie menyelidik. Gadis itu masih memegangi Pedang
Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Kedua pimpinan desa itu terdiam, berusaha
mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan warganya yang hilang diculik.
"Kami rasa tidak," sahut Rapuji.
"Tapi anehnya, mayat-mayat hidup itu memilih
para lelaki muda yang gagah dan berwajah tampan...," sambut Ki Lurah
Rejasa.
"Hm, aneh. Untuk apa lelaki-lelaki itu?"
gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya. Seketika suasana
di sekitar tempat itu menjadi gelap gulita.
Warga desa baru tersentak kaget. Mereka semua baru
sadar kalau yang membuat suasana di tempat itu terang, ternyata berasal dari
pedang Mei Lie. Dengan mata terbelalak, mereka berde-cak kagum. Tak henti-hentinya
mereka memandang wajah Mei Lie, lalu beralih ke Pendekar Gila yang masih acuh
dan cengengesan.
"Kalau boleh kami tahu, apakah kalian?"
tanya Ki Lurah Rejasa pada Sena dan Mei Lie, dengan menyipitkan kedua matanya.
Melihat Ki Lurah Rejasa dan para warga Desa
Kaliwalang tertegun keheranan terhadap Pendekar Gila dan Mei Lie, Rapuji tampak
tersenyum. Lalu menoleh ke arah kedua pendekar muda itu.
"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa," ujar Rapuji memberitahukan.
Seketika Ki Lurah Kaliwalang dan warganya tersentak
kaget. Mereka memang sering mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini melihat
orangnya.
"O, terimalah salam hormat kami" Ki Lurah
Rejasa langsung menjura hormat di hadapan Pendekar Gila dan Mei Lie. Begitu pun
para warga Desa Kaliwalang, mereka membungkuk memberi hormat tanpa diperintah.
"Aha, sudahlah Tak perlu kalian berlaku begitu
Yang penting sekarang bagaimana kita berusaha mencari kesepuluh penduduk yang
hilang," kata Sena mengalihkan pada masalah pokok Semua terdiam, tak
seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan itu. Mereka tak tahu dari mana
manusia-manusia siluman itu muncul.
Apalagi untuk mengetahui di mana markas mereka
berada.
"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling
desa?" tanya Mei Lie menyarankan.
"Setuju saja Tapi, apakah mungkin berada di
sekitar desa ini?" tanya
Ki Lurah Rejasa.
"Mengenai itu aku tak tahu. Yang pasti, kita
harus berusaha mencarinya," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie.
Nah, bagaimana?" sambung Pendekar Gila.
""Kalau begitu, sebaiknya memang segera
bertindak," tambah Rapuji.
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor?
Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Para penduduk bergegas mencari obor.
Kemudian setelah semuanya selesai, mereka pun dipecah
menjadi empat bagian. Masing-masing bergerak ke utara, timur, selatan, dan
barat. Suasana di dua desa itu seketika menjadi ramai. Di sana-sini obor
menyala, menerangi suasana gelapnya malam. Suara kentongan pun sahutmenyahut,
semakin membuat suasana kedua desa bertambah riuh.
Namun setelah seluruh pelosok desa dikelilingi,
tidak juga mereka menemukan tanda-tanda adanya tempat yang mencurigakan. Hal
itu menjadikan semuanya terheran-heran dan bingung, harus bagaimana lagi untuk
dapat menemukan beberapa warga desa yang hilang.
"Hhh..., bagaikan mencari jejak di dalam air.
Tak mudah bagi orang-orang macam kita memburu makhluk siluman yang tak
meninggalkan jejak," gumam salah seorang warga Desa Tumpang.
"Hi hi hi... Lucu sekali. Kita seperti main
petak umpet dengan para siluman," gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekeliling
tempat mereka berada. Namun sama seperti para warga, tak menemukan tanda-tanda
kalau di tempat itu ada yang mencurigakan. Sementara malam kian larut. Namun di
sana-sini masih terdengar suara kentongan dipukul oleh para warga yang masih
bersemangat mencari.
Dan tiba-tiba....
"Ingat Pendekar Gila dan kau Bidadari Penyabut
Nyawa Kalian telah ikut campur dalam urusan ini Kalian akan menyesal..."
Terdengar suara keras dan berkumandang mengancam Pendekar Gila dan Mei Lie.
Suara itu seolah-olah berasal dari langit. Dan dari jenis suaranya, ancaman itu
sepertinya diucapkan oleh seorang wanita.
Orang-orang tersentak kaget mendengar suara tanpa
wujud pemiliknya. Mereka kebingungan mencari-cari suara itu dengan mendongakkan
kepala ke langit yang hanya tampak gelap gulita. Sementara itu, Pendekar Gila
justru tertawa terbahak-bahak, sepertinya tak takut sama sekali dengan ancaman
yang baru saja didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas, "Ha ha
ha... Siluman jelek Jangan kira aku takut menghadapimu Ayo, keluarlah Biar
kujitak pan-tatmu Hua ha ha..." tubuh Sena turut bergetar, karena tawanya
yang terpingkal-pingkal. Kemudian dengan konyol Pendekar Gila menunggingkan
pantat ke atas sambil berseru, "Nih, kentut busukku Bruut.." Pendekar
Gila kembali tertawa-tawa sambil berjingkrakan tak ubahnya seperti monyet. Hal
itu menjadikan semua penduduk yang ada di tempat itu terbengong-bengong. Heran
bercampur kagum atas keberanian Pendekar Gila.
"Kurang ajar Tunggulah saatnya nanti, Bocah
Gila" suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih kuat dan menggelegar,
seakan diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
"Hua ha ha Lucu sekali kau, Siluman Seharusnya
akulah yang mengancammu. Karena kau telah berani melanggar ketentuan Hyang
Widhi. Kau telah berani melanggar garis alam" dengus Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Lalu setelah berjingkrak-jingkrak kembali, ditunggingan
pantatnya, "Nih kentutku. Brutt..." Suasana tegang yang menyelimuti
warga desa, seketika berubah oleh tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan
lucu.
Wuuss...
Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana badai,
menjadikan semua warga desa tersentak kaget. Angin besar itu datang dari arah
selatan.
"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku,
Siluman Jelek? Baik. Ayo, kita main-main petak umpet" Sena melangkah
mundur, tangannya bergerak memerintahkan pada semua warga agar bertiarap.
"Kalian mundur semua Mei Lie, jaga mereka" "Baiklah, Kakang...."
Setelah para penduduk mundur, Sena segera menyatukan telapak tangan di depan
dada, kemudian diangkatnya lurus ke atas kepala. Lalu digerakkan melebar ke
samping. Dan setelah menarik napas dalam-dalam...
"’Inti Bayu’. Hea..." diiringi teriakan
keras, dihempaskan tenaga dalamnya lewat kedua telapak tangan. Seketika itu
pula serangkum angin dahsyat laksana prahara menderu kencang. Angin 'Inti Bayu'
bergerak kencang, menerjang angin badai yang entah dari mana datangnya.
Wss Jlegar Ledakan dahsyat pun terdengar, ketika
dua angin besar laksana badai saling bertabrakan di udara. Akibat dari ledakan
menggelegar itu, tanah di bawahnya hancur berhamburan, hingga membentuk sebuah
lubang besar dan dalam.
Sesaat kemudian suasana kembali sepi, tak terdengar
suara angin maupun ancaman.
"Hm," gumam Sena tak jelas. Kepalanya
mendongak melihat ke atas, tempat suara ancaman tadi terdengar. "Malam
ini, kurasa dia agak sedikit kapok" Namun tiba-tiba Sena sangat terkejut,
ketika dilihatnya di antara kerumunan penduduk tak tampak Mei Lie. Sena menggaruk-garuk
kepala.
"Mei Lie? Kau lihat Mei Lie, Ki
Rapuji...?" tanya Sena pada Rapuji. Matanya terus mencaricari Mei Lie.
Srak Wess Sesosok bayangan merah berkelebat cepat
membopong sosok tubuh berpakaian putih. "Mei Lie?" Sena tersentak
kaget melihat sosok bayangan itu membawa kekasihnya.
Pendekar Gila cepat mengejarnya. Namun sosok yang
membawa Mei Lie sudah menghilang.
Pemuda itu nampak cemas dan menggaruk-garuk kepala.
"Bodoh sekali aku ini" gumam Pendekar Gila kesal.
3
Sesosok bayangan kemerahan melesat begitu cepat
menembus kegelapan malam. Bagaikan tak menghiraukan dinginnya hawa yang menusuk
ke tulang sumsum, sosok bayangan yang ternyata seorang lelaki tua itu terus
berkelebat. Di pundaknya tampak sesosok tubuh wanita berpakaian putih, terkulai
lemas seperti mati. Lesatan cepat yang dilakukan lelaki tua berjubah merah itu
menandakan bahwa ilmunya tak dapat dianggap remeh. Gerakannya yang secepat
kilat tak dapat dilihat mata biasa.
Lelaki tua bercambang panjang dan lebat itu
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam menatap liar ke
sekeliling tempat itu.
Kini jelas, sosok berpakaian putih yang
dipanggulnya tak lain Mei Lie. Kekasih Pendekar Gila.
Rupanya sewaktu Pendekar Gila tengah mengerahkan
ajian 'Inti Bayu', menggempur serangan angin badai, lelaki tua berjubah merah
itu mendapatkan saat yang tepat untuk menotok Mei Lie. Mei lie pun lengah dan
tak menduga kalau ada orang yang tengah mengintainya.
"Ha ha ha... Aku akan berkuasa Aku akan dapat
menguasai Jawa Dwipa ini. Ha ha ha..." lelaki tua itu tertawa
terbahak-bahak. "Ternyata Pendekar Gila hanya seorang pendekar
bodoh..." kemudian tubuhnya melesat kembali meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu berharap impiannya untuk menguasai semua
tokoh persilatan di Jawa Dwipa akan menjadi kenyataan. Ia masih teringat
wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan: "Siapa yang
dapat memperistri seorang gadis bergelar Bidadari Pencabut Nyawa atau Titisan
Dewi Kwan Im, maka kelak akan menjadi tokoh sakti. Selain itu akan menguasai
tanah Jawa Dwipa dan Andalas, serta menurunkan raja-raja di Pulau
Andalas".
Lelaki tua itu terus berlari semakin cepat, seakan
tak ingin ada orang lain melihatnya. Namun ketika melintasi sebuah hutan kecil
yang tak seberapa luas, tiba-tiba....
"Datuk Tambureh, tunggu..." Lelaki
berjubah merah darah tak menghiraukan seruan itu. Hatinya sudah menduga siapa
orang yang memanggilnya. Lelaki tua yang dipanggil Datuk Tambureh itu terus
berlari. Hal itu karena hatinya telah menaruh rasa curiga terhadap tokoh-tokoh
persilatan di Tanah Jawa.
Ternyata lelaki berjubah merah yang bernama Datuk
Tambureh inilah tokoh sesat yang akhir-akhir ini sering membuat keonaran.
Lelaki tua itu mampu membangunkan mayat-mayat orang jahat dari dalam kubur.
Demi tujuan dan cita-cita yang telah lama didambakannya.
Suatu wangsit telah turun atas dirinya melalui Dewi
Ratu Maksiat, yang juga ibu angkatnya.
Datuk Tambureh melakukan penculikan terhadap para
lelaki muda dan tampan untuk dipersembahkan kepada ibunya yang menganut ilmu
pembuat awet muda. Dengan bersetubuh dan meminum darah para pemuda tampan Dewi
Ratu Maksiat bisa terus awet muda.
"Datuk... Datuk Tambureh, tunggu..."
Orang itu kembali berseru sambil berlari mengejar lelaki tua berjubah merah.
Dalam sekejap saja, tubuh orang itu berkelebat cepat menyusul Datuk Tambureh,
bahkan tiba-tiba telah menghadangnya.
"Berhenti" "Apa urusanmu, Orang
Usil" bentak Datuk Tambureh geram.
Lelaki bercadar biru itu tersenyum mengejek.
"Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis itu. Hem, aku pun jadi ingin
merebutnya dari tanganmu." "Bedebah Jangan, bermimpi"
"Kenapa tidak, Datuk..." tiba-tiba terdengar suara orang lain
membentaknya, menjadikan sang Datuk tersentak kaget dan memalingkan wajah ke
arah suara bentakan itu.
"Hm... Rupanya kalian bersekongkol hendak
merebut gadis itu. Heh..., jangan kira kalian akan mampu merebutnya. Langkahi
dulu mayatku" "Begitu?" tanya orang yang baru datang dengan
sinis. Lelaki berpakaian serba hitam itu ternyata Bulus Wulung yang telah
mengejar Datuk Tambureh setelah mendengarkan keterangan dari ketiga pengusung.
Seperti Datuk Tambureh, kedua orang yang mengejarnya pun telah mengira siapa
adanya Putri Kumala Dewi yang menurut wangsit kelak akan menurunkan raja-raja
di Pulau Andalas. Karena berpegang pada wangsit itulah, ketiga orang tersebut segera
memburunya.
Kini putri tersebut berada di tangan Datuk
Tambureh, sehingga kedua orang pengejar itu pun mau tak mau harus menghadang
lelaki berjubah merah. "Ya, begitu, tak ada jalan lain," jawab Datuk
Tambureh sinis.
"Hem, kita bertiga," gumam Bulus Wulung
yang mengenakan pakaian serba hitam dengan kedok hitam.
"Tak apa. Yang penting salah seorang di antara
kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang bercadar biru menyarankan,
"Bagaimana kalau kita langsung saling menyerang?" "Tak mungkin.
Pasti ada kecurangannya," sela Datuk Tambureh.
"Kau rupanya takut, Datuk" "Bedebah
Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo, kalian maju bareng
mengeroyokku Datuk Tambureh tak akan mundur menghadapi orang macam
kalian," habis berkata begitu, serta-merta Datuk Tambureh mengibaskan
tangannya. Dari kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna ungu, melesat ke
arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan" pekik Bulus Wulung
memperingatkan pada rekannya yang dengan segera berkelebat sambil mengibaskan
lengan bajunya. "Datuk edan Rupanya kau memang ingin segera mampus"
bentak orang bercadar biru. Napasnya mendengus bagaikan memendam kekesalan yang
hendak ditumpahkan pada Datuk Tambureh. "Terimalah pembalasan dariku
Hiat..." orang bercadar biru itu menghantamkan tangan kanannya ke arah
Datuk Tambureh. Sang Datuk terkesiap kaget, melihat larikan sinar putih melesat
dari telapak tangan lawan.
"Hah... Kaukah Barong Culla?" Datuk
Tambureh terkejut setelah tahu siapa adanya orang bercadar biru itu.
"Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Barong Culla" "Hua ha
ha... Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk? Nah, bila sudah tahu siapa
aku, mestinya kau menyembah dan rela memberikan gadis itu, padaku...,"
kata lelaki bercadar biru yang ternyata bernama Barong Culla.
"Enak saja kau ngomong Aku bersusahpayah
menculiknya, tiba-tiba kau menginginkan hasil jerih payahku?" bentak Datuk
Tambureh.
"Walaupun namamu sudah setinggi langit, Datuk
Tambureh tak gentar sedikit pun menghadapimu.
Apalagi menghadapi Bulus Wulung kere macam temanmu
itu" "Setan Rupanya kau memang harus kuhajar" bentak Bulus
Wulung marah, karena ucapan Datuk Tambureh dirasakan sangat menganggap remeh
dirinya. Betapapun Bulus Wulung merupakan anggota Panca Leluhur Sakti yang
tidak dapat dipandang remeh. Mendengar ucapan Datuk Tambureh, darahnya seketika
mendidih.
"Jangan sombong, Datuk Kalau kau memang
jantan, hadapilah aku" Sang Datuk yang telah siap-siap akan menghadapi dua
orang sekaligus, tak mau kalah berkata lantang. "Majulah kalian berdua
sekaligus, jangan tanggung-tanggung Biar lebih cepat selesai" Tak dapat
lagi dibayangkan kemarahan dua orang tokoh dari Pulau Jawa dengan ejekan lawan.
Serta-merta keduanya berkelebat menyerang Datuk Tambureh. Serangan kedua tokoh
persilatan yang berbeda perguruan itu tampak begitu kompak. Keduanya
berganti-ganti melancarkan serangan cepat. Namun begitu, sang Datuk bagaikan
tak merasa sedikit pun. Meskipun lelaki tua itu memanggul tubuh Mei Lie,
gerakannya tetap lincah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Ketiganya
seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan jurus-jurus yang mereka
miliki. Entah berapa puluh jurus yang dikeluarkan. Karena begitu cepat
pertarungan yang mereka lakukan, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan
sengit dengan jurus andalan masing-masing.
"Celaka" Datuk Tambureh tersentak kaget,
ketika menyadari dirinya kini telah sampai di tepi jurang, terdesak oleh kedua
lawan yang nampak makin beringas. "Kalau begini terus-menerus, akulah yang
akan kalah. Aku harus mencari ak-al." Bulus Wulung dan Barong Culla kurang
waspada memperhatikan gerak-gerik sang Datuk.
Keduanya terjebak oleh serangan-serangan yang
mereka lancarkan.
Melihat musuhnya mendesak ke pinggir jurang,
serta-merta Datuk Tambureh memekik keras. Lalu setelah berbuat begitu,
tiba-tiba tubuhnya melenting bersamaan dengan serangan yang dilancarkan Bulus
Wulung dan Barong Culla.
Tanpa dapat dihindari, kedua orang bertutup muka
itu meluncur deras ke jurang.
"Akh..." "Hua ha ha... Terjunlah
kalian Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat sana" Setelah
sesaat memandang ke dasar jurang, Datuk Tambureh dengan masih tertawatawa
berkelebat meninggalkan tempat itu dengan memanggul tubuh Mei Lie.
Walau dalam keadaan tertotok, saat itu ternyata Mei
Lie telah siuman dari pingsannya.
Sehingga ia pun dapat menyaksikan betapa kedua
orang bercadar itu menemui ajalnya dengan tragis. "Siapa sebenarnya orang
ini? Sangat licik dan berilmu tinggi," tanya Mei Lie dalam hati. Gadis itu
merasa cemas, karena lelaki berjubah merah itu merupakan orang bam dalam
penglihatannya.
"Anak manis, kau akan kubawa ke pulau tempatku
tinggal. Di sana tak seperti di Jawa ini yang serba keras. He he he..."
Setelah berkata kepada Mei Lie yang masih dalam keadaan tertotok, Datuk
Tambureh melesat meninggalkan tempat itu.
Tak lama
setelah Datuk Tambureh pergi, nampak Pendekar Gila di dekat Jurang Wadas
Parang. Wajahnya nampak murung, kakinya terus melangkah menuju ke tepi jurang
itu. Sesaat Sena berhenti. Berdiri sambil memandang sekeliling tempat itu.
Mulutnya cengar-cengir sendirian. Sedangkan tangannya terus menggaruk-garuk
kepala.
Mata Pendekar Gila tiba-tiba membelalak, ketika
melihat beberapa tapak kaki yang masih jelas membekas di tanah agak basah.
"Ah, rupanya baru saja ada pertarungan di
sini," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sena segera menyelusuri
jejak-jejak kaki itu. Hatinya merasa heran ketika mengetahui bahwa
telapak-telapak kaki itu ternyata membawanya ke tepi jurang. Seketika mata
Pendekar Gila semakin menyipit, tatkala dilihatnya jejak-jejak kaki itu hilang
tepat di bibir jurang.
"Tak salah" gumam Sena sambil memandang
ke dasar jurang yang nampak gelap gulita.
"Heh, benar" Sena memekik setelah
mena-jamkan pendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang dari dalam jurang.
Namun belum nampak orangnya. "Hai, Kisanak yang berada di atas, dapatkah
menolong kami?" "Hi hi hi... Ternyata di bawah sana bukan hanya
seorang," gumam Pendekar Gila sedikit kaget Sejenak Pendekar Gila
berpikir, akan ditolong atau tidak kedua orang itu. Sebab dia belum tahu yang
di dalam jurang itu orang jahat atau baik. Tampak tangannya mulai
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hai... Kawan yang di atas, apakah kau tak
mendengar seruan kami ini?" terdengar kembali seruan seorang yang berada
di bawah. Pendekar Gila kembali berpikir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku harus menolong kedua orang di bawah sana. Siapa tahu mereka bisa
memberi keterangan padaku. Mungkin mereka melihat orang yang membawa Mei Lie,"
kata Sena dalam hati.
Sesaat lamanya suasana kembali sunyi, tak terdengar
lagi teriakan orang dari dalam jurang. "Hai... Aku akan menolongmu. Tap
kalian harus mau menjawab pertanyaanku dengan ju-jur...." Kedua orang di
bawah jurang, Bulus Wulung dan Barong Culla nampak saling pandang.
Keduanya terluka di bagian kepala dan punggung.
"Apa yang akan kau tanyakan, Kawan..?"
seru Barong Culla sambil mendongak ke atas.
"Apa kalian tadi melihat seseorang lewat di
sini memanggul seorang wanita...?" Pendekar Gi-la menengok ke bawah
seakan-akan ingin melihat kedua orang itu. Namun suasana gelap gulita dan
kedalaman jurang membuatnya tak mampu melihat "Hah?" gumam Bulus
Wulung mengerutkan kening, "Yang dimaksud mungkin datuk keparat
itu..." "Ya. Sebaiknya kita beritahu saja, siapa tahu kita peralat
orang itu. Untuk menangkap Datuk Tambureh. Bagaimana?" usul Barong Culla
pada Bulus Wulung.
"Hai kalian yang di bawah, kenapa diam? Maukah
kalian? Atau ragu terhadapku..., baiklah aku pergi..." seru Pendekar Gila
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tunggu... Kami setuju, sekarang cepat tolong
kami" seru Barong Culla.
"Hi hi hi... Lucu orang-orang itu," gumam
Pendekar Gila, "Baiklah, sebelum aku menolong kalian, cepat jawab
pertanyaanku tadi Nanti aku akan menolong kalian" serunya kemudian.
"Hah?" gumam Bulus Wulung sambil
mengerutkan kening. Lalu menatap wajah Barong Culla, "Bagaimana...?"
"Apakah mulutmu bisa kami percaya?" tanya Barong Culla.
"Ah ah ah Kalian ternyata orang-orang yang
terlalu banyak mulut Aku sudah tak ada waktu lagi, selamat tinggal..."
Selesai bicara begitu Pendekar Gila segera melesat pergi meninggalkan jurang
itu.
"Hai Kawan, tunggu" seru Bulus Wulung
dengan kesal dan cemas.
"Siapa orang di atas tadi...? Kurang
ajar..." dengus Barong Culla sambil memukul telapak tangannya.
Barong Culla dan Bulus Wulung orangorang yang
memiliki ilmu tinggi. Dengan tenaga dalam atau ilmu merusak tubuh, mereka dapat
keluar dari jurang itu. Hanya saja keduanya mempunyai maksud jahat pada
Pendekar Gila.
Dan itu diketahui oleh Sena yang mempunyai perasaan
sangat peka.
4
Di kediaman Dewi Ratu Maksiat malah sedang diadakan
suatu pesta untuk menyambut keberhasilan Datuk Tambureh, anak angkatnya Dewi
Ratu Maksiat yang bernama Asri Srintil Arum. Ruangan cukup luas di sebuah goa
yang terletak di kaki Gunung Kelud, suasana tampak semarak. Dewi Ratu Maksiat
dikelilingi empat lelaki muda yang telah menjadi abdinya sebagai pemuas nafsu.
Pelampiasan nafsu kepada para lelaki muda itu merupakan syarat utama untuk
menciptakan ilmu kekebalan dan awet muda yang dimiliki Dewi Ratu Maksiat
"Hi hi hi... Putraku Tambureh, kau telah melaksanakan tugas dengan baik,
untuk ibumu...," kata Dewi Ratu Maksiat seraya tersenyum bangga. Mata
wanita cantik itu menatap lembut Datuk Tambureh. Pakaiannya yang tipis terbuat
dari sutera merah, hanya menutupi bagian dada dan bagian bawah sampai perut.
"Terima kasih, Bu...," sambut Datuk
Tambureh sambil menundukkan kepalanya.
"Dan kau telah berhasil menculik si Bidadari
Pencabut Nyawa. Aku bangga mempunyai putra seperti kau. He he he... Aku akan
menguasai dunia ini. Dan putra angkatku, Datuk Tambureh akan menjadi orang yang
paling sakti dan ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan di Jawa Dwipa ini. Hi hi
hi..." ujar Dewi Ratu Maksiat diiringi tawanya yang cekikikan. "Tapi
ingat, kau harus segera pergi dari tanah Jawa Dwipa ini Dan bawa gadis Cina itu
ke Pulau Andalas" lanjutnya.
"Baik, Bu...," jawab Datuk Tambureh
patuh. "Tapi, bagaimana kalau Pendekar Gila mengetahui hal ini...?"
lelaki berjubah merah itu tak mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
Sejenak Dewi Ratu Maksiat mengerutkan kening, tak
langsung menjawab pertanyaan Datuk Tambureh. Kemudian ditariknya seorang lelaki
yang ada di sisi kirinya, lalu memerintahkan agar menciumi dada dan seluruh
tubuhnya. Lelaki yang telah menjadi budak nafsu wanita itu menyanggupi.
"Jangan pikirkan itu, Tambureh Aku bisa
mengatasi Pendekar Gila dengan caraku Apa kau lupa, aku memiliki seribu cara
dan tipu muslihat? Percayalah pada ilmu ini, Tambureh... He he he....
Aaahhh" Dewi Ratu Maksiat lalu mendesah merasakan raba dan ciuman lelaki
yang menjadi budak nafsunya.
Datuk Tambureh hanya menghela napas dan menggeleng
kepala, melihat tingkah laku ibu angkatnya itu. Namun dia bisa memaklumi, lalu
tersenyum-senyum.
"Besok, pagi-pagi buta kau harus segera
berangkat, Tambureh. Mengerti?" kata Dewi Ratu Maksiat sambil membuka
penutup dadanya. Lalu didekapnya kepala lelaki yang menjadi budak nafsunya ke
dalam dadanya yang bagus dan agak besar itu.
Dewi Ratu Maksiat mendesah dan merintih merasakan
nikmatnya permainan itu.
Datuk Tambureh lalu melangkah pergi meninggalkan
ruangan itu dengan menggelenggelengkan kepala.
Ketika sampai di satu ruangan lain. Datuk Tambureh
nampak seperti memikirkan sesuatu.
Dia mondar-mandir di ruangan yang nampak sepi dan
gelap itu.
"Kenapa aku mesti pergi ke Pulau Andalas?
Tidak Aku tak mau dikatakan oleh Pendekar Gila sebagai pengecut, karena telah
melarikan kekasihnya. Tidak" sentak Datuk Tambureh lirih, seolah bicara
pada diri sendiri.
Kembali Datuk Tambureh berpikir sambil memegangi
keningnya. Sejenak dia memandang ke sebuah pintu ruangan yang ada di sebelah
kirinya. "Tapi, kalau ibuku tahu aku tak berangkat, dia akan murka... Aku
harus mencari akal. Aku tak ingin kembali ke Pulau Andalas, sebelum bisa
menuntaskan urusanku dengan Pendekar Gila.
Aku akan berterus terang pada Pendekar Gila, bahwa
aku mencintai kekasihnya dan akan mengawininya," kata Datuk Tambureh dalam
hati.
Setelah berkata begitu, Datuk Tambureh melangkah
menuju kamar itu dan masuk. Lalu buru-buru ditutup pintunya.
Di dalam kamar itu ternyata ada seorang gadis
berpakaian silat warna putih dengan rambut panjang. Matanya yang bening dan
bulu mata lentik. Wajahnya yang pucat, menatap sinis Datuk Tambureh yang
memandangnya.
"Kenapa kau memandangku demikian rupa...? Kau
benci padaku, Nini Mei Lie?" tanya Datuk Tambureh dengan suara berat
"Huh..." gumam Mei Lie, lalu melengos.
"Heh he he... Kau tambah cantik kalau cemberut
Nini Mei Lie. Aku suka...," kata Datuk Tambureh sambil melangkah mendekati
Mei Lie yang membelakanginya. Lalu Datuk Tambureh memegangi bahu kanan gadis
itu. Namun dengan cepat Mei Lie menepiskan tangan Datuk Tambureh, lalu disusul
dengan tamparan tangan kanannya. Plak Plak Datuk Tambureh hanya senyum. Matanya
menatap tajam wajah Mei Lie. Tatapannya seperti mengandung hipnotis. Seketika
Mei Lie terdiam, lalu kembali melengos, membuang muka. Si Bidadari Pencabut
Nyawa itu takut jika menatap terus mata lelaki tua itu, dia akan terkena ilmu
si-hirnya. "Kalau kau memang merasa paling jago, kembalikan pedangku Dan
kita adu ilmu..." kata Mei Lie dengan nada penuh emosi.
"Ha ha ha.... Hebat Aku paling suka dengan
wanita seperti kamu ini. Tak salah kalau Pendekar Gila memilihmu, Anak Manis.
Ha ha ha... Asal kau tahu saja, keinginanmu tak akan pernah terpenuhi. Dan
perlu kau ingat, Pendekar Gila umurnya tak akan lama. Aku akan
menghancurkannya... Ha ha ha..." kata Datuk Tambureh memanas-manasi Mei
Lie.
Lalu Datuk Tambureh berbalik dan melangkah pergi
sambil tertawa-tawa. Mei Lie yang merasa diremehkan, menjadi marah. Tanpa pikir
panjang, kekasih Pendekar Gila itu, segera berbalik lalu....
"Yeaaa...." Sambil memekik keras Mei Lie
melancarkan serangan. Namun Datuk Tambureh bukan orang biasa. Serangan dengan
menggunakan pukulan jarak jauh itu dapat dimentahkan, karena Datuk Tambureh
dengan cepat mengibaskan tangan kanan dan menghentakkan ke arah Mei Lie, tanpa
menoleh sedikit pun. Kibasan tangan kanan Datuk Tambureh mengeluarkan angin
kencang dan mengeluarkan hawa panas. Mei Lie tersentak kaget. Dan seketika
tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan jatuh membentur dinding.
"Ukh..." Mei Lie memekik tertahan.
"Kuperingatkan, jangan kau ulangi tindakanmu
ini Aku bisa membunuhmu. Tapi itu tak akan aku lakukan. Karena sebentar lagi
kau akan menjadi istriku..." tutur Datuk Tambureh bangga. Lalu kembali
tertawa terbahak-bahak dan keluar dari kamar itu.
Kembali
kepada Dewi Ratu Maksiat yang sedang bercumbu dengan para budak pemuas nafsunya
di atas pembaringan. Desah dan rintihan terus terdengar. Dewi Ratu Maksiat yang
mempunyai kekuatan iblis sanggup melayani tiga sampai lima lelaki sekaligus.
Semua itu dilakukan demi umurnya yang mampu mempertahankan usia mudanya.
"Oooh.... Aaah... benar-benar nikmat..,"
desah Dewi Ratu Maksiat Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup bagai disiram dengan
air.
Lalu, Dewi Ratu Maksiat beranjak bangun, seraya
menggapai kain sutera warna kuning untuk menutupi tubuhnya yang tanpa pakaian.
Begitu indah dan menggairahkan tubuh wanita yang sebenarnya sudah berumur
hampir sembilan puluh tahun itu.
Dewi Ratu Maksiat kemudian bertepuk tangan. Sesaat
kemudian muncul seorang wanita muda berambut panjang terurai. Dengan pakaian
bagian atas hanya berupa kemben, kain penutup bagian dada. Dan kain sarung
lurik pula warna coklat. Wajah wanita itu cukup cantik "Ada tugas apa
untuk hamba, Tuan Putri..?" tanya wanita muda itu sambil menjura.
"Aku kali ini memberi tugas untuk melenyapkan
Pendekar Gila. Untuk itu aku perlu merubah wajahmu. Agar Pendekar Gila
kebingungan. Ingat, bila kau merasa sukar untuk melakukannya, pakai cara yang
biasa kita lakukan. Lelaki tak akan kuat jiwanya, jika kita terus mendesak dan
membangkitkan kelakiannya. Tak terkecuali dengan Pendekar Gila. Sama saja Ha ha
ha... hi hi hi... Sekarang ikut aku ke ruang semadi. Ayo, cepat" kata Dewi
Ratu Maksiat "Baiklah, Tuan Putri...," jawab wanita itu sambil menjura.
Lalu melangkah mengikuti Dewi Ratu Maksiat menuju sebuah ruangan. Keduanya
sampai di sebuah pintu yang terbuat dari batu gunung.
Dewi Ratu Maksiat menempelkan telapak tangannya ke
batu itu, seketika pintu itu terbuka sendiri. Wanita cantik itu melangkah masuk
diikuti anak buahnya tadi. Pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang penuh dengan asap dupa dan
kemenyan nampak menyeramkan.
Hanya diterangi dua obor yang tergantung di dinding
batu itu. Di tengah ruangan ada sebuah batu besar, berbentuk bundar dan datar.
Di depannya ada sebuah cawan berukuran besar, berisi tulang-tulang manusia dan
darah. Air dalam cawan raksasa itu mendidih.
Dewi Ratu Maksiat kemudian membaca mantera, setelah
duduk bersila di atas batu itu.
Kedua tangannya diangkat ke atas kepalanya sambil
menengadah.
Sedangkan wanita muda tadi duduk di seberang cawan
raksasa itu. Juga bersila sambil menatap Dewi Ratu Maksiat. Beberapa saat
kemudian, Dewi Ratu Maksiat berdiri mendekati wanita muda itu. Lalu telapak
tangannya ditaruh di atas kepala wanita itu. Seketika tubuh wanita itu berasap.
Kemudian Dewi Ratu Maksiat melepas telapak tangannya dari atas kepala wanita
itu. Seperti kena hipnotis, wanita muda itu berdi-ri, lalu membuka seluruh
pakaiannya, hingga polos. Lalu melangkah dan menceburkan diri ke dalam cawan
besar. Tubuhnya terus direndam di dalam cawan raksasa itu. Aneh, tak sedikit
pun kulitnya terkupas oleh air yang mendidih itu. Malah perlahan-lahan wajahnya
berubah, menjadi Mei Lie.
Kemudian, wanita yang kini berubah menjadi Mei Lie,
melompat turun dari cawan raksasa itu. "Ha ha ha... Kali ini akan
kupermainkan Pendekar Gila. Ha ha ha... Hi hi hi... Jika Pendekar Gila mampus,
datuk putraku akan menjadi orang yang paling disegani di rimba persilatan"
"Ha ha
ha... hi hi hi... Kali ini Pendekar Gi-la tak akan bisa menaklukkanku. Aku akan
permainkan pendekar tampan itu. Dan sudah lama aku menginginkan keperkasaannya,
untuk memuaskanku sepanjang malam. Hi hi hi..." Dewi Ratu Maksiat terus
tertawa-tawa.
Wanita yang deh kalangan tokoh persilatan juga
dijuluki Wanita Iblis dari Andalas itu tampaknya benar-benar yakin akan mampu
memperdaya Pendekar Gila.
Lalu Dewi Ratu Maksiat, menarik lengan wanita
jelmaan itu merapat ke tubuhnya. Dipeluknya erat-erat, hingga menyatu benar
dengan tubuh Dewi Ratu Maksiat. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kekuatan
tenaga dalam pada wanita yang menjadi abdinya. Mendadak tubuh Mei Lie samaran
itu berasap, ketika Dewi Ratu Maksiat mendekapnya rapat-rapat "Kau akan
kuat dan memiliki ilmu silat yang sama sepertiku, Cah Ayu. Hi hi hi.... Jangan
sampai gagal, jangan ceroboh Kalau gagal, nya-wamu sebagai pengganti darah
Pendekar Gila" suara Dewi Ratu Maksiat terdengar mendesis, bagai suara roh
halus. Kemudian perlahan-lahan wanita iblis itu melepaskan pelukannya. Lalu
mengusap-usap lembut buah dada wanita mirip Mei Lie itu.
"Kau memiliki dada yang bagus, seperti aku
pula, Cah Ayu..., hi hi hi.... Aku berhasil mengubah dirimu dengan
sempurna...," gumam Dewi Ratu Maksiat lirih.
Kemudian si Wanita Iblis dari Andalas itu melangkah
ke satu sudut. Dia mendekati sebuah peti besar berukiran indah. Dibukanya kotak
kuno terbuat dari kayu jati itu. Di dalamnya ada sepasang pakaian silat warna
kuning, dengan penutup wajah juga kuning. Dewi Ratu Maksiat segera
mengambilnya, dan membawa ke tempat wanita mirip Mei Lie yang masih dalam
keadaan tanpa pakaian.
"Pakai ini Pakaian ini pernah kupakai sewaktu
aku seumurmu. Ketika aku masih tinggal di Pulau Andalas," ujar Dewi Ratu
Maksiat, sambil memberikan pakaian itu pada Mei Lie samaran. Wanita itu
menerimanya, "Cepat kau pakai..." Lalu Dewi Ratu Maksiat melangkah ke
tempat batu besar, tempat duduknya. Dia duduk dengan bersila. Lalu menarik
napas panjang sambil mengawasi wanita abdinya yang sedang memakai pakaian
keramat tadi.
"Aku akan puas dan baru ingin mati tenang,
jika semua rencanaku berhasil. Jauh-jauh aku datang dari Pulau Andalas kemari,
demi citacita anak angkatku, Datuk Tambureh untuk mempersunting si Bidadari
Pencabut Nyawa itu.
Dia akan dapat menjadi orang yang berilmu tinggi,
menurut wangsit yang kuterima dari arwah guruku," kata Dewi Ratu Maksiat
dalam hati. Matanya terus memandangi wanita abdinya yang telah selesai memakai
pakaian serba kuning itu.
"Kematian suamiku karena Singo Edan.
Dan orang tua gila itu kini telah pergi entah ke
mana. Jadi aku harus membalas dendam pada muridnya. Ha ha ha..." Sementara
itu Pendekar Gila yang sudah dua hari mencari belum juga menemukan Mei Lie.
Pemuda tampan itu tampak sangat cemas dan kesal.
Dia terus menggaruk-garuk kepala sambil sebentar-sebentar menghentakkan kaki
kanannya ke tanah dengan keras, menumpahkan rasa kekesalannya.
Pendekar Gila terus menyelusuri jalan setapak di
pinggiran sungai. "Bodoh... Benar-benar orang goblok aku ini"
gerutunya terus sambil memukuli keningnya. "Aku yakin orang yang menculik
Mei Lie itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi," gumam Sena yang nampak
murung itu.
Langkahnya dipercepat, terkadang pelan.
Nampak sekali pikirannya sedang kacau. Namun dia
masih dapat menguasai diri.
Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
Memandangi sekeliling tempat itu. Sejenak dia
berpikir sambil memegangi keningnya.
"Sebaiknya aku mampir di Kadipaten Galih
Marta. Siapa tahu orang-orang kadipaten bisa memberikan keterangan padaku
tentang Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Selesai berkata begitu, Sena segera menyeberangi
sungai dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Hingga dia bisa menotol-notol di
atas per-mukaan air dengan tenang. Benar-benar ilmu yang sangat luar biasa
hebatnya.
Dalam sekejap Sena sudah sampai di seberang. Pemuda
itu menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. Lalu dia melongok ke atas.
Dilihatnya matahari sudah mulai condong ke barat Maka Sena menggunakan ilmu
lari 'Sapta Bayu', melesat bagaikan anak panas lepas dari busurnya.
Begitu cepat, hingga yang nampak hanya bayangan
hitam berkelebat cepat bagaikan angin.
Namun larinya tiba-tiba terhenti, ketika terdengar
suara orang menegur dengan kasar.
Sena cengengesan ketika melihat di depan telah
berdiri dua orang lelaki menghadangnya. Keduanya bertolak pinggang dengan sikap
angkuh.
"Aha, ada apa kiranya kalian menghentikan
aku...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang
seperti orang gila, membuat orang yang ada di depannya bertanyatanya siapa
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang
berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan...?" tanya orang yang bermuka bulat
dengan hidung besar.
"Ya. Dari tingkah lakunya mungkin dia si
Pendekar Gila itu, Kakang Barong Culla," bisik Bulus Wulung.
"Hai...? Kenapa kalian berdua diam?"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantatnya.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya
Barong Culla dalam hati mencoba menebak. Dirinya memang sering mendengar nama
Pendekar Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Kalian berdua rupanya orang-orang bisu...
Kalau begitu aku akan melanjutkan perjalanan.
Permisi..." kata Sena sambil cengar-cengir
lalu mulai melangkah.
"Hei... Tunggu, Kawan... Kalau tidak salah,
kau Pendekar Gila yang kesohor itu...?" pancing Barong Culla dengan
menatap tajam ke arah Sena yang terpaksa menghentikan langkahnya.
Lalu berbalik badan sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu sekali Kalian ini mau apa?
Kalau memang aku orang yang kau sebut, lantas kalian mau apa?" tanya Sena
cengengesan.
Barong Culla dan Bulus Wulung saling pandang, lalu
saling menganggukkan kepala, kemudian tertawa-tawa.
"Begini, Kawan. Tiga hari lalu kami berdua
bentrok dengan seorang lelaki tua berjubah merah. Kami kalah dan terperosok ke
dalam jurang...," tutur Barong Culla menerangkan.
"Hah?" gumam Sena sambil menggarukgaruk
kepala, "Jadi kalian ini yang ada di dalam Jurang Wadas Parang
itu...?" tanya Sena.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Bulus
Wulung mengerutkan kening.
"Hi hi hi... Akulah orang yang tak jadi
menolong kalian. Karena aku yakin dan tahu, bahwa kalian orang-orang yang
berilmu tinggi. Sebab kalau tidak, kalian sudah mati terperosok ke jurang
seperti itu. Apalagi orang yang berjubah merah itu pasti ilmunya lebih tinggi
dari kalian berdua," ka-ta Sena sambil cengengesan.
"Oooh Jadi kaulah yang meninggalkan kami
kemarin itu. Bagus sekarang aku mau tanya, kenapa kau juga mencari orang
berjubah merah itu...?" selidik Barong Culla dengan menyipitkan sebelah
matanya. Kemudian melirik ke Bulus Wulung sejenak, lalu kembali menatap
Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Mungkin tak jauh berbeda dengan
kalian berdua. Hanya saja, aku lebih berduka dari kalian," sahut Sena
kalem, kemudian kembali menggaruk-garuk kepala.
"Apakah ada hubungannya dengan gadis yang
dibawanya itu?" pancing Barong Culla lagi.
Makin yakin kalau orang yang dihadapi adalah
Pendekar Gila, murid Singo Edan.
"Ah, sudahlah. Aku tak ada urusan dengan
kalian. Aku mau pergi," ucap Sena lalu berbalik badan hendak pergi.
"Hai Tunggu... Aku mungkin bisa bekerja sama
untuk menangkap orang yang membawa gadismu itu..." seru Barong Culla.
Sena mengerutkan kening, berpikir sejenak. Lalu
berbalik dan mendekati kedua lelaki itu. "Hi hi hi... bagus Hm... tapi aku
masih belum perlu bantuanmu, Kawan. Maaf aku tak ada lagi waktu untuk bicara
pada kalian" Sena melesat meninggalkan Barong Culla dan Bulus Wulung.
Kedua orang itu hanya bisa ternganga, merasa kagum melihat kehebatan ilmu
meringankan tubuh Pendekar Gila yang melesat bagaikan angin. Sehingga dalam
sekejap saja telah hilang dari pandangan.
"Edan... Benar-benar pemuda gila Kenapa kita
tidak langsung menantangnya tadi...?" tukas Barong Culla kesal dan geram.
"Bagaimana mungkin...? Dia bukan pendekar
sembarangan. Dia dapat membaca pikiran kita. Jadi apa yang kita ingin lakukan,
dia sudah tahu terlebih dahulu," sahut Bulus Wulung mengingatkan Barong
Culla.
"Benar. Tapi kalau tadi berhasil membujuk
Pendekar Gila itu, kita akan bisa lebih cepat menaklukkan Datuk Tambureh. Dan
setelah itu, kita bawa pergi gadis Cina itu..." ujar Barong Culla
mengkhayal.
"Ah, sudahlah Kau jangan berkhayal. Sebaiknya
kita Cepat pergi dari tempat ini. Kita cari datuk keparat itu..." ajak
Bulus Wulung.
Keduanya lalu segera pergi ke barat, arah yang
dituju Pendekar Gila.
5
Datuk Tambureh yang telah menguasai Mei Lie, nampak
merasa gembira dan puas. Lelaki tua itu terus berusaha merayu Mei Lie agar mau
menjadi istrinya. Karena sesuai dengan wangsit, bahwa siapa saja yang dapat
memperistri Bidadari Pencabut Nyawa kelak keturunannya akan menjadi raja
penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali sang Datuk berusaha mempengaruhi
Mei lie. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang ia miliki digunakan, tapi
ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena telah berusaha sekian lama tak
mendapatkan hasil, sang Datuk hampir putus asa, kalau pembantu setianya yang
bernama Datuk Balino, tidak terus memberi semangat "Jangan Tuan putus asa
dulu, sebab bukan tak mungkin nantinya Tuanlah yang akan mendapatkan anugerah
tersebut," kata Datuk Balino memberi saran, manakala didengarnya keluhan
Datuk Tambureh, yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha, Balino. Dan
nyatanya, ah.... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Tambureh. "Bukan
hanya sekali aku mencoba mempengaruhi dia, tap semuanya tak ada yang dapat
menggoyahkan tekadnya. Apakah tak lebih baik aku perkosa saja?" Tersentak
kaget Datuk Balino mendengar ucapan tuannya. Dia tak menyangka kalau tuannya
yang sangat kokoh dan ulet akan cepat putus asa. Memperkosa, berarti hubungan
yang tak selaras. Hal itu bukan tak mungkin justru akan menimbulkan sebuah
tekanan jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa Tuan begitu cepat putus
asa?" tanya Datuk Balino tercenung. "Memperkosa itu tidak baik,
Tuan." "Alasannya...?" "Maaf, hamba mungkin dalam hal ini
terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar, terlebih
dahulu hamba kembali minta maaf." "Hem, katakanlah Bagiku kau sama
saja dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu memberikan
saran-saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran yang kau
berikan. Nah, katakanlah jangan kau ragu, Balino" Datuk Balino sesaat
terdiam. Kepalanya tertunduk sambil menarik napas panjang. Sesaat kemudian
ditengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang menyiratkan rasa
ketidakmengertian. Setelah kembali menunduk Datuk Balino pun akhirnya membuka
suara, berkata.
"Menurut hamba yang telah tua, perkosaan itu
tindakan tercela bagi diri kita. Pertama, kita akan menanggung beban mental
yang berlarut-larut, kalau sampai orang yang diperkosa nanti membalas dendam.
Kedua, hubungan kita dengan yang diperkosa dapat menimbulkan suatu pertumpahan
darah." "Ah, apa mungkin nanti keturunan ku berani melawanku?"
Datuk Tambureh mengelak seakan tak yakin akan segala ucapan Datuk Balino.
"Tak akan berani anak dengan orang tua" "Itu pendapat Tuan. Tapi
perlu Tuan ingat, bukankah anak akan lebih dekat dengan sang Ibu?"
Terangguk-angguk kepala Datuk Tambureh mendengar keterangan pembantunya.
Dirasakan-nya segala petuah Datuk Balino memang benar adanya. Tapi dirinya juga
telah berusaha untuk dapat menggugah hati si Bidadari Pencabut Nyawa, dan
ternyata segalanya tak membawa hasil.
Kalau niatnya untuk memperkosa gadis Cina itu
dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Datuk Balino akan menjadi
kenyataan.
Lama Datuk Tambureh terdiam membisu, angannya melayang
pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang yang terhormat. Orang yang
bakal menurunkan raja-raja di Pulau Andalas. Hatinya bimbang, takut kalau
lama-kelamaan ada orang lain yang berilmu tinggi lebih tinggi darinya dapat
merebut Mei Lie. Apakah itu tidak mungkin terjadi? "Hem, sungguh aku
penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang bakal menjadikan
namaku terhormat. Bukankah margaku kelak yang menjadi raja? Hh..., persetan
dengan segala balas dendam Bagiku yang utama, aku berhasil mendapatkan wanita
yang kelak bakal menurunkan raja-raja," gumam hati Datuk Tambureh.
"Baiklah, aku pura-pura menuruti apa yang dikatakan pembantuku."
"Memang benar apa yang kau katakan, Balino. Kini aku sadar, bahwa
semestinya aku tak boleh melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan
seorang dukun yang dapat memikat si Bidadari Pencabut Nyawa itu, Balino?"
tanyanya kemudian.
Datuk Balino kembali terdiam, pikirannya kini agak
tenang. Sebenarnya di hati Datuk Balino ada rasa kasihan melihat Mei Lie. Mei
Lie itu begitu mengibakan hatinya. Gadis itu setiap hari hanya melamun dan
menangis. Makanan yang dihidangkan tak pernah disentuh, sehingga badannya kurus
kering. Pernah Datuk Balino mencoba bertanya bagaimana dengan diri Mei Lie
tersebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, gadis Cina itu memilih lebih baik
mati daripada harus menjadi istri Datuk Tambureh yang jahat dan keji.
"Kenapa, Balino? Kenapa kau terdiam
melamun?" Tersentak Datuk Balino dari lamunannya, mendengar pertanyaan
Datuk Tambureh yang secara tiba-tiba itu.
"Am... ampun, hamba tengah berpikir, bagaimana
supaya segalanya dapat segera terselesaikan. Baiklah, hari ini juga hamba akan
berusaha mencarikan seorang dukun pemikat" "Hua ha ha... Bagus,
bagus. Kalau kelak aku mendapatkan gadis Cina itu, maka kau akan aku beri
hadiah yang cukup menarik. Kau akan kuberi setengah dari kekuasaanku. Dan akan
kujadikan Raja Datuk Balino, bagaimana?" "Terima kasih atas segala
yang bakal Tuan berikan. Tapi untuk sekarang-sekarang ini, hamba lebih senang
mengabdi pada Tuan Datuk Tambureh yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila
bersama Tuan, sebab hamba tahu kesaktian Tuan tak dapat dianggap
remeh...," berkata Datuk Balino dengan nada menyanjung, menjadikan Datuk
Tambureh kembali tertawa bangga.
Saking senangnya Datuk Tambureh sampai-sampai
melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu adalah hari yang sudah
ditetapkan, seperti biasa Datuk Tambureh harus melakukan semadi. Kalau semadi
itu sampai ditinggalkan akan mengakibatkan berkurangnya ilmu yang dimiliki.
Bila sering melakukan kelalaian, tidak melaksanakan nyepi seperti itu, bukan
saja ilmu mempermuda usianya hilang, wajahnya pun akan berubah kembali ke
asalnya.
Tersentak Datuk Tambureh ketika mengingat itu.
Serta-merta ia berlari meninggalkan pembantunya
yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. Dengan napas memburu dan keringat
dingin bercucuran, Datuk Tambureh segera memusatkan hati dan pikiran. Setelah
sesaat hal itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening tiba-tiba....
"Auuummm...." Terdengar suara auman seperti
lolongan anjing hutan.
"Guru, ampunilah kelalaian murid" gemetar
Datuk Tambureh seperti ketakutan. Wajahnya yang biasa tampak sadis, kini
berubah pucat bagaikan tak berdarah setetes pun. "Ampunilah kelalaian
murid. Guru" kata-kata itu diulang, dan diulangnya sampai beberapa kali.
Tak lama kemudian tampak sesosok bayangan keluar
dari balik dupa. Sosok bayangan itu ternyata tubuh harimau besar dan tinggi.
Harimau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar dan gigi-giginya yang
menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor Aku lapar, aku
lapar..." terdengar seruan dari mulut harimau itu.
Matanya yang besar menyorot merah. Liurnya yang
berbau terasa menusuk hidung. "Kau harus mencarikan darah untukku, darah
perawan" "Apakah tidak bisa ditunda. Guru?" tanya Datuk
Tambureh.
"Tidak Sekarang lakukan" "Tapi hari
masih siang, Guru?" keluh Datuk Tambureh.
Namun bagaikan tidak peduli, harimau iblis itu
menggeram, mengeluarkan aumannya yang bergemuruh dan menggetarkan. "Jangan
kau ingkar, Bureh Ingat perjanjian kita yang telah kita lakukan Bukankah kau
akan memberikan padaku sebaskom darah pada siang hari menjelang purnama seperti
ini...? Kenapa kau lupa? Apa darahmu yang harus kuminum, hah" "Ampun,
Guru Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid minta. Guru bersabar sesaat"
jawab Datuk Tambureh menggeragap.
"Aku tunggu sebelum matahari tenggelam"
ucap harimau itu, sebelum menghilang meninggalkan datuk yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya sesaat dan mengucapkan
mantera, Datuk Tambureh melakukan perubahan wujud, seketika wujud sang Datuk
berubah menjadi harimau hitam legam.
Tanpa menunggu-nunggu lagi harimau hitam itu
mengaum lalu berkelebat tinggalkan ruang semadi lewat lubang di belakang.
Harimau
siluman itu terus menyusup ke pekarangan sebuah rumah di Desa Ngantap.
Hidungnya digerak-gerakkan, sepertinya harimau siluman itu tengah mencari-cari
bau darah perawan. Kemudian melompat dengan tak mengeluarkan suara sedikit pun.
Di dalam sebuah rumah bilik tampak lampunya belum
dimatikan, meskipun hari sudah larut malam dan sepi. Terdengar dari dalam rumah
itu suara tawa genit dari seorang gadis dan suara seorang pemuda.
"Ayolah Srini, kakang sudah tak tahan untuk
menunggu lebih lama lagi..." ucap seorang pemuda yang nampak menahan
birahinya. Napasnya terdengar mendesah-desah.
"Hi hi hi... Sabar dulu, Kang Pujo. Kan
tinggal lima hari lagi," sahut Srini dengan manja lalu menggigit bibirnya
sendiri.
"Kakang tahu, Sri. Tapi kakang tak tahan lagi.
Ayolah sekali saja, ya..." rayu Pujo. Lalu pemuda itu mencium pipi Srini.
Dan tangan kanannya mengusap-usap paha gadis yang masih perawan itu. Sedangkan
tangan kirinya merangkul dengan erat "Kang.... Jangan, Kang Nanti ketahuan
bapak. Sabar, Kang" pinta Srini tersendat-sendat.
Karena Pujo yang sudah dirasuki nafsu birahinya
terus menyusupkan kepalanya ke dada Srini yang montok, mulus, dan putih itu.
Tak dipedulikan ucapan Srini.
Sampai akhirnya gadis itu pun terangsang.
Hingga dia pun membalas memeluk dan mencium Pujo
dengan desah napas mulai memburu.
Pujo, cepat merebahkan tubuh Srini yang calon
istrinya di ranjang beralaskan tikar. Ditin-dihnya tubuh gadis itu sambil terus
mencium lehernya.
"Hooh.... Aaih... sss..." Srini merintih
dan mendesah. Pujo mulai melepas pakaian kekasihnya.
Kini Srini yang masih perawan itu sudah tanpa
pakaian. Tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang mulus dan padat
itu. Buah dadanya yang sebesar mangga, keras, dan menantang. Membuat Pujo tak
bisa lagi menahan lama-lama. Namun baru saja Pujo selesai membuka celananya,
tiba-tiba...
"Grrr..." Terdengar suara menggereng
menggetarkan. Pujo terkejut kaget menoleh ke sana kemari mencari datangnya
suara. Belum sempat pemuda itu mengetahui, seekor harimau kumbang menerobos
masuk, langsung menerkam tubuhnya dan menggigit sampai mati.
Srini menjerit, namun suaranya tak ada.
Mata harimau siluman itu mengeluarkan sinar hijau
menatap mata Srini. Seketika gadis itu terkulai pingsan. Sesaat kemudian
harimau siluman berubah menjadi sosok manusia. Kemudian cepat membawa Srini
keluar dengan menembus dinding rumah itu.
Ayah dan ibu Srini yang terbangun dan datang ke
kamar anaknya sempat melihat sosok manusia membawa Srini pergi. Kedua orang tua
itu kaget dan makin kaget ketika melihat calon menantunya dengan mengerikan.
"Tolong... Ada rampok"
"Tolong..." teriak ibu Srini sambil lari keluar. Ki Rambi, ayah Srini
masih berdiri kaku menatap mayat Pujo yang lehernya hampir putus.
Tak lama kemudian para penduduk Desa Ngantap
berdatangan ke rumah Ki Rambi, karena mendengar jeritan ibu Srini yang histeris
tadi.
"Bagaimana kejadiannya, Ki Rambi?" tanya
Ki Lurah Kirjo Mulyo.
Ki Rambi hanya menggelengkan kepala perlahan, lalu
menarik napas dalam-dalam. Wajahnya nampak sedih karena memikirkan nasib anak
gadisnya yang lima hari lagi akan dinikahkan. Kini telah hilang diculik manusia
aneh.
"Ini pasti perbuatan mayat-mayat hidup yang
pernah melanda Desa Tumpang beberapa hari yang lalu, Ki Lurah..." kata
seorang lelaki berbadan tinggi besar dan berkumis tebal geram.
"Aku rasa bukan, sebab hal ini yang dibawa
lari Srini, gadis yang masih perawan. Sedangkan kejadian di Desa Tumpang, para
perjaka yang dibawa oleh mayat-mayat hidup itu," tutur Ki Lurah
menjelaskan pada lelaki berbadan tinggi besar yang bernama Diman.
"Jadi, kalau begitu siapa pelakunya, Ki?"
tanya seorang lelaki berambut putih dengan ikat kepala hitam.
Ki Kirjo Mulyo tak langsung menjawab. Dia nampak
berpikir sejenak. Sementara itu Nyi Rambi masih menangis ditemani para ibu-ibu
lain yang merasa iba.
"Kita sebaiknya cepat menguburkan mayat Pujo.
Nanti kita bicarakan lagi soal ini," kata Ki Lurah Kirjo Mulyo kemudian.
Lalu orang-orang cepat menggotong mayat Pujo untuk
dikuburkan.
6
Malam datang menyelimuti bumi, membuat suasana
gelap dan dingin mencekam. Suara angin yang menerpa dedaunan, serta suara
binatang malam, seperti mengalunkan tembang-tembang aneh yang membuat tubuh
merinding. Mereka seakan membawakan syair-syair bagi jiwa-jiwa yang tengah
dilanda ketakutan. Bulan sabit pun mengintip di balik awan, seolah-olah enggan
menampakkan wujudnya.
Malam itu, Perguruan Bajing Ireng nampak sunyi. Di
luar perguruan itu nampak empat orang murid perguruan sedang berjaga-jaga.
Karena mereka sudah mendengar adanya sepak terjang Datuk Tambureh dan Dewi Ratu
Maksiat yang ingin menculik dan membunuh semua tokoh persilatan baik aliran
putih maupun hitam. Dan tibatiba.... Swing...
Jlep "Aaa..." Seorang murid Perguruan
Bajing Ireng yang sedang berjaga di pintu gerbang memekik keras. Sebuah senjata
rahasia berupa tusuk konde beracun menghunjam di dada pemuda itu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata
rahasia itu melesat dan menghunjam tubuhnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid
lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. Betapa terkejut mereka melihat
temannya terkapar tewas.
"Pembunuhan Tusuk konde beracun..." seru
ketiga murid itu berusaha mengundang perhatian orang-orang perguruan agar
terbangun dari tidurnya. Namun tiba-tiba..., "Akh..." Belum juga
habis ucapannya, orang itu sudah memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum
tusuk konde beracun yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika mengejang lalu
ambruk tanpa nyawa, kemudian membiru.
Jlep Jlep "Aaakh..." Dua orang lainnya
kontan memekik keras, ketika beberapa tusuk konde menghunjam dada.
Mata mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan
berkelebat cepat keluar dari kegelapan.
Bayangan kuning itu laksana angin yang berhembus.
Sesaat keduanya kelojotan kemudian tewas.
Bayangan kuning itu terus melesat menuju kamar
Ketua Perguruan Bajing Ireng, yang bernama Ki Galingga.
Brak "Heh?" Ki Galingga tersentak Swing
Swing Dua tusuk konde beracun melesat cepat ke arah tubuh Ki Galingga.
Beruntung lelaki tua itu cepat membuang tubuhnya dan berguling ke samping.
Namun tak urung, istri mudanya menjadi sasarannya tusuk konde beracun.
Jlep Jlep Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Galingga itu tewas. Dada den wajahnya tertancap
tusuk konde beracun.
Ki Galingga geram menyaksikan istrinya mati di
tangan seorang wanita berbaju serba kuning. Lelaki berparas seperti bajing
berpakaian abu-abu dengan rambut tergerai kaku serta ikat kepala berwarna biru
itu mendengus. Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari logam yang
berbentuk jari bajing.
"Siapa kau?" tanya Ki Galingga dengan
suara membentak sambil menuding senjatanya.
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" sahut
wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain kurung.
Termasuk wajahnya.
"Bangsat Ditanya malah balik bertanya Katakan,
siapa kau sebenarnya?" bentak Ki Galingga gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti,
kau dan kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus mampus di tanganku
Hiaa" Ki Galingga tersentak kaget diserang begitu cepat dan tiba-tiba.
Segera kakinya melompat ke belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop Heaaa..." Ki Galingga berusaha
merangsek maju dengan cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus 'Bajing
Mengambil Buah'. Namun gerakan lawan begitu cepat Ki Galingga hampir terkena
sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua berwajah seperti bajing dengan pakaian
abu-abu ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi
sasaran empuk pukulan lawan. "Hari ini bagianmu, Bajing Busuk
Yeaat.." Wanita berpakaian serba kuning itu terus merangsek maju menyerang
Ki Galingga. Seranganserangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada bagian tubuh
yang mematikan.
Ki Galingga yang tak mau menjadi korban wanita
misterius itu segera berkelit ke samping.
Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang lawan.
Kali ini menggunakan jurus 'Bajing Menerkam Mangsa'. Tangannya bergerak cepat
merangsek ke tubuh lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain kuning
itu terus menyerang dengan gabungan jurus 'Sembilan Tapak Tangan Darah' dan
jurus 'Tusuk Konde Pencari Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan sebuah tusuk
konde beracun. Meskipun nampaknya tak berarti, tangan wanita itu sangat
berbahaya. Tusuk konde beracun itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing Swing "Aits Tusuk Setan" maki Ki
Galingga seraya mengelakkan tusuk konde yang telah membunuh istrinya. Tubuh Ki
Galingga bergerak ke sana kemari, terkadang berputar di udara untuk mengelakkan
serangan yang berbahaya itu.
"Hiaaa" "Hop Hats" Lawan
benar-benar tak memberi kesempatan pada Ketua Perguruan Bajing Ireng itu untuk
balas menyerang. Serangan-serangannya begitu cepat, disusul lemparan-lemparan
tusuk konde beracun yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar gurunya,
murid-murid Perguruan Bajing Ireng berdatangan hendak membantu sang Guru.
Namun baru saja mereka sampai di pintu, tibatiba...
"Awas..." seru Ki Galingga mengingatkan.
"Hih..." Namun seruan itu terlambat.
Secepat kilat wanita berpakaian kuning itu melemparkan tusuk konde beracun ke
arah murid-murid Ki Galingga.
Swing Swing...
Jlep Jlep...
"Aaakh..." Tiga orang murid yang berada
di depan langsung roboh. Dada mereka tertancap tusuk konde beracun. Darah
seketika muncrat dari dada membasahi pakaian.
"Bedebah Sebelum kukirim ke neraka, katakan
siapa dirimu" bentak Ki Galingga semakin marah menyaksikan murid-muridnya
menjadi korban keganasan tusuk konde beracun.
"Jangan banyak bicara, Bajing Keparat
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku Hiaaa..." Tanpa banyak kata
lagi, wanita misterius itu langsung melemparkan tusuk konde beracun ke arah Ki
Galingga yang tersentak kaget Swing Swing...
"Hop Heaa..." Tubuh Ki Galingga melenting
ke atas, kemudian melesat ke samping kanan untuk mengelakkan serangan lawan,
dengan jurus 'Lompatan Bajing Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa..." Wanita berpakaian kuning itu
tak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan cepat pedangnya yang
bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Galingga silau oleh sinar yang keluar dari
pedang lawan.
"Pedang Perak Hei Ada hubungan apa kau dengan
Dewi Ratu Maksiat? Siapa kau...?" "Hm.... Tak perlu tahu siapa aku,
Bajing Busuk Kini terimalah ajalmu Hiaat.." Wanita bertopeng kain kuning
yang memiliki Pedang Perak milik Dewi Ratu Maksiat itu tak mau membuang waktu
lagi. Segera diserangnya Ki Galingga dengan tebasan dan babatan Pedang Perak
yang mengandung racun ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut Wuutt "Uhh..." Ki Galingga terpekik
kaget Napasnya terasa sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan lawan.
Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Galingga masih bertanya-tanya siapa wanita
misterius itu. Kalau dia Dewi Ratu Maksiat, rasanya tak mungkin.
Karena Wanita Iblis dari Andalas itu telah tiada
sejak puluhan tahun alam.
Ki Galingga benar-benar kaget melihat pedang di
tangan lawannya. Hatinya belum yakin kalau wanita muda itu Dewi Ratu Maksiat.
Namun jurus-jurus pedangnya, sama dengan yang dimiliki Dewi Ratu Maksiat.
Begitu pula dengan senjata-senjata rahasia tadi.
Dewi Ratu Maksiat merupakan tokoh sesat di
Kadipaten Galih Marta. Selama hidupnya pernah membuat heboh kalangan
persilatan, terutama di kadipaten itu. Dewi Ratu Maksiat banyak membunuh
pendekar golongan putih karena merasa dendam pada para pendekar yang telah
membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adipati Seragon. Namun sepak terjang
Dewi Ratu Maksiat dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Seragon, Ki
Durpala, Ki Galingga, Ki Kapusala. Mungkin dia Dewi Ratu Maksiat? Tapi..., Dewi
Ratu Maksiat mengenakan pakaian berwarna merah serta senjata berupa bunga
Anggrek Hitam. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian kuning seperti senjata
yang dipergunakannya. Ki Galingga terus bertanya dalam hati sambil mengelakkan
sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang
lawan.
"Heaaa" Wut Wut Wut..
Pedang di tangan wanita misterius itu terus
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan babatan ke tubuh lawan. Sinar
putih keperakan yang keluar dari Pedang Perak itu membuat napas Ki Galingga
laksana tersumbat "Uhuk... uhuk..." Ki Galingga terbatuk-batuk.
Tangan kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu banyak mengisap
racun yang ditebarkan wanita bertutup muka kuning itu.
"Tamatlah riwayatmu, Bajing Busuk
Hiaaa..." Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya. Kemudian dengan
cepat, menebaskan ke leher Ki Galingga yang tak mampu lagi mengelakkan serangan
lawan. Maka..., Cras Bruk Kepala Ki Galingga menggelinding ke tanah. Tubuhnya
yang berlumuran darah mengejang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain kuning
segera melesat meninggalkan tempat itu. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam
sekejap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Galingga ramai.
Murid-muridnya hanya mampu mencacimaki pembunuh keji yang telah membunuh guru
mereka. Malam itu Perguruan Bajing Ireng berkabung atas kematian Ki Galingga.
Dua orang
prajurit Kadipaten Galih Marta tampak memacu kudanya menuju Perguruan Bajing
Ireng untuk menyampaikan undangan dari Adipati Seragon. Namun seketika mereka
memperlambat lari kudanya karena melihat bendera hitam terpasang di kanan kiri
jalan masuk tak jauh dari perguruan.
"Galu, kau lihat bendera itu?" tanya
prajurit yang memegang sebuah gulungan daun lontar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Galu.
"Sepertinya ada kematian." "Hei,
lihat Ada keramaian di Perguruan Bajing Ireng," ujar prajurit pertama yang
bernama Warigi "Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak sekali orang
berdatangan," desis Galu.
"Ayo, kita percepat.." Kedua prajurit
Kadipaten Galuh Marta itu segera mendekat Perguruan Bajing Ireng tampak
dipenuhi orang-orang peralatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah?" tanya Galu pada
pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar dari
bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, memandang kedua prajurit yang
menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah
saja kejahatannya," gumam pemuda itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut gondrong
itu, Galu dan Warigi mengerutkan kening dan saling pandang. Kemudian mata
keduanya memandang lekat wajah pemuda itu, yang tampak cengengesan sambil
menggarukgaruk kepala.
"Anak Muda. Kami bertanya padamu, mengapa
engkau bergumam sendiri?" tanya Galu hampir tertawa menyaksikan tingkah
laku pemuda yang konyol dan lucu itu. Mirip orang gila.
Terkadang raut wajahnya sedih, kemudian berubah
riang dengan senyum lucu. Bahkan yang lebih konyol, pemuda itu suka
menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik
mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi..." pemuda tampan yang Sena
Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa geli.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu
membendung tawa mereka.
"Pemuda Gila...," gumam Galu. "Ayo
kita ke sana" "Hi hi hi... Eh, tunggu" Sena menghentikan mereka.
Kedua prajurit kadipaten berhenti dan menengok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya
Galu. "Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya Sena seraya
menggaruk-garuk kepala.
"Ya" sahut keduanya.
"Aha Kebetulan sekali kalau begitu," seru
Sena sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. "Kebetulan aku hendak
ke kadipaten. Tolong Kisanak beritahu, ke arah mana aku harus pergi?"
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda
bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda
Edan?" tanya Warigi.
"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak
makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana. Aku diundang kanjeng
adipati," tutur Pendekar Gila.
Galu tersenyum sambil menggelenggelengkan kepala.
Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu hanya bercanda. "Mana mungkin
Adipati Seragon mengundang pemuda gila seperti ini?" pikir Galu seraya
tersenyum.
"Pemuda Gila.... Ah, kanjeng adipati tidak
mengundang pemuda gila sepertimu. Sebenarnya kanjeng adipati mengundang para
pendekar. Tak ada pesta di sana," tutur Galu.
"Sudahlah, Galu. Mengapa kita harus meladeni
pemuda gila ini?" rungut Warigi mengajak temannya meneruskan perjalanan.
"Tunggu" kembali Sena memanggil mereka.
Warigi menghela napas. Kesal juga hatinya melihat
tingkat laku pemuda itu.
"Pemuda gila Apa sebenarnya yang kau inginkan,
heh?" Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha Kalian ini tolol. Bukankah sudah
kukatakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju kadipaten?" Sena
tak kalah keras membentaknya.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Warigi.
Pendekar Gila tersenyum. Diambilnya gulungan daun
lontar yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya. Galu segera menerima dan
cepat membuka gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak setelah membaca
tulisan daun lontar itu.
"Pendekar Gila..." seru mereka bersamaan.
"Oh... ampuni kebodohan kami, Tuan Pendekar
Sungguh kami tak tahu kalau Tuan adalah Pendekar Gila," ujar Galu sambil
turun dari kudanya dan menjura memberi hormat "Benar, Tuan Pendekar. Jika
Tuan menghendaki, hukumlah kelancangan kami ini," tambah Warigi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyaksikan
kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus
berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar Kalau diperkenankan,
biarlah kami nanti bersama Tuan," pinta Galu. "Oho Sangat menyesal,
aku harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki
Galingga telah tewas di tangan seorang yang
bersenjatakan tusuk konde beracun," tutur
Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Galu dan Warigi membelalakkan
mata. Kaget mendengar Ki Galingga yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang
membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian Ki Galingga sama dengan
kematian istri Adipati Seragon dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh Bencana apakah yang tengah melanda
Kadipaten Galih Marta?" keluh Galu.
"Hm..., apa maksudmu?" tanya Sena masih
belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri
kanjeng adipati dan empat orang teman kami yang tengah berjaga. Kini Ki
Galingga sama dengan kematian istrinya kanjeng adipati," gumam Galu
setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh tusuk konde beracun."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercengang diam. Mata
mereka memandang ke arah Perguruan Bajing Ireng yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Galu,
seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke sana, menuju ke
kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya
menempuh perjalanan menuju Kadipaten Galih Marta.
Sementara itu di Perguruan Bajing Ireng masih
banyak orang yang berdatangan untuk melihat Ki Galingga dan anak buahnya serta
istri mudanya yang tewas secara mengerikan oleh wanita misterius.
Sena dan kedua prajurit kadipaten telah jauh
meninggalkan tempat Perguruan Bajing Ireng yang sedang dilanda duka itu.
7
Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten Galih
Marta menyusuri jalan setapak di tengah hutan belantara. Malam telah larut.
Udara dingin terasa menggigit. Namun ketiganya tetap terus melangkah. Kegelapan
di hutan dan suarasuara binatang menambah suasana kian mencekam. "Aha
Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata Sena
sambil menghentikan langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja,"
jawab kedua prajurit hampir bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api
dulu." Pendekar Gila melompat ke atas pohon mencari ranting-ranting
kering. Gerakannya yang cepat tak terlihat oleh kedua prajurit Terdengar suara
ranting-ranting patah. Tidak lama berse-lang, Pendekar Gila turun dengan
membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api" pinta Sena. Kedua prajurit
itu kebingungan. Mereka tak tahu harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka
menggunakan batu api. Namun, bagaimana mungkin mereka mencari batu api dalam
keadaan gelap gulita.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Rupanya
mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. Sejenak matanya menyapu
ke segenap arah, kemudian berkelebat pergi. Tak lama berselang, telah kembali
dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, batu api itu disodorkan pada kedua prajurit. Dengan
menggosok-gosokkan kedua batu itu, tak lama kemudian api menyalanyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan di daerah ini. Tunggulah di sini," ujar Sena, lalu
dengan cepat berkelebat menembus kerimbunan pepohonan.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan Pendekar
Gila dengan perasaan tercekam.
Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan gelap
seperti itu. Selama ini keduanya tidak pernah berada di dalam hutan, bertugas
di kadipaten yang ramai dan terang.
"Galu, kita harus waspada," kata Warigi
mengingatkan.
"Ya Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Kedua prajurit itu menarik pedang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi
selama Pendekar Gila pergi. Mata mereka mengawasi ke sekeliling tempat itu
dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar suara
mendering senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang' seru Galu,
mengingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar Gila agar segera datang ke
tempat itu.
Swing Swing...
Entah dari mana datangnya dua benda melesat ke arah
dua orang prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat "Celaka
Tusuk konde" pekik Warigi kaget Hidungnya mencium bau wangi bunga. Mata
lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya meremang. Saat itu, sebuah tusuk
konde melesat ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, senjata beracun itu menghunjam
dadanya.
Jlep "Ukh" Warigi terpekik. Tubuhnya
sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa nyawa.
Jlep "Aaakh" Tusuk konde yang lainnya
menancap ke dada Galu yang juga tak sempat mengelak. Seperti Warigi, Galu pun
memekik kesakitan. Dan tewas setelah tubuhnya mengejang dengan mata melotot
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang dengan membawa tiga ekor ayam hutan.
Sena tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit kadipaten itu telah tewas.
Matanya menyapu ke sekeliling. Di dalam kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa
buah tusuk konde beracun ke arahnya.
Swing Swing...
"Kurang ajar Siapa kau..." bentak Sena
selagi bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di udara sambil menebaskan
tangan dengan jurus ‘Si Gila Melempar Batu’. Deru angin yang keluar dari tangan
Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa buah tusuk konde yang menyerangnya.
Baru saja Pendekar Gila berhasil merontokkan tusuk
konde itu, serangan berikutnya datang. Beberapa buah tusuk konde kembali
melesat menyerangnya.
"Edan Rupanya ada orang yang menginginkan
nyawaku" dengus Sena sambil terus berjumpalitan mengelakkan serangan yang
bertubitubi itu. Dicabutnya Suling Naga Sakti, kemudian dengan cepat digerakkan
untuk membabat tusuk konde itu.
"Heaaa..." Prak Prak Pluk Pluk Beberapa
buah tusuk konde yang terkena sambaran Suling Naga Sakti berpentalan jatuh ke
tanah. "Pengecut Tunjukkan dirimu" bentak Pendekar Gila sambil
menghantamkan pukulan ke tempat asal tusuk konde itu. Karena tak ada sahutan,
Sena semakin bertambah geram, merasa dipermainkan lawan.
"Edan Rupanya ada orang yang menginginkan
nyawaku" dengus Pendekar Gila sambil mengelak.
"Kurang ajar Rupanya, mau main petak umpet
denganku. Baik Ha ha ha..." Sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan
ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat laksana angin, memutari wilayah
itu. Larinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang. Yang tampak
hanya bayangan berkelebat. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tempat itu,
namun tak ditemukannya seorang pun di sana. "Hh... Aneh. Tak ada seorang
pun di sini.
Lalu siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar
Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua prajurit kadipaten. Di dada
keduanya tertancap tusuk konde beracun.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia
segera berjongkok memperhatikan tusuk konde yang menancap di dada Galu dan
Warigi. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu yang aneh.
"Ah, rupanya tusuk konde ini bukan tusuk konde
beracun biasa. Tusuk konde beracun pengisap darah," gumam Sena lirih.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata, seperti tidak
percaya pada apa yang dilihatnya. Ada sesuatu yang aneh, tubuh kedua mayat itu
men-gempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. "Oh Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian aneh itu. Dengan perasaan ingin
tahu, dicabutnya tusuk konde beracun itu.
Crab "Hah" Mata pemuda itu membelalak
tegang. Bulu kuduknya merinding. Tusuk konde beracun itu ternyata memiliki akar
panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak.
Benar-benar tusuk konde iblis" gumam Sena
sambil membuang tusuk konde itu jauh-jauh.
"Hhh..." Sena mendesah, "Bencana apa
la-gi yang akan melanda kadipaten ini?" Malam semakin larut. Pendekar Gila
melesat meninggalkan hutan itu setelah mematikan api unggun. Ditembusnya
kegelapan malam dengan menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan angin.
Lari 'Sapta Bayu'.
Pagi telah
hadir menerangi persada. Seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak
menggeliat bangun dari tidurnya.
"Huah..." pemuda yang tak lain Sena itu
menguap. Tangannya mengucek-ngucek mata.
Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari pohon di
Hutan Wanacala.
Tubuhnya dilemaskan dengan menggeliat untuk menarik
otot-ototnya yang kaku. Seketika matanya tertumbuk pada sesosok bayangan
berkelebat tak jauh dari tempatnya. Terdengar suara tawa dari sosok bayangan
itu. Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa pernah mengenal tawa itu.
"Hah...? Suara tawa itu seperti aku kenal.
Siapa...?" Sena berpikir sejenak sambil
menggaruk-garuk kepala. "Itu persis suara tawa Mei Lie Apakah tadi Mei
Lie...?" Sena bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Lalu matanya mencari-cari, kemudian melesat
mengejar suara yang terus terdengar di kejauhan.
Pendekar Gila memasang indera keenamnya untuk
menangkap suara itu. Kemudian tubuhnya kembali melesat dengan menggunakan ilmu
lari 'Sapta Bayu', mengejar suara itu.
"Mei Lie...?" seru Sena ketika melihat
sesosok wanita berpakaian serba kuning, dengan rambut dibiarkan terurai.
Wanita itu membelakangi Pendekar Gila.
Tak terdengar suara jawaban bahkan menoleh pun
tidak. Hal itu membuat Pendekar Gila penasaran.
Dengan sekali lompat, Pendekar Gila sudah berada di
dekat wanita itu. Namun, ketika Sena menyentuh pundaknya, gadis itu cepat
melesat pergi. Sena jadi heran.
"Mei Lie... Mei Lie... Tunggu..." seru
Sena sambil mengejar gadis yang memang mirip Mei Lie itu. Namun gadis itu telah
lenyap dari pandangan.
Seperti hantu saja.
"Aneh? Begitu cepat dia menghilang. Benarkah
dia Mei Lie...?" tanya Sena dalam hati.
Belum habis Sena berpikir, tiba-tiba terdengar lagi
tawa wanita itu. Bahkan kali ini memanggil Sena.
"Kakang Sena..., kemarilah Ayo, kejar aku Hi
hi hi, he he he..." "Mei Lie... Tunggu..." Pendekar Gila cepat
melesat mengejar gadis itu. Kali ini ilmu 'Sapta Bayu'-nya tetap dikerahkan.
"Mei Lie.... Kenapa kau? Sikapmu...." "Mengapa aku?" sahut
gadis mirip Mei Lie itu dengan mengulurkan kedua tangannya ke leher Pendekar
Gila.
Melihat keanehan sikap Mei Lie, kekasihnya, Sena
merasa risih. Hatinya keheranan karena tak pernah Mei Lie berbuat seperti itu.
Mei Lie yang dikenal sukar dijamah, kini malah merang-kulnya. Itulah yang
membuat Pendekar Gila mulai curiga. Dengan halus dia melepas rangkulan wanita yang
mirip dengan Mei Lie itu. Lalu menatapnya sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan.
"Kenapa, Kakang? Adakah yang aneh
dariku...?" tanya wanita itu sambil terus berusaha merayu Sena. Kini
wanita itu lebih berani. Dibiarkan pakaian atas yang menutupi dadanya terbuka
lebar. Hingga buah dadanya yang kuning langsat terlihat jelas, tersembul
menantang. Apalagi ketika wanita itu membungkuk, mengambil tusuk kondenya yang
jatuh. Sena yang melihat tusuk konde itu, mengerutkan kening. Dia mulai
teringat sesuatu.
"Tusuk konde...? Pasti wanita ini ada
hubungannya dengan wanita misterius yang menyerangku semalam," ujar Sena
di dalam hati. Namun dia kembali ragu ketika melihat wajah wanita yang ada di
depannya benar-benar Mei Lie.
"Kenapa kau merasa jijik denganku, Kakang
Sena...?" tanya wanita yang mirip Mei Lie itu, dengan sedih.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Pemuda itu
malah cengengesan dan menggarukgaruk kepala. Sifat Sena paling tidak bisa jika
melihat wanita yang bersedih. Apalagi bila yang dihadapan Mei Lie, kekasihnya.
"Aku harus berbuat sesuatu, agar semua yang
kuhadapi saat ini jelas. Benarkah dia Mei Lie? Di mana pedang bidadarinya?
Mungkin Mei Lie mengalami gangguan jiwa, atau...." Sebelum selesai Sena
menebak dalam hati, tiba-tiba wanita itu menyerangnya. Sebuah tendangan keras
mendarat ke dada Sena yang sempat lengah.
Degk "Hukh..." Sena terpekik. Dan belum
sempat dia memulihkan tenaganya, tiba-tiba wanita itu menggeram. Dari mulutnya
pun keluar puluhan jarum, ketika menyembur ke arah Pendekar Gila.
Jub Jub Jub "Aaakh..." Sena menjerit,
ketika jarum-jarum berbisa menghunjam ke dadanya. Tidak sampai di situ, wanita
itu tampak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya diangkat ke
atas, dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti hendak mencengkeram. Lalu
sambil memekik wanita itu hendak melancarkan serangan mautnya dengan pukulan.
Wesss Degk Namun belum sempat wanita itu
menghunjamkan serangannya lagi, tiba-tiba muncul sesosok bayangan berkelebat.
Dengan cepat disambarnya tubuh Sena yang sudah tak sadarkan diri, sambil
menghantam wanita itu dengan tendangan. "Aaauuuw..." Wanita itu
memekik panjang dan bergulingan di tanah.
"Kurang ajar... Aaakh" geram wanita itu
sambil memegangi kakinya yang dirasakan seperti patah. Tak bisa untuk berdiri.
Sementara bayangan itu sudah hilang dari
pandangannya.
"Siapa yang menyelamatkan Pendekar
Gila...?" gumam wanita yang mirip Mei Lie itu. Wajahnya mendadak pucat
dengan bibir bergetar.
Sesaat kemudian, muncul Dewi Ratu Maksiat secara
tiba-tiba bagai makhluk halus. Ditemani empat lelaki pemuas nafsunya.
"Tuan Putri..." seru wanita yang mirip
Mei Lie ketakutan.
"Hi hi hi... Bodoh Kau terlalu ceroboh dan
bernafsu pada lelaki. Sebagai hukuman orang tolol yang bernafsu berlebihan,
kini kau harus melayani ke empat budakku ini secara bergantian.
Ha ha ha..." Selesai berkata begitu, Dewi Ratu
Maksiat memberi isyarat pada keempat budaknya untuk segera menggilir wanita
samaran Mei Lie.
"Oooh... jangan Ampun, Tuan Putri...,"
pinta wanita itu sambil menangis.
Namun keempat budak nafsu itu sudah merenggut tubuh
wanita itu. Mereka menelanjangi wanita mirip Mei Lie. Dewi Ratu Maksiat
menontonnya sambil tertawa-tawa. Sampai akhirnya wanita itu tak tahan dan mati
secara menyedihkan. Darah mengalir dari selangkangannya. Wajahnya pun seketika
berubah ke aslinya, pucat pasi, dengan mata melotot Dewi Ratu Maksiat dan
keempat budaknya meninggalkan begitu saja wanita malang itu sambil tertawa
terbahak-bahak.
8
Siang itu langit nampak mendung. Mentari sama
sekali tak menampakkan diri, karena tertutup awan hitam yang bergulung di
langit.
Lereng Gunung Merapi pun diselimuti mendung dan
hawa dingin, serta kabut tebal menutupi puncaknya. Sesekali suara guntur menggelegar,
membuat suasana kian mencekam.
Di dalam sebuah rumah gubuk seorang lelaki tua
berambut putih tengah duduk. Lelaki berjenggot panjang sampai ke dada itu
mengenakan jubah mirip pendeta Budha berwarna putih.
Jubah itu diselempangkan begitu saja di tubuhnya.
Tempat duduknya terbuat dari potongan batang pohon kayu besar yang sengaja
dibuat sedemikian rupa sebagai tempat duduknya.
Di depannya, terbujur lemas sesosok tubuh pemuda
tampan, berambut gondrong. Tubuhnya yang mengenakan pakaian rompi dari kulit
ular, terkulai di atas dipan. Mungkin pemuda itu sudah mati? Tak bergerak
sedikit pun.
Lelaki tua yang dikenal dengan nama Ki Kinasih itu
nampak membaca sebuah kitab suci.
Kedua tangannya direntangkan ke atas dengan mulut
berkomat-kamit. Sesekali dengan kedua telapak tangannya dia mengusap tubuh
pemuda itu, dari wajah sampai kaki. Hal itu dilakukannya berulang-ulang. Sampai
akhirnya, Ki Kinasih bergumam. "Oooh... Hyang Widhi.... Berikan kuasa-Mu
Sembuhkan pemuda ini Beri dia kekuatan baru. Jangan kau bawa dia pada kematian.
Sebab, dia harus meneruskan hidupnya untuk menumpas kedurjanaan manusia...
Hyang Widhi...
berilah mukjizatmu melalui telapak tanganku ini
Tolonglah hambaMu ini... Oooh... yai, yaii, yaiii..." Tubuh Ki Kinasih
tiba-tiba bergetar. Lalu bagai menyala, sekujur tubuhnya nampak terang.
Saat itu kekuatan Dewata telah menyusup ke tubuh Ki
Kinasih. Kejadian berlangsung tak begitu lama, tampaknya mukjizat itu telah
turun atas diri lelaki tua itu.
Cahaya putih bersih keperakan menjalar ke telapak
tangan Ki Kinasih. Kemudian perlahan telapak tangannya seperti ada yang
menggerakkan, mengusap wajah pemuda di depannya sebanyak tiga kali. Kemudian
dilanjutkan mengusap seluruh tubuh pemuda itu tiga kali pula. Seketika cahaya
berupa membias dari sosok tubuh pemuda itu. Cahaya kehidupan bagi manusia yang
berbudi luhur dan kuat.
Bersamaan dengan lenyapnya cahaya putih tadi, Ki
Kinasih memekik, "Yeaaa..." Plarr Cahaya itu kembali merambat ke
sekujur tubuh pemuda yang terbaring itu. Namun kemudian perlahan-lahan hilang.
Suasana kembali tenang. Ki Kinasih nampak menarik napas panjang.
Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Pemuda yang tadi berbaring di dipan, tampak mulai
bisa menggerak-gerakkan jari tangannya, lalu seluruh anggota tubuhnya. Matanya
perlahan dibukanya, bagai orang baru terjaga dari tidur. Pemuda berpakaian
rompi kulit ular itu menggosok-gosok matanya. Dan setelah pandangan matanya
mulai jelas, pemuda itu perlahan menggeliat bangun. Matanya terpicing ketika
melihat lelaki tua duduk bersila di atas batang pohon tengah menatap wajahnya.
"Oooh..., di mana aku? Siapa kau,
Kek...?" tanya pemuda itu sambil memegangi, kepalanya, lalu
menggaruk-garuknya. "Apakah aku bermimpi?" "Hm...," gumam
Ki Kinasih pendek, "Kau tidak bermimpi, Cucuku. Saat ini kau berada di
pondokku. Aku tahu, kau mirip Singo Edan, adik seperguruanku itu...," ujar
lelaki tua itu dengan suara menggema.
"Hah? Bagaimana Kakek tahu...? Dan siapa nama,
Kakek?" tanya pemuda tampan yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila.
"Panjang ceritanya, Sena. Yang jelas aku
dengan Singo Edan selalu berhubungan melalui batin. Dan kini bukan waktunya
untuk bercerita padamu. Kau dalam keadaan hampir mati, ketika jarum-jarum
beracun itu menusuk dadamu. Semua ini perbuatan Dewi Ratu Maksiat yang ingin
membunuhmu dan menguasai rimba persilatan.
Selain itu, anak angkatnya yang bernama Datuk
Tambureh telah menyekap si Bidadari Pencabut Nyawa, kekasihmu itu...,"
tutur Ki Kinasih.
"Hah? Mei Lie...? Di mana aku dapat
menemukannya...?" tanya Sena mendesak.
"Hm...," Ki Kinasih memejamkan mata
sejenak. Lalu perlahan membukanya kembali sambil menatap Sena tajam. "Kau
harus dapat membunuh Dewi Ratu Maksiat dahulu, jika ingin bertemu dengan gadis
itu. Dan nanti kau akan menemukan tempatnya. Namun itu tak mudah bagimu, Sena.
Kau harus lebih berhati-hati menghadapi wanita iblis itu. Sedikit kau lengah,
nya-wamu melayang... Tapi, kau harus yakin dapat mengalahkannya. Jangan sampai
terpengaruh kecantikannya Dia sangat berbisa, Sena. Juga jangan kau tatap matanya
jika berhadapan dengan dia Itu saja pesanku. Aku percaya dengan Suling Naga
Sakti, dan beberapa ilmu yang diajarkan Singo Edan, kau akan mampu menaklukkan
Wanita Iblis dari Andalas dan Datuk Tambureh, yang menculik kekasihmu. Sekarang
cepat kau pergi Aku akan melihatmu dari kejauhan," tutur Ki Kinasih.
"Sebelum aku pergi, boleh aku tahu nama
Kakek?" tanya Sena sambil menjura hormat Ki Kinasih tersenyum. Dia
meletakkan telapak tangannya di kepala Pendekar Gila.
"Apa artinya sebuah nama. Yang penting, jika
kau kelak bertemu dengan gurumu, katakan, kakek berjenggot panjang dari Lereng
Merapi kirim salam. Itu saja. Dan sekali lagi pesanku, jangan tatap mata
lawanmu," kata Ki Kinasih memberikan wejangan pada Sena.
"Terima kasih, Kek.. eh Eyang. Saya mohon
diri..." Setelah menjura, Sena melesat pergi keluar dari pondok itu.
Ki Kinasih memandangi dengan senyum, sambil
mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai dada.
Pendekar
Gila yang sudah sangat marah akan tindakan dan sepak terjang Dewi Ratu Maksiat
dan Datuk Tambureh, terus melesat dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu'
menuju barat. "Aku yakin, jalan ini akan mempertemukan ku dengan perempuan
keparat itu," kata Sena dalam hati.
Pendekar Gila terus melesat bagai angin.
Sehingga tiba di suatu tempat yang sepi dan sunyi.
Di sekitar tempat itu pepohonan tampak kering meranggas, bagikan dilanda musim
kemarau yang sangat panjang. Padahal daerah itu merupakan pegunungan yang
mestinya subur.
"Aneh, tempat apa ini? Aku baru lihat tempat
yang semua pohon dan tanamannya kering seperti ini...," gumam Sena dalam
hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil mengedarkan pandangan mengitari
sekitar tempat itu.
Namun Pendekar Gila kembali melesat meninggalkan
tempat yang sunyi dan sepi itu. Tanpa sepengetahuannya, ada sepasang mata
jalang mengawasi gerak-gerik Sena sejak tadi.
"Oooh... Mei Lie, di mana kau...? Hyang Widhi,
temukan aku dengan dia Beri aku petunjuk jalan untuk menemukan Mei Lie..."
keluh Se-na sambil terus berlari menuruti nalurinya.
Bagai terbang pemuda itu melintasi segala macam
tempat. Melompati tebing, menyeberangi sungai. Dan terakhir dia memasuki sebuah
hutan yang kelihatannya masih perawan. Hutan Gombong. Hutan itu ditumbuhi
pepohonan besar.
Namun tampak di sana-sini banyak yang bertumbangan,
menghalangi jalan.
Pendekar Gila memutuskan untuk berhenti di mulut
hutan itu.
9
Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar matahari
yang baru saja terbit di ufuk timur. Desau angin lembut, senandung burung, dan
kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama kehidupan. Dari kejauhan di dalam
Hutan Gombong terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu diselingi tiupan
suling yang mendayu, seperti menikmati indahnya pagi.
Samar-samar dari kejauhan, tampak seorang pemuda
tampan dengan suling emas berkepala naga di tangannya, tengah melangkah sambil
bernyanyi.
Pemuda tampan yang tengah berjalan sambil
bernyanyi-nyanyi itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Didengar dari
syair lagunya, tampaknya Sena sedang merasakan kerinduan pada seorang gadis
yang dicintainya. Dan gadis itu tentunya Mei Lie.
"O, permata hatiku ke mana langkah harus
menuju. Masihkah kau menikmati pagi yang indah ini. Iri rasanya hatiku,
memandang alam yang damai ini. Sementara, jiwaku telah mencari tempat tambatan
hati yang pergi belum kembali...." Setelah menumpahkan isi hatinya, Sena
pun duduk di atas sebatang pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan di
ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepalanya digaruk sambil
memandang burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi... Burung, aku iri kegembiraanmu...
Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang bingung...," kata
Sena bicara seorang diri. "Aha Kau yang bisa terbang, di ma-na kini Mei
Lie berada?" "Cit, Cuit" Sena melompat-lompat sambil tertawatawa
mendengar kicau burung mencericit.
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung
Cantik?" "Cuit, cuit.." Sena mengangguk-angguk sambil
cengengesan. Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala,
Sena bangkit dari duduknya. Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-burung
pemakan bangkai berterbangan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu?
Bukankah mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena dengan kening
berkerut.
Sena masih belum sadar, kalau gerakgeriknya diintai
oleh sepasang mata, yang bersembunyi di balik pepohonan rindang. Lalu
berkelebat sosok bayangan hijau. Gerakannya begitu ringan, hingga tak terdengar
sedikit pun langkah kakinya. Tentunya sosok yang mengikuti Pendekar Gila itu
memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali duduk.
Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau menggapai
cakrawala.
Kresek Bibir Sena tersenyum ketika telinganya
menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Kemudian sambil cengengesan, dia duduk bersila.
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang
merenung.
"Hi hi hi... Rupanya ada juga tikus yang
bersembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang redup dan mulutnya masih
cengengesan. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk paha. Swing Swing...
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah
Sena yang masih duduk bersila.
"Aha, ada juga tikus yang pandai
bercanda" seru Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pukulan
'Inti Bayu' untuk menangkis senjata rahasia yang meluncur ke arahnya. "Hi
hi hi... Permainan kalian kukembalikan Hih..." Wuss Swing Swing...
Crab Crab "Aaakh..." Dari balik
semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak terdengar jeritan kematian.
Kemudian tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam meregang. Leher
mereka tertancap senjata rahasia yang tentu milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk dan tewas.
"Ha ha ha... Lucu sekali Lucu..." seru
Se-na sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar Serang dia..." Dari balik
semak-semak, terdengar perintah seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan
itu, muncul puluhan orang dengan wajah tertutup kain hitam dan bertelanjang
dada. Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang masih tertawa terbahak,
sambil melompat-lompat seperti kera. "Ha ha ha... Monyet-monyet hitam Ha
ha ha..." "Bedebah Bunuh dia..." seru pemimpin orang-orang yang
berpakaian serba hitam.
"Hiaaat..." "Wadauw Mengapa ganas
sekali?" seru Sena, sambil memegang kepalanya. Tubuhnya bergerak
meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan. "Pecah kepalamu, Pemuda
Edan" bentak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala
Sena.
"Wadauw, aku tak mau" teriak Sena sambil
meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. Dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat', Sena mementahkan serangan yang datang ke arahnya. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana penari, dan sesekali tangannya bergerak seperti menepuk.
"Hi hi hi... Rasakan kue apemku Nih..." Tangan Sena menepuk ke dada
seorang lawan yang menyerangnya. Tubuhnya masih meliuk-liuk, dengan sedikit
membungkuk Blukk "Wuaa..." Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang, melayang laksana
terbang. Tubuh orang itu terhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Brak "Aaakh" Orang itu menjerit. Kain
penutup kepalanya bersimbah darah, Ternyata kepala orang itu pecah akibat
benturan keras dengan pohon besar tadi. Hutan yang semula tenang dan asri,
seketika terpecah oleh suara hiruk-pikuk. Banyak pohon yang tumbang terhantam
serangan mereka.
Rerumputan yang semula segar, morat-marit dan rusak
karena terinjak-injak. Binatang-binatang pun berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi... Siapa lagi yang mau kue
apem...?" tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera dengan tangan
kiri menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana menari
mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar Bunuh dia..." seru pimpinan
gerombolan berpakaian serba hitam yang ternyata dari Gerombolan Macan Kumbang.
Tubuh pemimpin gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga bukan suara
lelaki, melainkan seorang wanita. "Cincang dia" sambut anak buahnya.
"Serang..." Serentak mereka kembali menyerang dengan membabatkan
golok di tangan masingmasing. Namun dengan cepat Sena kembali bergerak
mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat seraya membungkukkan badan.
"Wah Ganas sekali tikus betina ini?"
tukas Sena sambil terus bergerak mengelak. Pantatnya sengaja ditunggingkan ke
arah lawan-lawannya, hingga membuat wanita dari Gerombolan Macan Kumbang itu
marah.
"Haiiit.." Wanita itu membabatkan
goloknya ke pantat Sena.
"Wadauw Jangan, Nyi Pantatku bisulan Hi hi
hi..." Sambil berkata begitu. Sera mengelak cepat. Kembali tangannya
menepuk dua orang yang berada di depan dan sampingnya.
Plakk "Wuaaa..." "Aaa..." Dua
orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila memekik. Tubuh mereka terpental
deras ke belakang seperti dua batang ranting kering.
Lalu menghantam pohon disertai pekikan kematian.
Tubuh keduanya ambruk dengan napas putus. "Bangsat Minggir... Biar
kuhadapi dia" seru wanita itu kalap. Pemuda itu terlalu berbahaya untuk
dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu persatu anak buahnya di tangan pemuda
tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur, dengan cepat wanita
itu melabrak maju. Matanya yang nampak dari lubang kain penutup wajahnya,
melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?"
bentak wanita itu.
"Hi hi hi... Dari mana kau tahu, Tikus Betina
Ha ha ha..." Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh berjingkrakan
seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila Hm, aku
datang untuk menantangmu" Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali Lucu sekali omonganmu, Tikus
Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena masih bergerak-gerak seperti
kera.
"Karena kau penghalang kami" "Oh,
kalau kalian bermaksud baik, aku tak akan menghalanginya. Ah ah ah... Tentu
maksud kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi... Atau kalian tak
punya hidung?" ledek Sena yang membuat wanita itu semakin membelalak
garang.
"Bedebah Apa pun yang akan kami lakukan, itu
urusan kami Kau memang harus disingkirkan, karena kau penghalang utama. Nah,
bersiaplah" bentak wanita itu sengit Sena menggaruk-garuk kepala dengan
mulut cengengesan.
"Aha, kalau itu maumu, baiklah. Aku akan
melayanimu." "Hiaaat.." Wanita itu segera melompat dengan
terkaman tangan yang membentuk cakaran dalam jurus 'Burung Gagak Menangkap
Mangsa'. Tangannya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lurus ke arah Pendekar
Gila.
"Hi hi hi... Lucu sekali gerakanmu."
Pendekar Gila segera menundukkan kepala, lalu dengan cepat tubuhnya bergerak
mengelak sambil berguling. Kakinya menendang ke atas, ketika tubuh wanita itu
melompat "Hi hi hi... Ini tendangan kuda binal" Wanita itu tersentak
kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya ditarik,
tapi tubuhnya yang sudah melayang sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang.
Sehingga...
Degk "Hukh" Tubuh wanita itu terlontar ke
depan, lalu tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha... Mengapa kau mencium tanah,
Nyi?" ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk
kepala sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu membuat lawannya semakin
marah. "Kurang ajar Bunuh monyet gila itu" perintah wanita itu.
Gerombolan Macan Kumbang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih
melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa..." "Cincang tubuhnya"
seru wanita itu bertambah murka, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila yang
kian menjengkelkan.
"Hiaaa..." "Yeaaa..."
Gerombolan itu langsung menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh
lawan.
Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera
menghabisi Pendekar Gila.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila
bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila. Dengan berjingkrak-jingkrak
seperti kera, Sena mengelakkan serangan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
Tampak tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Kemudian tangannya bergerak ke
beberapa jurusan, menghantam dengan pukulan-pukulan yang kelihatannya pelan dan
tak bertenaga.
"Hea..." Plak "Wuaaa..." Satu
orang lagi terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila. Seperti tiga temannya,
tubuh orang ini pun terlontar
jauh ke belakang.
Dan baru berhenti ketika membentur pohon hingga
kepalanya pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka para
bajingan, kini tak mau diam dan membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak
cepat, meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' disusul
dengan jurus yang semakin membuat lawan-lawannya bertambah kalangkabut. Wuss...
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar
angin deras menghantam ke arah lawan.
Para pengeroyoknya seketika terdorong ke belakang.
Bahkan pakaian wanita itu terlepas. Tubuhnya kini tak tertutup sehelai benang
pun.
Ternyata dia seorang wanita yang cantik dengan
rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis, menggairahkan. Hal
itu membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Wanita itu tak lain Dewi Ratu
Maksiat. Sejenak Sena terkesima.
Mata Dewi Ratu Maksiat bagai mengandung daya tarik
yang luar biasa. Hatinya hampir saja terlena oleh kecantikan dan keindahan
tubuh wanita itu.
Yang kini dalam keadaan tanpa pakaian
"Hah...?" gumam Pendekar Gila, memandang wanita yang ada di depannya
tanpa pakaian.
"Dia pasti Dewi Ratu Maksiat itu. Rupanya dia
sejak tadi mengikuti. Aku harus hati-hati...," batin Sena. Rupanya setelah
wanita yang dia ciptakan mirip Mei Lie itu gagal menaklukkan Pendekar Gila,
Dewi Ratu Maksiat penasaran. Dia terus mencari di mana Pendekar Gila berada,
dan dengan indera keenamnya akhirnya Dewi Ratu Maksiat dapat menemukan jejak
Pendekar Gila. Jika dia dapat melumpuhkan, menaklukkan iman Pendekar Gila, maka
dia akan sangat bahagia. Karena dapat hidup seribu tahun lagi. Menurutnya
dengan bersetubuh dengan Pendekar Gila umurnya semakin panjang. Dan bertambah
sakti Dewi Ratu Maksiat berpura-pura malu, dia menutupi auratnya dengan kedua
tangan. Lalu tersenyum genit dan menggigit bibirnya sendiri.
Sena tertegun sesaat, menatapi tubuh yang begitu
indah dan dada yang masih terlihat keras.
"Oooh...," Dewi Ratu Maksiat mendesah
lirih. "Sebaiknya kita tak usah bertarung Pendekar Gila. Aku mengaku
kalah. Sekarang lebih baik ki-ta menjadi teman. Peluklah aku, oooh...
ssstt...." Pendekar Gila seperti kena hipnotis, entah kenapa jadi tak
berkutik. Kakinya melangkah mendekati Dewi Ratu Maksiat yang tanpa pakaian itu.
Wanita cantik itu telentang di tanah, yang ditumbuhi sedikit rerumputan.
Semakin dekat Sena dengan wanita iblis itu. Dan
ketika tinggal satu tombak jaraknya, Sena tiba-tiba memegang keningnya, dia
mendengar suara mengiang-ngiang di telinganya. "Jangan sekali-kali kau
menatap mata wanita itu, Sena..., jangan menatap matanya" Pendekar Gila
tersentak, seperti orang baru bangun dari tidurnya. Pemuda itu cepat
memalingkan muka dan tetap siap waspada akan tipu muslihat wanita itu. Hatinya
telah sadar, setelah mendengar pesan Ki Kinasih.
"Perempuan iblis" gumam Sena lirih.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat usahanya gagal,
segera menyeringai. Matanya membelalak lebar. Dan sambil mengerang bagai macan
kumbang betina, Dewi Ratu Maksiat menggapai pakaiannya yang terlepas tadi.
Dililitkan pakaiannya di bagian pinggang. Lalu menyerang Pendekar Gi-la, yang
membelakanginya.
"Yeaaa.... grrr..." Dewi Ratu Maksiat
melesat menerkam Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap dengan segala
kemungkinan. Dirundukkan kepalanya ke samping, lalu disusul melancarkan
serangan balik, dengan pukulan tangan kanan ke dada lawan yang masih ngambang
di udara.
Pluk Bukk "Aaakh..." Dewi Ratu Maksiat
memekik panjang. Dadanya seketika terasa sesak. Tubuhnya langsung roboh
tertelungkup ke tanah. Dewi Ratu Maksiat yang sebenarnya memang tak memiliki
ilmu sejati mulai berkurang tenaganya.
Wanita Iblis dari Andalas itu hanya memiliki ilmu
sihir yang dapat meluluhkan setiap lelaki. Namun untuk Pendekar Gila ilmu itu
tak mempan.
Sena yang sudah merasa sangat jijik dan marah,
mulai mengeluarkan jurus-jurus mautnya untuk cepat membunuh wanita itu. Pemuda
itu tampak mulai menyatukan telapak tangannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, tangannya dengan
pelan membuka ke samping. Ditariknya ke belakang membentuk aku. Lalu dengan
telapak tangan terbuka, bergantian menghantam. Dari pukulannya itu mengeluarkan
kekuatan yang sanggup melebur gunung karang Itulah jurus ‘Si Gila Melebur
Gunung Karang’.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat itu membelalak.
Matanya bagai mau keluar, merasa sudah tak sanggup melawan Pendekar Gila.
"Jangan, ampuni aku, Pendekar Gila Apakah kau
tega membunuh perempuan semacam aku, dalam keadaan terluka dalam? Seorang
pendekar sejati sepertimu tak akan melakukan hal itu, bukan...?" ucap Dewi
Ratu Maksiat dengan suara sedih, air matanya mulai menetes ke pipi.
Sejenak Pendekar Gila terkesima. Tangannya yang
ingin dihentakkan ke arah perempuan itu diurungkan. Matanya memandang Dewi Ratu
Maksiat. Namun cepat-cepat Sena memalingkan muka, menghindari tatapan mata
perempuan itu.
"Kalau kau tak ingin mati, cepat pergi Sebelum
aku membah pikiran..." perintah Sena dengan lantang. Tanpa memandang Dewi
Ratu Maksiat Perempuan itu melotot. Mukanya yang cantik kini nampak galak. Dan
menyeringai, tangan kirinya masih memegangi dadanya yang terasa sakit "Hhh
Siasatku gagal. Kepalang basah Aku harus bisa menaklukkan pendekar tampan ini,
Aku ingin merasakan pelukan dan kejantanannya. Biar aku menjadi wanita yang
terus awet muda..." gumam Dewi Ratu Maksiat. Selesai bergumam, dengan
sisa-sisa kekuatan, tubuhnya melompat ingin menerkam Sena yang membelakangi
dia.
"Grrr... Hiaaa..." Wut Wut Blarrr
"Aaauwww..." Dewi Ratu Maksiat menjerit tinggi melengking. Dari
mulutnya keluar darah kental, namun warnanya kuning bercampur kehijau-hijauan.
Tubuh wanita itu menggelepar-gelepar di tanah,
dalam keadaan telanjang. Perlahan-lahan terjadi perubahan di wajahnya. Wajah
yang cantik jelita dan penuh daya tarik luar biasa, kini kembali menjadi wajah
yang menyeramkan, keriput seperti nenek-nenek. Rambutnya putih dan bertubuh
kurus bagai tengkorak. Sena kaget melihat hal itu. Dia menghela napas
dalam-dalam, lalu bergumam, "Ternyata dia seorang nenek-nenek keriput Edan
Jagad Dewa Batara... Kau telah mendapat ganjaran yang setimpal, Nyi...."
Selesai bicara begitu, Sena segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Aku harus menemukan Mei Lie secepatnya. Tapi
di mana?" kata Sena dalam hati sambil terus berlari ke barat.
Sementara
itu di kaki Gunung Kelud, tempat kediaman Datuk Tambureh nampak sepi.
Hanya dalam salah satu ruangan terdengar suara
jeritan dan tawa seorang lelaki.
"Ha ha ha... mau ke mana kau, Manis...? Sudah
saatnya kini kau menjadi istriku. Ayolah..., malam ini kita akan saling memberi
cinta... he he he, ha ha ha... ayo..." Datuk Tambureh sudah telanjang
dada, hanya memakai celana panjang.
Mencoba memburu Mei Lie yang pakaiannya sudah
robek-robek oleh tangan Datuk Tambureh yang sudah kemasukan setan itu.
"Jangan dekati aku... Aku akan bunuh
diri..." bentak Mei Lie yang nampak marah. Sambil menghindar, dan memukul
muka Datuk Tambureh dengan sekuat tenaga. Namun tanpa Pedang Bidadari Pencabut
Nyawa, Mei Lie tak bisa berbuat banyak. Apalagi tenaga dalamnya belum pulih
sepenuhnya. Gadis itu mencoba untuk tidak terkena totokan lelaki keparat. itu.
Untuk itu dia selalu berusaha menjauhi dan melawan jika Datuk Tambureh
mendekat, ingin menerkamnya.
"Jangan sampai hilang kesabaranku Kau akan
menyesal nanti. Ayolah..." ancam Datuk Tambureh. Lalu cepat menerkam Mei
Lie. Gadis itu melompat ke samping, lalu menyerang dengan tendangan kaki kanannya
ke dada Datuk Tambureh. Degk "Ukh..." Datuk Tambureh yang sudah
bernafsu itu, sempat kurang waspada. Hingga tendangan kaki kanan Mei Lie
mengenai dadanya.
"Kurang ajar Kau tak bisa dibiarkan. Hem
Heaaa..." Datuk Tambureh menyerang dengan ganas.
Mei Lie terbelalak melihat gerakan tangan datuk
yang begitu cepat. Dan tanpa diduga, tiba-tiba Datuk Tambureh sudah dapat
menangkap lengan kiri Mei Lie.
Mei Lie berusaha melepaskan cekalan tangan kanan
Datuk Tambureh. Namun sia-sia saja.
Lelaki tua itu lebih kuat, sedangkan keadaan tenaga
dalam Mei Lie belum pulih benar.
Dengan cepat Datuk Tambureh, yang tak mau
membuang-buang waktu lagi, segera menotok ke arah dada Mei Lie. Namun si
Bidadari Pencabut Nyawa bisa menangkis dengan tangan kanannya, meskipun hal itu
tak cukup untuk menggagalkan niat Datuk Tambureh. Dengan cepat pula tangan
lelaki berjubah merah itu kembali menotok dada Mei Lie.
Tuk Tuk Mei Lie seketika terkulai lemas. Datuk
Tambureh yang sudah lama ingin menikmati tubuh Mei Lie yang menggiurkan, dan
ingin menjadikan istrinya segera menggotong tubuh gadis itu ke tempat
pembaringan Datuk segera merobek penutup dada Mei Lie. Tersembul di depan
matanya, dada yang putih bersih, keras, dan kenyal menantang. Menambah birahi
Datuk Tambureh semakin tinggi. Dan ketika Datuk Tambureh mulai menindih dan
ingin mengisap buah dada Mei Lie. Tiba-tiba...
Plak Plak "Aaakh..." Tubuh Datuk Tambureh
terpental, jatuh dari tempat tidurnya. Bersamaan itu, bayangan yang berkelebat
menjebol pintu kamar itu, dengan cepat menyambar tubuh Mei Lie. Dan menghilang
dari kamar.
Datuk Tambureh murka. Dia cepat memakai jubah dan
menyelipkan kapak terbuat dari kuningan asli ke pinggangnya.
Para penghuni tempat itu, berhamburan keluar,
ketika mendengar teriakan Datuk Tambureh yang marah itu.
"Hai... Kalian, cepat kejar maling itu...
Bodoh" perintah Datuk Tambureh. Setelah itu
dia sendiri melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara itu sosok bayangan yang membawa Mei Lie
telah jauh dari kediaman Datuk Tambureh. Siapa sebenarnya yang membawa Mei Lie
itu belum jelas. Namun di belakang orang itu ada seorang lelaki lain yang
mengikutinya.
"He he he, ha ha ha..." lelaki berjubah
hitam itu tertawa-tawa riang sambil terus berlari.
Diikuti kawannya yang kini semakin dekat
Sesampainya di suatu tempat yang dianggap aman, mereka berhenti. Lalu mencari
tempat yang sedikit terlindung di bawah pohon beringin besar dan rindang. Di
sekelilingnya semak-semak dan pepohonan rendah.
"Kini kita akan bersenang-senang, Bulus,"
ujar lelaki bercakar hitam yang ternyata Barong Culla. Matanya terus menatap
tubuh Mei Lie yang masih belum sadarkan diri. Karena tertotok oleh Datuk
Tambureh tadi.
Barong Culla maupun Bulus Wulung sengaja tak ingin
melepas totokan itu, agar lebih le-luasa untuk memperkosa gadis itu.
"Apakah kita tak cepat-cepat memulai saja? Aku
sudah tak tahan," kata Bulus Wulung yang air liurnya meleleh dari
mulutnya. Apalagi ketika melihat lebih dekat dada Mei Lie yang sedikit
tersembul dari balik pakaiannya yang sobek. Juga pahanya yang mulus membuat
Bulus Wulung tak dapat menahan gejolak birahinya, segera dia meremas dada Mei
Lie. Namun Barong Culla, cepat menepis dan menampar Bulus Wulung sebelum
tangannya menyentuh dada Mei Lie.
"Sabar Orang sabar itu subur... he he he...
Atau kita bertarung saja, siapa yang menang boleh lebih dulu menikmati tubuh
gadis ini. Setuju?" tantang Barong Culla.
Bulus Wulung hanya tersenyum, sambil memegangi
perutnya. Matanya tak berkedip terus memandangi dada Mei Lie dan paha mulus
yang menantang itu.
Karena tak ada jawaban dari Bulus Wulung, Barong
Culla mengetahui temannya sudah merelakan dia meniduri Mei Lie lebih dulu.
Maka, Barong Culla segera membungkuk, ingin menindih tubuh Mei Lie yang sudah
telentang.
"He he he... Hari ini aku mendapat duren
jatuh... he he he..." kata Barong Culla sambil membuka ikat celananya.
Namun tiba-tiba..., Cras Cras Crab "Ukkh..." Bulus Wulung rupanya
mempunyai siasat keji. Dia tega membunuh kawan seperjuangannya, hanya karena
ingin menguasai tubuh Mei Lie. Dengan goloknya dia menebas kepala dan menusuk
tubuh Barong Culla. Tanpa ampun nyawa Barong Culla langsung melayang "Ha
ha ha... Kini akulah yang paling bahagia. He he he... hari ini aku akan
menikmati tubuh gadis cantik ini sepuas hatiku. He he he..." Selesai
berkata begitu Bulus Wulung segera membungkuk ingin menindih tubuh Mei Lie yang
masih belum sadar. Tangan Bulus Wulung gemetaran ketika hendak menjamah dada
Mei Lie.
Tanda nafsu birahinya benar-benar sudah memuncak.
Bugk Bugk "Aaa..." Bulus Wulung tiba-tiba
menjerit dan tubuhnya tertelungkup di tanah.
Orang yang tiba-tiba muncul itu tak sampai di situ
menghajarnya. Belum sempat Bulus Wulung melihat jelas siapa orang yang
menggagalkan niatnya, datang tendangan keras ke dada dan kepalanya secara
bertubi-tubi. Hingga lelaki berjubah biru kehitaman itu tak bisa bangun.
Orang yang menghajarnya mengakhiri dengan tendangan
kaki kanannya yang keras ke ulu hati Bulus Wulung. Seketika Bulus Wulung mati.
"Mei Lie... Mei Lie Oooh... maafkan
aku..." pemuda yang ternyata Pendekar Gila memeluk dan mengusap rambut
kekasihnya. Lalu segera melepas totokan yang membelenggu Mei Lie.
Seketika Mei Lie sadar. Perlahan matanya membuka
dan kaget melihat Sena ada di depannya, lalu menangis. Sena memeluknya
erat-erat "Semuanya sudah berakhir, Mei Lie...," ka-ta Sena perlahan.
"Belum berakhir" Terdengar suara
seseorang lelaki dari arah belakang Pendekar Gila. Sena tersentak kaget, juga
Mei Lie. Segera mereka menoleh ke arah datangnya suara. Dan Sena cepat berdiri
menghadap orang itu. Diikuti Mei Lie, yang telah mengenai orang itu.
"Bajingan Kau rupanya..." bentak Mei Lie
tiba-tiba setelah tahu yang muncul tak lain Datuk Tambureh.
"Siapa dia...?" tanya Sena geram. Matanya
terus menatap tajam Datuk Tambureh.
"Dialah yang menculikku, dan ingin menodaiku,
Kakang...," kata Mei Lie tegas sambil menatap tajam lelaki tua di
depannya.
"Keparat Kau harus menerima ini...
Heaaa..." Karena marah, Pendekar Gila langsung
menggebrak dengan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Si Gila Membelah Mega' dicampur
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Wuss Glarr...
Ledakan hebat akibat serangan Pendekar Gila yang
tak menemui sasaran. Pohon dan bebatuan yang ada di sana. Hancur lebur dan
tumbang. Karena ternyata Datuk Tambureh telah lebih dulu melesat cepat
mengelakkan serangan dahsyat itu.
Mei Lie coba membantu dengan serangan semampunya.
"Mei Lie, minggir. Biar aku cincang manusia
keparat itu...." Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera melancarkan
serangannya. Kali ini tubuhnya melenting ke udara mengejar Datuk Tambureh yang
hendak menerkam Mei Lie. Pertarungan di udara terjadi, saling pukul dan
tangkis, antara kedua orang berilmu tinggi itu. Lalu keduanya meluncur ke
bawah, dan sama-sama berdiri tegak berhadapan, berjarak lima tombak. Sementara
Mei Lie juga tetap siap dan waspada. Namun tibatiba Mei Lie tak tampak di mata
Datuk Tambureh yang jelalatan mencarinya. Saat itulah Pendekar Gila, menghunjamkan
pukulan jarak jauhnya ke arah Datuk Tambureh.
"Heaa" Wutt Brret "Aukkh..."
Datuk Tambureh memekik tertahan seraya memegangi dadanya. Namun dengan cepat
dia menggerakkan kedua tangannya, lalu mengibaskan tangan kanan ke depan. Angin
keras seketika menderu memburu Pendekar Gila. Tubuh Pendekar Gila seakan
tersedot angin itu, mendekat ke arah lawan. Pendekar Gila cepat tanggap.
"Celaka Ilmu apa ini...?" gumam Pendekar
Gila sesaat. Dia cepat mengeluarkan ajian 'Inti Salju'. Dengan kekuatan tenaga
dalam, kedua tangannya diangkat ke atas dengan cepat, lalu menghentakkan ke
arah lawan. Maka seketika tubuh Datuk Tambureh membeku, tertutup salju.
Datuk Tambureh tersentak kaget. Tubuhnya menggigil
kedinginan dan matanya terbelalak heran. Pendekar Gila tak mau buang waktu
lagi, segera dikerahkan ajian 'Tamparan Sukma'. Gerakannya lambat, tapi
hasilnya sangat dahsyat Siluman apa pun jika terkena pukulan ini pasti hancur
lebur. Namun anehnya Datuk Tambureh tak mati, bahkan tubuhnya tetap utuh. Hanya
terluka di bagian kening dan dadanya hangus.
"He he haaa... ayo, Pendekar Gila Keluarkan
kesakitanmu Kau akan mati sekarang dengan senjata pusakaku ini...," ujar
Datuk Tambureh sambil mencabut kapak yang terbuat dari kuningan asli.
Memancarkan sinar emas, menyilaukan mata Pendekar Gila.
"Hah?" gumam Pendekar Gila sambil
memperhatikan senjata yang digenggam tangan kanan lawannya.
Segera Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya.
Diangkatnya ke atas, lalu diturunkan perlahan, dan kemudian dihentakkan ke
depan bersama dengan kakinya merenggang, membuka kuda-kuda dan jurus.
"Heaaa..." "Yaaat.." Kedua
tokoh sakti itu melompat ke udara, dan saling menyerang dengan senjata
masingmasing. Pertarungan di udara terjadi lagi dengan sem. Senjata mereka
beradu.
Trang Trang Trang Glaarrr...
Ledakan menggelegar disertai cahaya perak dan
keemasan menerangi tempat itu, akibat beradunya dua senjata pusaka. Lalu
keduanya turun dengan mulus. Datuk Tambureh yang semakin murka dan penasaran,
langsung menyerang dengan penuh amarah. Serangannya tak terkendali hingga
banyak yang tak menemui sasaran. Pendekar Gila dengan lincah menangkis dan
melakukan serangan balik yang cepat ke arah wajah dan perut Datuk Tambureh.
Wess Wess Sing Sing Datuk Tambureh membalas
serangan dengan menyodok, membabatkan kapaknya ke kepala Pendekar Gila. Namun
pemuda itu dengan cepat menangkis dengan sulingnya. Kembali sinar perak dan
keemasan terlihat. Lalu Pendekar Gila melenting ke udara sambil salto, melewati
kepala Datuk Tambureh yang menghadap ke lain arah.
Saat itu dengan cepat Pendekar Gila yang masih
ngambang di udara, melancarkan tebasan ke arah kepala Datuk Tambureh.
Brak Brak "Aaauw..." Datuk Tambureh
memekik panjang, kepalanya terkena pukulan Suling Naga Sakti. Tubuhnya
melintir, lalu roboh sambil memegangi kepalanya. Datuk Tambureh berusaha
menahan rasa sakit dan pening, serta panas yang mendera di kepalanya, akibat
hantaman Suling Naga Sakti.
Biasanya orang akan mati dalam beberapa saat
kemudian.
Namun Datuk Tambureh rupanya memiliki kesaktian
yang hebat. Lelaki tua berjubah merah itu masih bisa bertahan, walaupun
pandangannya kini mulai kabur karena pening.
Pendekar Gila sedikit heran. Namun dia cepat
melesat ke arah Datuk Tambureh yang masih sempoyongan.
"Heaaa..." Prak Prak Glarrr… Pendekar
Gila yang sudah memuncak amarahnya, tak mampu lagi mengendalikan diri.
Dihantamkan Suling Naga Sakti-nya kembali ke kepala dan tubuh Datuk Tambureh
yang seketika menjerit Lalu tak bersuara lagi. Nyawanya melayang Tubuhnya
membiru dan kemudian terbakar, karena Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
Pendekar Gila merasa puas. Dia menghela napas
panjang dan kemudian bergumam.
"Kau telah mendapat pembalasan Datuk
Tambureh... Terima kasih Hyang Widhi Dengan bantuanmu, aku bisa menemukan Mei
Lie dan melenyapkan manusia-manusia terkutuk itu...." Pada saat itu Mei
Lie telah muncul kembali dengan menggenggam Pedang Bidadari-nya.
"Mei Lie... Dari mana kau tadi...?" tanya
Sena keheranan melihat kekasihnya yang sempat menghilang beberapa saat.
"Mana dia datuk keparat itu, Kakang
Sena...?" tanya Mei Lie menunjukkan kemarahannya.
"Sudah mati. Dia sudah membayar semua dosa dan
kejahatannya. Kita sekarang benarbenar telah melewati hari-hari yang sangat
menyesakkan...," kata Sena lalu memeluk Mei Lie.
Gadis itu merebahkan kepala di dada Pendekar Gila
yang mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
"Aku merasa ingin mati saja, ketika sadar,
bahwa aku dalam cengkeraman datuk keparat itu. Kakang..., aku pun selalu
merindukanmu," ujar Mei Lie lemah lembut "Aku pun demikian, Mei
Lie...," jawab Sena kemudian.
"Hai, Anak Muda. Jangan kau terbawa keadaan,
nanti kau terlena, lawan akan mudah meringkusmu..." Tiba-tiba terdengar
suara serak seorang lelaki dari satu arah. Sena dan Mei Lie terkejut, dan cepat
berbalik mencari-cari orang yang berkata tadi. Belum sempat kedua muda-mudi itu
menemukan, muncul seorang lelaki tua berambut putih, dengan jenggot panjang
sampai dada. Dengan pakaian seperti pendeta Budha, warna putih bersih
diselempangkan ke badan. Lelaki tua itu melangkah mendekati Pendekar Gila dan
Mei Lie.
"Kek...? Eeh, Eyang..." seru Sena dengan
wajah ceria. Lalu menarik lengan Mei Lie. Menga-jaknya menyongsong lelaki itu.
Lalu keduanya menjura.
"Hm... he he he.... Aku merasa puas dan bangga
melihat murid Singo Edan yang gagah perkasa. Bagus Sena, ternyata gadis itu
memang pantas menjadi pendampingmu...," kata Ki Kinasih dengan tersenyum.
Lalu memegang kedua muda-mudi itu.
"Eyang terlalu menyanjungku. Tapi saya tak
bisa melupakan jasa Eyang Jenggot..," kata Sena sedikit berseloroh.
"He he he... Aku lupa nama gadis ini, siapa
namamu, Nak...?" tanya Ki Kinasih seraya wajahnya menatap pada Mei Lie.
"Nama saya Mei Lie, Eyang...," jawab Mei
Lie lemah lembut "Nama yang bagus, dan cocok sama orangnya.... Mei Lie,
aku kakak seperguruan Singo Edan, guru Sena. Jadi kapan saja kau memerlukan apa
saja, jika dalam kesulitan di daerah ini, datanglah ke pondok eyang, di Lereng
Gunung Merapi sana" tutur Ki Kinasih yang lalu merangkul Mei Lie dan Sena.
"Terima kasih, Eyang...," kata Mei Lie
sambil mengangguk.
"Ayo, sekarang hari sudah menjelang malam.
Sebaiknya kalian berdua beristirahat di pondok eyang malam ini,
bagaimana...?" kata Ki Kinasih dengan sabar.
"Ooo... dengan senang hati, Eyang," sahut
Sena dengan senang.
Lalu mereka berjalan bertiga, Ki Kinasih di tengah,
di kanan kirinya Pendekar Gila dan Mei Lie, saling bergandeng tangan.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak bahagia dan puas,
karena semua cobaan dan malapetaka yang mereka hadapi kini telah berakhir. Semua
dapat diatasi dengan penuh ketabahan, keyakinan, dan akal. Sementara itu
mentari sudah semakin menyusup di kaki langit sebelah barat dan hari pun segera
akan berganti malam....
SELESAI
Emoticon