Serial Pendekar Gila episode 29 Syair Maut Lelaki
Buntung
1
Pagi nampak cerah dengan langit biru bening, tanpa
sedikit mega. Angin berhembus perlahan, membawa kesejukan yang alami. Namun
keheningan pagi itu dirobek oleh suara gelak tawa dari tiga sosok yang tengah
menelusuri jalan terjal di Bukit Jatira. Ketiga sosok itu tampaknya tengah
dilanda kegirangan. Suara tawa mereka bergema, bagai dikerahkan dengan kekuatan
tenaga dalam.
Satu di antara ketiga sosok lelaki itu memiliki
wajah angker dan bengis. Matanya tampak kemerahan, dengan sepasang alis tebal
yang saling bertautan. Bajunya yang hitam legam dibiarkan terbuka di bagian
dada. Ikat kepalanya yang hitam bergaris putih melingkar mengikat rambutnya
yang panjang.
Lelaki berusia setengah baya itu terus melangkah
sambil tertawa-tawa, diikuti dua kawannya yang berpakaian rompi abu-abu.
"Ha ha ha... Sepuluh tahun terakhir ini aku
merasa bebas. Bebas berbuat sesuka hatiku.
Karena Perguruan Gunung Talang yang kita
bumihanguskan itu sudah terkubur, bersama si Tua Bangka, Damar Kiwangi,"
ucap lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terus mengumbar tawanya. Kakinya
terus melangkah tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
"Benar, Kakang Kala Hitam.... Kini kita bisa
memiliki penghasilan yang tak akan ada habishabisnya. Hasil bumi dan berbagai
upeti dari penduduk terus mengalir, Tak seorang pun berani menentang kita.
Orang-orang Kadipaten Galih Putih pun tampaknya segan terhadap kita. Ha ha
ha..." timpal Kebo Kluwuk salah seorang teman lelaki berpakaian hitam yang
ternyata bernama Kala Hitam.
"Benar Orang-orang kadipaten diam setelah kita
sumpel mulut dan perut mereka dengan sebagian penghasilan kita. Dan tampaknya
mereka akan tetap membiarkan kita selama kita tetap menyediakan
perempuan-perempuan untuk mereka. Ha ha ha..." tambah Rodoprana, juga
sambil memperdengarkan tawanya.
Ketiga lelaki itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi. Begitu cepat ketiganya berlari hingga dalam waktu singkat mereka
sudah me-nempuh jarak ratusan tombak. Suara gelak tawa mereka terus terdengar
di sepanjang perjalanan.
Namun dari kejauhan tiba-tiba muncul sesosok
bayangan melesat memburu ketiga lelaki berwajah beringas itu. Sosok bayangan
itu pun tampaknya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat tinggi.
Kala Hitam yang mempunyai pendengaran tajam bagai
serigala, cepat menghentikan larinya.
Hal itu membuat kedua temannya keheranan dengan
mengerutkan kening, lalu menghentikan lari dan berhenti. Kebo Kluwuk dan
Rodoprana saling pandang.
"Hmmm Rupanya ada yang mengikuti kita,"
gumam Kala Hitam. Matanya menyelidik sekeliling Lembah Bulak Rawa, "Ha ha
ha.... Pagi ini kita akan bermain-main kawan..." Kebo Kluwuk dan Rodoprana
tampaknya belum mengerti. Namun kemudian kedua lelaki bertubuh gagah itu cepat
menangkap ucapan Kala Hitam. Maka keduanya langsung tertawa terbahak-bahak
sambil menggeser keris yang terselip di pinggang mereka.
"Kala Hitam Pagi ini kau kelihatan sangat
gembira. Begitu bebas dengan sepak terjangmu.
Kau lupa bahwa di balik tawamu yang memecah
kesunyian pagi indah ini, akan berubah menjadi malapetaka bagi dirimu, juga
kedua temanmu itu" Terdengar suara yang tanpa terlihat siapa pemiliknya.
Kala Hitam mengerutkan kening.
Dengan perasaan geram, matanya jelakitan mencari
dari mana asal suara itu. Namun tetap tak diketemukannya pemilik suara yang
terdengar jelas itu. Kebo Kluwuk dan Rodoprana pun melakukan hal yang sama. Tak
satu pun yang dapat melihat sosok seseorang yang menyapa Kala Hitam.
"Bangsat Setan alas Dedemit apa kau? Keluar..." sera Kala Hitam
marah. "Tunjukkan wujudmu, kalau memang kau ingin mencoba ilmuku Ayo,
keluar... Keluar..." Tantang Kala Hitam penuh amarah sambil mondar-mandir.
Dikerahkan penglihatannya untuk mengawasi sekitar tempat itu. Namun tetap saja
tak menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh... Bedebah" "Ha ha ha... Kala
Hitam Kau memang manusia berhati iblis Memfitnah dan merampas harta, serta
membunuh orang yang tak bersalah. Tapi kau lupa, salah seorang dari keluarga
yang kau bunuh, masih hidup Dan kini akan menuntut balas padamu Kala Hitam.
Bersiaplah untuk mati" Terdengar lagi suara bergema. Kali ini lebih keras
hingga membuat Kala Hitam tersentak kaget. Mendadak dirinya merasa tegang dan
cemas.
Belum sempat Kala Hitam mengingat, siapa yang
dimaksud suara itu. Tiba-tiba terdengar lan-tunan sebuah syair....
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan
Darah Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati
Dibayar Pati....
Kala Hitam semakin tegang. Seketika keringat dingin
membasahi kening dan wajahnya yang angker itu. Namun kali ini kegarangannya
sedikit berkurang. Tak ada lagi gelak tawa seperti semula. Yang ada ketegangan
dan kecemasan bersampur jadi satu di benak lelaki itu.
"Siapa kau sebenarnya Aku tak ada urusan
denganmu. Keluar..." seru Kala Hitam keras sambil mencabut kerisnya.
"Ayo, lawan aku, Setan Belang... Tunjukkan keberanianmu, ayo Ayo, hadapi
Kala Hitam..." Begitu suara Kala Hitam berhenti, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menyerang mereka bertiga. Seketika Kebo Kluwuk dan Rodoprana
menjerit setinggi langit. Tangan mereka yang memegang keris, menutupi wajah
yang mengucurkan darah. Sesaat kemudian keduanya yang mengenakan rompi hitam
ambruk tanpa nyawa.
"Kurang ajar.'" maki Kala Hitam geram,
"Siapa kau, manusia atau setan?" Belum habis Kala Hitam menenangkan
hati dari ketegangan muncul sesosok tubuh lelaki tanpa kaki, alias buntung.
Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu tak begitu jelas, karena
tertutup rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai tak karuan. Acak-acakan
Lelaki itu berdiri dengan lututnya, yang terbungkus kain hitam. Meskipun tanpa
kaki tubuhnya dapat berdiri tegak. Wajahnya sinis menatap Kala Hitam yang masih
bertanya-tanya dalam hati.
Sejauh itu Kala Hitam bisa mengenali siapa
sebenarnya lelaki buntung itu. Matanya tak berkedip, terus mengawasi sosok
berpakaian merah di depannya.
"Kala Hitam, kau belum terlalu tua untuk
mengenali siapa aku adanya," tukas lelaki berkaki buntung itu. Senyum
sinis terus mengembang di bibirnya. Kemudian lelaki itu kembali bersyair
seperti tadi.
"Hentikan syair bututmu, Tua Bangka
Keparat" maki Kala Hitam sengit. Namun lelaki buntung itu bagaikan tak
peduli mulutnya terus menyuarakan syair, membuat Kala Hitam yang mendengarkan
tampak kian marah.
"Hhh... Kau nampak lebih muda dari usiamu,
Kala Hitam. Aku salut padamu Tapi aku benci kelicikanmu, tindakanmu membunuh
orang yang tak bersalah, bersama keempat temanmu.
Hasratmu terlalu besar ingin menguasai rimba
persilatan di Kadipaten Galih Putih yang saat itu sedang goyah. Para senapati
dan orang-orang kadipaten telah rusak. Moral mereka telah bejat karena hasutan
dan kelicikanmu. Kau memang pintar Kala Hitam" lelaki berkaki buntung itu
lalu menggeser kecapinya ke depan dada. "Dan kau tentunya masih ingat
dengan adik dari Ki Damar Kiwangi yang kau buntungi kakinya, lalu kau buang ke
Jurang Mager Wadas. Aku percaya kau ingat ini Sebab, kau murka, ketika aku
menghalangimu memperkosa istriku" Kala Hitam tersentak kaget. Tiba-tiba
diingatnya peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Namun cepat-cepat dia coba
menyembunyikan rasa kagetnya sambil berkata, "Ahhh Kau jangan mengada-ada
Kau hanya hantu Tak mungkin kau bisa hidup lagi Semua orang tahu, Mager Wadas
merupakan jurang iblis... Pergi Atau aku mengusir arwahmu dengan keris pusakaku
ini...?" Kala Hitam segera mengibaskan kerisnya dengan gerakan yang aneh
dan cepat Lelaki buntung hanya diam. Wajahnya yang tertutup rambut tetap tenang
menghadapi Kala Hitam yang nampak gusar dan tegang itu.
Lelaki buntung itu mulai memetik dawai-dawai
kecapinya. Seketika terdengar suara irama petikan kecapi itu yang melengking
tinggi. Ketika Ka-la Hitam melesat cepat melancarkan serangan, secepat itu pula
lelaki buntung itu menghentakkan kecapinya ke depan.
"Heaaa..." Wrt Cras Cras Cras Begitu
cepat lelaki buntung itu mendahului gerakan Kala Hitam. Sekali gebrak, wajah
Kala Hitam dan kedua kawannya berantakan, terkena sentakan senar kecapi yang
seperti sengaja diputuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan hidup,
menyabet wajah Kala Hitam hingga mengalami luka parah. Darah meleleh dari kulit
wajah dan sepasang matanya yang tertusuk senar kecapi.
"Aaauuuwww... Waaaa..." Kala Hitam
menjerit-jerit dengan tubuh berputar-putar sempoyongan. Kedua tangannya tetap
menutup wajah yang berdarah ketika tubuh Kala Hitam ambruk ke tanah. Sesaat
kemudian sekujur kulit tubuhnya membiru, lalu tewas.
Lelaki buntung itu tersenyum. Matanya yang tajam
menatap tubuh Kala Hitam sudah tak bernyawa lagi "Aku puas... Satu dari
lima anggota Partai Panca Siwara sudah kubunuh. Ha ha ha..."
***
Tak lama
setelah kepergian si Penyair Maut, dari arah barat muncul dua sosok lelaki.
Dari kejauhan tampak pakaian yang mereka kenakan
adalah seragam prajurit kerajaan. Keduanya terus melangkah ke timur semakin dekat
dengan Lembah Bulak Rawa. Tiba-tiba lelaki gagah yang mengenakan pakaian kuning
kemerahan menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan.
Seperti ada sesuatu yang tengah diperhatikan.
"Kebo Jampe Aku melihat sesosok mayat..,"
ujar lelaki berkumis tipis itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Ah, Kakang Wiryapaksi salah lihat
barangkali," sahut lelaki berpakaian lengan panjang warna abu-abu, yang
dipanggil Kebo Jampe.
"Hmh..., percuma aku seorang senapati kalau
melihat hal yang mencurigakan tidak awas" tukas lelaki berpakaian kuning
kemerahan yang ternyata Senapati Wiryapaksi. Seorang panglima perang yang
paling disegani di Kadipaten Galih Putih. Tanpa menanggapi ucapan Senapati
Wiryapaksi, Kebo Jampe langsung berlari mendahului, karena hatinya membenarkan
apa yang telah dilihat di depan mereka. Adipati Wiryapaksi pun langsung melesat
"Hah? Tak mungkin" sentak Senapati Wiryapaksi dengan mata terbelalak.
"Tak mungkin dia mati Pasti orang yang membunuhnya memiliki ilmu sangat
tinggi," ujar Senapati Wiryapaksi tak percaya.
"Ya Kita tahu siapa Kala Hitam. Dia memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Apalagi dengan Keris Pencabut Nyawa yang ampuh
itu," sahut Kebo Jampe dengan mata menatap mayat Kala Hitam.
"Hanya Pendekar Gila yang bisa mengalahkannya.
Tapi mungkinkah Pendekar Gila murid Singo Edan yang melakukan...?"
Senapati Wiryapaksi lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling Lembah Bulak Rawa
yang sunyi dan sepi. Tak ada tanda-tanda adanya orang lain, selain dirinya dan
Kebo Jampe. Angin kencang berhembus menerpa wajah Senapati Wiryapaksi yang
dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.
Hidung yang mancung mirip paruh burung betet tampak
kembang-kempis. Dan matanya yang besar menatap tajam ke sekelilingnya, terus
mengawasi dengan sikap waspada.
"Nampaknya belum berapa lama kematian Kala
Hitam. Aku merasa orang yang membunuh Kala Hitam belum jauh dari tempat
ini," ujar Panglima Perang Kadipaten Galih Putin yang memang berkomplot
dengan kelompok yang dipimpin Kala Hitam. "Hm...," gumam Kebo Jampe yang
juga nampak tegang. Karena merasakan suasana di Lembah Bulak Rawa yang luas itu
mulai terasa mencekam. Matanya terus menyapu sekeliling tempat itu.
"Sebaiknya kita pergi ke timur. Orang itu
pasti belum jauh...," usul Senapati Wiryapaksi, la-lu melesat ke timur
diikuti Kebo Jampe. Dengan memakai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi,
keduanya meninggalkan tempat mayat Kala Hitam dan temannya tergeletak Langkah
kedua prajurit kadipaten ini tampak seperti terbang. Cepat, hingga terlihat
hanya bayangan kekuningan melesat bagai angin.
Tak lama kemudian Senapati Wiryapaksi dan Kebo
Jampe menghentikan larinya, setelah lepas dari Lembah Bulak Rawa. Cukup jauh
keduanya meninggalkan tempat semula.
Senapati Wiryapaksi menghela napas panjang, matanya
menyapu tempat itu. Ternyata mereka berdua berada di suatu tempat yang belum
pernah diinjak. Keduanya tampak keheranan dan merasa asing.
"Kau tahu apa nama tempat ini Kebo
Jampe?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan suara berat. Matanya terus
menyelidik sekeliling tempat yang masih asing baginya. Sunyi, sepi, dan
berke-san angker. Tempat itu mirip sebuah hutan kecil.
Namun pepohonannya tampak kering dan meranggas.
Kebo Jampe tampak agak tertegun ketika matanya
melihat sebuah kuburan tua di sebelah kanan tempat keduanya berdiri. Anehnya
pula ada asap putih mengepul.
"Aku pun belum pernah tahu tempat ini.
Mungkin kita salah arah," jawab Kebo Jampe,
setelah beberapa saat berpikir. Matanya jelakitan memandangi tempat yang nampak
angker itu.
Ketika Kebo Jampe menoleh ke sebelah kanan.
"Hah" gumamnya keras. Matanya terbelalak lebar memandang ke satu
arah.
"Ada apa Kebo Jampe...?" tanya Senapati
Wiryapaksi dengan kening berkerut Kebo Jampe tak menjawab, dia hanya menunjuk
ke sebelah kanannya. Senapati Wiryapaksi pun tersentak kaget dengan mata
membelalak lebar. Ternyata di dekat sebuah batu nisan kuburan tua itu
samar-samar terlihat bayangan kemerahan berbentuk manusia. Asap putih yang
menyelimuti tempat itu membuat mata Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe tak
dapat memperjelas pandangan mereka.
Kedua prajurit kadipaten itu saling pandang. Lalu
kembali menoleh ke sosok yang berdiri dekat batu nisan kuburan tua tadi.
Tiba-tiba terdengar bunyi petikan kecapi mengiringi
alunan syair. Alunan itu ternyata keluar dari mulut sesosok manusia berukuran
pendek yang berdiri di dekat nisan kuburan tua itu.
Senapati Wiryapaksi dan Kebo Jampe tersentak kaget
serta merasa tegang, mendengar alunan syair itu. Disertai petikan kecapinya.
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan Darah
Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati Harus
Dibayar Pati....
Dalam suasana hati diliputi ketegangan kedua
prajurit kadipaten itu mencabut keris yang terselip di pinggang masing-masing
"Hei Siapa kau? Manusia atau hantu...?" seru Senapati Wiryapaksi
dengan menghunuskan kerisnya. "Mendekatlah, kalau kau memang manusia"
Namun sosok bertubuh pendek berpakaian hitam itu tetap saja bungkam. Dan terus
memainkan kecapinya. Bunyi kecapi semakin lama semakin keras dan melengking
nyaring tinggi.
Memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu angin
menderu begitu kencang.
Wesss...
"Ha ha ha... Hai, Senapati pembawa
kemaksiatan, kekejaman, kemurkaan Hari ini akan kucabut nyawamu....
Bersiaplah" Suara itu terdengar keras menggelegar. Senapati Wiryapaksi dan
Kebo Jampe semakin tak mengerti dan tegang.
"Setan alas... Siapa kau sebenarnya...
Bagaimana kau bisa mengenaliku?" teriak Senapati Wiryapaksi dengan geram.
"Hei, Manusia Durhaka Rupanya kau lupa
peristiwa sepuluh tahun silam di Padepokan Gunung Talang Kurasa kau belum
terlalu tua untuk mengingatnya, Senapati Wiryapaksi...." "Hah,
Padepokan Gunung Talang...?" Senapati Wiryapaksi bergumam lirih sambil
mengerutkan kening. Belum sempat dia dapat mengingat sesuatu. Tiba-tiba....
Wut Wut Wut...
Wrt Cras Cras Begitu cepat bayangan itu berkelebat
menyerang, hingga Senapati Wiryapaksi dari Kebo Jampe tak dapat mengelak.
Seketika itu pula keduanya menjerit setinggi langit. Senapati Wiryapaksi yang
masih bisa menangkis serangan sebisanya juga terluka di tangan kiri. Sedangkan
Kebo Jampe yang sangat terkejut terkena sambaran di wajahnya. Sambil
meraung-raung kesakitan lelaki berpakaian abu-abu itu menutupi wajahnya dengan
telapak tangan.
Senapati Wiryapaksi mengerang kesakitan dan
menjerit-jerit, sambil memegangi tangan kirinya yang ternyata putus.
Belum sempat laki-laki gagah itu memulihkan tenaga
dalamnya, sosok laki-laki buntung yang ternyata si Penyair Maut itu melesat
cepat melancarkan serangan susulan, sambil bergerak cepat tangannya
menyentakkan senar-senar kecapi yang seperti sengaja diputuskan dari tempatnya.
Senar-senar itu bagaikan hidup, menghantam wajah Senapati Wiryapaksi
tercabik-cabik tak karuan. Seperti halnya wajah Kebo Jampe yang kini sudah
tewas dengan tubuh berubah membiru.
"Aaawww..." Senapati Wiryapaksi
menjerit-jerit sambil menutupi wajahnya yang rusak. Matanya pun tertancap senar
kecapi, hingga berlubang. Darah bercucuran keluar dari lubang mata. Begitu pun
dari wajahnya yang tercabik-cabik senar maut itu.
Tubuh Panglima Perang Kadipaten Galih Putih itu
kelojotan lalu ambruk dengan keras ke tanah.
Si Penyair Maut tampak belum puas melihat Senapati
Wiryapaksi belum mati. Dengan melompat dan mengangkat kecapinya, lelaki buntung
itu kembali melakukan serangan.
"Hieaaa..." Jlep Jlep
"Aaakh..." Senapati Wiryapaksi kembali menjerit panjang. Tubuhnya
tertancap ujung kecapi hingga tembus. Lalu lelaki buntung itu mencabut kembali
kecapinya seraya tersenyum puas. Wajahnya yang tak nampak jelas, karena selain
tempat itu diliputi asap, juga tertutup rambut panjang sebatas bahu. Pakaiannya
yang serba merah dan kumal itu menandakan, kalau lelaki buntung itu seakan tak
pernah membersihkan badan.
"Ha ha ha... Tinggal tiga lagi. Cepat atau
lambat aku harus bunuh mereka," lelaki buntung itu tertawa terbahak-bahak.
Lalu dibersihkannya ujung kecapi yang penuh darah dengan ujung bajunya.
Kemudian, lelaki buntung itu melesat pergi meninggalkan kedua mayat. Dan
menghilang begitu cepat. Hal itu menandakan kalau ilmu yang dimiliki lelaki si
Penyair Maut itu sangat tinggi.
Hanya suara tawanya yang menggelegar bagai memecah
bumi terdengar di kejauhan, hingga perlahan-lahan menghilang.
Saat itu mendung menyelimuti bumi. Angin bertiup
sangat kencang, seakan hendak merobohkan pepohonan atau apa saja yang ada di
tempat itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Dan bunyi guntur menggelegar,
menjadikan suasana mencekam dan keruh. Hujan pun turun dengan deras. Tempat yang
semula angker dan menakutkan, kini semakin mengerikan. Bagai suasana alam gaib,
tempat segala hantu dan dedemit.
Tempat itu ternyata tempat semadi lelaki buntung
itu. Karena di situlah kuburan Ki Damar Kiwangi, kakak kandung si Penyair Maut
berada.
Tak seorang pun tahu di tempat itu terletak makam
Ki Damar Kiwangi. Tokoh aliran putih itu dibunuh secara keji oleh kawanan
Gerombolan Partai Panca Siwara. Kelompok tokoh golongan hitam yang anggotanya,
Kala Hitam, Senapati Wiryapaksi, Kidang Pangarsura, Warik Kala, dan Beruk
Singgala.
Kelima tokoh itu sama memiliki ilmu tinggi.
Namun mereka kejam dan durjana. Beruk Singgala
seorang tokoh aliran hitam dari Pulau Andalas.
Dia memiliki ilmu sesat, yaitu ilmu sihir yang
sangat menakutkan. Pangeran Sasanadipa tak luput dari ilmu sihirnya. Hingga
lupa ingatan.
Minuman yang diramu Beruk Singgala dengan
jampi-jampinya sempat membuat pangeran dari Kadipaten Galih Putih itu mudah
dipengaruhi oleh kelompok sesat yang dipimpin Kala Hitam.
Begitu pula yang dilakukan terhadap para pejabat di
Kadipaten Galih Putih. Gerombolan yang dipimpin Kala Hitam telah banyak
mempengaruhi orang-orang dalam pemerintahan dengan berbagai macam hasutan.
Lebih parah lagi, ketika para pembesar pemerintah kadipaten itu berhasil
dicekoki dengan perawan-perawan cantik yang diculik dari desa-desa.
Siasat sepak terjang yang keji dilakukan oleh Kala
Hitam dan para anak buahnya. Yang menjadi korban keganasan mereka tak lain
rakyat jelata. Mereka memeras rakyat dengan berbagai macam pajak dan upeti.
Hasil bumi yang dikerjakan rakyat pun tak luput dari gangguan orangorang Partai
Panca Siwara.
Namun sayang, sejauh itu tak satu pun para pendekar
dan prajurit kadipaten yang berhasil membekuk Kala Hitam dan para begundalnya.
Apalagi keadaan di dalam kadipaten sendiri semakin
dikacaukan oleh hasutan tokoh-tokoh sesat itu. Hanya si Penyair Maut yang telah
memulai Sepak terjangnya berkitar belakang dendam kesumat Lelaki buntung itu
terus berlari meninggalkan tempatnya bersemadi. Hujan deras mengguyur tubuhnya
yang pendek tanpa kaki.
2
Para pejabat di Kadipaten Galih Putih sangat
terkejut ketika mendengar senapati yang paling ditakuti dan berilmu tinggi
terbunuh secara mengenaskan. Para senapati lain merasa cemas.
Sementara itu Pangeran Sasanadipa justru sedang
asyik berpesta pora dengan para selirnya, sambil menonton tarian dibawakan
gadis-gadis penari istana. Suasana meriah pesta yang diselenggarakan oleh
Pangeran Sasanadipa sangat bertolak belakang dengan perasaan duka dan cemas
yang melanda para prajurit. Seolah-olah tak pernah terjadi peristiwa
mengenaskan itu. Bagai terlupakan sama sekali kematian seorang panglima yang
sangat ditakuti itu di benak sang Pangeran. Namun itulah yang sangat diinginkan
sang Pangeran yang moralnya telah dibuat bejat oleh ilmu sihir Beruk Singgala.
Salah seorang dari Partai Panca Siwara yang berniat dapat menguasai kadipaten
dan seluruh desa untuk dijadikan alat menimbun kekayaan dan kekuasaan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala yang saat itu
berada di kadipaten sangat terkejut mendengar berita, Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi terbunuh secara tiba-tiba dalam hari yang sama. "Aku belum
percaya kalau belum melihat mayat Kala Hitam dan Senapati Wiryapaksi..."
ujar Kidang Pangarsura dengan geram sambil mengancam seorang senapati kadipaten
yang hendak melapor pada Pangeran Sasanadipa.
"Apa kau sudah lupa, bahwa pangeran pun tak
akan menanggapi laporanmu. Dia saat ini sedang bersenang-senang. Kau ini
seperti orang baru saja di kadipaten ini?" bentak Warik Kala pada senapati
yang bernama Bantlik Sampit, "Apa kau juga lupa bahwa di kadipaten ini
yang berkuasa Partai Panca Siwara. Sana pergi..." Warik Kala mendorong
tubuh Senapati Bantlik Sampit. Lelaki tua berpakaian lurik itu sudah mabuk karena
terlalu banyak minum tuak dan sihir Beruk Singgala.
"Sebaiknya kematian Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi kita selidiki. Aku tak yakin Ka-la Hitam yang memiliki ilmu setaraf
dengan kita, bahkan lebih tinggi bisa mati segampang itu" bantah Kidang
Pangarsuara masih belum percaya. Dipukul-pukulkan kepalan tangan kanannya ke
telapak tangan kiri. Lalu mulutnya mendengus sambil menggertakkan gigi,
seakan-akan ada kegeraman yang ditahan dalam hatinya.
"Kalau memang benar, orang yang membunuh kedua
kawan kita itu pasti bukan tokoh sembarangan," tukas Warik Kala cemas
sambil mengerutkan kening. Sepertinya dia sedang berpikir keras, mencari
jawaban siapa yang membunuh kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di ruang pesta, nampak suasana
semakin bertambah gila. Mata sang Pangeran yang terpengaruh sihir Beruk
Singgala tampak membelalak lebar. Lalu disuruhnya salah seorang penari paling
depan dan cantik datang ke tempatnya.
Tanpa lama-lama lagi penari yang ditunjuk Pangeran
Sasanadipa itu mendekat sambil tersenyum-senyum manja.
Begitu berada di hadapannya sang Pangeran langsung
memeluknya. Tangannya menggeluti penari cantik bertubuh sintal itu. Para
selirnya hanya tersenyum-senyum dan bahkan nampak senang.
Akhirnya sang Pangeran membawa penari ini ke
kamarnya, sambil terus menciumi seluruh tubuhnya. Dan keempat wanita selirnya
mengikuti sang Pangeran yang menggandeng penari itu ke dalam kamarnya.
Begitu Pangeran Sasanadipa menghilang masuk ke
kamarnya, para pengawal, senapati, dan orang-orang penting kadipaten, langsung
mengambil pesanan para penari lainnya. Para penari yang masih muda-muda itu tak
menolak, justru nampak bergembira. Tubuh mereka diciumi dan dirangkul oleh para
pengawal dan senapati.
Kemudian mereka bergumul di ruangan pesta itu
sesuka hati, tanpa ada rasa malu satu sama lainnya. Kadipaten Galih Putih yang
dulu terkenal dan disegani, telah berubah menjadi tempat maksiat. Setelah
dikuasai Partai Panca Siwara yang sengaja membuat hancur kekuatan kadipaten
itu.
"Kita harus cepat memberi tahu Danur Saka dan
Beruk Singgala, sebelum menyelidiki, siapa pembunuh Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi" ujar Warik Kala mendesak Kidang Pangarsura. "Benar. Tapi
di mana mereka sekarang berada? Terutama Beruk Singgala. Aku khawatir dia
pulang ke Pulau Andalas" tukas Kidang Pangarsura cemas. Lelaki yang
bertubuh besar dan berkumis tebal, memperlihatkan perasaan tak tenang. Matanya
yang merah menatap ke sana kemari karena gelisah.
"Kita cari saja. Atau kita temukan Danur Saka
dulu. Siapa tahu Danur Saka menerima pesan dari Beruk Singgala, di mana harus
mencarinya," ujar Warik Kala memutuskan.
Kidang Pangarsura manggut-manggut, membenarkan usul
Warik Kala.
"Benar. Ayo, kita berangkat Biar saja pangeran
edan itu sibuk dengan perempuanperempuan gundiknya" jawab Kidang Pangarsu-ra.
Yang kemudian mengajak Warik Kala pergi dari Kadipaten Galih Putih.
Kedua anggota Partai Panca Siwara tak mempedulikan
Pangeran Sasanadipa yang tengah bercumbu dengan seorang penari ditemani keempat
selirnya.
Tak lama kemudian Kidang Pangarsura dan Warik Kala
sudah sampai di luar lingkungan kadipaten. Keduanya menggebah kuda tunggangan
mereka meninggalkan Kadipaten Galih Putih.
"Aku penasaran Siapa yang berani membunuh Kala
Hitam..." sungut Kidang Pangarsura sambil terus melangkah cepat "Aku
juga ingin tahu bagaimana muka orang yang mampu menghabisi nyawa Kala Hitam.
Benar-benar berilmu tinggi orang itu...," sahut Warik Kala bernada geram
"Kalau begitu kita harus mempercepat langkah, agar segera sampai di tempat
Danur Saka. Ayo, heps..." "Heaaa..."
***
Siang itu
cuaca begitu terik. Sang Surya memancarkan sinarnya bagai membakar kulit
sepasang muda-mudi yang tengah berjalan memasuki Lembah Bulak Rawa. Angin
berhembus kencang menerpa keduanya. Namun hawa tetap terasa sangat panas.
"Kakang Sena, sebaiknya kita cepat mencari
desa terdekat. Aku haus," ujar gadis cantik berpakaian putih dengan pedang
tersampir di punggungnya. "Heran, panas sekali udara siang ini."
Gadis itu mengeluh sambil menyeka keringat di keningnya.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular yang
dipanggil Sena cengengesan. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala sambil
mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hah?" pemuda berambut gondrong yang
ternyata Sena Manggala terkejut ketika tiba-tiba pandangannya membentur
sesuatu.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis cantik itu
sambil mengerutkan kening.
"Lihat sana, Mei..," sahut Sena sambil
menunjuk ke satu arah. Lalu kembali menggarukgaruk kepala sambil mulutnya
cengengesan, mirip orang tidak waras.
"Hah? Mayat...?" Mei Lie memandang ke
tempat yang ditunjuk Sena.
Lalu tanpa banyak bicara Sena melangkah menghampiri
sosok mayat yang tergeletak sekitar sepuluh tombak di depannya. Diikuti oleh
Mei Lie.
Dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan mulut
cengengesan Sena memperhatikan sosok mayat berpakaian hitam di hadapannya.
Kemudian dua tombak jaraknya dari tempat Sena, Mei Lie melihat dua, sosok mayat
terbalut pakaian rompi abu-abu.
"Wajah ketiga mayat itu hancur. Lihat mata
mereka seperti diculik Hhh..., benar-benar tindakan keji" gumam Mei Lie
seraya menggelenggelengkan kepala.
Sena pun menggeleng-geleng, lalu cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengenal mayat-mayat itu. Tapi kalau
dilihat dari pakaian mayat yang di sebelah sana," Sena menunjuk mayat di
sebelah kirinya yang mengenakan pakaian prajurit warna abu-abu. "Kalau aku
tak salah, orang-orang yang mati ini dari Kadipaten Galih Putih."
"Lalu siapa yang membunuh mereka ini?" tanya Mei lie.
"Ah ah ah..., mana aku tahu. Tapi rasanya
keadaan Kadipaten Galih Putih sedang menghadapi kehancuran..,," ujar Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang Sena tahu?"
"Pernah kudengar dari seorang saudagar yang biasa mengantarkan pesanan
pakaian ke kadipaten. Kau ingat, ketika bermalam di penginapan di Desa Watu
Congot kemarin?" tutur Sena dengan mulut cengengesan persis orang gila.
Namun Mei Lie tetap menanggapi dengan sungguh.
Dirinya telah memahami benar bagaimana kebiasaan
kekasihnya.
"Kakang yakin dengan berita itu...?" Sena
hanya cengar-cengir dana menggaruk-garuk kepala.
"Sebaiknya kita kubur mayat-mayat ini.
Kasihan..." kata Sena.
Lalu segera Sena dan Mei Lie melakukan penguburan
ketiga mayat itu "Semoga arwah mereka lebih tenang di dalam kubur..."
gumam Sena setelah selesai mengubur mayat Kala Hitam, Kebo Kluwuk dan Rodoprana
Terik matahari masih saja menyengat kulit kedua muda-mudi itu. Keduanya
meneruskan perjalanan ke sekitar.
"Mudah-mudahan ada desa di sebelah sekitar
lembah ini...,'' gumam Sena.
Pada saat yang bersamaan, Kidang Pangarsura dan
Watik Kala sedang dalam perjalanan mencari Danur Saka. Tanpa menghiraukan
jalanan terjal berbatu mereka terus menggebah kuda masing-masing agar segera
sampai ke tempat tujuan. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Derap
kaki kuda begitu keras menapaki jalan yang berkelok dan naik turun itu. Dan
ketika kuda-kuda mereka melewati Lembah Bulak Rawa.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera menghela
tali kendali. Kuda pun berhenti.
"Heaaah Herrr..." "Mungkin itu mayat
Kala Hitam dikuburkan di sana" ujar Kidang Pangarsura sambil menunjuk
gundukan tanah, menyerupai kuburan yang masih baru.
"Mungkin," sahut Warik Kala. Lalu mereka menjalankan
kuda menuju tempat mayat Kala Hitam dan kedua temannya dikuburkan.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala segera melompat
turun dari kudanya. Langsung memeriksa kuburan baru itu.
"Perasaanku mengatakan benar ini pasti kuburan
Kala Hitam Ayo, kita bongkar" kata Kidang Pangarsura.
"Tunggu dulu Ini ada tiga kuburan. Yang mana
kira-kira mayat Kala Hitam…?" cegah Warik Kala. "Ahhh Bongkar saja
semuanya Kita kan ingin kenyataan. Apakah benar kawan kita itu benar telah
mati" sergah Kidang Pangarsura.
Lalu dengan menggunakan tenaga dalam mereka, tak
memakan waktu lama, kuburankuburan itu telah terbongkar.
"Aneh Rasanya tak mungkin. Kala Hitam yang
memiliki ilmu cukup tinggi benar-benar man" gumam Warik Kala. Setelah
melihat mayat Kala Hitam yang mukanya rusak. Mengerikan.
"Kurang ajar Siapa pun yang melakukannya, akan
kubalas" dengus Kidang Pangarsura dengan geram. Matanya membelalak lebar.
Giginya beradu, menimbulkan gemeretak.
Matanya liar menyapu sekeliling tempat itu. Lalu
pandangannya terhenti pada satu arah.
"Warik Kala, kau lihat bekas telapak kaki yang
menuju ke sekitan. Mungkin orang itu yang membunuh kawan kita. Ayo kita
kejar..." kata Kidang Pangarsura dengan nada geram.
Segera keduanya melompat ke atas punggung kuda. Dan
mereka memacu kudanya dengan cepat ke sekitan.
"Hea Hea..."
***
Sena dan Mei
Lie baru saja keluar dari sebuah kedai, habis istirahat dan sekadar mengisi
perut. Tiba-tiba para penduduk Desa Serangan dikejutkan oleh dua orang berkuda
yang tak lain Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Derap kaki kuda yang keras dan
kencang membuat orangorang yang sedang berlalu lalang di jalan utama desa itu
panik dan berlarian menghindar.
Apalagi mereka yang mengenali kedua orang-orang itu
nampak mencibir dengan hati diliputi rasa cemas. Karena mereka tahu bahwa orang
berkuda itu dari
aliran hitam yang menguasai Kadipaten Galih Putih
dengan cara licik dan kotor. "Herrr, herrr..." Kidang Pangarsura
menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Begitupun yang dilakukan Warik Kala.
Sambil memandang sekeliling desa yang dilewati, mereka membiarkan kuda berjalan
pelan. Mata Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus menyapu ke kiri dan kanan
dengan pandangan tajam dan bengis. Para penduduk desa nampak acuh dan
menghindar.
Mei Lie yang melihat situasi demikian, hanya
tersenyum sinis. Sena menggaruk-garuk kepala sambil cengai-cengir memandangi
Kidang Pangarsura dan Warik Kala.
"Hei... Siapa yang merasa menguburkan mayat
sahabatku yang mati di Lembah Bulak Rawa?" seru Kidang Pangarsura dengan
suara penuh geram. Matanya jelakitan ke sana kemari.
Para penduduk desa yang mendengar merasa heran dan
aneh dengan pertanyaan Kidang Pangarsura itu. Mereka saling pandang dan
mengangkat bahu. Ada pula yang menggeleng kepala.
Sebagian lagi tampak tak peduli dengan ocehan
Kidang Pangarsura.
"Hei Kau berhenti" bentak Kidang
Pangarsuara yang melihat seorang lelaki setengah baya dengan tak peduli
ngeloyor pergi.
Lelaki setengah baya yang ternyata Ki Suko Kusumo,
Kepala Desa Serangan, menghentikan langkahnya. Lalu membalik perlahan seraya
menatap Kidang Pangarsura dan Warik Kala, dengan menyipitkan kedua matanya.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Lurah
Suko Kusumo.
"Bangsat Ditanya malah kau bertanya"
Kidang Pangarsura marah. Kemudian bergerak hendak menghajar Ki Lurah Suko
Kusumo dengan cambuknya. Namun cambuk itu belum sempat menyentuh tubuh Ki Lurah
Suko Kusumo.
Karena mendadak sesosok wanita muda melompat, dan....
"Yeaaa..." Prattts "Hah?"
Kidang Pangarsura tersentak kaget, melihat cambuknya terlepas.
Belum sempat Kidang Pangarsura dan Warik Kala
mengenali siapa penyerangnya, wanita berambut panjang itu sudah membentaknya.
"Hei Jangan sembarangan main cambuk orang yang
tak tahu apa-apa tentang mayat sahabatmu itu Akulah yang menguburkan mayat
sahabatmu itu. Sekarang kau mau apa...?" Gadis itu bahkan berani menantang
Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Matanya yang bening dan lembut menatap wajah
kedua lelaki yang duduk di punggung kuda itu.
"Bedebah Siapa kau, Wanita Bawel...
Kaukah yang membunuh Kala Hitam?" bentak
Kidang Pangarsura dengan geram. Lalu melompat dari atas punggung kudanya,
disusul oleh Warik Kala. Keduanya berdiri tegap di hadapan Mei Lie "Ha ha
ha... Rupanya kalian orang-orang picik dan rendah" maki Mei Lie sambil
mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.
"Hah?" Kidang Pangarsura dan Warik Kala
tersentak kaget ketika melihat Pedang Bidadari yang digenggam tangan kanan Mei
Lie. Mereka tahu kalau pedang yang memancarkan sinar kuning kemerah-merahan itu
Pedang Bidadari. Dan hanya si Bidadari Pencabut Nyawa kekasih Pendekar Gila
yang memiliki "Pedang Bidadari...?" desis Kidang Pangarsura dan Warik
Kala lagi dengan mata terbelalak seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Ki Lurah Suko Kusumo dan para warga Desa Serangan yang berada di tempat itu
tampak kaget menyaksikan pedang Mei Lie yang bersinar kuning kemerahan-merahan.
"Hi hi hi... Lucu, kalian berdua ini lucu. Hi
hi hi... mau apa kalian, Badut?" celetuk Sena yang melangkah maju sambil
menggaruk-garuk kepala mengejek Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Kedua orang
itu semakin terkejut Wajah mereka saling tatap diliputi ketegangan ketika
mengenali siapa pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila itu. Sementara
itu Ki Lurah Suko Kusumo yang rupanya juga telah mengenali pemuda berompi dari
kulit ular itu, tampak tersenyum lega.
"Pendekar Gila...?" pekik Kidang
Pangarsura. Wajahnya yang semula garang dan bengis berubah seketika. Tersungging
senyum kecut di bibirnya. "Hei Sekarang kau sudah berhadapan dengan orang
yang menguburkan mayat sahabatmu. Jawab, apa maumu..." ujar Mei Lie ketus,
sambil menuding Kidang Pangarsura dengan Pedang Bidadari-nya.
"Hm..., mak..., maksud kami hanya ingin tahu
siapa yang membunuh sahabatku itu...," jawab Kidang Pangarsura bimbang.
"Hi hi hi... Lucu Kalau hanya itu, kenapa kau
berbuat kasar sama orang yang tak tahumenahu soal mayat sahabatmu itu? Aku
kurang suka dengan tindakanmu itu, Kisanak.... Terus terang aku
tersinggung...," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala saling pandang.
Mukanya memerah. Marah. Namun Warik Kala yang lebih memakai otak, dari pada
otot segera menjawab.
"Maaf... Kami tak ingin bentrok dengan,
Kisanak. Kami berdua hanya ingin mencari pembunuh sahabat kami. Terima kasih
atas kerelaan pendekar mau mengubur mayat Kala Hitam sahabat kami itu...."
"Hm... Baiklah, kalau memang kalian berdua mengerti bahwa aku dan Kang
Sena bukan pembunuh yang kau cari. Sekarang cepat kalian tinggalkan desa ini
Aku paling tak suka melihat orang-orang Desa Sarangan ini ketakutan dan
cemas" kata Mei Lie ketus.
Kidang Pangarsura menahan marah. Giginya gemeretak
beradu. Warik Kala menenangkan, seraya berkata lirih, "Tenang, Kawan.
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa bukan pembunuh Kala Hitam. Sebaiknya
kita cepat pergi dari desa ini. Tujuan kita mencari pembunuh itu. Urusan sakit
hati pada Pendekar Gila dan wanita itu kita atur selanjutnya...." Kidang
Pangarsura memaksakan diri untuk tersenyum mengangguk.
"Maafkan kami... Ayo pergi" kata Kidang
Pangarsura dengan mengajak Warik Kala untuk segera pergi dari tempat itu.
"Her, her..." "Hea Heaaa..."
Kedua kuda yang ditunggangi Kidang Pangarsura dan Warik Kala dengan cepat
meninggalkan Desa Sarangan. Pendekar Gila dan Mei Lie memandangi dari belakang.
Pendekar muda itu terus tertawa-tawa cekikikan sambil mengorek kupingnya dengan
bulu burung yang selalu disimpan di dalam ikat pinggangnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar.... Juga
Nini...," ucap Ki Lurah Sumo Kusumo sambil menjura. Begitu juga para
penduduk desa yang merasa senang dengan kehadiran sepasang pendekar muda itu di
desa mereka.
"Sama-sama, Ki. Sudah kewajiban kami berdua
untuk menolong orang-orang lemah," jawab Sena seraya tersenyum. "Tapi
siapa sebenarnya kedua orang tadi, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mungkin Ki Lurah bisa menjelaskan...,"
tambah Mei Lie menyela ucapan Pendekar Gila.
Ki Lurah Sumo Kusumo manggut-manggut seraya menatap
dengan senyum pada Sena dan Mei Lie.
"Hm..., sebaiknya Tuan berdua singgah dulu ke
rumah kami Nanti saya ceritakan sedikit tentang kedua orang tadi...," kata
Ki Lurah Sumo Kusumo kalem.
Pendekar Gila melirik wajah Mei Lie, sambil terus
mengorek telinganya dengan bulu burung.
Seakan dirinya meminta pertimbangan pada Mei Lie.
Ternyata gadis itu menganggukkan kepala, tanda setuju.
"Baiklah...," jawab Sena dengan mulut
cengengesan.
"Kalau begitu mari, silakan..." kata Ki
Lurah Sumo Kusumo memberi jalan pada Sena dan Mei Lie dengan ramah. Begitu juga
dengan penduduk desa. Tampaknya mereka telah mengetahui tentang keberadaan
Pendekar Gila dan kekasihnya, si Bidadari Pencabut Nyawa. Hal itu tak
mengherankan, karena sepak terjang Pendekar Gila sebagai pendekar penegak
keadilan telah dikenal tidak hanya oleh kalangan rimba persilatan.
***
Ki Lurah
Sumo Kusumo menceritakan secara singkat pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
Bahwa kedua orang berkuda itu anggota Partai Panca
Siwara yang kini menguasai Kadipaten Galih Putih.
"Aha Lalu siapa pembunuh kawan orangorang
sesat itu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulut masih juga
cengengesan.
"Ya" sela Mei Lie, sebelum Ki Lurah Sumo
Kusumo menjawab. "Tadi Ki Lurah bilang bahwa Ki Damar Kiwangi punya adik
kandung. Apa dia juga mati dibunuh Partai Panca Siwara...?" "Saya
belum tahu pasti karena cerita yang tersiar simpang siur. Ada yang menceritakan
bahwa adik Ki Damar Kiwangi yang bernama Anjang Kawiwangi mati setelah dilempar
ke jurang.
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa Anjang
menghilang begitu saja...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo menjelaskan. Kepala
lelaki setengah baya itu menggeleng-geleng seakan tidak yakin pada apa yang
diceritakannya sendiri.
Pendekar Gila manggut-manggut, kemudian
menggaruk-garuk kepalanya. Mei Lie mengerutkan kening. Ditatapnya wajah Ki
Lurah Sumo Kusumo sejenak lalu tanyanya, "Kalau saya boleh tahu apa Ki
Lurah tahu, siapa kira-kira pembunuh tokoh Partai Panca Siwara itu?"
"Hm..." gumam Kepala Desa Sarangan itu sambil mengerutkan kening.
Sejenak lelaki setengah baya itu mengingat-ingat sesuatu. "Ya. Kami dengar
dari orang-orang yang pernah melihat, bahwa ada seorang lelaki berkaki buntung
yang tiba-tiba muncul di wilayah ini. Diduga keras lelaki buntung itulah pelaku
pembunuhan terhadap Senapati Wiryapaksi dan Kala Hitam..." "Lelaki
buntung...?" gumam Mei Lie dengan kening berkerut, kaget Sementara
Pendekar Gila seakan tak peduli dengan lelaki buntung yang disebut Ki Lurah
Sumo Kusumo. Dia tetap dengan tingkahnya yang lucu. Cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Sena kemudian melirik sebentar pada MeiLie. Dan Mei
Lie mengerti maksud lirikan Sena itu. "Mungkinkah lelaki buntung itu ada
hubungannya dengan adik Ki Damar Kiwangi, yang belum jelas mati atau... masih
hidup?" gumam Mei Lie pelan sekali seperti bicara pada diri sendiri.
Ki Lurah Sumo Kusumo tampaknya mendengar gumaman
Mei Lie.
"Mungkin juga adik Ki Damar Kiwangi masih
hidup. Ah, tapi tak mungkin Kelima tokoh sesat itu telah melemparkannya ke
jurang Mager Wadas setelah dihajar sampai setengah mati....
Dan nyatanya hingga sekarang tak pernah terdengar
lagi nama Anjang Kawiwangi" Mei Lie menyipitkan kedua matanya, seolah-olah
tengah berusaha memecah dan memahami penjelasan Kepala Desa Sarangan itu.
"Apa Ki Lurah menyaksikan kejadian
itu...?" tanya Sena tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Sena itu, Ki Lurah Sumo Kusumo
mengerutkan kening. Sejenak dia menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun yang lalu. Sebab saya
sendiri termasuk murid dari Padepokan Gunung Talang. Bahkan hampir semua
penduduk Desa Sarangan ini mengabdi pada Ki Damar Kiwangi yang bijaksana dan
pembela kaum lemah. Seperti Tuan Pendekar saat ini," Ki Lurah Sumo Kusumo
menghentikan ucapannya sebentar dan menghela napas. "Namun sejak Padepokan
Gunung Talang dihancurkan Partai Panca Siwara keadaan kian memburuk. Penduduk
desa yang sebelumnya hidup aman dan sentosa, kini selalu merasa dicekam
ketakutan. Pemerasan, pemaksaan, pembunuhan, bahkan penculikan terjadi di
mana-mana.
Tidak hanya di Desa Sarangan ini. Hampir semua desa
yang masih dalam lingkungan Kadipaten Galih Putih menjadi cengkeraman Partai
Panca Siwara." Mendengar cerita Ki Lurah Suko Kusumo Pendekar Gila dan Mei
Lie mengangguk-anggukkan kepala. Sena kemudian menggarukgaruk kepala lagi.
"Ki Lurah, kalau saya boleh tahu, di manakah
letak Padepokan Gunung Talang?" tanya Mei Lie kemudian. Mendengar itu Sena
menoleh kepada Mei Lie.
"Tak Jauh dari Lembah Bulak Rawa. Tepatnya di
sebelah utara lembah itu. Tempatnya dulu cukup nyaman, tapi sekarang menjadi
serem dan angker. Orang-orang Desa Sarangan tak pernah datang ke sana...,"
kata Ki Lurah Sumo Kusumo dengan wajah keruh.
Sena dan Mei Lie saling pandang. Lalu berucap
terima kasih pada kepala desa itu. Mereka tak lagi bicara. Suasana seketika berubah
hening.
Sementara di luar matahari semakin condong ke
barat. Sinarnya pun mulai keemasan.
3
Dalam perjalanan menuju kediaman Danur Saka, Kidang
Pangarsura dan Warik Kala terus dilanda rasa cemas. Kegalauan tergambar jelas
di wajah kedua lelaki bertampang bringas itu.
Kuda-kuda itu dipacu kencang menelusuri tepian
sungai yang airnya cukup deras. Kudakuda itu terus dipacu untuk menyeberangi
sungai yang ternyata dangkal. Bebatuan tampak tersembul di sana-sini, memecah
arus menjadi beriakriak. Sampai di seberang, tiba-tiba Kidang Pangarsura
berkata agak kesal pada Warik Kala.
"Seharusnya kemarin kita coba ilmu Pendekar
Gila dan gadis Cina itu Aku merasa diremehkan..." Kidang Pangarsura tak
menyembunyikan wajahnya yang bersungut-sungut karena kesal. "Sebenarnya
aku pun merasa ingin menjaj-al kesaktian Pendekar Gila. Tapi tujuan kita yang
pertama harus dituntaskan terlebih dahulu. Kita harus bersiasat. Orang seperti
Pendekar Gila harus dilawan dengan tipu muslihat" tukas Warik Kala coba
meredakan dengan kata-katanya.
"Pintar juga kau, Warik Ha ha ha... Herrr
Heaaa..." Kidang Pangarsura langsung menggebah kudanya, disusul Warik
Kala.
Tanpa diketahui oleh mereka sesosok bayangan
berkelebat menguntit dari belakang. Ketika memasuki Hutan Roban. Sosok bayangan
itu bagai seekor kera, melompat-lompat dari pohon satu ke pohon lain. Begitu
cepat gerakannya, sehingga yang tampak hanya bayang-bayang kehijauan seperti
melayang terbawa angin.
"Ho..." Kidang Pangarsura mendadak
menghentikan lari kudanya. Hal itu membuat Warik Kala agak kaget dan cepat
menarik tali kekang kudanya. Hingga kuda itu meringkik.
"Hiiieee..." "Ho, hop Ada
apa...?" tanya Warik Kala tak mampu menutupi keheranannya.
"Apa telingamu tak mendengar suara aneh? Kita
diikuti orang" jawab Kidang Pangarsura setengah berbisik.
Warik Kala menelengkan kepala seakan berusaha
mendengar. Matanya liar menyapu sekeliling Hutan Roban yang terkenal angker.
Dan menurut kabar, banyak makhluk halus menghuni hutan itu.
"Aku menduga rasanya dia bukan manusia. Mungkin
hantu atau makhluk halus.." gumam Warik Kala dengan suara agak tertahan.
"Hi hi hi... Hi hi hi... Kau manusiamanusia
buruk mau ke mana? Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
tertawa nyaring. Suaranya seperti tawa kuntilanak. "Hah?" sentak
Kidang Pangarsura. Belum sempat kedua lelaki bermuka bringas itu dapat menguasai
keadaan. Tiba-tiba...
Swing Swing Swing...
Beberapa senjata rahasia berupa tusuk kode beracun
meluncur bagai anak panah ke arah kedua lelaki itu. Kidang Pangarsura dan Warik
Kala cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah, lalu bergulingan. Secepat
itu pula mereka mencabut senjata masing-masing. Kidang Pangarsura dengan
senjata pedang, sedangkan Warik Kala dengan golok.
Keduanya menangkis tusukan konde beracun itu.
Trang Trang Trang...
Dar Darrr...
Tusukan konde yang tertangkis dan menghantam
pohon-pohon yang ada di hutan itu menimbulkan ledakan dahsyat. Beberapa pohon
tumbang setelah terbakar.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget,
melihat keampuhan tusukan konde itu.
"Hi hi hi... Ini baru permainan kecil. Baru
pembukaan, Manusia-manusia Kotor... Ha ha ha... Hi hi hi..." kembali suara
tanpa wujud itu menggelegar keras bagai memecah kesunyian Hutan Roban.
"Benar Bukan manusia yang kita hadapi, Warik
Mungkin dedemit Hutan Roban ini..." gumam Kidang Pangarsura. Wajahnya kini
tampak berkeringat. Karena satu tusukan konde, hampir saja menjebol perutnya
yang besar. Kalau saja ta-di dia tidak cepat menangkis sambil bergulingan,
remuk redamlah tubuhnya meledak seperti pohon-pohon itu.
"Si... siapa kau? Manusia atau hantu...?"
tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Hei... Kalau kau manusia, Perempuan Sejati,
keluarlah Hadapi aku..." seru Kidang Pangarsura yang cepat emosi dan tak
bisa menguasai diri itu.
Baru saja Kidang Pangarsura selesai berseru,
tiba-tiba.....
Srakkk...
Seorang wanita berparas cantik muncul di hadapan
mereka.
"Kau memanggilku...?" tanya wanita itu
dengan senyum genit. Matanya bening dan memiliki daya tarik. Bibirnya yang
merah tampak tipis dan indah. Ditambah lagi tubuhnya yang padat, sintal,
terbalut kulit berwarna kuning langsat Kedua lelaki beringas hanya bisa melongo
memandangi wanita itu. Tubuh wanita itu hanya ditutupi kain warna hijau sampai
di dada, seperti kemben. Sedang bagian bawah memakai kain hitam, sedikit di
atas lutut. Sehingga jika wanita itu sedikit saja mengangkat kaki akan terlihat
jelas pahanya yang mulus.
"Hei Kenapa kau diam seperti orang
bisu...?" tanya wanita itu dengan diiringi senyum genit. "Si... siapa
kau? Manusia atau hantu...?" tanya Warik Kala dengan suara sedikit
tertahan.
"Kalian ini memang manusia-manusia buta Kalau
aku hantu, lantas kalian mau apa? Dan kalau aku manusia seperti
kalian...?" jawab wanita itu dengan suara nyaring.
Kidang Pangarsura yang sejak tadi terkesima
menyaksikan kemolekan tubuh dan paras cantik wanita itu, menyelak, "Kalau
kau manusia biasa, aku ingin mengawinimu..." "Apa kau tak salah? Dan
aku ingin tahu apa ucapanmu itu bisa dipercaya...?" tukas wanita aneh itu
dengan genit. Tangannya yang kiri perlahan dengan sengaja mengangkat ke atas
kainnya. Hingga hampir pangkal paha. Mendadak mata kedua lelaki itu berbinar-binar.
Dan menelan ludah.
Kidang Pangarsura yang buas dengan wanita, tak
pikir panjang lagi, segera ia menubruk dan memeluk wanita itu dengan penuh
nafsu.
Anehnya wanita itu tak berusaha menolak.
Bahkan mendesah dan tertawa cekikikan. Warik Kala
yang melihat keanehan dari tawa wanita itu mulai merasakan bulu kuduknya
berdiri. Merinding. Ingin dia memberi tahu Kidang Pangarsura, tapi mulutnya
terasa kelu, tak dapat dibuka. Padahal telah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Aneh sekali. Entah ilmu apa yang dipakai wanita
cantik itu.
Pada saat Kidang Pangarsura semakin lupa daratan,
perlahan-lahan wajah wanita yang tadinya cantik itu, berubah sangat
menyeramkan.
Keriput dan pucat. Warik Kala terbelalak kaget
Mulutnya ternganga lebar seperti hendak berteriak, tapi sulit.
"Hah? Hantu...?" pekiknya lirih. Lalu
segera berlari sekuat tenaga meninggalkan Kidang Pangarsura yang masih mendekap
tubuh wanita itu sambil menciumi buah dadanya.
Warik Kala melompat ke punggung kuda dan cepat
melarikannya. Tanpa menoleh lagi Warik Kala meninggalkan Hutan Roban.
Sementara itu, Kidang Pangarsura mulai merasakan
keanehan. Tubuh wanita itu tiba-tiba terasa dingin sekali. Dan menyusul segera
Kidang Pangarsura mengangkat mukanya yang sejak tadi menyusup di dada wanita
itu.
"Hah...? Aaa... Han... hantuuu..." Kidang
Pangarsura terkejut bukan main. Dia berusaha lari. Namun aneh ada kekuatan
membelenggu hingga tak bisa mengangkat kakinya.
"Hi hi hi... Jawab pertanyaanku, sebelum
ajalmu tiba Apa kau dari Partai Panca Siwara?" tanya wanita yang wajahnya
sudah berubah menyeramkan itu.
Kidang Pangarsura tak berani berbohong.
Sekujur tubuhnya yang sudah bermandi keringat
gemetaran. Dan mukanya pucat pasi.
"Kau memang manusia rendah dan licik Ternyata
ilmumu tak kuasa menandingiku. Hi hi hi... Dan kini terimalah ajalmu
Grrr..." "Aaauwww..." Kidang Pangarsura menjerit-jerit dan
mendadak suaranya berhenti. Jiwa Kidang Pangarsura melayang.
Rupanya wanita itu mencekik dengan kuku-kukunya
yang tiba-tiba memanjang dan runcing. Lalu mencucup ubun-ubun Kidang
Pangarsura. "Hi hi hi... Kakang Brajasukmana, aku telah membalaskan
dendammu. Hi hi hi...." Wanita itu kemudian nampak puas, darah menetes dan
membasahi tangannya. Perlahanlahan wajahnya kembali berubah seperti semula.
Cantik dan sensual. Itulah ilmu ‘Perubah Raga’,
milik wanita yang dikenal dengan nama Dewi Sukmalelana.
"Sebaiknya mayat ini kukirim ke kadipaten
sekarang juga," gumamnya lirih. Setelah berpikir, Dewi Sukmalelana melesat
bagai terbang, sambil membopong mayat Kidang Pangarsura.
***
Ketika Dewi
Sukmalelana sedang berlari kencang sambil membopong mayat Kidang Pangarsura,
tiba-tiba berpapasan dengan sepasang muda-mudi yang sedang menuju arah
berlawanan. Mereka tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Berhenti..." seru Mei Lie sambil
mengangkat tangan kirinya ke depan. Sedang Pendekar Gila hanya cengengesan
menatap Dewi Sukmalelana yang nampak tenang-tenang saja. Tak ada rasa kesal
atau marah.
"Hi hi hi... Ada perlu apa kalian
menghentikanku...?" tanya Dewi Sukmalelana dengan senyum genit. Matanya
melirik wajah Sena, membuat Mei Lie melebarkan mata, cemburu.
"Hei... Aku yang bicara, bukan dia" seru
Mei Lie ketus.
"Hi hi hi... Oooh rupanya pemuda tampan dan
gagah itu kekasihmu. Maafkan aku Bukan maksudku membuatmu cemburu. Tapi jujur
saja, pemuda pendampingmu itu membuatku terpesona...," ujar Dewi
Sukmalelana tanpa rasa malu sedikit pun.
"Huh Mulutmu terlalu bawel. Perlu dikasih
pelajaran..." Selesai berkata begitu, Mei Lie segera bergerak hendak
menyerang. Namun Dewi Sukmalelana segera berkata, memohon maaf.
"Tunggu, sabar Sekali lagi maafkan aku.
Bukankah kalian berdua Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa? Sepasang pendekar yang sangat kesohor di bumi Jawa Dwipa
ini...?" kata Dewi Sukmalelana dengan nada bersahabat. Mulutnya tersenyum
manis.
Mei Lie dan Sena saling pandang.
"Ah ah ah... Jangan sebut kami pendekar Kita
berdua hanya manusia biasa. Seperti kamu.
Tapi bagaimana kau bisa mengenal kami...?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hhh..., tak terlalu sulit untuk mengenalimu,
Pendekar. Pertama, tingkahmu yang aneh.
Kedua, aku melihat suling berkepala naga terselip
di ikat pinggangmu...," jawab Dewi Sukmalelana bangga. Lalu matanya
berkerling pada Sena.
Membuat Mei Lie bertambah kesal dan cemberut
"Sungguh jeli matamu...," puji Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tentunya kau bukan perempuan sembarangan. Dan kalau aku boleh tahu, untuk
apa kau membawa orang itu...?" "Ya. Tentu kau telah melakukan
kejahatan.
Telah membunuh orang itu...," tukas Mei Lie
langsung dengan nada ketus.
"Benar. Aku telah membunuh orang itu...,"
jawab Dewi Sukmalelana dengan tegas dan mantap. Mei Lie mengerutkan kening.
"Kalau begitu kau yang membunuh
partai...." Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-katanya, Dewi Sukmalelana
cepat menyelak.
"Partai Panca Siwara, maksudmu...?"
"Ya" jawab Mei Lie singkat "Lantas, kenapa kau bunuh orang
itu...?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggarukgaruk kepala.
"Maaf Mungkin lain kali aku dapat menjawab
pertanyaanmu. Aku harus segera pergi..." ujar Dewi Sukmalelana,
"Kumohon jangan ganggu aku Aku tak ingin bentrok dengan kalian.
Permi-si" Selesai berkata begitu, Dewi Sukmalelana melesat cepat bagai
terbang, meninggalkan Pendekar Gila dan kekasihnya. Mei Lie yang sejak ta-di
merasa kesal dan sedikit cemburu dengan tingkah laku, serta ucapan Dewi
Sukmalelana, ingin mengejarnya. Namun Sena mencegah.
"Sabar, Mei Jangan turuti perasaanmu Rencana
kita untuk menyelidiki siapa si buntung itu bisa gagal. Kalau kau tak dapat
menguasai di-ri...," cegah Sena dengan lemah lembut, sambil memanggul
kekasihnya.
"Aku sebel mendengar suaranya. Apalagi matanya
selalu tertuju padamu. Perempuan genit" sungut Mei Lie dengan wajah
cemberut.
"Kau semakin cantik dan memikat, kalau
cemberut, Mei...." Sena coba menyenangkan hati kekasihnya.
Mei Lie yang dipuji jadi memerah mukanya. Kemudian
tangannya mencubit pinggang sang Kekasih. Sena melepas rangkulannya, lalu
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pasangan pendekar muda itu kemudian meneruskan
perjalanan. Namun baru beberapa langkah, Mei Lie berhenti.
"Kakang...," tegur Mei Lie.
"Hm...?" "Mungkinkah perempuan genit
tadi ada hubungan dengan lelaki buntung itu? Dan mayat siapa yang dibawa
tadi...?" tanya Mei Lie.
"Dugaanmu mungkin saja benar. Tapi kita belum
bisa menuduhnya. Selama dia tak menyakiti kita, aku rasa tak perlu terlalu ikut
campur urusan orang." "Tapi Kakang, perempuan itu telah membunuh. Apa
itu dibenarkan? Semestinya tadi aku cepat menghajarnya" ujar Mei Lie
dengan kesal dan cemberut.
"Sabar, sabarlah sedikit, Mei Percayalah,
kesabaran dan ketenangan mampu mendukung usaha kita...," kata Sena kembali
mengingatkan Mei Lie yang mulai gampang marah.
Mei Lie tampaknya bisa mengerti. Gadis cantik itu
menghela napas panjang, lalu melangkah meninggalkan Sena yang masih menggarukgaruk
kepala memandangi kekasihnya yang sedang kesal. Lalu memburu Mei Lie, dan
berjalan di samping Mei Le.
***
Sementara
itu Dewi Sukmalelana telah sampai di depan Kadipaten Galih Putih. Namun ketika
langkahnya baru memasuki pintu gerbang, tiba-tiba....
Zing Zing Zing...
Berpuluh-puluh anak panah dan tombak meluncur
memburu Dewi Sukmalelana. Perempuan cantik itu dengan cepat memindahkan mayat
Kidang Pangarsura ke dada, untuk tameng.
Beberapa anak panah dan tombak menancap di tubuh
Kidang Pangarsura yang telah jadi mayat itu. "Hi hi hi... Manusia-manusia
bodoh Rasakan ini, heaaa..." Dewi Sukmalelana menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan. Seketika dari telapak tangannya keluar semburan api melesat
ke arah para prajurit kadipaten yang dipimpin Warik Kala dan para pengawal
kadipaten.
Wurrrs...
"Aaa..." "Wuaaakh..." Para
prajurit menjerit ketika tubuh mereka tersambar semburan api yang keluar dari
telapak tangan Dewi Sukmalelana. Belasan prajurit tewas seketika, terlalap
semburan api ganas itu. Mereka yang masih hidup berlarian tunggang-langgang
menginjak mayat-mayat prajurit yang telah mati terbakar.
"Kurung perempuan iblis itu..." seru
Warik Kala memerintahkan para prajurit dan pengawal kadipaten.
Serentak para prajurit dan pengawal kadipaten
mengurung Dewi Sukmalelana dengan bersenjata tombak, golok, dan pedang.
"Hi hi hi... Aku senang dengan permainan ini.
Hi hi hi..." Dewi Sukmalelana dengan cepat menggerakkan kedua tangannya ke
depan dada.
Disusul dengan kaki kirinya terangkat ke atas la-lu
ditekuk, kemudian dengan keras dihentakkan ke tanah. Akibatnya tanah yang
diinjak berguncang, seperti dilanda gempa. Para prajurit dan pengawal kadipaten
tersentak kaget dan hanya bisa melongo, ketika tiba-tiba bumi berguncang hebat
"Hi hi hi..." Dewi Sukmalelana tertawa terkekeh-kekeh. Suara tawanya
berubah menjadi menyeramkan. Seperti tawa makhluk gaib. Keras, melengking, dan
memekakkan telinga.
"Ilmu apa yang dia gunakan...?" gumam
Warik Kala yang mulai kecut dan ciut nyalinya.
Namun dia segera mencabut goloknya.
Belum habis rasa ketakutan dan keheranan para
prajurit dan pengawal, Dewi Sukmalelana tiba-tiba mengibaskan rambutnya, sambil
memutar kepala. Dan rambut yang tadi panjangnya hanya melewati bahu, kini
berubah memanjang. Memanjang terus bagaikan hidup, memburu dan menghantami
orang-orang yang mengurungnya. Wrrrt Prats Prats "Aaakh..." Bagai
kena tamparan yang keras dan panas, para prajurit dan pengawal menjerit
panjang.
Lalu roboh ke tanah, tak bernyawa lagi. Kepala
ataupun tubuh mereka hancur tersambar rambut Dewi Sukmalelana yang menjadi
panjang bagai ular raksasa.
"Hah" Warik Kala memekik tertahan.
Matanya terbelalak lebar seperti hendak keluar dari kelopaknya. Sekujur
tubuhnya mendadak gemetaran, sedangkan pandangannya buram tak jelas.
Entah kenapa.
"Oh mataku..." keluh Warik Kala.
Rupanya Dewi Sukmalelana menyemburkan serbuk
beracun dari mulutnya.
"Aaakh..., mataku..." teriak Warik Kala
sambil mengucek matanya.
"Hi hi hi... Itu hadiah orang yang lari
dariku... Kini, tak lama lagi kau akan menyusul temanmu ke akherat Heh..."
Dewi Sukmalelana melompat bagai macan kumbang, menerkam Warik Kala. Meskipun
dalam keadaan tak karuan, Warik Kala masih sempat mengelak dengan menjatuhkan
diri ke tanah.
Mengetahui hal itu, dengan cepat Dewi Sukmalelana
menginjakkan kaki kanannya ke tubuh Warik Kala yang masih berada di tanah.
Krakkk "Aaakh..." Warik Kala menjerit,
ketika dirasakan dadanya remuk. Sesaat kemudian lelaki berwajah beringas itu
tewas dengan mata membelalak.
Para prajurit kadipaten, segera berlarian
tunggang-langgang. Mereka tampaknya tak ada yang berani menghadapi Dewi
Sukmalelana. Wanita dan anak-anak yang tinggal di lingkungan kadipaten pun
ketakutan. Mereka kalang kabut berusaha bersembunyi.
"Hi hi hi..." Dewi Sukmalelana terus
tertawa-tawa nyaring. Suaranya sampai di telinga Pangeran Sasanadipa yang
sedang asyik bercumbu dengan para selirnya di kamar pribadi. Namun hatinya yang
telah tertutup nafsu birahi membuat suara kacau dan hiruk-pikuk di luar bagai
tak terdengar. Sang Pangeran tak mempedulikannya.
"Gusti Pangeran... Gusti Pangeran..."
teriak seorang pengawal dari luar kamar. Namun karena tak ada sahutan dari
dalam, pengawal kadipaten itu terpaksa mendobrak pintu kamar.
Brakkk..
"Aaa…" para selir yang sedang melayani
sang Pangeran menjerit. Sambil menutupi tubuh mereka yang tanpa pakaian, mereka
berlarian karena terkejut "Ooo..., pengawal Ada apa? Kenapa kau berani
merusak pintu kamarku?" kata Pangeran Sasandipa dengan mata masih layu dan
wajahnya berkeringat "Ampun, Gusti Pangeran... Ada, ada hantu perempuan
ngamuk... Semua orang dibunuhnya.
Juga Warik Kala" lapor pengawal itu.
"Warik Kala mati?" tanya sang Pangeran
lemah.
"Benar, Gusti..." pengawal itu menjura
hormat "Ayo, antar aku Bagaimana rupa perempuan itu..." ajak sang
Pangeran yang pikirannya sudah setengah tak waras itu. Setelah turun dari ranjangnya,
para selir segera memakaikan pakaian Pangeran Sasanadipa. Juga pusakanya,
sebuah keris.
Pangeran Sasanadipa yang nampak seperti orang mabuk
itu melangkah gontai keluar dari kamar, diikuti pengawal tadi.
Sementara di luar, orang-orang kadipaten masih
panik dan berlarian menyelamatkan diri.
"Orang-orang bodoh Mengapa takut padaku...?
Aku tak akan menyakiti kalian Aku hanya bunuh manusia-manusia yang kuinginkan.
Kalian semua telah kena ilmu sihir Beruk Singgala.
Termasuk pangeran kalian itu..." seru Dewi
Sukmalelana.
Pada saat itu, muncul Pangeran Sasanadipa dengan
langkah gontai menuju pekitaran kadipaten. Melihat pangeran muncul dan
mendekatinya, Dewi Sukmalelana tersenyum pahit "Hei, Wanita Cantik. Ada
urusan apa kau membunuh orang-orangku...?" tegur Pangeran Sasanadipa.
Matanya yang merah dan sayu menatap wajah Dewi Sukmalelana.
"Hi hi hi... Panjang ceritanya, Pangeran.
Tapi aku tak ingin bermusuhan denganmu. Maaf, aku
telah membuatmu gusar" tutur Dewi Sukmalelana mantap.
"Wajahmu cantik dan menggiurkan.... Siapa
namamu? Aku pikir kau lebih baik jadi selirku, Cah Ayu...," kata Pangeran
Sasanadipa sudah berpikiran kurang waras itu.
"Kasihan pangeran ini Dia dulu orang yang
bijaksana, gagah berani, dan pengasih. Kini jadi seperti orang lupa ingatan....
Ini semua gara-gara Partai Panca Siwara itu Beruk Singgala penyihir
itu..." gumam Dewi Sukmalelana pelan. Seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau diam dan tak menyerangku atau
membunuhku, Cah Ayu?" seru Pangeran Sasanadipa sambil mendekati Dewi
Sukmalelana yang masih menatapnya dengan pandangan sayu dan iba.
Dewi Sukmalelana tiba-tiba tertegun. Pikirannya
menerawang jauh ke masa silam. Masa sepuluh tahun lalu, ketika dirinya ikut
menjadi korban keganasan Partai Panca Siwara. Setelah diperkosa dan diperdaya
dirinya yang bernama asli Saraswati itu dicampakkan begitu saja dalam keadaan
sekarat. Namun Yang Maha Kuasa ternyata masih memberi kehidupan kepadanya.
Seorang perempuan tua, nenek sakti, menolong jiwanya dari renggutan maut yang
mengerikan.
Nenek sakti mengganti namanya menjadi Dewi
Sukmalelana, setelah digembleng dan dididik ilmu kesaktian. Bahkan menurut
nenek sakti, Saraswati yang telah meninggal diselamatkan dengan menggunakan
'Bunga Bangkai'. Sehingga Saraswati dapat bertahan sampai saat ini Saraswati
dapat hidup kembali. Bahkan memiliki kekuatan dan kemampuan yang sakti.
"Oooh...?" pekik Dewi Sukmalelana
tersentak dari lamunannya. Matanya menatap Pangeran Sasanadipa yang sudah satu
tombak di depannya. "Maaf Pangeran, aku harus pergi..." Selesai
berkata demikian, cepat Dewi Sukmalelana yang sebenarnya bernama Saraswati
melesat dan menghilang dari pandangan sang Pangeran.
"Aneh, perempuan secantik itu
jadi pembunuh Tapi, kenapa dia tak melukaiku
sedikit pun...?" gumam Pangeran Sasanadipa keheranan. Matanya yang layu
memandang ke depan.
Para pengawal dan orang-orang kadipaten yang masih
selamat pun merasa heran, melihat sang Pangeran ternyata selamat. Tak diusik
sedikit pun oleh perempuan yang mereka anggap perempuan iblis itu.
4
Angin senja bertiup sejuk. Udara sangat cerah
dengan langit tembaga di sebelah barat. Sebentar lagi sang Raja Siang akan
tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam. Tampak para
petani pulang dari sawah dengan perakitan terpanggul di pundak mereka.
Burung-burung beterbangan pulang ke sarang dengan suara yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh manusia tampak melangkah dalam
keremangan senja. Kedua sosok yang ternyata sepasang muda-mudi itu tiba-tiba
berhenti. Si gadis yang berkulit kuning langsat dan bermata agak sipit itu,
mengenakan pakaian putih panjang. Rambut digelung satu di atas, dan sisanya
dibiarkan tergerai lurus. Sedang di sam-pingnya, pemuda tampan mengenakan rompi
dari kulit ular. Siapa lagi mereka kalau bukan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Nampaknya desa ini sedang tertimpa bencana,
Kakang," ujar Mei Lie seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat
itu.
Seakan-akan tak mendengar ucapan kekasihnya,
Pendekar Gila hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seolah-olah
merasa gatal. Namun kemudian keningnya bekernyit. Seperti halnya yang dilakukan
Mei Lie, Sena menghela napas beberapa kali. Ternyata keduanya menangkap bau
anyir, yang tak sedap.
"Bau ini busuk sekali, Kakang. Seperti bau
mayat." gumam Mei Lie sambil menutup hidung dengan jari tangan kiri.
Benar. Di sana sini, di jalan memasuki Desa Lindung
Rawa bergelimpangan mayat-mayat penduduk desa. Tua-muda, wanita dan anakanak.
Dengan leher tersobek dan wajah pucat membiru.
"Ya Hyang Batara... Siapa yang melakukan
perbuatan keji ini?" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Mulutnya tampak cengengesan sambil memandangi mayat-mayat itu.
"Biadab... Tak salah lagi ini pasti perbuatan perempuan genit itu Atau
mungkin lelaki buntung yang kita cari, Kakang," tukas Mei Lie yang telah
mencabut Pedang Bidadarinya.
"Mungkin...," jawab Sena pelan. Kepalanya
manggut-manggut. Lucu Baru saja kedua pasang pendekar itu meneruskan langkah
pendek memasuki Desa Lindung Rawa, tiba-tiba....
"Aaakh... Tolooong... Manusia iblis...
Tolooong" Seorang wanita muda tampak berlari ketakutan sambil
menjerit-jerit minta tolong. Pakaiannya sudah tak karuan. Sebagian tubuhnya
sudah tak tertutup kain. Hingga buah dadanya yang masih ranum dan mulus itu
terlihat jelas di balik pakaiannya yang tercabik-cabik. Di bagian pipi dan
leher ada goresan, seperti cakaran kuku.
Melihat itu Mei Lie segera melompat dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuh si Bidadari Pencabut Nyawa itu melayang bagai
seekor burung elang. Kemudian kakinya mendarat mulus. Dengan cepat tangan Mei
Lie menyambar tangan wanita muda yang ketakutan itu. Lalu membawanya
bersembunyi di balik pepohonan.
"Ssst.." Tuk Tuk Ketika wanita muda itu
hendak berteriak karena ketakutan, dengan cepat Mei Lie menotok tubuhnya.
"Ukh..." Seketika wanita muda itu
melenguh lalu jatuh terkulai bagai mati. Dan Mei Lie segera membaringkan di
tanah yang berumput itu.
Sementara itu, Pendekar Gila hanya cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala, memandangi tingkah laku kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian, muncul sesosok tubuh
melayang dan disertai kepulan asap.
Ternyata sesosok manusia bertubuh tinggi besar
dengan bertelanjang dada. Di kanan dan kiri lengannya melingkar gelang dari
kulit ular. Alisnya menyatu tanpa batas menghiasi matanya yang besar, tajam dan
galak. Wajahnya yang persegi tampak bengis. Badannya hampir rata ditumbuhi
bulu-bulu lebat. Mirip manusia purba.
"Makhluk apa ini? Manusia apa jin" gumam
Mei Lie, begitu melihat sosok makhluk yang menyeramkan itu.
"Grrr..., grrr..." makhluk mirip manusia
purba itu mengerang. Seperti harimau, giginya nampak besar-besar dan runcing.
Mengerikan.
Pendekar Gila yang melihat manusia tinggi besar
bagai raksasa itu mengerutkan kening, sambil menggaruk-garuk kepalanya kembali.
"Ah ah ah... Aku harus berbuat sesuatu.
Aku tak ingin Mei Lie mendapat bahaya...,"
gumam Sena.
"Heaaa..." Tiba-tiba Pendekar Gila
melesat sambil bersalto beberapa kali di udara. Lalu kakinya bergerak cepat
melancarkan tendangan.
Wut Blugk Blugk Namun tendangan Pendekar Gila
seperti tak dirasa oleh manusia raksasa itu. Bahkan hanya dengan ayunan tangan
kirinya yang sebesar paha, mampu menghantam Pendekar Gila.
"Ukh.." Sena terpekik. Tubuhnya terlempar
lima tombak dan membentur dinding rumah penduduk desa. Dinding dari bilik itu
pun roboh. Kalau saja bukan Pendekar Gila, tentunya sudah pasti tewas.
Melihat kekasihnya tak berhasil, tak
tanggung-tanggung Mei Lie melesat melakukan serangan dengan membabatkan Pedang
Bidadari dalam jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa..." Cras Cras Cras
"Grrr..." Manusia raksasa itu mengerang. Kulitnya hanya terkupas.
Namun anehnya, tak mengeluarkan darah. Dan ketika angin meniupnya, tak ada
tanda-tanda bahwa manusia raksasa berbulu itu akan roboh lalu jadi tepung.
Seperti lawan-lawan Mei Lie yang tersambar jurus maut itu.
"Aneh...? Manusia atau jin" gumam Mei Lie
keheranan. Keningnya berkerut tajam. Namun kemudian kembali mempersiapkan
serangan susulan. Sementara itu Pendekar Gila tampak telah berdiri dan
mengerahkan tenaga dalamnya. Kedua telapaknya tampak saling bertempelan dan
ditarik ke depan dada.
"Mei, kita tak boleh main-main dengan makhluk
ini Jangan gegabah..." saran Sena sambil menoleh ke arah Mei Lie.
Kali ini rupanya Pendekar Gila tak ingin
sembarangan bertindak. Dan tingkahnya yang biasanya konyol dan seperti orang
gila agak berkurang. Walaupun mulutnya masih tetap cengengesan dan tertawa-tawa
sendiri dengan tangan menggaruk kepala.
Pendekar Gila lalu mengeluarkan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang'. Tangannya dipersatukan di depan dada. Kemudian setelah
menarik napas dalam-dalam, perlahan tangannya dibuka ke samping. Ditarik ke
belakang membentuk siku. Lalu dengan telapak tangan terbuka, melakukan pukulan
jarak jauh secara cepat dan beruntun.
"Heaaa..." Wut..
Dari pukulannya, keluar kekuatan yang luar biasa
melesat ke tubuh manusia raksasa itu.
Glar Glar "Aung... Grrr..." Manusia raksasa
itu mengerang dan tubuhnya terhuyung. Kepalanya yang besar retak.
Melihat itu, Mei Lie tak tinggal diam. Gadis itu
melompat sambil bersalto dan membabatkan Pedang Bidadari-nya ke tubuh manusia
raksasa itu.
Cras Cras Cras...
"Aaaung.... Grrr..." Kembali manusia
raksasa itu mengerang.
Sesaat kemudian tubuhnya roboh dengan kepala
terpisah. Namun anehnya, tubuh itu tiba-tiba menyatu kembali. Seperti semula.
"Ilmu Panca Sona..." pekik Pendekar Gila
dan Mei Lie terkejut. Lalu saling pandang. Ilmu 'Panca Sona' memang ampuh. Bila
salah satu raga, kepala, kaki, atau bagian badan tak segera di-pisahkan jauh
dari bagian tubuhnya yang lain mereka dapat menyatu kembali.
"Aneh Pedang Bidadari-ku tak mampu
menghancurkan manusia raksasa itu..." keluh Mei Lie cemas.
Pendekar Gila segera mengeluarkan jurus 'Tamparan
Sukma'. Sebuah ilmu yang menggunakan sukma atau jiwa. Sangat dahsyat dan mampu
membinasakan makhluk siluman.
"Grrr..." Jgarrr Sinar keperakan
menghantam makhluk aneh itu. Seketika sosok manusia raksasa itu terbakar.
Kemudian menjadi asap, lalu hilang. Bersamaan dengan lenyapnya manusia aneh
itu, suasana di sekitarnya pun berubah sama sekali.
Bukan lagi sebuah desa melainkan suatu tempat yang
asing bagi Sena dan Mei Lie. Angker dan menyeramkan Wanita yang tadi ditolong
Mei Lie pun lenyap.
"Kita rupanya telah masuk ke alam gaib,
Kakang.... Kita telah terjebak" ujar Mei Lie. Matanya menyapu ke
sekeliling dengan tajam.
"Hi hi hi... Mungkin kau benar, Mei,"
sahut Sena dengan cekikikan. Pemuda itu nampak tenang, tak sedikit pun merasa
tegang atau takut.
Matanya menatap tajam sekeliling. Pendengarannya
yang sangat peka dipasang untuk menangkap suara-suara aneh dan gaib.
Mei Lie memutar tubuhnya membelakangi Pendekar Gila
dengan Pedang Bidadari masih tergenggam di tangan. Matanya tiba-tiba menangkap
sesosok manusia nampak seperti duduk di tempat agak jauh memandangi mereka.
"Kakang...," panggil Mei Lie perlahan
Sena membalik, lalu menghadap ke arah sama dengan Mei Lie. Mata Sena yang mampu
menembus segala cuaca, tampak terbelalak lebar.
Asap putih tampak mengepul di sekitar tempat itu.
Dan suara-suara aneh mulai bermunculan, menambah suasana kian mencekam. Kalau
saja yang datang di tempat itu bukan Pendekar Gila dan Mei Lie, mungkin sudah
mati kaku ketakutan.
"Pendekar Gila Dan kau, Bidadari Pencabut
Nyawa... Jangan ikut campur urusanku Aku tak ingin ada orang ikut campur dengan
urusanku. Akan kutantang siapa pun yang mau tahu urusanku. Kuharap kalian
berdua tak lagi menyelidiki lelaki buntung itu..." Setelah suara itu
hilang, tiba-tiba muncul lelaki buntung. Berdiri dengan kakinya yang buntung,
enam tombak di hadapan Sena dan Mei Lie.
"Kau...?" gumam Mei Lie tersentak kaget.
Setelah jelas bahwa yang di hadapannya tak lain
lelaki buntung yang dicari.
"Hi hi hi... Kisanak, aku tak bermaksud
mencampuri urusanmu. Tapi kenapa kau membunuh orang-orang itu? Apa ada
hubungannya dengan peristiwa yang menimpa Ki Damar Kiwangi...?" tanya Sena
ingin tahu.
"Grrr..." Pertanyaan Pendekar Gila
rupanya membuat lelaki buntung itu marah.
"Kau terlalu ingin tahu Pendekar Gila Aku tak
suka. Dan kuperingatkan sekali lagi, jangan ikut campur Dan sekarang sebaiknya
kalian cepat meninggalkan tempat ini..., sebelum aku berubah pikiran...,"
perintah lelaki buntung dengan geram. "Kau, rupanya orang yang keras kepala.
Aku tahu dendam membara memang tak dapat dibendung.
Tapi dengan terjadinya pertumpahan darah di mana-mana, rakyat selalu ketakutan
menjadi korban orang-orang yang hanya memikirkan diri sendiri. Seperti
Kisanak..," tukas Sena sambil cengengesan menyindir lelaki buntung itu.
"Bicaramu seperti tahu segalanya tentang aku,
Pendekar Gila Dan membuatku muak mendengar ocehanmu itu. Terpaksa aku harus
melawanmu..." Selesai berkata begitu, si Penyair Maut itu melesat
menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan melompat, seperti macan kumbang kedua tangan
lelaki buntung mencakar dan memburu wajah Mei Lie dan Pendekar Gila.
Kuku-kuku yang panjang serta runcing, bagai
mengandung hawa panas dan berbahaya.
Pendekar Gila dan Mei Lie mengelak dengan
merundukkan kepala, sambil sesekali menangkis.
Jurus-jurus aneh dikeluarkan oleh si Penyair Maut
itu.
"Mei, mundur Biar aku hadapi dia..." seru
Sena pada Mei Lie yang akan mengeluarkan jurus Pedang Bidadari Pencabut Nyawa.
Mei Lie menurut. Bagi seorang pendekar bertarung secara keroyokan dianggap
kurang terpuji dan tidak jujur. Itulah sebabnya Mei Lie mundur, namun tetap
berwaspada, menjaga segala kemungkinan.
"Heaaa..." "Grrr..."
Pertarungan Pendekar Gila dengan lelaki buntung tak terelakkan. Tangan mereka
beradu saling pukul dan tangkis. Lelaki buntung itu rupanya memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Selama sepuluh jurus pertama tokoh itu masih memperlihatkan
kecepatan geraknya. Bahkan kini mampu mendesak pendekar Gila, dengan
jurus-jurus anehnya.
Si Penyair Maut itu kemudian menggeser kecapinya
yang tersampir di punggungnya. Kemudian setelah membuat gerakan aneh, sambil
memutar kecapi maut-nya, dengan cepat menyerang Pendekar Gila.
Wut Wut "Aits Heaaa..." Namun Pendekar
Gila dengan cepat dapat mengelak. Tubuhnya melenting ke atas dan balik
menyerang dengan tendangan kaki kanan ke dada lawan. Namun lelaki buntung itu
begitu cepat tanggap terhadap serangan Pendekar Gila.
Prak Lelaki buntung menangkis dengan kecapinya.
Hingga tendangan Pendekar Gila hanya menghantam kecapi. Namun kecapi itu
ternyata sangat kuat. Sedikit pun tak tampak kerusakan, apalagi pecah. Padahal
jelas, tak mungkin Pendekar Gila meremehkan serangan itu.
Pendekar Gila agak heran, dia mendaratkan kakinya
di tanah dan cepat membuka jurus 'Si Gila Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya agak
membungkuk ke bawah, meliuk-liuk sambil tangannya mencengkeram ke tubuh lawan.
Kakinya menyapu kaki lelaki buntung itu. Namun si Penyair Maut itu cepat
melompat dan balik menyerang dengan menghantam kecapinya ke kepala Pendekar
Gila yang masih merunduk. Untung Pendekar Gila segera menangkis dengan tangan
kanannya.
"Hiaaa" Prak Prak Tangan Pendekar Gila
beradu dengan kecapi. Menimbulkan suara keras seperti beradunya dua kayu
Kemudian lelaki buntung itu nampak penasaran, digeser kembali kecapi mautnya ke
belakang. Lalu secepat kilat bergerak dengan lincah, melancarkan serangan
susulan pada Pendekar Gila dengan jurus 'Angin Manik'. Kedua tangannya bergerak
mencengkeram. Kuku-kukunya yang panjang bagai kuku serigala, mengeluarkan asap
beracun.
Melihat hal itu, Pendekar Gila segera mencabut
Suling Naga Sakti-nya. Dan dengan cepat pula dia memutar suling itu, hingga
mengeluarkan sinar hijau yang bergulung laksana banteng untuk menangkal asap
beracun yang keluar dari kuku-kuku si Penyair Maut itu.
"Hah?" lelaki buntung terkejut Matanya
terbelalak melihat Suling Naga Sakti yang telah tergenggam di tangan kanan
Pendekar Gila.
Lelaki buntung itu kemudian melompat mundur empat
tombak. Lalu mengumpulkan tenaga dalamnya, disusul dengan menepukkan telapak
tangannya dua kali.
Plak Plak "Heaaa..." Si Penyair Maut
melesat menyerang dengan menghantarkan pukulan tangan kanan, yang mengeluarkan
api....
Wesss Glarrr Pukulan itu tak mengenai sasaran, tapi
menghantam batang pohon. Suara ledakan keras terdengar mengiringi robohnya
pohon besar itu.
Begitu dahsyat pukulan si Penyair Maut. Kalau yang
terhantam tubuh manusia, niscaya hancur berkeping-keping. Melihat serangannya
gagal, lelaki berpakaian serba merah itu tak tinggal diam, justru semakin ganas
melakukan serangan. Seakan tak ingin memberikan kesempatan pada lawan untuk
sedikit pun mengeluarkan jurus andalannya. Kini kedua tokoh berilmu tinggi itu
sudah berubah jadi bayangan yang menggulung-gulung, karena kecepatan gerak yang
mereka lakukan.
Keduanya langsung menangkis dan menghantam dengan
gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
"Heaaa..." "Glarrr..." Suara
menggelegar terdengar, karena beradunya dua kekuatan tenaga dalam. Baik tubuh
Pendekar Gila maupun si Penyair Maut terlempar ke belakang. Namun sama-sama
mendarat ke tanah dengan mulus dan siap dengan kuda-kuda masing-masing.
Pendekar Gila nyengir, sambil menyelipkan kembali
suling Naga Saktinya, namun tetap waspada. Dirinya tak ingin cepat-cepat
menaklukkan lelaki buntung itu dengan senjata andalannya.
Ternyata Sena memang tak ingin melukai lelaki
berambut panjang tanpa kaki itu.
Si Penyair Maut tampaknya merasa penasaran. Dengan
cepat tubuhnya melompat bagai macan kumbang menerkam mangsa, menyerang pemuda
tampan di depannya.
Namun Pendekar Gila telah siap. Dengan jurus ‘Inti
Bayu’, pendekar muda itu menghentakkan tangan kanannya yang mengeluarkan deru
angin kencang laksana badai. Suatu kekuatan yang mampu menerbangkan batu
sebesar gajah sekali pun. Maka ketika angin itu melesat dan menerjang ke arah
lawan, lelaki buntung itu terlontar deras ke belakang dua puluh tombak, lalu
jatuh membentur batang-batang pepohonan yang tampak meranggas tanpa daun.
Brakkk "Ukh..." lelaki buntung memekik
tertahan, "Kalau aku teruskan akan membawa bencana ba-gi diriku sendiri.
Aku tak ingin mati, sebelum berhasil membunuh Beruk Singgala...," gumamnya
sambil merasakan sakit di dadanya.
Pendekar Gila cepat bergerak mendekati.
Namun begitu sampai, lelaki buntung telah hilang,
entah sejak kapan. Pendekar Gila, cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei
Lie yang sejak tadi terpesona melihat pertarungan kekasihnya melawan lelaki
buntung itu, segera menghampiri Sena yang masih tak mengerti. Ke mana lelaki
buntung itu tadi.
"Aneh Begitu cepat dia pergi,..," gumam
Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ke mana dia, Kakang?" tanya Mei Lie
sambil matanya menyapu sekeliling tempat angker itu. Tak terlihat tanda-tanda
adanya lelaki buntung tadi.
"Kenapa dia tak mau meneruskan pertarungan...?
Aneh" kata Sena lagi tak mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng dengan
mulut cengarcengir.
"Mungkin dia merasa tak mampu menghadapi
Kakang. Sebaiknya kita pergi dari tempat terkutuk dan menyeramkan ini,
Kakang" ajak Mei Lie. Gadis cantik itu membalikkan tubuh, tangannya
menggapai lengan Sena. Dan keduanya melangkah meninggalkan tempat yang bagai
alam gaib itu.
***
Pendekar Gila
dan Mei Lie terus melakukan perjalanan menyelidiki, siapa sesungguhnya lelaki
buntung itu. Dan apa hubungannya dengan Dewi Sukmalelana yang pernah mereka
temui. Dari desa satu ke desa lainnya, pasangan muda-mudi itu mencari tahu.
"Kakang, apakah tak sebaiknya kita menuju
bekas Padepokan Gunung Talang saja?" usul Mei Lie tiba-tiba.
"Hm?" gumam Sena sambil menggarukgaruk
kepala, "Boleh juga gagasanmu. Tapi lebih baik kita melihat dulu keadaan
Kadipaten Galih Putih. Aku sudah bosan ke tempat-tempat yang belum jelas dan
angker...," jawab Sena seenaknya. Mulutnya cengengesan sambil
menggarukgaruk kepala.
Mei Lie hanya bisa mengangkat kedua bahunya, lalu
menghela napas panjang. Keduanya terus melangkah melewati jalan setapak di tepi
sebuah sungai yang cukup besar dan panjang serta berliku-liku.
Ternyata di halaman Kadipaten Galih Putih sedang
diadakan pergelaran Tayub, semacam tarian ronggeng. Pangeran Sasanadipa dan
para prajurit menyaksikan, dengan melingkari halaman kadipaten. Suasana tampak
meriah sekali.
Seorang penari Tayub yang cantik dan bertubuh
menggairahkan sedang menari mengikuti alunan gamelan yang dimainkan para
penabuhnya.
Di antara beberapa wanita penari Tayub, nampak satu
yang tampil berbeda. Wajahnya yang cantik dengan tubuh sintal dan
menggairahkan, membuat para penonton lebih tertarik pada wanita itu. Tak
terkecuali sang Pangeran yang tampak kagum menyaksikan lenggaklenggok penari
berkebaya merah jambu itu.
Gamelan terus mengalun, gendang pun bersahutan dan
menghentak-hentak keras mengimbangi bunyi gamelan lain. Penari semakin semangat
bergoyang pinggul. Membuat Pangeran Sasanadipa tersenyum-senyum dan bertepuk
tangan. Para pengawal dan prajurit tak tahan untuk turun ikut menari. Gaya
mereka beraneka ragam dan lucu.
"Baru kali ini aku melihat penari Tayub
secantik itu..." gumam Pangeran Sasanadipa sambil menggeleng kepala. Para
selir yang mengapitnya mencibir dan cemberut, mendengar gumam sang Pangeran.
Malam semakin larut, tayuban terus berlangsung.
Sebagian prajurit dan pengawal sudah mulai mabuk, karena arak. Demikian pula
dengan sang Pangeran.
Pada saat itu Pendekar Gila dan Mei Lie telah
sampai. Keduanya pun berbaur dengan para prajurit dan penduduk kadipaten. Sena
dan Mei Lie mengamati orang-orang yang menari dengan penari Tayub. Pendekar
Gila nampak tertawatawa sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu berdecak kagum.
"Ck, ck, ck..." "Huuu..." Mei
Lie yang melihat kekasihnya merasa kagum dan berdecak, jadi cemberut dan kesal.
Namun, kemudian matanya menatap tajam salah seorang penari Tayub yang
sepertinya dia kenal. "Hah? Perempuan itu...?" gumam Mei Lie, begitu
melihat penari Tayub paling cantik. "Kakang... Coba, apa kau masih ingat.
Lihat penari yang memakai baju merah jambu itu" ujar Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila yang masih menggarukgaruk kepala dan
cengengesan segera memalingkan pandangan ke penari yang berkebaya merah jambu.
Wanita itu sedang berlenggak-lenggok di depan Pangeran Sasanadipa yang
terpesona.
"Hi hi hi..." Sena hanya tertawa-tawa.
Lalu menoleh ke wajah Mei Lie sambil mengangguk. Menandakan bahwa dia masih
mengenali wanita itu.
"Perempuan yang kita pergoki beberapa hari
lalu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Mei Lie pelan. Matanya terus
mengawasi penari berkebaya merah jambu itu. Wajahnya menyiratkan rasa mendendam
terhadap wanita itu. Karena wanita itu pernah dibiarkan pergi oleh Sena.
Sementara itu para penabuh gamelan semakin
bersemangat, ketika Pangeran Sasanadipa turun menari bersama penari berkebaya
merah jambu itu, yang ternyata Dewi Sukmalelana. Pangeran Sasanadipa yang sudah
setengah mabuk, menari dengan sedikit sempoyongan dan selalu ingin memeluk
penari Tayub itu. Gaya sang Pangeran membuat semua orang tertawa geli, melihat
pangerannya yang terkadang hampir jatuh. Namun, si penari segera menahan sambil
memeluknya. Pangeran nampak senang. Para selir yang melihat itu mencibir
cemburu.
Pada saat suasana penuh tawa riang itu berlangsung,
tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang luar biasa, ketika dua orang lelaki
muncul di tengah-tengah arena. Kedatangan mereka yang bagai makhluk halus
muncul secara tibatiba. Hal itu menunjukkan bawah kedua lelaki itu memiliki
ilmu yang sangat tinggi "Ha ha ha... Pangeran edan Dia malah senang-senang
berpesta pora. Padahal ketiga temanku mati..." seru lelaki bertubuh tinggi
agak kurus dan berhidung mancung ke bawah, seperti paruh betet. Pakaiannya yang
berbentuk jubah panjang berwarna hitam legam. Rambutnya yang hitam dibiarkan
terurai panjang. Dengan tatapan mata tajam yang merah memandang setiap orang
yang ada di tempat itu. Dialah Beruk Singgala Seketika gamelan berhenti. Para
penari pun ketakutan lari bersembunyi di antara penonton. Hanya satu penari
berbaju merah jambu yang nampak tak merasa takut. Bahkan matanya menatap tajam
kedua tokoh sesat itu.
Sedangkan sang Pangeran yang sudah setengah mabuk,
hanya bisa diam dan tak berani berucap sepatah kata pun.
"Pangeran yang gila perempuan ini sebaiknya
kita bereskan saja, Kakang Beruk. Sudah tak ada gunanya lagi. Bukankah rencana
kita memang untuk menguasai kadipaten dan seluruh kekuasaannya?" seru
Danur Saka dengan suara lantang sambil memegang leher Pangeran Sasanadipa.
"Edan Benar-benar edan Seorang pangeran bisa
dipermainkan orang-orang macam itu..." gumam Mei Lie dengan geram,
"Siapa mereka itu, Kakang...?" tanya Mei Lie kemudian.
"Hi hi hi... lucu Dunia memang sudah terbalik.
Seorang pangeran bisa dipermainkan' Sena tak menjawab pertanyaan Mei Lie.
Mulutnya bergumam sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita turun tangan Aku muak
melihat ada orang yang sok jago" tukas Mei Lie geram.
"Tenang, Mei Kedua lelaki itu aku rasa kawanan
Partai Panca Siwara. Kita harus hatihati Sebab kita tak punya urusan atau
pertikaian dengan mereka..." cegah Sena.
Sementara itu, Danur Saka mendekati penari
berkebaya merah jambu yang tak lain Dewi Sukmalelana. Lelaki setengah baya
bertelanjang dada itu dengan seenaknya memeluk dan meraba-raba dada Dewi
Sukmalelana sambil tertawatawa. Semua orang tak berani berbuat sesuatu.
Mereka semua diam terpaku bagai patung.
"Ha ha ha... Kau penari Tayub tercantik dan
menarik yang pernah kutemui, Cah Ayu. Ha ha ha... Aku ingin kau layani aku,
Manis. Ayo, main gamelan dan gendang" perintah Danur Sa-ka.
Sementara Beruk Singgala telah duduk di kursi sang
Pangeran, bersama para selir pangeran. Sedangkan pangeran sendiri sudah tak
kuasa menahan pusing di kepalanya. Karena terlalu banyak menenggak arak.
Gamelan mulai mengalun lagi. Danur Saka dengan
penuh bersemangat menari bersama Dewi Sukmalelana. Tarian yang dilakukan Danur
Saka tampak konyol dan kurang ajar. Namun Dewi Sukmalelana yang sebenarnya
telah menahan dendam tampak masih sempat tersenyumsenyum manis. Dan bahkan
dengan berani, mengimbangi Danur Saka yang bertingkah konyol dan kotor itu.
Danur Saka semakin menggila. Hatinya larut dalam keasyikan.
"Aneh Kenapa perempuan itu malah
meladeninya...?" gumam Mei Lie lirih.
"Ssst.., tenang Perhatikan gerakan perempuan
itu Bukan lagi gerakan tari Tayub, melainkan gerakan silat yang terselubung
Sukar dilihat dengan mata biasa…" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala
cengengesan.
Mei Lie mengerutkan kening. Lalu mengangguk karena
telah mengerti.
Benar, gerakan tari Dewi Sukmalelana sesekali telah
berubah dengan gerakan silat yang begitu halus. Hingga tak dirasakan oleh Danur
Saka yang sudah tergiur kecantikan dan kemolekan tubuh Dewi Sukmalelana.
Plak Plak Dua tamparan tangan kanan Dewi
Sukmalelana mendarat tepat ke wajah Danur Saka. Tidak terlalu keras.
"Eits He he he... ooo... ha ha ha Kau nak-al,
Cah Ayu..." gumam Danur Saka masih belum mengerti gelagat Dewi
Sukmalelana. Lelaki berpe-rut buncit bertelanjang dada itu malah mendekatkan
wajah serta menempelkan badan ke perempuan itu.
Gamelan terus terdengar semakin semangat Danur Saka
benar-benar lupa diri, hingga tak menyadari kalau penari pasangannya tengah
me-nunggu waktu tepat untuk membunuhnya. Dan tiba-tiba....
"Ukh..." Danur Saka terpekik sambil
memegangi dada. Tubuhnya terhuyung ke belakang lima tombak.
Rupanya Dewi Sukmalelana yang sudah tak tahan
menahan dendamnya, telah bertindak dengan gerakan yang tak tertangkap mata
siapa pun. Beruk Singgala yang sedang asyik menggantikan kedudukan pangeran
yang bercumbu dengan para selir, kaget melihat Danur Saka terhuyung. Lelaki
berjubah hitam itu serta-merta bangkit berdiri. Matanya menyipit memandangi
Dewi Sukmalelana.
Perempuan cantik yang pandai menyamar itu dengan
cepat menghajar Danur Saka yang belum pulih dari rasa sakit di dadanya. Dengan
gerakan seperti menari, Dewi Sukmalelana meliukliuk lalu melompat dan menendang
dengan kaki kanannya ke kepala Danur Saka.
"Heaaat.." "Aaaukh…" Danur Saka
menjerit keras. Tubuhnya melintir, kena tendangan kaki Dewi Sukmalelana.
Beruk Singgala yang melihat itu segera melenting ke
udara untuk menghadang serangan Dewi Sukmalelana yang akan disarangkan ke tubuh
kawannya.
"Heaaa..." "Heaaa..." Glar
Pukulan jarak jauh Dewi Sukmalelana beradu dengan telapak tangan Beruk
Singgala, menimbulkan percikan sinar perak dan kemerahan.
Baik Beruk Singgala maupun Dewi Sukmalelana
terpental ke belakang. Namun sama-sama tak tergoyahkan keduanya berdiri tegap.
Sementara itu Danur Saka yang sudah mulai pulih dengan geram ingin menyerang
Dewi Sukmalelana.
Namun Beruk Singgala menahannya.
"Sabar Kita harus tahu siapa perempuan itu
sebenarnya. Dan kenapa ingin membunuhmu," ujar Beruk Singgalang.
"Hi hi hi... Kalian manusia-manusia
terkutuk..." maki Dewi Sukmalelana sinis sambil menuding Beruk Singgala
dan Danur Saka.
Sementara itu para prajurit serta penonton mulai
ketakutan dan menyebar. Ada pula yang lari, menjauhi tempat itu. Sedangkan
Pangeran Sasanadipa pingsan karena mabuk. Para selir pun berhamburan pergi
masuk ke kadipaten. Hanya sebagian prajurit dan pengawal kadipaten yang masih
berada di halaman itu.
"Hm... Perempuan cantik ini ternyata sangat
cerdik. Menyamar sebagai penari Tayub. Lalu ingin membunuh. Siapa kau
sebenarnya, Perempuan Jalang?" seru Beruk Singgala geram.
"Tak perlu kau tahu siapa aku Yang pasti aku
ingin melenyapkan kalian berdua sekarang juga" Selesai berkata demikian,
Dewi Sukmalelana segera mengeluarkan jurus pembuka. Namun Beruk Singgala dengan
cepat pula mengerahkan ilmu sihirnya. Setelah ditepukkan tiga kali, telapak
tangannya dihentakkan dengan keras ke depan. Seketika muncullah makhluk-makhluk
kecil seperti tuyul dari tubuhnya. Makhluk kecil yang berjumlah puluhan itu
mempunyai taring dan bertelinga panjang.
Dewi Sukmalelana tampak kaget melihat hal itu.
Namun dengan cepat dia mengeluarkan ilmu perubah raga. Seketika wajahnya
berubah menyeramkan dan tubuhnya tiba-tiba berubah membesar. Bagai raksasa
perempuan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan hal itu
hanya geleng-geleng kepala. Makhlukmakhluk kecil seperti tuyul dan bertaring
itu menyerang Dewi Sukmalelana yang bertubuh raksasa. Seperti haus darah
makhluk-makhluk kecil berkepala botak itu menggigit tubuh mangsanya.
Namun Dewi Sukmalelana masih dapat menahannya. Dan
bahkan satu persatu tuyul-tuyul berkuping panjang itu dapat dibunuhnya.
Walaupun tubuhnya sebagian sudah kena gigitan hingga tampak tercabik-cabik.
Namun karena jumlahnya puluhan dan seperti tak
pernah habis tubuh Dewi Sukmalelana mulai terseret, seperti tak mampu
mempertahankan diri. Apalagi sudah banyak darah yang terhisap serta berceceran
dari luka-luka di tubuhnya.
Tanah di pekitaran kadipaten itu seketika dipenuhi
bercak-bercak darah yang terus menetes dari tubuh Dewi Sukmalelana. Orang-orang
yang menyaksikan kejadian aneh itu tampak merinding dan ketakutan. Ada yang
berlari. Ada pula yang bertahan sambil menutupi kedua mata.
"Ayo anak-anakku, serap dia, lemahkan ilmunya
Habisi dia..." seru Beruk Singgala sambil terus membaca mantera sihirnya.
Kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kik kik kik..." Suara makhluk-makhluk
aneh itu terdengar menyebalkan Dewi Sukmalelana. Semakin lama suara mengikik
itu semakin ramai. Orangorang menutup telinga sambil memejamkan mata, tak tahan
menyaksikan kejadian menggiriskan itu. "Kurang ajar ilmu sihir apa ini
Begitu tangguh. Oooh..., Kakang, tolonglah aku, Kakang Brajasukmana..."
keluh Dewi Sukmalelana sambil terus bertahan. Membanting dan menendang
tuyul-tuyul penghisap darah yang terus menyerangnya. Kini makhluk-makhluk itu
seperti tak kunjung habis. Terus mengurung Dewi Sukmalelana. Lalu tiba-tiba
secara bersama-sama, puluhan makhluk-makhluk botak itu melompat menyerang Dewi
Sukmalelana.
"Kik kik kik…" "Ooo...
Aaauuuwww..." Gigitan dan cakaran mereka terus merusak tubuh Dewi
Sukmalelana. Hingga tubuh raksasa wanita itu mulai goyah karena tenaganya terus
terkuras. Darah mengucur hampir dari seluruh tubuhnya. Namun anehnya, darah itu
berwarna kuning. Hal itu tentu saja membuat Beruk Singgala mengerutkan kening
keheranan.
"Hah? Edan Perempuan itu bukan manusia.... Apa
mataku tak salah lihat? Darah itu...
kuning..." gumam Beruk Singgala dengan mata
terbelalak.
Tiba-tiba Dewi Sukmalelana seperti mendapat tenaga
dari luar. Dia berteriak keras, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dan
puluhan makhluk yang menyerangnya terlempar dan kemudian diinjak-injaknya satu
persatu.
Melihat itu Beruk Singgala semakin kaget Dengan
cepat dia mengeluarkan ilmu sihirnya yang lebih dahsyat. Dari kukunya keluar
serbuk beracun. Namun Dewi Sukmalelana sudah siap.
Wanita bertubuh raksasa itu segera melawan dengan
rambutnya yang menjulur panjang tak terbatas. Rambut itu memapaki serbuk yang
mengandung racun kematian. Ketika rambutnya yang memanjang dikibaskan serbuk
itu terhempas. Namun kemudian bergulung-gulung seakanakan tengah bertarung
melawan rambut Dewi Sukmalelana yang menyambar ke sana kemari Brets Brets
"Aaakh..." Wut Wut Wut...
Rambut Dewi Sukmalelana kini menghantam kedua tokoh
sesat itu. Teriakan dan jeritan terdengar dari Beruk Singgala dan Danur Saka
yang terhantam rambut wanita itu. Namun hal itu tampaknya tak membahayakan
kedua anggota Partai
Panca Siwara. Dalam sekejap, Beruk Singgala balik
menyerang dengan mengeluarkan kembali makhluk aneh dengan ilmu sihirnya.
Dimulai dengan datangnya angin kencang, terdengar
suara tawa aneh dan mendesis-desis.
Disusul kepulan asap hitam bercampur ungu,
bergulung-gulung, lalu menjelma menjadi sesosok makhluk aneh, dari kepala
sampai batas pinggang berwujud perempuan, dengan mata menyala merah dan mulut
bertaring. Sedangkan dari pinggang ke bawah berwujud badan ular naga. Mulutnya
terdengar mendesis-desis.
Dewi Sukmalelana nampak mulai mengerahkan seluruh
kekuatan. Sama-sama menggunakan ilmu gaib.
Namun, rupanya ada orang yang tak ingin pertarungan
ilmu sihir itu berlanjut. Tiba-tiba dua sosok manusia melenting ke udara dan
dengan cepat mendarat di antara kedua makhluk itu.
Mereka ternyata Pendekar Gila dan Mei Lie. Setelah
mendarat Pendekar Gila segera mengeluarkan aji ‘Tamparan Sukma’. Sebuah ilmu
yang mampu menghancurkan ilmu sihir dan bangsa siluman.
"Heaaa..." Wut Glarrr Glarrr...
Pukulan Pendekar Gila ke arah kedua siluman itu
menimbulkan ledakan dan bias cahaya keperakan. Seketika dua makhluk aneh
jelmaan Dewi Sukmalelana dan makhluk ciptaan ilmu sihir Beruk Singgala, hancur
lalu lenyap bersama ledakan itu.
Sedangkan Mei Lie siap dengan Pedang Bidadari-nya
untuk menyambut serangan Beruk Singgala atau Danur Saka.
Keadaan semakin kacau balau. Para prajurit yang
melihat kejadian itu ketakutan dan lari untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Dugaan Mei Lie benar. Beruk Singgala dan Danur Saka
yang kurang senang dengan ikut campurnya Pendekar Gila menjadi marah. Sementara
itu Dewi Sukmalelana cepat menghilang, ketika tahu kalau Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut Nyawa datang membelanya. Sebab Dewi Sukmalelana tak ingin
kedua pendekar mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Kau rupanya Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa Kalian telah menghalangi usahaku untuk membunuh perempuan iblis
itu Heaaa..." Beruk Singgala langsung menyerang Mei lie dengan serbuk
beracun yang dikeluarkan dari kuku-kuku runcingnya. Namun gadis cantik itu
cepat mengelak dengan melenting ke atas dan bersalto beberapa kali. Setelah
melewati kepala Beruk Singgala, dengan mulus Mei Lie mendarat di tanah.
Kemudian langsung membuka jurus pamungkas ‘Pedang Tebasan Batin’. Sebuah jurus
sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya akan mengalami
keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Namun jika tertiup
angin, maka langsung hancur menjadi debu.
Beruk Singgala dan Danur Saka tersentak menyaksikan
jurus yang aneh dan terkenal itu.
Keduanya tampak tegang menyaksikan jurus yang
diperagakan Bidadari Pancabut Nyawa. Namun karena yakin ilmu sihirnya. Beruk
Singgala kembali memejamkan mata untuk memusatkan diri dan membaca mantera, mencipta
sihir.
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya memperhatikan
kekasihnya, bergerak mulai ikut campur. Dengan cepat dirinya mengeluarkan ilmu
‘Tamparan Sukma’ Tamparan itu mengerahkan kekuatan sukma atau jiwa. Gerakannya
nampak lambat, namun hasilnya sangat dahsyat.
"Heaaa..." Jlgarrr...
"Aaa..." Beruk Singgala yang belum sempat
berhasil mengeluarkan sihirnya, menjerit keras. Tubuhnya melintir bagai
terbakar. Dan Danur Saka, yang melihat itu, tersentak kaget. Wajahnya yang
beringas berubah pucat. Kemudian tanpa menghiraukan kawannya, segera lari
meninggalkan pertempuran.
"Tak mungkin aku mampu menghadapi Pendekar
Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...," gumam Danur Saka sambil terus
melesat karena ketakutan.
Sementara Beruk Singgala masih menjeritjerit.
Ketika Mei Lie akan membabatkan Pedang Bidadari-nya, lelaki tua berjubah hitam
itu tiba-tiba menghilang.
"Hah...?" Mei Lie mendengus kesal. Namun
tetap waspada dengan pedang saktinya. "Aneh Ke mana manusia itu?"
"Hi hi hi.." Sena hanya tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa Kakang tertawa...?" kata Mei Lie
kesal. "Biarlah dia pergi Cepat atau lambat dia akan menemui
ajalnya," kata Sena memberi tahu Mei Lie.
Mei Lie hanya cemberut. Hatinya benarbenar kesal
karena tak berhasil membunuh tokoh-tokoh sesat itu.
"Sudahlah, sebaiknya kita pulihkan pikiran dan
tubuh Kanjeng Pangeran. Setuju?" Mei Lie hanya mengangguk. Lalu melangkah
mengikuti Sena menuju bangunan besar dan megah, tempat kediaman Pangeran
Sasanadipa.
Orang-orang ternyata menyambut Sena dan Mei Lie
dengan penuh hormat.
5
Di sebuah rumah tua yang terletak di tengah Hutan
Palasari, terdengar suara seorang lela-ki yang sedang marah-marah.
"Kau terlalu ceroboh Kenapa kau bertindak
tanpa memberi tahu, atau minta izinku...? Kau telah mengacaukan rencanaku.
Sekarang Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa pasti akan terus mencari
tahu siapa kita sebenarnya.
Aku tak mau hal itu terjadi. Biar Pendekar Gila
tahu siapa kita, setelah kita dapat memusnahkan orang-orang yang pernah
menghancurkan kita..." Suara itu ternyata keluar dari mulut sesosok lelaki
berambut panjang dan berpakaian serba merah. Tangannya mendekap sebuah kecapi.
Lelaki bertubuh gagah, tapi tanpa kaki itu tak lain
si Penyair Maut Wajahnya tampak lebih jelas karena rambut yang biasanya menutupi,
kini agak teratur. Raut wajahnya menyiratkan perasaan duka yang mendalam. Tak
tampak sedikit pun gambaran bahwa lelaki berpakaian serba merah itu seorang
yang berhati keras atau jahat "Maafkan aku, Kakang Tapi maksudku agar
Kakang tidak terlalu repot-repot lagi. Aku tak mau Kakang mendapat
celaka...," jawab wanita cantik berkain penutup dada warna hijau.
"Aku mengerti. Tapi kau terlalu ceroboh Dan
karena kecerobohanmu itu, aku sempat bentrok dengan Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa. Karena ulahmu, kedua pendekar muda itu kini menyelidiki kita...
Itu yang membuat aku marah dan kesal," tambah Brajasukmana, lelaki buntung
itu.
Kemudian, lelaki buntung itu duduk di sebuah kursi
tua, terbuat dari kayu jati. Disandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan
menghela napas dalam-dalam.
"Kakang, aku kira Pendekar Gila tidak
bermaksud buruk terhadap kita. Tadi aku sempat ditolongnya. Kenapa Kakang mesti
cemas...?" tukas wanita muda yang ternyata Dewi Sukmalelana.
"Sudah kukatakan. Aku tidak mau orang lain
ikut campur dengan urusan kita. Urusanku Bila Pendekar Gila masih saja mau
menyelidiki ki-ta, aku terpaksa melawannya. Tapi sebelumnya, aku akan membunuh
Beruk Singgala dan Danur Saka itu terlebih dulu. Kepalang basah Bila perlu
Kadipaten Galih Putih kuhancurkan" Brajasukmana nampak sangat kesal dan
murka. Sikapnya yang sebenarnya tenang mendadak berubah. Dewi Sukmalelana heran
dan kaget mendengar ucapan lelaki buntung itu.
"Kakang, apa ucapanmu itu benar-benar akan kau
wujudkan? Atau hanya menutupi kemarahanmu padaku...?" tanya Dewi
Sukmalelana.
"Akan kubuktikan ucapanku, jika memang keadaan
memungkinkan bagi kita," jawab Brajasukmana dengan mantap.
Dewi Sukmalelana hanya menghela napas panjang,
memandangi suaminya dengan tatapan mata sendu.
Sesaat keduanya diam. Tak sepatah kata pun
terdengar suara mereka. Seakan keduanya hanya bicara pada diri masing-masing.
"Aku minta biar dalam keadaan bagaimanapun,
jangan kau membuka rahasia kita, Dewi Yang penting kita sekarang harus cepat
membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka, agar dendam kita terbalas dengan
tuntas. Urusan Pendekar Gila dan Kadipaten Galih Putih nomor dua Ayo, kita
berangkat mencari Beruk Singgala dan Danur Saka Aku sudah tak sabar lagi, ingin
menghisap darahnya" kata si Penyair Maut dengan geram. Lalu bangkit dari
duduknya dan melesat keluar dari rumah tua itu. Diikuti Dewi Sukmalelana yang
nampak kurang bersemangat.
***
Di markas
Beruk Singgala, nampak Danur Saka sedang bicara dengan Beruk Singgala.
Ruangan itu dipenuhi dengan tengkoraktengkorak
manusia dan macam-macam binatang.
Bau kemenyan dan dupa menyengat hidung.
Beruk Singgala duduk bersila, menghadapi tempat
kemenyan. Mulutnya komat-kamit, seperti membaca mantera. Asap dari pendupaan
itu mengepulkan asap putih.
"Kita tidak boleh mendiamkan keadaan seperti
ini lebih lama lagi, Kakang Beruk. Kita harus segera kembali ke kadipaten,
sebelum Pendekar Gila mempengaruhi pangeran. Bisa kacau rencana kita Apa pun
yang terjadi, aku sudah siap sekarang. Demi kawan-kawan kita yang telah binasa,
dibunuh orang yang belum jelas bagi kita," ka-ta Danur Saka dengan nada
geram.
"Ya. Kau benar. Kita harus mengadakan
perhitungan dengan Pendekar Gila dan kekasihnya. Aku ingin mencicipi tubuh
gadis Cina itu.
Pasti lezat He he he..." sahut Beruk Singgala.
"Kau bicara soal perempuan saja. Kali ini kita
tak boleh meremehkan siapa pun. Apalagi Pendekar Gila. Kau nanti bisa celaka
sendiri, Kakang Beruk," tukas Danur Saka mengingatkan Beruk Singgala.
"Ha ha ha... Kau benar, Kawan. Tapi akan
kubikin gadis itu tunduk padaku. Dengan mantera pengasihan ini, gadis mana pun
akan selalu tertarik kepadaku. Ha ha ha..." Beruk Singgala nampak yakin,
bahwa dirinya akan dapat memanggil Mei Lie, dengan ilmu sihir dan peletnya. Dia
terus memasukkan kemenyan ke dalam dupa. Asap pun kembali mengepul ke udara.
Danur Saka nampak kurang suka, sebab ada firasat
yang tak enak dirasakan dalam hatinya. Dirinya tahu bahwa Pendekar Gila maupun
Mei Lie, memiliki ilmu yang mampu menangkal sihir atau teluh. Maka itu dia tak
yakin pada usaha Beruk Singgala.
Benar. Belum sempat Beruk Singgala berhasil
mendatangkan Mei Lie dengan manteramantera setannya, tiba-tiba markasnya
berguncang. Bagai kena gempa bumi. Lalu disusul suara ledakan menggetegar.
Brakkk Glarrr...
Beruk Singgala tersentak kaget. Pikirannya yang
terpusat mengerahkan ilmu sihir, terganggu.
Wajahnya merah dengan mata membelalak karena marah.
"Ada apa di luar...?" tanyanya pada Danur
Saka yang juga memasang telinga.
"Aku tak tahu Yang jelas ada orang asing
mendekati markas kita. Sebaiknya hentikan itu.
Ayo kita keluar" sahut Danur Saka lalu
bangkit.
Beruk Singgala berpikir sejenak dengan wajah kesal
dan geram. Lalu bangkit dari duduknya, sambil membanting kemenyan di tangan
kanannya.
"Huh" Sementara di luar mendung tebal
menutup langit. Awan hitam berarak-arak. Angin kencang bertiup, seakan hendak
menghempaskan apa saja yang ada. Menambah sore hari itu semakin mencekam. Sepi
dan sunyi.
"Hah? Pohon di sebelah sana roboh dan
terlempar. Aneh..." sentak Danur Saka sambil mengerutkan kening. Matanya
segera menyapu sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam.
Beruk Singgala memilin kumisnya dengan tangan kiri.
Matanya yang bagai mata elang dengan tajam memandang dan melirik ke kiri dan
kanannya.
"Hm... Ada apa kiranya? Perasaanku tibatiba
kurang enak." Beruk Singgala melangkah mendekati pohon yang roboh itu.
Tiba-tiba terdengar alunan syair dari mulut
seseorang. Suara itu terdengar dari tempat yang tak jauh. Namun tak tahu siapa
yang mengucapkannya. Hal itu membuat Beruk Singgala dan Danur Saka tersentak
kaget bukan main. Keduanya saling pandang, lalu segera berpencar, mencari
tempat asal suara syair itu.
Kidung Kehidupan Pertama Kali Dia Hadir Tetesan
Darah Akan Tiba Hitung Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar Nyawa Hutang Pati
Harus Dibayar Pati...
Mendengar syair maut itu Danur Saka merasa kaget.
Sedangkan Beruk Singgala berusaha untuk mengumpulkan ilmu sihirnya. Sesaat
kemudian terdengar suara petikan kecapi melengking nyaring, sampai memekakkan
telinga. Nadanya sangat mengenaskan, membuat Beruk Singgala dan Danur Saka
terperangah. Suara kecapi itu semakin lama semakin keras. Mendung pun semakin
gelap menambah suasana tercekam. "Aneh" gumam Beruk Singgala heran,
"Aku tak dapat menggunakan ilmuku..." Beruk Singgala dan Danur Saka
memasang telinga dan matanya tajam. Mencari siapa yang telah membawakan syair
tersebut. Namun belum sempat Danur Saka dan Beruk Singgala tahu, tiba-tiba
sesosok bayangan merah berkelebat begitu cepat laksana terbang. Dan....
Wrt Cras Cras "Aaakh..." Begitu cepat
bayangan itu melesat melancarkan serangan terhadap Danur Saka dan Beruk
Singgala. Sehingga keduanya tak sempat menangkis atau mengelak. Seketika itu
pula, keduanya menjerit setinggi langit. Tangan mereka menutupi wajah yang
mengucurkan darah. Tubuh Danur Saka seketika ambruk tanpa nyawa. Sedangkan
Beruk Singgala masih beruntung, hanya terluka bagian dadanya. Dengan gerak
cepat Beruk Singgala mengumpulkan tenaga dalam-nya.
"Kurang ajar" maki Beruk Singgala,
"Siapa kau, manusia atau hantu...?" "Beruk Singgala, kau manusia
paling busuk di dunia Sekarang bersiaplah berangkat ke akherat.." ujar
lelaki berpakaian merah yang tak lain Brajasukmana. Senyum sinis mengembang di
bibir lelaki buntung itu. Kemudian kembali bersyair. Kali ini bersahut-sahutan
dengan Dewi Sukmalelana yang tiba-tiba muncul di belakang Beruk Singgala.
"Hah...?" Beruk Singgala kaget, ketika
menoleh ke belakang, melihat Dewi Sukmalelana menyeringai seram. Giginya
bertaring. Wajahnya tidak secantik ketika menjadi penari Tayub.
Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuh Beruk
Singgala. Napasnya naik turun dengan cepat, menandakan rasa takut yang tak
terkira.
"Kau, Perempuan Iblis...? Jadi kau memang
sudah merencanakan untuk membunuhku..." seru Beruk Singgala coba berkata
keras, untuk menutupi ketakutannya.
"Hi hi hi... Ya, Manusia Terkutuk Kini ajalmu
tinggal hampir tiba. Hi hi hi... Kakang, tua bangka ini sebaiknya kuserahkan
pada Kakang saja. Aku ingin menyaksikan dia mati di tanganmu, Hi hi hi..."
Selesai berkata begitu Dewi Sukmalelana menghilang. Hanya tawanya yang masih
terdengar, mengerikan. Sekujur tubuh Beruk Singgala semakin basah oleh
keringatnya, karena menahan rasa takut yang amat sangat.
"He he he.., Beruk Singgala Orang macam kau tak
perlu cepat-cepat kumatikan. Aku ingin mengajak kau main-main dulu. Kalau aku
mau membunuhmu, sudah dari tadi kau mampus...
He he he...," ujar si Penyair Maut sambil
terkekeh sinis. Beruk Singgala tertegun sesaat. Hatinya menimbang-nimbang,
untuk tidak melawan. Namun kesombongan dan karena merasa malu kalau lari dari
lelaki buntung itu, memaksanya mengambil keputusan untuk bentrok dengan lelaki
buntung. Walaupun dia sadar tak akan mudah mengalahkan lelaki buntung itu.
Tiba-tiba Brajasukmana atau si Penyair Maut
mendengus. Matanya menatap garang pada Beruk Singgala. Kedua lutut, buntungnya
terangkat ke atas bagai terbang. Sepasang tangannya yang tadi di dada
perlahan-lahan bergerak turun.
Beruk Singgala bersurut mundur.
"Heaaat.." Lelaki buntung membentak buas
lalu hantamankan tangan kanannya ke tubuh lawan. Serangkum angin deras melesat
menerjang Beruk Singgala. Namun lelaki berjubah hitam itu cepat menyingkir.
"Aku akan ladeni mainanmu, Orang
Buntung..." Wuts "Heaaat.." Kembali serangkum angin menyapu
ganas.
Kali ini datang dari samping. Untuk kedua kalinya
Beruk Singgala melompat dan berhasil selamatkan diri.
"He he he..., bagus kau masih bisa mengelak
seranganku, Manusia Terkutuk Kau boleh senang-senang dulu.... Ini baru
permainan pembuka...," seru lelaki buntung dengan sinis, "Dewi,
keluarlah Mari kita beri pelajaran manusia terkutuk ini Biar tambah
ramai..." Dewi Sukmalelana seketika muncul, dalam bentuk seperti biasa,
cantik dan tersenyum lebar.
"Aku juga ingin perminan lebih seru, Kakang.
Hi hi hi..." Bersama Dewi Sukmalelana lelaki buntung atau si Penyair Maut
itu menyerbu Beruk Singgala. Menghadapi satu saja belum tentu dapat
mengalahkan, apalagi kini menghadapi dua sekaligus.
Terpaksalah Beruk Singgala bertindak cepat dan
berhati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah, tak ampun lagi, serangan
lawan pasti akan mencelakakannya. Bahkan nyawanya melayang "Kalian
curang..." seru Beruk Singgala sambil berkelebat mengelak tiada hentinya.
Melenting ke sana kemari. Berguling di tanah dan melompat ke atas pohon.
"He he he Hebat juga si monyet ini... Aku
rasanya sudah tak sabar ingin menghisap darahnya. Mencincangnya, Dewi".
6
Dua kali pukulan keras lelaki buntung bersarang di
tubuh Beruk Singgala. Lalu satu jotosan Dewi Sukmalelana menghantam rusuknya
pula.
Beruk Singgala tampak terhuyung-huyung. Mulutnya
meringis menahan rasa sakit yang berat.
Salah satu pukulan lelaki buntung tadi telah
membuat tubuhnya terluka dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat, maut
pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya Beruk Singgala sedapat mungkin harus
berusaha mengintai kelengahan lawan, agar dapat menerobos keluar dari kurungan
mereka lalu melarikan diri.
"Heaaat.." Tiba-tiba Beruk Singgala
melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya. Lalu
disusul dengan serangan senjata rahasianya.
Slats Slats Brajasukmana dan Dewi Sukmalelana
melompat jauh untuk mengelakkan pukulan. Sedang untuk menangkis senjata rahasia
itu, si Penyair Maut menggunakan kecapinya. Dewi Sukmalelana menggunakan
rambutnya yang tiba-tiba berubah memanjang, menghalau senjata rahasia yang
berbentuk bintang.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu
Beruk Singgala. Melihat adanya kesempatan, tanpa membuang-buang waktu, Beruk
Singgala dengan cepat memutar tubuh dan kabur. "Kurang ajar Rupanya
keparat busuk itu tak boleh dikasih hati Sekarang saatnya kita harus lenyapkan
dia" seru si Penyair Maut dengan geram. Keduanya cepat melesat memburu
Beruk Singgala. Seketika Beruk Singgala tersentak kaget. Dirinya tak menyangka,
kedua lawannya akan mampu mengejar. Karena merasa sudah kepalang basah, Beruk
Singgala yang penasaran segera melepas pukulan ke arah kepala lelaki buntung.
Sambil mendengus si Penyair Maut menangkis dengan kecapinya, lantas dengan
cepat membalas dengan pukulan. Dua kepalan beradu hingga mengeluarkan suara
keras. Beruk Singgala terpekik, tubuhnya terdorong sampai enam tombak ke
belakang. Dan ketika diperhatikan tiga jari tangan kanannya telah hancur. Di
depannya, ketika Beruk Singgala mengangkat muka, sudah berdiri tegak si Penyair
Maut yang bertolak pinggang dan menyeringai, mengejek.
"He he he... Apa kau masih berdoa untuk minta
ampun pada Hyang Widhi? Supaya dosadosamu berkurang?" tukas lelaki buntung
sinis.
Beruk Singgala tak menjawab, bibirnya gemetaran.
Wajahnya kaku. Matanya mulai menyipit, menahan rasa sakit, karena jari
tangannya hancur. Dan mendadak Beruk Singgala mencabut keris dari dalam
bajunya. Dengan gerakan cepat langsung menyerang lelaki buntung dengan
menusukkan keris pusakanya.
Sinar kebiruan yang disertai angin panas, menyembur
dari keris itu "Heaaat..." Namun, si Penyair Maut dan Dewi
Sukmalelana cepat tanggap. Keduanya melompat mundur sambil menangkis dengan
kecapi. Dewi Sukmalelana melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata berubah
jadi amat panjang. Ikat pinggang dari kain warna merah hati itu melilit kedua
tangan Beruk Singgala. Lalu Dewi Sukmalelana memutar-mutarnya dengan cepat,
hingga tubuh Beruk Singgala berputar-putar seperti kipas.
"Aaauwww... Aaauuuwww..." Beruk Singgala
menjerit-jerit. Namun Dewi Sukmalelana semakin cepat memutarnya. Dan lelaki
buntung yang sejak tadi sudah tak dapat menahan dendam dan amarah. Maka, dengan
cepat menyentakkan senar-senar kecapi. Senar-senar itu bagai hidup, menghantam
wajah Beruk Singgala sampai berantakan, tak karuan. Beruk Singgala terus
menjerit-jerit kesakitan.
"Habisi saja sekarang, Kakang" seru Dewi
Sukmalelana, lalu tertawa terbahak-bahak.
Si Penyair Maut kemudian menghantamkan kecapinya ke
kepala Beruk Singgala. Kepala Beruk Singgala hancur. Belum cukup puas sampai di
situ, lelaki buntung dan Dewi Sukmalelana menyayat seluruh tubuh Beruk Singgala
dengan pisau "Aku kini puas, puas Ha ha ha... Kini gili-ranku untuk
menikmati kekuasaan," lelaki buntung itu kini berubah total perangainya.
Mungkin karena menghisap darah dan memakan daging Beruk Singgala, manusia berilmu
sihir yang disegani itu. Wajah lelaki buntung juga seketika berubah
menyeramkan.
"Kakang, dendam kita sudah terbalas.
Mengapa harus menyakiti orang-orang yang tak ada
dalam catatan kita? Lebih baik kita pergi jauh dari Kadipaten Galih Putih"
ujar Dewi Sukmalelana kurang setuju dengan rencana Brajasukmana.
"Hm... Kau mulai jadi pengecut, Dewi. Aku
benci orang pengecut Kau tahu kita telah menderita cukup lama? Dan kita sudah
alami siksaan batin menjadi orang yang selalu mengalah dan jujur. Kita
diinjak-injak mereka yang jahat dan berkuasa. Mereka menghalalkan segala cara.
Sampai kehancuran melanda Padepokan Gunung Talang Apa kau sudah lupa...?"
tutur Brajasukmana.
Dewi Sukmalelana diam tak menjawab.
Hanya matanya yang bicara. Memandangi peringai
suaminya, yang kini telah berubah.
"Kini aku ingin berkuasa. Dengan caraku.
Kalau kau mau ikut aku senang. Tapi kalau kau
menolak, aku pun tak memaksa. Aku akan menantang siapa pun, termasuk Pendekar
Gila. Jika dia menghalangi keinginanku. Ha ha ha.... Dan aku harus dapat kuasai
Kadipaten Galih Putih" tutur Brajasukmana dengan penuh keyakinan.
Lalu si Penyair Maut tertawa-tawa sambil melangkah
meninggalkan tempat itu. Mayat Beruk Singgala dipanggulnya. Walaupun tubuhnya
tidak normal, tapi Brajasukmana tak ada kesulitan memanggul mayat Beruk
Singgala yang sudah tak utuh itu. Lalu melesat dan menghilang. Dewi Sukmalelana
hanya memandangi dari belakang.
Lalu setelah berpikir, baru Dewi Sukmalelana juga
melesat menyusul Brajasukmana, si Penyair Maut
***
Prajurit
Kadipaten Galih Putih dikejutkan oleh sesosok mayat yang tergeletak di
pelataran pintu masuk kadipaten. Membuat suasana jadi ribut "Ada mayat...
Mayat... Mayat.." teriak pa-ra prajurit dan beberapa orang yang
melihatnya.
Mereka mengerumuni mayat yang wajahnya rusak dan
sebagian tubuhnya luka-luka gigitan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang baru saja akan
meninggalkan kadipaten, setelah menyembuhkan Pangeran Sasanadipa, terkejut
mendengar teriakan itu. Segera keduanya kembali ke kadipaten.
"Aneh, tadi kita tak melihat mayat di
pelataran itu...?" gumam Mei Lie dengan mengerutkan kening.
Para pengawal dan pangeran pun keluar.
Nampak wajah Pangeran Sasanadipa yang telah
disembuhkan oleh Sena dengan menyalurkan tenaga dalam ke tubuh pangeran serta
ajian ‘Pemulih Saraf’. Pangeran Sasanadipa kini telah sembuh dari segala macam
pengaruh ilmu sihir.
"Minggir..., pangeran akan lewat" seru
Adhitia, pengawal yang setia pada pangeran.
Semua orang memberi jalan pada sang Pangeran.
Sementara Sena dan Mei Lie pun telah sampai ke tempat itu.
"Oh, Sena, kukira kalian berdua sudah
pergi..." tegur sang Pangeran dengan ramah.
"Baru saja kami hendak pergi, tapi kami
mendengar teriakan mereka, jadi kami kembali untuk melihat mayat ini,
"jawab Sena, lalu menggaruk-garuk kepala. Matanya segera memperhatikan
mayat yang tergeletak di depannya.
"Hah?" gumam Pangeran Sasanadipa keti-ka
melihat mayat itu, "Beruk Singgala Aku masih mengenal pakaiannya dan
gelang bahar berkepala ular di tangan kirinya" Pendekar Gila segera berjongkok
dan memeriksanya. Keningnya tiba-tiba berkernyit, "Jangan ada yang
menyentuh mayat ini" seru Sena.
"Kenapa?" tanya Pangeran Sasanadipa ingin
tahu.
"Mayat ini mengandung racun. Siapa yang
memegangnya akan mati dalam sekejap," jawab Sena cengengesan.
"Jadi, bagaimana untuk memindahkan mayat ini,
Sena?" tanya Pangeran Sasanadipa cemas. "Hi hi hi... Biar saya saja
yang memindahkan jauh dari kadipaten ini. Tenang sajalah, Pangeran" kata
Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera
menarik napas dalam-dalam. Dia nampak mengumpulkan tenaga dalam lalu segera
mengangkat mayat Beruk Singgala. Dalam sekejap tubuhnya melesat bagai anak
panah, meninggalkan halaman kadipaten.
Semua yang melihatnya merasa kagum dan bergeleng
kepala. Begitu juga Pangeran Sasanadipa.
"Sungguh menakjubkan. Sena benar-benar
pendekar yang paling sederhana dan sempurna.
Perkasa, jujur, dan berbudi luhur...," gumam
Pangeran Sasanadipa.
Mei Lie hanya tersenyum mendengar pujian sang
Pangeran untuk kekasihnya.
Tak berapa lama, Sena pun sudah kembali dengan
cangar-cengir dan menggaruk-garuk kepala. "Terima kasih, Sena Kau telah
banyak menyelamatkan jiwa prajuritku. Juga jiwa dan pikiranku. Kalau kau tak
keberatan, sudilah kiranya kau dan Mei Lie tinggal beberapa hari lagi di
kadipaten...," kata Pangeran Sasanadipa.
"He he he... Maaf, Pangeran. Maksud Kanjeng
Pangeran sangat kami hargai. Tapi masih ada tugas yang menanti kami. Kami
berjanji akan kembali, untuk menjenguk Pangeran...," kata Se-na seraya
menjura.
"Benar, Pangeran. Percayalah..." tambah
Mei Lie dengan diiringi senyum manis.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan.
Kami akan selalu menerima kalian dengan senang
hati. Selamat Sena, Mei Lie Hati-hati..." ucap Pangeran Sasanadipa, lalu
menjabat tangan Sena dan Mei Lie.
"Pesan kami harap waspada setiap saat
Perintahkan para prajurit berjaga-jaga" ujar Sena mengingatkan Pangeran
Sasanadipa.
"Terima kasih, Sena Aku akan selalu
waspada..." jawab Pangeran Sasanadipa dengan ramah. Pendekar Gila dan Mei
Lie lalu melangkah meninggalkan halaman Kadipaten Galih Putih.
Sementara itu para prajurit dan orangorang mulai
bubar. Pangeran pun kembali masuk ke kadipaten.
***
Pendekar
Gila dan Mei Lie menelusuri jalan di sekitar Hutan Jati. Keduanya merencanakan
untuk mencari lelaki buntung dan Dewi Sukmalelana. Ingin menyelidiki, siapa
sebenarnya sepasang manusia aneh itu.
"Kakang, aku yakin lelaki buntung itu yang
membunuh Beruk Singgala. Jelas kini, antara mereka ada latar belakang yang
sangat buruk" ujar Mei Lie mencoba menyampaikan gagasannya.
"Hi hi hi... Kau benar, Mei. Aku punya
firasat, si buntung itu akan jadi murka setelah dapat membunuh orang-orang yang
dianggap telah merusak dan menyakiti dirinya. Mungkin saja dia berubah sifat
dan tindak-tanduknya, hingga membahayakan kita semua," kata Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang bisa menduga demikian?"
tanya Mei Lie.
"Ah, sudahlah Kita lihat nanti. Mungkin kita
nanti juga menjadi orang yang diincar si buntung itu," jawab Sena lagi.
"Apa Kakang takut menghadapi orang macam
itu?" tanya Mei Lie dengan mengerutkan kening. "He he he... takut?
Bagi orang yang benar tak ada istilah takut. Tujuan kita kan baik," jawab
Sena, lalu tertawa-tawa.
"Huh..." gumam Mei Lie dengan cemberut.
Tak terasa keduanya telah sampai di depan sebuah
rumah tua yang menyeramkan.
"Hah? Kenapa kita bisa sampai di tempat
sesunyi ini, Kakang? Bukankah kita akan ke Desa Sarangan?" Sena
mengisyaratkan agar Mei Lie tak berbicara lagi. Lalu dengan mengendap-endap,
Pendekar Gila mendekati rumah tua yang sunyi dan nampak angker itu. Mei Lie
mengikuti di belakang. Matanya segera menyapu ke sekeliling tempat itu. "Bau
amis, Kakang...," bisik Mei Lie sambil menutupi hidung dengan tangan
kirinya.
"Ssst.." Pendekar Gila memberi isyarat
agar Mei Lie diam.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna,
Pendekar Gila melompat memasuki rumah angker itu. Sepi dan tak ada siapasiapa.
Gelap dan pengap, Pendekar Gila segera menyapu seisi rumah tua itu dengan
pandangannya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa rumah tua itu berpenghuni.
Hanya ada sebuah kursi yang sudah kotor terbuat
dari kayu jati. Dan kaca berukuran besar berbingkai ukiran. Kaca itu sudah
retak.
Mei Lie mendekati kaca itu. Ketika tangannya hendak
memegang, tiba-tiba terasa hawa panas keluar dari kaca itu. Dan seakan mata Mai
Lie melihat sosok wajah manusia menyeringai menakutkan dari kaca. Dengan cepat
gadis itu mundur dua langkah sambil mencabut Pedang Bidadari-nya.
"Huh..." dengus Mei Lie sambil menghunus
pedangnya.
"Ada apa, Mei?" tanya Sena sambil menoleh
dan cepat mendekati kekasihnya.
"Aku merasakan alam gaib, Kakang. Dari kaca
itu ada hawa panas menerpa wajahku. Dan sosok makhluk muncul dari kaca itu.
Menyeramkan" tutur Mei Lie. Matanya tak berkedip dan terus mengawasi kaca
kuno itu.
Brak Brak Tiba-tiba pintu rumah tua itu tertutup dengan
keras. Disusul pintu dan jendela yang lain dari rumah itu.
Pendekar Gila bukannya takut. Mulutnya cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa. Membuat Mei Lie kesal.
"Hi hi hi... lucu Ada yang mengajak kita
main-main, seperti anak kecil, Mei," kata Sena yang terus bertingkah
seperti orang gila.
"Kakang... Jangan bercanda Kita dalam
bahaya," bisik Mei Lie begitu dekat dengan Sena.
Pendekar Gila hanya tertawa-tawa terus, seakan tak
peduli akan ucapan Mei Lie. Gadis Cina itu cemberut dan makin kesal melihat
ulah kekasihnya.
"Tenang, Mei Ketenangan akan membawa hasil
yang baik. Hi hi hi... Hei, siapa pun kau adanya, keluar Jangan main
sembunyi-sembunyi Kami datang untuk damai. Bukan menjadi musuh atau
jahat," seru Sena sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
Tak ada jawaban. Makin sepi dan mencekam. Tiba-tiba
angin berhembus kencang sekali.
Daun-daun jendela terbuka dan tertutup lagi
berulang-ulang. Seperti ada yang menutupi dan membuka. Kemudian berhenti
sendiri, keadaan kembali sunyi dan sepi.
"Aneh Benar-benar rumah hantu" gumam Mei
Lie kesal.
"Cit, cit, cit.." Tiba-tiba seekor
kelelawar terbang menyambar Mei Lie. Namun dengan cepat gadis itu membabatkan
pedangnya.
Cras Cras Kelelawar itu mati seketika. Namun,
setelah jatuh ke lantai rumah, kelelawar itu hilang.
Hanya asap mengepul di bekas jatuhnya kelelawar.
Sungguh-sungguh ajaib. Pikir Mei Lie tak mengerti.
"Kakang, sebaiknya kita segera pergi dari
rumah hantu ini Aku muak dengan keadaan di sini" kata Mei Lie geram. Lalu
segera dia melesat keluar dari rumah tua yang angker itu. Rumah itu tak lain
tempat tinggal si Penyair Maut dan Dewi Sukmalelana.
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepala. Dia masih berada didalam rumah tua itu. Baru setelah merasa yakin tak
ada yang muncul, Sena segera keluar.
Ternyata di luar Mei Lie tak ada. Sena mencarinya.
"Mei...? Mei Lie...? Di mana kamu, Mei...?"
Pendekar Gila nampak heran. Segera dia mencari ke dalam rumah lagi, namun tak
ada.
Cepat Sena keluar lagi, lalu melangkah ke belakang
rumah tua itu. Dan, ternyata Mei Lie terperangkap jebakan. Jala Mei Lie
tergantung dalam jala berduri. Dia berusaha untuk keluar dengan membabatkan
pedangnya, namun sulit, karena duri-duri menusuk-nusuk ke tubuhnya bila
bergerak. "Akh, ukh..." keluh Mei Lie. Yang tubuhnya mulai terluka.
"Mei...?" Sena segera mengeluarkan ajian
‘Inti Brahma’ Digosok-gosok telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam.
Maka dari telapak tangan tiba-tiba keluar api. Bergulung-gulung membentuk
bola-bola api.
"Heaaa..." Pendekar Gila menghentakkan
telapak tangan ke jala berduri itu. Bola-bola api meluncur dan membakar jala
berduri itu. Mei Lie cepat melompat turun, begitu jala itu mulai terbakar dan
terbuka. Setelah itu jala duri pun terbakar habis.
"Ooo..." Mei Lie mengeluh. Memegangi
lengannya yang terkena duri.
"Duri-duri itu beracun. Jangan banyak bergerak
Tahan napas, Mei" kata Sena. Yang segera mengobati Mei Lie yang terluka
oleh duri beracun. Wajah gadis itu mulai berkeringat dan lemas. Sena terus
berusaha menyatukan tenaga dalamnya ke
tubuh Mei Lie. Getaran kuat terjadi di tubuh gadis
itu, karena mengalirnya tenaga dalam Pendekar Gila yang mulai menyatu.
"Ukh..." Mei Lie memekik pendek, lalu
tubuhnya lemas dan pingsan. Sena nampak lega. Karena ternyata kekasihnya dapat
diselamatkan dari bahaya. Napas Sena pun naik turun dengan cepat.
Keletihan akibat mengeluarkan tenaga dalam.
"Kau telah lolos dari bahaya, Mei..."
gumam Sena sambil terus memegangi tubuh kekasihnya. Mei Lie tak sadarkan diri
beberapa saat.
Namun setelah itu tubuhnya berangsur kembali pulih.
"Ohhh..., Kakang...?" terdengar suara Mei Lie yang lemah.
"Tenang, kau sudah dapat melawan racun itu.
Semua ini karena, Hyang Widhi masih memberikan kasih dan sayang padamu,
Mei...," kata Sena menghibur Mei Lie.
Mei Lie bangun dari rebahannya, memijit keningnya
sejenak, dan berucap lemah.
"Kita cepat tinggalkan tempat ini, Kakang....
Aku tak ingin mati konyol" Sena menggaruk-garuk kepala dan
manggut-manggut. Segera sepasang pendekar itu melesat meninggalkan rumah tua.
Dari kegelapan, sepasang mata merah mengamati kedua
pendekar yang pergi meninggalkan rumah tua itu.
"Hi hi hi... Ternyata ilmu Pendekar Gila boleh
juga. Tapi si Bidadari Pencabut Nyawa tak sehebat Pendekar Gila..."
terdengar suara dari seorang yang tak lain lelaki buntung.... Dia muncul
setelah Pendekar Gila dan Mei Lie pergi.
"Kenapa Kakang berbuat begitu pada Bidadari
Pencabut Nyawa. Mereka bukan musuh kita, Kakang. Kau menyimpang dengan rencana
kita semula...," tukas Dewi Sukmalelana yang kemudian muncul tiba-tiba.
"Diam kau Jangan ikut campur Aku sudah katakan
saat inilah aku harus bertindak dan memporak-porandakan Kadipaten Galih Putih
lalu menguasainya Ha ha ha..." bentak lelaki buntung atau si Penyair Maut
"Perlahan-lahan Pendekar Gila dan kekasihnya itu aku bunuh. Baru aku
benar-benar aman... Ha ha ha..." Lalu lelaki buntung itu melesat pergi
sambil tertawa-tawa. Dewi Sukmalelana kesal dan menghela napas dalam-dalam.
"Kalau kau bertindak ceroboh, kau akan
menanggung akibatnya, Kakang...," gumam Dewi Sukmalelana bicara pada
dirinya sendiri.
7
Sepak terjang si Penyair Maut kian hari kian
merajalela. Lelaki buntung itu tanpa belas kasihan membakar dan membantai siapa
saja yang ditemuinya. Tak peduli orang dari kalangan persilatan maupun rakyat
jelata yang berani menentang atau melawan kehendaknya, harus mati secara mengerikan.
Tampaknya hal itu sengaja dilakukan untuk mendukung hasrat dan citacitanya
menjadi orang yang paling ditakuti.
Akhirnya kabar tentang sepak terjangnya itu sampai
terdengar di kadipaten meresahkan pikiran Pangeran Sasanadipa.
"Siapa lelaki buntung itu sebenarnya...? Aku
merasa tak pernah punya urusan atau bermusuhan dengannya. Pengawal, lipat
gandakan penjagaan Di semua sudut, kerahkan semua prajurit.." perintah
sang Pangeran pada Adhitia, yang kini menjabat senapati. Diangkat oleh sang Pangeran
karena kesetiaannya.
Suasana di kadipaten malam ini tampak sunyi. Hawa
dingin menusuk tulang sumsum mulai merambat, menambah suasana kian mencekam.
Padahal pada malam-malam biasa masih ada beberapa hilir-mudik di sekitar
lingkungan kadipaten. Namun malam ini Kadipaten Galih Putih terlihat lengang
dan mencekam.
Pangeran Sasanadipa pun sudah siap dengan keris
pusakanya. Diselipkannya keris itu di pinggang. Kemudian Pangeran Sasanadipa
mengatur seluruh prajurit dibantu para pengawal dan senapati.
"Jangan ada yang bertindak, sebelum ada
perintah dariku..," pesan Pangeran Sasanadipa pada para penjaga. Setelah
itu dia kembali ke ruangan khusus.
"Apakah manusia itu akan muncul malam
ini...?" tanya salah seorang prajurit pada teman jaganya.
"Mungkin. Perasaanku mengatakan
demikian...," jawab temannya lirih.
Malam semakin sepi, tak ada tanda-tanda adanya
malapetaka akan datang. Namun di kejauhan tiba-tiba terdengar suara petikan
kecapi melengking memecahkan kesunyian.
Para penjaga dan pengawal tersentak kaget Demikian
juga Pangeran Sasanadipa. Suara lengkingan nyaring dari kecapi semakin keras
terdengar seakan ingin memecahkan telinga. Alunan kecapi itu membuat suasana
semakin mencekam.
Karena suara itu sangat mengundang rasa takut
"Siapa yang memainkan kecapi itu? Sungguh menyakitkan telingaku..."
tukas Pangeran Sasanadipa seraya bangkit berdiri. Kemudian melangkah keluar.
"Semua siaga dan serang bila melihat yang
mencurigakan..." seru Pangeran Sasanadipa sambil terus melangkah keluar.
Suara kecapi terus terdengar dan semakin keras
membuat semua orang menutup telinga.
Dan kemudian disusul suara tawa yang menggelegar
tanpa terlihat pemitiknya.
Pangeran Sasanadipa kini sudah berdiri dikawal
empat senapannya.
"Hei Kau manusia atau dedemit, keluarlah Apa
maksudmu mengacau malam-malam begini? Dan siapa kau. Tunjukkan wujudmu, jika
kau memang manusia" seru Pangeran Sasanadipa dengan lantang dan berwibawa.
"Ha ha ha... Pangeran, kini rupanya kau sudah
pulih. Bagus. Ha ha ha... Aku datang untuk merampas kadipaten ini. Sebaiknya
kau dan orang-orangmu menyingkir saja, sebelum aku bertindak.... Ha ha
ha..." terdengar suara jawaban yang menggema. Bagai suara raksasa.
Para prajurit dan pengawal kadipaten sudah siap
untuk meringkus, jika manusia itu muncul.
"Edan Kurang ajar... Kau pikir aku tak mampu
mengalahkanmu. Ayo keluarlah kalau kau ingin menantangku" kembali Pangeran
Sasanadipa berseru, sambil melangkah beberapa tindak ke depan.
"He he he... Kau kini bertambah gagah dan
berani, setelah bersekutu dengan Pendekar Gila.... Ha ha ha... Bagus, bagus...,
tapi kau harus ingat, kau sebenarnya tak mungkin mampu menghadapiku, Pangeran.
Ha ha ha..." Suara tawa terdengar begitu keras dan menggetarkan. Sementara
alunan kecapi pun terdengar melengking nyaring dipetik lebih cepat, hingga
suaranya kacau tak beraturan. Semakin membuat telinga sakit Suara petikan
melengking itu seakan berasal dari beberapa kecapi. Satu persatu prajurit yang
tak tahan kesakitan sambil menekap telinga.
Mereka sempoyongan lalu roboh. Satu persatu para
prajurit yang tak memiliki ilmu yang cukup tinggi roboh dengan telinga
mengeluarkan darah.
Melihat hal itu Pangeran Sasanadipa marah, lalu
mencabut keris pusakanya. Lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas dan berseru.
"Hei Setan belang, keluarlah Jangan membunuh
orang yang tak berdosa Kalau kau berani hadapi aku..." "Ha ha ha...
hebat, hebat Jangan menyesal jika aku membuatmu menangis dan merengek minta
ampun, Pangeran Dungu" Bersamaan dengan itu, muncul sesosok bayangan hitam
berkelebat di hadapan Pangeran Sasanadipa. Sosok manusia berkaki buntung
"Hah...?" gumam Pangeran Sasanadipa melihat sosok yang berdiri di
hadapannya.
"He he he... kau heran melihat keadaanku yang
ganjil ini? He he he.... Sekarang, cepat kita mulai Aku sudah tak tahan lagi
ingin merasakan kursi singgasanamu, Pangeran.... Ha ha ha..." ujar lelaki
Penyair Maut dengan nada ngejek.
"Baik, bersiaplah kau, kalau itu yang kau
inginkan...," jawab Pangeran Sasanadipa.
Selesai berkata begitu, Pangeran Sasanadipa membuka
jurus 'Naga Geni'. Pangeran menggerakkan keris di tangan kanannya bagai seekor
ular naga mencari mangsanya, meliuk-liuk dengan cepat Kaki kirinya ditekuk dan
diangkat, sedangkan tangan kirinya merentang ke samping.
Lalu cepat kaki kirinya diturunkan dengan hentakan
keras, hingga menimbulkan getaran hebat di tanah.
Sementara Senapati Adhitia dan para prajurit mulai
bergerak membuat lingkaran dengan jarak empat tombak.
"Heaaa..." Pangeran Sasanadipa menyerang
dengan menusuk dan membabatkan kerisnya. Sinar putih yang disertai angin panas
menyembur dari ujung keris sang Pangeran.
Namun si Penyair Maut dengan tenang mengelak sambil
menangkis dengan kecapinya, kemudian melompat keluar. Lalu menukik sambil
melakukan serangan yang cukup dahsyat Pangeran sempat tersentak kaget melihat
serangan balik yang cepat itu. Untung dia masih bisa menghindari serangan
lelaki buntung itu dengan merundukkan kepala, lalu berguling di tanah. Namun
tubuhnya segera bangkit dan memasang kuda-kuda mantap.
"He he he... Boleh juga kau, Pangeran. Tapi
kini terimalah ini Heaaa..." pekikan keras mengiringi tendangan Iblis
Penyair Maut Kedua kakinya yang buntung itu seakan utuh, begitu cepat dan
sangat dahsyat Wuttt Wuttt Pangeran sempat terbelalak kaget menyaksikan kaki buntung
itu dengan cepat menendang ke muka dan dadanya. Seperti layaknya kaki yang
utuh. "Edan" gumam Pangeran Sasanadipa sambil mengelak dengan
menjatuhkan badan ke belakang, tubuhnya melakukan salto beberapa kali.
Dan ketika telah berdiri pada kedudukan cukup
mantap. Pangeran mengantarkan pukulan jarak jauh sambil melompat memburu lawan.
"Heaaa..." Jglarrr...
Selarik sinar perak terpercik ketika pukulan jarak
jauh Pangeran Sasanadipa beradu dengan kecapi si Penyair Maut. Kini kedua orang
berilmu tinggi itu, bertarung di udara. Kecepatan gerak mereka membuat tubuh
masing-masing tampak seperti bayangan, saling berkelebat menyerang dan
menangkis.
Orang-orang yang menyaksikan nampak kagum. Namun
tetap waspada terhadap keadaan sang Pangeran. Mereka semua telah siap untuk
menangkap lelaki buntung itu.
Bret Lengan baju Pangeran Sasanadipa robek
terenggut kuku lelaki buntung yang runcing panjang itu Sang Pangeran tersentak
kaget. Kalau saja tubuhnya tak cepat mengelak, tentu kulit lengannya robek dan
kena racun kuku lelaki buntung itu.
"Edan Gerakannya sulit kuatasi....'"
gumam Pangeran Sasanadipa sambil terus mengawasi setiap gerakan lawan.
Lelaki buntung yang melihat Pangeran Sasanadipa
nampak kaget dan membelalak kaget, tertawa mengejek.
"Ha ha ha... Ayo, Pangeran, maju Atau kau mau
menyerah? He he he..." "Bangsat.. Jangan kelewat sombong kau"
teriak Pangeran Sasanadipa. "Terimalah pukulan-ku ini" Habis berkata
begitu, Pangeran Sasanadipa menghantamkan tangan kanannya ke depan. Angin laksana
bagai menyerbu ke arah lelaki buntung. "Heaaa..." Wusss...
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir
roboh terdorong angin pukulan Pangeran Sasanadipa, si Penyair Maut sertamerta
mengibaskan kecapinya lalu diputar cepat.
Sangat dahsyat Angin pukulan Pangeran Sasanadipa
seketika musnah Pangeran Sasanadipa kembali mengerutkan kening, keheranan
menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang baru saja dilepaskan menggunakan jurus
'Naga Geni Mematuk'. Salah satu jurus yang sangat diandalkannya. Pangeran Sasanadipa
sudah yakin ilmu pukulan 'Naga Geni Mematuk' yang sudah lama tak digunakan
mampu melumpuhkan lelaki buntung itu. Namun ternyata dapat dimentahkan hanya
dengan tangkisan kecapi Menyadari kehebatan ilmu lawan, Pangeran Sasanadipa
segera memerintahkan senapati dan para prajurit agar menyerang lelaki buntung
itu. "Serang... Tangkap penjahat itu..." Dengan cepat Senapati
Adhitia merangsek maju dengan keris di tangan, menyerang si Penyair Maut,
diikuti para pengawal dan prajurit Sementara itu, Pangeran Sasanadipa cepat
masuk ke kadipaten untuk mengambil tombak pusakanya.
Di luar pertarungan semakin seru. Si Penyair Maut
dikeroyok belasan prajurit dan pengawal kadipaten. Namun lelaki buntung itu
dengan mudah menghabisi satu persatu lawanlawannya. Sudah banyak prajurit yang
mati di tangan lelaki buntung itu. Kini sampai pada Senapati Adhitia yang
bertarung sengit menghadapi keganasan Penyair Maut Lelaki buntung itu
menghantamkan kecapinya ke rusuk kiri Senapati Adhitia. Namun senapati itu
masih bisa menangkis dengan kerisnya sambil menjatuhkan diri ke samping. Gagal
serangan pertama si Penyair Maut terus mencecar Senapati Adhitia yang jadi
kewalahan.
Tiba-tiba lelaki buntung itu dengan cepat
membalikkan tubuh. Disusul dengan sabetan kecapinya ke kepala Senapati Adhitia
yang belum sempat mengatur keseimbangan.
"Heaaa..." Prak Prak "Aukh..."
Kecapi menghantam kepala Senapati Adhitia, hingga pecah. Darah segar pun
muncrat. Seketika nyawa Senapati Adhitia melayang. Tubuhnya ambruk mencium
tanah.
Para prajurit dan pengawal kadipaten lainnya
tercengang, melihat Senapati Adhitia yang mati dengan sangat mengerikan. Mereka
mulai merasa kecut dan gentar. Namun karena terdorong rasa setia pada Pangeran
Sasanadipa, para prajurit dan pengawal pantang mundur. Mereka pertaruhkan nyawa
untuk mengusir, menangkap atau bila bisa membunuh lelaki buntung itu.
"Seraaang... Tangkaaap..." seru salah
satu pengawal yang berbadan besar, bernama Haryosasono.
Semangat para prajurit kembali berkobar.
Mereka segera menyerbu si Penyair Maut dan
mengepungnya. Rupanya keadaan seperti itu justru membuat lelaki buntung semakin
kesetanan.
Dia lebih ganas membunuh siapa saja yang mendekat
menyerangnya.
"Heaaat.." Dengan teriakan keras
membahana lelaki buntung itu melesat dengan memutar dan mengibaskan senjatanya.
Cras Cras Prak Prak "Aaa..."
"Wuaaa..." Jerit dan teriakan kematian bagai bersahutan terdengar.
Tak berapa lama sudah puluhan mayat bergelimpangan di pelataran kadipaten.
Darah berceceran di tanah. Keadaan kadipaten
semakin kacau dan mengerikan. Jeritan kematian menyayat, memilukan.
Hiruk-pikuk pertarungan itu sampai ke telinga Dewi
Sukmalelana yang kurang setuju dengan tindakan Brajasukmana, suaminya. Hal itu
juga karena Dewi Sukmalelana sangat menghormati dan kagum pada Pangeran
Sasanadipa sejak sebelum terjadinya malapetaka yang menimpa Padepokan Gunung
Talang.
Dewi Sukmalelana cepat melesat untuk mencegah
Brajasukmana yang membabi buta membunuh para prajurit dan orang-orang tak
berdosa.
"Yeaaat.." Dewi Sukmalelana melenting dan
bersalto di udara, lalu mendarat di tengah-tengah arena pertarungan. Si Penyair
Maut terkejut melihat kedatangan istrinya di tempat pertarungan.
"Hah? Dewi, minggir Jangan halangi aku Atau
kau kini menantangku...?" bentak lelaki buntung itu dengan geram.
"Tindakanmu tak sesuai dengan rencana kita,
Kakang Aku terpaksa menentangmu..." jawab Dewi Sukmalelana dengan sinis.
"Kurang ajar Aku mengerti sekarang, rupanya
kau sudah tergoda oleh pangeran bodoh itu Terserah apa maumu Heaaa..."
Kini pertarungan semakin seru. Si Penyair Maut bertarung dengan Dewi
Sukmalelana, istrinya sendiri. Keduanya sama-sama tangguh. Para prajurit dan
pengawal, serentak mundur, dan tetap membuat lingkaran sambil berjaga-jaga.
"Aneh, perempuan itu kini memihak
kita..." ujar salah seorang prajurit "Ya. Untung perempuan itu segera
datang kalau tidak, kita lebih banyak yang korban Mudah-mudahan perempuan itu
dapat mengalahkannya. Apalagi mampu membunuhnya," sahut yang lain.
"Diam kalian, tetap waspada, siapa tahu ini
cuma siasat kedua manusia asing itu" bentak Haryosasono, pengawal
pangeran.
Pertarungan Dewi Sukmalelana dan lelaki buntung
cukup seru. Keduanya bergerak begitu cepat bagai bayang-bayang berkelebat ke
sana kemari. Saling pukul dan tangkis.
"Heaaa..."
8
Dewi Sukmalelana mengibaskan rambut saktinya.
Seketika rambut itu berubah memanjang dan menyerang suaminya. Membuat lelaki
buntung itu harus melenting ke udara sambil bersalto dan akhirnya mendaratkan
kaki di pagar benteng kadipaten. Dewi Sukmalelana terus memburu dengan
menghentakkan kedua telapak tangan ke depan.
"Yeaaat.." Jlegarrr...
Dua larik api keluar dari telapak tangan Dewi
Sukmalelana. Menghantam ke tubuh si Penyair Maut yang berdiri di atas tembok kadipaten.
Namun lelaki buntung melompat untuk menghindari
serangan dahsyat itu. Hingga tembok kadipaten hancur. Ledakan itu terdengar
oleh Pangeran Sasanadipa yang berada di dalam bersama dua pengawalnya.
"Suara apa itu? Seperti ledakan" seru
Pangeran Sasanadipa dengan mengerutkan kening. Tangan kanannya sudah
menggenggam sebatang tombak berukuran satu lengan. Kepala tombak terbuat dari
kuningan. Batangnya hitam legam. Lalu pangeran segera melangkah ke pintu
keluar. Diikuti dua pengawalnya.
Sampai di luar, Pangeran Sasanadipa sangat
terkejut, melihat yang bertarung kini Dewi Sukmalelana dan lelaki buntung itu.
"Siapa perempuan itu sebenarnya...? Mengapa
dia memihak kita. Tapi rasanya aku pernah melihat wajah perempuan itu...,"
gumam Pangeran Sasanadipa lirih.
"Ya, saya pun pernah mengenalnya, Kanjeng
Pangeran," pengawal mengingat-ingat, lalu....
"Saya ingat, Kanjeng Pangeran, perempuan itu
kalau tak salah penari Tayub tempo hari. Yang juga melawan Danur Saka dan Beruk
Singgala, sebelum Pendekar Gila membantunya...." Pangeran manggut-manggut,
lalu menghela napas dalam-dalam.
"Ya, ya... betul aku agak lupa. Tapi mungkin
kau benar...." Dewi Sukmalelana terkesiap. Serangan yang dilancarkannya
tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Tapi bagaimana suaminya itu bisa
membaca? Dewi Sukmalelana mulai sadar, bahwa ilmunya sudah melekat pada diri
lelaki buntung itu. Lagi pula jurus mereka hampir sama, serupa. Hanya saja si
Penyair Maut berada lebih tinggi di atasnya.
Setelah mementahkan serangan Dewi Sukmalelana,
Brajasukmana menerjang ke depan.
Kecapinya berkelebat bertubi-tubi ke wajah dan
kepala istrinya. Untung Dewi Sukmalelana memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi, hingga dapat mengelakkan semua serangan si Penyair Maut Brajasukmana
atau si lelaki buntung memutar kecapinya dengan cepat, hingga sinar kebiruan
tampak bertabur bergulung-gulung. Dia coba merangsek ke depan untuk membuyarkan
serangan Dewi Sukmalelana yang mengandalkan rambut panjang tak terbatas itu.
Rambut itu kini terpegang tangan kiri si Penyair
Maut, lalu dengan cepat pula dililitkan di kecapi saktinya. Kemudian lelaki
buntung itu menghentaknya dengan keras. Sehingga Dewi Sukmalelana memekik
kesakitan, dan coba melemparkan diri dari cengkeraman Brajasukmana.
"Kau perempuan laknat Perlu dikasih pelajaran
Aku masih sayang padamu Dewi, sekarang pergi dan jangan ganggu aku
lagi..." bentak lelaki buntung marah dan kemudian dia memotong rambut yang
panjang itu dengan tangannya yang setajam pisau. Lalu menghentakkannya kuatkuat
tubuh Dewi Sukmalelana.
"Ukh..." Dewi Sukmalelana memekik,
tubuhnya terdorong ke belakang dan jatuh ke tanah. Pangeran Sasanadipa yang
melihat itu segera maju sambil berteriak.
"Kau lelaki biadab Tangkap dia..."
Kembali prajurit dan orang-orang kadipaten menyerang lelaki buntung. Pangeran
kali ini sudah kehilangan kesabaran menghadapi si Penyair Maut Pertarungan
kembali terjadi dengan seru.
Sampai akhirnya pangeran yang bermaksud
menyelamatkan Dewi Sukmalelana, kini menjadi bulan-bulanan lelaki buntung itu.
Tombak pusakanya pun tak mampu mengalahkan kehebatan ilmu si Penyair Maut
Bahkan kemudian terlepas dari genggamannya.
Dewi Sukmalelana yang melihat Pangeran Sasanadipa,
segera melesat untuk membela. Walaupun kekuatannya sudah berkurang, karena
rambut saktinya dipotong oleh Brajasukmana.
"Yeaaat.." Plak Plak "Heaaa..."
Dewi Sukmalelana mendesak si Penyair Maut dengan jurus-jurus mautnya.
Dilancarkan serangan dengan tendangan tanpa wujud, yang membuat suaminya sempat
terdesak dan kewalahan. Disusul dengan semburan api yang keluar dari telapak
tangan.
Wusss...
Glarrr...
Lelaki buntung itu terlontar ke belakang ketika
serangan Dewi Sukmalelana yang bertubitubi menghantamnya. Namun, si Penyair
Maut itu bukan tokoh sembarangan, dia tak mengalami luka sedikit pun, bahkan
tertawa-tawa.
"Dewi, rupanya kau sudah tak bisa lagi
kusayangi. Dan aku pun tak ingin rencanaku untuk menguasai kadipaten ini gagal,
terpaksa aku harus membunuhmu.... Heaaa..." Selesai berkata demikian,
secepat kilat si Penyair Maut melesat dan menghentakhentakkan senar kecapinya
sambil membuat gerakan aneh.
Pangeran Sasanadipa terperangah menyaksikan gerakan
si Penyair Maut yang tak pernah ia saksikan. Tubuh lelaki buntung itu bersalto
dengan cepat di udara, hingga seperti gumpalan hitam saja. Lalu senar-senar
kecapi itu dengan ganas, dihentakkan. Bagai hidup senar-senar itu pun
menghantam ke arah Pangeran Sasanadipa dan Dewi Sukmalelana.
Srakkk Trakkk...
Swing Swing "Fit..." Dewi Sukmalelana
mencoba menangkis dengan mengibaskan ikat pinggangnya.
Senar-senar itu melilit ikat pinggang Dewi
Sukmalelana. Dengan cepat si Penyair Maut menghantamkan kecapinya ke dada sang
Istri yang tertarik oleh kekuatan gaib yang dikeluarkannya.
Pada saat kecapi itu diayunkan ke atas, hendak
menghantam kepala Dewi Sukmalelana, tibatiba.... Berkelebat sosok bayangan di
udara. Dengan cepat bayangan itu menghajar kepala lelaki buntung yang hendak
menghantamkan kecapi itu ke kepala Dewi Sukmalelana.
"Heaaa..." Plak Plak "Aaa..."
Si Penyair Muat memekik dan terhuyunghuyung ke belakang.
"Bangsat kau, Pendekar Gila..." bentak si
Penyair Maut, ketika tahu kalau yang menghalangi maksudnya ternyata Sena.
Pangeran Sasanadipa merasa lega, dengan kedatangan
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. "Aku sebenarnya tak ingin ikut
campur urusanmu. Tapi rupanya kau keterlaluan, Kisanak..," ujar Pendekar
Gila dengan tenang sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Itu urusanku Aku pun tak suka kau selalu
campur tangan. Aku telah berubah pikiran.
Bahwa aku akan membunuhmu sekarang. Hhh… aku akan
berkuasa di jagad ini.... Ha ha ha...
Bersiaplah kau, Pendekar Gila... Heaaa..."
Brajasukmana melesat cepat menyerang Pendekar Gila dengan pukulan berantai,
yang mengeluarkan jarum-jarum beracun.
Pendekar Gila dengan tenang mengelak dan melenting
ke udara.
"Awas..." seru Mei Lie mengingatkan
Pangeran Sasanadipa agar menyingkir. Sambil menangkis jarum-jarum beracun yang
sebagian meluncur ke tubuhnya, dengan Pedang Bidadarinya. Sementara itu Dewi
Sukmalelana cepat mendekati Pangeran Sasanadipa dan mengajaknya menghindar dari
tempat itu. Mei Lie yang melihat itu merasa curiga. Kemudian cepat mendekati
Dewi Sukmalelana dan Pangeran Sasanadipa yang tengah terluka itu.
"Mau kau bawa ke mana pangeran? Jangan coba-coba
macam-macam..." tegur Mei Lie, sambil menghunuskan Pedang Bidadari-nya ke
arah Dewi Sukmalelana.
"Aku tidak bermaksud buruk terhadap pangeran,
percayalah Aku memang istri lelaki buntung itu, tapi aku tak setuju dengan
rencananya yang buruk itu.... Aku datang karena ingin menyelamatkan pangeran.
Kau boleh tanya pada pangeran sendiri...," tutur Dewi Sukmalelana polos.
"Benar, Mei Lie. Kalau saja perempuan ini
terlambat datang, mungkin aku sudah dikuasai lelaki buntung itu...," jawab
Pangeran Sasanadipa dengan menahan sakit.
"Kalau kau tak keberatan, maukah membantuku
untuk mengobati luka pangeran?" pinta Dewi Sukmalelana pada Mei Lie
kemudian.
Mei Lie berpikir sejenak, lalu menganggukkan
kepala.
"Ayo, cepat kita obati pangeran..." ajak
Mei Lie kemudian. Dewi Sukmalelana nampak senang. Segera kedua perempuan muda
itu memapah tubuh Pangeran Sasanadipa masuk ke kadipaten. "Pendekar Gila,
rupanya kau pun ingin mencari mampus Kau telah berani mencampuri urusanku Kau
harus mati di tanganku" Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he... Ocehanmu seperti si buntung yang
ingin naik gunung saja Ah ah ah... Sungguh sombong kau, Kisanak..." sindir
Sena.
"Kurang ajar Heaaa..." Dengan jurus
‘Iblis Membelah Samudera’, si Penyair Maut segera menyerang. Kedua tangannya
bergerak membelah ke muka Pendekar Gila, mengeluarkan racun ganas. Gerakannya
ingin mencakar wajah dan dada Pendekar Gila.
"Eits He he he... leherku terlalu licin,
Kisanak" Pendekar Gila segera meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus
‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’. Lalu dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya,
dan langsung disodokkan ke tubuh lawan. "Ini bagianmu, Kisanak..
Heits..." Lelaki buntung itu tersentak kaget melihat gerakan Pendekar Gila
yang sangat aneh. Sepintas nampak pelan dan lemah. Tapi sesungguhnya sangat
dahsyat. Bahkan mampu menjangkau pinggangnya yang pendek. Dengan cepat
dibabatkan kecapinya memapak serangan itu.
"Haits..." Prak Glarrr...
Ledakan keras terdengar diikuti melompatnya kedua
orang itu. Sesaat keduanya terdiam berhadap-hadapan. Kemudian si Penyair Maut
segera mengerahkan jurus 'Iblis Menusuk Gunung', lelaki buntung itu menyatukan
jari telunjuk kuat-kuat. Kuku-kukunya yang runcing dan panjang mengarah ke
Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila hanya senyumsenyum dan
menepuk-nepuk pantat, lalu membuka jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya
bergerak laksana melepas lilitan tali. Berputar begitu cepat.
"Heaaa..." Jari-jari tangan lelaki buntung itu bergerak cepat menyerang
dengan tusukan ke bagian dada Pendekar Gila, disusul ke samping kanan dan kiri.
Gerakannya sangat cepat dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga Sakti di tangan kanan diputarnya,
lalu digerakkan lurus ke atas.
"Yiaaa. .." "He he he.... Edan Galak
benar si buntung ini..."
***
Didahului
pekikan menggelegar, keduanya kembali melakukan serangan. Tangan dan jarijari
lelaki buntung bergerak cepat. Menusuk ke depan, menghantam ke samping. Diteruskan
dengan cakaran dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan sambaran dari kiri
ke kanan.
Saking cepatnya, gerakan tangan itu, seperti
hilang. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat. Tak sampai di situ, si
Penyair Maut menyentakkan senar-senar kecapinya ke arah Pendekar Gila.
"Heaaa..." Crak Crak Namun serangan itu
tak mengenai sasaran.
Senar-senar itu dapat dipatahkan oleh tangkisan
Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila. Bahkan senar-senar itu berbalik
menguasai pemiliknya.
"Ukh... Bangsat" umpat si Penyair Maut
sambil memekik kesakitan. Senjata makan tuan.
Lelaki buntung segera membuat gerakan cepat dan
sangat berbahaya. "Heaaa..." Melihat jurus lawan yang cepat dan
sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus
andalannya, 'Si Gila Menembus Badai'.
"Heaaa..." "Haittt.." Wut Blak
Prak Kecapi dan Suling Naga Sakti beradu. Pijaran api keluar dari benturan
kedua benda itu.
Asap putih keperakan dan beracun terus
bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila. Kalau tidak pernah meminum 'Darah
Ular Putih', pasti Pendekar Gila telah tewas Namun dia kebal dari segala macam
racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Titisan Dewi Kwan Im").
Agak kaget juga lelaki buntung menyaksikan Pendekar
Gila tidak mempan racun yang keluar dari kuku-kukunya. Gerakan tangannya
semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar
Gila.
Wut Prak Prak "Heaaa..." Saling tangkis
dan pukul terus berlangsung antara kedua orang sakti itu. Mereka berusaha untuk
mengalahkan satu sama lainnya.
Namun sejauh itu, belum tampak ada yang kalah.
Pendekar Gila terus menyodokkan sulingnya dengan
masih menggunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali sulingnya disabetkan
ke tubuh lawan, atau didongakkan ke atas berusaha membuka tangkisan lawan yang
cukup tangguh itu.
"Heaaa..." "Uts..." Lelaki buntung
cepat-cepat membuang muka ke samping. Lalu dengan cepat menghantamkan kecapinya
ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Badai Neraka'.
Wut Melihat kecapi menderu ke arahnya, dengan cepat
Pendekar Gila menarik serangan. Lalu memutar sulingnya hingga setengah
lingkaran.
Dipapaknya hantaman kecapi dengan jurus 'Si Gila
Menipu Lawan Memukul Karang'.
"Hih..." Prak Keduanya melompat ke
belakang. Berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang dengan
didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa..." "Yeaaat.." Tubuh
keduanya melesat cepat. Sampai di udara, mereka berusaha saling menyerang.
Suling Naga Sakti menyodok ke wajah lawan. Sedangkan kecapi yang terbuat dari
perak itu menghantam ke kepala Pendekar Gila.
Wrets "Hups" Wut Pendekar Gila berguling
ke samping, mengelakkan hantaman kecapi lawan. Kemudian dengan cepat, sulingnya
disodokkan kembali ke wajah lawan. Namun lawan tak pernah lengah sedikit pun.
Dengan cepat lelaki buntung itu menarik kepalanya ke belakang.
Melihat lelaki buntung itu mampu menghindari
serangannya, Pendekar Gila menurunkan tangan agak ke bawah. Kali ini sulingnya
disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa..." "Heh?" Lelaki
buntung itu tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Lalu berusaha
menangkis dengan mengebutkan kecapinya ke tubuh Pendekar Gila.
"Hop Yeaaa..." Melihat hantaman itu, Sena
cepat-cepat menekuk lutut ke bawah, lalu meliuk ke samping.
Setelah kecapi lawan menderu, kakinya bergerak
cepat menendang kecapi dengan jurus ‘Si Gila Menyapu Bumi’.
Plak "Heaaa..." Tubuh si Penyair Maut
terhuyung ke samping, terkena dorongan tenaga dalam pada kecapinya. Sementara
Pendekar Gila yang menyaksikan lawan terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga
Sakti ke dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugkh "Hukh..." Blukkk Lelaki buntung itu
terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras.
"Bangsat Akan kuremukkan tubuhmu Pendekar Gila..." dengus si Penyair
Maut "Ha ha ha... Aku ingin lihat, siapa yang lebih dulu mati, kau apa aku"
sahut Pendekar Gila sambil tertawa dan menggaruk-garuk kepala.
Keduanya bergerak cepat Kecapi perak dipegang
dengan dua tangan menderu keras menyambar Pendekar Gila. Asap tebal berwarna
putih keperakan semakin banyak keluar.
Para prajurit dan orang-orang yang menyaksikan,
mundur bahkan ada yang lari ketakutan. Karena tahu asap itu beracun. Hingga
keadaan di halaman Kadipaten Galih Putin semakin riuh dan kacau.
Mei Lie dan Dewi Sukmalelana yang baru saja keluar
dari kadipaten menyaksikan pertarungan itu, Dewi Sukmalelana yang tahu
kedahsyatan asap pukulan itu, cepat melangkah mundur lima tombak Wajahnya
menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Pendekar Gila akan terkena racun
ganas itu.
"Celaka racun itu Pendekar Gila akan lemas
terkena racun itu...," gumam Dewi Sukmalelana. "Jangan khawatir Sena
dapat menangkal-nya," sahut Mei Lie dengan bangga. Karena dirinya tahu
Pendekar Gila telah kebal dengan sega-la macam racun.
Pendekar Gila memang nampak tak terpengaruh sedikit
pun terhadap racun itu.
"Heaaa..." Prang Keduanya terus bergerak
cepat, saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka yang
bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha menyapu dan menendang lawan.
Si Penyair Maut yang tak memiliki kaki sempurna
menggunakan ‘Ilmu Tendangan Iblis‘ Seakan dia memiliki kaki utuh. Pendekar Gila
sempat tersentak kaget, karena tendangan itu tak berwujud.
Namun Sena dapat menguasai keadaan.
Sudah puluhan jurus yang mereka keluarkan, tapi
keduanya sama-sama kuat. Mereka terus bertarung bagai tak mengenal telah.
Malam semakin larut, suasana di halaman kadipaten
itu masih terdengar hiruk-pikuk pertarungan. Pekikan-pekikan keras ditingkahi
benturan kecapi dan suling terus terdengar.
"Hiaaa..." Kecapi di tangan si Penyair
Maut bergerak cepat memburu dan membabat lawan. Melihat serangan lawan,
Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan Suling Naga
Sakti-nya ke dada lawan.
"Heaaa..." Dugkh "Hukh..."
Tubuh lelaki jangkung itu terhuyunghuyung ke belakang. Darah tampak meleleh
membasahi wajahnya. Melihat itu, Pendekar Gila tidak menyia-nyiakannya. Dengan
cepat, dihantamkannya pukulan sakti ‘Inti Brahma’ ke tubuh si Penyair Maut.
"Terimalah kematianmu Heaaa..." Dari
telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan api yang menyala-nyala memburu
tubuh si Penyair Maut. Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuh lelaki buntung
itu.
Wusss...
Blab "Wuaaa..." Si Penyair Maut
menjerit-jerit. Tubuhnya berguling-guling, berusaha memadamkan api yang melahap
tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Lelaki buntung berpakaian itu
berkelojotan terbakar. Kecapi perak di tangannya terlepas. Saat itu juga
Pendekar Gila meniup Suling Naga Saktinya dengan suara mendayu. Rupanya, Sena
berusaha menyempurnakan kematian lelaki buntung itu.
"Wuaaa.... Tobat" pekik si Penyair Maut
dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan hi-dungnya mengeluarkan darah. Tak
lama kemudian, gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Sakti-nya.
Dengan menghela napas panjang, Sena kemudian nampak merasa lega.
"Kakang..." teriak Dewi Sukmalelana
menghambur menghampiri mayat suaminya yang hangus. Mei Lie memburunya dan coba
menenangkan.
"Bukankah kau tadi juga ingin melawan dan
membunuh dia...? Dia pantas mendapatkan ganjaran. Tapi kalau aku boleh tahu,
siapa kalian sebenarnya...?" tanya Mei Lie kemudian Ingin ta-hu. Dewi
Sukmalelana tak langsung menjawab.
Matanya masih memandang sedih mayat lelaki buntung
itu.
Pendekar Gila lalu menghampirinya, begitu juga
Pangeran Sasanadipa yang dibantu dua pengawalnya.
"Maafkan aku Aku terpaksa membunuhnya, demi
ketenteraman dunia persilatan dan kadipaten ini.... Makilah aku, jika kau
anggap aku terlalu kejam terhadap lelaki buntung itu" ujar Sena dengan
polos. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak Kau tak bersalah Pendekar Gila.
Kau telah berbuat benar. Kakang memang harus
menerima kenyataan ini.... Namun yang aku sedihkan, kenapa sifat dan
tindak-tanduknya berubah, setelah kami berhasil membunuh Beruk Singgala dan
Danur Saka. Dia jadi murka. Ingin menguasai kadipaten dan menantangmu, Pendekar
Gila...," tutur Dewi Sukmalelana sedih.
"Sudahlah, tapi aku masih ingin tahu siapakah
kau sebenarnya? Kenapa kelima orang dari partai sesat Panca Siwara yang menjadi
sasaran utama...?" tanya Pangeran Sasanadipa pada Dewi Sukmalelana.
"Panjang ceritanya, Kanjeng Pangeran....
Kami sebenarnya dari aliran putih. Dulu kami
menempati Padepokan Gunung Talang yang dipimpin kakak iparku, Ki Damar
Kiwangi... Mungkin Pangeran sendiri masih ingat, keadaan sepuluh tahun yang
silam...," tutur Dewi Sukmalelana menjelaskan.
Pangeran Sasanadipa mengerutkan kening, lalu
memegangi keningnya. Nampak berusaha mengingat sesuatu.
"Ya, ya aku ingat sekarang. Ki Damar Kiwangi
adalah seorang yang bijaksana dan bersekutu dengan kami. Lalu apa hubunganmu
dengan lelaki buntung itu?" "Lelaki buntung ini, suamiku. Dan nama
sebenarnya Anjang Kawiwangi. Adik dari Ki Damar Kiwangi satu-satunya...,"
tutur Dewi Sukmalelana. "Dan aku sendiri Saraswati...." Pangeran
manggut-manggut, merasa telah jelas semuanya. Begitu juga Sena dan Mei Lie.
"Lalu kenapa tiba-tiba melawan suamimu sendiri
setelah orang-orang yang pernah menyakitimu terbunuh...?" tanya Mei Lie
menyelidik.
"Kau rupanya masih ragu dengan ceritaku, Nini.
Baiklah akan kujelaskan. Aku dan Kakang Anjang sudah sepakat untuk membalas
dendam setelah selamat dari kematian. Namun aku sendiri heran, setelah berhasil
membunuh Beruk Singgala yang memiliki ilmu sihir, Kakang berubah perangainya.
Aku tak ingin Pangeran Sasanadipa yang telah menderita cukup lama karena ulah
Beruk Singgala dan teman-temannya harus mengalami kesengsaraan lagi. Karena aku
masih ingat, pada masa sepuluh tahun lalu, Pangeran Sasanadipa begitu bijaksana
dan baik budi terhadap keluarga Ki Damar Kiwangi, termasuk aku. Itulah sebabnya
aku menantang suamiku sendiri, walaupun aku tahu nyawaku akan melayang di
tangannya. Aku rela, demi keadilan semua. Hanya itulah yang dapat
kujelaskan.... Aku sudah lelah sekali hidup di dunia persilatan yang penuh
segala macam peristiwa yang sangat menakutkan, iri, dengki, dan tipu muslihat
terus berlanjut...," tutur Dewi Sukmalelana atau Saraswati mengakhiri
penjelasannya.
Pendekar Gila dan Mei Lie menghela napas panjang,
keduanya terharu mendengar tutur kata Dewi Sukmalelana. Begitu juga Pangeran
Sasanadipa. "Maafkan aku, yang telah mencurigaimu, Saraswati..." kata
Mei Lie dengan tulus, lalu memeluk Dewi Sukmalelana. Penuh persahabatan.
"Aku dapat memaklumi, Nini. Tak apalah...,
kalian juga telah menyelamatkan jiwaku...," sahut Saraswati lemah.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan
cengar-cengir melihat kedua perempuan yang saling berpelukan itu. Pangeran pun
merasa lega, wajahnya nampak cerah.
"Tak usah disedihkan lagi Saraswati Aku tak
keberatan bila kau ingin tinggal di kadipaten.
Pintu selalu terbuka untukmu...," saran
Pangeran Sasanadipa penuh kasih.
"Terima kasih, Pangeran.... Hamba sudah lelah
hidup dan lagi pula, hamba telah berjanji akan hidup dan mati bersama Kakang
Anjang Kawiwangi...." Selesai berkata begitu, Saraswati atau Dewi
Sukmalelana segera mencabut keris dari balik ikat pinggangnya lalu cepat
menusukkan keris itu ke dadanya.
Cras Cras "Ukh..." Seketika tubuh
perempuan malang itu kejang-kejang, lalu kaku. Mati Mei Lie memeluknya dengan
penuh keharuan. Demikian juga Sena dan Pangeran Sasanadipa. Mereka merasa haru
melihat kenyataan mengenaskan itu. Namun mereka tak kuasa berbuat apa-apa.
Karena Dewi Sukmalelana atau Saraswati telah mengambil jalan demikian, demi
cinta dan janji setianya pada Anjang Kawiwangi, si lelaki buntung itu.
SELESAI
Emoticon