Serial Pendekar Gila episode 27 Ular Kobra Dari
Utara
1
Pagi itu keadaan sangat cerah. Langit biru bening,
tanpa setitik mega.
Dari kejauhan nampak seorang lelaki
menunggang kuda putih, dengan pakaian seperti orang
dari India. Kepalanya diikat dengan sorban warna merah hati, layaknya
orang-orang India. Lelaki itu memacu kudanya memasuki Desa Kanginan. Desa itu
biasa sebagai persinggahan orang-orang dari luar daerah. Atau orang jauh.
Karena desa itu cukup ramai dan makmur, subur.
Matanya menatap lurus ke arah desa yang
nampak mulai ramai oleh kesibukan para penduduk
maupun pendatang. Setelah puas mengawasi
keadaan, lelaki dari India yang dikenal dengan
Sankher atau 'Ular Kobra dari Utara' kembali menggerakkan kudanya yang besar
dan kekar itu memasuki Desa Kanginan.
Di sepanjang jalan utama, Sankher terus
memasang matanya memandangi sekeliling keadaan desa
dengan tajam. Tampaknya ada sesuatu yang dicari. Kemudian dihentikan kudanya di
depan sebuah kedai. Lelaki berjubah hitam itu segera melompat turun lalu
melangkah menghampiri salah seorang yang baru saja keluar dari kedai itu.
Lelaki berpakaian lurik dan mengenakan
blangkon itu berhenti ketika Sankher mencegat langkahnya.
“Tentunya Tuan dari jauh. Ada yang bisa saya bantu,
Tuan?” tanya lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, dan bertubuh agak
gemuk itu.
Bibirnya tersenyum dengan mata masih
memperhatikan wajah Sankher.
“Hm...,” Sankher yang berikat kepala sorban merah
menggumam. Matanya yang tajam,
memandangi lelaki di hadapannya. Kemudian dengan
suara kaku bertanya, “Di mana Perguruan Bintang Mas? Ke arah mana aku harus
pergi?”
Lelaki berpakaian lurik coklat tua itu mengerutkan
kening, mendengar pertanyaan lelaki India itu.
Ditatapnya wajah lelaki gagah di hadapannya,
berusaha mengetahui apa maksud lelaki dari India itu. Kemudian tampak lelaki
berblangkon itu menghela napas.
“Tak begitu jauh lagi dari sini, Tuan. Di balik
lembah itu,” ujar lelaki Jawa itu sambil menunjuk,
“Tapi kalau boleh aku tahu, untuk apa Tuan
menanyakan Perguruan Bintang Mas?”
“Itu bukan urusanmu Kuminta jangan banyak tanya
lagi” sahut Sankher seraya menatap tajam wajah lelaki berpakaian lurik itu.
“Aku hanya tanya, apa salahnya?” ujar lelaki Jawa
itu dengan nada rendah dan tersenyum ramah.
Srrrttt
Tiba-tiba dengan geram, Sankher menarik tongkat
berkepala ular kobra dan mengarahkan pada lelaki Jawa itu.
Lelaki berpakaian lurik itu tersentak kaget, karena
tak menduga orang yang semula bertanya itu hendak menyerangnya. Dengan cepat
lelaki Jawa itu menghindarkan serangan Sankher. Namun tongkat itu bergerak
lebih cepat. Hingga...,
Pletakkk
“Akh...” lelaki berpakaian lurik coklat itu memekik
keras, ketika tongkat berkepala ular kobra menghantam keningnya. Sesaat matanya
melotot kemudian ambruk tanpa nyawa.
Seketika ramailah suasana di depan kedai itu.
Para pengunjung yang tengah bersantap, ber-hamburan
keluar. Dengan penuh amarah para warga desa yang mengetahui bahwa Ki Sarepan
tewas langsung menyerbu lelaki India itu. Namun tampaknya lelaki berjubah hitam
itu bukan orang sembarangan. Dalam beberapa gebrakan saja para warga dan anak
buah Ki Sarepan telah tewas dengan kepala retak oleh pukulan tongkat berkepala
ular.
“Hhh...,” Sankher mendengus. Matanya menatap tajam
ke sekeliling. Tampak orang-orang Desa Kanginan telah berkumpul menatap dirinya
penuh kebencian. Namun nampaknya tak seorang pun dari mereka yang berani
melawan, atau maju. Mereka tak ingin mati sia-sia seperti Ki Sarepan, kepala
ronda Desa Kanginan itu.
Dengan tenang Sankher melangkah meninggalkan
orang-orang itu. Tanpa menghiraukan sama sekali tatapan kebencian warga desa,
lelaki berjubah hitam itu langsung melompat ke punggung kuda, lalu
menggebahnya. Kuda besar dan kekar itu pun melesat meninggalkan kerumunan orang
di depan kedai.
Seketika warga Desa Kanginan gempar, setelah
mendengar kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di depan kedai.
“Hm..., ilmu orang itu cukup hebat” gumam salah
seorang penduduk desa.
“Benar Tongkatnya kurasa bukan sembarangan tongkat.
Tongkat sakti.”
“Kita tak bisa berdiam saja. Kita harus segera
memberitahu pada Kanjeng Adipati.”
Dengan masih membicarakan tentang lelaki
misterius itu, mereka mengurusi mayat-mayat yang
bergelimpangan di depan kedai.
***
Seluruh penduduk desa ramai membicarakan
kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di
tangan lelaki dari India. Dari arah timur tampak sesosok tubuh berjalan
memasuki batas Desa Kanginan.
“Sepertinya ada kejadian di sana. Ah, aku ingin
melihatnya,” ujar pemuda berpakaian terbuat dari rompi kulit ular, yang tak
lain Sena Manggala. Sambil menggaruk-garuk kepala kakinya melangkah dengan
cepat menuju tempat para warga tengah sibuk mengangkati mayat-mayat itu.
Sena Manggala yang juga dikenal dengan julukan
Pendekar Gila mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
memandangi orang-orang di depan kedai itu. Kepalanya tampak menggeleng-geleng
sambil cengengesan.
“Ah ah ah... Kisanak, apa yang telah terjadi?”
tanya Sena dengan kening masih mengerut. Matanya
memandangi sembilan mayat yang sama keadaan-nya, retak di bagian kening.
“Baru saja terjadi malapetaka mengerikan.
Seorang lelaki aneh berjubah hitam membunuh
mereka,” sahut salah seorang penduduk desa.
“Lelaki dari India itu seperti orang gila” sambung
yang lainnya.
“Orang gila...?” tanya Sena mengerutkan kening.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, “Mengapa Kisanak
mengatakan seperti orang gila?”
“Bagaimana tidak?” tukas lelaki yang berkumis tebal
dan bertubuh kekar sambil melangkah maju,
“Orang asing itu, tiba-tiba menghantamkan tongkat
saktinya ke kepala Ki Sarepan dan kedelapan anak buahnya Hingga mereka tewas
seperti itu...”
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening
mendengar penuturan orang-orang desa, yang
menceritakan tentang lelaki berjubah hitam.
“Lelaki dari India?” gumam Sena. Tangannya
menggaruk-garuk kepala sedangkan matanya tak henti memandangi para penduduk
yang mengangkati mayat-mayat itu.
“Ah ah ah... Mengapa lelaki aneh dari India itu
membunuh Ki Sarepan?” tanya Sena seraya
menggaruk-garuk kepala, “Apakah antara keduanya
telah terjadi keributan?”
Lelaki berbadan agak kekar berkumis tebal itu
menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang seraya memandangi wajah Sena.
“Yang kulihat Ki Sarepan menegur lelaki asing itu
dengan ramah,” sahut lelaki berbadan tegap dan berkumis tebal itu.
“Mungkin Kisanak mendengar, apa yang
ditanyakan orang asing itu?”
Lelaki berbadan tegap itu menatap Sena lagi,
sepertinya menyelidik, siapa Sena sebenarnya. Lelaki itu mula-mula ragu
menjelaskan duduk persoalannya.
Namun setelah Sena mendesak, lelaki berbadan tegap
itu mulai menceritakan semua, dari saat kedatangan lelaki berkuda putih,
berpakaian khas orang India, sampai Ki Sarepan menanyakan tujuan-nya. Hingga
akhirnya, lelaki aneh dari India itu bertanya tentang Perguruan Bintang Mas.
“Aha... Perguruan Bintang Mas...?” Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Sikapnya itu tentu saja membuat orang-orang heran.
“Ya. Itulah yang aku dengar.”
Mendengar keterangan itu Sena hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut
“Ah ah ah..., ada maksud apa lelaki itu menanyakan
Perguruan Bintang Mas. Dan mengapa ia seenaknya membunuh orang-orang tak
bersalah...”
gumam Sena pelahan. Dihelanya napas panjang, lalu
wajahnya memandang jauh ke depan.
“Aku harus segera mencegahnya. Tak boleh
dibiarkan ia bertindak sesukanya. Dilihat dari
caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang sembarangan,” gumam Sena lagi.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Matanya masih
memandang ke depan. Lalu cengengesan.
Membuat orang-orang di dekatnya mengerutkan kening
dan saling pandang. Mereka heran melihat tingkah Sena yang seperti orang gila
itu. Namun mereka tak berani berucap apa-apa.
“Baiklah, Kisanak. Terima kasih” ucap Sena sambil
menjura. Lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata
orang-orang desa, yang penuh tanda tanya melihat tingkah laku Sena yang seperti
orang gila itu.
“Apakah pemuda itu yang disebut Pendekar Gila dari
Goa Setan?” gumam salah seorang warga desa.
“Mungkin juga,” sahut lelaki bertubuh tegap.
“Kalau memang pemuda itu Pendekar Gila, aku merasa
senang. Karena aku yakin, pendekar itu akan mencari dan melenyapkan lelaki
asing yang tak mengenal perikemanusiaan itu” “Ya Mudah-mudahan lelaki asing itu
mati oleh Pendekar Gila” sambung salah seorang lelaki berkumis tipis, yang
berada di sisi kiri lelaki berbadan tegap. Semua orang mengutuk lelaki asing
dan India itu.
Lalu mereka bubar, kembali ke tempatnya.
*** 2
Siang itu di Perguruan Bintang Mas tampak lima
orang pemuda sedang berlatih tanding. Mereka rupanya para penerus Perguruan
Bintang Mas, yang dulu dipimpin Dewi Pandagu. (Untuk lebih jelasnya, silakan
baca serial Pendekar Gila dalam episode
“Singa Jantan dari Cina”).
Seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan
memperhatikan kelima pemuda itu berlatih tanding.
Wajahnya yang agak kurus dihiasi jenggot hitam
lebat, serta kumis tipis. Dilihat dari bentuk tubuh dan ketenangannya, lelaki
itu memiliki ilmu silat yang tak dapat diremehkan. Pancaran matanya tajam dan
penuh wibawa.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepala seraya
tersenyum. Hatinya merasa puas melihat kelima murid andalannya yang mulai
matang. Lelaki yang dikenal dengan nama Guntala itu terus mengangguk-anggukkan
kepala. Tak lama kemudian dirinya segera memberi isyarat dengan bertepuk tiga
kali.
Plok Plok Plok
Kelima muridnya seketika menghentikan latih tanding
mereka. Keringat membasahi seluruh tubuh kelima pemuda gagah itu. Mereka
berlatih selama setengah hari penuh, sejak hari masih pagi. Namun di wajah
kelima pemuda yang bertelanjang dada, dengan ikat kepala warna hitam itu tak
memperlihatkan keletihan. Kelima pemuda itu lalu menjura bersama di depan
Guntala.
“Bagus. Aku bangga dan puas melihat kalian semakin
hari bertambah semangat. Tapi masih perlu waktu lama kalian melatih diri. Sebab
dengan hanya beberapa bulan, tak cukup ilmu kalian untuk melawan Pendekar Gila.
Aku memang berniat melawannya. Tapi aku butuh kalian.”
Guntala sejenak menghentikan kata-katanya.
Dipandanginya dengan tajam kelima murid itu.
Kemudian menghela napas dalam-dalam.
“Memang kematian Dewi Pandagu bukan
Pendekar Gila yang membunuhnya. Namun karena dialah
Dewi Pandagu, yang kemenakanku sendiri mati di tangan orang-orang licik seperti
Kerto Songo dan Kebo Pengawon” Guntala nampak geram. Giginya gemeretak, menahan
marah. “Sayang, sampai saat ini aku merasa belum mampu menghadapi Pendekar
Gila. Aku perlu orang berilmu setaraf dengan Pendekar Gila... untuk membuat
perhitungan dengannya....”
Baru saja Guntala selesai bicara, tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda menuju tempat Perguruan Bintang Mas. Guntala segera
menoleh ke pintu gerbang. Demikian juga kelima muridnya.
Guntala segera menoleh ke pintu gerbang. Demikian
juga kelima muridnya. Guntala membelalak kaget, ketika dilihat ada seorang
lelaki berpakaian jubah hitam menghentikan kudanya empat tombak di hadapannya.
Lelaki asing yang tak lain Sankher itu menatap
tajam Guntala dan kelima muridnya, yang telah siap siaga. Mereka langsung
mengepung lelaki yang duduk di punggung kuda itu. Sankher tersenyum sinis. Lalu
dengan gerakan yang sangat ringan, tubuhnya melompat turun dari punggung kuda.
Kemudian melangkah mantap menghampiri Guntara yang masih terkesima, memandangi
tamu tak diundang itu. Mata keduanya saling pandang, ketika Sankher
menghentikan langkahnya, dan berhenti di depan Guntala.
“Kau...?” gumam Guntala setelah melihat lebih
jelas. Dan mulai mengenali wajah tamunya itu,
“Sankher...?”
Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya masih
menatap tajam wajah Guntala yang kemudian menghambur ke tubuhnya. Guntala
memegang erat bahu Sankher.
“Tak kusangka kau datang ke negeri Jawadwipa
ini...” seru Guntala dengan sangat gembira. Namun Sankher tampak tersenyum
hambar. Hal itu membuat Guntala mengerutkan kening, tak mengerti.
Sejenak suasana hening. Hanya mata kedua
lelaki itu kini yang bicara. Kelima murid Guntala
telah siap siaga, kalau-kalau akan terjadi perkelahian.
Karena mereka tidak mengenal, siapa lelaki
berpakaian jubah seperti orang India itu.
“Sankher, sebaiknya kita bicara di dalam. Mari,
silakan...” ajak Guntala sambil bergerak ke samping memberikan jalan pada
Sankher. Lelaki berjubah hitam itu diam saja, tapi lalu melangkah menuju
bangunan utama Perguruan Bintang Mas. Sementara Guntala memberi isyarat pada
salah seorang muridnya untuk mengurus kuda Sankher.
***
“Kematian Dewi Pandagu, membuat aku sedih
dan sakit,” ujar Guntala dengan wajah sedih. Duduk
berhadapan dengan Sankher yang sejak tadi hanya diam mendengar cerita Gundala.
“Semua ini salahku.
Karena aku terlalu percaya akan kekuatan ilmu
kemenakanku itu. Dan kebetulan beberapa bulan sebelum kejadian, aku bertengkar
mulut dengan Dewi Pandagu. Karena aku tak setuju, Dewi Pandagu dekat dengan
Pendekar Gila...”
Mendengar nama Pendekar Gila, Sankher tersentak.
Matanya membelalak lebar.
“Siapa Pendekar Gila itu?” tanya Sankher dengan
suara berat.
“Pendekar yang sangat disegani dan berilmu tinggi.
Tak ada pendekar lain, baik dari aliran putih maupun hitam, yang mampu
menandingi ilmunya,”
jawab Guntala tegas.
“Huh...” dengus Sankher dengan geram. Telapak tangannya
mengepal kuat-kuat. Giginya beradu, gemeretak, menandakan hatinya sangat marah.
“Aku sudah lama menunggu saat yang baik untuk
melawan Pendekar Gila dari Goa Setan itu. Namun sampai saat ini aku merasa
belum mampu melawannya,” kata Guntala dengan suara penuh kesal.
“Paman Guntala bisa membantu aku mencari
orang gila itu?”
Suara Sankher berat dan sedikit bergetar,
menandakan kemarahan dan dendam di hatinya.
Cerita Guntala sengaja memanasi hati Sankher yang
tak lain tunangan Dewi Pandagu. Dan ternyata berhasil.
Guntala mengatakan, bahwa kematian Dewi
Pandagu tak lain gara-gara Pendekar Gila yang
berusaha mendekati Dewi Pandagu. Guntala sengaja agar Sankher yang diketahui
memiliki ilmu tinggi, dan mempunyai senjata sakti bernama 'Tongkat
Berkepala Kobra' akan binasa mengalahkan
Pendekar Gila. Dan niat Guntala sebenarnya, jika
Pendekar Gila bisa dimusnahkan, dirinya akan membuat siasat lagi untuk membunuh
Sankher.
Karena Guntala mempunyai cita-cita akan menguasai
dunia persilatan di Jawadwipa ini.
“Aku sangat senang dan berterima kasih pada Hyang
Widhi. Kau benar-benar akan membantu membalas dendamku yang sudah lama pada
Pendekar Gila...,” ucap Guntala sambil
menepuk-nepuk bahu Sankher, “Kapan kita akan mulai?”
“Lebih cepat lebih baik,” jawab Sankher singkat dan
tegas.
Guntala mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa
puas dan memegangi jenggotnya.
“Aku setuju dengan caramu. Kalau begitu nanti kita
atur semuanya. Aku punya rencana yang tepat untuk memancing Pendekar Gila agar
memburu kita...,” ujar Guntala kemudian.
“Akan kucari Pendekar Gila itu dengan caraku.
Paman jangan ikut campur Kematian Dewi Pandagu
menjadi tanggung jawabku. Dan aku datang kemari memang untuk membalas dendam
atas kematian kekasihku itu,” kata Sankher dengan suara agak serak dan berat.
Mendengar ucapan Sankher, Guntala mengerutkan
kening. Dirinya nampak kurang senang mendengarnya. Namun tak berani berucap, ia
hanya bisa menghela napas panjang. Nampak kekecewaan ter-gambar di wajahnya
yang sudah mulai berkerut.
Menunduk lesu. Karena sebenarnya Guntala kurang
senang dengan kehadiran Sankher. Takut rencana buruknya, untuk menguasai
Perguruan Bintang Mas akan diketahui Sankher.
Sankher melihat itu. Lelaki bertubuh tinggi itu
bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi dari padepokan itu. Guntala hanya
bisa memandangi kepergian Sankher yang bekas kekasih Dewi Pandagu, Sankher
tetap mencintai wanita itu. Hal itu bisa dibuktikan pada sikapnya yang selalu
marah jika ada lelaki yang melukai hatinya. Apalagi ketika mendengar berita
tentang kematian Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu dari Guntala.
Sankher meninggalkan Perguruan Bintang Mas dengan
hati penuh dendam. Si Ular Kobra dari Utara itu melarikan kudanya dengan cepat
ke selatan.
Sepeninggal Sankher, Guntala tampak melangkah ke
serambi rumahnya. Matanya memandang jauh ke depan. “Sankher..., ternyata
keangkuhanmu belum juga berubah. Hhh... Masih sama seperti yang dulu.”
***
Sankher terus menggebah kudanya, seakan ada
sesuatu yang dikejar. Sampai di sebuah perbukitan
lelaki berjubah hitam itu menghentikan lari kudanya.
Dari atas bukit matanya dengan liar memandang ke
bawah. Di kejauhan nampak Desa Babakan. Sankher atau Ular Kobra dari Utara
tersenyum sinis. Lalu kembali memacu kudanya menuruni bukit menuju desa itu.
Kuda putih yang ditunggangi nampak begitu lincah dan cekatan menyusuri jalan
terjal berbatu.
Sore itu Desa Babakan nampak seperti biasa.
Para penduduknya sibuk dengan urusan mereka
masing-masing. Ketika kuda putih yang ditunggangi lelaki berpakaian seperti
orang India memasuki mulut desa para warga tak begitu menghiraukan. Hanya
beberapa lelaki yang bergerombol di sebuah rumah memandangi sambil
berbisik-bisik.
Langkah kaki kuda semakin pelahan menyusuri jalan
utama Desa Babakan. Langkah-langkah kaki kuda itu seakan berirama. Apalagi
penunggangnya yang berbadan tinggi, gagah dengan hidung mancung, menatap lurus
ke depan, seperti tak menghiraukan keadaan. Sesekali matanya menyapu ke
sekelilingnya.
Lelaki berjubah hitam bersenjata tongkat berkepala
ular kobra itu menghentikan kudanya di depan sebuah kedai. Siang itu dikedai
milik Ki Lambang ramai oleh pengunjung. Si Ular Kobra dari Utara itu sejenak
mengamati keadaan di dalam kedai. Bau asap rokok kaung sampai keluar, dan
sampai pula ke hidung lelaki berjubah hitam itu.
“Huh...” dengus Sankher. Sankher melompat turun
dengan ringannya. Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat berkepala ular
kobra.
Dengan langkah mantap lelaki gagah bercambang tipis
itu memasuki kedai Ki Lambang.
Sankher mengambil tempat duduk yang di tengah
ruangan. Dengan kasar tangannya menarik kursi, membuat orang di sekelilingnya
terkejut. Seketika mata para pengunjung kedai menoleh.
Ki Lambang mengerutkan kening. Lelaki setengah baya
itu melangkah mendekati tamunya yang baru datang.
“Tuan mau pesan apa?” tanya Ki Lambang,
berusaha tersenyum ramah.
Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang
melirik Ki Lambang. Kedua tangannya ditaruh di atas
meja. Dan napasnya ditarik dalam-dalam.
“Cepat buatkan aku makanan yang paling enak”
pinta Sankher, dengan ucapan yang terdengar kaku.
Wajahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Lambang.
“Baik, Tuan.” Namun ketika Ki Lambang hendak
melangkah
untuk mengambil makanan, pundaknya ditahan oleh Sankher.
“Tunggu...”
“Ada apa, Tuan...?” tanya Ki Lambang agak gugup.
“Di mana tempat Pendekar Gila? Aku harap kau mau
menjawab dengan benar”
Ki Lambang mengerutkan kening. Pertanyaan itu tak
segera dijawabnya. Hatinya malah bertanya heran. Ada hubungan apa antara lelaki
asing yang misterius ini dengan Pendekar Gila? Teman atau lawan? Bermaksud
jahat, atau baik?”
“Hei... Apa kau tuli? Jawab pertanyaanku”
bentak Sankher dengan mata melotot. Nadanya sangat
marah, karena merasa pertanyaannya tak digubris.
“Maaf, maaf, Tuan Ada keperluan apa Tuan mencari
Pendekar Gila?”
Ki Lambang balik bertanya. Keningnya masih
berkerut, tak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lelaki asing itu.
Sankher tampak makin kesal, matanya melotot lebar.
“Huh Jangan banyak tanya” bentak Sankher, bengis.
Tangannya yang kekar mencengkeram lengan Ki Lambang. “Jangan banyak mulut,
jawab pertanyaanku”
Namun Ki Lambang tetap tak mampu menjawab.
Mulutnya seakan terkunci. Lelaki setengah baya itu
masih ketakutan dan heran dengan pertanyaan-pertanyaan tamunya. Dirinya memang
tidak tahu di mana Pendekar Gila berada. Sebab dia sendiri hanya dengar nama
Pendekar Gila yang sangat kesohor dan disegani itu. Namun belum pemah ketemu
sekali pun dengan pendekar muda yang sepak terjangnya sangat dikagumi baik oleh
kalangan rimba persilatan maupun rakyat biasa.
“Heh... Kau sengaja memancing kamarahanku, Orang
Tua” bentak Sankher dengan kasar. Tangannya mendorong tubuh Ki Lambang dengan
keras, hingga terjatuh ke lantai. Kepalanya mem-bentur kaki kursi yang ada di
belakangnya.
Brakkk
“Aduh...” pekik Ki Lambang.
Orang-orang yang tengah makan di sampingnya
tersentak dengan mata melotot. Mereka marah karena makanannya berantakan, dan
merasa
terganggu.
“Bangsat Siapa yang berani berbuat kasar pada Ki
Lambang?” maki lelaki berbadan tegap dan kumis melintang dengan pakaian biru
tua lengan panjang. Di pinggangnya terselip sebatang golok.
Lelaki yang berambut panjang sebatas bahu, dengan
blangkon batik warna coklat bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menarik
golok yang terselip di pinggangnya.
Srattt
“Sontoloyo ini perlu dikasih pelajaran Yeaaa...”
Lelaki berbadan tegap berkumis melintang yang
bernama Subadra membabatkan goloknya ke tubuh Sankher. Namun dengan gerak cepat
yang sulit diikuti mata, lelaki dari India itu tahu-tahu telah menghantamkan
tongkatnya.
Wuttt
Bukkk
“Aaakh...”
Subadra memekik, ketika punggungnya terpukul
tongkat Sankher. Subadra mundur satu tombak ke belakang, kemudian dengan cepat
kembali
menyerang lawan yang masih duduk dengan tenang di
tempatnya.
“Heaaa...”
Wuttt
Krakkk
“Aaakh...” Subadra memekik. Matanya mem-
belalak lebar. Sesaat tubuhnya mengejang, lalu
ambruk dengan keadaan mengerikan. Keningnya pecah kena pukulan tongkat sakti berkepala
kobra itu. Darah segar bercampur lendir kuning mengalir dari kepalanya.
Menyaksikan kejadian itu, para pengunjung kedai
seketika bertambah benci pada Sankher, orang asing dari India itu. Mereka
memandang penuh kemarahan.
“Kurang ajar Hei orang asing... Biadab Jangan kau
pikir bisa bertindak sesukamu” bentak Parta, lelaki berumur tiga puluh lima
tahunan yang telah mencabut goloknya, diikuti lima orang lelaki lain.
Srattt
Srattt
“Serang...” seru Parta yang berpakaian seperti
pesilat warna hitam lengan panjang. Dadanya yang tak tertutup tampak bidang.
“Heaaa...”
“Habisi orang keparat itu Bunuh”
Lima orang temannya melesat maju. Mereka
berbadan tegap dan berkumis tipis. Tiga di antara
mereka berjenggot lebat.
Dengan golok yang berkilat seperti meminta guyuran
darah, mereka membabat lelaki asing itu.
Namun belum juga bisa menyarangkan serangan,
Sankher bergerak secepat kilat. Tongkat di tangannya berkelebat tanpa dapat
diikuti mata. Wuttt
Prak Prak Prakkk
“Aaa...”'
Dalam sekali gebrak jeritan kematian memecah
suasana siang itu. Tiga orang dengan kening dibasahi darah, kini meregang
nyawa. Mata mereka melotot, menahan rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi
mereka saling beradu. Kemudian tubuh ketiga lelaki itu ambruk bersamaan. Kepala
mereka retak.
Mengerikan
Melihat kenyataan tersebut wajah Parta seketika
memucat. Kumisnya yang tebal, kini tiada artinya lagi.
Matanya membelalak tegang. Tubuhnya gemetaran
diguncang rasa takut. Begitu pun dua temannya yang masih hidup. Mereka
gemetaran tak mampu
menyembunyikan rasa takut.
Sementara pengunjung lain yang masih duduk di kursi
masing-masing bergegas meninggalkan kedai, setelah meninggalkan uang bayaran di
meja. Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan lelaki misterius itu. Hanya
dengan sekali gebrak, orang-orang persilatan itu tak mampu berkutik. Padahal
keempat korbannya merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadipaten Bantulan.
Sankher tersenyum sinis. Tangan kanannya masih
memegang tongkat saktinya yang berlumuran darah.
Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemudian
didekati ketiga lawannya yang ketakutan.
“Katakan, di mana Pendekar Gila berada?”
bentaknya garang.
“Kami... kami tak tahu di mana Pendekar Gila kini
berada, Tuan. Betul, Tuan... Ampuni kami” jawab Parta dengan suara gemetaran,
sambil menundukkan kepala. “Kau rupanya juga ingin bernasib seperti
temanmu itu, ya?” bentak Sankher lebih keras.
“Sekali lagi aku tanya, di mana Pendekar Gila itu
berada?”
“Tuan...” salah seorang lelaki kurus dengan hidung
mancung betet berseru sambil mendekat ke depan. Sankher menoleh dan memandang
tajam wajah lelaki mengenakan blangkon hitam, tanpa memakai baju.
“Tuan..., kalau Tuan mau cari Pendekar Gila,
sebaiknya Tuan bisa datang ke Perguruan Elang Sakti.”
“Hm Di mana tempat perguruan itu?” tanya Sankher
mengangguk sinis.
“Di balik lembah sana, Tuan,” jawab lelaki yang
bernama Widura sambil menunjuk arah barat.
“Kalau kau membohongiku, nyawamu melayang”
ancam Sankher sambil menjulurkan tongkat saktinya
ke leher Widura.
Sankher tak banyak bicara. Kakinya melangkah
meninggalkan kedai itu. Langkahnya mantap dan nampak tenang, seakan tak pernah
berbuat
kesalahan, atau melakukan sesuatu.
Parta dan kedua temannya hanya memandangi kepergian
lelaki itu, dengan perasaan kesal dan malu.
“Kenapa kau beri tahu pada orang asing itu?
Apakah kau tahu kalau Pendekar Gila berada di
Perguruan Elang Sakti?” tanya Parta dengan mata melotot.
“Aku, aku hanya.... Hm, aku hanya bermaksud agar
lelaki asing itu cepat pergi dari sini,” jawab Widura dengan gemetaran.
“Gila kamu Nanti kalau kebohonganmu itu
terbukti, desa ini akan dibumihanguskan Ia akan
murka Bodoh...” bentak Parta dengan geram lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Widura hanya menunduk dengan mata lembab.
Lelaki kurus dengan kumis tipis dan mata cekung itu
masih gemetaran. Seakan-akan hatinya menyesal dengan kebohongannya pada
Sankher.
“Kalau Desa Babakan ini diobrak-abrik lelaki asing
itu, kau harus menanggung akibatnya” kata Parta lagi dengan marah.
Selesai berkata begitu, Parta dan kedua
temannya keluar dari kedai itu.
*** 3
Sore itu juga Sankher telah sampai di Perguruan
Elang Sakti. Ki Putih Maesaireng terkejut, ketika beberapa anak buahnya
berlarian di halaman perguruan dengan wajah ketakutan, disertai teriakan.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu melompat ke
luar dari dalam padepokannya, diikuti dua orang kepercayaannya, Kanta dan
Satya.
Belum sempat Ki Putih Maesaireng dan kedua murid
utamanya mencapai halaman padepokan, telah terdengar jeritan kematian.
“Aaakh...”
Wuttt
Prak Prakkk
Beberapa orang murid Perguruan Elang Sakti
tergeletak berlumuran darah. Tongkat sakti berkepala ular kobra milik Sankher
menghantam mereka yang berusaha menghalanginya. Jerit kesakitan dan kematian
ada di sana sini.
“Hei orang asing Apa urusanmu menyakiti
murid-muridku...?” teriak Ki Putih Maesaireng marah. Lelaki tua itu telah
menghadang kuda putih yang
ditunggangi Sankher. Ketika memasuki halaman
Perguruan Elang Sakti.
Si Ular Kobra dari Utara hanya mendengus sinis.
Matanya menatap tajam Ki Putih Maesaireng dan kedua
pengawalnya. “Aku datang untuk mencari Pendekar Gila dan akan mencincangnya...”
Ki Putih Maesaireng mengerutkan kening, sambil
menoleh ke Kanta. Kemudian kembali menatap Sankher dengan tajam.
“Apa urusanmu ingin bertemu dengan Pendekar Gila?”
tanya Ki Putih Maesaireng penuh selidik.
“Jangan banyak tanya Serahkan Pendekar Gila
padaku...” bentak Sankher.
Mendengar bentakan itu Ki Putih Maesaireng marah.
Begitu pula Kanta dan Satya. Kedua orang andalan Perguruan Elang Sakti itu
segera mengeluarkan keris berukuran panjang.
Si Ular Kobra dari Utara melihat itu hanya
tersenyum sinis. Dengan tongkat saktinya lelaki berjubah hitam itu menuding Ki
Putih Maesaireng.
“Kau lebih baik serahkan Pendekar Gila itu, atau
nyawamu kucabik-cabik dengan tongkatku ini”
“Kurang ajar Kalau saja Pendekar Gila ada di sini,
kau akan menerima nasib yang sama dengan orang-orang yang kau bunuh itu” kata
Ki Putih Maesaireng geram. “Serang...”
“Heaaa...”
Secepat angin Kanta dan Satya melesat terbang bagai
burung elang. Kemudian menukik ke tubuh Sankher yang masih duduk di punggung
kudanya.
Melihat dua lelaki berpakaian serba kuning dengan
ikat pinggang hitam itu menyerang, Sankher tidak tinggal diam. Lelaki berjubah
seperti orang India itu dengan tenang menyambut serangan Kanta dan Satya.
“Heaaa...”
Wuttt
Trak Trakkk
Tongkat berkepala ular kobra di tangan Sankher
memapak keris kedua murid utama Ki Putih
Maesaireng.
“Heaaa...” Dugk Dugk
“Aaah...”
Terdengar pekikan Kanta dan Satya. Rupanya ketika
kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng itu menusukkan keris ke arah kepala
lawan, dengan gerakan cepat, yang sukar dilihat dengan mata biasa Sankher telah
mendahului dengan serangan balik.
Tak pelak lagi pinggang Kanta dan Satya terkena
pukulan tongkat sakti lelaki asing itu.
Tubuh Kanta dan Satya terguling di tanah. Namun
kedua lelaki andalan Ki Putih Maesaireng itu kembali bangkit, walaupun sambil
memegangi pinggang masing-masing.
Kemudian keduanya langsung mempersiapkan
jurus andalannya, 'Elang Mengejar Mangsa'. Sankher
melompat dari atas kudanya, lalu dengan tenang menghadapi kedua lawannya.
“Heaaa...”
Kanta dan Satya serentak melakukan serangan dengan
jurus andalannya. Namun lelaki dari daratan India itu dengan gesit mengelakkan,
semua serangan yang dilancarkan kedua lawan.
Tongkat di tangan Sankher bergerak cepat, memburu
kepala lawan.
“Heaaa...”
Wuttt
Plak Plakkk
“Aaakh...”
“Aaakh...”
Pekikan kematian terdengar dari kedua orang andalan
Ki Putih Maesaireng. Kedua lelaki berpakaian kuning itu ambruk dan tertelungkup
ke tanah. Darah segar mengalir keluar dari kepala mereka. “Hah...?”
Ki Putih Maesaireng marah melihat kedua orang
andalannya dikalahkan oleh lelaki berkuda putih itu dalam beberapa gebrakan.
Padahal ilmu silat yang dimiliki Kanta dan Satya cukup handal. Dengan diliputi
kemarahan, pimpinan Perguruan Elang Sakti itu melesat melakukan serangan.
“Heaaa...”
Lelaki tua berjenggot putih itu merentangkan kedua
tangan, membentuk sebuah sayap lebar.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya menghantam ke
dada lawan. Disusul pula sambaran tangan kiri ke kepala lawan. Sedangkan
sepasang kakinya bergerak cepat secara bergantian, mencecar kaki lawan.
Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Sankher
tak mau menganggap enteng. “Hm..., lumayan juga ilmu silat lelaki tua ini,”
gumamnya dalam hati.
Tongkat di tangannya diputar cepat, membentuk
baling-baling. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang nampak hanyalah warna
hitam yang membungkus tubuh Ki Putih Maesaireng.
Melihat Ki Putih Maesaireng tampak kesulitan
menghadapi orang asing itu, maka tanpa diperintah, tujuh belas murid Perguruan
Elang Sakti langsung bergerak maju. Dengan golok terhunus, mereka mengepung
kedua orang yang masih bertarung itu.
Sankher dan Ki Putih Maesaireng terus bertarung.
Keduanya saling menunjukkan ilmu silat yang mereka
miliki. Tak percuma Ki Putih Maesaireng mendapat kepercayaan memangku jabatan
sebagai Pemimpin perguruan Elang Sakti. Terbukti lebih dari sepuluh jurus
lelaki berjubah hijau itu masih mampu menghadapi Ular Kobra dari Utara. Sejauh
itu pun pertarungan masih tampak seimbang. Baik Ki Putih Maesaireng maupun
lelaki berjubah hitam ini masih memperlihatkan ketangguhan masing-masing.
Namun belakangan Ki Putih Maesaireng semakin kesal,
setelah mendapati serangannya selalu dapat dikandaskan oleh Ular Kobra dari Utara.
Tangannya kembali merentang, kemudian diangkat lurus, dilanjutkan dengan
menekuknya di samping dada.
Itulah jurus 'Elang Sakti', salah satu jurus
andalan Ki Putih Maesaireng.
Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan
tangan kanan bergerak menyapu. Kedua kakinya tak tinggal diam. Kaki kanan
menendang ke arah pinggang lawan, disusul kaki kiri bergerak menyapu kaki
lawan. Itulah jurus 'Elang Sakti Menyambar Mangsa', yang terkenal ganas dan
mematikan.
“Hiaaat...”
Sankher tersentak melihat jurus yang dilancarkan Ki
Putih Maesaireng. Gerakan lelaki tua berjenggot dan berambut putih itu sangat
cepat. Rasanya sulit baginya untuk mengelak. Namun si Ular Kobra dari Utara itu
bukanlah tokoh sembarangan. Percuma jauh-jauh dari negeri asalnya datang ke Jawadwipa,
kalau dengan mudah dapat dipencundangi Pemimpin Perguruan Elang Sakti.
Sankher menggeser kakinya dua langkah ke
samping. Kemudian dengan cepat tongkat berkepala
ular di tangannya dikebutkan ke tubuh Ki Putih Maesaireng. Sementara itu tangan
kirinya menepuk keras ke tulang rusuk lawan. Namun Ki Putih Maesaireng masih
bisa mengelak ke samping kiri.
Sankher memburu dengan menyapu kaki lawannya.
Ki Putih Maesaireng melompat dan bersalto ke udara.
Sankher dengan cepat menebaskan tongkatnya, ketika tubuh lawan kembali
mendarat. Hingga....
“Heyaaa..”
Prakkk
“Aaakh...”
Pekik panjang keluar dari mulut Ki Putih
Maesaireng, ketika pukulan senjata lawan mendarat
telak di tubuhnya. Sambil kesakitan tubuhnya yang terbalut pakaian hijau
melintir lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Tubuh lelaki tua itu terbelah
dua. Darah segar seketika bercucuran membasahi tanah di halaman Perguruan Elang
Sakti.
“Seraaang...” teriak beberapa murid yang merasa tak
tega melihat sang Guru terkapar berlumur darah.
“Heaaa...”
“Serang...”
Tujuh belas murid Perguruan Elang Sakti
menyerbu dan mengurung si Ular Kobra dari Utara.
Namun dengan cepat dan gesit lelaki berjubah hitam
itu bergerak memapaki serangan. Dalam beberapa gebrakan saja lima pengeroyoknya
tewas dengan kepala pecah. Bagai kesetanan si Ular Kobra dari Utara menghabisi
murid-murid Perguruan Elang Sakti.
Sampai akhirnya, tinggal tiga orang yang masih
hidup. Sankher sengaja tak membunuh mereka.
“Katakan pada Pendekar Gila dan semua
pendekar di Jawadwipa ini, bahwa aku Ular Kobra
dari Utara menantang dan ingin membunuh mereka...”
seru Sankher dengan suara bergema, mantap.
Selesai berkata begitu, kakinya melangkah
meninggalkan Perguruan Elang Sakti. Dengan tenang ia memacu kuda putihnya
menginjak-injak mayat yang berserakan di halaman perguruan itu.
Setelah kepergian 'tamu' berpakaian ala India itu,
ketiga orang yang masih hidup mendekati mayat Ki Putih Maesaireng. Mereka
bermaksud membawa mayat sang Pemimpin ke dalam. Namun, tiba-tiba mereka
dikejutkan munculnya seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Ketiga murid
Perguruan Bang Sakti saling mengerutkan kening, melihat sikap pemuda tampan
berambut gondrong itu.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular yang
tak lain Sena Manggala tampak cengegesan sambil tangannya menggaruk-garuk
kepala.
“Ada malapetaka apa gerangan, Kisanak...?”
tanya
Sena begitu dekat dengan ketiga orang yang
berjongkok di dekat mayat Ki Putih Maesaireng.
“Seorang lelaki aneh telah membunuh Ki Putih
Maesaireng dan kedua orang pengawalnya, serta lima belas teman kami,” ujar
lelaki muda yang bernama Kasnan.
“Betul, Tuan. Lelaki yang mengaku sebagai si Ular
Kobra dari Utara itu dengan ganas membunuh orang-orang perguruan kami. Tanpa
mengenal belas kasihan” tambah pemuda yang ada di samping kiri Kasnan. Lelaki
ini sama dengan teman-temannya yang lain mengenakan pakaian hijau.
“Ah ah ah... Apa urusannya..., eh... apa dia orang
gila?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kami kurang begitu jelas. Tapi kami dengar, lelaki
yang bersenjata tongkat ular itu menentang pendekar-pendekar tanah Jawadwipa
ini. Bahkan juga bersumpah ingin membunuh Pendekar Gila...,” ujar Kasnan
menegaskan.
Mendengar namanya disebut, Sena mengerutkan kening
dan makin menggaruk-garuk kepala.
Kemudian tertawa-tawa sendiri, seperti orang kurang
waras. “Aneh? Salah apa aku pada orang aneh itu?
Bertemu pun belum pernah...? Kenapa dia ingin
menantangku...?” Sena bertanya-tanya dalam hati.
“Apakah Kisanak mengenal lelaki aneh itu?”
tanya Kasnan lagi.
Sena hanya menggelengkan kepala, dan terus
cengegesan.
“Setelah Desa Kanginan dan Babakan. Kini
Perguruan Elang Sakti. Aku harus cepat memburu
manusia gila itu” gumam Sena lirih.
Sena lalu berjongkok, membalikkan tubuh Ki Putih
Maesaireng. Diusapnya wajah lelaki tua itu yang penuh dengan darah. Pemuda
berambut gondrong yang lebih kesohor dengan julukan si Pendekar Gila itu tampak
menyesali dirinya. Sena tahu bahwa Ki Putih Maesaireng merupakan tokoh lurus
beraliran putih.
“Sebaiknya kita cepat menguburkan Ki Putih
Maesaireng dan yang lainnya” saran Sena pada Kasnan dan kedua temannya.
Sena dengan ketiga orang itu mulai
mengumpulkan mayat-mayat itu, untuk dikuburkan.
***
Sena pagi itu masih berada di Perguruan Elang
Sakti, karena malam tadi menginap di perguruan itu.
Maksudnya ingin menunggu kedatangan si Ular Kobra
dari Utara. Karena Sena memperkirakan pembunuh berdarah dingin itu akan
kembali. Namun ternyata tidak.
“Aha Sebaiknya kalian bertiga jaga perguruan ini.
Jangan ditinggalkan Mungkin sewaktu-waktu aku
datang, untuk melihat keadaan di sini,” ujar Sena sebelum pergi.
“Tapi, siapakah Tuan sebenarnya?” tanya Kasnan
ingin tahu.
“Ah ah ah... Tak perlu tahu. Yang jelas aku akan
mencari lelaki pembunuh keji itu sampai dapat. Aku hanya orang biasa seperti
kalian,” tutur Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengegesan.
“Terima kasih, Tuan...,” kata Kasnan sambil
menjura, diikuti kedua temannya. Ketiga murid Perguruan Elang Sakti itu
tampaknya dapat membaca penampilan Sena sebagai seorang pendekar.
Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Lalu melangkah pergi meninggalkan
Perguruan Elang Sakti.
Kasnan dan kedua temannya memandangi
kepergian Sena dengan berbagai perasaan.
“Pemuda gagah itu tingkahnya seperti orang gila.
Apakah dia yang bernama Pendekar Gila dari Goa
Setan itu...?” gumam Kasnan.
Hembusan angin pagi bertiup sejuk, diwarnai
nyanyian riang burung menyambut kehadiran matahari menyinari bumi mayapada.
Embun-embun belum semuanya pupus dari rerumputan dan daun pohon. Namun
tiba-tiba....
“Heaaat...”
“Ceaaat...”
Tampak sepasang muda-mudi tengah terlibat
pertarungan. Yang seorang lelaki berusia dua puluh lima tahunan. Rambutnya yang
panjang melewati bahu diikat Tubuhnya yang kekar dan berisi terbungkus pakaian
silat warna putih dengan ikat pinggang merah. Sedang yang satu lagi seorang
gadis yang usianya tak jauh berpaut. Pakaiannya yang merah delima sangat serasi
dengan kulitnya yang kuning langsat.
Kedua muda-mudi itu tampak melesat dengan ringan ke
atas. Kemudian tubuh keduanya saling bersalto. Sesekali menyerang dan menangkis
serangan lawan, diiringi teriakan-teriakan melengking memecah suasana pagi di
sekitar air terjun itu.
Wuttt, wuttt
Trangngng
“Hiaaa...”
“Yeaaat..”
Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka
melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya berjumpalitan di udara beberapa
kali, sebelum akhirnya mendarat di atas sebuah batu licin.
Trap
Keduanya saling pandang. Pedang di tangan mereka
disilangkan di depan dada. Secara
bersamaan tangan kiri mereka digerakkan ke depan,
membuka suatu jurus. Sedangkan kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke
samping. Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring.
“Kau sudah semakin cepat menggunakan
pedangmu, Sundari...,” seru sang Pemuda memuji
gadis cantik berpakaian merah delima yang ternyata bernama Sundari.
“Tapi aku masih belum puas, Kakang. Aku ingin
teruskan latihan ini sampai aku betul-betul puas...”
sahut Sundari sambil memandangi Sawung Rana,
kekasihnya.
“Heaaat..”
Sundari menebaskan pedangnya ke arah Sawung Rana.
Pemuda itu cepat melompat dan bersalto dua kali, kemudian mendaratkan kaki jauh
di hadapan Sundari. Di tepi air terjun. Sundari melompat mem- buru Sawung Rana.
Keduanya kini kembali saling serang dan tangkis.
Tubuh Sundari melesat sambil bersalto di udara
laksana seekor burung elang kelaparan. Tangan kirinya bergerak lincah melakukan
pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang dengan cepat.
“Hiaaat...”
Wuttt Wuttt
Srat Srattt
Pedang di tangan Sundari menebas air terjun di
sampingnya. Namun air itu masih saja terpercik, pertanda gerakannya belum
sempurna.
“Heaaat...” Sawung Rana pun melesat, lalu bersalto
di udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemudian disusul dengan tebasan
pedang ke air terjun itu.
Wuttt.. Prattt
Air terjun masih terpercik, menandakan gerakannya
pun belum sempurna. Namun Sawung Rana tak puas begitu saja. Setelah bersalto
mundur di udara, tubuhnya kembali mencelat dan membabatkan pedang ke air
terjun.
“Heaaa...”
Wuttt
Kali ini air terjun itu tidak terpercik sedikit
pun, membuat mata Sundari membelalak. Mulutnya menganga tanpa sadar,
menyaksikan hasil yang telah diperoleh sang Kekasih.
Tubuh Sawung Rana bersalto ke belakang sambil
memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian kakinya kembali hinggap di atas
batu di kolam air terjun itu. Dengan tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke
dalam sarung. “Kau telah berhasil, Kakang...” seru Sundari ikut gembira.
“Ya. Kau pun sudah mulai berhasil, Dimas,” sahut
Sawung Rana dengan napas sedikit terengah-engah.
“Bagaimana? Apakah Dimas mau melanjutkan...?”
Sundari menggelengkan kepala. Lalu melompat
mendekati Sawung Rana.
“Kalau begitu kita kembali ke pondok. Kau nampak
kelelahan,” ujar Sawung Rana kemudian. Ia mengajak Sundari pergi dari tempat
itu.
Tiba-tiba wajah Sundari nampak berubah sedih.
Sawung Rana heran. Melihat kekasihnya tiba-tiba
saja menampakkan kesedihan.
“Ada apa kiranya, Dimas? Apa yang sedang Dimas
risaukan...?” tanya Sawung Rana ingin tahu.
“Entahlah, Kakang. Tiba-tiba aku teringat pamanku
Ki Putih Maesaireng,” jawab Sundari lemah.
“Mungkin pamanmu juga sedang teringat
padamu, Dimas,” sahut Sawung Rana coba
menyenangkan hati kekasihnya. “Kalau perlu besok
kita bisa menjenguk pamanmu. Bagaimana...?”
Sundari menatap Sawung Rana, hatinya merasa lega
dengan ajakan sang Kekasih.
“Apa kau benar-benar akan mengajakku, Kang?”
tanya Sundari dengan senyum manis.
Sawung Rana merangkul kekasihnya dengan
lembut. Keduanya kemudian meneruskan langkah menuju
pondok mereka, yang ada di atas bukit dekat air terjun itu.
Baru saja kedua muda-mudi itu sampai di
pelataran pondok yang terbuat dari daun pandan
kering, tiba-tiba terdengar teriakan orang minta tolong.
“Tolooong...” Seketika Sawung Rana dan Sundari
menoleh ke belakang dan memandang ke asal suara teriakan itu.
Seorang lelaki berpakaian rompi hijau berlari
menyongsong mereka, tapi jatuh tersandung batu.
Sawung Rana cepat menghampiri lelaki itu. Ternyata
Kasnan, murid Perguruan Elang Sakti.
“Kang Kasnan...?” pekik Sundari setelah
mengenali lelaki itu.
“Ada apa, Kang?” tanya Sawung Rana sambil memegangi
Kasnan.
“Orang itu membakar Perguruan Elang Sakti.... la
kembali membunuh orang-orang perguruan
lainnya...” tutur Kasnan dengan napas
tersengal-sengal.
“Siapa orang yang kau maksud itu, Kang...?”
tanya Sawung Rana, penuh harap.
“Siapa? Apa yang telah terjadi dengan Paman Putih
Maesaireng...?” tambah Sundari cemas sekali.
“Ampun... Saya terlambat memberitahukan berita
ini,” kata Kasnan dengan tersendat-sendat.
“Berita apa?” tanya Sundari makin cemas.
“Ki Putih mati. Dibunuh lelaki aneh itu...,” kata
Kasnan menjelaskan.
“Hah? Oh... Paman...”
Sundari sangat terpukul hatinya mendengar berita
itu. Dirinya semakin sedih dan menangis.
“Ternyata firasatku benar, Kakang,” ucap Sundari
sambul menangis. Lalu Sundari bergerak ingin pergi.
Sawung Rana cepat mencegahnya.
“Dimas.... Sabarlah Mari kita rundingkan bersama.
Aku yakin orang aneh itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi,” ujar Sawung
Rana coba meredakan amarah kekasihnya.
“Bagaimana mungkin aku harus bersabar, Kakang?
Belum sempat aku membalas jasa-jasa paman yang telah merawatku, sejak kedua
orang tuaku meninggal. Aku merasa berdosa...,” ucap Sundari denga nada sedih.
“Aku mengerti, Dimas. Tapi kita harus berpikir
panjang. Sebab yang akan kita hadapi tentunya bukan orang sembarangan.
Buktinya, pamanmu yang memiliki ilmu silat yang di atas kita, dapat
ditaklukkan,” Sawung Rana coba mengingatkan Sundari.
“Benar,” sambung Kasnan, “Lelaki aneh itu juga
menantang semua pendekar yang ada di Jawadwipa ini. Termasuk Pendekar Gila dari
Goa Setan.”
“Hah?” Sawung Rana tersentak. Mengerutkan kening.
Demikian pula dengan Sundari. Keduanya saling pandang.
“Setelah kematian Ki Putih Maesaireng, datang
seorang pendekar muda, yang tingkahnya seperti orang gila. Pemuda itu menolong
kami menguburkan mayat-mayat, termasuk jasad Ki Putih Maesaireng...,”
jelas Kasnan kemudian. “Apakah Tuan mengenal pemuda
yang bertingkah seperti orang gila itu?”
tanyanya penasaran.
“Ya.... Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan,”
jawab Sawung Rana sambil menganggukkan kepala.
“Sudah aku duga...,” gumam Kasnan lirih.
Sawung Rana berpikir sejenak sambil memegangi
kening. Ia lalu menoleh ke wajah Sundari yang masih bersedih.
“Dimas, sebaiknya kita cari Pendekar Gila, untuk
melawan laki-laki aneh itu. Kita berdua tak mungkin dapat mengalahkannya. Tapi
kalau memang kita bertemu dengan lelaki itu. Apa boleh buat,” ucap Sawung Kana.
“Terserah Kakang,” jawab Sundari lemah.
“O, ya. Tadi Kang Kasnan tampak ketakutan. Apa
lelaki itu mengejarmu, Kang?” tanya Sawung Rana kemudian.
“Betul, Tuan. Tapi sempat dihadang oleh orang-orang
Desa Babakan yang marah. Karena
terbunuhnya orang-orang desa itu,” tutur Kasnan.
“Kalau tidak mungkin saya sudah mati....”
“Hmmm”
Sawung Rana menghela napas panjang, lalu
berpaling ke arah Sundari yang ada di sebelah
kirinya.
“Dimas, sebaiknya kita cepat pergi. Sebelum orang
itu menemukan kita di sini.”
Lalu Sawung Rana mengajak Sundari pergi dari pondok
itu.
“Kang Kasnan sebaiknya tinggal saja di pondok kami”
kata Sawung Rana sebelum pergi.
“Baik, Tuan.”
Sawung Rana dan Sundari melesat pergi
meninggalkan pondok itu. Keduanya seperti sepasang
elang melesat bagai terbang menuju perbukitan.
*** 4
Semilir angin pagi menerpa dedaunan di Bukit Lawa.
Tampak sepasang muda-mudi yang tak lain Sawung Rana
dan Sundari tengah melesat melintasi jalan tanah di antara perbukitan hijau.
Dilihat dari gerakan mereka yang cepat dan gesit, jelas keduanya sama-sama
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Mereka bagai dua ekor kijang melompat-lompat di
atas batu dan tanah keras. Tak lama kemudian keduanya berhenti di puncak bukit
Mata mereka memandang ke perbukitan itu. Seakan merasa khawatir kalau-kalau ada
orang yang mengikuti mereka.
Sawung Rana dan Sundari hendak menuju
Perguruan Elang Sakti untuk melihat keadaan
perguruan yang telah diporak-porandakan si Ular Kobra dari Utara.
“Kita tak jauh lagi dari Perguruan Elang Sakti,
Dimas. Waspadalah” kata Sawung Rana sambil terus melangkah di samping Sundari.
Sundari hanya menganggukkan kepala pelahan.
Matanya memandangi sekeliling tempat itu dengan
tajam. Pendengarannya pun dipasang untuk
menangkap suara apa saja di sekitar tempat itu.
“Kakang, aku merasakan sesuatu di belakang kita,”
bisik Sundari sambil menoleh ke wajah Sawung Rana.
“Hm...” Sawung Rana hanya bergumam pendek.
Suasana di perbukitan itu memang sunyi dan sepi.
Yang terdengar hanya suara desah angin dan kicau
burung. Pasangan muda-mudi itu terus melangkah menuruni jalan terjal
berbatu-batu. Dan ketika sampai di sebuah tempat datar tiba-tiba....
“Kisanak, tunggu...”
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Sawung Rana dan Sundari terhenti.
Kemudian perlahan tubuh mereka berbalik,
menghadap ke orang yang menegurnya.
Empat orang lelaki telah berdiri di belakang
pasangan muda-mudi yang berpakaian putih dan merah delima itu.
Satu dari keempat lelaki itu tak lain Guntala,
Pemimpin Perguruan Bintang Mas yang diam-diam mengikuti sepak terjang Sankher.
Dengan sinis Guntala memandang tajam wajah Sawung Rana dan Sundari.
“Ada keperluan apa, Kisanak menghentikan
langkah kami?” tanya Sawung Rana. Tangan kanannya
tampak memegang pedang.
“Ha ha ha...” Guntala tertawa, “Kalian tentu ingin
mencari orang asing yang aneh itu, bukan?”
Sawung Rana dan Sundari mengerutkan kening,
keduanya lalu saling pandang. Keduanya heran, karena lelaki yang tak dikenalnya
mengetahui tujuan mereka.
“Bagaimana Kisanak bisa tahu?” tanya Sawung Rana
menyeledik.
“Ha ha ha... Aku orang serba tahu. Mungkin aku bisa
membantu kalian berdua, untuk menemukan orang asing itu. Ha ha ha...” Guntala
tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya yang hitam lebat. Matanya melirik nakal
ke arah buah dada Sundari yang nampak menonjol di balik pakaian silatnya.
Sundari membelalakkan mata, ketika tahu dadanya
sedikit terbuka. Gadis itu cepat merapikan pakaiannya, “Bajingan Lelaki tua tak
tahu diri, huh”
rungut Sundari dalam hati.
“Tapi kami belum pernah mengenalmu, Kisanak.
Bagaimana kami mempercayaimu?” sahut Sawung Rana
tegas. “Lagi pula aku tak membutuhkan bantuanmu. Maaf...”
“He he he Kalian akan menyesal. Kau berdua akan
mati seperti pendekar-pendekar lainnya. Sayang kalau kalian yang masih
muda-muda ini harus mati begitu cepat,” ujar Guntala mencoba membujuk Sawung
Rana dan Sundari.
Sawung Rana mengerutkan kening, lalu saling pandang
dengan Sundari. Keduanya nampak berpikir dan menimbang kebenaran ucapan
Guntala.
“Kenapa Kisanak mau membantuku?” tanya
Sawung Rana agak mendesak.
“Hm.... Bukankah kita hidup harus saling
menolong? Dan kau harus tahu, bahwa aku juga ingin
melenyapkan lelaki aneh itu,” kata Guntala mencoba meyakinkan Sawung Rana.
Sawung Rana mengangguk-anggukkan kepala.
Seakan hatinya membenarkan ucapan Guntala.
Namun, Sundari merasakan ketidakberesan lelaki tua
di hadapannya itu. Perasaan kewanitaannya lebih tajam.
“Kakang...” seru Sundari.
“Ada apa, Dimas?”
“Sebaiknya Kakang tidak menerima bantuan
lelaki itu. Aku...”
Ucapan Sundari yang pelan, seperti berbisik itu tak
berlanjut, karena Sawung Rana cepat menukas.
“Kisanak, aku sangat berterima kasih atas maksud
baikmu. Namun, aku belum bisa mem- percayaimu.”
Sundari merasa lega mendengar ucapan
kekasihnya. Gadis itu menghela napas panjang.
“He he he... Aku tak dapat memaksa kalian. Tapi,
ingat Kalian akan menyesal. Lelaki si Ular Kobra itu akan menghabisi kalian”
ujar Guntala dengan suara ditekan berat. “Dan, kalau kalian bertemu dengan
Pendekar Gila, tolong sampaikan pesanku. Paman Dewi Pandagu kirim salam”
Mendengar ucapan Guntala yang seakan menjadi
sahabat Pendekar Gila, membuat Sawung Rana dan Sundari jadi mengerutkan kening.
Keduanya saling pandang.
“Hm, maaf Kisanak Apa Pendekar Gila pernah
menemuimu...?” tanya Sawung Rana, yang mulai termakan tipu muslihat Guntala.
Dan pemuda yang masih hijau dalam dunia persilatan itu, memang masih labil dan
mudah percaya. Apalagi dirinya belum paham benar tentang hubungan Pendekar Gila
dan Dewi Pandaku. Hanya Sundari yang sedikit pernah mendengar berita tentang
bekas Pemimpin
Perguruan Bintang Mas itu dari pamannya, Ki Putih
Maesaireng. Itu pun hanya sedikit.
“Terus terang saja, sebenarnya aku ingin bertemu
Pendekar Gila dari Goa Setan, untuk menangkap dan segera melenyapkan si Ular
Kobra dari Utara”
tambah Guntala dengan wajah menggambarkan
kecemasan.
Sawung Rana dan Sundari makin termakan tipu
muslihat Guntala. Sundari yang semula mencurigai maksud buruk Guntala, kini
justru meminta maaf.
“Kisanak, maafkan kalau tadi kami kurang ramah,
pada Kisanak...,” ucap Sundari kemudian. Tentu saja dengan senyum tersungging
di wajahnya. “Tak apa-apa. Wajar kalau wanita seperti kau mempunyai kecurigaan
demikian terhadap orang seperti aku ini,” jawab Guntala diiringi senyum yang
dibuat-buat.
Sejenak mereka diam. Hanya perasaan masing-masing
yang sedang bergolak.
“Kisanak, sebaiknya kita tak perlu lama-lama lagi.
Kalau Kisanak berdua tak keberatan, bagaimana kalau
kita rundingkan rencana melenyapkan si Ular Kobra dari Utara itu di pondok
kami,” ajak Guntala tiba-tiba memecah keheningan.
“Baiklah...,” wajab Sawung Rana setelah minta
persetujuan Sundari.
Maka mereka segera pergi meninggalkan Bukit Lawa
yang angker itu. Sawung Rana dan Sundari berjalan paling depan. Di samping
Sundari tampak Guntala yang sejak tadi tergiur kemontokan tubuh gadis itu.
Sedangkan tiga orang anak buah Guntala mengiringi di belakang. Ketiganya
mengenakan pakaian serba hitam dengan dada terbuka. Ikat kepala mereka pun
sama, hitam. Wajah mereka tidak menampakkan kebengisan. Biasa-biasa saja. Hanya
kumis tebal melintang di atas bibir mereka.
“Tak jauh lagi. Di balik lembah itu pondok
kami...,”
ujar Guntala dengan suara agak serak. Matanya terus
melirik ke dada Sundari yang montok.
Pimpinan Perguruan Bintang Mas itu sengaja tidak
membawa Sawung Rana dan Sundari ke tempat perguruannya, karena takut diketahui
siapa dia sebenarnya. Karena itu Guntala membawa Sundari dan Sawung Rana ke
pondok yang biasa
digunakannya sebagai persembunyian, bila
menghadapi sesuatu masalah. Seperti ketika dirinya
meninggalkan Dewi Pandagu, setelah bertengkar pendapat dengan keponakannya itu.
Guntala memang mempunyai sifat buruk. Senang
mempermainkan wanita, bahkan pernah bermaksud menguasai Perguruan Bintang Mas,
yang dipimpin Dewi Pandagu.
“Masih jauh, Kisanak...?” tanya Sundari mulai
cemas.
“Tidak, tidak jauh lagi. Setelah kita menuruni
lembah, sudah tak jauh,” jawab Guntala diiringi senyum hambar. Matanya tak
henti-henti melirik buah dada Sundari. Tampaknya gadis itu belum merasakan
kalau dirinya sedang diperhatikan.
Jalanan yang dilalui semakin sunyi dan terasa
angker. Jauh dari pemukiman penduduk. Batu-batu cadas tampak di sana-sini. Hati
Sundari semakin cemas. Sejenak gadis berpakaian merah delima itu menghentikan
langkah.
“Ada apa, Dimas?” tanya Sawung Rana heran.
Sundari tak menjawab. Gadis cantik itu hanya
menghela napas panjang.
“Ada sesuatu Kisanak...?” tanya Guntala
berpura-pura merasa khawatir.
“Tidak. Hanya...,” Sundari tak meneruskan
ucapannya. Kemudian kembali melangkahkan
kakinya.
Ketika sampai di suatu dataran yang sekelilingnya
ditumbuhi pepohonan rindang dan besar, tiba-tiba....
“Heaaa...”
“Aist... Heh?”
Salah seorang anak buah Guntala menyerang Sawung
Rana secara membokong. Namun pemuda tampan itu tampaknya telah merasakan ketidakberesan
itu. Hingga dengan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. “He he
he...”
Sementara Sundari pun mendapat perlakuan
kurang sopan dari Guntala. Lelaki setengah tua itu,
dengan gerakan cepat menarik lengan Sundari disusul dengan remasan tangan
kanannya ke buah dada gadis cantik itu.
“Akh...” pekik Sundari sambil menepiskan tangan
Guntala. Lalu cepat menjauhi lelaki tua keladi itu, sambil memasang kuda-kuda.
“He he he... Ck ck ck... Kau membuat
kelelakianku tergoda, Cah Ayu. He he he...” Guntala
dengan mata liar memandangi keindahan tubuh Sundari yang sintal dan sangat
menggairahkan itu.
Lidahnya menjulur keluar, membasahi bibirnya
sendiri.
“Tua bangka tak tahu diri...” sungut Sundari dengan
muka merah. Mata Sundari menatap tajam Guntala yang melangkah mendekatinya.
Sementara tangan dan kakinya sudah mengatur kedudukan, memasang kuda-kuda.
“He he he... Cah Ayu, kau tak usah marah
Menurutlah, sebelum kau menyesal...,” bujuk
Guntala, sambil mengusap-usapkan dadanya.
Matanya terus menatap dengan nakal tubuh Sundari.
“Dasar laki-laki cabul... Heaaat...”
Sundari yang sudah tak sabar lagi, langsung
menyerang Guntala. Dibabatkan pedangnya ke ulu hati lelaki setengah baya itu.
Namun Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu berilmu silat yang cukup tinggi.
Terbukti dengan mudah mengelakkan serangan lawan. Dimiringkan tubuhnya ke
samping kiri dan kanan. Lalu melompat mundur.
“He he he..., eits Sabar, Cah Ayu Kau tampak cantik
dan membuatku semakin bernafsu, jika marah begitu.... Ayolah”
Guntala terus meledek, bahkan sekan tak peduli
dengan pedang Sundari yang terus mencecarnya.
Dengan merebahkan tubuh dan berguling ke tanah,
Guntala mengelakkan serangan gadis berpakaian merah delima itu.
“Heaaattt...”
“Eit... Heaaa...”
Guntala mulai beraksi. Dengan lincah lelaki tua itu
menangkis dan melancarkan serangan balik ke tubuh lawan. Sundari tersentak
melihat serangan balik Guntala yang cepat. Membuat ia menarik pedangnya ke
depan dada. Kemudian menarik napas sejenak dan kembali membuka serangan.
“Heaaat...”
“Heits Hih...”
Degk Degk
“Aaakh...”
Sundari memekik kesakitan, ketika pukulan Guntala
bersarang telak di tengkuk dan punggungnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi
tengkuknya. Wajah gadis cantik itu memerah karena marah.
“He he he... Menyerah sajalah kau, Cah Ayu. He he
he...” ejek Guntala sambil mendekati Sundari yang masih kesakitan. Namun ketika
lelaki setengah baya itu berada satu tombak di depannya, tanpa diduga Sundari
dengan cepat membabatkan pedangnya. Lelaki tua yang memiliki ilmu silat dua
tingkat dari lawannya, dengan cepat merebahkan badan ke belakang. Sedangkan
tangannya coba menangkis serangan Sundari.
“Heaaat...” Wuttt
“Aits Hea...” Guntala berjumpalitan ke belakang,
ketika Sundari mencecarnya. Lalu kakinya hinggap pada sebuah batu besar. Dan
selamatlah lelaki tua keladi itu. “Hi hi hi... Percuma kau melawanku, Manis. Hi
hi hi...”
Guntala mengejek Sundari sambil mengusap-
usap jenggotnya dengan tangan kanan, sedangkan
tangan kirinya bertolak pinggang.
Sundari yang kini berada di bawah, memandang lelaki
itu dengan penuh kebencian.
Sementara itu Sawung Rana masih bertarung sengit
melawan tiga anak buah Guntala.
“Kurung dia...” seru salah seorang dari ketiga anak
buah Guntala.
“Heaaa...”
“Yeaaat...”
Trang Trang
Pedang Sawung Rana dan golok ketiga lawannya
beradu. Mengeluarkan percikan sinar api. Dengan gesit dan cepat, Sawung Rana
menyerang dan menangkis serangan lawan. Ketiga lawannya sempat tersentak,
ketika babatan pedang pemuda berpakaian putih itu sempat melukai lengan salah
seorang dari mereka.
“Heaaa...”
Wuttt
Crasss
“Aaakh...”
Pekik Barkala, satu dari ketiga anak buah Guntala.
“Hah...? Boleh juga ilmu pedang pemuda itu...,”
gumam Wiraksa yang berbadan paling besar.
Matanya membelalak lebar. “Serang...” seru
Darkapala, orang yang paling tua di antara ketiga anak buah Guntala. Kumisnya
yang tebal menyatu dengan cambang bawuk di pipi.
Melihat lawannya berkelebat menyerang, Sawung Kana
pun tak mau tinggal diam. Secepat itu pula pemuda tampan itu melompat sambil
menjulurkan pedang ke depan, memapaki serangan lawan. Tak terhindarkan,
pertarungan semakin seru dan sengit.
Ketiga anak buah Guntala nampak penuh semangat
ingin segera menjatuhkan Sawung Rana. Apalagi Barkala sudah terluka.
“Heaaa... Mampus kau Anak Muda...” seru Darkapala
sambil membabatkan golok ke kepala lawan yang sempat lengah. Namun, Sawung Rana
masih bisa menangkis dengan pedang, sebisanya sambil berguling ke samping,
menjauhi lawan-lawannya.
Mata Darkapala membelalak, ketika serangannya dapat
ditangkis. Hatinya semakin kesal dan marah.
Mukanya merah. Lalu dengan cepat kembali
menyerang Sawung Rana yang sudah kembali siap
menghadapi mereka.
Kini Darkapala dan Wiraksa menyerang ber-
samaan dari dua arah. Keduanya melompat sambil
berteriak. Sawung Rana pun melompat memapaki serangan itu.
“Heaaa...”
“Yeaaat...”
Trang Trang Wuttt Wuttt
Pekikan keras dan denting senjata saling beradu
terus terdengar semakin riuh. Dengan sekuat kemampuannya Sawung Rana terus
berusaha
bertahan dari gempuran serangan kedua lawannya yang
menyerang secara serentak. Namun Sawung Rana yang memang ilmu pedangnya belum
sempurna, dan masih satu tingkat di bawah anak buah
Guntala tetap menunjukkan kekerasan hati untuk bertahan. Namun, tiba-tiba....
Swing Swing
“Hah? Aaakh...”
Tanpa diduga sama sekali, Durkapala dan
Wiraksa mengeluarkan senjata rahasia. Beberapa
pisau kecil melesat memburu tubuh Sawung Rana.
Bahkan satu di antaranya mengenai tangan kanan
Sawung Rana. Pemuda itu memekik keras. Tubuhnya jatuh bersamaan dengan
pedangnya yang terlepas.
Melihat Sawung Rana jatuh dan mulai melemah
fisiknya, Darkapala, Wiraksa, dan Barkala serentak hendak menghabisi nyawanya.
Namun tiba-tiba....
“Aaakh...”
Sesosok bayangan melesat begitu cepat. Bagai seekor
elang menyambar mangsa, melancarkan serangan kilat. Kontan ketiga anak buah
Guntala terpekik. Tubuh mereka terpental lima tombak dari tempatnya, karena
terkena serangan cepat dari sosok bayangan tadi.
“Aha, rupanya ada manusia-manusia kotor di sini.
Hi hi hi...” ejek seorang pemuda berpakaian rompi
kulit ular, yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tangannya
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
“Hukh Huekh...”
Ketiga anak buah Guntala muntah darah dan tak mampu
bangkit lagi. Dada mereka membekas telapak tangan kebiruan.
Tak jauh dari situ, Sundari telah berada di tangan
Guntala. Tampaknya tubuh gadis berpakaian merah delima itu tertotok jalan
darahnya, hingga terkulai lemas. Guntala tak membuang kesempatan baik itu.
Segera lelaki tua yang mata keranjang itu
menggeluti tubuh Sundari yang sudah tak berdaya kena totokannya.
Guntala baru saja hendak melepaskan
pakaiannya untuk menggeluti Sundari ketika
terdengar suara gelak tawa menggelegar yang seakan hendak menggetar bumi.
“Hua ha ha... Hi hi hi... Rupanya masih ada lagi
tikus tua mau melalap laun muda... Lucu, lucu sekali tua bangka ini...” ejek
Pendekar Gila sambil bertingkah seperti orang gila.
“Hah...? Kurang ajar... Siapa kau, Pemuda Sinting”
bentak Guntala sambil memberesi celananya. Matanya terbelalak kaget melihat
kedatangan pemuda bertingkah laku gila yang begitu tiba-tiba.
“Ah ah ah Untuk apa mengetahui siapa aku. Yang
jelas aku bukan hantu, atau seperti kau, Tua Bangka...” sahut Sena dengan nada
mengejek sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila cepat melesat mendekati Sundari lalu
cepat membawanya menjauh dari Guntala yang masih nampak gugup. Dan setelah
berada cukup jauh dari Guntala segera ditotoknya tubuh gadis itu agar terbebas
aliran darahnya.
Tuk Tuk
“O..., hah? Siapa kau?” tanya Sundari setelah sadar,
melihat Sena yang cengengesan. Lalu menoleh ke arah Guntala yang siap mau
menyerang Sena.
“Cepat, selamatkan kawanmu di sana” kata Sena,
“Nanti baru kita bicara. Akan kubereskan tua bangka ini.”
Seperti tanpa sengaja Sundari menganggukkan kepala,
lalu melesat menuju tempat Sawung Rana yang kesakitan. Tangannya mengucurkan
darah.
“Kau...? Rupanya kau Pendekar Gila Kebetulan, aku
sedang mencari-carimu, Pemuda Gila...” dengus Guntala marah melihat Pendekar
Gila yang telah menghalangi niatnya.
“Aha, hi hi hi..., lucu sekali kau ini, Tua Bangka
Otak kotormu itu perlu dicuci. Ah..., untuk apa kau
mencariku...?” tanya Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
“Aku mencarimu hanya akan memberi tahu,
bahwa kau tak lama lagi akan mampus oleh tokoh yang
berjuluk Ular Kobra dari Utara itu Ha ha ha...
Dan aku telah mengatakan, bahwa kaulah yang
membunuh keponakanku, Dewi Pandagu. Ha ha ha...”
Guntala tertawa terbahak-bahak. Hatinya merasa
yakin kalau Pendekar Gila pasti akan mati di tangan Sankher. Namun Sena yang
mendengar itu justru bertingkah seperti monyet, melompat-lompat, sambil
menepuk-nepuk pantatnya. Lalu menggaruk-garuk kepala sambil tertawa-tawa.
“Hi hi hi... Lucu, lucu sekali Kau memang tua
bangka yang sudah pikun dan bosan hidup...” tukas Sena dengan cekikikan.
“Kurang ajar Heaaattt...”
Guntala yang sudah tak tahan mendengar ejekan Sena,
langsung menyerang. Namun sebelum Sena bertindak. Tiba-tiba....
“Yeaaattt...”
Sundari yang benar-benar tak mampu menahan amarah
mendahului, menyerang Guntala.
Melihat serangan cepat yang dilakukan gadis
berpakaian merah delima itu Guntala nampak tersentak kaget. Namun dengan gerak
cepat lelaki setengah baya itu mengelakkan serangan pedang Sundari.
Namun serangan cepat Sundari yang disertai amarah
dan nafsu itu hanya sia-sia belaka. Tampaknya Guntala yang berilmu lebih tinggi
beberapa tingkat mampu membaca kemampuan lawan.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Aits Hea...”
Beberapa kali serangan Sundari dapat dielakkan oleh
Guntala dengan melompat ke kanan dan kiri.
Atau sesekali melenting ke atas.
“Heaaa...”
Wuttt
“Heh? Hea...”
Dugk
“Aaakh...”
Pekikan tertahan terdengar dari mulut gadis cantik
berambut panjang itu ketika pukulan tangan kanan Guntala mendarat di
tengkuknya. Tubuhnya tersungkur ke depan lalu jatuh mencium tanah.
Melihat Sundari jatuh, Pendekar Gila langsung
melenting melakukan serangan. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
tubuhnya meliuk-liuk laksana menari dengan tangan sesekali menepuk ke tubuh
lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai, bagaikan tak mengandung
tenaga sama sekali.
Hal itu membuat Guntala menganggap remeh
lawan. Lelaki setengah baya itu segera melancarkan
serangan dengan membabatkan pedangnya. Dirinya menyangka gerakan Pendekar Gila
yang lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan sabetan pedangnya. Namun
betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang terjadi.
Dugaan Guntala meleset. Pemuda berambut
gondrong dan bertingkah laku seperti orang gila itu
sangat mengagumkan. Meski gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah,
ternyata justru dengan mudahnya mengelak. Hanya dengan menggeser kaki ke
samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan
lawan dapat dielakkannya. Bahkan tiba-tiba....
“Hih...”
Wuttt
Hampir saja pukulan telapak tangan Pendekar Gila
menghantam dada Guntala, kalau tak segera melompat ke belakang. Betapa
terkejutnya Guntala ketika tiba-tiba tangan Pendekar Gila yang seperti menari
itu telah dekat ke tubuhnya. Padahal dirinya telah menguras ilmu meringankan
tubuh, namun tetap saja pendekar muda itu mampu mengejarnya.
“Hah? Jurus gila...” pekik Guntala, kaget.
Wajahnya mendadak pucat. Menyaksikan jurus aneh
yang dikeluarkan Sena. Namun sebagai orang yang telah banyak pengalaman,
Guntala tak ingin mengalah begitu saja. Tubuhnya segera melenting untuk
mengelakkan serangan lawan, kemudian dengan cepat dibukanya jurus andalan yang
dinama-kan 'Cakar Naga Merah'.
Karena gerakan yang sangat cepat, tangan
Guntala berubah menjadi banyak. Kuku-kukunya yang
panjang dan runcing membentuk cakar naga, bergerak cepat mengcengkeram dan
mencabik ke tubuh Pendekar Gila. Ke mana Sena bergerak, tangan Guntala terus
mengejarnya dengan cakaran-cakaran maut.
“Heaaattt...” Wrertt Wrettt
Masih dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila meliuk-liuk ke sana kemari
mengelakkan serangan 'Cakar Naga Merah' Guntala.
Mulutnya kadang-kadang cekikikan, atau
cengengesan mengejek lawan.
Melihat tingkah laku konyol pemuda bertingkah laku
seperti orang gila itu Guntala tampak ternganga.
Karena marah dan kesal, serangannya tak terarah,
mulai ngawur. Mengetahui keadaan lawan itu Pendekar Gila cepat melancarkan
serangan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil
melontarkan pukulan dengan telapak tangan.
“Heaaa...”
Plak Plakkk
“Aaakh...” Guntala memekik keras, ketika tepukan
tangan Pendekar Gila yang tampak lemah dan tak bertenaga mendarat telak di
dadanya. Matanya terbelalak heran, hampir tak percaya dengan apa yang barusan
dialami. Tubuhnya terlontar deras ke belakang lalu jatuh bergulingan.
“Huekh...”
Dari mulut Guntala keluar darah segar. Tampaknya
pukulan Pendekar Gila telah menimbulkan luka dalam.
“Hi hi hi... Kenapa kau, Ki? Ah, itu imbalan bagi
orang tua usil...” mulutnya cengengesan lalu tertawa cekikikan.
“Kenapa tak kau bunuh, Tuan Pendekar...?” tanya
Sundari yang telah berdiri di samping kanan Sena.
“Aha, aku tak bisa membunuh lawan yang sudah
terluka,” jawab Sena masih menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan.
Sundari semakin heran melihat tingkah Sena. Gadis
itu, tanpa sengaja melihat Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Sena.
“Heh?” desis Sundari dengan membelalak,
“Kisanak..., apakah kau Pendekar Gila itu...?”
Belum sempat Sena memberikan jawaban
terdengar suara seperti mengerang dari mulut
Guntala.
“Pendekar Gila, bunuh saja aku Bunuhlah... huk,
huk, huk”
“O..., jadi kaulah Pendekar Gila yang kucari itu.
Alangkah bahagia aku dan Kakang Sawung Rana...”
ujar Sundari dengan tersenyum, penuh rasa gembira,
“Kakang Sawung Rana...”
Sundari berlari menuju kekasihnya yang masih duduk
menahan sakit yang mulai reda. Sementara Sena tampak menggeleng-gelengkan
kepala sambil cengengesan.
Sundari memberi tahu Sawung Rana, kalau yang
menyelamatkan mereka, tak lain Pendekar Gila.
Sawung Rana tampak nampak gembira.
“Pemuda Gila bunuh saja aku...,” rintih Guntala
lagi.
“Hi hi hi... Tidak, aku malah akan menyembuh-kanmu.
Tapi dengan syarat, cepat pergi dari tempat ini bersama anak buahmu. Dan jangan
coba-coba ganggu atau ikut campur urusanku dengan lelaki aneh itu” ujar Sena
sambil mengangkat tubuh Guntala yang mengalami luka dalam akibat pukulan-nya.
Guntala yang mendengar dan melihat Pendekar Gila
berlaku begitu pada dirinya, merasa malu.
Karena kejahatannya dibalas dengan rasa belas
kasih.
“Cepat perintahkan anak buahmu pergi. Juga kau”
kata Sena lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.
“Baik, baik,” jawab Guntala sambil membungkuk
ketakutan “Hei Darkapala, Wiraksa, dan Kau Barkala Ayo pergi” perintahnya pada
ketiga anak buahnya.
Sambil menahan rasa sakit ketiga anak buah Guntala
mengikuti pimpinannya meninggalkan tempat itu.
“Tuan Pendekar..., kami berdua mengucapkan terima
kasih. Kalau Tuan Pendekar tidak menolong kami, entah bagaimana nasib kami,”
ucap Sawung Rana dengan lemah. Matanya menatap wajah
Pendekar Gila.
“Benar. Mungkin lelaki tua itu akan dapat merenggut
kegadisanku...,” tambah Sundari dengan nada sedih dan cemas.
“Aha, sudahlah, jangan kalian pikirkan Aku memang
wajib menolong orang yang lemah,” jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. “O,
ya... bagaimana ceritanya sampai kalian diperdaya mereka?”
tanyanya kemudian.
Sawung Rana kemudian menceritakan semuanya dari
awal. Dari mulai seorang murid Perguruan Elang Sakti memberi tahu kalau Ki
Putih Maesaireng, paman Sundari dibunuh lelaki yang mengaku sebagai Ular Kobra
dari Utara. Sampai akhirnya mereka ingin mencari Pendekar Gila untuk minta
bantuan. Namun di tengah jalan mereka bertemu dengan Guntala dan anak buahnya
yang mengaku juga mencari Pendekar Gila, guna menangkap penjahat bersenjata
tongkat berkepala ular.
“Aha, lucu sekali Tapi kalian tak usah
memanggilku dengan sebutan Tuan Pendekar. Aku orang
biasa seperti kalian. Panggil saja aku Sena” kata Sena menggaruk-garuk kepala.
Sawung Rana dan Sundari tersenyum. Lalu saling
pandang.
“Sekarang kami berdua makin lega dan tak
merasa cemas. Tapi kenapa lelaki itu kau lepas
begitu saja?”
“Bagaimana kalau mereka kembali melakukan perbuatan
buruk? Atau mungkin mereka mempunyai siasat untuk menjebak kita...?” tambah
Sundari kemudian.
“Hi hi hi... Aku tak peduli. Itu terserah mereka,”
jawab Sena dengan acuh. Kemudian menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
Sawung Rana dan Sundari bergeleng kepala, kemudian
menghela napas panjang. Keduanya merasa heran melihat ketenangan Pendekar Gila.
Tak ada rasa khawatir atau takut.
“Sekarang cepat kita pergi, mencari lelaki aneh
itu” ajak Sena pada Sundari dan Sawung Rana.
“Hm... Sena Bagaimana kalau kita melihat keadaan
perguruan pamanku dulu? Siapa tahu di sana kita mendapatkan petunjuk,” ucap
Sundari dengan nada memohon.
Sena menggaruk-garuk kepala. Ia berpikir
sejenak, lalu dipandanginya Sundari dan Sawung
Rana.
“Sebenarnya aku sudah datang ke tempat
Perguruan Elang Sakti. Aku telah menguburkan Ki
Putih Maesaireng. Maafkan, aku datang terlambat, ketika si Ular Kobra telah membunuhnya,”
kata Sena menjelaskan pada Sundari.
Sundari mengerutkan kening dan menghela
napas panjang.
“Terima kasih, kau telah mengurus dan mengubur
pamanku. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Rasanya aku merasa berdosa, jika tak
melihat makamnya....
Kini aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Paman
Putih Maesaireng adalah satu-satunya harapanku...,”
tutur Sundari dengan nada sedih. Tanpa terasa, air
mata menetes membasahi pipinya yang halus.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu mengangguk-angguk
memahami perasaan gadis itu. Sawung Rana memegangi bahu kekasihnya yang masih
terisak dengan tangisnya.
“Baiklah, aku akan mengantar kalian...,” kata Sena
kemudian.
Sundari merasa lega dan senang. Pergilah
mereka meninggalkan tempat itu, menuju Perguruan
Elang Sakti.
*** 5
Banyak tokoh dari kalangan persilatan yang marah
dan bersumpah akan membunuh Sankher si Ular Kobra dari Utara, karena telah
banyak memakan korban. Selain itu tokoh dari India itu menantang dan menghina
para pendekar di Jawadwipa.
Pendekar Gila merupakan tokoh yang menjadi incaran
utama si Ular Kobra dari Utara. Siang itu Sena dan dua kawan barunya, Sawung
Rana dan Sundari hendak meninggalkan Perguruan Elang Sakti, setelah mengunjungi
kuburan Ki Putih Maesaireng. Namun ketika ketiganya sampai di pintu keluar
perguruan, dari jauh terlihat empat orang lelaki berjalan menuju mereka,
keempat orang itu nampak terburu-buru.
Sena, Sundari, dan Sawung Rana saling pandang.
Mereka merasa cemas melihat kedatangan tiga lelaki
yang tampaknya para pendekar. Hal itu terlihat dari pakaian mereka.
“Sena..., kami beruntung dapat menemukan kau di
sini” seru lelaki berjubah putih, dengan pakaian dalam warna kuning. Rambutnya
ditutupi blangkon warna putih pula. Ki Rahsewu dari Perguruan Cempaka Ungu.
“Dan kami juga punya tujuan akan melihat
keadaan Ki Putih Maesaireng, yang dikabarkan telah
mati dibunuh si Ular Kobra dari Utara itu...,” kata Suryawijaya kemudian.
Lelaki berambut putih panjang, dengan kain pengikat yang menutupi kepalanya.
“Sebaiknya kita merundingkan maksud kita
secepatnya...,” sela Ki Kuncara, orang yang paling tua di antara keempat
pendekar aliran putih itu. “Apa Kisanak tak keberatan, kami meminjam tempat
ini, untuk kami...?” tanya Ki Kuncara pada Sundari.
“Tidak, Ki. Saya malah merasa senang. Mari,
silakan..., mari...” jawab Sundari dengan ramah.
Mereka kembali melangkah menuju teras
Perguruan Elang Sakti. Tampaknya ada sesuatu hal
yang penting harus dibicarakan. Yang jelas mereka ingin membicarakan soal
Sankher atau si Ular Kobra dari Utara yang membabi buta, membunuh orang-orang
tak berdosa, serta menantang semua pendekar yang ada di Jawadwipa ini.
Mereka duduk di lantai beralaskan tikar, di teras
rumah Ki Putih Maesaireng. Sundari dan Sawung Rana pun ikut berkumpul
mendengarkan
perundingan itu.
Ki Kuncara, mulai membuka permasalahannya.
Lelaki tua itu memberikan pendapat dan rencana,
serta kehebatan ilmu silat si Ular Kobra dari Utara.
Sena yang mendengar cerita Ki Kuncara hanya
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengar-cengir.
“Tokoh aneh itu kalau lama-lama kita biarkan, akan
semakin ganas. Menurut hemat saya, kita harus menangkap dan bila perlu
membunuhnya. Setimpal dengan perbuatan kejinya. Dia telah menginjak-injak
wibawa dan harga diri para pendekar di tanah Jawadwipa ini. Termasuk, kau,
Sena...,” kata Ki Kuncara menegaskan. Wajahnya yang sedikit keriput
memperlihatkan perasaan bencinya terhadap Sankher.
Semua terdiam, tapi mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki
Kuncara. Sena sendiri masih menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
“Ah ah ah..., tak ada masalah bagiku, Ki. Hi hi...
akan kuhadapi orang itu. Hanya kuharap kalian
berhati-hati jangan gegabah menghadapinya,” ujar Sena kemudian. Mulutnya
cengengesan sambil memandangi wajah keempat pendekar itu.
“Kenapa, Sena...?”
“Aku dengar ia membunuh lawan dengan
tongkatnya. Kurasa tongkat itu tidak sembarangan.
Senjata itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Mungkin juga tongkat itu bisa berubah menjadi
senjata yang lebih hebat...,” tutur Sena menjelaskan.
“Bagaimana kau tahu...?”
“Ah..., itu hanya firasatku saja. Terserah pada
kalian, percaya atau tidak...,” jawab Sena. Kemudian menggaruk-garuk kepala,
sambil cengar-cengir.
“Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Sena.
Kita memang harus menyusun kekuatan, merencanakan dengan tepat, untuk
menaklukkan dan menangkap orang itu,” usul Rahsewu dengan penuh semangat.
“Ya Kita semua bertanggung jawab atas semua ini.
Maka dari itu, saya harap kita bisa bersatu,”
tambah Ki Kuncara.
“Biarlah aku sendiri yang melaksanakan tugas ini.
Karena si Ular Kobra dari Utara itu mencari dan
menantangku secara pribadi,” sela Sena dengan tegas. Kemudian menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
Semua nampak lega mendengar jawaban Sena.
Kemudian mereka semua saling berjabat tangan.
Tangan-tangan mereka menjadi satu, saling jabat
dengan erat. Melambangkan kesatuan dan kebersamaan.
“Kalau kalian tidak keberatan, kami berdua juga
ingin bergabung untuk menangkap lelaki itu...,” kata Sawung Rana tiba-tiba,
setelah mereka selesai berjabat tangan.
“Hm...,” Ki Kuncara manggut-manggut sambil
mengusap-usap jenggotnya. “Kami sangat senang mendengarnya. Tapi ingat, jangan
ceroboh. Sebaiknya kalian berdua bergabung dengan aku dan lainnya”
“Terima kasih, Ki...,” jawab Sawung Rana sambil
menjura. Ia nampak senang. “Kami berdua rela mati.
Dan kami mengakuinya, bahwa ilmu silat yang kami
miliki masih belum sempurna...”
Dengan jujur Sawung Rana mengutarakan
keadaan dirinya. Mereka yang mendengar merasa haru.
Namun juga bangga mendengar kejujuran pemuda seperti Sawung Rana itu.
***
Di siang yang panas dengan matahari menyinari
daerah perbukitan tampak seorang lelaki bertubuh gagah berjubah hitam dengan
kepala tertutup kain sorban wama merah hati. Lelaki yang tak lain Sankher atau
si Ular Kobra dari Utara melangkah ringan di atas jalan terjal berbatu-batu.
Sankher terus menyusuri jalan terjal perbukitan
itu. Tongkat di tangan kanannya yang telah banyak memakan korban terlihat
angker. Sebuah tongkat sakti yang mempunyai keampuhan yang luar biasa.
Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami
kematian secara mengerikan. Kepala pecah dan seketika membiru sekujur tubuhnya.
Matanya dengan tajam mengawasi sekeliling daerah
yang dilewati. Langkahnya mantap dan pasti.
Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terayu
mantap, mengiringi langkah kakinya.
“Hei, kau. Tunggu...”
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Sankher terhenti. Kemudian perlahan
tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.
Mata Sankher menatap tajam dan galak pada pemilik
suara yang ternyata seorang lelaki berambut putih, panjang. Tubuhnya yang
tinggi dan agak kurus terbalut pakaian longgar wama hijau muda. Dan di
kepalanya terikat kain hitam.
Lelaki itu tak lain Suryawijaya. Lelaki berusia
empat puluh tahunan ini tidak sendirian. Dari arah lain muncul dua orang murid
utamanya, yang berpakaian serba merah. Keduanya merupakan Kembar Juling. Karena
mata mereka juling.
“Hm...” Sankher mendengus sinis menatap
ketiga orang yang menghadangnya. “Siapa kalian?
Berani menghentikan langkahku?” tanya Sankher kemudian
dengan suara berat
“Ha ha ha... Orang sinting, kaukah Ular Kobra dari
Utara...?” tanya Suryawijaya dengan nada sinis.
Sankher tak langsung menjawab. Hanya matanya yang
bicara. Menatap tajam wajah Suryawijaya dan kedua Kembar Juling. Tangannya
masih bersedekap di depan dada.
“Hei... Apakah kau bisu? Jawab...” bentak
Suryawijaya yang sudah tak tahan menahan marah.
Karena ia yakin benar, lelaki yang saat ini
berhadapan dengannya, adalah orang yang dicari.
“Kalau benar, kalian mau apa...?” Sankher balas
bertanya, “Aku tak ada urusan dengan kalian.”
“Benar. Tapi aku ditugaskan untuk menghentikan
sepak terjangmu yang tak terpuji itu. Membunuh seenaknya orang-orang dan para
pendekar tanah Jawadwipa ini.”
“Hm... Kau bicara seenaknya. Kalau aku tak mau,
kalian mau apa?” sahut Sankher lalu tertawa.
Mata Suryawijaya membelalak mendengar
ucapan Sankher yang mengejek dan meremeh-
kannya. Begitu pun kedua Kembar Juling, ikut marah.
Mata mereka menatap tajam lelaki asing di
hadapannya.
“Kau sungguh sombong Kisanak. Aku minta sekali
lagi, kau mau meninggalkan tanah Jawadwipa ini.
Sebelum kami menangkapmu...” kata Suryawijaya dengan
geram.
“Sebelum aku mencincang Pendekar Gila aku tak akan
pergi...” jawab Sankher tegas.
Usai berkata begitu, Sankher membalikkan tubuh
tanpa menghiraukan Suryawijaya dan kedua muridnya. Kemudian dengan seenaknya
melangkah
meninggalkan tempat itu, sambil tertawa-tawa
mengejek.
Bukan main geram dan marahnya Suryawijaya dan
Kembar Juling, melihat tindakan Sankher yang sama sekali tidak menggubris
mereka.
“Kurang ajar Berhenti kau, Pembunuh...” bentak
Suryawijaya.
Sankher tak mau berhenti. Kakinya terus
melangkah dengan mantap. Seakan benar-benar tak
menghiraukan kemarahan ketiga orang tadi.
“Orang ini perlu dikasih pelajaran Hei... Kau kira
kami takut denganmu? Heaaa...”
Suryawijaya melesat cepat untuk mengejar
Sankher, diikuti kedua murid utamanya.
“Heaaa...” “Yeaaa...”
Tubuh ketiganya langsung menghadang ke depan si
Ular Kobra dari Utara, yang masih tenang. Matanya yang bagai mata elang saat
itu memandang tajam wajah Suryawijaya dan kedua anak buahnya.
“Ha ha ha... Kalian orang-orang bodoh” dengus
Sankher dengan geram.
“Hei, Orang Asing Berhenti...” bentak
Suryawijaya. Matanya menatap semakin tajam, penuh
kebencian pada lelaki aneh yang ada di hadapannya.
“Kalian mau menghalangiku...? Lebih baik minggir.
Percuma kalian menentangku. Tak usah kalian ikut campur urusanku. Sebaiknya,
kalian ikut membantuku untuk menemukan Pendekar Gila,” ujar Sankher setengah
mengejek dan sinis.
“Bangsat kau” maki Suryawijaya marah. Gigi-giginya
saling beradu, mengeluarkan suara ber-gemeretak.
Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya yang tajam
memandangi ketiga lelaki di depannya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat
maut
diturunkan pelahan, ke samping. Rupanya Sankher
menanggapi tantangan Suryawijaya.
“Hm..., bagus Kita adu kekuatan,” gumam
Suryawijaya geram, “Juling, kalian menyingkirlah
dulu
Biar aku hajar lelaki sombong ini Yeaaat...”
Suryawijaya langsung melakukan serangan. Kipas pusaka
yang menjadi senjata andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin deras.
Wut Wut
Swing Swing
“Heit...”
Senjata sebesar jarum keluar dari kipas pusaka
Suryawijaya. Menghunjam ke tubuh Sankher. Lelaki yang dijuluki Ular Kobra dari
Utara itu segera melompat ke atas, sambil bersalto mengelakkan senjata rahasia
sebesar jarum yang jumlahnya ada sepuluh biji itu. Hanya dengan tangan sebelah
kiri, Sankher menangkis senjata-senjata itu.
“Heaaa... Ayo lawan aku orang sombong... Mana
senjata andalanmu Heaaa...”
Serangan Suryawijaya semakin gencar. Bahkan lelaki
asing itu ditantang agar menggunakan tongkatnya. Kipas pusaka di tangan
kanannya kembali menderu keras ke arah lawan.
Wuttt Wuttt
Swing Swing
“Hea...”
Sankher mengelak dari serangan lawan. Kali ini
ditangkis dengan tongkat saktinya. Dan jarum-jarum beracun itu mental kembali
ke arah Suryawijaya.
Lelaki itu membelalak lebar...
“Hah?” Suryawijaya tersentak. Tubuhnya
melenting ke atas sambil menangkis jarum beracun
yang berbalik ke arahnya. Sankher tertawa terbahak-bahak. Melihat Suryawijaya
kerepotan sendiri, mengelakkan senjata rahasianya sendiri. Yang tadi
dibalik-kan oleh Sankher, dengan tongkat saktinya.
“Ha ha ha...”
Hal itu membuat Suryawijaya bertambah marah.
Hatinya malu, karena merasa dilecehkan dan dihina
oleh Sankher.
“Bangsat... Heaaa...”
Dengan marah Suryawijaya kembali menggebrak dengan
kibasan-kibasan kipasnya. Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat balas
menyerang. Namun Sankher dengan mudah mengelakkan
serangannya. “Huh...” gerakan Sankher sangat gesit, meski tak menggunakan
senjata. Serangan yang dilancarkan Suryawijaya yang keras dan cepat, bagai tak
ada artinya, selalu menemui tempat kosong.
Serangan Suryawijaya kian sengit. Kibasan kipas
pusakanya menderu, menyapu, dan menghantam Sankher.
Wuttt Wuttt
Swing Swing
Kembali jarum-jarum beracun melesat cepat, bagai
anak panah yang terlepas dari busurnya.
Menghujami tubuh Sankher. Namun si Ular Kobra dari
Utara itu dengan cepat tubuhnya melenting ke atas, berjumpalitan. Kemudian
tangan dan kakinya balas menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan
keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit diterka.
“Kau benar-benar ingin mampus”
Sankher atau Ular Kobra dari Utara itu
menggerakkan tangan kanan yang menggenggam tongkat
saktinya. Dan....
Wrettt Wrettt
Bukan main terkejutnya Suryawijaya menyaksikan
lelaki asing itu memainkan tongkatnya. Baru saja lawan mempermainkan
tongkatnya, seperti ada kekuatan yang menyebar. Apalagi jika lawan telah
melakukan serangan dengan tongkatnya.
“Hah? Gawat Celaka... Biar aku yang
menghadapinya, Guru...” seru salah satu dari Kembar
Juling.
“Ha ha ha... Kenapa tak sekalian, kalian bertiga
melawanku...?” tantang Sankher dengan nada sombong. Tongkat sakti berkepala
ular kobra telah diletakkan di depan dadanya.
“Kurang ajar Yeaaa...” Suryawijaya cepat menyerang.
Kini keduanya kembali bertarung. Ia melancarkan kibasan kipasnya ke tubuh
lawan. Suara menggelegar seketika terdengar dari kibasan itu.
Wrettt
Gletarrr
“Heit...”
Tubuh Sankher melenting dan bersalto beberapa kali
di udara mengelakkan serangan senjata lawan.
Seketika itu pula tongkat saktinya dengan cepat
dibabatkan, menyapu ke tubuh lawan. Gerakan tongkat itu sangat cepat, sulit
sekali diikuti mata biasa. Suryawijaya tersentak kaget Sama sekali ia tidak
menduga, kalau gerakan yang dilancarkan lawan begitu cepat. Namun dengan cepat
kipasnya dikibaskan untuk memapaki serangan lawan.
“Haits Heaa....”
Wrets
Jglarrr
“Heh?”
Kipas Suryawijaya hancur berantakan, ketika beradu
dengan tongkat Sankher. Kejadian itu membuat mata Suryawijaya membelalak
tegang.
Terlebih ketika tongkat lawan semakin cepat memburu
dirinya.
Wuttt
“Heaaa...?”
Suryawijaya berusaha mengelakkan serangan tongkat
lawan, namun terlambat. Hantaman tongkat Sankher yang mengarah ke wajahnya jauh
lebih cepat. Hingga...,
Wut
Plaakk
“Aaakh...” Suryawijaya memekik keras dengan mata
melotot lebar. Tubuhya terhuyung-huyung berlumuran darah dari kepalanya yang
pecah. Mulutnya terdengar mengerang-erang kesakitan. Namun kemudian lelaki
berambut putih itu ambruk dan tewas.
“Heh?”
“Guru...” seru Kembar Juling bersamaan. Lalu kedua
lelaki bermata juling itu, menatap dengan penuh dendam dan kebencian pada
Sankher.
Namun Sankher yang dipandang demikian
dengan tenang menyeka darah di kepala tongkatnya.
Matanya melirik kedua anak buah Suryawijaya yan
tampak begitu marah.
“Babi, Kau... Heaaat...”
Kembar Juling dengan cepat melancarkan seranan.
Keduanya serentak merangsek lawan, berusaha membalas kematian sang Guru.
“Heaaa...”
“Kalian rupanya sudah bosan hidup Heaaa...”
“Kau tak akan lolos dari kami, Manusia Iblis
Heaaa...”
Kembar Juling terus melancarkan serangan
dengan senjata tombak. Keduanya sudah kalap dan
menyerang dengan membabi buta.
Si Ular Kobra dari Utara melompat memutar
tongkatnya.
“Heaaa...”
Wuttt
Plak
“Aaakh...”
Juling Bawuk memekik keras, dengan mata
melolot lebar. Tubuhnya terpental dengan keadaan
yang mengerikan. Kepalanya pecah dan berlumuran darah. Sesaat lelaki berpakaian
serba merah itu berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak.
Mati
Menyaksikan saudaranya tewas, Juling Wulung semakin
kalap. Dengan mata gelap tombaknya kembali disodorkan ke dada lawan. Lalu
secepat kilat tombaknya dipukulkan ke berbagai bagian tubuh Sankher.
“Mampus kau Hea... Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Aits... Heaaat...”
Sankher kembali mencelat ke udara, kemudian tongkat
di tangannya cepat digerakkan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Juling Wulung
dengan cepat menyodokkan tombak ke tubuhnya.
“Heaaa... Jebol perutmu”
Wuttt
Dugaan Juling Wulung ternyata meleset. Lelaki
tinggi berjubah hitam itu dengan cepat kembali melompat ke atas. Sebelum Juling
Wulung sempat melakukan serangan lagi, tongkat berkepala ular kobra itu telah
melesat memukul kepala lawan.
Wut
Takkk
“Ukh”
Juling Wulung terpekik pendek. Tangannya
memegang luka pukulan di kening. Beberapa saat
matanya melotot. Tubuhnya menegang, kemudian ambruk. Mati
Sankher menghela napas panjang. Lalu menyeka darah
di ujung tongkatnya. Tongkat hitam itu diciumnya tiga kali, lalu diangkat
tinggi-tinggi di atas kepala.
Diturunkan kembali dengan perlahan. Kembali
menghela napas panjang, sambil memandangi mayat ketiga lawannya. Sesaat
kemudian dengan tenang kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu angin bertiup kencang sekali.
Ular Kobra dari Utara itu terus melangkah makin jauh, meneruskan petualangannya
mencari Pendekar Gila.
***
Angin sore yang berhembus kencang menerobos
belukar, pucuk pepohonan, dan rerumputan. Semak
alang-alang merunduk-runduk tanpa daya, ditam derasnya angin.
Di saat suasana sore seperti itu, tampak seorang
pemuda berwajah tampan berpakaian rompi kulit ular tengah menyusuri jalan yang
sepi. Kakinya melangkah ke barat dengan tenang, seakan tak menghiraukan
kencangnya angin sore itu. Pemuda tampan berambut godrong yang tak lain si
Pendekar Gila itu cengengesan sendirian. Sesekali tangannya tampak menggaruk
garuk kepala.
Dengan langkah mantap Pendekar Gila menyusuri jalan
di perbukitan, terus menuju sebuah hutan.
Sejenak dihentikan langkahnya sambil mengamati
sekeliling tempat itu. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
dengan tangan kanan.
Kemudian kembali mengayunkan kaki dengan
seenaknya meninggalkan bukit itu.
Ketika Sena menuruni Bukit Krakas, di kejauhan
terlihat tiga mayat tergeletak. Pemuda berambut gondrong itu langsung melesat
menggunakan ilmu
'Sapta Kayu'-nya.
“Aha? Suryawijaya...” gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Lalu menggeleng-geleng.
Wajahnya nampak bingung dan menyesal. “Aku
terlambat lagi”
Mata Sena mengawasi ke sekeliling. Kemudian
dihadapkan wajahnya ke barat sambil memusatkan pikiran. Indra keenamnya coba
digunakan. Telinganya bergerak-gerak, seakan mendengar suara-suara kaki yang
melangkah, ke tempatnya. Kedua tangannya perlahan bersedekap di dada. Matanya
dipejamkan.
Beberapa saat kemudian wajahnya tampak terkejut.
Lalu matanya kembali memandang jauh, seakan telah
melihat suatu kejadian di tempat lain.
“Celaka” gumam Sena. Lalu tubuhnya melesat dengan
ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya. Dalam sekejap saja tubuhnya telah berada puluhan
tombak meninggalkan Bukit Krakas.
Benar, ternyata di Perguruan Elang Sakti telah
terjadi pertarungan. Bekas rumah Ki Putih Maesaireng hancur, porak-poranda.
Sena yang baru saja tiba di depan Perguruan Elang Sakti, tampak tercengang
menyaksikan pamandangan itu. Namun kemudian mulutnya cengengesan sambil
tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah...
benar... Mengapa aku begitu tolol?” gumam Sena
berulang-ulang, menyesali diri, telah meninggalkan begitu saja Sundari dan
Sawung Rana.
Sena melangkah ke samping pendopo perguruan yang
telah hancur. Sesampainya di situ, ditemu-kannya beberapa sosok tubuh
tergeletak tanpa nyawa dan salah satunya dia kenal, yaitu Sugalingga.
“Ah ah ah... apa yang telah terjadi, Kisanak?”
tanya Sena sambil memegangi kepala Sugalingga yang
sudah sekarat. Lelaki itu tak bisa berkata apa-apa hanya dengan berat ia
mengangkat tangan, menunjuk ke barat. Lalu setelah itu matanya ter- pejam dan
menghembuskan napas terakhir.
Sena menghela napas dalam-dalam. Perlahan
ditaruhnya kepala Sugalingga di tanah. Lalu Sena segera melesat pergi ke arah
barat.
“Auuu..., tolong”
“He he he... Kau mau lari ke mana, Anak manis?”
Brettt
“Aaakh...”
Sundari berteriak tertahan, ketika tangan Darkapala
melesat cepat di dadanya. Gadis itu tak sempat mengelitkan serangan, sehingga
dadanya berhasil dijamah.
“Kurang ajar...”
Belum habis rasa ketakutannya, tiba-tiba seorang
lelaki menghadangnya.
“He he he... Kini kau tak akan lolos lagi dariku,
Cah Ayu...,” kata lelaki setengah baya yang tak lain Guntala.
“Kau...?” pekik Sundari ketakutan.
“Hmmm... Ayolah, kau akan merasakan
nikmatnya surga dunia, Cah Ayu. He he he...”
Selesai berkata begitu, Guntala mengisyaratkan pada
Darkapala, dengan mengedipkan mata.
Darkapala segera menangkap Sundari yang
bersandar di batang pohon. Dipeganginya tangan
gadis itu. Sundari pun tampaknya tak mampu berbuat banyak.
“Aaakh... Jangan Tolong... Aaa...” teriak Sundari
sejadi-jadinya.
“Diam...” bentak Guntala dengan geram. Bret
Brettt
Guntala merobek pakaian Sundari lebih lebar.
Kemudian tangannya segera memeluk tubuh gadis
cantik yang tampak meronta-ronta itu. Namun karena kedua tangan Sundari
dipegangi oleh Darkapala, jelas sulit baginya untuk mampu menolak perlakuan
keji Guntala.
Darkapala terus memegangi tangan Sundari.
Tubuh gadis berpakaian merah delima kini telah
tergeletak dengan tangan direntang secara paksa.
“Terus pegang yang kuat, jangan sampai lepas...”
ujar Guntala dengan suara hampir tak terdengar,
karena menahan nafsu yang menggebu-gebu. Dengan cepat tangannya memaksa Sundari
agar merenggang-kan kedua pahanya. Namun ketika Guntala hendak melaksanakan
perbuatan kejinya, tiba-tiba....
“Heaaa...”
Plakkk Bugk
“Aaa...”
Sesosok bayangan melesat dan langsung
melancarkan serangan cepat. Tubuh Guntala dan
Darkapala seketika terjungkal dengan mulut meringis menahan rasa sakit.
“Ah ah ah..., kau memang babi tua yang tak tahu
diri Rupanya kau mencari mampus...,” suara tawa itu ternyata keluar dari mulut
seorang pemuda berompi dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Sena Manggala,
Pendekar Gila.
“Hah...? Kau...?”
Guntala kaget, dengan cepat dibetulkan
celananya yang sudah terlepas sebagian. Sena
memandanginya dengan tajam. Tampaknya kali ini Pendekar Gila benar-benar kesal.
Meskipun wajahnya sesekali cengengesan seraya menggaruk-garuk kepala, ucapannya
tak bisa dianggap bergurau atau main-main.
“Kau memang Iblis berkedok manusia... Tua bangka
Keparat...” ujar Pendekar Gila geram, sambil nencabut Suling Naga Sakti.
“Terimalah ganjaran ini, babi Tua...”
Wajah Guntala semakin pucat. Keringat dingin mulai
membasahi seluruh tubuhnya. Namun lelaki selengah baya itu berusaha membuka
jurus. Namun Pendekar Gila lebih cepat bergerak, melesat sambil bersalto dan
menghantamkan Suling Naga Sakti-nya ke kepala Guntala.
“Heaaa...”
Krakkk
“Aaakh...”
Guntala tak sempat mengelak. Mulutnya terpekik
keras ketika suling Pendekar Gila menghantam tubuhnya. Tubuh pimpinan Perguruan
Elang Emas itu terpental dan jatuh ke tanah dengan keadaan mengerikan. Dan
tewas seketika.
Darkapala yang melihat Guntala mati secara
mengerikan, hendak lari. Namun Pendekar Gila lebih cepat melesat,
menghadangnya.
“Hi hi hi..., hendak lari ke mana kau, Cecurut
Kudisan?”
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menimang-nimang Suling Naga Sakti di tangan
kirinya.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Dengan cepat Darkapala melesat menyerang
dengan golok panjangnya.
“Aits He he he... Kau rupanya senang bermain-main
juga, Cecurut” ejek Sena sambil meliukkan tubuh menghindari babatan golok
Darkapala.
“Ah ah ah... Kau masih harus banyak berlatih,
Kisanak”
“Huh Jangan kau kira aku takut, Pendekar Gila.
Heaaa...”
Darkapala tampaknya tak menyadari siapa yang
dihadapi saat itu. Mungkin karena merasa malu untuk menyerah begitu saja, atau
karena sangat marah melihat gurunya tewas. Tubuhnya melesat melakukan serangan
dengan goloknya.
“Ah ah ah... Sombong juga kau ini, Kisanak.
Terimalah ini Heaaa...”
Sambil meliukkan tubuhnya, dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila melancar pukulan telapak tangan.
Wuttt
“Aaakh...”
Darkapala terpekik keras ketika tepukan telapak
tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya.
Tubuhnya tidak terhuyung-huyung melainkan terlontar
deras ke belakang, kemudian jatuh dan bergulingan di tanah. Sesaat Darkapala
menggeliat kemudian diam tak berkutik. Tewas.
Sena menghela napas puas. Lalu ia menolong Sundari
yang pingsan. Karena ketakutan dan lemah.
Dibopongnya tubuh gadis itu setelah dirapikan
pakaiannya. Sena mencari tempat yang agak bersih dan teduh. Dibaringkan tubuh
gadis yang malang itu di atas rerumputan. Kemudian, perlahan tangannya
ditempelkan di punggung Sundari yang masih pingsan. Matanya terpejam sambil
menyalurkan hawa murni. Tak lama setelah itu Sundari tampak menggeliat.
“Uh... Hah...?” suaranya masih lemah. Dengan malu
Sundari menutupi bagian dada dengan kedua telapak tangannya.
Sena membalikkan badan, membelakangi
Sundari. “Bagaimana ini bisa terjadi? Di mana
Sawung Rana...?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Dirinya tetap membelakangi Sundari.
“Kejadiannya begitu cepat. Sehingga tak ada
kesempatan bagiku untuk melawan. Si Ular Kobra dari Utara tiba-tiba datang. Dia
membunuh Sugalingga dan tiga murid Perguruan Elang Sakti.
Kemudian....”
Sundari tak meneruskan ucapannya, karena terus
nenangis. “Hm... Lalu bagaimana Guntala bisa sampai di sini...?” tanya Sena
ingin tahu.
“Aku tak dapat mengingatnya lagi. Mungkin Guntala
di balik semua ini..:. Oh...,” tutur Sundari di sela suara tangisnya.
Sena diam. Kepalanya tampak menggeleng-
geleng lalu menghela napas dalam-dalam sambil
cengengesan.
“Aha, kalau begitu ikut aku mencari Sawung Rana, Ki
Kuncara, dan Ki Rah Sewu Mudah-mudahan mereka masih hidup. Dan aku harus segera
mencari si Ular Kobra itu...” ajak Sena dengan mulut cengengesan.
“Terima kasih. Kau telah menolong, menyelamat-kanku
untuk kedua kalinya...”
Suara Sundari serak, disertai isak tangisnya.
Sena hanya menggaruk-garuk kepala, “Sudahlah, ayo
rapikan pakaianmu”
Selesai berkata begitu, Sena lalu melangkah.
Sundari sambil menutupi dadanya dengan kedua
tangannya, mengikuti di belakang.
*** 6
Dunia persilatan benar-benar kacau-balau, dengan
kehadiran Sankher atau si Ular Kobra dari Utara itu.
Di mana-mana terjadi pembantaian. Sementara itu
banyak tokoh dari aliran hitam yang memanfaatkan keadaan itu. Sehingga banyak
tokoh putih yang bingung dan serba salah.
Kian hari sepak-terjang yang dilakukan si Ular
Kobra dari Utara itu kian merejalela. Tak satu pun tokoh persilatan golongan
putih yang mampu menghadapinya. Siapa pun akan tewas dengan keadaan mengerikan
kalau berani menghalangi atau
menantang lelaki yang berasal dari India itu.
Seperti siang itu, ketika angin kencang
menerbangkan debu-debu dan dedaunan di Lembah
Merawan, tampak Sankher tengah menghadapi Ki Kuncara, Pimpinan Perguruan Panca
Purba.
“Kisanak..., sebaiknya perbuatanmu itu
dihentikan. Kalau kau pendekar sejati, tak akan
membunuh dengan keji. Dan kalau kau tak mau mendengar saranku, baiklah,” ujar
Ki Kuncara.
Matanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan si
Ular Kobra dari Utara.
Namun Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang
terus menatap tajam lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun di hadapannya.
“Kenapa kau diam? Apakah kau tuli? Bisu...?”
bentak Ki Kuncara mulai geram.
“Aku tak punya urusan denganmu. Aku akan
pergi, jika kau mau menunjukkan di mana Pendekar
Gila berada” jawab Sankher tenang sambil menggerakkan tangan kanannya yang
memegang tongkat.
“Hm..., lalu untuk apa kau mencarinya? Dia
sahabatku,” kata Ki Kuncara menjawab dengan tegas.
“Bagus Sampaikan, aku ingin membunuhnya Dia harus
mati di tanganku”
Membelalak mata Ki Kuncara mendengar ucapan sombong
Sankher. Hatinya seketika bertambah marah terhadap si Ular Kobra dari Utara
itu.
“Kau memang tak tahu sopan santun Hei orang asing,
kau tak akan dapat melawannya, sebelum melangkahi mayatku. Ayo, keluarkan
seluruh ilmumu...” tantang Ki Kuncara sengit.
Usai berkata begitu, Ki Kuncara segera menarik kaki
kirinya dua langkah ke belakang. Toya panjang di tangan kanannya diputar dengan
cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan jari-jari menyatu menghentak ke depan.
Telapak tangannya memukul ke tubuh Sankher.
Sementara itu, Sankher seperti tak menghiraukan
gerakan yang dilakukan Ki Kuncara. Dirinya tetap tenang memandangi Ki Kuncara
yang siap
menyerang.
“Hm...” dengus Sankher. Kemudian tangannya yang
memegang tongkat direntangkan ke samping kanan, lalu ditekuknya ke dada.
Wuttt Wuttt
Tongkat yang telah merenggut banyak korban itu
digerakkannya. Dari ujungnya yang berbentuk kepala ular memancar sinar
kemerahan menyala. Setelah digerakkan ke samping tongkat sakti itu
diputar-putar dengan kecepatan tinggi. Itulah jurus 'Tongkat Iblis', sebuah
jurus yang sangat berbahaya dan mematikan Ki Kuncara yang sudah mengetahui sepak
terjang Sankher, tak mau gegabah. Gerakannya yang cepat mengubah toya itu
menjadi baling-baling yang membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan
menggelegar, lelaki tua itu menyerang dengan jurus yang tak kalah hebat,
bernama 'Toya Sakti Pelebur Jiwa'.
Wuttt Wuttt
“Hiaaa...”
Sankher segera menggerakkan tongkatnya
dengan cepat, menghantam ke depan dan ke
samping. Sementara tangan kirinya diletakkan di
depan dada.
“Hiaaa...”
Wrettt
Ki Kuncara mulai melabrak. Toya yang kedua ujungnya
runcing berdesing memburu tubuh lawan.
Wrettt Trakkk
Dengan cepat Sankher menyabetkan tongkat
memapak serangan lawan. Kemudian segera balas
menyerang dengan sabetan dari atas ke bawah.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Ki Kuncara segera melompat cepat ke belakang.
Kemudian meliukkan tubuh dengan cepat, sambil
menyapukan toyanya ke tubuh Sankher dengan jurus
'Sapuan Toya Membelah Karang'.
Wuttt
Trakkk
Deru angin yang ditimbulkan kedua senjata berbentuk
tongkat itu terdengar ditingkahi oleh suara benturan keras. Suasana sunyi di
Lembah Merawan seketika berubah riuh. Teriakan-teriakan keras saling bersahutan
mengiringi serangan yang mereka lakukan. Ki Kuncara tampaknya tak dapat
dianggap tokoh sembarangan. Dalam beberapa gebrakan, jurus-jurus nya mampu
menandingi si Ular Kobra dari Utara. Bahkan tampaknya lelaki tua itu berusaha
terus menggempur, dengan maksud tak ingin lawannya membalas serangan.
Keduanya terus berkelebat serta saling
membabat dan menusukkan senjata masing-masing.
Ki Kuncara yang tak ingin mati konyol, berusaha
mengimbangi serangan Sankher. Toya yang kedua ujungnya runcing dan beracun itu
terus digerakkan dengan cepat.
Wut Wut
Trak Trak
“Huh Heaaa...”
Ki Kuncara telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat
mengimbangi serangan Sankher. Namun tongkat Sankher yang berhawa maut lebih
ganas, membuat lelaki tua itu tampak mulai lemah.
Serangan-serangannya pun mulai mengendor.
Tubuhnya yang terbalut jubah kuning mulai basah
oleh peluh.
“Celaka” pekik Ki Kuncara dengan mata membelalak
lebar. Dikerahkan tenaga dalam untuk mencoba mengatasi rasa pening yang muncul
di kepalanya. Dan dengan cepat Ki Kuncara menekan sesuatu di toyanya.
Hingga....
Srrrttt...
Tiba-tiba ujung toya meluncur begitu cepat bagai
anak panah lepas dari busurnya.
Swing Swing
“Hah...? Heaaa...”
Sankher tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur
sambil bersalto di udara. Kalau saja gerakannya terlambat, tentu perutnya akan
tertembus mata toya yang tiba-tiba melesat mem-burunya.
Melihat kekagetan lawannya, Ki Kuncara tak
menyia-nyiakan kesempatan. Setelah menarik toyanya ke depan dada, dia kembali
menghentakkan toyanya ke depan sambil menekan sesuatu pada batang toyanya.
Srttt
Mata toyanya kembali melesat
cepat memburu tubuh lawan. Dengan cepat Sankher
melenting ke atas, mengelakkan senjata rahasia itu. Kemudian, dengan ringan
kedua kakinya hinggap pada toya Ki Kuncara yang masih terentang.
“Hah...?”
Ki Kuncara yang tak menduga Sankher akan
berbuat demikian, tersentak kaget. Dirinya berusaha
menarik toya namun Sankher telah mendahului.
“Heaaa...”
Wrettt
Si Ular Kobra dari Utara telah bersalto di udara.
Tongkat di tangannya bergerak cepat ke wajah Ketua
Perguruan Panca Purba itu.
Ki Kuncara berusaha mengelakkan tebasan
tongkat Sankher. Namun gerakan lelaki berjubah
hitam itu jauh lebih cepat dibanding gerakan meng-elaknya.
“Heaaa...”
Wuttt
Plakkk
“Aaakh...”
Ki Kuncara memekik keras dengan mata
terbelalak lebar. Keningnya retak. Tubuhnya yang
berpakaian kuning langsung berlumuran darah. Sebelum jatuh terjerembab tubuhnya
tampak sempoyongan dengan mulut mengerang kesakitan.
“Huh...”
Sankher menghela napas puas. Tangan kirinya menyeka
darah yang meleleh di tongkatnya.
Kemudian tongkat itu diciumnya. Setelah
memandang mayat Ki Kuncara lelaki berjubah hitam
itu melangkah meninggalkan tempat itu.
Sedangkan dua orang murid Ki Kuncara
sebelumnya telah lari ketakutan, ketika melihat
sang Guru tewas mengenaskan.
***
“Gila” gumam Sena, ketika menyaksikan mayat lelaki
yang telah menjadi koban Sankher.
“Ki Kuncara, sungguh malang nasibmu”
Sundari menutup wajahnya sambil membalikkan badan,
karena ngeri melihat Ki Kuncara yang mati mengenaskan.
Sena berjongkok di dekat tubuh Ki Kuncara yang
sudah tak bernyawa itu. Anehnya, meskipun dalam keadaan seperti itu, wajahnya
masih cengengesan sambil memandangi wajah Ki Kuncara yang tertutup darah.
“Bagaimana nasib Kakang Sawung Rana? Di
mana dia sekarang...?” gumam Sundari dengan suara
bergetar.
“Ah..., terlambat lagi. Sungguh aku tak mengerti.
Begitu cepat si Ular Kobra itu bertindak,” gumam
Sena lirih, wajahnya nampak sedih bercampur kesal.
Setelah lama memandangi tubuh Ki Kuncara, Sena
berdiri. Matanya mengawasi ke sekelilingnya seolah berusaha mencari jejak
pelaku pembunuhan itu.
“Mudah-mudahan Sawung Rana dan Ki Rah Sewu masih
selamat. Hhh... ke mana perginya si Ular Kobra itu...?” gerutu Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tempat
itu, namun tetap saja tak menemukan tanda-tanda, atau jejak Sankher.
“Hi hi hi..., lucu, lucu sekali” geram Sena
cengengesan. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak sedikit pun?”
Sundari nampak hanya bisa diam diri, tak
bergerak dari tempatnya. Matanya pun memandangi
sekeliling tempat itu. Kedua tangannya tetap menutupi bagian dada.
“Oh, Kakang Sawung Rana di mana kau,
Kakang...?” keluh Sundari tiba-tiba.
Sena semakin cemas dan terus menggaruk-garuk kepala
makin cepat. Matanya kembali memandangi mayat Ki Kuncara yang telah kaku.
Tiba-tiba dari arah timur nampak empat sosok lelaki
berlarian ke arahnya. Ternyata Sawung Rana bersama Rah Sewu dan dua orang muridnya.
“Hah..., Ki Kuncara...” pekik Ki Rah Sewu dengan
wajah sedih.
Sesaat mereka diam. Hanya perasaan masing-masing
yang berbicara.
Sawung Rana yang tadi begitu melihat Sundari,
langsung menghampiri dan memeluknya, kini tampak tegang, matanya memandangi
mayat Ki Kuncara.
“Kisanak, aku tak bisa lama-lama di tempat ini.
Sebaiknya, kalian jangan tinggalkan tempat ini.
Sawung Rana, jaga Sundari Jangan kau
meninggalkannya lagi” kata Sena tegas. Tubuhnya
kemudian melesat bagai terbang, meninggalkan tempat itu.
Ki Rah Sewu, Sawung Rana, dan Sundari
memandangi kepergian Sena dengan perasaan cemas.
***
Dunia persilatan semakin tercekam. Keadaan
rimba persilatan tengah terancam mara bahaya. Apa
lagi dengan adanya berita tentang pembunuhan Ki Kuncara, Suryawijaya, dan
Sugalingga dari aliran putih yang berilmu cukup tinggi.
Kini harapan para tokoh-tokoh persilatan hanya
Pendekar Gila. Pendekar muda itu kini memang merasa bertanggung jawab untuk
menangkap dan menghentikan kejahatan Sankher. Hal itu terutama karena si Ular
Kobra dari Utara itu menantang dirinya.
Siang itu ketika matahari bersinar cerah tampak
Sena tengah berlari cepat menggunakan ilmu 'Sapta Bayu'-nya. Meskipun jalan
yang dilalui berupa jalan terjal, sesekali harus melompat tebing dan batu-batu
kali, dengan tubuhnya terus melesat. Namun ketika baru saja melompati sebuah
sungai kecil tiba-tiba Sena dikejutkan adanya sesosok bayangan berkelebat di
depannya.
Sena sangat kaget bercampur gembira, ketika
mengetahui orang yang telah ada di hadapannya.
“Mei Lie... Kau ada di sini?” gumam Sena sepertinya
tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kenapa Kakang kelihatan agak murung?” tanya Mei
Lie sambil memeluk tubuh Sena, kekasihnya.
Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Matanya menatap gadis berparas Cina itu.
“Apakah kau tak mendengar, saat ini rimba
persilatan sedang tercekam? Seorang tokoh asing berjuluk Si Ular Kobra dari Utara'
telah membunuh orang-orang persilatan...,” tutur Sena.
“Aku telah mendengar semua itu, Kakang. Justru
karena itu aku mencarimu. Aku juga mendengar berita bahwa lelaki asing itu
menantang Kakang.
Kenapa dia ingin membunuhmu...?”
Sena hanya menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan, Mei Lie jadi kesal melihat tingkah
kekasihnya itu. Namun gadis itu bisa mengerti. Lalu kembali memeluk Sena dengan
lembut. “Kang, aku tak ingin kau sedih. Aku ingin kita dapat menangkap penjahat
itu. Kalau perlu membunuhnya,” kata Mei Lie tegas.
“Hi hi hi... Kau memang benar. Tapi kita tak boleh
gegabah menghadapi lelaki itu. Aku yakin ilmu yang dimiliki cukup tinggi,”
jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Setelah agak lama mereka berpelukan, tiba-tiba Sena
melepas pelukannya. Mei Lie mengerutkan kening.
“Ada apa, Kang?”
“Sebaiknya kita pergi ke selatan. Aku menduga
lelaki itu menuju selatan. Ayo...”
Sena segera melesat, diikuti Mei Lie. Kedua
pendekar muda-mudi itu pun sekejap menghilang dari tempat itu. Kini hanya dua
bayangan putih dan coklat yang nampak. Keduanya menggunakan ilmu lari
'Sapta Bayu' tingkat tinggi.
Ketika Sena dan Mei Lie berlari melintasi jalan
menurun dan berbatu, pendengaran mereka yang tajam tiba-tiba menangkap suara
benturan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan pertarungan.
“Sssttt... Sepertinya ada orang yang bertarung,”
kata Sena ketika berhenti. Kepalanya ditelengkan seakan-akan ingin memperjelas
pendengarannya.
“Aha, tak salah dugaanku. Pasti si Ular Kobra
kembali akan merenggut nyawa,” gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian kakinya dilangkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar
tak terdengar orang lain.
Setelah suara orang yang bertarung semakin dekat,
Sena dan Mei Lie melompat ke atas pohon.
Pandangan keduanya langsung tertuju pada sebuah
tempat dataran yang agak luas di dekat Hutan Praganis. Tampak dua sosok lelaki
tengah bertarung.
Sena terbelalak ketika mengetahui siapa kedua sosok
yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu.
“Ki Rah Sewu...” desis Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Kau mengenalnya, Kakang?” tanya Mei Lie
sambil menoleh ke wajah Sena. Sena hanya
mengangguk. Kemudian tubuhnya melesat turun dari
pohon itu. Dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti. Disusul Mei Lie
yang juga berbuat sama, mencabut Pedang Bidadari-nya.
Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila
menghantamkan Suling Naga Sakti ke tongkat Sankher yang tengah menyerang Ki Rah
Sewu.
Trakkk
“Ukh...”
Sankher tersentak kaget. Lelaki berjubah hitam itu
menyurut mundur sambil menarik tongkatnya.
Begitu pula yang dilakukan Ki Rah Sewu.
“Sena...” seru Ki Rah Sewu setelah melihat Pendekar
Gila.
Mendengar Ki Rah Sewu menyebut nama Sena, Sankher
mengerutkan kening. Seakan ia tahu siapa lelaki muda berpakaian rompi kulit
ular itu.
Sementara Mei Lie telah bersiap dengan Pedang
Bidadari-nya, menjaga kemungkinan.
Melihat Sena dan Ki Rah Sewu, tak mem-
perhatikannya, Sankher dengan cepat bergerak,
berusaha mencekal Mei Lie. Namun Mei Lie sudah mengetahui. Dengan cepat gadis
itu memapaki serangan Sankher.
“Heaaa...”
Trakkk
Pedang Mei Lie beradu dengan tongkat Sankher.
Percikan sinar api terlihat. Sena segera melenting
ke atas dan dengan cepat menukik. Tangan kanannya yang menggenggam Suling Naga
Sakti menjulur ke kepala Sankher.
“Hah...?” Sankher membelalakkan mata. Dengan cepat
ia mengelak, dengan melemparkan tubuh ke belakang sambil bersalto, menjauhi
Sena dan Mei Lie.
Namun Mei Lie terus mencecar, membuat Sankher harus
bersalto, berjumpalitan beberapa kali, guna mengelakkan serangan pedang lawan.
Sankher akhirnya berhasil menghindari serangan
sepasang pendekar muda itu. Kakinya mendarat di atas batu besar.
“Mei Lie, kau jaga Ki Rah Sewu. Biar aku menghadapi
si Ular Burik itu...” seru Sena pada kekasihnya. Mei Lie hanya menganggukkan
kepala, lalu bergerak mendekati Ki Rah Sewu yang berdiri di pohon besar.
“Aha Kau rupanya si Ular Hitam Burik itu...?”
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan. “Hi hi hi..., kutemui juga...”
Sankher mengerutkan kening, seakan mengingat- ingat
sesuatu. Namun belum sempat ia menemukan jawaban, tiba-tiba Pendekar Gila
melenting ke atas, menyerang Sankher. Dengan cepat dipukulan Suling Naga
Sakti-nya.
“Heaaa...”
Wuttt
Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang
Suling Naga Sakti, kembali memukul dan membabat ke
tubuh lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Itulah jurus
'Si Gila Menepuk Lalat', sebuah pembuka dalam rangkaian jurus-jurus gila.
Namun begitu, Sankher yang dihadapinya juga tak mau
mengalah begitu saja. Dengan tongkat sakti di tangannya Sankher terus bergerak
mengelakkan setiap babatan Suling Naga Sakti dan tepukan tangan Pendekar Gila.
Bahkan sesekali balas menyerang dengan sabetan tongkatnya.
“Heaaa... Terima ini, heh”
Dengan diiringi teriakan, Sena membabatkan Suling
Naga Sakti ke arah Sankher. Kemudian disusul dengan tepukan tangan kiri.
Sementara kedua kakinya tak mau tinggal diam, bergerak menyapu dan menendang
kaki lawan.
“Aits Hea...”
Sankher yang dikenal sebagai Ular Kobra dari Utara
dengan cepat melompat ke belakang. Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan
hantaman tongkat ke tubuh Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya, membentuk
cakar dengan jari-jari yang kaku.
Disusul dengan gerakan melilit dan mematuk, seperti
ular kobra menyerang mangsa.
“Hiaaa...”
Wuttt “Aits He he he.... Hebat juga seranganmu,
Ular Burik”
Pendekar Gila segera meliuk-liukkan tubuh,
mengelakkan hantaman tongkat Sankher. Kemudian setelah mampu mengelakkan pukulan
tongkat, Pendekar Gila kembali membalas menyerang dengan sabetan Suling Naga
Sakti.
“Heaaa...”
Prakkk
“Hehhh...”
Keduanya terdorong ke belakang beberapa
tindak. Sesaat mereka saling pandang, berusaha
mengamati gerak-gerik lawan masing-masing.
Pendekar Gila menyeringai dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Sankher terus memperhatikan dengan seksama
tingkah laku Pendekar Gila.
“Hm... Kau tentu orang yang kucari, Bocah Gila...”
kata Sankher dengan suara berat, sambil menuding Sena yang masih
menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila, terus cengengesan dan bertingkah
seperti orang gila.
“Hi hi hi..., kau pun si Ular Burik yang sedang
kucari. Kau telah banyak membunuh orang tak bersalah, termasuk para pendekar?”
tukas Pendekar Gila sambil cekikikan.
“He he he..., benar”
“Hi hi hi... lucu, lucu sekali Kau tentu tahu, aku
ingin menghentikan sepak terjangmu, Ular Burik”
Pendekar Gila terus mengejek, memancing
kemarahan lawan. Tampak sulingnya ditudingkan lurus
ke wajah Sankher.
“Hua ha ha... Bicaramu seperti orang yang
benar-benar hebat Justru aku yang akan mencincang tubuhmu, Pendekar Gila”
“Hua ha ha... Hua ha ha...” Pendekar Gila membalas
dengan suara tertawa keras dan terbahak-bahak, lebih keras dan panjang dari
suara Sankher.
Mendengar suara tawa dan tingkah laku Sena, lelaki
berjubah hitam itu mengerutkan kening.
“Hi hi hi... Lucu sekali Aku belum mengerti, kenapa
kau ingin membunuhku...? Ah ah ah... aku belum pernah punya urusan denganmu”
“Huh Kau hutang nyawa padaku Kau telah
membunuh orang yang kukasihi...” tukas Sankher
dengan geram sambil menuding Pendekar Gila.
Matanya tajam menunjukkan kebencian.
“Hah? Membunuh kekasihmu...? Hi hi hi... lucu, lucu
sekali...” jawab Sena dengan cekikikan dan cengengesan.
Sementara Mei Lie yang mendengar keterangan Sankher
merasa terkejut. Gadis Cina itu pun merasa bingung. Keningnya berkerut
keheranan. “Siapa yang dimaksud Sankher?” tanyanya dalam hati.
“Hei... Aku belum mengerti siapa yang kau maksud?
Ah... aku belum pernah mengenalmu, apalagi kekasihmu...” seru Sena kemudian.
“Jangan banyak mulut Kini terimalah ini Heaaa...”
Sankher menggerakkan tongkatnya ke samping kanan,
dengan gerakan membuka. Kemudian
digerakkan kembali ke depan, dilanjutkan ke samping
kiri. Dengan perlahan kemudian tangannya mencabut tongkat itu. Ternyata sebuah
pedang keluar dari tongkat sakti berkepala ular itu. Rupanya tongkat berwarna
hitam itu merupakan warangka dari sebuah pedang.
Pendekar Gila mengerutkan kening, melihat pedang di
tangan Sankher. Pedang itu mengkilat mengeluarkan cahaya keperakan yang
menyilaukan mata. Selain itu di bagian ujungnya bergerigi seperti gergaji.
Mei Lie yang melihat itu, tak sabar ingin menjajal
keampuhan pedang Sankher dengan Pedang
Bidadarinya. Namun Pendekar Gila melarangnya.
Sehingga gadis Cina itu merengut, kesal.
“Sabar...” ujar Ki Rah Sewu pada Mei Lie, “Kita
tunggu saat yang tepat.”
Tongkat yang telah berubah menjadi pedang itu
diputar cepat. Didahului pekikan menggelegar, Sankher kembali melakukan
serangan dengan jurus
'Ular Kobra Mematuk Mangsa'. Pedangnya bergerak
cepat ke atas, kemudian bagai Ular Kobra menebas ke sana kemari.
Wuttt Wuttt
“Heaaa...”
Menyaksikan lawan telah menyerang dengan
jurus lain, Pendekar Gila tak tinggal diam. Dirinya
segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
diteruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
“Ciaaattt...”
Wut Wuttt
***
Pedang di tangan Sankher terus memburu tubuh lawan.
Pendekar Gila pun dengan cepat meliukkan tubuh ke samping. Lalu sambil
memiringkan tubuh ke depan, tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti ke tubuh
lawan.
“Heaaa...”
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gerakannya
seperti orang menari. Sesekali tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti,
menyodok ke dada atau perut lawan. Disusul dengan pukulan telapak tangan
kirinya.
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Sankher segera
melangkah dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat tangan kanannya
membabatkan
pedang ke tubuh Pendekar Gila.
“Heaaat...”
Wut Wut
“Aits He he he... Meleset babatanmu, Ular Buduk”
Pendekar Gila terus mengejek lawan, meskipun tak
ada maksud untuk meremehkan kemampuan si Ular Kobra dari Utara itu. Tujuannya
hanya ingin lawan bertambah marah.
“Heaaa...”
Wuttt
“Uts...”
Dengan gerakan yang seakan tak bertenaga dan sangat
lamban, Pendekar Gila melancarkan serangan balasan. Hal itu membuat Sankher
sempat kaget.
Sankher rupanya mengerti apa yang hendak
dilakukan Pendekar Gila. Dengan cepat tubuhnya
menyurut ke belakang untuk mengelakkan tamparan tangan Pendekar Gila. Kemudian
secara cepat lelaki berjubah hitam itu menyerang dengan tusukkan pedang ke dada
Pendekar Gila.
“Eits Hi hi hi...” Sena kaget, saat merasakan hawa
dingin yang keluar dari tusukan pedang Sankher.
Kalau saja Pendekar Gila tidak segera mengelak,
sudah pasti dadanya akan tertembus pedang beracun itu. Meskipun racun yang ada
pada pedang lawan akan membuatnya tewas, tapi tusukan pedang itu tentu saja
berbahaya.
Pendekar Gila bersalto ke samping. Kemudian dengan
cepat Suling Naga Sakti-nya dibabatkan ke tubuh Sankher yang terus mencecar
dengan pedang yang tangkainya berkepala ular kobra.
“Hih...”
Trang
Dua senjata sakti saling bentur hingga men-ciptakan
percikan api. Kemudian tubuh keduanya melompat ke belakang, dengan senjata siap
kembali di depan dada.
Mata keduanya saling pandang. Kaki mereka bergerak
dengan aturan-aturan yang telah mereka pelajari. Pendekar Gila merentangkan
kaki kanan ke samping. Kaki kirinya agak ditekuk. Sementara Suling Naga Sakti
disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari merapat, tangan kirinya ditempelkan
ke ulu hati.
Sankher menarik mundur kaki kanannya.
Sedangkan kaki kirinya ditekuk membentuk siku.
Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samping
kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar, diletakkan di dada
sebelah kiri. Pedangnya diputar-putar dengan cepat, lalu ditusukkan ke depan.
“Yeaaa...”
“Heaaa...”
Pendekar Gila dan Sankher kembali melesat untuk
melakukan serangan, dengan senjata saling menusuk dan membabat. Sedangkan
tangan kiri mereka bergerak memukul dan menangkis. Kaki mereka pun tak tinggal
diam, menyapu dan
menendang ke tubuh lawan.
Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling
berusaha mengincar satu sama lain.
“Ck ck ck.... Luar biasa” gumam Ki Rah Sewu penuh
kekaguman sambil menggelengkan kepala berulang-ulang.
Sedangkan Mei Lie terus mengawasi gerak
Sankher, dengan perasaan cemas dan geram.
Si Ular Kobra dari Utara membabatkan pedang ke
tubuh Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya menendang keras
ke dada Pendekar Gila.
Wuttt
“Heaaa...”
Mendapat serangan cepat dan membahayakan, Pendekar
Gila memutar Suling Naga Sakti-nya untuk menangkis babatan pedang Sankher.
Kemudian dengan mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan kirinya memukul
Sankher.
Trang
“Heaaa...”
Wuttt Trang...
Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehingga
menimbulkan percikan api dan dentang suara keras.
Kedua tokoh itu bagai kesetanan. Semakin lama
gerakan mereka kian cepat. Nampaknya mereka telah mengerahkan tenaga dalam dan
menyalurkannya pada tangan kanan masing-masing.
“Heaaa...”
Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus
berkelebat. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang.
Sama-sama gesit dan lincah. Tubuh mereka
berkelebat laksana menghilang.
Wrettt Trakkk
Kembali mereka melesat. Tangan kanannya yang
memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha untuk memenangkan
pertarungan tersebut.
Wuttt
Trakkk
Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan.
Mulut mereka bagai terkunci rapat. Yang terdengar
kini hanya pekikan saat melakukan serangan yang diikuti gerakan jurus silat
tingkat tinggi.
Sekeliling arena pertarungan itu rusak karena
babatan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon yang tumbang, atau hancur
terkena pukulan dan babatan senjata mereka yang terus bertukar serangan.
Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan kirinya bertubi-tubi menghantam
lawan, dan sesekali berusaha menyambar kepala Sankher.
Sankher pun tak tinggal diam. Dengan cepat
pedangnya bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang hendak menghantam
kepalanya.
Disusul dengan hantaman tangan dan tendangan
kakinya. Bahkan pedangnya berkelebat dengan cepat
“Hati-hati, Kakang Sena...” seru Mei Lie
mengingatkan Pendekar Gila.
Gadis Cina yang juga berjuluk Bidadari Pencabut
Nyawa itu tampak tak tenang dan khawatir terhadap kekasihnya. Karena dilihatnya
si Ular Kobra dari Utara itu memiliki ilmu yang hampir setara dengan Pendekar
Gila.
Pertarungan berlangsung semakin seru dan
ganas. Pekikan dan teriakan terdengar silih
berganti.
Kini Pendekar Gila kembali menggunakan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa...”
“Heh Aits...” Sankher tersentak, namun sempat
bergerak
cepat mengelakkan pukulan Pendekar Gila.
Kemudian dengan cepat balas menyerang dengan
jotosan ke dada lawan.
Pertarungan berlanjut terus. Kini Pendekar Gila
bergerak aneh. Gerakannya tampak lamban dan lemah. Namun ternyata sangat
berbahaya meskipun hanya menggunakan telapak tangannya. Kedua belah tangannya
diletakkan bersilangan di dada, kemudian direntang dan dihentak keras ke depan.
“Heaaa...”
Sankher yang diserang begitu cepat, melompat untuk
menghindar. Kemudian dengan jari-jari tangan membentuk cakar, dirinya balas
menyerang dengan jurus 'Ular Kobra Mematuk Mangsa'.
“Heaaa...”
Tangannya mencakar dan mematuk bagai ular kobra.
Agak terkejut Pendekar Gila menyaksikan jurus ular
yang dikeluarkan lawan. Tubuhnya segera melenting ringan ke udara, hingga
serangan Sankher luput dari sasaran. Namun belum sempat Pendekar Gila mengatur
napas, si Ular Kobra dari Utara sudah membabatkan pedangnya ke pelipis Sena.
Wuttt
“Uts Heaaa. .”
Pendekar Gila berjumpalitan di udara. Babatan
pedang lawan bagai putaran angin puting beliung.
Sedikit pun Pendekar Gila tak diberi kesempatan
untuk balas menyerang. Agaknya Sankher benar-benar ingin segera menghabisi lawannya.
Kalau saja lawan yang dihadapi Sankher bukan
Pendekar Gila mungkin sudah sejak awal dirinya telah memenangkan pertarungan.
Setelah berputaran beberapa kali di udara, Pendekar Gila dengan ringan dan
bagai gerakan menari mendarat di tanah.
“Hi hi hi... Lucu. Lucu sekali jurus cacingmu,
Kawan Ha ha ha...” Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak.
Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat. “Ayo, mana lagi jurus cacingmu?”
Mendengar ucapan Pendekar Gila yang sangat
meremehkannya, Sankher semakin kalap. Apalagi jurus andalannya ternyata dengan
mudah dapat dipatahkan. Dengan geram kembali dikebutkan pedangnya.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Utsss. Heaaa...”
Plakkk
Kali ini Pendekar Gila tak berusaha mengelak.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
dipapakinya serangan lawan. Tubuhnya berputar,
meliuk terlihat lamban seperti gerakan orang menari.
Tiba-tiba tangannya menepuk tepat di pergelangan
tangan Sankher yang memegang pedang. Sankher kaget, tak menyangka lawan akan
nekat memapak serangannya. Akibatnya hampir saja pedang di tangannya terlepas.
Walau gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan
seperti tak bertenaga, ternyata akibatnya sungguh di luar dugaan. Sankher agak
pucat wajahnya merasakan kekuatan yang terkandung dalam tepukan tangan dari
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang baru dilancarkan pemuda berangkah
seperti orang gila ini. Sena tak mau berhenti sampai disitu, terus bergerak
menyerang dengan garang. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, dipadu dengan
pukulan-pukulan maut yang dahsyat.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke bagian-bagian tubuh
lawan yang mematikan. Pukulannya disertai angin topan, walau terlihat lamban
dan seperti gerakan orang menari.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Glarrr...
Dua senjata sakti saling beradu, ketika Suling Naga
Sakti meluruk memukul tongkat pedang Sankher yang dihentakkan memapak. Benturan
itu menimbulkan suara mengelegar dan percikan-percikan bunga api. Keduanya
terlontar beberapa langkah ke belakang. Nampaknya mereka kembali mengerahkan
tenaga dalam masing-masing, disalurkan melalui tangan kanan yang sama-sama
memegang senjata sakti.
“Luar biasa, ck ck ck...” Ki Rah Sewu mendecak
kagum. Lelaki ini dari tadi terkesima menyaksikan pertarungan dahsyat yang baru
sekali ini dilihatnya.
Sementara, Mei Lie yang dari tadi mulai merasa
cemas hanya terpaku di tempat agak jauh. Kekasih Pendekar Gila ini khawatir
Sena tak dapat mengimbangi lawan, ketika menyaksikan Sankher mulai mengerahkan
jurus-jurus ular kobra yang sangat ganas dan dahsyat.
Ingin sekali dirinya membantu untuk mengeroyok
lawan, tetapi sebagai pendekar kesatria, hal seperti ini tentu saja bukan
tindakan yang jujur. Kecuali jika Pendekar Gila benar-benar sudah terdesak dan
tak berdaya menghadapi lawan.
Sementara, dua tokoh itu terus bertarung seru.
Masing-masing mengerahkan ilmu-ilmu silat dan
jurus-jurus sakti dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
“Szzzt, szzzt, szzzt...”
Wuttt
Tiba-tiba mulut Sankher mendesis persis suara ular.
Dan tiba-tiba saja pedang di tangannya meluruk dengan gerakan mematuk bagai
ular. Sementara tubuhnya pun melompat menerjang kepala Pendekar Gila. Inilah
jurus 'Kobra Mematuk Menyebar Racun'.
Jurus yang sangat berbahaya dipadu dengan ilmu
pedang tingkat tinggi. Tubuhnya meliuk sambil mendesis sementara pedangnya
mengeluarkan hawa beracun yang sangat mematikan.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Hi hi hi... Ada ular lapar mencari kodok”
Sambil tertawa-tawa Sena melompat ringan ke samping
kanan. Sambil melompat menghindari serangan Sankher dikibaskan Suling Naga
Sakti-nya memukul ke kepala lawan yang meliuk-liuk menjulur bagai gerakan ular
kobra ganas. Mulutnya masih cengengesan dan tertawa-tawa. Tapi sinar matanya
terlihat memerah saga pertanda kegeraman melihat keganasan lawan yang kembali
menyerang dengan jurus-jurus kobranya. Sankher yang bergerak bagai ular itu
tiba-tiba menarik tubuhnya menghindari pukulan Suling Naga Sakti di tangan
Pendekar Gila.
“Hi hi hi... Ular Buduk, kalau hendak mencari
kodok, mengapa jauh-jauh datang kemari? Bukankah di sawah banyak kodok? Ha ha
ha...” sambil tertawa cengengesan Sena kembali menggaruk-garuk kepala.
Sementara tangan kirinya menepuk-nepuk pantat
“Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam
hidupmu Bersiaplah” ancam Sankher lantang.
Mukanya merah padam mendengar kata-kata
Pendekar Gila yang sangat menghina.
“Aha... Benar umurku hanya sampai di sini? Lucu
sekali omonganmu, Kisanak Kau bukan Hyang Widhi, mengapa berani menentukan
hidup matinya
seseorang? Ha ha ha... Dasar ular buduk, hi hi
hi...”
“Bedebah Aku akan membuktikannya, Pendekar Gila”
“Heaaa Szzz...”
Wuttt
Tiba-tiba Sankher melejit sambil mengarahkan
pedangnya dengan suara mendesis keras. Kali ini yang dituju tepat ubun-ubun
Pendekar Gila. Ketika tubuhnya berjarak satu tombak dari Pendekar Gila,
pedangnya dikebutkan dengan ganas bagai gerakan ular kobra mematuk. Pendekar
Gila berguling ke samping, lalu dengan cepat dikirimkannya sebuah pukulan
keras.
“Heaaa...” Plakkk
Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tangan kanan
Sankher. Namun pukulan itu bagai tak berarti.
Lawannya hanya terdorong dua tombak ke belakang.
Bahkan Sankher dengan jurus-jurus ular kobranya
semakin beringas menyerang.
“Wuszzz...”
Sankher melesat ke atas persis gerakan kobra
menerkam mangsa. Tak lama kemudian meluruk cepat melancarkan serangan susulan.
“Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada
artinya?” dengus Pendekar Gila dalam hati.
Mei Lie yang terus mengikuti pertarungan kedua
tokoh sakti ini juga tak kalah kaget. Wajahnya semakin cemas melihat keganasan
Sankher.
Kekhawatirannya sedikit berkurang melihat
kekasihnya kembali tenang tak sedikit pun terlihat gentar menghadapi
serangan-serangan dahsyat si Ular Kobra dari Utara itu.
Kini tubuh Pendekar Gila berputar cepat dengan
jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' yang mengelak dari serangan lawan yang kian
dahsyat dan ganas.
Setelah dapat mengelakkan serangan, Pendekar Gila
segera menghantamkan pukulan dengan
mengerahkan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
“Heaaa...”
Wuttt
Degk
Telak sekali pukulan itu menghantam dada
lawannya. Namun mata Pendekar Gila kembali
membelalak kaget, Sankher yang terkenal dengan julukan Ular Kobra dari Utara
itu ternyata tak mempan pukulan 'Si Gila Membelah Awan'.
Sankher melesat ke udara. Setelah berputar sesaat,
tubuhnya kembali meluncur memburu Pendekar Gila.
“Wszzzt..”
“Heaaa...” tubuh Pendekar Gila turut melesat,
berusaha memapak serangan yang dilancarkan lawan.
Tubuhnya melesat cepat. Sementara Ular Kobra dari
Utara menukik dengan sebelah tangan bergerak mematuk ke dada Pendekar Gila.
Plakkk
Glarrr...
Saat kedua tangan mereka bertemu, terdengar lagi
ledakan dahsyat yang memekakkan telinga. Bunga api berpendaran ke sekitarnya.
Kedua tangan yang bertemu bagai dua logam baja yang sangat keras. Menimbulkan
tiupan angin berhembus hebat menyapu sekitar pertarungan. Daun-daun pepohonan
dan rumput di sekitar arena pertarungan gugur tersapu angin pukulan sakti yang
saling bertemu di udara.
Tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah,
sedangkan Ular Kobra dari Utara bagai tak mengalami sesuatu apa pun. Padahal
pukulan yang baru saja dilontarkan Pendekar Gila merupakan pukulan utama dari
sekian jurus saktinya.
“Ukh...”
Pendekar Gila mengeluh pendek.
“Setan Siluman ini benar-benar setan”
Belum juga Pendekar Gila siap, lawannya telah
menukik siap menghancurkan tubuhnya. Pendekar Gila yang baru saja hendak
bangkit kontan terkejut.
Tak ada waktu lagi untuk berkelit. Dengan nekat
dihantamnya tubuh si Ular Kobra dari Utara itu dengan salah satu pukulan
saktinya, 'Si Gila Membelah Karang'.
Angin seketika keluar bergulug-gulung dari telapak
tangan Pendekar Gila. Untuk sementara tubuh si Ular Kobra dari Utara tertahan.
Pukulan ini sebenarnya mampu menghancurkan batu
karang sekalipun. Namun Sankher seperti tak mengalami kesulitan berarti.
Tubuhnya alot dengan kulit sangat kenyal bagai karet yang sangat tebal, membuat
pukulan sakti Pendekar Gila bagai melenting seperti membentur bola saja.
Kini Pendekar Gila merasa sangat penasaran.
Belum pernah dia bertemu lawan tangguh seperti yang
dihadapinya sekarang. Entah sudah berapa puluh jurus pertarungan berlangsung.
Namun keduanya belum menunjukkan tanda-tanda akan kalah. Bahkan mereka kini
masih saling mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang semakin menggiriskan.
“Heaaa...”
Tiba-tiba Sena melompat sambil membabatkan Suling
Naga Sakti di tangan kanannya. Gerakannya sangat ringan. Tangan kirinya
bertumpu di bumi lalu melejit sambil arahkan tepukan ke kepala Ular Kobra dari
Utara.
“Uszzz Hup”
“Weszzz...”
Ular Kobra dari Utara menunduk dan segera
menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Sehingga serangan yang dilancarkan Pendekar Gila
meleset dari sasaran.
Begitu serangan Pendekar Gila luput, tiba-tiba
kedua kakinya memutar dahsyat sejajar bumi persis sambaran ekor ular dengan
mengerahkan jurus
'Sapuan Kobra Memangsa Kijang'.
Pendekar Gila segera melompat ke udara, hingga
serangan Ular Kobra dari Utara luput dari sasaran.
“Uszzz”
Wettt Wettt
Tiba-tiba pedang tongkat sakti Ular Kobra dari
Utara berkelebat mencecar tubuh Pendekar Gila yang melenting di udara.
“Hop Heaaa...”
Tubuh Pendekar Gila terpaksa bersalto beberapa kali
di udara. Dengan gerakan ringan bagai kapas segera berbalik dengan tangan
memukul ke dada Ular Kobra dari Utara.
Wuttt
Degkh... Kali ini tanpa dapat mengelak, pukulan 'Si
Gila Menyibak Awan' dari jurus gila berhasil mengenai punggung Ular Kobra dari
Utara.
Sankher memang agak lengah setelah
serangannya tadi berhasil dielakkan Pendekar Gila.
Tubuhnya terlontar sekitar tiga tombak ke belakang
dengan terhuyung-huyung.
“Hi hi hi... Baru terasa kue..., heh?”
Pendekar Gila yang tertawa cengengesan kaget.
Belum selesai ocehan konyolnya ketika tiba-tiba...
Desss...
Ular Kobra dari Utara yang begitu dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya menusukkan ujung
pedangnya ke tanah. Kontan di sekitar tempatnya berdiri dipenuhi asap hitam
tebal membumbung bagai keluar dari tanah. Seketika itu juga tubuhnya pun raib
bagai ditelan bumi.
Bukan saja Pendekar Gila yang terkejut
menyaksikan kejadian yang sangat cepat itu. Mei Lie
dan Ki Rah Sewu yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan pun merasa heran
melihat sosok Ular Kobra dari Utara yang tiba-tiba raib.
Belum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba....
“Jangan dulu merasa menang, Pendekar Gila Aku belum
kalah” terdengar suara yang bergema entah dari mana sumbernya. Disusul suara
ringkikan kuda yang digebah dan melaju menjauhi arena
pertarungan yang kini telah porak poranda bagai
terlan amukan gerombolan gajah.
“Aha, lucu Hi hi hi... Ternyata ular buduk itu
takut juga dilempari kue apem” Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
dan tangan yang sebelah menepuk-nepuk pantatnya.
Ki Rah Sewu merasa geli memandang tingkah laku
Pendekar Gila yang sangat aneh sedikit pun tak menampakkan kelelahan. Mei Lie
hanya menatap dengan tersenyum kecil memaklumi sifat kekasihnya yang memang
sudah terbiasa.
“Apa tindakan kita sekarang, Kakang?” Mei Lie
membuka suara sambil melangkah mendekati
Pendekar Gila.
“Aha Oh ya. Mari kita segera ke Lembah Merawan.
Ayo, Ki” Sena berseru pada Ki Rah Sewu.
“Aku khawatir Ular Kobra dari Utara seperti
menyimpan suatu siasat licik di balik ancamannya tadi,” sambung Pendekar Gila.
*** 7
Siang berselimut mendung. Mentari berkabung, enggan
menampakkan sinarnya yang hangat. Semilir angin bertiup sepoi-sepoi basah,
bertanda hujan akan turun menumpahkan airnya ke bumi.
Lembah Merawan dengan pepohonan yang
tumbuh lebat di sekelilingnya, bagai menambah asri
kehijauan alam di lembah itu. Padepokan Panca Purba seperti terselimut mendung.
Ki Kuncara Ketua Perguruan Panca Purba memang belum lama
terbunuh oleh kekejaman Ular Kobra dari Utara.
Di dalam padepokan, ada empat sosok tubuh yang
masing-masing menyiratkan duka akibat kematian sang Guru, Ki Kuncara yang belum
lama mereka kuburkan di sebelah padepokan.
Mereka tak lain Sundari, Sawung Rana, dan kedua
murid Ki Kuncara. Mereka juga harap-harap cemas menunggu Ki Rah Sewu yang pergi
mencari Ular Kobra dari Utara.
“Ha ha ha... Tikus-tikus busuk Sebentar lagi kalian
akan kubuat jadi bangkai santapan cacing-cacing tanah”
Brakkk
Tiba-tiba terdengar suara tawa disusul bunyi derak
pintu padepokan yang terdobrak hancur berkeping-keping.
Sawung Rana, Sundari, dan kedua murid Ki
Kuncara kaget setengah mati dengan muka pias
ketakutan.
Sedikit pun tak ada yang menduga jika Ular Kobra
dari Utara akan menyatroni mereka ke tempat itu kembali.
“Bukankah Pendekar Gila tengah mencari-
carinya? Apakah dia tak berhasil menemukannya, atau
apakah mungkin pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu berhasil pula
ditaklukkannya?”
dalam ketakutannya, terselip kebingungan di benak
Sundari, juga Sawung Rana.
Tetapi kebingungan mereka tak berlangsung lama.
Tiba-tiba saja Sankher kembali membentak sambil menudingkan tongkat saktinya ke
leher Sawung Rana.
“Hei, Bangsat Ke sini kau”
Wajah Sawung Rana kontan pucat pias ketakutan
dengan tubuh menggigil gemetaran. Demikian juga Sundari serta kedua murid Ki
Kuncara. Tubuh mereka persis kucing kedinginan. Mengkeret tak dapat
membayangkan kengerian.
Percuma saja mereka melawan. Tokoh-tokoh
sakti setingkat guru mereka telah tewas menjadi
korban keganasan Ular Kobra
dari Utara ini. Apalagi mereka yang memiliki ilmu
silat jauh di bawahnya.
Namun dengan nekat Sawung Rana maju
melabrak Ular Kobra dari Utara. Melawan atau tidak
baginya sama saja. Pasti Sankher akan membunuhnya juga.
Memang Ular Kobra dari Utara ini sangat geram
karena merasa tidak mampu menaklukkan Pendekar Gila, sehingga melampiaskannya
pada mereka.
“Hm, rupanya masih punya nyali juga kamu Tikus
Comberan Hih”
Wuttt
Tiba-tiba Sankher mengecutkan tongkatnya ke leher
Sawung Rana dengan dahsyatnya. Sawung Rana segera menjatuhkan tubuh, hingga
kebutan tongkat Sankher melesat beberapa jengkal di atas tubuhnya. Sundari pun
siap menyerang.
Sundari dan kedua murid Ki Kuncara segera bangkit
semangatnya. Mereka rupanya sama-sama bertekad mempertahankan nyawa, walau apa
pun akibat yang akan terjadi. Keberanian Sawung Rana membangkitkan semangat
mereka untuk
mempertahankan selembar nyawa.
“Ha ha ha... Majulah kalian bersama-sama Agar mudah
kucincang jadi santapan tongkatku”
Keempatnya bangkit serentak menerjang, tak peduli
ucapan menghina Ular Kobra dari Utara.
Masing-masing bagai diperintah, serentak
membabatkan pedangnya ke bagian tubuh lawan yang mematikan.
Namun tentu saja tak sulit bagi Sankher
mengelakkan serangan mereka. Ilmu silat mereka
masih jauh di bawah Ular Kobra dari Utara. Hanya dengan mengegoskan tubuhnya
sedikit ke samping, maka serangan mereka luput jauh dari sasaran.
Tiba-tiba....
Srettt
“Heaaa...”
Wuttt
Crakkk
Crasss
Tubuh kedua murid Ki Kuncara sudah terjatuh limbung
dengan leher terbabat hampir putus. Darah memuncrat membasahi ruangan, tanpa
jeritan sedikit pun.
Begitu cepat kejadiannya. Yang terlihat kini hanya
pedang yang berlumuran darah yang juga merupakan tongkat jika disarungkan.
Sawung Rana dan Sundari terbeliak kaget. Wajah keduanya pucat pasi bagai tak
dialiri darah, membayangkan kengerian teramat sangat.
“Kubunuh kau, Biadab” Sawung Rana yang
segera sadar menerjang secara membabi buta. Tak
lagi memikirkan keselamatan dirinya.
Dengan ganas diayunkan pedangnya sambil
melompat meluruk ke tubuh Sankher yang
memandangnya dengan tersenyum sinis.
Begitu serangan pedang Sawung Rana hampir mencapai
tubuhnya, dengan tenang diulurkan tangannya.
Tap
Degkh
“Aaakh...”
Tepat ketika tangannya menangkap pergelangan tangan
Sawung Rana yang tengah menghunus
pedang, langsung dikirimkan satu tendangan kilat ke
selangkangan lawan sambil ditariknya kuat tangan Sawung Rana. Tentu saja Sawung
Rana tak menduga, lawannya akan bertindak begitu. Tubuhnya pun doyong tertarik
kuat ke depan. Pedangnya terlepas karena kuatnya tenaga cekalan lawan.
Saat itulah tendangan kaki Sankher mendarat telak
di selangkangannya. Maka tak ampun lagi Sawung Rana terjungkal seiring pekik
kematian.
Tubuhnya lalu ambruk ke tanah, sesaat meregang
kemudian mengejang kaku. Tewas
“Setan laknat Kubunuh kau Kau harus mem-bayar mahal
atas kebiadabanmu ini”
Sundari berteriak kalap, matanya merah
menyiratkan dendam kesumat membara melihat kematian
sang Kekasih.
“Hiaaattt...” Wuttt Wuttt
Pedang di tangan Sundari menebas ke tubuh Ular
Kobra dari Utara dengan ganas.
“Hiyaaa...”
Tuk Tuk
Ular Kobra dari Utara pun melesat, lalu bersalto di
udara dengan tangan kiri mengirimkan dua totokan tepat di ubun-ubun Sundari.
Gadis itu kontan terkulai lemas tak mampu
menggerakkan sekujur tubuhnya. Seluruh urat geraknya tiba-tiba tak berfungsi
sama sekali.
Kini dirinya hanya dapat memaki dengan sinar mata
kalap. Wajahnya membayangkan kengerian akan tindakan Sankher selanjutnya.
“He he he... Cah Ayu, sudah kubilang tak ada
gunanya melawan ular kobra. Tenanglah Mari kita bersenang-senang sejenak
Sungguh sayang tubuhmu yang bahenol ini harus mengalami seperti temanmu itu”
“Tidak, jangaaan” Sundari hanya dapat menjerit
dalam hati. Mukanya semakin pucat, menyadari tubuhnya sudah tertotok tak dapat
digerakkan lagi.
“He he he...” Sabar, Cah Ayu, kau tambah cantik dan
membuatku semakin bernafsu. Jika marah begitu. Ayolah...”
Sankher segera meringkus Sundari lalu
menggelutinya. Sementara, Sundari hanya dapat
menjerit dalam hati, tak berdaya karena sudah terkena totokan Ular Kobra dari
Utara yang kini tengah dirasuki nafsu bejatnya. Apalagi ketika melihat
kemontokan tubuh Sundari.
“Ja... jangaaan Tidak, lepaskan Kurang ajar
Binatang kau” batin Sundari menjerit-jerit pilu tak
mampu melepaskan diri dari kebuasan nafsu Sankher yang semakin menggelegak.
Maka dengan rakus Sankher menciumi, meraba, dan
meremas seluruh tubuh Sundari.
Baru saja Sankher hendak menindih tubuh gadis
malang itu, tiba-tiba....
“Biadab Lepaskan perempuan itu”
Entah dari mana datangnya di tempat itu telah
melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Rambutnya sudah putih dengan jenggot
sudah memutih pula. Di tangannya tergenggam sebilah arit.
“Hm, kiranya masih ada yang suka usil
meng-hantarkan nyawa Hei, Tua Bangka Apa urusanmu dengan perempuan ini, atau
kau juga berminat padanya?” dengus Sankher dengan mata terbelalak marah.
“Keparat, kau sangka aku sama denganmu,
Binatang?”
Sosok berjubah putih dengan tubuh kurus itu
membentak murka karena dituduh yang bukan-bukan. Lelaki tua itu segera
menerjang dan membabatkan aritnya.
Wuttt Wuttt
“Mampuslah kau, Binatang” lelaki itu ternyata Resi
Bemala yang dikenal dengan julukan 'Arit Sambar Nyawa'.
“Kurang ajar Heaaat...”
Sankher yang merasa terganggu langsung
melompat ke atas. Sambil mengebut tongkat tubuhnya
bergerak menerjang, setelah berhasil mematahkan serangan lelaki tua berjubah
putih itu.
Wuttt Wuttt
Ular Kobra dari Utara kembali menggerakkan
tongkatnya. Kemudian dengan penuh amarah
tubuhnya melesat memburu lawan. Namun dengan cepat
Arit Sambar Nyawa menghadangnya dengan membabatkan aritnya ke tongkat lawan.
Trang
Kemarahan Ular Kobra dari Utara semakin
memuncak ketika mengetahui lelaki tua itu memapaki
serangannya. Matanya berkilat tajam.
Didahului desisan aneh bagai ular kobra, tongkatnya
disilangkan di atas kepala. Perlahan tangan kirinya memegang ujung tongkat agak
ke tengah. Dan....
“Szzz...”
Srets
Tangan kanannya yang memegang tongkat tiba-tiba
bergerak ke bawah. Kini terlihat tongkat tadi menjadi dua. Yang satu di tangan
kiri ternyata berupa sarung sebuah pedang. Sedangkan di tangan kanan kini
tergenggam sebuah pedang berkilat tajam memancarkan sinar maut berhawa racun.
“Yeaaa...”
“Keluarkan semua ilmu arit bututmu” tantang Sankher
seraya mengelakkan tebasan dan babatan arit lawan. Kemudian dengan cepat
tangannya menggerakkan pedang. Seketika pedangnya melesat mematuk bagai ular
kobra bersama tubuhnya menerjang dengan dahsyat
“Heaaa...”
“Wusz, Wuszzz...”
Trang Trang
Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar
susul-menyusul. Diikuti gerakan keduanya yang menyerang secara gencar dan
cepat.
Sementara, Sundari yang masih heran siapa
sebenarnya lelaki tua itu hanya terpana. Hatinya penuh kebingungan melihat
pertarungan yang tiba-tiba pecah dengan dahsyat antara dua tokoh sakti di
hadapannya.
Lelaki berjubah putih yang ternyata kakak Ki
Kuncara tiba-tiba melompat tiga tombak ke belakang.
Kemudian kedua tangannya bergerak menggenggam arit
dan menyilangkan di depan dada. Perlahan senjata itu diangkat ke atas kepala
sambil memusatkan diri sejenak. Tiba-tiba....
“Hiyaaa...”
Werrr Wusss
Tubuh Arit Sambar Nyawa melenting dan berputar
bagai baling-baling. Aritnya bergerak cepat menyambar leher Ular Kobra dari
Utara. Tetapi....
“Uszzz Heaaa...”
Blukkk
Sankher menunduk dan menjatuhkan tubuh ke tanah.
Dan begitu tubuh Arit Sambar Nyawa berada tepat di atasnya tangan kirinya
mematuk cepat. Tepat mengenai arit yang turut berputar di tangan lawannya.
“Hea”
Prakkk
Sungguh hebat akibat patukan dari jurus 'Kobra
Mematuk Karang' ini. Arit di tangan lawannya kontan patah membuat Resi Bemala
kaget setengah mati.
Tangannya yang memegang arit terasa panas bagai
memegang bara. Bahkan sekujur tubuhnya terasa linu hingga aritnya yang sudah
patah jatuh dari tangannya.
Ternyata Ular Kobra dari Utara tidak
menghentikan serangan sampai di situ. Sambil
bersalto tiba-tiba tubuhnya melejit menghentakkan pedang dari atas mengarah ke
tubuh lawan.
Arit Sambar Nyawa yang belum dapat mengatur
kedudukan berusaha mengelak sebisanya ke arah kiri. Namun gerakannya sedikit
terlambat. Maka. “Wuszzz”
Crasss
“Aaa...”
Pedang di tangan Sankher tak urung memapas bahu
kanan Arit Sambar Nyawa. Kontan lelaki tua berjubah putih ini menjerit.
Tangannya putus sebatas bahu. Darah memancar tiada henti dan tubuhnya pun
limbung hendak jatuh.
“Heaaa Wuszzz...”
Wuttt
Trakkk
“Hei?”
Si ular Kobra bermaksud menghabisi Arit Sambar
Nyawa. Namun mendadak hatinya terasa kaget melihat sesosok bayangan berkelebat
memapak serangannya dengan suling.
Si Ular Kobra dari Utara tersentak kaget dengan
mata membelalak. Segera ditarik pedangnya, lalu membuat gerakan membuka sebuah
jurus.
“Hm...” gumam Sankher. Begitu melihat
Pendekar Gila muncul kembali dengan tiba-tiba,
“Kali ini kau tak akan hidup lebih lama, Pendekar Gila...”
Selesai bicara begitu, Sankher langsung
menyerang Pendekar Gila dengan membabatkan pedang.
Namun Pendekar Gila dengan cepat mengelak, melompat
ke atas. Sementara itu tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti balik
menyerang.
Wuttt Wuttt
Trang
Senjata mereka beradu hingga menimbulkan
suara nyaring dan percikan bunga api. Tubuh Sankher
terpental dua tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar Gila hanya beberapa
langkah. Sankher merasakan sesak dadanya, karena tanpa diduga, tangan kiri
Pendekar Gila telah mendaratkan pukulan yang disertai tenaga dalam yang kuat.
“Ukh...”
Pendekar Gila cengengesan dan terus mengamati
gerak-gerik lawannya. Suling Naga Sakti-nya kini diputar di atas kepala. Lalu
diturunkan, kakinya membuat kuda-kuda. Menanti serangan lawan.
Sankher geram lalu mengeluarkan jurus 'Kobra
Mematuk Mangsa'. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lalu menghentakkan
ke depan.
“Heh Heaaa...”
Sankher melompat secara zik-zak. Pendekar Gila yang
melihat itu cepat menggerakkan Suling Naga Sakti-nya, memapaki serangan
Sankher.
“Yeaaa...”
Trang
Degk
“Heit..”
Kedua pendekar itu kini bertarung di udara.
Saling pukul dan tangkis. Menimbulkan suara
ledakan, dan percikan sinar api yang menerangi tempat itu.
Jglarrr
Pada saat Sankher lengah, karena merasakan
tangannya terasa panas, Pendekar Gila berhasil memasukkan pukulan dengan tangan
kiri ke dada.
“Hukkk...”
Sankher memekik keras. Lalu tubuhnya melayang jatuh
ke bawah. Rupanya keadaan lelaki dari utara itu sudah mulai melemah. Sehingga
dengan mudah Pendekar Gila yang masih kelihatan kuat
memanfaatkannya.
Sankher bergulingan di tanah. Lalu kembali bangkit
dan membuka kembali jurus-jurusnya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Seperti meledek. Dengan tenang pendekar muda ini menggerakkan
Suling Naga Sakti ke kanan ke kiri. Matanya tak berkedip sedikit pun menatap
lawannya.
“Kau kali ini benar-benar akan kukirim ke
akherat...” dengus Sankher dengan geram.
“Heaaa...”
Sankher dengan penuh amarah menyerang
Pendekar Gila yang nampak begitu tenang. Namun
serangannya mulai kurang ganas dan mengendor.
Pendekar Gila hanya mengelak ke samping sambil
memiringkan tubuhnya. Meliuk-liuk bagai orang menari. Sambil sesekali tangan
kanannya yang memegang Suling Naga Sakti menangkis dan
menghantam lawan.
Namun Sankher pun tak mau menerima begitu saja
serangan balik Pendekar Gila. Dengan cepat membabat kaki Pendekar Gila, lalu
disusul patukan tangan kirinya.
“Wesss... Zzz...”
“Bts...”
Pendekar Gila mengelak sambil merobohkan
tubuhnya ke belakang, lalu bersalto tiga kali ke
belakang. Kemudian kakinya mendarat pada sebuah batu.
Sankher memburu dengan melompat bagai
terbang sambil menusukkan pedangnya ke dada lawan.
Namun Pendekar Gila dengan cepat
merunduk. Karena cepat dan derasnya, tubuh Sankher
melayang di atas kepala Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila tak menyia-nyiakan
kesempatan. “Yeaaa...”
Degk Plakkk
“Aaakh...”
Sankher memekik keras, karena rusuknya kena pukulan
Pendekar Gila.
Tubuh Sankher tersuruk di tanah dengan wajah
terlebih dulu. Hingga wajahnya membentur bebatuan di tempat itu.
“Akh...” pekiknya lagi.
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Dia tak mau langsung menyerang.
Sepertinya pemuda gondrong itu memberi
kesempatan pada lawan untuk bangun dan kembali
bertarung secara jantan. Itu memang sifat Pendekar Gila, sebagai pendekar yang
berbudi serta menjunjung jiwa kesatria.
“Grrr.... Zzz...” Sankher mendesis, seperti ular.
Lidahnya menjulur panjang bercabang dua, seperti
ular. Lidah itu beracun. Bila mengenai tubuh lawan, maka akan mati seketika.
Pendekar Gila yang melihat itu mengerutkan kening.
Lalu kemudian cengengesan. Suling Naga Saktinya ditaruh di depan dada. Tangan
kirinya juga depan dada dengan menggenggam. Lalu sulingnya dihentakkan ke depan
dua kali, sedang tangan kirinya membuat gerakan silat.
“Zzz...”
Sankher nampak terus mendesis seperti ular, sambil
merundukkan kepala. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ular hendak menyerang lawan.
Kedua
tangannya terus bergerak aneh. Sementara, pedang di
tangan kanannya memancarkan sinar api
membara kemerahan.
Hawa panas yang luar biasa menyambar tubuh Pendekar
Gila, disertai angin kencang. Pendekar Gila segera mengeluarkan ajian 'Inti
Salju' untuk melawan hawa panas itu. Mendadak hawa panas berubah menjadi dingin
sekali.
Keduanya mulai bertarung dengan tenaga dalam.
Sankher yang merasa yakin dapat menaklukkan
Pendekar Gila, dengan ilmu 'Api Beracun', hatinya merasa kaget ketika sekejap
hawa panas yang ditujukan kepada Pendekar Gila, berbalik ke arahnya menjadi
dingin bagai es
“Hah...?” gumam Sankher membelalakkan
matanya dengan tubuh merasa kedinginan.
Arit Sambar Nyawa yang tangan kanannya sudah putus,
tersambar pedang Sankher tadi merasa kagum, melihat ilmu Pendekar Gila.
Kepalanya bergeleng-geleng. Dan mulutnya berdecak kagum.
“Ck ck ck.... Baru aku saksikan...” gumamnya lirih,
sambil memegangi tangan yang putus. Sundari berlari menghampiri Arit Sambar
Nyawa. Untuk membungkus tangan yang putus itu.
“Ki, biarlah lukamu aku balut..” ujar Sundari
sambil menyobek ujung pakaiannya.
Arit Sambar Nyawa hanya bisa tersenyum dan
mengerang menahan rasa sakit.
***
Kembali ke arena pertarungan antara Pendekar Gila
dengan Sankher, si Ular Kobra dari Utara.
Sankher nampak tak dapat menghilangkan dingin pada
tubuhnya. Hatinya marah, lalu dengan tenaga dalamnya berusaha melepas salju
yang membalut seluruh tubuh. Pendekar Gila tertawa-tawa, sambil menggaruk-garuk
kepala. Lalu ia menghentakkan Suling Naga Sakti-nya.
“Hah...”
Wesss
Seketika salju yang mengurung tubuh Sankher
mencair. Sankher bukannya berterima kasih, melainkan justru makin geram, karena
merasa malu.
Segera Sankher berteriak keras, sambil
menggerakkan kedua tangan dengan cepat bagai kipas.
Pendekar Gila tetap tenang, dan siap menghadapi serangan lawan.
Tubuh Sankher terbang, bagai seekor ular yang ingin
menyerang mangsanya, dengan gerakan zik-zak dan cepat. Lalu menukik, dengan
kedua tangannya membabat ke kepala lawan. Pendekar Gila yang sudah mengetahui,
dengan cepat melompat ke samping kiri, lalu disusul dengan salto ke belakang.
Menjauhi lawan.
Sankher yang merasa serangannya dapat dielakkan
makin geram dan marah. Dengan sebisanya ia membabatkan pedang ke tubuh Pendekar
Gila yang juga balik menyerang dengan melompat. Suling Naga Sakti-nya yang
tergenggam di tangan kanan, bergerak cepat menangkis dan menyerang.
Sankher kewalahan. Karena serangan yang
dihantarkan Pendekar Gila sangat cepat dan sukar
diatasi. Akibatnya Sankher mundur beberapa tindak.
Namun sebelum sempat membuka jurus baru,
Pendekar Gila yang sudah tak sabar ingin menghabisi
tokoh yang membunuh banyak pendekar Jawadwipa dan orang-orang tak bersalah,
melompat cepat. Dan ketika tubuhnya masih di udara, mendadak menukik cepat,
sukar ditangkap dengan mata biasa. Dan....
“Aaakh...”
Sankher memekik keras dan panjang, sambil memegangi
kepalanya. Tubuhnya melintir bagai gangsing. Pedangnya jatuh. Namun berusaha
sekuat tenaga untuk menyerang Pendekar Gila yang sudah mendaratkan kakinya di
tanah.
“Heaaa...”
Degk
“Aaakh...”
Kembali Sankher berteriak kesakitan. Kali ini
nampak telinganya mengeluarkan darah segar. Juga matanya. Kemudian disusul
dengan tubuhnya yang terbelah dua. Karena pukulan Suling Naga Sakti Tubuh
Sankher menggelepar-gelepar di tanah.
Lalu tewas
Pendekar Gila merasa puas. Diselipkan lagi Suling
Naga Sakti-nya ke pinggang.
Sundari yang melihat kejadian itu ikut senang.
Gadis itu menghambur ke arah Sena. Sedangkan Arit
Sambar Nyawa masih terduduk di bawah pohon besar. Wajahnya tersenyum getir, memandangi
Sundari yang berlari menuju Pendekar Gila.
“Aku ikut senang, kau telah dapat membunuh manusia
keji itu...,” kata Sundari begitu sampai di dekat Sena.
Sena hanya menghela napas panjang. Matanya masih
memandangi mayat Sankher, yang telah membiru. Lalu menoleh ke arah Sundari.
“Semua ini kehendak Hyang Widhi. Aku hanya
melaksanakan. Orang macam dia memang pantas dimusnahkan...,” kata Sena seakan
bicara pada diri sendiri.
“Aku sangat berterima kasih, karena kau telah
membalaskan dendamku atas kematian paman dan Kakang Sawung Rana.... Sungguh aku
sangat ber-hutang budi padamu, Sena,” ujar Sundari lagi. “Aha, jangan bicara
begitu Sudah menjadi tugasku untuk menolong sesama kita. Apalagi, orang seperti
itu,” Sena menunjuk ke mayat Sankher.
“Memang harus mati. Menerima ganjaran. Aku tak mau
membunuh lawan kalau tak ada masalah. Tapi aku masih merasa heran kenapa dia
mau
membunuhku?”
Sesaat kemudian diam. Lalu tampak mulut Sena
cengengesan sambil menggaruk-garukkan kepala.
“Ayo, kita bawa orang yang terluka itu ke
tempatmu...,” ajak Sena. Yang kemudian melangkah pergi. Sundari mengikutinya
tanpa menjawab.
***
Di Perguruan Elang Sakti pagi itu nampak sudah
ramai, suasana tenang. Dari dalam rumah perguruan yang bekas milik Ki Putih
Maesaireng, muncul Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di kanan kirinya tampak
Sundari dan Resi Bemala.
Wajah mereka nampak cerah dengan senyum
tersungging di bibir. Begitu juga beberapa orang
sisa murid Perguruan Elang Sakti yang masih hidup.
Mereka menundukkan kepala memberi hormat pada
Pendekar Gila yang melewati para murid itu.
“Sena, sangat berat aku berpisah denganmu. Aku tak
bisa memaksamu untuk berlama tinggal di sini.
Aku mengerti. Tapi kuminta, bila kau lewat di sini,
mampirlah Biar hatiku senang...,” ujar Sundari dengan lemah lembut.
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan. Matanya melirik ke Arit Samber Nyawa.
“Ya. Aku pun merasa kehilangan seorang sahabat dan
pendekar yang kukagumi. Maksudku, sama dengan Sundari. Kalau ada waktu,
datanglah kemari”
tambah Arit Sambar Nyawa.
“Mudah-mudahan. Baiklah aku mohon pamit...,”
kata Sena, lalu menjabat tangan Arit Sambar Nyawa.
Kemudian dipegangnya bahu Sundari seraya berkata,
“Jaga dirimu baik-baik Berlatihlah ilmu silat
dengan tekun. Tentunya Arit Sambar Nyawa akan memberikan sedikit ilmunya
padamu....”
Selesai berkata begitu, Sena pun meninggalkan
Perguruan Elang Sakti sambil melambaikan tangan kanannya. Para murid perguruan
itu melepas kepergian Pendekar Gila yang sangat mereka kagumi dengan tatapan
haru. Begitu pula Sundari. Gadis cantik itu seakan tak rela. Namun semua
maklum, bahwa tugas Sena sebagai pendekar penegak kebenaran dan keadilan
menuntutnya harus terus melanglang buana.
SELESAI
Emoticon