1
Hutan Bambu yang semula riuh oleh pertarungan seru,
seketika bagaikan mati. Semua terdiam dengan mata memandang kedua Maling Budiman
yang sudah sangat mereka kenali. Para prajurit Kerajaan Surya Langit terkejut,
setelah tahu siapa sebenarnya maling budiman yang selama ini selalu menutupi
wajah dengan cadar. Bagaikan ada yang memerintah, pertarungan seketika
terhenti. Semua tertegun, dengan mata berusaha memperjelas penglihatan terhadap
kedua maling itu.
Perdana Menteri Giri Gantra masih terpaku duduk di
pelana kudanya. Matanya melotot kaget. Tanpa sadar, dari mulutnya mendesiskan
nama pemuda berpakaian biru.
"Pangeran Prapanca, kau...?"
"Pangeran..." seru yang lainnya turut tersentak kaget, setelah tahu
lelaki yang tadi mengenakan cadar biru penutup wajah. Serta merta para prajurit
melemparkan pandangan keheranan pada Perdana Menteri Giri Gantra, seakan mereka
ingin bertanya, apa sebenarnya yang terjadi.
"Perdana Menteri, bagaimana mungkin ini
terjadi?" tanya Resi Wisangkara yang juga diliputi rasa heran dan tak
mengerti.
"Ya, mengapa bisa begini?" sambung Gagak
Se-lo. "Bukankah dulu Tuan mengatakan Kanjeng Pangeran sudah mangkat?"
Perdana Menteri Giri Gantra kebingungan. Kini dia benar-benar merasa terpojok.
Namun begitu, sifatnya yang licik tidak begitu saja mau mengalah. Otaknya yang
licik, berpikir keras untuk menghadapi semua. Belum juga perdana menteri
membuka suara, Pendekar Gila telah mendahului.
"Hi hi hi... Kau sekarang seperti kebingungan,
Perdana Menteri? Ah ah ah, jelas kau menyembunyikan sesuatu," tukas Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Tutup mulutmu, Bocah Gila" bentak
Perdana Menteri Giri Gantra sengit. Matanya melotot marah ke arah Pendekar Gila
yang masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kaulah yang harus menutup mulut, Perdana
Menteri" sergah Pangeran Prapanca dengan bentakan.
"Kau telah membohongi semua rakyat, dengan
mengatakan aku telah mati" "Tidak" teriak Perdana Menteri Giri
Gantra.
"Kau bukan Pangeran Prapanca. Kau penjahat
yang menyamar sebagai Pangeran Prapanca. Putra mahkota telah meninggal
dunia" Pangeran Prapanca tersenyum sinis, mendengar ucapan Perdana Menteri
Giri Gantra. Mata Pangeran Prapanca menatap tajam wajah Perdana Menteri Giri
Gantra. Kemudian mengalihkan ke wajah Resi Wisangkara, Gagak Selo, dan Ki Naga
Wilis, serta Pangli-ma Utama Rawa Sekti.
"Apakah kalian akan percaya dengan
omongannya?" tanya Pangeran Prapanca, yang menjadikan semua pendekar
pengikut Perdana Menteri Giri Gantra masih terdiam. Mereka sepertinya masih
bingung dengan kejadian ini. "Aku Pangeran Prapanca, Putra Mahkota Kerajaan
Surya Langit, yang berhak untuk mendapatkan takhta kerajaan" "Tidak
Kau bukan pangeran" sahut Perdana Menteri Giri Gantra berusaha
mempengaruhi orangorangnya, agar tak percaya dengan yang dikatakan Pangeran
Prapanca. "Tidak mungkin seorang pangeran berbuat jahat, mencuri, dan
membunuh pejabatpejabat kerajaan" "Cuih..." Pangeran Prapanca
meludah. "Sungguh berbisa mulutmu, Perdana Menteri Kalau saja kau tidak
melakukan kejahatan dengan menindas rakyat, aku tak akan melakukan pekerjaan
ini Kau benar-benar iblis Kau injak rakyat demi kepentingan pribadimu"
"Bohong..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kau benar-benar bukan Pangeran Prapanca,
tetapi pencuri Kau terlalu banyak berbuat salah. Kau harus dihukum Karena telah
mengganggu keamanan rakyat Kerajaan Surya Langit. Kau harus ditangkap"
Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Perdana Menteri Giri
Gantra. Matanya memandang penuh kebencian ke arah orang kepercayaan Prabu
Awangga itu.
"Perdana Menteri licik Kau kira dengan cara
seperti itu, kau dapat lari dari tanggung jawabmu?" dengus Pangeran
Prapanca dengan senyum sinis. Hal itu menjadikan Perdana Menteri Giri Gantra
semakin sengit "Tangkap mereka..." teriak Perdana Menteri Gi-ri
Gantra memerintah pada tokoh persilatan juga para prajurit yang ikut
bersamanya. Namun tak seorang pun yang mau bertindak. Mereka masih saja terdiam
dalam kebimbangan. Bahkan mereka kini memandang tajam pada Perdana Menteri Giri
Gantra yang semakin bertambah marah, menyaksikan para prajurit tak ada yang
menanggapi perintahnya. "Kurang ajar Kalian akan mendapatkan hukuman, jika
tak mau melaksanakan tugas" "Kami tak peduli dengan ocehanmu, Perdana
Menteri" Resi Wisangkara angkat bicara.
"Ya Kami berpihak pada Pangeran
Prapanca," sambung Gagak Selo tegas. "Selama ini, kami telah kau
bohongi, Perdana Menteri" "Tutup mulut kalian Prajurit, serang
mereka..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra marah. "Bunuh mereka
semua..." Prajurit kerajaan yang tersisa dua puluh orang itu, sesaat
bimbang. Mereka merasa bingung harus berbuat apa, karena lawan yang mereka
hadapi kini terdiri dari pendekar-pendekar tangguh. Di samping itu, mereka tahu
bahwa di sana memang ada Pangeran Prapanca. Pangeran yang sebenarnya berhak
atas takhta kerajaan.
"Prajurit, apa kalian tuli, heh? Serang
mereka..." Kembali Perdana Menteri Giri Gantra berteriak, memerintah pada
para prajuritnya agar menyerang.
"Jangan hiraukan dia, Prajurit Aku Prapanca.
Kalian jangan ragu Akulah pewaris takhta
kerajaan" teriak Pangeran Prapanca, yang semakin membuat para prajurit
kian kebingungan. Mereka terhenti di tengah jalan, ragu-ragu untuk melakukan
tindakan.
"Kurang ajar Serang mereka dan bunuh
semua..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra. Namun para prajurit tetap
tak ada yang melakukan tindakan apa pun. Bahkan tiba-tiba mereka berbalik,
hendak menyerbu Perdana Menteri Giri Gantra.
"Gusti Pangeran, perintahkan pada kami untuk
menangkap perdana menteri keparat itu. Kami akan segera menangkapnya, dan bila
perlu, kami akan memenggal kepalanya" seru pimpinan prajurit dengan
lantang.
Mendengar ucapan pimpinan prajurit, seketika
Perdana Menteri Giri Gantra tersentak kaget. Wajahnya pucat pasi. Lalu tanpa
banyak kata, kudanya segera d gebah meninggalkan Hutan Bambu.
Para prajurit hendak mengejar, namun dengan cepat
Pangeran Prapanca melarang.
"Jangan dikejar Biarkan dia hidup"
"Tetapi, ini sangat berbahaya, Pangeran," kata lelaki bertelanjang
dada berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis tebal. "Perdana
menteri itu sangat berbahaya." "Aku tahu. Biarkan dia pergi Yang
penting, kita kini harus menghimpun kekuatan. Menghadapi kerajaan, bukanlah hal
yang mudah," tutur Pangeran Prapanca pada prajurit-prajurit kerajaan.
"Kumohon, su-dilah Tuan-Tuan Pendekar mau membantu kami." "Aha,
tak usah kau pinta, Kanjeng Pangeran Dengan senang hati kami akan
membantumu," sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Matanya melirik ke wajah Mei Lie, yang tengah memasukkan Pedang Bidadari ke
warangkanya. Sena pun segera memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang.
"Terima kasih, aku pun tentu saja tak melupa-kanmu. Pendekar Gila."
kata Pangeran Prapanca sambil menjura. "Kalian berdua telah menolong kami.
Nah, bagaimana dengan yang lain? Apakah Tuan-Tuan juga sudi mendukung
perjuanganku?" Resi Wisangkara melangkah mendekati Pangeran Prapanca.
Kemudian lelaki tua berkepala botak itu melakukan sembah, diikuti para pendekar
yang lain.
"Kami berada di belakangmu, Kanjeng
Pangeran," kata Resi Wisangkara sambil menyembah. "Kaulah pewaris
takhta Kerajaan Surya Langit yang sebenarnya. Kami tunduk dan pasrah
padamu." "Ya. Kami akan selalu di belakangmu," sambung Gagak
Selo.
"Benar, Pangeran. Izinkan kami mengabdi
padamu," tambah Ki Naga Wilis. Rupanya tokoh sesat ini menyadari kedudukannya
yang terjepit. Apalagi kini dia tahu, kedua maling budiman ternyata Pangeran
Prapanca dan temannya, Pranala. Apalagi setelah tahu, kalau di antara mereka
terdapat Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, sepasang pendekar yang
sudah sangat terkenal.
"Bagaimana denganmu, Panglima?" tanya
Pangeran Prapanca yang ditujukan pada Panglima Rawa Sekti, karena sejak tadi
lelaki bertubuh tinggi itu hanya diam. Sepertinya dia dalam kebimbangan untuk
memilih.
"Saya pun turut di belakangmu, Kanjeng Pangeran,"
jawab Panglima Rawa Sekti sambil bersujud.
"Terima kasih. Bangunlah kalian semua. Di
sini, tak ada peraturan seperti di kerajaan. Aku, Pendekar Gila, Bidadari
Pencabut Nyawa, dan kalian semua, sama saja hak dan kewajibannya. Kita
sama-sama akan menumpas keangkaramurkaan," tutur Pangeran Prapanca.
"Benar Lihatlah rakyat yang sangat menderita.
Mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita.
Selama ini, mereka sangat tertindas," kata Pranala menambahkan.
"Apakah kita akan menutup mata, menyaksikan penderitaan rakyat?"
Semua yang berada di Hutan Bambu itu mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya
mereka memaklumi apa yang dihasratkan Pangeran Prapanca sebagai putra mahkota.
"Terima kasih atas perhatian kalian
semua," ka-ta Pangeran Prapanca sambil tersenyum senang. "Pendekar
Gila, bagaimana menurutmu yang baik untuk kami lakukan? Apakah kami harus
menyerang ke kerajaan?" Ditanya begitu, Pendekar Gila cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Diliriknya Mei Lie yang kini berdiri di sampingnya. Seakan
ingin meminta pendapat dari kekasihnya. Mei Lie hanya tersenyum sambil
mengangkat bahu, sepertinya menyerahkan semua persoalan dan pendapat pada Sena.
"Hi hi hi... Lucu sekali Mengapa aku yang
bodoh dan gila dimintai pendapat?" tanya Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Apakah nanti pendapatku tidak sama gilanya
dengan keadaanku?" "Ah, kau selalu merendah, Pendekar Gila,"
ujar Pangeran Prapanca sambil tersenyum. Dia tahu siapa sebenarnya Pendekar
Gila. Meski tingkah lakunya aneh seperti orang gila, namun dalam hal yang
sungguh-sungguh, pendapat dan pikirannya tak kalah dengan orang waras yang
berpendidikan tinggi.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak ketika
mendengar ucapan Pangeran Prapanca. Kepalanya digeleng-gelengkan, sambil digaruk-garuk
dengan tangan kanannya. Tingkah lakunya benar-benar konyol, mengundang semua
orang yang ada di tempat itu tersenyum-senyum.
"Ah ah ah, bagaimana ya? Aku orang tolol,
mengapa harus dimintai pendapat?" gumam Sena masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Untuk kedua kalinya, diliriknya Mei Lie, seakan meminta
pendapat. Namun Mei Lie hanya tersenyum sambil mengangkat bahu, yang membuat
Sena semakin keras menggaruk-garuk kepalanya. "Ah, kenapa aku jadi
begini?" "Ayolah, Sena Kau adalah penasihat kami, untuk itu kami
mengharap nasihat darimu," desak Pangeran Prapanca.
"Benar, Sena. Kaulah yang kami rasa pantas
memberi nasihat dan saran-saran bagi kami," sambung Pranala dengan mulut
tersenyum, melihat tingkah laku Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Aneh sekali, mengapa mesti aku?
Aku sendiri sedang bingung, tak tahu harus bagaimana. Niatku sebenarnya ingin
menemui guru. Tapi ada masalah yang menghambat perjalananku. Dan kini, kalian
memintaku untuk mengeluarkan pendapat. Ah ah ah, lucu..., lucu sekali"
Sena menggelenggelengkan kepala sambil menggaruk-garukkan tangannya di kepala.
"Bagaimana dengan Nini Mei Lie?" tanya
Prana-la. Dia berharap Mei Lie akan bisa memberi pandangan bagi mereka.
"Kalau Nini Mei Lie ada pandangan bagi kami, kami sangat berharap
sekali." Mei Lie hanya tersenyum mendengar ucapan Pranala. Dia merasa
kalau pendapat dan pikirannya selalu sama dengan kekasihnya. Ke mana Pendekar
Gila pergi, dia tentu akan mengikuti. Dengan kata lain, Mei Lie telah
menyerahkan segalanya pada Pendekar Gila. "Aku hanya terserah pada Kakang
Sena," jawab Mei Lie. "Aha, mengapa mesti aku?" tanya Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Wuah wuah, bagaimana mungkin aku menjadi
tumpuanmu? Kurasa, pangeranlah yang lebih berwenang dalam masalah ini.
"Baiklah kalau begitu," sahut Pangeran
Prapanca. "Kalau memang tak ada yang bermaksud memberi saran, aku akan
memberi tugas pada semuanya." "Katakanlah, Pangeran Tugas apa pun,
akan kami lakukan," sambut pimpinan prajurit.
"Ya. Katakanlah, kami akan patuh menjalankan
perintahmu," timpal Ki Naga Wilis.
"Baik. Aku tak ingin terjadi pertumpahan
darah. Karena perang sebenarnya akan menjadikan rakyat menderita," tutur
Pangeran Prapanca, yang menjadikan semuanya membelalak kaget. Mereka hampir tak
percaya, kalau Pangeran Prapanca akan berlaku begitu baiknya. Padahal dirinya
tahu sang Ayah serta keluarganya telah jatuh dalam perebutan kekuasaan.
Pangeran Prapanca pun menyadari kalau penguasa
kerajaan yang sekarang telah menyelewengkan kekuasaannya.
"Tapi, Pangeran," selak Pranala.
"Bukankah Pangeran yang berhak atas takhta kerajaan? Kalau takhta kerajaan
dibiarkan dipegang orang-orang durjana, rakyat tak akan pernah aman."
Semua terdiam mendengar ucapan Pranala, termasuk juga Pangeran Prapanca. Mereka
benarbenar tak menduga kalau Pranala yang pendiam mengerti masalah kerajaan.
Wawasannya pun nampak maju.
"Hal yang kedua, tentunya para penguasa akan
semakin bertindak semena-mena. Mereka akan berusaha memburu kita, karena mereka
menganggap kita takut," sambung Pranala.
"Kau memang benar, Pranala. Namun, kurasa ada
jalan lain selain dengan cara pertempuran. Tentunya kau masih ingat kata-kata
guru, kalau pertarungan sesungguhnya bukan penyelesaian yang baik," ujar
Pangeran Prapanca mengingatkan saudara seperguruannya.
"Aku masih ingat, Pangeran. Namun, bukankah
guru juga mengatakan, perjuangan membela kebenaran dan keadilan selalu saja
membutuhkan pengorbanan," kilah Pranala.
"Hm, kau benar. Tapi, aku tak ingin
mendahului. Bagaimana kalau aku mengutus Pendekar Gila dan Mei Lie untuk
menyampaikan pesanku pada raja?" tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat
"Aha, aku siap, Pangeran," jawab Sena dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian diliriknya Mei Lie, sepertinya ingin mengetahui
tanggapan gadis itu.
"Aku pun siap," jawab Mei Lie tegas.
"Terima kasih," ucap Pangeran Prapanca.
"Baiklah, besok aku meminta bantuan kalian berdua, untuk menyampaikan
surat pada Baginda Raja Awangga." "Aha, akan kami laksanakan,
Pangeran," sahut Sena. "Mari masuk Kita rundingkan rencana
selanjutnya di dalam saja. Anggaplah gubuk ini sebagai istana kita" kata
Pangeran Prapanca setengah bercanda sambil mempersilakan rekan-rekannya agar
masuk ke gubuk yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya.
Tanpa membantah, mereka pun menurut masuk ke gubuk
itu. Kemudian mereka duduk di atas tikar pandan yang tergelar lebar di ruangan
itu.
***
Sementara
itu, Perdana Menteri Giri Gantra telah sampai di dekat istana. Wajahnya pucat,
setelah menempuh perjalanan dalam ketakutan dan marah.
Napasnya tersengal-sengal. Kuda yang ditunggangi,
dipacu cepat. Sehingga keempat penjaga pintu gerbang istana hampir tertabrak
kudanya.
"Aku harus bisa mengambil hati baginda,"
desis Perdana Menteri Giri Gantra sambil turun dari kudanya. Kemudian lelaki
bermuka bengis dan mengenakan pakaian kebesaran istana itu melangkah
tergesagesa memasuki Istana Kerajaan Surya Langit. Dia langsung menghadap
Baginda Raja Awangga, yang saat itu tengah duduk di singgasananya, dikelilingi
dayang-dayang cantik.
"Ampun, Baginda Hamba menghadap"
"Ada apa, Paman Perdana Menteri?" tanya Baginda Raja Awangga dengan
kening berkerut, menyaksikan ketegangan tergambar di wajah perdana menterinya.
"Hm.... Tampaknya ada berita buruk? Apakah kedua maling itu lagi?"
"Benar, Baginda," sahut Perdana Menteri Giri Gantra seraya menyembah.
"Katakanlah, ada apa dengan kedua maling
itu?" Perdana Menteri Giri Gantra sejenak terdiam.
Sepertinya dia tengah mengatur rencana, bagaimana
sebaiknya menuturkan perihal Pangeran Prapanca pada baginda raja. Dia harus
bisa mengambil hati Baginda Raja Awangga, agar memusuhi Pangeran Prapanca dan
teman-temannya.
"Ampun, Baginda Sesungguhnya, kedua maling itu
tiada lain...." Sampai di sini, Perdana Menteri Giri Gantra tak meneruskan
ucapannya. Hal itu membuat Baginda Raja Awangga merasa penasaran. Hatinya ingin
tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
"Ada apa, Perdana Menteri? Siapa sebenarnya
kedua maling itu?" desak Baginda Raja Awangga ingin tahu. "Ampun,
Baginda Ternyata kedua maling itu, tiada lain Pangeran Prapanca dan sahabatnya,
Pranala," tutur Perdana Menteri Giri Gantra.
"Apa?" mata Baginda Raja Awangga membelalak,
mendengar penuturan Perdana Menteri Giri Gantra. Dia sama sekali tak menduga
kalau Pangeran Prapanca ternyata masih hidup. "Mengapa dia masih hidup?
Bukankah telah kuutus seseorang untuk membunuhnya?" "Entahlah,
Baginda. Yang pasti, kini beberapa pendekar berpihak kepadanya, termasuk
Pendekar Gila dan kekasihnya Bidadari Pencabut Nyawa," ujar Perdana
Menteri Giri Gantra. Kemudian dengan sing-kat diceritakan semua yang terjadi di
Hutan Bambu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam
episode "Sepasang Maling Budiman").
"Hm...," gumam Baginda Raja Awangga
lirih.
Tangannya membelai jenggotnya yang panjang. Matanya
memandang lepas keluar lewat pintu istana. Tersirat di wajahnya suatu perasaan
kekhawatiran. Namun, tentu saja hal itu tak diperlihatkan jelas di depan
perdana menterinya. Pangeran Prapanca yang harusnya telah tiada, tiba-tiba
muncul. Kalau sampai rakyat tahu, tentu mereka akan berpihak pada putra mahkota
itu. Jelas, baginya ini suatu ancaman yang tak boleh dianggap sepele. Ini
merupakan masalah besar. Masalah negara, bahkan hidup dan matinya.
Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri Giri
Gantra sesaat terdiam. Nampaknya mereka sedang berpikir untuk mencari jalan
keluar guna menyingkirkan Pangeran Prapanca dari Kerajaan Surya Langit.
Bahkan bila perlu, putra mahkota itu harus dibunuh
tanpa sepengetanuan rakyat Kerajaan Surya Langit.
"Apa yang harus kita perbuat, Perdana
Menteri?" tanya Baginda Raja Awangga seraya menatap dengan kening berkerut
pada Perdana Menteri Giri Gantra.
"Kita harus menyingkirkan dia dan
temantemannya, Baginda" "Caranya...?" Sesaat Perdana Menteri
Giri Gantra terdiam.
Dia pun belum tahu, bagaimana cara menyingkirkan
Pangeran Prapanca dan Pranala serta teman-temannya tanpa harus melibatkan
rakyat kerajaan. Karena jika sampai rakyat mengetahui, tentunya mereka tak akan
tinggal diam. Rakyat pasti akan melakukan pemberontakan. Apalagi selama ini,
rakyat hidup dalam kesengsaraan, akibat penindasan yang dilakukan para pembesar
kerajaan.
"Bagaimana kalau kita undang mereka,
Baginda," ujar Perdana Menteri Giri Gantra.
"Lalu...?" tanya Baginda Awangga belum
mengerti maksud perdana menterinya.
"Jika kita mengundangnya, kita tidak harus
berhadapan langsung dengan mereka. Kita akan mengundang jago-jago persilatan,
untuk menghadapi mereka," kata Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan.
Namun, tampaknya Baginda Raja Awangga belum jelas
dengan rencana yang diterapkan perdana menterinya.
"Uraikan semua, Perdana Menteri Aku belum
jelas, apa yang sebenarnya hendak kau lakukan," pinta Baginda Raja
Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra menyembah, kemudian
mulai menjelaskan rencana yang akan diterapkannya.
"Hamba akan mengundang jago-jago dari kerajaan
lain, guna menghadapi para pendekar yang membantu Pangeran Prapanca. Kemudian
ketika mereka sedang melakukan pertarungan sebagai hiburan dalam penyambutan
kerajaan atas kedatangan putra mahkota, yang lain akan bergerak untuk
menangkap. Kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya tertangkap, maka suasana
akan kembali aman. Rakyat tidak tahu siapa sebenarnya si Maling Budiman itu,
juga tentang kejadian di istana." Baginda Raja Awangga diam mendengarkan
gagasan Perdana Menteri Giri Gantra. Kepalanya tampak mengangguk-angguk, seakan
berkenan mendengar pendapat itu.
"Begitulah rencana hamba, Baginda," kata
Perdana Menteri Giri Gantra mengakhiri penuturannya.
"Hm, bagus Aku setuju dengan maksudmu,"
ujar Baginda Raja Awangga sambil tersenyum-senyum.
Jenggotnya yang panjang dibelai-belai sambil
kepalanya terus manggut-manggut. Matanya bersinarsinar, seperti merasa senang.
"Tak percuma kau kua-ngkat menjadi Perdana Menteri, Giri Gantra. Ternyata
pikiranmu masih bisa kuandalkan. Ha ha ha..." "Terima kasih, Baginda.
Kita harus secepatnya mengundang mereka untuk datang kemari. Karena kalau
terlambat, bisa-bisa merekalah yang akan mendahului kita," lanjut Perdana
Menteri Giri Gantra, seakan-akan tak sabar ingin segera dapat meringkus
Pangeran Prapanca.
"Lalu, bagaimana dengan rencana perkawinan
anakku?" tanya Baginda Raja Awangga. "Pesta perkawinan itu, akan
dilaksanakan dua minggu lagi, Perdana Menteri." "Serahkan pada hamba,
Baginda. Sebelum pesta perkawinan itu berlangsung, penjahat-penjahat pasti
sudah tertangkap...," jawab Perdana Menteri Giri Gantra tegas.
"Baiklah..., baiklah. Aku serahkan semuanya
padamu," ujar Baginda Raja Awangga. Kemudian mereka tertawa
terbahak-bahak, seperti merasa yakin akan dapat menangkap Pangeran Prapanca dan
teman-temannya.
***
2
Pagi telah datang dengan sinar matahari yang menghangatkan
bumi, ketika sepasang pendekar melangkah di jalan selebar tiga tombak, menuju
Istana Kerajaan Surya Langit. Sepasang pendekar yang tak lain Sena Manggala
atau Pendekar Gila dan Mei Lie itu tengah menjalankan tugas. Mereka diutus
Pangeran Prapanca untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga.
Dengan langkah tenang dan mantap, keduanya mulai
memasuki alun alun depan istana. Namun ketika hendak memasuki pintu gerbang
istana, empat prajurit bersenjata tombak menghadang mereka "Berhenti"
perintah salah seorang prajurit.
Pendekar Gila dan Mei Lie menurut berhenti.
Mata mereka memandangi keempat prajurit yang
menyilangkan tombak, menghadang langkah mereka.
Seorang prajurit bermuka beringas dengan tubuh
kekar melangkah mendekat "Siapa kalian? Dan ada kepentingan apa?"
tanya prajurit bermuka garang itu tegas.
"Hi hi hi... Kami diutus Pangeran Prapanca,
untuk menyampaikan surat pada Baginda Raja Awangga," jawab Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Lalu melirik Mei Lie yang
menganggukkan kepala.
"Siapa kalian?" sentak prajurit bertubuh
tegap itu.
"Aha, apakah perlu sebuah nama?" sahut
Sena masih cengengesan.
"Anak gila, siapa pun yang masuk istana semua
harus diketahui. Siapa namanya, dari mana, dan keperluannya. Jangan berlaku
kurang ajar di kerajaan, mengerti?" bentak prajurit itu merasa kesal
dengan tingkah laku Pendekar Gila.
"Hm, baiklah. Aku Mei Lie, dan temanku Sena
Manggala. Kami diutus Pangeran Prapanca untuk menyampaikan surat pada Baginda
Raja Awangga. Sudah jelas?" tanya Mei Lie dengan senyum sinis. Nampaknya
Mei Lei tak suka melihat sikap prajurit itu, yang terlalu angkuh dan lancang.
Sena sudah menjelaskan maksudnya, namun prajurit itu tetap saja ngotot. Bahkan
matanya memandang nakal pada Mei Lie. Benar-benar kurang ajar Kalau saja
Pangeran Prapanca tak melarang bentrok dengan prajurit-prajurit kerajaan, ingin
sekali Mei Lie menyobek mulut atau mata prajurit ini.
"Baiklah, tunggu sebentar" jawab prajurit
itu sambil melangkah pergi meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang dijaga
oleh tiga orang temannya.
Pendekar Gila dan Mei Lie nampak tenang. Mereka
memang telah dipesan agar tak melakukan pertarungan. Keduanya hanya
diperintahkan untuk membawa surat dari Pangeran Prapanca. Dan Pangeran Prapanca
meminta Pendekar Gila dan Mei Lie tak menyerang jika tidak diserang.
Tidak lama kemudian prajurit yang menghadap raja
kembali keluar. Kali ini dia bersama Perdana Menteri Giri Gantra, yang
tersenyum ramah pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Oh, rupanya Tuan-Tuan Pendekar yang
datang," sapa Perdana Menteri Giri Gantra dengan ramah, seakan berusaha
menunjukkan bagaimana sebenarnya keadaan istana dan menutupi keburukan
orang-orang istana. "Silakan... Baginda telah menunggu kedatangan
kalian." "Terima kasih," jawab keduanya seraya menjura hormat.
Kemudian dengan diantar Perdana Menteri Gi-ri Gantra, keduanya menuju ke istana
untuk menemui Baginda Raja Awangga.
Baginda Raja Awangga nampaknya sudah berada di
singgasananya. Bibirnya mengurai senyum, setelah melihat kedatangan Pendekar
Gila dan Mei Lie.
"Selamat datang di istanaku," sambut
Baginda Raja Awangga dengan ramahnya.
Pendekar Gila dan Mei Lie langsung memberi sembah,
lalu duduk bersila di hadapan Baginda Raja Awangga.
"Ampun, Baginda Kami datang untuk menyampaikan
pesan dari Pangeran Prapanca," kata Sena sambil menyodorkan gulungan daun
lontar yang diba-wanya. Baginda Raja Awangga segera menerima surat itu.
Dibukanya gulungan daun lontar itu dan dibaca.
Bibir sang Baginda mengurai senyum, setelah membaca
surat yang disampaikan kedua utusan Pangeran Prapanca. Dipandanginya kedua
pemuda dan pemudi yang duduk dan menundukkan kepala.
"Jadi, Pangeran Prapanca meminta agar rakyat
dibebaskan dari pajak? Serta kekayaan kerajaan untuk kepentingan rakyat?"
tanya Baginda Raja Awangga dengan bibir masih tersenyum. Namun senyum itu
nampak sangat sinis.
"Kami tak tahu, Baginda. Kami hanya
menjalankan tugas semata-mata," jawab Sena sambil cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Aku akan menyetujui permintaan
Pangeran Prapanca. Namun aku tak ingin hanya utusan yang datang. Aku berharap
Pangeran Prapanca datang sendiri ke istana. Bukankah lebih baik orang yang
bersangkutan datang menghadap sendiri?" tanya Baginda Raja Awangga. Di bibirnya
masih mengurai senyum, seakan berusaha menunjukkan keramahannya.
"Kami hanya utusan, Baginda," ujar Mei
Lie.
"Apa yang akan disampaikan, akan kami
sampaikan." "Bagus. Sampaikan pada Pangeran Prapanca Kami pihak
istana sangat mengharapkan kedatangannya," kata Baginda Raja Awangga
sambil memandang sejenak pada perdana menterinya yang tersenyum.
"Kami akan menjamunya, sesuai dengan kebiasaan
istana. Bagaimanapun, dia tetap seorang pangeran." "Akan hamba
sampaikan," jawab Sena sambil menyembah. "Hamba mohon pamit"
"Hamba pun mohon pamit," sambut Mei Lie sambil mengikuti Pendekar
Gila menyembah. Kemudian Pendekar Gila dan Mei Lie bangun dari duduk bersila.
Sambil menyembah mereka melangkah mundur. Meskipun keduanya utusan Pangeran Prapanca
yang dalam hal ini merupakan musuh kerajaan, mereka tetap berlaku sopan santun
di istana.
"Sampaikan salamku pada Pangeran Prapanca
Usahakan agar dia segera sampai di istana secepat mungkin" kata Baginda
Raja Awangga mengingatkan, sebelum Pendekar Gila dan Mei Lie meninggalkan ruang
balai istana.
***
Mei Lie dan
Pendekar Gila telah keluar dari istana kerajaan. Keduanya kini tengah
menyelusuri jalanan yang sudah jauh dari istana. Seperti biasanya, mereka
senantiasa bercanda ria di dalam perjalanan.
Langit cerah pagi hari dan sinar matahari yang
hangat seakan menemani mereka dalam menempuh perjalanan pulang, setelah
menyampaikan pesan dari Pangeran Prapanca.
"Ah, akhirnya kita harus terlibat juga,
Mei," ka-ta Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya, kita hampir sampai di tempat guru." "Kenapa Kakang
tadinya tak meneruskan perjalanan saja? Kalau saja Kakang tak ikut campur
dengan urusan Pangeran Prapanca, tentu kita hampir sampai," ujar Mei Lie
sambil melangkah di samping kekasihnya.
Sesekali Mei Lie menoleh ke wajah Sena. Tidak
pernah jemu-jemunya gadis itu memandangi wajah sang Kekasih. Meski cengengesan,
namun wajahnya yang tampan tetap tampak. Meski Sena seperti orang gila, Mei Lie
merasa damai jika berada di sampingnya.
"Ah ah ah, semua Hyang Widi yang mengatur, Mei
Lie. Aku hanya manusia, tak kuasa menolak segala yang telah digariskan,"
kata Sena seraya menarik napas panjang. Sesaat matanya memandang wajah Mei Lie.
"Ah, sudahlah Sudah telanjur basah, apa salahnya kita sekalian
menyelaminya." "Kalau memang itu sudah menjadi keputusan, aku pun
turut bersamamu, Kakang," desah Mei Lie sambil menyandarkan kepalanya di
pundak kanan Pendekar Gila. "Terus terang kukatakan, aku sangat tenang
jika berada di sampingmu." Sena tersenyum. Lalu dengan lembut diusapnya
rambut Mei Lie. Keduanya terus melangkah dengan hati berbunga. Jalinan cinta
kasih yang mereka bina, semakin terasa di saat-saat seperti ini. Di mana mereka
hanya berdua, dengan ditemani suasana alam yang tenang dan damai.
"Mungkinkah selamanya kita akan selalu
bersama, Kakang?" Pertanyaan Mei Lie yang tiba-tiba itu menyentakkan Sena
dari lamunannya. Seketika Pendekar Gila menghentikan langkah, matanya memandang
lekat wajah Mei Lie.
"Mengapa kau bertanya begitu, Mei Lie?"
tanya Sena dengan kening mengerut, kaget mendengar pertanyaan yang baru saja
dilontarkan kekasihnya.
"Kakang Sena, semenjak kita bertemu, aku sudah
merasakan jatuh cinta padamu. Dalam hati kecilku, aku berjanji untuk mengabdi
padamu," tutur Mei Lie dengan polos. Matanya membalas tatapan Pendekar
Gila. Gadis itu seakan ingin meminta kepastian dari kekasihnya.
"Aku mengerti, Mei Lie. Tapi, mengapa kau
bertanya seperti itu? Aku pun tak ingin kita berpisah.
Namun semua tetap tergantung Hyang Widi, kita tak
mungkin bisa menentangnya," ujar Sena sambil membelai rambut kekasihnya.
Dia berusaha menenangkan hati Mei Lie.
"Maafkan aku, Kakang" "Tak mengapa.
Ayolah, perjalanan masih panjang Kita tak bisa berlama-lama di tempat seperti
ini," ajak Sena, merasa kalau di tempat sepi dan senyap seperti itu bahaya
akan senantiasa datang tiba-tiba. Apalagi di kanan kiri jalan yang mereka
lewati, tertutup pepohonan dan semak belukar.
Pendekar Gila dan Mei Lie terus melangkah ke barat,
untuk meneruskan perjalanan. Namun, baru beberapa langkah mereka meneruskan
perjalanan, mendadak dari balik semak-semak bermunculan beberapa sosok tubuh
berpakaian hitam dengan muka tertutup. Di tangan mereka, tergenggam senjata.
"Berhenti..." teriak seorang lelaki
bertubuh tinggi besar dengan senjata berupa gada berduri. Nampaknya lelaki ini,
merupakan pimpinan dari empat orang lelaki lainnya. Mata lelaki tinggi besar
Ini, memandang tajam wajah Pendekar Gila dan Mei Lie yang saling pandang,
setelah keduanya berhenti.
"Aha, mimpi apa kita semalam, Mei? Tidak ada
hujan dan angin, tahu-tahu mendapat durian jatuh," tukas Sena sambil
tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Kulihat, ada
niat tak baik pada mereka, Mei Lie." "Benar, Kakang. Buktinya mereka
menutupi muka," sahut Mei Lie sambil turut tertawa gelak. Matanya yang
seperti burung elang, memandangi satupersatu kelima lelaki berwajah tertutup
kain hitam.
Sehingga hanya sepasang mata mereka yang nampak,
beringas menunjukkan kalau kelima orang itu bukan orang baik-baik.
"Kurang ajar Lancang sekali mulut kalian"
bentak lelaki tinggi besar bersenjata gada berduri. Matanya semakin tajam,
menatap Pendekar Gila dan Mei Lie. Seakan-akan lelaki ini hendak menelan
keduanya bulat-bulat "Jawab pertanyaanku, benarkah kalian yang bergelar
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...?" "Hm, untuk apa kami
menjawab pertanyaanmu," dengus Mei Lie sengit. "Apakah pantas orang
bertanya menyembunyikan wajahnya di balik topeng? Bukalah topeng kalian Baru
kami akan menjawab pertanyaanmu" "Sundel Berani benar kau berkoar di
daerah kekuasaan kami, heh? Apakah kalian tak kenal, kalau Lima Gagak dari
Lembah Bangkai tak akan pernah mengampuni orang yang telah berani
lancang?" sentak lelaki bersenjata gada berduri dengan suara keras.
Nampaknya lelaki ini sangat marah mendengar ucapan
Mei Lie yang seperti meremehkannya.
"Ah ah ah, rupanya kita bertemu dengan
binatang pemakan bangkai, Mei Lie? Hi hi hi..., lucu sekali Baru kali ini, aku
melihat binatang pemakan bangkai menyembunyikan wajahnya," Pendekar Gila
mengejek sambil tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Meski mereka binatang pemangsa bangkai, aku
tak akan takut Mereka tidak sopan, tentunya mereka bermaksud
tidak baik, Kakang," sahut Mei Lie dengan
senyum sinis. Matanya masih memandangi Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang
tampak semakin marah, mendengar tantangan dari Mei Lie. Walau mereka menduga
gadis Cina ini tak lain si Bidadari Pencabut Nyawa, tapi tak merasa takut
sedikit pun.
Apalagi mereka memang datang untuk menguji. Sampai
di mana ilmu Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa yang tersohor itu.
"Kurang ajar Rupanya kalian mencari penyakit,
berani menantang Lima Gagak dari Lembah Bangkai" dengus pimpinan lelaki
bertopeng itu. Gada berduri di tangan kanannya diangkat.
Pendekar Gila dan Mei Lie menyangka kalau lelaki
tinggi besar itu hendak menyerang. Itu sebabnya keduanya segera menyurut mundur
dua tindak, siap untuk menghadapi serangan Lima Gagak Dari Lembah Bangkai.
Namun dugaan mereka melesat, ternyata....
"Serang..." Tiba-tiba pimpinan Lima Gagak
dari Lembah Bangkai berteriak memerintah. Saat itu pula, dari balik semak-semak
muncul puluhan anak panah melesat cepat memburu Pendekar Gila dan Mei Lie.
Swing Swing...
"Awas, Mei..." seru Sena mengingatkan
sambil melompat bersalto, menghindari puluhan anak panah yang meluncur ke
arahnya. Kemudian dengan tertawa terbahak-bahak sambil tangan kiri
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila telah berdiri tegap. Tangan kanannya
berhasil menangkap lima batang anak panah yang memburunya.
Tep Tep Tep "Hi hi hi... Kiranya mainan
anak-anak. Biarlah kukembalikan pada kalian Hih..." Pendekar Gila
melemparkan kelima anak panah yang berhasil ditangkapnya sambil bersalto.
Seketika itu pula, kelima anak panah itu melesat cepat ke semak-semak belukar.
Swing Swing "Awas..." membelalak mata
pimpinan Lima Gagak dari Lembah Bangkai, karena tak menyangka luncuran anak
panah itu melebihi kecepatan semula. Sehingga, dari lesatan kelima anak panah
itu terdengar desingan keras diikuti deru angin.
Swer Jlep "Akh. ." Terdengar jeritan
kematian dari balik semaksemak. Rupanya ada seseorang yang terlambat mengelak.
Sehingga anak panah yang dilemparkan Pendekar Gila, menghunjam di dadanya.
Sesaat orang bertopeng hitam meregang berdiri, dengan anak panah menancap di
dada. Bahkan anak panah itu tembus sampai punggung. Tubuh lelaki itu ambruk dan
menggelepargelepar menahan rasa sakit. Sesaat kemudian tak nampak gerakannya,
karena nyawanya telah melayang. Sementara itu, Mei Lie yang nampak tak sabaran
itu dengan cepat mencabut Pedang Bidadarinya.
Pedang yang mengeluarkan sinar kuning
kemerahmerahan itu, dengan cepat ditebaskan ke depan memapak anak panah yang
meluncur ke tubuhnya.
"Heaaa..." Wrt Trak Sekali kibas, belasan
anak panah tersambar Pedang Bidadari. Seketika belasan anak panah itu
berpentalan dan jatuh ke tanah. Hampir semuanya patah jadi dua. Tak sebatang
anak panah pun dapat menembus pertahanan Mei Lie yang menggunakan jurus 'Sapuan
Tameng Bidadari'. Bahkan semua mata terbelalak, menyaksikan kehebatan sapuan
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. Baru kali ini, mereka melihat jurus pedang
yang sangat hebat.
"Ayo keluarkan semua senjata kalian"
tantang Mei Lie, penuh kemarahan. Dirinya benar-benar tak suka dengan cara
pengecut seperti yang dilakukan lawan-lawannya kali ini. Kalau dulu Segoro Wedi
dan anak buahnya bisa berbuat sekehendak hati terhadapnya, Mei Lie kini
bukanlah Mei Lie yang dulu. Gadis Cina itu kini telah memiliki kepandaian yang
tinggi.
Bahkan dirinya sebagai pewaris jurus-jurus Pedang
Bidadari yang dahsyat dan belum tertandingi hingga saat ini.
"Ah ah ah, rupanya kau benar-benar senang
dengan permainan ini, Mei," ujar Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya dengan terpicing menatapi Lima Gagak dari Lembah Bangkai yang
masih terkesiap setelah menyaksikan gebrakan Mei Lie.
"Cuih Meski nama kalian setinggi langit, tapi
Lima Gagak dari Lembah Bangkai, takkan mengalah" dengus pimpinan Lima Gagak
dari Lembah Bangkai sengit. "Gagak Kuru, dan kau Gagak Pilangan, hadapi
pemuda gila itu dibantu oleh sebagian prajurit Sementara Gagak Kabungan dan
Gagak Pancalan, hadapi gadis Cina itu. Tangkap dia hidup-hidup"
"Baik" sahut keempatnya. "Serang mereka" perintah Gagak
Kuru pada dua puluh anak buahnya yang seketika berhamburan keluar dari
semak-semak.
Mereka langsung menyerang Pendekar Gila dengan
senjata panah. "Hea..." Wrrt Sing Swing Puluhan anak panah kembali
berdesingan, memburu tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, pemuda berpakaian
rompi dari kulit ular itu bergerak.
Tubuhnya melenting ke atas dengan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam' Tubuhnya bagaikan terbang, berjumpalitan melakukan
salto. Kemudian dengan paduan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila
menyapu puluhan anak panah yang menderu ke tubuhnya.
"Yeaaa..." Wrrr Serangkum angin kencang,
menderu ketika tangan Pendekar Gila bergerak cepat seperti melempar batu.
Tangan kanan dan kirinya, bergerak tak berhenti dan bergantian. Puluhan anak
panah yang melesat memburu tubuhnya, seketika berpentalan jatuh. Sebagian lagi
berbalik meluncur ke tempat pemiliknya.
"Awas panah....'" teriak Gagak Kuru
mengingatkan anak buahnya, yang seketika serabutan keluar berusaha
menyelamatkan diri dari hujan anak panah yang berbalik memburu mereka. Meskipun
para anak buah Gagak dari Lembah Bangkai telah berusaha menyelamatkan diri,
tetap saja ada beberapa orang yang harus menerima senjata mereka sendiri.
Jlep Jlep "Wuaaa...."
"Aduhhh..." Tiga orang terpekik keras, ketika dada dan wajah mereka
tertancap anak panah. Darah mengucur deras, keluar dari tancapan anak panah
beracun. Tubuh mereka seketika jatuh bergelimpangan ke tanah.
Sesaat kemudian ketiganya telah tewas dengan tubuh
kaku. Sementara itu, Mei Lie menghadapi Gagak Kabungan dan Gagak Pancalan yang
dibantu sepuluh anak buah, nampak tak segan-segan melakukan serangan. Pedang
Bidadari di tangannya, digerakkan dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal
Gunung'.
Pedang bergerak datar dengan kecepatan luar biasa.
Sehingga membuat lawan yang hendak menyerang,
tersentak kaget. Mereka berusaha mundur, namun tak urung pedang Mei Lie harus
memakan korban.
"Heaaat..." Wrt Cras Cras...
"Akh..." Dalam sekali gebrak empat lawan
menjerit kesakitan. Dengan tubuh terhuyung-huyung mereka mendekap perutnya yang
tersambar Pedang Bidadari.
Seketika darah bercucuran dari perut, membasahi
kaki dan tanah di tempat pertarungan.
Mata mereka membeliak, kemudian dari mulut keluar
darah merah kehitaman. Hal itu tampak dari topeng mereka yang merembeskan
darah. Keempat orang itu pun ambruk dan tewas hampir bersamaan.
***
Dalam satu
gebrakan saja delapan orang telah menjadi korban. Namun nampaknya Lima Gagak
dari Lembah Bangkai tak gentar sama sekali. Bahkan kini kelimanya turut maju,
membantu anak buah yang tinggal dua puluh tiga orang menyerang Pendekar Gila
dan Mei Lie.
"Rupanya kau bukan gadis sembarangan.
Hadapilah aku Heaaa..." Gagak Pandera, yang merupakan pimpinan dari Lima
Gagak dari Lembah Bangkai menghantamkan gada berdurinya ke tubuh Mei Lie.
Desiran angin yang keluar dari ayunan gada itu, sangat keras. Nampaknya gada
berduri itu, diayunkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Wrrrt "Haits Hea..." Dengan cepat gadis
bergaun hijau itu meliukkan tubuh ke samping kiri. Sehingga gada lawan tak
mampu mencapai sasaran. Dan ketika gada lawan hampir saja menyambar kakinya,
dengan cepat Mei Lie menarik kaki kanannya. Lalu dengan cepat pedangnya
dibabatkan ke tubuh lawan yang lain sambil kakinya menendang ke perut lawan
yang saat itu dalam keadaan doyong ke depan, melakukan serangan.
"Heaaa..." Wrt Cras Cras...
Tak ampun lagi Pedang Bidadari menyambar mangsa.
Begk "Akh..." "Aduh..." Dua
orang menjerit dengan leher terbabat pedang. Leher mereka hampir putus,
mengeluarkan darah yang menyembur deras. Sedangkan Gagak Pandera yang terkena
tendangan, terpekik lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
perutnya. Mata Gagak Pandera membeliak. Mulutnya meringis. Perutnya yang
terkena tendangan dirasakan mual dan nyeri sekali.
"Setan Betina" Caci maki keluar dari
mulut Gagak Pandera sambil menahan marah dan sakit. "Kurang ajar Kau
memang pantas untuk dibunuh, Iblis Betina" "Hua ha ha... Kaulah yang
iblis" sahut Mei Lie sambil tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat
Pendekar Gila yang sedang bertarung dengan lawanlawannya turut tertawa
terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Baru kali ini, dirinya
melihat Mei Lie tertawa lepas. Padahal, biasanya Mei Lie hanya tersenyum.
Nampaknya gadis itu benar-benar senang dapat menunjukkan kehebatannya di
hadapan sang Kekasih.
"Aha, hari ini kau nampak senang sekali, Mei
Lie," gumam Pendekar Gila sambil bergerak dengan jurus ‘Si Gila Menari
Menepuk Lalat’, mengelakkan serangan-serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana orang yang sedang menari. Sesekali tangannya bergerak menepuk ke dada
lawan yang ada di depan dan samping kanan kirinya. Meski gerakannya kelihatan lamban
dan lemah, ternyata mampu membuat lawanlawannya tersentak kaget.
"Pecah kepalamu, Bocah Edan" dengus Gagak
Kuru sambil menghantam gada berdurinya menyerang Pendekar Gila.
Wss "Uts He he he..." Sambil tertawa
terkekeh-kekeh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh ke samping. Kemudian
dengan gerakan aneh dan sulit diduga, Sena menghantamkan telapak tangan menepuk
ke dada lawan yang ada di sampingnya. Gerakannya nampak lambat, namun dalam
sekali gerak, mampu menepuk empat dada lawan.
Plak Plak Plak...
"Wuaaa..." "Aaa..." Keempat
orang yang terhantam telapak tangan Pendekar Gila menjerit keras. Tubuh mereka
terpental ke belakang bagaikan dilempar oleh kekuatan yang dahsyat. Keempat
tubuh terus melayang dan baru berhenti ketika menerjang pohon jati.
Brak "Engkh..." Keempat lelaki bertopeng
itu jatuh ke tanah dan langsung tak bergerak lagi.
Menyaksikan anak buahnya banyak yang mati, Gagak
Pandera dari Lembah Bangkai mulai merasa takut. Mereka nampaknya menyadari,
kalau kedua pendekar itu memang bukan tandingan.
"Mundur..." teriak Gagak Pandera
memerintah pada anak buahnya yang tersisa. Dengan cepat para anak buah lari
meninggalkan tempat pertarungan. Mereka semua menyadari kehebatan kedua
pendekar muda itu. Maka karena ketakutan, semua lari tunggang langgang dari
tempat itu.
Semula Mei Lei hendak mengejar mereka, namun dengan
cepat Pendekar Gila melarangnya.
"Aha, mengapa mesti capai-capai mengejar
mereka, Mei? Bukankah masih ada tugas yang lebih penting? Tentunya pangeran
tengah menunggu-nunggu kedatangan kita," ujar Sena mengingatkan
kekasihnya.
Mei Lie pun mengurungkan niat untuk mengejar.
Dimasukkan Pedang Bidadari ke warangkanya.
Kemudian kakinya melangkah di samping Pendekar
Gila, untuk meneruskan perjalanan mereka guna melaporkan tugas pada Pangeran
Prapanca.
***
3
Mentari sore yang redup membiaskan cahaya kuning
penuh kedamaian. Sinarnya menyelusup di sela-sela daun bambu, menerangi suasana
di dalam Hutan Bambu. Angin sore yang bertiup lembut membawa hawa sejuk
menambah keindahan sore itu. Burungburung berkicau riang, berterbangan pulang
ke sarangnya.
Saat itu, Pendekar Gila dan Mei Lie telah sampai di
pinggir Hutan Bambu, tempat Pangeran Prapanca dan teman-temannya berada. Agak
ke dalam dari Hutan Bambu, empat prajurit yang kini berpihak pada Pangeran
Prapanca tampak berjaga lengkap dengan senjata mereka.
"Siapa?" seru salah seorang prajurit
ketika Pendekar Gila dan Mei Lie melangkah memasuki Hutan Bambu.
"Kami" sahut Mei Lie.
"Pangeran sudah menunggu kedatangan
kalian" kembali terdengar suara dari dalam.
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, melangkah tenang bersama kekasihnya memasuki Hutan
Bambu. Mata mereka memandang lurus ke depan. Kaki mereka melangkah dengan
ringan. Kalau orang yang belum berilmu tinggi, sulit untuk mendengar
langkah-langkah kaki Pendekar Gila dan Mei Lie. Hal itu dilakukan, sengaja
untuk menguji sampai seberapa tinggi kewaspadaan para prajurit jaga.
Tampaknya para prajurit jaga benar-benar
mengerahkan kewaspadaan mereka. Hal itu dapat diketahui dari pendengaran dan
naluri serta perasaan mereka yang mampu menangkap gerakan Pendekar Gila dan Mei
Lie.
"Hua ha ha... Bagus... Rupanya kalian
benarbenar menjaga kewaspadaan," seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Suaranya menggema di sekitar Hutan Bambu, menjadi orang-orang yang berada di
dalam gubuk segera tahu kalau Pendekar Gila telah datang. Pangeran Prapanca,
Pranala, Ki Naga Wilis, Gagak Selo, Tirta Kayon, Resi Wisangkara dan Panglima
Rawa Sekti yang berada di dalam gubuk segera keluar.
Mereka ingin menyambut kedatangan Pendekar Gila dan
Mei Lie yang menjadi duta. Mulanya mereka mengkhawatirkan keselamatan kedua
pendekar itu.
Mereka takut kalau Pendekar Gila dan Mei Lie
ditangkap pihak istana. Itu sebabnya setelah mendengar suara tawa Pendekar
Gila, serta merta mereka keluar untuk menyambut kedatangannya.
"Selamat datang kembali" mereka menyambut
dengan tersenyum senang, menyaksikan Pendekar Gila dan Mei Lie datang tanpa
kurang satu apa pun.
"Aha, terima kasih Atas doa restu kalian, kami
bisa kembali tanpa kurang satu apa pun. Hi hi hi..." jawab Sena sambil
tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sambil matanya memandang
wajah Mei Lie.
"Ya, kami rasa atas doa kalian sehingga kami
bisa kembali dengan tak kurang satu apa pun," sambung Mei Lie dengan bibir
mengurai senyum. Dibalasnya tatapan mata Pendekar Gila.
"Hm..., dari penuturan kalian, nampaknya
kalian mengalami halangan," ujar Pangeran Prapanca ingin tahu, apa yang
sebenarnya terjadi.
"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang
telah terjadi?" tanya Pranala menambahkan.
"Hi hi hi... Kalian seperti ahli nujum.
Bagaima-na mungkin kalian bisa menduga begitu? Padahal kami belum menceritakan
apa pun pada kalian," jawab Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
Semua yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila
tersenyum-senyum. Kalau saja mereka tak ingat sedang berhadapan dengan pendekar
sakti yang saat ini belum ada tandingannya, mungkin akan tertawa geli melihat
tingkah laku Sena. Beruntung mereka menyadari, kalau yang ada di hadapannya tak
lain Pendekar Gila. Seorang pendekar muda yang akhirakhir ini tengah ramai
dibicarakan di kalangan rimba persilatan.
"Ah, bisa saja kau, Sena," sahut Pangeran
Prapanca malu, disindir begitu oleh Pendekar Gila, "Apa-lah artinya kami,
dibandingkan dengan kalian yang mempunyai nama besar." "Hi hi hi...
Lucu sekali, Mei. Ada seorang pangeran sangat merendah. Ah, sudahlah, mari kita
masuk Kita ngobrol di dalam saja," ajak Sena sambil melangkah seiring
dengan Mei Lie.
Pangeran Prapanca, Pranala dan rekanrekannya segera
mengikuti kedua pendekar itu masuk ke gubuk. Mereka segera duduk di atas tikar
pandan yang digelar lebar di ruangan itu. Wajah mereka berse-ri, meski belum
tahu apa sebenarnya yang terjadi. Hal itu karena tingkah laku Pendekar Gila
yang konyol dan lucu, mengundang mereka untuk tersenyum.
"Bagaimana tugas kalian?" tanya Pangeran
Prapanca membuka percakapan, setelah semua duduk.
"Aha, kurasa beres, Pangeran. Baginda telah
menerima surat yang Pangeran kirim," jawab Sena dengan tingkah laku yang
masih konyol, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Pangeran," sambung Mei Lie.
"Kami telah bertemu langsung dengan Baginda Raja Awangga.
Dan kami telah menyerahkan surat yang Pangeran
tulis." "Lalu, bagaimana tanggapan baginda?" Pangeran Prapanca
ingin tahu, bagaimana tanggapan Baginda Raja Awangga yang sebenarnya masih ada
hubungan saudara dengannya. Karena Awangga merupakan adik dari Prabu
Jayawangga, ayahanda Pangeran Prapanca yang sampai kini belum diketahui
nasibnya. Meski gurunya mengatakan ayahanda dan ibundanya meninggal ketika
terjadi pemberontakan, namun Pangeran Prapanca tak percaya begitu saja akan
berita itu. Pangeran Prapanca merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam
istana. Namun sampai sejauh ini dirinya belum bisa membuktikan ketidakberesan
tersebut, lantaran belum mendapatkan bukti-bukti yang kuat.
"Baginda menerima," jawab Mei Lie.
"Namun baginda meminta syarat" "Hm... Apa syaratnya?" tanya
Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Pangeran diminta datang ke istana,"
jawab Mei Lie, yang menyebabkan semua yang ada di tempat itu terdiam. Mereka
seketika saling pandang, kemudian memandang dengan perasaan cemas pada Pangeran
Prapanca.
"Kanjeng Pangeran, kalau hamba diperkenankan
mengeluarkan pendapat," Resi Wisangkara seketika angkat bicara.
"Katakanlah, Paman Resi" "Sebaiknya,
Pangeran jangan menuruti katakata Baginda Awangga" "Kenapa
begitu?" tanya Pangeran Prapanca ingin penjelasan, karena dia memang belum
tahu apa yang menyebabkan Resi Wisangkara melarang dirinya ke istana.
"Bukankah baginda nampaknya menyadari kekeliruannya selama ini?"
"Hamba rasa, ini hanya suatu siasat, Pangeran," tukas Resi Wisangkara
berusaha mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Maksud Paman Resi?" "Aha, kurasa
Resi Wisangkara benar, Pangeran." Pendekar Gila menyela sebelum Resi
Wisangkara yang masih kebingungan sempat menjawab. Hal itu menjadikan Resi
Wisangkara menghela napas, merasa lega ada orang yang membantunya menyampaikan
maksud perkataannya.
"Tolong kau jelaskan padaku, Sena" pinta
Pangeran Prapanca dengan penuh persahabatan. "Kurasa, kaulah yang bisa
menerangkan letak dari semua kea-nehan undangan Paman Awangga kepadaku."
Pendekar Gila masih cengengesan dan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sesaat dihelanya napas. Kemudian melirik Mei Lie yang duduk di sampingnya.
Setelah memandang ke atas, menatap sirap daun bambu sebagai penutup gubuk itu,
Sena mulai menceritakan apa yang telah terjadi.
Diceritakan, kalau secara diam-diam dia melihat
Baginda Raja Awangga berbisik-bisik dengan Perdana Menteri Giri Gantra. Setelah
itu, baginda nampak tersenyum sinis. Sambil membelai-belai jenggotnya yang
panjang, baginda meminta agar Sena dan Mei Lie menyampaikan maksudnya,
mengundang Pangeran Prapanca untuk datang ke istana Kerajaan Surya Langit Hal
kedua, ketika mereka pulang ke Hutan Bambu, di perjalanan mereka dicegat segerombolan
lelaki berkedok kain hitam yang dipimpin Gagak dari Lembah Bangkai. Nampaknya
ada hubungan kejadian yang tak dapat dipisahkan, antara bisik-bisik Perdana
Menteri Giri Gantra dengan pengeroyokan itu.
"Begitulah ceritanya, Pangeran. Tetapi... Ah,
kurasa semua keputusan ada di tanganmu, Pangeran," ujar Sena mengakhiri
ceritanya.
"Benar, Pangeran. Ketika kami pulang, kami
dihadang hampir tiga puluh orang. Entah dari mana mereka itu. Yang pasti,
mereka nampaknya menghendaki nyawa kami," sambung Mei Lie, yang membuat
semua mengangguk-anggukkan kepala.
"Aha, aku lupa. Apakah di antara kalian ada
yang mengenali julukan Lima Gagak dari Lembah Bangkai?" tanya Sena dengan
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Semua yang ada di tempat itu mengerutkan kening.
Nampaknya mereka berusaha mengingat-ingat julukan Lima Gagak dari Lembah
Bangkai. Namun nampaknya tak ada yang mengenal julukan itu. Bahkan kini
pandangan mereka tertuju pada Gagak Selo, yang memiliki nama hampir sama dengan
julukan gerombolan itu.
"Bagaimana dengan Paman Gagak Selo? Apakah
Paman mengenal mereka...?" tanya Pangeran Prapanca sambil memandangi Gagak
Selo.
"Apakah ada yang menyebut nama di antara
mereka?" tanya Gagak Selo dengan mata memandang Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Aha, aku ingat. Orang yang tinggi besar yang
merupakan pimpinan mereka, menyebut temannya Gagak Kuru. Dan orang itu sendiri,
menyebut namanya Gagak Pandera," sahut Pendekar Gila, "Aha,
bagaimana, Ki Gagak Selo? Apakah kau kenal dengan mereka?" "Hm,
kurang ajar sekali mereka Berani mereka memakai nama gagak. Nama yang merupakan
pemberian guru kami," gumam Gagak Selo sengit "Kalau aku bertemu
dengan mereka, ingin rasanya menyobek mulut mereka yang telah berani lancang
menyebut nama gagak." Gagak Selo benar-benar geram, karena secara tidak
langsung nama pemberian guru mereka telah dicemarkan orang-orang yang tak
bertanggung jawab.
"Jadi, Paman Gagak Selo tak mengenal
mereka?" tanya Pangeran Prapanca meminta kepastian.
"Memang aku pun berasal dari Lembah Bangkai.
Namun aku sama sekali tak kenal dengan orang yang mengaku bernama Gagak Pandera
dan Gagak Kuru," jawab Gagak Selo, menegaskan. "Kalau Pangeran
mengizinkan, hamba akan mencari mereka. Akan kuantarkan kepala mereka ke
hadapan Pangeran. " "Tidak usah, Paman Belum saatnya kita melakukan
tindakan. Yang perlu kita pikirkan saat ini, bagaimana sebaiknya menanggapi
undangan baginda raja," ujar Pangeran Prapanca berusaha menyabarkan Gagak
Selo yang begitu marah karena merasa namanya dicemarkan oleh orang-orang yang
mengaku dari Perguruan Gagak Sakti.
"Hamba akan menuruti perintah Kanjeng
Pangeran. " "Terima kasih, Paman," jawab Pangeran Prapanca
sambil tersenyum puas, menyaksikan Gagak Selo kini nampak tenang. "Kembali
pada masalah semu-la. Bagaimana? Apakah ada yang bisa memberiku saran?"
"Ampunilah hamba, Kanjeng Pangeran" Panglima Rawa Sekti yang sejak
tadi diam, seketika angkat bicara. Hal itu menjadikan pandangan Pangeran
Prapanca kini tertuju ke wajah Panglima Rawa Sekti.
"Katakanlah, Paman Panglima" Lelaki
setengah baya bertelanjang dada itu menundukkan kepala. Kemudian perlahan
kepalanya didongakkan memandang ke atas, sambil menghela napas perlahan,
seakanakan ingin membuang kegelisahan hatinya.
"Ampun, Kanjeng Pangeran Hamba mohon
beribu-ribu ampun, karena selama ini hamba tidak menuturkan apa yang sebenarnya
telah terjadi," ujar Panglima Rawa Sekti dengan suara bergetar dan agak
parau. "Tentang apa, Paman?" "Tentang Gusti Prabu,
Pangeran." "Hm, kenapa dengan ayahanda?" "Sesungguhnya,
Prabu Jayawangga masih hidup. Beliau kini ditahan di dalam penjara bawah tanah
oleh Baginda Awangga atas perintah Panglima Utama Giri Gantra," tutur
Panglima Rawa Sekti.
Mendengar cerita itu Pangeran Prapanca dan semua
yang ada di dalam gubuk membelalakkan mata terkejut. Mereka tak menyangka,
kalau Prabu Jayawangga masih hidup.
"Paman Panglima, ceritakanlah apa sebenarnya
yang telah terjadi di istana" pinta Pangeran Prapanca karena merasa
penasaran.
***
Panglima
Rawa Sekti sesaat terdiam. Ditolehkan wajah ke Resi Wisangkara, yang sebenarnya
juga tahu. Dan sepertinya Panglima Rawa Sekti ingin meminta pendapat dari Resi
Wisangkara. Setelah melihat Resi Wisangkara mengaggukkan kepala, Panglima Rawa
Sekti mulai menceritakan semua yang terjadi di istana. Malam itu, Awangga yang
masih menjabat sebagai perdana menteri mengumpulkan para pembesar istana. Hadir
di situ, Giri Gantra yang waktu itu masih Panglima Utama, Resi Wisangkara,
Panglima Rawa Sekti dan para pembesar lain. Nampaknya Perdana Menteri Awangga
mengundang mereka, karena ada masalah penting.
"Apakah kalian tahu mengapa kuundang ke ruang
pertama ini?" tanya Perdana Menteri Awangga membuka ucapan, membelah
kesunyian malam yang dingin. Semua yang datang tidak menjawab. Mereka diam,
karena memang belum mengerti maksud Perdana Menteri Awangga mengundang malam
itu.
"Dengar oleh kalian baik-baik Raja kini tak
bisa berbuat apa-apa. Baginda Raja tak lebihnya bangkai yang tiada guna. Dia
sama sekali tak memperhatikan kita. Untuk apa menjadi pejabat tinggi kerajaan,
kalau kita dalam keadaan yang pas-pasan. Raja hanya mementingkan rakyat
sedangkan kita, tak pernah dipikirkan," tutur perdana Menteri Awangga
berapi-api. Matanya yang tajam, memandangi satu-persatu wajah orang yang datang
pada pertemuan itu. Mereka semua terdiam sambil menundukkan kepala. Hanya
Panglima Utama Giri Gantra yang masih tenang, bahkan tersenyum-senyum.
Semua tak ada yang bicara, karena tak tahu apa yang
sebenarnya terencana dalam pikiran Perdana Menteri Awangga dan Panglima Utama
Giri Gantra.
"Untuk itulah, kuundang semuanya datang ke
sini. Kita harus mengganti raja, kalau kita ingin hidup makmur dan serba
kecukupan. Kita tak ingin hidup seperti ini selamanya, bukan?" tanya
Perdana Menteri Awangga.
"Benar" sahut Panglima Utama Giri Gantra,
"Kita tak ubahnya gembel dan pengemis. Untuk apa hidup seperti ini? Bahkan
kerajaan seakan menutup semuanya bagi kita. Sehingga kita tak dapat bertindak.
Bahkan perdagangan dengan kerajaan luar pun
ditutup. Apakah kita akan diam terus? Membiarkan anak cucu kita
menderita?" "Lalu, apa yang hendak Perdana Menteri lakukan?"
tanya Resi Wisangkara mencoba memberanikan diri. "Kita harus menggulingkan
kekuasaan raja, dengan seolah-olah terjadi pemberontakan. Kemudian, dengan
pura-pura tak mengerti, kita hancurkan pemberontakan itu. Lalu kita sebar
pengumuman, kalau baginda raja telah terbunuh dalam pemberontakan.
Bukankah dengan begitu, kita akan bebas dari
tuntutan rakyat?" ujar Perdana Menteri Awangga menjelaskan gagasannya.
"Kita korbankan banyak prajurit dan rakyat,
Tuan Perdana Menteri" kata Panglima Rawa Sekti.
"Aku tak setuju" "Aku juga"
sambut Resi Wisangkara.
"Kalian boleh tak setuju. Tapi ingat, kalian
akan mendapatkan hukuman mati di tiang gantungan" ancam Panglima Utama
Giri Gantra, yang membuat Panglima Rawa Sekti dan Resi Wisangkara terdiam. Mata
mereka membelalak, mendengar ancaman itu. Mereka tahu, kedudukan mereka akan
benarbenar terpepet, kalau tak setuju dengan rencana perdana menteri dan
panglima utama.
"Bagaimana...?" tanya Perdana Menteri
Awang-ga dengan senyum sinis, Panglima Rawa Sekti dan Resi Wisangkara tak dapat
berkata apa-apa. Keduanya benar-benar tak setuju dengan rencana yang mereka
anggap gila dan sadis. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa dalam ancaman
perdana menteri dan panglima utama.
"Ingat oleh kalian. Jika kalian mau membantu
rencanaku, maka pangkat kalian akan kunaikkan. Di samping itu, kalian akan
menjadi orang kaya. Berlimpah harta dan wanita. Apakah itu tidak kalian
inginkan?" tanya Perdana Menteri Awangga merayu dengan janji-janjinya yang
tinggi. "Selama ini, kalian tak pernah merasakan kenikmatan duniawi.
Kalian hanya memiliki satu istri. Kalian tak bebas untuk mencari wanita sesuka
hati kalian, karena kalian dalam kekuasaan undang-undang raja, yang sebenarnya
raja sendiri tak pernah melaksanakan undang-undang tersebut" "Perdana
Menteri... Kau bisa bicara begitu, apakah kau bisa membuktikannya?" tanya
Resi Wisangkara dengan tegas. Sebenarnya sebagai resi, Resi Wisangkara merasa
undang-undang yang dibuat oleh Prabu Jayawangga benar. Karena dengan
undangundang tersebut, maka para pembesar istana tidak bertindak
sewenang-wenang. Mereka akan terikat oleh hukum yang tertulis. Dan menurut
pandangan mereka, baginda tak pernah salah. Kalau baginda memiliki selir, itu
sudah menjadi hal yang wajar. Karena setiap raja memang berhak memiliki selir.
Perdana Menteri Awangga tersenyum sinis.
"Kau meminta bukti, Resi?" tanyanya.
"Ya" "Baik aku akan menguraikan
bukti-bukti yang kau inginkan. Seharusnya kau ingat, aku adalah adiknya,"
kata Perdana Menteri Awangga sambil tersenyum sinis. "Tetapi baiklah, akan
kubeberkan semua keburukan kakakku. Dia adalah lelaki yang pengecut, sehingga
tak pernah berani mengambil resiko. Dia juga suka keluyuran di tempat-tempat
pelacuran. Suka mabuk dan berjudi. Raja macam itukah yang kalian anggap
baik?" "Hentikan" teriak Resi Wisangkara sambil berdiri. Matanya
yang tajam menatap wajah perdana menteri. "Tak sepantasnya kau berkata
begitu, Perdana Menteri Baginda adalah yang mulia" "Duduk, Resi Atau
prajurit-prajurit itu akan menyeretmu" ancam Panglima Utama, yang
menjadikan Panglima Rawa Sekati seketika bangkit dari duduknya.
"Panglima, kau tak bisa berlaku kasar pada
Resi. Kalau sampai hal itu terjadi, maka terkutuklah kau" dengus Panglima
Madya Rawa Sekti, memprotes ucapan panglima utamanya yang dianggap telah
menghina orang-orang istana yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
"Duduk, Rawa Sekti Kau ada di bawahku Aku
berhak memecatmu Jangan berlaku kurang ajar terhadapku" bentak Panglima
Utama Giri Gantra sambil melotot. Telunjuknya menunjuk wajah Rawa Sekti yang
masih duduk di kursi.
"Kau memang pimpinanku. Namun begitu, aku tak
setuju dengan ucapanmu yang menghina orangorang istana" balas Panglima Madya
Rawa Sekti tak mau kalah.
"Hm, hebat Baru kali ini aku mendengar ada
orang yang masih menghormati para pejabat istana.
Baik, aku minta maaf Kini kuminta dengan hormat,
kalian duduk" perintah Panglima Utama Giri Gantra tegas. Panglima Madya
Rawa Sekti dan Resi Wisangkara pun akhirnya menurut duduk, walau dengan
pandangan sinis tak senang, mendengar ucapan dan tindakan panglima utama.
"Dengar oleh kalian semua Besok malam, sebelum
fajar menyingsing, kalian harus bisa melakukan sandiwara. Kami telah
mempersiapkan orang-orang yang akan melakukan pemberontakan. Sedangkan
penumpasannya, akan dipimpin olehku langsung" kata Perdana Menteri
Awangga.
"Ingat Jangan sekali-kali berusaha membangkang
dan membuka rahasia, karena hal itu berarti nyawa kalian yang menjadi
taruhannya," sambung Panglima Utama Giri Gantra. "Jika ada yang
berani melakukan tindakan bodoh itu, kalian akan mendapatkan hukuman yang
menyakitkan. Kalianlah yang akan dituduh sebagai pemberontak" Semua tak
ada yang berani membuka mulut.
Sampai pertemuan selesai tak ada yang berkata
sepatah kata pun. Nampaknya ancaman Panglima Utama Giri Gantra dan Perdana
Menteri Awangga, benarbenar membuat para undangan tak berani bertindak atau
menolak, karena berarti akan menjerumuskan diri mereka sendiri.
Keesokan harinya, tepat seperti apa yang diatur
oleh Panglima Utama Giri Gantra, pemberontakan terjadi. Orang-orang yang sudah disiapkan,
melakukan aksi pemberontakan. Sekilas, tak nampak kalau semuanya sudah diatur.
Mereka bekerja dengan rapi, menculiki para pembesar istana yang masih mengabdi
pada baginda raja. Mereka membunuh para pembesar istana. Bahkan patih dan
hulubalang kerajaan diculik dan dibunuh.
Ketika pemberontakan berlangsung, orangorang yang
juga sudah diatur oleh panglima utama dan perdana menteri segera bergerak.
Nyawa manusia bagaikan tak berarti. Mereka saling bantai, hanya untuk
memerankan sebuah sandiwara yang sudah dibuat oleh Giri Gantra dan Awangga. Dan
akhirnya para pemberontak yang hendak menggulingkan kekuasaan raja dapat
ditumpas.
Prabu Jawangga dan permaisuri yang sudah mengungsi,
dipaksa kembali ke istana. Lalu baginda diteror dengan pertanyaan-pertanyaan
dan tuduhantuduhan yang menyudutkan kedudukannya. Sampai akhirnya baginda jatuh
sakit, lalu bersama sang Permaisuri dimasukkan ke sebuah kamar, yang sebenarnya
penjara di bawah tanah. Begitu pula dengan para pengikut baginda yang masih
setia, dijebloskan ke penjara bawah tanah.
"Kami benar-benar menyesali diri sendiri,
karena tak berdaya. Kami tak dapat berbuat apa-apa," ujar Panglima Rawa
Sekti dengan air mata berlinang. "Namun begitu, secara diam-diam, kami
selalu berusaha memberi makanan pada baginda. Setiap hari kami berharap, semoga
datang Dewa Penolong yang akan membebaskan Baginda Jawangga. Sampai akhirnya,
kami menemukan Kanjeng Pangeran." "Kalau sekiranya kami salah, kami
siap untuk menerima hukuman, Kanjeng Pangeran," sambung Resi Wisangkara dengan
kepala menunduk.
Pangeran Prapanca terdiam mendengar ucapan mereka.
Hatinya terenyuh sekali, jika mengingat nasib ayahanda dan ibundanya yang
mungkin menderita.
Dirinya sama sekali tak menyangka, kalau pamannya
sampai hati melakukan kekejian itu. Padahal ayahandanya, sangat sayang pada
sang Adik, Awangga. Namun balasan dari Awangga justru sebaliknya.
"Bedebah Aku tak menyangka kalau pamanku akan
berbuat keji begitu" dengus Pangeran Prapanca sambil menggenggam tangannya
kuat-kuat.
"Tapi, kami rasa otak dari semuanya tiada lain
Panglima Utama Giri Gantra, Kanjeng Pangeran," tukas Ki Rawa Sekti.
"Dari mana Paman tahu?"
"Sesungguhnya, Panglima Utama Giri Gantra yang mempunyai ambisi menjadi
raja. Dia akan terus mempengaruhi Baginda Awangga, sambil akhirnya baginda
dapat dikendalikan. Memang di mata rakyat Baginda Awangga yang menjadi raja.
Namun sesungguhnya, semua roda pemerintahan ada di tangan Giri Gantra yang
kemudian diangkat perdana menteri," tutur Rawa Sekti. "Hal itu bisa
kita ketahui, dari cara-cara melaksanakan roda pemerintahan. Semua menuruti apa
yang dikatakan Perdana Menteri Giri Gantra.
Hm..., tentu saja hamba banyak tahu keadaan istana,
Kanjeng Pangeran." Pangeran Prapanca mengangguk-anggukkan kepala. Tadi
mungkin dirinya lupa kalau Rawa Sekti merupakan seorang Panglima Utama di
Kerajaan Surya Langit "Hm, gumam Pangeran Prapanca. "Lalu apa yang
harus kita lakukan? Kalau aku tak memenuhi undangan baginda, bukankah akan
dikatakan pengecut?" tanya Pangeran Prapanca meminta pendapat dari teman-temannya.
"Jadi Kanjeng Pangeran tetap akan memenuhi
undangan Baginda Raja Awangga...?" tanya Resi Wisangkara dengan tatapan
mata cemas, karena sudah menduga kalau semua ini sebenarnya sudah diatur.
"Tentunya semuanya sudah diatur oleh Perdana
Menteri licik itu, Pangeran. Hamba tahu kelicikan Giri Gantra jauh sebelum
terjadi pemberontakan." "Aku pun mengerti, Paman Resi. Mereka boleh
saja melakukan kelicikan. Namun kita tak boleh mundur hanya karena kelicikan
mereka" kata Pangeran Prapanca. Nadanya sangat yakin kalau dirinya akan
dapat menghadapi kelicikan yang akan dilakukan Perdana Menteri Giri Gantra dan
Baginda Awangga.
"Tapi, Kanjeng Pangeran," Panglima Rawa
Sekti kembali angkat bicara.
Wajahnya masih menggambarkan kebimbangan dan rasa
cemas, takut kalau-kalau Pangeran Prapanca akan mengalami hal yang tidak
diinginkan.
"Tapi apa, Paman?" tanya Pangeran
Prapanca.
"Hamba mohon, Kanjeng Pangeran sudi
mempertimbangkannya lagi, agar tidak menyesal di kemudian hari. Karena mereka
benar-benar bukan manusia lagi," tutur Panglima Rawa Sekti mengingatkan.
"Bagaimana kalau kita datang ke sana
bareng?" "Apakah nanti tak akan mengundang kesalahpahaman?"
tanya Pangeran Prapanca, "Lebih baik, biar aku, Pranala, Sena dan Mei Lie
yang berangkat. Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap kami, aku mohon Paman dan
lainnya mengumpulkan bala bantuan. Semua kuserahkan pada Paman."
"Kalau memang itu keputusan Kanjeng Pangeran, hamba tak bisa
menentang," kata Rawa Sekti seraya membungkuk hormat "Besok, kami
akan berangkat. Jika dalam dua hari kami tak pulang, kuserahkan pada Paman
untuk menentukan tindakan," ujar Pangeran Prapanca memutuskan. Semua tak
ada yang membantah. Semua kini patuh dengan apa yang menjadi keputusan Pangeran
Prapanca.
***
4
Jago-jago dari dua kerajaan yang diundang oleh
Perdana Menteri Giri Gantra berdatangan ke Kerajaan Surya Langit. Nampaknya
Perdana Menteri Giri Gantra, hendak melaksanakan apa yang telah direncanakan,
yaitu menyingkirkan Pangeran Prapanca dan para pengikutnya.
Jago-jago persilatan yang berasal dari Kerajaan
Tirta Buana dan Banyu Bumi kebanyakan tokoh-tokoh golongan hitam. Di antara
mereka tampak Sepasang Toya Setan, si Mata Tunggal, Kala Prana, Jembel
Pilarang, Jenggot Naga, Kati Asem, dan Hiwa Krana. Delapan tokoh aliran hitam
ini memiliki ilmu dan kedigdayaan tinggi. Tak mengherankan kalau nama mereka
sudah sangat dikenal dan disegani di kerajaan masingmasing. Kedelapan tokoh
aliran hitam ini, bersama tokoh-tokoh hitam lainnya nampak tengah berkumpul di
alun-alun kerajaan. Mereka menunggu Perdana Menteri Giri Gantra yang akan
memberikan pen jelasan tentang apa yang akan mereka lakukan.
Dari dalam istana, muncul Baginda Raja Awangga dan
Perdana Menteri Giri Gantra, diiringi para punggawa dan prajurit kerajaan. Di
bibir Perdana Menteri Giri Gantra, tersungging sebuah senyuman.
Nampaknya sang Perdana Menteri merasa yakin, kalau
yang dia rencanakan akan berhasil.
"Dengan tokoh-tokoh hitam ini, tak akan
mungkin Pangeran Prapanca dan teman-temannya dapat lolos," ujar Perdana
Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
"Apa kau yakin?" "Hamba yakin,
Baginda." "Apa kau telah menguji mereka." "Belum,"
jawab Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir masih mengurai senyum.
"Tetapi, mereka merupakan tokoh-tokoh yang namanya cukup kon-dang. Selama
ini, mereka berpengaruh di kerajaan mereka masing-masing." "Hm,"
gumam Baginda Raja Awangga turut tersenyum. Tangan kanannya membelai-belai
jenggot yang panjang putih. Matanya memperhatikan dari kejauhan para tokoh
hitam persilatan yang sudah menunggu kedatangannya.
Baginda Raja Awangga dengan diiringi perdana
menteri, terus melangkah ke alun-alun. Kemudian Baginda Raja Awangga naik ke
panggung yang sudah disiapkan, diikuti Perdana Menteri Giri Gantra.
Semua tokoh aliran hitam yang ada di alunalun,
seketika melakukan sembah. Mereka sujud di hadapan Baginda Raja Awangga yang
telah berdiri di atas mimbar.
"Perdana Menteri, apa rencanamu
selanjutnya?" tanya Baginda Raja Awangga kepada Perdana Menteri Giri
Gantra yang berdiri di sampingnya.
"Mereka akan kita tugaskan pada tempattempat
yang telah ku atur. Sebagian dari mereka, akan kita adu dengan Pangeran Prapanca
dan temantemannya. Kalau mereka ternyata mengalami kekalahan, maka kita akan
menangkap Pangeran Prapanca dan teman-temannya," tutur Perdana Menteri
Giri Gantra menjelaskan rencananya. "Bukankah dengan begitu, kita akan
mudah menangkap mereka. Kita tak perlu menguras tenaga. Ha ha ha..." Sang
Raja turut tertawa mendengar penuturan perdana menterinya. Kepalanya
mengangguk-angguk, menandakan setuju dengan rencana yang akan dilakukan Perdana
Menteri Giri Gantra.
Baginda Raja Awangga nampak masih memandangi semua
tokoh persilatan di hadapannya. Mereka masih tetap berdiri tenang menunggu apa
yang hendak disampaikan oleh raja. Baginda Raja Awangga tersenyum senang
menyaksikan semuanya. Hatinya benarbenar merasa senang atas usaha perdana
menterinya.
Bagaimanapun dirinya tak menghendaki kedudukannya
sebagai pemimpin Kerajaan Surya Langit tergulingkan.
"Apakah kalian sudah mengerti apa yang akan
kalian lakukan?" tanya Baginda Raja Awangga.
"Belum, Baginda..." sahut beberapa tokoh.
Sedang lainnya hanya menggeleng-geleng kepala.
"Hm," gumam Baginda Raja Awangga. Matanya
masih memandang ke sekelilingnya. Sementara itu para tokoh persilatan undangan
itu menanti perintah yang harus mereka lakukan. "Baiklah..., dengar
baik-baik Kalian semua kuundang, semata-mata untuk menjalankan tugas yang
berat. Kalian harus bisa melakukannya." "Baginda... Kalau hamba boleh
tahu, tugas apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang tokoh
persilatan yang berdiri di depan.
Baginda Raja Awangga tak segera menjawab.
Sesaat penguasa Kerajaan Surya Langit itu terdiam
lalu menolehkan wajah pada Perdana Menteri Giri Gantra. Ketika perdana menteri
itu mengaggukkan kepala, Baginda Raja Awangga kembali berkata. "Kalian
kutu-gaskan untuk menangkap seseorang yang nanti akan datang ke istana
ini." "Siapa orangnya, Paduka?" tanya yang lain, karena belum
tahu yang dimaksud sang Raja.
"Pangeran Prapanca dan teman-temannya. Di
antara mereka, terdapat seorang pemuda bertingkah laku seperti orang gila yang
sering disebut sebagai Pendekar Gila. Juga seorang gadis Cina yang dikenal
dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Baginda Raja Awangga.
Semua mata membeliak, setelah tahu siapa yang harus
dihadapi. Nama Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, bukanlah nama yang
asing bagi mereka. Keduanya telah mereka dengar sejak lama.
Tokoh muda di rimba persilatan. Namun kemampuan
pemuda gila itu cukup membuat siapa saja harus berpikir seribu kali untuk
melawannya. Meskipun di antara para tokoh yang diundang Raja Awangga belum
pernah berhadapan secara langsung dengan tokoh yang telah menggemparkan rimba
persilatan itu.
"Bagaimana? Apakah kalian siap?" tanya
Baginda Raja Awangga.
Namun nampaknya tak satu pun di antara tokoh itu
yang berani menjawab. Semua diam. Kebisuan saat itu membuat Baginda Raja
Awangga mengerutkan kening dan kembali bertanya.
"Bagaimana? Apakah kalian sanggup menghadapi
mereka?" "Hei, mengapa kalian diam?" Kali ini Perdana Menteri
Giri Gantra yang bertanya dengan suara keras. Tokoh kedua dalam kerajaan itu
tampaknya tak sabar menyaksikan mereka yang hanya membisu. Rencananya harus
segera dilaksanakan.
"Kalau kalian tak sanggup, katakan terus
terang Biar urusannya cepat beres" "Sanggup, Tuan Perdana
Menteri..." sahut semua tokoh persilatan serentak. "Kami
sanggup..." "Bagus kalau begitu Sekarang kalian boleh bubar untuk
bersiap siaga di tempat yang telah kutentukan" perintah Perdana Menteri
Giri Gantra Pada para tokoh persilatan. Mereka pun langsung bubar untuk
bersiap-siap di tempat yang telah ditentukan Perdana Menteri Giri Gantra.
***
Mentari
semakin condong ke sebelah barat. Suasana di Kerajaan Surya Langit masih terasa
panas.
Sementara angin bertiup kencang, seakan-akan hendak
menyapu orang-orang yang kini mengelilingi tempat pertemuan. Yang sekaligus
sebagai arena pertarungan. Wajah-wajah mereka nampak tegang, menantikan
Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Baginda Raja Awangga dan Perdana Menteri
Giri Gantra pun tak luput dari perasaan cemas dan tegang.
"Apakah kau pasti, kalau mereka akan memenuhi
undanganku?" tanya Baginda Raja Awangga pada Perdana Menteri Giri Gantra.
Perdana menteri itu tak langsung menjawab.
Dihelanya napas panjang, lalu mencoba tersenyum
meskipun tampak kaku karena dipaksakan dan bercampur tegang.
"Sabar Baginda Raja Mereka pasti datang, hamba
merasakan itu..." "Hm... Semoga perasaanmu itu benar" gumam
Baginda Raja Awangga sambil memegangi dagunya.
Kemudian suasana kembali hening, tegang. Mata semua
orang yang ada di situ memandang ke pintu gerbang istana. Pintu ruangan
pertemuan pun terbuka lebar. Ruang pertemuan besar itu terletak di tengahtengah
istana kerajaan.
Kedelapan tokoh aliran hitam, Sepasang Toya Setan,
si Mata Tunggal, Jembel Pilarang, Kala Prana, Jenggot Naga dan Kati Asem, serta
Hiwa Krana pun nampak tegang dan cemas. Perasaan cemas dan tegang itu tentu tak
begitu saja dapat dihilangkan, kare-na mereka semua mendengar langsung dari
Baginda Raja Awangga, bahwa Pendekar Gila dan kekasihnya, Bidadari Pencabut
Nyawa turut datang dalam acara pertemuan penting itu. Ya, pertemuan yang akan
dihadiri pewaris utama atas Kerajaan Surya Langit, Pangeran Prapanca.
Sementara itu Pangeran Prapanca, Pranala, Pendekar
Gila, dan Mei Lie dalam perjalanan menuju Istana Kerajaan Surya Langit. Mereka
melalui hutan dan bukit cadas.
Pangeran Prapanca dan Pranala berjalan di depan,
sedangkan Pendekar Gila berada di belakang mereka. Semua meningkatkan
kewaspadaan. Hanya Pendekar Gila sendiri yang bersikap tenang, bahkan tampak
cengengesan, serta menggaruk-garuk kepala. Mei Lie menghela napas panjang dan
menggelengkan kepala, melihat kekasihnya itu.
Angin berhembus kencang menyapu wajah mereka. Namun
keempatnya terus melangkah dengan mantap, menuruni dan menaiki perbukitan.
"Hi hi hi..." Tiba-tiba Pendekar Gila
tertawa cekikikan sendiri. Hal itu membuat Pangeran Prapanca, Pranala, dan juga
Mei Lie merasa heran. Ketiganya mengerutkan kening.
"Ada apa Sena...?" tanya Pangeran
Prapanca, setelah menghentikan langkah. Keningnya berkerut memandangi Pendekar
Gila.
"Hi hi hi... Rupanya kita akan bermain-main
sebentar, Pangeran," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apa maksudmu?" tanya Pangeran Prapanca,
tak mengerti.
Belum sempat Pendekar Gila menjawab, tibatiba
muncul tiga orang bertopeng hitam. Pakaian mereka pun serba hitam dengan lengan
panjang dan ikat pinggang putih. Salah satu dari ketiga orang bertopeng itu
memakai ikat kepala belang-belang kuning hitam, dengan rambut yang panjang
sebatas bahu dibiarkan lepas. Sedangkan dua lainnya tanpa ikat kepala.
Rambutnya tertutup.
"Aha..., ternyata dugaanku tak salah,
Pangeran," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei
Lie segera maju dengan tangan siap mencabut pedang. Demikian pula Pranala,
Pangeran Prapanca. Hanya Pendekar Gila yang nampak tenang dan terus tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya seperti orang gila.
"Kisanak Apa maksudmu menghadang
kami...?" tegur Pangeran Prapanca pada ketiga orang bertopeng itu.
Orang yang berikat kepala kuning hitam tampak
berkacak pinggang dengan angkuh. Matanya yang tampak dari dua lubang, menatap
tajam.
"Kalau ingin selamat, sebaiknya urungkan niat
kalian meneruskan perjalanan..." ujar orang bertopeng, dan berambut
panjang sebahu itu dengan suara ramah. Pangeran Prapanca mengerutkan kening,
tak mengerti maksud ucapan lelaki bertopeng itu. Wajahnya menoleh ke Pendekar
Gila, seakan meminta Pendekar Gila agar menjawabnya.
Pendekar Gila hanya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Lalu tertawa-tawa sendiri.
"Hi hi hi.. Lucu Kenapa kalian bicara
seenaknya, menyuruh kami mengurungkan perjalanan ini? Aneh sekali"
"Ya Jangan seenaknya bicara Sebaiknya kalian menyingkir, sebelum aku
marah" sambung Pranala dengan nada marah sambil melangkah maju. Namun
Pangeran Prapanca menahan dengan tangan kirinya. "Sabar, Pranala"
cegah Pangeran Prapanca.
"Kisanak, kami tak ingin bertengkar dengan
kalian.
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan.
Karena waktu sudah mendesak..." "Hm...,
Pangeran rupanya tak mengerti. Juga Pendekar Gila, yang biasanya memiliki
naluri tajam.
Kenapa seakan-akan tak berguna? Bagaimanapun juga,
aku harus dapat mendesak mereka. Paling tidak menghambat perjalanan
mereka," gumam orang bertopeng yang berikat kepala seperti ular weling
itu. Nampaknya orang ini pimpinan dari kedua temannya. Tanpa menjawab lagi,
orang itu mengangkat tangan kanan memberi perintah kedua temannya agar
menyerang.
Maka terjadilah pertarungan. Tanpa mengetahui
masalahnya, Pangeran Prapanca dan kawankawannya terpaksa menghadapi ketiga
penghadang bertopeng hitam itu.
"Heaaa..." "Yeaaat.." Mereka
saling serang dan tangkis. Tampaknya pihak Pangeran Prapanca tak ingin hambatan
ini terlalu lama. Semua, termasuk Pendekar Gila segera mengeluarkan kepandaian
mereka.
Namun baru beberapa jurus, tiba-tiba....
"Pangeran... Sebaiknya biar saya yang
menghadapi mereka bersama Mei Lie..." seru Sena sambil memerintah Pangeran
Prapanca agar mundur. "Kau juga Pranala. Mundur..."
"Heaaa..." Pendekar Gila dan Mei Lie segera menghadang ketiga orang
bertopeng itu. Mei Lie menghadapi dua orang tanpa kewalahan. Gerakan tubuhnya
sangat lincah mengelak dan menyerang masih dengan tangan kosong. Merasa
kewalahan, kedua orang bertopeng itu segera melakukan serangan secara serentak
terhadap Mei Lie. "Heaaa..." "Yeaaah..." "Hup"
Teriakan-teriakan keras seketika terdengar, memecah keheningan siang menjelang
senja di daerah perbukitan itu.
Degk "Ukh..." "Aaakh..." Dua
pukulan beruntun Mel Lie mendarat di tengkuk dan dada lawan. Ketika kedua orang
bertopeng itu menyerang, rupanya Mei Lie sudah menyiapkan jurus ampuhnya. Mei
Lie melenting ke udara sambil bersalto. Dan sebelum mendarat gadis itu
melancarkan pukulan ke tengkuk dan dada lawanlawannya.
Kedua orang bertopeng yang dihadapi Mei Lie
terhuyung dan jatuh terguling. Mei Lie tersenyum mengejek menyaksikan kedua
lawannya yang terguling kesakitan.
Sejurus kemudian, kedua lelaki bertopeng itu
bangkit berdiri. Keduanya lalu membuat gerakan jurus-jurus andalan. Mereka
bersama-sama mengangkat kedua tangan ke atas kepala sambil mengepal. Kemudian
dilanjutkan dengan merentang lalu menjulurkan yang kanan ke depan. Dengan
jemari membentuk cakar, mereka mengeluarkan jurus 'Cakar Harimau'.
Sementara itu Mei Lie tampak tersenyum menyaksikan
gerakan kedua lawannya. Namun dia tetap tak menganggap remeh. Dengan tenang
segera mempersiapkan diri untuk memapaki serangan lawan.
"Heaaa..." "Yeaaat.." Kedua
lelaki bertopeng hitam itu melesat melakukan serangan.
"Hiaaat.." Dengan cepat Mei Lie pun
melompat memapaki serangan itu.
Plak Plak Tangan-tangan mereka beradu dan saling pukul
di udara. Kemudian sama-sama mendarat. Namun kedua lawan Mei Lie dengan gerakan
cepat bersamasama melompat memburu Mei Lie bagai gerakan harimau menerkam
mangsa.
Melihat itu dengan cepat Mei Lie berguling ke depan
menjauhi serangan lawan, sambil mencabut pedang saktinya. Kemudian dengan cepat
pula Mei Lie membabatkan pedangnya ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa..." Srat Tampaknya kedua lelaki
bertopeng itu mengetahui kalau Mei Lie mencabut pedang saktinya. Dengan cepat
keduanya bergerak menjauhi Mei Lie.
"Gawat... Pedang Bidadari" gumam salah
seorang lawannya.
Sementara itu, Pendekar Gila pun tak mau kalah.
Lawan yang dihadapi tampaknya memiliki ilmu lebih tinggi dibandingkan kedua
kawannya. Namun Pendekar Gila nampak ringan menghadapi lawannya. Gerakannya
kelihatan lamban, tapi ternyata begitu cepat hingga membuat lelaki berambut
panjang sebahu itu tampak kewalahan.
Tampaknya lelaki berkedok kain hitam itu tidak
bersungguh-sungguh dalam menghadapi Pendekar Gila. Hal itu dapat dirasakan oleh
Pendekar Gila sendiri.
Sebab ketika Pendekar Gila sengaja membuka pertahanannya,
lelaki berambut panjang itu tak segera menyerang. Bahkan menarik pukulannya
yang sudah melesat. "Aha, aneh kenapa serangannya tidak dilanjutkan?"
tanya Sena dalam hati sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila mencoba melancarkan serangan dengan
jurus-jurusnya, bermaksud agar lawan meladeni dengan sungguh-sungguh. Namun
tetap saja lelaki berpakaian serba hitam itu hanya menangkis dan membalas
dengan serangan yang tak berarti.
"Huh Benar-benar aneh orang ini. Apa
maksudnya...?" gumam Sena keheranan dan merasa agak kesal. Lelaki
bertopeng dan berambut panjang dengan ikat kepala kuning itu mulai melakukan
serangan.
Pendekar Gila merasa senang mendapat perlawanan
itu. Maka dengan gesit dan tenang, Pendekar Gila mengelak dan secara perlahan
balik menyerang.
Pertarungan sudah menginjak jurus kesepuluh.
Namun masih tampak seimbang. Kalau saja Pendekar
Gila menghadapi dengan sungguh-sungguh, sudah sejak tadi lawan akan dapat
ditaklukkan. Namun Pendekar Gila merasakan, bahwa lelaki bertopeng itu tidak
mau saling menciderai, atau bentrok. Itu terlihat dari cara lawannya
melancarkan serangan.
Dan akhirnya kecemasan dan dugaan Pendekar Gila
terbukti, ketika lawan semakin terdesak. Pendekar Gila yang sudah tak sabar
mengeluarkan Suling Naga Sakti. Sementara Mei Lie mulai mempermainkan pedang
saktinya. Ketiga orang bertopeng itu kabur, tak melanjutkan pertarungan dengan
Pendekar Gila dan Mei Lie. "Hah...?" Pendekar Gila mengerutkan
kening, demikian juga Mei Lie ketika melihat ketiga lelaki bertopeng hitam itu
lari, lalu menghilang dengan cepat "Aneh Lucu... Hi hi hi..." gumam
Pendekar Gi-la sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Siapa sebenarnya mereka itu, Kakang?"
tanya Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila hanya menggelengkan kepala.
Mulutnya cengengesan sambil terus tertawa-tawa geli
sendiri. Lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
Pangeran Prapanca dan Pranala mendekati Pendekar
Gila dan Mei Lie. Mereka pun belum mengerti siapa ketiga orang bertopeng hitam
itu.
"Apa kau tahu, Sena, siapa mereka sebenarnya?
Lawan ataukah kawan...?" tanya Pangeran Prapanca setelah berada di dekat
Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ah ah ah Aku belum tahu, Pangeran. Tapi
bagiku, tindakan mereka memang terasa aneh," jawab Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Sepertinya mereka bermaksud baik,
Pangeran...," sambung Mei Lie kemudian.
Pangeran Prapanca manggut-manggut, sambil memegangi
dagunya. Keningnya berkerut tajam, seperti tengah berpikir keras. Siapa ketiga
orang bertopeng hitam itu.
"Kita harus tetap waspada, Pangeran. Kita
semua tahu bahwa tempat ini termasuk wilayah Kerajaan Surya Langit. Mungkin
ketiga orang tadi suruhan perdana menteri penjilat itu..." ujar Pranala
dengan nada dingin.
"Mungkin juga," sahut Pangeran Prapanca
pelan, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana dengan pendapatmu,
Sena?" Sena tak langsung menjawab. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Matanya melirik ke wajah Mei Lie.
"Aha Perasaanku mengatakan kalau mereka tak
bermaksud menculik atau melukai Pangeran. Tapi betul juga kita harus tetap
waspada." Pangeran Prapanca manggut-manggut tanda mengerti. Kembali
napasnya ditarik panjang-panjang.
"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan Aku yakin
Baginda Raja Awangga telah menunggu kita." Mereka lalu segera bergerak
bersama, melanjutkan langkah kaki menuju Kerajaan Surya Langit.
***
Sesampainya
di Kerajaan Surya Langit Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya disambut dengan
ramah oleh Baginda Raja Awangga. Namun Pendekar Gila dan Mei Lie merasakan
suasana yang tidak wajar.
Begitu pula dengan Pranala yang lak tersenyum
sedikit pun. "Silakan, silakan... Duduklah di tempat yang telah kami
sediakan, mari..." Baginda Raja Awangga dengan ramah mempersilakan mereka.
Para undangan lain nampak seperti biasa. Memberikan salam pada Pangeran
Prapanca penuh hormat. Sedangkan Pendekar Gila terus cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Dia tak peduli sedang berhadapan dengan siapa.
Kebiasaan tingkah lakunya yang konyol bagaikan tak bisa dicegah.
Perdana Menteri Giri Gantra yang licik dan penjilat
itu pun bersikap ramah sekali. Namun Pranala tak menggubris, bahkan matanya
membelalak tajam, ketika Perdana Menteri Giri Gantra menyilakan duduk Baginda
Raja Awangga bicara panjang lebar dengan Pangeran Prapanca. Dia meminta maaf
atas tindakan Perdana Menteri Giri Gantra. Kemudian mengharap Pangeran Prapanca
dapat melupakan semua peristiwa yang sudah berlalu. Apapun keinginan sang Putra
Mahkota itu akan dipenuhi, asal bersedia menerima syarat Baginda Raja Awangga.
"Apa syarat yang ingin Baginda katakan pada
kami?" tanya Pangeran Prapanca dengan kening berkerut.
"Hm..., tak sulit," jawab Baginda Raja
Awangga.
Lalu dia berbisik pada Perdana Menteri Giri Gantra.
"Begini. Kalau kalian sanggup mengalahkan
jago-jago silat yang telah bergabung denganku, kalian boleh ambil alih takhta
kerajaan ini... Bagaimana, setuju?" Perdana Menteri Giri Gantra dan
lainnya tertawa-tawa mengejek. Pranala sudah nampak tak sabar.
Dengan geram pedangnya dicabut. Namun Pangeran
Prapanca cepat menahannya.
"Sabar, Pranala Kita harus hadapi dengan hari
sabar dan kepala dingin...." Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie yang
mendengar ucapan Baginda Raja Awangga agak kaget.
Namun keduanya tampak tenang. Pendekar Gila tampak
hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya yang seperti orang gila, membuat para
undangan merasa heran.
"Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya
Pangeran Prapanca seraya menoleh ke wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Lucu, lucu sekali Tapi kita harus
hadapi dan terima keinginan mereka. Kita bukan orang-orang pengecut,
Pangeran...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan terus
cengengesan.
"Bagaimana...?" kembali Baginda Raja
Awangga bertanya.
"Kami dengan senang hati menerima syarat
itu..." jawab Pangeran Prapanca dengan tekad yang mantap.
"Ha ha ha... Bagus, bagus Itu memang jawaban
yang kutunggu-tunggu. Perdana Menteri Giri Gantra..." seru Baginda Raja
Awangga.
"Ya, Baginda,..," jawab Perdana Menteri
Giri Gantra sambil menjura.
"Segera siapkan dan laksanakan pertarungan..."
"Baik, Baginda" Perdana Menteri Giri Gantra lalu berdiri. Dengan
pongahnya, dia memerintahkan para tokoh persilatan aliran hitam yang sudah
diatur olehnya.
"Hai... Kalian para tokoh yang kuundang
Majulah ke depan, dan laksanakan perintahku Sesuai dengan rencana kita... Ha ha
ha..." Maka satu persatu para tokoh yang telah ditunjuk, muncul. Mereka
bergerak maju ke arena yang sudah disediakan. Mereka tak lain, si Mata Tunggal,
Sepasang Toya Setan, Kala Prana, Jembel Pilarang, Jenggot Naga, Kati Asem dan Hiwa
Krana.
Pendekar Gila yang melihat kedelapan tokoh
persilatan aliran hitam itu, hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya mereka sudah merencanakan, Kakang.
Kita harus waspada," kata Mei Lie pada kekasihnya. "Akan kuhabisi
orang-orang penjilat itu" "Aha, Pangeran. Rupanya mereka sudah
merencanakan semua ini. Lucu Dan aku sudah duga, kalau mereka minta bantuan
kunyuk-kunyuk itu...," ujar Pendekar Gila sambil menunjuk kedelapan tokoh
aliran hitam yang berada di tempat itu. "Pranala, Mei Lie Ayo kita sambut
kunyuk-kunyuk ini Hi hi hi..." Pendekar Gila melompat ke depan, disusul
Mei Lie dan Pranala. Sedangkan Pangeran Prapanca masih sempat berdiam diri
seperti tengah berpikir. Pendekar Gila berdekatan dengan Mei Lie, sedangkan
Pranala berdekatan dengan Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi... Kita bagi dua..." seru
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Mei Lie, kau bergabung dengan pangeran, biar
Pranala bersamaku" Dengan cepat Mei Lie bergeser ke dekat Pangeran
Prapanca. Setelah dekat, diberikannya isyarat agar Pranala bergabung bersama
Pendekar Gila. Kini sudah terbagi dua kelompok. Pendekar Gila bersama Pranala,
untuk menghadapi empat lawan tangguh. Mereka terdiri dari si Mata Tunggal,
Jenggot Naga, Jembel Pilarang, dan Kala Prana. Sedangkan Mei Lie dan Pangeran
Prapanca menghadapi Sepasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana.
"Hm..." gumam Pangeran Prapanca sambil
mengerutkan kening dan menoleh ke arah Mei Lie yang berada di samping kirinya.
"Lawan kita bukan orang sembarangan, Mei Lie. Kita harus hati-hati"
"Tenang, Pangeran Aku sudah tak tahan ingin menghajar orang-orang penjilat
ini" sahut Mei Lie dengan suara geram. Tangannya telah memegang Pedang
Bidadari dan diarahkan lurus ke depan.
"Heaaa..." "Hiaaat..."
Pertarungan terjadi. Dengan pedangnya, Mei Lie bergerak cepat memapaki serangan
Sepasang Toya Setan.
Trak Trak...
"Heaaa..." Wut Wut..
Percikan api mencelat ketika Pedang Bidadari Mei
Lie membentur Toya Setan. Tidak sampai di situ, Mei Lie terus merangsek
lawannya. Dia tahu kalau kedua lawan terkejut, ketika Pedang Bidadari menebas
dengan cepat bagai baling-baling, dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'.
"Hah,..?" sentak Sepasang Toya Setan.
Keduanya tampak mengerutkan kening. Lalu segera melancarkan serangan
berikutnya. Namun Mei Lie tiba-tiba melesat dan bersalto di udara, laksana
seekor burung seriti yang lincah. Tangan kirinya bergerak melakukan pukulan dan
tangkisan. Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang sangat cepat, sampai bentuk
senjata itu tak terlihat.
"Heaaat..." Wut Wut..
Pedang di tangan Mei Lie menebas tubuh kedua lawan
yang ada di samping kiri dan kanannya. Untung Sepasang Toya Setan merupakan
tokoh berilmu silat yang cukup tangguh. Kalau tidak pasti telah mati, dengan
tubuh terbelah dua. Namun keduanya tak luput dari cidera. Lengan kiri dan kanan
kedua tokoh bersenjata toya itu tergores pedang Mei Lie. Dari mulut mereka terdengar
rintihan kesakitan ketika saling melompat menghindari Mei Lie.
Sementara itu Pangeran Prapanca dengan sigap
menghadapi Kati Asem dan Hiwa Krana.
Pangeran Prapanca ternyata bukan orang sembarangan.
Dengan gesit dan cepat Pangeran Prapanca memapaki serangan lawannya. Baik Kati
Asem maupun Hiwa Krana masih ingin mengandalkan kekuatan tenaga dalam. Terbukti
kedua tokoh hitam itu tak mengeluarkan senjata apapun.
Pangeran Prapanca yang nampak sudah sangat marah,
dengan jurus-jurus mautnya menyerang kedua lawan. Wut Wut..
Degk Degk "Ukh..." Serangkum angin
melesat dari tangan Pangeran Prapanca. Hal itu cukup membuat Kati Asem dan Hiwa
Krana tersentak kaget. Keduanya melompat cepat saling menghindar untuk
menyelamatkan diri.
"Hm.., ternyata pangeran ini memiliki ilmu
yang lumayan. Hati-hati, Kawan" ujar Kati Asem pada Hiwa Krana.
"Hm..." Hiwa Krana hanya mendengus pelan.
Kati Asem serta Hiwa Krana kembali menyerbu
Pangeran Prapanca. Menghadapi satu saja keduanya sudah merasa keteter. Apalagi
kalau menghadapi dua lawan sekaligus. Terpaksa mereka harus bertindak cepat dan
hati-hati. Sekali salah gerakan atau langkah, tak ampun lagi. Serangan putra
mahkota itu ternyata sangat berbahaya Sambil berkelebat mengelak, Pangeran
Prapanca berteriak agar Kati Asem dan Hiwa Krana menghentikan perlawanan. Namun
dua orang tokoh aliran hitam itu tak mau berhenti begitu saja. Apalagi Baginda
Raja Awangga menjanjikan kedudukan terhormat di Kerajaan Surya Langit. Tanpa
ragu-ragu mereka bertekad mempertaruhkan nyawa.
Keduanya makin memperhebat serangan masing-masing.
Namun, tampaknya baik Kati Asem maupun Hiwa Krana semakin terdorong oleh perasaan
marah dan nafsu membunuh. Sehingga kurang menyadari kalau hal itu justru
mengurangi kewaspadaan.
Dua kali pukulan keras Pangeran Prapanca bersarang
di tubuh Kati Asem dan Hiwa Krana. Disusul satu jotosan Pangeran Prapanca
menghantam rusuk Kati Asem. Dan satu tendangan keras juga menghantam rusuk Hiwa
Krana.
"Hiaaa..." Blak Plak "Aaakh..."
Kati Asem dan Hiwa Krana tampak terhuyunghuyung. Mulut keduanya meringis
kesakitan. Salah satu pukulan Pangeran Prapanca telah membuat tubuh mereka
terluka dalam.
Di lain tempat, Pendekar Gila bersama Pranala
tampak tak mendapatkan kesulitan untuk menghadapi keempat lawannya. Pendekar
Gila bagai menari dan seakan tak bersungguh-sungguh menghadapi lawanlawannya.
Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga tambah geram dan marah. Padahal sebenarnya
sebelum bertanding mereka mempunyai perasaan ragu dan segan menghadapi Pendekar
Gila. Karena sudah lama mereka tahu kalau pendekar muda itu sangat disegani
baik oleh tokoh hitam maupun putih.
"Aha, kalian rupanya hanya besar mulut dan
bertampang seram Tapi, tak punya nyali Ayo maju..." ejek Pendekar Gila
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Meskipun dalam keadaan
bertarung, pemuda berpakaian rompi kulit ular itu masih saja sempat bertingkah
laku konyol, seperti orang gila.
"Hhh..." Jenggot Naga memutar tangan kiri
ke belakang, lalu menyentakkan ke depan. Sedang tangan kanannya ditarik ke
belakang, kemudian diputar dengan jari-jari terbuka. Setelah itu dihentakkan
lurus ke depan.
Gerakan itu merupakan pembuka dari jurus 'Sampar
Naga'. Menyaksikan lawan telah membuka jurus andalan, Pendekar Gila justru
tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila" dengus
Jenggot Naga yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol Sena. Hatinya kian
marah dan geram menghadapi lawan yang ternyata mempunyai gerakan lamban dan
lemah, bagaikan tak bertenaga.
"Sejak tadi aku sudah siap..." jawab Sena
tenang. Si Mata Tunggal pun tak tinggal diam, segera membuka jurus mautnya yang
dinamakan 'Mata Malaikat Pencabut Nyawa'. Dari mata dan telapak tangannya mulai
mengeluarkan asap merah. Sementara itu, Pendekar Gila yang menyaksikan ilmu si
Mata Tunggal hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi...
Ternyata ilmu kalian cukup aneh dan hebat Hi hi hi..." ujar Pendekar Gila
dengan nada mengejek. "Ayo..., akan kulayani kalian dengan senang
hati" Semua tokoh hitam yang berada di dalam ruang pertempuran itu
terbelalak. Mereka merasa kagum dan keheranan menyaksikan tingkah laku Pendekar
Gila yang konyol. Pemuda tampan berambut gondrong dan berpakaian rompi kulit
ular itu seakan tak merasa takut sama sekali. Padahal lawan-lawannya kali ini
sudah sangat dikenal sebagai tokoh berilmu tinggi. Namun bagi yang tahu,
tingkah laku konyol itu merupakan pembuka jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’.
Jurus aneh yang sering membuat lawan terkesima, heran, bahkan terkejut.
Orang-orang yang menyaksikan ulah Sena merasa yakin
dan berpikiran kalau Pendekar Gila akan dapat ditaklukkan kedua lawannya.
Tubuh Pendekar Gila tampak mulai menyurut dua langkah
ke belakang. Sambil tertawa-tawa, tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Kedua
tangannya bergerak lemah gemulai.
"Heaaa..." Jenggot Naga memekik keras
untuk membuka serangan, mendahului si Mata Tunggal yang masih berjaga-jaga.
Tubuhnya melesat ke depan, memburu tubuh Pendekar Gila. Tangan kanannya
membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kiri diputar, lalu
dihentakkan menghantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat
Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan kanannya diangkat lurus ke atas
dengan telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat membentuk siku, la-lu
direntangkan ke kanan. Hal itu diikuti dengan gerakan membuka kedua telapak
tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan menari. Tangan kanan masih di atas,
sedangkan tangan kiri lurus ke bawah. "Yeaaat..." Dengan menggunakan
jurus pembuka 'Kera Gila Melempar Batu'. Gerakannya seperti seekor kera yang
tengah melemparkan batu ke tubuh lawan. Dari gerakan itu, keluar serangkum
angin yang mampu menahan gerak lawan.
"Yeaaat..." "Heaaa..." Jenggot
Naga dan si Mata Tunggal kini samasama melesat untuk melakukan serangan. Tangan
dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Secara
bergantian dan cepat tangan mereka melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan
kedua kaki mereka saling menyapu ke kaki lawan.
"Heaaat... Mampus kau, Pendekar Gila
Yeaaa..." Sambil membentak keras, Jenggot Naga melesat cepat melancarkan
serangan. Tangan kanannya memukul ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan
kirinya membentuk pertahanan.
"Uts... Hih" Dengan cepat Pendekar Gila
menarik kaki kanan lalu melangkah ke depan disusul dengan pukulan telapak
tangan.
"Hah...? Edan" maki Jenggot Naga kaget.
Segera serangannya ditarik dengan cepat, sementara tangan kirinya memapak
serangan lawan. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Secepat kilat tangannya menyambar kaki lawan. Hal
itu memaksa Jenggot Naga menarik serangan dengan cepat. Matanya semakin
membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu
membuat nyalinya makin kecil.
Melihat Jenggot Naga mulai kecut, si Mata Tunggal
merangsek ke depan menyerang Pendekar Gila dengan geram. Pendekar Gila dengan
tenang melompat, mengelak dari serangan lawan. Rupanya si Mata Tunggal
melancarkan serangan dahsyatnya. Dari matanya keluar sinar merah, bagai api,
meluncur cepat ke tubuh lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat mengelak.
Sehingga tanpa diduga, serangan sinar merah yang mengandung hawa panas itu
melesat dan menerjang orang-orang yang duduk di pinggir arena pertempuran.
"Heaaa..." Slats Brets
"Aaakh..." Para tokoh aliran hitam yang menyaksikan di pinggir arena
pertarungan semua terkejut. Hampir tak percaya mereka menyaksikan kekuatan hawa
panas yang keluar dari mata si Mata Tunggal yang mampu menewaskan beberapa
orang dalam seketika. Bahkan tubuh mereka hangus bagai terbakar "Hi hi
hi... Boleh juga kunyuk ini" ular Pendekar Gila dengan nada mengejek
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Melihat serangannya gagal, si Mata Tunggal makin
kesal dan penasaran. Kini dengan membabi buta lelaki bertubuh besar dan bermata
satu itu merangsek Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Hi hi hi..."
Pendekar Gila cekikikan melihat kemarahan lawannya. Dengan meliuk-liuk bagai
menari, pemuda berwajah tampan dan berompi kulit ular ini mengelak dari
serangan ganas lawan. Kemudian dengan gerakan yang tampak lemah dan lamban,
tiba-tiba tendangan keras Pendekar Gila mendarat di perut si Mata Tunggal.
"Hih" Bugk "Aaakh..." Si Mata
Tunggal memekik keras. tubuhnya terjungkal keras ke tanah. Pendekar Gila dengan
tingkahnya yang konyol tertawa-tawa dan berjingkrakan bagai kera. Tangannya
menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Para tokoh persilatan yang berada di ruang
pertemuan besar itu terkagum-kagum. Dengan penuh keheranan mereka
memperhatikan, seakan tak ingin melewatkan sedikit pun pertarungan itu. Mulut
mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck.." "Benar-benar gila dan
hebat pemuda itu" Perdana Menteri Giri Gantra berbisik-bisik pada Baginda
Raja Awangga yang nampak cemas dan tegang. Karena jago-jagonya ternyata hampir
semuanya terpecundangi. Padahal kedelapan tokoh itu memiliki ilmu yang cukup
tinggi.
"Sebaiknya kita lekas perintahkan prajurit dan
jago lainnya untuk menangkap mereka, Baginda. Kalau tidak, gawat" bisik
Perdana Menteri Giri Gantra pada Baginda Raja Awangga.
Baginda menganggukkan kepala tanda setuju, sambil
menyeka keringat di keningnya. Menahan cemas dan ketegangan dirinya. Sebab
kalau Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya ternyata menang, tahta Kerajaan
Surya Langit akan jatuh pada putra mahkota itu.
Pranala pun dengan tangan kosong terus menghadapi
lawannya. Kaki tangannya memukul dan menendang lawan yang sudah terdesak.
Jembel Pilarang nampak terhuyung-huyung lalu jatuh tertelungkup kena tendangan
Pranala yang sangat keras. Sedangkan Kala Prana yang sudah lebih dulu kena
pukulan 'Braja Sakti' milik Pranala muntah darah sambil memegangi dadanya yang
terasa sesak.
Melihat tokoh-tokoh undangan itu mulai berjatuhan,
Perdana Menteri Giri Gantra segera memerintahkan para prajurit dan orang-orang
andalannya untuk menangkap Pangeran Prapanca dan kawankawannya. Termasuk
Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Hah...? Apa-apaan ini" Gumam Mei Lie
gusar.
Sambil melompat mendekati Pendekar Gila yang tengah
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sepertinya tak peduli dengan keadaan
saat itu.
"Kakang Sena, bertindaklah Kalau
tidak..." Belum sempat Mei Lie meneruskan katakatanya, tiba-tiba sebatang
tombak meluncur ke tubuhnya. Dengan cepat Mei Lie menyabetkan pedangnya. Wret
Trak Tombak itu terhantam Pedang Bidadari dan berbalik meluncur ke pemiliknya.
"Aaakh..." Tombak menancap ke tubuh
pemiliknya yang saat itu langsung tewas Pertempuran masal terjadi. Pendekar
Gila, Mei Lie, Pangeran Prapanca dan Pranala menghadapi puluhan prajurit
kerajaan dan para tokoh silat yang sangat tangguh. Pendekar Gila dan Mei Lie
terpusat pikirannya untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca, hanya berusaha
mengusir dan menghalangi orangorang yang ingin menangkap putra mahkota itu.
Hingga keduanya tak sempat melancarkan serangan balik yang mematikan. Pendekar
Gila khawatir Pangeran Prapanca akan cedera.
Keadaan ini menyebabkan para prajurit kerajaan
berhasil mendesak Pangeran Prapanca dan kawan-kawannya. Pendekar Gila yang
masih nampak cengengesan dan hanya sesekali berupaya melancarkan serangan
mautnya, untuk menghalau para prajurit dan tokoh persilatan. Lalu kembali
membentengi Pangeran Prapanca.
Tiba-tiba melesat sesosok tubuh berambut panjang
tak beraturan. Sosok ini merupakan tokoh hitam yang sangat menyeramkan. Matanya
mencorong bagaikan mata setan. Namun wajahnya mirip orang hutan. Kuku-kukunya
tajam dan runcing. Dialah Setan dari Rimba Merawan Pendekar Gila tersentak dan
cepat melenting ke udara, ketika dirasakan ada serangan dari belakang.
"Heaaa..." Wuuut Wuuut "Hi hi hi...
Aha, rupanya ada tamu tak diundang membokongku. Hi hi hi..., lucu sekali"
ejek Pendekar Gila pada Setan dari Rimba Merawan. Makhluk berwajah seperti
gorila itu marah.
"Grrr..." "Kau kunyuk raksasa
Beraninya menyerang dari belakang. Ayo maju Aku ingin main-main denganmu. Hi hi
hi..." Pendekar Gila kembali mengejek sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan.
"Grrr... Grrr..." Setan dari Rimba
Merawan menggeram lalu menerjang Pendekar Gila. Dengan kuku-kukunya yang
runcing dan beracun, makhluk aneh itu menyerang.
Wrets Wrets "Grrr... Grrr..." "Hi hi
hi.... Hebat juga ilmu kunyuk raksasa ini," gumam Pendekar Gila sambil
mengelak, dengan bersalto ke belakang. Kemudian secara tiba-tiba Pendekar Gila
melancarkan serangan balik dengan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Seketika
melesat serangkum angin yang mampu menahan gerak lawan.
Tubuh Setan dari Rimba Merawan bagai terdorong
angin dahsyat. Lalu dengan gerakan cepat Pendekar Gila menyambar makhluk
berwajah gorila itu.
"Heaa..." Wret "Aaakh... Grrr...
Uaaak.." Bluk...
Setan dari Rimba Merawan mengerang kesakitan,
ketika cengkeraman tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Sementara sapuan
kaki Pendekar Gila mampu menjatuhkan tubuhnya yang besar itu.
Namun Setan dari Rimba Merawan masih mampu
melakukan perlawanan. Kedua tangannya yang besar dan kokoh serta berkuku tajam,
menyambar bagian bawah tubuh Pendekar Gila.
"Grrr... Heaaa..." Wret "Aits...
Heaaa" Pendekar Gila melenting ke atas. Lalu bagai elang menyambar mangsa
tubuhnya meliuk. Ketika mendarat dan masih dalam keadaan meliuk tangannya
menyambar cepat kaki lawan. Hal itu memaksa Setan dari Rimba Merawan menarik
serangan dengan cepat.
Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus
Pendekar Gila yang semakin membahayakan.
"Edan Pemuda gila ini benar-benar berilmu tinggi,"
gumam Setan dari Rimba Merawan dalam hati.
Pendekar Gila terus menyerang. Gerakannya yang
seperti kera, terlihat lucu dan lamban. Namun ternyata serangannya sangat
cepat. Tangannya menepuk ke tubuh lawan secara gencar dan susulmenyusul.
"Grrr... Benar-benar jurus berbahaya"
gerutu Setan dari Rimba Merawan tersentak kaget, mendapatkan serangan yang
aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki Pendekar Gila itu lambat. Namun kalau
dirinya tak cepat berkelit, cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila tentu
menghajar tubuhnya.
"Heaaa..." Wrrrs...
"Hah" Setan dari Rimba Merawan lebih
terkejut lagi ketika merasakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin
pukulan yang menderu keras. Bagaikan topan besar angin itu menerpa tubuhnya
yang besar.
Setan dari Rimba Merawan cepat-cepat memutar
tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula, makhluk bermuka seperti gorila
itu melontarkan pukulan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Wut Setan dari Rimba Merawan
rupanya kini tahu gelagat. Dirinya yang semula memandang rendah Pendekar Gila,
kini tak berani lagi meremehkannya. Serangannya yang menggunakan jurus-jurus
ular pun dipergencar susul-menyusul. Kedua tangannya mematuk dan menampar ke
dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat melompat lalu meliuk ke
bawah, ketika tangan lawan mematuk ke wajahnya. Dimiringkan tubuhnya ke
belakang, ketika tangan lawan menampar keras ke dadanya. Kakinya bergerak
lincah, menjejak berganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha memapak dan
menyambar kaki lawan yang turut menyerang.
Ruangan tempat pertemuan di istana itu telah
berantakan. Meja kursi banyak yang hancur. Di sana sini terjadi pertarungan
seru. Baginda Raja Awangga segera mencari perlindungan. Dua pengawal
membentengi. Ditambah lima orang pengawal lainnya, berada di depan.
Sementara itu Mei Lie pun tak tinggal diam.
Dengan gesit dan cepat gadis cantik itu
menggerakkan Pedang Bidadari menghalau lawan-lawannya. Dalam beberapa gebrakan
Mei Lie mampu membuat kocarkacir prajurit kerajaan yang menyerangnya.
"Hiaaa..." Wut Wut Kibasan pedang Mei Lie
mengeluarkan angin kencang dan hawa panas. Hal itu membuat lawanlawannya
ketakutan dan menyingkir. Namun gadis bergaun hijau itu tetap saja memburu
dengan kibasan pedangnya.
Kembali pada pertarungan Pendekar Gila melawan
Setan dari Rimba Merawan, yang semakin seru.
Sejauh itu keduanya masih memperlihatkan
ketangguhan. Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang dengan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'. Kedua tangannya menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke
depan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya menyapu dan menendang
bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaa..." "Uts... Heaaat...
Grrr..." Setan dari Rimba Merawan segera melejit ke samping. Kemudian
dengan gerakan membentuk setengah putaran, tangannya mematuk ke wajah Pendekar
Gila. Lalu, setelah melihat Pendekar Gila mengges-er kaki ke samping, Setan
dari Rimba Merawan melontarkan tamparan tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
Wuttt Tangan kiri Setan dari Rimba Merawan menderu
cepat, mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila yang tidak menyangka
lawan akan kembali menyerang dengan cepat, tersentak kaget. Matanya membelalak
ketika menyadari dirinya mati langkah.
Sehingga dengan cepat Pendekar Gila menyapukan
tangan kanan untuk memapak tamparan lawan. Gerakan tangannya seperti membelah
dengan cepat "Heaaa..." Setan dari Rimba Merawan menarik tamparan
tangan kirinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan kaki kanan ke
selangkangan lawan. Sedangkan tangan kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar
Gila.
Mendapat serangan cepat, Pendekar Gila segera
melompat dengan berjumpalitan ke belakang. Sementara tubuhnya di udara, kakinya
menjejak cepat ke tanah. Kemudian dengan tubuh membalik, Pendekar Gila
menyatukan pukulan tangannya, lalu menyerang ke tubuh lawan.
"Yeaaat.." Dengan tubuh meluncur cepat,
Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya mencakar Setan dari Rimba
Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan yang dilancarkan Pendekar
Gila.
"Heaaa..." Tangan mereka kini bergantian
memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus melakukan serangan
dengan tubuh melayang di udara. Sedangkan tubuh Setan dari Rimba Merawan terus
mundur sambil menangkis serangan lawan dan sesekali balas menyerang.
Orang-orang yang tak ikut bertarung, membelalakkan
mata. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Termasuk Baginda Raja
Awangga, yang mengintip dari balik tubuh pengawalnya.
Dengan tubuh melayang laksana terbang, Pendekar
Gila terus meluncur sambil melancarkan pukulan dan terkadang menangkis serangan
lawan.
"Heaaa..." Mata Setan dari Rimba Merawan
terbelalak lebar, dirinya tak sempat mengelak serangan lawan.
Hingga akhirnya hanya bisa menangkis.
Plak "Aaakh..." Tubuh Setan dari Rimba
Merawan terpekik keras. Tubuhnya yang besar terhuyung-huyung ke belakang sambil
memegangi kepala.
Tapi, baru saja Pendekar Gila hendak melakukan
serangan susulan, segera diurungkannya. Hal itu karena tiba-tiba Pangeran
Prapanca terkurung oleh prajurit dan tokoh aliran hitam.
Pendekar Gila yang melihat itu, segera melesat
dengan bersalto ke udara untuk membantu Pangeran Prapanca.
"Heaaa..." Dalam sekejap saja Pendekar
Gila telah berada di antara kepungan para prajurit kerajaan, membantu Pangeran
Prapanca. Secepat itu pula tangan dan kakinya langsung bergerak memapak dan
menyerang prajurit yang berusaha menyerbu Pangeran Prapanca.
Melihat keadaan Pangeran Prapanca, Mei Lie pun
segera melompat meninggalkan lawan-lawannya.
Dengan cepat dibabatkan pedangnya menghalau para
puluhan prajurit kerajaan yang mengepung Pangeran Prapanca.
"Heaaat..." Wret Wret Cras Cras Cras
"Aaakh... Aaa..." Maka bergelimpanganlah lima orang sekaligus,
tertebas pedang Mei Lie. Nampak kelima orang itu seakan tak mengalami luka.
Namun sesaat kemudian tubuh kelima prajurit itu roboh. Terbelah dua.
Tiba-tiba melompat dua orang tokoh aliran hitam,
Pakasti dan Sangkulawa bersiap menyerang Mei Lie. Namun Mei Lie telah siap
memapaki serangan kedua lawannya. Ia melenting ke udara, lalu menukik, sambil
menebaskan pedangnya ke tubuh lawan.
Cras Cras "Aaakh..." "Uaaa..."
Seketika tubuh kedua tokoh hitam itu roboh dan terbelah dua.
Namun keadaan kini berubah. Pendekar Gila
memberikan isyarat, agar lebih mementingkan keselamatan Pangeran Prapanca.
Sementara itu, Perdana Menteri Giri Gantra
memerintahkan anak buahnya untuk menutup semua pintu istana.
"Tutup semua gerbang... Kepung mereka
Tangkaaap..." seru Perdana Menteri Giri Gantra, sambil berlari menyelamatkan
diri.
Pangeran Prapanca dan kawan-kawan kini benar-benar
terdesak dan terkepung. Puluhan prajurit kerajaan dibantu tokoh-tokoh hitam
rimba persilatan terus merangsek. Hal itu tampaknya mampu memaksa Pendekar Gila
kewalahan.
Pendekar Gila segera mencari akal untuk berbuat
sesuatu. Namun ketika hendak mencabut Suling Naga Sakti-nya, tiba-tiba muncul
tiga lelaki bertopeng, yang langsung masuk ke arena pertempuran. Ketiganya
membantu Pendekar Gila untuk menyelamatkan Pangeran Prapanca. Sesaat kemudian
menyusul pula sesosok lelaki bertubuh raksasa ke tempat pertarungan di dalam
istana itu. Sosok bertubuh raksasa itu tak lain Buto Gege yang rupanya telah
bergabung dengan ketiga lelaki bertopeng hitam itu.
Pertempuran semakin seru. Satu di antara ketiga lelaki
berkedok itu dengan cepat menyambar Pangeran Prapanca yang tampak telah terluka
lengan kirinya oleh keris salah seorang tokoh silat. Lelaki berkedok, dengan
ikat kepala belang kuning hitam itu membawa lari Pangeran Prapanca yang
terluka. Melihat itu Pendekar Gila cepat menyusul, diikuti oleh Mei Lie.
Sedangkan Pranala, Buto Gege, dan dua orang berkedok masih menghadapi
lawan-lawannya. Berusaha menahan prajurit dan orang-orang aliran hitam yang
terus dengan beringas menyerang mereka.
Tiba-tiba Buto Gege melemparkan suatu benda ke
tanah yang menimbulkan asap ungu mengandung racun. Asap itu mengepul di seluruh
tempat pertarungan. Kesempatan itu digunakan Pranala dan kedua lelaki berkedok
untuk kabur. Sementara Buto Gege menyusul belakangan setelah sempat melukai
Giri Gantra. Hingga perdana menteri licik dan penjilat itu tak kuat lagi
berdiri. Karena Buto Gege mengangkat lalu membantingnya keras ke tanah. Mungkin
kakinya patah.
"Kejar mereka... Cepat.. Kejaaar..."
teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil memegangi kaki kirinya yang dirasakan
seperti patah.
Sedangkan Baginda Raja Awangga kalangkabut,
kebingungan dan lari ke dalam. Penguasa Kerajaan Surya Langit itu berusaha
menyelamatkan diri, karena suasana semakin kacau-balau. Belasan prajurit tewas
seketika terserang racun yang dilemparkan Buto Gege. Beberapa tokoh hitam pun
tak ampun lagi, seperti Hiwa Krana dan Kati Asem tak luput dari maut Sedangkan
yang lain luka-luka diamuk kemarahan manusia raksasa itu.
***
5
Mentari telah turun di ufuk barat Sinarnya tampak
kemerahan. Lelaki berkedok hitam melesat bagai terbang membawa tubuh Pangeran
Prapanca. Sedangkan di belakang nampak pemuda berambut gondrong dan berpakaian
rompi dari kulit ular mengikuti dengan cepat. Pemuda itu tak lain Pendekar
Gila. Dengan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila terus mengejar.
"Tunggu... Kisanak" seru Pendekar Gila
setelah dapat menghadang orang berkedok yang membawa Pangeran Prapanca yang
telah ditotoknya.
Mei Lie pun yang tadi mengikuti dan jarak belasan
tombak, kini telah sampai. Bahkan telah berada di samping Pendekar Gila.
Keduanya kini berhadapan dengan lelaki bertopeng yang memanggul tubuh Pangeran
Prapanca.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya
Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Matanya menatap lelaki
berkedok hitam itu.
"Kenapa kau membantu kami...?" tanya Mei
Lie kemudian, karena lelaki berkedok itu tak juga menjawab. "Jawabannya
ada di goa sana. Sebaiknya kalian memberi aku jalan. Waktu kita sangat
sempit," jawab lelaki berkedok hitam. Setelah itu tubuhnya melesat cepat.
Tanpa banyak pikir Pendekar Gila dan Mei Lie langsung mengikutinya. Hati
keduanya masih diliputi pertanyaan.
"Siapa lelaki itu sebenarnya...?" gumam
Pendekar Gua sambil berlari mengejar lelaki berkedok yang membawa Pangeran
Prapanca.
Sementara itu dalam jarak beberapa puluh tombak
telah tampak Buto Gege. Pranala, dan dua lelaki berkedok tengah melesat menuju
arah yang sama.
Mereka pun terus mengejar lelaki berkedok yang
membawa Pangeran Prapanca.
Sesampainya di depan sebuah goa yang nampak sunyi,
Pendekar Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya mengawasi sekeliling goa yang
tampak sepi dan teduh. Karena di sekitarnya tumbuh pepohonan besar dan rindang.
"Hm..." gumam Sena, lalu menoleh kepada
Mei Lie kekasihnya.
"Kenapa kita tak langsung masuk saja,
Kakang?" tanya Mei Lie sudah tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie. Ayo, kita masuki goa
itu..." Keduanya segera melangkah memasuki goa itu.
Tak lama kemudian Buto Gege, Pranala, serta dua
lelaki bertopeng datang dan masuk pula.
Ruangan di dalam goa itu ternyata sangat bersih dan
tampak rapi. Di dalam ruangan yang cukup luas itu ada sebuah batu besar. Duduk
di atasnya seorang wanita buta dengan tongkat di tangan kirinya.
Wanita setengah baya itu menyambut Pendekar Gila
dan Mei Lie dengan ramah. Sedang di sampingnya telah duduk bersila lelaki
berkedok yang membawa Pangeran Prapanca.
Pendekar Gila dan Mei Lie memberi hormat pada
wanita buta itu. Lalu mata keduanya sekilas memandangi Pangeran Prapanca yang
sudah sadar. Putra mahkota itu duduk di sebelah kiri wanita buta yang ternyata
Nyi Kemuning Sari bekas kekasih Singo Edan guru Sena Manggala.
Sena dan Mei Lie merasa heran melihat Pangeran
Prapanca begitu tenang, bahkan tampak gembira.
Sedangkan lelaki berkedok itu ternyata Ki Jalna
Wangga.
"Kau...?" Pendekar Gila tersentak kaget
ketika Ki Jalna Wangga membuka kedoknya. Ki Jalna Wangga yang juga berjuluk si
Pukulan Petir menganggukkan kepala pada Pendekar Gila yang tampak belum
mengerti. Namun tiba-tiba pendekar muda itu tertawa dan cengengesan sambil
menggeleng-geleng kepala.
"Kau tak membuang sedikit pun tingkah laku
gurumu, Anak Muda..." terdengar suara parau dari mulut wanita buta itu.
Mendengar ucapan itu, Sena jadi kaget dan
mengerutkan kening. Lalu menoleh ke Mei Lie. Mei Lie mengangkat kedua bahunya,
karena merasa heran.
Bagaimana bisa tahu kalau Pendekar Gila sedang
berlaku begitu. Padahal wanita itu buta.
"Heh...?" Sena tak bisa melanjutkan
kata-katanya. Sebab Nyi Kemuning Sari seakan bisa melihat dan mengenal gurunya,
Singo Edan.
"Hi hi hi... Lucu... Lucu sekali Siapa
Nyisanak sebenarnya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan.
Pada saat itu Buto Gege, Pranala, dan dua lelaki
berkedok masuk ke ruangan itu. Kedua lelaki berkedok itu pun segera melepas
kedoknya. Mereka ternyata bekas pengawal kerajaan, yang bergabung dengan Ki
Jalna Wangga.
Pendekar Gila dan Mei Lie semakin heran dan
bingung. Apalagi ketika Buto Gege berkata, "Nyi.., in-ilah murid Kakang
Singo Edan Dan itu kekasihnya. " "Aku sudah tahu, Adi Buto Gege. Aku
merasa seakan tengah berhadapan dengan Kakang Singo Edan...," sahut wanita
seumur Singo Edan itu.
"Hi hi hi... Tadi...," ucapan Sena
terputus. Lalu kembali menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Mei Lie pun nampak bingung.
"Sena, kemarilah Aku pun ingin melepas rinduku
pada Kakang Singo Edan melalui dirimu. Kau tidak keberatan, bukan?" tanya
Nyi Kemuning Sari kemudian.
Pendekar Gila lalu segera menjura, kemudian
perlahan kakinya melangkah maju mendekati Nyi Kemuning Sari. Setelah Sena
berada di depannya, Nyi Kemuning Sari meletakkan telapak tangan ke pipi
Pendekar Gila. Dengan lembut diusap-usapnya pipi Sena. "Sena, hatiku
merasa lega. Kerinduanku pada Kakang Singo Edan sedikit terobati melalui
dirimu." terdengar suara itu sedikit bergetar. Menandakan rasa haru yang
dalam.
"Ah... Maafkan aku Nyi Guru... Tingkahku yang kurang
sopan tadi...." "Ooo..., Sena. Tak perlu kau ucapkan itu Aku sudah
lega, karena akhirnya kau datang ke tempatku.
Semua ini Hyang Widi yang telah
mengaturnya...," ujar Nyi Kemuning Sari sambil tersenyum gembira.
Di-usapnya wajah Sena tiga kali. Lalu melepaskannya perlahan. Wanita buta itu
seakan melihat dengan jelas wajah pemuda murid bekas kekasihnya.
"Aha... Bagaimana Nyi Guru bisa tega
meninggalkan Eyang Guru Singo Edan? Hingga dia sendirian," tanya Sena
memberanikan diri.
Nyi Kemuning Sari menggelengkan kepala sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Namun kemudian tiba-tiba wajahnya berubah sedih.
Pendekar Gila dan Mei Lie saling pandang merasa terharu. Melihat wajah wanita
buta itu, hati keduanya semakin terenyuh.
"Dua puluh tahun yang silam aku dan Kakang
Singo Edan menjalin cinta kasih. Seperti kau saat ini bersama gadismu. Tapi
rupanya nasib membuat kami berpisah.... Kami sama-sama keras. Sampai akhirnya
suatu peristiwa yang tak kami inginkan terjadi...;" "Peristiwa apakah
itu Nyi Guru...?" tanya Sena ingin tahu sambil menggaruk-garuk kepala.
Nyi Kemuning Sari tak langsung menjawab.
Wanita tua itu menghela napas panjang. Lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan.
"Aku terbius omongan lelaki bernama Ki Wangsa
Dewa. Dia menghasutku, bahwa Kakang Singo Edan akan memperistri gadis bernama
Laraswati. Aku percaya, karena suatu hari aku melihat sendiri Kakang Singo Edan
berjalan bersama Laraswati...," sejenak Nyi Kemuning Sari menghentikan
ceritanya.
Pendekar Gila dan Mei Lie, serta yang ada di situ
diam, mendengarkan dengan seksama. Mei Lie yang sesama wanita mulai merasa iba
mendengar cerita Nyi Kemuning Sari. Demikian juga Sena.
"Tapi rupanya itu hanya siasat Wangsa Dewa,
yang diam-diam menyukai diriku. Laraswati, ternyata sengaja disuruh oleh Wangsa
Dewa untuk merayu Kakang Singo Edan. Sampai akhirnya terjadi pertarungan,
antara Kakang Singo dan Wangsa Dewa. Wangsa Dewa dapat ditaklukkan, dan
dibunuhnya...," kembali Nyi Kemuning Sari menghentikan tutur katanya.
Dihelanya napas panjang. Kemudian menatap wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang merasa ditatap,
menundukkan kepala, dengan perasaan tak menentu.
Demikian juga yang lainnya semua menunggu
kelanjutan cerita Nyi Kemuning Sari.
"Aku merasa bersalah, telah percaya akan
omongan orang yang sebenarnya musuh Kakang Singo. Karena rasa malu dan penuh
penyesalan, aku dengan rela membutakan kedua mataku ini...," Nyi Kemuning
Sari meneteskan air mata. "Aku tak ingin melihat dunia yang penuh dengan
kebohongan, kejahatan, dan kedengkian. Dan ini telah menjadi sumpahku, bahwa
aku bayar semua kebodohan dan kekerasan hatiku dengan membutakan mataku."
Pendekar Gila, Mei Lie dan yang ada terdiam.
Membuat suasana di dalam goa itu hening. Hanya
perasaan hari mereka yang berbicara.
"Tapi, hatiku sebenarnya masih ingin Kakang
Singo Edan mau menerima dan memaafkan kebodohanku ini. Dan karena akulah,
hingga Kakang Singo Edan, sengaja mengurung diri di dalam Goa Setan. Karena ia
merasa wanita yang dikasihi mengkhianatinya...." Sampai di situ Nyi
Kemuning Sari menutup ceritanya. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Mei Lie menghapus air matanya yang tak kuasa
dibendung. Gadis itu merasa terharu mendengar cerita Nyi Kemuning Sari. Juga
Pangeran Prapanca. Dan semua yang ada di goa itu.
"Aku senang, Sena. Bahwa murid Kakang Singo
yang gagah memiliki ilmu yang tiada tandingannya." Sesaat mereka diam.
Hening seisi ruangan goa itu. Sementara itu, Pangeran Prapanca tengah berpikir
keras, bagaimana cara menyusup masuk ke dalam Kerajaan Surya Langit. Karena
tentunya mereka telah mengetahui jati dirinya. Apalagi Pendekar Gila dan Mei
Lie, yang sangat menyolok baik tingkah laku maupun penampilan mereka sebagai
pendekar.
"Sekarang bagaimana cara kita untuk menyusup
ke dalam Kerajaan Surya Langit. Agar lebih mudah mengetahui rencana
mereka...?" tanya Pangeran Prapanca pada Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Lalu menoleh ke wajah Ki Jalna Wangga.
Karena di samping seorang pendekar tokoh tua, Ki
Jalna Wangga pun pasti banyak mengetahui selukbeluk istana Kerajaan Surya
Langit. Sebab lelaki berusia enam puluhan itu pernah mengabdi di istana ketika
masih diperintah Prabu Jawangga. Ki Jalna Wangga yang dipandang Pendekar Gila,
langsung mengerti.
"Bagaimana menurutmu, Ki Jalna
Wangga...?" tanya Pendekar Gila.
"Aku saat ini belum bisa memberikan jawaban.
Karena sejak aku meninggalkan kerajaan, dan mengasingkan
diri di Bukit Yuyu aku tak pernah memasuki kerajaan. Jadi aku tidak bisa
memastikan dari mana yang paling aman, untuk menyusup ke dalam istana,"
kata Ki Jalna Wangga memberikan penjelasan (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang Jalna Wangga dan Nyi Kemuning Sari, baca Pendekar Gila dalam episode
"Sepasang Maling Budiman").
"Benar kata Ki Jalna Wangga," sahut
Pangeran Prapanca. "Mereka pasti telah merubah penjagaan lebih ketat.
Apalagi dengan kejadian tadi." Sesaat mereka diam. Tak ada yang bersuara.
Masing-masing sedang berpikir mencari jalan yang
terbaik. "Bagaimana kalau kita menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan
memakai pakaian desa...?" usul Mei Lie. Suaranya memecah kesunyian.
Pangeran Prapanca nampak mengangguk-anggukkan kepala. Sedangkan Pendekar Gila
menggaruk-garuk kepala dan tertawa-tawa sendiri. Kemudian menatap Mei Lie yang
ada di sebelah kirinya. Sena nampak bangga dengan pendapat Mei Lie.
"Aku rasa usul kekasihmu ini ada benarnya,
Sena...," ujar Nyi Kemuning Sari mendukung usul Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum manis, sambil menatap Sena,
pemuda idamannya.
"Bagaimana menurutmu, Sena?" tanya
Pangeran Prapanca. "Juga kalian semua...?" "Kami setuju saja.
Usul Mei Lie bisa diterima.
Namun suatu tindakan yang cukup berbahaya. Kalau
salah satu tertangkap, gagallah rencana kita," tukas Pangeran Prapanca.
"Ya. Karena itu kita harus susun serapi
mungkin. Orang di luar kita jangan ada yang mengetahui rencana ini,"
sambung Ki Jalna Wangga kemudian.
Nyi Kemuning Sari manggut-manggut, lalu menghentakkan
tongkatnya pelan. Wajahnya tersenyum.
"Kalian harus bersatu dan sehati. Demi
tercapainya cita-cita dan maksud baik ini. Itu saja pesanku.
Aku pun akan membantu kalian," kata Nyi
Kemuning Sari dengan suara sedikit serak, penuh wibawa.
"Terima kasih, Nyi..." kata Pangeran
Prapanca sambil menjura.
"Pangeran, saya khawatir kalau orang-orang
kerajaan murka, karena kejadian tadi. Dan kemudian mereka menyerang Hutan
Bambu, markas kita," ujar Pranala tiba-tiba. "Apakah tak sebaiknya
kita sekarang kembali ke Hutan Bambu...?" "Benar juga. Tapi kita
harus berunding pada kawan-kawan yang lain. Bagaimana menurutmu, Sena?"
tanya Pangeran Prapanca.
"Sebaiknya Nyi Guru yang memberikan
keputusan," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana menurut pendapat Nyi Guru?"
"Hm..., sebenarnya aku merasa berat kalau sekarang kalian akan pergi. Hari
sudah mulai gelap. Lagi pula kalian belum menyusun rencana. Tapi kalau kalian
akan pergi juga, aku tak bisa melarang," jawab Nyi Kemuning Sari tegas.
"Kalau begitu, kita bermalam di sini saja.
Besok pagi-pagi kita berangkat ke Hutan Bambu, untuk memberitahukan kawan-kawan
kita. Rencana itu kita rundingkan di sini," kata Pangeran Prapanca
memutuskan. Karena ia tahu Nyi Kemuning Sari bermaksud baik. Dan wanita tua itu
lebih tahu segalanya dari mereka. Sementara itu, malam merambahi permukaan
bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut dingin berarak lambat,
seperti iring-iringan pengantar jenazah. Mencekam Sayup-sayup terdengar suara
burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.
6
Fajar telah datang. Kesunyian dirobek oleh suara
jerit dan teriakan seorang lelaki yang berlari ketakutan ke timur. Tampak
tubuhnya luka parah. Rupanya lelaki itu baru keluar dari Hutan Bambu.
Begitu cepat lari orang ini, karena ketakutannya.
Suara teriakan terdengar terputus-putus. Napasnya nampak terengah-engah.
Sampai mentari mulai meninggi, lelaki yang berumur
kira-kira tiga puluh delapan tahun ini masih berlari terseok-seok Dari arah
timur muncul beberapa orang, di balik lembah. Mereka tak lain rombongan
Pangeran Prapanca yang terdiri Pangeran
Prapanca, Sena, Mei Lie, Ki Jalna Wangga, Buto Gege
serta dua lelaki teman Ki Jalna Wangga, yaitu Manik Jingga dan Manik Belang.
Orang-orang tampak terkejut melihat sosok tubuh
yang tergeletak tak jauh di depan.
Pranala segera mendahului yang lain mendekati
laki-laki yang tergeletak itu. Disusul Ki Jalna Wangga, Pendekar Gila, dan Mei
Lie. Alangkah terkejurnya Pranala, setelah membalikkan tubuh lelaki yang
tubuhnya penuh luka kena goresan golok.
"Hah? Ya Gusti Hyang Jagat Dewa Batara
Ludira..." gumam Pranala setelah mengenali lelaki itu.
Pangeran Prapanca segera mendekati dan berjongkok
di dekat lelaki yang ternyata bernama Ludira itu. Prajuritnya, yang menjadi
pimpinan prajurit dari kelompok Pangeran Prapanca.
"Ludira...," terdengar suara Pangeran
Prapanca lirih. Wajahnya nampak sedih. "Ludira, apa yang telah terjadi.
Katakan...." Ludira perlahan-lahan membuka matanya, napasnya tampak sesak.
Bibirnya yang kering, karena kehausan tampak gemetaran. Perlahan mulutnya
terbuka, untuk bicara. Namun tak terdengar suara sedikit pun. Pangeran
Prapanca, dibantu Pendekar Gila berusaha memberikan kekuatan pada Ludira dengan
mengantar tenaga dalam ke tubuhnya. Sesaat Ludira mulai bisa bicara lirih.
Terputus-putus.
"Pang... eran... akh. Ma... maafkan sa... ya.
Akh..." "Ya, aku telah memaafkanmu.
Katakan, apa yang telah terjadi di Hutan Bambu?" tanya Pangeran Prapanca
cemas.
"Mer... mereka... menghan... curkan markas
kitaaa... aaakh..." Suara Ludira tersendat-sendat. Lalu setelah berucap,
laki-laki itu perlahan menutup matanya kembali dan menghembuskan napas yang
terakhir.
Gemeretak suara gigi Pangeran Prapanca, menahan
amarah. Jari-jarinya mengepal keras. Matanya nanar memandang ke depan.
"Biadab... Akan kubalas perbuatanmu ini, Paman
Awangga" dengus Pangeran Prapanca dengan suara geram.
"Pasti rencana perdana menteri laknat itu Aku
bersumpah akan mencabik-cabik hatinya" kata Ki Jalna Wangga, sengit.
"Aku pun tak akan membiarkannya hidup lebih
lama di dunia ini..." tambah Pranala tak kalah geram.
"Sebaiknya, kita cepat melihat keadaan Hutan
Bambu," ujar Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Tak banyak bicara lagi, mereka segera pergi ke
Hutan Bambu. Setelah menguburkan mayat Ludira.
Sesampainya di Hutan Bambu, Pangeran Prapanca dan
kawan-kawan tampak sangat terpukul hatinya, melihat mayat berserakan di
sana-sini. Apalagi ketika melihat orang-orang kepercayaan, dan andalannya
seperti Ki Naga Wilis, Panglima Gagak Selo, Resi Wisangkara, serta Tirta Kayon.
Mati dengan sangat menyedihkan.
"Kurang ajar Benar-benar biadab..." geram
Pangeran Prapanca marah. Hatinya benar-benar seperti dicabik-cabik, melihat
kejadian mengenaskan itu.
"Rupanya mereka menyerang pada malam hari,
atau menjelang pagi. Semua di luar perkiraan kita," sambut Sena dengan
nada penuh penyesalan. Sambil menggaruk-garuk kepala, dan nampak kesal.
Mayat-mayat prajurit ada yang terpotong lehernya,
hingga hampir putus. Ada pula kedua kakinya yang telah buntung. Sangat
mengerikan Darah berceceran di mana-mana. Bau amis dan kematian pun menyeruak
di dalam Hutan Bambu itu.
Pangeran Prapanca terduduk di atas sebatang pohon
besar yang telah tumbang. Putra Mahkota Kerajaan Surya Langit itu seakan-akan
semakin tak tahan menyaksikan kebiadaban orang-orang kerajaan. Tampak wajahnya
termenung penuh rasa haru.
Pendekar Gila mengisyaratkan agar segera
menguburkan mayat bekas para tokoh kerajaan itu.
Mereka adalah Ki Naga Wilis, Panglima Rawa Sekti,
Resi Wisangkara, Tirta Kayon, serta puluhan prajurit yang membelot dari istana.
Mayat-mayat itu akhirnya dikebumikan secara masal.
Mentari semakin tinggi, sinarnya semakin panas
menyengat tubuh mereka. Pangeran Prapanca masih tampak termenung, seakan tak
mampu untuk membuang perasaan dukanya, karena telah kehilangan bala tentara
yang dengan rela bersedia mendukung perjuangannya merebut takhta kerajaan yang
hilang.
***
Di pihak
kerajaan, Perdana Menteri Giri Gantra tengah mencak-mencak. Hal itu karena
orangorangnya tak berhasil menemukan Pangeran Prapanca.
Begitu juga dengan Baginda Raja Awangga. Pemegang
tampuk kekuasaan Kerajaan Surya Langit itu tampak khawatir kalau takhtanya akan
terguling dan jatuh ke tangan putra mahkota, Pangeran Prapanca.
"Perdana Menteri macam apa kau...? Aku sudah
bosan dengan kata-katamu" dengus Baginda Raja Awangga dengan nada marah.
"Kau bilang, orang-orang pilihanmu cukup tangguh. Buktinya? Menangkap
Prapanca dan kawan-kawannya, yang hanya segelintir saja tak becus Aku tak mau
tahu. Pokoknya kau harus dapat menangkap Pangeran Prapanca, hidup atau mati
Kalau tidak, kau sebagai gantinya..." tambah Baginda Raja Awangga sambil
menggebrak meja.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berkata
apa-apa lagi. Wajahnya tampak merah, malu. Semua jago golongan hitam yang
disewanya ada di situ. Perdana Menteri Giri Gantra sangat terinjak-injak
martabatnya. Apalagi ada dua jago aliran hitam, yang kurang setuju dengan
tindakannya dalam memerintah secara seenaknya. Mereka adalah Jenggot Naga dan
si Mata Tunggal.
Keduanya bermaksud mengundurkan diri dari kelompok
perdana menteri licik itu.
"Perdana Menteri, kami berdua tak sanggup lagi
ikut dalam penyerangan ke Hutan Bambu. Kami akan kembali ke padepokan kami
masing-masing," ujar Jenggot Naga dengan suara parau.
"Benar" tambah si Mata Tunggal.
"Ha ha ha... Enak saja kau bicara begitu Kau
pikir kalian berdua bisa begitu saja melepas tanggung jawab, dan perjanjian
dengan pihak kerajaan? Huh" bentak Baginda Raja Awangga setelah mendengar
ucapan Jenggot Naga dan si Mata Tunggal.
Jenggot Naga dan si Mata Tunggal tak dapat
menentang. Keduanya diam dengan perasaan jengkel.
"Giri Gantra..." "Hamba,
Baginda." "Aku ingin hari ini juga kau kembali ke Hutan Bambu.
Tangkap, dan bila perlu bunuh Prapanca Aku tak mau tahu bagaimana caramu. Dan
ingat jangan kembali, sebelum kau berhasil membawanya hidup atau mati"
ucap Baginda Raja Awangga dengan suara lantang.
"Baik, Baginda. Kami mohon diri..." sahut
Perdana Menteri Giri Gantra sambil menjura hormat pada Baginda Raja Awangga.
Perdana Menteri Giri Gantra mengangkat tangan
kanan, sebagai isyarat pada pengikut-pengikutnya agar segera berangkat.
Seketika para jago dan para prajurit kerajaan
bergegas meninggalkan ruangan itu.
Setelah keberangkatan Perdana Menteri Giri Gantra
dan pasukannya, Permaisuri Raja Awangga muncul dengan raut wajah yang
menunjukkan kecemasan. Wanita cantik itu mendekati sang Baginda Raja Awangga,
yang masih bertopang dagu, memikirkan nasibnya. Jika nanti Pangeran Prapanca
berhasil mengalahkan pasukannya, tak tahu bagaimana nasibnya sebagai raja.
Apalagi kalau mengingat nama Pendekar Gila yang turut mendukung perjuangan
kemenakannya merebut takhta kerajaan. Kemarin telah disaksikannya sendiri,
bagaimana pendekar muda itu dengan mudah mampu menghadapi Jenggot Naga dan si
Mata Tunggal. Padahal pendekar bertingkah laku seperti orang gila itu belum
mencabut Suling Naga Saktinya.
Sungguh suatu yang menakutkan bagi sang Raja.
"Kangmas Awangga. Apakah tidak sebaiknya,
Kangmas menyerahkan takhta kerajaan ini pada Pangeran Prapanca?" ujar
permaisuri dengan lemah lembut, sambil mengusap perlahan bahu Baginda Raja
Awangga.
"Hm..." gumam Baginda Raja Awangga seraya
memegangi jenggotnya yang putih. Wajahnya menoleh pada sang Permaisuri sambil
menghela napas.
"Aku mempunyai firasat buruk, Kangmas.
Sebaiknya batalkan saja niatmu itu..." saran permaisuri dengan kesedihan.
"Ah Dimas jangan ganggu pikiranku Aku tak
mungkin menarik kembali perintahku. Lagi pula, Perdana Menteri Giri Gantra
sudah berangkat. Dan aku tidak akan menyerahkan takhta kerajaan ini pada siapa
pun. Apalagi pada Prapanca..." jawab Baginda Raja Awangga dengan suara
berat Sang Permaisuri hanya diam. Tampak dari matanya menetes air bening.
Wanita itu tak mampu menahan perasaan sedih dan kekhawatirannya terhadap
suasana kerajaan itu.
"Sebaiknya Dimas istirahat saja Aku ingin
menenangkan pikiran," ujar Baginda Raja Awangga lagi.
Nadanya kesal.
Sambil menangis, sang Permaisuri meninggalkan
Baginda Raja Awangga. Hati permaisuri itu sangat sedih bercampur cemas yang
sangat dalam.
Sementara Baginda Raja Awangga memandangi
kepergiannya dari belakang. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Lalu
mondar-mandir, dengan kedua tangan di belakang. Dua orang pengawal kerajaan
tampak berada di ruangan itu, menjaga sang Raja.
"Pengawal..." seru Baginda Raja Awangga
tiba-tiba.
"Hamba, Baginda," sahut seorang pengawal
sambil menjura.
"Antarkan aku ke ruang siksa bawah tanah"
perintah Baginda Raja Awangga, lalu melangkah pergi meninggalkan singgasana.
Diikuti dua pengawalnya.
***
Ruang siksa
bawah tanah, hanya diterangi lampu obor yang tergantung pada dinding temboknya.
Hawa di dalam lembab sekali. Di sebelah kanan
ruangan yang tak seberapa luas itu tampak sebuah tiang gantungan.
Salah satu ruang siksa tampak dijaga seorang
berkepala botak, bertubuh besar dengan wajah bengis.
Di dalam ruangan itu tampak seorang lelaki berusia
enam puluh tahunan bertubuh kurus dengan rambut dan jenggot panjang yang telah
memutih. Lelaki itu ternyata Prabu Jayawangga, mantan penguasa Kerajaan Surya
Langit yang digulingkan oleh Baginda Raja Awangga. Wajah ayahanda Pangeran
Prapanca itu menyiratkan suatu penderitaan berat telah menghimpit jiwanya.
Matanya tampak cekung. Wajahnya pucat pasi tanpa rona ceria sedikit pun. Derita
panjang telah meluluh lantakkan jiwanya sebagai seorang raja yang sangat
dicintai rakyatnya.
Prabu Jayawangga tampak terkulai dengan beralaskan
kain tebal yang sudah usang. Napasnya terdengar berat, sepertinya dirasakan
sangat sesak.
Pada ruang penjara yang lain nampak para tawanan,
bekas prajurit dan tokoh-tokoh istana yang setia dengan Prabu Jayawangga. Ada
delapan orang di dalam ruangan yang lebih lebar dari tempat sang Raja.
Kedelapan orang itu nampak masih agak sehat. Dua di
antara mereka masih muda. Sedangkan enam lainnya berumur sekitar empat puluh
tahunan.
Penjara itu pun dijaga seorang berbadan tinggi
besar dan berwajah angker. Hidungnya yang besar tampak kembang kempis. Matanya
yang tajam terus mengawasi sekeliling tempat itu. Tangannya yang besar memegang
cambuk.
Tak lama kemudian datang Baginda Raja Awangga,
dikawal dua prajurit kerajaan. Penjaga cepat memberi hormat, dengan
membungkukkan badan.
"Buka ruangan itu" perintah Baginda Raja
Awangga pada penjaga yang berkepala botak.
Penjaga segera membuka pintu penjara yang terbuat
dari besi itu. Suara pintu besi itu terdengar menyakitkan telinga. Prabu
Jayawangga nampak masih terkulai lemas, seakan tak mendengar apa-apa.
"Hei Bangun... Ayo bangun" bentak penjaga
sambil mengguncang-guncangkan tubuh lelaki tua itu.
Dengan malas Prabu Jayawangga membuka mata, lalu
bergerak bangun dengan perlahan.
Baginda Raja Awangga menatapnya dengan wajah sinis.
Tak ada rasa belas kasihan. Bahkan dengan kasar ditendangnya tubuh Prabu
Jayawangga "Hei, Tua Bangka Dengar, sebentar lagi aku akan lebih berkuasa.
Kerajaan Surya Langit tetap menjadi milikku. Dan putramu, tak lama lagi mampus
di tangan orang-orangku. Ha ha ha... Dan kau akan mati dalam penjara ini. Ha ha
ha..." Baginda Raja Awangga tertawa keras dan terbahak-bahak sambil
berkacak pinggang.
"Tak ada orang yang berani menentangku. Akulah
raja sejati. Kau kini jadi budakku Ha ha ha... Dan hanya akulah yang pantas
menjadi Raja Surya Langit.." Baginda Raja Awangga nampak tertawa-tawa seperti
orang kurang waras. Semua itu untuk menutupi kecemasan dan kekhawatirannya yang
amat besar.
Sebenarnya Baginda Raja Awangga merasa cemas, bahwa
takhtanya akan dapat diruntuhkan oleh Pangeran Prapanca yang dibantu Pendekar
Gila. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau sesungguhnya hatinya tak tenang.
Sedangkan Prabu Jayawangga hanya diam dan menunduk,
lalu ambruk, ketika Baginda Raja Awangga menendangnya.
"Beri makan orang tua ini sebanyakbanyaknya
Karena tak lama lagi dia akan mati..." se-ru Baginda Raja Awangga pada
penjaga.
"Baik, Baginda Raja...," jawab penjaga
sambil menjura.
Baginda Raja Awangga lalu pergi meninggalkan
penjara itu dengan wajah muram. Diikuti oleh dua pengawalnya. Sementara lelaki
tua berambut putih panjang dan berjenggot putih itu nampak kembali terkulai
"Aku setiap malam berdoa, meminta pada Hyang Widhi. Agar Kerajaan Surya
Langit kembali direbut oleh putraku...." Terdengar suara lirih dari dalam
penjara yang pengap dan lembab itu.
"Ya. Karena Pangeran Prapanca-lah yang lebih
pantas menjadi raja di Kerajaan Surya Langit Karena ia putra mahkota. Hanya
karena kelicikan dan keseraka-han Awangga dan Giri Gantra berhasil menghasut
rakyat, untuk menjatuhkan Kanjeng Prabu." Terdengar suara lain dari ruang
penjara di sebelahnya. Suasana hening, sehingga suara-suara itu terdengar
meskipun agak lirih.
"Kalau nanti Pangeran Prapanca berhasil
merebut kerajaan ini, aku bersumpah akan memotong rambutku yang panjang ini.
Sebagai tanda syukur.
Dan, akan kusobek perut Giri Gantra yang buncit
itu" sambung yang lainnya dengan suara geram.
Lalu para tahanan tertawa-tawa. Seakan mereka
merasa yakin kalau Pangeran Prapanca bakal memperoleh kemenangan.
Tiba-tiba penjaga marah mendengar suara tawa
mereka. Maka dengan keras penjaga membentak. Namun orang-orang itu tetap saja
tertawa terbahakbahak. Maka penjaga membuka pintu, lalu masuk dan menghajar
orang-orang itu. Keributan terjadi. Orangorang itu melawan. Namun akhirnya
menyerah, karena penjaga menggunakan cambuk untuk menyiksa mereka. Begitulah
keadaan penjara bawah tanah. Orang luar tak tahu apa yang terjadi di dalam
ruangan bawah tanah itu. Tak tahu bagaimana kejamnya orang-orang Baginda Raja
Awangga.
***
7
Matahari telah condong ke arah barat pertanda hari
menjelang sore. Angin berhembus semilir, ditingkahi suara kicau burung yang
pulang ke sarang.
Dari kejauhan tampak serombongan pasukan bergerak
ke barat. Rombongan pasukan itu dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra. Rombongan
terbagi empat kelompok yang dipimpin empat kaki tangan Perdana Menteri Giri
Gantra. Yaitu Jembel Pilarang, Kala Prana, memimpin kelompok di depan.
Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah siap tiga
kelompok yang masing-masing dipimpin Sepasang Toya Setan, Kati Asem, Hiwa Krana
dan si Mata Tunggal berpasangan dengan Jenggot Naga.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya, maka tiga
kelompok yang ada di belakang akan segera membantu. Sungguh suatu siasat perang
yang hebat.
Untuk melaksanakan siasat itu, tak tanggungtanggung
hampir lima puluh prajurit diikutsertakan.
Dan telah tertanam perintah di benak mereka, untuk
menangkap Pangeran Prapanca hidup atau mati. Jika gagal, sudah dapat
dibayangkan akibatnya. Mereka akan dihukum penggal kepala Mata para prajurit
terus mengawasi daerah Hutan Bambu, yang sudah semakin dekat. Nampak di wajah
mereka tersirat ketegangan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin Perdana Menteri Giri
Gantra semakin dekat Kini mereka sudah berada di mulut Hutan Bambu yang tampak
sunyi dan sepi. Tak terdengar suara orang, maupun burung.
Pasukan Kerajaan itu terus maju, mendekati Hutan
Bambu. Mereka tampaknya tak menaruh rasa curiga sedikit pun kalau Pangeran
Prapanca dan kawan-kawan mengetahui kedatangan mereka.
Ketika pasukan prajurit kerajaan memasuki Hutan
Bambu, tiba-tiba kelompok paling depan mundur kembali. Ternyata dari dalam
hutan menghadang prajurit lain berjumlah sekitar dua puluh orang. Mere-ka
dipimpin Ki Jalna Wangga dan Pranala, serta Manik Jingga. Perdana Menteri Giri
Gantra terkejut bukan main. Wajahnya mendadak berubah pucat. Apalagi ketika dia
tahu kalau pasukannya telah terkepung. Di belakang mereka, telah berjajar
setengah lingkaran pa-ra pemuda dan orang tua penduduk desa. Mereka
bersenjatakan golok, tombak, dan pentungan. Tampak di depan pasukan penduduk
desa itu Mei Lie dan Manik Belang. Namun mereka tak melihat Pangeran Prapanca
maupun Pendekar Gila.
Perdana Menteri Giri Gantra semakin cemas dan
ketakutan. Keringat telah membasahi wajahnya yang nampak pucat dan ketakutan.
Hatinya hampir tak percaya apa yang tampak di depan mata.
Perdana Menteri Giri Gantra sama sekali tak
menyangka kalau Pangeran Prapanca ternyata telah mempersiapkan pasukan sebanyak
itu. Pihak kerajaan tak pernah berpikir kalau Pendekar Gila yang terus
mendampingi sang Pangeran telah ikut mengatur siasat hebat ini. Pendekar Gila
memang memberi saran kepada putra mahkota itu agar mempersiapkan jebakan.
Karena nalurinya mengatakan bahwa pasukan kerajaan akan mendahului, menyerbu
Hutan Bambu.
Kini pasukan kerajaan telah terkepung para
pendukung Pangeran Prapanca. Perlahan tapi pasti, pasukan yang dipimpin Mei Lie
dan Manik Belang telah bersiap siaga, mendekati mereka. Sedangkan dari dalam
Hutan Bambu prajurit yang dipimpin Ki Jalna Wangga, Pranala, dan Manik Jingga
terus mendesak pasukan Kerajaan Surya Langit. Sehingga, kini pasukan Kerajaan
Surya Langit benar-benar terkurung. Tak bisa bergerak. Maju mereka dihadang Mei
Lie dan pasukannya, mundur pun Ki Jalna Wangga dan orangorangnya telah siap
tempur.
"Tak kusangka Ki Jalna Wangga memihak pada
Pangeran Prapanca...," gumam Perdana Menteri Giri Gantra dengan bibir
gemetar. Dia merasa cemas melihat kekuatan Pangeran Prapanca makin kuat.
Perdana Menteri Giri Gantra tahu kehebatan ilmu Ki Jalna Wangga.
"Ha ha ha... Hi hi hi... Lucu Lucu sekali kau,
Perdana Menteri Mukamu kenapa jadi seperti tikus sawah...? Hi hi hi..."
Tiba-tiba terdengar tawa mengejek dari seseorang. Perdana Menteri Giri Gantra
semakin cemas dan takut. Sebentar-sebentar tangannya mengelap keringat di
kening. Tak lama kemudian, berkelebat dua sosok bayangan melesat begitu cepat
Werrr Perdana Menteri Giri Gantra makin gemetaran, melihat kedua sosok bayangan
itu. Kedua sosok bayangan itu ternyata Pendekar Gila dan Pangeran Prapanca.
Mereka berdua sengaja memisahkan diri dari kelompok Mei Lie dan Ki Jalna
Wangga. Pendekar Gila dan Pangeran Prapanca berdiri dekat dengan pasukan kerajaan
yang dipimpin Perdana Menteri Giri Gantra. "Ah ah ah... Kenapa kau pucat
Giri Gantra...? Rupanya tikus-tikus busuk ini terperangkap, Pangeran. Hi hi
hi..." ujar Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
Belum selesai ejekan Pendekar Gila, terdengar lagi
dari arah belakang.
"Aku sudah berjanji untuk mencabut nyawamu,
Giri Gantra Manusia macam kau harus menerima ganjaran yang setimpal..."
suara Ki Jalna Wangga terdengar lantang dan penuh amarah. Perdana Menteri Giri
Gantra semakin tak berkutik. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Kini tiba saatnya kau dan orang-orangmu
menyerah..." teriak Pranala dari jarak sekitar lima belas tombak.
"Tidak... Tidak. Ayo serang..." perintah
Perdana Menteri Giri Gantra pada pasukannya.
Namun para prajurit kerajaan tak langsung
menyerang. Juga si Mata Tunggal dan Jenggot Naga yang tadi minta mengundurkan
diri. Kedua tokoh persilatan itu diam. Namun para jago aliran hitam lainnya,
seperti Jembel Pilarang, Sepasang Toya Setan, Setan dari Rimba Merawan, dan
Hiwa Krana, mulai bergerak maju. Sambil memerintahkan para prajurit Pertempuran
antara dua kekuatan pun pecah.
Para prajurit Kerajaan Surya Langit bertempur
melawan pasukan yang mendukung perjuangan Pangeran Prapanca. Mereka kebanyakan
orang desa yang bersenjatakan golok, bambu runcing, kapak, parang, dan
sebagainya.
Sedangkan para tokoh persilatan aliran hitam,
menghadapi para pendekar yang bergabung dengan Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi... Mari kita sambut tikus-tikus
itu" ajak Pendekar Gila sambil cekikikan. "Heaaa..."
"Serbuuu..." Mulai terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika
Hutan Bambu yang semula hening berubah ramai.
Hiruk-pikuk dan dentang suara senjata beradu pun
terdengar memecah suasana. Sesaat kemudian, tampak berjatuhan korban dari kedua
belah pihak. Darah pun tampak, berceceran mewarnai tanah tempat pertempuran.
Pendekar Gila dan kawan-kawan pendukung Pangeran
Prapanca pun mulai bergerak menghalau setiap lawan yang menyerang dan membunuh
putra mahkota itu. Pedang di tangan mereka berkelebatan cepat. Bagaikan
malaikat pencabut nyawa memburu setiap lawan yang menyerang.
Pembantaian yang dilakukan pihak kerajaan pun tak
kalah hebatnya. Jembel Pilarang dan Hiwa Krana, serta Setan dari Rimba Merawan,
tampak semakin buas dan beringas, membantai prajurit Pangeran Prapanca.
Pendekar Gila dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, meliuk-liuk mengelak setiap serangan lawan yang
berusaha menggebraknya. Lima orang panglima rendah kerajaan dengan golok di
tangan, membabat Pendekar Gila yang nampak tenang dan menggaruk-garuk kepala.
"Heaaa...." Wret Wret "Hi hi
hi..." Pendekar Gila justru tertawa-tawa, dan bertingkah aneh. Tubuhnya
melenting ke udara. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'
tahu-tahu kaki kanan dan tangannya sudah menghajar kelima lawan.
Plak Bukkk..
"Aaakh..." "Aaau..." Seketika
kelima panglima itu terpental dengan tubuh berputar, lalu jatuh. Kelimanya
langsung tak berkutik lagi.
Pendekar Gila mengerutkan kening dan
menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba dari belakang, kembali lima orang
andalan kerajaan menyerang Pendekar Gila. Rupanya Pendekar Gila sudah
mengetahuinya. Dengan gerakan cepat, sebelum serangan lawan sampai, Pendekar
Gila telah mendahului dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Pukulan
telapak tangannya yang tampak lemah dan lamban sempat membuat lawan tersentak
kaget. Maka....
Plak Bukkk "Aaa..." "Aaakh..."
Serangan itu mendarat telak di dada kelima lawan. Tak ampun lagi, tubuh kelima
prajurit kerajaan itu bergulingan dan tak berkutik lagi.
Sementara itu, Ki Jalna Wangga atau si Pukulan
Petir berusaha menangkap Perdana Menteri Giri Gantra yang hendak kabur. Namun
empat prajurit kerajaan menghadangnya. Dengan golok, mereka babat ke tubuh Ki
Jalna Wangga. Lelaki tua berambut panjang itu tampaknya tak ingin berlama-lama
menghadapi keroco-keroco itu. Dengan gerak cepat Ki Jalna Wangga melenting,
lalu memutar tubuh di udara. Dengan cepat pula kakinya menghajar keempat
prajurit yang menyerangnya.
"Heaaa..." Plak Bukkk "Aaa..."
"Wadau..." Seketika keempat prajurit itu terjungkal tak bernyawa
lagi. Ki Jalna Wangga terus melompat, mengejar Perdana Menteri Giri Gantra yang
berusaha kabur. Beberapa kali tubuhnya yang terbalut jubah coklat itu
melenting, melewati lawan yang berusaha menghadang. Lalu ketika hampir berhasil
menangkap, tiba-tiba Sepasang Toya Setan menghadang Ki Jalna Wangga. Sepasang
Toya Setan bergerak dengan cepat memutar senjata mereka hingga menimbulkan
dengungan yang memekakkan telinga.
Ki Jalna Wangga tersentak mendapat serangan
tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada sehingga dengan cepat mendoyongkan
tubuhnya ke samping.
Serangan pun terelakkan. Kemudian, tanpa berpikir
panjang, Ki Jalna Wangga langsung balas menyerang dengan pukulan lurus,
disertai tenaga dalam yang kuat. "Heaaa..." Wuuut "Hah...?"
Sepasang Toya Setan tersentak kaget. Hampir saja pukulan lawan menghunjam ulu
hati, kalau saja keduanya tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh.
Sementara tangan yang memegang toya turut bergerak
menangkis pukulan lawan.
"Hih..." Prak "Aaa..." Dua toya
beradu dengan tangan Ki Jalna Wangga. Dari benturan keras itu terpecik bunga
api.
Ternyata Ki Jalna Wangga menggunakan jurus 'Pukulan
Petir' andalannya. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat melompat ke
belakang. Wajah Sepasang Toya Setan berubah pucat, ketika tangannya dirasakan
bergetar akibat benturan dengan tangan Ki Jalna Wangga. Bahkan mereka merasa
ada hawa panas seperti terbakar di dada. Keduanya sadar kalau lawan bukan orang
sembarangan. Tenaga dalam lawan ternyata berada jauh di atas mereka. Sepasang
Toya Setan tak menduga akan hal itu.
Sesaat mata mereka saling berpandangan.
Nampak ketenangan di wajah Ki Jalna Wangga.
Sepertinya si Pukulan Petir itu tak merasa kesakitan atas benturan tadi. Hal
itu membuat Sepasang Toya Setan semakin penasaran bercampur marah. Keduanya
mendengus, kemudian kembali melakukan serangan.
"Heaaa..." Sepasang Toya Setan melesat
cepat menyerang.
Ki Jalna Wangga segera bergerak mundur mengelak
sambil mengegoskan kaki kanan dan kin, lalu dengan cepat balik menyerang. Kedua
tangannya menghantam dan menyambar dengan cepat dan beruntun ke bagian tubuh
yang mematikan.
Sepasang Toya Setan yang tahu kehebatan ‘Pukulan
Petir’, berusaha menghindari bentrokan. Keduanya berusaha menjaga jarak. Namun
tiba-tiba Sepasang Toya Setan terkejut ketika serangan Ki Jalna Wangga berkelebat
cepat dan keras ke tubuh mereka.
"Heh...? Gawat Celaka..." pekik salah
satu da-ri Sepasang Toya Setan. Dia tak menyangka kalau lawan yang semula
dianggap enteng ternyata memiliki serangan yang sangat berbahaya. Kalau tidak
hatihati, dalam beberapa gebrakan saja mereka dapat dikalahkan.
Ki Jalna Wangga yang melihat Sepasang Toya Setan
tampak kewalahan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan 'Pukulan Petir'nya,
secara tiba-tiba Ki Jalna Wangga menghantam tubuh lawan.
"Heaaa..." Glarrr "Aaa..."
"Wuaaa..." Sebuah ledakan terdengar, ketika 'Pukulan Petir' yang
dilancarkan Ki Jalna Wangga menghantam tubuh Sepasang Toya Setan. Tak ampun
lagi, kedua lelaki kekar bersenjata toya itu terpental beberapa tombak ke
belakang. Jeritan keras terdengar dari mulut keduanya, karena menahan rasa
sakit yang hebat. Kedua tubuh itu bergulingan di tanah dengan dada gosong
seperti terbakar. Sesaat kemudian Sepasang Toya Setan tewas dengan tubuh kaku.
Ki Jalna Wangga menghela napas dalam-dalam, lalu
segera melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Maksudnya tak lain
mengejar Perdana Menteri Giri Gantra, yang melarikan diri dari tempat
pertempuran.
Di tempat lain, nampak Mei Lie dikeroyok Jembel
Pilarang dan Hiwa Krana. Pertarungan mereka sudah berjalan cukup lama.
Nampaknya Mei Lie belum mau menaklukkan atau membunuh lawannya. Gadis Cina itu
belum mengeluarkan jurus ampuhnya, jurus 'Pedang Tebasan Batin'. yang mampu
menghancurleburkan tubuh lawan dengan sentuhan Pedang Bidadari.
"Heaaa..." Mei Lie melenting ke udara ketika dua lawannya menyerang
dengan menusukkan pedang ke dada Mei Lie. Setelah mendarat dengan sempurna,
Bidadari Pencabut Nyawa itu membuka serangan cepat. Pedangnya diputar begitu
cepat hingga menyerupai baling-baling. Dari gerakan pedang itu keluar suara
menderu yang keras. Pedang itu mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan.
"Hah?" Jembel Pilarang dan Hiwa Krana
terbelalak kaget, menyaksikan jurus maut itu. Namun keduanya tak mau mengalah
begitu saja. Dengan cepat mereka membuka jurus-jurus andalan.
"Heaaa..." "Hiaaat..." Trang
Trang Pedang mereka beradu, mengeluarkan percikan api. Kemudian dengan cepat
dan sukar ditangkap mata biasa, Mei Lie tiba-tiba melenting dan bersalto
beberapa kali di udara. Tangan kirinya bergerak memukul ke depan. Sementara
pedangnya berkelebat menebas ke tubuh kedua lawan.
"Hiaaa..." Wut Crab "Akh..."
"Heaaa..." "Hiaaat..." Pekikan tertahan keluar dari mulut
Jembel Pilarang dan Hiwa Krana. Keduanya pun tak mampu menutupi keterkejutan
mereka. Betapa tidak? Tubuh mereka tak terluka sedikit pun. Padahal jelas
tertebas Pedang Bidadari. Namun sesaat kemudian kedua tubuh lelaki itu terbelah
jadi dua dan ambruk ke tanah.
Yang lebih mengejutkan, tubuh keduanya tiba-tiba
hancur menjadi debu. Itulah akibat jurus 'Pedang Tebasan Batin' Para prajurit
yang sedang bertarung sempat terkejut dengan membelalakkan mata. Mereka merasa
takjub bercampur ketakutan. Dan kesempatan itu digunakan oleh pasukan Pangeran
Prapanca untuk menyerang dan menghabisi prajurit Kerajaan Surya Langit.
"Serang... Majuuu... Hantam mereka..."
seru para pendukung Pangeran Prapanca.
Pertempuran semakin seru. Banyak di antara para
prajurit yang membabi-buta karena marah. Mayat pun bergelimpangan di sana-sini,
dalam keadaan mengerikan. Darah segar tercecer di mana-mana, membasahi tanah di
Hutan Bambu itu.
Buto Gege dan Pranala pun tak kalah perkasanya.
Keduanya telah banyak merobohkan lawanlawannya. Demikian juga dengan Manik
Jingga dan Manik Belang, yang dengan gigih menghadapi prajurit kerajaan.
Si Mata Tunggal dan Jenggot Naga, yang sebelumnya
sudah menentang Perdana Menteri Giri Gantra, dan ingin mengundurkan diri,
menyerah begitu saja ketika Pranala hendak membunuh mereka.
"Aku menyerah. Tapi jangan bunuh aku Semua ini
kulakukan, karena tekanan dari Baginda Raja Awangga dan perdana menteri
pengecut itu. Ampuni kami..."" ujar Jenggot Naga memohon pada
Pranala.
"Benar, Kisanak. Ampunilah kami Kami berjanji
tak akan mengganggu Pangeran Prapanca" sambung si Mata Tunggal.
"Tidak... Kalian antek-antek kerajaan. Aku tak
bisa mengampuni" Jenggot Naga dan si Mata Tunggal saling pandang. Pasrah.
Pranala mengangkat pedangnya tinggitinggi. Dan ketika pedang itu diayunkan ke
tubuh kedua lawannya, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat.
"Tunggu..." Suara itu keluar dari mulut Mei Lie yang sudah berada di
dekat Pranala. Gadis itu berusaha mencegah Pranala yang sudah tak mampu menahan
dendamnya.
"Hei...? Apa maksudmu menghalangiku, Mei
Lie...?" tanya Pranala dengan nada kurang senang.
"Sabar Pranala Kita tak boleh membunuh atau
melukai lawan yang sudah menyerah dan minta ampun...," ujar Mei Lie dengan
sabar dan tenang, mencoba menyadarkan Pranala.
"Benar apa kata Nini Mei Lie. Sebaiknya, biar
kedua orang ini kita bebaskan. Apalagi keduanya telah menjelaskan, bahwa
sebenarnya sudah merasa muak dengan perdana menteri pengecut itu," tambah
Buto Gege yang baru saja menaklukkan lawan-lawannya.
"Tidak... Tidak Kalian jangan bermurah hati
pada kedua orang ini Aku harus membunuh mereka..." tegas Pranala penuh
kemarahan dan dendam.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Tapi
ingat, jangan harap aku dan Pendekar Gila akan terus membantumu. Huh"
sungut Mei Lie, lalu bergegas pergi. Begitu juga dengan Buto Gege. Sambil
menggelengkan kepala, lelaki bertubuh raksasa itu kembali menghadapi
orang-orang kerajaan yang semakin berkurang. Demikian pula Mei Lie. Gadis Cina
itu tampak kesal. Maka ketika lima orang prajurit kerajaan menghadangnya,
langsung dibabat.
"Heaaa..." Cras Cras "Aaa..."
Jeritan kematian terus terdengar menyayat hati. Namun mereka tak menghiraukan.
Pertarungan semakin seru. Pihak kerajaan tampak mulai mengendur dan terdesak.
Para tokoh aliran hitam yang disewa Kerajaan Surya Langit, satu persatu
bertumbangan. Tewas Pangeran Prapanca tak kalah lincah dan gagah.
Beberapa orang lawan telah berhasil dilumpuhkannya.
Tendangan dan pukulannya tak kenal ampun, terus
menghajar setiap lawan yang berusaha menangkapnya. "Kalian mencari
mampus" dengus Pangeran Prapanca gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi
tubuhnya berkelebat melabrak dua orang lawannya. Mereka merupakan tokoh aliran
hitam yang cukup berilmu lumayan, Kali Wangsa dan Catur Abang. Keduanya berasal
dari Partai Iblis dari selatan.
"Awas..." pekik Catur Abang dengan mata
membelalak menyaksikan serangan yang begitu mendadak dan cepat. Tangannya
mendorong Kali Wangsa, sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri untuk
mengelakkan tusukan lawan. Ternyata dugaannya meleset Pangeran Prapanca dengan
sangat cepat dan sulit diduga melancarkan sebuah
tendangan keras.
"Heaa..." Deg "Aaa..." Tak
ampun lagi, tendangan yang disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di
lambung Catur Abang. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terdorong deras ke
belakang. Sehingga akhirnya membentur sebuah batu besar.
Brukkk Kepala Catur Abang langsung pecah dan
berhamburan di tanah. Seketika itu juga Catur Abang tewas Hal itu membuat Kali
Wangsa seketika terkejut.
Sulit sekali diikuti gerakan yang dilakukan
Pangeran Prapanca. Dan belum juga hilang rasa kaget di hatinya, tiba-tiba
dikejutkan oleh serangan cepat yang dilakukan putra mahkota itu. Sebuah tusukan
keris melesat ke dadanya. Mau tak mau Kali Wangsa segera menjatuhkan diri untuk
mengelakkan serangan itu.
Tangannya yang terasa sakit langsung digerakkan,
memukul ke arah selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan kerisnya ke
bawah.
"Edan Celaka..." pekik Kali Wangsa.
Kali Wangsa berusaha menarik pukulannya, tapi
tebasan keris lawan ternyata jauh lebih cepat dibanding gerakannya. Tanpa ampun
lagi, keris Pangeran Prapanca menyambar tangan Kali Wangsa.
Cras "Aaa..." Pekik kesakitan pun keluar
dari mulut Kali Wangsa. Disusul dengan sebuah tendangan cepat menghantam
dadanya. Tak ayal lagi, tubuh Kali Wangsa terpental enam tombak, dan melintir.
Kemudian ambruk dan tewas Sementara itu, Pendekar Gila tampak tengah bertarung
melawan Setan dari Rimba Merawan. Makhluk bertubuh besar dan berkepala seperti
gorila itu tampaknya menyimpan dendam kesumat pada Pendekar Gila. Hal itu
karena dalam pertarungan di dalam Istana Kerajaan Surya Langit kemarin,
Pendekar Gila sempat membuatnya malu di depan Baginda Raja Awangga. Bahkan
tangan kirinya terluka.
"Kali ini kau tak akan bisa berbuat banyak,
Pemuda Gila..." rungut Setan dari Rimba Merawan sambil membuka serangan.
Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan menyambar cepat. Tangan kanannya
membentuk siku dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya diputar, lalu
dihentakkan menghantam dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan cepat
Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangannya diangkat lurus ke atas dengan
telapak saling berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut, lalu direntang
ke kanan, diikuti gerakan membuka kedua telapak tangan. Selanjutnya terlihat
gerakan seperti menari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan kiri lurus
ke bawah.
"Yeaaat.." Dengan menggunakan jurus 'Kera
Gila Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, lalu dengan cepat
tubuhnya melesat ke depan. Tangan kanannya yang semula di atas, kini menyibak
ke depan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas lalu diteruskan memukul ke
tubuh lawan.
"Yeaaa..." "Heaaa..." Dua tokoh
berilmu tinggi itu kini telah samasama melesat untuk melakukan serangan. Tangan
dan kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan tubuh. Tangan keduanya
bergantian melakukan serangan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki saling
menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha... Akhirnya kau akan mampus,
Pendekar Gila. Yeaaa..." Dengan suara lantang penuh keangkuhan, Setan dari
Rimba Merawan melesat cepat melakukan serangan. Tangan kanannya menghantam dada
Pendekar Gila. Sedangkan tangan kiri membentuk pertahanan di depan wajah.
"Uts... Hih Hi hi hi..." Pendekar Gila
menggeser kaki kanan ke samping dan kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke
depan. Diikuti pukulan keras telapak tangan.
"Huh? Edan..." maki Setan dari Rimba
Merawan kaget. Segera ditariknya pukulan tangan kanan, lalu diganti dengan
tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya digerakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa manusia berwajah gorila itu menarik serangan dengan cepat. Matanya
semakin membelalak menyaksikan jurus Pendekar Gila yang aneh.
"Hah...? Jurus apa itu?" gumam Setan dari
Rimba Merawan kaget, seraya melangkah ke belakang, mengelakkan cengkeraman yang
dilakukan Pendekar Gila. Kemudian makhluk aneh itu menyodorkan pukulan tangan
kanannya ke tulang rusuk Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Weits Hi hi hi,.."
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya dimiringkan ke kanan. Menjadikan
pukulan tangan lawan melesat di depan. Kemudian dengan cepat serangan tangan
kirinya dilontarkan ke samping.
"Hah...?" Setan dari Rimba Merawan
melotot kaget. Tubuhnya melompat cepat sambil bersalto ke belakang, mengelakkan
serangan Pendekar Gila.
"Edan Pemuda gila ini benar-benar berilmu
tinggi Baru kali ini aku mendapat lawan tangguh," gumam Setan dari Rimba
Merawan dalam hati. Namun lelaki yang tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar ini
pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Bahkan juga memiliki ilmu setan yang sangat
berbahaya.
***
8
"Hi hi hi... Aha, kenapa kau bengong...?
Heaaa..." Pendekar Gila tertawa cekikikan mengejek sambil melancarkan
serangan. Setan dari Rimba Merawan kembali tersentak kaget mendapatkan serangan
yang aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar muda itu lambat. Namun
jika dia tidak cepat berkelit, tentu cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila
akan menghajar tubuhnya.
"Heaaa..." Wrets "Heh?" Setan
dari Rimba Merawan lebih terkejut lagi ketika merasakan gerakan lemah bagai tak
bertenaga itu ternyata mampu mengeluarkan angin menderu keras. Sehingga
dirasakan bagai topan, menyentakkan tubuhnya.
"Heaaa..." Setan dari Rimba Merawan
cepat-cepat memutar tubuhnya. Kemudian dengan gerakan cepat pula sosok lelaki
berwajah seperti gorila itu melontarkan pukulan telapak tangan ke dada Pendekar
Gila. Kemudian disusul dengan gerakan tangan seperti mematuk begitu cepat dan
beruntun ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Tampaknya Setan dari Rimba
Merawan telah mengerahkan jurus-jurus ularnya.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', tampak meliuk ke sana kemari menghindari patukan jurus
ular lawannya. Setelah itu tampak tubuhnya meliuk diikuti langkah kaki sambil
berusaha menyambar kaki lawan.
Namun mendadak tangan Setan dari Rimba Merawan
menyambar ke dadanya hingga menimbulkan deru angin keras. Sedangkan Pendekar
Gila yang tak menyangka lawan akan melanjutkan serangan, tampak agak
terperanjat. Matanya membelalak, mengetahui kalau dirinya mati langkah. Namun
dengan cepat Pendekar Gila menjulurkan tangan kanan, memapak tamparan lawan.
Gerakannya seperti membelah dengan cepat. "Heaaat..." Wret Setan dari
Rimba Merawan menarik tamparan tangan kirinya. Lalu disusul dengan sebuah
tendangan keras ke selangkangan lawan. Sementara tangan kanannya kini kembali
mematuk ke wajah Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan cepat, Pendekar Gila segera
melompat dengan bersalto ke belakang. Dengan tubuh berada di udara, kakinya
menjejak batang sebuah pohon. Kemudian dengan tubuh membalik, kedua tangannya
disatukan, melakukan serangan dengan meluncur ke tubuh lawan. Inilah jurus 'Si
Gila Terbang Menerkam Mangsa', yang biasa digunakan Sena untuk menyerang lawan
dari atas.
"Heaaa..." Wuttt Dengan tubuh meluncur
cepat, Pendekar Gila kini balik menyerang. Tangannya memburu tubuh Setan dari
Rimba Merawan, yang menangkis dengan cepat setiap pukulannya.
"Heaaa..." Trak Plak Tangan mereka
bergantian memukul dan menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus merangsek
dengan tubuh meluncur di udara. Sedangkan tubuh Setan dari Rimba Merawan terus
mundur, sambil menangkis dan membalas serangan lawan.
Tubuh Pendekar Gila terus melayang di udara dalam
jurus 'Si Gila Terbang Menerkam Mangsa'. Kakinya terkadang berputar untuk
menendang.
"Heaaat..." Kalau saja lawannya bukan
Setan dari Rimba Merawan yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, tentu dalam
beberapa gebrakan saja akan kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh yang
dilancarkan pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila tampaknya
tokoh yang tak dapat dianggap remeh. Terbukti sudah beberapa jurus pertarungan
berlangsung, tokoh berwajah mirip gorila itu masih tampak tegar dan belum
terdesak sedikit pun (Setan dari Rimba Merawan tak lain saudara seperguruan Ki
Catrik Ireng, dalam episode "Duel di Puncak Lawu"). Jadi jurus yang
digunakan Setan dari Rimba Merawan sama dengan jurus Ki Catrik Ireng. Dia
memiliki jurus andalan ‘Naga Mencakar Langit’.
"Ah, ternyata dugaanku benar. Jurus-jurus
orang ini pernah kuhadapi," gumam Pendekar Gila dalam hati, sambil terus
menyerang.
"Yeaaat.." Pendekar Gila melempar tubuh
ke belakang.
Lalu kakinya menjejak ke atas batu cadas dan
berdiri dengan kedudukan siap melakukan serangan lanjutan.
Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak
melempar. Tangan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, sedangkan tangan
kirinya di perut, dengan jari-jari mencengkeram.
Pendekar Gila mengeluarkan jurus 'Kera Gila
Melempar Batu'. Melihat itu, Setan dari Rimba Merawan mengerutkan kening.
Tubuhnya yang besar segera berkelebat untuk menyerang. Tangan kanannya
membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke samping dengan
jari-jari membentuk cengkeraman. Setelah itu tangan kanan dan kiri bergantian
melakukan patukan dan cengkeraman. Itulah jurus ‘Naga Mencakar Langit’, jurus
andalan Setan dari Rimba Merawan.
"Yeaaa..." Wret Wret "Heaaa..."
Tubuh keduanya melesat maju, siap melakukan serangan berikutnya.
***
Pertarungan
kedua tokoh berilmu tinggi itu semakin seru. Sementara, prajurit dan
orang-orang andalan Kerajaan Surya Langit telah banyak yang mati.
Mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di manamana.
Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Namun pertempuran masih terus berlanjut.
Prajurit Kerajaan Surya Langit dan beberapa orang
andalan mulai terdesak mundur. Ada yang lari tunggang-langgang menyelamatkan
diri.
Kini gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mirip
seekor kera tengah melempar batu. Gerakannya menimbulkan deru angin keras.
Sedangkan Setan dari Rimba Merawan tak mau tinggal
diam. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, mematuk dan menyambar ke wajah
dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yeaaat..." "Uts Heaaa..."
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tangan bergantian melakukan serangan dan
tangkisan.
Kaki mereka pun tak tinggal diam, bergerak cepat ke
sana kemari, melakukan serangan dengan tendangan dan sapuan.
Trak "Yeaaat..." "Hop..."
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, terdengar suara keras memekakkan
telinga. Dan tubuh keduanya melompat ke belakang. Namun tanpa membuang-buang
waktu, mereka langsung melesat menyerang.
"Yeaaat...." "Heaaa..." Tangan
Pendekar Gila terus bergerak cepat seperti sedang melempar. Menghasilkan deru
angin kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan yang susul-menyusul.
Namun Setan dari Rimba Merawan tak hanya diam
melihat serangan itu. Mulutnya mendesis, tangan kanannya bergerak laksana
kepala naga. Terkadang naik, lalu membuka untuk menangkis serangan. Disusul
cakaran tangan kiri ke dada Pendekar Gila.
"Sss... Heaaa...." Tubuh keduanya
berkelebat cepat. Kini mereka semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak hanya kelebatan bayangan tubuh
yang bergerak sangat cepat.
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat,
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak ke depan. Kaki mereka tak tinggal
diam, menendang dan menyapu ke kaki dan tubuh lawan.
"Yeaaat.." Prak Plak..
"Heaaa..." Keduanya melesat cepat dengan
tangan siap beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di udara, untuk
menghantamkan pukulan ke tubuh lawan.
Wut Glarrr....
Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh keduanya
terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh..." Pendekar Gila mengeluh tertahan
setelah menginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Setan dari Rimba Merawan yang juga telah
menapakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik langsung melancarkan
pukulan 'Waringin Sungsang' andalannya.
"Mampus kau, Pendekar Gila Heaaa..."
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan akan menyerang
dengan jurus andalan.
Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'.
Dari tangannya terpancar sinar membara membuat sekelilingnya panas.
Wut Glarrr "Aaakh..." Pendekar Gila
memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Setan dari
Rimba Merawan terdorong dengan keadaan terluka dalam. Dari bibirnya meleleh
darah kehitaman.
Mei Lie yang sempat melihat kejadian itu, tersentak
kaget. Matanya terbelalak lebar, cemas.
"Sena..." pekik Mei Lie khawatir sambil
melompat ke tepi jurang. "Kakang Senaaa..." Tak terdengar sahutan
dari bawah jurang. Mei Lie semakin cemas, dan marah. Tubuhnya cepat dibalikkan.
Matanya menatap tajam Setan dari Rimba Merawan yang masih mengerang kesakitan.
Dengan wajah merah, Mei Lie tak dapat menahan amarahnya.
"Bangsat... Kubunuh kau, Setan..." pekik
Mei Lie.
Secepat kilat tubuh Mei Lie melesat bagai terbang,
sambil mengangkat Pedang Bidadari ke atas kepala. "Heaaat..."
"Hah?" Mata Setan dari Rimba Merawan melotot. Dengan sisa kekuatan,
dia berusaha mengelak. Tubuhnya berguling ke samping. Mei Lie terus mencecar
dengan sabetan pedangnya yang sukar dilihat mata siapa pun.
Tebasan pedang Mei Lie dengan jurus 'Pedang Tebasan
Batin' berkelebat memburu tubuh lawan.
"Heaaat..." Cras Cras
"Aaakh..." Setan dari Rimba Merawan memekik kaget, karena
dirasakannya pedang itu menggoresnya. Namun tak tampak ada luka sedikit pun.
Matanya terbelalak heran. Namun kemudian tubuhnya terbelah menjadi dua, ambruk
ke tanah. Matilah Setan dari Rimba Merawan yang cukup sakti itu. Sesaat
kemudian tubuhnya tiba-tiba hancur bagai abu.
Orang-orang yang melihat kejadian itu ternganga,
kagum, dan ngeri. Termasuk Pangeran Prapanca dan kawan-kawan.
"Ilmu pedang yang dahsyat 'Pedang Tebasan
Batin'?" gumam Pangeran Prapanca kagum. Kakinya melangkah mendekati Mei
Lie yang tampak masih garang. Pedangnya masih terhunus di depan dada.
"Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar tawa
seseorang dari belakang Mei Lie. Mei Lie tahu dan mengenal suara tawa itu.
Gadis itu cepat berbalik. Dan, wajahnya yang tadi garang, sekejap berubah
ceria.
"Kakang Sena..." pekiknya, lalu lari
menghampiri Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa, sambil menggaruk-garuk
kepala.
Mei Lie memeluk Sena penuh kasih sayang. Sedangkan
Sena masih saja tertawa dan cengengesan.
Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Kau konyol Bikin aku sedih...," kata Mei
Lie sedikit manja.
Pada saat itu pula pasukan kerajaan pun mundur,
lalu lari tunggang langgang. Orang-orang Pangeran Prapanca bergerak cepat
mengejar. Begitu Setan dari Rimba Merawan mati di tangan Mei Lie, pasukan
Kerajaan Surya Langit makin kecut dan segera mengambil langkah seribu. Karena
mereka tak lagi memiliki tokoh sakti.
"Sebaiknya kita cepat ke kerajaan,
Pangeran" usul Pranala mengingatkan.
"Benar. Ayo kita segera pergi..." sahut
Pangeran Prapanca.
Mereka kemudian segera pergi meninggalkan Hutan
Bambu, menuju Istana Kerajaan Surya Langit Pasukan pendukung Pangeran Prapanca
yang masih hidup, terus mengejar prajurit kerajaan yang kabur sambil
berteriak-teriak.
"Bunuh... Ayo kejar... Hancurkan... Hidup
Pangeran Prapanca Hiduuup..." Suara-suara itu terus terdengar, sampai
mereka memasuki Kota Kerajaan Surya Langit.
***
Sementara
itu Ki Jalna Wangga telah sampai di istana. Tokoh berusia enam puluhan itu
dihadang para pengawal Kerajaan Surya Langit. Namun dengan tenang dia
menghadapi lawan-lawannya. Dia yakin lawan berada setingkat di bawahnya dalam
hal kemampuan ilmu silat.
"Heaaat.." "Yeaaa..." Tiba-tiba
para prajurit menyerbu dengan ganas.
Plak Plak "Aaakh..." "Aaa..."
Sekali gebrak tiga pengawal jatuh, tak bernyawa lagi. Kemudian Ki Jalna Wangga
mendobrak pintu gerbang istana dengan tendangan kuat disertai tenaga dalam.
Brakkk "Kraaak..." Pintu gerbang Kerajaan Surya Langit ambruk.
Dengan cepat Ki Jalna Wangga mengejar Perdana
Menteri Giri Gantra yang berusaha masuk ke pendopo utama. "Heaaat..."
"Hait" Deg Deg "Aaakh..." Perdana Menteri Giri Gantra
memekik keras, punggungnya terkena tendangan Ki Jalna Wangga.
Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu jatuh bergulingan.
Sambil mengerang. Namun dia masih sempat mengelak,
ketika Ki Jalna Wangga yang penuh dendam dan kemarahan kembali menyerangnya.
Perdana Menteri Giri Gantra berguling ke samping, mengelakkan serangan itu.
Lalu bangkit dan lari seraya berteriak pada pa-ra prajurit yang ada dalam
istana.
"Tolooong... Pengawal... Ada perampok
Tangkap..." Perdana Menteri Giri Gantra terus berlari memasuki istana,
sambil memegangi dadanya. Darah segar tampak keluar dari mulutnya, akibat luka
dalam yang parah.
Ki Jalna Wangga makin geram. Bagai banteng
mengamuk, dihabisinya semua lawan yang menghadang. Kaki dan tangannya
menghantam dan menendang prajurit yang berani melawan.
"Yeaaat.." "Heaaat.." Deg Deg
Deg Plak Plak "Mampus kalian..." dengus Ki Jalna Wangga geram. Lelaki
berambut panjang yang juga dikenal dengan julukan si Pukulan Petir itu seperti
tak ingin memberi ampun pada lawan-lawannya.
Mayat-mayat mulai berjatuhan, korban amukan Ki
Jalna Wangga yang sudah kalap itu. Kerajaan Surya Langit jadi kacau-balau,
berantakan diamuk Ki Jalna Wangga. Meskipun sudah lama mengasingkan diri dari
dunia persilatan, Ki Jalna Wangga ternyata masih mampu menunjukkan
kemampuannya. Belasan tahun Ki Jalna Wangga bersembunyi di Bukit Yuyu dekat
Desa Kaliamba (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Sepasang Maling Budiman"). Baginda Raja Awangga panik dan cemas.
Demikian juga permaisuri, setelah Perdana Menteri Giri Gantra menjelaskan
keadaan kerajaan saat itu.
"Bodoh Kau hanya bermulut besar, Giri
Gantra... Ternyata aku salah mengangkatmu menjadi perdana menteri Sekarang
pergi hadapi Jalna Wangga.
Jangan biarkan dia memasuki ruangan ini... Atau aku
sendiri yang membunuhmu...? Pergi..." bentak Baginda Raja Awangga dengan
mata melotot. Mukanya merah menahan amarah.
Perdana Menteri Giri Gantra tak bisa berbicara
apa-apa lagi. Dengan wajah pucat kakinya melangkah pergi dari tempat itu.
Baginda Raja Awangga mencabut kerisnya, hendak pergi ke penjara bawah tanah,
tempat ayah Pangeran Prapanca, bekas Raja Kerajaan Surya Langit ditahan.
"Kangmas... Mau ke mana kau...?" tegur
permaisuri sambil menghadang Baginda Raja Awangga.
"Jangan halangi aku, Dimas" ujar Baginda
Raja Awangga dengan nada marah. "Aku harus membunuh tua bangka itu
Harus... Sebelum aku mati di tangan Prapanca" "Kau... Kau tak boleh
melakukan hal itu, Kangmas. Dosamu sudah terlalu banyak Kangmas, jangan lakukan
hal itu..." cegah permaisuri sambil menangis.
Namun Baginda Raja Awangga tak peduli. Tangannya
disentakkan, menyingkirkan permaisuri.
"Huh..." "Kangmas..." pekik
permaisuri, melihat kepergian suaminya. Dia tak kuasa mencegahnya.
Baginda Raja Awangga dengan wajah merah dan murka,
terus melangkah ke ruang bawah tanah, ditemani dua orang pengawalnya.
Sementara itu, Pangeran Prapanca dan kawankawan
telah tiba di Istana Kerajaan Surya Langit Ki Jalna Wangga yang melihat
kedatangan Pangeran Prapanca, nampak gembira. Lelaki tua itu memberi isyarat,
memberi tahu kalau Baginda Raja Awangga ada di dalam istana.
"Saya yang akan menangkap perdana menteri itu,
Pangeran. Dan Pangeran urus Baginda Raja Awangga...." Pangeran Prapanca
menepuk bahu Ki Jalna Wangga. Lalu melesat ke dalam istana. Pendekar Gila dan
Mei Lie pun melesat mengikuti Pangeran Prapanca. Sedangkan yang lain menghadapi
pengawal dan para prajurit kerajaan.
Suasana Kerajaan Surya Langit saat ini benarbenar
mengerikan. Pertempuran seru tak dapat dihindari. Prajurit dengan beringas
bertempur melawan para pendukung Pangeran Prapanca. Istana porak poranda. Darah
tumpah di istana. Kemarahan tak tertahan lagi. Peperangan telah pecah kembali.
***
Baginda Raja
Awangga benar-benar sudah murka. Tak mengenal perikemanusiaan lagi. Sebelum
membunuh ayah Pangeran Prapanca, terlebih dulu ia mau menghabisi para pengikut
Prabu Jayawangga yang berada dalam penjara bawah tanah.
"Keluarkan mereka. Cincang, lalu bunuh Penggal
kepalanya" perintah Baginda Raja Awangga dengan mata melotot lebar.
Penjaga segera membuka pintu, lalu dengan paksa
menyeret orang-orang keluar, sambil mencambukinya. Satu persatu orang-orang
tahanan itu hendak dipenggal kepalanya. Baginda Raja Awangga sendiri melangkah
dan membuka pintu penjara tempat Prabu Jayawangga berada.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu meringkuk,
ketika pintu penjara dibuka dengan keras. Seakan jantungnya terasa sakit.
Samar-samar dipandanginya lelaki yang ada di ambang pintu penjara itu. Baginda
Raja Awangga berdiri dengan angkuh. Di tangan kanannya tergenggam sebilah
keris.
"Saat ini aku harus membunuhmu, Tua Bangka...
Agar aku puas. Puas Ha ha ha..." ujar Baginda Raja Awangga seperti orang
kesurupan. Tertawa-tawa sendiri, bicara sendiri, lalu kerisnya dihunus.
Kemudian melangkah mendekati Prabu Jayawangga. Baginda Raja Awangga cepat
mencengkeram lelaki tua itu.
"Huh" Dengan tangan kiri Baginda Raja
Awangga mengangkat tubuh mantan raja yang sebenarnya ka-kaknya sendiri itu.
Sedang tangan kanannya yang menggenggam keris, diangkat ke atas. Kemudian
diayunkan hendak menusuk ke dada lelaki tua itu. Namun belum sempat keris itu
menyentuh tubuh ayah Pangeran Prapanca, tiba-tiba sebuah benda memukul tangan
Baginda Raja Awangga yang menggenggam keris.
Plak "Hah...?" pekik Baginda Raja Awangga
kaget.
Keris di tangannya terlepas dan jatuh. Kepalanya
sege-ra menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di wajahnya.
Sebuah benda keras yang ternyata tongkat dari kayu besi. Seketika Baginda Raja
Awangga ambruk.
"Hi hi hi... Itulah ganjaran bagi orang
durjana.
Hi hi hi..." Suara seorang wanita tua, yang
tak lain Nyi Kemuning Sari, bekas kekasih Singo Edan. Nyi Kemuning Sari
kemudian dengan gerakan cepat menotok tubuh Baginda Raja Awangga. Hingga lelaki
itu tak bisa lagi bergerak. Seperti mati.
Tak lama kemudian muncul Pangeran Prapanca,
Pendekar Gila, dan Mei Lie. Ketiganya terkejut melihat mayat sudah
bergelimpangan di ruangan itu. Ternyata dua penjaga dan delapan pengawal tewas
dengan kepala pecah. Mengerikan Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Mei Lie mengerutkan kening, merasa heran. Sedangkan Pangeran
Prapanca menghambur ke dalam penjara, mencari ayahnya. Namun tak ditemukan....
Pangeran Prapanca nampak cemas dan kebingungan.
"Sena... Mei Lie Ayahku tak ada... Apakah dia..."
Pangeran Prapanca tak sempat meneruskan ka-ta-katanya. Karena tiba-tiba
terkejut oleh tawa seorang wanita. Pangeran Prapanca mencari asal suara. Begitu
juga Mei Lie. Namun Sena hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dia
sudah tahu siapa wanita itu. Dan tahu, kalau ayah Pangeran Prapanca selamat.
"Hi hi hi... Kalian semua masih kurang pintar,
dan kurang cepat bertindak..," ujar Nyi Kemuning Sari yang muncul langsung
memaki ketiga pendekar muda itu.
"Nyi Kemuning Sari...?" Pangeran Prapanca
tersentak. Pendekar Gila dan Mei Lie lalu menjura, memberi hormat pada Nyi
Kemuning Sari.
"Maafkan kami, Nyi..," ujar Sena
kemudian. La-lu kembali menggaruk-garuk kepala.
"Saya juga mohon maaf, Nyi..." sambung
Mei Lie.
"He he he... sudahlah Yang penting kalian
selamat. Dan semua ini menjadi pelajaran bagi kalian.
Sena... Kalau Kakang Singo Edan tahu muridnya
ceroboh, dia akan menghukummu...." Pendekar Gila hanya diam dan terus
menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Nyi tahu-tahu sudah berada di
sini...?" tanya Pangeran Prapanca keheranan. "Dan di manakah ayahku,
Nyi...?" "Hm..., Anak Muda. Tak usah kau tanya bagaimana aku bisa
berada di sini, sebelum kalian datang.
Aku telah mengetahui, sebelum kalian tahu,"
jelas Nyi Kemuning Sari. "Dan kau Prapanca, tak usah cemas, temuilah
ayahmu Aku amankan dia di sana...," kata Nyi Kemuning Sari lagi sambil
menunjuk ke sebuah pintu. "Oh... Terima kasih, Nyi.... Terima
kasih..." Pangeran Prapanca menjura, lalu cepat berlari ke pintu yang
ditunjuk Nyi Kemuning Sari.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak gembira.
Tangan Mei Lie memegang tangan Sena dengan lembut.
Gadis Cina itu tersenyum manis pada kekasihnya yang hanya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. "Sena, Mei Lie. Ayo, kita lihat bagaimana keadaan
di luar..." ajak Nyi Kemuning Sari, lalu melesat mendahului muda-mudi itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie merasa kagum dan bangga melihat kekasih gurunya yang
sudah tua, namun masih gesit dan berilmu tinggi.
Kerajaan Surya Langit yang dipimpin Baginda Raja
Awangga telah runtuh. Baginda Raja Awangga kini tertangkap sebagai tawanan
Pangeran Prapanca yang kini menjadi Raja Kerajaan Surya Langit. Namun Perdana
Menteri Giri Gantra yang licik dan berhati kejam itu, ternyata dengan licik
dapat lolos, kabur entah ke mana.
Rakyat dan para pejabat kerajaan bergembira ria
menyambut bangkitnya kembali Kerajaan Surya Langit Ki Jalna Wangga dari Pranala
diangkat menjadi perdana menteri dan panglima perang.
Pesta kemenangan, dirayakan dengan meriah.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun nampak gembira.
Begitu Juga Nyi Kemuning Sari, serta adiknya Buto
Gege.
Ternyata kebajikan akhirnya dapat meruntuhkan,
mengalahkan dan menumpas kejahatan. Kerajaan Surya Langit kini kembali menjadi
kerajaan yang aman dan sejahtera, di bawah kekuasaan Prabu Prapanca.
SELESAI
Emoticon