1
Udara siang itu cukup panas. Angin bertiup sangat
kencang, karena wilayah Kadipaten Krasaan, terletak di daerah Pesisir Pantai
Laut Selatan. Akhir-akhir ini penduduk kadipaten itu tengah dilanda keresahan
oleh munculnya orang aneh berpakaian gembel dan memakai caping lebar serta
menunggang kuda hitam.
Kedatangan seorang gembel berkuda hitam itu menjadi
buah bibir para tokoh persilatan, baik dari aliran putih maupun hitam. Orang
aneh itu membunuh siapa saja tokoh persilatan yang menantang Pendekar Gila dan Mei
Lie.
Di mana-mana orang semua membicarakan sepak terjang
orang berpakaian gembel itu.
"Aku heran kenapa pembunuhan menggiriskan itu
terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dibunuh, kebanyakan para tokoh silat
tersohor dan ditakuti.
Dan anehnya mereka yang menantang Pendekar Gila dan
gadis Cina itu," ujar seorang lelaki bertubuh kurus yang tengah menikmati
santapan di sebuah kedai.
Orang itu duduk sambil mengangkat kaki kanan ke
kursi tempat duduknya.
"Biar saja. Kita tak perlu ikut campur. Lagi
pula mereka yang dibunuh itu tokoh aliran hitam yang suka memeras
orang..." sahut lelaki berumur sekitar tiga puluh lima tahun, bernama
Jaroto. Wajahnya menoleh pada lelaki bermuka lonjong tadi yang sebenarnya
bernama Ki Sarpan.
"Aneh Siapa orang yang membunuh tokoh-tokoh
itu...? Apa betul, pembunuh itu suruhan Pendekar Gi-la?" tambah Baseta,
lelaki muda yang duduk satu me-ja, dengan Ki Sarpan dan Jaroto. Tampak mulutnya
sibuk mengunyah makanan.
"Mungkin juga.... Ah, sudah jangan pikirkan
orang lain Makanlah yang kenyang. Kita harus berangkat ke laut...," sahut
Ki Sarpan sambil mengelap tangannya dengan kain serbet Ki Sarpan dan Jaroto
merupakan nelayannelayan yang cukup dikenal. Setiap kali akan turun ke laut
atau sehabis menangkap ikan. Ki Sarpan dan Jaroto seperti kawan-kawan lain,
selalu mampir ke kedai itu. Mereka beristirahat sambil mengisi perut.
"Pagi tadi aku benar-benar sial. Ikan
sepertinya tak ada yang mau mendekati jalaku. Aneh Mudah-mudahan nanti akan
lebih baik....'" ujar Jaroto.
Di dalam kedai suasana, nampak cukup ramai.
Hampir semua meja yang ada di ruangan kedai penuh.
Di salah satu sudut agak tersembunyi duduk seorang
berpakaian gembel, memakai caping lebar, menghadapi makanannya. Orang-orang tak
banyak yang menghiraukan orang berpakaian gembel dan bercaping lebar itu.
Bahkan ada yang mencibirkan bibir sambil menutup hidung, menghinanya. Namun,
orang berpakaian compang-camping seperti gembel itu tak menghiraukan. Dirinya
tetap duduk tenang dan menundukkan kepala. Wajahnya tertutup oleh capingnya.
Sehingga tak dapat terlihat dengan jelas, seorang lelaki atau wanita.
"Hei... Kapan si gembel itu masuk? Tahu-tahu
sudah ada di sana...," seru seorang lelaki bermuka persegi, berhidung
besar, dan kumis tebal. Tubuhnya yang tegap terbalut pakaian rompi hitam.
Kepalanya terikat kain warna hitam. Sebilah golok besar terselip di
pinggangnya.
"Aaah... Jangan usil pada orang lain Teruskan
makanmu Paling-paling orang gembel yang baru dapat rejeki...," sahut
temannya sambil menggigit ikan panggang. "Ha ha ha..." Keduanya
tertawa-tawa sambil memandangi orang yang berpakaian compang-camping dan
bertudung caping lebar itu.
Suara tawa dan riuhnya di dalam kedai, tiba-tiba
berhenti, ketika mereka melihat tiga sosok lelaki bertubuh tegap dan berwajah
garang memasuki pintu kedai. Tak satu pun di antara para pengunjung kedai
membuka mulut Tampaknya mereka semua tahu siapa yang datang. Ya, ketiga sosok
berwajah garang itu tak lain Tiga Setan Laut Kidul.
Orang-orang yang tadi tertawa dan mondarmandir seenaknya,
kini nampak diam bagai patung.
Hanya dada mereka yang terlihat naik turun tak
teratur, menandakan kecemasan dan ketegangan yang tengah melanda hati
masing-masing.
Mereka sudah mengenal siapa Tiga Setan Laut Kidul.
Ketiga lelaki berwajah bengis itu merupakan tokoh aliran hitam yang dikenal
sangat kejam dan biadab. Mereka tak segan-segan membunuh atau menyiksa siapa
pun yang berani menentangnya.
"He he he..., silakan Tuan... silakan… He he
he...," sambut Ki Galingga dengan membungkukbungkuk memberi hormat, serta
menyilakan tamunya.
"Hm..." desis orang yang berdiri paling
depan.
Dirinya dikenal dengan nama Jurig Sepuh. Tubuhnya
tinggi dengan dada berbulu, tak tertutup pakaian. Matanya besar tampak bengis,
apalagi ditambah dengan kumis tebal melintang menghias bibirnya. Pandangannya
mengelilingi ruangan kedai ini.
Jurig Sepuh segera duduk. Kedua saudaranya, Jurig
Penengah dan Jurig Kaletik pun turut duduk di sampingnya. Ketiganya sama-sama
berambut panjang melewati bahu, terikat kain merah di kepala masingmasing.
Sedangkan di pergelangan tangan kanan mereka tampak melingkar gelang bahar
hitam kecoklatan.
"Pesan apa, Tuan..?" tanya Ki Galingga
dengan sopan sambil membungkuk.
"Apa saja yang ada, bawa kemari" jawab
Jurig Sepuh tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Kalingga.
"Hei, tunggu Apa kau lihat pemuda gila
berpakaian rompi kulit ular datang kemari?" tambah Jurig Sepuh sambil
menahan Ki Galingga yang hendak melangkah pergi. "Dari pagi tak ada lelaki
atau pemuda yang seperti Tuan maksudkan. Si... siapa dia, Tuan?" jawab Ki
Kalingga. Lelaki berusia lima puluh tahunan dan ber-jenggot putih itu
membungkuk-bungkuk. Tergambar jelas rasa cemas di wajahnya yang sudah agak
keriput.
"Yang kami maksud si Pendekar Gila yang
kondang itu" jawab Jurig Penengah dengan kasar. Matanya melotot. Kemudian
menoleh pandangannya menyapu ke seluruh ruangan kedai ini.
Para pengunjung kedai tak satu pun yang berani
menanggapi ucapan orang kedua dari Tiga Setan Laut Kidul itu. Semua terdiam
dengan hati menahan rasa takut. Hanya sosok berpakaian gembel yang duduk di
sudut ruangan kedai itu tampak mengangkat kepala.
Dari balik caping orang itu seakan memandang ke
arah Tiga Setan Laut Kidul.
Ki Kalingga tersentak mendengar nama Pendekar Gila
yang dicari Tiga Setan Laut Kidul itu. Dadanya seketika naik turun dengan
cepat, karena tegang dan takut "Hei Sudah, cepat sana bawakan makanan
untuk kami" bentak Jurig Kelerik.
"Ya, ya, Tuan...." Ki Galingga segera
berlalu dengan perasaan tegang. Tubuhnya tampak membungkuk-bungkuk.
"Hei..., kalian semua Siapa yang melihat atau
bertemu dengan Pendekar Gila dan gadis Cina itu, beri tahu mereka Bahwa Tiga
Setan Laut Kidul akan membunuhnya... Mengerti" seru Jurig Penengah dengan
sombong sambil menggebrak meja. Matanya yang tajam dan bengis menyapu ke
sekeliling ruang kedai.
Namun, para pengunjung kedai itu tak ada yang
menjawab. Hal itu jelas membuat Jurig Penengah marah. "Hm... Hei Kalian
semua tuli...? Jawab, apa ka-taku tadi Kalau tidak, akan kuhajar kalian sampai
mampus" seru Jurig Penengah sambil menendang salah satu meja. Meja di
tempat Ki Sarpan dan kedua temannya duduk. Tentu saja Ki Sarpan yang punya
harga diri, merasa tersinggung oleh perbuatan lelaki bengis itu.
"Kisanak... Jangan kau anggap kami diam karena
takut pada kalian Sopan sedikit" ujar Ki Sarpan dengan nada marah. Dirinya
telah berdiri menghadap Jurig Penengah.
"Ha ha ha... Orang ini sudah bosan hidup
rupanya, Kakang Ha ha ha..." Jurig Penengah tertawa terbahak-bahak, dengan
sikap pongah. Lelaki bengis itu mendekati Ki Sarpan dan kedua temannya,
"Hei Kalian boleh mengadu ilmu denganku, kalau memang sudah tak mempan
dibacok" Selesai berkata begitu, Jurig Penengah lalu mendorong keras tubuh
Ki Sarpan dengan tangan kirinya.
Dengan cepat Ki Sarpan mencabut goloknya, lalu
dibabatkan ke dada Jurig Penengah.
Hanya dengan menundukkan kepala Jurig Penengah
mengelakkan tebasan golok lawan. Kemudian menyerang balik dengan pukulan tangan
kanannya ke dada lawan. Ki Sarpan tampak mati langkah tak mampu bergerak untuk
menghindar. Hal itu karena serangan balik Jurig Penengah datang begitu cepat
Degkh "Aaakh..." Ki Sarpan memekik keras, ketika pukulan Jurig
Penengah mendarat di dadanya. Tubuhnya terhuyung ke belakang empat tombak lalu
menabrak meja dan kursi lain.
Brakkk Para pengunjung kedai berlarian ketakutan.
Jaroto dan Baseta yang melihat temannya terluka segera menyerang bersamaan ke
tubuh Jurig Penengah yang tertawa-tawa mengejek. Tampaknya Ki Sarpan bukan
tandingan bagi Jurig Penengah yang berilmu tinggi.
"Heaaa..." "Yeaaat.." Plak Plak
"Aaakh..." Jaroto dan Baseta memekik, ketika wajah mereka kena
tamparan tangan kanan lawan. Jurig Penengah yang melihat lawan masih menahan
sakit, tak memberi ampun lagi. Tubuhnya melompat kembali menghajar Jaroto dan
Baseta.
"Heaaa..." Degkh Degkh
"Aaakh..." Jurig Penengah melancarkan tendangan sambil melompat dan
berputar. Kaki kanannya beruntun mendarat di dada Jaroto dan Baseta. Tubuh
kedua lawan tampak bergelimpangan di antara meja dan kursi kedai. Keduanya
langsung tak berkutik lagi.
"Bangsat.." seru Ki Sarpan yang sudah
kembali pulih dari sakitnya.
Orang-orang di kedai semakin ketakutan, mereka
berlarian keluar dari kedai, ketika melihat Jaroto dan Baseta pingsan. Hanya
tinggal orang berpakaian gembel yang tenang masih duduk di kursi tempat
duduknya, di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik caping. Sikapnya
seakan tak menghiraukan keadaan di kedai ini.
"Heaaa..." Ki Sarpan menyerang Jurig
Penengah dengan sabetan goloknya ke kepala. Namun dengan mudah Jurig Penengah
mengelak dari serangan Ki Sarpan yang masih dua tingkat di bawah Jurig
Penengah.
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik yang duduk dengan
mengangkat sebelah kaki di kursi, hanya tersenyum-senyum memperhatikan
saudaranya menghajar lawan-lawannya.
"Mampus kau, Kunyuk....'" dengus Jurig
Penengah. Jari tangan kirinya mencengkeram tangan kanan Ki Sarpan yang memegang
golok. Sedang tangan kanannya cepat menghantam dada Ki Sarpan keras.
Degkh Degkh "Aaakh..." Ki Sarpan memekik
panjang. Seketika dari mulutnya keluar darah segar. Sedangkan tangan kanannya
yang dicengkeram Jurig Penengah patah.
Jurig Penengah masih tertawa-tawa kesenangan
melihat lawannya kesakitan. Sementara Ki Sarpan masih mengerang-erang
kesakitan. Tubuhnya terjatuh di lantai, kemudian tak mampu bergerak lagi.
Rupanya pukulan lawan yang mendarat di dada menimbulkan luka dalam yang hebat
"Ha ha ha... Siapa lagi yang mau melawanku...? Kau?" seal Jurig
Penengah sambil menunjuk orang yang duduk di sudut Orang berpakaian
compang-camping mirip gembel itu tak memberi tanggapan sama sekali. Bahkan, tak
bergerak sedikit pun dari tempat tidurnya. Kepalanya masih tetap menunduk,
hingga wajahnya sukar sekali dilihat Jurig Penengah yang merasa disepelekan,
naik pitam. Ditendangnya meja dan kursi yang ada di hadapannya. Dengan langkah
tegap kakinya melangkah mendekati orang berpakaian compang-camping itu.
"Hei Monyet.. Kau tuli atau bisu?
Bangun..." bentak Jurig Penengah marah.
Wajah Ki Galingga, pemilik kedai itu berubah pucat,
ketakutan. Dengan tubuh gemetaran lelaki berwajah keriput itu bersembunyi di
balik meja.
Jurig Penengah semakin marah, ketika orang
berpakaian compang-camping dan bercaping lebar itu tetap tak menghiraukannya.
Bahkan gembel itu ngeloyor pergi, tanpa menoleh sedikit pun pada Jurig
Penengah.
"Hei, Tuli Rasakan ini..." seru Jurig
Penengah, lalu menyerang orang berpakaian compang-camping dengan pukulan jarak
jauh. "Heaaa..." Wuttt Brakkk Seketika angin keras menderu keluar
dari telapak tangan Jurig Penengah. Beberapa meja dan kursi terpental terhantam
pukulan yang dilancarkan orang kedua dari Tiga Setan Laut Kidul itu.
Namun rupanya orang berpakaian compangcamping itu
memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Dalam kedudukan membelakangi Jurig
Penengah dengan gerakan cepat sekali gembel itu melakukan serangan.
Hal itu dilakukan sebelum serangan Jurig Penengah
mencapai sasaran.
Werrr Caping lebar yang terbuat dari bambu kuning
itu, menyambar telak di leher Jurig Penengah.
Jreb "Aaa..." Jurig Penengah memekik
panjang, dengan mata melotot. Lalu tubuhnya roboh. Dan caping dari bambu kuning
itu terbang kembali ke pemiliknya, setelah memakan korban. Jurig Penengah pun
mati dengan mengerikan. Lehernya hampir putus.
"Hah..." Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik
terbelalak matanya, melihat saudaranya dengan mudah ambruk di tangan orang
berpakaian compang-camping itu.
"Bangsat.. Kau berani membunuh saudaraku...
Heaaa..." Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik
melesat cepat, menyerang orang berpakaian compang-camping. Keduanya langsung
mengerahkan pukulan ‘Api Neraka’.
Srats Srats Dari kedua telapak tangan Jurig Sepuh
dan Jurig Kaletik, keluar semburan api melesat ke tubuh lawan.
Namun orang berpakaian compang-camping itu dengan
tenang melenting ke atas, mengelakkan serangan.
Api itu terus melesat hingga menabrak dinding kedai
yang terbuat dari bambu. Kebakaran pun tak dapat dielakkan.
Jeritan dan pekikan ketakutan terdengar dari
orang-orang yang belum sempat keluar dari kedai. Ki Galingga si pemilik kedai,
pun segera lari keluar sambil teriak minta tolong. Namun tak seorang pun mau
menolong, karena semua ketakutan melihat kejadian itu.
Orang berpakaian compang-camping yang masih di
udara, bersalto sambil melemparkan capingnya ke arah Jurig Sepuh dan Jurig
Kaletik.
Werrr Caping lebar dari bambu kuning itu pun
meluncur cepat memburu kepala Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik. "Hah"
Jurig Sepuh membelalakkan mata melihat caping ajaib itu melayang ke kepalanya.
Lelaki gagah berambut panjang itu dengan cepat meliukkan tubuh, lalu berguling
di lantai kedai yang sempit itu. Demikian pu-la Jurig Kaletik berusaha bersalto
ke belakang. Namun gerakannya terlambat hingga caping besar itu berhasil
menyambar lehernya.
Jreb "Aaakh..." Jurig Kaletik mengerang
kesakitan sambil memegangi lehernya yang hampir putus. Matanya melotot.
Lalu ambruk, mati Caping itu pun kembali ke
pemiliknya, setelah memakan korban.
Jurig Sepuh melihat saudaranya yang paling kecil
mati dengan cara sama dengan Jurig Penengah, langsung merasa ciut nyalinya.
Wajahnya pucat pasi.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Edan..." gumam Jurig Sepuh pelan, lalu
melompat kabur, keluar dari kedai itu.
Orang yang berpakaian compang-camping itu pun tak
membiarkan Jurig Sepuh begitu saja. Tubuhnya melesat bagai terbang melewati
kepala Jurig Sepuh yang berlari ketakutan.
Tubuh orang berpakaian compang-camping itu mendarat
dengan ringan di depan Jurig Sepuh.
"Hah...?" Jurig Sepuh tak menduga orang
berpakaian compang-camping itu dapat mengejarnya. Matanya terbelalak terkejut,
ketika melihat orang itu sudah berdiri di hadapannya.
"Ooo... Baiklah aku menyerah, kalah. Ampuni
aku Biarkan aku pergi... Aku, tak bermaksud bertarung atau menentangmu,
Kisanak. Aku hanya menantang Pendekar Gila," ujar Jurig Sepuh yang bermuka
garang itu dengan suara menggeragap karena ketakutan. "Hm... Hi hi hi...
Siapa yang akan menentang Pendekar Gila, harus berhadapan denganku dulu.
Langkahi dulu mayatku, sebelum berhadapan dengan
Pendekar Gila...," sahut orang berpakaian compang-camping itu dengan suara
mantap. Wajahnya masih tersembunyi di balik capingnya yang lebar. Sehingga
belum jelas lelaki atau wanita. Namun dilihat dari tubuh dan suaranya, jelas
dia seorang wanita. "Mungkin dia seorang wanita?" tanya Jurig Sepuh
dalam hati.
"Tidak..., tidak. Aku menyerah..., ampuni aku,
Nisanak" pinta Jurig Sepuh sambil menjura.
Orang berpakaian compang-camping yang berdiri di
hadapannya, tak menjawab. Sejenak menghela napas panjang, lalu berbalik
melangkah pergi.
Baru dua tombak orang itu melangkah, tiba-tiba
Jurig Sepuh yang menyangka bahwa lawan lengah, melesat melakukan serangan
dengan mengayunkan golok. "Heaaa..." Wuttt Golok itu belum sampai ke
tubuh lawan, tiba-tiba orang berpakaian compang-camping berbalik, tahutahu
tubuh Jurig Sepuh terpental sejauh lima tombak ke belakang.
"Aaa..." Rupanya tanpa sepengetahuan
Jurig Sepuh, wanita berpakaian gembel itu telah mendahului. Tubuhnya dengan
cepat dimiringkan ke kiri. Kemudian sambil membalik, dengan cepat pula sosok
berpakaian gembel itu melancarkan sebuah pukulan ke tubuh lawan dengan jurus
'Tamparan Tangan Iblis'.
Jurig Sepuh tak bergerak lagi, tewas dengan mata
melotot. Dadanya hangus bagai terbakar dan berbekas telapak tangan. Rupanya
sosok berpakaian compang-camping itu mengerahkan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'.
Semua orang di tempat itu terkejut, bercampur kagum
dengan kehebatan ilmu yang dimiliki orang berpakaian compang-camping itu.
Selesai membunuh Jurig Sepuh, sosok berpakaian
compang-camping itu menepukkan telapak tangannya tiga kali. Tak lama kemudian
muncullah kuda hitam jantan bertubuh kekar, menghampirinya.
Orang berpakaian compang-camping itu segera
melompat ke atas kuda. Lalu tanpa berkata apa-apa, manusia aneh itu menggebah
kudanya, melesat meninggalkan Desa Parangan dan orang-orang di kedai yang masih
keheranan dan kagum.
***
Setelah
orang aneh berpakaian compang-camping itu pergi, para penduduk desa berhamburan
mengerumuni mayat Jurig Sepuh dan kedua temannya.
Kemunculan orang berpakaian compangcamping, yang
menunggang kuda hitam, seketika menjadi bahan pembicaraan setiap orang di Desa
Parangan. Mereka pada umumnya bertanya-tanya siapa sebenarnya tokoh aneh itu.
Lawan atau kawan Pendekar Gila? "Aneh Sungguh aneh orang penunggang kuda
itu. Ada hubungannya apa dia dengan Pendekar Gi-la...?" tanya lelaki yang
bernama Ki Lamting, sambil menggeleng kepala.
"Tadi aku mendengar, bahwa siapa saja yang
menantang Pendekar Gila, harus berhadapan dulu dengannya. Apa maksudnya?"
tambah pemuda bernama Warsita, berdiri di sebelah Ki Lamting.
Sementara itu Ki Galingga tampak sedih dan menyesal.
Kedainya sebagian terbakar terhantam Jurig Penengah yang mengerahkan pukulan
‘Api Neraka’.
Tak lama kemudian kerumunan orang-orang itu
bergerak, memberi jalan pada Ki Lurah Patiasa, yang datang bersama dua
pengawalnya.
"Siapa yang mengenal pembunuh ketiga orang
ini?" tanya Ki Lurah Patiasa, seraya memandangi orang-orang yang berkumpul
di depan kedai.
"Kami tak jelas, Ki Lurah. Orang berkuda hitam
itu seperti iblis. Datang dan pergi begitu saja," jawab Ki Lamting
menjelaskan.
"Benar, Ki Lurah. Orang berkuda hitam itu
sangat aneh dan sangat tinggi ilmunya...," tambah Warsita. "Bagaimana
awalnya bisa sampai terjadi pertarungan itu?" tanya Ki Lurah Patiasa lagi.
Sejenak mereka diam. Mata mereka saling memandang
seperti ragu untuk menjelaskan kepada kepala desa itu.
"Hm..., begini. Ki Lurah...." Ki
Galingga, pemilik kedai menjelaskan dari awal sampai akhir pada Ki Lurah
Patiasa. Semua terdiam mendengar penuturan Ki Galingga.
"Memang aneh. Akhir-akhir ini sering terjadi
pembunuhan. Mayat para tokoh bergelimpangan di mana-mana. Ini pertanda
malapetaka di dunia persilatan. Siapa sebenarnya orang berkuda hitam itu? Kawan
atau lawan Pendekar Gila...?" gumam Ki Lurah Patiasa sambil memegangi
keningnya.
"Kalau menurut saya, tak mungkin Pendekar Gila
memerintah seseorang dengan kejam membantai siapa saja yang menantangnya. Pasti
ada sesuatu di balik peristiwa ini," tukas Santika, pengawal Ki Lurah
Patiasa yang berdiri di sebelah kanan kepala desa itu.
"Benar, Ki Lurah. Saya sependapat dengan
Kakang Santika," tambah Lohdaya.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa, sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Seakan hatinya membenarkan ucapan kedua
pengawalnya. "Sekarang kalian kuburkan mayat-mayat itu. Ayo
laksanakan" perintah Ki Lurah Patiasa pada warga penduduk desa yang masih
di depan kedai Ki Galingga.
Para penduduk desa bergegas bersama-sama
menguburkan mayat-mayat itu.
"Aku merasa menyesal, meninggalkan desa ini
tadi pagi. Seharusnya kutunda kepergianku...," keluh Ki Lurah Patiasa,
sambil memandangi para warganya yang sibuk membereskan mayat-mayat itu dari
kedai Ki Galingga.
"Tapi kepergian kita kan bukan untuk senangsenang,
Ki Lurah Patiasa. Tugas melapor ke Kadipaten Krasaan tak dapat ditunda,"
ujar Santika ingin mengurangi rasa sesal kepala desanya.
"Ya. Kau benar. Kita harus melaporkan keadaan
Desa Parangan. Ah, rupanya kita harus lebih waspada," kata Ki Lurah Patiasa
kemudian. Matanya memandang jauh ke depan.
***
2
Sore telah datang, mentari tergelincir di ufuk
barat. Sebentar lagi raja siang akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang
membawa suasana mencekam.
Tampak para nelayan sedang berangkat ke laut dengan
jala terpanggul di pundak.
Sekawanan burung beterbangan pulang ke sarang
masing-masing dengan suara yang bersahutsahutan. Cahaya merah tembaga membias
di kaki langit sebelah barat, menandakan mentari telah masuk ke peraduannya.
Dan angin darat cukup kencang tertiup ke laut, yang menghempaskan perahu para
nelayan yang sedang berlayar ke tengah.
Dua sosok manusia tampak melangkah dalam keremangan
senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau dengan riang, menikmati suasana senja
yang indah. "Desa apa ini, Kang?" tanya gadis cantik berpakaian putih
dengan rambut digelung di atas. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tak terlalu
mancung. Sedang mata yang sipit tampak indah bila mengerling.
"Ah ah ah.... Kalau aku tak salah ini Desa
Parangan," jawab pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular. Rambutnya yang
gondrong, terikat pula oleh kulit ular. Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang
lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang wanita cantik dan
anggun. Di
pundak gadis cantik berpakaian silat Cina itu tersandang sebatang pedang.
Sedangkan di pinggang pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala naga
Kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya
Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Sena nampak cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Matanya menyapu sekeliling yang nampak sepi "Nampaknya ada sesuatu
yang baru terjadi di desa ini, Kang...," kata Mei Lie, lirih. Matanya yang
bening juga memandangi sekelilingnya.
"Hm," gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan.
Mei Lie menghela napas panjang, matanya masih tetap
mengamati sekeliling tempat itu.
"Aha, ayolah kita cepat pergi Sebentar lagi
malam. Kita harus segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil
menggandeng tangan Mei Lie.
Namun, gadis Cina itu menolak, dengan memegang
lengan Pendekar Gila.
"Ssst.. Tunggu, Kakang Firasatku mengatakan,
telah terjadi sesuatu di desa ini." Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala
sambil tertawa cekikikan mendengar ucapan kekasihnya. Hal itu membuat Mei Lie
cemberut. Kesal. Karena Sena seakan tak mempercayai firasatnya.
Pendekar Gila langsung mengubah tingkahnya yang
persis orang gila itu, setelah melihat wajah Mei Lie memberengut. Namun
sebentar kemudian tangannya telah kembali menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan.
"Hi hi hi... Kau kalau cemberut begitu tambah
jelek. Eee..., maksudku, tambah cantik," ujar Sena ber-seloroh sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie tersenyum manis, mendengar
pujian Pendekar Gila.
Kemudian Sena kembali mengajak Mei Lie segera
meninggalkan tempat itu. Mei Lie pun menurut. Keduanya melangkah meninggalkan
Desa Parangan. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan
bentakan seseorang.
"Hei... Berhenti" Pendekar Gila dan Mei
Lie berhenti. Keduanya membalikkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh
mereka berhenti. Tampak lelaki berbadan sedang berumur sekitar empat puluh lima
tahun, dengan kumis tipis menghiasi di atas bibirnya. Matanya memandang penuh
rasa curiga pada kedua muda-mudi itu. Di belakang lelaki yang tak lain Ki Lurah
Patiasa, berdiri beberapa orang warga, termasuk Santika dan Lohdaya.
Pendekar Gila tertawa-tawa, tingkah lakunya yang
aneh kembali muncul. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat Menyaksikan
tingkah aneh dan konyol pemuda berpakaian rompi kulit ular di hadapannya, Ki
Lurah Patiasa seketika mengerutkan kening, sambil memegangi dagunya.
"Rasanya aku pernah mengenal tingkah laku
pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila yang dikagumi itu?" tanya Ki
Lurah Patiasa dalam hati. Alisnya bertaut saat memandang penuh selidik pada
Pendekar Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis Cina ini yang
bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka?" "Hi hi hi...
Kalian ini aneh. Mengapa bengong? Hi hi hi..." Sena tetap bertingkah
seperti orang gila, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie
tampak bersiap-siap, waspada kalau para penghadangnya hendak bermaksud jahat.
"Siapa kalian sebenarnya, Kisanak?" tanya
Ki Lurah Patiasa kepada Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Aku...? Hi hi hi... Lucu sekali
kau, Kisanak" Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah, kami hanyalah orang kecil
yang sedang berpetualang mengikuti kehendak hati. Nah, cukup jelas bukan?"
Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya saling pandang. Lalu menghela napas. Ki
Lurah Patiasa mencoba bersikap ramah.
"Hm… maaf Apa benar kalian Pendekar Gila dan
Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Ki Lurah Patiasa berusaha memastikan
dugaannya.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cengengesan
dan menepuk-nepuk pantat, lalu menggaruk-garuk kepala. Namun Mei Lie yang
merasa tak sabar, langsung menjawab dengan nada ketus.
"Ya Mengapa kalian menghadang kami?" Ki
Lurah Patiasa, kembali saling pandang dengan orang-orangnya. Wajahnya kini
nampak agak lega.
Tersungging senyum kegembiraan di bibirnya.
Begitu juga dengan Santika dan Lohdaya, yang
berdiri di sebelah kiri dan kanan Ki Lurah Patiasa. Keduanya nampak tersenyum
saling berbisik.
Mei Lie yang cepat marah tampak kesal dan curiga
terhadap mereka.
"Hei Kalian mau menentang kami...? Ada apa
sebenarnya dengan kalian" sungut Mei Lie sambil melangkah setindak ke
depan. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.
"O, maafkan tindakan kami yang lancang Kami
tak bermaksud jahat. Malah, kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa, kami sangat lega dan gembira sekali. Kami mengharap kalian sudi
singgah ke rumah kami," ujar Ki Lurah Patiasa, dengan sopan.
Mei Lie mengerutkan kening, menyelidik. Lalu
menoleh ke Sena yang tampak cengengesan. Kemudian kembali memandang Ki Lurah
Patiasa dan orangorangnya.
"Untuk apa?" tanya Mei Lie tegas.
"Aha, sabar Mei Lie Rupanya mereka memang tak
bermaksud jahat. Tenanglah" ujar Sena mencoba menenangkan kekasihnya.
Tangannya memegang bahu Mei lie. "Bagaimana kalau kita terima undangan
mereka? Bukankah kita perlu tempat menginap?" tanya Pendekar Gila kemudian
pada Mei Lie. Tampaknya Mei Lie masih merasa curiga pada Ki Lurah Patiasa dan
orang-orangnya.
Mei Lie mengerutkan kening, sepertinya berpikir dan
menimbang ajakan Pendekar Gila.
"Baiklah Tapi jangan sekali-kali bermaksud
jahat Aku tak akan segan-segan membunuh kalian" ancam Mei Lie.
'Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami merasa senang
sekali," sahut Ki Lurah Patiasa penuh hormat "Aha, Mei lie,
ayolah" ajak Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Kemudian
mengedipkan sebelah matanya kepada Mei Lie. Gadis cantik berparas Cina itu
mencibir, matanya melotot Mereka pun kemudian melangkah mengikuti Ki Lurah
Patiasa dan warganya. Sementara kegelapan mulai menyelimuti desa itu. Kesunyian
mulai merambat di Desa Parangan yang baru dilanda kejadian mengerikan di siang
hari tadi.
***
Lampu di
rumah Ki Lurah Patiasa yang biasanya dipadamkan di malam hari, saat itu nampak
masih terang benderang. Suasana dalam rumah tampak terang benderang. Terutama
di beranda depan.
Tiga orang terlihat tengah duduk di kursi kayu,
sementara yang lainnya bersila di bawah. Tampaknya mereka tengah berkumpul,
sehubungan dengan kematian beberapa warga Desa Parangan. Mereka pun
membicarakan munculnya orang berpakaian compangcamping, menunggang kuda hitam,
yang mereka sebut dengan Penunggang Kuda Iblis. Karena kuda yang ditunggangi
hitam pekat, dengan mata menyala merah, seperti bara api.
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Patiasa duduk
di kursi. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang melanda Desa Parangan.
"Siang tadi desa ini didatangi Tiga Setan Laut
Kidul. Mereka, membunuh warga kami. Namun, kejadian semakin kacau, setelah
orang berpakaian compangcamping dan memakai caping lebar membunuh Tiga Setan
Laut Kidul," tutur Ki Lurah Patiasa, lalu menarik napas sejenak.
"Menurut warga desa ini, orang aneh berpakaian compang-camping itu juga
menyebut nama Tuan Pendekar Gila dan Mei Lie...," lanjut Ki Lurah Patiasa
kemudian.
Mei Lie tersentak kaget, wajahnya menoleh kepada
Pendekar Gila. Namun Sena malah menggarukgaruk kepala dan cengengesan. Seakan
tak peduli. Tidak ada rasa kaget sedikit pun. Hal itu membuat Mei Lie kesal dan
mencubit lengan Sena.
"Aha, ada apa rupanya orang berpakaian
compang-camping, menyebut namaku dan Mei Lie, Ki Lurah...?" tanya Sena
ingin tahu juga.
"Ya. Ada urusan apa dengan kami. Rasanya-kami
berdua tak pernah punya teman seperti itu," tambah Mei Lie dengan nada
ketus, sebelum Ki Lurah Patiasa menjawab.
"Begini...," menurut penduduk di desa
ini, mulanya Tiga Setan Laut Kidul bermaksud mencari Tuan Pendekar Gila. Dengan
maksud menantang Tuan. Namun orang berpakaian compang-camping itu membunuhnya.
Dan berkata, kalau mau menantang Pendekar Gila, harus mengalahkannya lebih
dulu," tutur Ki Lurah Patiasa menjelaskan.
Mei Lie makin terkejut. Matanya terpicing dan
keningnya berkerut Kemudian mendengus.
"Siapa kira-kira orang itu, Kakang
Sena...?" tanya Mei Lie dengan ketus. Wajahnya kelihatan geram mendengar
tutur kata Ki Lurah Patiasa. "Kurasa ada orang ketiga yang
mendalanginya." "Saya kurang tahu. Tapi tindakannya harus segera
dicegah. Kalau tidak, akan lebih banyak korban.
Dan semula kami mengira orang berpakaian
compangcamping itu teman Tuan Pendekar. Aneh Lantas untuk apa dia lakukan semua
itu? Dan untuk apa mencari Tuan Pendekar...?" ujar Ki Lurah Patiasa dengan
mengerutkan kening.
"Hm," Pendekar Gila bergumam tak jelas.
Mulutnya nyengir dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Diliriknya wajah Mei Lie yang tampak memerah.
"Orang itu laki-laki atau wanita, Ki
Lurah...?" tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Wah, semua orang tak jelas melihatnya. Karena
hampir seluruh wajahnya tertutup oleh caping lebar.
Benar begitu, Lamting...?" tanya Ki Lurah
Patiasa sambil menoleh ke arah Ki Lamting yang duduk di bawah sebelah kanan.
"Benar. Capingnya lebar. Tapi rambutnya
panjang melewati bahu," jawab Ki Lamting menjelaskan.
Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala, sambil
menggigit bibirnya sendiri. Sedangkan Sena masih dengan tingkahnya,
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Semua orang yang hadir
tersenyum-senyum.
"Jadi apa pendapat, Tuan Pendekar? Kami sangat
membutuhkan pertolongan. Kami tak ingin orang itu datang ke desa ini lagi, dan
membunuh warga Desa Parangan...," kata Ki Lurah Patiasa.
"Aha, kukira dia tak akan kembali kemari lagi,
Ki Lurah. Orang itu hanya mencari aku dan Mei Lie. Tapi aku pun tak tahu, apa
urusannya denganku. Tenanglah Desa ini tak akan dijamahnya lagi," kata
Sena mencoba menenangkan Ki Lurah Patiasa dan warganya.
Ki Lurah Patiasa mengangguk-anggukkan kepala sambil
memegangi dagunya. Namun, keningnya tampak berkerut.
"Apa yang dikatakan Tuan Pendekar, mungkin
benar, Ki Lurah. Sebab orang berpakaian compangcamping itu juga bertanya pada
Ki Galingga, di mana Pendekar Gila berada...," sela Ki Lamting, yang saat
kejadian berada di kedai Ki Galingga.
"Benar, Ki Galingga...?.'" tanya Ki Lurah
Patiasa.
"Benar, Ki Lurah," jawab Ki Galingga
sambil menjura. Untuk beberapa saat mereka diam. Di luar malam semakin larut.
Angin malam berhembus memasuki ruangan itu.
Ki Lurah Patiasa menghela napas sejenak, kemudian
memandang wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kami semua sangat berterima kasih pada Tuan
Pendekar berdua. Untuk itu, jika Tuan Pendekar bersedia, kami berharap agar
bermalam di rumah kami.
Apalagi hari sudah larut malam, Tuan Pendekar dan
Nini perlu istirahat..." "Terima kasih, Ki Lurah," jawab Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian sebaiknya berjaga-jaga...," kata
Ki Lurah Patiasa pada beberapa orang warga. "Dan kau Santika bersama
Lohdaya, pimpin mereka agar menjalankan ronda" "Baik, Ki
Lurah...," jawab Santika sambil mengangguk, lalu pergi.
***
Suasana di
Desa Parangan malam ini tampak sepi. Angin yang berhembus membawa hawa dingin.
Padahal biasanya malam-malam seperti ini masih ada beberapa orang hilir mudik
di desa yang menjadi persinggahan para pedagang dan nelayan dari desa lain.
Begitu pula kedai milik Ki Galingga yang terletak
di ujung desa, dekat pantai. Tampaknya semua penduduk telah terlelap dalam tidur.
Atau mungkin karena tak berani keluar malam.
Semenjak kehadiran orang berpakaian compangcamping
mirip gembel, Desa Parangan dan sekitarnya benar-benar dicekam rasa khawatir.
Para penduduk tak berani keluar malam.
Sementara itu ada pula pihak-pihak lain yang turut
memanfaatkan keadaan itu. Seperti yang dilakukan Gerombolan Gagak Merah. Mereka
melakukan perampokan, pencurian, bahkan menculik dan memperkosa wanita desa.
Geger tentang pembunuh gelap berpakaian gembel itu
bahkan telah menyebar ke luar wilayah Kadipaten Krasaan. Para tokoh persilatan
baik dari golongan hitam maupun putih.
Ketika kesunyian malam tengah mencekam warga Desa
Parangan, di salah sebuah rumah penduduk tengah didatangi gerombolan perampok.
Anehnya, para petugas ronda tak satu pun yang mengetahui. Para peronda,
termasuk Santika dan Lohdaya pengawal Ki Lurah Patiasa, terlelap dalam tidur.
Rupanya mereka telah terkena ilmu 'Sirep' yang digunakan oleh para perampok.
Rumah yang tengah disatroni perampok itu ternyata
milik tuan tanah dan seorang saudagar ikan bernama Bakarekso. Rupanya Bakarekso
pun terkena ilmu ‘Sirep’.
"Ssst Habisi semua barang yang ada di rumah
ini Aku akan masuk kamar sebelah ujung sana," kata Dongkala sambil
menunjuk kamar yang letaknya dekat dapur.
Dongkala segera melangkah maju mendekati pintu
kamar itu. Rupanya pintu kamar tak terkunci. Dibukanya pelahan lalu Dongkala
masuk. Ternyata di dalam kamar itu ada seorang gadis cantik anak tuan tanah
Bakarekso, gadis itu tertidur pulas, dengan sebelah kakinya ditekuk, memeluk
guling. Hingga pahanya yang putih mulus terkuak.
Melihat keadaan yang menggiurkan, Dongkala menelan
air liur. Segera kakinya melangkah mendekati ranjang. Menyaksikan tubuh sintal
putri Tuan Bakarekso itu, Dongkala bagaikan tak mampu menahan gejolak nafsu
kejantanannya.
Perlahan-lahan Dongkala membalikkan tubuh Jumirah
putri Tuan Bakarekso. Setelah itu diangkatnya kaki kanan gadis itu. Sementara
dirinya sudah tak sabar ingin segera merasakan keperawanan putri tuan tanah
itu. Namun ketika lelaki bertubuh besar itu mulai menindihnya, putri Tuan
Bakarekso itu berteriak kaget. Menyadari keadaan yang tak menguntungkan.
Dongkala langsung menotok tubuh Jumirah. Kemudian
dengan penuh nafsu dinikmatinya tubuh molek putri Tuan Bukarekso yang telah
dalam keadaan tertotok itu.
Sementara itu di kamar lain, Tuan Bakarekso
terbangun. Dirinya bermaksud keluar, karena melihat pintu kamarnya sedikit
terbuka. Selain itu hatinya curiga mendengar rintihan di kamar sebelah. Namun
ketika Tuan Bakarekso sampai di ambang pintu tiba-tiba muncul lelaki berbadan
besar dengan dada berbulu.
Kumisnya tebal melintang menambah kebengisan
wajahnya. Tanpa banyak bicara lelaki berbadan besar yang bernama Pandesa,
langsung mengayunkan goloknya.
Crasss "Aaakh..." Seketika Tuan Bakarekso
tewas dengan kepala hampir putus. Jeritan itu membangunkan istri tuan tanah.
Wanita itu tersentak, ketika melihat ke arah pintu. Matanya semakin terbelalak
lebar melihat lelaki bertubuh besar masih memegang golok berlumuran darah.
"Aaakh..." Istri tuan tanah Bakarekso
menjerit. Pandesa segera melompat lalu menampar perempuan itu.
Plak Plak "Ukh..." Pandesa menatap nanar,
ketika perempuan itu telentang di ranjang dengan kedua kakinya mengangkang.
Sebagian kainnya terangkat ke atas. Hingga pahanya terkuak di depan mata
Pandesa.
"Hi hi hi.. Sudah lama aku tidak menikmati
kehangatan tubuh wanita, he he he..." Pandesa langsung menindih tubuh
istri tuan tanah, dan merobek baju serta kainnya. Wanita itu meronta-ronta
sambil mencakar muka Pandesa. Namun lelaki bertubuh besar itu tak peduli.
Bahkan dengan gemas ia menciumi leher, dan dada perempuan yang masih montok
itu.
"Lepaskan..., oh.... Jangan... ukh"
Terjadilah pergumulan yang penuh nafsu. Pandesa yang sudah berada di atas tubuh
perempuan itu terus melakukan tekanan-tekanan yang buas.
Sementara di luar, sesosok bayangan berkelebat, di
antara rumah penduduk. Lalu melompat ke atap sebuah rumah.
"Hah...? Aneh, ke mana para petugas ronda...?
Pasti ada yang tak beres," gumam sosok bayangan yang belum jelas, karena
malam begitu gelap. Kemudian sosok bayangan itu melompat-lompat bagai tupai di
atas atap rumah penduduk. Sampai akhirnya berhenti di sebuah rumah besar, yang
tak lain rumah tuan tanah Bakarekso. Lampu rumah itu sebagian masih menyala.
Namun tiba-tiba lampu salah satu ruangan padam. Bersamaan dengan matinya lampu,
terdengar jeritan suara perempuan. Sosok bayangan nampak tersentak dan segera melesat,
melompat turun. Tubuhnya melesat menuju rumah Bakarekso.
Tiba-tiba, dari pintu keluar dua orang bertelanjang
dada, yang tak lain Gerombolan Gagak Merah.
Kedua lelaki bertampang bengis itu tengah
menggotong barang-barang hasil rampokannya.
Sosok bayangan segera bersembunyi di balik pilar
rumah. Sementara itu suara jeritan terhenti, hanya terdengar samar-samar tangis
dan rintihan dari seorang wanita.
"Perampokan, perkosaan...?" gumam sosok
bayangan itu lirih.
Ketika dua orang yang menggotong barang rampokan
itu melewati pagar rumah, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras dari mulut
keduanya. Kedua tubuh bertelanjang dada itu roboh dengan mulut memuntahkan
darah segar. Ternyata sosok bayangan itu dengan begitu cepat melancarkan
tendangan dan pukulan ke dada mereka berdua.
Sosok bayangan itu kemudian melesat ke rumah dan
menyelinap masuk.
Brak "Hah...?" Pandesa kaget. la segera
melompat dalam keadaan bugil, hendak menggapai celana dan goloknya. Namun sosok
bayangan yang tak lain adalah Mei Lie. Melesat cepat sambil mengangkat Pedang
Bidadari-nya.
"Heaaat.." Pandesa tak sempat mengelak,
karena pikiran dan keseimbangan belum pulih. Maka tak pelak lagi, Pedang
Bidadari membabat tubuh Pandesa.
Cras Cras "Aaa..." Tubuh Pandesa seketika
roboh. Sesaat kemudian terpotong dua. Membiru, lalu hancur jadi debu.
Perempuan yang masih terkulai telanjang di ranjang
segera ditutupinya dengan kain. Sementara di kamar belakang, Dongkala yang
tertidur lemas, habis melahap keperawanan Jumirah, tiba-tiba terbangun.
Dilihatnya di ambang pintu berdiri Mei Lie dengan
memegang pedang di tangannya. Dongkala membelalakkan matanya, lalu melompat
turun.
"Siapa kau...?" tegur Dongkala dengan
mata membelalak. Tangannya mencoba menggapai golok yang ditaruh di atas meja
kecil bersama ikat pinggangnya. Namun Mei Lie yang sudah tak bisa menahan
amarahnya langsung melompat. Dan....
"Heaaat.." Cras Cras "Aaa..."
Dongkala menjerit. Suaranya melengking panjang. Seketika tubuhnya terbelah dua,
lalu roboh. Sesaat kemudian membiru. Jumirah, tersadar setelah Mei Lie
membebaskan totokan tubuhnya.
"Ohhh...," Jumirah mengeluh, lalu
menangis sambil menutupi tubuhnya yang polos. Mei Lie memandangi dengan sedih
dan iba.
"Kau kini sudah aman, Dik. Namun maafkan, aku
terlambat datang. Hingga orang-orang biadab itu...," Mei Lie tak
melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dari luar berdatangan Ki Lurah Patiasa,
Santika, Lohdaya, dan Pendekar Gila yang tampak cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Sambil mendekati Mei Lie pemuda berpakaian rompi dari
kulit ular itu mencabut bulu burung dari ikat pinggang lalu mengilik-ngilik
kupingnya.
"Kenapa bisa terjadi...?." gumam Ki Lurah
Patiasa sambil menggelengkan kepala. Wajahnya nampak murung.
"Mereka memakai ilmu 'Sirep' yang ampuh, Ki
Lurah. Tapi aku masih beruntung bisa melawan ilmu itu," kata Mei Lie, lalu
melirik Sena yang cengar-cengir sambil mengilik-ngilik telinganya dengan bulu
burung.
"Ki Lurah mengenal para perampok ini...?"
tanyanya kemudian.
"Ya. Mereka adalah Gerombolan Gagak Merah.
Kalau tak salah ini Dongkala, pimpinannya...,"
jawab Ki Lurah Patiasa sambil menunjuk mayat Dongkala yang seluruh tubuhnya
telah membiru, lalu perlahanlahan mulai hancur menjadi debu. Ki Lurah Patiasa
tersentak kaget. Begitu pula para pengikutnya semua membelalakkan mata
keheranan. Mereka ngeri bercampur bingung.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakan gadis Cina
itu...?" tanya Ki Lurah dalam hati. Tak satu pun yang membuka mulut
"Ah ah ah... Rupanya sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis, dimanfaatkan
oleh orang-orang kerdil ini. Hi hi hi..., lucu" celetuk Sena sambil terus
mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung, lalu menggaruk-garuk kepala.
Melihat Pendekar Gila yang hanya cengengesan,
seperti tak menghiraukan, Mei Lie tampak cemberut.
Lalu kakinya melangkah mendekatinya.
"Kenapa Kakang diam saja...?" tanya Mei
Lie dengan wajah cemberut Pendekar Gila yang mengerti maksud kekasihnya, yang
terkadang suka manja. Langsung mengacungkan jempol seraya berkata.
"Hi hi hi..., aku kagum padamu, Mei. Kau telah
bertindak cepat. Belum sempat aku bertindak, kau sudah lebih dulu. Aku
senang." Mendapat pujian dari Pendekar Gila, bibir Mei Lie tampak
tersenyum-senyum bangga.
"Kami juga sangat kagum atas kesigapan Nini
Mei Lie. Kami merasa malu...," tambah Ki Lurah Patiasa dengan senyum
tersungging di bibirnya.
"Ini sudah kewajiban Ki Lurah. Hm, sebaiknya
ki-ta amankan kedua wanita itu" ujar Mei Lie kemudian seraya menghampiri
Jumirah. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu memikirkan nasibnya dan sang Ibu
yang telah menjadi korban kebiadaban Dongkala dan kawan-kawannya.
Ki Lurah Patiasa segera memerintahkan pada Santika
dan Lohdaya untuk mengurus Jumirah dan ibunya. Setelah ikut mengurus mayat
saudagar Bakarekso kepala desa itu memperingatkan para warga agar meningkatkan
kewaspadaan dan turut menjaga kea-manan desa.
Malam semakin larut dan mencekam. Desa Parangan
loan sunyi dan sepi. Kejadian di rumah Tuan Bakarekso membuat para penduduk
cemas dan ketakutan. Apalagi yang mempunyai anak gadis.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih berada
di desa itu, agak membuat warga Desa Parangan sedikit lega. Di antara para
penduduk telah banyak mendengar nama pendekar muda itu jauh sebelum melihat
orangnya. Nama Pendekar Gila bukan nama asing lagi di dunia persilatan. Sepak
terjangnya dalam menumpas kedurjanaan dan menegakkan keadilan telah membuat
nama Pendekar Gila tersohor. Tidak hanya di kalangan dunia persilatan, nama
pendekar muda yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengagumkan
banyak orang.
***
3
Matahari mulai condong ke barat. Seekor kuda hitam
berlari kencang memasuki hutan di kaki Bukit Palasari. Kuda bertubuh besar dan
kekar itu membawa seorang yang berpakaian compang-camping mirip gembel yang tak
lain Lara Kanti. Ternyata wanita inilah yang akhir-akhir ini tengah ramai
dibicarakan para tokoh di Kadipaten Krasaan.
Lara Kanti terus menggebah kudanya agar berlari
lebih kencang, Derap kaki kuda hitam itu seakan hendak memecah keheningan senja
di perbukitan itu. Mata kuda itu tampak merah membara, seperti mata iblis,
memancar tajam dan menggiriskan. Demikian juga mata gadis berjuluk si
Penunggang Kuda Iblis itu tampak jelalatan, mengawasi di sekitar tempat yang
dilaluinya. Hal itu karena tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap adanya
suara derap kaki kuda.
"Hm..., ada yang mengikutiku?" gumamnya
seraya memperlambat lari kuda.
Suara kaki kuda semakin jelas terdengar. Lara Kanti
semakin memperlambat lari kudanya sambil mengerutkan kening. Telinganya hanya
mendengar satu ekor kuda.
Tiba-tiba ditariknya tali kekang kuda, lalu
seketika tubuhnya melompat tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap pada sebatang
cabang pohon yang tinggi. Matanya dengan liar mengawasi sekeliling tempat di
bawah sana. Tiba-tiba pandangannya melihat seorang penunggang kuda berwarna
coklat. Dari pakaian dan pedang yang bertengger jelas orang itu berasal dari
kalangan rimba persilatan.
"Hm... Siapa monyet itu? Mau mencari
perkara…" gumam Lara Kanti, setelah meyakinkan penglihatannya.
Lara Kanti memperhatikan gerak-gerik penunggang
kuda di bawah sana. Ketika kuda itu sampai di bawahnya, dengan cepat tubuhnya
melompat turun dengan bersalto, lalu mengirimkan sebuah pukulan yang mengarah
ke kepala penunggang kuda itu. Namun rupanya si penunggang kuda telah merasakan
adanya serangan gelap. Dengan cepat pula tubuhnya melompat dari punggung kuda.
"Yeaaa..." "Heit.. Heaaa..."
Lara Kanti mencoba menyambar kepala lawan dengan tangan kiri dan kanan, ketika
tubuhnya masih melayang di udara. Namun lelaki penunggang kuda itu dengan cepat
bergerak meliuk seraya melancarkan sebuah serangan balik.
"Heaaa..." Plak Namun tangan kanan Lara
Kanti terjulur cepat memapaki serangan balasan itu.
"Hm..." gumam lelaki penunggang kuda itu
seraya manggut-manggut.
Lara Kanti tak menduga kalau orang itu memiliki
ilmu yang cukup handal. Begitu kakinya mendarat di tanah, dengan sigap Lara
Kanti mengatur kedudukannya. Matanya yang tajam mengawasi penuh selidik lelaki
muda berkumis tipis itu. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain merah tua,
sama dengan warna pakaiannya. Di pinggangnya melilit sabuk dari kulit berwarna
hitam, menambah angker penampilannya.
"Ha ha ha... Ini rupanya orang yang dijuluki
Penunggang Kuda Iblis itu Ternyata hanya gembel kotor dan kudisan. He he
he..." ejek pemuda itu sambil mengelus-elus cambangnya yang hitam dan
lebat.
Pemuda berambut gondrong itu segera mencabut pedang
dari warangkanya.
Srats "Ada urusan apa kau
mengikutiku...?" tanya Lara Kanti ketus.
"Ha ha ha... Kau mau tahu, Gembel? Ketahuilah
Aku Sasaka Purwa ingin mencari Pendekar Gila, untuk membunuhnya. Aku ingin jadi
orang terkenal dan disegani. Tapi ketika aku mendengar nama Penunggang Kuda
Iblis yang ramai dibicarakan orangorang persilatan, niatku berubah. Aku rasa
lebih baik membunuhmu lebih dulu, sebelum menghabisi Pendekar Gila... Ha ha
ha..." tutur pemuda bernama Sasaka Purwa dengan sombong sambil
mempermainkan pedang diputar-putar di atas kepala. Seolah dirinya yakin benar
akan mampu mengalahkan, bahkan membunuh Lara Kanti.
Mendengar ucapan Sasaka Purwa, Lara Kanti hanya
diam. Sepertinya tak terlalu menggubrisnya.
Wanita muda berpakaian gembel itu bahkan
membalikkan tubuh hendak pergi. Hal itu tentu saja membuat Sasaka Purwa jengkel
dan marah, karena merasa diremehkan.
"Hei Pengecut Heaaat.." Sasaka Purwa
tiba-tiba menyerang Lara Kanti.
Namun wanita bercaping lebar sudah menduganya.
Sehingga dengan cepat tubuhnya melenting ke udara
untuk menghindar, sambil mengibaskan tangan kanan. "Hih..."
"Heh?" Swing Swing...
Mata Sasaka Purwa terbelalak, karena bersamaan
dengan gerakan perempuan gembel itu meluncur belasan senjata rahasia menyerupai
paku. Tentu saja hal itu membuat pemuda itu terkejut, sebab tak menduga sama
sekali lawan akan melakukannya. Maka dengan cepat tubuhnya bergerak untuk
mengelak setelah terlebih dahulu menarik pulang serangannya. Tubuhnya kini
berguling cepat di tanah berbatu-batu.
"Heit Heaaa..." Tubuh Sasaka Purwa
melenting ke udara dan bersalto. Namun Lara Kanti tak memberi kesempatan pada
lawan untuk berbalik menyerangnya. Pukulan dan tendangannya terus mencecar
tubuh pemuda berambut gondrong itu. Menyadari tak mampu memberi serangan
balasan, Sasaka Purwa langsung melompat ke atas sebuah pohon. Kemudian dengan
menggunakan ilmu 'Tupai Melompat' tubuhnya melompat ke sana kemari, berpindah
dari satu cabang ke cabang lainnya menghindari serangan lawan.
Melihat lawannya berada jauh di atas pohon, Lara
Kanti tidak mau kalah. Tubuhnya segera melompat memburu Sasaka Purwa, dengan
ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna. Bagaikan melayang Lara Kanti
mengejar Sasaka Purwa yang melompat-lompat bagai tupai, dari pohon satu ke
pohon lainnya. Terkadang pemuda itu merayap bagai cecak di batang dan cabang
pohon.
Sementara Lara Kanti yang telah memindahkan tudung
capingnya ke punggung terus melesat. Tubuhnya tampak melayang ke sana kemari,
mencoba mengejar lawannya. Sebentar kemudian kakinya hinggap pada sebatang
cabang pohon.
Kini keduanya berdiri di cabang pohon besar, siap
melancarkan serangan. Mereka nampak membuka jurus andalan masing-masing Lara
Kanti mengerahkan jurus ‘Pedang Malaikat Maut’ Sasaka Purwa mempermainkan
pedangnya di atas kepala dan ke samping. Sedangkan Lara Kanti lebih tenang.
Hanya dua tiga kali mempermainkan pedang mautnya. Kemudian....
"Heaaa..." "Heaaat..." Sasaka
Purwa melompat ke depan lebih dulu.
Sambil melenting lalu bersalto perempuan berpakaian
gembel itu pun menyusul serangan lawan. Tangannya dengan cepat menebaskan
pedang. Begitu pula yang dilakukan Sasaka Purwa. Hingga....
Srak Trang Trang "Hah..." Percikan api
akibat beradunya kedua pedang pusaka itu tampak dari sela-sela rimbun dedaunan.
Lalu keduanya sama-sama terpental ke belakang, dan kembali hinggap pada cabang
pohon. Sesaat kemudian keduanya kembali membuka jurus dan kuda-kuda.
Rupanya Sasaka Purwa bukan lawan sembarangan,
sehingga Lara Kanti nampak lebih hati-hati dalam melancarkan serangan.
Teriakan nyaring kembali terdengar memecah
keheningan senja di perbukitan itu. Keduanya kini tampak sama-sama mengerahkan
jurus-jurus andalan.
Dari sela-sela rimbun dedaunan dan batang pohon tampak
saling berkelebatan cahaya pedang mereka.
Suara dentangan nyaring, disusul teriakan keras,
lalu ditingkahi pula gemeresak dedaunan dan batang-batang kayu patah terus
terdengar.
Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Namun kini
sudah lima belas jurus belum menampakkan pihak yang bakat kalah. Memasuki jurus
selanjutnya masih sama-sama bertahan. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir
menemui sasaran. Namun dengan gerak cepat disertai tingkat kewaspadaan tinggi
keduanya mampu menghindarinya. "Heaaa..." Pekikan keras mengiringi
lesatan tubuh Lara Kanti melancarkan serangan dahsyat Srak Trang
"Hah...?" Sebuah gerakan menebas yang cepat dan begitu kuat dilakukan
Lara Kanti. Tebasan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu membentur pedang
lawan.
Seketika Sasaka Purwa merasakan ada hawa panas
menjalar ke tangannya, hingga pedangnya terlepas dan jatuh. Sasaka Purwa
tersentak kaget, matanya membelalak. Segera dia melompat turun bermaksud
mengambil pedangnya. Namun Lara Kanti mengerti. Segera dimasukkan pedang ke
dalam sarungnya. Lalu memburu Sasaka Purwa, turun.
Kini keduanya sama-sama bertangan kosong. Sasaka
Purwa membuka jurus ‘Telapak Sakti’ Dari kibasan kedua tangannya mendatangkan
angin.
Wuttt Wuttt Melihat lawannya mengerahkan ilmu
andalan, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Namun hatinya tetap tak mau kalah.
Dengan gerakan yang indah, Lara Kanti mengeluarkan jurus ‘Tamparan Tangan
Iblis’ Dari telapak tangan Lara Kanti tiba-tiba keluar asap merah. Kini
keduanya siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.
"Heaaa..." Wut Wut "Yeaaa..."
Keduanya melompat bersamaan. Di udara telapak tangan mereka yang telah dialiri
kekuatan tenaga dalam tinggi saling beradu.
Glarrr...
Ledakan keras terdengar, disusul dengan
terpentalnya kedua tubuh. Sasaka Purwa jatuh bergulingan di tanah berumput,
beberapa tombak dari tempat tubuh Lara Kanti yang jatuh terduduk.
"Ukh..." Sasaka Purwa memuntahkan darah
merah kehitaman. Lalu mulutnya mengerang menahan sakit di dadanya.
Perlahan-lahan tubuhnya bangkit hendak berdiri.
"Hm... Kau harus mati, Monyet Busuk.... Tak
akan kubiarkan kau membunuh Pendekar Gila, sebelum melangkahi mayatku"
gumam Lara Kanti sambil tersenyum sinis. Matanya yang tajam menatap wajah
Sasaka Purwa.
Sasaka Purwa tak menghiraukan ucapan Lara Kanti.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia melompat menyerang perempuan berpakaian
compangcamping yang telah berdiri tegak tiga tombak di depannya. Namun dengan
sigap Lara Kanti telah mempersiapkan diri untuk menangkisnya.
"Hiaaa..." Wret Prats "Aaa..."
lengkingan keras terdengar dari mulut Sasaka Purwa. Pukulan jurus 'Tamparan
Tangan Iblis' yang dilancarkan Lara Kanti mendarat telak di dadanya. Tak ampun
lagi, tubuh lelaki muda berpakaian merah itu melintir, sempoyongan dengan dada
hangus bagai terbakar dan membekas telapak tangan Lara Kanti. Sesaat kemudian
Sasaka Purwa ambruk, tewas.
Kedua matanya melotot Sementara dari mulutnya masih
keluar darah segar Lara Kanti menghela napas lega. "Rupanya banyak tokoh
persilatan yang menginginkan Pendekar Gila mati Hm... Cepat atau lambat, aku
harus menemukan pendekar itu." Selesai berkata begitu, Lara Kanti
mendekati mayat Sasaka Purwa. Dibalikkan mayat itu dengan kaki kanannya dan
dilangkahinya. Lalu segera meninggalkan tempat pertarungan itu.
Sesampai di tempat yang lebih luas, Lara Kanti
menepukkan telapak tangannya. Tak lama kemudian kuda hitam yang matanya
bersinar kemerahan bagai mata iblis, meringkik mendekati perempuan bercaping
lebar itu. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik-ringkik.
Setelah mengusap-usap kepala kuda itu, Lara Kanti segera melompat dan
menggebahnya.
Kuda hitam itu pun langsung berlari kencang menuju
ke timur. Sementara itu mentari semakin condong ke barat. Sinarnya tampak
kemerah-merahan.
Lara Kanti terus memacu kudanya makin jauh, dan
hilang di balik pepohonan hutan di sebelah timur Bukit Palasari.
***
Ketika terik
matahari siang menyengat persada bumi ini, seekor kuda hitam pekat berlari
kencang me-nerobos debu berterbangan di Lembah Cadas Pangeran. Di punggung kuda
itu, tampak seorang perempuan bercaping lebar, dengan pakaian compangcamping.
Wajah gadis itu cukup ayu, tapi pandangan matanya galak dan tajam, tersembunyi
di balik caping lebar. Rambutnya dibiarkan tergerai ditiup angin kencang.
"Heah..." Derap kaki kuda melaju, bagai tak menghiraukan terik
matahari yang tak bersahabat Namun mendadak si Penunggang Kuda Iblis itu
menghentikan lari kudanya.
"Ck ck ck... Tenang, tenang Ireng" Lara
Kanti menenangkan kudanya yang bernama Ireng. Kuda itu seakan merasa ada
sesuatu yang mencurigakan, dan akan membahayakan juragannya. Sehingga terdengar
suara ringkikannya.
"Hm..." Lara Kanti menggumam tak jelas.
Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, seakan memahami arti ringkikan kuda
kesayangannya.
"Kau memang sahabatku yang baik,
Ireng...," ujar Lara Kanti sambil menepuk-nepuk dan mengusap lembut leher
kuda itu.
Kuda mengangguk-angguk, seakan merasa senang. Dan
kembali meringkik. Lara Kanti tersenyumsenyum. Namun matanya tetap menyapu ke
sekeliling tempat itu.
Kresek Lara Kanti menoleh ke arah suara dari
semaksemak. Kemudian tubuhnya melompat dari punggung kuda. Baru saja perempuan
itu mendaratkan kaki di tanah, dari balik semak bermunculan sepuluh sosok tubuh
berpakaian serba hijau. Sebagian muka mereka tertutup kain yang berwarna sama,
hijau. Hanya mata mereka yang terlihat. Kesepuluh sosok itu menggenggam sebilah
golok tajam. Tampaknya mereka para penyamun yang membegal setiap orang yang
melintasi tempat itu.
"Hm....'" gumam Lara Kanti perlahan.
"Rupanya ada tikus-tikus can santapan..." "Kurang ajar Berani
mengejek kami. Siapa kau?.'" bentak orang yang berdiri paling depan sambil
menudingkan goloknya. Dan suaranya jelas orang itu lelaki. "Siapa pun aku,
kalian tak perlu tahu Yang pasti, aku tak suka ada orang menghalangi perjalananku,"
jawab Lara Kanti sambil menggeser tudung capingnya.
Seakan-akan ingin memperjelas pandangannya.
"Ha ha ha... Omonganmu seperti orang yang tak
mempan dibacok golok pusakaku ini," ujar lelaki yang paling depan. Dengan
angkuh ditudingkan lagi goloknya ke arah Lara Kanti. Lelaki inilah tampaknya
pemimpin Laskar Hijau itu. Brajakala, begitu panggilannya. Seorang tokoh dari
aliran hitam yang selalu melakukan perampokan, menculik gadis-gadis desa
dijadikan gundik, serta menjadi pembunuh bayaran yang disegani.
Lara Kanti mengangkat pelahan kepalanya, yang tadi
sedikit menunduk, lalu menatap tajam wajah lela-ki di depannya. Brajakala yang
memiliki mata jalang seketika tahu, kalau di balik caping lebar itu tersembunyi
seraut wajah cantik seorang wanita. Segera saja kakinya melangkah mendekati
Lara Kanti. Lalu berhenti dua tombak di hadapan Lara Kanti.
"He he he... Kawan-kawan, rupanya hari ini aku
mendapatkan daging yang benar-benar kenyal dan se-dap..." seru Brajakala
pada teman-temannya, sambil menoleh ke kin dan kanannya.
"Hei siapa pun namamu dan dari mana asalmu,
aku tak peduli..., asal kau mau ikut aku... he he he...
Aku tahu kau wanita yang masih muda dan ayu. He he
he... Kemarilah, Cah Ayuuu... He he he...." Lara Kanti hanya menghela
napas dalam-dalam.
Sementara itu Brajakala semakin mendekatinya.
Tangannya tiba-tiba mencoba mau membuka caping Lara Kanti. Lara Kanti tak
mengelak sedikit pun.
Namun, baru saja Brajakala melihat sekilas wajah
wanita itu. Tiba-tiba mulutnya memekik dengan tubuh terhuyung dua tombak ke
belakang. Entah kapan Lara Kanti melakukan serangan itu, sukar ditangkap
pandangan mata biasa. Rupanya Lara Kanti telah melancarkan pukulan 'Tanpa
Wujud', dengan tenaga dalamnya.
"Adauuu..." Para anak buah Brajakala
tersentak kaget, karena mereka tak menduga. Sebelumnya mulut mereka
cengar-cengir menyaksikan ulah pimpinannya. Seketika kesembilan lelaki
berpakaian serba hijau itu mengangkat golok hendak menyerang Lara Kanti.
Rupanya, Lara Kanti tadi dengan cepat menggunakan
ilmu 'Pukulan Tanpa Wujud'. Kini wanita muda yang dijuluki Penunggang Kuda
Iblis itu telah menggenggam Pedang Maut-nya. Ditaruh di depan dada, siap
menanti serangan lawan-lawannya.
Sementara itu Brajakala yang dibuat malu di depan
anak buahnya tampak marah sekali.
"Serang... Tangkap..." seru Brajakala
pada anak buahnya. Maka segera sembilan anak buahnya langsung merangsek dan
mengepung Lara Kanti.
"Heaaa..." Wut Wut Golok kesembilan
lelaki berpakaian serba hijau mendesing dan menderu membabat ke tubuh si
Penunggang Kuda Iblis. Namun wanita gembel tapi cukup cantik itu dengan tenang
mengelak dari semua serangan yang dilancarkan kesembilan Laskar Hijau.
Dengan cepat direbahkan tubuhnya ke belakang, ke
samping atau terkadang melenting ke atas sambil bersalto, melewati para
pengeroyok, lalu dengan ringan mendarat di luar kepungan mereka. Brajakala yang
mengamatinya merasa sedikit kecut. Sembilan anak buahnya, yang memiliki ilmu
'golok' yang cukup handal, tak satu pun berhasil mendaratkan serangan mereka ke
tubuh wanita bercaping itu.
Lara Kanti yang sudah tak mau lama-lama berurusan
dengan sembilan anak buah Brajakala, segera melancarkan serangan balik. Dengan
cepat dan tak terduga, caping dari bambu kuning yang menutupi kepalanya
dilemparkan untuk menerjang lawan yang tampak kian beringas.
Srat Werrr Jrab Crak "Aaa..."
"Waduuuh..." Pekikan beruntun terdengar melengking panjang, ketika
caping Lara Kanti menyambar kepala, leher, dan dada Laskar Hijau. Suara erangan
dan rintihan kesakitan terdengar dari mulut mereka. Yang tertutup kain hijau.
Tubuh kesembilan anak buah Brajakala tampak saling berkelojotan di tanah.
Pakaian hijau mereka telah berubah merah, basah berlumuran darah. Dan tak lama
kemudian mereka tewas.
Brajakala yang melihat kejadian itu, semakin
ketakutan. Matanya terbelalak seperti tak percaya melihat sembilan anak buahnya
tewas dalam keadaan mengerikan. Caping lebar itu membuat leher empat orang anak
buahnya hampir putus. Sedang yang lain, wajah, dan dadanya hancur berantakan.
Namun, bukan Pemimpin Laskar Hijau yang terkenal bengis dan buas itu, kalau
harus bertekuk lutut hanya dengan seorang perempuan gembel.
"Heaaa..." Brajakala melompat sambil
menghunuskan Golok Setan-nya. Suara tebasan dan babatan golok itu menderu
keras.
Wut Wut "Heaaa... Mampus kau" dengus,
Brajakala geram. Namun, Lara Kanti cepat mengelak dengan menggeser kaki kanan
ke samping sambil merebahkan tubuhnya, sedangkan tangannya menangkis, lalu
melancarkan serangan balasan.
Brajakala yang melihat tubuh Lara Kanti masih
miring ke samping, cepat merubah bacokan. Lelaki berpakaian hijau itu
membabatkan goloknya dari atas ke bawah.
"Heaaat.. Mampus kau, Gembel" seru
Brajakala merasa yakin.
Lara Kanti sudah mengetahui gerakan cepat itu.
Sehingga sebelum golok di tangan Brajakala
menyentuh tubuhnya, Lara Kanti dapat berguling ke samping.
Lalu dengan gerakan secepat kilat, dia berdiri dan
membabatkan pedangnya ke lengan kiri Pemimpin Laskar Hijau itu.
"Hih..." Cras "Aaakh..." Lengan
Brajakala putus. Darah bercucuran. Tubuhnya melintir sambil menjerit-jerit kesakitan.
Wajahnya yang garang tertutupi kain hijau nampak bergetar. Sementara Lara Kanti
cepat melompat dan langsung membuka tutup muka lawannya.
Bret "Hah...? Ampuuun..." ratap Brajakala
gemetaran sambil menjura perempuan gembel bercaping lebar di hadapannya.
Lara Kanti melempar capingnya. Kini wajahnya yang
ayu itu nampak lebih jelas. Namun Brajakala tak berani mengangkat muka.
"Hei, Tikus Kau tadi ingin menikmati tubuhku.
Ayo, sekarang lakukan keinginamu Ayo..." ujar
Lara Kanti dengan suara dibuat manja. Sambil tangan kirinya mengangkat celana
panjangnya sampai pangkal paha. Kemudian mendekatkan ke muka Brajakala.
Brajakala masih tertunduk gemetaran. Sekujur
tubuhnya basah kuyup. Seperti mandi.
"Ayo... Pedang pahaku Atau kau lebih suka
dengan ini....'" kata Lara Kanti sambil membuka bagian atas pakaiannya.
Hingga dua gunung yang masih padat dan mulus tersembul keluar.
Brajakala, memberanikan diri untuk mengangkat
wajah. Dan setelah melihat kedua buah dada Lara Kanti yang memang masih montok
itu tiba-tiba....
Jreb "Aaakh..." Lara, Kanti dengan cepat
menusukkan pedangnya ke jantung Brajakala. Seketika lelaki berpakaian serba
hijau itu tewas, menyusul kesembilan anak buahnya.
"Kau telah puas, dapat melihat milikku, bukan?
Nah kini selamat sampai di neraka, Tikus Busuk..." kata Lara Kanti dengan
geram.
Setelah itu Lara Kanti segera meninggalkan
kesepuluh mayat Laskar Hijau. Digebahnya si Ireng yang bermata merah menyala
seperti mata iblis itu. Kuda hitam itu pun langsung melesat meninggalkan Lembah
Cadas Pangeran.
***
4
Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di Desa
Parangan tengah bingung karena terus mendengar sepak terjang perempuan gembel
Penunggang Kuda Iblis itu. Bersama Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya,
Pendekar Gila mengatur siasat, agar dapat berhadapan dengan pembunuh bengis
itu.
Di ruang tengah rumah Kepala Desa Parangan malam
itu tampak berkumpul Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah Patiasa, Santika, dan
Lohdaya. Sedangkan beberapa orang warga berjaga-jaga di sekitar rumah Ki Lurah
Patiasa. Kegiatan ronda malam pun tetap dilaksanakan di beberapa tempat di Desa
Parangan.
Malam sunyi dan mencekam. Angin bertiup kencang
menghembuskan hawa dingin menusuk tulang sumsum. Suara binatang terdengar
bersahutan di kejauhan.
"Bagaimana rencana Tuan Pendekar?" tanya
Ki Lurah Patiasa memulai percakapan.
"Ah ah ah... Janganlah kau panggil aku dengan
sebutan itu, Ki Lurah. Panggil saja namaku: Hi hi hi...
Aku lebih senang dipanggil Sena" sahut Pendekar
Gila dengan mulut cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala seperti merasa
gatal. "Aha... Aku memang sudah punya rencana, tapi terus terang aku tidak
membeberkan kepada kalian. Maaf, Ki Lurah, juga Kisanak sekalian Hi hi
hi..." Santika dan Lohdaya mengerutkan kening, tidak hanya karena heran
melihat sikap konyol Pendekar Gila, melainkan juga tersinggung. Namun Pendekar
Gila tampaknya memahami tanggapan kedua orang andalan Ki Lurah Patiasa.
"Sekali lagi maaf Aku mohon pengertian
Kisanak.
Sebab, kalau saya sampaikan, rencana ini bisa saja
gagal. Dan terus terang, bukan saya tak mempercayai orang-orang di desa ini,
tapi semata-mata demi kelan-caran semuanya. Agar kita dapat menangkap orang
yang kita cari...," tutur Sena dengan tegas, walaupun sesekali masih
menggaruk-garuk kepala.
Ki Lurah Patiasa manggut-manggut, tampaknya
memahami maksud rencana Pendekar Gila.
"Jangan mempunyai prasangka buruk terhadap
kami, Kisanak..." tambah Mei Lie, menoleh kepada Santika dan Lohdaya.
"Percayalah Ini semua kami lakukan demi kita semua...." Ki Lurah
Patiasa kemudian mencoba memberikan pengertian pada Santika dan Lohdaya.
"Kami percaya pada Sena dan Mei Lie. Lalu apa
yang harus kami lakukan?" tanya Ki Lurah Patiasa kemudian, dengan
mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan. Sedangkan Mei Lie tersenyum membalas anggukan kepala Ki Lurah
Patiasa.
"Tapi untuk malam ini saya berharap, kita
tetap berjaga. Siapa tahu orang yang kita cari saat ini mampir di Desa Parangan
ini...," pinta Sena seenaknya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Baik...," jawab Ki Lurah Patiasa.
"Santika, Lohdaya Apakah semua warga sudah kau beri tahu...?"
"Sudah Ki Lurah. Ki Lamting yang saya perintahkan untuk memimpin ronda
malam ini," jawab Santika sambil memberi hormat.
"Hm...," gumam Ki Lurah Patiasa sambil
mengangguk.
Sementara di luar udara semakin dingin. Para warga
Desa Parangan tampak berjaga-jaga di semua sudut desa. Tentu saja mereka
membawa senjata.
"Mudah-mudahan malam ini tak terjadi apa-apa
di desa kita ini," kata seorang peronda bernama Karto.
"Tapi kenapa malam ini sangat dingin hawanya.
Hih..." sahut Samsu sambil mendekap dada
dengan kedua tangannya.
"Kamu saja yang bengek," tukas Jamin,
"Orang hawanya panas begini, kok" "Sudah, jangan ribut soal
dingin, panas Kita harus waspada. Nanti, tahu-tahu ada orang tak diundang masuk
desa kita, mati kuwe..." tukas Gondo berusaha mengingatkan teman-temannya
agar tak mengurangi kewaspadaan.
Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda yang sedang
berkumpul di gardu sebelah utara. Terlebih malam itu angin berhembus membawa
hawa dingin, membuat suasana di sekitar tempat itu semakin mencekam.
Krak Tiba-tiba terdengar suara seperti ranting kayu
yang patah, dari arah semak-semak belukar. Hal itu tentu saja mengejutkan para
peronda yang hanya berjarak sekitar sepuluh tombak dari semak-semak itu.
"Hah...? Ada tamu tak diundang..." kata
Jamin pada teman-temannya.
"Ssst..." Gondo memberi isyarat pada
temannya agar tidak ribut.
Seketika mereka memasang mata tajam mengawasi
sekeliling tempat itu. Rasa tegang dan takut mulai menyelimuti para peronda.
Belum juga rasa tegang dan takut itu hilang, tiba-tiba
berlompatan lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, dengan memakai kedok.
Rambut kelima tamu tak diundang itu dibiarkan terurai, panjang melewati bahu.
Mata golok mereka bergerigi tajam mirip gergaji berukuran panjang.
Kedok yang dipakai lima sosok itu menyeramkan.
Bagi orang yang takut mungkin akan mengira kelima
sosok berpakaian hitam itu sebagai hantu.
"Hantu...?" gumam Karto. Matanya
membelalak dengan bibir gemetaran.
"Tolong... Tolooong..." jerit Gondo yang
berbadan kurus sambil berlari ketakutan, melemparkan goloknya. Hal itu membuat
para peronda yang lainnya tampak panik. Pada saat itu lima sosok berkedok seram
itu langsung melancarkan serangan.
"Heaaa..." Cras Cras "Aaa..."
"Aaakh..." Lima orang berkedok setan itu seakan tak memiliki rasa iba
sedikit pun. Ki Lamting pun yang menjadi pemimpin para peronda turut turun
tangan. Pertarungan para peronda yang dipimpin Ki Lamting dan lima orang
berkedok itu tak dapat dihindarkan.
Trang Trang "Heaaa..." Seketika suara
benturan senjata terdengar, seakan-akan hendak memecah suasana malam. Pekikan
dan jerit kesakitan pun mulai terdengar.
Wut "Ukh..." "Aaa..." Para
peronda tampaknya bukan tandingan kelima sosok berkedok itu. Hanya dalam
beberapa gebrakan saja para peronda bergelimpangan tewas berlumuran darah.
Kenyataan itu membuat Ki Lamting marah.
Tanpa pikir panjang lagi, karena telah terpancing
perasaan marah, lelaki setengah baya itu langsung membuka jurus andalannya
dengan senjata golok.
"Heaaa..." Ki Lamting melompat dan
menyerang salah satu dari lima sosok berkedok. Namun dengan mudah serangan itu
dielakkan. Hanya dengan menggeser ke samping, serangan itu lolos. Bahkan sosok
berpakaian hitam itu langsung balas menyerang.
"Heaaa..." Dugkh "Aaakh..."
Serangan dari sosok berkedok seram itu mendarat telak di dada Ki Lamting.
Seketika tubuh pemimpin ronda itu terjungkal di tanah. Dari mulutnya mengalir
darah segar. Tampaknya pukulan lawan membuat luka dalam di dadanya.
Keributan itu sempat menimbulkan kepanikan para
peronda lain. Bahkan akhirnya terdengar pula oleh Pendekar Gila, Mei Lie, Ki
Lurah Patiasa, serta Santika dan Lohdaya.
"Tolooong... Ada setan... Hantuuu..."
Orang-orang berlarian ke arah rumah kepala desa sambil berteriak gaduh.
Sementara itu di ujung sebelah barat Desa Parangan, terlihat sebuah rumah
terbakar.
Santika dan Lohdaya segera berlari menuju tempat
pertarungan. Sementara Sena tampak masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Namun kemudian segera keluar dan melesat diikuti Mei Lie dan Ki Lurah
Patiasa.
Pertarungan semakin seru, ketika Santika dan
Lohdaya turun tangan untuk meringkus kelima sosok berpakaian serba hitam itu.
"Hei Tunggu... Mengapa kalian mengacau dan
membunuh warga desa ini...? Siapa kalian sebenarnya" bentak Santika marah
sambil menuding ke arah dua orang berkedok seram yang berdiri dua tombak di
depannya. Yang satu tampaknya pemimpin kelima lelaki berkedok itu. Hal itu
dapat dilihat dari bentuk dan penampilannya yang berbeda. Pakaiannya yang
longgar panjang terhias sabuk ikat pinggang warna kuning.
"Untuk apa kau tahu diriku? Hhh..., tapi
baiklah agar tidak penasaran. Aku Rasaka. Aku ingin meringkus Pendekar Gila
yang kalian sembunyikan itu... Sebaiknya minggir, kalau sayang dengan
nyawamu..." sahut lelaki berambut panjang dan berkedok seram yang mengaku
bernama Rasaka.
"Sombong Heaaa..." Santika langsung
melompat menyerang Rasaka.
Namun dengan cepat lelaki berkedok itu melompat
sambil menangkis serangan lawan.
"Heaaa... Mampus kau..." seru Santika.
Santika rupanya lupa kalau yang dihadapi dua orang.
Salah seorang teman Rasaka yang sedan tadi hanya melihat dan menunggu
kesempatan baik untuk menyerang, tiba-tiba dari belakang menyerang Santika yang
sedang bertarung dengan Rasaka. Namun belum sempat golok bergerigi milik orang
berkedok menyentuh tubuh Santika, tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat
telak di tengkuk orang berkedok itu.
"Aaa..." Teman Rasaka terjungkal jatuh ke
tanah dan bergulingan. Santika merasa kaget dan ketika wajahnya menoleh
sekilas, ternyata Pendekar Gila telah berdiri di sampingnya. Santika semakin
semangat. Kembali ia merangsek lawan dengan serangan cepat Namun Rasaka yang
memiliki ilmu cukup tinggi, dengan mudah mematahkan serangan lawan. Bahkan terbalik,
Santika terdesak dan cukup gawat.
Melihat itu Pendekar Gila, segera mengambil alih
pertarungan.
"Heaaa..." Pendekar Gila melompat sambil
bersalto, dan mendarat di antara Rasaka dan Santika.
"Hah?" Rasaka menatap tajam wajah
Pendekar Gila yang sudah berdiri di hadapannya. "Ha ha ha...
Kau rupanya Pendekar Gila. Kebetulan sekali. Malam
ini dunia persilatan akan mendengar, bahwa kau mati di tanganku....'" ucap
Rasaka dengan sombong. Lalu mundur tiga tombak dari hadapan Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Santika, sebaiknya kau bantu yang
lain. Biar monyet ini aku yang hadapi" ujar Pendekar Gila sambil cekikikan
dan menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya ada monyet malam-malam datang mencari
makanan. Hi hi hi... Lucu sekali Hai, Monyet... Ayo, hadapi aku..."
"Kurang ajar Kau boleh mengenalku Pendekar Gila," dengus Rasaka, lalu
membuka kedok setannya.
Kini terlihat wajah aslinya, yang garang dan
berhidung besar. Mata sebelah kirinya rusak, seperti bekas kena senjata.
Bibirnya lebar, dengan kumis melintang tebal.
"Aku si Mata Iblis dari Sungai Darah, malam
ini akan menantangmu Ayo... Heaaa..." Rasaka melesat dan langsung
melancarkan serangan. Pendekar Gila yang sudah siap dengan segala kemungkinan,
mengelak dengan hanya memiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu
melenting ke atas sambil bersalto. Nampak ringan sekali gerakan Pendekar Gila.
Begitu pula saat mendaratkan kaki di tanah. Bahkan pemuda berompi kulit ular
itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala seperti mengejek lawannya.
Rasaka yang menghadapi serangannya begitu mudah
dapat dielakkan tampak marah. Apalagi ketika Pendekar Gila mengejek seperti
meremehkan.
"Heaaa... Hiaaa..." Si Mata Iblis dari
Sungai Darah kembali menyerang dengan garang. Tubuhnya melenting sambil
berputaran dan memburu Pendekar Gila dengan golok bergeriginya.
"Jurus apa nih? Hi hi hi, lucu..." gumam
Sena sambil melenting ke udara sambil bersalto, melewati lawannya. Kedua
tangannya menjulur berusaha menyambar tangan Rasaka. Pertarungan di udara tak
terelakkan. Dari kejauhan, mata bisa pasti tidak mampu menangkap gerakan
mereka. Apalagi suasana malam itu gelap gulita. Padahal kedua tokoh itu dengan
dahsyat saling melancarkan serangan untuk menjatuhkan lawan. Pendekar Gila yang
telah memiliki segudang pengalaman bertarung dalam petualangan di rimba
persilatan tampaknya mampu mengimbangi kemampuan lawan. Ketika keduanya
sama-sama mendarat Pendekar Gila tampak hanya cengengesan.
Sementara itu si Mata Iblis dari Sungai Darah yang
telah terkuras tenaganya dalam pertarungan cepat di udara, segera memasang
kuda-kuda. Dirinya bermaksud mengerahkan salah satu jurus yang bernama jurus
'Golok Setan Darah'.
Pendekar Gila justru tertawa-tawa. Tingkah lakunya
persis orang gila. Tangan kanannya mencabut bulu burung yang disimpan di ikat
pinggang. Dan dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu burung itu. Melihat
kekonyolan tingkah laku Pendekar Gila, Rasaka merasa diremehkan, kemarahannya
kian me-muncak.
"Kurang ajar Bersiaplah untuk mampus
Heaaa..." Dengan jurus 'Golok Setan Darah', Rasaka menggebrak dengan
serangan semakin dahsyat. Goloknya yang mengeluarkan racun ganas bergerak
membabat dan menusuk bagian tubuh Pendekar Gila.
"Eit Hi hi hi..." Sena segera meliukkan
tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu dengan
cepat menepuk kepala lawan yang agak merunduk ketika menusukkan goloknya.
"Ini bagianmu, Kunyuk... Hih..."
"Ukh..." Si Mata Iblis dari Sungai Darah memekik kesakitan, ketika
telapak tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Tubuh lelaki berambut
gondrong itu melompat ke belakang sambil memegangi kepalanya yang dirasakan
pening seperti mau pecah. Hatinya merasa heran dan hampir tak percaya. Gerakan
lawan yang dilihatnya tanpa tenaga dan tampak sangat lamban, ternyata
mengandung kekuatan dahsyat Rasaka tampak mulai mengatur keseimbangan tubuh dan
kembali menghimpun tenaga dalam. Kini si Mata Iblis dari Sungai Darah itu
membuka jurus dengan gerakan yang sangat cepat dan keras. Seiring dengan
putaran senjata dalam jurus 'Golok Setan Beracun', mulut Rasaka terdengar
mengeluarkan dengusan-dengusan aneh.
Melihat lawan mulai mengerahkan jurus dahsyat
andalannya, Pendekar Gila bukan merasa takut. Mulutnya tampak cengengesan
sambil tangannya menepuk-nepuk pantat. Namun tiba-tiba saja tubuhnya berputar
cepat ke arah kiri.
Wusss "Hah?" Si Mata Iblis dari Sungai
Darah tersentak kaget melihat tubuh lawan mampu berputar cepat seperti gasing.
Sejenak dirinya kebingungan untuk melancarkan serangan. Namun ketika sekejap
saja Pendekar Gila berhenti, tiba-tiba....
"Yiaaa..." Wut Wut "It.., he he
he.... Hebat juga kunyuk ini..." Pendekar Gila cepat mencabut Suling Naga
Saktinya, diputarnya dan digerakkan lurus ke atas.
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali
melakukan serangan. Golok beracun di tangan Rasaka bergerak cepat, menusuk ke
depan dan membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan dari atas ke bawah,
kemudian disambung babatan dari kiri dan kanan. Saking cepatnya gerakan golok
itu, golok bergigi dan beracun itu seperti menghilang. Yang tampak hanya
bayangan putih mengkilat, yang berkelebatkelebat melindungi tubuh Rasaka.
Wut Wut Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat
sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan jurus, ‘Si
Gila Menembus Badai’ "Heaaa..." Tangan Pendekar Gila yang memegang
Suling Naga Sakti menjulur lurus ke depan. Sedangkan tangan kirinya memukul,
dengan kedudukan tubuh agak merunduk. Kaki kirinya diangkat ke atas sedang kaki
kanannya setengah ditekuk. Dengan cepat disodokkan Suling Naga Sakti-nya ke
arah gulungan cahaya pedang yang berputar di sekitar tubuh lawan.
"Heaaa..." Wut Wut Trang Dua senjata
beradu. Pijaran api keluar dari benturan itu. Asap putih bercampur ungu yang
beracun tiba-tiba bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila.
Kalau saja pendekar muda itu tak pernah meminum
darah ular putih, mungkin Pendekar Gila akan tewas.
Namun kini tubuhnya kebal dari segala macam racun
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan
Dewi Kuan Im").
Si Mata Iblis dari Sungai Darah terkejut bukan main
mengetahui lawan ternyata tak mempan racun yang keluar dari Golok Setan-nya
yang bergerigi. Gerakan goloknya semakin dipercepat, berusaha menghancurkan
Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut Wut..
Trang Trang Benturan-benturan keras semakin tak
terelakkan. Masing-masing berusaha mengalahkan. Jurus demi jurus telah
dikerahkan. Namun keduanya tampak masih memperlihatkan ketangguhan masingmasing.
Si Mata Iblis dari Sungai Darah rupanya bukan tokoh
sembarangan. Tokoh kaum hitam yang memiliki ilmu hitam cukup tinggi ini telah
malang-melintang di dunia persilatan. Banyak tokoh persilatan yang telah
ditaklukkan.
Pendekar Gila pun tampaknya tak ingin menganggap
remeh kemampuan lawan. Dengan gerak cepat Suling Naga Sakti-nya terus
dibabatkan dan ditusukkan dengan jurus 'Si Gila Menembus Badai'.
Wuttt Wuttt "Heaaa..." Rasaka cepat-cepat
membuang tubuhnya ke samping. Lalu dengan cepat membabatkan goloknya memapak
Suling Naga Sakti dengan jurus 'Tebasan Golok Setan Darah'.
Melihat golok lawan menderu ke arahnya, dengan
cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu diputar sulingnya guna memapaki
tebasan golok.
Trang "Hah..." Keduanya melompat ke belakang.
Lalu berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali sama-sama menyerang dengan
didahului pekikan menggelegar.
Keduanya melenting di udara.
"Heaaa..." "Yeaaa..." Tubuh
keduanya melesat cepat dengan senjata di tangan. Dalam suasana remang-remang di
udara mereka saling melancarkan serangan. Suling Naga Sakti menyodok ke wajah
Rasaka. Sedangkan golok bergerigi menebas kepala Pendekar Gila.
"Hup" Wut Pendekar Gila bersalto
menghindari tebasan Golok Setan. Kemudian dengan cepat, disodokkan sulingnya ke
wajah lawan.
"Heaaa..." Rasaka tersentak kaget
mendapatkan serangan cepat itu. Dirinya berusaha menangkis dengan mengebutkan
tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya membabatkan golok ke tubuh lawan.
"Hop Yeaaa..." Melihat babatan golok
Rasaka, Pendekar Gila meliukkan tubuh lalu bergerak ke samping. Setelah golok
itu lewat, kakinya menendang dengan jurus ‘Si Gila Menyapu Bumi’.
Plakkk "Heaaa..." Tubuh si Mata Iblis
dari Sungai Darah terlontar terhantam tendangan Pendekar Gila yang dikerahkan
dengan tenaga dalam. Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan Rasaka masih
terhuyung, segera memburu sambil memukulkan sulingnya ke dada lawan yang tak
mampu mengelak lagi.
Dugkh "Hukh..." Tubuh Rasaka terdorong ke
belakang, lalu jatuh ke tanah. Namun dengan cepat lelaki berpakaian serba hitam
itu bangkit berdiri.
"Kurang ajar Kupertaruhkan nyawaku, Pendekar
Gila" dengus Rasaka.
"Hi hi hi... Hai, monyet apa maumu,
silakan" sahut Sena seraya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kali ini kau mampus, Pendekar Gila... 'Mata
Iblis Pencabut Nyawa', hiaaa..." Rasaka melesat cepat sambil mengayunkan
goloknya memburu tubuh Pendekar Gila. Bersamaan itu dari mata Rasaka keluar
sinar merah, melesat memburu lawan. Melihat serangan berbahaya itu, dengan
cepat Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto.
Sinar merah itu berhasil dielakkan.
Slats Glarrr...
Brakkk Sebuah pohon besar terhantam sinar 'Mata
Iblis Pencabut Nyawa'. Ledakan keras menggelegar terdengar disusul tumbangnya
pohon itu.
"Hi hi hi... Hebat juga, Monyet Ah ah ah...
Apimu membakar pohon" seru Pendekar Gila setelah mendarat di atap sebuah
rumah penduduk sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya
terus berusaha memancing kemarahan lawan.
Melihat lawannya terus mengejek dan tertawatawa, si
Mata Iblis dari Sungai Darah geram dan murka. Dengan penuh amarah tubuhnya
melesat, memburu Pendekar Gila. Sambil melayang di udara goloknya terus
diputar-putar cepat Pendekar Gila mengelak dengan melenting ke atas, melewati
kepala Rasaka sambil melakukan serangan balik yang cepat.
"Hiaaa..." "Aits Heaaa" Rasaka
merundukkan kepala sambil menangkis pukulan lawan. Namun Pendekar Gila dengan
cepat membuat gerakan memutar tubuh dengan cepat sambil melompat Rasaka yang
tak menduga, kecepatan tanggapan pemuda bertingkah laku gila itu tersentak.
Tubuhnya meluncur dengan cepat menghindari serangan
aneh Pendekar Gila.
"Hih" Kaki si Mata Iblis dari Sungai
Darah mendarat ringan di tanah. Namun tampak napasnya agak tersengal-sengal
dengan dada turun naik Matanya menatap nanar pada Pendekar Gila yang telah
mendarat pula lima tombak di depannya.
"Hhh..." Rasaka mendengus, lalu dengan
gerakan cepat kembali melancarkan serangan. Pendekar Gila tak berdiam diri,
tubuhnya melesat ke depan memapaki serangan lawan.
"Heaaa..." "Yeaaa..." Trang
Trang...
Pekikan keras memekakkan telinga dan dentangan
senjata semakin kerap terdengar. Baik si Mata Iblis dari Sungai Darah maupun
Pendekar Gila tampaknya tak ingin menganggap enteng kekuatan lawan. Keduanya
kini sama-sama mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang mempertunjukkan
gerakan cepat.
Sehingga tubuh keduanya bagaikan menghilang.
"Hi hi hi... Hei, Mata Monyet, apa sebenarnya
yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Gila sambil cekikikan. Tubuhnya
terus melayang menghindari serangan Golok Setan yang mengandung racun ganas
itu.
"Heaaa..." Wut "Aits..." Trang
Tanpa menghiraukan pertanyaan Pendekar Gila, Rasaka berteriak keras sambil
mengayunkan goloknya.
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Gila agak
terkejut. Namun dengan cepat pula menebaskan sulingnya memapak golok lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan,
tapi keduanya masing memperlihatkan ketangguhan masing-masing. Meskipun semula
tampak kalau Rasaka agak tersengal-sengal, ternyata kini memperlihatkan
kemampuan yang tak boleh dianggap remeh. "Heaaa..." Golok bergerigi
di tangan Rasaka bergerak cepat ke perut lawan. Melihat serangan cepat dan
keras itu, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan
kepala Suling Naga Sakti-nya.
"Heaaa..." Dugkh "Hukh..."
Rasaka terpekik ketika kepala Suling Naga Sakti itu seperti mematuk, menghantam
bagian kepalanya.
Seketika tubuhnya terpelanting dan terhuyung-huyung
di tanah. Darah mengucur membasahi pakaian dan wajahnya.
Melihat hal itu Pendekar Gila tak sampai hati untuk
menghabisi lawannya. Walaupun tahu, manusia seperti si Mata Iblis dari Sungai
Darah ini harus dile-nyapkan dari bumi. Perbuatannya yang sudah sering
membunuh, memperkosa, merampok, dan membinasakan tokoh-tokoh persilatan aliran
putih, harus sege-ra dihentikan.
"Aku tak mungkin membunuh orang yang sudah
terluka. Tapi, kuminta kau memerintahkan anak buah-mu yang sedang bertarung di
sana, agar menyerah. Dan cepat pergi dari sini..." perintah Sena sambil
menunjuk ke tempat Mei Lie sedang bertarung dengan seorang anak buah Rasaka,
dan Santika yang juga menghadapi orang berkedok setan yang lain. Sementara itu
kobaran api yang membakar rumah pun masih menyala-nyala.
Rasaka tak menjawab. Matanya yang bagai iblis
tiba-tiba menyala bagai api membara. Sekejap kemudian, sebentuk sinar melesat
dan memburu Pendekar Gila, berasal dari mata si Mata Iblis dari Sungai Darah.
Karena tak menduga lawan akan mengeluarkan serangan
itu, Pendekar Gila sempat tersentak. Namun dengan secepat kilat melenting ke
atas....
Slats...
"Aits... Kurang ajar juga monyet ini,"
gumam Pendekar Gila sambil bersalto di udara.
Glarrr...
Brak Sinar merah dari mata si Mata Iblis dari
Sungai Darah menerjang rumah penduduk, hingga menimbulkan ledakan keras. Rumah
itu seketika terbakar.
"Aaakh..." "Tolong... Kebakaran,
kebakaran Tolooong..," Seketika jeritan-jeritan penduduk bertambah ramai.
Anak-anak dan para wanita panik, berlarian kian kemari. Sementara itu
pertarungan antara Mei lie, Lohdaya, dan Santika menghadapi anak buah si Mata
Iblis dari Sungai Darah tetap berlangsung.
"Hua ha ha... Tak mudah menghabisi nyawaku,
Anak Muda" teriak Rasaka dengan suara terbahak-bahak. Lelaki berambut
panjang dan berpakaian serba hitam ini tampaknya tak menghiraukan sama sekali
keadaan wajahnya yang telah berlumuran darah. Bahkan matanya tampak kian
beringas dan menggiriskan.
"Ah ah ah... Monyet jelek, rupanya kau tak
bisa dikasih hati. Hai, Mata Borok Kalau kau tak menurut saranku, rasakan ini
Hiaaa..." Pendekar Gila yang sudah kehabisan kesabaran dengan cepat menghantamkan
pukulan sakti 'Inti Brahma'. Dari telapak tangannya melesat larikan api
menyala-nyala memburu tubuh Rasaka. Tanpa ampun lagi api pun menerjang tubuh
lelaki berkedok seram itu. Srat Prat "Wuakh..." Rasaka menjerit-jerit
kesakitan. Tubuhnya yang terbungkus pakaian hitam itu berguling-gulingan,
berusaha memadamkan api yang melahapnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Rasaka
yang mulanya merasa yakin dapat mengalahkan Pendekar Gila dengan melakukan
pembunuhan dan kekacauan di Desa Parangan, untuk memancing pemuda gila itu,
ternyata nasib buruk justru menimpa dirinya sendiri. Bukannya Pendekar Gila
yang mati, melainkan Rasaka sendiri yang menemui ajalnya, dengan sangat
mengerikan.
Tubuhnya hangus bagai arang Sena atau Pendekar Gila
menghela napas dalamdalam, lalu menyelipkan kembali Suling Naga Saktinya di
pinggang.
"Ah ah ah... Sayang, kau lebih menginginkan
mati daripada bertobat..," gumam Sena perlahan, seakan bicara pada dirinya
sendiri. Matanya menatap terus mayat Rasaka yang berada lima tombak di hadapannya.
Mulutnya cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
***
Sementara
itu Mei Lie dan Santika masih menghadapi anak buah Rasaka. Begitu pula Lohdaya.
Mereka bertarung habis-habisan. Tangan kiri Lohdaya tampak sudah terluka.
Melihat itu Ki Lurah Patiasa yang sejak tadi memimpin para penduduk memadamkan
api cepat bertindak membantu Lohdaya, yang ilmunya memang tak seberapa.
Sedangkan Mei Lie nampak lebih santai menghadapi
lawannya. Tak banyak kerepotan. Tubuhnya nampak ringan sekali meliuk dan melenting
ke atas, sambil melancarkan serangan balik.
"Hiaaa..." Plak Plak Bugkh
"Aaakh..." Lawan Mei Lie memekik, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang, sambil memegangi dadanya. Tendangan kaki kanan Mei Lie sebelum
mendarat ke tanah sempat bersarang di dadanya.
"Kau juga ingin mampus seperti pimpinanmu
itu?" ujar Mei Lie dengan kalem. Matanya menatap tajam ke wajah lawannya
sambil menunjuk mayat Rasaka yang terkapar hangus, sekitar sepuluh tombak di
sebelah kirinya.
Lelaki berambut panjang dan berkedok menyeramkan
itu tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat sang Pemimpin telah tewas
dengan keadaan tubuh sangat mengerikan. Serta merta anak buah Rasaka itu
menjura sambil menyembah.
"Ampunilah aku... Biarkah aku hidup..."
"Enak saja kau Minta ampun? Kenapa kalian menyerang desa ini, merampok,
serta menculik gadisgadis desa...?" tanya Mei Lie dengan ketus.
"Aku hanya mengikuti perintah Rasaka....
Ampuni aku... Biarlah aku pergi..." pinta orang yang mu-kanya masih
tertutup kedok itu. Mei Lie segera membuka kedok orang itu dengan ujung
pedangnya. Dan kini terlihat wajah orang itu. Ternyata berparas lumayan, tak
ada gambaran kebengisan di wajah pemuda itu. Mei Lie merasa heran ketika
melihat wajah yang seperti tak berdosa itu.
"Hei.. Menyerahlah kalian Pimpinan kalian
telah mati.." seru Pendekar Gila tiba-tiba. Orang-orang yang bertarung
menoleh ke arah Pendekar Gila dan menghentikan pertarungan.
Tiga orang berkedok yang sedang bertarung melawan
Santika, Lohdaya, dan Ki Lurah Patiasa, segera menghentikan serangannya. Dan
ketika melihat mayat Rasaka, ketiganya berlarian meninggalkan Desa Parangan
dengan ketakutan.
Sedangkan seorang yang minta ampun pada Mei Lie,
menyusul kemudian. Setelah berterima kasih pada Mei Lie.
Ki Lurah Patiasa dan anak buahnya merasa kagum
dengan tindakan Sena dan Mei Lie, yang tak mau membunuh lawan, dalam keadaan
menyerah dan mengaku kalah. Itulah sifat seorang pendekar yang budiman. Penuh
cinta kasih sesamanya, walaupun itu lawan.
Ki Lurah Patiasa segera mendekati kedua pendekar
muda itu, diikuti Santika dan Lohdaya.
"Kami kagum dengan tindakan kalian berdua.
Suatu tindakan yang jarang dimiliki pendekar mana
pun. Kami ucapkan terima kasih pada kalian berdua," kata Ki Lurah Patiasa
setelah sampai di dekat Sena dan Mei Lie.
"Aha, itu sudah biasa kami lakukan. Dan sudah
tugas kami untuk menolong yang lemah dan melenyapkan yang jahat. Tapi aku
merasa ikut sedih dengan terbakarnya beberapa rumah penduduk. Kurasa, hal ini
karena orang-orang itu tahu, kalau aku ada di sini. Maafkan aku..." kata
Sena dengan menggaruk-garuk kepala. Wajahnya terpancar kesedihan ketika
memandangi rumah-rumah penduduk yang terbakar.
Kemudian sambil menghela napas dalam-dalam wajahnya
menoleh Ki Lurah Patiasa.
"Kalian tidak bersalah. Kejadian ini membuat
kami harus lebih waspada dan melatih diri untuk memperdalam ilmu silat. Kalau
kalian berdua tak keberatan, sudilah kiranya menjadi guru kami...?" kata
Ki Lurah Patiasa kemudian.
"Ya, Tuan Pendekar...," tambah Santika
dan Lohdaya seraya menganggukkan kepala. Pendekar Gila menoleh kepada Mei Lie
yang berdiri di sisi kirinya.
Keduanya saling pandang. Kemudian Sena
tersenyumsenyum dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu, lucu sekali Kami tak
keberatan, tapi tugas kami belum selesai. Masih banyak yang harus kami
selesaikan. Maka dengan berat hati, saat ini kami belum bisa mengabulkan
permintaan Ki Lurah dan kalian semua. Maaf, sekali lagi maaf Mungkin lain
waktu, kami bisa," ucap Sena dengan kalem sambil menggaruk-garuk kepala
dan cekikikan.
Melihat sikap Sena yang mirip orang gila,
orangorang yang ada di tempat itu tampak keheranan. Namun bagi mereka yang
telah tahu ciri khas pendekar muda itu segera maklum. Mereka hanya tersenyumsenyum.
"Ya, apa kata Kang Sena benar. Mungkin lain
waktu, kami akan luangkan waktu untuk lebih lama tinggal di Desa Parangan
ini," tambah Mei Lie dengan senyum manis.
Ki Lurah Patiasa dan kedua pengawalnya
manggut-manggut, mereka bisa memaklumi. Karena mereka tahu, bahwa Pendekar Gila
dan Mei Lie yang dijuluki ‘Bidadari Pencabut Nyawa’, masih harus menumpas
Penunggang Kuda Iblis. Yang telah menggemparkan dan membuat kekacauan rimba
persilatan.
***
5
Di halaman sebuah pondok yang terletak di sebuah bukit,
tampak sesosok tubuh tengah memperagakan ilmu pedang. Karena pondok yang
terbuat dari kayu-kayu dan beratap dedaunan itu dikelilingi pepohonan besar,
gerakan-gerakan cepat yang dilakukan sosok itu tampak berkelebatan di sela-sela
pepohonan.
Meski begitu, dilihat dari bentuk-bentuk gerakan
serta suara teriakan dari mulutnya, jelas kalau sosok itu seorang wanita.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai sampai di pinggang. Gaun longgar
serta putih membalut tubuhnya yang kuning langsat Gerakan-gerakan jurusnya
cepat membuat pakaian dan rambutnya nampak diterbangkan angin pagi itu.
Matahari di sebelah timur yang menimpa dedaunan bagaikan memberi semangat dan
kehangatan wanita cantik jelita yang ternyata Lara Kanti, atau lebih dikenal
dengan julukan si Penunggang Kuda Iblis.
Di depan Lara Kanti tampak, seorang kakek tua renta
duduk bersila di atas sebuah baru. Mata tuanya yang cekung memandang lurus ke
tubuh Lara Kanti yang tengah berlatih itu. Kakek berusia sekitar delapan puluh
tahun itu bernama Ki Rawantula. Alisnya yang tebal dan berwarna putih, serta
guratan-guratan pada kulit wajah menggambarkan pengalaman kehidupan-nya. Ki
Rawantula juga merupakan kakak kandung Tempurung Sakti.
Lara Kanti ternyata anak dari Tempurung Sakti, yang
berarti merupakan kemenakan Ki Rawantula.
(Untuk lebih jelasnya mengenai Tempurung Sakti,
silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kuan
Im").
Saat itu Lara Kanti sedang berlatih jurus pamungkas
'Penyempurna Raga dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Mata Iblis'.
Larakanti tampak terdiam beberapa saat dengan mata
terpejam. Mata pedang ditempelkan pada keningnya. Setelah cukup lama dirinya
mengheningkan cipta, dibarengi pekikan nyaring, digerakkan pedangnya dengan
pengerahan kekuatan tenaga dalam. Seketika pedang itu pun memancarkan sinar
merah.
"Yeaaat.." Wut Wut Pedang diarahkan pada
sebuah batu besar di sampingnya dengan gerakan menusuk.
"Hih..." Crak Suara keras terdengar
memekakkan telinga. Pedang itu mampu menusuk batu besar hingga tembus.
Dapat kita bayangkan, bagaimana kalau pedang itu
digunakan untuk menusuk tubuh manusia.
Plok Plok Plok Terdengar tepukan tiga kali dari Ki
Rawantula yang masih bersila di atas sebuah batu besar di halaman pondok itu.
"Hebat.." seru kakek yang bertelanjang
dada itu seraya mengancungkan kedua ibu jarinya.
"Terima kasih Terima kasih, Paman" sahut
Lara Kanti seraya menjura hormat kepada Ki Rawantula.
Kemudian dimasukkan pedangnya ke dalam warangka
yang tersandang di punggungnya.
Ki Rawantula tersenyum bangga seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Tangan kirinya mengeluselus jenggotnya yang telah
memutih. Kemudian kakinya membuka lipatan dari duduk bersilanya, lalu melangkah
mendekati Lara Kanti, murid tunggalnya itu. "Kini ilmumu telah mencapai
tingkat hampir sempurna, Anakku. Kurasa sulit bagimu menemukan lawan tanding
bagi ilmumu yang saat sekarang ini. Ya, kecuali dua orang itu, Kanti...,"
ujar Ki Rawantula dengan tatapan tajam pada wajah Lara Kanti yang hanya duduk
diam, menundukkan kepala. "Namun, Paman yakin, kau akan dapat
mengatasinya," lanjutnya dengan suara lirih.
Kakek tua itu masih nampak segar, berdirinya pun
masih tegap, wajahnya terus tersenyum bangga.
Memandangi Lara Kanti.
"Paman bangga sekali denganmu, Kanti. Ayo
bangun, ikut aku" ajak Ki Rawantula.
Keduanya segera melesat meninggalkan pondok itu.
Tak lama kemudian, mereka sudah berada dekat air terjun. Lara Kanti dan Ki
Rawantula duduk di atas batu besar saling berhadapan, hanya sekitar tiga tombak
dari tempat jatuhnya air terjun. Sehingga tubuh keduanya tampak mulai basah
kuyup.
Ki Rawantula, tampak memejamkan mata. Kedua
tangannya bersidekap di dada, dengan kepala menengadah ke langit. Seakan-akan
ingin membuang suara deras air terjun itu dari telinganya.
Sementara itu Lara Kanti yang duduk bersila pun
tertunduk. Kedua
tangannya ditumpangkan di kedua lutut. Rawantula
kemudian membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah jelita gadis di depannya
dengan mata sayu. Lalu tersenyum.
"Kini, tiba saatnya, kau harus menemukan
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Bunuhlah keduanya Kau harus membalas
dendam atas kematian ayahmu, yang juga adik kandung yang kusayangi, Si
Tempurung Sakti. Mengerti...?" Lara Kanti mengangguk. "Aku akan mencari
Pendekar Gila, di mana pun dia berada. Hhh..., tapi kena-pa sampai saat ini aku
belum juga menemukannya, Paman...?" gumam Lara Kanti dengan wajah murung.
"Hm.... Bersabarlah Kali ini kau pasti bertemu
dengannya. Hanya Paman mengkhawatirkan mu, jika berhadapan dengan Bidadari
Pencabut Nyawa itu...," ujar Rawantula dengan mengerutkan kening. Sekilas
di wajahnya terlihat cemas dan kebimbangan.
"Kenapa, Paman? Apa ilmu pedang yang kau
ajarkan padaku tak mampu mengalahkan mereka...?" tanya Lara Kanti dengan
gusar. "Aku akan membunuh Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa itu.
Hhh..., setelah itu, aku akan jadi jago dan
pendekar yang disegani. Sekaligus membalas dendam atas kematian ayahku,"
lanjutnya penuh kesombongan.
Mendengar ucapan Lara Kanti, sebenarnya Rawantula
kurang suka. Namun karena dirinya takut kalau Lara Kanti akan patah semangat
jika ditegur, maka kakek tua berambut putih itu hanya bisa menyimpan
kekurangsenangan itu di dalam hatinya.
"Kau harus memiliki keyakinan. Jangan ceroboh
jika menghadapi Pendekar Gila. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun Paman
percaya kau akan bisa mengalahkannya, Kanti...," kata Rawantula memberikan
semangat pada Lara Kanti.
Lara Kanti menjura seraya berkata. "Terima
kasih, Paman. Pesan Paman akan kuingat" "Tapi...," Rawantula tak
meneruskan ucapannya.
Hal itu membuat Lara Kanti mengerutkan kening.
Matanya memandang wajah sang Paman. "Paman...?" "Oh... he he
he.... Tidak apa-apa, Kanti." "Paman meragukan kemampuanku untuk
menghadapi Pendekar Gila yang telah membunuh ayah...?" tanya Lara Kanti
dengan mengerutkan kening. Nampak ada kekesalan di hatinya.
Rawantula tak menjawab. Lelaki tua itu sesaat
terdiam. Di helanya napas dalam-dalam. Matanya menatap wajah Lara Kanti yang
nampak kecewa dan kesal. Gadis cantik berpakaian putih itu tampak telah
benar-benar yakin, sehingga merasa kecewa, jika ada il-mu pedang yang lebih
tinggi dari yang telah dipelajarinya. Selama lebih dari dua belas purnama
dirinya memperdalam ilmu pedang di bawah gemblengan sang Paman.
"Maafkan, Paman, Kanti Tadi Paman hanya
teringat akan ayahmu. Karena dia adik kandungku satusatunya...," kata Ki
Rawantula mencoba mengalihkan perhatian Lara Kanti. Sebenarnya Ki Rawantula
memang sedikit meragukan ilmu pedang yang diberikan pada Lara Kanti akan bisa
mengatasi ilmu pedang yang dimiliki Mei Lie, atau Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila. Namun lelaki tua itu tak ingin menyampaikan rasa kekhawatirannya
pada sang Murid.
Hal itu bisa membuat Lara Kanti marah.
Mendengar penjelasan Ki Rawantula, Lara Kanti bisa
menerima. Namun wanita muda itu nampaknya tetap belum puas dengan penjelasan
sang Paman yang juga gurunya itu.
Sesaat keduanya diam. Lara Kanti menundukkan kepala
memandangi batu yang didudukinya. Angin yang berhembus kencang, membuat percikan
air terjun semakin mengenai wajah dan seluruh tubuh mereka. Namun keduanya tak
menghiraukan. Tetap duduk dengan tenang. Rawantula nampak baru saja memejamkan
mata. Tak lama kemudian membuka kembali matanya dengan perlahan, lalu menghela
napas panjang.
"Besok pagi-pagi, kau boleh pergi mencari
pembunuh ayahmu itu. Doa Paman menyertaimu, Kanti....
Sekarang beristirahatlah Si Ireng kudamu itu beri
makan secukupnya. Agar perjalananmu nanti lancar," ujar Ki Rawantula
menyarankan dengan suara mantap penuh wibawa.
"Baik, Paman. Akan aku laksanakan perintah
Paman," jawab Lara Kanti sambil menjura.
"Hm...," gumam Rawantula pendek.
***
Ketika
matahari pagi baru saja beranjak dari ufuk timur, tampak seekor kuda hitam
berlari kencang melintasi jalan terjal agak berbatu-batu di sekitar Bukit
Palasari. Di punggung kuda itu nampak seorang bercaping lebar, dengan pakaian
compang-camping.
Sedang di punggungnya tersandang sebilah pedang.
Penunggang kuda itu tak lain Lara Kanti. Kuda hitam
itu terus dipacunya dengan kencang. Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak
menghiraukan jalan naik turun yang hams dilaluinya. Bukit dan lembah terus
ditelusurinya dalam kecepatan tinggi. Seakan-akan dirinya harus segera mencapai
suatu tempat tujuan. Matahari pun sudah agak meninggi menghantarkan hawa panas
di tubuh.
"Herrr... Hop..." Kuda hitam itu
berhenti. Lara Kanti menyapu keadaan sekeliling tempatnya. Sepi, tiada
tanda-tanda seorang manusia yang tinggal di tempat gersang itu.
Perlahan kudanya kembali dijalankan. Mata dan
telinga wanita bercaping lebar itu terus dipasang dengan kewaspadaan. Wajahnya
menoleh ke sana kemari mencoba mengawasi sekitar tempat itu. "Hm...."
Lara Kanti menggumam tak jelas. Lalu tersenyum sinis. Seolah-olah hatinya tahu
kalau ada suara tak jauh dari tempatnya.
Namun Lara Kanti seakan tak menghiraukan.
Bahkan tiba-tiba tangannya menghentakkan tali
kendali, hingga melesatlah kuda hitam dan besar itu meninggalkan tempat
gersang. Namun ketika sampai di dataran luas dan berbatu-batu, tiba-tiba
bermunculan sepuluh sosok lelaki berpakaian rompi hitam dan ber-senjatakan
golok di tangan. Kesepuluh lelaki yang mengenakan ikat kepala dan celana juga
berwarna hitam itu langsung bergerak mengepung Lara Kanti. Kuda yang
ditunggangi seperti terkejut, dan meringkik seraya mengangkat kedua kaki
depannya. Kesepuluh lelaki gagah berpakaian rompi itu berlompatan mundur sambil
mengibas-ngibaskan golok mereka, untuk menghindari terjangan kaki kuda. Lalu
kembali mengepung Lara Kanti yang masih duduk di punggung kudanya.
Namun tiba-tiba melesat sesosok bayangan dari atas
sebuah pohon besar tak jauh dari tempat Lara Kanti dan kesepuluh lelaki yang
menghadangnya. Sosok bayangan itu mendarat lima tombak dari tempat Lara Kanti
masih memegangi tali kendali kudanya.
Ternyata sesosok lelaki bertubuh tinggi dan besar.
Dadanya yang tanpa tertutup pakaian memperlihatkan bulu-bulu tebal. Tangan
kanannya berkacak pinggang, sedangkan tangan kiri memilin-milin kumisnya yang
tebal melintang.
"Ha ha ha... Rupanya ada yang mau mengantar
nyawa di siang hari bolong ini. Hei, siapa kau berani memasuki
daerahku...?" bentak orang yang dikenal dengan nama Gaek Weling, sesuai
dengan ikat kepalanya dari kulit ular weling atau ular belang. Wajahnya nampak
memerah seperti tengah mabuk oleh arak.
Matanya yang bengis terhias alis tebal hampir
menyatu. Serta rambutnya yang dibiarkan tergerai, menambah seram penampilan
lelaki berusia empat puluh tahunan itu.
Melihat dan mendengar suara lelaki yang ada di
hadapannya, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Tubuhnya melompat dari punggung
kudanya, lalu melangkah dua tindak berhadapan dengan Gaek Weling.
"Siapa diriku adanya, kau tak perlu tahu. Dan
apa urusanmu melarang orang yang memasuki daerah ini...?" Suara Lara Kanti
terdengar ketus. Matanya menatap tajam pada Gaek Weling.
"Weleh, weleh... Edan perempuan ini berani
menatapku demikian. Ha ha ha... Rupanya kau ingin mencari mampus" kata
Gaek Weling sambil menuding wajah Lara Kanti. "Kau belum kenal dengan
Gerombolan Serigala Merah Tangkap dia..." seru Gaek Weling kemudian.
"Habisi perempuan itu..."
"Heaaa..." Segera sepuluh anak buah Gaek Weling melesat dengan
teriakan nyaring, menyerang Lara Kanti atau si Penunggang Kuda Iblis.
Namun Lara Kanti nampak begitu tenang. Hanya
matanya yang tajam terus mengawasi para penyerangnya. Dan ketika lima orang
yang berada di depan sudah berada pada jangkauan pedangnya, Lara Kanti
tiba-tiba mencabut pedangnya. Dengan sekali gebrakan, babatan dalam jurus
'Pedang Mata Iblis'nya telah membuat kelima anak buah Gaek Weling
bergelimpangan. Perut mereka terbabat hingga terburai ususnya.
Namun tak hanya sampai di situ. Wanita berpakaian
compang-camping mirip gembel itu terus memutar dan menebaskan pedangnya. Hingga
sesaat kemudian lima orang lainnya telah menyusul dengan tubuh berlumuran darah
dari perut dan dada karena tersambar pedang. Gaek Weling tersentak dan membelalakkan
mata.
Lelaki yang tadinya merasa di atas angin, seketika
wajahnya yang seram dengan kumis melintang tebal, berubah tegang dan pucat.
"Hah...?" gumamnya tak jelas, "Aku
pernah dengar dan lihat jurus pedang itu..." Gaek Weling seperti bicara
pada diri sendiri. Pikirannya yang diliputi rasa takut berusaha mengingat-ingat
jurus yang baru saja dikeluarkan Lara Kanti.
"Ayo, cepat maju Kukirim kau ke neraka Kenapa
kau diam? Bukankah tadi akan mengirimku ke neraka...?" ejek Lara Kanti,
lalu melangkah mendekati Gaek Weling yang masih terkesima dengan jurus Lara
Kanti yang pernah ia kenal.
"Hm,.., tunggu Sebelum kita bertarung,
jelaskan dari mana asalmu dan bagaimana kau bisa mempela-jari jurus 'Pedang
Mata Iblis' itu?" tanya Gaek Weling dengan suara agak gemetaran.
Lara Kanti mengerutkan kening dengan pertanyaan
yang diajukan oleh Gaek Weling. Orang yang tadinya bernafsu menantang dan ingin
membunuhnya.
"Untuk apa kau tanyakan hal itu? Hm..., tapi
bagaimana kau tahu jurus 'Pedang Mata Iblis' yang kumiliki...?" Lara Kanti
balik bertanya pada Gaek Weling.
"Itulah sebabnya. Kukira kita satu guru dan
memiliki satu niat yang sama...," kata Gaek Weling kemudian. "Satu
guru...? Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Lara Kanti masih belum mengerti.
Keningnya tampak berkerut sedangkan matanya menatap tajam Gaek Weling,
sepertinya ingin menyelidik dan menimbang ucapan lelaki bertubuh besar itu.
"Jurus 'Pedang Mata Iblis', hanya dimiliki Ki
Guru Rawantula, kakak dari Tempurung Sakti...," kata Gaek Weling mencoba
memberi keterangan pada Lara Kanti. Mendengar nama paman dan ayahnya disebut
Lara Kanti, kembali mengerutkan kening dan bertanya lagi. "Sebenarnya
siapa dan apa maksudmu tadi ingin membunuh? Lalu di mana Kisanak mengenal Paman
Guru serta Tempurung Sakti..?" Gaek Weling tak langsung menjawab.
Dihelanya napas dalam-dalam, baru kemudian kembali berkata.
"Panjang ceritanya. Dan yang paling penting,
ketika kudengar saudara seperguruanku, Tempurung Sakti mati di tangan Pendekar
Gila. Saat itu aku merasa sangat terpukul hingga ingin menuntut balas...."
Lara Kanti kini semakin mengerutkan kening sambil terus menatapi wajah Gaek
Weling, seakan menyelidik akan kebenaran ucapan Gaek Weling.
"Kenapa ketika Tempurung Sakti terbunuh,
Kisanak tidak segera datang menurut balas...?" tanya La-ra Kanti.
"Itulah yang kusesalkan. Saat itu sifat buruk
masih kuat menguasai diriku. Aku merampok dan membunuh, serta menodai
gadis-gadis desa. Aku tertangkap prajurit Kadipaten Palasari, dan dimasukkan ke
penjara bawah tanah selama lima tahun Aku tak dapat berbuat apa-apa,"
tutur Gaek Weling menjelaskan.
"Aku hanya menyimpan surat dari Tempurung
Sakti yang dititipkan seseorang anak buahnya. Dalam su-ratnya, aku diminta
menemukan anak gadis satusatunya yang bernama...." Belum sempat Gaek
Weling meneruskan ucapannya, Lara Kanti dengan cepat mengambil surat yang
berada di tangan Gaek Weling, dengan ujung pedangnya. Lalu segera mengamati dan
membacanya.
Seketika wajah Lara Kanti yang ada di balik caping
lebar itu nampak berubah sedih. Perlahan gadis itu membuka caping. Sementara
itu, Gaek Weling masih merasa heran dan bingung. Keningnya berkerut mengamati
Lara Kanti, ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya ternyata seorang wanita
muda yang cukup cantik. Matanya yang tajam dan bening menyiratkan kekerasan
jiwanya. Meskipun pakaian yang dikenakan compang-camping dan kumal, mampu
mengingatkan Gaek Weling pada Tempurung Sakti, sahabatnya.
"Kau...?" Gaek Weling tersentak kaget
"Akulah Suriah... Tapi kini paman guru memberiku nama Lara Kanti,"
ujar gadis cantik itu dengan suara mantap, namun agak lemah. Wajahnya yang
sedih sudah mulai hilang. Tatapan matanya tetap tertuju pada Gaek Weling, yang
ternyata sahabat ayahnya.
"Oh.... Jagad Dewa Batara... Kau telah
mempertemukan aku dengan orang yang kucari He he he....
Jadi kau putri sahabatku itu?" tanya Gaek
Weling dengan wajah gembira. Seakan-akan tak mempermasalahkan kematian
kesepuluh anak buahnya.
Gaek Weling lalu mengulurkan tangan dan Lara Kanti
menjabatnya.
"Maafkan, aku telah membunuh anak
buahmu..." ujar Lara Kanti bernada sesal.
"Tak apalah. Sebaiknya kita segera pergi dari
tempat terkutuk ini. Mari, sama-sama mencari Pendekar Gila..." ajak Gaek
Weling.
"Kalau begitu, marilah sama-sama naik kudaku,
biar lebih cepat...," kata Lara Kanti sambil menuju kudanya.
"Tak usah, aku juga membawa kuda...,"
jawab Gaek Weling. Lalu menepukkan telapak tangannya tiga kali, maka seekor
kuda berwarna coklat dan belang putih di kepalanya muncul mendekati Gaek Weling
Lara Kanti yang melihat itu tersenyum, lalu segera menghentakkan tali kekang
kudanya. Gaek Weling pun melakukan hal yang sama. Kedua kuda itu berjalan
berdampingan menuju ke timur.
"Lara..., sebaiknya kita berpisah, agar sepak
ter-jangku bisa leluasa. Jika terus bersamamu, orang akan tahu bahwa aku ada di
pihakmu. Tapi aku tak akan jauh darimu. Berpura-puralah seakan kita tak saling
mengenal Aku akan mengikutimu dari jarak tertentu. Bagaimana, setuju...?"
usul Gaek Weling tiba-tiba. Lara Kanti melirik wajah Gaek Weling. Lalu kembali
memandang ke depan.
"Usul yang bagus..," jawab Lara Kanti
singkat.
Kemudian segera menggebah kudanya lebih kencang.
Kini kuda Gaek Weling berada belasan tombak di
belakang Lara Kanti.
6
Kabar tentang si Penunggang Kuda Iblis semakin
tersebar di seluruh pelosok Kadipaten Krasaan. Kemunculannya membuat para tokoh
persilatan semakin cemas. Karena ingin menentang dan membunuh Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila dan Mei Lie yang telah
tanggap, juga sudah mengatur sebuah rencana guna memancing si Penunggang Kuda
Iblis itu.
Angin pagi bertiup semilir, bersama sinar mentari
yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. De-sau angin lembut,
senandung burung dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu.
Di kejauhan nampak seorang pemuda tampan berpakaian
rompi dari kulit ular tengah duduk bertengger di sebuah cabang pohon besar
Pemuda berambut gondrong yang tak lain Sena tampak tengah menyenandungkan
sebuah nyanyian dengan tiupan Suling Naga Sakti-nya. Namun tiba-tiba suara
merdu suling itu terhenti.
"Ah ah ah... Kenapa tiba-tiba aku
mengkhawatirkan keadaan Mei Lie? Semoga tugas yang dilakukan berjalan
lancar..." gumam Sena lirih, seperti bicara pada diri sendiri. Mulutnya
tampak cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila terus menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. Tubuhnya sudah melompat dari atas pohon. Kini tampak tengah
melompat-lompat dari batu satu ke batu lainnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti.
Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau menggapai
cakrawala. "Hi hi hi..." Sena tiba-tiba tertawa, sambil terus
menggaruk-garuk kepala, ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun
kering. Dengan acuh sambil terus cengengesan, pemuda tampan bertingkah laku
seperti orang gila itu justru duduk bersila di atas tanah berumput. Tangannya
menggaruk-garuk ketiaknya, seperti monyet. Lalu diam seperti merenung.
Matanya memandangi kejauhan dengan mulut masih
terus cengengesan.
"Aha Rupanya ada yang tidak senang aku
beristirahat di alam yang bebas ini.... Lucu, hi hi hi,.." ucap Sena
sambil terus menggaruk-garuk kepala.
Swing Swing Tiba-tiba belasan senjata rahasia
melesat memburu Pendekar Gila yang masih duduk bersila itu.
"Aha, benar juga dugaanku Ada orang yang ingin
mengajak bermain-main denganku," seru Sena sambil melenting dan
berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan pukulan ‘Inti
Bayu’ ke arah belasan benda yang meluncur ke tubuhnya.
"Hi hi hi... Ini mainan kalian kukembalikan
Heaaa..." Wusss Srats Seketika serangkum angin menderu kencang, menghantam
senjata rahasia itu.
Swing Swing...
Crab Crab...
"Aaakh..." Dari balik semak-semak yang
jaraknya sekitar lima belas tombak, terdengar jeritan kematian. Kemudian tampak
empat orang dengan wajah ditutupi kain ungu mengerang. Leher mereka tertancap
senjata rahasia yang tentunya milik mereka sendiri. Kemudian tubuh mereka
ambruk dan mati.
"Hi hi hi... Orang-orang ini lucu sekali. Hi
hi hi.." kata Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tangkap dia..." Dari balik semak-semak
belukar, terdengar teriakan seseorang memerintah pada anak buahnya. Sekejap
kemudian telah bermunculan lima belas orang berpakaian ungu dengan wajah
tertutup kain ungu pula.
Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang masih
tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi Ha ha ha... Dari mana kunyuk-kunyuk
ini..." seru Sena kemudian.
"Kurang ajar Cepat tangkap dan bunuh
dia..." seru pemimpin orang-orang berpakaian serba ungu.
"Hiaaa..." "Heaaa..."
"Haits... He he he..." sentak Sena sambil memegangi kepalanya.
Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Mampus kau, Pemuda Edan..." teriak
pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala Sena. "Hancur
kepalamu, Gila..." Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena
menghindari setiap serangan yang datang. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
sambil sesekali tangannya bergerak seperti menepuk ke dada lawan.
"Heaaa..." "Eits Hih..." Degkh
"Aaa..." Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila. seketika memekik.
Tubuhnya terlontar ke belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu baru
berhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Srak "Aaakh..." Bluk Kontan saja orang
itu menjerit-jerit. Tubuhnya mengejang. Kain penutup wajahnya bersimbah darah
segar, karena kepala orang itu pecah akibat benturan keras dengan batang pohon
besar tadi.
Hutan yang semula sunyi dan sepi, seketika terpecah
oleh suara pekikan dan jerit kematian. Banyak pohon yang tumbang terhantam
pukulan mereka.
Rumput-rumput yang mulanya segar menghijau,
berserakan terinjak-injak. Binatang-binatang penghuni hutan itu pun seketika
berlarian ketakutan.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk
kepala. Lalu tertawa-tawa.
"Hi hi hi... Aha Siapa yang ingin hadiah
dari-ku...?" tanya Sena sambil cengengesan dan bertingkah seperti orang
gila.
Pemimpin orang-orang bertutup muka itu berteriak
keras memerintahkan anak buahnya agar menyerang Pendekar Gila.
"Ayo kurung... Bunuh... pemuda gila itu
Cincang dia..." Pendekar Gila masih cengengesan dari menggaruk-garuk
kepala, ketika melihat belasan lawan menyerang dengan membabatkan golok
masing-masing.
Namun, dengan cepat Sena kembali bergerak mengelak.
Kedua kakinya digeser dengan cepat. Tubuhnya dibungkukkan ke bawah. Tetap
dengan mulut cengengesan.
"Eits He he he...," Pendekar Gila tertawa
terke-keh-kekeh sambil menggaruk-garuk kepala. Pantatnya sengaja ditunggingkan
ke arah orang-orang itu, membuat mereka geram dan marah.
"Kurang ajar..." Dua orang membabatkan
goloknya ke pantat Pendekar Gila.
Wut Wut "Heaaa..." "Eee..., jangan
main pantat Jorok... Hi hi hi..." ejek Sena sambil mengelak mengegos ke
kiri dan kanan. Lalu melenting ke atas, dan kembali mendarat di belakang
belasan orang yang menyerangnya.
"Hei, aku di sini Kemari.." teriak Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang mengeroyok cepat berbalik dan
serentak memburu Pendekar Gila.
Kali ini Pendekar Gila tampaknya tak ingin lamalama
menghadapi orang-orang itu. Maka tanpa membuang-buang waktu dihentakkan kedua
tangannya.
Seketika segulungan angin kencang melesat bagi
topan. Wusss...
Bruk "Wua" "Aaa..." Kesepuluh
lelaki berpakaian ungu yang tengah memburu Pendekar Gila kontan berpentalan
terhantam angin pukulan ‘Inti Bayu’. Mereka berteriak-teriak kesakitan, karena
tempat jatuh mereka terdiri dari tanah berbatu-batu. Tanpa ampun lagi,
kesepuluh lelaki bergolok itu tak mampu bangun lagi "Hi hi hi... Rasakan
kalian, Kunyuk" Pendekar Gila cengengesan sambil garuk-garuk kepala. Lalu
menjulurkan lidahnya mengejek lelaki bertelanjang dada pemimpin kesepuluh
penjahat itu.
"Kurang ajar... Minggir Biar kuhadapi orang
gila ini" seru Somakarta kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya bagi
para anak buahnya. Apalagi dilihat kesepuluh anak buahnya sudah tak bisa bangun
lagi, karena menderita luka dalam akibat pukulan jarak jauh yang dilancarkan
Pendekar Gila.
Dengan cepat Somakarta melabrak maju. Matanya yang
nampak dari lubang di kain penutup wajah, melotot garang menatap Pendekar Gila
yang masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Sudah kuduga sejak tadi, bahwa kaulah
Pendekar Gila" kata Somakarta sambil mencabut golok dari sarungnya. Lalu
sambil menuding Sena dengan goloknya Somakarta berkata lagi, "Aku sengaja
mencarimu dan ingin menantangmu, Pendekar Kondang..." "Hi hi hi...,
lucu sekali Mengapa kau menantangku, Kisanak? Rasanya aku tak pernah berbuat
salah padamu," sahut Sena sambil terus menggarukgaruk kepala dan
cengengesan.
"He he he..., tentu saja untuk mengalahkanmu,
Anak Gila. Aku ingin namaku kesohor Sehingga tak ada lagi orang yang berani
menghalangi maksudku..
Aku akan berkuasa, serta bebas berbuat apa saja...
Ha ha ha.... Heaaat..." Selesai berkata
begitu, Somakarta melesat menyerang Pendekar Gila. Dengan jurus 'Serigala
Menerkam Mangsa', tangannya bergerak cepat, membabat dan menusukkan goloknya ke
tubuh lawan.
Pendekar Gila segera merundukkan tubuh, kemudian
melompat mundur mengelakkan tusukan golok Somakarta.
Wut Wut "Eit... Hi hi hi... Heaaa..."
Tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila balik menyerang dengan sebuah tendangan
kaki kirinya. Seketika Somakarta tersentak kaget, karena tidak menduga sama
sekali serangan balik Sena yang begitu cepat.
Bergegas, serangan berikutnya segera ditarik. Namun
tubuhnya yang sudah melayang ke depan sangat sulit untuk dibalikkan ke
belakang. Sehingga....
Degkh "Uaaakh..." Tubuh Somakarta
terlontar ke depart, lalu tersuruk dan mencium tanah.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak
melihat lelaki berpakaian ungu itu meringis kesakitan.
Setelah itu tangan kanannya menepuk-nepuk pantat
dengan mulut cengengesan. Ketika melihat Somakarta tampak begitu marah dan
geram. Pendekar Gila justru bertepuk tangan sambil terus tertawa-tawa.
"Bedebah Kurang ajar..." dengus Somakarta
bertambah murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian menjengkelkan itu.
"Kau memang tak bisa dikasih hati, Bocah Gila
Heaaa..." "Hi hi hi.. Heaaa..." Anak buah Somakarta yang masih
tersisa lima orang, langsung ikut menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke
tubuh Pendekar Gila. Mereka nampaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi
pendekar yang bertingkah laku konyol itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila
bukan merasa takut. Bahkan tingkahnya semakin aneh dan konyol. Mulutnya
cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala, kaki
melompat-lompat persis kera. Namun kemudian tubuhnya segera meliuk-liuk ke sana
kemari, mengelakkan setiap serangan lawan. Itulah jurus ‘Si Gila Menari Menepuk
Lalat’ Tangannya dengan gerakan pelan dan lemah gemulai menepuk dan menangkis
serangan lawan. "Heaaa..." Plak "Aaauw..." Suara pekikan
panjang terdengar dari salah seorang pengeroyok, ketika pukulan telapak tangan
Pendekar Gila mendarat di dadanya. Tubuh lelaki berpakaian serba ungu itu
terlontar ke belakang hingga menerjang sebatang pohon besar. Kepala pecah,
menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Pendekar Gila kini bergerak cepat meliuk dan
menepuk. Tidak hanya jurus 'Si Gila Menarik Menepuk Lalat', bahkan dipadu pula
dengan jurus yang semakin membuat lawan kalang kabut. Jurus 'Si Gila Menyapu
Kabut'.
Wusss...
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar
angin deras menghantam ke arah lawan. Para pengeroyok seketika terdorong keras
ke belakang. Bahkan pakaian Somakarta terlepas. Karuan saja hal itu membuat
dirinya kelabakan dan segera menutupi kemaluannya dengan kedua tangan. Wajahnya
merah karena malu. Dirinya kini tak dapat berbuat apa-apa. Sementara anak
buahnya yang tinggal dua orang ikut terbengong dan tersenyum-senyum.
Sementara itu Pendekar Gila pun tertawa
terbahak-bahak merasa geli. Tubuhnya terguncang-guncang dengan sesekali
menepuk-nepuk kepalanya dengan tangan kanan.
"Pergiii..." seru Somakarta memerintahkan
kedua anak buahnya yang masih hidup. "Pendekar Gila, kali ini aku kalah.
Tapi lain waktu akan kubuat kau ma-lu..." sebelum lari lelaki setengah
baya itu masih sempat memungut pakaiannya untuk menutupi tubuhnya.
Sena tertawa-tawa melihat Somakarta dan dua orang
anak buahnya lari tunggang langgang. Dan lagi pula sebenarnya Somakarta pun
telah mengalami luka dalam, ketika pukulan Pendekar Gila sempat mendarat telak
di dadanya. Karena itulah Somakarta memilih la-ri, setelah dibuat malu dengan
telanjang.
***
Pesisir
Pantai Pasir Putih nampak damai dan asri, dengan barisan pohon kelapa yang
tumbuh subur di sekitarnya. Burung-burung laut berterbangan ke sana kemari,
berkicau dengan riang. Angin laut bertiup kencang bersama suara alunan
ombaknya, membuat mata mengantuk.
Namun suasana sejuk siang ini tidak seperti biasanya.
Di antara pepohonan kelapa tampak dua sosok tubuh saling berhadapan. Yang satu
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bertelanjang dada. Tampak bulu tebal
di dadanya yang bidang. Matanya yang tajam menatap nanar pada sesosok wanita
berpakaian compang-camping. Tampaknya mereka baru saja melakukan pertarungan.
Hal itu dapat dilihat dari pepohonan kecil yang berserakan seperti bekas
terinjakinjak atau terkena terjangan pukulan keduanya.
"Hei Tunggu... Kenapa kau
menyerangku...?" tanya lelaki berkumis melintang itu yang ternyata Gaek
Weling. Matanya terbelalak menyiratkan perasaan heran, mengapa wanita bercaping
lebar itu menyerangnya.
"Kau pasti Pendekar Gila, atau paling tidak
kawannya Maka itu aku harus membunuhmu..." ujar wanita yang berpakaian gembel
itu.
Gaek Weling belum juga dapat menduga siapa
sebenarnya wanita berpakaian kumal dengan celana warna hitam itu. Dirinya masih
diam tak segera menjawab pertanyaan wanita itu.
Namun tiba-tiba hatinya merasa yakin kalau wanita
itu bukan Lara Kanti, murid Ki Warantala. Karena wanita bercaping lebar dari
daun pandan itu tiba-tiba kembali melakukan serangan, Gaek Weling melompat
menghindar. Yang lebih membuatnya heran, ketika mendengar pertanyaan wanita
itu, bahwa dirinya dikira teman Pendekar Gila.
"Tunggu... Kita bisa berbicara
sebentar..." ujar Gaek Weling sambil berusaha menghindari serangan lawan,
dengan melompat hingga beberapa langkah.
Rupanya wanita muda yang berpakaian gembel itu bisa
mengerti, dihentikan serangannya. Lalu menatap tajam, dari balik capingnya,
"Apa maumu...?" tanya wanita gembel bersenjata pedang itu.
"Begini, kalau memang kau juga bermaksud
menantang dan membunuh Pendekar Gila, kita bisa bekerja sama melawannya. Kita
bersatu untuk melawannya. Bagaimana...?" usul Gaek Weling membujuk orang
yang mirip dengan Lara Kanti.
"Hm... Enak saja kau Aku ingin membunuh
Pendekar Gila seorang diri, karena dendamku atas kematian saudara dan orangtua
ku," sahut wanita berpakaian gembel itu ketus.
"Bagaimana mungkin kau bisa melawan Pendekar Gila
seorang diri. Kau akan sia-sia saja. Percayalah..., kalau kau dan aku bersatu,
Pendekar Gila tak akan mampu menghadapi kita. Walaupun aku belum tahu betul
kemampuanmu. Tapi melihat permainan pedangmu yang lincah dan mantap, aku yakin
kau bukan orang sembarangan...," kata Gaek Weling sedikit memuji wanita
yang berdiri di hadapannya.
"Heh.. hi hi hi... Kau rupanya pintar
mengambil hati orang. Baiklah, tapi aku ingin tahu. Kau sendiri untuk apa mau
menantang dan membunuh Pendekar Gila?" tanya wanita berpakaian gembel itu.
"Ha ha ha, kau rupanya masih tak mengerti.
Sama seperti yang kau alami. Balas dendam Namun bukan sanak saudaraku yang
dibunuh oleh Pendekar Gila, melainkan kawanku. Dan kini saatnya aku harus
menurut balas..." jawab Gaek Weling dengan suara parau.
Wanita berpakaian gembel dan bercaping lebar itu
menghela napas dalam-dalam.
"Hhh... Siapa kawanmu itu...?" tanya
wanita bercaping lebar itu.
"Kurasa kau tak perlu tahu. Sudahlah sebaiknya
kau terima tawaranku. Kita akan dikenal dan disegani, bahkan bakal jadi
penguasa rimba persilatan. Ha ha ha..." kata Gaek Weling merasa yakin
kalau orang yang diajak bersatu itu akan menerima tawarannya.
"Ha ha ha..." wanita itu tertawa, namun
terasa hambar. Lalu dengan pedangnya ia menuding Gaek Weling yang masih tertawa
terbahak-bahak "Hai...
Kau Tawaranmu memang masuk akal. Tapi aku tak mau
ada jago lain di sisiku. Jadi, maksudmu itu tak bisa kuterima, Kisanak Hhh...
kini aku ingin menantang, sekaligus membunuhmu, agar dapat membunuh Pendekar
Gila seorang diri." "Heh?" Gaek Weling tersentak kaget mendengar
jawaban wanita gembel itu. Dugaannya meleset. Sebenarnya Gaek Weling mempunyai
maksud jahat, akan memperalat wanita itu sebagai umpan. Namun dirinya tak ta-hu
siapa sebenarnya wanita berpakaian gembel seperti Lara Kanti itu.
"Baiklah. Aku siap menghadapimu. Tapi
sebelumnya lebih baik kau pikir dulu. Apakah kau tak menyayangi dirimu, kalau
nanti aku sampai membunuhmu? Lebih baik kita bersatu. Aku akan memberikan
kenikmatan batin padamu..." "Mulutmu kotor, perlu
dibersihkan..." selesai berbicara begitu, wanita itu melesat menyerang
Gaek Weling.
"Yeaaat.." "Heaaa..." Melihat
lawan juga melesat memapakinya, wanita itu segera mengubah serangannya.
Tubuhnya melenting ke atas, dengan tangan membabatkan pedang ke tubuh lawan.
Namun Gaek Weling cepat mengelak dengan merunduk dan bergulingan di tanah.
Dengan berdiri tegap sambil menatap lawannya,
wanita bercaping lebar daun pandan itu memainmainkan pedang, gerakannya cepat.
Sementara itu Gaek Weling masih diliputi rasa terkejut Dengan kening berkerut
ditatapnya wajah wanita itu.
Gaek Weling kemudian menggerakkan kedua tangannya,
membuat jurus ‘Pukulan Pelebur Sukma’.
Gerakan kedua tangannya begitu cepat. Sementara
kedua kakinya pun tak tinggal diam, terus bergerak dengan kuda-kuda yang
mantap.
"Heaaa..." Melihat lawan telah melesat
menyerang, wanita itu segera menggeser kaki kanan agak membuka. Ditekuknya kaki
kiri membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan
dilecutkan di depan dada. Sedangkan pedang di tangannya dis-abetkan miring ke
samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan
memutar di depan tubuh. Disambung lagi dengan gerakan bersamaan antara pukulan
tangan kiri dan tebasan pedang. "Heaaa..." Wut Wut.
"Hah...?" Gaek Weling tersentak kaget
dengan matanya terbelalak lebar. Kemudian bergumam, "Jurus
Pedang...?.'" Belum habis Gaek Weling mengingat jurus pedang yang
dilancarkan lawannya. Tiba-tiba....
"Yeaaa..." Wut Plak "Ukh" Gaek
Weling mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindari dari
tusukan pedang lawan yang cepat dan ganas. Merasa jurus ‘Serigala Melebur
Sukma' tak mampu menandingi ilmu pedang lawan, Gaek Weling cepat mencabut
goloknya yang berukuran panjang seperti pedang. Dengan gerakan cepat lelaki
bertubuh besar itu menyerang sambil melompat, dibarengi dengan babatan golok
dan tusukan ke tubuh lawan. Namun wanita yang belum diketahui siapa sebenarnya
itu, tak tinggal diam. Dengan cepat memapaki serangan Gaek Weling.
"Heaaa..." "Yeaaa....'"
Keduanya sama-sama melesat untuk melakukan serangan dengan senjata
masing-masing.
Trang Trang Degkh Wret "Ukh..." Gaek
Weling terhuyung dan rambutnya sempat terbabat pedang lawan, hingga rontok.
Sedangkan goloknya telah patah menjadi dua bagian, setelah saling berbenturan
dengan senjata lawan.
Tiba-tiba Gaek Weling ingat akan pedang di tangan
lawannya. Tubuhnya segera mundur tiga tombak ke belakang, sambil membuka jurus
baru.
"Hanya Bidadari Pencabut Nyawa pemilik pedang
pusaka yang dapat mematahkan golok pusakaku.
Apakah wanita ini Bidadari Pencabut Nyawa? Atau
saudara seperguruannya? Tak mungkin Hanya ada satu Bidadari Pencabut
Nyawa..." gumam Gaek Weling dalam hati, bertanya-tanya pada diri sendiri.
Wajahnya mulai tegang.
Dan ternyata benar. Lawan yang sedang dihadapi Gaek
Weling tak lain Mei Lie, kekasih Sena atau Pendekar Gila. Gadis itu menyamar
menjadi gembel, bermaksud untuk menyelidiki sepak terjang si Penunggang Kuda
Iblis.
"Ha ha ha.... Kini giliran nyawamu,
Iblis....'" dengus wanita yang ternyata Mei Lie. Digerakkan Pedang
Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan-merahan. Membuat
keadaan di sekitar itu menjadi bertambah terang.
"Benar juga dugaanku, dia ternyata Si Bidadari
Pencabut Nyawa..." gumam Gaek Weling. Matanya membelalak lebar memandangi
pedang di tangan kanan Mei Lie. "Kepalang basah... Heaaa..." Gaek
Weling nekat, dia kembali menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan
habishabisan. Tangannya kini berubah jadi ungu kehitaman. Kuku-kukunya berubah
panjang dan runcing, serta mengandung racun.
Menyaksikan Gaek Weling melakukan serangan, secepat
kilat Mei Lie memapakinya dengan jurus 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'.
"Hiaaat.." Wret Wret Tangan Gaek Weling
yang berkuku tajam bergerak cepat menyambar-nyambar wajah dan bagian tubuh yang
mematikan.
"Heaaa..." Tubuh Mei Lie melayang dengan
tangan kiri terkepal memukul lurus ke kepala Gaek Weling. Sedangkan pedang di
tangan kanannya membabat ke tangan lawan. Matanya terpejam dan gerakan
pedangnya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun sesungguhnya gerakan
itu mengandung kekuatan yang luar biasa. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin',
jurus pamungkas yang sangat ampuh dan mematikan.
Gaek Weling yang sudah mata gelap, tak menghiraukan
apa yang akan terjadi. Dirinya yakin kalau pukulan saktinya akan mampu
meremukkan tubuh Mei Lie. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan tangan bergerak
bergantian.
"Heaaa..." "Hiaaa.." Keduanya
kembali sama-sama berteriak kuat, melancarkan serangan.
Wut Srat "Aaakh..." Dari mulut Gaek
Weling terdengar jeritan panjang, ketika pedang lawan membabat tangan kanannya.
Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi 'Pukulan Bidadari Menjebol Benteng'
menghantam telak dadanya.
Dugkh "Uaaakh..." Gaek Weling terjengkang
ke belakang. Tubuhnya perlahan bangkit dengan sempoyongan. Namun tibatiba
lelaki bertubuh besar dan bertelanjang dada itu tampak terkejut, ketika
mengetahui tangan kanannya yang tersambar pedang tetap utuh, tanpa luka....
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan setelah
mengerahkan tenaga dalam. Matanya memperhatikan lawan yang kelihatan pucat,
dengan kening berkerut Gaek Weling tak mengerti mengapa tangannya masih utuh.
Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang wanita gembel itu.
Meskipun dari sela-sela bibirnya mengalir darah,
karena luka dalam akibat pukulan lawan, Gaek Weling tampaknya tak peduli.
Merasa tangannya yang terbabat tak mengalami cidera, lelaki bertubuh besar itu
langsung melancarkan serangan. Namun baru dua tindak bergerak, mendadak tangan
kanannya retakretak, lalu berhamburan menjadi debu.
"Hah...? Aaa.... Akh, tidaaak..." pekik
Gaek Weling ketakutan. Matanya membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Mei Lie hanya tersenyum sinis menyaksikan ketakutan
Gaek Weling.
"Kini aku akan mencabut nyawamu, Orang Bodoh
Bersiaplah" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan
kembali.
Gaek Weling yang masih tak percaya, antara sadar
dan tidak melihat tangan kanannya jadi debu. Wajahnya semakin pucat dan
ketakutan. Dia telah merasakan kehebatan ilmu pedang lawannya. Gaek Weling
bermaksud untuk kabur, tapi dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya.
"Kau tak akan bisa lepas begitu saja, Manusia
Busuk" "Hah...? Ampun..., ampuni aku Jangan bunuh aku Aku akan
menurut semua perintahmu.... Tapi siapa kau sebenarnya...?" Gaek Weling
meratap sambil gemetaran dan meringis menahan perih dan sakit.
Mei Lie tak menjawab. Matanya masih menatap tajam
wajah Gaek Weling yang meratap, minta ampun padanya.
"Hm.... Kali ini kuampuni. Tapi jangan
sekali-kali berbicara besar, dan ingin memperdaya Dewi Bayangan Kabut Sekarang
cepat pergi..." bentak Mei Lie.
Gaek Weling mengangguk-anggukkan kepala sambil
menggumam lirih.
"Dewi Bayangan Kabut..? Baru kali ini aku
dengar nama itu. Tapi jurus pedang yang dia miliki seperti si Bidadari Pencabut
Nyawa. Hhh.... Siapa pun dia aku tak peduli..." Gaek Weling bangkit
berdiri. Namun ketika Mei Lie lengah, dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki
berambut panjang itu melepaskan pukulan ke tubuh Mei Lie yang membelakanginya.
"Hiaaa..." Mei Lie bukan orang
sembarangan. Dirinya sudah menduga tindakan yang akan dilakukan Gaek Weling.
Maka dengan cepat dibuang tubuhnya ke samping dan bersalto beberapa kali,
sambil membabatkan pedangnya ke tubuh lawan.
"Rupanya kau lebih suka mampus, Manusia Licik
Heaaa..." Wut Sret "Aaauw..." Gaek Weling kembali memekik,
ketika pedang Mei lie menebas tangan kirinya. Dan seperti kejadian sebelumnya,
tangan kirinya sedikit pun tak mengalami luka. Namun ketika angin bertiup,
tangan yang telah berubah menjadi debu itu berhamburan.
Belum habis kengerian Gaek Weling, Mei Lie yang
sudah tak bisa menahan amarah, langsung menyabetkan pedangnya secara menyilang,
dan menebas tubuh Gaek Weling.
Cras Cras "Aaakh..." Terdengar jeritan
Gaek Weling dalam satu lengkingan panjang. Matanya membeliak. Sesaat tubuhnya
mematung di tempat itu, namun kemudian lebur jadi debu Mei Lie menghela napas
panjang seraya tersenyum.
"Rupanya yang menginginkan kematian Kakang
Sena cukup banyak. Aku harus segera mencari si Penunggang Kuda Iblis itu,
sebelum bentrok dengan Kakang Sena..." gumam Mei Lie kemudian. Lalu
tubuhnya melesat pergi dari tempat itu.
Dari gerakannya yang begitu cepat, jelas kalau
gadis Cina itu, kekasih Pendekar Gila yang menggunakan ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi. Sehingga dalam waktu yang singkat saja, tubuhnya yang
terbungkus pakaian kumal telah melesat puluhan tombak menuju arah barat.
***
7
Matahari yang telah condong ke barat masih menyirami
bumi. Sinarnya sudah tak terlalu panas karena sebagian tertutup awan hitam.
Udara terasa sejuk, apalagi angin yang berhembus kencang menerpa dedaunan.
Pendekar Gila melangkah menelusuri jalanan di
tengah Bukit Parangkan. Tiba-tiba telinganya mendengar suara pertarungan di
kejauhan. Didengar dari suaranya, jelas ada beberapa orang yang terlibat
pertarungan di balik bukit di sebelah timur itu.
"Heaaa..." "Hait.. Heaaa" Trang
"Aha, ada orang bertarung rupanya," gumam Se-na sambil memasang
pendengarannya lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah
benar. Aku harus melihatnya, siapa yang bertarung itu?" Dengan menggunakan
ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila melesat menuju asal suara itu. Tak lama
kemudian pemuda berompi kulit ular itu telah melintasi jalan terjal berbatu,
sampai di balik bukit sebelah timur. Tiba-tiba matanya terbelalak, seperti
terkejut "Aha... Seorang wanita...?" gumamnya sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi....
Lucu... Diakah yang disebut si Penunggang Kuda
Iblis...? Yang ingin menantangku?" Dari jarak cukup jauh Pendekar Gila
terus mengamati jalannya pertarungan itu. Keningnya tampak berkerut,
seolah-olah ada yang tengah dipikirkannya.
Meskipun mulutnya tetap cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Mata Sena semakin membelalak lebar, ketika melihat
seekor kuda hitam pekat, dengan mata bagai api.
Menerjang dan mendepak orang-orang yang mengeroyok
wanita yang tak lain Lara Kanti. Kuda itu meringkik dan mendengus... Berusaha
membela tuannya. Kuda hitam yang oleh Lara Kanti dipanggil si Ireng, tapi
dikenal dengan julukan Kuda Iblis itu terus mengamuk tak terkendali. Hingga
beberapa orang di antara pengeroyok yang berjumlah puluhan itu mati tersepak
bahkan digigit kuda itu.
Sementara itu, Lara Kanti masih terus menghadapi
lawan-lawannya yang ternyata murid-murid dari Perguruan Merak Suci. Mereka
dipimpin gurunya, Ki Kantawijaya, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh
tahun.
Pendekar Gila masih memperhatikan dari kejauhan.
Mulutnya tampak cengar-cengir sendirian.
"Sebaiknya aku membantu lelaki tua itu.
Tapi...?" gumam Sena lirih.
Swing Swing...
Baru saja Sena selesai bergumam, tiba-tiba
mendesing puluhan senjata rahasia ke tubuhnya.
"Aha, eit.. Kenapa mainan ini nyasar ke
arahku...?" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan serangan puluhan
senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara beberapa kali, kemudian dengan
cepat menepis beberapa senjata rahasia itu.
"Heaaa..." Trak Swing Swing..."
Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Jleb Jleb "Aaa....'" Terdengar suara
jerit kematian dari kejauhan.
Rupanya senjata itu menghujam pemiliknya.
Sena tersenyum puas, lalu menggaruk-garuk kepala.
Namun baru saja memalingkan kembali matanya ke tempat pertarungan Ki
Kantawijaya dengan Lara Kanti, tiba-tiba hatinya terkejut. Telinganya mendengar
suara perintah seseorang dari balik bukit yang berada di belakangnya. Pendekar
Gila segera berbalik dan melompat dari tempat itu.
Swing Swing...
"Serbuuu... Bunuh" Puluhan anak panah dan
tombak berukuran kecil berdesing memburu Sena. Hal itu membuatnya segera
merundukkan tubuh, lalu dengan cepat berguling ke bawah. Hal itu sengaja
dilakukan dengan maksud agar orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan
keluar. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diselipkan di ketiak. Sehingga
seakan-akan terhujam sebatang anak panah tadi.
"Aaauw..." Sena menjerit, seakan merasa
kesakitan. Benar dugaan Pendekar Gila, seketika berlompatan sosok-sosok tubuh
dengan wajah tertutup kedok kulit macan tutul Mereka semua bertelanjang dada.
Namun bagian bawah dibelit pula dengan kulit macan
tutul. Mata mereka menatap tajam tubuh Pendekar Gila yang pura-pura mati.
Ketika itu pula Pendekar Gila segera melontarkan
pukulan ‘Inti Bayu’ "Heaaa..." Wusss Angin kencang menderu keras
bagai topan, memburu sosok-sosok berkedok kulit macan tutul, yang berdiri di
atas bukit "Awaaas..." seru pimpinan gerombolan berkedok macan tutul
itu.
Prats...
"Aaa..." Namun terlambat Angin kencang
laksana topan telah mengancam mereka. Seketika orang-orang berkedok macan tutul
itu berpentalan dari atas bukit "Ah ah ah..., aneh Siapa mereka
sebenarnya? Apakah teman wanita yang sedang bertarung dengan lelaki tua
itu..?" gumam Sena bertanya dalam hati.
Mulut Pendekar Gila cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian berseru, "Hei turunlah kalian Tangkap
aku..." tantang Sena yang sudah kesal. Orang-orang berkedok kulit macan
tutul itu, tak lain Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka.
Pekerjaan mereka hanya membunuh dan memakan daging
manusia. Mereka tak tahu siapa sebenarnya Sena atau Pendekar Gila.
"Grrr..." pemimpin manusia aneh itu
mengerang keras penuh amarah. Lalu tubuhnya melakukan lompatan macan, memburu
Sena yang berada di bawah.
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak
tanggung-tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'
dipapakinya serangan lawan.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari.
Pukulannya disertai angin topan, membuat beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa..." Pendekar Gila tak mau berhenti
sampai di situ.
Dia terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila itu, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang
dahsyat Wusss Glarrr "Aaauw..." Lima orang seketika menjadi korban.
Tubuh mereka berpentalan jauh dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan ‘Si
Gila Melebur Gunung Karang’.
Pendekar Gila tak memberi kesempatan pada
lawan-lawannya. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian menukik sambil melepaskan
pukulan. Kedua kakinya pun tak tinggal diam, menjejak dan menendang ke kepala
lawan.
Melihat tubuh lawan berputaran dan menyerang dari
udara, Pimpinan Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka dan beberapa
orangnya, mengarahkan golok mereka ke atas. Hal itu membuat Pendekar Gila
mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangannya kini terpusat ke satu titik.
"Pukulan ‘Inti Brahma’ Heaaa..." Wusss...
Api keluar dari tangan Pendekar Gila melesat ke
tubuh lawan-lawannya di bawah. Tentu saja gerombolan itu terkejut, lalu
berusaha mengelakkan serangan dahsyat berbentuk api itu. Namun api yang
bergulung-gulung itu lebih cepat menerjang tubuh mereka. Hingga... Prats...
"Aaauw..." "Aaakh..." Pekikan
keras seketika terdengar bersahutan ketika beberapa anak buah Gerombolan Macan
Tutul dari Lembah Neraka itu terhantam api. Tubuh-tubuh berpakaian kulit macan
itu bergulingan. Api dari ajian ‘Inti Brahma’ itu tak dapat dipadamkan, hingga
tubuh mereka hangus terbakar. Sang Pemimpin gerombolan pun tak luput dari
amukan api yang ganas itu. Tubuhnya hangus lalu tewas.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. "Hi hi hi... Itu imbalan bagi orang licik...
Maafkan aku" gumam Sena bicara pada diri
sendiri, lalu tertawa-tawa cekikikan. Namun tawanya segera dihentikan, manakala
teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian putih melawan wanita bercaping
bambu kuning itu.
Pendekar Gila segera melesat menuju tempat dirinya
tadi mengawasi pertarungan itu., Namun kini matanya hanya melihat lelaki tua
itu tergeletak sekarat. Sedangkan wanita bercaping lebar atau si Penunggang
Kuda Iblis telah menghilang.
Pendekar Gila segera melompat turun, menghampiri
lelaki tua yang tak lain Ki Kantawijaya.
Nampak dada Ki Kantawijaya luka lebar berlumuran
darah kena sayatan pedang si Penunggang Kuda Iblis.
"Akh Ukh..." Ki Kantawijaya merintih
menahan sakit di dadanya. "Oh..., kau? Kau..., siapa.... Anak
Muda..." "Aku Sena, Ki...," jawab Sena.
"Kau..., apakah kau yang bernama Pendekar Gila
itu...?" tanya Ki Kantawijaya tiba-tiba. Seakan tahu siapa pemuda yang ada
di dekatnya.
"Benar, Ki.... Kau siapa?" tanya Sena.
"Aku..., aku Kantawijaya.... Jaga dirimu.
Wanita itu ingin menantang dan membunuhmu..., akh..." Selesai berkata
begitu, Ki Kantawijaya menghembuskan napas terakhir. Sena menghela napas
panjang.
Menatap sedih Ki Kantawijaya yang sudah tiada.
"Semoga Hyang Widhi menerima arwahmu, Ki..." Pendekar Gila kemudian
menengadah. Setelah itu diangkatnya tubuh lelaki tua berpakaian putih itu untuk
dikuburkan. Sementara itu angin kencang bertiup menyapu bumi. Sena melangkah
sambil memondong mayat Ki Kantawijaya.
***
Sore itu
hujan mengguyur Desa Waringin. Desa tempat Padepokan Kates Sewu berada tampak
sunyi dan sepi. Tak seorang pun keluyuran di luar rumahnya. Para penduduk
seperti terbuai suara rintik hujan dan dinginnya hawa yang berhembus dari
daerah perbukitan yang mengitari desa itu.
Dari arah timur tampak sesosok kuda hitam, baru
saja keluar dari Hutan Jatirata. Kuda tinggi dan besar itu melesat memasuki
tapal batas Desa Waringin.
Derap kaki, kuda tak terlalu keras. Langkahnya
bagaikan tak menginjak bumi. Di atas punggung kuda duduk dengan tegap wanita
bercaping lebar dan berpakaian compang-camping. Dari balik caping lebar,
terlihat matanya menyapu sekeliling tempat itu. Sementara hujan rintik-rintik
masih turun. Wanita yang tak lain dari Lara Kanti seakan tak mempedulikan air
hujan yang terus membasahi tubuhnya. Dari mata kuda hitam pekat itu memancarkan
sinar merah membara.
Pantas kuda itu dijuluki sebagai Kuda Iblis.
"Hieeeh... Hieeehhh..." Kuda itu
tiba-tiba meringkik keras. Suaranya yang melengking keras bergema sampai di
kejauhan, hingga mengejutkan murid-murid Padepokan Kates Sewu. Mereka tengah
beristirahat, ketika tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda yang begitu
keras. Begitu pula Ki Palguna Wijaya, guru yang memimpin padepokan itu. Lelaki
setengah baya dengan wajah menggambarkan ketenangan itu pun tampak mengernyitkan
kening, terkejut.
"Kurang ajar Siapa yang telah lancang membuat
keonaran" gumam Ki Palguna Wijaya marah. Matanya menyapu ke sekelilingnya.
Tiba-tiba muncul seekor kuda hitam pekat dari balik
tembok padepokan. Langkah kaki kuda itu tak terdengar. Mata Ki Palguna Wijaya
tak berkedip, terus mengawasi si penunggang kuda itu.
"Hm...," gumam Ki Palguna tak jelas.
"Kau mencariku...?" Terdengar tanya si
penunggang kuda, dengan suara lantang. Tubuhnya yang terbalut pakaian
compang-camping basah kuyup oleh air hujan. Dengan ringan tubuhnya melompat dan
mendarat di tanah basah. Gerakannya yang begitu cepat menandakan kalau ilmu
yang dimiliki cukup tinggi. Wajahnya yang terhalang caping lebar terbuat dari
kulit bambu kuning, membuat Ki Palguna Wijaya tak dapat mengenalinya.
Namun lelaki tua itu pasti telah mendengar sepak
terjang si Penunggang Kuda Iblis yang berpakaian compang-camping. Tokoh wanita
yang menantang Pendekar Gila, juga orang-orang yang mengenal dan dekat dengan
pendekar muda itu. Termasuk Ki Palguna Wijaya sendiri "Kau rupanya yang
disebut Penunggang Kuda Iblis... Mau apa kau datang kemari...?" tegur Ki
Palguna Wijaya dengan suara parau. Matanya yang tajam tapi lembut menatap
dengan nanar wajah Lara Kanti yang berada di balik caping lebar.
"Aku datang hanya ingin kau mau
memberitahukan, di mana Pendekar Gila berada. Aku yakin kau tahu itu. Karena
kau salah seorang yang akan dikunjunginya...," ujar si Penunggang Kuda
Iblis.
"Ha ha ha... Bicaramu seperti orang paling
jago saja. Kalau aku tak mau, kau mau apa...?" sergah Ki Palguna sambil
tertawa-tawa.
"Terserah kau saja. Yang pasti aku akan
mencabut nyawamu, jika kau tak menghiraukan permintaanku... Bersiaplah
Yeaaa..." Melihat tamunya menyerang, Ki Palguna Wijaya tak mau tinggal
diam. Tubuhnya segera melompat untuk menghadapi serangan Lara Kanti. Kedua
kakinya digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak membentuk sebuah kuda-kuda
dengan membentuk cakar.
Sementara itu kuda hitam yang matanya memancarkan
sinar kemerahan, melompat dan menerjang murid-murid Padepokan Kates Sewu. Suara
ringkikan yang keras menambah keadaan semakin kacau.
Namun Ki Palguna Wijaya tak merasa terganggu.
Dirinya terus merangsek menyerang Lara Kanti.
"Heaaa..." Tangan Ki Palguna Wijaya
bergerak mencekeram ke tubuh lawan. Namun dengan cepat Lara Kanti
mengelakkannya. Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balas menyerang
dengan tendangan.
"Heaaa..." Ki Palguna Wijaya menarik
cengkeramannya.
Kemudian dengan berputar dia membalas serangan
lawan. Kakinya bergerak menendang, disusul dengan pukulan tangan kanan ke dada
lawan.
"Heaaa..." Wret Wret Suasana Padepokan
Kates Sewu semakin riuh dan pertarungan semakin sengit. Apalagi kuda hitam
milik Lara Kanti yang bernama Ireng, mengamuk, memporak-porandakan padepokan.
Murid-murid Padepokan Kates Sewu kalang kabut Mereka berusaha menangkap kuda
yang dijuluki Kuda Iblis itu. Namun tampaknya binatang itu terlalu liar dan ganas.
Sementara pertarungan Ki Palguna Wijaya dan Lara
Kanti terus berlangsung. Lelaki tua berjubah kuning kemerahan itu melancarkan
pukulan-pukulan keras yang merupakan serangan andalan. Jurus-jurus tingkat
tinggi 'Sapuan Badai' dan 'Cakaran Elang Sakti' dikeluarkan dengan cepat dan
beruntun.
Melihat serangan lawan telah menggunakan
jurus-jurus andalan Lara Kanti tak mau kalah. Segera dicabutnya pedang yang
tersampir di punggungnya.
Sret "Heaaa..." Wut Wut Dengan pedang
terhunus Lara Kanti balas menyerang. Pedangnya digerakkan membabat dan menusuk
ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti pukulan dan tendangannya yang sangat
berbahaya.
"Hiaaa..." Ki Palguna Wijaya terkesiap.
Matanya membelalak menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat.
Sepertinya Lara Kanti tak ingin memberi kesempatan
sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan tidak ubahnya Malaikat Maut yang
siap mencabut nyawa.
"Edan Bisa modar aku" gumam Ki Palguna
Wijaya dengan mata semakin terbelalak tegang. Dirasakan serangan lawan begitu
cepat dan sangat berbahaya. Ki Palguna Wijaya berusaha mengelakkan serangan
lawan yang gencar. Namun pedang di tangan Lara Kanti bagai memiliki mata.
Wut Wut..
Pedang Lara Kanti terus mencecar tubuh lawan dengan
tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki Palguna Wijaya semakin
terdesak. Hingga.... "Hih" Cras "Aaakh..." Ki Palguna
memekik keras, ketika dadanya tersayat pedang Lara Kanti. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat.." Lara Kanti yang sudah kalap
tak puas sampai di situ, meski lawan sudah dalam keadaan sekarat. Pedang di
tangannya memburu tubuh Ki Palguna Wijaya yang tengah terhuyung-huyung
kesakitan. Namun pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan hitam
berkelebat cepat. Dan....
"Heaaa..." Trang "Ikh" Lara
Kanti tersentak kaget. Tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang dengan mata
membelalak, memandang sosok wanita berpakaian gembel, compangcamping seperti
dirinya. Pedang di tangan wanita yang berdiri tegap di hadapan Lara Kanti itu
bersinar kuning kemerah-merahan.
"Hah?" Lara Kanti terbelalak. Kemudian
segera memulihkan kembali tenaga dalamnya dengan cepat "Kau mengapa ikut
campur? Siapa kau...?" bentak La-ra Kanti geram.
"Rupanya kau yang dijuluki Penunggang Kuda
Iblis" dengus wanita di hadapan Lara Kanti, yang tak lain Mei Lie.
"Ya Kenapa kau menghalangi niatku Atau kau
ingin melawanku?" jawab Lara Kanti tak kalah ketus-nya. "Ha ha ha...
Akulah Dewi Bayangan Kabut Dan kalau tak salah, kau ingin menantang Pendekar
Gila, bukan...?" ujar Mei Lie dengan suara lantang, matanya terpicing
menatap sinis Lara Kanti.
"Benar Apakah kau tahu di mana Pendekar Gila
berada...? Cepat beri tahuku, sebelum kesabaranku hilang" Lara Kanti
menatap si Dewi Bayangan Kabut "Ha ha ha... Rupanya kau termasuk orang
yang tak memiliki kesabaran. Kalau boleh tahu, siapa namamu sebenarnya?"
"Aku Lara Kanti... Puas? Sekarang katakan di mana Pendekar Gila. Lalu
untuk apa kau datang ke desa ini?" "Sama dengan yang kau inginkan.
Puas...?" jawab Mei lie memancing Lara Kanti.
"Jadi, kau juga ingin menantang Pendekar
Gila...?" tanya Lara Kanti dengan menyipitkan matanya, menyelidik.
"Tepat Biarlah akan kukatakan di mana Pendekar
Gila. Tapi aku ingin tahu, apa masalahnya sampai kau ingin menantang dan
membunuh Pendekar Gila...?" tanya Mei Lie sedikit mendesak.
"Hhh..., untuk balas dendam atas kematian
ayahku... Sudah, jangan banyak tanya Cepat katakan, di mana Pendekar Gila
berada? Atau, kucabut nyawamu…" kata Lara Kanti sudah tak sabar sambil
menghunuskan pedangnya.
"Sabar Sekali lagi siapa ayahmu itu...?"
tanya Mei Lie ingin tahu jelas.
"Kau memang banyak mulut Aku akan katakan,
tapi kini yang terakhir pertanyaanmu kujawab. Ayahku dikenal dengan nama
Tempurung Sakti," jawab Lara Kanti. Menjadikan Mei Lie kaget Pengemis
Tempurung Sakti, bukan Pendekar Gila yang membunuh, melainkan dia sendiri. Sesaat
Mei Lie berpikir, lalu menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya Lara Kanti tajam.
"Ayahmu bukan mati di tangan Pendekar Gila
Ketahuilah, Tempurung Sakti mati di tangan Bidadari Pencabut Nyawa" tegas
Mei Lie. "Mengapa kau hendak membunuh Pendekar Gila, yang tak
bersalah...?" "Aku tahu, kalau Bidadari Pencabut Nyawa-lah pembunuh
ayahku. Dan kau tahu pula, tentunya Pendekar Gila tak akan tinggal diam jika
kekasihnya kubunuh. Maka itu aku ingin sekaligus menghadapi keduanya... Aku
harus membuat perhitungan terhadap mereka," jawab Lara Kanti dengan penuh
geram.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Akulah Bidadari Pencabut Nyawa. Hadapilah
aku" tantang Mei Lie sambil membuka capingnya.
"Hah...?" Lara Kanti kaget bukan main.
Matanya membelalak lebar. "Bangsat.. Jadi kau yang bernama Bidadari
Pencabut Nyawa...? Keparat Kini kukirim nyawamu ke neraka Heaaa..." Lara
Kanti melesat melakukan serangan. Mei Lie pun tak tinggal diam. Kini dua wanita
muda jago pedang itu saling berhadapan. Satu memegang pedang bersinar kuning kemerah-merahan.
Yang lain memegang pedang bersinar merah api. Mata mereka yang indah, saling
menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk
menentukan siapa di antara mereka yang paling hebat. Satu Pedang Bidadari,
sedangkan yang satunya Pedang Mata iblis.
"Heaaa..." "Yeaaat.." Mei Lie
membuka jurus pertama dengan jurus ‘Tarian Bidadari Membelah Langit’. Pedang di
tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas, seakan berusaha membelah langit
Wut Wut Sementara itu, Lara Kanti tak mau kalah. Dengan penuh amarah, segera
dikerahkan jurus pembuka yang tak kalah hebatnya. Dengan ‘Tusukan Malaikat
Maut’ pedangnya bergerak cepat, hinggap membentuk gulungan yang mengeluarkan
sinar merah laksana mata iblis memancar ganas.
"Hiaaa..." "Yeaaat..." Wut Wut
Trang Trang Denting dua pedang beradu terdengar nyaring.
Tubuh keduanya melompat ke belakang kemudian dengan
sigap kembali melakukan serangan. Pedang di tangan mereka bagai memiliki mata,
bergerak cepat ke sana kemari, memburu tubuh lawan.
Pertarungan seru dua wanita muda yang memiliki ilmu
pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung.
Hal itu membuat semua murid Padepokan Kates Sewu
terkagum-kagum menyaksikannya. Begitu pula Ki Palguna Wijaya yang telah
mengalami luka tampak terkesima menyaksikan ilmu pedang kedua wanita muda itu.
Sementara itu kuda Lara Kanti mulai dapat diamankan oleh murid-murid Padepokan
Kates Sewu, dengan menjerat leher dan kaki binatang itu.
Mei Lie tampak mulai membuka jurus andalannya.
Dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung', pedangnya bergerak
mendatar, kemudian diangkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke
tubuh lawan.
Cahaya kuning kemerah-merahan berpendarpendar
seiring dengan kelebatan Pedang Bidadari Mei Lie. Wut Wut "Yeaaa"
"Hiaaat.." Keduanya kembali berkelebat, saling menyerang dengan
babatan dan tusukan pedang. Gerakan mereka sangat cepat, sehingga sulit untuk
diikuti mata.
Kini yang tampak hanya sinar kuning kemerahmerahan
berbaur dengan sinar merah api membara.
Trang Trang...
Wut Wut "Hiaaa..." Beberapa kali pedang
mereka saling beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke belakang. Mata keduanya
saling tatap dengan tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar, keduanya
kembali melesat dengan sabetan pedang yang cepat "Yeaaat…" Wut Wut
Trang...
Mei Lie mulai mengeluarkan jurus pamungkas 'Pedang
Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena
babatan pedangnya akan mengalami keanehan. Tubuhnya tak menampakkan luka. Namun
ketika tertiup angin, tubuhnya akan lebur menjadi debu dan berterbangan.
Lara Kanti tersentak menyaksikan jurus yang sudah
sangat kesohor itu. Hatinya tegang menyaksikan jurus yang tengah diperagakan
lawan. Nyalinya seketika menciut, jika ingat korban jurus yang tengah
diperagakan si Bidadari Pencabut Nyawa.
Karena terdorong dendam kesumat, si Penunggang Kuda
Iblis tak mau mundur, Lara Kanti merangsek maju. Keduanya kini kembali
bertarung. Babatan pedang Mei Lie sempat merobek pakaian Lara Kanti.
Lara Kanti tersentak kaget, lalu melenting ke atas
untuk mengelakkan serangan lawan yang terus memburunya. Beberapa kali tubuhnya
terpaksa berjumpalitan. Namun sempat pula mengeluarkan jurus ‘Pedang Mata
Iblis’, untuk menangkis serangan Mei Lie.
***
8
Sementara itu Ki Palguna Wijaya sedang diobati oleh
murid-muridnya di dekat pintu gerbang padepokan. Tiba-tiba muncul sesosok
bayangan putih berkelebat, dan langsung ingin menyerang Ki Palguna Wijaya.
Namun belum sempat sosok itu melakukan serangan, tiba-tiba muncul pula sesosok
bayangan lain.
Plakkk "Ukh..." "Hi hi hi... Lucu,
Tua Bangka ingin main curang.
Licik..." terdengar suara tawa cekikikan
mengejek lelaki tua berpakaian putih yang kesakitan sambil memegangi tangannya.
Suara tawa itu ternyata milik Sena atau Pendekar Gila, yang entah dari mana
tiba-tiba telah berada di tempat itu.
"Kau rupanya, Pemuda Gila... Kebetulan, aku
sedang mencarimu. Ayo.., lawan aku Hutang nyawa harus dibayar dengan
nyawa..." seru lelaki tua berambut putih yang ternyata Ki Rawantula, guru
Lara Kanti.
"Hutang nyawa...? Hi hi hi. Lucu sekali... Tua
bangka menagih hutang. Ah ah ah... Kau mengada-ada saja, Ki" ujar Sena
sambil tertawa-tawa ngakak.
Pada saat itu Ki Rawantula berkelebat melakukan
serangan. Namun dengan cepat Pendekar Gila berguling ke samping, lalu segera
dicabutnya Suling Naga Sakti dan dibabatkan.
"Heaaa... Hih" Wut Trak
"Ukh..." Ki Rawantula memekik tertahan. Langkah terseok-seok karena
kakinya terkena sabetan Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila menatap sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dengan cengengesan, dirinya membuka jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'. Namun Ki Rawantula tampaknya melihat gerakan lawan.
Meskipun kakinya telah terluka, dengan cepat
melakukan lompatan mengelak dari serangan Pendekar Gila. "Heaaa..."
Wusss...
Glarrr...
Pukulan Pendekar Gila menghantam sebatang pohon
besar di luar padepokan ini.
Ki Rawantula segera menggerakkan kedua tangannya
dengan cepat, melakukan serangan balasan, setelah terhindar dari bahaya maut
itu. Pendekar Gila yang telah berdiri tegap dalam kedudukan yang mantap
langsung bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari dalam jurus 'Si Gila
Menepuk Lalat'. Sementara itu tangannya segera mengibaskan Suling Naga Sakti ke
tubuh Ki Rawantula Wut "Hait.. Heaaa..." Ki Rawantula tersentak.
Dirasakan ada hawa panas menjalar di tubuhnya bersamaan dengan serangan
Pendekar Gila. Dengan cepat lelaki berpakaian jubah putih itu membuang tubuh ke
belakang. Lalu segera melepas pukulan dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
Wut Plak "Eits" Pendekar Gila kaget,
ketika tangan Ki Rawantula menepis pundaknya. Seketika, pundaknya terasa panas.
Hal itu membuatnya bertambah marah.
Werrr...
Sambil meliuk Pendekar Gila menghantamkan sulingnya
ke tubuh Ki Rawantula. Disusul seranganserangan gencar dengan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'.
Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh itu
cukup menyentakkan lawan. Ki Rawantula berusaha mengelakkan serangan-serangan
yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya pemuda berpakaian rompi kulit
ular itu tak mau memberi kesempatan bagi lawan untuk menyerang. Pendekar Gila
terus memburu lelaki tua itu hingga tak mampu melancarkan serangan balasan.
"Heaaa..." Dengan nekat Ki Rawantula
merangsek, berusaha menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena diliputi hawa marah
dan nafsu, serangannya lolos. Hanya dengan memiringkan tubuh, meliuk ke kanan
dan kiri Pendekar Gila mampu mematahkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat, Suling Naga Sakti
dihantamkan ke kepala Ki Rawantula.
Wut Prak "Aaakh..." Ki Rawantula menjerit
keras, kepalanya hancur terhantam Suling Naga Sakti. Tubuhnya terdorong ke
belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dan tewas.
Melihat lawannya mati, Pendekar Gila menghela napas
panjang. Lalu segera dipalingkan wajahnya ke tempat pertarungan Mei Lie dengan
Lara Kanti.
***
"Heaaa..." Wut Cras
"Aaakh..." Lara Kanti memekik keras. Lengan kirinya tersambar ujung
pedang Mei Lie. Untung saja si Bidadari Pencabut Nyawa itu telah mengubah
jurusnya dengan jurus ringan. Sehingga tebasan itu hanya mengakibatkan luka
yang tak terlalu berbahaya, bahkan tak mematikan.
Kejadian itu memang tampak aneh, karena semula Mei
Lie telah siap
mengerahkan jurus pamungkasnya, 'Pedang Tebasan
Batin' yang sangat berbahaya itu. Namun hatinya tiba-tiba merasa iba, tak tega
melihat gadis cantik lawannya harus tewas dengan Pedang Bidadari. Hal itu
karena Mei Lie sendiri menyaksikan perubahan nyali lawannya. Lara Kanti tampak
pucat. Serangannya pun terus mengendor. Bahkan seakan-akan pasrah selama
pertarungan dalam jurusjurus terakhir itu.
Sikap Mei Lie tentu saja membuat Lara Kanti
keheranan. Dirinya menyadari kalau Mei Lie belum mau membunuhnya. Padahal dia
tadi sempat lengah. Lara Kanti bertanya dalam hati "Kenapa dia tak mau
membunuhku... ?" Mei Lie tersenyum sinis, lalu menggerakkan Pedang
Bidadari-nya, perlahan di depan dadanya, sedang tangan kirinya diluruskan ke
depan membuat gerakan silat yang indah. Matanya tajam menatap ke arah Lara
Kanti. Lara Kanti menatap tajam wajah Mei Lie. Pedang di tangannya kini diputar
di atas kepala, kemudian dihentakkan ke depan diiringi teriakan nyaring.
"Heaaa..." Wirt Wut Sementara itu
Pendekar Gila, hanya menyaksikan dari jauh sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan murid-murid Padepokan Kates Sewu masih tegang menyaksikan pertarungan
kedua wanita muda yang cantik-cantik itu.
Ki Palguna Wijaya yang sudah mulai terbebas dari
rasa sakit, melangkah mendekati Pendekar Gila diikuti beberapa muridnya.
"Selamat datang, Sena...," tegur Ki
Palguna Wijaya setelah sampai di sisi Pendekar Gila. Pendekar muda itu menoleh,
lalu mengangguk.
"Maafkan, aku terlambat datang, Ki..."
"Tak apa. Untung Mei Lie segera muncul, kalau tidak mungkin aku sudah
mati...," ujar Ki Palguna Wijaya lemah.
Pendekar Gila hanya tersenyum sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, sengaja aku tak mau ikut campur, Ki.
Walaupun aku tahu wanita yang sedang bertarung dengan Mei Lie itu yang ingin
menantangku. Biarlah Mei Lie yang mengatasinya...," tutur Sena kemudian.
"Ya. Aku mengerti, Sena.... Semoga Mei Lie
berhasil menaklukkan si Penunggang Kuda Iblis itu" kata Ki Palguna Wijaya
seraya menepuk pundak Pendekar Gila. "Heaaa..." "Heaaa..."
Kini nampak kedua wanita muda itu saling serang dan tangkis di udara. Mei Lie
berhasil menyarangkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan. Tubuh Lara Kanti
jatuh. Mei Lie segera meluncur turun. Dan siap untuk menusukkan pedangnya ke
tubuh Lara Kanti. Namun Lara Kanti cepat melompat ke depan sambil menendang.
"Hukh" Mei Lie memekik lirih, kena
tendangan kaki kanan Lara Kanti yang tidak diduganya sama sekali. Hal itu tentu
saja membuat Mei Lie marah. Kemudian segera menyerang dengan mengerahkan jurus
‘Pedang Tebasan Batin’.
Lara Kanti kembali membelalakkan mata menyaksikan
jurus 'Pedang Tebasan Batin' muncul lagi.
Gadis itu kemudian mengambil keputusan untuk lari.
Maka tubuhnya melesat cepat dan menghilang.
Mei Lie kaget lalu mengejarnya. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang sempurna, tubuhnya melesat begitu cepat
***
Sementara
itu si Ireng yang tadi terjerat, entah kekuatan apa yang ada dalam kuda itu,
tiba-tiba terlepas. Lalu mengamuk menerjang semua orang yang ada di depannya,
sambil meringkik-ringkik keras..., Pendekar Gila yang melihat segera melompat
dan mengejar dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'nya.
Kuda hitam yang dijuluki Kuda Iblis itu terus
berlari kencang. Di belakangnya nampak Sena mengejarnya. Tubuh Pendekar Gila
bagai terbang. Namun kuda itu seakan tahu ada yang mengejarnya. Mendadak kuda
yang berkulit hitam pekat itu berbalik arah.
Membuat Sena kaget "Edan Kuda edan..."
gerutu Sena kesal.
Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua
kaki depannya. Lalu menyepak menyerang Pendekar Gila. Mata kuda yang memancarkan
sinar merah itu nampak menyeramkan dan ganas.
Sena melompat dan berjumpalitan untuk mengelak dari
tendangan kaki kuda itu.
"Husss Husss... Tenang, Manis Tenang....
Husss..." Sena berusaha menjinakkan kuda yang
seperti kemasukan setan itu.
Namun tetap saja, kuda milik Lara Kanti itu terus
mengejar dan mendepak tubuh Sena. Tiba-tiba pantat Sena tersepak keras.
Dugkh "Waduuuh..." Sena memekik keras,
sambil memegangi pantatnya.
Setelah itu Pendekar Gila menggerakkan kedua
tangannya membuka jurus 'Inti Bayu'. Dan menderulah angin kencang memburu Kuda
Iblis itu. Karena tak mengetahui bahaya tengah mengancam, kuda hitam itu terus
meringkik-ringkik dan berlari memburu Pendekar Gila. Namun tiba-tiba kuda hitam
bertubuh besar dan kekar itu terpental ke belakang, bagai terdorong suatu
kekuatan dahsyat Murid-murid Padepokan Kates Sewu langsung bersorak-sorai
sambil berlari menghampiri kuda yang masih terguling-guling itu.
***
Mel Lie yang
mengejar Lara Kanti tak menyadari kalau telah sampai di Pesisir Pantai Karang
Bolong.
Mei Lie menyapukan mata ke sekeliling tempat itu.
Angin laut yang kencang bercampur dengan debur ombak. Hanya itu yang dapat
didengar telinganya.
Sementara itu Lara Kanti tampak sempat menunggu
untuk menyerang, jika Mei Lie muncul ke karang itu. Benar juga, ketika Mei Lie
baru saja mendekati karang, tiba-tiba....
"Hiaaa..." teriakan nyaring terdengar,
disertai deru pedang meluncur ke kepala Mei Lie.
Mei Lie dengan cepat merunduk lalu melompat,
mengelakkan serangan lawan sambil mencabut pedangnya. Lara Kanti terus memburu,
dengan tusukan dan sabetan pedangnya.
Trang Trang Trang "Heaaa..."
"Yeaaa..." Degkh Degkh "Ukh..." Lara Kanti memekik keras,
dadanya terhantam pukulan 'Bidadari Membelah Dada'.
Tubuhnya terhuyung ke belakang dan dari mulutnya
keluar darah segar. Matanya dirasakan berkunang-kunang.
Melihat hal itu, Mei Lie segera maju sambil
mengangkat Pedang Bidadari-nya di atas kepala.
"Tunggu..." seru Lara Kanti sambil
memegangi dadanya.
Mei Lie segera mengurungkan niat, untuk membabatkan
Pedang Bidadari-nya.
"Hm... Ada apa? Apa kau...?" Mei Lie tak
meneruskan kata-katanya karena merasa iba melihat keadaan Lara Kanti.
"Aku menyerah kalah.... Ohhh.... Ukh"
wajah La-ra Kanti semakin pucat. Dari mulutnya kembali keluar darah segar.
Melihat itu. Mei Lie semakin tak tega. Didekatinya
Lara Kanti, sambil tetap waspada, takut kalaukalau lawannya hanya berpura-pura.
Dengan gerakan cepat Mei Lie menotok jalan darah Lara Kanti. Wanita muda sebaya
Mei Lie itu seketika terkulai lemas tanpa daya. Mei Lie segera mengangkat tubuh
si Penunggang Kuda Iblis itu. Lalu melesat meninggalkan tempat itu.
***
Sementara
itu Pendekar Gila dan Ki Pagulna Wijaya masih menyaksikan kuda Lara Kanti yang
sedang dikerumuni murid-murid Padepokan Kates Sewu. Mereka mengikat kaki kuda
yang sudah mulai jinak itu.
"Ki, aku harus mencari Mei Lie. Aku khawatir
kalau...," ucapan Sena terhenti, ketika mendengar suara Mei lie.
"Kakang Sena..." Sena menoleh ke
belakang.
"Mei Lie...?" Pendekar Gila menghambur
mendekati kekasihnya. Orang-orang yang ada di situ menoleh ke arah Mei Lie yang
memondong tubuh Lara Kanti.
"Kau memang tak ada belas kasihan. Kenapa kau
bunuh dia, Mei...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala "Oh, kau
rupanya menaruh hati padanya. Aku tak membunuhnya. Hanya kutotok jalan
darahnya.
Agar aku aman..." jawab Mei Lie seraya
menurunkan tubuh Lara Kanti perlahan ke tanah.
Ki Palguna Wijaya dan murid-muridnya pun mendekat
Sena masih cengengesan dan menggarukgaruk kepala, memandangi wajah Lara Kanti
yang pucat. Di mulut gadis itu tampak ada darah yang mulai mengering.
Mei Lie segera membuka totokannya.
Lara Kanti perlahan menggeliat. Hatinya kaget
melihat lelaki muda berpakaian rompi kulit ular, tersenyum padanya. Lalu Lara
Kanti berpaling melihat Mei Lie yang tersenyum pula.
Pandangannya pun kemudian beralih ke wajah Ki
Palguna Wijaya. Kemudian kepalanya menunduk perlahan, lemas.
"Nisanak, kalau kau hendak membunuh Pendekar
Gila, sekarang kau dapat melakukan itu. Dia ada di hadapanmu saat ini...,"
ujar Mei Lie perlahan.
Lara Kanti mengangkat wajahnya kembali, dan menatap
Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa? Kau bilang bukan Pendekar Gila
yang membunuh ayahku..., tapi kau...," jawab Lara Kanti dengan suara
serak.
Mendengar itu Sena mengerutkan kening, memandang
wajah Mei Lie.
"Ketahuilah, Nisanak Ayahmu Tempurung Sakti
sebenarnya tak akan terbunuh, kalau saja dia tidak bertindak durjana. Tempurung
Sakti hanya mengikuti nafsu belaka. Ingin menjadi jago Dia telah membunuh kakak
seperguruanku, Nyi Bangil. Itulah sebabnya aku terpaksa membunuh ayahmu.
Maafkan aku Lara..." kata Mei Lie menjelaskan pada Lara Kanti.
Rupanya Lara Kanti dapat memaklumi. Dengan sedih
dan linangan air mata, gadis itu menunduk lesu.
Sementara Pendekar Gila menghela napas panjang,
memandangi Lara Kanti.
Semua yang berada di situ merasa terharu. Begitu
pula Ki Palguna Wijaya.
"Di mana kudaku...? Aku sangat menyayanginya.
Dialah teman hidupku selama ini. Jangan bunuh
dia" ujar Lara Kanti kemudian sambil terisak. Hatinya mulai menyesali
semua sepak terjangnya selama ini.
"Kudamu tak mati. Ki Palguna Wijaya dan
muridmuridnya akan merawatnya. Percayalah..." sahut Sena mencoba
menenangkan hati gadis cantik berpakaian compang-camping itu.
Lara Kanti menatap wajah Sena, tak berkedip dalam
linangan air mata.
"Maafkan aku, Pendekar Gila Sebenarnya aku pun
sangat mengagumi kesaktian dan kepiawaianmu.
Aku telah mendengar semua tentang dirimu. Tapi tak
mengenal wajahmu. Kini rasanya aku lega dapat bertemu denganmu...," kata
Lara Kanti dengan suara ber-getar. Mei Lie yang mendengar itu, mengerutkan
kening. Ada sedikit rasa cemburu. Namun perasaan itu segera dibuang jauh-jauh.
Lalu segera dirangkulnya Lara Kanti.
"Untuk sementara, tinggallah kau di Padepokan
Kates Sewu Ki Palguna Wijaya akan merawatmu...," saran Mei Lie penuh
persahabatan.
"Ya. Kita semua telah memafkanmu. Mulai hari
ini, kau harus mengubah sikap dan tindak tandukmu... Aku menerimamu dengan
senang hati...," sahut Ki Palguna Wijaya seraya tersenyum.
Lara Kanti semakin terharu. Wajahnya mulai nampak
ceria, merasa masih ada orang yang mau menerimanya. Mau memberikan tempat
berteduh, bagi dirinya yang kini yatim piatu.
Lara Kanti memeluk Mei Lie erat-erat, penuh kasih.
Begitu pula Mei Lie, air mata pun menetes di pi-pinya yang halus. Karena
mengetahui nasib Lara Kanti yang tak berbeda dengannya, yatim piatu.
Namun perasaan gembira nampak dari wajah mereka.
Demikian juga Pendekar Gila yang tersenyumsenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
SELESAI
Emoticon