SATU
Ctar!
“Akh...!”
Geletar lidah cambuk ditingkahi pekik kesakitan
menyayat, memecah kesunyian dipagi buta ini. Di pinggiran sebuah desa, tampak
seorang laki-laki tua tengah terikat dibawah sebatang pohon. Punggungnya tampak
pecah-pecah memerah mengucurkan darah. Tidak Jauh dari situ, tampak seorang
laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot tengah mengayunkan cambuknya.
Disekitarnya beberapa orang laki-laki malah tersenyum-senyum diiringi tawa
terkekeh.
“Hehehe..."
"Akh...! Aaakh...!"
“Cukup..."tiba-tiba terdengar bentakan keras
menggelegar. Suara bentakan itu datang dari seorangg laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun lebih, yang mengenakan baju sutra halus, bersulamkan benang
emas. Sebagian rambutnya sudah berwarna putih. Namun wajahnya masih menampakkan
kegagahan.
Kakinya melangkah menghampiri laki-laki bertubuh
tinggi tegap yang memegang cambuk. Laki-Iaki tegap bertelanjang dada itu
melangkah mundur beberapa tindak.
"Kau masih juga suka tutup mulut, Ki
Rabul?" dingin sekali suara laki-laki setengah baya itu. Dijambaknya
rambut laki-laki tua yang terikat dipohon dalam keadaan sangat payah itu,
sehingga kepalanya terdongak. Seluruh rongga mulutnya dipenuhi darah yang
menetes membasahi tubuhnya. Meskipun dalam keadaan tidak berdaya, namun sinar
matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki yang menjambak
rambutnya.
"Dengar, Orang Tua. Aku bisa membuatmu lebih
parah lagi. Bahkan mudah sekali mengirimmu keneraka!" desis laki-laki
setengah baya itu datar. Begitu dingin nada suaranya terdengar.
Tapi laki-laki tua bertubuh kurus yang tidak
mengenakan baju itu hanya diam membisu saja. Hanya tatapan matanya saja yang
tajam menusuk.
"Katakan, dimana anakmu sekarang berada?"
tanya laki-laki setengah baya itu mendesis dingin.
"Kau berurusan dengan anakku, Barada. Lalu
mengapa kau siksa aku? Pengecut...!" dengus laki-laki tua yang dipanggil
Ki Rabul.
"Kesempatanmu untuk hidup hanya sekali saja,
Ki Rabul. Kau dengar, aku tidak bisa bermain-main lagi" ancam Barada
bersungguh-sungguh sekali.
"Phuih!" Ki Rabul menyemburkan darah yang
menggumpal dimulutnya. Cairan merah itu langsung muncrat, dan menimpa wajah
Barada. Hal ini membuat laki-laki setengah baya itu semakin bertambah berang.
Mulutnya menggeram sambil menyeka darah yang memenuhi wajah. Maka tiba-tiba
saja, tangannya melayang menampar wajah tua kurus itu.
Plak!
"Akh!" Ki Rabul terpekik keras.
Kepalanya sampai bergetar akibat tamparan keras.
Barada menghentakkan kakinya, dan berbalik. Dipandanginya lima orang yang hanya
diam saja, dan bersikap seperti seorang jago tak tertandingi.
"Bunuh orang tua keparat ini!" perintah
Barada keras.
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang otot-ototnya
bersembulan, melangkah maju. Dihentak-hentakkan cambuknya. Suara geraman
terdengar dari bibir yang menyeringai buas, bagai seekor srigala lapar melihat
setumpuk daging segar. Sepasang bola matanya merah menyala, menyorot tajam pada
tubuh kurus yang sudah babak belur tersengat cambukannya.
Ctar!
Kembali orang itu mengayunkan cambuknya.
"Akh....!"Ki Rabul kembali memekik keras
tertahan. Geletar cambuk menjilat tubuh kurus itu berkali-kali, disertai
pekikan tertahan yang sangat memilukan.
Sementara yang lainnya hanya menyaksikan tanpa
berbuat apa-apa. Barada menyeka darah yang melekat diwajahnya dengan selembar
kain putih dari sutra halus.
"Aaa...!" tiba-tiba Ki Rabul menjerit.
Sebentar kepalanya terdongak keatas, lalu terkulai disertai mata terpejam.
Ujung cambuk masih menjilat tubuhnya, tapi
laki-laki tua kurus itu tidak lagi bersuara. Laki-laki bertubuh tinggi tegap
itu menghentikan cambukannya, Ialu berbalik menghadap Barada.
"Dia sudah mati, Suro?" tanya Barada,
datar nada suaranya.
"Mungkin pingsan, Gusti," sahut orang
bertubuh tinggi tegap dan berotot kekar itu.
"Biarkan dia disitu ,supaya jadi santapan
binatang hutan. Bakar rumahnya!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya
itu berbalik dan berjalan menghampiri kudanya yang tertambat didepan sebuah
pondok kecil dari bilik bambu. Sedangkan empat orang lainnya segera menyalakan
obor. Mereka melemparkan obo ritu ke atas atap pondok. Maka seketika api
langsung membesar membakar pondok itu. Mereka mengambil kuda masing-masing,
lalu melompat naik. Sedangkan Suro masih berdiri tegak didekat tubuh Ki Rabul
yang terkulai tak sadarkan diri
"Suro...! Ayo pergi dari sini!" bentak
Barada memerintah.
Suro membungkuk sedikit memberi hormat, kemudian
langsung melompat naik kepunggung kudanya yang berwarna hitam, tinggi, dan
tegap. Gerakannya sungguh ringan, pertanda tingkat kepandaiannya cukup tinggi.
Sebentar kemudian, enam ekor kuda berpacu cepat meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan seorang laki-laki tua yang pingsan akibat dicambuk tanpa henti.
Sementara api semakin membesar merobohkan bangunan
pondok kecil yang seluruhnya dari kayu dan bambu itu. Percikan bunga api
menyebar kesegala arah, disertai letupan kecil. Api terus membesar, tak bisa
dicegah lagi. Sedangkan dibawah pohon, Ki Rabul masih terikat dengan kepala
terkulai tanpa daya.
Tak ada seorangpun yang menyaksikan kejadian itu,
kecuali seorang bocah kecil yang bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dia sejak
tadi memang menyaksikan semua kekejaman itu. Bocah kecil itu baru keluar
setelah derap langkah kaki kuda tidak terdengar lagi. Bergegas dihampirinya Ki
Rabul yang masih belum juga sadarkan diri.
"Ki....Ki...,"panggil bocah kecil itu.
Suaranya terdengar pelan dan agak tersendat. Dipandanginya tubuh Ki Rabul yang
hancur terhantam cambuk Kemudian dia memandangi wajah laki-laki tua itu. Dari
mulut Ki Rabul masih menetes darah segar.
"Ki...," suara bocah laki-laki itu mulai
tersendat. Anak itu tidak tahan juga melihat keadaan tubuh Ki Rabul. Dia
kemudian menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil laki-laki tua Itu supaya
bangun. Namun laki-laki tua Itu tetap saja diam dengan kepala terkulai lemas.
***
"Ohhh...," Ki Rabul merintih Iirih.
Kepala laki-laki tua kurus itu menggeleng pelahan, lalu kelopak matanya mulai
terbuka pelahan pula. Namun pandangannya begitu kabur, sehingga tidak bisa
melihat jelas. Ki Rabul kembali memejamkan matanya. Sebentar kemudian kembali
matanya terbuka. Perlahan pandangannya menjadi terang, dan kini bisa melihat
jelas.
Ki Rabul memandangi sekitarnya. Sungguh hatinya
berharap kalau sekarang sudah berada dialamak herat. Tapi begitu melihat bocah
laki-laki berusia sekitar tujuh tahun duduk didekatnya, Ki Rabul langsung sadar
kalau dirinya belum mati. Dan kini dirinya berada didalam sebuah pondok yang
berdinding anyaman bambu.
"Kak...! Dia sudah sadar...!" teriak
bocah itu keras.
Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang gadis
berwajah cukup cantik. Bajunya berwarna merah muda, dan nampak ketat, sehingga
membentuk lekuk tubuhnya yang ramping padat berisi. Langsung dihampirinya dipan
bambu yang ditiduri Ki Rabul. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu
menyingkir, memberi tempat pada gadis yang baru datang.
"Oh, siapa kalian? Dan dimana aku
ini...?" tanya Ki Rabul, lemah suaranya.
"Aku Lasini, dan ini adikku. Namanya,
Badil," sahut gadis itu rnemperkenalkan diri.
"Ohhh...," Ki Rabul kembali mengeluh
lirih
"Kau berada dipondok kami, Ki," sambung
Lasini.
"Aku menemukan mu pingsan terikat di
pohon," celetuk Badil.
"Terimakasih, kalian baik sekali," ucap
Ki Rabul lirih.
"Lukamu cukup parah, Ki. Istirahatlah dulu,
jangan banyak bergerak dan bicara," ujar Lasini lembut.
"Terimakasih," ucap Ki Rabul lagi.
Lasini bangkit berdiri.
"Nak...," panggil Ki Rabul.
Lasini yang akan melangkah pergi, jadi mengurungkan
niatnya. Tubuhnya diputar, memandang laki-laki tua kurus yang terbaring tanpa
daya didipan bambu itu. Hanya selembar tikar pandan lusuh menjadi alasnya.
"Kaliankah yang membawa kukesini?" tanya
Ki Rabul ingin tahu.
"Tidak. Kami dibantu seorang pengembara yang
kebetulan lewat," sahut Lasini berterus terang.
"Siapa pengembara itu? Apakah dia sudah
pergi?"
"Sudah. Dia langsung pergi. Sayang sekali, aku
lupa menanyakan namanya tadi."
Ki Rabul menghembuskan napas panjang seraya
memejamkan matanya. Sebentar Lasini masih memandangi laki-laki tua itu,
kemudian keluar sambil mengajak adiknya. Mereka menutup pintu setelah berada
diluar pondok kecil itu, kemudian sama-sama duduk dibawah pohon sambil memiiih-
millh kedelai yang akan dijadikan bibit.
"Kasihan Ki Tua itu, ya Kak..?" ujar
Badil.
"Yaaah...," sahut Lasini mendesah.
"Mereka kejam sekali, Kak. Mereka memukul dan
mencambukinya sampai pingsan begitu. Ih... serem, Kak," celetuk Badil
lagi.
"Badil...."
"Ya, Kak...?"
"Lain kali kalau melihat mereka lagi, kamu
pergi saja. Jangan sekali-sekali mengintip. Berbahaya! Coba kalau mereka
melihatmu tadi. Bisa-bisa kau yang malah didera," Lasini memperingatkan.
"Kalau aku dicambuk... Aku pasti melawan,
Kak!" Badil menyombongkan diri.
"Memangnya kamu berani?" goda Lasini
mencibir.
"Berani! Tapi kalau sudah besar, Kak. Badil
kan masih kecil, mana mungkin bisa melawan orang besar?"
"Dil..., Badil. Lagakmu seperti pendekar
saja."
"Aku memang ingin jadi pendekar kalau sudah
besar nanti. Biar tidak ada orang yang mengganggu Kakak. Pokoknya kalau ada
yang berbuat jahat pada Kakak, pasti Badil bacok!"
Lasini hanya tertawa saja mendengar ocehan anak
kecil Itu. Namun suara tawanya terdengar sumbang. Meskipun tertawa, tapi dari
sinar matanya terlihat adanya kedukaan yang tersembunyi cukup dalam dihati.
"Kak Lasini tidak percaya kalau aku sudah
besar nanti ingin jadi pendekar? Nih ,lihat! Ciaaat..!"
Badil bangkit berdiri, dan langsung memperagakan
beberapa jurus silat. Tapi belum lama berlagak, kakinya terantuk sebatang akar
pohon, lalu tubuhnya pun jatuh terjerembab.
"Aduh...!"pekik Badil.
Lasini jadi tertawa terpingkal-pingkal melihat
bocah itu meringis sambil memijat-mijat pinggangnya.
"Sakit..?" goda Lasini.
"Tidak! Calon pendekar tidak boleh mengeluh
sakit!" sahut Badil mantap.
Lasini hanya tersenyum saja. Ada kebahagiaan bila
sedang bercanda dengan anak ini. Badil seorang bocah lucu, cerdas, dan berani.
Dia selalu saja bisa cepat menangkap setiap kata-kata dan gerakan ilmu olah
kanuragan. Meskipun tadi gerakannya tidak beraturan, namun cukup diakui kalau
beberapa jurus yang biasa dilatih Lasini setiap pagi, bisa diserap cepat oleh
anak ini.
Padahal Lasini hanya latihan sendiri saja. Dan
biasanya, Badil selalu mengikuti setiap gerakan-gerakannya. Tidak pernah Badil
meminta diajarkan, tapi anak itu tidak pernah terlambat mengikuti latihan yang
dilakukan Lasini setiap pagi, Bahkan kalau malam hari, saat Lasini tengah
melatih tenaga dalam dengan bersemadi, bocah itu selalu mengikuti duduk
bersila. Memang, Badil belum tahu maksudnya. Tapi bocah itu sudah bisa
menangkap, kalau hendak menjadi seorang pendekar harus sering berlatih ilmu
olah kanuragan.
"Badil, kau benar ingin jadi pendekar?"
tanya Lasini setelah Badil kembali duduk didekatnya.
"Jelas dong, Kak," sahut Badil mantap.
"Kalau kau bersungguh-sungguh, mulai besok
pagi aku akan mengajarkanmu beberapa jurus. Kau mau?"
"Tentu dong, Kak...!" sambut Badil
gembira.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Seorang pendekar tidak boleh sombong, tidak
boleh main pukul, dan tidak boleh tinggi hati. Apalagi berkata kasar, malas dan
menjelek-jelekkan orang lain. Apa kau menyanggupi syarat itu?"
"Sanggup!" sahut Badil tanpa berpikir
panjang. Tapi semua kata-kata yang diucapkan kakaknya ini meresap dalam hati
sanubarinya. Bahkan semua kata-kata itu diulang dikepalanya hingga benar-benar
melekat.
"Tapi latihannya berat, Dil," kata Lasini
lagi.
"Tidak ada kata berat bagi seorang pendekar,
Kak! mantap kata-kata Badil.
Lasini tersenyum. Diusap-usapnya kepala adiknya
ini. Badil tampak senang, lalu tersenyum cerah dengan bola mata berbinar. Sudah
lama dia ingin sekali mempelajari ilmu olah kanuragan, dan baru sekarang
kakaknya bersedia untuk melatihnya. Dalam hati, bocah itu berjanji untuk patuh
dan menuruti kata-kata kakaknya ini. Bagaimanapun beratnya, harus dijalankan
untuk bisa menjadi seorang pendekar.
***
Sudah lebih dari dua pekan Ki Rabul hanya terbaring
saja didipan bambu. Segala keperluannya selalu disediakan kakak beradik yang
menolong dan membawanya ketempat ini. Meskipun Lasini dan Badil melayani dan
merawatnya dengan senang hati, tapi perasaan laki-laki tua ini jadi tidak enak
juga. Ki Rabul sudah merasa sehat dan bisa turun dari pembaringan, tapi Lasini
belum boleh mengijinkannya.
Pagi ini Ki Rabul merasakan tubuhnya benar-benar
segar. Laki-laki tua itu turun dari pembaringan bambu ini, kemudian pelahan
berjalan kepintu. Dibukanya pintu itu pelahan-lahan sekali. Telinga tuanya
langsung mendengar suara-suara orang sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Dari
suara-suara yang terdengar, Ki Rabul sudah bisa memastikan kalau mereka adalah
Lasini dan adiknya yang sedang berlatih.
Ki Rabul melangkah menuju arah suara-suara itu. Dan
teenyata dugaannya tidak meleset. Tidak jauh disamping pondok kecil ini,
terlihat Lasini sedang memperagakan jurus-jurus tangan kosong. Sementara
dibelakangnya, Badil mengikuti dengan gerakan-gerakan lucu. Namun sesaat
kemudian, laki-laki tua itu jadi tertegun. Dipandanginya Badil tanpa berkedip.
"Hm.... Anak itu mempunyai bakat bagus, dan
susunan tulang-tularngnya juga bagus sekali," gumam Ki Rabul.
Laki-laki tua itu jadi tertegun diam, namun tidak
menyadari kalau Lasini sudah menghentikan latihannya. Dihampirinya laki-laki
tua itu. Badil bergegas mengikuti. KiRabul baru tersadar begitu mendengar
teguran lembut gadis itu.
"Kenapa bangun, Ki?"
"Aku sudah sehat, Lasini. Tidak enak rasanya
jadi orang jompo yang hanya terbaring saja ditempat tidur," sahut Ki
Rabul.
"Memangnya Aki sudah benar-benar sehat?"
tanya Badil polos.
"Sudah. Kau lihat sendiri, tidak ada lagi luka
ditubuhku. Aku benar-benar sudah sehat sekarang, dan ingin melihat kalian
berlatih."
"Ah...! itu tadi hanya sekadar bermain-main
saja, Ki. Untuk kesehatan badan," Lasini merendah.
"Tapi kulihat, jurus-jurus yang kau mainkan
sangat mantap dan bagus."
"Ki Rabul juga bisa ilmu olah
kanuragan...?" tanyaLasini.
"Tidak, tapi...," ucapan Ki Rabul
terputus. Mendadak saja wajah laki-laki tua kurus itu jadi mendung. Tampak bola
matanya berkaca-kaca. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.
Lasini jadi tertegun melihat perubahan wajah
laki-lakitua ini.
"Maaf kalau aku telah menyinggung
perasaanmu," ucap Lasini menyesal.
"Oh, tidak... Tidak sama sekali. Aku hanya
teringat anakku," kata Ki Rabul buru-buru.
"Oh... dimana anak Aki sekarang?" tanya
Lasini
"Entahlah. Aku sendiri tidak tahu. Dia anak
baik dan patuh pada orangtua. Kepandaiannya juga tinggi. Tapi.... Yahhh... nasibnya
memang malang," lirih sekali nada suara Ki Rabul.
Lasini memandangi wajah laki-laki tua itu
dalam-dalam. Terasa ada kesenduan pada sorot matanya yang cekung, masuk
kedalam. Sepasang bola mata tua itu berkaca-kaca. Beberapa kali Ki Rabul
menghembuskan napas panjang dan terasa berat sekali. Untuk beberapa saat,
mereka hanya diam membisu saja. Saat mereka tengah berdiam diri, tiba-tiba saja
terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat kearah pondok ini. Mereka
semua mengangkat kepala, berpaling kearah suara berasal.
Sesaat mereka hanya diam terpaku, melihat kepulan
debu diudara yang semakin mendekat. Mereka saling berpandangan sesaat Lasini
menarik tangan adiknya, dan membawanya kebelakang tubuhnya sendiri. Tak berapa
lama kemudian, terlihat lima orang penunggang kuda. Semakin dekat, semakin
jelas kelima penunggang kuda itu terlihat. Seketika bola mata Ki Rabul
membeliak lebar, dan mulutnya ternganga, seolah-olah melihat serombongan hantu
yang akan mencekik lehernya hingga mati.
Lima penunggang kuda itu langsung berlompatan turun
begitu sampai didepan mereka. Ki Rabul mengenali mereka semua, yang ternyata
adalah kaki tangan Barada. Sedangkan Ki Barada sendiri tak nampak diantara
mereka. Laki-laki tinggi tegap dan berotot bersembulan yang mencambuk Ki Rabul,
ternyata juga ada diantara mereka.
"Hehehe...! Ternyata kau masih hidup juga, Ki
Rabul." kata salah seorang yang mengenakan baju warna hijau muda.
Ki Rabul tahu, kalau anak muda yang menggunakan
senjata pedang itu bemama Sarapat. Wajahnya terlihat pucat, dan sorot matanya
merah menyala mencerminkan kekejaman. Sedangkan yang berdiri disampingkanannya,
seorang laki-laki setengah tua yang memegang tombak pendek bermata dua. Bajunya
ketat berwarna merah.
Seorang lagi yang bertubuh tinggi tegap berotot,
dan memegang cambuk hitam adalah Suro. Sementara dua orang lagi disamping Suro,
adalah kakak beradik yang sama-sama mengenakan baju biru. Mereka memegang
senjata rantai berujung bola berduri yang kelihatannya berat sekali.
Masing-masing bernama Cakak yang berkumis dan Cakik yang tidak berkumis.
Ki Rabul yang mengetahui kalau kelima orang itu
adalah manusia kejam, segera menarik tangan Lasini agar menjauh. Gadis itu
hanya memandangi Ki Rabul sejenak, kemudian beralih pada lima orang berwajah
bengis didepannya.
"Menyingkirlah, Lasini. Mereka manusia iblis
yang kejam," jelas Ki Rabul setengah berbisik.
Lasini ingin bertanya, tapi Badil sudah menarik
tangan kakaknya, dan membawanya pergi menjauh. Mereka berhenti didepan rumah.
Sementara Ki Rabul berdiri tegak, bersikap menantang. Mungkin kali ini, hati
laki-laki tua itu sudah nekat. Daripada mati tersiksa, lebih baik mati dalam
pertempuran sebagai seorang laki-laki.
"Kau beruntung mempunyai dewi penolong yang
cantik, Ki Rabul. Hehehe...," kata Katir seraya melirik Lasini.
Bibirnya menyunggingkan senyuman yang lebih mirip
seringai serigala. Empat orang lainnya terkekeh seraya merayapi wajah Lasini
yang cantik. Ki Rabul jadi muak, tapi khawatir juga jika mereka sampai
mengganggu gadis yang telah berbaik hati menolong dan merawatnya hingga sembuh
seperti sekarang ini.
"Iblis...! Kalian berurusan denganku! Jangan
coba-coba mengganggunya...!" bentak Ki Rabul geram.
"Hahaha...! Dia sudah berani main bentak,
Kakang Suro," kata Katir seraya melirik laki-laki bertubuh tinggi tegap
berotot yang tidak mengenakan baju.
"Grrr...! Mungkin ingin merasakan cambukku
lagi" geram Suro seraya mendelik pada laki-laki tua itu.
"Kau pikir aku takut dengan cambuk
burutmu!" dengus Ki Rabul nekat.
"Setaaan...!" geram Suro yang tidak
pernah bisa mengendalikan kemarahannya. Seketika itu juga laki-laki tinggi
tegap itu melompat cepat samba mengayunkan cambuknya yang hitam dan berduri
halus.
Ctar!
"Hup...!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Ki Rabul mampu
berkelit menghindari ujung cambuk itu. Bahkan sempat memberikan satu tendangan
keras kearah perut Suro.
Bughk!
"Heghk...!"
Suro yang tidak menduga kalau Ki Rabul memiliki
ilmu dan kanuragan, jadi mendelik. Tendangan keras kaki kurus itu tepat
menghantam perut, membuatnya langsung terbungkuk diiringi keluhan kecil.
Tendangan Ki Rabul memang keras sekali meskipun tidak disertai pengerahan
tenaga dalam. Namun itu sudah membuat perut Suro jadi mual seperti ingin
muntah.
"Setan...! Grrrh...!" Suro menggeram
marah. Tindakan Ki Rabul tadi juga sempat membuat empat orang lainnya mendelik
setengah tidak percaya. Mereka sungguh kaget, karena tidak menyangka kalau
laki-laki tua yang kelihatan lemah itu mampu memberi perlawanan. Padahal, dua
pekan yang lalu, Ki Rabul benar-benar tidak punya daya sama sekali.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak lantang, Suro kembali melompat
menyerang Ki Rabul. Cambuknya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Ctar! Ctar! "Hup! Yeaaah...!"
Tangkas sekali Ki Rabul berlompatan sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang gencar datangnya dari
laki-laki tinggi besar bagai raksasa itu. Gerakan Ki Rabul ternyata sungguh
cepat dan lincah. Bahkan beberapa kali memberikan serangan balasan, sehingga
membuat Suro sedikit kelabakan.
Pertarungan antara Ki Rabul melawan Suro, membuat
empat orang lainnya jadi terbengong. Mereka jadi melupakan perhatiannya pada
Lasini yang sudah menggendong adiknya. Diam-diam gadis itu menyingkir, dan
berlindung dibalik sebongkah batu. Sebenarnya Lasini tidak ingin berbuat seperti
ini, yang dianggapnya sebagai pengecut. Namun, keselamatan adiknya yang baru
berusia tujuh tahun itu harus dipikirkan juga.
Sementara pertarungan antara Ki Rabul dan Suro,
semakin berlangsung sengit. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus dahsyat dan
sangat berbahaya. Namun kelihatannya, laki-laki tua itu masih mampu menandingi
kehebatan cambuk Suro.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Suro
mengebutkan cambuknya kuat-kuat. Dan kali ini, jurusa ndalannya yang dahsyat
dikerahkan. Setiap kali cambuknya dikebutkan, maka dari ujung cambuk itu
memercik bunga api disertai kepulan asap hitam. Kepulan asap hitam itu semakin
lama semakin menebal, menyelimuti tubuh Ki Rabul.
"Hiyaaatt" Ctar!
"Aaakh...!"
***
DUA
Dalam kepulan asap hitam yang membuat pandangan
mata terganggu, Ki Rabul tidak bisa menghindari satu jilatan cambuk disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi itu. Ujung cambuk tepat menyengat dadanya,
hingga membuat kulitnya sobek hingga menembus daging. Darah langsung mengalir
keluar dari dada yang sobek, begitu panjang dan dalam.
Ki Rabul terhuyung-huyung ke belakang, sambil
meringis merasakan perih pada dadanya yang terluka. Dan sebelum laki-laki tua
itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, mendadak saja Suro sudah melompat cepat
sambil berteriak keras menggelegar. Cambuknya diangkat tinggi-tinggi keatas
kepala. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam penuh, dikebutkan cambuk itu
kuat-kuat kearah kepala Ki Rabul.
"Hiyaaa...!"
Ctar! Glarrr!
Sungguh dahsyat serangan yang dilakukan Suro. Dari
ujung cambuknya memercik bunga api disertai kepulan asap hitam. Ujung cambuk
itu persis mengarah kekepala Ki Rabul. Namun pada saat yang sangat kritis itu,
tiba-tiba saja sebuah bayangan putih berkelebat menyambar tubuh laki- laki tua
itu. Akibatnya, hantaman cambuk Suro hanya menyengat tanah kosong. Seketika
tanah itu terbongkar membentuk lobang yang lebar dan cukup dalam.
"Setan...!" geram Suro begitu menyadari
sasarannya lolos dari serangan.
Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan
laki-laki tinggi berotot itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Pemuda itu menyangga tubuh Ki Rabul yang kelihatan
lemas akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Diberikannya totokan di sekitar
luka didada laki-laki tua itu, maka darah seketika berhenti mengalir.
Dari balik batu besar, keluar Lasini yang diikuti
adiknya. Gadis itu langsung mengambil Ki Rabul dan membawanya keberanda.
Dibaringkannya laki-laki tua itu keatas dipan bambu. Sedangkan pemuda tampan
berbaju rompi putih itu masih berdiri tegak menghadapi Suro. Empat orang
lainnya bergegas menghampiri Suro, dan berdiri disampingnya.
"Heh! Siapa kau...?!" bentak Suro berang.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku!"
dingin sekali jawaban pemuda itu.
"Setan..! Berani kau menantang aku,
heh...?!" geram Suro semakin marah.
"Untuk manusia pengecut macam kalian, tidak
ada gunanya bersilat lidah!" tetap dingin nada suara pemuda berbaju rompi
putih itu.
Sambil menggeram dahsyat, Suro mengegoskan
kepalanya. Maka seketika itu juga empat orang temannya berlompatan mengepung
pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Suro langsung melompat menyerang
sambil mengebutkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Ctar!
"Hup!"
Sukar dipercaya, pemuda itu tidak berkelit
sedikitpun. Bahkan tangkas sekali mengatupkan keduatangannya, langsung menjepit
ujung cambuk hitam berduri halus itu. Suro jadi terkejut bukan main.
Dihentakkan cambuknya kuat-kuat. Tapi jepitan tangan pemuda itu kuat bukan
main, bagaikan sepasang penjepit besi baja!
"Hiyaaa...!"tiba-tiba saja dari arah
samping kanan, melompat seorang berbaju merah yang langsung mengayunkan
tombaknya kearah pemuda berbaju rompi putih itu.
Suara mendesing dari kebutan tombak itu membuat
pemuda berbaju rompi putih jadi tersentak sedikit. Tapi dengan cepat diliukkan
tubuhnya seraya kakinya bergeser kesamping. Maka hentakan tombak itu hanya
mengenai angin kosong. Pada saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu
mengibaskan kakinya kearah orang yang membawa tombak. Ternyata, dia adalah
Katir.
"Yeaaah...!"
Bet!
Tendangan kaki pemuda itu sungguh cepat, sehingga
Katir tidak mampu lagi berkelit. Apalagi pada saat itu, tubuhnya memang sedang
dalam keadaan doyong kedepan. Namun begitu, tubuhnya masih berusaha ditarik
kebelakang. Tapi, tendangan pemuda itu masih juga mengenai bagian pinggangnya.
"Akh...!" Katir memekik keras.
Tepat saat tubuh Katir terpental, pemuda berbaju
rompi putih itu melentingkan tubuhnya keatas. Seketika dihentakkan tangannya
untuk melepaskan Jepitan pada ujung cambuk hitam berduri halus.
"Whaaa...!"
Suro tersentak kaget, dan tubuhnya yang besar itu
tidak mampu lagi di kuasai. Dia langsung terpental, jatuh bergulingan ditanah.
Bersamaan dengan itu, kaki pemuda berbaju rompi putih sudah melayang kearah
kepala Suro. Tapi belum juga kaki pemuda itu menghantam kepala Suro, mendadak
saja dua orang berbaju birum melontarkan rantai besi baja yang berbandul bola
berduri dari arah berlawanan. Suara lontaran senjata rantai berbandul bola
berduri itu mendesing keras, menderu-deru bagai angin topan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Pemuda berbaju rompi putih itu cepat melentingkan
tubuhnya, lalu berputaran dua kali kebelakang. Dengan manis sekali kakinya
mendarat ditanah. Kemudian, langsung diliukkan tubuhnya ketika sebilah pedang
berwarna keperakan menyambar dengan kecepatan bagai kilat kearahnya. Pedang itu
lewat sedikit disamping pinggang pemuda itu.
"Yeaaah...!"
Pada saat yang sama, pemuda itu mengibaskan
tangannya, tepat menghantam pergelangan tangan kanan Sarapat.
"Akh...!"Sarapat memekik keras agak
tertahan. Untung saja Sarapat cepat menarik tangannya, dan memindahkan pedang
ketangan kiri. Dengan demikian, senjatanya berhasil diselamatkan.
Tapi sebelum dia melompat mundur, pemuda itu sudah
melayangkan satu tendangan yang keras bertenaga dalam tinggi. Tendangan itu
tepat menghantam dada Sarapat, sehingga membuatnya terpental sambil memekik
keras melengking. Sarapat jatuh bergulingan ditanah, dan punggungnya membentur
sebatang pohon hingga tumbang. Sarapat merintih lirih, sambil bergerak mencoba
bangkit berdiri. Bibirnya menyeringai, menahan sakit.
Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak sambil
melipat tangan didepan dada. Dirayapinya lima orang yang kini tampaknya harus
berpikir seribu kali untuk melanjutkan pertarungan ini. Mereka saling
berpandangan sesaat, kemudian serentak berlompatan naik kepunggung kuda
masing-masing. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung cepat menggebah kudanya
meninggalkan tempat itu.
Sementara pemuda berbaju rompi putih masih berdiri
tegak memandangi lima orang yang memacu kuda bagai dikejar setan. Pemuda itu
baru berbalik setelah kelima orang itu tidak terlihat lagi bayangannya. Yang
terlihat kini hanyalah kepulan debu yang membumbung tinggi keangkasa semakin
menjauh. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah menghampiri beranda depan.
Tampak Ki Rabul sudah bisa duduk, dan dadanya yang
terluka sudah terbalut kain putih. Disampingnya, duduk seorang gadis cantik
sambil memang kubocah laki- laki berusia sekitar tujuh tahun. Pemuda itu
berdiri didepan mereka.
"Bagaimana lukanya, Ki?" tanya pemuda itu
lembut
"Ah, tidak apa-apa. Oh, ya....Terimakasih atas
pertolonganmu," sahut Ki Rabul
"Ah, lupakanlah. Aku hanya kebetulan lewat,
dan melihat mu tidak sanggup lagi meneruskan pertarungan," kata pemuda itu
merendah.
"Kau hebat sekali, bisa menandingi keroyokan
mereka," puji Ki Rabul tulus.
Pemuda itu hanya tersenyum saja. Dia memandang
Lasini yang duduk disamping Ki Rabul sambil memangku adiknya. Gadis itu
kebetulan sedang memandang pemuda tampan ini. Maka, tanpa dapat dicegah lagi
pandangan merekapun bertemu. Entah kenapa, tiba-tiba saja wajah gadis itu
menyemburat merah dadu. Buru-buru dipalingkan wajahnya kearah lain.
"Kalau boleh aku tahu, siapa nama mu, Anak
Muda?" tanya Ki Rabul.
"Rangga," sahut pemuda itu menyebutkan
namanya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama
Rangga yang lebih dikenal dalam rimba persilatan berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi saat pemuda itu menyebutkan namanya, mendadak saja Ki Rabul
terlonjak. Bahkan langsung turun dari pembaringan diberanda depan pondok kecil
ini.
Dirayapi pemuda berbaju rompi didepannya
dalam-dalam, dari ujung kepala sampai keujung kaki, seakan-akan ingin
meyakinkan kalau penglihatannya tidak salah.
"Ada apa, Ki? Apa ada yang salah pada
diriku?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Oh, tidak... Apakah kau berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti?" nada suara Ki Rabul terdengar tergagap dan ragu-ragu.
Rangga hanya tersenyum saja, dan hanya menganggukkan
kepalanya. Memang orang lebih mengenal julukannya daripada nama aslinya.Tidak
banyak orang yang mengetahui namaa slinya, kecuali hanya orang-orang tertentu
saja. Mengingat itu, Rangga jadi tertegun. Kini malah dia yang memandangi Ki
Rabul dalam-dalam.
"Oh! Tidak kusangka, ternyata aku bisa bertemu
seorang pendekar besar dan digdaya. Sungguh beruntung sisa kehidupanku
ini...," desah Ki Rabul dengan mata berbinar.
Laki-laki tua itu menggamit tangan Rangga, dan
mengajaknya duduk didipan bambu. Sedangkan Lasini hanya memperhatikan saja
disertai kening agak berkerut. Gadis itu tahu kalau pemuda inilah yang dulu
pernah menolongnya membawa Ki Rabul kepondok ini. Namun, Pemuda ini menghilang
begitu saja saat Lasini sibuk membersihkan luka- luka ditubuh laki-laki tua
itu. Kini pemuda itu muncul lagi, dan Ki Rabul kelihatannya begitu gembira.
"Lasini, kau harus berbangga karena pondokmu
kedatangan seorang pendekar digdaya yang tidak tertandingi saat ini,"kata
Ki Rabul.
"Ki, siapa dia sebenarnya?" tanya Lasini
setengah berbisik dekat telinga Ki Rabul.
Ki Rabul malah tertawa terbahak-bahak mendengar
pertanyaan gadis itu.Tentu saja hal ini membuat Lasini memberengut. Ki Rabul
menepuk-nepuk punggung tangan gadis itu. Bibirnya selalu tersenyum dan bola
matanya terus berbinar.
"Dia bernama Rangga, dan terkenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti. Memangnya, Kau belum pernah mendengar tentang Pendekar
Rajawali Sakti?" kini Ki Rabul malah bertanya, Lasini hanya diam saja.
Dicobanya untuk mengingat-ingat, tapi nama Pendekar
Rajawali Sakti memang belum pernah didengarnya. Namun gadis itu akhirnya
percaya saja, karena tadi telah melihat bagaimana pemuda tampan ini mengusir
lima orang berkepandaian tinggi dan kelihatan sangat kejam. Gadis itu kembali
memandangi wajah tampan yang duduk disamping kiri KiRabul.
Sedangkan dia sendiri berada disamaping kanan
KiRabul. Jadi, Ki Rabul seperti pembatas saja. Lasini kembali mengalihkan
pandangannya kearah lain, begitu Rangga juga menatap kearahnya. Entah kenapa,
hatinya merasa tidak sanggup bila harus bertemu mata. Malah jantungnya jadi
berdebar kencang setiap kali bertemu pandang denga pemuda itu. Belum pernah
dirasakan hal seperti ini sebelumnya.
"Nak Rangga, kau berada disini bukan hanya
sekedar lewat saja, bukan?Aku yakin ada sesuatu sehingga kau berada ditempat
sepi dan terpencil ini," tebak Ki Rabul bernada sungguh-sungguh.
Sayang sekali, Ki. AKu sebenarnya hanya sekedar
lewat saja. AKu tidak punya kepentingan ditempat ini, sahut Rangga Kalem.
"Oh! Kalau begitu, boleh kuminta
bantuanmu...?"
"Bantuan apa, Ki?" tanyaRangga. Pendekar
Rajawali Sakti memang tidak pernah menolak memberikan bantuan pada siapapun
bagi yang memerlukan. Terutama jika menolong seseorang atau sekelompok orang
yang tertindas akibat kesewenang-wenangan. Terlebih lagi, daerah ini tidak
berapa jauh dari wilayah Kerajaan Karang Setra.
Tapi karena jiwa kependekarannya, diaharus
mengembara memberantas keangkaramurkaan. Rangga tahu meskipun daerah ini jauh
dar ipusat Kerajaan Karang Setra, tapi masih termasuk wilayah kerajaan itu. Dan
itu berarti, orang-orang ini adalah rakyatnya yang tentu tidak mengetahui
tentang rajanya.
"Tentang mereka itu, Nak," kata Ki Rabul.
"Orang-orang yang hampir membunuhmu
tadi?" tanya Rangga ingin penegasan.
"Benar, Nak Rangga. Mereka orang-orang kejam
yang selalu menindas rakyat kecil. Aku pernah hampir mati oleh mereka, kalau
saja tidak ditolong Lasini dan adiknya ini," jelas Ki Rabul.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Dia
sudah tahu, karena telah membantu Lasini dan adiknya membawa Ki Rabul kepondok
ini. Memang kejadian itu sudah berselang sekitar dua pekan lamanya, dan Lasini
sendiri hampir melupakan pemuda itu. Tapi gadis itu langsung ingat, hanya saja
tidak ingin banyak bicara.
"Kalau saja aku mampu, sudah dari dulu aku
menumpas mereka. Tapi aku tidak mampu. Mereka terlalu kuat bagi orangtua
sepertiku ini, Nak Rangga," lanjut Ki Rabul bernada mengeluh.
Rangga hanya terdiam saja, tapi menyimak penuh
perhatian setiap kata yang diucapkan Ki Rabul. Dari sikap orang-orang tadi,
Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau mereka adalah orang-orang kasar yang
selalu bertindak dengan kekerasan dan kekejaman. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
tidak tahu permasalahannya, mengapa mereka hendak membunuh orangtua ini...?
***
Malam sudah cukup larut. Sekitar pondok kecil
ditepi hutan itu terasa sunyi terselimut kegelapan. Malam ini, bulan seperti
enggan menampakkan diri. Akibatnya sekeliling daerah itu begitu gelap, tanpa
penerangan sedikitpun juga. Mirip sebuah gua tanpa obor. Didepan pondok,
dibawah pohon kebembem, Pendekar Rajawali Sakti duduk mencangkung memandangi
kegelapan yang menyelimuti sekitarnya.
Malam ini tidak ada angin berhembus, membuat udara
terasa panas. Bahkan kesunyian begitu mencekam, sedikitpun tak terdengar suara
binatang malam menggerit. Sehingga, pemuda berbaju rompi putih itu langsung
bisa menangkap ketika terdengar suara langkah kaki halus dari arah belakang.
Kepalanya berpaling dan mulutnya langsung tersenyum begitu melihat Lasini
menghampirinya.
"Belum tidur, Dik Lasini?" tanyaRangga
setelah gadis itu dekat disampingnya.
"Belum ngantuk," sahut Lasini seraya
duduk disamping Rangga.
"Malam sudah begini larut...," desah
Rangga.
"Ya, dan panas sekali," sambung Lasini
pelahan.
"Rasanya tidak akan terjadi sesuatu malam
ini,"duga Rangga lagi.
"Kau sengaja menunggu mereka, Kakang?"
tanya Lasini ingin tahu.
"Aku hanya menduga saja. Biasanya, orang
seperti mereka selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Terutama saat kita
lengah. Maka sudah sepatutnya kita tidak boleh lengah sedikit pun dalam
menghadapi orang seperti itu," jelas Rangga.
"Sepertinya kau sudah pengalaman sekali
menghadapi orang-orang seperti mereka, Kakang," kata Lasini seperti ingin
mengetahui tentang diri Pendekar Rajawali Sakti lebih dalam lagi.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Ditariknya napas
dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Memang Pendekar Rajawali Sakti sudah
banyak mengenyam pahit getirnya dunia persilatan. Rasanya tidak akan ada
habisnya jika harus bergelut didalam rimba yang penuh kekerasan, kedengkian dan
keserakahan ini.
Sepertinya, Hyang Jagat Nata memang sengaja
menciptakan manusia untuk saling bertentangan tanpa ada penyelesaian yang
berakhir menyenangkan. Tidak jarang Rangga harus menghadapi mereka yang merasa
sakit hati, dan ingin mencelakakannya.
Dendam memang selalu menyelimuti setiap hati
manusia, dan tidak akan pernah bisa menyelasikan suatu persoalan. Dendam yang
berakhir akan melahirkan dendam baru yang lebih dahsyat lagi. Itulah sebabnya
Rangga tidak akan pernah merasa dendam pada siapapun. Bahkan selalu memberi
pintu kesempatan bagi lawan-lawannya yang ingin memperbaiki jalan hidupnya.
Tapi kemurahan hati Pendekar Rajawali Sakti ini seringkali dimanfaatkan mereka
yang ingin membalas dendam.
"Kakang...," tegur Lasini lembut
"Oh...!" Rangga tersentak dari
lamunannya.
"Kok melamun...? Ingat kekasihnya, ya?"
kata Lasini
Padahal dalam mengucapkan itu, Lasini sempat
menggigit bibirnya sendiri. Entah kenapa, gadis itu merasakan adanya ketidak
senangan bila pemuda tampan ini memiliki kekasih, dan sekarang sedang
melamunkannya. Sedangkan Rangga hanya diam saja, lalu tersenyum seraya
memalingkan muka memandang gadis disebelahnya.
Pandangan Rangga yang tiba-tiba itu, membuat Lasini
gugup sendiri. Buru-buru dialihkan pandangannya kearah lain. Mendadak saja
hatinya jadi tidak menentu, dan jantungnya berdetak kencang tak beraturan lagi.
Lasini merasakan seluruh aliran darahnya terbalik, ketika Pendekar Rajawali
Sakti mengambil tangannya dan menggenggam erat-erat.
"Tanganmu dingin sekali, Kau sakit...?"
tanya Rangga merasakan tangan gadis itu begitu dingin dan berkeringat.
"Ah! Tidak... aku tidak apa-apa..." sahut
Lasini jadi tergagap. Buru-buru ditarik kembali tangannya, dan duduknya
bergeser agak menjauh.
Sementara Rangga memandangi gadis itu lekat-lekat,
sehingga membuat Lasini semakin serba salah. Dia tidak tahu lagi, seperti apa
saat ini wajahnya. Yang jelas seluruh wajahnya terasa jadi panas seperti
terbakar. Pemuda tampan ini benar-benar telah membuatnya seperti orang bodoh.
Perasaannya bagai tikus kepergok mencuri ikan, dikelilingi puluhan kucing liar.
"Ma... maaf... Aku akan tidur dulu," kata
Lasini masih tergagap.
Gadis itu buru-buru bangkit berdiri. Tapi saat itu,
sebuah benda bercahaya keperakan melesat bagaikan kilat kearahnya. Rangga yang
mengetahui lebih dahulu, langsung tersentak kaget.
"Awas...!" seru Rangga keras. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menerkam Lasini
yang juga terkejut mendengar teriakan tadi. Namun belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, tiba-tiba sepasang tangan sudah memeluk pinggangnya, sehingga
membuat keseimbangan tubuhnya jadi tidak terkendali.
"Akh...!" Lasini memekik kecil. Gadis itu
jatuh bergulingan bersama Rangga yang masih memeluk pinggangnya kuat-kuat.
Maka, benda bercahaya keperakan itu melesat lewat diatas tubuh mereka. Benda
keperakan itu langsung menghantam pohon tempat tadi mereka duduk, hingga
langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat. Rangga langsung
melompat bangkit berdiri sambil menarik tangan gadis itu. Lasini tersentak lalu
berdiri disamping Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa...?" tanya Lasini tidak
mengerti.
Belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak terdengar
tawa keras menggelegar. Baik suara tawa maupun suara ledakan akibat pohon yang
hancur tadi, membuat Ki Rabul dan Badil terbangun dari tidurnya. Laki-laki tua
itu cepat menyambar tubuh bocah itu dan menggendongnya. Sambil menyambar golok
yang berada diatas meja, Ki Rabul melompat keluar menjebol pintu. Laki-laki tua
itu langsung mendarat disamping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, suara tawa
masih terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.
"Hahaha...!"
"Hm...,"gumam Rangga pelahan.
***
TIGA
Bersamaan dengan berhentinya suara tawa itu,
tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua berjubah merah menyala. Ditangannya
tergenggam sebatang tongkat panjang yang melewati tinggi tubuhnya. Yang lebih
aneh lagi, seluruh rambutnya berwama merah bagai terbakar. Kakek itu tertawa
terkekeh seraya melangkah mendekali. Dia baru berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar dua batang tombak lagi didepan Pendekar Rajawali Sakti yang diapit
Lasini dan Ki Rabul.
"Iblis Racun Merah...! Ada apa dia
kesini...?" desis Ki Rabul mengenali laki-laki tua yang serba merah itu.
Gumaman Ki Rabul yang begitu pelan, masih bisa
terdengar juga oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dan pemuda berbaju rompi putih itu
melirik sedikit pada Ki Rabul yang masih menggendong bocah kecil berusia
sekitar tujuh tahun. Mata tanpa dosa itu malah memandangi laki-laki tua yang
dirasakannya sangat aneh.
"Hehehe....Kau pasti yang bernama Ki
Rabul!" kata laki-laki aneh berjubah merah itu seraya menunjuk Ki Rabul.
"Benar!" sahut Ki Rabul tegas." Ada
apa kau mencariku, Iblis Racun Merah?"
"Hahaha...!" laki-laki tua berjubah merah
yang dipanggil Iblis Racun Merah itu tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras menggelegar, menyakitkan
gendang telinga. Sampai-sampai, Badil menutup telinga dengan kedua tangannya.
Rangga tahu kalau tawa itu mengandung pengerahan tenaga dalam. Maka Pendekar
Rajawali Sakti langsung mengambil Badil dari gendongan Ki Rabul, kemudian
menyerahkannya pada Lasini. Segera disuruhnya Lasini agar membawa adiknya
menyingkir sejauh mungkin. Tanpa membantah sedikitpun, gadis itu pergi. Tapi
dia tidak pergi jauh, dan pandangannya terarah pada mereka yang berada didepan
pondoknya.
"Dengar, Ki Rabul! Aku datang untuk menagih
hutang padamu!" tegas Iblis Racun Merah, namun terdengar dingin nada
suaranya.
"Hm..., kita belum pernah bertemu. Jadi,
bagaimana aku merasa pernah punya hutang padamu?" sahut Ki Rabul datar.
"Memang kau tidak secara langsung berhutang,
tapi anakmu telah berhutang nyawa padaku!" bentak siIblis Racun Merah
lantang.
Ki Rabul tersenyum sinis. Terdengar dengusan
napasnya yang keras. Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Sungguh
tidak disangka kalau laki-laki tua ini begitu banyak mempunyai musuh. Bahkan
yang menginginkan kematiannya adalah tokoh-tokoh rimba persilatan kelas tinggi.
Seperti siang tadi, lima orang berkemampuan cukup tinggi telah datang dan ingin
membunuhnya. Dan sekarang, muncul seorang laki-laki tua aneh berjubah merah
yang seluruh rambutnya berwarna merah menyala. Dia juga menginginkan kematian
Ki Rabul.
Rangga jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya Ki
Rabul ini? Namun belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu terjawab,
mendadak saja laki-laki berjubah merah yang berjuluk Iblis Racun Merah itu
sudah melompat bagaikan kilat menerjang Ki Rabul. Tongkat merah yang bagian
atasnya berbentuk kepala tengkorak manusia itu dikebutkan keras, sehingga
menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Cepat sekali Ki Rabul melompat kebelakang, sehingga
tebasan tongkat itu hanya mengenai tempat kosong. Sementara Rangga yang tadi
berada disampingnya, jadi terkejut. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti merasakan
adanya hembusan angin keras dan terasa panas. Maka cepat-cepat kakinya ditarik
kebelakang. Tepat pada saat itu, si Iblis Racun Merah mengibaskan ujung
tongkatnya ke arah pemuda berbaju rompi putih itu.
"Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena
si Iblis Racun Merah mampu memutar tongkat demikian cepat luar biasa dan tidak
terduga samas ekali. Biasanya seseorang yang menghantamkan tongkat dari atas
kebawah, harus menarik dulu tongkatnya sebelum melakukan serangan kembali. Tapi
laki-laki tua berjubah merah itu malah langsung memutar tongkatnya, lalu
mengibaskan kesamping tanpa menghentikan gerakan arus tongkatnya. Hal ini
membuat Rangga harus mengakui kehebatan si Iblis Racun Merah.
Kalau saja Rangga tidak cepat menarik kakinya
kebelakang ,sudah pasti ujung tongkat si Iblis Racun Merah akan menghantam
tubuhnya. Namun serangan laki-laki tua itu hanya lewat didepan tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Meskipun serangannya luput, namun sudah membuat Rangga sedikit
terhuyung terkena angin sambaran tongkat itu.
"Gila...!" dengus Rangga dalam hati.
"Hehehe...!" Iblis Racun Merah tertawa
terkekeh sambil menarik pulang tongkatnya. Segera dihentakkan ujung tongkatnya
ketanah diujung jari kaki.
Sementara itu Ki Rabul menggeser kakinya, mendekati
Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki tua itu sudah siap mencabut goloknya yang
terselip dipinggang. Sedangkan Rangga hanya berdiri tegak, menatap tajam tanpa
berkedip kearah laki-laki tua berjubah merah itu. Suara tawa si lbiis Racun
Merah masih terdengar sumbang.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda Kuharap kau
tidak mencampuri urusan pribadiku dengan Ki Rabul!" tegas Iblis Racun
Merah, dingin nada suaranya.
"Hm...," Rangga hanya bergumam kecil.
"Menyingkirlah, Pendekar Rajawali Sakti! Ini
bukan urusan mu, tapi urusan pribadiku dengan manusia pengkhianat itu!"
bentak si Iblis Racun Merah, lantang nada suaranya.
"Dia tidak akan menyingkir! Aku sudah
memintanya untuk melindungiku!" dengus Ki Rabul tegas.
"Phuah...!" Iblis Racun Merah
menyemburkan ludahnya dengan sengit. Laki-laki tua berjubah merah itu menatap
Ki Rabul tajam, kemudian beralih pada pemuda berbaju rompi putih yang berada
disamping laki-laki tua itu. Sorot matanya memerah dan begitu tajam,
seakan-akan ingin menghanguskan dua orang yang berada didepannya.
"Dengar, Iblis Racun Merah. Sebenarnya
urusanmu bukan denganku, tapi dengan anakku! Dan sekarang, aku punya hak untuk
mendapatkan seorang pembela yang akan menghadapimu, atau siapa saja yang
mencoba mengganggu kehidupanku!" tegas Ki Rabul.
"Hahaha...!" Iblis Racun Merah tertawa
terbahak-bahak, dan langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti." Bagus! Jika
kau memang benar berada dibelakang manusia busuk itu, berarti aku tidak perlu
lagi bersusah-payah mencarimu untuk bertanding, Pendekar Rajawali Sakti. Sudah
lama aku ingin bertemu denganmu. Kita buktikan, siapa diantara kita yang lebih
berhak menguasai rimba persilatan!"
Mendengar hal itu, Rangga jadi mendengus keras.
Pendekar Rajawali Sakti paling tidak suka mendengar tantangan yang bernada
pongah. Baginya, tidak ada seorangpun yang bisa menguasai seluruh dunia. Saat
ini, mungkin dirinya memang yang paling tangguh. Tapi bukannya tidak mustahil
bakal ada orang lain lagi yang lebih tinggi ilmunya daripada dirinya. Atau
mungkin dibelahan bumi lain, ada yang lebih tinggi lagi saat ini. Yang pasti,
tingginya gunung, masih lebih tinggi langit. Dan di atas langit, masih ada yang
lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya.
Trak!
Iblis Racun Merah menghentakkan tongkatnya hingga
menyilang didepan dada. Di genggamnya bagian tengah tongkat merah itu dengan
kedua tangannya. Pelahan kakinya bergeser kesamping, setengah memutari tubuh
Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Rabul. Pandangan matanya begitu tajam menusuk,
seakan-akan tengah mengukur tingkatke pandaian dua orang lawannya itu.
"Aku minta kau menyingkir lebih dahulu,
Pendekar Rajawali Sakti. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu dengan manusia
pengkhianat itu!" datar dan dingin sekali nada suara si Iblis Racun Merah.
Sebentar Rangga melirik Ki Rabul. Rupanya Pendekar
Rajawali Sakti tengah mempertimbangkan permintaan laki-Iaki berjubah merah itu.
Sedangkan Ki Rabul hanya menatap Rangga. Sinar matanya menyiratkan permohonan
kepada Pendekar Rajawali Sakti agar dirinya tidak sampai bertarung melawan
laki-laki berjubah merah itu. Dari sorot mata Ki Rabul, Rangga sudah bisa
mengerti. Maka didorong halus dada laki-laki tua itu agar kebelakang. Ki Rabul
tersenyum senang. Bergegas kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu.
"Phuih! Keparat kau Rabul...!" geram si
Iblis Racun Merah.
Iblis Racun Merah benar-benar geram akan sikap Ki
Rabul yang dianggapnya pengecut. Sepertinya, laki-laki itu hanya melindungi
dirinya sendiri dibelakang nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Namun laki-laki
berjubah merah yang kini sudah berhadapan dengan Rangga, tidak mungkin lagi
menarik mundur. Mulutnya tadi sudah sesumbar akan menantang pendekar muda itu
dalam pertarungan tunggal.
"Kau tadi mengatakan ingin menantangku,
Kisanak. Nah, sekarang aku sudah siap menerima tantanganmu," tegasRangga.
"Huh! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali
Sakti!" dengus Iblis Racun Merah. Pendekar Rajawali Sakti merentangkan
tangannya. Dipersilakannya laki-laki tua berjubah merah itu untuk menyerang lebih
dahulu. Melihat pemuda berbaju rompi putih itu sudah siap menerima serangan,
Iblis Racun Merah menyemburkan ludahnya. Dari sikapnya, terlihat jelas kalau
laki-laki tua berjubah merah itu ragu-ragu dalam menghadapi Pendekar Rajawali
Sakti.
"Phuih! Kepalang tanggung!" dengus Iblis
Racun Merah dalam hati.
Iblis Racun Merah memang tidak bisa lagi melakukan
apa-apa, selain harus bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Mulutnya sudah
sesumbar untuk menantang pemuda berbaju rompi putih itu. Jika sampai
diurungkan, sudah pasti seluruh rimba persilatan akan menertawakannya. Maka tak
akan ada lagi tempat baginya didunia ini jika hal itu terjadi.
Bahkan pendekar tanggung pun akan menantang
bertarung tanpa menghiraukan julukannya yang sudah membuat tokoh-tokoh rimba
persilatan harus berpikir dua kali jika harus berhadapan dengannya. Kini, Iblis
Racun Merah harus menghadapi seorang pendekar digdaya yang sangat ditakuti dan
disegani, baik oleh golongan putih maupun golongan hitam. Dan semua itu karena
berbicaranya tidak dipikirkan lebih dahulu. Jelas kalau perkataannya tadi sudah
menyinggung, dan diterima bulat-bulat Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh
persilatan tidak akan undur setapakpun jika menerima tantangan terbuka seperti
ini.
"Silakan, kau yang menjual dan aku siap
membeli daganganmu," kataRangga kalem.
"Phuih!" lagi-lagi Iblis Racun Merah
menyemburkan ludahnya.
Pelahan laki-laki berjubah merah itu menggeser
kakinya kesamping. Tongkatnya diputar pelahan didepan dada. Pandangan matanya
begitu tajam menusuk. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak
dengan tangan merentang terbuka kesamping. Bibirnya tidak pernah lepas
menyunggingkan senyuman.
"Hup! Hyeaaa...!"
Sambil berteriak keras melengking tinggi, laki-laki
tua berjubah merah itu melompat menerjang sambil mengibaskan ujung tongkatnya
tiga kali ke beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun manis sekali,
Rangga meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan si Iblis Racun Merah.
Sedikitpun kakinya tidak bergeser, tapi serangan laki-laki tua itu tidak
mengenai sasaran sama sekali. Tentu saja hal ini membuat si Iblis Racun Merah
jadi geram bukan main.
"Setan! Hiyaaat...!"
Iblis Racun Merah memperhebat serangan-serangannya.
Seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan, dan langsung disalurkan pada
tongkatnya. Sehingga tongkat merah itu semakin bersinar bagai terbakar.
Hebatnya, setiap kebutan tongkatnya selalu mengeluarkan hawa panas menyengat.
"Hawa racun...," desis Rangga dalam hati.
Dan memang, si Iblis Racun Merah sudah mengeluarkan jurusa ndalannya yang
paling ditakuti. Jurus Tongkat Beracun. Suatu jurus berbahaya yang mengandung
hawa racun pada setiap kibasan tongkatnya. Racun itu sangat dahsyat dan
mematikan. Biasanya, lawan yang berhadapan dengannya tidak akan tahan lama bila
menghirup udara yang sudah tercemar racun itu. Lawan akan menjadi pening, dan
seluruh tubuhnya menjadi panas seperti terbakar.
Sementara Rangga melayani laki-laki tua berbaju
merah itu dengan menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajalb. Suatu jurus yang
sering digunakan jika bertarung satu lawan satu. Dengan jurus ini. Pendekar
Rajawali Sakti bisa menjajaki, sampai dimana tingkat kepandaian lawan sebelum
mulai membalas serangan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti
itu sungguh sukar diterka. Bahkan sepertinya tidak melakukan permainan jurus sama
sekali. Terkadang tubuhnya doyong hampir jatuh.
Bahkan terkadang bergelimpangan ditanah, lalu
dengan cepat bangkit berdiri. Sepertinya, pemuda berbaju rompi putih itu bagai
orang mabuk, kebanyakan minum arak. Melihat ini, si Iblis Racun Merah menyangka
kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah terkena pengaruh racun yang disebarkan
melalui tongkatnya. Dan memang, setiap lawan yang sudah tidak tahan oleh
racunnya, akan mengalami hal serupa. Gerakan-gerakannya jadi kacau, dan
tubuhnya limbung tak terkendali lagi.
"Hiya! Yeaaah...!"
Iblis Racun Merah semakin memperhebat
serangan-serangannya. Dia benar-benar menyangka kalau pertarungan ini akan
mudah dimenangkannya, karena Rangga tidak memberi perlawanan sama sekali.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya berkelit dan menghindar, seperti tak mampu
memberi perlawanan. Namun sampai sejauh ini, si Iblis Racun Merah masih belum
juga bisa mendesak. Bahkan tak satupun dari serangannya yang berhasil mengenai
sasaran. Semuanya dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti. Yang lebih
menjengkelkan lagi, pemuda itu bisa menghindar, meskipun dalam keadaan kritis.
"Kurang ajar...! Kau mempermainkan aku, Bocah
Keparat...!" geram Iblis Racun Merah begitu menyadari kekeliruannya.
Sementara Rangga hanya tersenyum saja sambil terus
bergerak menghindari setiap serangan yang datang. Tapi sekarang, sesekali
diberikannya serangan balasan, meskipun tidak berarti. Memang, pukulan maupun
tendangan yang dilontarkan Rangga tidak berbahaya sama sekali. Bahkan terkesan
lamban. Tentu mudah bagi si Iblis Racun Merah untuk menghindarinya.
"Hup...!" Iblis Racun Merah melompat ke
belakang sejauh tiga batang tombak.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menghentikan
gerakannya, lalu berdiri tegak dengan tangan melipat didepan dada. Sedangkan si
Iblis Racun Merah sudah bersiap mengerahkan jurus lainnya.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking, laki-laki tua
berjubah merah menyala itu melompat cepat bagai kilat. Ujung tongkatnya tertuju
lurus kearah dada pemuda berbaju rompi putih. Dan begitu ujung tongkat hampir
menyambar dada, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali menarik tubuhnya kesamping
agak miring. Lalu dengan cepat pula tangannya dikibaskan kearah lambung.
"Yeaaah...!"
Beghk!
"Ughk...!" Iblis Racun Merah mengeluh
pendek. Seketika perutnya terasa mual. Laki-laki tua berjubah merah itu
terpental balik kebelakang sejauh tiga batang tombak. Dan sebelum menyentuh
tanah, Rangga sudah melompat menerjang seraya melontarkan satu pukulan keras dari
jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
"Hiyaaat..!"
"Hah...!"
Iblis Racun Merah terperangah melihat kedua kepalan
tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi memerah bagai terbakar. Ditambah lagi,
lompatan pemuda berbaju putih itu demikian cepat bagai kilat. Buru-buru Iblis
Racun Merah menggulirkan tubuhnya kesamping. Maka pukulan Rangga hanya
menghantam tanah, tempat laki-laki tua itu tadi tergeletak setelah terkena
sodokan pada lambungnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Iblis Racun Merah melompat bangkit
berdiri. Tiba-tiba dia berdahak, dan memuntahkan darah kental dari mulutnya.
Rupanya sodokan pada lambungnya mengandung tenaga dalam tinggi, sehingga
laki-laki tua itu terluka dalam cukup parah. Sedangkan pukulan Pendekar
Rajawali Sakti yang menghantam tanah, membuat bumi jadi berguncang hebat
disertai ledakan dahsyat menggelegar. Tampak tanah bekas pukulan pemuda berbaju
rompi putih itu berlubang besar. Tampak pula debu mengepul membumbung tinggi ke
angkasa.
"Gila...!" desis Iblis Racun Merah
terbeliak menyaksikan kedahsyatan pukulan pemuda itu.
Rangga memutar tubuhnya, berbalik menghadap Iblis
Racun Merah. Sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu memerah, menyorot
tajam. Seakan-akan tatapan itu hendak melumat habis tubuh tua berjubah merah
didepannya. Pelahan laki-laki berjubah merah itu melangkah mundur.
"Kau kuberi kesempatan hidup, Kisanak. Tapi
jangan coba-coba mengganggu Ki Rabul, atau orang-orang lain yang tidak bersalah
denganmu," kata Rangga mendesis tajam.
"Hhh...! Kali ini kau boleh merasa menang,
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi lain kali, kau akan berlutut memohon belas
kasihan padaku!" dengus Iblis Racun Merah.
"Silakan pergi dari sini!" bentak Rangga
keras.
"Phuih!" Iblis Racun Merah menyemburkan
ludahnya. Tapi semburan ludahnya berwarna merah. Dan saat itu juga Iblis Racun
Merah menyadari kalau dirinya terluka dalam cukup parah. Itu berarti harus
segera disembuhkan, sebelum menjadi lebih parah lagi. Sambil mengumpat dan
mengancam, laki-laki tua berjubah merah itu segera melompat pergi. Begitu cepat
lesatannya, sehingga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap ditelan kegelapan
malam.
Rangga memutar tubuhnya, lalu melangkah menghampiri
Ki Rabul yang berdiri disamping Lasini yang menggendong adiknya. Mereka
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu kemudian
mengambil Badil dari gendongan Lasini, lalu menggendongnya sambil tersenyum,
memijit hidung bangir bocah itu.
"Ah! Kenapa tidak dibunuh saja dia, Nak
Rangga?" ujar Ki Rabul menyayangkan sikap Rangga yang membiarkan si Iblis
Racun Merah pergi begitu saja.
"Dia hanya menantangku, dan tidak ada alasan
bagiku untuk membunuhnya, Ki," jelas Rangga.
"Tapi, dia bisa datang lagi. Aku bukannya
takut, tapi mencemaskan Lasini dan Badil. Dia itu licik. Segala cara akan
ditempuhnya demi mencapai kemenangan," ada nada kecemasan pada suara Ki
Rabul.
"Untuk beberapa saat lamanya, dia tidak akan
kembali. Luka dalamnya harus disembuhkan dulu, dan itu membutuhkan waktu paling
tidak satu pekan lamanya. Kalau dia memang mempunyai cukup hawa murni, mungkin
bisa tiga hari," kembali Pendekar Rajawali Sakti menjelaskan dengan
tenang.
"Yahhh..., mudah-mudahan saja lukanya
bertambah parah," desah Ki Rabul berharap.
Rangga menepuk pundak laki-laki tua itu, lalu
mengajak semuanya masuk kedalam pondok. Lasini melangkah disamping kanan
Pendekar Rajawali Sakti itu, Hatinya benar-benar kagum dengan ketangkasan
pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Sudah dua kali gadis itu menyaksikan
Rangga bertarung, dan itu membuatnya semakin kagum. Bahkan Lasini tidak
malu-malu lagi kalau hatinya sudah terpaut pada pemuda ini. Terlebih lagi
Badil.
Tampaknya bocah itu benar-benar mengagumi dan
menyukai Rangga. Belum pernah Lasini melihat Badil begitu cepat akrab dengan
orang yang baru dikenalnya. Mereka semua masuk kedalam pondok. Rangga
membesarkan nyala pelita, kemudian duduk dikursi bambu yang berada dibawah
jendela. Sedangkan Lasini masuk kedalam kamar bersama adiknya. Di dipan bambu,
Ki Rabul duduk mencangkung memeluk lutut, dan punggungnya bersandar pada
dinding. Tak ada yang berbicara, dan masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Sedangkan Rangga mulai memejamkan matanya, karena ingin sedikit melemaskan
otot-ototnya yang terasa menegang sejak siang tadi.
***
EMPAT
Rangga tersentak bangun dari tidurnya ketika
mendengar derap kaki kuda menuju pondok ini. Ternyata bukan hanya Pendekar
Rajawali Sakti saja yang terbangun, melainkan Ki Rabul dan Lasini. Mereka
bergegas menghampiri pintu dan membukanya lebar-lebar. Ketiga orang itu segera
melangkah keluar. Tampak seorang penunggang kuda memacu cepat kudanya menuju
kearah pondok. Kuda berwarna putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua
kaki depannya tinggi-tinggi begitu tali kekangnya ditarik. Penunggang kuda itu
langsung melompat, dan mendarat ringan didepan Ki Rabul yang berdiri paling
depan didampingi Rangga dan Lasini.
"Ayah...!" seru penunggang kuda yang
mengenakan baju warna putih ketat itu.
Ternyata, dia seorang pemuda berwajah cukup tampan.
Tubuhnya tinggi tegap dan otot-ototnya bersembulan. Tubuh kekar itu berkilatan
karena tersiram keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Tampak sebilah pedang
tersampir di pinggangnya. Pemuda itu langsung menghampiri Ki Rabul dan berlutut
memeluk kaki laki-laki tua itu. Sedangkan Ki Rabul hanya diam terpaku,
sepertinya tidak mengenali pemuda itu, Atau bisa jadi memang tidak menyukai
kehadirannya. Pemuda itu mengangkat kepalanya, memandang wajah laki-laki tua
yang tetap berdiri terpaku memandang lurus kedepan. Pelahan dia bangkit
berdiri.
"Ayah..., maafkan aku. Aku telah membuatmu
menderita," ucap pemuda itu agak tersendat suaranya.
"Untuk apa datang kesini?" tanya Ki
Rabul, agak ketus nada suaranya.
"Aku datang karena mendengar Ayah disiksa oleh
mereka. Aku ingin menuntut balas pada mereka, Ayah. Tidak ada seorangpun yang
boleh menghina Ayah sedemikian rupa," tegas pemuda itu.
"Bukan kau yang membalas dendam, tapi mereka
yang membalas dendam padamu!" sentak Ki Rabul tegas.
"Aku mengakui kesalahanku, Ayah. Tapi tidak
seharusnya mereka menyiksa Ayah"
"Aku hanya orang tua. Dan sudah sepantasnya
orangtua menanggung semua akibat perbuatan anaknya. Kau datang kesini hahya
mencari penyakit saja, Teruna. Kau akan memperburuk keadaan!"
Pemuda yang dipanggil Teruna itu memandangi wajah
Ki Rabul yang dipanggilnya dengan sebutan ayah. Pandangannya kemudian beralih
pada Lasini dan Pendekar Rajawali Sakti. Saat menatap pemuda berbaju rompi
putih, sinar matanya jadi bersinar lain. Cukup lama dia memandang Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandang hanya tersenyum saja sambil mengangkat
sedikit pundaknya.
"Ayah, bisa aku bicara berdua saja
denganmu?" pinta Teruna, kembali memandang ayahnya.
"Untuk apa? Aku sudah cukup banyak terlibat.
Dan sekarang aku tidak sudi dilibatkan lagi, Teruna. Kau sudah besar, dan sudah
bisa menentukan hidupmu sendiri. Kau harus bisa mempertanggungjawabkan segala
perbuatanmu," tegas Ki Rabul merasa enggan untuk berbicara lagi.
"Aku mohon, Ayah. Sebentar saja," pinta
Teruna berharap.
"Kenapa tidak dibicarakan saja disini?"
Teruna tidak menjawab, tapi malah memandang Rangga
dan Lasini yang berada disamping Ki Rabul. Laki-laki tua kurus itu melirik pada
mereka, kemudian mengayunkan kakinya menuju samping pondok. Sebentar Teruna
melirik Rangga, kemudian bergegas mengikuti Ki Rabul. Sementara Lasini dan
Rangga saling berpandangan saja.
"Apakah dia anaknya Ki Rabul, Kakang?"
tanya Lasini seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
Rangga menjawab hanya dengan mengangkat bahunya
saja. Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya, lalu berjalan menuju
pancuran yang berada dibagian lain dari pekarangan pondok kecil ini. Pancuran
itu berasal dari mata air dibelakang bukit, dan dialirkan melalui bambu yang
disambung-sambung, hingga sampai kepondok itu. Rangga membasuh mukanya. Air
pancuran itu memang terasa sejuk menyegarkan.
Kembali tubuhnya diputar. Agak terkejut juga
Pendekar Rajawali Sakti, karena Lasini sudah ada di dekatnya. Gadis itu juga
membasuh muka, leher, dan tangannya. Mereka kemudian sama-sama duduk dibawah
pohon dekat pancuran itu, dan sama-sama memandang kearah tempat Ki Rabul dan
anaknya sedang berbicara. Entah apa yang dibicarakan. Sebenarnya Rangga bisa
saja mendengarkan pembicaraan itu dengan mempergunakan ilmu Pembeda Gerak dan
Suara. Tapi itu tidak dilakukan, karena seperti orang yang ingin ikut campur
urusan orang lain saja.
"Apa yang mereka bicarakan, Kakang?"
tanya Lasini lagi.
"Entahlah," sahut Rangga agak mendesah.
"Tampaknya Ki Rabul tidak menyukai anaknya,
Kakang. Kenapa bisa begitu ya...?" kembali Lasini bertanya seperti untuk
dirinya sendiri.
"Mungkin urusan pribadi," sahut Rangga
seenaknya.
Lasini tidak bertanya lagi, karena pada saat itu Ki
Rabul menghampiri mereka. Tampak wajah laki-laki tua itu memberengut seperti
sedang menahan kemarahan, Atau mungkin juga sedang jengkel pada anaknya.
Sebenarnya Lasini ingin bertanya, tapi Rangga sudah keburu mencegahnya.
***
Teruna memalingkan wajahnya ketika mendengar
suaralangkah kaki menghampiri. Pemuda itu duduk bersandar dibawah pohon,
memandangi bukit yang tampak anggun dengan bagian puncak terselimut kabut.
Segera digeser duduknya ketika Rangga sudah berada disampingnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu duduk disamping Teruna. Tak ada yang membuka suara lebih
dahulu. Sesekali Teruna melirik pemuda berbaju rompi putih disampingnya.
"Bagaimana keadaan istrimu?" tanya Rangga
membuka suara terlebih dahulu, setelah menghembuskan napas panjang.
"Baik. Tadinya dia ingin ikut kesini,"
sahut Teruna pelahan.
"Kau tidak mengijinkan? Mengapa?" tanya
Rangga.
"Terlalu besar resikonya, Rangga. Aku tidak
ingin dia melihat aku mati dicincang bajingan itu. Yaaah... Seharusnya aku
menghormatinya. Tapi, keadaan malah membuatku semakin membencinya," agak
tertahan nada suara Teruna.
Rangga menghembuskan napas panjang kuat-kuat.
Sementara Teruna bangkit berdiri, lalu berjalan dua tindak kedepan.
Pandangannya tetap lurus kedepan, seakan-akan sedang mencari sesuatu dipuncak
bukit sana. Sedangkan Rangga masih tetap duduk bersandar pada pohon sambil
memandangi pemuda itu. Dia tahu, apa yang sedang menjadi beban dalam diri
Teruna.
"Paria menitipkan salam untukmu," kata
Teruna tanpa berpaling sedikitpun.
"Terimakasih," ucap Rangga.
"Dia berharap anak yang dikandungnya laki-
laki, dan akan diberi nama yang sama denganmu. Hanya saja, dia tidak tahu nama
lengkapmu," sambung Teruna.
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum. Dia teringat
dengan Paria. Seorang wanita muda yang cantik, ramah, dan selalu tersenyum. Dia
tidak pernah terlihat sedih ataupun duka, meskipun sedang mengalami masa-masa
genting. Semua itu selalu dihadapinya dengan senyum. Rangga teringat akan
kata-kata yang tidak pernah terlupakan.
"Nasib dan keadaan manusia sudah ditentukan
sejak dilahirkan kedunia. Jadi, tidak perlu meratap jika sedang mengalami
kesulitan, dan gembira jika sedang senang. Semuanya harus dihadapi dengan hati
lapang dan senyum. Hidup manusia bagaikan roda yang selalu berputar. Tak ada
yang bisa mengubahnya, kecuali sang Pencipta itu sendiri."
Rangga jadi tersenyum sendiri mendengar kata-kata
yang diucapkan Paria waktu itu. Saat itu mereka tengah menghadapi kemelut yang
hampir saja merenggut nyawa wanita itu. Tapi semua memang dihadapi dengan
senyum. Rangga benar-benar kagum, dan mengakui kekagumannya didepan Teruna.
Bahkan mengatakan kalau Teruna adalah satu-satunya makhluk dibumi ini yang
paling beruntung. Pemuda ini mempunyai seorang istri yang bukan saja cantik
wajahnya tetapi juga cantik hatinya.
"Rangga...."
"Oh...!" Rangga tergugah dari lamunannya
ketika mendengar namanya dipanggil. Kepalanya diangkat, dan tahu-tahu Teruna
sudah duduk didepannya. Pendekar Rajawali Sakti itu memberi Senyuman sedikit
"Apakah kau sudah mengatakan pada ayah kalau
kita sudah pernah berjumpa?" tanya Teruna.
"Belum," sahut Rangga.
"Dan kau akan mengatakannya?" Teruna
ingin tahu.
"Bagaimana nanti. Lihat saja dulu
keadaannya," sahut Rangga kalem.
"Aku percaya padamu, Rangga. Maaf, aku selalu
merepotkanmu."
"Sudahlah. Bukankah Paria pernah mengatakan
kalau setiap manusia memang dilahirkan untuk saling membantu? Nah! Apa salahnya
jika bisa membantu, maka akan kulakukan semampuku," tegas Rangga mengutip
kata-kata yang pernah didengarnya dari seorang wanita yang dikagumi karena
memiliki pandangan hidup yang sangat luas.
"Tampaknya kau begitu meresapi setiap kata
yang diucapkan istriku, Rangga," tebak Teruna.
"Ya! Dan aku mengakui kalau istrimu punya
pandangan hidup yang patut diteladani. Terus terang, aku merasa kecil bila
sedang berhadapan dengannya," Rangga jujur mengakuinya.
"Yaaah..., apa yang kau katakan barusan memang
selalu kurasakan, Rangga. Dia terlalu agung dan luhur bagiku. itulah sebabnya,
mengapa aku berani mempertaruhkan nyawa hanya untuknya. Rasanya hanya dialah
satu-satunya wanita yang sempurna didunia ini," sahut Teruna juga memuji
istrinya.
"Tentu kau bahagia sekali, Teruna."
"Mungkin hanya akulah satu-satunya laki-laki
yang paling berbahagia didunia ini, Rangga."
Entah kenapa, tiba-tiba saja mereka jadi tertawa
terbahak-bahak. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin mereka teringat saat-saat
bersama-sama dulu. Saat saat menjadi orang paling tolol didunia, didepan
seorang wanita yang bicaranya tak ada yang bisa membantah. Paria memang selalu
berbicara lemah lembut, namun sangat mengena dan menusuk hingga kedalam
sanubari yang paling dalam.
"Hhh.... Waktu itu kita benar-benar seperti
kerbau, Rangga," kata Teruna setelah tawanya berhenti.
"Yaaa..., kurasa kau akan senang selamanya
menjadi kerbau," sahu tRangga menimpali.
"Tentu! Asal, yang jadi gembalanya
Paria," sambut Teruna tanpa pikir panjang lagi.
"Kau mau...?!" Rangga terkejut mendengar
jawaban Teruna tadi.
Sebenarnya tadi Pendekar Rajawali Sakti hanya
memperolok saja. Tapi kenyataannya, jawaban yang diterima justru sungguh
mengejutkan. Kerbau adalah binatang yang paling dungu, tapi sangat dibutuhkan
kaum petani untuk menggarap sawahnya. Tak ada seorangpun yang suka bila dirinya
dikatakan kerbau. Tapi, Teruna malah senang dikatakan kerbau.
"Kenapa tidak...? Sebetulnya seorang laki-laki
adalah kerbau dimata wanita. Hanya saja, kita terlalu angkuh dan tidak pernah
mengakuinya," tegas jawaban Teruna.
Rangga memandangi pemuda itu dalam-dalam, tapi
mendadak saja tertawa terbahak-bahak. Dan Teruna jadi ikut tertawa. Ya, memang
benar kata Teruna tadi. Sebenarnya, laki-laki memang seperti kerbau, bahkan
lebih rendah dari seekor kerbau di mata wanita. Banyak contoh bisa dilihat.
Laki-laki tidak merasa kalau dirinya sebenarnya menjadi budak kaum wanita. Dan
mereka tidak merasakannya, atau tidak ambil peduli. Hanya saja mereka terlalu
angkuh untuk mengakui. Dan biasanya, kaum wanita yang menjadi sasaran
keangkuhan laki-laki. Tapi mendadak saja tawa mereka berhenti ketika mendengar
jeritan panjang melengking tinggi. Sejenak mereka saling pandang ,lalu sama-sama
melompat bangkit berdiri.
'"Ayah...," desis Teruna.
"Lasini...," desis Rangga.
Tanpa berkata lagi, mereka langsung melesat
meninggalkan tempat itu. Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam
sekejap saja sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
***
Rangga terpaku menyaksikan pondok kecil itu sudah
hangus terbakar. Sedangkan disekitarnya ada sekitar dua puluh mayat
bergelimpangan. Sementara Teruna melangkah pelahan-lahan mendekati pondok yang
sudah jadi bara itu. Matanya terbeliak memperhatikan mayat-mayat yang
bergelimpangan disekitarnya. Bau anyir darah sangat menusuk hidung, dihembus
angin yang agak kencang.
"Ayah...," desis Teruna pelahan, agak
tersendat suaranya.
Teruna membalikkan satu persatu mayat yang
bergelimpangan. Tapi setelah semua diperiksa, tidak ada satu mayatpun yang
dikenalnya. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada
tanda-tanda kehidupan disekitamya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu
tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda berkilat yang bentuknya seperti sebuah
sabuk terbuat dari emas. Rangga menjumput benda itu. Dan memang, ternyata itu
sebuah sabuk yang terbuat dari emas.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan disekitaenya. Tak ada satu mayatpun yang mengenakan
sabuk emas ini. Kembali Rangga mengamati sabuk emas di tangannya. Pada saat
itu, Teruna datang menghampiri sambil membawa sebatang anak panah. Dipangkalnya
tergulung selembar daun lontar terikat pita berwarna merah darah.
"Aku temukan ini tertancap dipohon,"
jelas Teruna seraya menyodorkan anak panah itu pada Rangga.
Teruna juga memandangi sabuk emas yang berada
ditangan Pendekar Rajawali Sakti. "Apa itu?" tanyaTeruna.
Rangga menyodorkan sabuk emas itu, dan Teruna
langsung menerimanya. Sedangkan dia sendiri menerima anak panah yang disodorkan
padanya. Sementara Teruna mengamati sabuk emas itu, Rangga membuka gulungan
daun lontar pada anak panah. Hanya ada sebaris kalimat, tapi cukup jelas
maksudnya.
"JIKA INGIN MEREKA SELAMAT, DATANG KE PUNCAK
BUKIT SANGU"
Rangga menunjukkan tulisan didaun lontar pada
Teruna yang langsung membacanya. Seketika wajah pemuda itu memerah setelah
membacanya. Di remasnya daun itu hingga hancur jadi tepung. Sebentar mereka
hanya berdiam diri, dan saling berpandangan saja.
"Apa yang harus kita lakukan, Rangga?"
tanya Teruna.
"Aku yakin orang itu hanya memerlukan aku
saja, Teruna," sahut Rangga.
"Aku benar-benar telah menyulitkan mu, Rangga.
Tidak seharusnya kau kulibatkan terlalu jauh begini," keluh Teruna
menyesali.
Rangga menepuk pundak pemuda itu, lalu tersenyum
seakan-akan ingin memberi ketabahan pada Teruna. Namun wajah pemuda itu begitu
murung. Teruna benar-benar menyesali akan semua yang telah terjadi. Semua ini
akibat perbuatannya. Kalau saja kata-kata ayahnya dituruti, tentu tidak akan
terjadi semua ini.
Mereka sama-sama memandang Puncak Bukit Sangu yang
selalu terselimut kabut tebal. Cukup jelas terlihat dari tempat ini, tapi bukit
itu cukup jauh jaraknya. Paling tidak memerlukan tiga hari tiga malam perjalanan
untuk sampai kesana. Tapi, Rangga tidak ingin terlambat. Hanya saja, Pendekar
Rajawali Sakti tidak mungkin bisa memanggil Rajawali Putih karena ada Teruna
disini.
"Dimana kudamu, Teruna?" tanya Rangga.
"Ada didekat sungai. Mudah-mudahan saja mereka
tidak mengambilnya," sahutTeruna.
"Pergilah dulu kesana, nanti aku
menyusul," ujar Rangga.
"Maksudmu...?" Teruna ingin ketegasan.
"Kau pergi lebih dahulu ke Bukit Sangu, kita
bertemu disana," jelas Rangga.
"Edan...!" dengus Teruna.
"Kenapa...? Bukankah mereka menginginkan kita
pergi kesana? lngat, Teruna. Keselamatan ayahmu tergantung padamu sendiri,
meskipun sebenarnya mereka menginginkan diriku," kilah Rangga.
"Tidak Rangga! Yang mereka inginkan adalah
nyawaku, bukan nyawamu!" sentak Teruna tegas.
Rangga mengerutkan keningnya. Meskipun sebenarnya
Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menebak tapi masih belum jelas apa persoalan
yang sebenarnya. Mereka memang pernah bersama-sama ketika sekelompok orang
mengejar-ngejar Paria. istri pemuda itu. Rangga sendiri tidak tahu, mengapa
mereka menginginkan Paria?
Dan setelah keadaan jadi tenang, Teruna meminta
Rangga untuk menemukan ayahnya dan membawanya pada mereka berdua ditempat yang
sudah ditentukan. Kini setelah Pendekar Rajawali Sakti itu bertemu Ki Rabul, muncul
lagi persoalan yang sulit dimengerti. Namun Rangga sudah menduga kalau semua
persoalan ini tentu ada kaitannya dengan orang-orang yang mengejar-ngejar Patia
waktu itu.
"Maaf, Rangga. Bukannya aku tidak menghargai
semua yang kau lakukan padaku. Tapi rasanya, sudah saatnya aku harus menjadi
seorang laki-laki," tegas Teruna.
Setelah berkata demikian, Teruna langsung berlari
cepat meninggalkan tempat itu. Sedangkan Rangga masih diam saja, termenung
memandangi punggung pemuda yang semakin jauh, dan menghilang dibalik rimbunnya
pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berdiri mematung, meskipun Teruna
sudah tak terlihat lagi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas
berat. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan langkahnya meninggalkan
tempat itu. Namun belum juga jauh berjalan, mendadak saja sebuah bayangan
berkelebat cepat kearahnya. Tahu-tahu didepan Rangga sudah berdiri seorang
perempuan muda dan cantik, mengenakan baju ketat berwarna hitam legam.
Kepalanya juga mengenakan kain berwarna hitam. Rambutnya yang panjang dibiarkan
terurai melewati bahunya.
Rangga menghentikan langkahnya. Diamatinya wanita
itu dalam-dalam. Wanita itu bersenjatakan dua buah pedang yang gagangnya
berbentuk kepala seekor naga, menyembul keluar dari balik punggungnya. Rangga
tidak tahu, siapa wanita ini, dan apa maksudnya menghadang.
"Kau yang bemama Pendekar Rajawali
Sakti?" tanya wanita itu dengan suaranya yang dingin, namun masih
terdengar kelembutannya.
"Benar. Dan kau siapa?" sahut Rangga
langsung balik bertanya.
"Kau boleh memanggilku Putri Naga Hitam,"
sahut wanita itu memperkenalkan diri.
"Maaf. Rasanya, kita belum pernah berjumpa.
Apa maksudmu menghadang jalanku?" tanya Rangga.
"Kau bisa memperoleh jawabannya dineraka
nanti! Hiyaaat..!"
"Heii...! Tunggu...!" sentak Rangga.
Tapi wanita cantik yang mengaku berjuluk Putri Naga
Hitam itu sudah lebih dahulu menyerang dengan cepat. Dua pukulan beruntun cepat
dilontarkan dengan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali
Rangga meliukkan tubuhnya menghindari serangan wanita berbaju hitam itu.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti melakukan
sesuatu lagi, satu tendangan keras yang dilontarkan Putri Naga Hitam telak
menghantam dadanya.
"Akh...!" Rangga memekik keras tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti terjajar kebelakang. Seketika dadanya terasa sesak, dan
napasnya tersengal. Belum lagi bola matanya seperti berair, berkunang-kunang.
Tendangan wanita itu cukup keras, karena mengandung tenaga dalam tinggi. Kalau
saja yang terkena tendangan itu bukan Pendekar Rajawali Sakti, mungkin sudah
tergeletak jadi mayat. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengalami
sedikit sesak napas saja.
"Hsss.... Hih!"
Rangga menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Juga segera dikerahkan hawa murni untuk mengusir
rasa sesak yang melanda dadanya. Sebentar digerak-gerakkan tangannya didepan
dada, kemudian langsung bersiap menerima serangan selanjutnya.
"Hm... Ternyata kau kedot juga, Pendekar
Rajawali Sakti!" dengus Putri Naga Hitam.
Rangga hanya menggumam sedikit. Matanya tajam
mengamati setiap gerakan kaki wanita berbaju hitam yang bergeser menyusur tanah
ke arah samping kanan. Ringan sekali gerakannya. Tak ada suara sedikitpun
terdengar, saat kakinya menyusur tanah.
"Bersiaplah! Hiyaaa...!"
"Hup!" Rangga langsung melompat keatas
disertai pengerahan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tepat pada saat Putri
Naga Hitam melancarkan serangan lewat lontaran tiga pukulan beruntun. Hasilnya,
serangan gadis itu lewat dibawah kaki Rangga. Dan sebelum lawan sempat memberi
serangan kembali, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya hingga
kepalanya berada dibawah. Secepat itu pula dikibaskan tangannya ke arah kepala
Putri Naga Hitam.
Wuk! Wuk!
Tangan Rangga mengibas dua kali, mengarah kekepala
wanita berbaju hitam ketat itu. Namun tangkas sekali Putri Naga Hitam
menghindarinya dengan sedikit merundukkan kepala. Pada saat itu, segera dicabut
pedangnya dari punggung, dan langsung dikibaskan keatas kepala Pendekar
Rajawali Sakti.
"Yeaaah....!"
"Uts...!" Cepat-cepat Rangga melentingkan
tubuh, dan berputaran dua kali di udara. Dengan manis sekali Pendekar Rajawali
Sakti mendarat sekitar lima langkah didepan Putri Naga Hitam. Namun sebelum
bisa berdiri tegak, wanita berbaju hitam ketat itu sudah kembali ganas
menyerangnya. Terlebih lagi sekarang ini memegang dua buah senjata pedang yang
bentuk dan ukurannya sama persis.
Serangan-serangan yang dilakukan Putri Naga Hitam
semakin dahsyat dan berbahaya. Kedua pedangnya berkelebat mengurung setiap gerak
Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu, lawannya yang tidak menggunakan senjata,
belum juga kelihatan terdesak. Sama sekali wanita itu tidak peduli, apakah
Rangga menggunakan senjata atau tidak. Yang penting, lawannya harus mati! Dia
terus saja melancarkan serangan lewat jurus-jurus yang berganti-ganti dengan
cepat.
Semakin lama, pertarungan itu berjalan semakin
cepat dan dahsyat. Tempat sekitar pertarungan jadi porak-poranda akibat terkena
gempuran-gempuran yang luput dari sasaran. Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan
tak terasa, mereka bertarung sudahmelewati lebih dari dua puluh jurus. Namun
sampai sejauh itu, Rangga belum juga menggunakan senjata andalannya. Dan
herannya, Putri Naga Hitam belum juga mampu mendesak.
Tiba-tiba saja" Putri Naga Hitam melentingkan
tubuhnya kebelakang, keluar dari arena pertarungan. Disilangkan sepasang
pedangnya didepan dada. Sorot matanya begitu tajam menusuk. Keringat bercucuran
diwajah dan lehernya. Baju hitam yang begitu ketat semakin terasa ketat karena
keringat. Rangga tidak meneruskan pertarungannya. Dia juga berhenti, namun
sikapnya masih tetap waspada. Bagaimanapun juga, Pendekar Rajawali Sakti
mengakui kehebatan gadis berbaju hitam yang berjuluk Putri Naga Hitam itu.
Belum pernah pemuda berbaju rompi putih itu mendapatkan lawan seorang wanita
muda begitu tangguh, sehingga harus memeras tenaga untuk menandinginya.
Beberapa saat mereka hanya saling pandang saja sambil mengatur pernapasan.
"Kuakui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi aku ingin tahu, apakah kau mampu menandingi aji Naga Kembar,"
ancam Putri Naga Hitam.
"Hm, silakan," sambut Rangga kalem.
"Hooop...!"
Putri Naga Hitam mengangkat pedangnya tinggi-tinggi
keatas kepala, lalu pelahan-lahan diturunkan hingga sejajar dada. Sebentar
kemudian sepasang pedangnya dibenturkan.
Tring!
Rangga jadi berkernyit keningnya, melihat pedang
yang semula berwarna keperakan berkilat itu mendadak jadi hitam legam.
"Hm...."
Melihat sepasang pedang yang kini berubah warnanya
jadi hitam, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mencabut pedangnya. Seketika
cahaya biru berkilau menyemburat memancar dari pedang itu. Rangga menyilangkan
pedangnya didepan dada, lalu pelahan telapak tangan kirinya menggosok mata
pedang itu. Seketika cahaya biru yang memancar dari pedangnya semakin
menyilaukan. Dan begitu Rangga menghentakkan pedangnya kedepan. Cahaya biru itu
menggumpal diujung mata pedang, membentuk bulatan seperti bola sebesar kepala manusia
dewasa.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Putri Naga
Hitam melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pedangnya tertuju lurus
kearah dada lawan.
Sementara Rangga dengan cepat sekali menyilangkan
kembali pedangnya didepan dada. Lalu....
"Aji Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga
keras.
Tepat ketika sepasang pedang yang berwarna hitam
mengepulkan asap itu mengibas bagaikan kilat, secepat itu pula Rangga
mengadukan pedangnya.
Trang!
Tiga buah pedang beradu secara bersamaan,
menimbulkan suara mendenting nyaring, menggema memekakkan telinga. Ketiga
pedang itu menempel erat, seperti tidak bisa dilepaskan lagi.
"Heh...?!" Putri Naga Hitam terkejut.
Cepat-cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan kedua pedangnya yang
menempel erat pada pedang Pendekar Rajawali Sakti. Namun meskipun sudah
menariknya kuat-kuat, pedang itu tidak mau terlepas juga. Bahkan semakin lekat
menempel. Putri Naga Hitam jadi terbeliak, mana kala mencoba melepaskan
pegangan pada pedangnya. Tangannya seperti terpatri, tak bisa dilepaskan lagi.
"Heh...?! Ilmu apa yang dipakainya...?"
sentak Putri Naga Hitam dalam hati.
Beberapa kali wanita itu mencoba melepaskan
pedangnya. Namun setiap kali mencoba mengerahkan kekuatan tenaga dalam, setiap
kali pula darahnya terasa mendesir cepat. Bahkan tenaganya juga terasa
tersedot. Putri Naga Hitam semakin terperanjat karena merasakan tenaganya terus
tersedot. Padahal seluruh tubuhnya sudah dilemaskan.
"Setan...!" dengus Putri Naga Hitam
sengit. Sementara cahaya biru yang menggumpal, mulai bergerak menyelimuti
pedang hitam kembar itu. Gerakan cahaya biru itu memang lambat, namun semakin
menyelimuti pedang hitam yang menempel erat pada mata Pedang Rajawali Sakti
dengan pasti.
"Kau masih punya kesempatan, Putri Naga Hitam,"
kata Rangga seraya menahan arus sinar biru yang keluar merambat dari pedangnya.
"Huh...!" Putri Naga Hitam mendengus
sengit.
"Aku tahu. Tidak ada gunanya mendesakmu, Putri
Naga Hitam. Tapi aku masih memberi kesempatan padamu untuk berpikir. Aku
memberi pilihan padamu," kata Rangga lagi.
Putri Naga Hitam hanya diam saja. Meskipun tidak
lati merasakan adanya sedotan tenaga, tapi dia belum juga bisa melepaskan
pedangnya. Rupanya tawaran Pendekar Rajawali Sakti itu menjadi bahan
pemikirannya juga, namun cukup lama untuk mengambil keputusan.
LIMA
"Baik...! Aku menyerah...!" seru Putri
Naga Hitam ketika kembali merasakan tenaganya tersedot.
"Bagus! Tapi apa jaminanmu agar bisa
kupercaya?" sambut Rangga dingin.
"Kedua pedangku," sahut Putri Naga Hitam.
Rangga tersenyum, lalu tiba-tiba saja menghentakkan
tangannya. Seketika itu juga tubuh Putri Naga Hitam tersentak, dan kedua
pedangnya terlepas dari tangan. Pendekar Rajawali Sakti mengambil kedua pedang
milik Putri Naga Hitam yang melekat dipedangnya sendiri. Lalu dimasukkan Pedang
Rajawali Sakti kedalam warangka dipunggung. Sementara sepasang pedang yang tadi
berwarna hitam, kini kembali berwarna keperakan berkilat.
Sementara itu Putri Naga Hitam tampak cemas.
Sepertinya dia kehilangan banyak tenaga ketika melawan gempuran aji Cakra Buana
Sukma yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan matanya begitu sayu
tak bergairah.
"Aku sudah mengaku kalah. Lalu, apa yang kau
inginkan dariku sekarang?" dengus Putri Naga Hitam masih bernada ketus.
"Hanya beberapa jawaban jujur darimu,"
sahut Rangga.
Putri Naga Hitam hanya diam saja. Wajahnya
memberengut. Sinar matanya agak sayu, namun masih mencerminkan ketajaman
seorang gadis yang sedang diliputi kekesalan.
"Sekarang, jawab pertanyaanku dengan Jujur.
Untuk apa kau menghadang dan menyerangku?" tanya Rangga langsung.
"Karena kau manusia iblis yang membunuh ayahku
dan menculik ibuku!" sahut Putri Naga Hitam ketus.
"Aku...?!" Rangga terkejut mendengar
jawaban lantang bernada ketus itu.
"Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu,
Pendekar Iblis!" dengus Putri Naga Hitam lagi.
"Nisanak! Aku tidak tahu siapa dirimu?! Dan
lagi, aku tidak tahu siapa kedua orangtua mu. Dari mana kau peroleh keterangan
sembarangan itu?!" sentak Rangga jadi gusar juga
. "Untuk apa kau tahu?" sinis sekali nada
suara Putri Naga Hitam.
"Kau tidak perlu tanya lagi, Nisanak. Jawab
saja pertanyaanku!" bentak Rangga gusar.
"Kakek Iblis Racun Merah," sahut Putri
Naga Hitam pelan.
"Ibis Racun Merah...," desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu bertanya
lagi, karena langsung memahami persoalannya kini. Ternyata gadis yang mengaku
berjuluk Putri Naga Hitam ini sedang mencari pembunuh ayahnya, dan penculik
ibunya. Dan yang lebih parah lagi, rupanya dia terkena hasutan Iblis Racun
Merah yang pernah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga benar-benar geram terhadap laki-laki tua
berjubah merah dan berambut serba merah itu. Benar-benar licik, Tidak sanggup
menghadapi sendiri, sekarang malah memperalat orang lain untuk membalaskan
dendamnya. Rangga melemparkan sepasang pedang bergagang kepala nagake depan
Putri Naga Hitam. Maka dua pedang itu tepat menancap diujung jari kaki gadis
didepannya.
"Kau boleh pergi mencari pembunuh ayahmu yang
sebenarnya," jelas Rangga datar.
"Hhh! Kau ingin mungkir setelah membunuh
ayahku...?" dengus Putri Naga Hitam sinis.
"Kau masih muda, Nisanak. Cobalah pahami dulu
seluk beluk dunia persilatan. Kuharap kau tidak salah memilih jalan. Kau cukup
tangguh. Sayang kalau memilih jalan yang salah," kata Rangga menasihati.
Putri Naga Hitam tersenyum sinis. Dicabut pedangnya
yang tertancap ditanah, tepat diujung jari kakinya. Lalu dimasukkan kembali
kedalam warangka dipunggung.
"Perlu kau ketahui. Orang yang memberimu
keterangan waktu itu adalah seorang tokoh sesat. Jika ingin tahu tentang
dirinya, aku yakin gurumu bisa memberitahu. Nah, aku ada urusan lain.
Mudah-mudahan pembunuh ayah mu bisa kau temukan," kata Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Rangga, sehingga sebelum Putri Naga Hitam menyadari, pemuda berbaju
rompi putih itu sudah lenyap dari pandangan."
Hei, tung...!"
Teriakan Putri Naga Hitam terputus, karena Rangga
sudah tidak terlihat lagi. Entah pergi kemana pemuda berbaju rompi putih itu.
Putri Naga Hitam mengedarkan pandangannya berkeliling, namun Pendekar Rajawali
Sakti itu benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Dihentakkan kakinya kuat-kuat
ketanah, dan wajahnya memberengut
"Huh...! Apakah dia memang bukan pembunuh
ayahku...? Lalu siapa sebenarnya pembunuh ayahku..?" Putri Naga Hitam
bertanya-tanya sendiri.
Agak lama juga wanita berbaju serba hitam itu
berdiri mematung, memikirkan kata-kata Rangga yang demikian tegas. Hatinya jadi
ragu-ragu juga, apakah mungkin Pendekar Rajawali Sakti yang membunuh
ayahnya?Putri Naga Hitam baru menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti masih
muda. Mungkin baru berusia sekitar dua puluh lima tahun, atau mungkin tiga
puluh tahun. Tidak lebih. Rasanya mustahil kalau pemuda berbaju rompi putih itu
adalah pembunuh ayahnya.
Kini Putri Naga Hitam baru teringat. Ketika
peristiwa itu berlangsung, usianya baru sekitar dua tahun. Sedangkan sekarang
ini, dia sudah berumur sembilan belas tahun Rasanya tidak mungkin kalau
pembunuh ayahnya masih muda. Jadi sekarang, paling tidak sudah berusia sekitar
lima puluh tahun. Ya.... Dia sendiri tahu kalau ayahnya dibunuh dari gurunya
yang juga pamannya, adik dari ayahnya
"Hhh...! Aku harus bertanya pada Paman!"
dengus Putri Naga Hitam. Wanita cantik berbaju serba hitam itu langsung melesat
pergi. Cepat sekali gerakannya, dan sangat ringan. Sebentar saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
***
Sementara itu, Rangga sudah berada jauh dari tempat
tinggal Lasini yang kini sudah hancur jadi debu. Rangga berada ditengah-tengah
sebuah lapangan yang berada dalam sebuah hutan. Lapangan rumput yang subur, dan
tidak begitu luas. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak keatas,
lalu...
"Suiiit..!"
Rangga bersiul nyaring melengking tinggi, bernada
aneh ditelinga. Siulannya itu memecah kesegala penjuru, dan lenyap terbawa
angin yang berhembus agak kencang. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu
menunggu, kemudian kembali bersiul nyaring dan panjang. Kepalanya tetap
mendongak keatas, menatap langit cerah yang dihiasi sedikit awan menggantung.
Cukup lama juga Rangga berdiri tegak di tengah hamparan rumput itu. Dan
kepalanya terus terdongak keatas, memandang kesatu arah.
Bibirnya menyunggingkan senyuman ketika melihat
satu titik bercahaya keperakan diangkasa. Perlahan, titik keperakan itu mem
besar, dan semakin jelas bentuknya. Ternyata itu adalah seekor burung berbulu
putih keperakan. Burung itu meluncur cepat bagaikan kilat, sehingga sebentar
saja sudah begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Rajawali Putih, cepat kesini...!"
panggil Rangga seraya melambaikan tangannya.
"Khraaaghk..!"
Suara burung Rajawali raksasa itu begitu keras dan
terdengar serak. Bagi telinga yang mendengarnya pasti akan terasa sakit,
seakan-akan ingin pecah. Namun Rangga malah tersenyum seakan-akan, suara buruk
yang jelek Itu sangat merdu ditelinganya. Burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan Itu mendarat tepat didepan Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas
dihampiri dan dipeluknya leher burung raksasa itu dengan perasaan rindu
mendalam.
"Sudah lama sekali kita tidak bertemu,
Rajawali Putih. Aku rindu sekali padamu...," ujar Rangga lembut.
"Khrrrk..." Rajawali Putih mengkirik
pelahan. Sepertinya, burung itu juga ingin meluapkan kerinduannya pada pemuda
berbaju rompi putih itu. Di desak-desakkan kepalanya, dan digosok-gosokkan
didada Rangga. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti itu menepuk leher burung raksasa
itu, kemudian melepaskan pelukannya.
"Tolong antarkan aku ke Puncak Bukit
Sangu," kata Rangga seraya mengelus-elus leher burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
"Ya! Kita akan menghadapi sesuatu. Tapi kurasa
kau tidak perlu ikut serta, Rajawali Putih," kata Rangga seakan-akan
mengerti suara serak burung raksasa itu. Kepala burung raksasa itu
terangguk-angguk. Rangga tersenyum, kemudian melompat naik. Ringan sekali,
dengan sekali lesatan saja sudah hinggap di punggung burung rajawali putih
raksasa itu.
"Ayo, Rajawali Putih. Kita berangkat
sekarang," ajak Rangga setelah berada dipunggung burung raksasa itu.
"Khraghk...!"
Hanya beberapa kali kepakan sayapnya saja, Rajawali
Putih itu sudah melambung tinggi ke angkasa bersama Pendekar Rajawali Sakti
dipunggungnya. Rangga menunjuk kearah puncak bukit yang terselimut kabut tebal.
"Kesana, Rajawali Putih...!." seru Rangga
memberitahu.
"Khraaaghk...!"
Bagai kilat, Rajawali Putih meluncur deras kearah
Bukit Sangu yang ditunjuk Rangga. Deru angin begitu keras, membuat telinga
Pendekar Rajawali Sakti itu serasa tersumbat. Namun karena terbiasa mengendarai
burung raksasa ini, semua itu tidak ada masalah buat Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak ada satu ilmupun yang digunakan Rangga dalam mengendarai Rajawali Putih.
Ini semua karena kebiasaan sejak kecil. Memang, Rangga hidup dan dibesarkan
oleh burung raksasa ini. Bahkan semua ilmu yang didapatnya juga karena
bimbingan burung itu.
Sama sekali Rangga tidak pernah menganggap Rajawali
Putih hanya sekadar seekor binatang raksasa. Bahkan Rajawali Putih dianggap
sebagai pengganti kedua orangtuanya, sekaligus gurunya. Meskipun, sebagian
ilmunya didapat dari pemilik rajawali ini yang terdahulu, yang sudah meninggal
seratus tahun lebih yang lalu. Bahkan Rangga juga mendapat beberapa jurus serta
ilmu kesaktian dari sahabat mendiang gurunya yang bernama Satria Naga Emas.
Namun ilmu-ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas jarang sekali digunakan.
Memang, Pendekar Rajawali Sakti lebih senang dengan jurus-jurus Rajawali Sakti.
"Kita turun disana, Rajawali Putih...!"
seru Rangga seraya menunjuk sebuah dataran yang tidak seberapa luas dipuncak
bukit berkabut ini. Sebuah dataran yang terdiri dari batu-batuan. Tanah
disekitarnya hampir tertutup kerikil dan pasir.
"Khraaaghk...!"
Rajawali Putih menukik turun dengan kecepatan
tinggi, kemudian manis sekali mendarat ditanah berbatu. Rangga langsung
melompat turun dari punggung rajawali raksasa itu. Sebentar di amati
sekitarnya, lalu memandang pada burung raksasa itu.
"Terimakasih, Rajawali," ucap Rangga.
"Khreeeghk...!"
Rangga mengerutkan keningnya mendengar suara
Rajawali Putih mengkirik lirih. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi burung
raksasa itu dalam-dalam. Rajawali Putih menyorongkan kepalanya, dan Rangga
merengkuh kedalam pelukannya.
"Ada apa, Rajawali Putih? Tidak biasanya kau
bersikap seperti ini," kata Rangga.
"Khrrrhk...."
"Jangan cemas, Rajawali Putih. Kita sudah
biasa melakukan hal seperti ini sebelumnya," kata Rangga bisa merasakan
adanya kecemasan dihati burung raksasa itu. Rajawali Putih menggeleng-gelengkan
kepalanya, setelah Rangga melepaskan pelukan. Pemuda berbaju rompi putih itu
semakin berkerut keningnya. Sungguh sulit dimengerti sikap Rajawali Putihkali
ini. Belum pernah burung raksasa itu terlihat seperti ini. Kelihatannya begitu
cemas, seakan-akan tidak ingin ditinggalkan.
"Ada apa, Rajawali Putih?" tanya Rangga
lembut
"Khrrr...."
Rajawali Putih mengembangkan sayap, lalu sebelah
kakinya menghentak ketanah berbatu. Kepalanya dijulurkan kedepan dan paruhnya
terbuka lebar. Namun, tak ada suara yang keluar. Rangga mengamati setiap
gerakan yang dilakukan burung raksasa itu.
"Rajawali Putih. Saat ini aku sedang
menyelesaikan satu masalah yang cukup berat. Aku janji, setelah semua ini
selesai, pasti akan memperhatikan keinginanmu," bujuk Rangga.
"Khraghk...!"
"lya. Ku usahakan tidak akan lama," kata
Rangga lagi.
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya sambil melonjak
seperti seorang bocah yang kesenangan karena mendapatkan kembang gula. Rangga
jadi tersenyum, meskipun dalam sorot matanya mengandung segudang tanda tanya.
Sungguh, kali ini Pendekar Rajawali Sakti mendapatkan kesulitan untuk memahami
maksud burung raksasa itu.
"Nah! Sekarang, pergilah .Aku tidak ingin ada
orang lain melihat kehadiranmu. Kau bisa mengerti, bukan?" kata Rangga
lagi.
Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya,
kemudian mengepakkan sayapnya. Burung itu langsung meluncur, membumbung tinggi
keangkasa. Sebentar saja burung raksasa itu sudah lenyap di angkasa. Rangga
masih memandangi kepergian burung raksasa itu beberapa saat.
"Hm..., sikap Rajawali Putih aneh sekali kali
ini. Ada apa, ya...?" Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Namun segera dilupakannya sejenak persoalan burung
rajawali raksasa itu. Saat ini Pendekar Rajawali Sakti harus memusatkan
perhatiannya pada permasalahan yang sedang dihadapi. Ki Rabul, Lasini, dan
adiknya harus ditemukan secepat mungkin, sebelum mendapat celaka. Rangga
berdiri tegak ditengah-tengah Puncak Bukit Sangu ini. Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar tidak tahu, dimana harus menunggu. Karena, secarik daun lontar yang
memintanya kesini, tidak menyebutkan tempatnya. Tulisan itu hanya mengatakan,
diaharus datang ke Puncak Bukit Sangu. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih
itu sudah berada disini. Tapi suasana di puncak bukit ini begitu sunyi, tak
terlihat adanya satu kehidupan pun.
"Aku rasa, Inilah Puncak Bukit Sangu...,"
gumam Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali mengedarkan
pandangannya kesekeding. Sekitarnya benar-benar sunyi. Tapi mendadak saja...
Slap!
"Heh...! Uts!" Rangga tersentak kaget.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan tangannya
didepan dada. Tepat pada saat itu, sebuah benda yang meluncur deras kearahnya,
telah berada didepan dadanya.
Tap!
Sejenak Rangga memandangi sebatang ruyung kecil
yang kini terselip diujung kedua jarinya. Ruyung berwarna keperakan yang bisa
saja mencabut nyawa nyata di Pendekar Rajawali Sakti melirik arah datangnya
benda yang selalu digunakan sebagai senjata rahasia ini. Kemudian....
"Hih...!"
Sambil mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai
taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti melemparkan senjata kecil itu
kearah datangnya tadi. Senjata berwarna keperakan itu melesa tcepat bagai
kilat, melebihi kecepatannya semula.
" Aaa...!" Srak!
Bersamaan terdengarnya suara jeritan melengking
tinggi, dari dalam sebuah semak belukar keluar sesosok tubuh yang langsung
ambruk menggelepar ditanah. Pada lehernya tertancap sebuah ruyung kecil
berwarna keperakan. Rangga langsung melompat kearah soso ktubuh yang tidak
bergerak lagi. Namun sebelum sampai, mendadak saja beberapa benda berwarna
keperakan berhamburan kearahnya.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya, dan
berputaran diudara, menghindari serangan gelap itu. Pendekar Rajawali Sakti
kembali mendarat halus, begitu senjata-senjata ruyung keperakan tidak lagi
menghujaninya. Segera diedarkan pandangannya kesekeliling dengan tajam. Tadi
sempat terlihat kalau senjata-senjata kecil itu datang dari segala arah. Saat
itu juga Rangga sadar kalau dirinya sudah terkepung dari segala arah. Dan sudah
pasti kedatangannya memang sudah di tunggu-tunggu.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung waspada penuh.
Mata dan telinganya dipasang tajam-tajam. Bahkan juga menggunakan aji Pembeda
Cerak dan Suara. Dengan ajian itu, hatinya semakin yakin kalau disekelilingnya
sudah mengepung puluhan orang.
"Siapapun kalian, aku sudah memenuhi undangan
ini! Keluarlah kalian...!" seru Rangga lantang.
Pendekar Rajawali Sakti menyalurkan tenaga dalam
pada suaranya tadi. Sehingga, suaranya terdengar keras dan menggema, bahkan
sampai mendebarkan jantung. Pemuda berbaju rompi putih itu tersenyum begitu
mendengar erangan lirih dari beberapa penjuru. Dia merasa yakin kalau suara
yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam itu membuat telinga beberapa
orang yang mengepungnya jadi sakit.
"Hahaha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa lepas menggelegar
dan terbahak-bahak. Rangga mencoba mencari sumber suara yang datang bagaikan
dari segala penjuru mata angia Pendekar Rajawali Sakti itu langsung tahu, kalau
pemilik suara itu memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi sekali. Bahkan mungkin
sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Hm...," Rangga bergumam perlahan. Dan bersamaan
hilangnya suara tawa itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat. Dan
tahu-tahu didepan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun.
Dia mengenakan baju yang sangat indah, dari bahan
sutra halus. Meskipun rambutnya sudah berwarna dua, namun wajah dan bentuk
tubuhnya masih kelihatan segar. Beberapa saat Rangga mengamati laki-laki
setengah baya itu.
"Kau cukup jantan juga, Pendekar Rajawali
Sakti. Aku senang kau bisa memenuhi undanganku ini. Tapi tidak kuduga akan
secepat ini kedatanganmu," kata laki-laki setengah baya itu.
"Siapa kau?! Apa maksudmu mengundangku
kesini?!" tanya Rangga tegas.
"Aku Barada. Mengundangmu kesini, karena kau
terlalu banyak ikut campur urusanku!" sahut laki-laki setengah baya itu
tajam.
"Dimana kau sembunyikan mereka?" tanya
Rangga langsung.
"Kau datang terlalu cepat, Pendekar Rajawali
Sakti. Sehingga kau tidak bisa bertemu mereka sekarang ini. Kau harus menunggu,
paling tidak tiga hari. Mereka masih dalam perjalanan kesini," sahut
Barada kalem.
Rangga tertegun. Baru disadari kalau perjalanan
dari pondok Lasini ke Puncak Bukit Sangu ini memakan waktu tiga hari lamanya.
Pendekar Rajawali Sakti bisa datang secepat ini juga karena menunggang Rajawali
Putih.
"Jika kau sabar menunggu, sebaiknya tunggu
saja dipondok ku," ajak Barada.
"Hmm...," Rangga menggumam pelahan.
"Kujamin, dua temanmu dan seorang bocah kecil
tidak akan mengalami kekurangan sedikitpun. Tapi itu semua tergantung dari kau
sendiri," jelas Barada lagi.
"Memang itu sebaiknya!" dengus Rangga.
Perlu kau ketahui, Pendekar Rajawali Sakti. Aku hanya menginginkan Satria Baja
Hitam. Dan aku tidak ingin kau menghalang-halangi, karena bukan urusanmu,"
kata Barada lagi setengah mengancam.
"Maaf. Aku tidak kenal orang yang berjuluk
Satria Baja Hitam," kata Rangga.
"Hahaha...!" Barada malah tertawa
terbahak-bahak.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Dia memang tidak
tahu, siapa Satria Baja Hitam yang dimaksudkan Barada. Pendekar Rajawali Sakti
itu jadi menduga-duga, siapa sebenarnya Satria Baja Hitam itu?
***
ENAM
Rangga duduk bersila dalam posisi bersemadi.
Kelopak matanya setengah terpejam, namun tidak menghilangkan kewaspadaannya.
Mata dan telinganya tetap dipasang tajam. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau
disekelilingnya terdapat puluhan orang yang bersembunyi dibalik kerimbunan
semak dan pepohonan. Sudah dua hari Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila
dibawah kerindangan pohon ini, namun yang ditunggunya belum juga muncul. Dan
memang, dia sudah tahu kalau esok hari mereka baru tiba dipuncak bukit ini. Dan
ini berarti harus menunggu satu hari lagi. Itupun jika tidak terjadi sesuatu
dijalan.
"Hehehe...."
Rangga membuka matanya saat mendengar tawa terkekeh
yang sudah dikenalnya sejak berada dipuncak bukit ini. Matanya memandang
seorang laki-laki setengah bayayang bemama Barada. Laki-laki itu duduk bersila
didepan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya yang tipis dan sedikit berkumis Itu
selalu menyunggingkan senyuman.
"Seharusnya kau tinggal dipondok, Pendekar
Rajawali Sakti. Udara disini jika malam hari terlalu dingin. Aku khawatir, pada
saatnya tiba kau tidak mampu melakukan sesuatu," kata Barada dengan bibir
terus menyunggingkan senyuman tipis.
"Apa maksudmu dengan kata-kata melakukan
sesuatu, Barada?" tanya Rangga. Nada suaranya dingin, sedingin udara di
Puncak Bukit Sangu ini.
"Hehehe... Seharusnya kau sudah bisa mengerti,
Pendekar Rajawali Sakti," sahut Barada diiringi suara tawanya yang
terkekeh.
"Aku tidak suka bermain teka-teki, Barada.
Jika kau merencanakan kelicikan, aku tidak akan banyak bicara denganmu. Dan kau
tentu sudah bisa mengerti maksudku," tegas Rangga setengah mengancam.
"Sebenarnya ini bukan kelicikan, Pendekar
Rajawali Sakti. Dan aku tidak pernah punya rencana seperti ini, sebelum
kemunculanmu disekitar Bukit Sangu ini. Yaaa.... Tadinya aku sudah ingin
melupakan keterlibatanmu pada persoalan keluargaku. Tapi karena kau tersasar
sampai kesini, dan sekarang juga melibatkan diri, maka aku tidak punya pilihan
lain," kata Barada dengan suara tenang.
Rangga terdiam seraya memandangi bola mata
laki-laki setengah baya yang duduk bersila didepannya. Dicobanya untuk mencerna
kata-kata yang diucapkan Barada barusan. Memang penuh teka-teki yang terasa
sukar dipecahkan. Namun berkat kecerdasan otaknya, pelahan-lahan Rangga dapat
mengetahuinya, meskipun masih dalam tahap menebak.
"Ada hubungan apa antara kau dengan
Paria?" tanya Rangga langsung.
"Kenapa kau tidak tanyakan pada anak durhaka
itu?!" bentak Barada ketus.
Seketika itu juga wajah Barada berubah memerah dan
menegang. Nama Paria yang disebut Pendekar Rajawali Sakti barusan membuat
wajahnya langsung memerah. Perubahan yang cepat dan tiba-tiba itu sempat
mendapat perhatian Rangga. Hal ini membuat pemuda berbaju rompi itu harus
berpikir keras dengan berbagai macam dugaan.
"Anak Muda! Sudah kuperingatkan, agar kau
tidak terlalu jauh melibatkan diri. Kau sudah cukup merepotkan aku. Tapi jika
tetap keras kepala, maka aku tidak segan-segan membandingkan kekerasan kepalamu
dengan batu ini!" Sambil berkata demikia, Barada menghantamkan pukulan
padasebongkah batu yang berada disampingnya. Batu itu langsung hancur
berkeping-keping. Tapi Rangga tidak terkejut. Pendekar Rajawali Sakti sudah
biasa menyaksikan kebolehan seorang tokoh rimba persilatan dalam memecahkan
batu hanya dengan sekali pukul saja.
"lngat kata-kata itu, Pendekar Rajawali
Sakti!" dengus Barada.
Setelah berkata demikian, Barada langsung bangkit
berdiri dan berbalik. Laki-laki setengah baya itu segera berjalan cepat
meninggalkan Rangga yang hanya tersenyum saja memperhatikan. Pemuda berbaju
rompi putih itu masih duduk tenang. Sedangkan Barada sudah lenyap dibalik pintu
sebuah pondok kecil yang terletak cukup jauh dari tempat itu. Namun pondok itu
terlihat jelas.
"Hm.... Apakah dia ayahnya Paria? Dan orang
yang disebut Satria Baja Hitam itu adalah Teruna. Ya.... Kenapa aku jadi bodoh
begini? Sudah jelas kalau Teruna memiliki julukan Satria Baja Hitam!"
gumam Rangga pelahan seorang diri.
Namun Pendekar Rajawali Sakti itu belum merasa
yakin benar akan semua dugaannya barusan. Hampir saja pancingannya tadi
mengenai sasaran. Tapi laki-laki setengah baya itu seperti sudah mengetahui,
dan cepat mengelak dengan kemarahan meluap-luap.
Pada saat Rangga tengah berpikir keras, tiba-tiba
terdengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat Tak lama berselang, muncul seekor
kuda coklat yang ditunggangi seorang laki-laki tua berjubah merah menyala. Dia
langsung menuju kearah pondok. Tapi begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti duduk
bersila dibawah pohon, arah kudanya dibelokkan untuk menghampiri pemuda berbaju
rompi putih itu.
Laki-laki tua berjubah merah yang dikenali Rangga
berjuluk Iblis Racun Merah itu, langsung melompat turun dari punggung kudanya.
Dia berdiri tegak sekitar dua batang tombak jaraknya sambil berkacak pinggang.
Sedangkan Rangga tetap duduk tenang bersila. Bahkan matanya setengah terpejam.
"Hehehe..., ternyata kau sudah lebih dulu
berada disini, Bocah!" kata Iblis Racun Merah seraya terkekeh.
Rangga hanya diam saja tidak menanggapi.
"Kemarin kau boleh merasa menang, tapi
sekarang.... Hiyaaa!"
Tiba-tiba saja laki-laki tua itu mengibaskan
tongkatnya dari atas kebawah, mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti.
Sungguh cepat luar biasa serangan mendadak itu, sehingga membuat Rangga sedikit
terperanjat. Namun sebelum ujung tongkat laki-laki tua berjubah merah itu
menghantam kepala, dengan cepat sekali Rangga menggeser duduknya kesamping,
tanpa bangkit lebih dahulu. Tongkat Iblis Racun Merah menghantam tanah dengan
keras sekali, sehingga membuat permukaan tanah jadi bergetar bagai terjadi
gempa. Pada saat itu, Rangga cepat melompat bangkit berdiri.
"Phuih...!" Iblis Racun Merah
menyemburkan ludahnya.
Rangga berdiri tegak sambil melipatkan tangan
didepan dada. Sedangkan Iblis Racun Merah sudah cepat memutar tongkatnya
didepan dada, bagaikan sebuah baling-baling tertiup angin yang kencang sekali.
Suara putaran tongkat itu menderu-deru seperti badai. Saat itu juga Rangga
merasakan adanya hawa panas menyengat kulit tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Iblis Racun
Merah melompat cepat menerjang. Tongkatnya dikibaskan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi, tepat mengarah kekepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun
dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Rangga berhasil mengelakkan sambaran
tongkat itu. Secepat kilat disentakkan tangannya hendak menangkap tongkat itu.
Namun Iblis Racun Merah sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya, sambil
mengirimkan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat luar biasa.
"Yeaaah...!"
"Uts!
Cepat Rangga menarik mundur perutnya, menghindari
tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu
menggeser kakinya kebelakang beberapa langkah, sehingga terdapat jarak antara
dirinya dengan Iblis Racun Merah. Namun laki-laki tua berjubah merah itu tidak
ingin membiarkan lawan melakukan serangan. Langsung saja dia melompat seraya
mengibaskan tongkatnya mengarah kebeberapa bagian tubuh yang mematikan.
Rupanya pertarungan itu membuat Barada dan beberapa
orang yang berada didalam pondok terkejut Mereka bergegas keluar dari pondok,
dan terkejut begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah menahan
gempuran-gempuran seorang laki-laki tua berjubah merah. Barada dan lima orang
pembantunya segera berlarian menuju ketempat pertarungan itu.
"Berhenti...!" teriak Barada keras
menggelegar. Suara bentakan Barada yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
itu, membuat Iblis Racun Merah menghentikan pertarungannya seketika. Kakek itu
melompat mundur dan berpaling kearah datangnya bentakan menggelegar tadi.
"Barada...! Kenapa kau hentikan
pertarunganku?" dengus Iblis Racun Merah sengit.
"Belum saatnya melakukan pertarungan, Iblis
Racun Merah," sahut Barada seraya menghampiri laki-laki tua berjubah merah
itu.
"Kenapa?" tanya Iblis Racun Merah
memberengut.
"Nanti saja kalau mereka sudah datang semua.
Lagi pula, sasaran kita yang utama bukan dia. Kau harus ingat. Sasaran kita
yang utama adalah Satria Baja Hitam," jelas Barada.
"Tapi bocah edan ini sudah banyak menyusahkan,
Barada."
"Aku tahu. Giliran untuknya ada saatnya
nanti."
"Hm, baiklah. Tapi kau harus ingat, dia
bagianku yang pertama!"
"Aku janji, Iblis Racun Merah."
Iblis Racun Merah kelihatan puas mendengar janji
yang diucapkan Barada. Laki-laki tua itu berpaling menatap tajam kearah Rangga.
Sinar matanya merah membara bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus
seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya
tenang saja sambil melipat tangan didepan dada. Bahkan, kini dia kembali duduk
tenang dibawah pohon dengan sikap bersemadi.
"Huh...!" dengus Iblis Racun Merah
sengit.
"Ayo, Iblis Racun Merah. Kita menunggu didalam
pondok," ajak Barada ramah.
"Ayolah."
Mereka segera melangkah kembali kedalam pondok.
Barada dan Iblis Racun Merah berjalan didepan, diikuti lima orang pembantu
utamal aki-laki setengah baya itu. Tampak Suro yang bertubuh paling besar dan
tegap, sempat melirik sengit Pendekar Rajawali Sakti. Memang, laki-laki
bertubuh tinggi besar itu juga menyimpan dendam pada pemuda berbaju rompi putih
itu.
"Tenang saja. Bagianmu nanti, Suro,"
bisik Sarapat yang berjalan disamping Suro.
"Akan kuhirup darahnya sampai habis!"
dengus Suro menggeram pelan.
"Tapi, Ingat Jantungnya bagianku," bisik
Sarapat lagi.
Suro hanya meringis saja. Mereka tidak lagi bicara,
lalu menghilang didalam pondok. Sementara itu, Rangga hanya tersenyum saja.
Dengan mengerahkan Ilmu Pembeda Gerak dan Suara. Semua percakapan Itu bisa
terdengar. Sempat diperhatikannya orang-orang yang kini sudah menghilang
didalam pondok kecil yang beratapkan daun rumbia.
"Pssst...Pssst..!"
Rangga tersentak ketika telinganya mendengar suara
halus dari arah belakang. Pelahan dipalingkan kepalanya menoleh kebelakang.
Hampir Pendekar Rajawali Sakti terlonjak begitu melihat sebuah kepala sedikit
menyembul dari dalam semak belukar. Seraut wajah yang sangat dikenalinya dengan
baik.
"Mendekat kesini, Rangga...," pelan
sekali suara itu.
Rangga menatap kearah pondok sebentar, kemudian
tanpa mengubah posisi duduknya sedikitpun, digeser tubuhnya mendekati semak
belukar itu. Dan kepala yang menyembul, langsung melesat masuk kedalam semak.
Rangga tetap duduk bersila membelakangi semak belukar itu. Pandangannya lurus
kearah pondok yang berada cukup jauh di depannya.
"Sejak kapan kau sudah sampai kesini,
Teruna?" tanya Rangga berbisik.
"Baru tadi," sahut Teruna yang
bersembunyi didalam semak belukar dibelakang Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kenapa kau tidak langsung muncul?" tanya
Rangga lagi.
"Untuk apa? Biarkan saja mereka berharap
sampai kiamat," sahut Teruna lagi.
"Heh...?! Apa maksudmu...?" sentak Rangga
tidak mengerti.
"Kau tahu, apa yang mereka tunggu?"
Teruna malah bertanya.
"Ayahmu, Lasini, dan Badil."
"Mereka sudah aman disuatu tempat."
Rangga tak bisa lagi menyembunyikan
keterkejutannya. Maka tubuhnya langsung melesat, dan menghilang dibalik semak
belukar. Tapi bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata didalam
semak ini tidak adas eorangpun, kecuali dua sosok mayat yang lehernya koyak
hampir putus. Darah masih mengalir deras dari leher yang terkoyak itu.
"Teruna...," panggil Rangga setengah
berbisik.
Tapi tak ada sahutan sedikitpun. Pendekar Rajawali
Sakti mengedarkan pandangannya dengan tajam. Pada saat itu terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat menyelinap diantara pepohonan yang rapat. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat mengejar
bayangan putih yang diduga bayangan. Teruna.
Rangga berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya
dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Matanya tetap tajam memperhatikan
bayangan putih yang berkelebat cepat menuruni lereng bukit ini. Dan bayangan
putih itu berhenti tepat ditepi sebuah bukit kecil berair jernih yang mengalir
berkelokan bagai ular raksasa melingkari bukit Pendekar Rajawali Sakti kini
telah tiba dibelakang seorang laki-laki berbaju putih yang berdiri tegak
menghadap kesungai. Ketika tubuhnya diputar, maka tampak wajah tampan itu
tersenyum manis menawan.
"Kau harus menjelaskan semua ini,
Teruna," pinta Rangga langsung dengan suara yang begitu dalam.
"Aku berhasil menyusul mereka dilereng bukit.
Tidak sulit untuk mengalahkan mereka yang hanya kroco-kroco saja," jelas
Teruna ringan sekali.
Teruna berjalan menghampiri sebongkah batu yang
tidak seberapa besar, lalu dengan sikap enak sekali duduk diatasnya. Sedangkan
Rangga masih berdiri memperhatikan.
"Teruna, siapa kau ini sebenarnya?" tanya
Rangga, dingin dan tajam sekali nada suaranya.
"Aku Teruna, putra tunggal Ki Rabul,"
sahut Teruna kalem.
"Kau menyembunyikan sesuatu, Teruna. Aku tahu,
persoalan yang kau hadapi tidak kecil. Apalagi juga harus menghadapi
orang-orang berkepandaian tinggi. Mereka tidak menginginkan aku, dan tidak
ingin aku ikut terlibat. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Teruna?"
desak Rangga meminta penjelasan
"Anak bengal itu membawa lari putri
Barada...!"
Rangga langsung berpaling ketika mendengar suara
dari arah samping kanannya. Tampak Ki Rabul tengah melangkah ringan keluar dari
dalam sebuah gua. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tadi tidak
memperhatikan ada sebuah gua didekat tepi sungai ini. Tak lama berselang, dari
dalam gua itu juga muncul. Lasini yang menuntun adiknya. Gadis itu menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri disampingnya. Sedangkan Ki Rabul berdiri
diantara Pendekar Rajawali Sakti dan Teruna yang masih tetap duduk tenang
diatas batu.
***
TUJUH
"Kau sudah kuperingatkan, Teruna. Dan jangan
harapakan bisa hidup bebas. Barada tidak akan menyerah begitu saja sebelum
menghirup darahmu," kata Ki Rabul.
"Tidak ada yang bisa memisahkan cintaku dengan
Paria, Ayah," tegas Teruna.
"Tapi kau telah membuat semua orang jadi
menderita. Coba lihat Lasini dan adiknya ini. Akibat perbuatanmu, pondoknya
musnah! Juga kau lihat Rangga. Apa yang kau lakukan hanya menyusahkan orang
lain saja, Teruna."
"Untuk itulah aku datang kesini, Ayah.
Semuanya akan kuselesaikan sendiri. Aku laki-laki. Rasanya tidak mungkin
terus-menerus berlari, meskipun Paria tidak menginginkan aku menghadapi
ayahnya," tegas kata-kata Teruna.
"Apa yang akan kau lakukan?! Menantang Barada
dan orang-orangnya? Apa kau sudah sanggup menghadapi mereka, Teruna? Bisa-bisa
kau malah akan mati dicincang mereka!" dengus Ki Rabul sengit.
"Ya, aku akan menghadapinya sebagai laki-
laki," tetap tegas jawaban Teruna.
"Anak edan! Apa yang kau andalkan? Kau
sekarang tidak lagi memiliki Baja Hitam, Teruna. Lalu apa yang akan kau lakukan
dengan keadaanmu seperti ini?Jangan harap mampu mengalahkan Barada tanpa Topeng
Baja Hitam...."
"Dengan cara apa? Membunuh dirimu sendiri?
Tidak, Teruna. Aku tidak ingin mendapatkan dirimu dalam keadaan hancur tanpa
bentuk," Ki Rabul menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu Rangga hanya mendengarkan saja. Kini
Pendekar Rajawali Sakti tahu, sebenarnya Teruna adalah seorang pendekar yang
berjuluk Satria Baja Hitam. Orang yang diinginkan kematiannya oleh Barada. Kini
Rangga semakin bisa mengerti, mengapa Barada selalu menghendaki kematian pemuda
itu. Rupanya percintaan Teruna dengan Paria tidak dikehendaki Barada. Dan sudah
jelas kalau Paria adalah anak perempuan laki-laki setengah baya itu.
Cinta memang bisa membuat orang jadi buta. Mereka
yang dimabuk asmara tidak akan mempedulikan segalanya. Bahkan nyawa akan
dipertaruhkan demi mempertahankan cinta. Cinta suci memang memerlukan
pengorbanan yang tidak kecil artinya. Dan kini Teruna tengah mempertahankan
cinta dengan mempertaruhkan nyawanya. Bahkan orangtuanya sendiri tidak luput
dari kemelut itu. Ditambah lagi Lasini yang tidak tahu-menahu persoalannya,
jadi ikut-ikutan berkorban.
Gadis itu kini tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
Pondoknya sudah hancur dibakar oleh orang-orang Barada. Diam-diam Lasini
menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu melangkah mundur dan
berbalik menjauhi tempat itu. Sebentar Rangga memperhatikan, lalu mengikuti
gadis itu. Mereka kemudian berhenti dan duduk dibawah sebatang pohon rindang,
tidak jauh dari mulut gua.
Sementara ditempat lain, Ki Rabul masih sengit
berdebat dengan anaknya yang tetap mempertahankan kebulatan tekadnya. Meskipun
Ki Rabul selalu menyalahkan Teruna, tapi di dalam hati kecilnya malah bangga
terhadap sikap anaknya yang keras dan tidak tergoyahkan. Memang, akibatnya
Teruna harus menghadapi bahaya yang tidak kecil.
Ki Rabul sebenarnya senang, karena anaknya
memperoleh seorang istri seperti Paria. Tapi, sama sekali dia tidak pernah
menyukai orangtua wanita itu.Terutama jalan hidup yang ditempuh Barada. Barada
selalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Bahkan
tidak segan-segan membunuh atau merampok, atau bahkan menculik hanya untuk
memuaskan nafsu iblisnya.
"Teruna, bukannya aku tidak pernah mendukung
semua tindakanmu itu. Aku cukup senang Paria jadi istrimu. Dia anak baik yang
jauh berbeda dengan sifat-sifat ayahnya. Sifatnya dituruni oleh mendiang
ibunya. Aku hanya ingin memberimu sedikit nasihat. Demi keselamatan mu dan
Paria. Maka, sebaiknya kau pergi sejauh mungkin dan hindari bentrokan dengan
Barada atau siapapun. Lupakan semuanya. Lupakan juga kalau kau dulu pernah
bergelut dalam dunia kependekaran. Dan yang paling penting, lupakan julukan
Satria Baja Hitam yang sudah melekat dalam hati dan darahmu. Aku akan bahagia
jika melihatmu hidup bahagia," ujar Ki Rabul, terdengar pelan nada
suatanya.
"Ayah akan membiarkan mereka mengotori pusaka
leluhur kita? Tidak, Ayah! Topeng Baja Hitam harus dapat direbut kembali dari
tangan mereka. Julukan Satria Baja Hitam akan kupertahankan, dan akan
kuturunkan pada anak cucuku kelak!" sahut Teruna tegas.
"Teruna...."
"Maaf, Ayah. Keputusan ku sudah bulat. Apa pun
yang terjadi, topeng itu harus direbut kembali. Dan aku akan menjadi Satria
Baja Hitam selama masih mampu. Itu sudah tekadku, Ayah. Dan Paria juga
menyetujui. Dia akan mengikuti kemana aku pergi," tegas sekali kata-kata
Teruna.
"Teruna...," desah Ki Rabul. Meskipun
hatinya bangga akan tekad anaknya, tap ilaki-laki tua itu tetap merasa cemas.
Hatinya cemas, karena tahu kalau Teruna tidak akan mampu menghadapi siapapun
tanpa Topeng Baja Hitam yang merupakan warisan leluhur berusia puluhan, bahkan
mungkin ratusan tahun. Orang yang memakai Topeng Baja Hitam akan memiliki
kekuatan yang tidak tertandingi. Bahkan segala jenis senjata, segala macam
racun bagaimanapun dahsyatnya, tidakakan mampu menandinginya.
"Aku akan pergi, Ayah. Aku mohon
restumu." ucap Teruna seraya menghampiri ayahnya.
Pemuda itu berlutut dan mencium kaki ayahnya.
Seketika Ki Rabul tidak bisa lagi membendung keharuannya. Yah..., bagaimanapun
juga, sekeras apapun hatinya, akan luruh juga oleh kekerasan hati dan tekad
anaknya. Terlebih lagi Teruna begitu menyayangi dan menghormatinya Ki Rabul
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Lidahnya terasa
kelu, tak mampu mengucapkan satu patah katapun.Laki-laki tua itu hanya bisa
mengusap kepala anaknya. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang, selain
memberi restu didalam hatinya. Itu diucapkan dalam hati, meskipun terasa berat
sekali.
***
Rangga langsung berdiri ketika melihat Teruna sudah
melompat naik kepunggung kudanya. Seekor kuda putih yang tinggi dan tegap.
Teruna langsung menggebah kudanya begitu berada dipunggung kuda putih itu.
Rangga hendak mengejar, tapi tangannya sudah lebih dulu ditangkap Lasini yang
langsung ikut bangkit berdiri. Pendekar Rajawali Sakti itu mengurungkan niatnya
mengejar Teruna. Ditatapnya Lasini, kemudian beralih pada Ki Rabul yang
menghampiri dengan mata merembang berkaca-kaca.
"Kakang...," agak tertahan suara Lasini.
Lembut sekali Rangga melepaskan cekalan gadis itu pada pergelangan tangannya.
Rangga melangkah dua tindak menjauhi gadis itu Pendekar Rajawali Sakti bisa
merasakan, apa yang dirasakan Lasini saat ini. Dan perasaan itulah yang tidak
diinginkan Rangga. Dia berpaling pada Ki Rabul yang sudah berada di sampingnya
. "Kemana Teruna pergi, Ki?" tanya
Rangga.
"Menemui Barada," sahut Ki Rabul.
"Dia bisa celaka, Ki. Di sana ada pula Iblis
Racun Merah. Tidak mungkin Teruna mampu menandingi mereka seorang
diri...!" sentak Rangga yang terkejut mendengar kalau Teruna hendak
menemui Barada.
Memang, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerti
jelas semua persoalannya. Dan memang sudah bisa diketahui, kalau Teruna pasti
akan menantang Barada. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti belum pernah bentrok
langsung, tapi dari sikap Barada, dan patuhnya si Iblis Racun Merah terhadap
laki-laki setengah baya itu, sudah dapat dipastikan kalau tingkat kepandaian
yang dimiliki Barada tentu tinggi sekali.
"Kenapa kau biarkan dia pergi kesana,
Ki?" tanya Rangga seperti menyesali.
"Aku tidak bisa mencegah lagi, Nak Rangga. Itu
memang sudah tekadnya. Lagi pula dia memang harus berani menghadapi semua yang
telah dilakukannya," sahut Ki Rabul pelan.
"Aku harus cepat menyusul, Ki!"
"Rangga...."
Ki Rabul cepat menangkap pergelangan tangan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Maka Rangga jadi mengurungkan niatnya. Sebentar
ditatapnya laki-laki tua kurus itu. Ki Rabul menarik napas panjang, kemudian
mengajak Rangga menjauh dari Lasini. Gadis itu hanya diam saja memandangi.
Entah apa yang dibicarakan Ki Rabul bersama Pendekar Rajawali Sakti. Jaraknya
terlalu jauh, sehingga Lasini tidak bisa mendengarnya.
Lasini hanya bisa melihat kalau Rangga tampak
terkejut, lalu tertegun cukup lama. Sedangkan bibir Ki Rabul terus
bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Tampak Rangga memandang Lasini yang
menunggu didepan mulut gua, kemudian berpaling pada laki-laki tua kurus yang
berdiri di hadapannya.
Ki Rabul tidak lagi berbicara, seakan-akan sedang
menunggu keputusan yang akan diambil Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat kemudian,
tiba-tiba saja Rangga melesat cepat bagaikan kilat. Dan dalam sekejap mata saja
sudah lenyap dari pandangan mata. Lasini tersentak kaget. Dan langsung berlari
menghampiri Ki Rabul yang masih berdiri memandangi kepergian Pendekar Rajawali
Sakti yang sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Ki...," tersedak suara Lasini.
"Ayo, kita kembali ke gua. Akan kujelaskan
padamu disana," kata Ki Rabul sebelum Lasini sempat bertanya.
Sebentar gadis itu menatap kearah kepergian
Pendekar Rajawali Sakti, kemudian berbalik dan melangkah mengikuti Ki Rabul.
Mereka masuk ke dalam gua, dan Ki Rabul menutupi mulut gua dengan ranting dan
rerumputan kering hingga tersamar.
***
Sementara itu, Teruna sudah sampai di Puncak Bukit
Sangu sebelah Selatan. Kudanya ditinggalkan disana, dan perjalanannya
dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sengaja dia memilih jalan memutar, agar tidak
cepat diketahui anak buah Barada. Hanya satu tujuannya, merebut kembali Topeng
Baja Hitam yang menjadi warisan leluhumya. Dengan topeng warisan itu, Teruna
akan kembali menjelma sebagai Satria Baja Hitam. Teruna menyadari kalau dia
tidak akan mampu menghadapi Barada dan orang-orangnya dalam keadaan polos. Tanpa
Topeng Baja Hitam, kepandaian yang dimiliki masih jauh dibawah kepandaian
Barada.
"Hm...," Teruna menggumam pelahan.
Tatapan mata pemuda itu luruh kepada sebuah pondok kecil yang ada di Puncak
Bukit Sangu ini. Pelahan tubuhnya mengendap-endap mendekati pondok kecil itu.
Namun tiba-tiba saja....
Srek!
"Heh...?!" Teruna terkejut setengah mati
ketika tiba-tiba dari atas pohon, meluncur seseorang berpakaian serba hitam.
Pemuda itu langsung melompat mundur dua langkah. Dipandanginya sosok tubuh
berbaju hitam yang sangat ketat didepannya. Sosok tubuh ramping seorang wanita
cantik. Dua gagang pedang berbentuk kepala naga menyembul dari punggungnya. Dia
berdiri tegak berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung
ke bola mata Teruna.
"Kau yang bernama Teruna si Satria Baja
Hitam?" dingin sekali nada suara wanita itu bertanya.
"Benar, dan kau siapa?" sahut Teruna
langsung balik bertanya.
"Putri Naga Hitam."
"Hm..., rasanya kita belum pernah bertemu. Apa
maksudmu berdiri disitu? Ingin menghadangku?" dingin sekali nada suara
Teruna.
"Apakah kau akan kepondok itu?" Putri
Naga Hitam malah balik bertanya.
"Apa urusanmu?" dengus Teruna.
"Jika ingin masuk kesana, aku akan mengalihkan
perhatian mereka."
"Heh...!" Teruna terkejut.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku akan membantumu, karena aku juga punya
urusan dengan salah seorang dari mereka," sahut Putri Naga Hitam.
Belum sempat Teruna bertanya lagi, wanita berbaju
serba hitam itu sudah melesat cepat bagai kilat menuju pondok kecil dipuncak
bukit ini. Dan Teruna semakin tidak mengerti, karena gadis itu berdiri tegak
didepan pintu pondok sambil berkacak pinggang.
"Iblis Racun Merah, keluar kau...!"
terdengar suara lantang Putri Naga Hitam.
Seketika itu juga, dari dalam pondok berlompatan
keluar tujuh orang laki-laki bertampang bengis. Teruna tentu sudah kenal mereka
semua. Terlebih lagi pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju
warna merah muda, dipadu dengan merah tua yang sangat indah terbuat dari bahan
sutra halus.
Namun pemuda itu semakin terkejut begitu melihat
seorang laki-laki tua berjubah merah membawa sebatang tongkat yang juga
berwarna merah. Teruna pernah bentrok sekali dengan laki-laki tua yang berjuluk
Iblis Racun Merah itu. Dialah yang mengambil topeng baja hitam darinya, dan
diserahkan pada Barada. Perhatian tujuh orang itu terpusat pada Putri Naga
Hitam Kesempatan ini tidak disia-siakan Teruna.
Dengan cepat sekali tubuhnya melesat ke belakang
pondok. Pemuda itu merapatkan tubuhnya kedinding pondok, dan memasang
telinganya tajam-tajam. Telinganya mencoba menangkap suara dari dalam pondok.
Tapi, tak ada satu suarapun yang terdengar dari sana, kecuali suara-suara yang
datangnya dari depan pondok. Teruna mengeluarkan sebuah pisau kecil dari balik
bajunya. Sebentar di amaati sekitarnya. Sepi. Tak ada seorangpun disekitar
tempat ini. Sebentar kemudian terdengar suara pertarungan dari depan pondok.
"Hih!"
Cepat Teruna merobek dinding pondok yang terbuat
dari anyaman bambu itu dengan pisau kecilnya. Kembali disimpannya pisau itu
dibalik baju, kemudian perlahan-lahan masuk kedalam pondok itu. Keadaan didalam
pondo kini begitu lapang. Tidak ada sebuah perabotpun, kecuali selembar
permadani merah yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah meja bundar berkaki
rendah. Diatas meja bundar itu terdapat beberapa guci arak dan sebuah kotak
kayu berukuran cukup besar. Kotak berukir dari kayu jati.
Pelahan-lahan Teruna menghampiri meja bundar
berkaki rendah itu. Di bukanya kotak kayu Itu pelahan-lahan. Matanya langsung
terbeliak begitu melihat isinya. Didalam kotak kayu itu hanya tersimpan sebuah
benda berwarna hitam pekat berbentuk bulat dengan dua buah lubang. Cepat Teruna
mengambil benda itu. Sebentar diamati, lalu cepat-cepat dia keluar dari dalam
pondok setelah menutup kembali kotak kayu itu.Teruna keluar lewat jalan masuk
tadi. Kemudian dirapikannya kembali dinding bilik bambu yang dibedah tadi.
"Hmhmhm..., Satria Baja Hitam muncul
lagi...," Teruna tersenyum-senyum. Pemuda itu cepat-cepat melesat pergi
dari tempat itu, dan cepat sekali menghilang kedalam hutan. Namun belum juga
jauh, mendadak lompatannya terhenti. Mata pemuda itu jadi membeliak melihat seorang
laki-laki muda berwajah tampan yang mengenakan rompi putih sudah berdiri
menghadang didepannya.
"Rangga...," desis Teruna.
"Kenapa kaulari, Teruna?" desis Rangga,
dingin nada suaranya.
Teruna tidak bisa menjawab. Sementara Topeng Baja
Hitam disembunyikan dibalik punggungnya. Dia tidak ingin benda keramat ini
jatuh ketangan orang lain lagi. Meskipun sudah sering ditolong Pendekar
Rajawali Sakti itu, tapi Teruna tidak ingin Rangga terpikat oleh benda keramat
ini. Benda yang sangat berharga baginya.
"Kau sudah memperoleh topeng itu?" tanya
Rangga.
"Sudah," sahut Teruna.
"Kau lupa, seorang gadis tengah menyabung
nyawa karena membantumu mendapatkan topeng itu. Picik sekali jiwamu,
Teruna!" dengus Rangga.
"Aku tidak kenal siapa dia. Lagipula, gadis
itu punya urusan sendiri dengan mereka!" dengus Teruna.
"Kau berjuluk Satria Baja Hitam. Apakah
seperti itu sikap seorang satria? Membiarkan orang lain menderita, menyabung
nyawa, dan kau lari begitu saja. Aku benar-benar kecewa terhadap perbuatanmu,
Teruna. Rasanya kau belum pantas mendapat gelar Satria Baja Hitam. Kau masih
lebih mementingkan dirimu sendiri! Jiwamu masih kerdil!" tajam sekali nada
suara Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melesat
pergi kearah pondok di Puncak Bukit Sangu ini. Cepat sekali lesatan Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sehingga, sebelum Teruna sempat melakukan sesuatu,bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Rangga terus berlompatan dari satu pohon
ke pohon lainnya. Kini tampak Putri Naga Hitam kewalahan menghadapi keroyokan
tujuh orang yang rata-rata memiliki kemampuan tinggi. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terjun ke dalam kancah
pertempuran.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis
Barada terkejut melihat kemunculan Rangga.
Kemunculan pemuda berbaju rompi putih itu, bukan
hanya mengejutkan Barada. Tapi semua yang terlibat pertempuran dengan Putri
Naga Hitam, langsung berlompatan mundur. Rangga berdiri tegak disamping gadis
berbaju hitam yang sudah menghunus sepasang pedang kembarnya.
"Pengecut! Mengeroyok seorang gadis...!"
desis Rangga, terdengar tajam nada suaranya.
"Terimakasih atas kedatanganmu. Tapi, aku
ingin memenggal kepala tua bangka busuk itu," ujar Putri Naga Hitam, agak
mendesis suaranya.
"Hadapi dia, biar aku akan menghadang yang
lainnya," sambut Rangga.
Tanpa menunggu waktu lagi, Putri Naga Hitam
langsung melompat menerjang Iblis Racun Merah. Serangan gadis itu sungguh
dahsyat dan mebgejutkan. Akibatnya laki-laki tua berjubah merah itu agak
terperangah sesaat, namun dengan cepat mampu berkelit dan terus membalas
serangan tidak kalah dahsyatnya.
Pada saat itu, Suro dan Sarapat melompat hendak
membantu Iblis Racun Merah. Untungnya, Rangga cepat menghadang gerakan mereka.
Pendekar Rajawali Sakti itu lebih cepat lagi melesat bagaikan kilat disertai
lontaran dua pukulan sekaligus.
"Yeaaah...!"
Suro dan Sarapat terkejut bukan main. Mereka
buru-buru melentingkan tubuhnya kebelakang, menghindari pukulan Pendekar Rajawali
Sakti yang mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi dan sudah mencapai tahap
kesempurnaan.
Bersamaan dengan mendaratnya kedua orang itu, manis
sekali Rangga menjejakkan kakinya ditanah. Pendekar Rajawali Sakti berdiri
tegak didepan enam orang itu sambil melipat tangannya didepan dada. Tatapan
matanya begitu tajam menusuk, membuat hati siapa saja yang memandangnya jadi
bergetar.
"Kalian tidak perlu ikut campur!" dengus
Rangga dingin.
"Apa pedulimu?! Huh...!" sentak Suro
ketus.
Orang bertubuh tinggi tegap tanpa baju itu,
langsung melepaskan cambuk yang melilit pinggangnya. Dan seketika itu juga
cambuknya dikebutkan dengan kuat kearah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaah...!"
Ctar!
"Uts!"
DELAPAN
Tepat pada saat ujung cambuk itu berada di atas
kepala, cepat sekali Rangga mengangkat tangannya. Seketika ditangkapnya cambuk
itu sambil kepalanya ditarik kebelakang. Sebelum Suro bisa menyadari apa yang
terjadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menghentakkan tangannya yang memegang cambuk
keatas.
"Hih! Yeaaah...!"
"Whaaa...!
Tubuh tinggi besar bagai raksasa itu tiba-tiba saja
terangkat, dan melayang deras keangkasa. Saat itu Rangga melepaskan cambuk yang
dipegangnya. Lalu dengan cepat dilesatkan tubuhnya untuk mengejar Suro. Lewat pengerahan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan
tangannya beberapa kali kearah tubuh Suro yang sedang melayang diudara.
Beberapa kali tebasan tangan pemuda berbaju rompi
putih itu menghajar tubuh laki-laki tinggi besar berotot.
Bughk!
Des!
"Aaakh...!" Suro menjerit melengking
tinggi.
Deras sekali tubuh tinggi besar bagai raksasa itu
meluruk kebawah. Suro terbanting keras ketanah, lalu menggeliat sambil
mengerang. Saat itu Rangga sudah menukik deras bagai kilat. Kedua kakinya
bergerak cepat mengarah tubuh laki-laki tinggi besar itu. Kini Rangga
mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'
"Dughk!
Beghk...!
Kembali Suro menjerit melengking tinggi begitu
kaki-kaki Pendekar Rajawali Sakti menghajar tubuhnya beberapa kali. Laki-laki
tinggi besar itu bergulingan sejauh tiga batang tombak diatas tanah berumput,
dan baru berhenti setelah tubuhnya menghantam sebuah pohon yang cukup besar
hingga tumbang. Hanya sebentar Suro mampu menggeliat, kemudian mengejang dan
langsung diam tak berkutik lagi. Tidak ada luka yang terlihat di tubuhnya, tapi
seluruh bagian dalam tubuhnya remuk. Darah terus mengucur keluar dari mulut,
hidung, dan telinganya. Suro diam tak bergerak tanpa nyawa dibadannya.
"Hhh...!" Rangga menarik napas panjang.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati tubuh Suro yang sudah tidak
bernyawa lagi. Perlahan-lahan tubuhnya berputar, menghadap Barada yang
didampingi empat orang pembantu utamanya. Mereka seakan-akan belum bisa
mempercayai kematian Suro yang begitu cepat ditangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian akan bernasib sama jika bertindak
bodoh!" dengus Rangga mengancam.
Barada menggeretakkan gerahamnya menahan kemarahan
yang meluap. Ketika tangannya menepuk tiga kali, saat itu juga disekitarnya
bermunculan orang-orang bersenjata golok, pedang, serta tombak. Rangga
menggumam kecil melihat di sekeliling tempat itu sudah terkepung tidak kurang dari
lima puluh orang bersenjata terhunus.
"Aku akui, kau memang hebat, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi aku ingin tahu, apakah kau mampu menghadapi orang-orangku!"
desis Barada menggeram.
Rangga tidak menyahuti, tapi malah mengedarkan
pandangannya kesekeliling, merayapi orang-orang yang bergerak mendekat
mengurungnya. Mereka semua sudah siap melakukan pertarungan sambil menghunus
senjata masing-masing. Tinggal menunggu perintah, maka mereka akan berlompatan
menyerang dari segala penjuru.
Sementara itu Rangga sempat melirik kearah lain,
kearah pertarungan antara si Iblis Racun Merah dengan Putri Naga Hitam yang
masih berlangsung sengit. Dan tampaknya mereka sangat berimbang. Belum ada
tanda-tanda kalau pertarungan itu akan berakhir. Meski pun jurus-jurus andalan
yang dahsyat sudah dikerahkan, tapi nampaknya pertarungan itu masih terus
berlangsung cukup lama.
Rangga kembali mengalihkan perhatiannya pada Barada
yang diapit empat orang pembantu utamanya. Mereka tampaknya juga sudah siap
melakukan pertarungan.
"Kau sudah terlalu banyak mencampuri urusanku,
Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorangpun yang bisa hidup bila berurusan
denganku!" ujar Barada, dingin sekali suaranya terdengar.
"Kau akan membuang nyawa sia-sia saja, Barada.
Tidak ada gunanya seluruh anak buahmu dikerahkan. Aku ada disini justru ingin
menyelesaikan persoalanmu dengan Teruna," tegas Rangga.
"Hanya satu penyelesaian dalam diriku.
Mati...!" desis Barada dingin.
Rangga mengangkat bahunya. Pendekar Rajawali Sakti
tahu kalau Barada tidak akan menyerah begitu saja. Ki Rabul juga sudah
mengatakan padanya kalau orang itu tidak akan bisa diajak bicara. Baginya, mati
adalah penyelesaian untuk setiap persoalan. Dan memang, semua orang yang punya
persoalan dengannya tidak ada yang bisa bertahan hidup lebih lama. Barada akan
membunuh siapa saja yang dianggap merintangi pekerjaannya.
Laki-laki setengah baya itu akan membunuh manusia
tanpa berkedip, seperti menyembelih seekor ayam!
"Seraaang...!" seru Barada tiba-tiba.
Suaranya keras, lantang dan menggelegar, bagai guntur disiang hari bolong.
Seketika itu juga, terdengar teriakan-teriakan keras mengawali suatu
pertempuran yang akan terjadi di Puncak Bukit Sangu ini. Orang-orang yang sejak
tadi sudah siap menunggu perintah, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali
Sakti, jika tidak ingin mati konyol dirajam dipuncak bukit yang dingin ini.
Begitu dua orang berserjata golok menyerang dengan mengayunkan goloknya,
secepat kilat Rangga memutar tubuhnya seraya melontarkan dua pukulan dahsyat
yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Hiyaaat...!"
Bughk!
Deghk!
Dua jeritan melengking tinggi terdengar, tepat saat
dua orang yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti terlontar. Mereka tergeletak
ditanah dengan dada remuk dan mulut menyemburkan darah segar. Seketika itu juga
mereka tewas, tanpa mampu menggeliat lagi. Namun belum juga pemuda berpakaian
rompi putih itu bisa menarik napas lega, datang lagi serangan-serangan yang
sangat gencar dari segala penjuru.
Serangan-serangan itu demikian cepat dan saling
sambut. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit mengalami kerepotan
juga. Namun berkat pengalamannya dalam menghadapi segala macam pertarungan,
keadaan segera bisa dikuasai. Jerit pekik melengking terdengar saling sahut,
disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh tak bernyawa lagi. Rangga benar-benar
tidak punya pilihan lain lagi. Kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak bertindak
,bisa-bisa malah dirinya yang dirajam.
Mereka benar-benar bagaikan makhluk buas haus
darah. Bahkan tidak mengenal rasa gentar, meskipun sudah banyak temannya yang
bergelimpangan tak bernyawa lagi. Mereka terus saja merangsek Rangga, menyerang
dengan senjatanya.
Namun tiba-tiba saja, mereka yang mengeroyok
Pendekar Rajawali Sakti jadi berantakan. Tampak tubuh-tubuh berpentalan
keudara, dan jeritan-jeritan menyayat semakin sering terdengar. Sesaat, Rangga
memperoleh ruang gerak untuk keluar dari kepungan ini. Maka waktu yang sedikit
ini tidak disia-siakannya. Dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu
melentingkan tubuhnya keudara, lalu manis mendarat diluar kepungan.
Rangga jadi terbeliak begitu melihat seorang yang
berpakaian serba hitam berkilat, bagai mengenakan baju dari lempengan besi
baja, tengah mengamuk dengan pedang berwarna hitam tergenggam ditangan. Seluruh
kapalanya terbungkus logam hitam, kecuali bagian matanya saja yang terlihat.
Namun belum sempat Rangga berpikir tentang manusia aneh itu, sudah datang lagi serangan
kearahnya.
"Yeaaah...!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil
memberikan beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Saat ini Rangga
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Suatu jurus dahsyat dari lima
rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin
tanggung-tanggung, dan langsung mengeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' dalam tahap yang terakhir. Seketika kedua kepalan tangannya berubah
menjadi merah membara bagai terbakar.
Maka dalam waktu yang tidak berapa lama saja, semua
orang yang mengeroyoknya sudah tergeletak ditanah. Rangga melompat mendekati
Barada yang berdiri mengawasi didampingi empat orang pembantu utamanya. Tepai
saat Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan kakinya di sampingnya sudah datang
dan berdiri manusia bertubuh seperti dari logam hitam.
"Satria Baja Hitam...!" desis Barada
terbeliak melihat orang yang berada disamping Rangga.
Desisan Barada juga membuat Rangga berkerenyit
keningnya. Kepalanya menoleh sedikit, lalu melirik mengamati manusia yang tidak
ketahuan wajahnya itu.
"Mustahil.... Tidak mungkin...!" desis
Barada sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Saat itu, Sarapat melompat masuk kedalam pondok.
Tak berapa lama kemudian, sudah keluar lagi dengan wajah pucat pasi. Langsung
dihampirinya Barada yang tengah kebingungan bercampur ketidakpercayaan. Matanya
tidak berkedip memandangi manusia aneh yang berdiri di samping kiri Pendekar
Rajawali Sakti.
"Topeng itu lenyap, Gusti," bisik Sarapat
dekat telinga Barada.
"Apa...?!" Barada terperanjat. Begitu
terkejutnya Barada, sampai terlompat kebelakang beberapa tindak. Dipandanginya
Sarapat, kemudian beralih pada manusia bertubuh serba hitam. Kepalanya
menggeleng-geleng tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Mustahil…..! Bagaimana dia
mendapatkannya...?" desis Barada tidak percaya.
"Dinding bagian belakang jebol," lapor
Sarapat.
Sementara itu manusia aneh yang tubuh dan seluruh
wajahnya bagai dari besi bajah hitam itu, melangkah maju tiga tindak. Sedangkan
Barada dan keempat pembantu utamanya langsung mengeluarkan senjata
masing-masing. Tampak kegentaran tersirat pada wajah mereka. Sementara Rangga
hanya menyaksikan saja. Pendekar Rajawali Sakti sendiri terpana akan kemunculan
manusia aneh yang disebut Barada sebagai Satria Baja Hitam. Memang, dia tahu
itu pasti Teruna. Tapi Rangga baru kali ini melihat sosok Satria Baja Hitam.
"Seraaang...! Bunuh dia!" teriak Barada
keras.
Seketika empat orang pembantu utamanya berlompatan
menyerang manusia aneh bertubuh serba hitam itu. Namun sebelum mereka sampai,
manusia berjuluk Satria Baja Hitam itu sudah melompat cepat. Seketika
dilontarkannya beberapa pukulan, dibarengi tebasan pedangnya yang berkelebat
bagai kilat.
Dua jeritan melengking tinggi terdengar. Tampak dua
orang terjerembab jatuh menggelepar ditanah. Darah langsung mengucur deras dari
lehernya yang terpenggal hampir buntung. Dua orang lagi mencoba kabur. Tapi
Satria Baja Hitam lebih cepat melemparkan pedangnya, dan dia sendiri langsung
melesat mengejar kearah satu orang lagi.
Pedang berwarna hitam itu menancap tepat dipunggung
orang yang melarikan diri itu. Jeritan melengking tinggi, kembali terdengar
memecah angkasa. Pada saat yang sama, Satria Baja Hitam menghantamkan satu
pukulan, dan tepat menghajar kepala orang satunya lagi.
"Aaa...!"
Jerit melengking kembali terdengar. Orang itu
menggelepar dengan kepala hancur berantakan.
Pada saat yang sama, Barada melompat sambil
mengibaskan pedangnya kearah punggung Satria Baja Hitam. Kecurangan Barada ini
terlihat oleh Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi hanya diam saja
menyaksikan.
"Hiyaaat..!"
Rangga seketika melompat secepat kilat, langsung
melepaskan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan.
Duk!
"Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu
tepat menghantam dada Barada. Akibatnya laki-laki setengah baya itu menjerit
keras, dan tubuhnya terpental jauh kebelakang. Dalam waktu yang bersamaan,
Satria Baja Hitam berbalik dan segera melesat kearah Barada yang bergulingan
ditanah. Sebelum laki-laki tua itu berhenti bergulingan, Satria Baja Hitam
sudah cepat mencabut pedangnya yang menancap dipunggung salah seorang pembantu
Barada. Dan dengan kecepatan luar biasa, ditebaskan pedangnya keleher laki-laki
setengah baya itu.
Cras!
"Aaa...!" kembali Barada menjerit
melengking tinggi. Darah langsung muncrat keluar dari batang leher yang
terpenggal buntung. Hanya sebentar saja Barada mampu menggeliat, kemudian diam
tak berkutik lagi. Nyawanya langsung terbang meninggalkan raga yang tanpa
kepala lagi. Satria Baja Hitam memutar tubuhnya, menatap Pendekar Rajawali
Sakti dalam-dalam. Secara bersamaan mereka berpaling ketika mendengar suara
jeritan melengking tinggi. Tampak ditempat lain, Putri Naga Hitam baru saja
menyelesaikan pertarungannya melawan si Iblis Racun Merah.
***
Putri Naga Hitam menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti yang berdiri disamping Satria Baja Hitam. Untuk beberapa saat mereka
hanya berdiam diri seraya merayapi sekelilingnya. Mayat-mayat bergelimpangan,
darah menyebar keluar dari tubuh-tubuh yang terluka. Bau anyir darah begitu terasa
menyengat terbawa hembusan angin.
"Terimakasih. Kau telah menyadarkan diriku,
Pendekar Rajawali Sakti," ucap Putri Naga Hitam seraya menyodorkan
tangannya.
Rangga hanya tersenyum saja. Di sambutnya uluran
tangan wanita cantik berbaju serba hitam itu. Mereka kemudian saling melepas
jabatan tangan, dan sama-sama berpaling pada seseorang yang wajahnya tertutup
topeng baja berwarna hitam pekat.
"Sudah saatnya kita berpisah disini,"
kata Satria Baja Hitam cepat.
"Kau benar. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan
disini," sambut Putri Naga Hitam.
Setelah berkata demikian, Putri Naga Hitam
membalikkan tubuhnya, langsung melangkah pergi. Namun baru juga beberapa
langkah berjalan, wanita berbaju hitam itu berhenti dan berbalik,
"Aku berharap kita bisa bertemu lagi,"
kata Putri Naga Hitam.
Putri Naga Hitam kembali memutar tubuhnya, dan
langsung melesat cepat pergi. Sebentar saja bayangan tubuh wanita berbaju hitam
itu sudah lenyap dari pandangan. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengalihkan
perhatiannya pada Satria Baja Hitam.
"Aku juga harus segera pergi, Pendekar
Rajawali Sakti," pamit Satria Baja Hitam.
"Tunggu dulu...!" cegah Rangga.
"Ada apa?"
"Bagaimana dengan Ki Rabul dan Lasini?"
tanya Rangga.
"Siapa mereka?" Satria Baja Hitam balik
bertanya.
"Kau jangan berpura-pura didepan ku, Teruna.
Meskipun dalam ujud lain, tapi aku bisa mengenal suaramu," tegas Rangga.
"Aku bukan Teruna, tapi Satria Baja
Hitam."
"Baik. Kau sekarang memang Satria Baja Hitam.
Tapi setelah semua yang melekat di tubuhmu dilepas, kau adalah Teruna,"
desis Rangga.
"Hahaha...! Bagaimana kau bisa yakin, Pendekar
Rajawali Sakti?"
"Sudahlah. Tidak ada gunanya berpura-pura
didepanku. Aku sudah tahu semuanya tentang Satria Baja Hitam. Lepaskan saja
pakaianmu itu, Teruna. Aku ingin agar kau mengambil keputusan tepat bagi
ayahmu, juga Lasini dan adiknya."
Satria Baja Hitam terdiam, lalu dengan tajam
memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Pelahan-lahan tangannya terangkat
sampai kewajah, lalu melepaskan topeng baja hitam yang menutupi wajahnya.
Sungguh ajaib sekali. Tiba-tiba saja seluruh tubuh Satria Baja Hitam
mengepulkan asap. Dan begitu asap berwarna hitam itu memudar, kini yang berdiri
didepan Rangg aadalah Teruna.
"Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa
didepanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ungkap Teruna seraya memasukkan
Topeng Baja Hitam kebalik bajunya.
"Kalau saja ayahmu belum cerita, mungkin aku
tidak akan tahu tentang dirimu dalam bentuk lain," Rangga mengakui.
"Baiklah. Kau tadi bicara tentang ayah,
Lasini, dan adiknya. Sudah kuputuskan kalau aku harus membawa mereka dan hidup
bersama-sama istriku. Lasini sudah banyak berkorban untuk ayahku. Maka sudah
sepantasnya aku harus menampung, melindungi, dan memberinya kehidupan
layak," tegas Teruna mantap.
"Itulah yang kuinginkan, Teruna."
Kedua pemuda itu sama-sama tersenyum.
"Rangga! Bagaimana aku harus mengatakan
tentang kematian Barada pada Paria?" tanya Teruna.
"Ceritakan saja terus terang. Apakah istrimu
itu sudah tahu tentang Satria Baja Hitam?"
"Belum."
"Itu lebih bagus lagi. Katakan saja kalau
ayahmu kalah oleh Satria Baja Hitam. Itu berarti bukan kalah olehmu."
"Kau benar, Rangga. Hahaha...."
Rangga hanya tersenyum saja. "Baiklah.
Sekarang aku pergi dulu, Teruna," pamit Rangga.
"Bagaimana aku bisa mengucapkan terima kasih
padamu, Pendekar Rajawali Sakti? Kau sudah begitu banyak berkorban
untukku," ujar Teruna.
"Persahabatan," sahut Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung cepat
melesat pergi. Kini tinggal Teruna yang berdiri memandangi sambil menarik napas
dalam-dalam
"Senang bersahabat denganmu, Pendekar Rajawali
Sakti," desah Teruna.
Pemuda itu kini mengayunkan kakinya, meninggalkan
Puncak Bukit Sahgu. Langkahnya pelahan-lahan dengan wajah cerah. Tak ada lagi
yang mengganggu kehidupannya di masa datang. Tak ada yang akan mengejar-ngejar
lagi. Semuanya sudah berakhir. Matahari esok bersinar cerah, siap menyambut
kehidupannya yang baru.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
MISTERI PERAMAL TUA
Emoticon