SATU
DUA ekor kuda bergerak perlahan-lahan menyusuri
padang rumput yang tidak begitu luas. Terlihat sebuah jurang yang cukup
panjang, membelah sepanjang kiri padang rumput itu. Penunggang dua ekor kuda
itu dua orang gadis. Yang seorang mengenakan baju biru muda. Pedangnya
bergagang kepala seekor ular naga hitam, dengan ikat pinggang berwarna kuning
keemasan. Di balik sabuknya, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan.
Sedangkan gadis di sebelahnya mengenakan baju warna
merah muda dengan sebilah pedang tersampir di pinggang. Sesekali mereka menoleh
ke arah jurang, atau ke arah bukit panjang yang berada di sebelah kanan. Dan
kini hutan di depan sana sudah terlihat
“Berapa lama lagi kita sampai di Desa Weru, Kak
Pandan?” tanya gadis berbaju merah muda memecah kebisuan yang sejak tadi
melingkupi mereka.
“Sebelum senja nanti,” sahut gadis berbaju biru
muda yang dipanggil Pandan Wangi. Dia lebih dikenal dengan julukan si Kipas
Maut.
Sedangkan gadis di sebelahnya lagi mengenakan baju
warna merah muda, tidak lain adalah Cempaka. Dia adik tiri Rangga yang lebih
dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka sudah seharian berjalan
menunggang kuda, namun belum juga menemukan sebuah desa pun. Sedangkan kini
mereka tengah menuju Desa Weru yang tidak berapa jauh lagi dari padang rumput
ini.
“Kita istirahat dulu di sini, Kak,” ajak Cempaka
yang sudah pegal seluruh tubuhnya.
Sejak pagi tadi, mereka berada di atas punggung
kuda. Tanpa istirahat sedikit pun. Sedangkan saat ini, matahari sudah berada di
atas kepala. Sinarnya yang terik tak begitu terasa, karena diusir oleh hembusan
angin yang agak kencang, mempermainkan rambut kedua gadis itu.
“Nanti, di tepi hutan sana,” sahut Pandan Wangi
seraya menunjuk hutan yang terlihat di depan sana.
“Sudah pegal rasanya pinggangku, Kak,” keluh
Cempaka.
“Masih lumayan ini naik kuda, Cempaka. Biasanya aku
jalan kaki,” jelas Pandan Wangi tersenyum dikulum.
Cempaka memang belum pernah mengembara, menjelajahi
rimba persilatan. Maka baru kali inilah ikut mengembara bersama Pandan Wangi.
Katanya ingin mencari pengalaman, di samping menguji ilmu-ilmu olah kanuragan
yang dimiliki. Dan sebenarnya, Pandan Wangi tidak ingin Cempaka ikut dalam
pengembaraannya mencari Pendekar Rajawali Sakti yang kini entah di mana. Tapi
adik tiri Rangga itu memaksa untuk ikut. Padahal, Pandan Wangi telah
menjelaskan kalau rintangannya tidak kecil.
"Pokoknya aku harus ikut...!” sentak Cempaka
ketika Itu.
Waktu itu Pandan Wangi tengah mengutarakan
keinginannya pada Danupaksi untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti. Dan rupanya
Cempaka mendengar semua percakapan itu dari balik pintu. Maka langsung dia
menerobos masuk begitu namanya disebut. Padahal, Danupaksi telah melarang
Pandan Wangi untuk berpamitan pada Cempaka. Karena mereka tahu, Cempaka pasti akan
ikut pula. Dan ini sebenarnya memang sudah menjadi keinginan yang mendalam di
hati Cempaka untuk mengembara.
Kemunculan Cempaka yang tiba-tiba saat itu, membuat
Danupaksi dan Pandan Wangi terkejut. Terlebih lagi, gadis itu tegas-tegas
mengatakan kalau akan ikut mengembara. Mereka benar-benar merasa kecolongan,
karena berbicara di dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Dan sudah
pasti, pembicaraan itu terdengar jelas dari luar ruangan yang cukup besar ini.
“Kalau aku tidak boleh ikut, aku akan mengembara
sendiri,” rengek Cempaka.
Danupaksi sulit menahannya lagi. Dipandangnya
Pandan Wangi sambil mengangkat kedua bahunya sedikit. Sedangkan Pandan Wangi
sendiri juga tidak mencegah, meskipun hatinya terasa berat untuk membolehkan
Cempaka ikut dalam pengembaraan nya. Karena dia tahu, betapa besar rintangan
dalam mengarungi luasnya rimba persilatan yang kejam dan penuh daya tipu licik.
Terlebih lagi bagi gadis-gadis yang baru mencobanya.
Dan memang selama seharian perjalanan Ini, belum
ada kejadian yang berarti bagi gadis itu. Tapi Cempaka beberapa kali sudah
mengeluh. Sedangkan Pandan Wangi selalu menanggapinya dengan senyuman saja.
Bisa dimaklumi, karena baru kali inilah Cempaka melakukan perjalanan yang sesungguhnya.
Selama ini dia ikut bersama Rangga hanya perjalanan kecil yang tidak mengandung
bahaya terlalu besar. Lagi pula, Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah
menyerahkan seluruh persoalan pada Cempaka.
“Kita istirahat di sini dulu, Kak,” ajak Cempaka.
“Oh...! lya,” Pandan Wangi terbangun dari
lamunannya.
Mereka memang sudah sampai di tepi hutan. Dan
Pandan Wangi tahu kalau tempat ini bernama Hutan Tengkorak, tapi lebih dikenal
dengan nama Rimba Tengkorak. Buat Pandan Wangi, hutan ini memiliki kenangan tersendiri.
Di sinilah pertama kali Rangga mengungkapkan rasa cinta padanya. Satu kenangan
yang manis dan tak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Kedua gadis itu beristirahat di tepi sungai kecil
yang membatasi padang rumput dengan Rimba Tengkorak. Mereka berlompatan turun
dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi menepuk pinggul kuda putihnya
yang tinggi dan tegap. Binatang ini hadiah Pendekar Rajawali Sakti. Kuda putih
itu melenggang ringan mendekati sungai. Diteguknya air sungai yang sejuk
banyak-banyak.
Sedangkan kuda coklat yang ditunggangi Cempaka,
langsung merumput. Kedua gadis itu duduk di tepi sungai menikmati sejuknya
udara siang ini. Angin yang berhembus lembut, membuat kelopak mata Cempaka
terpejam. Kepenatan selama seharian menunggang kuda, seakan-akan hendak dilebur
di tepi hutan ini.
Namun belum juga benar-benar menikmati
istirahatnya, mendadak saja mereka dikejutkan suara-suara seperti orang
bertarung yang tidak seberapa jauh dari tepi hutan ini. Suara-suara itu datang
dari seberang sungai, dan jelas sekali terdengar. Pandan Wangi langsung
melompat bangkit berdiri.
“Kau tunggu di sini, Cempaka,” kata Pandan Wangi
“Heh...! Aku ikut..!” sentak Cempaka.
Tapi Pandan Wangi sudah lebih cepat melesat,
melompati sungai yang tidak seberapa lebar itu. Cempaka bergegas berdiri, dan
langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Sementara Pandan Wangi sudah sampai di seberang sungai, dan langsung melesat
masuk ke dalam hutan yang cukup lebat Cempaka juga langsung saja melesat ke
dalam hutan begitu kakinya menjejak tanah di seberang sungai.
Pandan Wangi tertegun begitu sampai di satu tempat
yang tidak begitu lebat di dalam hutan ini. Tampak sesosok tubuh telah
tergeletak berlumuran darah. Di sampingnya, tampak seorang gadis berusia
sekitar lima belasan tahun tengah menangis sesenggukan sambil menutupi
wajahnya. Pandan Wangi perlahan mendekati. Ditepuknya pundak gadis itu dengan
lembut. Namun gadis itu malah tersentak dan memekik kaget
“Tidak apa-apa, Gadis Manis. Aku tidak akan
menyakitimu,” bujuk Pandan Wangi.
Gadis berpakaian kumal dan lusuh itu memandangi
Pandan Wangi dengan mata dipenuhi air bening. Bahunya masih terguncang menahan
isaknya yang tertahan. Saat itu, Cempaka baru saja tiba. Dia terkejut melihat
sosok tubuh tergeletak berlumuran darah di depan Pandan Wangi. Sedangkan tidak
jauh di seberang sosok tubuh berlumur darah itu terlihat seorang gadis belasan
tahun tengah menangis sambil memandangi Pandan Wangi.
“Kak Pandan, ada apa...?” tanya Cempaka yang sudah
berada di samping Pandan Wangi.
“Aku tidak tahu. Kudapati orang tua ini sudah
tewas, dan anak ini menangis di sampingnya,” sahut Pandan Wangi.
Sebentar Cempaka memandangi laki-laki tua yang
tidak mengenakan baju itu. Dada dan lehernya tersayat lebar, seperti terkena
sabetan senjata tajam. Darah masih mengucur deras dari lukanya. Kemudian
Cempaka memandang gadis belasan tahun yang masih menangis terisak agak
tertahan. Cempaka menghampiri gadis itu, dan lembut sekali menyentuh pundaknya.
Mungkin karena kelembutan Cempaka, gadis itu jadi percaya kepadanya. Bahkan
malah menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti
itu.
Maka seketika air matanya ditumpahkan di dada
Cempaka. Dibiarkan saja gadis itu membasahi bajunya, dan malah dibelainya
rambut yang hitam panjang dan ber-gelombang itu dengan lembut sekali.
Seakan-akan dia ikut merasakan apa yang tengah dirasakan gadis ini.
“Hsss..., sudah..., sudah,” bujuk Cempaka mencoba
meredakan tangis gadis itu.
Sementara Pandan Wangi memeriksa tubuh laki-laki
tua yang tergeletak tak bernyawa lagi. Dia sedikit tertegun melihat luka yang
menganga lebar di dada dan leher. Luka yang begitu rapi, seperti tebasan
senjata tajam yang dilakukan seorang berilmu tinggi.
Pandan Wangi meletakkan tangan laki-laki tua itu ke
dada, kemudian mengusap wajah yang sudah pucat itu. Maka mata yang mendelik
jadi tertutup. Dan mulut yang terbuka, juga mengatup kembali. Si Kipas Maut itu
kemudian menghampiri Cempaka yang sudah duduk berdampingan dengan gadis belasan
tahun itu. Dan tampaknya tangis gadis itu berhasil diredakannya, meskipun
sesekali masih terisak sesenggukan.
“Apa yang terjadi, Dik?” tanya Pandan Wangi dengan
suara lembut.
“Namanya Padmi,” celetuk Cempaka memberi tahu nama
gadis itu.
Pandan Wangi menatap Cempaka sebentar. Ternyata
Cempaka sudah bisa bicara dengan gadis ini. Bahkan sudah bisa mengetahui
namanya segala. Kagum juga Pandan Wangi dengan cara pendekatan Cempaka yang
begitu cepat membawa hasil.
“Ceritakan, Padmi. Apa sebenarnya yang terjadi...?
Barangkali kami berdua bisa membantumu,” bujuk Cempaka dengan suara lembut.
“Ayah tidak punya musuh. Kami orang baik-baik....
Tapi kenapa ada orang yang membunuhnya...?” agak tersendat suara Padmi
menceritakan apa yang terjadi.
Tapi apa yang dikatakan Padmi belum begitu jelas
bagi Pandan Wangi maupun Cempaka. Karena Padmi tidak mengatakan, siapa pembunuh
ayahnya, dan kenapa begitu tega membunuh pencari kayu bakar itu. Namun mereka
memang harus bersabar. Tidak mungkin Padmi bisa begitu cepat menenangkan diri
Sedangkan baru beberapa saat saja dia mendapat musibah yang mengenaskan sekali.
“Siapa yang membunuhnya, Padmi?” tanya Pandan
Wangi.
Padmi tidak langsung menjawab, dan hanya
menggelengkan kepalanya saja sambil menatap Pandan Wangi yang berdiri di
depannya. Gelengan kepala gadis itu sudah jelas bisa diartikan. Padmi tidak
mengetahui orang yang membunuh ayahnya tadi.
“Mukanya tidak jelas. Seluruh kepalanya ditutupi
kain hitam,” jelas Padmi.
Pandan Wangi dan Cempaka saling berpandangan. Bagi
Pandan Wangi yang sudah kenyang makan asam garam dalam rimba persilatan, sudah
tidak asing lagi dengan pembunuh seperti ini. Pembunuh itu sengaja menyembunyikan
wajahnya agar tidak diketahui orang lain. Dan sudah bisa ditebak kalau pembunuh
itu mengenal korbannya. Dan yang pasti, si korban pun mengenal pembunuh itu,
sehingga mukanya perlu diselubungi agar tidak dikenali
“Di mana rumahmu, Adik Manis?” tanya Pandan Wangi
lembut.
Pandan Wangi merasa tidak ada gunanya mendesak
Padmi agar menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya. Dan dia ingin
mengantarkan pulang gadis ini ke rumahnya, lalu melupakan semua yang ada di
hutan ini. Memang hanya itu yang bisa dilakukan Pandan Wangi saat ini. Dan
setelah itu Pandan Wangi ingin secepatnya bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti,
yang katanya sekarang ada di Desa Weru. Entah apa yang dilakukan Rangga di desa
kecil yang terpencil itu.
***
“Aku kasihan melihat keadaannya, Kak,” kata Cempaka
sambil mengendalikan jalan kudanya agar tetap berada di samping kuda yang
ditunggangi Pandan Wangi
“Padmi maksudmu?” tanya Pandan Wangi tanpa
berpaling sedikit pun.
“lya. Dia sekarang hidup sendiri di tempat sunyi
yang terpencil begitu,” kata Cempaka.
“Bukan hanya Padmi yang hidup seperti itu, Cempaka.
Nanti kau juga akan melihat kehidupan yang jauh lebih mengenaskan daripada
dia,” sahut Pandan Wangi dengan bibir mengulas senyum tipis.
Cempaka diam saja. Diresapinya kata-kata yang
terucap dari bibir si Kipas Maut tadi. Gadis itu memang belum berpengalaman
dalam menjelajah mayapada yang luas dan selalu menyimpan banyak misteri ini.
Tapi hatinya seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Pandan
Wangi. Apakah di alam ini banyak orang yang hidupnya begitu kekurangan seperti
Padmi...? Pertanyaan ini selalu mengganggu benak Cempaka. Dan gadis itu
merasakan adanya ketidakadilan dalam hidup ini. Sementara dirinya selama ini
selalu hidup lebih.
“Kak...,” pelan sekali suara Cempaka.
“Ada apa lagi...?”
“Bagaimana nanti Padmi bisa hidup ya...?” Cempaka
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Kau ini, Cempaka.... Kenapa masih memikirkan
Padmi, sih...?”
“Aku kasihan, Kak. Kenapa tadi tidak dibawa saja
sekalian? Aku bisa mengangkatnya jadi adik,” Cempaka mengemukakan isi hatinya.
“Cempaka.... Kalau ada sepuluh orang seperti Padmi,
atau mungkin ratusan, bahkan ribuan orang, apa kau juga akan mengangkat mereka
jadi adik...?”
Cempaka tidak langsung menjawab.
“Apa ada banyak orang sepertinya, Kak?” Cempaka
malah bertanya setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Bukan hanya ada, tapi banyak. Ah..., sudahlah. Aku
yakin, nanti rasa ibamu juga akan hilang sendiri,” Pandan Wangi tidak ingin
membicarakan masalah Padmi lagi.
“Tapi, Kak.... Tidak ada salahnya kan, kalau aku
mengangkatnya sebagai adik?”
“Tidak. Dan jika kau mau, jemput saja,” sahut
Pandan Wangi.
“Sungguh...?” sinar mata Cempaka langsung berbinar.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja dengan bibir
menyunggingkan senyuman tipis.
“Aku akan kembali, Kak. Tunggu di sini dulu...!”
seru Cempaka.
“Heh...?!” Pandan Wangi terkejut.
Tapi Cempaka sudah cepat memutar kudanya dan
langsung menggebahnya. Maka kuda coklat itu melesat cepat meninggalkan Pandan
Wangi yang hanya bisa terbengong. Si Kipas Maut itu bukan saja terkejut, tapi
juga keheranan akan sikap Cempaka. Padahal tadi keinginan Cempaka ditanggapi
dengan asal bicara saja. Sama sekali tidak bersungguh-sungguh menganjurkan
begitu. Namun rupanya Cempaka benar-benar menanggapinya.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit sambil
mendesah, kemudian melompat turun dari punggung kudanya. Gadis itu membiarkan
saja kuda putih itu melenggang menjauh mencari rumput segar untuk mengisi
perutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri dihenyakkan di bawah sebatang pohon yang
cukup rindang. Pandan Wangi duduk di atas akar yang menyembul dari dalam tanah.
Sementara Cempaka sudah tidak lagi terlihat
“Hhh..., ada-ada saja...,” desah Pandan Wangi
perlahan diiringi hembusan napas panjang.
DUA
“Hup...!”
Cempaka langsung melompat turun dari punggung
kudanya. Bergegas gadis itu berlari menerobos pondok kecil yang sudah reyot dan
hampir roboh. Namun begitu berada di dalam, kedua bola matanya membeliak lebar.
“Biadab...!” desis Cempaka.
Seluruh darah yang mengalir di tubuh gadis itu
seketika mendidih. Di hadapan matanya tampak seorang laki-laki bertubuh besar
dan kasar sedang memaksa Padmi untuk melayani nafsu setannya. Padmi mencoba
memberontak, namun tubuhnya yang kecil seakan-akan tenggelam dalam pelukan laki-laki
itu.
“Hiyaaat..!”
Seketika itu juga Cempaka melesat cepat bagai
kilat. Langsung dilontarkannya satu pukulan keras ke tubuh laki-laki itu.
Teriakan Cempaka membuat laki-laki tinggi tegap tanpa baju itu terkejut. Namun
sebelum sempat melakukan sesuatu, pukulan Cempaka sudah mendarat telak di
tubuhnya.
Des!
“Akh...!” laki-laki tinggi besar itu terpekik
keras. Tubuh yang besar dan kasar itu terpental, lalu menabrak dinding pondok
yang rapuh hingga jebol berantakan. Akibatnya laki-laki itu langsung tersuruk
dan bergelimpangan di luar. Cempaka tidak membiarkan begitu saja. Secepat kilat
tubuhnya melesat ke luar menerobos dinding yang hancur berantakan.
Kembali gadis itu melontarkan satu pukulan keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun orang yang wajahnya penuh brewok
itu, bergelimpangan ke samping beberapa kali. Maka pukulan Cempaka hanya
menghantam tanah kosong berumput.
Begitu kerasnya pukulan Cempaka, sehingga tanah itu
terbongkar, dan berpentalan ke udara. Namun Cempaka tidak juga membiarkan
laki-laki yang hendak memperkosa Padmi tadi. Kembali tubuhnya melesat cepat
bagaikan kilat menerjang orang yang baru saja bisa bangkit berdiri.
“Hiyaaat..!”
Deghk!
“Uhk...!” orang itu mengeluh pendek begitu perutnya
tersodok tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Laki-laki bertubuh kasar yang hanya mengenakan
celana sebatas lutut berwarna hitam itu terbungkuk. Pada saat itu Cempaka
kembali melayangkan satu pukulan keras ke arah wajah. Pukulan cepat menggeledek
itu tak mampu dihindari lagi, telak menghantam muka laki-laki bertubuh tinggi
besar itu.
Deghk!
“Aaakh...!” laki-laki itu memekik keras.
Hantaman Cempaka membuat tulang hidung laki-laki
itu hancur. Bunyinya begitu keras terdengar. Seketika itu juga darah mengucur
deras dari hidung yang hancur tulang-tulangnya. Laki-laki tinggi besar itu
meraung-raung keras sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tapi hanya
beberapa saat saja dia meraung kesakitan. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan
sambil menggeram dahsyat. Sepasang bola matanya memerah menyorot tajam,
langsung menusuk mata indah milik Cempaka.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh tinggi tegap
dengan wajah kasar itu berteriak keras sambil melompat menerjang. Tangannya
yang besar dan bagai palu godam itu melontarkan pukulan keras beberapa kali
secara beruntun.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun Cempaka lebih gesit lagi menghindari serangan
itu. Tubuhnya berjumpalitan sambil mengegos ke kiri dan ke kanan menghindari
serangan gencar dan beruntun. Tepat pada suatu saat, orang itu mengarahkan
pukulan ke dada, dengan cepat sekali. Cempaka melenting ke belakang. Pada saat
kaki gadis itu kembali mendarat di tanah, lalu cepat sekali melesat kembali ke
udara sambil mencabut pedangnya.
Sret!
Cempaka langsung membabatkan pedangnya kearah tubuh
orang itu yang tidak sempat lagi menghindar. Maka tebasan pedang Cempaka
langsung menyabet dada lelaki tinggi besar itu.
Cras!
“Aaa...!” laki-laki bertubuh tinggi besar dengan
wajah kasar itu memekik keras melengking tinggi.
Darah langsung muncrat begitu pedang Cempaka
membelah dadanya. Lebar dan dalam sekali! Dan begitu Cempaka melayangkan satu
tendangan keras, tubuh tinggi besar itu langsung terpental ambruk ke tanah. Tak
ada lagi gerakan, karena orang itu tewas seketika begitu menghantam tanah
dengan keras sekali.
Cempaka langsung memasukkan pedang ke dalam
sarungnya di pinggang. Sebentar dipandanginya orang yang sudah tergeletak tak
bernyawa lagi itu. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat masuk ke dalam
pondok. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya sehingga dalam sekejap saja
sudah lenyap di dalam pondok itu. Tanpa diketahui Cempaka, ada sepasang mata
yang menyaksikan pertarungan tak seimbang tadi. Orang itu segera melesat,
meninggalkan tempat itu.
“Padmi....”
Bergegas Cempaka menghampiri Padmi yang masih
menangis sesenggukan. Bajunya sudah koyak, sehingga beberapa bagian tubuhnya
terlihat menyembul ke luar. Mendengar suara Cempaka, Padmi langsung menghambur
dan memeluknya. Tangisnya langsung pecah seketika, di dalam pelukan Cempaka.
Air matanya berlinangan membasahi seluruh baju di dada gadis itu
Agak lama juga Cempaka membiarkan Padmi menangis di
dadanya. Setelah tanglsan Padmi mereda, Cempaka baru melepaskan pelukan gadis
itu. Diraihnya selembar kain yang teronggok di atas balai-balai bambu, kemudian
ditutupinya tubuh Padmi yang terbuka. Sesekali gadis kecil itu masih terisak
sesenggukan. Beberapa kali air matanya diseka, karena masih juga mengalir.
“Sudahlah, Padmi. Tak ada lagi yang
meng-ganggumu...,” bujuk Cempaka menghibur.
Padmi masih sukar membuka suara. Peristiwa yang
terjadi barusan, membuatnya begitu terpukul. Hampir saja kehormatannya dirampas
oleh seorang laki-laki kasar. Untung saja Cempaka segera datang menolong.
“Sudah. Sekarang, bereskan pakaianmu, lalu pergi,”
kata Cempaka tidak tahan mendengar tangisan terus-menerus.
Padmi masih diam saja. Terpaksa Cempaka yang
membereskan pakaian gadis itu, lalu membungkusnya dengan selembar kain lusuh
yang sudah pudar warnanya. Sementara Padmi masih saja duduk di balai-balai
bambu yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Cempaka menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat Padmi seperti orang linglung saja. Dihampirinya gadis itu,
lalu duduk di sampingnya.
“Yuk..,” ajak Cempaka lembut
Sebentar Padmi memandangi Cempaka, kemudian
merapikan dirinya. Pakaiannya yang koyak segera digantinya. Sementara Cempaka
sudah melangkah ke luar pondok itu. Masih sempat terlihat olehnya mayat
laki-laki kasar yang tergolek berlumuran darah. Tak berapa lama kemudian, Padmi
keluar. Gadis itu agak bergidik melihat mayat yang tergeletak tidak jauh dari
pondoknya.
“Ayo...!” ajak Cempaka seraya menggamit tangan gads
itu.
Mereka kemudian berjalan perlahan-lahan
meninggalkan pondok itu. Cempaka menuntun kudanya, karena tidak mungkin menunggang
kuda sama-sama. Padmi menolehkan kepalanya memandang mayat yang tergeletak
tidak jauh dari pondoknya.
“Kau yang membunuhnya, Kak Cempaka?” tanya Padmi
dengan suara yang agak tertahan.
Cempaka menganggukkan kepalanya.
“Tapi...,” suara Padmi terputus.
“Sudahlah, jangan kau pikirkan,” potong Cempaka.
“Dia banyak temannya, Kak Aku takut...” keluh
Padmi.
Cempaka menatap Padmi dalam-dalam. Memang sudah
diduga kalau orang itu pasti ada temannya. Dan ini memang yang diinginkan. itu
berarti dalam pengembaraannya akan didapatkan tantangan yang memang sedang
diharapkannya.
“Kau naik kuda ini, Padmi,” ujar Cempaka.
“Aku..?!” Padmi terkejut
Seumur hidup dia belum pernah naik kuda.
Dipandanginya Cempaka dan kuda coklat itu bergantian. Sedangkan Cempaka tidak
ingin berlarut-larut. Langsung direngkuhnya pinggang gadis itu, lalu dinaikkan
ke atas punggung kudanya. Padmi terpekik tertahan, namun tahu-tahu sudah berada
di punggung kuda coklat itu. Sebelum Padmi menyadari apa yang terjadi, Cempaka
sudah berlari kencang sambil memegangi tali kekang kudanya. Kuda coklat itu
langsung saja melesat kencang mengikuti lari Cempaka yang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
“Ah...!” Padmi terpekik keras.
Dia terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya
direbahkan ke punggung kuda itu, dan dipeluknya leher kuda kuat-kuat Sungguh
dia tidak ingin mati terlempar dari punggung kuda yang berlari kencang. Padmi
tidak sanggup lagi membuka matanya. Dia tidak tahu kalau Cempaka berlari cepat
sekali di depan kudanya. Padmi hanya bisa merasakan tubuhnya berguncang-guncang
terombang-ambing di atas punggung kuda yang berlari kencang bagai dikejar
setan.
“Kak...! Kak Pandan..!” Cempaka mengguncang-guncang
tubuh Pandan Wangi yang tertidur di bawah pohon.
Pandan Wangi hanya mengeluh sedikit, dan membuka
matanya perlahan. Tubuhnya digeliatkan sebentar, lalu beranjak bangkit duduk
bersandar di pohon. Pandangannya langsung mengarah pada Padmi yang berada di
punggung kuda Cempaka.
“Ayo, Kak. Cepat tinggalkan tempat ini,” ajak
Cempaka.
“Sudah hampir malam. Sebaiknya, bermalam saja di
sini,” kata Pandan Wangi malas.
“Jangan, Kak. Kita berkuda cepat saja, pasti sampai
di Desa Weru sebelum gelap,” sergah Cempaka.
“Untuk apa cepat-cepat..?”
“Kak...!” sentak Cempaka sambil menarik tangan
Pandan Wangi.
Mau tidak mau Pandan Wangi berdiri juga. Tapi
keningnya berkerenyut melihat raut wajah Cempaka yang agak menegang. Tidak
biasanya adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu begitu tegang. Macam-macam
pikiran langsung berkecamuk dalam benak si Kipas Maut itu.
“Ayo, Kak. Cepat..!” desak Cempaka memaksa.
“Ada apa, sih...? Kok tidak biasanya....”
“Sudahlah, Kak. Nanti akan kujelaskan,” potong
Cempaka cepat
Pandan Wangi memandangi Cempaka dalam-dalam,
kemudian beralih memandang Padmi yang masih saja duduk di punggung kuda coklat.
Sementara itu Cempaka sudah melompat naik ke punggung kudanya di depan Padmi.
Dan disuruh Padmi memegang pinggangnya kuat-kuat Sedangkan Pandan Wangi masih
memandangi saja. Dia yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi, sehingga
membuat Cempaka begitu tegang.
“Cepat sedikit, Kak..!” sentak Cempaka tidak sabar.
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit, kemudian
melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Pada saat itu, Cempaka sudah cepat
menggebah kudanya. Maka Pandan Wangi bergegas menggebah kudanya, menyusul
Cempaka yang sudah jauh bersama Padmi. Pandan Wangi mensejajarkan lari kudanya
di samping kuda Cempaka.
“Ada apa, Cempaka? Kenapa begitu tergesa-gesa?”
tanya Pandan Wangi masih penasaran dengan sikap Cempaka yang tidak biasanya
begini.
“Aku habis membunuh orang,” sahut Cempaka.
“Apa...?!” Pandan Wangi tersentak kaget
Hampir tidak dipercaya, apa yang baru saja
didengamya. Dia juga merasa heran, dan jadi geli mendengamya. Hanya karena baru
saja membunuh orang, Cempaka jadi tegang begini! Padahal bukan sekali ini
Cempaka melakukannya. Entah sudah berapa nyawa melayang di tangan gadis itu.
Dan..., sungguh Pandan Wangi tidak bisa memahami sikap Cempaka yang seperti
baru saja melakukan perjalanan dan menewaskan orang.
“Dia hampir saja memperkosa Padmi. Aku tidak bisa
mengendalikan diri, Kak. Orang itu tewas oleh pedangku,” kata Cempaka mencoba
menjelaskan persoalannya.
“Ada berapa orang?” tanya Pandan Wangi sambil
menahan rasa geli yang menggelitik hatinya.
“Satu,” sahut Cempaka.
“Hanya satu...?!” kembali Pandan Wangi tercengang.
Ini merupakan hal yang sungguh luar biasa pada diri
Cempaka. Hanya satu orang saja yang tewas, dia sudah begitu tegang. Si Kipas
Maut itu tidak percaya kalau Cempaka yang memiliki tingkat kepandaian cukup
tinggi belum pernah bertarung dan menewaskan lawannya. Sudah pernah didengarnya
semua tentang diri Cempaka. Baik gadis itu sendiri yang menceritakannya, maupun
Rangga.
Dan Pandan Wangi bisa menilai kalau Cempaka
termasuk gadis yang agak liar juga. Persis dengan dirinya dulu, yang tidak
pernah bisa mengendalikan diri jika sudah bertarung.
“Cempaka, kenapa kau jadi ketakutan begitu...?”
tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi menahan keheranannya.
“Siapa bilang aku takut..?!” sentak Cempaka.
“Itu....”
“Aku hanya ingin menghindar dari teman-temannya.
Mereka pasti berjumlah banyak, dan tentunya aku tidak ingin mati di sini
sebelum bertemu Kakang Rangga,” Cempaka beralasan.
“Berapa orang temannya?” tanya Pandan Wangi
tersenyum.
Pandan Wangi tahu kalau Cempaka hanya beralasan
saja untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tapi dia juga tidak percaya kalau
Cempaka merasa takut hanya karena baru menewaskan satu orang, lalu teman-teman
orang itu akan membalas kematiannya.
“Tidak tahu,” sahut Cempaka pendek
“Ah! Sudahlah, Cempaka. Perlambat sedikit lari
kudamu. Tuh, Desa Weru sudah kelihatan,” kata Pandan Wangi masih menganggap
persoalan yang dihadapi Cempaka bukan persoalan gawat
Tapi rupanya Cempaka memperlambat juga lari
kudanya. Dan memang, Desa Weru sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di depan.
Sedangkan saat ini, matahari sudah begitu condong ke Barat. Cempaka
memperkirakan sebelum matahari tenggelam pasti sudah sampai di desa itu. Dan
tinggal mencari penginapan untuk melepaskan urat syaraf yang menegang.
Namun begitu mereka memperlambat laju kuda,
mendadak saja dari arah belakang terdengar teriakan-teriakan keras, disertai
derap kaki kuda yang dipacu cepat. Cempaka dan Pandan Wangi langsung berpaling
ke belakang. Dan mereka terkejut bukan main begitu di belakang mereka terlihat
sekitar dua puluh orang berbaju hitam berpacu cepat menuju ke arah mereka.
Tampaknya semua mengacungkan golok ke atas kepala sambil berteriak-teriak keras
menggetarkan hati siapa saja yang mendengamya.
“Mereka datang...,” desis Padmi bergetar dengan
wajah langsung pucat pasi.
“Siapa mereka?” tanya Pandan Wangi.
“Orang yang hendak membalas kematian temannya
padaku,” sahut Cempaka, agak dingin nada suaranya.
Pandan Wangi memandangi Cempaka beberapa saat,
kemudian cepat melompat turun dari kudanya. Cempaka bergegas mengikuti.
Sedangkan Padmi masih tetap berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.
Sementara orang-orang berkuda itu sudah semakin dekat saja. Bumi yang dipijak,
seakan-akan bergetar oleh hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, menciptakan
debu yang mengepul tinggi ke angkasa.
“Kita hadapi mereka, Cempaka,” kata Pandan Wangi.
“Yaaah...,” Cempaka hanya mendesah panjang saja.
Sebenarnya ini yang diharapkan. Tapi begitu melihat
jumlah mereka yang begitu banyak, hatinya agak ciut juga. Sungguh tidak
disangka kalau akan menghadapi orang begini banyak. Meskipun sudah pernah
menghadapi keroyokan dan berbagai macam pertarungan, tapi selama itu dia
bersama Rangga. Sedangkan sekarang ini sama sekali tidak ada Pendekar Rajawali
Sakti. Dan Cempaka memang agak gentar juga jika bertarung tanpa ada Pendekar
Rajawafi Sakti di sampingnya, meskipun sekarang ini ada si Kipas Maut yang
berkepandaian tinggi.
Namun Cempaka tidak akan merasa tenang, karena
memang sudah demikian bergantung pada Pendekar Rajawali Sakti. Satu sikap yang
sebenarnya tidak perlu terjadi, tapi Cempaka tidak bisa menghilangkannya.
Hatinya sudah begitu terpatri, sehingga tidak ada yang bisa dikagumi. Tidak ada
yang bisa dijadikan panutan dan kepercayaan diri selain Pendekar Rajawali
Sakti. Kini semua ketergantungan itu sangat dirasakan sekali di saat harus
berhadapan dengan orang-orang yang akan membalas kematian temannya.
***
“Itu dia orangnya...!” terdengar teriakan keras
dari orang-orang berbaju hitam itu.
Tampak salah seorang yang berkuda paling depan,
menunjuk ke arah Cempaka dan Pandan Wangi yang sudah siap menghadapi mereka.
Orang itulah yang menyaksikan pertarungan Cempaka tadi melawan orang yang
hendak memperkosa Padmi. Gerombolan orang berbaju hitam itu langsung
berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, langsung menge-pung Cempaka
dan Pandan Wangi. Mereka seakan- akan tidak mempedulikan keberadaan Padmi yang
berada di punggung kuda coklat milik Cempaka.
Salah seorang dari dua puluh laki-laki yang
semuanya menghunus golok, melangkah ke depan beberapa tindak. Pandan Wangi
mengamati laki-laki bertubuh tinggi tegap yang wajahnya penuh cambang dan kumis
melintang, sehingga menutupi bibirnya yang tebal. Dadanya seperti sengaja
dibuka, seakan-akan hendak memamerkan dada yang berbulu tebal itu.
“Siapa di antara kalian yang membunuh anak buahku?”
besar dan berat sekali suara orang itu.
“Aku,” sahut Pandan Wangi mendahului.
Cempaka agak terkejut, dan sempat menatap Pandan
Wangi dalam-dalam. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena laki-laki tinggi
besar itu sudah mempercayai jawaban Pandan Wangi.
“Kau berhutang nyawa padaku, Nisanak,” desis orang
itu dingin.
“Anak buahmu terlalu kurang ajar, dan terpaksa
kuberi pelajaran!” sahut Pandan Wangi ketus.
“Bagus...! Dan sekarang kau yang akan kuberi
pelajaran, Bocah Sombong!”
Setelah berkata demikian, ujung jarinya
dijentikkan. Dan seketika itu juga, orang-orang yang sudah berkeliling
mengepung itu langsung berlompatan. Sambil berteriak keras, mereka mengibaskan
goloknya yang berkilatan tertimpa cahaya matahari senja. Pandan Wangi bergegas
melompat sambil meliukkan tubuhnya menghindari sambaran golok yang begitu cepat
mengarah ke pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, Cempaka langsung mencabut
pedangnya.
Trang!
Pedang Cempaka langsung beradu dengan sebilah golok
yang hampir membelah dadanya. Namun gadis itu cepat memutar pedangnya. Seketika
dibabatnya leher salah seorang berbaju hitam yang berada di samping kanannya.
Cras!
“Aaa...!” satu jeritan melengking tinggi terdengar,
disusul ambruknya satu orang dengan leher sobek terbabat pedang Cempaka.
Tak ada yang sempat memperhatikan, karena Cempaka
sudah kembali bergerak cepat sekali. Pedangnya dikibaskan, membabat orang-orang
yang mengeroyok dengan senjata golok. Teriakan-teriakan keras pertempuran,
bercampur denting senjata yang terdengar membahana. Dan itu pun masih
ditingkahi pekikan melengking tinggi dari orang-orang yang terkena sambaran
pedang Cempaka. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tiga orang yang
tergeletak tak bernyawa.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah mengeluarkan
senjata mautnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya berbentuk runcing.
Senjata itu siap mengancam nyawa siapa saja yang berada dekat dengannya. Pandan
Wangi sendiri sudah merobohkan lima orang yang mengeroyoknya. Kipas baja putih
yang menjadi senjata andalannya berkelebat cepat dan sukar diikuti pandangan
mata biasa.
Memang, kedua gadis itu bukanlah tandingan
gerombolan kecil yang hanya memiliki kepandaian rendah seperti ini. Sehingga
tidak heran jika dalam waktu sebentar saja, sudah separuhnya yang tergeletak
tak bernyawa lagi. Udara senja yang temaram ini jadi sesak oleh bau anyir darah
yang menggenang dari tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
“Lariii..!” tiba-tiba terdengar teriakan keras
menggelegar.
Seketika itu juga, orang-orang berbaju hitam yang
kini jumlahnya tinggal sekitar tujuh orang lagi berlompatan kabur. Mereka
bergegas melompat ke punggung kuda masing-masing dan cepat menggebahnya. Pandan
Wangi dan Cempaka berdiri tegak memandangi mereka yang kabur dengan cepat
“Hhh...i Benar-benar suatu pengalaman baru...!”
desis Cempaka.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian memutar
tubuhnya. Langsung saja dia melompat naik ke punggung kudanya. Cempaka sendiri
malah mengambil kuda yang ditinggalkan orang-orang itu. Tak berapa lama
kemudian, tiga kuda sudah bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Cempaka
menuntun tali kekang kudanya yang ditunggangi Padmi, karena gadis itu tidak
bisa menunggang kuda.
***
TIGA
Desa Weru memang bukan sebuah desa yang indah dan
ramai. Letaknya pun sangat terpencil, dan terlalu dekat dengan Rimba Tengkorak.
Jarang orang datang ke desa ini, kecuali mereka yang sedang menempuh perjalanan
jauh. Untung saja Pandan Wangi dan Cempaka masih bisa memperoleh penginapan
yang cukup lumayan. Biasanya, mereka yang datang sudah kemalaman, sukar sekali
mendapatkannya.
Pandan Wangi yang sudah beberapa kali singgah di
desa ini, cukup dikenali oleh pemilik rumah penginapan. Sehingga, tidak ada
kesulitan baginya mendapatkan tempat bermalam yang layak. Ki Jantar, pemilik
rumah penginapan ini memberi Pandan Wangi kamar yang biasa ditempatinya jika
menginap di sini. Seperti biasanya, si Kipas Maut itu selalu melewatkan malam
di kedai Ki Jantar yang letaknya di depan penginapan.
“Lama sekali Den Ayu tidak datang ke sini,” kata Ki
Jantar seraya meletakkan minuman yang dipesan Pandan Wangi.
“Banyak kesibukan, Ki,” sahut Pandan Wangi seraya
melirik Cempaka yang duduk di seberang meja ini.
“Tapi, kenapa tidak bersama-sama Den Rangga?” tanya
Ki Jantar.
“Ki Jantar juga kenal Kakang Rangga...?” Cempaka
agak heran juga, karena pemilik kedai dan penginapan ini juga mengenal Pendekar
Rajawali Sakti.
“Siapa yang tidak kenal Den Rangga, Den Ayu. Semua
orang di desa ini mengenalnya dengan baik,” sahut Ki Jantar. Nada suaranya
terdengar agak bangga.
“Ki...!” terdengar suara panggilan yang keras.
“Oh, sebentar....”
Bergegas Ki Jantar meninggalkan meja yang ditempati
Pandan Wangi dan Cempaka. Saat itu Pandan Wangi sempat melirik orang yang
memanggil Ki Jantar dengan suara keras sekali. Seorang laki-laki tua yang
mungkin sebaya Ki Jantar, atau mungkin juga lebih tua. Pada saat yang sama,
laki-laki tua berbaju warna putih yang tongkatnya bersandar di sampingnya itu
juga melirik ke arah Pandan Wangi.
Agak terkesiap juga si Kipas Maut itu saat
pandangannya tertumbuk pada lirikan laki-laki tua itu. Buru-buru Pandan Wangi
mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Kedai ini memang tidak terlalu ramai.
Hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang ke sini. Dan rata-rata, mereka
adalah pendatang yang kebetulan saja singgah di Desa Weru ini.
“Padmi sudah tidur, Cempaka?” tanya Pandan Wangi
setelah melirik kembali pada laki-laki tua berbaju putih itu
“Sudah. Katanya lelah sekali,” sahut Cempaka seraya
menikmati minumannya.
Pandan Wangi kembali melirik laki-laki tua berbaju
putih yang rambutnya sudah memutih semua itu. Agak heran juga dia, karena
laki-laki tua itu sejak tadi tidak lepas memandanginya terus. Pandan Wangi
mencoba mengingat-ingat, kalau-kalau pernah bertemu dengannya. Tapi dia begitu
yakin kalau tidak pernah bertemu sebelumnya. Namun sepertinya ada sesuatu pada
dirinya sehingga laki-laki tua itu terus memperhatikan.
“Kak...”
Pandan Wangi menatap Cempaka.
“Ada apa?”
“Sepertinya Kakang Rangga tidak ada di sini,” kata
Cempaka dengan suara agak berbisik.
“Mungkin...,” sahut Pandan Wangi.
“Kata Ki Jantar, semua orang di sini mengenal
dengan baik. Pasti mereka tahu kalau Kakang Rangga ada di sini,” kata Cempaka
lagi. “Apa mungkin dia akan datang ke sini, Kak?”
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah tersenyum
saja. Memang jarang sekali bagi seorang pendekar kelana menginjakkan kakinya
pada satu tempat untuk kedua kalinya. Kalau toh itu dilakukan, pasti karena
kebetulan saja. Apalagi Pandan Wangi tahu betul, kalau Rangga tidak pernah
merencanakan suatu perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti akan berada di mana
saja sekehendak hatinya.
“Kak Pandan tahu dari mana kalau Kakang Rangga akan
ke sini?” tanya Cempaka lagi.
“Hanya perasaan saja,” sahut Pandan Wangi.
“Kalau tidak ada di sini?”
“Ya, cari terus,” sahut Pandan Wangi setengah
bergurau.
“Hhh.... Bisa makan waktu, Kak...,” keluh Cempaka.
“Kenapa mengeluh? Bukankah kau sendiri yang ingin
ikut, Cempaka...?” gurau Pandan Wangi lagi.
“Aku tidak mengeluh. Hanya saja...,” Cempaka tidak
meneruskan kalimatnya.
“Hanya apa?”
Tapi Cempaka tidak menjawab. Dicoleknya punggung
tangan Pandan Wangi dan dikerdipkan sebelah matanya. Pandan Wangi berpaling
sedikit, dan agak tersentak kaget begitu tiba-tiba di sampingnya sudah berdiri
seorang laki-laki tua berbaju putih. Tampak tongkat kayu berwarna coklat
kemerahan tergenggam di tangannya.
Yang membuat Pandan Wangi terkejut adalah laki-laki
tua inilah yang tadi sempat menjadi perhatiannya. Orang tua itu tersenyum dan
menganggukkan kepalanya sedikit. Pandan Wangi dan Cempaka membalas dengan
anggukan kepala sedikit juga. Kedua gadis itu agak keheranan atas kedatangan
orang tua yang tidak dikenal sama sekali.
“Apakah Nisanak yang bernama Pandan Wangi?” tanya
orang tua itu dengan suara yang dibuat lembut dan sopan.
“Benar...,” sahut Pandan Wangi keheranan.
“Boleh aku duduk di sini sebentar?” pinta orang tua
itu.
Pandan Wangi memandang Cempaka sebentar sebelum
mempersilakan laki-laki tua ini duduk di bangku kosong yang ada di sampingnya.
Dengan sikap sopan, orang tua itu duduk di kursi kosong itu. Tongkatnya
disandarkan di tepi meja. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka saling
berpandangan saja. Mereka tidak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hati
atas kemunculan orang tua ini.
“Maaf, siapa sebenarnya Kisanak ini?” tanya Pandan
Wangi.
“Aku hanya orang tua yang kebetulan bisa melihat
kehidupan dan kematian seseorang,” sahut orang tua itu dengan bibir terus
menyunggingkan senyum.
Pandan Wangi dan Cempaka kembali saling
berpandangan dengan kening berkerut agak dalam. Kemudian mereka sama-sama
memandangi laki-laki tua berbaju putih yang tidak dikenal sama sekali ini.
Sedangkan orang tua itu hanya tersenyum-senyum saja.
“Siapa namamu, Kisanak?” tanya Cempaka dengan nada
suara curiga.
“Orang-orang memanggilku, Ki Ramal, karena aku
seorang tukang ramal ulung. Batinku bisa melihat jalan hidup seseorang tanpa
diketahui orang lain,” laki-laki tua itu memperkenalkan sambil memuji dirinya
sendiri.
“Lalu, apa maksudmu mendatangi kami?” tanya Pandan
Wangi yang memang sama sekali tidak pernah bertemu laki-laki tua yang mengaku
bernama Ki Ramal ini sebelumnya.
“Aku melihat ada sesuatu pada dirimu, Nisanak,”
sahut Ki Ramal dengan mata tajam menatap Pandan Wangi.
“Jangan coba-coba meramalku, Kisanak!” sentak
Pandan Wangi kurang senang.
“Tidak. Sama sekali aku tidak meramalmu. Tapi...,”
Ki Ramal tidak meneruskan. Sedangkan matanya semakin dalam memandangi Pandan
Wangi
Mendapat pandangan begitu dalam, Pandan Wangi jadi
jengah juga. namun di balik itu, hatinya jadi penasaran dan ingin tahu, apa
yang dilihat peramal tua ini dalam dirinya.
“Apa yang kau lihat di dalam diri Kak Pandan, Ki?”
tanya Cempaka yang tidak bisa menahan penasaran di hatinya.
“Sesuatu yang gelap.... Ya..., kegelapan yang sukar
untuk ditembus. Aku..., aku...,” suara Ki Ramal agak tersendat
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
dan matanya agak menyipit. Sedangkan Pandan Wangi semakin tidak senang saja,
tapi juga ingin tahu kelanjutannya. Sementara Cempaka sendiri semakin terlihat
penasaran. Dipandangjnya Ki Ramal dengan wajah penasaran sekali.
“Sudah, Ki. Jangan bikin ulah macam-macam!” sentak
Pandan Wangi seraya menyembunyikan perasaan sebenarnya.
Namun Ki Ramal masih tetap memandangi Pandan Wangi
dalam-dalam. Dan ini membuatnya jengah. Si Kipas Maut merasa tidak senang, tapi
juga penasaran. Hanya saja keingintahuannya tidak ingin ditunjukkan. Dan
sebenarnya, Pandan Wangi paling tidak suka dirinya diramal-ramal seperti itu.
Menurutnya, ramalan hanya akan mengganggu ketenangan pikiran saja, dan belum
tentu kebenarannya.
“Oh..., sayang sekali...,” desah Ki Ramal
tiba-tiba.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya
disertai hembusan napas panjang. Sementara Cempaka semakin tertarik ingin tahu,
apa yang dilihat peramal tua itu. Sampai-sampai tubuhnya disorongkan ke depan
dengan sikut menekan, bertumpu pada tepi meja.
“Ada apa, Ki?” tanya Cempaka semakin ingjn tahu
saja.
“Ah.... Tampaknya nasibmu malang sekali, Nisanak.
Dalam beberapa hari lagi kau akan menemui ajal..,” tebak Ki Ramal dengan suara
yang parau dan agak tersendat
“Kurang ajar...!” desis Pandan Wangi langsung
memerah wajahnya.
“Maaf, Nisanak. Seharusnya aku tidak berkata
demikian. Tapi semua yang kulihat mengatakan demikian. Maaf.... Maafkan aku,
Nisanak...,” buru-buru Ki Ramal bangkit berdiri.
“Eh! Tunggu dulu, Ki...!” sentak Cempaka mencoba
mencegah.
Ki Ramal melangkah mundur beberapa tindak.
Dipandanginya Cempaka beberapa saat. Sementara Pandan Wangi semakin tidak suka
dengan laki-laki tua peramal itu.
“Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya, jika kau
tidak ingin terlibat dalam bencana,” ujar Ki Ramal pada Cempaka.
“He...!” Cempaka tersentak kaget
Tapi sebelum bisa mengatakan sesuatu, laki-laki tua
berbaju putih itu sudah cepat membalikkan tubuhnya. Dia tampaknya berjalan
tergesa-gesa meninggalkan kedai ini. Sedangkan Pandan Wangi menggerutu,
memaki-maki peramal itu. Gadis itu benar-benar tidak suka diramal akan mati
dalam beberapa hari ini. Sementara pada saat itu, Ki Jantar menghampiri.
Pemilik kedai ini langsung duduk di kursi, tempat peramal tua tadi duduk.
“Apa yang dikatakan peramal tua itu tadi, Den Ayu?”
tanya Ki Jantar ingjn tahu.
“Peramal edan..!” dengus Pandan Wangi kesal
Si Kipas Maut itu langsung saja beranjak bangkit.
Minumannya diteguk hingga tandas, kemudian berjalan menuju belakang. Sedangkan
Ki Jantar dan Cempaka hanya memandanginya saja.
“Ada apa dengan Den Ayu Pandan Wangi...?” tanya Ki
Jantar jadi semakin ingjn tahu.
“Tidak tahu,” sahut Cempaka seraya mengangkat
bahunya.
“Apakah peramal itu mengatakan kalau Den Ayu Pandan
Wangi akan mati...?” tebak Ki Jantar langsung.
Cempaka terkejut bukan main, sampai-sampai
memandangi pemilik kedai itu dalam-dalam. Dugaan Ki Jantar memang tidak meleset
sama sekali, dan ini yang membuat Cempaka terkejut bukan main
“Maaf, Den Ayu. Biasanya peramal itu selalu
meramalkan kematian orang. Itu sebabnya dia dijuluki si Peramal Maut,” jelas Ki
Jantar buru-buru.
Cempaka tidak berkata apa-apa, lalu bergegas
bangkit berdiri dan meninggalkan kedai itu setelah membayar makanan dan
minumannya lebih dulu. Sementara Ki Jantar memandanginya sampai Cempaka lenyap
di balik pintu. Laki-laki tua pemilik kedai itu menggelengkan kepala beberapa
kali. Terdengar tarikan napas yang dalam disusul hembusan napas kencang.
“Hhh..., kenapa harus Den Ayu Pandan Wangi yang
kena ramalan peramal tua itu...?” desah Ki Jantar terasa berat.
***
Semalaman Pandan Wangi tidak bisa memicing kan mata
barang sekejap saja. Kata-kata si Peramal Maut itu selalu tergiang di
telinganya. Semalaman dia dirundung kegelisahan. Sukar baginya melupakan
kata-kata peramal tua itu. Sementara Pandan Wangi diliputi kegelisahan, Cempaka
sudah terlelap dalam tidur bersama Padmi di kamar lain. Dan mereka memang
menyewa dua kamar yang terpisah.
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas
kuat-kuat sambil melompat bangkit berdiri dari pembaringan.
Udara di kamar ini terasa begitu panas dan pengap
sekali. Gadis itu mengayunkan kakinya mendekati jendela kamar yang tertutup
rapat. Perlahan jendela kamar itu dibuka. Angin malam yang dingin, langsung
menerobos masuk menerpa wajahnya yang cantik. Namun belum juga Pandan Wangi
menikmati segarnya udara malam ini, mendadak saja....
Slap!
“Heh...?!” Pandan Wangi tersentak kaget Cepat
sekali tubuhnya dimiringkan ke kanan ketika tiba-tiba sekali terlihat sebuah
benda meluncur deras ke arahnya. Maka benda itu lewat sedikit di depan matanya,
langsung menghantam dinding. Sedikit Pandan Wangi melirik ke arah benda yang
ternyata sebatang anak panah itu, kemudian langsung melesat melalui jendela, ke
luar penginapan.
Begitu cepat dan ringan sekali lesatan si Kipas
Maut, hingga tahu tahu sudah hinggap di atas atap rumah penginapan ini. Sekejap
tampak sebuah bayangan berkelebat di dalam kegelapan malam ini. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuh sambil
memperguna kan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Begitu ringan dan cepat sekali, sehingga si Kipas
Maut itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanya bayangan biru saja
yang berkelebat cepat mengejar bayangan hitam yang bergerak cepat menyelinap
dari rumah-rumah penduduk. Dan bayangan hitam itu lenyap setelah sampai di
sebuah kebun yang dipenuhi pohon kelapa. Pandan Wangi menghentikan kejarannya
begitu sampai di tempat bayangan hitam tad menghilang.
Slap!
“Hup...!”
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke atas
ketika telinganya mendengar desiran halus dari samping kanannya. Ternyata
sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Anak panah itu menancap di
batang pohon kelapa setelah lewat di bawah kaki si Kipas Maut itu. Pada saat
yang sedikit itu, Pandan Wangi kembali melihat sebuah bayangan hitam
berkelebatan cepat.
“Hiyaaa...!”
Seketika itu juga Pandan Wangi melesat cepat
mengejar bayangan hitam itu. Dan setelah berputaran beberapa kali di udara, si
Kipas Maut itu berhasil melewati kepala bayangan hitam itu. Langsung kakinya
mendarat tepat menghadang di depannya. Bayangan hitam itu menghentikan larinya
seketika, namun tangan kanannya berkelebat cepat ke depan.
Bet!
“Hap...!”
Pandan Wangi memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan,
lalu mengibaskan tangan kanannya sambil mencabut kipas baja putih yang terselip
di pinggang. Seketika itu juga kipas baja putih mengembang terbuka, bersamaan
dengan kebutan tangan yang memegangnya. Seketika Pandan Wangi merasakan adanya
benturan keras pada senjata mautnya itu. Namun dengan cepat sekali kipas baja
putihnya yang sempat terhentak dikuasai.
Pada saat yang bersamaan, sosok manusia berpakaian
serba hitam itu melompat menerjang sambil mencabut sebilah golok yang terselip
di pinggang. Golok yang berkilatan tertimpa sinar bulan itu, ber-kelebatan
mengarah ke beberapa bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan.
“Hap! Yeaaah...!”
Dengan gerakan manis sekali, Pandan Wangi
menghindari serangan golok ini. Serangan-serangan orang berbaju hitam itu
memang cepat sekali, sehingga tidak memberi kesempatan sama sekali pada Pandan
Wangi untuk bisa menarik napas sebentar saja. Bahkan tidak ada kesempatan untuk
balas menyerang. Si Kipas Maut hanya bisa berlompatan dan berkelit menghindari
serangan-serangan gencar itu. Bahkan sepertinya orang berbaju hitam itu sengaja
mau mengadu senjatanya dengan kipas yang berada di tangan Pandan Wangi.
“Uts! Yeaaah...!”
Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya ke
udara ketika golok orang itu menyambar ke arah kakinya. Dan kesempatan ini
tidak disia-siakan. Sambil memutar tubuhnya di udara, si Kipas Maut mengebutkan
kipas baja putihnya ke arah kepala orang itu. Tak ada kesempatan bagi orang
berbaju hitam itu untuk berkelit. Terpaksa kepalanya dilindungi dengan kibasan
goloknya untuk menyampok serangan kipas baja putih itu
Trang!
Trak...!
“Heh...?!” orang berbaju serba hitam itu terkejut
bukan main, begitu goloknya patah jadi dua bagian setelah berbenturan dengan
kipas baja putih di tangan Pandan Wangi.
Dan sebelum rasa keterkejutannya hilang, mendadak
saja Pandan Wangi sudah melontarkan satu tendangan keras menggeledek ke arah
orang berbaju hitam itu. Tendangan yang cepat dan disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi itu, tak dapat terbendung lagi.
“Hiyaaa...!”
Deghk!
“Heghk..!” orang berbaju hitam itu mengeluh pendek
Tendangan Pandan Wangi tepat mendarat di dadanya,
sehingga membuat orang berbaju serba hitam itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak, Sedangkan Pandan Wangi yang sudah tidak memberi kesempatan lagi,
dengan cepat melompat memburu. Namun sebelum satu pukulan dilontarkan, mendadak
saja melesat sebuah benda bersinar kemerahan ke arah orang berbaju hitam itu.
Maka....
Crab!
“Aaa...!” orang itu menjerit keras melengking.
“Heh...?!” Pandan Wangi terkejut
Tapi orang berbaju hitam itu sudah tergeletak di
tanah dengan dada tertembus sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna merah.
Pandan Wangi berdiri tegak. Sebentar ditatapnya orang berbaju hitam yang sudah
tidak bernyawa lagi itu. Kemudian pandangannya diedarkan ke sekeliling. Tapi
sejauh mata memandang tak ada yang bisa terlihat, kecuali kegelapan malam
disertai hembusan angjn dingin menusuk kulit
“Huh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas panjang.
***
Kaki Pandan Wangi terayun perlahan-lahan menyusuri
jalan Desa Weru yang berdebu. Saat ini pagi baru saja datang menjelang. Dan
matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Hanya sinar kemerahannya saja yang
menyemburat, membias di balik bukit sebelah Timur. Semalaman Pandan Wangi
benar-benar tidak tidur. Dia masih belum mengerti dengan penyerangan yang
dilakukan orang berbaju serba hitam semalam.
Sama sekali orang berbaju serba hitam itu tidak
dikenalnya. Dan yang pasti, ada orang lain lagi yang menginginkan kematiannya
pula. Orang yang tidak diketahui sama sekali itu seperti sengaja melenyapkan
lawan bertarung Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu menyesal, karena tidak sempat
lagi mengorek keterangan dari penyerangnya yang tewas dengan dada tertembus
mata tombak di dadanya.
Pagi-pagi begini penduduk Desa Weru sudah keluar
dari rumahnya. Mereka yang mengenal Pandan Wangi, langsung menyapa dengan
anggukan kepala sedikit Dan Pandan Wangi membalasnya dengan ramah. Gadis itu
memang sudah beberapa kali datang ke desa ini, sehingga banyak orang yang
mengenalnya dengan baik. Saat itu terlihat seorang laki-laki setengah baya
menunggang kuda datang dari arah depan. Pandan Wangi tahu kalau dia adalah Ki
Sarumpat, Kepala Desa Weru.
“Hooop...!” Ki Sarumpat menghentikan kudanya tepat
di depan Pandan Wangi yang menghentikan ayunan kakinya.
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, kepala desa
itu melompat turun dari punggung kuda belang hitam putih yang tegap dan bagus
sekali. Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju putih itu menghampiri
Pandan Wangi. Kepalanya terangguk sedikit, yang langsung dibalas Pandan Wangi
dengan anggukan kepala juga.
“Maaf, Den Ayu. Aku baru mendengar kedatangan Den
Ayu pagi ini,” kata Ki Sarumpat dengan sikap sopan dan penuh rasa hormat.
“Ah, Ki Sarumpat ini hanya merepotkan diri saja,”
kata Pandan Wangi merasa tidak enak
“Ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan jasa
Den Ayu pada desa ini,” kilah Ki Sarumpat.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu mengayunkan
kakinya kembali. Ki Sarumpat mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping
si Kipas Maut itu sambil menuntun kudanya yang mendengus-dengus mengikuti dari
belakang.
Pandan Wangi teringat akan kedatangannya yang
terakhir di desa ini. Di sini gerombolan begal yang menguasai desa sempat
diobrak-abriknya. Itu sebabnya, kenapa seluruh penduduk desa ini mengenal
dirinya dengan baik. Bahkan ketika datang bersama Rangga, desa ini diselamatkan
dari kehancuran yang parah sekali.
Desa Weru memang juga bisa dikatakan sebuah desa
yang sangat rawan, karena letaknya yang terpencil dan jauh dari desa-desa
lainnya. Jadi tak heran bila sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya
mementingkan diri sendiri untuk dijadikan markas mereka. Atau sering juga
dijadikan tempat persembunyian bagi tokoh hitam persilatan yang sedang
dikejar-kejar pendekar.
Dan memang, setiap kali Pandan Wangi berada di desa
ini, pasti ada masalah yang selalu melibatkan dirinya. Baru semalaman saja
berada di desa ini, sudah ada orang yang hendak membunuhnya. Pandan Wangi tidak
percaya kalau kehadirannya di Desa Weru ini memang sudah dinantikan.
“Kabarnya Den Ayu datang tidak bersama Den Rangga,”
kata Ki Sarumpat mengisi kebisuan yang terjadi.
“Benar, Ki. Justru aku sedang mencari Kakang Rangga
ke sini,” sahut Pandan Wangi membenarkan.
“Ah..., sayang sekali. Den Ayu terlambat,” desah Ki
Sarumpat
“Terlambat..?” Pandan Wangi tercenung.
Gadis itu sampai menghentikan langkahnya sebentar
dan memandangi kepala desa itu dalam-dalam. Kemudian kakinya terayun kembali
perlahan-lahan.
“Apakah Kakang Rangga baru dari sini, Ki?” Tanya
Pandan Wangi.
“Dua hari yang lalu,” sahut Ki Sarumpat
“Dan sekarang ke mana?” tanya Pandan Wangi lagi
“Ke Bukit Tanggul. Katanya, Den Rangga akan menemui
seseorang di sana. Aku sendiri tidak tahu, siapa yang akan ditemuinya di bukit
gersang itu.”
Pandan Wangi kembali tercenung. Dia tahu, Bukit
Tanggul adalah sebuah bukit gersang, dan tidak ada satu tumbuhan pun hidup di sana.
Bukit yang hanya terdiri dari batu-batu cadas keras, namun mudah sekali
longsor. Bukit itu juga sering dijadikan arena pertarungan bagi tokoh-tokoh
rimba persilatan yang ingin menguji ilmu.
Pandan Wangi berharap kalau kedatangan Rangga ke
bukit itu tidak karena ingin bertarung. Tapi mengingat bukit itu memang sering
dijadikan arena pertarungan, kecemasan tak bisa lagi dibendung. Terlebih lagi,
dia tahu kalau tokoh persilatan yang bertarung di sana pasti merupakan tokoh
berilmu tinggi. Bukit Tanggul memang terkenal untuk pertarungan tokoh-tokoh
tingkat tinggi!
“Ki Sarumpat tahu tujuan Kakang Rangga ke sana?”
tanya Pandan Wangi.
“Semua orang pasti sudah bisa mengetahui, Den Ayu,”
sahut Ki Sarumpat.
Pandan Wangi tidak perlu penjelasan lagi dari
jawaban Ki Sarumpat tadi. Sudah jelas, kedatangan Rangga ke sana pasti untuk
bertarung. Tapi siapa lawannya...? Dan yang pasti, Pandan Wangi sudah menduga
kalau Pendekar Rajawali Sakti pasti hanya memenuhi undangan. Tidak mungkin
Rangga membuat tantangan, karena memang tidak pernah membuat tantangan pada
siapa pun juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga tidak pernah mengecewakan
orang lain yang memberikan tantangan padanya. Rangga akan melayani walau merasa
berat sekali pun.
***
EMPAT
Pandan Wangi memacu cepat kudanya mendaki Bukit
Tanggul yang berbatu dan berkerikil tajam, siap menggelincirkan siapa saja yang
mencoba melewati nya. Sedangkan agak jauh di belakangnya, tampak Cempaka dan
Padmi yang kini masing-masing sudah menunggang kuda. Tapi Cempaka belum berani
melepas Padmi berkuda sendiri, meskipun kelihatannya gadis itu sudah bisa
mengendalikan kuda. Padmi memang cerdas, dan bisa cepat menangkap apa saja.
Hanya setengah hari saja Cempaka mengajarinya menunggang kuda, gadis itu sudah
bisa seperti penunggang kuda kawakan saja.
“Hup...!”
Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda yang
dihentikan dengan mendadak sekali. Sebentar dipandanginya puncak bukit ini,
kemudian pandangannya beralih pada Cempaka yang menuntun Padmi di atas punggung
kudanya. Cempaka juga bergegas melompat turun dari punggung kudanya begitu
sampai di depan Pandan Wangi, lalu membantu Padmi turun dari kudanya. Pandan
Wangi jadi agak terharu juga terhadap Cempaka yang mau bersusah payah mengurusi
Padmi yang baru beberapa hari dikenalnya.
“Terpaksa kita tinggalkan kuda di sini,” kata
Pandan Wangi.
“Jalan kaki...?!” Cempaka mengerutkan keningnya.
Gadis itu memandangi puncak bukit yang masih
kelihatan tinggi, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang saat itu juga tengah
memandangi Puncak Bukit Tanggul ini.
“Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Cempaka. Aku
akan melihat ke atas sana. Mudah-mudahan saja Ki Sarumpat salah,” ujar Pandan
Wangi.
“Berapa lama kau akan ke sana?” tanya Cempaka.
“Entahlah,” sahut Pandan Wangi mendesah.
Cempaka diam saja, lalu sedikit melirik Padmi.
Memang tidak mungkin membawa gadis yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan
mendaki bukit yang gersang ini. Dan kelihatannya bukit ini berbahaya sekali.
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama, Kak,” kata Cempaka
mengalah.
Pandan Wangi tersenyum dan menepuk pundak Cempaka,
kemudian menepuk pundak Padmi. Tanpa mengucapkan sesuatu, si Kipas Maut itu
langsung melesat cepat berlari kencang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerakannya sangat cepat dan ringan sekali. Maka dalam waktu sebentar saja dia
sudah jauh meninggalkan Cempaka dan Padmi. Sementara itu Padmi terus memandangi
Pandan Wangi yang semakin jauh menuju Puncak Bukit Tanggul ini. Dia kagum
dengan kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi.
“Enak sekali ya, kalau bisa seperti itu,” gumam
Padmi tanpa sadar.
“Kau juga bisa, Padmi,” sahut Cempaka dengan bibir
menyunggingkan senyum.
Padmi tersipu malu. Ternyata gumamannya yang tidak
disadari tadi didengar Cempaka.
“Kalau kau mau berlatih, pasti bisa,” kata Cempaka
lagi.
“Berlatih...?” Padmi memandangi Cempaka
dalam-dalam.
“lya! Untuk bisa menguasai ilmu olah kanuragan,
harus berlatih lebih dahulu. Dan harus ada seseorang yang bisa memberikan
latihan. Kau harus mencari seorang guru, Padmi,” jelas Cempaka.
“Bagaimana kalau Kak Cempaka sendiri yang
melatihku,” kata Padmi meminta dengan polos.
Cempaka jadi tertawa geli mendengarnya. Tapi
dihargainya juga keinginan Padmi yang begitu menggebu ingin bisa ilmu olah
kanuragan. Mungkin karena beberapa peristiwa yang dialaminya, sehingga dia
begitu berminat terhadap ilmu olah kanuragan. Terlebih lagi setelah melihat
pertarungan yang dilakukan Cempaka dan Pandan Wangi. Dan sekarang, ketika
melihat Pandan Wangi bisa bergerak begitu cepatnya mendaki bukit batu yang
gersang ini, Padmi semakin tertarik untuk bisa seperti itu. Disesali kalau
dirinya begitu lemah.
“Bukannya aku tidak mau, Padmi. Aku sendiri masih
harus banyak belajar. Apa yang kumiliki sekarang ini, masih banyak kekurangannya,”
kata Cempaka merendah.
“Aku bersedia mengabdikan diri sepenuhnya, Kak. Aku
akan melakukan apa saja yang Kak Cempaka perintahkan,” tegas Padmi mantap.
“Jangan, Padmi. Sebaiknya carilah seorang guru yang
pantas dan berilmu tinggi. Aku belum pantas menjadi guru,” Cempaka masih
merendah.
Padmi seperti kecewa dengan penolakan Cempaka yang
halus itu. Dan ini membuat adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu semakin iba
saja. Keinginan Padmi yang mau mempelajari ilmu olah kanuragan padanya kini
dipertimbangkannya.
“Nanti akan kutanyakan dulu pada Kakang Rangga,
Padmi. Kalau Kakang Rangga mengizinkan, aku akan memberimu jurus-jurus yang
kumiliki,” kata Cempaka berjanji.
“Siapa itu Kakang Rangga?” tanya Padmi ingin tahu.
“Dia kakakku, tunangannya Kak Pandan,” jelas
Cempaka.
“Apakah Kakang Rangga juga berilmu tinggi?” tanya
Padmi lagi.
“Wah...! Sukar dikatakan, Padmi. Aku sendiri belum
ada seujung kukunya bila dibandingkan Kakang Rangga,” Cempaka membanggakan
kakak tirinya itu.
“Tapi sungguh ya, Kak...?” Padmi ingin penegasan
Cempaka mengangguk dan tersenyum.
“Terima kasih, Kak,” ucap Padmi gembira.
Lagj-lagi Cempaka hanya tersenyum saja. Dia memang
juga merasa senang jika bisa membantu kaumnya sendiri. Bahkan sebenarnya dia ingin
agar wanita-wanita di mayapada ini tidak lemah dan mampu bertindak pada
laki-laki. Terutama pada laki-laki yang biasanya suka menganggap kaum wanita
yang hanya penghias saja yang harus dinikmati sepuas-puasnya. Setelah itu,
dicampakkan bagai sampah busuk
Padmi kembali diam. Namun dari sorot matanya, dia
ingin sekali bertemu orang yang bernama Rangga itu. Bahkan banyak penduduk Desa
Weru yang mengenal Rangga dengan nama Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya
sekadar mengenal, tapi juga mengagumi dan menghormatinya. Padmi sendiri pun
baru tahu kalau Pandan Wangi juga memiliki julukan, yaitu si Kipas Maut. Dia
tidak mengerti dengan nama-nama yang terdengar aneh itu.
***
Sementara itu Pandan Wangi sudah sampai di Puncak
Bukit Tanggul yang sangat gersang ini. Sepanjang mata memandang, hanya
batu-batu saja yang tampak. Tak ada satu tumbuhan pun yang hidup. Hal ini
membuat udara di puncak bukit ini menjadi begitu panas menyengat bila matahari
bersinar terik, Meskipun angin berhembus kencang, tapi tidak mampu meredam
panasnya sinar matahari yang menyorot langsung tanpa penghalang sedikit pun
juga.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tak ada yang bisa dilihat kecuali batu-batu yang memenuhi puncak bukit ini.
Bahkan tidak terdengar apa pun, selain hembusan angin kencang di sekitarnya
yang menebarkan debu dari batu-batu yang meranggas terpanggang. Namun pandangan
si Kipas Maut itu tertumbuk pada seberkas cahaya yang membias dari balik sebuah
batu besar di sebelah Selatan.
“Hup...!”
Cepat sekali Pandan Wangi melesat ke arah cahaya
yang membias terang di antara teriknya sinar matahari yang memancar langsung
tanpa penghalang sedikit pun juga.
“Oh...!” Pandan Wangi mendesah begitu sampai ke
balik batu itu.
Tampak sekali kalau di sana sedang terjadi pertarungan
adu kesaktian dari dua orang laki-laki. Yang seorang sangat dikenali, sedangkan
yang seorang lagi tidak dikenalnya. Tentu saja Pandan Wangi mengenali pemuda
yang mengenakan baju rompi putih. Dia memang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti
yang nama sebenarnya adalah Rangga.
Pandan Wangi tak berani mendekat, karena tahu kalau
saat ini Rangga tengah mengerahkan ajiannya yang sangat dahsyat Aji 'Cakra
Buana Sukma'. Satu ajian yang belum ada tandingannya pada saat ini. Dan Pandan
Wangi mengetahui kedahsyatan dari ajian itu.
“Hiyaaa...!”
"Yeaaah...!”
Mendadak saja dua orang yang sedang bertarung itu
sama-sama berteriak nyaring melengking tinggi. Dan terlihat, mereka sama-sama
berpentalan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti terpental sejauh dua batang
tombak, namun manis sekali sepasang kakinya menjejak mantap di atas bebatuan.
Sedangkan lawannya sempat bergulingan beberapa kali di atas bebatuan sebelum
melompat bangkit berdiri. Tubuhnya agak limbung sedikit, namun mampu
menguasainya dengan cepat sekali.
Pandan Wangi memandang laki-laki berusia lanjut itu
tanpa berkedip. Laki-laki tua berusia mungkin sudah mencapai delapan atau
sembilan puluh tahun. Dia mengenakan baju panjang berwarna biru tua.
“Aku mengakui ketangguhanmu, Pendekar Rajawali
Sakti,” puji laki-laki tua itu sambil menyeka darah yang menetes keluar dari
sudut bibirnya.
“Kau juga patut dibanggakan, Eyang Raksa,” sahut
Rangga diiringi senyuman.
“Terus terang, itu tadi ilmu pamungkasku yang
terakhir. Dan jika kau masih memiliki ilmu yang lebih tinggi lagi, saat ini
juga aku mengaku kalah,” kata laki-laki tua yang dipanggil Eyang Raksa itu,
jujur.
Rangga tidak langsung menjawab. Sebenarnya Pendekar
Rajawali Sakti masih memiliki ilmu-ilmu simpanan yang didapatkan dari Satria
Naga Emas. Dan aji 'Cakra Buana Sukma' tadi merupakan ilmu pamungkasnya dari
Pendekar Rajawali yang menjadi gurunya meskipun sudah meninggal seratus tahun
yang lalu.
“Bagaimana, Pendekar Rajawali Sakti,..? Apakah kau
masih memiliki ilmu lain?” tanya Eyang Raksa ingin tahu.
“Tidak,” sahut Rangga yang tidak ingin mengecewakan
laki-laki tua ini.
“Hm.... Kau tidak mengatakan yang sebenarnya,
Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Eyang Raksa agak bergumam. Dan nada suaranya
seperti kecewa.
“Aji 'Cakra Buana Sukma' merupakan ilmu terakhir
dari ilmu-ilmu Rajawali Sakti. Dan aku tidak memiliki yang lainnya,” jelas
Rangga terus terang.
“Aku tahu kalau mendiang gurumu punya sahabat karib
di masa hidupnya. Apakah Satria Naga Emas tidak menurunkan sedikit ilmunya
padamu...?”
Rangga agak terkejut juga. Tidak disangka kalau
laki-laki tua ini mengetahui banyak tentang Pendekar Rajawali dan Satria Naga
Emas yang hidup lebih dari seratus tahun lalu. Namun sedapat mungkin Rangga
tidak ingin menonjolkan diri kalau juga memiliki beberapa ilmu yang diturunkan
Satria Naga Emas padanya. Karena jarang sekali ilmu-ilmu dari Satria Naga Emas
dalam setiap pertarungan digunakannya. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang
menggunakan ilmu-ilmu Rajawali Sakti yang sangat sesuai dengan gelar yang
disandangnya.
“Aku tahu, kau tentu punya alasan sendiri sehingga
tidak mau mengeluarkan ilmu milik Satria Naga Emas, Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi kemenanganmu tetap kuakui. Dan aku menyatakan kalah padamu sekarang juga,”
kata Eyang Raksa jujur.
Orang tua itu memandangi pemuda tampan berbaju
rompi putih yang telah membuatnya takluk hari ini di Puncak Bukit Tanggul.
Selama puluhan tahun bergelut di dalam ganasnya rimba persilatan, baru kali ini
dia menyatakan takluk, meskipun pada seorang pemuda.
“Jangan terlalu merendah begitu, Eyang. Aku lebih
senang jika kita bersahabat,” kata Rangga.
“Kau memang benar-benar seorang pendekar sejati,
Pendekar Rajawali Sakti,” puji Eyang Raksa kagum dengan kerendahan hati Rangga.
"Panggil saja aku Rangga, Eyang,” pinta
Rangga.
“Rangga...,” gumam Eyang Raksa dengan kepala
terangguk-angguk. “Nama yang gagah....”
Rangga tersenyum saja, kemudian membalikkan
tubuhnya. Tapi hatinya jadi terkesiap begitu matanya tertumbuk pada sesosok
tubuh ramping terbungkus baju ketat warna biru muda. Memang sulit dipercaya
dengan apa yang dilihatnya.
“Pandan..,” desis Rangga.
Pandan Wangi menghampiri Rangga dengan langkah
setengah berlari. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu saja di
samping Eyang Raksa. Gadis itu berhenti setelah jaraknya sekitar tiga langkah
lagi di depan pemuda berbaju rompi putih. Sesaat mereka saling berpandangan
dengan kerinduan terpancar pada sinar mata satu sama lain. Kalau saja tidak ada
orang lain di sini, pasti Pandan Wangi sudah menghambur memeluknya untuk
melepaskan kerinduan yang terpendam di dalam dada.
“Kakang...,” hanya itu yang bisa terucapkan Pandan
Wangi.
“Dari mana kau tahu aku ada di sini, Pandan?” tanya
Rangga.
“Ki Sarumpat yang memberi tahu,” sahut Pandan
Wangi.
Rangga tidak bertanya lagi. Pendekar Rajawali Sakti
memang pernah mengatakan akan ke bukit ini pada Ki Sarumpat, Dan dia memang
sempat singgah di Desa Weru sebelum datang ke sini. Tapi maksudnya ke bukit ini
memang tidak diberitahukannya.
Rangga kemudian memperkenalkan Pandan Wangi pada
Eyang Raksa. Seorang tokoh tua yang hanya ingin menguji ilmu dengannya.
"Kau beruntung bisa dekat dengan pendekar
tangguh berhati emas, Nisanak,” puji Eyang Raksa.
“Sudahlah, Eyang. Jangan terlalu banyak memuji.
Bisa besar kepala nanti aku...,” seloroh Rangga.
Mereka tertawa lepas mendengar seloroh Pendekar
Rajawali Sakti itu. Dan suasana kaku cepat terusir dari diri masing-masing.
Hanya saja Rangga tidak mengerti akan kedatangan Pandan Wangi yang begitu
tiba-tiba ini. Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi tidak membawa sesuatu,
hingga jauh-jauh datang dari Karang Setra ke Bukit Tanggul ini.
Mereka kemudian berjalan perlahan tanpa ada yang
bisa dijadikan alasan untuk bergegas meninggalkan Puncak Bukit Tanggul ini.
Namun begitu sampai di lereng bukit, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun
melihat dua orang gadis yang kelihatannya sedang menunggu dirinya. Rangga
mengenali gadis yang satunya lagi, dan ini membuatnya jadi memandang Pandan
Wangi seperti minta penjelasan. Dan semakin diyakini kalau ada sesuatu,
sehingga Pandan Wangi dan Cempaka jauh-jauh datang mencarinya.
“Nanti aku jelaskan,” kata Pandan Wangi bisa
mengerti pandangan Rangga.
“Rangga, sebaiknya aku pergi saja. Barangkali ada
persoalan pribadi yang hendak kau sampaikan,” kata Eyang Raksa tahu diri.
Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena Eyang
Raksa sudah cepat melesat meninggalkannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga
dalam sekejapan mata saja bayangan laki-laki tua itu sudah lenyap dari
pandangan mata. Rangga kembali melangkah agak cepat menghampiri Cempaka yang
menunggu ber-sama Padmi. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari belakang.
“Kakang....”
Cempaka langsung menghambur memeluk Rangga. Sikap
Cempaka ini membuat Rangga agak gelagapan juga. Gadis itu selalu saja bersikap
begitu bila bertemu dengannya. Tidak dipedulikan lagi kalau di sekitarnya ada
orang lain. Perlahan Rangga melepaskan pelukan adik tirinya ini. Dan kalau
didiamkan saja, Cempaka tidak akan melepaskan pelukannya. Rangga tahu betul hal
ini.
“Oh, iya.... Ini Padmi, Kakang. Aku membawanya
karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” Cempaka langsung mengenalkan Padmi
pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti pun memegang tangan Padmi
dan menepuk-nepuk bahunya. Kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri di
samping sebelah kanannya.
“Jangan salahkan Kak Pandan, Kakang. Aku sendiri
yang mau ikut Kak Pandan dan Kakang Danupaksi sudah melarangku,” jelas Cempaka
cepat, seakan-akan sudah merasakan kalau Rangga akan menyalahkan Pandan Wangi
karena membawanya.
“Ada apa sampai menyusulku ke sini?” tanya Rangga
langsung.
“Hanya kangen saja, kok,” celetuk Cempaka menyahuti
dengan cepat
Rangga menatap Cempaka sebentar, kemudian beralih
pada Padmi. Pandangannya kemudian berhenti pada Pandan Wangi. Dia tahu kalau
tidak akan mungkin bisa mendapatkan jawaban berarti dari Cempaka. Dan hanya
Pandan Wangi yang benar-benar bisa diajak bicara. Itu pun kalau Pandan Wangi
tidak kumat dengan sikapnya yang dulu lagi.
“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga.
“Hanya sedikit persoalan saja, Kakang,” sahut
Pandan Wangi
“Persoalan apa?” desak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau ada sesuatu
yang sangat berat sehingga kedua gadis ini mencarinya jauh-jauh. Dan yang
pasti, persoalan itu harus diselesaikan oleh dirinya sendiri. Rangga sudah
merasa yakin sekali.
“Jelaskan, Pandan. Aku tidak ingin bertele-tele,”
desak Rangga.
“Nanti saja, Kakang. Masih banyak waktu...,” ujar
Cempaka seraya menggamit lengan Pendekar Rajawali Sakti dan memeluknya dengan
sikap manja.
Dan Rangga tidak bisa lagi melakukan sesuatu saat
Cempaka sudah menariknya berjalan menuruni lereng bukit ini. Sementara Pandan
Wangi hanya menarik napas panjang saja. Diambilnya tali kekang, lalu berjalan
sambil menuntun kuda putih itu. Sementara Padmi terpaksa menuntun dua ekor kuda
tanpa mengeluh sedikit pun juga.
Pandan Wangi memandangi Cempaka yang berjalan di
depan sambil memeluk lengan Rangga. Sikap gadis itu manja sekali. dan Pandan
Wangi sebenarnya iri melihatnya. Dia ingin sekali bermanja-manja begitu pada
Rangga, tapi tidak mungkin bisa dilakukan di depan orang lain. Sedangkan kesempatan
untuk mereka berdua terbatas sekali. Sepertinya tidak ada waktu bagi Pandan
Wangi untuk menunjukkan rasa cintanya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Memang ada sedikit kecemburuan di hatinya. Tapi
harus disadari kalau Cempaka adalah adik tiri Rangga. Dan tidak mungkin ada
hubungan lain di antara mereka selain hubungan kakak dan adik. Memang diakui
oleh Pandan Wangi kalau sikap Cempaka terasa terlalu berlebihan.
“Ahhh...,” Pandan Wangi mendesah panjang.
***
LIMA
Pandan Wangi memandangi laki-laki tua berbaju putih
yang bernama Ki Ramal atau berjuluk si Peramal Maut. Peramal tua itu tengah
asyik berbicara dengan seorang laki-laki bertubuh gemuk dan berpakaian indah.
Melihat dari pakaiannya, Pandan Wangi menduga kalau laki-laki gemuk itu seorang
saudagar yang kebetulan singgah di desa ini.
“Kasihan saudagar itu....”
Pandan Wangi berpaling ketika mendengar suara yang
begitu dekat di sampingnya. Entah dari mana, tahu-tahu Ki Jantar sudah berada
di sampingnya. Laki-laki tua pemilik kedai ini seperti tidak tahu kalau Pandan
Wangi tengah memandanginya.
“Kenapa kau berkata seperti itu, Ki?” tanya Pandan
Wangi ingin tahu.
"Pasti bakal ada yang mati lagi,” sahut Ki
Jantar setengah bergumam.
“Maksudmu...?” Pandan Wangi tidak mengerti.
“Si Peramal Maut itu pasti sedang meramal kematian
Saudagar Kanta. Hhh..., bakalan kehilangan satu pelanggan lagi,” keluh Ki
Jantar.
“Jangan percaya dengan ramalannya, Ki,” kata Pandan
Wangi. Karena dirinya sendiri juga diramal bakal mati oleh Peramal Maut, tapi
sampai sekarang masih bisa bernapas.
Ki Jantar berpaling menatap gadis cantik yang duduk
di sampingnya. Pandan Wangi menggeser duduknya memberi tempat pada pemilik
kedai dan rumah penginapan ini. Ki Jantar menempatkan diri di samping si Kipas
Maut itu.
“Apa dia juga meramalmu, Den Ayu?” tanya Ki Jantar.
“Iya, malam itu,” sahut Pandan Wangi.
“Oh...!” Ki Jantar terkejut
Malam itu Ki Jantar memang melihat peramal tua itu
bicara dengan Pandan Wangi. Dan pada saat ditanyakan, tampaknya Pandan Wangi tidak
ingin membicarakannya. Tapi setelah beberapa hari tidak juga ada kebenaran dari
ramalan peramal tua itu, tampaknya Pandan Wangi tidak lagi mempercayainya.
Bahkan seperti melupakan semua yang dikatakan laki-laki tua peramal kematian
itu.
“Kalau begitu, Den Ayu harus hati-hati,” tegas Ki
Jantar memperingatkan.
“Kenapa aku harus hati-hati, Ki?” tanya Pandan
Wangi memancing keingintahuannya.
“Ramalan peramal tua itu tidak pernah meleset Kalau
dikatakan dua hari lagi mati, pasti orang yang diramalkannya akan menemui ajal
pada hari yang ditentukan,” jelas Ki Jantar.
“Sudah banyak korbannya, Ki.”
“Bukan banyak lagi, Den Ayu.”
“Apakah mereka mati dibunuh?” Pandan Wangi jadi
teringat peristiwa malam itu.
Peristiwa serangan gelap itu terjadi setelah si Peramal
Maut itu meramalkan kematiannya. Tapi dia tidak yakin kalau serangan gelap itu
ada hubungannya dengan ramalan. Dugaannya, orang yang menyerangnya pasti punya
dendam padanya. Dan tentu saja dendam itu ingin dilampiaskannya malam itu.
Hanya saja Pandan Wangi menduga kalau bukan hanya satu orang. Terbukti,
penyerang itu tewas bukan karenanya, tapi ada orang Iain yang sengaja
membunuhnya secara licik. Entah apa maksudnya, Pandan Wangi sendiri tidak tahu.
“Tidak semuanya, Den Ayu,” sahut Ki Jantar.
“Maksudmu, Ki?”
“Macam-macam saja kematiannya, Den Ayu. Bahkan ada
juga yang mati mendadak tanpa diketahui penyebabnya. Atau kecelakaan, dan ada
juga dibunuh perampok. Pokoknya mereka yang pernah diramal, pasti mati pada
saat hari yang telah ditentukan. Entah mati karena apa,” jelas Ki Jantar.
“Tapi dia tidak menentukan kapan waktunya aku mati,
Ki,” kata Pandan Wangi.
“Apa yang dikatakannya padamu, Den Ayu? tanya Ki
Jantar.
“Katanya aku akan mati dalam waktu beberapa hari
ini saja,” sahut Pandan Wangi.
“Dua hari lagi....”
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba terdengar
suara orang menyeletuk. Gadis itu langsung ber-paling. Begitu juga Ki Jantar.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri laki-laki tua
yang telah memperkenalkan diri dengan nama Ki Ramal. Sedangkan semua orang di
desa ini menjulukinya si Peramal Maut. Karena peramal tua ini selalu meramal
kematian orang dalam waktu yang tepat seperti apa yang telah dikatakannya.
“Aku melihat adanya bayangan gelap dan hawa
kematian pada dirimu, Nisanak. Dua hari lagi ajalmu akan datang. Kuharap kau
berhati-hati, dan sebaiknya pergi jauh dari sini melewati tiga gunung dan tiga
sungai agar bisa terlepas dari kematianmu,” ujar si Peramal Maut itu.
Namun sebelum Pandan Wangi bisa mengatakan sesuatu,
laki-laki tua berbaju putih itu sudah berjalan meninggalkannya. Jalannya ringan
sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Pada saat itu, terlihat sebuah kereta kuda
yang cukup indah tengah bergerak cepat meninggalkan halaman depan kedai ini. Di
dalamnya terlihat Saudagar Kanta dengan wajah murung terselimut mendung.
Mungkin dugaan Ki Jantar tadi memang benar kalau saudagar kaya itu mendapat
ramalan kematiannya dari si Peramal Maut.
“Peramal edan...! Seenaknya saja menentukan
kematian orang!” dengus Pandan Wangi geram.
“Sebaiknya Den Ayu cepat pergj dari sini, seperti
yang dikatakannya,” kata Ki Jantar.
“Tidak! Aku ingin tahu, apa memang dia bisa
mengetahui kematianku,” sahut Pandan Wangi mantap.
Ki Jantar tidak bisa lagi memaksa. Dia tahu kalau
Pandan Wangi sudah berkata demikian, tidak ada seorang pun yang bisa
merubahnya. Terlebih lagi, gadis ini memang sudah sering menghadapi tantangan.
Jadi, tidak mungkin merasa takut meskipun kematiannya sudah diramal akan datang
dua hari lagi.
***
Meskipun Pandan Wangi tidak ingin mempercayai
ramalan yang dianggapnya gila itu, tapi dalam dua hari ini hatinya selalu
gelisah. Terlebih lagi setelah mendengar kematian Saudagar Kanta yang keretanya
terbalik ke dalam jurang. Saudagar itu memang diramalkan akan mati dalam dua
hari ini, dan itu menjadi kenyataan. Inilah yang membuat Pandan Wangi semakin
gelisah saja.
Pandan Wangi sudah berusaha untuk tidak
menunjukkannya di depan siapa saja. Namun Rangga masih juga mengetahui
kegelisahan di dalam diri gadis itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau
Pandan Wangi telah diramal kematiannya dari seorang peramal tua yang dijuluki
si Peramal Maut. Rangga bisa mengetahui dari cerita Ki Jantar. Bahkan Cempaka
juga sudah member!tahukan padanya.
Saat itu Pandan Wangi tidak keluar dari kamamya.
Sejak pagi tadi, dia seialu mengurung diri di dalam kamar. Dan terpaksa Cempaka
meminta agar Padmi mengantarkan makanan ke kamar Pandan Wangi. Tapi Padmi
mengatakan kalau Pandan Wangi tidak menyentuh makanannya sama sekali. Dan yang
lebih membuat cemas lagj, Pandan Wangi tidak ingjn ditemui siapa pun. Katanya,
masa dua hari ramalan itu ingin dilewatkannya. Kalau sampai besok pagi masih
hidup, itu berarti ramalan peramal tua itu tidak bisa dipercaya.
“Bagaimana kalau ramalan itu benar, Kakang?” tanya
Cempaka yang jadi ikut gelisah di dalam kamarnya.
Saat itu malam sudah demikian larut. Sementara
Rangga memang sengaja berada di kamar Cempaka, karena kamar ini bersebelahan
dengan kamar Pandan Wangi. Jadi kalau terjadi sesuatu, bisa dketahui dengan
pasti dan cepat. Sementara malam terus bertambah semakin larut. Dan ketegangan
semakin terasa menyelimuti seluruh hati mereka. Bahkan Padmi sendiri yang
biasanya sudah tidur, masih juga terjaga. Ketegangan ini ikut dirasakannya pula.
Brak!
Tiba-tiba saja terdengar suara seperti benda berat
yang jatuh ke lantai dari kamar Pandan Wangi. Seketika itu juga Rangga melompat
ke jendela. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat keluar dari
jendela kamar Pandan Wangi. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat
dengan pasti, kembali berkelebat sebuah bayangan biru dari dalam kamar itu
juga.
“Hup...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat
keluar. Cempaka bergegas melompat ke jendela, tapi tidak jadi mengikuti kakak tirinya
itu. Dia ingat dengan Padmi yang saat ini juga harus dijaga keselamatannya.
Sementara Rangga sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Cempaka bergegas
berlari ke pintu dan cepat membukanya. Dia bergegas berlari ke luar. Padmi yang
sejak tadi duduk saja di tepi pembaringan, mengikutinya. Dia merasa takut
berada sendirian di dalam kamar itu.
Sementara Cempaka sudah berada di depan pintu kamar
Pandan Wangi. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, gadis itu mencoba membuka pintu
kamar itu. Namun sepertinya terkunci dari dalam. Cempaka tak punya pilihan lain
lagi. Segera dikerahkannya kekuatan tenaga dalamnya. Dan....
Brak!
Pintu kamar yang hanya terbuat dari kayu biasa itu
hancur seketika. Cempaka langsung menerobos masuk. Hatinya terkejut ketika
melihat keadaan kamar yang berantakan. Suara pintu yang hancur, membuat
kegaduhan di malam yang sunyi ini. Tak lama setelah Cempaka berada di dalam, Ki
Jantar muncul. Laki-laki tua pemilik rumah penginapan ini juga terkejut melihat
keadaan kamar Pandan Wangi yang berantakan bagai kapal pecah tersapu badai di
lautan.
“Apa yang terjadi, Den Ayu...?” tanya Ki Jantar.
“Ramalan itu, Ki...,” sahut Cempaka terputus
suaranya.
“Jadi...?!” Ki Jantar juga tersedak suaranya di
tenggorokan.
“Aku tidak tahu, apa yang terjadi pada Kak Pandan.
Kamar ini sudah kosong,” jelas Cempaka dengan nada suara setengah mengeluh.
Sementara di ambang pintu, Padmi hanya berdiri saja
memandangi keadaan kamar yang berantakan seperti baru saja terjadi pertarungan
di sini. Sedangkan Cempaka melangkah mendekati jendela. Daun jendela itu sudah
hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis itu melayangkan pandangannya ke
luar, menembus kegelapan malam yang begitu pekat.
“Den Rangga di mana?” tanya Ki Jantar.
“Tidak tahu,” sahut Cempaka tanpa berpaling.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Den Ayu
Pandan Wangi...,” desah Ki Jantar perlahan. Walaupun dia sebenarnya sibuk juga
memikirkan keadaan kamar penginapannya yang berantakan.
Cempaka tidak menyahuti. Harapannya juga begitu.
Hatinya iba juga melihat Pandan Wangi begitu tersiksa selama dua hari
belakangan ini. Cempaka hanya bisa berharap saja, tanpa dapat melakukan sesuatu
yang berarti.
***
Sementara itu, Rangga yang mengejar bayangan hitam
dan biru yang keluar dari dalam kamar Pandan Wangi, menjadi kehilangan jejak di
perbatasan sebelah Selatan Desa Weru ini. Tadi memang masih sempat terlihat dua
bayangan itu melewati perbatasan desa yang langsung berhubungan dengan Rimba
Tengkorak ini. Tapi begitu tiba, bayangan itu lenyap seperti ditelan bumi saja.
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya.
Matanya memandang tajam ke sekitarnya. Rangga tidak yakin kalau bayangan tadi
masuk ke dalam hutan itu. Dia tahu kalau hutan itu sangat berbahaya jika malam
hari. Tapi Pendekar Rajawali Sakti ingat betul kalau Pandan Wangi pernah
merajai hutan ini. Maka Rangga merasa yakin kalau bayangan biru yang
diyakininya memang Pandan Wangi telah masuk ke dalam hutan Rimba Tengkorak ini
(Pandan Wangi memang pernah mendiami Rimba Tengkorak ini cukup lama. Bagi para
pembaca yang ingjn tahu lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Rajawali
Sakti dalam episode Perawan Rimba Tengkorak).
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
menerobos masuk ke dalam hutan, mendadak saja sebuah bayangan hitam berkelebat
cepat keluar dari balik semak yang tidak seberapa jauh di samping kanannya.
Bayangan hitam itu langsung menyambar Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts...!”
Bergegas Rangga berkelit menghindar, namun
terlambat sedikit Dan mendadak bahunya terasa nyeri terkena benturan keras.
Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali. Dengan cepat keseimbangan
tubuhnya dikuasai meskipun agak limbung. Pada saat itu, bayangan hitam tadi
kembali melesat cepat ke arahnya. Tapi kali ini Rangga sudah siap
menghadapinya. Tubuhnya dimiringkan sedikit ke kiri, lalu secepat kilat tangan
kanannya dikibaskan menyambar bayangan hitam itu.
Deghk..!
“Hughkkk..!”
Terdengar keluhan panjang agak tertahan ketika
kibasan tangan Rangga menyentuh sesuatu dengan keras. Tampak bayangan hitam itu
terpental balik ke belakang, dan bergulingan di tanah beberapa kali.
“Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melompat
menerjang bayangan hitam itu sebelum bisa berhenti bergulingan. Dan seketika
itu juga Rangga memberi satu tendangan keras menggeledek. Tendangan Pendekar
Rajawali Sakti yang keras itu tak bisa terbendung lagi, tepat menghajar tubuh
berbaju hitam itu dengan keras.
“Akh...!”
Terdengar pekikan keras tertahan. Maka tubuh
berbaju hitam itu kembali bergulingan di tanah. Sebatang pohon yang terlanda,
seketika hancur berkeping-keping memperdengarkan suara menggemuruh yang keras.
Akibatnya, tanah yang dipijak seakan-akan bergetar bagai terjadi gempa. Cepat
sekali Rangga melompat, dan langsung mendarat di samping tubuh berbaju hitam
yang tergeletak di tanah, di atas pecahan pohon yang terlanda tubuhnya tadi.
Pendekar Rajawali Sakti itu menjejakkan sebelah kakinya tepat di atas dada
orang itu.
Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat
melakukan sesuatu, mendadak saja melesat sebuah benda merah ke arahnya. Sejenak
Pendekar Rajawali Sakti terperangah, lalu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke
udara. Tapi dia jadi terkejut bukan main, karena mendadak saja terdengar
jeritan panjang melengking tinggi
“Aaa...!”
“Heh...?!”
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti
ketika mengetahui kalau orang berbaju hitam itu telah menggelepar sebentar,
lalu diam tak bernyawa lagi. Tampak dadanya tertembus benda berwarna merah
berbentuk seperti mata tombak. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang
cukup besar itu.
“Gila...! Permainan apa lagi ini...?!” desis Rangga
tidak mengerti.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling, tapi tidak melihat ada seorang pun di sekitarnya. Suasana malam
ini begitu sunyi. Bahkan binatang malam pun seakan-akan enggan memperdengarkan
suaranya. Hanya desiran angin yang terdengar mengusik telinga menebarkan udara
dingin malam ini.
“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang.
Dihampirinya sosok berbaju hitam yang tergeletak
tak bernyawa lagi. Darah masih mengucur dari dada berlubang cukup dalam itu.
Mata tombak yang menghunjam dada orang itu sampai tembus ke punggung. Rangga melepaskan
kain hitam yang menyelubungi orang itu. Matanya agak menyipit mengamati wajah
seorang anak muda di balik selubung kain hitam ini.
“Aaa...!”
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba
terdengar jeritan melengking tinggi.
Suara itu jelas datangnya dari dalam hutan ini
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya
masuk ke dalam hutan itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Tak heran kalau dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya
sudah lenyap ditelan lebatnya Rimba Tengkorak ini.
Rangga terbeliak melihat Pandan Wangi tergeletak di
tanah. Sedangkan disampingnya berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan
kepala terselubung kain hitam pula. Tangannya menggenggam sebilah golok besar
yang diangkat tinggi-tinggi, siap dihujamkan ke dada si Kipas Maut itu. Tak ada
kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menyelamatkan gadis itu
“Hup!”
Tap...!
Dengan ujung jari kakinya, Rangga menjentikkan
sebuah batu kerikil. Dan ketika kerikil itu berada di tangannya, cepat sekali
dijentikkan dengan ujung jari. Batu kerikil sebesar ibu jari itu meluncur
deras, langsung menghantam pergelangan tangan orang yang memegang golok itu.
Tak!
“Akh...!” orang berbaju hitam itu memekik keras
agak tertahan.
Golok yang sudah terangkat tinggi itu terlepas dari
genggaman tangannya. Seketika itu juga, Rangga melesat cepat bagaikan kilat
sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
“Hiyaaat..!”
Wus!
Orang berbaju serba hitam itu cepat berkelit
sehingga tendangan geledek Pendekar Rajawali Sakti yang dialiri tenaga tinggi
itu tidak mengenai sasaran sama sekali. Rangga harus puas kalau hantaman
kakinya melanggar sebatang pohon yang langsung hancur berkeping-keping disertai
ledakan keras menggelegar.
Sementara orang berbaju hitam itu tampak sudah
bersiap mengirimkan satu serangan jarak jauhnya. Dan tiba-tiba saja tangan
kanannya dihentakkan ke depan tepat saat Rangga baru saja menjejakkan kakinya
di tanah. Dari telapak tangan orang itu meluncur seberkas sinar merah berbentuk
bulat bagaikan bola api, yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hiyaaa...!”
Bergegas Rangga melompat ke samping, lalu
menjatuhkan dirinya hingga bergulingan beberapa kali di tanah berumput basah
oleh embun. Bola bercahaya merah sebesar kepala bayi itu menghantam pohon besar
di belakang Rangga tadi. Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar, membuat
pohon itu hancur berkeping-keping.
“Hap...!”
Rangga cepat bangkit berdiri, dan langsung bersiap
menerima serangan berikut Dan memang, bola merah itu kembali meluncur ke
arahnya dengan keras sekali. Tepat ketika bola api itu hampir menyambar
tubuhnya, Rangga cepat sekali menarik tubuhnya ke samping. Maka bola merah itu
melesat lewat di samping tubuhnya, membuat pancaran hawa panas yang menyengat
kulit. Sebelum terdengar ledakan untuk kedua kalinya dari bola merah itu,
Rangga sudah melesat cepat ke arah tubuh berbaju hitam itu.
“Hiyaaat..!”
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan dahsyat
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras ke arah
orang berbaju hitam yang mengenakan sehibung kain pada kepalanya. Hanya bagian
matanya saja yang terlihat dari dua lubang kecil penutup seluruh kepala itu.
Serangan Rangga yang tiba-tiba dan tidak terduga itu membuat orang berbaju
hitam itu terkejut Dan selagi orang itu melompat menghindar ke atas, pukulan
Rangga sudah membentur tumitnya dengan telak.
Deghk!
Seketika keseimbangan orang berselubung hitam itu
goyah. Dan sebelum dia sempat berdiri tegak, Rangga sudah kembali menyerangnya.
Kali ini orang itu mampu menghindari dua pukulan beruntun yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Rupanya Rangga tidak mau lagi memberi kesempatan
pada orang itu untuk berbuat sesuatu, sehingga terus mencecarnya dengan pukulan
pukulan keras beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti rupanya membuat orang berbaju hitam
ini kewalahan juga. Beberapa kali tubuhnya terkena pukulan dan tendangan
bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya dia
benar-benar tidak mampu lagi memberi perlawanan.
"Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Rangga memberi satu pukulan keras ke
arah dada. Padahal, orang berbaju hitam itu baru saja menerima tendangan keras
pada perutnya, sehingga tubuhnya sedikit membungkuk. Namun sebelum pukulan
keras Pendekar Rajawali Sakti itu sampai,orang berbaju hitam itu cepat sekali
mengibaskan tangannya. Seketika itu juga melesat sebuah benda berbentuk mata
tombak berwarna merah dari tangan kanannya.
“Uts...!”
Cepat Rangga menarik kembali serangannya, dan
secepat itu pula tubuhnya berputar di udara sehingga serangan orang berbaju
hitam itu tidak mengenai sasaran. Namun begitu menjejakkan kakinya di tanah,
Rangga jadi terkejut sekali. Ternyata orang berbaju hitam itu sudah lenyap,
entah ke mana perginya.
“Setan...!” desis Rangga menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling. Namun orang berbaju hitam dengan seluruh kepala berselubung kain
hitam itu, tidak nampak lagi bayangannya. Bergegas dihampirinya Pandan Wangi
yang tergeletak tak bergerak di tanah.
Rangga memeriksa tubuh gadis itu. Segera
dihembuskan napas panjang seraya menghempaskan diri, duduk di samping Pandan
Wangi. Pendekar Rajawali Sakti merasa lega setelah mengetahui kalau Pandan
Wangi masih bernapas, meskipun lemah sekali.
***
ENAM
Pandan Wangi merintih lirih sambil menggerakkan
kepalanya lemah sekali. Dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, namun sebuah
tangan halus berjari lentik, telah menahannya. Pandan Wangi membuka matanya,
dan langsung tertumbuk pada seraut wajah cantik yang sudah amat dikenalnya.
“Oh..., apakah aku sudah mati...?” lirih sekali
suara Pandan Wangi.
“Belum. Kak Pandan selamat,” terdengar sahutan
halus dan lembut
Pandan Wangi memandangi wajah cantik yang
menyunggingkan senyuman manis padanya, kemudian pandangannya beredar ke
sekeliling. Memang..., dia belum mati. Dikenalinya betul wajah-wajah yang
berada di sekitamya. Juga dikenali betul ruangan yang kini ditempatinya.
Kembali Pandan Wangi menatap Cempaka yang duduk di sampingnya. Di sebelah
Cempaka, duduk Padmi. Sedangkan di dekat jendela, berdiri Rangga bersama Ki
Jantar serta Ki Sarumpat
Mereka adalah orang-orang yang sangat dikenalnya.
Pandan Wangi yakin kalau dia belum sempat dijemput ajal. Gadis itu mencoba
mengingat-ingat, apa yang terjadi hingga sampai tidak sadarkan diri. Tapi
terlalu sukar untuk bisa mengingatnya dengan jelas.
“Jelas sudah kalau peramal tua itu punya maksud
tidak baik,” tebak Ki Sarumpat, agak bergumam nada suaranya.
“Apakah sudah banyak korbannya?” tanya Rangga yang
masih belum mengerti tentang peramal tua itu.
“Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Mereka yang
diramal kematiannya, selalu menjadi kenyataan. Terakhir, Saudagar Kanta yang
mati karena kereta kuda yang ditumpanginya terjerumus masuk ke dalam jurang.
Tak ada yang hidup, semua pengawal dan kusirnya mati,” sahut Ki Sarumpat
menjelaskan. “Sudah lama aku selalu mencurigainya, tapi belum ada bukti yang
jelas kalau dia yang melakukan semua pembunuhan itu.”
“Aku rasa dia hanya peramal saja yang kebetulan
memang tepat ramalannya,” sanggah Ki Jantar.
“Tapi perbuatannya mencurigakan sekali, Ki. Aku
sering bertemu peramal-peramal terkenal. Tapi tidak selamanya bisa tepat.
Apalagi meramalkan kematian seseorang. Tidak ada seorang pun yang bisa
meramalkan kematian begitu tepat,” bantah Ki Sarumpat gigih.
Sementara Rangga hanya diam saja mendengarkan. Saat
itu Pandan Wangi sudah bisa bangkit duduk. Dihabiskan minuman yang diberikan
Padmi padanya. Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi saat gadis itu
memintanya mendekat Cempaka menggeser duduknya memberi tempat pada Pendekar
Rajawali Sakti.
“Ada apa, Pandan?” tanya Rangga setelah duduk di
tepi pembaringan itu.
“Aku rasa bukan dia pelakunya, Kakang. Mungkin
memang dia melihat dan memperingatkan aku,” tegas Pandan Wangi.
“Siapa pun orangnya, aku akan menyelidiki. Aku
merasa ada sekelompok orang yang sengaja menginginkan kematianmu. Dan orang itu
tidak ingin diketahui,” tutur Rangga.
“Yaaah..., sayang sekali aku tidak bisa
mengenalinya,” desah Pandan Wangi agak bergumam.
“Aku pasti akan menemukan orangnya, Pandan,” janji
Rangga.
Pandan Wangi tersenyum. Dia percaya kalau Rangga
pasti akan mengetahui rahasia di balik semua peristiwa ini. Ingin rasanya
Pandan Wangi berdua saja dengan Pendekar Rajawali Sakti, pada saat sedang
membutuhkan sekali perhatian dari seseorang yang sangat dicintainya. Tapi
keinginannya harus bisa dikekang, karena tidak mungkin meminta yang lain untuk
meninggalkan kamar ini.
“Istirahatlah dulu, Pandan. Pulihkan dulu
kesehatanmu,” kata Rangga lembut.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya
punggung tangan si Kipas Maut itu dengan lembut, kemudian kakinya melangkah
keluar diikuti Ki Jantar dan Ki Sarumpat. Ingin sekali Pandan Wangi mencegah
kepergian Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu,
Rangga sudah menghilang di balik pintu.
Pandan Wangi hanya bisa mendesah dalam hati. Memang
sukar baginya punya kesempatan berdua dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak
seperti dulu, di saat mereka masih sama-sama mengembara mengarungi ganasnya
rimba persilatan. Sekarang ini, setiap kali ada kesempatan bertemu, selalu saja
ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk berdua saja walaupun hanya sejenak
“Ini makannya, Kak...,” Padmi menyodorkan makanan
pada Pandan Wangi.
Si Kipas Maut itu tersenyum seraya menerima piring
berisi makanan. Tapi saat ini selera makannya memang sedang tidak ada, meskipun
makanan yang diberikan Padmi sungguh mengundang selera.
“Aku yang membuatnya sendiri, Kak. Mungkin tidak
enak,” kata Padmi merendah.
“Bohong, Kak. Aku saja sampai nambah kok,” selak
Cempaka.
Lagi-lagi Pandan Wangi hanya tersenyum saja, dan
mulai menikmati makanan itu sedikit. Memang rasanya enak juga. Mendadak saja
Pandan Wangi jadi lapar, sehingga akhimya makanan itu dilahapnya. Bahkan sebentar
saja piring makannya sudah licin tak bersisa. Bukan hanya Padmi yang bengong,
tapi juga Cempaka terlongong melihat nafsu makan Pandan Wangi begitu besar.
“Masih ada lagi, Padmi?”
“Yaaah.... Sudah habis, Kak,” sahut Padmi menyesal.
“Ya, sudah.”
“Aku buatkan lagi ya, Kak?” Padmi jadi bergairah.
“Nanti sore saja.”
“Ini sudah sore kok, Kak,” selak Cempaka.
Pandan Wangi terlongong. Sungguh tidak disangka
kalau saat ini sudah sore. Itu berarti dia tidak sadarkan diri selama hampir
seharian. Pantas saja perutnya begitu lapar. Apalagi selama dua hari ini memang
belum terisi makanan sama sekali. Dan, entah kenapa..., tahu-tahu gadis itu
tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena geli menyadari kebodohannya yang begitu
percaya pada ramalan edan itu, sampai-sampai menyiksa diri begini. Melihat
Pandan Wangi tertawa, Cempaka dan Padmi jadi ikut tertawa juga. Padahal mereka
tidak tahu, apa yang ditertawakannya.
***
Rangga memandangi seorang laki-laki tua berjubah
putih yang membawa tongkat tak beraturan bentuknya. Usianya mungkin sudah lebih
dari delapan puluh tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan kumis dan
jenggot yang menyatu, sudah putih semua warnanya. Dari Ki Jantar, diketahuinya
kalau orang tua itulah yang dijuluki si Peramal Maut.
Kini si Peramal Maut itu kelihatannya akan mendapat
korban lagi. Dia seorang pendatang yang kebetulan singgah di desa ini.
Tampaknya pendatang itu seorang putra bangsawan. Ini tampak jelas dari
pakaiannya yang mewah, dengan beberapa orang bertampang kasar mengelilingi.
Pemuda itu tampak tidak senang, dan langsung beranjak bangkit berdiri. Bergegas
ditinggalkan kedai Ki Jantar.
“Hati-hati, Raden. Aku melihat ada kabut hitam
menyelimuti perjalananmu,” kata si Peramal Maut itu dengan suara keras
memperingati.
Sedangkan pemuda berbaju indah yang diiringi
sekitar delapan orang pengawalnya itu tidak mempedulikan, dan terus keluar dari
kedai ini. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi dan tegap. Saat itu Rangga
bergegas bangkit hendak mengikuti pemuda seperti putra bangsawan itu. Tapi
sebelum beranjak pergj, Ki Jantar sudah terlebih dahulu menghadangnya.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Yang tadi itu putra pembesar Kerajaan Karang Setra
yang baru pulang dari belajar di Padepokan Gantalaraja,” sahut Ki Jantar
memberi tahu.
Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya
rombongan yang terdiri dari sembilan orang itu. Sudah cukup jauh mereka
meninggalkan kedai ini. Dan memang tujuan mereka ke arah Kerajaan Karang Setra,
dan yang pasti akan melewati Rimba Tengkorak lebih dahulu sebelum sampai di
kotaraja.
“Putra siapa itu, Ki?” tanya Rangga yang tidak tahu
kalau ada putra seorang pembesar kerajaannya menuntut ilmu di sebuah padepokan
yang jauh dari Karang Setra.
“Putra Gusti Patih Lintuk, Den,” sahut Ki Jantar.
Rangga bergumam pelan. Sungguh Pendekar Rajawali
Sakti tidak tahu kalau Ki Lintuk yang sekarang menjadi patih di Karang Setra
memiliki seorang putra yang mungkin sebaya dengannya. Tapi mengapa Ki Lintuk
tidak pernah cerita mengenai keluarganya? Dan Rangga sendiri tidak pernah
menanyakan.
“Selamatkan dia, Den. Kalau sampai tewas, bisa
kacau desa ini. Pasti jago-jago Karang Setra bisa mengamuk di sini,” kata Ki
Jantar dengan nada penuh kecemasan.
Rangga tersenyum di dalam hati. Memang jago-jago
Karang Setra sudah terkenal ketangguhannya. Tapi rasanya Rangga tidak akan
membiarkan mereka mengobrak-abrik sebuah desa hanya karena kematian seorang
putra pembesar. Pendekar Rajawali Sakti selalu menganjurkan agar menyelesaikan
persoalan, tidak menyengsarakan rakyat kecil. Karena rakyat kecil bisa membantu
dengan baik jika dimintai bantuan secara layak. Semua persoalan akan bisa
diselesaikan dengan baik dan cepat tanpa melalui kekerasan yang brutal.
“Aku pergi dulu, Ki,” ujar Rangga bergegas
melangkah.
Pendekar Rajawali Sakti sempat melirik si Peramal
Maut yang memang setiap hari berada di kedai ini Namun, pendekar digdaya itu
tidak punya waktu lama-lama lagi. Dia langsung melompat ke punggung kudanya
begitu berada di luar. Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap, bernama Dewa
Bayu.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya, lalu melesat cepat meninggatkan debu yang mengepul tinggi
ke udara. Sungguh cepat sekali larinya, bagai anak panah lepas dari busur.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kedai itu.
Sementara itu Ki Jantar hanya memandangi saja dari
ambang pintu kedainya. Berdirinya bergeser sedikit saat si Peramal Maut itu
melangkah ke luar. Ki Jantar hanya menganggukkan kepalanya sedikit saja saat si
Peramal Maut itu melewatinya.
“Ada awan hitam menyelimuti tubuhmu, Ki,” bisik
peramal tua itu.
“Hah...?!” Ki Jantar terbengong mendengar bisikan
yang membuat jantungnya terasa berhenti berdetak seketika itu juga.
Tapi peramal tua itu sudah jauh meninggalkannya dengan
ayunan kaki ringan. Laki-laki tua itu seperti berjalan biasa saja. Namun kedua
telapak kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah, dan sebentar saja sudah jauh
pergi ke arah Selatan. Sementara Ki Jantar masih terbengong di ambang pintu.
Kata-kata si Peramal Maut yang hanya satu kalimat itu merupakan peringatan
baginya.
“Oh, Jagat Dewa Batara.... Apakah ajalku sudah
dekat..?” keluh Ki Jantar lirih.
Sementara itu Rangga sudah dekat dengan rombongan
putra Ki Lintuk yang baru diketahuinya tadi dari Ki Jantar. Pendekar Rajawali
Sakti itu melompat turun dari kudanya. Dibiarkannya Dewa Bayu menyingkir ke
tepi hutan yang kelihatan angker. Sedangkan dirinya sendiri langsung
melentingkan tubuhnya ke atas pohon. Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali
Sakti itu, sehingga tubuhnya bagai kapas tertiup angin. Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, dia berlompatan dari satu pohon ke pohon lain.
Rangga sengaja menjaga jarak agar tidak diketahui
kalau tengah membuntuti rombongan itu. Sementara rombongan kecil yang berjumlah
sembilan orang dan semuanya berkuda itu sudah mulai memasuki Rimba Tengkorak
Dan belum juga jauh memasuki hutan, mendadak saja....
Slap!
Swing...!
Puluhan anak panah mendadak bertebaran ke arah
rombongan kecil itu. Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan melengking
tinggi, disusul ambruknya lima orang yang mengiringi pemuda itu. Sedangkan yang
lain sudah kerepotan berjumpalitan menghindari hujan anak panah yang datang
dari segala penjuru.
Dan begitu hujan anak panah itu berhenti,
bermunculan sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam yang seluruh
kepalanya berselimut kain hitam pula. Hanya dua lubang kecil pada mata yang
terlihat. Mereka langsung berlompatan sambil mengacung-acungkan golok,
menyerang rombongan yang sudah berkurang lima orang itu.
Sementara Rangga yang berada di atas pohon, masih
berusaha menahan diri. Namun begitu melihat orang-orang berpakaian hitam itu
semakin mendesak, Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membiarkan. Terlebih
lagi dua orang yang mengawal pemuda putra pembesar Kerajaan Karang Setra itu
terlihat roboh bersimbah darah.
“Hiyaaat..!”
Bagaikan seekor burung rajawali, Rangga meluruk
deras ke arah pertarungan itu. Beberapa kali tangannya yang terkembang lebar
dikibaskan. Saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Salah satu jurus dari Rangkaian Lima Jurus Rajawali Sakti yang sangat dahsyat
dan sukar dicari tandingannya saat ini.
Sebentar saja, beberapa orang sudah bergelimpangan
tak bernyawa lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Bukan
saja pemuda putra pembesar Karang Setara itu yang terkejut. Bahkan orang-orang
berpakaian serba hitam itu juga tersentak kaget dengan munculnya Pendekar
Rajawali Sakti. Dalam beberapa gebrak saja, sudah lebih dari delapan orang yang
tewas terkena sabetan tangan Rangga yang bagaikan mata pedang saja tajamnya.
“Mundur...!” tiba-tiba terdengar teriakan keras.
Sisa-sisa orang berbaju hitam yang tinggal beberapa
orang lagi, dengan cepat berlompatan kabur. Gerakan mereka cukup ringan dan
cepat juga. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, semuanya sudah
menghilang di dalam hutan.
“Biarkan! Jangan dikejar!” sentak Rangga mencegah
pemuda yang wajahnya cukup tampan itu mengejar.
Pemuda berpakaian mewah itu mengurungkan niatnya.
Namun dia jadi mendesis geram tatkala melihat tujuh orang pengawalnya sudah
tergeletak tak bernyawa lagi. Tidak sedikit pula dari orang-orang berbaju hitam
yang tergeletak berlumuran darah. Tak ada lagi yang bernyawa di antara mereka.
Pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak di antara
mayat-mayat bergelimpangan.
“Siapakah kau, Kisanak?” tanya pemuda itu seraya
menatap Rangga dalam-dalam Dia memang tidak tahu kalau yang ada di hadapannya
kini adalah orang yang harus dijunjungnya. Memang, pemuda itu sejak kecil
berada di padepokan.
“Rangga,” sahut Rangga singkat.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak,”
ucap pemuda itu.
Rangga tersenyum saja, kemudian memutar tubuhnya
dan melangkah pergi. Pemuda berbaju mewah itu bergegas mengikuti sambil
menyambar tali kekang kudanya, dan menuntun kuda berwarna coklat belang putih
itu. Disejajarkan ayunan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti yang menuju
keluar dari Rimba Tengkorak ini.
“Namaku Landara. Siapa tadi namamu, Kisanak...?”
pemuda itu memperkenalkan diri.
“Rangga,” sahut Rangga tanpa berpaling. Dia tetap
saja melangkah keluar dari hutan ini.
“Apakah kau tahu, siapa orang-orang itu?” tanya
Landara lagi.
"Tidak,” sahut Rangga singkat
“Tapi, kenapa kau menolongku?”
“Karena kau perlu pertolongan. Maaf, aku harus
pergi. Dan kalau hendak ke Karang Setra, ambil saja jalan memutar melewati
Gunung Rangkas. Dari sana kau harus melewati Desa Palung. Dari desa itu kau
tinggal meneruskan perjalanan ke Selatan sedikit, sudah sampai di Karang
Setra,” Rangga memberi tahu jalan yang teraman dan cepat
Landara tertegun mendengar penjelasan yang lengkap
itu. Sepertinya pemuda ini tahu jelas jalan-jalan yang bisa menuju ke Karang
Setra. Dia sampai berhenti melangkah dan memandangi Rangga yang terus saja
berjalan dengan ayunan kaki yang tetap. Dia tidak tahu kalau pemuda itu adalah
rajanya. Raja Karang Setra yang berkelana.
“Kisanak, terima kasih...!” ucap Landara, agak
keras suaranya.
Rangga hanya mengangkat tangannya saja tanpa
sedikit pun menoleh. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki kuda yang dipacu
cepat Rangga baru menghentikan ayunan kakinya, dan memutar tubuh-nya. Pendekar
Rajawali Sakti itu tersenyum ketika melihat Landara mengikuti petunjuknya.
Tidak lagi harus menerobos Rimba Tengkorak lagi, tapi memutarinya menuju Gunung
Rangkas. Dan sebenarnya agak jauh sedikit apabila melewati Gunung Rangkas, tapi
jalan itulah yang teraman dari incaran orang-orang berbaju hitam yang masih
belum jelas ini
Rangga kembali memutar tubuhnya dan berjalan
perlahan lahan menuju kembali ke Desa Weru. Ayunan kakinya begitu ringan dan
tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkan, meskipun berjalan melalui tumpukan
daun-daun kering dan rerumputan yang meranggas tersengat sinar matahari.
“Hm..., aku harus mengawasi peramal tua itu.
Tampaknya ada hubungan antara peramal itu dengan orang-orang berbaju hitam
ini,” tebak Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat naik ke
punggung kudanya. Seketika itu juga kuda hitam itu digebah cepat. Bagai anak
panah lepas dari busurnya, Dewa Bayu berpacu cepat meninggalkan tepian hutan
ini. Sebentar saja kuda itu sudah jauh menuju Desa Weru yang tampaknya
tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
***
TUJUH
Rangga mendadak menghentikan lari kudanya. Kelopak
matanya agak menyipit memandangi orang-orang berbaju hitam pekat telah berdiri
berjajar di mulut Desa Weru. Jumlah mereka begitu banyak, dan lebih besar
daripada satu pasukan prajurit. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari
punggung kudanya. Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam itu sengaja
menunggunya di tempat ini.
Rangga melangkah ke depan beberapa tindak, dan baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan
mereka. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa membuka suara, mendadak berkelebat
sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang
laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya ketat, berwarna merah
menyala. Sebilah pedang panjang tergantung di pinggangnya. Dia juga menggenggam
sebatang tombak berbatangkan seperti keris berkeluk tujuh.
Meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad
tapi wajahnya masih mencerminkan kegagahan. Hanya sorot matanya saja yang tajam
memancarkan sinar kekejaman. Rangga memperhatikan orang berbaju merah itu
lekat-lekat. Diyakini kalau orang ini adalah pemimpin dari orang-orang berbaju
serba hitam. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya
berkeliling.
“Hm...,” terdengar gumaman kecil dari bibir Rangga
yang terkatup rapat
Pendekar Rajawali Sakti mencari si Peramal Maut
Tapi laki-laki tua yang selalu meramalkan kematian orang itu, tidak nampak di
sekitar tempat ini. Meskipun begitu, Rangga yakin kalau antara peramal itu
dengan orang-orang ini memiliki hubungan erat
“Anak muda! Kau hanya kuberi peringatan sekali ini
saja! Jika kau tetap keras kepala, aku tidak segan-segan mengirimmu ke neraka
sekarang juga!” agak berat dan besar suara laki-laki berbaju merah ketat itu.
“Rasanya aku tidak kenal denganmu. Lalu, kenapa kau
memberi peringatan?” tanya Rangga.
“Jangan banyak omong, Bocah! Kau berhadapan dengan
Setan Merah Lembah Neraka!” bentak orang berbaju merah yang menyebut dirinya
Setan Merah Lembah Neraka.
“Lembah Neraka terlalu jauh dari sini. Lantas, apa
urusannya sampai kesasar ke wilayah kulon ini, Kisanak?” agak bergumam suara
Rangga.
“Itu urusanku, Bocah!” bentak Setan Merah Lembah
Neraka kasar.
“Kalau begitu, kau tidak punya hak untuk
memperingatkan padaku, Kisanak,” tenang sekali kata kata Rangga.
“Sudah kuduga, kau pasti akan membandel...!” desis
Setan Merah Lembah Neraka gusar.
“Aku memang tidak akan menuruti kalau persoalannya
tidak dijelaskan,” kata Rangga lagi. Kali ini kata-katanya bernada memancing.
“Rupanya kau bukan hanya keras kepala, tapi banyak
omong juga...,” kata Setan Merah Lembah Neraka sinis.
“Mulutku memang digunakan untuk bicara, Kisanak.
Dan aku perlu tahu, untuk apa kau memberi peringatan padaku. Lagi pula, aku
tidak tahu, apa yang kau peringatkan...,” kata Rangga lagi dengan suara masih
terdengar tenang.
Tapi mata Pendekar Rajawali Sakti tajam sekali
merayapi orang-orang berbaju hitam yang berdiri berjajar di depannya, dalam
jumlah yang cukup besar. Kekuatan seperti ini sudah cukup untuk menggempur
sebuah kadipaten. Dan Rangga ingin sekali mengetahui keberadaan mereka di
sekitar Desa Weru dan Rimba Tengkorak ini. Karena mustahil jauh-jauh datang
dari wilayah wetan ke kulon ini kalau tidak mempunyai tujuan pasti.
“Anak muda, untuk terakhir kalinya aku
memperingatkanmu. Sebaiknya cepat tinggalkan Desa Weru ini, atau kau akan mati
tergantung menjadi santapan serigala liar,” dingin sekali suara si Setan Merah
Lembah Neraka itu.
“Untuk apa aku harus pergi?” tanya Rangga.
“Kau tidak ada urusannya di sini!” bentak Setan
Merah Lembah Neraka berang.
“Aku masih banyak urusan di desa ini. Terutama
mengusir kalian yang telah membunuh banyak orang!” tegas sekali kata-kata
Rangga.
“Setan keparat..! Rupanya kau lebih memilih mati.
Bocah!” geram Setan Merah Lembah Neraka semakin gusar.
“Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kisanak. Aku
khawatir malah kau sendiri yang justru benar-benar ke neraka,” sambut Rangga
dingin.
“Keparat..!” Setan Merah Lembah Neraka tidak bisa
lagi menahan kegusarannya.
Kata-kata Rangga yang kalem itu menusuk sekali. Tak
perlu dijelaskan lagi kalau Rangga tidak ingin menyerah begitu saja. Setan
Merah Lembah Neraka langsung menghentakkan tombaknya ke tanah sambil menggeram.
Seluruh wajahnya memerah bagai terbakar. Dan begitu tombaknya terhentak untuk
ketiga kalinya, seketika itu juga dari belakangnya berlarian orang-orang
berbaju hitam.
Mereka langsung saja mencabut senjatanya, lalu
berteriak-teriak sambil berlarian mengacung-acungkan goloknya. Sementara Rangga
sempat melompat mundur beberapa tindak. Disadari kalau tidak akan mungkin
menghadapi begini banyak orang, maka....
“Suiiit..!”
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti bersiul
nyaring melengking tinggi sambil mendongakkan kepalanya sedikit. Pada saat itu,
sebuah golok berkelebat cepat di depan dadanya. Buru-buru Pendekar Rajawali
Sakti menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok itu hanya lewat di
depan dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti sengaja tidak mengerahkan
aji 'Bayu Bajra' yang bisa mendatangkan angin topan. Ini karena dia tidak ingin
para penyerangnya mati semua. Dan kalau hal ini terjadi, akan sulit mencari
keterangan tentang si Peramal Maut dan si Setan Merah Lembah Neraka.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, Rangga menghentakkan
kakinya ke depan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
Des!
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tak bisa
dibendung lagi dan tepat menghantam dada salah seorang penyerangnya yang berada
tepat di depan.
“Aaakh...!” orang berbaju hitam itu memekik keras
melengking tinggi.
Pada saat yang hampir bersamaan, sebuah golok
berkelebat memperdengarkan suara mendesing ke arah kepala Rangga. Cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti merundukkan kepalanya, sehingga golok itu lewat sedikit
di atas kepalanya. Seketika itu juga dilontarkan satu pukulan keras menggeledek
bertenaga dalam sempurna.
Deghk!
“Aaa...!”
Kembali satu orang terpental terkena pukulan keras
yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum Rangga sempat
memperbaiki posisi tubuhnya, datang lagi serangan cepat dari arah lain.
Meskipun beberapa kali Rangga bisa menghindari serangan-serangan itu, namun
dirinya merasa tidak mampu menghadapi begini banyak pengeroyok yang rata-rata
memiliki kemampuan cukup tinggi Ini bisa dilihat dari serangan-serangan mereka
yang cepat dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi.
Setinggi apa pun kemampuannya, tetap saja Pendekar
Rajawali Sakti manusia biasa yang masih banyak memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Menghadapi keroyokan begini banyak, Rangga benar-benar kewalahan
juga. Mau tidak mau dia terus mengeluarkan tenaga lebih bila dibanding
bertarung satu lawan satu.
“Bedebah...!” geram Rangga ketika satu tendangan
dari pengeroyoknya hampir membedol perutnya. Untung saja Pendekar RajawaB Sakti
masih mampu berkelit menghindar. Kembali datang serangan yang lebih cepat,
sebelum Pendekar Rajawali Sakti menguasai keseimbangan tubuhnya yang agak
goyah.
Beghk!
“Setan...!” umpat Rangga begitu punggungnya terkena
hantaman keras bertenaga dalam cukup tinggi. Beberapa bilah golok berdatangan
dengan cepat hendak merajamnya. Pada saat itu, Rangga benar-benar dalam keadaan
yang sulit sekali. Ruang geraknya benar-benar telah terpatahkan.
***
“Khraghk..!”
Tepat di saat Rangga hampir sedang terdesak,
mendadak saja terdengar suara serak menggelegar memecahkan udara. Dan tiba-tiba
saja dari angkasa meluruk sesuatu yang besar berwarna hitam pekat berkilat.
Orang-orang berbaju hitam itu terpekik kaget Dan sebelum disadari apa yang terjadi,
mendadak saja tubuh-tubuh mereka berpentalan. Jerit dan pekikan melengking
tinggi terdengar menyayat saling sambut.
Belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi,
mendadak saja makhluk hitam besar itu menyambar tubuh Rangga yang baru saja
bisa bangkit berdiri. Kemudian bagaikan kilat, bayangan hitam besar berkilatan
itu melesat cepat ke angkasa sambil memperdengarkan suara keras memekakkan
telinga.
“Khraaaghk..!”
“Hieeeghk..!”
Pada saat yang sama, kuda hitam Dewa Bayu yang
tertinggal, meringkik keras sambil mengangkat kedua kakinya. Seketika itu juga
Dewa Bayu melesat bagai kilat ke arah yang sama dengan makhluk hitam besar yang
membawa Pendekar Rajawali Sakti. Sebelum para pengeroyok itu menyadari apa yang
terjadi, mendadak tubuh mereka telah berpentalan!
Tampak orang-orang berbaju serba hitam, hanya bisa
terbengong tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Dalam waktu yang
singkat saja Rangga sudah lenyap entah ke mana dibawa bayangan hitam besar
bersuara nyaring memekakkan telinga.
“Keparat..!” geram Setan Merah Lembah Neraka
melihat penghalang terbesarnya lolos dari kematian yang hampir menjemput
Setan Merah Lembah Neraka bergegas memerintahkan
anak buahnya meninggalkan tempat ini. Mereka langsung bergerak cepat, dan
menghilang di dalam kelebatan Rimba Tengkorak. Suasana di dekat perbatasan
sebelah Selatan Desa Weru seketika jadi hening, seperti tidak pernah terjadi
sesuatu. Hanya mayat-mayat bergelimpangan saja yang menandakan kalau di sini
baru saja terjadi pertarungan.
“Hm...,” tiba-tiba saja terdengar suara menggumam.
Gumaman itu datang dari sebuah semak belukar yang
tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan tadi. Terlihat sebuah kepala
menyembul menengadah ke atas. Matanya tidak berkedip memandang ke arah Rangga
yang melayang dibawa sesuatu yang hitam dan besar tadi. Tak berapa lama
kemudian, orang itu melesat, langsung menghilang bagai ditelan bumi
Bruk!
“Akh...!” Rangga memekik tertahan ketika tubuhnya
terbanting di tanah.
Pendekar Rajawali Sakti menggeliat bangkit berdiri.
Seketika matanya terbeliak melihat seekor burung rajawali raksasa berbutu hitam
pekat dan berkilat. Di depan burung raksasa itu berdiri seorang gadis berparas
cantik mengenakan pakaian serba hitam yang pekat. Selembar pita berwarna hitam,
mengikat kepalanya.
“Intan...,” desis Rangga mengenali gadis itu.
Gadis berbaju serba hitam itu tersenyum manis.
Kemudian kakinya melangkah menghampiri Rangga yang seperti tidak percaya dengan
penglihatannya. Gadis itu memang Intan Kemuning, putri Patih Giling Wesi dari
Kerajaan Galuh. Dia juga berjuluk Putri Rajawali Hitam (Untuk mengetahui
tentang Putri Rajawali Hitam, baca kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode
Sepasang Rajawali dan Sabuk Penawar Racun).
“Bagaimana kau bisa cepat datang pada saat yang
tepat, Intan?” tanya Rangga setelah bisa menguasai diri.
“Kau yang memanggilku,” sahut intan Kemuning kalem.
“Aku memanggil Rajawali Putih,” sergah Rangga
karena tidak merasa memanggil gadis ini yang selalu muncul bersama Rajawali
Hitam.
“Yaaah..., kebetulan saja Rajawali Hitam mendengar
panggilanmu,” sahut Intan Kemuning lagi dengan ringan sekali.
Sebenarnya Rajawali Putih mendengar siulan Pendekar
Rajawali Sakti. Dan ketika burung itu berangkat Rajawali Hitam telah memberi
isyarat untuk tidak pergi menolong Pendekar Rajawali Sakti. Karena, Rajawali
Hitam kebetulan berada di dekat pertarungan, dan bisa lebih cepat menolong
Rangga.
Rangga sudah membuka mulutnya kembali, tapi tidak
jadi bersuara karena mendengar langkah kaki kuda menuju tempat ini. Bersamaan
dengan berpalingnya kepala Pendekar Rajawali Sakti, muncul seekor kuda hitam
yang tinggi dan tegap. Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi
Rangga melambaikan tangannya, memanggil kuda itu.
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu melangkah menghampiri sambil
mendengus-dengus. Kepalanya terangguk-angguk dengan kaki menghentak ke tanah
beberapa kali.
“Dewa Bayu, ini temanku. Namanya Intan Kemuning.
Dan itu juga sahabat kita. Namanya Rajawali Hitam,” Rangga memperkenalkan Dewa
Bayu pada Intan Kemuning dan Rajawali Hitam.
“Khraghk..!
Rajawali Hitam menyambut baik perkenalan ini. Dan
Intan Kemuning menepuk-nepuk leher kuda itu diiringi senyuman manis. Dewa Bayu
juga merasa senang dengan perkenalan ini. Kepalanya diangguk-anggukkan sambil
mengangkat sebelah kaki depannya sedikit
“Kakang, sebenarnya aku sudah datang ke Karang
Setra. Tapi aku tidak sabar menunggumu di sana. Jadi aku cari sendiri saja.
Kebetulan, kudengar kau ada di Desa Weru,” kata Intan Kemuning, agak pelan
suaranya.
“Oh, ya...??” kening Rangga agak berkerut
“Adik dan tunanganmu yang mencari. Aku tidak tahu,
apakah mereka sudah bertemu denganmu atau belum,” Intan Kemuning memberi tahu.
“Sudah,” sahut Rangga.
“Mereka sudah mengatakan tentang diriku?” tanya
Intan Kemuning ingin tahu.
“Belum,” sahut Rangga terus terang.
“Belum...?”
“Tidak ada waktu, Intan. Dan mungkin juga Pandan
Wangi maupun Cempaka menunggu waktu yang tepat”
“Hhh.... Kalau aku terus menunggu di Karang Setra,
pasti sudah terlambat” keluh Intan Kemuning.
“Ada persoalan apa, Intan?”
“Sedikit,” sahut Intan Kemuning agak mendesah.
“Katakan saja, barangkali aku bisa membantumu.”
“Sebenarnya aku bisa mengatasi sendiri, Kakang.
Tapi ini termasuk wilayah kekuasanmu. Dan aku tidak bisa bertindak begitu saja
tanpa sepengetahuanmu. Makanya aku mencarimu, Kakang,” jelas Intan Kemuning.
“Kau mengejar seseorang?” tebak Rangga.
“Benar.”
“Siapa?”
“Si Peramal Maut dan adiknya si Setan Merah Lembah
Neraka,” sahut Intan Kemuning.
“Siapa...?!” Rangga tersentak kaget mendengar dua
nama disebutkan Intan Kemuning barusan.
Betapa tidak terkejut? Karena, kedua nama itulah
yang kini menjadi permasalahan baginya. Bahkan bukan saja dirinya, tapi juga
bagi Pandan Wangi dan seluruh penduduk di Desa Weru. Kedua nama itu memang
masih diliputi kabut misteri yang cukup tebal dan sukar disingkapkan.
Kedatangan Intan Kemuning dengan menyebutkan dua
nama itu, seakan-akan membawa sinar terang untuk menyingkap tabir dari si
Peramal Maut dan Setan Merah Lembah Neraka. Keterkejutan Rangga yang begitu
tiba-tiba, membuat Intan Kemuning jadi mengerutkan keningnya juga. Tidak diduga
kalau kedua nama itu membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut setengah
mati.
“Kau kenal dengan mereka, Kakang?” tanya Intan
Kemuning.
“Bukan hanya kenal, tapi aku memang sedang ada
persoalan dengan mereka,” sahut Rangga mencoba memberi senyum, tapi sebenarnya
hendak menenangkan dirinya sendiri.
“Kebetulan sekali. Sudah lama aku memburu
keparat-keparat itu, Kakang,” Intan Kemuning jadi gembira.
“Boleh aku tahu, mengapa kau memburu mereka,
Intan?” tanya Rangga ingjn tahu.
“Mereka sudah membuat kekacauan di Kerajaan Galuh.
Tidak sedikit pembesar dan anggota keluarga istana jadi korban ramalan mautnya.
Tidak ada yang sanggup menandingi mereka. Maka aku punya tanggung jawab untuk
memberantas mereka, Kakang,” tegas kata kata Intan Kemuning.
“Lalu, kenapa mereka bisa sampai lari ke sini?”
tanya Rangga.
“Ke mana pun mereka ada, aku selalu mengejarnya.
Dan pengejaranku sampai ke sini.”
“Oh... Jadi kau ingin bertemu denganku hanya untuk
minta izin. Begitu...?”
“Jika Kakang tidak berkeberatan, aku ingin meminta
bantuan juga. Ilmu mereka tinggi sekali. Terus terang, aku sendiri tidak akan
sanggup menghadapi mereka berdua. Apa lagi anak buah si Setan Merah Lembah
Neraka begitu banyak, seperti satu pasukan prajurit saja.”
“Aku tahu, tadi juga aku hampir mati oleh mereka.”
“Tadi...?!” Intan Kemuning tampak terkejut
“Iya! Tadi itu orang-orangnya si Setan Merah Lembah
Neraka.”
“Benar-benar gila manusia keparat itu!” desis Intan
Kemuning menggeram. “Setiap tempat selalu mengganti seragam anak buahnya!
Huh...! Ingin rasanya aku cepat-cepat menghabisinya...!”
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar
geraman kemarahan gadis ini. Tapi bisa dimaklumi kalau kemarahan yang melanda
diri Intan Kemuning begitu hebat. Karena Putri Rajawali Hitam ini sudah lama
juga memburu si Peramal Maut dan Setan Merah Lembah Neraka. Tampaknya gadis ini
kewalahan juga. Karena pada setiap tempat yang didatangj, mereka seialu
mengubah ciri dan penampilan. Terutama pakaian para pengikutnya, sehingga sukar
bagi orang lain untuk bisa cepat mengenalinya.
“Lantas, apa yang akan kau lakukan, Intan?” tanya
Rangga ingin tahu tindakan gadis itu.
“Apa lagi...? Selagi mereka ada di sini, aku tidak
akan membiarkannya lolos lagi!” tegas Intan Kemuning.
“Apa kau akan membawa mereka ke Kerajaan Galuh,
Intan?”
“Tidak! Gusti Prabu sudah menyerahkan pelaksanaan
hukumannya padaku. Jadi mereka harus mati di tempat,” sahut Intan Kemuning
tetap tegas.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar
Rajawali Sakti tidak bisa melarang Intan Kemuning untuk menghukum mati mereka.
Terlebih lagi putri Patih Kerajaan Galuh ini sudah mendapatkan perintah dari
rajanya untuk menghukum kedua orang itu di tempat. Dan memang, mereka sudah
sepantasnya mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
“Intan. Kau tahu, kenapa mereka berbuat begitu?”
tanya Rangga yang merasa kalau mereka melakukan semua itu tentu ada alasan yang
tepat
“Di samping ingin dikenal, mereka juga mempunyai
dendam pada Gusti Prabu,” sahut Intan Kemuning.
“Hanya ingin dikenal...?” Rangga seperti tidak
percaya dengan jawaban Putri Rajawali Hitam itu.
“Benar. Si Peramal Maut itu ingin namanya terkenal
sebagai peramal sakti yang tidak pernah meleset ramalannya. Dan bodohnya lagi,
adiknya malah membantu kegilaan itu. Dasar saja si Setan Merah Lembah Neraka
haus darah. Dia memang sudah terkenal kekejamannya di daerah wetan.”
“Lalu, dendamnya pada Prabu Galuh?” tanya Rangga
lagi.
“Anak si Peramal Maut pernah dihukum mati oleh
Gusti Prabu, karena telah memperkosa dan membunuh istri pembesar istana.
Kemudian dengan berpura-pura menjadi ahli nujum, peramal itu melakukan aksinya,
membunuhi para pembesar istana. Dan pada suatu saat, rahasianya terbongkar lalu
dia kabur ke daerah ini,” jelas putri Patih Kerajaan Galuh ini.
“Kalau memang begitu, tidak ada alasan lagi untuk
menunda menghentikan mereka,” tegas Rangga.
“Tunggu apa lagi, Kakang? Selagi mereka belum kabur
dari sini.”
***
DELAPAN
Seharian Rangga menjelajahi Rimba Tengkorak,
mencari Setan Merah Lembah Neraka dan orang-orangnya, serta si Peramal Maut
yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Tapi sampai senja datang
mengunjungi mayapada ini, belum juga bisa menemukan orang-orang itu. Bahkan
Intan Kemuning yang mencari lewat udara pun, tidak melihat adanya tanda-tanda
tempat persembunyian mereka di dalam hutan yang cukup ganas dan angker ini.
Bahkan Rangga sendiri meminta bantuan ular-ular
penghuni hutan ini. Tapi usahanya tetap tidak membawa hasil yang
menggembirakan. Pendekar Rajawali Sakti terpaksa kembali ke Desa Weru. Dia
tidak ingin bermalam di hutan yang cukup ganas ini. Sedangkan Intan Kemuning
masih terus mencari tanpa mengenal lelah. Mereka akan saling memberi tahu jika
menemukan tempat persembunyian orang-orang itu.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghempas kan
tubuhnya di bangku begitu berada di dalam kedai Ki Jantar. Laki-laki tua
pemilik kedai ini bergegas menghampiri sambil membawa seguci arak manis. Rangga
langsung meneguknya, membasahi tenggorok an yang terasa kering. Sedangkan Ki
Jantar duduk di depannya. Hanya sebuah meja yang menghalangi mereka.
“Lihat peramal tua itu, Ki?” tanya Rangga seraya
meletakkan guci arak ke meja di depannya.
“Tadi dia ada di sini, lalu pergi lagi,” sahut Ki
Jantar.
“Ke mana perginya?” tanya Rangga.
“Tidak tahu, Den. Tidak ada yang tahu tempat
tinggalnya. Dia seperti hidup di atas pohon saja,” sahut Ki Jantar.
Rangga mendesah panjang. Memang tidak mudah untuk
mencari seseorang yang begitu tertutup. Apalagi semua orang di desa ini tidak
tahu pasti asal-usulnya. Bahkan tidak ada yang tahu, di mana tempat tinggalnya.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Ki Jantar yang kelihatannya murung. Tidak
seperti biasanya laki-laki tua pemilik kedai ini begitu murung.
“Ada persoalan, Ki?” tanya Rangga memperhatikan
kemurungan pemilik kedai itu.
“Dia meramalkan kematianku,” sahut Ki Jantar lesu.
“Jangan percaya, Ki,” tegas Ranggga.
“Bagaimana tidak percaya, Den. Sudah banyak
buktinya kalau ramalannya selalu menjadi kenyataan,” ada nada keluhan pada
suara Ki Jantar.
“Hal itu tidak akan terjadi, Ki. Percayalah padaku.
Dia itu hanya penipu. Tidak ada orang yang bisa mengetahui datangnya kematian,”
Rangga meyakinkan Ki Jantar.
“Malam nanti katanya aku akan mati, Den,” kata Ki
Jantar lirih.
“Percayalah, Ki. Aku akan menjagamu sepanjang
malam. Tidak ada yang bisa meramalkan kematianmu. Itu hanya kebohongan saja, Ki,”
Rangga terus meyakinkan Ki Jantar yang sudah kehilangan semangat hidupnya lagi.
“Den Rangga bisa menjamin kalau aku masih bisa
tetap hidup?”
“Tidak, Ki. Aku tidak bisa mengatakan itu. Hidup
dan mati seseorang bukan manusia yang menentukan. Tapi Hyang Widi-lah yang
menciptakan seluruh mayapada ini. Tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan
datangnya ajal. Ki Jantar harus yakin itu. Jangan percaya pada ramalan kosong.
Percayalah, Ki. Si Peramal Maut itu hanya omong kosong saja,” Rangga terus
memompa semangat Ki Jantar yang sudah rapuh.
Pada saat itu Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi
masuk ke dalam kedai ini. Mereka tampak heran, karena kedai ini sepi sekali.
Tak ada satu pun pengunjung yang datang. Bahkan pintu dan jendela nya tertutup
rapat. Mereka menghampiri Rangga yang duduk satu meja dengan Ki Jantar, lalu
menarik kursi masing-masing dan duduk melingkari meja.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya
memandangi Rangga dan Ki Jantar bergantian.
“Ini..., Ki Jantar dapat ramalan,” sahut Rangga.
“Kurang ajar...!” desis Pandan Wangi, geram.
“Ini tidak bisa didiamkan terus, Kakang. Jelas
kalau peramal tua itu punya maksud tertentu,” sambung Cempaka.
“Coba Ki Jantar melihat kejadian yang dialami
Pandan Wangi. Bukan secara kebetulan Pandan Wangi diserang malam itu. Semua itu
sudah diatur si Peramal Maut,” jelas Rangga, memberi contoh pada peristiwa yang
menimpa si Kipas Maut setelah mendapat ramalan kematiannya.
“Iya, Ki. Jangan percaya pada ramalan kosong itu.
Buktinya Kak Pandan masih tetap hidup,” selak Cempaka.
“Apakah aku bisa selamat nanti?” tanya Ki Jantar
tidak yakin
“Pasti, Ki,” sahut Cempaka cepat
“Kalian akan membantuku melawan ramalan itu?” ujar
Ki Jantar berharap.
“Tanpa diminta pun, kami akan melawan, Ki,” sahut
Cempaka lagi.
"Terima kasih. Tapi kalaupun aku tetap mati,
kuharap kematianku bukan karena ramalan maut itu.”
“Jangan khawatir, Ki,” Cempaka memberi keyakinan.
“Kapan ramalan itu datangnya, Ki?” tanya Pandan
Wangi menyelak.
“Tadi,” sahut Ki Jantar mulai agak tenang.
“Waktunya?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Nanti malam.”
“Kalau begitu, kita tunggu mereka di sini,” tegas
Cempaka penuh semangat.
“Benar, Kakang. Malam nanti sebaiknya kita tidak
tidur,” sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya menganggukkan kepalanya saja
menyetujui usul kedua gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beranjak
bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu kedai yang setengah tertutup.
“Mau ke mana, Kakang?” tanya Cempaka, agak keras
suaranya.
“Keluar sebentar. Kalian jangan ke mana-mana, dan
tetap saja di kedai ini,” sahut Rangga seraya berpesan.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghilang di
balik pintu kedai yang kembali tertutup. Sementara Pandan Wangi dan Cempaka
tetap duduk menemani Ki Jantar. Laki-laki tua pemilik kedai itu masih kelihatan
murung, meskipun sudah agak tenang. Sementara Padmi sudah sibuk mempersiapkan
makanan. Memang tidak ada orang lain di kedai ini. Ki Jantar sudah menutup
kedainya begitu mendapat ramalan maut. Bahkan dia juga memberhentikan para
pembantunya.
***
Malam sudah larut. Di dalam kedai yang sepi, hanya
ada satu pelita yang menerangi seluruh ruangan. Cahaya api pelita itu demikian
redup, sehingga tidak mungkin bisa menerangi seluruh sudut ruangan kedai ini.
Tampak Ki Jantar duduk saja di kursinya sejak siang tadi. Pandan Wangi dan
Cempaka masih menemaninya. Sedangkan Rangga duduk di sudut dengan tenangnya.
Padmi masih terlihat duduk memeluk lutut di atas balai-balai bambu tidak jauh
dari Pendekar Rajawali Sakti.
Ketegangan menyelimuti seluruh ruangan kedai ini.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sibuk mengusir
ketegangan yang melanda hari. Betapa tidak..? Mereka seperti sedang menanti
datangnya maut yang akan menjemput Ki Jantar. Beberapa kali laki-laki tua
pemilik kedai itu menyeka keringat yang mengucur deras membasahi wajah dan
lehernya. Seluruh baju yang dikenakan sudah dibasahi keringat yang membanjir
tak terbendung lagi.
Namun suasana sunyi berselimut ketegangan itu,
mendadak dipecahkan suara Pendekar Rajawali Sakti yang keras dan tiba-tiba
sekali.
“Awas...!”
Bersamaan dengan terlihatnya sebuah benda merah
yang melesat cepat ke arah Ki Jantar, seketika itu juga Rangga menjentikkan
jari tangannya. Tampak sebilah bambu kecil melesat cepat memapak benda berwarna
merah itu.
Trak!
Benda merah itu langsung rontok, jatuh di lantai
kedai sebelum sempat menyentuh kulit Ki Jantar. Saat itu juga, Pandan Wangi
melompat cepat menerjang melalui jendela yang sebelumnya sengaja dibuka lebar.
Lesatan si Kipas Maut itu sungguh cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejap mata
saja, sudah lenyap dari pandangan.
Trang!
“Aaa...!”
Tak berapa lama kemudian, terdengar bunyi senjata
beradu yang keras sekali. Itu pun masih disusul jeritan panjang melengking
tinggi. Sementara itu Cempaka yang masih mendampingi Ki Jantar, sempat melirik
ke tempat Rangga tadi duduk. Tapi Pendekar Rajawali Sakti ternyata sudah lenyap
tanpa diketahui kapan perginya.
“Ayo, Ki. Kita keluar,” ajak Cempaka.
Ki Jantar dan Padmi bergegas melangkah ke luar
mengikuti Cempaka yang sudah lebih dahulu berjalan. Setibanya di luar kedai,
mata mereka langsung terbeliak melihat pertarungan sengit bagaikan sebuah
peperangan kecil yang berlangsung di halaman depan kedai ini.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat
berkelebat menyambar orang-orang berbaju serba hitam pekat. Sedangkan Pandan
Wangi mempergunakan kipas mautnya menyambar siapa saja yang dekat dengannya.
Jerit dan pekikan melengking terus terdengar saling susul tanpa mengenal kata
berhenti. Entah, sudah berapa jumlahnya mayat-mayat berbaju hitam bergelimpangan
di tanah berumput cukup tebal ini.
“Khraaaghk...!”
Semua orang yang berada di halaman kedai itu
terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara keras menggelegar agak serak.
Dan sebelum keterkejutan mereka lenyap, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sesuatu
yang besar berwarna hitam pekat. Hanya Rangga yang tidak terkejut, tapi malah
tersenyum mendengar suara itu.
Sebelum ada yang menyadari apa yang datang itu,
mendadak saja tubuh-tubuh berbaju hitam berpelantingan di udara. Jeritan dan
pekikan melengking tinggi terdengar saling susul tanpa ada henti-hentinya. Saat
itu Rangga mengangkat tangannya ke atas kepala. Dan dari punggung makhluk hitam
besar yang ternyata Rajawali Hitam itu, melesat Putri Rajawali Hitam. Gadis
yang sebenarnya bernama Intan Kemuning itu langsung menyerang orang-orang
berbaju hitam yang jadi kalang kabut.
“Intan, lawanmu di sebelah kiri...!” teriak Rangga
memberi tahu.
Intan Kemuning langsung menoleh. Seketika itu juga
tubuhnya melesat ke kiri begitu melihat si Peramal Maut berada tidak jauh dari
sebelah kirinya.
“Peramal keparat! Sudah terbuka kedokmu sekarang!”
geram Intan Kemuning. “Kau bukanlah peramal ulung yang patut dipercayai. Kau
hanya meramalkan kematian setiap orang yang akhirnya kau bunuh sendiri melalui
kaki tanganmu!”
“He he he...,” peramal tua itu hanya terkekehkekeh.
“Kalau sudah tahu, ya jangan marah-marah begitu, Putri Rajawali Hitam.”
“Bersiaplah untuk meramalkan kematianmu sendiri,
Peramal Keparat!”
Intan Kemuning langsung saja memberi serangan
gencar, membuat laki-laki tua peramal itu jadi mau tidak mau menghindari
serangan Putri Rajawali Hitam. Sementara Rangga sudah bertarung dengan si Setan
Merah Lembah Neraka. Sedangkan Pandan Wangi tetap menghadapi orang-orang
berbaju hitam yang semuanya bersenjatakan golok.
Pada saat itu, Cempaka sudah melompat terjun ke
dalam kancah pertempuran. Dia tidak mau ketinggalan dengan yang lain. Gadis itu
mengeluarkan pedangnya, langsung mengibaskan cepat pedangnya. Kedua gadis itu
baru menyadari kalau lawan mereka ini adalah orang-orang yang pernah
mengeroyoknya di hutan menuju Desa Weru.
Orang-orang berbaju hitam itu pernah menyerang
mereka, ketika Cempaka baru saja mengajak Padmi pergi dari rumahnya. Gerombolan
ini memang selalu membuat onar di mana-mana. Orang tua Padmi juga dibunuh oleh
mereka!
Jeritan-jeritan melengking tinggi terus terdengar
ditingkahi suara denting senjata beradu. Sementara Rangga terus menggiring
Setan Merah Lembah Neraka menjauhi anak buahnya. Laki-laki setengah baya
berbaju merah itu benar-benar kewalahan menghadapi gempuran Pendekar Rajawali
Sakti yang cepat dan dahsyat bukan main.
“Keparat..!” geram Setan Merah Lembah Neraka ketika
satu pukulan menggeledek yang dilepaskan Rangga hampir saja menghancurkan
dadanya.
Sret!
Setan Merah Lembah Neraka seketika mengeluarkan
pedangnya setelah berhasil mengelakkan pukulan Pendekar Rajawafi Sakti.
Langsung pedangnya dikebutkan ke leher Pendekar Rajawali Sakti, disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tap!
“Heh...?!”
Setan Merah Lembah Neraka terkejut bukan main
ketika ujung pedangnya terjepit kedua telapak tangan Rangga yang merapat
seperti penjepit baja. Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya,
Setan Merah Lembah Neraka mencoba menarik pedangnya. Namun sedikit pun pedang
itu tidak bergeming. Bahkan mendadak saja....
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga cepat
menghentakkan kakinya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat dan tiba-tiba
itu tak bisa lagi terelakkan. Terlebih, jarak mereka begitu rapat. Tendangan
Rangga langsung mendarat di perut Setan Merah Lembah Neraka.
Des!
“Heghk..!”
Tubuh Setan Merah Lembah Neraka itu terdorong ke
belakang sekitar lima langkah. Pegangan pedangnya pun terlepas. Saat itu,
dengan kecepatan yang mengagumkan, Rangga memutar pedang lawan. Langsung
dibabatkannya ke tubuh Setan Merah Lembah Neraka sambil melompat secepat kilat.
“Yeaaah...!”
Cras!
“Aaa...!” Setan Merah Lembah Neraka menjerit
melengking tinggi. Sebentar dia masih mampu berdiri. Dan ketika Rangga memberi
satu tendangan keras ke dada, seketika itu juga laki-laki berbaju merah itu
ambruk ke tanah. Darah mengalir keluar dengan deras sekali. Rangga membuang
pedang Setan Merah Lembah Neraka yang berlumuran darah, yang telah menewaskan
pemiliknya sendiri.
Kematian Setan Merah Lembah Neraka, membuat si
Peramal Maut jadi kelabakan. Perlawanannya pada Putri Rajawali Hitam jadi
kacau. Jurus-jurusnya tidak lagi beraturan. Jelas kalau si Peramal Maut jadi
kehilangan kepercayaan dirinya. Hal ini benar-benar dimanfaatkan Putri Rajawali
Hitam sebaik-baiknya.
Gadis berbaju hitam ketat itu langsung meningkat-kan
serangannya, membuat peramal tua itu semakin kewalahan tidak menentu. Beberapa
kali sudah, pukulan, dan tendangan yang bertenaga dalam tinggi bersarang di
tubuhnya. Dan peramal tua itu semakin tidak bisa lagi menguasai dirinya. Hingga
pada suatu saat...
“Mampus kau...! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras, Putri Rajawali Hitam
melontarkan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Pukulan cepat itu tak bisa lagi terbendung, dan tepat mendarat
di dada si Peramal Maut
Deghk!
“Akh...!” si Peramal Maut menjerit keras.
Selagi tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, Putri
Rajawali Hitam melompat cepat ke sambil berteriak keras melengking tinggi.
Sementara, kedua tangannya diarahkan ke kepala si Peramal Maut
“Hiyaat..!”
Prak!
“Aaa...!”
Satu jeritan panjang melengking, mengakhiri
kehidupan si Peramal Maut. Beberapa saat laki-laki tua peramal itu masih bisa
berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar di tanah dengan kepala pecah
berantakan. Darah langsung menggenang mem-basahi tanah berumput.
Putri Rajawali Hitam berdiri tegak memandangi
lawannya yang sudah tewas seketika begitu menyentuh tanah. Segera ditarik napas
panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Satu tugas yang dirasakan paling berat,
sudah terselesaikan. Gadis itu mengangkat kepalanya ketika merasakan ada
seseorang berdiri di depannya. Bibirnya langsung tersenyum melihat Rangga sudah
berdiri di depannya sambil tersenyum juga.
“Aku harus pergi sekarang, Kakang,” kata Putri
Rajawali Hitam.
“Tidak ingin kenal lebih dekat dengan adikku,
Intan?” ujar Rangga mencoba mencegah dengan halus.
“Lain kali saja,” sahut Intan Kemuning yang juga
berjuluk Putri Rajawali Hitam.
Secepat kilat Intan Kemuning melesat ke atas,
langsung hinggap di punggung rajawali hitam raksasa. Rangga memandangi burung
raksasa yang melesat cepat membelah angkasa. Saat itu juga pertarungan
berhenti. Orang-orang berbaju hitam yang sudah kehilangan pemimpin, langsung
menyerah, menjatuhkan senjatanya. Mereka menyatakan penyesalan atas kelakuannya
selama ini. Dan bersedia dihukum atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau penduduk
Desa Weru ini sudah berdatangan. Sementara itu Ki Sarumpat memerintahkan para
pembantunya meringkus para pengacau. Sedangkan Pandan Wangi, Cempaka, dan Padmi
serta Ki Jantar sudah berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang, ada yang ingin aku katakan padamu,” kata
Cempaka setengah berbisik dekat telinga Pendekar Rajawafi Sakti.
Rangga menoleh menatap adik tirinya ini.
“Boleh aku mengangkat Padmi menjadi muridku,
Kakang?” Cempaka meminta izin dengan ragu-ragu.
“Kalau kau sudah mampu, silakan. Aku tidak akan
melarang,” Rangga mengizinkan.
“Terima kasih, Kakang,” ucap Cempaka gembira.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan Pendekar Rajawali
Sakti meminta agar Cempaka besok kembali ke Karang Setra, tapi gadis itu minta
izin untuk tinggal beberapa hari di desa ini. Kembali Rangga tidak bisa menolak
keinginan gadis itu. Hari ini Cempaka benar-benar gembira, karena Rangga tidak
menolak sedikit pun semua permintaannya.
Sementara para penduduk desa membenahi mayat-mayat
yang bergelimpangan, Rangga sudah menarik tangan Pandan Wangi ke dalam kedai.
Tentu saja Pandan Wangi tidak menolak sedikit pun. Bahkan juga tidak menolak
ketika Pendekar Rajawali Sakti melumat bibirnya. Di luar dugaan, gadis itu
membalasnya dengan kerinduan dan rasa cinta yang dalam.
“Oh, Kakang...,” desah Pandan Wangi begitu Rangga
melepaskan pagutannya.
“Kita akan bersama-sama lagi, Pandan,” bisik Rangga
lembut di telinga Pandan Wangi.
“Oh, sungguhkah...?”
“Ya! Kita akan mengembara bersama-sama lagi.
Seperti dulu.”
Pandan Wangi tidak bisa lagi menyembunyikan
kegembiraannya. Langsung dipeluknya Pendekar Rajawali Sakti erat-erat. Sesaat
kemudian, mereka sudah kembali menyatu rapat dalam gelora cinta dan kerinduan
yang mendalam. Tidak dipedulikan lagi suara-suara di luar yang mencari-cari
mereka. Pandan Wangi seakan-akan ingin menumpahkan seluruh cintanya yang selama
ini terpendam di dalam dada.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
BURONAN
SINGO WULUNG
Emoticon