Pendekar Rajawali Sakti 84 - Tujuh Mata Dewa(1)

SATU
"Khraaagkh...!"

Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan tampak menukik turun. Kecepatannya sangat tinggi, menuju sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di tengah-tengah hutan cemara. Dua sosok manusia terlihat berlompatan turun dari punggung burung rajawali yang telah mendarat manis sekali di padang rumput ini.

"Kau boleh pergi, Rajawali," ujar pemuda tampan berbaju rompi putih yang tadi melompat turun dari punggung binatang raksasa ini.

"Khraaagkh...!"

Rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat cepat bagai kilat, melambung tinggi ke angkasa. Suaranya yang keras dan serak, terdengar menggelegar bagai hendak meruntuhkan langit. Begitu cepat burung itu terbang. Sehingga, dalam waktu sekejap saja sudah tidak terlihat lagi, tertelan gumpalan awan yang cukup tebal menyelimuti langit.

Sebentar pemuda tampan berbaju rompi putih yang ternyata Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke atas. Kemudian, kepalanya bergerak perlahan berpaling ke arah gadis cantik berbaju biru muda di sebelah kanannya. Gadis cantik ini, dikenal berjuluk si Kipas Maut. Dan nama gadis itu sebenarnya adalah Pandan Wangi.

Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan beberapa saat, kemudian melangkah meninggalkan padang rumput itu tanpa bicara sedikit pun. Dan ayunan langkah kaki mereka kembali terhenti, setelah tiba di tepian padang rumput ini. Yang terlihat di sekeliling tempat ini hanya pohon-pohon cemara yang tumbuh menjulang tinggi, bagai hendak menggapai langit.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, saat melihat wajah Rangga seperti kehilangan semangat.

Pendekar Rajawali Sakti hanya melirik sedikit saja pada gadis cantik yang terus memandanginya dari sebelah kanan. Sedikit napasnya dihembuskan. Kemudian tubuhnya dihempaskan, duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Sementara, Pandan Wangi terus memandangi dengan kelopak mata agak menyipit.

Gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri, kemudian duduk di samping Rangga. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti tertuju lurus tak berkedip ke arah utara. Entah apa yang sedang dipandanginya. Hanya pohon-pohon cemara saja yang terlihat di sekelilingnya. Sedangkan Pandan Wangi terus saja memandangi Pendekar Rajawali.

"Ada yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi penasaran.

"Entahlah...," sahut Rangga agak mendesah. "Mendadak saja perasaanku tidak enak."

"Maksudmu?" tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin tahu.

Rangga tidak langsung menjawab. Beberapa kali dihembuskannya napas panjang yang terasa teramat berat. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja hatinya merasa jadi tidak enak. Sejak turun dari Rajawali Putih tadi, dirasakan ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Seperti ada sesuatu yang tengah menunggu, tapi entah apa.

Perlahan Rangga bangkit berdiri, kemudian melangkah pelan-pelan. Sementara, Pandan Wangi masih duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Pandangannya terus tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang terus saja melangkah perlahan-lahan dengan pandangan lurus ke depan. Gadis itu segera bangkit berdiri, setelah Rangga berjalan sejauh tiga batang tombak meninggalkannya. Dengan ayunan kaki agak cepat, si Kipas Maut itu sudah kembali mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Namun baru saja mereka berjalan sejauh beberapa batang tombak, mendadak saja....

"Awas, Kakang…!" seru Pandan Wangi.

Cepat sekali Rangga mengebutkan tangannya, begitu melihat sebatang anak panah berwarna hitam meluncur deras ke arahnya dari depan. Sementara, Pandan Wangi langsung saja mencabut kipas baja putih dari balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning keemasan.

"Hm...," gumam Rangga perlahan.

***

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti mengamati anak panah berwarna hitam pekat dalam genggaman tangannya. Kemudian dilemparkannya anak panah itu ke depan disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hiyaaa...!"
Wusss!

Anak panah hitam itu meluncur cepat bagai kilat, melebihi kecepatan datangnya tadi. Dan saat anak panah itu menembus semak belukar yang berada sekitar lima batang tombak di depan, saat itu juga terdengar jeritan sangat panjang dan melengking tinggi.

"Aaa...!"
Srak!

Belum juga hilang-jeritan itu, dari dalam semak belukar keluar sesosok tubuh berbaju hitam pekat. Sosok tubuh itu terhuyung-huyung, dan langsung ambruk ke tanah. Sebatang anak panah berwarna hitam pekat miliknya sendiri, tertancap sangat dalam, tepat di tengah-tengah dadanya. Hanya sebentar orang itu menggeliat sambil mengerang lirih, kemudian mengejang kaku dan tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, dari dada yang tertembus anak panah hitam itu mengalir darah segar.

"Hup!"

Rangga bergegas melompat mengriampiri. Keningnya jadi berkerut, begitu melihat seluruh kepala orang ini terselubung kain hitam. Hanya bagian matanya saja yang terlihat. Sedikit Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya, lalu tangannya merenggut kain selubung kepala orang ini. Tampak di balik kain hitam, tersembunyi seraut wajah pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.

"Hm...," gumam Rangga perlahan.

Saat itu, Pandan Wangi sudah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu memandangi pemuda berusia dua puluh tahun yang tergeletak tak bernyawa lagi, tertancap anak panah berwarna hitam di dadanya. Di tangan kirinya tergenggam sebuah busur yang berukuran sangat besar. Di punggungnya terdapat kantung kulit, penuh berisi anak panah yang semuanya berwarna hitam pekat.

"Kau mengenalnya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

Rangga hanya menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut Kemudian pandangannya tertuju lurus ke arah sebuah gunung yang menjulang ringgi, seakan puncaknya ingin menembus langit. Itulah yang disebut Gunung Lanjaran, yang puncaknya selalu berselimut kabut. Dan tidak jauh di balik gunung itulah letak Kerajaan Karang Setra.

"Ayo, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.

"Eh...?!"

Pandan Wangi jadi tersentak. Tapi, dia tidak bisa berbuat sesuatu lagi, karena Rangga sudah cepat sekali mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu langsung dibawa berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Dan Pandan Wangi jadi kerepotan juga mengimbangi lari Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat bagai hembusan angin.

"Pelankan sedikit larimu, Kakang...!" seru Pandan Wangi.

Rangga melirik sedikit ke arah gadis cantik ini, kemudian mengurangi kecepatan larinya. Seakan baru disadari kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pandan Wangi memang tidak bisa menandingi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Pendekar Rajawali Sakti juga melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut itu kini bisa leluasa berlari di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tetap saja seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya harus dikerahkan untuk mengimbangi kecepatan lari Pendekar Rajawali Sakti.

Entah sudah berapa jauh mereka berlari, tapi belum juga mereka berhenti. Sebuah sungai yang mengalir deras, dengan mudah sekali dilewati hanya sekali lompatan saja. Namun baru saja mereka menjejakkan kaki di seberang sungai, mendadak...

Sing...!
"Awas...!" seru Rangga. "Hup!"
"Hiyaaa...!"

Rangga cepat-cepat melenting ke udara, begitu telinganya mendengar desingan tajam. Sedangkan Pandan Wangi langsung melesat ke samping, lalu berputaran beberapa kali untuk menghindari sebatang tombak berwarna hitam yang meluruk deras sekali ke arahnya. Tombak itu lewat sedikit saja di dalam lingkaran tubuh Pandan Wangi yang berputaran, kemudian menancap dalam di sebatang pohon.

"Hap!"

Tepat di saat Pandan Wangi sudah bisa menjejakkan kaki di tanah, Rangga juga mendarat manis sekali di sampingnya. Mereka sama-sama saling melempar pandangan, kemudian secara bersamaan pula menatap tombak berwarna hitam pekat yang tertanam cukup dalam pada batang pohon.

Melihat dari dalamnya tancapan tombak itu, sudah bisa dipastikan kalau tadi dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pandan Wangi sudah kembali menggenggam senjata kipas mautnya. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak. Sinar mata yang tajam, beredar menatap ke sekitarnya.

"Hati-hati, Pandan," bisik Rangga memperingatkan.

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja.

Perlahan mereka bersama-sama mengayunkan kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tahu-tahu tanah yang dipijak amblas ke dalam.

"Awas...! Hup!"

"Hiyaaa...!"

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa kali, mereka sama-sama menjejakkan kakinya di tanah, tepat di pinggiran sebuah lubang yang menganga cukup lebar.

"Gila...!" desis Pandan Wangi. Bola matanya yang indah tampak terbeliak memandang ke dalam lubang.

Di dasar lubang akibat tanah yang amblas itu telah tertancap tonggak-tonggak bambu yang runcing ujungnya. Sebuah jebakan yang sangat rapi. Kalau saja bukan pendekar-pendekar digdaya yang melewatinya, pasti sudah ter-panggang di dalam lubang ini.

"Ada apa ini, Kakang?! Kenapa banyak sekali jebakan di sini?" tanya Pandan Wangi, jadi tidak mengerti.

Tentu saja Rangga tidak bisa menjawab. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa di kaki Gunung Lanjaran ini jadi banyak jebakan. Sepertinya, ada yang tidak menghendaki kedua pendekar muda digdaya ini melewati sekitar daerah Gunung Lanjaran. Buktinya, sudah beberapa kali mereka mendapat serangan dan jebakan, setelah sampai di kaki gunung ini.

"Ayo," ajak Rangga sambil mencekal pergelangan tangan Pandan Wangi.

Tanpa membantah lagi, Pandan Wangi mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti, memutari lubang yang menganga cukup lebar ini. Sedikit gadis itu masih melirik ke dalam lubang. Agak bergidik juga hatinya, begitu melihat ke dasar lubang yang penuh tonggak bambu berujung runcing. Sukar dibayangkan kalau saja tadi tubuhnya terjatuh ke dalamnya. Pasti sudah mati terpanggang tonggak-tonggak bambu yang sangat runcing itu. Rangga baru melepaskan cekalan tangannya setelah sampai di seberang lubang jebakan ini, namun terus melangkah perlahan-lahan. Mereka tidak ingin menemui jebakan lagi tanpa dapat diketahui.

"Berhenti...!"

Belum juga jauh kedua pendekar muda itu berjalan meninggalkan lubang jebakan, sudah terdengar bentakan keras menggema yang menggelegar dan mengejutkan. Seketika, ayunan langkah kedua pendekar muda itu jadi terhenti. Dan belum lagi rasa terkejut hilang, dari balik semak belukar dan pepohonan bermunculan orang-orang berbaju serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Hanya kedua bola matanya saja yang terlihat. Dan mereka semua menggenggam senjata pedang terhunus berkilatan yang tersilang di depan dada.

Sebentar saja, Rangga dan Pandan Wangi sudah terkepung tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan senjata pedang terhunus. Kedua pendekar muda itu langsung saja saling mengadu punggung. Sementara, Pandan Wangi sudah membuka kipas mautnya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam merayapi orang-orang berpakaian serba hitam itu.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu terdengar suara lantang menggelegar yang memberi perintah, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung saja berlompatan menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Gerakan mereka sangat cepat dengan pedang-pedang berkelebat. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ter-paksa harus berjumpalitan, menghindari serangan yang datang dari segala penjuru secara cepat dan bersamaan.

"Hup! Hiyaaat..!"
Wuk!
Tring!

***

Beberapa kali Pandan Wangi berhasil menangkis tebasan pedang-pedang dari penyerangnya dengan kipas maut yang tergenggam di tangan kanan. Sementara, Rangga masih menghadapi pengeroyoknya hanya dengan tangan kosong saja. Tapi, tampaknya Pendekar Rajawali Sakti memang bukanlah tandingan orang-orang berpakaian hitam itu.

Buktinya baru saja pertarungan berjalan beberapa saat, sudah ada tiga orang yang menggeletak terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi juga tampaknya terlalu tangguh. Dengan kipas mautnya yang sangat terkenal, dalam waktu tidak berapa lama saja empat orang lawan sudah berhasil dirobohkannya.

Teriakan-teriakan pertempuran kini berbaur dengan jeritan-jeritan melengking tinggi. Satu persatu orang-orang berbaju serba hitam itu berjatuhan sambil mengeluarkan jeritan panjang melengking tinggi. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi benar-benar tidak dapat lagi di-tandingi. Namun, orang-orang berbaju serba hitam itu tampaknya tidak gentar sama sekali. Padahal, sebagian dari mereka sudah menggeletak tidak dapat bangkit.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Orang-orang berpakaian serba hitam itu kelihatan semakin ganas saja. Serangan-serangan mereka semakin cepat dan berbahaya. Dan hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa bermain-main lagi. Dengan jurus-jurus tingkat tinggi, mereka bergerak cepat bagai angin, sehingga membuat orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan.

Jeritan-jeritan panjang melengking pun semakin sering terdengar, disusul ambruknya orang-orang berpakaian serba hitam itu. Dan setelah melewati beberapa jurus, kedua pendekar muda itu baru bisa menarik napas panjang. Mereka kini berdiri berdampingan, memandangi orang-orang berbaju serba hitam yang tidak ada satu pun lagi yang bergerak. Mereka semua menggeletak saling tumpang tindih.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Sementara, Pandan Wangi menyeka keringat yang membasahi lehernya dengan punggung tangan kiri. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kembali menyimpan senjata kipas berwarna putih keperakan di dalam lipatan ikat pinggangnya. Sebentar kedua pendekar muda itu merayapi tubuh-tubuh berbaju serba hitam yang bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian tanpa berbicara lagi, mereka sama-sama mengayunkan kaki melewati tubuh-tubuh yang bergeletakan tak tentu arah ini.

"Mereka itukah yang menyerang para prajurit dari Ringgading, Kakang?" tanya Pandan Wangi, setelah melewati tempat pertarungan tadi.

"Sepertinya," sahut Rangga singkat.

Pandan Wangi berpaling sedikit ke belakang. Memang, Pendekar Rajawali Sakti pernah bercerita tentang bantuannya pada para prajurit Kerajaan Ringgading yang dihadang orang-orang tak dikenal berbaju serba hitam, ketika hendak menuju ke Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga belum lama ini telah membebaskan Kerajaan Ringgading dari cengkeraman seseorang yang berjuluk Siluman Muka Kodok.

Tapi, bukan itu yang menjadi beban pikiran Pandan Wangi sekarang ini. Gadis itu jadi ingat sesuatu setelah mereka turun dari punggung Rajawali Putih di hutan cemara tadi. Saat itu, Rangga kelihatan gundah. Katanya, perasaannya tidak enak. Mungkinkah orang-orang berpakaian serba hitam ini yang menjadikan perasaan hati Pendekar Rajawali Sakti itu jadi gundah...?

Pandan Wangi tidak bisa menjawab per-tanyaan yang mengganjal hatinya saat ini. Sementara itu, Rangga terus saja mengayunkan kakinya tanpa berbicara sedikit pun. Dan Pandan Wangi terpaksa harus diam, walaupun kakinya terus terayun mengikuti langkah pemuda tampan berbaju rompi putih yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Kakang! Bukankah ini jalan menuju Karang Setra?" tanya Pandan Wangi, mengenali jalan yang tengah dilalui.

"Hm, ya...," sahut Rangga dengan suara menggumam.

"Kita kembali ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap cukup dalam ke wajah tampan di sampingnya.

Rangga tidak langsung menjawab. Ayunan kakinya seketika dihentikan, dan tubuhnya diputar hingga menghadap Pandan Wangi. Sementara, gadis berjuluk si Kipas Maut itu masih terus memandanginya dengan sinar mata sukar sekali diartikan.

"Perasaan hatiku tidak enak sekali, Pandan. Aku khawatir telah terjadi sesuatu di istana," ungkap Rangga.

"Kalau begitu, kenapa tidak menggunakan Rajawali Putih saja agar lebih cepat sampai, Kakang...?" usul Pandan Wangi.

Rangga menghembuskan napas panjang dengan kepala bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Kemudian kembali tubuhnya diputar dan melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi langsung mengikuti tanpa berbicara lagi. Sesekali matanya melirik ke wajah tampan yang kelihatan bagai terselimut mendung ini.

Mungkin karena sudah sering bersama-sama, sehingga Pandan Wangi bisa merasakan kalau ada sesuatu yang memang tengah menyusahkan hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dia tidak bisa menduga, apa sebenarnya yang tengah melanda hati kekasihnya. Sedangkan Rangga sendiri masih belum tahu, apa yang membuat hatinya jadi begitu gelisah.

"Kakang...," sebut Pandan Wangi tiba-tiba.

Gadis itu langsung saja menghentikan lang-kahnya. Sementara, Rangga juga berhenti sebentar. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat, memper-gunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hup...!"

Pandan Wangi bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya melesat cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, sehingga kedua kakinya bagai tidak menjejak tanah.

***
DUA
Rangga jadi terpaku. Matanya terbeliak lebar, memandangi empat orang prajurit penjaga gerbang masuk wilayah Kerajaan Karang Setra tergeletak tak bernyawa lagi dengan leher tergorok hampir buntung. Darah yang sudah kelihatan mengering, tampak menggenang di tanah. Saat itu, Pandan Wangi baru saja sampai. Gadis itu jadi terpekik kecil saat melihat empat orang prajurit yang tadi dilihat Rangga. Sejenak, kedua pendekar yang merupakan orang-orang utama di Kerajaan Karang Setra itu terpaku.

"Biadab...! Siapa yang telah melakukan semua ini...?!" desis Pandan Wangi, bagai bertanya pada diri sendiri.

Sementara, Rangga hanya diam saja. Garis-garis pada wajahnya kelihatan meregang kaku dan memerah. Kedua bola matanya terbuka nyalang, memancarkan sinar yang sangat tajam. Terdengar suara menggerutuk dari rahangnya yang merapat Pandan Wangi sempat berpaling, menatap wajah yang memerah menegang kaku itu. Dia tahu, saat ini Rangga tengah menahan gejolak amarahnya yang membara, melihat empat prajurit penjaga gerbang masuk tewas dengan leher tergorok hampir buntung!

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga melompat begitu cepat, dan langsung berlari bagaikan kilat.

"Kakang, tunggu...!" teriak Pandan Wangi.

Tapi, tampaknya Rangga sudah tidak lagi mendengar teriakan si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat dan sempurnanya, sehingga kedua kakinya yang bergerak sangat cepat seakan-akan tidak menjejak tanah. Sementara, Pandan Wangi masih berdiri terpaku memandangi kepergian Rangga yang begitu cepat Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah lenyap dari pandangan.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung saja melesat. Segera dipergunakannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat tinggi sekali. Debu seketika membubung tinggi ke angkasa, mengikuti arah lari gadis berjuluk si Kipas Maut itu.

Sebentar saja, Rangga sudah memasuki bagian Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Kecemasan semakin terlihat jelas di wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Keadaan di dalam kota tampak tidak seperti biasanya. Begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya. Pemuda itu baru menghentikan larinya, setelah tiba di depan pintu gerbang istana yang dikelilingi pagar tembok berbentuk benteng kokoh.

Dari kejauhan, terlihat Pandan Wangi masih terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Gadis itu baru sampai, setelah Rangga cukup lama mengamati keadaan sekitar bangunan istana yang megah ini. Tidak terlihat seorang pun prajurit menjaga pintu gerbang yang tertutup rapat. Saat itu, Pandan Wangi sudah di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tampak masih kerepotan mengatur jalan napasnya yang tersengal, akibat terlalu jauh berlari mengerahkan seluruh kemampuannya.

"Ke mana para penjaga, Kakang...?" nada suara Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.

"Entahlah," sahut Rangga sedikit mendesah.

Melihat keadaan istana yang begitu sunyi, membuat kecemasan di wajah Rangga semakin terlihat jelas. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau gegabah. Dugaannya, telah terjadi sesuatu di dalam istana ini. Sebentar kepalanya mendongak, tapi sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Biasanya, paling tidak ada sekitar dua puluh orang prajurit di atas tembok benteng, siap dengan anak panah terpasang di busur. Tapi kini, tidak seorang prajurit pun terlihat di sana.

"Kau tunggu di sini sebentar, Pandan," ujar Rangga.

Belum juga Pandan Wangi menjawab, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat ke atas. Dan tahu-tahu Rangga sudah berada di atas tembok benteng yang sangat tinggi mengelilingi seluruh istana ini. Sementara, Pandan Wangi tetap menunggu dengan kepala terdongak ke atas, memandangi Rangga yang kini berdiri tegak di atas tembok benteng.

Namun belum lama Pendekar Rajawali Sakti berdiri di atas tembok, mendadak saja terlihat puluhan anak panah meluncur deras ke arahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Rangga melompat turun kembali. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah, tepat di samping Pandan Wangi. Saat itu, terlihat puluhan anak panah berhamburan di angkasa. Lalu satu persatu berjatuhan di luar pagar tembok benteng istana ini. Rangga memungut sebatang anak panah yang jatuh tepat di ujung jari kakinya.

"Edan...!" dengus Rangga.

"Kenapa mereka menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang matanya jadi terbeliak melihat anak panah di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Tentu saja mereka mengenali anak panah itu. Tidak ada satu kerajaan pun yang memilikinya, kecuali para perajurit Kerajaan Karang Setra. Pada bagian tengah batang anak panah itu tertera ukiran lambang Kerajaan Karang Setra. Dan itu berarti, para prajurit Karang Setra sendiri yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti tadi. Atau....

Tentu saja hal ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa prajurit-prajurit Karang Setra menyerang rajanya sendiri...? Atau ada pihak-pihak tertentu yang menyamar sebagai prajurit? Dan bisa juga orang-orang berpakaian serba hitam yang menyerang!

Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa menemukan jawabannya, terlihat kepala-kepala prajurit Kerajaan Karang Setra bermunculan di atas tembok benteng. Dan saat itu juga, puluhan anak panah langsung berhamburan ke arah kedua pendekar muda ini.

"Cepat menyingkir, Pandan...!" seru Rangga "Hup...!"

"Hiyaaa...!"

Begitu Rangga melompat menghindari serangan anak panah, Pandan Wangi juga melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hanya beberapa kali saja berlompatan, mereka sudah cukup jauh dari bangunan benteng istana itu. Dan para prajurit yang berada di atas benteng tidak lagi melepaskan anak-anak panahnya, begitu melihat kedua pendekar ini sudah tidak lagi berada dalam jangkauan panah.

"Gila...! Ini benar-benar keterlaluan, Kakang! Kenapa mereka menyerang kita?! Apa mereka tidak mengenali kita lagi...?!" desis Pandan Wangi, agak gusar nada suaranya.

"Aku juga tidak mengerti, Pandan," sahut Rangga, juga kebingungan.

"Pasti ada yang tidak beres, Kakang," duga Pandan Wangi, masih terdengar mendesis gusar suaranya.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti mengamati bagian atas benteng istana. Masih terlihat kepala-kepala prajurit sedikit menyembul, siap melepaskan anak panah yang terpasang di busur. Sedangkan Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan rumah-rumah yang ada di sekitar istana ini semuanya dalam keadaan tertutup rapat. Baik pintu, maupun jendelanya.

"Ayo, Pandan. Kita pergi dulu dari sini," ajak Rangga.

"Ke mana...?" tanya Pandan Wangi. Rangga tidak menjawab. Bahkan malah melangkah dengan ayunan kaki cepat, meninggalkan tempat itu. Sementara, Pandan Wangi memandangi beberapa saat, kemudian ikut melangkah cepat menyusul Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja gadis itu sudah berada di samping Rangga. Mereka berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

***

Sementara itu, matahari sudah jauh tergelincir ke arah barat. Sinarnya yang semula terasa sangat terik menyengat, kini begitu lembut membelai kulit. Dari atas bukit yang tidak begitu tinggi, Rangga terus mengamati keadaan Kota-raja Karang Setra. Keadaannya masih tetap sunyi, tak terlihat seorang pun berada di luar. Sementara Pandan Wangi hanya bisa memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata sukar diartikan.

Siang tadi, mereka sudah mencoba masuk ke dalam istana melalui jalan rahasia. Tapi, pintu yang biasa digunakan Rangga dan Pandan Wangi keluar dari istana, sudah terkunci rapat dari dalam. Dan Rangga tidak ingin merusak pintu itu. Beberapa kali dicoba untuk masuk. Tapi setiap kali dicoba, selalu saja mendapat serangan panah dari prajurit-prajurit Karang Setra.

"Dari mana lagi kau akan masuk ke istana, Kakang?" tanya Pandan Wangi, memecah kesunyian.

Rangga hanya menghembuskan napas panjang-panjang. Kepalanya berpaling sedikit, dan pandangannya langsung bertemu sorot mata Pandan Wangi. Pandangannya kembali tertuju ke arah bangunan istana yang terlihat jelas dari atas bukit kecil ini.

"Kakang, lihat..!" seru Pandan Wangi tiba-tiba.

Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk si Kipas Maut itu. Tampak seseorang keluar dari bagian belakang istana dengan menunggang kuda yang dipacu sangat cepat. Pendekar Rajawali Sakti tahu, pintu di bagian belakang istana itu merupakan pintu rahasia yang selalu dilalui kalau hendak masuk atau keluar istana. Dan pintu rahasia itu langsung tertutup setelah penunggang kuda itu melewatinya.

Namun belum juga penunggang kuda itu jauh meninggalkan istana, mendadak saja terlihat orang-orang berpakaian serba hitam bermunculan dari balik semak dan pepohonan. Seketika, penunggang kuda itu sudah dikepung oleh tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam dengan senjata pedang terhunus.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti berlari cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sementara, penunggang kuda yang keluar dari dalam benteng istana sudah dikeroyok oleh tidak kurang dari dua puluh orang berpakaian serba hitam.

"Hiyaaat..!"

Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Gadis itu segera melompat dan berlari cepat, mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dulu berlari menuruni bukti kecil ini.

Sementara, Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Begitu ringannya, sehingga kedua kakinya yang bergerak sangat cepat bagaikan tidak menjejak tanah.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sebongkah batu yang sangat besar dilewati hanya dengan sekali lompatan saja. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari, begitu kakinya menjejak tanah. Dan sebuah sungai yang menghadang hanya dilalui dengan satu kali lompatan saja. Setelah melewati beberapa rintangan, Rangga baru sampai di bagian belakang Istana Karang Setra. Namun pada saat itu....

"Oh...?!"

Pendekar Rajawali Sakti jadi tersedak. Seketika, larinya terhenti begitu melihat orang yang keluar dari dalam benteng istana sudah tergeletak. Tubuhnya tampak tertembus dua bilah pedang. Sedangkan kuda yang ditungganginya juga sudah tergeletak dengan leher terbabat hampir buntung. Ada tiga orang berpakaian serba hitam yang menggeletak tidak jauh dari bangkai kuda berkulit coklat muda itu.

Rangga bergegas menghampiri, dan langsung berlutut begitu mendengar rintihan lirih. Orang yang keluar dari dalam benteng istana ini mengenakan baju prajurit berpangkat punggawa. Rangga mengangkat kepala punggawa itu, dan menyangga dengan pahanya yang ditekuk. Rintihan lirih terdengar dari bibir yang berlumuran darah. Perlahan kelopak mata punggawa itu terbuka. Begitu redup sinar matanya. Mulutnya meringis menahan sakit pada tubuhnya yang tertembus dua bilah pedang. Sedangkan, tangan kirinya sudah buntung sampai ke siku. Darah terus bercucuran dari tangan yang buntung.

"Punggawa! Apa yang terjadi...? Kenapa bisa sampai begini?" tanya Rangga sambil merayapi wajah punggawa yang sudah kelihatan pucat membiru.

"Gusti...," lirih sekali suara punggawa itu. Hampir tidak terdengar di telinga.

Rangga mendekatkan telinganya ke bibir punggawa yang bergerak-gerak.

"Tujuh Mata Dewa..."

"Apa...?"

Tapi, punggawa itu sudah terkulai, menghembuskan napasnya yang terakhir. Sesaat Rangga memandangi wajah pucat membiru itu. Perlahan kemudian, diletakkannya tubuh prajurit berpangkat punggawa itu. Beberapa saat Rangga masih memandangi, kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan.

Saat itu, Pandan Wangi baru sampai. Langsung dihampirinya Rangga yang masih berdiri mematung memandangi mayat punggawa Kerajaan Karang Setra yang tewas dengan tangan kiri buntung dan dua bilah pedang tertanam di tubuhnya.

"Kita terlambat, Kakang," desah Pandan Wangi pelan.

"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir Rangga.

Mereka memang datang terlambat. Orang-orang berbaju serba hitam ternyata sudah lebih cepat menghabisi nyawa punggawa ini. Walaupun begitu, punggawa itu masih sempat mengucapkan sesuatu yang pasti sangat berarti bagi Pendekar Rajawali Sakti. Tapi apa maksudnya dengan menyebut nama Tujuh Mata Dewa...? Nama itu yang kini terus terngiang di telinga Rangga.

***

"Kau tahu, apa itu Tujuh Mata Dewa, Pandan?" tanya Rangga.

"Tujuh Mata Dewa...?" desis Pandan Wangi dengan kening berkerut.

Tampak sekali kalau Pandan Wangi tengah berpikir keras, berusaha mengetahui maksud Rangga yang menyebut Tujuh Mata Dewa. Cukup lama juga Pandan Wangi terdiam dengan kening berkerut begitu dalam. Kemudian kepalanya terlihat bergerak menggeleng sambil mendesah, menghembuskan napas panjang yang terdengar agak berat.

Sesaat kemudian, pandangan mata kedua pendekar muda itu bertemu. Dan kini secara bersamaan, mereka berpaling dan menatap ke arah Istana Karang Setra. Keadaan istana itu masih kelihatan sunyi, seperti tidak berpenghuni sama sekali. Sedikit pun tak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan dari luar ini. Tapi baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu kalau di dalam istana itu semua prajurit Karang Setra sedang berkumpul.

"Punggawa itu sempat mengatakan itu, sebelum meninggal," kata Rangga dengan suara agak mendesah.

"Apa lagi yang dikatakannya?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak ada," sahut Rangga, tetap pelan suaranya.

"Barangkali dia ingin memberi tahu sesuatu padamu, Kakang," duga Pandan Wangi.

"Mungkin...," desah Rangga, perlahan.

"Kakang, apakah punggawa itu mengenalimu?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Ya! Dia langsung mengenaliku," sahut Rangga.

"Tepat...!" sentak Pandan Wangi sambil menjentikkan ujung jari tangannya.

"Apa maksudmu, Pandan?" tanya Rangga, tidak mengerti.

"Pasti punggawa itu ingin menyampaikan sesuatu padamu, Kakang. Dan yang diucapkannya pasti mempunyai arti penting. Hm..., Tujuh Mata Dewa.... Pasti dia ingin mengatakan kalau yang membuat kekacauan di sini pasti mereka yang menamakan diri Tujuh Mata Dewa," kata Pandan Wangi, mencoba menduga maksud kata-kata terakhir punggawa itu.

"Kau yakin, Pandan?" Rangga ingin memastikan.

"Tentu! Aku yakin, itu pasti nama seseorang atau mungkin juga nama suatu kelompok yang ingin meruntuhkan Karang Setra," sahut Pandan Wangi, mantap.

"Maksudmu, orang-orang berpakaian serba hitam itu...?"

"Tidak salah lagi, Kakang. Pasti mereka yang disebut Tujuh Mata Dewa."

"Tapi, apa maksudnya...?"

Rangga seperti bertanya pada diri sendiri. Sementara Pandan Wangi jadi terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.

Memang mereka belum bisa mengetahui maksud orang-orang berpakaian serba hitam, hingga membuat Kotaraja Karang Setra bagaikan kota mati!

Cukup lama juga kedua pendekar muda itu terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara itu, matahari sudah demikian jauh condong ke Barat. Dan kini, hanya rona merah saja yang terlihat membias di kaki langit. Udara di sekitar bukit kecil ini pun sudah terasa mulai dingin, dan kabut sudah mulai terlihat turun. Sementara, Pandan Wangi mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitarnya.

Gadis itu menatap batu-batuan membentuk lingkaran, mengelilingi ranting-ranting yang dikumpulkan secara bertumpuk. Kemudian dinyalakannya api dari batu api yang diambil dari kantung sabuk ikat pinggangnya. Udara yang mulai terasa dingin sedikit terusir begitu api mulai berkobar, membakar ranting-ranting kering. Rangga menggeser duduknya lebih dekat dengan api yang dibuat Pandan Wangi. Lalu telapak tangannya digosok-gosokkan di atas api, mencoba mencari kehangatan. Sedangkan Pandan Wangi sudah kembali duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kakang, apakah ini ada hubungannya dengan kedatangan prajurit Ringgading...?" tanya Pandan Wangi menduga, setelah cukup lama berdiam diri.

"Entahlah...," sahut Rangga, mendesah.

"Tapi, orang-orang itu yang menyerang Patih Gandaraka dan prajurit-prajuritnya, kan...?"

Rangga hanya diam saja. Pandangannya tertuju begitu dalam ke bola mata yang dihiasi bulu lentik dan indah ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat, beberapa waktu yang lalu pernah membantu para prajurit dari Kerajaan Ringgading yang hendak ke Karang Setra. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang-orang berpakaian serba hitam. Memang, pada saat itu Rangga tidak tahu apa maksud orang-orang berpakaian serba hitam menyerang para prajurit Kerajaan Ringgading.

Dan sekarang, orang-orang berpakaian serba hitam itu muncul di Karang Setra ini. Bahkan membuat kotaraja ini jadi begitu sunyi bagai ditinggalkan penduduknya. Tapi, Rangga tidak mau menduga sampai sejauh itu. Terlebih lagi, dia tidak ingin mengkaitkan peristiwa di tanah kelahirannya ini dengan peristiwa yang terjadi di Kerajaan Ringgading. Rasanya, memang terlalu dini. Lagi pula, Rangga tidak berharap semua yang terjadi di Kerajaan Ringgading terulang lagi di tanah kelahirannya. Walaupun disadarinya kalau Siluman Muka Kodok bisa melarikan diri.

"Kakang...."

"Ssst..!"

Pandan Wangi langsung diam begitu Rangga menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Gadis itu memandangi wajah Rangga dengan kelopak mata agak menyipit. Tapi sesaat kemudian, kepalanya dimiringkan ke kanan.

"Phuuuh...!"

Hanya sekali tiup saja, api yang membakar ranting-ranting langsung padam. Dalam tiupan tadi, Rangga memang mengerahkan tenaga dalam. Sehingga api yang cukup besar itu seketika padam, hanya sekali tiup saja.

"Cepat ke sini, Pandan"

Pandan Wangi belum bisa membuka suara, begitu Rangga cepat bangkit berdiri, dan menarik tangannya. Terpaksa gadis itu ikut berdiri, mengikuti Rangga yang sudah melangkah perlahan-lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebentar kemudian, kedua pendekar muda itu sudah berada di balik sebongkah batu yang cukup besar. Saat itu, Pandan Wangi men-dengar suara langkah-langkah kaki yang sangat ringan, menuju ke arah tempat mereka duduk di dekat api tadi.

Tidak berapa lama kemudian, terlihat tujuh orang berpakaian serba hitam berjalan menyusuri lereng bukit ini menuju gerbang Kotaraja Karang Setra. Tapi mereka berhenti melangkah, tepat di tempat Rangga dan Pandan Wangi tadi berada. Dan terlihat jelas sekali kalau ketujuh orang berpakaian serba hitam itu mengarahkan pandangan ke Istana Karang Setra. Tapi tidak seorang pun dari mereka yang mengenakan selubung kepala kain hitam. Sehingga wajah mereka bisa jelas terlihat. Dan mereka semua ternyata laki-laki berusia setengah baya. Di pinggang masing-masing nampak bergantung sebilah pedang berukuran cukup panjang.

***
TIGA
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi yang bersembunyi di balik batu terus memperhatikan. Begitu dekat jarak mereka, sehingga apa yang dibicarakan ketujuh orang berpakaian serba hitam itu bisa terdengar jelas. Dan kedua pendekar muda itu terpaksa harus mengatur pemapasan, agar jangan sampai diketahui keberadaannya. Tapi, tampaknya ketujuh orang berpakaian serba hitam itu memang tidak tahu kalau ada dua orang tengah memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan mereka.

"Rasanya sulit menembus benteng istana itu, Kakang...," ujar salah seorang yang berada paling kiri.

"Tapi bagaimanapun juga, kita harus bisa menembus. Semua penduduk kota ini berada di dalam benteng itu. Dan mereka semua bisa dikuasai," sahut seorang di sebelahnya.

"Caranya...?"

Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka semua terdiam dengan pandangan tertuju lurus ke arah Istana Karang Setra. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi yang berada di balik batu tempat persembunyiannya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.

"Sebaiknya, malam ini kita coba serang saja istana itu," Usul salah sorang lagi.

"Tidak malam ini," sahut seorang lagi.

"Lalu, kapan...? Gusti Pangeran sudah tidak sabar lagi. Aku tidak ingin mencari tempat lain lagi, sementara yang ada disia-siakan. Aku tidak ingin gagal dua kali," dengus orang itu terdengar agak kesal nada suaranya.

"Sabarlah..., pasti ada waktu yang tepat untuk itu," bujuk orang berpakaian serba hitam yang berada paling kanan.

"Sebaiknya, susun rencana dulu. Kita semua sudah-tahu kekuatan prajurit-prajurit Karang Setra. Apalagi, para panglimanya yang berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa sembarangan menyerang. Bisa merugikan," kata seorang lagi.

Tidak ada lagi yang bersuara. Beberapa saat, mereka masih terus memandangi Istana Karang Setra yang tampak terang-benderang pada bagian dalamnya. Saat ini, malam memang sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra.

Tujuh orang berpakaian serba hitam itu kemudian bergerak meninggalkan tempat ini, tanpa berbicara lagi. Rangga dan Pandan Wangi baru keluar dari tempat persembunyiannya setelah ketujuh orang itu tidak terlihat lagi. Bahkan langkah kaki mereka juga tidak terdengar lagi.

"Rupanya mereka biang keladinya, Kakang," desis Pandan Wangi bernada geram.

"Bukan," sahut Rangga datar.

"Bukan...?" Pandan Wangi jadi mendelik.

"Kau tidak memperhatikan pembicaraan mereka, Pandan...?"

Pandan Wangi terdiam.

"Masih ada orang lain di belakang mereka. Aku yakin, mereka hanya kaki tangan saja," jelas Rangga.

"Siapa perkiraanmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ini perlu diselidiki dulu. Juga, tujuan mereka membuat kekacauan di sini," sahut Rangga.

Pandan Wangi kembali diam. Sedangkan Rangga juga tidak berbicara lagi. Tiupan angin kencang yang menyebarkan udara dingin menusuk tulang, membuat Pandan Wangi kembali menyalakan api. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri mematung, memandang ke arah kepergian tujuh orang berpakaian serba hitam tadi.

Dari arah perginya, jelas kalau tujuh orang itu menuju Gunung Lanjaran yang menjadi pembatas antara Kerajaan Karang Setra dengan wilayah kerajaan lain. Pandan Wangi kembali menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, setelah selesai membuat api unggun. Udara yang tadi terasa sangat dingin, mulai terusik oleh nyala api yang cukup besar.

"Kau punya rencana, Kakang?" tanya Pandan Wanggi mengusik lamunan Rangga.

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.

Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti tidak berpaling, walaupun tahu kalau Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Sedangkan gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu terus memandangi wajah tampan di sebelahnya. Sementara, yang dipandangi tetap diam mematung dengan pandangan lurus tertuju ke arah Gunung Lanjaran.

***

Rangga tersentak kaget dan langsung terlompat bangun dari tidurnya, ketika terdengar suara-suara ribut disertai getaran bumi bagai terjadi gempa. Pandan Wangi yang tidur di sebelahnya juga langsung terjaga.

"Gila...! Mereka sudah menyerang," desis Pandan Wangi.

Dari lereng bukit ini, bisa jelas terlihat kalau orang berpakaian serba hitam yang berjumlah sangat besar tengah mendatangi Istana Karang Setra. Sementara dari atas tembok benteng istana itu, menyembul kepala-kepala prajurit yang siap melepaskan anak panah yang terpasang di busur.

Sebentar saja, istana itu sudah terkepung rapat. Kilatan-kilatan cahaya pedang membersit di antara warna hitam yang berkerumun mengelilingi tembok benteng Istana Karang Setra. Tapi, kelihatannya mereka belum juga ingin menyerang, dan hanya berteriak-teriak sambil mengacungkan senjata di atas kepala. Sementara para prajurit Karang Setra yang berada di atas benteng, sudah siap melepaskan anak panah. Tampaknya, mereka juga tinggal menunggu perintah saja.

"Aku harus menghalau mereka dari istana," desis Rangga, jadi geram.

Belum juga hilang dari pendengaran kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja terdengar siulan panjang dan melengking tinggi. Begitu kerasnya siulan itu, sehingga membuat Pandan Wangi harus menutup telinga dengan kedua telapak tangannya.

Gadis itu mendelik melihat Rangga mendongakkan kepala dengan bibir monyong. Dari bibir Pendekar Rajawali Sakti itulah siulan yang sangat menyakitkan telinga tadi terdengar.

"Suiiit...!"

Baru saja Pandan Wangi melepaskan tangan dari telinga, kembali Rangga bersiul nyaring melengking tingggi. Maka gadis itu kembali buru-buru menutup telinganya, sambil mengerahkan tenaga dalam. Meskipun telinganya terasa sakit dan mendenging, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu, Rangga tengah memanggil Rajawali Putih, yang menjadi tunggangannya. Bahkan burung raksasa itu adalah guru pemuda ini.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang sangat keras menyakitkan telinga. Belum lagi menghilang teriakan keras itu, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat di angkasa.

"Cepat ke sini, Rajawali...!" seru Rangga seraya melambaikan tangan ke atas.

"Khraaagkh...!"

Sebentar saja, Rajawali Putih sudah menukik deras dengan kecepatan luar biasa. Sementara, Pandan Wangi cepat menggeser kakinya ke belakang Rangga. Dan kini Rajawali Putih sudah mendarat tepat di depan pemuda yang selalu memakai baju rompi putih itu.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga langsung melompat ke punggung Rajawali Sakti. Begitu cepat dan ringan gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada di punggung burung rajawali raksasa ini. Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi yang masih berdiri mematung memandangi burung rajawali raksasa itu.

"Kau tunggu saja di sini, Pandan," ujar Rangga.

"Eh...."
Wusss!
"Khraaagkh...!"

Belum juga Pandan Wangi membuka suara, Rajawali Putih sudah melesat begitu cepat ke angkasa. Begitu cepat terbangnya, sehingga dalam waktu singkat sudah melambung begitu tinggi bagai hendak menembus langit. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri mematung memandangi dengan mulut ternganga.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih terus meluncur cepat menuju Istana Karang Setra. Dua kali burung itu memutari bagian atas istana yang besar dan dikelilingi tembok benteng yang sangat tinggi dan kokoh. Sementara, Rangga mengamati dari angkasa. Jelas sekali terlihat kalau pada bagian dalam tembok benteng sudah berbaris rapi para prajurit Karang Setra bersenjata lengkap di tangan. Sementara pada bagian sebelah lain, terlihat para prajurit dari Kerajaan Ringgading, juga sudah berbaris rapi, siap untuk berperang.

"Lebih mendekat, Rajawali!" pinta Rangga agak keras, agar bisa mengalahkan deru angin yang sangat kencang di angkasa ini.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung melunak turun, lebih dekat lagi ke Istana Karang Setra. Suaranya yang begitu keras dan menggelegar memekakkan telinga, membuat para prajurit dari Karang Setra dan dari Kerajaan Ringgading jadi terkejut. Seketika itu juga, mereka mendongakkan kepala ke atas.

Bukan hanya para prajurit yang berada dalam benteng istana itu yang terkejut mendengar suara Rajawali Putih. Tapi, orang-orang berpakaian hitam yang mengepung istana itu juga terperanjat bukan main. Mereka juga mendongakkan kepala ke atas, dan melihat jelas seekor burung rajawali raksasa berbulu putih tengah melayang-layang memutari istana.

"Khraaagkh...!"

Saat itu, terlihat Danupaksi dan Cempaka keluar dari dalam istana, diikuti Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading dan para pembesar Kerajaan Karang Setra. Dari angkasa, Rangga bisa melihat jelas kalau mereka kini berada di bagian depan beranda istana.

"Tahan prajuritmu, Danupaksi. Perintahkan mereka jangan menyerang...!" seru Rangga lantang, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.

Begitu kerasnya seruan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga semua orang yang ada di dalam dan di luar istana bisa mendengar jelas sekali. Tentu saja bagi mereka yang tidak mengenali, jadi kebingungan. Sedangkan Danupaksi, Cempaka, dan para pembesar Kerajaan Karang Setra langsung tersenyum lebar mendengar seruan Pendekar Rajawali Sakti dari angkasa.

"Baik, Kakang...!" balas Danupaksi, juga berseru lantang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

***

Sementara itu, dari punggung Rajawali Putih. Rangga sempat membalas lambaian tangan Cempaka. Kemudian diperintahkan Rajawali Putih untuk melesat ke bagian luar istana ini. Burung rajawali raksasa itu langsung saja melesat keluar sambil memperdengarkan suara yang sangat keras, membuat telinga jadi mendenging.

"Khraaagkh...!"

"Halau mereka menjauhi istana, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss...!

Rajawali Putih langsung menukik cepat bagai kilat, ke arah orang-orang berbaju serba hitam yang mengepung Istana Karang Setra. Dan begitu dekat, sayapnya langsung dikepakkan ke arah orang-orang berpakaian serba hitam. Akibatnya mereka jadi kelabakan setengah mati dan pontang-panting menyelamatkan diri dari kibasan kedua sayap Rajawali Putih yang sangat besar dan kokoh.

"Aaa…!"
"Aaakh…!"
"Khraaagkh...!"

Teriakan-teriakan kengerian, seketika terdengar memecah angkasa. Sementara, Rajawali Putih terus berputaran mengelilingi bagian luar benteng istana sambil mengepakkan sayapnya yang lebar. Sementara, orang-orang berbaju serba hitam semakin kalang-kabut menghindarinya. Bahkan tidak sedikit yang terkena sabetan sayap burung rawajali raksasa itu. Mereka langsung berpelantingan memperdengarkan jeritan panjang melengking tinggi.

"Halau mereka agar menjauhi istana, Rajawali!" perintah Rangga.

"Khraaagkh...!"
Wusss...!

Rajawali Putih langsung menukik cepat. Sayapnya dikepakkan ke arah orang-orang berpakaian serba hitam. Akibatnya, mereka pontang-panting menyelamatkan diri!

Sungguh dahsyat kibasan sayap burung rajawali raksasa ini. Mereka yang terkena, tulang-tulangnya langsung remuk dan tidak bisa bangkit lagi. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi orang-orang berseragam hitam yang bergelimpangan terkena sabetan sayap Rajawali Putih.

"Cepat menyingkir...!"

Tiba-tiba terdengar seruan yang keras sekali, mengalahkan jeritan-jeritan kematian dan teriakan-teriakan ketakutan dari orang-orang berpakaian serba hitam ini. Seketika itu juga, mereka langsung berlarian menjauhi istana. Sedangkan Rajawali Putih masih sempat menghempaskan beberapa orang yang terlambat menyingkir.

"Cukup, Rajawali...!" seru Rangga sambil menepuk leher burung-rajawali raksasa ini.

Rajawali Putih langsung melesat, melambung tinggi ke angkasa. Sementara, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam masih berlarian lintang-pukang, berusaha menyelamatkan diri. Sedangkan dari angkasa, Rangga bisa melihat jelas kalau orang-orang berpakaian serba hitam itu berlarian menuju Gunung Lanjaran. Dan sebentar saja, Istana Karang Setra sudah tidak terkepung lagi.

"Ke tempat Pandan Wangi lagi, Rajawali!" seru Rangga meminta.

"Khraaagkh...!" Wusss...!

Rajawali Putih langsung melesat ke arah bukit kecil yang tidak jauh dari Istana Karang Setra. Saat itu, Pandan Wangi masih tetap berada di sana, memandangi sepak terjang Rajawali Putih dalam menghalau orang-orang berpakaian serba hitam yang mengepung istana.

"Khraaagkh...!"

Sebentar saja, Rajawali Putih sudah kembali mendarat tidak jauh dari Pandan Wangi berdiri. Dan Rangga segera melompat turun dari punggung burung rajawali tunggangannya. Dengan langkah tegap dan lebar-lebar, dihampirinya Pandan Wangi yang masih tetap berdiri diam memandangi. Sementara, Rajawali Putih sudah mendekam. Sayapnya dikembangkan lebar-lebar, hingga hampir menutupi seluruh puncak bukit.

"Ayo kita ke Istana, Pandan," ajak Rangga.

"Sekarang...?" tanya Pandan Wangi seperti orang bodoh.

"Kau lihat, Pandan. Pintu sudah terbuka," tunjuk Rangga.

Pandan Wangi berpaling, menatap ke arah istana. Dan memang, saat itu pintu gerbang benteng bangunan istana megah itu sudah terbuka. Terlihat para prajurit bersenjata lengkap sudah sejak tadi bersiap siaga di ambang pintu. Dan saat itu pula, terlihat Danupaksi keluar menunggang kuda. Di belakangnya, menyusul dua ekor kuda tanpa penunggang.

Danupaksi melepaskan tali kekang kedua ekor kuda yang dipegangi sejak tadi, kemudian menggebahnya. Maka seketika kedua kuda itu melesat cepat bagaikan angin. Pandan Wangi jadi tersenyum melihat kuda putihnya berlari begitu cepat bagai hendak mengimbangi kecepatan lari kuda hitam milik Pendekar Rajawali Sakti yang dikenal bernama Dewa Bayu.

Sementara itu, Rangga menghampiri Rajawali Putih yang masih mendekam di atas puncak bukit ini. Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung raksasa itu beberapa kali.

"Kau tunggu saja di sini, Rajawali. Aku pasti membutuhkanmu lagi," kata Rangga.

"Khrrr...!" Rajawali Putih menyahuti dengan kirikan pelan.

"Aku pergi dulu, Rajawali," pamit Rangga.

"Khrrrkh...!"

Pendekar Rajawali Sakti kembali menghampiri Pandan Wangi. Dan begitu berada di samping gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu, Dewa Bayu dan si Putih sudah muncul dari semak belukar. Kedua kuda itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

Pandan Wangi bergegas menghampiri si Putih. Sedangkan Rangga menghampiri Dewa Bayu yang berkulit hitam berkilatan, tertimpa cahaya matahari. Kedua pendekar muda itu langsung berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing, kemudian cepat menggebahnya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Debu langsung mengepul membubung tinggi ke angkasa, begitu kedua kuda itu berpacu cepat menuruni lereng bukit ini. Sementara, Rangga terus mengendalikan kudanya agar tetap berada di samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi. Dan dari atas puncak bukit, Rajawali Putih terus memandangi.

Memang bukit kecil itu letaknya tidak jauh dari bangunan Istana Karang Setra. Sehingga, sebentar saja Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai di depan pintu gerbang benteng istana yang dijaga ketat puluhan prajurit.

Danupaksi yang memang sejak tadi menunggu, langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu Rangga dan Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Kedua pendekar muda itu segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing, lalu melangkah menghampiri Danupaksi.

"Syukurlah kau cepat datang," ujar Danupaksi langsung menyambut, begitu Rangga dekat.

"Ayo kita masuk," ajak Rangga.

Danupaksi memerintahkan pengurus kuda yang sejak tadi berada di belakangnya untuk mengambil kuda Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Dan kudanya sendiri juga diserahkan pada pengurus kuda istana itu. Kemudian, bergegas didampinginya Rangga yang sudah lebih dulu melangkah masuk ke dalam benteng istana. Pemuda itu mensejajarkan langkah kakinya di kanan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri.

***
EMPAT
Kegembiraan menghiasi wajah-wajah di dalam benteng Istana Karang Setra, begitu mengetahui Rangga dan Pandan Wangi sudah berada dalam Balai Sema Agung Istana Karang Setra. Seluruh pembesar dan panglima perang berkumpul dan bergembira di dalam ruangan ini. Bahkan Patih Gandaraka dari Kerajaan Ringgading yang memang masih menjadi tamu di istana ini juga tampak berseri-seri. Sementara, para prajuritnya sudah bergabung dengan prajurit-prajurit Karang Setra.

"Sebenarnya, apa yang telah terjadi di sini...?" tanya Rangga membuka pembicaraan lebih dahulu. "Kau tahu, aku telah diserang oleh prajuritku sendiri?"

"Penyerangan, Gusti Prabu," sahut Ki Lintuk yang duduk paling dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. "Dan para penyerang sebagian telah menguasai istana, lalu menyamar sebagai prajurit. Dan mungkin yang menyerang Gusti Prabu adalah orang-orang yang menyamar sebagai prajurit"

"Penyerang...? Coba jelaskan, Ki," pinta Rangga.

"Mereka sudah beberapa hari ini menguasai sebagian istana, dan mencoba menyerang. Tapi sampai saat ini, belum berhasil menjatuhkan kami semua," Ki Lintuk mencoba menjelaskan.

"Tapi, kenapa semua penduduk kota ada di sini?" tanya Rangga lagi.

Pendekar Rajawali Sakti memang melihat bagian belakang istana dipenuhi penduduk kota yang mengungsi ke dalam istana ini. Bahkan keadaan di dalam ini jadi begitu sesak, karena banyaknya orang yang mengungsi. Sepertinya, tak ada lagi tempat mencari udara segar.

"Itulah masalahnya, Kakang Prabu," selak Danupaksi.

"Maksudmu...?" Rangga menatap pada adik trinya.

"Mereka semua tidak aman lagi berada di luar. Orang-orang Tujuh Mata Dewa setiap hari menculik mereka. Dan tidak ada seorang pun yang kelihatan kembali lagi," jelas Danupaksi, singkat.

Saat itu juga, Rangga langsung menatap Pandan Wangi, yang saat itu juga tengah memandanginya. Seperti ada sesuatu yang berdesir dalam hati mereka, saat Danupaksi mengatakan orang-orang Tujuh Mata Dewa menculik para penduduk setiap hari tiga orang. Dan itu persis seperti yang terjadi di Kerajaan Ringgading, ketika Siluman Muka Kodok menguasai kerajaan itu. Sebentar kemudian, Rangga berpaling menatap Patih Kerajaan Ringgading yang memang masih berada di Istana Kerajaan Karang Setra.

"Terus terang, Gusti Prabu. Sejak semula hamba sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Maafkan atas kelancangan hamba datang meminta pertolongan ke sini," ucap Patih Gandaraka dengan sikap sangat hormat.

"Kau tidak bersalah, Paman Patih. Apa pun yang terjadi di jagat raya ini, pasti ada akibatnya," kata Rangga bijaksana. "Hm.... Aku tidak menyangka dia akan datang secepat ini."

"Gusti Prabu, sebenarnya orang-orang Tujuh Mata Dewa bukanlah anak buah Siluman Muka Kodok. Mereka memang satu kelompok besar yang menguasai seluruh daerah Gunung Lanjaran. Setahuku, waktu itu orang-orang berpakaian serba hitam mempunyai pimpinan orang yang berjuluk Malaikat Pedang Perak. Namun, ternyata si pemimpin itu masih punya atasan lagi yang bernama Ki Sadewa. Dan waktu si Malaikat Pedang Perak tertangkap, dia sempat mengatakan kalau punya pemimpin lagi. Mungkin pemimpin itulah yang disebut Tujuh Mata Dewa. Makanya, hamba sendiri tidak mengerti, kenapa Siluman Muka Kodok sampai bisa menguasai Tujuh Mata Dewa. Padahal, Tujuh Mata Dewa cukup tangguh kesaktiannya," jelas Patih Gandaraka lagi.

"Hal itu bisa saja terjadi, Paman Patih. Mungkin saja Siluman Muka Kodok memang lebih tangguh daripada Tujuh Mata Dewa. Dan karena Siluman Muka Kodok telah tahu kekuatan yang dimiliki Karang Setra, sehingga membutuhkan pengikut. Dan sekarang, dia telah menguasai Tujuh Mata Dewa," selak Pandan Wangi yang sudah mengerti arah pembicaraan ini.

"Kakang, siapa itu Siluman Muka Kodok?" selak Cempaka, bertanya.

Rangga berpaling pada adik tirinya yang cantik ini. Bibirnya bergerak menyunggingkan senyuman yang sangat manis. Kemudian, diceritakannya semua peristiwa yang terjadi di Kerajaan Ringgading belum lama ini. Semua diceritakan, tanpa ada yang dikurangi. Sementara semua orang yang ada di Balai Sema Agung ini mendengar penuh perhatian.

Pada saat semua orang terdiam mendengar-kan cerita Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja...

"Ghrooogkh...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Rangga langsung menghentikan ceritanya begitu tiba-tiba terdengar suara menggorok yang sangat keras. Semua orang di dalam ruangan Balai Sema Agung ini jadi kaget setengah mati. Dan saat itu pula terlihat wajah Patih Gandaraka jadi memucat, bagai tidak teralirkan darah lagi.

"Kalian tetap di sini!" seru Rangga langsung berdiri dari singgasananya.

"Hup!"

Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakfi, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya. Sementara Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas melangkah keluar, diikuti Danupaksi, Cempaka, Ki Lintuk, dan semua, pembesar kerajaan lainnya. Tapi langkah mereka terhenti begitu tiba di dekat pintu keluar. Mereka ingat kalau tadi Rangga sudah berpesan agar tidak pergi ke mana-mana. Sedangkan Pandan Wangi terus saja melangkah keluar.

***

Sementara itu, Rangga sudah berada di atas atap bangunan istana yang tinggi dan megah ini. Sedikit hatinya terkesiap begitu melihat ke bagian depan istana. Tampak tidak jauh di depan pintu gerbang benteng, berdiri tegak seseorang berbaju hitam pekat, memegang tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dan yang lebih mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti adalah, wajah orang itu yang mirip sekali dengan seekor kodok!

Seluruh kulit tangan, tubuh, dan kaki orang itu juga persis kulit kodok. Berwarna hijau kehitaman dan penuh benjolan yang mengeluarkan lendir berbau busuk. Kedua bola matanya merah, menatap tajam ke arah pintu gerbang dari besi baja. Tampaknya, dia tengah berpikir untuk menembus pintu benteng istana ini.

Sementara Rangga yang berada di atas atap istana sudah tahu, orang itu adalah Siluman Muka Kodok. Seorang tokoh siluman yang pernah menguasai Kerajaan Ringgading, dan hampir membantai habis seluruh rakyatnya.

"Hup!"

Begitu ringan Rangga melompat turun dari atas atap, lalu beberapa kali berputaran di udara. Kemudian begitu menjejak tanah, kembali tubuhnya melesat ke atas. Gerakannya sangat indah dan ringan. Dan kembali Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejak bagian atas tembok benteng. Sementara pada saat itu, Pandan Wangi sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan istana yang luas, dan masih dipenuhi para prajurit bersenjata yang sudah siap bertempur.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati Siluman Muka Kodok dari atas tembok benteng. Sementara, tampaknya Siluman Muka Kodok sudah mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya segera mendongak ke atas, menatap pemuda berbaju rompi putih yang berdiri tegak berkacak pinggang di atas tembok benteng. Bibirnya yang tipis tampak menyeringai, memperlihatkan baris-baris gigi yang kecil dan runcing berkilatan tertimpa cahaya matahari.

"Ghrooogkh...!"

"Mau apa kau datang ke sini, Siluman Muka Kodok?!"

Terdengar lantang sekali suara Rangga, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna.

"Ghrogkh! Kau sudah berani mencampuri urusanku, Anak Muda! Sekarang, kau, harus menerima akibatnya," sahut Siluman Muka Kodok dengan suara berat.

"Jangan bermimpi untuk bisa menaklukkan Karang Setra, Siluman Muka Kodok. Langkahi dulu mayatku, baru bisa menguasai istana ini!" masih tetap terdengar lantang suara Rangga.

"Ghrokh! He he he...! Kau akan menyesal, Anak Muda! Grogkh...!"

Bet!
Slap...!

Tiba-tiba saja Siluman Muka Kodok mengebut-kan tongkatnya ke atas. Dan seketika itu juga dari bulatan sebesar kepalan tangan yang ada di ujung tongkatnya, membersit cahaya kuning kemerahan. Cahaya itu melesat begitu cepat, meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat Rangga mejenting ke atas, maka cahaya kuning kemerahan itu lewat sedikit di bawah telapak kakinya. Dua kali Rangga berputaran, lalu cepat sekali meluruk turun, keluar dari benteng istana ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah. Tepat sekitar dua batang tombak di depan Siluman Muka Kodok.

"Bagus! Rupanya kau punya nyali juga menghadapiku, Anak Muda," sambut Siluman Muka Kodok dingin. "Ghrogkh! Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka!"

"Aku Rangga, Raja Karang Setra," sahut Rangga tegas.

"Ghrogkh! He he he...! Kau pasti juga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti."

"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.

Dan saat itu, Siluman Muka Kodok sudah menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya yang merah, masih terlihat begitu tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang juga menyorot tidak kalah tajamnya. Beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

Perlahan Siluman Muka Kodok membungkuk, sampai kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Kepalanya terangkat ke atas, dan terus menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Suara menggorok terus terdengar seirama tarikan napasnya. Bau busuk terus menyebar setiap kali Siluman Muka Kodok menghembuskan napas. Tapi, bau busuk itu sudah tidak lagi membuat Rangga merasa terganggu, karena jalan pernapasannya sudah dipindahkan ke perut.

"Ghroooagkh...!"

Sambil menggerung keras, tiba-tiba saja Siluman Muka Kodok melesat begitu cepat bagai kilat. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat, cepat sekali dikebutkan tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Hait..!"

Tapi, manis sekali Rangga berhasil menghindari serangan Siluman Muka Kodok hanya dengan menundukkan kepala sedikit. Namun pada saat yang bersamaan, Siluman Muka Kodok melepaskan satu tendangan keras menggeledek begitu cepat, tanpa dapat diduga. Dan ini membuat Rangga jadi terbeliak.

"Ups...!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan yang begitu cepat dan menggeledek. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri, setelah berhasil menghindari serangan laki-laki bermuka kodok itu.

"Hup!"

Manis sekali Rangga menjejakkan kaki kembali di tanah, dan siap menunggu serangan berikutnya dari Siluman Muka Kodok. Tapi, tampaknya orang yang memiliki wajah dan kulit mirip seekor kodok itu hanya berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Suara menggorok terus terdengar bersamaan hembusaan napasnya.

Sementara, di atas tembok benteng yang mengelilingi istana, terlihat Pandan Wangi berdiri tegak memperhatikan jalannya pertarungan. Bahkan kepala-kepala prajurit juga tampak bersembulan, diikuti anak-anak panah yang sudah terpasang pada busur.

***