Pendekar Rajawali Sakti 85 - Pengkhianatan Danupaksi(1)

SATU
"Hiyaaa! Hiyaaa...!"

Seorang pemuda berbaju rompi putih tampak tengah memacu cepat kudanya seperti dikejar setan. Sedangkan di belakangnya, seorang gadis berpakaian ketat warna biru muda tampak kewalahan lari kuda hitam di depannya. Memang kuda yang ditunggangi gadis itu kelihatannya bukan tandingan kuda di depannya yang bisa berlari secepat angin.

"Hiyaaa...!"

Gadis berpakaian serba biru muda dengan pedang bergagang kepala naga yang tersembul di balik punggungnya itu terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Tapi tetap saja kuda putih yang ditungganginya semakin Jauh tertinggal. Dan kini yang terlihat di depannya hanya kepulan debu membubung tinggi di angkasa. Sementara, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat sama sekali bersama tunggangannya. Bahkan bayangannya pun sudah tidak terlihat.

"Edan...! Bisa mati kudaku kalau mengikuti Kakang Rangga terus!" dengus gadis berpakaian biru muda itu dalam hati.

Memang, penunggang kuda hitam yang telah melesat di depan itu adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis penunggang kuda putih itu tentu saja adalah Pandan Wangi. Dan kalau dibandingkan, kuda putih milik Pandan Wangi memang tidak ada apa-apanya dengan kuda hitam bernama Dewa Bayu milik Rangga.

Pandan Wangi jadi iba juga melihat kuda putihnya telah mendengus-dengus kelelahan, karena terus-menerus dipaksa berlari cepat, mengikuti Dewa Bayu. Air liur kudanya terus mengalir menetes bersamaan dengus napasnya yang memburu.

"Hooop...!"

Tanpa menghiraukan Rangga yang sudah tidak terlihat lagi, Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Kemudian gadis itu melompat turun. Gerakannya sangat indah dan ringan. Dari sini bisa dilihat kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Kipas Maut itu sudah sangat tinggi. Bahkan ketika kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara.

"Ayo ke sini, Putih...."

Pandan Wangi kini menuntun kuda putihnya mendekati sebuah aliran sungai kecil yang tidak jauh dari situ. Kemudian, ditinggalkannya kuda putih itu, dibiarkan mereguk sejuknya air sungai. Sedangkan, gadis cantik berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu menghempaskan tubuhnya di atas akar yang menonjol keluar dari dalam tanah.

“Phuuuh...!"

Keras sekali Pandan Wangi menghembuskan napasnya. Sementara pandangan matanya tertuju lurus ke arah kepulan debu yang masih terlihat membubung tinggi di angkasa. Dia tidak tahu lagi, sudah sampai di mana Rangga saat ini. Tapi, bukan itu yang menjadi pikirannya. Ada sesuatu yang terus mengganjal dalam benaknya, yang sampai saat ini belum bisa terjawab.

"Aneh.... Tidak biasanya Kakang Rangga seperti itu. Ada apa, ya...?" Pandan Wangi bicara sendiri, dengan nada bertanya-tanya.

Pandangan mata gadis itu terus tertuju ke arah kepulan debu yang semakin memudar tertiup angin, namun masih terlihat cukup jelas dari tempatnya beristirahat. Tampak keningnya berkerut, dan kelopak matanya sedikit menyipit. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, pandangannya sedikit pun tidak beralih dari kepulan debu yang semakin memudar.

"Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi pada diri Kakang Rangga. Tapi, apa...?" kembali Pandan Wangi bertanya-tanya pada diri sendiri.

Gadis itu memalingkan wajahnya, menatap kuda putih yang sudah tidak lagi melepaskan dahaga. Bahkan binatang yang tubuhnya tinggi tegap dan berotot itu tengah memandanginya. Seakan-akan ingin mengatakan sudah siap dipacu kembali, mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan mereka berdua.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit bcrdirl Sebentar tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal pada persendian tulang pinggangnya. Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kudanya yang berbulu putih bersih bagai kapas.

"Sudah cukup istirahatmu, Putih?" Tanya Pandan Wangi sambil mengelus-elus leher kuda putihnya.

Kuda putih itu mengangguk-angguk sambil mendengus kecil, seakan-akan mengerti ucapan si Kipas Maut tadi. Pandan Wangi tersenyum. Dengan gerakan indah sekali, gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja duduk di pelana, tiba-tiba....

Wusss!

"Heh...?! Hup!"

Cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke udara, sambil menghentakkan kaki ke tubuh kudanya. Kuda putih itu kontan meringkik keras, dan langsung melompat begitu penunggangnya melesat ke atas.

"Hap!" Manis sekali gadis berjuluk si Kipas Maut itu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sedikit kepalanya berpaling, melirik sepotong ranting yang tadi meluncur cepat sekali ke arahnya. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu menancap dalam pada sebatang pohon, tidak jauh di sebelah kanannya. Jelas, ranting itu dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Belum juga hilang rasa terkejutnya, kembali Pandan Wangi dikejutkan oleh melesatnya seorang wanita tua bungkuk dengan gerakan sangat ringan dari atas pohon. Begitu ringannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan Pandan Wangi.

"Hm.... Kaukah yang melemparkan ranting itu padaku, Nek?" tanya Pandan Wangi langsung, sambil merayapi perempuan tua yang baru muncul itu.

"Hik hik hik...!"

Perempuan tua itu hanya terkikik saja untuk menjawab pertanyaan Pandan Wangi. Sedangkan si Kipas Maut itu semakin tajam merayapi seluruh tubuh perempuan tua di depannya.

Gadis itu menaksir, kalau usia perempuan tua itu pasti sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk mengenakan baju panjang longgar berwarna hijau yang sudah memudar. Dan di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan. Pada lehernya yang keriput, melingkar seuntai kalung dari batu hitam sebesar-besar ibu jari. Suaranya pun terdengar kering dan mengerikan saat tertawa tadi. Dan rambutnya yang sudah putih tergelung ke atas, diikat oleh kain pita berwarna hitam lusuh.

"Kau yang bernama Pandan Wangi..?" Perempuan tua itu bertanya dengan suara kering dan datar.

"Benar," sahut Pandan Wangi.

"Hik hik hik...!"

"Dan kau, siapa...?" Pandan Wangi balik bertanya.

"Hik hik hik...!"

Perempuan tua itu hanya tertawa saja, seperti tidak menghiraukan pertanyaan Pandan Wangi barusan. Perlahan kakinya digeser ke depan beberapa langkah. Begitu ringan gerakan kakinya, sehingga hampir tidak terlihat Dan seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menjejak tanah. Bahkan rumput yang dipijaknya pun sama sekali tidak rusak. Melihat itu, Pandan Wangi sudah bisa meduga kalau tingkat kepandaian yang dimiliki perempuan tua itu pasti sangat tinggi.

"Tidak perlu tahu siapa aku, Pandan Wangi. Yang perlu diketahui, hari ini kau harus bersiap-siap mati!" ancam perempuan tua itu dingin.

"Heh...?! Apa katamu...?!" Pandan Wangi jadi kaget setengah mati.

"Hik hik hik...! Rasanya kau belum tuli, Pandan Wangi. Bersiaplah menyambut kematianmu."

"Eh, tunggu...!"

"Hiyaaat..!"

Tapi perempuan tua yang tidak bersedia menyebutkan namanya, sudah melompat begitu cepat bagai kilat Akibatnya, Pandan Wangi jadi terperangah dengan kedua bola mata terbeliak lebar.

"Hap!" Cepat-cepat gadis berjuluk si Kipas Maut itu menarik tubuhnya ke belakang, begitu ujung tongkat perempuan tua yang runcing berkelebat cepat sekali mengarah ke dadanya. Dan ujung tongkat yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Pandan Wangi.

"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu terhindar dari serangan perempuan tua yang tidak dikenalnya itu. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, perempuan tua itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat, sambil mengebutkan tongkatnya yang berujung runcing beberapa kali.

"Hiyaaa...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Mau tak mau Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan-serangan cepat yang dilancarkan perempuan tua ini. Beberapa kali ujung tongkat runcing itu hampir mengenai tubuhnya, tapi si Kipas Maut masih bisa menghindari dengan gerakan tubuh yang sangat indah.

"Hup!" Begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke belakang, lalu berputaran beberapa kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah.

Sret!

Bet!

Cepat sekali gerakan tangan Pandan Wangi, saat mencabut kipas maut dari balik ikat pinggangnya. Seketika senjata maut itu langsung terkembang di depan dada. Sementara, perempuan tua itu berdiri dengan tubuh terbungkuk. Ditatapnya tajam-tajam pada kipas putih keperakan yang terkembang di depan dada.

"Hik hik hik...! Kenapa tidak Pedang Naga Geni saja yang dicabut, Pandan Wangi...?" terasa dingin sekali nada suara perempuan tua itu.

"Hm... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku, Nenek Tua," desis Pandan Wangi, tidak kalah dinginnya.

"Aku sudah tahu banyak tentang dirimu, Pandan Wangi. Dan aku juga tahu cara untuk mengirimmu ke neraka," sahut perempuan tua itu, tetap kering dan dingin suaranya.

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam perlahan saja. Sedikit si Kipas Maut menggeser kakinya ke kanan. Tatapan matanya tetap tajam, mengamati setiap gerakan perempuan tua ini. Dalam bentrokan yang terjadi beberapa jurus tadi, Pandan Wangi sudah bisa mengukur kalau kepandaian perempuan tua ini cukup tinggi. Namun sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam hatinya.

"Bersiaplah, Pandan Wangi. Hiyaaat!"

Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat cepat bagai kilat dan dengan cepat pula tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengarah ke bagian-bagian tubuh si Kipas Maut yang mematikan.

"Hap! Yeaaah...!"

Bet! Wuk!

Tampaknya Pandan Wangi kelihatan tidak ingin main-main lagi dalam menghadapi perempuan tua yang tidak dikenalnya ini. Dengan cepat sekali serangan itu disambutnya dengan kipas maut yang terkembang di tangan kanan. Bahkan beberapa kali serangan tongkat berujung runcing itu dicoba untuk ditangkis. Tapi, tampaknya perempuan tua itu tidak ingin tongkatnya berbenturan dengan kipas putih keperakan milik Pandan Wangi. Dia selalu bisa menarik dan menghindar setiap kali si Kipas Maut hendak menyampoknya.

"Hiyaaa...!"

Melihat lawannya seperti sengaja menghindari senjata kipasnya, Pandan Wangi semangatnya langsung bangkit seketika itu juga. Dan sambil ber-teriak nyaring, tubuhnya melenting ke udara. Lalu, dengan cepat sekali tubuhnya meluruk deras sambil mengebutkan kipasnya yang berujung runcing. Arahnya langsung ke kepala, leher, dan dada perempuan tua ini.

"Hait..!"

Mendapat serangan balasan yang begitu cepat, perempuan tua itu jadi kelabakan juga menghindarinya. Tubuhnya berjumpalitan dan meliuk-liuk untuk menghindari kibasan kipas maut di tangan kanan Pandan Wangi. Kipas putih keperakan berujung runcing seperti mata anak panah itu bagaikan memiliki mata saja. Ke mana saja perempuan tua itu bergerak, kipas putih itu selalu mengikuti dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Hiyaaat..!"

Wuk!

Begitu cepat Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah dada. Dan kali ini, perempuan tua itu tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terpaksa serangan itu harus ditangkis dengan tongkatnya. Hingga....

Tak!

"Ikh...?!"

"Hup!"

Perempuan tua itu jadi terperanjat setengah mati, begitu tongkatnya berbenturan dengan kipas maut milik Pandan Wangi. Sementara, gadis cantik yang berbaju biru muda itu langsung melompat ke belakang. Tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Tampak bibirnya meringis sambil memindahkan kipasnya ke tangan kiri.

"Gila! Besar juga tenaga dalarh nenek tua ini...," dengus Pandan Wangi dalam hati.

"Phuih! Rupanya gadis ini memang tidak bisa dianggap enteng. Huh! Tampaknya aku harus memeras tenaga untuk menandinginya," dengus perempuan tua itu dalam hati.

Kini mereka berdiri berhadapan dengan jarak sekitar satu batang tombak. Satu sama lain saling menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata masing-masing. Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian satu sama lain.

Pandan Wangi memasukkan kembali kipas maut ke dalam sabuk emas yang membelit pinggangnya. Perlahan kemudian, tangan kanannya terangkat ke atas pundak. Lalu, digenggamnya tangkai Pedang Naga Geni yang berbentuk kepala ular naga berwama hitam pekat. Tapi senjata mautnya belum dicabut. Hatinya seperti ragu-ragu untuk menggunakan Pedang Naga Geni.

Si Kipas Maut itu jadi teringat kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berpesan agar tidak menggunakan Pedang Naga Geni kalau tidak terpaksa sekali. Dan memang, selama ini Pandan Wangi jarang sekali menggunakan Pedang Naga Geni dalam pertarungannya. Kalaupun pedang itu digunakan, memang karena untuk membela diri.

Cring!

Perlahan Pandan Wangi mencabut Pedang Naga Geni. Maka seketika dari mata pedang itu memancarkan api yang berkobar-kobar, dan menyebarkan hawa panas luar biasa. Begitu panasnya, sampai-sampai perempuan tua itu menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Agak terbeliak juga bola matanya saat melihat pamor Pedang Naga Geni begitu dahsyat

"Ayo! Majulah kau, Nenek Tua!" desis Pandan Wangi dingin menggeletar.

Saat itu juga, Pandan Wangi bagaikan malaikat maut yang hendak mencabut nyawa. Apalagi dengan Pedang Naga Geni di tangan. Dan wajahnya juga jadi menegang kaku. Sorot matanya terlihat begitu tajam. Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum. Bahkan terkatup rapat mencerminkan keganasan, bagai sosok siluman yang sudah haus darah. Dan itu memang pengaruh dari Pedang Naga Geni pada siapa saja yang memegangnya.

Nafsu membunuh pun seketika menyeruak menyelimuti hati si Kipas Maut itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pengaruh dahsyat Pedang Naga Geni sudah merasuk ke daram hati dan aliran darah gadis itu. Dan tampaknya, jiwanya memang masih belum sempurna benar dalam penguasaan pengaruh pedang itu.

"Kenapa kau diam saja, Nenek Tua? Kau gentar melihat Pedang Naga Geni...?" terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.

"Hik...!"

Perempuan tua itu menelan ludahnya yang mendadak saja jadi terasa pahit. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya jadi bergetar melihat pamor Pedang Naga Geni yang begitu dahsyat. Dan ini benar-benar di luar perkiraannya semula. Sungguh tidak disangka kalau pedang bergagang kepala naga hitam itu memiliki pamor yang sangat dahsyat, sehingga membuat hatinya langsung bergetar melihatnya.

"Kau tidak ingin menyerang, Nenek Tua...? Baik. Jangan salahkan aku kalau pedangku ini menghirup darah busukmu!" desis Pandan Wangi dingin menggetarkan.

Sambil berkata demikian, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan mendekati perempuan tua lawannya. Dan pedangnya yang mengeluarkan api sudah terentang lurus ke depan. Ujungnya diarahkan langsung ke jantung. Sementara, perempuan tua bertubuh bungkuk itu masih tetap diam memandangi tanpa berkedip sedikit pun.

"Mampuslah kau, Nenek Tua! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak nyaring melengking, tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat cepat bagai kilat Dan pedangnya yang memancarkan api langsung ditebas-kan disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Begitu dahsyat kebutan Pedang Naga Geni itu, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai badai.

"Hup!"

Perempuan tua itu cepat-cepat melompat ke belakang, menghindari tebasan pedang yang memancarkan api sangat panas luar biasa. Tapi, rupanya serangan Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali pedangnya dikebutkan dengan kecepatan sangat dahsyat, mengarah ke kaki perempuan tua lawannya.

"Hiyaaa...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Dan begitu Pedang Naga Geni berkelebat mengarah ke kaki, perempuan tua itu cepat-cepat melesat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi melenting. Dan tubuhnya jadi berbalik, hingga kakinya berada di atas. Lalu dengan gerakan cepat sekali, kakinya dihentakkan. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pandan Wangi kali ini, hingga perempuan tua itu tidak punya kesempatan untuk menghlndar. Dan....

Desss!

"Akh...!"

Begitu keras tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga membuat perempuan tua itu ter-pental sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Bahkan pedangnya sudah terangkat naik ke atas kepala, siap ditebaskan ke leher perempuan tua ini.

"Hiyaaat...!"

"Oh, mati aku...," keluh perempuan tua itu.

Namun begitu mata Pedang Naga Geni yang memancarkan api itu hampir berkelebat menyambar leher perempuan tua yang menggeletak itu, mendadak saja....

Slap!

Tring!

"Ikh...?!"

Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat kilatan cahaya biru menyambar pedangnya yang tengah meluncur deras ke leher perempuan tua ini. Tangannya seketika terasa jadi menggeletar, begitu pedangnya membentur cahaya biru yang berkelebat begitu cepat menyambarnya tadi.

"Hup!"

Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke belakang dan berputaran beberapa kali, sebelum kakinya menjejak tanah. Beberapa kali dilakukannya gerakan-gerakan jurus kembangan permainan pedang untuk melemaskan otot tangannya yang seketika juga jadi meregang kaku.

Dan begitu menatap perempuan tua lawannya yang masih menggeletak tak berdaya di tanah, kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tampak ternganga.

"Kakang...."

***
DUA
Hampir saja Pandan Wangi tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tepat di depan perempuan tua yang menjadi lawannya tadi, berdiri tegak Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang pusaka sudah tersilang di depan dada. Cepat-cepat gadis itu memasukkan Pedang Naga Geni ke dalam warangkanya di punggung. Dan saat itu, Rangga juga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.

"Kakang...," desis Pandan Wangi, langsung menghampiri.

Tapi langkah gadis itu langsung terhenti, begitu melihat perempuan tua yang jadi lawannya tadi tengah berusaha bangkit berdiri dengan bantuan tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Dan akhirnya dia mampu berdiri, walau napasnya jadi tersengal akibat menerima tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari si Kipas Maut tadi.

Sementara, Rangga mengqeser kakinya ke kanan dan memutar tubuhnya sedikit. Kini, dirinya menjadi penengah di antara Pandan Wangi dan perempuan tua itu.

"Ada apa ini, Pandan? Kenapa sampai menggunakan Pedang Naga Geni?" tanya Rangga seraya menatap Pandan Wangi.

"Tanyakan saja padanya, Kakang. Dialah yang lebih dulu mencari gara-gara!" sahut Pandan Wangi, agak mendengus suaranya.

Rangga berpaling, menatap perempuan tua yang masih berusaha mengatur jalan pemapasannya. Pandan Wangi juga menatap perempuan tua itu dengan sinar mata tajam. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli, tetap saja berusaha mengatur jalan pernapasannya.

"Nyai! Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau sampai bertarung dengan Pandan Wangi?" tanya Rangga, setelah melihat perempuan tua yang belum menyebutkan namanya itu sudah agak lancar pernapasannya.

Perempuan tua itu tidak menjawab. Hanya ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata yang sangat tajam. Dan mendadak saja....

"Hup!"
"Hei..!"

Hampir saja Pandan Wangi melesat mengejar, begitu tiba-tiba perempuan tua itu cepat melompat pergi. Dan untung saja, Rangga segera mencekal pergelangan tangan si Kipas Maut ini.

"Biarkan, Pandan. Tidak ada gunanya mengejar," ujar Rangga.

"Huh! Dia tadi hampir saja membunuhku, Kakang," dengus Pandan Wangi, masih merasa kesal.

Rangga melepaskan cekalan tangannya, kemudian melangkah menghampiri seekor kuda hitam yang berdiri berdampingan dengan kuda putih tunggangan si Kipas Maut.

Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian perempuan tua tadi. Entah kenapa, hatinya masih saja merasa kesal. Mungkin karena tadi niatnya, untuk mengirim perempuan tua itu ke neraka tidak kesampaian.

Rangga kembali menghampiri Pandan Wangi sambil menuntun dua ekor kuda tunggangan masing-masing. Kemudian diserahkannya tali kekang kuda putih pada gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi menerimanya dengan wajah masih memberengut Tapi Rangga tampak tidak peduli. Bahkan langsung melompat ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.

"Ayo, Pandan. Naik ke kudamu," pinta Rangga, bernada agak memerintah.

Pandan Wangi menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti sesaat, kemudian melompat ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, gadis itu tidak juga menghentakkan tali kekangnya. Sementara, Dewa Bayu sudah melangkah membawa Pendekar Rajawali Sakti di punggungnya. Pemuda itu menghentikan langkah kaki kudanya, saat merasakan Pandan Wangi belum juga mau menggebah kudanya. Ketika kepalanya berpaling ke belakang, tampak Pandan Wangi masih tetap duduk di punggung kudanya yang masih belum jalan juga.

"Ayo, Pandan. Ada apa lagi...?" agak keras.

Kini, baru Pandan Wangi menghentakkan tali kekang. Maka kuda putih itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, sepasang pendekar muda itu ingin mengendarai kuda perlahan-lahan. Sesekali Rangga melirik wajah Pandan Wangi yang masih kelihatan memberengut, akibat pertarungannya tidak sampai tuntas. Padahal, tinggal sedikit lagi lawannya bisa dikirim ke alam baka.

"Kau kesal, pertarunganmu kuhentikan...?" tegur Rangga seperti bisa membaca jalan pikiran gadis yang berkuda di sebelahnya.

"Seharusnya perempuan tua itu dibiarkan mati saja, Kakang," dengus Pandan Wangi masih bernada kesal.

"Kau mengenalnya?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa sampai bertarung begitu?" tanya Rangga lagi, ingin tahu.
"Dialah yang memulai lebih dulu," sahut Pandan Wangi singkat.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyerangku."
"Kau tidak tanyakan alasannya?"
"Sudah, tapi tidak dijawab. Namanya saja tidak disebutkan."
"Aneh...," gumam Rangga seperti untuk diri sendiri.
"Kau sendiri, kenal nenek itu, Kakang?" Pandan Wangi balik bertanya, seraya menatap wajah tampan Pandan Wangi.

"Tidak," sahut Rangga.

Mereka kemudian terdiam. Sedangkan kuda yang ditunggangi tetap berjalan perlahan-lahan, meniti jalan tanah yang mulai berbatu. Sementara, matahari sudah mulai turun ke barat. Namun, sinarnya masih tetap terasa terik menyengat kulit.

Kedua pendekar muda itu terus mengendari kudanya perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggir sebuah sungai besar. Di sini, langkah kuda mereka dihentikan. Secara bersamaan, kedua pendekar muda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara, kuda-kuda itu menikmati jernihnya air sungai.

Pandan Wangi membasuh wajah dan lengannya dengan air sungai jemih ini. Sementara, Rangga sudah menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang pohon tumbang. Pandan Wangi baru menghampiri Pendekar Rajawali Sakti setelah tubuhnya terasa segar kembali begitu terkena air sungai yang jernih dan cukup dingin ini. Lalu, tubuhnya dihempaskan di samping pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu.

"Kau akan menyeberangi sungai ini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi. Pandangan matanya langsung tertuju ke seberang sungai.

"lya," sahut Rangga singkat
"Jadi, kita kembali ke Karang Setra?"

Rangga tidak menjawab. Namun pandangannya tertuju lurus ke seberang sungai. Tampak di seberang sana, gadis gadis desa tengah membersihkan diri sambil bersenda gurau. Sementara bocah-bocah berlarian dan bermain-main dengan air sungai yang dangkal ini. Walaupun sangat lebar, tapi tidak deras alirannya.

Kini kedua pendekar muda itu tidak berbicara lagi. Mereka memandang terus ke seberang sungai. Sesekali Pandan Wangi melirik wajah tampan di sebelahnya. Dan setiap kali menatap dengan sudut ekor matanya, keningnya jadi berkerut. Mungkin sedang mencoba menerka, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.

***

"Kita menginap di Desa Malingping. Besok pagi, baru ke kota," ujar Rangga sambil bangkit berdiri, setelah cukup lama beristirahat di tepi sungai ini.

"Boleh juga...," sambut Pandan Wangi yang sudah berdiri lebih dulu.

Mereka kemudian naik kembali ke punggung kuda masing-masing, kemudian menyeberangi sungai yang dangkal ini tanpa tergesa-gesa. Saat itu, matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Di ufuk barat, hanya terlihat semburat cahaya kuning kemerahan yang begitu lembut dan indah dipandang mata.

Kedua pendekar muda itu terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan, walaupun sudah menye-berangi sungai yang kini kelihatan sepi. Mereka terus memasuki sebuah desa yang tidak begitu besar, namun letak rumah-rumahnya tertata rapi. Desa inilah yang dinamakan Desa Malingping, yang terdekat dengan Kotaraja Karang Setra.

"Di mana kita menginap, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Di penginapan Ki Sardan," sahut Rangga.

Pandan Wangi tahu betul rumah penginapan yang dimaksudkan Rangga. Mereka memang sering menginap di sana, kalau memang kebetulan singgah. Dan Ki Sardan, pemilik rumah penginapan itu, memang sudah dikenal mereka berdua. Walaupun, tidak tahu kalau sebenarnya pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang Setra. Selain juga seorang pendekar yang sering berkelana menegakkan keadilan dan kebenaran.

Rumah penginapan yang dituju sudah terlihat terang-benderang oleh cahaya lampu pelita. Dan kelihatannya juga banyak dikunjungi tamu. Tapi, sudah tentu tidak semua tamu yang menginap di sana. Karena selain menyediakan tempat bermalam, Ki Sardan juga membuka kedai. Apalagi, hanya satu-satunya kedai dan sekaligus rumah penginapan di Desa Malingping ini.

Ki Sardan kelihatan bergegas keluar begitu Rangga dan Pandan Wangi baru sampai. Laki-laki tua itu memegangi tali kekang kuda kedua pendekar muda itu saat turun dari punggung kudanya. Kemudian diserahkannya kuda-kuda itu pada pembantunya yang langsung membawa ke bagian belakang dari rumah penginapan ini. Ki Sardan tampak menyambut tamu langganannya ini dengan sikap ramah sekali.

"Seperti biasa, Den...?" tanya Ki Sardan ramah.

"Benar, Ki," sahut Rangga.

"Kalau begitu, makan saja dulu. Biar kamarnya disiapkan," usul Ki Sardan.

Rangga hanya mengangguk saja. Mereka kemudian masuk ke dalam kedai. Seperti biasanya, Ki Sardan memberi tempat yang istimewa pada kedua pendekar muda ini. Tapi, suasana kedai ini tidak seperti biasanya. Terasa begitu ramai. Dan Rangga tahu, tamu-tamu yang datang kebanyakan para pendatang yang kebetulan singgah. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti melihat adanya kelainan. Kebanyakan dari pengunjung kedai ternyata orang-orang persilatan. Dan ini bisa terlihat dari senjata yang dibawa.

Saat itu, Ki Sardan sudah ke belakang untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi kedua pendekar langganannya ini. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi termenung. Dan ini membuat Pandan Wangi terus memperhatikan dengan kening agak berkerut.

"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi.

"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Rangga agak tergagap.

"Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak tadi, kuperhatikan sikapmu aneh," tegur Pandan Wangi lagi, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga mencoba memberi senyuman.

Tapi, Pandan Wangi tahu kalau ada sesuatu yang disembunyikan Pendekar Rajawali Sakti. Dan senyum Pendekar Rajawali Sakti juga terasa hambar sekali. Walaupun berusaha ditutupi, tapi Pandan Wangi masih bisa melihat adanya kegelisahan dalam diri kekasihnya. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangan berkeliling, dan kembali menatap wajah tampan yang duduk tepat di depannya.

Saat itu, Ki Sardan datang lagi bersama seorang pembantunya yang membawa baki berukuran cukup besar, penuh berisi makanan dan minuman. Dengan sikap hormat sekali, laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu menyediakan hidangan di atas meja.

"Silakan, Den, Nini...," Ki Sardan mempersilakan dengan ramah, setelah semua makanan dan minuman terhidang di meja.

"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.

Ki Sardan kembali meninggalkan mereka. Sementara, Rangga terus saja diam, seperti tengah ada yang direnungkan. Pandangan matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Sedangkan Pandan Wangi jadi penasaran memperhatikan sikap Rangga yang kelihatan aneh dan tidak seperti biasanya.

"Ayo makan dulu, Kakang. Sejak pagi tadi kau belum makan apa-apa, kan...?" ajak Pandan Wangi.

"Kau saja yang makan, Pandan," tolak Rangga.

Pandan Wangi memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak peduli, dan terus saja mengarahkan pandangan ke depan kedai ini.

Saat itu, terdengar suara kuda dipacu cepat. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat puluhan orang berkuda dengan cepat melintas di depan kedai ini. Semua orang yang ada di dalam kedai langsung menolehkan kepala ke luar. Saat itu juga, orang-orang yang memadati kedai kecil ini tergesa-gesa berhamburan keluar. Sebentar saja ruangan kedai yang cukup luas ini jadi sunyi. Yang tinggal hanya Rangga dan Pandan Wangi saja di tempatnya.

Dari bagian belakang, muncul Ki Sardan. Laki-laki tua itu langsung menuju pintu depan. Tapi pada saat itu, para penunggang kuda yang berpacu cepat tadi sudah tidak terlihat lagi. Bahkan mereka yang tadi ada di dalam kedai ini pun sudah tidak terlihat lagi. Entah kenapa mereka langsung pergi begitu para penunggang kuda berpacu cepat melintas di depan kedai ini terlihat.

"Cepat tutup semua pintu dan jendela!" seru Ki Sardan begitu para pembantunya keluar dari bagian belakang.

Tanpa ada yang membantah lagi, lima orang pembantu laki-laki tua itu segera melaksanakan perintahnya. Sementara Ki Sardan sendiri cepat-cepat menutup pintu depan. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Lima orang pembantu Ki Sardan kembali ke belakang setelah mengerjakan semua perintah majikannya. Bahkan beberapa pelita di dalam kedai ini sudah dimatikan. Tinggal dua pelita saja yang masih menyala, dan letaknya tidak jauh dari meja yang ditempat Rangga dan Pandan Wangi

"Ki...," panggil Pandan Wangi begitu Ki Sardan hendak kembali ke belakang.

"Oh...?!"

***

Ki Sardan seperti baru tersadar kalau masih ada orang lain di dalam kedainya. Bergegas dihampirinya kedua pendekar muda langganannya itu. Dalam siraman cahaya lampu pelita yang sudah dikecilkan nyala apinya, terlihat wajah Ki Sardan begitu pucat

"Ada apa, Ki? Kenapa sudah menutup kedai ini?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Peraturan baru, Nini," sahut Ki Sardan.

"Peraturan baru...? Peraturan apa, Ki?" tanya Pandan Wangi keheranan.

Belum juga Ki Sardan menjawab pertanyaan Pandan Wangi, terdengar bunyi kentongan dipukul dengan irama yang berartj. Pandan Wangi langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja. Dia tahu, irama bunyi kentongan itu menandakan keadaan yang sedang genting. Itu artinya sama saja melarang orang keluar rumah. Bahkan melarang rumah-rumah menyalakan lampu. Saat itu, Ki Sardan mematikan lampu yang tinggal dua. Lalu, dinyalakannya pelita kecil, dan diletakkan di tengah-tengah meja yang ditempati kedua pendekar muda ini.

Nyala api pelita yang kecil, ternyata tak kuasa menerangi seluruh ruangan kedai yang besar ini. Dan hanya sekitar meja itu saja yang diterangi. Tindakan Ki Sardan membuat hati Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Sedangkan Rangga kelihatan diam saja, seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Tanda kentongan itu biasanya dibunyikan kalau kerajaan sedang berperang. Apakah di sini telah terjadi perang, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi. Kali ini suaranya dipelankan.

"Negeri ini memang sedang gawat, Nini. Sedang perang," jelas Ki Sardan.

“Perang...?!"

Pandan Wangi tidak bisa menahan keterkejutannya. Matanya sempat melirik Rangga yang masih kelihatan diam, tidak memberi tanggapan sedikit pun juga.

"Memang ada musuh yang menyerang, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Bukan musuh dari luar, Nini. Tapi, musuh dari dalam sendiri."

"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi meminta penjelasan.

Sesekali gadis itu melirik Rangga yang masih saja tetap membisu. Tapi, sekarang Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sardan dengan sinar mata sukar diartikan.

"Kabarnya, di istana sedang terjadi makar. Dan pemberontak itu dibantu orang-orang persilatan. Aku sendiri tidak tahu yang sebenarnya. Tapi, kabar itu sudah tersebar luas. Dan katanya lagi, sekarang ini tahta kerajaan sedang kosong," jelas Ki Sardan, singkat.

"Siapa yang memberontak, Ki?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Rangga.

"Wah tidak tahu, Nini. Aku tidak pernah ingin tahu urusan seperti itu," sahut Ki Sardan lagi.

Pandan Wangi terdiam tidak bertanya lagi. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali Sakti begitu dalam. Sedangkan yang ditatap masih tetap diam membisu.

"Sebaiknya kalian ke kamar saja. Biar makanan ini dibawa ke kamar," ujar Ki Sardan lagi.

"Biarkan kami di sini saja, Ki," kata Rangga, baru membuka suaranya.

"Kalau begitu, boleh kutinggal...?" pinta Ki Sardan.

"Silakan, Ki," ujar Rangga.

Ki Sardan bergegas meninggalkan ruangan kedai yang sudah sepi ini. Kini tinggal Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap duduk berhadapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Beberapa kali mereka saling bertatapan.

***
TIGA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, Pandan Wangi sudah keluar dari kamar penginapannya. Langsung ditujunya kamar yang ditempati Rangga. Dan memang, kamar mereka bersebelahan. Tapi, mendadak saja kening gadis itu jadi berkerut begitu melihat pintu kamar Pendekar Rajawali Sakti sedikit terbuka. Malah masih terlihat nyala lampu palita dari daiam kamar.

Perlahan Pandan Wangi mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada seorang pun di dalam kamar ini. Bahkan jendelanya masih tetap tertutup rapat. Bergegas Pandan Wangi masuk dan memeriksa seluruh ruangan ini. Ternyata Rangga benar-benar tidak ada lagi. Cepat-cepat gadis itu keluar lagi dari kamar ini dan kembali ke kamamya sendiri. Setelah menyiapkan senjatanya, gadis iiu kembali keluar dari kamarnya. Langsung ditujunya tempat penyimpanan kuda. Di depan kandang kuda, dia bertemu Ki Sardan.

"Lihat Kakang Rangga, Ki?" tanya Pandan Wangi, langsung.

"Sudah pergi pagi-pagi sekali tadi, Nini," sahut Ki Sardan.

"Pergi? Ke mana...?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Tidak mengatakan akan ke mana. Tapi Den Rangga pesan agar Nini tidak pergi ke mana-mana. Katanya, akan kembali lagi siang nanti” sahut Ki Sardan.

"Dia mengendarai kuda, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Tidak. Kudanya masih ada di kandang."

Pandan Wangi jadi tertegun. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Rangga jadi bersikap begitu...? Tidak seperti biasanya, Pendekar Rajawali Sakti pergi diam-diam tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Berbagai macam pikiran langsung terlintas di dalam benaknya. Dan kecemasan pun seketika muncul di hatinya.

"Tolong siapkan kudaku, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Mau ke mana?" tanya Ki Sardan.
"Ada urusan, Ki," sahut Pandan Wangi tidak ingin banyak bicara lagi.
"Nanti kalau Den Rangga kembali...?"
"Bilang saja aku pergi sebentar."

Pandan Wangi langsung saja melangkah meninggalkan laki-laki tua itu, dan terus masuk kembali ke dalam rumah penginapan. Sementara Ki Sardan jadi tertegun kemudian memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan kuda putih tunggangan si Kipas Maut.

Seekor kuda putih tampak sudah slap di halaman depan kedai Ki Sardan, begitu Pandan Wangi keluar dari dalam kedai bersama laki-laki tua pemilik kedai. Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun memegangi tali kekang kuda putih itu, dan menyerahkannya pada Pandan Wangi.

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pandan Wangi melompat naik ke atas punggung kudanya. Sebentar ditatapnya Ki Sardan. Kemudian, kudanya digebah dengan cepat

"Hiyaaa...!"

Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi tinggi ke atas. Lalu, binatang itu melesat cepat sekali bagaikan anak panah lepas dari busur. Debu mengepul tinggi ke angkasa, tersepak kaki kuda yang dipacu cepat.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Pandan Wangi memacu cepat kudanya menuju arah selatan. Begitu cepatnya kuda putih itu berpacu, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah meninggalkan Desa Malingping. Gadis itu terus memacu cepat kudanya, melintasi jalan tanah yang berdebu dan sedikit berbatu.

Belum juga matahari naik tinggi, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah sampai di perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dan memang, jarak antara Desa Malingping dengan Kotaraja Karang Setra tidak begitu jauh, sehingga bisa ditempuh dalam waktu sebentar saja dengan berkuda.

Kini lari kudanya diperlambat, dan dihentikan tepat di pintu gerbang masuk Kotaraja Karang Setra. Tidak ada seorang pun penjaga. Sebentar Pandan Wangi mengamati keadaan sekitarnya.

"Hm, kenapa tidak ada seorang penjaga pun di sini...?" gumam Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar. Seketika gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terkejut dan menghentikan ayunan langkahnya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, dari balik sebatang pohon beringin yang besar muncul seorang laki-laki berusia separuh baya.

"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya laki-laki separuh baya bertubuh tegap dan berbaju wama merah menyala.

"Aku Pandan Wangi. Kedatanganku ke sini untuk mengunjungi saudara-saudaraku di istana," sahut Pandan Wangi tegas.

"Hah...?! Kau Pandan Wangi...?"

Laki-laki separuh baya bertubuh tegap itu tampak terkejut, saat Pandan Wangi menyebutkan namanya. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang tiga langkah. Dipandanginya gadis cantik berbaju biru muda itu dalam-dalam, dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis ini memang Pandan Wangi.

"Kau siapa, Kisanak? Kenapa perjalananku dihentikan?" Pandan Wangi balik bertanya dengan nada suara tegas sekali.

"Aku Rakyandata, yang bertugas menjaga gerbang kota ini. Dan aku diperintahkan untuk menyingkirkan siapa saja yang mencoba masuk. Terlebih lagi, yang ada hubungannya dengan orang-orang istana," sahut laki-laki separuh baya yang memperkenalkan diri sebagai Rakyandata.

"Hm.... Sejak kapan kau menjadi penjaga pintu gerbang ini, Kisanak? Apakah Karang Setra sudah tidak punya prajurit lagi, sehingga harus orang luar yang menjaga kotanya...?" terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.

"Karang Setra sudah berubah, Pandan Wangi. Sebaiknya segera enyahlah dari sini, sebelum kuambil tindakan keras padamu!" sentak Rakyandata, terdengar kasar nada suaranya.

"Kau tahu, Kisanak. Tidak ada seorang pun yang bisa mengusirku dari sini," desis Pandan Wangi sinis.

"Aku yang akan mengusirmu, Pandan Wangi."

"Hhh...!" Pandan Wangi mendengus kecil dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.

Sementara, Rakyandata sudah mencabut senjatanya yang berupa golok berukuran cukup besar. Golok itu berkilatan melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah. Dan tatapan matanya begitu tajam dan tertuju lurus ke bola mata gadis cantik berjuluk si Kipas Maut yang kelihatan tenang. Bahkan Pandan Wangi tetap berdiri tegak sambil berkacak pinggang.

"Kuperingatkan sekali lagi, Pandan Wangi...."

"Kalau ingin mengusirku, coba saja. Ayo laksanakan, Kisanak!" potong Pandan Wangi cepat

"Phuih!" Rakyandata menyemburkan ludahnya sambil mendengus keras. Sebentar laki-laki berpakaian merah menyala itu menatap tajam Pandan Wangi. Kemudian....

"Hiyaaat..!"
Bet!
"Hait..!"

Manis sekali Pandan Wangi meliukkan tubuhnya, begitu Rakyandata menyerang cepat sambil membabatkan goloknya. Kenyataannya, hanya sedikit saja golok yang berkilatan tajam itu lewat di depan dada Pandan Wangi. Dan tanpa diduga sama sekali, gadis itu menarik tubuhnya ke kiri. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa, kaki kanannya dihentakkan. Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bet!

Rakyandata jadi terkejut setengah mati melihat gerakan Pandan Wangi. Maka cepat-cepat goloknya dikibaskan, mencoba menghalau tendangan si Kipas Maut itu. Namun begitu goloknya berkelebat, cepat sekali Pandan Wangi melenting ke udara, sampai melewati kepala laki-laki separuh baya ini. Dan dengan cepat sekali kakinya menjejak tanah, tepat di belakang Rakyandata.

"Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun juga, Pandan Wangi melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke punggung laki-laki separuh baya itu. Begitu cepat gerakannya sehingga Rakyandata tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Diegkh!
"Akh...!"

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga Rakyandata terpental ke depan, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya bergulingan di tanah beberapa kali, lalu cepat melompat bangkit Tapi baru saja bisa berdiri, Pandan Wangi sudah melesat begitu cepat sambil mencabut kipas maut dari balik sabuk emasnya. Senjata itu langsung dikebutkan dengan kecepatan sangat sukar diikuti mata biasa.

"Hiyaaat..!"
Bet!

Begitu cepat serangan yang dilancarkan gadis berjuluk Kipas Maut itu. Akibatnya Rakyandata hanya mampu terbeliak, tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindar. Dan....

Cras!
"Aaa...!"

Jeritan panjang bernada kesakitan seketika terdengar menyayat, begitu ujung kipas maut yang berbentuk runcing seperti anak panah merobek dada Rakyandata.

Sebentar laki-laki separuh baya itu masih mampu bertahan berdiri. Dan begitu Pandan Wangi memberi satu tendangan keras ke perutnya, tubuh tinggi besar itu pun seketika ambruk ke tanah. Darah mengucur deras dari luka di dada yang cukup lebar dan panjang. Beberapa saat Rakyandata menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Huh!"

Pandan Wangi mendengus berat sambil memasukkan kembali kipas maut ke balik sabuk emasnya. Dipandanginya tubuh Rakyandata yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada sobek mengucurkan darah.

***

Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan perlahan-lahan memasuki Kotaraja Karang Setra. Di dalam kota ini tidak terlihat adanya perubahan sedikit pun. Semua penduduknya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kota ini terlihat begitu ramai, sedikit pun tidak ada tanda-tanda adanya pemberontakan. Dan keadaan ini membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Keanehan memang mulai terasa sejak Rangga tidak bersikap seperti biasa. Bahkan semakin terasa, setelah sampai di Desa Malingping. Kini keanehan itu menjadikan Pandan Wangi terus bertanya-tanya di dalam hati. Padahal di Desa Malingping, terdengar kabar kalau telah terjadi pemberontakan di Kotaraja Karang Setra ini. 

Buktinya, begitu masuk kotaraja, Pandan Wangi sudah dihadang oleh orang yang mengaku dari pihak istana. Bahkan orang itu juga melarang masuk siapa saja yang ada hubungannya dengan keluarga Istana Karang Setra. Tapi setelah sampai di desa ini, sedikit pun tidak terlihat adanya bekas-bekas terjadi pemberontakan. Dan ini yang membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti.

Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu baru menghentikan kudanya setelah tiba di depan pintu gerbang benteng istana. Sejenak hatinya jadi tertegun melihat empat orang prajurit menjaga pintu gerbang. Keempat prajurit itu juga memandanginya, seperti tengah memandang seorang asing yang patut dicurigai. 

Pandan Wangi segera menggebah kudanya perlahan, tidak jadi mendekati pintu gerbang benteng istana. Dan kini malah menjauhinya, dan berputar ke sebelah kanan. Beberapa prajurit terlihat di sekitar tembok benteng istana yang memang terlihat agak ketat penjagaannya. Tapi, itu bukanlah hal yang aneh. Setiap istana pasti dijaga ketat para prajurit ber-senjata lengkap.

"Ssst.., Nini.... Nini Pandan...."
"Heh...?!"

Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba telinganya mendengar bisikan memanggil namanya. Langkah kaki kudanya segera dihentikan. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, dengan bola mata berputar memandang ke sekitarnya. Tapi, tak terlihat seorang pun yang memanggilnya tadi.

Memang, di sekelilingnya banyak orang. Tapi, tak ada seorang pun yang kelihatan memperhatikan dirinya. Semua orang terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dan ringan sekali. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling, tapi orang yang memanggil namanya tidak juga didapatkan.

"Nini, ke sini. Aku ada di sebelah kananmu."

Kembali terdengar bisikan yang sangat halus, tapi begitu jelas terdengar di telinga. Pandan Wangi segera memalingkan wajahnya ke kanan, tapi tidak juga bisa menemukan adanya orang yang memanggil dengan bisikan perlahan tadi. Pandangan mata gadis itu kembali tertuju pada kerumunan orang yang mengelilingi seorang pedagang yang berteriak-teriak, berusaha menarik minat pembeli.

"Aku ada di balik pohon asam, Nini. Kemarilah.... Aku tidak bisa keluar menemuimu."

Kembali terdengar bisikan halus di telinga Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung berpaling, dan menatap sebatang pohon asam tua yang tidak jauh dari kerumunan orang ba-nyak itu. Tapi, yang terlihat, di sana hanyalah seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping dan mengenakan tudung usang. Dia tampak tengah duduk bersila menghadapi sebuah tempurung kelapa di depannya. Di atas pangkuannya, tergeletak sebatang tongkat kayu berwarna putih keperakan.

"Hm.... Apakah dia yang memanggilku tadi...?" gumam Pandan Wangi bertanya sendiri dalam hati.

Beberapa saat lamanya, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini memandangi laki-laki tua pengemis itu. Sebentar kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Semua orang yang ada di sekitar tembok benteng istana ini seolah-olah tidak mengenalnya sama sekali. Kembali Pandan Wangi mengarahkan pandangan ke pohon asam tua di pinggir jalan. Tapi mendadak saja....

"Heh...?!"

Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak. Malah mulutnya sampai ternganga begitu pandangannya kembali tertuju ke pohon asam tua di pinggir jalan ini. Ternyata laki-laki tua pengemis yang tadi terlihat duduk bersila di bawah pohon asam itu, kini sudah tidak ada lagi. Bahkan sedikit pun tidak terlihat bekasnya. Tentu saja hal ini membuat Pandan Wangi jadi terlongong bengong.

"Ke mana dia...?" desis Pandan Wangi jadi bertanya sendiri.

Namun belum juga hilang desisannya, tiba-tiba Pandan Wangi mendengar bisikan halus yang bernada sama seperti tadi. Suara yang sangat halus, tapi begitu jelas terdengar. Itu sudah menandakan kalau orang yang mengirimkan suara padanya memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti, orang-orang yang ada di sekitar Pandan Wangi sama sekali tidak mendengar.

"Temui aku di ujung jalan ini."

"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.

Pandan Wangi berpaling memandang ke ujung jalan yang membelah Kotaraja Karang Setra bagai menjadi dua bagian. Tapi, ujung jalan itu berbelok ke arah kanan. Dan kalau ditelusuri, akan berakhir di perbatasan bagian selatan. Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa maksud orang itu?

"Hup!"

Setelah berpikir beberapa saat, Pandan Wangi melompat naik kembali ke punggung kuda putihnya. Kemudian tali kekang kuda itu dihentakkan, hingga kembali berjalan perlahan-lahan. Sengaja Pandan Wangi tidak cepat-cepat menggebah kudanya, agar tidak menarik perhatian orang-orang yang hampir memadati jalan ini.

Gadis itu juga tidak ingin menarik perhatian para prajurit yang setiap saat selalu mengawasi. Dan memang, tidak semua prajurit di Karang Setra ini mengenalnya. Tapi, paling tidak hampir semua prajurit berpangkat punggawa mengenalnya. Dan Pandan Wangi tidak ingin ada prajurit yang tahu kalau dirinya berada di Karang Setra ini seorang diri. Karena, biasanya selalu bersama-sama Rangga. Tapi sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti itu pergi entah ke mana.

Pandan Wangi baru mempercepat lari kudanya. setelah tiba pada tikungan jalan yang sunyi. Dan kudanya terus dipacu dengan kecepatan sedang. Pandangan matanya tertuju lurus ke depan. Hanya satu dua orang saja yang terlihat berjalan di pinggir jalan. Dan mereka juga tampak tidak mempedulikannya.

"Hooop. .!"

Pandan Wangi baru menghentikan lari kudanya setelah hampir tiba di perbatasan kota bagian selatan. Tampak di gerbang perbatasan yang ditandai oleh bangunan dua buah batu berbentuk gapura, ter-lihat empat orang berseragam prajurit tengah berjaga-jaga bersenjatakan tombak.

"Hup!"

Ringan sekali Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda putihnya. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Dan pandangan matanya kemudian tertuju pada gerbang perbatasan kota yang dijaga empat orang prajurit bersenjata tombak berukuran panjang.

"Hm.... Tidak ada ujung jalan lain, selain gerbang perbatasan itu," gumam Pandan Wangi, terus menatap gerbang perbatasan kota itu.

"Nini Pandan..."
"Heh...?!"

Kembali Pandan Wangi dikejutkan suara yang terdengar begitu jelas di telinganya dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping penuh tambalan, tahu-tahu sudah ada dekat di depannya kini. Laki-laki tua pengemis yang tadi duduk bersila di bawah pohon asam.

Sebentar Pandan Wangi memperhatikan, lalu melangkah menghampiri sambil menuntun kudanya. Gadis ini berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pengemis tua itu. Hampir sulit untuk bisa melihat wajahnya, karena pengemis itu mengenakan caping bambu yang sudah usang dan berukuran lebar. Tapi, Pandan Wangi bisa melihat kalau wajah pengemis ini tidak seperti pengemis pada umumnya. Kelihatannya terlalu bersih untuk seorang pengemis.

"Ikuti aku," kata pengemis tua itu tanpa mengangkat wajah sedikit pun.

Tanpa menunggu jawaban lagi, pengemis tua itu langsung saja memutar tubuhnya berbalik. Dan kakinya melangkah ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya yang berwama putih keperakan. Sementara, Pandan Wangi memandangi sebentar, kemudian melangkah sambil menuntun kudanya untuk mengikuti laki-laki pengemis tua itu.

***
EMPAT
Tanpa bicara sedikit pun, Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya, mengikuti laki-laki pengemis tua itu. Padahal, di dalam kepalanya penuh berbagai macam tanda tanya. Sama sekali pengemis tua ini tidak dikenalnya, tapi sudah tahu nama Pandan Wangi. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam kepala gadis itu saja.

"Ke mana kau akan membawaku, Pengemis Tua?" tanya Pandan Wangi tidak bisa juga menahan diri.

"Belum saatnya berbicara, Nini Pandan. Ikuti saja," sahut pengemis tua itu dengan suara datar dan agak serak.

Pandan Wangi langsung terdiam. Terus diikutinya ayunan kaki laki-laki tua ini sambil menuntun kuda putihnya. Sesekali diperhatikannya langkah kaki pengemis tua itu. Jelas sekali terlihat kalau rerumputan yang dipijak pengemis tua itu tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan sama sekali tidak berbekas. Pandan Wangi langsung menyadari kalau pengemis tua itu memiliki kepandaian tinggi.

Setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil, langkah pengemis itu baru berhenti. Dia berdiri mematung sebentar di tepian sungai kecil itu, memandang ke seberang. Kemudian perlahan-lahan tubuhnya bergerak naik ke atas. Pandan Wangi yang sejak tadi memperhatikan, jagi ternganga melihatnya. Ternyata pengemis tua itu bisa melayang seperti kapas! Dan lebih terpaku lagi, saat melihat pengemis tua itu menyeberangi sungai tanpa menyentuh permukaan air sedikit pun.

Belum juga hilang keterpanaan Pandan Wangi, pengemis tua itu sudah kembali menjejak tanah di seberang sungai. Tubuhnya berputar sedikit, dan berpaling ke belakang menatap Pandan Wangi yang masih berdiri bengong di seberang sungai.

"Ayo, Nini. Kita tidak banyak waktu lagi," ajak pengemis tua itu dari seberang sungai.

Suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada perubahan pada nadanya. Pandan Wangi jadi tersentak. Maka cepat gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Lalu, kuda putih itu digebah untuk menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini. Pada saat yang bersamaan, pengemis tua itu kembali mengayunkan kakinya meninggalkan seberang tepian sungai ini.

"Heii...?!"

Kembali Pandan Wangi dibuat terkejut. Kudanya sudah digebah cukup kencang, tapi tetap saja berada di belakang pengemis tua itu yang tetap melangkah seperti biasa. Sampai jauh sungai kecil itu tertinggal, tapi tetap saja Pandan Wangi berada di belakang pengemis tua itu.

"Hooop...!"

Pandan Wangi menarik tali kekang kuda putihnya hingga berhenti.

"Hup!"

Dengan gerakan ringan sekali, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat turun dari punggung kudanya. Sementara, pengemis tua itu juga menghentikan ayunan langkah kakinya. Dan kini, mereka berada dalam jarak sekitar tiga batang tombak. Perlahan pengemis tua itu memutar tubuhnya berbalik. Dan dari balik lindungan caping bambunya yang lebar, ditatapnya Pandan Wangi yang tetap berdiri tegak sambil memegangi tali kekang kuda putihnya. Gadis itu juga memandangi dengan sinar mata tajam.

"Ada apa? Kenapa kau berhenti, Nini...?" tanya pengemis tua itu, terdengar biasa saja suaranya.

"Katakan terus terang, apa maksudmu membawaku ke tempat ini?" Pandan Wangi malah balik bertanya.

Tapi pengemis tua itu tidak segera menjawab. Malah kakinya kini terayun menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi dari gadis cantik berbaju biru muda agak ketat ini. Dan belum juga pengemis tua itu menjawab pertanyaan Pandan Wangi tadi, tiba-tiba saja sudah terdengar suara yang agak nyaring.

"Aku yang memintanya membawamu ke sini, Kak Pandan!"

"Heh...?!"

Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati. Dan lebih terkejut lagi, begitu berpaling ke arah suara yang tiba-tiba terdengar tadi. Hampir tidak dipercayai dengan penglihatannya sendiri!

Entah datang dari mana, tahu-tahu di atas sebatang pohon yaang tumbang sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda. Tampak sebilah pedang tersandang di punggungnya. Gadis itu segera melompat turun. Gerakannya terlihat indah dan ringan sekali. Kemudian, dia berjalan perlahan menghampiri si Kipas Maut yang masih terlongong bengong seperti tidak percaya dengan pandangannya sendiri.

"Cempaka...," desis Pandan Wangi seperti tidak sadar.

"Apa kabarmu, Kak Pandan?" sapa Cempaka.

"Baik," sahut Pandan Wangi masih seperti belum percaya kalau di tengah hutan seperti ini bertemu adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, aku memintamu dengan cara seperti ini. Semua ini demi keselamatan kita semua," ucap Cempaka.

Pandan Wangi tidak menyahuti. Matanya melirik laki-laki tua pengemis yang masih berdiri tidak jauh darinya.

"Kau pasti ingin tahu siapa dia, Kak Pandan...?" tebak Cempaka, seperti bisa membaca jalan pikiran si Kipas Maut itu.

Pandan Wangi kembali berpaling menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah menghampiri pengemis tua itu, dan berdiri di sampingnya. Sementara, pengemis tua itu membuka caping bambu usang yang sejak tadi menutupi kepalanya. Kini terlihat jelas wajahnya yang bersih dan bercahaya, walaupun sudah dipenuhi keriput ketuaannya. Rambutnya juga sudah memutih semua. Demikian pula kumis dan jenggotnya yang menyatu, juga sudah berwarna putih semua. Namun, sorot matanya begitu tajam, walaupun memancarkan keteduhan.

"Ini Ki Sangkala. Tapi, biasanya orang selalu memanggilnya Pengemis Tongkat Putih. Dan dia juga sahabat karib Kakang Rangga," jelas Cempaka tanpa diminta.

"Oh..."

Pandan Wangi jadi terlongong. Sungguh sejak tadi tidak disadari kalau laki-laki tua berpakaian compangcamping dan penuh tambalan itu adalah si Pengemis Tongkat Putih. Dan memang, julukan itu sudah sering didengarnya. Tapi, memang baru kali ini Pandan Wangi bertemu. Rangga sendiri sudah sering menceritakan tentang sahabatnya yang satu ini. Pantas saja, ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkannya begitu tinggi. Bahkan bisa melayang di atas air waktu menyeberangi sungai tadi. Dan bisa tidak terkejar walaupun Pandan Wangi sudah cepat menggebah kudanya tadi.

"Maafkan atas kelancanganku, Ki," Ucap Pandan Wangi seraya menjura memberi hormat.

"Ah.... Sudahlah, Nini," sambut Ki Sangkala yang dikenal berjuluk si Pengemis Tongkat Putih itu sambil tersenyum.

Pandan Wangi kembali menatap Cempaka yang berada di samping kanan Pengemis Tongkat Putih.

"Cempaka, kenapa kau ingin bertemu denganku di sini? Kenapa tidak di istana saja?" tanya Pandan Wangi langsung mengeluarkan ketidak-mengertiannya yang sejak tadi mengganjal dada.

Cempaka tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan melangkah menghampiri si Kipas Maut Jelas sekali kalau senyuman di bibir gadis itu sangat dipaksakan. Bahkan begitu hambar. Pandan Wangi langsung bisa menebak kalau telah terjadi sesuatu, sehingga Cempaka sekarang berada di tengah hutan seperti ini. Meskipun hutan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan letaknya pun tidak begitu jauh dari kota. Hanya memerlukan waktu kurang dari setengah hari untuk menempuhnya, walaupun hanya berjalan kaki biasa.

"Kau tidak bersama Kakang Rangga, Kak Pandan?" Cempaka malah balik bertanya.

"Semula kami memang bersama-sama. Tapi entah kenapa, Kakang Rangga meninggalkan aku di Desa Malingping," sahut Pandan Wangi.

"Jadi kalian sudah sampai di Desa Malingping...?" selak Pengemis Tongkat Putih, ingin memastikan.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja membenarkan.

"Tentu kau sudah tahu apa yang terjadi di dalam istana...," tebak Ki Sangkala lagi dengan nada suara agak bertanya.

"Hanya mendengar, dan belum tahu kepastiannya. Malah, aku sendiri jadi tak percaya setelah sampai di kota tadi," sahut Pandan Wangi.

"Memang seperti itulah kenyataannya, Kak Pandan," tambah Cempaka perlahan, dengan suara agak mendesah panjang.

Kemudian Cempaka menceritakan keadaan Istana Karang Setra, sampai berada di tengah hutan ini. Pandan Wangi terus mendengar tanpa sedikit pun memotong. Sampai Cempaka selesai bercerita, Pandan Wangi masih terdiam seperti tak percaya. Dan kini suasana jadi hening.

"Kau yakin kalau Danupaksi yang berbuat itu, Cempaka?" tanya Pandan Wangi, memecah keheningan.

"Begitulah kenyataannya," sahut Cempaka masih terdengar pelan, sambil menghembuskan napas panjang.

"Kau melihat sendiri perbuatannya?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin meyakinkan.

Cempaka hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Pandan Wangi menghembuskan napas panjang, seakan masih belum percaya kalau Danupaksi benar-benar berbuat makar, mengkhianati Rangga. Padahal kakak tirinya itu telah mempercayakan untuk menggantikannya menduduki tahta setiap kali pergi mengembara bersama Pandan Wangi.

Rasanya memang sukar dipercaya kabar itu. Tapi hampir semua orang yang ditemui mengatakan kalau istana kini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Danupaksi. Dan untungnya pemberontakan itu tidak sampai meminta korban, karena seluruh prajurit berpihak pada Danupaksi. Bahkan tidak sedikit para pembesar yang berada di belakangnya. Tak heran kalau pemberontakan itu dapat berjalan mudah, tanpa mengganggu ketenangan rakyat. Bahkan semua kegiatan yang ada berjalan seperti biasa, tanpa terganggu sedikit pun. Sebuah pemberontakan yang sangat aneh, karena tidak ada satu kelompok rakyat pun yang mencoba menentangnya.

Pandan Wangi masih belum bisa percaya kalau Danupaksi kini telah mengkhianati kakak tirinya. Tapi, dia juga mau tak mau harus percaya pada Cempaka. Inilah yang membuat Pandan Wangi jadi sulit menentukan pilihan, karena sama-sama mempercayai kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku terpaksa lari dari istana, dan bersembunyi di sini. Kakang Danupaksi memerintahkan para prajurit menangkap dan memenjarakan aku. Tidak ada seorang prajurit pun yang berpihak padaku," jelas Cempaka. "Untung di saat yang sangat gawat dan hampir tertangkap, Ki Sangkala datang menolongku. Dialah yang membawaku ke hutan ini."

Pandan Wangi masih tetap diam. Jelas sekali kalau hatinya jadi bimbang.

"Aku sempat terluka dalam yang cukup parah oleh Kakang Danupaksi. Tapi, Ki Sangkala bisa menyembuhkan luka dalamku. Sudah lama aku menunggumu dan Kakang Rangga kembali dari pengembaraan. Dan baru sekarang ini bisa bertemu denganmu, Kak Pandan," lanjut Cempaka.

"Di mana kau tinggal?" tanya Pandan Wangi.

"Di gua, bersama Paman Wirapati, Paman Rakatala, dan semua keluarganya," sahut Cempaka.

"Lalu..., Ki Lintuk di mana?" tanya Pandan Wangi lagi.

Cempaka tidak langsung menjawab. Malah kepalanya kontan tertunduk dengan wajah terlihat berselimut mendung. Pandan Wangi jadi tertegun melihat perubahan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Segera tangannya terulur. Diangkatnya dagu Cempaka dengan ujung jari tangan, hingga kedua gadis itu saling bertatapan.

"Kenapa Ki Lintuk, Cempaka?" tanya Pandan Wangi.

"Dia tertangkap. Aku tidak tahu, bagaimana nasibnya sekarang," sahut Cempaka perlahan.

Pandan Wangi mendengus geram tanpa sadar. Dan mereka semua terdiam, membuat suasana di dalam hutan itu jadi sunyi senyap. Cukup lama juga mereka terdiam membisu.

"Ayo.... Sebaiknya, kita temui yang lain dulu," ajak Ki Sangkala memecah kesunyian.

Pandan Wangi dan Cempaka hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian, mereka melangkah mengikuti Ki Sangkala yang sudah berjalan lebih dulu. Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan di samping Cempaka. Sesekali matanya melirik wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Terlihat jelas sekali kalau wajah cantik Cempaka terselimut mendung yang sangat tebal. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

***