Pendekar Rajawali Sakti 86 - Dendam Membara(2)


LIMA
Sejak melihat si gadis menyerbu ke arena, Rangga sudah langsung mencari Samiaji di antara kerumunan penonton dan memondongnya di pundak.

“Kita pulang saja ya? Sudah malam...,” ajak Rangga.

“Sebentar lagi, Paman! Ini lebih seru!” sahut Samiaji menolak.

Rangga memberikan beberapa alasan, tapi Samiaji tetap berkeras. Ketika terjadi perkelahian antara si gadis dengan salah seorang pemain akrobat, dia malah tertawa-tawa lucu.

“Lihat, Paman! Orang itu tidak pandai mengelak, dan dengan mudah kakak itu menjatuhkannya!”

“Hus, tidak boleh begitu!”

“Kenapa?”

“Tidak boleh menertawai orang yang sedang kesusahan. Sebaliknya, kita harus kasihan.

Samiaji mengangguk-angguk. Sepasang matanya yang kecil dan bulat kembali mengarah ke depan. Tetapi, perkelahian itu sudah dilerai Ki Teguh Narada. Dan, Samiaji tidak mengerti peristiwa rebutan pengikat kepala antara kakek itu dan si gadis. Sedangkan bagi Rangga, hal itu membuka matanya dan segera mengetahui kakek bertubuh kecil itu bukan orang sembarangan. Tenaga dalamnya termasuk tokoh-tokoh persilatan kelas atas.

Merasa puncak acara telah berlalu, Samiaji mulai mengantuk dan mengajak Rangga pulang. Rangga tidak menolak. Sebentar lagi acara memang akan selesai. Tinggal pertunjukan untuk orang-orang dewasa. Suara gamelan dan gendang mengiringi penari-penari berbaju minim berselendang tipis sebagai pengumpan lelaki iseng yang akan menari bersama mereka.

“Paman bisa seperti orang-orang itu?” tanya Samiaji ketika dalam perjalanan pulang.

“Hm, nanti akan Paman coba ya?” jawab Rangga. Rangga menghela napas pendek. Sengaja diajaknya Samiaji menonton pertunjukkan, padahal, tadi sore mereka sudah puas bermain. Samiaji tentu akan lelah dan langsung tidur setiba di rumah. Saat itulah, Rangga berniat pergi dari pondok Nyi Larasati. Bagaimanapun hatinya telah jatuh kasihan pada Samiaji. Samiaji sudah menganggapnya orang tua sendiri. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Lagi pula, mestinya dia tidak berada di situ tanpa ada hal penting yang bisa dikerjakan. Persoalan Juragan Bonteng dengan segala ulahnya telah selesai. Berarti, persoalan utama yang mengganggu keluarga Nyi Larasati telah selesai.

“Kenapa harus menunggu nanti, Paman? Tidak bisakah sekarang saja?” pinta si bocah.

“Sekarang sudah malam. Lagi pula, apakah kau tak puas dengan pertunjukan itu?”

“Aku ingin melihat Paman yang melakukannya.”

“Ya sudah, nanti saja. Sekarang, kita harus cepat-cepat tiba di rumah. Udara semakin dingin, dan kelamaan di jalan bisa membuatmu sakit Mengerti, kan?”

Samiaji menganggukkan kepala, bola matanya mulai meredup ketika Rangga menggendongnya. Tak lama kemudian, kepala Samiaji sudah terkulai di dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menepuk-nepuk pantatnya, dan sesekali membelai rambut Samiaji dengan kasih sayang. Baru saja Rangga mempercepat langkahnya agar tiba di rumah, ketika tiba-tiba sesosok tubuh ramping melesat dari atas cabang pohon, dan berdiri tegak di hadapannya. Rangga menghentikan langkah dan bersikap waspada.

“Hi hi hi...! Ternyata pemuda sombong sepertimu memiliki kasih sayang juga terhadap anak.”

Rangga menunjukkan wajah masam ketika tahu siapa yang muncul. Gadis berambut kuncir ke belakang itu, yang tadi mencari gara-gara dengannya.

“Apakah kau bicara padaku?” tanya Rangga sengaja ingin membuat gadis itu kesal.

“Dasar sial! Apa kau pikir di sini ada orang lain? Kalau bukan bicara denganmu, lalu bicara dengan siapa?”

Rangga tersenyum penuh kemenangan. Tetapi, wajahnya tetap terlihat datar. Bahkan, menunjukkan rasa tidak senang.

“Hm, syukurlah. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau sedang bicara denganku atau angin...,” sahutnya tenang.

Bibir gadis itu mengatup kesal. “Belum pernah kutemui pemuda sombong seperti kau....”

“Tentu saja, karena baru tadi pagi kau turun gunung,” potong Rangga.

Ucapan Pendekar Rajawali Sakti membuat hati gadis itu sangat panas. Wajahnya merah, dan kedua matanya melotot garang. Kepalan tangannya sudah siap menghajar Rangga. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menyorongkan telapak kirinya sambil berkata perlahan.

“Ssst! Tidak bisakah kau menahan sabar sampai anakku tidur nyenyak? Kasihan, sudah sejak tadi pagi dia bermain-main terus. Nanti, kalau sudah kukembalikan pada ibunya, kita bisa bermain-main sampai puas.”

“Pemuda ceriwis, tutup mulutmu! Rasanya, aku harus membuntungi kepalamu yang sangat sombong itu!” bentak gadis itu.

“Ssst! Jangan keras-keras bicaramu. Kalau nanti anakku bangun, tentu akan mengadu pada ibunya, dan kita bisa repot. Kalau memang kau tak mau, ya sudah. Aku tak memaksa. Nah, sekarang jangan halangi niatku untuk pulang,” ujar Rangga.

Gadis itu diam ketika Rangga berlalu dari hadapannya. Tapi, secara diam-diam diikutinya dari belakang sampai ke tempat kediaman Nyi Larasati.

***

“Yeaaa...!”
“Heh?!”

Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang tajam mendengar teriakan perkelahian dari arah rumah Nyi Larasati. Tubuhnya langsung digenjot dan berlari cepat untuk melihat apa yang terjadi. Pendekar Rajawali Sakti sangat heran melihat seorang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk menyerang Nyi Larasati dengan hebat. Di dekatnya, terlihat orang yang telah dikenal Rangga sedang mencengkeram dan memeluk tubuh Rara Ningrum penuh nafsu.

Perempuan itu meronta-ronta dan menjerit ketakutan. Tetapi, jeritannya tidak dihiraukan sama sekali oleh laki-laki separuh baya, yang terus menindih tubuhnya dan berusaha membuka seluruh pakaiannya dengan paksa. Setelah meletakkan tubuh Samiaji yang terbangun mendengar suara-suara ribut itu, tubuh Rangga langsung melesat ke arah laki-laki yang sedang berusaha melampiaskan nafsu setannya.

“Jahanam keparat! Agaknya kau tidak jera dengan pelajaran yang kuberikan!”

“Heh!” Laki-laki itu terkejut dan melepaskan pelukan pada Rara Ningrum.

Wuuut! Wuuut!

Sesosok tubuh telah bergerak cepat ke arahnya. Walaupun hantaman itu berhasil dielakkan dengan membuang tubuh ke samping, tapi tendangan ujung kaki Rangga menghantam telak di perutnya.

Bugkh!
“Aaakh...!”

Terdengar suara seperti nangka busuk jatuh dari pohon. Orang itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya terpental dua tombak sambil menyemburkan darah segar. Bagian bawah tubuhnya tersingkap ketika celananya robek lebar dan tak sempat diikat tadi.

“Ki Carok Genggong!”

Orang yang sedang bertarung dengan Nyi Larasati terkejut dan menghentikan serangan mendengar jeritan kawannya. Matanya langsung menatap tajam ke arah pemuda berbaju rompi putih yang baru datang itu.

“Phuih! Kaukah orangnya?!”

Rangga menaikkan alis. Pikirannya mengingat-ingat di mana pernah bertemu orang ini. Tapi sampai jemu mengingat, tidak juga ditemukannya. Lagi pula, pikirannya tak sempat lagi untuk mengingat berlama-lama. Laki-laki bermata sipit dan bertubuh agak bungkuk itu telah mengambil aba-aba untuk menyerang.

Sementara, Rara Ningrum yang telah terbebas segera bangkit dan membenahi pakaiannya yang tak karuan, buru-buru dihampiri perempuan tua yang bibirnya telah meneteskan darah segar akibat perkelahian tadi.

“Ibu tidak apa-apa?!” tanyanya cemas.

“Tidak apa-apa, Rara. Tak perlu cemas. Syukurlah pemuda itu cepat datang. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada kita. Oh..., aku memang tak berguna. Menghadapi bajingan busuk saja tak mampu, apalagi membalaskan dendam kita....”

“Jangan berpikir ke sana terus, Bu. Lebih baik istirahat, dan mengatur napas baik-baik!”

Nyi Larasati terdiam dan mengikuti anjuran putrinya. Napasnya yang memburu, perlahan-lahan mulai diatur kembali.

“Yeaaa...!” “Hiyaaa...!”

Begitu pikirannya kembali sadar, Nyi Larasati baru mengetahui kalau Rangga tengah bertarung dengan bekas lawannya. Sedangkan Ki Sempur Walang yang berusaha bangkit tertatih-tatih untuk mencuri kesempatan, telah dihadang seorang dara berbaju hijau berambut panjang dikuncir.

“Siapa gadis itu, Rara?”

“Entahlah, Bu. Aku juga tak tahu. Kedatangannya begitu tiba-tiba dan langsung menyerahkan Samiaji kepangkuanku. Lalu, dihadangnya laki-laki itu.”

“Samiaji cucuku, oh... kau tak apa-apa?!” jerit Nyi Larasati, seakan baru menyadari bocah kecil itu berada di dekatnya. Dipeluknya bocah itu, dan diciuminya sambil mengusap-usap kepala.

Tetapi, Samiaji hanya membalas sekilas sambil tersenyum kecil. Bola matanya tak berkedip menyaksikan pertarungan Rangga dengan orang jahat yang mengganggu ibu dan neneknya. Tak terbersit rasa takut sedikit pun di wajahnya, melihat kejadian aneh di depan matanya. Gerakan-gerakan mereka sulit diikuti karena terlalu cepat. Kepala Samiaji pun terasa pusing, namun tetap dipaksakannya untuk melihat.

Sementara, pertarungan antara Rangga dan lawannya terus berlanjut. Carok langsung mengeluarkan serangan-serangan yang cukup ganas dan mematikan. Tetapi, setelah mengamati jurus-jurus lawan, Rangga mulai mengerti kelemahannya dan mulai melancarkan serangan balasan!

“Agaknya kau sangat bernafsu membunuhku Sobat! Terpaksa aku harus melindungi diri dan memberi pelajaran padamu!” gertak Rangga.

“Huh! Bocah kencur, kau bisa berbuat apa? Kepalamu akan kutebas sebentar lagi!”

“Hiyaaa...!”
“Yeaaa...!”

Dalam suatu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti melompat di atas kepala lawan. Carok Genggong pun menyambutnya dengan kepalan tangan berisi tenaga dalam penuh. Dengan hanya sekali pukul, Carok Genggong yakin Rangga tidak akan berkutik lagi. Namun tidak diduganya, Rangga malah menangkis dengan kepalan tangan. Laki-laki bertubuh bungkuk itu mengeluh kesakitan, tangannya terasa perih seperti kesemutan.

Baru saja dirinya bersiaga untuk menghadapi serangan berikut, telapak kaki kanan Rangga sudah bergerak cepat menghantam dadanya. Seketika terdengar tulang rusuk Carok Genggong berderak patah. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak. Sebelum dirinya mampu bergerak bangkit, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat dengan serangan kilatnya.

“Hup!”
Plak!
Des!
“Akh...!”

Carok Genggong menjerit kesakitan ketika kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti menyodok perutnya dengan telak. Rangga berdiri tegak, persis di depan lawannya.

“Bangkitlah, Manusia Kejam! Bukankah kau ingin menebas leherku? Atau aku yang harus melakukannya pada kepalamu?!”

“Bedebah! Carok Genggong tak pernah dihina! Kau harus membayar mahal dengan jiwamu!”

“Hm....” Rangga memperhatikan tindakan lawannya. Carok Genggong berdiri tegak dengan kedua kaki ditekuk. Kedua kepalan tangannya berada di pinggang. Sesaat kemudian, terdengar rongga dadanya diisi udara. Namun, wajahnya meringis kesakitan sebelum kedua paru-parunya terisi penuh. Rasa sakit yang hebat menjalar akibat patahnya beberapa tulang rusuk. Tetapi, Carok Genggong tetap berusaha mengatasinya walaupun keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.

“Hup!” Telapak kanannya disorongkan ke depan. Terasa angin panas menjalar dari telapaknya. Rangga segera bergerak ke samping. Tetapi, Carak Genggong sudah melompat dan bersiap menghajar Pendekar Rajawali Sakti dengan telapak tangan yang kini berubah merah kecoklatan.

“Kau memang tak pantas dikasih hati lagi!” ujar Rangga sambil menyorongkan telapak tangan ke arah Carok Genggong. Dilihatnya lelaki tua itu sangat bernafsu menyerang.

Glarrr!
“Heh!"
“Aaa...!”

Carok Genggong memekik panjang, ketika tubuhnya terlempar beberapa tombak dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tak mampu dielakkan. Dan, napasnya putus beberapa saat kemudian.

Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti tak bermaksud membunuh lelaki tua itu. Tetapi, Carok Genggong terlalu memaksakan diri dan terus menggempurnya, meski keadaan tubuh sudah tak memungkinkan. Akibatnya, bisa diduga orang itu akan berbuat apa pun asal lawan tewas, atau setidaknya mereka tewas berdua. Tentu saja, Rangga tidak sudi melayani kenekatan itu. Pendekar Rajawali Sakti pun balas menyerang, dan ternyata mengakibatkan kematian pada lawan.

Bersamaan dengan itu, Ki Sempur Walang terlihat lari terbirit-birit. Rangga sengaja membiarkan dan berjalan menghampiri Nyi Larasati. Segera diperiksanya keadaan tubuh perempuan tua itu.

“Kau tak apa-apa, Nyi?”

“Tidak, cuma sedikit sesak. Tak lama lagi juga akan sembuh.”

Pendekar Rajawali Sakti baru terbuka matanya. Tidak disangka, perempuan tua ini mampu menghadapi Carok Genggong. Padahal, kepandaian laki-laki bertubuh sedikit bungkuk itu cukup tinggi. Ketika malam kemarin bercerita, Nyi Larasati tidak mengatakan apa-apa. Dirinya hanya bercerita mengenai tekanan dan gunjingan orang-orang desa terhadap keluarga mereka. Salah seorang yang sangat menginginkan kepergian mereka adalah Juragan Bonteng. Dan, selebihnya perempuan tua itu menceritakan niat busuk Ki Sempur Walang, yang mengincar Rara Ningrum dan bermaksud menodai.

“Siapakah gadis itu? Apakah dia kawanmu?” tanya Nyi Larasati, mengalihkan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.

“Gadis? Gadis mana?” Rangga melihat berkeliling, tapi gadis yang dikatakan perempuan tua itu tak terlihat batang hidungnya.

“Dia sudah pergi....”

“Bagaimana rupanya?”

“Masih muda, cantik dan berambut panjang dikuncir ke belakang, serta memakai baju hijau.”

“Hm...,” Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Nyi Larasati.

“Kawanmu?”

Pendekar Rajawali Sakti menggeleng. Nyi Larasati pun tak bersemangat lagi mencari tahu, melihat reaksi Rangga yang segan menjawab.

“Ada yang ingin kubicarakan padamu, Nyi...,” ucap pemuda itu ketika melihat Nyi Larasati bermaksud melangkah ke dalam rumah.

“Persoalan apa?” tanya Nyi Larasati menghentikan langkah, dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kecurigaan padanya.

“Kulihat tadi kau memiliki ilmu silat yang tak rendah. Mengapa kau menyembunyikannya dariku?”

Nyi Larasati tidak langsung menjawab, dan diam beberapa saat sebelum berkata lirih.

“Masuklah ke dalam. Hari telah larut malam...”

“Silakan kalian lebih dulu. Aku akan menyelesaikan persoalan malam ini juga kepada Juragan Bonteng. Orang itu harus memegang janjinya!” geram Rangga sambil berlalu dari tempat itu.

“Mau ke mana Paman?!”

Rangga tak menjawab teriakan bocah itu. Begitu juga ketika Nyi Larasati dan Rara Ningrum berniat menahan.

“Juragan Bonteng sangat licik. Kau tunggu di sini, Rara. Aku akan membantu pemuda itu!” ujar Nyi Larasati segera berkelebat menyusul Pendekar Rajawali Sakti.

Rara Ningrum tak mampu menjawab. Wajahnya terlihat cemas sambil memeluk Samiaji. Matanya sayu memandang ke arah hilangnya kedua orang tadi. Tetapi, baru saja kakinya akan melangkah ke dalam, tiba-tiba sesosok tubuh bergerak cepat mengayunkan tangan ke lehernya.

***
ENAM
“Ehhh...,” Rara Ningrum mengeluh pendek. Habislah riwayatnya, dibunuh lawan tak dikenal Kedua matanya terpejam sambil memeluk Samiaji erat-erat. Namun sekian lama ditunggu, tidak juga terasa apa-apa di lehernya. Rara Ningrum memberanikan diri membuka kelopak mata. Di depannya, telah berdiri seorang gadis cantik yang tadi ikut membantu Rangga menghajar Ki Sempur Walang.

“Oh, kau rupanya. Maaf, kau mengagetkanku, Nisanak, terima kasih pertolonganmu tadi...,”

Rara Ningrum berusaha tersenyum dan mempersilakan tamunya masuk ke dalam.

“Tak perlu! Aku hanya ingin tahu, apakah kau istri pemuda itu?” tanya si gadis ketus.

“Pemuda? Pemuda yang mana?”

“Jangan berbelit-belit! Aku bisa membunuhmu saat ini juga!” bentak gadis berbaju hijau itu.

“Nisanak, kau boleh membunuh kami sekarang juga. Tapi aku tak mengerti apa yang kau maksud....”

“Sial! He, buka telingamu lebar-lebar! Pemuda berompi putih itu suamimu?!”

Rara Ningrum baru mengerti apa yang dimaksud “Dia bukan apa-apaku...,” jawabnya perlahan.

“Hm, lalu bocah itu?” tunjuk si gadis kepada Samiaji.

“Ini anakku....”

“Kenapa pemuda itu berada di sini dan sangat mengkhawatirkan dirimu? Apakah suamimu sudah mati, dan sekarang kau mencoba merayunya?”

“Nisanak, kau begitu memperhatikan Rangga, apakah dia kawan dekatmu?” Rara Ningrum balik bertanya.

“Hm... itu bukan urusanmu!” sahut si gadis ketus, segera berlalu dari situ.

Gadis yang bernama Wulandari itu, memang murid Ki Palat Diga yang sejak tadi menguntit Rangga. Ketika Pendekar Rajawali Sakti telah membereskan lawannya, secepat itu pula ditinggalkannya Ki Sempur Walang yang nyaris meninggal dihajar habis-habisan. Dan, ketika Rangga serta Nyi Larasati meninggalkan tempat itu. Wulandari juga tahu mereka akan menuju tempat kediaman Juragan Bonteng.

Wulandari bersama gurunya masih baru di sini. Tak heran, kalau dirinya tidak mengenal Juragan Bonteng. Bermula dari rasa iseng menguntit Pendekar Rajawali Sakti, akhirnya malah merasa penasaran melihat kepandaian pemuda itu sangat tinggi dan luar biasa. Bahkan, dirinya tak yakin mampu mengimbangi pemuda itu. Tadinya Wulandari berniat mengikuti Rangga. Namun, dirasa perlu menemui gurunya terlebih dulu di tempat kediaman Ki Teguh Narada. 

***

“Silakan masuk! Jangan malu-malu...,” ujar orang tua bertubuh kecil itu ketika membukakan pintu, dan melihat seorang gadis cantik diam mematung.

“Kau harus minta maaf, lalu memberi hormat, baru boleh masuk. Kalau membantah kau tak akan lepas dari hukumanku!” timpal gurunya dari dalam.

Meskipun merasa kesal, gadis yang ternyata Wulandari itu terpaksa melakukannya.

“Duduklah. Masalah apa lagi yang kau buat di luaran?” tanya Ki Palat Diga seperti tahu kelakuan muridnya.

“Aku tidak berbuat macam-macam!” sahut Wulandari ketus. Wajahnya terlihat masam.

“Hm, kalau tidak ada urusan penting, mana mungkin kau ke sini menemuiku...!”

Bola mata Wulandari melirik Ki Teguh Narada, kemudian kembali memandang gurunya.

“Ada berita penting yang kubawa. Tapi hanya akan kukatakan kalau kita berdua....”

“He, sobat baruku ini bisa dipercaya. Kau boleh mengatakan di hadapannya juga.”

Wulandari ragu mengatakan niat hatinya. Tapi ketika gurunya mendesak, keluar juga ucapan perlahan dari mulutnya.

“Aku baru menyaksikan beberapa orang tokoh yang sedang bertarung. Satu dari mereka memiliki ilmu silat tinggi dan mampu mengalahkan lawannya....”

“Hm, apa yang ingin kau sampaikan sesungguhnya?” tanya Ki Palat Diga enggan berpanjang lebar.

Wulandari kesal melihat gurunya belum mengerti juga. “Bukankah Guru mengajakku berpetualang untuk mencari musuh besar itu?” tegurnya mengingatkan.

“Maksudmu si keparat itu berada di sini?!” Bola mata Ki Palat Diga terbelalak. Wajahnya berbias senang bercampur dendam.

Ki Teguh Narada pun merasa kesenangan. Keduanya menatap Wulandari dan berharap gadis itu meneruskan kata-katanya. Tapi, gadis yang baru menjelang dewasa itu malah terdiam melihat perubahan mereka. Hatinya bingung, dan bibirnya terkatup rapat. Bola matanya memperhatikan mereka bergantian.

“Ayo, katakan! Apakah yang kau maksud adalah si keparat Durgasana?!” bentak Ki Palat Diga tak sadar.

“Eh, ng... bukan. ..”

“Lalu siapa?”

Wulandari segera menceritakan ciri-ciri Rangga lengkap dan jelas.

“Sial! Kukira kau membawa berita penting!” dengus Ki Palat Diga kesal.

“Tapi, justru ingin kusampaikan kecurigaanku bahwa dia muridnya!” dalih Wulandari tak mau kalah.

Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada saling berpandangan. Lalu, orang tua bermuka merah yang suka menenggak arak itu mengangguk-angguk.

“Bisa jadi...,” ujarnya perlahan.

“Di mana pemuda itu sekarang?”

“Tadi mereka bertarung di depan sebuah rumah, di dalam desa sana. Tetapi, sekarang pemuda itu sedang mendatangi tempat Juragan Bonteng. Urusan itu pasti ada sangkut pautnya dengan Juragan Bonteng.”

Ki Teguh Narada mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, aku mengenalnya. Pemilik rumah yang ku tempati mengatakannya sebagai raja kecil di desa ini. Bahkan, ketika aku meminta izin membawa rombongan penghibur, justru kepala desa meminta izin dulu darinya,” katanya menjelaskan.

“Hm, jadi kaukah ketua rombongan penghibur ini?” tanya Wulandari.

Betul,” sahut Ki Teguh Narada.

“Untuk apa kau ikut campur urusan kami?”

“Wulan, jaga kata-katamu!” bentak Ki Palat Diga.

Wulandari terdiam. Kepalanya ditundukkan. Ujung bajunya dipermainkan untuk menyembunyikan hati yang kesal.

“Kau tahu apa tentang orang tua ini? Dia bukan orang sembarangan, dan mempunyai urusan yang sama dengan gurumu?!”

“Sudahlah, Ki Palat. Jangan terlalu keras pada muridmu. Dia masih muda, dan jiwanya masih bergejolak. Wajar kalau kata-katanya selalu meledak-ledak,” sahut Ki Teguh Narada menengahi.

Ki Palat Diga masih bersungut-sungut, memandangi murid satu-satunya dengan pandangan tajam. Arak di dalam gucinya berkali-kali ditenggak hingga mukanya terlihat semakin merah saja.

“Ki Palat, aku ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di rumah Juragan Bonteng. Kalau pemuda itu sampai turun tangan, tentunya persoalan itu tidak sepele,” duga Ki Teguh Narada.

“He, kau mengenal pemuda itu?” tanya Ki Palat Diga ikut bangkit.

“Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi kalau mencocokkan dengan keterangan muridmu, kuduga pemuda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti....”

“Pendekar Rajawali Sakti? Hm, pernah kudengar namanya. Pemuda sakti itu banyak membunuh tokoh-tokoh sesat rimba persilatan. Tapi, untuk apa dirinya mengurusi tuan tanah seperti Juragan Bonteng?”

“Itulah yang ingin kuketahui. Persoalan ini tentu tidak sekadar mengurusi Juragan Bonteng. Apalagi, muridmu mengatakan pemuda itu telah bertarung dengan seorang tokoh berilmu tinggi....”

“Hm aku jadi semakin tertarik, ingin pergi ke tempat Juragan Bonteng. Mudah-mudahan aku dapat menemukan kakak seperguruanku yang celaka itu!” dengus Ki Palat Diga, dengan wajah memancarkan dendam membara.

“Itulah alasanku membawa rombongan kemari, sebab kudengar dirinya bersembunyi tak jauh dari tempat ini....”

“Marilah, Ki Teguh. Untuk apa membuang waktu?” ajak Ki Palat Diga.

Ki Tegu Narada mengikuti dari belakang. Dan, Wulandari semakin kesal saja karena tidak dipedulikan kedua orang tua itu.

“Guru, aku ikut!” ujarnya setengah berteriak.

“Tidak. Kau tinggal di sini saja, mengawasi anak buah Ki Teguh Narada. Bantu mereka jika ada persoalan!” pesan Ki Palat Diga, cepat dan tegas.

Tetapi ketika kedua orang tua itu menghilang dari pandangan, Wulandari mengendap-endap keluar sambil menutup pintu. Dan tubuhnya segera berkelebat cepat setelah bertanya-tanya pada seorang penonton letak kediaman Juragan Bonteng. 

***

Senja baru berlalu ketika sesosok tubuh melompat dengan ringan ke atas tembok istana. Bangunan setinggi lebih kurang dua tombak itu mudah saja dicapai. Bola matanya yang cekung melirik ke sana kemari, mencari kelengahan para prajurit yang sedang bertugas. Tubuhnya yang kurus seperti melayang terbang ketika melompat ke atas wuwungan.

Bajunya yang hitam longgar berkibar-kibar seperti sayap kelelawar. Dan, rambutnya yang putih panjang meriap tertiup angin. Dilihat dari dekat, wajah orang tua itu tidak terlalu seram. Kerut-merut di wajahnya memang sudah terlihat, namun masih tampak bekas-bekas ketampanan di masa mudanya.

Tak lama kemudian, tubuhnya melayang turun dan merapat di balik tembok tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Padahal, saat itu lima orang petugas jaga sedang patroli.

Wuttt!

Tubuhnya kembali bergerak ringan melewati sebuah wuwungan atap. Dan, tiba di suatu tempat yang penuh bunga-bunga, serta kolam berair jernih. Namun laki-laki tua itu agaknya tak tertarik dengan suasana romantis. Tubuhnya kembali merayap di bawah dinding ruangan, sambil sesekali mengintip lewat jendela. Dari gerakan yang dilakukan, terlihat langkahnya kurang sempurna.

Kaki kirinya ternyata lebih pendek dari kaki kanan, sehingga bila berjalan terlihat timpang. Tetapi melihat caranya bergerak, jelas orang tua ini bukan orang sembarangan. Perlahan dibukanya sebuah jendela dan menerobos masuk ke dalam. Langkahnya menuju sebuah tempat tidur berkelambu sutera merah jambu. Di dalamnya, tergolek seorang wanita muda berwajah manis dan berkulit halus. Kedua betis yang tersingkap membuat debaran jantung lelaki tua itu semakin kencang. Pinggul yang besar dan pinggang yang ramping, serta buah dada yang padat membuatnya beberapa kali menelan ludah.

“Mayasari....

“Nghhh...,” gadis itu menggeliat sambil membalikkan tubuh. Bola matanya yang indah terkejut kaget melihat seorang laki-laki tua berada di kamarnya. Sama sekali tak dikenalinya orang tua itu.

“Tolong...!”

Tuk! Gadis itu mengeluh kecil ketika dua jari laki-laki tua itu menotok urat suara dan urat geraknya. Kemudian, tubuhnya dipondong keluar dari ruangan itu.

“He he he...! Diamlah, Manis. Kau akan senang dalam pelukan Ki Timpang. Kita akan mencari tempat yang aman dan jauh dari istana ini.”

“Heh!”

“Ada orang menyelinap ke kamar Putri Mayasari!”

“Putri Mayasari hilang!”

“Kejar...!”

“Tangkap penculik itu...!”

Suara hingar-bingar para prajurit kerajaan yang sedang berjaga saling bersahutan. Mereka melihat sesosok bayangan melesat dari kamar putri kerajaan. Penjaga yang berada di pintu kamar segera memeriksa, dan melihat putri junjungannya tak ada di dalam kamar. Istana kerajaan heboh seketika. Prajurit-prajurit kerajaan langsung mengejar bayangan yang berkelebat tadi.

“Sial!” maki laki-laki yang menyebut dirinya Ki Timpang ketika kehadirannya diketahui. Tubuhnya melayang dari satu wuwungan ke wuwungan lain dengan gerakan ringan. Meski pundaknya memondong putri kerajaan, tapi tak terlihat kesulitan sedikit pun.

“Heup!”

“Kecoa-kecoa busuk! Mana mungkin kalian mampu mengejarku. He he he...! Dasar orang-orang dungu!” dengus Ki Timpang setelah menjejakkan kaki di luar bangunan istana.

“Orang tua busuk! Kau pikir bisa lolos dariku?!” bentak seorang laki-laki tinggi besar yang memakai baju kebesaran kerajaan.

Ki Timpang mencoba mengamati. Sesaat kemudian, mulutnya terkekeh melihat lelaki yang menggenggam pedang besar di tangan kanan.

“He he he...! Hebat, hebat...! Tak percuma kerajaan busuk ini memiliki panglima perang sepertimu. Ternyata, kau bisa diandalkan juga. Tetapi, mencegah urusan Ki Timpang hanya mencari penyakit sendiri....”

“Hm, jadi kau yang bernama Ki Timpang? Orang tua busuk yang masih suka daun muda. Tetapi, kali ini kau salah alamat. Putri kerajaan tak bisa kau samakan dengan yang lain!” sahut orang bertubuh tinggi besar itu gusar.

“Ha ha ha...! Boleh juga gertakanmu. Tetapi aku mengatakan yang sebenarnya. Nah, kalau kau memang memiliki kepandaian, ambillah Cah Ayu ini dari tanganku....”

“Kisanak, jangan membuat urusan lebih panjang. Kau serahkan Putri Mayasari, dan kami akan melupakan perbuatanmu!” panglima kerajaan masih berbaik hati memberikan pilihan.

Ki Timpang hanya terkekeh kecil. Sepasang matanya yang cekung memperhatikan puluhan prajurit kerajaan yang telah mengepung tempat itu. Sementara, yang lainnya masih terus berdatangan.

“Bagaimana, Ki Timpang? Kau menerima tawaranku?” tanya panglima kerajaan merasa menang, mengira orang tua itu mengalah dan menerima usulnya.

“Ha ha ha...! Sekali gadis ini ada dalam pangkuanku, maka tak seorang pun dapat mengamininya. Kecuali, mereka yang sudah bosan hidup!”

“Keparat! Kalau begitu, kau memang tak bisa dikasih hati. Serang orang ini!” perintah panglima kerajaan pada prajurit-prajuritnya. “Yeaaa...!”

“He he he...! Ke sinilah kalian semua, kalau ingin mampus di tanganku!”

Wuttt!
Plak!
Plak!
Begkh!
“Aaa...!”

Tubuh Ki Timpang bergerak ringan menghindari serangan-serangan prajurit kerajaan. Tetapi, pada saat bersamaan kedua kakinya juga menghajar kian kema-ri, menghantam lawan-lawan secara tak terduga. Dalam sekejap saja, beberapa prajurit kerajaan terjungkal sambil menjerit. Ki Tampang terkekeh-kekeh kegirangan. Pengeroyokan yang dilakukan terhadapnya cuma dianggap permainan saja. Tentu, hal ini membuat panglima kerajaan geram. Langsung diperintahkan anak buahnya mundur.

“Orang tua busuk, hadapilah aku!” Tantangnya gusar, bersiap menempur lawan.

“He he he...! Jangan mendekat! Kalau tidak, Cah Ayu ini akan mampus sekarang juga!” Ki Timpang mengangkat tubuh Putri Mayasari dan mengancam hendak membantingnya. Ancaman itu membuat panglima kerajaan tak mampu berbuat apa-apa. Niat menyerang lawan diurungkannya.

“Pengecut hina! apakah keberanianmu cuma mengancam saja?”

“He he he...! Panglima goblok! Kau pikir dirimu siapa, hingga berani menganggap rendah Ki Timpang? Aku hanya lagi malas bermain-main denganmu. Nanti, kalau urusanku sudah selesai dengan gadis ini, akan kucari kau untuk menagih nyawamu yang kutitipkan sekarang. Nah, sekarang jangan ikuti aku. Kalau tidak, aku tak segan-segan membunuh Cah Ayu ini!”

Selesai berkata demikian, Ki Timpang memperhatikan mereka satu persatu. Semuanya diam mematung dengan sikap waspada. Kemudian, tiba-tiba tubuh orang itu melesat dan berlari cepat meninggalkan mereka. Beberapa saat kemudian, panglima kerajaan baru memerintahkan anak buahnya mengejar orang tua itu.

***
TUJUH
Tempat kediaman Juragan Bonteng terlihat sepi bagai kuburan. Bangunan besar dengan halaman lebar berpagar tembok setinggi satu tombak itu benar-benar sunyi. Hanya terlihat lampu-lampu di halaman depan dan di dalam gedung.

Rangga tidak berpikir panjang lagi. Kakinya melompat ke atas pagar tembok, dan berjalan menyusuri hingga tiba di dekat bangunan. Kemudian, kakinya melompat ringan ke atas wuwungan, dan mencari kamar orang yang dituju. Tetapi, belum juga niatnya tercapai mengintip lewat celah-celah genteng, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya.

“Kisanak yang di atas, silakan turun. Mengapa harus bersusah-payah mencari orang lewat jalan yang sulit?"

“Heh!” Di halaman depan, telah berdiri tegak lima sosok tubuh tak dikenal. Mereka berbaris dengan kedua tangan merapat di dada. Perlahan Rangga mendekati, dan turun persis di hadapan mereka. Di beranda depan, terlihat Juragan Bonteng duduk tenang. Di sampingnya berdiri Cagak Layung beserta empat orang anak buahnya

“Manusia keparat! Kutagih janjimu malam ini. Seorang budakmu bernama Carok Genggong telah kukirim ke akhirat!” geram Rangga melihat lelaki berperut buncit itu duduk tenang.

Juragan Bonteng sedikit terkejut mendengar berita itu. Pantas pemuda ini bisa kemari. Tetapi, mengapa Ki Sempur Walang tak memberitahukannya? Orang itu malah tak kelihatan batang hidungnya sampai saat ini. Beruntung, Cagak Layung telah berhasil membawa kawan-kawannya ke tempat ini, sehingga hatinya sedikit lega.

“He he he...! Bocah ingusan, kau pikir bisa menekanku seenak jidatmu?! Kau bermimpi bisa mengatur Juragan Bonteng,” jawab laki-laki berperut buncit dan bermata sipit sombong.

“Hm, begitukah?” dengus Rangga. Selesai bertanya begitu, tubuhnya melesat cepat ke arah Juragan Bonteng. Tetapi pada saat bersamaan, kelima orang yang berada di depannya bergerak menghalangi sambil menyerang.

“Yeaaa...!”
Plak!
Plak!

Rangga terkejut. Serangan kelima orang itu amat kompak dan kuat sekali. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari serangan kelima lawan, sambil sesekali membalas. Tetapi, dengan mudah mereka menghindari. Kemudian, mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan.

“Keselamatan Juragan Bonteng di tangan kami. Kalau kau berbuat macam-macam padanya, langkahi dulu mayat kami berlima,” tantang salah seorang di antara mereka yang dahinya licin dan berambut sedikit

“Siapa kalian? Dan, mengapa mencampuri urusanku?”

“Buka telingamu lebar-lebar. Namaku Giri Manuk, dan keempat orang ini adalah kawan-kawanku“ sahut orang berdahi lebar dan licin itu. Sepasang matanya yang bulat dan besar menunjukkan kesombongan hati ketika memperkenalkan dirinya.

“Giri Manuk, aku tak mempunyai urusan denganmu. Kuharap, tidak mencari urusan denganku?”

“Tidak usah banyak bicara, Sobat. Bila kau berani menyentuh Juragan Bonteng, kami tidak akan berdiam diri!”

“Hm, rupanya kalian anjing-anjing penjaga manusia busuk itu...,” dengus Rangga sinis.

“Keparat! Kau berani berkata begitu padaku?! Terimalah kematianmu!” Giri Manuk langsung berkelebat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, keempat kawannya memperhatikan dengan waspada.

“Yeaaa...!"

Rangga yang memang sejak tadi telah menduga, menyambutnya dengan tenang. Giri Manuk tidak memakai senjata apa pun, dan mengandalkan jurus-jurus tangan kosong yang ampuh. Gerakan tangannya sangat cepat, dan berisi tenaga dalam yang kuat Jika Pendekar Rajawali Sakti tidak menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari, tentu serangan Giri Manuk sudah berhasil mengenainya sejak tadi.

“Hm, tak kusangka kau memiliki kemampuan yang hebat juga, Bocah. Tetapi, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” dengus Giri Manuk geram.

Rangga tersenyum tipis. Sesungguhnya, Giri Manuk masih tergolong muda. Kemungkinan, usianya sendiri belum lewat tiga puluh lima tahun. Tetapi, seenaknya saja menyebut Rangga bocah. Sebutan itu tidak akan berpengaruh apa-apa, jika Giri Manuk berharap Pendekar Rajawali Sakti akan marah mendengar panggilannya.

“Yeaaa...!” Giri Manuk berteriak sambil melontarkan serangan.

Plak!
Des!
“Akh...!”

Giri Manuk mengeluh ketika rahangnya terkena hajaran kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua buah giginya rontok, dan darah mengucur deras dari luka itu. Serangan yang tak terduga itu membuat hati Giri Manuk sangat penasaran. Bagaimana mungkin pemuda yang diserangnya habis-habisan, tiba-tiba mampu melejit dan berbalik menghajar dirinya!

“Giri Manuk, perlukah kami turun tangan meringkus bocah itu?” tanya salah seorang kawannya dengan nada gusar.

“Tak perlu! Aku masih sanggup meringkus bocah ini dengan tanganku sendiri!” sahut Giri Manuk sombong. Matanya kembali memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan bengis. “Bocah, tak sembarangan orang mampu memunahkan jurus ‘Membelah Badai Topan’ milikku. Kau bukan hanya berhasil memunahkannya, tetapi juga mampu membalas. Itu cukup hebat Tapi, jangan bergirang hati dulu. Kali ini kau tak akan lolos dari maut. Sebutkanlah gelar yang kau sandang agar bisa kutuliskan pada batu nisanmu nanti!” ujar Giri Manuk jumawa.

“Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Boleh kau ingat itu nanti setelah berada di akhirat!” jawab Rangga datar, namun cukup menusuk.

Seperti tak percaya pada pendengarannya, Giri Manuk memandang Rangga lekat-lekat Sebagai orang persilatan, tentu saja julukan pemuda itu sangat dikenalnya.

“Hm, jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti? Bagus! Sering kudengar nama besarmu, dan tanganku sudah gatal ingin menjajal kehebatan yang sering dibesar-besarkan orang,” Giri Manuk berusaha menyembunyikan perasaan takutnya dengan berujar sesombong itu.

“Giri Manuk, tak usah banyak bicara. Silakan, mulai!”

Mendengar tantangan Pendekar Rajawali Sakti, kemarahan Giri Manuk semakin menjadi. Kali ini, dia tak malu mengajak keempat orang kawannya untuk membantu. Mereka sudah bersiap-siap akan bertarung, ketika tiba-tiba sesosok tubuh ramping berkelebat di tempat itu dan langsung menyerang Giri Manuk.

“Manusia jahanam! Bertahun-tahun kau kucari, akhirnya kujumpai di sini. Terimalah kematianmu!”

“Nyi Larasati, jangan...!” Rangga segera berteriak menahan, begitu mengenal tubuh yang baru tiba.

Tetapi, peringatannya sudah terlambat Perempuan tua itu telah terlibat pertarungan dengan kelima orang lawan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Rangga mengetahui kemampuan perempuan tua itu tidak seberapa. Menghadapi Carok Genggong saja, dirinya sudah kesulitan dan dihajar habis-habisan.

Apalagi berhadapan dengan kelima orang lawannya itu, yang memiliki kepandaian rata-rata di atas Carok Genggong. Kekhawatiran Rangga segera terbukti. Belum juga Pendekar Rajawali Sakti memberi bantuan, Nyi Larasati sudah memekik kesakitan dan tubuhnya terjungkal menghantam tembok pagar. Buru-buru dihampirinya perempuan tua itu.

“Nyi Larasati, kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

Napas perempuan tua itu megap-megap, dan tubuhnya terasa sulit digerakkan. Pandangannya sayu menatap ke arah Rangga. Dan, tangannya terulur lemah memegang pundak Pendekar Rajawali Sakti.

“Rangga, maukah kau menolong kami sekali lagi?” Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala. “Tahukah kau mengapa seluruh penduduk desa mengejek Samiaji sebagai anak haram? Hinaan itu memang betul, dan tak bisa dibantah. Tetapi, semua itu bukan salah Rara Ningrum. Si keparat Giri Manuk itu yang menodainya, hingga timbul benih dalam perut Rara Ningrum. Tetapi, meski Samiaji hasil perbuatan yang menyakitkan hati, Rara Ningrum tetap berniat merawatnya. Kini, tolonglah membalaskan dendam dan sakit hati Rara Ningrum kepada si keparat itu....”

“Jangan khawatir, Nyi Larasati. Giri Manuk akan kubuat menyesal!” janji Rangga geram.

“Tolonglah, Rangga. Aku telah bersumpah pada diriku sendiri, lebih baik mati daripada tak mampu membalaskan sakit hati putri ku. Orang itu betul-betul keparat laknat! Setelah menodai putri ku secara paksa dengan seenaknya ditinggal begitu saja!” jelas Nyi Larasati berulang kali.

Rangga pun berulang-ulang menganggukkan kepala, dan menenangkan hati perempuan tua itu. Kemudian, tubuhnya berbalik menghadap kelima orang lawannya.

“Giri Manuk, kau dengar kata-kata perempuan tua itu? Dia telah bercerita banyak tentangmu. Tapi, baru kali ini aku berjumpa dengan orang yang dimaksud. Perbuatanmu sungguh keji dan terkutuk. Kau tidak akan lolos dari tanganku!”

“Huh, Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh berani kau berkata begitu padaku. Buktikanlah, kalau memang kau mampu mengalahkan kami!” tantang Giri Manuk sambil mendengus sinis.

Rangga tidak banyak bicara lagi. Sambil memainkan rangkaian jurus Rajawali Sakti, tangannya mulai menyerang kelima lawan yang telah bersiap-siap sejak tadi.

“Yeaaa...!”
Plak!
Wuttt!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar bagai gasing beberapa saat. Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari, terlihat dua orang lawan memapaki serangannya. Rangga berputar, dan menghantamkan kepalan tangan ke muka dua orang lawan yang berusaha membokong dari belakang.

Begkh!
“Akh...!”

Keduanya menjerit kesakitan. Tulang hidung mereka patah dan mengucurkan darah. Kalau saja Rangga bersungguh-sungguh mengeluarkan seluruh tenaga, mungkin kepala kedua lawannya akan pecah dalam sekali pukul.

“Keparat! Terimalah jurus 'Tangan Maut' ini!” bentak Giri Manuk geram. Tubuhnya bergerak menghantamkan telapak tangan ke dada lawan.

Rangga melihat serangan lawan sangat sederhana, dan hal itu tentu mudah dihindari. Dengan bergerak sedikit ke belakang, maka pukulan lawan akan lewat beberapa jengkal. Tetapi, betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti melihat telapak tangan lawan seperti memanjang dan cepat menghantamnya.

Begkh!
“Aaakh...!”

Rangga mengeluh kesakitan ketika tubuhnya harus jungkir balik menghindari serangan lawan. Dua orang kawan Giri Manuk telah menunggu, dan menyambut Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut mereka. Rangga tak punya pilihan, selain memapakinya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Plak!
Plak!
Begkh!
“Aaa...!”

Kedua lawannya terjungkal ketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah yang langsung menghantam mereka. Mulut mereka menjerit kesakitan dengan tubuh menggelepar-gelepar di tanah. Rangga belum sempat memastikan kematian keduanya, tiba-tiba Giri Manuk telah kembali menyerang dengan jurus-jurus Tangan Mautnya yang unik dan hebat Kali ini. Rangga sungguh berhati-hati menghadapi serangan lawan. Jika menganggap remeh, tubuhnya akan terhajar kembali seperti tadi.

Sementara itu Juragan Bonteng melihat kelima orang panggilannya dibuat jatuh bangun oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dirinya pun bersiap-siap masuk ke dalam bersama Cagak Layung dan keempat anak buahnya. Niatnya ingin kabur dari ancaman pemuda berompi putih itu. Namun, ketika berada di dalam ruangan tamu, laki-laki berperut buncit itu terkejut melihat dua orang laki-laki tua sedang berpesta arak di meja.

“He, Juragan Bonteng. Syukur kau datang. Mau ke mana kau? Kenapa buru-buru meninggalkan tontonan menarik di depan sana?” tanya salah seorang dari mereka.

Juragan Bonteng mengamati orang tua itu. Bajunya kumal seperti pengemis, dan mukanya merah. Usianya sekitar enam puluh tahun. Tapi, orang tua bertubuh kecil ini serasa pernah dikenalnya. Usia mereka memang tidak terpaut jauh.

“Siapa kalian, dan mengapa berada di ruangan ku?” tanyanya gusar.

“Apakah kau keberatan bila kami menumpang minum-minum di sini?” tanya orang tua bermuka merah yang tak lain Ki Palat Diga.

Sementara, Ki Teguh Narada duduk di hadapannya. Mereka tahu di halaman depan tengah terjadi pertarungan seru. Maka, mereka menyelinap ke ruangan ini lewat pintu belakang, setelah membungkam beberapa orang pembantu rumah.

Cagak Layung yang melihat sikap kedua orang tua itu sangat menjengkelkan, sudah langsung mencabut goloknya. Bersama keempat kawannya bergerak mendekati dengan sikap mengancam. Tetapi, belum juga mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang tua itu sudah bergerak cepat. Tiba-tiba, kelihatan orang itu sudah menjerit kesakitan dan terpental menghantam dinding ruangan.

Dua orang langsung pingsan, dua la-gi merangkak-rangkak sambil merasakan sakit yang sangat hebat di sekujur tubuhnya. Sementara Cagak Layung berusaha menghilangkan rasa sakit di tubuhnya, dan sudah kembali menyerang lawan dengan kalap.

“Keparat! Kubunuh kalian...!”

“Diamlah, Sobat. Biar kuberi penjelasan tikus got ini!” ujar Ki Palat Diga pada rekannya.

“Hup!”
Plak!
Bletak!

Tangan kiri Ki Palat Diga menangkis serangan lawan, sementara guci arak di tangan kanannya menghajar ke batok kepala Cagak Layung. Bersamaan dengan itu, lutut kanannya menghajar lambung. Sehingga....

Begkh!
“Aaa...!”

Cagak Layung langsung semaput ketika tubuhnya terjungkal menghantam dinding.

“Eee... mau ke mana kau?”

Tubuh Juragan Bonteng menggigil ketakutan, dan berusaha kabur. Tetapi, Ki Teguh Narada sudah bergerak menghalangi.

“Eh, ng..., kau mau berbuat apa padaku?”

“Menurutmu apa yang pantas?”

“Di antara kita tak ada urusan apa-apa, dan aku tak pernah mengenal kalian sebelumnya....”

“Siapa yang berpikir ke arah itu? Kenal atau tidak, apa peduli kami?” sahut Ki Teguh Narada tersenyum kecil.

“Sebaiknya kita apakan babi gempal ini, Sobat?” tanya Ki Palat Diga dari arah belakang Juragan Bonteng

“Bagaimana kalau kita sate saja?”

“Hm.., lumayan juga. Sudah lama sekali aku tak makan sate manusia lintah darat sepertinya!”

Kedua orang tua itu berjalan menghampiri. Wajah Juragan Bonteng pun semakin pucat Tubuhnya menyandar ke dinding, dan pandangannya silih berganti melihat kedua orang tua itu. Dalam bayangannya, wajah kedua orang tua yang senyum-senyum itu seperti malaikat maut yang sesaat lagi akan menjemput ajalnya.

“Coba ku rasakan kulit dagingnya...,” ujar Ki Palat Diga sambil mengulurkan kepalan tangan.

“Jaaa...!”
Buk!
“Akh!”

“Cukup alot juga!” ejek Ki Palat Diga sambil tersenyum-senyum, melihat tubuh Juragan Bonteng ambruk ke lantai sambil menjerit kesakitan menerima pukulan keras di bahunya tadi.

“Bangun! Aku juga ingin merasakan bagaimana manusia busuk sepertimu mampu berbuat sewenang-wenang pada orang lain!” sentak Ki Teguh Narada sambil menarik ujung baju laki-laki berperut besar itu.

Juragan Bonteng meringis kesakitan ketika tubuhnya terangkat tinggi dan menghantam genteng rumahnya. Juragan Bonteng kembali menjerit keras. Beberapa buah genteng tampak pecah, seperti kepalanya yang juga bocor mengeluarkan darah. Belum lagi, tubuhnya yang besar itu harus jatuh berdebum ke lantai. Kedua orang itu baru saja akan kembali menghajar, ketika mereka mendengar suara tertawa lebar yang memekakkan telinga dari arah luar.

“Orang yang kita tunggu telah datang, Sobat,” duga Ki Palat Diga.

“Hm, kurasa juga begitu. Mari kita ke depan untuk bergabung,” sahut Ki Teguh Narada. Tangannya bergerak cepat menotok tubuh laki-laki berperut buncit itu sebelum mereka berlalu ke depan.

***
DELAPAN
Begitu tiba di beranda depan, mereka melihat seorang laki-laki bertubuh kurus dan berbaju hitam. Rambutnya putih sebatas bahu, dan dibiarkan meriap. Sebelah kakinya terlihat timpang. Dan di bahunya terlihat tubuh seorang gadis yang tidak sadarkan diri. Sementara, keempat orang lawan si pemuda berompi putih itu tampak binasa. Hanya Giri Manuk yang masih kembang-kempis napasnya. Dari mulut dan hidungnya, terus-menerus mengeluarkan darah. Rupanya Giri Manuk menderita luka dalam yang cukup hebat. Giri Manuk segera bersujud pada laki-laki yang baru datang.

“Guru, oh..., syukurlah kau cepat datang, kalau tidak entah bagaimana nasibku...?!”

“Murid keparat! Kau membuatku malu saja. Menghadapi seorang bocah pentil saja tidak mampu. Lebih baik kau mampus!”

“Guru...? Aaa...!”

Dengan sadis kaki kanan orang tua bermata cekung itu terayun ke arah Giri Manuk, yang merupakan muridnya. Giri Manuk tidak mampu mengelak. Tendangan keras yang berisi tenaga dalam itu membuat kepalanya seperti mau copot dari pangkal. Rahangnya remuk ketika ujung kaki yang menghantam dada langsung bergerak terayun ke atas. Begitu menyentuh tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak.

“Hm. tidak heran muridnya berkelakuan iblis karena gurunya memang iblis.”

Mendengar sindiran itu, si orang tua segera berpaling. Dan, dilihatnya seorang perempuan tua yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya memandang cukup lama, seperti mengenali Nyi Larasati.

“Tidak kenalkah kau padaku, Durgasana...?” tanya Nyi Larasati dingin.

“Siapa kau?! Siapa yang kau sebut Durgasana? Nama ku Ki Timpang, karena jalanku memang timpang,” bantah orang tua itu.

“Hm, siapa pun namamu, kau tidak bisa mengelabuiku...”

“Hm, kaukah Larasati...?” tanya laki-laki yang menyebut dirinya Ki Timpang itu dengan suara di hidung.

“Bagus! Kau telah mengenalku sekarang. Kini, terimalah pembalasan atas apa yang kau lakukan dahulu.” Setelah berkata demikian Nyi Larasati langsung menyerang laki-laki di hadapannya.

“Larasati, jangan main-main kau! Aku tak ingin membunuhmu!” teriak Ki Timpang bergerak menghindar.

Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sosok bayangan dari beranda depan dan langsung menyerang Ki Timpang.

“Jahanam keparat! Terimalah kematianmu sekarang juga...!”

“Yeaaa...!”

Meski harus memanggul tubuh seorang gadis dalam pundaknya, tapi gerakan Ki Timpang sangat gesit dan lincah. Tubuhnya melayang bagai sehelai kapas tertiup angin, dan melesat jauh di dekat pintu gerbang depan. Sepasang matanya menatap tajam pada dua orang lawan yang baru datang itu.

“Hm rupanya kau Palat Diga. Dengan siapa kau ingin mencabut nyawaku saat ini?” dengus Ki Timpang.

“Ki Timpang, atau siapa pun namamu, masih ingatkah kau peristiwa dua puluh lima tahun lalu di Desa Anjar Kulon? Waktu itu kau merebut seorang gadis dari kekasihnya, padahal mereka saling mencintai. Kau merusaknya, kau menodainya, dan yang lebih sadis, kau membunuh gadis itu. Aku datang untuk menagih hutang nyawa gadis itu padamu!” geram Ki Teguh Narada cepat.

“Ya, ya... kuingat. Kau adalah kekasihnya Sekar Mayang. Hm, bagus! Kalau memang kalian telah bersiap untuk membunuhku, silakan saja kalau mampu!” sahut Ki Timpang sombong.

“Dasar murid murtad! Setelah mencuri kitab pusaka perguruan, kau malah mencelakakan guru dengan membuntungi kedua kakinya. Aku mencarimu untuk membuat perhitungan!” bentak Ki Palat Diga.

“Palat Diga, kau tak usah banyak bicara. Buktikan ucapanmu kalau kau memang mampu. Ayo, majulah bersama-sama!”

Ki Palat Diga telah menceritakan sebelumnya pada Ki Teguh Narada, ketika mereka sama-sama mengetahui mencari orang yang sama. Terlebih kepandaian Ki Timpang saat ini sulit diukur. Maka, mereka tidak merasa malu maju berbarengan. Ki Timpang sendiri sudah langsung menyambut serangan mereka ketika sudah meletakkan gadis yang dipanggulnya.

Sesungguhnya, apa yang menyebabkan orang tua itu datang ke sini? Pada saat Cagak Layung menghubungi Giri Manuk, dirinya juga bertemu dengan Ki Timpang. Tapi karena Ki Timpang ada keperluan lain, maka lelaki timpang berjanji akan menyusul ke tempat Juragan Bonteng setelah urusan selesai.

Sementara di dalam pertarungan terlihat kedua orang itu menggempur lawan yang paling dibencinya. Nyi Larasati diam saja, tak ikut campur. Rangga pun tak tahu apa yang harus dikerjakannya saat ini. Dihampirinya perempuan tua itu, dan dihiburnya setelah melihat kejadian di dalam rumah Juragan Bonteng.

“Sudahlah, Nyi. Segalanya sudah beres. Ayo kita pulang. Kasihan Rara Ningrum dan Samiaji berdua di rumah....”

“Silakan, kau pulang lebih dulu. Aku masih ingin di sini...,” sahut perempuan tua itu lirih.

“Apakah kau akan menyerangnya setelah mereka?”

Nyi Larasati diam tak menjawab.

“Nyi, tampaknya kau sangat mengenal lelaki itu. Apakah kalian pernah akrab? Kulihat, sinar mata kalian tak bisa membohongi....”

Nyi Larasati mengangguk pelan.

“Dia suamimu?"

“Ceritanya panjang, Rangga! Kami... sepasang kekasih yang saling mencintai. Suatu saat kami terperosok melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Dan, dirinya berjanji akan mengawiniku. Tapi, tak lama setelah kejadian itu, dia pergi mengembara. Bertahun-tahun aku mencarinya, sementara benih yang ditinggalkannya telah menjadi seorang bayi perempuan yang cantik. Ku asuh dia, kurawat, dan kubesarkan. Tetapi kemudian, terjadilah hal yang tak kuinginkan ketika putri ku satu-satunya dinodai seorang pemuda yang beberapa kali. Dan, yang lebih menyakitkan hati-ku, pemuda itu adalah murid dari orang yang selama ini kucari-cari...,” jelas Nyi Larasati menutup ceritanya.

Rangga menganggukkan kepala. Namun, baru saja mulutnya akan bertanya lagi, tiba-tiba terdengar pekik kesakitan diiringi terjungkalnya tubuh dua orang lawan Ki Timpang. Dari mulut mereka menyemburkan darah segar. Kedua orang tua itu berusaha bangkit tertatih-tatih. Napasnya terlihat megap-megap, namun pancaran mata mereka tajam dan penuh dendam.

“Nyi, izinkan aku membalaskan sakit hatimu, dan sakit hati semua orang padanya,” mohon Rangga sambil bangkit berdiri.

Nyi Larasati diam membisu. Dirinya tak tahu harus menjawab apa. Sebenci-bencinya pada Ki Timpang, tapi rasa cintanya masih tetap ada.

Sementara itu, Ki Timpang terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang. “Ha ha ha...! Hanya begitu kemampuan kalian, sudah berani bermaksud mengalahkan dan membinasakanku? Pulanglah kalian sebelum mataku muak memandang!”

“Kisanak, bicaramu sombong sekali...”

“Heh! Bocah sial, apakah kau pun menghendaki nyawaku?!” bentaknya angker. Matanya memandang tajam Pendekar Rajawali Sakti.

“Apakah kalau kukatakan iya, kau sudi memberikannya, Orang Tua?” tanya Rangga tidak kalah gertak.

“Sial! He, sebut namamu. Boleh juga kau berhadapan denganku, karena mampu menundukkan murid goblokku itu!”

“Apakah namaku bisa membuatmu takut? Kalau memang betul, tentu dengan senang hati ku sebutkan,” ujar Rangga sengaja membuat hati orang tua itu marah.

“Keparat! Kau pikir dengan mengalahkan muridku, kau pun bisa berbuat seenaknya padaku?! Huh, Bocah Pentil! Kau perlu diberi pelajaran rupanya.

Setelah berkata demikian, tubuhnya langsung berkelebat menerjang. Gerakannya cepat, dan berisi tenaga dalam kuat. Dirinya berharap, dengan sekali gebrakan pemuda itu paling tidak akan kewalahan, dan kesombongannya akan berubah menjadi rasa khawatir serta ketakutan. Tapi, bukan main kesalnya Ki Timpang melihat Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan gesit dan tidak kalah ringannya. Berkali-kali diserangnya pemuda itu, namun Rangga tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk menghindari.

Rangga mengetahui lawannya ini berkepandaian tinggi. Maka, dirinya tidak mau berlaku ayal-ayalan dan menganggap rendah lawan. Dengan memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan, tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari. Kedua kakinya pun bergerak lincah. Rangga mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengimbangi gerakan lawan.

Dua jurus telah berlangsung, dan Ki Timpang belum juga berhasil mendesak Rangga. Meskipun telah mengeluarkan jurus 'Tangan Maut' yang dahsyat, tapi kali ini Rangga tak akan terkecoh dua kali. Sebab, Giri Manuk pernah mengeluarkan jurus ini. Dan sudah pasti jurus yang dimiliki gurunya akan lebih ampuh lagi.

Perlahan tapi pasti, Rangga mulai mendesak Ki Timpang dengan mengeluarkan rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Tetapi sama halnya dengan lawan, baginya pun cukup sulit menghajar Ki Timpang. Keadaan ini membuat Ki Timpang benar-benar jengkel. Dikiranya, Rangga sama sekali tak berarti. Tapi, setelah pertarungan berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum juga terlihat tanda-tanda siapa yang akan berhasil menjatuhkan lawan.

Maka, pada jurus kedua puluh satu, tubuh Ki Timpang bergerak bergulung-gulung dan membuat lompatan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti segera mengejarnya dan mengirimkan satu tendangan keras. Tapi tanpa sepengetahuan Rangga, saat itu Ki Timpang tengah mengerahkan ajian mautnya yang bernama 'Tapak Nenggala'. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan hingga kedua tangannya berubah merah menyala. Lalu, ketika kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula sebelah telapak tangannya menghantam ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dari situ, melesat sinar merah laksana kabut yang menimbulkan angin menderu.

“Yeaaa...!”

Rangga terkejut melihat serangan lawan. Saat itu, tubuhnya tengah mengapung di udara. Tak ada pilihan lain, kecuali mencabut pedang pusakanya untuk menangkis sinar merah itu. Seberkas sinar biru langsung berpendar dari bilah pedang dalam genggamannya. Diusapnya dengan tangan kiri, dan dengan cepat disorongkannya ke muka sambil berteriak keras.

“Aji Cakra Buana Sukma...!”
Glarrr...!”
“Aaakh...!”

Ki Timpang menjerit kesakitan ketika pukulan sakti mereka bertemu dan menimbulkan suara menggelegar. Terlihat percikan bunga api serta asap hitam tebal membumbung angkasa. Tubuhnya terjungkal satu tombak sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri. Saat itu juga, kakinya membuat beberapa lompatan. Dan, begitu menjejak tanah, tubuhnya kembali bergerak cepat menyerang lawan dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Kali ini Ki Timpang berbuat nekat, ingin tewas bersama-sama.

“Yeaaa...!”

Rangga pun mengalami luka akibat benturan tadi. Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Namun, Rangga cepat menguasai diri dengan bersalto beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Dan tanpa menoleh ke belakang, pedang yang masih berada dalam genggamannya berkelebat cepat.

“Akh!”
“Durgasana...!”

Nyi Larasati memekik nyaring. Rangga menyarungkan pedangnya kembali untuk sesaat, dipandanginya Nyi Larasati yang mendekap tubuh Ki Timpang. Tubuh lelaki tua itu hangus seperti terbakar. Kemudian, ditinggalkannya dengan langkah pelan.

Kejadian tadi memang sangat cepat Meskipun tidak melihat, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mengetahui serangan lawan. Pendekar Rajawali Sakti mengetahui lawan tak bersenjata, dan dirinya sangat yakin, Ki Timpang tidak akan mampu menghalangi ayunan pedangnya. Dugaannya ternyata benar. Ki Timpang tak mampu menghindar. Dirinya hanya terkejut, dan selanjutnya melenguh kecil. Dari mulai dada hingga ke perut, terlihat robek dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terselimuti seberkas sinar kebiruan yang perlahan-lahan sirna dan tubuhnya berubah hitam seperti terbakar.

“Rangga...”

“Eh!” Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Di hadapannya telah berdiri Rara Ningrum yang memeluk Samiaji. Mukanya sembab seperti habis menangis. Bola matanya memandang sayu, dan kemudian tertunduk. Rangga jadi salah tingkah. Berkali-kali matanya melirik Nyi Larasati yang masih menekuri mayat Ki Timpang.

“Sudah lama kalian berada di sini?”

Rara Ningrum mengangguk. Wanita itu tak mampu menahan perasaan dukanya yang belum dimengerti Rangga. Tetapi, ketika berjalan mendekati Nyi Larasati yang sedang menekuri mayat Ki Timpang, pemuda berompi putih mulai mengerti. Niatnya untuk pergi secara diam-diam diurungkan. Rangga hanya diam memperhatikan mereka.

“Pendekar Rajawali Sakti, aku si orang tua tak berguna Ki Teguh Narada, menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu....”

“Heh...!” Rangga baru tersadar ketika dua orang tua yang tadi bertarung dengan Ki Timpang mendekatinya, bersama gadis yang tadi dipanggul orang tua berkaki timpang itu.

“Aku si tua Palat Diga pun menanggung hutang nyawa padamu, Anak Muda,” ucap lelaki tua berwajah merah itu.

“Sudahlah, Paman! Tidak usah dipikirkan lagi, di antara kita tidak ada hutan-piutang. Yang ada, hanya saling tolong-menolong. Bukankah yang namanya kelaliman harus dilenyapkan dari muka bumi ini? Kalau kita tidak saling bahu-membahu, mana mungkin aku mampu menghadapinya seorang diri,” ujar Rangga dengan nada merendah.

“Ah, tapi siapa yang meragukan kehebatanmu, Pendekar Rajawali Sakti!” puji Ki Teguh Narada sambil tersenyum kecil.

“Paman terlalu memujiku....”

“Nah, Sobat Muda. Kini kau punya tugas baru lagi,” lanjut Ki Palat Diga.

“Tugas apa, Paman?” tanya Rangga heran.

Ki Palat Diga memberi hormat pada gadis di sebelahnya yang sejak tadi membisu. Lalu kepalanya menoleh ke arah Rangga. “Kau mengenalinya, bukan? Gadis inilah yang tadi dibawa Ki Timpang. Dia adalah putri dari Kerajaan Sanjaya. Sudilah kau mengantarkannya kembali ke istana kerajaan.”

“Hm, Paduka Putri, maafkan hamba yang tidak mengenal orang,” sahut Rangga memberi penghormatan.

“Sudahlah. Sebenarnya aku tak ingin disanjung-sanjung seperti itu. Bila mereka berdua tahu berterima kasih, aku pun ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Ikutlah denganku ke istana kerajaan. Pasti ayahanda akan memberi hadiah-hadiah yang besar padamu,” ujar gadis itu.

Rangga tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis itu. “Tuan Putri, maafkan hamba. Jika tujuan mengajakku ke istana untuk mendapatkan hadiah, maka biarlah aku mengalah. Tuan Putri bisa mengajak kedua Paman ini....”

“Hm, kenapa? Apakah kau tak cukup dengan hadiah-hadiah?”

Rangga kembali tersenyum pahit. Gadis ini terlihat polos dan kurang bergaul. Yang ada dalam benaknya, persoalan balas budi harus ditukar dengan hadiah atau harta benda. Padahal Rangga ingin menjelaskan kalau gadis ini sama sekali tak mengenal dunianya. Rangga tidak butuh hadiah.

“Tuan Putri, maaf..., Pendekar Rajawali Sakti tak bermaksud menolak pemberian Tuan Putri. Dalam dunia kependekaran, dirinya terkenal sebagai orang yang menolong tanpa pamrih. Bila pertolongannya dihargai dengan hadiah, sama artinya dengan penghinaan.”

Ki Teguh Narada menengahi sambil menjelaskan pada gadis itu, yang terlihat kurang senang mendengar jawaban Rangga tadi. Mendengar penjelasan itu, Tuan Putri baru mengerti dan menganggukkan kepala.

“Baiklah, kalau demikian, atas nama ayahanda aku mengundangmu ke istana kerajaan. Beliau tentunya ingin berkenalan denganmu, sekaligus mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan....”

“Tuan Putri, apa yang telah kuperbuat sehingga harus ke istana untuk menemui ayahandamu, Baginda Kerajaan Sanjaya?” tanya Rangga.

“Bukankah kau telah menyelamatkan diriku?”

Rangga tersenyum kecil dan merasa geli sendiri. Dirinya tak pernah menyelamatkan gadis ini. Tapi, gadis itu berkeras dirinya yang telah menyelamatkan dari cengkeraman Ki Timpang. Lalu, gadis itu pun berkeras menginginkan Rangga datang ke istana. Semula Pendekar Rajawali Sakti enggan dan tetap menolak. Tapi Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada memberikan beberapa alasan, yang membuatnya setuju mengantarkan gadis itu.

“Baiklah. Tapi aku pamit dulu dengan mereka,” ujar Rangga sambil melangkah ke arah Nyi Larasati dan Rara Ningrum yang sedang menggendong Samiaji. Mereka telah berdiri tegak dan memandang Rangga dengan tatapan sayu.

“Paman mau pergi?” tanya Samiaji mendahului Rangga membuka mulut.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil dan mengelus kepala bocah itu. Kemudian kepalanya mengangguk. Dilihatnya bocah itu terdiam. Tidak seperti kemarin, Samiaji selalu menahan kepergian Rangga. Kali ini, pancaran matanya tetap tak rela. Namun mulutnya terkunci rapat

“Banyak yang harus Paman kerjakan, Samiaji. Tapi Paman berjanji, bila suatu saat berada di desa ini lagi, Paman pasti mengunjungimu....” Samiaji terdiam. Rangga mengalihkan pandangan pada Nyi Larasati dan berkata pelan. “Maaf Nyi.... Kalau kau tak senang Ki Timpang terbunuh, kau boleh menghukumku....”

“Tidak. Hatiku memang tak bisa dikatakan senang, tapi sudah pantas dirinya menerima ganjaran itu...,” suara Nyi Larasati terdengar lirih.

Lalu, Rangga berpaling pada Rara Ningrum. “Maafkan aku, Rara. Aku tahu, walaupun kau tak diakui, tapi yang pasti dia adalah bapakmu. Kau tentu mencintainya.” Rara Ningrum terisak sambil menggelengkan kepala. “Aku pergi sekarang, Rara. Baik-baiklah kalian di sini. Urusan Juragan Bonteng akan kulaporkan pada Baginda Raja. Agar menghukumnya dengan adil,” janji Rangga meyakinkan bahwa hidup mereka kali ini akan aman.

Rara Ningrum tak menjawab sepatah kata pun. Air matanya tidak berhenti mengalir. Ketika Rangga perlahan-lahan meninggalkan tempat ini bersama putri raja. Terasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ada sesuatu yang melesak dalam dada dan membuat perih seluruh jiwa raganya. Bila dibandingkan putri raja dengan dirinya... anak haram. Ah, sungguh lengkaplah kehinaan itu. Dirinya tak pantas mendapat perhatian lelaki mana pun, bisik hati Rara Ningrum.

“Apakah wanita itu kekasihmu?”

“Eh, apa...?” Rangga tersentak mendengar pertanyaan putri raja.

Gadis berwajah cantik dan ayu itu tersenyum kecil. Tampak deretan gigi yang putih bersih dan bibir merah merekah. “Kau termenung memikirkannya?”

“Memikirkan siapa?”

“Wanita yang menggendong anak kecil tadi?”

“Ya, dirinya terlalu menanggung penderitaan....”

Belum habis Rangga bicara, tiba-tiba melesat sesosok tubuh ramping di hadapan mereka dan langsung mencabut pedang. Rangga segera menarik putri raja sambil memiringkan kepalanya. Ujung pedang itu lewat beberapa rambut, tapi kembali menyambar pangkal lehernya.

“Maaf, Tuan Putri!”

Disambarnya tubuh gadis itu sambil melompat ke belakang, menghindari serangan lawan yang baru datang itu. Tentu saja putri raja yang bernama Mayasari itu tersentak kaget. Baru kali ini tubuhnya dirangkul seorang laki-laki dalam keadaan sadar. Tapi karena mengetahui keadaan mereka berbahaya, dirinya diam saja. Perasaan ngeri dan takut menjalar di hatinya ketika mendengar angin berciutan dan tubuhnya melayang-layang dalam gendongan Pendekar Rajawali Sakti.

“Nisanak, kenapa kau menyerangku?” tanya Rangga heran pada penyerangnya itu.

Ternyata penyerang itu tak lain Wulandari, gadis berbaju hijau dan berambut kuncir ke belakang, murid Ki Palat Diga. Sejak tadi dirinya memang mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mengintip peristiwa yang terjadi di halaman depan rumah Juragan Bonteng.

“Huh! Kau tak perlu beralasan. Pemuda ceriwis sepertimu seharusnya mampus!” geram suara Wulandari.

Rangga tak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba bernafsu ingin membunuhnya. Jika terus-menerus menghindar, dirinya akan repot meladeni kekonyolan Wulandari. Maka, dalam suatu kesempatan tubuhnya berkelebat cepat.

Mayasari sampai menutup mata menahan ngeri. Tidak lama berselang, terdengar Wulandari menjerit kesakitan. Pedang di tangannya terpental jauh dan tubuhnya jatuh ke tanah dalam keadaan tak berdaya.

“Maaf, aku tak sempat melayani keinginanmu yang tak ku mengerti. Kurang dari sepeminum teh, kau akan terbebas dari totokanku!” ujar Pendekar Rajawali Sakti segera melesat dari situ.

Wulandari berteriak dan memaki-maki tak karuan. Dirinya merasa kesal melihat Pendekar Rajawali Sakti kembali menggendong gadis itu. Rasanya, Wulandari ingin melumatkan mereka berdua!

Entah mengapa, dirinya tak rela melihat Pendekar Rajawali Sakti berdekatan dengan wanita mana pun. Tak heran, bila akhirnya Wulandari uring-uringan sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan!

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti yang membawa putri raja telah melesat jauh meninggalkannya.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: 
PUSAKA GOA NAGA