Pendekar Rajawali Sakti 86 - Dendam Membara(1)


SATU
HARI menjelang sore. Matahari juga belum mau membenamkan diri. Bias cahayanya saja yang masih terlihat di puncak gunung sebelah barat. Di kaki sebuah bukit, tampak sesosok tubuh berompi putih berdiri tegap. Di balik punggungnya tersembul sebilah pedang. Menilik dari ciri-cirinya, sosok tubuh itu tak lain dari Rangga, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu Rangga tengah memperhatikan serombongan bocah berusia sekitar enam dan tujuh tahun. Mereka mendatangi seorang bocah lain yang tengah memancing di tepi sungai. Dalam pikiran Pendekar Rajawali Sakti, pastilah mereka sesama kawan. Tapi, hatinya menjadi tercekat begitu melihat salah seorang bocah bertubuh besar, langsung menendang bocah yang tengah memancing itu hingga tercebur sungai. Kailnyanya pun sampai ikut terlempar ke tepi sungai. Beruntung, bocah itu pandai berenang dan segera merayap ke tepi. Seluruh bajunya tampak basah kuyup.

“Gondo, kenapa kau menendangku? Bukankah aku tak bersalah padamu?” tanya bocah berwajah manis itu dengan tatapan sayu.

“Aku bebas berbuat apa saja padamu! Kau anak haram dan tak layak hidup!” bentak Gondo.

“Pergi kau dari sini! Kami muak melihatmu!” sahut bocah yang lainnya. Bocah itu memungut kailnya dan bermaksud meninggalkan tempat itu.

Namun salah seorang di antara mereka merasa tak puas. Didatanginya si bocah, dan dengan sekuat tenaga punggung bocah itu dipukul hingga tersungkur.

“Sudah. Bunuh saja dia sekalian!” teriak Gondo.

“Mampusin!” timpal bocah lain sambil menghampiri bocah berwajah manis itu. Tindakannya diikuti kawan yang lain, dan beramai-ramai mereka memukulinya.

“Hentikan!” bentak Rangga keras sambil menghampiri mereka.

Ketujuh bocah itu serentak berhenti memukul. Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tak senang. Rangga tak mempedulikan sikap yang ditunjukkan bocah-bocah itu. Dihampirinya bocah yang malang itu, dan membangunkannya. Kemudian dipandanginya ketujuh bocah itu satu persatu.

“Kenapa kalian memukulnya? Apakah dia telah berbuat jahat pada kalian?!”

“Huh!” Gondo menunjukkan muka sinis. “Dia anak haram. Tak boleh hidup di desa kami!” sahut salah seorang bocah.

“Ya. Dia keturunan orang jahat, dan membawa sial bagi desa kami,” timpal yang lainnya.

“Dengarlah baik-baik! Kalian sesama manusia, tak ada yang hina dan mulia dari yang lainnya. Jika ingin menjadi orang baik, tunjukkanlah sikap yang baik. Sebaliknya yang kalian lakukan tadi, apakah itu pantas disebut anak baik? Kalian memukul orang yang tak bersalah, dan itu jelas perbuatan tidak terpuji.”

“Paman, jangan membela orang jahat! Kalau tidak, orang tua Gondo akan memusuhi Paman!” sahut salah seorang bocah mengancam.

“Siapa yang mengatakan anak ini jahat?”

“Semua orang di desa ini!” sahut Gondo masih menunjukkan wajah tak bersahabat.

“Kalau begitu, siapa kepala desa di sini?”

“Ki Sarpa. Tapi meskipun Paman minta pertolongan Ki Sarpa, ayahnya Gondo masih lebih berkuasa daripada Ki Sarpa. Lebih baik Paman membiarkannya menerima hajaran dari kami!” sahut bocah bertubuh kurus, geram.

“Oh, begitu? Nah, sekarang katakan pada bapaknya Gondo. Paman melarang kalian menyalati anak ini, kecuali kalau memang dia betul-betul bersalah dan menyakiti kalian,” kata Rangga sambil tersenyum kecil.

“Paman pasti akan dihajar bapaknya Gondo!” sahut bocah bertubuh kerempeng, kesal.

“Mari kita pulang! Akan kuadukan pada bapak, biar dihajar sekalian!” ajak Gondo pada kawan-kawannya.

Ketujuh bocah itu melirik sesaat pada Rangga, sebelum berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.

“Sobat kecil, sekarang kau sudah aman. Siapakah namamu? Namaku Rangga.”

“Terima kasih atas pertolongan Paman. Namaku Samiaji.”

“Hm, Samiaji.... Seringkah kau menerima perlakuan seperti tadi dari mereka?”

Samiaji terdiam. Dia duduk tenang, dan kedua kakinya terjuntai ke dalam air sungai sambil sesekali mempermainkannya. Rangga mengikuti perbuatan bocah itu dan duduk bersebelahan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Samiaji...”

Bocah itu masih terdiam beberapa saat. Kemudian, terdengar suara halus dari bibirnya yang mungil. “Ya....”

“Hm.... Kenapa kau diam saja dan tak berusaha melawan?”

“Ibu dan nenek melarangku.”

“Ibu dan nenek? Bapakmu ke mana?”

Samiaji tak menjawab. Rangga jadi teringat saat bocah-bocah tadi mengejek Samiaji. Hm, sudah pasti disebabkan soal itu. Rangga tersenyum dan menepuk-nepuk pundak bocah itu, sambil mengambil kail dari tangannya.

“Paman lihat tadi kau memancing. Paman pinjam sebentar. Mudah-mudahan ikan-ikan di sungai ini berbaik hati....”

Rangga segera memusatkan pikiran sambil mengerahkan ilmu 'Tatar Netra' ke dalam air sungai. Seketika terlihat jelas ikan-ikan yang berenang hilir-mudik.

“Hup...! Kena!” katanya berseru.

Samiaji yang sudah tidak berniat memancing, kembali tertarik perhatiannya. Dilihatnya, Pendekar Rajawali Sakti memancing asal-asalan saja. Melempar mata kail ke dalam sungai, tapi secepat itu pula ditarik kembali. Namun, terlihat seekor ikan sebesar lengannya menggelepar-gelepar di mata kail.

“Kena!” teriak Rangga lagi, sambil memamerkan ikan di mata kailnya. Samiaji tertawa geli.

“Kau mau coba?”

“Mau!” sahut bocah itu cepat.

Rangga memberikan kail itu, tapi dia sendiri ikut memegangi. Samiaji terkejut. Hentakan tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan tak bisa diikuti pandangan matanya, ketika tiba-tiba seekor ikan tersangkut di mata kail. Bocah itu tak mempedulikan persoalan itu. Dia cukup senang berhasil menangkap ikan dengan cara yang tak pernah dilakukannya. Yaitu, tanpa meletakkan umpan di mata kail. Beberapa saat saja, telah terkumpul dua puluh ekor lebih ikan-ikan besar. Wajah bocah itu pun berseri-seri kegirangan.

“Nah, cukuplah hari ini kita memancing. Kasihan, kalau dipancing terus jumlahnya akan cepat habis. Kau boleh pulang, Samiaji!”

“Paman mau ke mana?” tanya anak itu terkejut

“Paman harus melanjutkan perjalanan....”

“Paman, mainlah ke rumahku. Ibu dan nenek pasti senang karena Paman telah membantu menangkap ikan-ikan ini.”

Rangga tersenyum. “Kau boleh membanggakan diri di depan mereka kalau ikan-ikan itu hasil tangkapanmu sendiri.”

“Itu berdusta, Paman. Nenek dan ibu melarangku berdusta. Katanya, perbuatan itu hanya dilakukan oleh anak-anak jahat. Ayolah, Paman. Kalau aku pulang membawa ikan sebanyak ini, mereka tentu tak akan percaya dan pasti menuduhku mencuri,” desak bocah itu terus-menerus.

Rangga berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya menyetujui ajakan bocah itu.

***

Perempuan tua yang biasa dipanggil nenek oleh Samiaji, memperkenalkan nama dengan sebutan Nyi Larasati. Dan, seorang lagi yang tampak masih muda menyebutkan pula namanya. Rangga dipersilakan masuk oleh penghuni rumah ini. Perempuan tua itu berusia sekitar lima puluh tahun. Sedangkan putrinya berusia lebih dari dua puluh empat tahun. Tetapi, wajahnya terlihat cantik dan alamiah, seperti kebanyakan wanita desa.

Mereka menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti dengan ramah. Apalagi ketika Samiaji berceloteh tentang Rangga menangkap ikan dengan cara yang amat menakjubkan. Rangga hanya bisa tersenyum-senyum kecil. Ada perasaan haru menyelinap di hati Pendekar Rajawali Sakti melihat kehidupan mereka amat sederhana.

Di belakang rumah, terdapat sebuah kebun kecil yang ditanami singkong dan umbi-umbian lainnya. Rumah ini pun rasanya tak layak disebut rumah, melainkan mirip kandang kerbau yang dilapisi dinding tepas. Mereka tak memiliki kamar. Hanya ruangan yang disekat kain panjang saja.

“Nak Rangga, berdiamlah di sini. Sebentar lagi senja. Lagi pula, melihat tubuh dan pakaianmu yang penuh debu, kau pasti telah melakukan perjalanan jauh,” ujar Nyi Larasati.

“Terima kasih, Nyi. Tapi rasanya hanya merepotkan kalian saja....”

“Tidak. Kau sama sekali tak merepotkan kami. Hanya barangkali tempat kami tak layak bagimu....”

“Rumah ini lebih dari cukup, daripada aku tidur di dalam hutan,” ujar Rangga sambil tersenyum kecil.

“Paman sering tidur di dalam hutan?” tanya Samiaji terheran-heran, bercampur bias ketakutan di wajahnya.

“Betul. Kenapa?”

“Nenek sering cerita, di hutan banyak binatang buas yang suka menerkam dan memakan manusia. Pernahkah Paman bertemu binatang buas?”

“Sering sekali, tapi tak semua binatang buas menerkam manusia kalau tak terdesak dan diganggu. Meski begitu, ada juga binatang buas yang kelaparan dan ketika menemukan manusia, langsung menerkam atau membunuhnya untuk dimakan,” sahut Rangga menjelaskan.

Bocah itu terlihat ketakutan.

“Kau tak perlu takut, Samiaji. Manusia itu diberi akal untuk melawan semua musuh-musuhnya, termasuk binatang buas. Gunakan akal untuk menghadapinya dan yang lebih penting, jangan mencari gara-gara.”

Samiaji menganggukkan kepala. Mereka bicara banyak malam ini dan bocah itu terlihat cerdas sekali. Meskipun usianya baru enam tahun, namun dia mengerti semua pembicaraan Rangga. Matanya tetap terbuka lebar, dengan wajah menampakkan keseriusan mendengarkan cerita-cerita pemuda berompi putih itu.

Biasanya bocah itu telah terlelap bila malam beranjak tiba. Tapi, ketika nenek dan ibunya berkali-kali menyuruh tidur sekarang, Samiaji selalu menolak.

***

“Nyi Larasati! Keluarkan pemuda keparat itu dari rumahmu, atau harus kami dobrak!” terdengar bentakan keras dari luar rumah. Rangga terkesiap. Begitu juga dengan seluruh penghuni rumah. Nyi Larasati buru-buru membukakan pintu setelah berkata lirih kepada Rangga.

“Pasti orang-orangnya Juragan Bonteng!”

“Siapa...?” Pertanyaan Rangga tak terjawab ketika terdengar bentakan dan luar yang terdengar kasar sekali.

“Nenek peot, mana pemuda kurang ajar itu?!”

“Pemuda? Siapa yang kau maksudkan?”

“Alaaah, jangan banyak alasan kau! Dia telah menghajar putra juragan kami! Ayo, suruh keluar keparat itu!”

Rangga melirik sekilas ke arah Samiaji. Bocah itu tengah dipeluk erat ibunya dengan wajah pucat ketakutan. Dia berjalan pelan ke depan. Dilihatnya lima orang laki-laki berwajah kasar dengan golok di pinggang masing-masing. Di antara mereka terdapat seorang bocah kecil sebaya Samiaji.

“Itu dia orangnya, Paman!” tunjuk si bocah ke arah Rangga.

Salah satu dari lima orang yang berdiri paling depan, dan yang sejak tadi berteriak-teriak, melangkah mendekati Rangga. Wajahnya kasar dan banyak terdapat lubang-lubang kecil. Mulutnya lebar dan besar dengan kumis melintang. Baju di bagian dada terbuka lebar, seolah-olah ingin memamerkan kekuatan otot-ototnya.

“Huh! Hanya seorang bocah ingusan yang berani dengan bocah kecil! Ke sini kau!”

Rangga mencoba berlaku ramah dan mendekati orang itu perlahan. Namun....

Wuuut! Plak!

“Sabar, Kisanak. Ada urusan apa tiba-tiba kau berteriak-teriak seperti orang kesurupan? Lalu, apa maksudmu hendak memukulku?” tanya Rangga setelah menangkis tangan orang yang hendak menampar mukanya.

“Punya nyali juga rupanya kau! Melihat pedang di punggungmu, sedikit banyak kau pasti mengerti ilmu silat, Bocah Ingusan. Baik, kau layani Cagak Layung beberapa jurus!” sahut orang itu tanpa mempedulikan pertanyaan Rangga. Langsung dicarinya tempat yang agak luas dan segera melangkah mundur.

“Sabar dulu, Kisanak. Ada urusan apa sebenarnya?”

“Huh! Pengecut hina! Setelah menghajar putra Juragan Bonteng, kau pura-pura tak tahu!”

“Putra Juragan Bonteng? Siapa dia?”

“Keparat! Dasar pengecut!” maki Cagak Layung geram.

“Paman, untuk apa berlama-lama lagi? Hajar saja dia. Sekalian dengan bocah itu dan seluruh penghuni rumah ini!” seru bocah kecil itu, tak kalah garang dengan para pengawalnya.

Rangga melirik ke arah bocah itu, dan mengingat-ingat di mana pernah dijumpainya. Tak salah lagi! Bocah itu salah seorang dari anak-anak yang tadi ikut memukuli Samiaji. Pendekar Rajawali Sakti kini mulai mengerti penyebab kemarahan mereka. Tapi baru saja Rangga mencoba akan menjelaskan, Cagak Layung menyerang dengan ganas.

“Yeaaa...!”

“Kisanak, tahan dulu! Ini hanya salah paham!”

“Sial! Dasar pengecut, tetap saja pengecut! Terimalah seranganku ini. Ayo cabut pedangmu! Hiyaaat..!”

“Uts...!” Percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Orang itu telah menyerang dengan membabi-buta. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mempertahankan diri mengingat serangan Cagak Layung tidak main-main. Sepertinya laki-laki berwajah kasar itu ingin menghabisi nyawa Pendekar Rajawali Sakti secepat mungkin.

Plak! Desss!

“Akh!” Cagak Layung menjerit kesakitan.

Rangga menghindar sambil menundukkan kepala, ketika sebilah golok lawan hampir menebas batang lehernya. Tangan kirinya menangkis pergelangan tangan kanan lawan, lalu kaki kiri menendang keras ke perut. Cagak Layung berusaha menangkis dengan tangan kirinya, tapi tendangan Rangga lebih cepat menghantam.

“Keparat!” maki Cagak Layung sambil bangkit dengan wajah meringis kesakitan.

“Sudah. Mari kita habisi secepatnya!” kata kawannya memberi perintah pada yang lain. Kelima orang itu segera mengurung Rangga dengan sikap garang.

“Kisanak, tak bisakah kita bicara baik-baik dan menyelesaikan persoalan sebagaimana layaknya manusia terhormat?”

“Keparat! Inilah cara terhormat untuk menyelesaikan persoalan. Ayo, cabut pedangmu! Kalau kau tak mau menyesal! “bentak Cagak Layung.

“Baiklah kalau kalian memang memaksa...,” jawab Rangga kesal, melihat sikap mereka.

“Yeaaa...!”
“Uts...!”
Wukkk! Plak! Begkh!
“Akh!”

Rangga menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari dan kedua kakinya bergerak lincah ke sana kemari. Begitu dua orang lawan hendak menyerang, Pendekar Rajawali Sakti cepat berkelit dan menghantam pergelangan tangan lawan hingga goloknya terpental. Yang seorang lagi, mendapat sodokan kaki Pendekar Rajawali Sakti.

Keduanya pun menjerit bersamaan. Tapi, bersamaan itu pula, ketiga kawannya meluruk ganas sambil menyabetkan golok masing-masing. Rangga mencelat ke atas sambil bersalto. Selagi berada di udara, kedua kakinya langsung menghantam punggung lawan, dan kepalan tangan kanannya menghantam keras ke tengkuk lawan yang lain. Ketiganya langsung menjerit kesakitan. Wajah mereka langsung berubah pucat Kini, mereka bangkit dengan perasaan takut.

Tetapi Rangga yang sudah kesal dengan sikap mereka, malah memasang wajah angker.

“Sini kalian!”
“Heh?!”
“Yeaaa...!”
Plak! Begkh...!

Tubuh Rangga kembali melesat cepat, menghantam kelima orang lawannya. Mereka berusaha menangkis, tapi gerakan pemuda berompi putih itu sangat cepat dan tak terduga. Kembali tubuh mereka terjerembab sambil mengeluh kesakitan.

“Ayo bangun dan serang aku lagi!” bentak Rangga.

Tapi, keempat orang itu sudah kabur meninggalkan Cagak Layung sendirian. Begitu pula bocah yang sejak tadi hanya menyaksikan pertarungan, telah ikut kabur pula.

“Awas kau, Pemuda Sialan! Juragan Bonteng tak akan membiarkan persoalan ini begitu saja!”

“Suruh juraganmu ke sini, biar aku bicara padanya!” balas Rangga sengit.

“Wah, Paman hebat! Paman Hebat! Mereka jungkir balik dihajar!” teriak Samiaji kegirangan.

Rangga melangkah ke dalam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Nyi Larasati dan putrinya yang bernama Rara Ningrum, menatap Pendekar Rajawali Sakti seolah-olah ingin meminta penjelasan atas kejadian tadi. Rangga menghela napas pendek sebelum menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan Rangga atas kejadian yang menimpa Samiaji tadi sore, kedua wanita itu menatap si bocah yang diam menundukkan kepala.

“Kenapa kau tidak ceritakan kejadian itu pada Ibu?”

“Aku... aku takut Ibu dan nenek marah. Tapi sungguh, aku tidak membuat gara-gara. Merekalah yang datang dan langsung memukul ketika aku sedang memancing sendiri di tepi sungai,” jelas Samiaji dengan suara lirih.

“Hm, Juragan Bonteng pasti tak suka mendengar kejadian ini dan keadaan kita semakin tak aman...,” desah Rara Ningrum, nadanya penuh kecemasan.

“Sudahlah, Rara. Kita harus sabar dan berserah diri menghadapi cobaan yang diberikan Yang Maha Kuasa, “ hibur Nyi Larasati menasihati.

“Tapi cobaan ini tidak pernah berhenti, Bu! Kita tak bisa selamanya hidup begini!”

“Nyi Larasati..., Rara Ningrum, ada persoalan apa sebenarnya? Apakah yang pernah terjadi antara keluarga ini dengan orang yang dipanggil Juragan Bonteng itu?” tanya Rangga hati-hati.

“Persoalannya panjang, Nak...,” desah Nyi Larasati, lirih.

Perempuan tua itu melirik ke arah putrinya. Rara Ningrum seperti mengerti, dan mengajak Samiaji tidur. Nyi Larasati sendiri memberi isyarat agar Pendekar Rajawali Sakti mengikutinya ke depan. Mereka berdua duduk di balai-balai. Lalu, berceritalah perempuan tua itu tentang kejadian yang menimpa keluarga mereka. 

***
DUA
Juragan Bonteng sangat marah mendengar laporan orang kepercayaannya. Perutnya yang buncit berguncang-guncang, ketika tubuhnya bangkit dari kursi dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Sepasang matanya yang sipit bersorot tajam. Dan, senyum yang selalu menggambarkan keculasan hatinya, kini hilang tertutup kemarahan yang meluap-luap bercampur geram. Cagak Layung dan keempat kawannya diam mematung. Mereka duduk bersila di lantai, dan merundukkan kepala dalam-dalam.

“Percuma! Menghadapi seorang pemuda ingusan saja kalian tak mampu! Apa kerja kalian di sini cuma makan tidur saja?!”

“Dia bukan orang sembarangan, Juragan...,” bantah Cagak Layung, pelan.

“Aku tak peduli! Anakku dihajar orang dan kalian tak mampu berbuat apa-apa!”

Cagak Layung terdiam. Begitu juga keempat kawannya. Sementara, Juragan Bonteng kembali duduk di kursi sambil menghela napasnya yang terasa sesak.

“Panggil Ki Sempur Walang! Cepaaat..!”

“Ba... baik, Juragan!” sahut Cagak Layung.

Bersama keempat kawannya, Cagak Layung berangkat malam itu juga ke rumah Ki Sempur Walang, laki-laki tua yang selama ini mengabdi pada Juragan Bonteng. Ki Sempur Walang bertubuh besar. Sepasang bola matanya selalu tampak merah. Meski usianya sudah lebih dari lima puluh tahun, namun kerjanya setiap hari hanya mabuk-mabukan, dan bersenang-senang dengan perempuan cantik yang ada di desa ini.

Kebanyakan di antara mereka hanya terpaksa memenuhi keinginannya. Ki Sempur Walang memang amat ditakuti di desa ini. Tapi, sebagian lagi terpaksa meladeni karena menginginkan uang orang tua itu. Malam ini, terlihat Ki Sempur Walang berada di rumah Nyi Kembang Sari, Janda cantik yang ditinggal mati suaminya beberapa bulan lalu.

“Kurang ajar! Malam-malam begini mengganggu kesenangan orang!” bentak Ki Sempur Walang dengan wajah berang, ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara panggilan untuknya.

Ki Sempur Walang melepaskan pelukannya pada janda cantik bertubuh sintal itu, dan melangkah ke depan. Sepasang matanya melotot, dan wajahnya langsung terlihat murka ketika melihat siapa yang datang.

“Cagak Layung?! Ada apa malam-malam begini menggangguku? Tak suka kalau aku sedikit bersenang-senang, heh?!”

“Eh! Maaf, Ki. Kami tak bermaksud mengganggu, tapi ini perintah Juragan Bonteng,” jawab Cagak Layung terbata-bata. Cagak Layung memang sangat takut kepada laki-laki tua itu. Dulu, Ki Sempur Walang pernah kesal padanya dan langsung menghajarnya habis-habisan.

“Mau apa dia?!”

“Ti... tidak tahu, Ki. Tapi Juragan Bonteng memanggil Ki Sempur Walang malam ini juga....”

“Sial! Tidak tahu orang lagi senang. Katakan padanya, apa pun urusannya, besok pagi saja diselesaikan. Malam ini aku tak mau diganggu!”

"Tapi, Ki...”

“Sial! He, Cagak Layung! Kau berani membantahku?!"

Cagak Layung menelan ludah. Dia serba salah. Memaksa orang tua ini, sama saja cari penyakit, tapi, kembali kepada Juragan Bonteng tanpa Ki Sempur Walang, juga lebih susah lagi. Saat itu Nyi Kembang Sari keluar. Tubuhnya yang padat berisi hanya terlilit kain panjang. Perempuan cantik itu memeluk Ki Sempur Walang, setelah melirik sesaat kelima orang yang masih mematung di depan pintu.

“Ada apa, Sayang...?” tanyanya mesra.

“Tak ada apa-apa, Manisku. Ayo kita kembali ke dalam,” sahut Ki Sempur Walang sambil merangkul perempuan itu dan mengunci pintu dari dalam.

Cagak Layung dan keempat kawannya diam terpaku. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada pilihan lagi bagi mereka, selain kembali kepada Juragan Bonteng, dan melaporkan penolakan Ki Sempur Walang. Mereka sudah menduga akan mendapat caci-maki dan hardikan. Dugaan Cagak Layung dan teman-temannya ternyata tepat Juragan Bonteng tidak bisa menerima penolakan bawahannya.

“Sial! Brengsek! Ki Sempur Walang semakin berbuat semaunya belakangan ini!” maki Juragan Bonteng, setelah puas memaki kelima centengnya.

“Ju.... Juragan bermaksud menugaskan Ki Sempur mengurus pemuda itu?”

“Kunyuk sial kau, Cagak! Siapa lagi yang kuharapkan, kalau bukan dia?!” Cagak Layung menelan ludah.

“Sebaiknya bersabar dulu, Juragan. Saat ini tenaganya memang diharapkan. Besok pagi-pagi sekali, pemuda itu pasti telah dibereskannya....”

“Huh! Kalau saja kalian dapat kuandalkan, tentu aku tak perlu mengemis-ngemis padanya!”

Cagak Layung kembali terdiam.

“Kalian cuma kantong-kantong nasi tak berguna! Percuma saja aku menggaji kalian. Hanya membereskan satu cecunguk saja tak becus!”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Juragan Bonteng segera menuju kamarnya. Tetapi, matanya tak dapat dipejamkan. Meskipun istri mudanya yang bahenol telah berusaha membujuk dan mencumbunya, Juragan Bonteng tetap tak bergeming. Ada satu hal yang sangat dicemaskannya sekarang.

Selama ini, tak ada seorang pun penduduk desa yang berani melawan. Termasuk kepala desa sendiri. Dia seperti raja kecil yang bisa mengatur penduduk seenaknya. Berbeda dengan Ki Sempur Walang yang suka perempuan dan tak mempedulikan apa pun, Juragan Bonteng lebih memikirkan pengaruh dan kekayaan. Dan pemuda itu, meski belum terlihat tindak lanjutnya, telah dianggap sebagai ancaman atas kekuasaannya di desa ini. 

***

Sejak kematian suaminya, Nyi Kembang Sari memang menjadi agak nakal. Tapi hal itu tidak mengherankan. Sejak gadis, perempuan itu memang agak genit dan suka meladeni laki-laki lain yang mengajak bercanda. Kematian suaminya pun tidak begitu jelas. Banyak penduduk desa menduga, kematian suaminya berkaitan dengan kehadiran Ki Sempur Walang.

Sejak bekerja pada Juragan Bonteng, Ki Sempur Walang memang sudah tertarik pada Nyi Kembang Sari. Dan selama ini, Ki Sempur Walang selalu berusaha mendapatkan perempuan yang disukainya, walau dengan cara apa pun. Belakangan ini, Ki Sempur Walang memang sering berada di sana. Bahkan, sering bermalam dan pulang pagi-pagi seperti sekarang.

Rumah kediaman Nyi Kembang Sari agak jauh dari rumah penduduk lain. Bila Ki Sempur Walang hendak menuju tempat tinggal Juragan Bonteng dari sana, dia harus melewati sebuah sungai yang biasa dipakai perempuan-perempuan desa untuk mencuci pakaian. Itu merupakan jalan terdekat, sekaligus yang disukainya.

Ki Sempur Walang lama berdiri di pinggir sungai, memperhatikan gadis-gadis yang sedang bercanda sambil mencuci. Pakaian yang melilit di tubuh mereka hanya selembar kain panjang. Dan, kalau di antara mereka sudah saling bercanda sambil bersiram-siraman air, akan terlihat jelas setiap lekuk tubuh mereka. Tetapi, bukan hanya itu saja niat Ki Sempur Walang.

Ada seorang perempuan yang membuat hatinya sangat penasaran. Seorang perempuan cantik, yang telah menjanda dengan satu anak kecil. Perempuan itu tak pernah peduli terhadapnya. Padahal, telah berkali-kali Ki Sempur Walang menggoda dan mencoba merayu.

Pernah satu kali dia menghadang perempuan itu sepulang mencuci dan bermaksud menodainya. Tetapi sungguh tak disangka, persis ketika hajatnya akan dilaksanakan, Ki Sarpa serta beberapa penduduk desa melewati tempat itu. Meski hatinya geram bukan main, tapi terpaksa perempuan itu dilepaskannya.

Pagi ini, niatnya telah bulat. Tak peduli siapa pun yang akan menghalangi tujuannya. Batinnya sangat penasaran kalau belum mendapatkan perempuan itu. Diintainya perempuan itu dari kejauhan, sambil menelan ludah berkali-kali, mengagumi kemontokan dan kemulusan tubuhnya. Perempuan itu mencuci agak jauh dari perempuan-perempuan lain. Dan kali ini, dia ditemani anaknya yang masih bocah.

Setelah menunggu agak lama, dilihatnya perempuan itu telah menyelesaikan pekerjaan dan beranjak pergi. Ki Sempur Walang mengikuti sambil mengendap-endap. Setelah tiba di tempat yang sepi, laki-laki tua itu segera melompat ke hadapan perempuan itu sambil terkekeh-kekeh.

“He he he...! Rara Ningrum, kali ini kau akan ke mana?!”

“Oh...!” wajah perempuan itu berubah pucat, ketakutan. Bocah yang berada di dekatnya langsung dipeluk. Sementara bakul berisi cucian jatuh terlepas.

“He he he...! Pagi ini kau semakin cantik, Rara. Kenapa kau selalu menolakku? Kalau bersedia menjadi istriku, apa pun yang kau minta pasti ku penuhi,” rayu Ki Sempur Walang sambil menelan ludah berkali-kali, dan mendekati perempuan itu.

“Ki Sempur, ku mohon jangan mengganggu kami. Pergilah kau. Kami hendak pulang....”

“Kau boleh pulang setelah kita bersenang-senang....”

“Ki Sempur aku mohon... aow!” perempuan itu menjerit sambil bergerak mundur ketika laki-laki itu melompat dan memeluknya.

Bocah yang tadi dipeluk, disentakkan laki-laki tua itu dengan kasar. Ki Sempur Walang segera menggumuli perempuan itu penuh nafsu. Rara Ningrum menjerit-jerit, berusaha berontak dengan sekuat tenaga.

“Orang jahat! Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku!” teriak bocah tadi. Punggung Ki Sempur Walang dipukul sekeras-kerasnya.

“Huh! Bocah sial! Kau mengganggu saja!”

“Akh!”

“Anakku...! Keparat! Jahanam! Lepaskan aku! Apa yang kau perbuat terhadap anakku?! Aow...! Lepaskaaan...!”

Perempuan itu semakin menjerit-jerit, ketika melihat tubuh anaknya terpental dihajar Ki Sempur Walang. Tetapi, bocah itu sungguh keras hati. Meski seluruh tubuhnya terasa amat sakit, dia berusaha bangkit untuk menolong ibunya. Diambilnya sepotong kayu kering, dan dengan sekuat tenaga dihantamkan potongan kayu itu ke punggung laki-laki yang sedang meng-gumuli ibunya.

Dukkk!

“Bocah sial! Mampuslah kau!” geram Ki Sempur Walang sambil mengayunkan sebelah tangannya dengan sekuat tenaga. Kali ini, bocah itu bukan saja akan terpental, namun bisa dipastikan akan tewas seketika terkena hantaman Ki Sempur Walang. Namun, tiba-tiba....

Plak!

“Heh!”

“Paman Rangga!” seru si bocah girang melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti.

Ki Sempur Walang tersentak kaget Tangannya terasa sakit akibat tangkisan pemuda itu. Buru-buru dia bangkit dan menatap garang. Sementara, Rara Ningrum yang merasa terlepas dari nafsu setan laki-laki tua itu, buru-buru bangkit dan membenahi pakaiannya yang tak karuan. Lalu, putranya segera dipeluk.

“Jahanam keparat! Berani-beraninya kau mengganggu kesenanganku. Apa kau sudah bosan hidup, Bocah?!”

Pemuda yang baru datang itu tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tempat itu tak begitu jauh dari pondok mereka. Pendengarannya yang tajam mendengar teriakan Rara Ningrum tadi, dan langsung melesat ke sini.

“Kisanak, perbuatanmu sungguh tak terpuji. Sudah sepatutnya kau diperingati,” sahut Rangga tenang.

“Setan! Punya nyali juga kau rupanya! Berani mengganggu kesenangan Ki Sempur Walang, harus berani pula menanggung akibatnya!” Setelah berkata begitu, Ki Sempur Walang bergerak cepat melayangkan kepalan tangannya ke wajah Rangga.

Wukkk!

Rangga mengegoskan wajah dan bergerak ke samping. Sebelah kakinya dengan cepat mengarah ke dada lawan. Namun, dengan berani laki-laki tua itu menangkis dengan tulang kering. Agaknya, dia begitu yakin dengan tenaganya sendiri, dan merasa pasti tulang kaki pemuda itu akan remuk begitu beradu dengan tulang keringnya.

Dukkk!

“Aaakh...!” Ki Sempur Walang terpekik kesakitan sambil mengangkat sebelah kakinya.

Tetapi, saat itu juga kaki Rangga yang lain telah melesat cepat menghantam keningnya. Laki-laki tua itu terjungkal ke tanah. Rangga berdiri tegak persis di hadapannya.

“Bangunlah, Kisanak. Karena telah berani melawanmu aku siap menanggung akibatnya!” tantang Pendekar Rajawali Sakti.

“Setan!” maki Ki Sempur, dan membabatkan sebelah kaki ke lutut belakang Rangga. Tetapi, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat dengan sebelah kaki kembali menghantam muka lawan. Kali ini Ki Sempur buru-buru menjatuhkan diri untuk menghindari tendangan Rangga, goloknya langsung dicabut dan dibabatkan ke kaki Rangga.

“Putus!”
Wuttt!
Begkh!
“Akh!"

Ki Sempur kembali terpekik ketika Rangga menekuk kaki, menghindari sabetan golok lawan, lalu bergerak cepat menghantam dadanya. Terdengar tulang dada orang tua itu berderak patah. Dari mulutnya menyembur darah segar. Pandangannya berkunang-kunang beberapa saat ketika tubuhnya berusaha bangkit.

Desss!

Kembali Ki Sempur Walang terlempar, dan menjerit kesakitan ketika satu tendangan pemuda itu membuat isi perutnya seperti diaduk-aduk. Kali ini dari mulutnya berulang-ulang memuntahkan darah segar, dan tubuhnya tak mampu bangkit lagi.

“Kisanak, kukira cukuplah pelajaran bagimu. Jangan sekali-sekali lagi mencoba berbuat kurang ajar terhadap perempuan yang tak berdaya!” dengus Rangga dan mengajak Rara Ningrum serta putranya berlalu dari tempat itu.

Begitu tiba di rumah, Samiaji langsung menceritakan peristiwa tadi kepada neneknya, sambil tak lupa memuji-muji kehebatan Pendekar Rajawali Sakti.

“Urusan ini tak akan selesai sampai di sini...,” keluh si nenek pelan. Suaranya lirih, hampir tak terdengar.

“Nyi, sedikit banyak aku telah terlibat dalam urusan ini. Ada baiknya kuselesaikan saja, dan langsung berhadapan dengan Juragan Bonteng,” kata Rangga.

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Memperingatkannya agar tak berbuat semena-mena!”

“Hhh...,” Nyi Larasati menghela napas pendek.

“Kalian tunggu saja di sini. Aku akan bicara pada Juragan Bonteng, dan sekaligus pada kepala desa,” ujar Rangga seraya bangkit dan berlalu dari situ.

Nyi Larasati mau mencegah. Tapi Rangga sudah melesat cepat. Perempuan tua itu menggeleng-gelang lemah. Berkali-kali dia mendesahkan napas berat.

“Juragan Bonteng tak semudah yang dibayangkannya....” 

***
TIGA
Sejak tadi, Juragan Bonteng sudah gelisah menunggu kedatangan Ki Sempur Walang. Seharusnya, orang tua itu sudah datang, tapi sampai kopi dicangkirnya tandas, belum juga terlihat batang hidungnya.

“Cagaaak...!” teriaknya.

Laki-laki bernama Cagak itu buru-buru menghampiri majikannya di beranda depan. Wajahnya tampak ketakutan.

“Ada apa, Juragan?”

“Mana Ki Sempur Walang?”

“Eh, ng... memang belum datang juga, Juragan?”

“Masih banyak tanya lagi?! Panggil dia cepat. Kalau masih membantah, katakan aku akan memecatnya sekarang juga!”

“Baik, Juragan.”

Baru saja Cagak Layung akan memutar tubuhnya. Terlihat orang yang sedang dibicarakan berada di pintu pagar. Lelaki tua itu berjalan tertatih-tatih sambil mendekap dadanya. Dari raut wajahnya, nampak bias kesakitan hebat Cagak Layung pun segera menghampiri dengan heran.

“Ki Sempur, apa yang terjadi...?”

“Diam kau!” Cagak Layung menelan ludahnya, mendengar bentakan Ki Sempur Walang. Dalam hatinya semakin tak suka melihat kelakuan orang tua itu begitu membencinya.

“Ki Sempur, apa yang telah terjadi? Kau habis bertarung?” tanya Juragan Bonteng heran.

Orang tua itu duduk di kursi depan. Napasnya diatur beberapa saat, sebelum menjawab pertanyaan laki-laki berperut gendut itu.

“Tidak apa-apa! Aku terjatuh....”

Juragan Bonteng mengernyitkan dahi. Sekilas bisa mengetahui kalau Ki Sempur berbohong. Tapi, untuk berterus terang mengatakan yang sebenarnya, tentu akan membuat orang tua itu tak senang.

“Ada apa kau menyuruh Cagak Layung memanggilku?”

Juragan Bonteng menghela napas sesak. Kalau saja urusannya bukan soal perkelahian, mungkin masih bisa berharap banyak pada orang tua ini. Tetapi, melihat keadaan Ki Sempur demikian, tentu tak bisa diandalkan. Tetapi..., apa betul Ki Sempur babak belur dihajar seseorang? Siapa yang telah berani berbuat demikian di desa ini?

“Ada persoalan apa, Juragan Bonteng?!” tanya Ki Sempur mengulangi pertanyaannya. Kali ini lebih keras.

“Si Gondo kemarin sore dipukul seseorang. Cagak Layung sudah kukirim untuk menghajar orang itu. Tetapi, dasar ayam sayur, mereka malah babak belur. Nah, bisakah kau membereskannya sekarang?” tanya Juragan Bonteng, setelah menghela napas pendek.

“Siapa orang itu?”

“Entahlah, orang asing. Dia berada di rumah Nyi Larasati saat ini....”

“Pemuda berambut panjang dan berbaju rompi?”

Bola mata Ki Sempur terbuka lebar, menduga orang yang dimaksud Juragan Bonteng.

“He, Cagak Layung! Bagaimana pemuda yang kau katakan itu?!” teriak Juragan Bonteng.

“Ya, pemuda berambut panjang dan berompi putih,” jelas Cagak Layung mantap.

“Sial!” dengus Ki Sempur Walang sambil menghantam meja.

“Kenapa?” tanya Juragan Bonteng heran.

Ki Sempur Walang tak sudi menjawab. Hanya wajahnya saja yang geram menunjukkan isi hati penuh dendam. Sangat memalukan, dirinya yang selama ini ditakuti dan tak seorang pun berani menentang, tiba-tiba dijatuhkan seorang pemuda di hadapan wanita yang selama ini dikejarnya.

“Ki Sempur, bisakah kau membereskan pemuda itu? Kalau dibiarkan saja, dia akan besar kepala dan menginjak-injak wibawaku!” desak Juragan Bonteng, meminta bantuan laki-laki tua itu.

Ki Sempur belum menjawab, ketika dilihatnya beberapa anak buah Cagak Layung mencoba menahan seorang pemuda yang berusaha masuk ke dalam. Ki Sempur menyipitkan mata, dan bertanya pelan pada Cagak Layung yang berada di dekatnya.

“Cagak Layung, pemuda itukah yang kau maksud?”

“Betul, Ki....”

Juragan Bonteng terkejut mendengar jawaban Cagak Layung. “Mau apa dia ke sini?”

Cagak Layung dan Ki Sempur Walang terdiam. Di depan sana, terlihat keempat anak buah Cagak Layung telah mencabut sebilah golok masing-masing dan bersiap akan menyerang pemuda itu.

“Juragan Bonteng, beginikah caramu menerima tamu yang akan berkunjung secara baik-baik?!” teriak pemuda itu keras.

Juragan Bonteng terpaku sesaat. Diliriknya Cagak Layung dan Ki Sempur Walang. Tetapi, mereka membisu dan tak memberikan jawaban apa pun.

“Biarkan dia masuk!” perintah Juragan Bonteng akhirnya.

Keempat penjaga itu langsung menyarungkan golok dengan wajah penasaran. Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu, melangkah pelan dan memperhatikan ketiga orang yang berada di beranda depan. Dua orang telah dikenalnya, dan pikirannya cepat membuat kesimpulan, laki-laki berperut buncit itulah tentunya Juragan Bonteng.

“Kaukah yang bernama Juragan Bonteng?” tanyanya perlahan.

Juragan Bonteng salah tingkah. Tetapi akhirnya, dia mengangguk pelan dan menyilakan pemuda itu duduk.

“Terima kasih,” sahut Rangga, mengambil tempat persis di depan mereka.

“Ada keperluan apa Kisanak datang kemari? Dan, siapa Kisanak sebenarnya?” tanya Juragan Bonteng, berpura-pura ramah.

“Aku cuma pengembara biasa yang kebetulan lewat. Namaku Rangga, terlebih dulu aku merasa perlu meminta maaf, Kisanak. Sesungguhnya, aku tak akan berlaku kasar terhadap orang-orangmu kalau mereka tidak mulai lebih dulu. Kedatanganku ke sini, membawa beberapa maksud. Pertama, ingin ku jelaskan tuduhan putra mu. Aku tidak pernah memukulnya sekali pun. Malah, dia bersama kawan-kawannya memukuli putra Rara Ningrum. Dan, aku berusaha melerai,” jelas Rangga tenang.

“Yang kedua, aku ingin Ki Sempur Walang jangan mengganggu Rara Ningrum lagi, juga kau, Juragan Bonteng. Aku mohon, jangan menambah penderitaan Nyi Larasati dengan memburuk-burukkan keluarga mereka. Bagaimana, Juragan Bonteng?”

Laki-laki berperut buncit itu tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala. “Tentu saja, Kisanak. Aku percaya kau menyatakan yang sejujurnya!” Lalu, laki-laki itu berpaling pada Ki Sempur Walang, “Kau dengar, Ki Sempur? Aku tak mau mendengar kau mengganggu Rara Ningrum lagi!”

“I..., iya, Juragan.”

“Nah, kau dengar itu, Kisanak? Ki Sempur telah berjanji. Ada lagi yang ingin kau sampaikan padaku?”

Rangga tersenyum kecil, dan bangkit dari duduknya. “Terima kasih atas kemurahan hatimu, Kisanak. Aku akan selalu mengingatnya. Tetapi, percayalah..., aku akan datang kembali ke sini kalau ternyata kalian melanggar janji,” tegas Pendekar Rajawali Sakti sebelum berlalu dari sana.

Wajah Juragan Bonteng, yang sejak kehadiran pemuda itu selalu tersenyum-senyum, seketika berubah setelah Pendekar Rajawali Sakti menghilang dari tempat itu.

Brakkk!

Ki Sempur Walang dan Cagak Layung terkejut. Juragan Bonteng menggebrak meja sekuat-kuatnya. “Huh! Percuma saja kubayar kalian! Ki Sempur, biasanya kau garang?! Mengapa diam saja mendengarkan pemuda itu membuka mulut seenaknya? Apakah kau telah dihajarnya tadi?!”

Ki Sempur Walang terdiam.

“Ayo katakan! Apa kau telah dipecundanginya?!” Ki Sempur Walang menganggukkan kepala lemah.

“Sial!”

“Sungguhkah kau ingin menghajar pemuda itu?” tanya Ki Sempur Walang perlahan.

“Tentu saja! Dia sangat kurang ajar, dan harus diberi pelajaran!”

“Ng.... Ada seorang kenalanku yang berilmu tinggi, dan selama ini tak terkalahkan. Kalau kau bersedia, aku bisa membujuknya. Tapi....”

“Apa?! Uang? Aku tak peduli. Bawa dia ke sini, dan aku akan membayar tinggi!” sahut Juragan Bonteng.

“Baiklah kalau begitu. Sekarang juga, aku akan berangkat menemuinya. Tapi... aku perlu uang untuk ongkos perjalanan dan membayar uang muka....”

“Huh!” Juragan Bonteng mengeluarkan beberapa keping uang emas dari sakunya.

“Terima kasih, Juragan!” ujar Ki Sempur Walang, tersenyum-senyum kecil menerima kepingan uang itu.

“Bawa dia secepatnya!”

“Cagak, ayo ikut aku!”

“Tidak! Biarkan dia di sini!” tahan Juragan Bonteng cepat.

Ki Sempur cuma mengangkat bahu, dan berlalu secepatnya dari situ.

“Ke sini kalian!” panggil Juragan Bonteng pada Cagak Layung dan kawan-kawannya, setelah Ki Sempur Walang berlalu.

“Ada apa, Juragan?”

“Awasi pemuda itu. Jangan sampai terlepas dari pengawasan kalian. Orang itu harus mendapat pelajaran pahit, agar dia tahu siapa aku sebenarnya!”

“Sekarang, Juragan?”

“Kapan lagi?!”

“Ba... baik, Juragan!” sahut Cagak Layung, langsung mengajak kawan-kawannya berlalu dari sini.

Dari jauh, Juragan Bonteng mendengus sinis sambil berkali-kali menatap mereka sampai hilang dari pandangannya. Hatinya geram bukan main. Tak pernah dia menjadi orang sebodoh itu. Tetapi, melihat Cagak Layung dan Ki Sempur Walang diam tak berkutik, apa-lagi yang bisa diperbuatnya selain menuruti kemauan pemuda itu?

***

Nyi Larasati beserta putri dan cucunya menyambut kedatangan Rangga dengan wajah harap-harap cemas. Rangga tersenyum, dan meneguk air dingin yang disuguhkan Rara Ningrum.

“Apa yang telah terjadi?” tanya Rara Ningrum tak sabar.

“Aku telah bicara dengan kepala desa, tapi beliau menyerahkan persoalan padaku. Lalu aku datang ke tempat Juragan Bonteng.”

“Lalu?”

“Meminta agar dia jangan mengganggu kalian lagi. Terutama, Ki Sempur Walang. Juga, telah ku jelaskan duduk persoalan yang terjadi pada anaknya. Lalu, aku juga meminta padanya agar tidak memburuk-burukkan keluarga kalian...,” jelas Rangga.

“Apakah dia menolak dan marah?” tanya Nyi Larasati cemas.

Rangga tersenyum dan menggelengkan kepala. “Tidak Juragan Bonteng sangat baik, dan menyanggupi permintaanku.”

Nyi Larasati dan putrinya saling berpandangan. Tak sedikit pun terbias perasaan gembira di wajah mereka mendengar penuturan pemuda itu. Tentu saja, hal ini membuat Rangga heran.

“Ada apa, Nyi? Apa kalian tidak suka dengan caraku? Aku datang baik-baik pada Juragan Bonteng, dan sama sekali tak memaksanya. Adakah hal lain yang kalian sembunyikan?”

“Tidak..., terima kasih. Kami terlalu banyak merepotkanmu. Mudah-mudahan, Juragan Bonteng menepati janjinya...,” sahut Nyi Larasati sambil menggeleng lemah.

“Hm, ya. Kalau begitu aku mohon diri. Masih banyak yang akan kukerjakan,” pamit Rangga sambil bangkit dari duduknya.

“Begitu cepatnyakah?” tanya Rara Ningrum, seperti tak rela pemuda itu berlalu begitu saja.

“Paman mau ke mana?” tanya Samiaji sambil memegangi tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga tersenyum dan berjongkok, hingga wajahnya persis di depan bocah itu. “Paman harus pergi. Baik-baiklah kau dengan ibu dan nenekmu, ya?”

“Kenapa musti pergi? Tidak sukakah Paman tinggal bersama kami?”

“Tentu saja Paman suka. Tapi, kali ini ada sesuatu yang harus Paman kerjakan....”

“Setelah urusan Paman selesai, apakah Paman akan berkunjung kemari lagi?”

Rangga terdiam. Pandangannya beralih pada Rara Ningrum dan Nyi Larasati. Kedua wanita itu diam, tak memberikan reaksi. Rangga kembali menatap Samiaji sambil tersenyum kecil.

“Paman pergi dulu, ya?”

“Paman belum menjawab pertanyaanku...,” desah si bocah lirih.

Rangga terdiam, beberapa lama. Pertanyaan Samiaji sulit untuk dijawab. Kalau mengatakan akan kembali, sebenarnya dia tidak akan ke sini lagi. Dan, Rangga tidak mau mendustai anak itu. Mengatakan tidak akan kembali ke tempat ini lagi, rasanya tak tega melihat wajah Samiaji itu yang sangat berharap dirinya selalu berada di dekatnya. Tapi yang paling terpenting, tak boleh mengajarkan kebohongan. Hal itu akan menyakitkan bagi bocah seusia Samiaji.

“Samiaji, Paman mungkin tidak ke sini lagi. Setelah menyelesaikan satu urusan, urusan lain telah menanti. Hidup Paman tak pernah menetap di satu tempat...,” jelas Rangga.

Samiaji terdiam. Diperhatikannya wajah pemuda itu agak lama, kemudian kepalanya ditundukkan dengan wajah sedih. Suasana haru itu buyar ketika di kejauhan terdengar bunyi-bunyian yang menyita perhatian mereka semua. Di ujung jalan menuju desa, terlihat suatu rombongan yang akan melewati jalan utama desa.

“Siapa mereka?” tanya Rangga seperti pada diri sendiri. Dengan mengerahkan ilmu Tatar Netra, matanya mampu melihat jelas rombongan itu. Tampak beberapa pedati sarat muatan, dan beberapa penunggang kuda dengan pakaian aneka warna. Pendekar Rajawali Sakti mengernyitkan dahi. Siapakah mereka?

“Akan ada keramaian di desa ini,” gumam Nyi Larasati.

“Keramaian bagaimana, Nyi?”

“Rombongan kesenian yang sering berkeliling ke desa-desa.”

Rangga masih menunjukkan wajah heran, tidak mengerti akan penjelasan perempuan tua itu. Kemudian, Nyi Larasati menjelaskan secara singkat mengenai orang-orang itu. Rangga menganggukkan kepala.

“Ada permainan untuk anak-anak?” Kadang-kadang, mereka juga suka melakukan akrobat Kau tertarik untuk menontonnya?”

Rangga tersenyum tipis dan melirik Samiaji. “Kau suka menonton pertunjukan akrobat, Samiaji?”

“Suka sekali! Paman mau mengajakku?!” tanya bocah itu penuh harap.

“Baiklah. Kalau memang kau suka, Paman akan mengajak mu nanti malam,” janji Rangga.

“Horeee! Jadi Paman akan tinggal bersama kami?!” Samiaji berteriak kegirangan.

Rangga tak menjawab, melainkan hanya tersenyum kecil. Digendongnya bocah itu dan dibawanya berlari-lari sambil bermain-main di atas pohon. Kemudian ditunjukkannya beberapa permainan akrobat yang membuat bocah itu tercengang kagum dan tertawa-tawa kegirangan.

“Samiaji senang sekali akan kehadiran pemuda itu...,” gumam Nyi Larasati.

“Ya..,” sahut Rara Ningrum.

“Kalau saja pemuda itu menjadi suamimu, alangkah senangnya Samiaji. Hidupmu tentu tidak menderita begini, Rara....” Perempuan tua itu menoleh ke arah Rara Ningrum sambil merangkul pundaknya.

“Siapa yang berani berharap begitu, Bu...?” tanya Rara Ningrum lirih, mengerti maksud perkataan ibunya.

“Aku tak berharap, hanya berdoa untuk kebahagiaanmu.“

“Aku sudah cukup bahagia bisa mengasuh dan membesarkan Samiaji....”

“Dalam gunjingan seluruh orang desa? Ah, memang salahku menurunkan karma ini kepadamu,” keluh Nyi Larasati.

“Sudahlah, Bu. Aku menerima semua ini sebagai suratan takdir. Tak ada yang perlu disesali....”

“Tidak bisa! Aku telah bersumpah, jika keparat itu kutemukan, akan kuhajar kepalanya dengan kedua tanganku ini!” geram Nyi Larasati.

Rara Ningrum tak bisa berkata apa-apa lagi. Jika sudah membicarakan Samiaji, dan penderitaan yang ditanggungnya selama ini, kenangan buruk itu selalu melintas dan tertumpah dalam air mata yang merembang di kelopak matanya. Rara Ningrum berlari kecil ke dalam. Dan, Nyi Larasati menyusul dengan wajah menyesal. 

***
EMPAT
Mata lelaki itu sipit dan selalu tampak berair. Tubuhnya agak bungkuk meski usianya belum terlalu lanjut. Bajunya lusuh seperti pengemis. Tetapi, raut wajahnya berkesan angkuh dan menganggap remeh semua orang. Begitu juga ketika berhadapan dengan Juragan Bonteng. Seakan tak peduli, kedua kakinya diangkat begitu saja di atas meja. Dari sela-sela bibirnya mengepul asap rokok kawung membentuk bulatan-bulatan tebal.

“Tahukah kau apa yang harus dilakukan?” tanya Juragan Bonteng menegaskan.

Juragan gendut itu tak yakin, kenalan Ki Sempur Walang ini mampu menangani pemuda yang telah membuatnya susah tidur. Sejak tadi, Corak Genggong bersikap acuh tak acuh. Matanya yang sipit dan selalu berair, terkantuk-kantuk menikmati hisapan asap rokok yang terus mengepul.

“Hm..., itu soal kecil. Bahkan kalau Juragan mau, aku bisa membuatnya mampus dalam sekali pukul.”

“Aku tak peduli! Kalau kau bisa membuatnya mampus, itu lebih baik lagi!”

“He he he...! Tapi upahnya.”

“Jangan khawatir, berapa pun yang kau minta pasti ku penuhi!”

“Seratus keping uang emas!”

“Apa?!” Sepasang mata Juragan Bonteng tampak membulat. Hatinya sangat terkejut, dan tidak pernah membayangkan akan diminta upah sebanyak itu. Seratus keping uang emas, bukan jumlah yang sedikit. Dirinya sendiri harus mengumpulkan dengan susah payah.

“Ya sudahlah. Kalau Juragan tidak setuju cari saja orang lain...,” sahut Carok Genggong sambil bangkit berdiri.

“Eh, sabar dulu. Sabar dulu.... Kau yakin mampu membereskannya?” tanya Juragan Bonteng meyakinkan.

“Lebih baik aku bunuh diri jika tak mampu membereskan bocah ingusan!” ujarnya sombong.

“Baiklah. Akan kuberi seperempat bagian dulu, sisanya akan ku lunasi bila kau telah membawa kepala pemuda itu.”

“He he he...! Carok Genggong tak pernah menerima upah setengah-setengah. Bila jadi, katakan jadi. Dan, beri upah seutuhnya. Tapi bila tidak, katakan tidak. Dan, aku akan berlalu secepatnya dari sini,” tegas orang bermata sipit itu tak senang.

“Aku tak punya uang sebanyak itu sekarang. Bagaimana kalau kubayar tujuh puluh lima keping dulu, dan sisanya ku lunasi lima hari lagi?”

Carok Genggong berpikir beberapa saat, sebelah akhirnya menganggukkan kepala. “Hm..., tak apalah. Hitung-hitung membantu majikan sobatku. Kalau bukan majikan Ki Sempur, mana mungkin kuterima. Nah, katakan di mana aku bisa menjumpainya? Akan kubereskan sekarang juga!”

“Di rumah Nyi Larasati. Ki Sempur Walang akan mengantarmu ke sana. Bukan begitu, Ki Sempur?”

“Betul, Ki Carok. aku akan mengantarmu sekarang juga,” sahut Ki Sempur Walang.

“Hm, kalau begitu kami berangkat sekarang!” ujar Carok Genggong sambil membuang puntung rokok. Dengan diikuti Ki Sempur Walang, mereka langsung membalikkan tubuh dan berlalu dari tempat itu.

Juragan Bonteng menghela napas lega, dan berharap Carok Genggong mampu mengatasi pemuda yang telah menghina dirinya.

“Kau percaya pada orang itu, Juragan?” tanya Cagak Layung sinis.

“Kalau tidak, siapa lagi yang harus dipercaya? Sebenarnya, aku tak suka orang itu. Sikapnya sangat sombong dan meremehkan diriku. Kalau tugasnya sudah selesai, aku ingin dia segera angkat kaki dari sini!”

“Aku malah khawatir, dirinya akan menjadi penghalang, Juragan.”

“Maksudmu?”

“Iya..., melihat sikapnya yang sangat meremehkan Juragan, bisa menjadikannya besar kepala dan berpikir untuk menetap di sini selamanya. Kalau sampai terjadi demikian, keberadaan Juragan akan terancam,” jelas Cagak Layung.

Juragan Bonteng merenungi dugaan Cagak Layung. Kemudian kepalanya terangguk-angguk dengan wajah kebingungan.

“Benar juga katamu....”

“Itulah Juragan. Sebaiknya, jangan mempercayai orang yang baru dikenal.

“Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanya Juragan Bonteng kesal. “Setan keparat! Pemuda sial itu benar-benar membuat otakku buntu!”

“Jangan takut, Juragan. Masih banyak cara mengatasi pemuda itu,” saran Cagak Layung tenang.

“Sudahlah, jangan berbelit-belit! Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Juragan Bonteng tak sabar.

Cagak Layung beranjak mendekati juragannya. “Aku punya seorang kawan yang bisa diandalkan. Kalau orang itu gagal, Juragan boleh mempercayai kawanku...,” suara Cagak Layung terdengar berbisik.

Mata Juragan Bonteng mendelik dan raut wajahnya berubah tak senang. “Kalian berdua sama saja! Ingin menguras hartaku dengan alasan macam-macam!”

“Eh, jangan salah paham, Juragan! Kawanku tidak mata duitan seperti yang tadi. Bila mendengar ada orang sakti, akan didatangi dan ditantangnya orang itu. Lalu, diajak bertarung habis-habisan,” jelas Cagak Layung.

Juragan Bonteng kembali berpikir. Akalnya yang licik segera bekerja. Ada baiknya, memanfaatkan orang itu bila kata-kata Cagak Layung benar. Bagaimanapun, dibandingkan dengan Ki Sempur, Cagak Layung lebih bisa dipercaya. Orang itu telah bekerja lebih lama daripada Ki Sempur. Juragan Bonteng tahu betul watak dan kebiasaannya.

“Bawa segera orang itu. Tidak usah menunggu Carok Genggong berhasil atau tidak,” perintah Juragan Bonteng.

“Baik, Juragan!” Cagak Layung segera mengajak kawan-kawannya, setelah mendengar keputusan Juragan Bonteng.

***

Rombongan itu memang kelompok kesenian yang sering berpindah-pindah. Mereka merencanakan singgah di desa itu selama beberapa hari. Mengadakan sandiwara panggung, akrobat dan beberapa hiburan lain. Pemuda berompi putih itu tersenyum girang melihat si bocah tertawa-tawa. Beberapa orang sedang melakukan akrobat, sambil sesekali melakukan adegan lucu yang mengundang gelak tawa.

“Paman, aku ingin melihat dari dekat,” pinta si bocah berusaha menyelip di antara kerumunan penonton lain.

“Hati-hati, Samiaji!”

“Jangan khawatir, Paman!”

Pemuda yang dipanggil Paman tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya menggeleng-geleng melihat kelakuan Samiaji. Sejak tadi, Samiaji merasa tak puas terhalang orang-orang di depannya. Rangga telah berusaha mendudukkan Samiaji di pundaknya. Tetapi, banyaknya orang-orang yang menonton pertunjukkan, membuat Samiaji masih merasa tak leluasa.

“Dasar bocah keras hati...,” gumamnya.

“Yang jelas, sifat anak tentu mewarisi sifat orang-tua....”

“Heh!” Rangga tersentak kaget mendengar seseorang menyahuti gumamnya.

Seketika kepalanya menoleh ke belakang, dan melihat seorang gadis berbaju hijau dengan rambut dikuncir ke belakang. Mulutnya tersenyum lebar padanya. Wajahnya cantik dengan kulit kekuning-kuningan dan halus. Bibirnya kecil dan merah, dengan hidung lancip serta bola mata bulat berbinar-binar. Kedua alis matanya hitam dan lebat. Sepintas saja, setiap laki-laki akan terpikat melihat parasnya. Terlebih melihat tubuhnya yang, padat berisi dibungkus pakaian ketat. Melihat gerak-gerik serta wajahnya, usia gadis itu tak lebih dari enam belas tahun. Rangga juga menduga demikian.

“Apakah kau bicara padaku?” tanya Pendekar Rajawali Sakti ragu.

“Aku bicara pada orang yang merasa kuajak bicara,” sahut gadis itu enteng.

“Hm, maaf. Kalau begitu aku salah duga...,” lanjut Rangga sambil memalingkan tubuh kembali.

“Kalau bapaknya angkuh, tentu anaknya akan lebih angkuh lagi....”

Rangga mendiamkan ocehan gadis itu.

“Orang angkuh biasanya berhati busuk!” Kata-kata gadis itu mulai agak keras dan terdengar jengkel.

Rangga masih pura-pura tidak mendengar. Matanya tetap tertuju pada orang-orang yang sedang mempertunjukkan akrobat.

“He, Pemuda Sial! Kau tidak mendengar suaraku?!”

Rangga masih tetap tak peduli dimaki demikian.

“Sombong!” dengus gadis itu kesal. Rupanya, gadis itu betul-betul jengkel. Maka ketika melihat perhatian Rangga tertumpah pada pertunjukan di depan, tiba-tiba gadis itu melesat melewati kepala orang-orang yang menonton. Lalu, kakinya dijejakkan persis di tengah arena. Tentu saja hal itu mengundang kagum penonton. Mereka mengira perbuatannya bagian dari pertunjukkan.

“He, Kisanak! Berbarislah kalian di sana!” perintah si gadis pada lima orang anggota rombongan yang sedang memainkan akrobat. Merasa tidak mengenal si gadis, tentu mereka ragu-ragu menuruti perintahnya.

“He, kalian tidak mendengar perintah?!” bentaknya sambil membelalak mata.

“Siapa kau? Kami tak mengenalmu?” tanya salah seorang yang bertubuh tinggi kurus. Orang itu sangat ahli melipat-lipat tubuhnya, seperti tidak bertulang saja. Dan dialah pimpinan dalam kelompok ini.

“Sial!”

“Heh!” Tiba-tiba tubuh si gadis melesat ringan di atas kelima orang itu sambil menjejakkan kakinya satu persatu. Perbuatannya tentu sangat menghina. Terutama, mereka tidak mengenal si gadis itu. Ketika giliran si tinggi kurus, kepalanya segera ditundukkan sambil tangannya diayunkan untuk menjegal.

“Kurang ajar!”

“Hihhh!” Tetapi si gadis telah menduganya. Dengan kaki yang lain, ditendangnya kepala orang itu. Si tinggi kurus pun bukan orang sembarangan. Dengan cepat, dia menghindari tendangan ke arah kepala.

“Yeaaa...!”
Plak! Des!
“Akh!”

Si tinggi kurus terpekik kesakitan. Dengan gerakan kilat, si gadis telah berbalik dan menghajar punggungnya. Tubuhnya terjerembab. Namun, cepat bangkit kembali. Ternyata, hal itu mengundang perhatian penonton. Mereka yang mengira adegan tadi sebagai bagian dari pertunjukan, kini mulai mengerti perkelahian itu sesungguhnya. Ada yang senang, tapi ada pula yang menanggapinya dengan kesal. Beruntung, hal itu tidak berlanjut ketika salah seorang mendatangi arena.

“Nisanak, siapakah kau? Mengapa mengganggu kami?” tanya seorang tua bertubuh kecil. Wajahnya ramah dan tutur katanya halus.

“Huh! Dasar orang-orang goblok! Siapa yang mengganggu? Justru aku ingin membantu agar pertunjukan lebih hidup dan hebat!” sahut si gadis ketus.

Orang tua bertubuh kecil itu masih tersenyum. “Terima kasih atas niat baikmu, Nisanak. Bukan kami tidak menerima bantuan orang lain, tapi bagaimanapun buruknya penampilan kami di mata penonton, kami akan berusaha memperbaiki tanpa diajari orang lain. Harap kau mengerti.”

“Huh, terserah!” dengus si gadis sambil beranjak pergi

“Nisanak, kau melupakan sesuatu! Tolong kembalikan ikat kepala salah seorang anggota yang ada di tanganmu!” pinta orang tua itu.

“Nih, ambil sendiri!” sahut si gadis sambil membalikkan tubuh. Tangannya menjulurkan ikat kepala merah ke arah orang tua. Dalam segebrakan tadi, gadis itu memang berhasil mempecundangi lawan dan menyambar ikat kepala si tinggi kurus. Dan, ketika hendak berlalu, sebenarnya dia pun tak lupa akan hal itu. Malah memang disengaja untuk melihat reaksi orang tua itu. Dan inilah kesempatan untuk melampiaskan kejengkelan hatinya. Orang tua bertubuh kecil itu menyipitkan mata sambil tetap tersenyum. Dengan sikap tenang dan perlahan-lahan, didekatinya si gadis. Tangannya terjulur hendak mengambil sehelai kain kecil itu.

“Hup!”
“Heh!”
Plas!

“Terima kasih atas kebaikan dan pengertianmu, Nisanak!” sahut si orang tua sambil terkekeh kecil. Diberikannya ikat kepala yang berhasil direbut dari tangan si gadis itu kepada pemiliknya semula.

Si gadis merasa sangat gusar. Isi dadanya terasa ingin meledak menahan geram. Bermaksud ingin memberi pelajaran tapi dia sendiri yang diberi pelajaran. Sengaja dipegangnya ujung kain sedikit erat, dan ujung kain lainnya terulur ke arah si orang tua. Begitu terpegang, buru-buru dikerahkan tenaga dalam hingga membuat ikat kepala itu menegang kaku.

Tapi, si orang tua tak kalah sigap. Kain pengikat kepala yang kaku itu diputarnya seperti mata bor dalam genggaman si gadis. Tentu saja si gadis terkejut. Dan, dengan satu sentakan kecil, ikat kepala itu kembali melemas ketika si orang tua menariknya.

“Ha ha ha...! Terima kasih, Kisanak. Kau membuat kedua mata muridku terbuka. Gadis itu memang nakal sekali dan suka usil mengganggu orang lain. Maafkan keteledoranku, hingga melepasnya begitu saja!”

“Heh!” Orang bertubuh kecil itu tersentak kaget. Di sana telah berdiri sesosok tubuh yang lebih tinggi sedikit darinya. Bajunya kumal seperti pengemis, dan tubuhnya kurus. Mukanya merah dan di tangannya terlihat sebuah guci kecil berisi arak. Melihat kerut-merut dan rambutnya yang telah memutih, bisa diduga usia mereka tidak terpaut jauh. Sekitar enam puluh tahun.

“Hm, tak apa Kisanak. Memang kusadari hal itu. Dan maafkan pula kekasaranku terhadap muridmu. Kalau kalian sudah mampir ke tempat kami yang hina ini, mengapa tidak langsung saja ke gubuk kami yang reot? Untuk sekadar minum seteguk atau dua teguk air? Kulihat kalian telah melakukan perjalanan melelahkan,” ujar orang tua bertubuh kecil itu ramah.

Sengaja dikatakannya hal itu untuk menghormati tamunya. Orang tua bertubuh kecil ini memang tidak menyukai keributan. Bila seorang tamu menunjukkan niat baik, dia pun tak segan bersikap baik pula. Dan, ternyata hal itu disambut baik si orang tua berbaju gembel.

“Ah, terima kasih, Kisanak. Aku si Palat Diga, dan muridku tentu mendapat kehormatan besar mendapat undanganmu.”

“Hm, sebaliknya aku si tua, Teguh Narada, mendapat kehormatan besar kunjungan seorang pendekar sepertimu,” balas orang tua bertubuh kecil merendah.

“Nah, Wulansari, kau harus memberi hormat dan meminta maaf atas kelakuanmu tadi! Ayo, beri hormat dan minta maaf!” bentak Ki Palat Diga.

Tapi, gadis itu rupanya pembangkang. Sambil memberengut, dia malah berlalu dari tempat itu. Gurunya hanya menangani sambil terkekeh-kekeh. Lalu, diajaknya orang tua bertubuh kecil itu menuju gubuk-nya.

“Dasar anak keras kepala! Sulit diatur. Pasti dia akan kembali dan membawa persoalan yang menyusahkanku...,” gumam Ki Palat Diga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kakinya terus mengikuti langkah Ki Teguh Narada yang berjalan lebih dulu.

***