Sementara itu, di dalam sebuah ruangan penjara bawah tanah, seorang laki-laki
tua berjubah putih tampak terikat dengan kedua tangan terentang. Kedua kakinya
juga terikat rantai. Pakaian putih yang sudah terlihat koyak, juga telah
banyak dinodai darah kering. Dari sudut bibimya masih terlihat mengalir darah.
Dari pelipisnya yang sobek, juga terlihat aliran darah, walaupun tidak
deras.
Perlahan laki-laki tua itu mengangkat kepalanya ketika pintu besi ruangan
penjara bawah tanah itu terbuka. Kemudian, muncul seorang pemuda tampan
berbaju merah muda dari bahan sutera halus, diiringi empat orang laki-laki
berpakaian panglima perang. Mereka adalah Danupaksi dan empat orang panglima
perang Kerajaan Karang Setra. Meskipun dalam keadaan yang sangat payah, tapi
sorot mata orang tua itu sangat tajam menatap Danupaksi yang sudah berada
dekat di depannya.
"Kasihan sekali.... Sebenarnya aku tidak ingin membuatmu menderita, Ki Lintuk.
Tapi kau sangat keras kepala. Jadi, terpaksa harus kugunakan kekerasan untuk
membuka mulutmu," kata Danupaksi dengan nada suara dingin sekali.
"Apa pun yang kau lakukan, aku tidak akan memberi tahu tempat penyimpanan
kunci pusaka kerajaan!" tegas Ki Lintuk.
"Keparat..!"
Diegk!
"Ugkh...!"
Cepat sekali tangan kanan Danupaksi melayang, dan tahu-tahu sudah mendarat
tepat di perut Ki Lintuk. Akibatnya, orang tua itu mengeluh dan kontan
terbungkuk. Tapi rantai yang membelenggu kedua tangannya ke dinding membuat
tubuhnya tetap berdiri. Darah langsung muncrat dari mulutnya, ketika perutnya
terhantam tangan kanan Danupaksi yang begitu keras tanpa pengerahan tenaga
dalam.
"Kau benar-benar keras kepala, Ki Lintuk!" desis Danupaksi.
"Phuih!"
Ki Lintuk menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Hampir saja ludah
bercampur darah itu mengenai baju, kalau saja Danupaksi tidak segera
menghindar ke belakang.
"Setan...! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat" geram Danupaksi.
Tangan pemuda itu sudah terangkat naik. Tapi melihat sikap Ki Lintuk yang
menantang, tangan yang sudah tersalur tenaga dalam itu tidak jadi dijatuhkan.
Kalau saja sampai menjatuhkan tangan tadi, sudah dapat dipastikan seketika itu
juga Ki Lintuk tewas dengan kepala pecah.
"Huh!"
Danupaksi mendengus kesal sambil menurunkan kembali tangannya yang sudah
terangkat naik. Kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak, lalu berpaling
ke kiri. Ditatapnya salah seorang panglima yang memegang cambuk dari kulit.
Duri-duri halus terlihat di seluruh badan cambuk kulit itu.
"Cambuk dia!" perintah Danupaksi, berang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut panglima itu.
Dengan ayunan kaki mantap, panglima berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu
melangkah menghampiri Ki Lintuk. Dan tanpa bicara lagi, cambuknya diayunkan
dengan keras. Seketika cambuk itu menggeletar, menyengat tubuh tua yang
terbelenggu rantai pada kedua tangan dan kakinya ini.
Ctar!
"Aaakh...!"
Ctar!
Beberapa kali cambuk itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Lintuk. Akibatnya
orang tua itu menjerit kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya. Beberapa kali
cambukan saja, baju jubah putihnya sudah koyak berlumur darah. Bahkan kulit
tubuhnya pun ikut terkoyak. Sementara, panglima itu terus saja mengayunkan
cambuknya tanpa berkedip sedikit pun.
"Cukup...!"
Cepat Danupaksi memberi perintah, begitu Ki Lintuk sudah tidak lagi bisa
mengangkat kepalanya. Orang tua itu kini jatuh pingsan, tidak tahan menerima
deraan yang begitu pedih dan menyakitkan. Panglima itu segera mundur, dan
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Danupaksi segera meme-rintahkan
panglima lainnya hanya dengan egosan kepala saja.
Panglima yang berada di sebelah kanannya segera melangkah maju sambil membawa
ember kayu penuh berisi air. Dan langsung diguyumya tubuh Ki Lintuk. Seketika,
Ki Lintuk jadi gelagapan dan merintih perih. Memang seluruh tubuhnya yang
terluka akibat cambukan terasa sangat perih saat terguyur air dingin tadi.
Mulutnya meringis merasakan siksaan yang begitu menyakitkan ini. Tapi, sorot
matanya langsung terlihat tajam, menusuk langsung ke bola mata Danupaksi.
"Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan membunuhku, Danupaksi," desis Ki
Lintuk. "Kau tidak akan menjadi raja yang sah tanpa pusaka kerajaan berada di
tanganmu."
"Aku seorang raja sekarang, Ki Lintuk. Aku bisa berbuat apa saja tanpa harus
memegang pusaka kerajaan!" balas Danupaksi tidak kalah dingin.
"Tidak akan ada yang mengakuimu, Danupaksi," begitu dingin nada suara Ki
Lintuk.
"Semua rakyat sudah mengakuiku, Ki Lintuk. Mereka semua sudah percaya kalau
Rangga sudah mangkat Dan mereka melihat sendiri pembakaran mayatnya."
"Dusta...!" bentak Ki Lintuk geram.
"Kau sendiri sudah melihat, Ki Lintuk. Kenapa masih tidak percaya kalau itu
jasad Prabu Rangga...? Sedangkan semua orang mempercayainya."
"Gusti Prabu Rangga pergi bersama Nini Pandan Wangi. Tidak mungkin Gusti Prabu
datang sendiri, apalagi sudah meninggal. Kau dusta, Danupaksi! Dewata akan
menghukummu!" lantang dan agak ber-getar suara Ki Lintuk menahan geram.
"Ha ha ha...!" Danupaksi hanya tertawa saja terbahak-bahak.
Kemudian adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, dan melangkah keluar
dari ruangan penjara bawah tanah. Sedangkan Ki Lintuk berteriak-teriak,
mengatakan kalau Danupaksi hanya membual saja.
Tapi memang diakui, semua orang melihat tiga orang perambah hutan mengusung
jasad Rangga dan membawanya ke istana. Bahkan semua orang melihat pembakaran
jasad Raja Karang Setra itu. Meskipun semua orang percaya, tapi hanya Ki
Lintuk, Cempaka, Wirapati, dan Paman Rakatala saja yang tidak mempercayainya.
Sehingga, membuat Danupaksi yang tiba-tiba saja jadi berubah perangainya
memerangi mereka.
Sayangnya, hanya Ki Lintuk yang bernasib naas. Dia tertangkap sebelum sempat
keluar dari istana. Sedangkan Cempaka, Wirapati, dan Paman Rakatala sempat
lolos. Walaupun, sempat juga dikejar-kejar para prajurit yang langsung
dipimpin Danupaksi. Dan waktu itu tidak jauh dari perbatasan kota telah
terjadi pertarungan sengit, walaupun tidak memakan korban seorang pun.
Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati bisa meloloskan diri setelah datang
bantuan dari Ki Sangkala yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih.
Walaupun sudah berada dalam kamar tahanan bawah tanah, tapi Ki Lintuk masih
sempat mendengar kalau mereka yang sejalan dengannya berhasil meloloskan diri
dari keserakahan Danupaksi.
"Danupaksi, kau akan menyesal...!" teriak Ki Lintuk.
Brak!
Tapi, suara Ki Lintuk langsung tenggelam begitu pintu penjara bawah tanah yang
terbuat dari besi baja tertutup dengan keras. Orang tua itu masih saja
berteriak-teriak, berusaha menyadarkan Danupaksi yang sudah dikelilingi
setan-setan laknat itu. Dan tentu saja, suaranya tidak bisa terdengar lagi,
karena sedikit pun tidak ada lubang di dalam kamar tahanan ini. Akhirnya, Ki
Lintuk hanya bisa tertunduk lemas, merasakan perih pada seluruh tubuhnya yang
terluka akibat tersayat cambuk tadi.
"Dewata Yang Agung..., bencana apa yang sedang kau limpahkan pada Karang
Setra...?" desah Ki Lintuk lirih.
***
LIMA
Penderitaan yang dialami Ki Lintuk memang sangat pedih. Tapi, lebih pedih lagi
hati Rangga yang melihat beberapa orang terbaring telentang tanpa baju dengan
tangan dan kaki terpancang di tengah-tengah halaman belakang istana. Pendekar
Rajawali Sakti tahu, mereka adalah para punggawa, tamtama, serta beberapa
orang pembesar kerajaan. Rangga yang saat itu berada di atas atap istana,
dapat melihat jelas sekali keadaan di sekeliling Istana Kerajaan Karang Setra
ini.
"Iblis...! Siapa yang melakukan ini...?" desis Rangga menggeram dalam hati.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih saat melihat Danupaksi yang diiringi
empat orang berpakaian panglima perang keluar dari dalam penjara bawah tanah.
Di depan pintu penjara itu, terlihat empat orang prajurit bersenjata tombak
tengah berjaga-jaga. Mereka membungkukkan tubuh untuk memberi hormat pada
Danupaksi.
Dengan ayunan langkah tegap, Danupaksi berjalan menuju ke bangunan istana.
Namun belum juga jauh meninggalkan bangunan penjara bawah tanah itu, mendadak
ayunan kakinya terhenti. Dan kepalanya langsung terdongak ke atas, tepat
menatap ke arah atap tempat Rangga berada. Agak terkejut juga Pendekar
Rajawali Sakti melihat Danupaksi menatap ke arahnya. Dan belum lagi hilang
keterkejutan Rangga, tiba-tiba saja Danupaksi sudah berseru lantang sambil
menunjuk ke atas atap.
"Tangkap maling busuk itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!""
Rangga jadi tersentak kaget melihat empat orang panglima perang berlompatan
cepat sekali ke arahnya. Dan sebelum keempat panglima itu sampai, cepat pula
Pendekar Rajawali Sakti melesat hingga melewati kepala. Beberapa kali pemuda
berbaju rompi putih itu berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya
menjejak tanah, tepat sekitar dua batang tombak lagi di depan Danupaksi.
"Danupaksi...," desis Rangga, bernada tidak percaya kalau Danupaksi
memerintahkan empat panglima menyerangnya.
Bahkan, tadi mengatakan Pendekar Rajawali Sakti itu maling busuk. Sementara,
empat orang panglima sudah kembali berlompatan dari atas atap dan langsung
mengepung. Mereka kini sudah menggenggam pedang yang berkilatan tajam.
"Siapa kau?!" tanya Danupaksi tajam.
"Heh...?! Apa yang kau katakan, Danupaksi...?" Rangga jadi tersentak kaget.
Sungguh Rangga hampir tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Ternyata
Danupaksi seperti tidak mengenal dirinya! Bahkan tadi menanyakan namanya
dengan suara begitu dingin dan tajam. Tentu saja hal ini membuat Pendekar
Rajawali Sakti jadi terheran-heran melihat sikap adik tirinya.
"Ditanya malah bengong! Siapa kau, heh...?!" bentak Danupaksi garang.
"Danupaksi! Apa yang terjadi padamu...?" tanya Rangga bernada keheranan.
"Setan! Apa katamu, heh?! Sembarangan saja menyebutku Danupaksi. Akulah raja
di Karang Setra ini, tahu...?!" garang sekali nada suara Danupaksi.
Rangga jadi tertegun mendengar bentakan Danupaksi. Hampir tidak dipercayai
pendengarannya sendiri. Ternyata, Danupaksi sama sekali tidak mengenalnya.
Bahkan menyebutkan dirinya sebagai raja di Karang Setra ini!
"Tangkap dia...!" perintah Danupaksi lantang, sambil menuding Rangga dengan
jari telunjuknya
"He! Tunggu...!"
Tapi, cegahan Rangga sudah tidak dapat menghentikan empat orang panglima.
Mereka sudah cepat sekali berlompataan menyerang dari empat penjuru mata
angin. Seketika itu juga, di sekitar tubuh Rangga berkelebatan empat batang
pedang yang mengincar bagian-bagian tubuhnya yang paling mematikan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Rangga langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghihdari
setiap serangan keempat panglima yang biasanya patuh pada perintahnya. Tapi
kini, mereka sama saja seperti Danupaksi, Gigih sekali serangan mereka, dan
sama sekali tidak kelihatan bermain-main. Bahkan serangan serangan mereka
sangat berbahaya!
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga terpaksa harus melenting ke udara. Tapi baru saja berputaran satu kali
di udara, sudah terdengar suara menggelegar bernada perintah. Dan bukan main
terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, saat melihat di sekitarnya sudah
mengepung puluhan prajurit yang siap dengan anak panah terpasang di busur!
"Gila...! Aku harus cepat menghindar," desis Rangga dalam hati.
"Hiyaaat..!"
"Seraaang...!"
Tepat di saat terdengar teriakan perintah dari Danupaksi, Rangga melesat
secepat kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat sempurna. Dan di saat itu pula, terlihat puluhan batang anak
panah berhamburan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga manis
sekali bisa meminjam anak-anak panah itu untuk pijakan kakinya. Dan dengan
lesatan yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti melompati tembok benteng
bagian belakang istana ini.
Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga belum juga Danupaksi
bisa memberi perintah lagi, Rangga sudah lenyap tak terlihat lagi setelah
melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh ini.
"Kejar setan keparat itu...!" teriak Danupaksi memberi perintah dengan suara
lantang menggelegar.
Puluhan prajurit segera mengambil kuda dan menggebah keluar dari pintu
belakang benteng istana. Debu seketika mengepul tinggi ke angkasa, begitu para
prajurit yang berjumlah puluhan berhamburan menggebah kudanya mengejar
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu. Danupaksi langsung masuk ke dalam istana sambil menyumpah
serapah, diikuti empat orang panglima yang sejak tadi mengawalnya. Kini derap
langkah kaki kuda para prajurit pun sudah tidak terdengar lagi. Sementara itu,
tanpa ada seorang pun yang tahu, Rangga ternyata bersembunyi di dalam
kerimbunan pohon yang tidak jauh dari benteng bagian belakang istana. Tentu
saja Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat mereka saat memacu kuda keluar dari
lingkungan benteng istana untuk mengejarnya.
"Hm..., tentu jelas terjadi sesuatu yang tidak beres. Rasanya tidak mungkin
Danupaksi tidak mengenaliku lagi...," gumam Rangga berbicara sendiri dalam
hati.
Memang begitu banyak yang belum diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua
yang terjadi di lingkungan istana, menjadikan beban pikirannya saat ini.
Terlebih lagi, setelah melihat sikap Danupaksi tadi. Dia jadi tidak mengerti,
dan terus bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi...?
Benarkah Danupaksi sudah berkhianat? Bahkan kini menjadi raja di Karang
Setra...?! Segudang pertanyaan terus menggayuti kepala Rangga. Dan dia belum
bisa menentukan langkah yang harus ditempuh, melihat penjagaan di istana itu
sangat ketat
"Aku harus mengatakan hal ini pada Pandan Wangi. Dia harus tahu sebelum
terjadi sesuatu padanya," ujar Rangga berbicara sendiri lagi dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat sekali. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat
lagi. Bahkan sedikit pun tak menimbulkan suara saat tubuhnya bergerak melesat
dengan kecepatan tinggi.
***
Rangga begitu terkejut saat mendengar dari Ki Sardan, kalau Pandan Wangi sudah
pergi meninggalkan rumah penginapan di Desa Malingping ini. Sedangkan Ki
Sardan sendiri tidak tahu, ke mana perginya Pandan Wangi. Dan ini membuat hati
Pendekar Rajawali Sakti jadi tidak tenteram. Terlebih lagi, setelah tahu kalau
Danupaksi telah menguasai Istana Karang Setra dengan sikap dan perangai yang
jauh berbeda. Seakan-akan yang ada di dalam tubuhnya bukanlah Danupaksi dulu.
Sungguh jauh sekali perbedaannya.
Dan sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi, ke mana Pandan Wangi
pergi. Rangga benar-benar khawatir kalau gadis itu datang ke istana. Tapi
setelah mendengar penjelasan Ki Sardan, rasanya memang tidak mungkin kalau
Pandan Wangi pergi ke istana. Sedangkan Rangga sendiri sudah ada di sana sejak
pagi-pagi tadi.
"Ke mana arah kepergiannya, Ki?" tanya Rangga.
"Kelihatannya ke kota, Den," sahut Ki Sardan sambil menunjuk ke arah Kotaraja
Karang Setra.
"Kau yakin Pandan Wangi pergi ke sana, Ki?" tanya Rangga lagi, ingin
ketegasan.
"Tidak salah, Den," sahut Ki Sardan tidak ragu-ragu lagi.
"Dia tidak menitipkan pesan apa-apa padaku?" tanya Rangga lagi.
"Tidak," sahut Ki Sardan seraya menggelengkan kepala.
Rangga terdiam dengan kepala tertunduk. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti
termenung, kemudian melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di depan
kedai Ki Sardan. Sedangkan Ki Sardan hanya memandangi saja tanpa mengerti.
Rangga langsung melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar ditatapnya Ki
Sardan yang masih berdiri saja di depan kedainya, yang juga sekaligus
penginapan untuk mereka yang kemalaman di desa ini.
"Aku pergi dulu, Ki," ujar Rangga.
"Baik, Den," sahut Ki Sardan, mengangguk.
"Oh ya, Ki. Apa Pandan Wangi sudah membayar semuanya?" tanya Rangga lagi.
"Sudah, Den."
Rangga mengangguk, kemudian kembali menggebah kudanya menuju Kotaraja Karang
Setra. Sementara, Ki Sardan masih tetap berdiri di depan kedainya.
Dipandanginya kepergian Pendekar Rajawali Sakti sambil menghilang di tikungan
jalan. Sementara, Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan sedang.
Keningnya tampak berkerut, memikirkan Pandan Wangi yang tidak mau menantinya
di Desa Malingping ini.
"Hhh! Semua ini memang salahku...!" dengus Rangga dalam hati. "Seharusnya dia
kuberitahu dulu. Pasti Pandan Wangi kesal kutinggalkan begitu saja. Hhh...!"
***
Sementara, di dalam hutan yang masih berada di dalam wilayah Kerajaan Karang
Setra, Pandan Wangi tengah berkumpul bersama Cempaka, Paman Rakatala, dan
Wirapati serta seluruh keluarga mereka yang mengungsi, akibat istana kini
telah dikuasai Danupaksi. Mereka begitu gembira melihat kedatangan Pandan
Wangi. Tapi tanpa adanya Rangga, tentu saja mereka jadi heran bercampur cemas.
Pandan Wangi yang sudah tahu dari cerita mereka tentang keadaan di istana
sekarang, kini tidak heran lagi melihat kecemasan yang tergambar jelas pada
wajah-wajah mereka.
"Kalian melihat sendiri kalau yang diperabukan itu jasad Kakang Rangga?" tanya
Pandan Wangi bernada ingin meyakinkan diri sendiri.
"Jelas sekali kami lihat, Nini Pandan," sahut Paman Rakatala, yang
kelihatannya lebih tenang dari yang lain.
"Lalu, kapan terjadinya perubahan pada diri Danupaksi?" tanya Pandan Wangi
lagi.
"Sesaat setelah jasad Gusti Prabu Rangga diperabukan," sahut Wirapati.
"Kakang Danupaksi langsung mengangkat diri menjadi Raja, Kak Pandan. Ini yang
membuat kami tidak suka, lalu menentangnya. Tapi anehnya semua prajurit,
bahkan sebagian pembesar kerajaan, malah berada di belakangnya. Dan mereka
yang menentang langsung ditangkap. Bahkan tidak sedikit yang disiksa," sambung
Cempaka.
"Danupaksi yang melakukannya sendiri?" Tanya Pandan Wangi lagi.
Mereka semua mengangguk, seakan-akan tidak tega kalau mengatakan Danupaksi
melakukan penyiksaan pada orang-orang yang menentangnya. Bahkan ada beberapa
orang yang tewas di tangan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, termasuk dua
orang pembesar, tiga orang panglima, dan seorang patih dan lima orang
punggawa. Mereka semua dipenggal kepalanya, karena tidak sudi mematuhi
perintah Danupaksi. Yang membuat dada Pandan Wangi jadi bergemuruh, mereka
dipenggal dengan tangan Danupaksi sendiri!
Memang sulit diterima akal kalau Danupaksi bisa berubah sekejam itu. Padahal,
mereka semua mengenal betul watak dan sikap Danupaksi yang tidak jauh beda
dengan Rangga. Tapi karena tidak sedikit orang yang telah melihat langsung
kekejaman Danupaksi, membuat Pandan Wangi tidak bisa menyangkal lagi. Terlebih
lagi, yang mengatakan adalah orang-orang kepercayaan Pendekar Rajawali Sakti
yang selalu berada di dalam istana.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa bencana datang begitu beruntun menimpa
Karang Setra...?" desah Paman Rakatala mengeluh.
"Itu hanya ujian dari Dewata, Adi Rakatala," selak Ki Sangkala yang sejak tadi
diam saja, duduk dekat mulut gua.
"Aku tidak menyangkal itu, Ki Sangkala. Tapi kenapa terjadinya begitu
beruntun...? Baru saja selesai satu persoalan, kini muncul persoalan baru
lagi. Hhh...! Apakah ini tanda-tanda kehancuran sebuah kerajaan...?" keluh
Paman Rakatala lagi.
"Tidak perlu mengeluh, Paman. Semua bisa diatasi kalau nanti Kakang Rangga
ada," kata Pandan Wangi.
"Apakah Gusti Rangga akan kembali lagi ke Desa Malingping?" tanya Wirapati
"Senja nanti, aku yakin Kakang Rangga akan kembali," sahut Pandan Wangi.
"Kakang Rangga tidak pernah meninggalkanku begitu saja, dan pasti kembali lagi
ke sana."
"Ini sudah hampir senja, Nini Pandan," Ki Sangkala mengingatkan.
"Oh! Kalau begitu, aku harus segera kembali. Aku khawatir kalau Kakang Rangga
datang dan aku tidak ada, dia bisa pergi lagi."
Pandan Wangi langsung bangkit berdiri dan melangkah ke luar gua yang besar
ini. Cempaka, Paman Rakatala, Wirapati, dan Ki Sangkala mengikuti sampai
Pandan Wangi berada di punggung kuda putihnya.
"Aku pergi dulu, dan nanti kembali lagi bersama Kakang Rangga," kata Pandan
Wangi berpamitan.
"Kau tidak apa-apa pergi sendiri, Nini Pandan?" tanya Ki Sangkala bemada
khawatir.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, kemudian cepat menggebah kudanya. Kuda
putih itu langsung melesat bagaikan anak panah terlepas dari busur,
meninggalkan debu yang beterbangan bersama dedaunan kering. Sementara,
Cempaka, Paman Rakatala, Wirapati, dan Ki Sangkala terus memandangi sampai si
Kipas Maut tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan ini
"Aku juga akan kembali ke kota," kata Ki Sangkala. "Masih banyak yang harus
kukerjakan di sana."
"Apa yang akan kau lakukan, Ki?" tanya Cempaka.
"Danupaksi sudah mengundang jago-jago persilatan dari segala penjuru. Aku
tidak tahu, apa maksudnya. Tapi sudah kulihat beberapa orang di kota," jelas
Ki Sangkala yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih.
"Kau akan menyelidiki, Ki?" tanya Wirapati.
"Tidak," sahut Pengemis Tongkat Putih.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Wirapati lagi, ingin tahu.
"Mencegah mereka masuk ke istana."
"Hanya kau sendiri?" selak Paman Rakatala.
Ki Sangkala tersenyum, dan menggelengkan kepala beberapa kali perlahan-lahan.
"Tidak sedikit pengemis tersebar di kota. Dan mereka rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi. Aku rasa, mereka bisa menghalangi orang-orang
persilatan masuk ke istana," jelas Pengemis Tongkat Putih, kalem.
Pengemis Tongkat Putih lalu mengayunkan kakinya, sebelum ada yang melontarkan
pertanyaan lagi. Dia terus berjalan dengan ayunan kaki yang sangat ringan.
Begitu ringannya, seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah sama
sekali. Dan sebentar saja tubuhnya sudah tidak terlihat, tertelan lebatnya
pepohonan. Sementara, Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati masih tetap
berdiri di depan mulut gua.
"Apa yang kita lakukan sekarang...?" tanya Cempaka agak mendesah, seakan
bertanya pada diri sendiri.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, selain menunggu Nini Pandan Wangi datang
bersama Gusti Rangga," sahut Paman Rakatala.
"Lagi pula, tidak ada yang bisa kita lakukan di kota. Hampir semua orang sudah
mengenal kita semua. Dan semua prajurit juga sudah mengenal. Terlalu sulit
untuk bisa bergerak bebas di sana," sambung Wirapati.
"Yaaah.... Kita memang hanya bisa menunggu," desah Cempaka seraya mengangkat
pundaknya.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, dan melangkah masuk ke dalam gua. Kini, hanya
Paman Rakatala dan Wirapati yang masih tetap di luar gua. Mereka bersamaan
duduk di atas sebatang kayu pohon yang sudah lama tumbang, dan hampir penuh
ditumbuhi jamur pada bagian yang tidak terkena sinar matahari. Pandangan mata
mereka tertuju lurus ke depan. Tapi, tak ada seorang pun yang membuka suara.
Entah apa yang ada dalam kepala mereka berdua saat ini.
Cukup lama juga mereka berdiam diri. Dan beberapa kali terdengar tarikan napas
panjang, dan terasa berat sekali. Sementara, matahari terus bergerak semakin
condong ke arah barat Dan sinarnya tidak lagi terasa terik menyengat kulit.
Burung-burung pun sudah mulai terdengar ramai berkicauan, kembali ke
sarangnya. Begitu terasa indah dan damai di dalam hutan ini. Namun, itu tak
cukup mampu mengusir kegalauan yang ada dalam hati kedua laki-laki itu.
"Seharusnya kita bisa melakukan sesuatu, Paman," ujar Wirapati, agak mendesah
suaranya.
"Apa yang bisa kau lakukan...?" tanya Paman Rakatala.
"Membebaskan Ki Lintuk. Aku khawatir, Den Danupaksi sudah berbuat sesuatu
padanya," sahut Wirapati dengan suara terdengar pelan.
"Apa pun yang terjadi, Ki Lintuk tidak mungkin dibunuhnya. Danupaksi tidak
akan menjadi raja selamanya, tanpa memegang pusaka kerajaan. Dan kunci
penyimpanan pusaka kerajaan hanya Ki Lintuk saja yang tahu, selain Gusti Prabu
Rangga sendiri," sahut Paman Rakatala.
"Tanpa pusaka kerajaan pun, dia bisa menjadi raja dengan cara seperti itu,
Paman."
"Benar! Tapi, itu tidak akan diakui seluruh rakyat."
"Apakah itu perlu bagi orang yang sudah kerasukan iblis...?"
"Entahlah...," desah Paman Rakatala.
Kembali mereka berdua terdiam, dan memandang lurus ke depan dengan sinar mata
kosong, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup. Mereka terdiam cukup lama
sampai matahari benar-benar hampir tenggelam di ufuk barat, kedua laki-laki
itu masih tetap duduk di batang pohon tumbang tanpa berbicara sedikit pun.
"Sudah hampir gelap. Kenapa Pandan Wangi belum juga datang, ya...?" tanya
Wirapati, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
"Mungkin mendapat halangan di jalan," sahut Paman Rakatala.
"Seharusnya aku ikut tadi. Jadi, bisa membantu kalau terjadi sesuatu," desah
Wirapati agak menyesal, membiarkan Pandan Wangi pergi sendiri ke Desa
Malingping.
"Kau tidak perlu menyangsikan kemampuannya, Wirapati. Pandan Wangi sudah
terlalu sering bersama-sama Gusti Prabu Rangga. Jadi, sudah barang tentu
kepandaiannya pun semakin meningkat."
"Ya.... Tapi, kenapa begitu lama belum datang juga...?"
"Sabarlah.... Dia pasti datang."
"Hhh...."
Dan memang, Pandan Wangi tidak juga kunjung datang. Padahal hari benar-benar
menjadi gelap. Ketidakmunculan si Kipas Maut. itu tentu saja menjadikan Paman
Rakatala dan Wirapati gelisah. Bahkan bukan hanya mereka berdua yang gelisah,
tapi juga Cempaka dan semua orang yang ada di dalam gua itu. Mereka terus
berharap agar Pandan Wangi segera datang bersama Pendekar Rajawali Sakti.
Namun yang diharapkan tidak juga kunjung datang, sampai malam terus merayap
hingga larut.
***
ENAM
Pandan Wangi memang tidak akan kembali lagi ke gua di tengah hutan itu.
Buktinya setelah sampai di penginapan Ki Sardan, dia langsung pergi lagi
setelah tahu kalau Rangga juga langsung pergi. Pemilik kedai dan penginapan
itu mengatakan kalau Rangga sudah datang ke kedai. Namun begitu tidak
mendapatkan Pandan Wangi di sana, Pendekar Rajawali Sakti langsung pergi lagi.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja pergi ke kota, setelah
mendapat petunjuk dari Ki Sardan kalau Rangga pergi ke Kotaraja Karang Setra.
Pandan Wangi benar-benar menyesal terlalu lama meninggalkan penginapan.
Buktinya dia hanya terlambat sedikit saja dibanding Rangga yang telah lebih
dulu datang.
Dan sekarang hari sudah berganti malam, tapi belum juga bisa bertemu Rangga.
Sedangkan Kotaraja Karang Setra ini begitu luas. Rasanya Pandan Wangi bagaikan
mencari sejumput jarum di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas tak
bertepi.
Entah sudah berapa lama Pandan Wangi berada tidak jauh dari Istana Karang
Setra. Seakan-akan hatinya begitu yakin kalau bakal bertemu Rangga di sini.
Gadis itu terus mengamati keadaan di sekitar istana itu. Penjagaan memang
sangat ketat, dan rasanya sangat sukar menembus ke dalam. Namun demikian,
keinginan untuk mencoba masuk ke dalam istana tetap ada. Tapi melihat
penjagaan begitu ketat, hatinya jadi ragu-ragu juga.
"Apa yang kau lakukan di sini, Pandan Wangi...?"
"Oh...?!"
Pandan Wangi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar teguran dari
belakangnya. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Tapi baru saja berputar,
tahu-tahu....
Desss!
"Akh...!"
Pandan Wangi terpekik. Tubuhnya langsung terpental begitu merasakan adanya
satu pukulan keras mendarat di dadanya. Keras sekali tubuh si Kipas Maut itu
terbanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Untung saja pukulan yang
diterima tidak mengandung pengerahan tenaga dalam. Sehingga, gadis itu bisa
cepat bangkit kembali, walaupun napasnya jadi sedikit agak sesak. Cepat-cepat
Pandan Wangi melakukan beberapa gerakan, sehingga jalan pernapasannya kembali
berjalan seperti biasa.
"Kau...?!" desis Pandan Wangi, agak tersedak suaranya.
"Kemarin kau bisa tertawa, Pandan Wangi. Tapi sekarang, jangan harap bisa
berbuat macam-macam...."
"Huh! Kau pikir aku takut, Perempuan Tua!" dengus Pandan Wangi langsung ketus.
"Hik hik hik...! Lihat sekelilingmu, Pandan. Kau tidak punya harapan lagi
untuk lolos dariku sekarang."
Pandan Wangi terpaksa harus menelan ludahnya yang pahit, saat mengedarkan
pandangan ke sekeli-ling. Sungguh tidak disadari kalau di sekitarnya kini
sudah terkepung puluhan orang prajurit bersenjatakan panah, pedang, dan tombak
terhunus mengarah ke tubuhnya. Dan memang sedikit pun tidak ada celah untuk
dapat meloloskan diri. Sementara, perempuan tua berbaju hijau dengan tongkat
tak beraturan bentuknya itu terus tertawa terkekeh. Dia merasa kali ini
mendapat kemenangan dari gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut
"Sebaiknya menyerah saja, Pandan Wangi. Tidak ada gunanya melawan. Kau bisa
hidup senang di istana. Bahkan kalau mau, kau bisa menjadi ratu di Karang
Setra ini," bujuk perempuan tua itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Pandan Wangi ketus.
"Dia Nyai Juming...."
Tiba-tiba saja ada yang menyahuti pertanyaan Pandan Wangi. Gadis itu segera
memutar tubuhnya, ke arah datangnya suara tadi. Dan kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju merah muda dari
sutera halus, tengah duduk di atas punggung kuda yang gagah. Empat orang
berpakaian panglima perang tampak mendampingi di kanan dan kirinya.
"Danupaksi...," desis Pandan Wangi.
"Nyai Juming orang yang paling berjasa, karena telah menyelamatkan Karang
Setra dari tangan-tangan kotor setelah Prabu Rangga mangkat. Dan aku terpaksa
menyingkirkan siapa saja yang berusaha membangkang ingin menguasai Karang
Setra ini tanpa terkecuali," jelas pemuda tampan itu lagi yang ternyata memang
Danupaksi.
"Kau mengatakan Kakang Rangga sudah mangkat..?! Mana buktinya?!" sentak Pandan
Wangi terkejut
"Semua orang sudah tahu. Hm.... Siapa kau, Gadis Ayu? Kenapa kau menyebut
Gusti Prabu Rangga dengan sebutan Kakang Rangga?" tanya Danupaksi.
"Eh...?! Kau tidak mengenalku, Danupaksi..?" Pandan Wangi kembali terkejut.
"Aku sekarang Raja Karang Setra. Jadi, kau jangan kurang ajar memanggilku
dengan nama saja, Nisanak!" bentak Danupaksi garang.
Pandan Wangi langsung menelan ludahnya. Benar-benar sulit dimengerti semua
yang terjadi. Danupaksi sudah tidak mengenalnya lagi! Bahkan kini menyebut
dirinya Raja Karang Setra. Apa sebenarnya yang telah terjadi...? Mungkinkah
Danupaksi sudah berkhianat, dan kini berpura-pura tidak mengenal orang-orang
yang pernah dekat dengannya lagi? Segudang pertanyaan menggayuti kepala Pandan
Wangi saat itu juga.
Gadis itu jadi teringat semua kata-kata Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati.
Mereka semua mengatakan kalau Danupaksi sudah jauh berubah, Danupaksi
sekarang, bukanlah Danupaksi dulu yang biasa mereka kenal. Bahkan Danupaksi
tidak mengenal orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya. Dan sekarang,
Pandan Wangi benar-benar membuktikannya sendiri.
"Siapa dia, Nyai Juming?" tanya Danupaksi sambil menuding Pandan Wangi.
"Dia Pandan Wangi, Gusti Prabu. Dialah pembunuh Gusti Prabu Rangga, yang
selama ini kita cari," sahut Nyai Juming.
"Heh...! Kalau begitu, tangkap! Beri dia hukuman penggal kepala di depan orang
banyak!" perintah Danupaksi lantang. "Kalau melawan, bunuh saja!"
"Heh..., tunggu!" sentak Pandan Wangi tidak mengerti.
Tapi seruan Pandan Wangi sudah tidak didengar lagi. Saat itu juga salah
seorang panglima perang yang mendampingi Danupaksi sudah berteriak memberi
perintah untuk menangkap Pandan Wangi. Maka seketika puluhan prajurit segera
berhamburan menyerang gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
"Hup! Hiyaaat..!"
Pandan Wangi tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke
udara, dan berputaran beberapa kali. Lalu begitu kakinya menjejak tanah
kembali, di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah kipas putih keperakan yang
terkembang di depan dada. Ujung-ujung kipas yang berbentuk runcing seperti
mata anak panah tampak siap menangkal serangan.
"Hiyaaa...!"
Bet!"
Begitu cepat gerakan Pandan Wangi waktu mengebutkan kipas mautnya. Sehingga,
sebilah pedang salah seorang prajurit yang menyerangnya, langsung terpenggal
jadi dua bagian. Bahkan langsung disusul oleh satu tendangan keras, tanpa
disertai pengerahan tenaga dalam. Namun, itu pun sudah membuat prajurit tadi
terpental sambil memekik kesakitan
"Hup! Yeaaah...!"
Pandan Wangi cepat memutar tubuhnya sambil mengebutkan kipas maut ke belakang.
Tepat di saat seorang prajurit lain menyerang dengan babatan pedang, maka
kembali kipas gadis itu memenggal senjata itu hingga terpotong menjadi dua
bagian.
"Hih!"
Kali ini Pandan Wangi memberi satu pukulan keras ke tubuh prajurit itu, tanpa
disertai pengerahan tenaga dalam. Dan memang, Pandan Wangi sengaja tidak ingin
membunuh para prajurit Karang Setra. Namun, tindakannya malah membuat sulit
bagi dirinya sendiri. Satu serangan dapat dihalau, datang lagi serangan
berikut dari arah lain. Dan ini membuat Pandan Wangi terpaksa harus
berjumpalitan menghindarinya. Sesekali kipasnya dikebutkan hanya untuk
menangkis senjata para prajurit, hingga tidak bisa terpakai lagi.
Serangan-serangan terus berdatangan dari segala penjuru. Dan buktinya keadaan
Pandan Wangi semakin terdesak saja. Malah, ruang geraknya pun semakin sempit.
Tapi, gadis itu masih juga belum mau melukai seorang prajurit pun yang
menyerangnya. Dia masih tetap bertahan dengan jurus-jurus cepat, walau tidak
disertai pengerahan tenaga dalam. Hasilnya, para prajurit itu jungkir balik,
tanpa terluka sedikit pun.
"Phuih! Bisa habis napasku kalau begini terus!" dengus Pandan Wangi dalam
hati.
Namun Pandan Wangi benar-benar tidak punya celah sedikit pun untuk bisa lolos
dari kepungan para prajurit Bahkan terasa semakin mempersempit ruang geraknya
saja. Pandan Wangi sudah kelihatan kewalahan sekali menghadapinya. Hatinya
jadi ragu-ragu untuk bertindak tegas. Karena bagaimanapun juga, lawan yang
dihadapi sekarang ini adalah para prajurit Karang Setra. Di saat keadaan
Pandan Wangi benar-benar terjepit, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
Belum juga suara serak yang begitu keras menggelegar tadi hilang dari
pendengaran, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur sebuah bayangan putih
keperakan yang begitu cepat bagai kilat. Dan bayangan besar itu langsung
menyambar Pandan Wangi yang tengah mendongakkan kepala ke atas.
Dan mendadak saja Pandan Wangi sudah lenyap, bersamaan lenyapnya bayangan
putih keperakan yang kembali melesat ke angkasa. Kejadian yang sangat cepat
itu tentu saja membuat para prajurit yang mengeroyok Pandan Wangi jadi
terlongong bengong. Bahkan Danupaksi dan Nyai Juming jadi terperanjat setengah
mati, hingga tidak bisa bersuara sedikit pun. Memang perisrjwa itu begitu
cepat berlangsung, sehingga sangat sulit bisa melihat bentuk kilatan cahaya
keperakan yang menyambar Pandan Wangi.
"Apa itu tadi, Nyai Juming?" tanya Danupaksi yang lebih dulu tersadar.
"Sebaiknya jangan banyak tanya. Perintahkan saja prajuritmu kembali ke
istana," sahut Nyai Juming dengan suara serak dan parau.
"Baik," sahut Danupaksi mematuhi. "Panglima, perintahkan mereka semua kembali
ke istana."
Empat orang panglima yang mendampingi Danupaksi segera melaksanakan perintah
itu. Danupaksi sendiri langsung menggebah kudanya dengan cepat memasuki
istana. Sementara, Nyai Juming tetap berdiri di tempatnya memandangi ke langit
yang pekat, penuh bertaburkan cahaya bintang.
"Hm.... Apakah itu rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti...?"
gumam Nyai Juming bertanya-tanya sendiri. "Celaka...! Aku harus secepatnya
membuat seluruh rakyat Karang Setra ini tunduk pada perintahku."
Bergegas Nyai Juming melangkah masuk ke istana. Sementara tanpa ada seorang
pun yang mengetahui, dari balik sebatang pohon yang gelap, sepasang mata
tengah memperhatikannya sejak tadi. Dan dia baru muncul dari balik pohon,
begitu pintu gerbang benteng istana tertutup, setelah Nyai Juming melewatinya.
Ternyata, sepasang mata yang memperhatikan dari balik pohon itu adalah Ki
Sangkala. Seorang laki-laki tua yang dikenal berjuluk Pengemis Tongkat Putih.
Dia berdiri agak merapat dengan pohon dan terlindung bayang-bayang gelap,
sehingga sulit diketahui keberadaannya.
"Sudah kuduga, ternyata memang kaulah biang keladi kekacauan ini, Dewi
Obat..," desis Ki Sangkala, terus menatap tajam ke arah istana.
***
Baru saja Ki Sangkala akan beranjak meninggalkan tempat itu, mendadak saja
dirasakan ada sesuatu yang menempel di pundak kanannya. Cepat tubuhnya
berbalik sambil mengibaskan tangan kanan yang menggenggam sebatang tongkat
putih.
Wuk! Tap!
Tapi tongkat putih itu tertahan sesuatu yang sangat kuat Dan begitu Ki
Sangkala hendak menghentakkannya, mendadak saja kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar.
"Tahan, Ki...."
"Edan...!"
Ki Sangkala mendengus sambil menarik tongkatnya yang tergenggam tangan kuat
dan berotot. Dia menggerutu melihat seorang pemuda tampan mengenakan baju
rompi putih yang tahu-tahu sudah berada di dekatnya. Sungguh, sama sekali
tidak diketahui kehadiran pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga,
yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Ki Sangkala masih bernada kesal, karena
tadi sedikit dipermainkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sejak tadi," sahut Rangga kalem. "Sudah lama juga aku ada di sini, Ki."
"Kalau begitu, kau melihat semua peristiwa yang terjadi di sini...?" agak
menggumam nada suara Ki Sangkala.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
"Pasti kau juga yang mengirimkan Rajawali Putih untuk menyelamatkan Pandan
Wangi," tebak Ki Sangkala.
Rangga tidak menyahuti, tapi hanya tersenyum saja. Dan memang, Pendekar
Rajawali Saktilah yang mengirimkan Rajawali Putih untuk menyelamatkan Pandan
Wangi tadi. Pada saat itu, terlihat dua orang prajurit yang menjaga pintu
gerbang benteng istana berjalan menuju ke arah mereka. Dan Rangga lebih dulu
melihat kedatangan dua orang prajurit penjaga pintu gerbang itu.
"Ayo kita pergi dari sini, Ki," ajak Rangga.
"Eh...?!"
Belum juga Ki Sangkala bisa menolak, Rangga sudah cepat melesat sambil menarik
tangan kiri laki-laki tua yang dikenal berjuluk si Pengemis Tongkat Putih. Mau
tak mau, Ki Sangkala harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk
mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh
yang mereka miliki, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh meninggalkan jalan
di depan Istana Karang Setra.
Sehingga membuat kedua prajurit yang tadi hendak menghampiri jadi terlongong
bengong seperti melihat hantu. Rangga baru berhenti berlari setelah dirasakan
cukup jauh dari istana. Dan cekalannya pada pergelangan tangan kiri Ki
Sangkala segera dilepaskannya.
"Kenapa kau menghindar?" tanya Ki Sangkala sambil mengurut pergelangan tangan
kirinya yang tadi cukup kuat dicekal Rangga.
"Aku tidak ingin bentrok dengan prajuritku sendiri, Ki," sahut Rangga tanpa
mengalihkan pandangan dari istana yang tampak berdiri megah, dikelilingi
tembok benteng tinggi dan kokoh.
"Seharusnya, kau katakan saja ada prajurit datang. Tidak perlu menarikku
seperti anak kecil!" sungut Ki Sangkala.
"Maaf, Ki," hanya itu yang diucapkan Rangga.
Ki Sangkala tidak bicara lagi. Dan matanya ikut diarahkan ke Istana Karang
Setra. Tampak dua orang prajurit yang tadi hendak menghampiri mereka sudah
kembali berkumpul di depan pintu gerbang bersama yang lain.
"Kau harus secepatnya membebaskan mereka semua, Rangga. Jangan sampai si Dewi
Obat menyebarkan pengaruhnya pada seluruh rakyatmu," ujar Ki Sangkala yang
tidak pernah memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan Gusti Prabu.
Dan memang mereka sudah saling mengenal sebelum Pendekar Rajawali Sakti
menjadi Raja Karang Setra. Ki Sangkala pun tidak pernah merubah panggilan pada
pemuda itu.
Sementara Rangga masih tetap diam. Pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit
pun ke arah Istana Karang Setra yang tampak tenang, seperti tidak terjadi
sesuatu. Dia memang mendengar kata-kata si Pengemis Tongkat Putih itu. Tapi
entah kenapa, lidahnya seperti kaku, seperti tidak bisa diajak bicara. Entah
apa yang ada di dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Mereka semua dalam keadaan tidak sadar, Rangga. Dewi Obat memang terlalu
pandai dalam mempengaruhi orang. Ilmu silatnya memang tidak tinggi. Tapi,
sangat ahli dalam meramu obat-obatan. Bahkan memiliki semacam ramuan obat yang
bisa menghilangkan ingatan orang. Barang siapa yang minum ramuannya, bisa jadi
lupa sama sekali pada diri sendiri," jelas Ki Sangkala lagi, tanpa berpaling
sedikit pun dari bangunan istana yang megah itu.
"Jadi kau mengira kalau Danupaksi dan yang lain sudah dipengaruhi ramuan
penghilang ingatan itu, Ki..?" ujar Rangga bemada ingin memastikan.
"Tidak salah lagi, Rangga. Hal seperti ini sudah pernah terjadi di wilayah
selatan. Dan aku memang sengaja berada di sini karena mendengar adanya
ketidakberesan di kerajaanmu. Sejak semula memang sudah kuduga, setelah
mendengar cerita dari Cempaka. Pasti Dewi Obat yang telah mempengaruhi
Danupaksi dan yang lain dengan ramuannya yang sangat ampuh itu," sahut Ki
Sangkala.
"Lalu, bagaimana menghilangkan pengaruh ramuan obat itu, Ki?" tanya Rangga
seraya berpaling sedikit menatap Pengemis Tongkat Putih yang berada tepat di
sebelah kirinya.
"Sulit..," sahut Ki Sangkala, terdengar pelan suaranya. Bahkan agak mendesah
sambil menghembuskan napas pendek.
"Sulit..?"
"Hanya dia sendiri yang memiliki obat penawarnya. Dan lagi, sangat sulit untuk
memperoleh obat penawar itu, Rangga. Dia pasti akan mempertahankan, walaupun
mempertaruhkan nyawanya sendiri."
"Hm.... Kau tahu cara ramuan obatnya itu disebarkan, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Hanya ada satu cara, Rangga," sahut Ki Sangkala mantap.
"Apa...?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ramuan obat itu hanya bisa disebarkan melalui aliran sungai."
"Sungai...?"
Kening Rangga jadi berkerut. Kepalanya berpaling sedikit menatap Ki Sangkala,
kemudian pandangannya beralih ke arah Istana Karang Setra yang kelihatan
begitu tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Ya.... Hanya air yang bisa menyebarkan ramuan obat itu, Rangga. Ramuan itu
disebarkan ke atas permukaan sungai. Dan aliran air sungai yang menyebarkan
ramuan itu. Bisa kau bayangkan kalau semua orang di Karang Setra ini meminum
air sungai yang sudah tersebar racun ramuan obat penghilang ingatan itu...."
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
"Orang yang minum air yang sudah tersebar ramuan obat itu, bukan hanya
kehilangan ingatannya. Tapi juga menjadi patuh pada perintah Dewi Obat yang
membuat racun itu. Segala yang diperintahkannya, akan dipatuhi tanpa sedikit
pun bisa dibantah," sambung Ki Sangkala menjelaskan.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Kini disadari, kalau orang yang
dihadapi sekarang ini tidak bisa dianggap enteng. Walaupun, tingkat kepandaian
yang dimiliki orang itu tidaklah seberapa tinggi. Bahkan menghadapi Pandan
Wangi saja, tidak sanggup. Tapi, Nyai Juming memiliki kepandaian meramu obat
yang tidak dimiliki orang lain. Tidak heran kalau dirinya dijuluki si Dewi
Obat. Dan kini ramuan yang sangat berbahaya sudah dikuasainya. Kalau tidak
segera dicegah, bisa-bisa semua orang di jagat raya ini dikuasainya.
"Aku harus bisa mengenyahkannya secepatnya...!" desis Rangga dalam hati.
Tanpa berbicara lagi, Rangga memutar tubuhnya berbalik dan melangkah
meninggalkan tempat itu. Ki Sangkala bergegas mengikuti, mensejajarkan ayunan
kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Mau ke mana kau, Rangga?" tanya Ki Sangkala ingin tahu.
"Menemui Pandan Wangi. Dia pasti sudah menunggu bersama Rajawali Putih," sahut
Rangga.
"Di mana?"
"Di tempat yang aman."
Ki Sangkala tidak bertanya lagi, dan terus saja melangkah mengikuti ayunan
kaki Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda itu juga tidak bicara lagi
sedikit pun juga. Namun dari keningnya yang berkerut, jelas tengah memikirkan
sesuatu. Tapi, entah apa yang dipikirkannya. Hanya dia sendiri yang tahu.
***
TUJUH
Rangga berdiri tegak di bawah air terjun. Dari sinilah sumber mata air yang
menghidupi seluruh rakyat di Karang Setra. Sementara di belakangnya, Pandan
Wangi, Ki Sangkala, Paman Rakatala, dan Wirapati tengah memperhatikannya.
Mereka tahu, apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Membendung aliran sungai yang menjadi sumber kehidupan seluruh rakyat Karang
Setra, memang jalan satu-satunya untuk menyelamatkan seluruh rakyat dari
bencana yang disebarkan Nyai Juming, atau si Dewi Obat Tapi itu juga
mengandung akibat yang tidak kecil. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang
sanggup bertahan tanpa air.
Bahkan pohon dan binatang pun hidup dari air. Jika sumber air yang menjadi
tumpuan kehidupan ini dibendung, bisa dibayangkan akibatnya. Seluruh rakyat
Karang Setra bisa mati kekurangan air. Dan bencana yang lebih besar pun akan
timbul.
Pertumpahan darah pasti akan terjadi, demi segantang air. Dan pasti ini yang
diharapkan si Dewi Obat untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Tapi,
apakah memang itu yang diharapkan Dewi Obat? Rangga kelihatan bimbang sekali
untuk membendung sumber mata air di tanah kelahirannya ini. Hatinya tidak
yakin kalau Dewi Obat hanya ingin menghancurkan Karang Setra saja. Pasti ada
maksud tertentu yang belum bisa diketahuinya.
"Ki Sangkala...," panggil Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
Ki Sangkala bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang tetap berdiri
tegak di atas batu, tidak jauh dari air terjun yang mengalir sangat deras
sekali, hingga menimbulkan suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan bumi.
Pengemis Tongkat Putih itu kemudian berdiri di samping kanan Rangga.
"Kau tahu, apa maksud Dewi Obat mengacau di Karang Setra?" tanya Raugga
langsung. Sedangkan pandangannya tetap tertuju pada air terjun di depannya.
"Kau ini seperti bukan seorang pendekar saja, Rangga...," ujar Ki Sangkala
tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Jawab saja pertanyaanku, Ki," desak Rangga tidak menghiraukan gurauan si
Pengemis Tongkat Putih itu.
"Aku rasa, sama seperti kaum persilatan lainnya. Ingin melampiaskan nafsu
serakah, dengan menguasai seluruh meryapada ini," sahut Ki Sangkala.
Agak tertegun juga Pengemis Tongkat Putih melihat wajah Rangga begitu
menegang. Bahkan suaranya terdengar datar walau bertanya tadi. Sedikit pun
tidak terdengar adanya tekanan pada nada suaranya. Dan pandangannya tetap
tertuju lurus ke air terjun. Sedikit pun tidak dihiraukannya. percikan air
yang hampir membasahi seluruh tubuhnya.
Memang berat sekali beban yang harus ditanggung Rangga kali ini. Dia harus
bisa menentukan yang terbaik, dan tidak mengandung bahaya besar. Meskipun
disadari, kalau setiap perjuangan pasti meminta korban yang tidak kecil. Tapi,
tetap saja Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindari jatuhnya korban.
Terlebih lagi, kalau harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Itu yang tidak
diinginkannya.
"Sudah berapa negeri yang dikuasainya?" tanya Rangga lagi.
"Sejak Dewi Obat muncul, sudah ada delapan kerajaan yang berhasil dikuasainya.
Dan ini yang kesembilan," sahut Ki Sangkala.
"Semua tunduk padanya?"
"Sampai sekarang. Karena, belum ada seorang pun yang berhasil mengambil obat
penawarnya. Aku sendiri tidak tahu, apakah obat penawarnya ada padanya, atau
disimpan di suatu tempat yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Sangkala
lagi
"Dia melakukan cara yang sama, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Ya! Semua dilakukan melalui air."
Rangga terdiam membisu. Pandangan matanya masih tetap tertuju ke air terjun
yang bagaikan paku raksasa hendak melubangi bumi ini. Sebentar ditariknya
napas panjang. Lalu, perlahan tubuhnya berbalik Dan dengan satu lompatan yang
sangat ringan, Pendekar Rajawali Sakti turun dari atas batu hitam berlumut
ini. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Cempaka, Paman
Rakatala, dan Wirapati yang menunggu agak jauh dari air terjun ini. Ki
Sangkala mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.
"Kenapa tidak jadi membendung air terjun itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi
langsung, begitu Rangga dekat
"Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi, Pandan. Air terjun ini sumber
kehidupan seluruh rakyat Karang Setra. Kalau kubendung, tidak ada lagi sumber
mata air. Dan itu bisa berakibat parah sekali," sahut Rangga.
"Lalu...?"
"Kalian semua harus berjaga bergiliran di sini. Dewi Obat pasti sudah tahu
sumber mata air ini."
"Kau sendiri, Kakang?" tanya Cempaka.
"Aku akan mencari jalan untuk mengenyahkan Dewi Obat dari istana. Kalau bisa,
mendapatkan obat penawar ramuan penghilang ingatan," sahut Rangga.
"Bagaimana kalau obat penawarnya tidak ada?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Setiap ramuan obat pasti ada penawarnya, Pandan," selak Ki Sangkala. "Aku
yakin, Dewi Obat memiliki penawarnya."
"Aku akan membantumu, Kakang," tegas Pandan Wangi.
"Tidak Kau harus tetap di sini membantu yang lain. Aku khawatir, Dewi Obat
menggunakan prajurit untuk membersihkan tempat ini dari kalian," tolak Rangga,
juga tegas.
Pandan Wangi langsung diam. Dia tahu, kalau Rangga sudah berkata begitu tidak
mungkin bisa dicabut kembali. Sedangkan yang lain juga tidak ada yang
bersuara. Mereka sudah mengenal watak Pendekar Rajawali Sakti. Maka dibiarkan
saja ketika pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu melangkah pergi
meninggalkan tempat ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara, walaupun
Rangga sudah jauh meninggalkan mereka semua.
Saat itu, Ki Sangkala juga pergi. Arahnya berbeda dengan yang dituju Pendekar
Rajawali Sakti. Dan Paman Rakatala segera mengatur penjagaan sekitar mata air
yang berupa air terjun ini. Tidak ada seorang pun yang menolak pembagian tugas
itu. Mereka se-gera menjalankan tugas masing-masing. Paman Rakatala sempat
berpesan agar jangan sampai tejadi pertumpahan darah. Terlebih lagi, sampai
bentrok dengan para prajurit. Bagaimana pun juga, mereka harus menyelamatkan
para prajurit Bukan menganggap sebagai musuh.
"Kau yakin kalau si Dewi Obat akan datang ke sini menyebar ramuan racunnya
itu, Cempaka...?" tanya Pandan Wangi ragu-ragu.
"Entahlah...," sahut Cempaka agak mendesah, sambil sedikit mengangkat bahunya.
Pandan Wangi juga mengangkat bahunya. Memang, saat ini rasanya sulit untuk
menduga terlalu jauh. Dan yang bisa dilakukan hanya berjaga-jaga, menjajankan
tugas masing-masing yang telah ditetapkan. Hanya itu yang bisa mereka lakukan
sampai saat ini.
***
Sementara itu, Rangga sudah berada di angkasa bersama Rajawali Putih.
Diamatinya sekitar istana dari atas. Jelas sekali terlihat kalau penjagaan di
sekitar istana tidak begitu ketat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak
heran lagi dengan penjagaan yang tidak ketat, setelah tahu banyak tentang Dewi
Obat dari Ki Sangkala.
Saat itu, terlihat Danupaksi baru keluar dari dalam penjara bawah tanah,
diikuti empat orang panglima yang mengapit seorang laki-laki tua. Baju jubah
putih yang dikenakan orang tua itu sudah tidak beraturan lagi bentuknya. Jelas
sekali terlihat dari angkasa, darah kering melekat di hampir seluruh pakaian
yang dikenakannya.
"Ki Lintuk...," desis Rangga langsung mengenali.
Orang tua itu memang Ki Lintuk yang tengah digiring keluar dari dalam penjara,
dan terus menuju bagian depan istana. Kedua tangannya terikat rantai ke
belakang, yang disatukan dengan leher. Terlihat payah sekali keadaan Ki
Lintuk. Dia berjalan dengan kaki terseret, dan beberapa kali hampir jatuh
kalau tidak segera disangga salah seorang panglima yang mengapitnya.
Sikap mereka, kelihatan kasar sekali, sehingga membuat Rangga yang melihat
dari atas jadi geram. Tapi menyadari kalau ingatan mereka sudah terganggu
akibat pengaruh ramuan obat penghilang ingatan yang dibuat Dewi Obat, Rangga
harus bisa menahan diri. Bagaimanapun juga, semua itu dilakukan tanpa sadar.
"Mau dibawa ke mana Ki Lintuk...?" gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri.
Ki Lintuk memang dinaikkan ke atas punggung kuda. Dan di halaman depan istana,
sudah siap satu pasukan prajurit berjumlah sangat besar. Danupaksi dan keempat
panglima yang selalu mengawalnya juga berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Prajurit penjaga pintu gerbang segera membuka pintu
lebar-lebar, begitu Danupaksi memberi perintah untuk bergerak dengan
mengangkat tangan kanan ke atas.
Dari angkasa, Rangga terus memperhatikan. Mereka bergerak tidak terlalu cepat
keluar dari lingkungan istana yang dikelilingi tembok benteng. Danupaksi
berkuda paling depan, diikuti empat orang panglima yang mengawalnya. Di
belakang mereka, Ki Lintuk dan satu pasukan prajurit bersenjata lengkap yang
berjumlah lebih dari seratus orang. Mereka seperti layaknya hendak menuju
medan perang. Rangga yang masih berada di angkasa, terus memperhatikan tanpa
sedikit pun berkedip.
"Hm.... Aku tidak melihat Dewi Obat Ke mana dia?" gumam Rangga bertanya lagi
pada diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengalihkan perhatiannya ke arah sekeliling
istana yang masih dijaga ketat para prajurit bersenjata lengkap. Dia
mencari-cari, di mana adanya Dewi Obat Tapi, perempuan tua yang nama
sebenarnya Nyai Juming itu sama sekali tidak terlihat. Kembali Rangga
melayangkan pandangan pada para prajurit yang dipimpin langsung oleh
Danupaksi.
"Hm.... Mereka menuju mata air terjun," gumam Rangga, langsung bisa menebak
arah tujuan Danupaksi dan para prajuritnya yang berjumlah besar itu.
Rangga jadi bimbang, karena tidak melihat adanya Dewi Obat di antara mereka.
Sedangkan sudah jelas sekali kalau para prajurit itu menuju sumber mata air
yang berupa air terjun di sebelah barat Kotaraja Karang Setra.
"Rajawali! Turunkan aku di belakang istana. Lalu, cegah mereka ke air terjun.
Usahakan menyelamatkan Ki Lintuk," kata Rangga sambil menepuk leher burung
rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang ditungganginya ini.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih langsung meluruk deras ke bagian belakang istana. Dan Rangga
segera melompat turun, begitu burung rajawali raksasa itu mendekati tanah, di
luar tembok benteng istana bagian belakang.
"Hap!"
"Khraaagkh...!;'
Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Begitu cepat lesatannya. Sehingga
belum sempat Rangga mendongakkan kepala, burung rajawali raksasa itu sudah
lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rangga mengamati tembok benteng bagian
belakang ini. Dan...
"Hup...!"
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke atas tembok benteng. Hanya
sekali lompatan saja, kakinya sudah mendarat di atas tembok Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat
kakinya menjejak bibir tembok. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati
keadaan, kemudian kembali melompat turun dengan gerakan begitu indah dan
ringan.
"Hup...!"
Sedikit pun tidak terdengar suara begitu kakinya menjejak tanah yang berumput
dan terawat rapi di bagian belakang istana. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
terlihat terbungkuk, dengan kedua lutut ter-tekuk. Sementara, tangan kirinya
menyentuh tanah. Lalu, tubuhnya kembali melesat cepat, dan tahu-tahu sudah
merapat ke dinding dekat pintu belakang istana. Namun baru saja hendak
melangkah masuk ke dalam, mendadak saja....
Wusss!
"Uts...!"
Rangga cepat menarik tubuhnya ke samping, begitu tiba-tiba dari dalam pintu
yang terbuka meluncur sebatang tombak panjang. Tombak itu meluncur deras,
lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti hingga menancap pada batang pohon
cemara. Sedikit Rangga melirik tombak itu. Cukup dalam juga menancapnya pada
batang pohon cemara. Dan Rangga sudah bisa menduga, tombak itu pasti
dilemparkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh, kembali harus
melompat menghindari sebuah bayangan yang berkelebat begitu cepat dari dalam.
Dua kali Rangga berputaran, dan manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hm...." Sedikit Rangga menggumam begitu melihat sekitar satu batang tombak di
depannya sudah berdiri seorang perempuan tua yang sudah dikenalnya. Perempuan
tua itulah yang dijuluki si Dewi Obat
"Hik hik hik...! Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini, Pendekar Rajawali
Sakti," ujar Dewi Obat yang nama sebenarnya Nyai Juming.
"Aku datang untuk membebaskan Karang Setra dari nafsu setanmu, Nyai Juming!"
sambut Rangga dingin.
"Hik hik hik...!"
Nyai Juming tertawa terkikik. Terdengar kering sekali suara tawanya, sehingga
sungguh tidak sedap merasuk ke dalam telinga. Namun lama-kelamaan, suara tawa
itu semakin terdengar nyaring melengking. Bahkan membuat kening Rangga jadi
berkerut Pendekar Rajawali Sakti langsung menangkap adanya getaran tenaga
dalam yang tinggi di dalam suara tawa yang kering itu.
"Hap!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua telapak tangannya di depan
dada, dan menarik kedua kakinya ke samping hingga terpentang cukup lebar.
Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke bola
mata perempuan tua di depannya.
***
Perlahan-lahan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mengembang ke
samping, lalu ditarik ke belakang hingga kedua telapak tangan yang terkembang
berada sejajar dengan dada. Kemudian, jari-jari tangannya yang bergerak
mengepal berpindah ke pinggang. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam
menembus langsung ke bola mata Nyai Juming yang masih terus tertawa disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dia seperti tidak tahu kalau saat itu Rangga tengah menyiapkan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, yang bisa digunakan dalam jarak jauh.
Dan begitu kedua kepalan tangan Rangga berubah menjadi merah membara bagai
besi terbakar, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan kedua tangannya yang sudah berwama merah membara ke depan. Dan
seketika itu juga, dua sinar merah meleret begitu cepat ke arah Nyai Juming.
Tindakan Rangga yang begitu cepat, membuat si Dewi Obat jadi terkesiap
"Hup...!"
Cepat-cepat Nyai Juming melenting ke atas, menghindari serangan yang diberikan
Pendekar Rajawali Sakti. Maka dua sinar merah yang memancar dari kedua kepalan
tangan Rangga lewat di bawah kaki si Dewi Obat, dan langsung menghantam
sebatang pohon cemara hingga hancur berkeping-keping.
Ledakan keras pun terdengar begitu menggelegar, bersamaan dengan hancurnya
pohon cemara yang terkena sinar merah dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
yang dilepaskan Rangga tadi. Akibat ledakan itu rupanya mengejutkan para
prajurit yang menjaga di sekitar istana, sehingga langsung berdatangan.
"Jangan harap kau bisa memperalat mereka, Nyai Juming. Hiyaaat..!"
Belum juga Nyai Juming bisa memerintahkan para prajurit menyerang, Pendekar
Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat bagai kilat. Langsung diberikannya
serangan cepat dengan beberapa pukulan dahsyat dan beruntun.
"Hait..!"
Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga
membuat si Dewi Obat jadi berjumpalitan menghindarinya. Perempuan tua itu
benar-benar kerepotan menghindari serangan-serangan yang dilancarkan pemuda
berbaju rompi putih ini. Bahkan sama sekali tidak sempat memperhatikan adanya
prajurit di sekitar pertarungan yang kini hanya bisa menonton saja. Tidak ada
seorang pun dari prajurit yang ikut terjun ke dalam pertarungan. Bahkan mereka
terlihat bergerak mundur menjauh.
Sementara, Rangga benar-benar tidak memberi kesempatan kepada Nyai Juming.
Bahkan untuk menarik napas panjang pun terasa sulit sekali. Perempuan tua yang
dikenal berjuluk Dewi Obat itu semakin kerepotan saja menghindari
serangan-serangan Rangga yang sangat cepat dan beruntun.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pukulan-pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat luar biasa, karena
disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna. Sehingga setiap kali
pukulannya terlontar, selalu menimbulkan suara angin menggemuruh bagai badai.
Nyai Juming pun mulai kelihatan goyah, walaupun masih bisa menghindari setiap
pukulan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Ia mulai tidak mampu
menahan gempuran angin pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam
sempurna. Wajahnya sudah mulai kelihatan memucat. Disadari kalau ilmu olah
kanuragan yang dimilikinya tidak akan mampu menandingi Pendekar Rajawali
Sakti. Dan...
"Hiyaaat..!"
***
DELAPAN
Begitu memiliki kesempatan, Nyai Juming cepat melenting ke udara dan
berputaran beberapa kali. Sementara itu, Rangga seperti sengaja tidak
mengejar, dan hanya berdiri saja memandangi sampai Dewi Obat kembali menjejak
tanah. Tampak napasnya terdengar memburu cepat dan keringat membanjiri seluruh
tubuhnya.
"Phuih! Keparat kau, Rangga...!" dengus Nyai Juming geram.
Rangga hanya tersenyum tipis saja. Sedikit pun napasnya tidak terlihat
memburu. Bahkan hanya sedikit saja keringat yang menitik di wajahnya. Sikap
Pendekar Rajawali Sakti sangat tenang. Sementara, Nyai Juming masih kerepotan
mengatur jalan pernapasannya.
"Nyai Juming! Aku akan mengampunimu kalau kau bersedia pergi dari istana ini,
dan melepaskan semua pengaruhmu pada mereka," ujar Rangga. Suaranya terdengar
datar dan dingin sekali.
"Huh! Kau pikir mudah menggertakku, Bocah!" bentak Nyai Juming mendengus
berang.
"Aku tidak pernah berkata sampai dua kali, Nyai Juming," ujar Rangga kalem,
tapi terdengar sangat tegas.
"Hik hik hik...! Kau pun akan menjadi pengikutku yang setia, Pendekar Rajawali
Sakti," balas Nyai Juming.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja. Saat itu, Nyai Juming sudah membuat beberapa
gerakan dengan kedua tangannya. Dan begitu kedua tangannya dengan jari-jari
lurus dihentakkan lurus ke depan, seketika itu ujung jari-jari tangannya
mengepul asap tipis berwarna kehijauan. Asap tipis kehijauan itu langsung
meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm... Asap racun...," desis Rangga menggumam dalam hati. "Apakah ini ramuan
obat penghilang ingatan...?"
Rangga memang langsung bisa merasakan adanya hawa racun dari asap kehijauan
yang semakin dekat ke arahnya. Tapi, dia tetap berdiri tegak seperti menanti.
Sementara, kening Nyai Juming jadi berkerut melihat Pendekar Rajawali Sakti
tetap berdiri tegak, seakan-akan sedikit pun tidak berusaha menghindar.
Dan Rangga memang tidak bergeming sedikit pun. Hingga, asap kehijauan itu
menyelimuti seluruh tubuhnya. Sikap Rangga yang kelihatan tidak berusaha
melawan, membuat hati Nyai Juming jadi terkesiap. Segera seluruh kekuatannya
dikerahkan, hingga asap kehijauan yang keluar dari ujung-ujung jari tangannya
semakin banyak menggumpal menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, tetap saja Rangga tidak bergeming sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti
tetap berdiri tegak, walaupun seluruh tubuhnya hampir tidak terlihat lagi,
terselimut asap kehijauan yang semakin menebal. Sementara, Nyai Juming mulai
bergetar hatinya melihat lawannya seakan tidak terpengaruh oleh serangannya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja, Rangga berteriak lantang menggelegar sambil merentangkan kedua
tangannya ke samping. Dan seketika itu juga, asap kehijauan yang menyelimuti
tubuhnya menyebar, langsung lenyap bagai terhempas badai yang sangat dahsyat.
Saat itu, terlihat Nyai Juming terdorong ke belakang sampai tiga langkah.
"Ugkh...!" Nyai Juming mengeluh sambil memegangi dadanya. Napasnya jadi
tersengal memburu.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak dengan kedua tangan sekarang teriipat di
depan dada.
"Kau tidak akan bisa mempengaruhiku dengan ilmu-ilmu obat racunmu, Nyai
Juming. Ingatlah! Penawaranku masih berlaku. Dan ini yang terakhir kalau masih
sayang nyawamu," ancam Rangga kalem.
"Keparat! Tidak ada seorang pun yang bisa merendahkan aku! Kau harus mampus,
Pendekar Rajawali Sakti...!" geram Nyai Juming.
Dewi Obat benar-benar kelihatan berang. Dia merasa Pendekar Rajawali Sakti
telah mempermainkannya. Dan selama ini, memang belum ada seorang pun yang
sanggup menghadapi ilmu 'Penghilang Ingatan' yang dimilikinya. Dewi Obat
memang sudah menyempurnakan ramuan obat penghilang ingatan, hingga menjadi
sebuah ilmu kedigdayaan yang bersumber pada ujung-ujung jari tangannya. Tapi,
tetap saja tidak dapat mempengaruhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat..!"
Tanpa menghiraukan lagi siapa yang dihadapi sekarang, perempuan tua yang
dikenal berjuluk Dewi Obat itu langsung melesat cepat menyerang Pendekar
Rajawali Sakti. Beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi seketika
dilepaskan secara beruntun.
"Hait..!" Namun, Rangga berhasil menghindari semua serangan Nyai Juming dengan
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dengan jurus itu, gerakangerakan
yang dilakukannya memang sangat aneh. Jelasnya, tidak seperti dalam
pertarungan. Bahkan terkadang seperti tengah bermain-main saja.
Gerakan-gerakannya pun terkadang limbung, seperti orang kebanyakan minum arak.
Tapi terasa sulit sekali bagi Nyai Juming untuk menyarangkan pukulannya.
Perempuan tua itu tidak mampu lagi membaca setiap gerakan yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Nyai Juming melontarkan satu pukulan lurus
disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi tingkatannya. Tapi, kali
ini Rangga sedikit pun tidak bergeming. Dan begitu tangan si Dewi Obat sudah
dekat dengan dadanya, cepat sekali tangan kirinya dihentakkan, menyambut
serangan itu. Dan....
Plak!
"Akh...!"
Dewi Obat jadi terpekik, begitu tangannya membentur tangan Pendekar Rajawali
Sai yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat kesempurnaan itu. Cepat
kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah. Bibirnya terlihat meringis
merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan kanannya.
"Setan! Hiyaaat..!" Nyai Juming tidak lagi peduli. Kembali tubuhnya melompat
menyerang, melepaskan satu pukulan dahsyat dengan tangan kirinya.
"Hait!" Dan Rangga hanya meliukkan tubuhnya saja sedikit Maka pukulan Nyai
Juming lewat di depan dadanya yang agak dimiringkan. Saat itu juga, cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan tangan kanannya. Begitu cepat
kebutan tangannya, sehingga Nyai Juming tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Begkh!
"Ugkh...!"
Nyai Juming jadi mengeluh, begitu kepalan tangan kanan Rangga mendarat telak
di perutnya. Sambil terbungkuk, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan
belum juga tubuhnya ditegakkan kembali, Rangga sudah cepat sekali melepaskan
satu pukulan keras dari bawah ke atas. Kali ini pun, Nyai Juming tidak dapat
menghindarinya. Sehingga, wajahnya harus menerima pukulan yang begitu keras.
Diegkh!
"Akh...!"
Nyai Juming sampai terdongak ke atas. Tampak darah muncrat dari mulut dan
hidungnya. Tubuhnya terpental ke belakang sejauh enam langkah, kemudian
terhuyung-huyung sambil menggerung merasakan sakit yang tidak terkira pada
wajahnya. Darah terus mengucur semakin banyak dari hidung dan mulutnya. Dan
memang, keras sekali pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga tulang wajah
Dewi Obat jadi retak.
"Ghrrr...!" Nyai Juming menggereng seperti binatang buas. Kepalanya bergerak
menggeleng beberapa kali. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke
bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kini wajahnya penuh darah, tapi
kelihatan semakin garang saja. Sama sekali tidak tersirat pada sorot matanya
untuk menyerah.
Dan ini membuat Rangga jadi tertegun. Di dalam hati, dikaguminya kekerasan
hati perempuan tua yang tidak mau menyerah. Padahal, jelas dirinya tidak akan
mungkin bisa unggul dalam pertarungan ini.
"Yeaaah...!" Dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatannya yang masih ada, Nyai
Juming melompat sambil cepat melepaskan beberapa pukulan beruntun.
Dan Rangga hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan perempuan tua
ini. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau serangan-serangan yang
dilancarkan Dewi Obat ini tidaklah sedahsyat tadi. Bahkan terasa agak lamban,
hingga mudah sekali dapat dihindarinya.
"Hih!"
Sambil menggeser kakinya sedikit ke kanan, Rangga melepaskan satu pukulan
menyamping dengan tangan kanan. Begitu cepat sekali pukulannya sehingga Nyai
Juming yang memang sudah agak lambat itu tidak mampu lagi menghindarinya. Dan
seketika dadanya harus menerima telak kepalan tangan Rangga yang mengandung
pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.
Desss!
"Akh...!"
Nyai Juming jadi terbeliak, dan terdorong beberapa langkah ke belakang. Tapi,
kembali dia melompat maju sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun.
"Edan...! Apa maksudnya ini...?" desis Rangga dalam hati.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meliukkan tubuhnya menghindari
serangan-serangan beruntun itu. Rangga jadi tidak mengerti sikap Nyai Juming
yang terus menyerang, walaupun dalam keadaan sudah cukup parah. Namun, Rangga
sendiri tampak-nya tidak ingin cepat-cepat menghentikan. Bahkan jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati melihat sikap yang ditunjukkan perempuan tua
ini. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, tiba-tiba saja
terdengar seruan menggelegar.
"Lumpuhkan dia dengan totokan jalan darah, Rangga...!"
"Oh...?!" Rangga jadi tersentak, namun cepat-cepat melompat ke belakang tiga
langkah. Tapi, Nyai Juming terus mengejar dan menyerangnya membabi buta.
Terpaksa, Rangga harus berlompatan menghindarinya. Saat itu, matanya sempat
melihat Ki Sangkala berdiri tegak di atas tembok benteng bagian belakang.
Entah kapan Pengemis Tongkat Putih sudah berada di sana. Namun Rangga merasa
pasti kalau pengemis tua sahabatnya itu tadi yang berbicara. Dan....
"Hiyaaat..!"
Sambil melenting ke atas, cepat sekali Rangga melepaskan satu totokan ke dada
si Dewi Obat, disusul satu totokan lagi di leher. Seketika itu juga, Dewi Obat
jatuh terguling tanpa daya lagi. Jalan darah utamanya tersumbat oleh totokan
yang sangat sempurna, hingga membuatnya tak berdaya. Rangga bergegas
menghampiri, dan memeriksa keadaan perempuan tua ini.
Tampak Dewi Obat berusaha bicara. Tapi karena lehernya terkena totokan,
sedikit pun tidak ada suara yang keluar. Saat itu, Ki Sangkala melompat turun
dari atas tembok benteng, langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti yang
kini sudah berada sekitar tiga langkah dari tubuh Nyai Juming.
"Kau tidak akan bisa membebaskan orang-orang yang kau cintai bila membunuhnya,
Rangga," kata Ki Sangkala.
"Apa maksudmu, Ki?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Mereka nantinya akan menjadi liar tanpa pemimpin. Dia memang sangat berbahaya
untuk hidup. Tapi, kau harus membebaskan mereka dulu dari pengaruhnya kalau
ingin membunuh perempuan iblis ini," jelas Ki Sangkala.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti menatap Nyai Juming yang masih menggeletak tanpa daya.
Perlahan kakinya melangkah menghampiri, dan membungkuk sedikit. Lalu,
dibukanya totokan pada leher wanita tua itu.
"Keparat! Bunuhlah aku...!" geram Nyai Juming berusaha menggeliat
Tapi, totokan pada pusat jalan darahnya memang sangat sempurna. Sehingga,
sulit baginya untuk bisa bergerak. Hanya bagian leher dan kepalanya saja yang
kini dapat digerakkan lagi, setelah Rangga membebaskannya tadi. Hanya satu
totokan saja, sudah membuat seluruh tubuh Dewi Obat jadi lumpuh.
"Nyai! Di mana kau simpan obat penawar penghilang ingatan?" tanya Ki Sangkala.
Nada suaranya dibuat lembut
"Kau tidak akan bisa mendapatkannya, Pengemis Busuk!" dengus Nyai Juming.
"Di mana kau simpan, Nyai?" desak Ki Sangkala tanpa sedikit pun merasa sakit
hati.
Nyai Juming hanya diam saja.
"Katakan, Nyai. Kurangi beban dosamu. Kau tidak akan bisa hidup terus-menerus
dengan jalan seperti ini. Kau seorang yang ahli dalam ramuan obat-obatan.
Maka, sepantasnya kepandaianmu digunakan untuk kebajikan. Bukan untuk
mengumbar nafsu setan. Singkirkan bayang-bayang setan yang ada dalam dirimu,
Nyai," bujuk Rangga.
"Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan memberi obat penawar. Biar mereka jadi
liar. Biar dunia ini hancur oleh mereka sendiri. Ha ha ha...!"
Rangga mendesah panjang. Dihampirinya Ki Sangkala yang berada agak di
belakangnya. Sedikit matanya melirik para prajurit yang masih berada agak
jauh. Tampaknya prajurit-prajurit itu sudah siap, dan tinggal menunggu
perintah saja. Sekali saja Nyai Juming melontarkan perintah, prajurit itu akan
langsung melaksanakannya. Tapi, tampaknya Nyai Juming lupa kalau di sekitarnya
banyak prajurit yang sudah terpengaruh ramuan obat penghilang ingatan. Dia
terus tertawa terbahak-bahak, seperti mengejek Pendekar Rajawali Sakti dan
Pengemis Tongkat Putih.
"Ki, tahu bentuk ramuan obat itu?" tanya Rangga.
"Berupa serbuk tepung berwarna hijau," sahut Ki Sangkala.
"Apakah dia juga menggunakannya dalam ilmu kedigdayaan?" tanya Rangga teringat
akan ilmu yang dikeluarkan Nyai Juming tadi dalam pertarungannya.
"Ya! Kudengar memang begitu. Dia juga bisa menggunakannya dengan ilmu
kedigdayaan," sahut Ki Sangkala.
"Hm.... Kalau begitu, obat penawarnya juga ada di dalam dirinya, Ki," kata
Rangga, bergumam.
"Oh, edan...!"
Plak!
Ki Sangkala menepuk keningnya sendiri. "Kenapa aku tidak berpikir sampai ke
sana? Sudah pasti dia tidak memiliki satu bentuk obat penawar pun. Dan
pengaruh dari penghilang ingatan pasti ada pada dirinya sendiri. Edan...!"
dengus Ki Sangkala seakan baru diingatkan.
Tanpa bicara lagi, Ki Sangkala langsung menghampiri Nyai Juming yang masih
menggeletak, tapi sudah tidak tertawa lagi. Ki Sangkala memandangi dengan
sinar mata tajam. Sementara, Rangga hanya memperhatikan dari belakang.
"Semua sumber ilmu berasal dari otak. Kalau otaknya mati, semua bentuk ilmu
akan musnah. Aku tahu kelemahanmu sekarang, Nyai," desis Ki Sangkala, agak
dingin nada suaranya.
"Heh...?! Apa yang akan kau lakukan...?" sentak Nyai Juming terkejut
"Otakmu harus diamankan lebih dulu sebelum kau sendiri mati, Nyai," kata Ki
Sangkala datar.
"Oh, tidak..!"
Nyai Juming mencoba menggeliat, tapi pengaruh totokan Rangga pada jalan
darahnya memang sangat kuat. Sehingga sedikit pun tubuhnya tidak bergerak,
walaupun sudah berusaha bergerak sekuat tenaga. Sementara, Ki Sangkala sudah
mengangkat tongkatnya yang berujung runcing, tepat di atas kepala Dewi Obat
itu.
"Tidak! Jangan lakukan itu...!" jerit Nyai Juming ketakutan.
Tapi Ki Sangkala sudah tidak lagi mendengarkan. Dan....
"Hih!"
Jleb!
"Aaakh...!"
Nyai Juming menjerit melengking tinggi begitu ujung tongkat Ki Sangkala
menembus tepat di ubun-ubun kepalanya. Lalu, cepat sekali Pengemis Tongkat
Putih menotok leher Nyai Juming tiga kali.
"Bebaskan totokanmu, Rangga," ujar Ki Sangkala tanpa berpaling sedikit pun.
Rangga cepat-cepat menuruti. Dilepaskannya totokan di dada Nyai Juming.
Seketika itu juga, tubuh Nyai Juming bisa bergerak. Dan pada saat itu, Ki
Sangkala mencabut tongkatnya dari ubun-ubun kepala Dewi Obat
"Keparat..!" geram Nyai Juming.
Dan pada saat itu juga, terlihat para prajurit berjatuhan, ambruk ke tanah.
Sementara, seluruh tubuh Nyai Juming kini menggeletar. Tampak asap kehijauan
mengepul dari atas kepalanya yang bolong, akibat tertembus tongkat Ki Sangkala
tadi.
"Aaakh...!" Nyai Juming menggeletar semakin hebat, disertai jeritan melengking
tinggi. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dan menggelepar sambil
menjerit-jerit. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja Ki sangkala melompat ke
atas, lalu....
"Yeaaah...!"
"Ki...!"
Crab!"
"Aaa...!"
Rangga tidak bisa mencegah lagi. Ujung tongkat Ki Sangkala sudah menembus dada
Nyai Juming begitu dalam. Darah seketika menyembur keluar begitu tongkat
tercabut dari dada. Hanya sebentar saja Nyai Juming masih bisa menggeliat,
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, para prajurit yang tadi bergelimpangan mulai bangun lagi. Dan
mereka seperti baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Kematian
Nyai Juming membebaskan para prajurit dari pengaruh ilmu ramuan penghilang
ingatan. Kini, mereka sudah pulih kembali seperti sediakala, walaupun
tergambar jelas rasa kebingungan di wajah.
"Maaf, aku terpaksa membunuhnya. Hanya itu jalan satu-satunya untuk
mengembalikan prajuritmu, Rangga," ucap Ki Sangkala.
"Ah, sudahlah... Sebaiknya kita temui yang lain dulu," ajak Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua tokoh persilatan tingkat tinggi itu segera
melesat melewati tembok benteng bagian belakang, sebelum ada para prajurit
yang bisa menyadari. Dan memang, prajurit-prajurit itu masih diliputi
kebingungan, karena selama ini berada dalam cengkeraman ketidaksadaran.
Sementara Rangga dan Ki Sangkala sudah jauh meninggalkan Istana Karang Setra,
menuju ke air terjun untuk menemui yang lainnya. Pendekar Rajawali Sakti
yakin, Danupaksi pun sudah terbebas dari pengaruh Dewi Obat.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DENDAM MEMBARA
Emoticon