SATU
MENTARI pagi bersinar cerah ketika burung-burung di ranting dan cabang pohon
mulai riuh bernyanyi. Embun di padang rumput menguap ke angkasa. Dan angin
bertiup sepoi-sepoi. Lengkap sudah keindahan alam semesta, yang dirasakan
pemuda tampan berambut panjang terurai dan berbaju rompi putih itu. Dihirupnya
udara pagi, hingga dadanya yang bidang semakin mengembang. Sambil melemaskan
tubuh, pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, bergerak ke
sana kemari seperti orang menari.
"Hup!" Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti ditekuk sebatas perut, dan kedua
tangannya membentuk jurus
"Yeaaa...!"
Kakinya menendang ke depan dengan tubuh berputar, disusul tendangan kaki yang
lain. Ketika tumitnya menjejak tanah, saat itu juga tubuhnya mengapung di
udara membentuk lompatan-lompatan kecil. Bergulung-gulung bagai ombak
samudera.
"Hiyaaa...!"
Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti, diikuti kibasan dan sodokan
kedua tangan secara beraturan. Dan tak lama kemudian, gerakannya dihentikan,
setelah peluh bercucuran di tubuhnya.
Plok, plok, plok...!
"Hebat, Kisanak! Hebat sekali pertunjukanmu...!"
"Heh?!"
Di sana telah berdiri seorang pemuda berambut panjang, berbaju merah dengan
pedang tersandang di punggung. Dari wajahnya, terlihat usia mereka tidak
terpaut jauh. Tapi Rangga menaruh curiga. Sebab, wajah pemuda itu terlihat
sadis, dengan sorot mata tajam menandakan kekerasan hati dan wataknya.
"Siapa kau, Kisanak?"
"Namaku Ayodea. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hm!... Benar."
"Kata orang, kau pendekar tangguh yang tidak terkalahkan?"
"Aku tidak merasa sehebat itu."
"Ternyata kau pandai mengelak."
Rangga mulai tak menyukai pemuda itu. Sikapnya sangat angkuh, dan kata-katanya
terdengar sinis.
"Kisanak, kita tidak saling mengenal dan tidak mempunyai urusan. Kalau tidak
ada lagi yang ingin diketahui, aku akan melanjutkan perjalanan," ujar Rangga
sambil membalikkan tubuh.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Rangga, berbalik menghadap Ayodea.
"Susah payah aku mencarimu, dan tidak akan kubiarkan kau berlalu begitu saja
setelah berhasil kutemui!"
Rangga mengerutkan dahi. "Kisanak, bicaramu semakin aneh saja. Ada urusan apa
sampai kau bersusah payah mencariku?"
"Menantangmu berduel!" jawab Ayodea tegas.
Rangga menggeleng lemah. "Kau salah memilih orang, kalau keinginanmu
mengajakku berkelahi. Aku tidak memiliki kepandaian apa-apa untuk dipamerkan.
Selamat tinggal, Sobat."
"Sombong! Yeaaat..!"
"Heh!"
Plak! Wuttt!
"Jangan memaksaku, Kisanak!"
"Tak peduli apa katamu! Kau harus melayaniku, sampai salah seorang di antara
kita ada yang kalah!" sentak Ayodea.
Rangga terpaksa menangkis dan meladeni serangan pemuda itu. Tiba-tiba, Ayodea
melompat dan menyerangnya dengan pukulan dan tendangan maut.
"Bersungguh-sungguhlah, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak main-main dengan
seranganku!"
"Kisanak. Sekali lagi kuminta, jangan memaksaku."
"Hiyaaat..!"
Ayodea menjawab dengan ayunan kaki ke dada lawan. Rangga memiringkan tubuh.
Tapi, kaki lawan yang lain sudah menyapu bagian bawah tubuhnya.
"Uts!"
Plak!
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti merasakan serangan pemuda itu semakin lama semakin
berat saja. Melihat caranya bergerak, Ayodea pantas mendapat acungan jempol.
Ilmu silatnya termasuk tinggi, serta tubuhnya mampu bergerak gesit dan
cekatan. Pukulannya pun berat, menimbulkan desiran angin kencang. Suatu
pertanda, Ayodea memiliki tenaga dalam yang kuat dan hebat.
"Tidak mengapa kau memandangku remeh. Aku tidak peduli bila kau sampai jatuh
di tanganku!" bentak Ayodea semakin garang, melihat Rangga masih menangkis dan
menghindar terus.
"Kisanak, kepandaianmu cukup tinggi dan hebat Lebih baik kau amalkan untuk
membela kebenaran."
"Tutup mulutmu! Aku tidak perlu nasihatmu!"
"Apa alasanmu mengajakku bertanding?"
"Namamu terlalu terkenal, dan harus ada yang menghentikan!"
"Hm.... Kau ingin mencari ketenaran dengan mengalahkanku?"
"Begitulah...."
"Sayang, kau menempuh jalan yang salah...."
"Sekali lagi, aku tidak perlu nasihatmu! Ayo, seranglah aku! Apakah
kebiasaanmu hanya menghindar seperti perempuan?"
"Menghindar demi kebaikan jauh lebih bagus, daripada menyerang untuk tujuan
yang tidak berguna!"
"Setan!"
"Uts!"
"Terimalah jurus andalanku, 'Langit Kelam Membelah Awan'!" bentak Ayodea
semakin kalap.
Gerakan Ayodea berubah cepat. Jurus andalannya menyerang Rangga dari segala
arah. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang kuat serta kelincahan bergerak,
Pendekar Rajawali Sakti dapat didesaknya.
"Hup!"
Rangga berjumpalitan ke belakang, membuat beberapa putaran.
"Yeaaa...!"
Plak!
Desss!
"Akh...!"
Rangga mengeluh pelan. Dengan tak terduga, pemuda berbaju merah itu berkelebat
cepat. Dan, melancarkan serangan dengan mengayunkan kepalan tangan menyodok
pinggang. Rangga menangkis dengan kibasan tangan kiri. Tapi, tubuh lawan
berputar cepat dan kakinya diayunkan ke arah perut. Meski berusaha menghindar,
tak urung satu tendangan keras menghantam sisi perutnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga berteriak keras, dan tubuhnya berputaran membuat beberapa lompatan
kecil. Menghindari serangan susulan Ayodea.
Merasa satu pukulannya mengenai sasaran, Ayodea semakin bernafsu menghajar
lawan. Dan, Rangga semakin kesal dibuatnya. Sambil menggeram hebat, pemuda
berbaju rompi putih itu memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', ketika
kakinya baru saja menjejak tanah.
"Hiyaaat..!"
Plak!
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Ayodea menyerang kedua kaki lawan dengan tendangan kaki kiri dan kanan.
Tujuannya, mematahkan lutut bagian belakang. Rangga menyodok dengan sisi
telapak tangan, dan menghantam tulang kering lawan. Lalu, tubuhnya bergerak ke
kiri. Sementara, Ayodea menekuk lutut kanan dan berputar ke samping mengejar
lawan.
"Hiyaaat...!"
Plak!
"Uts...!"
Plak!
Desss!
"Akh...!"
Pertarungan jarak dekat antara mereka berlangsung cepat, saling pukul dan
tangkis. Dan ketika Rangga melompat ke atas melewati kepala lawan, tubuh
Ayodea yang sejajar tanah mampu mengayunkan kedua kakinya. Namun dengan
indahnya, Pendekar Rajawali Sakti memapaki serangan itu dengan kedua telapak
kakinya. Tubuhnya langsung melejit ke atas, membuat beberapa putaran. Ayodea
melenting sambil menyodokkan satu pukulan keras bertenaga kuat. Tapi, Pendekar
Rajawali Sakti telah berputar dan menyodokkan pukulan ke dada lawan.
Ayodea menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar dua tombak. Rangga sendiri jatuh
ke tanah dengan kedua telapak tangan menjejak bumi. Dan, kembali melenting
dengan satu kaki menghajar telak perut lawan. Kembali tubuh Ayodea terpental,
dan memuntahkan darah segar dari mulut.
"Cukup sudah permainan kita kali ini, Kisanak!" ucap Rangga tegas sambil
memandang tajam pemuda berbaju merah itu.
Sriiing!
Ayodea mencabut pedang dan bangkit dengan sorot mata tajam.
"Huh! Jangan merasa menang dulu. Layani permainan pedangku!"
"Kisanak, jangan keterlaluan...."
"Yeaaa...!"
Pedang Ayodea itu berkelebat cepat, menimbulkan desingan yang bercuitan.
Rangga sangat terkejut melihatnya. Permainan pedang lawan sangat dahsyat.
Tubuhnya seperti terkurung oleh kelebatan pedang lawan, yang membungkus ketat
ke mana saja tubuhnya bergerak menghindar.
Wuttt!
"Uts... He?!"
Crasss!
"Akh!"
Rangga mengeluh. Ujung pedang Ayodea menggores bahu kirinya. Memang tidak
menimbulkan luka yang berarti, tapi cukup untuk membuktikan ketangguhan ilmu
pedang lawan.
"Cabut pedangmu! Aku sungguh-sungguh ingin membunuhmu!" sentak Ayodea kesal.
Rangga menggeram hebat. Paras wajahnya berubah garang, dan hawa kemarahan
mulai merasuk hatinya. Pemuda berjubah merah ini agaknya tak bisa diberi hati.
Kalau terus seperti ini, dirinya akan celaka sendiri. Padahal, di antara
mereka tidak ada rasa dendam atau sakit hati.
"Baiklah kalau kau memaksa, Kisanak...."
Sring!
"Heh?!"
Wajah Ayodea yang tadi tampak girang karena lawan menyambut tantangannya
berubah kaget, ketika melihat cahaya biru menerangi tempat itu. Cahaya itu
berasal dari pedang lawan. Rangga berteriak nyaring. Ayodea tersentak dan
bersiap dengan pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Trasss!
"Heh?!"
Begkh!
Ayodea memapak ayunan pedang lawan dengan senjatanya. Tapi hatinya jadi kecewa
melihat pedangnya putus seperti kayu lapuk. Pemuda itu terdiam beberapa saat,
dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Kepalan tangan
kirinya meluncur menyodok dada Ayodea. Pemuda berbaju merah itu menjerit.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melancarkan satu tendangan ke dada.
Tubuh Ayodea yang terpental ke belakang, kini terlempar lebih jauh lagi. Dari
mulut dan hidungnya mengucur deras cairan merah. Pemuda itu berusaha bangkit,
tapi tubuhnya terasa lemah dan tulang sumsumnya serasa patah. Napasnya
tersengal-sengal tidak beraturan. Rangga menyarungkan pedangnya, seraya
memandang tajam Ayodea.
"Kisanak, mudah-mudahan peristiwa ini akan membuatmu jera. Mencari ketenaran,
dengan jalan mencelakakan orang lain adalah perbuatan tercela. Kau merugikan
dirimu sendiri," ucap Rangga sambil berlalu dari situ.
Ayodea tertunduk, tak mampu berkata apa-apa. Matanya sayu, memandangi
langkah-langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti.
***
Lama Ayodea terdiam, setelah mengatur pernapasan. Rasa nyeri masih terasa,
tapi dia sudah mampu berdiri. Pemuda itu tidak segera pergi. Pikirannya
menerawang jauh seraya menghela napas panjang. Hatinya yang dirasuki dendam
dan niat untuk mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, semakin membara di dada.
Tapi, dengan kepandaian seperti sekarang, tidak mungkin pendekar sakti itu
dilawan untuk membalas dendamnya yang sedalam lautan.
"Hhh...!"
Ayodea mendengus. Tarikan wajahnya keras dan urat di pelipisnya menggembung.
"Aku harus menambah kepandaian untuk bisa mengalahkannya!" gumam Ayodea pelan.
Tapi, kemudian kembali kata-katanya direnungkan.
"Siapa kira-kira yang bisa menunjukkan pada ku tempat orang sakti berada?
Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti seperti tak terkalahkan. Puluhan tokoh-tokoh
silat kelas satu jatuh di tangannya. Percuma saja jika aku berguru pada
mereka. Seharusnya, ada warisan atau peninggalan dari tokoh-tokoh terdahulu
yang tidak pernah terkalahkan!"
Saat itu, muncul tujuh orang laki-laki berbaju serba merah dan langsung menuju
ke arahnya.
"Ki Ayodea...! Kenapa jadi begini, Ki?" tanya seseorang dengan wajah cemas.
Ayodea bangkit dan berusaha bersikap gagah, sambil mendengus sinis. "Aku tidak
apa-apa!"
"Engkau sudah berjumpa Pendekar Rajawali Sakti?" tanya seorang berambut
panjang dengan wajah penuh brewok.
"Itu bukan urusanmu, Sampurno!"
Orang yang dipanggil Sampurno terdiam seketika. Wajahnya tampak kesal,
kemudian berjalan bersama seorang kawannya di barisan belakang. Diikutinya
langkah Ayodea yang meninggalkan tempat itu.
"Kali ini, dia pasti kena batunya!" bisik Sampurno, sambil mendekatkan kepala
di telinga kawannya.
"Kenapa kau menduga begitu?"
"Banyak darah tercecer, dan napasnya masih terdengar sesak, serta wajahnya
yang pucat sesekali menahan rasa sakit. Dia pasti sedang terluka dalam," jelas
Sampurno.
"Maksudmu, dia dikalahkan?"
Sampurno mengangguk.
"Oleh siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti! Dia begitu bernafsu untuk
mengalahkan pendekar tersohor itu."
"Tapi, tetap saja kita tidak mampu berbuat apa-apa...," sahut kawannya sambil
menghela napas panjang.
"Paling tidak, arwah Ki Tambak agak lega. Karena, keangkuhan pemuda itu
sedikit berkurang dengan peristiwa ini. Dia yang merasa dirinya paling hebat,
kali ini ketemu batunya setelah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti."
"Tapi orang sepertinya mana mau insyaf. Melihat raut wajahnya, dendamnya
semakin berkarat. Segala cara akan dicarinya untuk mengalahkan Pendekar
Rajawali Sakti, yang kini dianggap sebagai penghalang utama untuk menjagoi
dunia persilatan."
"Tidak mungkin dia mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti, meski belajar
pada puluhan guru sekalipun!"
"He! Apa yang kalian bicarakan?!"
Kedua orang itu langsung terdiam, ketika mendengar Ayodea berbalik dan
membentak garang. Matanya meng-awasi mereka dengan tajam, kemudian mendengus
sinis.
"Kalian kira, aku tidak mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Huh! Kelak,
dia akan mampus di tanganku!"
Sampurno dan kawannya semakin dalam menundukkan kepala. Ayodea kembali
mendengus sinis, dan melanjutkan perjalanan. Selanjutnya, kedua orang itu
tidak berani bicara sepatah kata pun, meski hanya berbisik.
Tiba di tempat kediamannya, terlihat beberapa orang berseragam merah memberi
hormat. Tapi Ayodea hanya mendengus, dan terus melangkah lebar ke ruangan
dalam. Beberapa orang di antara mereka, saling pandang dengan wajah bingung.
"Apa yang terjadi pada Ketua?" tanya salah seorang dari mereka, pada rombongan
yang menyertai Ayodea.
Orang itu diam, tidak berani bicara.
"Sudah bertemu Pendekar Rajawali Sakti?" "Katanya sudah..."
"Bagaimana? Apakah dia berhasil mengalahkan pendekar tersohor itu?" tanya
orang itu dengan wajah serius.
"Kalian tentu bisa menduganya sendiri."
"Dia pasti keok!" sahut salah seorang dengan suara nyaris berbisik.
"Melihat tampangnya yang kusut, itu sudah pasti!" timpal kawannya yang lain
sambil tertawa kecil.
"Keparat! Apa yang sedang kalian bicarakan, heh?!"
Serentak, mereka terdiam sambil menundukkan kepala. Ayodea yang baru saja akan
menaiki anak tangga menuju lantai rumah, tiba-tiba saja berbalik sambil
membentak. Dan dengan langkah lebar, dihampirinya orang-orang yang berdiri di
halaman depan itu. Dan, memandang mereka satu persatu.
"Kenapa diam? Ayo, katakan apa yang kalian bicarakan tadi?!"
"Ti..., tidak ada apa-apa, Ketua...," sahut salah seorang, tergagap.
Begkh!
Desss...!
"Aaakh...!"
Empat orang yang berada di dekat Ayodea terpekik kesakitan. Tanpa disadari,
Ayodea berkelebat cepat dan menghajar mereka dengan geram. Keempat orang itu
terjungkal, dari mulut mereka menetes darah segar. Ayodea berdiri tegak dengan
sorot mata garang memandangi keempat anak buahnya, yang berusaha bangkit
dengan tertatih-tatih.
"Jika sekali lagi berani merendahkanku, akan kupecahkan kepala kalian!
Mengerti?!"
Empat orang itu mengangguk cepat Sementara, Ayodea meninggalkan mereka sambil
berkali-kali mendengus garang. Kali ini tidak berpaling lagi, langsung masuk
ke dalam rumah.
Beberapa orang yang berada di situ, langsung menolong keempat orang tadi.
Tapi, sebagian dari mereka hanya berdiam diri saja. Dan yang lain, malah tak
peduli sama sekali.
Ayodea adalah Ketua Perguruan Ular Merah. Perguruan itu dulu dipimpin oleh Ki
Tambak, guru Ayodea ketika belajar ilmu silat pertama kali. Ayodea murid yang
pintar dan berbakat, tapi juga memiliki sifat jahat. Itulah sebabnya, mengapa
Ki Tambak tidak menurunkan seluruh kepandaiannya kepada pemuda itu. Ayodea
mengetahui sikap gurunya. Pemuda itu pun kabur dan mengembara ke mana-mana,
belajar pada banyak orang. Beberapa tahun kemudian, dia kembali ke Perguruan
Ular Merah dan menantang Ki Tambak.
Dalam pertarungan itu, Ki Tambak menemui ajalnya. Dan, Ayodea mengambil alih
kepemimpinan. Banyak di antara murid-murid perguruan yang tidak menyukainya.
Tapi, Ayodea tak segan-segan menghajar, bahkan membunuh mereka yang berani
menantang. Di antara murid-murid itu, ada juga yang memihak padanya. Sehingga,
antara sesama murid Perguruan Ular Merah sering terjadi perselisihan.
***
DUA
Ayodea semakin resah. Sudah beberapa hari ini, marah-marah terus. Dan kalau
sudah begitu, murid-muridnya yang menjadi sasaran. Tentu saja hal ini membuat
mereka cemas. Kemarahan Ayodea membuatnya ringan tangan dengan memukul
murid-muridnya. Beberapa orang murid yang ketakutan, mengundurkan diri atau
keluar dari perguruan secara diam-diam. Tapi, bila Ayodea mengetahui, mereka
pasti tak akan selamat
"Apa yang membuatnya belakangan ini sering marah-marah?" tanya seorang murid,
berbisik-bisik pada kawannya.
"Mungkin kekalahannya dari Pendekar Rajawali Sakti."
"Dia tidak terima?"
Kawannya mengangguk.
"Orang sepertinya, seharusnya cepat mampus!"
"Hush! Hati-hati kau bicara."
"Aku sudah muak, dan bosan di sini! Sebagai ketua, kerjanya hanya marah-marah
dan goyang-goyang kaki saja. Sama sekali, dia tidak menurunkan kepandaian yang
dimilikinya. Kita hanya disuruh terus belajar dengan apa yang sudah kita
pelajari dari Ki Tambak dahulu."
"Mana mungkin dia mau menurunkan kepandaiannya. Sifatnya serakah dan tinggi
hati, serta menganggap diririya paling hebat Dan, tak mau disaingi siapa pun."
"Kebetulan, dia sedang tidak ada di tempat. Lebih baik, kita kabur saja dari
sini!"
"Kau mau celaka? Sekarang, banyak murid-murid yang menjadi penjilat. Hingga
kita tak tahu lagi, mana kawan dan mana lawan...."
Ucapan itu terhenti ketika di pintu gerbang terlihat Ayodea menunggang kuda.
Wajahnya tampak kesal. Dan kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang berani
macam-macam. Salah seorang murid mendekat, dan menggiring kudanya ke kandang.
Ayodea memperhatikan murid-muridnya dengan tatapan tajam. Kemudian memberi
isyarat, agar beberapa orang mendekat. Tujuh orang mendekat melangkah dengan
takut-takut.
"Ke sini, cepat..!"
"I... iya, Ketua..."
"Yeaaa...!"
Plak!
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Ayodea seperti terbang, berputar ke belakang. Kedua kakinya menyambar
ketiga muridnya. Lalu dengan cepat melenting ke depan, menghajar empat orang
murid dengan kepalan dan tendangannya. Ketujuh orang muridnya terhuyung-huyung
sambil mengeluh kesakitan.
"Ayo! Kerahkan semua kemampuan yang kalian miliki! Lawan aku, seperti kalian
menghadapi musuh besar!"
"Tapi, Ketua...," salah seorang murid ragu-ragu.
"Hiyaaat..!"
Ayodea tak mempedulikannya. Tubuhnya langsung bergerak, menyerang mereka.
Terpaksa ketujuh muridnya itu melakukan perlawanan.
Plak!
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Bugkh!
Desss!
"Aaakh...!"
Kali ini, ketujuh muridnya menjerit keras. Tubuh Ayodea bergerak cepat sekali,
sulit diikuti mata mereka. Walau telah berusaha menahan dan berkelit, tapi
tetap saja serangan Ketua Perguruan Ular Merah itu sulit ditahan.
"Huh! Apakah kalian kira aku tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti?!"
tanyanya gusar.
"Eh! Tentu saja Ketua mampu menghadapinya...," jawab salah seorang di antara
mereka, ditimpali kawan-kawannya.
"Di mulut kalian berkata begitu, tapi di belakangku mengejek!"
"Ti... tidak, Ketua. Mana berani kami mengejekmu...," sahut orang yang pertama
bicara tadi.
Ayodea hanya mendengus sinis. Kemudian, melangkah lebar ke dalam rumah. Dua
orang muridnya mengikuti ke dalam, dan duduk di depannya saling bersila.
"Sudah kalian dapatkan orang-orang yang kumaksud?"
"Kami menemui Ki Gempar Persada...."
"Si Dedemit Langlang Buana?" Ayodea memotong pembicaraan seorang muridnya.
"Betul, Ketua."
Ayodea mengangguk sambil tersenyum. Ki Gempar Persada selama ini memang
dikenal sebagai tokoh kosen. Nama orang tua itu amat disegani tokoh-tokoh
rimba persilatan.
"Kapan dia akan datang?"
"Beliau mengatakan akan ke sini, begitu kami tiba," jawab muridnya.
"Hm.... Bagus! Sudah kalian sebutkan syarat-syaratnya?"
"Sudah, Ki. Beliau begitu yakin bisa mengalahkanmu."
"Ha ha ha...! Sungguh gegabah orang itu, berani merendahkanku!"
"Ha ha ha...! Ki Ayodea, apakah kau merasa kecil hati kurendahkan?!"
"Heh?!"
Ayodea langsung melompat keluar, begitu mendengar tawa nyaring di luar. Dan
sesampainya di luar, tampak berdiri seorang laki-laki tua berpakaian lusuh.
Rambutnya putih dan panjang terurai. Bibirnya lebar, lebih-lebih saat tertawa.
Tangannya menggenggam sebatang pedang, dengan warangka terbuat dari kayu yang
kelihatan sudah lapuk.
"Selamat datang, Kisanak. Engkaukah Ki Gempar Persada?"
"Ha ha ha...! Tak salah. Kukira, Ki Ayodea yang bergelar Setan Ular Merah
adalah orang tua keropos yang bau tanah. Tapi siapa sangka, ternyata masih
semuda ini. Padahal, namamu sungguh menggelitik hasratku untuk
membuktikannya."
"Kisanak, aku tak mau banyak berbasa-basi. Muridku telah memberitahukan hal
ini padamu. Jadi, bersiapsiaplah!"
"Ha ha ha...! Anak muda memang selalu tak sabaran. Tapi, tak apalah. Kalau
memang kau telah siap, silakan dimulai."
Ayodea membuka jurus dengan menggeser sebelah kakinya ke belakang. Ki Gempar
Persada memperhatikan sorot mata pemuda itu, yang amat tajam menusuk seperti
elang hendak menerkam mangsa. Sekilas terlihat, seluruh murid-murid Perguruan
Ular Merah berdiri rapi di setiap sudut halaman, memperhatikan dengan seksama.
"Yeaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring, tubuh pemuda itu melompat dengan gerakan cepat.
Hal itu tentu saja membuat Ki Gempar Persada tercekat.
"Hup!"
Plak!
Wuttt!
"Uts!"
Sungguh tidak disangka kalau Ayodea mampu bergerak cepat seperti bayangan
melesat. Pukulannya kuat, menimbulkan desingan angin kencang yang menggetarkan
dada. Menurut pengamatan Ki Gempar Persada, pemuda ini memiliki tenaga dalam
yang kuat. Bahkan bisa jadi tenaga dalam lawan setingkat di atasnya.
Ketika salah seorang murid Perguruan Ular Merah datang ke tempat kediamannya,
untuk menyampaikan maksud kalau Ayodea ingin berguru kepadanya, orang tua itu
terkekeh. Dianggapnya Ketua Perguruan Ular Merah ingin bersaing dengan
ketua-ketua perguruan silat lainnya.
Menurut dugaan Ki Gempar Persada, murid itu pasti orang yang sangat dipercaya.
Sebab, menyampaikan berita demikian adalah sangat memalukan. Seorang ketua
perguruan silat ingin berguru, adalah hal yang aneh. Tapi, ketika mereka
menyampaikan amanat berikutnya, bahwa calon guru tersebut harus diuji langsung
oleh Ayodea, orang tua itu mulai berubah pikiran. Dalam hatinya timbul
pertanyaan, apa maksud Ketua Perguruan Ular Merah itu sebenarnya?
Sampai di sini, pertanyaan itu tidak terjawab juga. Yang diketahuinya
sekarang, Ayodea yang tadi sempat diremeh-kannya temyata bukanlah orang
sembarangan. Bahkan terlihat dari serangannya yang mematikan, seperti sedang
berhadapan dengan musuh besar.
"Ki Gempar Persada, bersungguh-sungguhlah! Aku akan berguru dan mematuhi
perkataanmu, bila kau bisa mengalahkanku. Tapi jika sebaliknya, nyawamulah
yang akan menjadi taruhannya!"
"Ki Ayodea, apa-apaan ini?!"
"Yeaaa...!"
Ayodea tak mempedulikannya, dan segera mengeluarkan jurus andalannya untuk
mendesak lawan.
Ki Gempar Persada mulai kewalahan, hanya dalam beberapa jurus. Bahkan, dalam
satu kesempatan, Ayodea berhasil menghajarnya.
"Akh...!"
Orang tua itu mengeluh perlahan, sambil mendekap dadanya yang terkena pukulan
lawan. Matanya terlihat garang, karena kemarahannya mulai bangkit. Sesaat
kemudian, disiapkan jurus-jurus serangan andalannya.
"Baik! Kalau itu kemauanmu, akan kuladeni. Coba kau tahan jurus 'Angin Puyuh
Menggempur Gunung' ini!"
"Keluarkan segala kepandaian yang kau miliki. Aku tak akan setengah-setengah
dalam pertarungan ini!"
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Ayodea bersiap, begitu melihat lawan akan mengeluarkan jurus andalan. Pemuda
itu pun sudah mempersiapkan jurus andalannya, yaitu 'Badai Pasir Mengguyur
Gelombang'. Jurus ini diperoleh dari salah seorang gurunya.
Serangan Ki Gempar Persada kini terasa berat dan cepat. Dan ketika kepalan
kiri lawan menyodok ke ulu hati, Ayodea memiringkan tubuh untuk menghindar.
Tapi, saat itu juga kepalan tangan kanan lawan menghantam kepala, diikuti
gerak menendang ke dada.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Ayodea melompat-lompat menghindar sambil berputar. Sementara, orang tua
itu terus mengejar dengan gencar. Tapi dalam satu kesempatan, ketika kepalan
lawan menghajar muka, Ayodea menundukkan kepala sambil menjatuhkan tubuh dan
menghajar lutut belakang lawan. Ki Gempar Persada merasa kalau ini adalah
peluang terbaik baginya untuk menghajar lawan dengan mengerahkan satu pukulan
maut ke bawah.
"Yeaaa...!"
Plak!
Dukkk!
"Akh!"
"Hiyaaat..!"
Desss!
"Aaakh...!"
Dua kali orang tua itu mengeluh kesakitan. Dan yang kedua, adalah hajaran di
punggungnya. Ayodea menangkis serangan lawan dengan kedua tangan. Entah
bagaimana caranya, tiba-tiba saja kedua kakinya melewati bagian bawah,
langsung menghajar pinggang belakang. Ki Gempar Persada terdorong ke depan,
dan tubuh pemuda itu langsung bangkit dengan sebelah kaki menghajar
punggungnya.
"Cabut pedangmu!" kata Ayodea sambil memandang sinis.
Sring!
Ki Gempar Persada mencabut pedangnya sambil mendengus geram. Dua kali dia
terkena hajaran pemuda itu tanpa bisa membalas.
"Dengan tangan kosong, kau mungkin bisa berbangga diri. Tapi, hati-hati
menghadapi ilmu pedangku!"
Sebagai jawabannya, Ayodea malah berkelebat cepat menghantam lawan. Pedangnya
digerakkan laksana kitiran yang membabat ke segala arah.
"Hiyaaat..!"
Trang!
Kedua senjata mereka beradu, menimbulkan percikan bunga api. Ujung pedang Ki
Gempar Persada menyambar ke perut lawan, sedang tubuh Ayodea melejit ke atas.
Orang tua itu terus mengejar dan menyabet kedua kaki lawan. Ayodea menangkis
dengan senjatanya. Tapi, kali ini tak sekadar mengadu senjata. Pedang Ayodea
bergulung-gulung bagaikan pusaran air ketika tubuhnya melesat ke bawah. Ki
Gempar Persada kelabakan, terus melompat ke belakang menghindari kejaran
lawan.
Trang!
Breeet!
"Aaa...!"
Ki Gempar Persada menjerit kesakitan, ketika ujung pedang lawan merobek
perutnya. Tapi pada kesempatan terakhir, pukulan jarak jauhnya masih mampu
dilepaskan ke arah Ayodea. Sayang, pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dan
balas menghantam dengan pukulan jarak jauh yang menimbulkan desir angin
kencang, hingga membuat tubuh Ki Gempar Persada terjungkal.
Ki Gempar Persada berusaha bangkit dengan bertumpu pada senjatanya. Tapi
niatnya tak tersampai, karena pada saat itu ujung kaki Ayodea menghantam telak
mukanya. Kembali orang tua itu terpental. Kali ini, dibarengi keluhan terakhir
yang nengakhiri kematiannya.
Ayodea memandang sinis sambil mendengus, menatap tubuh Ki Gempar Persada.
Setelah menyarungkan pedang, pemuda itu melangkah pelan ke dalam. Tinggal
muridmuridnya yang langsung bergerak mengurus mayat Ki Gempar Persada.
"Orang seperti itu yang kalian pilih menjadi calon guruku? Huh, memalukan!"
Dengan wajah gusar, Ayodea memaki kedua orang murid kepercayaannya. Ditatapnya
satu persatu wajah mereka dengan mata mendelik.
"Kami, tak tahu lagi harus mencari siapa, Ketua. Sepertinya, orang-orang yang
selama ini terdengar hebat dan handal, ternyata tak berdaya melawan Ketua...,"
jawab salah seorang muridnya.
"Kalian jangan putus asa. Carilah orang sakti lain, yang betul-betul pantas
sebagai guruku!"
"Tapi, ke mana lagi kami mencari, Ketua...?"
"Goblok! Aku tak peduli kalian mencari ke mana. Ke ujung dunia pun, harus
kalian dapatkan!"
"Baik, Ketua!"
Kemudian, kedua murid itu pun berlalu. Ayodea berdiri dan melangkah ke
jendela. Dari situ, diperhatikan sekeliling halaman depan. Tapi sebenarnya
pikirannya menerawang jauh. Kini, sudah beberapa orang tewas di tangannya.
Mereka itu adalah calon-calon gurunya.
"Heh?!"
"Eh! Maaf, Ketua. Di luar ada seorang pengemis yang ingin bertemu...," ujar
seorang muridnya yang baru masuk.
"Pengemis? Mau apa dia ke sini? Suruh keluar!"
"Tapi, Ketua. Dia membawa berita yang Ketua butuhkan..."
"Berita? Berita apa?"
"Dia tak mengatakannya. Katanya, hanya berita itu yang dibutuhkan Ketua. Dan
bila berkenan, dia meminta imbalan..."
"Hm.... Suruh dia masuk. Tapi ingat! Bila aku tidak berkenan dengan berita
yang dibawanya, maka kepalanya akan tinggal di sini! Katakan hal itu padanya!"
"Baik, Ketua....!"
Ayodea menunggu beberapa saat setelah muridnya keluar ruangan. Dan tak berapa
lama kemudian, muridnya itu telah kembali bersama seorang pengemis kumal
berusia sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya hitam, tubuhnya penuh dengan koreng
yang telah sembuh dan yang masih berdarah.
"Silakan masuk, dan berdiri saja di situ! Langsung katakan, berita apa yang
kau bawa?!" tanya Ayodea setelah menyuruh muridnya keluar dari ruangan itu.
"Namaku Kempeng...."
"Langsung katakan, berita apa yang kau bawa!" bentak Ayodea kesal.
"Baiklah. Kudengar dari beberapa orang murid, Anda mencari seorang tokoh sakti
untuk dijadikan sebagai guru. Yang akan kusampaikan, bukan tentang seorang
tokoh, melainkan warisannya yang pasti akan kau suka...."
"Warisan apa?"
"Pernahkah Kisanak mendengar tentang Goa Naga?"
"Hei!"
Mata Ayodea berbinar-binar mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Menurut
kabar yang pernah didengarnya, Goa Naga adalah suatu tempat yang dahulu dihuni
oleh seorang tokoh sakti yang tak terkalahkan. Banyak orang yang mencari goa
itu. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun yang tahu tempatnya.
"Tahukah kau, di mana goa itu berada?"
Pengemis itu menggeleng.
"Aku tidak tahu di mana letaknya. Tapi, tahu bagaimana caranya agar Kisanak
bisa ke sana. Tokoh yang dulu tinggal di goa itu memiliki keturunan seorang
gadis. Tapi gadis itu pun tidak tahu, di mana tempat itu berada. Yang
diketahuinya, ada sebuah peta yang menunjukkan letak goa itu. Caranya, dengan
melihat tato yang tergambar di seluruh tubuhnya. Tapi tidak sembarangan orang
bisa melihatnya, kalau tidak mempunyai hubungan dekat dengannya.
Gadis itu agaknya tak mampu menterjemahkannya. Akibatnya, letak goa itu belum
ditemukan hingga sekarang. Jadi, kalau Kisanak bisa mendekatinya dan mampu
menafsirkan peta di tubuhnya, Kisanak akan menjumpai gua itu, dan mendapatkan
Pusaka Goa Naga yang dikejar banyak tokoh persilatan," jelas pengemis itu
panjang lebar.
Bukan main girangnya hati Ayodea mendengar kata-kata si pengemis. Setelah
pengemis itu memberitahukan di mana gadis itu berada, Ayodea memberikannya
beberapa keping uang emas. Dan, sampai pengemis itu berlalu, bibirnya masih
terus tersenyum.
***
TIGA
Pegunungan Kendeng berbaris rapi, bagai gelombang laut yang berkejar-kejaran.
Dimulai dari puncak tertinggi, kemudian puncak kedua yang berada di bawahnya,
lalu puncak ketiga yang lebih rendah, dan seterusnya yang lebih rendah lagi.
Kembali pada puncak yang agak tinggi, kemudian lebih tinggi lagi. Di bagian
lereng hingga terus ke kaki pegunungan, terdapat sebuah perkampungan yang agak
sepi. Jarak rumah satu ke rumah yang lain cukup jauh.
Pagi ini cuaca terlihat cerah. Sang Surya bersinar lembut, menghangatkan
suasana. Di sebuah telaga yang mendapat curahan air terjun di atasnya,
terlihat seorang gadis tengah melakukan gerakan-gerakan silat yang teratur dan
indah, seperti sedang menari. Rambutnya panjang terurai hingga ke pinggang.
Wajahnya yang cantik dan berkulit putih, tampak kemerah-merahan diterpa sinar
matahari. Dan peluh bercucuran dari kening hingga ke pipinya. Sementara pedang
di tangannya, terus berkelebat ke sana kemari.
Setelah beberapa saat kemudian, gadis itu menghentikan latihannya. Dan, mulai
mengatur pernapasan sambil beristirahat Setelah itu, menyegarkan diri dengan
mandi di air telaga. Melihat wajahnya yang cantik, orang tak akan percaya
kalau di seluruh tubuhnya dipenuhi gambar-gambar tato. Mulai dari bagian depan
tubuh hingga ke bagian belakang.
Sesaat kemudian, gadis itu telah rapi berpakaian dan melangkah pelan
meninggalkan tempat itu. Tapi telinganya yang terlatih, tiba-tiba mendengar
teriakan-teriakan pertempuran yang tak jauh dari situ. Cepat, didatanginya
asal suara itu.
Sesampainya di sana, dilihatnya, seorang pemuda tengah dikeroyok beberapa
orang laki-laki bersenjata tajam, dan berwajah seram. Pemuda itu tampak lemah
sekali. Beberapa kali tubuhnya kena hajar, dan terdengar jerit kesakitan dari
mulutnya.
"Berhenti...!" gadis itu membentak nyaring sambil melompat ke arah mereka.
Serentak orang-orang itu menghentikan pertempuran.
"Eh, coba lihat! Siapa gerangan yang akan menjadi pahlawan hari ini!" tunjuk
salah seorang dari kawanan itu.
"Gadis cantik yang bahenol! Bukan pahlawan, tapi makanan empuk untuk kita!"
timpal kawannya, diikuti gelak tawa lainnya.
Mendengar olok-olok mereka, gadis itu tetap diam sambil menatap tajam.
Diliriknya sejenak pemuda yang menjadi korban mereka. Tubuhnya tampak
babak-belur, dan wajahnya meringis menahan sakit. Dia berusaha bangkit dengan
tertatih-tatih.
"Siapa kalian, dan apa yang dikerjakan di sini?"
"Coba dengar! Gadis itu malah menanyakan kita. Apa tidak sebaliknya kita yang
harus bertanya padanya?!" seorang yang wajahnya penuh ditumbuhi bulu-bulu
lebat, menyahut dengan sikap merendahkan sambil berpaling pada kawan-kawannya.
"Sudahlah. Tinggalkan saja bocah itu di sini. Sekarang, kita sudah mendapat
makanan baru yang lebih segar!" sahut kawannya yang bertubuh kurus.
"Ah, tidak bisa! Susah payah kita mengejar anak keparat ini, agar kelak di
kemudian hari tak jadi biang penyakit. Mana mungkin kulepas begitu saja!"
jawab si brewok cepat
"Kalau begitu, kita bunuh saja sekarang!" salah seorang kawannya yang bertubuh
besar, langsung mendekati si pemuda sambil mengayunkan golok.
Tapi, sejengkal lagi mata golok akan memenggal kepala si pemuda, saat itu juga
si gadis bertindak. Tubuhnya berkelebat cepat, menghantam pergelangan tangan
orang bertubuh besar, hingga goloknya terpental jauh. Dan pemiliknya, meringis
kesakitan.
"Huh! Kurang ajar! Kita harus meringkus perempuan liar ini dulu, baru
membinasakan bocah itu!" sentak si brewok sambil mencabut golok dan bersiap
menyerang gadis itu.
"Manusia-manusia bengis tak berguna! Ayo, majulah kalian semua. Ingin kulihat,
sampai di mana kegarangan kalian. Jangan hanya berlagak di depan orang yang
tak mampu melawan!"
"Heh, semakin sombong saja kau rupanya! Baik, jangan menyesal kalau kau
kuringkus dan kutelanjangi!"
Si brewok berteriak nyaring, menyerang gadis itu dengan gerakan cepat. Dia
berharap dalam waktu singkat akan dapat meringkus gadis itu. Tapi ternyata
dugaannya keliru. Gadis itu memiliki gerakan yang lincah untuk menghindari
serangan-serangannya. Tubuhnya bagai seekor walet yang terbang melayang ke
sana kemari. Hingga, membuat si brewok semakin penasaran saja.
"Dolok, apa kau tak mampu meringkus gadis itu? Sehingga kami harus ikut turun
tangan?!" teriak seorang kawannya.
"Tidak perlu! Sebentar lagi dia akan kutundukkan!"
"Yeaaa...!"
Plak!
Begkh!
"Aaakh...!"
Saat itu, si gadis telah melayangkan kepalan tangannya dengan cepat, menyambar
rahang lawan. Si brewok yang dipanggil Dolok, mencoba mengelak sambil
memiringkan tubuh. Tapi gadis itu telah berbalik, dan menghantamkan kepalan
tangannya yang lain, menggedor dada Dolok. Lelaki itu menjerit kesakitan dan
tubuhnya terjungkal mencium tanah.
"Kurang ajar! Agaknya perempuan liar ini betul-betul tak bisa diberi hati. Ayo
serang beramai-ramai!" teriak Dolok kalap.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Uts...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung mengeroyok gadis itu. Tapi si gadis
dengan tenang melayani mereka. Meski bertangan kosong, namun ujung golok lawan
sedikit pun tak mampu menyentuh kulitnya. Tentu saja hal ini membuat mereka
semakin kalap. Gadis itu agaknya mulai kesal melihat kelakuan mereka. Maka
sambil berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat cepat menghajar ke sana kemari
tanpa bisa dihindari.
"Yeaaa...!"
Dukkk! Desss! Begkh!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Para pengeroyok itu jungkir balik satu persatu secara beruntun. Agaknya si
gadis tak mau bertindak kepalang tanggung.
Cring!
"Aku hanya berkata sekali. Selanjutnya, kalian kupastikan mampus di tanganku.
Pergilah dari sini!" sentak gadis itu sambil menudingkan pedang ke arah
lawanlawannya.
Dengan wajah takut, mereka berlalu dari situ. Si gadis kembali menyarungkan
pedang, lalu menghampiri pemuda yang tadi dikeroyok.
"Kisanak, kini kau telah terlepas dari mereka. Nah, pergilah sesuka hatimu,"
katanya sambil membalikkan tubuh, hendak berlalu dari situ.
"Nisanak, tunggu!"
"Ada apa lagi?" gadis itu berbalik dan menatap tajam.
"Eh! Aku..., aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
"Tak usah. Nah, pergilah!"
"Tapi, Nisanak. Mereka pasti akan mencegatku begitu kau pergi. Dan.... Ah!
Nasibku memang malang, telah ditakdirkan harus mati sia-sia...," keluh pemuda
itu, sambil duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang dan keropos.
Gadis itu memperhatikannya dengan seksama sambil berpikir. Apa sebenarnya yang
terjadi dengan pemuda ini, dan mengapa sampai dikejar-kejar untuk dibunuh?
Semula gadis itu tak peduli, tapi entah mengapa kemudian dia menghampiri dan
berdiri di depan si pemuda.
"Siapa namamu?"
"Eh. Aku..., namaku Wakalu...."
"Hm, Wakalu.... Mengapa kau sampai berurusan dengan orang-orang itu?"
"Mereka membunuh kedua orangtuaku...."
"Mengapa mereka membunuh keluargamu?"
"Entahlah! Aku pun tidak tahu persoalannya. Subuh tadi, mereka datang dan
langsung menyerang kami. Sebenarnya aku tak ingin melarikan diri, tapi kalau
aku mati, siapa yang akan membalas sakit hati orangtuaku? Sayang, aku tak
memiliki kepandaian untuk melawan mereka...."
Gadis itu terdiam.
"Nisanak, siapakah kau sebenarnya? Kulihat, kau memiliki kepandaian silat yang
hebat. Sudikah kau mengajariku? Aku akan menuruti segala perintahmu," pinta si
pemuda dengan suara memelas.
"Hm.... Namaku Sekartaji, dan biasa dipanggil Sekar saja. Ilmu silatku tak
seberapa, tapi sekadar menghajar keroco-keroco seperti mereka, mungkin bisa
diandalkan. Tapi, itu tidak akan cukup untukmu. Lagi pula, aku tak berkenan
mengambil murid."
"Tolonglah aku, Sekar. Asalkan bisa membalas kematian kedua orangtuaku, aku
sudah merasa bersyukur."
"Hm...," gadis itu bergumam sesaat.
"Ah, nasibku memang buruk. Lebih baik aku mati saja, daripada menjadi anak
yang tak berguna," keluh pemuda yang mengaku bernama Wakalu itu. Kemudian,
diambilnya sebuah batu yang cukup besar, siap dihantamkan ke kepalanya.
Plak!
"Hentikan!" bentak Sekartaji sambil menghantam pergelangan tangan Wakalu,
sehingga membuat batu di tangannya terpental.
"Kenapa kau menghalangi niatku? Sudah jelas aku anak yang tak berguna. Biarkan
aku mati!"
"Baiklah. Aku akan mengajarkanmu satu dua jurus ilmu silat"
"Oh, benarkah?"
Sekartaji mengangguk.
"Eh, jangan begitu! Ayo, berdiri!" lanjutnya ketika melihat Wakalu hendak
bersujud di kakinya.
"Aku mesti memberi penghormatan pada guruku."
"Tidak usah. Sekarang mari ikut ke pondokku."
"Baiklah."
Keduanya segera berlalu dari tempat itu. Dari kejauhan, terlihat orang-orang
yang tadi mengeroyok Wakalu, memperhatikan dengan seksama.
"Agaknya, gadis itu berkenan pada Ki Ayodea," gumam si brewok yang bernama
Dolok.
"Berhasil juga siasat Ki Ayodea," sahut kawannya.
"Sudahlah. Untuk apa kita berlama-lama di sini. Tugas kita telah selesai.
Sebaiknya, kita kembali ke perguruan," kata kawannya yang lain.
Setelah melihat kedua orang itu berlalu, mereka pun meninggalkan tempat
itu.
***
Pemuda itu memang Ayodea. Untuk menjalankan siasatnya, namanya sengaja
dirubah. Bisa jadi, belakangan ini nama Ayodea sangat dikenal. Setelah
peristiwa pembunuhan gurunya oleh tangannya sendiri, Ayodea sempat menantang
beberapa tokoh persilatan, dan semuanya tewas di tangannya.
Begitu juga setelah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Ayodea mencari
tokoh-tokoh berilmu tinggi untuk diangkat-nya menjadi guru, dengan syarat
harus mengalahkannya dalam duel. Tapi, kebanyakan di antara mereka tewas di
tangannya, dan yang lain tidak mau memenuhi undangannya.
Ayodea menganggap tokoh-tokoh yang tidak bersedia memenuhi undangannya, tidak
memiliki kepandaian yang dikaguminya. Oleh sebab itu, namanya pasti dikenal
sebagai tokoh muda berilmu tinggi yang sadis dan telengas. Untuk mencari
simpati gadis itu, tindakannya sengaja dibuat bodoh dengan tidak menunjukkan
kepandaiannya. Bahkan, merubah namanya.
Sekartaji ternyata memenuhi janjinya. Gadis itu memberi pelajaran ilmu silat
dan ilmu olah kanuragan kepada Ayodea yang kini bernama Wakalu. Walaupun bukan
itu yang ditujunya, tapi Ayodea belajar sungguh-sungguh. Pemuda itu sangat
rajin dan selalu bersikap polos serta jujur pada Sekartaji. Hingga tak heran
bila Sekartaji mulai menaruh simpati padanya.
Tak terasa, telah seminggu lebih Ayodea bersama gadis itu. Pagi ini, pemuda
itu berlatih ilmu silat yang diajarkan Sekartaji. Setelah menaruh kayu bakar
di dapur, perlahan-lahan kaki Sekartaji melangkah ke balai-balai bambu yang
terletak di depan rumah. Diperhatikannya secara seksama gerakan-gerakan yang
dilakukan Ayodea.
"Wakalu. Kuda-kudamu kurang kokoh!"
"Eh! Guru...!" Ayodea berpaling dan memberi hormat melihat gadis itu tersenyum
padanya.
"Sudah berapa kali kuperingatkan. Jangan memanggilku guru. Cukup namaku saja!"
"Tapi...."
"Jangan membantah!"
"Baiklah."
"Nah, sekarang coba kau tangkis seranganku!"
Setelah berkata demikian, Sekartaji langsung melompat sambil mengayunkan satu
pukulan ke arah Ayodea.
"Yeaaa...!"
Plak!
"Hup!"
Wuuut!
Ayodea bergerak tak kalah gesit. Ketika Sekartaji menendang, tubuhnya segera
dimiringkan sambil menundukkan kepala. Kemudian, berguling ke belakang. Tapi
serangan gadis itu tak hanya sampai di situ saja. Tanpa menunggu lawannya
bangkit, tubuh Ayoda dikejar dengan serangan yang lebih gencar.
"Hiyaaat..!"
Plak! Desss!
"Akh!"
"Hati-hati...!"
Sekartaji memperingatkan ketika kakinya berbalik cepat menghantam punggung
pemuda itu. Ayodea mengeluh kesakitan, dan tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Namun, kedudukannya cepat diperbaiki saat gadis itu kembali melesat
menyerangnya.
Plak!
"Hiyaaat!"
Plak! Plak!
Tappp!
Ayodea mengelak gesit. Dan dengan cara yang tak terduga, pemuda itu
menjatuhkan diri ke tanah dengan sebelah kaki menghajar lutut belakang
Sekartaji. Gadis itu terkejut, dan kuda-kudanya langsung lemah sehingga
tubuhnya jatuh terguling menimpa Ayodea. Dan dengan sigap, Ayodea
menangkapnya, dan tubuh mereka bergulingan. Kemudian berhenti, ketika tubuh
mereka membentur dinding pondok. Keduanya terdiam beberapa saat. Mendadak,
gadis itu melepaskan diri dari pelukan Ayodea, dan melangkah ke dalam pondok
dengan wajah jengah.
"Guru. Eh, Sekar...! Maaf, aku...!"
Tapi ucapan pemuda itu terputus karena Sekartaji telah mengunci pintu kamar.
Ayodea berusaha mengetuk dan berkali-kali menyatakan penyesalannya. Namun, tak
terdengar sahutan dari dalam. Wajah pemuda itu tampak gelisah, dan berjalan
mondar-mandir. Namun, gadis itu nampaknya tak akan keluar kamar.
Ayodea merenung di balai-balai depan, memandang bulan yang telah muncul. Sejak
tadi sampai malam begini, Sekartaji belum juga keluar dari kamarnya.
Pikirannya jauh menerawang, tidak menentu. Saat itulah dari arah belakang
terdengar sapaan lembut
"Wakalu. Kau belum tidur...?"
"Sekar..., kau?"
Gadis itu tersenyum dan duduk di sebelahnya. Ayodea jadi salah tingkah.
Berkali-kali pemuda itu meminta maaf atas kejadian tadi pagi.
"Sudahlah... Aku sudah melupakannya."
"Tapi..."
"Kau tidak suka?"
"Eh. Aku..., aku..."
"Wakalu, ada yang ingin kubicarakan. Aku hanya terkejut dengan kejadian tadi
pagi. Selama ini, aku hidup sendiri dan jarang bertemu dengan orang lain.
Termasuk laki-laki. Peristiwa tadi pagi sungguh membuatku terkejut, tapi...."
"Tapi, kenapa?"
Gadis itu tersenyum, tidak langsung menjawab. Ditatapnya pemuda itu
lekat-lekat. Ayodea membalasnya sejenak, dan cepat-cepat menundukkan wajah.
"Kenapa...? Kau tak mau memandangku? Apakah aku terlalu buruk sebagai seorang
perempuan?"
"Bukan itu. Tapi, kau adalah...."
"Wakalu, aku tak pernah menyebut diriku guru di hadapanmu, bukan? Jadi, jangan
lagi diingat-ingat hal itu. Kita hanya dua orang anak manusia yang berlainan
jenis. Apa kau tak merasakan hal itu?"
"Eh, ya..."
"Menurutku, apakah wajahku amat buruk?" tanya Sekartaji dengan suara lirih.
"Aku harus katakan apa? Yang kulihat, kau seorang gadis yang cantik."
"Betulkah itu?"
Ayodea mengangguk.
"Tapi, mengapa tak ada laki-laki yang suka padaku?"
"Eh! Ng...."
"Betul, bukan?"
"Siapa bilang? Setiap laki-laki yang melihatmu, pasti akan terpesona."
"Termasuk, kau?"
Ayodea diam, tak menjawab. Diliriknya gadis itu berkali-kali.
"Jawablah dengan jujur, Wakalu."
"Tak pantas rasanya kalau aku mengatakan bahwa aku..., aku suka padamu."
"Kau sungguh-sungguh suka padaku?"
Ayodea mengangguk.
"Maaf, mungkin kau marah. Tapi, aku ingin berkata jujur...."
Kata-kata Ayodea terhenti ketika jari gadis itu menempel di bibirnya. Keduanya
saling pandang. Dan seperti magnit yang tak sejenis, perlahan-lahan keduanya
melekat dalam pelukan erat. Entah siapa yang memulai, bulan yang mengintip di
balik awan pun tidak tahu.
Lama mereka saling bercumbu. Dan, ketika suara gadis itu semakin lirih, Ayodea
mengangkat tubuhnya dan menutup pintu depan. Mereka masuk ke dalam kamar.
Malam yang dingin terasa hangat, ketika keduanya berpacu mengarungi samudera
cinta.
***
EMPAT
Hubungan antara Wakalu atau Ayodea dengan Sekartaji semakin intim saja sejak
malam itu. Bahkan, bukan lagi sekadar antara guru dan murid, tapi lebih mirip
hubungan suami istri. Sekartaji semakin hari semakin percaya pada pemuda itu.
Hingga ketika melihat segala kepandaiannya telah diturunkan pada pemuda itu,
Sekartaji mulai membicarakan soal penting yang selama ini selalu dirahasiakan.
"Kakang Wakalu...," katanya pada suatu malam.
"Hm...."
"Kau mungkin heran melihat sekujur tubuhku penuh tato, bukan?"
"Ya.... Tapi aku tak peduli, meski tubuhmu bagaimanapun keadaannya."
"Gambar tato ini bukan sembarangan, Kakang...," lanjut Sekartaji.
"Bukan sembarangan? Lalu apa...?" tanya Ayodea dengan wajah heran.
"Ini adalah peta yang menunjukkan suatu tempat..."
"Suatu tempat? Aku semakin tak mengerti."
"Hm.... Kau memang tak mengerti, karena kau tadinya bukan orang persilatan.
Kakang Wakalu, peta ini menunjukkan suatu tempat yang bernama Goa Naga.
Leluhurku adalah pemilik tempat itu. Pada zamannya, ia merupakan salah seorang
tokoh persilatan yang tiada tandingan. Tapi karena sulit melihat tato yang
berada ditubuhku ini, sampai sekarang aku belum menemukan tempat itu...."
"Ada perlu apa kau ke sana?"
Sekartaji tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Apa kau belum mengerti juga, ke mana arah pembicaraanku?"
Ayodea menggeleng.
"Tidak inginkah kau menambah kepandaian ilmu olah kanuraganmu, Kakang?"
"Tentu saja mau."
"Nah, bisakah kau membantuku untuk menafsirkan peta yang berada di tubuhku
ini?"
"Kalau itu membuatmu senang, tentu aku suka sekali membantunya. Nah, bukalah
bajumu."
Sekartaji membuka seluruh bajunya, hingga terlihat jelas gambar tato di bagian
depan dan belakang. Ayodea mengamatinya agak lama sambil berpikir keras. Bola
mata pemuda itu berbinar-binar dan hatinya bersorak girang. Berkali-kali dia
menghubung-hubungkan beberapa buah garis dan titik, serta gambar-gambar Iain
yang merupakan lambang. Sesaat kemudian, pemuda itu tersenyum gembira.
"Bagaimana, Kakang? Tahukah kau, di mana kira-kira letak goa itu?"
"Sepertinya tak terlalu susah. Tapi aku masih heran, mengapa kau harus ke
sana."
"Bukan aku yang akan ke sana, tapi kita."
"Kita?"
Sekartaji mengangguk.
"Kakang, ketahuilah. Leluhurku meninggalkan warisan berupa pelajaran ilmu
silat tinggi di sana. Kalau kita bisa mempelajarinya, tentu akan hebat sekali.
Nah, tak inginkah kau menjadi orang yang disegani?"
"Oh. Tentu saja aku suka sekali."
"Nah. Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali berangkat mencari tempat itu.
"Kau bersungguh-sungguh?!"
"Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Kau telah banyak
sekali membantuku."
"Kakang, perlukah seorang kekasih mengucapkan terima kasih, kalau itu
dilakukannya karena perasaan sayang dan kasih yang tulus? Kau hanya perlu
menyayangi dan selalu berada di sisiku setiap saat."
"Tentu saja, Sekar. Mana mungkin aku meninggalkan kekasih yang amat kucintai?"
"Oh, Kakang. Aku bahagia sekali mendengar kata-katamu!" Sekartaji memeluk erat
tubuh pemuda itu.
"Aku pun bahagia dicintai gadis secantikmu...."
"Betulkah kata-katamu itu, Kakang?"
"Apa?"
"Kau mencintaiku sepenuh hati?"
"Kenapa tidak?!"
"Tidakkah kau merasa malu melihat tubuhku yang penuh tato?"
"Sekar, harus berapa kali kukatakan? Aku mencintaimu dan tak peduli dengan
keadaan tubuhmu yang penuh tato. Bahkan, itu menambah keindahan tubuhmu."
"Kau hanya menghiburku, Kakang..."
"Aku bicara apa adanya, bukan sekadar menghibur."
"Sudahlah, Kakang. Lebih baik kita tidur agar besok pagi bisa bangun dengan
tubuh segar. Mungkin perjalanan kita akan jauh dan makan waktu lama..."
Ayodea mengangguk. Setelah mencumbu gadis itu, mereka tidur saling berpelukan.
Masing-masing dengan mimpinya. Sekartaji merasa bahagia dan aman menemukan
pemuda yang mencintainya. Angannya melayang jauh, membayangkan kebahagiaan
mereka kelak. Berumah tangga, mempunyai anak, bercanda ria, dan sebagainya.
Tapi yang dipikirkan Ayodea lain lagi. Selangkah lagi impiannya akan tercapai,
menjadi orang yang akan menjagoi rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang
akan menandinginya.
***
Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu dua hari dua malam. Tapi, rasa lelah
mereka terobati ketika melihat tanda-tanda yang ada di tempat itu sama dengan
yang tergambar di tubuh Sekartaji.
"Tapi lembah ini luas sekali, Kakang. Bagaimana kita dapat menemukan letak goa
itu?"
"Ingat, Sekar! Goa itu tidak akan ditemukan begitu saja. Ada tanda khusus yang
akan membuat goa itu terbuka. Jadi, selama tak ada yang menemukan pembuka goa,
maka goa itu akan terlihat seperti dinding saja," jelas Ayodea.
"Jadi, kita harus menemukan batu tebing yang menonjol seperti tanduk kerbau?"
"Betul!"
Keduanya terus menyusuri tebing terjal di lembah itu.
"Kakang, lihat!" seru Sekartaji.
Wakalu alias Ayodea menoleh ke arah yang ditunjuk Sekartaji. Di sana
dilihatnya dua bongkah batu sepanjang setengah jengkal, saling bertolak
belakang. Bentuk batu itu seperti ulekan sambal, disamarkan oleh
tonjolan-tonjolan batu sebesar kepalan tangan.
"Mari kita lihat dan coba!" ajak Ayodea.
Kemudian, mereka melangkah mendekati batu yang berbentuk aneh itu. Setelah
mengamat-amati secara seksama, Ayodea memutar kedua batu itu secara bersamaan
ke arah kiri dan kanan. Sehingga ujung-ujung bagian atasnya hampir
bersentuhan.
"Kakang, lihat! Tebing ini bergeser perlahan-lahan!" seru Sekartaji sambil
menunjuk dinding tebing yang bergeser membentuk sebuah pintu.
Melihat itu Ayodea semakin bersemangat memutar kedua batu ke kiri dan kanan.
Lubang itu semakin membesar, hingga berhenti ketika cukup untuk dimasuki dua
orang.
"Inikah Goa Naga itu?" tanya Ayodea dengan wajah girang, sambil melangkah
hati-hati.
"Kakang, awas!"
"Uts!"
Cras! Cras...!
Ayodea cepat melompat ketika empat ekor ular dengan ganas menyerangnya. Dengan
segera pedangnya dicabut, dan membabat keempat ular itu hingga menjadi
beberapa potong.
"Di dalam sangat gelap, Sekar. Aku tak tahu, berapa banyak ular lagi yang akan
ditemui. Sebaiknya kita membuat api agar ular tidak berani menganggu," usul
Ayodea. Kemudian, matanya beredar ke sekeliling tempat itu. Tampaknya ia
tengah mencari-cari sesuatu.
"Di sebelah sana ada pohon damar. Getahnya bisa kita buat obor!" seru
Sekartaji sambil menunjuk ke satu arah.
Keduanya langsung melompat dan mematahkan beberapa ranting kayu untuk
dijadikan obor. Setelah mengolesi dengan getah damar secukupnya, Ayodea
langsung membuat api dengan bantuan dua buah batu pemantik. Dengan dua buah
obor yang menyala-nyala, mereka masuk ke dalam goa sambil bersiaga dengan
pedang masing-masing.
Di mulut goa, banyak sekali ular-ular yang berserakan dan bergelantungan di
dinding-dinding ruangan. Namun dengan bantuan obor, ular-ular tersebut dapat
mereka halau ke tepi, hingga keduanya dapat masuk lebih ke dalam dengan aman.
Ruangan di dalam goa tidak kalah gelapnya. Ada beberapa lorong yang harus
dipilih, ketika tiba di tengah-tengah goa. Mereka tidak melanjutkan ke
lorong-lorong yang ada di situ, karena yang dicari temyata ada di ruangan ini.
"Kakang, lihat! Inilah kitab-kitab pusaka peninggalan leluhurku!" seru
Sekartaji sambil memperlihatkan setumpuk kitab yang tersusun rapi dalam rak
batu.
Ayodea melihat beberapa tumpukan kitab, dan membukanya satu persatu. Wajahnya
semakin berbinar-binar, membaca pelajaran ilmu silat tingkat tinggi serta ilmu
olah kanuragan lainnya.
"Zzzsss...!"
"Kakang, awas!"
Ayodea cepat melompat dan bersiap dengan pedang di tangan. Terlihat seekor
ular sebesar paha, dengan panjang lebih dua tombak, mendekat ke arah mereka.
Tapi sikap ular itu tidak menunjukkan akan menyerang. Ular itu terdiam, ketika
jarak mereka tinggal empat langkah lagi. Matanya tajam menatap Sekartaji
dengan lidah sesekali terjulur ke luar. Terlihat berkali-kali kepalanya
direndahkan sedikit ke bawah, seperti memberi hormat pada gadis itu.
"Agaknya binatang ini mengenalimu sebagai pewaris pusaka-pusaka yang berada di
goa ini," gumam Ayodea.
Sekartaji terdiam. Wajahnya masih terlihat pucat karena keterkejutannya tadi.
Tapi hatinya mulai sedikit lega melihat sikap ular itu.
Ular tersebut memalingkan kepala dan menjauhi mereka, sambil sesekali
berpaling seolah ingin menunjukkan sesuatu kepada mereka. Keduanya mengikuti
dengan langkah hati-hati. Di sudut ruangan yang agak remang-remang, terdapat
sebuah altar batu setinggi lima jengkal. Di atasnya terdapat sebuah guci yang
permukaannya agak lebar. Ular itu melingkar mengelilingi altar. Dengan
hati-hati, sambil sesekali melirik ke arah ular, mereka melihat isi guci itu.
"Cairan apa itu?" tanya Sekartaji heran.
Ayodea memperhatikan dengan seksama. Ketika bermaksud menciumnya, bau yang
menyengat menerpa hidungnya. Dengan terkejut, kakinya melangkah ke belakang.
"Astaga! Cairan itu adalah bisa-bisa ular yang paling mematikan...!"
"Apa? Bisa ular yang mematikan? Apa maksud ular itu menunjukkan cairan ini
pada kita? Apakah dia bermaksud menyuruh kita bunuh diri?"
"Jangan berburuk sangka dulu...."
Ayodea tidak meneruskan kata-katanya, karena ular besar yang melingkari altar
bergerak kembali dan mendekati rak berisi kitab-kitab pelajaran ilmu silat.
Dan, diam di situ beberapa saat lamanya, sambil memandang mereka bergantian.
"Apa lagi maksudnya?"
Ayodea berpikir. Kemudian, kakinya melangkah mendekati ular itu, dan memeriksa
beberapa buah kitab yang ada di rak batu.
"Hm.... Aku mengerti...," katanya sambil tersenyum kecil.
"Apa maksudnya?"
"Cairan bisa ini merupakan unsur yang membentuk jurus 'Cakar Naga'. Kita harus
menyerap cairan itu pada saat pemantapan ilmu telah mencapai puncaknya," jelas
Ayodea, mengutip kalimat dari kitab yang sedang dibacanya.
"Oh! Apa tidak berbahaya?"
"Tentu saja tidak, kalau kita mengerti caranya."
"Kakang. Untuk apa lagi kita lama-lama di sini? Ayo kita buka kitab-kitab itu
dan mempelajarinya."
"Ya, ya.... Kau benar."
Sementara mereka membaca dan mempelajari kitab-kitab yang berada dalam rak
batu, ular besar tadi kembali bergerak ke dekat altar dan melingkarinya.
Sepasang matanya yang merah, seperti mengawasi setiap gerak-gerik Sekartaji
dan Ayodea.
***
Emoticon