Tak terasa, hari berganti minggu dan bulan berganti tahun. Kedua muda-mudi itu
terus berlatih di dalam Goa Naga. Lebih dari setahun mereka berada di tempat
itu, tanpa diketahui seorang manusia pun. Letak Goa Naga memang tersembunyi
dan jarang dilalui manusia. Pintu goa pun dapat ditutup dari dalam, sehingga
dari luar terlihat seperti tebing curam saja.
Menjelang subuh, Ayodea tampak mengendap-endap menuju pintu goa. Matanya
sesekali melirik ke arah Sekartaji, yang masih tertidur pulas. Semalam mereka
baru saja selesai menguasai jurus 'Cakar Naga'. Ternyata, tidak semudah
dibayangkan. Untuk menyedot bisa ular dari dalam guci berbentuk ceper,
diperlukan pengerahan tenaga dalam dan hawa murni penuh.
Akhirnya, mereka berhasil melalui semua ujian. Ayodea gembira karena mereka
telah mengakhiri semua pelajaran yang ada dalam kitab-kitab di dalam goa ini.
Dan sebentar lagi dia tentu akan menguasai rimba persilatan.
Sekartaji pun gembira karena mereka akan kembali hidup normal dan menikah.
Ayodea memang telah berjanji padanya. Kini terlihat gadis itu sedang tertidur
lelap setelah seharian penuh berlatih.
"Ohhh...!"
Gadis itu menggeliat, berusaha memeluk Ayodea yang tadi tidur di sampingnya.
"Kakang...?"
Kelopak mata Sekartaji terbuka perlahan-lahan. Dan ketika tidak melihat Ayodea
di sisinya, bergegas dia bangkit. Sekartaji melayangkan pandangannya ke
sekeliling goa yang diterangi beberapa obor.
"Kakang Wakalu...!"
"Hup!"
Trak!
"Kakang Wakalu!"
Sekartaji melompat ketika melihat sebuah bayangan mencelat keluar. Dan
mematahkan palang pintu goa.
"Yeaaa...!"
"Akh!"
Sekartaji tidak salah lihat! Bayangan itu adalah Ayodea, kekasih yang akan
menjadi calon suaminya. Tapi, apa yang terjadi? Dan kenapa tiba-tiba saja
melancarkan pukulan jarak jauh bertenaga kuat ke arahnya? Tubuh Sekartaji
terbanting ke dalam goa, dengan luka dalam yang cukup parah. Dari mulutnya,
tak henti-hentinya meleleh darah segar.
Sambil menahan sakit yang luar biasa, gadis itu berusaha berdiri. Kemudian,
melangkah tertatih-tatih menuju pintu goa, yang perlahan-lahan menutup
kembali.
"Kakang Wakalu.... Apa yang kau lakukan padaku...?"
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam, Gadis Tolol! Kini, aku tidak
membutuhkanmu lagi!" teriak Wakalu sambil tertawa lebar dari luar pintu goa
yang telah tertutup.
"Kakang Wakalu...!"
"Kakang Wakalu telah mampus. Yang ada hanya Ayodea alias Setan Ular Merah.
Akulah yang akan menjagoi dunia persilatan. Ha ha ha...!"
"Ayodea...?" Sekartaji bergumam lemah.
Nama itu memang tidak terlalu mengejutkannya, tapi Sekartaji tahu betul, siapa
orang itu. Berita mengenai dirinya telah tersebar luas. Sekartaji hanya dapat
menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak mengenali orang.
"Jadi.... Jadi, kau yang bernama Ayodea, pembunuh guru sendiri dan menduduki
jabatannya sebagai ketua perguruan?"
"Ha ha ha...! Kau benar. Tapi, sudah terlambat!"
"Ayodea. Jadi, tujuanmu ingin menguasai pusaka yang berada di Goa Naga ini,
hanya untuk menambah kepandaian. Dan menjadi orang yang tidak terkalahkan?"
"Ha ha ha...! Setelah terkurung beberapa saat, ternyata otakmu mulai terpakai
lagi."
"Jadi, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku...?" tanya gadis itu, terdengar
lemah dan putus asa.
"Mencintaimu? Ha ha ha...! Jangan mimpi, Gadis Tolol. Untuk apa aku harus
mencintaimu, apa lagi mengawini gadis sepertimu? Masih banyak gadis-gadis
cantik lainnya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa aku harus mencintai gadis
tolol, dan memiliki cacat di tubuhnya?"
"Keparat kau, Ayodea! Ternyata kau memperalatku selama ini. Aku bersumpah akan
membunuhmu nanti!"
"Bawalah sumpahmu ke akhirat sana. Kau tak akan mampu keluar dari goa ini.
Saat ini, kau terluka parah. Mana mungkin, kau mampu menjebol dinding pintu
yang tebalnya lima jengkal. Ha ha ha...! Kau boleh mampus bersama
angan-anganmu!"
"Keparat kau, Ayodea!"
"Ha ha ha...! Kini tak seorang pun yang mampu menandingiku. Aku akan menjagoi
dunia persilatan. Selamat tinggal, Gadis Tolol! Bersenang-senanglah menerima
kematianmu! Ha ha ha...!" Ayodea tertawa keras, dan berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu.
"Kau tak akan lepas dariku, Keparat! Ke mana pun kau pergi, akan kukejar! Aku
bersumpah akan mengambil jiwa iblismu!" teriak Sekartaji kalap, sambil
memukul-mukul dinding goa.
Tapi akhirnya gadis itu terjatuh. Napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri.
Sambil merayap-rayap, dia kembali ke dalam ruangan untuk mengatur pernapasan
dan mengobati luka dalam yang dideritanya. Gadis itu kembali memuntahkan darah
segar. Pikirannya tidak dapat terpusat. Hatinya geram memikirkan perbuatan
Ayodea. Kepercayaannya telah dicampakkan begitu saja, setelah pemuda itu
memperoleh manis dirinya. Hatinya yang semula berbunga-bunga, perlahan-lahan
layu. Kemarau garang membakar, menimbulkan nyala api dendam kesumat kepada
pemuda itu.
"Awas kau, Ayodea! Aku bersumpah akan membunuhmu!" geram Ayodea sambil
mendengus garang.
***
LIMA
Sore yang cerah membawa seorang pemuda tampan berambut panjang terurai, ke
sebuah desa yang cukup ramai. Siapa lagi pemuda berbaju rompi putih kalau
bukan Rangga, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
melihat beberapa penduduk desa melirik ke arahnya dengan perasaan takut dan
cemas. Tapi pemuda itu tidak peduli, kakinya terus dilangkah menuju sebuah
kedai. Di dalam kedai sepi, hanya ada tiga orang berada di mejanya
masing-masing.
Rangga memesan makanan kepada pemilik kedai sambil melirik ke arah tiga orang
itu. Sepintas saja dapat diketahui kalau ketiga orang itu bukan penduduk desa
biasa. Dengan senjata terselip di pinggang, mereka lebih pantas disebut
orang-orang persilatan.
"Ha ha ha...! Pelayan, tolong sediakan lima guci tuak yang paling enak, dan
segala hidangan terlezat di kedaimu ini!" teriak seseorang yang baru masuk ke
dalam kedai.
Orang itu bertubuh besar dengan kumis lebat. Baju di bagian dadanya terbuka
lebar, menampakkan otot-otot tubuhnya yang kekar dan berkesan kuat. Di
pergelangan tangan kanannya, terlihat akar bahar yang melingkar seperti
lilitan ular. Di belakang orang itu terlihat empat orang yang tertawa
tergelak-gelak seperti sedang mabuk. Wajah mereka rata-rata seram. Melihat
kelakuan mereka yang sembarangan, agaknya kelima orang itu memang bukan orang
baik-baik. Salah seorang malah menendang sebuah bangku, hingga terpental
menghantam dinding.
"Cepaaat..!" teriak laki-laki berkumis lebat
"I... iya, Den...."
Hidangan yang sedianya akan diberikan kepada Rangga, oleh pelayan dialihkan
kepada mereka. Tentu saja Rangga yang merasa perutnya sudah keroncongan, tidak
suka melihat kelakuan pemilik kedai itu. Meskipun dia mengerti kalau pelayan
itu melakukannya karena rasa takut yang amat sangat
"Kisanak, aku lebih dulu memesan hidangan itu. Mengapa kau berikan pada
mereka? Itu sangat tidak adil! Berikan padaku, perutku sudah lapar sekali,"
kata Rangga tenang, dengan suara agak keras.
"Ta..., tapi...."
"Kenapa? Kau takut kalau aku tak mampu membayar?"
Rangga mengeluarkan beberapa keping uang perak dari saku, dan menunjukkannya
pada pemilik kedai.
"Ta... tapi, Tuan...."
"Apakah uangku kurang untuk membayar makanan itu?"
"Orang tua keparat! Apa aku menyuruhmu berlama-lama mengantarkan hidangan
kami? Sini, cepat..!" teriak laki-laki berkumis lebat, tanpa mempedulikan
ucapan Rangga.
"Ba... baik, Den...."
"Nanti dulu! Hidangan itu dipersiapkan khusus untukku, maka ke sinilah
seharusnya kau melangkah!" ujar Rangga tenang, sambil menjulurkan tangan.
"Keparat!"
Brakkk!
"Bocah sial! Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa saat ini?!
Seharusnya kau bersyukur tidak kuusir dari tempat ini!" bentak salah satu dari
kelima orang itu. Sambil menendang sebuah kursi, dihampirinya Rangga.
"Hm.... Peduli apa pada kalian? Lagi pula, apakah kau pemilik kedai ini, yang
bisa seenaknya mengusirku?"
Brakkk!
Wuuut!
"Uts!"
Dengan cepat, kepalan tangan laki-laki kasar itu menghajar meja di hadapan
Rangga, hingga hancur berantakan. Kemudian tangannya berbalik, menghantam
batok kepala pemuda itu. Tapi Rangga cepat mengelak dengan menundukkan kepala.
Dan, kaki kanannya terayun cepat ke arah perut lawan.
Bugkh!
"Aaakh...!"
Laki-laki berkumis lebat itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung menabrak
meja di belakangnya hingga porak-poranda, dan jatuh ke lantai. Ia berusaha
bangkit dengan wajah gusar. Sebelah tangannya memegang perut yang sakit bukan
main.
"Heh...?!"
Keempat kawan laki-laki berkumis lebat itu tersentak kaget, dan langsung
bangkit menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Diamlah kalian! Biar bocah keparat ini kuberi pelajaran!" kata laki-laki
berkumis lebat. Agaknya dia masih penasaran akibat pukulan Rangga.
"Kisanak, mengapa kau tiba-tiba memukul dan mengamuk?"
"Bocah keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Uts! Galak sekali kau rupanya!"
Tubuh Rangga melejit, melewati kepala lawan. Dan cepat melesat ke luar kedai.
Saat itu, salah seorang dari laki-laki kasar itu mengayunkan golok ke batok
kepalanya.
"Kau pikir bisa lari dari Lima Begundal Maut?!" dengus laki-laki berkumis
lebat, langsung melesat mengepung Rangga bersama empat orang kawannya.
"Hm.... Jadi, kalian Lima Begundal Maut yang terkenal itu? Pantas, kelakuan
kalian mirip kerbau...," ejek Rangga sambil tersenyum kecil.
Diejek begitu, tentu saja kemarahan kelima orang itu semakin memuncak. Tanpa
mempedulikan keadaan lagi, mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Modar!"
"Sabar.... Aku masih ingin hidup lebih lama," sahut Rangga sambil meliuk-liuk,
menghindari sabetan golok lawan yang menderu-deru laksana sapuan angin.
"Bocah sial! Kau tidak akan sempat menyesal berurusan dengan kami. Karena
sebentar lagi tubuhmu akan menjadi santapan anjing-anjing kurap!" bentak
laki-laki berkepala botak.
"Kalian jangan suka mengada-ada. Mana mungkin anjing-anjing kurap itu suka
dengan dagingku. Tubuh-tubuh kalian yang berbau busuklah yang sangat
diincarnya!"
"Kurang ajar! Hiyaaa...!"
"Uts!"
Pertarungan antara mereka menjadi tontonan yang menarik bagi penduduk desa.
Namun, di hati mereka terselip rasa cemas. Akan menjadi korban yang ke
berapakah pemuda itu? Karena selama ini, Lima Begundal Maut tidak pernah
main-main dengan ucapannya.
Para penduduk desa selama ini memang dicekam rasa takut dan waswas. Sejak
kehadiran Lima Begundal Maut yang selalu berbuat sesuka hati, tak ada lagi
kedamaian di sini. Orang-orang banyak yang mati di pinggir jalan akibat
perbuatan kelima orang itu. Ketakutan pun merajalela. Setiap ada pendatang
asing yang memasuki desa, sudah pasti akan menjadi sasaran kelima orang itu.
Bukan hanya itu, mereka pun suka mencari gara-gara dan membunuh orang
seenaknya hanya karena tidak suka. Beberapa orang penduduk desa berusaha
mengungsi, tapi kebanyakan dari mereka kemudian ditemukan tewas terbunuh.
Semua menduga, kalau itu adalah perbuatan Lima Begunda Maut. Akibatnya, tidak
ada seorang pun yang berani mencoba mengungsi dari desa ini.
Dan kini, kejadian yang sudah biasa kembali terjadi. Seorang pendatang asing,
dikeroyok beramai-ramai oleh Lima Begundal Maut. Tidak lama lagi, mungkin
pemuda berbaju rompi putih itu akan terkapar jadi korban yang entah ke berapa
kali. Pemandangan itu sudah biasa bagi penduduk desa. Mereka hanya dapat
menonton. Sesudah itu, masuk ke rumah masing-masing dan mengunci pintu
rapat-rapat. Biasanya, kalau sedang kesal dan marah, kelima orang itu suka
mencari gara-gara, dan yang menjadi sasaran adalah penduduk desa.
Tapi kali ini mereka melihat keanehan. Lima Begundal Maut tampak kesulitan
meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Walau dikeroyok, pemuda itu sama sekali
tidak terdesak. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari.
"Hiyaaat..!"
Plak! Dukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kesakitan yang disusul terlemparnya tiga dari Lima Begundal
Maut. Senjata di tangan mereka terpental, dan dari sudut bibir meleleh darah
segar.
"Keparat"
Dua orang dari Lima Begundal Maut memaki dan mengayunkan senjatanya secara
bersamaan.
"Hiyaaa...!"
Rangga melompat ke atas sambil jungkir balik. Kedua kakinya menghantam
pergelangan tangan mereka. Begitu menyentuh tanah di belakang mereka, kembali
sebelah kakinya terayun, menghantam kedua punggung lawan dengan cepat.
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Kedua orang itu tersungkur ke depan dengan senjata terpental. Tapi, belum lagi
mereka menguasai diri, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh yang langsung
menghajar keduanya.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kedua orang itu terpekik sesaat, dan ambruk ke tanah dengan kepala pecah.
Nyawa mereka melayang saat itu juga. Rangga yang tidak menyangka akan hal itu
menjadi terkejut. Di depannya telah berdiri gagah seorang gadis cantik
berambut panjang, dikepang dua dan diikat dengan pita merah. Gadis itu
memandang sinis tiga orang dari Lima Begundal Maut.
"Begundal keparat! Hari ini, terimalah kematian kalian!"
"Gadis liar! Siapa kau?" bentak salah seorang dari mereka, tidak kalah
garangnya.
"Ingatkah kau pada Ki Waskita dan istrinya, yang kau bunuh beberapa minggu
yang lalu? Sayang, saat itu aku tak ada. Kalau tidak, kalianlah yang akan
kubuat mampus!" dengus gadis itu, penuh dendam.
"Hm.... Orang tua busuk itu rupanya. Apa hubunganmu dengan mereka?"
"Mereka orangtuaku. Nah! Sekarang kau mengerti, untuk apa aku di sini, bukan?
Bersiaplah menjemput ajal!"
Gadis itu agaknya tak mau berbasa-basi lebih lama. Saat itu juga tubuhnya
melesat ke arah mereka, seraya mencabut pedang dari punggung masing-masing.
"Yeaaa...!"
Ketiga laki-laki kasar itu terkejut Cepat-cepat senjata mereka dihunus, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Trang! Brettt!
"Aaa...!"
Tubuh gadis itu bergerak amat cepat. Salah seorang berhasil menangkis
pedangnya, tapi senjata gadis itu terus bergerak ke samping dan menyambar dada
seorang lawan. Kemudian, tubuhnya cepat melejit ke atas sambil bersalto ketika
seorang lawan lain membabatkan golok ke pinggangnya yang ramping. Ujung pedang
si gadis terus bergerak, menyambar leher seorang lawan. Dua orang menjerit
seketika dan ambruk seperti ayam disembelih.
"Kini tinggal kau seorang!" geram gadis itu sambil mengacungkan ujung pedang
ke arah lawan yang tinggal seorang.
"Huh! Kau pikir aku takut padamu? Majulah, kalau kau ingin mampus!"
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Trang! Desss!
"Aaa...!"
Orang itu menjerit kesakitan, ketika ujung pedang si gadis menyambar lehernya.
Dengan cepat kepalanya ditundukkan, sambil goloknya dibabatkan. Tapi, gadis
itu menangkis dengan pedangnya, dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya
menendang ke arah dada lawan dengan tenaga penuh. Tanpa ampun lagi, terdengar
suara tulang rusuk patah dan menembus jantung. Nyawanya tak terselamatkan.
Tubuh laki-laki kasar itu pun diam, setelah menggelepar-gelepar sesaat.
Trek!
"Hup!"
"Nisanak, tunggu!"
Selesai menghabisi lawan, gadis itu menyarungkan pedang dan terus berkelebat
dari situ. Rangga tidak tahu, kenapa tiba-tiba berteriak memanggil gadis itu.
Dengan cepat, disusulnya si gadis. Ada rasa penasaran di dalam hatinya, untuk
mengenal gadis berilmu cukup tinggi itu. Terbukti, Lima Begundal Maut dalam
waktu yang tidak terlalu lama dapat dikalahkannya. Kehebatan gadis itulah yang
mendorong Rangga mengikutinya.
Kejar-mengejar di antara mereka berlangsung terus. Ilmu lari cepat gadis itu
lumayan hebat. Semula Rangga bermaksud menyusulnya, tapi kemudian niatnya itu
diurungkan. Kalau mau, bisa saja Rangga menyamai lari gadis itu, bahkan
mendahuluinya. Tapi, terpikir olehnya. Ada urusan apa dia menyusul gadis itu?
Sikapnya yang berkesan misterius dan tidak peduli pada orang lain, membuat
Pendekar Rajawali Sakti sangat penasaran. Siapa dia sebenamya? Kenapa begitu
kejam sekali pada lawan? Ah, tadi telinganya sempat mencuri dengar. Soal balas
dendam, karena Lima Begundal Maut telah membunuh kedua orangtuanya.
"Berhenti!"
"Ehhh...?!"
Rangga tergagap. Pikirannya tidak terpusat pada arah gadis itu berlari, hingga
tiba-tiba dari sebuah cabang pohon, gadis itu melayang turun dan mengacungkan
ujung pedang tepat di lehernya.
"Untuk apa kau mengikutiku? Apakah kau kawan mereka?"
"Eh, singkirkan dulu pedang ini. Benda itu berbahaya. Salah-salah bisa
menggorok leherku...."
"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis itu sambil menyorongkan ujung pedang hingga
menempel di leher Rangga.
"Baiklah.... Aku bukan kawan mereka."
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?"
Rangga terdiam, agak ragu untuk menjawab.
"Jangan berlagak bodoh!" gadis itu menekan ujung pedangnya hingga lebih ke
dalam.
"Baiklah. Karena... karena kau hebat.
Hiyaaat..!"
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Setelah berkata begitu, Rangga langsung membuang diri ke belakang. Tapi gadis
itu sudah memburu dengan kelebatan pedangnya mengarah ke dada Pendekar
Rajawali sakti begitu cepatnya. Rangga bergulingan menghindari sabetan pedang
lawan. Dan saat tubuhnya melejit ke atas, ujung pedang gadis itu terus memburu
seperti melekat dengan tubuhnya.
Rangga melompat ke cabang pohon, tapi ujung pedang gadis itu berputar-putar.
Cabang pohon tempatnya berpijak terpotong menjadi beberapa bagian. Tubuh
Rangga sendiri sudah melesat di belakangnya sambil tersenyum kecil.
"Nisanak, ilmu pedangmu hebat sekali. Tapi, di antara kita tak ada permusuhan.
Kenapa kau ingin membunuhku?"
"Aku akan membunuh siapa saja yang kusuka. Terutama pemuda usil sepertimu!
Yeaaa...!"
"Nisanak, sabar! Aku bukan musuhmu... uts!"
Ucapan Rangga terputus ketika ujung pedang gadis itu menyambar tubuhnya dengan
serangan yang mematikan. Kalau saja dia tak buru-buru menghindar, pasti
tubuhnya telah terpotong-potong beberapa bagian.
"Nisanak, tak bisakah kau sedikit ramah pada orang yang tidak memusuhimu?
Apakah kau ditakdirkan menjadi gadis kejam dengan sifat sadis?"
"Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ceramah dari pemuda ceriwis sepertimu!"
Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dengan memainkan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib', serangan gadis itu tak satu pun yang berhasil mengenai kulit tubuhnya.
Rangga mulai bosan. Sebab, gadis itu keras kepala dan tidak mau peduli
omongannya. Mana mungkin dia akan terus meladeni keinginannya. Lagi pula, apa
kepentingannya dengan gadis ini? Satu-satunya alasan, hanya karena Rangga
penasaran ingin mengetahui, siapa gadis itu sebenarnya? Maka, tanpa membuang
buang waktu lagi, Rangga membentak nyaring.
"Nisanak, baiklah. Kalau memang kau tak suka melihat kehadiranku, aku akan
mohon diri. Maaf kalau aku telah mengganggumu!" ucap Rangga. Dan setelah itu,
tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
"Kau pikir bisa lari dariku seenaknya saja? Huh! Karena mengusikku, kau harus
tinggalkan sebelah telingamu!"
Gadis itu melesat, mengejar Rangga yang berlari di antara cabang-cabang pohon.
"Yeaaa...!"
"Heh?!"
Trak! Trak!
Breeet!
"Auw!"
Gadis itu terpekik nyaring, karena tiba-tiba saja Rangga berbalik dengan dua
ranting di tangannya. Sebuah ranting menyerang ke arahnya, namun dengan
tangkas gadis itu menyambar dengan pedangnya, membuat ranting itu
terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil. Tapi gadis itu terkejut ketika
ujung ranting satu lagi menyambar dan merobek bajunya di bagian pundak.
Mulutnya tak henti-henti memaki. Tapi bayangan Rangga telah lenyap dari
pandangan. Hanya sayup-sayup terdengar suaranya dari kejauhan.
"Gadis cantik sepertimu seharusnya menghiasi diri dengan budi pekerti yang
baik, agar menjadi wanita sempurna. Kecurigaan dan sikap membabi buta, akan
menyengsarakan diri sendiri. Lebih terpuji lagi jika menggunakan akal dan
perasaan, serta naluri kewanitaan daripada menggunakan nafsu serta amarah...."
"Sial! Siapa dia sebenamya?" maki gadis itu sambil berpikir keras.
Sesaat dia berpikir, pemuda itu bukan orang sembarangan. llmunya tinggi dan
kepandaiannya hebat. Ah, terlalu banyak sekali orang berkepandaian tinggi di
dunia ini. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa melakukan tugasku? Gadis itu
bertanya dalam hati, sebelum melanjutkan langkahnya.
***
ENAM
Rangga menghentikan langkah. Jarak mereka telah terpaut jauh. Tak mungkin
rasanya gadis itu mampu mengejarnya. Lagi pula, Rangga jadi tersenyum sendiri.
Perbuatannya tadi sungguh tidak pantas. Tapi, kalau tidak dilakukannya mungkin
gadis itu akan terus mengejar. Walaupun dalam ilmu lari cepat kemampuannya
lebih tinggi, tapi dengan cara tadi tentu lebih cepat lagi.
Gadis itu tidak akan dapat mengejarnya, karena kerepotan membenahi bajunya
yang sempat dirobek ranting kayu. Rangga tersenyum kecil sambil melangkah
pelan. Pikirannya masih tertuju pada gadis tadi. Siapa dia sebenarnya?
"Tolong...!"
"Heh?!"
Rangga cepat berpaling, dan melihat seorang laki-laki tua tengah sekarat di
bawah sebatang pohon. Cepat-cepat dihampirinya orang tua itu.
"To..., tolonglah aku, Anak Muda...."
"Kisanak, apa yang terjadi padamu?"
Rangga terkejut menyaksikan keadaan orang tua itu. Seluruh tubuhnya hitam
kebiru-biruan. Di dadanya terlihat guratan seperti terkena cakaran binatang
buas. Darah yang meleleh dari sudut bibirnya pun berwama hitam kebiru-biruan.
Orang tua itu berusaha menahan gerak racun yang ada di tubuhnya, agar tidak
segera menyerang jantung.
"A..., Ayodea.... Se... Setan Ular Me... Merah...."
"Ayodea?" desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat
nama itu. Peristiwa setahun lalu, tiba-tiba melintas dalam benaknya. Seorang
pemuda ber-baju merah menantangnya, dan begitu bernafsu ingin membunuhnya.
Meski samar-samar, Rangga ingat pemuda itu menyebutkan namanya.
"Hm.... Jadi, pemuda itu yang membunuh orang tua ini. Tapi, apa masalahnya?
Apakah soal balas dendam?" gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri.
Setelah menguburkan orang tua itu, Rangga melanjutkan perjalanan. Tujuannya
kini adalah Perguruan Ular Merah. Tapi tempat itu amat jauh dari sini. Memakan
waktu satu atau dua hari perjalanan, bila ditempuh dengan seekor kuda yang
sehat dan mampu berlari cepat.
Sepanjang perjalanan, banyak didengarnya cerita tentang Ayodea yang membuat
teror di mana-mana. Yang menjadi korban kebanyakan tokoh-tokoh persilatan
berilmu tinggi yang selama ini namanya amat disegani. Kenyataan ini semakin
membuat Rangga bertekad menemui Ayodea.
Malam telah tiba, ketika Rangga sampai di sebuah desa. Tempat ini sepi sekali,
seperti di kuburan. Di depan tiap-tiap rumah, hanya ada sebuah pelita kecil
yang nyala apinya sangat redup. Pemuda itu agak ragu, apakah di tempat seperti
ini ada penginapan. Satu-satunya bangunan besar yang terlihat, ditutup tembok
tinggi. Di pintu gerbangnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT TOMBAK KILAT.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah ragu, dan mengetuk pintu sebuah rumah yang
tidak jauh dari situ.
"Permisi. Selamat malam...!"
Tidak terdengar sahutan dari dalam. Namun, pen-dengarannya yang tajam
mendengar derit panjang, disusul langkah halus ke arah belakang.
"Kisanak, aku seorang pengembara yang kemalaman di tempat ini. Sudikah kau
menolongku, untuk numpang menginap semalam saja?"
Rangga melangkah lesu. Setelah menunggu beberapa saat, tidak terdengar
tanda-tanda penguni rumah ini mau membukakan pintu baginya. Dengan mengerahkan
ilmu 'Tatar Netra', dilihatnya seorang laki-laki tua berdiri di dekat pintu
dengan sebilah golok di tangan. Orang itu tentu menyangkanya bermaksud tidak
baik, sehingga bersiap-siap menyambutnya dengan tebasan golok kalau pemuda itu
berani menerobos masuk. Baru saja Rangga berjalan lima langkah, tiba-tiba dua
sosok tubuh berpakaian hitam berkelebat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Mampus!"
Rangga terkejut. Mendadak saja, dua orang yang bersenjatakan tombak menyerang
ganas. Melihat gerakan mereka yang gesit dan cepat serta bertenaga kuat,
Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau kedua penyerangnya itu bukan orang
sembarangan.
"Kisanak, ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku?"
"Orang asing keparat! Jangan berpura-pura bodoh! Kau tentu kembali untuk
menghabisi kami semua, bukan? Tapi jangan harap niatmu itu akan terlaksana.
Kau tak akan bisa pergi sebelum meninggalkan jiwamu di sini!" bentak salah
satu dari kedua orang itu.
"Kisanak, aku semakin tak mengerti apa yang kau bicarakan!"
"Huh! Tak perlu kau bertanya segala. Saat ini adalah hari kematianmu!"
Rangga mencoba menegaskan. Yang barusan berbicara adalah seorang pemuda
bertubuh kekar. Rambutnya pendek, diikat oleh sehelai kain hitam. Sementara
kawannya bertubuh lebih kecil dan kurus.
"Kisanak, barangkali ini adalah kesalahpahaman belaka. Di antara kita tidak
ada urusan apa-apa," Rangga mencoba menjelaskan.
Tapi kedua orang itu tak menyahut. Mereka langsung mendesak Pendekar Rajawali
Sakti dengan serangan-serangan kilat. Kedua tombak mereka silih berganti
menyerang bagai kitiran, menyambar ke mana saja tubuh Rangga bergerak
menghindar.
"Hentikan...!"
"Heh?!"
Sesosok tubuh berdiri di antara mereka. Kedua penyerang itu menghentikan
serangannya, dan memberi hormat pada orang tua bertubuh kecil yang baru tiba.
"Paman Guru! Syukur Paman segera datang. Kami telah menemukan orang yang telah
membunuh Eyang Guru...," kata pemuda berikat kepala hitam.
"Sukri! Dan kau, Bagala. Kalian terlalu ceroboh, menyerang orang tanpa dasar
yang kuat. Tahukah kalian, siapa orang yang sedang kalian hadapi ini?"
"Paman Guru. Dia..., dia...."
"Dia bukan Setan Ular Merah yang telah membunuh guru kalian. Pemuda ini adalah
Pendekar Rajawali Sakti," jelas orang tua itu.
"Heh...?!"
Kedua pemuda itu terkejut mendengar nama yang disebutkan paman guru mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti! Namaku Ki Sentanu. Dan atas nama murid-murid
keponakanku, menghaturkan maaf atas kelancangan mereka padamu...."
"Ki Sentanu, kau terlalu melebih-lebihkan dengan menghormat begitu. Aku bukan
apa-apa. Memang, sejak tadi aku berusaha menjelaskan bahwa ini hanya
kesalah-pahaman belaka, namun mereka berkeras menyerangku. Tak apalah. Aku
bisa mengerti hal ini. Tadi, kudengar mereka berurusan dengan Setan Ular
Merah. Apa yang telah terjadi di sini?"
"Rasanya kurang hormat bila kami tidak mempersilakan tamu masuk. Padahal,
pintu gerbang berada di depan mata. Silakan, Pendekar Rajawali Sakti.
Perguruan Tombak Kilat mengundangmu bertamu ke tempat kami. Hari pun telah
larut malam. Kami akan merasa dihormati, bila pendekar besar sepertimu
berkenan meneduh selama semalam atau dua malam," ujar Ki Sentanu.
"Terima kasih, Ki."
Kemudian, mereka berempat segera melangkah menuju Perguruan Tombak Kilat yang
terletak tidak jauh dari situ. Tampak murid-murid perguruan itu sedang
berjaga-jaga dalam keadaan berkabung. Guru mereka tewas pagi tadi bersama
beberapa murid perguruan. Yang menjadi biang malapetaka adalah Setan Ular
Merah.
Sayang, ketika hal itu terjadi, murid tertua perguruan ini, yaitu Sukri dan
Bagala tidak berada di tempat. Mereka baru saja pulang setelah mendapat tugas
dari gurunya. Dan ketika mendengar ciri-ciri pembunuh guru mereka masih muda,
keduanya langsung curiga dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang disangka
sebagai Setan Ular Merah.
"Jadi begitulah ceritanya, Pendekar Rajawali Sakti. Kami harap, kau tidak
sakit hati atas kelakuan murid-murid keponakanku tadi," ujar Ki Sentanu
mengakhiri ceritanya. Saat itu mereka telah berada di ruang utama perguruan.
"Ah! Tidak mengapa, Ki. Aku bisa memaklumi hal itu. Aku pun turut berduka
cita, atas kematian Ketua Perguruan Tombak Kilat ini. Sebenarnya, perjalananku
ini untuk mencari pemuda itu..."
"Setan Ular Merah?" tanya Ki Sentanu.
Rangga menganggukkan kepala.
"Apakah kau pun mempunyai ganjalan dengannya?"
Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala.
"Barangkali dialah yang mempunyai ganjalan denganku...."
"Kenapa bisa begitu?"
Rangga lalu menceritakan peristiwa setahun lalu, saat pertemuannya dengan
Ayodea yang bergelar Setan Ular Merah.
"Jadi, untuk urusan itukah kau hendak menemuinya?"
"Bukan. Perbuatan orang itu sungguh keterlaluan. Dalam waktu singkat, lebih
dari sepuluh tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Sekadar
membuktikan, bahwa dia seorang tokoh yang tak terkalahkan...."
"Kudengar pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dia mewarisi
ilmu silat penguasa Goa Naga...," jelas Ki Sentanu sambil menggelengkan
kepala.
"Goa Naga?! Nama itu pernah kudengar. Kabarnya, dahulu tempat bersemayam
tokoh-tokoh persilatan dan berbagai kalangan. Sayang, jatuh ke tangan yang
salah...."
"Harus ada orang yang menghentikan sepak terjang Setan Ular Merah. Kalau
tidak, dia akan mengganggu ketenteraman semua orang. Ayodea haus akan
ketenaran dan kekuasaan. Korban akan terus berjatuhan, begitu mendengar ada
tokoh yang dianggapnya hebat. Kalau saja saat itu aku berada di tempat, dia
pasti akan menempurku...," kata Ki Sentanu geram.
"Apakah Ayodea ke tempatmu juga, Ki?"
Ki Sentanu menganggukkan kepala. "Entahlah.... Aku juga tidak bisa menduga,
sampai di mana ketinggian ilmu silatnya. Kalau saudara seperguanku tidak mampu
dan tewas di tangannya, bagaimana mungkin aku bisa menahan jika tiba-tiba dia
datang ke sini...?"
"Paman Guru,, rasanya mustahil kalau kita semua tidak mampu membinasakan orang
itu!" sahut Sukri dengan nada gusar.
Ki Sentanu menggeleng lemah. "Kau tak tahu kepandaian orang, Sukri. Orang
seperti kita ini, tidak ada artinya bagi Setan Ular Merah. Kalau dia telah
mampu membinasakan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, maka dua puluh orang
sepertimu bukan apa-apa baginya."
"Jadi kita harus bagaimana? Apakah mendiamkan saja kematian Eyang Guru, tanpa
terbalas?" tanya Bagala.
Ki Sentanu terdiam beberapa saat lamanya, dan menghela napas panjang. Kemudian
diliriknya Pendekar Rajawali Sakti.
"Barangkali kau lelah dan mengantuk, Pendekar Rajawali Sakti? Muridku akan
mengantarkan ke kamarmu."
"Belum, Ki Sentanu. Tapi, kalau memang ada pembicaraan yang sifatnya pribadi,
ada baiknya aku tak ikut mendengarkan."
"Tidak. Kami tidak sedang membicarakan persoalan pribadi," sahut Ki Sentanu
sambil menggelengkan kepala.
"Ki Sentanu. Sebenarnya alasan bertemu dengan Setan Ular Merah bukan karena
soal pribadi. Harus ada orang yang menghentikan sepak terjangnya yang berbau
maut. Aku sama sekali tidak menganggap diriku sebagai malaikat penyelamat.
Meskipun tak memiliki kepandaian tinggi, tapi kita harus berusaha. Karena,
cepat atau lambat Ayodea akan mencariku untuk membalaskan sakit hatinya...,"
jelas Rangga.
"Jadi kau akan menempurnya?"
"Jika semua jalan untuk membujuknya tak berhasil, mungkin itulah satu-satunya
jalan terakhir."
"Pendekar Rajawali Sakti, bila kau membutuhkan pertolongan, tenaga tuaku ini
siap membantu. Begitu juga dengan semua murid-murid Perguruan Tombak Kilat!"
ujar Ki Sentanu bersemangat.
Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. "Ki Sentanu, aku tidak meremehkanmu
dan semua murid-murid yang berada di sini Tapi sudah menjadi kebiasaanku
bekerja sendiri. Pasti jika aku memerlukan tenaga kalian, aku akan ke sini
memberitahukannya," sahut Rangga.
Mendengar jawaban itu, Ki Sentanu terpaksa menerima sikap Pendekar Rajawali
Sakti. Dalam hati, orang tua itu percaya kalau Rangga berilmu tinggi. Sepak
terjangnya belakangan ini telah membuktikan hal itu. Tapi, menghadapi Setan
Ular Merah yang mewarisi kepandaian seorang tokoh sakti tak terkalahkan di
zamannya, apakah dia sanggup?
Ki Sentanu tidak bisa menjamin. Yang pasti terbayang di benaknya, dua orang
tokoh muda rimba persilatan akan bertemu. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana
serunya jika mereka jadi bertarung. Saat ini, nama keduanya memang amat
disegani, karena sama-sama memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan yang
tinggi!
***
Kedua orang tua itu berlari cepat, menyusuri pinggiran hutan. Dari cara mereka
bergerak, agaknya bisa diduga bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat yang
tidak sembarangan. Tubuh mereka bergerak bagai sapuan angin saja. Yang seorang
bertubuh bungkuk, membawa sebatang tongkat baja di tangannya. Sementara yang
seorang lagi berkulit merah dengan mata tajam dan bulat hampir keluar. Di
punggungnya terdapat sebatang golok besar, yang kedua matanya bergerigi.
"Adik Palang Gerigi. Apakah kau yakin kalau si keparat itu berada tidak jauh
di depan kita?" tanya orang tua bungkuk itu.
"Aku yakin, Kakang Sembung Sedura."
"Kali ini, dia tidak akan lolos dari tanganku!" geram laki-laki bungkuk yang
bernama Sembung Sedura.
"Tanganku pun sudah gatal ingin menggorok lehernya," sahut kawannya yang
bernama Palang Gerigi.
"Coba dengar! Sepertinya ada suara pertarungan!" desis Sembung Sedura sambil
menghentikan larinya.
Ki Palang Gerigi pun menghentikan larinya, dan menajamkan pendengaran.
"Betul! Agaknya tak jauh dari sini. Mudah-mudahan dia si jahanam itu!"
"Mari kita ke sana!"
Keduanya berlalu dari situ. Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat seorang
pemuda berbaju merah berhadapan dengan seorang laki-laki tua berkepala botak
yang didesak habis-habisan. Kedua tangan pemuda itu tampak hitam kebiru-biruan
sampai sebatas siku. Persis ketika mereka tiba di tempat itu, si orang tua
berkepala botak memekik kesakitan sambil berkelojotan. Dadanya telah tercakar
pemuda berbaju merah itu.
"Aaa...!"
Seluruh tubuhnya cepat menghitam kebiru-biruan. Ketika sampai ke jantung,
orang tua itu hanya sempat mengeluh sesaat. Napasnya putus saat itu juga.
"Ha ha ha...! Orang tua busuk, kau pikir kali ini berhadapan dengan siapa?
Setan Ular Merah bukanlah orang sembarangan yang bisa kau jatuhkan begitu
saja. Ha ha ha...! Tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu mengalahkanku!"
"Setan Ular Merah keparat! Hentikan sesumbarmu! Hari ini kami yang akan
mencabut kesombonganmu itu!" bentak Ki Palang Gerigi sambil melompat ke
hadapan berbaju merah itu. Ki Sembung Sedura pun telah berada di sebelahnya.
"Siapa kalian?" tanya pemuda itu dengan tatapan mata tajam.
"Kau tak perlu tahu siapa kami. Tapi, bersiaplah menerima kematian!" dengus Ki
Sembung Sedura sinis.
"Huh! Kalian pikir, punya derajat untuk bisa berhadapan denganku? Aku tak sudi
berurusan dengan keroco-keroco busuk yang tidak punya nama seperti kalian!
Pergilah, sebelum kesabaranku habis!"
"Setan Ular Merah! Beberapa hari yang lalu kau telah membinasakan Ki Sempalan
Ungu alias Pendekar Lembah Duka. Kami adalah saudaranya yang akan membalas
sakit hatinya!" sahut Ki Sembung Sedura.
"Hm, boleh juga. Orang tua itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebagai
saudara seperguruan, kalian tentu memiliki kepandaian serta nama yang cukup
lumayan. Cukup pantas untuk mampus di tanganku," sahut Setan Ular Merah
tenang.
"Keparat! Anak muda sombong, hati-hati dengan bicaramu! Kau pikir kepandaianmu
sudah hebat sekali?!" dengus Ki Palang Gerigi yang agaknya sudah tak sabar
ingin menghajar pemuda itu.
"Kenapa kau, Orang Tua? Apa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat mampus? Ke
sinilah cepat"
"Keparat! Yeaaa...!"
Mendengar jawaban itu, Ki Palang Gerigi langsung melompat menyerang pemuda itu
dengan kecepatan tinggi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, senjata andalannya
langsung dicabut. Ki Palang Gerigi memang mengaku kalau lawan berilmu tinggi.
Itulah sebabnya, dia tak mau setengah hati menempurnya, dan langsung
menggunakan senjata dengan jurus-jurus pamungkas untuk menyerang pemuda itu.
Apa yang diperkirakannya memang tidak salah. Setan Ular Merah dengan tenang
menghindar dari setiap serangan dan sabetan senjatanya. Dan hal itu
berlangsung terus sampai dua jurus terlampaui. Sepertinya, lawan sengaja
berbuat begitu untuk mengetahui sampai di mana kehebatan ilmu silat yang
dimilikinya. Dan pada jurus ketiga, pemuda itu mencabut pedangnya, siap
membalas serangan lawan.
"Orang tua bersiap-siaplah menerima kematianmu! Yeaaa...!"
***
TUJUH
Tubuh Setan Ular Merah bergerak cepat. Ki Palang Gerigi terkejut, dan langsung
memutar senjatanya. Desiran angin kencang pun mengiringi senjatanya yang
membentuk kitiran. Dari tangan kirinya, melesat sebuah sinar berwarna kuning
kemerahan-merahan yang langsung menerpa lawan.
"Yeaaa...!"
Glarrr! Crasss!
"Akh!"
"Heh! Keparat!" maki Ki Sembung Sedura.
Kejadian itu berlangsung cepat sekali. Dari telapak tangan kiri pemuda itu
melesat sinar maut dari pukulan jarak jauh 'Cakar Naga'. Pukulan itu
mengeluarkan sinar hitam kebiru-biruan, yang langsung memapaki pukulan Ki
Palang Gerigi. Terjadi ledakan kecil. Pukulan lawan seperti lenyap, ditelan
sinar hitam kebiru-biruan yang terus menderu menghantam. Ki Palang Gerigi
hanya sempat berteriak kecil. Tubuhnya hangus terbakar, dan berserakan seperti
arang yang perlahan-lahan berubah menjadi debu. Dan, pedang pemuda itu
mempercepat terjadinya hal itu, membabat tubuh lawan yang telah tak berdaya
menjadi beberapa potong.
"He he he...! Itulah akibatnya jika berani menghadapi Setan Ular Merah!"
"Biadab! Setan Ular Merah, kau bukan manusia, tapi setan terkutuk berhati
iblis!"
"He! Kenapa kau marah-marah begitu, Orang Tua? Kau sakit hati, dan ingin
membalas dendam? Ayo, majulah! Biar sekalian tubuhmu kucincang untuk makanan
hewan-hewan buas di hutan itu."
"Manusia terkutuk! Tak peduli kau mampu membunuhku. Orang sepertimu, sudah
selayaknya disingkirkan dari muka bumi ini!" bentak Ki Sembung Sedura,
langsung melompat sambil memutar tongkat menyerang ke arah lawan.
"Hup! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa seperti mengejek orang tua itu, tubuh Setan Ular Merah
menghindar dengan lincah
. "Mampus!" bentak Ki Sembung Sedura sambil memutar tongkatnya yang membentuk
pusaran hebat, menghantam kepala dan dada pemuda itu.
"He he he...! Kau bermimpi bisa membunuhku, Orang Tua!"
"Bangsat!" maki Ki Sembung Sedura.
Dari tangan kirinya, melesat seberkas sinar kuning kehijauan menuju Setan Ular
Merah. Itulah pukulan andalannya yang bernama 'Rumput Pelangi'. Pukulan itu
mampu membunuh tiga ekor kerbau yang kuat sekaligus! Tapi, lawan hanya
tertawa-tawa sambil menghindar ke sana kemari.
"Orang tua, tidak adakah pukulanmu yang lain? Kalau semua kepandaianmu telah
dikeluarkan, maka bersiaplah menerima balasan dariku!"
Wajah Setan Ular Merah seketika berubah kelam. Hawa kesadisan terbias ketika
dia mendengus sinis. Telapak tangan kirinya diangkat, dan terlihat perubahan
cepat Tangannya sebatas siku, berwarna hitam kebiru-biruan.
"Yeaaa...!"
Ki Sembung Sedura terkejut mendengar bentakan Setan Ular Merah yang
menggelegar hebat. Sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan, selain
menghindar cepat ketika telapak kiri lawan menghantam ke arahnya, disusul
kelebatan pedang di tangan kanan.
Wuttt!
Trak! Crasss!
"Akh!"
Glarrr!
Tubuh Ki Sembung Sedura terpental beberapa tombak. Pedang Setan Ular Merah
lebih dulu berkelebat, menghantam secara tak terduga. Dengan sekenanya, orang
tua itu menangkis, namun kelebatan pedang lawan sungguh cepat. Karena dengan
tiba-tiba tongkat ditangannya patah jadi dua bagian dan menghajar dadanya. Ki
Sembung Sedura memekik kesakitan. Saat itu juga, telapak kiri Ayodea
menghantam dan orang tua itu tidak mampu menahannya. Tubuh Ki Sembung Sedura
langsung menghitam kebiru-biruan seperti arang yang berpatahan. Nyawanya
langsung melayang saat itu juga.
"Ha ha ha...! Orang tua malang, kau tidak akan mampu melawanku. Setan Ular
Merah akan menjadi tokoh persilatan yang tak terkalahkan! Ha ha ha...!"
"Tertawalah sepuasmu, Setan Ular Merah! Karena sebentar lagi kematian akan
menjemputmu!"
"Heh?!"
Setan Ular Merah langsung menghentikan tawanya. Di tempat itu telah berdiri
sesosok tubuh tinggi tegap. Di tangannya tergenggam sebatang pedang besar dan
panjang. Sorot mata laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu terlihat
tajam.
"Siapa kau? Apakah kau ingin mampus seperti mereka?" tanya Setan Ular Merah
sambil tersenyum mengejek.
"Setan Ular Merah, bicaramu sombong sekali. Seolah-olah kau merasa dirimu
malaikat maut yang tak mampu dihalangi. Tapi, hari ini Bianglala Mata Iblis
akan membuat perhitungan denganmu!"
"Hm.... Jadi kau orang yang terkenal itu? Sungguh suatu kehormatan bagiku
berhadapan denganmu. Tapi, persoalan apa yang membuat kau begitu gusar?"
"Bocah keparat! Aku tak peduli kau membantai banyak orang hanya untuk
melambungkan namamu. Aku juga tak peduli, kau membantai golongan mana pun.
Tapi, kau telah membunuh adikku, maka terpaksa aku harus turun tangan!"
"Adikmu! Siapa dia?"
"Serigala Bukit Kuda!"
"Hm.... Ya, kuingat dia. Pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat, sehingga
menggelitik hatiku untuk mencoba kemampuannya. Tapi aku tak sangka kalau dia
adikmu. Seandainya pun aku tahu, mungkin juga tak akan mampu menghalangi
niatku untuk mencoba kemampuannya," sahut Setan Ular Merah ringan.
"Keparat! Kau sungguh tak melihat mukaku sedikit pun!"
"Kenapa aku mesti melihat mukamu yang buruk itu?"
Bukan main geramnya Bianglala Mata iblis mendengar jawaban pemuda itu. Bukan
oleh ejekan itu, tapi kelancangan Setan Ular Merah yang seolah menganggapnya
remeh. Selama ini, namanya selalu disegani dan ditakuti tokoh-tokoh rimba
persilatan. Tak seorang pun yang mau mencari urusan dengannya. Tapi hari ini,
seorang pemuda yang menamakan diri sebagai Setan Ular Merah, telah mengecilkan
dan membuatnya sama sekali tak berarti. Tentu saja hal ini membuat Bianglala
Mata Iblis tersinggung.
"Setan Ular Merah, bersiaplah. Aku ingin melihat, sampai di mana
kesombonganmu!" dengus Bianglala Mata Iblis sambil membuka jurus dan menekuk
pedangnya ke belakang.
"Kau yang memulai, maka jangan salahkan kalau kau akhirnya tak sempat
menyesali!" balas Setan Ular Merah tak kalah sinis.
"Yeaaa ..!"
"Hiyaaat..!"
Trak!
"Uts..., eh?!"
Setan Ular Merah sedikit terkejut melihat serangan lawan. Nama Bianglala Mata
Iblis memang bukan omong kosong belaka. Terutama sekali, tenaga dalamnya yang
luar biasa. Tubuh pemuda itu nyaris terdorong ke belakang, saat lawan
menyerangnya dari jarak dekat.
"Hebat sekali tenaga dalammu, Sobat. Ayo, keluarkan seluruh kemampuanmu!"
"Bocah sombong! Mengocehlah nanti kalau kau sudah di akhirat!"
"Ha ha ha...! Orang sepertiku tidak pantas berada di sana lebih dulu, akulah
yang akan mengirimmu ke sana."
"Huh! Yeaaa...!"
Setan Ular Merah sengaja membiarkan dirinya diserang terus oleh lawan. Hal itu
dilakukannya untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan serangan lawan. Dan
pemuda itu terkejut, sebab bukan saja tidak diberi kesempatan untuk
menghindar, tapi juga serangan lawan begitu dekat mengancam jiwanya. Rasanya
dia tidak akan mampu terus bertahan selama dua jurus tanpa membalas. Kecuali
kalau ingin merelakan nyawanya dicabut lawan.
"Bersiaplah kau, Sobat!"
"Yeaaa...!"
"Heh?!"
Bianglala Mata Iblis terkesiap melihat gerakan lawan yang cepat luar biasa,
dengan ujung pedang menyambar-nyambar bagai kelebatan kilat. Dengan sekenanya,
pedangnya diputar membentuk pertahanan diri, sekaligus menimbulkan pusaran
angin kencang. Tapi dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Setan Ular Merah
terus menghantam senjata lawan.
Prak!
"Uts!"
Pedang besar di tangan Bianglala Mata Iblis patah jadi dua bagian. Telapak
tangannya terkelupas ketika kedua senjata mereka beradu. Tekanan tenaga dalam
lawan yang disalurkan lewat babatan pedangnya, sungguh luar biasa dan sempat
mendebarkan jantung. Tapi lebih gila lagi, kalau dia tidak cepat-cepat
membuang tubuhnya dari sambaran pedang lawan selanjutnya, yang cepat bukan
main.
"Hiyaaat..!"
Suttt..., trakkk!
"Yeaaa...!"
Dalam keadaan terdesak, Bianglala Mata Iblis melempar sisa pedang yang berada
di tangannya, tepat di jantung lawan. Tapi, Setan Ular Merah dengan mudah
menangkisnya. Senjatanya langsung mengejar lawan, bergulung-bergulung bagai
pusaran air deras. Kesempatan sesaat itu, cukup bagi Bianglala Mata Iblis
untuk melancarkan pukulan mautnya yang bernama 'Darah Iblis'.
"Uts!"
Dengan gesit Setan Ular Merah menghindari lesatan cahaya merah, yang
dilontarkan dari telapak tangan lawan. Sambil menggeram hebat, Ayodea
mengerahkan jurus 'Cakar Naga' yang dahsyat dan sangat beracun.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Glarrr!
"Aaakh...!"
Bianglala Mata Iblis hanya sempat mengeluh tertahan. Ketika lawan menghantam
dengan pukulan maut, dicobanya menahan dengan pukulan 'Darah Iblis' miliknya,
sambil mengempos tenaga dalam sepenuhnya. Terdengar ledakan keras sesaat,
dibarengi pijaran bunga api yang menerangi tempat itu ketika kedua pukulan
mereka beradu. Tapi dalam sekejap saja, terlihat sinar hitam kebiru-biruan
dari jurus 'Cakar Naga' yang dikerahkan Setan Ular Merah, menjalar cepat
menghantam tubuhnya. Pemuda itu hanya sempat memekik sesaat. Tubuhnya langsung
terpental sejauh tiga tombak dalam keadaan menghitam seperti arang.
"Huh! Ternyata Bianglala Mata Iblis yang dibesar-besarkan itu, kemampuannya
hanya sampai di sini saja!" dengus Setan Ular Merah sambil menghela napas
pendek.
Setan Ular Merah merasa agak letih. Dalam waktu singkat menghadapi empat tokoh
yang berilmu tinggi, tentu sangat menguras tenaga. Sesaat, pemuda itu bersila
di bawah sebatang pohon untuk mengatur napas dan mengembalikan hawa mumi.
Kedua matanya terpejam, namun pendengarannya dibuka lebar-lebar.
Agak lama juga Setan Ular Merah bersikap demikian. Dan setelah dirasa
tenaganya kembali pulih, kelopak matanya pun dibuka. Saat itu didengamya suara
halus yang menjalar mendekatinya. Seekor ular yang sangat besar, mendesis
halus mendekat ke arahnya.
"Hup!"
Crasss!
Pedangnya tercabut cepat, dan memapas kepala ular itu sampai putus. Dan ketika
berkelebat sekali lagi, tubuh ular itu terpotong menjadi beberapa bagian.
Ayodea kemudian membuat api untuk memanggang daging ular itu. Dan setelah itu,
dilahapnya sampai tandas tak bersisa. Namun, ketika baru saja bangkit dan
bermaksud meneruskan perjalanan, sesosok tubuh ramping melesat cepat ke
arahnya.
"Heh!"
Setan Ular Merah mulanya sedikit terkejut. Namun melihat wajah gadis cantik
berbaju putih di hadapannya, dia tersenyum sendiri. Belum apa-apa, gadis itu
telah mencabut pedang dan memandangnya dengan tajam. Meski wajahnya dibuat
bengis, tapi gadis berambut panjang itu sama sekali tidak terlihat
menyeramkan. Hanya terlihat sedikit kesan galak pada wajahnya.
"Nisanak. Mengapa kau tiba-tiba muncul dan mencabut pedang?"
"Kaukah yang berjuluk Setan Ular Merah?"
"Tak salah. Kau bertanya langsung pada orangnya...."
"Bagus! Terimalah kematianmu! Yeaaa...!"
"Eh! Ada apa ini? Uts...!"
Kata-kata Ayodea terputus ketika tiba-tiba gadis itu menyerangnya. Untung
pemuda itu cepat menghindar ke samping. Kalau tidak, lehernya pasti putus
disambar kelebatan pedang gadis itu.
"Kau pikir namamu sudah hebat, sehingga tidak ada yang mampu menandingi?
Guruku, Ki Sempalan Ungu tewas di tanganmu. Kini, terimalah kematianmu!"
"O, kau muridnya? Sungguh sayang saat itu kau tidak ada di sana. Kalau tidak,
tentu kita akan bersenang-senang lebih dulu. Tapi, tak apalah meski tertunda.
Yang jelas, kesempatan ini tidak akan kulewatkan begitu saja. Kebetulan kita
telah memulai tadi. Baru saja, kedua paman gurumu tewas di tanganku," sahut
Setan Ular Merah mengejek.
"Apa?! Ki Sembung Sedura dan Ki Palang Gerigi tewas di tanganmu? Keparat! Kau
berhutang tiga nyawa padaku! Hari ini, biarlah aku mengadu jiwa denganmu.
Yeaaa...!"
"Kau boleh mampus, tapi tidak sekarang. Melihat wajahmu yang cantik dan
tubuhmu yang mulus, kau akan bersenang-senang lebih dulu denganku," sahut
pemuda itu tertawa kecil.
"Cuih! Aku lebih suka bunuh diri, daripada disentuh bajingan keparat
sepertimu!"
"Ha ha ha...! Aku akan membuktikannya sekarang juga!"
Setan Ular Merah mencabut pedang. Dengan sekali gebrak, gadis itu dibuat
kewalahan. Hal itu sebenarnya bisa diduga. Sedikit banyak telah diketahuinya
bagaimana cara melumpuhkan gadis itu, sebab ilmu silatnya masih mentah,
apalagi merupakan murid Ki Sempalan Ungu yang pemah dikalahkan. Tentu saja
Setan Ular Merah mengerti benar, bagaimana cara mendesak pertahanan lawan dan
mematahkannya.
"Yeaaa...!"
Trak!
"Heh!"
"Uts...!"
Tukkk!
Pedang di tangan Setan Ular Merah menderu cepat, sehingga gadis itu gelagapan.
Dengan cepat dia menangkis, tapi alangkah terkejutnya gadis itu melihat
pedangnya patah menjadi dua bagian. Tangannya terasa kesemutan dan telapaknya
terkelupas. Namun dengan geram dan tak mempedulikan keadaan, kepalan tangannya
langsung menghantam dada lawan.
Sebenarnya, bisa saja Ayodea memapak dengan pedangnya. Tapi dia memilih
menghindar dengan melenting ke atas, lalu dengan cepat menotok urat gerak di
punggung lawan. Gadis itu mengeluh pelan. Tubuhnya langsung ambruk, namun
dengan cepat ditangkap dan dipeluk Setan Ular Merah.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan..!"
"He he he...! Bisa apa kau sekarang? Nah, marilah kita mulai
bersenang-senang," sahut Ayodea sambil mencium gadis itu dengan penuh nafsu.
Tangannya dengan nakal menggerayangi bagian tubuh si gadis.
"Setan Ular Merah, tidak malukah kau berbuat begitu pada gadis yang tidak
berdaya?"
"Heh?!"
***
DELAPAN
Setan Ular Merah terkejut dan cepat-cepat melepaskan gadis itu ketika
seseorang menegurnya dari belakang. Terlihat seorang pemuda tampan berambut
panjang terurai berbaju rompi putih. Dari balik punggungnya, tampak tersembul
sebatang pedang bergagang kepala burung. Setan Ular Merah tersenyum lebar,
ketika mengetahui siapa pemuda itu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Pucuk dicinta ulam tiba!"
"Ayodea, apa yang kau lakukan dengan gadis itu? Apakah itu perbuatan orang
hebat, yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan? Apakah
kemampuanmu hanya menaklukkan gadis-gadis yang tak berdaya?"
"Pendekar Rajawali Sakti, jangan banyak bicara kau! Hari ini aku akan membalas
kekalahanku setahun yang lalu!" dengus Ayodea.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tipis. Diliriknya sesaat gadis yang tadi
dipeluk Setan Ular Merah. Rangga tersenyum kecil. Gadis itu sedikit terkejut.
Pemuda yang baru datang ini adalah orang yang pernah dikenalnya beberapa hari
lalu.
"Hm... Diakah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu?" gumam gadis itu,
tanpa disadari.
"Kisanak, kedatanganku ke sini bukan untuk urusan dendam atau apa pun yang kau
katakan. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Apa yang kau lakukan selama ini
sangat biadab, dan tidak berperikemanusiaan. Kau mem-bunuh orang tanpa sebab,
dan hal itu tidak bisa dibenar-kan."
"Jangan berkhotbah di depanku! Kalau memang kau tak senang, majulah untuk
menemui kematian!"
"Tidak bisakah kita bicara baik-baik? Apakah naluri manusiamu tidak dapat
menilai, kalau kelakuanmu selama ini lebih buruk dari kelakuan binatang?"
"Diam kau! Cabutlah pedangmu, dan hadapi aku!"
Rangga tersenyum kecil. "Agaknya hatimu telah dipenuhi nafsu hewani yang
menyesatkan, Ayodea. Kau bukan manusia yang beradab, tapi setan yang tak
beradab!"
Bukan main kalapnya Ayodea mendengar kata-kata yang dilontarkan Pendekar
Rajawali Sakti. Tanpa memberi peringatan lagi, tubuhnya langsung berkelebat
menyerang lawan. Rangga bersiap dan sedikit kaget karena lawan mampu bergerak
cepat. Suatu peningkatan penuh dari Ayodea yang pernah dihadapinya setahun
lalu. Ayodea memang mengalami kemajuan pesat dalam setahun ini, tak sia-sia
kepandaian pemilik Goa Naga diwarisinya. Pendekar Rajawali Sakti menduga akan
hal itu, sehingga tidak berlaku ceroboh menghadapinya. Pertarungan antara
keduanya begitu seru dan berjalan cepat.
Pada saat mereka sedang bertarung, beberapa tokoh persilatan muncul di tempat
itu. Bahkan, di antaranya langsung memberikan pertolongan pada gadis itu. Di
antara mereka terlihat Ki Sentanu dan murid-murid Perguruan Tombak Kilat.
Agaknya, secara diam-diam mereka mengikuti jejak Rangga. Seperti menyaksikan
tontonan yang menarik, dalam sekejap saja tempat itu telah dipenuhi banyak
orang. Hal itu memang tak mengherankan. Tempat pertarungan antara kedua tokoh
itu memang tidak jauh dari sebuah desa yang cukup ramai.
Kedua tokoh itu belakangan namanya sama-sama menanjak. Pendekar Rajawali Sakti
malang-melintang membasmi tokoh-tokoh beraliran sesat yang berilmu tinggi,
tanpa terkalahkan. Sedang Setan Ular Merah namanya baru menanjak dan ditakuti
semua golongan. Ilmunya tinggi dan sulit diduga. Lebih dari lima belas tokoh
kosen kelas satu tewas di tangannya.
Tempat itu kini betul-betul menjadi arena tontonan yang ramai sekaligus
mematikan. Mereka membentuk lingkaran, dalam jarak lebih kurang dua puluh
tombak dari pertarungan kedua tokoh itu.
Sementara, pertarungan antara keduanya telah mencapai tingkat tertinggi. Setan
Ular Merah mengerahkan jurus 'Cakar Naga' yang dahsyat dan sangat beracun.
Kedua tangannya sebatas siku telah berwarna hitam kebiru-biruan. Wajahnya yang
keras berubah kaku, memancarkan kesan pembunuh kejam. Mereka terdiam beberapa
saat, lalu saling berpandangan.
"Hari ini adalah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Berdoalah agar
setan-setan di neraka tidak menyeretmu untuk menemani mereka!" dengus Setan
Ular Merah.
Rangga terdiam. Pedang pusakanya telah tercabut dan memancarkan cahaya
kebiru-biruan, menerangi tempat itu. Pandangannya tajam menusuk. Wajahnya yang
tampan berubah kelam dan kaku bagai patung. Terlihat kesan angker di wajahnya.
Tangan kirinya mengusap-usap batang pedang yang didekatkan ke muka. Tak berapa
lama, terlihat telapak tangan kirinya berwarna biru bercahaya. Pendekar
Rajawali Sakti telah siap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menghadapi
lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Trang...!
Blarrr!
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Bumi tempat mereka berpijak rasanya berguncang, ketika dua tokoh sakti itu
berteriak mengerahkan tenaga dalam yang kuat. Mereka yang mempunyai tenaga
dalam rendah langsung ambruk dengan sekujur tubuh mengeluarkan darah. Kedua
senjata mereka bertemu sehingga menimbulkan pijaran bunga api.
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut. Sebab, pedang pusakanya yang selama
ini tak tertandingi, dan mampu memutuskan baja terkuat sekalipun, kini menjadi
sebatang pedang biasa saja. Bahkan, tangannya sedikit kesemutan. Pedang di
tangan lawan, pastilah bukan senjata sembarangan. Batangnya berwarna hitam
kebiru-biruan dan berkilat-kilat, ketika Setan Ular Merah mengerahkan tenaga
dalamnya.
Tapi Rangga tak sempat memikirkan lebih lanjut, karena telapak tangan kiri
lawan menghantam dengan menimbulkan suara menderu. Pendekar Rajawali Sakti
membalas dengan mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Terdengar ledakan
dahsyat, disusul pijaran bunga api membubung ke angkasa. Bumi bergetar dan
angin berhembus kencang bagai badai topan. Dan, beberapa batang pohon terlihat
tumbang dengan daun-daun berguguran.
Kedua telapak tangan mereka bertemu. Ayodea menghantamkan pedang untuk
membabat leher lawan, tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkis. Adu tenaga
dalam pada jarak dekat ini, sangat menguras tenaga mereka. Terlihat dari sudut
bibir keduanya meleleh darah kental.
Wajah Ayodea berkerut, begitu juga Rangga. Kedua kaki mereka melesak ke dalam
tanah, sebatas mata kaki. Tapi perlahan-lahan kedua kaki Ayodea melesak lebih
dalam dari Pendekar Rajawali Sakti. Juga, dari mulutnya mengalir darah kental
yang terus berlelehan, bahkan sempat memerciki wajah Rangga.
"Yeaaa...!"
"Heh?!" Crasss! Brettt!
"Aaa...!"
Setan Ular Merah menjerit keras ketika sebuah bayangan melesat menyambar
tubuhnya. Terdengar kulit tubuhnya yang robek karena cakaran. Tubuh pemuda itu
meliuk-liuk, dan berguling-guling menahan rasa sakit yang tidak tertahankan.
"Hari ini adalah saat kematianmu, Pemuda Keparat! Ini pembalasanku. Dan kini,
terimalah hukuman leluhurku, atas apa yang kau perbuat dengan warisan ilmu
silatnya!"
"Sekartaji?! Ja..., jangan...!"
"Yeaaa...." Crab! "Akh...!"
Ayodea hanya dapat mengeluh pelan. Kepalanya terkulai lemah, ketika kesepuluh
cakar bayangan yang ternyata milik seorang gadis berwajah cantik, menancap di
dada kirinya. Sekujur tubuh pemuda itu hitam kebiru-biruan. Namun, gadis itu
seperti tak mau melepaskan cengkeramannya, sampai tubuh Setan Ular Merah
hancur berantakan laksana tebing runtuh.
Gadis itu baru menghentikan perbuatannya, saat tubuh Ayodea sudah tidak karuan
lagi bentuknya. Ditariknya napas panjang-panjang, kemudian pandangannya
beredar ke sekeliling tempat dengan sorot mata tajam.
"Kisanak semua! Perkenakanlah aku mengenalkan diri. Namaku Sekartaji, ahli
waris pemilik Goa Naga. Tempat itu adalah milik leluhurku. Setan Ular Merah
datang padaku secara baik-baik, dan kami telah berjanji untuk hidup bersama.
Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benakku untuk mencemarkan nama leluhur
dengan berbuat keonaran, setelah kami mempelajari warisan leluhurku itu. Tapi,
Setan Ular Merah mengkhianatiku, setelah mencelakakanku dengan mengurungku di
dalam goa itu. Atas nama leluhur, aku memohon maaf pada semua tokoh
persilatan, karena perbuatan Setan Ular Merah yang sadis dan biadab. Hari ini
semuanya telah berakhir...."
Setelah berkata demikian, Sekartaji mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.
Sedangkan, tangan kiri diletakkan di depan dada. Tampak kedua tangannya itu
telah menghitam sebatas siku.
Rangga terkejut. Apa yang hendak dilakukan oleh gadis yang kelihatan putus asa
itu telah dimengertinya. Tubuhnya langsung melompat ingin mencegah.
"Nisanak, tahan!"
Prakkk!
Crab!
"Akh!"
Rangga dan semua orang yang berada di situ sangat terkejut. Kedua tangan gadis
itu bergerak cepat. Satu tangan dihantamkan ke batok kepalanya hingga remuk,
dan yang satu lagi menembus jantung. Sekartaji hanya sempat mengeluh sejenak,
sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya di pangkuan Rangga.
Nyawa gadis itu sudah tak tertolong lagi. Tubuhnya dengan cepat menghitam,
terkena pukulannya sendiri. Tempat ini menjadi sepi beberapa saat lamanya.
Semua orang yang tadi menonton pertarungan, mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah melenyapkan salah satu
kezaliman di muka bumi ini...."
"Ki Sentanu...," ucap Rangga lirih ketika punggungnya ditepuk orang tua itu.
"Bukan aku yang berjasa, tapi gadis ini. Aku sama sekali tidak
mengenalnya...."
"Gadis itu hanya mempercepat saja...."
Rangga terdiam. Dan, meminta beberapa orang untuk mengubur mayat Sekartaji.
Beberapa tokoh persilatan mendatanginya, dan menjabat tangan Pendekar Rajawali
Sakti. Bahkan banyak di antara mereka yang mengundang berkunjung ke tempat
kediamannya. Tapi, Rangga menolak dengan halus.
"Maaf, Kisanak semua. Aku sama sekali tak bermaksud menolak kebaikan kalian.
Tapi, masih banyak persoalan yang harus kuselesaikan," jelas Rangga sebelum
berlalu dari tempat itu.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba gadis
yang tadi nyaris menjadi korban nafsu Ayodea menghampirinya dengan kepala
tertunduk.
"Kisanak, aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tak
cepat datang, entah apa yang terjadi padaku...," kata gadis itu dengan suara
lirih. Rangga tersenyum lirih.
"Sudahlah. Semua telah berlalu."
"Aku..., aku mohon maaf karena pernah berlaku kasar padamu...."
"Soal maaf, rasanya aku pun pernah berbuat kesalahan. Setelah kupikir-pikir
lagi, akulah yang lebih dulu berbuat salah padamu. Nah, maafkan aku."
"Kisanak..."
"Kau boleh memanggilku Rangga."
"Ng.... Namaku Mega...."
"Nah, Mega. Aku harus cepat-cepat pergi. Ada yang harus kukerjakan...."
"Ng.... Sudikah kau menerima undanganku? Aku ber-maksud mengundangmu ke tempat
kediamanku."
"Mungkin di lain kesempatan aku tidak menolak. Tapi, kali ini urusanku amat
mendesak. Sampai bertemu di lain waktu, Mega."
Selesai berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah pelan sambil
melambaikan tangan. Gadis itu pun melambaikan tangan dengan hati kecewa.
Begitu sombongkah pemuda itu? Atau, dirinya yang terlalu perasa?
Mega tidak tahu, Pendekar Rajawali Sakti lebih mementingkan keperluan orang
banyak. Pendekar muda digdaya itu tidak sombong. Hanya masih banyak
tugas-tugas kemanusiaan yang membutuhkan uluran tangannya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
Emoticon